Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kinerja perawat sangat penting karena berhubungan dengan standar
asuhan keperawatan. Penelitian Muhith & Nursalam (2008) menunjukkan ada
pengaruh signifikan standar asuhan keperawatan terhadap standar kinerja
profesional perawat terutama pada penerapan asuhan keperawatan dalam
pengkajian, diagnosis, perencanaan adalah tinggi (100% dapat dilaksanakan
dengan baik), sedangkan untuk implementasi dan evaluasi belum bisa
dilaksanakan 100%). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Rivai,
Hargono, Pudjirahardjo (2003) yang mengungkapkan kinerja perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan rendah (58%). Data tersebut menunjukkan
bahwa kinerja perawat belum terlaksana secara maksimal sesuai standar
asuhan keperawatan.
Kinerja perawat sangat penting karena dapat digunakan sebagai
evaluasi yang dilakukan supervisor dalam organisasi keperawatan . Hadrianti,
Yassir, & Kadir (2012) menunjukkan bahwa peran kepala ruangan dalam
penerapan asuhan keperawatan sebagai pengawas di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Daya Makassar adalah sebanyak (62%).
Mulyaningsih

(2013)

menemukan

hasil

audit

dokumentasi

asuhan

keperawatan di salah satu ruangan Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta


didapatkan nilai rata-rata 85% (baik), nilai dokumentasi yang paling rendah
terdapat pada evaluasi (50%). Analisis ini menunjukkan bahwa kinerja
perawat perlu ditingkatkan.
Kinerja perawat penting dalam memberikan asuhan keperawatan
karena dapat berpengaruh pada hasil kepuasan pasien. Penelitian Rivai,
Hargono, Pudjirahardjo (2003) di Rumah Sakit Umum Daerah Surabaya
menunjukkan 44,2% pasien kurang puas terhadap pelayanan rawat inap dan
34,5% kurang puas terhadap pelayanan keperawatan. Menurut Pan American
Health Organization (2004) di rumah sakit perawat memiliki peran

fundamental yang luas selama 24 jam sehari, 365 hari dalam setahun, dan
memberikan dampak kualitas, efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan.
Data tersebut menunjukkan perawat dapat memberikan kontribusi sangat besar
untuk meningkatkan mutu rumah sakit jika dikelola dengan baik dan
profesional.
Kinerja perawat sangat penting karena berhubungan dengan pemberian
pelayanan asuhan keperawatan pada klien di rumah sakit. Penelitian Syah
(2004)

dalam

Mulyaningsih

(2012)

menjelaskan

faktor-faktor

yang

berhubungan dengan kinerja perawat dalam pemberian pelayanan antara lain


umur, pendidikan, status kepegawaian, masa kerja, peralatan, motivasi,
kompensasi, dan iklim kerja. Pendapat lain dari Rivai, Hargono, Pudjirahardjo
(2003) menjelaskan kinerja perawat dipengaruhi oleh beban kerja, kejenuhan
kerja, dan motivasi kerja. Analisis tersebut menjelaskan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan.
Timbang terima pasien penting karena sebagai bentuk profesional
kinerja perawat dalam berkomunikasi. Angood (2007) mengungkapkan bahwa
kurangnya komunikasi merupakan masalah penyebab utama adanya adverse
event, near miss dan sentinel event di rumah sakit. Pendapat ini didukung oleh
Alvarado, Lee, Christoffersen, Fram, Boblin, Poole., Lucas, & Forsyth (2006)
mengungkapkan

ketidakakuratan

informasi

dalam

berkomunikasi

menyebabkan hampir 70% kejadian sentinel. Analisis ini menunjukkan dalam


timbang terima diperlukan informasi yang akurat.
Timbang terima pasien penting karena informasi yang relevan dapat
mempengaruhi keselamatan pasien. Alvarado, et al (2006) menjelaskan bahwa
komunikasi berbagai informasi yang diberikan oleh perawat dalam pertukaran
shift sangat membantu dalam perawatan pasien. Penelitian Dewi (2012),
menunjukkan di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi terjadi
peningkatan penerapan keselamatan pasien sebesar 9.77 (8.14%) sesudah
perawat pelaksana mendapatkan pelatihan timbang terima pasien menjadi
108.21 (90.17%). Kajian data-data tersebut menjelaskan bahwa timbang
terima dapat menjadi metode komunikasi untuk memberikan informasi yang
relevan bagi perawat.

Timbang terima penting karena harus dilakukan dengan jelas, singkat,


dan komplit serta informasi yang disampaikan harus akurat. Patterson, Emiliy
S., & Wears, Robert L. (2010) menyatakan sekitar 20%-30% dari informasi
yang disampaikan selama pergantian timbang terima tidak didokumentasikan
dalam

catatan

medis

dapat

menyebabkan

peristiwa

buruk

seperti

keterlambatan dalam diagnosa medis dan perawatan. Landrigan (2007)


mengungkapkan hampir 80% kesalahan medis yang serius terjadi disebabkan
oleh miskomunikasi. Timbang terima yang dilaksanakan dengan baik dapat
membantu mengidentifikasi kesalahan serta memfasilitasi kesinambungan
perawatan pasien.
Timbang terima perlu terus ditingkatkan baik teknik maupun alurnya
karena timbang terima merupakan bagian penting dalam menginformasikan
permasalahan klien sehari-hari. Penelitian Mulyaningsih (2013) di RSJD
Surakarta menemukan berbagai kegiatan yang dilaksanakan di ruang Model
Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) dapat mendukung kualitas
pelayanan.
Hasil penelitian Afandi (2007) menunjukkan bahwa serah terima tugas
jaga (operan jaga) diperoleh hasil 96,9%, sedangkan pre-conference diperoleh
hasil 80,6%, dan post-conference diperoleh hasil 70,8%. Data tersebut
menunjukkan bahwa kegiatan di ruang MPKP sudah cukup efektif. Meskipun
pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik namun masih lemah dalam
pendokumentasian.
Timbang terima merupakan actualiting dari fungsi manajemen
keperawatan. Timbang terima berfungsi sebagai komunikasi perawat dalam
melakukan pekerjaannya. Timbang terima juga dapat berfungsi sebagai
motivasi perawat dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya sebagai pemberi
asuhan keperawatan. Timbang terima ini juga dapat merupakan bentuk kinerja
dari perawat. melibatkan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, timbang
terima adalah bagian penting dari manajemen keperawatan yang tidak boleh
terlewatkan.
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti menggambarkan bahwa
Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak sudah melakukan timbang
terima pasien setiap pergantian shift. Peneliti melakukan observasi pada dua
ruang rawat inap sebagai studi pendahuluan. Hasil studi pendahuluan

menunjukkan para perawat melakukan timbang terima secara verbal dan


bedside handover.
Hasil observasi survei pendahuluan saat pelaksanaan timbang terima
didapatkan 100%

perawat menyebutkan diagnosa medis masing-masing

klien, namun tidak menyebutkan diagnosa keperawatan. Selain itu, perawat


tidak menanyakan respon klien sebagai evaluasi perkembangan kesehatan
klien. Setelah melakukan timbang terima, para perawat tidak melakukan
diskusi post timbang terima. Tidak hanya itu, salah seorang perawat juga
menyampaikan hal yang tidak ada kaitannya dengan pasien saat pelaksanaan
timbang terima.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka pelaksanaan timbang
terima pasien juga berpengaruh pada kinerja perawat. Hal ini dikarenakan
timbang terima harus dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan secara
singkat, jelas dan komplit tentang tindakan mandiri perawat, tindakan
kolaboratif yang sudah dilakukan saat itu. Informasi yang disampaikan harus
akurat sehingga kesinambungan asuhan keperawatan dapat berjalan dengan
sempurna. Sehingga pelaksanakan timbang terima perlu ditingkatkan lagi agar
kinerja perawat dapat terlaksana dengan baik sesuai standar asuhan
keperawatan.
I.2. Rumusan Masalah
Timbang terima tak bisa diabaikan karena berhubungan dengan
keselamatan pasien. Kejadian kesalahan dosis obat dapat terjadi bila pada
proses timbang terima tidak disampaikan dengan lengkap dan jelas serta tidak
dapat memilah penting tidaknya informasi yang harus disampaikan. Timbang
terima perlu pula ditingkatkan baik teknik maupun alurnya karena timbang
terima merupakan bagian penting dalam menginformasikan permasalahan
klien sehari-hari.
Hasil observasi pada dua ruangan di Rumah Sakit Marinir Cilandak
menunjukkan pelaksanaan timbang terima telah dilaksanakan (100%), namun
informasi tentang diagnosa keperawatan di kedua ruangan tidak disampaikan
(100%). Selain itu, perawat juga tidak menanyakan respon klien sebagai
evaluasi perkembangan kesehatan klien. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kinerja perawat dalam melakukan timbang terima belum sesuai dengan standar

asuhan keperawatan. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam proses


pelaksanaan timbang terima agar dapat menghasilkan kinerja perawat yang
baik dalam memberikan asuhan keperawatan.
Kinerja perawat sangat penting karena
pelaksanaan

standar

asuhan

keperawatan.

berhubungan

Dokumentasi

dengan

keperawatan

merupakan salah satu bagian dari standar asuhan keperawatan yang dapat
digunakan sebagi instrumen penilaian kinerja perawat. Selain itu, kelengkapan
dokumentasi keperawatan juga dapat digunakan sebagai bahan informasi,
komunikasi, dan laporan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Jadi, jika standar asuhan keperawatan terlaksana dengan baik maka kinerja
perawat akan menjadi baik pula.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui tentang
pelaksanaan timbang terima sudah yang dilakukan oleh perawat dan kinerja
perawat di ruang rawat inap. Hal ini dikarenakan timbang terima harus
dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan secara singkat, jelas dan
komplit tentang tindakan mandiri perawat, tindakan kolaboratif yang sudah
dilakukan saat itu. Informasi yang disampaikan harus akurat sehingga
kesinambungan asuhan keperawatan dapat berjalan dengan sempurna.
Adapun pertanyaan dalam penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden yang terdiri dari usia,
tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan masa kerja pada perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?
2. Bagaimana gambaran pelaksanaan timbang terima yang meliputi,
persiapan, pelaksanaan, dan post timbang terima di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?
3. Bagaimana gambaran kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Marinir Cilandak, Jakarta ?
4. Bagaimana hubungan persiapan timbang terima pasien dengan kinerja
perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?
5. Bagaimana hubungan pelaksanaan timbang terima pasien dengan kinerja
perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?
6. Bagaiman hubungan post timbang terima dengan kinerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?
7. Bagaimana hubungan timbang terima pasien dengan kinerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta ?

I.3. Tujuan Penelitian


I.3.1.
Tujuan Umum
Didapatkan hubungan pelaksanaan timbang terima pasien dengan kinerja
perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
I.3.2.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah didapatkan:
a. Gambaran karakteristik responden , yaitu usia, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, dan masa kerja pada perawat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
b. Gambaran pelaksanaan timbang terima yang meliputi, persiapan,
pelaksanaan dan post timbang terima di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
c. Gambaran kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Marinir Cilandak, Jakarta.
d. Hubungan persiapan timbang terima pasien dengan kinerja perawat
di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
e. Hubungan pelaksanaan timbang terima pasien dengan kinerja
perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak,
Jakarta.
f. Hubungan post timbang terima dengan kinerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
g. Hubungan timbang terima pasien dengan kinerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.

I.4. Manfaat Penelitian


I.4.1.
Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang manajemen
keperawatan serta dapat menambah sumber kepustakaan penelitian
selanjutnya terkait tentang timbang terima/operan dinas perawat.
I.4.2.
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kuliah pada mata ajar
Manajemen Keperawatan.
I.4.3.
Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan dari hasil penelitian ini bisa memberikan masukan bagi
profesi untuk menerapkan penatalaksanaan timbang terima dengan baik

sehingga informasi dapat diterima dengan baik sehingga kinerja perawat


dalam memberikan asuhan keperawatan dapat maksimal.
I.4.4.
Bagi Peneliti
Dari data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya dibidang manajemen keperawatan.
I.4.5.
Bagi Tempat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pasien dan
meningkatkan nilai promosi bagi rumah sakit.

I.5. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan Manajemen
Keperawatan Program Studi S-1 Keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta untuk mengetahui
hubungan pelaksanaan timbang terima dengan kinerja perawat di di ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta. Dalam ruang lingkup
penelitian ini , penulis hanya membatasi pada proses timbang terima yang
meliputi, persiapan, pelaksanaan, dan post timbang terima serta kinerja
perawat memuaskan atau tidak dalam memberikan asuhan keperawatan.
Adapun waktu yang akan dilakukan penelitian tersebut dilakukan pada bulan
Mei sampai Juni 2014

BAB II
TINJAUAN TEORI

II.1. Kinerja Perawat


II.1.1.
Definisi
Kinerja merupakan pencapaian prestasi seseorang berkenaan
dengan seluruh tugas yang dibebankan kepadanya. Mangkunegara
(2009) menjelaskan kinerja merupakan penampilan secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Mardiana (2003) dalam Triwibowo (2013) menyatakan bahwa
kinerja karyawan merupakan tujuan akhir dan merupakan cara bagi
manajer untuk memastikan bahwa aktivitas karyawan dan output
yang dihasilkan kongruen dengan tujuan organisasi. Pernyataan
tersebut menjelaskan kinerja merupakan tujuan akhir yang
merupakan penampilan secara kualitas dan kuantitas seorang
pegawai.
Kinerja perawat adalah bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Kurniadi
(2013) berpendapat kinerja keperawatan adalah prestasi kerja yang
ditunjukkan oleh perawat pelaksana dalam melaksanakan tugas-tugas
asuhan keperawatan sehingga menghasilkan output yang baik kepada

costumer (organisasi, pasien, perawat sendiri) dalam kurun waktu


tertentu. Kinerja perawat pelaksana merupakan komposit dari
komponen

penerapan

asuhan

keperawatan

yang

meliputi

melaksanakan tugas pengkajian, penentuan diagnosis, perencanaan,


pelaksanaan tindakan, evaluasi serta pendokumentasian (Warouw,
2010).

Kinerja

dapat

diartikan

melalui

kepatuhan

perawat

profesional dalam melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar.


II.1.2.

Komponen Kinerja
Kurniadi (2013) menjelaskan

deskripsi

dari

kinerja

menyangkut tiga komponen penting, yaitu tujuan, ukuran, dan


penilaian kinerja. Pertama yaitu tujuan dari setiap unit organisasi
merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan
memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku
kerja yang diharapkan organisasi terhadap semua personil. Kedua
adalah ukuran yang dibutuhkan untuk mengukur apakah seorang
personil telah mencapai kinerja yang diharapkan secara kuantitatif
dan kualitatif. Ketiga adalah penilaian kinerja secara reguler yang
dikaitkan proses pencapaian tujuan kinerja personil. Tindakan ini
membuat personel untuk senantiasa berorientasi terhadap tujuan
yang hendak dicapai.
Triwibowo (2013) menjelaskan ada beberapa hal yang
penting tentang kinerja perawat. Pertama, kinerja mencerminkan
hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target dan tingkat
pencapaian. Kedua, kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas
yang diberikan kepada seseorang. Ketiga kinerja diukur dalam waktu
tertentu. Ketiga hal tersebut menunjukkan hal-hal penting yang harus
diketahui dalam kinerja perawat.
Menurut Sedarmayanti (2004) dalam Triwibowo (2013),
menjelaskan proses peningkatan kinerja memberi kesempatan terbaik
untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi, untuk
membuat peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus
berusaha mencapai tingkat terbaik. Peningkatan tersebut memerlukan

10

berbagai kebijakan dan program yang dirancang untuk meningkatkan


3R (result, resources, dan ratio) organisasi.

II.1.3.

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Triwibowo (2013) menjelaskan kinerja dipengaruhi oleh 2

(dua) faktor, yakni faktor internal individu dan faktor eksternal


individu. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor, yaitu faktor-faktor predisposisi (predisposing factors),
faktor-faktor yang memungkinkan (enabling factors), faktor-faktor
pendorong (reinforcing factors).
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
karakteristik individu. Faktor-faktor yang memungkinkan (enabling
factors) terwujud dalam sarana fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas
dan sarana prasarana. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)
terwujud dalam dukungan organisasi seperti dari lingkungan
keluarga, lembaga/institusi dan masyarakat.
Penelitian Rivai, Hargono, &

Pudjirahardjo

(2003)

menjelaskan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kinerja


perawat, yaitu motivasi kerja, kejenuhan kerja dan beban kerja.
Tingkat motivasi kerja perawat di ruang rawat inap rendah (56%),
sangat rendah (6%), dan tinggi (38%). Kejenuhan substansial
perawat di ruang rawat inap sangat tinggi (33%), tinggi (41%),
rendah (26%). Penelitian ini menunjukkan beban kerja perawat pada
shift pagi yaitu Beban Kerja 2 (38,30%), shift sore Beban Kerja 1
(35,56%), dan pada shift malam beban kerja terbesar Beban Kerja 3
(42,57%) Hal ini dapat menyebabkan kinerja perawat menurun.

II.1.4.

Penilaian Kinerja Perawat

11

1. Pengertian
Ilyas (2001), penilaian kinerja adalah proses menilai hasil
karya personel dalam suatu organisasi melalui instrumen
penilaian kinerja. Marquis & Huston (2006) menjelaskan
penilaian

kerja

(performance

pengawasan dimana kinerja staf

appraisal)

adalah

proses

dinilai dan dibandingkan

dengan standar pada organisasi. Depkes RI (2002) mengartikan


penilaian kerja sebagai suatu cara untuk mengetahui kualitas
kerja staf sesuai dengan uraian tugasnya. Jadi, penilaian kinerja
adalah suatu proses mengevaluasi kualitas hasil prestasi kerja
perawat dalam kurun waktu tertentu
2. Prinsip-prinsip Penilaian
Menurut Gilies

(1996)

dalam

Nursalam

(2011)

menyatakan, manajer sebaiknya mengamati prinsip-prinsip


tertentu untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil.
Prinsip tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Evaluasi pekerja sebaiknya didasarkan pada

standar

pelaksanaan kerja dan orientasi tingkah laku untuk posisi


yang ditempati. Deskripsi dan standar pelaksanaan kerja
diberikan ke pegawai selama orientasi sebagai tujuan yang
harus diusahakan. Pelaksanaan kerja sebaiknya dievaluasi
berkenaan dengan sasaran-sasaran yang sama.
b. Sampel tingkah laku perawat yang cukup representatif
sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerja.
Perhatian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku
umum atau tingkah laku konsistennya untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan.
c. Perawat sebaiknya diberi salinan deskripsi kerja, standar
pelaksanaan kerja, dan bentuk evaluasi untuk peninjauan
ulang sebelum pertemuan evaluasi. Dengan demikian, baik
perawat maupun supervisor dapat mendiskusikan evaluasi
dari kerangka kerja yang sama.
d. Penilaian pelaksanaan kerja pegawai sebaiknya menunjukkan
hal-hal yang sudah memuaskan dan menunjukkan hal yang

12

perlu diperbaiki oleh pegawai. Supervisor sebaiknya merujuk


pada contoh-contoh kasus mengenai tingkah laku yang
memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar
yang bersifat evaluatif.
e. Jika diperlukan, manajer sebaiknya menjelaskan area mana
yang akan diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk
meningkatkan pelaksanaan kerja.
f. Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang
cocok bagi perawat dan manajer sehingga diskusi evaluasi
terjadi dalam waktu yang cukup bagi keduanya.
g. Laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun
secara terencana, sehingga perawat tidak menyadari bahwa
pelaksanaan kerjanya sedang dianalisis (Simpson (1985)
dalam Kurniadi (2013)) . Seorang pegawai dapat bertahan
dari kecaman seorang manajer yang menunjukkan empati
atas

perasaanya

serta

menawarkan

bantuan

untuk

meningkatkan pelaksanaan kerjanya.


3. Standar Instrumen Penilaian Kinerja Pelayanan Keperawatan
Penilaian kualitas pelayanan keperawatan kepada klien
mengguanakan standar praktik keperawatan yang merupakan
pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Standar

adalah

pernyataan

deskriptif

mengenai

tingkat

penampilan yang diinginkan, kualitas struktur, proses atau hasil


yang dapat dinilai (Nursalam, 2013). Menurut Depkes RI (2001)
menjelaskan penilaian kinerja perawat berdasarkan standar
asuhan keperawatan yang mengacu pada tahapan proses
keperawatan

meliputi

pengkajian,

diagnosa

keperawatan,

perancanaan, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.


Standar 1 : Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal untuk mendapatkan informasi
kesehatan pasien dan menentukan masalah kesehatannya. Tahap
pengkajian yaitu mengumpulkan data yang terdiri dari data

13

subjektif dan data objektif. Kemudian data dikelompokkan


menjadi data bio, psikologis, sosial, spiritual (Triwibowo, 2013).
Standar 2 : Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan jelas, singkat dan
pasti tentang masalah pasien serta pengembangan yang dapat
dipecahkan atau diubah melaui tindakan keperawatan. (Depkes
RI, (1997) dalam Kurniadi, 2013). Pada tahap ini, perawat
menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan. Diagnosis keperawatan terdiri atas masalah (P),
penyebab (E), dan tanda atau gejala (S), atau terdiri atas masalah
dan penyebab (PE) (Nursalam, 2011).
Standar 3 : Perencanaan Keperawatan
Pada tahap ini, perawat membuat rencana tindakan keperawatan
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan.
Perencanaan atau intervensi keperawatan dilakukan setelah data
terkumpul, kemudian tahap berikutnya adalah

menentukan

prioritas masalah, perumusan tujuan, dan rencana tindakan


(Triwibowo, 2013). Aspek dalam rencana keperawatan yaitu
memuat

tujuan

dan

kriteria

hasil,

tindakan

observasi

keperawatan, terapi yang diberikan, pendidikan kesehatan,


tindakan kolaborasi, rencana asuhan keperawatan melibatkan
pasien/keluarga (Kurniadi, 2013)
Standar 4 : Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tahap pelaksanaan dari
intervensi tindakan yang telah ditentukan agar kebutuhan klien
terpenuhi. Langkah-langkah implementasi keperawatan adalah
tahap persiapan (terutama alat dan bahan) dan tahap pelaksanaan
(mengutamakan keamanan dan kenyamanan pasien) (Kurniadi,
2013).
Standar 5 : Evalusi
Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta
pengkajian

ulang

rencana

keperawatan.

Langkah-langkah

evaluasi yaitu mengumpulkan data perkembangan pasien,

14

menafsirkan perkembangan, membandingkan perkembangan


pasien dengan standar normalnya. Penafsiran hasil evaluasi
antara lain evaluasi adalah diagnosa keperawatan dievaluasi
setiap hari sesuai hasil SOAP dan diagnose keperawatan yang
telah teratasi terlihat di dokumentasi (Kurniadi, 2013).
Standar 6 : Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah catatan perawat dalam
melaksanakan

asuhan

keperawatan.

Triwibowo

(2013)

menjelaskan dokumentasi keperawatan dapat digunakan sebagi


bahan informasi, komunikasi dan laporan, dilakukan segera
setelah tindakan dilaksanakan, penulisannya harus jelas dan
ringkas serta menggunakan istilah yang baku, sesuai dengan
pelaksanaan proses keperawatan, setiap pencatatan harus
mencantumkan inisial/paraf/nama perawat, yang melaksanankan
tindakan dan waktunya.
Tujuan dan manfaat standar asuhan keperawatan pada
dasarnya mengukur kualitas asuhan kinerja perawat dan
efektifitas manajemen organisasi. Dalam pengembangan standar
menggunakan
sehingga

dapat

pendekatan dan kerangka kerja yang lazim


ditata

siapa

yang

bertanggung

jawab

mengembangkan satandar bagaimana proses pengembangan


tersebut. Standar asuhan berfokus pada hasil pasien, standar
praktik berorientasi pada kinerja perawat profesional untuk
memberdayakan proses keperawatan. Standar financial juga
harus dikembangkan dalam pengelolaan keperawatan sehingga
dapat bermanfaat bagi pasien, profesi perawat dan organisasi
pelayanan.
II.1.5.

Peran Kepemimpinan dan Fungsi Manajemen Terkait

Dengan Penilaian Kinerja


Marquis dan Huston (2013, edisi 4), menyebutkan peran
kepemimpinan dan fungsi manajemen terkait dengan penilaian

15

kinerja antara lain, yaitu peran kepemimpinan dan fungsi


manajemen.
1. Peran Kepemimpinan
a. Menggunakan proses penilaian untuk memotivasi pegawai
dan meningkatkan pertumbuhan
b. Menggunakan teknik untuk mengurangi kecemasan yang ada
pada proses penilaian
c. Melibatkan pegawai dalam semua aspek penilaian kinerja
d. Sadar diri terhadap bias pribadi dan prasangka
e. Mendapatkan kepercayaan pegawai dengan cara berlaku jujur
dan adil ketika menilai kinerja
f. Mendorong proses peninjauan ulang rekan antar staf
profesional
g. Menggunakan wawancara penilaian untuk memfasilitasi
komunikasi dua arah
h. Memberikan dukungan terus menerus kepada pegawai yang
mencoba memperbaiki kinerja
i. Menggunakan teknik pelatihan

yang

meningkatkan

pertumbuhan kinerja pegawai.


j. Mengindividualisasi tujuan kinerja dan wawancara penilaian
guna memenuhi kebutuhan unik dari staf dengan kultur yang
berbeda.
2.

Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen terkait dengan penilaian kinerja
terdapat sembilan hal, yaitu menggunakan sistem penilaian
kinerja yang telah disusun, mengumpulkan data secara adil dan
objektif untuk penilaian kinerja, menggunakan proses penilaian
untuk menentukan pendidikan staf dan kebutuhan akan pelatihan,
mendasari penilaian kinerja pada standar yang ada, berusaha
seobjektif

mungkin

dokumentasi

yang

menindaklanjuti

dalam

penilaian

tepat

menegenai

kekurangan

kinerja

kinerja,

melakukan

proses

penilaian,

yang

teridentifikasi,

melakukan wawancara penilaian dengan cara yang meningkatkan


hasil akhir positif, sering memberikan umpan balik informal pada
kinerja.

16

II.1.6.

Teknik Penilaian
Beberapa cara melakukan penilaian kinerja antara lain

penilaian sendiri (self assessment) dan penilaian 360 derajat.


Penilaian sendiri dilakukan atas dasar teori control dan interaksi
simbolik. Kedua teori tersebut mendorong dan memberikan kerangka
pemikiran bagi pemahaman fungsi penilaian sendiri (Asford, 1990
dalam Kurniadi, 2013). Menetapkan teknik penilaian sendiri yang
akan dipakai sehingga untuk mengukur gaya kepemimpinan dan
penerapan fungsi manajemen keperawatan hanya dilakukan oleh
bawahan saja (perawat pelaksana).
Unsur pemimpin adalah

kepala

ruangan

sedangkan

bawahannya adalah perawat pelaksana, sehingga bila menggunakan


penilaian 360 derajattidak memenuhi syarat (tidak ada atasan atau
selevel dengan karu). Penilaian sendiri secara teori ada kekurangan
dan kelebihannya. Penilaian sendiri dalam penelitian ini didisain
dalam bentuk kuesioner. Hasil yang dapat diharapkan bagi manajer
adalah adanya umpan balik yang positif tingkat profesionalisme
perawat baik kepala ruangan maupun perawat pelaksana. Tindak
lanjutnya adalah perencanaan pengembangan sumber daya manusia
dan profesionalisme pelayanan keperawatan (Ilyas, 2001).

II.1.7.

Manfaat Penilaian Kinerja


Nursalam (2011) menjelaskan manfaat penilaian kinerja

terdiri dari 6 hal. Pertama, meningkatkan prestasi kerja staf, baik


secara individu maupun kelompok, dengan memberikan kesempatan
pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam
kerangka pencapaian tujuan dari kualitas pelayanan rumah sakit.
Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan akan
mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara
keseluruhannya adalah manfaat yang kedua. Manfaat selanjutnya
yaitu merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan
meningkatkan hasil karya dan prestasi, yakni melauli umpan balik
terhadap prestasi.

