Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
NYANYIAN KINDO
ANAK lelaki itu duduk di tangga kayu rumah tua. Dua tangannya
ditopangkan ke dagu. Wajahnya murung. Pakaian lusuh dan rambut kusut.
Dekat kakinya ada sebuah buntalan. Angin pagi bertiup sejuk membuat
sepasang matanya terpej am-pejam. Sebelum kantuk menguasai dirinya anak
ini cepat m embuka kedua m atanya lebar-lebar. Saat itu dia melihat di
depannya ada s eorang anak perempuan m endatangi sambil bernyanyi-
nyanyi.
Sampai di hadapan anak l elaki yang duduk di tangga kayu, anak
perempuan tadi hentikan nyanyiannya. Dia menatap sesaat lalu menyapa.
"Kindo. Wajahmu kulihat muram...."
"Kanti.... Ah, kau rupanya. Aku memang lagi sedih nih. Kau tentu
sudah mendengar kabar. Pamanku, satu-satunya tempat gantungan hidup
tewas dicabik-cabik harimau di hutan..."
"Aku turut bersedih Kindo," kata Kanti.
"Kini aku bingung. Tak punya orangtua, tak punya Paman...."
"Aku juga yatim piatu Kindo. Nasib kita sama."
Kindo menggeleng. Kedua tangannya masih s aja menopang dagu.
"Aku kini sebatang kara. Kau masih punya Bibi. Kurasa apa gunanya aku
tinggal lebih lama di desa ini."
Kanti memandang pada buntalan dekat kaki Kindo.
"Jadi kau mau pergi? Mau meninggalkan desa?" Suara anak
perempuan ini tersendat. "Kau mau pergi ke mana Kindo?"
"Dulu Paman pernah berwasiat. Sepertinya beliau punya firasat.
Katanya, kalau terjadi apa-apa dengan dirinya aku harus meninggal kan
desa. Pergi ke Puri Elang di puncak bukit Mega Biru."
Kanti duduk di anak t angga paling bawah. Menatap pada Kindo
yang duduk satu tangga di atasnya.
"Puri Elang. Bukit Mega Biru..." ucap Kanti perlahan. "Aku pernah
dengar nama itu. Letaknya jauh. Perjalanan ke sana sukar. Itu tempat angker
yang tidak pernah didatangi manusia. Dan kau mau ke sana! Jangan pergi
Kindo!"
Kindo tak segera menj awab. Perlahan-lahan diturunkan kedua
tangannya. "Sesuai wasiat Paman aku harus ke sana. Di sana aku bakal
bertemu dengan seseorang yang akan memberi ilmu kepandaian..."
"Ilmu kepandaian apa?" tanya Kanti.
"Ilmu silat. Kata Pam an ilmu yang kumiliki masih sangat rendah.
Jika aku ingin jadi anak laki-laki, jadi seorang satria, jadi seorang pendekar,
aku musti pergi ke sana. Aku mempunyai bakat yang orang lain tidak
memiliki."
"Aku tidak mengerti semua ucapanmu ini Kindo. Tapi siapa sih
orang yang bakal kau temui itu?"
"Aku sendiri tidak tahu siapa orangnya. Paman tidak menyebut
nama atau apa.... Ciri-cirinya juga tidak. Apa tinggi, bundar, lonjong, atau
empat persegi."
Kanti tersenyum tetapi jelas wajahnya gundah. "Kau ini yang
bukan-bukan saja. Mana ada manusia berbentuk empat pers egi." Setelah
menarik nafas dal am anak perempuan ini melanjutkan.
"Kalau kau pergi, aku harus ikut."
Kindo terkejut dan berdiri. "Tidak mungkin Kanti. Tidak bisa!"
"Mengapa tidak mungkin? Kenapa tidak bisa?! Bukankah kita
berteman?"
"Pokoknya tidak bisa!" kata Kindo pula.
Paras anak perempuan itu menjadi redup. Saat itu sebuah pedati
ditarik dua ekor sapi berhenti di depan rumah, kakek Purwo pemegang t ali
kendali melambaikan tangannya. "Cah bagus! Apakah kau sudah siap
melakukan perjal anan gilamu?!"
"Saya sudah siap Kek. Saya kira kau tidak bakal datang. Saya
sudah lama menunggu!"
"Tapi aku tidak mau berlaku segilamu. Aku tidak akan
mengantarmu sampai ke puncak bukit Mega Biru!"
"Terserah. Kau mau mengant arkan sampai di mana! Saya tetap
akan berterima kasih!" kat a Kindo. Lalu ia berpaling pada anak perempuan
itu. "Kanti, aku pergi sekarang. Selamat tinggal..."
"Selamat jalan Kindo," balas Kanti menahan sesenggukan.
Kindo melompat ke atas pedati.
"Kindo! Buntalanmu ketinggalan!”seru Kanti.
"Astaga! Tolong lemparkan!"
Kanti melemparkan buntal an itu ke atas pedati. Kindo
melambaikan tangannya. Pedati mulai bergerak. Air mata merebak jatuh di
pipi Kanti. Dalam hatinya anak perempuan ini merat ap. "Aku kehilangan
teman bermain. Aku kehilangan teman berbagi suka dan duka.... Kindo,
nasibmu mungkin buruk. Tapi rasanya aku tidak lebih baik...."
HAMPIR DISANTAP RAJA HUTAN
PEDATI berhenti di tepi hutan jati. Kakek yang mem egang t ali
kekang dua sapi penarik pedati berpaling pada Kindo. Anak ini baru saja
terbangun dari tidur lelapnya. Sambil menguap dia memandang berkeliling.
"Kek, kenapa berhenti?"
"Aku hanya sanggup mengantarmu s ampai di sini. Sebentar lagi
matahari akan
***
PURI ELANG
"Kalau ada tikus pasti ada lobang! Ada lobang berarti ada jalan
keluar!" Kindo lalu memeriksa sudut ruangan sebelah kanan. Mengangkat
tumpukan jerami kering. Benar saja. Di situ ada sebuah lobang sebesar
pergelangan kaki. "Lobang ini pasti berhubungan dengan udara luar." Kindo
berpikir sejenak. Lalu dihampirinya sebuah kursi. Dipilihnya kaki kursi
yang masih cukup kuat. Dengan patahan kaki kursi ini dia mulai membobok
lobang itu. Membuatnya lebih besar. Terengah-engah, mandi keri ngat
akhirnya Kindo berhasil membuat sebuah lobang bes ar. Dia merangkak
masuk sambil terus menggali. Dengan kaki kursi, dengan t angan telanjang
hingga jari-j arinya luka. Masuk ke dalam lobang sejauh lima langkah kaki
kursi menumbuk sebuah benda keras.
"Batu! Buntu!"
Pada saat itu terdengar suara mencicit banyak sekali. Puluhan tikus
muncul dari kiri kanan. Melintas kedua tangannya. Melompat ke atas
punggungnya bahkan ada yang menggigit pinggulnya. Kindo m enjerit jijik
dan kesakitan. Cepat-cepat bersurut dan keluar dari lobang. Ketika dia
berada di ruangan batu itu kembali, nyala api telah membakar setengah
bagian dari lilin. Kindo keluarkan keringat dingin!
"Apa lagi yang harus kulakukan? Rupanya aku akan mati konyol di
tempat ini!" Kindo rebahkan diri di lantai ruangan. Sekujur tubuhnya terasa
sakit. Kedua matanya dipejamkan. "Perhatian! Aku harus memusatkan
perhatian! Pikiran! Aku harus memus atkan pikiran! Gila! Aku tak bisa
melakukannya!" Kindo membuka kedua matanya kembali. Menatap ke
langit-langit ruangan. "Eh, apa itu?" ujarnya seraya bangkit.
Untuk pertama kalinya dia m enyadari kalau bagian atas ruangan
batu itu berbentuk kubah bulat. Di tengahnya tergantung sebuah rantai. Pada
ujung rantai ini terdapat lampu hias kuno bercabang tiga. Masing-m asing
cabang dihias dengan untaian rantai kecil berwarna putih
Kindo berdiri. Dia tegak tepat di bawah kubah itu. Lalu
perhatiannya dibagi pada lilin di lantai. Saat itu hampir dua pertiga batang
lilin telah musnah dimakan api. Anak ini jadi tegang. Dia kembali
memperhatikan kubah dan lampu gantung itu. "Mungkin bagian atas kubah
itu terbuat dari kayu tipis. Kalau aku bisa menjebolnya...."
Sambil mengukur jarak antara lant ai dengan ujung terendah lampu
hias kuno Kindo naik ke atas meja. Meja ini mengeluarkan suara
berkereket. Empat kaki meja bergetar. Papannya bergoyang. "Tidak bisa
begini. Memasang kuda-kuda di atas meja bisa membuatnya ambruk! Kalau
meja dijadikan tumpuan pelentur...?"
Kindo melompat turun. Dia melangkah mundur m enjauhi meja
sampai punggungnya membentur dinding batu. Dengan matanya dia
mengukur jarak antara tempat dia berdiri dengan meja, lalu meja dengan
lampu kuno yang tergantung.
"Pusatkan perhatian! Pusatkan pikiran! Kau harus bisa Kindo!
Harus!" Anak ini pejamkan matanya. Begitu dibuka kembali dia berteriak
keras.
"Ciaaattt!"
Kindo berlari ke arah mej a. Lima langkah dari meja di a membuat
lompatan. Tubuhnya melayang. Kaki kanan menjejak ujung meja. Sambil
memusatkan kekuatan pada kaki kanannya sebagai daya tumpu anak ini
lenturkan badannya.
Kindo seperti mel ejit ke atas. Kedua tangannya diulurkan lurus-
lurus.
"Hup! Dapat!" teriak anak ini girang begitu kedua tangannya
berhasil menangkap salah s atu dari rantai putih di ujung cabang lampu hias
kuno. Tiba-tiba terdengar suara berkereketan disusul dengan m eluncur
turunnya rantai besi besar di tengah kubah.
"Aduh! Aku jatuh!"
DI hadapan Kindo kini terbentang s ebuah tam an. Dia tidak tahu
apakah dia berada di luar Puri Elang atau masih di dalamnya. Yang lebih
mencengangkannya ialah di tengah taman itu t ampak duduk seorang lelaki
bertubuh gemuk luar biasa di at as sebuah kursi goyang terbuat dari besi.
Orang ini memakai kopiah kupluk. Baik baju dan celananya kelihatan
kesempitan hingga dada dan perutnya menyembul ke luar. Lain dari itu baju
yang melekat di tubuhnya dipakai terbalik. Bagian depan yang berkancing
justru ada di sebelah punggung! Di bahu kanan si gendut bertengger seekor
burung Elang besar. Lalu di depan kursi goyang di mana si gendut itu duduk
enak-enakan terl etak sebuah meja penuh dengan berbagai macam makanan
serta buah-buahan. Si gendut asyik makan dengan lahapnya.
Untuk pertama kalinya Kindo s adar kalau perutnya sudah
keroncongan alias lapar sejak lama.
"Eh, manusia gentong raksasa itu! Mengapa sekarang tahu-tahu
ada di sini. Berpakaian lucu dan pakai peci s egala! Aku tak bisa lupa. Dia
adalah Juragan Lor Bangkalan yang dirampok di hutan tadi malam!" Kindo
melangkah m aju. Tiba-tiba si gendut m enjentikkan j ari tangannya. Burung
Elang di bahu kanannya mengembangkan sayap, menaikkan kepala lalu
melesat ke arah Kindo, mematuk ke arah kepala. Kejut Kindo bukan main.
Dia cepat jatuhkan diri ke tanah. Patukan Burung Elang besar itu lewat di
atas kepal anya. Gagal serangan pert ama burung itu berput ar lalu membalik.
Siap menyerang lagi. Kindo yang baru saja bangkit berdiri terpaksa
menjatuhkan diri kembali. Tak urung punggung pakaiannya masih sempat
disambar cakaran burung Elang.
"Breeett!"
Baju anak itu robek besar di bagian punggung. Si gemuk di atas
kursi besi terlonjak dari kursinya. Dua mat anya yang besar semakin
mendelik ketika melihat sesuatu di kulit punggung Kindo.
"Tanda biru kehijauan di punggung anak itu! Astaga! Jadi memang
dia orangnya!"
Untuk ketiga kalinya Elang datang menyerang. Dalam puncak
ketakutannya Kindo melihat sebuah kurungan besar terbuat dari besi. Pintu
kurungan itu cukup besar. Cukup bisa meloloskan tubuhnya mencari
selamat. Karenanya tanpa menunggu lebih lama Kindo segera lari ke arah
kurungan besi, menyusup lolos lewat pintunya lalu menguncinya sekali.
Burung Elang terbang berputar-putar di at as sangkar yang ternyata
adalah s angkarnya s endiri. Binatang ini tiada hentinya mengeluarkan suara
keras. Mungkin marah karena serangannya gagal atau marah karena
sangkarnya kini dimasuki orang. Kes al berputar-putar burung El ang itu
hinggap di atas sangkar besi. Dia coba mematuk Kindo.
"Ihhh!" Kindo mengkerutkan tubuhnya ke sudut kurungan. Burung
Elang itu mematuk lagi. Tapi jeruji-jeruji sangkar terlalu sempit. Kepalanya
tak bisa lolos. Sebaliknya di dalam sangkar, Kindo begitu tahu burung
Elang itu tak bakal dapat mematuk atau mencakarnya tidak henti-hentinya
berteri ak, mengejek binatang itu dan mencibir berulang kali.
Di atas kursi goyang besi si gendut tertawa bergelak. Kindo jadi
mengomel. Dia berteriak. "Juragan Lor Bangkal an! Aku tidak bermusuhan
denganmu! Mengapa menyuruh burung Elang menyerangku?!"
"Ya.... Tak ada gunanya meneruskan serangan. Tanda di
punggungnya sudah kelihatan," kat a si gendut dalam hati. Lalu
dijentikkannya jari-jari tangannya. Burung Elang besar itu mengembangkan
sayap lalu terbang dan hinggap kembali di bahu kanan tuannya itu.
"Aku pemilik Puri Elang. Kau datang tidak diundang!" jawab si
gendut sambil mengambil sebutir buah dan menyant apnya dengan la-hap.
"Atau kau datang untuk minta upah. Karena menyangka t elah berbuat jasa
besar tadi malam menolongku?!"
"Aku tidak kenal dan tidak mengharap s egala m acam upah. Aku
datang sesuai wasiat Pamanku!" jawab Kindo ketus.
"Aku tak kenal Pamanmu!"
"Kenal atau tidak tapi jelas ada seseorang menunggu kedatanganku
di Puri ini. Buktinya tadi ada seseorang di tempat ini berkata bahwa wasiat
Pamanku adalah wasiatnya juga!"
"Di Puri ini hanya aku sendiri! Kau dusta ada orang yang bicara
seperti katamu itu!"
"Kalau mem ang hanya kau s eorang yang ada di Puri ini, berarti
kaulah orangnya yang tadi bicara tent ang wasiat itu! Jadi kaulah orang yang
harus kutemui!"
Si gendut terdiam. "Bocah ini ternyata cerdik juga," katanya dalam
hati. Lalu dia tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan
perutnya yang melembung berguncang-guncang.
"Juragan Lor Bangkalan, aku mau keluar dari dalam kurungan bau
ini. Jangan suruh burungmu menyerangku lagi!"
"Kau boleh keluar. Tapi ada satu hal perlu kujelaskan. Aku bukan
Juragan Lor Bangkal an."
Kindo membuka pintu kurungan besi lalu keluar. Setelah yakin
burung Elang itu tidak akan menyerangnya, anak ini maju tiga langkah,
menatap orang gemuk di kursi goyang itu sesaat lalu berkata.
"Ingatanku masih terang. Malam tadi kau berada di hutan. Kau
adalah pedagang kaya yang dirampok itu."
"Aku hanya menjal ankan peran sebagai Juragan Lor Bangkal an.
Untuk memberi pelaj aran pada penjahat itu. Sekaligus untuk menguji
dirimu!"
"Menguji diriku? Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya
Kindo.
"Namaku Bujala Tasaki."
"Nama aneh. Orangnya juga aneh!" kata Kindo dalam hati.
"Bujala Tasaki singkatan dari Bujang Gila Tapak Sakti..."
menerangkan si gendut.
"Oooo orang gila si gentong ini rupanya. Tapak Sakti. Tapi kulihat
tangannya biasa-bi asa saja..." kata Kindo lagi dalam hati.
"Aku adalah penerima wasiat yang disebutkan Pamanmu dalam
pesannya. Malam di hutan itu kau telah melakukan sesuatu yang hebat.
Membuat aku yakin bahwa pewarisku sudah muncul."
"Aku tidak mengerti. Kau begitu saja membiarkan s ekantong emas
miiikmu diambil penjahat berkepala botak itu. Malah kau tambah dengan
enam cincin emas-permata...."
Si gendut yang mengaku bernama Bujala Tasaki tertawa lebar. "Isi
kantong itu bukan emas. Tapi batu. Enam cincin yang kuberikan juga
palsu!"
Kindo jadi melongo. "Jadi apakah aku harus memanggilmu Guru?"
"Ah, aku tidak suka segala macam perad atan! Lagi pula kau belum
jadi muridku. Banyak yang harus dilakukan. Pengujian belum sel esai,"
jawab si gendut pula. "Panggil saja aku Bujala atau Tasaki."
"Kalau m aumu begitu, baiklah," kata Kindo. "Tadi kau bilang
menguji diriku. Menguji bagaimana? Lalu kau juga bilang pengujian belum
selesai. Apa maksudmu?"
"Kakekku gelisah. Sampai saat ini aku masih belum punya seorang
murid pun. Belum punya pewaris ilmu kepandaian. Satu kali dia bermimpi
bertemu Pamanmu. Lalu berwasiat agar aku mengambilmu jadi murid.
Kalau tidak karena wasiat itu belum tentu aku mau m engambilmu jadi
murid...."
"Sebabnya?" tanya Kindo.
"Kau kelihatan tolol, terlalu banyak omong dan jelek rupa!"
Kindo hendak marah tapi dia hanya menggigit bibir saja. Dalam
hati dia berkata. "Si gentong ini berdusta. Kalau dia tidak suka padaku tadi-
tadi tentu dia sudah mengusirku."
"Hemmm.... Aku datang tidak mengemis. Kalau kau tak suka
diriku, aku pun rasanya ada ganjal an jadi muridmu. Aku mau pergi saj a.
Tolong tunjukkan jalan ke luar."
"Eh, anak ini sungguhan atau hendak mengujiku?!" pikir Bujala
Tasaki. "Hai! Tunggu dulu!" si gendut memanggil. Kindo hentikan
langkahnya. "Kau harus tahu. Ujian itu tidak selalu berbentuk kekuatan
nyata atau kekerasan. Ujian bisa dilakukan lewat kata-kata, melalui ucapan.
Ujian paling sulit justru ketika kita harus m enggunakan kekuatan pikiran
dan kekuatan hati. Kekuat an pikiran berarti mempergunakan otak dengan
segala hati. Kekuatan pikiran berarti mempergunakan otak dengan s egala
kecerdikan. Kekuatan hati berarti memantapkan ketabahan dalam diri.
Malam tadi kau mel akukan s atu hal yang hebat. Kecerdikan dan ketabahan
membuat kau bisa mempermainkan sambil menghajar tiga perampok itu. Di
dalam Puri ini kau berhasil keluar dari dalam ruangan batu merah. Itu berkat
kau mempergunakan pikiran dan hati. Lalu kau bertindak tepat tidak naik
perahu di sungai yang dangkal! Kau lulus dari beberapa ujian. Kau juga
pergunakan akal sewaktu diserang oleh Elangmu, masuk ke dalam kurungan
besi. Tapi masih ada puluhan bahkan ratusan ujian yang akan kau t emui
dalam hidup ini. Satu di antaranya akan kuperlihatkan padamu. Men-
dekatlah kemari!"
Kindo maju. Bujala Tasaki letakkan tangan kanannya di at as meja.
Siku ditekankan ke bawah, lengan ditegakkan lurus-lurus.
"Kewajibanmu menjatuhkan tanganku hingga menempel di meja!
Jangan membuang waktu. Mulailah!"
Sepasang mata Kindo memandang tangan yang besar kokoh itu tak
berkesip. "Besar amat!" kata anak ini dalam hati. Dengan tangan kanannya
diusap tangan si gendut. Lalu dia mulai memijit-mijit.
Bujala Tasaki baru sadar kalau dirinya sudah kena tipu. Tapi diam-
diam dia gembira m elihat kecerdikan anak itu. Makadia pun tertawa gelak-
gelak. "Dia mulai meresapi jalan pikiranku."
Kindo melirik ke atas meja. Air liurnya m engambang di
tenggorokan. "Tasaki, kau tidak akan menawarkan makanan dan buah-
buahan itu padaku? Perutku lapar. Dari tadi malam belum makan...."
"Memangnya kau suka? Ambil saj a kalau doyan!" jawab Bujala
Tasaki seolah tak acuh. Kindo segera mengambil sepotong paha ayam.
Begitu digeragotnya serta merta diludahkannya kembali. Matanya
memandang melotot pada paha ayam yang dipegangnya.
Kindo menatap lima s enjata itu s atu pers atu. Setelah hatinya tetap
maka dia pun berkata. "Aku memiiih rotan buruk itu!"
Bujala Tasaki terkejut.
"Kau tidak keliru atau aku s alah mendengar! Coba kau ucapkan
sekali lagi!"
"Aku memilih rotan di batu ke empat," Kindo mempertegas.
"Kau tidak menyesal menjatuhkan pilihan pada rotan itu?"
"Tidak...."
"Kau masih punya kesempatan untuk merubah putusan, Kindo."
"Pilihanku tidak berubah," jawab Kindo pula.
"Sayang sekali.... Sayang sekali," kat a Bujang Gila Tapak Sakti
sambil geleng-gelengkan kepala. "Kalau itu putusanmu sangat kusesalkan.
Kuberi kesempatan sekali lagi untuk merubahnya...."
"Tasaki, tadi kau bilang kau tidak akan membujukku
dalam menjatuhkan pilihan. Sekarang kenapa kau seperti
memaksa?" Si
gemuk terdiam tapi sunggingkan senyum.
"Kalau begitu kau berjalanlah ke arah batu ke empat. Lurus-lurus.
Lalu ambil
senjata itu."
Kindo melangkah dengan t enang. Tangannya agak gemetar. Juga
sewaktu
menyentuh rotan itu. Setelah memegangnya dia memutar tubuh
dan
melangkah kembali ke tempat semula.
"Kindo, aku ingin bertanya. Mengapa kau memilih rotan buruk ini.
Bukan salah
satu dari empat senjata lain yang hebat-hebat." Berkata Tasaki
begitu Kindo
sampai di hadapannya.
"Alasanku sederhana s aja. Keris emas itu tak pantas bagiku.
Kemana aku pergi
pasti ada orang yang akan mengincar. Tombak dan pedang atau
golok terlalu
besar buatku. Lagi pula bukankah kau mengajari bahwa yang
terlihat oleh
mata telanjang itu belum tentu apa nyatanya?"
Bujala Tasaki tertawa gelak-gelak.
Lalu ada satu suara tertawa lagi meng-gema di kejauhan.
"Heh... siapa yang tertawa itu?" tanya Kindo.
"Siapa lagi kalau bukan Kakekku di puncak menara," jawab Tasaki
yang
membuat Kindo jadi melongo.
"Ketahuilah Kindo, kau memilih benda yang paling tepat sebagai
senjatamu. Rotan itu bukan rotan biasa. Bukan hanya sekedar benda lentur
yang bisa digelungkan di kepala at au diikatkan ke pinggang. Serahkan
padaku. Kau akan lihat kehebatannya!"
"Kena!" seru Kindo. Kat ama berjingkrak dan menj erit setingg,
langit. Tubuhnya kemudian terhempas ke tanah. Seperti anak kecil dia
meraung berguling-guling.
"Pecah kantongku! Mati.... Mati aku!"
"Anak jahanam! Kuhancurkan kepalamu!" teriak Kecak.
Sekali lompat saja dia sampai di hadapan Kindo. Anak ini cepat
melarikan diri. Namun dari belakang Sambradu mencekal leher dan menarik
tangan kanannya yang s akit. Kindo mengeluh tinggi. Saat itu pula dari
depan Kecak datang mengayunkan tinju kanannya ke kepala Kindo.
Anak ini tak bis a berkelit, tak mampu menangkis. Apa lagi
berontak melepaskan diri dari cekalan Sambradu. Mukanya seputih kain
kafan. Hendak bert eriakpun t ak ada gunanya. Dia seperti pasrah menerima
kematiannya.
Sesaat lagi pukulan Kecak akan merengkahkan kepal a Kindo tiba-
tiba "Sssttttt...!" Ada angin bersiur disertai berkelebatnya sebuah benda
panjang yang m enghalangi dan menahan gerak pukulan Kecak, bahkan
membuat tangannya terpental ke atas dan dia sendiri terpekik kesakitan
sambil mundur beberapa langkah.
Benda panjang itu berkelebat lagi. Kindo merasa siuran angin di
belakangnya. Lalu t erdengar jeritan Sambradu. Cekalannya pada leher dan
tangan Kindo terlepas. Kindo cepat m enjauh sel amatkan diri lalu berpaling
untuk melihat apa yang sebenarnya telah terj adi. Kenapa kedua penj ahat itu
urung membunuhnya bahkan menjerit kesakitan!
KIRIN
"Jahanam!"
maki Katam a marah
besar. Bahunya
digoyangkan.
Tubuhnya direndahkan
dan tangan kanannya
menjambak ke be-
lakang.
Tak ampun
lagi tubuh Kindo yang
barusan mendekam di
punggung dan
mencekik lehernya
melayang jatuh ke
bawah, terhempas di
tanah di samping
pemuda berpakaian
hitam!
"Sekarang
terima kematian kalian
berdua!" hardik Katam a. "Kau mampus duluan monyet sialan!" Golok di
tangan kepala penjahat itu membacok ke arah kepala Kindo.
Saat itu Kindo sama sekali dalam keadaan t ak berdaya. Bantingan
Katama membuat dia terhenyak nanar t ak mampu bergerak. Dia melihat
bagaimana golok besar itu menderu ke arah kepalanya tanpa dia bisa
berbuat sesuatu. Kindo coba
palingkan kepal anya. Tak ada
artinya.
"Craaasss!"
Bau harum menyeruak di
tempat itu. Golok besar di tangan
kiri Katama tenggelam ke
dalam sebuah benda bulat panjang
yang
terbelah dua. Pemuda
berpakaian hitam pergunakan
kesempatan
untuk berguling. Tak lupa
dia menarik lengan Kindo hingga
anak ini
ikut bergulingan
bersamanya.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan ini?! " teriak Katama
sementara Sambradu tertegak dalam heran dan kaget. Sebuah
cempedak hutan besar harum tergel etak di tanah dalam keadaan
terbelah. Benda inilah tadi yang entah dari mana datangnya
memintas bacokan golok Katama hingga terbelah dua!
Sepasang mata Katama membeliak. Beberapa langkah di
hadapannya, dekat semak belukar seorang lelaki bertubuh gemuk
luar biasa duduk menjelepok di tanah sambil menyantap cempedak
hutan dengan lahapnya. Orang ini mengenakan kopiah kupluk,
mengenakan celana pangsi hitam dan mem akai baju kekecilan.
Enak saja dia menyantap cempedak itu seolah-olah hanya dia sendirian di
tempat itu dan tidak tahu apa yang barusan terjadi di situ!
"Kurang ajar! Sambradu! Jagal leher si gendut itu dengan
golokmu!" teriak Katama memerintah.
Tanpa banyak cerita Sambradu melompat dengan golok terhunus.
Namun belum sempat kedua kakinya menjejak t anah, kelihatan si gendut
membuka topi hitam di atas kepalanya. Acuh tak acuh topi ini dikipaskan ke
mukanya yang keringatan seperti orang kepanasan.
"Wuuuutttt!"
Serangkum angin menderu, menghantam dengan telak dada
Sambradu. Penjahat ini berteriak keras lalu jatuh melingkar di tanah. Dia
mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya. Dari mulutnya mengucur
darah. Kedua m atanya kelihatan berkedap-kedip. Nafasnya megap-megap
lalu sosok tubuhnya diam. Pingsan!
"Ahhhhhh! Ada orang hebat rupanya di sini!" kat a Kat ama alias
Hantu Plontos seraya mel angkah dengan golok digenggam erat di tangan
kiri.
"Katama..." si gendut menegur tanpa mengangkat kepalanya atau
memandang pada Katama. "Apa pelajaran tempo hari masih belum
membuat kau kapok? Lihat apa yang terjadi dengan dua anak buahmu!
Masih tidak mau sadar?!"
"Aku baru mau kapok dan sadar kalau kau sudah menerima ini!"
jawab Katama set engah berteriak. Goloknya berkelebat!
Si gendut kipaskan lagi kopiah bututnya. Gerakannya ini dilakukan
tanpa menoleh s edikitpun ke arah Katama. Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat Kindo dan pemuda berpakaian hitam jadi terkesima kagum.
"Dessss...!"
"Trangggg!"
Golok besar di tangan Katama patah dua dan t erpental ke udara.
Penjahat itu mengerang panj ang. Tangan kirinya kelihatan melintir ke
belakang tak bisa digerakkan lagi.
Si gemuk melahap lagi
dua butir cempedak hutan lalu
melompat. Dia melangkah ke
hadapan Kat ama.
"Ini pelajaran dan
peringatan t erakhir bagimu. Jika
sekali lagi aku menemuimu
berbuat macam-m acam, jangan
harap ada pengampunan! Pergi
dari sini! Bawa dua anak buahmu
itu!"
SELESAI
Pembuat Ebook :