Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan di bidang pelayanan langsung seperti rumah sakit,

bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelaksanaan rujukan

medik dan rujukan kesehatan secara terpadu serta meningkatkan dan memantapkan

manajemen pelayanan kesehatan yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan

dan pengawasan, pengendalian dan penilaian.Di rumah sakit keperawatan

memegang peranan yang sangat strategis,dimana kebanyakan tenaga kesehatan

adalah para perawat yang memberikan asuhan keperawatan.(Wang,Hailey,& Yu,

2011).Standar asuhan keperawatan merupakan salah satu strategi mewujudkan

bentuk pertanggung jawaban tenaga keperawatan yang profesional.(Sri

Wedati,2017)

Rumah Sakit Umum Anuntaloko Parigi adalah Rumah Sakit milik

Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong dengan status Kelas C Dengan

alamat dijalan Sis Aljufri no.214 kel. Masigi Kab. Parigi Moutong. Rumah Sakit

Umum Parigi berdiri pada tahun 1960-an (diperkirakan sekitar tahun 1968) dengan

status rumah sakit pembantu wilayah Parigi. Rumah sakit Parigi saat itu merupakan

hasil pengembangan Puskesmas Perawatan Kecamatan Parigi. Pengembangan ini

dilakukan mengingat banyaknya pasien rawat inap yang dilayani oleh Puskesmas

Parigi saat itu, serta luasnya cakupan wilayah pelayanannya.

Jumlah total tempat tidur sebanyak 285 dan jumlah tempat tidur kelas III

sebanyak 138 TT 48,42 % dari jumlah total tempat tidur, sedangkan untuk tempat

1
tidur perawatan intensif ( ICU,ICCU dan NICU ) sebanyak 15,79 % dari seluruh

tempat tidur yaitu 45 TT.

Rumah Sakit Umum Anuntaloko Parigi adalah Rumah Sakit milik

Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong yang memberikan kontribusi penting

dalam pelayanan kesehatan di masyarakat. Tuntutan masyarakat dalam suasana

keterbukaan, keluhan-keluhaan pasien atas pelayanan rumah sakit semakin mudah

disampaikan melalui berbagai media komunikasi, sehingga banyak cara untuk

mengkritisi pelayanan rumah sakit, baik pelyanan pasien rawat jalan maupun rawat

inap. Dokumentasi asuhan keperawatan menjadikan hal yang penting sebagai alat

bukti tanggung jawab dan tanggung gugat dari perawat dalam menjalankan

tugasnya. Perawat profesional dihadapkan pada suatu tuntutan tanggung jawab yang

lebih tinggi dan tanggung gugat setiap tindakan yang dilaksanakan. Artinya

intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien harus dihindarkan terjadinya

kesalahan kesalahan (negligence) dengan melakukan pendekatan proses

keperawatan dan pendokumentasian yang akurat dan benar.(Nursalam,2016)

Undang-undang No. 23 tahun 1992 merupakan wujud rambu-rambu atas hak

dan kewajiban tenaga kesehatan termasuk para perawat dalam menjalankan tugas-

tugas pelayanan (Tim Depkes RI, 1996).

Responsibilitas dan akuntabilitas professional merupakan salah satu alasan

penting dibuatnya dokumentasi yang akurat. Dokumentasi adalah bagian dari

keseluruhan tanggung jawab perawat untuk perawatan pasien. Catatan klinis

memfasilitasi pemberian perawatan, meningkatkan kontinuitas perawatan dan

membantu mengkoordinasikan pengobatan dan evaluasi pasien.Dokumentasi harus

dengan jelas mengkomunikasikan penilaian dan evaluasi perawat terhadap status

2
pasien. Kemampuan perawat untuk membuat perubahan dalam hasil yang didapat

harus ditunjukkan dalam praktik dan dalam pencatatan (Iyer, 2018).

Dokumentasi merupakan aspek penting dari praktik keperawatan dengan

format dan kualitas yang terus menerus berkembang, tapi fokusnya berdampak

fositif terhadap kualitas palayanan/perawatan klien. Sistem dokumentasi yang ideal

harus memberikan informasi klien yang komprehensif menunjukkan hasil dan

standar pelayanan klien (Potter & Perry, 2018).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ana Zakiyah (2006) mengatakan

bahwa dokumentasi keperawatan merupakan bentuk dokumen asuhan

keperawatan sebagai salah satu alat pembuktian atas tindakan perawat selama

menjalankan tugas pelayanan keperawatan. Dokumen asuhan keperawatan

sangat diperlukan untuk kepentingan pasien maupun perawat, akan tetapi pada

kenyataannya masih banyak dokumen asuhan keperawatan yang isinya belum

sesuai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Desain penelitian ini adalah

cross sectional. Subyek penelitian adalah pelaksana yang bertugas di rawat inap

RSUD Anuntaloko Parigi berjumlah 107 dan dokumentasi keperawatan yang ada

di status pasien. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara sikap (p

value 0,044) dan tingkat pendidikan perawat (p value 0,029) dengan

pendokumentasian asuhan keperawatan, sedangkan usia, jenis kelamin dan masa

kerja tidak terdapat hubungan. Direkomendasikan untuk meningkatkan

monitoring dan evaluasi melalui kegiatan supervisi.pemberian reward pada

ruangan yang dokumentasi asuhan keperawatannya baik, perlu dibuat

perencanaan pengembangan SDM, dan penambahan materi tentang

dokumentasi asuhan keperawatan pada orientasi perawat baru.

3
Berdasarkan hasil penelitian Supratman dan Yuni Wulandari 2009, dengan

judul jurnal tentang pendokumentasian asuhan keperawatan ditinjau dari beban kerja

perawat di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta menyimpulkan bahwa beban kerja

perawat yang berat masih dijalani sebagian besar perawat di RSDM Surakarta.

Penelitian Tamaka Ryny Silvana dkk (2015)menunjukkan bahwa ada

hubungan beban kerja dengan pendokumentasian di Instalasi Gawat Darurat Medik

RSUP. Prof. Dr. R.D Kandou Manado. untuk meningkatkan mutu dokumentasi

asuhan keperawatan dengan upaya mengadakan pelatihan yang berkaitan dengan

pendokumentasian asuhan keperawatan. Pendokumentasian asuhan keperawatan

adalah catatan yang harus di kerjakan dalam proses keperawatan oleh seorang

perawat. Beban kerja yang tinggi akan mempengaruhi kelengkapan

pendokumentasian asuhan keperawatan.

Beban kerja penting di ketahui sebagai dasar untuk mengetahui kapasitas

kerja perawat agar terdapat keseimbangan antara tenaga perawat dan beban kerja

(Hendiati, Soemantri, Yudianto, 2012).Sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Supratman (2009), penelitian menunjukkan bahwa pendokumentasian buruk

(72,7%) dikarenakan beberapa hal salah satunya adalah beban kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti A.A Putri Mastini (2013) di RSUP.

Sanglah Denpasar adanya hubungan antara beban kerja dengan pendokumentasian

asuhan keperawatan dengan nilai Pvalue = 0,004 < 0,05.Manfaat dokumentasi

adalah catatan dari keseluruhan tindakan yang diberikan kepada pasien dan bila

terjadi masalah yang berhubungan dengan profesi keperawatan maka dokumentasi

tersebut dapat dijadikan barang bukti di pengadilan.

4
Sejalan penelitian Etlidawati , Ulva Arini (2020) bahwa terdapat

hubungan antara beban kerja dengan kelengkapan dokumentasi perawat di ruang

rawat inap RSUD Hj.Anna Lasmanah Banjarnegara (nilai rank spearman atau rho

= 0,688 dan nilai p-value = 0,000). Hasil dari keseluruhan yang diperoleh, peneliti

berpendapat bahwa beban kerja yang didapatkan oleh masing – masing perawat

akan berdampak pada kinerja salah satunya dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan. Semakin berat beban kerja yang diterima oleh perawat maka akan

mempengaruhi terhadap ketidaklengkapan pengisian dokumentasi asuhan

keperawatan pasien.

Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan Dan Managemen

Keperawatan : Teori Dan Aplikasi, (Ed.4). Jakarta: EGC.

Menurut Marquis dan Hounston (2010) beban kerja perawat adalah

seluruh kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama

bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan, workload atau beban kerja

diartikan sebagai patients days yang merujuk pada jumlah prosedur, pemeriksaan

kunjungan pada klien. Beban kerja yang berlebih akan mempengaruhi hasil kerja

seseorang. perawat dengan beban kerja yang berat sangat berpengaruh pada

keberhasilan kerja seorang perawat salah satunya pada proses pendokumentasian

5
asuhan keperawatan yang tidak lengkap.

Beberapa hal yang sering menjadi alasan para petugas antara lain, banyak

kegiatan-kegiatan di luar tanggung jawab perawat menjadi beban yang di kerjakan

oleh profesi keperawatan.

Menurut wawancara dengan 5 orang perawat, semuanyatidak dapat

membuat dokumentasi asuhan keperawatan. Perawat lebih banyak mengerjakan

pekerjaan koordinasi dan limpahan wewenang.Beban kerja perawat tidak hanya

merawat pasien saja yaitu kegiatan langsung, tetapi juga kegiatan tidak langsung

yang tak kalah penting yaitu seperti melengkapi dan melaksanakan dokumentasi

asuhan keperawatan dan catatan medik yang terperinci

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh

Tamaka (2015) dengan judul Hubungan beban kerja dengan pendokumentasian

asuhan keperawatan di instalasi gawat darurat medik RSUP Prof.Dr R.D Kandau

Manado. Hasil penelitian menggunakan uji chi squeare pada continuity correction

dengan tingkat kemaknaan α =0,05 atau 95%. Hasil uji beban kerja dengan

pendokumentasian asuhan keperawatan di dapatkan nilai p value =0,008. Beban

kerja mempunyai hubungan dengan kelengkapan pendokumentasi perawat.

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello

(2015) dengan judul Knowledge and Practice of Documentation among Nurses in

Ahmadu Bello University Teaching Hospital (Abuth) Zaria, Kaduna State.

terdapat hubungan yang kuat antara beban kerja perawat dengan kelengkapan

pengisian dokumentasi asuhan keperawatan perawat di ruang rawat inap RSUD

Hj.Anna Lasmanah Banjarnegara. Dengan demikian dapat diartikan bahwa

6
semakin meningkatnnya beban kerja perawat maka pendokumentasi keperawatan

akan semakin menurun. Hasil dari penilaian yang dilakukan menunjukkan 70%

responden mempraktikkan dokumentasi yang efektif. 52% dokumentasi yang

efektif dilakukan selama shift malam. 86,2% mepunyai hambatan untuk

dokumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian Supratman dan Yuni Wulandari

(2009),dengan judul jurnal tentang pendokumentasian asuhan keperawatan

ditinjau dari beban kerja perawat di rumah sakitDr. Moewardi

Surakartamenyimpulkan bahwa beban kerja perawat yang berat masih

dijalanisebagian besar perawat di RSDM Surakarta.

Menurut penelitian Deni Kristiano (2017) menunjukkan sebagian besar

kepala ruang atau kepala tim memberikan ucapan terima kasih setiap timbang

terima yaitu (100%) dan perawat pelaksana sebagian besar juga datang tepat waktu

saat timbang terima di dapatkan (100%). Hasil statistik menunjukkan bahwa ada

hubungan antara pemberian reward ucapan terima kasih dengan kedisiplinan waktu

saat mengikuti timbang terima perawat di ruang bedah RSUP dr. Kariadi Semarang.

Sejalan dengan penelitian Hidayanto M. Taufiq (2015) Terdapat hubungan

antara pemberian reward dengan pelaksanaan perawat dalam pendokumentasian

asuhan keperawatan di Puskesmas Boja dengan nilai ρvalue = 0,019 (ρvalue.

Tenaga perawat yang mendapatkan reward tinggi, karena merasa bahwa

kebutuhannya telah terpenuhi sehingga terdorong untuk lebih giat melaksanakan

tugasnya. Reward berkaitan erat dengan dorongan yang kuat untuk melakukan setiap

pekerjaan dengan hasil yang optimal. Faktor-faktor seperti kepuasan terhadap gaji

dan insentif yang diterima, kedudukan dan kondisi lingkungan kerja yang kondusif

7
akan mendorong tenaga perawat untuk bekerja lebih baik sehingga kinerjanya lebih

baik pula. Berbeda dengan yang tidak mendapatkan reward tinggi maka ia tidak

memiliki hasrat untuk berkerja semaksimal mungkin serta bersikap apatis terhadap

tugasnya yang mengakibatkan kinerjanya kurang baik

Didukung penelitian yang dilakukan oleh Widayanti (2009) yang

menghasilkan bahwa adanya reward kerja berpengaruh terhadap pretasi kerja

karyawan. Seperti halnya perawat yang mempunyai motivasi yang baik, maka

kinerjanyapun baik, sehingga baik dalam melaksanakan pendokumentasian asuhan

keperawatan dengan baik. Seperti pada penelitian Buheli (2012) dalam

penelitiannya menghasilkan bahwa reward merupakan faktor yang paling kuat

pengaruhnya terhadap kinerja perawat. Penelitian yang dilakukan oleh Ulum (2013)

yang menghasilkan bahwa pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan

adalah rasa tanggung jawab dari perawat itu sendiri, status perawat tersebut, status

figur otoritas (pimpinan), legitimasi figur otoritas melalui supervisi, kedekatan figur

otoritas dengan perawat, dan reward perawat.

Salah satu pemberian reward kepada perawat adalah dengan

mengembangkan sistem penghargaan pelayanan berdasarkan sistem grading yang

mengacu pada sistem jenjang karir professional perawat yang disusun oleh Depkes

RI bersama organisasi PPNI sejak tahun 2006. Dimana dijelaskan bahwa sistem

jenjang karir sebagai salah satu komponen sistem penghargaan non finansial kepada

perawat merupakan aspek pengakuan pencapaian kinerja dan disusun dengan

8
berbagai tujuan (Depkes RI, 2006). Sistem penghargaan finansial yang sering

digunakan oleh institusi kesehatan adalah pembagian jasa pelayanan diluar gaji yang

rutin didapatkan setiap bulannya yang disebut dengan insentif material yang

berbentuk uang dan jasa berdasarkan prestasi kerja (Simamora, 2009).

Saragih Masri (2020) Bahwa ada hubungan pemberian reward dengan

kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan (p=0,017; p<0,05).

Menurut asumsi peneliti, setiap orang memiliki penilaian yang berbedapada suatu

hal, termasuk pemberian reward Seseorang dapat menilai insentif yang ia

terima sudah tergolong tinggi tetapi dalam penilaian orang lain insentif tersebut

masih tergolong rendah bagi dirinya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor

kebutuhan hidup sehingga penilaian setiap orang berbeda-beda. Serta adanya

ketidak adilan dalam pembagian insent

Reward merupakan suatu faktor pendorong bagi pegawai untuk

bekerja lebih baik agar kinerja pegawai dapat meningkat. Pada hasilpenelitian

yang dilakukan oleh Hasmi (2018) bahwa reward memiliki hubungan

terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan.

Pemberian reward dapat meningkatkan motivasi perawat. Motivasi

merupakan dorongan yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan

memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Motivasi

kerja yang semakin tinggi menjadikan perawat mempunyai semangat yang

9
tinggi untuk memberikan pelayanan yang terbaik (Mudayana, 2010). Hal ini

sebanding dengan motivasi yang tinggi untuk melakukan pendokumentasian

akan menghasilkan kualitas dokumentasi yang lengkap dan sebaliknya

motivasi yang rendah akan menghasilakan pendokumentasian yang tidak

lengkap. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Husmi (2018)

dengan judul penelitian Pengaruh reward Perawat terhadap

Pendokumentasian AsuhanKeperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU

Wisata UIT Makassar didapatkan bahwa ada hubungan antara reward dengan

dokumentasi asuhan keperawatan. Semakin tinggi reward yang diberikan maka

semakin lengkap pula pendokumentasian asuhan keperawatan yang akan

dilaksanakan perawat.Perawat perlu diberikan balas jasa dalam bentukgaji,

kompensasi maupun insentif. Dengan pemberian insentif tersebut akan

meningkatkan minat kerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

termasuk dalam hal kelengkapan pendokumentasian asuhan

keperawatan.Kelengkapan pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan

salah satu tugas dan legal etik dari seorang perawat. Pemberian reward akan

menunjang kinerja perawat dalam hal kelengkapan pendokumentasian asuhan

keperawatan. Berdasarkan teori dan data yang didapat, semakin tinggi insentif

yang diterima perawat maka semakin lengkap juga pendokumentasian asuhan

keperawatan yang dilakukan perawat. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah

reward yang diterima perawat maka semakin tidak lengkap

pendokumentasian yang dilakukan perawat.

Cara mengetahui tingkat keberhasilan asuhan keperawatan yang di

berikan dapat di nilai secara obyektif dengan menggunakan metode dan

10
instrumen penelitian yang baku, salah satunya adalah audit dokumentasi asuhan

keperawatan. Audit dokumentasi dilakukan dengan cara membandingkan

pendokumentasian yang ditemukan dalam rekam medik pasien dengan standar

pendokumentasian yang ditentukan dalam standar asuhan keperawatan. Aspek yang

dinilai dalam pendokumentasian ini adalah pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasai

keperawatan dan catatan asuhan keperawatan. Jadi kualitas kinerja perawat

pelaksana dapat dievaluasi melalui dokumentasi (Nursalam, 2016).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, RSUD Anunaloko Pargi senantiasa

berupaya untuk memenuhi kebutuhan terlaksananya proses keperawatan dan

dokumen asuhan keperawatan yang baik, sebagaimana ditentukan dalam Akreditasi

Rumah Sakit, yaitu dengan menyediakan formulir dokumen asuhan keperawatan,

membuat prosedur tetap suatu tindakan keperawatan dan penggunaan alat di rumah

sakit, serta sarana – sarana lain yang diperlukan.

Walaupun dokumen asuhan keperawatan sangat diperlukan untuk

kepentingan pasien maupun perawat akan tetapi pada kenyataannya perlengkapan

pengisian dokumen masih kurang perhatian sehingga masih banyak dokumen

asuhan keperawatan yang isinya belum lengkap. Hasil pra- survei melalui

wawancara dengan beberapa perawat yang bertugas di Ruang Rawat Inap di RSUD

Anuntaloko menunjukkan beberapa masalah pendokumentasian asuhan keperawatan

antara lain : kurangnya motivasi perawat dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan, penulisan dokumen yang menyita waktu, dan berfokus pada pelayanan

pasien. Beberapa perawat dengan terus terang merasakan bahwa penulisan

dokumentasi yang terlalu dituntut akan berakibat berkurangnya waktu untuk

11
pemberian pelayanan langsung pada pasien. Penulisan dokumentasi juga tidak

berpengaruh pada penghasilan (tidak ada reward).

Berdasarkan studi pendahuluan oleh peneliti pada saat peneliti melakukan

kegiatan residensi manajemen keperawatan dengan melakukan observasi langsung

terhadap status pasien dibeberapa ruangan perawatan, masih banyak ditemukan

status pasien yang masih belum terisi baik catatan pendokumentasian pada pasien

yang masih dalam perawatan maupun pasien yang tidak dalam perawatan atau sudah

pulang namun hanya beberapa ruangan yang terisi catatan pendokumentasian

keperawatannya. Dari hasil obsevasi dibeberapa ruang perawatan menunjukkan

bahwa format pendokumentasian yang digunakan di RSUD Anuntaloko masih

terlalu rumit sehingga laporan. Asuhan Keperawatan (ASKEP) mulai dari

pengkajian sampai dengan evaluasi masih dalam bentuk manual, dan bahasa dalam

format tersebut belum terlalu baku serta masih menggunakan sistem ceklist.

Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian dari dokumen catatan medik.

Dokumentasi asuhan keperawatan RSUD Anuntaloko merupakan suatu catatan tentang

intervensi perawat terhadap pasien selama dirawat di rumah sakit, yang mencakup:

pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, pelaksanaan tindakan dan evaluasi.

Berbagai peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi perawat dan telah

dibuat prosedur tetap (protap) dalam bertindak, serta disediakan alat bantu berupa

formulir dokumen asuhan keperawatan serta upaya peningkatan. Keterbatasan

jumlah tenaga perawat yang ditunjukkan dengan adanya peran rangkap jabatan

dalam struktur organisasi dan banyaknya beban kerja menjadi salah satu faktor

kendala kelengkapan dokumentasi keperawatan di Rumah Sakit.

Penilaian pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan dapat dilakukan

dengan metode proses keperawatan di Rumah Sakit yang diukur melalui instrumen

12
evaluasi penerapan Standar Asuhan Keperawatan (SAK). Hasil survey pendahuluan

di RSUD Anuntaloko menunjukkan bahwa standar operasional penulisan

dokumentasi sudah ada namun tidak dilaksanakan dengan berbagai alasan. Hal ini

sesuai dengan studi wawancara yang dilakukan oleh beberapa perawat di RSUD

Anuntaloko, mengatakan bahwa sampai sekarang sistem pemberian reward belum

diterapkan di Rumah Sakit tersebut.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian

dalam bentuk analisis dokumen asuhan keperawatan di RSUD Anuntaloko. Dalam

penelitian ini akan diungkap permasalahan secara mendalam mengenai pelaksanaan

pendokumentasian asuhan keperawatan yang dilakukan di ruang rawat inap di

RSUD Anuntaloko.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan penelitian ini adalah “apakah ada

hubungan pemberian reward dan beban kerja terhadap pelaksanaan

pendokumentasian asuhan keperawatan pada pasien rawat inap di Rumah Sakit

Umun Daerah Anuntaloko Parigi ?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1.3.2 Untuk mengetahui hubungan pemberian reward dan beban kerja terhadap

pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan di ruang rawat inap Rumah

Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi.

1.3.3 Tujuan Khusus

13
1) Untuk mengetahui hubungan faktor pemberian reward (penghargaan) terhadap

pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Anuntaloko Parigi.

2) Untuk mengetahui hubungan beban kerja perawat dengan pelaksanaan dokumentasi

asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Bagi Instansi Rumah Sakit hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

pengelola rumah sakit untuk meningkatkan kinerja staf keperawatannya dalam

melaksanakan sistem pendokumentasian keperawatan.

2) Bagi perawat di Pelayanan Kesehatan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmiah bagi tenaga keperawatan demi peningkatan ilmu pengetahuan

khususnya yang terkait dengan pendokumentasian keperawatan, dan dapat menjadi

bahan bacaan dan kajian bagi peneliti berikutnya yang berminat untuk meneliti lebih

dalam bidang ini.

3) Bagi peneliti hasil penelitian ini sebagai pengalaman berharga bagi peneliti untuk

mengetahui betapa pentingnya pelaksanaan dokumentasi keperawatan pada unit-unit

pelayanan keperawatan,sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mengembangkan

layanan keperawatan.

BAB II

14
TINJAUAN PUSTAKA

1) Tinjauan Umum Tentang Konsep Dasar Tentang Dokumentasi Asuhan

Keperawatan

2.1.1 Konsep Dokumentasi

Dokumentasi secara umum merupakan suatu catatan otentik yang dapat

dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan

dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang

dimiliki perawat yang berguna untuk kepentingan klien, perawat dan tim

kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan dasar komunikasi

yang akurat dan lengkap secara tertulis dnegan tanggung jawab perawat

(Hidayat, 2019).

Dokumentasi didefenisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis atau

tercetak yang dapat diandalkan sebagai catatan tentang bukti individu yang

berwewenang(Potter & Perry, 2018).

Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan

keperawatan yang diberikan pada klien membutuhkan catatan dan pelaporan

yang dapat digunakan sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dari

berbagai kemungkinan masalah yang dialami klien baik masalah kepuasan

maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan (Hidayat, 2019).

2.1.2 Konsep Model Dokumentasi

Dalam memahami berbagai konsep model dokumentasi keperawatan,

terdapat tiga komponen model yang saling berhubungan, saling ketergantungan

dan dinamis yaitu komunikasi, proses keperawatan dan standar dokumentasi.

15
Ketiga komponen tersebut dikenal dengan model Fiscbach (unifying model).

Tiap-tiap komponen memiliki keterampilan tertentu yang dapat dipelajari dan

digunakan oleh perawat (Hidayat, 2017) yaitu :

1) Keterampilan komunikasi secara tertulis adalah keterampilan perawat dalam

mencatat dengan jelas, mudah dimengerti dan berisi informasi akurat yang

secara tepat dapat diinterpretasikan oleh orang lain.

2) Keterampilan dokumentasi proses keperawatan adalah keterampilan perawat

dalam melakukan pencatatan proses keperawatan seperti keterampilan

mendokumentasikan ketika mengkaji pasien, keterampilan

mendokumentasikan diagnosa keperawatan, keterampilan

mendokumentasikan rencana keperawatan, keterampilan

mendokumentasikan implementasi keperawatan, keterampilan

mendokumentasikan evaluasi respon pasien terhadap perawatan dan

keterampilan mengkomunikasikan hasil kajian pasien kepada perawat atau

anggota tim kesehatan lain.

3) Keterampilan standar dokumentasi adalah merupakan keterampilan untuk

dapat memenuhi dan melaksanakan standar dokumentasi yang telah

ditetapkan dengan tepat. Keterampilan tersebut antara lain keterampilan

dalam memenuhi standar dokumentasi pengkajian, diagnosa, rencana,

pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

2.1.3 Tujuan Dokumentasi Keperawatan

Sebagai dokumen rahasia yang mencatat semua pelayanan keperawatan

klien, catatan tersebut dapat diartikan sebagai suatu catatan bisnis dan hukum

16
yang mempunyai banyak manfaat dan penggunaan. Tujuan utama dari

pendokumentasian keperawatan adalah untuk (Nursalam, 2016) :

1) Mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan

klien, merencanakan, melaksanakan tindakan keperawatan dan

mengevaluasi tindakan.

2) Dokumentasi untuk penelitian, keuangan, hukum dan etika. Hal ini juga

menyediakan : bukti kualitas asuhan keperawatan, bukti legal dokumentasi

pertanggungjawaban kepada klien, informasi terhadap perlindungan

individu, bukti aplikasi standar praktek keperawatan, sumber standar

informasi statistik untuk standar dan riset keperawatan, pengurangan biaya

informasi, komunikasi konsep resiko tindakan keperawatan dan sebagai data

perencanaan pelayanan kesehatan dimasa akan datang.

2.1.4 Dasar Dokumentasi Efektif

Dasar-dasar dokumentasi efektif merupakan keyakinan perawat tentang

esensi dan karakteristik dokumentasi keperawatan yang ditransfer ke dalam

catatan kesehatan melalui catatan yang akurat dan lengkap. Esensi berupa

pembukuan tertulis yang sistematis dari praktik keperawatan melalui data

pasien, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan, tindakan

keperawatan dan evaluasi hasil tindakan keperawatan. Esensi tersebut dapat

dipengaruhi oleh efektifitas catatan, pendidikan dan pengalaman, tersedianya

waktu serta tersedianya panduan tentang informasi penting bagaimana

dokumentasi dapat dilengkapi. Sedangkan karakteristik adalah deskripsi status

klien yang baru, lengkap dan ringkas, menunjukkan dokumentasi pemecahan

masalah klinis dan usaha pengambilan keputusan. Karakteristik menunjukkan

17
bukti kebutuhan perawatan sehari-hari, melaporkan informasi secara jelas,

menunjukkan kronologis kejadian, mengikuti format yang memberi kemudahan

untuk pencarian informasi dan menunjukkan dokumentasi dari peran sebagai

advokat klien. Data-data tersebut dapat digunakan oleh perawat untuk mencatat

observasi dan kegiatan secara efektif (Hidayat, 2019).

2.1.5 Kegunaan Dokumentasi Keperawatan

Dokumentasi keperawatan mempunyai beberapa kegunaan bagi perawat

dan klien (Hidayat, 2019) antara lain :

1) Sebagai alat komunikasi

Dokumentasi dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkoordinasi

dengan baik akan menghindari atau mencegah informasi yang berulang.

Kesalahan juga akan berkurang sehingga dapat meningkatkan kualitas

asuhan keperawatan.

2) Sebagai mekanisme pertanggunggugatan

Standar dokumentasi memuat aturan atau ketentuan tentang pelaksanaan

pendokumentasian. Oleh karena itu kualitas kebenaran standar

pendokumentasian akan mudah dipertanggung jawabkan dan dapat

digunakan sebagai perlindungan atas gugatan karena sudah memiliki standar

hukum.

3) Metode pengumpulan data

Dokumentasi dapat digunakan untuk melihat data-data pasien tentang

kemajuan atau perkembangan dari pasien secara objektif dan mendeteksi

kecenderungan yang mungkin terjadi. Dapat digunakan juga sebagai bahan

18
penelitian, karena data-datanya otentik dan dapat dibuktikan kebenarannya.

Selain itu dokumentasi dapat digunakan sebagai data statistik.

4) Sarana pelayanan keperawatan secara individual

Tujuan ini merupakan integrasi dari berbagai aspek klien tentang

kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan yang meliputi kebutuhan bio,

psiko, sosial dan spiritual sehingga dapat merasakan manfaat dari pelayanan

keperawatan.

5) Sarana evaluasi

Hasil akhir dari asuhan keperawatan yang telah didokumentasikan adalah

evaluasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindakan keperawatan dalam

memberikan asuhan keperawatan.

6) Sarana meningkatkan kerja sama antar tim kesehatan

Melalui dokumentasi, tenaga dokter, ahli gizi, fisioterapi dan tenaga

kesehatan akan saling kerja sama dalam memberi tindakan yang

berhubungan dengan klien. Karena hanya lewat bukti-bukti otentik dari

tindakan yang telah dilaksanakan, kegiatan tersebut akan berjalan secara

profesional.

7) Sarana pendidikan lanjutan

Bukti yang telah ada menuntut adanya sistem pendidikan yang lebih baik

dan terarah sesuai dengan program yang diinginkan klien. Khusus bagi

tenaga perawat, bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk

meningkatkan pendidikan lanjutan tentang layanan keperawatan.

8) Digunakan sebagai audit pelayanan keperawatan

19
Dokumentasi berguna untuk memantau kualitas layanan keperawatan

yang telah diberikan sehubungan dnegan kompetensi dalam melaksanakan

asuhan keperawatan.

2.1.6 Komponen Dokumentasi Asuhan Keperawatan

1) Dokumentasi pengkajian

Pengkajian keperawatan sebagai fase pengumpulan data dari proses

keperawatan memerlukan pengumpulan dan himpunan data yang sistematis.

Pengkajian ini bertujuan mengumpulkan, mengorganisir dan mencatat data

yang menjelaskan respon manusia terhadap masalah-masalah kesehatan.

Pengkajian awal (inicial assesment) dilakukan ketika pasien masuk ke

rumah sakit. Bentuk dokumentasi biasanya menunjuk pada data dasar

perawatan. Selama pengkajian umum, perawat mengidentifikasi masalah

kesehatan yang dialami klien, dengan mengumpulkan data pengkajian baik

umum maupun khusus dapat memudahkan perencanan perawatan klien.

Untuk mencapai tujuan pengkajian ini, maka perawat menggunakan semua

informasi yang ada tentang pasien yang dikumpulkan dari interview pasien,

riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, tes laboratorium dan diagnostik

lainnya (Hidayat, 2019).

2) Dokumentasi diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah tahap proses keperawatan yang

meliputi mengidentifikasi masalah pasien yang dapat dipecahkan (ditangani

atau dikurangi) melalui intervenís keperawatan dan manajemen. Diagnosa

keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau

20
masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan dalam proses kehidupan

yang aktual atau potensial. Untuk memudahkan dalam pendokumentasian

proses keperawatan, harus diketahui beberapa diagnosa keperawatan

meliputi diagnosa aktual, resiko atau resiko tinggi, kemungkinan, sehat atau

sejahtera dan sindrom (Hidayat, 2019).

a. Dokumentasi intervensi dan tindakan keperawatan

Perencanaan adalah salah satu tahap dari proses keperawatan

termasuk menentukan perioritas dan menentukan metode yang digunakan

untuk penyelesaian masalah. Dokumentasi intervensi mengidentifikasi

mengapa sesuatu terjadi terhadap klien, apa yang terjadi, kapan, bagaimana

dan siapa yang melakukan intervensi. Why harus dijelaskan alasan tindakan

harus dilaksanakan dan data yang ada dari hasil dokumentasi pengkajian dan

diagnosa keperawatan, what ditulis secara jelas, ringkas dari pengobatan

atau tindakan dalam bentuk action verb, when mengandung aspek penting

dari dokumentasi intervensi, how bagaimana tindakan dilaksanakan dalam

penambahan pencatatan yang lebih detail, who menandakan siapa yang

melaksanakan intervensi harus selalu dituliskan pada dokumentasi serta

tanda tangan sebagai penanggung.Ada dua dokumentasi yang memerlukan

dokumentasi khusus yaitu :

1. Prosedur invasive

Tindakan invasive merupakan bagian yang penting dari proses

keperawatan, karena memerlukan pengetahuan tentang IPTEK yang

tinggi. Untuk itu pengetahuan lanjutan diperlukan dalam upaya

meningkatkan tanggung jawab dalam pemberian intervensi.

21
2. Intervensi mendidik klien

Perawat berperan penting dalam mengenal kebutuhan belajar

klien dalam rencana mendidik klien dan memelihara laporan

kegiatannya.

b. Dokumentasi evaluasi tindakan keperawatan

Pernyataan evaluasi perlu didokumentasikan dalam catatan kemajuan,

direvisi dalam rencana perawatan atau dimasukkan dalam ringkasan khusus

dan dalam pelaksanaan dan perencanaan (Hidayat, 2019). Pedoman untuk

pendokumentasien evaluasi keperawatan adalah :

1. Sebelum kesimpulan evaluasi dengan

data yang mendukung penilaian perawat.

2. Mengikuti dokumentasi intervensi

keperawatan dengan pernyataan evaluasi formatif yang menjelaskan

respon cepat klien terhadap intervensi keperawatan atau prosedur.

3. Menggunakan pernyataan evaluasi

sumatif ketika klien dipindahkan ke fasilitas lain atau dipulangkan.

4. Catat evaluasi sumatif untuk setiap hasil

yang diharapkan diidentifikasikan pada perencanaan keperawatan klien.

5. Menulis pernyataan evaluasi yang

merefleksikan keadaan perkembangan klien terhadap tujuan, pemasukan

yang sesuai dicatat sebagai berikut : kontrol sakit yang tidak efektif

setelah medikasi, terus tanpa henti, penghilang rasa sakit dari medikasi

berlangsung selama 30 menit.

2.1.7 Model Dokumentasi Keperawatan

22
Ada beberapa model dokumentasi keperawatan yang dapat dipergunakan

dalam sistem pelayanan kesehatan atau keperawatan (Hidayat, 2019) antara

lain.

1) Source-Oriented Record (catatan berorientasi pada sumber).

Model ini menempatkan catatan atas dasar disiplin orang atau

sumber yang mengelola pencatatan. Bagian penerimaan klien mempunyai

lembar isian tersendiri, dokter menggunakan lembar untuk mencatat

instruksi, lembaran riwayat dan perkembangan penyakit, perawat

menggunakan catatan perkembangan, begitu pula disiplin ilmu lain

mempunyai catatan masing-masing.

2) Problem-Oriented Record (catatan berorientasi pada masalah)

Model ini memusatkan data tentang klien, data didokumentasikan

dan disusun menurut masalah klien. Sistem dokumentasi jenis ini

mengintegrasikan semua data mengenai masalah yang dikumpulkan oleh

dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam pemberian

layanan kepada klien.

3) Progres-Oriented Record (catatan berorientasi pada perkembangan)

Tiga jenis catatan perkembangan yaitu catatan perawat, lembar alur

(flow sheet) dan catatan pemulangan atau ringkasan rujukan.Ketiga jenis ini

digunakan baik pada sistem dokumentasi yang berorientasi pada sumber

maupun berorientasi pada masalah.

4) Charting By Exception (CBE)

23
Charting By Exception adalah sistem dokumentasi yang hanya

mencatat secara naratif dari hasil atau pertemuan yang menyimpang dari

keadaan normal atau standar.

5) Problem Intervention and Evaluatin (PIE)

Sistem pencatatan PIE adalah suatu pendekatan orientasi-proses

pada dokumentasi dengan penekanan pada proses keperawatan dan diagnosa

keperawatan.

6) FOCUS (Process Oriented System)

Pencatatan FOCUS adalah suatu proses-orientasi dan klien-fokus.

Hal ini digunakan pada proses keperawatan untuk mengorganisir

dokumentasi asuhan.

2.1.8 Perubahan Yang Berdampak Terhadap Dokumentasi Keperawatan

Perubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan berpengaruh

terhadap dokumentasi keperawatan dan masalah-masalah yang berhubungan

dengan kegiatan pencatatan oleh perawat dalam melaksanakan tugasnya sehari-

hari. Masalah dokumentasi dan perubahan yang dapat mempengaruhi

dokumentasi asuhan keperawatan (Nursalam, 2016)antara lain :

1) Dengan terjadinya perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan di

Indonesia, maka peran perawat dalam praktik keperawatan profesional juga

mengalami perubahan. Revisi atau perubahan tersebut meliputi penemuan

kasus penyakit yang baru, pendidikan kesehatan, konseling dan intervensi

keperawatan dan medis terhadap respon klien aktual atau potensial.

Perubahan adalah pengobatan oleh dokter atau tim kesehatan lainnya,

kerjasama dengan tim kesehatan, serta metode pemberian pelayanan

24
kesehatan. Perubahan tersebut berdampak terhadap kegiatan pencatatan

keperawatan.

2) Lingkup praktik keperawatan.

Perubahan dalam lingkup praktik keperawatan, berdampak terhadap

pendokumentasian. Dengan berkembangnya lingkup praktik keperawatan

berdasarkan trens praktik keperawatan di Indonesia, persyaratan akreditasi,

peraturan pemerintah, perubahan sistem pendidikan keperawatan,

meningkatnya masalah klien yang semakin komplek, serta meningkatnya

praktik keperawatan secara mandiri dan kolaborasi, maka persyaratan

pencatatan keperawatan harus sesuai. Akibatnya data yang masuk harus

semakin lengkap dan tajam sebagai manifestasi bukti dasar lingkup

wewenang dan pertanggungjawaban. Kemampuan perawat sering

disamakan dengan kemampuan dalam membuat keputusan dan kegiatan

lainnya yang dapat dilihat pada dokumentasi.

3) Data statistik keperawatan

Pencatatan yang lengkap dan akurat sangat bermanfaat dalam

memberikan asuhan keperawatan kepada klien, data statistik yang sangat

bermanfaat dalam penelitian atau pengembangan pelayanan kesehatan serta

penentuan jasa pelayanan.

4) Intensitas pelayanan keperawatan dan kondisi penyakit.

Pencatatan yang lengkap dan akurat tentang tingkat keparahan

penyakit dan tipe atau jumlah tindakan yang diperlukan dapat sebagai dasar

pertimbangan pemberian asuhan keperawatan pada klien dnegan kasus yang

sama dan perkiraan pembiayaan yang diperlukan.

25
5) Keterampilan keperawatan.

Meningkatnya justifikasi perawat dalam akurasi perumusan masalah

dan tindakan keperawatan pada pendekatan proses keperawatan, terutama

perubahan keadaan klien yang cepat akan sangat bermanfaat dalam

pencatatan.

6) Konsumen.

Perubahan penggunaan layanan kesehatan oleh konsumen

berpengaruh terhadap pendokumentasian. Waktu rawat inap pendek, biaya

yang terjangkau, dan adanya home care bagi klien yang tidak memerlukan

perawatan maksimal merupakan trens perubahan pelayanan di masa depan.

Perubahan tersebut memerlukan suatu pembenahan tentang pencatatan yang

lengkap dan akurat khususnya waktu klien masuk rumah sakit, tingkat

asuhan keperawatan dan keahlian dalam pemberian pelayanan.

7) Biaya

Perubahan biaya layanan berdampak terhadap pendokumentasian.

Pencatatan yang baik akan memberikan gambaran tentang pengeluaran

biaya yang harus ditanggung oleh klien.

8) Kualitas asuransi dan audit keperawatan.

Pendokumentasian juga dipengaruhi oleh prosedur kendali mutu,

terutama tentang audit catatan pelayanan kesehatan. Data tentang keadaan

klien sebelum masuk rumah sakit, pertanyaan dan wawancara dengan klien

merupakan sumber utama audit data.

9) Akreditasi kontrol

26
Perubahan tentang standard pelayanan kesehatan yang disusun oleh

institusi yang berwenang, membawa pengaruh terhadap pendokumentasian.

Institusi pelayanan harus mengikuti dan menyesuaikan aturan

pendokumentasian yang berlaku.

10) Coding dan klasifikasi.

Klasifikasi tingkat ketergantungan klien berdampak terhadap

pendokumentasian. Pada waktu dulu klasifikasi pasien hanya didasarkan

pada diagnosa medis, pelayanan klinik atau tipe pelayanan. Saat ini dalam

keperawatan, klien diklasifikasikan berdasarkan DRG (Diagnosis Related

Group). Sedang informasi tentang daftar kode memberikan gambaran

kebutuhan klien, asuhan yang telah diterima harus ada di catatan

keperawatan.

11) Prospektif sistem pembayaran

Perubahan dalam sistem pembayaran berdampak terhadap

dokumentasi. Prospektif pembayaran merujuk pada sistem pembayaran

terhadap asuhan keperawatan yang diterima oleh semua klien khususnya

pada waktu klien masuk rumah sakit.

12) Resiko tindakan.

Ketergantungan terhadap dokumentasi yang komprehensif berarti

mengurangi dan mencegah terjadinya faktor resiko manajemen atau

pengelolaan. Manajemen resiko adalah pengukuran keselamatan klien untuk

melindungi klien dan profesi keperawatan aspek legal serta melindungi

perawat dari tindakan kelalaian. Manajemen resiko ditekankan pada

keadaan klien yang mempunyai resiko terjadinya perlukaan atau kecacatan.

27
Pencatatan yang penting meliputi catatan tentang kejadian, perintah verbal

dan non verbal, informed consent dan catatan penolakan klien terhadap

tindakan.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Hubungan Konsep Dasar Tentang Manajemen

Pelaksanaan Dokumentasi Asuhan Keperawatan.

2.2.1 Fungsi Manajemen

Manajemen berasal dari kata ”to manage”, dalam Webster’s New

Coolagiate Dictionary, kata manage dijelaskan berasal dari bahasa Italia

”Managgio” dari kata ”managiare” yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa

latin manus yang berarti tangan (hand).

Kata manage dalam kamus tersebut diberi arti ”to direct and control”

(membimbing dan mengawasi), ”to treat with care” (memperlakukan dengan

seksama), ”to carry on business or affair” (mengurus perniagaan atau urusan-

urusan atau persoalan-persoalan), ”to achieve one’s purpose” (mencapai tujuan

tertentu).

Selanjutnya dalam kamus tersebut manajemen diberi arti “ act or art of

managing; conduct; control; direction” (tindakan atau seni mengurus;

memperlakukan; pengawasan; pembimbingan), the collective body of those who

manage any enterprise or interest” (badan kolektif yang mengurus sesuatu

perusahaan atau kepentingan). Oleh karena itu wajar apabila ada pendapat

bahwa manajemen merupakan proses kegiatan yang dilakukan secara bersama

untuk mencapai tujuan.

28
Ada beberapa ahli mengemukakan fungsi-fungsi manajemen diantaranya

yaitu H.Fayol, L.Urwick, William H.Newman, Harold Koontz, L.Gulick dan

G.R.Terry. Namun semua fungsi manajemen yang diungkapkan para ahli itu

dapat disimpulkan dalam empat fungsi manajemen yang dikembangkan oleh

G.R.Terry, yaitu :

1) Perencanaan (planning).

Perencanaan ialah pemilihan dan penghubungan fakta-fakta serta

pembuatan dan penggunaan perkiraan-perkiraan atau asumsi-asumsi untuk

masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan

kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

(Sukarna, 2018).

Perencanaan inipun terdiri dari beberapa jenis yaitu perencanan

physic (phisikal planning), perencanaan fungsional (functional planning),

perencanaan comprehensive (comprehensive planning), perencanaan

kombinasi umum (general combination planning).

2) Pengorganisasian (organizing).

Pengorganisasian adalah penentuan, pengelompokan dan

penyusunan macam-macam kegiatan yang diperlukan untuk mencapai

tujuan, penempatan orang-orang (pegawai) terhadap kegiatan-kegiuatan ini,

penyediaan faktor-faktor physik yang cocok bagi keperluan kerja dan

penunjukan hubungan, wewenang yang dilimpahkan terhadap setiap orang

dalam hubungannya dengan pelaksanaan setiap kegitan yang diharapkan.

3) Penggerakan (actuating).

29
Penggerakan ialah membangkitkan dan mendorong semua anggota

kelompok agar berkehendak dan berusaha dengan keras untuk mencapai

tujuan dengan ikhlas serta serasi dengan perencanaan dan usaha-usaha

pengorganisasian dari pihak pimpinan. Untuk berhasilnya penggerakan

tergantung pada faktor kepemimpinan (leadership), sikap dan moril

(attitude and morile), tata hubungan (communication), perangsang

(incentive), supervisi (supervision) dan disiplin (discipline).

4) Pengawasan (controlling).

Pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu

standard dan apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai

pelaksanaan dan bilamana perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga

pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standard (Sukarna,

2018).

Pengawasan ialah pemeriksaan apakah sesuatu yang terjadi sesuai

dengan rencana, instruksi yang dikeluarkan dan prinsip-prinsip yang telah

ditentukan. Jadi tujuannya ialah untuk menunjukkan kelemahan dan

kesalahan agar supaya menjadi benar dan mencegah pengulangan kesalahan

(Sukarna, 2018).

Pengawasan ialah tindakan untuk menjamin bahwa pelaksanaan

sesuai dengan rencana (Sukarna, 2018).

Pengawasan ialah proses pengaturan berbagai-bagai faktor dalam

suatu perusahaan agar sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana

(Sukarna, 2018).

30
Pengawasan ialah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan

kerja bawahan agar supaya rencana-rencana yang telah dibuat untuk

mencapai tujuan-tujuan perusahaan dapat terselenggara(Sukarna, 2018).

2.2.2 Gaya Kepemimpinan

Gaya diartikan sebagai suatu cara penampilan karakteristik atau

tersendiri. Menurut Nursalam 2017, gaya didefinisikan sebagai hak istimewa

yang tersendiri dari si ahli dengan hasil akhir yang dicapai tanpa menimbulkan

isu sampingan.

Nursalam 2017 menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat

didefinisikan berdasarkan perilaku pemimpin itu sendiri. Perilaku seseorang

dipengaruhi oleh adanya pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupannya, oleh

karena itu kepribadian seseorang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang

digunakan. Gaya kepemimpinan seseorang cenderung sangat bervariasi dan

berbeda-beda.

Menurut para ahli terdapat beberapa gaya kepemimpinan yang dapat

diterapkan dalam suatu organiasasi yaitu :

1) Otoriter

Menurut Ronald Lippith dan Rapiph K.White, gaya kepemimpinan

otoriter memiliki ciri-ciri sebagai berikut : wewenang mutlak berada pada

pimpinan, keputusan selalu dibuat oleh pimpinan, kebijaksanaan selalu dibuat

oleh pimpinan, komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada

bawahan, pengawasan terhadap sikap dan tingkah laku serta perbuatan atau

kegiatan para bawahan dilakukan secara ketat, prakarsa harus selalu berasal

dari pimpinan, tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran

31
dan pertimbangan atau pendapat, tuga-tugas bawahan diberikan secara

intruktif, lebih banyak kritik daripada pujian, pemimpin menuntut prestasi

dari bawahan tanpa syarat dan kesetiaan tanpa syarat, cenderung adanya

paksaan dan ancaman serta hukuman, kasar dalam bersikap, tanggung jawab

keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan.

Menurut Tannebau dan Warrant H.Scmitt dalam Nursalam (2019),

gaya kepemimpinan dengan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang

memandang kepentingan organisasi harus didahulukan jika dibanding dengan

kepentingan individu.

Sedangkan menurut Nursalam 2017, mengemukakan bahwa gaya

kepemimpinan dengan otoriter merupakan kepemimpinan yang berorientasi

pada tugas atau pekerjaan. Menggunakan kekuasaan posisi dan kekuatan

dalam memimpin. Pemimpin menentukan semua tujuan yang akan dicapai

dalam pengambilan keputusan. Informasi diberikan hanya pada kepentingan

tugas.

2) Demokratis

Menurut Ronald Lippith dan Rapiph K.White, gaya kepemimpinan

demokratis memiliki ciri-ciri sebagai berikut : wewenang pimpinan tidak

mutlak, pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada

bawahan, keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan,

komunikasi berlangsung timbal balik, pengawasan dilakukan secara wajar,

prakarsa dapat datang dari bawahan, banyak kesempatan dari bawahan

diberikan dengan lebih bersifat permintaan daripada instruktif, pujian dan

kritik seimbang.

32
Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas

masing-masing, pimpinan meminta kesetiaan bawahan secara wajar,

pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak, terdapat

suasana saling percaya dan saling hormat menghormati serta saling

menghargai, tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung secara

bersama-sama.

Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis yang dikemukakan oleh

Nursalam 2017, adalah merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan

kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan pribadinya untuk

mendorong ide dari staf, memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan

sendiri. Membuat rencana dan pengontrolan dalam penerapannya. Informasi

diberikan seluas-luasnya dan terbuka.

3) Partisipatif

Menurut Nursalam 2017, gaya kepemimpinan dengan partisipatif

merupakan penggabungan antara gaya kepemimpinan otokratik dan

demokratis yaitu pemimpian yang menyampaikan hasil analisa masalah dan

kemudian mengusulkan tindakan tersebut pada bawahannya. Staf diminta

saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap usulannya

dan keputusan akhir ada pada kelompok. Sedangkan menurut Tannebau dan

Warrant H.Scmitt, dikatakan gaya kepemimpinan dengan partisipatif jika

bawahan mempunyai pengalaman yang lebih baik dan menginginkan

partisipasi.

4) Liberal atau Laissez Faire

33
Gaya kepemimpinan liberal atau Laisser faire adalah gaya

kepemimpian dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : pemimpin

melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan, keputusan lebih

banyak dibuat oleh bawahan, kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh

bawahan, pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahan,

hampir tiada pengawasan terhadap tingkah laku bawahan, prakarsa selalu

berasal dari bawahan, hampir tiada pengarahan dari pimpinan, peranan

pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok, kepentingan pribadi lebih

penting dari kepentingan kelompok, tanggung jawab keberhasilan organisasi

dipikul oleh perorangan.

2.2.3 Tingkat Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat,

sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.

Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni :

1) Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan

pendidik (pelaku pendidikan).

2) Proses (uapaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain)

3) Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2017).

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan

dengan cara persuasif, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi,

memberikan kesadaran dan sebagainy melalui kegiatan yang disebut pendidikan

kesehatan atau penyuluhan. Dampak yang timbul dari cara ini terhadap

perubahan perilaku masyarakat akan memakan waktu yang lama dibandingkan

34
dengan cara koersi. Namun demikian apabila perilaku tersebut berhasil diadopsi

masyarakat, akan langgeng bahkan selama hidup dilaksanakan.

Pendidikan formal adalah pendidikan yang diorganisir secara bertingkat-

tingkat mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan

informal adalah pendidikan yang berlangsung secara terpadu dengan kegiatan

hidup sehari-hari dan merupakan proses yang paling tua dan paling lama dalam

kehidupan manusia. Ia meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap dan cara hidup

pada umumnya.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas

pengetahuan yang dimiliki, karena telah melalui proses belajar yang tidak

didapatkan pada tingkat pendidikan sebelumnya. Dalam proses belajar akan

terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang dalam

diri individu (Notoatmodjo, 2017).

2.2.4 Motivasi perawat

Motivasi berasal dari kata lain movere yang berarti dorongan atau

menggerakkan. Motivasi adalah kekuatan psikis yang merupakan daya

penggerak dalam diri seseorang serta menentukan bagaimana seseorang tersebut

berperilaku untuk mencapai tujuan yang pada akhirnya akan menampilkan kerja

seseorang. Atau dengan kata lain sebagai kebutuhan yang mendorong perbuatan

ke arah suatu tujuan. Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang

memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor

yang menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia

dalam arah tekad tertentu (Nursalam, 2017).

35
Menurut Nursalam 2017, motivasi adalah segala sesuatu yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan atau

pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan

kekuasaan terutama dalam berperilaku.

Dari berbagai macam defenisi motivasi, ada tiga point penting dalam

pengertian motivasi yaitu hubungan antara kebutuhan, dorongan dan tujuan.

Kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang kurang dirasakan oleh

seseorang, baik fisiologis maupun psikologis. Dorongan merupakan arahan

untuk memenuhi kebutuhan tadi, sedangkan tujuan adalah akhir dari satu siklus

motivasi (Nursalam, 2017).

Teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli seperti Teory Need

Hierarchy (Maslow), dimana dia memandang manusia sebagai hirarki lima

macam kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis yang paling mendasar,

kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan harga diri, sampai

kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Menurut maslow, individu akan

termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat

bagi mereka pada waktu tertentu. ERG Theory (Clayton Alderfer), Two-factors

Theory (Frederich Herzberg), dimana Herzberg meyakini bahwa karyawan dapat

dimotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan di dalamnya terdapat kepentingan yang

disesuaikan dengan tujuan organisasi. Dari penelitiannya, Herzberg

menyimpulkan bahwa ketidakpuasan kerja dan kepuasan kerja dalam bekerja

muncul dari dua set faktor yang terpisah. Learned Theory (Mc Clelland), Equity

Theory (Adams), Expectancy Theory (V.Vroom), Reinforcement Theory

36
(Skinner) dan Goal Setting (Locke) diyakini dapat membantu dalam

meningkatkan kinerja dan kualitas layanan kesehatan (Nursalam, 2017).

Menurut bentuknya (Nurasalam, 2017), motivasi terdiri dari :

1) Motivasi intrinstik : yaitu motivasi yang

datangnya dari dalam individu.

2) Motivasi ekstrinstik : yaitu motivasi yang

datangnya dari luar individu.

3) Motivasi terdesak : yaitu motivasi yang muncul

dalam kondisi terjepit dan munculnya terdesak serta menghentak dan cepat

sekali.

2.2.5 Beban kerja

Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan

sehari- hari.Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya, beban-beban

tersebut tergantung bagaimana orang tersebut bekerja sehingga disebut beban

kerja, jadi definisi beban kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam

menerima pekerjaan.Dari sudut pandang ergonomi setiap beban kerja yang

diterima seorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik,

kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban

tersebut.Beban dapat berupa beban fisik dan beban mental.Beban kerja fisik

dapat berupa beratnya pekerjaan seperti mengangkat, mengangkut, merawat,

mendorong.Sedangkan beban kerja mental dapat berupa sejauh mana tingkat

keahlian dan prestasi kerja yang dimiliki individu dengan individu lainnya.

(Manuaba,2016)

37
Everly dkk (dalam Munandar,2018) mengatakan bahwa beban kerja

adalah keadaan dimana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan

pada waktu tertentu. Kategori lain dari beban kerja adalah kombinasi dari beban

kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja secara kuantitatif yaitu timbul karena

tugas –tugas terlalu banyak atau sedikit, sedangkan beban kerja kualitatif jika

pekerja merasa tidak mampu melakukan tugas atau tugas tidak menggunakan

ketrampilan atau potensi dari pekerja.Beban kerja fisikal atau mental yang harus

melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stress

pekerjaan.

Kesimpulan beban kerja adalah kemampuan tubuh untuk menerima

pekerjaan dapat berupa beban fisik dan beban mental.

1) Faktor – factor yang mempengaruhi beban kerja, Rodahl (2016) dan

Manuaba (2016)menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi faktor – faktor

sebagai berikut:

1. Faktor eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti

a. Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja,

tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap

kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersikap mental seperti

kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, tanggung jawab

pekerjaan.

b. Organisasi kerja seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja

bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi,

pelimpahan tugas dan wewenang.

38
c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungann kerja psikologis.

d. Ketiga aspek ini sering disebut sebagai stressor.

2. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu

sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut

Strain ,berat ringannya strain dapat dinilai baik secara obyektif maupun

subyektif. Faktor internal meliputi faktor somatis (jenis

kelamin,umur,ukuran tubuh,status gizi,kondisi kesehatan), faktor psikis

(motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).

2) Dampak beban kerja

Akibat beban kerja yang terlalu berat atau yang terlalu sedikit dapat

mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat

kerja Hal ini didukung oleh penelitian Suciari (2016) bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan keluhan Low Back Pain

yang dialami pramu kamar. Presentase yang mengalami keluhan Low Back

Pain dari pramu kamar dengan kategori beban kerja berat sekali mencapai

100 %, sedangkan beban kerja kategori berat mencapai 79 % dan beban kerja

sedang 30 %.

Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan

baik fisik atau mental dan reaksi –reaksi emosional seperti sakit kepala,

gangguan pencernaan dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang

terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak akan

menimbulkan kebosanan, rasa monoton Kebosanan dalam kerja rutin sehari-

39
hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan

kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial

membahayakan pekerja. Beban kerja yang berlebihan atau rendah dapat

menimbulkan stress kerja. (Manuaba,2016).

3) Penilaian beban kerja

Astrand, dkk (1977) menyatakan bahwa pengukuran beban kerja fisik

dan beban kerja mental dapat dinilai melalui pengukuran denyut nadi. Hal ini

didukung oleh peneltian Nurhayati (1996) yang menyatakan tentang

pengukuran beban psikologis kerja dalam sistem kerja menggunakan analisis

spektral menemukan 3 komponen variabilitas denyut nadi yang berkaitan

dengan mekanisme pengendalian biologis, yang terendah hubungan dengan

mekanisme pengaturan temperatur, komponen tengah dipercaya berasosiasi

dengan penaturan tekanan darah, sedangkan yang ketiga berkesesuain

dengan efek respirasi. Komponen tengah menunjukan variasi yang berkaitan

erat dengan pembebanan kerja mental dari suatu pekerjaan. Kekuatan

komponen ini berkurang dengan meningkatnya beban kerja yang berarti

variabilitas denyut nadi berkurang pada level pembebanan tinggi.

Pengukuran beban kerja mental dapat secara obyektif dan subyektif,

pengukuran dengan cara obyektif dapat dilakukan melalui pengukuran

denyut nadi sedangkan pengukuran dengan cara subyektif melalui

pendekatan psikologis dengan membuat skala psikometri, yaitu pengukuran

dengan mengamati dan mengobservasi kondisi psikologis seseorang.

Menurut Cristensen (dalam Tarwaka, 2004) dan Grandjean(1993),

pengukuran beban fisik melalui denyut jantung adalah salah satu pendekatan

40
untuk mengetahui berat ringannya beban kerja fisik selain ditentukan juga

oleh konsumsi energi, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh.

Pengukuran denyut nadi selama bekerja merupakan metode untuk menilai

Cardiovasculair strain.Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut

jantung/nadi dan suhu tubuh mempunyai hubungan linear dengan konsumsi

oksigen atau pekerjaan yang dilakukan.Pengukuran denyut jantung

dilakukan dengan merasakan denyut pada arteri radial pada pergelangan

tangan, mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop, menggunakan EKG

dan menggunakan alat heart rate.

4) Beban kerja perawat di ruang rawat inap

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi

selama 24 jam.Salah satu dari sarana pelayanan kesehatan di rumah sakit

adalah unit pelayanan ruang rawat inap.Menurut Depkes RI (1987) ruang

rawat inap adalah ruang pelayanan terhadap pasien masuk rumah sakit yang

menempati tempat tidur perawatan untuk keperluan observasi, diagnosa

terapi, rehabilitasi medik dan pelayanan medik lainnya.Unit ini bertanggung

jawab terhadap perawatan dan penanganan kesehatan pasien. Ruang rawat

inap terdiri dari perawatan anak, perawatan bedah,perawatan kebidanan

umum dan perawatan penyakit dalam.

Beban kerja di perawatan rawat inap adalah perawat dituntut harus

tetap ada di sisi pasien untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan

perawatan pasien, seperti pelayanan yang diberikan dalam keadaan sakit

ringan ataupun berat yang memerlukan pemantauan serta tindakan yang

terus menerus.Hal ini sesuai dengan pernyataan Azwar (1993) bahwa beban

41
perawat pada pasien adalah menyelamatkan kehidupan dan mencegah

kecacatan sehingga pasien dapat hidup.

Perawat di ruangan juga melaksanakan asuhan keperawatan selama

24 jam dan bekerja secara bergiliran/shift jaga. Dalam shift jaga,

perbandingan jumlah perawat dalam satu shift jaga sering tidak seimbang

dengan jumlah pasien. Akibatnya perawat sering bekerja melebihi

kapasitasnya. (PPNI,2000).Menurut penelitian Jauhari (2005) bahwa standar

beban kerja perawat senantiasa harus sesuai dengan asuhan keperawatan

yang berorientasi pada kebutuhan pasien. Untuk menghasilkan pelayanan

yang efektif dan efisien diupayakan kesesuaian antara ketersediaan tenaga

perawat dengan beban kerja ada.

Beban kerja perawat pada setiap ruang rawat tidak sama. Perawat

bekerja sesuai dengan pedoman uraian tugas yang telah di tetapkan oleh

Depkes (1994) yaitu pada ruangan perawatan bedah, perawat harus

menyiapkan perlengkapan alat-alat atau obat-obat yang dibutuhkan pasien

sebelum dan sesudah operasi menyiapkan kebutuhan untuk pasien yang mau

operasi, memelihara kebersihan dan merawat pasien sesudah operasi dan

melaksanakan administrasi. Pada ruang perawatan anak perawat harus

mempunyai ketrampilan khusus atau spesialistik tentang penanganan

perawatan anak misalnya pemasangan infus pada pasien anak berbeda

seperti pada dewasa, mengkaji kebutuhan pasien, mengamati keadaan dan

mengevaluasi perkembangan pasien,melaksanakan tindakan keperawatan

pada pasien, mencatat perkembangan pasien dan kegiatan administrasi

ruangan. Beban kerja di ruangan kebidanan adalah menerima dan merawat

42
pasien yang akan bersalin,menyiapkan fasilitas kebutuhan pasien,

mengamati keadaan pasien, menjaga kebersihan pasien,melaksanakan

tindakan keperawatan,menjalin komunikasi dengan pasien dan

melaksanakan administrasi kebidanan. Sedangkan uraian tugas perawat di

ruangan penyakit dalam adalah selain harus mengerjakan administrasi dan

mencatat perkembangan pasien, perawat menyiapkan fasilitas dan peralatan

yang di butuhkan di ruangan seperti peralatan emergensi, memelihara

kebersihan pasien, komunikasi dengan pasien, melakukan tindakan

pengobatan , melakukan penyuluhan kepada pasien mengenai penyakitnya

dan bekerja sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan untuk menghindar

penularan penyakit.

2.2.5 Jurnal penelitian yang relevan sesuai dengan judul penelitian

Menurut Soedirman tahun 2008 dengan judul jurnal tentang

Gambaran Motivasi Perawat Dalam Melakukan Dokumentasi Keperawatan

Di Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, meyimpulkan bahwa

Faktor Instrinsik mengenai kualitas kinerja menentukan mutu pelayanan

keperawatan, sebagian besar perawat (91%) menyatakan setuju. Sembilan

puluh tiga persen perawat juga menyatakan setuju dengan pernyataan

mengenai dokumentasi keperawatan mempengaruhi profesionalisme perawat.

Beberapa pernyataan yang berkaitan dengan faktor tanggung jawab adalah

pernyataan kualitas dokumentasi keperawatan perlu dijadikan pertimbangan

peningkatan jenjang karir perawat, 65% perawat menyatakan setuju. Salah

satu peningkatan jenjang perawat fungsional dinilai dari kemampuan perawat

melaksanakan dokumentasi keperawatan, 60% perawat menyatakan setuju.

43
Sedangkan faktor ekstrinsik yang berkaitan dengan adanya peran supervisi

keperawatan, dinyatakan perawat 50 % setuju dan 42 %nya tidak setuju serta

8 % tidak sesuai. Pernyataan kelengkapan dokumentasi keperawatan

sebaiknya dijadikan point reward jasa pelayanan, sebagian besar 62% perawat

menyatakan setuju. Pernyataan mengenai dokumentasi keperawatan akan

lebih sulit engan sistem komputerisasi, 73% perawat menyatakan tidak setuju.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 73% perawat menyatakan setuju

dengan adanya dokumentasi keperawatan yang berbasis komputerisasi. Dari

simpulan di atas, beberapa saran yang diberikan pada penelitian ini adalah

untuk mencapai mutu palayanan keperawatan yang baik diharapkan perawat

dapat melakukan dokumentasi keparawatan dengan baik; perlu metode

dokumentasi keperawatan yang simpel namun memenuhi standar; perlu

adanya kebijakan tentang peningkatan jenjang karir perawat melalui penilaian

dokumentasi keperawatan; adanyadokumentasi keperawatan yang berbasis

komputerisasi; adanya peningkatan peran dari supervisi keperawatan; dan

pemberian insentif yang sesuai (Jurnal Keperawatan Soedirman (The

Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.2 Juli 2008)

Berdasarkan hasil penelitian Supratman dan Yuni Wulandari dengan

judul jurnal tentang pendokumentasian asuhan keperawatan ditinjau dari

beban kerja perawat di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2009

menyimpulkan bahwa beban kerja perawat yang berat masih dijalani sebagian

besar perawat di RSDM Surakarta. Jenis beban kerja yang relatif berat

bersumber dari pekerjaan keperawatan secara langsung. Supratman dan Yuni

juga menambahkan bahwa beban kerja perawat menjadi risiko rendahnya

44
pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan di RSDM bahkan

dengan beban kerja yang lebih berat maka pelaksanaan pendokumentasian

10,7 kali lebih mungkin tidak dapat terlaksana dengan baik.

Menurut penelitin yang dilakukan oleh Ana Zakiyah dalam jurnalnya

yang berjudul Hubungan Sikap dan Karakteristik Perawat dengan

pendokumentasian asuhan keperawatan di RSU Sidoarjo pada tahun 2006

menyimpulkan bahwa sikap dan pendidikan perawat berpengaruh terhadap

praktik pendokumentasian asuhan keperawatan. Perawat yang mempunyai

sikap baik dan perawat yang berlatang belakang pendidikan S1 keperawatan

cenderung melakukan asuhan keperawatan dengan baik. Perawat yang

mempunyai sikap yang baik akan berfikir dan mempunyai keyakinan bahwa

dirinya harus bekerja dengan baik. Pendidikan dapat meningkatkan

kemampuan seseorang dan kualitas seseorang, sehingga semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula keinginan untuk

mengaplikasikan pengtahuannya dalam bekerja.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Pemberian Reward (Penghargaan)

Pemberian reward (penghargaan) adalah ganjaran yang diberikan untuk

memotivasi para karyawan agar produktivitasnya tinggi.. Penghargaan adalah

insentif yang mengaitkan bayaran atas dasar untuk dapat meningkatkan

produktivitas para karyawan guna mencapai keunggulan yang kompetitif.

Penghargaan adalah reward dalam bentuk uang yang diberikan kepada mereka

yang dapat bekerja melampaui standar yang telah ditentukan (Teguh S. 2007).

Reward merupakan sesuatu yang diberikan atau diterima oleh seseorang

setelah dirinya melaksanakan suatu pekerjaan. Reward adalah penghargaan yang

45
diberikan oleh atasan kepada karyawannya atas kinerja yang telah dicapai untuk

meningkatkan motivasi para karyawan. Reward tersebut bersifat uang secara

langsung (financial reward) dan tidak bersifat uang (nonfinancial reward). Timbang

terima atau operan adalah suatu cara dalam menyampaikan dan menerima

sesuatu laporan yang berkaitan dengan keadaan klien . Adapun tujuan timbang

terima sebagai berikut : Menyampaikan kondisi atau keadaan secara umum klien,

menyampaikan hal-hal penting yang perlu ditindaklanjuti oleh dinas berikutnya

dan tersusunnya rencana kerja untuk dinas berikutnya. (Teguh S. 2007).

Menurut Teguh S. (2007) tujuan pemberian reward (balas jasa) antara lain

adalah:

1. Ikatan Kerja Sama

Dengan pemberian reward terjalinlah ikatan kerja sama formal antara majikan

dengan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik,

sedangkan pengusaha/majikan wajib membayar kompensasi sesuai dengan

perjanjian yang disepakati.

2. Kepuasan Kerja

Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik,

status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari

jabatannya.

3. Pengadaan Efektif

Jika program reward ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang

qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.

46
4. Motivasi

Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan mudah memotivasi

bawahannya.

5. Stabilitas Karyawan

Dengan program reward atas prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi

yang kompentatif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena turn-over

relatif kecil.

6. Disiplin

Dengan pemberian reward (balas jasa) yang cukup besar maka disiplin

karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-

peraturan yang berlaku.

7. Pengaruh Serikat Buruh

Dengan program reward yang baik pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan

dan karyawan akan berkonsentrasi pada pekerjaannya.

8. Pengaruh Pemerintah

Jika program reward sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku

(seperti batas upah minimum) maka intervensi pemerintah dapat dihindarkan.

Sistem Reward atau imbalan merupakan hal yang krusial, karena reward yang

memadai akan menimbulkan kepuasan yang dapat membantu organisasi

memperoleh, memelihara dan mempertahankan tenaga kerja yang produktif.

Sebaliknya reward yang tidak memadai akan mendatangkan ketidakpuasan pada

karyawan yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas dan kualitas kerja

Teguh S. (2007). Sistem pembayaran reward yang umum diterapkan adalah:

1. Sistem Waktu

47
Dalam sistem waktu, besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan berdasarkan

standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan.

2. Sistem Hasil (Output)

Dalam sistem hasil, besarnya reward /upah ditetapkan atas kesatuan unit yang

dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter, dan kilogram.

3. Sistem Borongan

Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa

didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya.

Dengan adanya pendapat para ahli diatas maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa suatu penghargaan adalah imbalan yang diberikan dalam

bentuk material dan non material yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada

karyawannya agar mereka dapat bekerja dengan motivasi tinggi dan berpretasi

dalam mencaapai tujuan-tujuan perusahaan, dengan kata lain pemberian

penghargaan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan

mempertahankan karyawan yang berprestasi agar tetap berada dalam perusahaan.

Pemberian sistem penghargaan dimaksudkan sebagai dorongan agar karyawan

mau bekerja dengan lebih baik dan membangkitkan motivasi sehingga dapat

mendorong kinerja karyawan menjadi lebih baik. Pemberian reward

(Penghargaan) dapat mengubah seseorang dan memicu peningkatan kinerja.

Menurut Teguh S, (2007) terdapat 4 (empat) alternatif norma pemberian

penghargaan agar dapat digunakan untuk memicu kinerja dan produktivitas

pegawai, yaitu:

1. Kesesuaian Tujuan (Goal Congruense). Setiap organisasi publik pasti

mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sedangkan setiap individu dalam

48
organisasi mempunyai tujuan individual yang sering tidak selaras dengan

tujuan organisasi. Penghargaan harus diciptakan sebagai jalan tengah agar

tujuan organisasi dapat di capai tanpa mengorbankan tujuan individual, dan

sebaliknya tujuan individual dapat tercapai tanpa harus mengorbankan tujuan

organisasi.

2. Keadilan (Equity). Penghargaan harus dialokasikan secara proporsional

dengan mempertimbangkan besarnya kontribusi setiap individu atau

kelompok. Karyawan yang memberi kontribusi tinggi maka penghargaannya

juga akan tinggi, sebaliknya siapa yang memberi kontribusi rendah maka

penghargaannya juga akan rendah.

3. Kemerataan (Equality). Penghargaan juga harus didistribusikan secara merata

bagi semua pihak (individu/kelompok) yang telah menyumbangkan

sumberdayanya untuk tercapainya produktivitas.

4. Kebutuhan alokasi penghargaan kepada pegawai seharusnya mempertimbangkan

tingkat kebutuhan utama dari pegawai. Penghargaan yang berwujud financial

tidak selalu sesuai dengan kebutuhan utama pegawai. Menurut Jiunkpe (2008),

penghargaan dibagi atas:

a. Penghargaan Informal, yaitu memfokuskan diri pada penghargaan yang

berasal dari inisiatif manajer berdasarkan kinerja karyawan.

b. Penghargaan untuk prestasi dan aktivitas khusus, yaitu menyajikan

penghargaan khusus perusahaan, pada umumnya diberikan karena

mencapai hasil-hasil khusus dalam bidang produktivitas, pelayanan

konsumen, penjualan.

49
c. Penghargaan Formal, yaitu meninjau berbagai program yang diturunkan dari

kebijaksanaan perusahaan yang biasanya digunakan untuk mempertahankan

motivasi perusahaan secara keseluruhan.

Dalam rangka meningkatkan motivasi karyawan, maka seringkali

perusahaan atau instansi memberikan reward atau penghargaan atas kinerja

yang telah dicapai oleh individu. Reward tersebut dapat bersifat finansial

(pemberian uang, hadiah) dan nonfinansial (ucapan terima kasih, pujian, isi kerja

dan lingkungan kerja). Reward dalam bentuk finansial saat ini masih menduduki

peringkat teratas dibandingkan dengan nonfinansial. Menurut pendapat yang

berbeda mengatakan bahwa reward nonfinansial tidak kalah pentingnya dengan

reward finansial. Sebuah ucapan terima kasih dapat dijadikan sebuah reward.

Kekuatan ucapan terima kasih ini memberikan arti dan manfaat yang sangat luar

biasa. Pekerjaan yang dimotivasi dengan ucapan terima kasih oleh seorang atasan

kepada bawahan, dapat menjadi sumber inspirasi kedisiplinan waktu untuk

menyelesaikan pekerjaan tersebut Jiunkpe (2008),

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kristianto (2009) mengatakan

bahwa kedisiplinan waktu saat timbang terima perawat sangat penting.

Dalam kenyataannya, 7 ruangan dari 10 ruangan yang menjadi objek

pengamatan tidak menerapkan kedisiplinan waktu. Hal tersebut tentunya akan

menurunkan kinerja perawat dan dapat merugikan para pengguna jasa layanan

keperawatan yang dalam hal ini adalah pasien. Untuk itu perlu pemberian reward

ucapan terima kasih untuk meningkatkan motivasi perawat mengikuti timbang

terima.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Beban Kerja

50
Beban kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan.

Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima seseorang harus

sesuai dan seimbang terhadap kemampuan fisik maupun psikologis pekerja yang

menerima beban kerja tersebut. Beban kerja dapat berupa beban kerja fisik dan

beban kerja psikologis. Beban kerja fisik dapat berupa beratnya pekerjaan seperti

mengangkat, merawat, mendorong. Sedangkan beban kerja psikologis dapat

berupa sejauh mana tingkat keahlian dan prestasi kerja yang dimiliki individu

dengan individu lainnya. Beban kerja dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor

eksternal dan faktor internal. Menurut Manuaba (2016), faktor-faktor yang

mempengaruhi beban kerja antara lain :

1) Faktor eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti;

a. Tugas-tugas yang bersifat fisik, seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat

kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, dan tugas-tugas

yang bersifat psikologis, seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat

kesulitan, tanggung jawab pekerjaan.

b. Organisasi kerja, seperti lamanya waktu bekerja, waktu istirahat, shift kerja,

kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan

tugas dan wewenang.

c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis.

2) Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat

dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor somatis (jenis

51
kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, dan kondisi kesehatan) dan faktor psikis

(motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).

Beban kerja yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan stres kerja baik

fisik maupun psikis dan reaksi-reaksi emosional, seperti sakit kepala, gangguan

pencernaan dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit

dimana pekerjaan yang dilakukan karena pengulangan gerak yang menimbulkan

kebosanan. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan

yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan. sehingga

secara potensial membahayakan pekerja (Manuaba, 2016).

Beban kerja meliputi 2 jenis, sebagaimana dikemukakan oleh Manuaba

(2016) ada 2 jenis beban kerja, yaitu :

1. Beban kerja kuantitatif, meliputi :

a. Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja.

b. Banyaknya pekerjaan dan beragamnya pekerjaan yang harus

dikerjakan.

c. Kontak langsung perawat pasien secara terus menerus selama jam kerja.

d. Rasio perawat dan pasien

2. Beban kerja kualitatif, meliputi :

a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perawat tidak mampu

mengimbangi sulitnya pekerjaan di rumah sakit.

b. Tanggung jawab yang tinggi terhadap asuhan keperawatan pasien kritis.

c. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.

d. Tuntutan keluarga pasien terhadap keselamatan pasien.

e. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.

52
f. Tugas memberikan obat secara intensif.

g. Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi

terminal.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Hubungan Antara Pemberian Reward dan

Bebam Kerja Terhadap Pelaksana Pendokumentasian Asuhan

Keperawatan

1) Pemberian Reward

Pemberian reward (penghargaan) terhadap perawat pelaksana

merupakan suatu imbalan yang diberikan dalam bentuk material dan non

material seperti pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan.

Pemberian reward biasanya melalui manajemen keperawatan khususnya

manajemen sumber daya manusia (SDM) keperawatan. Fokus utama

manajemen keperawatan adalah pengelolaan tenaga keperawatan agar dapat

produktif sehingga misi dan tujuan organisasi dapat tercapai. Perawat

merupakan SDM kesehatan yang mempunyai kesempatan paling banyak

melakukan praktek profesionalnya pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit.

Seorang perawat akan mampu memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan

yang profesional apabila perawat tersebut sejak awal bekerja diberikan

program pengembangan staf yang terstruktur. Metode dalam menyusun tenaga

keperawatan seharusnya teratur, sistematis, rasional, yang digunakan untuk

menentukan jumlah dan jenis tenaga keperawatan yang dibutuhkan agar dapat

memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sesuai yang diharapkan (Brink

Pamela 2006).

53
Menurut Brink Pamela (2016), Faktor-faktor yang mempengaruhi

pemberian reward dalam pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan

yaitu diawali dengan tahapan pengkajian, diagnose, perencanaan, implementasi

dan evaluasi, hal ini sering berpengaruh pada kinerja perawat dalam

melaksanakan asuhan keparawatan kepada pasien. Faktor lain biasanya

berpengaruh pada sistem manajmen pemberian reward seperti proses

rekruitmen, seleksi, kontrak kerja, orientasi, penilaian kinerja, dan

pengembangan staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum membuka

ruang kerja dan setiap ada penambahan perawat baru.

2) Beban Kerja

Menurut Marquis & Huston (2000) mendefenisikan bahwa beban

kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh

seorang perawat selama bertugas disuatu unit pelayanan keperawatan dalam

penerapan pendokumentasian asuhan keperawatan. Beban kerja (workload)

diartikan sebagai patient days yang merujuk pada sejumlah prosedur dan

pemeriksaan saat dokter berkunjung ke pasien. Bisa juga diartika beban kerja

merupakan jumlah total waktu keperawatan baik secara langsung maupun

tidak langsung dalam memberikan pelayanan keperawatan yang diperlukan

oleh pasien dan jumlah perawat yang diperlukan untuk memberikan

pelayanan tersebut.

Beban kerja bisa bersifat kuantitatif bila yang dihitung berdasarkan

banyaknya/jumlah tindakan keperawatan berupa pemberian asuhan

keperawatan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Beban kerja

bersifat kualitatif bila pekerjaan keperawatan merupakan tanggung jawab

54
yang harus dilaksanakan sebaik mungkin/professional. Bila beban kerja

terlalu tinggi akan menyebabkan komunikasi yang buruk antara perawat dan

pasien, kegagalan kolaborasi perawat dan dokter, tingginya droup out

perawat/turn over, dan rasa ketidak puasaan kerja perawat (Gellies, 2015).

Untuk mengetahui beban kerja maka para manajer keperawatan harus

mengerti tentang jumlah pasien tiap hari/bulan/tahun, tingkat ketergantungan,

rata-rata hari perawatan, jenis tindakan keperawatan dan frekuensi tiap

tindakan serta rata-rata waktu yang dibutuhkan setiap tindakan.

Standar emas untuk mengukur sumber daya keperawatan akan

menjadi model yang valid dan reliable terhadap pengukuran beban kerja

dengan menggunakan factor-faktor yang mempengaruhi beban kerja

perawat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah kondisi pasien respon pasien,

karakteristik pasien dan tindakan keperawatan yang diberikan serta

lingkungan kerja. Disamping itu ada factor lain misalnya beratnya

tanggungjawab, tuntutan/permintaan dalam waktu bersamaan, kejadian-

kejadian yang tidak diantisipasi dengan baik.

Menurut Huber (2016), beban kerja dibedakan menjadi dua jenis yaitu

beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif. Beban kerja kualitatif artinya

persepsi beban kerja yang bisa dirasakan oleh perawat. Misalkan perawat

merasa saat ini beban kerjanya berat daripada yang seharusnya, lebih sulit

dari yang sudah pernah dilaksanakan dan keluahan lain seperti adanya

penerapan pendokumentasian asuhan keperawatan. Adapun beban kerja

kuantutatif artinya jumlah pekerjaan yang bias dihitung dan dibandingkan

denga waktu yang tersedia. Misalkan perawat memiliki waktu 8 jam tiap

55
shift, maka berapa banyak tindakan keperawatan yang bisa dilakukan selama

8 jam itu. Dalam penerapan pendokumentasian asuhan keperawatan (Gellies,

2015).

56
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konseptual penelitian merupakan suatu hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka

konsep berguna untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang

suatu topik yang akan dibahas (Setiadi, 2007). Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu/

teori yang dipakai sebagai landasan penelitian pada tinjauan pustaka.

Pemberian reward

Pendokumentasian Proses
Asuhan Keperawatan

Beban Kerja Perawat

Keterangan :

: Pemberian reward

: Pendokumentasian Proses Asuhan Keperawatan

: Penghubung variable yang diteliti

Bagan di atas menunjukkan bahwa perawat melaksanakan pendokumentasian

proses asuhan keperawatan berhubungan dengan banyak faktor, meliputi faktor

tersedianya motivasi perawat terhadap pendidikan dan pemberian reward serta beban

kerja perawat. Keberadaan faktor-faktor tersebut akan meningkatkan pelaksanaan

pendokumentasian proses asuhan keperawatan. Begitupun sebaliknya, kurangnya

57
keberadaan faktor –faktor tersebut di atas akan mengurangi pelaksanaan

pendokumentasian proses asuhan keperawatan sehingga pelaksanaan dokumentasi

keperawatan menjadi terhambat.

3.2 Hipotesis

1. Ada hubungan antara pemberian reward (penghargaan) perawat dengan pelaksanaan

pendokumentasaian proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Anuntaloko Parigi.

2. Ada hubungan antara beban kerja perawat dengan pelaksanaan pendokumentasaian

proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi.

3.3 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pemberian Reward (Penghargaan)

Pemberian penghargaan (reward) bagi perawat yang telah melaksanakan

pendokumentasikan proses asuhan keperawatan.

Reward yang dimaksud berupa : Imbalan jasa diartikan sebagai pemberian

penghargaan/imbalan berupa uang. Imbalan psikologis dan sosial diartikan sebagai

pemberian penghargaan/imbalan berupa kenaikan pangkat atau jabatan serta

pemberian pengakuan atau pujian.

2. Beban kerja Perawat

Beban kerja Perawat adalah segala sesuatu yang berada di sekitar perawat yang

bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi yang berhubungan dengan

meningkatkan atau menurunkan pelaksanaan pendokumentasian proses asuhan

keperawatan.

3. Pelaksanaan Pendokumentasian Proses Asuhan Keperawatan Pelaksanaan

pendokumentasian proses asuhan keperawatan dilakukan jika pendokumentasian yang

ditemukan dalam rekaman medic pasien sesuai dengan pendokumentasian yang

58
ditentukan dalam standar asuhan keperawatan. Alat ukur yang digunakan berupa

instrument studi dokumentasi penerapan standar asuhan keperawatan di rumah sakit

(Dikutip dari Tim Departemen Kesehatan RI yang dimodifikasi oleh peneliti).

KriteriaObjektif :

a. DokumentasiPengkajian

1) Dokumentasi pengkajian dilakukan jika skor yang diperoleh ≥ 12

(≥ 75%).

2) Dokumentasi pengkajian tidak dilakukan jika skor yang diperoleh

< 12 (< 75%).

b. Dokumentasi Diagnosa

1) Dokumentasi diagnosa dilakukan jika skor yang diperoleh ≥ 9

(≥75%).

2) Dokumentasi diagnosa tidak dilakukan jika skor yang diperoleh < 9 (< 75%).

c. DokumentasiPerencanaan

1) Dokumentasi perencanaan dilakukan jika skor yang diperoleh

≥18 (≥ 75%).

2) Dokumentasi perencanaan tidak dilakukan jika skor yang diperoleh <18 (<

75%).

d. Dokumentasi Tindakan

1) Dokumentasi tindakaan dilakukan jika skor yang diperoleh ≥12

(≥ 75%).

2) Dokumentasi tindakan tidak dilakukan jika skor yang diperoleh < 12 (< 75%).

e. Dokumentasi Evaluasi

1) Dokumentasi evaluasi dilakukan jika skor yang diperoleh ≥ 6

(≥75%).

59
2) Dokumentasi evaluasi tidak dilakukan jika skor yang diperoleh < 6 (< 75%).

f. Pendokumentasian asuhan keperawatan

1. Pendokumentasian asuhan keperawatan secara keseluruhan dilaksanakan jika

skor yang diperoleh a + b + c + d + e ≥ 57 (≥75%).

2. Pendokumentasian asuhan keperawatan secara keseluruhan tidak

dilaksanakan jika skor yang diperoleh a + b + c + d + e < 57 (< 75%).

60

Anda mungkin juga menyukai