Anda di halaman 1dari 14

BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Kinerja Perawat

Berdasarkan hasil univariat diketahui bahwa dari 54 responden

didapatkan lebih dari separuh (64,8%) memiliki kinerja baik dalam kelengkapan

pendokumentasian proses keperawatan di Instalasi Rawat Inap RS. Jiwa Prof. HB.

Saanin Padang tahun 2012.

Hasil penelitian yang diperoleh ini sama dengan hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh Emrita (2011) di RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dimana hasil

yang didapatkan lebih dari separuh (64,7%) kinerja perawat dalam pendoku

mentasian asuhan keperawatan dilakukan dengan baik.

Kinerja perawat adalah penampilan hasil karya dari perawat dalam

memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan yaitu suatu

proses rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung berpedoman

pada standar dan etika keperawatan dalam lingkup dan wewenang tanggungjawab

keperawatan (Nursalam, 2008). Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan

yang memuat seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan pengkajian

keperawatan, diagnosis keperawatan, menyusun rencana tindakan (Intervensi),

melaksanakan tindakan keperawatan (Implementasi) dan mengevaluasi tindakan

keperawatan yang disusun secara sistematis, valid dan dapat

dipertanggungjawabkan (Zaidin ,2011)

61
62

Dalam pendokumentasian hasil kinerja perawat dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti kemampuan, keterampilan, sikap, motivasi untuk bekerja dan

pengorganisasian ditempat kerja. Hal ini sama dengan pendapat ilyas (2012),

menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap sejumlah

variabel yang mempengaruhi prilaku dan kinerja individu yaitu: Variabel individu

(kemampuan dan keterampilan,latar belakang dan demokrafi), Variabel psikologis

(persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi) dan variabel organisasi

(sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan).

Dari hasil distribusi frekuensi yang telah diuraikan dimana diperoleh

sebagian besar pendokumentasian asuhan keperawatan berjalan dengan baik. Ini

berarti perawat sudah mulai menyadari bahwa kelengkapan pendokumentasian

proses keperawatan sudah merupakan suatu keharusan agar asuhan keperawatan

yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat

dipertanggungjawabkan. Menurut asumsi peneliti pelaksanaan pendokumentasian

asuhan keperawatan yang baik di RSJ. Prof.HB.Saanin Padang terjadi karena

semua ruangan Rawat Inap sudah menjadi Ruangan MPKP dengan menggunakan

metode penugasan TIM. Metode TIM akan membuat setiap kegiatan yang

dilakukan perawat pelaksana selalu dibawah pengawasan ketua TIM sehingga

perawat pelaksana akan lebih termotivasi meningkatkan kinerjanya khususnya

dalam kelengkapan pendokumentasian asuhan keperawatan.

Sementara masih adanya kinerja perawat pelaksana dalam

pendokumentasian yang kurang baik disebabkan oleh masih adanya tahap

pendokumentasian yang belum berjalan dengan baik. Dari kuesioner didapatkan


63

nilai terendah berada pada pengkajian (61%) dan intervensi (74%), hal ini

disebabkan oleh kurangnya ketersediaan blangko pengkajian diruangan sehingga

perawat mengabaikan pelaksananan pengkajian disamping itu adanya anggapan

perawat pelaksana bahwa intervensi merupakan hal yang baku dan sudah

ditetapkan pada buku Standar Asuhan Keperawatan (SAK) sehingga perawat

pelaksana menganggap intervensi keperawatan menjadi hal yang tidak penting

untuk di dokumentasikan. Hasil wawancara dengan beberapa orang perawat juga

mengatakan bahwa intervensi merupakan hal yang baku sehingga percuma

melakukan karena sudah ada pada konsep teori dan buku pedoman pelaksanaan

proses keperawatan.

Untuk itu kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan perlu ditingkatkan dengan menyediakan format dan blangko yang

cukup dan juga perlu adanya pemahaman atau desiminasi ilmu dengan perawat

pelaksana agar selalu menganggap penting pendokumentasian asuhan

keperawatan terutama kelengkapan pengkajian dan intervensi keperawatan.

2. Tingkat Pengetahuan

Berdasarkan hasil univariat didapatkan lebih dari separuh (55,6%)

responden memiliki pengetahuan yang tinggi dalam kelengkapan

pendokumentasian proses keperawatan di Instalasi Rawat Inap RS.Jiwa

Prof.HB.Saanin Padang tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Muharyati (2006) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan


64

didapatkan hasil lebih dari separuh (52,8%) responden yang mempunyai

pengetahuan tinggi.

Menurut Robbins (2001), pengetahuan merupakan bentuk kemampuan

intelektual pekerja yang sangat mempengaruhi kinerja pekerja. Sedangkan

menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu onjek tertentu dan

pengetahuan juga merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang.

Pengetahuan tentang pendokumentasian asuhan keperawatan akan

dicerminkan dalam prilaku kerja dan kinerja dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan . Seperti menurut teori Green dikutip oleh Notoatmojo (2003),

bahwa prilaku seseorang termasuk prilaku kerja dan kinerja petugas akan

dipengaruhi oleh faktor pengetahuannya tentang tugas tugas yang akan

dilaksanakannya. Untuk itu pengetahuan perawat tentang pendokumentasian

proses keperawatan merupakan hal yang penting, supaya tindakan keperawatan

yang dilakukan perawat tepat dan dapat dipertanggungjawab dan

pertanggunggugatkan karena orang yang melakukan sudah sudah dilengkapi

dengan pengetahuan yang baik.

Dari hasil distribusi frekuensi yang telah diuraikan dimana diperoleh

sebagian besar pengetahuan perawat tentang kelengkapan pendokumentasian

proses keperawatan sudah tinggi. Menurut asumsi peneliti tingginya pengetahuan

perawat tentang pendokumentasian proses keperawatan sejalan dengan tingginya

pendidikan perawat itu sendiri. Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa sebagian
65

besar (83,3%) perawat sudah berpendidikan DIII Keperawatan dan S-1

Keperawatan (7,4%).

Sementara masih adanya perawat yang memiliki pengetahuan rendah,

menurut asumsi peneliti disebabkan karena sebagian perawat belum menyadari

apa tujuan dan manfaat dari proses keperawatan, ini dapat dilihat pada kuesioner

no 8 dan 10. Dari kuesioner tergambar bahwa (59%) perawat tidak tahu manfaat

dari proses keperawatan dan (52%) tidak mengetahui tujuan dari pendokumen

tasian proses keperawatan.

3. Supervisi

Berdasarkan hasil univariat diketahui separuh (50%) dari responden

mengatakan supervisi terlaksana dalam pendokumentasian proses keperawatan di

RS.Jiwa Prof.HB.Saanin Padang tahun 2014. Penelitian ini hampir sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Muharyati (2006) tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan didapatkan hasil lebih dari separuh (54,7%) supervisi terlaksana

dengan teratur.

Supervisi adalah kegiatan-kegiatan yang terencana bagi seorang manajer

melalui aktivitas bimbingan, pengarahan,observasi, motivasi dan evaluasi pada

stafnya dalam pelaksanaan kegiatan atau tugas sehari hari (Arwani,2005). Tujuan

pokok dari supervisi adalah menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah

direncanakan secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efisien, sehingga

tujuan yang telah ditetapkan organisasi dapat dicapai dengan memuaskan (Suarli

dan Bactiar,2008).
66

Dalam pelaksanaan pendokumentasian proses keperawatan supervisi

merupakan hal yang penting. Untuk itu ketua TIM dan Kepala Ruangan

mempunyai peranan yang besar dala pelaksanaan supervisi karena supervisii

dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan yang cukup tentang hal yang

disupervisi. Agar supervisi tidak menjadi hal yang menakutkan bagi perawat

pelaksana ketua TIM dan Kepala Ruangan sebaiknya membuat jadwal rutin setiap

bulannya dan memberikan contoh yang baik kepada perawat pelaksana.