17

Manfaat keempat yaitu membantu rumah sakit untuk dapat


menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih
tepat guna. Rumah sakit akan mempunyai tenaga yang terampil
untuk pengembangan pelayanan keperawatan di masa depan.
Manfaat kelima yaitu, menyediakan alat dan sarana untuk
membandingkan prestasi kerja melalui peningkatan gaji atau sistem
imbalan yang baik. Manfaat terakhir yaitu memberikan kesempatan
kepada pegawai atau staff untuk menyampaikan perasaan tentang
pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur
komunikai dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara
atasan dan bawahan.
II.1.8.

Proses Kegiatan Penilaian Kerja


Nursalam (2011) menjelaskan proses penilaian kerja terdiri

dari beberapa langkah. Pertama merumuskan tanggung jawab dan


tugas yang harus dicapai oleh staf keperawatan, rumusan tersebut
telah disepakati oleh atasannya, sehingga langkah perumusan
tersebut dapat memberikan kontribusi berupa hasil. Kedua,
menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai
oleh karyawan dalam kurun waktu tertentu dengan penempatan
standar prestasi dan tolak ukur yang telah ditetapkan. Ketiga,
melakukan monitoring, koreksi, dan memberikan kesempatan serta
bantuan yang diperlukan oleh stafnya. Keempat, menilai prestasi
kerja staf melalui perbandingan antara prestasi yang dicapai dengan
standar yang telah ditetapkan. Memberikan umpan balik ini, atasan
atau

bawahan

perlu

membicarakan

cara-cara

memperbaiki

kelemahan yang telah diketahui untuk meningkatkan pada periode


berikutnya adalah manfaat yang kelima.

II.1.9.

Manajemen Kinerja
Beberapa ahli seperti kontinu Coens, Jenkins, Block,

Fandray, Nickols menjelaskan dalam manajemen sumber daya

18

manusia menyarankan agar penilaian kinerja tahunan harus diganti


dengan manajemen kinerja. Dalam manajemen kinerja, penilaian
dihilangkan dan manajer melakukan upaya dalam hal pemanduan,
penyusunan tujuan mutual dan pelatihan kepemimpinan bawahan
secara terus-menerus. Fokus ini mengharuskan manajer membuat
jadwal untuk bertemu dengan bawahan secara lebih teratur (Marquis
dan Huston, 2013 edisi 4).
Weizmann dalam Marquis dan Huston (2013 edisi 4) juga
menyatakan bahwa organisasi yang mengatur kinerja membuat satu
rangkaian kompetensi berbasis peran dan membiarkan setiap
pegawai mengetahui lima atau enam kualitas kesuksesan bagi setiap
anggota organisasi, tanpa memperhatikan deskripsi pekerjaan.
Kemudian, pegawai dapat menentukan bagaimana kualitas ini diubah
menjadi kinerja dalam pekerjaan spesifik. Namun, harapan adalah
bagian peran yang disetujui untuk dilakukan oleh bawahan (Fandray,
2001 dalam Marquis dan Huston, 2013 edisi 4)

II.1.10.

Masalah dalam Penilaian Pelaksanaan Kerja


Menurut Gilies (1996) dalam Nursalam (2011) menyatakan,

dalam penilaian pelaksanaan kerja perawat sering ditemukan


berbagai permasalahan. Permasalan pengaruh hallo effect adalah
tendensi yang terlalu tinggi untuk menilai pelaksanaan kerja
bawahannya karena salah satu alasan. Misalnya pegawai yang
dekat dengan penilai atau adanya hubungan kekeluargaan akan
mendapat nilai yang tinggi, sebaliknya pegawai yang sering
bertentangan pendapat dengan penilai akan mendapat nilai yang
rendah. Hal ini dapat menimbulkan penilaian secara sepihak.
Pengaruh horn atau kecenderungan untuk menilai pegawai
lebih rendah dari pelaksanaan kerja yang sebenarnya karena alas
an-alasan tertentu. Seorang pegawai cenderung menerima penilaian
lebih rendah dari yang semestinya karena telah melakukan
kesalahan terhadap perawatan pasien atau supervise pegawai dalam

19

beberapa hari pelaksanaan kerja tahun tersebut. Ini dapat


berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya ketika ia memiliki
tingkat pelaksanaan kerja di atas rata-rata.
II.2. Timbang Terima
II.2.1.
Definisi
Timbang terima memiliki beberapa istilah lain yaitu
handover atau overhand dan report nursing. Handover pada bahasa
Indonesia dikenal dengan isitilah operan, serah terima, dan timbang
terima. Timbang terima merupakan suatu cara dalam menyampaikan
dan menerima sesuatu (laporan) yang berkaitan dengan keadaan
pasien

dalam

melaksanakan

asuhan

keperawatan.

Menurut

Triwibowo (2013) handover atau timbang terima merupakan


pengalihan tanggung jawab profesional dan akuntabilitas untuk
beberapa atau semua aspek perawatan pasien, atau kelompok pasien,
kepada orang lain atau kelompok profesional secara sementara atau
permanen.
Handover atau timbang terima merupakan komunikasi yang
terjadi pada saat perawat melakukan pergantian shift, dan memiliki
tujuan yang spesifik yang mengkomunikasikan informasi tentang
keadaan pasien pada asuhan keperawatan sebelumnya. Pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat Rushton (2010) dalam Triwibobo
(2013) yang menjelaskan timbang terima dirancang sebagai salah
satu metode untuk memberikan informasi mengenai kondisi terkini
pasien, tujuan pengobatan, rencana perawatan, serta menentukan
prioritas pelayanan.
Alvarado, Lee, Christoffersen, Fram, Boblin, Poole., Lucas,
& Forsyth (2006) mengungkapkan bahwa ketidakakuratan informasi
dapat menimbulkan dampak yang serius pada pasien, hampir 70%
kejadian sentinel yaitu kejadian yang mengakibatkan kematian atau
cidera yang serius di rumah sakit disebabkan karena buruknya
komunikasi. Pernyataan peneliti di atas sejalan dengan pernyataan
Angood (2007) yang mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil
kajian data terhadap adanya adverse event, near miss dan sentinel

20

event di rumah sakit, masalah yang menjadi penyebab utama adalah


komunikasi.

II.2.2.

Tujuan Timbang Terima (Handover)


Menurut Australian Healthcare dan Hospital Association

(AHHA, 2009) dalam Triwibobo (2013) tujuan National Initiative


Handover adalah untuk mengidentifikasi, mengembangkan dan
meningkatkan serah terima klinis dalam berbagai pengaturan
kesehatan.
Nursalam
dilaksanakan

(2011)

timbang

menjelaskan
terima

terdapat

(handover).

tiga

Pertama

tujuan
yaitu

menyampaikan kondisi atau keadaan pasien secara umum. Kedua,


menyampaikan hal-hal penting yang perlu ditindaklanjuti oleh dinas
berikutnya. Ketiga, tersusunnya rencana kerja untuk dinas berikutnya

II.2.3.

Manfaat Timbang Terima (Handover)


Manfaat timbang terima (handover) menurut Australian

Healthcare dan Hospital Association (AHHA) (2009) dalam


Triwibobo (2013) adalah :
1. Kunci dari handover yaitu kualitas asuhan keperawatan
selanjutnya. Misalnya, penyediaan informasi yang tidak akurat
atau adanya kesalahan yang dapat membahayakan pasien.
2. Selain mentransfer informasi pasien, timbang terima juga
merupakan sebuah ritual atau kebiasaan yang dilakukan oleh
perawat. Timbang terima (handover) mengandung unsur-unsur
kebudayaan, tradisi, dan kebiasaan. Selain itu, timbang terima
juga sebagai dukungan terhadap teman sejawat dalam
melakukan tindakan asuhan keperawatan selanjutnya.
3. Timbang terima juga memberikan manfaat katarsis, karena
perawat yang mengalami kelelahan emosional akibat asuhan
keperawatan yang dilakukan bisa diberikan kepada perawat
berikutnya pada pengalihan shift dan tidak dibawa pulang.

21

Dengan kata lain, proses timbang terima dapat mengurangi


kecemasan yang terjadi pada perawat.
4. Timbang terima juga memiliki dampak yang positif bagi
perawat,

yaitu

memberikan

motivasi,

mengguanakan

pengalaman dan informasi untuk membantu perencanaan pada


tahap asuhan keperawatan selanjutnya (Pelaksana asuhan
keperawatan

terhadap

pasien

yang

berkesinambungan),

meningkatkan kemempuan komunikasi antar perawat, menjalin


suatu hubungan kerjasama dan bertanggung jawab antar
perawat, dan perawat dapat mengikuti perkembangan pasien
secara komprehensif.
5. Selain itu, timbang terima juga memiliki manfaat bagi pasien
diantaranya, pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang
optimal, dan dapat menyampaikan masalah secara langsung bila
ada yang belum terungkap. Bagi rumaha sakit, timbang terima
dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kepada pasien
secara komperehensif.
II.2.4.

Prinsip Timbang Terima (Handover)


Australian Resource Centre for Healthcare Innovation

(2009); Frisien; White; & Byers (2009) dalam Triwibobo (2013)


memperkenalkan enam standar prinsip serah terima pasien, yaitu :
1. Kepemimpinan dalam serah terima pasien
Semakin luas proses serah terima (lebih banyak peserta dalam
kegiatan serah terima), peran pemimpin menjadi sangat penting
untuk mengelola serah terima pasien di klinis. Pemimpin harus
memiliki pemahaman yang komprehensif dari proses serah
terima pasien dan perannya sebagai pemimpin. Tindakan segera
harus dilakukan oleh pemimpin pada eskalasi pasien yang
memburuk.
2. Pemahaman tentang serah terima pasien
Mengatur sedemikian rupa agar timbul suatu pemahaman bahwa
serah terima pasien harus dilaksanakan dan merupakan bagian
penting dari pekerjaan sehari-hari dari perawat dalam merawat
pasien. Mamastikan bahwa staf bersedia untuk menghadiri serah

22

terima pasien yang relevan untuk mereka. Meninjau roster dinas


staf klinis untuk memastikan mereka hadir dan mendukung
kegiatan serah terima pasien. Membuat solusi-solusi inovatif
yang diperlukan untuk memperkuat pentingnya kehadiran staf
pada saat serah terima pasien.
3. Peserta yang mengikuti serah terima pasien
Mengidentifikasi dan mengorientasikan peserta, melibatkan
mereka dalam tinjauan berkala tentang proses serah terima
pasien.

Mengidentifikasi

staf

yang

harus

hadir,

jika

memungkinkan pasien dan keluarga harus dilibatkan dan


dimasukkan sebagi peserta dalam kegiatan serah terima pasien.
Dalam tim multidisiplin, serah terima pasien harus terstruktur
dan memungkinkan anggota multiprofesi hadir untuk pasiennya
yang relevan.
4. Waktu serah terima pasien
Mengatur waktu yang disepakati, durasi, dan frekuensi untuk
serah terima pasien, hal ini sangat direkomendasikan, dimana
strategi ini memungkinkan untuk dapat memperkuat ketepatan
waktu.
5. Tempat serah terima pasien
Sebaiknya serah terima pasien terjadi secara tatap muka dan di
sisi tempat tidur pasien. Jika serah terima pasien tidak dapat
dilakukan secara tatap muka, maka pilihan lain harus
dipertimbangkan

untuk

memastikan

serah

terima

pasien

berlangsung efektif dan aman. Untuk komunikasi yang efektif,


pastikan bahwa tempat serah terima pasien bebas dari gangguan,
missal ; kebisingan di bangsal secara umum atau bunyi alat
komunikasi.
6. Proses serah terima pasien
a. Standar
protocol,
standar

protocol

harus

jelas

mengidentifikasi pasien dan peran peserta, kondisi klinis dari


pasien, daftar pengamatan/pencatatan terakhir yang paling
penting, latar belakang yang relevan tentang situasi klinis
pasien, penilaian dan tindakan yang perlu dilakukan,

23

kerangka waktu dan persyaratan untuk perawatan transisi,


memastikan pemahaman dan tanggung jawab bagi pasien
oleh perawat yang menerima penyerahan pasien.
b. Kondisi pasien memburuk, pada kondisi memburuk,
meningkatkan pengelolaan pasien secara cepat dan tepat pada
penurunan kondisi yang terdeteksi.
c. Informasi kritis lainnya, prioritaskan informasi penting
lainnya, misalnya : Tindakan yang luar biasa, rencana
pemindahan pasien, kesehatan kerja dan risiko keselamatan
kerja atau tekanan yang dialami oleh staf.

II.2.5.

Jenis Timbang Terima (Handover)


Serah terima pasien terjadi di seluruh kontinum perawatan

kesehatan semua jenis pengaturan layanan. Ada berbagai jenis serah


terima pasien dari satu penyedia jasa perawatan kesehatan kepada
yang lain, seperti transfer pasien dari satu lokasi ke lokasi yang lain
dalam satu rumah sakit atau transisi informasi dan tanggung jawab
selama serah terima pasien antar shift pada unit yang sama. Serah
terima pasien interdisciplinary terjadi antara perawat dan dokter;
perawat dengan tenaga kesehatan lainnya, sementara serah terima
pasien intradisciplinary terjadi antara sesama perawat atau sesama
dokter.
Serah terima pasien juga dapat terjadi antar fasilitas
kesehatan, seperti ; anatara rumah sakitr dan antara beberapa
organisasi

penyedia

pelayanan

lainnya,

termasuk

pelayanan

kesehatan di rumah, tempat penampungan, dan fasilitas perawatan


jompo. Serah terima pasien mungkin melibatkan penggunaan
teknologi

khusus,

misalnya

Perekam

audio,

catatan

terkomputerisasi, faximili, dokumen tertulis, dan komunikasi


(Triwibobo, 2013).
Menurut Hughes (2008); Australian Resource Centre for
Healthcare Innovation (2009); Friesen; White; & Byers (2009)

24

dalam Triwibobo (2013) beberapa serah terima yang berhubungan


dengan perawat, antara lain :
1. Serah terima pasien antar shift
Metode serah terima pasien antar shift dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai metode, antara lain : Secara lisan,
catatan tulisan tangan, di samping tempat tidur pasien, melalui
telepon, rekaman, nonverbal, menggunakan laporan elektronik,
cetakan computer, dan memori. Kekuatan dari metode laporan di
samping tempat tidur merupakan upaya untuk focus pada laporan
dan kondisi pasien.
Kekhawatiran tentang kerahasiaan pasien yang dapat
dikompromikan jika tidak hati-hati dalam menanganinya. Sebuah
studi kualitatif yang difokuskan pada gambaran persepsi pasien
yang terliubat dalam kegiatan serah terima, menemukan beberapa
pasien

mendukung serah terima di samping tempat tidur,

sementara

yang

lain

tidak.

