Anda di halaman 1dari 106

BASTIAN TITO

TIGA DALAM SATU

DOSA YANG TERSEMBUNYI


Sumber: BASTIAN TITO Scan : syauqy_arr Editing : fujidenkikagawa Convert to PDF : syauqy_arr

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI SI PINCANG MANTILO

ELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah. Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang paling disayanginya dan tengah hamil itu tidak ditemukan. Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak satupun mengetahui dimana beradanya atau kemana perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan mereka juga akan melarikan diri. Kelelawar Pemancung Roh tidak bodoh. "Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur melarikan diri, pasti dalam benak sebelas perempuan ini juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung Roh memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masingmasing. Lalu pintu dikuncinya dari luar. Di depan pintu yang terakhir dikuncinya Kelelawar Pemancung Roh berpikir. Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar biasa yang menjaga kawasan Teluk. Kalau perempuan itu memang melarikan diri, puluhan kelelawar pasti akan mencegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang Malam belum meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti bersembunyi di satu tempat. Dimana...?"

Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang ada kolam dan kursi besar. Duduk sendirian di kursi batu di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat itu ingat pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi memberitahu padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan ke dalam Goa Air Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti dia harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu membunuh Wiro baru kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto Gendeng dulu menyusul muridnya "Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala bayi, membunuh anak-anakku. Jahanam itu juga menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia pasti masih berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau sang guru? Apakah dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku menyelesaikan dendam hari ini?" Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat tendangan Wiro namun saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut kembali. Inilah kehebatan makhluk aneh penguasa Teluk Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan ikat kepala sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu berkelahi dengan Wiro. "Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang bisa dijadikan senjata luar biasa ampuh! Cahayanya bisa membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa. Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini memang miiiknya, agaknya senjata akan makan tuan. Aku bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil menyeringai

Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di kepalanya. Lalu kembali dia menimbang-nimbang. Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan menunggu kematiannya. Biar dendengkotnya aku habisi lebih dulu." Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil melangkah tinggalkan tempat itu dia memaki dirinya sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam. Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak karuan begini rupa. HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa lama setelah Kelelawar Pemancung Roh meninggalkan ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia bersandar di dinding, pegangi dadanya yang sakit lalu menyeka darah yang setengah mengering di dagunya. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat. Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu segera ditelannya. Lalu dia tegak bersandar ke dinding. Memperhatikan seputar ruangan. "Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar Pemancung Roh untuk masuk dan keluar ke pantai. Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik turunkan kursi batu begini berat...." Wiro palingkan pandangannya ke arah kolam batu yang tertutup gelagar kayu. Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa menembus sampai ke dasar. Apa isi kolam ini? Mengapa ditutup begini rupa? Kolam tempat mandi Kelelawar Pemancung Roh?" Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut matanya menangkap gerakan seseorang di sampingnya. Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di balik dinding. Dari sosoknya yang kecil jelas dia bukan Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat mengejar. Dia

hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu bagian dinding lorong batu tergantung sebuah lukisan. Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar dalam keadaan bugil. Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah menikmatinya. Namun sebenarnya saat itu dia tengah memasang telinga. Dia mendengar suara nafas orang. Wiro tersenyum. Garuk-garuk kepalanya. Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah hidup dan tersenyum padaku jelas tak bisa bernafas." Ucap sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan turunkan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba dari balik lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di balik lukisan itu ada satu ruangan kosong sedikit lebih kecil dari ukuran sebuah lemari. "Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro. Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincangpincang malah mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut pucat ketika entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu Wiro sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan. Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga pemuda ini. Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda itu berteriak kesakitan sambil berusaha menarik tangan Wiro. Siapa mau membunuhmu?! Wiro masih belum lepaskan jewerannya. Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi. Pasti kau juga mau membunuhku..." "Aku membunuh mereka karena mereka mau membunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?" Ti... tidak. Aduh, ampun..." "Pincang, siapa namamu? Apa tugasmu di tempat ini?" Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya. Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki. Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak

yakin Wiro tidak bermaksud jahat padanya baru dia mau menjawab. Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang Pemimpin." Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau aku bertanya jangan sekali berani berdusta! Katakan di mana Sang Pemimpinmu berada. Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini. Sudah kabur..." "Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana perginya. Jangan coba berdusta. Bisa-bisa kubetot dua telingamu, kujadikan seperti telinga kelelawar...." "Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin hanya bersamadi di Teluk. Atau pergi ke Bukit Jati." "Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada di sini. Berarti dia pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan ke sana. "Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan jalan ke Bukit Jati itu. Sang Pemimpin akan membunuhku seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi. Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku jauh lebih tidak berharga baginya dibanding dengan kelelawar bayi itu." "Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang belum tentu kejadiannya, atau mati di tanganku saat ini juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak menggebuk kepala Mantilo. Si pincang ketakutan setengah mati. "Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...." "Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu? Kenapa makhluk kampret itu suka pergi ke sana." "Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono..." Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung lorong terdengar suara teriakan-teriakan perempuan disertai suara pintu digedor. "Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran

pintu. Siapa mereka? Apa yang terjadi?" tanya Wiro. "Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin membunuh anak-anak mereka lalu mengunci mereka di dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar." "Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu." "Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istriistri lainnya tidak tahu kemana perginya...." "Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama Bintang Malam." pikir Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke Goa Air Biru." "Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang Pemimpin itu tidak perlu ditolong lebih dulu. Saya mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu tidak memberitahu dimana beradanya istrinya yang satu itu maka semua mereka akan diceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal." Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan menolong orang lain. Pasti mereka perempuan-perempuan cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum. Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. Tadi kau menyebut kolam Ikan Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu hitam. Letaknya di depan kursi batu di ruangan sana... "Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan Dajal adalah kolam maut. Jika seseorang diceburkan ke sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja orang itu hanya akan tinggal tulang belulang. Sebelumnya ada seorang nenek aneh hendak diceburkan Sang Pemimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda. Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap entah ke mana." Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo. "Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke dalam kolam Ikan Sundal?"

"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..." "Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin nenek itu tidak dicemplungkan ke dalam kolam?" "Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang suguhan yang diceburkan ke dalam kolam, saya yang selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang teman. Namanya Habili. Saya tidak tahu dia berada di mana sekarang. Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang bernama Mantilo itu mungkin benar. Tapi mungkin pula Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si nenek ke dalam kolam maut lalu menyurun Habili membersihkan kolam. Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro. Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan Bintang Malam, Kelelawar Pemancung Roh memiliki nyawa pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang tidak pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk yang seumur hidup selalu berada dalam air dan tidak punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah. "Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam itu!" Wiro kepalkan tinju. "Mantilo. Sebelum kita menolong sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu memusnahkan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba lari!" ***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI MIMPI DUA GADIS CANTIK

EJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh Pelangi Indah. Ketua Kelompok Bumi Hitam. Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci pakaian sambil bercengkerama. Ketika rombongan temantemannya pergi Rembulan sengaja mencari tempat duduk yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar wajahnya terlipat di atas pangkuan. Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung di tepi pancuran itu ketika tiba-tiba dia nendengar ada langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang bukan siapa-siapa melainkan Pelangi Indah, sahabat dan Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak mengenakan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan dikenakannya. "Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk menyendiri, termenung di tempat ini. Sudah lama kau berkelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang ada di

dalam pikiran dan hatimu?" Rembulan tersipu. Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada yang hendak kau jelaskan padaku. Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya. "Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan. "Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, termenung seperti memikirkan sesuatu?" "Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung diri. Hanya saja...." "Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah. "Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak panas. Tempat ini, agaknya satu-satunya tempat yang paling tepat untuk duduk menyejukkan diri." Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?" Ujar Pelangi Indah. "Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi Hitam berada di tempat ini, lantas siapa yang menjaga tempat kediaman kita?" Pelangi Indah tertawa. "Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi harap mau berterus-terang padaku. Jika ada kegelisahan atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa menolong." Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita Pelangi indah. "Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu besar terhadapku. Sebenarnya ini hanya satu hal kecil saja. Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau menceritakan pada Ketua." "Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada dalam kitab pegangan kita. Antara Hitam Dan Putih. Di situ ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah kecil. Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, bahkan melupakannya. Manusia lupa bahwa mereka terantuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil, bukan batu

besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku Ketuamu?" Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam sejenak dia berkata. "Tadi malam..." "Tadi malam kenapa? Ada apa?" tanya Pelangi Indah ketika dilihatnya Rembulan ragu-ragu meneruskan ucapan. "Aku bermimpi." "Aahh.... Apa mimpimu? Suatu yang bagus? Suatu yang indah?" "Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng yang beberapa waktu lalu berada di sini?" Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya yang halus dan bagus memotes selembar daun pepohonan di dekatnya, lalu kembali duduk di samping Rembulan. "Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan orang yang telah menolong kita begitu besar. Jadi kau bermimpi tentang dirinya?" "Benar Ketua." "Bagaimana mimpimu itu?" "Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di tangan kanannya dia memegang ikat kepala kain sutera hitam berbatu yang menurut Ketua telah diberikan padanya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang berubah kelam. Lalu ada satu makhluk besar bercahaya seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, menembus kegelapan dan menyambar pemuda itu. Wiro pergunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi diri dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat kepala kain sutera lalu terbang dan lenyap di langit gelap. Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh terguling ke dalam sebuah jurang. Suara jeritannya yang keras dan panjang terasa seolah masih bergaung di telinga.... Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah memandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua

seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya tuturkan?" Bertanya Rembulan. "Aneh..." Ucap Pelangi Indah. Mimpiku aneh menurut Ketua?" "Mimpimu dan mimpiku." "Rupanya Ketua juga bermimpi?" Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama dengan mimpimu." Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan. "Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku bermimpi dua malam yang lalu dan kau baru tadi malam." Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rembulan dan dalam hatinya Ketua Kelompok Bumi Hitam ini berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa yang membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri. Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau berkeadaan seperti ini." "Ketua...." Hemmm?" Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam bahaya?'" "Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi memberitahu bahwa ikat kepala kain sutra yang ditempeli batu Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari tangan Wiro." "Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu musuh mengalahkan lalu merampas ikat kepala kain sutera hitam?" Ujar Rembulan pula. Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada yang lebih tinggi. Ujar-ujar mengatakan Di atas lagit masih ada langit. Ini membuat seseorang berilmu tinggi tidak boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, bersikap rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan." "Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu. Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan pula.

Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu berada satu langkah di depan kebenaran. Harap camkan itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu memperlakukan kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?" Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu ingat ucapan dan nasihat Ketua." Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati pancuran, membasahi dua tangannya lalu mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang cantik itu tampak segar dan lebih cantik. Kemudian Pelangi Indah balikkan badan ke arah Rembulan. "Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu bahwa dia dan gurunya akan menuju Teluk Akhirat. Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan musuh yang dihadapinya pasti bukan lain Kelelawar Pemancung Roh." Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka dia cepat berkata. "Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212. Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya rasanya semua budi besarnya itu tidak akan terbalas. Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku akan ke Teluk Akhirat untuk melihat keadaannya. Jika memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha menolong." Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata. "Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari menjadi lamunannya. Kini dia hendak bertindak mendahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan menjadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus terang padanya agar tidak kedahuluan?" Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi orang. Wiro telah berjasa besar bagi Kelompok Bumi Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak menyerahkan Kalung Srigala Perak itu seumur hidup aku akan

tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS sebelumnya berjudul "Srigala Perak") "Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju Teluk Akhirat? Kalau begitu aku mohon restumu." "Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat wajah Rembulan berubah karena putus harapan. Aku sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat." "Ketua bisa mewakilkan padaku." "Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam ada padaku. Jadi aku harus turun tangan sendiri. Selama aku pergi kau menjadi wakilku di sini." Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya terdengar perlahan ketika berucap. Aku menurut apa kata Ketua. Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu berkata. Rembulan, perasaan kita bisa saja sama. Namun sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku Ketua. Kuharap kau bisa mengerti..." Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar percakapan Pelangi Indah, perlahan-lahan menggeser kakinya. Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului Ketua. Jika kemudian hari Ketua menghukumku karena telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asalkan dapat bertemu dengan dia, apa lagi bisa menolongnya. Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari lebih cepat dari jalan biasa." Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu berkelebat pergi. ***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI MUSNAHNYA IKAN DAJAL

ENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia tidak melihat benda apapun di dalam kolam walau airnya jernih bening. "Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku tidak melihat apa-apa. Kata murid Sinto Gendeng sambil menatap Mantilo. Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya, ikan maut itu ada di dalam kolam batu ini." "Perlu aku buktikan dulu, kata Wiro. Dia melangkah mendekati kolam. Ketika dilihatnya Mantilo berjalan ke arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau berbuat apa? "Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu penutup kolam. jawab Mantilo. "Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani menipu! Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu jarinya dia menekan kuat-kuat sebuah tombol di lengan kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu penutup kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari atas kursi batu. Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam. Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat

sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pemimpin menutup bagian atas kolam." Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam. "Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pemancung Roh ada pada satu makhluk yang tidak pernah menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan Ikan Dajal ini. Kelelawar Pemancung Roh pasti amblas kekuatannya." Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak terduga dan dalam kecepatan luar biasa, satu makhluk putih besar sekali melisat keluar kolam. Wuttt" Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana golok besar menebas, membeset di atas kepalanya. Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan melompat ke belakang. Dia sampai terjengkang di lantai batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung ada bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepalanya kena disambar dan dibabat putus! Dinginlah tengkuk sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak berdarah. Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha menjauhkan Wiro dari tepi kolam. Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro garuk-garuk kepala lalu bangkit berdiri. Mantilo kembali memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi pemuda pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro mengangkat tangannya ke atas dan perlahan-lahan sebatas siku ke bawah tangan itu berubah menjadi seperti perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu mendadak terasa panas sekali. Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam kolam. "Wusss!" Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana diterangi kilatan petir. Udara panas luar biasa membuat

Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu Byaaarrr!" Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas. Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah diguyur air panas. Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang menggergaji tidak berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Berganti dengan suara seperti belasan kerbau melenguh bersamaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau daging terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro melihat bagaimana dari dalam kolam perlahan-lahan mengapung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa besarnya. Hampir seluruh tubuh ikan ini yang tadinya berwarna putih kini menggembung merah terkelupas dan mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal merupakan rongga kosong hangus. Mulut ikan ini terbuka lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring besar setajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam mengucur tiada henti dari mulut makhluk ini. "Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang bernama Ikan Dajal. Mudah mudahan Eyang Sinto belum menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah dilahapnya, kualat aku seumur-umur." Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di tempat itu. "Sialan!" maki Wiro. Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu mau menuju kemana. Sementara itu di kejauhan kembali terdengar suara teriakan-teriakan serta gedoran pintu. Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih terus berusaha keluar dari dalam kamar yang dikunci. Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikirpikir apakah akan menolong perempuan itu lebih dulu baru mencari jalan ke Goa Air Biru.

Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali ke lorong yang ada lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya terang di depannya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di antara semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di satu tempat. jauh dari pantai. Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru. Dimana letaknya?" Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara menguik riuh di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh kelelawar beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar Pemancung Roh itu pasti akan menyerbunya dengan ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang. "Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku sambil menguik. Apa artinya ini?" pikir murid Sinto Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu berputar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi tetap tak bergerak di tempatnya. Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro. berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali terbang ke arah timur. Demikian sampai tiga kali. Wiro menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat kelelawar melakukan hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia berlari mengikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur. Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai berkurang, berganti dengan pohon-pohon lain. Di satu tempat kelelawar yang terbang di udara kembali membuat gerakan

berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit kecil membentang dari barat ke arah timur. Bukit ini tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari besar serta bentuknya telah berumur puluhan tahun. "Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke bukit ini. Sekarang di mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu bagaimana aku harus berterima kasih pada binatangbinatang itu?" Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahanlahan turun merendah melewati sebuah pohon kelapa yang putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi satu kelelawar itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu keluar lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak belukar, sesaat setelah itu keluar kembali. Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha memberitahu bahwa Wiro harus masuk ke balik semak belukar itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua puluh kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya Wiro segera mendatangi, menguak semak belukar dan terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru. "Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap Wiro sambil memandang ke udara. Dia hanya bisa melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap bersahabat denganku, tidak akan aku membunuh kawankawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi. Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang lalu melesat lenyap ke arah utara. ***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI WULANDAYU

ATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam cegukan batu, sepasang mata terpejam. Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu. sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah membawa Sinto Gendeng ke tempat ini. Mungkin anakanak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindahkannya ke tempat lain. Kelelawar Pemancung Roh mengelilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam cegukan batu. Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau juga tidak sedang tidur. Buka dua matamu dan jawab pertanyaanku! Suara keras Kelelawar Pemancung Roh menggaung dalam cegukan batu. Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan dalam kerangkeng besi membuka dua matanya. Dua bola mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya. Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana agaknya murid murtad ini mendapatkannya? Ki Sepuh

berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan. Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir kali kau datang ke sini. Hari ini kau muncul. Katakan apa penyebabnya." "Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan! Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah Kelelawar Pemancung Roh penguasa Teluk Akhirat! Bukan Damar Soka!" Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut pada namamu sendiri. Kau takut pada baying-bayangmu sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu selalu mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa melupakan masa silam. Apa lagi dengan selangit dosa seperti dirimu. "Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang mulut, saat ini juga akan kutarik ke dua kakimu sampai lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam kerangkeng besi celaka itu! Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan. "Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan kediamanku. Pertama seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala bayi membawa nenek itu ke dalam goa ini..." "Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?" tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau cari?' "Istriku. Bintang Malam." "Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di sini?" Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya bergumam beberapa kali. "Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang itu pernah berada di tempat ini. Lekas kau beri tahu ke mana keduanya dipindahkan? Siapa yang memindahkan?" Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat ini."

"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung Roh menggelegar. Dia melangkah ke hadapan Ki Sepuh, memegang rantai besi yang menjulai dari langit-langit batu ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali kutendang tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu akan putus. Apa itu yang kau inginkan?" "Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu. Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah tidur. Kematian akan membuatku tidur nyenyak. Ha... ha... ha" Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut bergerak. Bagian berbentuk mata gergaji taiam yang melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau rasa sakit bukan alang kepalang tapi dengan menggigit bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak sampai berteriak. Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh Tumbal Buwono yang mengenakan jubah biru besar gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak lama. Memandang ke langit-langit cegukan, memperhatikan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki Sepuh pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk beberapa kali agar Kelelawar Pemancung Roh tidak mendengar suara hembusan nafas dua orang yang mendekam di dalam jubah gombrongnya. Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng setengah mati menahan air kencingnya agar tidak terpancar. Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu. "Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Tapi aku tahu kau berdusta! Kalau aku bisa membuktikan aku akan kembali untuk memutus lehermu!" "Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku

akan mengucapkan terima kasih adamu. Damar Soka. Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar Pemancung Roh melompat ke hadapan Ki Sepuh. Tangan kanannya diulurkan. Srett!" Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi cakar besi bergelimang darah! "Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai perutku, silahkan. Makin cepat kau membunuhku lebih enak rasanya." "Tua bangka jahanam!" Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk tinggi besar ini tidak melakukan apa-apa. Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai. Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai batu hingga tempat itu bergetar, air telaga bergoyang bergemericik. Dengan rahang menggembung penguasa Teluk Akhirat berkata. Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas terakhir kehidupanmu!" "Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di dalam arwah, aku pasti akan bertemu dengan Wulandayu, ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan pesan, pasti akan kusampaikan padanya." Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak keras mendengar disebutnya nama Wulandayu oleh si kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya sendiri lalu sambil tiada hentinya merutuk dia tinggalkan Goa Air Biru. Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan suara. "Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya boleh keluar sekarang?" "Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa mati pengap aku di dalam sini." Sinto Gendeng ikut bicara. "Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku mem-

beritahu bahwa kalian boleh keluar." Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu masih belum pergi jauh dari tempat ini. "Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang bisa aku kancing. Tapi aku tidak menjamin bisa mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!" Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto Gendeng itu. Dia berkata. Kalau tadi aku tidak menceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan tidak berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, Kelelawar Pemancung Roh pasti dapat mencium bau kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh menceburkan dirimu dalam telaga. " Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing rapat-rapat! Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam bersuara. Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka mulut. Apa yang kau ingin tanyakan?" "Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh yang bernama Wulandayu itu mati dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh sendiri." Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama ini selalu berusaha disembunyikan oleh murid murtad itu. Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal dunia. Tewas secara aneh. Mungkin dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan mungkin akan segera menemui ajal pula. Orang itu adalah diriku sendiri!" Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri." Ujar Bintang Malam pula. "Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di

minta Ki Sepuh Buwono lalu bercerita. Semasa mudanya Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan orangorang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, mengganggu anak istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya berulang kali menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari akhirnya dia aku usir dari pertapaan. Suatu malam dia kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan mabuk berat dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya, dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas bukan seperti ibunya. Tapi seolah-olah perempuan itu adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan luar biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan ibunya. Ketika ibu dan anak sadar apa yang terjadi Damar Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat sumpah dan kutuk itu sosok Damar Soka berubah seperti ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu. Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk apa itu adanya. Setelah peristiwa itu Damar Soka melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika dia kembali menemuiku kelihatannya dia sudah menjadi orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai murid. Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta beberapa ilmu terlarang padaku. Aku hanya nemberikan satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah ilmu itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku menolak. Diriku lalu diperlakukannya seperti yang kau saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan kesaktianku disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini." Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam

bungkam namun hatinya nenyumpah habis-habisan. Kek, bagaimana kalau...." "Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang Malam lalu berbisik. "Ada orang datang...." ***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING

UGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluarnya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan saja dia berusaha mengingat-ingat semua percakapan dengan si kakek yang membuatnya marah setengah mati, tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan batu. Ada sesuatu yang semula tidak mencurigakan, yang setelah berada di luar goa membuat dia berpikir dua kali. "Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering antara telaga dan cegukan tempat tua bangka keparat itu duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada makhluk apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda sepertinya ada satu benda besar dikeluarkan dari dalam telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu cegukan dinding." Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak seekor kelelawarpun kelihatan berkeliaran. Mereka tidak menemui ajal semua. Apa yang terjadi? Di mana kelelawar penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar Pemancung Roh terbagi. Namun kemudian kembali ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga. "Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam. Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini kepalkan dua junya. Lalu dengan cepat dia balikkan badan, bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru. Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono

merasa tercekat ketika melihat kemunculan Kelelawar Pemancung Roh untuk kedua kalinya. Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia tahu..." Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air yang mulai mengering di lantai batu masih kentara. Dia ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh. Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat ini!" "Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum buta. Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini?!" "Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia melangkah ke belakang si kakek dan menarik ke atas jubah biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Dengan amarah meluap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, jambak rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua orang ini di hadapan Ki Sepuh. Sinto Gendeng terkapar, memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan wajah pucat. Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk sudah datang. Tadi tak ada kecurigaan dalam dirinya. Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang yang kusembunyikan dalam jubahku? Aku tidak takut mati. Tapi bagaimana nasib dua orang ini?" Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika aku melepas nyawa, kutukku akan bersatu dengan kutuk ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan menemui ajal dalam seribu sengsara!" "Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami berdua! Hai! Aku tidak takut kau bunuh. Aku berjanji tidak akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau membebaskan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari dalam goa sekarang juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.

"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini tidak ada harganya bagiku, apa lagi nyawa kalian berdua! Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku menghabisi tua bangka tak berguna ini!" Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah. Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi gagal. "Dukkk!" Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja membuat hancur dan melesak dada si kakek, tapi juga membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah menyembur mengerikan. Bintang Malam terpekik tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habishabisan. Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut mencelat karena tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian bawah kerangkeng yang berbentuk mata gergaji besar dan tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher itu hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan. Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang menyembur dari leher yang tcrsisa membasahi lantai batu! Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam. "Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling enak. Kalian akan kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!" Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang Malam menjerit tiada henti. Setengah berlari Kelelawar Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air Biru. Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan suara menggembor dan hentikan langkah ketika di depan sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian serba

putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak menghadang. Di tangan kanan pemuda ini memegang sebilah kapak bermata dua memancarkan cahaya menyilaukan. Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancarkan warna seputih perak. Di luar goa saat itu udara mulai redup karena sang surya sebentar lagi akan tenggelam. "Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh. "Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan padaku ikat kepala kain sutera hitam yang melingkar di keningmu! Pemuda di mulut goa membentak lalu melangkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh. Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak. "Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan tidak mau menyerahkan ikat kepala kain sutera, kau mau berbuat apa?! Ha... ha... ha!" "Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!" Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan suara mendengus. "Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa! Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan kau pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadikan tameng menghadapi semua seranganmu! Ha... ha... ha... ha!" Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan memaki dalam hati. Dia terpaksa berhenti empat langkah di hadapan Kelelawar Pemancung Roh. "Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala gurumu dan perempuan celaka ini satu sama lain!" "Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi merutuk. Keadaannya tidak menguntungkan. Ketika dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu hal luar biasa. Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang ter-

kapar di lantai batu secara aneh tiba-tiba bergerak ke atas. Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu melesat ke arah Kelelawar Pemancung Roh yang tegak membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya Dia menoleh. Terlambat! "Dukkk!" Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi besar terpelanting ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia terhuyunqhuyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat ke depan. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua sinar putih menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa Air Biru laksana neraka. Wuuutt!" "Craass!" "Wusss!" Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke lantai dalam keadaan hangus mengepulkan asap. Kepalanya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di lantai hitam hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga. Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata Srigala masih melingkar di keningnya dan kelihatan merah membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss ketika bersentuhan dengan air telaga. ***

WIRO SABLENG

DOSA YANG TERSEMBUNYI ORANG DI ATAS BIDUK

IRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah tenggelam. Udara mulai kelam. Wiro mencari tempat yang baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya. Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja dimulai dengan makian. Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia kematian makhluk jahanam itu? Kalau makhluk yang menjadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam itu." "Kira-kira begitu Eyang. Jawab Pendekar 212. "Di tempat kediamannya aku menemukan seekor ikan raksasa bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang tidak pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah. Makhluk itu sudah kubinasakan." "Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu oleh Kelelawar Pemancung Roh." Ucap Sinto Gendeng. "Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku? Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas dengan ilmu totokan bernama Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki

Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan celaka ini. Lekas kau pergunakan kapak saktimu..." Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang Malam berucap dengan wajah memperlihatkan rasa kaget dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk ke pantai. Lihat...!" Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 palingkan kepala. "Edan!" rutuk si nenek "Gila bagaimana mungkin! ujar Wiro. "Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa dibunuh!" "Berarti..." Wiro menggaruk kepala. Ikan Dajal itu bukan makhluk yang meminjamkan nyawa pada Kelelawar Pemancung Roh!" Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyunghuyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng kepalanya sendiri Wiro memperhatikan. Astaga! Pendekar 212 keluarkan seruan pendek. "Apa yang ada di benakmu Anak Setan?!" tanya Sinto Gendeng. Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang melilit di kutungan kepala Kelelawar Pemancung Roh?" Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum buta." "Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn itu...." "Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya? Kau curi?" "Tidak Nek, seseorang memberikan padaku." "Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang perempuan yang memberikan padamu. Cantik?" Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera mengambil benda itu."

"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku mencium ada bahaya di sekitar sini. Lihat saja apa yang akan terjadi..." "Tapi batu sakti itu Nek." Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji kambing yang mengkilap!" Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tapi Sinto Gendeng kembali mempenngatkan. "Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!" Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepalanya diletakkan di atas leher. Lalu sambil menekan kepala itu dia lanjutkan langkah. "Dia menuju ke laut. Ada apa? Apa yang hendak dilakukannya''' ujar Wiro. Lalu dia ingat keterangan Mentari Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air. Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Setelah tubuhnya masuk sebatas dada di kejauhan terdengar suara aneh berulang kali. "Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..." "Suara apa itu? Sinto Gendeng membuka mulut sambil memutar bola mata. Wiro dan Bintang Malam memandang berkeliling. Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Suara tawa ini baru berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar Pemancung Roh tenggelam ke bawah air laut. "Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh benar-benar hidup kembaii?" Bintang Malam bertanya. "Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut Sinto Gendeng. Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut. Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari

mulutnya berulang kali dia menyemburkan air laut. Tibatiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di atasnya duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan pakaian serba hitam. Orang di atas biduk tidak mengayuh, malah rangkapkan dua tangan di depan dada. Tapi biduk itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembulnya kepala Kelelawar Pemancung Roh. Di antara hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar suara riak air laut memecah dipapas biduk. Dia palingkan kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh memperhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, tiba-tiba salah satu tangan yang mendekap di dada bergerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu sakti yang melingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas. Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia sempat berbuat sesuatu, biduk telah berputar lalu melesat ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala Kelelawar Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari permukaan laut. Semua kejadian itu disaksikan oleh Wiro. Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran. "Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas biduk itu?" Sinto Gendeng bertanya. "Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro berusaha membebaskan totokan di tubuh Sinto Gendeng. Dia bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu tak bisa dimusnahkan. Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, agaknya kau harus mencari Kalajengking Putih...." "Kalajengking Putih? Buat apa Eyang?" "Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang bisa memusnahkan totokan di tubuhku." Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh. Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu dia masih bisa kudukung di atas bahu. Kini dalam keadaan lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku harus menggendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana aku akan mencarinya?'

Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh. Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal Buwono. Kerangkeng besi dihancurkan dengan kapak sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu dikubur di tepi pantai. Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di antar pulang ke desanya. Perempuan yang tengah hamil muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto Gendeng pergi. Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya. "Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang lain-lain. Ada apa dia ingin ikut bersamamu..." Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk kepala. "Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah melihat orang bunting secantik dia, bukan? Jangan-jangan kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya hingga dia kecantel padamu? Apapun yang terjadi dengan Kelelawar Pemancung Roh, perempuan itu sudah bisa disebut sebagai seorang janda." Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata Wiro pula. Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar belum bisa menerima ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku tahu ini pengalaman baru bagimu. Hik... hik... hik!" "Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan perempuan itu." kata Wiro mengulang sumpah. Sang guru hanya ganda tertawa.

TAMAT
Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II

erawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya agak dower. Apalagi ketika ia berkomat-kamit merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan. Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan wajahnya terlihat khusuk. Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan seksama. Ia mengenal Mbah Sarijo dari seorang kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat, dan sering berhasil menolong pasien-pasiennya. Ada yang minta naik angkat secepatnya, perjodohan, rizki yang banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari letnan polisi itu kali ini. Mbah Sarijo langsung menyanggupinya tanpa ragu sedikit pun. Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang katanya untuk mengadakan kontak batin antara dirinya dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan bagi Letnan Hendri itu bukan masalah sulit. Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda kalau orang tua itu akan menyudahi kekhusukannya. Entah apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa memastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi

perbuatannya, juga kalau memang ia pelaku pembunuhan beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar makhluk itu menghentikan aksinya. Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari kontak batin. Sukmanya melayang-layang meninggalkan raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu agar tidak mengganggunya dalam bentuk apapun selama ia dalam keadaan demikian. Sukmanya yang tengah melayang-layang itu membawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah gemerlapan. Semua penjaga istana terdiri dari wanitawanita berpakaian keraton jaman dahulu kala. Setelah berbasa-basi dengan salah seorang penjaga, ia menanyakan siapa gerangan pemilik istana itu. "Putri Dayang Sari " sahut penjaga yang ditanya. "Beliau telah mengetahui kedatangan juga maksudmu ke sini. Oleh sebab itu Beliau memerintahkan agar kau selekasnya pulang. Tidak perlu mencampuri urusan Beliau." Apa maksud perkataannya itu? "Tidak usah banyak tanya. Pergilah sebelum Beliau murka!" bentak penjaga berwajah cantik itu galak. "Aku tidak akan pergi sebelum Beliau menjelaskan, ada persoalan apa sebenarnya, dan menjaga ia keluyuran mengganggu manusia. Sebaiknya kalianlah yang menyingkir. Beri aku jalan!" sentak Mbah Sarijo tak kalah galak. Ia bermaksud menerjang penjaga itu dan hendak menerobos masuk ke dalam, tapi tiba-tiba saja terasa angin kencang yang bergulung-gulung datang dari dalam istana menerjang sukma orang tua itu dengan hebatnya. Meskipun sukma Mbah Sarijo berusaha melawan dan melepaskan diri, tetap saja ia terhempas jauh sekali. Bersamaan dengan itu lapat-lapat terdengar satu suara yang mengiringi kepergiannya.

"Jangan campuri urusanku, atau kau akan celaka. Ini peringatan buatmu. Lain kali kau akan celaka." "Aaaa...!" Letnan Hendri terkejut ketika melihat tubuh Mbah Sarijo terhempas ke belakang, hampir menabraknya. Nafas orang tua itu terengah-engah dan sepasang matanya melotot lebar. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa sakit sekali. "Ada apa. Mbah? Apa yang terjadi?" tanya letnan polisi itu sambil membantu si orang tua duduk. Mbah Sarijo tidak langsung menjawab. Ia mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. Kemudian perlahanlahan dipandanginya pria itu sambil menggeleng lemah. "Maafkan Bapak. Nak. Bapak tidak bisa menolong kalian. Kekuatan wanita itu dahsyat sekali." ucapnya pelan. "Wanita? Wanita yang mana Bapak maksudkan?" "Makhluk yang telah mengganggu gadis itu..." "Jadi makhluk siluman itu wanita? Mbah Sarijo mengangguk. Namanya Putri Dayang Sari." lanjutnya. "Putri Dayang Sari?" ulang Letnan Hendri seraya mendesis. "Ada apa sebenarnya? Apa yang dia inginkan dari Saraswati?" Mbah Sarijo menggeleng pelan. Bapak tidak sempat mengetahuinya. Hanya saja sepertinya ia mempunyai masalah pnbadi. Orang tua itu kembali terdiam sejurus lamanya sebelum kembali bicara. Percayalah Nak. Makhluk ini sangat kuat, dan tidak sembarang orang yang mampu menghadapinya. Hati-hati. Bapak tidak bisa melindungi kekasihmu itu." "Sebentar, Pak. Tadi Bapak katakan tidak sembarang orang mampu menghadapinya kan? Itu berarti bukan tidak ada yang mampu menghadapinya. Menurut Bapak siapa kira-kira orang yang mampu menghadapinya?" Mbah Sarijo menggeleng lemah Entahlah Bapak tidak tahu." Jawaban itu sama sekali tidak ingin didengarnya.

Semula ia begitu antusias saat bertanya, seolah menemukan secercah harapan untuk menerobos masuk ke penyelesaian masalah. Tapi kini menjadi mentah kembali. Lalu apa yang kini bisa diperbuatnya untuk menyelamatkan Saraswati? *** Putri Dayang Sari?" Itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Setidaknya ketika melihat wajah gadis itu berkerut seperti inengingat-ingat sesuatu ketika Letnan Hendri baru saja menceritakan pertemuannya dengan Mbah Sarijo. "Kenapa? Apakah kau pernah mendengar tentang nama itu sebelumnya?" tanya letnan polisi itu acuh tak acuh. "Sepertinya begitu tapi... Ah. iya!" serunya. "Aku pernah mendengar sekilas tentang riwayat nama tu. Waktu itu kami sedang KKN di sekitar Wilayah Tasikmalaya, sebelum kepergianku ke Amerika. Kami mengunjungi seseorang yang ahli soal sejarah Pasundan. Kalau tidak salah namanya Pak Kartasasmita. Menurut beliau Putri Dayang Sari adalah putri seorang raja yang sejaman dengan Kerajaan Galuh di daerah Ciamis. Tapi kami tidak bertanya panjang lebar soal keberadaan dan sejarah hidup Putri itu." sambung Christine. Bisakah kau mengantarkanku ke tempat beliau?" Bisa saja. Kapan?" "Sekarang juga boleh!" sambut Letnan Hendri antusias. Gadis itu tersenyum. Antusias sekali. Aku mau nanya satu hal, yaitu seandainya yang terancam nyawanya saat ini adalah orang lain, apakah Mas Hendri akan secemas ini?" "Menolong orang adalah kewajiban kita bersama, dan disamping itu masalah ini menjadi tanggung jawabku." sahut Hendri diplomatis. "Begitukah? Apakah tidak ada pendorong lainnya. Misalnya karena Mbak Saras itu kekasih Mas?"

Kamu ini jangan suka macam-macam." Christine tersenyum. "Aku sempat tanya sama tante, apa Mas sudah punya pacar belum. Beliau menunjuk pada Mbak Saras. Gagal sudah niat orang tua kita untuk menjodohkan kita," lanjutnya terkikik kecil. Itu karena kau tidak menyukaiku," sahut Hendri asal jadi. Kata siapa? "Lho, memang begitu, kan? "Itu tidak benar. Sebagai seorang abang, aku menyukaimu, tapi sebagai seorang pria, aku tidak menyintaimu," sahut Christine blak-blakan. Hendri tidak perlu menimpali pernyataan itu, karena ia pun mempunyai perasaan yang sama, yaitu cuma menganggap Christine sebagai adiknya. "Bagaimana? Kau bisa mengantarkanku ke tempat orang itu?" Bisa saja tapi tidak sekarang atau besok. Hm, mungkin lusa. Soalnya besok aku harus bertemu dengan seseorang." "Apakah penting sekali?" desak Hendri. "Seandainya kau sudah janji bertemu dengan Mbak Saras, apakah kau ingin diganggu?" "O, pacar?" Ah pokoknya no comment! elak Christine. Jangan coba-coba menginvestigasi aku, ya." Letnan Hendri tersenyum tipis. Ia tidak tertarik sama sekali untuk mencampuri urusan adik sepupunya itu. Yang ada di dalam benaknya adalah bagaimana menyelamatkan Saras dari incaran makhluk yang hendak merenggut jiwanya dan ia ingin menuntaskan persoalan itu secepatnya, sebab lebih cepat suatu persoalan diselesaikan akan lebih baik. Dan sayangnya Christine tidak bisa diajak kompromi, karena bagaimanapun gadis itu bisa mengelak bahwa ia juga punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu. Itu masalah privacy, yang membuat Hendri jadi uring-uringan sendiri.

Tapi apakah memang begitu sikap Christine terhadap persoalan yang dihadapi saudara sepupunya itu? Sebenarnya tidak. Minatnya bahkan cukup besar untuk nimbrung dalam masalah yang dang dihadapi Hendri hanya saja dalam hal ini ia punya cara tersendiri, dan tak ingin caranya itu campurtangani oleh abang sepupunya itu. Sepulang Hendri dari rumahnya, ia menelepon salah seorang kawan dekatnya dan berjanji untuk bertemu di suatu tempat. *** Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul enam sore lewat beberapa menit. Wajahnya masih biasa saja, sebab kesepakatan mereka adalah jam enam lewat lima belass menit. Ia rnelirik ke kiri dan kanan, masih belum terlihat orang yang sedang dinanti. Kemudian coba melongok ke dalam melalui kaca tembus pandang, dimana dua orang pria sedang ngobrol dengan santai di antara sekian banyak barang-barang antik yang dipajang. Tak berapa lama sebuah sedan putih memasuki tempat parkir di depan toko itu, dan seraut wajah cantik dengan tubuh langsing keluar dari pintunya. Mereka berpelukan sambil mencium pipi kanan kiri sesaat, sebelum gadis yang baru datang itu membaca tulisan di atas toko yang terpampang agak besar. DAN ANG, toko barang-barang antik. Well, kenapa kau mengajakku bertemu di tempat seperti ini? Apakah sekalian akan membeli barang-barang antik?" Bukankah kau butuh referensi tentang kejadian heboh belakangan ini? Nah, aku akan mengenalkanmu pada pemilik toko ini," jelas gadis yang tadi menunggu. "Pinky, apakah yang kau maksudkan pemilik toko ini seorang paranormal?" Entahlah, tapi ia tidak suka disebut begitu. Eh, ingat waktu dulu kita pernah KKN di daerah Tasikmalaya? Kita mampir ke rumah seseorang. Pemiliknya bernama Karta-

sasmita? Nah, pemilik toko ini adalah putranya." "Benarkah?" Bola mata Christine bersinar cerah. Kebetulan sekali!" "Nah, tunggu apa lagi? Ayo, mari kuperkenalkan kau padanya." ajak Pinky. Sebenarnya ketika pertama kali mendengar cerrita Hendri tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Christine sudah mulai mereka-reka dan menghubunghubungkan masalah itu dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ini masalah alam gaib dan ia menyukainya. Kebetulan sahabat dekatnya pun memiliki kesenangan yang sama, sehingga Pinky langsung mengajaknya bertemu di tempat ini saat Christine mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi saudara sepupunya itu. Pinky sendiri kebetulan adalah salah seorang kolektor benda benda antik, dan sekaligus langganan setia pemilik toko ini. Ia juga mengetahui kelebihan pemilik toko ini tentang sejarah masa lalu dan pengetahuannya tentang ilmu gaib. Jadi klop sudah, dan ia tidak perlu pusing memikirkan bagaimana caranya membantu Christine. Kenalkan ini Anjar kawan lamaku, kata Danang setelah Pinky memperkenalkan sahabatnya. "Oke, Pinky, apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu saat ini? Pinky menjelaskan kalau sebenarnya Christine ingin menanyakan beberapa hal yang bersangkutan dengan persoalan alam gaib yang ada hubungannya dengan kejadian yang belakangan ini terjadi. Sebenarnya Christine berusaha untuk tidak berterus-terang bahwa persoalan itu sebenarnya menyangkut tugas yang sedang diemban abang sepupunya, karena ia sendiri beranggapan kalau itu termasuk juga masalah yang sedang dihadapinya, tapi Pinky keburu melanjutkan keterangannya. "Kebetulan masalah ini sedang ditangani abang sepupunya yang bertugas di kepolisian, jadi kalau kita bisa membantu rasanya akan lebih baik." Danang dan Anjai saling berpandangan. Mereka samasama mengetahui satu nama polisi yang menjadi pimpinan

dalam menguak misteri pembunuhan itu. "Siapa nama abang sepupu Anda itu?" tanya Danang. Hendri." Letnan Hendri?"' Betul. Apakah Anda pernah mengenalnya?" sahut Christine balik bertanya. Danang melirik sekilas pada Anjar sebelum menggeleng pelan sekali. "Ah, tidak. Hanya saja namanya sering dimuat di koran dan kebetulan aku sering mengikuti berita pembunuhan yang sedang usutnya itu. Baiklah, kita kembali pada pembicaraan sebelumnya. Masalah apa yang Anda ingin ketahui? Kalau sekiranya bisa saya bantu, maka akan saya bantu." Abang sepupu saya itu pernah mendatangi seorang paranormal untuk menyelidiki kasus itu dari sisi yang lain, dan hanya menemukan jejak berupa sebuah nama yaitu Putri Dayang Sari. Kemudian saya teringat, dulu pernah mendengar nama itu dari cerita ayah Anda waktu kami masih KKN. Yang jadi masalah, mengapa atau barangkali lebih tepatnya, apakah nama itu dan cerita ayah Anda berkaitan dengan peristiwa pembunuhan itu? Kalau memang benar, lalu apa motivasmya, dan bagaimana cara efektif untuk menuntaskan masalah ini?" Danang menghela nafas sejenak sebelum mengangguk. Menurutku kisah itu memang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan yang sedang diusut abang sepupu Anda, dan motifnya pun jelas, yaitu balas dendam. Atau tepatnya dendam pribadi atas kesalahan yang telah diperbuat Putri Dayang Sari.'' Kemudian Danang menjelaskan secara smgkat dan jelas kronologis permasalahan yang diyakininya kuat sebagai alasan mengapa peristiwa pembunuhan itu bisa terjadi. Christine mengangguk-angguk. "Ya, walaupun rasanya sulit diterima akal, tapi saya mempercayai kalau alam gaib memang sulit diterima akal. Tapi selang waktu antara jamannya dengan saat ini cukup jauh, lalu kalau memang itu balas dendam, kenapa mesti dilakukan saat ini?

Kenapa tidak dari dulu?" "Balas dendam itu telah dilakukanya dari dulu. Kebetulan kami berdua telah menelitinya. Kira-kira dua ratus tahun lalu, ada legenda tentang pembantaian berturut-turut yang terjadi di daerah Tasikmalaya bagian selatan, tepatnya di daerah pesisir. Lalu seratus tahun lalu, juga ada legenda yang sama di daerah Bogor bagian Timur. Dan cerita legenda itu menunjuk pada satu nama, yaitu Putri Dayang Sari. Itu dua legenda yang kami dengar, lainnya belum. Dan agaknya peristiwa itu berlangsung setiap masa seratus tahun. Kemudian aku mulai menghitung, sejak masa legenda itu terjadi di daerah Bogor sampai sekarang maka telah memasuki masa seratus tahun." jelas Danang. Christine kembali mengangguk-angguk. "Apakah tidak ada cara yang efektif untuk menghentikannya?" Menurut legenda kejadian itu akan terus berlangsung, dan tak pernah terhenti kecuali... Kecuali apa? kejar Christine. Hanya keturunan Wanara Bodas yang mampu menghentikannya, sahut Danang. "Yang jadi nasalah, kita tidak tahu siapa dan di mana keturunan Wanara Bodas saat ini." Keempatnya saling membisu, tapi berkutat dalam pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Christine seperti menyadari salah satu keterangan Danang yang luput dari perhatiannya. Soal korbannya katanya kemudian. Kalau benar itu perbuatan Putri Dayang Sari, mestinya ia tak sembarangan memilih. Hanya mereka yang berkhianat saja kepada kekasihnya? lanjutnya seperti ingin menegaskan statemen itu. Danang mengangguk. "Betul dan sangat kebetulan sekali karena abang sepupu Anda menangani kasus ini, coba teliti dan amati diantara daftar nama-nama korban, telusuri kisah asmaranya. Barangkali ini hal yang luput dari perhatian.

Hendri pernah merjelaskan kalau pelaku pembunuhan itu adalah orang-orang terdekat korban," sahut Christine. Secara hokum, mungkin saja jasad mereka yang melakukan, tapi sebenarnya hasrat dan dorongan untuk membunuh itu telah menguasai seluruh jiwa raga pelaku pembunuhan yang telah tertangkap itu." "Jadi maksud Anda metode yang digunakan Putri Dayang Sari adalah menggunakan orang terdekat korban untuk melakukan pembunuhan?" '"Tepat sekali!" "Lantas kriteria orang terdekat mana yang perlu dicurigai, mengingat setiap korban tidak hanya memiliki satu orang terdekat?" "Kita ambil contoh begini: Si A memiliki kekasih yang setia, namanya si B, tapi karena suatu sebab akhirnya si A nyeleweng pada si C. Dalam hal ini kemungkinan korban yang dipilih adalah si A, maka Putri Dayang Sari akan merasuk ke dalam jasad si C untuk membunuh si A." Christine mengangguk-angguk mengerti. Seandainya ia mempcrcayai keterangan Danang, maka ia mulai mengaitkan praduga itu kepada kejadian yang menimpa Saraswati. Gadis itu kini tengah menjadi incaran Putri Dayang Sari, dalam hal ini ia menjadi si A, dan Hendri menjadi si B, lalu siapakah yang menjadi si C? Apakah Saraswati mengkhianati cinta Hendri? ***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II

epulang Christine dan Pinky. Anjar tidak langsung pulang dari situ bahkan Danang memmtanya untuk mengintip di tokonya. Ada sesuatu yang hendak dibicarakannya dengan sobatnya itu, dan untuk itulah ia minta agar Anjar datang ke sini. "Apa yang hendak kau bicaraikan? tanya Anjar. "Kau masih ingin menyelamatkan Saraswati? "Tentu saja. Hanya aku bingung karena tidak tahu bagaimana caranya, sahut Anjar lesu. Barangkali aku bisa sedikit membantu." "Benarkah?" tanya Anjar seperti tak percaya dengan pendengarannya, sebab kata itulah yang ingin didengarnya dari mulut Danang. Danang mengangguk "Tapi tentu saja kau harus mau bekerja sama." "Tentu. Tentu saja. Tapi bagaimana caranya? Bukankah kau katakan bahwa niat Putri Dayang Sari tidak bisa dihalangi oleh apa dan siapa pun?" "Benar. Tapi kaupun dengar tadi perkataanku, yaitu ada pengecualian." "Maksudmu?" "Keturunan Wanara Bodas mampu menghalangi niatnya!" jelas Danang. Anjar mengangguk, tapi wajahnya bukan gembira me-

lainkan kelihatan lesu. "Tapi... di mana kita bisa menemukan keturunannya?" "Kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?" Ketika dilihatnya sobatnya itu menggelengkan kepala. Danang melanjutkan "Itu karena ceritamu via telepon. Kau mengatakan melihat Saraswati dikelilingi cahaya yang berputar-putar melingkarinya, dan lenyap meninggalkan gadis itu ketika kau hadir di sana." Anjar mengangguk. "Betul. Dan aku sendiri bingung, padahal kulihat sepertinya Saraswati sedang diancam sesuatu." "Ya, dan aku yakin itu adalah Putri Dayang Sari yang datang untuk membunuhnya. Dan tahukah kau mengapa dia kabur begitu melihat kehadiranmu?" "Mana aku tahu. Aku tidak melakukan apapun kecuali berteriak mencegahnya," "Nah, itu dia! Putri Dayang Sari tidak takut pada siapa pun, dan siapa pun yang berusaha mencegah niatnya akan dibunuhnya. Mestinya dia pun membunuhmu saat itu. Anjar melongo. Semula ia tidak memikirkannya, tapi setelah Danang memaparkannya, ia bisa hanyut dalam pikiran sobatnya itu. Kenapa hal itu tidak diamatinya? Kalau mau, tentu Putri Dayang Sari bisa menghabisi nyawa Saraswati saat itu. Ia toh tidak punya kekuatan gaib untuk membantu gadis itu selain berteriak. Apa Putri Dayang Sari kaget dengan teriakannya lalu kabur? "Ada sesuatu yang ditakutinya dari dirimu," kata Danang akhirnya menyimpulkan. "Takut? Katamu dia takut padaku? Yang benar saja. Nang. Memangnya aku punya ilmu apa?" Entahlah. Cuma ada dua factor, pertama: kau mempunyai sesuatu yang ditakutinya, dan yang kedua: ada kemungkinan kau keturunan Wanara Bodas." "Ini lebih lucu. Bapakku seorang pedagang, dan kakekku dari pihak bapak cuma petani. Ibuku cuma orang biasa, dan begitu pula kedua orangtuanya." "Apa kau kira Wanara Bodas itu keturunan ningrat?

Ingat, ia cuma orang biasa yang lugu lagi jujur. Lagipula ber abad-abad telah berlalu dan keturunannyapun telah beranak-pinak. Mungkin agak sulit menelusurinya, tapi yang jelas hanya ada dua ktor yang membuat Putri Dayang Sari cuma takut ada dua hal, seperti yang kukatakan tadi." Anjar kembali termangu. Dia tidak punya ilmu gaib atau yang semacam itu. Tidak punya senjata pusaka, bahkan sepengetahuannya, tidak memiliki saudara yang pandai soal ilmu-ilmu gaib. Jadi, apakah ia termasuk faktor yang kedua, seperti yang dikatakan Danang, yaitu keturunan Wanara Bodas? Begini saja. Bagaimana kalau sekali lagi kita buktikan?" "Buktikan bagaimana?" Danang membisikkan sesuatu ke telinga sobatnya itu. dan terlihat Anjar langsung mengangguk setuju. *** Ia sudah janji pada Saraswati untuk menjenguknya malam ini, padahal masih ada tugas yang mesti dikerjakannya. Tapi entah mengapa, sejak hubungannya makin akrab dengan gadis itu rasanya tugas menjadi nomor dua dibanding kepentingannya terhadap gadis itu. Ini mengherankan, sebab selumnya ia termasuk orang yag gila kerja. Bahkan rela mengorbankan waktu santai demi menuntaskan pekerjaan. Apakah itu berarti cinta lebih dominan atas segalanya dalam hidupnya? Apakah ia betulbetul mencintai gadis itu? Sejauh ini memang terlihat adanya lampu hijau dari Saraswati terhadap dirinya. Kalaupun ada yang membuatnya belum merasa puas, karena gadis itu belum menyatakan persetujuannya lewat kata-kata kalau ia pun menyintai pria itu. Tapi Hendri berusaha untuk sabar. Ia yakin, jawaban itu hanya tinggal menunggu waktu saja, karena ketika ditanya apakah Saraswati sudah punya kekasih atau belum, gadis itu tidak mau menjawabnya. Dan saat ajakan kencannya di-

terima. ia coba meyakinkan dirinya kalau gadis itu masih sendiri. Kemudian ketika melihat kehadiran Anjar di rumah sakit menungguinya. Saraswati mengatakan kalau pria itu cuma salah seorang kawannya. Dan hal yang membuat Hendri tidak curiga adalah karena sikap keduanya yang biasa-biasa saja saat bertemu, persis seperti layaknya teman. Mobil jipnya berhenti di tempat parkir di sudut kanan halaman depan rumah sakit itu. Dan ketika keluar dari pintu mobil, udara dingin langsung menyambarnya. Hendri merapatkan jaket kulitnya, kemudian diam sejenak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Di ruang gawat darurat dilihatnya banyak orang berkumpul dan sebuah mobil ambulan terlihat masih dipakir dan lampu kap-nya masih menyala. Perlahan ia melangkahkan kaki ke sana. "Korban pembunuhan." sahut salah seorang menjelaskan ketika ia coba bertanya. Mengerikan sekali! Lehernya robek. dan dada kirinya bolong." "Kapan terjadinya peristiwa itu?" tanya Hendri mulai curiga. Orang itu gelengkan kepala. Hendri masuk ke dalam. Ia memperlihatkan kartu identitasnya ketika seorang pcrawat melarangnya masuk. Setelah melihat kondisi korban, ia memastikan, seperti juga dokter jaga yang menangani korban: bahwa orang itu sudah mati! Tak ada yang bisa dilakukan untuk menolongnya. Tidak ada yang mungetahui apa penyebab kematian korban yang jelas ia terbunuh, entah oleh seseorang atau sesuatu. Tapi Hendri mempunyai dugaan kuat kalau itu adalah korban yang kesekian dari kasus pembunuhan yang sedang ditanganinya. Ketika keluar dan Unit Gawat Darurat itu ia berpapasan dengan seorang gadis yang memandangnya dengan tajam. Hendri sempat bergidik ngeri saat kedua pasang mata mereka bertemu. Gadis itu bertubuh sedang dengan tinggi sekitar 170-an centimeter dan mengenakan jeans ketat

serta sweater putih. Rambutnya panjang sepunggung dan dikuncir sederhana. Wajahnya manis dengan sepasang mata bulat serta hidung yang agak mancung. Bibirnya agak lebar dan sedikit tebal dibalut gincu merah menyala. Cuma sekitar setengah menit sebelum gadis itu berbalik dan berjalan santai meninggalkan pria itu. Hendri merasa ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga reflek saja ia mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Gadis yang belum pernah dilihat apalagi dikenalnya itu terus melangkah menyusuri koridor, kemudian menyeberangi selokan kecil menuju ke bawah dua batang pohon rindang yang saling berdekatan. Di bawah kedua pohon itu terdapat dua buah tempat duduk yang terbuat dari semen. Hendri menduga gadis itu akan berteduh di bawahnya, namun dugaannya keliru karena gadis itu ternyata menyelinap ke balik salah satu batang pohon seperti sedang bersembunyi dalam permainan petak umpet. Kecurigaan Hendri semakin menjadi. Dihampirinya gadis itu, namun ketika di sana tidak dilihatnya siapa pun. Gadis itu menghilang seperti ditelan bumi. "Mustahil!" keluhnya tak percaya. Di dekat pohon itu ada tembok setinggi dua meter, dan kalau gadis itu melompat, ia pasti melihat. Sedangkan bila gadis itu keluar dari persembunyiannya, ia pun yakin bisa melihatnya karena sejak tadi ia tidak berpaling sedikit pun dari memperhatikan gadis itu. Ke mana dia?" Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding ketika membayangkan yang bukan-bukan tentang gadis itu. Setankah? Kuntilanak? Atau barangkali siluman wanita? Bagaimana caranya dia bisa raib begitu saja tanpa diketahui? Pusing memikirkan gadis itu dan tak menemukan jawaban. Hendri berbalik dan melanjutkan niatnya semula untuk menjenguk Saraswati. Tapi baru saja bergerak satu langkah, pundak kanannya ditepuk seseorang dari belakang. Tepukan itu bukan saja mengejutkan, tapi juga menggoncangkan pikirannya." Seperti ada aliran listrik

yang mengalir ke tubuhnya dan membuatnya merinding. Tak lama berselang ia merasa aneh sendiri karena pikirannya melayang entah ke mana dan tubuhnya terasa ringan saat kakinya melangkah tanpa diniatkannya. Tatapannya kosong, meski begitu ia bisa melihat dengan jelas apa yang berada di sekelilingnya. "Gadis itu sedang tertidur lelap, kata seorang perawat yang mengenalinya ketika Hendri telah berada di ambang pintu kamar di mana Saraswati ditempatkan. Ia tidak mempedulikannya. Tidak mengeluar sepatah katapun, bahkan tersenyumpun tidak. Perawat itu merasa tidak enak hati, dan dengan bingung ia berlalu. Hendri melirik sekilas padanya, kemudian menutup pintu perlahan-lahan. Ia berdiri mematung sambil memperhatikan Saraswati yang seedang tertidur pulas. Kemudian perlahan tangannya meraih stop kontak lampu, lalu... klik! Lampu ruangan itu seketika padam. Tapi bersamaan dengan itu tiba-tiba saja dua sosok tubuh membuka pintu dan ikut masuk ke dalam. Pria itu cepat menoleh, dan kini terlihat sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya biru kehijau-hijauan. "Hm, kalian rupanya, desis Hendri dengan suara parau, mirip suara perempuan. "Pergilah dan jangan mencampuri urusanku." Kedua sosok yang ikut menyelinap ke dalam kamar itu tidak lain dari Danang dan Anjar. Danang terlihat biasa saja, tapi Anjar agak terkejut melihat sorot mata Hendri, juga dengan vokal suaranya yang aneh. "Kami tidak akan pergi sebelum kau pun pergi," sahut Danang tenang. "Aku peringatkan sekali lagi, ini bukan urusan kalian. Kalau tidak mau celaka, pergilah!" "Bagaimana pun kami tidak akan pergi dan membiarkan kau melakukan aksi kejimu. Ini harus dihentikan karena sudah keterlaluan." sahut Danang berani. Hendri tidak langsung menjawab. Pandangannya dialihkan pada Anjar, membuat pria itu bergidik ngeri. Jarak

mereka cuma sekitar dua meter. Kalau makhluk itu macam-macam, ia sulit untuk mengelak dari ancamannya. "Kau!" kata Hendri pada Anjar. Apa urusanmu ikut campur? Tidakkah kau merasa benci terhadap gadis ini karena dia telah mengkhianatimu?" Anjar merasa tidak tahu harus menjawab apa. Ketakutan masih mengisi hatinya Dia terdiam sejurus lamanya. "Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu jangan campuri urusanku. Pergilah dan ajak temanmu itu." Dia tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pergi!" tukas Danang. "Diam kau! Ini tidak ada urusannya dcnganmu." Begitu selesai ucapannya. Hendri melesat cepat menyerang Danang. Kelima jari tangannya mengembang lebar dan dari telapak tangannya itu menderu angin kuat berhawa panas. Danang yang sejak tadi telah bersiap, ragu-ragu untuk menangkis. Dia tidak yakin kekuatannya mampu mengimbangi sosok makhluk gaib yang menyusup ke tubuh Hendri. Tapi selang waktunya cuma sepersekian detik, dan ia langsung memutuskan untuk mengelak dengan menundukkan kepala. Telapak tangan kirinya bertumpu di lantai dan kaki kanannya melayang ke perut Hendri. Tapi yang terjadi kemudian diluar perkiraannya karena telapak tangan Hendri langsung menampar kakinya setelah itu tubuhnya melenting ke atas, dan bersamaan dengan itu sebelah kakinya menghajar punggung Danang membuat pria itu menjerit kesakitan dan tubuhnya terdorong maju serta kepalanya membentur tembok. Anjar terkejut melihat gerakan sekilas itu. Dilihatnya Danang merintih kesakitan, sementara Hendri berdiri tegak di dekat pintu, masih dengan orot matanya yang berkilauan. Kuperingatkan sekali lagi, pergilah dan jangan campuri urusanku." kata Hendri mengancam. Anjar yang sedang membantu kawannya itu untuk berdiri menjadi geram. Meskipun ia tidak memiliki kemampu-

an batin seperti Danang, tapi mendengar ancaman Hendri yang sepertinya meremehkan mereka maka mau tidak mau keberaniannya bangkit. Dibalasnya pandangan mata letnan polisi itu dengan tajam. Jangan lawan pandangan matanya!" ingat Danang, tapi Anjar tidak mempedulikannya. "Siapa kau sebenarnya? Apakah benar kau Putri Dayang Sari?" Bagus. Kau sudah mengetahuinya, bukan? Nah, sekarang pergilah!" Tidak semudah itu kau mengusir kami." Anjar diam sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya saat ini, meskipun ragu-ragu akhirnya diungkapkannya juga. Tidakkah kau merasa malu melakukan kejahatan di depan keturunan Wanara Bodas?" Cahaya dalam sepasang mata Hendri seolah sedikit membesar ketika mendengar kata-kata Anjar tadi. Tapi belum lagi sempat ia bicara terdengar suara Saraswati yang baru saja bangun dan tidurnya. "Ada apa? Mengapa ruangan menjadi gelap? Siapa kalian ini?" Ketiga pria itu diam membisu. Tapi Danang dan Anjar tidak lagi melihat cahaya hijau kebiru-biruan dalam sepasang mata Hendri, maka dengan sedikit keberanian ia menghampiri stop kontak, sesaat kemudian lampu ruangan menyala. Yang pertama dilihat Saraswati adalah Danang, yang berdiri di dekatnya. Ia agak lupa, meski merasa pernah melihat wajah pria itu. Kemudian beralih pada Anjar dan wajahnya seketika ditekuk. Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sinis. "Aku..." Anjar melirik pada Hendri, dan pria itu masih diam membisu. Aku dan Danang cuma ingin menjengukmu. lanjutnya. "Terima kasih. Tapi malam pasti sudah larut dan aku ingin istirahat." sahut Saraswati sambil membuang muka. Anjar kembali melirik pada Hendri, dan pria itu masih

tetap belum bereaksi. Sementara perlahan Danang menghampirinya, dan memberi isyarat padanya untuk keluar dari ruangan itu. Meskipun ragu-ragu toh akhirnya ia mengikuti langkah sahabatnya itu. "Aku tidak ingin pulang selama siluman itu masih berkeliaran di sini." kata Anjar bersikeras saat mereka telah berada di luar. Danang mengangguk. "Tapi tidak ada lagi yang bisa kita kerjakan di sini. Entah mengapa, justru ia yang merasa kesal melihat sikap Saraswati terhadap sahabatnya itu. "Apa maksudmu tidak ada lagi? Siluman itu masih bercokol di sana, dan tiap saat nyawa Saraswati terancam bahaya!" Suara Anjar agak keras, dan wajahnya tiba-tiba berubah tegang. Tapi dia telah pergi, dan yang kini kita lihat adalah Hendri yang aslinya, jelas Danang. Aku tetap tidak peduli!" tukas Anjar. Aku memang tidak bisa menghalangimu untuk pergi tapi aku tetap akan berada di sini mengawasi mereka." lanjutnya berkeras. Danang menghela nafas sambil angkat bahu. Yaah, kalau begitu maumu apa boleh buat." katanya pasrah. "Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mati-matian membela gadis itu padahal sikapnya terhadapmu sungguh menyakitkan. Gadis seperti itu tidak layak mendapatkan cintamu, dan juga tidak layak dipertahankan." Anjar tidak menjawab Kalau menuruti akalnya apa yang dikatakan sobatnya itu memang benar. Tapi dalam hal ini perasaannya tidak menyetujui. Boleh-boleh saja ia mengatakan kalau falsafah cinta yang dianutnya adalah keseimbangan antara akal dan perasaan, tapi seperti juga kebanyakan orang bicara itu lebih mudah daripada melakukannya. Karena dalam kenyataannya, ia tidak begitu mudah melupakan Saraswati dalam ingatan dan hatinya. Tengah keduanya duduk sambil membisu mendadak seorang gadis menghampiri dari arah belakang.

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II

anang yang lebih dulu reflek menoleh ke belakang sebelum Anjar mengikuti. Posisi mereka langsung bersiap untuk menghadapi serangan, membuat gadis yang baru muncul itu bingung tidak mengerti. "Lho, ada apa? Aku melihat kalian berdua dari belakang dan coba meyakinkan kaLau kalian memang orang yang kuduga. Apakah tidak mengenaliku lagi? Aku Christine, yang kemarin bertemu dengan kalian." Anjar menghela nalas lega karena mengira gadis itu adalah Putri Dayang Sari yang akan menyerang mereka dari belakang. Sebaliknya Danang tidak langsung percaya. Diamatinya gadis itu dengan seksama, dan setelah merasa yakin kalau gadis itu memang Christine, barulah ia menghela nafas lega sambil tersenyum. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" "Kami... sedang menjenguk teman." sahut Anjar. "Kau sendiri?" "Aku mau menjenguk Mbak Saras. Tadinya mau bersama Mas Hendri, tapi kebetulan beliau telah lebih dulu pergi." jelas Christine. "Mbak Saras?" Dahi Anjar berkernyit, pura-pura tidak mengenal nama itu meskipun ia sudah menduga siapa yang dimaksud Christine. "Siapa dia?" "Beliau adalah kekasih Mas Hendri, sahut Christine

polos. "Aku tidak menceritakan sepenuhnya ketika kita bertemu. Sebenarnya Mbak Saras itu mendapat teror dari makhluk yang menamakan dirinya Putri Dayang Sari." "Mengapa kau yakin kalau teror itu dilakukan Putri Dayang Sari?" Kali ini Danang yang bertanya. "Seperti yang pernah kujelaskan. Mas Hendri pernah menanyakan hal ilu pada seorang paranormal, dan jawaban yang diterima cuma satu nama tadi yang telah kusebutkan." Danang mengangguk, pura-pura mengerti. Memangnya ada persoalan apa sehingga gadis bernama Saras itu sampai menjadi incaran Putri Dayang Sari?" "Justru itu yang membuatku bingung. Kalau mengkonfirmasikan keterangan Anda dengan situasi mereka, mestinya ada diantara mereka yang berkhianat, dan bila kebenaran cerita Anda itu terbukti sehingga Mbak Saras yang menjadi incaran Putri Dayang Sari, berarti dia yang mengkhianati cinta Mas Hendri." papar Christine. Anjar merasa miris hatinya mendengar kesimpulan yang diuraikan gadis itu, karena terus-terang, sebagian uraian itu benar meski ujung kesimpulannya, sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Lantas menurutmu apakah benar Saras itu berkhianat, dan kalau benar, apakah kau sudah menyelidikinya?" tanya Danang terus bersandiwara untuk mengorek keterangan dari gadis itu. "Itu yang hendak kubicarakan dengan Mas Hendri malam ini." sahut Christine. "Tapi aku telah berusaha mengorek keterangan dari koleganya Mbak Saras, dan ternyata salah seorang diantara mereka membenarkan. Hanya saja aku tidak mendapatkan keterangan tentang namanya, tapi yang jelas bukan Mas Hendri." "Menurutmu sendiri bagaimana? Percayakah dengan cerita itu?" "Entahlah, tapi sepertinya meyakinkan sekali. Aku menelepon media massa tempat Mbak Saras bekerja dan pura-pura menanyakan tentang dirinya. Ketika yang

menjawab teleponku mengatakan bahwa Mbak Saras berada di rumah sakit, iscng-iseng aku bertanya apakah orangtua atau kekasihnya sudah diberitahu? Orang itu mengatakan kalau mereka tidak bisa menghubungi orang tuanya tapi kekasihnya telah diberitahu. Aku bertanya lebih lanjut, kekasihnya yang mana? Yang di kepolisian atau yang mana? Orang itu cuma tertawa dan mengatakan kalau kekasih Mbak Saras itu orang sipil dan seorang pengusaha. Aku tidak bisa bertanya lebih lanjut karena orang itu memutuskan pembicaraan sebab ada telepon masuk katanya," jelas Christine secara rinci. Danang mcngangguk-angguk, sementara Anjar diam membisu. "O, ya! Mengapa kalian tidak ikut saja denganku agar kita bisa bicara panjang lebar dengan mereka," ajak Christine. "Kukira itu bukan ide yang bagus." sahut Danang. "Kita tidak ingin Saras tersinggung, bukan?" sahut Danang. "Ah, iya. Aku mengerti." Christine mengangguk. "Oke, malam sepertinya terus merambat." kata Danang seraya melirik arlojinya, kemudian memberi syarat pada Anjar. "Kami mesti kembaii. Kapan-kapan kita ngobrol lagi panjang lebar. Mari." "Ng, tunggu sebentar!" tahan Christine. "Menurut Anda. Bagaimana kira-kira nasib yang akan menimpa Mbak Saras? Apakah tidak ada cara lain untuk melindunginya dari ancaman makhluk itu?" Danang tidak langsung menjawab. tapi memperhatikan gadis itu beberapa saat. Menurutmu perlukah mengasihani seseorang yang berhati dua seperti Saras itu?" "Ng, aku...entahlah. Tapi aku cenderung memandangnya dari segi kemanusiaan. Danang mengangguk kemudian angkat bahu "Sementara ini aku belum mendapatkan jawabannya. Tapi bila sudah kutemukan kau pasti kuberitahu. Mari." sahut Danang seraya mengajak Anjar untuk segera angkat kaki.

Christine mengangguk. Terima kasih." katanya masih belum beranjak dari tempatnya dan memperhatikan langkah-langkah kedua pria itu. Baru ketika dilihatnya kedua pria itu telah agak jauh, ia beranjak dan tempat itu. Adapun Anjar sepertinya enggan untuk meninggalkan rumati sakit itu, dan bersikeras untuk tetap berada di sini mengawasi Saraswati. Baru setelah Danang menjelaskan kalau mereka cuma pura-pura pergi agar Christine tidak mencurigai dan setelah itu kembali lagi ke dalam serta bersembunyi di tempat yang aman. Anjar agak tenang. *** Selama berada di ruangan itu, tak banyak yang bicarakan Christine mengenai diri Saraswati. Tentu saja ia menjaga perasaan gadis itu agar tidak tersinggung. Tapi ketika pulang dari rumah sakit, saat mereka berada dalam satu mobil. Christine coba mengorek keterangan. "Apakah Mas yakin kalau Mbak Saraswati mencintai Mas?" tanyanya setelah diajaknya Hendri ngobrol berputarputar soal diri Saraswati. "Kenapa tidak?" "Mas yakin?" "Dia memang tidak, atau katakanlah belum mengucapkan kata itu. tapi sebagai orang yang telah sama-sama dewasa persoalan cinta kan tidak selalu harus diucapkan. Ungkapan lewat sikap itu lebih utama." "Mas sudah menyelidiki latar belakangnya?" "Latar belakang bagaimana maksud kamu?" "Yaaah, keluarganya, masa lalunya atau apakah dia sudah punya pacar atau belum setelah ketemu Mas." Hendri tersenyum. Sejak kecil dia memang sudah akrab dengan Christine, dan sampai mereka dewasa pun keakraban itu belum sirna. Keduanya memang selalu terbuka terhadap masalah masing-masing dan tidak ada yang dirahasiakan.

"Kamu ini macam-macam saja. Aku memang polisi, tapi bukan berarti setiap orang yang dekat denganku harus kuselidiki keadaannya sampai ke tai kukunya. "E, maksudku bukan begitu lho, Mas. Ini ada kaitannya dengan beliau." "Kaitan bagaimana?" "Gini, nih!" Christine menceritakan secara singkat dan jelas percakapannya dengan Danang soal siapa saja yang menjadi incaran korban Putri Dayang Sari. "Coba deh Mas ingat-ingat keadaan korban. Barangkali hal itu bisa membantu." ujar Christine mengakhiri ceritanya. Hendri terdiam beberapa saat lamanya. Dahinya berkerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat keadaan korbannya satu persatu. Kalau Mas belum menemukan data itu, ada baiknya diselidiki untuk membuktikan kebenarannya," tambah Christine. "Siapa Danang yang kau sebut itu?" tanya Hendri setelah diam beberapa saat lamanya. "Mas ingat tempo hari aku mau ngajak keTasikmalaya untuk menemui seseorang? Nah. Danang itu adalah putra beliau. Kebetulan sekali salah seorang temanku kenal dengannya, dan sekalian saja aku bertemu dengannya." jelas Christine. "Kau yakin dengan dugaannya itu?" "Sejauh ini entah mengapa, aku merasa yakin." Jawaban Christine itu kembali membuat Hendri terdiam. Agaknya ia berusaha mengaitkan keterangan sepupunya itu dengan data-data tentang korban yang ada dalam benaknya. "Maya." desisnya. Belakangan aku mengetahui, maksudku kami menemukan bukti-bukt kuat kalau Boy yang membunulnya. "Boy itu siapa? Hendri tidak langsung menjawab. Dipandanginya sepupunya itu sesaat sebelum memfokuskan perhatian pada jalan di depan mereka. Mobil berbelok ke kiri dan

melewati jalan yang agak kecil Hendri memang sengaja mengambil jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumah. "Mas belum menjawab pertanyaanku? Apakah ada yang dirahasiakan?" tanya Christine. "Maya itu tadinya pacarku..." jawab Hendri beberapa saat kemudian. "Tapi setelah aku memergoki mereka sedang berduaan tanpa mereka nengetahuinya, aku mulai mengatur jarak. Christine mengangguk. Aku mengira Maya adalah tipe gadis setia, tapi nyatanya bukan sekali dua kali aku memergoki mereka sedang berduaan, dan itu membuatku kecewa..." "Maaf ya, Mas. Aku kok jadi terpikir begini: saat Mas memintanya untuk jadi umpan, apakah..." Christine tidak meneruskan ucapannya karena dilihatnya sorot mata Hendri ketika menatapnya menunjukkan api amarah. "Sori," ucapnya pendek. "Ada baiknya Mas memang memeriksa data pribadi korban yang lain, plus kalau perlu memeriksa data Mbak Saras. Minimal Mas tidak perlu kecewa lagi untuk kesekian kalinya." Apa yang dikatakan Christine memang masuk di akalnya, dan Hendri berencana dalam hatinya untuk menyelidiki hal itu. Sementara Hendri kemudian menyelidiki hal itu. Christine sendiri melakukan penyelidikan tentang keberadaan Saras. Hendri mengatakan bahwa Saras pernah membawanya ke tempat orangtuanya, dan Christine mulai melakukan penyelidikan ke tempat itu, baru kemudian ia mendekati kolega-kolega Saraswati di kantornya, dan hasil dari penyelidikannya itu membawa langkah kakinya ke sebuah toko buku. Selamat sore. Bisa saya bertemu dengan pemilik toko ini? tanyanya pada seorang pria yang sedang melayani dua orang pembeli. "Ya, ada perlu apa kira-kira?" sahut Kusno balik bertanya. Ada keperluan pribadi. Saya Christine, mungkin beliau

pernah mendengarnya." Sebentar, ya." Kusno melayani kedua pembeli itu, baru kemudian masuk ke dalam, dan tak berapa lama Anjar keluar dari ruangan yang tadi dimasuki Kusno. Wajahnya tidak begitu kaget ketika melihat kehadiran gadis itu. "Hai!" sapa Christine. Anda pasti tidak lupa dengan saya, bukan?" Anjar tersenyum sambil menggeleng. Tentu saja. Ada sesuatu yang bisa saya bantu?" "Kelihatannya begitu, tapi... saya ingin membicarakan sesuatu yang sifatnya empat mata." sahut gadis itu sambil mengerling ke arah Kusno. O. begitu. Baiklah. Mari ikut saya ke dalam." ajak Anjar, membawa tamunya ke sebuah ruangan kecil. Di situ cuma ada sebuah meja berikut kursinya serta dua buah kursi di depan meja itu. Dan yang lainnya adalah lemari arsip serta kulkas kecil. "Silahkan duduk. kata Anjar seraya membuka isi kulkas dan mengeluarkan dua gelas kecil air mineral dan meletakkannya di atas meja, sementara ia sendiri duduk di belakang meja itu. "Sambil diminum, apa kira-kira yang bisa saya bantu?" "Terima kasih." Christine menyeruput sedikit air mineral, dan sekilas memandang pria di hadapannya itu. Sepasang matanya agak sipit dan dahinya lebar menandakan kalau pria ini pintar. Secara keseluruhan wajahnya tidak mengecewakan. Postumya pun tidak tinggi tapi bukan berarti pendek. Untuk ukuran rata-rata orang kita dia termasuk golongan sedang. Saya ingin menanyakan hal yang barangkali sifatnya pribadi, kalau Anda tidak keberatan..." Soal yang mana?" Apakah Anda mengenal Saraswati?" Saraswati yang wartawati itu?" Betul." Ng, ya tentu saja. Kami teman baik." Sekedar teman?'

Anjar tersenyum. "Ya, sekedar teman. Apakah ada sesuatu yang aneh?" Memang, sebab Mbak Saras mengatakan kalau anda pernah menjadi kekasihnya. Benarkah?" Anjar pura-pura kaget. Hubungan kami belakangan ini akrab sekali, dan kami suka cerita hal-hal yang sifatnya pribadi." lanjut Christine. O, jadi Saraswati berkata begitu kepada Anda? Hm, kalau memang benar begitu saya termasuk orang yang beruntung. Yang jadi masalah, mengapa ia tidak berterusterang pada saya waktu dulu bahwa ia menganggap saya sebagai kekasihnya kata Anjar pura-pura bingung. "Mengapa Anda berpura-pura begitu?" "Pura-pura? Mengapa saya tidak boleh mengikuti seandainya lawan bicara saya pun berpura-pura mengetahui sesuatu yang dia sendiri tidak yakin akan kebenarannya?" "Anda menuduh saya berpura-pura? Dalam soal apa?" "Nona, ketahuilah. Saraswati tidak akan pernah bercerita pada siapa pun soal rahasia pribadinya. Saya kenal betul wataknya. Dan dia tidak akan pernah mau terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Berapa lama Anda mengenalnya? Belum ada satu tahun. Itu melebihi waktu perkenalan saya dengannya, dan sejauh itu sedikit sekali ia mau menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada saya." Christine agak gelagapan mendengar tuduhan itu, tapi sebisa-bisanya ia menjawab. "Anda tidak bisa meyakini hal itu sebab sifat seseorang bisa saja berubah karena suatu sebab. Mungkin selama ini dia tidak mempercayai Anda seratus persen." "Kalau Anda menyangka kami pernah berhubungan cinta, lalu apakah ada orang mencintai lawan jenisnya tanpa ada saling percaya?" Christine kembaii gelagapan. Untuk beberapa saat ia tidak tahu harus bicara apa. Baiklah. Aku hargai usaha anda, dan tidak perlu berbelit-belit segala. Apa sebenarnya yang Anda ingin ketahui?" tanya Anjar.

Christine menghela nafas. "Aku cuma tidak ingin persoalan ini berlarut-larut. Secepatnya dicari titik terangnya maka akan lebih baik." "Lantas apa yang Anda inginkan?" "Pembunuh itu." sahut Christine tegas. "Aku mempercayai cerita legenda yang diceritakan teman Anda. Kalau benar Putri Dayang Sari membunuh korbannya melalui orang keliga, maka perlu kita ketahui, siapa gerangan orang ketiga yang akan dijadikan alat untuk membunuh Mbak Saraswati." "Anda sungguh-sungguh ingin tahu orangnya?" "Tentu saja!" Anjar tersenyum. "Anda orang yang polos, dan saya khawatir bila diceritakan maka akan sampai pada orang ketiga itu." "Saya berjanji unluk tutup mulut sahut. Christine sambil mengangkat dua jarinya. Anjar menghela nafas sesaat. "Ya, Saraswati memang mantan kekasih saya..." sahutnya berat. "'Saya tahu perselingkuhannya dengan Hendri sebelum dia mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan kami bubar." "Jadi... jadi, dengan kata lain, bila apa yang diceritakan teman Anda itu benar maka Putri Dayang Sari akan menggunakan Mas Hendri untuk membunuh Mbak Saras?" tanya Christine kaget. "Kalau Anda mempercayainya, maka berhati-hatilah. Dalam keadaan telah dimasuki roh Putri Dayang Sari maka ia akan membunuh siapa saja yang menghalangi niatnya." Christine diam sejenak, sebelum memandangi wajah pria itu dalam-dalam "Apakah Anda pun merasa yakin dengan kebenaran cerita itu?" tanyanya ragu. Anjar tersenyum. "Yakin? Tentu saja. Kenapa tidak? Kami telah melihatnya sendiri." "Ka... kalian, maksud Anda bersama teman Anda itu?" Anjar mengangguk. "Mengapa kalian tidak menceritakan hal ini ketika di pertemuan pertama kita?"

"Kami merasa orang Timur, dan tidak layak menceritakan sesuatu kepada seseorang yang punya hubungan baik dengan orang yang hendak diceritakan." jelas Anjar. "Lagipula pada saat itu kami belum merasa yakin apakah Anda percaya atau tidak dengan cerita itu. Salah-salah nantinya kami akan dituduh memfitnah." Christine kembali terdiam, masih sulit mempercayai cerita itu, meski di sisi yang lain ia bisa membenarkannya. "Anda katakan kalian pernah melihatnya sendiri, di mana?" "Ingatkah Anda ketika kita bertemu di rumah sakit?" Dan ketika dilihatnya gadis itu mengangguk. Anjar melanjutkan Di situ kami betul-betul melihat sepupumu itu hendak membunuh Saraswati. Aku tidak bisa membiarkannya, sehingga kami coba menghalangi." Christine bergidik ngeri. "Lalu?" "Saraswati keburu sadar, lalu lampu kunyalakan, dan setelah itu Saraswati mengusir kami keluar, dan akhirnya bertemu dengan Anda." "Jadi waktu itu alasannya bohong?" Anjar tersenyum mengangguk. "Ya, aku bisa mengerti." Christine ikut mengangguk. "Kini persoalannya semakin terang, meski tetap saja bingung apa yang mesti dilakukan untuk mencegah Hendri membunuh Saraswati." "Kami akan berusaha terus mengawasinya." "Mengawasi siapa?" "Saraswati." Christine kembali memandang wajah pria itu lekat-lekat. "Apakah Anda masih mencintainya?" tanyanya tiba-tiba, karena pikiran itupun datangnya tiba-tiba. Anjar tersenyum, dan tidak langsung menjawab. Ia menyeruput air mineral, lalu diam seperti berpikir sebelum balas memandang gadis itu. "Sedikit sekali yang kuketahui tentang cinta. Kalau kukatakan masih cinta, mungkin bertentangan dengan akalku yang selalu mengingatkanku bahwa hubungan kami sudah putus, dan tidak perlu

cengeng mengharapkan dicintai atau ngotot mencintai, sebab itu tiada guna dan hanya melemahkan perasaan." "Lalu mengapa kelihatannya Anda menaruh perhatian besar terhadap keselamatan Saraswati?" "Itulah susahnya. Aku masih saja merasa kalau kami teman dekat, dan sebagai teman dekat aku seperti punya kewajiban untuk membantunya." "Anda tidak jujur dengan perasaan Anda." tuduh Christine sambil tersenyum. "Tidak jujur, ya?" ulang Anjar tersenyum geli. "Seandainya benar, maka ketidakjujuranku itu tidak akan membawa kemujuran buatku, dan seandainya aku dianggap bicara jujur maka dunia mentertawakanku. Hm, pilihan sulit. bukan?" Christine tidak tahu harus menjawab apa, hanya saja ia bisa merasakan kalau Anjar sedang nenghadapi dilema. Mungkin perasaan kecewa akibat penyelewengan kekasihnya masih belum sirna dalam hatinya, dan menurutnya itu wajar saja, karena toh pria itu bukan robot. Ia manusia normal yang memiliki hati nurani, perasaan, dan memori akal. Sehingga bila melintas wajah gadis itu dalam benaknya, memori segera bekerja mengenang kisah-kisah mereka, tapi berakhir dengan "sad ending" karena menyadari cerita telah berlalu. *** Anjar membuatnya bergidik saat berdekatan dengan Hendri. Baginya sepupunya itu seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Atau jangan-jangan ia bisa melenceng dari target, sehingga orang lain yang menjadi korban. "Kamu kenapa?" tanya Hendri ketika malam ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit di mana Saraswati dirawat. "Nggak kenapa-kenapa?" Kok dari tadi diam saja?"

Gadis itu tersenyum. "Ada yang dipikirkan?" "Setiap manusia yang masih bernyawa tentu saja ada yang dipikirkan. Maksudku ada yang serius sehingga menyita begitu banyak perhatian. Christine kembaii tersenyum. "Ada apa? Ceritakanlah. Atau ada sesuatu yang dirahasiakan?" "Nggaaak. Aku cuma memikirkan nasib Mbak Saras. Apa Mas kira-kira punya penyelesaian tentang masalah yang dihadapinya?" "Sementara ini aku cuma bisa menjaganya dari segala kemungkinan yang terburuk." "Menjaga?" gumam Christine dalam hati. Mana mungkin, sebab justru dia yang perlu dijaga untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan. Tapi...ah, bagaimana caranya untuk memberi peringatan pada sepupunya ini? Sejauh ini ia belum punya cara yang tepat untuk mengungkapkannya. "Eh, tahun ini Mas sudah ambil cuti belum?" "Belum, dan rasanya tidak sempat." "Mas sudah bekerja kelewat ekstra, dan ada baiknya mengambil cuti. Aku punya brosur tentang wisata ke Selandia Baru. Kayaknya suasana di sana menyenangkan deh." "Hendri tersenyum. Kamu ini ada-ada saja. Memangnya ke sana cukup naik becak atau bis kota. Lagipula ngapain kita menghambur-hamburkanu ang ke negeri orang sementara di negeri sendiri pun masih banyak obyek wsata yang tidak kalah indahnya." "Ya, boleh saja. Mas kan belum pernah ke Danau Toba. Bagaimana kalau kita pergi ke sana?" "Menarik juga, tapi aku tidak sempat. Dan sampai detik ini belum terpikirkan untuk minta cuti," sahut Hendri menegaskan, dan sekaligus mengecewakan lawan bicaranya.

Christine kembali terdiam. Entah apa yang mesti ditawarkannya untuk menjauhkan Hendri dari Saraswati? "Mas..." "Hm. Ada apa?" "Mas mencintai Mbak Saras?" "Mengapa hal itu kau tanya kan lagi?" "Sekedar ingin tahu saja." Hendri tidak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya. Mestikah pertanyaan seperti itu dijawabnya? Apakah itu bukan pertanyaan yang kanak-kanakan? Melihat perhatiannya yang begitu besar terhadap Saraswati mestinya Christine bisa menduga apakah ia mencintai Saiaswati atau tidak. Anggap saja benar." akhirnya Christine sendiri yang menjawab pertanyaannya. "Ini seandainya, ya!' lanjutnya menekankan, takut sepupunya itu tersinggung. "Seandainya Mbak Saras itu sudah punya kekasih sebelum berhubungan dengan Mas, bagaimana?" "Kenapa kamu berpikir begiitu?" Hanya ingin tahu reaksi Mas saja," sahut gadis itu enteng. "Jaman sekarang ini sulit lho mencari gadis yang baik, eh maksudku gadis yang betul-betul setia dan jujur." '"Setahuku Saraswati tidak pernah menyinggung soal itu, dan gelagatnya pun menunjukkan kalau dia belum punya kekasih." "Mas jangan salah, lho! Wanita bisa menyembunyikan rahasianya dengan rapih. "Kenapa? Kamu menduga dia sudah punya kekasih?" "Aku tidak menduga begitu, hanya mencari hubungan antara rahasia pribadi Mbak Saras dengan ancaman yang sedang dihadapinya. Eh, Mas sudah mencari informasi tentang korban-korban yang lain belum?" "Sudah." sahut Hendri lesu. Bagaimana hasilnya?" kejar Christine antusias. "Dugaanmu memang benar." "Jadi memang ada hubungannya dengan cinta segitiga?" Hendri mengangguk.

"Semuanya?" "Semuanya. sahut pria itu menegaskan. "Nah, apa Mas tidak mencari tahu tentang rahasia pribadi Mbak Saras? Kalau memang teori itu benar, dan kini Mbak Saras mendapat ancaman, mestinya ada cinta segitiga diantara kalian. Dan yang menjadi korban adalah dia yang diperebutkan sedangkan yang menjadi ancaman adalah pihak yang terakhir menjalin hubungan." "Menurutmu siapa orang itu?" Christine angkat bahu. Ia sengaja tidak mau berterusterang. Selain janji dengan Anjar, juga menjaga perasaan sepupunya ini. Sebenarnya Christine takut juga bila apa yang dikatakan Anjar itu benar terjadi saat mereka berada di kamar Saraswati. Bagaimana bila tiba-tiba roh Putri Dayang Sari datang dan menyusup ke dalam tubuh Hendri, maka dia akan langsung membunuh Saraswati tanpa siapa pun bisa menghalangi. Kalau Christine coba-coba menolong, bukan tidak mungkin ia juga akan ikut menjadi korban benkutnya. Tapi untunglah hal itu tidak terjadi sampai mereka pulang dari rumah sakit itu bertiga. Sebenarnya sore tadi pun Saraswati sudah diperbolehkan pulang, hanya saja Hendri memintanya untuk menunggu sampai malam, karena begitu tugasnya di kantor selesai, ia akan menjemput gadis itu. Dan Saraswati hanya menurut saja. "Mbak sungguh-sungguh sudah merasa lebih baik?" tanya Christine yang duduk di jok belakang mobil kijang yang dikemudikan Hendri. Saraswati melirik sekilas, kemudian mengangguk. "Gimana? Nggak ada rencana untuk istirahat dulu, atau mau langsung bekerja?" "Dalam soal kerja, prestasi Saraswati hanya bisa ditandingi oleh orang-orang Jepang. Dia itu gila kerja." kata Hendri memberi komentar. Baginya tiada waktu yang terbuang selain diisi dengan kerja." "Itu tidak benar," tangkis Saraswati. "Jangan dengarkan pendapat ngawur itu. Aku toh manusia biasa yang butuh

makan, tidur, istirahat serta rekreasi." Christine tertawa kecil. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti ketika mendengar suara mendesis Hendri. Ada sebuah jip yang mengikuti kita sejak keluar dari rumah sakit." Kedua gadis itu reflek menoleh ke belakang, dan ternyata apa yang dikatakan Hendri memang benar. Sebuah jip dalam jarak kurang lebih seratus meter mengikuti mereka. Tapi benarkah jip itu mengikuti mereka? Jangan-jangan hanya searah saja dengan jalan yang mereka tempuh sebab selain mobil jip itu masih ada beberapa mobil serta motor yang berada di belakang mereka. "Kenapa kau yakin jip itu mengikuti kita?" "Aku mengenalinya sejak diparkir di rumah sakit." sahut Hendri tetap bersikap tenang. Begitu kita keluar, maka jip itupun ikut keluar dan aku terus mengamatinya lewat kaca spion. Jip itu memang mengikuti kita. sambungnya yakin. "Siapa kira-kira, ya?" tanya Saraswati. Saraswati masih terus menoleh dan mengamati jip di belakang mereka dengan seksama. Sepertinya aku kenal... ujarnya ragu-ragu. Aku memang pernah mengenalnya. Jip itu milik temanmu. tukas Hendri. Temanku?" "Ya, yang bernama. Anjar, kalau tidak salah," sahut Hendri. "Aku pernah melihatnya memakai jip itu saat datang ke rumah sakit menjengukmu, dan aku hapal betul mobil itu." Brengsek! umpat Saraswati. "Mau apa dia mengikuti kita? Coba hentikan mobil ini, kita tunggu dia dan biar kutanyakan apa maunya?" dengusnya geram. "Jangan sekarang. Nanti saja bila sudah berada di tempat yang lalu lintasnya agak sepi. sahut Hendri mengingatkan Sebagai seorang polisi tentu saja dia merasa curiga. Bukan saja soal mengapa mereka dikuntit jip itu, tapi soal

keberadaan Anjar yang oleh Saraswati dikatakan temannya. Sesungguhnya Hendri tidak percaya begitu saja. Hanya dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu. Kalau memang Saraswati mcngataikan pria itu adalah temannya, Hendri tidak mau rewel untuk membantahnya. Baginya itu tidak perlu. Dua puluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat yang suasana lalu lintasnya sepi. Namun jip itu tidak terlihat di belakang mereka. Saraswati gondok bukan main. "Coba tolong berhenti. Kita tunggu sebentar di sini. katanya. Hendri mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Begitu mobil berhenti. Saraswati langsung keluar, diikuti oleh Christine. Sementara Hendri tetap berada di belakang kemudi. "Memangnya siapa, Mbak?" tanya Christine pura-pura tidak mengerti. "Cuma seorang teman." "Kok kayaknya Mbak begitu sewot?" "Teman yang menjengkelkan." lanjut Saraswati. Apa dia memang sering mengganggu?" Saraswati diam tak menjawab. Christine mengangguk sendiri. "Terkadang memang ada teman yang sangat menjengkelkan, dan saya pun pernah mengalaminya. Tapi biasanya mereka punya alasan. Entah sekedar mempermainkan, bercanda, atau punya motif tertentu yang alasannya cukup kuat, misalnya dia naksir pada kita, lalu merasa cemburu melihat kita berdua dengan pria lain..." Ia tidak melanjutkan ucapannya ketika Saraswati memandangnya dengan sorot mata tajam. "Menurut kamu bagaimana?" tanya Saraswati dengan nada datar. Pertanyaan itu sebenarnya tidak mengharapkan jawaban, hanya sekedar ingin mengetahui apa yang ada di benak Christine soal ucapannya tadi. Tapi agaknya Christine cukup cerdik, karena ia langsung melihat kalau itu suatu peluang baik untuk melanjutkan sesuatu yang ingin diketahuinya tentang wartawati ini.

"Melihat profil Mbak, rasanya tidak mungkin dia mau bercanda." "Jadi?" "Jadi, ya dia pasti punya alasan tertentu. Dan jangan tanya padaku alasan apa, yang jelas pasti Mbak yang lebih tahu." Saraswati tidak bereaksi. "Saya pernah punya sahabat, cantik dan menarik, juga cerdas. Dia punya seorang kekasih dengan pekerjaan, eh usaha yang telah mapan. Orangnya tampan, dan... menurut saya menarik. Suatu ketika teman saya itu bertemu pria lain, dan entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa tertarik dengan pria itu. Mungkin juga karena mereka sering bersama-sama, mungkin pula ada urusan yang membuat mereka sering bertemu. Teman saya itu meninggalkan kekasihnya yang lama, yang saya tahu mencintainya dengan tulus. Saya tidak mengerti, mengapa teman saya itu meninggalkannya, sebab kalau melihat ketampanan maka kekasihnya tidak kalah tampan, melihat kekayaan, justru kekasihnya lebih kaya, melihat kepribadian kekasihnya itu bukan termasuk pria buruk. Heran, bukan? Saya sendiri sebagai seorang wanita tidak mengerti, kriteria apa yang dibuat teman saya itu sehingga meninggalkan kekasihnya? Apakah itu yang disebut cinta? Lalu kalau benar, apa gunanya cinta tanpa kesetiaan?" Christine tidak peduli ketika bercerita itu Saraswati memandangnya kembali dengan sorot mata tajam. Dia malah sengaja terus bercerita untuk membangkitkan emosi Saraswati. "Siapa teman kamu itu?" tanya Saraswati curiga. "Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena temanku banyak sekali. Disa jadi Mbak tidak mengenalnya." Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa kalau bulu kuduk mereka merinding seketika. Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita

masuk saja." ajaknya dengan nada dengan dan terus membuka pintu mobil, sementara Christine akhirnya pun mengikuti. "Kita langsung pulang saja. Hen. katanya lagi. Tapi pria itu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk mencium kemudi. "Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk lengan pria itu. Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian menoleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika melihat sepasang mata pria itu memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget. Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa yang dikhawatirkannya kini telah terbukti. Putri Dayang Sari telah datang dan menyusup ke tubuh saudara sepupunya itu. "Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu. Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya begitu saja dan meyakinkan dulu apa yang terjadi dengan pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya. Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencangkencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok Hendri telah berdiri di hadapan mereka dalam jarak sekitar empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan secepat kilat. "Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria itu dengan suara parau, mirip dengan suara wanita. Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan. Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine. "Hendri, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi padamu? Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?" Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak tahu harus ke mana ketika punggung mereka menempel

ke bodi mobil. "Siapa sebenarnya kau? Apa yang kau inginkan?" tanya Christine memberanikan diri. Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan perhatiannya sedikit pun. "Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine. Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka beradu pandang. Ketakutannya begitu kuat menyusup ke dalam hati, dan semangatnya seperti terbang entah ke mana. Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan perhatian pada Saraswati sambil terus melangkah mendekati. "Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram. Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan Hendri melesat ke arah lehernya, ia merunduk menghindar. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah dada pria itu. Cuma terdengar suara gedebug pelan namun tidak mampu menggoyahkan pria itu. Sebaliknya Hendri kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk mencekik leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat yang lega. Saraswati melompat ke kanan, bermaksud menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya yang menghantam salah satu lutut kaki bagian belakang gadis itu. Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung menerkam, dan dalam keadaan begitu ia masih sempat menghindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha bangun meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh, dan belum siap menghadapi serangan pria itu yang cepat dan ganas. Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher korban, dan kali ini Saraswati kembali coba berkelit. Dia tidak mau mengambil resiko dengan menangkis karena dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser ke belakang, Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati

coba menjatuhkan diri, namun sebelah lengannya kena dicekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa, karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam cengkramannya. Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria itu yang kini telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan entah bagaimana bisa begitu siap menghunjam leher Saraswati. Aku akan menghajarmu dengan kayu ini," Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangannya, dan perlahan mendekati pria itu. Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata mengancam. "Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan menghajarmu! bentaknya seraya terus mendekat dengan hatihati. Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher Saraswati yang sudah tidak berdaya. Dengan memompakan keberaniannya Christine langsung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu sampai patah. Bukan cuma itu, ia kembali menggeram marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai tersungkur ke belakang. Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi halangi, maka kau akan mati lebih dulu! ancam pria itu dengan suaranya yang parau. Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak memperdulikan keadaannya, juga ancaman pria itu. Kembaii dia meraih sepotong kayu yang lebih besar yang terdapat di sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar saudara sepupunya itu. Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu seraya menghempaskan tubuh Saraswati dan bersiap menghadapi serangan Christine. Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu,

maka saat itu pula meluncur sebuah jip yang langsung berhenti di dekat mereka pada jarak tiga meter. Lampu mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan sebelah tangan. "Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat menghajar kepalanya. Pria itu terhuyung-huyung ke belakang untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun darah dari kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit. Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuhnya saja. "Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah seorang pengendara jip yang tak lain dari Anjar dan sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari mobil begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine, sementara Danang membantu Saraswati. Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan marah sekali. Sorot matanya bersinar terang, seperti mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban yang satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat, tidak seperti korban-korban yang lain. Korban kali ini harus tertunda beberapa lama, dan selatu terhalang setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali ini agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi. Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja sebagai tumbal dari pekerjaannya yang sulit. "Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka jangan salahkan kalau kalian pun harus mati sia-sia." ***

ADRIAN MAPALADKA

MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II

endri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu. Di antara keempat orang itu yang dipandangnya paling lemah adalah Christine yang saat itu berada dekat dengan Anjar. Dia telah mengetahui kalau Danang mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu juga halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini agak lemah, tapi dia pasti sedikit banyak mampu memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali tidak diketahuinya, yang jelas dia menyadari kalau pemuda itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti temannya. Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara keempat orang itu berada dalam posisi yang saling berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas. "Anjar, awas... teriak Danang memperingatkan ketika Hendri melompat menerkamnya. Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara dia siap-siap menyambut serangan lawan. Begitu kedua tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan sambil menjatuhkan diri ke tanah, kedua kakinya menendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri terpental ke belakang. Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan tadi. Dengan gusar ia cepat bangkit dan berbalik serta kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran.

Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari arah samping ia melayangkan tendangan ke perut lawan. Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya pada saat melayang itu kemudian langsung berbalik sambil mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara Danang yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan antara telapak kakinya dengan lutut lawan tadi menyilangkan kedua tangan menutupi wajah dan bagian dadanya. Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada saat itu Anjar tidak bergerak cepat dengan mengayunkan tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin sobatnya itu kena dicakar oleh Hendri. Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat tendangan Anjar. Sepasang matanya memandang buas ke arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak bisa dibuat main-main. Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya dengan Anjar. Dua kali tendangannya tadi kuat sekali, dan kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-tulangnya akan patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak merasa kesakitan. Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi." Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi serangan mahluk itu berikutnya "Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo, meski belum sampai Dan III." Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah melompat menerkam mereka berdua. Kali ini gerakannya semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu hebat. Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu, dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk menghindar, ia terus menerkam Anjar, lawan yang dianggap telah mempermainkannya. Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempat-

an sedikit pun untuk bernafas. Kedua tangan lawan berkelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya, sehingga ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan untung-untungan ia coba menangkap pergelangan tangan lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri untuk membanting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan tangannya langsung ditangkap oleh tangan lawan yang sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali tubuhnya terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah. Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan pahanya justru yang dihajar lebih dulu oleh lawan saat Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba. Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum sempat bangun. Pemuda itu terkesiap lalu bergulingan, namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil meringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang menghindari serangan lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang panjang dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri yang gerakannya semakin cepat saja langsung melompat ke arahnya, padahal posisi Anjar sama sekali tidak menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan tertatih-tatih, Danang memberanikan diri melompat dan memeluk Hendri dari arah belakang. Hiih! Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh Danang ke tanah sampai terdengar suara bergedebum seperti nangka jatuh, kemudian secepat kilat mengangkat sebelah kakinya untuk menginjak dada lawan. "Jahanam! Anjar menggeram marah. Tanpa mempedulikan keselamatnya dia menyeruduk lawan seperti banteng mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibatnya sungguh fatal bagi Anjar karena seketika itu juga makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya. "Anjaaaar! teriak Danang dan Saraswati hampir ber-

samaan ketika terdengar keluh kesakitan dari mulut Anjar. Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke belakang lawan. "Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak Danang pada Saraswati saat gadis itu berlari mengejar tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah kujang dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang bersiap hendak membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya. Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan semua kemampuan yang dimilikinya untuk melawan mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi menyelamatkan Saraswati dari incaran mahluk itu, tapi bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar mereka tidak terbunuh lebih dulu. Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih dan dari kedua pinggangnya mengucur darah segar. "Anjar, kau tidak apa-apa bukan? Kau tidak apa-apa, kan?!" Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan kedua pinggangnya terasa nyeri sekali. Saraswati mengeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu, dan merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk menutupi luka yang satu lagi. Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju pemuda itu. Selesai mengikat kedua luka di pinggang pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala Anjar di alas pahanya. "Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!" isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua kelopak mata. "Maafkan aku, maafkan aku, Sayang." lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu. Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan pandangannya agak sedikit kabur dan sukmanya seperti hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri men-

dengar isak tangis gadis itu. A--Aku minta maaf... katanya dengan suara berat dan perlahan. "Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut Saraswati cepat. "Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. TaTapi... aku punya alasan.. karena Hendri ada dalam fo... foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak... gara-gara itu..." "Kau...?!Saraswati tersentak kaget, dan itu membuktikan bahwa ia belum melihat jelas siapa orang yang kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri? Kenapa? Kenapa tidak kau beritahukan padaku?!" Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum. Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang. Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi ada dalam genggamannya terpental dekat kaki Saraswati. Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh darah. Pemuda itu meringis kesakitan dan merobek baju untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila. Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang mendengar. "Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi sumpahku. Kalian mahluk-mahluk nista, tak pantas hidup lebih lama. Bersiaplah untuk mati." Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan. Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari yang kini memiliki kuku yang panjang dan runcing. Dengan sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua tanpa mengalami kesulitan. Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika melihat perubahan pada diri Danang. Sebenarnya tidak tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di sekeliling tubuhnya yang semakin lama semakin kencang.

Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti melawan dengan sorot tmta setajam pisau. Siapa pun sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh terjadi pada Danang, hanya mereka tidak bisa menjelaskan selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh Putri Dayang Sari. "Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu tidak akan bisa berbuat banyak terhadapku." Dan Putri Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika tubuhnya melompat laksana kilat menerkam lawan. Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang dilakukan keduanya begitu cepat sehingga mereka seperti gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan hantam. Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika terdengar teriakan Danang, bersamaan dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima meter. Masih sempat terlihat luka di bagian dadanya yang memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan lawan. Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil menjerit-jerit kesakitan. Anjar dan Saraswati yang coba mendekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya tanpa disengaja. "Danang, kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati khawatir. Dilihatnya Danang amat menderita sekali. "Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus kelojotan seperti cacing dibakar. "Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak Anjar pada Saraswati. Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi langkahnya dihadang Hendri. "Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya dengan sorot mata mengancam, dan perlahan mendekati gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti, bahkan perlahan mundur mendekai Anjar.

"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya senjata Danang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya, dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada Putri Dayang Sari. Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku yang mati atau kau yang bakal mampus" dengusnya dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara yang parau dengan nada tinggi. "Oh, nenek moyangku Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis terkutuk ini!" Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan matanya seperti tidak berkedip memandang pemuda di hadapannya. Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti itu. Ia sendiri tidak yakin kalau lawan akan menggigil ketakutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara Bodas. Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri, maka untuk itu ia harus berspekulasi. Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil melihat perubahan mimik lawan. Tapi hal itu hanya sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri Dayang Sari yang melecehkan. "Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku dengan senjata rongsokan itu? Ketahuilah sesungguhnya Wanara Bodas tidak pernah memiliki senjata apapun selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang kau menakutiku dengan benda itu. Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kenyataannya akan begitu. Dan mana mungkin ia tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari kalau pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku tentang Wanara Bodas dibanding lawan. Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi untuk menyelamatkan diri

Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari yang ada dalam raga Letnan Hendri. Kedua tangan dengan kuku kuku runcing yang tadi sempat diturunkan, kembali diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu mendadak bertiup angin kencang di sekitar mereka. Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini tertutup kabut tebal, disusul menggelegarnya suara petir. Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahandahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya dan menerbangkannya ke segala arah bersama dengan debu-debu tanah serta kerikil-kerikil. Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara Christine perlahan-lahan mendekati mereka. Sedangkan Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang, merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa menduga dari mana datangnya kekuatan itu. Bisa jadi tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk membunuh mereka dalam sekali tepuk. Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya kekhawatiran itupun dirasakan oleh roh Putri Dayang Sari. Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat mereka, meski belum bisa memastikan dan mana datangnya. Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit, dan membelah bumi diikuti oleh suara guntur yang menggelegar. "Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba saja berteriak keras sekali dengan tubuh mengejang seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi. "Anjar? Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa denganmu?" Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus berteriak. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan

melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang berada di dekatnya. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak berdiri di tempatnya semula dengan sepasang mata memandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang mengiris jantung. "Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat sampai di mana kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang Sari terus melompat menerkam lawan diiringi teriakan yang menggetarkan bulu roma. Anjar membalas dengan menghantamkan telapak tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin laksana badai topan yang langsung menghantam lawan. Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya terpental jungkir balik ke belakang sambil mengeluarkan jerit kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Anjar melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar lawan. Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Ia mengibaskan sebelah tangan sebelum kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap hitam tebal menyelimuti tubuhnya dalam radius kira-kira dua meter lebih. "Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan telapak tangan kirinya ke depan. Angin badai yang didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu sampai tidak bersisa. Tapi lawan tidak terlihat. Raib seperti ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya sambil melirik ke segala arah lewat sudut matanya. Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar membuat lingkaran di tanah berdiameter satu meter setengah lewat ujung kujang yang masih dalam genggamannya. Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat buah garis yang sating berpotongan. Tiap ruang dalam potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar sesuatu yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung

kujang ditancapkannya tepat di tengah-tengah lingkaran hingga melesak lebih dari separuh panjang senjata itu. Hiih! Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti dilanda gempa tak lama setelah senjata itu dibenamkan ke bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis yang diguratkan dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari dalam tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke segala penjuru. Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu. Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula ketika gerakan-gerakan di bawah permukaan tanah itu menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar, yang disusul melesatnya bayangan hitam ke arahnya. Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik cepat dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum pelan dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke belakang. Samar-samar terlihat bayangan perempuan berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi itu. Keluar!" bentak Anjar sambil lepaskan pukulan yang ketiga ke arah lawan. Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu tertiup angin. Sementara bayangan perempuan yang tadi terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke atas, lalu dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri di hadapan Anjar pada jarak sekitar tujuh meter. Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas. Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan mengenakan pakaian keraton jaman dahulu yang terbuat dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya sampai menyentuh tanah. Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran. "Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki

ajian Tapak Angin," katanya pelan, namun tetap bisa didengar oleh mereka yang berada di situ. Mengapa? Mengapa kau lakukan ini padaku?" Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku tidak bisa membiarkanmu berbuat sekehendak hatimu." sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau hampir saja membunuh cucuku." Paras wanita itu semakin heran saja mendengar jawaban Anjar. Cucumu? Bagainana mungkin?" "Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku telah menikah dengan putri Begawan Sapta Waringin, dan punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat melahirkan putra kami," jelas Anjar. Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian tersenyum lalu tertawa halus "Hi hi hi...! Malang benar nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan diriku, tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap kebahagiaan." Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali memandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan amarah. "Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja dengan lelaki lain. Kau pengkhianat, dan tidak sepenuh hati mencintaiku. Di mulut kau katakan mencintaiku, tapi hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan sampai sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan membela anak cucumu." dengus Putri Dayang Sari. "Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya sedang disusupi roh Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka tidak punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak kenal denganmu. Mengapa kau lampiaskan dendammu kepada mereka?" "Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran pada orang-orang yang berhati buruk dan tidak mengenal cinta yang lulus." "Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah yang

kau perbuat terhadapku bisa dikatakan baik?" "Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggirlah! Aku akan tetap menghabisi mereka." "Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus memberi palajaran padamu." Dan agaknya Wanara Bodas tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan dan menghantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di tengah lingkaran sampai melesak ke dalam bumi. Bersamaan dengan itu pula terdengar guncangan hebat yang disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar tempat itu. Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong tubuh Danang. Sementara Christine yang semula hendak menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru membawanya ke tempat yang aman. Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam. Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil mengayunkan selendang tipis. Senjatanya itu kelihatan remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter. Tapi begitu menyentuh lawan langsung membelit dan membungkus tubuh Anjar seperti mumi dan membuatnya berputar laksana gasing. Yang lebih mengherankan, selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada habis-habisnya. "Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memperlakukanmu seperti ini. Tapi karena engkau menghalangi niatku, aku tidak punya pilihan." Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti semula. Tapi kalau Putri Dayang Sari mengira sudah mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka, sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat. Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan tiba-tiba melesat ke atas, masih dalam keadaan berputar. Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang menggelegar seperti menghantam tubuh itu. Anjar

berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur berantakan. Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya tipis, tapi itu bukan senjata main-main. Senjata keramat itu bekerja seperti karet, semakin diikat kuat maka ia akan menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama ini tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara Bodas bukan saja bisa melepaskan diri, bahkan menghancurkan senjatanya itu. Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar bergerak cepat sekali seolah hendak menangkap ujung cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan. Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak. Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan menghantamnya tanpa ampun. Untuk sedetik terdengar jeritnya tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan debu halus. Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukannya lama sekali tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling. Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian aneh lagi di tempat ini. Ia hanya mendiamkan saja sambil memandangi pemuda itu dengan mata tidak berkedip. Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang. Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan memudar sehingga terlihat bulan yang menyembul, perlahan menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi acap terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara angin malam bertiup sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu membangkitkan keberanian Saraswati. Perlahan ia bangkit berdiri dan mendekati Anjar. "Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut. Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot matanya normal seperti biasa. "Kamu tidak apa-apa?"

Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Sungguh kamu tidak apa-apa?" "Aku baik-baik saja..." Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga Saraswati karena sejak tadi hatinya terasa diaduk-aduk oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan menumpahkan kekhawatirannya sejak tadi. "Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisiknya lembut. "Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan," bujuk Anjar. Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau cucu Wanara Bodas, dan..." Anjar tersenyum. Aku sendiri baru tahu setelah kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu sudah pergi, beberapa saat sebelum kau menghampiriku." Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah aman Tapi aku tetap masih merasa takut..." "Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita semua merasakan ketakutan itu. Tapi saat ini keadaan sudah aman. sahut Anjar sambil melirik Hendri yang masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine. "Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri tidak apa-apa. Sebentar lagipun dia akan sadar." lanjutnya seraya melangkah mendekati Danang. "Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda itu terhenti dan menoleh padanya. Melihat itu Saraswati tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain menundukkan kepala bingung bercampur malu. Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya. Aku... Aku..." Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa. Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar dengan sendirinya..."

Bukan itu maksudku! tukas Saraswati. Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri untuk membalas pandangan pemuda itu. Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain teman kau salah besar, katanya menegaskan "Bagaimanapun aku..aku masih... Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk pemuda itu menempel di bibirnya. Sudahlah. Nanti saja kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih penting. Aku harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan leluhurku tadi sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu membawanya ke rumah sakit." Tapi..." Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri sobatnya yang masih meringis kesakitan. Anjar duduk bersila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang dengan tanah dalam genggamannya sambil mengusapusapnya dengan halus. "Bagaimana? tanyanya setelah beberapa saat kemudian. "Apa ada perubahan?" "Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak terasa lagi, dan nyerinya perlahan-lahan mulai reda. Bagaimana dengan lukamu sendiri?" Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan. Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah membantuku mati-matian." Anjar tersenyum dan kali ini mengusap-usap punggung sahabatnya itu. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja kau tewas, aku akan menyesal seumur hidupku." "Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku, dan sudah sepatutnya aku menolong bila kau mengalami kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang Anjar, sebelum menoleh pada Letnan Hendri yang sedang ditunggui Christine. Pria itu agaknya belum sadarkan diri. Kita harus melihat keadaannya. lanjut Danang seraya

bangkit berdiri menghampiri. Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan enggan untuk mengikuti. Sebentar lagi juga siuman." "Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu. sahut Danang tak mempedulikan ucapan Anjar. Ada beberapa faktor yang membuatnya harus menghampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama manusia ia harus menolong mereka yang membutuhkan; kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara Anjar dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut ia berada di dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada baiknya ia membicarakan sesuatu dengan letnan polisi itu seputar masalah yang menimpa dirinya. Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi juga karena Saraswati ikut menahannya. Lagipula Danang lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan ketimbang dirinya. Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku... ucap Saras lirih. "Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil tersenyum kecil. Saras menoleh padanya. Aku minta maaf..." "Aku juga salah..." "Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita. Sekali lagi aku minta maaf..." "Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras membiarkan saja. "Aku sudah memaafkanmu. Bahkan aku sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu dengan Letnan Hendri... Jangan teruskan! tukas Saras. Aku tidak mau kau menganggap aku punya hubungan serius dalam soal asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku akan bicara padanya. lanjutnya seraya melirik ke arah Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah siuman dan sedang ngobrol dengan Danang. Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu me-

langkah ke sana. Anjar melihat Saras menarik lengan pria itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti oleh Danang dan Christine. Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu masih pucat, dan sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan dan kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya, tapi yang bisa diduga barangkali itu sesuatu yang mengecewakannya. Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di hadapan Anjar. Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat kita semua menjadi tegang. Tapi syukurlah semua sudah berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega. Anjar mengangguk. Ya, aku berharap ini tidak akan terulang kembali. Tentu saja kita berharap setelah ini akan lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya tidak bersalah. Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba mencerna kata kata lawan bicaranya. Untuk siapakah katakata itu ditujukan? Untuk dirinya atau mereka semua? Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti ia juga tidak mau berlama-lama setelah pembicaraannya dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan ia mesti bisa menerima keputusan itu. "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu." katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan diriku " "Sama-sama. sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan." "Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkansungkan datang kepadaku. Aku akan berusaha menolong dengan sekuat kemampuanku. "Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku butuh bantuanmu."

"Soal apa?" Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di telinganya. Belum lama aku baca di koran salah seorang korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai tertuduh. Maukah Anda membebaskannya?" Kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga lapat-lapat Saraswati bisa mendengarnya. Letnan polisi itu mengernyitkan dahi. "Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik lagi sehingga yang lainnya bisa mendengarkan, ia bukan apa-apaku, dan sama sekali belum pernah kukenal. Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh dihukum." Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan. katanya. "Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut Anjar sebelum Hendri dan Christine berbalik meninggalkan mereka menuju mobil. Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia ingin tahu apa yang dibicarakan Anjar saat berbisik tadi pada Hendri. Apakah hal itu perlu?" Sekedar ingin tahu saja." "Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang. "Kau kenal dengan gadis bernama Maya? "Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya kenapa?" "Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus pembunuhannya?" "Seorang pemuda bernama Boy." Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan pemuda itu." "Lho, memangnya kenapa? Apakah dia masih ada hubungan saudara denganmu?" "Sama sekali tidak!"

"Lalu?" Karena dia tidak bersalah?" "Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang kau sendiri tidak mengenalnya?" Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu? Orang yang kau jepret itu adalah Hendri. Fakta itu tidak bisa dibohongi. sahut Anjar. "Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng lemah sambil mendecah karena sulit baginya untuk mempercayai hal itu. Betapa tidak? Hendri yang dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang berbeda. Mengapa dia mesti mengarang cerita? "Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta menunjukkan kalau Boy itulah pelakunya." lanjut Saraswati untuk memuaskan rasa penasarannya. "Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari tidak salah. Orang yang dikhianati selamat, yang berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah pembunuhnya. Foto itu menunjukkan kalau Hendri yang sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat, sedangkan Boy adalah orang yang dikhinati. jelas Anjar. "Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri berhubungan dengan Maya, tapi aku tidak mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia mengkambing hitamkan Boy?" Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang." ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan Danang. Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang yang diikuti munculnya kilat yang memandang seperti hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa

sebuah rumah tua yang memang sudah rusak berat, dan membuatnya hancur berantakan! TAMAT

QT BEGOAH

SERIAL JONI KUCAI


JONI CARI PENGALAMAN III

etelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk memandang sekelilingnya Menunggu bus lainnya yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus, tiba-tiba sebuah sepeda motor datang menghampiri. Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan jaket. "Mau ke mana, Dik? Mari saya antar!" kata si lelaki sambil tersenyum tampangnya ramah. "Ah, nggak terima kasih." "Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih tujuan adik nanti saya antar." "Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi." "Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa Jonipun lalu membonceng motor itu. Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas aspal!" kata si lelaki sambil tancap gas. Sepeda motornya melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa peduli diri Joni yang ketakutan setengah mati. "Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagaimana?" teriak Joni ketakutan. "Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!" Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas, siapa? Tapi kan sakit. Lagi pula kalau sampai jatuh biaya rumah sakit mahal, kasihan Emak saya."

"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!" kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si lelaki terdengar, di antara suara jerit ketakutan Joni. "Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya bisa pingsan nih!" teriak Joni. "Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal jangan lupa tetap pegangan agar kamu nggak jatuh!" "Bagaimana mungkin bisa!" "Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar lagi kita bakal sampai kok." "Sampai?" "Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya juga sudah kelihatan." "Mana? "Itu..!" "O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni tak sabar lagi. Meskipun motor belum berhenti Joni sudah melompat dari atas boncengan mirip Rambo. Hup! Tapi saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesagesa akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal! "Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki pengendara motor itu wajahnya berubah memucat. "Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah melompat? Untung saja kaki kamu nggak patah, kepala kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!" "Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya tulang saya patah! kata Joni sambil meringis kesakitan. "Apa? Patah? Gawat! Kenapa urusan jadi begini? Wah, wah, ini sih alamat aku yang bakal kena menanggung ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin nampak pucat. "Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos ojeg motornya deh. Saya nggak minta bayaran, sungguh. Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi dulu ya..!" kata si lelaki pada Joni yang ternyata adalah seorang tukang ojeg motor. Karena menduga Joni mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia

tancap gas, kabur meninggalkan Joni yang berdiri bengong. "Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos naik motor itu? Minta ampun! Uang dari mana? Untung saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya tidak mempunyai uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni diambil untuk ganti membayar ongkos. Bila semua itu sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya minta ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi sesak, matanya jadi berkunang-kunang, dan akhirnya Joni jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat yang agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan kena sinar matahari! Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari pingsannya tubuh Joni berada diatas sebuah tempat tidur yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar yang cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni memandang, ia telah tahu kalau dirinya bukan berada dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah di mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi penasaran bertanya-tanya sendiri dalam hati. Atau.. apakah ini yang dinamakan alam akherat? Mendadak bulu Joni berdiri, rasa takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni berteriak-teriak. Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih kepingin hidup lama di dunia. lagipula aku belum pernah kena SDSB! Jadi..tolonglah aku Tuhan! Aku belum mau matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan. "Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar. Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang! tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang menghampiri. Ketika Joni menolehkan kepalanya memandang ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri setengah baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum ramah.

"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh benar, jadi jangan kamu banyak bergerak dulu." timbal yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu. "Di mana saya? Di mana saya? Apakah saya ini sudah berada di akherat?" tanya Joni, matanya masih nampak beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang seputar ruangan kamar itu. Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum. "Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami, bukan di akherat!" kata si ibu sambil tersenyum. "Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir jalan dalam keadaan pingsan. Lalu kami membawanya kemari!" timpal si bapak. "Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya? Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat melupakan budi kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!" Hus, kami belum mati, Nak! "Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu mendapat paha dari Tuhan." "Hus, pahala!" Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!" Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita sebagai manusia hidup wajib harus saling tolong menolong?" "Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu mau menolong diri saya sekali lagi?" Tentu saja mau, Nak. Menolong apa? tanya si ibu. Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil ccngar-cengir. "Oh, kamu lapar? Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu ambilkan makanan! kata si ibu yang rupanya mengerti dengan isyarat yang dilakukan Joni. Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. "Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya. Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."

"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah ada di suatu tempat yang sama sekali sulit untuk mendapatkan makanan!" "Ah, yang benar Jon?" "Benar." "Di mana itu?" "Di Somalia." "Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia." Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak bakal kekurangan sandang dan pangan, iya kan Jon?" "Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah sekarang ini sudah banyak yang berubah jadi lapangan golf!" "Apa tidak hebat!" "Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli aja mampu kok! "Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?" Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?" "Tapi apa. Jon?" Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa. Rejeki kan nggak boleh ditolak!" Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta jantung. Buktinya sudah dikasih sepiring malah minta tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan. Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya! "Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak sekali..." bisik si bapak dan istrinya. Tentu saja tidak sampai didengar Joni. "Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah kita bisa gawat. Persediaan beras kita bisa cepat habis!" timpal istrinya. "Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal di rumah kita, percaya deh, rumah kita bakal kejual!" Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih memandang ke kiri-ke kanan. Sepertinya Joni sedang men-

cari sesuatu. "Cari apa. Jon?' tanya si ibu. "Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai makan saya harus cuci mulut dengan buah." "Buah? Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah kaleng! "Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?" "Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?" "Bukan mau-mau lagi!" "Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu buahnya habis, yang ada tinggal kalengnya. Mau?" "Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata Joni. Wajahnya kelihatan kecewa, tapi yang namanya Joni kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi. "Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak suami perempuan setengah baya itu. "Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau nama yang dibuat-buat. Asli dari pemberian orang tua saya. Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!" "Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan sesuatu terhadap dirimu, bolehkan?" "Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya. Mau Soal Ekonomi, Politik, Sastra, sampai soal buntut yang banyak digemari dan membuat orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya nggak sanggup jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret kayak air ledeng yang suka macet." "Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau bapak tanyakan, sebenarnya kamu ini anak siapa?" "Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya." "Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa? Juga nama ibu kamu." "Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu nama Bapak dan Emak saya, tapi saya kenal betul dengan mereka." "Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu

itu?" Joni menggelengkan kepalanya. "Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu, apalah artinya sebuah nama." "Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya kamu ini mau ke mana dan dari mana?" "Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau ke depan dan dari belakang." jawab Joni membuat pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang. "Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa, sehingga kami menemukan kamu dalam keadaan pingsan?" "Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman saya. Tapi dasar brengsek, tukang ojeg motor yang saya tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh." "Ya, bapak tahu itu." "Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?" "Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?" "Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu. Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu." "Tempat tinggalnya?" Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya nggak tahu di mana tempat tinggal paman saya itu. Cuma yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu merah, nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko China!" "Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari alamat pamanmu itu, Jon." "Lho, kenapa?" Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung." "Ah, masa. Pak?" Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak bakal bisa menjumpai tempat tinggal pamanmu." "Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"

"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya kamu pulang saja. Atau kamu tanyakan kembali pada kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu. Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi mencari alamat tempat tinggal pamanmu itu." "Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung." "Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu." Joni menggelengkan kepala. "Takut, Bu." "Takut? Kenapa? Apakah bapakmu galak tehadap dirimu?" "Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak bakal mau menjawab meskipun saya menanyakannya sampai mulut saya berbusa. Apakah bapakmu itu bisu? "Saya kurang tahu. Dulu sih nggak." "Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih? Menurut dugaan ibu, pasti kamu bohong mengenai soal bapakmu itu. Tidak mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya tidak mau menjawab." "Ibu nggak percaya?" "Tidak." "Saya juga tidak percaya, Jon." "Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang Bapak saya itu bisa menjawab pertanyaan saya, saya yakin Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener, deh. Malah Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong besar!" Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!" Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati ditanya bisa menjawab." "Apa??? Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal dunia, Jon???! teriak keduanya. Pasangan suami istri setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat duduknya masing-masing saking kagetnya.

Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak. "Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?"

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai