Chapter 1
"DULU sih aku percaya monster," kata Alex. Ia membetulkan letak kacamatanya
yang telah bergeser sedikit, lalu mengerut-ngerutkan hidung. Dengan wajahnya
yang kemerahan dan pipinya yang menggembung, ia kelihatan seperti kelinci besar
berambut pirang.
"Waktu aku kecil, kupikir ada monster di laci kaus kakiku," Alex melanjutkan.
"Kau pasti tak percaya, Zackie, tapi laci itu tak pernah kubuka. Aku tak pernah
pakai kaus kaki. Waktu TK aku malah maunya telanjang kaki saja. Aku terlalu
ngeri membuka laci itu. Aku yakin tanganku bakal putus digigit monster kaus
kaki."
Ia tertawa. Tawa Alex aneh sekali. Kedengarannya lebih mirip suara orang sakit
asma daripada tawa. "Wheeeeeeh! Wheeeeeeh!"
Ia menggelengkan kepala, dan kuncirannya ikut bergoyang-goyang. "Tapi
sekarang aku sudah dua belas tahun, dan sudah jauh lebih pintar," ujarnya.
"Sekarang aku sudah tahu yang namanya monster sebenarnya tidak ada."
Itu yang dikatakan Alex padaku dua detik sebelum kami diserang monster.
Saat itu liburan musim semi, dan Alex dan aku sedang mencari benda-benda yang
bisa dikoleksi. Itulah yang kami lakukan kalau kami lagi kurang kerjaan.
Kadang-kadang kami mengumpulkan tumbuhan liar berbentuk aneh. Kadang-
kadang kami mengumpulkan serangga. Atau daun berbentuk unik.
Suatu ketika kami berusaha mengumpulkan batu yang mirip wajah orang terkenal.
Tapi hobi itu tidak bertahan lama, sebab hasilnya tidak seperti yang kami
harapkan.
Kalau kau mendapat kesan kota tempat tinggal kami - Norwood Village - termasuk
kota yang membosankan, kau seratus persen benar!
Maksudnya, kota tempat tinggal kami memang membosankan, sampai kami
diserang monster.
Alex Iarocci dan aku bertetangga. Ia sahabat karibku.
Adam Levin, yang tinggal di kota seberang, juga sahabat karibku.
Menurutku, kita seharusnya punya sahabat karib sebanyak mungkin!
Kau pasti menyangka Alex cowok—ya, kan? Salah! Ia cewek.
Aku juga tidak tahu kenapa ia diberi nama cowok. Namanya mungkin kependekan
dari Alexandria. Tapi itu cuma dugaanku saja. Ia tak pernah mau terus terang
tentang itu. Yang jelas ia sering mengeluh soal namanya. Sebab gara-gara nama
itu, ia sering mendapat masalah.
Tahun lalu di sekolah, Alex dimasukkan ke kelas olahraga anak cowok. Dan ia
sering menerima surat dengan alamat Mr. Alex Iarocci.
Namaku sendiri juga agak merepotkan. Zackie Beauchamp. Nama belakangku
seharusnya dibaca BEECH-am. Tapi orang-orang selalu salah mengucapkannya.
Barangkali kau heran kenapa aku begitu sibuk membahas soal nama ini, ya?
Masalahnya begini.
Waktu kami diserang monster, aku begitu ketakutan sampai-sampai aku lupa
namaku sendiri.
Alex dan aku telah memutuskan untuk mengumpulkan cacing tanah. Cacing tanah
ungu bukan yang cokelat.
Biar lebih menarik.
Kemarin hujan turun sepanjang hari. Dan tanah di pekarangan belakang masih
becek dan lembek.
Cacing-cacing bermunculan di permukaan tanah untuk mencari udara. Mereka
menyembul di tengah rumput basah. Lalu menggeliat-geliut sampai ke depan
garasi.
Alex dan aku sedang mondar-mandir sambil membungkuk untuk mencari cacing
ungu - ketika aku mendengar bunyi berdecap nyaring di belakangku.
Aku segera berbalik.
Dan memekik kaget ketika aku melihat monster itu. "Alex - lihat!"
Ia menoleh - dan membelalakkan mata. Dari mulutnya keluar bunyi, "Wheeeh!"
Tapi kali ini bukan karena tertawa.
Aku melepaskan cacing yang sedang kupegang, dan langsung melompat mundur.
"K-kelihatannya seperti jantung manusia!" seru Alex. "Jantung raksasa!"
Ia benar.
Monster itu kembali berdecap-decap ketika melintasi rumput ke arah kami. Ia
bergulir bagaikan bola pantai raksasa, lebih tinggi daripada Alex dan aku. Hampir
setinggi garasi!
Kulitnya basah dan berwarna pink. Tubuhnya berdenyut-denyut.
NGUNG NGUNG NGUNG. Gerakannya berirama, bagaikan detak jantung.
Bagian atas gumpalan pink itu seakan-akan penuh ular yang saling melilit. Aku
sampai membelalakkan mata karena ngeri. Tapi kemudian aku sadar yang kulihat
bukan ular, melainkan urat nadi berwarna ungu yang tumpang-tindih.
NGUUUNG NGUNG NGUUNG. Monster itu terus berdenyut-denyut.
"Ohhh!" aku mengerang jijik ketika melihat jejak lendir putih yang
ditinggalkannya di rumput.
Alex dan aku mundur cepat-cepat. Kami tidak berani membelakangi makhluk
mengerikan itu.
"Uhh uuh uuh!" aku mengerang ketakutan. Jantungku berdegup kencang. Aku
mundur selangkah. Dan selangkah lagi.
Dan sambil mundur, aku melihat bagian tengah tubuh makhluk itu tiba-tiba retak.
Mula-mula aku menyangka monster pink itu akan terbelah.
Tapi kemudian retakan itu bertambah lebar, dan aku sadar retakan itu adalah
mulutnya. Mulutnya membuka lebar. Semakin lebar.
Cukup lebar untuk menelan manusia!
Kemudian sebuah lidah besar berwarna ungu menjulur keluar.
Lidahnya berbunyi PLOP ketika jatuh ke rumput.
"Ohhh." Aku kembali mengerang. Perutku serasa diaduk-aduk.
Ujung lidah itu berbentuk seperti sekop. Sekop berwarna ungu yang besar dan
lengket.
Apakah untuk menyekop manusia ke dalam mulutnya?
Lendir kental putih menetes-netes dari mulut si monster.
"Lari!" teriak Alex.
Aku berbalik - dan tersandung di pinggir jalan masuk mobil.
Aku langsung terempas. Siku dan lututku membentur aspal.
Cepat-cepat aku menoleh ke belakang - dan melihat mulut monster itu menganga
seperti gua, sementara lidahnya melilit tubuhku dan menarikku mendekat... dan
mendekat.
Chapter 2
Chapter 3
AKU maju beberapa langkah, lalu menunggu sampai mataku terbiasa dengan
suasana remang-remang di dalam toko. Di mana-mana air menetes. Sebuah rak
sepanjang dinding tergeletak di lantai.
Berbagai vas, lampu, dan patung, kecil - semuanya pecah - tampak berserakan di
lantai yang basah.
"Zackie...!" Alex menyentuh pundakku. "Zackie lebih baik kita keluar saja!" ia
berbisik. "Ini berbahaya."
"Pintunya jangan ditutup," ujarku. "Kita perlu cahaya lampu jalanan."
"Tapi apa sih yang mau dilihat di sini?" Suaranya bergema di tengah bunyi TES
TES TES.
Ia meraih tanganku dan mulai menyeretku keluar. "Ayo, dong. Kau kan lihat tanda
peringatan di luar. Bagaimana kalau seluruh gedung tiba-tiba runtuh?"
Aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya. Sepatu ketsku berdecit-
decit setiap kali aku melangkah. Karpet di lantai basah kuyup.
"Aku cuma mau lihat-lihat sebentar," sahutku jengkel. "Ini kan asyik!"
"Sama sekali tidak," balas Alex. "Ini benar-benar konyol."
Sederetan topeng antik di dinding menatap kami. Topeng-topeng itu miring tidak
keruan. Ada juga yang telah jatuh ke lantai.
Sebuah jam besar dari kayu tampak hangus di pojok ruangan. Beberapa mainan
bebek dari kayu tergeletak di depannya. Semuanya hangus dan retak.
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara berderak. Alex memekik tertahan di
belakangku.
Aku langsung menoleh ke atas. Sebagian langit-langit telah runtuh. Jangan-jangan
sisanya mau ambruk sekarang dan menimpa kami?
"Ayo dong, Zackie!" Alex mendesak. Ia mundur ke arah pintu.
Sepatunya berdecit-decit di karpet yang basah. Pintu depan masih terus membuka
dan menutup karena tertiup angin.
TES TES TES.
Air dingin menetes-netes ke pundakku.
"Kalau kau tidak mau ikut, aku pulang sendiri saja!" seru Alex.
"Aku serius, Zackie."
"Oke, oke," aku bergumam. "Sabar, dong. Aku cuma ingin tahu apa yang terjadi di
sini."
"Cepat!" Alex mendesak. Ia sudah hendak melangkah keluar. Aku membalik dan
mengikutinya.
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu di rak yang tinggi. Aku langsung berhenti.
"Eh, Alex...!" seruku. "Lihat, tuh!"
Aku menunjuk mesin tik tua.
"Wow! Ayahku pernah punya mesin tik seperti itu waktu aku masih kecil," ujarku.
"Zackie—aku keluar, nih," Alex mengancam.
"Aku suka mesin tik tua!" aku berseru. "Coba lihat, Alex. Kayaknya mesin tik itu
tidak rusak karena kebakaran kemarin. Kondisinya masih bagus. Aku cuma mau
lihat sebentar. Oke?"
Aku tidak menunggu jawabannya.
Langsung saja aku menghampiri rak di seberang ruangan.
Kemudian aku berjinjit dan berusaha mengambil mesin tik itu.
"ADUUUUUH!" aku berteriak kesakitan.
Seluruh tubuhku terasa sakit.
Aku tidak bisa bergerak.
Aku tidak bisa bernapas.
Dan di tengah teriakanku, aku mendengar bunyi aliran listrik meretih-retih.
Aku membungkuk - tak berdaya - ketika lidah api berwarna biru terang
menyelubungi tubuhku.
Chapter 5
BIRU.
Aku cuma melihat warna biru.
Biru paling biru yang pernah kulihat.
Aku serasa melayang di langit. Melayang di langit yang biru.
Kemudian warna biru di sekelilingku memudar dan berubah menjadi putih.
Apakah aku masih melayang? Apakah aku masih bergerak? Apakah aku masih
bernapas?
Aku mencoba bicara. Berteriak. Pokoknya bersuara. Warna putih itu segera
meredup. Menjadi kelabu. Lalu hitam.
"Ohhh," aku mendengar suaraku mengerang.
Gelap. Begitu gelap. Aku diselubungi kegelapan. Aku mengedipkan mata. Satu
kali. Dua kali. Kemudian aku sadar aku sedang menatap kegelapan di dalam
reruntuhan toko barang antik.
"Zackie? Zackie?"
Aku mendengar namaku. Mendengar namaku dipanggil berulang-ulang oleh Alex.
Aku berdeham. Lalu duduk tegak, dan memandang berkeliling.
"Zackie? Zackie? Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir rasa pening. Seluruh tubuhku
seperti ditusuk ribuan jarum kecil, seolah-olah dilewati aliran listrik.
"Bagaimana aku bisa sampai tergeletak di lantai?" tanyaku pelan-pelan.
Alex membungkuk dan menyentuh pundakku. "Kau kesetrum," katanya. Ia
menatapku sambil memicingkan mata. "Mungkin ada kabel listrik yang jatuh."
Aku menggosok-gosok tengkuk. Telingaku berdengung-dengung, dan tubuhku
masih seperti ditusuk-tusuk.
"Wow," aku bergumam.
"A-aku sampai ketakutan tadi," kata Alex. "Kau diselubungi api biru. Seluruh
tubuhmu - mendadak biru terang."
"Wow," aku mengulangi.
"Tanganmu terangkat tinggi," Alex melanjutkan. "Habis itu kau membungkuk.