Pasien

jugan

menyatakan

keperihatinannya mengenai jargon yang digunakan oleh perawat


saat kegiatan serah terima berlangsung.
2. Serah terima pasien antar unit keperawatan
Pasien mungkin sering ditransfer antar unit keperawatan
selama mereka tinggal di rumah sakit. Namun, sejumlah factor
telah diidentifikasi berkontribusi terhadap in-efisiensi selama
transfer pasien dari satu unit ke unit yang lain, termasuk;
ketidaklengkapan catatan medis dan keperawatan, keterlambatan
atau

waktu

komunikasi,

yang

terbuang

menunggu

disebabkan

tanggapan

dari

oleh

kemacetan

manajemen

unit

keperawatan tempat yang akan ditempati pasien atau masalah


ketersediaan tempat tidur.
3. Serah terima pasien antar unit perawatan dengan unit
pemeriksaan diagnostik
Pasien sering dikirim dari unit keperawatan untuk
pemeriksaan diagnostic selama rawat inap. Pengiriman dari unit
keperawatan ke tempat pemeriksaan diagnostic(misalnya :

25

radiologi, kateterisasi jantung, laboratorium, dll) telah dianggap


sebagai kontributoruntuk terjadinya kesalahan. Hal inio penting,
ketika perubahan unit tempat keperawatan pasien terutama untuk
keamanan pasien, staf pada unit pemeriksaan diagnostic harus
memiliki informasi lengkap yang mereka butuhkan dan
melakukan komunikasi yang konsisten. Kompleksitas kondisi
pasien ke tempat pemeriksaan diagnostik.
4. Serah terima pasien antar fasilitas kesehatan
Pengiriman pasien dari satu fasilitas kesehatan

ke

fasilitas yang lain sering terjadi antara pengaturan layanan yang


berbeda. Pengiriman berlangsung antar rumah sakit ketika pasien
memerlukan tingkat perawatan yang berbeda. Pengiriman pasien
antar fasilitas, meliputi : Antar rumah sakit, pusat rehabilitasi,
lembaga kesehatan di rumah, dan organisasi pelayanan kesehatan
lainnya. Factor yang cenderung membuat pengiriman pasien
tidak efektif adalah kesenjangan dan hambatan komunikasi antar
fasilitas kesehatan tersebut dan juga dipengaruhi oleh perbedaan
budaya organisasi.
5. Serah terima pasien dan obat-obatan
Kesalahan pengobatan dianggap peristiwa yang dapat
dicegah, masalah tentang obat-obatan sering terjadi, misalnya
saat mentransfer pasien, pergantian shift, dan cara pemberitahuan
minum obat sebagai factor yang berkontribusi terhadap kesalahan
pengobatan

dalam

organisasi

perawatan

kesehatan.

Menyampaikan informasi lengkap tentang obat, diakui memiliki


kontribusi paling besar untuk masalah keselamatan pasien. Suatu
penelitian melaporkan, pasien yang menerima informasi tentang
obat dan konseling secara lengkap menunjukkan kepatuhan yang
lebih tinggi tentang pengobatan dibandingkan pasien yang tidak
menerima informasi secara lengkap.
II.2.6.

Macam-Macam Timbang Terima (Handover)

26

Triwibowo (2013) menjelaskan terdapat empat jenis timbang


terima atau handover diantaranya adalah :
1. Secara terima secara verbal
Laporan serah terima secara lisan cukup fleksibel untuk
mengakomodasi pengalaman dan kemampuan perawat yang
hadir. Meisner (2007) dalam Scovell (2010) mencatat bahwa
perawat lebih cenderung untuk membahas aspek psikososial
keperawatan selama laporan lisan. Lamanya waktu handover
secara lisan mungkit dapat menjadi masalah ketika sejumlah staf
menghabiskan waktu 15 hingga 90 menit untuk melakukan
perpindahan

dari

ruang

perawatan

pasien

ke

tempat

berlangsungnya handover.
Clemow (2006) dalam Scovell (2010) menemukan bahwa
pada umumnya, saat shift dimulai setidaknya ada satu perawat
dari shift sebelumnya yang akan melakukan handover secara
lisan. Hal ini bisa dianggap sebagai kurang maksimalnya
pemanfaatan sumber daya terampil yang ada, tetapi diharapkan
laporan handover berguna untuk kesejahteraan pasien. handover
yang lama dapat menyebabkan kebosanan dan dapat mengurangi
waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas penting lainnya.
Masalah perpindahan staf dari ruangan diperburuk jika
shift mencatat adanya keterlambatan perawat yang hadir hingga
tujuh menit atau jika adanya kegiatan lain yang dilakukan.
Perawat harus segera bereaksi jika ada keadaan darurat terjadi
selama atau sebelum handover dilakukan. Kelalaian dari staf
yang akan pulang dalam mempersiapkan diri untuk handovre,
atau

keterlambatan

dari

staf

yang

akan

masuk,

dapat

menyebabkan kejenuhan bagi perawat yang menunggu untuk


menerima penyerahan laporan keperaatan.
2. Tape handover (rekaman)
Metode handover

dengan

menggunakan

rekaman

digunakan untuk mengurangi pergantian waktu shift yang


tumpang tindih dan mengurangi beban keuangan. Kualitas isi

27

dari isi rekaman handover mengasah kemampuan perawat untuk


memberikan informasi secara ringkas dan relevan. Rekaman
handover juga menghindari waktu yang tertunda, jika rekaman
harus berhenti untuk alasan tertentu, informasi dengan mudahnya
dapat diulang kembali pada waktu ayng lain, meskipun biasanya
terdapat keengganan untuk menghentikan rekaman dengan alasan
apapaun.
Rekaman handover, memiliki kekurangan yaitu tidak
adanya interaksi secara langsung antara perawat dengan perawat
dan dengan demikian tidak memenuhi kohesifitas sosial (daya
tarik) atau fungsi katarsis emosional (peluapan emosional secara
tiba-tiba). Hopkinson (2002) mengungkapkan bahwa rekaman
handover dapat merusak pentingnya dukungan emosional. Hal
ini diungkapkan oleh Kerr (2002) dalam scovell (2010) bahwa
rekaman

handover

membuat

rendahnya

tingkat

fungsi

pendukung. Setiap pertanyaan yang diajukan dalam handover


mungkin tidak dapat terjawab.
Perawat biasanya datang untuk mengkonsultasikan
dokumentasi pasien dan membutuhkan jawabannya., namun hal
ini tidak dapat dilakukan pada rekaman handover. Rekaman
handover tidak memperbaiki masalah yang terkait dengan staf
yang tidak siap melakukan handover saat pergantian shift. Seperti
adanya

perawat

lain

yang

secara

tiba-tiba masuk

dan

mengganggu proses penerimaaan handover.


3. Bedside handover
a. Tahapan bedside handover
Menurut Rush (2012) tahapan bedside handover diantaranya
yaitu persiapan (pasien dan informasi), kemudian serah
terima

berupa

pelaporan,

pengenalan

staf

masuk,

pengamatan, dan penjelasan kepada pasien, dan tahapan yang


terakhir adalah setelah serah terima selesai (tulis di buku
catatan pasien).

28

b. Manfaat bedside handover


Adapun manfaat pelaksanaan bedside handover adalah :
1) Ada bukti dari bangsal rumah sakit, evaluasi dan studi
observasional dari serah terima samping tempat tidur.
2) Dukungan komunikasi antara perawat dan profesional
kesehatan lainnya tentang kesehatan pasien, rencana
perawatan dan kemajuan.
3) Membantu perawat untuk menginformasikan pasien
tentang perawatan mereka dan siapa yang merawat
mereka.
4) Memberikan kesempatan bagi keterlibatan pasien dalam
keputusan perawat.
5) Memungkinkan perawat untuk mengamati keadaan pasien
dan mendengarkan keluhan pasien.
6) Meningkatkan keamanan perawatan dalam pengobatan
dalam pengobatan (informasi tentang obat).
7) Memberikan kesempatan ketua ruangan sebagai role
model dalam berprileku dan berbagi keahlian dengan sta
baru.
8) Membantu mengorientasikan staf baru atau sementara.

c. Pandangan staf tentang bedside handover


Adapun menurut beberapa pandangan staf tentang bedside
handover, yaitu meningkatkan keamanan dan efisiensi
perawatan karena staf berinteraksi dan berkomunikasi dalam
cara yang terstruktur, meningkatkan kualitas informasi
tentang keadaan pasien, perawat merasa menjadi bagian dari
lingkungan kerja yang lebih efektif, perawat merasalebih
didukung oleh anggota staf senior.
d. Pandangan pasien tentang bedside handover
Pasien umumnya melihat serah terima disamping tempat tidur
dapat berdampak positif, dan mengatakan bahwa pasien
mengetahui informasi dan berinteraksi dengan staf, pasien

29

merasa staf terfokus pada mereka dan kebutuhan spesiffik


mereka, staf berkerja sama dengan baik dan melibatkan
pasien

dalam

mengambil

sebuah

keputusan,

staf

menghabiskan jumlah waktu yang tepat dengan membantu


pasien untuk memahami kondisi kesehatan pribadi mereka.
e. Menurut Caldwell (2012) ada dua yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan bedside handover. Pertama menghindari
informasi yang hilang dan memungkinkan staf yang tidak
hadir pada serah terima untuk mengakses informasi. Perawat
mengetahui situasi pasien dan apa saja yang perlu
disampaikan, bagaimana melibatkan pasien, peran penjaga
dan anggota keluarga, bagaimana untuk berbagi informasi
sensitif, apa yang tidak dibahas di depan pasien. Kedua
adalah pasien dan keluarga mereka dapat menjadi cemas jika
mereka tidak diberitahu, tidak mengerti bahasa profesional,
atau tidak merasa mampu untuk berpartisipasi ddalam serah
terima samping tempat tidur.
4. Serah terima secara tertulis
Menurut McKenna

(1997)

dalam

Scovell

(2010)

handover tertulis diperkirakan dapat mendorong pendekatan


yang lebih formal. Namun, seperti rekaman handover, ada
potensi akan kurangnya kesempatan untuk mengklarifikasi
pertanyaan tertentu. Handover tergantung pada tulisan tangan
atau akses komputer, dan jumlah informasi yang diberikan oleh
perawat sulit untuk meringkas informasi kedalam format yang
telah ditentukan (Triwibowo, 2013).
Informasi ditulis oleh masing-masing perawat pada kertas
atau catatan kecil yang dibawa perawat selama shift. Perawat
memiliki kode masing-masing untuk menggambarkan atau
menjelaskan pekerjaan yang perlu diselesaikan untuk shift yang
akan datang. Format handover tertulis atau rekaman belum tentu
sesuai dengan format yang disukai oleh perawat. Namun, format

30

tersebut dapat menghemat waktu, meskipun McKenna (1997)


dalam Scovell (2010) mengungkapkan sebaliknya, dan mungkin
format tertulis atau rekaman dapat mencegah hilangnya informasi
pasien.
Pembacaan dokumentasi perawatan sebagai bentuk
handover, kadang bermasalah ketika shift selanjutnya diminta
untuk membaca dokumentasi tersebut. Karena masing-masing
orang membaca dengan kecepatan berbeda-beda, dengan tulisan
tangan yang berbeda-beda dan fakta penting lainnya. Sexton
(2004) dalam Scovel (2010) menyatakan bahwa jika dokumentasi
keperawatan disampaikan dalam beberapa menit, jumlah waktu
yang digunakan tidak mencukupi untuk melakukan handover
pada satu pasien (Triwibowo, 2013).

II.2.7.

Langkah-langkah

Pelaksanaan

Timbang

Terima

(Handover)
Menurut Nursalam (2011) dalam Triwibowo (2013) langkahlangkah pelaksanaan handover adalah :
1. Kedua kelompok shift dalam keadaan sudah siap.
2. Shift yang akan menyerahkan dan mengoperkan

perlu

mempersiapkan hal-hal yang akan disampaikan.


3. Perawat primer menyampaikan kepada penanggung jawab shift
yang selanjutnya meliputi :
a. Kondisi atau keadaan pasien secara umum.
b. Tindak lanjut unutk dinas yang menerima operan.
c. Rencana kerja untuk dinas yang menerima operan.
d. Penyampaian operan harus dilakukan secara jelas dan tidak
terburu-buru.
e. Perawat primer dan anggota kedua shift dinas bersama-sama
secara langsung melihat keadaan pasien.

II.2.8.

Pelaksanaan Handover yang Baik dan Benar


Menurut Australian Medical Association atau AMA (2006)

pelaksanaan hadover yang baik dan benar diantaranya:

31

1. Handover dilakukan pada setiap pergantian shift dengan waktu


yang cukup panjang agar tidak terburu-buru.
2. Pelaksanaan hadover harus dihadiri oleh semua perawat, kecuali
dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan pasien.
3. Perawat yang terlibat dalam pergantian shift harus
dikoordinasikan untuk mengetahui informasi ke, dari, dan shift
selanutnya.
4. Serah terima umumnya diadakan di pagi hari, namun serah
terima juga diperlukan pada setiap pergantian shift.
5. Serah terima pada shift pagi memungkinkan tim untuk membahas
penerimaan pasien rawat inap dan merencanakan apa yang akan
dikerjakan.
6. Serah terima antar shift, harus dilakukan secara menyeluruh, agar
peralihan ini menjamin perawatan pasien sehingga dapat
dipertahankan jika perawat absen untuk waktu yang lama,
misalnya saat akhir pekan atau ketika mereka pergi berlibur
(Triwibowo, 2013)
II.2.9.

Pemilihan Tempat

Untuk Pelaksanaan Timbang

Terima
Australian Medical Association (AMA) (2006) dalam
Triwibobo (2013) menjelaskan tempat yang tepat pada saat akan
dilakukan handover. Pertama yaitu idealnya dilakukan di ruang
perawat atau nurse station. Kedua, tempatnya luas dan besar
sehingga memberikan kenyamanan dan memungkinkan semua staf
menghadiri dalam pelaksanaan handover. Ketiga, bebas dari
gangguan (Gangguan yang dapat mengganggu proses serah terima
misalnya : pager, telpon, handphone, suara peralatan, alarm dan
berbicara) sehinga berkontribusi dalam meningkatkan kesulitan
untuk mendengar laporan dan dapat menakibatkan penerimaan
informasi yang tidak tepat. Terakhir yaitu terdapat hasil lab, x-ray,
dan informasi klinis lainnya
II.2.10.

Proses Timbang Terima (Handover)

32

Menurut Triwibowo (2013) dan Nursalam (2011) hal-hal


yang perlu diperhatikan dalam prosedur ini meliputi :
1. Persiapan :
a. Kedua kelompok sudah dalam keadaan siap.
b. Kelompok yang akan bertugas menyiapkan buku catatan.
2. Pelaksanaan :
Penerapan sistem modifikasi asuhan keperawatan primer yang
mengganti jaga pada shift berikutnya :
a. Timbang terima dilaksanakan setiap pergantian shift.
b. Dari nurse station perawat berdiskusi untuk melaksanakan
timbang terima dengan mengkaji secara komprehensif yang
berkaitan dengan masalah keperawatan pasien, rencana
yang sudah ada belum dilaksanakan serta hal-hal penting
lainnya yang perlu dibicarakan.
c. Hal-hal yang bersifat khusus dan memerlukan perincian
yang lengkap sebaiknya dicatat secara khusus untuk
kemudian diberikan kepada perawat berikutnya.
d. Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat timbang terima
adalah:
1) Identitas pasien dan diagnosa medis.
2) Masalah keperawatan yang mungkin masih muncul.
3) Tindakan keperawatan yang belum dan sudah
dilaksanakan.
4) Intervensi kolaboratif dan independensi.
5) Rencana umum dan persiapan yang perlu dilakukan
dalam

kegiatan

selanutnya,

diantaranya

operasi,

pemeriksaan laboratorium, atau pemeriksaan penunang


lainnya,

persiapan

untuk

konsultasi

atau

prosedurlainnya yang tidak dilakukan secara rutin.


6) Perawat yang melakukan timbang terima dapat
melakukan klarifikasi tanya jawab dan melakukan
validasi terhadap hal-hal yang dilakukan pada saat
timbang terima dan berhak menanyakan mengenai halhal yang kurang elas.
7) Penyampaian pada saat timbang terima secara singkat
dan jelas.

33

8) Lama timbang terima untuk setiap pasien tidak lebih


dari 5 menit kecuali pada kondisi khusus yang
memerlukan penjelasan lengkap dan rinci.
9) Pelaporan timbang terima dituliskan secara langsung
pada buku laporan ruangan oleh perawat primer.
3. Post timbang terima
1) Diskusi
Setelah melakukan timbang terima selesai, perawat
kembali ke nurse station untuk berdiskusi.
2) Pelaporan untuk overan dituliskan secara langsung pada
format overan yang ditandatangani oleh PP yang jaga
saat itu dan PP yang jaga berikutnya diketahui oleh
Kepala Ruang
3) Ditutup oleh Karu.

34

II.2.11.

Alur Timbang Terima (Handover)

Persiapan

Pasien
Diagnosa Medis
Masalah Kolaboratif

Diagnosa
Keperawatan
Rencana Tindakan
Pelaksanaan

Yang telah dilakukan

Yang akan dilakukan

Perkembangan
Keadaan Pasien
Post timbang
terima
Masalah :
1. Teratasi
2. Belum teratasi
Skema 2.1. Alur Handover
3. Muncul Masalah Baru
Sumber : Nursalam (2011), Rush (2012)

II.2.12.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan


Menurut Nursalam (2011), hal-hal yang perlu diperhatikan

dalm timbang terima adalah :


1. Dilakukan tepat pada waktu pergantian shift

35

2. Dipimpin oleh kepala ruangan atau penanggung jawab pasien


(PP)
3. Diikuti oleh semua perawat yang telah dan yang akan dinas
4. Informasi yang disampaikan harus akurat, singkat, sistematis,
dan menggambarkan kondisi pasien saat ini serta menjaga
kerahasiaan pasien
5. Overan harus berorientasi pada permasalahan pasien
6. Pada saat overran di kamar pasien, menggunakan volume suara
yang cukup sehingga pasien disebelahnya tidak mendengar
sesuatu yang rahasia bagi klien. Sesuatu yang dianggap rahasia
sebaiknya tidak dibicarakan secara langsung di dekat pasien
7. Sesuatu yang mungkin membuat klien terkejut dan syok
sebaiknya dibicarakan di nurse station.
II.2.13.

Hambatan Pelaksanaan Timbang Terima (Handover)


Engesmo & Tjora (2006); Scovell (2010) dan Sexton et al

(2004) dalam Triwibowo (2013) menyatakan faktor-faktor yang


menghambat dalam pelaksanaan timbang terima atau handover,
yaitu perawat tidak hadir pada serah terima, perawat tidak peduli
dengan serah terima, misalnya perawat yang keluar masuk pada
saat serah terima, perawat yang tidak mengikuti serah terima maka
mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien saat ini.
Hughes (2008) dalam Triwibobo (2013) membuat sebuah
ringkasan tentang masalah dan hambatan faktor individu,
kelompok dan organisasi dalam proses serah terima pasien menurut
hasil kajian literature berbasis bukti, sebagai berikut :
1. Faktor eksternal dan internal individu atau kelompok
a. Komunikasi
Masalah : bahasa dapat menyebabkan masalah
dalam beberapa cara serah terima pasien. Dalek yang
berbeda aksen dan nuansa dapat disalahpahami atau
dditafsirkan oleh perawat menerima laporan. Singkatan dan
akronim

yang

unuk

untuk

pengaturan

pelayanan

keperawatan tertentu memungkinkan membingungkan bagi

36

seorang perawat yang bekera di lingkungan berbeda atau


khusus.
Strategi

untuk

mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan :
1) Serah terima pasien face-to-face lebih disukai untuk
memungkinkan

pertukaran

informasi

ferbal

dan

nonverbal yang interaktif.


2) Standarisasi bentuk, datar, atau alat sehingga semua
pengguna akan memahami informasi dari konteks yang
sama.
3) Memungkinkan

peluang

untuk

mengaukan

pertanyaandan klarifikasi selama serah terima pasien.


4) Gunakan kebiasaan membaca kembali dan
mengulang kembali untuk mengurangi kesalahan
komunikasi.
5) Gunakan klariikasi fonetik dan angka.
6) Berbicara sederhana, langsung, jelas dan spesifik dalam
deskripsi pasien dan situasi terkini.
7) Hindari penggunaan singkatan istilah atau argon yang
tidak dapat dipahami secara bersama.
8) Memberikan deinisi pada istilah yang ambigu.
9) Memungkinkan penerima untuk meninau ringkasan
yang relevan dan informasi saat ini.

b. Gangguan
Masalah: faktor-faktor situasional selama serah
terima pasien yang dpaat berkontribusi sebagai gangguan.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan:

melakukan

serah

terima

pasien

dilokasi/lingkungan yang dapat meminimalkan gangguan.


c. Interupsi
Masalah: interupsi dilaporkan sering terjadi dalam
pengaturan

peraawtan

kesehatan.

Strategi

untuk

mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan :


membatasi dan mencegah interupsi dan menyediakan

37

cakupan

tugas

selama

serah

terima

pasien

untuk

mendukung transisi informasi yang terfokus.


d. Kebisingan
Masalah : latarbelakang suara seperti : pager,
telepon, telepon selelular, suara peralatan, alarm, berbicara,
berkontribusi

dalam

meningkatkan

kesulitan

untuk

mendengar laporandan dapat mengakibatkan tafsiran


informasi yang tidak tepat. Strategi untuk mengurangi
kesalahan dan meningkatkan keselamatan ada tiga.
1) Menyediakan lokasi/lingkungan serah terima pasien
yang memungkinkan mereka jelas dalam mendengar
inormasi.
2) Gunakan

kebiasaan

membaca

kembali

dan

mengulang kembali untuk mengurangi kesalahan


komunikasi.
3) Gunakan klarifikasi fonetik dan angka.

e. Kelelahan
Masalah : peningkatan kesalahan dapat teradi oleh
perawat yang bekerja pada shift yang berkepanangan.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan : batasi jumlah jam kerja untuk mengurangi
kelelahan dan kesalahan.
f. Memori
Masalah : memori angka pendek dan daya
penyimpanan yang terbatas teradi ketika seumlah besar
infomasi yang dikonmunikasikan selama serah terima
pasien.

Strategi

untuk

mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan ada tiga. Petama, desain system


untuk mengurangi ketergantungan pada memori. Kedua,
gunakan formulir para cetak informasi pasien utnuk akurasi
dan kelengkapan informasi dalam kegiatan serah terima.
Ketiga, menyediakan layanan kesehatan dengan akses data

38

yang baik untuk mengurangi ketergantungan pada memori


saat serah terima pasien.
g. Pengetahuan / pengalaman
Adapun masalah yang biasa ditemui oleh perawat
pemula saat serah terima pasien adalah perawat pemula
dan perawat ahli memiliki kebutuhan dan kemampuan yang
berbeda, perawat pemula mungkin menghadapi masalah
dengan serah terima pasien, perawat pemula mungkin
memerlukan informasi tambahan yang lebih selama serah
terima pasien.
Terdapat empat strategi yang digunakan untuk
mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan.
Pertama, dukung perawat pemula dengan orientasi dan
pembimbing. Kedua, menyediakan program pendidikan
berkelanutan pada strategi serah terima pasien yang efektif.
Ketiga, menyediakan konsultan pengalaman untuk perawat
yang kurang pengalaman karena mereka mungkin belum
memiliki keahlian untuk pemecahan masalah. Keempat,
memberikan informasi tekait yang keomprehensif, tetapi
menghindari overload selama serah terima pasien.
h. Komunikasi tertulis
Masalah: mencoba menafsirkan catatan yang tidak
terbaca,

mungkin

akan

membuat

kesalahan

dalam

komunikasi. Strategi unutk mengurangi kesalahan dan


meningkatkan keselamatan, yaitu menggunakan strategi
elektronik untuk emngurangi masalah pada catatan pasien,
yang tidak terbaca dan menggunakan standar proses untuk
memastikan informasi penting yang akan dan telah
dikomunikasikan dalam serah terima pasien.
i. Variasi dalam proses
Masalah : mungkin ada varians yang luas dalam
melakukan

cara

menyebabkan

serah

kelalaian

terima
dari

pasien

informasi

yang
penting

dapat
dan

39

berkontribusi untuk kesalahan dalam tindakan dan obatobatan.

Strategi

untuk

mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan, yaitu mengadopsi pendekatan


standar yang konsisten untuk emngurangi kesalahan serah
terima pasien, mengkomunikasikan informasi penting
tentang proses perawatan pasien, mengembangkan dan
menerapkan proses yang sistematis unutk manajemen obat
pasien (Triwibowo, 2013).

2. Faktor organisasi
a. Budaya organisasi
Masalah : budaya organisasi yang tidak memiliki
cukup perhatian pada keselamatan pasien, staf mungkin
enggan untuk melaporkan masalah atau mungkin tidak
merasa nyaman mengajukan pertanyaan bila ada hal yang
jelas saat serah terima pasien.
Strategi untuk mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan :
1) Mendukung pengembangan budaya dalam menaga
keselamatan pasien, dimana pelaporan kesalahan dan
masalah terkait budaya dapat didorong dan diterima
sebagai keunikan.
2) Mendorong pengembangan learning culture dan a
just culture
b. Hirarki
Masalah : struktur hirarkis dapat menghambat
komunikasi terbuka. Perawat mungkin merasa tidak
nyaman mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi
informasi atau mungkin merasa terintimidasi. Strategi
untuk

mengurangi

masalah

dan

meningkatkan

keselamatan :
1) Mempromosikan budaya keamanan pelayanan dalam
mendukung komunikasi terbuka.

40

2) Mengembangkan

protokol

atau

kebijakan

yang/endukung budaya salaing menghargai, kolaborasi


kolegalitas, dan antara semua perawat serta penyediaan
layanan kesehatan lain dengan prinsip multidisipliner.
3) Memberikan pendidikan untuk semua tingkat hirarki
penyedia layanan kesehatan pada strategi komunikasi
yang efektif.
c. Sistem dukungan
Masalah : kurangnya waktu untuk mengakses
informasi dan laporan lengkap akan mengurangi waktu
untuk mengajukan pertanyaan dan jawaban pada saat serah
terima pasien.
Strategi

untuk

mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan, pertama adalah yakinkan


bahwa ada waktu untuk menyelesaikan laporan serah
terima pasien. Kedua, mengakui bahwa serah terima pasien
membutuhkan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
interaktif dan awaban. Ketiga, mengembangkan system
yang

mendukung

operasional

yang

efisien

dalam

pengambilan data pada waktu yang tepat degnan inormasi


akurat yang akan disampaikan kepada perawat penerima
shift berikutnya.
d. Infra struktur
Masalah : mungkin ada infrastruktur yang tidak
memadai untuk kegiatan serah terima pasien yang efektif.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan, yaitu pemimpin perlu mempromosikan desain
dan implementasi sistem dalam suatu lingkungan untuk
memberikan perawatan pasien yang aman, menyediakan
sumberdaya manusia yang memadai, peralatan, teknologi,
dan kesempatan pendidikan untuk mempromosikan serah
terima pasien yang optimal, libatkan perawat dalam desain
kerja

41

e. Pengiriman pasien (dalam organisasi perawatan kesehatan)


Masalah: peningkatan jumlah pengiriman pasien
akan meningkatkan kebutuhan untuk serah terima pasien
yang mungkin akan berdampak pada keselamatan pasien.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan,

yaitu

pertimbangkan

model

perawatan

kesehatan dengan desain yang meminimalkan mengiriman


pasien dan setarakan perawat dalam desain proses serah
terima pasien.
f. Keterbatasan tuang untuk serah terima pasien
Masalah: lingkungan mungkin tidak kondusi untuk
melakukan serah terima paseien. Strategi untuk mengurangi
kesalahan dan meningkatkan keselamatan : sertakan
penyedia layanan kesehatan dalam desain lingkungan kerja
sehingga

kebutuhan

ruang

yang

memadai

dan

konfigurasinya dapat teridentifikasi.


g. Keterbatasan teknologi dan penggunaan catatan dan laporan
manual/kesulitan mengakses informasi penting.
Masalah : kurangnya inormasi dapat membuat
catatan dalam bentuk kertas menadi tebal, ditambah dengan
laporan yang harus diruuk untuk serah terima ke unit atau
fasilitas

kesehatan

lain.

Strategi

untuk

mengurangi

kesalahan dan meningkatkan keselamatan, yakni desain


system elektronik yang mendukung dalam kemudahan
pengambilan data yang akurat dan tepat waktu serta
menyediakan

proses

perencanaan

yang

memadai,

infrastruktur, sumber daya manusia dan pendidikan untuk


keberhasilan mengimplementasikan serah terima pasien
berbasis dukungan perangkat elektronik.
h. Budaya organisasi yang berbeda
Masalah: masing-masing

organisasi

mungkin

mendapatkan tujuan fokus, dan sumberdaya yang berbeda.


Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan

42

keselamatan : mengembangkan proses antara organisasi


pengirim dan penerima pasien untuk menamin kedua
organisasi sadar akan persyaratan utnuk serah terima
pasien.
i. Intra atau ekstra sistem pengirim pasien
Masalah : pengiriman pasien ke asilitas dalam suatu
system pelayanan kesehatan dapat menciptakan masalah
lebih sedikit daripada pengiriman pasien ke penyedia
laanan

kesehatan

yang

lain,

kemungkinan

terdapat

penggunaan bentuk pengaturan dan teknologi yang


berbeda.
Strategi
meningkatkan
merancang

untuk

mengurangi

keselamatan
sistem,

proses,

kesalahan

dan

adalah

berusaha

untuk

dan

kebiakan

yang

memungkinkan untuk kolaborasi efisiensi inormasi penting


antara organisasi dalam serah terima pengiriman pasien,
proses serah terima obat-obatan harus selesai dan
dituntaskan saat serah terima, menghilangkan hambatan
komunikasi, menjamin komunikasi dua arah antar kedua
penyedia layanan kesehatan, melibatkan komunikasi lisan,
tertulis dan elektronik, memantau proses serah terima
pasien untuk pelung perbaikan kearah yang lebih baik.
j. Keterbatasan tenaga
Masalah pada

keterbatasan

tenaga

adalah

kekurangan tenaga dapat berkontribusi untuk kesenangan


dalam penyampaian informasi saat serah terima pasien.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan adalah mengalokasikan sumberdaya manusia
yang memadai untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan
perawatan pasien, memantau proses serah terima pasien
untuk pelung perbaikan kearah yang lebih baik.
k. Kegagalan peralatan

43

Masalah pada kegagalan peralatan yang timbul


adalah sejumlah perangkat yang digunakan dalam serah
terima pasien dapat saja gagal berfungsi. Informasi penting
tidak dapat disampaikan jika terjadi kegagalan pada
perangkat elektronik.
Strategi untuk
meningkatkan

mengurangi

keselamatan,

yaitu

kesalahan

dan

menindaklanjuti

informasi penting utnuk menjamin sudah tersampaikan dan


diterima, monitor, mengganti peralatan, dan perlengkapan
untuk

mengurangi

kegagalan

komunikasi,

upgrade

peralatan untuk meningkatkan proses komunikasi


l. Garis tanggung jawab
Masalah : saat situasi serah terima pasien, mungkin
ada staf yang tidak jelas tanggung jawabnya kepada pasien
atau situasi yang berlangsung. Jika tanggung jawab untuk
perawatan pasien dan tindak lanjut tidak jelas digambarkan,
maka menyebabkan staf tersebut meraba-raba tentang
tanggung jawabnya.
Strategi untuk

mengurangi

kesalahan

dan

meningkatkan keselamatan adalah bila perlu gunakan


pemaksaan untuk menunjukan tanggung jawab staf dalam
proses serah terima pasien, ambigu dalam transfer tanggung
jawab, jelas mengidentifikasi tanggungjawab pada saat
transisi pergantian shift.

m. Batasan waktu yang ketat


Masalah batasan waktu yang ketat yaitu kendala
pada saat serah terima pasien dapat menyebabkan
pembuatan laporan yang terburu-buru dan tidak lengkap.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan
meningkatkan keselamatan adalah yakinkan pada waktu
untuk berinteraksi dan tanya jawab selama serah terima

44

pasien dan memungkinkan penerima informasi menunjukan


informasi untuk meninjau informasi yang relevan.
n. Situasi darurat / kegiatan kritis
Serah terima pasien

dalam

situasi

kritis

menimbulkan sejumlah maslah. Strategi untuk mengurangi


kesalahan dan meningkatkan keselamatan adalah tetap
untuk menelesaikan serah terima pasien sampai jelas bahwa
informasi kritis telah diterima dan transfer tanggung jawab
telah terjadi, mungkin perlu menunda serah terima pasien
dalam situasi kritis untuk memastikan masalah penting
yang perlu dibahas dan ditangani terlebih dahulu, hati-hati
dalam situasi darurat, harus dipastikan semua informasi
yang

dikirim

dan

dterima

akurat

atau

menjamin

kelangsungan perawatan keselamatan pasien.


o. Kode status
Kode status dapat tidak tercantum dalam laporan
serah terima pasien dan tidak didokumentasikan dalam
catatan medis, sehingga informasi tidak dapat diakses.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan, yaitu kode status pasien
didokumentasikan

dan

sangat perlu

dikomunikasikan

dan

mengkomunikasikan kode status saat serah terima pasien.


p. Pasien kronis atau labil
Masalah : perawat yang akan menyelesaikan dan akan
melaksanakan shift.

Mungkin dapat memandang situasi

pasien secara berbeda, dan situasi pasien dapat terus


berubah selama trasnsisi pergantian shift.
Strategi untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan
keselamatan : laporan di samping tempat tidur pasien,
memberi kesempatan untunk mengamati pasien secara
bersama, memecahkan masalah bersama,, mengklarifikasi
isu, dan menamin kesinambungan perawatan dan upaya
untuk mengurangi kesalahan / meningkatkan keselamatan

45

kegiatan serah terima pasien dalam pelayanan keperawatan


dapat mencegah kerugian bagi pasien ang disebabkan oleh
kesalahan/hambatan karena faktor individu, kelompok, dan
organisasi. Indikator pelayanan keperawatan berkualitas
dapat dicapai dengan salah satu cara dari berbagai upaya
yang tersedia, antara lain: melaksanakan serah teria pasien
oleh perawat, tenaga kesehatan lain, maupun organisasi
secara bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
q. Variabel sumber daya, setelah selesai shift
Pengiriman atau serah terima pasien setelah jam
kerja/shift sering terjadi ketika sumberdaya kurang tersedia,
hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kehilangan
informasi. Strategi untuk mengurangi kesalahan dan
meningkatkan keselamatan adalah yakinkan informasi
penting terdokumentasi dan terkirim, yakinkan bahwa
semua informasi tentang obat-obatan di dokumentasikan
dan diterima, koordinasi cakupan staf ang memadai untuk
mendukung pengiriman dan serah terima perawatan pasien,
berkomunikasi dan menginformasi pernerimaan pasien dan
memungkinkan pertukaran informasi penting (Triwibowo,
2013).

II.2.14.
Evaluasi
1. Struktur (Input)
Pada overran, sarana dan prasarana yang menunjang telah
tersedia, yaitu catatan overan, status klien dan kelompok shift
overran. Kepala ruangan selalu memimpin kegiatan overan
yang dilaksanakan pada pergantian shift yaitu malam ke pagi,
pagi ke sore. Kegiatan overan pada shift sore ke malam
dipimpin oleh perawat primer yang bertugas saat itu.
2. Proses
Proses overan dipimpin oleh kepala ruang dan dilaksanakan
oleh seluruh perawat yang bertugas maupun yang akan

46

mengganti shift. Perawat primer menoperkan ke perawat primer


berikutnya yang akan mengganti shift. Overan pertama
dilakukan di nurse station kemudian ke ruang perawatan pasien
dan kembali lagi ke nurse station. Isi overan mencakup jumlah
pasien, diagnose keperawatan, intervensi yang belum/sudah
dilakukan. Setiap pasien tidak lebih dari lima menit saat
klarifikasi ke pasien.
3. Hasil
Overan dapat dilaksanakan setiap pergantian shift. Setiap
perawat dapat mengetahui perkembangan pasien. Komunikasi
antar perawat berjalan dengan baik (Nursalam, 2011).

II.3. Karakteristik Perawat


II.3.1.
Umur
Definisi umur nenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
Lamanya waktu hidup atau ada sejak dilahirkan.

Umur berkaitan dengan

kedewasaan atau maturitas seseorang. Kedewasaan adalah tehnis


dalam melaksanakan tugas-tugas maupun kedewasaan psikologis.
Menurut Siagian (2001) dalam Kurniadi (2013) menyatakan,
semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan
tehnis maupun psikologisnya, serta menunjukkan kematangan jiwa.
Umur

semakin

meningkat

akan

meningkat

pula

kebijakan

kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan., berpikir


rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap pandangan
orang lain.
Menurut Hasibuan (1995) dalam Kurniadi (2013) karyawan
yang masih muda tuntutan kepuasan kerjanya tinggi, sedangkan
karyawan yang tua tuntutabn kepuasan kerja dapat tercipta karena
adanya persepsi yang positif terhadap sesuatu yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Kurniadi (2013) menyatakan pendapat ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Mangkunegara (2004) yang

47

menyatakan bahwa ada kecenderungan karyawan yang tua merasa


puas daripada karyawan yang berumur relative muda.
Umur seseorang dalam bekerja berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya kepuasan kerja. Rendahnya kepuasan kerja timbul pada
karyawan berusia 20 sampai 30 tahun (Gilmer, 1996 dalam Asad
2003). Hal ini berbeda dengan pendapat Artiselli dan Brown (1995
dalam Asad, 2003) yang menyatakan usia 25 sampai 30 tahun
antara 45 hingga 54 tahun sering timbul ketidakpuasan terhadap
pekerjaannya. Wahab (2001) yang meneliti hubungan antara
kepemimpinan dengan kepuasan kerja perawat pelaksana di ruang
rawat Labuan Baji Makasar tahun 2001 didapatkan hasil tidak ada
hubungan yang bermakna antara usia perawat dan kepuasan kerja
(Kurniadi, 2013).
Penelitian Mulyaningsih (2012) menyatakan sebagian besar
perawat di RSJD Surakarta berusia <40 tahun. Menurut Deslesler
(1997) dalam penelitian Mulyaningsih (2012) menyatakan pada usia
tersebut seseorang berada pada pilihan karir untuk mencapai tujuan
dan puncak karir. Usia dapat mendukung kinerja perawat, karena
biasanya berkaitan dengan masa kerja perawat. Namun demikian,
orang yang berusia muda juga dapat menunjukkan kinerja yang baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua perawat pada usia
berapa pun dapt menunjukkan kinerja yang baik (Mulyaningsih,
2012).
II.3.2.

Jenis Kelamin
Profesi keperawatan pada umumnya didominasi oleh

perempuan. Jenis kelamin adalah penggolongan responden yang


terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hasil analisis hubungan jenis
kelamin dengan kinerja perawat di RSJD Surakarta dalam penelitian
Mulyaningsih (2013) menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dan kinerja perawat (=1,0; =0,05).
Penelitian ini juga didukung Robins (2006) yang menyatakan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

48

produktivitas kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa semua perawat


baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai kinerja
yang baik dalam memberikan peleyanan keperawatan kepada pasien.
II.3.3.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi

mengembangkan kemampuan dan kualitas kepribadian seseorang,


dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar untuk
memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan (Siagian, 2001 dalam
Kurniadi, 2013). Tingkat pendidikan lebih tinggi pada umumnya
menyebabkan seseorang lebih mampu dan bersedia menerima posisi
dan tanggung jawabnya (Gibson, Ivancevich dan Donnelly, 1996
dalam Kurniadi 2013).
Hasil penelitian Mulyaningsih (2012) menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan kinerja
perawat (=0,12; =0,05). Hal ini berbeda dengan pendapat dari
Rivai dan Mulyadi (2010) yang menyatakan tingkat pendidikan
seseorang akan mempengaruhi tingkat kemempuannya. Yang artinya
semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan menunjukkan
kinerja yang semakin baik.
II.3.4.

Masa Kerja
Masa kerja adalah lamanya perawat bekerja dimulai sejak

perawat resmi sebagai karyawan rumah sakit (Kurniadi, 2013). Hasil


uji statistik terhadap hubungan masa kerja dengan kinerja perawat
pelaksana pada penelitian Warouw & Tangka (2010) diperoleh p
value= 0,211 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi
antara kinerja perawat pelaksana lama kerja 8 tahun dengan
perawat 8 tahun. Penelitian sejalan dengan penelitian Mulyaningsih
(2012) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja
dengan kinerja perawat (=0,73; =0,05). Perawat di RSJD
Surakarta sebagian besar memiliki masa kerja kurang dari delapan

49

tahun. Hasil uji statistik tersebut menunjukkan perbedaan proporsi


dan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kinerja perawat.
II.4. Manajemen Keperawatan
Manajemen merupakan suatu proses yang dilaksanakan sesuai
pendekatan sistem terbuka, oleh karena itu, manajemen terdiri atas beberapa
komponen yang tiap-tiap komponen saling berinteraksi (Triwibowo, 2013).
Kurniadi (2013) menyebutkan manajemen keperawatan adalah pola kerja
yang menerapkan tahapan pendekatan yang sistematik dimana pekerjaan itu
dimulai dengan membuat perencanaan, melakukan dimana pekerjaan itu
dimulai dengan perencanaan, pengorganisasian dan pengarahan

diikuti

pengendalian serta diakhiri evaluasi termasuk tahapan umpan balik. Jadi,


manajemen keperawatan merupakan suatu proses atau pola kerja yang terdiri
dari beberapa komponen yang menerapkan tahapan pendekatan yang
sistematik.
Fungsi-fungsi manajemen keperawatan secara garis besar yaitu,
fungsi-fungsi manajemen keperawatan secara garis besar yaitu, perencanaan
(planning),

pengorganisasian

(organizing),

ketenagaan

(staffing),

penggerakan (actualting), pengendalian atau pengawasan (controlling)


menggerakkan. Fungsi-fungsi manajemen menurut Fayol (1949) dalam
Kurniadi (2013) adalah sebagai berikut :
Depkes RI (2001) menjelaskan perencanaan (planning) adalah
pertimbangan seorang kepala ruangan dalam menyeimbangkan antara
kebutuhan pasien, perawat dan dokter serta administrator. Definisi
perencanaan menurut Gibson, Ivancevich & Donally (1996) dalam Kurniadi
(2013) adalah hasil yang akan dicapai dan menetapkan cara untuk mencapai
hasil untuk menetapkan sasaran organisasi dan cara bertindak untuk
mencapai tujuan. Perencana akan membuat analisis agar perencanaan
berkaitan dengan kriteria sasaran, tujuan, visi, dan misi. Jadi, perencanaan
merupakan suatu usaha yang dilakukan kepala ruangan untuk mencapai
tujuan jangka panjang dan jangka pendek dalam menyeimbangkan
kebutuhan.
Triwibowo

(2013)

menjelaskan

pengertian

pengorganisasian

(organizing) dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitun pengertian secara

50

statis dan dinamis. Pengertian secara statis yaitu, organisasi merupakan


wadah kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan pengertian organisasi secara dinamis organisasi merupakan suatu
aktivitas dari tata hubungan kerja yang teratur dan sistematis untuk
mencapai tujuan tertentu.
Pengorganisasian

keperawatan

oleh

kepala

ruangan

harus

menjelaskan bagaimana melaksankan asuhan keperawatn sesuai dengan


Standar Asuhan Keperawatan (SAK) dan Standar Operational Precedure
(SOP),

menyusun

jadwal

dinas,

memberikan

perhatian

terhadap

pekerjaan/supervise, melakukan pertemuan rutin (rapat ruangan, diskusi, pre


dan post conference), menentukan metode penugasan keperawatan dan
membuat struktur organisasi ruangan.
Staffing dalam manajemen yaitu suatu proses prosedur langkah demi
langkah yang berkesinambungan untuk menjaga agar organisasi selalu
memperoleh orang-orang yang tepat dalam posisi yang tepat dalam posisi
yang tepat pada waktu yang tepat. Staffing atau ketenagaan dimulai dari
rekrutmen, interview, mencari, dan orientasi staf dan sosialisasi staf
(Marquis dan Huston, 2012). .
Penggerakan (actuating) merupakan proses bimbingan staf agar
mereka mampu bekerja secara optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya
sesuai dengan keterampilan yang dimiliki, dan dukungan sumber daya yang
tersedia (Triwibowo, 20130. Penggerakan merupakan proses pengarahan
yang mencakup pengelolaan sumber daya manusia dalam hal ini meliputi
motivasi, manajemen konflik, komunikasi, dan memfasilitasi kolaborasi
(Marquis dan Huston, 2012). Jadi, Penggerakan (actuating)
Pengendalian (controlling) yaitu kegiatan membandingkan hasil
kerja dengan standar penampilan kerja yang diinginkan dan mengambil
kegiatan

perbaikan

bila

ada

kekurangan.

Pengendalian

pelayanan

keperawatan adalah upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan


kualitas pelayanan keperawatan secara berkesinambungan (Depkes RI,
2001). Disamping itu, pengendalian adalah kegiatan menilai hasil kerja
secara periodik yang ada dengan standar yang telah ditetapkan sehingga
menghasilkan umpann balikuntuk ditindak lanjuti.

51

II.5. Kerangka Teori

52

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI
OPERASIONAL

III.1.Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan pertautan antara teori-teori yang
berhubungan dengan variable-variabel penelitian yang akan diteliti. Dharma
(2011) menjelaskan, kerangka konsep penenlitian adalah penjelasan tentang
konsep-konsep yang terkandung di dalam asumsi teoritis yang digunakan
untuk mengabstraksikan unsur-unsur yang terkandung dalam fenomena yang
akan ditelitidan menggambarkan bagaimana hubungan diantara konsepkonsep tersebut. Kerangka konsep dalam penelitian ini mengacu pada tujuan
penelitian yaitu diketahuinya hubungan pelaksanaan timbang terima pasien
dengan kinerja perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Angkatan Laut
Marinir Cilandak, Jakarta.
Variabel adalah karakteristik yang melekat pada populasi, bervariasi
antara satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian
(Dharma, 2011). Menurut Notoatmodjo (2012) menjelaskan variable
mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota
suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain.
Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang
didefinisikan sebagi suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi
suatu

penelitian

(Nursalam,

2008).

Pada

penelitian

ini

peneliti

mengelompokkan variable menjadi 2 variabel, yaitu :


1. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas (independent variable) disebut juga variabel sebab yaitu
karakterisitik dari subjek yang dengan keberadaannya menyebabkan
perubahan pada variable lainnya (Dharma, 2011). Variable bebasa dalah

53

variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas


biasanya dimanipulsi, diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya
atau pengaruhnya terhadap variable lain (Nursalam, 2008).
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat (dependent variable) adalah variable akibat atau variable
yang akan berubah akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada
variable dependen (Dharma, 2010). Variable terikat adalah variable yang
nilainya ditentukan oleh variable lain. Variable terikat biasanya
merupakan factor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada
tidaknya hubungan atau pengaruh dari variable bebas.

Skema 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen

Timbang Terima :
-

Persiapan
Pelaksanaan
Post
timbang
terima

Varibel Dependen

54

Kinerja Perawat
Karakteristik perawat :
-

Umur
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin
Masa kerja

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang dihubungkan
:Variabel

yang

tidak

dihubungkan

III.2.Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk

kalimat

pernyataan (Sugiyono, 2007). Hipotesis

penelitian

merupakan pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar variable yang


merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil penelitian (Dharma,
2011). Jadi, hipotesis dalam penelitian adalah jawaban sementara yang
merupakan pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar variabel.
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan persiapan timbang terima dengan kinerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak,
Jakarta.
2. Ada hubungan pelaksaan timbang terima dengan kinerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak,
Jakarta.

55

3. Ada hubungan post timbang terima timbang terima dengan kinerja


perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir
Cilandak, Jakarta.
4. Ada hubungan timbang terima pasien dengan kinerja perawat di ruang
rawat inap inap Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta.
III.3.Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mengidentifikasi variabel secara
operasional berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan
peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap
suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2008). Sedangkan menurut
Notoatmodjo (2012) definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup
atau pengertian variabel-variabel yang diamati/diteliti. Jadi definisi
operasional adalah batasan ruang lingkup untuk mengidentifikasi variabel
secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati.
Tabel 3.1 Definisi Operasional

No.

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Operasional
1.

Ukur

Independen
Timbang

Suatu bentuk

Pengukuran

Responden 1.

Menyeluruh

terima

komunikasi

dilakukan

diminta

bila mean/

(handover)

perawat dalam

dengan

mengisi

median

menyampaika

menggunaka

kusioner

n dan

n instrument

No. 1-20

menerima

2.

Tidak
menyeluruh

informasi yang

bila mean/

berkaitan

median

dengan
keadaan klien
pada setiap
pergantian
shift yang
terdiri dari
tahap
persiapan,

Skala

Triwibowo,
(2013)

Ordinal

56

pelaksanaa,
dan post
overan.
2.

Dependen
Kinerja

Prestasi

perawat

Pengukuran

Responden

yang

dilakukan

diminta

ditunjukkan

dengan

mengisi

oleh

kerja

perawat

menggunaka

kusioner

pelaksana

n instrument

No. 1-25

dalam

1.

Baik

bila

Ordinal

mean/medi
2.

an
Kurang
baik

bila

mean/medi
an

melaksanakan
tugas-tugas

(Mulyaningsih,

asuhan

2013)

keperawatan

No.
3.

Variabel

Definisi

Operasional
Karakteristik Perawat
a. Umur
Lamanya

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala
Ukur

Pengukuran

Responden

1.
2.

30 Tahun
30 Tahun

waktu hidup

dilakukan

diminta

responden

dengan

mengisi

(Warouw,

sejak

menggunaka

kusioner

Herman J. &

dilahirkan

n instrument

No. 2

Tangka, Jon W.,

sampai waktu

Ordinal

2010)

pengambilan
b. Jenis
kelamin

c. Tingkat
Pendidika
n

data.
Ciri fisik yang

Pengukuran

membedakan

dilakukan

Responden 1.Laki-laki
2.Perempuan
diminta

responden

dengan

mengisi

berdasarkan

menggunaka

kusioner

seks yang

n instrument

No. 5

didapatkan

sejak lahir
Jenjang atau

Pengukuran

Responden 1.

D III

tingkat

dilakukan

diminta

Keperawatan
S1

pendidikan

dengan

mengisi

terakhir yang

menggunaka

kusioner

diambil

n instrument

No. 3

Nominal

(Kurniadi, 2013)

2.

Keperawatan
/ Ners

Ordinal

57

perawat

A
(Sugijati;
Sajidah,

A.;

Dramawan, A.,
2008)
d. Masa Kerja

Lamanya

Pengukuran

perawat

dilakukan

Responden 1.
2.
diminta

dengan

mengisi

menggunaka

kusioner

pengambilan

n instrument

No. 4

waktu data

bekerja
awal

sejak
sampai

5 tahun
5 tahun

Ordinal

(Kurniadi
(2013)

BAB IV
METODE PENELITIAN

IV.1. Desain Penelitian


Desain penelitian adalah model atau metode yang digunakan peneliti
untuk melakukan suatu penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya
penelitian. Desain penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan dan hipotesis
penelitian (Dharma, 2011). Berdasarkan area penelitian, merupakan
penelitian klinik. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik
dengan pendekatan pada metode cross sectional, yaitu penelitian analitik
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel independen dan
variabel dependen diidentifikasi pada satu satuan waktu (Darma, 2011).
IV.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
IV.1.1.
Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta. Adapun pertimbangan
memilih lokasi ini adalah:

58

1. Terdapat fenomena yang terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit


Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta
2. Untuk memperoleh data yang valid, sesuai dengan objek
penelitian
IV.1.2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2014

IV.3. Populasi dan Sampel


IV.3.1.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan
yang akan kita lakukan (Hastono dan Sabri, 2011). Menurut
Sugiyono (2007), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek/subjek yang mempunyai kualitas atau karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Sedangkan, Effendi (2012) menjelaskan
populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciricirinya akan diduga. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat
Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta di Paviliun
Flamboyan Atas, Paviliun Flamboyan Bawah, Paviliun Cempaka
Atas.
Tabel 4.1 Jumlah Perawat Ruangan
No.
Ruang Perawatan
1. Paviliun Flamboyan Atas (perawatan
anak)
2. Paviliun

Flamboyan

(perawatan dewasa)
3. Paviliun Cempaka Atas

Jumlah Perawat
16

Bawah

16

(internis

16

kelas III)
Jumlah

48

59

IV.3.2.

Sampel
Sampel
adalah

sebagian

dari

populasi

yang

nilai/karakteristiknya kita ukur dan nantinya kita pakai untuk


menduga karakteristik dari populasi. (Hastono dan Sabri, 2011).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian
ini adalah purposive sampling. Adapun rumus untuk perhitungan
sampel adalah :
n=

N
2
1+ N ( d )

Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d = penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketetapan yang
diinginkan (0,05)
Dari hasil pendataan di Paviliun Flamboyan Bawah, Paviliun
Cempaka Atas jumlah populasi sebanyak 48 orang. Maka sampel
yang diperoleh yaitu sebesar :
N
n=
2
1+ N ( d )
n=

48
2
1+ 48(0,05 )

n=

48
1+ 48(0,025)

n=

48
1+0,12

n=

48
1, 12

n=42,857
n= 43 orang

Adapun kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini


adalah sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi :

60

a. Perawat yang bertugas di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit


Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta di Paviliun
Flamboyan Atas, Paviliun Flamboyan Bawah, Paviliun
Cempaka Atas.
b. Perawat yang dinas aktif.
c. Bersedia menjadi responden.
2. Kriteria Ekslusi
a. Perawat yang bertugas di Ruang Rawat Jalan.
b. Perawat dalam masa cuti
c. Tidak bersedia menjadi responden

IV.4. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti dalam
mengumpulkan data untuk penelitian. Adapun tahap-tahap pengumpulan
data yang dilakukan, yaitu :
1. Tahap persiapan
a. Peneliti mengajukan proposal penelitian kepada pembimbing untuk
memperoleh persetujuan penelitian.
b. Penelitian dilakukan setelah peneliti lulus sidang proposal.
c. Peneliti mengajukan surat permohonan izin tempat penelitian dan
pengambilan data dari FIKES UPN Veteran Jakarta.
d. Peneliti mengajukan surat permohonan izin tempat melakukan uji
validitas dan realibilitas dari FIKES UPN Veteran Jakarta.
e. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin kepada Staf Tata Usaha
Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak.
f. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin penelitian dan
pengambilan data kepada Staf Tata Usaha Rumah Sakit Angkatan
Laut Marinir Cilandak.
g. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin tempat melakukan uji
validitas dan realibilitas kepada Staf Tata Usaha Rumah Sakit
Angkatan Laut Dr. Mintoharjo, Jakarta.
h. Peneliti membuat informed concent sebagai bentuk persetujuan
antara peneliti dengan responden peneliti.

2. Tahap Pelaksanaan

61

a. Peneliti mengadakan pendekatan kepada calon responden dan


memberikan informed consent .
b. Mengidentifikasi calon responden sesuai criteria inklusi.
c. Mengambil data dari responden dengan menggunakan kuisioner.
d. Melakukan observasi pelaksanaan timbang terima di ruang rawat
inap Rumah Sakit Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta.
e. Peneliti melakukan pengecekan kelngkapan, kejelasan,

dan

kesesuaian kuisioner yang telah diisi responden setelah kuisioner


dikembalikan.
f. Peneliti memberikan reinforcement positif kepada responden.

IV.5. Etika Penelitian


Hidayat (2008) menjelaskan ada beberapa etika penelitian yang harus
diperhatikan, yaitu informed consent, anomity (tanpa nama), dan
confidentially (kerahasiaan). Berikut penjelasan tetntang etika penelitian :
1. Informed consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan untuk
menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek
mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Peneliti
akan menjelaskan tentang prosedur penelitian. Penjelasan penelitian
terlampir. Responden dipersilahkan bertanya kepada peneliti bila tidak
mengerti. Lembar persetujuan ditanda tangani bila bersedia menjadi
responden.
Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak
responden. Beberapa informasi yang yang harus ada dalam informed
concent tersebut antara lain : partisipasi responden, tujuan dilakukannya
tindakan,

jenis

data

yang

dibutuhkannya,

komitmen,

prosedur

pelaksanaan, potensial masalah yang akan diteliti, manfaat, kerahasiaan,


informasi yang mudah dihubungi dan lain-lain.
2. Anonymity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

62

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil
penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya.

Semua

informasi

yang

telah

dikumpulkan

dijamin

kerahasiaanya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan


dilaporkan pada hasil riset.
IV.6. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti
untuk mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena (Dharma,
2011). Dalam penelitian ini instrument penelitian yang digunakan sebagai
pengumpul data berupa kuisioner. Kuisioner terdiri dari 3 bagian yaitu,
pertama berisi data demografi atau karakteristik perawat, kedua berisi
lembar pertanyaan untuk mengetahui kinerja perawat perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta, dan ketiga untuk
mengetahui tentang pelaksanaan timbang terima pasien, jika responden
kesulitan, peneliti akan menjelaskan tanpa mengarahkan jawaban.
Pertanyaan kuisioner ada yang bersifat positif dan negatif. Ketiga kuisioner
tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kuisioner/instrument A
Instrument A merupakan data demografi karakteristik perawat yang
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan.
2. Kuisioner/instrument B
Instrumen B adalah instrument yang berisikan pertanyaan untuk
mengetahui kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Angkatan Laut Marinir Cilandak, Jakarta. Kuisioner ini diukur dengan
menggunakan skala Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu setuju,
sangat setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Kuisioner dibuat
dalam bentuk kalimat pertanyaan , pertanyaan positif (sangat tidak setuju
= skor 1, tidak setuju = skor 2, setuju = skor 4, sangat setuju = 5), dan
kalimat pertanyaan negatif (sangat tidak setuju = skor 5, tidak setuju =
skor 4, setuju = skor 2 , sangat setuju = 1). Kisi-kisi kuisioner B dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

63

Tabel. 4.2 Kisi-Kisi Kuisioner B


Pernyataan
Positif
Negatif
1, 2, 4
3, 5
6, 7
8
9, 11, 13
10, 12
14, 17, 18
16, 19, 20
20, 21
22
23
24, 25
14
11

Subvariabel
Pengkajian
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Dokumentasi Keperawatan
Jumlah Total

Jumlah
5
3
5
6
3
3
25

3. Kuisioner/instrument C
Kuisioner/instrument C digunakan untuk mengetahui pelaksanaan
timbang terima pasien yang terdiri dari 20 buah pertanyaan. Kuisioner
ini diukur dengan menggunakan skala Likert dengan empat pilihan
jawaban yaitu setuju, sangat setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Kuisioner dibuat dalam bentuk kalimat pertanyaan , pertanyaan positif
(sangat tidak setuju = skor 1, tidak setuju = skor 2, setuju = skor 4,
sangat setuju = 5), dan kalimat pertanyaan negatif (sangat tidak setuju =
skor 5, tidak setuju = skor 4, setuju = skor 2 , sangat setuju = 1). Kisikisi kuisioner B dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Kisi-Kisi Kuisioner C


Pernyataan

Subvariabel

Positif

Negatif

Persiapan
Pelaksanaan

1, 3
4, 5, 6, 9, 10, 11,

2
7, 8, 10, 15, 16,

Post Overan
Jumlah Total

12, 13, 14, 17, 18


20, 21, 24
13

19
22, 23
7

IV.7. Uji Validitas dan Reliabilitas


IV.7. 1 Uji Validitas

Jumlah
3
16
5
24

64

Menurut Notoatmodjo (2005), suatu instrument dikatakaan


valid apabila instrument tersebut dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur. Untuk mengukur validitas ini menggunakan
product moment corelation. Standar yang digunakan untuk
menentukan valid dan tidaknya suatu instrument penelitian
umumnya adalah perbandiangan antara nilai r hitung dengan r tabel
pada taraf kepercayaan 95% atau signifikan 5%. Dikatakan valid
apabila r hitung lebih besar dari r table. (Hastono dan Sabri, 2011).
Adapun rumus product moment :
x

2
{nx ( 2 } {n y 2
n ( xy )( xy)
r=

Keterangan :
r
= koefisien validitas item yang dicari
n
= jumlah responden
x
= skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
y
= skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
x
= jumlah skor dalam variable x
y
= jumlah skor dalam variable y
2
x
= jumlah kuadrat masing-masing skor x
y2 = jumlah kuadrat masing-masing skor y
xy = jumlah perkiraan variable xy
Menurut Hastorno (2010) keputusan uji validitas, yaitu :
a. Bila r hitung lebih besar dari r tabel, maka Ho ditolak, artinya
variabel valid
b. Bila r hitung lebih kecil dari r tabel, maka Ho gagal ditolak,
artinya variabel tidak valid.
IV.7. 2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas

adalah

tingkat

konsistensi

dari

suatu

pengukuran. Reliabilitas juga dapat didefinisikan sebagai derajat


suatu pengukuran bebas dari random error sehingga menghasilkan
pengukuran yang konsisten (Dharma, 2011). Reliabilitas suatu
instrument ditentukan berdasarkan perhitungan statistik dengan
rentang nilai 0-1. Nilai 1 menunjukkan reliabilitas yang sempurna,

65

tetapi angka ini hampir tidak pernah terjadi karena selalu terdapat
kesalahan

acak

(random

error)

beberapa

derajat

dalam

pengukuran. Untuk dapat digunakan dalam suatu penelitian


setidaknya instrument memiliki nilai reliabilitas diatas 0,80 bahkan
jika digunakan untuk uji diagnostic nilai reliabilitas setidaknya
diatas 0,90.
Uji reliabilitas pada instrument penelitian ini menggunakan
metode Cronbachs alpha. Menurut Dharma (2011), berikut ini
rumus Cronbachs alpha :
b
k
r=
1
t
(k 1)

][

Keterangan :
r
= koefisien reliabilitas instrument (cronbachs alpha)
k
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
b2 = total varians butir
t2
= total varians

Tabel 4.4 Cronbachs Alpha


Alpha
0,00 s.d 0,20
>0,20 s.d 0,40
>0,40 s.d 0,60
>0,60 s.d 0,80
>0,80 s.d 1,00

Tingkat Reliabilitas
Kurang reliabel
Agak reliabel
Cukup reliabel
Reliabel
Sangat reliabel

IV.8. Pengolahan Data


Menurut Setiadi (2007), pengolahan data dapat digolongkan menjadi:
1. Editing
Editing adalah memeriksa setiap lembar kuisioner dieperiksa untuk
memastikan bahwa setiap pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner
telah terisi semua.
2. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari responden ke dalam
kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara member tanda atau
kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.

66

3. Scoring
Scoring adalah mensortir dengan memilih atau mengelompokkan data
menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data).
4. Entry Data
Entry data merupakan jawaban yang sudah diberi kode kategori
kemudian dimasukkan dalam table dengan cara manual atau melalui
pengolahan computer.
5. Cleaning
Cleaning yaitu proses yang dilakukan setelah data masuk ke dalam
computer. Data akan diperiksa apakah ada keselahan atau tidak, jika
terdapat data yang salah, oleh proses cleaning ini.
6. Tabulasi Langsung
Sistem pengolahan data langsung yang ditabulasi oleh kuisioner. Metode
ini juga merupakan metode paling sederhana bila dibandingkan dengan
metode yang lain. Tabulasi ini dilakukan dengan memasukkan data dari
kuisioner ke dalam kerangka table yang telah disipakan, tanpa proses
perantara yang lain. Tabulasi langsung biasanya dilakukan dengan
system tally yaitu cara menghitung data menurut klasifikasi yang telah
ditentukan. Cara lain adalah kuisioner dikelompokkan menurut jawaban
yang diberikan, kemudian dihitung jumlahnya, lalu dimasukkan ke
dalam tabel yang telah dipersiapkan. Dengan cara ini kemungkinan salah
karena lupa dapat diatasi. Kelemahannya adalah pengaturannya menjadi
rumit bila jumlah klasifikasi dan sampelnya besar.
7. Komputer
Mengolah data dengan komputer peneliti terlebih dahulu perlu
menggunakan program tertentu, baik yang sudah tersedia maupun
program yang sudah dipersiapkan secara khusus dapat ditambahkan
bahwa dalam ilmu-ilmu social banyak sekali digunakan program SPSS
(Statitical Program For Sosial Sciences). Dengan mengguanakan
program tersebut dapat dilakukan tabulasi sederhana, tabulasi silang,
regresi, korelasi, analisa faktor dan berbagai tes statisitik.
IV.9. Analisa Data

67

Notoatmodjo (2012) menjelaskan analisa data suatu penelitian,


biasanya melalui prosedur bertahap, antara lain :
1. Analisis univariate (analisis deskriptif)
Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.

Tabel 4.5 Analisa Univariat


No.
1.

Variabel
Karakteristik

Sub Variabel
Umur

Jenis Data
Ordinal

Cara Analisa
Frekuensi

perawat

dan
Jenis Kelamin

presentase
Frekuensi

Nominal

dan
Tingkat

presentase
Frekuensi

Ordinal

Pendidikan

dan

Masa Kerja

presentase
Frekuensi

Ordinal

dan
5.

Independen (bebas)

Timbang terima

presentase
Frekuensi

Ordinal

dan
6.

Dependen (terikat)

Kinerja perawat

presentase
Frekuensi

Ordinal

dan
presentase

2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,
2012). Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variable dependen melalui uji Chi Square. Uji ini digunakan untuk
melihat hubungan antara variable independen yaitu timbang terima
dengan variabel dependen yaitu kinerja perawat.
Tingkat kemaknaan dan derajat kebebasan yaitu P= 0,05. Nilai
probabilitas

yang

didapatkan

dari

hasil

uji,

kemudian

68

dibandingkandengan nilai alpha. Apabila P = alpha, maka H 0 ditolak


sehingga dapat disimpulkan hubungan antara variable tersebut.

x =

(OE)
E

Keterangan :

= penjumlahan
X
= nilai Chi Square
O
= frekuensi pengamatan untuk tiap kategori
E
= frekuensi yang diharapkan untuk tiap kategori
Setelah didapatkan nilai dari X2 maka dibandingkan dengan nilai
dari X2 tabel maka akan di dapat criteria pengujian sebagai berikut:
HO diterima (H1 ditolak) apabila X2 X2 tabel
HO ditolak (H1 diterima ) apabila X2 X2 tabel
Dapat juga dengan membandingkan nilai P value dengan nilai alpha
(0,05)
HO diterima (H1 ditolak) apabila P-value nilai alpha (0,05)
HO ditolak (H1 diterima) apabila P-value nilai alpha (0,05)
Tabel 4.6 Analisa Bivariat
Variabel
Independen
Persiapan

Variabel Dependen

Jenis Data

Analisa Data

Kinerja Perawat

Kategorik

Uji Chi Square

Kinerja Perawat

Kategorik

Uji Chi Square

Kinerja Perawat
Kinerja Perawat

Kategorik
Kategorik

Uji Chi Square


Uji Chi Square

Timbang
Terima
Pelaksanaan
Timbang
Terima
Post Overan
Timbang
Terima

3. Oods Ratio (OR)


Untuk mengetahui derajat hubungan dua variabel digunakan
perhitungan Odds Ratio. Nilai Odds merupakan nilai estimasi terjadinya

69

outcome sebagai pengaruh adanya variabel independen, dimana


perubahan suatu unit variabel independen akan menyebabkan perubahan
sebesar nilai OR pada variabel independen. Estimasi confidence interval
OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.
Interpretasi odds ratio adalah sebagai berikut :
OR = 1 ; artinya tidak ada hubungan
OR < 1; artinya ada efek proteksi atau perlindungan
OR < 1; artinya sebagai factor resiko
Analisis bivariat dalam penelitian ini meliputi variabel :
1. Hubungan persiapan timbang terima dengan kinerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
2. Hubungan pelaksanaan timbang terima dengan kinerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
3. Hubungan post timbang terima dengan kinerja perawat di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.
4. Hubungan timbang terima dengan kinerja perawat di Ruang Rawat

Inap Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai