Anda di halaman 1dari 62

R.L.

Stine
Manusia Serigala Rawa Demam
(Goosebumps # 14)



Ebook PDF: eomer eadig
Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE
Bblog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu






Chapter 1

KAMI pindah ke Florida waktu libur Natal. Seminggu kemudian, untuk pertama
kalinya kudengar lolongan-lolongan mengerikan dari rawa-rawa.
Selama bermalam-malam lolongan-lolongan itu membuatku terduduk di tempat
tidur. Aku menahan napas dan memeluk diri sendiri supaya tidak gemetaran.
Kupandangi bulan purnama seputih kapur di luar jendela kamarku. Kutajamkan
pendengaran.
Makhluk macam apa yang melolong begitu? tanyaku dalam hati.
Dan seberapa dekatkah ia?
Mengapa kedengarannya makhluk itu seperti tepat berada di luar jendelaku?
Lolongannya naik-turun seperti suara sirene mobil polisi. Tidak sedih ataupun
meratap. Nadanya mengancam.
Marah.
Menurutku terdengar seperti peringatan. J auhi rawa-rawa ini.
Tempatmu bukan di sini.
Waktu semula pindah ke Florida, ke rumah baru di tepi rawa, aku tidak sabar ingin
menjelajah. Aku berdiri di halaman belakang sambil memegang teropong hadiah
ulangtahunku yang ke-12 dari Dad dan menatap ke arah rawa.
Pepohonan berbatang putih langsing saling bersentuhan. Daun-daunnya yang lebar
dan rata seperti membentuk atap, menaungi tanah rawa dengan bayangan biru.
Di belakangku, kijang-kijang bergerak-gerak gelisah di kandang kawat mereka.
Aku bisa mendengar mereka menginjak-injak tanah yang lembut dan berpasir,
menggosok-gosok tanduk mereka ke dinding kandang.
Kuturunkan teropongku dan berbalik menatap mereka. Kijang-kijang itulah yang
menyebabkan kami pindah ke Florida.
Tahu tidak, ayahku, Michael F. Tucker, seorang ilmuwan. Beliau bekerja untuk
Universitas Vermont di Burlington, yang, percayalah padaku, jauuuh sekali dari
rawa Florida!
Dad mendapat keenam kijang ini dari sebuah negara di Amerika Selatan. Mereka
disebut kijang rawa. Mereka tidak seperti kijang biasa. Maksudku, mereka tidak
kelihatan seperti Bambi. Misalnya saja, bulu mereka sangat merah, bukan cokelat.
Kukunya besar sekali serta agak berselaput. Kurasa untuk berjalan di tanah yang
basah dan berawa.
Dad ingin tahu apakah kijang-kijang rawa Amerika Selatan ini bisa bertahan hidup
di Florida. Beliau merencanakan akan memasang pemancar radio kecil di tubuh
mereka dan melepaskan mereka ke rawa. Lalu Dad akan mempelajari bagaimana
mereka hidup.
Waktu di Burlington Dad memberitahu bahwa kami akan pindah ke Florida karena
kijang-kijang itu, kami semua jadi kacau bukan main. Kami tidak mau pindah.
Kakakku Emily, menangis berhari-hari. Usianya 16 tahun, dan ia tidak mau
melewatkan tahun seniornya di SMA. Aku juga tidak mau meninggalkan teman-
temanku.
Tapi tak lama kemudian Mom sudah berpihak pada Dad. Mom juga ilmuwan.
Mereka sering bekerja sama mengerjakan proyek. J adi tentu saja beliau setuju
dengan Dad.
Mereka berdua berusaha membujuk Emily dan aku dengan mengatakan ini
kesempatan sekali seumur hidup, pasti sangat mengasyikkan. Petualangan yang tak
akan terlupakan.
J adilah kami di sini, tinggal di rumah putih kecil, bertetangga dengan empat atau
lima rumah putih lainnya. Di belakang rumah kami ada kandang untuk enam ekor
kijang.
Matahari Florida yang panas bersinar cerah. Dan rawa tak berujung terhampar tak
jauh dari halaman belakang rumah kami yang datar dan berumput.
Aku membelakangi kijang lagi dan memandang dari teropong.
"Oh," seruku ketika melihat ada sepasang mata kelam tampak seperti membalas
tatapanku.
Kujauhkan teropong dan kupicingkan mata menatap rawa. Tak jauh dari tempatku,
kulihat ada seekor burung putih berdiri di atas dua kaki yang panjang dan kurus.
"Itu burung bangau," kata Emily. Aku tidak mendengarnya datang. Ia mengenakan
kaus putih tanpa lengan dan celana pendek denim merah. Kakakku tinggi, kurus,
dan sangat pirang. Ia mirip sekali burung bangau.
Burung itu berbalik dan berlari ke arah rawa dengan langkah tinggi-tinggi.
"Ayo kita ikuti," kataku.
Emily mencibir, kami sering melihatnya mencibir begitu sejak pindah kemari.
"Tidak mau. Panas."
"Ah, ayolah." Kutarik tangannya yang kurus. "Ayo menjelajah, melihat-lihat
rawa."
Ia menggeleng, buntut kudanya yang pirang-putih bergoyang-goyang.
"Aku tidak mau, Grady." Dibetulkannya kacamatanya yang melorot di hidung.
"Aku sedang menunggu surat."
Karena rumah kami jauh sekali dari kantor pos, kami hanya menerima surat dua
kali seminggu. Emily menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menunggu
surat.
"Menunggu surat cinta dari Martin?" tanyaku menyeringai. Ia sebal kalau kugoda
soal Martin, pacarnya di Burlington dulu. J adi ia kugoda sesering mungkin.
"Mungkin," katanya. Diulurkannya kedua tangannya dan diacak-acaknya
rambutku. Ia tahu aku tidak suka rambutku berantakan.
"Ya?" kataku memelas. "Ayolah, Emily. Cuma jalan-jalan sebentar. Sangat
sebentar."
"Emily, jalan-jalanlah sebentar dengan Grady," kata Dad tiba-tiba.
Kami berbalik dan melihatnya ada di dalam kandang kijang. Dad memegang papan
catatan dan mendekati kijang-kijang itu satu persatu, sambil mencatat. "Pergilah,"
desaknya. "Kau toh sedang tidak melakukan apa-apa."
"Tapi, Dad..." Emily paling pintar merengek kalau ada maunya.
"Pergilah, Em," kata Dad. "Pasti menarik. Lebih menarik daripada panas-panas
berdebat dengan adikmu."
Emily membetulkan lagi kacamatanya yang melorot terus. "Yah..."
"Asyik!" teriakku. Aku senang sekali. Aku belum pernah pergi ke rawa sungguhan.
"Ayo kita pergi!"
Kusambar dan kuseret tangan kakakku.
Dengan segan-segan Emily ikut, wajahnya cemberut.
"Perasaanku tidak enak," gumamnya.
Bayanganku tampak condong di belakangku. Aku bergegas berjalan menuju
pepohonan yang rendah dan miring itu.
"Emily, bisa ada masalah apa sih?" tanyaku.







Chapter 2

UDARA di bawah pepohonan terasa panas dan lembap. Rasanya lengket di
wajahku.
Daun-daun palem yang lebar terjulur begitu rendah, hanya tinggal berjingkat aku
sudah bisa menyentuhnya.
Daun-daun itu nyaris menutupi sinar matahari, tapi berkas-berkas cahaya kuning
menyelinap, menyinari tanah rawa seperti lampu sorot.
Rumput liar yang gatal dan daun-daun semak menggesek kakiku yang tidak
tertutup. Coba tadi aku pakai jins, bukannya celana pendek.
Aku berjalan di dekat kakakku terus ketika kami melalui jalan setapak yang sempit
dan berkelok-kelok. Teropongku yang tergantung di leherku, mulai terasa berat di
dada. Mestinya tadi kutinggalkan saja di rumah, pikirku.
"Ribut sekali di sini," keluh Emily, sambil melangkahi batang pohon yang sudah
membusuk.
Ia benar. Hal yang paling mengejutkan tentang rawa ini adalah suara-suaranya.
Dari atas terdengar kicauan burung yang dibalas burung lain dengan siulan
melengking. Serangga-serangga mengerik keras di sekeliling kami. Kudengar
suara tap-tap-tap yang teratur, seperti suara orang memukul kayu. Mungkin burung
pematuk kayu? Daun palem bergeretak ditiup angin. Batang-batang pohon yang
kurus berderak-derak. Sandalku berbunyi plop plop, terbenam di tanah rawa.
"Hei, lihat," kata Emily sambil menuding. Dibukanya kaca mata hitamnya supaya
bisa melihat lebih jelas.
Kami sampai di kolam kecil berbentuk oval. Airnya hijau tua, setengah tertutup
bayangan. Di permukaannya mengapung bunga teratai, merunduk indah di atas
daunnya yang hijau dan datar.
"Cantik," kata Emily, diusirnya kumbang yang menempel di bahunya. "Aku akan
membawa kamera kemari dan memotret kolam ini. Lihatlah cahaya yang bagus
sekali itu."
Kuikuti arah pandangannya. Ujung kolam yang di dekat kami gelap tertutup
bayang-bayang panjang. Tapi di ujung lain tampak cahaya bersinar di sela-sela
pepohonan, bentuknya seperti layar terang yang tertuang ke dalam air kolam yang
tenang.
"Memang bagus," kataku mengakui.
Aku tidak terlalu suka kolam. Aku lebih tertarik pada fauna. Kubiarkan Emily
mengagumi kolam dan teratai itu sebentar. Lalu kukitari kolam dan berjalan
semakin jauh ke dalam rawa.
Sandalku berkecipak di tanah yang basah. Di depan, segerombolan ngengat,
beribu-ribu banyaknya, berputar-putar diterangi cahaya matahari.
"J ijik," gumam Emily. "Aku benci ngengat. Melihatnya saja sudah bikin aku
gatal."
Digaruknya lengannya. Kami berbalik dan melihat sesuatu berlari-lari di balik
batang pohon rebah yang tertutup lumut.
"Heiapa itu tadi?" seru Emily, dicengkeramnya sikuku.
"Buaya!" teriakku. "Buaya lapar!"
Ia menjerit ketakutan.
Aku tertawa. "Kenapa sih kau ini, Em? Itu tadi kan cuma sejenis kadal."
Diremasnya lenganku kuat-kuat, berusaha membuatku tersentak.
"Sialan kau, Grady," gumamnya. Digaruknya lengannya lagi. "Di rawa ini terlalu
gatal," keluhnya. "Ayo pulang."
"Sedikiiit lagi," kataku memohon.
"Tidak. Ayolah. Aku ingin pulang." Ia mencoba menarikku, tapi aku menghindar
dari cengkeramannya. "Grady"
Aku berbalik dan berjalan menjauh darinya, masuk semakin dalam ke rawa.
Kudengar suara tap-tap-tap lagi, tepat di atas. Daun-daun palem saling bergesekan,
ditiup angin basah yang lembut. Suara serangga mengerik terdengar semakin keras.
"Aku mau pulang, biar kau di sini saja," ancam Emily.
Tidak kupedulikan ancamannya dan terus berjalan. Aku tahu ia cuma menggertak.
Sandalku berderak menginjak daun-daun palem cokelat kering.
Tanpa perlu berbalik, aku bisa mendengar Emily berjalan beberapa langkah di
belakangku.
Seekor kadal melintas lagi, tepat di depan sandalku. Kadal itu kelihatan seperti
anak panah hitam yang melesat ke dalam semak-semak.
Tiba-tiba tanahnya menanjak. Kami menaiki bukit landai menuju tempat yang
diterangi sinar matahari. Semacam tempat terbuka.
Keringat mengalir di pipiku. Udara begitu lembap, rasanya seperti sedang
berenang saja.
Di puncak bukit kami berhenti untuk melihat sekeliling.
"Heiada kolam lagi!" teriakku sambil berlari menginjak rumput rawa yang
kuning dan gemuk-gemuk, bergegas menuju tepi air.
Tapi kolam yang ini kelihatan lain.
Airnya yang hijau tua tidak datar dan halus. Dengan membungkuk, aku bisa
melihat airnya yang keruh dan kental, seperti sup bubur kacang. Suaranya
berdeguk dan bergelebur, menjijikkan.
Aku semakin membungkuk supaya bisa melihat lebih jelas.
"Itu lumpur isap!" Kudengar Emily berteriak ngeri.
Tiba-tiba ada dua tangan mendorongku kuat-kuat dari belakang.






Chapter 3

KETIKA aku akan terjatuh ke dalam cairan hijau berdeguk-deguk itu, tangan tadi
menyambar pinggangku dan menarikku.
Emily cekikikan. "Kena kau!" serunya, dipeluknya aku supaya tidak bisa berbalik
dan memukulnya.
"Heilepaskan!" teriakku marah. "Kau hampir saja mendorongku masuk ke
lumpur isap! Tidak lucu!"
Ia tertawa lagi, lalu dilepaskannya aku. "Itu bukan lumpur isap, goblok,"
gumamnya. "Itu bog, tanah berlumpur."
"Hah?" Aku berbalik dan menatap air hijau kental itu.
"Itu bog. Bog tanah liat," katanya tidak sabaran. "Kau tidak tahu apa-apa, ya?"
"Apa itu bog tanah liat?" tanyaku, tidak kupedulikan ejekannya.
Emily Si Sok Tahu. Ia selalu menyombongkan diri tahu segalanya dan mengatai
aku si goblok. Tapi di sekolah nilainya hanya B dan aku dapat A. J adi siapa yang
pintar, coba?
"Kami mempelajarinya tahun lalu waktu belajar tentang daerah lembap dan hutan
hujan," jawabnya puas. "Kolam ini kental karena ada lumut tumbuh di dalamnya.
Lumut itu terus tumbuh. Ia menyerap air sebanyak dua puluh lima kali berat
badannya."
"Kelihatannya menjijikkan," kataku.
"Coba saja kau minum sedikit dan rasakan bagaimana rasanya," desaknya.
Ia mencoba mendorongku lagi, tapi aku membungkuk dan mengelak.
"Aku tidak haus," gumamku.
Aku tahu jawabanku tidak terlalu pandai, tapi cuma jawaban itu yang terpikir
olehku.
"Ayo jalan terus," katanya sambil menghapus keringat dari dahinya. "Aku
kepanasan."
"Yeah. Oke," kataku segan. "Asyik juga jalan-jalan begini."
Kami berbalik dari bog tanah liat itu dan menuruni bukit.
"Hei, lihat!" teriakku menunjuk dua bayangan hitam yang melayang jauh di atas
kami di bawah awan putih.
"Burung elang," kata Emily, dilindunginya matanya dengan satu tangan ketika
mendongak. "Kurasa itu burung elang. Susah melihatnya. Besar sekali."
Kami mengamati burung-burung itu melayang pergi. Lalu kami menuruni bukit
lagi, berjalan hati-hati di tanah yang lembap dan berpasir.
Di bawah bayangan gelap pepohonan di kaki bukit, kami berhenti untuk
mengambil napas.
Aku basah kuyup karena keringat. Tengkukku terasa panas dan gatal. Kugosok
dengan satu tangan, tapi rasanya tidak ada gunanya.
Angin sudah berhenti bertiup. Udara terasa berat. Tidak ada yang bergerak.
Aku mendongak mendengar suara berkaok-kaok keras. Dua burung hitam yang
besar sekali menatap kami dari dahan pohon cypress. Mereka berkaok-kaok lagi,
seperti menyuruh kami pergi.
"Lewat sini," kata Emily sambil menghela napas.
Kuikuti dia, sekujur badanku terasa perih dan gatal.
"Coba kita punya kolam renang di rumah baru kita," kataku. "Aku bisa langsung
menceburkan diri tanpa membuka baju!"
Kami berjalan selama beberapa menit. Pepohonan semakin rapat. Cahaya semakin
redup. J alan setapaknya berakhir. Kami terpaksa menerobos semak-semak tinggi
yang rimbun.
"Kukurasa tadi kita tidak lewat sini," kataku tergagap. "Kurasa bukan ini
jalannya.
Kami berpandangan, melihat wajah masing-masing tampak ketakutan.
Kami. berdua sadar kami tersesat. Betul-betul tersesat.







Chapter 4

"AKU heran!" jerit Emily.
Teriakannya yang keras membuat dua burung hitam tadi terbang dari dahan pohon.
Mereka melayang pergi sambil berkaok-kaok marah.
"Ngapain aku di sini?" teriaknya.
Emily tidak pandai menghadapi keadaan darurat. Ketika ban mobilnya kempis
waktu sedang kursus menyetir di Burlington dulu, ia melompat keluar dari mobil
dan lari pergi!
J adi aku tidak berharap sekarang ia akan tenang dan kalem.
Karena kami benar-benar tersesat di tengah rawa yang panas dan lembap ini, aku
tahu ia pasti akan panik. Dan memang begitulah jadinya.
Di keluargaku akulah yang paling tenang. Aku menuruni sifat Dad. Tenang dan
ilmiah.
"Mari kita tentukan arah matahari dulu," kataku, tidak kupedulikan jantungku yang
berdebar-debar.
"Matahari apa?" teriak Emily sambil mengangkat tangan.
Gelap sekali. Pohon-pohon palem dengan daun-daunnya yang lebar membentuk
atap yang lumayan rapat di atas kepala kami.
"Yah, kita bisa memeriksa lumutnya," usulku. Deburan di dadaku semakin keras.
"Bukankah lumut mestinya tumbuh di sebelah utara pepohonan?"
"Kurasa di sebelah timur," gumam Emily. "Atau mungkin di sebelah barat?"
"Aku lumayan yakin di sebelah utara," kataku ngotot, sambil memandang
sekelilingku.
"Lumayan yakin? Apa bagusnya lumayan yakin?" teriak Emily melengking.
"Lupakan lumutnya," kataku, sambil membelalakkan mata. "Aku bahkan tidak
tahu lumut itu seperti apa."
Lama kami saling berpandangan.
"Biasanya kau kan selalu bawa kompas ke mana pun kau pergi," kata Emily,
suaranya kedengaran agak bergetar.
"Yeah. Waktu umur empat tahun," jawabku.
"Entah kenapa kita bisa segoblok ini," keluh Emily. "Mestinya kita menggunakan
salah satu pemancar radio itu. Tahu kan. Yang untuk rusa. Dad nanti jadi bisa
melacak kita."
"Mestinya aku tadi pakai jins," gumamku, kulihat ada beberapa bintik merah kecil
di betisku. Tanaman beracun? Sejenis ruam?
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Emily tidak sabar, dihapusnya keringat di
dahinya.
"Naik ke bukit lagi, kurasa," kataku. "Di sana tidak ada pohon. Matahari bersinar
terang. Begitu kita tahu di mana letak matahari, kita bisa mengira ke arah mana
kita harus kembali."
"Tapi ke mana jalan ke bukit?" tanya Emily.
Aku berbalik. Apa di belakang kami?
Di kanan kami?
Punggungku terasa dingin ketika sadar bahwa aku juga tidak yakin.
Aku mengangkat bahu.
"Kita benar-benar tersesat," gumamku sambil menarik napas.
"Ayo lewat sini saja," kata Emily, sambil berjalan pergi. "Aku merasa ini dia
jalannya. Kalau kita sampai di bog tadi, berarti jalan kita benar."
"Kalau tidak?" desakku.
"Kita pikirkan cara lain," jawabnya.
Hebat.
Tapi kurasa percuma saja berdebat dengan dia. J adi kuikuti saja.
Kami berjalan tanpa berbicara, serangga berdengung-dengung di sekeliling kami,
pekikan burung dari atas membuat kami terkejut.
Sesaat kemudian, kami berjalan menerobos segerombolan alang-alang yang kaku.
"Kita tadi lewat sini?" tanya Emily.
Aku tidak ingat. Kudorong sebatang alang-alang supaya bisa melihat jalan dan
tersadar jadi ada noda lengket di tanganku. "Hii!"
"Hei, lihat!" Teriakan girang Emily membuatku mengalihkan pandangan dari
cairan hijau lengket yang menempel di tanganku.
Bog tadi!
Tepat di depan kami. Bog tempat kami berhenti tadi.
"Horeee!" teriak Emily. "Aku tahu aku benar. Aku sudah merasa kok."
Kolam hijau yang berdeguk-deguk itu membuat kami berdua jadi girang. Begitu
melewatinya, kami segera lari. Kami tahu kami berada di jalan yang benar, hampir
sampai ke rumah.
"Ayo cepat!" teriakku girang, sambil berlari mendahului saudaraku, jantungku
berdebar-debar. "Ayo cepat!"
Aku merasa sangat senang lagi.
Lalu ada yang mengulurkan tangan, menyambar pergelangan kakiku, dan
menarikku ke tanah yang berlumpur.







Chapter 5

AKU jatuh terbanting, mendarat di atas siku dan lututku. J antungku serasa
terlompat ke mulut. Mulutku berdarah.
"Bangun! Bangun!" jerit Emily.
"Iaia menangkapku!" teriakku dengan suara tegang dan bergetar.
Debur di dadaku sudah berubah jadi debaran.
Sekali lagi kurasakan mulutku berdarah. Kupandang Emily yang tertawa-tawa.
Tertawa?
"Cuma akar pohon," katanya sambil menunjuk. Kuikuti arah yang ditunjukkannya
dan langsung sadar aku bukannya ditarik. Aku tadi tersandung salah satu akar
pohon yang mencuat di atas tanah.
Kupandangi akar yang seperti tulang itu. Tengahnya bengkok dan kelihatan seperti
kaki putih yang kurus.
Tapi darah apa yang kurasakan?
Kurasakan bibirku sakit. Ternyata waktu jatuh tadi aku menggigitnya.
Sambil mengerang keras, kupaksa diriku berdiri. Lututku sakit. Bibirku berdenyut-
denyut. Darah mengalir di daguku.
"Tadi itu konyol juga," kata Emily pelan. Lalu ditambahkannya, "Kau baik-baik
saja?"
Disingkirkannya beberapa daun kering dari punggung kausku.
"Yeah, begitulah," jawabku, masih merasa goyah sedikit. "Aku benar-benar
mengira ada yang menyambarku."
Aku tertawa terpaksa.
Dipegangnya bahuku, dan kami mulai berjalan lagi, lebih pelan dari tadi, bersisian.
Berkas-berkas cahaya bersinar dari sela-sela daun-daun lebat, tanah di depan kami
jadi berbintik-bintik. Semuanya tampak aneh, seperti di dalam
Beberapa makhluk ribut berlari-lari di balik semak-semak pendek di sebelah kanan
kami. Emily dan aku tidak mau menoleh untuk melihatnya. Kami cuma mau
pulang.
Tak lama kemudian kami sadar kami menuju ke arah yang salah.
Kami berhenti di pinggir lapangan bulat yang kecil. Di atas kami burung-burung
ribut bersuara. Angin sepoi-sepoi menyebabkan daun pohon palem berderak-derak.
"Benda apa yang kelabu besar itu?" tanyaku sambil berjalan pelan-pelan di
belakang Emily.
"Kurasa jamur," jawabnya tenang.
"J amur sebesar bola," gumamku.
Kami berdua bersamaan melihat gubuk itu.
Tersembunyi di dalam bayangan dua pohon cypress rendah di ujung lapangan
tempat jamur raksasa.
Kami berdua ternganga heran, tanpa berkata apa-apa kami amati. Kami maju
beberapa langkah. Lalu maju lagi.
Gubuk itu kecil, rendah, tidak berbeda jauh daripada tinggiku. Atapnya dari
semacam lalang. Dindingnya dari lapisan-lapisan daun kelapa kering. Pintunya
terbuat dari rangkaian dahan-dahan pohon dan tertutup rapat. Tidak ada jendela.
Setumpuk abu berbentuk lingkaran terlihat tidak jauh dari pintu. Bekas api unggun.
Kulihat sepasang sepatu boot butut tergeletak di samping gubuk. Di sebelahnya
berserakan beberapa kaleng kosong dan sebuah botol air plastik, yang juga kosong,
penyok sebagian.
Aku berbalik pada Emily dan berbisik. "Menurutmu ada yang tinggal di sini? Di
tengah-tengah rawa?"
Ia mengangkat bahu, wajahnya tegang ketakutan.
"Kalau ada orang tinggal di sini, mungkin ia bisa memberitahu kita jalan ke
rumah," usulku.
"Mungkin," gumam Emily. Matanya menatap lurus ke gubuk kecil itu, yang
tertutup bayangan biru.
Kami maju dua langkah.
Kenapa ada orang mau tinggal di gubuk kecil begini di tengah-tengah rawa?
pikirku.
Sebuah jawaban melintas di pikiranku: Karena siapa pun dia, pasti ingin
menyembunyikan diri.
"Itu tempat persembunyian," gumamku, tidak sadar kalau bicara keras-keras.
"Penjahat. Perampok bank. Atau pembunuh. Ia sembunyi di sana."
"Sssst." Emily menempelkan jarinya ke bibirku supaya aku diam, jarinya mengenai
luka di bibirku. Aku mundur.
"Ada orang, di sini?" teriaknya. Suaranya terdengar rendah dan bergetar, begitu
rendah sehingga aku nyaris tidak bisa mendengarnya.
"Ada orang di sini?" ulangnya, sedikit lebih keras.
Akhirnya aku ikut-ikutan. Kami berteriak bersama, "Ada orang di rumah? Ada
orang di dalam?"
Kami mendengarkan.
Tidak ada jawaban.
Kami melangkah ke pintu yang rendah.
"Ada orang di dalam?" teriakku sekali lagi.
Lalu kupegang kenop pintu.






Chapter 6

TEPAT ketika aku akan mendorong pintu kayu itu, pintu itu terbuka, nyaris
mengenai kami berdua. Kami melompat mundur ketika seorang pria menyerbu
keluar dari balik pintu pondok.
Ditatapnya kami dengan matanya yang hitam liar. Rambutnya putih kelabu,
panjangnya melewati bahu, terikat longgar di punggungnya. Wajahnya merah
cerah, mungkin karena terbakar sinar matahari. Atau mungkin karena marah.
Dipandanginya kami dengan tatapan marah, ia berdiri membungkuk karena keluar
dari pondok yang rendah itu.
Ia mengenakan kaus putih longgar yang kotor dan kusut, dan celana hitam tebal
yang menggelembung di atas sandalnya.
Ketika ia memandangi kami dengan matanya yang sangat hitam, mulutnya terbuka,
menampakkan deretan gigi kuning runcing.
Sambil merapat pada kakakku, aku melangkah mundur. Aku ingin bertanya
padanya siapa dia, kenapa ia tinggal di rawa. Aku ingin bertanya apakah ia bisa
membantu kami menemukan jalan pulang.
Banyak pertanyaan melintas di kepalaku. Tapi aku cuma bisa berkata, "Uh...
maaf."
Lalu aku sadar ternyata Emily sudah kabur. Ekor kudanya berkibar-kibar di
belakangnya ketika ia lari menembus rerumputan tinggi.
Dan sedetik kemudian, aku lari mengejarnya. J antungku berdebar-debar. Sandalku
terbenam di tanah yang lunak.
"Hei, Emilytunggu! Tunggu!"
Aku lari melintasi hamparan daun dan ranting-ranting mati.
Ketika berusaha menyusulnya, aku menoleh ke belakang dan berteriak
ketakutan. "Emily ia mengejar kita!"







Chapter 7

LAKI-LAKI dari pondok itu lari mengejar kami sambil membungkuk rendah,
langkahnya panjang-panjang. Tangannya terayun-ayun di samping badannya.
Napasnya terengah-engah, dan mulutnya terbuka, menampakkan gigi-gigi runcing.
"Lari!" teriak Emily. "Lari, Grady!"
Kami lari mengikuti jalan setapak sempit di antara ilalang tinggi. Pohon-pohon
semakin jarang. Kami berlari melintasi bayangan, sinar matahari, dan masuk lagi
ke bayangan.
"Emily tunggu!" teriakku kehabisan napas. Tapi ia terus saja berlari kencang.
Di sebelah kiri kami tampak kolam yang panjang dan sempit. Pohon-pohon aneh
tumbuh di tengahnya. Batang-batangnya yang langsing dibelit akar-akar hitam.
Pohon bakau.
Aku ingin berhenti dan melihat pepohonan yang tampak mengerikan itu. Tapi
sekarang bukan saatnya untuk melihat-lihat.
Kami lari di sepanjang tepi kolam, sandal kami terbenam-benam di tanah lunak.
Lalu dengan dada naik-turun serta tenggorokan kering dan tercekik, kuikuti Emily
berbelok menuju ke tengah pepohonan.
Aku berteriak ketika bagian samping tubuhku terasa sakit sekali. Aku berhenti
berlari. Napasku terengah-engah.
"Hei dia sudah pergi," kata Emily kehabisan napas. Ia berhenti beberapa meter
di depanku dan bersandar ke batang pohon. "Kita berhasil meloloskan diri."
Aku membungkuk, berusaha menghilangkan rasa sakit di bagian samping tubuhku.
Sesaat kemudian napasku kembali normal.
"Aneh," Aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain.
"Yeah. Aneh," kata Emily setuju. Ia berjalan mendatangiku dan meluruskan
tubuhku. "Kau baik-baik saja?"
"Rasanya." Paling tidak sudah tidak terasa sakit. Bagian kanan tubuhku selalu
terasa sakit kalau aku lari lama-lama. Yang tadi lebih parah daripada biasanya.
Yah, aku kan tidak terbiasa lari untuk menyelamatkan diri!
"Ayo," kata Emily. Dilepaskannya aku dan ia berjalan cepat-cepat mengikuti jalan
setapak.
"Hei, yang ini kelihatannya kukenal," kataku. Aku merasa lebih baik. Aku berlari-
lari kecil. Kami melewati Segerombolan pohon dan semak yang kelihatannya tidak
asing lagi. Aku bisa melihat jejak tapak kaki kami di tanah berpasir, menuju ke
arah lain.
Sesaat kemudian tampak halaman belakang rumah kami.
"Senangnya sampai di rumah!" teriakku.
Emily dan aku keluar dari sela-sela pepohonan pendek dan segera berlari melintasi
lapangan rumput menuju bagian belakang rumah.
Mom dan Dad sedang memasang perabotan luar di halaman belakang. Dad sedang
memasang payung di meja payung putih. Mom sedang menyemprotkan air ke
kursi-kursi putih.
"Hei selamat datang," kata Dad tersenyum.
"Kami kira kalian tersesat," kata Mom.
"Memang!" seruku terengah-engah.
Mom mematikan keran sehingga tidak ada air yang keluar dari selang. "Kalian
apa?"
"Ada orang mengejar kami!" seru Emily. "Laki-laki aneh berambut putih panjang."
"Ia tinggal di pondok. Di tengah rawa," kataku, sambil duduk di salah satu kursi
taman. Kursinya basah, tapi aku tidak peduli.
"Hah? Ia mengejar kalian?" Mata Dad terbelalak kaget. Beliau lalu berkata, "Di
kota aku mendengar memang ada petapa di rawa sana."
"Ya, ia mengejar kita!" ulang Emily. Wajahnya yang biasanya pucat tampak merah
manyala. Rambutnya terurai kusut. "Me menakutkan."
"Orang di toko bahan bangunan menceritakan tentang dia padaku," kata Dad.
"Katanya orang itu aneh, tapi sama sekali tidak berbahaya. Tidak ada yang tahu
siapa namanya."
"Tidak berbahaya?" teriak Emily. "Kalau begitu kenapa ia mengejar-ngejar kita?"
Dad mengangkat bahu. "Aku hanya mengatakan apa yang kudengar. J elas hampir
seumur hidup ia tinggal di rawa. Sendirian. Ia tidak pernah datang ke kota."
Mom menjatuhkan selang dan mendekati Emily. Dipegangnya bahu Emily. Di
bawah sinar matahari yang cerah, mereka kelihatan seperti kakak-beradik. Mereka
sama-sama tinggi dan kurus, rambut mereka pirang, lurus, dan panjang. Aku lebih
mirip Dad. Rambut cokelat berombak. Mata hitam. Agak gemuk.
"Mungkin mereka sebaiknya tidak boleh pergi ke rawa sendirian," kata Mom
menggigit-gigit bibirnya. Dirapikannya rambut Emily dan diikatnya jadi ekor kuda.
"Petapa itu mestinya sama sekali tidak berbahaya," kata Dad lagi. Ia masih
bersusah payah memasang payung ke dasar beton.
Setiap kali ia menurunkan payung itu, tidak masuk ke lubang beton.
"Sini, Dad. Biar kubantu." Aku masuk ke kolong meja dan mengarahkan gagang
payung ke dasar beton.
"J angan takut," kata Emily. "Kalian takkan melihatku pergi ke rawa itu lagi."
Digaruknya kedua bahunya. "Aku pasti kegatalan seumur hidupku!" erangnya.
"Kami melihat banyak hal-hal hebat," kataku, perasaanku sudah mulai normal.
"Bog tanah liat dan pohon-pohon bakau..."
"Aku kan sudah bilang ini akan jadi pengalaman menarik," kata Dad, diaturnya
kursi-kursi putih di sekeliling meja.
"Pengalaman apaan," gerutu Emily, dibelalakkannya matanya. "Aku mau masuk
dan mandi. Mungkin kalau aku mandi selama satu jam, rasa gatalnya bisa hilang."
Mom menggeleng sambil mengamati Emily berjalan menghentak-hentak menuju
pintu belakang. "Tahun ini akan terasa berat bagi Em," gumamnya.
Dad mengusapkan kedua tangannya yang kotor ke sisi jins-nya.
"Ikut aku, Grady," katanya, sambil memberi tanda supaya aku mengikutinya.
"Waktunya untuk memberi makan kijang."

***

Saat makan malam kami membicarakan soal rawa itu lagi. Dad menceritakan
kisah-kisah bagaimana mereka memburu dan menjebak kijang-kijang rawa yang
digunakannya untuk percobaannya.
Dad dan para pembantunya menjelajahi hutan-hutan Amerika Selatan selama
berminggu-minggu. Mereka menggunakan peluru-peluru berisi obat penenang
untuk menangkap kijang. Lalu mereka harus menggunakan helikopter untuk
membawa kijang-kijang keluar, padahal kijang-kijang itu tidak suka terbang.
"Rawa yang kalian jelajahi tadi siang," katanya sambil memutar-mutar spagetinya.
"Tahu apa namanya? Fever Swamp, Rawa Demam. Paling tidak penduduk
setempat menyebutnya begitu."
"Kenapa?" tanya Emily. "Karena di sana panas sekali?"
Dad mengunyah dan menelan spagetinya. Kedua sisi mulutnya berlepotan dengan
noda saus tomat. "Aku tidak tahu kenapa dinamakan Rawa Demam. Tapi aku
yakin akhirnya nanti kita akan tahu juga.
"Mungkin rawa itu ditemukan orang yang bernama Mr. Fever," kata Mom
bercanda.
"Aku ingin pulang ke Vermont!" ratap Emily.

***

Setelah makan malam tiba-tiba aku juga merasa rindu pada rumahku yang dulu.
Kubawa bola tenis ke belakang rumah. Kurasa aku mungkin bisa me lempar-
lemparnya ke dinding dan menangkapnya lagi seperti waktu di rumah lama.
Tapi terhalang kandang kijang.
Kuingat-ingat dua teman akrabku di Burlington dulu, Ben dan Adam. Kami tinggal
di blok yang sama dan sehabis makan malam sering bermain-main bersama. Kami
suka lempar-lemparan bola atau berjalan-jalan ke tempat bermain atau sekadar
main-main saja.
Sambil memandangi kijang-kijang yang berdesak-desakan di ujung kandang,
kusadari aku sangat merindukan teman-temanku. Aku ingin tahu apa yang sedang
mereka lakukan saat ini. Mungkin sedang bermain-main di halaman belakang
rumah Ben.
Dengan sedih, aku berjalan kembali ke dalam dan ingin melihat apa acara televisi.
Tiba-tiba ada tangan mencengkeramku dari belakang.
Si petapa rawa!








Chapter 8

IA menemukan aku!
Si petapa rawa menemukan aku! Dan sekarang ia menangkapku!
Itulah yang langsung ada di pikiranku.
Aku berbalikdan berteriak terkejut waktu melihat ternyata yang
mencengkeramku bukan si petapa rawa. Ternyata anak laki-laki.
"Hai," katanya. "Kukira kau melihatku. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu."
Suaranya aneh, serak dan parau.
"Oh. Uh... tidak apa-apa," kataku tergagap.
"Aku melihatmu di halaman rumahmu," katanya. "Aku tinggal di sana."
Ditunjuknya rumah yang berjarak dua rumah dari rumahku.
"Kau baru pindah?"
Aku mengangguk.
"Yeah. Namaku Grady Tucker." Kutangkap bola tenisku. "Siapa namamu?"
"Will. Will Blake," katanya dengan suara parau.
Tingginya hampir sama dengan tinggi badanku, tapi ia lebih berisi dan lebih
besar. Bahunya lebih lebar. Lehernya lebih besar. Ia mengingatkan aku pada
pemain football.
Rambutnya cokelat tua dan sangat pendek dengan potongan lurus, seperti atap
datar, dan bagian sampingnya disisir ke belakang. Ia mengenakan kaus garis-garis
biru putih dan celana pendek jins.
"Berapa umurmu?" tanyanya.
"Dua belas," jawabku.
"Aku juga," katanya, diliriknya kijang-kijang di belakangku. "Kukira umurmu
sebelas tahun. Maksudku, kau kelihatan muda."
Aku merasa terhina mendengarnya tapi tidak kupedulikan.
"Sudah berapa lama kau tinggal di sana?" tanyaku, sambil melempar-lemparkan
bola tenis dari tangan yang satu ke tangan yang lain.
"Beberapa bulan," kata Will.
"Di sini ada anak-anak lain seumur kita?" tanyaku, kupandang sekilas enam rumah
yang berderet di sekitar rumahku.
"Yeah. Satu orang," jawab Will. "Tapi dia anak perempuan. Dan agak aneh."
Di kejauhan matahari mulai terbenam di balik pepohonan rawa. Langit berwarna
merah tua. Udara tiba-tiba terasa lebih sejuk. J auh di atas langit tampak bulan
pucat, hampir purnama.
Will berjalan mendekati kandang kijang, aku mengikutinya. Langkahnya berat,
bahunya yang bidang naik-turun setiap ia melangkah. Diulurkannya tangannya dari
sela-sela kawat dan dibiarkannya telapak tangannya dijilati kijang.
"Ayahmu bekerja di Dinas Kehutanan juga?" tanyanya, matanya mengamati
kijang.
"Tidak," kataku. "Ibu dan ayahku ilmuwan. Mereka mempelajari kijang-kijang
ini."
"Kijang-kijang aneh," kata Will. Ditariknya tangannya dari dalam kandang dan
dipandanginya. "Hii. Kotoran kijang."
Aku tertawa. "Namanya kijang rawa," kataku. Kulemparkan bola tenis padanya.
Kami menjauh dari kandang kijang dan main lempar-lemparan bola.
"Kau pernah pergi ke rawa?" tanyanya.
Tangkapanku meleset, aku terpaksa mengejar bola.
"Yeah. Tadi siang," kataku. "Aku dan kakakku, kami tersesat."
Ia terkekeh.
"Kau tahu kenapa rawa itu dinamakan Rawa Demam?" tanyaku, kulempar bola
tinggi-tinggi ke arahnya.
Cuaca sudah lumayan gelap, semakin susah untuk melihat. Tapi ia bisa menangkap
bola dengan satu tangan saja.
"Yeah. Ayahku menceritakan riwayatnya," kata Will. "Kurasa seratus tahun yang
lalu. Mungkin lebih. Semua penduduk kota terserang demam aneh."
"Semuanya?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Semua yang pernah pergi ke rawa."
Dipegangnya bola dan maju mendekat.
"Kata ayahku demamnya baru sembuh setelah berminggu-minggu, kadang-kadang
malah berbulan-bulan. Dan banyak yang mati karena demam itu."
"Mengerikan," gumamku melirik pepohonan gelap di pinggir rawa di kejauhan.
"Dan orang-orang yang tidak mati karena demam itu mulai berkelakuan aneh,"
kata Will lagi.
Matanya kecil, bulat. Dan ketika bercerita, matanya berkilat-kilat. "Bicara mereka
kacau, tidak bisa dimengerti, hanya mengucapkan kata-kata tak masuk akal. Dan
mereka tidak bisa berjalan dengan baik. Mereka sering terjatuh atau berjalan
berputar-putar."
"Aneh," kataku, mataku masih terpaku menatap rawa. Langit berubah warna dari
merah menjadi ungu tua. Bulan yang hampir purnama tampak bersinar makin
terang.
"Sejak saat itu mereka menamakannya Rawa Demam," kata Will mengakhiri
ceritanya. Dilemparkannya bola tenis ke arahku. "Sebaiknya aku pulang."
"Kau pernah melihat si petapa rawa?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Tidak. Aku sudah mendengar tentang dia, tapi belum pernah
melihatnya."
"Aku sudah," kataku. "Aku dan kakakku tadi siang melihatnya. Kami menemukan
pondoknya."
"Hebat!" seru Will. "Kau berbicara dengan dia?"
"Tidak mau," jawabku. "Ia mengejar-ngejar kami."
"Oya?" Ekspresi wajah Will jadi serius. "Kenapa?"
"Entahlah. Kami lumayan ketakutan," kataku mengaku.
"Aku harus pergi," kata Will. Ia segera berlari-lari ke rumahnya.
"Hei, mungkin kau dan aku bisa pergi menjelajahi rawa itu bersama-sama,"
teriaknya.
"Yeah. Asyik!" jawabku.
Aku merasa lebih riang sedikit. Aku punya teman baru. Mungkin tinggal di sini
tidaklah terlalu sengsara, pikirku.
Kuamati Will berlari menuju bagian samping rumahnya. Rumahnya mirip dengan
rumahku, tapi tentu saja di belakang rumahnya tidak ada kandang kijang.
Kulihat di halaman belakang rumahnya ada ayunan, seluncuran kecil, dan papan
jungkat-jungkit. Aku ingin tahu apa ia punya adik.
Sambil berjalan ke rumah aku teringat Emily. Aku tahu ia pasti iri karena aku
punya teman baru. Emily yang malang benar-benar sedih tanpa kehadiran Martin
goblok itu.
Aku tidak suka pada Martin. Ia selalu memanggilku "Kiddo".
Kuamati salah satu kijang merunduk ke tanah dan dengan anggun melipat kakinya.
Kijang lain mengikutinya. Mereka bersiap-siap untuk istirahat malam.
Aku masuk ke rumah dan bergabung bersama keluargaku di ruang duduk. Mereka
sedang menonton acara tentang ikan hiu di Discovery Channel, saluran televisi
khusus tentang alam. Orangtuaku menyukai Discovery Channel. Tidak
mengherankan kan?
Aku ikut menonton sebentar. Lalu aku tersadar badanku terasa tidak sehat.
Kepalaku sakit, pelipisku berdenyut-denyut. Dan aku menggigil.
Kuberitahu Mom. Ia bangun dan berjalan ke kursiku.
"Kau kelihatan agak merah," katanya, diamatinya aku dengan penuh perhatian.
Disentuhnya dahiku dengan tangannya yang dingin dan dirasakannya selama
beberapa saat.
"Grady, kurasa kau demam," katanya.







Chapter 9

BEBERAPA malam kemudian, untuk pertama kalinya kudengar lolongan yang
aneh dan menyeramkan itu.
Suhu badanku mencapai 40 C dan tetap begitu seharian. Lalu demamku sembuh.
Lalu datang lagi.
"Ini demam rawa!" kataku pada orangtuaku tadi. "Tak lama lagi kelakuanku jadi
gila."
"Kau sudah berkelakuan gila," goda Mom. Disodorkannya segelas jus jeruk.
"Minum. Minum terus."
"Minum tidak menyembuhkan demam rawa," kataku bersikeras, tapi kuambil juga
gelas itu. "Demam ini tidak ada obatnya."
Mom menyuruhku diam. Dad melanjutkan membaca majalah ilmu pengetahuan
ilmiahnya.
Malam itu aku bermimpi aneh, mimpi yang meresahkan. Aku seperti kembali ke
Vermont, berlari-lari menerobos salju. Ada sesuatu mengejarku. Kurasa mungkin
si petapa rawa. Aku terus berlari-lari.
Aku sangat kedinginan. Dalam mimpi itu aku menggigil.
Aku berbalik untuk melihat siapa yang mengejarku. Tidak ada orang. Tiba-tiba aku
berada di rawa. Aku terbenam di bog tanah liat.
Bog itu berdeguk-deguk di sekelilingku, hijau dan kental, suaranya mengisap-isap
menjijikkan.
Bog itu mengisapku semakin dalam. Semakin dalam...
Suara lolongan membuatku terbangun.
Aku duduk tegak di tempat tidur dan menatap bulan hampir purnama di luar
jendela. Bulan itu berada tepat di depan jendela, tampak keperakan dan cemerlang
dilatarbelakangi langit biru kehitaman.
Terdengar suara lolongan panjang lagi.
Aku sadar sekujur tubuhku gemetaran. Basah berkeringat. Piamaku menempel di
punggungku.
Sambil mencengkeram selimut dengan dua tangan, aku memasang kuping.
Lolongan lagi. Lolongan binatang.
Dari rawa?
Lolongan itu terdengar sangat dekat. Tepat di luar jendela.
Lolongan yang panjang dan marah.
Kusingkirkan selimut dan kuinjak lantai. Aku masih gemetaran, kepalaku
berdenyut waktu aku berdiri. Kurasa aku masih demam.
Lolongan panjang lagi.
Aku berjalan ke ruang tengah dengan kaki gemetar. Aku harus mengetahui apakah
orangtuaku mendengar lolongan itu atau tidak.
Aku berjalan dalam kegelapan dan menabrak meja rendah di ruang tengah. Aku
masih belum terbiasa dengan rumah baru ini.
Kakiku sedingin es, tapi kepalaku panas sekali rasanya, seperti ada apinya. Sambil
mengusap-usap lututku yang tertabrak meja tadi, kutunggu sampai mataku terbiasa
menatap dalam kegelapan. Lalu aku melangkah ke ruang tengah lagi.
Kamar orangtuaku terletak di dekat dapur di bagian belakang rumah. Aku sudah
setengah melewati dapur waktu berhenti tiba-tiba.
Suara apa itu?
Suara menggaruk-garuk.
Napasku tercekat. Aku berdiri diam, tanganku tergantung kaku.
Kudengarkan.
Suara itu terdengar lagi.
Kressk. Kressk. Kressk.
Seseorangatau sesuatumenggaruk-garuk pintu dapur. Lalulolongan lagi.
Begitu dekat. Amat sangat dekat.
Kressk. Kressk. Kressk.
Siapa ya? Sejenis binatang? Tepat di luar rumah? Sejenis binatang rawa melolong
dan menggaruk-garuk pintu?
Aku sadar sudah lama kutahan napas. Kuhembuskan napas, lalu kuhirup lagi
udara.
Kudengarkan dengan cermat, berusaha keras mengatasi suara debaran jantungku.
Lemari es tiba-tiba menyala. Suaranya yang keras hampir membuatku terlonjak.
Kucengkeram permukaan meja. Tanganku sedingin kakiku, dingin dan basah.
Kudengarkan.
Kressk. Kressk. Kressk.
Aku maju selangkah ke pintu dapur. Selangkah, aku lalu berhenti.
Bulu romaku meremang.
Aku sadar aku tidak sendirian.
Ada orang bernapas di sampingku, di dapur yang gelap.







Chapter 10

AKU terkesiap. Saking kerasnya mencengkeram permukaan meja, tanganku jadi
sakit.
"Si-siapa di sana?" bisikku.
Lampu dapur menyala.
"Emily!" Karena terkejut dan lega, aku benar-benar meneriakkan namanya.
"Emily"
"Kau dengar lolongan tadi?" tanyanya, suaranya berbisik. Matanya yang biru
menatapku tajam.
"Ya. Aku jadi terbangun," kataku. "Kedengarannya marah sekali."
"Seperti lolongan sebelum menyerang," bisik Emily. "Kenapa kau kelihatan aneh
begitu, Grady?"
"Hah?" Pertanyaannya membuatku kaget.
"Wajahmu merah semua," katanya. "Dan lihatlahsekujur tubuhmu gemetaran."
"Kurasa aku demam lagi," kataku.
"Demam rawa," gumamnya, diamatinya aku dengan matanya. "Mungkin kau
terserang demam rawa seperti yang kauceritakan padaku."
Aku berbalik ke arah pintu dapur.
"Kaudengar suara menggaruk-garuk?" tanyaku. "Ada yang menggaruk-garuk pintu
belakang."
"Ya," bisiknya. Dipandanginya pintu.
Kami berdua mendengarkan.
Sepi.
"Apa menurutmu ada kijang yang lepas?" tanyanya sambil melangkah ke arah
pintu. Tangannya terlipat di depan mantel merah muda-putihnya.
"Kaukira kijang bisa menggaruk-garuk pintu?" tanyaku.
Pertanyaan itu konyol sekali, kami berdua jadi tertawa terbahak-bahak.
"Mungkin ia ingin segelas air!" seru Emily, dan kami tertawa lagi. Tawa tidak
enak. Tawa gelisah.
Kami berdua mendadak berhenti tertawa, dan mendengarkan.
Terdengar lagi lolongan di luar, seperti sirene polisi.
Kulihat mata Emily menyipit karena takut.
"Itu serigala!" serunya berbisik. Ditutupnya mulutnya dengan satu tangan. "Cuma
serigala yang bersuara seperti itu, Grady."
"Emily, jangan begitu" kataku.
"Tidak. Aku betul," katanya bersikeras. "Itu lolongan serigala."
"Em, hentikan," kataku, terduduk di kursi dapur. "Tidak ada serigala di rawa
Florida. Kau bisa membacanya di buku petunjuk. Atau lebih baik lagi, tanya Mom
dan Dad. Serigala tidak hidup di rawa."
Ia mulai membantah, tapi suara garukan di pintu membuatnya terdiam.
Kressk. Kressk. Kressk.
Kami berdua mendengarnya. Kami berdua terkesiap.
"Apa itu?" bisikku. Lalu, ketika melihat ekspresi wajahnya, cepat-cepat
kutambahkan, ''J angan bilang itu serigala."
"Akuaku tidak tahu," jawabnya, dipegangnya wajahnya dengan kedua tangan.
Aku tahu ia panik. "Ayo kita panggil Mom dan Dad."
Kupegang pegangan pintu. "Kita lihat saja dulu sebentar."
Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanianku. Mungkin karena demam. Tiba-
tiba aku ingin memecahkan misteri ini.
Siapa atau apa yang menggaruk-garuk pintu?
Ada satu cara tepat untuk mengetahuinyabuka pintu dan lihat ke luar.
"J angan, Gradytunggu!" kata Emily memohon. Tapi kuabaikan protesnya.
Kuputar kenop pintu dan kutarik pintu dapur sampai terbuka.








Chapter 11

UDARA panas dan basah menyerbu masuk melalui pintu yang terbuka. Terdengar
suara cengkerik mengerik.
Sambil berpegangan di pintu, kupandangi halaman belakang yang gelap.
Tidak ada apa-apa.
Bulan yang hampir purnama, kuning seperti jeruk lemon, terletak jauh di langit.
Lapisan tipis awan hitam melewatinya.
Tiba-tiba cengkerik berhenti mengerik, suasana jadi sunyi senyap.
Terlalu sunyi.
Kupicingkan mata menatap rawa gelap di kejauhan.
Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang bersuara.
Kutunggu sampai mataku menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Sinar bulan remang-remang menerangi rumput. Di kejauhan aku bisa melihat garis
deretan pepohonan miring di tepi rawa.
Siapa atau apa yang tadi menggaruk-garuk pintu?
Apakah sekarang mereka bersembunyi dalam kegelapan?
Mengamati aku?
Menungguku menutup pintu supaya mereka bisa melolong menakutkan lagi?
"Gradytutup pintunya."
Kudengar suara kakakku dari belakang. Ia kedengaran takut sekali.
"Gradykau lihat sesuatu? Ya?"
"Tidak," kataku. "Cuma bulan."
Aku melangkah ke teras belakang. Udara terasa panas dan pengap, seperti udara di
kamar mandi setelah kau mandi air panas.
"Gradykembalilah. Tutup pintunya." Suara Emily melengking dan bergetar.
Kupandang kandang kijang. Aku bisa melihat sosok mereka, tidak bergerak dan
bersuara. Angin panas bergemerisik di rerumputan.
Cengkerik mulai mengerik lagi.
"Ada orang di sana?" seruku.
Aku segera merasa tolol. Tidak ada siapa-siapa.
"Gradytutup pintunya. Sekarang."
Kurasakan Emily memegang tangan piamaku. Ditariknya aku masuk ke dapur lagi.
Kututup pintu dan kukunci.
Mukaku terasa basah karena terkena udara malam yang lembap.
Aku gemetaran. Lututku bergetar.
"Kau kelihatan tidak sehat," kata Emily. Diliriknya pintu di belakangku. "Kau lihat
sesuatu?"
"Tidak," kataku. "Tidak ada apa-apa. Gelap sekali di belakang, biarpun ada bulan
purnama."
"Ada apa ini?" Suara tegas membuat kami terdiam. Dad masuk ke dapur, sambil
merapikan kerah baju tidur panjang yang selalu dikenakannya. "Sekarang sudah
lewat tengah malam."
Dipandanginya Emily dan aku bergantian dengan bingung.
"Kami mendengar suara-suara," kata Emily. "Ada lolongan di luar."
"Lalu ada sesuatu menggaruk-garuk pintu," kataku menambahkan, berusaha
menghentikan getaran lututku.
"Mimpi karena demam," kata Dad padaku. "Lihatlah. Kau merah seperti tomat.
Dan gemetaran. Coba kuukur suhu tubuhmu. Kau pasti demam tinggi."
Ia berjalan ke kamar mandi untuk mengambil termometer.
"Tadi itu bukan mimpi," seru Emily pada Dad. "Aku juga mendengar suara-suara
Dad berhenti di pintu. "Sudah kau periksa kijang-kijang?"
"Yeah. Mereka tidak apa-apa," kataku.
"Kalau begitu mungkin tadi cuma angin. Atau makhluk di rawa. Sulit tidur di
rumah baru. Suara-suaranya baru semua, begitu asing. Tapi kalian berdua sebentar
lagi pasti sudah terbiasa."
Aku takkan pernah terbiasa dengan lolongan-lolongan menyeramkan itu, pikirku
bersikeras. Tapi aku kembali juga ke kamarku.
Dad mengukur suhu tubuhku. Hanya sedikit di atas normal.
"Besok kau sudah sembuh," katanya, sambil menyelimutiku. "Malam ini jangan
keluyuran lagi, ya?"
Aku menggumam dan hampir seketika itu juga langsung tertidur tidak nyenyak.
Sekali lagi aku bermimpi aneh dan tidak menyenangkan. Aku bermimpi sedang
berjalan-jalan di rawa. Kudengar lolongan. Aku bisa melihat bulan purnama di
antara batang-batang pohon langsing di rawa.
Aku mulai berlari. Lalu tiba-tiba aku sudah terbenam sepinggang di dalam bog
yang hijau dan kental. Dan lolongan-lolongan itu terus berlanjut, susul menyusul,
bergema di antara pepohonan sementara aku tenggelam ke dalam bog suram itu.

***

Ketika terbangun keesokan paginya, aku masih teringat mimpi itu terus. Aku ingin
tahu apakah lolongannya nyata, atau hanya mimpi.
Ketika bangun dari tempat tidur, aku merasa sehat. Cahaya matahari pagi masuk
dari jendela. Aku bisa melihat langit berwarna biru cerah. Pagi yang indah itu
membuatku lupa pada mimpi burukku.
Aku ingin tahu apakah pagi ini Will ada. Mungkin ia dan aku bisa pergi
menjelajahi rawa.
Aku cepat-cepat berpakaian, kukenakan jins pudar dan kaus Raiders berwarna
hitam-perak. (Aku bukan penggemar Raiders. Aku cuma suka warnanya.)
Kumakan semangkuk Frosted Flakes, kubiarkan Mom meraba dahiku untuk
memastikan aku sudah tidak demam, dan bergegas pergi ke pintu belakang.
"Wow. Tunggu dulu," seru Mom, diletakkannya cangkir kopinya. "Mau ke mana
kau pagi-pagi begini?"
"Aku ingin melihat apa Will ada di rumah," kataku. "Kami mungkin akan main-
main atau apalah."
"Oke. Tapi jangan terlalu lama, ya," katanya. "J anji?"
"Yeah. J anji," jawabku.
Kubuka pintu dapur, melangkah ke udara luar yang bermandi sinar mataharidan
menjerit ketika monster hitam yang sangat besar menerjang dadaku dan
menjatuhkan aku ke tanah.







Chapter 12

"IAia menangkapku!" jeritku ketika makhluk itu mendorongku ke tanah dan
melompat ke dadaku. "Tolong! Iaia menjilati mukaku!"
Saking terkejutnya, lama baru kusadari yang menyerangku itu ternyata seekor
anjing.
Ketika Mom dan Dad menolongku dan menarik makhluk besar itu dari dadaku,
aku tertawa. "Hei geli! Berhenti!"
Kuusap ludah anjing itu dari wajahku dan bersusah payah bangun.
"Dari mana asalmu?" tanya Mom pada anjing itu. Ia dan Dad memegangi makhluk
besar itu.
Mereka berdua melepaskannya, dan anjing itu berdiri sambil sibuk mengibas-
ngibaskan ekornya, terengah-engah, lidahnya yang besar dan merah terjuntai
benar-benar sampai tanah.
"Ia besar sekali!" seru Dad. "Pasti ada keturunan anjing gembalanya."
Aku masih membersihkan ludahnya yang licin dari pipiku.
"Ia membuatku ketakutan setengah mati," kataku mengaku. "Ya kan, sobat?"
Aku membungkuk dan membelai bulu kelabu panjang di kepalanya. Ekornya yang
panjang mulai berkibas-kibas lebih cepat.
"Ia suka padamu," kata Mom.
"Ia hampir membunuhku!" seruku. "Lihatlah. Pasti beratnya lebih dari lima puluh
kilo!"
"Kau ya yang mengaruk-garuk pintu kami tadi malam?" Emily muncul di pintu,
masih mengenakan kaus panjang yang digunakannya sebagai baju tidur.
"Kurasa ini menyelesaikan misterinya," katanya padaku, sambil menguap dan
menarik rambut pirangnya ke belakang bahu dengan kedua tangan.
"Begitulah," gumamku. Aku berlutut di samping anjing besar itu dan mengusap
punggungnya. Ia menoleh dan menjilat pipiku lagi.
"Hii! Hentikan!" kataku.
"Aku ingin tahu dia milik siapa," kata Mom, sambil menatap anjing itu serius.
"Grady, periksa kalungnya. Mungkin ada namanya."
Kupegang leher tegap anjing itu dan kuraba-raba bulunya untuk mencari
kalungnya. "Tidak ada," kataku.
"Mungkin ia anjing yang tersesat," kata Emily dari dalam dapur. "Mungkin itu
sebabnya tadi malam ia menggaruk-garuk pintu."
"Yeah," kataku cepat. "Ia perlu tempat tinggal."
"Wow," kata Mom, sambil menggeleng. "Kurasa kita sekarang belum memerlukan
anjing, Grady. Kita baru pindah, dan"
"Tapi aku perlu binatang piaraan!" kataku ngotot. "Di sini sepi sekali. Kalau ada
anjing pasti asyik, Mom. Ia bisa menemaniku."
"Kau punya binatang piaraan kijang," kata Dad, dahinya berkerut. Ia berbalik
menatap kandang kijang. Keenam kijang itu berdiri waspada penuh perhatian,
menatap anjing itu.
"Aku tidak bisa membawa kijang jalan-jalan!" protesku. "Lagi pula, Dad akan
membebaskan kijang-kijang itu, kan?"
"Anjing itu mungkin ada yang punya," kata Mom. "Kau tidak bisa langsung
memiliki anjing yang datang. Lagi pula, ia besar sekali, Grady. Ia terlalu besar
untuk"
"Ah, biar saja ia memeliharanya," seru Emily dari dalam rumah.
Aku terkejut menatapnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali Emily dan aku punya
pendapat sama dalam masalah keluarga.
Perdebatan berlangsung selama beberapa saat lagi. Semua setuju bahwa anjing itu
kelihatannya manis dan lembut meskipun tubuhnya besar sekali. Dan ia jelas
sangat penyayang. Aku tidak bisa melarangnya menjilatiku.
Kulihat Will keluar dari rumahnya dan melintasi halaman belakang mendatangi
kami. Ia mengenakan kaus biru tanpa lengan dan celana pendek lycra biru.
"Hai! Lihat apa yang kami temukan!" seruku.
Kuperkenalkan Will pada ayah dan ibuku. Emily sudah menghilang lagi ke
kamarnya untuk berganti pakaian.
"Kau pernah melihat anjing ini?" tanya Dad pada Will. "Apa ia anjing milik orang
dari sekitar sini?"
Will menggeleng. "Bukan. Tidak pernah melihatnya." Dengan hati-hati dielusnya
kepala anjing itu.
"Dari mana asalmu, sobat?" tanyaku, kutatap mata makhluk itu.
Matanya sebiru langit.
"Ia lebih mirip serigala daripada anjing," kata Will.
"Yeah. Memang," kataku setuju.
"Kau ya, yang tadi malam melolong seperti serigala?" tanyaku pada anjing itu.
Ia berusaha menjilat hidungku, tapi aku berhasil mengelak.
Kupandang Will. "Kau dengar lolongan-lolongan tadi malam? Benar-benar aneh."
"Tidak. Aku tidak dengar apa-apa," jawab Will. "Aku kalau tidur nyenyak sekali.
Ayahku masuk ke kamarku dan berteriak memakai pengeras suara untuk
membangunkan aku pagi-pagi. Betul!"
Kami semua tertawa.
"Ia memang kelihatan seperti serigala," kata Mom sambil menatap mata biru anjing
itu.
"Serigala lebih kurus," kata Dad. "Moncongnya lebih kecil. Kurasa ia ada
keturunan serigalanya. Tapi di daerah ini rasanya tidak mungkin."
"Kita namakan dia Wolf saja," kataku bersemangat. "Itu nama yang pas untuknya."
Aku berdiri.
"Hai, Wolf," seruku pada anjing itu. "Wolf! Hai, Wolf!"
Kupingnya berdiri tegak.
"Betul kan? Ia suka namanya!" seruku. "Wolf! Wolf!"
Ia menyalak pendek padaku.
"Boleh aku memeliharanya?" tanyaku.
Mom dan Dad berpandang-pandangan. "Lihat saja nanti," kata Mom.

***

Siang itu, Will dan aku pergi menjelajah ke rawa. Aku teringat mimpi burukku
tentang rawa. Tapi sekuat tenaga kulupakan.
Hari itu panas sekali. Matahari bersinar cerah di langit yang bersih tak berawan.
Ketika kami melintasi halaman belakang rumahku, aku berharap semoga suhu di
bawah pepohonan di rawa lebih sejuk.
Kulirik Wolf. Ia sedang tidur menyamping bermandikan sinar matahari, keempat
kakinya terjulur di depannya.
Sebelum makan siang tadi, kami sudah memberinya makan, sisa-sisa daging bekas
makan malam. Ia melahapnya dengan rakus.Lalu, setelah meminum semangkuk
penuh air, ia merebahkan diri ke rumput di depan teras belakang untuk tidur siang.
Will dan aku mengikuti jalan setapak menuju pepohonan miring. Kupu-kupu
hitam-jingga, empat atau lima ekor, beterbangan di sekitar rumpun bunga-bunga
liar.
"Hei!" teriakku ketika kakiku terbenam ke tanah lunak. Ketika kutarik keluar,
sepatuku tertutup pasir basah.
"Kau sudah lihat bog-nya?" tanya Will. "Asyik, lho."
"Yeah. Ayo kita ke sana," kataku penuh semangat. "Kita bisa melempar-lempar
ranting dan sebagainya, dan melihatnya terbenam."
"Menurutmu pernah tidak orang tenggelam di bog itu?" tanya Will serius.
Diusirnya nyamuk dari dahinya, lalu digaruknya rambut pendeknya yang cokelat
tua.
"Mungkin," jawabku sambil mengikutinya ketika ia keluar dari jalan setapak dan
berjalan menerobos serumpun alang-alang tinggi.
"Menurutmu bog itu benar-benar bisa mengisapmu, seperti pasir isap?"
"Kata ayahku pasir isap itu tidak ada," kata Will.
"Aku yakin ada," kataku. "Aku yakin pasti ada orang tidak sengaja jatuh ke dalam
bog dan terisap. Kalau kita bawa tangkai pancing, kita bisa memancing tulang-
tulang mereka."
"J ijik," katanya.
Kami berjalan di atas hamparan daun-daun cokelat kering. Sepatu kami berderak-
derak ketika kami berjalan menuju bog di bawah pohon palem yang berbelit-belit.
Tiba-tiba Will berhenti. "Sssst."
Ditempelkannya jari ke mulutnya.
Aku juga mendengarnya.
Berderak-derak di belakang kami.
Suara langkah kaki.
Kami berdiri diam, mendengarkan dengan cermat. Suara langkah kaki itu semakin
dekat.
Mata Will yang kelam menyipit karena takut.
"Ada yang mengikuti kita," gumamnya. "Si petapa rawa!








Chapter 13

"CEPATsembunyi!" seruku.
Will merunduk masuk ke balik serumpun rumput tinggi yang lebat. Aku berusaha
mengikutinya, tapi tempatnya terlalu kecil.
Sambil merangkak-rangkak, aku panik mencari tempat persembunyian.
Suara derak daun kering terdengar semakin jelas.
Suara langkah kaki semakin dekat.
Aku merangkak ke semak-semak.
Tidak. Tidak bisa menutupiku.
Serumpun semak di seberangku juga terlalu rendah.
Suara langkah kaki itu semakin dekat.
Semakin dekat.
"Sembunyi! Sembunyi!" desak Will.
Tapi aku terjebak di tempat terbuka. Terperangkap.
Aku susah payah bangun tepat ketika pengejar kami muncul.
"Wolf!" teriakku.
Ekor anjing besar itu segera sibuk mengibas-ngibas begitu melihatku. Ia menyalak
senangdan melompat.
"Tidak!" teriakku.
Kaki depannya menghantam dadaku. Aku jatuh terduduk ke ilalang tinggi dan
menimpa Will.
"Hei!" teriaknya dan bangun.
Wolf menyalak gembira dan menindihku, berusaha menjilati mukaku.
"Wolfturun! Turun!" teriakku. Aku berdiri dan menyingkirkan daun-daun kering
dari kausku.
"Wolf, kau tidak boleh begitu, Boy," kataku. "Kau bukan anjing kecil, tahu?"
"Bagaimana caranya ia bisa menemukan kita?" tanya Will, sambil menarik duri
dari bagian belakang celana pendek lycra-nya.
"Kurasa karena penciumannya yang tajam," jawabku, kupandangi anjing yang
terengah-engah senang itu. "Mungkin ia ada keturunan anjing pemburu."
"Ayo ke bog," kata Will tidak sabaran. Ia mulai berjalan, tapi Wolf memaksa
melewatinya, nyaris membuat Will terjatuh, dan berlari-lari kecil menuju bog.
Kakinya yang kuat melangkah panjang-panjang dan mantap.
"Wolf sepertinya tahu ke mana kita pergi," kataku agak terkejut.
"Mungkin ia pernah kemari," jawab Will. "Mungkin ia anjing rawa."
"Mungkin," kataku serius sambil memandangi Wolf. Dari mana asalmu, Wolf?
pikirku. Ia jelas tampak mengenal rawa ini.
Sesaat kemudian, kami sampai di tepi bog tanah liat. Kuhapus keringat di dahiku
dengan punggung tangan dan kutatap kolam berbentuk oval itu.
Berkas sinar matahari membuat permukaannya yang hijau jadi berpendar-pendar.
Ribuan serangga putih kecil beterbangan di atasnya, berkilauan seperti berlian
karena terkena cahaya.
Will memungut ranting kecil. Dipatahkannya jadi dua. Lalu dilemparkannya
sepotong jauh-jauh.
Ranting itu mengenai permukaan bog dan berbunyi buk, bukannya byur. Lalu
tergeletak begitu saja. Ranting itu tidak terbenam.
"Aneh," kataku. "Ayo kita coba yang lebih berat."
Aku segera mencari-cari, tapi perhatianku terpecah waktu mendengar suara
geraman pelan. Aku berbalik ke arah suara itu. Aku terkejut, asalnya dari Wolf.
Anjing itu merunduk. Sekujur tubuhnya berdiri kaku, seperti dalam posisi
menyerang. Bibirnya yang hitam tertarik ke belakang, menampakkan dua baris gigi
tajam. Ia menggeram-geram pelan.
"Kurasa ia mencium ada bahaya," kata Will pelan.







Chapter 14

WOLF menggeram marah lagi, tampak giginya yang runcing-runcing. Bulu di
punggungnya berdiri kaku. Kakinya menegang seperti bersiap-siap akan
menyerang.
Aku mengangkat kepala ketika mendengar suara ranting patah. Kulihat ada sosok
kelabu melesat di balik ilalang tinggi di seberang bog.
"Sisiapa itu?" bisik Will.
Aku menatap lurus ke depan, tidak sanggup bicara.
"Apakah" kata Will.
"Ya," akhirnya aku bisa bersuara. "Itu dia. Si petapa rawa."
Aku cepat-cepat berlutut, berharap semoga tidak kelihatan.
Tapi apa ia sudah melihat kami?
Apa dari tadi ia sudah berada di seberang bog?
Pikiran Will pasti sama dengan pikiranku.
"Apa si aneh itu memata-matai kita?" tanyanya sambil merapat ke sampingku.
Wolf menggeram pelan, ia masih berdiri kaku di tempatnya, siap menyerang.
Dengan posisi berlutut, kudekati anjing itu. Kurasa karena ingin dilindungi.
Kuamati orang aneh itu berjalan menerobos ilalang. Rambutnya yang panjang dan
putih-kelabu tampak berantakan. Ia terus-menerus menoleh ketika berjalan, seperti
ingin memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Ia memanggul karung cokelat.
Ia menatap ke arah kami. Aku semakin merunduk, berusaha bersembunyi di
belakang Wolf, jantungku berdebar-debar.
Wolf tidak bergerak, tapi sekarang sudah tidak menggeram lagi. Telinganya masih
tertekuk ke belakang, mulutnya masih terbuka tak bersuara.
Noda hitam apa yang tampak di bagian depan kemeja kotor petapa rawa itu?
Noda darah?
Aku bergidik.
Wolf menatap lurus ke depan tanpa berkedip, tanpa menggerakkan satu otot pun.
Petapa rawa itu menghilang di balik ilalang tinggi. Kami tidak bisa melihatnya,
tapi bisa mendengar langkah kakinya menginjak dedaunan kering dan ranting
pohon.
Kulirik Wolf. Anjing besar itu mengibas-ngibaskan bulunya, seperti ingin
menghilangkan petapa rawa itu dari pikirannya. Ekornya bergoyang-goyang pelan.
Tubuhnya tidak tegang lagi. Ia menguik pelan, seperti ingin mengatakan padaku
betapa takutnya ia tadi.
"Tenang, Boy," kataku pelan dan kuelus bulu lembut di kepalanya. Ia berhenti
menguik-nguik dan menjilat pergelangan tanganku.
"Orang itu menyeramkan!" seru Will seraya pelan-pelan berdiri.
"Ia bahkan bisa membuat anjingku ketakutan," kataku, sambil mengelus-elus Wolf.
"Kira-kira apa ya, isi karungnya?"
"Mungkin kepala orang!" kata Will, matanya yang kelam terbelalak ngeri.
Aku tertawa. Tapi langsung berhenti begitu melihat Will tidak main-main.
"Semua orang bilang ia tidak berbahaya," kataku.
"Bagian depan bajunya penuh darah," kata Will bergidik. Dengan gelisah
digaruknya rambutnya yang hitam pendek.
Sinar matahari segera memudar begitu tertutup awan. Bayang-bayang panjang
merayapi bog. Ranting yang tadi dilempar Will sudah tidak ada, terisap ke dalam
air yang kental dan keruh.
"Ayo pulang," kataku.
"Yeah. Oke," kata Will cepat.
Kupanggil Wolf, yang sedang mengendus-ngendus di sela-sela ilalang tinggi.
Kami lalu berbalik dan berjalan pulang di jalan setapak yang berkelok-kelok.
Angin semilir menggoyang pepohonan, daun-daun pohon palem jadi bergesekan
dan bergemerisik. Semak-semak bergetar ditiup angin. Bayang-bayang semakin
gelap.
Aku bisa mendengar Wolf berjalan di belakang kami. Aku bisa mendengar
tubuhnya bergesekan dengan semak-semak dan ilalang.
Kami sudah hampir sampai di tempat yang tidak ada pohonnya lagi di tepi
lapangan rumput yang menuju halaman belakang rumah kami. Kami sudah hampir
keluar dari rawa ketika tiba-tiba Will berhenti.
Kulihat mulutnya ternganga ngeri.
Kuikuti arah pandangannya.
Aku berteriak terkejut dan menutup mataku supaya tidak melihat pemandangan
mengerikan itu.







Chapter 15

WAKTU kubuka mataku, gundukan bulu dan daging berlumuran darah itu masih
tergeletak di kakiku.
"A-apa itu?" tanya Will tergagap.
Lama baru kusadari yang kami lihat itu burung. Burung heron besar.
Burung itu sulit dikenali lagi karena sudah terkoyak-koyak. Bulu-bulu putih
panjang berserakan di tanah yang lembek. Dada burung malang itu terkoyak lebar.
"Si petapa rawa!" teriak Will.
"Hah?" teriakku. Kualihkan pandangan dari pemandangan mengerikan itu dan
berusaha melupakannya.
"Itu sebabnya bajunya berlumuran darah!" seru Will.
"Tapi buat apa ia merobek-robek burung ini?" tanyaku pelan.
"Karena... karena ia monster!" seru Will.
"Ia cuma orang tua aneh yang tinggal sendirian di rawa," kataku. "Bukan ia yang
melakukan ini, Will. Sejenis binatang yang melakukannya. Lihat!"
Kutunjuk tanah. Tampak jejak-jejak kaki binatang. Semuanya di sekeliling burung
mati itu.
"Kelihatannya seperti jejak kaki anjing," kataku.
"Anjing tidak mengoyak-ngoyak burung," jawab Will pelan.
Tepat pada saat itu Wolf mendatangi kami dari sela-sela ilalang. Ia langsung
berhenti di depan bangkai burung itu dan mengendus-ngendusnya.
"Pergi dari sana, Wolf," perintahku. "Ayo. Pergi."
Dengan dua tangan kutarik lehernya yang tegap.
"Ayo pulang," kata Will. "Tinggalkan saja bangkai ini. Aku pasti bermimpi buruk.
Pasti."
Kutarik Wolf dengan kedua tanganku. Kami berhati-hati mengitari bangkai heron
itu dan bergegas menuju tepi rawa. Tidak ada yang bicara. Kurasa kami berdua
masih membayangkan apa yang kami lihat tadi.
Setelah sampai di lapangan rumput di belakang rumah kami, aku berpisah dengan
Will. Kuamati ia bergegas menuju rumahnya.
Wolf mengikutinya sebentar. Ia lalu berbalik dan bergegas mendatangiku.
Matahari sore bersinar dari balik awan. Kulindungi mataku dari cahaya terang
yang tiba-tiba itu dan kulihat ayahku sedang bekerja di kandang kijang di belakang
rumah.
"Hei, Dad" Aku lari mendatanginya.
Beliau mengangkat kepala ketika kupanggil. Dikenakannya celana pendek denim
dan kemeja kuning tanpa lengan. Di kepalanya ada topi Orlando Magic. "Ada apa,
Grady?"
"Will dan akukami melihat bangkai heron," kataku terengah-engah.
"Di mana? Di rawa?" tanyanya ringan. Dibukanya topinya, dihapusnya keringat di
dahinya dengan punggung tangan, dan dikenakannya lagi topinya.
"Dad, bangkaibangkainya terkoyak!" seruku.
Ia tidak bereaksi. "Itulah kehidupan di alam liar," katanya, sambil menarik salah
satu kuku kijang untuk diamati bagian bawahnya. "Kau tahu itu, kan, Grady. Di
alam luar sana bisa sangat kejam. Kita pernah membicarakan soal seleksi alam dan
sebagainya."
"Bukan, Dad. Ini lain," kataku ngotot. "Heronnyaterkoyak jadi dua. Maksudku,
seperti ada yang menangkapnya, dan"
"Mungkin burung lain," kata Dad, asyik mengamati kuku kijang. "Burung
pemangsa yang lebih besar. Bisa saja"
"Kami melihat si petapa rawa," selaku. "Bajunya berlumuran darah. Kami lalu
melihat ada jejak kaki binatang di tanah. Di sekeliling bangkai burung itu."
"Grady, tenang," kata Dad, sambil menurunkan kaki kijang. "Kalau kau
menjelajahi rawa, kau akan melihat banyak hal-hal yang tampak mengerikan. Tapi
jangan biarkan khayalanmu melantur ke mana-mana."
"Kata Will, monster yang melakukannya!" seruku.
Dad mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ternyata teman barumu punya daya khayal bagus juga," katanya tenang.

***

Malam itu aku senang orangtuaku mengizinkan Wolf tidur di kamarku. Aku
merasa jauh lebih aman ada anjing besar itu tidur melingkar di karpet di samping
tempat tidurku.
Aku belum bisa melupakan pemandangan seram bangkai heron tadi. Aku
menonton TV sampai saat makan malam. Setelah itu aku main catur dengan Emily.
Tapi apa pun yang kulakukan, aku tetap saja teringat terus pada bulu-bulu putih
yang berserakan di tanah itu, pada burung yang terkoyak-koyak yang tergeletak di
jalan setapak.
J adi sekarang aku merasa lebih tenang ada Wolf tidur di kamarku.
"Kau akan melindungiku, kan, Boy," bisikku dari tempat tidur.
Ia mendengus pelan. Sinar bulan purnama dari jendela meneranginya. Kulihat ia
tidur dengan kepala terletak di kedua kaki depannya.
Aku lalu tertidur tanpa bermimpi.
Aku tidak tahu seberapa lama aku tidur.
Beberapa saat kemudian aku terbangun waktu mendengar suara barang jatuh yang
keras sekali. Aku terkesiap dan duduk tegak di tempat tidur. Aku tahu suara itu
datang dari ruang duduk. Ada orang masuk!







Chapter 16

PENCURI?
Aku turun dari tempat tidur, jantungku berdebar-debar. Pelan-pelan aku melangkah
ke pintu.
Suara barang jatuh lagi. Suara bum keras.
Langkah kaki.
"Siapasiapa di sana?" seruku. Suaraku berbisik tertahan.
Sambil terus bersandar ke dinding, aku berjalan pelan-pelan menuju ruang duduk.
"Siapa di sana?" teriakku.
Mom, Dad, dan Emily berpapasan denganku di ruang tengah yang gelap.
Meskipun gelap aku bisa melihat wajah mereka yang takut dan bingung.
Aku yang pertama sampai di ruang duduk. Sinar kuning pucat dari bulan purnama
menyinari seluruh ruangan.
"Hei!" seruku.
Wolf melompat menubruk jendela depan yang besar. Bahunya berdebum keras
ketika mengenai kaca jendela.
"Wolfberhenti!" teriakku.
Dengan diterangi cahaya redup, aku melihat apa yang menyebabkan suara barang
jatuh tadi. Wolf menjatuhkan meja dan lampu yang terletak di depan jendela.
"Iaia berusaha keluar," kataku tergagap.
Kurasakan tangan Dad di bahu piamaku. "Semua jadi berantakan gara-gara dia,"
gumamnya.
"Wolfberhenti!" seruku lagi.
Anjing besar itu berbalik, napasnya terengah-engah. Matanya merah manyala
diterangi sinar bulan dari jendela.
"Kenapa ia ingin sekali keluar?" tanya Emily.
"Kita tidak bisa membiarkannya di dalam rumah kalau setiap malam kelakuannya
begini," kata Mom, suaranya parau karena baru bangun.
Anjing besar itu merunduk dan menggeram penuh semangat. Ekornya berdiri
tegak.
"Buka pintu depan. Keluarkan dia," kata Mom. "Sebelum dia hancurkan seisi
rumah."
Dad bergegas melintasi ruangan dan membuka pintu. Wolf langsung melesat. Ia
menuju pintu dan lari ke luar.
Aku lari ke jendela untuk mengamatinya. Tapi anjing besar itu menghilang ke
samping rumah, lari menuju halaman belakang.
"Ia menuju rawa," kataku menduga-duga.
"Ia berusaha memecahkan kaca jendela," kata Mom.
Emily menyalakan lampu. "Ia kuat sekali, bisa saja ia memecahkan kaca jendela
itu," katanya pelan
Dad menutup pintu depan. Ia menguap. Lalu dipandangnya aku. "Kau tahu apa
artinya ini kan, Grady?"
Aku masih memandangi bulan purnama. "Tidak. Apa?"
"Mulai sekarang Wolf harus tinggal di luar," kata Dad. Ia membungkuk dan mulai
memunguti pecahan lampu.
"Tapi, Dad" Aku mulai protes.
"Ia terlalu besar dan terlalu bersemangat untuk tinggal di dalam rumah," kata Dad
lagi. Diserahkannya pecahan lampu pada Emily. Lalu ditegakkannya meja lagi dan
dikembalikannya ke tempatnya semula di depan jendela.
"Wolf tidak bermaksud memecahkan lampu," bantahku lemah.
"Ia akan memecahkan semua barang-barang kita," kata Mom tenang.
"Ia terlalu besar," tambah Dad. "Ia harus tinggal di luar, Grady."
"Kenapa ia ingin sekali keluar?" desak Emily.
"Mungkin ia terbiasa di luar," kata Dad padanya. "Ia akan lebih bahagia di luar
sana," katanya, sambil berbalik menatapku.
"Yeah. Mungkin," jawabku suram. Aku suka Wolf tidur di sampingku di kamar.
Tapi aku tahu tidak mungkin aku bisa meyakinkan orangtuaku untuk memberi
kesempatan lagi pada Wolf. Keputusan mereka sudah pasti. Tapi paling tidak
mereka mengizinkan aku tetap memelihara Wolf.
Kukeluarkan penyedot debu dari lemari dan kunyalakan. Dad mengambil mulut
pipanya dan, mulai menyedot pecahan-pecahan kecil kaca dari karpet.
Dasar anjing gila, pikirku, sambil menggeleng-geleng. Ada masalah apa sih dengan
dia?
Setelah Dad selesai, kukembalikan lagi penyedot debunya ke dalam lemari.
"Sekarang kita semua bisa tidur dengan tenang," kata Mom sambil menguap.
Mom keliru.







Chapter 17

TAK lama kemudian aku mendengar lolongan menakutkan lagi.
Mula-mula kukira aku cuma bermimpi.
Tapi ketika aku membuka mata dan memandang ke sekeliling kamarku yang gelap,
lolongan itu berlanjut. Dengan masih setengah tidur, kucengkeram selimut dengan
dua tangan dan kutarik sampai dagu.
Lolongan itu terdengar dekat sekali, seperti berada tepat di luar jendelaku.
Kedengarannya tidak seperti lolongan binatang. Lolongan itu terlalu marah, terlalu
diatur.
Terlalu manusia.
Berhentilah menakut-nakuti diri sendiri, pikirku. Itu serigala. Pasti sejenis serigala
rawa.
Dalam hati aku tahu bisa saja Wolf yang bersuara mengerikan seperti itu. Tapi aku
tidak mau mengakuinya.
Buat apa anjing melolong seperti itu?
Anjing menyalak. Anjing tidak melolong kalau tidak sangat sedih atau bingung.
Kupejamkan mataku, berharap semoga lolongan mengerikan itu segera berhenti.
Tiba-tiba tidak ada suara. Sepi.
Lalu kudengar suara berdebuk-debuk cepat di tanah.
Suara langkah kaki.
Suara orang berkelahi.
Kudengar teriakan pendek yang mengerikan. Baru terdengar sudah langsung
berhenti.
Asalnya tepat dari belakang rumah, pikirku.
Dengan mata terbuka lebar, aku melompat dari tempat tidur, sambil menyeret
selimut. Aku berjalan tersandung-sandung ke jendela kamar dan mencengkeram
tepinya.
Bulan purnama sudah tinggi di langit malam. Halaman belakang tampak
berkilauan disinari cahaya bulan, rumput-rumput berembun tampak berkilat-kilat.
Kutekan dahiku ke bingkai jendela dan kupandangi rawa gelap di kejauhan. Aku
terkesiap waktu melihat ada sosok berlari menuju pepohonan.
Sosok besar yang berlari di atas empat kaki.
Sosok itu hanya kelihatan seperti bayangan hitam yang hilang dalam kegelapan.
Tapi aku bisa melihat betapa besar tubuhnya, dan betapa cepat larinya.
Dan aku mendengar lolongannya. Lolongan penuh kemenangan, pikirku.
Apa itu Wolf? pikirku.
Aku memandang ke luar jendela tanpa bergerak, meskipun makhluk itu sudah
menghilang dalam kegelapan.
Aku hanya bisa melihat bayangan pepohonan di kejauhan. Tapi aku masih bisa
mendengar suara lolongan yang naik turun di udara malam.
Apa itu Wolf?
Tidak mungkin Wolfkan?
Kuturunkan arah pandanganku. Napasku tercekat. Aku melihat sesuatu. Di tengah-
tengah halaman belakang. Beberapa meter dari kandang kijang.
Mula-mula kukira itu tumpukan kain lap. Tanganku gemetar waktu membuka
jendela.
Aku harus lebih jelas melihatnya. Aku harus melihat apa yang tergeletak di
halaman belakang itu.
Kutarik bagian bawah piamaku. Lalu kucengkeram tepi jendela dan melompat ke
luar.
Rumput basah terasa dingin di kakiku yang tidak beralas. Aku berjalan menuju
kandang kijang. Keenam kijang rawa itu berdiri tegang, berdesak-desakan di dekat
rumah. Mata mereka mengikutiku waktu aku pelan-pelan melintasi halaman.
Benda apa itu? pikirku sambil memandang dengan sinar cahaya bulan.
Apa cuma tumpukan kain lap?
Bukan.
Apa itu?








Chapter 18

KAKIKU yang tidak beralas terasa dingin dan basah waktu aku berjalan pelan
melintasi rumput yang disaput embun. Udara malam terasa pengap dan diam
seakan mati.
Ketika sudah cukup dekat untuk melihat apa yang menumpuk di rerumputan itu,
aku berteriak pelan dan ingin muntah.
Kutekan tanganku ke mulut dan menelan ludah.
Aku tahu aku sedang menatap seekor kelinci. Matanya yang kecil dan hitam beku
terbelalak ketakutan. Salah satu telinganya putus.
Kelinci itu terkoyak lebar, nyaris terbagi dua. Kupaksa mataku melihat ke arah
lain.
Dengan perut masih bergejolak, aku bergegas melintasi rerumputan basah menuju
jendela kamarku yang terbuka dan masuk dengan susah-payah.
Ketika aku setengah mati berusaha menutup jendela, terdengar lagi lolongan penuh
kemenangan dari arah rawa.

***

Setelah sarapan, keesokan paginya kubawa Dad ke halaman belakang untuk
menunjukkan bangkai kelinci tadi malam. Udara cerah dan panas, tampak matahari
di langit yang terang dan bersih.
Begitu kami turun dari teras belakang, Wolf muncul dari samping rumah. Ekornya
segera sibuk mengibas-ngibas. Ia lari penuh semangat untuk menyambutku, seperti
sudah bertahun-tahun tidak bertemu, melompat ke dadaku, hampir membuatku
terjatuh.
"Turun, Wolf! Turun!" teriakku sambil tertawa-tawa ketika anjing itu berdiri untuk
menjilati mukaku.
"Anjingmu pembunuh," kata suara di belakangku.
Aku berbalik, ternyata Emily mengikuti kami. Ia mengenakan kaus merah dan
celana pendek putih. Ia bersedekap dan menatap Wolf sebal. "Lihat perbuatannya
pada kelinci malang itu," katanya sambil menggeleng-geleng.
"Wow. Tunggu dulu," kataku, kuelus-elus bulu kelabu Wolf. "Siapa bilang Wolf
yang melakukannya?"
"Siapa lagi?" tanya Emily. "Ia pembunuh."
"Oya? Lihat betapa manisnya dia," kataku bersikeras. Kumasukkan tanganku ke
dalam mulut Wolf.
Pelan-pelan Wolf mengatupkan mulutnya supaya tidak membuatku kesakitan.
"Mungkin Wolf ada keturunan pemburunya sedikit," kata Dad serius. Dari tadi ia
memandangi bangkai kelinci, tapi sekarang dialihkannya pandangannya ke
kandang kijang.
Kijang-kijang itu berkerumun di ujung kandang dan menatap Wolf waswas.
Kepala mereka merunduk waspada ketika mengamati setiap gerakan anjingku.
"Aku lega mereka aman di dalam kandang," kata Dad pelan.
"Dad, anjing itu harus disingkirkan," kata Emily melengking.
"Tidak bisa!" teriakku. Kupandang kakakku dengan marah.
"Kau tidak punya bukti Wolf berbuat jahat!" teriakku. "Sama sekali tidak ada
bukti!"
"Kau tidak punya bukti ia tidak melakukannya!" balas Emily kesal.
"Pasti bukan dia!" teriakku tak terkendali. "Kau tidak dengar lolongan tadi malam?
Kau tidak dengar lolongan-lolongan mengerikan itu? Bukan anjing yang melolong
seperti itu. Anjing tidak melolong!"
"Kalau begitu apa?" desak Emily.
"Aku juga mendengarnya," kata Dad sambil melangkah ke tengah-tengah kami.
"Kedengarannya lebih mirip lolongan serigala. Atau mungkin coyote."
"Betul, kan?" kataku pada Emily.
"Tapi aku pasti terkejut kalau di daerah ini ada serigala atau coyote," kata Dad lagi,
sambil menatap ke arah rawa.
Emily masih bersedekap erat. Dipandanginya Wolf dan bergidik. "Ia berbahaya,
Dad. Ia harus disingkirkan."
Dad berjalan mendekat dan menepuk-nepuk kepala Wolf. Digaruk-garuknya
bagian bawah dagu Wolf. Wolf menjilat tangan Dad.
"Berhati-hati sajalah kalau berada di dekatnya," kata Dad. "Ia kelihatannya manis
sekali. Tapi kita tidak terlalu mengenalnyakan? J adi berhati-hatilah, oke?"
"Aku akan berhati-hati," jawab Emily, dipicingkannya matanya pada Wolf. "Aku
akan menjaga jarak sejauh mungkin dari monster itu."
Ia berbalik dan lari cepat-cepat ke rumah.
Dad pergi ke gudang untuk mengambil sekop dan kotak untuk tempat bangkai
kelinci itu.
Aku berlutut dan memeluk leher Wolf yang tegap.
"Kau bukan monster, kan, Boy?" tanyaku. "Emily gila, ya? Kau bukan monster.
Bukan kau yang tadi malam kulihat berlari-lari menuju rawa, kan?"
Wolf menatap mataku. Dipandanginya aku tanpa berkedip. Kelihatannya ia
berusaha mengatakan sesuatu padaku. Tapi aku sama sekali tidak tahu apa.







Chapter 19

MALAM itu aku tidak mendengar lolongan.
Tengah malam aku terbangun dan menatap ke luar jendela.
Wolf tidak ada, mungkin pergi menjelajahi rawa. Aku tahu besok pagi ia akan
berlari-lari menyambutku seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Keesokan paginya Will datang ketika aku sedang memberi makan Wolf,
semangkuk besar makanan anjing kering yang renyah.
"Hei, ada apa?" tanya Will seperti biasa.
"Tidak banyak," kataku.
Kubalikkan kantong besar makanan anjing itu dan kuseret kembali ke dapur.
Wolf berdiri di dekat mangkuknya. Kepalanya merunduk, mulutnya ribut
mengunyah.
Kudorong pintu kasa dan kembali ke Will. Ia mengenakan kemeja biru tua ketat
dan celana pendek lycra hitam. Di kepalanya ada topi hijau-kuning Dinas
Kehutanan.
"Mau menjelajah?" tanyanya dengan suara serak, sambil mengamati Wolf yang
makan sarapannya dengan lahap. "Tahu, kan. Di rawa?"
"Yeah. Tentu," kataku.
Aku berteriak ke dalam untuk memberitahu orangtuaku ke mana aku pergi. Lalu
kuikuti Will melintasi halaman belakang menuju rawa.
Wolf berlari-lari mengejar kami. Ia melewati kami, lalu menunggu. Setelah itu ia
lari zigzag tidak keruan di depan dan di belakang kami, gembira mandi sinar
matahari pagi yang panas.
"Kau dengar berita tentang Mr. Warner?" tanya Will. Ia berhenti untuk mencabut
sehelai rumput dan menggigit-gigitnya.
"Siapa?"
"Ed Warner," jawab Will. "Kurasa kau belum berkenalan dengan keluarga Warner.
Mereka tinggal di rumah paling ujung."
Ia berbalik dan menunjuk rumah putih terakhir di ujung deretan rumah.
"Memangnya dia kenapa?" tanyaku, hampir tersandung Wolf, yang lari di sela-sela
kakiku.
"Ia hilang," jawab Will sambil menggigit-gigit rumput. "Kemarin malam ia tidak
pulang."
"Hah? Dari mana?" tanyaku, berbalik dan menatap rumah keluarga Warner.
Gelombang udara panas tampak dari sela-sela rerumputan, rumah itu jadi kelihatan
bengkok dan bergetar.
"Dari rawa," kata Will suram. "Tadi pagi Mrs. Warner menelepon ibuku. Katanya
kemarin siang Mr. Warner pergi berburu. Ia senang berburu kalkun liar. Ia pernah
mengajakku. Ia pandai mengejar-ngejar kalkun. Kalau berhasil membunuh seekor,
akan digantungkannya terbalik di dinding dapur."
"Haa?" teriakku. Menurutku sadis juga.
"Yeah. Kau tahu, kan. Seperti tropi-lah," kata Will lagi. "Kemarin siang ia pergi
berburu kalkun liar di rawa, dan sampai sekarang belum pulang."
"Aneh," kataku, sambil mengamati Wolf yang berhenti di tepi pepohonan.
"Mungkin ia tersesat."
"Tidak mungkin," kata Will ngotot, ia menggeleng. "Tidak mungkin Mr. Warner
tersesat. Ia sudah lama tinggal di sini. Ia orang pertama yang pindah ke mari. Mr.
Warner takkan mungkin tersesat."
"Kalau begitu mungkin ia ditangkap manusia serigala!" seru suara aneh dari
belakang kami.







Chapter 20

DENGAN terkejut kami berbalik dan melihat anak perempuan kira-kira seusia
kami. Rambutnya yang merah kecokelatan diikat jadi ekor kuda di samping.
Matanya hijau seperti mata kucing, hidungnya pesek, dan wajahnya penuh bintik-
bintik. Ia mengenakan jins denim merah pudar dan kaus bergambar buaya hijau
meringis di bagian depan.
"Cassie, ngapain kau di sini?" tanya Will.
"Mengikutimu," jawabnya, sambil mencibir. Ia menatapku.
"Kau Grady, si anak baru, kan? Will menceritakan tentang kau padaku."
"Hai," kataku kaku. "Ia mengatakan ada anak perempuan tinggal di dekat sini. Tapi
ia tidak banyak bercerita tentang kau."
"Apa yang perlu diceritakan?" goda Will.
"Aku Cassie O'Rourke," katanya. Dijulurkannya tangannya dan ditariknya rumput
dari mulut Will.
"Hei!" Will bercanda mendorongnya, tapi tidak kena.
"Apa katamu tadi tentang manusia serigala?" tanyaku.
"J angan mengacau dengan cerita itu lagi," gerutu Will pada Cassie. "Ceritamu
terlalu konyol."
"Alah, kau takut, kan," tuduh Cassie.
"Tidak. Ceritamu yang terlalu konyol," kata Will bersikeras.
Kami melangkah ke bayangan pepohonan di tepi rawa. Segerombolan ngengat
putih terbang berputar-putar diterangi seberkas cahaya di antara pepohonan.
"Ada manusia serigala di rawa," kata Cassie melirihkan suaranya ketika kami
merunduk melewati ngengat-ngengat dan semakin masuk ke dalam bayangan.
"Dan aku akan mengepakkan sayap dan terbang ke Mars," kata Will kasar.
"Tutup mulut, Will!" bentak Cassie. "Menurut Grady ceritaku tidak konyolya,
kan?"
Aku mengangkat bahu.
"Entahlah," kataku. "Kurasa aku tidak percaya manusia serigala itu ada."
Will tertawa.
"Cassie juga percaya Kelinci Paskah memang ada," katanya.
Cassie meninju dada Will kuat-kuat.
"Hei!" teriak Will marah sambil terhuyung-huyung ke belakang. "Kenapa kau ini?"
"Nyamuk," kata Cassie sambil menunjuk. "Nyamuk besar. Berhasil kubunuh."
Dengan bersungut-sungut Will memandang ke bawah. "Aku tidak melihat ada
nyamuk. J angan macam-macam, Cassie."
Kami berjalan di jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemarin dulu hujan. Tanah
lebih lunak daripada biasanya. Kami terpeleset-peleset terus di lumpur.
"Kau mendengar lolongan kalau malam?" tanyaku pada Cassie.
"Itu manusia serigala," katanya pelan. Matanya yang hijau seperti mata kucing
menatap mataku. "Aku tidak main-main, Grady. Aku serius. Lolongan itu bukan
lolongan manusia. Lolongan itu berasal dari manusia serigala yang baru saja
membunuh."
Will mencibir. "Daya khayalmu bagus, Cassie. Kurasa kau sering menonton film
seram di TV, heh?"
"Kehidupan nyata lebih mengerikan daripada film," katanya melirihkan suaranya
jadi berbisik.
"Uuh, hentikan. Kau membuatku jadi gemetaran!" seru Will kasar.
Cassie tidak menjawab. Ia masih terus menatapku sambil kami berjalan. "Kau
percaya padaku, kan?"
"Entahlah," kataku.
Tampak bog di depan. Udara terasa lebih pengap, lebih basah. Ilalang tinggi di
seberang bog berdiri tegak. Bog itu berdeguk pelan. Dua lalat besar terbang di atas
permukaan air yang berwarna hijau tua.
"Yang namanya manusia serigala itu tidak ada, Cassie," gumam Will, ia mencari-
cari sesuatu untuk dilemparkan ke dalam bog. Ia meringis pada Cassie. "Kecuali
kalau salah satunya kau!"
Cassie melotot.
"Lucu sekali." Mulutnya bergerak-gerak seperti akan menggigit Will.
Aku mendengar suara gemerisik dari seberang bog berbentuk oval itu. Tiba-tiba
ilalang tinggi tersibak dan Wolf muncul di tepi air.
"Seperti apa, sih, tampang manusia serigala?" tanya Will kasar. "Apa rambutnya
merah dan wajahnya berbintik-bintik?"
Cassie tidak menjawab.
Aku menoleh dan melihat wajahnya ketakutan. Matanya yang hijau membelalak,
bintik-bintik di wajahnya seperti memudar.
"I-itu dia manusia serigalanya!" bisiknya tergagap-gagap. Ia menunjuk.
Dengan gemetar ketakutan aku berbalik untuk melihat ke arah yang ditunjuknya.
Aku ngeri sekali, ia menunjuk tepat ke arah Wolf!







Chapter 21

"TIDAK!" teriakku.
Ternyata aku salah mengerti. Cassie bukan menunjuk Wolf. Ia menunjuk sosok
yang bergerak menerobos ilalang tinggi di belakang anjing itu.
Si petapa rawa!
Aku melihatnya berjalan cepat-cepat di balik ilalang, bahunya membungkuk,
kepalanya yang kotor bergerak-gerak sewaktu ia melangkah.
Ketika ia bergerak memasuki celah kecil di antara ilalang, aku bisa melihat
mengapa ia membungkuk ke depan. Ia menyandang sesuatu di bahunya. Semacam
tas.
Wolf mulai menggeram.
Petapa itu berhenti berjalan.
Kulihat bukan tas yang tersampir di bahunya.
Itu kalkun. Kalkun liar.
Pikiran rnengerikan terlintas di benakku: apa ia mengambilnya dari Mr. Warner?
Apakah Cassie benar mengenai petapa rawa ini?
Apakah ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan pada Mr. Warner dan kalkun
liar itu adalah hasilnya?
Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran mengerikan itu.
Pikiran gila. Tidak mungkin.
Tapi Cassie tampak sangat ketakutan, melotot ke seberang bog hijau yang
berdeguk-deguk ke arah petapa bermata liar itu. Dan aku teringat kembali pada
lolongan-lolongan di malam hari yang begitu menakutkan, yang terdengar seperti
lolongan manusia. Dan bangkai binatang yang dulu kulihat, terkoyak-koyak
menyedihkan, seperti... seperti dilakukan oleh manusia serigala!
Wolf menggeram lagi. Dipandanginya petapa itu, ekornya berdiri kaku di
belakangnya, bulunya tegak.
Petapa itu bergerak cepat. Kulihat matanya yang hitam tampak berkilat sebelum ia
menghilang di balik ilalang.
"Itu dia!" teriak Cassie, masih menunjuk. "Itu si manusia serigala!"
"Cassietutup mulut!" bentak Will. "Ia bisa mendengarmu nanti!"
Aku menelan ludah, kaku di tempat karena ketakutan. Kulihat ilalang di seberang
bog bergerak-gerak. Kudengar suara gemerisik semakin dekat.
"Lari!" teriak Will, suaranya yang serak melengking dan ketakutan. "Ayolari!"
Terlambat.
Si petapa rawa menyerbu dari balik ilalang tepat di belakang kami.
"Akulah si manusia serigala!" teriaknya. Matanya tampak liar dan bersemangat.
Wajahnya yang dikelilingi rambutnya yang panjang dan kusut, merah padam.
"Akulah si manusia serigala!"
Ia mendengar Cassie!
Sambil tertawa keras sekali, diangkatnya kedua tangannya, lalu diputar-putarnya
kalkunnya di atas kepala.
"Akulah si manusia serigala!" teriaknya.
Cassie, Will, dan aku berteriak bersamaan.
Lalu kami segera lari.
Kulirik Wolf. Ia tadi tidak bergerak dari tempatnya di seberang bog. Tapi sekarang,
ketika aku mulai lari, ia mendatangi kami, sambil menyalak gembira.
"Akulah si manusia serigala!" jerit petapa itu. Ia melolong sambil tertawa, dan
terus memutar-mutar kalkun sambil mengejar kami.
"J angan ganggu kami!" teriak Cassie, ia lari di samping Will, beberapa langkah di
depanku. "Kau dengar? J angan ganggu kami!"
Ratapannya membuat petapa itu melolong lagi. Sepatuku terpeleset di tanah yang
berlumpur.
Aku menoleh ke belakang. Ia mendekatiku. Tepat di belakangku.
Dengan napas terengah-engah, aku berusaha lari lebih cepat. Tanaman-tanaman
berduri dan daun-daun tebal menampar muka dan tanganku ketika aku berlari.
Semua kini tampak seperti bayangan. Bayangan cahaya, pepohonan, semak-semak,
ilalang tinggi, dan tanaman berduri.
"Aku si manusia serigala! Akulah si manusia serigala!"
Lengking tawa petapa gila itu bergema di rawa. Lari terus,
Grady, kataku dalam hati. Lari terus. Lalu, sambil berteriak keras, aku terpeleset.
Aku jatuh terjerembap ke dalam lumpur, mendarat dengan bertumpu di tangan dan
lutut.
Aku tertangkap, pikirku.
Manusia serigala itu berhasil menangkapku.







Chapter 22

AKU setengah mati berusaha bangun dari lumpur. Tapi aku terpeleset dan
terjerembap lagi.
Sekarang ia akan menangkapku, pikirku.
Si manusia serigala telah menangkapku. Aku tidak bisa melarikan diri.
Aku berbalik, kusangka petapa itu akan mencengkeramku.
Tapi ia berhenti beberapa meter dariku. Kalkunnya tergantung ke tanah ketika ia
menatapku, wajahnya yang kasar meringis aneh.
Mana Wolf? pikirku.
Tadi Wolf menggeram-geram marah pada si petapa rawa.
Kenapa Wolf tidak menyerang?
"Tolong! Will! Cassie!" teriakku tak berdaya.
Sepi.
Mereka sudah pergi. Mungkin sekarang mereka sudah sampai di luar rawa, lari ke
rumah.
Aku sendirian. Sendirian menghadapi si petapa.
Aku bangun dengan susah payah, mataku terpaku menatap matanya. Kenapa ia
meringis seperti itu padaku?
"Pergilah. Pergi," gumamnya, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tidak
memegang kalkun. "Aku hanya main-main."
"Apa?" Suaraku terdengar kecil dan ketakutan.
"Pergi. Aku takkan menggigitmu," katanya. Ia tidak meringis lagi. Matanya yang
hitam tidak tampak berkilat-kilat lagi.
Wolf muncul di belakangnya. Anjing itu menatap si petapa, lalu menatap bangkai
kalkun. Ia menyalak melengking sekali. Tapi aku bisa melihat Wolf sudah tidak
tegang lagi. Ia tidak bermaksud menyerang si petapa.
"Anjing ini punyamu?" tanya si petapa, dengan waspada dipandanginya Wolf.
"Yeah," jawabku, masih terengah-engah. "Aku... menemukannya."
"Hati-hati menghadapinya," kata si petapa ketus. Ia lalu berbalik dan, sambil
menyandang bangkai kalkun, menuju ilalang lagi.
"Ha-hati-hati menghadapinya?" tanyaku tergagap. "Apa maksudmu?"
Tapi petapa itu tidak menjawab. Aku bisa mendengarnya berjalan di sela-sela
ilalang kembali menuju rawa.
"Apa maksudmu?" seruku.
Tapi ia sudah pergi. Rawa sekarang sepi, yang terdengar hanya suara serangga
mengerik dan suara daun palem saling bergesekan.
Aku menatap lurus ke arah ilalang tinggi. Kurasa aku menunggu petapa itu
kembali, menerjang, menyerang lagi.
Dua ngengat putih terbang di atas ilalang. Tidak ada lagi yang bergerak.
Ia hanya main-main, katanya tadi.
Hanya itu, main-main.
Aku menelan ludah. Lalu kupaksa diriku bernapas normal lagi.
Sesaat kemudian kupandang Wolf. Anjing itu sibuk mengendus-endus tanah
tempat petapa itu berdiri tadi.
"Wolfkenapa kau tidak melindungi aku?" kataku kesal.
Anjing itu mengangkat kepala sebentar, lalu kembali mengendus-endus.
"Hei, anjingkau pengecut, ya?" tanyaku, sambil membersihkan tanah basah dari
lutut jins-ku. "Itu sebabnya, ya? Kau kedengarannya hebat sekali, tapi sebetulnya
pengecut?"
Wolf tidak memedulikan aku.
Aku berbalik dan berjalan pulang, sambil memikirkan peringatan si petapa tadi.
Ketika berjalan di jalan setapak sempit, kudengar Wolf lari menerobos ilalang dan
rumput tinggi, mengikutiku.
"Hati-hati menghadapinya," kata si petapa.
Apa ia main-main juga? Apa ia hanya berusaha menakut-nakuti aku?
Orang aneh itu melihat Will, Cassie, dan aku takut padanya. J adi ia memutuskan
untuk mempermainkan kami.
Cuma itu kok, pikirku.
Ia mendengar Cassie menyebutnya manusia serigala. J adi diputuskannya untuk
menakut-nakuti kami sekalian.
Ketika berjalan di tanah lunak di bawah bayangan pepohonan palem miring,
pikiranku sibuk berpikir-pikir tentang Cassie, Will, Wolf, dan manusia serigala.
Aku tidak melihat ada ular sampai aku menginjaknya.
Aku memandang ke bawah tepat untuk melihat kepalanya yang hijau terang
menerjang ke depan.
Kurasakan rasa sakit yang menusuk ketika taringnya menghunjam pergelangan
kakiku.
Rasa sakit itu menyentakkan kakiku.
Aku berteriak terkejut sebelum jatuh ke tanah.






Chapter 23

AKU jatuh ke tanah dan meringkuk ketika rasa sakit berdenyut-denyut di sekujur
tubuhku.
Aku melihat bintik-bintik merah. Semakin lama semakin besar sampai akhirnya
yang kulihat merah semua. Warna itu berkelip-kelip seirama dengan denyutan rasa
sakit.
Dari balik tirai warna merah di mataku, kulihat ular itu merayap masuk semak-
semak.
Kucengkeram pergelangan kakiku, berusaha menahan sakit.
Pelan-pelan warna merah itu memudar lalu hilang. Yang tinggal hanya rasa sakit.
Tiba-tiba tanganku terasa basah.
Darah?
Aku menunduk dan melihat Wolf menjilati tanganku. Ia sibuk menjilat-jilat,
seperti berusaha mengobatiku, berusaha membuat segalanya kembali normal.
Meskipun merasa sakit, aku tertawa.
"Tenang, Boy," kataku. "Aku baik-baik saja."
Ia terus menjilati tanganku sampai aku berdiri. Kakiku gemetaran.
Kucoba menapakkan kaki yang digigit tadi. Rasanya sudah baikan.
Aku maju selangkah, terpincang-pincang. Lalu selangkah lagi.
"Ayo, Wolf," kataku.
Ia menatapku penuh pengertian.
Aku tahu aku harus cepat-cepat pulang. Kalau ular tadi berbisa, aku bisa gawat.
Aku tidak tahu berapa lama lagi bisanya akan membuatku lumpuh totalatau
lebih gawat lagi.
Wolf terus berada di sampingku ketika aku terpincang-pincang berjalan di tanah
lunak menuju rumah. Napasku terengah-engah.
Dadaku terasa sesak. Tanah seperti berayun-ayun.
Apa karena bisa ular tadi?
Atau karena aku sangat ketakutan?
Setiap kali aku melangkah, sakitnya bukan main.
Tapi aku terus berjalan terseret-seret, sambil berbicara dengan Wolf, tidak
kupedulikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di pergelangan kakiku.
"Kita hampir sampai, Wolf," kataku, tersengal-sengal. "Hampir sampai, Boy."
Anjing itu merasa ada yang tidak beres. Ia tetap berada di sampingku, padahal
biasanya ia berlari-lari zigzag di depan dan di belakangku.
Tampak tepi deretan pepohonan. Aku bisa melihat sinar matahari di luar rawa.
"Hei" Ada suara memanggilku.
Kulihat Will dan Cassie menungguku di lapangan rumput Mereka segera lari
mendatangiku.
"Kau baik-baik saja?" seru Cassie.
"Tidak. Aku... aku digigit!" Akhirnya bisa juga aku bicara. "Tolongpanggilkan
ayahku!"
Mereka berdua lari secepat-cepatnya ke rumahku. Aku duduk di rerumputan,
menjulurkan kakiku, dan menunggu.
Aku berusaha menenangkan diri, tapi rasanya tidak mungkin.
Apa ular tadi berbisa?
Apa bisanya langsung mengalir ke jantungku?
Apa sebentar lagi aku mati?
Kujulurkan kedua tanganku dan dengan hati-hati sekali kulepaskan sepatuku yang
berlumuran.
Lalu, pelan-pelan, kuturunkan kaus kakiku sampai mata kaki dan kulepaskan.
Pergelangan kakiku bengkak sedikit. Kulitnya merah, tapi di sekitar bekas gigitan
ada lingkaran putih dan berkerut. Di dalam lingkaran itu, kulihat dua titik kecil,
dari tiap lubangnya keluar tetesan darah.
Ketika kualihkan pandangan dari lukaku, kulihat ayahku, ia mengenakan celana
pendek cokelat dan kaus putih, bergegas melintasi lapangan rumput menuju
tempatku, diikuti oleh Will dan Cassie.
"Apa yang, terjadi?" Kudengar ayahku bertanya pada mereka. "Apa yang terjadi
pada Grady?"
"Ia digigit manusia serigala!" Kudengar Cassie menjawab begitu.

***

"Tempelkan terus kantong es-nya," perintah Dad. "Bengkaknya akan kempis."
Aku mengerang dan menempelkan kantong es ke pergelangan kakiku.
Mom berdecak-decak dari dapur. Di depannya terhampar koran. Aku tidak tahu
apakah ia berdecak-decak karena aku atau karena berita hari ini.
Di luar pintu kasa kulihat ada Wolf, rebah di atas rerumputan di dekat teras
belakang, tertidur pulas. Emily ada di ruang depan, sedang menonton TV.
"Bagaimana rasanya?" tanya Mom.
"J auh lebih baik," kataku. "Kurasa tadi aku hanya ketakutan saja."
"Ular hijau tidak berbisa," kata Dad mengingatkanku untuk yang kesepuluh
kalinya. "Tapi aku bersiap-siap saja, siapa tahu, kan. Kami akan membungkusnya
rapat-rapat setelah selesai kau tempeli dengan es."
"Manusia serigala apa yang kalian ributkan tadi?" tanya Mom.
"Pikiran Cassie penuh dengan manusia serigala," kataku. "Ia mengira petapa rawa
itu manusia serigala."
"Kelihatannya Cassie anak yang manis," kata Mom pelan. "Aku tadi berbincang-
bincang dengannya waktu ayahmu mengobati lukamu. Kau beruntung, Grady, bisa
mendapat teman yang seusia denganmu di tepi rawa seperti ini."
"Yeah, begitulah," jawabku sambil menggerakkan kantong es yang menempel di
pergelangan kakiku. "Tapi dia membuat aku dan Will jadi gila dengan cerita
manusia serigalanya."
Dad mencuci tangan di tempat cuci piring di dapur. Dikeringkannya tangannya
dengan lap piring, lalu berbalik ke arahku.
"Petapa rawa tua itu mestinya tidak berbahaya," katanya. "Paling tidak, begitulah
kata orang-orang."
"Yah, ia berhasil menakut-nakuti kami," kataku. "Ia mengejar-ngejar kami di rawa,
sambil berteriak-teriak, 'Akulah si manusia serigala!'"
"Aneh," kata Dad serius. Dilemparkannya lap piring ke meja.
"Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan dia," kata Mom, dipandangnya aku.
"Mom dan Dad percaya manusia serigala itu ada?" tanyaku.
Dad tertawa. "Aku dan ibumu ilmuwan, Grady. Kami tidak boleh percaya pada
hal-hal supernatural seperti manusia serigala."
"Ayahmu itu yang manusia serigala," kata Mom bercanda. "Setiap pagi aku harus
mencukur punggungnya supaya terlihat seperti manusia."
"Ha-ha," kataku kasar. "Aku serius. Maksudku, Mom dan Dad mendengar
lolongan-lolongan aneh di malam hari itu, kan?"
"Banyak makhluk melolong," jawab Mom. "Pasti kau melolong waktu ular itu
menggigit pergelangan kakimu."
"Mom tidak bisa serius, ya?" teriakku kesal. "Mom tahu, lolongan itu baru
terdengar saat bulan purnama."
"Aku ingat. Lolongan itu baru ada setelah anjing itu datang!" seru Emily dari ruang
depan.
"Emily, jangan macam-macam!" teriakku.
"Anjingmu anjing serigala!" seru Emily.
"J angan sebut-sebut soal manusia serigala lagi," gumam Mom. "Lihat. Di telapak
tanganku tumbuh rambut!"
Diangkatnya telapak tangannya.
"Itu cuma tinta koran," kata Dad. Ia menatapku. "Lihat? Semuanya bisa dijelaskan
secara ilmiah."
"Aku ingin dianggap serius," kataku dengan gigi merapat karena kesal.
"Yah..." Dad memandang ke luar. Wolf tidur terlentang, keempat kakinya tertekuk
di atas.
"Dua hari lagi bulan purnama berakhir," kata Dad padaku. "Nanti malam dan
besok. Kalau setelah besok malam lolongannya berhenti, kita akan tahu ternyata itu
manusia serigala, yang melolong saat bulan purnama."
Dad tertawa. Dikiranya lucu sekali.
Kami tidak tahu malam nanti akan terjadi peristiwa yang bisa mengubah
pendapatnya tentang manusia serigalaselamanya.






Chapter 24

SETELAH makan malam, Will dan Cassie datang. Mom dan Dad sedang sibuk
memasukkan piring-piring ke mesin pencuci dan beres-beres. Emily pergi
menonton film ke kota.
Aku sudah lumayan bisa berjalan. Pergelangan kakiku sudah tidak terasa sakit.
Kurasa Dad pandai juga mengobati orang.
Kami bertiga duduk-duduk di ruang depan, dan langsung berdebat tentang manusia
serigala.
Cassie bersikeras mengatakan petapa rawa itu tidak main-main, ia benar-benar
manusia serigala.
Will bilang, Cassie goblok sekali.
"Ia mengejar kita karena mendengar kau menyebutnya manusia serigala," katanya
marah-marah pada Cassie.
"Memangnya menurutmu kenapa ia tinggal sendirian jauh di rawa begitu?" tanya
Cassie pada Will. "Karena ia tahu apa yang terjadi pada dirinya saat bulan
purnama, dan ia tidak mau ketahuan orang lain!"
"Kalau begitu kenapa kemarin siang ia berteriak-teriak pada kita mengatakan ia
manusia serigala?" tanya Will tidak sabaran.
"Karena ia cuma main-main."
"Ayolah, teman-teman. Kita bicarakan soal lain saja," kataku.
"Kedua orangtuaku ilmuwan, kata mereka tidak ada bukti manusia serigala itu
ada."
"Ilmuwan memang selalu bicara begitu," kata Cassie bersikeras.
"Mereka benar," kata Will. "Manusia serigala cuma ada di film. Kau goblok sekali,
Cassie."
"Kau yang goblok!" balas Cassie.
Aku bisa melihat mereka pasti sering bertengkar seperti ini.
"Bagaimana kalau kita bermain-main saja?" usulku. "Mau main Nintendo? Di
kamarku ada."
"Mr. Warner masih belum pulang juga," kata Cassie pada Will, tidak
dipedulikannya aku. Ditariknya rambut ekor kudanya, lalu dilemparkannya ke
belakang kepala. "Tahu kenapa? Karena ia dibunuh manusia serigala!"
"J angan tolol," kata Will. "Kok kau tahu?"
"Mungkin kaulah manusia serigalanya!" kataku pada Cassie.
Will tertawa. "Yeah. Itu sebabnya kau banyak tahu, Cassie."
"Oh, diam," gerutu Cassie. "Kau yang lebih mirip manusia serigala daripada aku,
Will."
"Kau mirip vampir!" kata Will padanya.
"Yah, kau mirip King Kong!" teriak Cassie.
"Apa yang kalian bicarakan, anak-anak?" sela Mom, kepalanya terjulur.
"Hanya membicarakan film dan semacamnya," jawabku cepat.

***

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berguling-guling terus di tempat tidur. Tidak
bisa tenang. Aku menunggu lolongan.
Angin kencang bertiup dari Teluk. Aku bisa mendengarnya menderu melewati
rumah kecil kami. Pagar kawat kandang kijang di belakang jadi berderak-derak.
Anginnya berbunyi ssshhhhh. Aku menunggu suara lolongan.
Aku baru tertidur sebentar waktu mulai terdengar lolongan.
Aku langsung waspada dan melompat berdiri. Pergelangan kaki kiriku terasa sakit
waktu aku melangkah.
Lolongan lagi. Di kejauhan. Sayup-sayup di antara suara deru angin.
Aku terpincang-pincang ke jendela kamar. Pergelangan kakiku sedikit kaku karena
berbaring di tempat tidur tadi. Kutekan wajahku ke kaca jendela dan memandang
ke luar.
Bulan purnama, kelabu seperti tengkorak, tergantung rendah di langit hitam.
Rumput-rumput yang disaput embun berkilauan disinari cahaya bulan.
J endelaku berderak ditiup angin.
Aku mundur karena terkejut. Dan mendengarkan.
Lolongan lagi. Lebih dekat. Sekali ini membuatku bergidik.
Kedengarannya dekat sekali. Atau karena dibawa angin dari rawa?
Kupicingkan mata menatap ke luar jendela. Desauan angin membuat rumput
bergoyang-goyang. Tanah tampak seperti berputar, berkilauan disinari sinar bulan
yang pucat.
Lolongan lagi. Semakin dekat.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku harus mengetahui apa atau siapa yang
berbunyi mengerikan begitu.
Kupakai jins-ku di atas bagian bawah piama. Dengan susah payah karena gelap,
aku berhasil memakai sandal kamar.
Aku berjalan ke luar kamar, tapi langsung berhenti waktu mendengar suara
memukul. Suara barang jatuh. Suara berdebum.
Tepat di luar.
Tepat di luar rumahku.
Dengan jantung berdebar-debar, aku lari melintasi ruang tengah yang gelap.
Pergelangan kakiku terasa sakit, tapi tidak kupedulikan.
Aku bergegas melewati dapur, membuka kunci pintu dapur, dan mendorongnya
sampai terbuka. Angin kencang mendorongku ke belakang waktu aku membuka
pintu kasa.
Anginnya panas dan basah. Aku terdorong lagi.
Angin ini berusaha menahanku supaya tetap berada di dalam, pikirku. Berusaha
mencegahku memecahkan misteri lolongan mengerikan.
Aku merunduk melawan angin dan melompat turun dari teras.
"Aw!" teriakku ketika kakiku terasa sakit.
Sambil menunggu mataku terbiasa menatap kegelapan, aku mendengar dengan
cermat.
Tidak terdengar lagi lolongan. Hanya desauan angin yang terus mendorongku ke
arah rumah.
Halaman belakang berkilauan disinari cahaya bulan. Semua tampak keperakan dan
kelabu.
Dan sepi.
Kupandangi halaman belakang, pelan-pelan mataku menyapu rumput yang
bergerak-gerak. Kosong.
Tapi apa yang menyebabkan segala keributan yang kudengar di kamarku tadi?
Suara memukul tadi?
Suara berdebum?
Suara berderak-derak?
Kenapa lolongan itu berhenti ketika aku ke luar?
Misterius sekali, pikirku. Misteri yang aneh sekali.
Angin bertiup di sekelilingku. Wajahku basah kuyup karena udara lembap sekali.
Dengan perasaan kalah aku berbalik menuju rumah. Dan berteriak terkejut waktu
melihat ternyata manusia serigala ternyata telah membunuh lagi.






Chapter 25

AKU maju selangkah menentang angin menuju kandang kijang.
"Dad!" seruku. Tapi suaraku terdengar seperti bisikan. "Dad!"
Aku berusaha berteriak, tapi tenggorokanku kering dan tercekat karena takut.
Aku menatap lurus ke depan dan maju selangkah lagi.
Pandanganku sudah jelas sekarang. Pemandangan kematian. Cahaya pudar dan
bayang-bayang. Yang terdengar hanyalah detak jantungku, deru angin, dan pagar
kawat kandang yang berderak-derak.
Aku maju selangkah lagi.
"Dad? Dad?" teriakku tanpa berpikir, tanpa bisa mendengar suaraku sendiri, tahu
Dad tidak bisa mendengarkan.
Tapi aku ingin Dad datang. Aku ingin ada orang menemaniku. Aku tidak ingin
sendirian di halaman belakang.
Aku tidak mau menatap lubang menganga di samping kandang.
Aku tidak mau melihat bangkai kijang yang terbaring begitu memelas itu.
Kelima kijang lainnya bergerombol di ujung kandang. Mata mereka menatapku.
Mata yang ketakutan.
Angin bertiup di sekelilingku, panas dan basah. Tapi badanku terasa dingin.
Sekujur tubuhku bergidik ngeri. Aku menelan ludah.
Sekali. Dua kali. Berusaha melegakan tenggorokanku yang terasa tersumbat.
Lalu, tanpa menyadari apa yang kulakukan, aku lari menuju rumah, sambil
menjerit-jerit sekuat tenaga, "Dad! Mom! Dad! Mom!"
Teriakanku terdengar di antara deru angin seperti lolongan mengerikan yang
kudengar beberapa saat yang lalu.
Dengan piama berkibar-kibar di atas jins-nya, Dad menyeret bangkai kijang itu ke
halaman belakang. Lalu, kuamati dari jendela dapur, ditambalnya kandang kijang
dengan lembaran karton besar.
Ketika Dad bersusah payah kembali ke rumah, angin yang bertiup kencang hampir
melepaskan pintu kasa dari engselnya. Dad menarik pintu itu sampai tertutup rapat,
lalu menguncinya. Wajahnya basah berkeringat. Di bagian samping salah satu
lengan piamanya ada noda lumpur.
Mom menuangkan segelas air dari keran untuk Dad, Dad langsung meminumnya
sampai habis. Lalu dihapusnya keringat di dahinya dengan lap piring.
"Kurasa anjingmu pembunuh," katanya pelan padaku. Dilemparkannya lap itu ke
meja lagi.
"Bukan Wolf!" teriakku. "Bukan!"
Dad tidak menjawab. Beliau menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya
pelan-pelan. Mom dan Emily mengamati tanpa berkata apa-apa dari depan bak
cuci.
"Kenapa Dad kira Wolf yang melakukannya?" desakku.
"Kulihat jejak-jejak di tanah," jawabnya, keningnya berkerut. "J ejak kaki
binatang."
"Bukan Wolf," kataku ngotot.
"Besok pagi aku terpaksa membawanya ke tempat pengurungan binatang," kata
Dad. "Yang di daerah sebelah."
"Tapi mereka akan membunuhnya!" teriakku.
"Anjing itu pembunuh," kata Dad pelan. "Aku tahu perasaanmu, Grady. Aku tahu.
Tapi anjing itu pembunuh."
"Bukan Wolf," teriakku. "Dad, aku tahu bukan Wolf. Aku mendengar lolongan-
lolongan itu, Dad. Itu lolongan serigala."
"Grady, sudahlah" katanya lelah.
Lalu kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tidak bisa mengontrolnya.
Mengalir begitu saja. "Itu manusia serigala, Dad. Ada manusia serigala di rawa.
Cassie benar. Itu bukan anjing, dan bukan serigala. Itu manusia serigala yang telah
membunuh binatang-binatang, yang membunuh kijang Dad."
"Grady, berhenti" kata Dad tidak sabar.
Tapi aku tidak bisa berhenti.
"Aku tahu aku benar, Dad," teriakku dengan suara melengking yang tidak
kedengaran seperti suaraku. "Minggu ini bulan purnama, kan? Dan saat itulah
lolongan mulai terdengar. Itu manusia serigala, Dad. Si petapa rawa. Orang gila
yang tinggal di pondok di rawa. Ia manusia serigala. Ia sendiri yang
mengatakannya. Ia mengejar kami dan mengatakan ia manusia serigala. Betul,
Dad. Bukan Wolf. Ia yang membunuh kijang malamini. Aku mendengarnya
melolong di luar, lalulalu"
Suaraku tercekat. Aku batuk-batuk.
Dad mengisi gelas dengan air dan menyerahkannya padaku.
Langsung kuteguk habis.
Dipegangnya bahuku. "Grady, besok pagi saja kita bicarakan hal ini, oke? Kita
berdua sekarang terlalu lelah untuk berpikir jernih. Bagaimana?"
"Bukan Wolf!" teriakku keras kepala. "Aku tahu bukan."
''Besok pagi," kata Dad, tangannya masih di bahuku. Dipegangnya bahuku untuk
menenangkan diriku.
Aku merasa goyah. Napasku tersengal-sengal. J antungku berdebar-debar.
"Yeah. Oke," kataku akhirnya. "Besok pagi." Pelan-pelan aku jalan ke kamar, tapi
aku tahu aku takkan bisa tidur.

***

Keesokan paginya, Dad sudah tidak ada waktu aku bangun. "Ia pergi ke tempat
penebangan kayu," kata Mom, "untuk membeli pagar kawat untuk memperbaiki
kandang."
Aku menguap dan menggeliat. Aku tertidur kira-kira pada pukul 02.30 dinihari.
Tapi rasanya tetap capek dan gelisah.
"Wolf ada di luar?" tanyaku cemas. Aku lari ke jendela dapur sebelum Mom
sempat menjawab. Aku bisa melihat Wolf di ujung jalan masuk. Diantara kedua
kaki depannya ada bola karet biru, dan ia asyik mengunyah-ngunyahnya.
"Pasti ia lapar ingin sarapan," gumamku.
Kudengar kerikil berderak-derak, mobil Dad masuk ke jalan masuk. Bagasinya
terbuka sedikit, di dalamnya tampak segulungan pagar kawat.
"Selamat pagi," kata Dad ketika masuk ke dapur. Ekspresi wajahnya suram.
"Dad akan membawa Wolf?" tanyaku tidak sabaran. Mataku menatap anjing itu,
yang sedang asyik mengunyah bola karet di luar. Ia tampak begitu manis.
"Orang-orang di kota gelisah," jawab Dad. Dituangkannya segelas kopi untuk
dirinya sendiri dari mesin pembuat kopi. "Banyak binatang yang terbunuh minggu
ini. Dan orang yang tinggal di ujung jalan, Ed Warner, telah hilang di rawa. Orang-
orang sangat cemas Mereka juga mendengar lolongan-lolongan."
"Dad akan membawa Wolf pergi?" tanyaku melengking, suaraku bergetar.
Dad mengangguk. Ekspresi wajahnya tetap suram. Diteguknya kopi.
"Lihatlah jejak kaki binatang yang di luar kandang sana, Grady," katanya,
ditatapnya mataku. "Pergilah. Lihat."
"Aku tidak peduli soal jejak," ratapku. "Aku cuma tahu"
"Aku tidak mau menanggung risiko lagi," kata Dad.
"Aku tidak peduli! Ia anjingku!" jeritku.
"Grady" Dad meletakkan cangkirnya dan berjalan mendekatiku.
Tapi aku menghambur melewatinya dan lari ke pintu. Kudorong pintu kasa dan
lompat dari teras belakang.
Wolf langsung berdiri begitu melihatku. Ekornya mulai mengibas-ngibas.
Ditinggalkannya bola karet birunya dan lari mendatangiku.
Dad tepat di belakangku.
"Aku akan membawa pergi anjing itu sekarang, Grady," katanya. "Kau mau ikut?"
"Tidak!" jeritku.
"Aku tidak punya pilihan lain," kata Dad, suaranya nyaris berbisik. Ia maju dan
meraih Wolf.
"Tidak!" teriakku. "Tidak! Lari, Wolf! Lari!"
Kudorong anjing itu. Wolf menatapku bingung.
"Lari!" jeritku. "Lari! Lari!"








Chapter 26

KUDORONG lagi Wolf kuat-kuat. "Lari! Lari, Boy! Pergi!"
Dad merangkul bahu Wolf, tapi rangkulannya tidak kuat.
Wolf meloloskan diri dan lari menuju rawa.
"Hei!" seru Dad marah. Dikejarnya Wolf sampai ke ujung halaman belakang.
Tapi anjing besar itu terlalu cepat larinya.
Aku berdiri di belakang rumah, terengah-engah, dan mengamati Wolf sampai ia
menghilang di sela-sela pepohonan pendek di tepi rawa.
Dad berjalan mendekatiku, wajahnya tampak marah.
"Perbuatanmu tadi konyol, "Grady," gumamnya.
Aku diam saja.
"Wolf nanti akan kembali," kata Dad. "Kalau ia kembali, aku harus membawanya
pergi."
"Tapi, Dad" kataku.
"Tidak usah lagi dibicarakan," katanya tegas. "Begitu anjing itu kembali, aku akan
membawanya ke tempat penampungan."
"Tidak bisa!" jeritku.
"Anjing itu pembunuh, Grady. Aku tidak punya pilihan lain." Dad berjalan ke
mobil. "Tolong aku mengeluarkan pagar kawat ini. Aku butuh bantuanmu untuk
menambal kandang."
Aku memandang ke arah rawa sambil mengikuti Dad ke mobil.
J angan kembali, Wolf, kataku dalam hati.
J angan kembali.

***

Sepanjang hari aku mengamati rawa. Aku merasa gelisah, lemas. Aku sama sekali
tidak bernafsu makan. Setelah membantu Dad memperbaiki kandang kijang, aku
berdiam di kamar. Aku mencoba membaca buku, tapi tidak bisa.
Sampai malam Wolf tidak kembali.
Kau aman, Wolf, pikirku. Paling tidak untuk hari ini.
Seluruh keluargaku tegang. Saat makan malam kami nyaris tidak berbicara. Emily
menceritakan film yang kemarin malam ditontonnya, tapi tidak ada yang
berkomentar.
Aku segera masuk ke kamar. Aku lelah sekali. Karena tegang kurasa. Dan karena
hampir setiap malam terbangun.
Kamarku lebih gelap daripada biasanya. Malam ini malam terakhir bulan purnama,
tapi awan tebal menghalangi sinar bulan.
Kurebahkan kepalaku ke bantal dan berusaha tidur. Tapi aku teringat Wolf terus.
Tak lama kemudian mulai terdengar lolongan.
Aku bangun pelan-pelan dari tempat tidur dan bergegas menuju jendela.
Kupicingkan mata menatap kegelapan. Awan hitam, berat, masih menutupi bulan.
Udara tak berangin. Tidak ada yang bergerak.
Kudengar geraman pelan dan Wolf muncul.
Ia berdiri kaku di tengah-tengah halaman belakang, kepalanya mendongak ke
langit, sambil menggeram pelan. Ketika aku menatapnya, anjing besar itu mulai
berjalan hilir-mudik dari satu sisi halaman ke sisi yang lain.
Ia hilir-mudik seperti binatang yang terkurung, pikirku. Hilir-mudik dan
menggeram, seperti ada yang meresahkannya. Atau membuatnya takut.
Sambil hilir-mudik begitu, ia terus mendongakkan kepalanya ke arah bulan
purnama di balik awan dan menggeram.
Ada apa, pikirku. Aku harus tahu.
Cepat-cepat aku berganti pakaian dalam kegelapan, kukenakan jins dan kaus yang
seharian tadi kupakai.
Kucari-cari sepatuku. Mula-mula sepatu sebelah kiri kupakai di kaki kanan.
Kamarku gelap sekali karena tidak ada cahaya bulan.
Begitu tali sepatuku sudah kuikat, aku bergegas ke jendela lagi.
Kulihat Wolf meninggalkan halaman belakang. Ia berjalan pelan ke arah rawa.
Aku akan mengikuti Wolf, pikirku. Aku akan membuktikan ia bukan pembunuh
atau pun manusia serigala.
Aku takut orangtuaku bisa mendengar kalau aku keluar dari pintu dapur. J adi aku
keluar dari jendela.
Rumput terasa basah disaput embun. Udara terasa basah juga, dan hampir sepanas
siang hari. Ketika aku terburu-buru membuntuti Wolf, sepatuku berdecit dan
terpeleset di rumput yang lembap.
Aku berhenti di ujung halaman belakang. Wolf tidak kelihatan.
Aku masih bisa mendengarnya jauh di depan. Aku bisa mendengar suara kakinya
menginjak tanah yang lunak. Tapi terlalu gelap untuk melihatnya.
Kuikuti suara langkah kakinya, sambil menatap awan gelap yang bergerak.
Aku hampir sampai di rawa ketika mendengar suara langkah kaki di belakangku.
Dengan perasaan ketakutan setengah mati, aku berhenti dan mendengarkan.
Ya. Suara langkah kaki.
Bergerak cepat ke arahku.







Chapter 27

"HEI!"
Aku berteriak tertahan dan berbalik.
Mula-mula aku tidak bisa melihat apa-apa, semua gelap.
"Heisiapa di sana?" Suaraku hanya seperti bisikan.
Will keluar dari kegelapan.
"Gradyternyata kau!" serunya. Ia mendekat. Ia mengenakan kaus tangan panjang
warna gelap dan jins hitam.
"Willngapain kau di sini?" tanyaku terengah-engah.
"Aku mendengar lolongan-lolongan itu," jawabnya. "Aku ingin menyelidikinya."
"Aku juga. Aku senang sekali melihatmu!" seruku. "Kita bisa menyelidikinya
bersama-sama."
"Aku juga senang melihatmu," katanya. "Gelap sekali, akuaku tidak tahu tadi itu
kau. Kukira"
"Aku mengikuti Wolf," kataku. Aku berjalan mendahului ke rawa. Ternyata di
bawah pepohonan pendek malah lebih gelap.
Sambil berjalan, kuceritakan kejadian kemarin malam pada Will, tentang bangkai
kijang, dan jejak kaki binatang di sekitar kandang. Kuceritakan apa yang dikatakan
orang-orang di kota. Dan tentang ayahku yang ingin membawa Wolf ke tempat
penampungan.
"Aku tahu bukan Wolf pembunuhnya," kataku. "Pokoknya aku tahu. Tapi Cassie
membuatku jadi ketakutan gara-gara semua cerita manusia serigalanya, dan"
"Cassie payah," gumam Will. Ia menunjuk ilalang. "Lihatitu Wolf!"
Aku bisa melihat bayangannya yang hitam bergerak mantap menembus kegelapan.
"Aku goblok sekali. Mestinya tadi aku bawa senter," gumamku.
Wolf menghilang di balik ilalang. Will dan aku mengikuti suara langkah kakinya.
Kami berjalan selama beberapa menit. Tiba-tiba aku sadar suara langkah kaki
anjing itu sudah tidak terdengar lagi.
"Mana Wolf?" bisikku, mataku mencari-cari di semak-semak gelap dan pepohonan
pendek. "Aku tidak mau kehilangan jejaknya."
"Ia lewat sini," seru Will. "Ikuti aku."
Sepatu kami menginjak tanah yang lembap dan lunak. Kutepuk nyamuk yang
menempel di tengkukku. Terlambat. Terasa ada darah hangat.
Kami semakin jauh masuk ke rawa. Melewati bog, suasana sangat sepi sekarang.
"Hei, Will?"
Aku berhentidan mencari-cari. "Oh." Aku berteriak pelan ketika sadar aku
kehilangan jejaknya. Entah bagaimana, kami jadi terpisah.
Kudengar suara gemerisik di depan. Suara ranting patah. Suara ilalang terinjak dan
terdorong. "Will? Itu kau, ya?"
Atau Wolf?
"Will?"
"Di mana kau?"
Tiba-tiba sinar suram menerangiku, perlahan-lahan menyapu tanah. Aku
mendongak dan melihat awan-awan berat berpencar.
Bulan purnama terlihat tinggi di langit.
Ketika sinar itu pelan-pelan menyinari rawa, tepat di depanku tampak sosok
rendah.
Mula-mula aku tidak tahu sosok apa itu. Sejenis tanaman raksasa?
Bukan.
Ketika sinar bulan meneranginya, aku tahu yang kulihat itu pondok si petapa rawa.
Aku berhenti, tidak bergerak karena ketakutan. Lalu mulai terdengar lolongan.
Suara menakutkan itu terdengar jelas di kesunyian malam.
Lolongan yang mengerikan, begitu keras, begitu dekat, melengking dalam
kesunyian, semakin melengking, lalu menjadi lirih.
Suara itu begitu menakutkan sehingga kututup telingaku dengan kedua tangan.
Si petapa rawa! pikirku. Dialah manusia serigalanya!
Aku tahu dialah si manusia serigala!
Aku harus pergi dari sini, pikirku. Aku harus pulang.
Aku berbalik dari pondok kecil itu.
Kakiku gemetar bukan main, aku tidak tahu bisa berjalan atau tidak.
Harus pergi! Harus pergi! Harus pergi! Kata-kata itu berputar-putar di pikiranku.
Tapi sebelum aku sempat bergerak, si manusia serigala menyerbu dari balik
pohondan sambil melolong menyeramkan, menerjang bahuku dan menjatuhkan
aku ke tanah.








Chapter 28

KETIKA cahaya kuning bulan purnama bersinar, kupandang wajah manusia
serigala itu ketika ia menindihku ke tanah.
Matanya yang hitam menatapku dari wajah manusianya, wajah manusia yang
tertutup bulu serigala. Ia melolong marah, moncongnya menganga lebar,
menampakkan dua deret gigi serigala yang berkilat-kilat.
Ini serigala manusia! pikirku ngeri. Manusia serigala!
"Lepaskan!" jeritku. "Willlepaskan aku!"
Ternyata Will. Manusia serigalanya Will.
Meskipun ditumbuhi bulu serigala yang tebal dan bergumpal, aku bisa mengenali
garis-garis wajahnya, matanya yang hitam kecil, lehernya yang tegap dan pendek.
"Will!" jeritku.
Aku berusaha mendorongnya, meronta-ronta meloloskan diri dari tindihannya.
Tapi ia terlalu kuat. Aku tidak bisa bergerak. "Willlepaskan!"
Didongakkannya wajahnya yang tertutup bulu ke bulan dan menggeram seperti
binatang. Lalu, sambil menggeram marah, ditundukkannya kepalanya yang
mengerikan dan dihunjamkannya taringnya ke bahuku.
Aku menjerit kesakitan.
Warna merah menyambar-nyambar di mataku. Kuulurkan tanganku, kakiku
menendang-nendangberusaha membebaskan diri.
Tapi kekuatannya seperti binatang. Ia jauh lebih kuat daripada aku... terlalu kuat...
Warna merah memudar dan berubah jadi hitam. Semuanya memudar jadi hitam.
Aku merasa diriku terbenam, terbenam ke dalam terowongan hitam, terbenam
selamanya ke dalam kegelapan tanpa batas.

***

Geraman keras membuatku terjaga.
Dengan bingung, kulihat Wolf menerkam Will.
Will menggeram marah dan berbalik untuk melawan anjing yang menggeram-
geram itu.
Aku menatap tidak percaya ketika mereka bergulat di tanah, menggigit dan
mencakar, saling menyerang, menggeram dan mendengus.
"Will... Will, ternyata kau... Selama ini ternyata kau..." gumamku, berusaha berdiri.
Kupegang batang pohon. Tanah kelihatan seperti meluncur di bawahku.
Kedua makhluk itu terus berkelahi, mendengus dan menggeram sambil saling
mencakar, bergulat di tanah yang basah.
"Aku tahu bukan Wolf," gumamku keras-keras. "Aku tahu..."
Lalu lengkingan memekakkan telinga membuatku tersentak, dan jatuh berlutut.
Aku mendongak tepat ketika Will melarikan diri, di atas keempat kakinya,
menerobos ilalang tinggi. Wolf mengikutinya dari dekat, menyambar pergelangan
kaki Will, menerkamnya, menggigit dan mencakarnya sambil berlari.
Lalu, kudengar Will berteriak kesakitan lagi, teriakan kekalahan.
Ketika suara penuh penderitaan itu menghilang, aku terbenam, terbenam ke dalam
kegelapan berwarna biru-hitam.






Chapter 29

"KAU agak demam," kata Mom. "Tapi sebentar lagi juga sembuh,"
"Demam rawa," gumamku lemah. Kupandangi Mom, berusaha menatapnya lebih
jelas. Wajahnya tampak kabur, menatapku dengan diterangi cahaya lembut.
Lama baru kusadari aku berada di kamarku. "Bagaimanabagaimana aku sampai
di sini?" tanyaku tergagap.
"Si petapa rawaia menemukan kau di rawa dan membawamu pulang," kata
Mom.
"Oya?" Aku berusaha duduk, tapi bahuku terasa sakit. Aku terkejut melihatnya
terbalut rapat. "Ma manusia serigala ituWillia menggigitku," kataku sambil
menelan ludah.
Dad mendekat di samping Mom. "Apa katamu, Grady? Kenapa kau bergumam
soal manusia serigala terus?"
Aku bangun sedikit dan menceritakan semuanya pada mereka.
Mereka diam mendengarkan, saling berpandangan berulang kali ketika aku bicara.
"Will manusia serigala," kataku menyimpulkan. "Ia berubah wujud. Di bawah sinar
bulan purnama. Ia berubah wujud jadi serigala, dan"
"Aku akan memeriksanya sekarang juga," kata Dad, ditatapnya aku. "Ceritamu
gila, Grady. Gila. Mungkin karena demam. Entahlah.Tapi aku akan ke rumah
temanmu dan melihat ada apa sebenarnya."
"Dadhati-hati," seruku. "Hati-hatilah."

***

Sebentar kemudian Dad kembali, wajahnya tampak sedikit bingung.
Aku sedang duduk di ruang tengah, badanku terasa jauh lebih baik, di pangkuanku
ada semangkuk besar popcorn.
"Tidak ada siapa-siapa di sana," kata Dad, digaruk-garuknya kepalanya.
"Hah? Apa maksudmu?" tanya Mom.
"Rumah itu kosong," kata Dad. "Tidak ada penghuninya. Kelihatannya sudah
berbulan-bulan tidak ada yang tinggal di sana!"
"Wow, Grady. Teman-temanmu benar-benar aneh!" seru Emily, matanya
terbelalak.
"Aku tidak mengerti," kata Dad sambil menggeleng-geleng.
Aku juga tidak. Tapi aku tidak peduli. Will sudah tiada. Si manusia serigala sudah
tiada untuk selamanya.
"J adi aku boleh memelihara Wolf?" tanyaku pada Dad, sambil bangun dari kursi
dan melintasi ruangan mendatanginya. "Wolf menyelamatkan nyawaku. Boleh
kupelihara dia?"
Dad menatapku serius, tapi tidak menjawab.
"Si petapa rawa mengatakan ia melihat anjing itu mengejar sejenis binatang
menjauh dari Grady," kata Mom.
"Mungkin tupai," kata Emily bercanda.
"Emily, jangan macam-macam," erangku. "Wolf betul-betul menyelamatkan
nyawaku," kataku.
"Kurasa kau boleh memeliharanya," kata Dad segan-segan.
"ASYIIIK!" Kuucapkan terima kasih pada Dad dan bergegas menuju halaman
belakang untuk memeluk Wolf.

***

Itu semua terjadi hampir sebulan yang lalu.
Sejak saat itu, Wolf dan aku bersenang-senang menjelajahi rawa. Aku jadi tahu
setiap sudut Rawa Demam. Seperti rumah keduaku saja rasanya.
Kadang-kadang Wolf dan aku memperbolehkan Cassie ikut menjelajah bersama
kami. Ia asyik juga, meskipun selalu ketakutan pada manusia serigala. Aku benar-
benar berharap ia melupakan masalah itu.
Sekarang aku sedang berdiri di dekat jendela kamarku, mengamati bulan purnama
muncul di atas pepohonan di kejauhan.
Bulan purnama pertama bulan ini membuatku teringat pada Will.
Will bisa saja telah tiada, tapi ia telah mengubah hidupku. Aku tahu aku takkan
pernah melupakannya.
Aku bisa merasakan bulu bertumbuhan di wajahku. Moncongku semakin panjang,
dan taringku mencuat dari sela-sela bibirku yang hitam.
Ya, ketika menggigitku, Will memindahkan kutukan itu padaku.
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak marah. Maksudku, karena Will sudah tidak ada,
rawa ini sekarang jadi milikku! Milikku seorang!
Aku keluar dari jendela kamarku sekarang. Wolf sudah menungguku, tak sabar
untuk menjelajah di malam hari.
Aku mendarat tanpa suara di atas keempat kakiku. Kuangkat wajahku yang
berbulu ke arah bulan dan melolong panjang dengan gembira.
Ayo, Wolf. Ayo cepat ke Rawa Demam.
Aku siap berburu.

END


Ebook PDF: eomer eadig
Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai