Anda di halaman 1dari 111

WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 Episode : Malaikat Maut Berambut Salju SATU Gubuk

di tengah rimba belantara itu tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan malam. Satu pertanda tidak ada orang atau penghuni di dalamnya. Seekor burung hantu mengepakkan sayapnya di cabang sebuah pohon lalu mengeluarkan suara aneh menggidikkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Pada saat itulah lapat-lapat di kejauhan terdengar suara langkah-langkah kaki kuda. Agaknya binatang ini tidak berlari kencang melainkan berjalan perlahan dalam kegelapan malam. Binatang itu sampai di depan gubuk. Penunggangnya ternyata seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki turun lebih dahulu lalu membantu yang perempuan. Perempuan ini tampak menggendong sesuatu yang ternyata adalah seorang bayi terbungkus dalam kain tebal. Kau masuklah lebih dulu. Aku akan menyembunyikan kuda berkata yang lelaki. Suaranya hampir berbisik. Setelah istri dan anak dalam gendongan masuk ke dalam gubuk, lelaki itu cepat-cepat menuntun kudanya, membawanya ke satu tempat berpohon dan bersemak belukar rapat. Kuda itu ditambatkannya pada sebatang pohon. Lalu dia kembali ke gubuk. Baru saja orang ini sampai di depan gubuk, belum sempat melangkah masuk tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Dilain kejap sosok bayangan ini telah berdiri di hadapannya. Ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus tapi bungkuk hingga bentuk tubuhnya hampir menyerupai huruf L terbalik. Hembusan napas si tua bungkuk ini menyambar keras dan memerihkan mata. Orang tua ini membuka mulut. Ucapannya didahului suara bergemeletukkan seperti barisan giginya atas dan bawah saling bergesekan. Mana anak itu! tiba-tiba si bungkuk membentak. Bentakan membuat lelaki tadi ketakutan dan bersurut mundur beberapa langkah. Mukanya tampak pucat. Mana anak itu! kembali si bungkuk menghardik. Dua kali sudah aku bertanya! Kalau sampai tiga kali kau tidak menjawab, putus nyawamu Jinggosuwu! An.anak..anak mana maksudmu. Kau ini siapa orang tua .? Siapa aku kau tak layak bertanya! Jangan berpura-pura! Yang aku tanya adalah anakmu! Bayi delapan bulan yang kau beri nama Pandu itu! Pan. Pandu.? Orang tua bungkuk tertawa mengekeh. Lewat mulutnya yang terbuka lebar tampak gigi-giginya besar-besar dan mencuat panjang. Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan bersama istrimu! Kalian meninggalkan desa Talangwaru dua hari lalu! Melarikan diri dan menyembunyikan diri di rimba belantara ini! Aku..aku memang menyembunyikan diri di hutan ini. Tapi.tapi istri dan anakku tidak ikut! jawab lelaki bernama Jinggosuwu. Hem..begitu? si bungkuk tersenyum. Sekarang di mana anak dan istrimu itu? Pandu dan ibunya pergi ke rumah orang tuanya di desa Puputan.. Bagus! Kau tahu apa akibatnya ucapan dusta itu?! Aku .aku tidak berdusta. Aku yang mengantarkan istri dan anakku ke Puputan. Lalu baru menuju kemari . Bukkk! Tubuh Jinggosuwu terpental tiga tombak. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Tapi tidak hanya jerit kesakitan. Dari mulut itu juga menyemburkan busah bercampur darah. Jinggosuwu merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Sakit dan susah bernafas. Di dalam gubuk, istri Jinggosuwu menggeletar sekujur tubuhnya karena ketakutan. Bayinya di peluk erat-erat. Dia mendengar jelas suara pukulan. Lalu suara jeritan suaminya. Lalu kembali terdengar suara membentak dan mengancam.

Sekali lagi kuberi kesempatan padamu Jinggosuwu! Dimana anakmu..? Orang tua aku sudah bilang padamu. Apa perlunya kau mencari anakku? Mencari bayi usia delapan bulan itu? Apa urusan dan maksudmu sebenarnya.? Praak! Tidak terdengar suara jawaban keluar dari mulut si orang tua. Yang terdengar adalah suara hantaman yang membuat rengkah batok kepala Jinggosuwu. Kali ini tanpa jeritan, sosok tubuhnya yang tadi berusaha bangkit terbanting ke tanah, tak berkutik lagi. Nyawanya lepas saat itu juga! Orang tua bertubuh bungkuk meludah ke tanah. Manusia tolol! katanya lalu memandang berkeliling. Waktu dia sampai di tempat itu tadi memang Jinggosuwu dilihatnya muncul seorang diri. Tanpa kuda, tanpa istri dan anaknya. Apa benar kedua orang itu tidak diajaknya bersama ke gubuk persembunyian di dalam hutan itu? Aku tidak percaya! si bungkuk menghentak dan bantingkan kaki kanannya. Dia memandang ke gubuk di samping kanan. Gelap. Pintu kayunya tertutup rapat. Sebelum angkat kaki dari tempat ini aku harus memeriksa gubuk itu! Lalu orang tua itu melangkah menuju pintu gubuk. Belum sempat dia mendorong daun pintu, mendadak ada suara berdesing dan sambaran angin di belakangnya. Secepat kilat orang tua ini jatuhkan diri, berlutut di depan pintu. Sebatang pisau hitam bergagang putih melesat di atas kepalanya dan menancap di daun pintu! Manusia pisau terbang keparat! Unjukkan dirimu! Jangan hanya berani membokong! bentak si bungkuk marah, lalu putar tubuh dan melompat bangun. Sejarak sepuluh langakh dari hadapannya, orang tua ini lihat seorang nenek berambut oanjang tergerai tegak bertolak pinggang. Bajunya yang berwarna hitam penuh dengan deretan pisaupisau kecil hitam bergagang putih. Pendekar Bungkuk! Jangan terlalu cepat naik darah! Apakah kau tidak menyadari dunia ini terlalu sempit buat kita berdua jika kau punya jalan pikiran bahwa seorang bayi calon pendekar agung tidak mungkin dibagi dua?! Perempuan sundal! Masih berani kau muncul di hadapanku! Orang tua yang dipanggil dengan gelaran Pendekar Bungkuk keluarkan makian keras. Eh .eh.eh.! Mulut kotormu itu memberikan restu padaku untuk membunuhmu saat ini juga! Ilmumu tidak setinggi gunung tidak sedalam lautan! Perempuan tua bangkanenek keriput! Kau boleh menyandang gelar Pisau Maut Tanpa Bayangan! Kau akan mampus tidak berkubur! Nenek berambut panjang tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa cekikikan. Kalau aku mati, memang tak bakal minta kau yang mengubur. Tubuh patah bungkuk sepertimu itu mana bisa menggali lubang untukku..! Si nenek kembali tertawa cekikikan. Di dalam gubuk istri Jinggosuwu memeluk bayinya erat-erat. Ketakutan mencengkam ibu muda ini. Dia hanya dapat mendengar bicara dua orang di luar sana. Namun dia tahu betul bahaya apa yang mengancam anak lelaki dalam gendongannya itu. Bersama suaminya dia sengaja melarikan diri ke tempat itu. Ternyata bahaya besar terus menguntit. Kasihan anakku Pandu, apa sebenarnya yang ada dalam dirimu hingga begitu banyak manusiamanusia aneh menginginkan dirimu. Begitu kata hati si ibu muda. Dia tidak tahu kalau suaminya telah mati. Di luar gubuk, dalam kegelapan malam Pendekar Bungkuk keluarkan suara berkereketan dari dalam mulutnya lalu mendengus. Pelajaran masa lau rupanya tidak membuat kau jera! Sungguh tolol! Apakah cacat panjang di pipi kirimu tidak memberi peringatan padamu.?! Ucapan Pendekar Bungkuk membuat si nenek menyeringai. Tangan kirinya bergerak mengusap pipi kirinya di mana terdapat cacat luka dalam memanjang dari mata sampai ke dagu melewati pipi. Dua

tahun silam dua tokoh persilatan ini pernah bentrokan lalu terlibat dalam perkelahian selama sembilan puluh jurus. Si nenek kalah dengan mendapat cidera pada pipinya. Pendekar Bungkuk sendiri mengalami penderitaan sakit dada selama 40 hari akibat satu jotosan si nenek sempat menggebuk dadanya. Sejak perkelahian itu kedua orang ini sama-sama mendalami ilmu silat dan kesaktian masing-masing. Tidak dinyana malam ini mereka bertemu dalam rimba belantara. Ternyata keduanya memliki maksud yang sama! Pendekar Bungkuk, justru mengingat pelajaran masa lalu itulah aku sengaja menghadangmu di sini! Malam ini aku yang bakal ganti memberi pelajaran. Dan tentunya berikut bunga tanda terima kasihku. Hikhikhik! Aku berjanji kau akan mati dengan tenang. Bukankah kematian lebih baik bagimu dari pada hidup menderita selamanya. Apakah anggota rahasiamu sudah mempu menjalankan tugasnya.? Hikhik.hik. aku kasihan padamu Pendekar Bungkuk. Tapi malaikat maut jauh lebih kasihan. Karena itu dia datang menjemputmu malam ini. Pendekar Bungkuk memang pernah mendengar sejak dua tahun belakangan ini bagaimana si nenek yang bergelar Pisau Maut Tanpa Bayangan itu telah sangat maju ilmu kepandaiannya. Perempuan jelek besar mulut. Jika kau mau melupakan anak itu dan pergi dari sini, aku bersedia mengampuni selembar nyawa busukmu.. Ayo pergilah dari sini! Nenek berambut panjang tergerai tertawa mengekeh. Tampaknya kau merubah jalan pikiranmu Pendekar Bungkuk! Kau takut padaku.? Hik.hik.hik?! Tua Bangka keparat! Siapa takut padamu! teriak Pendekar Bungkuk. Tubuhnya yang bungkuk secara aneh menekuk ke bawah hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. Tubuh itu kemudian berjumpalitan dan berguling laksana sebuah roda-roda, menyambar ke arah si nenek. Inilah jurus serangan aneh bernama gelinding kematian. Jurus inilah yang dulu berhasil mengalahkan si nenek dengan membuat cacat wajahnya. Tahu keganasan seangan ini Pisau Maut Tanpa Bayangan cepat melompat ke kiri dan dari sini gerakkan tangan kiri kanannya ke tubuhnya dimana lusinan pisau hitam bergagang putih tersisip di pakaiannya. Namun gerakan ini terpaksa dibatalkan karena tubuh lawan yang berguling membuat gerakan berputar dan tahu-tahu tangn Pendekar Bungkuk sebelah kiri menyembur ke wajah si nenek! Wuut! Secara wajar sambaran tangan itu sulit menemui sasarannya karena masih terpisah cukup jauh. Namun karena bersamaan dengan itu tubuh yang tadi bergulung tiba-tiba seperti terpental dan tegak kembali, maka jarak yang tadi jauh mendadak sontak hanya tinggal setengahnya saja! Si nenek berseru kaget ketika tangan lawan tahu-tahu sudah ada di depan matanya! Dalam keterkejutan peempuan tua ini tidak kehilangan akal. Kaki kirinya digebrakkan ke tanah. Tubunya miring ke belakang. Sambaran tangan lawan yang dapat merobek mukanya lewat hanya sujung jari. Bersamaan dengan itu kaki kanannya melesat ke depan. Kini Pendekar Bungkuklah yang tersentak kaget! Bahaya maut mengancam karena tendangan kaki kanan si nenek mencari sasaran di selangkangan Pendekar Bungkuk! Kalau si kakek mampu mengelakkan serangan itu maka tendangan lawan yang tidak menemui sasarannya akan meluncur menghantam dadanya. Ini bisa terjadi karena bentuk tubuhnya yang bungkuk. Dan kali ini, jika sampai dadanya kena dihantam lagi untuk kedua kalinya, mungkin diaakan cacat seumur hidup! Perempuan Iblis! rutuk Pendekar Bungkuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya sepenuhnya pada kedua tangannya. Begitu tendangan lawan hampir sampai ke bawah perut, dengan cepat Pendekar Bungkuk tangkap pergelangan kaki si nenek. Dia berhasil melakukan, berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian tetapi tendangan yang sangat keras itu membuat tulang telapak tangan kirinya remuk!

Tubuhnya mental beberpapa langkah. Sebelum sempat mengimbangi diri, lawan di hadapannya telah menggerakkan tangan ke tubuh lalu wutt.wutt Enam pisau hitam bergaganng putih melesat ke arah Pendekar Bungkuk! Putus nyawamu Pendekar Bungkuk! ujar si nenek lalu tertawa mengekeh. Dalam keadaan jatuh seperti itu Pendekar Bungkuk hantamkan dua tangannya ke atas. Tapi tangan kirinya yang cidera tidak dapat lagi melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam. Karena ketika tenaga dalam menjalar ke tangan kiri itu, si kakek merasakan telapaknya seperti disengat bara panas. Dia menjerit kesakitan tapi masih terus memukul dengan tangan kanan, lalu cepat berguling ke kiri. Tiga pisau terbang berhasil dipukul mental. Dua lainnya sempat dielakkan. Hanya pisau ke enam yang tidak mampu dihantam mental ataupun dikelit. Senjata ini menancap di mata kiri Pendekar Bungkuk dengan mengeluarkan suara menggidikkan! Pendekar Bungkuk melolong kesakitan. Nenek berambut panjang tertawa gelak-gelak memandangi wajah Pendekar Bungkuk yang kini tampak berlumuran darah. Orang ini bangkit terbungkuk-bungkuk. Wajahnya benar-benar mengerikan. Bukan saja karena darah yang terus mengucur, tapi juga karena pisau yang masih menancap di mata kirinya! Iblis..! Perempuan Iblis! suara Pendekar Bungkuk bergeletar oleh hawa amarah dan penderitaan rasa sakit. Kau tunggulah pembalasanku kelak.! Setelah mengucapkan kata-kata itu Pendekar Bungkuk balikkan tubuh, tinggalkan tempat itu dengan langkah setengah lari seradak seruduk. Ganas sekali nenek itu. satu suara terdengar berbisik halus di atas sebatang pohon besar. Saatnya kita turun sekarang adikku. Sebelum kedahuluan.. menjawab kawan bicaranya yang juga berada di atas pohon. Tapi bukankah belum ada tanda-tanda bayi itu berada di dalam gubuk? Itulah sebabnya kita harus turun, menghalangi si nenek ganas dan sekaligus menyelidik isi gubuk! Kalau begitu katamu, mari! Ternyata di atas pohon dalam rimba belantara gelap itu bersembunyi dua sosok tubuh. Keduanya merupakan sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian putih ringkas, memiliki gerakan gesit yang setiap bergerak hampir tidak mengeluarkan suara. Mereka turun ke tanah pada saat Pisau Maut Tanpa Bayangan hendak melangkah ke pintu gubuk. Dia segera maklum meskipun dua orang di hadapannya itu masih muda-muda namun jelas mereka merupakan orang-orang persilatan yang tidak memiliki kepandaian rendah. Si pemuda menjawab dengan cepat Kami murid-murid perguruan silat Teratai Putih dari gunung Lawu! Kakek guru yang bernama Jati Laksono dan mendapat gelar kehormatan Tumenggung Wiro Sakti dari Kerajaan mengutus kami untuk menjemput seorang bayi lelaki bernama Pandu! Ah.mereka juga ternyata mempunyai ujuan yang sama! Dua cacing ingusan ini mungkin tidak perlu ditakuti. Tapi Tumenggung Wiro Sakti dari gunung Lawu itu harus diperhitungkan baikbaik.. membatin si nenek. Otaknya yang cerdik cepat diputar. Maka diapun berkata Sungguh aneh. Sepasang muda-mudi melakukan perjalanan jauh-jauh dimalam buta begini mengatakan mencari seorang bayi! Seorang bayi di dalam rimba belantara? Hikhikhik! Bukankah lebih baik waktu kalian dihabiskan saja untuk saling bercumbu rayu.? Manusia bermulut kotor! Yang membentak adalah sang dara. Mukanya tampak merah dalam gelap. Kami berdua adalah kakak adik! Sekalipun kami tidak bersaudara darah, apa yang kau katakan tadi tidak bakalan kami lakukan! Murid-murid perguruan silat Teratai Putih menjunjung tinggi nama perguruan dan kehormatan diri! Hemmmm.begitu? ujar si nenek pula. Bagus, aku suka pada murid-murid yang taat dn

berbakti pada perguruan serta gurunya. Tapi terus terang kukatakan adalah tolol kalau kalian mau saja disuruh mencari seoarang bayi dalam rimba belantara ini! Paling untung kau hanya akan menemukan anak harimau, paling sial kalian hanya mendapatkan anak kodok alias kecebong! Hik.hik.hik..! Kami sudah menyelidiki. Anak yang kami cari pasti berada di tempat ini sebelum matahari terbit. Itu gubuk yang bakal jadi tempat persembunyiannya! Hai, tidak sangka mereka tahu banyak tentang bayi itu. kata si nenek dalam hati. Kalau begitu.. ujar si nenek. Kalian kembali saja besok pagi. Malam-malam begini menyelidiki tentu sulit bagi kalian. Besok biarlah aku ikut membantu. Tidak, kami tidak akan meninggalkan tempat ini! jawab si pemuda. Dan bukankah kemunculanmu di sini juga mencari anak yang sama? sang dara langusng menceploskan ucapannya terang-terangan. Apa urusanku disini tidak perlu kalian ketahui atau tanyak. Hanya saja perlu kuberi ingat, siapapun kalian adanya aku tidak suka kalian berdua ada di tempat ini. Silkahkan pergi.. Kaulah yang harus pergi! Kau telah melakukan pembunuhan keji terhadap ayah anak itu! Kau juga yang mencelakai Pendekar Bungkuk dengan lemparan pisaumu! Hei.jadi kalian berdua sudah sejak tadi mengintip di tempat ini! si nenek unjukkan suara dan mimik tidak senang. Nah.nah! Jika kalian sudah menyadari betapa nyawa manusia tidak ada artinya bagiku, mengapa tidak lekas-lekas tinggalkan tempat ini? Kami baru mau pergi setelah menyelidiki lebih dulu ke dalam gubuk itu! berkata si pemuda. Sikap dan caranya bicara lebih sabar pada adiknya. ..ooooo..oooo! Gubuk itu di bawah pengawasan dan kekuasaanku! Kalian berdua tidak punya hak untuk menyelidiki atau memeriksa! Lekaslah pergi. Sayang kalau terjadi apa-apa dengan kalian yang masih muda-muda ini.. Jika kau melaran, kami terpaksa bertindak! Gubuk itu bukan milikmu! Kami tahu betul! Mendengar ucapan si pemuda, sang nenek jadi marah. Sambil berkacak pinggang dia berkata Jika kalian berani bergerak masuk dan memeriksa gubuk, kalian akan jadi bangkai menemani Jinggasuwu! Adikku, aku akan menghalangi nenek ini jika dia berani mencegahmu! Maka dara berpakaian putih ringkas segea melangkah menuju pintu gubuk. Pisau Maut Tanpa Bayangan sekali berkelebat telah menghadang jalan sang dara. Tapi tak klah cepatnya, sekali berkelebat pula maka sang pemuda sudah tegak di hadapan si nenek. Sementara itu gadis adiknya terus melangkah ke pintu gubuk. Melihat hal ini nenek berambut panjang benar-benar merasa ditantang. Kedua tangannya kiri kanan membagi pukulan. Satu ditujukan ke arah si pemuda, lainnya dihantamkan ke si pemudi. Dua rangkum angin dahsyat menderu. Murid-murid perguruan silat Teratai Putih dari gunung Lawu itu berseru keras dan berkelebat kelitkan serangan. Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi, cepat dan sebat. Lima jurus berlalu. Meskipun dirinya telah mengecap adam garam rimba persilatan, memiliki pengalaman luas serta menyandang nama besar namun dugaan si nenek bahwa dia bakal dapat menggebuk para pengeroyoknya dalam waktu singkat tidak dapat dilaksanakannya. Ternyata dua cucu Tumenggung Wiro Sakti dari gunung Lawu itu memiliki tingkat kepandaian yang mengejutkan si nenek. Memang kenyataan sebenarnya Jalma dan Jalmi demikian nama sepasang kakak beradik itu merupakan murid-murid di tingkat paling tinggi dalam perguruan. Selain menguasai ilmu silat luar, mereka juga telah digembleng untuk memiliki ilmu silat dalam berupa tenaga dalam dan kesaktian. Si nenek katupkan rahang rapat-rapat ketika menyadari dirinya telah menjadi bulan-bulanan serangan berbahaya, membuatnya tidak mampu untuk membalas serangan. Didahului oleh tteriakan keras, perempuan tua ini robah permainan silatnya. Tubuhnya berkelebat sengat cepat hingga sesuai dengan julukannya, Jalma dan Jalmi seperti

berkelahi menghadapi bayangan. Setiap memukul atau menendang, mereka hanya menghantam tempat kosong. Kini keadaan jadi berbalik. Dua muda-mudi itu mulai terdesak. Adikku, mari kita keluarkan jurus ke tiga belas. Gabung dengan jurus tujuh belas! berbisik Jalma. Kau mainkan jurus tiga belas lebih dulu. Aku jurus tujuh belas. Lalu kita selang seling biar tua bangka ini bingung! menyahuti Jalmi. Kau cerdik! Mari kita serbu! Maka kedua muda-mudi itu kembali menyerbu. Jurus tiga belas dan jurus tujuh belas dari ilmu silat perguruan Teratai Putih adalah jurus-jurus yang saling bertolak belakang. Jika orang diserang dengan jurus tiga belas, bila dia berhasil menghindar maka dia akan diserbu dengan jurus tujuh belas yang merupakan lawan dari jurus tiga belas. Akibatnya lawan menjadi bingung karena setiap gerakan menghindar atau mengelak yang dilakukannya akan menemui jalan buntu. Dua jurus mendapat serbuan gerakan-gerakan silat yang aneh ini, si nenek langsung terdesak hebat. Sepasang tangan lawan mulai berdesir di depan dada dan wajahnya. Jurus berikutnya satu gebukan mendarat di pinggangnya hingga si nenek menggerang kesakitan. Gerakannya dipercepat. Sosok tubuhnya kini tidak lagi hanya merupakan bayangan, tapi hanya berupa desiran angin yang menyambar kian kemari. Setelah saling gebrak dua jurus, murid-murid perguruan Teratai Putih melihat lawan secara teratur bergerak mundur menjauh. Jalma maklum apa artinya ini. Dia cepat memberi ingat adiknya. Awas, dia pasti merencanakan untuk mulai melepaskan pisau-pisau terbangnya, Jalmi. Lekas merangkak maju. Jangan berikan jarak melempar padanya! Jalma dan Jalmi melompat menyergap. Tapi si nenek lebih cepat. Dua tangannya bergerak. Enam pisau kemudian melesat dalam gelapnya malam, hampir tidak kelihatan. Hanya desingannya saja yang terdengar. Tiga menyambar ke arah Jalma, tiga lagi melesat ke jurusan adiknya. Dua anak murid Teratai Putih ini tidak sanggup berkelit dan terlambat untuk menangkis. Celaka! keluh Jalma. Lalu didenganya adiknya menjerit ketika pisau terdepan menancap di bahunya. Gadis ini terjajar ke samping. Justru ini menyelamatkannya dari dua pisau yang seharusnya menyambar ke arah dada dan bahu kanannya. Khawatir akan keselamatan adiknya Jalma memutar tubuh, tidak sadar lagi bahwa pisau terbang saat itu menderu ke arah tenggorokan, dada dan pelipis kirinya! Saat itulah tiba-tiba dari kegelapan melayang patahan ujung ranting berdaun lebat. Ranting ini menyapu deras di depan dada dan kepala Jalma, melindungi si pemuda dari hantaman maut tiga bilah pisau dan jatuh di tempat gelap. Bersama dengan itu Jalma mendengar ada suara halus mengiang di kedua liang telinganya. Anak-anak Teratai Putih tinggalkan tempat ini. Nenek itu bukan tandingan kalian. Beritahu pada kakek gurumu Tumenggung Wiro Sakti, anak bernama Pandu itu tidak berjodoh dengan dirinya. Jalma yang tengah menolong adiknya terkejut mendengar suara itu. Dia berbisik pada adiknya Ada orang pandai memberi peringatan. Ya, aku juga mendengar. Bahuku sakit sekali. Jalma tolong aku. Cabut pisau di bahuku. Jalma totok urat-urat di sekitar bahu adiknya lalu baru mencabut pisau yang menancap hingga tak ada darah mancur keluar. Sesaat kakak adik ini memandang penuh amarah pada nenek berambut panjang di hadapannya. Lalu tanpa berkata apa-apa keduanya memutar tubuh tinggalkan tempat itu diiringi gelak tawa si nenek. Masih untung kalian pergi masih membawa nyawa masing-masing. Anak-anak muda tolol..! Meski hati mereka panas mendengar ejekan itu tapi Jalma dan Jalmi tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil menuntun adiknya, Jalma berkata Orang pandai itu bukan saja memberi peringatan, tapi dia juga telah menyelamatkanku. Aku merasa pasti dialah yang melempar patahan ranting, menangkis tiga pisau hitam yang dilemparkan nenek keparat itu. Nasib kita memang sial.. jawab Jalmi hampir tanpa ada penyesalan. Ini satu pengalaman

berharga bagi kita. Aku hanya bertanya-tanya siapa orang pandai yang telah menolong kita itu.. Begitu dua anak murid perguruan Teratai Putih itu lenyap dalam kegelapan malam, Pisau Maut Tanpa Bayangan hentikan tawanya. Dia mendingak ke atas. Meski tahu ada seseorang bersembunyi di sekitar tempat itu namun dia tidak dapat memastikan di sebelah mana orang itu berada. Maka nenek inipun berseru Berani ikut campur urusan orang jangan bertindak pengecut tidak mau unjukkan tampang! Si nenek mengira bakal ada suara keras yang menjawab atau berkelebat munculnya orang yang tadi melemparkan patahan ranting. Namun justru yang datang adalah suara mengiang halus di kedua telinganya. Nenek pandai bergelar Pisau Maut Tanpa Bayangan. Sadarilah kenyataan bahwa anak yang kau cari tidak berjodoh dengan dirimu. Sebaiknya ku lekas meninggalkan tempat ini. Aku Suara ngiangan halus lenyap mendadak. Di atas pohon sangat tinggi, hampir di sebelah pucuknya, terdengar suara perlahan Astagaapa yang terjadi! Di atas atap gubuk terdengar suara hiruk pikuk ketika atap yang terbuat dari rumbai itu bobol. Sesosok tubuh entah dari mana datangnya tahu-tahu telah menjebol atap itu dan menerobos masuk. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan perempuan di dalam gubuk, disusul oleh tangis bayi. Pisau Maut Tanpa Bayangan kaget bukan main. Secepat kilat dia menendang pintu gubuk hingga berantakan lalu melompat masuk. Tapi perempuan tua itu terlambat. Saat itu sosok tubuh yang tadi menerobos masuk telah melompat kembali ke atas atap, siap untuk melarikan diri. Di tangan kirinya dia mendukung bayi lelaki yang terus menangis sedeang di lantai gubuk terbujur tubuh ibu si bayi dalam keadaan tak sadar Penculik bayi! Tinggalkan anak itu kalau tidak mau mampus! teriak Pisau Maut Tanpa Bayangan. Dia melompat ke atas atap sambil lepaskan tiga pisau terbang. Plak.plak..plak.! Luar biasa sekali. Orang tengah melompat ke atas atap sambil mendukung bayi hanya lambaikan lengan pakaian hitamnya yang lebar tiga kali beruturut-turut dan tiga pisau hitam bergagang putih itupun runtuh ke bawah! Meskipun hatinya tercekat melihat kehebatan orang naun si nenek yang inginkan bayi itu teruskan lompatannya dan mengejar. Sampai di atas atap dia masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke balik sebatang pohon besar. Si nenek kembali hamburkan pisau lalu laksana terbang melompat ke arah pohon. Gerakan perempuan tua ini memang hebat sekali. Saat itu juga dia berhasil menghadang larinya orang yang membawa bayi. Begitu melihat orang itu, Pisau Maut Tanpa Bayangan jadi terkesiap dan berdesah. Dewi Kerudung Hitam Orang yang membawa bayi itu ternyata seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan sehelai kain hitam tipis mulai dari hidung ke bawah. Rambutnya digelung, dihias dengan sebuah tusuk kundai perak. Dari keseluruhan wajahnya hanya kening dan sepasang matanya yang bersinar saja kelihaan. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas hitam dengan ujung lengan yang sangat lebar. Setelah tahu siapa aku, apakah kau masih berani menghalangi?! pereempuan bercadar menegur. Suaranya halus tapi tegurannya itu jelas mengandung ancaman. Si nenek batuk-batuk beberapa kali. Aku menghormati nama besarmu Dewi. Hanya saja bai dalam dukunganmu itu sudah ditakdirkan menjadi milikku. Akan kujadikan murid. Perempuan berkerudung yang dipanggil dengan sebutan Dewi tertawa perlahan. Kalau aku boleh bertanya, sapa yang menakdirkan bahwa anak ini milikmu..? Guratan tangan ini. sahut si nenek. Lalu dia melangkah mendekat dan angsurkan tangan kirinya dengan telapak tangan dikembangkan. Kau bisa melihat sendiri. Bukankah kau juga seorang peramal ahli.?

Tarik tanganmu kembali. Aku jijik melihat tanganmu! sang Dewi membentak. Kembali si nenek batuk-batuk. Jika kau berkata begitu baiklah. Hanya saja.. Tiba-tiba tangan kiri si nenek menyambar ke arah bayi dalam bungkusan kain tebal yang saat itu masih terus menangis. Dewi Kerudung Hitam hanya menggeser kakinya sedikit dan itu sudah cukup untuk menyelamatkan bayi dalam dukungannya dari rampasan si nenek. Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal mendapatkan anan ini. Pergilah! Perempuan berkerudung dorongkan tangan kanannya. Si nenek merasa seperti ada batu besar menekan. Dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia berhasil membuyarkan tekanan, sang Dewi sudah lenyap dari hadapannya. Namun dia masih sempat melihat kemana larinya orang itu. Maka diapun mengejar dan kecepatannya bergerak lagi-lagi membuat dia berhasil mengejar dan menghadang! Hem.rupanya kau benar-benar ingin melihat aku marah Pisau Maut! Dewi Kerudung Hitam tampak jengkel. Sebelum kau serahkan bayi itu padaku, kemanapun kau pergi pasti akan kukejar dan kuikuti! jawab Pisau Maut Tanpa Bayangan. Tua bangka keras kepala! Akan kulihat apakah kepalamu benar-benar keras! Habis berkata begitu Dewi Kerudung Hitam kibaskan ujung lengan baju hitam tangan kanannya. Wutt! Angin deras dan tajam menderu ke arah kepala si nenek. Dengan cepat Pisau Maut Tanpa Bayangan merunduk. Sambil merunduk kedua tangannya bergerak. Enam pisau hitam berkelebat dalam jarak yang sangat pendek itu. Bukan saja berbahaya bagi sang Dewi. Tapi juga mengancam keselamatan bayi dalam dukungannya! Mulut sang Dewi yang terlindung di balik cadar hitam menggembung lalu meniup keras. Bersamaan dengan itu kembali kibasan lengan baju yang tadi ditujukan ke arah kepala kini dihantamkan ke bawah, ke arah datangnya serbuan enam pisau maut! Tiga pisau meluncur berbalik dan menancap amblas ke tanah. Tiga lagi mental, dua diantaranya tampak menjadi bengkok sebelum menghantam pohon dan jatuh! Melihat kejadian ini nyali si nenek menjadi lumer. Jika dia nekad melanjutkan perkelahian pasti dia akan celaka. Untuk menutupi rasa malu atas kekalahannya itu si nenek berkata Saat ini aku sengaja mengalah, tapi lain kali jika aku melihat tampangmu lagi, jangan harap aku akan memberi pengampunan padamu! Dewi Kerudung Hitam tertawa dingin. Kau boleh pergi.Tapi aku tetap akan menguji kekerasan kepalamu! Lalu cepat sekali perempuan ini gerakkan tangan kanannya. Wutt! Pisau Maut Tanpa Bayangan cepat berkelebat. Sekali ini dia tak mampu mengelak. Dari mulutnya terdengar pekik kesakitan sekaligus terkejut. Mukanya pucat pasi. Keningnya terasa sakit. Ketika dipegang terasa ada darah mengucur. Daging dan tulang keningnya telah bocor seperti dicoblos paku! Tanpa menunggu lebih lama perempuan tua yang sudah habis nyali ini segera putar tubuh dan melarikan diri dari tempat itu. Dewi Kerudung Hitam tertawa mengekeh. Ternyata batok kepalamu sama lunaknya dengan nyalimu. Hahaha! Lalu sang Dewi bagi perhatian pada bayi dalam gendongannya yang masih terus menangis. Disibakkannya sedikit kain tebal yang menutup wajah si bayi. Kelihatan pipinya yang merah dan wajahnya yang mungil lucu. Anak manis, cepceppcepp! Jangan menangis. Kau aman berada dalam dukunganku. Akan kubawa kau terbang menuju bukit Merak. Perempuan itu rapikan kain yang enutupi si bayi. Dia mengayun-ayun tubuh anak itu beberapa kali tapi bayi itu terus saja menangis.

Akhirnya Dewi memutuskan untuk segera pergi dari situ. Baru saja dia bergerak dua langkah mendadak terdengar suara mengaum yang sangat dahsyat. Dari dalam gelap muncul dua titik biru menyala! Dua titik biru itu semakin dekat semakin tampaklah satu sosok tubuh seekor harimau yang luar biasa besarnya. Mulutnya menganga memperlihatkan gigi dan taringnya yang besar. Ekornya mengibas-ngibaskan tiada henti. Bulunya yang sangat tebal berwarna hitam berbelang kuning! Menghadapi manusia bagaimanapun hebatnya bukan suatu hal yang menakutkan bagi Dewi Kerudung Hitam. Tapi berhadapan dengan seekor binatang buas seperti ini baru menjadi kecut. Dia mundur dua langkah sambil berkata Aku tidak menganggumu, jangan mengganggu aku.. Binatang itu keluarkan suara mengaum sebgai jawaban. Dewi Kerudung Hitam merasakan tanah yang dipijaknya bergetar. Karena tidak mungkin meneruskan langkahnya ke depan, perempuan ini berbalik ke kanan. Saat itulah dia melihat ada seseorang berdiri di samping kanan itu. Yang tegak dalam kegelapan itu adalah seorang lelaki kurus tinggi berjubah putih dalam, mengenakan penutup kepala seperti sorban. Di bawah sorban menjulai sampai ke punggung rambutnya yang panjang berwarna seputih kapas! Di tangan kirinya orang tua ini memegang seuntai tasbih kayu dan mulutnya tiada henti melafatkan zikir. Hem.. Jadi kau rupanya yang membawa harimau besar ini, orang tua! Sang Dewi menegur. Mengapa kau dan makhluk binatang peliharaanmu ini berusaha menghadang maksudku untuk meninggalkan tempat ini? Aku tidak menghadang siapapun. Aku tahu kau orang baik-baik, sahabat kaum jelata, penolong mereka yang tertindas. Kita orang-orang satu golongan. Dan kebetulan sama-sama punya satu tujuan. Begitu orang tua bersorban menjawab lalu kembali dia berzikir. Satu tujuan? Tujuan apa maksudmu? tanya Dewi Kerudung Hitam. Bayi dalam dukunganmu itu.. jawab si tinggi kurus berjubah putih. Petunjuk Tuhan dalam tiga kali mimpi membawaku kepadanya. Dewi Kerudung Hitam tatap wajah orang tua di hadapannya itu sesaat lalu berkata Mendengar logat bicaramu jelas kau bukan orang sini. Siapa kau sebenarnya dan datang dari mana? Dengan bertanya begitu sang Dewi berusaha mengalihkan pembicaraan. Hatinya tidak enak ketika mengetahui orang tua berjubah dan bersorban putih itu berbicara soal anak dalam dukungannya. Aku memang bukan orang Jawa. Aku datang dari jauh. Dari seberang. Dari sebuah pulau bernama Swarna Dwipa yang juga dikenal dengan nama pulau Andalas. Tiga bulan lebih aku menempuh perjalanan menurut petunjuk mimpi. Menurut kepercayaan orang sini itu adalah wangsit. Menurutku sendiri mimpi itu adalah petunjuk Tuhan. Akhirnya, setelah tiga bulan aku sampai di sini.. Dewi Kerudung Hitam mengangguk-angguk lalu dia mengingatkan dangan berkata Kau belum memberi tahu namamu orang tua.. Di tanah kelahiranku ada yang memberikan nama dan memberikan gelar. Ketekbanamo, gadang bagala.. Eh, apa itu. Ketek siapa maksudmu? Orang tua itu tersenyum mendengar pertanyaan Dewi Kerudung Hitam. Ketek bukan berarti ketiak, katanya. Ketek dalam bahasa kelahiranku artinya kecil. Maksud ucapanku tadi, seorang anak lelaki pada waktu kecil diberi bernama. Setelah besar diberi gelar. Begitu juga diriku. Sewaktu aku kecil orang tuaku memberiku nama Syahrudin Mustakim. Setelah besar aku dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Alam Sati. Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang Datuk! ujar Dewi Kerudung Hitam. Sungguh satu kehormatan bisa bertemu denganmu. Hanya saja mohon dimaafkan aku tidak punya waktu berbincang-bincang lebih lama denganmu. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa berjumpa lagi. Aku minta diri. Mengapa terburu-buru Dewi? Justru pertemuan ini sangat penting bagiku! kata Datuk Perpatih

Alam Sati pula. Kedua matanya melirik sekilas pada anak dalam dukungan Dewi Kerudung Hitam, membuat perempuan ini tambah tak enak. Sang Dewi diam-diam sudah menimbang-nimbang dan mengukur sampai dimana tingkat kepandaian dan kesaktian orang tua berjubah putih ini. Jika dia tidak sanggup muncul dengan membawa seekor harimau besar peliharaan, sudah dapat dipastikan orang ini lebih tinggi ilmunya dari Pisau Maut Tanpa Bayangan. Maafkan, aku harus pergi sekarang! berkata Dewi Kerudung Hitam. Dia bergerak ke kiri. Tapi tahu-tahu orang tua berjubah dan bersorban putih situ sudah ada di hadapannya hingga langkahnya tertahan. Jika kau memaksa pergi, akupun tidak memaksa menahan. Hanya kuharapkan kau sudi menyerahkan bayi itu padaku.. Dewi Kerudng Hitam menyeringai. Kedua pelipisnya tampak menggembung tanda perempuan ini mulai dirasuk hawa amarah. Aku datang lebih dulu darimu, aku lebih dulu mendapatkan orok ini. Mengapa kau enak saja meminta.? Aku meminta dengan segala hormat dan segala kerendahan hati. Maafkan aku. Apapun alasanmu aku tetap akan membawa anak ini! Percayalah, anak itu tidak berjodoh denganmu, Dewi. Siapa bilang! sentak Dewi Kerudung Hitam. Lalu kembali dia berkelebat. Kali ini ke sebelah kanan. Namun lagi-lagi orang tua tinggi kurus itu lebih cepat seperti menghadang gerakannya. Dari dua kali dihadang seperti itu saja, Dewi Kerudung Hitam sudah maklum bagaimana hebatnya orang tua di hadapannya itu. Namun bukan berarti dia merasa jerih. Orang tua! Jika kau terus-terusan menghadangku, jangan salahkan kalau aku melepaskan tangan keras! Dewi Kerudung Hitam membentak dan mengancam. Orang tua berjubah putih tertawa. Lalu berkata Coba kau lihat sekali lagi sebelum pergi. Yang kau gendong itu bukan bayi tapi seekor anak harimau.! Setan! Jangan coba menipuku! tukas Dewi Kerudung Hitam. aku tidak menipu. Silahkan kau lihat sendiri! Yang kau bawa adalah anak harimau. Anak harimau. Anak harimau..Anak harimau.! Jengkel, marah tapi juga ragu-ragu, Dewi Kerudung Hitam singkapkan kain tebal penutup bayi dalam dukungannya. Ketika kain tersibak, menjeritlah perempuan ini. Kepala seekor anak harimau mengeliat, mulutnya terbuka lebar dan sepesang matanya yang biru memancarkan sinar sperti menusuk. Binatang ini menggereng menakutkan! Tanpa pikir panjang Dewi Kerudung Hitam lemparkan benda yang berada dalam dukungannya itu. Lalu bersurut mundur dengan muka hampir tak berdarah. Saat itulah si jubah putih bergerak. Ketika Dewi Kerudung Hitam memandang ke depan, orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang berkeliling harimau besar bermata biru yang tadi menghadang di depannya lenyap. Dan lebih dari itu, bayi dalam dukungannya yang tiba-tiba entah bagaimana berubah menjadi seekor anak harimau juga ikut lenyap. Padahal bayi atau apapun adanya setelah dilemparkan pasti jatuh ke tanah! Dewi Kerudung Hitam, terima kasih atas kebaikanmu memberikan bayi ini..! Tiba-tiba terdengar suara orang tua berjubah putih tadi. Kaget sekali Dewi Kerudung Hitam memandang ke arah pohon besar sepuluh langkah di sebelah kanannya. Di situ tampak Dauk Perpatih Alam Sati duduk di atas punggung harimau besar, tidak beda seperti menunggang seekor kuda. Dalam dukungan tangan kirinya tampak bayi dalam kain tebal yang dilemparkan sang Dewi. Bangsat penipu! Kau memperdayaiku dengan ilmu sihir celaka! Mampuslah! teriak Dewi Kerudung Hitam. Dia hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua larik angin tajam menderu dahsyat ke arah kepala dan perut Datuk Perpatih Alam Sati. Pukulan sakti seperti inilah yang

tadi membuat kepala Pisau Maut Tanpa Bayangan sampai berlobang dan mengucurkan darah. Kini sang Dewi melepaskan dua pukulan sekaligus. Datuk Perpatih Alam Sati tepuk pinggul harimau besar tunggangannya. Binatang ini mengaum dahsyat lalu melompat ke depan. Sang Datuk goyangkan kepalanya. Rambut putih panjangnya bergerak seperti menabas. Sinar putih aneh berkiblat. Dua larik pukulan Dewi Keudung Hitam buyar! Edan! maki sang Dewi marah. Dia lepaskan lagi satu pukulan. Selarik sinar berwarna hitam mencua dari ujung lengan pakaiannya yang lebar. Datuk Perpatih Alam Sati tampak tenang saja di atas punggung harimaunya. Sinar hitam menghantam bagian paha kaki kiri belakang harimau besar. Dewi Kerudung Hitam sengaja menghantam binatang itu agar sang Datuk tidak bisa melarikan diri lebih jauh. Tapi apa yang disaksikannya membuat perempuan ini terkejut. Jika sebuah batu besar terkena hajaran sinar hitam itu pastilah akan hancur dan hangus. Tapi begitu sinar melabrak kaki si harimau, sinar itu seperti tidak mampu menembus kelebatan bulu-bulu binatang itu, terpental kembali dan bertabur menjadi beberapa bagian yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi! Harimau besar dan Datuk Perpatih Alam Sati lenyap di balik deretan pohon-pohon, hilang ditelan kegelapan malam. Dewi Kerudugn Hitam mengejar. Namun dia hanya menemui kegelapan malam. Perempuan ini pukul-pukul jidat dan banting-banting kaki karena kesalnya. Puncak Merapi diselimuti udara dingin abadi. Hal ini saja sudah cukup membuat tidak ada manusia yang berkeinginan untuk naik ke puncak, belum lagi sulitnya untuk mendaki. Namun hari itu justru nampak satu bayangan putih berkelebat cepat laksana terbang. Sesaat dia muncul di sebelah timur, di lain saat dia sudah berada di sebelah barat punack gunung. Orang ini bertubuh tinggi kurus, mengenakan jubah dan sorban putih. Rambutnya yang menjulai panjang di bawah sorban putih seperti kapas; Dari ciri-cirinya jelas si orang tua ini adalah Datuk Perpatih Alam Sati, seorang tokoh silat dan agama yang diam di puncak gunung Merapi di pulau Andalas. Di puncak gunung sang Datuk berhenti sesaat, mendongak ke langit tinggi dimana sang surya bersinar terang, tapi sama sekali tidak terasa panas teriknya. Setiap hembusan nafas sang Datuk menimbulkan uap tebal di udara yang sangat dingin itu. Di udara sangat dingin begitu wajahnya tampak keringatan! Pertanda bahwa tubuhnya memiliki kemampuan untuk menolak hawa dingin yang darang dari luar! Datuk Perpatih pejamkan matanya. Tangan kanan memegang tasbih, perlahan-lahan mulutnya meluncurkan ucapan Terima kasih Tuhan. Kau telah mengabulkan semua permintaanku. Hari ini adalah hari terakhir anak itu berada di sini. Delapan belas tahun lebih dia bersamaku. Dengan keridohanMu, apa yang aku inginkan tercapai. Kalaupun aku mati maka kematianku bakal tenteram. Datuk Perpatih usap wajahnya. Masukkan tasbih ke dalam saku jubah, lalu berbalik, melangkah ke sebuah gundukan batu yang berwarna putih karena tertutup cairan putih tipis beku. Salju! Sampai di hadapan gundukan batu Datuk Perpatih acungkan jari yang diluruskan itu kemudian ditusukkannya ke pertengahan gundukan batu. Terdengar suara mendesis yang disusul dengan kepulan asap, pertanda hawa dingin beradu dengan hawa panas. Perlahan-lahan salju tipis pada gundukan batu meleleh cair, kemudian tampaklah sebuah lobang. Makin banyak salju yang meleleh semakin besar lobang yang tampak. Ternyata lobang itu adalah mulut sebuah goa yang cukup besar, berukuran tinggi, lebar dan panjang sekitar dua tombak. Di dalam goa tampak duduk seorang pemuda berkulit coklat. Karena hanya mengenakan sehelai cawat jelas kelihatan badannya yang penuh otot. Pemuda ini duduk bersila dengan mata terpejam. Di tangan kanannya ada seuntai tasbih. Bibirnya tampak bergerak terus menerus tanda dia melafatkan sesuatu.

Selain terasa aneh melihat si pemuda yang mampu berthan tersekap dalam goa yang sangat dingin itu dengan hanya mengenakan sehelai cawat, juga ada keanehan lain. Di bagian atas goa dimana pemuda itu duduk bersila menetes cairan salju yang setiap tetesannya jatuh tepat di atas kepala pemuda itu. Sulit diduga entah berapa lama dalam setahun dia duduk bersila seperti itu. Yang jelas rambutnya yang panjang menjela punggung tampak basah dan berwarna seputih salju. Untuk beberapa lamanya Datuk Perpati Alam Sati menatap pemuda dalam goa sambil tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Pandu, hentikan apa yang kau lakukan. Lakukan solat Zuhur lalu temui aku di puncak sebelah selatan Pemuda yang ada dalam goa perlahan-lahan buka kedua matanya. Baru saja kedua matanya terbuka Datuk Perpati Alam Sati keluarkan seperangkat pakaian putih yang masih baru dari balik jubahnya lalu menyerahkannya pada si pemuda. Kenakan pakaian ini.. Pergi sembahyang. Selesai sembahyang cepat temui aku di puncak selatan! Akan saya lakukan ayah, menyahuti si pemuda. Dia mendatangi pakaian putih yang diletakkan Datuk Perpatih di atas pangkuannya lalu bertanya Pakaian putih dan baru ini, apa artinya ayah.? Sang Datuk sesaat tampak seperti tercekat oleh pertanyaan itu. Lalu dia coba tersenyum dan berkata Pergilah bersembahyang. Apa yang jadi pertanyaan dalam hatimu akan terjawab jika kau sudah menemuiku di puncak selatan nanti..! Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Datuk Perpatih tinggalkan tempat ini. Orang tua ini berjalan menuju puncak gunung sebelah selatan. Kelihatannya dia seperti melangkah biasa saja. Tapi dalam beberapa kejapan mata dia sudah lenyap dikejauhan. Di bagian selatan puncak gunung Merapi terdapat sebuah bangunan kayu yang atapnya terbuat dari ijuk tebal berbentuk tanduk kerbau. Bangunan tanpa dinding ini berlantai batu gunung berwarna hitam dan sangat bersih. Datuk Perpaih Alam Sati masuk ke bawah atap lalu menghadap kiblat dan mulai bersembahyang Zuhur. Sesaat setelah dia mengucapkan salam pemuda itu dilihatnya sudah duduk di bawah atap bangunan. Duduk lebih dekat di hadapanku Pandu. Memanggil Datuk Perpatih. Beringsut-ingsut pemuda bernama Pandu itu mendekati sang Datuk yang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Pandu, sekarang kau dengarkan baik-baik apa yang akan kututurkan. Menurut perhitunganku kau berada di puncak Merpati ini bersamaku sekitar delapan belas tahun. Usiamu mendekati sembilan belas tahun. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa selama itu aku telah mengajarkan padamu ilmu baca tulis, ilmu agama dan tentunya tidak terlupa ilmu silat luar dan dalam. Hari ini aku dan kau berhasil merampungkan satu ilmu baru yang menurut hematku tak ada duanya dalam rimba dunia persilatan baik di pulau Andalas ini maupun di kawasan dunia persilatan lainnya. Rambutmu yang putih dan panjang itu, di situlah letak kehebatan ilmu yang kau miliki. Rambut itu bisa menjadi tameng pelindung dirimu, dapat pula menjadi senjata tanpa tandingan yang akan merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Karena semua ilmu itu kau dapat dari keredohan Tuhan, maka wajib kau pergunakan untuk dan di jalan Tuhan pula. Tadi kau bertanya soal pakaian putih baru yang kini kau kenakan. Apa artinya. Bukan begitu pertanyaanmu tadi.? Betul ayah, jawab Pandu. Sang Datuk tersenyum. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu dan ini dirasakan oleh Pandu. Pakaian baru itu satu pertanda bahwa hari ini kau akan mulai satu perjalanan jauh. Meninggalkan puncak gunung Merpati untuk satu tujuan yang hanya kau sendiri yang bakal memilih, entah ke utara, entah ke timur, barat atau selatan. Maksud ayah kita sama-sama meninggalkan puncak Merapi ini? Datuk Perpatih menggeleng, membuat wajah Pandu berubah.

Hari ini hari perpisahan bagi kita berdua. Kalau umur panjang satu ketika pasti kita bisa bertemu. Aku melepas keergianmu dengan perasaan bahagia karena ilmu yang kuciptakan berhasil aku wariskan padamu. Tak mungkin saya meninggalkan ayah sendiri di dini.. kata Pandu pula. Aku dilahirkan di sini dan aku meninggal menghadap Tuhanku di sini. Tak usah kau pikirkan badan tua ini. Yang harus kau pikirkan adalah langkahmu selanjutnya. Dunia luas terkembang di depan mata dan di hadapan kakimu Untuk beberapa lamanya Pandu tidak dapat berkata apa-apa. Dia menyadari kenyataan ini. Dalam usia menanjak dewasa seperti saat itu memang tak mungkin dia menetap terus di puncak Merapi, tinggal bersama ayahnya. Satu hal yang harus kau ingat baik-baik Pandu yaitu jika kau sudah menapakkan kaki di dunia luas nanti, dunia ini tidak berbeda dengan panggung sandi wara. Ada seribu kebaikan, tapi ad juga sejuta kejahatan. Ada seratus orang yang baik namun juga ada seribu yang busuk. Sesuatu yang kau lihat bagus belum tentu baik. Sesuatu yang baik mungkin kau rasakan tidak bagus. Karena itu kau harus menanamkan rasa berhati-hati dalam setiap melangkah dan bertindak, bahkan juga dalam setiap membuka mulut mengatakan sesuatu. Akhirnya dapat kukatakan bahwa ilmu yang paling tinggi di dunia ini adalah kebenaran. Namun setan punya seratus tangan untuk memutar kebenaran menjadi kejahatan dan kejahatan seolah-olah menjadi kebenaran. Karenanya jangan ikutkan bujukan setan. Pagari hatimu dan pikiranmu dengan ajaran-ajaran agama yang telah kau terima dariku. Pagari tubuhmu dari lawan-lawan yang setiap saat bisa muncul mencelakaimu. Tapi jangan terlalu percaya pada seorang kawan. Nah, jika tak ada lagi yang bakal kau tanya, kau boleh pergi sekarang juga Pandu. Tentu saja ada yang akan saya katakan ayah. Sebenarnya sudah berapa kali saya tanyakan padamu. Namun tidak pernah terjawab. Mudah-mudahan hari ini ayah bisa memberitahunya. Aku sudah maklum apa pertanyaanmu itu, memotong Datuk Perpatih Alam Sati. Kau ingin tahu dimana ibumu bukan? Pandu mengangguk. Datuk Perpatih pegang bahu Pandu lalu berkata Aku memang sudah merencana. Sekalipun tidak bakal kau tanya, hari ini kurasa sudah saatnya kuberitahu padamu. Pandu, sebenarnya aku ini bukan ayahmu. Sang Datuk merasakan tubuh pemuda yang dipegangnya itu bergetar keras. Lalusaya tidak mengerti ayah. Dan tampaknya kau seperti tidak bergurau Aku memang tidak bergurau Pandu. Aku tidak tahu siapa nama ibumu. Ayahmu bernama Jinggosuwu. Kedua orang tuamu berasal dari desa Talangwaru. Suatu desa subur di Jawa Tengah, sangat jauh dari sini. Aku tidak tahu banyaktentang ibumu. Kecuali bahwa kau punya seorang kakak perempuan yang satu tahun lebih tua darimu. Siapa nama kakakmu aku tidak tahu Lalu bagaimana saya bisa sampai berada di sini? tanya Pandu tidak mengerti. Sudah saatnya pula aku ceritakan riwayat aku mendapatkanmu Pandu. Waktu itu, delapan belas tahun yang silam, tersiar kabar dalam rimba persilatan tentang seorang bayi bernama Pandu yang memiliki ruas dan bentuk tubuh yang luar biasa sempurnanya. Para tokoh silat keluar dari sarang masing-masing untuk bisa mendapatkan anak itu yaitu kau adanya, guna dijadikan murid. Banyak korban berjatuhan. Aku ternyata paling beruntung karena akulah yang mendapatkanmu. Apakah ayah kandungku dari dunia persilatan juga.? Datuk Perpatih menggeleng. Ayahmu tewas di tangan seorang tokoh silat ketika terjadi perebutan dirimu.. Lalu Datuk Perpatih Alam Sati menceritakan apa yang terjadi pada malam delapan belas tahun lalu di dalam rimba belantara sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya. Manusia bernama Pendekar Bungkuk itu, orang yang membunuh ayah kandungku, apakah dia masih hidup.? Tanya Pandu begitu Datuk Perpatih mengakhiri penuturannya. Sang Datuk tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya yang sudah menganggapnya

sebagai ayah itu. Dia berkata Dalam agama kita dilarang keras untuk hidup membawa dendam, apalagi membalas dendam. Kau sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Walau aku tidak menganjurkan kau untuk mencari Pendekar Bungkuk nemun seperti kukatakan, kau layak mengambil keputusan. Karena jangan tanyakan dimana tempat kediaman orang itu Habis berkata begitu Datuk Perpatih tepuk-tepuk punggung muridnya. Walau aku bukan ayahmu sungguhan, tapi aku tetap menganggapmu sebagai anak dan sekaligus murid. Saya tidak berubah. Akan tetap menganggapmu Datuk sebagai ayah kandungku. Kata Pandu pula dengan mata berkaca-kaca. Jangan menangis Pandu. Air mata adalah kelemahan orang perempuan! berkata Datuk Perpatih Alam Sati. Tapi kedua matanya sendiri saat itu kelihatan juga berkacakaca. Diluar kedai makanan di pinggir jalan berdebu terdengar riuh suara anak-anak tiada putusputusnya meneriakkan Orang gila rambut putih..orang gila rambut putih! Gila ..hai orang gila..! Beberapa orang tengah makan siang di kedai itu tentu saja sama mengangkat kepala. Ssalah seorang diantaranya, seorang pemuda berambut gondrong bermulut celemongan menyibakkan kain lebar penutup bagian depan kedai, memandang ke tepi jalan. Di situ dilihatnya seorang pemuda melangkah diikuti oleh hampir selusin anak-anak yang berteriak-teriak. Dari keadaan dan potongan pemuda itu sama sekali tidak ada kelainan, apalagi kalau sampai dikatakan gila. Pakaiannya putih, wajahnya tampan agak berdebu. Hanya saja memang dia memiliki rambut berwarna putih panjang menjulai sampai ke punggung. Rambut ini bukan saja sangat putih tetapi juga tampak seperti setengah basah setengah kering. Dasar anak-anak, orang tidak gila tidak apa diteriaki gila. Pemuda rambut gondrong dalam kedai menggerendeng sendiri. Sebaliknya pemuda berambut putih terus saja melangkah tidak memperdulikan teriakan dan ejekaan anak-anak itu, seperti tidak mendengar apa yang diteriakkan. Anak-anak nakal! si rambut gondrong dalam kedai membentak. Pergi sana! Mengapa mengganggu orang baik-baik! Orang gila! Orang gila rambut putih. Kalau kalian tidak pergi kujejali sambal mulut kalian! teriak si rambut gondrong dalam kedai. Lalu dia bergerak bangkit. Tangan kirinya menyambar cobek berisi sambal yang tengah disantapnya. Melihat hal ini anak-anak yang sejak tadi mengikuti si rambut panjang putih sambil berteriak-teriak jadi ketakutan. Mereka mundur, lalu lari berserabutan sewaktu si gondrong berteriak seolah-olah hendak mengejar mereka. Setelah anak-anak itu lenyap di kelokan jalan, pemuda berambut putih panjang menoleh pada si gondrong yang masih tegak di depan kedai. Mulutnya tersenyum tapi sepasang matanya menatap lekat-lekat. Dan si gondrong di depan kedai merasakan tatapan mata itu begitu aneh, tidak berkedip dan seperti memancarkan satu sinar. Saat itu juga dia merasa tubuhnya seperti diselimuti angin dan hawa yang sejuk. Dia balas tersenyum. Saudara, anak-anak dimana-mana sama saja. Suka mengganggu orang. Dari debu yang melekat di pakaian dan wajahmu, jelas kau habis berjalan jauh. Si gondrong di muka kedai menegur. Terima kasih kau telah mengusir anak-anak itu. menyahut si rambut putih panjang. Biarlah aku meneruskan perjalanan hai, berjalan jauh di bawah panas terik matahari kau pasti haus dan lapar. Mari masuk ke dalam kedai untuk makan dan minum Ah. Terus terang aku memang haus dan lapar. Tapi aku tak punya uang untuk membeli minuman apalagi makanan. Si gondrong di muka kedai tertawa lebar dan garuk-garuk kepalanya. Aku juga tidak punya banyak uang. Tapi kalau untuk membayar sepiring nasi dan segelas teh untukmu kau tak usah khawatir.. Mari masuk!

Ah, kau baik sekali! Sesaat si rambut putih panjang agak ragu-ragu. Tapi akhirnya masuk juga ke dalam kedai setelah pemuda yang mengajaknya melambaikan tangan. Begitu masuk dan duduk di dalam kedai, beberapa orang yang tengah bersantap langsung berdiri. Wajah mereka menunjukkan rasa takut. Orang gila yang diteriaki anak-anak tadi ternyata kini masuk ke dalam kedai, beegitu mereka berpendapat. Tanpa menghabiskan makan, orangorang itu mengeluarkan uang lalu pergi cepat-cepat. Pemilik kedai menjadi tidak enak. Dia memandang agak jengkel pada si rambut putih panjang. Jika orang gila ini lama-lama berada dalam kedainya pasti tak ada pengunjung yang bakal masuk untuk membeli makanan. Untuk menegur secara keras dan kasar pemilik kedai ini seorang lelaki gemuk bermata juling agak takut. Dia khawatir kalau orang gila itu mengamuk dalam kedainya. Maka dengan agak takut-takut dia bertanya Orang muda, apakah kau punya uang untuk membayar harga makanan? Karena matanya yang juling, meski dia bertanya pada pemuda yang barusan masuk tapi kedua matanya mengarah pada pemuda rambut gondrong yang telah lebih dulu berada dalam kedai dan masih belum menghabiskan makannya. Si gondrong tampak agak jengkel, lalu menjawab Eh, aku sudah setengah makan, mengapa baru sekarang menegur? Kau kira. Harap maafkan anak muda, aku bertanya pada pemuda ini, bukan padamu.. buru-buru pemilik kedai berkata. Ah! si rambut gondrong garuk-garuk kepalanya. Matamu yang uling menipuku! Soal pemuda ini punya uang atau tidak kau tak usah khawatir. Aku temannya dan aku yang akan membayar apa yang dimakan dan diminumnya. Kau hidangkan saja sepiring nasi dan lauk pauknya! Mendengar ucapan itu pemilik kedai tak berkata apa-apa lagi lalu mulai menghidangkan makanan. Terima kasih. Kau baik sekali. Berkata si rambut putih panjang pada si gondrong di sebelahnya. Yang diajak bicara hanya tertawa lalu meneruskan makannya yang tadi tertunda. Namaku Pandu, kau siapa saudara.? Yang ditanya telan nasinya, tegak minumannya lalu menjawab. Aku Wiro Sableng. Wiro Sableng. Maksudmu.eh Sableng itu nama belakangmu? iyya. Nama aneh ya? Seharusnya aku yang diteriaki gila oleh anak-anak tadi. Bukannya kau. Kedua pemuda itu sama tertawa gelak-gelak. Kita baru kenal, tapi kau begitu akrab! Wiro Sableng seka mulutnya. Aku suka berteman dengan siapa saja. Cuma terus terang baru kali ini aku memiliki seorang sahabat berambut putih seperti kapas. Sangat panjang seperti rambut perempuan. Tetapi kenapa seperti basah? Kau pasti tidak kehujanan di tengah jalan karena pakaianmu tidak basah. Mungkin kau habis mandi di sungai dan tidak sempa mengeringkan rambutmu yang panjang. Pandu hanya tertawa. Sementara itu pemilik kedai datang membawakan makanan. Kedua pemuda itu lalu sama-sama menyantap hidangan masing-masing. Selesai makan, sambil menyeka keringatnya Wiro memandang pada Pandu dan berkata Tadi sebelum kau datang kedai ini terasa panas. Setelah kau masuk mengapa tiba-tiba kedai ini berubah sejuk.? Air muka pemuda bernama Pandu yang adalah murid dan anak angkat Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak gunung Merapi di Pulau Andalas tampak berubah. Tapi pemuda ini cepat menguasai diri. Sambil tersenyum dia menjawab Tadi terlalu banyak orang dalam kedai sempit ini. Tentu saja udara jadi panas. Kini hanya tinggal kita berdua. Dan angin bertiup dari luar. Tentu saja udara jadi sejuk. Wiro tertawa lebar. Kenapa kau tertawa? Sobat baruku. Aku tak bisa ditipu. Hawa sejuk ini memancar dari tubuh dan rambutmu yang putih basah itu!

Terkejutlah Pandu. Aku..eh! Matamu tajam sekali sahabat. Rupanya aku berhadapan dengan seorang pandai dari dunia persilatan! Wiro geleng-geleng kepala. Dia memutar pembicaraan. Logat bicaramu menandakan kau bukan orang sini. Logat bicaramu seperti hanya dipunyai oleh orang-orang dari pilau Andalas. Kau berasal dari sana.? Kau betul. Mengadakan perjalanan sejauh itu, tentu ada urusan penting. Kau tengah menyelidikiku saudara? tanya Pandu tapi dengan tersenyum. Sama sekali tidak. Jangan kau tersinggung. Dari balik pakaiannya Wiro lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan hitam lebar. Sapu tangan itu dilipatnya memanjang lalu diberikannya pada Pandu. Ikat kening dan kepalamu sebelah belakang dengan kain itu. Untuk apa.? Tanya Pandu. Tidak untuk apa-apa. Hanya..agar kau jangan kelihatan seperti perempuan.Hahaha! Pandu ikut tertawa mendengar kata-kata Wiro itu. Lalu dia bertanya. kau penduduk disini? Wiro menggeleng. Sudah kuduga. Kau pasti pengembara sepertiku. Bedanya melihat kulitmu yang kecoklatan kau pasti sudah malang melintang selama bertahun-tahun ke berbagai penjuru. Sedangkan aku baru mulai belajar mengembara. Kemana tujuanmu sebenarnya sahabat? Sebuah desa bernama Talangsewu. Menurut keterangan terletak di tenggara, di kaki gunung Sumbing. Kau tahu desa itu? Wiro menggeleng. kalau gunung Sumbing, hanya sehari perjalanan dari sini. Aku punya tujuan ke jurusan itu. Jika kau tak keberatan, karana kita sama searah, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan sama-sama? Pandu tak menjawab. Setelah diam sesaat dia malah bertanya Kau pernah mendengar seorang tokoh silat golongan hitam bernama Pendekar Bungkuk.? Wiro garuk-garuk kepalanya lalu mengangguk. Kau tahu dimana tempat kediamannya? Eh, rupanya kau mencari manusia satu itu? Betul Pasti ada silang sengketa antara kalian! Dia membunuh ayahku, jawab Pandu. Keterangan Pandu itu mengingatkan Wiro pada ayahnya sendiri yang juga tewas dibunuh orang. Lama dia terdiam. Agaknya jalan nasib pemuda yang barusan dikenalnya ini ada persamaan dengan dirinya. Menurut kabar yang pernah kudengar, sekitar lima tahun dia lenyap dari dunia persilatan. Ketika muncul dia menjadi momok nomor datu di timur. Ada yang mengatakan dia jadi tangan kanan seorang pangeran yang hendak memberontak. Pangeran itu sendiri berhasil ditangkap tapi terbunuh ketika berusaha melarikan diri. Pendekar Bungkuk sempat kabur.Ada satu keluar biasaan pada manusia itu. Aku sendiri belum pernah bertemu atau melihatnya. Tapi kata orang, salah satu matanya ditancapi pisau kecil berhulu putih. Kabarnya pisau itu ditancapkan salah seorang musuhnya. Kabarnya lagi Pendekar Bungkuk bersumpah, sebelum dia berhasil membunuh lawan yang mencelakainya itu, pisau di matanya tak akan dicabutnya! Keteranganmu cocok dengan keterangan guruku! ujar Pandu pula. Kalau begitu siapa gurumu? tanya Wiro. Pandu sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dia menjawab dengan cerdik Kuberitahukanpun kau tidak bakal mengenalnya. Apakah kau ke Talangsewu mencari pembunuh ayahmu itu? Kau tak bakal menemukan Pendekar

Bungkuk di sana. Talangsewu tempat kediaman ibuku! Aku akan mencarinya disana. Mudah-mudahan Tuhan mempertemukan kami. Aku ikut mendoaakan. Terima kasih. Wiro, aku menerima usulmu. Kita melanjutkan perjalanan bersama-sama. Memang itu yang kuharapkan agar kita bisa bertukar pengalaman. Melihat gerak gerikmu serta ucapan-ucapanmu kau m,endalami seluk beluk agama. Nah, aku ini pemuda kurang ajar! Jadi ada baiknya kalau aku belajarilmu agama padamu. Ha.ha.ha.! Pandu duduk termenung di tepi kali. Di sebelahnya duduk Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah mengetahui ibumu tidak lagi tinggal di Talangsewu, apa yang akan kau lakukan Pandu? bertanya Wiro. Meski hati dan pikirannya saat itu kacau, murid Datuk Perpatih Alam Sati itu menjawab, suaranya perlahan. Akan kuarungi pulau Jawa ini. Akan kucari manusia bernama Pendekar Bungkuk itu. Arwah ayahku mungkin tidak pernah tentram sebelum aku melakukan pembalasan! Pandu diam sesaat. Lalu dia berpaling pada Wiro Sahabat, berhari-hari kita mengadakan perjalanan bersamasama. Aku sangat berterima kasih pada kebaikanmu. Hanya saja, mulai saat ini aku berasa adalah lebih baik aku meneruskan perjalanan seorang diri. Aku tak mau menyusahkan seorang kawan sebaikmu Wiro garuk kepalanya lalu menjawab Aku tidak akan memaksa ikut bersamamu. Mudahmudahan kau menemui orang yang kau cari. Juga aku berdoa agar kau dapat bertemu dan bersatu kembali dengan ibu serta kakak perempuanmu. Kita berpisah di sini sahabat. Jika umur panjang pasti kita dapat bertemu lagi. Pandu berdiri, memegang bahu Wiro, melafatkan kata-kata dalam bahasa Arab yang tidak dimengerti murid Sinto Gendeng itu. Ketika Pandu mengucapkan kata Assalaamualaikum Wiro menjawab sambil tertawa geli Waalaiku salam. Kenapa kau tertawa Wiro? bertanya Pandu. Seingatku, seumur hidup baru sekali ini aku mengucapkan salam seperti tadi. Soalnya aku bukan orang santri sepertimu! Wiro mengangkat tangannya ke kening lalu dua sahabat itupun berpisah. Pandu meneruskan perjalanan menuju ke timur. Tepat katika matahari terbenam memasuki sebuah kampung. Ada keanehan dilihatnya. Meski saat itu hari masih terang dan malam belum lagi datang tapi seluruh pintu dan jendela rumah penduduk berada dalam keadaan tertutup. Namun mata dan perasaan Pandu yang tajam membuat dia mengetahui bahwa dari balik celah jendela atau mengintip gerak geriknya. Pemuda itu terus melangkah. Dia sama sekali tidak berniat menginap di kampung itu. Pada saat dia hendak melintas sebuah jembatan bambu yang melintang di atas kali kecil, tiba-tiba dari balik rerumpunan pohon bambu berkelebat hampir selusin orang sambil menghunus berbagai macam senjata. Ada yang membawa pentungan besi berujung runcing seperti tombak, ada uang mencekal golok atau kelewang, banyak pula yang menggenggam keris. Di saat yang sama di seberang jembatan kecil muncul tiga sosok tubuh berpakaian hiram. Gerakan ketiga orang ini gesit sekali dana sebelum dua belas orang yang tadi keluar dari balik pohon bambu mencapai dapan jembatan, tiga orang di sebelah sana telah lebih dahulu melesat melintas jembatan dan menghadang rombongan orang yang lebih banyak. Pandu tidak dapat melihat wajah dua belas lelaki yang membelakanginya namun dia dapat melihat jelas tampang tiga orang berpakaian hitam di seberang sana. Rata-rata mereka memiliki rambut gondrong awut-awutan. Wajah mereka tidak satupun yang semenggan dan rata-rata membersitkan kekejaman. Salah seorang dari ketiganya, yang berada paling depan, usap-usap dagunya yang penuh dirambasi jenggot liar dan satu tangan lainnya berkacak pinggang. Jadi benar-benar kalian berani menghadang kami! Manusia-manusia tolol! Lebih sayang harta

dari nyawa! Dari rombungan yang dua belas orang terdengar suara jawaban. Harta kami sudah habis kalian kuras! Memang kini hanya nyawa yang kami punya! Tapi kami tidak takut mati! Sudah saatnya kalian harus ditumpas! Lelaki berpakaian hitam yang tegak bertolak pinggang tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada kedua kawannya lalu berkata Kalian dengar ucapan anjing buduk tolol ini! Dia yang akan kubunh pertama sekali! Kalau begitu kau bunuhlah dia Jombang! Lelaki bernama Jombang langsung melompat ke depan. Dengan mengandalkan tangan kosong dia menghantamkan tinjunya ke kepala sasarannya. Tapi serangannya disambut dengan tebasan golok. Heyyaa.! Jombang putar kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kiri. Sambaran golok lewat, serentak dengan itu tinju kanannya meluncur ke depan! Buukk! Orang yang memegang golok terpental beberapa langkah. Tubuhnya terlipat. Kepalanya yang terhuyung ke depan langsung disambut dengan tendangan oleh Jombang. Praak! Korban pertama jatuh, meregang nyawa denagn kening rengkah. Sebelas kawannya berteriak marah lalu serempak menyerbu. Sebelas macam senjata berserabutan ke arah tubuh Jombang. Orang ini ganda tertawa. Sekali dia berkelebat dua sosok tubuh terpelanting, dua bilah senjata tajam terpental lepas. Melihat Jombang mulai mengamuk, dua kawannya jadi ikut terangsang. Maka tiga lelaki berpakaian hitam itu seolah-olah tiga ekor harimau yang mempermainkan kucing-kucing tidak berdaya! Ini hanya bisa terjadi karena ketiganya memang memiliki ilmu silat yang tinggi. Satu demi satu korban jatuh susul menyusul. Ada yang langsung menemui ajal, banyak yang cidera parah! Jerit maut, erang kesakitan bergabung jadi satu di saat malam mulai turun itu! Ketika hanya tinggal empat orang saja lagi yang masih sanggup menghadapi amukan tiga manusia berpakaian serba hitam itu, Pandu murid Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak Merapi melompat menghadang seraya berseru Tahan! Tiga orang berpakaian hitam langsung terdorong. Sesaat ketiganya setengah tertegun namun mata masing-masing membeliak besar dan tampang menunjukkan kemarahan. Mereka melihat seorang pemuda berambut putih panjang sampai ke bahu berdiri di hadapan mereka sementara empat orang yang berada di belakang Pandu tampak terheran-heran melihat munculnya seorang penolong yang tidak dikenal. Monyet berambut putih dari mana yang berani mencampuri urusan orang! Hemm. Dia pasti salah seorang dari penduduk kampung yang ikut berkomplot melawan kita! Kalau begitu mari kita siangi tubuhnya! Tiga lelaki berpakaian hitam sama-sama menyerang sembil berteriak garang. Namun untuk kedua kalinya mereka terpental beberapa langkah. Ketika yang dua hendak menyerang lagi, kawannya yang bernama Dardiri cepat memberi isyarat. Lalu dia maju ke hadapan Pandu. Monyet berambut putih! Siapa kau sebenarnya?! Katakan dulu siapa kalian bertiga adanya! Mengapa menurunkan tangan jahat terhadap orangorang kampung yang tidak berdaya?! Hooo.! Jadi monyet ini belum tahu siapa kita adanya! ujar Dardiri sambil usap-usap dadanya yang berbulu dan tidak tertutup pakaian. Jembel tolol sepertimu tidak layak menanyai kami! Kalau masih penasaran biar roh busukmu saja nenti yang gentayangan bertanya-tanya! Habis berkata begitu Dardiri lalu kirimkan satu jotosan ke dada si pemuda. Pandu gerakkan kepalanya sedikit. Wuutt!

Rambut putih yang panjang berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Dardiri yang barusan melancarkan pukulan terjirat pada pergelangannya! Orang ini menjerit bukan saja karena terkejut tapi juga disebabkan rambut itu tidak bedanya seperti jiratan kawat! Kurang ajar berani mempermainkan! teriak Jomabang. Dia memungut sebatang golok yang tergeletak di tanah lalu membabat ke arah rambut putih Pandu. Pemuda ini gerakkan kepalanya sedikit. Craasss! Dardiri menjerit setinggi langit begitu golok yang dihantamkan kawannya sendiri membabat putus tangan kanannya! Melihat kejadian ini Jombang dan kawannya yang satu lagi jadi tersentak kaget. Kini baru mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Rasa sadar ini membuat keduanya menjadi ketakutan setengah mati. Tanpa pikir panjang mereka balikkan tubuh, siap melarikan diri dengan meninggalkan Dardiri yang terduduk di tanah sambil tiada hentinya berteriak kesakitan sementara darah terus memancur dari tangannya yang buntung! Saat itu mendadak udara terasa dingin luar biasa. Jombang dan kawannya merasakan sekujur tubuh mereka menjadi kaku saking dinginnya. Sepasang kaki mereka tidak sanggp digerakkan seolah-olah telah berubah menjadi kayu. Dari mulut mereka terdengar suara berkereketan akibat rasa dingin luar biasa. Anehnya, empat orang penduduk kampung yang berada di belakang Pandu tidak merasakan udara dingin itu. Inilah kehebatan ilmu tenung salju yang dilepaskan oleh Pandu untuk membuat Jombang dan kawannya tidak dapat melarikan diri! Begitu melihat dua orang itu tidak berdaya, empat penduduk kampung langsung menyerbu. Sebelum Pandu sempat mencegah, golok dan pentungan besi sudah berkebat. Jombang dan kawannya langusng roboh mandi darah. Dardiri sudah sejak tadi meregang nyawa kehabisan darah! Kalian bertindak kejam! Mengapa itu kalian lakukan?! bertanya Pandu Mereka jauh lebih kejam dari kami. Apa yang kami lakukan adalah untuk membalas dendam! menyahut salah seorang dari empat penduduk kampung. Mereka pantas mampus seperti ini! Anak muda, kau saksikan sendiri kawan-kawan kami yang bergeletakan di tempat ini! itu baru sebagian saja! menambahkan yang lain. Sebelumnya mereka sudah berulang kali mendatangi kampung kami, juga kampung-kampung di sekitar sini. Merampok, membunuh dan menculik anak gadis atau istri penduduk! Siapa ketiga manusia ini sebenarnya? Perampok-perampok biadab?! tanya Pandu pula. Lebih dari itu! Mereka adalah anak buah iblis jahanam bergelar Pendekar Bongkok! Mendengar orang menyebut nama itu Pandu tersentak kaget. Lekas terangkan dimana aku bisa menemui Pendekar Bongkok! Heh! Empat penduduk kampung bersurut ketakutan. Apakah kau.kau sahabat Pendekar Bongkok? salah seorang bertanya gagap dan ketakutan. Aku justru mencarinya untuk membunuhnya! jawab Pandu. Bukit Tapal Kuda sesuai namanya berbentuk seperti ladam kuda, membujur setengah lingkaran dari timur ke barat. Bukit ini jarang didatangi manusia karena selain gersang juga hanya ditimbuni oleh batu-batu besar berwarna kecoklatan. Di bagian tangah bukit yaitu bagian yang melekuk anehnya justru terdapat empat buah bangunan kayu. Tiga agak kecil sedang yang besar terletak di sebelah tengah. Ketika murid Datuk Perpatih Alam Sati sampai ke Bukit Tapal Kuda hari masih gelap. Udara dingin menyelimuti tampat itu. Didalam kegelapan malam menjelang pagi itu Pandu melihat sebuah bangunan aneh di samping rumah kayu besar. Bangunan ini baratap ijuk. Bentuk bangunan di bawah atap tidak beda seperti sebuah kerangkeng besar. Tak ada pelita yang

menyala hingga Pandu tidak dapat melihat apa yang berada dalam bengunan. Hanya sepasang telinganya sayup-sayup mendengar suara orang mengerang lalu suara seseorang menangis. Sewaktu hari mulai terang-terang tanah, empat bangunan kayu masih diselimuti kesunyian. Namun dia segera dapat melihat apa yang ada dalam bangunan berbentuk kerangkeng. Bukan saja membuat ini jadi tercekat tetapi sekaligus bergetar sekujur tubuhnya dilanda amarah. Jadi benar apa yang dikatakan penduduk kampung yang ditolongnya itu! Di dalam kerangkeng tampak terbaring sosok tubuh perempuan muda yang rata-rata tidak terbungkus pakaian dengan sempurna. Salah seorang diantaranya duduk di sudut kerangkeng sambil menangis. Kedua matanya tampak bengkak tanda perempuan ini tentu sudah sejak lama menangis tiada henti. Kain yang melekat di tubuhnya hanya dapat menutupi auratnya sebatas pinggang ke bawah. Di sudut kerangkeng yang lain menggeletak seorang pemuda dalam keadaan sekarat mengerikan. Tubuhnya tanpa pakaian sama sekali. Erangan pemuda inilah yang didengar Pandu sejak malam tadi. Pandu beringsut dari balik pohon besar dimana dia berlindung. Tiba-tiba pintu bangunan kayu di sebelah kiri terbuka. Seorang lelaki berbadan tinggi besar, hanya mengenakan sehelai celana panjang hitam melangkah ke luar terhuyung-huyung. Di tangan kanannya tampak sebuah kendi kecil. Setiap kali dia berhenti melangkah dia mendekatkan bibir kendi ke mulutnya lalu meneguk minuman keras yang ada dalam kendi itu. Kemudian dia melangkah kembali, menuju kerangkeng besar. Di depan pintu kerangkeng orang ini campakkan kendi yang telah kosong. Matanya memandang menjelajah ke dalam kerangkeng. Lalu dia mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk kunci. Dengan benda ini dia membuka pintu kerangkeng yang diikat dengan rantai besi dan dihubungkan dengan sebuah kura-kura besi. Pintu kerangkeng terbuka. Si tinggi masuk ke dalam. Sesaat dia tegak di hadapan pemuda yang mengerang sekarat. Huh! Belum mampus juga keparat ini! Dia menyeka mulutnya, komat kamit sebentar lalu kembali menyambung ucapannya tadi, Hiduppun kau tidak bakalan. Biar kubantu lebih cepat menghadap malaikat maut! Matilah manusia yang berani manggagahi perempuan milik pimpinan! orang itu tendangkan kaki kanannya ke kepala si pemuda. Terdengar suara gebukan mengerikan. Suara erangan lenyap. Pemuda itu mati sudah dengan kepala pecah. Si pembunuh lalu tertawa mengekeh. Puas tertawa dia melangkah mendekati perempuan muda yang duduk menangis sementara enam orang perempuan lain yang ada di dalam kerangkeng saat itu sudah tersentak sama-sama mendekam ke sudut kiri kerangkeng. Diantara semua perempuan yang ada dalam kerangkeng memang yang menangislah yang paling cantik dan bagus bentuk tubuhnya. Lelaki bercelana panjang hitam begitu sampai di hadapan perempuan muda ini langsung tanggalkan celananya. Perempuan yang menangis kini menjerit. Dia melompat bangkit ketakutan tetapi orang di hadapannya langsung merangkul dan merebahkan tubuhnya ke atas lantai kerangkeng yang tertutup jerami. Manusia biadab! Begini rupanya kerjaan kalian setiap hari! Merampok, menculik dan memperkosa! Pandu merutuk dalam hati. Dua kali lompatan saja dia sudah berada dalam kerangkeng besar. Lalaki yang hendak menggagahi perempuan muda itu tiba-tiba merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Gigi-giginya sampai bergemeletukan. Gila! makinya. Mengapa udara tiba-tiba jadi dingin begini rupa! Dia memandang berkeliling dan pandangannya membentur sosok tubuh Pandu! Bangsat! Siapa kau! dia menghardik. Aku malaikat maut yang kau sebut-sebut tadi! sahut si pemuda. Tangan kanannya memukul ke depan. Yang dipukul coba tangkis tapi langsung menjerit ketika bentrokan lengan itu membuat tangan kanannya patah!

Haram jadah! Kowe minta mampus! teriak si tangan patah. Dengan tangan kirinya dia berusaha mencekik Pandu. Namun murid Dauk Perpatih telah lebih dulu menghantam selangkangan orang ini dengan tendangan kaki kiri. Untuk kedua kalinya orang itu menjerit. Tubhnya terpental ke sudut kerangkeng dimana enam orang perempuan saling berdekapan ketakutan. Mereka tentu saja sama-sama menjerit ketika tubuh yang telanjang dengan selangkangan hancur itu jatuh di tengahtengah mereka! Suara jeritan hiruk pikuk itu membuat para penghuni empat bangunan kayu terbangun dari tidur masing-masing. Ternyata mereka semuanya adalah orang laki-laki yang berpakaian serba hitam. Mereka berhamburan keluar dari bangunan dan langsung lari ke arah kerangkeng! Semuanya berjumlah hampir dua lusin. Sesaat mereka tertegun melihat pemuda berpakaian serba putih dan berambut panjang putih yang tidak dikenal itu. Bangsat dari mana yang berani menyelinap masuk ke markas Pendekar Bungkuk! salah seorang dari mereka membentak. Ah, ternyata aku tidak datang ke tempat yang tidak salah! Jadi ini rupanya sarang Pendekar Bungkuk! Mana tua bangka keparat itu! Haram jadah! Berani memaki pimpinan kami! Dia pasti telah membunuh Ggaimo! seorang lain berteriak. Gaimo adalah nama lelaki yang tadi hendak memperkosa. Kalau begitu mari kita cincang dia sampai lumat! Terdengar suara senjata tajam dicabut dari sarungnya. Banyak sekali. Ternyata dua lusin orang rata-rata membawa sebilah golok! Namun mereka berdiri dengan tubuh seperti menggigil. Udara pada peralihan malam memasuki pagi itu terasa dingin luar biasa! Inilah kehebatan murid Datuk Perpatih Alam Sati. Tubuhnya dapat menebar hawa sakti yang diserapnya selama delapan belas tahun di puncak gunung Merapi! Kalian semua dengar baikbaik! Pandu berseru. Aku kemari bukan untuk mencari kalian tapi mencari pemimpin kalian! Lekas suruh Pendekar Bungkuk keluar! Beberapa orang tertawa mengejek. Lagakmu hebat amat rambut putih! Siapa kau sebenarnya?! Ada keperluan apa mencari pemimpin kami?! Aku Pandu dari pulau Andalas! Pemimpin kalian membunuh ayahku delapan belas tahun lalu. Aku datang untuk menagih hutang nyawa itu! Ah! Bapakmu mampus di tangan pemimpin kami rupanya! Dan kau juga minta mampus. Baru saja orang itu berkata begitu, kepala Pandu tampak bergerak. Rambutnya yang putih panjang menderu. Terdengar jeritan lelaki yang tadi bicara. Dia tampak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi mulutnya yang mengucurkan darah! Mulut itu laksana dipotong pisau, robek dari pipi kiri sampai pipi kanan! Dan tiba-tiba tangan kirinya telah mencekik tenggorokan lelaki yang berada dekat pintu kerangkeng. Agamamku melarang manusia membunuh sesama manusia! Tapi manusia-manusia semacam kalina tidak masuk hitungan! Kraak! Terdengar suara tulang leher patah. Lidah mencelat, mata melotot. Ketika Pandu melepaskan cekikannya, tubuh tak bernafas itu langsung roboh ke lantai kerangkeng. Masih tidak ada yang mau memberi tahu?! Empat belas orang yang ada di tempat itu tiba-tiba sama balikkan tubuh lalu menghambur lari. Namun dua diantara mereka sempat dicekal oleh Pandu. Tangan keduanya dilipat ke belakang lalu disentakkan keras-keras hingga mereka menjerit kesakitan setengah mati. Jika kalian mau memberi keterangan, kalian akan selamat. Pandu sentakkan lagi cekalannya hingga untuk kedua kalinya kedua orang itu terpekik kesakitan. Pemuda ini tidak hanya sampai disitu. Tangan orang yang di sebelah kanan dipuntirnya kuat-kuat hingga tanggal

persendian bahunya. Kau boleh pergi! kata Pandu lalu mendorong orang itu kuat-kuat ke depan. Yang didorong terbanting dan terguling di tanah. Masih menjerit-jerit kesakitan dia melarikan diri mencari selamat. Tinggal kini yang seorang. Yang satu ini benar-benar sudah meleleh nyalinya. Mukanya sepucat kertas. Sebelum Pandu melakukan sesuatu dia sudah buru-buru membuka mulut. Ampun, jangan siksa! Jangan bunuh diriku! Aku akan katakan dimana pemimpin kami Pendekar Bungkuk berada! Sebelum meninggalkan sarang Pendekar Bungkuk Pandu memeriksa seluruh bangunan kayu yang ada di kaki bukit Tapal Kuda. Apa yang dilihat pemuda ini sungguh luar biasa menusuk mata dan perasaan. Di setiap bangunan ditemuinya banyak perempuan-perempuan muda. Wajah mereka Pucat. Mungkin karena ketakutan tetapi mungkin juga karena terlalu lama disekap dalam bangunan itu. Di rumah kayu paling besar, dalam sebuah kamar yang sangat bagus, Pandu menemui seorang gadis paling tinggi berusia enam belas tahun menggeletak di atas ranjang. Tangan dan kakinya terikat ke tiang ranjang. Gadis ini berada dalam keadaan pingsan dan auratnya sama sekali tidak tertutup barang selembar benangpun! Dimana-mana dalam kamar itu bertaburan barang-barang berharga seperti perhiasan terbuat dari perak dan banyak pula yang dari emas serta bertahtakan batu-batu permata. Pandu tendangi barang-barang yang ada di lantai lalu melangkah menghampiri ranjang. Secarik kain jendela ditariknya lalu menutupkannya ke tubuh si gadis di atas ranjang. Satu demi satu kemudian ikatan pada kaki dan tangan gadis itu dilepaskannya. Saat itu diluar kamar banyak orang-orang perempuan bergerombol. Salah seorang diantara mereka langsung menerobos masuk dan memeluk tubuh si gadis seraya menangis Adikku. Adikku. Dia menyangka gadis itu sudah mati. Pandu pegang bahunya seraya berkata Tak usah khawatir. Dia hanya pingsan. Saat itu juga gadis itu siuman dan membuka kedua matanya. Karena risih berada dalam kamar yang dipenuhi perempuan dan rata-rata tidak berpakaian sebagaimana wajarnya pemuda ini segera meninggalkan kamar itu. Siapa orang yang menolong adikku itu.? bertanya perempuan yang tadi menangis disela isaknya. Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab. Namun salah seorang berkata Dia pasti malaikat yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolong kita Ucapan itu serta merta tersebar dan semua perempuan yang berada disitu benar-benar percaya bahwa Pandu adalah Malaikat!. Di halaman rumah besar Pandu mengumpulkan semua perempuan setelah lebih dulu menyuruh mereka mencari pakaian atau apa saja utnuk dapat menutupi tubuh masing-masing. Hari ini kalian semua bebas dari cengkeraman Pendekar Bungkuk dan anak buahnya! Pandu berkata dengan suara lantang. Semua harta yang ada di tempat ini boleh kalian ambil dan bagi-bagi. Setelah itu kalian boleh kembali ke kampung atau ke desa masing-masing! Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Semua perempuan itu seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar. Selama berbulan-bulan mereka telah disekap, dijadikan budak nafsu oleh Pendekar Bungkuk dan komplotannya. Seharusnya mereka bergembira menerima kenyataan itu. Bahkan merasa seperti tidak memilki lagi harga diri dan masa depan. Mereka masih tertegun setelah Pandu meninggalkan tempat itu dan tersentak kaget ketika satu bentakan keras merobek kesunyian di awal pagi itu. Kurang ajar! Apa yang terjadi di sini! Celaka! Anak angkat Pendekar Bungkuk datang.! Seseorang berseru. Dan kelompok perempuan-perempuan muda yang berjumlah sekitar dua puluh enam orang itu serta merta bubar. Banyak yang segera melarikan diri. Siapa yang berani lari akan kubunuh! teriak orang yang barusan datang. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap, bermuka buruk dan memelihara cambang bawuk yang meliar menutupi seantero wajahnya. Di lehernya tergantung sebuah kalung berupa tulang tangan kanan

manusia sungguhan! Seperti yang diucapkan tadi pemuda ini memang adalah anak angkat Pendekar Bungkuk. Bernama Jaroantunda. Kekejamannya melebihi Pendekar Bungkuk dan kebiadabannya terhadap perempuan melebihi ayah angkatnya. Hemm. Jadi tak ada yang mau membuka mulut memberi jawaban eh. Jaroantunda usa-usap janggut liarnya. Matanya memandang berkeliling. Bukan saja memperhatikan perempuan-perempuan muda yang tegak ketakutan itu, tapi sekaligus menyaksikan belasan mayat yang tergelimpang di halaman bangunan. Kau! tiba-tiba Jaroantunda berteriak seraya menunjuk pada seorang perempuan yang tegak di depannya. Perempuan itu menggigil ketakutan. Maju ke hadapanku! Meski takut perempuan itu melangkah juga ke hadapan Jaroantunda. Begitu sampai di depannya si pemuda langsung meremas keras-keras dadanya sebelah kiri hingga perempuan itu menjerit kesakitan. Jika kau tidak mau mengatakan apa yang terjadi akan kusaya-sayat payudaramu! Juga yang lain-lainnya! kakami tidak mengetahui apa yang terjadi. Waktu itu masih pagi dan kami semua masih di dalam. Kami.kami hanya menemui seorang malaikat. Malaikat?! teriak Jaroantunda dengan mata membeliak. Jangan bicara ngacok padaku! Dan plaak! Jaroantunda tampar muka orang hingga perempuan itu melintir dan jatuh kesakitan. Ketika dia hendak menjambak rambut perempuan yang jatuh, sebuah benda melesat di udara dan menghantam sambungan sikunya. Pemuda itu terpekik. Ketika diperiksa sambungan siku tangan kanannya ternyata sudah lepas dan tangannya kini terkulai-kulai. Selagi pemuda itu menanggung rasa sakit yang bukan alang kepalang terdengar suara tertawa mengejek. Kenapa tanganmu monyet berewok? Kasihan, kau tentu tak dapat lagi meremas payudara Setan alas! maki Jaroantunda. Memandang ke depan dia melihat seorang pemuda tak dikenal. Berpakaian putih, berambut gondrong, tegak sambil menyeringai. Siapa kau?! Pasti kau yang melemparku tadi! Aku sahabat malaikat yang pagi buta tadi mengamuk di markasmu ini! Dan memang aku yang barusan melemparmu! Bukankah tidak pantas menganiaya perempuan lemah?! Biar kubeset mulut besar kurang ajarmu! teriak Jaroantunda marah sekali. Dengan tangan kirinya dihunusnya sebilah pedang pendek dari balik punggungnya. Karena dia memang seorang kidal maka begitu pedang dikiblatkan, bertaburlah serangan ganas berupa babatan dari kiri ke kanan disusul dengan tusukan ke arah perut! Orang yang diserang mundur sambil terus cengar cengir, membuat Jaroantunda semakin marah sementara perempuan-perempuan yang sebelumnya ketakutan dengan munculnya anak angkat Pendekar Bungkuk itun kini menjadi lega. Namun dapatkah pemuda gondrong tak dikenal yang sikapnya seperti bermain-main ini mampu menghadapi Jaroantunda yang dikenal memiliki ilmu pedang tingkat tinggi yang ganas? Lihat pedang! tiba-tiba si gondrong berseru. Begitu seruan berakhir tangannya menyusup di bawah sambaran pedang, dilain kejap pasti dia berhasil merampas atau memukul pedang di tangan lawannya. Tapi Jaroantunda memang memiliki kepandaian mengagumkan. Hanya dengan memutar pergelangan tangan kirinya, pedang dalam genggamannya membalik deras dari kanan ke kiri. Si gondrong terkesiap kaget, keluarkan seruan tertahan dan melompat mundur. Breet.! Walaupun sudah melompat tetap saja ujung pedang sempat menyambar robek dada pakaian putihnya. Dan bukan itu saja, ada bagian kulit dadanya yang ikut tersayat! Si gondrong kertakkan rahang, hampir tak percaya kalau lawan yang dalam keadaan cidera itu sanggup melukainya!

Edan! maki si gondrong lalu cepat usap dadanya yang baret dengan tangan kiri. Jaroantunda tertawa bergelak. Sebentar lagi ususmu akan membusai! katanya sambil putar-putar pedang pendeknya. Lalu dia membuat gerakan aneh. Seperti hendak membalik pergi namun tahu-tahu kembali berbalik. Sambil meloncat pedangnya membabat dari atas ke bawah. Jika serangan ini berhasil pastilah tubuh pemuda gondrong itu akan terbelah dua. Hanya saja sekali ini si gondrong tidak lagi bisa diperlakukan seenaknya. Sambil bersuit nyaring pemuda ini berkelebat ke kiri, lalu ke kanan, ke kiri lagi dan kembali ke kanan. Jaroantunda penuh nafsu memburu dengan pedangnya. Tapi setiap sambaran, tebasan ataupun tusukan yang dilakukannya hanya mengenai tempat kosong. Sementara itu setiap satu gerakan menyerang dibuatnya setiap itu pula dirasakannya ada orang yang menjambret robek pakaiannya. Mula-mula bajunya, lalu celananya. Pada akhirnya anak angkat Pendekar Bungkuk ini hanya mengenakan celana kolor saja. Itupun sudah robek-robek pula hingga auratnya yang terlarang tersingkap. Meski menyadari keadaan dirinya yang hampir telanjang namun Jaroantunda tidak menghentikan serangannya. Amarahnya semakin menjadi-jadi, apalagi didengarnya orang-orang perempuan yang ada di situ mulai berteriakteriak mengejek dan mencaci makinya. Telanjangi terus! Potong anunya! Pateni saja cepat-cepat! Semakin mendidih amarah Jaroantunda, semakin ganas serangan pedangnya. Namun itu tak berlangsung lama. Napasnya mulai menyengal. Tangan kirinya mulai terasa kaku dan pegangannya pada gagang pedang menjadi licin oleh keringat sementara tangan kanannya yang cidera parah bertambah-tambah sakitnya. Ketika satu tendangan melanda pinggulnya, pemuda ini langsung roboh. Saat itulah orang-orang perempuan yang pernah disiksa dan diperkosanya datang menyerbu. Mereka memukuli tubuh anak angkat Pendekar Bungkuk itu dengan tangan kosong, dengan batu, dengan kayu atau benda apa saja yang bisa mereka dapat. Pemuda gondrong yang tadi menjadi lawan Jaroantunda hanya bisa menyaksikan sambil garuk-garuk kepala. Akhirnya dia berseru Sudah! Sudah! Manusia itu sudah mampus.! Teriakan itu membuat perempuan-perempuan yang seperti kesetanan karena dendam tersadar lalu campakkan benda yang mereka pakai untuk memukul. Saudara berambut gondrong, siapa kau ini dan bagaimana bisa muncul di tempat ini.? Salah seorang dari perempuan-perempuan yang ada di situ bertanya. Yang ditanya menatapi wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh yang rata-rata tidak tertutup sewajarnya itu. Kalau saja bukan di tempat itu, pemandangan asyik seperti itu tentu tak akan ditemui seumur hidupnya. Siapa aku tidak penting. Kalau kalian kecewa, sebut saja aku kawan lelaki berambut putih yang kalian anggap malaikat itu Tapi kau bukan malaikat! Si gondrong tertawa geli. Tentu saja aku bukan malaikat! Mana ada malaikat gondrong dan jelek sepertiku ini! Habis berkata begitu pemuda ini yang bukan lain adalah Wiro Sableng adanya lantas membalikkan diri. Di belakang terdengar perempuan-perempuan itu tertawa mendengar ucapannya tadi. Wiro berlari ke jurusan timur. Sebetulnya dia sampai di tempat itu sesaat setelah Pandu mendapat jawaban dari anak buah Pendekar Bungkuk, memberitahu dimana pemimpinnya berada. Karena wiro cukup kenal dengan daerah yang dikatakan maka dia dapat mengambil jalan memintas yang kelak membuatnya sampai lebih dulu dari Pandu. Telaga itu terletak di kawasan lembah yang sangat sunyi. Saking sunyinya, riak air telaga yang tertiup angin sedikit saja dapat terdengar jelas. Pohon-pohon tinggi dengan dedaunan

beraneka warna membuat air telaga seperti berwana-warni. Di tengah telaga tampak sebuah pondok bambu terapung-apung dalam kesunyian. Pintu dan jendelanya tertutup. Tak ada jembatan atau perahu penyebrang di sekitar situ. Lalu bagaimana penghuni telaga pergi dan datang ke pondok bambu? Di sebelah telaga, pada cabang sebatang pohon, mendekam sesosok tubuh. Kerimbunan daun pohon membuat sulit bagi siapa saja untuk dapat melihat orang itu dari jurusan manapun juga. Sosok tubuh ini seperti tengah duduk berjuntai. Tapi sebenarnya potongan tubuhnya yang seperti huruf L terbalik itulah yang membuat dia kelihatan seolah-olah duduk berjuntai. Orang di atas pohon ini bukan lain adalah Pendekar Bungkuk, yang sejak beberapa belas tahun silam bukan saja mendalami ilmu silat dan kesaktiannya, tetapi juga telah membentuk sebuah gerombolan ganas, merampok, membunuh dan menculik dengan markas di bukit Tapal Kuda. Saat itu Pendekar Bungkuk tengaah memata-matai rumah kayu di tengah telaga yang diketahuinya adalah tempat kediaman nenek sakti berjuluk Pisau Maut Tanpa Bayangan, musuh besar dengan siapa dia mendekam dendam besar sejak delapan belas tahun silam. Wajah tua Pendekar Bungkuk tampak sangat seram karena adanya sebelah pisau hitam bergagang putih menancap di mata kirinya. Pisau inilah yang ditancapkan Pisau Maut Tanpa Bayangan delapan belas tahun silam sewaktu terjadi perkelahian ketika mereka memperebutkan Pandu yang waktu itu masih seorang bayi berusia beberapa bulan. Pisau di mata kiri Pendekar Bungkuk kini diselimuti karat mulai dari bagiannya yang tajam sampai ke gagang. Sialan! Dua hari lebih aku mengunggu di sini, bangsat tua itu masih belum muncul! Kalau sampai siang nanti dia tidak kembali, akan kubakar saja rumahnya itu! Begitu Pendekar Bungkuk mengomel dan mengancam. Tiba-tiba dari arah bawah pohon dia mendengar suara menggeresek. Pendekar Bungkuk cepat meneliti dengan matanya yang tinggal satu. Di bawah pohon, di antara semak belukar dan tanaman-tanaman pendek dilihatnya seseorang berpakaian serba hitam, melangkah mengendapendap menuju telaga. Pendekar Bungkuk segera mengenali orang itu, bukan lain adalah salah seorang anak buahnya. Rahangnya menggembung tanda marah. Sekali dia menggenjotkan kaki, tubuhnya melayang ke bawah. Bangsat! Apa yang kau lakukan di sini?! bentak Pendekar Bungkuk membuat yang dibentak kaget setengah mati. Tapi begitu mengetahui siapa yang membentak orang ini segera jatuhkan diri dan berkata Pemimpin.. Celaka.. Keparat! Apa yang celaka! Pendekar Bungkuk jambak rambut anak buahnya. Markas kita.. Markas kita diserbu malaikat berambut putih. Haram jadah! Apa yang kau ucapkan ini! Plak! Plak! Dua tamparan dilayangkan Pendekar Bungkuk ke muka anak buahnya. Bicara yang jelas. Katakan mengapa kau datang menyusulku kemari! Apa yang terjadi di markas kita?! Sambil pegangi mukanya yang masih sangat sakit akibat tamparan, si anak buah menceritakan apa yang terjadi di markas di bukit Tapal Kuda tiga hari lalu. Belasan kawan-kawan menemui kematian! Yang lainnya melarikan diri entah kemana. Yang datang itu jelas bukan manusia. Saya mendengar sendiri orang-orang perempuan yang dibebaskan menyebutnya sebagai malaikat. Tubuh dan rambutnya mengeluarkan hawa sedingin salju! Manusia tolol! kata Pendekar Bungkuk hampir berteriak saking marahnya. Mana ada malaikat turun ke bumi masa ini! Kau lekas kembali ke markas. Aku segera datang setelah urusanku di sini selesai! Pergi! Tanpa berani menolak anak buah Pendekar Bungkuk mengiyakan perintah pemimpinnya lalu tinggalkan tempat itu. Tapi dia tidak pernah kembali ke Bukti Tapal Kuda. Pendekar Bungkuk kembali naik ke atas pohon. Ketika matahari mulai menggelincir ke arah barat, habislah kesabaran orang ini. Dikumpulkannya daun-daun kering lalu membuntalnya

membentuk sebuah bola sebesar buah kelapa. Dinyalakannya api dan dibakarnya bola daun itu. Begitu api membakar bola daun, bola itu dilemparkannya ke arah telaga, tepat jatuh di atas atap pondok bambu. Dalam waktu singkat atap itu segera dikobari api. Akhirnya bangunan bambu di tengah telaga itu lenyap, berubah menjadi reruntuhan hitam yang perlahan-lahan tenggelam ke dalam telaga. Mampuslah! ujar Pendekar Bungkuk sambil usap-usap tangannya satu sama lain tanda puas. Tiba-tiba dari balik kerapatan pepohonan di sebelah selatan telaga muncul seorang berpakaian serba biru sambil memegang lengan seorang perempuan separuh baya. Si baju biru ternyata adalah seorang gadis berwajah jelita sedang yang dipegangnya adalah ibunya sendiri. Begitu mereka sampai di tepi telaga, keduanya sama terkejut ketika menyaksikan pondok di tengah telaga kini telah berubah menjadi reruntuhan hitam yang masih mengepulkan asap. Ranti anakku, apa yang terjadi! sang ibu berseru. Ada yang membakar pondok guru. Jawab sang dara. Ibu tunggu di sini, biar saya menyelidik! Dara berbaju biru itu mendekati sebatang pohon kecil. Tangan kanannya bergerak. Kraak!. Batang pohon sebesar paha itu patah. Patahan pohon dilemparkannya ke tepi telaga lalu dia melompat ke atas batang patah dengan hanya kaki kanannya saja yang menginjak batang sementara kaki kirinya dicelupkan ke dalam air lalu digoyangkan seperti orang mendayung perahu! Batang kayu meluncur cepat ke tengah telaga! Di atas pohon Pendekar Bungkuk sempat leletkan lidah. Bukan saja karena kagum melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh si baju biru itu, melainkan juga karena kecantikan wajahnya. Nafsu bejatnya langsung membakar darah. Sambil menduga-duga siapa adanya gadis itu, Pendekar Bungkuk turun dari atas pohon, tepat di saat mana sang dara juga kembali ke tepi telaga menemui ibunya. Tak ada tanda-tanda guru berada di sana. Agaknya beliau memang belum kembali. Siapa yang sejahat itu membakar tempat kediaman beliau?! Apa yang kita akan lakukan sekarang? bertanya si ibu. Kita tidak memiliki rumah tinggal lagi. Itulah yang tengah saya pikirkan, bu, jawab si gadis. Kita harus waspada. Ingat pesan gurumu Ranti. Musuh besar yang pernah diceritakannya itu bisa muncul setiap saat di tempat ini.. Baru saja ibu si gadis berkata begitu, semak belukar di samping kanan mereka tersibak, menyusul terdengar suara tawa mengekeh. Lalu muncullah tubuh bungkuk seperti kursi terbalik. Bukan saja kemunculan yang mendadak itu yang membuat ibu serta anak terkejut, tapi potongan tubuh Pendekar Bungkuk di tambah pisau yang menancap di mata kirinya membuat Ranti bersama ibunya tersurut dan tercekat ngeri. Pendekar Bungkuk.. desis Ranti. Meski belum pernah bertemu tapi dari ciri-ciri manusia itu si gadis segera dapat menerka siapa adanya orang tua di hadapan mereka. Hah! Kau tahu diriku! si bungkuk berkata datar dan diam-diam sembunyikan keterkejutannya. Pasti ada seseorang yang telah menceritakan diriku padamu! Katakan siapa orangnya! Jangan beritahu! berbisik ibu Ranti. Tapi sang dara merasa tidak ada yang perlu disembunyikan. Maka dia lalu menjawab Guruku yang memberi tahu ciri-cirimu. Dan beliau adalah nenek sakti berjuluk Pisau Maut Tanpa Bayangan! Mendengar jawaban itu Pendekar Bungkuk mendengus. Aku memang mencari perempuan sundal itu. Ternyata tidak datang di tempat yang salah! Lekas katakan dimana gurumu! Babi tua! Mulutmu kotor amat! memaki Ranti. Dia jadi marah karena si bungkuk menyebut nama gurunya dengan kotor. Apa perlumu mencari guruku?!

Delapan belas tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar! Menghinaku dengan menancapkan pisau celaka ini ke mataku! Hari ini aku datang untuk menagih hutang piutang lama itu! Ranti tertawa mengejek. Kalau delapan belas tahun lalu saja kau sudah dipecundangi dan diberi hadiah pisau di mata kirimu, betul-betul tolol saat ini kau berani unjukkan tampang dan mencari furu! Atau mungkin kau sudah memiliki bekal tambahan ilmu? Jangan-jangan kau bakal dapat tambahan satu pisau lagi di mata kananmu! Pendekar Bungkuk langsung merah mengelam mukanya mendengar ucapan sang dara. Mulutmu sama besar dan legekmu sama sombongnya dengan nenek keparat itu! Tua bangka bungkuk jelek! Jika kau terus-terusan bicara kotor, kurobek mulut perotmu! Pendekar Bungkuk menyeringai. Semakin marah si gadis dia merasakan semakin berkobar nafsu kejinya untuk dapat memperkosa. Aku memang bungkuk dan jelek, katanya. Tapi aku pandai bercumbu rayu. Sekali kau meladeniku, seumur hidup kau akan membuntutiku seperti kerbau dicucuk hidung! Hahaha Habis berkata begitu Pendekar Bungkuk tanggalkan bajunya. Kelihatan tuubhnya yang kurus kerempeng. Tulang dada, tulang bahu dan tulang-tulang iganya bertonjolan. Ketika orang uta ini siap menanggalkan pakaiannya, ibu si gadis memeberi ingat Anakku, lebih baik kita tinggalkan tampat ini. Iblis itu bermaksud keji terhadapmu! Tapi Ranti justru menolak pergi. Sebelum Pendekar Bungkuk meloloskan celananya gadis itu telah menyerbu dengan melemparkan tiga pisau terbang. Kalau gurunya menyisipkan pisau-pisaunya di pakaian sebelah luar maka Ranti menyimpan senjatanya di balik pakaian. Tiga pisau melesat deras. Satu menjurus ke leher, satu ke dada dan lainnya ke perut. Semula Pendekar Bungkuk menganggap sepele serangan itu. Tapi melihat daya lesat pisau yang luar biasa disertai suara derunya yang angker, mau tak mau dia harus selamatkan diri dan batalkan menanggalkan celana. Sejak dikalahkan Pisau Maut Tanpa Bayangan dulu, selama delapan belas tahun Pendekar Bungkuk telah mengkhususkan diri mempelajari seluk beluk dan kelemahan pisau terbang. Karenanya saat itu tidak heran kalau tiga serangan pisau yang ganas dapat dimusnahkannya. Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, pisau yang mengarah leher lewat di sampingnya. Dua pisau lainnya dihantam dengan pukulan tangan kosong hingga mental dan jatuh ke dalam telaga! Anak gadis.Kalau ilmu baru sejengkal jangan berani kurang ajar pada Pendekar Bungkuk! Lebih baik kita main kurang ajaran di atas ranjang! Hahaha.! Manusia dajal! Jangan ganggu anakku! Pergi dari sini! Mata kanan Pendekar Bungkuk melirik sesaat. Dia menyeringai. Perempuan, melihat pada usiamu, tubuhmu pasti sudah mulai alot. Tapi melihat wajahmu yang lumayan aku bersedia membagi kesenangan padamu setelah berpuas-puas dengan anakmu! Iblis laknat! teriak Ranti. Kedua tangannya bergerak. Enam pisau menderu. Erangannya itu disusul pula dengan pukulan tangan kosong mengandung hawa tenaga dalam dahsyat. Bagus! Pendekar Bungkuk memuji. Tubuhnya melsat ke atas. Ranti menjadi penasaran ketika melihat setengah lusin pisaunya hanya menembus udara kosong. Maka dia lipat gandakan pukulan tangan kosong. Namun gadis ini terpekik ketika dari atas lawan balas dengan dua pukulan tangan kosong pula. Tubuh si gadis bergetar. Ada hawa panas yang menyelubunginya. Dia coba bertahan. Tapi kedua kakinya goyah. Akhirnya gadis ini rubuh terguling. Dalam keadaan terguling itu Pendekar Bungkuk yang melayang turun langsung menindih dan merangkul tubuh si gadis. Keduanya bergulingan lagi lalu jatuh ke dalam telaga. Pada saat bergulingan dengan cepat Pendekar Bungkuk pergunakan kesempatan untuk menotok tubuh Ranti. Meskipun totokannya kurang tepat tapi sudah cukup membuat tangan dan kaki gadis iotu menjadi kaku! Dalam keadaan tak berdaya seperti itu, Ranti diseret ke tepi telaga. Di sini Pendekar Bungkuk yang sudah dilamun nafsu bejat, terlebih melihat pakaian biru si gadis yang basah membuat liku-liku tubuhnya jadi menonjol, merobek baju Ranti lalu siap menarik celana sang dara. Saat itulah ibunya

berlari mendatangi dan berusaha menendang punggung Pendekar Bungkuk. Tapi dengan tanpa berpaling Pendekar Bungkuk tangkap kaki yang menendang lalu mendorong keras-keras. Perempuan itu terpental dan terguling-guling, merintih kesakitan tak kuasa bangkit. Haha..! Gadis cantik! Tubuhmu sebelah atas sungguh bagus! Akan kulihat bagian yng lain! ujar Pendekar Bungkuk sambil tertawa bejat. Kedua tangannya lalu menarik kaki celana biru si gadis. Celana itu merosot dengan cepat ke bawah. Namun sebelum merosot lebih jauh satu bayangan putih berkelebat disusul oleh menyambarnya satu gelombang angin deras sekali, membuat Pendekar Bungkuk terbanting ke kanan sedang Ranti terguling jauh ke kiri. Hantaman angin ini bukan saja menyelamatkan Ranti dari malu besar tapi sekaligus membuyarkan totokan yang menguasai dirinya. Begitu bebas Ranti segera menghampiri menolong ibunya. Penuh marah Pendekar Bungkuk ,elompat bangun dan memaki. Siapa yang minta mampus berani mengganggu kesenanganku! Lalu dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong yang tidak dikenalnya, tegak bertolak pinggang sambil menyeringai seenaknya! Tua bangka bau comberan! Apa tidak tahu kalau sebentar lagi Malaikat Maut Berambut Salju akan datang menjemput nyawa busukmu?! Pemuda berambut gondrong membentak. Anjing kurap! Kau yang akan kubunuh lebih dulu! Katakan siapa kau?! teriak Pendekar Bungkuk marah sekali. Kalau kau ingin bicara denganku, berpakaianlah yang benar! Auratmu sebelah bawah jauh lebih buruk dari tampangmu! Sadar kalau saat itu celananya sudah merosot ke bawah, Pendekar Bungkuk cepat tarik celananya dan ikatkan tali celana kuat-kuat. Nah, itu baru bagus. Memang bagus! Sekarang bersiaplah untuk menerima mampus! Pendekar Bungkuk jatuhkan diri, berguling di tanah lalu lancarkan serangan aneh. Inilah jurus gelinding maut yang selama bertahuntahun diperdalamnya. Pemuda yang diserang yakni bukan lain adalah Wiro Sableng, cepat melompat untuk menghindar. Tapi hebatnya tubuh orang tua yang bungkuk itu tiba-tiba ikut melesat ke atas mengikuti arah lompatan Wiro dan begitu melayang tangan dan kakinya bergerak aneh. Wiro merasakan ada empat alur angin melabrak tubuhnya dari empat jurusan. Mendadak sontak bandannya terasa ngilu dan panas. Pendekar ini segera mempertahankan diri dengan lepaskan pukulan tameng sakti menerpa hujan. Kini Pendekar Bungkuk yang jadi kaget. Empat alur angin sakti serangannya seperti menerjang tembok baja yang tak mungkin ditembus. Ketika dia lipat gandakan tenaga dalamnya dadanya mendenyut sakit. Sebelum angin serangannya bergerak membalik ke arah dirinya sendiri, dengan cepat orang tua ini susupkan diri ke bawah lalu menghantam lagi ke atas! Wiro berseru keras dan terpaksa jungkir balik di udara untuk dapat mengelakkan serangan yang datang dari bawah itu. Kedua kakinya masih terasa ngilu ketika menjejak telaga! Anakku, siapa pemuda berpakaian putih berambut gondrong itu? Ibu Ranti berbisik pada anaknya. Sayapun tidak kenal. Lagaknya aneh kalau tidak mau dikatakan konyol Ibu khawatir dia pun tidak sanggup menghadapi iblis tua itu. Kita bisacelaka semua. Jangan kawatir ibu, jawab Ranti coba meyakinkan ibunya walau hatinya juga agak kawatir. Di sebelah sana, di kalangan perkelahian, jengkel dua kali serangannya menemui kegagalan, Pendekar Bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua tangannya diangkat ke dekat kepala. Dana tangan itu tampak menjadi ungu serta mengepulkan asap. Ranti dan ibunya tercekat. Pendekar 212 tegak dan memandang tak berkesip. Diam-diam dia segera menyiapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan hingga tangan itu sampai sebatas siku jadi tampak si putih perak berkilauan. Lagi-lagi hal ini membuat Pendekar Bungkuk tertegun. Tapi hanya sesaat. Dia yakni yakin, ilmu

apapun yang dimiliki pemuda itu tak bakal sanggup menahan pukulan sakti yang digodoknya selama delapan belas tahun dan diberi nama jalur ungu kematian! Perlahan-lahan kedua tangan Pendekar Bungkuk naik ke atas. Wiro mengikuti dengan menggerakkan tangan kanannya. Ketika si orang tua siap menghantam tiba-tiba satu bayangan melesat. Satu sosok tubuh perempuan tua dengan pakaian penuh disisipi pisau-pisau kecil bergagang putih tegak di hadapan kiri Pendekar Bungkuk. Rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas dan wajahnya ada cacat luka memanjang. Pisau Maut Tanpa Bayangan! berseru Pendekar Bungkuk tanpa menurunkan kedua tangannya. Matanya yang hanya satu seperti menyala. Wajahnya membesi tegang. Akhirya kau muncul juga! Ingat penghinaanmu delapan belas tahun lalu?! Hari ini kau harus membayarnya dengan nyawa busukmu! Nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan tertawa pendek. Pandangannya tidak lepas dari kedua tangan Pendekar Bungkuk. Anjing tua ini rupanya telah memiliki kepandaian baru yang berbahaya! membatin si nenek. Lalu dia berkata Pendekar Bungkuk! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak cukup membuatmu bertobat! Malah membentuk komplotan rampok ganas. Merampas harta penduduk, membunuh dan merampok! Dan saat ini kau berani muncul dengan omongan besar! Tidak sadar kalau tubuh sudah bau tanah.! Akupun tadi sudah bilang padanya bahwa sebentar lagi Malaikat Maut Berambut Salju akan muncul mengambil nyawa busuknya. Nah.nah, sekarang mungkin dia baru percaya! yang menyeletuk adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekilas Pisau Maut Tanpa Bayangan melirik pada pemuda yang tak dikenalnya itu. Pendekar Bungkuk pergunakan kelengahan si nenek untuk menghantam. Kedua tangannya dipukulkan. Guru! Awas! terdengar Ranti berseru memperingatkan. Dua jalur sinar ungu yang sangat menusuk mata menderu dahsyat. Di sebelah bawah kedua sinar ini mengepul asap berbau busuk. Jelas pukulan sakti itu mengandung racun sangat jahat! Semua tutup jalan pernafasan! teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari tempatnya berdiri berkiblat sinar putih. Udara di tempat itu serentak menjadi panas luar biasa. Lalu terdengarlah suara ledakan dahsyat dua kali berturut-turut! Dua jalur sinar ungu dan satu jalur sinar perak pukulan sinar matahari amblas buyar dengan meninggalkan dua lobang besar di tepi telaga! Semua orang terbatuk-batuk. Si nenek tampak pucat wajahnya. Pendekar Bungkuk usap-usap dadanya yang mendenyut sakit sedang Ranti dan ibunya saling berpelukan. Asap dan pasir membumbung ke udara. Ketika asap dan bubungan pasir lenyap, tampaklah sesosok tubuh berpakaian serba putih, mengenakan ikat kepala sapu tangan hitam pemberian Wiro. Di bawah ikat kepala, lebih panjang dari rambut si nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan. Saat itu pula semua orang di situ merasakan ada hawa dingin sejuk. Asap ungu yang mengandung racun langsung sirna! Kecuali Wiro, yang lain-lain tidak mengenali siapa adanya pemuda ini. Sambil memandang tak berkesip ke arah Pendekar Bungkuk pemuda ini berkata Delapan belas tahun lalu, kau membunuh seorang lelaki bernama Jinggsuwu di sebuah rimba belantara! Ingat.?! Setan! Tentu saja aku ingat! jawab Pendekar Bungkuk masih sambil mengusapi dadanya yang terasa sakit. Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu?! Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu.! Berkata sampai disitu terdengar jeritan ibu Ranti Pandu.anakku! Si pemuda berambut pituh merasakan tubuhnya bergetar. Matanya hanya melirik cepat ke arah perempuan yang berteriak. Hatinya ingin langsung menghambur menjatuhkan diri dalam pelukan ibu kandungnya. Tapi hal itu tidak dapat dilakukannya sebelum dia menyelesaikan urusan dengan Pendekar Bungkuk. Kalau Wiro hanya bisa tegak tertegun melihat hal yang tidak disangka-sangka itu maka Pisau Maut Tanpa Bayangan hanya bisa berkomat-kamit memuji kebesaran Tuhan.

Delapan belas tahun lalu dia ingin mendapatkan anak itu. Kini dia muncul sebagai seorang pemuda dan agaknya membekal ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mana mungkin dia berani datang untuk membuat perhitungan dengan si bungkuk. Walau urusannya sendiri dengan Pendekar Bungkuk belum selesai namun si nenek merasa lebih rela kalau pemuda yang ayahnya dibunh itu menyelesaikan urusannya lebih dulu dengan iblis bungkuk itu. Walau hatinya sangat terkejut namun Pendekar Bungkuk menjawab dingin Hem..jadi kau orok yang diperebutkan dulu itu! Lantas apa maumu sekarang?! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa! Itu aturan hidup dunia persilatan! Ah! Rupanya kau sekarang sudah jadi kerak dunia persilatan! Pendekar Bungkuk! seru Wiro. Dialah Malaikat Maut Berambut Salju yang akan mengambil nyawamu. Aku sudah bilang tadi-tadi! Pendekar Bungkuk tidak perdulikan ucapan Wiro. Jika kau benar Malaikat Maut, aku terpaksa mengirimmu kembali ke akhirat! ujar Pendekar Bungkuk pula. Pandu, Dia sudah siap untuk mampus! Tunggu apalagi! seru Wiro. Pendekar Bungkuk mengangguk-angguk dengan sikap penuh mengejek. Sebelum kau ku bunuh agar dapat menyusul ayahmu, katakan siapa orang yang telah mengambilmu jadi murid! Namanya Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak Merapi di pulau Andalas! jawab Pandu. Ah! Nama yang tidak dikenal! Gelar yang tak pernah didengar! Majulah kalau kau memang ingin mampus cepat! kata Pendekar Bungkuk pula. Justru aku memberi kesempatan padamu! Perlihatkan bagaimana dulu cara kau membunuh ayahku! jawab Pandu tanpa bergerak dari tempatnya tegak. Kalau itu maumu kau akan melihat dan menerima kematian yang sama! teriak Pendekar Bungkuk marah. Tangan kanannya dikepalkan. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi ungu dan berasap. Didahului satu gemboran keras Pendekar Bungkuk menerjang ke depan. Pandu gerakkan kepalanya. Udara luar biasa dingin membungkus tempat itu. Gerakan Pendekar Bungkuk menyerang seperti tertahan. Rambut putih yang tergerai di belakang punggung tiba-tiba berpilin dan membabat ke depan, menghantam ke arah Pendekar Bungkuk. Mampus! teriak Pendekar Bungkuk teruskan serangannya. Terdengar suara ces.ces.ces.ces.sess.cessss lima kali berturut-turut. Terdengar pekik Pendekar Bungkuk. Lima jalur sinar pukulan saktinya musnah. Lima jari tangannya serta merta menjadi kaku terbungkus hawa dingin luar biasa! Bagaimanapun dia mengerahkan hawa panas dalam aliran darahnya tetap saja dia tidak mampu menggerakkan lagi jari-jari tanan kanannya. Rasa dingin itu perlahan-lahan merambas ke atas, membuat lengannya kini ikut kaku. Lalu bahunya. Ketika hawa dingin itu menjalar ke leher, Pendekar Bungkuk jadi kelabakan. Dia berusaha melakukan totokan di bagian tubuh yang penting. Hawa dingin berkurang sedikit tapi masih terasa menjalar seperti berusaha menerobos totokan! Pemuda keparat! Jangan kira kau sudah menang! Dari balik pakaiannya orang tua ini keluarkan sebuah senjata aneh berupa tombak pendek yang ujungnya bercabang tiga. Matanya berkilat-kilat. Senjat di tangannya itu merupakan senjata baru yang menghabiskan waktu lima belas tahun utnuk membuatnya. Beberapa tokoh persilatan telah menemui ajalnya oleh senjata itu. Kini dia merasa yakin pemuda di hadapannya itupun tak akan sanggup menghadapi senjata saktinya. Kembali Pendekar Bungkuk menggembor. Lalu melesat sambil kiblatkan senjatanya. Terdengar suara bergaung. Tubuh Pandu serta merta dihujani serangan. Tiga jurus berlalu pemuda itu tampak terdesak hebat. Semua orang menahan nafas ketika salah satu mata senjata sempat merobek pakaiannya di bagian perut. Pendekar Bungkuk menyerbu terus sementara hawa dingin dirasakannya semakin menjadi-jadi membuat tulang-tulangnya terasa ngilu sampai ke sumsum. Memasuki jurus ke enam Pandu mulai

mainkan rambut putihnya. Maka berubahlah rambut ini seolah-olah menjadi sebilah pedang yang dapat membabat, menusuk dan membacok. Arus serangan Pendekar Bungkuk terbendung mengendur dan kini dia yang balik terdesak. Celaka! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini! keluh Pendekar Bungkuk. Gerakannya bertahan semakin kacau. Lututnya yang diserang hawa dingin terasa bertambah kaku hingga gerakannya untuk mengelak menjadi lamban. Dan pada puncaknya ketika rambut putih panjang itu membabat ke arah tangannya yang memegang senjata, orang tua ini terlambat selamatkan diri. Craasss! Lengan itu laksana diteba benda tajam. Putus dan menyemburkan arah. Senjata yang dipegangnya bersama kutungan tangan mental jatuh ke dalam telaga. Pendekar Bungkuk melolong setinggi langit. Tubuhnya bertambah bungkuk. Saat itulah Pandu melompat dari depan. Tangan kanannya menderu ke arah batok kepala Pendekar Bungkuk Praak! Tepat seperti yang terjadi delapan belas tahun lalu ketika Pendekar Bungkuk memukul pecah kepala Jinggosuwu. Tubuhnya terkapar. Nyawanya lepas! Pandu anakku! Sang ibu yang sejak tadi tidak dapat menahan diri Ranti mengikuti dari belakang. Pandu jatuhkan diri ke tanah, berlutut sambil memeluki ibunya. Sang ibu menangis keras. Lalu ingat pada anak gadisnya. Pandu, ini kakakmu Ranti. Rantipemuda ini adalah adikmu.. Langsung saja ibu dan kedua kakak beradik itu saling berangkulan dan bertangisan disaksikan oleh si nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Penuh haru Pisau Maut Tanpa Bayangan hampiri ketiga orang itu. Sambil pegangi kepala Ranti, nenek ini berkata Jadi ini orok yang dulu diperebutkan orang itu! Tuhan Maha Besar. Aku gembira sekali bisa berkumpul kembali. Aku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bungkuk adalah musuh besarku. Tapi tak pernah menceritakan bahwa adalah dia juga yang menjadi pembunuh ayah kalian.. Ibu Ranti usap wajahnya lalu berkata Pandu, anakku berikan sungkemmu pada nenek sakti ini. Dialah yang selama delapan belas tahun memelihara kami dan mengambil kakakmu menjadi muridnya. Mendengar itu Pandu segera membalikkan diri dan menjura hormat sambil pegangi betis Pisau Maut Tanpa Bayangan. Si nenek tampak berkaca-kaca kedua matanya. Ketika Pisau Maut Tanpa Bayangan melangkah menghampiri tiga anak itu, Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke tepi telaga dan duduk di sini sambil memandangi air telaga. Bukan saja dia sangat terharu menyaksikan keadaan sahabatnya Pandu dan kakak seta ibunya itu, namun apa yang dilihatnya itu membuat jiwanya terpukul karena ingat akan nasib dirinya sendiri. Bagaimanapun sedihnya kisah perjalanan mereka namun mereka masih bisa berkumpul. Jauh berbeda dengan nasib dirinya. Ayahnya dibuunh orang. Ibunya kemudian menemui kematian. Seumur hidup dia tidak pernah bertemu dan mengenali orang tuanya. Wiro tidak tahu entah berapa lama dia termenung di tepi telaga itu sampai satu tangan yang halus memegangi bahunya. Sahabatku, mengapa kau memisahkan diri dan termenung di tempat ini. Wiro berpaling. Yang memegang bahu dan bicara padanya adalah gadis itu. Ranti kakak Pandu. Si gadis lalu memegang lengannya, menariknya agar berdiri. Wiro usap-usapkan mukanya lalu berusaha tersenyum. Sambil bergandengan tangan dua sahabat baru itu melangkah ke arah Pisau Maut Tanpa Bayangan, Pandu serta ibunya yang tegak menunggu. Episode : Neraka Krakatau

SATU

ata manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat

dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat. Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya. Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang. Dia mengenakan pakaian warna hijau tua. Perempuan tua ini memeang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya mendayung acuh tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan ditiup angin. Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi. Syair nyanyiannya terasa aneh. Dosa muda salah kaprah Jangan harap ampunan pasrah Tujuh samudera akan kutempuh Seribu badai akan kutantang Yang berdosa berpura lupa Berlagak bodoh seolah gagah Kalau tak muncul perlihatkan dada Anak turunan kujadikan mangsa Sang istri sudah kudapat Menyusul kini anak keempat Satu persatu kubuat sekarat Agar terkikis dendam berkarat Ketika matahari muali bergeser ke Baat di kejauhan mulai kelihatan pantai Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh! Meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan. Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu. Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya pingsan. Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang. Air.tolong. terdengar suaranya meminta, sangat perlahan. Apa? Kau haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum! Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini diciduknya air laut. Ini! Minumlah! Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu! BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.

Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.

Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di

lantai perahu itu telah menemui ajalnya!

Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia

sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
Kau akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau

hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir. Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat denganmu yang bakal menerima kematiannya! Hik.hik.hik! Kau tak usah cemas Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang kubur?! Hikhikhik! Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi. Jangan harap ampunan pasrah Tujuh samudera akan kutempuh Seribu badai akan kutantang Serombongan burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir. Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung. Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah! berkata orang yang di sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. Jangan-jangan ceita tentang batu mustika itu hanya tipuan belaka! Kawannya berhenti berlari. Coba kita lihat lagi peta rahasia itu! katanya lalu mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian peta yang menghadap ke Selat Sunda. Tanda silang di sebelah ujung kawah sini merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tampatnya tak berapa jauh dari sini. Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi. Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan agak mendaki di bagian Timur. Supit, kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana? Ya, aku melihat. Aneh. Benda apa itu? Berbebtuk seperti perahu-perahu kecil. Tampaknya terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa. Ada tujuh semuanya.. kata Supit pula. BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Bukan mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari

kita periksa! Mari! sahut Supit Jagal. Kedua orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu
samapi di tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah Apa ini? ujar Tubagus Sungagarang. Kotak bukan perahu bukan Lalu dia

gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu. melangkah mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung. Satuduatigaempatlimaenam Memasuki hitungan ketujuh

yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan Tubagus Singagarang terhenti.

Langkahnya justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat. Supit Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya. Ada apa Tubagus? Kau seperti melihat setan!
Lihat. Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke

dalam lobang pada gabungan batang kelapa ke tujuh. Supit Jagal maju mendekat beberapa langkah. Astaga! Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya! BASTIAN TITO 3 DUA WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Di dalam lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok tubuh perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua matanya terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak
diketahui apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat! Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis minyak. Batang kelapa dimana dia tebaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi

binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki itu
memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut

tidak berani menyentuhnya. Coba kau periksa denyut jantungnya, kata Tubagus Singagarang. Kau saja, jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.

Dari kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia melangkah mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri

perempuan tua di dalam lubang kelapa. Tak ada denyut ndi. Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang dan merasa-rasa beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Fia membungkuk lalu
meletakkan telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lunbang. Kemudian dia menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. Detak jantungnyapun tidak

kudengar Berarti orang ini memang sudah mati! kata Supit Jagal. Tubagus Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jarijari tangannya membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya. Keseluruhan matanya hanya putih belaka. Yang kita lihat memang mayat! kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang basah oleh minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan pada pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu. Minyak serai bercampur jelaga kayu besi, katanya. Jelas mayat ini sengaja diberi minyak itu untuk diawetkan! Supit Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. Benar-benar aneh. Kita mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan tua yang diawetkan. Untuk apa? Siapa yang punya pekerjaan? Dia bertanya sambil

memandang ke bwah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap berkepanjangan. Pertanyaan lain siapa adanya perempuan tua ini? sambung Tubagus Singagarang. Memang aneh Kau lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini. Satu berisi mayat. Berarti bakal ada emnam mayat lagi yang akan dimasukkan pada enam batang kelapa ini! Dugaanmu mungkin benar. Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini saling pandang. Di balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. Apa yang akan kita lakukan sekarang? Lebih baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah unung Krakatau ini jawab Supit Jagal. Lalu bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu? tanya Tubagus Singagarang dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya. Tapi tak jadi ketika mendengar sahabatnya berkata. BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Lupakan saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat ini Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!
Aku juga merasakan begiut, sahut Tubagus Singagarang. Tapi kau lihat

sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan tua ini
Tidak mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat itu tidak mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya.

Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga. pula. Bagaimana kalau kita bersembunyi dan menginati?

Tapi untuk apa? Pekerjaan apa ini sebenarnya? ujar Tubagus Singagarang Terus terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun ke bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke

Jawa seorang diri!

Tubagus Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu

dia berkata Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau
susah sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut bersamamu. Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta tentang batu mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia

persilatan!

Setelah memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa, Tubagus Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah

Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara orang menyanyi di kejauhan. Dosa muda salah kaprah Jangan harap ampunan pasrah Tujuh samudera akan kutempuh Seribu badai akan kutantang Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.
Ada orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau

ini! berbisik Supit Jagal. Lalu di kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi Berlagak bodoh seolah gagah

Kalau tak muncul perlihatkan dada Anak turunan kujadikan mangsa Sang istri sudah kudapat Menyusul kini anak keempat Satu persatu kubuat sekarat Agar terkikis dendam berkarat Berbau maut! ke sini.

Siapa yang menyanyi? bisik Supit Jagal. Syair lagunya aneh mengerikan. Suaranya suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya. Kalau tidak memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai Mungkin sekali.Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini. Ujar

Supit Jagal pula. Bagaimana kalau kita menyingkir saja dari sini?

Baik! Dari pada mencari urusan.! Jawab Supit Jagal. Lalu saudara

seperguruan itu segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih
dulu kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak

BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah
memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil

membawa beban berat seperti itu.

Kita berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan

untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana Baru saja kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah
gunung hingga terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul orang berbaju hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut ketika menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker seperti tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada seorang lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi. berlubang di sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya.Seperti melempar

Mereka memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan bungkusan atau kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang
dipanggulnya ke dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat

lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian. Sang istri sudah kudapat Menyusul kini anak keempat Satu persatu kubuat sekarat Agar terkikis dendam berkarat Habis bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. Anak dan ibu sudah

kudapat. Hikhikhik. Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi pengisi lobang neraka itu! Hahaha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri Arsana! Kau berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan dan merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila

sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hikhikhik! Lalu kau akan kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hikhikhik!

Dari dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya kemana-mana nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis cairan

ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.

Kau lihat, bisik Tubagus Singagarang. Dia mengguyurkan minyak

pengawet. Berarti orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang sudah tidak bernyawa lagi! HemmmApa yang harus kita lakukan sekarang? bertanya Supit Jagal. Kita tunggu saja sampai nenk itu pergi, sahut Tubagus Singagarang. Kalau dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok?
Tidak mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk

menginap. jawab Tubagus Singagarang. Jangan terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan
Tubagus Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapap lama

seorang tua bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat

besar. Turut nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya! dia hanya bisa berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan pengawet di tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak terduga oleh dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan menggeledek.
Permainan kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas

keluar dari balik batang kelapa dan berlutut di hadapanku! BASTIAN TITO 6 TIGA WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

ubagus Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.

Dia sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang? berbisik Supit Jagal. Tak ada jalan lain. Kita keluar saja, jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia mendahului berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
Hemmm Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas

datang ke hadapanku dan berlutut! bentak si nenek sambil tolak pinggang dan memandang mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek
angker itu. Tapi untuk berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan tampang dan sosok angker. Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki berpakaian merah itu mampu menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya

muncul keberanian. perintahku?!

Eh! Mengapa masih belum berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar Nenek tua, kata Tubagus Singagarang. Kami tidak kenal kau, kau tidak

kenal kami. Mengapa bersikap begitu keras?! Ah monyet jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau
tidak perlu tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak

mengerti?!

Tentu saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan?! sahut Tubagus

Singagarang.

Seluruh kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa saja yang berada di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas tadi mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas

berlutut untuk menerima kematian! Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan

gagang golok empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut

untuk pertama kali.

Kami berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa Gunung Krakatau ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas

yang bisa didatangi siapa saja!

Itu turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang

akan mati lebih dulu! membentak si nenek.

Dihina seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti Mati

hidup di tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak membunuh kami, masakan kami hanya bertumpang dagu?! Si nenek mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
Daerah ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah ditakdirkan berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan

kawah Krakatau!

Si nenek turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua tangannya ke depan. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka

ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering itu mencuat keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!
Sepuluh Kuku Iblis! teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan.

Keduanya sama tersurut mundur denga paras berubah! BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Si nenek tertawa mengekeh. Sekarang kalian sudah tahu siapa aku! katanya Hikhikhik!
Suara tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara deperti lolongan srigala. Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima garis hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan

cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku. Traakk.tarakktraaakk!
Golok besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek. Tapi apa yang terjadi? Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang

Supit Jagal tampak somplak besar di tiga bagian!

Selagi Supti Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari samping. Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak besar. Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar putus oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si neenk lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam

kawah!

Bagaimanapun ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa yang terjadi dengan sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.

Kaki kanannya menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek terlempar empat langakh, tersandar pada batang kelapa yang keempat. Tapi dia tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan

sikap mengejek. Monyet jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik! malah masih sanggup mempermainkannya!

Kejut Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur perutnya dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa Dia bukan lawanku. Aku harus cari selamat! membatin Tubagus Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di tanah sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya kelihatan mulai menghitam tanda mengandung racun jaha. Nyawanya pasti tidak

tertolong lagi.

Rupanya si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang ada di pikiran Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan

diri, perempuan tua ini sudah melompat menghadang langakhnya.

Monyet jelek! Kau mau lari kemana?! bentak si nenek. Kedua tangannya dihantamkan ke depan. Tubagus Singagarang cepat memn=bungkuk. Sepuluh larik sinar hitam menderu di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagsu lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar kemerahan menggebubu ke arah dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti

tersebut, Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan
kesaktian yang dimilikinya dia mendorong sinr pukulan lawan, membuat Tubagus

Singagarang merasa tangannya tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong. Si nenek tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.

Tanah tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus Singagarang terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari dirinya jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagisn kawah. Dia

berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana! Si nenek tertawa melengking. Dia melangakh mendekati tubuh Supit Jagal. BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Susul temanmu sana! bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh
yang sudah tak bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam

kawah Gunung Krakatau. BASTIAN TITO 9 EMPAT WIRO SABLENG


PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

erguruan Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang

besar di kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu
perguruan ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpaung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beebrapa bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana sendiri tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus murid perguruan, dia juga tahu kalau ayanhnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku

aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa. Malam itu udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang anak murid perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat latihan
ini cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat

tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah
rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai saat

itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri. suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan. Dosa muda salah kaprah Jangan harap ampunan pasrah Tujuh samudera akan kutempuh

Selagi dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minayk yang tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar

Seribu badai akan kutantang Yang berdosa berpura lupa Berlagak bodoh seolah gagah Kalau tak muncul perlihatkan dada Anak turunan kujadikan mangsa Sang istri sudah kudapat Menyusul kini anak keempat Satu persatu kubuat sekarat Agar terkikis dendam berkarat

Suara nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di

tengah kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan. Dua puluh murid peruruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak beres, mereka bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah. Si nenek memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai. Apa benar ini Perguruan Silat Melati Putih?! si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Mula-mula tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya

menyahut membenarkan. Apa benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana?! si nenek bertanya lagi. Betul. Ketua kami memang Sampan Gayana, jawab murid peruguran tadi. BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Lalu seorang murid lain bertanya. Orang tua harap bari tahu kau siapa dan ada keperluan apa datang kemari?!
Siapa aku bukan urusanmu budak jembel! si muka tengkorak membentak

yang membuat semua anak murid perguruan jadi terkejut. Aku datang mencari Ketua kalian! Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!
Ketua kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja

datang kemari

Hemmmm. Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil

Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!
Habis berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar serentak merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan terpental. Begitu jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa

dengan kepala pecah!

Serta merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan yang menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu.

Tapi gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking. Hanya orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat! ujar si nenek
sambil tegak bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para

murid yang tadi hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat masingmasing. Mereka sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki kepandaian sangat tinggi dan bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak. Lekas panggil Ketua! Dua orang murid berkelebat tinggalkan tempat itu. Si neenk menyeringai. Dasar manusia-manusia tolol! katanya. Kalau taditadi saja kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!

Sampan Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan. Ketua Perguruan ini tambah kaget sewaktu diberitahu apa yang terjadi. Cepat dia berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang. Para murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya

yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.


Nenek, aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat

murid Perguruan?

Si nenek tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya

mulai dari ujung rambut sampai ke kaki baru membuka mulut. Arsana?

Apa benar kau orangnya yang bernama Sampang Gayana, anak dari Giri Kau tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang

harap kau memberitahu siapa dirimu. Si nenek tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. Nenek, kau muncul malam buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan

kesalahannya. Tidak ada silang sengketa di antara kita. turunan! Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu! mengerti maksud kata-katamu! BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Apa yang kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak ada silang sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa Kening Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. Aku tidak

Aku kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti.
Aku hanya ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk menerima pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut, selama itu pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat

dengan dia! Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?! bentak Sampan Gayana. Si nenek menyeringai lalu menjawab. Giri Arsana! Bapak moyangmu! empat murid perguruan!

Aku makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini! kata Sampan Gayana. Kesabaranku sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh Si nenek tertawa. Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di mana bapak moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai

saat ini dia berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia persilatan. Ada urusan apa kau mencari ayahku? tanya Sampan Gayana.
Sudah aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu punya kesalahan besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia

berada!

Kalaupun aku tahu, tidak akan kukatakan padamu! jawab Sampan ayana

hilang kesabaran.

Kalau begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu

baru giliran bapak moyangnu itu! si nenek tertawa panjang.

Sampan Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya

habis. Didahului dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek.

Yang diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat. Wuuuttt!

Sampan Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar keluar dari tangan si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya

bentrokan puklan. Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan
berupa sodokan ke leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat

menghantam lawannya dengan cepat.

Si nenek masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan dirinya diserang habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul bahu perempuan tua ini. Orang lain pasti akan terpenatl paling tidak akan melintir tubuhnya dihantam pukulan yang berkekuatan hampir liam puluh kati itu! Tapi si nenek sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang

memukul menjadi pedas.

Sudah saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana! berkata si nenek

sambil mundur dan pentang tangan kanannya ke depan.

Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si

nenek. Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti. Apa maksudmu?! tanyanya membentak. Si nenek tertawa. Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau
korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari

persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu muncul! Manusia keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku! teriak Sampan Gayana. BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Si nenek balas dengan tawa cekikikan. Jangan kawatir. Aku akan bawa kau
ke tempat maya ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh!

Hikhikhik!

Perempuan iblis! teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian. Dari dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda ini bukan lain adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering ini merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara

berdesing.

Nenek muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering mental dan hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar

tubuhnya. Des! Des! Des! Des!

Baju hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian. Namun tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera! Berubahlah paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang

menyaksikan kejadian itu juga ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan
tubuh manusia, batang pohonpun akan tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka.

Namun nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!

Didahului suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan tangannya ke depan. Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat

secara aneh dari kelima ujung jarinya yang kurus kering!

Sampan Gayan terkejut besar. Dia mundur satu langakh. Di depannya si nenek datang memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika

lima kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang sangat dalam di muka dan dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun

belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah lepas. Dan sebelum di ajatuh teregelimpang si nenek sambut tubhnya dengan bahunya. Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu kirinya. Puluhan anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak marah dan serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula yang menghunus berbagai senjata. Kalian murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada gunanya membela manusia yang sudah jadi mayat?! Apa kalian hendak membayar kebodohan kalian dengan nyawa?! Perempuan iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau bisa kami bunuh! teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi. Bagus! Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian kata si nenek pula. Puluhan murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka benar-benar maju. Si nenek tertawa keras.Tangan kanannya digerakkan. Lima larik sinar hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang. Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian kembali mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Sang istri sudah kudapat Menyusul kini anak keempat Satu persatu kubuat sekarat Agar terkikis dendam berkarat Si nenek lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat
Sampan Gayana inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu

dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu. Suasana gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid perguruan yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya
Mana Ketua kalian? Aku datang membawa pesan penting! kata pemuda yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke

arah rumah panjang.

Seorang murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di

antara para murid. Pendekar 212. Kau datang terlambat.. Eh, apa yang terjadi? tanya tamu muda yang datang yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede. Ketua dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan kemana.
Astaga! Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. Isi surat dari guruku ini justru hendak memeberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku

terlambat! Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid

membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.

Dalam surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi anak-anak dan keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada

gunanya. Ketua kami sudah menemui kematian. Coba kau terangakn ciri-ciri pembunuh itu, kata Wiro.

Murid perguruan menerangakan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan

menculik mayat Sampan Gayana. Kuku hitam mencuat dari jari-jari tangan.. Hemmmmmmmmmm. Wiro

bergumam dan lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. Aku akan coba mencari tahu siapa adanya tua bangak itu, kata Pendekar 212 pula. Namun saat ini aku perlu

keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada Selama ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak
dan adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya

tahu beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.

Tapi orang itupun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan! kata Wiro. Dia

diam sesaat akhirnya berkata Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan?
Kami hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua

kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami jawab murid perguruan tadi.
Akan aku lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada pertalian darah dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang mengherankan. Mayat istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua kalian diculik si nenek, berarti dia juga yang menculik myat si ibu. Untuk apa?

Wiro garuk-garuk kepala. Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek pembunuh itu? BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Beberapa orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih lama berkelebat ke arah itu. BASTIAN TITO 15 LIMA WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

umah kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar

dan bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di tempat gelap, ttidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh orang

yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.

Seorang penunggang kuda yagn mukanya ditutup kain hitam sebatas mata memasuki halaman rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu dia melangkah cepat menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga tombak pada orang yang barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil

cepat menghadang. Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan menghunus golok. Harap sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan! bulan.

Orang bercadar segera menjawab. Malam gelap tak ada bintang tak ada Empat tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.

Lima orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu.

Orang bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjagajaga. Mereka kini tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.
Tak selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima pengawal di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di

depan mereka sambil garuk-garuk kepala.

Lima penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.

Tidak seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan sikapnya tampak konyol urakan. Empat tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih yang barusan datang ini.
Harap ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan! kata pengawal yang

tegak menghunus golok besar.

Tamu yang datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di

depannya lalu malirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
Saya akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami

bunuh! kata pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang. Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat. Ah, sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu. Kalau begitu bersiaplah utnuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!
Pengawal di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga

memberi isyarat pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.
Tunggu dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat sekarang! Kata rahasia itu Malam gelap.Tak ada bintang tak ada bulan! Betul

begitu?!

Lima tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya berkata. Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di

dalam agar memberikan gaji tambahan.

Terima kasih, terima kasih. Kata lima pengawal sambil menjura lalu

mereka menepi memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

pemuda gondrong itu masuk. Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam rumah.
Di dalam rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah lampu minyak ampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa yang tinggi. Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping kirinya seorang lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang ketiga

memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan
kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad. Dia mempuyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga dikerahui berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau Jawa.

Namanya Brambang Santika. Ketiga orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang

terakhir yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap konyolnya. Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling meja,

tamu paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa. Kami gembira melihat kau datang, Pendekar 212.
Tamu yang terahir datang mengangguk lalu menjawab. Saya hanya mewakili guru Eyang Sinto Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan

datang dan minta disampaikan salam maaf. Patih Ganda Ariawisesa balas mengangguk.

Waktu kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya kira kita bisa segera mulai pertemuan rahasia ini. Patih Kerajaan membuka

pembicaraan. Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan
dibantu oleh beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas tahta Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita,

sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan
rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Kaenanya dalam bertindak kita harus sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan darah sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus

memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang


diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga kekuaan mereka menjadi berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta batuan Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu

tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau
Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak gerik para tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu gerakan Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan sampai pada kewenangan utnuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita akan

dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat itu. Namun saat ini terus terang ada satu hal yang mengganggu pikiran saya.
Coba dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu, kata

Brambang Santika.

Seperti kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari

Giri Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

saya ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah
menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu berada sakti juga tangah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang sengketa besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh istri

masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek Giri Arsana dan menculiknya. Tambahan berita buruk, Paman Patih, memotong Pendekar 212. Orang kandung menantu Paman Patih.

yang sama belum lama ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kaka Paras Patih Kerajaan jadi berubah. Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan turunan Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau

mendapat berita itu Pendekar 212? tanya sang Patih.

Wiro lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.

Pembunuhnya seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa

mengeluarkan kuku hitam panjang. Patih Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. Berarti nenek berteriak.

pembunuh itu adalah Sriti Gandili alias Sepuluh Kuku Iblis! katanya hampir Tapi bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati? ujar Brambang

Santika yang tahu banyak tentang dunia persilatan.

Cemani Tanduwisoka menyeling. Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri

untuk sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu.

Boleh jadi, kata Patih Kerajaan. Namun yang saya tidak mengerti, ada

sebab musabab apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?
Setahu saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada

hubungan percintaan, kata Brambang Santika.

Pendekar 212 lantas ikut bicara. Soal perempuan tua itu jika semua disini setuju biar saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu

dipikirkan ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.
Kau betul Pendekar 212, kata Patih Kerajaan. Saya akan menaruh

pengawalan ketat atas dirinya.

Wiro mengangguk. Tapi harap jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular

kandangnyapun kalau perlu dirusak Apa maksudmu Pendekar 212? tanya Patih Kerajaan pula. Jika pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman Patih, bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu.
Patih Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk Terma kasih, kau mempunyai

pikiran sedalam dan sejauh itu. diketahui orang.

Untuk saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih diungsikan ke satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulti Saya akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya, kata

Ganda Ariawisesa. Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang khianat yang hendak memberontak. BASTIAN TITO 18 ENAM WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

uami istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun

sayur mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena

sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa. Lucu juga kita berpura-pura jadi petani begini, kata yang lelaki.

Sang istri menjawab. Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus

menyamar seperti ini? Mudah-mudahan saja nenek jahat itu lekas dibekuk, sahut sang suami.

Kedua suami istri petani ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda Ariawisesa dengan suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan, guna menyelamatkan kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani. Selain itu tentu saja penjagaan tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa

tokoh silat siang malam bergantian menjaga kesalamatan kedua orang itu. Brambang
Santika sewaktu-waktu muncul utnuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil

memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa

kelompok besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan


jauh ke pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang

Prabu. Tindakan ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan
yang setia pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk

yang merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.

Satu demi satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan nama Patih Kerajaan, Wakil Kepala Istana.
Gerakan kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana

dilanda kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini

bersiap-siap meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap kelabu. Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit. Ada kebakaran di arah Kotaraja, kata Raden Sabrang dengan perasaan kawatir. Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul, disusul oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah satu dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri itu. Raden Sabrang, saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana. Saya dan beberapa pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap
berjaga-jaga di sini. Harap Raden berdua jagan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.

Pergilah dan kembali dengan cepat, jawab Raden Sabrang Winata. Dia membimbing istrinya menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan tibatiba terdengar suara tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian Yang berdosa berpura lupa Berlagak bodoh seolah gagah Kalau tak muncul perlihatkan dada Anak turunan kujadikan mangsa Sang istri sudah kudapat Begitu juga anak ke empat BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Hari ini menyusul anak yang bungsu Kubur di Pulau sudah menunggu Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka. Hikhikhik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali

manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian! siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.

Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam

orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu
mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami

semua?! Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. Kalian moyangny yang bernama Giri Arsana itu!

memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari

sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak. Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu saat ini juga! Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan
bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat

itu.

Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama

Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi?! Hihikhik. Aku mau lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku! Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan
kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa. Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras

laksana batang besi.

Manusia keparat! Kau memang minta mampus! Dua tangan Camar Wungu bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah

mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!

Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar

Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.


Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai

mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi! melompat dengan senjata di tangan.

Manusia jahanam! teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.

Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak. BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis


berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia

terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat

remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas. tapi roboh lagi.

Win. Wini.! Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.

Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya terhuyunghuyung. Tubuh Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si neenk

berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut

penuh rasa tidak percaya. Dia membatin. Apakah ini hanya satu kebetulan atau manusia keparat itu memang hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!
Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur

seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat! Pemuda di depan si nenek membentak. Siapa kau?! si nenek balas menghardik.
Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!

jawab si pemuda.

Gila! kata si nenek lagi dalam hati. Ucap dan lagaknya persis sama dengan

si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain?!
Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir

atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!

Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba

saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan
ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali

ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan

tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak

dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan
kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak

jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. Jurus

dibalik gunung memukul halilintar! Lalu dia cepat batalkan serangannya dan menyingkir mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut

ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus ukulan yang dilancarkannya. BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Jadi kau.. Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu! kata si nenek
dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. Ah, mengapa wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas

pergi dari sini!

Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.

Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu
telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan halus. Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi. Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama

sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat

terkapar di tanah. Raden. Kejar.. Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku.. Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan
itu membawa istri Raden, jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di

beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
Akuaku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau.. kata Raden Sabrang.

Pemandangannya mulai berkunang dan gelap. Pulau apa? Pulau apa Raden? Katakan cepat! Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah.

Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu. Ucapan Raden Sabrang terputus. Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang akan segera tenggelam. Pulau.? Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Sau yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi

untuk apa? Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah Patih
Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang

menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan. Zmelihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan
memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengaakan sesuatau pada Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar

tak bergerak lagi.

Gusti Allah! Apa yang terjadi?! teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu

melompat turun dari kuda.

Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu. Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas

pangkuannya sambil menangis terisak. Mana Wini menantuku?! teriaknya Sang Patih kemudian. Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya, menerangkan Wiro. BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Ya Tuhan Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi


lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh

Wiro. Wini Ya Tuhan. Tolong dia. Selamatkan dia

Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang bahu sang Patih dia berkata Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat

ini! Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah. Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa?!

Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri! kata

Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan. Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung
Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu! jawab Patih Ganda

kudanya berkata untuk pertama kali. Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami

yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh. Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. Pendekar 212. Harap kau suka membantu

mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya. Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk. BASTIAN TITO 23 TUJUH WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

riti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah

Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya telah berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak
lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini

Kantili.

Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada

murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.

Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya! katanya brulang kali dalam hati. Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri Arsana sewaktu dia masih muda? Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun begitu mirip. Kalau saja aku masih muda. Sesaat wajah si nenek tampak menjadi merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya kedua matanya tampak berkaca-kaca. Gila! dia memaki lagi dalam hati. Tak mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali usianya. Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila! Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.

Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan
tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri

Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha menyelamatkan anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia

ini. Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung

Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya

kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah
mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya sehingga pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia dapat

melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru. Kau!

Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang

saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab. Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang kegilaan ini?!

berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua

Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan urusanmu ataupun urusan orang lain! BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. Jika pembunuhan terjadi atas
diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan

putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan orang-orang rimba persilatan! Kentut busuk! teriak si nenek muka tengkorak. Apakah kalian orang-orang
persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara

apa yang kualami selama hidupku!

Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga

tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu Si nenek tersenyum. PastiMemang selalu begitu akan kudengar ucapan orang! Munafik! Semua munafik!
Nenek.Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu

menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobanglobang batang kelapa ini! bertanya Wiro. apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu
apa kau datang ke tempat ini? Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana

kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!

Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi

berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar. Perlahanlahan
dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas

menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.

Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar

menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!
Hemm ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya

yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai diriku! ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu.

Si nenek melongo lalu tertawa mengekek. Aku bukan kacungmu! Jika kau inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu

nyawamu di Pulau Rakata ini! Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya! kata Wiro masih
bisa menyeringai. Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai?

Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja

Aku ingin membunuhmu! jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya

dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan

segulung ombak menerpa karang

Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia

dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh
suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara seperti

lolongan srigala yang menggidikkan.

Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya

musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat

menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan kunyuk BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

melempar buah sedang tangan kanan menghantamkan pukulan kilat menyambar puncak gunung!
Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di

lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku iblis!
Wiro cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si

nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai tidak tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah

satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan cepat. Sepasang matanya seperti menyala.
Bodoh! Terlalu bodoh aku menenmkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama! kata Sepuluh

Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak
mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati

Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan. Sepuluh larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas serangan lawan dengan pukulan sinar matahari. Cahaya putih panas dan menyilaukan berkiblat. Si nenek terdengar elengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya erpental dan jatuh ke dalam kawah! Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah Gunung Krakatau yang mendidih! Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata berkaca-kaca. Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya! Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di telinganya. Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebeas di dunia ini! Jangan jadi orang tolol!

Keparat! si nenek memaki. Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!

Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya tubunya.

Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia busuk! Lalaki pengecut! BASTIAN TITO 27 DELAPAN WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

oa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak

tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan
mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh

sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam, mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan seperti Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak kelainannya. Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah tusuk kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar

Sepuluh Kuku Iblis! Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak

tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu di

tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau
besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba

belantara itu seperti bergetar. Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh. lain!

Raja rimab! katanya berseru. Apa untungnya menerkam diri tua bangka ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa yang Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek.

Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.


Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal! seru si nenek lagi. Lalu tonglat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu. Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar. Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah. Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menrkam si nenek atau menerkam tongkat.

Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan
menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar

ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.

Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk ke dalam genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia

memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di sekelilingnya. Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh.kenapa tidak kelihatan lagi? Tak mungkin lenyap begitu saja! si nenek berkata dalam hati. Kesal mencaricari dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan
benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di

sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya berrseru.
Oooooooooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap! Si nenek melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar yang

menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi. tawanya mengekeh.

Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar Aku mencium baumu tua bangka jelek! si nenek berteriak. Dewa

Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!

Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di

mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima

tamu yang datang dari jauh?! Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.

Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu

siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah melihat manusia!
Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini

ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini! kata si nenek. Dia menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya

matahari masuk menerangi bagian dalam goa! terletak di lantai batu.

Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka, Konyol! si nenek memaki. Sudah diketahui orang kau berada di sini

masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung itu jangan menyesal kalau kurobek-robek! Si nenek lalu angkat tangannya yang memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu

perlahan-lahan menciut kuncup. BASTIAN TITO 29 SEMBILAN WIRO SABLENG


PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

i balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah

putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di
bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya. Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan

payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa. dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini. Giri Arsana! Kau.

Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku! kata si nenek lalu tertawa mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising

Tunggu dulu! si kakek memotong ucapan si nenek. Sebagai tuan rumah aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika

ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!
Sialan kau! memaki si nenek. Nyawamu terancam dan kau masih saja

bisa bicara ngacok!

Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku

ini?! bertanya si kakek.

Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam

yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.
Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat

seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu! Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!

Sinti Gendeng tertawa membahak. Kau bersembunyi di sini! Kau bilang

bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh
Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama berselang puterimu yang kawin dengan putera Paih Kerajaan juga telah dibunuh!

Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!

Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela

nafas panjang. Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak istriku.
Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya

sembunyi di goa ini?! sentak Sinto Gendeng. Apa kau ingin melihat seluruh turunanmu dihabisi orang?!
Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan

perempuan sesat itu!

Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat? bentak Sinto Gendeng sambil melototkan

mata. Yah. Mungkin aku yang sesat. Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat! Ya.ya! Kami berdua sama sesatnya!

Nah itu lebih baik dan lebih adil! ujar Sinto Gendeng pula. Lebih cepat

kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan
perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa

BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai

kabur dan mendekam ke tempat ini? Giri Arsana tak mau menjawab. Kau merahasiakan sesuatu?

Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah

mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini Ilmu apa? Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih hendak menciptakan ilmu baru? Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak terlambat?
Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu

menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan diriku. Aku tangah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan dapat. Wajah si kakek sesaat tampak sedih.
Giri.Giri.Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu. Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia! Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya. dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika lahir gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui Sriti

Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan

hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya yang Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan
lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu!

Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.


Yang aku sayangkan kata Giri Arsana pula. mengapa dia

melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa? Kenapa dia tidak membunuhku saja sejak dulu-dulu!
Sinto Gendeng mendengus. Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri. Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak

kelemahanmu

Kau benar, kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia

berucap. Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau dikata Apa mau dikata, menyambung Sinto Gendeng, Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya. Sinto Gendeng lalu tertawa gelakgelak. Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. Aku pergi duluan Giri. Aku menyesal tidak dapat membantumu.. Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur dendam. Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku, Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi. Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula meninggalkan goa.Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah. BASTIAN TITO 32 SEPULUH WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

atih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembonggembong

pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.


Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu bersama

permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu
tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan mereka

yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan
Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah

jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.

Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih

Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.


Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di

sebuah kaki bukit. Paman Patih, berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang

bergemuruh. Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!
Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara lantang. Percepat saja lari kudamu! Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar

mereka!

Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar

hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari manamana
berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini

terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian kemari! Terjadilah neraka bagi pihak pengejar.
Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumna telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda

bergabung jadi satu terdengar mengerikan.

Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita

luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari mereka berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam lobang,

BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu
menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya

bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa. Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana? Tidak seorangpun sempat memperhatikan.

Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata rahasia. Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular

berbisanya! Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik
keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Naisb baik bagi Waki Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh

kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.

Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tana lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya, menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,

membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.


Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal

yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa! Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk
selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda

Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara

jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan! yang telah kau lakukan?! kenyataan!

Dimas Brambang! teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. Apa Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat dipercayanya itu tertawa bergelak. Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat Apa maksudmu?! bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah. Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat

kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.

Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo itu! satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan perajurit, di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi

pucuk pimpinan kaum pemberontak.

Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya

memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika. BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. Patih Kerajaan, sahabatmu Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu?! Manusia pengkhianat terkutuk! teriak Patih Ganda Ariawisesa. Berarti kau
juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor! Sambil bergantung ke bambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah

Brambang Santika dengan tangan kanannya. Wuuttt! Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang
Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda

Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula. Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan
sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama

meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah
Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar

lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda

membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu
Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda rasa

kejut.

Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya

memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.
Eyang Sinto Gendeng! seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si

nenek. Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang
Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi

kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk kalian?!
Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana

yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka

BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau memberikan perintah. Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun keluarkan ucapan mengejek.
Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa

saja di Gunung Gede! Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang
Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa

melengking.

Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat! Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyaa kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular

kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!

Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya

menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang memberi tanda.
Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera

menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbuke arah Sinto


Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri

tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher Brambang lepaskan satu pukulan sakti. Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan
dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga

tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!

Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek. Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana gelombang. Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perk di kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu

tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang tusuk kundai perak itu menancap dan menmbus lehernya! Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh
di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan

bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian

memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si

nenek sakti. BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng. Si nenek menyeringai. Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!
Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran

berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku
pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan

sambaran anginnya! Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk kedudukan membelakangi dirinya.
Awas, pukulan dinar matahari! Brambang Santika berteriak keras ketika

dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam

dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan. Sianr putih panas luar biasa berkiblat. Bummm!
Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan

Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!


Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu! Satu teriakan keras memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan desdesdes Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain

adalah sebuah payung hitam terkembang! BASTIAN TITO 37 SEBELAS WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

h, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan

jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong

licik itu?! ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di sebelahnya.

Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya

yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!

Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. Langka pertemuan memang tidak bisa diduga! katanya. Lalu dia menyambung. Sinto, urusanku sendiri belum

selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!
Si nenek balas tertawa. Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti mencari pahala? Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di

dunia celaka ini! Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong. Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan
kini sangat sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang

berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu. bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam

Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk yang sangat tebal menyungkupi daerah itu! Keparat licik! teriak Sinto Gendeng.

Kalian mau lari kemana?! ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia

menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung


oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek pukul pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam. Sempat beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir

terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarumjarum panjang lagi segera pula lari berserabutan!

Maafkan, saya harus mengejar kedua orang itu! kata Patih Ganda Ariawisesa pada besannya. Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa perajurit Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang

ada dalam lobang. BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Dewa Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang maklum arti pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. Sekali ini aku tidak akan ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri! Giri Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung
hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar

bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng
berkata. Ada satu hal yang ingin aku beritahupadamu Giri. Wajahmu di waktu muda

mirip sekali dengan muridku Wiro Sableng.

Si kakek terdiam sesaat. Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan

cuma satu di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku merasa senang melihat keanehan ini! Kau pasti akan bertemu dengan dia, jawab Sinto Gendeng pula. Dewa Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaa kemudian dia telah lenyap dari tempat itu.
Satu hari satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat Ganda Ariawisesa kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih

Kerajaan ini memang mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh
di sebelah belakang Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak memutuskan tidak mengikuti apa yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya

pengejaran itu berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk

bergabung saja dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata Sulit mencari tahu
dimana perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar

sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara nekad! Begitulah kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan pengejaran terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya mencapai tepi pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua ekor kuda yang berkeliaran tanpa pemilik. Pasti itu kuda-kuda bekas tunggangan keua manusia keparat itu! kata Patih Ganda Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat bekasbekas kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah perahu. Dua biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur bernatakan. Mereka sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat mengejar! kata Giri Arsana pula dengan geram. Tak ada jalan lain, kita harus memperbaiki perahu ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari. Kedua orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang petang mereka berhasil melakukannya lalu turun ke laut. Tujuan ki Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana.. berkata Patih Kerajaan. Saya juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga punya urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu menjadi neraka. Atau ah.. Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi turunannku. Termasuk diriku sendiri. Apa maksudmu besan yang terhormat? tanya Patih Ganda Ariawisesa. Kawah Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat mereka! BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Kalau begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek keparat itu adalah bagianku! Tidak bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di tanganku! jawab Dewa Berpayung Hitam.
Si keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku! menukas Patih

Kerajaan. Dia harus mati di tanganku!

Kedua orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana mengalah.Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita

berangkat sekarang juga! Begitulah keduanya mulai melayari Selata Sunda. Kalau Sang Patih

pergunakan pendayung untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa ditimbulkan oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat membelah air laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau

duduk di bagian belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang Rakata dengan Gunung Krakataunya. BASTIAN TITO 40 DUA BELAS WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

erkara mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh

Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan tenaga dalam penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau. Wiro sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak
bisa menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras yang mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya

melayang cepat menuju kawah! Hanya beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah yang mendidih, tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari baliksebuah

gundukan batu melesat keluar sebuah benda halus bewarna putih berkilauan. Benda yang melesat ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat menggulung kedua kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas dada. Sesaar tubuh Pendekar 212 masih ampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga Wiro terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di

jengkal lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh

balik gundukan batu.

Sang pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada suara tawa mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya. Apa yang dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam membuat wajahnya yang putih lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya

dan sama sekali tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin suara tawanya seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan mulutnya terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?
Saat itu didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di

bawahnya kelihatan kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik itu sambil membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh
Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia

berteriak lalu tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?
Saudari, kau siapa? Wiro bertanya. Yang ditanya tidak menjawab. Berkedippun tidak. Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku? Wiro perhatikan dirinya sendiri. Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya saja yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya dia sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan. Jelas dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka

mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat itulah didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri. Astaga! BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Hanya lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang

kakek berpakaian putih. Rambutnya yang putih terliaht jarang. Kumis dan janggutnya

juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit tipis

pemutup tengkorak dan berwarna sangat pucat. segera bangkit lalu jatuhkan diri berlutut.

Begitu melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng Kakek Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat berterima kasih padamu. Hutnag jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar.

Kini.. Si kakek tertawa gelak-gelak. Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang dalam kawah?

menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah Gunung Krakatau ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak emncebur masuk ke Siapa yang mau bunuh diri kek?!! Tukas Wiro. Seorang menghantam saya

hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong saya dengan benang kayangan!
Kembali kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini? Namanya Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan tahun lau, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati. Demikian paahnya keadaannya hingga dia seperti kurang waras dadn malang melintang di rimba persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya berubah. Malah dia pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat

langka kepada pemuda itu. Kek, saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Sapa yang tengah kakek lakukan di tempat ini? Dan siapa gadis ini?
Ah pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,jawab Tua

Gila. Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia adalah
calon muridu. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk

kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?


Wiro garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.

Tua Gila lagi-lagi tertawa mengekeh.

Urusan taksir menaksir ini biar kita bicarakan nanti, jawab Wiro sambil garuk kepla dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. Saya harus meninggalkan tempat ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawan sana. Seorang nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya

mayatnya dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!

Tua Gila usap janggutnya. Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di

kala muda itu rupanya delum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah
cepat ke atas sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang

mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan Sepuluh Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu! Wiro menjura da;lam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan
orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata Saya

senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi.

Si gadis tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari

duduknya dan mengikuti kepergian si pemuda memnajat tebing kawah dengan BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

pandangan matanya sampai akhirnya lenyap di kejauhan. Di belakangnya terdengar

suara Tua Gila batuk-batuk Rupanya kau menaksir juga pada pemuda itu Mina Si gadis berpaling pada Tua Gila.

Tapi hati-hati nak, kata si kakek pula. Dia emmang orang baik cuma sering-sering dia bertindak dan beruacp konyol seperti orang ini! Lalu Tua Gila

menggaris keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum. BASTIAN TITO 43 TIGA BELAS WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

riti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi

mayat Wini Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke aah pantai. Saat itu dia masih saja mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.

Hatinya tiada henti dirundung penyesalan. Mengapa aku harus memukulnya begitu
keras. Ah..Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa mwmbuat aku menjadi

orang baik. Tidak nekad tidak gila membunuhi orang. Ingatan si nenek lalu tertuju pada Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya. Selagi dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tibatiba
di pantai dilihatnya mendarat sebuah perahu. Fua orang penumpang turun ke

pasir.

Hemmmm. Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya membesar. Ada lagi dua orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di

Pulau Rakata daerah kekuasaanku!

Si nenek membungkuk mangambil sekaligus diu buah pecahan batu gunung.

Sekali melempar kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek
berada dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara dan meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja

sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gnadini.

Di tepi pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas Kepala Pasukan Kerajaan yang melarika diri bersama Brambang Santika. Pagar yang melihat datanya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi

tahu.

Awas! Ada benda menghantam ke arah kita! Pagar Paregreg jatuhkan diri ke pasir sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat

kesamping bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak
kawah itu. Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main karena dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya. Pagar Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat penangkal racun pada kawannya tiu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin

sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang

tak bisa diselamatkan dari kematian akibat racun jarum yang jahat. Sambil meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak datang ke tempat yang salah, Pagar..
Sebelumnya kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau

kawah Gunung Krakatau. Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita

celaka ini! Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat
Sekarang sudah terlambat! kata Brambang Santika. Tak ada gunanya

menggerutu. Lihat! Ada satu orang lagi muncul di atas sana! kat Brambang Santika. Paga Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu

dilihatnya ada satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung

Krakatau.

Bagaimana kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang ebih

aman mengusulkan Brambang Santika. BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG


PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Aku setuju! jawab Pagar Paregreg. Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat
sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa

Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?


Paras Brambang Santika menjadi berubah. Astaga. Berarti kita mencari

bencana baru pergi ke tempat ini! Mari cepat. Tak lama lagi matahari akan tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!
Kedua orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka meninggalkan perahu. Naumn terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua orang di atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan pasir berterbangan di belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang ini sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai Pagar

Paregreg dan Brambang Santika.

Orang ini adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang

bengis sambil bertolak pinggang. Kau benar Pagar, bisik Brambang. Orang di depan kita ini adalah Sepuluh Kuku Iblis!
Sebelum dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita

ketahui dulu apa sebelumnya yang terjadi di peuncak kawah.

Sehabis melemparkan dua buah pecahan batu Sritit Gandini sebenarnya segera

hendak lari menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan
mendarat di pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di

susul satu sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di hadapannya.
Kau! teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya pemuda di depannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya gembira sekali melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini selalu diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa

gembira. Kau. Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah sana?! tanya si nenek. Wiro menyeringai.
Urusan mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha

Kuasa saat!

Kentut busuk! teriak si nenek. Aku bisa membikin mati siapa saja setiap Kaau begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi

Tuhan? ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Si nenek sesaat terdiam. Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan.

Tapi setannya yang keluar dari dalam kawah! Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah
mengelilingi Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung

rambut sampai ke ujung kaki.

Naah apa kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada

lobang? ujar Wiro. Si nenek hentikan langkahnya. Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan setan atau hantu. Tapi. Biar aku periksa sekali lagi!

Kau boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang! ujar Wiro mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang

setiap saat bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan. BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Sepuluh Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia
sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya

melesat ke depan. Dess!

Wiro tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapoi tangannya

tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku! Keparat licik! teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan kini berada dalam keadaan tertotok. Sepuluh Kuku Iblis tertawa gelak-gelak.
Anak muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan dunia ini! Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh

kau sejak tadi! Rasa suka padaku? Sialan! maki Wiro dalam hati.

Tua bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas

Dewa Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu! Plaaakkk! ini luka dan mengeluarkan darah.

Si nenek tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda Ah Maafkan aku. Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di mulut Wiro. Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.

Begitu diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
Pendekar 212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi

dua ekor monyet di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan kekuasaanku. Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!
Wiro hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini

memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng kawah menuju ke pantai. Dalam waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung
menghadang Pagar Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua

bola mata si neenk berputar angker.

Hemmm Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan

Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul hah! Kau betul nek, aku memang Pagar Paregreg. Tampangmu sembrawuran! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan Kerajaan sampai menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini?!
Kami ada urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa

mendarat dulu di sini jawab Pagar Paregreg.

S nenek tertawa. Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta sebelum mati masih bisa dimaafkan. Dan kau! Si nenek menunjuk tepat-tepat ke hidung Brambang Santika. Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di

Istana, punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan! Nama saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu? Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga

ini. Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri

Minta diri? Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh.

Ada semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya

di sini berarti sudah siap menerima kematian! Berubahlah paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika. BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Berberapa hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat bernama Tubagus Singagarang dan Supit Jagal Kami kebetulan kenal mereka, kata Brambang Santika.
Ah, bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang

sudah lama menunggu-nunggu kalian? Menunggu kami? Untuk keperluan apa? tanya Pagar Paregreg pula. Unutk duajak bergabung jadi mayat! jawab si nenek lalu tertawa aneh seperti lolongan srigala.
Pagar Paregreg memberi isyarat pada kawannya. Nek, kami tidak punya waktu lama. Kami minta diri sekarang juga! katanya. Lalu Pagar Paregreg dan

Brambang Santika cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu. Namun si nenek membentak.
Neraka Krakatau adalah bagian kalian berdua! Lalu tanpa banyak cerita lagi

Sepuluh Kuku Iblis segera menyerang dua orang di hadapannya. Melarikan diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan pecah di tempat itu.
Seperti diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah

Brambang Santika terpaksa menyabut serangan si nenek. Perkelaihan seru segera

orang-orang berkepandaian tinggi. Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung menghanam dengan pukulanpukulan sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.
Lima jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi

sambil tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak.

Meskipun mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar Paregeg dan Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa kali lengan mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu merasakan lengan mereka sakit bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar

berwarna hijau!

Melihat lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada

henti dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan serangan balasan tidak terduga. Breeettt! Ujung golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang
dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara

lolongan seperti lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku hitam mencua keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat. Mereka kemusian kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada

kedua tangan si nenek. Trang..trak! Golok di tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.

Senjata itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat mundur. Di sebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau belatinya di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau belati besar di tangan kanan. Si nenek tahan tusukan itu dengan elapak tangan kirinya lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau hijau itu ke arah pemiliknya! Brambang Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke perutnya sampai sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang bobol si nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan. Untuk kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan. Kedua kakinya hanya sanggup bertahahn singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh tak berkutik lagi! Pagar Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh. Secepat kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah punggung bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras. Dalam takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menghambur masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang. Tubuhnya mulai di seret ombak. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan tubuhnya mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi! Sepuluh Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang Santika tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung ombak, diseret air ke dasar laut! BASTIAN TITO 48 EMPAT BELAS WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

egitu si nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan

pertanyaan.
Siapa yang barusan kau bunuh di pantai sana? Wiro kawatir yang jadi

korban kini adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai. Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua

orang yang ku kirim ke dasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan? tanya Wiro. Siapa lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?
Tidak, sahut Wiro. Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti

itu sudah cukup pantas baginya!

Si nenek tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. Jadi kau juga benci padanya

eh? Siapa korbanmu satu lagi? tanya Wiro masih kurang enak.

Brambang Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini

menjadi penghubung antara Istana dengan rimba persilatan. Hemmm. Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya, kata Wiro

perlahan. Jadi aku tidak membunuh sahabatmu bukan? ujar si nenek.

Dua orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam

lobang kelapa itu? Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!
Anak muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu?

Tunjukkan padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab! Wiro memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab. Pendekar 212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan
dirimu. Mereka bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita

bersahabat! Siapa sudi bersahabt denganmu! Karena aku jelek, sudah tua keriput? tanya si nenek. Aku bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat. Tapi manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini apakah pantas dijadikan sahabat? Kalau kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku? Wiro memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan pertanyaan. Mengapa kau ingin bersahabat denganku? Karena wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di musa mudaku! jawab Sriti Gandini polos tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang Sinto Gendeng tampak menjadi merah. Jadi saat ini kau berniat hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi kekasihku? tanya Wiro dengan mata mendelik. Kalau tua bangka peot ini menjawab ya, mati aku! kata Wiro dalam hati. Aku berada dalam kekuasaannya. Ditelanjanginya pun aku tidak bisa berbuat apa-apa! Si nenek tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup. Lalu terdenga suaranya perlahan, agak sendu. Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu itu sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan Nenek ini terdiam sesaat. Wiro melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata. Lalu si
nenek melangkah mendekatinya. Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. aKu tahu kini kalau di tempat ini, yang tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan totokan di

kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di sini. Kau punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah pasrah! Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan
punggung pemuda ini. Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212 punah. Wiro berbalik. Kini dia berhadap-hadapan denga si nenek itu. Entah mengapa hati sang pendekar menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro

pandangi orang tua itu yang tegak menundukkan kepala.

Kau ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau

dapat mati di tanganmu, anak muda, terdengar si nenek berujar. Wiro tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya. Tuhanpun tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek semacamku apa mau melebihi Tuhan.?

Ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahanlahan angkat kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha menahan tangis tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan. Nek, kau lebih biaik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang yang hendak meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu biar aku yang mengurus. Ah Kau baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi istrimu. Dia dulu juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia dan nafsunya sendiri. Maksudmu Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam? tanya Wiro. Ah, jadi kau sudah tahu ceritanya? balik bertanya si nenek. Wiro mengangguk. Dari guruku. Jawabnya. Nah, apakah kau belum mau pergi dari sini? Aku menykaimu, aku akan menurut apa yang kau kaakan. Sekalipun kau suruh aku menghambur masuk ke dalam kawah sana kata Sriiti Gandini pula. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Pergilah cepat. Kata Wiro. Ya, aku segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu selama sisa hidupku Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu. Kau nenek cantik yang pernah aku lihat kata Wiro pula. Sriti Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun dua orang yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan kedua orang itu juga sama terkejut. Ah,, si nenek ini terlambat. Keluhnya dalam hati. Sesaat kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga pasang mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat menggantung di udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap tenggelam. BASTIAN TITO 50 LIMA BELAS WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

epasang mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias

Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu kembali berpaling pada orang yang paling dibencinya itu. Dicari-cari bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri! kata si nenek.
Sriti! Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku?! bentak Giri

Arsana sambil tancapkan payung hitamnya ke tanah.

Si nenek menyeringai. Lihat saja sendiri! jawabnya. Mereka ada di sebelah

sana. Mereka aku rawat baik-baik! Lalu si nenek tertawa panjang. Giri Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batangbatang
kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lonbang batang kelapa maka

meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak tangisnya.
Saat itu Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang

Patihpun tak kuasa menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang

batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau dia ingat kematian puteranya.
Istriku. Anak-anakku Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian. Akan kucincang manusia jahanam itu! Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia bangkit dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.

Gerahamnya terdengar bergemeletukan.

Sriti! Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini juga! tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan

ujung payungnya yang runcing. Si nenek mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung. Giri Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk menggebuk pinggang lawan. Saat itu pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya berteriak. Sahabatku Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh perempuan celaka ini! Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku! Sang Patih lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kelangan perkelahian dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang mematikan. Patih! Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh bangsat tua ini! Dia telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa lebih berhak dariku?! Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga terjajar beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling dorong mendorong. Hentikan ketololan ini! teriak Giri Arsana tiba-tiba. Jika kita sama-sama merasa berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat! Siapa yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik! Ucapan si kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa banyak bicara lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

seperti itu Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh Giri Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian. Payung di tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin menerpa membuat serangan si nenek jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak
ke depan tetap saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi dengan payung sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya

si nenek merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan tenaga dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan memutar lebih sebat. Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa

memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.

Patih keparat! Kau mengasohlah dulu! teriak si nenek. Lalu mulutnya

menyembur. Segulung asap kelabu keluar membuntal.

Patih, lekas tutup penciumanmu! teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih Kerajaan keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek. Akibatnya dia merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya berkunag-kunang. Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.

Memikir begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera

mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak muntahmuntah.
Muntahnya bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi

membaik.

Sriti Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana. Tubuhnya berkelebat capat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan. Dengan gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul. Namun payung hitam di tangan lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam payung itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsya

menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!
Sambil memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya menyusup ke balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam sebatang ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu,

berubahlah paras Giri Arsana.

Benar rupanya dia telah mengetahui kelemahanku! kata si kakek dalam hati.

Sekarang aku hanya tinggal pasrah!

Kau lihat benda ini, Giri Arsana? tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara

nyanyian. Sang istri sudah kudapat Begitu juga anak bungsu dan anak ke empat Menyusul sekarang Bapak yang culas Dendam kesumat segera terbalas

Tua bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu sendiri! teriak Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak begitu dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja

menghadang serangannya. Biarkan mereka menyelesaikan urusan. Biar kita menjadi penonton yang baik saja, paman Patih. Pendekar 212! Kau! teriak Patih Ganda Ariawisesa. BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Kau kini berbalik membela perempuan itu? Kau sudah gila rupanya! Dunia ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum gila. Saya bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka! Kurang ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu! teriak Patih
Ganda Ariawisesa. Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri terjadi hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih hingga terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang

berteriak memaki tiada henti. Begitu Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian
antara Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan

serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek! Celaka! keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.
Ajalmu sudah dekat Giri! kata si nenek sambil lontarkan seringai maut. Daun sirih di tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi

dirinya dengan payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak

sanggup bertahan terhadap setangkai daun sirih. Breeettt! Trakk! Trakk!

Kain payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan. Giri Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat

orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.

Jangan harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala

sakit hati dendam berkarat! Aku tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku dilahkan! Lakukan cepat! Aku memang orang berdosa! kata Giri Arsana pula. Si nenek tertawa.Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu. Penyesalanmu datang terlambat! Si nenek melompat dan pukulan sirih yang dipegangnya ke kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam. Kesaktian, kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan daun sirih. Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha membongkar rahasia kehebatan si kakek. Sesaar lagi setangkai daun sirih itu akan mempu menghancurkan batok kepala Giri Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas. Sriti Gandini menjerit keras. Pemuda kurang ajar! teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu di depan dadanya. Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat! Pendekar 212.! Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari bahwa memang betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia berkata Pendekar 212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati. Dosaku terlalu besar padanya. Kalian berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa antara kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha melakukannya? BASTIAN TITO 53 WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Damai?! sentak Sriti Gandini. Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang pergi datang pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya
Sudah Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi

kejadian di masa lampau itu kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh. Si nenek melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
Apa yang hendak kau lakukan? tanya Wiro pada si nenek sambil menatap

dengan tajam. Apa perlu kau tanya lagi?! membentak Sriti Gandini. Berikan sirih itu padaku!
Baik! Sirih ini akan aku berikan padamu1 Kau bisa membunuhnya dengan mudah! Tapi apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam

kesumat?! Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!
Tentu saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan

terkikis sebelum dia kuhabisi! Wiro ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. Kakek itu sudah

mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku mau bersahabat lagi denganmu! Si nenek tersurut.
Giri Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membua si

nenek seperti ketakutan.

Kau manusia jahat! jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun sirih itu dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada

Giri Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. Mungkin memang
sudah begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan lebih

baik. Apa artinya lagi hidup ini

Sriti Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba sekali tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam

kawah. Sriti! teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek mulai manangis sesenggukan.
Saat itu matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masik ke

sudha jauh melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini

dalam laut. Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah kelihatan ada dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek
berpakaian putih, mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di

sebelahnya berjalan seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu melambai-lambai tertiup angin.
Makin tinggi keua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot kedua mata Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka,

Wiro garuk-garuk kepalanya. Tuhan Maha Besar! seru Pendekar 212. Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau menyelamatkan orang dari kematian!
Tua Gila yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman, Si kakek menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi

menurunkan tubuh si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana. kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu membisikkan ratapan. Sriti, jika kau mau
memaafkan aku. Aku berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak

seberapa lama lagi ini. BASTIAN TITO 54 WIRO SABLENG


PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Si nenek tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini dipejamkannya kembali.
Pendekar 212 tersenyum dan berkata. Hai nek! Ayo jawab ucapan orang!

Apa kau tidak mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek?! Si nenek yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan
terus akhirnya buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia memandang dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum

dikulum sambil kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana. Kakek itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau
menolongnyaa berdiri! Tolong dia. Fia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua

akan bahagia selama-lamanya!

Diperlakukan seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya juga tangan kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran. Si nenekpun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi tepuk

bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.

Sebaiknya kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di

tempat ini.. kata Wiro pula. Tua Gila batuk-batuk. Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi.

Wiro mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,

paling tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan
terdengar berucap. Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua

sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan
Saya merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu. Kata Wiro girang. Lalu dia memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. Mari kita pergi. Jenazah di

dalam batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi. Ketiga orang itu segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?
Maksud Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi pimpinan pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang

Santika?! ujar Wiro. Ah, jadi kau sudah melihat mereka!

Keduanya tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di dalam laut sana! kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih Kerajaan terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. Kedua orang itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan

masuk ke dalam laut!

Patih Kerajaan meepaskan nafas legaa. Wiro, Tua Gila dan Minaratih melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti

Gandini. Pendekar 212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik itu! Pantas kau tidak mau bersahabat denganku! Wiro tertawa gelak-gelak. Siapa bilang saya tidak suka bersahabat dengamu
Nek. Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?! Lalu pada

Giri Arsana dia berkata. Kek, kau jaga baik-baik sahaba yang cantik itu!

Semua orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat

kemudian terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain TAMATWIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 Episode : Ratu Mesum Bukit Kemukus Desa Kenconowengi yang malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah utara tampak kobaran api membakar dua buah rumah. Di sebelah timur terdengar pekik jerit orang-orang yang ketakutan. Lalu ada suara derap kaki kuda. Terdengar suara kentongan bersahutan beberapa kali lalu senyap. Di jurusan lain terengar teriakanteriakan orang sambil berlarian bercampur aduk dengan jeit tangis anak-anak dan orang-orang perempuan. Lari! Lari! Gerombolan Warok Ijo menyerbu! Selamatkan diri ke lembah! Lari! Derap kaki kuda datang menyerbu. Dua bilah golok panjang berkelebat. Dua orang penduduk yang barusan berteriak roboh ke tanah. Darah muncrat dari tubuh keduanya. Yang pertama langsung meregang nyawa dangan leher hampir putus. Kawannya yang terkapar di sebelahnya, sesaat masih tampak menggeliat sambil pegangi dadanya yang robek besar, lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanyapun sudah putus. Gender Kumboro, kepala desa Kenconowengi yang tengah terbaring sakit diserang demam panas, dengan susah payah turun dari ranjang ketika dua orang

petugas desa masuk memberi tahu apa yang terjadi. Gerombolan ganas itu.., berucap Gender Kumboro sambil bersandar ke dinding, sudah lama aku mendengar sepak terjang biadab mereka. Ternyata akhirnya meraka datang juga mengganas di desa kita ini! Dengan terhuyung-huyung kepala desa yang hidup sendirian tanpa anak sejak istrinya meninggal dua puluh tahun lalu itu, melangkah mengambil parang yang tergantung di dinding kamar, lalu melangkah keluar. Kepala desa! Apa yang hendak kau lakukan?! bertanya salah seorang anak buahnya. Tanap berpaling Gender Kumboro menjawab Kalian berdua bantu penduduk mengungsi. Selamatkan anak-anak dan orang-orang perempuan. Aku akan menghadang gerombolan biadab itu! Jangan lakukan itu! Mereka berjumlah lebih dari sepuluh orang! Tiga orang petugas desa sudah mereka bunuh! Dan kau sedang sakit pula! Gender Kumboro terus melangkah ke pintu seraya berkata Aku merasa lebih baik mati di tangan gerombolan itu daripada mati karena sakit di atas tempat tidur! Walaupun saat itu tubuhnya terasa panas, tapi kepala desa ini mendadak merasakan ada satu kekuatan di dalam dirinya yang memberinya semangat untuk melakukan niatnya. Dua orang petugas desa tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka lari ke arah barisan penduduk yang tengah mengungsi menuju lembah sementara beberapa buah rumah lagi tampak dibakar oleh gerombolan penjahat Warok Ijo. Di satu kelokan jalan, Gender Kumboro berpapasan dengan dua orang penunggang kuda berpakaian dan bertutup kepala serba hitam. Mereka tampak membawa buntalan besar berisi harta benda hasil rampokan. Ini dua diantara bangsat-bangsat durjana itu., kata Gender Kumboro menggeram. Cepat dia menyelinap di balik serumpunan pohon bambu di tepi jalan. Ketika penunggang kuda pertama lewat, Gender Kumboro serta merta membabatkan parangnya. Terdengar jeritan keras si penunggang kuda ketika parang merobek perutnya. Tubuhnya terpelanting ke kiri lalu jatuh ke tanah. Kuda tunggangannya meringkik keras dan menghambur kabur dalam kegelapan malam. Penunggang kuda kedua tersentak kaget dan hentikan kudanya. Tangan kanannya segera menghunus golok lalu sambil membentak dia melompat ke tanah. Bangsat dari mana yang berani membokong anak buah Warok I Belum selesai ucapannya itu, sebuah parang berkelebat di depan kepalanya. Anggota gerombolan Warok Ijo ini angkat tangan kanan, menangkis dengan goloknya. Trang! Dua senjata beradu dalam kegelapan malam. Gender Kumboro merasakan tangannya pedas kesemutan. Gagang parang hampir terlepas dari gengggamannya. Cepat-cepat kepala desa ini mengatur kedua kakinya agar tidak terhuyung limbung. Justru saat itu orang berpakaian serba hitam di depannya keluarkan suara memaki dan menusukkan senjatanya ke arah perut Gender Kumboro. Orang tua yang dalam keadaan sakit panas ini melompat ke kiri. Dia berhasil mengelakkan tusukan lawan lalu secepat kilat membacok ke arah leher anggota gerombolan itu. Akan tetapi lawannya bertindak lebih cepat lagi. Begitu tusukannya luput, goloknya dibabatkan membalik, langsung membacok ke arah barisan tulang iga kanan Gender Kumboro. Kepala desa itu menjerit. Tubuhnya di sebelah kanan luka besar. Dua tulang iganya nyaris putus. Parangnya tercampak ke tanah. Dia sendiri langsung roboh. Menyangka orang sudah mati, gerombolan rampok itu melompat ke punggung kudanya kembali dan tinggalkan tempat itu tanpa mempedulikan kawannya yang tergeletak dekat rumpun bambu dalam keadaan sekarat. Gender Kumboro kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada dan dengan susah payah dia berusaha berdiri. Sesaat dia tertegak nanar sambil berpegangan pada batang bambu. Lalu dengan darah masih mengucur dari lukanya kepala desa ini melangkah tertatih-tatih. Belum jauh dia melangkah sosok tubuhnya yang kehabisan darah dan tenaga itu jatuh tergelimpang. Di saat yang sama seorang penduduk yang tengah berlari melewati tempat itu dan mengenali kepala desanya segera mendatangi unntuk

memberikan pertolongan. Tapi Gender Kumboro yang sadar bahwa nyawanya tak akan lama segera berkata terputus-putus. Jajangan perdulikan diriku. Lekas kau tetemui Jarotomo. Hhanya pemuda yang dadapat menyelamatkan desa dan penpenduduk. Hahanya dia yang. yang mampu menghadapi gergerombolan Warok Ijo Tapi bagaimana pun kau harus kuselamatkan lebih dahulu kepala desa! Jangan tolol! Cari Jarotomo! Pemuda itu baru saja mewamewarisi ilmu ilmu kesaktian dari Ratu Kemukus. Hanya didia yang mampu menghadapi gerombolan Warok Ijo. Lekas pergi.Cari dia! Habis berkata begitu kepala Gender Kumboro terkulai. Sadar dia tidak bisa menolong lagi, penduduk tadi segera tinggalkan tempat itu dan lari sekencang yang bisa dilakukannya menuju ke selatan, melewati kebun kelapa. Dan di ujung kebun itu tampak sebuah gubuk kecil dalam kegelapan malam. Jarot! Jarotomo! Kau ada di rumah?! Tak ada jawaban. Tapi orang ini mendengar suara mendengkur di dalam gubuk. Tidak sabaran dia mendorong pintu kuat-kuat lalu masuk ke dalam gubuk. Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan di tempat itu, orang ini melihat pemuda yang dicarinya di sudut sebelah dalam, terbaring tidur dengan mengeluarkan suara mengorok. Jarot! Bangun! Desa kita diserbu gerombolan Warok Ijo! Jarot ayo bangun! Pemuda yang sedang tidur tampak menggeliat lalu membuka matanya. Apa-apaan ini.?! Jarot! Desa kita diserbu gerombolan Warok Ijo. Mereka merampok dan membunuh! Menurut kepala desa hanya kau yang mampu menghadapi penjahatpenjahat itu! Mana kepala desa.? Dia sudah mati dibunuh gerombolan! Ayo bangun Jarot! Pergunakan ilmu yang kau dapat dari Ratu Kemukus! Pemuda bernama Jarotomo segera berdiri. Dia mengusap muka dan rambutnya yang gondrong berulang kali. Sesaat dia memandang orang di depannya dengan ragu. Apakah.apakah ilmu yang kudapat dari sang Ratu benar-benar bisa dipakai mengahadapi orang-orang jahat itu.? katanya seolah-olah bertanya pada diri sendiri. Lekas Jarot! Kau harus mencegah mereka. Kalau tidak akan banyak lagi korban yang mereka bunuh! Akan banyak harta penduduk yang mereka jarah! Lalu orang itu menarik lengan Jarotomo. Ketika Jarotomo sampai di desa, tiga orang anggota Warok Ijo tampak ta=engah menggiring beberapa ekor lembu. Lalu di arah lain seorang penjahat memanggul tubuh seorang gadis tanggung yang menjerit dan meronta-ronta coba melepaskan diri. Jarotomo kepalkan kedua tangannya. Dadanya berdebar. Sepasang matanya memandang ke arah empat penjahat yang bertampang garang itu. Mereka semua membekal golok sedang dia hanya bertangan kosong. Ilmu Ratu Kemukus. Apakah aku sanggup menghadapi menusia-manusia jahat ini dengan ilmuku itu? Sesaat Jarotomo merasa ragu. Lalu didenarnya orang di sebelahnya berkata. Ayo! Apa yang kau tunggu Jarot! Hajar mereka! Bunuh mereka! Jarotomo mengigit bibirnya sendiri. Tiga penjahat yang menggiring lembulembu hasil rampokan lewat di depannya. Pemuda itu seperti tidak acuh bahkan tidak bergerak. Namun kepalanya berpaling ke jurusan penjahat yang memanggul anak gadis orang. Tiba-tiba Jarotomo berteriak. Manusia bangsat! Lepaskan gadis itu! Lalu Jarotomo lari mengejar. Anggota gerombolan yang mengetahui kalau ada orang berteriak dan mengejarnya menoleh ke belakang. Eh, ada juga penduduk yang punya nyali berani mengejar! pikir anggota gerombolan ini. Dia hentikan langkahnya kemudian tegak menunggu. Ketika Jarotomo sampai di hadapannya dia lalu membentak. Apa maumu pemuda tolol?! Ingin mampus berani meneriaki dan mengejarku?! Sesaat Jarotomo terkesiap. Gerombolan yang menculik anak gadis orang itu ternyata memiliki tampang seangker setan. Mukanya yang hitam itu memiliki satu

mata, serta cacat bekas tikaman senjata tajam di pipinya sebelah kanan. Kumis dan cambang bawuknya meanggas. Tergetar juga hati Jarotomo. Belum pernah dia melihat manusia seseram yang di hadapannya itu. Melihat orang terkesiap, anggota gerombolan Warok Ijo bermaa satu tertawa bergelak. Baru melihat tampangku saja kau sudah kencing di celana. Pergi sana! Penjahat ini hantamkan kaki kanannya menendang perut Jarotomo. Yang ditendang langsung terpental dan jatuh ke tanah. Tapi anehnya Jarotomo sama sekali tidak merasa sakit! Aku kebal pukulan! desis si pemuda sambil pegangi perutnya seperti tidak percaya. Cepat dia berdiri dan menghadang penjahat yang siap hendak tinggalkan tempat itu. Yang dihadang tentu saja terkejut karena menyangka pemuda itu paling tidak telah jatuh pingsan dihantam tendangannya itu. Keparat! Kau benar-benar minta mampus! Dengan tangan kanannya si muka setan itu cabut golok. Begitu senjata keluar dari sarung, golok itu langsung dibabatkannya ke pinggang Jarotomo. Si pemuda yang tidak menyangka bakal diserang begitu rupa terlambat berkelit selamatkan diri. Mata golok menghantam pinggang kirinya dengan deras. Buukkk! Tubuh Jarotomo terbanting ke kanan. Bajunya robek dimakan mata golok. Tapi tubuhnya sedikitpun tidak luka! Melihat dirinya ternyata juga tidak mempan hantaman senjata tajam berkat ilmu yang didapatnya dari Ratu Kemukus, keberanian pemuda itu jadi berkobar. Selagi anggota rombongan Warok Ijo tertegun tidak percaya melihat si pemuda tidak mempan dibacok, Jarotomo sudah meloncatinya dan melayangkan jotosan tepat ke satu-satunya mata yang masih utuh, yaitu mata kanannya. Anggota gerombolan ini meraung kesakitan. Gadis yang dipanggulnya diturunkan lalu dengan golok di tangan dia menyerbu Jarotomo. Senjata itu berkelebat kian kemari. Jarotomo yang memang tidak memiliki kepandaian silat sulit untuk dapat mengelak. Beberapa kali golok lawan menghantam tubuhnya dengan suara bergedubukan. Namun seperti tadi tidak satu bacokan atau tusukanpun yang mempu melukai kulitnya. Eh, pemuda setan alas ini punya ilmu apa sampai golok tidak mempan?! ujar anggota gerombolan sulit untuk percaya, lalu hentikan serangannya dan melompat mundur dengan nafas mengengah. Tengkuknya mulai terasa dingin oleh rasa takut sedang mata kanannnya yang lebam tak mampu membeliak. Anak muda! Siapa kau?! Jarotomo tidak menjawab. Tangan kanannya dihantamkan ke arah tenggorokan lawan. Anggota rampok itu kembali babatkan goloknya. Lagi-lagi terdengar suara bergedebuk, dan seperti tadi tangan itupuntak mempan dibacok! Sadar kalau pemuda di hadapannya itu memiliki ilmu kepandaian luar biasa, anggota gerombolan Warok Ijo itu jadi putus nyalinya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh untuk melarikan diri. Namun Jarotomo sempat mencekal leher pakaian penjahat ini lalu ditariknya kuat-kuat hingga orang ini tersungkur ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit, Jarotomo injak lehernya keras-keras. Terdengar suara berderak. Anggota gerombolan itu mati dengan lidah terjulur! Jarotomo cepat melangkah mendekati gadis yang tadi diculik. Gadis ini kini terbaring ketakutan dekat kandang itik. Mukanya pucat pasi. Namun belum sempat mendekati lebih dekat tiba-tiba tiga orang berkelebat mengurung si pemuda. Lalu tendangan menghajar pinggulnya disusul satu jotosan melanda pipinya. Jarotomo langsung terkapar di tanah! Kawan-kawan ayo cincang pemuda keparat ini! Dia telah membunuh teman kita Kaimin! satu suara keras terdengar. Kemudian tiga batang golok berkelebat mencari sasaran di tiga bagian tubuh Jarotomo yaitu kepala, leher dan dada. Buukkk! Buukkk! Buukkk! Terdengar suara bergedebukan tiga kali sewaktu tiga bilah golok besar dan tajam itu mendarat di kepala, leher serta tubuh Jarotomo. Namun seperti kehebatan yang ditunjukkan pemuda ini sebelumnya, tak satupun hantaman golok para penjahat

mampu melukai dirinya, hanya pakaiannya saja di bagian punggung yang tampak robek. Tiga pasang mata anggota gerombolan Warok Ijo terbeliak besar. Salah seorang dari penjahat itu cepat berbisik pada teman di sebelahnya. Manusia ini punya kepandaian tinggi. Dia kebal senjata tajam dan pukulan. salah seorang anggota gerombolan berbisik. Apa yang harus kita lakukan? temannya bertanya. Kalian berdua tetap di sini. Jangan bngsat ini sampai lolos. Aku akan memberi tahu Warok Ijo kita menemukan kesulitan! Orang yang berbisik cepat berkelebat tanpa menunggu jawaban temannya. Dengan golok tergenggam erat di tangan, dua anggota gerombolan Warok Ijo itu memperhatikan Jarotomo perlahanperlahan berdiri. Hendak menyerang mereka merasa ragu. Tetapi sewaktu Jarotomo maju menerjang, mau tak mau keduanya pergunakan golok untuk menghantam. Dua bacokan menghantam tubuhnya. Jarotomo merangsak terus. Karena mulai ketakutan dua penyerang maelangkah mundur. Ayo bacok terus! Mengapa berhenti dan mundur?! ejek Jarotomo. Anak muda! Kalau kau mau mengajarkan kepandaianmu pada Warok Ijo, pemimpin kami itu pasti mengambilmu menjadi wakilnya! salah seorang anggota gerombolan berkata. Ha ha ha! terdengar suara tawa bergelak. Aku mau lihat tampang orang yang hendak kalian jadikan wakilku itu! Anak muda berambut gondrong! Putar tubuhmu! Lihat kemari! Perlahan-lahan Jarotomo putar tubuhnya. Lima langkah di hadapannya, di atas seekor kuda coklat, dikelilingi oleh enam lelaki berwajah ganas yang juga menunggang kuda dilihatnya seorang lelaki berpakaian serba hijau berwajah dan berkepala aneh. Kepalanya botak plontos dan berwarna hijau samapi ke mukanya yang bermata sipit. Hemm, ini rupanya kepala gerobolan yang dipanggil dengan sebutan Warok Ijo itu, kata Jaratomo dalam hati. Ha ha! Jadi ini tampangnya tikus cecurut bau pesing yang sesumbar hendak menjadi wakilku! Ha ha ha! Warok Ijo tertawa mengekeh. Barisan gigigiginya besar dan hitam. Sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut lebat, Warok Ijo bertanya Gondrong! Kau yang barusan membunuh Kimin anak buahku?! Aku tidak membunuhnya! jawab Jarotomo seenaknya. Lantas?! Warok Ijo mengerenyitkan kening mendengar jawabanitu. Dia sendiri yang minta mampus! Kalian semua juga ingin mencari mati! Sepasang mata sipit Warok Ijo membesar sedikit. Lalu terdengar kembali suara tawanya berkekehan. Anak muda bau tengik! Lagak bicaramu seperti raja diraja dunia persilatan! Aku mau lihat apa betul kau tidak mempan senjata tidak mempan pukulan! Habis berkata begitu Warok Ijo berkata pada anak buah di sebelahnya. Berikan belati besarmu padaku! Anak buah Warok Ijo segera cabut sebilah belati besar yang tersisip di pinggangnya lalu diserahkan pada Warok Ijo. Kepala gerombolan ini menimangnimang pisau besar itu beberapa saat, kedua matanya memandang tak berkesip ke arah Jarotomo. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar teriakan keras. Hiaattt!!! Belati di tangan Wiro Ijo melesat di udara. Dalam jarak hanya terpisah lima langkah, senjata itu menderu ke arah batang leher Jarotomo. Bagian tajamnya tepat menghantam leher pemuda itu, seperti hendak menancap. Tapi tidak! Belati besar itu terpental begitu mengenai leher si pemuda lalu jatuh ke tanah! Paras hijau sang Wark berubah. Ilmu kebal apa yang dimilki setan ini! gumam Warok Ijo. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Kebal senjata dan pukulan belum tentu kebal pukulan sakti beracun! Akan aku lihat sampai di mana kehebatan ilmu kebalnya! Anak muda! Janganbergerak dari tempatmu! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup menerima pukulan saktiku! Warok Ijo angkat tangan kanannya ke atas perlahan-lahan. Mulutnya berkomat-kamit tanda dia tengah merapal aji kesaktian. Seperti wajahnya, tangan

kanannya mulai dari ujung jari sampai pergelangan kelihatan berubah menjadi sangat hijau. Mampus! teriak Warok Ijo dan tangan kanannya dihantamkan ke depan.Ada angin deras menggebu disertai berkiblatnya sinar hijau. Seperti ada petir menyambar, begitulah terdengar letupan keras sewaktu pukulan sakti dan beracun kelabang ijo yang dilepaskan sang warok menghantam dada Jarotomo dangan tepat! Dua ekor kuda meringkik. Dua jeritan merobek kegelapan malam dan dua sosok tubuh erjungkal jatuh dari punggung kuda! Pemuda desa itu keluarkan seruan keras ketika tubuhnya laksana dibantingkan amblas ke tanah! Dadanya terasa bergetar. Pakaiannya di bagian dada tampak robek besar dan berwarna kehijauan. Dia sendiri tak kurang suatu apa. Begitu debaran dadanya lenyap, perlahan-lahan dia tegak berdiri sambil memandang menyeringai ke arah Warok Ijo. Kepala gerombolan itu jadi leleh nyalinya. Bukan saja karena menyaksikan sendiri bagaimana ilmu kesaktiannya yang sangat diandalkan tidak mampu menciderai pemuda berambut gondrong itu, tetapi lebih dari itu sinar pukulannya yang mengandung racun jahat beitu menghantam tubuh si pemuda, mental membalik dan menyambar dua orang anak buahnya hingga terpental dari punggung kuda dan menemui ajalnya secara mengerikan! Tubuh mereka kelihatan hijau kehitaman dan mengebulkan asap! Anak-anak! Keroyok dan cincang cacing tanah ini sampai lumat! teriak Warok Ijo. Lalu dia sendiri cepat memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu. Melihat pimpinan mereka kabur seperti itu, beberapa anak buah Warok Ijo yang ada di situ serta merta mengikuti apa yang dilakukan sang Warok. Tanpa pikir panjang merekapun menggebrak kuda dan tinggalkan tempat itu. Namun dua orang masih sempat ditarik kakinya oleh Jarotomo hingga jatuh terbanting di tanah. Sebelum keduanya sempat bangun Jarot sudah menghantam kedua penjahat itu dengan sebatang golok yang dipungutnya dari tanah. Di sarangnya di tengah sebuah rimba belantara, pada suatu pagi dua hari setelah penyerbuan ke desa Kenconowengi, Warok Ijo tampak duduk di depan rumah kayunya ditemani seorang anak buah kepercayaannya. Di hadapan mereka, di atas sebuah meja kayu kasar ada dua cangkir besar kopi hangat dan beberapa butir ubi rebus. Aku masih tak habis pikir penyerbuan sial ke Kenconowengi itu. berkata Warok Ijo. Ah, Warok masih saja mengingat-ingat kejadian itu, menyahuti anak buah Warok Ijo bernama Tunggoro. Mengapa tidak?! Belum pernah anak buahku menemui kematian begitu banyak! Tapi hasil jarahan kita juga banyak..! Kau mau mengatakan bahwa nyawa teman-temanmu sama nilainya dengan sapi-sapi buduk dan harta serta uang yang berhasil dirampas itu, Tunggoro! Tentu saja tidak warok. Sepertimu. Aku dan teman-teman tentu saja merasa kehilangan mereka..! jawab Tunggoro pula tak berani menantang. Kematian teman-temanmu itu harus dibayar dengan nyawa dan darh pemuda berambut gondrong itu! Kau ingat siapa nama pemuda itu, Tunggoro?! Jarotomo, namanya Jarotomo warok. Warok Ijo pegang bahu anak buahnya itu lalu berkata Selidiki bangsat itu. Menyamarlah dan pergi ke Kenconowengi. Siapapun adanya pemuda keparat itu, aku ingin mematahkan batang lehernya dengan tanganku sendiri! Akan saya lakukan warok. Beri saya waktu satu minggu Sati minggu?! Aku tidak menyuruh kau pergi berjalan-jalan Tunggoro! Kau sudah harus kembali dalam tempo tiga hari! Kau dengar itu Tunggoro.?! Saya dengar warok. Saya minta diri sekarang juga, jawab Tunggoro. Lalu orang ini meneguk kopi hangatnya sampai habis. Sebelum pergi diambilnya dua buah ubi rebus. Warok Ijo berdiri dari kursi kayu yang didudukinnya. Sambil memukul-mukul tinju kanannya ke telapak tangan kiri kepala gerombolan rampok ini tiada hentinya menggeram.

Awas kau Jarotomo! Akan kau rasakan pembalasan Warok Ijo! Akan kupuntir kepalamu sampai tanggal! Warok Ijo meludah beberapa kali lalu masuk ke dalam rumah, langsung menuju sebuah kamar. Di situ tampak seorang perempuan muda bertubuh putih sintal tengah duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambut. Perempuan tolol! hardik Warok Ijo seraya menutup pintu kamar. Sudah berapa kali aku bilang! Jika aku masuk ke dalam kamar ini, aku tidak suka melihat kau berpakaian! Lekas tanggalkan baju dan kainmu! Maafkan saya Warok, jawab perempuan muda itu sambil cepat-cepat membuka bajunya. Saya tidak tahu kalau pagi ini giliran saya lagi. Dua hari yang lalu warok baru saja kemari. Soal giliran itu menurut kemauanku! Bukan menurut perhitunganmu! jawab Warok Ijo. Tak sabaran menunggu perempuan itu membuka pakaiannya, Warok Ijo langsung saja membetot dan merobek baju yang belum sempat ditanggalkan seluruhnya. Di rumah kayu di tengah hutan itu, ada empat bauh kamar. Di dalamnya masing-masing kamar ada seorang perempuan muda yang harus selalu siap melayani Warok Ijo setiap saat yang diingininya. Selama enam hari enam malam bukit itu diselimuti kesunyian. Lalu malam ketujuh yakni setiap malam Jumat keadaan berubah sama sekali. Puluhan orang lelaki nampak naik ke atas bukit sejak matahari tenggelam. Hanya ada satu jalan masuk menuju ke atas bukit dan pada ujung jalan masuk ini selalu ada empat orang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian merah-merah dan bertampang galak. Mereka mengutip sejumlah uang tertentu pada setiap pengunjung dan setiap orang yang datang harus memperlihatkan sebuah kertas berisi tanda-tanda rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh ke empat penjaga pintu masuk itu. Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong sambil bersiul-siul kecil melangkah menuju pintu masuk. Pemuda gondrong muka tolol! Jangan petantang-petenteng jual lagak di sini! Mana kertas pengenalmu?! salah seorang penjaga membentak. Kertas pengenal? Aku belum punya! jawab si gondrong. Jadi kau baru perama ini datang kemari! Betul! Kau bermaksud bersenang-senang saja atau meminta ilmu?! Dua-duanya! Kalau begitu lekas bayar dua keping perak! Waw mahal amat! Bagaimana kalau aku tawar satu keping saja sobat! Aku bukan sobatmu! Bayar dua keping atau angkat kaki dari sini! Masih banyak orang lain yang punya duit yang harus kami layani! Tunggu, bagaimana aku bayar satu keping dulu, sisanya kalau aku kembali kemari! Kawan penjaga pintu yang sejak tadi memperhatikan, dengan jengkel maju ke hadapan pemuda itu dan mendorong dadanya. Tidak ada awar menawar! Ikuti aturan atau minggat dari sini! Kami tidak perlu manusia kera semacam kau! Si gondrong menyeringai. Sambil garuk-garuk kepala dia keluarkan dua keping perak dari saku pakaiannya lalu menyerahkan benda itu pada penjaga jalan masuk seraya berkata Kalian jangan galak-galak. Kalau memang harus bayar dua keping perak, ya ambillah ini! Dua keping perak itu dimasukkan ke dalam sebuahkantong lain yang masih baru. Habis memasukkan uang pemuda itu buru-buru hendak melangkah. Tapi bahunya dipegang oleh penjaga lain. Apa kau sudah tahu segala aturan di bukit Kemukus ini, anak muda?! Belum. Tolong terangkan apa aturannya. Pertama, ambil dulu lembaran kertas biru ini. Di sini ada dua macam kertas. Warna merah berarti kamu hanya boleh bersenang-senang. Warna biru tanda bahwa selain mencari hiburan tamu juga punya niat khusus yaitu mendapatkan ilmu dari Ratu. Untuk pemegang kertas warna biru harus datang sebanyak dua puluh satu kali malam Jumat. Pada malam pertama datang, kau harus mencari pasangan yang kau sukai. Lalu setiap malam-malam selanjutnya kau harus selalu menemui dan tidur

dengan perempuan yang sama. Sekali saja kau tidak berhasil menemui perempuan itu, atau tertarik dengan perempuan lain maka niatmu jadi batal dan harus diulang dari mula. Kalau kau selesai menuruti aturan sampai malam ke dua puluh, maka pada malam ke dua puluh satu seelah kau meniduri pasanganmu, kau harus pergi mandi di air pancuran di atas bukit. Setelah itu kau menunggu sampai ada seseorang mengantarkanmu menemui Ratu di Istana kediamannya! Nah ambil kertas ini! Si penjaga menyerahkan selembar kertas biru pada pemuda gondrong itu seraya berkata Setiap kau habis meniduri pasanganmu, perempuan itu akan memberi tanda pada kertas ini. Jangan lupa hal itu anak muda! Si gondrong mengangguk. Dia hendak melangkah pergi. Tapi kembali bahunya dipegang orang. Kali ini oleh penjaga yang lain. Ada satu aturan di bukit Kemukus ini, anak muda! Aturan yang harus kau ingat baik-baik. Hemm..Aturan apalagi?! si pemuda tampak mulai kesal. Jangan berani berbuat yang bukan-bukan di kawasan bukit Kemukus. Apalagi sampai melakukan keonaran. Lalu jika kau selalu masuk lewat jalan ini, tetap datang dan kembali lewat jalan ini. Jangan coba-coba mencari jalan masuk atau keluar sendiri seenaknya. Kau dengar anak muda?! Si gondrong mengengguk. Bagaimana kalau aku melanggar segala aturan itu? Jawabnya sederhana saja anak muda, shut si penjaga. Tubuhmu akan jadi umpan santapan anjing-anjing hutan raksasa peliharaan Ratu. Ah, hebat dan seram kedengarannya! ujar si gondrong. Memang! Sudah lebih dari enam puluh lelaki konyol disantap anjing-anjing hutan itu! kaa si penjaga pula lalu tertawa mengekeh dan mendorong si pemuda agar segera berlalu. Baru empat langkah berjalan, muncul penjaga yang keempat. Nah apa lagi ini.?! tanya tamu muda itu. Demi keamanan. Aku bertugas mencatat nama setiap tamu. Lekas katakan siapa namamu! Penjaga itu keluarkan secarik kertas lebar dan pegang sebatang alat tulis. Namaku Wiro., menerangkan si pemuda. Si penjaga mencatat lalu berkata Ada banyak Wiro di kolong langit ini. Terangkan dari mana asalmu! Aku dari pekuburan Kalimangi. Jangan bergurau! si penjaga merasa dipermainkan. Siapa bergurau! Aku memang tinggal dekat pekuburan itu. Ayahku kuncen di sana! Hemmm, begitu?! Begitu! Setelah mencatat, penjaa itu mempersilahkan si pemuda memasuki jalan yang menuju ke atas bukit. Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah tersenyum-senyum. Galak tapi tolol. Apa tidak tahu kalau tidak ad pekuburan Kalimengi di dunia ini! Kalimengi justru nama tempat pelesiran di pantai selatan! Semakin tingi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Dalam jarak belasan tombak terdapat sebuah obor untuk menerangi jalan kecil yang mendaki itu. Sepanjang jalan terdengar suara binatang malam dan lapat-lapat di kejauhan terdengar suara salakan anjing. Pasti itu salakan anjing-anjing hutan peliharaan sang Ratu. Membatin Wiro. Sampai di bagian atas bukit, kadaannya berubah sekali. Sebuah tempat berukuran puluhan bahkan mungkin ratusan tombak persegi diterangi dengan obor serta lampu-lampu lampion. Puluhan perempuan yang rata-rata masih muda-muda bertebaran di mana-mana. Ada yang duduk-duduk berkelompok-kelompok menunggu tamu yang akan mengambilnya. Ada yang berjalan-jalan berkawan-kawan. Bau wewangian menebar hampir di seluruh pelosok, termasuk wewangian yang dipakai oleh orang-orang perempuan itu.

Wiro melangkah pelahan-lahan sambil memandang berkeliling. Di satu tempat ketinggian dilihatnya ada sebuah pancuran bambu. Dua orang lelaki dalam keadaan telanjang bulat tampak tengah mandi di bawah pancuran itu. Wiro berjalan terus. Hampir di setiap sudut dilihatnya bangunan-bangunan kecil tanpa atap berdinding setinggi bahu. Murid Sinto Gendeng yang ingin tahu mendekati salah satu bangunan ini. Dari arah bangunan terdengar suara perempuan tertawa cekikikan. Penuh rasa ingin tahu Wiro menjenguk ke balik dinding kajang. Astaga! Yang dilihatnya adalah sepasang lelaki dan perempuan tanpa pakaian saling tindih menindih. Pendekar 212 cepat-cepat tarik kepalanya sambil menggaruk rambut. Edan! Kalau tidak datang sendiri tidak percaya aku tempat maksiat seperti ini benar-benar ada di dunia ini! Wiro memandang berkeliling. Paling tidak ada sekitar tiga puluh bangunan mesum tersebar di tempat itu! Di kejauhan, di puncak bukit bagian paling atas kelihatan sebuah bangunan aneh dengan atap tinggi lancip. Bagian bawah bangunan tampak gelap tapi di sebelah atas kelihatan ada nyal teang. Bangunan itu. Apakah itu Istana Ratu Kemukus.? Menduga Wiro Sableng. Ketika Wiro hendak melangkah pergi satu tangan yang hangat memegang lengannya. Bau harum menyambar hidungnya. Wiro berpaling. Seorang perempuan muda berwajah bulat dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya tersenyum padanya. Dada kebaya birunya sangat terbuka ingga bagian atas payudaranya yang putih dan menggembung terlihat jelas. Kau masih belum menemui pasanganmu, pemuda tampan? perempuan cantik itu menegur lalu kedipkan mata kirinya antara genit dan manja. Hem. Aku barusan datang. Masih melihat-lihat dulu. Jawab Wiro. Masih melihat-lihat. Waktu berjalan dengan cepat di Bukit Kemukus ini. Kau haus menemukan pasanganmu dengan cepat. Aku baru sekali ini kemari Ah, nasib baik bagiku..! kata perempuan itu lalu memeluk tubuh Pendekar 212 kencang-kencang hingga dadanya yang besar menempel hangat di dada sang pendekar. Ambil aku sebagai pasanganmu. Kau pasti tidak akan kecewa.. Kalau kau suka, pada malam-malam tertentu selain malam Jumat kita bisa bertemu di satu tempat di kota..Aku suka padamu. Tubuhmu tampak kukuh. Kau pasti kuat.. Wiro tersenyum. Kau memegang kertas merah atau biru..? Biru, jawab Wiro. Ah, Ratu pasti akan senang bertemu dengan pemuda setampan ini. Namaku Sawitri. Kau mau mengambilku sebagai pasananmu bukan? Wiro tak bisa menjawab. Jangan khawatir. Langananku setiap malam Jumat hanya tiga orang. Aku bersedia mengambil dan melayanimu pertama kali. Ayo mari kita cari tempat yang kosong Tunggu, aku ingin melihat-lihat bukit ini lebih dulu. Ah, ucapan itu seharusnya aku dengar dari orang-orang tua yang mulai uzur. Mereka selalu begitu. Terlalu banyak bicara dan melihat-lihat. Tak pernah langsung ke tujuan. Hik. Hik hik! Kau mau mengantarkan aku melihat-lihat perbukitan ini.? tanya Wiro. Baiklah. Tapi bisa terlalu lama. Tiga langgananku bisa mati kedinginan menungguku.. Sambil berangkulan Wiro dan Sawitri melangkah melihat-lihat suasana di bukit Kemukus. Setiap langkah yang mereka buat saling berselisih jalan dengan pasanganpasangan lain yang juga saling berpelukan, lalu satu demi satu memisahkan diri memasuki bangunan-bangunan kecil tanpa atap berdinding kajang. Sorga dunia yang sulit dipercaya.. kata Wiro sambil memeluk lebih erat perempuan di sebelahnya. Sawitri balas merangkul. Sorga dunia yang kau katakan itu bisa berubah menjadi neraka dunia. Eh, maksudmu? bertanya Pendekar 212.

Lihat ke depan.. Wiro mengikuti apa yang dikatakn Sawitri. Di sebelah depan seorang penunggang kuda berpakaian merah tampak menyeret sosok tubuh seorang lelaki. Seluruh tubuh dan mukanya terkelupas berkelukuran. Agaknya orang ini sudah lama mati. Karena sama sekali tidak terdengar rintihan. Apa yang terjadi..? tanya Wiro. Mengapa orang itu dibunuh secara kejam begitu rupa?! Dia pasti tamu yang membuat kesalahan. Mungkin sekali dia berganti-ganti pasangan melanggar peraturan. Kau baru melihat sekali ini. Aku sudah belasan kali Penunggang kuda dan orang yang diseret lewat di depan Wiro dan Sawitri. Manusia malang. Ingin sorga dapatkan neraka! ujar Sawitri. Aku tidak mengerti . Untuk kesalahan seperti itu saja apa dia memang layak dibunuh secara biadab seperti itu? Perempuan yang dipeluk Wiro tertawa pendek. Hukum Ratu keras sekali. Bahkan sudah begitu masih saja ada yang berani melanggar.. Ratu. Siapa sebenarnya ratumu itu? Sawitri hentikan langkah dan memandang lekat-lekat ke wajah Pendekar 212. Eh, ada apa? Caramu memandangku aneh sekali. Seperti aku ini punya tiga mata, dua hidung dan empat telinga! ujar Wiro pula. Tujuanmu kemari..Apakah hendk menyelidiki ratu kami?! Wiro cepat gelengkan kepala. Aku hanya bertanya. Namanya begitu dihormati. Hukumnya ditakuti. Kawasan bukit Kemukus ini tidak beda seperti satu Kerajaan! Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Kalau ada yang sempat mendengar, kau bakal dapat susah. Kata Sawitri pula. Sebaiknya kita pergi mencari tempat yang kosong saja. Malam semakin dingin. Tiga langgananku pasti sudah mencaricari. Sebentar Sawitri, ujar Wiro seraya memegang lengan perempuan itu. Lalu dia menunjuk ke arah bangunan beratap lancip di puncak bukit yang saat itu setengah tertutup oleh kabut malam. Bangunan itu Siapa yang tinggal di sana.? Itu adalah Istana tempat kediaman ratu. Apa yang ada di benakmu? Aku ingin sekali datang ke sana. Bertemu dangan ratu dan. Kau memegang kertas biru. Berarti pada akhir kunjunganmu ke sini yaitu malam Jumat yang kedua puluh satu kau akan bertemu dengan ratu. Penjaga di jalan masuk pasti sudah menerangkan padamu. Mengapa tiba-tiba saja kini kau berkata ingin bertemu dengan ratu? Ah, itu kalau bisa. Kalau tidak akupun sanggup bersabar sampai dua puluh satu minggu. Mari, antarkan aku lebih dekat ke istana ratumu itu. Aku tidak mau. Jika kau tidak ingin mencari tempat, sebaiknya aku pergi menemui tiga langgananku. Dan kau harus menunggu samapi sekitar dini hari Tidak. Kau harus mengantarku sedekat mungkin dengan istana itu! sahut Wiro. Lalu ditariknya tangan Sawitri. Mau tak mau perempuan itu terpaksa mengikut. Keduanya mendaki jalan menanjak. Kira-kira dua puluh tombak dari pagar bangunan, di balik serumpunan semak belukar, Sawitri berhenti. Aku hanya mengantarmu sampai di sini. Kau bunuhpun aku tak akan mau maju satu langkah sekalipun! Ini sudah termasuk daerah terlarang. Kalau ada penjaga yang melihat celakalah kita. Sawitri menunjuk pada sebuah papan besar yang bertuliskan Kawasan Terlarang. Dilarang Berada Di sini Bagi Siapapun Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lekas sembunyi! bisik Sawitri. Dia menarik lengan Wiro. Kedua orang ini cepat merunduk di balik semak belukar. Dua penunggang kuda berpakaian merah lewat dengan cepat. Salah seorang diantaranya hentikan kudanya tak jauh dari semak belukar dimana Wiro dan Sawitri mendekam. Kawannya berbalik mendatangi. Kau pasti tidak melihat bayangan orang di sekitar tempat ini? bertanya penungggang kuda pada kawannya yang mendatangi. Kukira kau salah penglihatansejak di bawah tadi. Mari kita teruskan perondaan ke arah timur bukit! Begitu kedua petugas bukti Kemukus berlalu, Sawitri menarik nafas lega. Hampir celaka. Kalau mereka sampai melihat kita di daerah terlarang ini, celakalah kita berdua. Ayo cepat tinggalkan tempa ini

Mengendap-endap kedua orang iu bergerak menuruni bukit. Tapi baru jalan beberapa langkah tiba-tiba dari arah bangunan beratap lancip terdengar suara salakan anjing riuh sekali. Wiro menarik Sawitri ke balik sebatang pohon besar dan memandang ke arah istana ratu. Apa yang terjadi.? Tanya Pendekar 212 Anjing-anjing itu mengejar seseorang. Demi Tuhan, aku harap bukan kita yang mereka kejar! sahut Sawitri dengan suara gemetar. Sesaat kemudian tampak empat ekor anjing raksasa berlari sambil menggonggong, mengejar seorang lelaki yang berusaha menyelamatkan diri melompati pagar istana Ratu Kemukus. Namun sebelum mencapai pagar, empat anjing itu telah berhasil mengejarnya. Tak ada jalan lain. Orang yang dikejar tampak mencabut sebilah golok lalu membacok anjing pertama yang menyerangnya. Namun binatang yang bertubuh hampir sebesar harimau itu bukan lawan manusia sekalipun bersenjata. Apalagi ada empat ekor anjing yang harus dihadapi. Orang bergolok hanya sempat keluarkan suara raungan menggidikkan sebelum tubuhnya dicabik-cabik! Manusia tolol! desis Sawitri. Siapa yang tolol?! bertanya Pendekar 212. Orang yang barusan dicabik anjing-anjing hutan penjaga ratu! Dia pasti nekad mencoba bertemu dengan ratu tanpa izin. Dia tentunya punya alasan mengapa ingin menemui ratu. Alasan apalagi kalau bukan bermaksud dijadikan lelaki penghibur ratu. Ada semacam sayembara yang dibuat oleh Ratu Kemukus. Siapa saja laki-laki yang sanggup masuk ke dalam istana ratu, dirinya akan dijadikan teman dan penghibur ratu seumur hidup. Kabarnya sudah puluhan jago dan orang berkepandaian tinggi mencoba. Namun mereka tidak sanggup melewati empat anjing hutan itu. Nah, apakah kau juga mau nekad..? Wiro garuk-garuk kepalanya. Lalu bersama Sawitri dia segera tinggalkan tempat itu sambil memaki. Gila! Tempat ini benar-benar gila! Aku tak mengerti bagaimana perempuan sepertimu betah berada di tempat ini! Aku dan teman-teman memang tidak betah. Tapi untuk lari sama saja mencari mati. Kami semua sudah pasrah! menyahuti Sawitri. Mereka sampai di hadapan sebuah bangunan tanpa atap yang berada dalam keadaan kosong. Sawitri langsung menarik Wiro Sableng masuk ke dalam bangunan itu. Begitu sampai di dalam perempuan muda bertubuh sintal dan putih ini terus saja membuka baju dan angkin yang membelit pinggangnya. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terperangah ketika dilain kejap dia dapatkan Sawitri sudah dalam keadaan tidak berpakaian lagi. Lalu enak saja perempuan ini menelentangkan tubuhnya di atas hamparan baju dan kain panjangnya. Hai! Tunggu apa lagi?! Sudah hampir tangah malam. Tiga orang langgananku masih menunggu. Ayo cepatlah. Tanggalkan pakaianmu. Hemm.. Wiro bergumam dan garuk kepala. Tadinya aku memang sangat berhasrat padamu Sawitri. Tapi begitu menyaksikan empat ekor anjing raksasa tadi mencabik-cabik tubuh lelaki itu, nafsuku jadi lenyap! Percuma saja. Malam Jumat depan saja aku kemari lagi. Sekarang biar aku pulang saja.. Sawitri tampak jengkel. Dengan gemas dia berdiri dan memeluk Pendekar 212. Dia merasakan ada sesuatu yang menyembul di pinggang pemuda itu. Senjata! Wiro keluarkan satu kepingan kecil perak lalu menyelipkannya di belahan payudara Sawitri. Ini untukmu sekarang beri tanda pada kertas biru ini.. Wiro keluarkan kertas biru yang didapatnya dari penjaga di jalan masuk. Kau tidak meniduriku. Bagaimana mungkin aku memberi tanda? Sawitri menolak. Kalau begitu biar kuambil kembali perak itu. Wiro pura-pura hendak mengambil kembali kepingan perak yang masih tersepit di celah antara payudara Sawitri. Belum pernah aku menerima tamu seanehmu! Kertas biru itu pertanda bahwa kau datang untuk bersenag-senang dan meminta ilmu. Sekarang tidurpun tidak malah

memberi aku hadiah. Lalu kau minta aku memberi tanda pada kertas itu seolah-olah kau sudah meniduriku! Katakan apa sebenarnya maksud kedatanganmu ke bukit Kemukus ini? Kau seperti curiga saja terhadapku.. Kami anak buah ratu bukit Kemukus wajib menjaga keamanan di kawasan ini! jawab Sawitri tegas. Wiro garuk-garuk kepalanya. Kau tak perlu curiga padaku Sawitri. Ketahuilah, aku seorang pemuda yang tengah mencario pasangan hidup.., berdusta Pendekar 212. Kurasa aku ingin memilihmu jadi istriku. Itu jika kau suka.. Paras Sawitri berubah. Tubuhnya yang telanjang kembali ditempelkannya pada Wiro. Dia menengadah bertanya tak percaya Betulkah kata-katamu itu? Jika tiba saatnya, tidak mudah meminta izin tratumu, bukan..? Aku tak tahu. Hal seperti ini belum pernah kejadian.. Mengapa kau tidak mau kulayani saat ini.? Seorang calon suami yang baik tidak mau melakukan hubungan sebelum nikah secara resmi ujar Wiro gombal. Tapi aku bukan perempuan baik-baik. Aku hanya seorang pelacur hina. Walaupun karena dipaksa. Ujar Sawitri pula dengan suara sayu pertanda hatinya mulai tersentuh dengan ucapan-ucapan sang pemuda. Aku tidak mempermasalahkan masa lalumu Sawitri, bisik Wiro. Aku juga rela kau menjalankan tugasmu sebagaimana biasa. Aku harap kau bisa bersabar sampai malam Jumat yang kedua puluh satu Perempuan muda itu mengangguk. Wiro memungut pakaian yang bercampakan di lantai lalu menyuruh Sawitri mengenakannya. Selesai perempuan itu berpakaian Wiro menyodorkan kembali kertas biru itu. Kali ini Sawitri tidak menolak. Dia mencabut sebuah benda kecil berbentuk paku hitam dari sanggulnya. Dengan benda ini dia membuat tulisan aneh di kertas biru sebelah atas. Terima kasih. Aku akan menemuimu lagi malam Jumat depan, kata Wiro seraya melipat lembaran kertas biru dan menyimpannya di saku baju putihnya. Aku pergi sekarang. Tunggu! Sawitri memegang lengan pemuda itu. Ada tanda lain yan harus kuberikan sebagai tanda kau telah meniduriku. Dari balik bajunya Sawitri mengeluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. Ketika penutup tabung itu dibuka, menghamburlah bau harum yang sangat tajam. Cairan wangi yang ada dalam tabung bambu itu dioleskan Sawitri ke pakaian Pendekar 212. Nah, kau boleh pergi sekarang. Tanda-tandamu sudah lengkap. Tak ada petugas ratu yang akan menahanmu! Kau calon istri yang baik! ujar Wiro sambil mengedipkan mata lalu mencium belahan dada Sawitri hingga perempuan ini menggelinyang kegelian. Warok ijo mengusap wajahnya yang berwarna hijau, menyedot roko kawung besarnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asapnya jauh-jauh dia baru berpaling pada anak buahnya yang berdiri di hadapannya. Ceritakan bagaimana hasi penyelidikanmu Tunggoro! Saya menyamar masuk ke desa Kenconowengi. Berpura-pura sebagai pedagang keliling. Bahkan sempat berhadapan muka dengan Jarotomo. Hebat! memuji Warok Ijo. Teruska ceritamu. Pemuda itu ternyata sudah diangkat menjadi kepala desa, menggantikan kepala desa yang kita bunuh tempo hari! Hemmm besar juga rejekinya anak muda itu. Tapi kematiannya akan jadi tambah dekat. Apa kau berhasil menyelidiki ilmu kebal yang dimilikinya? Saya berhasil Warok. Ternyata dia mendapatkan kepandaian itu dari Ratu Bukit Kemukus Warok Ijo terkesiap sesaat. Dicampakkannya rokok kawung yang dipegangnya lalu berdiri dan mundar-mandir beberapa kali sambil tiada hentinya memegangi kepalanya yang botak dan berwarna hijau itu. Ratu Bukit Kemukus! Apakah cerita isapan jempol itu benar-benar ada?! Apa bukit maksiat yang jadi wilayah kekuasaan perempuan mesum dan dipanggil dengan sebutan Ratu Kemukus itu betul-betul ada?!

Saya coba menyelidikinya Warok. Tapi tak punya waktu banyak karena harus kembali cepat-cepat kemari sesuai perintah Warok. Hanya ada satu petunjuk yang saya dapat dari seorang alim di desa itu yatiu bahwa segala ilmu yang diberikan oleh Ratu Bukit Kemukus bersifat tipuan belaka. Hanya bisa bertahan selama dua puluh satu hari. Setelah itu ilmunya akan hilang sendirinya. Warok Ijo menatap Tunggoro beberapa ketika lalu bertanya Kau tahu sudah berapa lama Jarotomo memiliki ilmu kebal itu.? Saya tidak tahu Warok. Tapi dugaan saya paling lama baru beberapa hari sebelum kita menjarah desa itu Warok Ijo coba menghitung-hitung. Kalau begitu, paling lama bangsat itu masih akan menguasai ilmu kebalnya sampai satu minggu dimuka. Setelah itu.. Warok Ijo sapukan jari telunjuknya di atas leher sebagai tanda penyembelihan! Lalu dia tertawa gelak-gelak. Tunggoro, minggu muka kau dan adikmu Tunggiri ikut aku. Kita akan menyelinap ke tempat kediaman kepala desa. Kalian akan saksikan apa yang akan kulakukan terhadap bangsat bernama Jarotomo itu! Tiga ekor kuda yang dipacu kencang hampir saja melabrak Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berjalan memasuki desa Kenconowengi. Pendekar ini memaki habis-habisan. Malam-malam buta begini, tiga orang menunggang kuda seperti dikejar setan. Aku menaruh curiga. Jangan-jangan mereka orang-orang yang hendak berbuat kejahatan..Apa salahnya kalau aku coba menguntit.. Berpikir sampai disitu, Wiro segera kerahkan ilmu lari kaki angin yang didapatnya dari sang guru Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede. Meskipun tak mungkin baginya untuk lari menyamai kecepatan kuda namun tiga penunggang kuda itu masih sanggup dikuntitnya dari jarak tertentu dan tak akan lepas dari pengejarannya. Ternyata orang-orang itu menuju ke pinggiran desa sebelah timur, melewati perkebunan kelapa hingga akhirnya sampai di sebuah gubuk. Ini rumah keparat itu?! tanya penunggang kuda sebelah depan yang bukan lain adalah Warok Ijo. Tunggoro mengengguk. Jebol pintu depannya, suruh Jarotomo keluar. Jika dia tidak mau keluar bakar gubuk itu! Tunggoro memberi isyarat pada adiknya yaitu Tunggiri agar mengikuti. Adik kakak ini begitu turun dari kudanya segera melangkah cepat mendekati gubuk yang dari luar tampak sunyi dan gelap. Jarotomo! Kepala desa Kenconowengi kepaat! Lekas keluar! Kami orangorang Warok Ijo ingin bicara denganmu! berteriak Tunggoro. Tak ada yang menjawab. Tak ada suara apapun dari dalam gubuk. Tunggoro berpaling pada Warok Ijo. Sang Warok anggukkan kepala. Melihat anggukan ini Tunggoro langsung menendang pintu gubuk sehingga hancur berantakan. Bersama adiknya dia menyelidiki ke dalam. Tak selang berapa lama Tunggiri muncul di pintu, memberi tanda pada Warok Ijo bahwa orang yang mereka cari tidak ada di gubuk itu. Bakar gubuk busuk itu! berteriak Warok Ijo. Tunggiri yang memang sudah menyiapkan sebuah obor segera menyalakan obor itu lalu melemparkannya ke atas atap gubuk. Karena atap gubuk terbuat dari rumbia yang sudah sangat kering dan lapuk, maka dalam sekejap saja gubuk kecil itu sudah dilamun api. Dalam waktu singkat bangunan itu telah berubah jadi reruntuhan hitam yang nyaris hampir rata dengan tanah!. Bagus! Sekarang keparat itu akan keleleran di jalan-jalan. Akan lebih mudah bagi kita menemukannya! Anak-anak tinggalkan tempat ini! berseru Warok Ijo. Tunggoro dan Tunggiri segera melangkah kembali ke kuda masing-masing, namun sebelum keduanya sempat naik ke atas kuda masing-masing, satu suara menegur dari kegelapan. Kalian telah membakar gubukku! Apa kalian sangka bisa pergi seenaknya?! Tinggalkan lengan kanan masing-masing di tempat ini! Tunggoro dan adiknya tersentak kaget, cepat berpaling ke kiri. Sesosok tubuh melangkah keluar dari gelap bayangan pohon. Ternyata adalah Jarotomo, pemuda

berambut gondrong yang kini jadi kepala desa Kenconowengi. Melihat siapa yang muncul ini Warok Ijo segera melompat turun dari kudanya. Jadi inilah kepala desa Kenconowengi yang baru! Luar biasa. Masih beini muda, berilmu tinggi tapi nyawa hanya tinggal sejengkal! Ha ha ha.! Kau tahu, kami sengja membakar gubuk busuk itu karena tidak pantas untuk tempat kediaman seorang kepala desa sepertimu! Kami akan memberikan tempat kediaman baru bagimu Jarotomo! Yaitu liang kubur! Warok Ijo dan dua anak buahnya tertawa gelak-gelak. Pelajaranku tempo hari rupanya masih belum cukup. Majulah lebih dekat jika ingin pelajaran tambahan! berkata Jarotomo penuh percaya diri. Warok Ijo meludah ke tanah. Pemuda takabur! Sudah mau mampus masih bicara sombong! Warok Ijo yang masih menyangsikan apakah ilmu kebal pemuda itu benarpbenar sudah lenyap karena telah lewat dua puluh satu hari tidak mau turun tangan lebih dahulu. Karena itu dia memberi isyarat pada kedua anak buahnya agar segera menyerang Jarotomo. Tunggoro dan Tunggiri, sesuai dengan yang telah diatur sebelumnya melancarkan serangan dengan mengandalkan tangan kosong. Dua adik kakak ini menghantam dangan jotosan tangan kanan, satu mengarah ke muka pemuda yang baru saja diangkat jadi kepala desa itu sedang saunya lagi menggebuk ke arah perut. Jarotomo menyeringai. Dia tegak tak bergerak penuh percaya diri akan ilmu kebal yang dimilikinya, sengaja menunggu datangnya serangan. Buukkk! Buukkk! Dua jotosan mendarat di sasaran masing-masing dengan telak! Terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya oleh Jarotomo. Pemuda ini menjerit kesakitan. Kepalanya terbanting ke belakang begitu jotosan Tunggoro mendarat di pipi kanannya. Selagi terjajar, perutnya sudah dilabrak tinju Tunggiri hingga kalau tadi tubuhnya terhuyung ke belakang, kini malah terlipat ke depan! Rasa sakit dua jotosan itu mungkin masih sanggup ditahan oleh Jarotomo walaupun dia sempat keluarkan suara jeritan. Namun yang membuatnya jadi kucurkan keringat dingin adalah mendapatkan kenyataan bahwa ilmu kebalnya tidak bekrja hingga muka dan perutnya berhasil dihantam lawan! Tidak percaya kalau ilmu kebalnya memang tidak ada lagi, Jarotomo melompat ke depan mendahului menyerang lawan. Yang diarahnya adalah Tunggiri. Kepalannya mendesing ke arah kepala anak buah Warok Ijo tiu. Namun setengah jalan serangannya itu dapat ditangkis, malah kini untuk ke iga kalinya jotosan balasan menyodok ulu hatinya hingga Jarotomo keluarkan suara seperi orang muntah dan kembali tubuhnya terjajar! Pucatlah paras Jarotomo. Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa ilmu kebalku tidak bekerja?! Aku tidak merasa melanggar pantangan! Di hadapannya Tunggoro dan Tunggiri sudah siap untuk menyerbu. Saat itu Warok Ijo telah melompat turun dari kudanya seraya berkata Anak-anak! Mundur! Biar aku yang membereskan cecurut satu ini! Sreet! Belum apa-apa Warok Ijo sudah cabut goloknya, pertanda bahwa dia memang ingin membunuh Jarotomo secepat yang bisa dilakukannya! Warok Ijo melangkah maju mendekati pemuda yang bakal dijadikan mangsa golok besarnya sementara Jarotomo mundur dengan ketakutan. Pemuda ini sudah bersiap-siap utnuk melarikan diri. Namun belum sempat dia memutar tubuh, kepala gerombolan itu sudah menggerakkan tangan kanannya. Golok besar berkelebat ke arah pinggang. Jarotomo berteriak Jangan! Jangan bunuh aku! Aku mohon ampunmu Warok Ijo! Rupanya Warok Ijo kini sengaja hendak mempermaikna calon korbannya lebih dahulu. Sambil menyeringai dia berkaa Manusia jagoan! Ayo perlihatkan kehebatan ilmumu pada Warok Ijo! Kenapa takut?! Bukankah kau punya ilmu kebal?! Ampun Warok! Aku tidak puinya ilmu apa-apa..!

Warok Ijo tertawa mengekeh. Kalau kau memang minta ampun ulurkan ke dua tanganmu dan berlututlah di hadapanku! Percaya bahwa orang memang hendak mengampuninya, dengan tubuh menggigil dan kuyup oleh keringat dingin, Jarotomo jauhkan diri berlutut lalu ulurkan kedua tangan seperti sikap orang sendang menyembah. Bagus! Ini pengampunan unutkmu! Crass! Jarotomo menjerit setinggi langit ketika pergelangan tangan kanannya dibabat putus. Darah menyembur dari kutungan tangan itu! Warok Ijo tertawa gelak-gelak. Ulurkan tangamu satu lagi Jarotomo! Tidak! Jangan Warok! Jangan..! Kalau kautak mau berikan tangan, lehermu gantinya! Pembalasanku tidak tanggung-tanggung! Kau telah membunuh beberpa anak buahku! ujar Warok Ijo. Rahangnya mengggembung. Goloknya kini dibabatkan ke arah batang leher Jarotomo. Pemuda tak berdaya ini coba mengelakkan sambaran golok dengan jatuhkan diri ke tanah. Dia berhasil lolos dari sambaran senjata kepala gerombolan itu, namun beitu jatuhnya di tanah tendangan kaki kanan sang Warok menghantam bahunya. Terdengar suara kraak tanda patahnya tulang bahu kepala desa Kenconowengi itu. Jarotomo terkapar dan menggerung kesakitan. Dia tak bisa berbuat apapun ketika kemudian Warok Ijo mendatangi dan menginjak dadanya. Dia melihat ujung golok ditusukkan dengan deras ke arah perutnya. Jarotomo hanya mampu menjerit. Lalu crass! Golok di tangan Warok Ijo menembus perut. Tapi bukan perut Jarotomo. Melainkan perut sesosok tubuh yang tiba-tiba saja melayang dari arah kegelapan seperti dilemparkan. Lalu terdengar suara jeritan. Jeritan itu adalah jeritan Tunggoro! Di atas tubuh Jarotomo kini menggeletak membelintang sosok tubuh Tunggoro. Perutnya ambrol, darah mengucur dan ususnya melembung keluar! Jaroomo menjerit ngeri ketika darah anggota rampok itu panas dan amis membasahi tubuhnya yang terhimpit di sebelah bawah. Akan Warok Ijo sendiri kagetnya bukan olah-olah! Bansat keparat! Apa yang terjadi ini! teriaknya memaki. Tunggoro! Kau..! Warok Ijo tarik tangan kiri Tunggoro hingga orang itu kini terbujur di tanah. Tunggiri saat itu telah menubruk kakaknya dan keluarkan teriakan tegang! Warok! Kenapa kau membunuh anak buah sendiri?! Mengapa kau bunuh kakakku?! Tunggiri berteriak dan tampak kalap. Dia melompat hendak mencekik Warok Ijo.Kepala gerombolan ini tentu saja jadi naik pitam dan hantamkan gagang goloknya ke kepala Tunggiri hingga anak buahnya ini melintir dan roboh ke tanah. Tunggoro! bentak Warok Ijo. Sebelum kau mampus lekas katakan mengapa kau berusaha menolong pemuda keparat itu hingga tubuhmu yang tertambus golokku! A.. aku Aduh! A.. aku bukan men..menolong. Seseorang melemparkanku ke arahmu. Tep. Tepat pada saat kau men.. menusukkan golok. Aku. Ucapan Tunggoro terputus samapi di situ. Nyawanya lepas sudah! Seseorang melemparkanmu katamu, Tunggoro?! mengulang Warok Ijo. Perlahan-lahan dia memandang berkeliling, lalu berpaling ke jurusan dari mana tadi tubuh anak buahnya itu melesat. Dalam gelap, di bawah bayang-bayang pepohonan dia melihat sesosok tubuh berpakaian dan berikat kepala putih tegak tak bergerak sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Hem. Ini setan alasnya yang melemparkan Tunggoro hingga jadi korban? Kelihatannya masih muda. Berucap Warok Ijo dalam hati. Lalu dia membentak Bangsat dalam gelap! Maju ke hadapanku, perlihatkan ampangmu! Orang yang dibentak keluarkan suara tertawa lalu melangkah dan berhenti empat langkah di hadapan Warok Ijo. Kedua tangannya masih mendekap di depan dada. Sikapnya yang cengar-cengir seperi mengejek dan tidak memandang sebelah mata kepada kepala gerombolan rampok yang ditakuti itu. Kau yang melemparkan anak buahku hingga tertambus golokku sendiri?! tanya Warok Ijo. Betul! jawab orang yang ditanya. Apa menurutmu itu masih kurang! Apa

anak buahmu yang satu lagi itu mau kulemparkan juga?! Setan alas! mendidih amarah Warok Ijo. Tangan kanannya bergerak. Golok tajam berkelebat mengeluarkan suara mendesing, menyambar ke arah batang leher pemuda yang tegak empat langkah di hadapannya. Yang diserang membuat gerakan ringan dan mampu mengelakkan serangan maut itu. Tentu saja semakin menggelegak amarah Warok Ijo. Didahului teriakan keras dia menyerbu dangan serangan berantai. Goloknya tidak kelihatan lagi dalam kegelapan, hanya suaranya saja yang terdengar berdesign-desing mengerikan. Orang yang diserang, yaitu si rambut gondrong Wiro Sableng, membuat gerakan aneh. Dia seperti berjingkrak-jingkrak seenaknya nemun gerakannya itu mampu mengelakkan serangan-serangan ganas golok Warok Ijo sehingga penjahat ini akhirnya hentikan serangan dengan nafas mengengah. Kedua matanya yang sipit mendelik. Keringat membasahi muka berwarna hijau itu sampai ke kepalanya yang botak. Anjing kurap! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan ilmumu! Tapi aku mau tanya dulu! Katakan siapa dirimu dan apa sangkut pautmu dengan kepala desa itu hingga enak daja turun tangan mencampuri urusan orang?! Dipanggil anjing kurap Pendekar 212 hanya menyeringai. Lalu membalas Anjing buduk kepala hijau! Lebih satu tahun kau dan anak buahmu malang melintang menebar kejahatan. Merampok dan membunuh, menculik dan memperkosa. Malam ini semua itu akan berakhir, anjing buduk. Kau aka kukirim ke liang kubur untuk makan tulang belulang anak buahmu sendiri! Bagus! Kau ternyata punya nyali! Aku mau lihat apa kau juga punya kesanggupan menerima pukulanku ini! Habis berkata begitu Warok Ijo merapal aji kesaktiannya lelu tangan kanannya yang telah berubah menjadi hijau dihantamkan ke arah Pendekar 212! Wuuuttt! Sinar hijau menyambar mengeluarkan suara menderu. Inilah pukulan sakti kelabang ijo yang mengandung racun mematikan. Beberapa waktu lalu pukulan sakti ini ternyata tidak mempan terhadap Jarotomo yang saat itu masih memiliki ilmu kebal yang didapatnya dari Ratu Bukit Kemukus. Kecuali pemuda yang diserangnya ini juga memiliki ilmu kebal itu maka jangan harap dia bisa lolos dari rengutan maut. Dari sinar pukulan lawan, murid Sinto Gendeng sudah dapat menduga keganasan pukulan sakti lawan. Maka cepat-cepat dia menyingkir dangan melompa ke kiri. Berbarengan dengan itu dia lancarkan serangan balasan dengan menghantamkan pukulan tameng sakti menerpa hujan. Dua pukulan sakti mengeluarkan suara berdentum ketika saling beradu di udara. Warok Ijo merasakan kedua kakinya bergetar keras membuatnya hampir jatuh kalau tidak cepat-cepat mengimbangi diri. Di seberang sana Wiro Sableng tak kalah kagetnya. Dia memang berhasil menghantam musnah pukulan sakti lawan, tapi pukulannya sendiri ikut berantakan. Disamping itu dadanya terasa sesak dan mendenyut sakit. Cepat-cepat Wiro kerahkan tenaga dalam, atur jalan nafas dan peredaran darah. Selagi dia melakukan hal itu Warok Ijo kembali menggempur dengan serangan yang sama tapi kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Pendekar 212 Wiro Sableng jatuhkan dirrinya sama rata dengan tanah. Tak urung punggungnya masih sempat tersambar angin pukulan lawan. Wiro merasakan punggungnya perih dan panas. Di depan sana dilihatnya Warok Ijo kembali hendak melepaskan pukulan kelabang ijo. Kali ini tanpa pikir panjang lagi Wiro segera bangun dan dalam keadaan setengah berlutut dia langsung lepaskan pukulan sinar matahari! Sinar hijau pukulan sakti Warok Ijo dan sinar putih pukulan sakti Pendekar 212 saling baku hantam di udara. Terdengar dentuman dahsyat disertai getaran di tanah seperti ada lindu. Pendekar 212 jatuh duduk terjengkang, sesaat merasakan tubuhnya seperti tergontai-gontai. Di depan sana sosok Warok Ijo tampak masih tegak, tetapi pakaian hijaunya telah berubah gosong dan mengepulkan asap. Sekujur kulit tubuhnya dari kaki sampai ke kepalanya yang botak telah berubah warna menjadi merah melepuh. Kepala penjahat ini maju dua langkah. Pada langkah ketiga kedua kakinya menekuk. Dilain saat tubuh yang hangus itu tergelimpang roboh. Terdengar

satu keluhan pendek keluar dari mulut Warok Ijo. Setelah itu tubuhnya tak berkutik lagi! Wiro memandang ke sebelah kiri. Ada orang yang tergelimpang di tanah. Ternyata Tunggiri yang telah menjadi mayat akibat tersapu oleh dua kekuatan sakti yang meledak dahsyat. Di bagian lain Jarotomo lebih beruntung. Sewaktu terjadi adu kekuatan pukulan sakti tadi, sebelumnya dia telah berusaha merangkak dan berlindung di balik sebatang pohon hingga dirinya selamat. Wiro dekati pemuda ini. Dilihatnya wajah Jarotomo seputih kertas. Darah masih mengucur dari tangan kanannya yang buntung. Cepat Wiro menotok jalan darah urat besar di tangan kanan pemuda malang itu. Kucuran darah segera berhenti. Sahabat, aku tidak punya banyak waktu lama. Aku butuh beberapa keterangan darimu.. berkata Wiro. Jarotomo mengangguk. Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku, kisanak. Apa benar kau pernah mendapatkan ilmu kesaktian dari Ratu Bukit Kemukus.? Ah.. jangan tanyakan hal itu.Aku tidak tahu apakah aku benar-benar pernah mendapatkna ilmu itu atau tidak. Nyatanya aku tak sanggup menghadapi para penjahat itu. Tanganku bahkan dibacok putus! Padahal masih beberapa hari yang lalu aku tak mempan dipukul, tak mempan senjata tajam, bahkan tak mempan pukulan sakti. Nyatanya kini.. Tapi kau pernah meminta ilmu kepandaian ke bukit Kemukus dan mendapatkannya dari ratu sana.? Jarotomo mengangguk. Aku diberikan ilmu kebal. Tapi ternyata kini aku tidak kebal lagi.. Jadi kau pernah beremu muka dengan sang ratu? tanya Wiro lagi. Ya.. Dapat kau menceritakan ciri-ciri perempuan itu? Dia masih muda. Cantik sekali. Tetapi hatinya lebih jahat dari iblis. Jika dia tidak berkenan atau tidak suka pada seseorang, dia bisa saja membunuh orang itu semudah dia menjetikkan jarinya..Eh, kisanak. Mengapa kau menanyakan ratu Kemukus. Apakah kau berniat hendak pergi ke bukit itu..?! Aku tengah mencari seseorang. Jawab Wiro pula. Namun ciri-cirinya jauh berbeda dengan yang kau katakan. Mungkin bukan dia orangnya Dia siapa? Maksudmu sang ratu? tanya Jarotomo. Yang kucari seorang nenek keriput. Dia telah mencuri sebuah tusuk kundai milik guruku, bahkan nyaris membunuh guru.. Wiro berdiam sejenak. Lalu bertanya kembali Waktu kau bertemu ratu Kemukus, apa saja yang dilakukannya terhadapmu..? Paras pucat Jarotomo tampak merah sekejapan. Aku malu mengatakannya padamu kisanak. Wiro tertawa lebar. Kita sama-sama lelaki. Mengapa harus malu? Aku yakin perempuan itu terpikat padamu.. Jarotomo menarik nafas dalam. Aku. Waktu itu aku harus melayani nafsu terkutuknya. Selama satu minggu aku dikurung dalam sebuah kamar. Kamar itu pasti terletak di rumah berbentuk aneh di puncak bukit Kemukus! memotong Wiro Eh, bagaimana kau bisa tahu. Berarti kau pernah ke sana.. Wiro tertawa dan manganggukkan kepala. Kisanak hati-hatilah jika kau berada di kawasan bukit Kemukus. Nyawamu bisa terancam walau di sekitarmu kau melihat sorga dunia yang disuguhkan oleh orang-orang sang ratu.. Satu lagi pertanyaanku. Selama satu minggu kau selalu bersama-sama sang ratu. Apakah kau melihat kelainan atau cacat pada lengan kanannya? Jarotomo menggeleng. Sekujur tubuhnya mulus..Sama sekali tak ada cacat sedikitpun Kalau begitu memang bukan dia rupanya Tapi aku tetap harus datang lagi malam Jumat depan. Segala sesuatanya bisa terjadi secara tidak terduga.

Setelah membatin begitu Wiro berkata pada Jarotomo bahwa dia harus pergi saat itu juga. Aku berterima kasih padamu kisanak. Kalau umur sama panjang aku ingin bertemu lagi denganmu.. Wiro tersenyum mendengar kata-kata Jarotomo itu. Ditepuknya bahu si pemuda lalu memutar tubuh hendak tinggalkan tampat itu. Baru satu langkah menindak Wiro mengerenyit. Punggungnya terasa sakit sekali seperti ada ratusan jarum yang menusuk! Di belakangnya tiba-tiba terdengar seruan Jarotomo. Kisanak, kau keracunan! Wiro membalik sambil merata punggungnya. Astaga! Bajunya di bagian punggung ternyata telah robek besar dan kulit punggungnya terasa panas! Angin pukulan kelabang ijo! Pasti pukulan yang tadi dilepaskan oleh Warok Ijo itulah yang menyebabkan. Punggungmu tampak hijau dan ada bintik-bintik hitam.. berkata Jarotomo. Murid Sinto Gendeng segera keluarkan senjata mustikanya. Jarotomo terkesiap melihat senjata berbentuk kapak dan mengeluarkan cahaya itu. Senjatamu luar biasa sekali! kata Jarotomo penuh kagum. Wiro ulurkan Kapak Maut anga Geni 212 kepada Jarotomo seraya berkata Tolong kau sapukan mata kapak ini ke bagian punggungku yang berwarna hijau.. Wiro buka pakaiannya yang telah koyak lalu duduk membelakangi Jarotomo. Seperti yang dikatakan Wiro, dengan tangan gemetar Jarotomo sapukan mata kapak ke punggung yang berwarna kehijauan akibat pukulan beracun Warok Ijo. Begitu mata kapak menyentuh punggungnya, Wiro merasakan dagingnya terasa dibetot dan sakit bukan kepalang hingga dia menggigit bibir menahan sakit. Luar biasa! tedengar Jarotomo berseru. Apa yang terjadi? Apa yang kau lihat Jarot? tanya Wiro sementara keringat membasahi keningnya karena diam-diam dia harus mengerahkan tenaga dalam untuk terlepas dari bahaya racun yang bisa mencelakai bahkan dapat membunuhnya. Warna hijau di punggungmu lenyap perlahan-lahan. Juga bintik-bintiknya. Kini kedua mata kapak yang tampak berubah kehijauan. Wiro menjadi lega mendengar keterangan itu. Kalau mata kapak kini yang berwarna hijau berarti senjata mustika itu telah berhasil menyedot racun jahat yang ada di tubuhnya. Jika warna hijau dan bintik-bintik di punggungku sudah hilang, hentikan usapkan senjata itu. Sedikit lagi, sedikit lagi kisanak. terdengar suara Jarotomo bergetar. Perubahan suara yang tengah menolongnya itu memberi isyarat tidak enak pada Pendekar 212. Lalu dirasakannya mata kapak tidak lagi menempel dan menyapu di pungungnya. Dia menoleh ke belakang. Tepat saat itu dilihatnya tangan kiri Jarotomo yang memegang senjata tengah mengayunkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke kepalanya! Wutt! Senjata itu mendesing seperti suara ratusan tawon mengamuk. Sinar menyilaukan berkiblat. Wiro merasakan ada hawa panas dari senjata mustika itu membersit ke arahnya! Gila! Senjatanya sendiri hendak dipakai membunhnya! Sambil berteriak marah Pendekar 212 jatuhkan dirinya ke tanah lalu berguling. Kapak Naga Geni 212 menderu dua jengkal di atas kepalanya. Begitu jatuh di tanah Wiro berguling ke kiri dan bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang ke arah dada Jarotomo! Terdengar pekik pemuda kepala desa Kenconowengi itu. Tubuhnya mencelat samapi dua tombak. Kapak Naga Geni 212 terlepas dari tangannya.Wiro usap keringat dinginnya dan cepat ambil senjata mustika yang tercampak di tanah lalu melompat ke hadapan Jarotomo. Manusia tak kenal budi! bentak Wiro. Mengapa kau hendak membunuhku?! Jarotomo tampak sulit hendak menjawab. Tulang dadanya melesak hancur. Beberapa tulang iganya patah dan dari sela bibirnya tampak ada darah meleleh.

Nafasnya keluar dari hidungnya terdengar menyengal. Bangsat! Jawab pertanyaanku! teriak Wiro. Aku.. entah mengapa..tiba-tiba saja ingin memiliki senjatamu itu..maafkan aku kisanak. Manusia tolol! maki Wiro. Dia tahu kalau umur pemuda itu tak bakal lama. Tanpa perduli lagi Wiro tinggalkan orang yang sedang sekarat itu. Begitu pintu besar itu terbuka, muncullah sebuah kepala perempuan tua berwajah buruk. Hemmmm.. kau! Kowe ada keperluan apa Sawitri? Ada hal penting yang harus saya laporkan pada Ratu. Ratu sedang sibuk. Laporkan saja padaku, nenti kusampaikan padanya! berkata perempuan tua berwajah angker itu. Harap maafkan diriku Nenek Agung. Laporan ini harus saya sampaikan sendiri pada ratu. Begitu.? Si nenek berwajah angker perlihatkan wajah sinis. Kau tunggulah sebentar. Akan kuberi tahu kedatanganmu. Jika ratu berkenan menerimamu kau bisa bertemu dengan dia. Tapi jika ratu marah karena merasa diganggu, apakah kau sudah siap untuk mati?! Sesaat paras Sawitri menjadi pucat. Tapi.. Tapi apa?! sentak si perempuan tua yang dipanggil dengan sebutan Nenek Agung itu. Justru yang hendak aku laporkan ini menyangkut keselamatan bukit Kemukus, termasuk keselamatan ratu kita! Hemm begitu? Kau tunggu di sini. Jangan pergi sampai aku datang lagi! Si Nenek Agung berkata lalu menghilang di balik pintu yang ditutupkan. Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka kembali. Nenek Agung muncul menyeringai. Nasibmu mujur. Kau boleh masuk. Langsung menuju ruangan tamu. Tunggu ratu di sana.. Sawitri masuk. Sperti yang dikatakan perempuan tua tadi dia langsung menuju ke sebuah ruangan tamu yakni sebuah ruangan besar beralaskan permadani lebar dan tebal. Tak ada perabotan di ruangan itu, kecuali bantal-bantal besar yang bertebaran di mana-mana. Pada salah satu dinding ruangan terpampang lukisan besar orang perempuan berparas cantik jelita, berdiri tegak dipuncak bukit, mengenakan pakaian biru muda sangat tipis yang tampak seperti berkibar-kibar ditiup angin. Di bawah pakaian tipis itu dia tidak mengenakan apa-apa hingga sekujur auratnya kelihatan hampir telanjang. Itulah lukisan Ratu Bukit Kemukus. Perlahan-lahan, dengan hati-hati sawitri duduk di salah satu bantalan. Dia menunggu cukup lama ketika akhirnya sang ratu muncul diiringi Nenek Agung. Ternyata perempuan yang muncul ini memiliki wajah yang jauh lebih cantik dari lukisan dinding. Tubuhnya yang semampai terbalut oleh pakaian berwarna hijau muda yang tembus pandang memperagakan auratnya yang bagus dan memutih kencang. Sawitri cepat berdiri dan membungkuk hormat. Menurut Nenek Agung kau datang untuk melaporkan sesuatu yang menyangkut keselamatan diriku dan bukit Kemukus. Betul.? Ratu Bukit Kemukus menegur. Suaranya mengalun lembut tetapi penuh kharisma. Betul sekali ratu. Mohon maafmu kalau. Langsung saja katakan apa yang hendak kau sampaikan! memotong sang ratu. Sejak tiga minggu belakangan ini saya kedatangan tamu muda aneh dan mencurigakan.. Aneh dan mencurigakan bagaiman? Dia memiliki kertas biru. Tapi samapi tiga kali datang kemari dia tidak pernah melakukan hubungan badan. Dia banyak bertanya mengenai ratu. Setiap datang dia selalu berkeliling seolah-olah tengah melakukan penyelidikan. Pling sering dia mendekati bangunan ini dan memperhatikan lama sekali.. Aku belum melihat keanehan dan kecurigaan! berkata Ratu Bukit Kemukus. Mendengar kata-kata ratunya itu Sawitri meneruskan. Setiap datang pemuda itu selalu minta saya membubuhi tanda di kertas biru. Dia juga minta bajunya

dibubuhi minyak wangi. Jelas dia bermaksud mengelabui para penjaga di jalan masuk dan jalan keluar. Penjagaan oleh petugas-petugas berpakaian seragam dan berpakaian biasa di bukit ini tak memungkinkan siapa saja bisa berbuat sesuatu yang tidak diingini. Apa yang kau sampaikan bagiku tetap tak ada artinya.. Sang ratu memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Nenek Agung perlihatkan tampang cemberut pada Sawitri. Ada satu hal lagi ratu.. Sawitri tiba-tiba membuka mulut lagi. Ratu Bukit Kemukus hentikan langkah. Tapi dia sama sekali tidak berpaling. Tegak menunggu. Pemuda itu membekal sebuah senjata aneh, ratu! Bagaiman kau bisa tahu?! tanya Ratu Bukit Kemukus pula. Ketika dia memeluk saya, terasa ada benjolan di bagian perutnya. Ratu Bukit Kemukus berpaling lalu tertawa panjang. Tentu saja dia membekal senjata seperti itu! Senjata yang dibawanya sejak lahir! Nenek Agung, suruh dia pergi! Dia hanya menghabiskan waktuku saja! Nenek Agung melangkah mendekati Sawitri. Sebelum ditarik pergi Sawitri masih berusaha meyakinkan ratunya. Pemuda itu bukan membekal golok atau keris, ratu. Tapi sebilah senjata aneh.. Kau tidak melihatnya. Bagaimana bisa mengatakan senjata aneh? Karena ketika senjata di balik pakaian itu menyentuh diri saya, tubuh saya terasa bergetar aneh.. Apakah pemuda itu bertampang gagah? Ratu Bukit Kemukus bertanya. Terus terang, walau lagaknya sering kali konyol dan suka bergurau, tapi wajahnya memang cakap. Rambutnya gondrong sebahu dan tubuhnya Siapa nama pemuda itu? Harap maafkan saya . Sampai kedatangannya yang ketiga dia tidak memberitahu namanya.. Itu satu kelalaian Sawitri! yang bicara adalah Nenek Agung. Kau harus tahu nama setiap tamumu. Apalagi dia akan menidurimu sebanyak dua puluh satu kali! Tapi pemuda gagah itu tidak melakukannya terhadapku.. sahut Sawitri. Kalau begitu.. terdengar sang ratu berucap. coba panggil penjaga jalan masuk yang bertugas melakukan pencatatan nama-nama para tetamu. Sang ratu anggukkan kepalanya kepada Nenek Agung. Perempuan tua itu mengerling jengkel ke arah Sawitri namun dia cepat meninggalkan ruangan itu. Tak lama kemudain dia kembali bersama seorang lelaki bertubuh tinggi besar, mengenakan pakaian merah dan bertampang galak. Tapi di hadapan sang ratu kegalakannya lenyap, dia berubah menjadi seekor kucing kuyu. Kau yang bertugas mencatat nama-nama para tetamu di jalan masuk? Betul ratu jawab petugas itu sambil membungkuk dalam. Coba kau ingat-ingat nama seorang pengunjung. Masih muda berambut gondrong sebahu. Berpakaian warna..Sawitri, apa warna pakaian pemuda itu?! bertanya Ratu Bukit Kemukus. Dia selalu mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Menjelaskan Sawitri. Penjaga jalan masuk itu mengingat-ingat sebentar, lalu memeriksa kertas berisi nama-nama para pengunjung. Sesaat kemudian terdengar dia berkata Mungkin yang ini orangnya. Namanya Wiro.. Siapa?! tanya sang ratu. Namanya Wiro. Mengulang petugas berpakaian merah itu. Tampak perubahan pada paras Ratu Bukit Kemukus. Ketika dia bertanya lagi jelas suaanya agak bergetar. Wiro apa..? Hanya Wiro saja, ratu.. jawab si petugas seraya membunkuk. Ratu Bukit Kemukus merenung sesaat. Lalu Apakah pemuda itu mempunyai kebiasaan suka menggaruk-garuk kepala atau rambutnya? Betul sekali ratu.. jawab Sawitri dan si penjaga berbarengan. Kalian semua boleh pergi! Saya juga ratu? tanya Nenek Agung.

Semua kataku! sentak Ratu Bukit Kemukus. Ketiga orang itu mejura dalam-dalam lalu cepat-cepat tinggalkan ruang tamu itu. Setelah berada sendirian, Ratu Bukit Kemukus melangkah mundar-mandir. Celaka. Kalau benar dia yang muncul urusan bisa berabe.. membatin sang ratu. Kedua tangannya diusapkan kemuka. Dia tersentak ketika merasakan bagaimana kulit wajahnya yang jelita itu mengendur. Diangkatnya tangan kanannya dan diperhatikannya lekat-lekat lengannya. Ah.. cacat bekas luka itu sudah muncul lagi. Aku harus berangkat ke Kotaraja malam ini juga! Cepat-cepat sang ratu tinggalkan ruangan tamu itu. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan pakaian halusnya mengeluarkan suara berdesir. Setiap goyangan pada tubuhnya menebar bau harumnya wewangian yang dipakainya. Tumenggung Sundorojati turun dari ranjang kamarnya di tingkat atas. Disingkapnya tirai jendela. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya. Dia memandang ke arah pintu halaman. Mneungu. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Pasti dia. Kata tumenggung ini dalam hati. Apa yang diduganya tidak meleset. Hanya sesaat kemudian tampak seorang berpakaian serba hitam, mengenakan cadar dan menunggangi kuda coklat memasuki pintu halaman. Seperti sudah biasa, penunggang kuda coklat ini lagsung menuju halaman belakang. Setelah manambatkan kudanya di sebuah tiang, orang ini bergegas menuju serambi belakang. Dia memandang berkeliling. Seorang pegawai bersenjatakan tomabak pendek muncul dari kegelapan. Tapi ketika mengenali orang bercada itu segera saja dia menjura lalu mengundurkan diri dan lenyap di halaman samping. Orang bercadar melangkah cepat menaiki tangga batu yang menuju tingkat atas bangunan di mana kamar Tumenggung Sundorojati terletak. Pintu kamar terbuka ketika orang bercadar samapaai pada anak tangga teratas. Tumenggung Sundorojati memberi isyarat. Tamu larut malam itu segera menyelinap masuk. Aku kira kau lupa akan jadwal kunjunganmu, Darmini. Seharusnya kau datang kemarin. Berkata Tumenggung Sundorojati, sorang lelaki yang berusia hampir enam puluh tahun. Tubuhnya kurus tinggi, seluruh rambut di kepalanya telah berwarna putih. Banyak masalah di bukit. Jawab tamu yang barusan datang. Ternyata suaranya suara perempuan. Dia duduk di sebuah kursi. Dari balik pakaian hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain yang kemudian diletakkannya di atas meja di sampingnya. Tumenggung Sundorojati segera menyambar kantong kain itu dan melemparkannya ke sebuah guci di sudut kamar dekat tempat tidur. Kau tidak menghitung jumlah uang dan kepingan perak di dalamnya Tumenggung? Tidak perlu. Dari besar dan beratnya sudah kuduga. Sama dengan bulanbulan sebelumnya. Ada kabar kurang baik untukmu Darmini. Atasanku minta upeti dilipat gandakan! Dilipat gandakan?! Tamu bercadar tersentak dan sesaat tertegak dari kursinya. Akhir-akhir ini tamu jauh berkurang dan banyak masalah terjadi di bukit. Bagaimana mungkin aku bisa memenuhi upeti yang dinaikkan sampai dua kali lipat begitu? Aku harus menemui atasanmu Tumenggung! Sudah kubilang sejak dulu. Dia tak mau ditemui. Segala urusan harus dilakukan melaluiku.. Kalau begitu kau sampaikan padanya rasa keberatanku! ujar sang tamu pula. Akan kusampaikan. Nah sekarang, apakah kau tidak akan menanggalkan pakaian luarmu dan membuka cadarmu? Aku sudah rindu pada wajah dan tubuhmu.. Tamu yang duduk di kursi berdiri dan perlahan-lahan tanggalkan pakaian luar yang dikenakannya. Ternyata pakaian ini hanya berupa mantel saja untuk menahan hawa dingin. Di bawah mantel orang itu mengenakan pakaian panjang berwarna biru tipis. Tumenggung Sundorojati memperbesar cahaya lampu dalam kamar hingga kini sepasang matanya dapat lebih jelas menembus ketipisan pakaian orang di

hadapannya. Perlahan-lahan tetamu itu kemudian membuka cadar yang sejak tadi menutupi wajahnya. Begitu cadar terbuka kelihatanlah wajahnya. Ternyata sang tetamu yang disebut dengan nama Darmini itu bukan lain adalah Ratu Bukit Kemukus. Ah.. Wajahmu tetap cantik. Namun kulit mukamu tampa mengendur.. berkata Tumenggung Sundorojati seraya melangkah mendekati lalu merangkul tubuh perempuan itu kuat-kuat. Tangannya menjelajah ke bawah. Berikan obat itu lebih dahulu Tumenggung. Baru nannti kita berpuas-puas.. bisik Ratu Bukir Kemukus. Tentu.. tentu sahut sang Tumenggung. Dirabanya wajah Ratu Bukit Kemukus lalu diperhatikannya lengan kanan perempuan itu. Luka bekas cacat yang ada di lengan itu mulai nampak menjelas sedang kulit lengan terasa mengendur. Aku sudah merasa kau bakal datang. Karena itu aku sudah menyiapkan air putih untuk obatmu. Tumenggung Sundorojati masuk ke sebuah kamar di samping kamar tidurnya. Sesaat kemudian di akeluar lagi membawa sebuah tempurung berisi air putih. Tempurung itu diletakkannya di atas meja sementara Ratu Bukit Kemukus duduk memperhatikan dengan mata tak berkesip. Dari dalam saku pakaiannya sang tumenggung kemudian mengeluarkan sebuah kantong kain berwarna hitam. Dari kantong ini menyembullah sebuah batu cincin sebesar telur burung, berwarna biru gelap yang memantulkan cahay aneh ketika tertimpa sinar lampu kamar. Oleh Tumenggung Sundorojati, batu biru itu tadi dimasukkannya ke dalam air putih di dalam tempurung kelapa. Serta merta air itu menjadi kebiru-biruan. Ratu Bukit Kemukus ulurkan tangan kanannya hendak menjangkau tempurung itu. Tumenggung Sundorojati tersenyum dan bantu mendahului mengambil tempurung lalu menyerahkannya pada Ratu Bukit Kemukus. Kau tak sabaran sekali tampaknya Darmini.. Saat-saat seperti ini aku selalu diburu rasa takut. Sekali aku terlambat calakalah sisa hidupku .. sahut perempuan itu. Sambil membelai rambut Darmini, tumenggung Sundorojati berkata Selama batu itu masih di tanganku, kau tak bakal celaka. Sisa hidupmu tidak akan berubah. Kau akan tetap muda dan cantik. Tubuhmu akan tetap kencang dan menarik. Nah, minumlah.. Ratu Bukit Kemukus cepat meneguk air biru dalam tempurung sampai habis. Kemudian seperti orang lelah berat dia duduk tersandar di kursi dan menengadah ke atas. Kedua matanya dipejamkan. Nafasnya terasa memburu. Sesaat kemudian seperti ada kabut tipis yang menutupi wajah dan sekitar tubuhnya. Ketika kabut tipis itu lenyap maka wajah perrempuan itu tampak seperti bersinar, menjadi jauh lebih muda. Kulit muka dan tubuhnya yang tadi mengendur kini tampak kencang segar! Tumenggung Sundorojati mengambil tempurung dari tangan Ratu Bukit Kemukus lalu menyimpan batu cincin biru ke tempatnya semula di dalam kantong kecil. Kantong dan batu ini kemudian dimasukkannya ke saku pakaiannya. Perlahan-lahan Ratu Bukit Kemukus buka kedua matanya. Lalu dia berdiri dan melangkah ke arah kaca yang tergantung di dinding kamar. Matanya tampak gembira bercahaya ketika melihat bahwa wajahnya telah kembali muda, tak ada kulit yang kendur, tak ada garis-garis ketuaan. Dari belakang Tumenggung Sundorojati datang merangkul dan berbisik Aku minta bagianku sekarang, Darmini... Ah, kini kau yang kelihatannya tidak sabaran. Lelaki itu tersenyum. Menunggumu empat puluh hari bukan pekerjaan mudah. Kalau atasanku minta upeti dilipat gandakan, mengapa aku tidak minta jatahku menjadi dua kali lipat dalam empat puluh hari? Darmini alias Ratu Bukit Kemukus tersenyum. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya berkata Itu bisa diatur tumenggung. Jika kau minta diriku dua kali, akupun minta pengobatan dua kali dalam empat puluh hari Kau memang perempuan cerdik. Biar urusan itu kita bicarakan kemudian. Sekarang kita bersenang-senang dulu lalu lelaki tua itu tanggalkan pakaiannya kemudian melompat ke atas ranjang. Begitu tubuhnya menyentuh ranjang terdengar suara pekiknya kesakitan. Lalu

menyusul suar makiannya. Perempuan laknat! Jahat terkutuk..! Ratu Bukit Kemukus tertawa panjang dan cabut pisau besar yang barusan dihujamkannya di perut Tumenggung Sundorojati. Darah mengucur membasahi ranjang. Terhuyung-huyung, sambil pegangi perutnya lalaki itu ulurkan tangan hendak menjambak rambut Ratu Bukit Kemukus. Tapi satu tususkan lagi pada tenggorokannya membuat Tumenggung Sundorojati jatuh terkapar. Kedua kakinya melejang-melejang beberapa kali, lalu diam tak berkutik. Lagi. Tua bangka tak tahu diri! Kalau saja aku tidak tergantung pad batu mukjizatmu tak akan sudi aku kau sentuh! lalu dengan cepat perempuan ini menggeledah baju sang tumenggung. Batu cicin biru ditemukannya di salah satu saku pakaian itu. Cepat-cepat dimasukkannya ke balik pakaiannya. Sekarang aku tidak tergantung pada siapapun lagi! Seumur hidup aku akan tetap muda! Ha. Ha.. ha! Tiga kali lompatan saja Ratu Bukit Kemukus sudah sampai di ujung tangga sebelah bawah. Saat itu justru ada orang tiba-tiba menghadangnya . Ternyata penjaga tadi. Saya mendengar tumenggung menjerit. Ada apakah..? Tidak ada apa-apa, jawab Ratu Bukit Kemukus. Dia bersikap seperti hendak berlalu. Tapi tiba-tiba tangan kirinya berkelebat menjambak rambut pengawal itu. lalu kepala si pengawal dibantingkannya ke tembok rumah hingga mengeluarkan suara berderak. Ketika jambakannya dilepas, pengawal itu langsung roboh tanpa nyawa lagi! Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling. Lalu melirik pada Sawitri yang duduk di sebelahnya. Malam ini adalah malam terakhirmu. Kau sudah berada di sini sebanyak dua puluh satu kali. Tapi kau tak kelihatan gembira. Padahal bukankah setelah mandi di pancuran sana kau akan segera bertemu sang ratu. Mendapatkan ilmu kebal dan lebih dari itu aku yakin ratu akan terpikat pada kegagahan tampangmu serta kekukuhan tubuhmu. Wiro tertawa lebar dan mendehem beberapa kali. Tentu saja aku gembira. Setelah menunggu dua puluh satu minggu akhirnya aku akan segera bertemu muka dengan ratumu. Hanya saja aku punya rasa was-was.. Maksudmu..? tanya Sawitri. Sejak minggu keempat dulu aku merasa gerak gerikku berada di bawah pengawasan orang-orang bukit Kemukus ini. Tindak tandukku seperti diintai Sawitri keluarkan suara tertawa panjang. Memang ada yang mengawasi dan mengintaimu. Yaitu kawan-kawanku yang rata-rata naksir padamu ujar Sawitri pula. Tapi kalau mereka tahu bahwa kau selama ini tidak pernah meniduriku. Hemm .. mungkin mereka bisa menduga yang bukan-bukan terhadapmu. Mungkin kau dikira banci. Atau tidak memiliki kejantanan.. Di kejauhan terdengar suara dua kali berturut-turut. Sawitri memgan lengan Wiro lalu berkata Saatnya kau kuantar mandi ke pancuran. Wiro berdiri. Melangkah mengikuti perempuan muda bertubuh sintal itu. Setiap langkah yang dibuat Sawitri membuat kain panjangnya tersibak hingga betisnya yang putih dan bagus tersembul di depan mata sang pendekar. Berjalan menuju puncak bukit sekali ini terasa lama sekali bagi Wiro Sableng. Dia melangkah dengan kepala mengarah ke depan. Tetapi sudut matanya yang tajam tak dapat ditipu. Dia melihat petugas-petugas berpakaian merah bersembunyi mengawasinya di sepanjang jalan mendaki yang dilaluinya. Ada yang mendekamdi balik semak belukar, ada yang mengawasi dari balik pepohonan, ada juga yang mengintai dari balik batu-batu besar. Kedua orang itu akhirnya sampai di bagian puncak bukit dimana terdapat sebuah pancuran berair sangat dingin. Di sebelah bawah pancuran ada sebuah kolam dangkal yang pinggiran dan dasarnya terbentuk dari batu-batu gunung berwarna hitam. Saatnya kau mandi. Memberi tahu Sawitri. Tanggalkan seluruh pakaianmu.. Wiro terkejut. A..apa?!

Tanggalkan pakaianmu, aku akan memandikanmu disaksikan oleh tujuh orang pengawal kepercayaan ratu! Ayo lekas! Para pengawal itu sudah muncul! Wiro memandang ke jurusan kanan. Dia melihat tujuh orang perempuan melangkah dari arah bangunan beratap lancip. Cepat sekali tahu-tahu ketujuhnya sudah berada di sekeliling pancuran. Yang enam perempuan-perempuan muda yang rata-rata berwajah jelita sedang yang satunya seorang nenek berwajah angker. Dia bukan lain adalah Nenek Agung. Sawitri! Pasanganmu ini tunggu apa lagi?! Kulihat dia masih belum menanggalkan pakaian. Apa perlu kami yang melakukannnya?! Nenek Agung membuka mulut. Tunggu sebentar! ujar Wiro. Dia melihat tidak ada jalan lain. Kalau dia ingin menemui sang ratu secara jalan pintas yaitu dengan jalan kekerasan, seharusnya sudah dulu-dulu dilakukannya. Maka dengan muka terasa panas karena jengah, murid Sinto Gendeng ini akhirnya loloskan seluruh pakaiannya. Ketika membuka baju dengan cerdik Wiro berhasil menyembunyikan Kapak Maut Naga Geni 212 dalam buntalan bajunya. Hemmm. Nenek Agung bergumam. Menurut Sawitri pemuda gagah ini membekal senjata, tapi aku tidak melihat dia membawa apa-apa. Dalam keadaan tanpa pakaian Wiro masuk ke dalam kolam yang airnya dingin luar biasa. Tubuhnya teras menggigil. Apalagi ketika kepalanya tersiram air pancuran. Saat itu dilihatnya Sawitri menyusul masuk ke dalam kolam. Perempuan ini ternyata juga telah mencopot seluruh pakaiannya. Di tangan kanannya dia memegang air akan mengeluarkan busah dan menebar bau harum. Nenek Agung di pinggir klam mengeluarkan seruan. Enam perempuan muda di sekitar kolam kemudian melemparkan tujuh macam bunga ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu Sawitri mulai menggosoki badan pemuda itu denga buah berbusah. Enam perempuan muda dan si nenek menyaksikan upacara pemandian itu dengan dada sesak dan darah mengalir lebih cepat. Bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa yang setiap saat bisa terangsang nafsu lahir maupun batinnya. Hanya saja kalau enam perempuan muda sulit untuk menguasai diri maka si nenek masih mampu mengatur rangsangan lewat jalan pikiran yang jauh lebih berpengalaman. Sepasang mata si nenek menembus dalam kegelapan malam, memandang ke tengah kolan dimana Wiro tengah dimandikan di bawah pancuran. Sesaat kemudian si nenek jadi tercekat ketika pandangan matanya mampir di dada si pemuda dan melihat deretan rajah angka: 212. Jadi apa yang diduga ratu benar adanya. Pemuda ini pasti Pendekar 212 dari puncak Gunung Gede. Aku harus segera kembali menemui ratu dan memberi tahu.. membatin Nenek Agung. Cepat sedikit, aku tidak ahan kedinginan.. bisik Wiro di bawah pancuran pada Sawitri. Ucapannya itu rupanya terdenga oleh Nenek Agung. Anak muda, kau tidak tahan dingin atau tak tahan menguasai nafsu..Aku melihat bagian-bagian tubuhmu mulai menunjukkan kelainan.! Wiro tak menyahuti ucapan orang tetapi dalam hati dia memaki habis-habisan. Sesaat kemudian upacara pemandian itupun selesailah. Wiro disuruh mengenakan pakaiannya kembali. Nenek Agung melangkah ke tepi kolam. Kepalanya dijulurkan dan hidungnya kembang kempis seperti membaui sesuatu. Ada bau pesing! Kolam ini telah tercemar kencing manusia! Dengan mata mendelik si nenek berpaling ke arah Wiro. Anak muda, kau tadi kencing di kolam ya?! Aku sudah bilang tak tahan dingin. Sudha terdesak mau dibuang dimana lagi.?! Pemuda kurang ajar! Kalau ratu sampai tahu pasti kau akan menerima hukuman berat! Ah, cukup kau saja yang tahu.. ujar Wiro pada si nenek lalu kedipkan mata kirinya dua kali. Karuan saja si nenek jadi salah tingkah dan diam-diam merasa dirinya muda kembali. Wajahnya yang keriputan bersemu merah. Dia mengerling

pada enam anak buahnya. Untung tak satupun dari mereka yang memperhatikan. Ketika dia meoleh kepada Wiro, kembali dilhatnya pemuda itu kedipkan matanya, kali ini sampai tiga kali. Ah, anu..Saatnya membawa pemuda ini kehadapan ratu! berseru Nenek Agung agak gagap. Wiro berpaling pada Sawitri. Sebelum melangkah pergi dia mendekati perempuan yang tengah sibuk mengenakan pakaiannya itu dan berbisik Jika aku mendapat hadiah besar dari sang ratu maka kaupun bakal mendapat bagian. Tapi jika aku menemukan kesulitan karena pengaduanmu, kau pasti akan menemui kesulitan pula Sawitri. Paras Sawitri berubah pucat. Bagaimana.. bagaimana dia mengetahui kalau aku telah mengadukan dirinya pada ratu..? Ah! Perempuan ini balikkan tubuhnya dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Karena jalan jauh di depan, Nenek Agung sampai lebih dahulu di istana kediaman Ratu Bukit Kemukus dan langsung menemui sang ratu. Pemuda itu sebentar lagi akan sampai di sini, ratu.. meberitahu Nenek Agung. Bagus. Aku melihatnya lebih dekat. Akan kujadikan budakku sampai aku puas. Setelah itu! Ratu Bukit Kemukus gesekkan tepi telapak tangannya di atas leher. Ada satu hal yang perlu saya beritahu padamu, ratu. Hem.. apa itu? tanya Ratu Bukit Kemukus sambil membubuhi bagian belakang kedua telingannya dengan minyak wewangian. Ketika mandi di pancuran, saya melihat ada rajah tiga angka di dada pemuda bernama Wiro itu. Angka 212.. Berarti tidak salah lagi ia memang murid Sinto Gendeng! Nenek Agung, siapkan empat ekor anjing hutan itu. Aku akan memberi tanda bilamana ada yang tidak beres. Sekarang pergilah sambut kedatangannya. Bawa dia langsung ke kamar tidurku. Ingat, jangan membuat hal-hal yang mencurigakan. Nenek Agung putar tubuh untuk pergi. Namun sebelum mencapai pintu dia berbalik. Ratu, saya ada permintaan Katakan! Sebelum pemuda itu kita bunuh, apakah aku boleh merasakan sedikit kesenangan bersamanya..? Ratu Bukit Kemukus terkesiap mendenga pertanyaan pembantu kepercayaannya itu. Kemudian terdengar tawanya cekikikan. Bagiku tak ada alasan untuk menolak. Tapi, dengan kadaan tubuh dan wajahmu seperti ini apakah dia mau kau dekati? Untuk itu saya minta bantuan ratu. Bolehkah saya mendapatkan air putih yang dicelup dengan batu keramat berwarna biru itu?! Ratu Bukit Kemukus geleng-gelengkan kepalanya. Nenek Agung, kau pergilah. Aku akan menyiapkan obat yang kau minta itu. Terima kasih ratu. Terima kasih.. kata si nenek sambil membungkuk berulang kali. Pendekar 212 Wiro Sableng tercengang-cengang melihat kebagusan kamar tidur yang besar itu. Bau harum merasuk segar ke dalam jalan pernafasannya, terus ke paru-paru. Mendadak dia ingat sesuatu. Tadi ketika masuk jelas-jelas dia melwati sebuah pintu. Tapi kini setelah dia berada di dalam kamar itu sama sekali tidak melihat lagi pintu itu. Semuanya hanya berupa dinding polos berwarna merah muda! Juga sama sekali tidak ada jendela di tempat itu. Ruangan maha bagus tapi diselimuti keanehan.. membatin Wiro. Selagi di mencari-cari dimana kira-kira pintu yang tadi dilewatinya tiba-tiba dinding di sebelah kiri terbuka. Dan saat itu juga masuklah sosok tubuh Ratu Bukit Kemukus. Pendekar 212 terkesiap menyaksikan wajah dan tubuh sang ratu. Belum pernah dia melihat perempuan secantik ini dengan bentuk tubuh yang sangat mengairahkan. Apalagi pakaian yang dikenakannya terbuat dari sutera tipis sehingga boleh dikatakan hampir tak ada bagian tubuhnya yang terlindung dari pandangan

mata! Untuk beberpa lama kedua itu saling berpandangan. Kalau Wiro terpesona kagum akan kecantikan da kebagusan tubuh sang ratu, maka tubuh Ratu Bukit Kemukus sendiri diam-diam merasa kagum akan ketampanan wajah sang pendekar. Ada bayangan sifat konyol di wajah itu dan justru inilah yang membuat sang ratu lebih tertarik. Wiro membungkuk dalam-dalam lalu berkata Saya berhadapan dengan ratu, kepada siapa saya menghaturkan banyak terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk bertemu.. Itu peraturan di bukit ini. Siapa yang selesai melewati dua puluh satu minggu dan memang inginkan ilmu dariku, pasti akan mendapatkan apa yang dimasksud! menjawab Ratu Bukit Kemukus. Terima kasih ratu.. kata Wiro lalu kembali membungkuk. Dalam hati dia bertanya-tanya, apa benar ini orangnya yang telah mencuri tusuk kundai keramat milik gurunya dan hampir sempat membunuh Eyang Sinto Gendeng? Menurut sahabatnya Kakek Segala Tahu penguasa bukit inilah yang telah melakukan hal itu. Setahu Wiro si pelaku adalah seorang tokoh persilatan berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat, seorang nenek yang hanya berbeda umur sedikit dengan gurunya. Tetapi mengapa kini dia berhadapan dengan seorang perempuan muda yang begitu cantik? Wiro memandang ke aah lengan kanan yang tersembul di balik baju sutera sang ratu. Di situ tak ada tanda-tanda bekas luka akibat guratan tusuk kundai Sinto Gendeng ketika terjadi perkelahian. Orang muda, apa betul kau orangnya yang bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Pertanyaan sang ratu membuat Wiro terkejut sekaligus mengingatkannya agar berwaspada. Penglihatan dan pendengaran sang ratu sungguh tajam. Saya tak berani mengelak bahwa memang itul nama saya.. Ah, kau berlaku jujur padaku, sang ratu kelihatn senang akan jawaban itu. Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna yang sudah terkenal di delapan penjuru angin kau tentu sudah memiliki segala macam ilmu kepandaian. Mengapa mau bersusah-susah datang kemari? Saya mendengar bahwa ratu bisa memberikan semacam ilmu kebal. Ilmu itu tidak saya miliki. Saya harap ratu berkenan memberikannya. Itu sudah menjadi ketentuan. Siapa saja yang dapat menyelesaikan kunjungan samapai dua puluh satu kali pasti akan mendapatkan ilmu itu. Namun masih ada satu syarat lain yang harus dijalani.. Kalau ratu mau mengatakannya.. ujar Wiro pula. Ratu Bukit Kemukus melangkah ke sebuah meja dimana terdapat guci-guci kecil terbuat dari tanah berisi berbagai macam minuman. Dia menuangkan sejenis minuman yang harum ke dalam dua cangkir tanah, lalu memberikan salah satunya kepada Wiro. Minumlah. Tuak harum itu didatangkan dari negeri jauh. Kau tak usah kawatir. Minuman itu tidak beracun.. Lalu sang ratu meneguk habis minumannya. Tanpa ragu Pendekar 21 meneguk pula minumannya. Tubuhnya terasa segar dan pandangan matanya terasa lebih tajam. Ratu belum memberi tahukan syarat yang harus saya lakukan untuk mendapatkan ilmu kebal itu.. Wiro berkata sambil meletakkan cangkir tanah di atas meja. Syaratnya mudah saja. Malah sangat menyenangkan. Kau harus tinggal bersamaku di tempat ini. Paling tidak se;ama satu minggu.. Mungkin juga selamalamanya! Wiro terdiam sesaat, garuk kepalanya baru menjawab. Saya tidak mengerti maksud ratu Ratu Bukit Kemukus tertawa. Dia melangkah dan duduk di tepi tempat tidur besar. Dia menggerakkan bahunya sedikit maka baju sutera yang dikenakannya melorot ke bawah, tertahan sebentar di lekukan atas sepasang payudaranya yang kencang, baru melorot jatuh ke bawah. Pendekar 212 merasakan matanya seperti silau melihat pemandanagan yang luar biasa itu. Kita hanya berdua di sini. Apa yang kau tunggu lagi Pendekar 212?

Wiro hampir tak bisa mnejawab pertanyaan itu. Kedua matanya sesaat memandang berkeliling. Dadanya mendadak berdebar ketika disalah satu sudut kamar dimana terletak lukisan yang terbuat dari susunan batang padi dia melihat tergantung sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Dia kenal dan pasti betul, itu adalah tusuk kundai milik gurunya yang telah dicuri orang! Ratu Bukit Kemukus yang muda dan cantik Jelita inikah yang telah mencuri dan mencari perkara dengan Eyang Sinto Gendeng? Sulit diduga. Tapi kalau bukan dia yang mencuri, mengapa tusuk kundai itu berada di kamar tidurnya ini? Di atas ranjang sang ratu telah merebahkan diri. Salah satu kakinya terjuntai ke lantai sehingga pinggul sampai ujung kaki kirinya terbuka polos, putih dan menantang. Pendekar 212 ketahuilah. Salah satu syarat untuk mendapatkan ilmu kebal itu ialah melayaniku paling tidak selama satu minggu. Jika kau menolak berarti satu penghinaan. Dan penghinaan terhadap ratu adalah kematian! Mana berani saya menghina ratu, menjawab Wiro. Namun saya ada satu pertanyaan. Mungkin ratu bisa menjawab atau memberikan keterangan.. Untukmu aku akan menjawab jika bisa. Ajukan pertanyaanmu sahut sang ratu pula. Sebenarnya saya tengah mencari seorang tokoh persilatan yang telah mencuri tusuk kundai pusaka milik Eyang Sinto Gendeng dan hampir membunuh guruku itu. Apakah ratu pernah mendengar tentang seorang nenek sakti berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat..? Tak pernah kudengar perihal nenek sakti itu. sang ratu menjawab. Lalu sambungnya Nah, pertanyaanmu sudah kujawab. Sekarang naiklah ke atas tempat tidur ini! Pertanyaan saya belum selesai, ratu. Kata Wiro pula. Di atas ranjang tiba-tiba sang ratu melompat turun. Seluruh pakaiannya merosot jatuh ke lantai. Aku hanya bersedia menjawab satu pertanyaan. Dan pertanyaanmu tadi sudah kujawab. Aku tak sudi mendengar pertanyaan lain. Ini bukan waktunya bertanya jawab. Kemarilah Wiro. Pendekar 212 melangkah maju. Ratu Bukti Kemukus tersenyum dan ulurkan kedua tangannya, siap untuk merangkul tubuh sang pendekar. Tapi ketika hanya tinggal setengah langkah lagi dari rangkulan sang ratu tiba-tiba Wiro melompat ke dinding kiri, langsung menyambar tusuk kundai yang tegantung di atas lukisan. Ini tusuk kundai guruku! Ratu Bukit Kemukus, katakan bagaimana perhiasan ini bisa berada di sini! Ratu Bukit Kemukus yang tidak menyangka hal itu akan terjadi dan tidak menyadari kalau tusuk kundai berada dalam kamar itu tampak gugup dan berubah parasnya. Untuk beberapa lama dia hanya tertegun memandang ke arah Pendekar 212. Ada satu keanehan di tempat ini, ratu! kata Wiro. Dan kalau kau tidak bersedia mengungkapkan keanehan itu.. Sang ratu tiba-tiba keluarkan suara tawa meninggi. Orang muda bertahun-tahun hidup di bukit Kemukus ini, tak seorangpun pernah berani bicara mengancam! Aku tidak mengancam siapapun! jawab Wiro mulai kasar. Aku hanya ingin penjelasan bagaiman tusuk kundai guru yang hilang bisa berada di tempat ini! Mustahil hantu atau jin pelayangan yang membawanya kemari lalu meletakkannya secara baik-baik dekat lukisan itu! Kembali sang ratu keluarkan suara tawa mengikik. Sepasang teling Pendekar 212 Wiro Sableng mendenging. Dadanya berdebar. Dia mencium dan meraba sesuatu! Ratu.. suara tawamu jelas bukan suara tawa perempuan muda! Siapa kau sebenarnya?! Wiro membentak. Serta merta suara tawa Ratu Bukit Kemukus berhenti. Sepasang matanya yang bagus mendadak menyorotkan pandangan buas dan wajahnya yang jelita membersitkan kebengisan. Perlahan-lahan dia mengulurkan tangannya ke samping, ke arah kepala tempat tidur dimana tergantung sehelai tali berwarna merah berhias rumbai-rumbai biru. Begitu tali ditarik, maka dinding di sebelah kanan tampak bergeser dan di luar sana terdengar salak dahsyat binatang. Pendekar 212 tahu betul.

Itu adalah salakan anjing-anjing hutan yang sudah terlatih untuk mencabik-cabik tubuh manusia! Wiro tak menunggu lama. Empat ekor anjing hutan raksasa, dengan lidah terjulur dan mulut terbuka lebar memperlihatkan taring besar dan tajam melompat masuk. Di belakang ke empat binatang ini tampak si Nenek Agung! Sebelumnya Wiro telah menyaksikan bagaimana empat ekor anjing hutan bertubuh raksasa itu mencabik-cabik tubuh manusia. Karenanya dia tidak berlaku ayal. Begitu empat ekor anjing menggembor dan melompat ke arahnya, murid Sinto Gendeng segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212!. Sinar menyilaukan memancar. Suara sperti tawon mengamuk menderu. Kapak sakti berkiblat. Terdengar raung anjing hutan di samping kiri. Tubhny terkapar di lantai kamar dengan leher hampir putus! Bunuh! Bunuh! teriak Ratu Bukit Kemukus. Nenek Agung jangan menonton saja! Walau hati kecilnya masih mengharapkan untuk dapat bersenang-senang dengan pemuda itu, namun si nenek mana berani membantah perintah sang ratu. Maka dengan mengandalkan tangan kosong Nenek Agung ikut menyerbu bersama tiga anjing yang sudah lebih dulu mengonggong dan melompat ke arah Wiro. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat. Seekor lagi dari tiga binatang itu menyalak panjang dan jatuh bergedebuk. Yang satu ini robek perutnya. Dua kawannya menyalak ganas. Salah seekor diantaranya sempat mencakar bahu kiri Wiro hingga bajunya robek besar dan sebagian daging bahunya terkoyak luka! Darah yang mengalir dari luka di bahu itu membuat du ekor anjing hutan seperti terangsang. Keduanya menyalak keras lalu kembali melompati mangsanya. Kali ini Wiro tidak memberi kesempatan. Dengan tangan kiri dia hantamkan satu pukulan sakti. Pukulan Sinar Matahari! teriak Nenek Agung begitu mengenali pukulan sakti tersebut. Kamar besar itu berguncang. Sinar panas menyilaukan menghampar. Ratu Bukit Kemukus berseru keras dan menyingkir ke sudut kamar. Nenek Agung jatuhkan diri sama rata dengan lantai. Hanya dua ekor anjing yang tidak mengerti kalau mereka tengah menghadapi pukulan maut, terus saja melompat. Lalu terdengar sura raung kedua binatang ini ketika dihantam pukulan sakti mengandung hawa panas luar biasa itu. Keduanya tewas tergeletak saling tindih. Sekujur tubuh tampak hangus dan menebar bau daing terpanggang yang menggidikkan! Dari sebelah depan Nenek Agung keluarkan teriakan keras lalu menghantam dengan tangan kanannya. Terdengar deru angin disertai menyambarnya hawa panas. Tapi sang ratu jelas melihat bahwa pukulan itu dilakukan tidak sepenuh hati. Dia tahu apa sebabnya. Maka marahlan dia. Apalagi setelah menyaksikan bagaimana empat ekor anjing peliharaannya tewas di tanganPendekar 212.! Nenek Agung mundur kau! Biar para pengawal yang mencincang pemuda yang kau taksir itu! Paras si nenek tampak mengkerut jengah. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran. Sang ratu sendiri saat itu telah keluarkan satu suitan keras. Hanya beberapa saat setelah itu maka muncullah selusin pengawal berseragam merah, bertubuh rata-rata tinggi besar dan masing-masing mencekal senjata berbentuk celurit besar! Bunuh pemuda itu! perintah Ratu Bukit Kemukus. Saat itu dia telah mengenakan pakaian tipisnya kembali. Dua belas pengawal yang taat akan perintah segera bergerak mengurung walau hati masing-masing merasa beimbang setelh menyaksikan kematian empat ekor anjing hutan di dalam ruangan itu. Sebelumnya mereka memang telah diperintahkan mengawasi pemuda yang dianggap berbahaya itu. Mereka tidak pernah menyangka kalau si gondrong ini memiliki kepandaian luar biasa. Membunuh salah seekor saja dari anjing hutan itu bukan pekerjaasn mudah. Si pemuda malah telah membunuh keempatnya! Nyali siapa yang tidak jadi lumer kalau disuruh menghadapi pendekar ini. Dan senjata berbentuk kapak yang digenggamnya turut membuat ke dua belas orang itu menjadi tambah ngeri.

Serang! teriak Ratu Bukit Kemukus tidak sabaran melihat para pengawal masih berputar-putar mengelilingi lawan. Mendengar itu selusin pengawal segera menyerbu. Pendekar 212 menunggu sesaat. Di dahului suara bentakan keras, ketika dua belas orang pengeroyok berserabutan maju sambil hantamkan clurit, Wiro melompat satu tombak ke udara. Salah satu kakinya berhasil menginjak kepala seorang pengawal hingga orang ini terjengkang denga leher patah. Masih melayang di dalam ruangan Wiro babatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke bawah. Memang tak ada yang terkena langsung hantaman senjata mustika itu. Namun hawa panas yang berkiblat membuat lima dari dua belas pengeroyok menjerit dan jatuh bergelimpang. Dua orang mati dengan sebagian dada hangus. Tiga lainnya luka parah terkena sambaran tak sengaja dari senjata kawan-kawan sendiri! Gila! Pemuda ini luar biasa sekali! kata Ratu Bukit Kemukus begitu menyaksikan apa yang terjadi. Mundur semua! teriak sang ratu. Para pengawal yang memang sudah tak punya keberanian lagi untuk menyerbu serta merta melompat mundur. Tinggal kini sang ratu berhadap-hadapan dengan Wiro di antara tebaran mayat manusia dan binatang serta genangan darah dimana-mana! Pendekar 212, sekarang aku tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi! Memang aku yang menyerbu tempat kediaman gurumu. Aku berhasil melukainya dan merampas salah satu tusuk kundainya! Nah sekarang apa kau puas mendengar pengakuanku?! Belum! sahut Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada. Menurut guru yang berbuat jahat terhadapnya adalah seorang nenek, seorang tokoh silah bergelar Hantu Perempuan Bertangan Empat. Lalu mengapa kau menuduh aku yang telah mencuri tusuk kundai itu?! bentak Ratu Bukit Kemukus. Wiro menyeringai. Aku yakin memang kau yang mencuri dan menciderai guru. Hanya saja untuk membuktikan hal itu, seperti kataku tadi ada keanehan yang belum dapat kutembus! Kau tak akan pernah mengungkapkan keanehan itu Pendekar 212! Karena nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja! Ah! Kalau begitu aku memilih mati sama-sama denganmu. Paling tidak tubuhmu yang bagus itu bisa kujadikan bantalan di liang kubur! ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Marahlah Ratu Bukit Kemukus mendengar ejekan itu. Di dahului satu teriakan keras dia melompat menyerbu Wiro. Tangannya kiri kanan melancarkan serangan hebat. Wiro yang sudah naik pitam tak perduli lagi apakah lawan mengandalkan senjata atau tidak, terus saja dia menghantamkan Kapak Naga Geni 212! Bukkk! Terdengar suara bergedebuk ketika mata kapak mengahntam bahu kanan Ratu Bukit Kemukus dengan keras. Sang ratu terpental ke kiri, tersandar keras ke dinding. Tetapi astaga! Dia sama sekali tidak terluka sedikitpun! Hanya baju suteranya tampak robek dan hangus! Pendekar 212 terbeliak menyaksikan hal ini. Ilmu kebal perempuan ini benarbenar luar biasa! kata Wiro dalam hati. Itulah seumur hidup dia melihat bagaimana senjata mustika pemberian gurunya tidak mampu melukai lawan, apalagi membunuhnya! Ratu Bukit Kemukus berkacak pinggang lalu tertawa panjang. Lalu katanya mengejek Kalau kau mau tunduk padaku, nyawamu masih bisa kuselamatkan Pendekar 212! Wiro menyeringai Hei, bukankah kita sudah bertekad untuk mati berdua saling tumpang tindih?! Paras Ratu Bukit Kemukus tampak merah padam. Ketinggian ilmu yang kau miliki membuat dirimu sombong dan melecehkan setiap orang seenaknya. Tapi sebentar lagi kau akan tahu siapa aku! Kau akan bertekuk lutut menyembahku sebelum nyawamu kucabut! Kau yang sebenarnya sombong! Menyebut dirimu sebagai ratu! Padahal kerjamu mencari uang dan harta secara mesum! Wajahmu yang cantik dan tubuhmu

yang bagus sebenarnya penuh lumur dosa maksiat! Kau pendekar mesum yang berlagak alim dan suci! Jika kau memang punya ilmu keluarkanlah! Aku tidak takut! Serang dan pilih bagian tubuhku yang paling empuk! Manusia takabur! teriak Wiro. Kapak ditangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Lalu tangan kanan itu tampak berkilat-kilat tanda Wiro sudah siap menghantamkan satu pukulan sakti. Menghadapi hal itu Ratu Bukit Kemukus hanya ganda tertawa. Kerahkan seluruh tenaga dalammu! Ayo lepaskan pukulan sinar mataharimu yang terkenal itu! Kau akan melihat bahwa pukulan saktimu itu tak lebih dar satu hembusan angin belaka! Jengkel oleh ucapan sombong sang ratu Pendekar 212 langsung saja hantamkan pukulan sinar matahari ke arah perempuan itu. Gilanya sang ratu sama sekali tidak berusaha menghindar. Bummm! Pukulan sakti itu melabrak tubuh Ratu Bukit Kemukus. Perempuan ini jatuh terbanting ke lantai, tapi segera bangkit lagi tanpa cidera sedikitpun kecuali sekujur baju tipisnya kelihatan hangus hingga kini keadaannya sama saja dengan bertelanjang! Pendekar 212 merasa seperti tersengat. Kalau kapakku tak mempan dan pukulan sinar matahari tak mampu menghancurkannya, apa yang harus kulakukan begitu Wiro membatin. Saat itu Ratu Bukit Kemukus mulai bergerak, melangkah mendatangi. Wajahnya melemparkan senyum aneh. Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara bergemerisik. Tiba-tiba Wiro menyaksikan keanehan terjadi atas diri perempuan itu. Tangannya yang tadi berjumlah dua kini mendadak menjadi empat! Berarti memang dia bangsatnya yang berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat! Ha.. ha.. ha! Kau sekarang tahu siapa diriku Pendekar 212! Bersiaplah untuk mampus! Ratu Bukit Kemukus tertawa mengekeh. Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu mendahului menyerbu. Kapak Naga Geni 212 menderu-deru di udara. Sinar putih menyilaukan berkiblat kian kemari disertai suara menggemuruh. Hawa panas menghampar membuat Nenek Agung dan sisa-sisa pengawal yang masih hidup menyingkir menjauhi. Suara bukk..bukkk terdengar berulang kali setiap saat senjata sakti di tangan Wiro menghantam tubuh atau kepala Ratu Bukit Kemukus. Tetapi tak satupun senjata itu sanggup melukai sasarannya. Ssang ratu hanya tergontai-gontai. Penasaran murid Sinto Gendeng lepaskan beberapa pukulan sakti berturut-turut yaitu pukulan benteng topan melanda samudera, kunyuk melempar buah, dewa topan menggusur gunung lalu dinding angin berhembus tindih menindih bahkan akhirnya pukulan angin es! Namun semua itu tidak sanggup merobohkan sang ratu. Hanya keadaan kamar tidur besar itu kini jadi porak poranda. Ratu Bukit Kemukus tertawa panjang. Wiro jadi tertegun terkesiap. Celaka! Apa lagi yang harus kulakukan! pikir Pendekar 212 dan tengkuknya terasa dingin. Hai! Mengapa berhenti?! Apa tidak ada lagi ilmu simpanannmu?! mengejek sang ratu. Wiro tiba-tiba ingat pada batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersimpan di pinggang kirinya. Dengan api masakan tubuhnya tidak akan leleh! begitu Wiro memikir. Batu hitam di tangan kiri, kapak mustika di tangan kanan. Wiro merapal bacaan sakti lalu batu dan mata kapak diadukannya satu sama lain. Satu lidah api menggemuruh, menyamba ke arah Ratu Bukit Kemukus. Yang mendapat serangan hebat itu kembali keluarkan suara tertawa. Lidah api membungkus tubuhnya tetapi sama sekali tidak sanggup membakar. Perempuan itu seolah-olah seperti dibelai oleh tiupan angin sejuk, bukan oleh kobaran api!Dan dia melangkah terus! Tiba-tiba salah satu dari empat tangan memukul ke depan. Wiro berteriak keras ketika dapatkan dirinya tak sanggup menahan gelombang angin aneh yang keluar dari tangan sang ratu. Tubuhnya terpental menghantam dinding. Dinding itu jebol dan Wiro dapatkan dirinya berada di halaman samping

bangunan. Udara malam dingin dan gelap. Selagi dia berusaha untuk berdiri dengan sekujur tubuh terasa sakit, Ratu Bukit Kemukus sudah sampai di hadapannya. Empat tangannya yang aneh bergerak mengeluarkan suara berderak-derak. Kembali Wiro berseru ketika Kapak Naga Geni 212 miliknya berhasil dirampas lawan! Dengan satu dari empat tangannya memegang senjata sakti itu, Ratu Bukit Kemukus kembali maju mendekat. Pendekar 212 beringsut di tanah, mencoba mundur dan mundur. Kedua kakinya tak sanggup lagi berdiri. Kekuatannya laksana punah! Gusti Allah! Tak pernah kusangka akan menemui kematian oleh senjata milikku sendiri! mengeluh Wiro sambil menyebut nama Tuhan. Satu-satunya benda yang masih dipegangnya adalah batu api di tangan kirinya. Ketika sang ratu semakin dekat, penuh putus asa Wiro lemparkan batu itu ke arah lawan. Batu menghantam tepat di kening Ratu Bukit Kemukus dan mental lalu jatuh ke tanah. Kening yang dihantam tidak ciera sedikitpun! Ah, aku betul-betul menemui ajal hari ini! Disaat yang sangat menentukan itu terbayang wajah gurunya. Tiba-tiba saja Wiro ingat pada tusuk kundai sang guru yang tadi ditemuinya di dalam kamar Ratu Bukit Kemukus. Itu satu-satunya benda terakhir yang bisa dijadikannya senjata. Tapi sanggupkah benda itu menjebol kehebatan ilmu kebal sang ratu? Wiro keluarkan tusuk kundai perak itu dari balik pakaiannya sambil beringsut mencoba menjauhi lawan yang terus mendesak. Ha.ha .. Kau sudah kehabisan pukulan dan senjata! Ratu Bukit Kemukus keluarkan tawa dan seruan mengejek. Aku mau lihat apa yang bisa kau lakukan dengan tusuk kundai yang kabarnya juga sakti itu! Ha..ha .ha.! Wiro tiba-tiba gulingkan dirinya. Dengan sisa tenaga yang ada, dengan kecepaan luar biasa dia berhasil menusukkan tusuk kundai ke betis kanan lawan. Tapi sang ratu hanya merasa seperti digigit semut dan kembali perdengarkan suara tertawa panjang! Tusuk kundai Eyang Sinto Gendeng ternyata juga tidak mempan! Waktumu sudah habis Pendekar 212. Kematianmu sudah di depan mata! Ratu Bukit Kemukus hentakkan kaki kanannya. Wiro merasakan tanah bergetar dan tubuhnya terpental ke atas. Bersamaan dengan itu tangan yang memegang Kapak Maut Naga Geni 21 dari sang ratu membacok ke bawah! Pendekar 212 tak mampu mengelak ataupun menangkis! Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berseru. Wiro! Tusukkan tusuk kundai itu ke kemaluannya! Arahkan ke kemaluannya! Itu titik kelemahan lawanmu! Yang berteriak adalah Nenek Agung! Ratu Bukti Kemukus terkejut besar. Dia menoleh pada perempuan tua yang tegak terpisah beberapa langkah. Justru ini adalah kesalahan besar yang tak bakal dapat ditebusnya. Wiro tak kalah kagetnya tapi otaknya cepat menangkap. Nenek keparat! Kau akan kubunuh! Bangsat! Ratu Bukit Kemukus berteriak marah. Lalu kembali berpaling ke arah Wiro. Saat itu sesuai petunjuk si nenek Pendekar 212 sudah tusukkan tusuk kundai di tangan kanannya ke bawah perut sang ratu! Penguasa bukit kemukus itu berteriak dahsyat. Dari kemaluannya yang ditembus tusuk kundai terdengar suara letupan keras menyusul kepulan asap hitam berbau busuk! Keparat! Perempuan tua keparat sang ratu masih menyumpahi anak buahnya itu. Namun tubuhnya sendiri limbung. Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari genggamannya. Kedua tangannya memegangi bagian bawah perutnya dimana tampak darah merah kehitaman mengucur menjijikan! Pendekar 212 merasakan nafasnya megap-megap. Dengan tersengal-sengal dia coba berdiri. Saat itu dilihatnya si Nenek Agung berlari memasuki kamar sang ratu yang telah hancur berantakan. Dia menggeratak ke dalam sebuah lemari dan menemukan benda yang dicarinya yaitu batu cincin biru sebedar telur burung yang memiliki kekuatan aneh, yaitu bisa membuat seseorang menjadi muda. Setelah mendapatkan batu mustika itu si nenek cepat lari mencari air. Wiro tegak bersandar ke sebuah tiang di halaman samping. Sepasang matanya mengerenyit ketika melihat apa yang terjadi dengan sosok tubuh Ratu Bukit Kemukus

yang kini menggeletak di tanah sambil mengerang menuju saat-saat kematiannya. Ketika nyawanya lepas meninggalkan jasadnya pelahan-lahan wajah cantik sang ratu berubah menjadi satu wajah sangat tua, keriputan dan mengerikan seperti muka hantu. Rambutnya yang hitam berubah menjadi putih. Dan tubuhnya yang telanjang, yang sebelumnya bagus mulus dan menggairahkan kini berubah menjadi sosok kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Tangan anehnya yang tadi empat kini tampak kembali pada bentuk semula yaitu tinggal dua. Pada lengan kanan tampak cacat bekas guratan luka. Wiro memandang berkeliling. Para pengawal berseragam merah yang masih hidup ternyata sudah menghambur kabur dari tempat itu. Diambilnya batu hitam dan Kapak Naga Geni 212 yang tercampak di tanah. Ketika dia hendak melangkah pergi, pemuda ini ingat akan tusuk kundai milik gurunya itu. Dia kembali mendekati mayat Ratu Bukit Kemukus. Tusuk kundai itu masih menancap di bawah perut sang ratu. Wiro segera mencabutnya, memperhatikan sesaat dengan muka mengerenyit dan dalam hati dia berkata Apa yang akan dikatakan Eyang Sinto Gendeng kalau dia tahu tusuk kundainya ini pernah menancap di.. Wiro tidak teruskan ucapan hatinya itu. Sambil menyeringai tusuk kundai itu disekakannya ke bajunya lalu didekatkannya ke hidungnya. Sepasang mata Pendekar 212 terbalik jereng ketika mencium bau yang masih menempel di tusuk kundai itu. Kembali disekakannya benda itu berulang kali ke bajunya lalu cepat-cepat disimpannya di pinggang celananya tanpa mau lagi menciumnya! Udara malam yang menuju pagi terasa mencucuk dingin. Pendekar 212 melangkah sepanjang kjalan menurun menuju kaki bukit Kemukus. Dia sampai di peintu masuk dimana biasanya selalu berjaga-jaga beberapa pengawal bertampang galak. Saat itu tak satupun diantara mereka yang kelihatan. Wiro melangkah terus. Tiba-tiba dia mekihat ada seseorang menyelinap di balik pohon dekat pintu keluar. Pendekar 212 segera siapkan pukulan tangan kosong. Ketika orang dibalik pohon kemudian keluar menghadangnya Wiro angkat tangan kanan, segera hendak menghantam. Tapi gerakannya dibatalkan dan tangan kanannya perlahan-lahan diturunkan walau dia tetap berlaku waspada. Siapa kau? Apa maksudmu menghadang di tempat ini?! Wiro bertanya. Yang tegakdi hadapannya adalah seorang perempuan muda berwajah bujur telur yang kecantikannya tidak kalah dengan kecantikan Ratu Bukit Kamukus! Tidak salah kalau tidak mengenali diriku.. Perempuan jelita itu menjawab sambil tersenyum. Wiro mengenali sura itu. Hampir tak percaya dia berkata Eh, bukankah..? Suaramu seperti suara Nenek Agung! Ya betul! Suara Nenek Agung! Kau.. Aku memang Nenek Agung. Tapi kenenekanku sudah berlalu. Sekarang aku telah menjadi seorang seperti yang kau lihat.. Bagaimana mungkin? Janganjangan kau mahluk jadi-jadian atau bukan mustahil penjelmaan sang ratu! Perempuan di hadapan Wiro tertawa. Aku berhasil mendapatkan mukjizat keanehan yang membuat diriku bisa berubah muda. Aku malu menceritakannya padamu. Jangan panggil aku lagi dengan nama Nenek Agung itu. Namaku adalah Mayasuri Wiro geleng-geleng kepala. Dia meneliti si jelita di hadapannya itu penuh rasa tak percaya. Akhirnya pemuda ini bertanya Kalau kau memang penjelmaan aneh dari perempuan tua yang telah menolongku itu, aku pantas saat ini mengucapkan terima ksih setinggi langit padamu! Kalau kau tak memberi petunjuk, aku tentu sudah jadi mayat saat ini! Mayasuri mengangguk. Dunia penuh keanehan. Dalam keanehan itu manusia hidup tolong menolong agar mampu melupakan segala keburukan dan kepahitan di masa lalu. Aku setuju dengan ucapanmu itu. Tidak disangka kau rupanya juga seorang penyair! Mayasuri tersipu mendengar kata-kata sang pendekar. Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Membawa aku kembali ke puncak bukit Kemukus? Aku bersumpah untuk tidak menginjak lagi tempat ini! sahut Mayasuri. Lalu

Aku ingin ikut bersamamu. Kita sama-sama seperjalanan meninggalkan bukit celaka ini! Wiro garuk-garuk kepalanya. Ah, ini alamat urusan tidak beres lagi! katanya dalam hati. Tapi ingat akan budi besar orang yang telah menyelamatkannya, Wiro ulurkan tangan kanannya. Mayasuri rangkulkan lengannya ke tangan sang pendekar. Lalu keduanya meneruskan perjalanan saling bergandengan. Sambil melangkah dalam hati murid Sinto Gendeng itu berkata Ya Tuhan, beri hambamu ini petunjuk. Saat ini aku tengah berjalan dengan seorang perempuan cantik atau seorang nenek keriput. Tamat

Anda mungkin juga menyukai