Supervisi harus dilaksanakan secara berkala. Supervisi yang dilakukan

hanya sekali bisa dikatakan bukan supervisi yang baik. Tidak ada pedoman yang

pasti mengenai berapa kali supervisi harus dilakukan. yang digunakan sebagai

pegangan umum supervisi biasanya bergantung dari derajat kesulitan tinggi serta

sifat penyelesaiannya mendasar, maka supervisi harus sering dilakukan

(Nainggolan,2010).

Menurut asumsi peneliti masih rendahnya angka pelaksanaan supervisi

dalam penelitian ini sisebabkan karena ketua Tim dan Kepala Ruangan kurang

mampu menjadi Role Model, dan keterbatasan sarana prasarna pendukung seperti

format supervisi, panduan supervisi, hal ini dapat dilihat dari isian kuesioner

tentang kemampuan kepala ruangan menjadi contoh teladan hanya (54%),

sementara yang mengatakan ketesediaan fasilitas hanya (67%). Untuk itu Ketua

Tim dan Kepala Ruangan harus bisa mengembangkan diri sehingga dapat menjadi

contoh bagi bawahannya. Disamping itu tentu kepala bidang keperawatan selalu

mendukung kegiatan supervisi ini dengan menyediakan sarana dan prasarana

pendukungnya.
67

4. Insentif

Berdasarkan hasil univariat didapatkan lebih dari separuh (53,7%)

responden puas dengan insentif dalam kelengkapan pendokumentasian proses

keperawatan di Instalasi Rawat Inap RS.Jiwa Prof.HB.Saanin Padang tahun 2014.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian dilakukan oleh Muharyati (2006) tentang

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat pelaksana dalam

pendokumentasian asuhan keperawatan didapatkan hasil lebih dari separuh

(64,2%) puas ngan imbalan yang diterima.

Menurut Siagian (1997), imbalan baik yang bersifat finansial yang

diterima oleh seseorang bagi jasa jasa yang diberikannya kepada organisasi seperti

upah, bonus/insentif, biaya pengobatan dan lain lain, maupun imbalan non

finansial seperti suasana kerja yang kondusif, kesempatan pengembangan

kreatifitas melalui pelatihan sangat erat kaitannya dengan prestasi kerja seseorang

kariawan. Demikian pula menurut Hageman (1993) dalam Ilyas (2012),

berpendapat bahwa insentif material sangat berperan dalam mendorong orang

berprestasi dalam kerja. Sedangkan Notoatmojo (2003), berpendapat bahwa

pemberian insentif baik material maupun non material akan mempengaruhi

motivasi kerja seseorang sehingga berdampak pada kinerja yang lebih baik.

Dalam penelitian ini didapatkan lebih dari separuh perawat pelaksana

sudah puas dengan insentif dalam kelengkapan pendokumentasian proses

keperawatan. Menurut asumsi peneliti tingginya kepuasan perawat tentang

insentif disebabkan karena keseriusan pemerintah daerah Sumatera Barat untuk

meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri dengan memberikan tunjangan


68

kinerja, dan tunjangan yang diterima berdasarkan penilaian kinerja perawat pada

bulan sebelumnya. Disamping itu tunjangan daerah yang selalu di tingkatkan tiap

tahunnya dalam tahun 2012 ini pemerintah daerah juga menaikkan tunjangan

kinerja sampai 50%.

Sementara masih adanya perawat yang tidah puas disebabkan karena baru

tunjangan daerah yang sudah berdasarkan kinerja sementara pembagian jasa

pelayanan belum ditemukan formula yang tepat sehingga perawat yang rajin akan

mendapatkan insentif yang lebih besar. Begitu juga dengan pelaksanaan

pendokumen proses keperawatan sebaiknya dokumen dapat dijadikan salah satu

bukti untuk menilai kinerja perawat.

B. Analisa Bivaraiat

1. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja Perawat

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kinerja responden

yang baik, lebih banyak proporsinya pada pengetahuan yang tinggi yaitu (80%)

dibandingkan dengan pengetahuan rendah sebanyak (45,8%). Hasil Uji statistik

didapatkan nilai p-Value 0,02, artinya ada hubungan pengetahuan dengan kinerja

perawat pelaksana dalam kelengkapan pendokumentasian proses keperawatan di

Instalasi Rawat Inap RS.Jiwa Prof.HB.Saanin Padang tahun 2012.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fizran (2010) dan Adiono

(2011) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

perawat dengan kinerjanya.

Green (1980) dikutip oleh Notoatmojo (2003) mengatakan bahwa prilaku

seseorang termasuk prilaku kerja dan kinerja petugas akan dipengaruhi oleh faktor
69

pengetahuannya tentang tugas tugas yang akan dilaksanakannya. Untuk

mengetahui gambaran pengetahuan ini dapat dilakukan melalui pengajuan

beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan pendokumentasian proses

keperawatan. Menurut Robins (2001), pengetahuan merupakan bentuk

kemampuan intelektual pekerja yang sangat mempengaruhi kinerjanya.

Menurut asumsi peneliti hal yang dapat menjelaskan adanya hubungan

pengetahuan dengan kinerja perawat pelaksana dalam kelengkapan

pendokumentasaian proses keperawatan adalah tingkat pendidikan perawat yang

sudah rata rata DIII Keperawatan dan S-1 Keperawatan, sementara dalam

kurikulum keperwatan DIII dan S-1 sudah memuat pelajaran asuhan keperawatan

jiwa khususnya pendokumentasian proses keperawatan secara terinci sehingga

diharapkan pengetahuan perawat terhadap pendokumentasian semakin baik.

Begitu juga setiap tahunnya di RS.Jiwa prof.HB.saanin padang dilakukan

penyegaran/pelatihan proses perawatan, sehinga perawat dapat meningkatkan

kemampuannya dalam pendokumentasian proses keperawatan.

Disamping pendidikan hal lain yang mendukung adanya hubungan

pengetahuan dengan kinerja perawat pelaksana adalah masa kerja, dalam

penelitian ini digambarkan bahwa sebagian besar perawat mempunyai

pengalamam kerja lebih dari 5 tahun. Pengalaman kerja ini juga akan berjalan

sejalan dengan meningkatnya pengetahuan perawat. Dengan meningkatnya

pengetahuan perawat tentang pendokumentasian akan membuat perawat lebih

merasakan pentingnya pendokumentasian dan akibat jika tidak melakukan

pendokumentasian, untuk itu diharapkan setiap perawat selalu mengembangkan


70

pengetahuannya baik melalui pendidikan formal maupun informal seperti seminar

dan pelatihan.

2. Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Kinerja Perawat Pelaksana

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kinerja

responden yang baik, lebih banyak proporsinya pada supervisi yang terlaksana

yaitu (85,2%) dibandingkan dengan supervisi yang tidak terlaksana sebanyak

(44,4%). Hasil Uji statistik didapatkan nilai p-Value (0,00), berarti ada hubungan

supervisi dengan kinerja perawat pelaksana dalam lengkapan pendokumentasian

proses keperawatan di Instalasi Rawat Inap RS.Jiwa Prof.HB.Saanin Padang

tahun 2012.

Hasil penelitian yang telah diperoleh hampir sama dengan penelitian

yang telah dilakukan Emrita (2011), yang menyatakan adanya hubungan yang

bermakna antara supervisi yang dilakukan kepala ruangan dengan kinerja perawat

pelaksana dalam pendokumentasian proses keperawatan dengan p-Value 0,03

Begitu juga penelitian yang dilakukan Utari (2013) tentang hubungan supervisi

kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana didapatkan hasil ada hubungan

yang bermakna antara supervisi dengan kinerja perawat pelaksana dengan

p-Value (0,00).

Secara teknis supervisi dapat dilakukan secara lansung dan tidak lansung.

Dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tujuan

supervisi. Bila ditunjukkan untuk bimbingan dan arahan serta mencegah dan

memperbaiki kesalahan yang terjadi, maka supervisi lansung lebih tepat guna, jika
71

ditujukan untuk memantau proses pelaksanaan tugas keperawatan maka supervisi

tidak lansung lebih tepat digunakan ( Nainggolan,2010).

Peran supervisor sebagai penilai dalam supervisi dapat memberikan

dampak yang positif pada kinerja perawat pelaksana. Penilaian akan berarti dan

dapat dikerjakan jika mempunyai tujuan yang jelas, spesifik dan terdapat standar

penilaian kinerja dan observasinya akurat. Dalam melaksanakan supervisi,

penilaian hasil kerja perawat pelaksana dilakukan saat melaksanakan

pendokumentasian proses keperawatan selama periode tertentu. Hal ini dilakukan

secara terus menerus selama supervisi berlansung dan tidak memerlukan tempat

khusus. Penilaian merupakan pengukuran terhadap akibat yang timbul dan

dilaksanakan suatu program dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapka

(Azwar,2008).

Supervisi yang dilakukan sesuai dengan kegiatan rutin oleh kepala

ruangan adalah berkesinambungan dan mempunyai persiapan untuk menyusun

jadwal supervisi, menyiapkan materi supervisi (format supervisi, pedoman

pendokumentasian), mensosialisasikan rencana supervisi kepada perawat

pelaksana. Pelaksanaan yaitu dengan mengucapkan salam kepada perawat yang

disupervisi, membuat kontrak waktu supervisi, pelaksanaan pendokumentasian,

bersama perawat mengidentifikasi kelengkapan pendokumentasian untuk masing

masing tahap, mendiskusikan hasil pencapaian yang diperoleh perawat,

mendiskusikan pencapaian yang harus ditingkatkan dan memberikan bimbingan

selama supervisi (Wiyana, 2008).


72

Menurut asumsi peneliti adanya hubungan yang bermakna antara supervisi

Kepala Ruangan dengan kinerja perawat disebabkan oleh adanya program dan

kebijakan dari Bidang Keperawatan untuk menerapkan ruangan Model

Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP), dimana salah satu program yang harus

dilaksanakan Ketua TIM dan Kepala Ruangan dalam MPKP adalah melakukan

supervisi kepada bawahan secara periodik, sehingga perawat pelaksana yang

mendapatkan supervisi melakukan pendokumentasian karena dibawah bimbingan

langsung dari Kepala Ruangan.

Fungsi manajerial yang menangani pelayanan keperawatan di ruang rawat

dikoordinatori oleh Kepala Ruangan (Rahman 2006). Kemampuan manajerial

yang dimiliki kepala ruangan antara lain perencanaan (Planning),

pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan serta

pengendalian (controlling). Beberapa fungsi manajerial kepala ruangan tersebut

terlihat bahwa salah satu yang harus dijalankan oleh kepala ruangan adalah

bagaimana melakukan supervisi.

Di RS. Jiwa. Prof HB. Saanin Padang pelaksanaan supervisi bisa

terstruktur dimana kepala ruangan membuat jadwal supervisi dalam satu bulan

dan perawat pelaksana yang disupervisi diberitahu sebelumnya bahwa supervisi

akan dilakukan atau bisa secara tidak terstruktur (dadakan) dimana perawat

pelaksana tidak diberi tahu sebelumnya. Disamping itu supervisi juga dilakukan

secara berjenjang dimana sewaktu kepala ruangan melakukan supervisi kepada

perawat pelaksana, kepala ruangan juga disupervisi oleh Ka Bidang Keperawatan

tentang kinerja kepala ruangan dalam melakukan tugas supervisi nya.


73

Penerapan supervisi seperti ini akan membuat perawat pelaksana akan

termotivasi melakukan pendokumentasian karena ada bimbingan dan pengawasan

secara periodik dari kepala ruangan. Sehingga akan berbeda kinerja perawat

pelaksana yang mendapatkan supervisi lansung, dengan perawat yang tidak di

supervisi oleh kepala ruangannya. Untuk itu perlu ditingkatkan pelaksanaan

supervisi menjadi kegiatan yang sifatnya membudaya di RS.Jiwa.Prof.HB. Saanin

Padang sehingga supervisi tidak dianggap sebagai hal yang tidak mengenakkan

bagi yang disupervisi tapi justru sebaliknya supervisi dianggap sebagai kebutuhan

dari yang di supervisi itu sendiri.

3. Hubungan Insentif dengan Kinerja Perawat Pelaksana

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kinerja responden

yang baik, lebih banyak proporsinya pada yang puas dengan insentif (79,3%)

dibandingkan dengan yang tidak puas sebanyak (48%). Hasil Uji statistik

didapatkan nilai p-Value 0,03, berarti seara statistik ada hubungan insentif

dengan kinerja perawat pelaksana dalam kelengkapan pendokumentasian proses

keperawatan di Instalasi Rawat Inap RS.Jiwa Prof.HB.Saanin Padang tahun 2012.

Hasil penelitian yang telah diperoleh sama dengan penelitian Lolita (2011)

tentang faktor- faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat pelaksana

didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara insentif dengan kinerja

perawat dengan p-Value 0,00 ( p-Value< 0,05 ), namun berbeda dengan penelitian

muharyati (2006) tentang faktor faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat

didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara insentif dengan

kinerja perwat dengan p-Value 1.00 ( p-Value< 0,05 ).


74

Dalam Ilyas (2012) imbalan baik yang bersifat finansial yang diterima oleh

seseorang bagi jasa jasa yang diberikannya kepada organisasi seperti upah,

bonus/insentif, biaya pengobatan dan lain lain, maupun imbalan non finansial

seperti suasana kerja yang kondusif, kesempatan pengembangan kreatifitas

melalui pelatihan sangat erat kaitannya dengan prestasi kerja seseorang kariawan.

Demikian pula menurut Hageman (1993) dalam Ilyas (2012), berpendapat bahwa

insentif material sangat berperan dalam mendorong orang berprestasi dalam kerja.

Sedangkan Notoatmojo (1993), berpendapat bahwa pemberian insentif baik

material maupun non material akan mempengaruhi motivasi kerja seseorang

sehingga berdampak pada kinerja yang lebih baik.

Menurut asumsi peneliti adanya hubungan yang bermakna antara insentif

dengan kinerja perawat disebabkan oleh sudah adanya pola pembagian insentif

atas dasar kinerja, dimana pembagian tunjangan daerah yang diterima perawat

diluar gaji sudah berdasarkan kinerja perawat sehingga akan berbeda tunjangan

yang diterima oleh perawat yang rajin dengan perawat yang malas. Begitu juga

sistem pembagian jasa pelayanan, dari imformasi Ka Sub Bagian Anggaran dan

Perbendaharaan RS.Jiwa Prof HB Saanin Padang sampai saat ini belum ada

pedoman yang baku tentang pembagian jasa pelayanan namun di RS.Jiwa Prof

HB saanin Padang dalam proses pembuatan formulasi pembagian jasa pelayanan

dengan remunerasi dan kinerja personil, jadi besar kecilnya jasa yang diterima

tergantung pada kinerja perawat sehingga perawat akan meningkatkan kinerjanya

agar mendapatkan insentif yang lebih besar dan jika insentif yang diterima besar

akan memotivasi perawat untuk meningkatkan kinerja pada bulan berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai