Saat itu liburan musim semi, dan Alex dan aku sedang mencari
benda-benda yang bisa dikoleksi. Itulah yang kami lakukan kalau
kami lagi kurang kerjaan.
Kadang-kadang kami mengumpulkan tumbuhan liar berbentuk
aneh. Kadang-kadang kami mengumpulkan serangga. Atau daun
berbentuk unik.
Suatu ketika kami berusaha mengumpulkan batu yang mirip
wajah orang terkenal. Tapi hobi itu tidak bertahan lama, sebab
hasilnya tidak seperti yang kami harapkan.
Kalau kau mendapat kesan kota tempat tinggal kami—Norwood
Village—termasuk kota yang membosankan, kau seratus persen
benar!
Maksudnya, kota tempat tinggal kami memang membosankan,
sampai kami diserang monster.
Ebukulawas.blogspot.com
Chapter 2
Alex dan aku makan malam di rumah Adam. Mrs. Levin pandai
memasak. Kami selalu berusaha berada di rumah Adam sekitar saat
makan malam, sebab ibunya selalu mengajak kami makan sekalian.
Hari sudah gelap ketika Alex dan aku pulang. Kemarin dan
hampir sepanjang hari ini terjadi hujan dan angin ribut. Rumput di
semua pekarangan masih berkilau-kilau basah. Jalanan yang basah
memantulkan cahaya lampu penerangan jalan.
Di kejauhan terdengar gemuruh guntur. Air hujan yang dingin
menetes-netes dari pepohonan ketika Alex dan aku berjalan menyusuri
trotoar.
Adam tinggal di seberang Norwood Village. Tapi jaraknya
tidak terlalu jauh—cuma sekitar lima belas menit jalan kaki.
Setelah berjalan kira-kira lima menit, kami tiba di sederetan
toko kecil.
"Hei...!" aku berseru ketika melihat toko barang antik di pojok.
"T-tokonya hancur!"
"Kelihatannya seperti habis kena ledakan bom!" seru Alex.
Kami berhenti di pojok, dan menatap toko di seberang jalan.
Sebagian atapnya ambruk. Semua kaca jendela pecah. Satu dinding
nyaris roboh. Dinding dan bagian atap yang masih utuh tampak hitam
karena jelaga.
"Tampaknya habis ada kebakaran," aku bergumam sambil
menyeberang jalan.
"Petir," terdengar suara seorang wanita.
Aku menoleh dan melihat dua wanita muda di trotoar di
samping toko. "Tokonya disambar petir," ujar salah satu dari mereka.
"Kemarin. Waktu ada badai. Lalu toko itu terbakar habis."
"Sayang sekali," sahut temannya. Ia merogoh tas dan
mengambil kunci mobil.
Kedua wanita itu menghilang di pojok jalan.
Alex dan aku menghampiri toko yang terbakar. "Uuh, baunya,"
Alex mengerang sambil menutup hidung.
"Cuma bau gosong," aku berkomentar. Aku memandang ke
bawah dan melihat kakiku menginjak genangan air yang dalam.
Serta-merta aku melompat mundur.
"Di mana-mana becek," Alex bergumam. "Pasti karena disiram
pemadam kebakaran."
Tiupan angin membuat pintu depan terbanting keras-keras.
"Hei, pintunya tidak dikunci!" seruku.
Semula pintu itu dirapatkan dengan pita perekat. Tapi pitanya
sudah terlepas. Aku melihat tanda peringatan berwarna kuning dengan
tulisan hitam: BAHAYA—DILARANG MASUK.
"Alex—coba kita intip sebentar yuk," aku mendesak.
"Jangan, deh! Zackie—jangan!" Alex memekik. Terlambat.
Aku sudah menyelinap masuk.
Chapter 4
BIRU.
Aku cuma melihat warna biru.
Biru paling biru yang pernah kulihat.
Aku serasa melayang di langit. Melayang di langit yang biru.
Kemudian warna biru di sekelilingku memudar dan berubah menjadi
putih.
Apakah aku masih melayang? Apakah aku masih bergerak?
Apakah aku masih bernapas?
Aku mencoba bicara. Berteriak. Pokoknya bersuara. Warna
putih itu segera meredup. Menjadi kelabu. Lalu hitam.
"Ohhh," aku mendengar suaraku mengerang. Gelap. Begitu
gelap. Aku diselubungi kegelapan. Aku mengedipkan mata. Satu kali.
Dua kali. Kemudian aku sadar aku sedang menatap kegelapan di
dalam reruntuhan toko barang antik.
"Zackie? Zackie?"
Aku mendengar namaku. Mendengar namaku dipanggil
berulang-ulang oleh Alex.
Aku berdeham. Lalu duduk tegak, dan memandang berkeliling.
"Zackie? Zackie? Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir rasa pening.
Seluruh tubuhku seperti ditusuk ribuan jarum kecil, seolah-olah
dilewati aliran listrik.
"Bagaimana aku bisa sampai tergeletak di lantai?" tanyaku
pelan-pelan.
Alex membungkuk dan menyentuh pundakku. "Kau kesetrum,"
katanya. Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Mungkin ada
kabel listrik yang jatuh."
Aku menggosok-gosok tengkuk. Telingaku berdengung-
dengung, dan tubuhku masih seperti ditusuk-tusuk.
"Wow," aku bergumam.
"A-aku sampai ketakutan tadi," kata Alex. "Kau diselubungi api
biru. Seluruh tubuhmu—mendadak biru terang."
"Wow," aku mengulangi.
"Tanganmu terangkat tinggi," Alex melanjutkan. "Habis itu kau
membungkuk. Dan jatuh ke lantai. Ku-ku pikir...." Ia terdiam.
TES TES TES.
Aku bisa mendengar bunyi air menetes. Rupanya
pendengaranku sudah mulai pulih.
Dengan susah payah aku berdiri. Aku mengangkat tangan
tinggi-tinggi dan meregangkan otot.
Perhatianku beralih pada mesin tik tua tadi.
"Zackie—mau apa kau?" seru Alex.
Aku menghampiri rak sambil menghindari genangan air di
karpet. Aku menarik napas dalam-dalam. Berjinjit. Lalu meraih mesin
tik tua itu.
"Wah—beratnya minta ampun!" aku berseru. "Semuanya
terbuat dari logam!"
Aku membawa mesin tik itu dan mengamatinya. Permukaannya
yang hitam licin memantulkan cahaya lampu jalanan di luar.
"Keren!" seruku. "Mesin tik ini, Alex—mesin tik ini cocok
sekali untuk menulis cerita seram."
"Hah?" Alex memekik. "Zackie, jangan-jangan kau sudah tidak
waras gara-gara kesetrum tadi!"
"Lihat saja sendiri!" aku berkeras. "Mesin tik ini sempurna.
Sempurna!"
Alex geleng-geleng kepala. "Kau punya komputer baru di
rumah," ia mengingatkanku. "Dan ibumu memberimu printer laser
bekas."
"Aku tahu, aku tahu," aku bergumam.
"Kau bisa mencetak delapan halaman per menit," Alex
melanjutkan. "Jadi untuk apa kau perlu mesin tik usang?"
"Aku perlu karena mesin tik ini sempurna," sahutku.
"Sempurna! Sempurna!"
"Sudahlah! Jangan melantur!" Alex berkata dengan ketus.
"Benar kau tidak apa-apa? Mungkin lebih baik aku menelepon
orangtuamu."
"Jangan. Jangan. Aku baik-baik saja, kok," ujarku. Mesin tik itu
mulai terasa berat di tanganku. "Ayo, kita pulang."
Aku menuju ke pintu sambil menggotong mesin tik. Tapi Alex
mencegahku.
"Jangan main ambil saja, dong!" ia menegurku. "Mesin tik ini
bukan milikmu. Ini namanya mencuri."
Aku mengerutkan muka untuk mengejeknya. "Alex, jangan
konyol. Segala sesuatu di toko ini sudah hancur. Takkan ada yang
peduli kalau aku mengambil..."
Aku langsung terdiam ketika mendengar bunyi sepatu berdecit
di karpet yang basah.
Disusul suara orang batuk.
Aku berpaling pada Alex. Dan melihat wajahnya yang
ketakutan.
Ternyata ia juga mendengar bunyi-bunyi itu. "Zackie, ada orang
lain di sini," ia berbisik.
Chapter 6
"ADUH!"
Aku terpelanting ke aspal. Dan tertimpa sepeda. Tengkukku
terkena ujung setang.
Seorang laki-laki berlari melewatiku. "Cepat lari, Nak!" ia
berseru. "Cepat! Pergi dari sini!"
Aku menyingkirkan sepedaku dan bangkit dengan susah payah.
Jantungku berdegup kencang ketika aku melihat monster
gumpalan raksasa berwarna pink yang berdenyut-denyut di pojok
jalan.
"Astaga," aku berseru tak percaya.
Persis seperti yang kutulis dalam ceritaku! aku menyadari.
Monster itu berbentuk jantung manusia yang besar dan
berlendir. Pink dan basah. Dengan mata kecil berwarna hitam.
Pembuluh darah berwarna ungu yang tumpang tindih di atas
kepalanya. Dan mulut yang melintang di perutnya.
Ia terus berdenyut-denyut.
"I-ini kan Monster Gumpalanku!" aku memekik. Dua gadis
cilik menatapku sambil mengerutkan kening, sementara ibu mereka
berusaha menarik keduanya menjauh. Aku mengenali Mrs. Willow,
tetangga kami di seberang jalan.
"Zackie—lari!" ia berseru. "Ada monster!"
"Saya tahu," aku bergumam.
Ia menggiring kedua putrinya menyeberangi jalan. Tapi aku
tidak mengikuti mereka.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian, perlahan-lahan,
aku menghampiri monster yang berdenyut-denyut itu.
Aku yang menulis ini, ujarku dalam hati.
Aku menulis adegan ini sebelum aku pergi kemari. Aku menulis
bahwa kotaku diserang monster.
Dan aku sudah tahu apa yang akan terjadi sesudah ini.
Ketika aku mendekat, aku melihat jejak lendir yang
ditinggalkan monster itu. Perutnya membelah, dan aku melihat
lidahnya yang ungu bergerak ke kiri-kanan.
Lututku gemetaran ketika aku menghampirinya.
Orang-orang menjerit dan berlari pontang-panting. Mobil-mobil
melesat melewatiku. Bunyi klakson memekakkan telinga.
Aku yang menciptakanmu! ujarku dalam hati. Aku ngeri
bercampur heran dan takjub—semuanya campur baur.
Aku yang menciptakanmu!
Aku yang menulis cerita ini!
Sang monster menatapku dengan matanya yang kecil dan hitam.
Apakah ia tahu siapa aku? Apakah ia tahu bahwa aku
penciptanya?
Di depan mataku yang terbelalak, mulutnya membuka semakin
lebar. Dari mulutnya keluar bunyi berdecap-decap, dan lidahnya yang
ungu bergerak ke sudut-sudut mulutnya.
Air liur yang kental dan kuning menetes-netes.
Si monster maju ke arahku—setengah menggelinding, setengah
melompat.
Lidahnya yang ungu seakan-akan hendak menangkapku.
"Hei...!" aku memekik. Aku mundur dengan terhuyung-huyung.
Lidah yang panas dan lengket itu melilit kakiku. Lalu mulai
menyeretku ke mulut berlendir yang terbuka lebar.
"Lepaskan aku!" Aku menarik-narik lidahnya dengan sekuat
tenaga.
Dua petugas polisi berseragam gelap melompat ke depanku.
Keduanya membawa pentungan.
Sambil berseru-seru marah mereka memukuli makhluk yang
berdenyut-denyut itu.
PLOP. PLOP. PLOP.
Bunyi yang terdengar mirip bunyi kalau kita menggebuk bantal.
Erangan mengerikan keluar dari mulut si monster. Lidahnya
terlepas dari kakiku.
"Lari!" teriak salah satu petugas polisi. "Cepat, lari!"
Tapi saking gemetarnya lututku, aku nyaris terjatuh. Kakiku
serasa masih dililit lidahnya yang panas dan berlendir.
Aku mundur dengan susah payah.
Adegan berikutnya benar-benar membuat mataku terbelalak
karena ngeri. Si monster membuka mulut lebar-lebar. Lidahnya yang
gemuk dan ungu langsung menyergap kedua petugas polisi.
Mereka memukulinya dengan pentungan masing-masing.
Mendorongnya dengan sekuat tenaga. Menggeliat-geliut untuk
membebaskan diri.
Tapi cengkeraman lidah si monster semakin erat. Kedua
petugas polisi terseret ke dalam mulut menganga di perut monster itu.
Keduanya terseret masuk.
Berikutnya mulut sebesar gua itu mengatup, diiringi bunyi
PLOP yang mengerikan.
"Jangan! Jangaaan!" aku meratap.
Rasanya aku ingin menghajar monster itu dengan kepalan tinju.
Aku ingin menghajarnya sampai hancur lebur.
"Semua salahku!" aku menjerit.
Aku yang menulis adegan dilahapnya kedua petugas polisi itu.
Semuanya ada dalam cerita yang baru saja kuketik. Aku
menulis bahwa kedua petugas polisi malang itu dimakan monster.
Dan ternyata ceritaku menjadi kenyataan!
Ceritaku yang seram menjadi kenyataan. Semua adegan yang
kutulis kini benar-benar terjadi.
Dengan susah payah si monster menelan makanannya. Lalu
makhluk mengerikan itu menatapku dengan matanya yang kecil dan
hitam.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bagaimana kelanjutan ceritaku? aku bertanya dalam hati.
Aku berusaha mengingatnya, sementara seluruh tubuhku
gemetar dan jantungku berdegup kencang. Apa yang akan terjadi
setelah ini?
Dan kemudian—dengan merinding—aku ingat apa yang telah
kuketik.
Si monster mengikutiku ke rumah!
Chapter 28