Dan jatuh ke lantai. Ku-ku pikir...." Ia terdiam.
TES TES TES.
Aku bisa mendengar bunyi air menetes. Rupanya pendengaranku sudah mulai
pulih.
Dengan susah payah aku berdiri. Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi dan
meregangkan otot.
Perhatianku beralih pada mesin tik tua tadi.
"Zackie - mau apa kau?" seru Alex.
Aku menghampiri rak sambil menghindari genangan air di karpet. Aku menarik
napas dalam-dalam. Berjinjit. Lalu meraih mesin tik tua itu.
"Wah - beratnya minta ampun!" aku berseru. "Semuanya terbuat dari logam!"
Aku membawa mesin tik itu dan mengamatinya. Permukaannya yang hitam licin
memantulkan cahaya lampu jalanan di luar.
"Keren!" seruku. "Mesin tik ini, Alex - mesin tik ini cocok sekali untuk menulis
cerita seram."
"Hah?" Alex memekik. "Zackie, jangan-jangan kau sudah tidak waras gara-gara
kesetrum tadi!"
"Lihat saja sendiri!" aku berkeras. "Mesin tik ini sempurna. Sempurna!"
Alex geleng-geleng kepala. "Kau punya komputer baru di rumah," ia
mengingatkanku. "Dan ibumu memberimu printer laser bekas."
"Aku tahu, aku tahu," aku bergumam.
"Kau bisa mencetak delapan halaman per menit," Alex melanjutkan. "Jadi untuk
apa kau perlu mesin tik usang?"
"Aku perlu karena mesin tik ini sempurna," sahutku. "Sempurna! Sempurna!"
"Sudahlah! Jangan melantur!" Alex berkata dengan ketus.
"Benar kau tidak apa-apa? Mungkin lebih baik aku menelepon orangtuamu."
"Jangan. Jangan. Aku baik-baik saja, kok," ujarku. Mesin tik itu mulai terasa berat
di tanganku. "Ayo, kita pulang."
Aku menuju ke pintu sambil menggotong mesin tik. Tapi Alex mencegahku.
"Jangan main ambil saja, dong!" ia menegurku. "Mesin tik ini bukan milikmu. Ini
namanya mencuri."
Aku mengerutkan muka untuk mengejeknya. "Alex, jangan konyol. Segala sesuatu
di toko ini sudah hancur. Takkan ada yang peduli kalau aku mengambil..."
Aku langsung terdiam ketika mendengar bunyi sepatu berdecit di karpet yang
basah.
Disusul suara orang batuk.
Aku berpaling pada Alex. Dan melihat wajahnya yang ketakutan.
Ternyata ia juga mendengar bunyi-bunyi itu. "Zackie, ada orang lain di sini," ia
berbisik.
Chapter 6
Chapter 8
DENGAN susah payah aku menggotong mesin tik itu ke dalam rumah. Napasku
terengah-engah. Tanganku bahkan sudah mati rasa.
Mom dan Dad ada di ruang duduk. Mereka duduk berdampingan di sofa sambil
mengisi teka-teki silang.
Mereka penggemar berat teka-teki silang. Aku tidak tahu apa sebabnya. Padahal
untuk urusan mengeja, keduanya benar-benar payah. Belum pernah aku melihat
mereka berhasil mengisi teka-teki silang sampai selesai.
Sering kali mereka malah bertengkar tentang cara mengeja sebuah kata. Dan
biasanya mereka lalu menyerah, dan merobek-robek teka-teki silang itu.
Beberapa hari kemudian, mereka mulai dengan teka-teki silang baru.
Keduanya menoleh ketika aku hendak membawa mesin tik ke kamarku.
"Apa itu?" tanya Mom.
"Mesin tik," sahutku.
"Mom juga tahu!" Mom memprotes. "Maksudnya - dari mana kau mendapat mesin
tik itu?"
"Ehm... ceritanya panjang," aku berusaha mengelak. Dad bangkit dari sofa dan
bergegas hendak membantuku.
"Wow, berat sekali," katanya.
Kami membawa mesin tik itu ke kamarku, dan meletakkannya di atas meja. Aku
ingin segera mencobanya. Tapi Dad memaksaku kembali ke ruang duduk
bersamanya.
Aku menceritakan semuanya. Tentang toko barang antik yang terbakar karena
tersambar petir. Lalu Alex dan aku masuk untuk melihat-lihat. Selanjutnya Mrs.
Carter memberikan mesin tik itu padaku.
Tentang sengatan listrik yang membuatku terempas ke lantai sengaja tidak
kusinggung-singgung.
Orangtuaku termasuk gampang panik. Soal teka-teki silang saja mereka bisa
sampai marah-marah!
Jadi, aku tak pernah bercerita banyak pada mereka. Untuk apa merusak suasana -
ya, kan?
"Kenapa kau perlu mesin tik kuno?" Mom bertanya. Ia menatapku sambil
mengerutkan kening. "Mana ada orang yang masih memakai mesin tik? Barang
seperti itu cuma ada di toko barang antik."
"Aku akan memakainya untuk menulis cerita seram," aku menjelaskan.
"Memangnya kenapa dengan komputermu yang baru?" tanya Dad. "Bagaimana
dengan printer laser yang kami berikan padamu?"
"Tetap akan kupakai," ujarku. "Untuk membuat PR dan sebagainya."
Mom geleng-geleng kepala. "Habis ini Zackie akan menulis dengan bulu angsa dan
botol tinta," ia berkomentar.
Mereka tertawa.
"Lucu sekali," aku bergumam. Aku mengucapkan selamat malam dan bergegas ke
kamarku.
Aku menyusuri koridor - lalu berhenti.
Rasanya aku mendengar sesuatu meretih-retih. Dan rasanya bunyi itu berasal dari
kamarku.
"Aneh," aku bergumam.
Aku melangkah ke pintu, mengintip - dan memekik kaget!
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
ALEX dan aku tercengang menatap meja belajarku yang kosong. Alex
membetulkan letak kacamatanya.
"M-mesin tiknya hilang," aku tergagap-gagap. Lututku mulai gemetar. Aku
terpaksa berpegangan pada lemari pakaian untuk menjaga keseimbangan.
"Aneh," Alex bergumam sambil menggelengkan kepala. "Kau yakin..."
"Mesin tiknya menguap begitu saja!" aku menyela. "Tapi bagaimana mungkin?"
"Apa yang menguap begitu saja?" terdengar suara berkata dari arah pintu.
Aku berbalik - dan melihat Dad masuk ke kamarku. Ia sedang menggotong mesin
tik tua itu.
"Dad—kenapa...?" aku bertanya.
Mesin tikku ditaruhnya di meja. Kemudian ia mengusap rambutnya yang hitam
keriting, dan menatapku sambil tersenyum lebar. "Mesin tiknya baru saja
kubersihkan, Zackie," katanya.
"Sekalian kupasangi pita baru." Ia menyeka keringat yang membasahi keningnya.
"Ternyata pita mesin tik sudah susah dicari sekarang," ia menambahkan.
"Rupanya hanya sedikit orang yang masih memakai mesin tik."
Alex tertawa. "Zackie pikir mesin tiknya menguap begitu saja!"
Aku langsung melotot padanya. "Jangan macam-macam, Alex," bisikku.Ia
menatapku sambil nyengir.
Dad menggelengkan kepala. "Mesin tik ini terlalu berat untuk menguap begitu
saja," komentarnya sambil menghela napas. "Beratnya satu ton! Lebih berat
daripada komputer!"
Aku menghampiri mesin tikku dan mengusap-usap permukaannya yang licin.
"Terima kasih, Dad," ujarku. "Penampilannya jadi tambah gaya."
"Beberapa tombolnya agak macet tadi," Dad menambahkan. "Jadi kuberi oli
sedikit. Mestinya semuanya sudah lancar sekarang, Zackie. Kau bakal menulis
banyak cerita seru dengan mesin tik ini."
"Terima kasih, Dad," aku berkata sekali lagi. Aku sudah tak sabar. Aku ingin
segera mulai mengetik.
Langsung saja aku membuka laci meja belajar dan mengambil beberapa lembar
kertas. Kemudian aku sadar Dad belum pergi. Ia masih berdiri di pintu sambil
memperhatikan Alex dan aku.
"Mom lagi ke rumah Janet Hawkins, tetangga kita yang baru di seberang jalan," ia
berkata. "Barangkali kalian berdua mau jalan-jalan sebentar untuk beli es krim.
Kebetulan udaranya lagi enak."
"Ehm... terima kasih," ujar Alex, "tapi aku baru saja makan puding di rumah. Tadi,
sebelum datang kemari."
"Dan aku ingin segera mengetik cerita seramku yang baru," aku menimpali.
Dad menghela napas. Ia tampak kecewa.
Begitu Dad pergi, aku langsung duduk di depan mesin tik dan memasukkan
selembar kertas.
Alex menarik kursi dan duduk di sebelahku. "Boleh aku coba mesin tik itu nanti?"
ia bertanya.
"Ya, ya, ya. Tapi setelah aku selesai," sahutku dengan ketus.
Aku benar-benar sudah tidak sabar.
Aku mengamati tuts-tuts huruf yang berbentuk bulat dan berwarna hitam.
Kemudian aku mencondongkan badan ke depan, dan mulai mengetik. Mengetik
dengan mesin tik sangat berbeda daripada mengetik dengan komputer. Yang jelas,
tutsnya harus ditekan jauh lebih keras.
Aku butuh waktu untuk membiasakan diri. Aku menulis kalimat pertama:
MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI.
"Hei...!" aku memekik kaget ketika kilat membelah langit malam di luar. Seketika
hujan turun dengan deras. Disusul suara menggelegar yang membuat seluruh
rumah bergetar.
Lampu-lampu mendadak padam, dan aku diselubungi kegelapan.
"Zackie...?" Alex memanggil dengan suara pelan. "Zackie? Zackie? Kau tidak apa-
apa?"
Chapter 14
Chapter 16
"DIA pasti di sini," balas Alex. "Mana mungkin dia keluar di tengah hujan badai
begini?"
"Mungkin dia mau beli es krim?" aku menduga-duga. "Dia pasti sedang sangat
ingin makan es krim."
Alex mengerutkan kening. "Masa sih ayahmu mau menantang badai untuk beli es
krim? Yang benar saja!"
"Kau belum kenal ayahku, sih!" sahutku. "Kalau sudah maunya, apa pun akan
dilakukannya."
"Dia pasti ada di sini," Alex berkeras. Ia meletakkan lilinnya dan menempelkan
tangan ke sekeliling mulut. "Mr. Beauchamp? Mr. Beauchamp?" ia memanggil-
manggil.
Tak ada jawaban. Angin menderu-deru di luar jendela ruang duduk. Kilat
menyambar-nyambar dan membelah kegelapan malam.
"Hei...!" aku memekik.
Sepintas lalu aku melihat mobil di depan garasi. Mobil Dad.
Aku menghampiri jendela dan memandang keluar.
"Ternyata Dad tidak naik mobil," kataku. "Mobilnya masih di sini. Dan dia tidak
mungkin jalan kaki."
"Mr. Beauchamp? Mr. Beauchamp?" Alex kembali memanggil.
"Aneh," aku bergumam. "Masa sih Dad pergi tanpa memberitahu kita? Dia - dia
menghilang begitu saja."
Mata Alex bersinar-sinar. Raut mukanya berubah. Ia menatapku sambil
memicingkan mata.
"Ada apa?" tanyaku. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Zackie—apa kata-kata terakhir yang kauketik tadi?" ia bertanya.
"Hah?"
"Kata-kata terakhir ceritamu," ujarnya tidak sabar. "Apa yang kauketik?"
Aku mencoba mengingatnya. Kemudian aku berkata:
"ALEX DAN ZACKIE SENDIRIAN DI RUMAH YANG GELAP GULITA.
HATI MEREKA BERDEBAR-DEBAR KARENA BADAI YANG MENGAMUK
DI LUAR."
Alex mengangguk-angguk dengan serius. "Memangnya kenapa?" tanyaku. "Apa
hubungan ceritaku dengan semuanya ini?"
"Masa kau belum sadar juga?" sahut Alex. "Kau menulis bahwa kita sendirian di
dalam rumah - dan sekarang kita benar-benar sendirian."
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Aku tetap tidak mengerti
maksudnya.
"Zackie - ini benar-benar hebat!" Alex berseru. "Apa kalimat pertama dalam
ceritamu?"
Aku menyebutkannya:
"MALAM ITU KOTA DILANDA BADAI."
"Ya!" seru Alex berapi-api. Ia membelalakkan mata. Lilin di tangannya bergetar.
"Ya! Badai! Padahal tadinya langit masih cerah - ya, kan?"
"Hah?" Aku semakin bingung.
"Ayahmu bilang langit masih cerah. Ya, kan? Karena itu dia mau beli es krim."
"Yeah. Oke. Terus kenapa?" tanyaku.
Alex menggelengkan kepala. "Setelah itu kau menulis bahwa kota dilanda badai.
Dan ternyata langsung terjadi badai."
"Tapi, Alex...," kataku.
Ia menempelkan telunjuk ke bibir supaya aku diam. "Dan setelah itu kau mengetik
bahwa kita sendirian di rumah yang gelap. Dan itu juga benar-benar terjadi!"
"Ya, ampun!" aku mengerang. "Maksudmu, ceritaku bisa jadi kenyataan?"
"Sejauh ini sih begitu," ia berkeras. "Kata demi kata."
"Yang benar saja," ujarku. "Tampaknya badai ini membuatmu jadi tidak beres."
"Kau punya penjelasan yang lebih baik untuk semuanya ini?" balas Alex sengit.
"Apa yang perlu dijelaskan? Ini kan cuma badai biasa."
Aku mengambil lilin dari atas perapian. Kini masing-masing tanganku memegang
sebatang. Aku hendak kembali ke kamar.
Alex mengikutiku. "Bagaimana dengan ayahmu? Kenapa dia tiba-tiba lenyap?"
Bayangan kami menyusuri dinding, menari-nari dalam cahaya yang berkedap-
kedip. Aku berharap lampu segera menyala lagi.
Aku masuk ke kamar. "Dad tidak lenyap. Dia cuma keluar sebentar," jawabku.
Kemudian aku menarik napas panjang. "Teorimu benar-benar tidak masuk akal.
Mentang-mentang aku menulis ada badai..."
"Kita tes saja," Alex mendesak.
"Hah?"
Ia menyeretku ke kursi belajar, lalu memaksaku duduk.
"Awas...!" aku memprotes. "Hampir saja lilinku jatuh."
"Coba tulis sesuatu," Alex menyuruh. "Ayo, Zackie. Tulis apa saja - terus kita lihat
bagaimana hasilnya."
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
AKU mendengar pintu depan dibanting keras-keras. Adam sudah berlari keluar.
Tapi aku tidak memedulikan Adam. Hanya ada satu hal yang kupikirkan.
Apa yang ditulisnya dengan mesin tikku?
Aku meraih lembaran kertas yang terpasang - dan menariknya dari penggulung.
Kemudian aku mendekatkannya ke salah satu lilin menyala untuk membacanya.
"Awas! Nanti kertasnya terbakar!" Alex mewanti-wanti.
Aku menarik tanganku mundur sedikit. Cahaya jingga menari-nari pada
permukaan kertas. Ditambah dengan tanganku yang gemetaran, aku jadi sulit
membaca kata-kata yang tertulis.
"Bagaimana? Apa yang diketik Adam?" tanya Alex tidak sabar.
"Dia... dia... dia..." Aku tergagap-gagap.
Alex merebut kertas itu dari tanganku dan membacakan kalimat yang ditulis
Adam:
"SI MONSTER GUMPALAN BERSEMBUNYI DI RUANG BAWAH TANAH
DI RUMAH ZACKIE, MENUNGGU-NUNGGU DAGING SEGAR."
"Dasar brengsek!" seruku. "Keterlaluan! Kenapa dia menulis begitu?"
Alex menatap kertas di tangannya sambil mengerutkan kening.
"Dia pikir itu lucu."
"Ha-ha," ujarku seraya merebut kembali kertas itu darinya. "Dia mengacaukan
ceritaku. Sekarang aku harus mulai dari awal lagi."
"Ceritamu tak penting!" seru Alex. "Bagaimana dengan monster itu?"
"Hah?" Aku langsung merinding. Lembaran kertas tadi terlepas dari tanganku dan
jatuh ke lantai.
"Ingat, semua yang diketik dengan mesin tik tua itu jadi kenyataan," Alex
bergumam.
Astaga, saking kesalnya pada Adam, aku lupa sama sekali pada soal itu!
"Maksudmu..." Mulutku mendadak kering kerontang.
"Ada monster yang menunggu di ruang bawah tanah," Alex berbisik. "Menunggu
daging segar."
"Daging segar," aku mengulangi, lalu menelan ludah.
Aku dan Alex terdiam sejenak. Kami berpandangan dalam cahaya lilin yang
berkedap-kedip.
"Tapi monster kan sebenarnya tak ada," ujarku. "Itu cuma karanganku. Jadi tak
mungkin ada monster yang bersembunyi di bawah!"
Mata Alex bersinar-sinar. "Kau benar!" serunya. "Monster tidak ada! Jadi... jadi
kita tak perlu takut!"
Ia tersenyum.
Tapi senyumnya segera meredup ketika kami mendengar bunyi aneh.
Bunyi berdebam-debam.
Aku menahan napas. "Apa itu?"
Kami berpaling ke pintu.
Bunyi itu terdengar lagi. BAM BAM.
Berat dan perlahan. Seperti bunyi langkah kaki.
"Suaranya... suaranya dari r-ruang b-b-b...?" Saking ngerinya, aku sampai
tergagap-gagap.
Alex mengangguk. "Dari ruang bawah tanah," ia menyambung kalimatku sambil
berbisik.
Aku meraih sebatang lilin. Cahayanya menari-nari di dinding. Tanganku
gemetaran tak terkendali.
Aku keluar ke koridor sambil memegang lilin itu di depanku.
Alex menyusul tepat di belakangku.
BAM BAM.
Kami berhenti. Bunyi itu semakin dekat. Semakin keras.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri pintu ruang bawah tanah.
Alex menjaga jarak. Kedua tangannya menempel di pipi.
Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
BAM BAM.
"Dia naik tangga!" pekikku. "Lari!"
Terlambat.
Sekali lagi terdengar bunyi BAM - dan kemudian pintu terbuka.
Chapter 22
Chapter 23
KAMI langsung berhenti dan berdiri seperti patung. Suara berirama itu berasal dari
ujung ruang bawah tanah.
Plop... plop... plop... plop....
"Kaudengar itu?" bisikku.
Alex mengangguk. Saking kagetnya, ia sampai melongo. Ia menggenggam lilinnya
dengan kedua tangan.
Plop... plop....
"Kita mesti gimana nih?" bisikku.
"Dia menunggu daging segar," Alex bergumam.
"Aku tahu. Aku tahu!" ujarku dengan suara parau. "Mana mungkin aku lupa?" Aku
menarik tangannya. "Ayo. Kita harus memberitahu Dad."
Aku memandang ke arah tangga. Jaraknya mendadak seperti berjuta-juta
kilometer.
"Kita takkan berhasil," aku menyadari. "Kita harus melewati si monster untuk
sampai ke tangga." Plop... plop....
"Pilihan kita cuma dua, Zackie!" balas Alex. "Tetap di sini, atau lari. Silakan
pilih."
Tentu saja ia benar. Kami harus berusaha lari. Barangkali kalau kami lari cukup
cepat, si monster tidak sempat bereaksi karena kaget.
Barangkali monster itu terlalu gendut hingga kurang lincah.
Plop... plop... plop... plop....
"Ayo," Alex mendesak. "Aku duluan, soalnya aku yang pegang lilin."
"Ehm... sama-sama saja, deh," ujarku.
Alex mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, kami pun mengambil langkah
seribu.
Chapter 25
****
Chapter 26
"HAH." Aku mengerang tertahan ketika menyaksikan potongan sapi itu berayun-
ayun di depan mataku.
"Daging segar...," bisikan parau itu terdengar lagi. "Daging segar...."
"Ampun...!" aku memekik.
Keranjang yang kubawa terlepas dari genggamanku.
Aku melangkah mundur.
Lalu kembali memekik ketika Adam berdiri dan muncul dari balik meja layan. Ia
menatapku sambil nyengir lebar.
"Daging segar...," bisiknya. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.
Annie dan Emmy keluar dari tempat persembunyian mereka di balik meja layan.
Mereka tertawa cekikikan sambil geleng-geleng kepala.
"Asyik!" seru Annie.
"Hei, Zackie! Mukamu merah, tuh!" ujar saudara kembarnya sambil terus tertawa.
Wajahku memang serasa membara. Aku malu sekali. Kok bisa ya aku tertipu oleh
lelucon konyol seperti itu?
Mereka pasti akan memberitahu semua anak di sekolah bahwa aku panik gara-gara
potongan daging sapi!
"Kenapa kalian ada di sini?" aku memekik.
"Kami melihatmu naik sepeda," jawab Adam. "Dan kami mengikutimu masuk ke
toko. Memangnya kau tidak melihat kami? Kami persis di belakangmu tadi."
" AAAGH!" seruku gusar sambil mengepalkan tangan.
"Ada apa ini?" Suara Mrs. Jack yang lantang membuat rak-rak bergetar. "Sedang
apa kalian di belakang sana?"
"Tidak ada apa-apa!" aku menyahut. "S-saya sudah menemukan tempat ikan tuna!"
Aku kembali berpaling kepada Adam dan si kembar. "Sudahlah, jangan macam-
macam," aku bergumam.
Entah kenapa, ucapanku itu malah dianggap lucu. Mereka langsung cekikikan lagi,
dan saling ber-high five.
Kemudian Adam mengangkat kedua tangannya lurus ke depan. Ia maju dengan
langkah kaku, seperti orang berjalan dalam keadaan tidur.
"Kau mengendalikanku, Zackie!" katanya, meniru suara robot. "Aku di bawah
kekuasaanmu."
Ia menghampiriku bagaikan Zombie. "Aku dikendalikan mesin tikmu, Zackie.
Mesin tikmu punya kekuatan gaib! Aku budakmu!"
"Adam - ini tidak lucu!" aku berseru.
Si kembar tertawa cekikikan. Mereka memejamkan mata, mengangkat tangan lurus
ke depan, dan ikut-ikutan menghampiriku.
"Kami semua di bawah kekuasaanmu!" ujar Emmy.
"Kau mengendalikan setiap gerakan kami," Annie menimpali.
"Tidak lucu!" seruku gusar. "Lebih baik keluar saja dari sini! Kalian...!"
Aku berbalik dan melihat Mrs. Jack berjalan mendekat. Wajahnya tampak semerah
lipstik di bibirnya. "Sedang apa kalian di belakang sana?" ia menghardik kami. "Ini
toko, bukan taman bermain!"
Adam dan si kembar langsung menurunkan tangan. Annie dan Emmy merapat ke
lemari pajang.
"Kalian mau belanja atau tidak?" Mrs. Jack bertanya dengan napas terengah-engah.
"Silakan keluar kalau kalian tidak mau beli apa-apa. Kalau mau main-main, di luar
saja!"
"Oke, oke," Adam bergumam. Tapi ia tidak bisa melewati Mrs. Jack. Wanita itu
menghalangi seluruh gang. Adam terpaksa bergegas ke gang sebelah.
Annie dan Emmy segera menyusul.
"S-saya sudah hampir selesai," aku tergagap-gagap. Aku meraih keranjangku, lalu
mencari daftar belanja. Tapi daftarnya hilang entah ke mana.
Ah, masa bodoh. Aku ingat kok apa yang harus kubeli. Aku mencari barang-
barang lainnya dan memasukkan semuanya ke keranjang. Mrs. Jack terus
mengikutiku.
Aku membayar dan bergegas keluar. Saking kesalnya aku pada Adam dan si
kembar, aku sampai lupa membeli permen dan cokelat.
Mereka selalu mengolok-olokku, aku menggerutu dalam hati.
Mereka selalu iseng, selalu berusaha membuat aku malu.
Selalu. Selalu.
Dan aku sudah muak!
"Muak muak muak!" aku mengomel sepanjang jalan pulang.
Aku melompat turun dari sepeda dan membiarkan sepeda itu jatuh.
Aku berlari masuk dan melemparkan kantong belanjaan ke meja dapur.
"Muak muak muak."
Aku bisa darah tinggi kalau terus marah-marah seperti ini, pikirku.
Aku berlari ke kamarku dan memasang selembar kertas di mesin tikku.
Aku duduk di kursi dan mulai mengetik. Cerita monster lagi.
Cerita paling seram yang pernah kutulis.
Aku mengetik secepat mungkin. Tanpa berpikir panjang-lebar.
Segala kemarahanku kutumpahkan ke atas kertas.
Aku tidak membuat corat-coret dengan tulisan tangan dulu. Aku tidak menyusun
kerangka cerita. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku mengetik seperti kesetanan.
Dalam cerita itu, kotaku diserang monster mengerikan berwarna pink. Semua
orang menjerit-jerit. Berlari pontang-panting ke segala arah untuk menyelamatkan
diri.
Dua petugas polisi maju untuk menghalau monster itu. Tapi si monster malah
membuka mulutnya yang besar - dan menelan keduanya bulat-bulat!
Pekik-pekik ketakutan terdengar di mana-mana. Semua orang dilahap hidup-hidup
oleh monster raksasa itu.
"Yes!" seruku. "Yes!"
Aku melampiaskan kemarahanku. Aku membalas dendam pada seluruh kota.
Cerita ini adalah cerita paling seru dan paling menakutkan yang pernah kutulis.
Aku mengetik halaman demi halaman.
"Zackie—ada yang lupa kaubeli!" terdengar suara berseru.
Aku langsung hendak menuliskan kata-kata itu, tapi kemudian aku mengenali
suara Mom.
Terengah-engah, aku berpaling dari mesin tikku. Mom berdiri di ambang pintu
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau harus kembali ke toko," katanya. "Kau lupa membeli roti Italia. Kita perlu
roti untuk makan malam nanti."
"Oh, sori," ujarku.
Aku menatap ceritaku dan menghela napas. Padahal aku sedang lancar-lancarnya
mengarang.
Nanti kuteruskan, setelah kembali dari toko, aku berkata dalam hati.
Mom memberikan sejumlah uang padaku. Kuambil sepeda yang kubiarkan
tergeletak di depan garasi tadi.
Aku terus memikirkan cerita monsterku sementara aku bersepeda ke toko, Inilah
cerita paling seru yang pernah kutulis, pikirku.
Aku sudah tak sabar untuk membacakannya pada Alex.
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki berdebam-debam di trotoar. Seorang pria
bersetelan jas berlari melewatiku. Saking kencangnya, aku tak sempat melihat
wajahnya.
Kenapa dia? aku bertanya-tanya. Pakaiannya terlalu rapi untuk berolahraga!
"Hei!" Aku terpaksa menepi ketika sebuah mobil station wagon berwarna biru
meluncur ke arahku. Wanita di balik kemudi membunyikan klakson dan melambai-
lambaikan tangan. Ban mobilnya berdecit-decit ketika ia membelok di perempatan.
"Wah, semua orang terburu-buru hari ini," aku bergumam. Kemudian aku
mendengar jeritan. Jeritan laki-laki.
Aku semakin keras menggenjot sepeda. Awning di atas pintu toko Jack's sudah
kelihatan di depan.
Aku melihat dua orang berlari melewati toko. Mereka berlari kencang sambil
melambai-lambaikan tangan.
Sekali lagi terdengar jeritan, dan kali ini aku langsung berhenti.
"Awas!" seseorang berteriak.
"Lari! Panggil polisi!"
Dua anak kecil berlari melewatiku. Salah satunya terisak-isak.
"Hei—ada apa, sih?" aku berseru pada mereka. Tapi mereka terus berlari. Mereka
tidak menyahut. Aku kembali mengayuh sepeda.
Aku bersepeda sambil berdiri untuk mencari tahu kenapa semua orang begitu
panik.
Aku melihat orang-orang berlarian di tengah jalan. Klakson mobil terdengar
bersahut-sahutan. Orang-orang menjerit-jerit.
"Hei - ada apa ini?" aku berseru. "Ada kebakaran? Hei - ada apa sebenarnya?"
Dan kemudian aku melihat apa yang menyebabkan kekacauan ini.
Aku membuka mulut untuk menjerit - dan jatuh dari sepeda.
Chapter 27
"ADUH!"
Aku terpelanting ke aspal. Dan tertimpa sepeda. Tengkukku terkena ujung setang.
Seorang laki-laki berlari melewatiku. "Cepat lari, Nak!" ia berseru. "Cepat! Pergi
dari sini!"
Aku menyingkirkan sepedaku dan bangkit dengan susah payah. Jantungku
berdegup kencang ketika aku melihat monster gumpalan raksasa berwarna pink
yang berdenyut-denyut di pojok jalan.
"Astaga," aku berseru tak percaya.
Persis seperti yang kutulis dalam ceritaku! aku menyadari. Monster itu berbentuk
jantung manusia yang besar dan berlendir. Pink dan basah. Dengan mata kecil
berwarna hitam.
Pembuluh darah berwarna ungu yang tumpang tindih di atas kepalanya. Dan mulut
yang melintang di perutnya.
Ia terus berdenyut-denyut.
"I-ini kan Monster Gumpalanku!" aku memekik. Dua gadis cilik menatapku sambil
mengerutkan kening, sementara ibu mereka berusaha menarik keduanya menjauh.
Aku mengenali Mrs. Willow, tetangga kami di seberang jalan.
"Zackie—lari!" ia berseru. "Ada monster!"
"Saya tahu," aku bergumam.
Ia menggiring kedua putrinya menyeberangi jalan. Tapi aku tidak mengikuti
mereka.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian, perlahan-lahan, aku menghampiri
monster yang berdenyut-denyut itu.
Aku yang menulis ini, ujarku dalam hati.
Aku menulis adegan ini sebelum aku pergi kemari. Aku menulis bahwa kotaku
diserang monster.
Dan aku sudah tahu apa yang akan terjadi sesudah ini.
Ketika aku mendekat, aku melihat jejak lendir yang ditinggalkan monster itu.
Perutnya membelah, dan aku melihat lidahnya yang ungu bergerak ke kiri-kanan.
Lututku gemetaran ketika aku menghampirinya.
Orang-orang menjerit dan berlari pontang-panting. Mobil-mobil melesat
melewatiku. Bunyi klakson memekakkan telinga.
Aku yang menciptakanmu! ujarku dalam hati. Aku ngeri bercampur heran dan
takjub - semuanya campur baur.
Aku yang menciptakanmu!
Aku yang menulis cerita ini!
Sang monster menatapku dengan matanya yang kecil dan hitam.
Apakah ia tahu siapa aku?
Apakah ia tahu bahwa aku penciptanya?
Di depan mataku yang terbelalak, mulutnya membuka semakin lebar. Dari
mulutnya keluar bunyi berdecap-decap, dan lidahnya yang ungu bergerak ke sudut-
sudut mulutnya.
Air liur yang kental dan kuning menetes-netes.
Si monster maju ke arahku - setengah menggelinding, setengah melompat.
Lidahnya yang ungu seakan-akan hendak menangkapku.
"Hei...!" aku memekik. Aku mundur dengan terhuyung-huyung.
Lidah yang panas dan lengket itu melilit kakiku. Lalu mulai menyeretku ke mulut
berlendir yang terbuka lebar.
"Lepaskan aku!" Aku menarik-narik lidahnya dengan sekuat tenaga.
Dua petugas polisi berseragam gelap melompat ke depanku. Keduanya membawa
pentungan.
Sambil berseru-seru marah mereka memukuli makhluk yang berdenyut-denyut itu.
PLOP. PLOP. PLOP.
Bunyi yang terdengar mirip bunyi kalau kita menggebuk bantal.
Erangan mengerikan keluar dari mulut si monster. Lidahnya terlepas dari kakiku.
"Lari!" teriak salah satu petugas polisi. "Cepat, lari!"
Tapi saking gemetarnya lututku, aku nyaris terjatuh. Kakiku serasa masih dililit
lidahnya yang panas dan berlendir.
Aku mundur dengan susah payah.
Adegan berikutnya benar-benar membuat mataku terbelalak karena ngeri. Si
monster membuka mulut lebar-lebar. Lidahnya yang gemuk dan ungu langsung
menyergap kedua petugas polisi.
Mereka memukulinya dengan pentungan masing-masing. Mendorongnya dengan
sekuat tenaga. Menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
Tapi cengkeraman lidah si monster semakin erat. Kedua petugas polisi terseret ke
dalam mulut menganga di perut monster itu.
Keduanya terseret masuk.
Berikutnya mulut sebesar gua itu mengatup, diiringi bunyi PLOP yang
mengerikan.
"Jangan! Jangaaan!" aku meratap.
Rasanya aku ingin menghajar monster itu dengan kepalan tinju.
Aku ingin menghajarnya sampai hancur lebur.
"Semua salahku!" aku menjerit.
Aku yang menulis adegan dilahapnya kedua petugas polisi itu.
Semuanya ada dalam cerita yang baru saja kuketik. Aku menulis bahwa kedua
petugas polisi malang itu dimakan monster.
Dan ternyata ceritaku menjadi kenyataan!
Ceritaku yang seram menjadi kenyataan. Semua adegan yang kutulis kini benar-
benar terjadi.
Dengan susah payah si monster menelan makanannya. Lalu makhluk mengerikan
itu menatapku dengan matanya yang kecil dan hitam.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bagaimana kelanjutan ceritaku? aku bertanya dalam hati.
Aku berusaha mengingatnya, sementara seluruh tubuhku gemetar dan jantungku
berdegup kencang. Apa yang akan terjadi setelah ini?
Dan kemudian - dengan merinding - aku ingat apa yang telah kuketik.
Si monster mengikutiku ke rumah!
Chapter 28
Chapter 29
SEUMUR hidup Alex dan aku belum pernah berlari secepat sekarang. Ketika kami
sampai di rumahku, kepalaku berdenyut-denyut dan pinggangku serasa ditusuk-
tusuk.
Napas kami tersengal-sengal ketika aku membuka pintu.
"Halo?" aku memanggil. "Mom? Mom?"
Tak ada jawaban. Mungkin Mom sedang pergi. Aku menoleh dan melihat si
monster menggelinding di pekarangan depan rumah Alex.
"Cepat masuk!" aku berseru pada Alex. "Cepat! Cepat!"
Ia menyelinap ke dalam rumah, dan aku langsung membanting pintu dan
menguncinya. Kemudian aku berlari ke kamar. Kakiku terasa berat sekali.
Aku menyeka, keringat yang membasahi keningku. Lalu aku duduk di kursi belajar
dan bersiap-siap mengetik.
Alex menghampiriku. "Apa yang akan kaulakukan?" ia bertanya dengan napas
terengah-engah.
"Tidak ada waktu. Nanti saja kujelaskan," ujarku. Aku mendengar bunyi berdebam
di pintu depan.
Bunyi itu disusul suara KRAAAAAK yang sangat keras.
Seketika aku sadar si monster telah mendobrak pintu.
"Nanti! Nanti!" seruku. Serta-merta aku mulai mengetik. "Aku mau menulis akhir
cerita ini," aku memberitahu Alex. "Aku akan menulis bahwa, si monster lenyap
begitu saja. Bahwa dia tak pernah ada. Bahwa Adam dan kedua petugas polisi
tidak apa-apa."
PLOP...PLOP....
Alex dan aku memekik tertahan. Bunyi itu begitu dekat. Si monster sudah sampai
di atas, dan sedang menuju ke kamarku.
Aku sadar waktu untuk menyelesaikan ceritaku tinggal beberapa detik.
PLOP....
Persis di depan pintu kamarku.
Aku menahan napas, dan kalang kabut mulai mengetik.
Aku mengetik secepat mungkin sampai... "ADUUUH!"
"Ada apa?" seru Alex.
"Mesin tiknya macet!"
Berikutnya kami menjerit keras-keras ketika si monster masuk ke kamarku.
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
END