Anda di halaman 1dari 123

Wiro Sableng Episode # 101 : Gerhana Di Gajahmungkur

posted by: Dunia Andromeda

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS

Satu

BERLARI cukup lama Wiro belum juga mencapai tepi barat Telaga


Gajahmungkur. Di satu tempat dia berhenti dan mendongak ke atas. Langit
gelap gulita. Memandang berkeliling hanya kepekatan dan pohon-pohon serta
semak belukar menghitam dilihatnya.
Tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasa sambaran angin di samping kirinya
disertai berkelebatnya satu bayangan. Namun dia tidak melihat apa-apa.
“Ratu Duyung…. Kaukah itu?” ujar Wiro karena menyangka gadis bermata biru
itu menyusulnya. Tak ada jawaban. “Orang bercadar…. Kau ada di sekitar
sini?!” ujar Wiro kembali menduga sambil memandang berkeliling. Tetap tak
ada jawaban. Mendadak satu tawa mengekeh merobek kesunyian di tempat itu.
Membuat Pendekar 212 tersentak kaget dan cepat berpaling ke kiri. “Astaga!
Makhluk apa yang ada di bawah pohon besar itu.
“Pendekar 212, lihat baik-baik! Apa kau masih mengenali diriku?!”
Wiro buka matanya lebar-lebar. Sejarak sepuluh langkah di hadapannya, di
bawah bayang-bayang gelap sebuah pohon besar berdiri satu sosok yang tubuh
dan pakaiannya menebar bau busuk. Bukan bau busuk ini yang menyebabkan
Wiro merasa tercekat, namun cara orang itu berdiri yang membuatnya
melengak ngeri.
“Makhluk aneh. Berujud seorang kakek. Berdiri di atas dua tangannya.
Sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah tidak berdaging. Hanya merupakan
tulang pipih. Aku tidak ingat apa pernah melihat makhluk ini sebelumnya.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku. Kau mungkin lupa. Orang yang mau mati
memang sering-sering lupa. Ha… ha… ha….”
“Orang aneh! Kau siapa?!” tanya Pendekar 212.
“Ingat peristiwa-di sebuah pulau di pantai barat Andalas beberapa waktu lalu?
Kau dan Tua Gila menjebloskan aku ke dalam sebuah makam batu tanpa nisan!”
“Kau…!” Wiro coba mengingat-ingat. “Kau Datuk Tinggi Raja Di Langit!” Lidah
Wiro mendadak seolah menjadi kelu.
“Ha… ha… ha! Kau ingat sekarang! Itu julukanku di masa lalu. Sekarang gelarku
adalah Jagal iblis Makam Setan. Artinya setiap orang yang menjadi musuhku
akan kujagal dengan sepasang kakiku dan kuburnya adalah di makam setan!
Ha… ha… ha!”
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dia tahu sekali bagaimana jahatnya manusia satu
ini. Apalagi dia menaruh dendam kesumat pula pada dirinya. “Celaka! Kalau dia
berniat hendak membunuhku, apa aku bisa bertahan dengan jubah sakti yang
melekat di tubuhku? Apa yang harus kuperbuat. Kabur saja selamatkan diri?
Mustahil aku mampu!
“Jagal Iblis…. tidak ada waktu membicarakan ikhwal masa lalu denganmu. Aku
harus pergi! Aku tertarik pada perempuan cantik yang berdiri di belakangmu.
Apakah datang bersama-samanya?”
Jagal iblis Makam Setan berpaling ke belakang. Secepat kilat Wiro melompat ke
balik semak belukar di dekatnya lalu menghambur lari. Namun baru berlari
sejauh beberapa tombak, di depannya terdengar tawa bergelak dan tahu-tahu
makhluk berjuluk Jagal iblis
Makam Setan itu telah menghadang jalannya. Berdiri dengan tangan di bawah
kaki di atas. Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Tipuannya tidak mengena.
“Pendekar keparat! Kau tak bisa menipuku! Kau tak bisa lolos dari tanganku!
Malam ini adalah malam kematianmu!”
“Wuutt!” Kaki kanan Jagal iblis Makam Setan yang hanya tinggal tulang pipih
menyerupai pedang tajam itu menabas ke arah lehernya. Secepat kilat dia
jatuhkan diri ke samping. Lehernya selamat. Tapi “bukkk! Breettt!”
Wiro tak mampu menghindar, tak berani menangkis ketika kaki kiri Jagal iblis
membacok ke arah dadanya. Wiro terlempar sampai satu tombak dan terkapar
di tanah.
Jagal iblis Makam Setan pelototkan mata. “Jahanam ini punya ilmu apa!
Kudengar dia kehilangan kesaktian dan tenaga dalam! Mengapa kaki pedangku
tak mampu membacok dadanya!”
“Wuuutt!”
Kakek angker berjuluk Jagal iblis itu jungkir balik di udara. Sesaat kemudian
dia telah berdiri sebagaimana wajarnya manusia yaitu dengan dua kaki berada
di tanah.
Wiro merasa dadanya seperti dihantam pentungan besar terbuat dari besi.
Nafasnya sesak. Dia berusaha bangkit tapi kaki kanan si kakek tahu-tahu sudah
menginjak lehernya. Sedikit saja kaki itu ditusukkan atau disayatkan ke leher
Wiro, tamatlah riwayat sang pendekar.
Si kakek masih memandang dengan mata mendelik. “Pakaian merahnya jelas-
jelas robek besar! Tapi mengapa badannya tidak cidera? Bangsat ini pasti
memiliki semacam ilmu kebal. Atau mungkin pakaian merahnya yang berbentuk
jubah ini? Hemmm….”
Jagal iblis ulurkan tangan kiri menjambak rambut gondrong si pemuda. Sekali
sentak saja Wiro terbetot ke atas.
“Nyawamu tidak ada harganya bagiku! Tapi jika aku bisa membunuhmu
sekaligus mendapat pahala imbalan mengapa tidak aku lakukan?! Ha… ha… ha!”
“Apa maksudmu Jagal Iblis?” tanya Wiro.
“Kau akan kuserahkan pada Datuk Lembah Akhirat! Kematianmu di Lembah
Akhirat pasti lebih menyenangkan dari pada kubunuh mampus di tempat ini!
Ha… ha… ha!”
Pucatlah air muka Pendekar 212.
“Sebelum kubawa ke sana, buka dulu jubah merahmu!”
“Jagal Iblis, kau boleh ambil jubah. Tapi lepaskan diriku! Tak ada untungnya
membunuhku! Tak ada untungnya membawa aku ke Lembah Akhirat.” Jagal
Iblis Makam Setan tertawa gelak-gelak. “Baru saat ini aku mendengar seorang
pendekar besar meratap minta dikasihani!” Dengan gerakan memaksa si kakek
membuka jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuh Wiro. Seperti
diketahui jubah sakti ini dibawa dan diberikan oleh si Raja Penidur kepada Wiro
untuk dapat menyelamatkan pendekar yang telah kehilangan kesaktiannya itu.
“Hemmm…. Meski robek di sebelah dada, tapi masih cukup bagus dipakai untuk
menghangatkan tubuhku. Ha… ha… ha!” Si kakek lalu kenakan jubah Kencono
Geni. Wiro keluarkan keluhan pendek ketika dadanya ditotok Jagal Iblis Makam
Setan kemudian dipanggul di bahu kiri.
***
Di salah satu tepi barat Telaga Gajahmungkur dalam hening dan gelapnya
malam. Tak berapa jauh dari dua batang pohon kelapa yang tumbuh miring
hingga tampak seolah bersilangan. Bidadari Angin Timur mulai cemas.
Sementara hujan rintik-rintik turun.
“Aneh, ditunggu begini lama orang bercadar tidak kembali. Mungkin dia
langsung menyelesaikan urusan rahasia hidupnya. Tapi mengapa Pendekar 212
juga tidak datang? Mungkin tahu aku yang menunggunya di sini lantas tidak mau
datang. Ah, bagaimana ini. Apa aku harus menunggu terus. Bulan purnama tak
kunjung muncul. Bagaimana keadaan para tokoh? Saat ini pasti mulai mendekati
tengah malam….”
Dalam keadaan bingung seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat.
Seorang gadis berambut panjang bermata biru berdiri di depan Bidadari Angin
Timur.
“Ratu Duyung kesasar ke tempat ini!” ujar Bidadari Angin Timur begitu
mengenali siapa yang berada di depannya. Rasa cemburu membuat dia sangat
benci pada Ratu Duyung gara-gara menyaksikan dengan mata kepala sendiri
sang Ratu bercumbu rayu dengan Wiro beberapa waktu lalu.
Kalau tidak karena khawatir akan keselamatan Wiro sebenarnya Ratu Duyung
segan menjawab dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Buat apa
bersilat lidah dengan gadis yang menjadi penghalang-nya dalam mencurahkan
kasih sayang terhadap Wiro. Namun setelah berpikir panjang akhirnya sang
Ratu berkata. “Aku mencari Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur tersenyum sinis. “Kau kehilangan
kekasihmu! Berarti kau tidak menjaganya baik-baik. Kau melepaskannya pergi
seorang diri. Padahal kau tahu dia dalam keadaan tak berdaya!”
Mendengar ucapan itu Ratu Duyung menjadi sengit. “Bukan mauku dia pergi
sendiri! Dia yang tak mau diantar karena takut kau cemburu padaku! Akibat
jiwa besarnya sekarang dia lenyap entah kemana! Ini gara-gara orang bercadar
yang pasti adalah orang suruhanmu! Kalau terjadi apa-apa dengan Pendekar
212, kau punya tanggung jawab sangat berat gadis berambut pirang!”
“Enak betul kau menimpakan kesalahan pada orang lain! Aku memintanya ke
sini bukan untuk berkasih-kasihan seperti yang kau lakukan di tepi telaga! Tapi
untuk mengobati kutuk yang menimpa dirinya dengan senjata ini!” Lalu ada
suara berdesing disertai memancarnya sinar putih dan menebarnya hawa sangat
dingin.
“Pedang Naga Suci 212…” desis Ratu Duyung. Paras nya merah mendengar
ucapan Bidadari Angin Timur tadi. “Mulutmu culas mencerminkan hatimu tidak
bersih. Perbuatanmu mengintip orang sungguh tidak terpuji! Sekarang kau
acungkan pedang ke mukaku! Kau hendak mencari perkara atau apa?!”
“Kau yang sengaja mencari perkara!” hardik Bidadari Angin Timur.
“Namamu bagus. Bidadari! Tapi hatimu jahat!” ejek Ratu Duyung.
“Namamu juga bagus! Dipanggil Ratu! Tapi kelakuanmu mesum! Kalau bukan
karena kemesumanmu tidak akan celaka Pendekar 212!” balas Bidadari Angin
Timur pula.
“Gadis keparat! Mulutmu kurang ajari Apa maumu akan kulayani! Jangan kira
aku takut walau kau membekal sebilah pedang sakti!” Ratu Duyung jadi panas.
Dia tempelkan tangan kirinya di atas, Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik
pakaiannya.
“Tantanganmu kuterima! Gadis mesum sepertimu memang harus disingkirkan
dari muka bumi!” teriak Bidadari Angin Timur.
“Bidadari keji dan busuk sepertimu harus dilempar ke dasar neraka!” balas
Ratu Duyung lalu keluarkan cermin saktinya. Dua gadis itu sama mendekat satu
langkah. Mata berperang pandang. Dada menggemuruh marah namun tidak
satupun bertindak lebih jauh. Walau sangat panas hatinya namun Ratu Duyung
perlahan-lahan berhasil menguasai gejolak dalam dirinya. “Ah….” Sang Ratu
usap mukanya lalu simpan cermin saktinya kembali. “Aku bingung sekali. Tak
tahu apa yang kuucapkan, tak sadar apa yang aku lakukan. Saudari, maafkan
diriku. Aku tahu kau gadis baik….” Melihat orang unjukkan wajah menyesal dan
keluarkan ucapan polos Bidadari Angin Timur berkata. “Kau mencari Wiro.
Pemuda itu tidak pernah muncul di sini. Aku juga dalam keadaan bingung.
Terlanjur berucap dan bersikap kasar padamu. Aku tahu kau gadis baik penuh
pengorbanan. Harap maafkan diriku sahabat….”
Ratu Duyung pegang tangan Bidadari Angin Timur lalu tanpa berkata apaapa dia
tinggalkan tempat itu dengan cepat. Ditinggal sendirian Bidadari Angin Timur
tak dapat menahan sesenggukan. Sambil menutupi wajah menahan tangis dia
berkata. “Wiro, di mana kau saat ini. Aku menyesal memintamu datang ke
tempat ini. Seharusnya aku yang mencarimu. Ya Tuhan, tolong dia. Selamatkan
dirinya. Jangan sampai terjadi apa-apa….”
***

Dua
Ki Juru Tenung alias Mangkutani berdiri di depan meja sambil matanya menatap
ke dalam air di atas piring tanah. Di sebelahnya Datuk Lembah Akhirat tegak
memperhatikan dengan tampang beringas tidak sabaran. Perlahan-lahan Ki Juru
Tenung gelengkan kepalanya.
“Datuk, menurut petunjuk dalam air kau tidak boleh menyedot tenaga dalam
Dewa Ketawa dan Dewa Sedih…” berucap si kakek bermuka lancip sambil usap
janggutnya yang kelabu.
“Gila! Memangnya kenapa?!” tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Pertama, kau telah memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi. Paling tidak
tiga kali lipat tenaga dalam yang dimiliki tokoh silat golongan putih. Misalnya Si
Raja Penidur atau Nyanyuk Amber….”
“Bagaimana dengan Si Sinto Gendeng keparat atau Si Tua Gila jahanam itu?”
Ki Juru Tenung tertawa. “Tenaga dalam mereka tidak ada arti apa-apa
dibanding dengan yang kau miliki.”
“Dengar Datuk, dengan tidak melumpuhkan tenaga dalam dua kakek itu kita
bisa memanfaatkan mereka menghadapi orang-orang golongan putih. Hingga
kau tak perlu mencapaikan diri turun tangan. Jika tenaga dalam mereka kau
sedot, mereka tak bisa diperalat menghantam orang-orang itu!”
“Hemmm…. Kau betul juga,” kata Datuk Lembah Akhirat sambil permainkan
kalung tengkorak bayi yang tergantung di lehernya. “Tapi jangan lupakan satu
hal Ki Juru Tenung! Jika tiba saatnya semua tokoh silat yang membantu kita
harus dihabisi. Termasuk Sika Sure jelantik, Utusan Dari Akhirat dan Jagal iblis
Makam Setan! Termasuk juga adikku si Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di
Bumi itu!”
“Itu soal gampang Datuk. Jika saatnya tiba kita akan menyingkirkan mereka
semudah membalikkan telapak tangan! Percuma kau memiliki Sarung Tangan
Penyedot Batin!” jawab kakek bermuka lancip itu.
“Datuk, ada satu hal penting yang perlu aku beritahukan padamu. Menyangkut
rencana kita menghancurkan musuh yang berada di barat Telaga Gajah-
mungkur. Petunjuk sebelumnya mengatakan bahwa saat terbaik kita
menggempur mereka adalah pada nanti tengah malam. Saat bulan purnama
empat belas hari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Namun saat ini aku
tidak melihat petunjuk rembulan akan muncul. Langit kulihat hitam kelam,
jangankan bulan, setitik cahaya bintang pun tidak ada. Ini berarti ada sesuatu
yang tidak beres. Petunjuk ini berarti kita tidak boleh menyerang mereka
malam ini. Karena peruntungan baik tidak berpihak kepada kita….”
“Kau ini bicara apa Ki Juru Tenung! Kalau dengan sarung tangan sakti itu tak
satu orangpun bisa menghadapiku, mengapa sekarang kau melarang aku
menyerbu orang-orang itu!”
“Datuk, jangan lupa. Bagaimanapun hebatnya seseorang, tapi tetap saja pada
dirinya akan melekat satu hari naas. Mungkin malam nanti merupakan saat naas
bagi kita. Jadi kita harus berhati-hati….”
“Lalu kapan kita harus menghancurkan mereka?!” tanya Datuk Lembah Akhirat
Ki Juru Tenung menatap kembali ke dalam air. “Belum ada petunjuk. Setiap
aku mencoba air bergoyang secara aneh hingga pandanganku menjadi kabur.
Tapi firasatku mengatakan paling cepat sebelum tengah hari besok.”
Baru saja Ki Juru Tenung berkata begitu di luar ruangan terdengar suitan tiga
kali berturut-turut. Tak lama kemudian tiga pengawal masuk. Setelah menjura
salah seorang dari mereka memberitahu bahwa kakek sakti berjuluk Jagal iblis
Makam Setan akan segera datang menghadap.
Datuk Lembah Akhirat berpaling pada Ki Juru Tenung. Kakek ini anggukkan
kepalanya.
“Suruh orang itu masuk!” kata Datuk Lembah Akhirat.
Tiga pengawal menjura dan tinggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuklah
Jagal iblis Makam Setan sambil memanggul sesosok tubuh.
“Sobatku Jagal iblis Makam Setan! Muka angkermu menyeringai tanda hatimu
gembira. Kau memanggul sesosok tubuh. Kabar baik apa yang hendak kau
sampaikan pada kami di sini?!”
Kakek berkaki tulang lemparkan sosok tubuh yang dipanggulnya hingga
bergedebukan di lantai. Dari mulut orang itu keluar suara erangan pendek.
Dengan ujung kakinya Datuk Lembah Akhirat balikkan tubuh orang hingga
tertelentang.
“Siapa pemuda berambut gondrong ini?” tanya sang Datuk,
Sebagai jawaban Jagal iblis Makam Setan robek bagian dada pakaian yang
dikenakan si pemuda. Di atas dada itu terpampang rajah tiga angka yang tak
asing lagi. 212.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!” seru Ki Juru Tenung.
Datuk Lembah Akhirat berteriak kegirangan lalu tertawa gelak-gelak.
“Sobatku Jagal iblis! Kau berhasil menangkap Pendekar 212! Jasa besarmu
tidak aku lupakan. Kau akan kuberikan kedudukan tinggi di Lembah Akhirat.
Dan Kitab Wasiat Malaikat kelak akan kuserahkan padamu! Tanganku sudah
gatal cepat-cepat mau mem-bunuhnya. Tapi aku ingin tahu bagaimana ceritanya
kau berhasil menangkap dan membawanya kemari. Jika dia memang berada di
sekitar kawasan ini pasti cecunguk lain kawan-kawannya juga berada di sini!”
Belum sempat Jagal iblis Makam Setan membuka mulut memberikan penuturan
tiba-tiba satu suitan keras menggema di luar ruangan. Belum sirap suara suitan
itu melesatlah satu bayangan merah.
“Pengiring Mayat Muka Merah! Kau membawa rejeki besar untukku!” Ki Juru
Tenung berteriak gembira.
Di pintu ruangan berdiri wakil ke dua Datuk Lembah Akhirat yang berjubah dan
bermuka serta rambut dicat merah. Pada bahu kirinya dia memanggul sesosok
tubuh perempuan berpakaian putih. Sedang di bahu kanannya ada seorang
perempuan lagi mengenakan pakaian berwarna serba ungu. Sehelai pita ungu
menghias rambutnya yang tergerai lepas. Meski belum melihat wajah
perempuan berpakaian ungu ini, namun Pendekar 212 Wiro Sableng yang
terhampar di lantai dalam keadaan kaku tertotok mendadak sontak menjadi
berdebar!
Pengiring Mayat Muka Merah dengan hati-hati turunkan satu persatu dua
perempuan yang dipanggulnya. Kebetulan yang berbaju ungu dibaringkan di
lantai dengan wajah menghadap Wiro. Begitu melihat paras perempuan itu
bergetarlah sekujur tubuh murid Sinto Gendeng.
“Anggini…” ujar Wiro. Semula dia menyangka perempuan itu berada dalam
keadaan pingsan. Ter-nyata seperti dirinya berada di bawah pengaruh totokan
yang membuat sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan.
Orang yang namanya disebut perlahan-lahan buka matanya yang terpejam.
Begitu melihat si pemuda menjeritlah dia.
“Wiro!”
“Ah! Dua orang ini rupanya saling mengenal!” ujar Ki Juru Tenung yang sejak
tadi tidak lepaskan tatapan-nya pada sosok gadis berpakaian ungu. Sesekali
lidahnya dijulurkan membasahi bibir dan tenggorokannya tampak turun naik.
“Muka Merah, katakan padaku siapa adanya gadis berpakaian ungu ini!” kata
Datuk Lembah Akhirat.
“Namanya Anggini. Dia adalah murid tokoh silat berjuluk Dewa Tuak!”
“Lagi-lagi rejeki besar!” ujar Datuk Lembah Akhirat lalu tertawa sambil tepuk-
tepuk bahu Pengiring Mayat Muka Merah. “Kau akan kuberi hadiah besar!” Lalu
sang Datuk berpaling pada Ki Juru Tenung. “Apa yang ada dalam benakmu Ki
Juru Tenung?!” tanya sang Datuk sambil menyeringai.
“Sesuai jasanya Pengiring Mayat Muka Merah layak diberi hadiah perempuan
berpakaian putih itu. Dan hemmmm….” Kakek bermuka lancip ini bergumam
lalu batuk-batuk beberapa kali. “Yang berpakaian ungu ini sesuai dengan
seleraku. Kalau kau mengizinkan aku segera saja mau membawanya ke kamar
tidurku. Dia pasti masih perawan. Malam ini aku akan jadi pengantin baru. Ha…
ha… ha!”
“Datuk Lembah Akhirat!” tiba-tiba Wiro berteriak. “Kalau kau atau orangmu
berani berbuat kurang ajar terhadap gadis itu aku bersumpah akan
membunuhmu!”
“Bersumpahlah di neraka!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu tendang dada
Pendekar 212 hingga pemuda ini mencelat dan terhempas di dinding ruangan.
Anggini terpekik. Wiro mengeluh menahan sakit. Dari mulutnya mengucur
darah. Dadanya serasa hancur dan nafasnya sesak.
Masih belum puas Datuk Lembah Akhirat kembali menendang. Yang diarahnya
kini adalah kepala Pendekar 212.
“Datuk! Tunggu! Jangan kau bunuh pemuda itu!” berseru Ki Juru Tenung.
Membuat Datuk Lembah Akhirat mendelik dan Pengiring Mayat Muka Merah
serta Jagal iblis Makam Setan melengak heran.
“Apa katamu Ki Juru Tenung?! Bangsat ini adalah salah seorang tokoh silat
golongan putih yang harus kita habisi! Sekarang kau mencegah aku
membunuhnya! Kau sudah gila?!”
“Sabar Datuk,” jawab Ki Juru Tenung. “Membunuh pemuda ini apa sulitnya.
Tapi lebih besar manfaatnya kalau dia kita biarkan dulu hidup. Kalau dia berapa
di tangan kita dalam keadaan hidup-hidup berarti kita punya satu kekuatan
untuk membuat para tokoh golongan putih tidak berdaya. Dia bisa kita jadikan
tumbal untuk menghadapi musuh!”
Datuk Lembah Akhirat pencongkan mulutnya. “Omonganmu ada betulnya.
Pendekar 212, tak ada salahnya menunda kematianmu barang sehari dua!” Lalu
sang Datuk berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah. “Bawa pemuda itu
keluar. Ikat dia di tiang kereta kaki ke atas kepala ke bawah!”
Pengiring Mayat Muka Merah jambak rambut Pendekar 212 dengan tangan
kanan. Tubuh Wiro diseretnya ke luar ruangan. Lalu dia kembali masuk untuk
memboyong perempuan berpakaian putih. Namun satu tangan memegang,
bahunya. Ketika dia
berpaling dilihatnya Jagal iblis Makam Setan menyeringai padanya lalu berkata.
“Pengiring Mayat Muka Merah, aku sudah lama tidak bersenangsenang di atas
ranjang, perempuan itu harus melayaniku lebih dulu. Kalau aku sudah puas
terserah kau mau bikin apa!”
Pengiring Mayat Muka Merah menggereng marah. Tapi terdiam ketika Datuk
Lembah Akhirat berkata. “Muka Merah, sekali ini kau harus mengalah pada
sahabat besar kita. Kau harus rela mendapat sisanya atau cari saja perempuan
lain. Sekarang kerjakan dulu apa yang aku perintahkan. Gantung Pendekar
212!”
Dalam hati Pengiring Mayat Muka Merah menyumpah setengah mati. Dia
lontarkan pandangan geram ke arah Jagal iblis Makam Setan. Bersungut-sungut
dia ke luar dari ruangan itu.
“Tua bangka jahanam! Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Anggini ketika Ki Juru
Tenung mendukung tubuhnya dan menciumi mukanya.
***
Jengkel sakit hati karena dia yang membawa dua perempuan itu tapi justru
tidak kebagian, Pengiring Mayat Muka Merah mengikuti Ki Juru Tenung ke
kamarnya.
“Ki Juru Tenung sialan! Tak tahu diri! Teganya merampas milik kawan sendiri!
Kakek-kakek seperti dia apa masih mampu menggauli seorang gadis! Dasar tua
bangka keparat!” Maki Pengiring Mayat Muka Merah. Sesampai di kediaman Ki
Juru Tenung dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya si muka merah
melompat ke atas atap bangunan yang terbuat dari rumbia bercampur ijuk. Dari
atas atap si muka merah ini mengintip ke dalam kamar melihat apa yang
terjadi.
Di dalam kamar terdengar suara Ki Juru Tenung merayu tiada henti sementara
Anggini memaki dan menyumpah terus-terusan.
“Gadis molek! Jangan takut, juga jangan terlalu galak. Aku tidak akan
melakukan apa-apa terhadapmu,” kata Ki Juru Tenung pula. Dari atas atap
Pengiring Mayat Muka Merah melihat enak saja Ki Juru Tenung menanggalkan
pakaiannya satu per satu. Ketika tubuh kakek ini tidak terlindung lagi oleh
sehelai benang pun maka menjeritlah Anggini.
Di atas atap Pengiring Mayat Muka Merah menggosok kedua matanya berulang
kali seolah tidak mau percaya apa yang dilihatnya.
“Ki Juru Tenung…. Kakek itu…” desisnya. Ternyata dia seorang perempuan!
Seorang nenek-nenek! Jadi seperti Pengiring Mayat Muka Hitam, manusia satu
ini juga punya kelainan aneh! Benar-benar terkutuk!”
“Tua bangka iblis!” teriak Anggini. “Dari pada kau menyentuh tubuhku lebih
baik kau membunuhku saja saat ini!”
Ki Juru Tenung tertawa lebar sambil usap-usap perutnya yang kempes peot.
“Kau minta mati setelah kau melihat dan tahu kalau aku seorang nenek-nenek!
Kalau aku benaran seorang lelaki mungkin kau senang juga hah? Hik… hik… hik!
Anak gadis, seharusnya kau bersyukur jatuh ke tanganku. Bukan ke tangan
manusia muka merah yang menculikmu. Kita berbagi kesenangan. Apapun yang
kulakukan terhadapmu kau tidak akan kehilangan kegadisanmu! Hik… hik…
hik!”
Anggini benar-benar jijik dan bergidik melihat nenek itu. Terlebih ketika Ki
Juru Tenung yang temyata adalah seorang nenek melangkah mendekatinya lalu
dengan paksa menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh murid Dewa Tuak
itu.
Pengiring Mayat Muka Merah merasa sekujur tubuhnya bergetar melihat apa
yang kemudian dilakukan Ki Juru Tenung terhadap si gadis. Jika tidak tahan
rasa-rasanya dia ingin menjeblos atap dan menerobos masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka Merah mendengar suara suitan tanda bahaya
dari pertengahan Lembah Akhirat.
“Apa yang terjadi?! Suitan itu datangnya dari arah bangunan tempat
penyimpanan senjata-senjata pusaka,” ujar si muka merah dalam hati. Dia
memandang ke jurusan timur lalu kembali mengintip ke dalam kamar.
Beberapa orang pengawal berlari ke arah terowongan di pertengahan lembah.
Dua orang diantaranya membawa obor. Di dalam kamar Ki Juru Tenung
dongakkan kepala begitu telinganya menangkap suara suitan tadi. Kalau bukan
suitan tanda bahaya, dalam keadaan seperti itu pasti tidak akan
diperdulikannya.
“Gadisku, kau bersabarlah. Aku tak akan lama. Aku pergi sebentar. Aku segera
kembali….” Si nenek cium dada Anggini penuh nafsu lalu tertawa cekikikan.
Setelah itu dia segera mengenakan pakaiannya kembali.
***
Ketika menerima laporan dari Pengiring Mayat Muka Merah bahwa ruang rahasia
penyimpanan senjata dibobol orang, Datuk Lembah Akhirat segera menghambur
menuju ruangan di bawah tanah itu. Qua orang pengawal dilihatnya
menggeletak mati dengan kepala pecah di lorong masuk menuju ruangan. Ki
Juru Tenung dan beberapa orang pengawal telah berada dalam ruangan yang
diterangi beberapa buah obor itu. Sepasang mata sang Datuk membeliak besar
terpacak pada mayat Pengiring Mayat Muka Hijau yang tergeletak di lantai. La
lu ketika dia melihat lemari kayu yang sebagian hangus di sudut ruangan
berubahlah paras sang Datuk.
Dari dalam lemari ditariknya peti besi warna coklat. Dengan cepat dibukanya.
Dia tampak seperti lega ketika melihat sepasang sarung tangan ular masih ada
di dalam peti. Peti ditutupnya dan diletakkan kembali di tempat semula. Lalu
tanpa ada seorangpun yang sempat melihat Datuk Lembah Akhirat meraba ke
bagian bawah rak lemari. Dari sini dia menarik lepas satu gulungan kain putih.
Benda ini dengan cepat dimasukkannya ke dalam saku baju hitam gombrong
yang dikenakannya.
***

Tiga
Sebelum tengah malam persiapan penyerbuan ke tepi barat Telaga
Gajahmungkur telah rampung. Datuk Lembah Akhirat tegak berdiri di atas
sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda. Di bagian belakang kereta ada
dua buah tiang kayu menyanggah sebuah balok besar. Pada balok inilah
tergantung sosok tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala di
bawah. Saat itu Wiro masih dalam keadaan tertotok. Hanya mengenakan celana
putih. Pada muka dan tubuhnya ada noda-noda darah. Di bagian dada nampak
jelas balur cidera bekas hantaman kaki Jagal iblis Makam Setan.
Di sebelah depan ada selusin pengawal berkuda, terdiri dari empat orang
bermuka merah, empat hijau dan empat lagi hitam. Salah seorang dari
pengawal ini membawa sebuah terompet terbuat dari tanduk sapi besar.
Di samping kereta sebelah kiri berdiri Sika Sure Jelantik. Di sebelahnya ada
Dewa Sedih yang tegak dengan muka murung terisak-isak. Di samping kanan
kereta kelihatan Dewa Ketawa duduk menunggangi keledai kurus keringnya
sambil tertawa-tawa.
Di belakang kereta, di atas seekor kuda coklat tampak Layang Kemitir alias
Utusan Dart Akhirat.
Langit di atas lembah kelam menghitam. Hujan rintik-rintik yang turun sejak
tadi sore mulai mengeras disertai menderunya suara angin bertiup. Tak tampak
bintang maupun bulan yang malam itu harusnya muncul bulat penuh karena
purnama empat belas hari.
“Datuk, kami siap menunggu perintah berangkat!” Pengiring Mayat Muka Merah
memberi tahu.
“Tunggu!” kata Datuk Lembah Akhirat seraya memandang berkeliling. “Aku
tidak melihat Pengiring Mayat Muka Hitam! Di mana beradanya anjing kurap
satu itu!”
Ketika dia tetap tidak melihat pembantu utamanya itu maka sang Datuk
berpaling pada Pengiring Mayat Muka Merah. Yang ditanya tampak agak gugup
hingga Datuk Lembah Akhirat menjadi curiga.
“Mendekat ke sini!” perintah Datuk Lembah Akhirat. Begitu si muka merah
sampai di hadapannya sang Datuk segera jambak rambutnya dan membentak.
“Kau tahu di mana dia! Lekas katakan padaku! Kalau tidak kupatahkan batang
lehermu!”
“Maafkan aku Datuk…” kata Pengiring Mayat Muka Merah meringis kesakitan.
Kepalanya terasa seperti mau tanggal. “Pengiring Mayat Muka Hitam masih
mengatur sesuatu di ruang kediamannya. Dia akan segera menyusul….”
“Apa maksudmu mengatur sesuatu?!” bentak Datuk Lembah Akhirat alias Suto
Angil. “Mengapa bangsat itu berani memisahkan diri tanpa perintah dariku! Ayo
jawab! Jangan berani dusta muka merah! Nyawamu tak ada harganya bagiku!
Kau seharusnya sudah kujadikan mayat tujuh bulan lalu! Mungkin saat ini kau
minta mampus lebih cepat!”
“Anu…. Menjelang malam tadi…. Anu….”
Datuk Lembah Akhirat jadi tak sabaran. Dia berjongkok di atas kereta.. Tangan
kirinya menyambar ke bawah meremas “anu”-nya Pengiring Mayat Muka Merah
hingga orang ini menjerit kesakitan. “Aku akan remas hancur kau punya barang
kalau masih memberi penjelasan tak karuan!”
“Maafkan aku Datuk…. Menjelang malam tadi entah dari mana datangnya tahu-
tahu muncul tiga ekor babi besar dan gemuk-gemuk….”
“jahanam kurang ajar! Aku sudah tahu apa yang terjadi! Dasar manusia dajal
salah kaprah! Doyannya hanya binatang! Sukanya hanya sama babi! Bangsat
mesum celaka! Panggil manusia laknat itu cepat!” Teriak Datuk Lembah
Akhirat.
Seperti diketahui Pengiring Mayat Muka Hitam memang punya kelainan dalam
mengumbar nafsu kotornya.
Pengiring Mayat Muka Merah cepat menggebrak kudanya dan lakukan apa yang
diperintah. Tak lama kemudian dia muncul bersama Pengiring Mayat Muka
Hitam yang datang sambil menggiring seekor kuda. Tangan kanannya memegang
tali kekang kuda sedang tangan kirinya berada di balik jubah tidak henti-henti-
nya menggaruk bagian tubuh di bawah perutnya.
“Plaaakkk!”
Tamparan Datuk Lembah Akhirat mendarat di pipi kanan Pengiring Mayat Muka
Hitam hingga orang ini melintir dan jatuh tergelimpang di tanah becek. Se-
belum dia sempat bangun Datuk Lembah Akhirat melompat dari kereta,
langsung injakkan kaki kanannya di leher Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Kau tahu kesalahanmu Muka Hitam?!”
“Aku tahu Datuk. Harap sudi memberi maaf…” jawab Pengiring Mayat Muka
Hitam dan tangan kirinya tetap saja menggaruk-garuk selangkangannya.
“jahanam! Kau kulihat menggaruk terus! Apa masih belum puas menggerayangi
babi-babi itu?!”
“Maafkan aku Datuk. Mungkin ini dosa aku tidak mengikuti perintah. Tak
pernah gatal-gatal seperti ini terjadi padaku….”
Datuk Lembah Akhirat tendang perut si muka hitam hingga orang ini mengeluh
tinggi kesakitan. “Berdiri cepat! Lekas pimpin rombongan menuju Telaga
Gajahmungkur!”
Sambil satu tangan pegangi perut yang sakit dan tangan yang lain menggaruk
terus, Pengiring Mayat Muka Hitam segera bangkit berdiri lalu naik ke atas kuda
coklatnya. Dia langsung menuju ke depan siap memimpin rombongan.
Datuk Lembah Akhirat melompat naik ke atas kereta. Dia memberi isyarat pada
pengawal yang memegang terompet tanduk kerbau. Begitu pengawal meniup
terompet, kusir kereta segera menyentakkan tali kekang. Dewa Sedih melolong
tinggi.
“Hujan telah berhenti. Kaki mulai melangkah. Roda kereta mulai berputar.
Padahal langit masih hitam. Purnama tak kunjung muncul. Hatiku sedih! Apakah
ada kehidupan dalam kegelapan? Hik… hik… hik!”
“Dewa Sedih!” membentak Dewa Ketawa. “Jangan jadi orang gila! Saat ini
bukan saat bersedih. Tapi tertawa gembira! Kita akan berbuat kebajikan
berebut pahala. imbalan harta dan jabatan sudah menunggu! Mengapa musti
bersedih! Ha… ha… ha!”
Sebenarnya Datuk Lembah Akhirat merasa bising dan sangat terganggu dengan
tingkah dua kakek aneh ini. Dalam hati dia berkata. “Kalian boleh bertingkah
sinting! Boleh menangis, boleh mengumbar tawa. Bila tiba saatnya kalian akan
kujadikan bangkai tanpa ujud!”
Sementara itu di sebelah depan, di atas kuda coklat tunggangannya Pengiring
Mayat Muka Hitam kelabakan menggaruk habis-habisan terus menerus bagian
bawah perutnya. Tidak digaruk gatalnya bukan kepalang. Digaruk rasa gatal
malah menjadi-jadi.
“Jahanam! Kutuk apa yang jatuh padaku! Tiga ekor babi gemuk itu! Pasti ada
yang tidak beres! Binatang-binatang laknat!” Si muka hitam lalu menggaruk
kembali tiada hentinya.
***
Hujan lebat mengguyur kawasan barat Telaga Gajahmungkur. Para tokoh silat
yang ada di sana mendekam basah kuyup di bawah pohon. Tak ada yang bicara.
Sesekali mereka memandang ke langit hitam. Hujan lebat, tak mungkin bulan
purnama akan muncul. Di antara semua orang yang paling gelisah adalah Sinto
Gendeng. Sampai saat itu dia masih belum melihat batang hidung muridnya,
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dewa Tuak duduk anteng di samping kekasihnya Si iblis Putih alias iblis Muda
Ratu Pesolek. Tuak harum tak henti-hentinya diteguk sampai matanya kelihatan
kemerahan. Tiba-tiba kakek satu ini berteriak.
“Aku melihat nyala api obor di sebelah sana!”
“Tua bangka geblek! Kau pasti sudah mabok kebanyakan minum tuak. Masakan
hujan lebat begini ada nyala api. Api obor! Gila!” Memaki Sinto Gendeng.
“Jangan cuma bisa memaki! Lihat sendiri ke arah sana!” jawab Dewa Tuak lalu
“gluk… gluk… gluk” dia tenggak tuak wanginya.
Sinto Gendeng dan yang lain-lainnya berpaling ke arah yang ditunjuk Dewa
Tuak. Benar saja. Walau tidak bisa dipercaya tapi memang di kejauhan, di
antara kerapatan pepohonan dan semak belukar, di satu tempat yang agak
terbuka, di bawah curahan hujan lebat kelihatan nyala api obor!
“Pemandangan gila apa pula ini! Kalau tidak kuselidiki tak senang hatiku!” kata
Sinto Gendeng. Begitu dia bangkit berdiri dan melangkah ke arah api obor
semua orang yang ada di tempat itu segera mengikuti. Di satu tempat yang agak
terbuka sebuah obor menancap di tanah. Anehnya walau hujan mengguyur
deras namun api obor terus menyala walau tidak sampai menerangi seantero
tempat.
Tujuh langkah di hadapan obor, terlindung oleh bayangan kelam sebuah pohon
besar duduk di tanah seorang tua renta bermuka cekung. Wajahnya berwarna
kebiru-biruan. Tubuhnya yang kurus kering terbungkus oleh sebuah jubah biru
sangat gombrong. Pada bagian dada jubah kiri kanan tersisip masingmasing
enam buah pisau kecil. Di balik jubah itu terdapat satu sosok tubuh yang tidak
lagi memiliki tangan atau kaki. Sepasang mata si orang tua terpejam.
Keburukan wajahnya ditambah lagi dengan kuping kanannya yang buntung. Di
sebelah kiri orang tua ini duduk terbungkuk-bungkuk seorang berdestar hitam
yang agaknya adalah pembantu kakek bermuka biru itu. Sinto Gendeng dan
Dewa Tuak serta Tua Gila sama-sama terkesiap saling pandang begitu melihat
siapa adanya kakek yang duduk di depan obor.
Kakek Sega ia Tahu mendekati Sinto Gendeng. “Ada apa di tempat ini. Aku
merasa banyak sekali orang berkumpul di sini. Namun segala keanehan agaknya
berpusat pada seorang yang duduk tak jauh dari obor. Aku tak mampu melihat,
hanya bisa menduga-duga.”
Di samping kiri Si Setan Ngompol ikut pula berbisik.
“Dia salah seorang dedengkot rimba persilatan,” jawab Sinto Gendeng.
“Manusia langka ini aku kenal dengan nama Nyanyuk Amber. Berasal dari Pulau
Andalas. Kalau aku tidak salah dia juga pernah tinggal di Gunung Singgalang,
jauh sebelum beberapa tokoh lain ikut-ikutan nimbrung tinggal di sana.”
“Nyanyuk Amber…” desis Kakek Segala Tahu sementara Dewa Tuak tegak
termangu-mangu. Ternyata kakek sakti ini masih hidup. Puluhan tahun tak
pernah memperlihatkan diri. Kalau sekarang dia muncul di tanah Jawa pasti ada
satu urusan besar yang tengah ditanganinya. Kita semua harap tidak berisik.
Jangan berani mengganggu.” (Mengenai riwayat Nyanyuk Amber harap baca
serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong Dari Utara).
Di depan obor orang yang dikenal dengan nama Nyanyuk Amber itu angkat
kepala sedikit lalu buka kedua matanya. Ketika kelopak mata terbuka semua
orang jadi bergidik. Mata si kakek muka biru ternyata hanya merupakan
sepasang rongga kosong menyeramkan.
Aku tahu betul riwayat sepasang mata orang tua itu…” bisik Sinto Gendeng pada
Dewa Tuak. “Muridnya sendiri yang menyiksa dan mengorek kedua matanya!”
Dia memandang berkeliling lalu berkata. “Aneh, begini banyak orang
berkumpul di tempat ini, aku tidak melihat manusia biang racun pangkal
musabab semua urusan kapiran ini. Aku tidak melihat Tua Gila!”
“Dia tahu kalau dirinya banyak bersalah. Mana dia berani memperlihatkan
batang hidung…” yang menjawab dengan suara perlahan adalah Dewa Tuak.
Dengan sepasang matanya yang kosong melompong Nyanyuk Amber memandang
berkeliling. Ke arah orang-orang yang ada di sekitarnya, tapi bukan ke arah
rombongan Sinto Gendeng yang barusan datang.
Di tempat itu tampak tegak tak bergerak seorang perempuan berusia sekitar
setengah abad berpakaian serba biru. Wajahnya masih membayangkan
kecantikan di masa muda. Dia bukan lain adalah Bululani alias Iblis Pemalu yang
telah meninggalkan penyamarannya sejak riwayatnya tersingkap di Lembah
Merpati tempo hari.
Di sebelah kiri Iblis Pemalu berdiri nenek bertopi bagus menyerupai tanduk
kerbau pertanda dia adalah Sabai Nan Rancak. Di dekat nenek ini, agak ke
sebelah belakang duduk menjelepok di tanah si bocah Naga Kuning. Walau Sabai
Nan Rancak masih jengkel terhadap anak ini namun mengingat jasa orang yang
telah menyelamatkannya maka dia tak mau mengusik Naga Kuning.
Orang berikutnya, yang tegak dengan kepala tertunduk di samping kanan Sabai
Nan Rancak adalah Puti Andini. Lalu di sisi lain berdiri orang berpakaian dan
bercadar kuning. Sepasang matanya yang biasanya berkilat-kilat kini tampak
agak sayu pertanda menahan gelora batin yang amat berat.
Agak terpisah dari orang-orang itu di tanah yang ketinggian duduk seorang
lelaki berambut putih, berpakaian hijau bagus. Mulutnya tak bisa diam karena
selalu mengunyah sirih. Di tanah dekat kakinya terletak seperangkat tempat
sirih terbuat dari emas yang ber-kilau-kilau tertimpa cahaya api obor. Orang ini
adalah Rajo Tuo Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang.
Ketika melihat ayahnya, Panji yang juga dikenal dengan sebutan Datuk
Pangeran Rajo Mudo hendak berlari menghampiri orang tua itu. Namun
pandangan mata Sinto Gendeng yang melotot angker membuat pemuda ini tak
berani teruskan gerakannya. Di sebelahnya Puti Andini memandang pada Sabai
Nan Rancak dengan hati berdebar. Sejak dia
berani meninggalkan Pulau Andalas tempo hari neneknya itu sudah marah besar
terhadapnya. Kini dampratan atau hukuman apa kelak yang bakal dijatuhkan
Sabai Nan Rancak atas dirinya. Apalagi dia pernah pula tidak membantu waktu
Sabai Nan Rancak menginginkan Pedang Naga Suci 212.
Orang tua bermata biru angkat kepalanya sedikit ke atas. Dia berbisik sebentar
dengan pembantu yang duduk di sebelahnya. Lalu dari mulutnya terdengarlah
suara nyanyian yang sangat halus tapi jelas masuk ke telinga semua orang yang
ada di sana.
Hujan di puncak Singgalang. Belum tentu hujan di tanah Jawa. Hujan di tanah
Jawa.
Belum tentu hujan di puncak Singgalang.
Kalau Tuhan mengijinkan. Akan tersingkap segala penghalang. Akan terkuak
semua yang tertutup. Akan terang semua yang gelap. Maka tak ada hujan di
hati ummat
Menuntut ilmu kepalang tanggung. Berjalan tak sampai ke ujung. Menduga
terbawa amarah. Pertanda hidup tak akan bahagia.
Lupakan diri yang bersalah. Ampunkan segala dosa. Buka pintu maaf lebar-
lebar. Ketuk sanubarimu, ketuk hati nuranimu
Berlaku ikhlas antara saudara sedarah. Takwa pada Yang Kuasa jangan
dilupa.
Bersabar sifat yang mulia. Menerima sikap yang terpuji Habiskan segala
sengketa. Hilangkan segala curiga. Di situ pangkal jalan bertuah. Menuju
hidup di bawah ridho Allah
***
Empat
Begitu suara nyanyian kakek bermuka biru lenyap maka di tempat itu hanya
terdengar deru hujan yang masih mencurah turun walau kini mulai mereda.
Kakek ini lalu palingkan mukanya pada orang bercadar kuning. Dari pembantu
yang duduk di sebelahnya sebelumnya dia telah diberitahu kalau orang yang
tegak tepat di hadapannya itu mengenakan pakaian dan cadar penutup wajah
berwarna kuning.
“Insan berpakaian dan bercadar kuning. Selama belasan tahun kau dan yang
lain-lainnya tenggelam dalam rangkaian hidup yang gelap. Tanpa tahu siapa diri
masing-masing sebenarnya. Tanpa tahu siapa orang-orang di sekitar kalian
sebetulnya, ini saat kita bertatap muka, bersentuh jiwa bersatu hati untuk
mengungkapkan semua rahasia hidup. Aku bersyukur masih hidup hingga dalam
usia yang begini uzur masih bisa berbuat kebajikan. Aku juga berterima kasih
karena kau mempercayakan diriku untuk menjadi penutur dalam
menyingkapkan rahasia hidup kalian. Menyibak tirai hitam, membalikkan tirai
kelabu, membentang tirai putih. Namun sebelum kita mulai perkenankan dulu
aku menyampaikan salam hormat pada beberapa sahabat lama yang barusan
datang dan hadir di tempat ini.”
Hampir semua orang yang mendengar ucapan itu sebenarnya tidak sabar.
Terutama Sabai Nan Rancak, Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan Bululani.
Si muka biru lalu memandang ke jurusan Sinto Gendeng dari para tokoh
lainnya.
“Penciumanku kurang tajam. Namun aku masih dapat mencium bau seorang
sahabat. Aku Nyanyuk Amber menyampaikan salam hormat pada Sinto
Gendeng. Siapa lagi nenek tua yang pakaiannya selalu bau pesing kalau bukan
orang sakti dari puncak Gunung Gede. Sinto, terima salam hormatku!” Orang
tua bermuka biru yang matanya bolong itu bungkukkan badan.
Sinto Gendeng merasakan tenggorokannya tercekik. Dalam hati si nenek
memaki, “Sialan si tua bangka dari seberang ini. Di depan begini banyak orang
enak saja dia menyebut aku berpakaian selalu bau pesing!” Setelah batuk-
batuk maka Sinto Gendeng menyambut ucapan orang.
“Terima kasih. Salam juga untukmu Nyanyuk Amber. Aku merasa senang
berjumpa denganmu. Ternyata kau masih awet muda. Hik… hik… hik!”
Kakek buta bermuka biru ikut-ikutan tertawa mengekeh.
“Nyanyuk Amber,” kata Sinto Gendeng, “Patut kau ketahui yang santar bau
pesingnya adalah tokoh silat sahabatku bergelar Si Setan Ngompol. Saat ini dia
ada didekatku!”
“Ah!” Nyanyuk Amber kembali membungkuk. “Hormatku untuk tokoh yang
kepandaiannya langka dan tinggi. Kalau dicari sulit bertemu. Sungguh aku
bahagia dan mendapat kehormatan. Setan Ngompol, terima salam hormatku!”
“Aku terima dan aku kembalikan! Doakan agar penyakit ngompolku bisa
sembuh!” kata Setan Ngompol pula. Lalu tertawa terpingkal-pingkal dan
akibatnya “seerrr!” Kencingnya kembali terpancar!
Nyanyuk Amber mendongak ke atas. Cuping hidungnya kembang kempis. Lalu
dia tertawa lebar-lebar. “Ada bau harum tuak murni tuak kayangan. Siapa
pemilik dan si tukang minumnya tak meleset pastilah sahabat kentalku bernama
Suro Lesmono bergelar
Dewa Tuak. Ha… ha… ha! Sobatku, terima salam hormatku!” Seperti tadi
Nyanyuk Amber lantas membungkuk hormat.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Terima kasih atas penghormatanmu. Harap kau
terima pula salam hormatku!” Dewa Tuak lalu menjura dalam-dalam.
“Tadi telingaku menangkap suara merdu! Kerontangan kaleng. Di delapan
penjuru angin rimba persilatan hanya ada satu manusia aneh yang memiliki
kaleng penyejuk liang telinga itu. Hik… hik… hik! Kakek Segala Tahu, benarkah
kau ada di dekatku saat ini?”
Didahului dengan menggoyangkan kalengnya tiga kali berturut-turut Kakek
Segala Tahu lalu mendatangi Nyanyuk Amber dan memeluk orang tua itu erat-
erat.
“Kita sama-sama tua! Sama-sama sudah karatan. Sama-sama buta! Tapi hati kita
sama-sama terbuka! Ha… ha… ha!” Kakek Segala Tahu tertawa panjang dan
kerontangkan lagi kalengnya.
“Walau aku tidak melihat, tapi aku tahu ada banyak orang pandai baik yang
masih muda maupun yang sudah lanjut seusiaku. Jika tidak keberatan harap
suka memperkenalkan diri. Aku ingin pertemuan sekali ini menjadi kenangan
indah bila aku kembali ke Pulau Andalas….”
Maka satu per satu orang-orang dalam rombongan Sinto Gendeng memberikan
salam hormat dan memperkenalkan diri masing-masing.
“Terima kasih kalian telah memperkenalkan diri. Ternyata kalian memang
orang-orang hebat dunia persilatan.” Nyanyuk Amber berpaling ke arah Sinto
Gendeng. “Sinto, aku tidak mendengar muridmu si Wiro Sableng ada di sini.
Setiap aku mengingat pemuda itu aku selalu geli dan ingin sekali bertemu. Dia
yang dulu menyelamatkan dan mendukungku keluar dari sarang maut muridku
si Raja Rencong. Di mana anak itu?”
“Anak setan itu tak ada di sini Nyanyuk! Begitu kelakuannya. Kalau dicari dan
diperlukan tak pernah ada!” jawab Sinto Gendeng.
“Sayang anak itu tak ada di sini. Juga sayang sekali ada seorang sahabat lama
yang sama-sama dari tanah seberang tidak menampakkan diri di sini. Tapi aku
menaruh firasat sebenarnya dia sudah berada di antara kita….” Tanpa memberi
tahu nama semua orang yang ada di situ sudah maklum kalau yang dimaksud
Nyanyuk Amber adalah Tua Gila. Nyanyuk Amber melanjutkan ucapannya.
“Para sahabat orang-orang gagah rimba persilatan. Aku menyirap kabar banyak
peristiwa berdarah terjadi di Pulau Andalas dan tanah Jawa ini. Aku juga sudah
menduga bahwa kehadiran kalian ada sangkut pautnya dengan semua kejadian
itu. Dan kabarnya semua peristiwa berpangkal dari apa yang disebut Lembah
Akhirat. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan untuk membantu kalian.
Lagi pula aku tidak mau menyinggung perasaan kalian karena aku percaya
kalian bisa menyelesaikan urusan ini. Namun jika aku si tua renta ini boleh
memberi nasihat harap kalian suka mendengar satu lagi nyanyianku.
Maka Nyanyuk Amber pun kembali lantunkan nyanyian dengan suaranya yang
halus.
Manusia hanyalah makhluk lemah
Jangan pongah pada kekuatan sendiri
Jangan rendahkan kekuatan lawan
Dalam kelemahan ada kekuatan
Dalam kekuatan ada kelemahan
Manusia hadapi dengan manusia
Binatang hadapi dengan binatang
Yang gaib hadapi dengan yang gaib
Di atas semua itu panjatkan doa
Mohonkan pertolongan pada Illahi
Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat
Jangan tertipu pada kenyataan palsu
Berpikir mencari jalan Agar yang jahat dapat dikalahkan
Sumber kekuatan hanyalah dua
Yang putih dan yang hitam
Yang berasal dari Yang Maha Kuasa
Yang berasal dari iblis durjana
Di atas semua itu tak ada yang menandingi kebenaran
Karena kebenaran datangnya dari Yang Satu
Panjatkan doa kepadanya Mohonkan pertolongan hanya pada Illahi
Kakek Segala Tahu pejamkan mata putihnya, mendongak ke langit coba
meresapi dan mengkaji isi nyanyian Nyanyuk Amber itu.
Sementara itu hujan telah reda. Sesaat keadaan sunyi senyap. Orang tua
bermuka biru berpaling pada orang bercadar yang tegak di depannya.
“Insan bercadar dan berpakaian kuning. Saatnya kita berbagi cerita, berbagi
rasa dan upaya. Apakah kau dan yang lain-lainnya telah siap?”
“Dalam hati berdebar dan jantung berdetak, kami semua siap menurutkan
kehendak. Singkapkan segala rahasia hingga lenyap silang sengketa. Pulihkan
semua hati hingga musnah segala duga dan sangka. Semoga kita semua
mendapat berkah. Namun sebelum kita mulai terima terlebih dahulu salam
hormat dari kami semua.” Si cadar kuning, diikuti oleh Bululani, Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan, Sabai Nan Rancak serta Puti Andini dan Panji sama-sama
menjura memberi hormat.
“Orang tua bernama Nyanyuk Amber,” orang bercadar berkata. “Walau rasa
gembira mulai menyejuk hati. Namun ada sesuatu yang menjadi ganjalan.
Orang, yang paling berkepentingan dalam semua urusan ini masih belum
menampakkan diri.”
Nyanyuk Amber tersenyum. “Orang yang kau maksudkan itu tak usah
dipikirkan. Karena sebenarnya dia ada di dekat sini tapi belum mau
memperlihatkan diri. Tunggu saja.” Nyanyuk Amber memandang berkeliling
dengan matanya yang bolong. “Kalian semua dengar baik-baik. Aku tidak akan
mengulang-ulang bicaraku. Apa yang aku katakan adalah kebenaran, jauh dari
dusta, jauh dari prasangka dan maksud tidak baik. Aku akan mengatakan apa
yang aku tahu. Tanpa pamrih. Aku mulai dengan yang bernama Bululani alias
iblis Pemalu. Kau ada di sini cucuku…?” Nyanyuk Amber memanggil Bululani
yang berusia sekitar setengah abad itu dengan sebutan cucu. Berarti dapat
dibayangkan berapa sebenarnya usia kakek satu ini. Tidak kurang dari 150
tahun!
“Saya ada di sini Kek,” jawab Bululani yang selama ini dikenal dengan julukan
Iblis Pemalu.
“Bagus! Cucuku, aku mendapat penjelasan pada pertemuan terakhir di Lembah
Merpati, kau telah menuturkan riwayatmu panjang lebar. Kau dilahirkan dari
rahim seorang ibu yang juga kemudian kau ketahui melahirkan seorang anak
perempuan atau adik kembarmu. Betul begitu, Bululani?”
Yang ditanya mengiyakan sambil anggukkan kepala.
“Kau juga mempunyai dugaan bahwa orang bercadar kuning itu adalah
saudaramu. Adik kembarmu. Betul begitu?”
“Betul Kek,” jawab Bululani sambil melirik pada orang bercadar kuning. Yang
dilirik walau berusaha tenang dan tak kelihatan wajahnya namun jelas tampak
tubuhnya bergeletar.
“Untuk membuktikan orang ini saudara kembar Bululani aku harap dia suka
membuka cadarnya agar wajahnya bisa kelihatan dengan jelas!” Yang bicara
lantang adalah Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. “Saat untuk itu akan tiba. Harap kau bersabar.
Mendengar suaramu bukankah kau yang dikenal dengan nama Sabai Nan Rancak
dari Gunung Singgalang?”
“Terima kasih kau tahu siapa diriku,” jawab Sabai Nan Rancak.
Nyanyuk Amber tersenyum. Dia berpaling ke kiri di arah mana menurut bisikan
pembantunya Rajo Tuo Datuk Paduko Intan duduk mengunyah sirih. Lantas
orang tua ini berkata.
“Harum sirihmu sedap sekali. Sayang mulutku sudah ompong tak bisa lagi
menikmati lezatnya sirih. Orang bergelar Datuk Paduko Intan terlahir bernama
Sidi Kuniang, apa betul dalam pertemuan di Lembah Merpati tempo hari kau
mengatakan bahwa istrimu adalah seorang bernama Andamsuri dan ibu
mertuamu adalah seorang bernama Sabai Nan Rancak….”
“Tidak sudi! Aku tidak sudi!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Sabai…” tegur Nyanyuk Amber dengan suara tetap halus. “Sudi atau tidak
bukan itu masalahnya. Kau menghadapi satu kenyataan hidup guratan tangan
Tuhan yang tak bisa diubah, disembunyikan ataupun dihapus. Datuk Paduko
Intan alias Sidi Kuniang adalah menantumu, suami Andamsuri. Andamsuri sesuai
dengan pengakuanmu sendiri di Lembah Merpati adalah anakmu. Bululani
mengaku bersaudara kembar dengan Andamsuri. Berarti Bululani adalah
anakmu juga….”
“Tidak mungkin! Aku hanya melahirkan satu anak. Si Andamsuri itu!” jawab
Sabai Nan Rancak dengan suara keras lalu terisak menahan tangis.
“Sabai, kau mengingkari keterangan nyata bahwa sebenarnya kau melahirkan
sepasang anak perempuan. Kembar. Bululani lahir duluan sebagai kakak..
Menyusul Andamsuri sebagai adik. Namun waktu Andamsuri lahir kau berada
dalam keadaan pingsan sedangkan Bululani pada saat itu juga langsung diambil
orang.”
“Tidak mungkin. Semua ini tidak mungkin! Kalian pasti telah mengatur semua
ini! Gila! Gilaaa!”
“Sabai…” kata Nyanyuk Amber lagi. “Tak ada yang paling gila di dunia ini selain
mengingkari siapa diri kita, siapa keturunan kita….”
Mulut Sabai Nan Rancak jadi terkancing. Isak tangisnya terhenti. Hanya
sepasang matanya memandang membeliak pada kakek bermuka biru itu. Lalu
beralih menatap Bululani. Dada si nenek berdebar keras. Matanya berkaca-
kaca. Namun hatinya masih
belum bisa digoyahkan. Pandangannya kemudian ditujukan pada Puti Andini.
Lalu dari mulutnya meluncur ucapan bergetar.
“Kalau Bululani memang anakku, lalu di maha adik kembarnya si Andamsuri
yang tentunya adalah ibu dari cucuku Puti Andini yang di sana itu!”
Sesaat suasana menjadi hening. Semua orang tak tahu mau mengarahkan
pandangannya ke mana. Di utara kilat menyambar. Menyusul suara halilintar
menggoncang kawasan telaga. Pada saat itulah tiba-tiba orang bercadar kuning
berlari menghampiri Sabai Nan Rancak lalu jatuhkan diri, berlutut di tanah di
hadapan si nenek.
“Ibu….” Suara orang bercadar tercekik. Bahunya berguncang menahan tangis.
“Aku… akulah Andamsuri anakmu yang durhaka dalam kemalangan dan derita
hidupnya….” Orang bercadar hanya bisa berkata sampai di situ. Setelah itu
tangisnya menghambur dan dia jatuhkan diri sambil memegangi pergelangan
kaki Sabai Nan Rancak.
Sabai Nan Rancak membeliak. Lalu dia menatap ke langit sambil pejamkan
mata. Dia seolah tidak percaya akan pendengarannya. Dia seolah tak mau
bergeming pada kenyataan yang barusan diucapkan orang bercadar. Namun
bagaimanapun tegarnya Sabai Nan Rancak, menghadapi semua itu hatinya
menjadi luluh dan rapuh. Dia membungkuk, menolong orang bercadar berdiri.
Dengan suara gemetar dia berkata.
“Jika kau memang anakku, mengapa tak kau buka kerudung kuning yang
menutupi wajahmu. Perlihatkan padaku bahwa wajahmu sama dengan wajah
Bululani….”
Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu orang bercadar tarik kain kuning
yang selama ini menutupi kepala dan mukanya. Begitu cadar terlepas kelihatan
satu wajah perempuan berusia sekitar lima puluh tahun, masih cantik walau
berusia lanjut. Mata Sabai Nan Rancak kembali terbelalak. Kalau dia melihat
memang jelas ada kesamaan wajah Bululani dengan orang yang tegak di
depannya maka semua prang yang ada di tempat itu melihat kesamaan wajah
antara Bululani, Andamsuri dan Sabai Nan Rancak.
“Ya Tuhan, mukjizat apa yang kau berikan padaku ini…” bisik Sabai Nan Rancak
lalu dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya itu. “Anakku, terlalu
lama aku menahan derita ini….”
“Ibu, anakmu mohon maafmu….”
“Tak ada yang harus dimaafkan Andam. Malah kalau aku pikir, tubuh tua inilah
yang banyak dilamun dosa….” Air mata runtuh membasahi pipi Sabai Nan
Rancak. Kemudian pandangannya membentur sosok Bululani di sebelah sana.
Sabai berbisik. “Mari kita temui kakakmu. Jangan biarkan dia sendirian di sana.
Mulai saat ini kita tidak akan berpisah lagi….”
Belum sempat Sabai Nan Rancak serta Andamsuri bergerak mendekati Bululani,
justru tiba-tiba Bululani yang menghambur ke arah kedua orang itu. Selagi
ketiganya berpelukan dan bertangis-tangisan satu pekikan melengking di
tempat itu.
“Ibu!”
Puti Andini lari ke arah Andamsuri dan memeluk ibu kandungnya itu eraterat.
Kembali ratap tangis memenuhi tempat itu.
“Anakku,” kata Andamsuri dengan suara bergetar disusul tangis meledak.
Tangannya tiada henti membelai rambut dan menciumi wajah puterinya itu.
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan tegak termangu menyaksikan semua itu. Di
sebelahnya tahu-tahu telah berdiri Panji. Ayah dan anak ini seolah terpencil di
satu tempat yang mereka
tidak pernah menduga. Tak tahu mau berbuat apa. Datuk Paduko Intan
mengusut matanya yang basah berulang kali. Dia baru mengisak keras setelah
Panji memeluknya.
“Ayah, kau harus melakukan sesuatu. Kau harus meminta maaf pada Ibu
Andamsuri. Kau harus meminta maaf pada Nenek Sabai, pada semua orang….”
Ucapan si pemuda terhenti. Di bawah pemandangannya yang berkaca-kaca dia
melihat seorang kakek berkepala botak melangkah mendatangi. Dari
keterangan Puti Andini dia sudah tahu bahwa orang tua ini bukan lain adalah
Tua Gila. Tanpa sadar Panji berteriak. “Kakek Tua Gila datang!”
Semua orang jadi kaget. Sabai Nan Rancak langsung lepaskan pelukannya dari
tubuh Bululani. Semua mata ditujukan pada kakek yang melangkah bungkuk
tertatih-tatih sambil membuka topeng tipis yang menutupi muka dan
kepalanya. Kini kelihatan wajahnya yang asli. Memang dia adalah Tua Gila alias
Sukat Tandika.
Sinto Gendeng membuang muka ke jurusan lain melihat bekas kekasihnya di
masa muda ini. Sabai Nan Rancak kepalkan kedua tinjunya. “Aku sudah curiga
waktu di lembah dulu. Jadi memang dia rupanya!” Si nenek geram sekali. Tapi
ketika pandangan sayu Tua Gila membentur matanya, hatinya jadi tak karuan
rasa. Kemarahan terhadap manusia yang paling dibencinya itu tak mungkin
dipupus. Namun saat itu entah mengapa ada rasa lain di lubuk hati si nenek.
Kemarahan dendam kesumatnya terhadap laki-laki itu kini berubah tak lebih
dari pada menyesalan atas diri sendiri. Perlahan-lahan Sabai Nan Rancak hanya
bisa tundukkan kepala. Lalu menangis tersedu-sedu.
Ha nya satu orang yang tak habis mengerti yakni Rajo Tua Paduko Intan.
“Heran! Waktu di pulau tempo hari, kakek ini mengaku bernama Wiro Sableng.
Ternyata sebenarnya dia adalah Tua Gila. Mertuaku sendiri!” Paduko Intan
tidak tahu kalau saat itu Tua Gila menyebut namanya asal-asalan saja.
“Kek!” Puti Andini memanggil lalu menghambur ke dalam pelukan Tua Gila.
“Cucuku, aku merasa bahagia akhirnya semua yang selama ini merupakan tabir
gelap diantara kita berhasil disingkap. Nyanyuk Amber, terima salam hormat
dan rasa terima kasihku.” Berkata Tua Gila.
Panji yang sejak tadi tegak tertegun berlari ke hadapan Tua Gila, memeluk
orang tua ini. “Panji, kau juga cucuku, Nak….”
“Terima kasih kau mau mengakuiku sebagai cucu Kek.” Kata si pemuda. Lalu
Panji memegang lengan Puti Andini. Saat itulah si gadis tak dapat lagi menahan
ledakan kekecewaan di lubuk hatinya. Setelah tahu bahwa Datuk Paduko Intan
adalah ayah si pemuda sedangkan dirinya adalah anak Datuk Paduko Intan dari
Andamsuri putuslah semua harapan masa depan untuk dapat hidup bersama
dengan pemuda itu. Karena Panji ternyata adalah saudaranya satu ayah!
“Tuhan….” rintih Puti Andini dalam hati. “Kau. berikan aku ibu dan ayahku.
Tapi mengapa kau ambil dariku pemuda yang aku kasihi!” Rintihan si gadis
sempat terdengar oleh Panji. Hatinya ikut hancur. Dirangkulnya bahu Puti
Andini. “Adikku…” bisik si pemuda.
Suasana ratap tangis itu dikejutkan oleh suara kerontangan kaleng rombeng
Kakek Segala Tahu. Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Setan Ngompol
terbeser-beser.
“Tua bangka sinting! Kau selalu merusak suasana!” semprot Sinto Gendeng.
Nyanyuk Amber tersenyum.
“Tuhan telah menunjukkan kebesaranNya. Rahasia hidup telah tersingkap.
Sekarang tinggal bagaimana kalian mengatur diri dan hati agar mampu
menjalani sisa hidup ini sebaik-baiknya….” Nyanyuk Amber memandang ke
jurusan Bululani yang masih berpeluk-pelukan dengan Sabai Nan Rancak dan
Andamsuri. “Cucuku Bululani, ada satu hal yang perlu aku terangkan padamu.
Menyangkut diri kakak angkatmu bernama Bululawang. Orang itu masih hidup.
Dia…”
“Orang tua sakti. Bukankah kakakku itu telah menemui ajal di tangan Manusia
Paku?” ujar Bululani pula.
Nyanyuk Amber gelengkan kepala. “Tidak, kakakmu itu masih hidup. Sejak dia
meninggalkan tempat kediaman ayah angkatmu, dia memencilkan diri di sekitar
kawasan Gunung Kidul sambil bersemadi dan menimba ilmu….”
“Lalu Bululawang yang katanya mati di tangan Manusia Paku itu….”
“Orangnya bermata juling. Tubuhnya pendek dan di tengkuknya ada punuk.
Aku yakin kakak angkatmu tidak sejelek itu,” kata Nyanyuk Amber lalu tertawa
lebar. “Bululawang palsu itu adalah seorang Datuk sesat yang sengaja memakai
nama kakakmu untuk mendapatkan nama karena kakak angkatmu sebenarnya
adalah seorang tokoh besar. Hanya saja dia lebih suka hidup menyendiri.”
“Terima kasih atas keteranganmu itu Kek,” kata Bululani. “Jika urusan di sini
sudah selesai aku akan pergi ke Gunung Kidul mencari kakakku itu.”
“Itu memang satu hal yang patut kau lakukan. Kau harus mencari kakakmu.
Minta dia agar menyudahi pemencilan diri. Katakan padanya lama-lama
mendekam di tempat sunyi dan bersemadi dia bisa jadi manusia bulukan!” Si
kakek tertawa mengekeh. Lalu pada pembantunya dia berkata. “Tugas kita
sudah selesai. Negeri kita jauh di seberang. Makin cepat berangkat pulang
makin baik….”
Saringgih segera mendukung Nyanyuk Amber lalu mencabut obor yang
menancap di tanah. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba kakek bermuka
biru berkata.
“Tunggu! Ada sesuatu yang aku lupakan….” Nyanyuk Amber memandang
berkeliling. “Pemuda bernama Panji! Mendekatlah ke sini!”
Panji yang tegak termangu di sebelah Puti Andini tersentak kaget. Walau dalam
bingungnya dia segera mendatangi.
“Anak muda, aku maklum betapa kecewanya hatimu mengetahui bahwa Puti
Andini adalah saudaramu satu ayah. Jadi tak mungkin kau merencanakan masa
depan bersamanya. Tabahkan hatimu! Kau justru harus berbahagia karena
mendapatkan karunia Tuhan berupa seorang adik cantik jelita. Kalau kau ada
kesempatan aku mengundangmu untuk berjalan-jalan ke tempat kediamanku di
Danau Maninjau. Hawa di sana sejuk bersih. Tidak seperti di tanah Jawa ini.
Kau pasti betah tinggal di sana….” Mula-mula Panji tidak begitu memahami apa
maksud orang tua itu.
“Apa jawabmu Panji?!”
Begitu sadar kalau tokoh aneh itu hendak mengambilnya sebagai murid serta
merta Panji jatuhkan diri.
“Terima kasih Kek! Kalau semua urusan di sini telah selesai saya pasti akan
mencarimu!”
“Anak baik! Anak bagus! Untuk pemuda semacammu Tuhan akan menyediakan
seorang istri yang cantik dan setia….” Nyanyuk Amber tiup kepala Panji satu
kali. Aneh, saat
itu juga si pemuda merasa ada satu kekuatan menyusup masuk ke dalam
tubuhnya. Ketika dia bergerak bangkit badannya terasa ringan!
Hanya sesaat setelah Nyanyuk Amber bersama pembantunya berlalu dari
tempat itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tiupan terompet tanduk.
Semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekam. Sinto Gendeng menatap ke
langit. Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
“Agaknya bulan purnama tidak akan muncul! Ini satu pertanda semua rencana
yang kita buat tidak berjalan seperti diharapkan. Orang-orang Lembah Akhirat
cepat atau lambat akan sampai di tempat ini. Kuharap kalian jangan bertindak
sendiri-sendiri. Atur siasat sebaik-baiknya. Kita menghadapi lawan tangguh.
Jumlah mereka mungkin tidak banyak. Tapi Datuk Lembah Akhirat memiliki
satu senjata yang sulit dicari tandingannya! Kalau Bujang Gila Tapak Sakti
berhasil mendapatkan senjata itu mudah bagi kita untuk meng-hancurkan
mereka. Tapi kalau tidak, urusan benar-benar bisa blangsak!”
“Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang sudah berada di tangannya…” kata
Dewa Tuak.
“Bukan kitab itu yang aku khawatirkan. Karena mungkin saja cerita tentang
Kitab Wasiat Malaikat hanya karangan si Datuk belaka. Maksudnya untuk menipu
para tokoh silat dua golongan untuk bergabung dengan mereka. Justru yang aku
khawatirkan ialah senjatanya berupa Sarung Tangan Penyedot Batin. Menurut
Naga Kuning yang aku suruh menyelidik ke Lembah Akhirat senjata sakti itu
memang berada di tangan sang Datuk. Tapi tak diketahui disimpan .di mana.”
“Aku sulit menduga apa kira-kira yang tersirat di balik nyanyian Nyanyuk Amber
tadi,” berucap Sinto Gendeng. “Yang jelas ada satu pekerjaan besar dan berat
harus dilakukan muridku. Tapi si anak setan itu masih belum ketahuan
juntrungannya!”
“Muridmu masih dalam keadaan tak berdaya. Apa dia bisa kita andalkan Sinto?”
tanya Dewa Tuak yang membuat Sinto Gendeng menjadi panas dingin.
***

Lima
Pengiring Mayat Muka Hitam menggaruk bagian bawah perutnya lalu
mengangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Ada seorang gadis bertubuh gemuk luar biasa, duduk di depan gubuk di tepi
jalan. Aku belum pernah melihatnya. Orangnya cantik sekali!”
Sepasang mata Datuk Lembah Akhirat membeliak. Dia memandang pada Dewa
Ketawa. Kakek ini tertawa bergelak. Dia menoleh pada Sika Sure Jelantik dan
Jagal iblis Makam Setan. Dua orang ini diam-diam saja. “Ha… ha! Pengganti
Yuyulentik sudah aku dapatkan!” Datuk Lembah Akhirat tertawa girang lalu
melompat turun dari kereta, berlari menuju gubuk dekat kelokan jalan. Di
belakangnya Dewa Sedih mulai menangis.
Apa yang dikatakan Pengiring Mayat Muka Hitam memang benar. Di depan
sebuah gubuk, di atas bangku panjang terbuat dari bambu tampak duduk
seorang gadis bertubuh luar biasa gemuknya. wajahnya cantik sekali karena
berdandan sangat apik. Dia mengenakan pakaian panjang warna biru berkilat
yang pinggirannya dibelah sampai ke pinggul. Kakinya dipangkukan satu sama
lain hingga pahanya yang gempal besar dan putih terlihat jelas, menyilaukan
pandangan Datuk Lembah Akhirat, merangsang darahnya. Nafsunya segera
menggelegak. Apa lagi sejak kematian Yuyulentik sudah sekian lama dia tidak
bertemu perempuan yang disukainya.
Ketika dia hendak mendekati gadis itu Pengiring Mayat Muka Merah cepat
mendatangi dan berbisik. “Datuk, harap kau berhati-hati. Tidakkah kau melihat
ini satu keanehan? Kita hendak melaksanakan satu urusan besar. Jangan-jangan
ini tipu daya musuh!”
Datuk Lembah Akhirat mendorong Pengiring Mayat Muka Merah saking
marahnya hingga sang pembantu hampir terjungkal dari kudanya. “Dalam
urusan seperti ini aku lebih tahu darimu!”
Si nenek Sika Sure Jelantik yang tadinya juga hendak memberi kisikan pada
Datuk Lembah Akhirat batalkan niatnya melihat apa yang dilakukan sang Datuk.
Sementara Pengiring Mayat Muka Hitam tak mau perduli karena dia lebih
mementingkan menggaruk anggota rahasianya.
Sebenarnya jika Datuk Lembah Akhirat mau sedikit berpikir dan tidak dilamun
nafsu dia bisa melihat satu keanehan. Gadis berbobot lebih dari seratus kati y
itu duduk di atas bangku yang terbuat dari tiga batang bambu melintang. Dalam
keadaan seperti itu, tiga bambu sama sekali tidak melengkung!
Dengan senyum-senyum Datuk Lembah Akhirat sampai di depan gubuk.
Langsung dia menyapa sambil pegang bahu gadis gemuk. “Bidadariku, sudah
lamakah kau menunggu aku di tempat ini?”
Si gadis angkat kepalanya sedikit, lontarkan senyum genit lalu berkata.
Suaranya parau berat. “Menunggu lama tak jadi apa. Tapi benarkah yang
berdiri di hadapan saya saat ini Datuk Lembah Akhirat, calon raja di raja rimba
persilatan?!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. “Bukan calon, tapi sejak malam ini
aku sudah ditakdirkan menjadi datuk serta raja dunia persilatan. Menguasai
Pulau Andalas dan seluruh daratan tanah Jawa! Bidadariku, siapa namamu?”
Sambil bertanya Datuk Lembah Akhirat selinapkan tangan kanannya ke balik
dada pakaian si gemuk. Yang diraba
menggeliat kegelian tapi kedip-kedipkan matanya seolah keenakan membuat
sang Datuk tambah gila dirangsang nafsu. “Gila betul! Seumur hidup baru kali
ini aku memegang dada begini besar, keras seperti batu dan seperti ada bulu-
bulunya!” Nafsu sang Datuk tambah menggelegak.
“Nama saya Buli-Buli. Datuk, kau nakal ya! Aku suka lelaki nakal. Tapi aku
kurang suka bermesraan dilihat orang banyak…”
Mendengar ucapan si gadis sang Datuk segera cekal tangan Buli-Buli lalu
ditariknya si gemuk ini ke dalam gubuk. Saat itu di luar terdengar suara Sika
Sure jelantik berseru.
“Datuk, keluar sebentar. Aku dan teman-teman mau bicara!” Rupanya si nenek
sudah curiga besar. Tapi Datuk Lembah Akhirat malah memaki dan
mengusirnya. Sambil tersenyum dia lalu berkata pada si gadis. “Namamu bagus
tapi aneh kedengarannya. Buli-Buli. Apa itu ada artinya?”
“Buli-Buli artinya saya punya buli-buli untuk dibuli-buli oleh buli-buli Datuk!”
Meledaklah tawa Datuk Lembah Akhirat. Lalu tawanya lenyap berganti suara
hembusan nafas menggeru ketika dilihatnya Buli-Buli sengaja merosotkan
pakaiannya di bagian atas hingga punggung dan sebagian dadanya tersingkap.
Penuh nafsu Datuk Lembah Akhirat ciumi punggung putih berlemak dan
berkeringat itu.
Si gadis menggeliat-geliat kegelian membuat sang Datuk tambah terangsang.
“Datuk, saya bersedia melakukan apa saja untukmu. Tapi ada satu hal yang
hendak kukatakan….”
“Hemmm….” Datuk Lembah Akhirat gigit tengkuk Buli-Buli yang melembung
putih ditumbuhi bulu-bulu halus. “Aku sudah bisa menduga apa yang kau mau
bilang. Kau pasti minta harta, perhiasan, uang emas atau…. Kau tahu Buli-Buli.
Saat pertama aku melihatmu, aku sudah memutuskan bahwa kaulah yang akan
jadi ratu pendamping diriku selaku raja di raja dunia persilatan!”
“Terima kasih Datuk mau berbaik hati begitu. Tapi yang ingin saya katakan
ialah bahwa kemarin malam saya bermimpi. Dalam mimpi saya melihat ada
orang mencuri sepasang sarung tangan sakti milik Datuk. Apakah senjata itu
masih ada pada Datuk saat ini? Harap Datuk sudi memeriksa….”
“Hen…. Bagaimana mimpimu bisa sama dengan kenyataan yang terjadi.
Namun….” Datuk Lembah Akhirat raba kantong pakaian sebelah kanan. “Kau
tak usah khawatir. Sarung tangan itu masih ada padaku!”
“Bolehkah saya melihat. Karena mungkin saja senjata itu telah diganti dengan
yang palsu….”
Kening Datuk Lembah Akhirat yang berwarna merah dan hijau jadi berkerut.
Dengan cepat dikeluarkannya gulungan kain putih dari dalam saku pakaiannya.
Baru saja dia hendak membuka gulungan kain itu tiba-tiba Buli-Buli gerakkan
tangan kanannya menghantam.
“Bukkk!”
Datuk Lembah Akhirat mencelat menghantam dinding gubuk. Gubuk yang
memang sudah reyot itu serta merta rubuh. Buli-Buli cepat menyambar
gulungan kain di tangan kanan sang Datuk. Namun gagal karena saat itu
menyambar dua larik sinar. Satu berwarna merah, satunya hitam! Yang
melepaskan dua pukulan sakti mematikan ini adalah Sika Sure Jelantik dan
Pengiring Mayat Muka Merah.
Buli-Buli terpekik. Gadis gemuk ini ternyata luar biasa enteng gerakan
tubuhnya. Begitu berhasil menghindar dia balas menghantam. Serangkum angin
luar biasa dingin
mendera tempat itu. Pengiring Mayat Muka Merah menjerit keras. Sisi kanan
tubuhnya yang kena sambaran pukulan lawan mendadak sontak menjadi kaku
dingin seolah diselubungi es. Dari telinga dan mata kanannya mengucur darah.
Si gadis kembali berusaha merampas gulungan kain di tangan Datuk Lembah
Akhirat. Namun saat itu sang Datuk yang tidak cidera sedikitpun akibat
hantaman tadi telah lebih dulu berkelebat seraya mengibaskan gulungan kain
putih di tangan kanannya. Di dalam gulungan kain ini tersimpan sepasang
sarung tangan sakti.
Buli-Buli bermaksud hendak merampas gulungan kain kembali tapi justru lengan
kanannya kena digeprak. Gadis gendut ini mengeluh tinggi. Tubuhnya tampak
limbung. Geprakan sarung tangan, walau terlindung dalam gulungan kain
ternyata masih mampu menyedot sebagian tenaga dalamnya! Ketika dia kembali
hendak lancarkan serangan, dari belakang Sika Sure Jelantik menghantam
punggungnya dengan satu totokan dahsyat hingga Buli-Buli langsung tertegun
kaku.
Habis menotok si nenek tidak tinggal diam. Dengan jari-jari tangannya yang
berkuku hitam panjang dia merobek pakaian si gadis di bagian bawah perut.
“Datuk! Buka matamu lebar-lebar! Lihat sendiri! Barangnya tidak beda dengan
barangmu! Hanya dia putih kau hitam! Hik… hik… hik!”
Mata Datuk Lembah Akhirat seperti mau keluar dari sarangnya. “Manusia banci
jahanam! Siapa kau sebenarnya!” Bentak sang Datuk seraya menjambak rambut
Buli-Buli. Begitu dijambak rambut itu tercabut. Ternyata rambut palsu!
***
Langit di sebelah timur kelihatan terang. Tapi udara dingin masih membungkus
kawasan Telaga Gajahmungkur termasuk bagian barat dimana para tokoh
golongan putih rimba persilatan berkumpul.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu mendongak ke langit. “Aneh…
aneh… aneh! Tak pernah keanehan terjadi berturut-turut seperti ini. Malam
tadi hujan turun terus menerus. Bulan purnama empat belas hari tidak muncul.
Malam tadi pula muncul dedengkot rimba persilatan Nyanyuk Amber. Malam
tadi orang-orang Lembah Akhirat diduga hendak menyerbu. Ternyata tidak.
Padahal mereka tak jauh lagi dari sini. Pagi ini langit terang di sebelah timur.
Tapi tak kelihatan sang surya! Olala…. Apakah alam tidak lagi bersahabat
dengan manusia?” Kakek bermata putih buta ini kembali kerontangkan kaleng
rombengnya.
Tiba-tiba terdengar seruan. “Ada orang datang!”
“Aku mencium bau wangi!” teriak Sinto Gendeng.
Satu bayangan biru berkelebat dan Bidadari Angin Timur muncul di tempat itu.
“Kau! Dia yang mencuri Pedang Naga Suci 212!” seru Tua Gila tapi tanpa rasa
marah dan sambil melirik pada anaknya yaitu Andamsuri yang sebelumnya
dikenal sebagai orang bercadar kuning. Kakek ini lemparkan senyum sambil
kedipkan matanya karena dia kini maklum Andamsuri dan Bidadari Angin Timur
sengaja mencuri Pedang Naga Suci 212 sekedar menjalankan siasat agar senjata
sakti itu tidak jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak atau Sutan Alam Rajo Di Bumi,
Semua mata ditujukan pada Bidadari Angin Timur. Ketika Sinto Gendeng maju,
Sabai Nan Rancak yang pernah diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur cepat
mendampingi berjaga-jaga. Melihat kejadian itu diam-diam Tua Gila merasa
gembira. Antara beberapa orang yang sebelumnya saling bertentangan kini
telah terjadi rasa saling membantu, rasa saling bersahabat.
“Aku tidak perduli kau pencuri atau bukan. Yang aku ingin tahu apakah Pedang
Naga Suci 212 berada di tanganmu?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Nek, aku….”
Andamsuri tak tinggal diam. Dia segera melompat ke samping Sabai Nan Rancak.
“Jangan bersalah duga. Jangan berburuk kira. Agar terang biar kujelaskan.
Gadis berambut pirang ini bukan maling, bukan pencuri. Apa yang dilakukannya
semata-mata karena ketulusan hati, Sebelum jatuh pedang sakti ke tangan
orang-orang Lembah Akhirat dia dan aku merasa perlu mengatur siasat.
Dapatkan pedang sakti untuk menolong pendekar sakti. Senjata itu ada
padanya. Harap jangan diambil jangan diminta. Yang perlu dicari tahu dimana
gerangan Pendekar 212 adanya!”
“Anak setan itu tidak kelihatan mata hidungnya sejak malam tadi!” Sinto
Gendeng berpaling pada Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku menyangka anak
itu ikut bersamamu. Atau mungkin kau menyembunyikannya di satu tempat.”
Bidadari Angin Timur gelengkan kepala.
“Aku akan mencarinya sampai dapat. Jadi harap kau mau menyerahkan Pedang
Naga Suci 212 padaku!” kata Sinto Gendeng pula sambil pelototkan mata pada
gadis berambut pirang.
Puti Andini maju mendekati Sinto Gendeng. Dengan suara halus dia berkata.
“Nek, apa kau lupa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memegang
pedang itu. Hanya orang tertentu pula yang boleh memilikinya. Pedang itu
kepunyaanku. Sahabat berambut pirang ini mengambilnya apapun alasannya.
Aku mohon kau mau mengembalikannya padaku Bidadari Angin Timur.
Bukankah itu namamu…?”
Bidadari Angin Timur menjadi bimbang. Dia tahu memang Pedang Naga Suci 212
milik gadis bernama Puti Andini itu. Namun jika dia mengembalikan sekarang
jelas tidak bisa dipergunakan untuk mengobati Wiro karena pemuda itu tidak
ada di tempat itu.
“Aku mengalah!” berkata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan.
“Biar aku tak jadi meminta pedang itu. Tapi mengapa dia tidak mau
mengembalikannya pada gadis berambut panjang. Jelas hatinya culas dan
maksudnya memang jahat dari semula!”
“Nenek Sinto, jangan kau salah menduga!” menyahuti Bidadari Angin Timur.
“Aku dan Kakak Andam-suri mengambil Pedang Naga Suci 212 untuk
menyelamatkan dari orang-orang Lembah Akhirat. Begitu berada di tangan kami
akan dipergunakan untuk mengobati muridmu. Tapi malam tadi ditunggu di satu
tempat Pendekar 212 tidak muncul. Aku menyelidik di beberapa tempat.
Pemuda itu lenyap tak diketahui entah kemana….”
Baru saja Bidadari Angin Timur mengakhiri ucapannya, belum sempat Sinto
Gendeng hendak menjawab tiba-tiba ada orang berseru.
“Pendekar 212 ditawan orang-orang Lembah Akhirat!”
Semua orang yang ada di situ menjadi geger. Semua mata diarahkan pada orang
yang baru datang, berpakaian hitam, berwajah cantik dan memiliki sepasang
mata biru.
“Ratu Duyung!” seru Naga Kuning dan Setan Ngompol hampir berbarengan.
“Apa kau bilang?!” teriak Sinto Gendeng. “Muridku ditawan orang-orang
Lembah Akhirat? Jangan-jangan kau sendiri yang menyekapnya di satu tempat!
Ayo jawab! Jangan kau berani berkata dusta!”
Paras Ratu Duyung menjadi merah. Dalam hati dia menyesali sikap dan ucapan
nenek hitam yang seolah tidak pernah mengenal budi ini. Saking gusarnya Ratu
Duyung lantas menjawab. “Aku tidak menyalahkan kalau kau masih saja gusar
terhadapku Nek. Gara-garaku muridmu ditimpa musibah. Tapi menuduh,
menghina dan melecehkan diriku terus menerus bukanlah tindakan terpuji. Aku
memberitahu muridmu ditawan Datuk Lembah Akhirat. Kau malah menuduh
aku yang menyekapnya. Kau lihat saja. Tak lama lagi orang-orang Lembah
Akhirat akan sampai di sini. Bukan cuma muridmu yang ditawan. Bujang Gila
Tapak Sakti yang menyaru jadi perempuan juga mereka tangkap dan gebuki
sampai babak belur!”
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Dia memegang bahu Iblis Putih Ratu
Pesolek yang tegak di sampingnya. “Kita gagal. Penyamaran Bujang Gila
ketahuan. Aku merasa berdosa. Sarung tangan ular itu pasti tidak berhasil
didapatkannya….”
“Aku cuma kau suruh mendandani si gendut itu. Sega la tipu daya dan siasat
kau yang mengatur!” kata iblis Putih Ratu Pesolek tak mau disalahkan.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tiupan terompet. Langit tampak semakin
terang walau sang surya belum juga menampakkan diri. Semua orang tampak
tercekat. Tapi hanya sesaat. Sinto Gendeng kembali mendahului menyerocos.
“Sebelum lawan datang, kita harus bisa menentukan siapa lawan dan siapa
teman diantara kita sendiri. Aku melihat ada musuh dalam selimut di tempat
ini!”
Tua Gila yang merasa tidak enak mendengar ucapan itu segera menyahuti.
“Sinto, harap kau menyebut langsung nama orangnya kalau memang ada musuh
dalam selimut seperti yang kau bilang!”
Nenek sakti dari Gunung Gede itu menyeringai. “Kau sudah tahu siapa
orangnya. Tapi kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu! Baik!
Aku akan sebut terang-terangan orangnya! Dia adalah nenek bertopi tanduk
kerbau itu! Sabai Nan Rancak! Bekas gendakmu itu!”
Merahlah wajah Tua Gila. Paras Sabai Nan Rancak tak kalah merahnya. Anak
dan cucu mereka terdiam tercekat. Mereka ingin membela Sabai namun apa
yang dikatakan Sinto Gendeng sulit untuk diingkari. Bukan rahasia lagi bahwa
dalam rimba persilatan akhir-akhir ini tersiar kabar ada hubungan tertentu
antara Sabai Nan Rancak dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Selanjutnya Sutan
Alam sendiri mempunyai hubungan rahasia pula dengan Datuk Lembah Akhirat.
“Sabai! Salah atau benar dirimu kau berhak dan harus bicara membuka mulut.
Aku yakin kau tidak seburuk yang disangkakan orang!”
Mendengar ucapan Tua Gila itu Sinto Gendeng tertawa tinggi. “Siapa lagi yang
akan membela kalau bukan bekas kekasih sendiri!” Lalu si nenek pentang
tampang cemberut.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. “Sabai, jangan biarkan keadaan
bertambah buruk. Orang-orang dari Lembah Akhirat semakin dekat! Sebelum
terjadi bentrokan berdarah kau harus menentukan sikap!”
Sabai Nan Rancak gigit bibirnya. Dia memandang berkeliling. Mula-mula
memperhatikan Andamsuri, lalu Bululani. Kemudian beralih pada Panji dan
Datuk . Paduko
Intan. Sesaat ditatapnya Puti Andini. Terakhir-sekali pandangannya lekat di
wajah Tua Gila. Mula-mula suara bicaranya bergetar namun perlahan-lahan dia
bisa menguasai diri.
“Arang yang tercoreng di kening memang sulit dihapus. Nama yang tercemar
sukar diperbaiki. Diri yang terlanjur busuk dalam lumpur susah untuk diangkat
dan dibersihkan. inilah harkat hidup di atas dunia. Pembelaan mungkin satu
kesia-siaan dan bahan tertawaan ejek cemooh. Tetapi jika kalian mengalami
derita sengsara hidup seperti diriku, mungkin kalian ikut meratap dalam
tangisku. Derita hidup bisa membuat orang lupa dan salah melangkah. Sengsara
batin bisa membuat orang tenggelam dalam malapetaka yang sebenarnya tidak
diingininya. Namun, apakah seorang insan tak pernah berbuat salah dan dosa?
Apakah tak ada kesesatan yang tidak mungkin diperbaiki. Apakah tak ada
kesalahan yang tidak bisa diampuni. Seburuk itukan ujud dunia? Sejahat itukan
hati manusia? Di usia lanjut ini aku ingin menghabiskan sisa hidupku dalam
memohon ampun dan bertobat diri. Tetapi jika itu tidak menjadi bagian diriku
maka aku rela menerima rajaman dari manusia dan azab dari Allah Maha Kuasa.
Siapakah di antara kalian yang pertama sekali ingin menurunkan tangan
menjatuhkan hukuman ke atas batok kepalaku? Aku siap menerima dengan
segala keikhlasan. Mungkin ini balasan yang terbaik bagi diriku! Satu hal perlu
kalian ketahui. Aku berdiri di sini bukan sebagai musuh dalam selimut. Dalam
dukaku yang amat sangat aku merasa bahagia menemukan kembali anak dan
cucuku. Kalau bisa aku berbuat sesuatu biarlah aku menghadapi orang-orang
Lembah Akhirat itu sebagai penebus dosa!”
Suasana sehening di pekuburan. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani
membuka mulut. Ada beberapa pasang mata yang tampak berkaca-kaca dan ada
beberapa mata lagi yang saling melontar lirikan.
Tua Gila tiba-tiba melangkah dan tegak di samping Sabai Nan Rancak. “Semua
derita sengsara, semua jalan sesat dan kesalahan yang dilakukannya berpangkal
pada perbuatan diriku. Kini aku mewakili dirinya untuk menerima hukuman.
Biarkan aku sendiri yang menjadi penebus segala dosa!”
Sabai Nan Rancak pejamkan mata. Lehernya tampak turun naik berusaha
menahan isak. Namun dari sela-sela matanya air mata meluncur tak
terbendung. Saat itu rasanya pupuslah semua dendam kesumat dan
kebenciannya terhadap Tua Gila.
Kakek Segala Tahu hendak kerontangkan kalengnya. Tapi tak jadi karena dia
berpaling dulu pada Dewa Tuak. Si jaga minum ini yang tahu maksud pandangan
orang segera anggukan kepala. “Kau saja yang bicara….” bisik Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu lalu mendehem beberapa kali, baru angkat bicara. “Segala
kesalahan, segala dosa tak ada artinya di mata Tuhan bilamana kita ummat
manusia telah menyadari dan mau merubah diri dengan jalan bertobat. Jika
Tuhan saja bersifat arif seperti itu, mengapa kita manusia yang lemah dan kotor
hendak bersombong diri tidak mau melupakan dan saling memaafkan. Saat ini
kita menghadapi satu urusan besar. Hancur tegaknya rimba persilatan. Lupakan
segala urusan hati dan pribadi. Kita semua ber-kewajiban menyelamatkan dunia
persilatan….” Kakek Segala Tahu berpaling ke arah tempat Sinto Gendeng
berdiri. Walau tidak melihat tapi kakek ini diam-diam maklum kalau si nenek
tidak suka mendengar kata-katanya. Maka dia meneruskan. “Jika apa yang aku
ucapkan barusan adalah keliru, aku yang tua minta maaf. Tapi jika ada di
antara para tokoh di sini tidak suka dengan jalan pikiranku, tinggalkan kami.
Biar kami mencari jalan sendiri untuk dapat keluar dari malapetaka yang
menghadang!” Habis berkata begitu si kakek
kerontangkan kalengnya. Begitu berisiknya hingga ketika suara kaleng lenyap
kesunyian terasa semakin mencekam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang
bersuara. Sinto Gendeng palingkan muka ke arah kegelapan. Mulutnya tampak
berkomat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Ucapan Kakek Segala Tahu tadi
membuat dia terpukul. Beberapa kali kemudian nenek ini menghela nafas
dalam.
Di atas Telaga Gajahmungkur langit secara aneh bertambah terang. Udara
semakin terasa panas. Ketika beberapa orang mendongak ke atas terkejutlah
mereka.
“Matahari muncul di langit!”
Saat itu di langit memang nampak muncul sang surya, bulat penuh dan
memancarkan sinarnya dengan terik. Keadaan menjadi terang benderang.
Semua orang bersorak gembira. Namun Kakek Segala Tahu malah tunjukkan
wajah redup gelisah.
“Aneh…” katanya perlahan. “Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu di
langit sana. Akan terjadi sesuatu di permukaan bumi. Puluhan tahun hidup
tidak pernah kurasakan udara begini panas!” Belum lama si kakek keluarkan
perasaan hatinya itu tiba-tiba seseorang berseru.
“Lihat! Ada sesuatu bergerak mendekati matahari!”
“Astaga! Matahari menjadi merah seperti bara!”
“Jangan-jangan dunia mau kiamat!” teriak Dewa Tuak lalu cepat-cepat teguk
tuak dalam bumbung sementara iblis Muda Ratu Pesolek yang tegak di
sebelahnya menjadi pucat. Dia segera cekal lengan Dewa Tuak seraya berbisik
ketus. “Jangan kau bicara yang bukan-bukan. Jangan menyebut-nyebut soal
kiamat. Kita masih belum kawin!”
“Gluk! Hek!” Dewa Tuak sampai tercekik mendengar kata-kata si nenek.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Kepalanya didongakkan. Matanya
yang putih nyalang melebar. Perlahan-lahan udara yang sebelumnya terang
benderang berubah menjadi redup.
“Aku tidak melihat! Tapi aku yakin sesuatu akan terjadi! Ada sesuatu bergerak
menutupi sang surya. Rembulan dan matahari akan bertindihan di satu garis
lurus! Gerhana! Matahari akan mengalami gerhana!” Kata-kata terakhir si kakek
keras sekali tapi sangat tercekat sehingga semua orang yang mendengar men-
jadi bungkam dalam kegelisahan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar salakan anjing
bersahut-sahutan. Burung-burung beterbangan kian kemari hiruk pikuk. Semua
orang memandang ke langit dengan nafas seolah tertahan dan mata tidak
berkesip. Ada rasa takut menyelinap, Bahkan Sinto Gendeng yang biasanya
paling banyak bicara dan bertingkah kini diam mengkeret. Seumur-umur dia
belum pernah melihat gerhana matahari. Di sampingnya si Setan Ngompol
duduk melunjur di tanah dengan tengkuk dingin dan kencing memancar terus
menerus. Naga Kuning tutupi mukanya dengan dua tangan. Di bagian lain Sabai
Nan Rancak, Tua Gila, Andamsuri dan yang lain-lainnya juga ikut tenggelam
dalam kebisuan yang mencekam.
Makin tertutup matahari oleh rembulan, semakin redup udara seolah siang
telah berganti malam. Pinggiran. matahari membentuk gelang berwarna merah
membara yang secara perlahan-lahan pupus hingga keadaan di atas Telaga
Gajahmungkur saat itu benar-benar gelap gulita laksana malam.
Lapat-lapat terdengar gemuruh suara binatang buas berlarian di rimba
belantara sekeliling telaga. Dari berbagai jurusan salak anjing terdengar tiada
henti ditimpali suara kokok ayam bersahut-sahutan.
Dalam suasana mencekam begitu rupa mendadak terdengar suara tiupan
terompet. Tak selang berapa lama rombongan Datuk Lembah Akhirat muncul di
tempat itu. Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Lalu di sebelah kiri
terdengar Tua Gila berteriak.
“ingat nyanyian Nyanyuk Amber! Jangan terpengaruh pada apa yang dilihat!
Jangan tertipu pada kenyataan palsu! Berpikir mencari jalan! Agar yang jahat
dapat dikalahkan!”
***

Enam
Dalam hitamnya kegelapan terdengar gemeletak roda kereta dan derap kakikaki
kuda. Sosok-sosok binatang tunggangan dan orang-orang itu bergerak laksana
hantu menuju tepi barat Telaga Gajahmungkur. Lalu terdengar suara tiupan
terompet. Kalau tadi hanya sesekali, kini terus-menerus berkepanjangan.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Tua Gila, Sinto Gendeng, Dewa Tuak
dan semua yang ada di tepi barat telaga memandang tajam dalam kegelapan.
Tak lama kemudian rombongan dari Lembah Akhirat muncul di tempat itu.
Mereka membuat gerak-an-gerakan cepat menebar demikian rupa, mengurung
tepi barat telaga dalam barisan berbentuk setengah lingkaran. Karena orang-
orang ini sengaja berhenti agak jauh, lagi pula suasana begitu gelap akibat
gerhana matahari, cukup sulit untuk mengenali, siapa saja yang ada dalam
rombongan tersebut selain Datuk Lembah Akhirat.
Suara tiupan terompet sirna. Lalu mencuat suitan panjang dalam kegelapan.
“Pasang obor!” Seseorang berteriak memberi perintah.
Enam buah obor dinyalakan oleh enam penunggang kuda lalu disisipkan di
tempat yang sudah disediakan di dinding kereta. Tiga di kiri, tiga di kanan. Di
bawah penerangan enam obor kini apa yang ada di tempat itu terlihat cukup
jelas. Semua mata hanya sesaat memperhatikan manusia tinggi besar
berpakaian hitam yang tegak di atas kereta besar yaitu Datuk Lembah Akhirat
karena perhatian mereka langsung tertuju ke bagian belakang kereta.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” Tua Gila yang pertama sekali berteriak. Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan. Dua gadis ini serta
merta hendak menghambur ke arah kereta tapi Tua Gila cepat memberi isyarat
agar jangan melakukan sesuatu dulu.
“Anak setan! Apa yang terjadi dengan dirimu! jahanam! Siapa berani mati
memperlakukan kau seperti itu!” Menyusul teriakan Sinto Gendeng.
“Bujang Gila Tapak Sakti!” Dewa Tuak berseru dari sebelah kiri.
Di bagian belakang kereta ada sebuah balok disanggah dua buah tiang tinggi.
Pada balok ini tergantung sosok Pendekar 212 Wiro Sableng kaki ke atas kepala
ke bawah hanya mengenakan sehelai celana putih. Darah yang hampir
mengering menodai hidung dan mulut, tubuh serta celananya. Pada bagian dada
kelihatan membelintang guratan panjang, cidera akibat hantaman kaki Jagal
iblis Makam Setan. Saat itu Wiro masih berada dalam keadaan tertotok hingga
siapa saja yang menyaksikan pastilah menyangka pemuda ini paling tidak
tengah berada dalam keadaan sekarat!
Pada dinding kereta sebelah kiri tergeletak melintang sosok gemuk berpakaian
perempuan penuh robek. Mukanya bercelemong bedak tebal bercampur darah.
Beberapa bagian tubuhnya lebam membiru. Orang yang berada dalam keadaan
mengenaskan ini bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti. Selain masih
berada di bawah pengaruh totokan, tangan dan kakinya tampak terikat.
Walau dua matanya buta namun Kakek Segala Tahu sudah bisa menduga apa
yang terjadi. Terlebih sewaktu di sebelahnya iblis Putih Ratu Pesolek berbisik.
“Kita benar-benar gagal. Penyamaran Bujang Gila Tapak Sakti diketahui.
Sekarang dia dan Pendekar 212 berada dalam tawanan Datuk Lembah Akhirat!”
Sinto Gendeng meraung keras. Tangan kanannya langsung memancarkan cahaya
putih perak menyilaukan tanda dia telah menyiapkan pukulan sakti Sinar
Matahari. Kalau tidak lekas ditahan oleh Dewa Tuak pasti nenek ini sudah
melesat ke atas kereta dan hantamkan pukulan mautnya pada Datuk Lembah
Akhirat yang tegak di bagian depan kereta.
“Datuk jahanam! Kau apakan muridku!” teriak Sinto Gendeng dengan dada
turun naik menggemuruh dan sepasang mata berkilat-kilat laksana dikobari api.
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat berkacak pinggang lalu tertawa bergelak.
“Kalian bisa melihat, kalian bisa membaca situasi! Apa aku perlu menjawab?
Ha… ha… ha!”
“Jahanam! Kurobek mulut besarmu!” Sinto Gendeng kembali mendamprat.
Datuk Lembah Akhirat menatap si nenek dengan pandangan mengejek lalu
berucap. “Langit hitam! Bumi dilanda kekelaman! Gerhana di langit! Gerhana di
atas Gajahmungkur. Malapetaka di atas bumi! Bumi dilanda kekelaman! Apakah
itu tidak cukup menjadi pertanda bagi kalian orang-orang golongan putih!
Bahwa hari ini adalah hari kehancuran kalian?! Pendekar 212 ada di tangan
kami! Bujang Gila Tapak Sakti bernasib sama. Lalu masih ada seorang gadis
bernama Anggini yang kusekap di Lembah Akhirat! Apa kalian masih tolol
hendak melawan? Mengapa tidak lekas-lekas semua berlutut minta ampun dan
tunduk menjadi kacung-kacungku! Lihat siapa para tokoh yang ada di
sekelilingku!”
Mendengar muridnya disekap di Lembah Akhirat, Dewa Tuak berteriak marah.
Kalau tadi dia mencegah Sinto Gendeng untuk tidak berlaku nekad maka kini
dia sendiri menjadi kalap! Begitu dia bergerak Kakek Segala Tahu palangkan
tongkat kayunya di depan dada Dewa Tuak. “Kita semua harus ingat pesan
Nyanyuk Amber. Jangan berlaku bodoh sobatku…. Datuk keparat itu menjepit
kita dengan tiga tawanan! Jangan berlaku keliru sobatku!”
“Datuk jahanam! Kalau muridku sampai cidera atau ternoda kurebus tubuhmu
dengan arak sampai jadi bubur!” teriak Dewa Tuak dengan mata berapi-api.
Lalu dia semburkan tuaknya ke udara. Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa
mendengar ancaman itu.
Di samping kiri kereta berdiri Dewa Sedih yang tiada hentinya keluarkan suara
tangisan. Lalu Pengiring Mayat Muka Hitam yang terus-terusan menggaruk.
Lebih ke kiri enam pengawal menunggang kuda. Paling ujung kelihatan pemuda
berjuluk Utusan Dari Akhirat, duduk di atas seekor kuda coklat. Sikapnya
seperti tidak sabaran. Dengan geram dia menatap ke arah Wiro yang terikat di
atas kereta. Lalu pada Sinto Gendeng dan Tua Gila. Tiga manusia yang harus
dihabisinya sesuai perintah roh gaib Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Selain
mengawasi tiga orang ini sesekali pemuda ini memperhatikan Puti Andini, Ratu
Duyung dan Bidadari Angin Timur. Sejak lama dia menaruh hati pada tiga gadis
ini. Diam-diam dia bertekad mendapatkan salah seorang di antara mereka.
Namun dari ketiganya Ratu Duyunglah yang paling ditaksirnya.
Di samping kanan kereta Dewa Ketawa duduk di atas keledai kurus sambil
mengumbar tawa. Lalu dua orang pengawal bermuka hitam. Menyusul Pengiring
Mayat Muka Merah. Di sebelah dua pengawal, di atas seekor kuda hitam tegak
manusia aneh Jagal iblis Makam Setan. Seperti biasa kedua tangannya berada di
bawah di punggung kuda sedang sepasang kakinya di sebelah atas.
Sabai Nan Rancak sesaat memandang tak berkesip pada si Jagal iblis ini. Dia dan
juga Tua Gila serta Sinto Gendeng tidak menyangka kalau manusia sakti berhati
jahat ini telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat.
Di sebelah Jagal Iblis Makam Setan berdiri Sika Sure jelantik. Sejak muncul di
tempat itu sepasang matanya terpantek pada sosok dan wajah Tua Gila,
manusia yang paling dibencinya.
Sabai Nan Rancak menggeram dalam hati ketika dia melihat Sutan Alam Rajo Di
Bumi alias Suto Abang ikut berada di antara orang-orang Lembah Akhirat dan
tegak di ujung kiri di sebelah empat pengawal berkuda.
Yang membuat Sabai Nan Rancak jadi tambah tidak enak ialah ketika
pandangannya membentur sosok manusia beralis panjang bersambung dengan
dua belas lobang hitam di wajahnya.
“Hantu Balak Anam Dari Sijunjung…” kata Sabai dalam hati. “Jadi dia juga ikut
berada di pihak sana….”
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat angkat tangan kirinya. “Kalian tidak punya
daya apa-apa! Kalian harus bersyukur aku mau memberi pengampunan!
Mengapa berlaku tolol tidak segera jatuhkan diri tanda minta ampun dan
bergabung dengan kami?! Atau memang kalian ingin melihat Pendekar 212 dan
Bujang Gila Tapak Sakti mati mengenaskan?!”,
Jeritan geram dan marah keluar dari mulut beberapa orang mendengar kata-
kata Datuk Akhirat itu. Sinto Gendeng tetap tegak dengan tangan kanan
membekal pukulan sakti Pukulan Sinar Matahari. Di sebelahnya Setan Ngompol
telah pula kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Di bagian lain Ratu
Duyung telah keluarkan cermin sakti sambil tangan kiri menyentuh dada
mengusap Kitab Wasiat Malaikat yang ada di balik pakaiannya. Tua Gila diam-
diam selinapkan tangan keluarkan benang saktinya sementara Sabai tegak
dengan tangan terpentang memancarkan cahaya merah tanda dia telah merapal
aji pukulan sakti Kipas Neraka.
“Dewa Ketawa! Dewa Sedih!” Tiba-tiba Kakek Se-gala Tahu berteriak. Dari
suara tangis dan tawa dua kakek sakti itu dia sudah tahu kalau mereka berada
di pihak lawan. “Kalian berdua sungguh manusia-manusia tidak berbudi! Sampai
hati bergabung dengan musuh besar orang-orang golongan putih!”
Dewa Sedih meraung keras sedang Dewa Ketawa gelak mengekeh mendengar
ucapan Kakek Segala Tahu itu. Dewa Tuak tak mau diam segera menimpali.
“Dasar tua bangka sedeng! Kalian enak saja melihat keponakan kalian si Bujang
Gila Tapak Sakti dianiaya dan ditawan Datuk Lembah Akhirat!”
Datuk Lembah Akhirat angkat tangan lalu membuka mulut. “Dewa Sedih dan
Dewa Ketawa adalah dua manusia arif bijaksana. Mereka menyadari tingginya
langit dalamnya lautan dan mau bergabung dengan kami!” Sang Datuk lalu
berpaling pada Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Sutan Alam! Aku melihat satu
pemandangan yang membuat mata ku jadi sepat! Sabai Nan Rancak kekasihmu
itu berada di pihak musuh! Kau hanya berdiam diri saja?!”
Mendengar ucapan sang Datuk maka Sutan Alam berseru. “Sabai, kau masih
punya kesempatan untuk diampuni asal segera bergabung dengan kami!”
“Kalian dua kakak adik manusia celaka! Sudan cukup kalian menipuku! Sutan
keparat! Kau yang pertama kali akan kubunuh!” teriak Sabai.
Selagi orang berperang mulut, Andamsuri dekati Kakek Segala Tahu lalu
membisikkan sesuatu. Si kakek lantas saja goyangkan kalengnya tiada henti.
Andamsuri yang saat itu masih mengenakan pakaian kuning tapi tanpa cadar lagi
memberi isyarat pada Ratu Duyung. Sang Ratu memberi tanda pada Bidadari
Angin Timur. Antara ke dua gadis ini agaknya telah pupus segala sakit hati dan
perselisihan. Yang ada dalam pikiran mereka saat itu adalah bagaimana
menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan juga Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dewa Sedih! Orang-orang tolol tidak mau berpikir! Keluarkan ratapanmu
pengantar kematian mereka!”
Mendengar perintah Datuk Lembah Akhirat maka Dewa Sedih meraung keras.
“Sang surya tertutup rembulan. Orang menyebutnya gerhana! Aku
menyebutnya malapetaka! Hatiku sedih! Hik… hik… hik! Hati manusia tertutup
kebodohan. Otak manusia tertindih batu ketololan! Hatiku sedih! Orang-orang
golongan putih apa yang kau cari di tepi barat Telaga Gajah-mungkur! Apa
kalian tidak melihat pertanda alam? Kalian bernasib buruk. Aku meratap karena
kalian akan mati tak berkubur! Hik… hik… hik!”
Baru saja Dewa Sedih hentikan tangisnya, tiba-tiba dari belakang sana
terdengar suara orang menggerung. Lalu ada anak kecil ikut-ikutan menangis
meniru ratapan Dewa Sedih.
“Orang pandai menggaruk kepalanya. Orang tolol menggaruk selangkangannya!
Aku sedih! Hik… hik… hik! Para tokoh silat sesat golongan hitam! Apa yang kau
cari di tepi barat Telaga Gajahmungkur ini? Di dalam gelap gerhana matahari
tidakkah kalian lihat pertanda alam? Salah seorang dari kalian menggaruk tiada
henti hingga auratnya bengkak dan lecet! Hatiku sedih! Apa kalian semua mau
ketularan kegatalan dan lecet barang masing-masing? Hik… hik… hik!”
Beberapa orang keluarkan suara tertahan. Setan Ngompol terkekeh-kekeh
hingga mancur air kencingnya. Sinto Gendeng cepat menutup mulutnya namun
tak urung suara cekikikannya masih membersit keluar. Datuk Lembah Akhirat
pelototkan mata.
Dewa Sedih kerutkan kening mendengar ratap tangis itu. Pengiring Mayat Muka
Hitam yang sadar kalau dirinya yang dituju orang dengan ratapan tadi
menyumpah habis-habisan. Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba menggembor keras.
Ketiga orang ini, diikuti oleh yang Lain-lain memandang ke jurusan datangnya
suara tangisan. Yang menangis ternyata adalah Naga Kuning si bocah konyol
yang sebenarnya berusia 120 tahun!
“Pengiring Mayat Muka Hitam!” berseru Datuk
Lembah Akhirat. “Bocah berambut jabrik ini berani mempermalukan dirimu!
Apa kau diam saja?!”
“Tidak Datuk! Saya akan membunuhnya saat ini juga!” Jawab si muka hitam.
Lalu sementara tangan kirinya terus menggaruk dia angkat tangan kanan. Siap
melepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
“Muka hitam! Jangan berlaku tolol! Kalau kau bunuh diriku seumur-umur kau
tidak akan mendapat obat penghilang gatal di anumu itu! Hik… hik… hik! Kau
akan mati dengan kemaluan ledes! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hitam sambil menggaruk bagian dalam
pakaiannya sebelah bawah. Diam-diam hatinya menjadi bimbang. Mengapa
bocah itu mengetahui tepat bagian auratnya yang gatal. “Janganjangan dia yang
punya pekerjaan…!” Si muka hitam tak menunggu lama karena saat itu juga
terdengar Naga Kuning berkata.
“Tiga ekor babi montok itu aku yang melepasnya di Lembah Akhirat! Kau tidak
tahu kalau sebelumnya anunya sudah kupoles dengan daun gatal-gatal. Hik…
hik… hik! Aku melihat langit! Aku melihat anunya babi! Aku melihat barang
antik kegatalan! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
“Anak jahanam! Jadi kau yang punya pekerjaan!” teriak Pengiring Mayat Muka
Hitam. Walau rasa gatal-nya tidak tertahankan namun amarahnya juga tak bisa
dikendalikan. Laksana terbang orang ini melompat dari kudanya, berkelebat ke
arah Naga Kuning seraya lepaskan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!
Sempat si bocah terkena maka tubuhnya akan berubah menjadi debu berwarna
hitam.
“Tahan!” seru Naga Kuning. Di tangan kanannya bocah itu memegang sebuah
bumbung bambu sepanjang dua jengkal. Bumbung ini diacungkannya lalu
berkata. “Di dalam bumbung ada cairan pemusnah rasa gatal! Jika kau mau
bertobat dan menyeberang ke pihak kami, cairan ini akan kuberikan padamu.
Kalau tidak kau rasakan sendiri. Seumur-umur sampai mati kau akan menggaruk
terus. Barangmu akan ledes! Apa gunanya hidup sengsara seperti itu!
Kemaluanmu sudah ketiban gerhana! Hik… hik… hik!”
“Keparat! Kubunuh kau!” teriak si muka hitam namun saat itu dia memang
sudah tidak tahan lagi. Makin digaruk makin gatal. Tidak digaruk mau gila
rasanya. Digaruk malah tambah menjadi-jadi. Hatinya bimbang. Dia melirik ke
arah Datuk Lembah Akhirat. Sang Datuk menyeringai dan kedipkan mata.
Melihat isyarat licik itu si muka hitam segera menghampiri Naga Kuning.
“Kebaikanmu akan kuterima. Aku bertobat dan berjanji akan membantu
pihakmu asal obat penangkal gatal itu kau serahkan padaku!”
“Bagus! Ini silahkan ambil bumbung. Tapi syaratnya harus segera diguyurkan ke
auratmu di bawah perut. Pasti mustajab menghilangkan rasa gatal! Selain itu
juga menambah kejantananmu! Hik… hik… hik! Lakukan di sini juga agar benar-
benar mantap!”
Tanpa menunggu lebih lama Pengiring Mayat Muka Hitam segera sambar
bumbung bambu. Dia menyelinap ke tempat gelap. Di sini dia singsingkan
jubahnya ke atas lalu susupkan bumbung bambu ke bawah perutnya. Cairan
dalam bumbung itu dituangnya sampai habis. Terasa sejuk dingin. “Ah, anak
keparat itu tidak berdusta. Aku pasti sembuh!” kata si muka hitam dalam hati
sambil tersenyum lega. Tapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti direnggut
setan!. Dari mulutnya meledak teriakan dahsyat. Auratnya di bawah perut yang
barusan diguyur cairan terasa panas laksana dibakar.
“Jahanam! Cairan apa yang kau berikan padaku!” Teriak si muka hitam. Lupa
diri dan tak perduli begitu banyak mata memperhatikannya Pengiring Mayat
Muka Hitam singkapkan jubah hitamnya. Melompat mencak-mencak kian
kemari. Dia kaget setengah mati dan menjerit ketika melihat barangnya telah
berubah bengkak gembung hampir sebesar kelapa dan berwarna merah seperti
udang rebus! Dan celakanya rasa gatal bukannya hilang malah bertambah
hebat! Si muka hitam terbungkuk-bungkuk seolah ada beban berat menggandul
di selangkangannya!
Naga Kuning tertawa cekikikan, Iblis Putih Ratu Pesolek yang berada di
dekatnya ajukan pertanyaan. “Anak brengsek! Cairan apa yang kau berikan
pada jahanam muka hitam itu?”
“Air cabe kucampur dengan racikan daun sembung! Biar dia rasa. Hik… hik…
hik!”
“Anak sialan! Tidak heran kalau barangnya gembung bengkak dan merah! Hik…
hik… hik! Mau kencing aku melihat kelakuanmu!” ujar kekasih Dewa Tuak itu.
Setan Ngompol yang melihat apa yang terjadi langsung saja beser habis-habisan.
Pengiring Mayat Muka Hitam seperti orang gila ada, seperti orang kemasukan
setan ada. Lari sana lari sini sambil berteriak-teriak. Lalu jatuhkan diri di tanah
berguling-guling. Kemudian dia bangkit berdiri. Lari ke arah sebatang pohon.
Pada puncak rasa gatal dan sakit yang tidak bisa ditahannya lagi, tanpa ada yang
bisa menduga atau mencegah orang ini hantamkan kepalanya ke batang pohon.
“Praaakkk!”
Pengiring Mayat Muka Hitam terkapar di tanah dengan kepala rengkah! Suasana
serta merta hening mencekam. Lalu di kejauhan terdengar suara lolongan
anjing. Udara tambah gelap.
“Jahanam tolol!” Datuk Lembah Akhirat memaki marah. “Pengiring Mayat Muka
Merah! Bunuh bocah keparat itu!”
“Anak jahanam! Terima kematianmu!” Pengiring Mayat Muka Merah
menghardik. Satu cahaya merah melesat menggidikkan.
“Pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” seru Tua Gila.
“Naga Kuning! Lekas menyingkir!”, teriak Sabai Nan Rancak. Nenek ini lalu
tekuk lututnya. Tangan kiri didorongkan ke arah Naga Kuning hingga anak ini
terpental satu tombak. Tangan kanan dihantamkan ke depan.
“Wusss!”
Pukulan sakti Kipas Neraka berkiblat menyambuti pukulan maut Mencabut Jiwa
Memusnah Raga! Ter-nyata Sabai Nan Rancak tidak sendirian. Dari tempatnya
berdiri Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya gembung lalu menyembur!
“Curang pengecut!” Satu suara membentak.
“Terhadap manusia jahanam sepertimu mana berlaku segala macam
peradatan!” teriak Dewa Tuak.
Di depan sana Pengiring Mayat Muka Merah tampak berdiri terhuyunghuyung
sambil pegangi dada. Dari sela mulutnya mengucur darah kental. Kepalanya
yang berambut keriting merah mengepulkan asap. Jubah merahnya penuh
lubang akibat semburan Dewa Tuak. Dari setiap lobang mengucur darah. Jelas
orang ini terluka parah di sebelah dalam dan sebelah luar tapi karena memiliki
daya kekuatan luar biasa dia masih bisa bertahan hidup.
Di bagian lain Sabai Nan Rancak tegak laksana patung. Mukanya seputih kain
kafan. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu terhuyung limbung. Temyata akibat
bentrokan pukulan sakti tadi si nenek juga mengalami cidera walau tidak parah.
“Sabai!” seru Tua Gila seraya menghambur dan merangkul si nenek sebelum
perempuan tua itu rubuh ke tanah.
“Aku tak apa-apa…” kata Sabai Nan Rancak sambil tersenyum karena hatinya
mendadak merasa tenteram dalam pelukan Tua Gila. Bagaimanapun bencinya
dia terhadap lelaki itu namun Tua Gila adalah orang yang pernah dicintainya
dan dari siapa dia mendapatkan dua orang anak!
“Jangan bicara dulu. Biaraku salurkan hawa pengobatan!” kata Tua Gila lalu
alirkan tenaga dalamnya ke punggung dan dada Sabai Nan Rancak. Saat itu
kalaupun mati rasanya si nenek ikhlas karena mati dalam pelukan Tua Gila.
Melihat kejadian itu Sinto Gendeng mendengus. “Huh! Past) nenek gatal itu
hanya berpura-pura. Supaya ditolong dan dipeluk si Sukat Tandika!” Sinto
Gendeng membuang muka ke jurusan lain, tak mau memperhatikan Tua Gila
yang tengah merangkul Sabai Nan Rancak sambil mengalirkan tenaga dalamnya.
“Kau apakan ibuku!” Bululani alias iblis Pemalu berteriak marah. Lalu orang
hanya melihat satu bayangan biru berkelebat. Dan “praaakkk!” Tubuh
Pengiring Mayat Muka Merah terbanting ke tanah. Tak berkutik lagi. Dia
menemui ajal dengan kepala pecah akibat geprakan tangan kanan Bululani yang
dengan telak menghantam keningnya. Seperti diketahui Pengiring Mayat Muka
Merah adalah pembantu Datuk Lembah Akhirat berkepandaian tinggi. Namun
akibat cidera hantaman dua lawan tadi dalam keadaan lim-bung dia telah
berlaku lengah. Kelalaian ini harus dibayarnya dengan nyawanya.
***
Tua Gila mendukung Sabai Nan Rancak ke tempat aman. Berada dalam pelukan
kekasih dan ayah dari dua anaknya itu semua rasa dendam kesumat lenyap dari
dalam diri si nenek. Malah dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca Sabai
berkata. “Sukat, mengapa begini buruk jalan hidup kita. Mengapa menyedihkan
sekali untung perasaan kita….”
“Tabahkan hatimu Sabai. Jangan bicara dulu. Nanti ada saatnya kita bicara
panjang lebar. Tujuh hari tujuh malam kalau kau suka!”
Sabai Nan Rancak tersenyum. “Memangnya…. Rencana apa yang ada dalam
benakmu Sukat…?”
“Sssshhh, sudah jangan banyak bicara dulu.” Saat itu Tua Gila ingin sekali
mendekap dan menciumi wajah si nenek. Walau dia memang pernah menyia-
nyiakan perempuan itu namun saat itu di lubuk hatinya yang terdalam
disadarinya dari sekian banyak gadis di masa mudanya yang menjadi buah
hatinya memang hanya Sabai Nan Rancak seoranglah satu-satunya perempuan
yang benar-benar dikasihinya. Tidak dapat menahan hati, Tua Gila rundukkan
kepala hendak mencium kening Sabai Nan Rancak.
Namun saat itu tiba-tiba terdengar suara menggidikkan “Claak… claak… claak”
berulang kali. Berpaling ke kiri kagetlah Tua Gila. Satu sosok aneh bergerak
dengan dua tangan di tanah sedang dua kaki pipih seperti pedang tipis
membentuk gerakan menjaga! laksana gunting raksasa!
“Iblis Jagal Makam Setan!” seru Tua Gila seraya cepat-cepat melompat ke kiri
tapi masih terlambat.
“Craass!”
Rambut putih Sabai Nan Rancak yang tergerai riap-riapan putus sepanjang dua
jengkal. Si nenek terpekik. Tua Gila berteriak marah. Jagal iblis Makam Setan
tertawa bergelak. Dengan dua tangan masih menjejak tanah sementara dua
kaki terus bergerak kian kemari dia berkata. “Aku mungkin mengampuni nyawa
salah satu dari kalian asalkan Sabai Nan Rancak mengembalikan padaku Mantel
Sakti dan Mutiara Setan yang pernah didapatkannya dariku secara menipu!”
Tua Gila memandang pada Sabai Nan Rancak. Si nenek yang tahu arti pandangan
itu menjawab. “Mantel dan mutiara itu tak ada padaku. Sudan kuserahkan
beberapa hari lalu pada Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang….”
“Tipu muslihat macam apa yang tengah kau jalankan Sabai?!” membentak Jagal
iblis Makam Setan lalu dua kakinya menyambar ganas. Kalau tidak cepat si
nenek menyingkir niscaya rambut atau kepalanya akan terbabat putus.
“Dia memang menipumu Jagal iblis! Sekaligus memfitnahku!” Yang bicara
dengan suara lantang ini adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi. “Mantel dan
mutiaramu ada padanya! Kalau dia tidak mau memberikan terpaksa kita rampas
bersama nyawa anjingnya sekalian!”
“Setuju!” teriak Jagal iblis Makam Setan. Dia tertawa mengekeh lalu sekali
berkelebat dua kakinya yang seperti sepasang pedang tajam itu membabat ke
arah leher Tua Gila! Dari sebelah kiri Sutan Alam Rajo Di Bumi hantamkan
tangan kanannya melancarkan pukulan maut ke arah dada Sabai Nan Rancak.
inilah pukulan yang disebut Malaikat Maut Mendera Bumi. jangankan tubuh
manusia, dinding batu pun sanggup dibuat bolong. Dalam keadaan terluka Sabai
Nan Rancak angkat tangan kanannya menangkis dengan pukulan Kipas Neraka.
Namun sebelum sempat menghantam tiba-tiba dari samping melesat satu
bayangan hitam disertai berkiblatnya dua belas larik sinar hitam. Bukan saja
membendung serangan Sutan Alam tapi sekaligus menghantamnya dengan
dahsyat. Hawa panas menggebu bukan alang kepalang. Jagal iblis Makam Setan
ikut terkejut dan sama-sama menyingkir.
“Dua Belas Jalur Kematian!” seru Sutan Alam kaget begitu mengenali pukulan
sakti yang hampir merenggut nyawanya tadi. Sepasang matanya yang juling
bertambah jereng.
Memandang ke depan dia melihat seorang tinggi besar berambut kasar seperti
ijuk. Muka orang ini seram sekali. Alisnya hanya merupakan satu garis panjang,
seolah membagi mukanya menjadi dua. Pada keningnya ada enam buah lobang
sangat hitam. Lo-bang yang sama juga terdapat tiga di pipi kiri dan tiga di pipi
kanan. Yang sangat mengerikan dari makhluk ini adalah bahu kanannya. Bahu
itu berlobang besar, tembus sampai ke dada.
“Hantu Balak Anam Dari Si Junjung!” teriak Sabai Nan Rancak. Terima kasih
kau telah menyelamatkanku!”
Si tinggi besar yang ternyata adalah Hantu Balak Anam yang selama ini
mencurigai Sabai Nan Rancak tertawa lebar dan kedipkan mata. “Hart ini aku
melihat sendiri bahwa kau bukanlah orang yang patut dicurigai dan dijadikan
musuh! Aku tahu betul sekarang. Sutan Alam keparat ini adalah biang kerok
kematian semua temanku di Pulau Andalas! Dia juga yang membuat tubuhku
sampai cacat berlobang begini rupa! Di saat gerhana matahari ini aku akan
membalas segala dendam kesumat!”
“Syukur kalau kau sudah tahu!” sahut Sabai Nan Rancak.
Di atas kereta Datuk Lembah Akhirat berteriak marah. “Sutan Alam! Lekas kau
singkirkan makhluk buruk yang merusak pemandangan itu!”
“Datuk, kau tak usah khawatir!” jawab Sutan Alam sambil menyeringai.
Seringainya tampak aneh sekali ini. “Aku bukan saja akan membunuh hantu
kesasar, ini tapi juga memaklumkan diri bahwa mulai saat ini akulah yang
menjadi pimpinan tertinggi di tempat ini! Semua harus tunduk padaku!
Termasuk kau Suto Angil! Lembah Akhirat berada di bawah kekuasaanku.
Akulah sekarang yang menjadi datuk dari semua datuk di tanah Jawa dan Pulau
Andalas!”
“Suto Abang! Apa maksudmu!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Mukanya yang
belang tiga seolah berubah menjadi setan menyeramkan. Semua orang yang ada
di tempat itu juga menjadi heran mendengar pernyataan Sutan Alam Rajo Di
Bumi.
***

Tujuh
Sutan Alam Raja Di Bumi tidak menjawab. Dengan tenang dia memasukkan
tangan kanannya ke saku jubah putih. Lalu matanya yang juling lemparkan
sekilas kerlingan pada kakaknya. Sambil menyeringai dia keluarkan sepasang
sarung tangan terbuat dari kulit ular berwarna merah, hitam dan hijau.
Terbelalak mata Datuk Lembah Akhirat melihat benda yang ada di tangan
adiknya itu. Segera dia meraba saku pakaiannya sendiri.
“Suto Angil! Sekian lama kau menipu memperalat-ku. Nyawaku selalu diujung
tanduk karena menuruti apa perintahmu. Saat ini gerhana matahari menjadi
saksi aku mengambil kekuasaanmu sebagai Datuk di Lembah Akhirat. Jika kau
berani membangkang terpaksa aku mengambil nyawamu!”
“Jahanam setan alas!” sumpah Datuk Lembah Akhirat dengan mata berapiapi.
“Jadi kau yang membunuh Pengiring Mayat Muka Hijau di ruang penyimpanan
senjata pusaka. Karena dia memergokimu ketika mencuri Sarung Tangan
Penyedot Batin!”
“Ah, ternyata kau sudah tahu jalan ceritanya,” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi
menyahuti ucapan kakaknya sambil gerakkan jari-jari tangannya yang kini
terbungkus sarung tangan kulit ular kobra. “Berarti jalan cerita selanjutnya tak
perlu kuterangkan!” Sutan Alam memandang ke arah rombongan para tokoh
silat golongan putih. “Para sahabat, rasanya aku tidak perlu membeberkan
bahwa semua pembunuhan yang terjadi secara aneh atas diri para tokoh silat
baik di Jawa maupun Pulau Andalas d iota ki dan didalangi oleh Datuk Lembah
Akhirat! Aku telah kena tipu dan siasatnya. Satu-satunya cara untuk menebus
dosaku adalah dengan bertindak selaku pimpinan kalian untuk menumpas datuk
biadab ini. Aku memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin. Berarti kekuasaan
tertinggi rimba persilatan berada di tanganku! Aku harap kalian menyatakan
diri untuk bergabung dibawah pimpinanku!”
“Aku bergabung bersamamu!” Berseru seseorang disertai berkelebatnya satu
bayangan hitam dan tegak di samping Sutan Alam. Orang ini ternyata adalah si
nenek Sika Sure Jelantik.
“Sika Sure Jelantik, aku tidak tahu apa yang ada di dalam otak tololmu!
Mungkin kau mengira adikku Suto Abang benar-benar akan menjadi raja di raja
rimba persilatan karena dia kini memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin! Ha…
ha… ha! Terlalu banyak orang tolol di tempat ini! Terlalu banyak pengkhianat!
Kalian berdua akan mampus secara mengenaskan!”
Dari dalam saku pakaian hitamnya Datuk Lembah Akhirat keluarkan satu
gulungan kain putih. Begitu gulungan kain dibuka terlihatlah sepasang sarung
tangan kulit ular yang bentuk dan warnanya sama dengan yang dikenakan Sutan
Alam Rajo Di Bumi.
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang tertawa besar melihat Datuk Lembah
Akhirat memegang dan mengenakan dua sarung tangan itu. Dengan wajah
mengejek dia berkata. “Sarung tangan yang kau miliki itu adalah palsu Suto
Angil! Malam tadi aku masuk ke dalam tempat penyirnpanan senjata rahasia.
Kuambil sarung tangan asli dari dalam peti besi coklat. Kuganti dengan yang
palsu! Ha… ha… ha! Segala kekuatan ada padaku sekarang! Apa kau masih tidak
mau mengakui dan tunduk padaku?! Atau ingin melawan minta mampus?!”
Datuk Lembah Akhirat tatap tampang adiknya sesaat lalu tertawa gelakgelak.
“Aku tidak setolol yang kau sangka Suto Abang! Kau boleh mencuri sarung
tangan dalam peti besi
sampai sepuluh kali. Karena sarung tangan yang kuletakkan di situ justru adalah
sarung tangan palsu! Yang ini yang asli! Kusembunyikan di tempat lain! Ha… ha…
ha!”
Berubahlah paras Sutan Alam mendengar kata-kata kakaknya itu.
“Suto Abang, dalam soal tipu menipu kau harus belajar dulu padaku! Kalau kau
tidak percaya buka matamu lebar-lebar! Lihat!” Datuk Lembah Akhirat
melompat dari atas kereta. Tubuhnya melayang ke arah Sika Sure Jelantik.
Tangan kanannya dihantamkan. Satu gelombang angin yang bukan olah-olah
dahsyatnya menderu. Beberapa orang yang berada di dekat situ merasa
bergetar tubuh masing-masing akibat hebatnya tenaga dalam sang Datuk.
Melihat dirinya diserang Sika Sure Jelantik tak tinggal diam. Nenek ini kerahkan
tenaga dalam lalu balas menghantam dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah
Raga. Sinar hitam berkiblat.
Sika Sure Jelantik berseru kaget ketika merasakan seolah ada satu gunung
besar melabrak tubuhnya hingga terpental. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu tangan kanan Datuk Lembah Akhirat yang mengenakan sarung tangan
kulit ular kobra tahu-tahu sudah menempel di lengan kanannya. Si nenek
menjerit keras. Tubuhnya terkapar lunglai di tanah tanpa daya karena seluruh
tenaga dalamnya telah tersedot dan masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah
Akhirat! Sesaat kemudian pukulan yang tadi dilepaskan si nenek datang
berbalik menghantam tubuhnya. “Wusss!” Langsung sosok Sika Sure Jelantik
tenggelam dalam kobaran api berwarna hitam. Begitu api padam yang tinggal
hanyalah tebaran debu berwarna hitam.
Pucatlah tampang Sutan Alam Rajo Di Bumi. Para tokoh silat golongan putih
menyaksikan kejadian itu dengan mata tak berkesip dan tengkuk dingin! Tua
Gila menarik nafas berulang kali menyaksikan kematian bekas kekasihnya itu.
Sinto Gendeng memperhatikan sikap si kakek dengan muka cemberut.
Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak lalu berpaling pada adiknya yang
saat itu tengah pandangi sepasang sarung tangan ular yang dikenakannya
dengan mata melotot.
“Suto Abang, apa kau masih merasa datuk segala datuk, raja di raja rimba
persilatan?!”
Suto Abang tak mampu menyahut. Rasa tak percaya ditindih pula oleh rasa
takut. Dia melirik ke kiri. Begitu melihat ada kesempatan dia segera berkelebat
melarikan diri. Cerdiknya dia sengaja kabur ke arah rombongan para tokoh
golongan putih. Namun Sutan Alam tidak mampu mengalahkan kecepatan
gerakan Datuk Lembah Akhirat yang kini memiliki tenaga dalam sulit diukur!
Sekali berkelebat Datuk Lembah Akhirat berhasil memotong lari Sutan Alam.
Tangan kirinya berkelebat. Sutan Alam berteriak ketika melihat satu pukulan
begitu dekat menyambar ke arah batok kepalanya. Tak ada kesempatan untuk
mengelak. Terpaksa dia pergunakan tangan kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua tangan kakak beradik yang sama-sama memakai sarung tangan itu saling
beradu. Sutan Alam menjerit keras! Tangannya laksana disedot besi berani,
menempel di pergelangan tangan Suto Angil dan tak sanggup ditariknya. Dia
kerahkan tenaga dalam. Justru tambah celaka. Dari mulut, mata dan telinganya
mengucur darah segar! Dibarengi bentakan keras Datuk Lembah Akhirat dorong
Sutan Alam hingga orang ini terpental tiga tombak, jatuh bergedebuk di tanah
becek. Sutan Alam kelihatan mencoba bangkit tapi tubuhnya langsung rubuh.
Seluruh tenaga luar dalam yang dimilikinya telah disedot Datuk Lembah
Akhirat! Sutan Alam mengerang pendek lalu tak berkutik lagi. Nyawanya lepas!
“Sarung Tangan Penyedot Batin…” ujar Kakek Segala Tahu dengan suara
bergidik. “Ternyata memang senjata itu ada pada si Datuk keparat itu. Ah….”
Tiba-tiba ada orang menepuk caping di atas kepala Kakek Segala Tahu. Lalu
terdengar suara Sinto Gendeng. “Kita tak bisa tinggal diam. Sekalipun dia
memiliki sarung tangan jahanam itu, kalau diserbu bersama-sama masakan
tidak bakal konyol! Aku akan memberi tahu Dewa Tuak, Tua Gila, dan yang lain-
lain….”
Kakek Segala Tahu cepat pegang tangan si nenek, “Jangan tolol! Sarung Tangan
Penyedot Batin tak ada tandingannya. Kita bisa dibuat mati berdiri satu demi
satu. Sinto, kita harus selamatkan dulu muridmu! ingat nyanyian Nyanyuk
Amber. Manusia hadapi dengan manusia. Binatang hadapi dengan binatang!
Yang gaib hadapi dengan yang gaib! Aku punya firasat hanya muridmu yang bisa
menghadapi Datuk Lembah Akhirat!”
“Siapa lagi yang mau berkhianat?” Tiba-tiba menggeledek suara Datuk Lembah
Akhirat sambil pandangi orang-orangnya satu persatu. Tak ada yang berani
bergerak. Dewa Sedih mengisak perlahan. Dewa Ke-tawa tertawa pendek. Sang
Datuk berpaling pada Hantu Balak Anam. “Giliranmu menerima kematian hantu
jahanam!”
Walau hatinya mendua, namun Hantu Balak Anam tidak unjukkan rasa takut.
Dia mengumbar tawa dan kerahkan tenaga dalam ke kepalanya. Dua belas
lubang di mukanya kelihatan memancarkan sinar menggidikkan, inilah ilmu
kesaktian yang disebut Dua Belas Jalur Kematian.
***
Pada saat Datuk Lembah Akhirat melompat turun menyerang Sika Sure Jelantik
hal ini tidak disia-siakan oleh Andamsuri dan Bidadari Angin Timur yang
memang sejak tadi-tadi mencari kesempatan.
“Kakak Andamsuri! Ini kesempatan paling baik bagi kita menolong dua orang
itu! Mudah-mudahan kita berhasil!” kata Bidadari Angin Timur. Dari balik
pakaian birunya Bidadari Angin Timur keluarkan sebilah senjata bermata dua
yang memancarkan cahaya putih perak menyilaukan. Senjata ini bukan lain
adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang segera diserahkannya pada Andamsuri.
“Astaga! Si pirang itu ternyata juga mencuri kapak muridku!” ujar Sinto
Gendeng melihat apa yang terjadi. Dia hendak berteriak marah tapi di
sebelahnya Kakek Segala Tahu segera berkata, “ingat nyanyian Nyanyuk Amber!
Jangan tertipu pada apa yang dilihat. Jangan tertipu pada kenyataan palsu!”
Sinto Gendeng terpaksa kancingkan mulutnya dan tahan gerak langkahnya.
Setelah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andamsuri, dari balik
pakaiannya Bidadari Angin Timur lalu keluarkan Pedang Naga Suci 212. Sinar
putih dingin berkiblat. Seperti diketahui baik Andamsuri maupun Bidadari Angin
Timur adalah dua orang yang memiliki gerakan sangat cepat. Hingga apa yang
mereka sudah atur berdua diharapkan tidak akan menemui kegagalan.
Sesaat kemudian satu bayangan biru dan kuning melesat ke atas kereta. Cahaya
putih dingin menyilaukan bertabur bersamaan dengan berkiblatnya cahaya
putih perak dan panas.
“Craaass!”.
Tali yang mengikat dua pergelangan kaki Pen-dekar212 Wiro Sableng putus.
Sebelum sang pendekar jatuh ke lantai kereta Bidadari Angin Timur cepat
menahan tubuh Wiro dengan bahu kirinya. Sekali dia berkelebat maka gadis ini
telah melayang ke bawah kereta. Baru saja kakinya menginjak tanah tiba-tiba
lima orang pengawal bermuka hitam dan merah mengurung dan menyerbu
dengan berbagai senjata.
“Bidadari Angin Timur…. Terima kasih kau telah menolongku. Aku tidak akan
melupakan hal ini seumur hidupku!” Tiba-tiba satu suara menyeruak ke telinga
gadis berambut pirang. Bidadari Angin Timur seolah mendengar suara merdu
dari sorga. Dia kenali suara itu. Yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang ada di panggulannya. Seolah mendapat satu kekuatan, Bidadari Angin
Timur berteriak dahsyat. Pedang Naga Suci 212 di tangan kanan dikiblatkan.
Sinar putih dan hawa dingin bertabur. Lima anak buah Datuk Lembah Akhirat
menjerit susul menyusul. Kelimanya tergeletak di tanah dengan tubuh cabik-
cabik mandi darah!
Di bagian lain kereta Andamsuri yang berusaha menolong Bujang Gila Tapak
Sakti mengalami kesulitan. Dia memang dengan mudah bisa menebas putus
ikatan pada tangan dan kaki pemuda gendut itu lalu melepaskan totokannya.
Tapi tidak seperti Bidadari Angin Timur yang enak saja memanggul Wiro, dia
tidak mampu memanggul sosok berbobot lebih dari 150 kati itu. Tak ada jalan
lain. Tubuh Bujang Gila Tapak Sakti didorongnya hingga jatuh ke tanah. Dia
menyusul melompat turun seraya berteriak agar ada yang membantu menyeret
Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman. Justru yang datang adalah empat
orang pengawal anak buah Datuk Lembah Akhirat!
Andamsuri yang memang sudah gatal tangan untuk menghabisi orang-orang
Lembah Akhirat segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat.
Suara seperti ratusan tawon mengamuk menusuk telinga. Hawa panas
menghampar. Hanya satu kali menggebrak, ibu Puti Andini ini berhasil
merobohkan keempat pengeroyoknya. “Senjata luar biasa…” kata Andamsuri
dalam hati mengagumi kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Dari samping
berkelebat Panji. Dengan bantuan pemuda ini Andamsuri segera menyeret
Bujang Gila Tapak Sakti ke tempat aman.
“Kalian orang-orang hebat. Terima kasih telah menolongku…” tiba-tiba orang
yang diseret keluarkan ucapan. “Ah, mengapa jelek amat nasibku sampai
diperlakukan orang seperti ini…. Aduh panasnya udara! Hai, mana kipasku?
Tolong carikan kipasku! Astaga! Kopiah kuplukku mana?!”
“Gendut! Jangan bicara tak karuan!” sentak Andamsuri walau dengan suara
perlahan. Baru saja dia ^berkata begitu tiba-tiba muncullah pemuda berjuluk
Utusan Dari Akhirat. Yang tanpa banyak bicara langsung saja membokong ke
arah Andamsuri dengan pukulan Gerhana Matahari.
Tiga larik sinar hitam, kuning dan merah melesat menyambar dua orang yang
sedang sibuk menyeret tubuh berat Bujang Gila Tapak Sakti.
Panji yang melihat datangnya bahaya berteriak. “Awas serangan!” Tapi
terlambat. “Celaka! Tamat riwayat kita berdua!”
“Siapa sudi mati di tangan manusia jahat!” teriak Andamsuri lalu berlutut dan
siap menangkis dengan pukulan sakti yang selama ini sanggup menahan pukulan
Kipas Neraka. Namun apapun pukulan sakti yang dimiliki Andamsuri saat itu
sudah sangat terlambat
baginya dan Panji untuk selamatkan diri dari bokongan Utusan Dari Akhirat
Bahkan Bujang Gila Tapak Sakti mungkin tidak ketolongan pula jiwanya!
Disaat yang sangat genting itu tiba-tiba ada orang berteriak. “Tiarap!” Panji
dan Andamsuri serta merta jatuhkan diri di kiri kanan Bujang Gila Tapak Sakti.
Bersamaan dengan itu satu cahaya terang luar biasa menyambar dari samping.
Menyapu ke arah pukulan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Pari
Akhirat.
“Wusss!”
“Bumm!”
Tepi barat Telaga Gajahmungkur bergetar hebat. Ratu Duyung tegak tergontai-
gontai namun dengan cepat bisa menguasai diri kembali begitu dia usapkan
tangan kiri di atas pakaian di mana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Cermin
bulat dimelintangkan di depan dada, siap menjaga segala kemungkinan.
Lima langkah di depan Ratu Duyung, Utusan Akhirat tegak dengan sekujur
tubuh bergeletar. Mukanya seputih kain kafan dan dari sela bibirnya merembes
keluar darah segar. Dadanya mendenyut sakit bukan kepalang. Aliran darah
dalam tubuhnya terasa menyentak-nyentak.
“Ratu Duyung….” Pemuda itu hanya sempat berucap pendek. Terhuyunghuyung
dia memutar tubuh lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan. Ratu Duyung cepat
simpan cermin bulatnya kembali lalu bergegas menolong Andamsuri dan Panji.
Panji yang sejak tadi merisaukan Anggini berkata. “Kalian berdua harap dengar
baik-baik. Aku akan segera menuju Lembah Akhirat mencari Anggini. Kalau
ayah atau siapa saja mencariku katakan ke mana aku pergi.”
“Kau tak bisa pergi sendirian. Terlalu berbahaya!” Melarang Andamsuri. Taps
Panji tidak perduli, terus saja tinggalkan tempat itu.
“Ah, pemuda itu rupanya sudah jatuh hati pada murid Dewa Tuak,” kata Ratu
Duyung.
Darah Datuk Lembah Akhirat seperti mau muncrat menembus ubun-ubun ketika
mengetahui bagaimana lawan berhasil menyelamatkan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Bujang Gila Tapak Sakti. Apalagi ketika dia berpaling ternyata
Hantu Balak Anam tak ada lagi di depannya. Kemarahannya dijatuhkan pada
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa.
“Dua tua bangka tak berguna! Dari tadi kalian diam saja! Padahal korban sudah
berjatuhan di pihak kita! Kalian menunggu apa lagi?!”
Dibentak demikian rupa Dewa Sedih langsung menggerung keras dan meratap
panjang dalam keadaan berdiri. Sementara Dewa Ketawa bergoncanggoncang
dada dan perut gendutnya menahan tawa.
“Kau melihat langit! Kau melihat kegelapan! Kau melihat gerhana matahari!
Tapi apakah kau melihat sekujur tubuhku terikat tak berdaya?! Hik… hik… hik!
Aku malu! Aku sedih…!”
“Apa yang terjadi dengan dirimu!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Tanyakan pada matamu! Aku malu! Hatiku sedih! Hik… hik… hik!”
Datuk Lembah Akhirat dekati kakek itu. Begitu memperhatikan terkejutlah dia.
Sekujur tubuh Dewa Sedih ternyata telah dilibat benang halus berkilat mulai
dari bahu sampai ke pergelangan kaki. Ketika dia mengalihkan perhatian pada
Dewa Ketawa, kakek gendut di atas keledai ini ternyata mengalami nasib sama.
Terikat sekujur badannya. Malah
keledai tunggangannya juga dalam keadaan terikat ke empat kakinya hingga tak
bisa bergerak!
“Jahanam!” sumpah Datuk Lembah Akhirat.
“Kau melihat! Tapi kau tidak menolong! Kau memaki tapi tidak bertindak!
Hatiku sedih! Hik… hik… hik!” ratap Dewa Sedih.
“Rupanya kau ingin melihat kami jadi patung bego! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa
tertawa gelak-gelak.
Datuk Lembah Akhirat menggembor marah. “Aku tahu siapa yang punya
pekerjaan! Hanya ada dua orang yang memiliki benang laknat seperti ini. Dewa
Tuak dan tua Gila!” Dia memandang berkeliling mencari-cari. Yang pertama
dilihatnya dalam kegelapan adalah Dewa Tuak yang saat itu bersama iblis Muda
Ratu Pesolek siap meninggalkan tempat itu menuju Lembah Akhirat guna
mencari dan menyelamatkan Anggini. Namun baru melangkah beberapa tindak
di depan mereka sosok tinggi besar Datuk Lembah Akhirat telah menghadang
dan langsung hantamkan dua tangannya.
“Wusss! Wusss!”
Dua jalur sinar tiga warna, merah, hitam dan hijau menderu dahsyat, inilah
kehebatan Datuk Lembah Akhirat. Kalau para pembantunya yang telah tewas
hanya memiliki pukulan maut satu warna maka dia sekaligus menguasai tiga
warna! •
“Pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga!” teriak Dewa Tuak. Dia melompat ke
kiri sedang iblis Muda Ratu Pesolek menyingkir ke kanan. Dua pukulan maut
lewat menghantam udara kosong lalu menghajar pohon dan semak belukar di
belakang sana. Pohon dan semak langsung terbakar lalu berubah menjadi debu
berwarna merah, hitam dan hijau!
Dewa Tuak menggigil menyaksikan apa yang terjadi. Dia segera teguk tuaknya
untuk tenangkan diri. Dari jurusan lain tiba-tiba iblis Putih Ratu Pesolek yang
baru saja lolos dari maut melangkah cepat mendekati Datuk Lembah Akhirat
sambil senyum-senyum. Dewa Tuak dan yang lain-lainnya jadi terkesiap kaget.
“Eh, apa yang mau dilakukannya?” pikir Dewa Tuak.
“Tua bangka rongsokan! Kau benar-benar berani mampus!” teriak Datuk
Lembah Akhirat melihat si nenek melangkah mendatanginya. Dia angkat tangan
kanan yang bersarung, siap memukul. Tiba-tiba dia melihat satu keanehan yang
membuat matanya membeliak besar. Sosok iblis Putih Ratu Pesolek berubah
menjadi satu sosok gadis cantik bertubuh luar biasa gemuknya, melangkah ke
arahnya dalam keadaan bugil! Dadanya yang besar bergoyang-goyang. Perut-nya
yang gemuk bergoncang-goncang. Sepasang pinggul besar berlemak naik turun
mengikuti gerakan dua pangkal paha putih dan gempal.
Datuk Lembah Akhirat usap kedua matanya, “Apa aku tidak bermimpi! Apa aku
tidak salah lihat?!” dia bertanya pada diri sendiri berulang kali, inilah
kehebatan iblis Putih atau iblis Muda Ratu Pesolek yang bisa merubah dirinya
menjadi perempuan sesuai dengan keinginannya. Datuk Lembah Akhirat mulai
tergoda. Nafsu mesumnya berkecamuk tak tertahankan. Tapi tiba-tiba dia ingat
pada Buli-Buli alias Bujang Gila Tapak Sakti yang telah menipunya.
“Jangan-jangan orang hendak menipuku lagi,” pikir sang Datuk. Karenanya
begitu gadis gemuk telanjang itu tinggal dua langkah lagi dari hadapannya,
Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya, iblis Muda Ratu Pesolek
menjerit keras. Tubuhnya terlempar di tanah becek dalam bentuk aslinya yaitu
sosok seorang nenek berdandan medok.
Mengerang panjang lalu terkulai. Dadanya amblas di arah jantung. Tenaga
dalamnya terkuras masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!
***
Di satu tempat yang dirasakan aman Bidadari Angin Timur sandarkan Pendekar
212 Wiro Sableng pada sebatang pohon. Andamsuri lalu memeriksa tubuh
pemuda itu. Dia berhasil menemukan tempat dimana Wiro sebelumnya ditotok.
Tanpa membuang waktu Andamsuri segera punahkan totokan itu. Seperti orang
terbangun dari mimpi untuk beberapa lamanya Wiro hanya memandangi
Andamsuri dan Bidadari Angin Timur dengan pandangan penuh terima kasih.
Lama-lama Andamsuri menyadari bahwa lebih baik dia membiarkan Wiro
berdua saja dengan Bidadari Angin Timur. “Untuk sementara kalian aman di
sini. Ini tentu senjata mustika milikmu. Ambillah. Simpan baik-baik. Aku pergi
dulu….” Andamsuri letakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas pangkuan Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini serasa mendapatkan nyawanya kembali. Sekian
lama senjata itu terpisah dari dirinya. Dengan cepat Wiro memegang gagang
kapak. Karena tidak memiliki kesaktian dan kekuatan, senjata itu terasa berat
hingga agak susah baginya menyelipkan di pinggang.
“Tunggu!” ujar Bidadari Angin Timur. “Kita sudah memiliki Pedang Naga Suci
212. Pendekar 212 ada di sini! Saat paling tepat untuk mengobati dirinya. Tapi
bagaimana cara melakukannya?”
“Aku juga tak tahu. Sebaiknya kita panggil Ratu Duyung. Mungkin dia bisa
mendapatkan petunjuk dari cermin saktinya! Kalian berdua tunggu di sini…”
sahut Andamsuri.
“Sebentar…” ujar Wiro. “Menurut perhitunganku malam ini musibah yang
menimpa diriku telah sembuh. Tapi mengapa….”
“Saat ini bukan malam hari! Tapi siang hari!” menerangkan Bidadari Angin
Timur.
“Aku tak mengerti,”-ujar Wiro dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama
dia garuk-garuk kepala.
“Saat ini sebenarnya pagi menjelang siang. Mata-hari mengalami kegelapan
tertutup bulan. Orang menyebutnya gerhana! itu sebabnya udara gelap seperti
malam.”
“Aku tetap tidak mengerti,” kata Wiro pula.
“Kau tak perlu mengerti. Kakak Andamsuri harap kau lekas mencari Ratu
Duyung dan membawanya kemari….” Wiro hanya bisa tersenyum dan kembali
garuk-garuk kepala mendengar ucapan Bidadari Angin Timur itu.
***
Teriakan Dewa Tuak seperti hendak merobek langit gelap ketika dapatkan iblis
Muda Ratu Pesolek menggeletak mati di tanah becek di hadapannya. Kakek ini
jatuhkan diri lalu memeluki tubuh tak bernafas itu dengan mata berkaca-kaca.
Mata yang berkaca-kaca itu kemudian berubah laksana kobaran api.
Dewa Tuak lempar satu dari dua bumbung bambu yang berada di panggulannya
lalu melangkah mendekati Datuk Lembah Akhirat.
“Datuk jahanam! Iblis laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!”
Datuk Lembah Akhirat ganda tertawa mendengar ucapan itu. Dia gerakgerakkan
dua tangannya yang bersarung seraya berkata. “Kalau kau memang nekad mau
menyusul kekasihmu si nenek jelek itu majulah mendekat!”
Dewa Tuak tidak bodoh. Dia berhenti empat langkah di hadapan Datuk Lembah
Akhirat. Tiba-tiba kakek ini gerakkan tangan kanannya. Selarik sinar putih
menderu berkeluk-keluk di udara, itulah benang sakti andalannya. Ujung
benang membuat gerakan me-matuk kian kemari sementara bagian yang lain
menyapu berusaha menjerat tubuh Datuk Lembah Akhirat.
“Permainan anak-anak apa yang hendak kau perlihatkan padaku Dewa Tuak!”
ejek Datuk Lembah Akhirat.
Dengan tangannya yang bersarung dia berhasil menangkap ujung benang lalu
secepat kilat menariknya. Dewa Tuak berseru kaget dan terpaksa lepaskan
benang saktinya ketika dirasakannya tubuhnya ikut tertarik dan ada tenaganya
yang tersedot keluar. Dewa Tuak semburkan tuak dari dalam bumbung bambu
ke arah lawan. Yang diserang sengaja pentang dada. Semburan minuman keras
itu bukan saja tidak mampu mencapai sasarannya malah mental dan berbalik ke
arah Dewa Tuak. Kalau tidak cepat menghindar niscaya Dewa Tuak akan
mengalami cidera. Dengan kalap Dewa Tuak lepaskan pukulan-pukulan jarak
jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun semua pukulan itu mental
kembali oleh kekuatan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat yang bukan main
tingginya.
“Dewa Tuak, saatnya aku membalas semua seranganmu!” kata Datuk Lembah
Akhirat lalu, “Wuutt….wuutt!” Tangannya kiri kanan bergerak memukul. Setiap
pukulan mengeluarkan daya dorong luar biasa seolah Dewa Tuak berkelahi
melawan angin topan yang datang menyapunya! Tokoh silat yang punya nama
besar dalam rimba persilatan ini hanya bisa bertahan tiga jurus. Di jurus ke
empat, dalam keadaan terhuyung-huyung dia tak mampu menyingkir
selamatkan diri dari satu jotosan yang menghantam ke arah dadanya. Untuk
menangkis percuma saja karena sarung tangan lawan pasti akan menyedot
tenaga dalamnya sampai ludas!
Saat itu terdengar suara berkerontang keras. Satu sinar putih berkiblat di udara
membentuk setengah lingkaran yang ujungnya laksana gerinda besi menyambar
ke batang leher Datuk Lembah Akhirat. Dari jurusan lain satu sinar sangat panas
dan berkilauan datang pula menghantam. Kakek Segala Tahu berusaha
menyelamatkan Dewa Tuak dengan serangan tongkat kayunya sementara Sinto
Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Sinar Matahari!
Ujung tongkat Kakek Segala Tahu masih jauh dari leher yang jadi sasaran tiba-
tiba ada kekuatan tenaga dalam melesat dari tubuh-Datuk Lembah Akhirat.
“Kraak!” Tongkat kakek mata putih patah tiga mental ke udara. Kakek Segala
Tahu terpaksa melompat mundur sambil keluarkan seruan kaget!
Sinto Gendeng juga mengalami nasib sama, malah hampir cidera kalau tidak
membuat gerakan jungkir balik di. udara sewaktu pukulan saktinya tiba-tiba
membalik menghantam dirinya kembali!
“Sinto,” Kakek Segala Tahu berbisik. “Kita tidak mungkin menghadapi datuk
keparat ini! Aku punya firasat hanya muridmu yang sanggup melawannya. Aku
akan mencari pemuda itu!”
“Aku saja yang mencarinya. Tadi kulihat ada dua orang menyelamatkan anak
setan itu! Mereka pasti membawanya ke satu tempat yang aman!” berkata Sinto
Gendeng.
“Tidak bisa! Kau tidak bisa meninggalkan orang-orang ini! Datuk keparat itu
terlalu tangguh! Dia harus dikurung untuk membatasi gerak!” kata Kakek Segala
Tahu lalu tanpa menunggu lagi dia berkelebat pergi dalam kegelapan.
Sinto Gendeng sebenarnya ingin pergi dari situ bukan saja karena ingin
menolong muridnya tapi juga karena dia merasa kikuk berdekatan dengan Tua
Gila alias Sukat Tandika kekasih di masa mudanya itu. Apalagi tak jauh dari situ
ada pula Sabai Nan Rancak yang menjadi saingannya dalam memperebutkan
cinta Tua Gila!
“Tua bangka pengecut! Kau mau lari ke mana?!” teriak Datuk Lembah Akhirat
ketika dilihatnya Kakek Segala Tahu berkelebat pergi. Tapi maksudnya hendak
mengejar tertahan ketika beberapa orang berkepandaian tinggi mengurungnya.
Tua Gila di depan sekali.
“Siapa dulu di antara kalian ingin mati lebih cepat!” Bertanya Datuk Lembah
Akhirat sambil sunggingkan seringai mengejek.
“Jangan bergerak. Kalau dia mendekat baru hantam!” kata Tua Gila.
“Kalian orang-orang golongan putih ternyata pengecut semua! Mau
mengeroyokku hah?! Silahkan maju ramai-ramai! Lebih dekat lebih baik!”
Tapi tak ada yang bergerak.
“Pengecut!” kertak Datuk Lembah Akhirat! “Kalau kalian tidak berani maju
biar aku yang menjemput nyawa kalian!” Didahului suara menggembor keras
sang Datuk melompat ke arah orang-orang yang mengurungnya. Hantam!”
teriak Tua Gila.
***

Delapan
Begitu Ratu Duyung dan Andamsuri muncul, Bidadari Angin Timur segera
berkata. “Pedang Naga Suci 212 sudah di tangan. Namun kami tidak tahu
bagaimana caranya menolong Pendekar 212, Mungkin kau bisa dapatkan
petunjuk lewat cermin saktimu!”
Ratu Duyung yang merasa paling bertanggung jawab atas musibah yang
menimpa Wiro segera saja keluarkan cermin bulatnya. Lalu gadis ini kerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Tak lupa dia meraba Kitab Wasiat Malaikat yang ada
di balik dada pakaiannya. Dia menatap tak berkesip ke dalam cermin bulat.
Seperti diketahui sejak peristiwa hubungannya dengan Wiro tempo hari dia
mengalami kesulitan untuk melihat atau meminta petunjuk pada cermin sakti,
Tapi saat itu karena kekuatan Kitab Wasiat Malaikat yang ada padanya bayangan
petunjuk dalam cermin muncul dengan cepat.
“Aku melihat dada tanpa pakaian. Aku melihat rajah 212….” Ratu Duyung
mengatakan apa-apa yang dilihatnya di cermin. “Aku melihat Pedang Naga Suci
212 menukik. Ujungnya menghunjam lembut di atas dada. Di atas rajah 212
tepat pada angka 1. Satu adalah lambang Yang Maha Tunggal, Yang Maha Kuasa,
Yang Maha Esa. Ada darah mengucur…. Darah berwarna biru. Aku melihat
kepulan asap. Sosok tubuh tanpa pakaian itu bergerak. Ada suara dahsyat.
Suara mengaum….” Cermin di tangan Ratu Duyung bergetar keras. Getaran
menjalar ke seluruh tubuh gadis cantik itu. Ratu Duyung terpekik. Cermin sakti
terlepas dari tangannya. Sebelum jatuh ke tanah satu bayangan berkelebat
menangkap cermin sakti itu. Yang melakukan ternyata adalah Kakek Segala
Tahu yang mendadak muncul di tempat itu. Si kakek serahkan cermin bulat
pada Ratu Duyung. “Aku sempat mendengar semua ucapanmu. Lekas lakukan
seperti apa yang kau lihat di dalam cermin!”
“Siapa yang melakukan?” tanya Bidadari Angin Timur walau saat itu dia yang
memegang Pedang Naga Suci 212. Ratu Duyung tak berani menjawab. Tiba-tiba
satu bayangan berkelebat dari kegelapan. “Biar aku yang melakukan. Kalian
beri petunjuk agar tidak salah!”
Yang datang adalah Puti Andini. Sesaat Bidadari Angin Timur merasa bimbang.
Tapi akhirnya pedang sakti diangsurkannya juga kepada Puti Andini.
Cucu Tua Gila ini pegang gagang pedang sakti dengan kedua tangannya.
Ujungnya yang runcing diarahkan ke pertengahan dada Pendekar 212 Wiro
Sableng yang duduk tersandar di pohon, tepat di rajah angka 1. Semua orang
menyaksikan bagaimana tangan gadis yang berjuluk Dewi Payung Tujuh itu
tampak bergetar. Murid Sinto Gendeng sendiri duduk tersandar di pohon
laksana dipantek. Tak berani bergerak bahkan mungkin tak berani bernafas.
Mukanya pucat pasi. Tangan kanannya sudah gatal hendak menggaruk kepala!
Kalau semua apa yang dilakukan orang-orang ini gagal, celakalah dia!
“Jangan tegang anakku! Kau bisa melakukannya…” bisik Andamsuri pada
anaknya itu. Seolah mendapat kekuatan rasa tegang Puti Andini segera lenyap.
Dua tangannya menjadi sangat kukuh, perlahan, hati-hati tetapi mantap Puti
Andini tusukkan ujung Pedang Naga Suci 212. Hawa dingin luar biasa
menyambar dari ujung pedang. Menembus masuk melewati kulit, daging dan
tulang dada Pendekar 212. Kepulan asap halus menyeruak di permukaan dada
sang pendekar. Pada saat itulah sekonyong-konyong sebuah benda hitam
menebar bau busuk melesat di udara. “Claakkk… claakkk… claakkk!” Suara
aneh disertai tawa bergelak merobek kesunyian dan ketegangan di tempat itu.
Lalu ada satu sambaran angin amat keras membuat Puti Andini terdorong satu
langkah ke samping. Kalau Kakak Segala Tahu tidak cepat mengibaskan caping
bambunya niscaya Puti Andini terjengkang ke tanah.
Andamsuri berteriak marah. Kakek Segala Tahu melintangkan caping di depan
dada. Kepala didongakkan. Puti Andini cepat imbangi diri seraya tukikkan
Pedang Naga Suci 212 dalam jurus yang disebut Pedang Dewa Menukik Bumi.
Dalam kuda-kuda seperti itu dia bisa membuat tujuh gerakan menyerang secara
kilat. Pendekar 212 Wiro Sableng yang duduk tersandar di pohon menatap
dengan mata mendelik. Nafasnya mendadak jadi turun naik oleh marah dan
juga khawatir. Ratu Duyung segera keluarkan kembali cermin sakti yang
barusan disimpannya. Sementara Bidadari Angin Timur langsung mengambil
Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Wiro. “Aku. pinjam senjatamu.
Manusia satu ini sangat berbahaya….” Murid Sinto Gendeng hanya bisa
anggukkan kepala.
Di hadapan orang-orang itu tegak tangan ke bawah kaki ke atas Jagal Iblis
Makam Setan. Sepasang kaki tulangnya tiada henti digerak-gerakkan seperti
gun-ting. “Claakkk! Claakkk… Claakkk!”
“Nasib kehidupan dan kematian manusia sudah ditentukan! Tapi aku Jagal Iblis
Makam Setan bisa merubah semudah membalikkan telapak tangan! Gadis yang
memegang pedang, serahkan senjata itu padaku. Niscaya umurmu panjang dan
kuampuni nyawa semua orang yang ada di sini!”
Dari bawah pohon terdengar suara mendengus lalu tawa bergelak. “Aku sering
ketemu Malaikat Maut. Tapi keadaannya tidak buruk dan bau sepertimu! Berdiri
saja belum becus! Kalau kau kencing dalam keadaan seperti itu kau bisabisa
minum kencingmu sendiri! Ha… ha… ha!”
Semua orang tertegun mendengar ucapan dan gelak tawa itu. Karena yang
barusan bicara mengejek bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jagal iblis Makam Setan balas tertawa. “Pendekar malang I Sekian lama hidup
tersiksa saat ini kau sudah bisa jual omongan besar! Sebentar lagi aku akan
mengakhiri derita hidupmu dengan mencabut selembar nyawamu!” Habis
berkata begitu kakek berkaki tulang ini berpaling pada Puti Andini. “Gadis
cantik, kau tunggu apa lagi. Serahkan padaku Pedang Naga Suci 212. Atau
mungkin kau mau menyerahkan sambil kita berguling-guling di atas ranjang?
Hik… hik… hik!”
Paras Puti Andini menjadi merah padam. Saat itu ingin sekali dia menyerang si
kakek namun berarti rencana pertolongan atas diri Wiro menjadi tertunda.
Andamsuri maklum apa yang terpikir oleh puterinya itu. Dia bergerak ke
hadapan Jagal Iblis Makam Setan. “Aku tidak dapat melihat tampangmu dengan
jelas.
Apa kau bisa berdiri di atas kakimu barang sebentar agar penglihatanku bisa
dipertegas. Gadis itu adalah anakku. Mungkin kau memang cukup pantas
kujadikan mantu!”
“Ibu!” teriak Puti Andini seperti tidak percaya akan pendengarannya dan
mengira Andamsuri memang bermaksud culas hendak mengorbankan dirinya.
Jagal iblis Makam Setan tertawa bergelak. “Wuuut!” Tubuhnya melesat ke
udara. Sesaat lagi sepasang kaki tulangnya hendak menjejak tanah tiba-tiba
Andamsuri membuat gerakan berlutut. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dihantamkan ke depan. “Wuss!”
Cahaya merah berkiblat. Jagal iblis Makam Setan menggembor marah.
Tubuhnya melesat ke udara lalu, “Claakkk!” Luar biasa cepatnya. Sepasang
kaki gunting raksasanya menyambar ke arah leher Andamsuri. “Breettt!” Kalau
tidak dia berkelit tak ampun Lagi le-hernya akan tertabas putus. Masih untung
hanya pakaian kuningnya yang tersambar robek di bagian bahu!
Ratu Duyung tak tinggal diam. Bidadari Angin Timor bergerak dua langkah.
Kakek Segala Tahu masih tegak mendongak kepala. Tiba-tiba dua benda putih
melesat di udara, menyambar ke arah tenggorokan dan bagian bawah perut
Jagal iblis Makam Setan. Benar-benar serangan mematikan.
“Jahanam pengecut! Siapa berani membokong!” teriak Jagal iblis Makam Setan
seraya melompat selamatkan diri. Benda yang menyambar ke arah bawah
perutnya berhasil dielakkan. Tapi yang ke arah leher akibat gerakannya
mengelak tadi kini jadi bersarang di dada.
“Mampus kau!”
Jagal iblis Makam Setan tertawa mengekeh. Dia sengaja busungkan dada.
“Plukkk!” Benda yang menghantam dirinya merobek dada pakaiannya tapi
kemudian mental seolah tubuhnya atos kebal!
Nenek sakti dart Gunung Gede Sinto Gendeng pelototkan mata ketika melihat
tusuk konde perak beracun yang jadi andalannya tercampak di tanah dalam
keadaan bengkok. Melihat kejadian itu Pendekar 212 langsung ingat jubah
saktinya yang dirampas beberapa waktu lalu. Maka dia cepat berteriak. “Tua
bangka bau itu mengenakan jubah Kencono Geni di balik pakaiannya!”
“Aku tidak percaya dia kebal seluruh badan!” ujar Bidadari Angin Timur. Si
gadis cepat mengukur. Paling dalam jubah yang dikenakan kakek jahat itu
hanya sebatas pinggang. Maka dengan Kapak Naga Geni 212 dia menyerbu,
mengarahkan serangan dari pinggang ke bawah. Sinar putih perak menyilaukan
dan menghampar hawa panas berkiblat berbuntal-buntal. Jagal iblis Makam
Setan terus saja mengumbar tawa.
“Ha-ha! Guru dan murid sudah berkumpul di sini untuk menerima kematian!”
teriaknya. Maksudnya adalah Sinto Gendeng dan Pendekar 212. “Mana kakek
satunya si Tua Gila itu!”
“Wuuuttt!”
Kapak Naga Geni 212 membabat ke arah kaki. Jagal iblis Makam Setan masih
tertawa tapi cepat bergerak mundur. Kaget kakek bau ini bukan alang kepalang
ketika dari belakang berhembus angin deras membuat gerakannya mundur
tertahan laksana ter-hadang tembok batu! Ketika dia berpaling dia melihat
Kakek Sega la Tahu tegak mendongak ke langit gelap sambil kipaskipaskan
caping bambunya. Ternyata angin yang keluar dari caping inilah yang membuat
dia tak mampu bergerak mundur. Di saat yang sama Kapak Naga Geni 212 di
tangan Bidadari Angin Timur menyambar. Tak ada jalan lain. Jagal iblis Makam
Setan terpaksa melompat ke atas sambil berusaha menggunting tangan lawan
yang memegang kapak, “Traangg!”
Suara keras disertai percikan bunga api bertabur di kegelapan. Bidadari Angin
Timur terpekik. Getaran hebat yang membuat tangannya pedas panas
menyebabkan Kapak Naga Geni 212 terlepas mental dari pegangannya. Secepat
kilat Sinto Gendeng melompat ke udara menyelamatkan senjata itu. Kakek Sega
la Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
Jagal iblis Makam Setan begitu percaya akan kehebatan sepasang kaki
tulangnya. Namun sekali ini dia kena batunya. Dia meraung keras ketika
melayang turun ke tanah dia tak sanggup lagi berdiri wajar karena kaki kirinya
yang barusan dihantam Kapak Maut Naga Geni 212 kini telah buntung satu
jengkal di bawah lutut! Lelehlah nyali manusia satu ini. Di situ ada Kakek Segala
Tahu dan Sinto Gendeng. Lalu dua senjata sakti mandraguna yakni Kapak Naga
Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 sulit harus dihadapinya. Belum lagi Ratu
Duyung dengan cermin saktinya. Daripada mati konyol lebih baik kabur saja
melarikan diri. Namun semua orang yang ada disitu sudah dapat membaca apa
yang ada dalam benak Jagal Iblis Makam Setan.
Dengan cepat mereka mengurung.
“Pengecut! Kalian hanya berani main keroyok!” dengus Jagal iblis Makam
Setan.
“Kakek bau! Siapa main keroyok. Hadapi diriku!” kata Puti Andini. Lalu tanpa
menunggu gadis ini kiblatkan Pedang Naga Suci 212. Sinar putih menyabung
dalam kegelapan. Hawa dingin menghantam tubuh lawan hingga Jagal iblis
Makam Setan menggigil kertakkan geraham. Dia berkelebat cepat hindari
gempuran pedang. Namun gerakannya terbatas oleh kurungan lawan. Kakek ini
hanya bisa bertahan selama enam jurus. Pada jurus ke tujuh kaki kanannya
terbabat putus dimakan pedang sakti di tangan Puti Andini.
Tubuhnya terbanting jatuh di tanah. Hawa dingin yang amat sangat membuat
dia seolah telah berubah menjadi es dan tak bisa bergerak sedikit pun. Dalam
keadaan seperti itu ujung Pedang Naga Suci 212 datang menusuk langsung
menembus lehernya!
Cucu Tua Gila itu menggigil sewaktu mencabut pedang. Ketika pedang dicabut
darah merah masih menodai ujung senjata sakti itu. Namun sesaat kemudian
terjadilah satu keanehan. Darah berubah menjadi kepulan asap. Begitu kepulan
asap lenyap Pedang -Naga Suci 212 kembali dalam keadaan bersih tanpa noda.
“Selamatkan jubah Kencono Geni! Tanggalkan dari tubuhnya!” seru Wiro. Sinto
Gendeng segera lakukan apa yang dikatakan muridnya lalu, “Bukkk!” Si nenek
tendang mayat Jagal iblis Makam Setan hingga, mencelat jauh.
Sementara itu di bagian lain tepi barat Telaga Gajahmungkur terdengar
bentakan dan jeritan-jeritan orang-orang yang berkelahi melawan Datuk
Lembah Akhirat.
“Waktu kita sempit! Lekas lakukan pengobatan terhadap Pendekar 212! Puti
Andini! Cepat!” Kakek Segala Tahu berseru sambil berulang kali mengusap
wajahnya tanda sangat cemas.
Seperti tadi disaksikan semua orang yang ada di tempat itu, Puti Andini
perlahan-lahan dan hati-hati tusukkan ujung Pedang Naga Suci 212 ke
pertengahan dada Wiro. Tepat di rajah angka 1. Hawa dingin menembus masuk
ke dalam tubuh murid Sinto Gendeng hingga tubuh pemuda ini bergeletar.
Matanya mendelik dan gerahamnya bergemeletukkan. Lalu muncul kepulan
asap putih. Ketika ujung pedang ditusukkan lebih dalam Wiro mengerenyit
kesakitan. Pedang Naga Suci 212 bergetar hebat dan memancarkan sinar lebih
terang. Dari bagian dada yang terluka mengucur darah aneh berwarna biru.
Seperti ada kekuatan yang mendorong, Pedang Naga Suci 212 bergerak mundur.
Puti Andini cepat tarik tangannya yang memegang pedang. Lalu satu cahaya
merah seolah keluar dari tubuh Wiro, bergulung membungkus sekujur
permukaan badannya mulai dari rambut sampai ke kepala. Cahaya ini
membuntal menciut menjadi sebesar kepalan tangan. Sesaat cahaya ini
mendekam di atas dada tepat di ujung mata pedang. Tiba-tiba, “Wuuuss!”
Gumpalan cahaya melesat ke udara, menembus kegelapan hitam dan di satu
tempat meledak hancur bertaburan dengan suara menggelegar!
Belum habis ketegangan yang mencekam tiba-tiba sosok Pendekar 212
bergerak. Dua tangannya dikembangkan ke samping. Dua kaki bersila. Dua mata
membeliak tidak berkedip dan dari tenggorokannya terdengar suara menggeru
aneh. Kemudian dari mulut sang pendekar meledak suara menyerupai auman
harimau dahsyat. Tepi barat Telaga Gajahmungkur bergetar Air telaga membuat
riakan-riakan bergelombang.
Puti Andini, Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur terpekik. Kakek Segala Tahu
dongakkan kepala dengan mulut berkomat kamit. Sinto Gendeng tegak tertegun
dengan muka kelam membesi dan mata membeliak. Semua orang menyaksikan
bagaimana tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggang ke atas telah berbuah
menjadi sosok seekor harimau besar berbulu putih bermata hijau menyorot!
“Gusti Allah! Apa yang terjadi dengan anak setan ini!” ujar Sinto Gendeng
dalam hati. Semua orang menduga jangan-jangan telah terjadi kekeliruan
besar. Pedang Naga Suci 212 bukannya mengobati pemuda itu tapi malah
merobahnya menjadi makhluk jejadian berupa seekor harimau putih! Tak ada
yang berani bergerak ataupun bersuara.
Perlahan-lahan rasa dingin dan getaran hebat di tubuh Pendekar 212 sirna.
Pandangan matanya yang tadi mendelik menyorot kini meredup. Di dalam
tubuhnya ada satu hawa aneh yang membuat dia merasa seolah mampu
menghancurkan batu sebesar gunung dan mampu melesat tinggi ke langit.
Namun bagi orang-orang yang ada di situ suasana malah bertambah
menggidikkan karena mendadak di tempat itu tercium bau kemenyan amat
santar. Bersamaan dengan itu tanpa dapat dilihat oleh yang lain-lain dari
tempat gelap bertiup segulung kabut putih. Lalu di kejauhan terdengar suara
tiupan saluang (saluang = seruling khas orang Minangkabau). Di atas kabut,
seolah melayang tampak satu sosok tua gagah berpakaian selempang kain putih.
Orang tua aneh ini memiliki sepasang mata kebiru-biruan memegang sebuah
tongkat kayu putih di tangan kiri sedang tangan kanannya mengusap-usap leher
seekor harimau besar berbulu putih yang memiliki sepasang mata berwarna
hijau. Di pinggang si orang tua terselip sebuah saluang terbuat dari emas.
“Datuk Rao Basaluang Ameh,” Pendekar 212 berucap begitu mengenali siapa
adanya orang tua di dalam kabut. “Datuk Rao Bamato Hijau….” Wiro juga
segera mengenali harimau besar di samping si orang tua. Dia segera
membungkuk menghormat.
Datuk Rao Basaluang Ameh kedipkan matanya sedang Datuk Rao Bamato Hijau
mengaum dahsyat membuat semua orang yang ada di situ kembali tersentak
kaget dan mundur. Harimau besar itu bergerak mendekati Wiro lalu jilati muka
pemuda itu. (Mengenai Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Muslihat Para iblis” terdiri dari delapan Episode).
“Anak manusia bernama Wiro Sableng, terlahir bernama Wiro Saksono, bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Perjalanan hidup manusia dan alam gaib
sulit diduga. Yang Kuasa penentu segala jalan kehidupan manusia
mempertemukan kita kembali. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh dan sahabatmu
Datuk Rao Bamato Hijau muncul untuk memberi tahu bahwa saat ini kekuatan
dan kesaktianmu telah pulih. Musibah yang menimpa dirimu malah menjadi satu
mukjizat karena selama terpendam kekuatan dan ke-saktian yang kau miliki
telah berkembang atas kehendak Yang Maha Kuasa. Meski demikian ingat selalu
bahwa setiap musibah bisa terjadi menimpa diri seseorang. Itu satu pertanda
bahwa tidak ada ilmu dan kekuatan yang sempurna kecuali ilmu dan kekuatan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan memulihkan kekuatan dan kesaktianmu pada
saat dunia persilatan membutuhkan dirimu. Berlindung kepada Tuhan. Minta
tolong dan petunjuk hanya kepada Dia. ingat penjelasanku yang satu ini yang
pernah kusampaikan lewat seorang tokoh tapi mungkin tidak sempat kau
dengar. Dalam menghadapi lawan di bawah gerhana matahari hadapi binatang
dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Selamat tinggal anak
manusia. Jaga dirimu baik-baik….” Datuk Rao Basaluang Ameh usap rambut
Pendekar 212. Datuk Rao Bamato Hijau sekali lagi jilati wajah Wiro. Kabut yang
menyelubung di tempat itu perlahan-lahan sirna. Bersamaan dengan itu sirna
pula sosok gaib si orang tua dan harimaunya. Bau santarnya kemenyan pun ikut
lenyap.
Pendekar 212 Wiro Sableng jatuhkan diri, bersujud di tanah seraya hatinya
berkata. “Terima kasih Tuhan. Terima kasih Engkau telah mengembalikan
segala ilmu segala daya dalam diriku….”
Seseorang menepuk bahu Pendekar 212, membuatnya sadar dari kekhusukan
dan berdiri bangkit. Yang memegangnya barusan ternyata adalah Sinto
Gendeng. Si nenek untuk pertama kalinya menyeringai.
“Wiro, kau tadi bicara dengan siapa?” tanya Ratu Duyung.
“Kami mendengar suara auman harimau. Kami mencium bau kemenyan santar
sekali!” kata Bidadari Angin Timur.
“Aku melihat dirimu sebagian berubah menjadi harimau. Ilmu sihir apa yang
kau miliki, Wiro?” tanya Sinto Gendeng.
“Aku… aku tak bisa menerangkan…” jawab Pendekar 212. Rupanya orang-orang
yang ada di situ hanya bisa mendengar dan mencium apa yang terjadi. Mereka
sama sekali tidak bisa melihat sosok gaib Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk
Rao Bamato Hijau. Wiro cepat membungkuk mencium tangan guru? nya seraya
berkata. “Eyang Sinto, maafkan diriku. Terima kasih kau telah menolongku.”
“Eh, tunggu dulu! Siapa yang telah menolongmu anak setan? Bukan aku! Bukan
juga kakek buta bau apak di sampingku ini! Yang menolongmu adalah orang
pandai dari tanah seberang bernama Andamsuri ini serta serombongan gadis
cantik yang terdiri dari tiga orang. Aku lupa namanya satu persatu! Hik… hik…
hik!” Si nenek lalu sisipkan Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya ke pinggang
Wiro. “Kau barusan mencium tanganku. Apa kau tidak akan mencium tangan
tiga gadis cantik itu? Atau kau lebih suka mencium pipi mereka satu persatu?
Hik… hik… hik!”
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. Tak bisa
menjawab olok-olok sang guru. Saat itu sebenarnya ingin sekali si nenek
memeluk muridnya, tapi dasar manusia aneh hal itu tidak dilakukannya. Malah
Sinto Gendeng pegang tangan Kakek Segala Tahu dan berkata. Tua bangka, ayo
kita kembali ke kalangan pertempuran. Biarkan dulu orang-orang muda ini
menarik nafas lega barang beberapa ketika.”
“Tidak Nek, kita harus segera sama-sama ke sana…” jawab Wiro. “Dari ilmu
melihat jauh yang diberikan Ratu Duyung padaku, aku bisa melihat para tokoh
sahabat kita berada dalam bahaya besar!”
“Betul kita harus kembali ke sana. Wiro, hanya kau yang sanggup menghadapi
Datuk Lembah Akhirat! Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Satu-
satunya petunjuk yang bisa kusampaikan adalah hadapi binatang dengan
binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro ingat hal itu juga diucapkan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sebelum
tinggalkan tempat itu Wiro lebih dulu membuka pakaian luar Jagal iblis Makam
Setan lalu menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang sebelumnya dirampas
si kakek.
Ratu Duyung merasa lega mengetahui bahwa bukan cuma kesaktian dan tenaga
dalam Pendekar 212 yang pulih tapi kemampuannya untuk mempergunakan
ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung ternyata juga telah
kembali. Didahului oleh Sinto Gendeng dan Tua Gila, Andamsuri serta tiga gadis
cantik, mereka itu segera meninggalkan tempat tersebut.
***

Sembilan
Diserang demikian banyak musuh Datuk Lembah Akhirat sama sekali tidak
merasa jerih. Dia malah sunggingkan seringai sambil acungkan dua tangan yang
terbungkus sarung ular kobra tiga warna.
Kematian Iblis Putih Ratu Pesolek kekasihnya membuat Dewa Tuak adalah orang
yang paling ingin membunuh Datuk Lembah Akhirat saat itu. Apalagi
diketahuinya Anggini berada dalam sekapan sang Datuk. Dia membuat lompatan
setinggi satu tombak. Dari mulutnya menyembur tuak harum yang sanggup
menjebol tembus batu. Lalu tangannya lepaskan satu pukulan sakti yang jarang
dikeluarkan yakni Tujuh Sinar Pelangi. Tujuh sinar menggidikkan menyapu ke
arah Datuk Lembah Akhirat.
Di sebelah Dewa Tuak, setelah meninggalkan Sabai Nan Rancak di satu tempat
yang aman Tua Gila lancarkan satu serangan tangan kosong jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi. Bululani datang dari jurusan lain, melepas
pukulan yang memancarkan asap hitam bergulung-gulung. Si bocah Naga Kuning
dengan kegesitan luar biasa berusaha susupkan pukulan bertenaga dalam tinggi
dan memancarkan sinar biru ke punggung lawan. Setan Ngompol tak tinggal
diam. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini juga ikut berebut pahala
kirimkan serangan mematikan. Semua menghantam dari jarak jauh karena
maklum akan bahaya sarung tangan sakti yang dikenakan lawan.
Satu dentuman laksana hendak rnerobohkan langit gelap menggeledek di tepi
barat Telaga Gajahmungkur itu ketika sekian banyak pukulan sakti mengandung
tenaga dalam tinggi beradu dahsyat dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat
yang sukar dijajagi kehebatannya.
Datuk Lembah Akhirat jatuh terduduk di tanah namun dengan cepat dia
sanggup berdiri kembali tanpa cidera sedikit pun. Malah tertawa bergelak
seolah mengejek. Sementara orang-orang yang tadi lancarkan serangan
berpelantingan dan berkaparan di tanah akibat tenaga dalam mereka begitu
bentrokan dengan tenaga dalam Datuk Lembah Akhirat langsung berbalik
menghantam diri mereka sendiri!
Dewa Tuak terhantar di tanah dengan dada berdenyut sakit namun masih bisa
berusaha bangkit walau terhuyung-huyung. Setan Ngompol terpental jatuh di
antara semak belukar, mengeluh tinggi dan terkencing-kencing. Bululani jatuh
berlutut. Lengan kirinya terasa sakit dan mukanya pucat pasi. Tua Gila
mengalami cidera tak kalah parahnya. Mukanya yang hanya tinggal kulit
pembalut tulang itu kelihatan mengelam. Perutnya yang kena sambaran tenaga
dalamnya sendiri seolah mau pecah. Hanya dua orang yang tidak mengalami
cidera yakni Naga Kuning dan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Ini disebabkan
karena si bocah memiliki ilmu pelicin tubuh hingga kalau dia mengandalkan
ilmu ini, apapun yang menghantam tubuhnya yang selicin ikan itu akan lewat
begitu saja tanpa menciderainya. Rajo Tuo Datuk Paduko Intan memiliki ilmu
peredam pukulan yang disebut ilmu Kapas Putih. Begitu tenaga dalamnya
berbalik menghantamnya, ilmu kesaktiannya itu serta merta membuat membal
tenaga serangannya.
“Bocah dan orang berpakaian bagus itu agaknya memiliki ilmu kebal…” kata
Datuk Lembah Akhirat dalam hati seraya mengawasi Naga Kuning dan Datuk
Paduko Intan. “Mereka harus kuhabisi lebih dulu!” Lalu dengan gerakan luar
biasa cepat dan entengnya sosok tinggi besar Datuk Lembah Akhirat melesat ke
arah Datuk Paduko Intan seraya
tangan kanannya kirimkan satu hantaman ke batok kepala orang. “Desss!”
Datuk Paduko Intan terlempar jauh. Dia tak kurang suatu apa kecuali kepalanya
mendenyut sakit. Geram Datuk Lembah Akhirat bukan main. Dia membuat
gerakan hendak mengejar Datuk Paduko Intan namun tiba-tiba dia berbalik ke
arah Naga Kuning dan menghantam bocah ini dengan tangan kanan. Beberapa
orang keluarkan seruan tertahan karena jelas si bocah tidak berkesempatan
untuk mengelak. Tapi anak konyol yang panjang akal ini tiba-tiba jatuhkan diri
dan tarik mayat Pengiring Mayat Muka Merah yang tergelimpang di tanah di
dekatnya. Mayat ini disorongkannya ke depan. “Buk!” Dada Pengiring Mayat
Muka Merah hancur mengerikan. Naga Kuning cepat gulingkan diri. Tapi
celakanya tubuhnya tertahan oleh sosok mayat seorang pengawal. Saat itulah
kaki kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat ke kepalanya! Seruan tertahan
terdengar dari beberapa mulut! Tak ada yang bisa menolong menyelamatkan
nyawa bocah itu!
Disaat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng
berkerontang disusul melayangnya sebuah benda ke arah kepala Datuk Lembah
Akhirat. Bersamaan dengan itu dari jurus yang sama melesat satu cahaya putih
menyilaukan. Pukulan “Sinar Matahari”!
Datuk Lembah Akhirat menggereng marah. Sekali tangan kanannya diangkat
menangkis maka hancur leburlah benda yang melayang menyerangnya yang
ternyata adalah caping milik Kakek Segala Tahu. Dengan tangan kirinya Datuk
Lembah Akhirat me-mukul, ke arah sinar putih panas yang datang menyusul.
“Bummm!”
Sinar putih seperti pecah bertaburan membuat udara sesaat jadi terang
benderang. Datuk Lembah Akhirat tegak tertegun dengan tangan bergetar. Dia
cepat kuasai diri. Ketika memandang ke depan, tujuh langkah di hadapannya
tegak seorang pemuda berambut gondrong bertelanjang dada. jangan kanannya
yang masih mengeluarkan cahaya putih perak kini memegang sebilah kapak
bermata dua. Pendekar 212 Wiro Sableng! Agak ke belakang berdiri Kakek
Segala Tahu, di sebelahnya berdiri dengan muka beringas Sinto Gendeng. Lalu
ada tiga gadis cantik yang bukan lain adalah Puti Andini, Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur. Paling akhir adalah Andamsuri.
“Pendekar 212 Wiro Sableng! Seharusnya kau sudah kubunuh waktu di lembah.
Sekarang apa terima kasihmu karena aku telah menunda kematianmu?!”. Datuk
Lembah Akhirat bicara angkuh lalu tertawa bergelak.
“Manusia yang mengagulkan diri sebagai Datuk Lembah Akhirat! Kau tak lebih
dari mayat hidup yang pandai bicara!” jawab pemuda bertelanjang dada yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang sejak tadi berdiam diri dalam keadaan
terikat keluarkan suara tangis dan tawa. Membuat Datuk Lembah Akhirat
jengkel setengah mati. Niat jahat untuk membunuh saja dua kakek ini segera
muncul di benaknya. Tapi saat itu Wiro bergerak mendekatinya dan berhenti
tiga langkah di hadapannya. Sekaligus menghadang antara dia dan dua kakek.
Bersamaan dengan itu Tua Gila, Sinto Gendeng dan Dewa Tuak bergerak
mendekati Dewa Sedih dan Dewa Ketawa. Melihat para tokoh mendatangi Dewa
Sedih langsung menggerung menangis sedang Dewa Ketawa buka mulut lebar-
lebar dan tertawa bergelak!
Didahului satu bentakan keras batuk Lembah Akhirat menerjang ke arah Wiro.
Dari jarak dua langkah tangan kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong
mengandung
tenaga dalam dahsyat. Murid Sinto Gendeng tidak berlaku ayal. Kapak Naga geni
212 segera dibabatkan ke arah lawan. Sinar putih berkiblat.
Suara seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Hawa panas membeset di
kegelapan. Walau senjata di tangan Wiro adalah senjata sakti yang telah
menggegerkan rimba persilatan namun begitu tenaga dalam sang Datuk
menghantam, tangan yang memegang kapak bergetar keras. Tubuh Pendekar
212 terhuyung-huyung sampai empat langkah. Melihat lawan goyah Datuk
Lembah Akhirat segera lepaskan serangan susulan. Wiro kembali pergunakan
kapak untuk membabat bahu lawan. Sekali ini Datuk Lembah Akhirat dengan
cepat gerakkan tangan kirinya menangkis.
“Traangg!”
Kapak dan sarung tangan kiri beradu mengeluarkan suara keras. Bunga api
memercik. Beberapa orang keluarkan seruan tegang ketika melihat bagaimana
Kapak Naga Geni 212 menempel pada sarung tangan Datuk Lembah Akhirat!
“Celaka!” keluh Wiro. Sebelumnya dia telah diberi tahu akan kehebatan sarung
tangan lawan. Tapi tidak mengira kalau senjata saktinya juga akan kena
ditempel begitu rupa. Dia tak berani kerahkan tenaga untuk menarik kapak.
Mau tidak mau sebelum tenaga dalamnya kena disedot Wiro terpaksa lepaskan
senjata itu.
Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Kapak Naga Geni 212 ditimangtimang
seketika lalu dibuangnya ke tanah seperti membuang benda tak berharga.
Walaupun kemudian si bocah Naga Kuning dengan cepat berhasil mengambil
senjata itu namun me-nyaksikan kapak sakti warisannya itu dibuang seolah
sampah saja Sinto Gendeng memaki habis-habisan.
“Wiro! Pergunakan pedang ini!” teriak Puti Andini, siap hendak melemparkan
Pedang Naga Suci 212 tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Karena kalau
pedang itu juga sampai jatuh ke tangan Datuk Lembah Akhirat bertambah
celakalah mereka.
“Pendekar 212!” tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata dengan suara lantang.
“Bagaimana kalau kita membuat perjanjian. Aku ampuni selembar nyawamu!
Kau boleh bergabung denganku, juga boleh membawa tiga gadis cantik itu ke
Lembah Akhirat!”
“Datuk jahanam! Apa kau juga akan mengajak aku ke lembah?!” Tiba-tiba ada
suara bertanya disusul suara tertawa ha-ha hi-hi. Ketika berpaling dan melihat
siapa orang yang barusan berkata, menggeramlah Datuk Lembah Akhirat. Orang
itu adalah si gendut Bujang Gila Tapak Sakti yang berjalan mendekat lalu
berhenti delapan langkah di hadapan sang Datuk. Saat itu dia masih
mengenakan pakaian perempuan biru panjang robek-robek. Mukanya benjat
benjut bercelemong bedak dan darah. Melihat Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa
Ketawa langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya Dewa Sedih menangis
melolong-lolong!
“Dajal gendut jahanam! Kau dan temanmu ini bersiaplah untuk mampus!”
teriak Datuk Lembah Akhirat marah sekali lalu hantamkan tangan kiri kanan
membagi serangan ke arah Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang diserang tak
tinggal diam. Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan kedua tangannya. Asap putih
mengepul. Ketika dua tangannya didorong maka menderulah hawa luar biasa
dinginnya. Semua orang yang ada di tempat itu tampak menggigil. Di bagian lain
Pendekar 212 Wiro Sableng mainkan jurus “Tangan Dewa Menghantam Air
Bah”. Jurus ini adalah jurus ke empat dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab
Putih Wasiat Dewa dan berintikan Delapan Sabda Dewa yang didapatnya dari
Datuk Rao Basaluang Ameh.
Seandainya orang lain yang menerima hantaman dua pemuda sakti ini niscaya
tubuhnya akan tergeletak tewas mengenaskan saat itu juga. Namun Datuk
Lembah Akhirat seolah tidak merasakan apa-apa karena tenaga dalamnya yang
sangat tinggi mampu melin-dungi dirinya.
“Dess! Desss!”
Bujang Gila Tapak Sakti terpelanting dua tombak. Terkapar di tanah dan untuk
beberapa lamanya tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Sekujur badannya seolah
lumpuh. Dadanya menyesak sakit. Hal yang sama terjadi pula dengan murid
Sinto Gendeng. Pemuda ini terpental dua tombak, jatuh terduduk di tanah
dengan dada dan kepala mendenyut sakit! Dari sela mulutnya mengalir darah
pertanda pemuda ini mengalami cidera di sebelah dalam.
Melihat kejadian itu Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini
berteriak marah. Walau tadi dilarang oleh Kakek Segala Tahu, ketiganya segera
saja menyerbu. Puti Andini yang memegang pedang berada paling depan. Sinar
putih membersitkan hawa dingin berkiblat ketika Pedang Naga Suci 212
dibabatkannya ke arah Datuk Lembah Akhirat. Yang diserang tertawa
mengejek. “Gadis-gadis cantik! Maju lebih dekat! Biar kuremas tubuh montok
kalian!” Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat berusaha menyentuh
pedang. Tapi Puti Andini tidak bodoh. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu
tombak. “Makan pedangku!” teriak si gadis. Pedang sakti membacok ke arah
batok kepala Datuk Lembah Akhirat, cepat luar biasa. Sambil membungkuk sang
Datuk palangkan tangan kirinya di atas kepala lalu tangan kanannya menyusup
ke depan meraba dada Puti Andini. “Traaang!”
Pedang dan sarung tangan yang membungkus tangan, kiri Datuk Lembah Akhirat
beradu keras memercikkan bunga api. Bersamaan dengan itu terdengar pekik
Puti Andini. Tubuhnya tertarik ke depan.
“Lepaskan pedang!” teriak Tua Gila karena pasti lewat pedang yang menempel
di tangan kirinya Datuk Lembah Akhirat hendak menyedot tenaga dalam si
gadis. Mendengar teriakan itu Puti Andini segera lepaskan genggamannya di
gagang pedang. Dengan muka pucat gadis ini melompat menjauhi lawan sambil
pegangi dadanya yang tadi kena diraba. Mukanya merah padam. Amarahnya
menggelegak. Tapi yang paling marah adalah Andamsuri, ibu Puti Andini. Sambil
berteriak marah perempuan ini menggebrak ke arah sang Datuk. “Datuk mesum
kurang ajar!”
Saat itu Datuk Lembah Akhirat tengah berdiri dengan darah tersirap ketika
melihat bagaimana hantaman Pedang Naga Suci 212 yang kini menempel di
tangannya mampu membuat robek sarung ular kobra sakti di tangan kirinya.
“Jahanam!” rutuk Datuk Lembah Akhirat. Pedang Naga Suci 212 ditariknya
dengan tangan kanan lalu dia cepat palingkan diri menghadapi serangan
Andamsuri berupa dua larik sinar merah. Sang Datuk pergunakan pedang sakti
untuk menangkis serangan lawan. Sinar putih dan hawa dingin menderu. Dua
larik sinar merah serangan Andamsuri punah. Andamsuri sendiri terjajar
beberapa langkah ke belakang sambil mengerenyit kesakitan. Dua tangannya
laksana lumpuh karena hantaman tenaga dalam lawan. Dalam keadaan lawan
tak berdaya seperti itu Datuk Lembah Akhirat melompat seraya lemparkan
Pedang Naga Suci 212. Sebenarnya sang Datuk ingin terus memegang pedang
sakti itu. Namun dia merasa ada satu hawa aneh yang membuat tangannya jadi
bergetar dan aliran darahnya tidak karuan.
“Ibu!” teriak Puti Andini. Beberapa orang jadi ikut mengeluarkan seruan
tertahan. Kakek Segala Tahu hantamkan tangan kiri. Dewa Tuak lemparkan
bum-bung bambunya. Ratu Duyung berusaha keluarkan cermin saktinya. Namun
semua gerak pertolongan itu kalah cepat dengan melesatnya pedang sakti.
Dalam keadaan tak berdaya karena dua tangannya seolah lumpuh Andamsuri
tak mungkin lagi selamatkan diri.
“Logam suci adalah sahabat logam murni! Tuhan pemegang segala kuasa! Tuhan
penolong Maha Agung!” Tiba-tiba ada orang berteriak. Satu bayangan hijau
berkelebat. Menyusul melesatnya sebuah benda bulat berwarna kuning.
“Traangg!”
Benda kuning bulat beradu dengan badan pedang sakti. Bunga api putih dan
kuning menerangi tempat itu. Benda bulat dan Pedang Naga Suci 212 melayang
jatuh ke tanah. Untuk beberapa lamanya benda bulat itu berputar siam di tanah
menebar cahaya kuning terang sekali. Ketika putarannya berhenti ternyata
benda itu adalah tempat sirih terbuat dari emas murni. Sungguh luar biasa.
Walau tadi terjadi bentrokan keras dengan pedang sakti, lalu melayang jatuh
dan berputar seperti gasing namun beberapa lembar sirih, pinang, tembakau
dan kapur sirih tetap utuh berada dalam tempat sirih emas itu! Sementara itu
Pedang Naga Suci 212 begitu jatuh ke tanah secara ajaib bergulung lalu
menggelinding ke arah Puti Andini! Baik pedang maupun tempat sirih samasama
tidak mengalami kerusakan sedikit pun.
Semua mata diarahkan pada Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. Dialah pemilik
tempat sirih emas itu. Dia pula yang telah melemparkan senjata itu untuk
menyelamatkan Andamsuri, istrinya sendiri yang dulu pernah disia-siakannya.
Datuk Paduko Intan melang-kah tundukkan kepala. Dia tak berani menoleh ke
arah Andamsuri yang memandangnya dengan berbagai perasaan. Setelah
mengambil tempat sirihnya dia kembali berlindung di tempat gelap. Tapi Datuk
Lembah Akhirat cepat menghadangnya langsung menyerang dengan jotosan
jarak pendek mematikan.
“Dess… desss… dess!” Berkali-kali Datuk Lembah Akhirat menghantam. Namun
pukulannya seolah-olah tidak bisa sampai. Tinjunya seperti masuk ke dalam
satu benda lembut yang memiliki daya membal hingga tangannya terdorong.
Dilain pihak walau ilmu “Kapas Putih” yang dimilikinya sanggup melindungi
dirinya, namun getaran-getaran tenaga dalam yang hebat dari Datuk Lembah
Akhirat membuat Datuk Paduko Intan lama-lama terpaksa mundur terus. Tubuh
dan kepalanya yang dihajar terus-terusan walaupun tidak kena namun mulai
mendenyut sakit.
“Datuk jahanam! Urusan kita belum selesai!”
Dari samping menderu angin keras yang membuat Datuk Lembah Akhirat sesaat
terhuyung tapi begitu dia sapukan tangan kanannya maka angin yang
menyerang langsung amblas. Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng tegak
tergontai-gontai.
“Pendekar geblek! Kau lagi! Benar-benar sudah bosan hidup rupanya!” teriak
Datuk Lembah Akhirat ketika mengetahui siapa yang barusan menyerangnya.
Tanpa banyak bicara lagi manusia tinggi besar ini segera menyergap. Lancarkan
serangan-serangan yang sengaja dilakukan dalam jarak pendek. Dia bukan saja
ingin melumatkan lawan tapi juga berniat untuk menyedot tenaga dalam yang
dimiliki Pendekar 212.
Untuk menghadapi serangan lawan yang cepat, ganas dan mengandung tenaga
dalam sangat tinggi murid Sinto Gendeng keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang
gila yang didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan ilmu silatnya dimainkan Wiro,
Tua Gila jadi leletkan lidah karena jika dia sendiri yang melakukan tidaklah
akan sehebat kemampuan pemuda
itu. Wiro berkelebat kian kemari dalam gerakan aneh seperti orang mabok atau
kesurupan. Sesekali dia kelihatan seperti hendak jatuh terserandung atau
terpeleset. Mulutnya me-nyunggingkan senyum mengejek yang membuat panas
hati Datuk Lembah Akhirat.
Kalau ilmu silat orang gila dipergunakannya untuk bertahan maka untuk
menyerang Pendekar 212 mainkan Enam Jurus Inti Kekuatan Dewa yaitu ilmu
silat yang dipelajarinya dalam Kitab Putih Wasiat Dewa. Berturut-turut dia
menghantam lawan dengan jurus-jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari,
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam Rembulan,
Tangan Dewa Menghantam Api dan Tangan Dewa Menghantam Tanah.. Namun
lawan benar-benar tangguh. Walau Datuk Lembah Akhirat sempat dibikin
kewalahan namun sulit bagi Wiro untuk dapat menyentuh tubuh apalagi kepala
Datuk Lembah Akhirat. Kekuatan tenaga dalam lawan memiliki kemampuan
mementahkan semua serangannya. Ketika Wiro menyisipkan jurus Kepala Naga
Menyusup Awan di antara Enam Jurus inti Kekuatan Dewa, pemuda ini berhasil
mengirimkan satu totokan dahsyat ke pangkal leher sebelah kanan Datuk
Lembah Akhirat. jangankan manusia, gajah sekalipun akan kaku tegang oleh
totokan ini. Tapi Datuk Lembah Akhirat memang luar biasa. Sesaat tubuhhya
terasa hendak menjadi kaku, tenaga dalamnya langsung bekerja. Totokan di
pangkal lehernya serta merta punah!
Wiro menjadi terkesima padahal dia siap untuk kirimkan serangan susulan. Para
tokoh yang menyaksikan ikut terperangah. Datuk Lembah Akhirat tertawa
bergelak. “Aku menawarkan pengampunan untukmu! Aku menjanjikan
kedudukan tinggi bagimu di Lembah Akhirat! Tapi kau memang lebih pantas
mampus!” Datuk Lembah Akhirat dorongkan dua tangannya ke arah Wiro. Lalu
dia susul dengan satu lompatan ganas, perkelahian hebat kembali terjadi. Wiro
berusaha menjaga jarak agar dirinya tidak sampai tersentuh tangan-tangan
lawan yang mengenakan sarung. Saat itu dia ingat pada ucapan Datuk Rao
Bamato Hijau dan Kakek Segala Tahu. Hadapi binatang dengan binatang.
Hadapi yang gaib dengan yang gaib. Namun bagaimanapun dicobanya dia tak
mampu memecahkan teka-teki itu. Dia memaki ketololannya sendiri mengapa
tidak bertanya pada Datuk Rao atau Kakek Segala Tahu arti petunjuk itu.
Karenanya setiap kali ada kesempatan dia melemparkan lirik pada Kakek Segala
Tahu. Tapi orang tua buta ini dilihatnya hanya tegak tak bergerak, mendongak
ke langit gelap.
Setelah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus menghajar lawan terus-
terusan, Datuk Lembah Akhirat mulai mendesak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tekanan tenaga dalam lawan laksana tembok batu yang terus-menerus
mendesak dan menjepitnya. Beberapa kali pukulannya nyaris mengenai Wiro.
Semua orang yang ada di tempat itu mulai merasa gelisah. Tawa Dewa Ketawa
terdengar aneh. Tangis Dewa Sedih mulai menggidikkan.
“Celaka! Kalau anak setan itu sampai….”
Belum habis Sinto Gendeng berucap tiba-tiba “bukkk!”
Tubuh Pendekar 212 mencelat sampai tiga tombak. Beberapa orang keluarkan
suara terpekik dan berusaha memburu tapi cepat mundur ke arah tempat
tergeletaknya Wiro ketika Datuk Lembah Akhirat lebih cepat melompat
mendahului. Di tanah becek Pendekar 212 tergeletak menggeliat. Dari
mulutnya keluar suara erangan disusul semburan darah segar. Dada kanannya
dibekas jotosan lawan bersarang tampak berwarna biru kehitaman. Kalau mau
waktu pukulannya menyentuh tubuh Wiro tadi Datuk Lembah Akhirat bisa
langsung menyedot seluruh tenaga dalam yang dimiliki murid Sinto Gendeng
itu. Namun
dia sengaja hendak menyiksa sang pendekar lebih dulu sebelum benar-benar
membunuhnya.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Mulutnya berulangkali
mengucapkan “Binatang hadapi dengan binatang. Yang gaib hadapi dengan yang
gaib….”
Wiro berusaha bangkit ketika Datuk Lembah Akhirat melompat ke hadapannya.
Seringai maut bermain di wajah belang tiga sang Datuk. Ketika dia hendak
menjambak rambut gondrong pemuda itu dari samping berkelebat sosok hitam.
“Bukk!” Satu tendangan menghajar tulang rusuk Datuk Lembah Akhirat.
Manusia tinggi besar ini terjajar ke samping tapi tidak cidera sedikit pun. Malah
orang yang barusan menyerangnya terlempar sampai satu tombak. Si penyerang
adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Begitu serangannya gagal nenek ini susul
dengan serangan baru berupa pukulan “Sinar Matahari” dan lemparan tusuk
konde. Namun lagi-lagi gagal. Sinto Gendeng jatuh berlutut di tanah. Batuk-
batuk beberapa kali lalu kucurkan darah segar dari mulutnya. Tua Gila dan
Dewa Tuak cepat bergerak menolong. Tapi Datuk Lembah Akhirat lebih cepat
menggeprakkan tangan kanannya ke ke-pala si nenek!
Dalam keadaan terluka cukup parah Pendekar 212 Wiro Sableng membaca satu
rapalan lalu berteriak keras. “Sepasang Pedang Dewa!” Terjadilah satu hal luar
biasa. Dari sepasang mata sang pendekar melesat keluar dua sinar lurus
berwarna hijau tipis laksana sepasang pedang yang sangat tajam, inilah ilmu
kesaktian yang juga didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali dia
kedipkan dua matanya, sepasang sinar hijau menyambar dahsyat ke arah Datuk
Lembah Akhirat yang saat itu tengah hantamkan tangan kanannya untuk
memukul hancur kepala Sinto Gendeng! (Mengenai ilmu-ilmu gaib yang didapat
Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh harap baca serial Wiro Sableng berjudul
“Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
“Jahanam! Ilmu apa ini!” teriak Datuk Lembah Akhirat seraya palangkan tangan
kirinya di depan mata karena tidak tahan terhadap silaunya dua larik sinar
hijau. “Wuss! Wusss!” Dua sinar hijau menyambar ke arah dada. Datuk Lembah
Akhirat kerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan tangan
kanan. “Bummm! Bummm!”
Dua letusan dahsyat menggoncang tanah membuat sekian banyak kaki bergetar
hebat lalu roboh! Dua larik sinar hijau musnah. Pendekar 212 Wiro Sableng
untuk kesekian kalinya kelihatan terkapar di tanah. Walau dia berhasil
menyelamatkan gurunya namun keadaannya sendiri tambah parah. Darah
bukan saja mengucur dari mulutnya, tapi juga dari hidung, pinggiran mata dan
liang telinga! Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini sama-sama
pejamkan mata tidak tega menyaksikan keadaan itu.
Berpaling ke kiri Tua Gila melihat Sinto Gendeng terduduk di tanah. Mukanya
yang hitam seperti tidak berdarah. Kakek ini segera dekati si nenek, pegang
bahunya lalu membantunya berdiri. “Sinto, kau tak apa-apa…?”
“Aku…. Ah!” Sinto Gendeng tersipu-sipu. “Terima kasih kau masih
memperhatikan aku. Aku tak apa-apa. Jangan buat orang lain jadi cemburu….”
Sinto Gendeng pegang lengan Tua Gila lalu turunkan tangan itu dari bahunya.
“Eh, apa maksud ucapanmu tadi, Sinto? Dalam keadaan seperti ini kita tidak
perlu membicarakan urusan pribadi dulu….”
Sinto Gendeng tertawa kecut. “Aku tidak bermaksud apa-apa Sukat. Tapi aku
lebih senang kalau kau menolong nenek yang di sebelah sana itu lebih dulu.
Keadaannya tidak lebih baik dariku….”
Tua Gila alias Sukat Tandika berpaling ke arah yang ditunjuk Sinto Gendeng.
Ternyata yang dimaksud si nenek adalah Sabai Nan Rancak yang saat itu duduk
tersandar di bawah sebatang pohon. “Sinto, kau….” Ucapan Tua Gila terputus.
Sinto Gendeng telah beranjak ke tempat lain, mendekam dalam kegelapan.
Lain halnya dengan Datuk Lembah Akhirat. Pakaiannya tampak robek di bagian
dada. Kalung tengkorak yang tadi tergantung di lehernya hancur berkeping-
keping. Tapi tubuhnya nyaris tidak cidera sedikit pun! Malah dengan tenang,
sambil menyeringai dia melangkah menghampiri Wiro!
“Aku telah melakukan petunjuk hadapi yang gaib dengan yang gaib. Tapi Datuk
celaka ini tidak bergeming sedikit pun!” membatin Wiro. Dia berusaha bangkit
berdiri. Namun baru mampu duduk lawan sudah berada di hadapannya.
Dalam keadaan sangat seperti itu terdengar kerontang kaleng Kakek Segala
Tahu. Lalu menyusul suara orang tua itu berseru. “Pendekar 212! Kau belum
melakukan seluruh petunjuk! Kau baru melakukan hadapi yang gaib dengan
yang gaib! Lakukan petunjuk berikutnya! Hadapi binatang dengan binatang!”
Pendekar 212 tersentak mendengar teriakan Ka-kek Segala Tahu itu sementara
Datuk Lembah Akhirat tidak mengerti apa arti ucapan orang tua bermata putih
buta itu. Murid Sinto Gendeng memutar otak membuncah pikiran. Hadapi
binatang dengan binatang. Hadapi yang gaib dengan yang gaib! Wiro usap
matanya yang buram oleh kucuran darah. “Sarung tangan Datuk keparat itu
terbuat dari kulit ular. Kulit binatang. Hadapi binatang dengan binatang.
Binatang apa yang aku miliki….” Wiro bertanya-tanya dalam hati. Datuk Lembah
Akhirat semakin dekat.
“Tuhan! Beri aku petunjuk! Datuk Rao, apakah kau berada di dekatku…?” Wiro
membatin pada saat kaki kanan Datuk Lembah Akhirat meluncur ke arah
kepalanya. Sejengkal lagi tendangan itu akan menghantam pecah kepalanya
tibatiba Wiro jatuhkan diri dan berteriak keras. Sambil berguling di tanah
menjauhi lawan yang kembali coba mengejarnya Pendekar 212 tiup telapak
tangan kanannya. Saat itu juga pada permukaan telapak tangan Wiro muncul
gambar kepala harimau putih bermata hijau.
“Datuk Rao Bamato Hijau!” seru Wiro. Satu auman keras menggelegar seperti
mau membongkar tepi barat Telaga Gajahmungkur. Di tangan kanan Pendekar
212 kini ada satu kekuatan sakti bernama pukulan Harimau Dewa. Dengan ilmu
kesaktian ini dia sanggup menghancurkan apa saja tanpa mengerahkan tenaga
dalam. Ketika Datuk Lembah Akhirat kembali mendatanginya tidak menunggu
lebih lama Wiro segera lepaskan pukulan Harimau Dewa.
“Wuuuss! Wusss! Deeesss! Deess!”
Dua kali murid Sinto Gendeng menghantam tapi sosok Datuk Lembah Akhirat
hanya kelihatan bergoyang-goyang sedikit lalu melangkah lagi mendekati Wiro.
“Celaka! Tidak mempan!” kata Wiro dalam hati. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau
di mana…?!”
Mendadak untuk kedua kalinya membahana auman harimau. Lebih dahsyat dari
pertama tadi. Si Setan Ngompol jatuh melosoh di tanah terkencingkencing.
Beberapa tokoh terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat imbangi diri dan kerahkan
tenaga dalam niscaya ada lagi yang jatuh duduk di tanah.
Dari jarak dua langkah tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan
kanannya. Satu gelombang tenaga dalam dahsyat melabrak tubuh murid Sinto
Gendeng itu hingga dia
terpental. Darah kembali mengucur dari hidung dan mulut Wiro. Datuk Lembah
Akhirat tertawa mengekeh. Dia kembali angkat tangan kanannya untuk
menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga dalam yang ada!
“Lihat!” Ratu Duyung mendadak berteriak keras seraya menunjuk ke arah
Wiro.
“Astaga! Anak setan itu! Apa yang terjadi dengan dirinya!” seru Sinto Gendeng.
Saat itu tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba lenyap dan berubah
menjadi sosok seekor harimau besar berbulu putih. Sepasang matanya yang
hijau pekat menyorotkan sinar menggidikkan, mengarah pada Datuk Lembah
Akhirat. inilah Datuk Rao Bamato Hijau, harimau peliharaan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang telah memberi banyak ilmu kesaktian pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Diam-diam Datuk Lembah Akhirat jadi bergidik juga menyaksikan
hal itu.
“Pendekar 212! Kau boleh berubah menjadi harimau kepala sepuluh! Tapi
nyawamu tetap satu dan akan amblas di tanganku!” Sang Datuk menyergap ke
depan seraya lancarkan satu jotosan keras ke arah kepala harimau putih.
Binatang ini menggereng dahsyat, dua kaki depannya melesat ke arah muka
Datuk Lembah Akhirat. Yang diserang berseru kaget, cepat melompat mundur
lalu membungkuk seraya menjotos dada harimau.
“Bukkk!”
Harimau putih besar terjajar ke belakang, mengaum keras. Ketika binatang ini
hendak mencengkeram, sang Datuk bergerak lebih dulu. Dua tangan terbungkus
Sarung Penyedot Batin menyambar laksana kilat, mencengkeram dan mencekik
leher harimau putih. Untuk beberapa saat harimau bernama Datuk Rao Bamato
Hijau itu tampak tidak berdaya. Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh. Siap
menguras dan menyedot apapun kekuatan yang ada dalam tubuh harimau.
Namun sang Datuk tersentak kaget ketika dua sinar hijau yang ada di mata
harimau mendadak melesat menyambar ke arahnya. Dia terpaksa lepaskan
cekikannya untuk selamatkan diri. Begitu dua sinar lewat Datuk Lembah
Akhirat cepat cengkeramkan dua tangannya ke kepala harimau sekaligus
menutupi dua mata hijau yang berbahaya itu. Dua sarung tangan sakti kembali
mengeluarkan hawa aneh yang sanggup menyedot. Datuk Rao mengaum
berulangkali. Empat kakinya melejang-lejang. Ekornya memukul kian kemari.
Sampai saat itu sosok Wiro masih tidak kelihatan. Semua orang menyaksikan
apa yang terjadi dengan penuh cemas. Semua mata melotot tak berkesip,
semua hati tercekat pekat ketika melihat bagaimana sosok harimau putih yang
tadi seolah-olah menyelubungi tubuh Wiro, kini secara aneh dan perlahan-lahan
terbetot keluar. Sedikit demi sedikit kelihatan sosok Wiro. Mula-mula dua
kakinya, terus ke atas, pinggang, perut dada dan akhirnya utuh sampai ke
kepala. Bersamaan dengan keluarnya sosok harimau dari tubuh Wiro, pemuda
ini jatuh terduduk di tanah. Mukanya pucat pasi laksana mayat. Beberapa orang
hendak bergerak mendekatinya tapi cepat dicegah oleh Kakek Segala Tahu. Di
tanah Wiro duduk bersila pejamkan mata. Sekujur tubuhnya ditutupi kabut tipis
aneh yang tidak diketahui entah dari mana datangnya.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum lagi. Begitu keluar dari tubuh Wiro, binatang
gaib ini langsung menyergap Datuk Lembah Akhirat hingga manusia tinggi besar
ini jatuh tertelentang di tanah. Dia coba memukul kepala harimau tapi cakaran
kaki binatang ini lebih dulu merobek wajahnya. Datuk Lembah Akhirat menjerit
setinggi langit. Dari mukanya yang hancur akibat cakaran mengucur darah.
Sambil menahan sakit dengan nekat Datuk Lembah Akhirat berusaha mencekik
leher Datuk Rao Bamato Hijau, mencoba untuk
melumpuhkan lawan dengan jalan menyedot kekuatannya. Namun kali ini sang
harimau telah lebih dahulu menghunjamkan gigi-giginya yang besar runcing dan
menggigit dua tangan sang Datuk yang terbungkus sarung ular sakti.
Datuk Lembah Akhirat berteriak setinggi langit ketika Sarung Tangan Penyedot
Batin terenggut lepas bersama kutungan jari-jari tangannya. Ketika sarung
tangan itu tanggal terlihat sepasang tangan sang datuk tidak lagi memiliki
sepotong jari pun! Darah mengucur deras dari dua tangan yang buntung!
Datuk Lembah Akhirat menjerit tiada henti. Tubuhnya masih bisa berdiri tapi
berguncang-guncang dan terhuyung-huyung kian kemari. Mukanya yang hancur
mengepulkan asap aneh lalu berubah menjadi sehitam jelaga. Kengerian tidak
hanya sampai di situ karena sebagian demi sebagian kepala Datuk Lembah
Akhirat hancur meleleh. Kehancuran ini terus merambat ke tubuh dan berakhir
di ujung kedua kakinya. Yang tidak ikut lumer adalah batu tiga warna yang
menjadi sumber ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga.
Beberapa orang menarik nafas lega. Tapi mendadak Datuk Rao Bamato Hijau
mengaum keras. Sepasang Sarung Tangan Penyedot Batin yang ada dalam
gigitan di mulutnya tiba-tiba berubah menjadi dua ekor ular kobra berwarna
hijau, merah dan hitam, inilah sepasang ular jejadian yang merupakan titisan
Dewi Ular yang ingin membalas sakit hati dendam kesumat terhadap Pendekar
212 Wiro Sableng. Dua ular kobra ini berusaha lepaskan diri dari gigitan Datuk
Rao Bamato Hijau dengan jalan mematuk kian kemari. “Craass!” Datuk Rao
Bamato Hijau menggigit putus leher dua ekor ular lalu mencampakkannya ke
tanah. Ular pertama meliuk-liuk beberapa lama sebelum akhirnya menemui ajal
lalu lenyap dalam bentuk kepulan asap. Ular ke dua menyusul sirna tapi cuma
bagian tubuh dan ekor. Bagian kepala yang masih tertinggal tiba-tiba melesat ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu tengah duduk bersila dalam
keadaan terpejam, mengatur jalan nafas, peredaran darah dan tenaga
dalamnya. Kejadian ini begitu cepat. Tidak terduga hingga semua orang yang
menyaksikan hanya bisa keluarkan seruan tertahan.
“Wiro awas!” Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur berteriak hampir
berbarengan. Sesaat lagi kepala ular yang memiliki lidah dan gigi penuh bisa
mematikan itu akan menancap di leher Wiro, tiba-tiba tangan kanan sang
pendekar bergerak ke atas. Potongan kepala ular tenggelam dalam genggaman
Wiro. Sekali tangannya meremas terdengar suara berkeretakan. Kepala ular
titisan balas dendam Dewi Ular hancur. Lalu berubah menjadi kepulan asap dan
lenyap! Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Murid Sinto Gendeng ini
tersentak kaget ketika tiba-tiba di depannya menyeruak sosok setengah badan
seorang gadis cantik mengenakan mahkota berbentuk kepala ular.
“Dewi Ular…” desis Wiro.
Sosok gaib itu lontarkan, senyum dingin dan angker. “Kali ini aku gagal
membunuhmu Pendekar 212. Tapi rohku akan kembali menitis untuk membalas
kematianku dan guruku Ratu Ular!” Habis berucap begitu sosok Dewi Ular
lenyap laksana asap dihembus angin.
Sesaat setelah sosok gaib Dewi Ular lenyap, Sabai Nan Rancak melangkah
mendekati mayat Sutan Alam Rajo Di Langit. Dari balik pakaian Sutan Alam
ditanggalkannya Mantel Sakti. Lalu dia juga mengambil Mutiara Setan yang ada
pada kakek itu.
Merasa keadaan sudah aman, Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti
Andini segera hendak melompat menghampiri Wiro tapi Kakek Segala tahu
kerontangkan kalengnya. Dewa Tuak tiba-tiba berteriak. “Jangan bergirang hati
dulu! Muridku Anggini masih tersekap di Lembah Akhirat!” Habis berkata begitu
Dewa Tuak berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kami ikut bersamamu!” teriak
Tua Gila.
Dewa Sedih menggerung keras. “Kalian apa tidak berniat melepaskan diriku
yang masih terikat?!”
“Aku juga!” teriak Dewa Ketawa sambil mesem-mesem lalu tertawa bergelak.
“Kalian dua pengkhianat tak berguna! Perlu apa melepaskan kalian! Biar kalian
pada mampus berdiri di tempat ini!” teriak Sinto Gendeng.
“Jangan salahkan kami!” ratap Dewa Sedih. “Kami berdua telah jadi korban
tipuan Datuk sesat itu. Kami dikebiri! Anggota rahasia kami dicopot dan
disembunyikan di satu tempat rahasia! Bagaimana kami bisa melawan!”
Semua orang jadi melongo mendengar penjelasan Dewa Sedih itu. Sinto
Gendeng berpaling pada Dewa Tuak lalu berkata. “Lepaskan benang sakti yang
mengikat mereka. Jika nanti terbukti keduanya berdusta, akan kuremas hancur
burung mereka!”
Dewa Tuak dengan cepat lepaskan ikatan benang sakti yang membuat Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa serta keledai tunggangannya tak berdaya. Begitu
mereka bebas Dewa Sedih menangis melolong-lolong. Dewa Ketawa angkat-
angkat dua tangannya sambil tertawa girang.
“Tua bangka edan! Hentikan tawa dan tangis kalian! Ayo sekarang buktikan
kalau kalian benar-benar dikebiri. Tidak punya burung lagi!” Hardik Sinto
Gendeng.
Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tertegun saling pandang. Tiba-tiba Dewa Sedih
angkat tinggi-tinggi pakaiannya berupa selempang kain putih sedang Dewa
Ketawa turunkan celana hitam gombrongnya sampai ke paha. Di bawah perut
ke dua kakek ini memang tidak ada apa-apa. Kosong licin! Puti Andini, Bidadari
Angin Timur, Ratu Duyung palingkan muka dengan wajah bersemu merah. Para
nenek sunggingkan senyum seperti jijik tapi melirik juga lalu berusaha
menahan tawa cekikikan. Lain halnya dengan Tua Gila. Kakek Segala Tahu,
Naga Kuning, Bujang Gila Tapak Sakti, Wiro dan si Setan Ngompol serta Dewa
Tuak yang saat itu tegak sambil memanggul jenazah Iblis Putih Ratu Pesolek.
Semuanya tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata melihat
pemandangan aneh tapi nyata itu!
***

Sepuluh
Lembah Akhirat diselimuti kesunyian. Dengan Naga Kuning sebagai penunjuk
jalan rombongan orang-orang dari barat Telaga Gajahmungkur langsung menuju
satu-satunya bangunan yang ada cahaya lampu minyak menyala. Itu adalah
tempat kediaman Ki Juru Tenung alias Mangkutani. Ha nya tinggal beberapa
belas langkah dari bangunan tiba-tiba pintu terbuka. Seorang bertubuh kurus
kerempeng tanpa pakaian terbungkuk-bungkuk keluar menggotong sesosok
tubuh. Sosok ini kemudian dilem-parkannya dekat sebuah sumur.
“Astaga! Orang yang dilemparkan itu adalah anakku! Panji!” kata Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan alias Sidi Kuniang. “Jangan-jangan anakku sudah diapa-
apakan orang!” Datuk Paduko Intan serta merta hendak melompat keluar dari
dalam rombongan tapi dicegah oleh Tua Gila. Kakek ini berpaling pada Naga
Kuning yang tegak di sebelahnya. “Kau kenal siapa nenek-nenek edan yang
bertelanjang dada itu?!”
“Namanya Mangkutani. Biasa dipanggil Ki Juru Tenung. Dia orang kepercayaan
Datuk Lembah Akhirat. Dia punya penyakit aneh….”
“Penyakit aneh bagaimana?” tanya Datuk Paduko Intan.
“Aku tak tahu nama penyakitnya. Tapi kata orang dia sering bersuka-suka
dengan perempuan sejenisnya….”
Semua orang tampak heran mendengar keterangan si bocah. Ada di antara yang
mereka tidak mengerti. Yang tahu apa yang dimaksud langsung menjadi dingin
tengkuk masing-masing. Kakek Segala Tahu mendongak. Wiro dan Bujang Gila
Tapak Sakti saling pandang lalu sama-sama menyengir. Dewa Tuak memandang
melotot pada Naga Kuning. “Jahanam! Pasti muridku Anggini sudah…. Akan
kubunuh si Juru Tenung keparat itu!” Jenazah iblis Ratu Pesolek segera
diturunkannya dari bahu dan dibaringkannya di tanah.
Ketika Dewa Tuak melompat meninggalkan rombongan, Rajo Tuo Paduko Intan
segera mengikuti. Dewa Sedih keluarkan suara menggerung. Dewa Ketawa
terbahak tertahan-tahan. Yang lain-lainnya mau tak mau tak bisa berdiam diri.
Akhirnya semua menyerbu ke arah bangunan. Di sebelah belakang Dewa Sedih
terdengar meratap.
“Jangan kalian bunuh manusia itu! Kalau dia sampai mati bagaimana nasib
diriku! Aku akan kehilangan anuku seumur-umur. Kalaupun ketemu bagaimana
aku memasangnya! Aku malu…. Hik… hik… hik!”
Ki Juru Tenung kaget bukan kepalang ketika menyadari tiba-tiba bermunculan
begitu banyak orang. Walaupun dalam keadaan bugil tapi si nenek ini sama
sekali tidak berusaha menutupi auratnya. Malah dia berteriak pada Dewa Sedih.
“Dewa Sedih! Ada apa? Siapa orang-orang ini? Mana Datuk Lembah Akhirat!”
“Datukmu sudah mampus! Giliranmu hanya tinggal beberapa kejapan mata saja!
katakan di mana muridku Anggini!” Dewa Tuak melompat ke hadapan Ki Juru
Tenung lalu tangan kanannya mencekik leher sedang tangan kiri memuntir dada
si nenek yang kempes peot hingga orang ini melolong kesakitan.
Sementara itu Datuk Paduko Intan dan Puti Andini bergegas ke tempat Panji
tergeletak. Pemuda ini ternyata berada dalam keadaan ditotok. Ayahnya segera
melepaskan totokannya. Begitu bisa bergerak dan bersuara Panji berkata.
“Ayah, tolong Anggini. Dia ada dalam bangunan itu.”
Datuk Paduko Intan segera berkelebat ke arah bangunan. Namun Dewa Tuak
sudah lebih dulu menghambur laksana terbang. Namun ke dua orang tua ini
begitu masuk ke dalam bangunan serta merta keluar lagi. Mereka memberi
isyarat pada Ratu Duyung, Bululani dan Bidadari Angin Timur.
“Muridku agaknya dalam keadaan pingsan. Walau kelihatannya tidak cidera tapi
aku dan Datuk Paduko Intan tak mungkin menolongnya. Dia dalam keadaan tak
berpakaian. Lekas kalian membantu….”
Mendengar itu tiga orang perempuan tadi segera menerobos masuk ke dalam
bangunan. Tak lama kemudian mereka keluar lagi sambil memapah Anggini yang
sudah berpakaian lengkap miliknya sendiri. Wiro hendak melangkah mendekati
Anggini tapi urung ketika dilihatnya Panji telah lebih dulu mendekati si gadis.
Begitu berhadap-hadapan dengan Panji, Anggini menangis keras. Panji langsung
saja merangkul murid Dewa tuak ini lalu membawanya ke satu tempat yang
lebih tenang.
Akan halnya Ki Juru Tenung, begitu Dewa Tuak melepaskannya, langsung si
nenek hendak melarikan diri. Tap] tahu-tahu Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
sudah mengapitnya.
“Kau dulu yang mencopot perabotan kami! Kau juga yang menyimpan! Kalau
barang itu tidak segera kau ambil dan pasang, tubuhmu akan kami bikin lumat!
Aku sedih! Aku malu! Aku juga benci! Hik… hik… hik!”
Ki Juru Tenung ketakutan setengah mati mendengar ancaman Dewa Sedih itu.
“Kalau kalian berjanji tidak akan membunuhku, akan kuambilkan barangbarang
kalian! Pasti utuh, tak ada yang kurang!”
“Juru tenung keparat! Jangan banyak mulut! Ayo jalan!” kata Dewa Ketawa
sambil menjambak rambut awut-awutan si nenek lalu tertawa gelak-gelak.
Karena apa yang telah terjadi atas diri Dewa Sedih dan Dewa Ketawa
merupakan hal yang sulit dipercaya maka ketika dua kakek ini menggiring Ki
Juru Tenung, yang lain-lain segera mengikuti, kecuali Anggini dan Panji. Si
nenek bugil membawa orang-orang itu ke sebuah ruangan gelap di satu
bangunan tak jauh dari tempat kediamannya. Setelah dua buah lilin dinyalakan
kelihatanlah bahwa dalam ruangan itu ada sebuah lemari besi yang memiliki
dua puluh laci. Masing-masing laci diberi nomor mulai dari 1 sampai 20.
Dengan menekan sebuah alat rahasia Ki Juru Tenung membuka laci nomor 12
dan nomor 13. Dewa Sedih dan Dewa Ketawa memperhatikan dengan hati
berdebar. Dari dalam masing-masing laci Ki Juru Tenung keluarkan sebuah
benda yang membuat semua perempuan yang ada di tempat itu palingkan
kepala malah akhirnya melangkah mundur menuju pintu. Dua buah benda itu
ternyata memang adalah anggota rahasia laki-laki diserahkan satu pada Dewa
Sedih dan satunya lagi pada Dewa Ketawa. “Kalau kalian sudah siap aku segera
akan memasangkan kembali ke bawah perut kalian! Tapi dengan perjanjian
kalian tidak akan membunuhku!”
Dewa Ketawa dan Dewa Sedih tidak segera menjawab. Keduanya melangkah ke
dekat lilin untuk meneliti barang yang mereka pegang. Lalu terdengar suara
ratap Dewa Sedih. “Ini bukan punyaku! Barangku tidak burik seperti ini! Aku
malu…. Hik… hik… hik! Ini pasti punya si gendut itu!” Lalu “plaaaak!” Enak saja
Dewa Sedih bantingkan barang yang dipegangnya di atas meja dekat lilin!
“Sialan kau!” maki Dewa Ketawa. “Walau burik tapi anuku lebih cakep dari
anumu!” Lalu Dewa Ketawa balas dengan menggelindingkan begitu saja barang
yang dipegangnya
ke atas meja! Dua kakak beradik ini lalu ambil barang yang mereka anggap
adalah milik mereka yang asli. Lalu menyerahkan kembali pada Ki Juru Tenung
untuk segera dipasang.
“Awas kalau kau sampai tidak benar memasangnya! Jangan sampai mencong!”
kata Dewa Sedih seraya sesenggukkan.
“Punyaku tolong kau rapikan dan poles sedikit sebelum dipasang!” kata Dewa
ketawa yang membuat semua orang tertawa hiruk pikuk!
Dengan cepat Ki Juru Tenung lakukan pekerjaannya.
“Gila! Aku tak bakal percaya kalau tidak melihat sendiri!” kata Setan Ngompol
lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
“Bagaimana rasanya sobatku Kerbau Bunting?” tanya Pendekar 212 Wiro
Sableng pada Dewa Ketawa.
Yang ditanya tertawa gelak-gelak, tapi menjawab juga. “Agak berat rasanya.
Tapi tak jadi apa. Nanti kalau sudah biasa pasti terasa enteng! Ha… ha… ha!”
Dewa Sedih sesenggukan kembali. Dia berpaling pada Sinto Gendeng. “Sinto,
walau kau sering jengkel padaku tapi aku tetap menganggap kau adalah
sahabatku. Aku tak percaya pada si Juru Tenung ini. Coba kau periksa apa
barangku sudah betul du-dukannya…? Aku sedih kalau sampai salah. Hik… hik…
hik!”
Karuan saja Sinto Gendeng jadi menyumpah panjang pendek. Yang Lain-lain tak
dapat menahan tawanya.
Tiba-tiba Dewa Tuak maju mendekati Ki Juru Tenung.
“Eh, ada apa…?” Si nenek mundur ketakutan. “Kalian sudah berjanji tidak akan
membunuhku!”
“Yang berjanji adalah Dewa Ketawa dan Dewa Sedih. Yang Lain-lain termasuk
aku, tidak pernah berjanji!” jawab Dewa Tuak. “Selama menjadi kaki tangan
Datuk-Lembah Akhirat dosamu sedalam lautan setinggi langit! Terlebih lagi kau
telah menodai muridku….”
“Aku bersumpah! Dia masih tetap perawan sampai saat ini!” kata Ki Juru
Tenung.
Dewa Tuak menyeringai. Tiba-tiba seperti direnggut setan seringainya lenyap.
Tangan kanannya bekerja. “Praakk!” Sosok kurus kerempeng dan bugil Ki Juru
Tenung melintir lalu terbanting ke lantai ruangan. Orang ini mati dengan kepala
rengkah!
Kesunyian berbau maut di tempat itu tiba-tiba dipecah oleh suara teriakan
Panji di luar sana. “Mata-hari muncul! Gerhana berakhir!”
Semua orang yang ada di tempat itu berhamburan ke luar dan memandang ke
langit. Memang benar saat itu sang surya secara perlahan-lahan
memperlihatkan diri, tersembul dari balik bulan yang selama ini menutupinya.
Kegelapan yang menyungkup bumi pupus. Udara secara perlahan-lahan pula
menjadi terang. Semua orang berteriak gembira.
Selagi semua perhatian orang tertuju ke atas langit, Pendekar 212 Wiro Sableng
tiba-tiba melihat seorang berjubah dan bertutup kepala hitam melangkah di
antara pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri. Orang ini berjalan
tundukkan kepala tanpa melihat kiri kanan, wajahnya tak terlihat. Di tangannya
dia membentang sebuah kitab yang sudah robek-robek dan terbuat dari daun
lontar. Sambil melangkah dari mulutnya tiada henti keluar suara seperti orang
tengah membaca atau merapal tulisan yang ada dalam kitab itu. Pendekar 212
perhatikan orang itu tak berkesip. Matanya kemudian melihat tangan kanan
orang itu tidak memiliki jari kelingking alias buntung. Sepasang mata murid
Sinto Gendeng membesar. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya berdebar.
Detak jantungnya mengencang.
“Aneh…” membatin Wiro. “Satu-satunya manusia dengan perawakan seperti
orang yang lewat itu, berjari kelingking tangan kanan buntung adalah Pangeran
Matahari. Tapi jelas dia sudah tewas di Pangandaran. Atau mungkin…?”
Tengkuk Pendekar 212 menjadi dingin. Wiro bermaksud hendak mengikuti
orang itu. Namun saat itu Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung melambaikan
tangan memanggilnya. Ketika Wiro berpaling, orang berpakaian dan bertutup
kepala hitam tadi telah lenyap. “Pangeran Matahari…” desis Wiro kembali.
Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng ini lupa kalau dia memiliki ilmu
Menembus Pandang yang bisa melihat sesuatu di kejauhan.
Sebagai penutup cerita dapat dituturkan bahwa Panji bersama Anggini
menyeberang ke Pulau Andalas menuju tempat kediaman Nyanyuk Amber di
Danau Maninjau. Sinto Gendeng kembali ke puncak Gunung Cede ditemani oleh
Kakek Segala Tahu. Dewa Tuak setelah mengurus jenazah iblis Putih Ratu
Pesolek dihadiri oleh semua orang yang ada di tempat itu, bersama-sama Puti
Andini memencilkan diri di dua tempat terpisah di pantai selatan.
Andamsuri kembali pada suaminya yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan
menetap di puncak Gunung Merapi sementara kerajaan pulaunya yang disebut
Kerajaan Sipatoka diserahkan pada seorang kerabat karena istrinya (ibu Panji)
telah berpulang sebelum dia meninggalkan pulau untuk mencari Panji. Yang
paling berbahagia adalah Tua Gila dan Sabai Nan Rancak. Kedua orang ini
memutuskan kembali hidup bersama dan menetap di puncak Gunung Kerinci.
Bululani mengembara ke Gunung Kidul untuk mencari kakak angkatnya
bernama Bululawang.
Bujang Gila Tapak Sakti mendapat tugas untuk mencari Hantu Balak Anam
setelah Ratu Duyung memberi tahu bahwa kalung sakti milik Sabai Nan Rancak
berada dalam lobang luka di tubuhnya. Yang terakhir adalah Pendekar 212. Dia
seolah memboyong Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dalam perjalanan
bersama. Si Setan Ngompol dan Naga Kuning dalam bingungnya akhirnya secara
diam-diam mengikuti Wiro dan dua gadis cantik itu menuju ke timur.

TAMAT

Wiro sableng Episode # 94 : Pedang Naga Suci 212

posted by: Dunia Andromeda

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP : TUA GILA DARI ANDALAS
SATU

Walau saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti
kelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung
bergulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan
deras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak
gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir
membuat suasana benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok
tubuh tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan
dirangkapkan di depan dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah
berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah
kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa dingin luar biasa membuat
tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau bertapa
karena sepasang mata mereka memandang tak ber-kesip ke tengah telaga yang
airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih.
Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala
putih. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan
tajam tak berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk
tak bergerak seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit
hitam manis. Di pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga
pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki
rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah
hiasan, jalinan rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap
tak bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin
mencucuk, guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya
dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis
itu. Mulutnya bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun
tak ada suara yang keluar. Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si
pemuda sesaat menjadi bimbang. Akhirnya dia memutar kepala, memandang
kembali ke arah telaga. Tapi dia seperti tidak dapat memusatkan perhatian
lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia menoleh ke kiri, pandangi
gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada
suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda membatin. “Air mukanya
jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau
bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah….
Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu, sikapnya
segarang harimau betina….”
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur
menggelegar seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga
tampak beriak keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara.
Cahaya kilat lenyap dan tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
“Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil
keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah
diri. Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
“Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang
terlambat atau terlalu cepat….”
Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak
sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang
ke tengah telaga tanpa berkedip.
“Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan
sementara melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu….”
Pemuda gagah di sebelah kanan si gadis kembali membuka suara.
Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin
terus berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
“Sinto Weni kalau kau….”
“Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-
satunya kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu….”
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara
lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah.
Untuk beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
“Sinto Weni adikku….”
“Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara
lebih baik segera saja angkat kaki dari tempat ini…,”
Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi
juga sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi
panjang memang lebih baik aku pergi saja. dari sini….”
“Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai
Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku
datang ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak
menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar aku harus angkat
kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto. Urusan di antara kita pasti ada saat
penyelesaiannya…. Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau
duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan daun.
Mudah sirna terkena cahaya sang surya….”
Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang
dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak
bergerak danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede
bergetar hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek.
Tapi hatinya telah bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri.
Namun sekali lagi gerakannya tertahan.
Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut
suara itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau
seorang perempuan.
Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah
pedang raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan
telaga. Air telaga berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak!
Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul
menggelegar. Sepasang muda-mudi yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa
aneh keluar dari tanah lalu menjalar masuk ke dalam tubuh masing-masing.
Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung. Mereka kerahkan
tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang
kembali seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut
masing-masing. Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti
itu sekonyong-konyong terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu
seolah ada satu kekuatan dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi
lima tombak. Bersamaan dengan itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok
tubuh seorang tua berselempang kain putih.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu
membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede
Tapa Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin
membuat sosok dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut
putih panjang menjulai yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi
juga sebagian wajahnya. Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih
panjang ikut menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini.
Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga
itu? Manusia mana yang mampu hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas
air telaga me-rupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke
tiga, walau saat itu hujan terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air
telaga namun baik tubuh, rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas
sama sekali tidak basah! Baik si pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni
sebelumnya tidak pernah melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa
Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai
ajukan pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan
telaga sementara cuaca tetap pekat mengetam.
“Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda.
“Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun
menunggu akan kami nantikan,” berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari
menunggu di tepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan
kedinginan. Murid-muridku, Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah.
Cobaan dan ujian datang silih berganti dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak
ingin menyusahkan umat-Nya. Semua cobaan dan ujian itu justru untuk
membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi tantangan. Hanya
dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari
apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini
hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian,
cobaan dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu
sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan perlindungan
Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha
benar dari semua kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat Tandika
apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?”
“Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja.
Walau empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa
artinya hidup dan apa artinya dunia persilatan….” Yang menjawab adalah
pemuda bernama Sukat Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis
hanya berdiam diri memandang ke tengah telaga tepat pada arah sepasang kaki
sang Kiai.
Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada
muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. “Murid-
muridku apa kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?”
“Kami… kami berdua ada baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab.
“Bagus kalau begitu,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala
walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid
perempuannya ini. “Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun
ke dalam rimba persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan
ukuran apakah kalian telah mampu menjadi pendekar-pendekar yang dihormati
dan disegani. Namun aku sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar
Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah membuat geger dunia
persilatan. Lalu aku juga mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau
dapat dariku Sukat Tandika telah membuat orang-orang golongan hitam
menjadi mati kutu. Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari
pertemuan yang dijanjikan. Hari ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan
pada kalian. Dan hari ini pula kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah
kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu. Adapun bentuk warisan yang
akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri nanti. Suka atau tidak
suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua benda warisan
itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku
pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di
tempat masing-masing. Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan
bergerak kalau tidak aku suruh!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua
tangannya ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh
yang datang dari dua arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang
tua mencuat setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu
tampak mengeluarkan tiga warna yakni putih, merah dan biru. Bersamaan
dengan mencuatnya air telaga di dua tempat, mendadak tiupan angin semakin
kencang dan hujan mendera bertambah keras!
Sinto Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar
keras. Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam
telaga- Lalu dua buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi
ini kalau tidak ingat pesan guru mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke
belakang atau keluarkan seruan tertahan ketika melihat dua makhluk yang
keluar dari dalam telaga!
*
**

DUA
Dua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa
Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan
satu betina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring
besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih
bertabur batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala
sebelah belakang tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
“Ular naga…” desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku
binatang ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan
atau hanya makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama
Sinto Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak
diperlihatkan Kiai padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya
padaku? Celaka!”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua
tangannya diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas.
Dia seperti tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di
sebelah kiri dan kanan tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas
rentangkan ke dua tangannya kembali ke samping. Bersamaan dengan itu dia
jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan. Mendengar suara jentikan dua ekor
ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga sementara di sebelan sana air
telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat.
Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan.
Terdengar suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di
permukaan air telaga. Kali ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit
sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda
berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih
kekuningan terbuat dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala
naga jantan dan ada enam buah lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua
mata kapak yang memancarkan sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka.
212.
Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk
seperti gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk
kepala naga sama seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua
ular naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat
tinggi. Lalu binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di
mana Sinto Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak
ataupun keluarkan suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke
arah mereka walau mereka tetap mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa
bergerak rasanya saat itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk
kapak dan gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika.
Untuk beberapa lamanya binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya
perlahan-lahan meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga
luruskan badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari
mulut mereka keluar suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan
ringkik kuda, membuat merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai
kembali menjentik. Saat itu juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan
meluncur turun ke dalam air hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
“Murid-muridku…. Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku
meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan
perlihatkan kepada kalian kehebatan dua benda itu.”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan
pada dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke
atas, senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan
suara aneh seperti ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak
memancar sinar putih laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan
tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar biasa. Untuk beberapa lamanya
senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak putaran tangan kanan
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke
kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon yang
tumbuh di tepi telaga.
“Craasss!”
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon
besar tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun
Sisa batang yang masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana
habis dimakan api! Sukat Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya
bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir.
Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi mulut ter-kancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak
bermata dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan
sepasang muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda
putih berbentuk gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu “srettt!”
Gulungannya terbuka. Satu cahaya putih yang menghamparkan hawa dingin
berkiblat. Di udara saat itu tampak sebilah pedang putih tipis bergagang gading
berbentuk kepala naga betina. Pada badan pedang tertera angka 212. Pada
bagian ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian
kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih
melesat ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar
hawa dingin dan mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga
laksana ditusuk!
“Lihat pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah
kanan telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede
Tapa putar tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak
henti-hentinya. Daun pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah
dan ke dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang
tadinya rimbun itu kini telah botak, hanya tinggal cabang dan ranting
meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di
tepi telaga, begitu menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara
aneh.
“Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang
sama saling baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua
tangannya sama disentakkan ke atas.
“Sreettt!”
“Wuttt!”
“Wuuutt!”
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata
dua menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang
tipis membuat gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu
singkat di udara dua senjata itu berubah menjadi buntalan cahaya yang saling
menggempur. Dua cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan
hawa .dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan suara mendesing seperti
seruling seolah merobek langit.
“Traangg!”
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua
tombak. Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat
yang membuat tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua
senjata sakti terjadi berulang-ulang, baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika
terpaksa tutup telinga masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka
yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang, aliran darah tersentak-sentak.
Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang muda-
mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri
dan ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak
menjauh. Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat
Tandika. Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung
bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum
menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis
lentur yang memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
“Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang
barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di
dalam dua senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian.
Senjata berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini
bernama Kapak Naga Geni 212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang
kapak ditiup maka senjata itu akan berubah menjadi sebuah seruling yang
mampu mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan pikiran, peredaran
darah dan bisa memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata
naga kiri kanan ditekan maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum
putih yang merupakan senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan
senjata ini dia harus memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak
Naga Geni 212 hanya merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini
tidak bisa dipergunakan oleh sembarang orang.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan
penuturannya.
“Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama
Pedang Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212
dan cocok sebagai senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan
pedang tersimpan ratusan senjata rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana
mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu akan melesat keluar lewat sebuah
lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga Geni 212, pedang sakti ini
juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya dapat menghantam lawan.
Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam pedang seseorang
harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini bukan senjata
sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku hanya dengan satu maksud
dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara
murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan
baik, dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian
mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka kesaktiannya akan
memukul balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa
Kapak Naga Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212
cocok untuk seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian
masing-masing untuk berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga
Geni 212 memiliki pasangan sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika
batu ini digosokkan atau di-pukulkan ke mata kapak maka lidah api akan
mencuat keluar dan merupakan senjata luar biasa. Dua senjata sakti ini akan
menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba persilatan, merupakan
senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-masing. Nah murid-
muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian menerima
warisan dua senjata mustika sakti itii maka aku akan merasa lega dan segera
meninggalkan kalian….”
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang
besarnya segenggaman tangan. Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di
samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan
tak pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah
berkata demikian dia tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi
kesempatan pada adik seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih
dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu. Bagaimanapun dia tidak
berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan mengambil Pedang Naga
Suci 212 dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212.
Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
*
**
TIGA
Sinto Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu
berkata. “Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan
mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu pasangannya!”
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak
kaget. Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni S
212 dan batu pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian
ringkasnya, dia kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh
mengambil satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga
Geni 212. Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku
lancang mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru
menyelamatkannya.”
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak
mengerti akan ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani
bertanya, tidak demikian dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
“Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto?!”
“Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya
beranggapan, senjata sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di
tangan Sukat Tandika, Saya mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati
gunakannya! Jadi biar Pedang Naga Suci 212 ini saya bawa dulu. Saya akan
menyimpannya dengan baik sampai suatu saat ada seseorang yang lebih pantas
memilikinya.”
“Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani
memberikan warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede
Tapa Pamungkas tetap lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
“Kalau saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau
mau memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa
cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini
berkelebat dan lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus
mengguyur dan angin terus mendera kencang.
Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika
segera bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat! Tak usah kau kejar!”
“Tapi Kiai…”
“Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu….”
“Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia
begitu merendahkan Kiai….”
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu
Sukat. Kita perlu bicara….”
“Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.
“Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh
welas asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin
ada sesuatu yang telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu
mengapa dia jadi begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian
berkelana menimba ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau
memberikan penjelasan padaku Sukat?”
Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam.
“Saya rasa….”
“Jelaskan padaku terus terang….” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti
mendesak.
“Kiai…. Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu
bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang
sangat akrab….”
“Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa
pula.
Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru
menjawab. “Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi….”
“Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling
berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya
sendiri malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan
beberapa orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati
cintanya…. Mungkin itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam
pada saya. Saya akan mencarinya….”
“Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa.
“Muridku Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam
sejuta kesucian! Kalau dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita.
Namun bisa juga dia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto
Weni telah memilih dua hal yang terakhir. Kalau kau kejar dia saat ini, selagi
bara kebencian dan dendam berkobar hebat dalam diri-nya, bukan mustahil dia
akan membunuhmu….”
“Saya rela menemui kematian di tangannya….”
Kiai Gede Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti
itu muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu!
Ketahuilah dalam hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada
kaum laki-laki kalau dia menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan.
Pertama jabatan, ke dua harta dan ke tiga perempuan. Kau telah
membenturkan diri pada salah satu dari tiga hukum alam itu muridku. Apa
jawabmu?!”
“Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto
Weni. Saya harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai….”
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan.
“Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni
membutuhkan waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati
luka hatinya. Kau harus menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau
bersikeras dan bertindak ceroboh kau bisa celaka sendiri…. Lagi pula aku rasa
ada baiknya untuk sementara Pedang Naga Suci 212 berada di tangannya.
Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di tangan seorang yang
benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama kebaikan serta
kebenaran. Menyimpang dari itu Pedang Naga Suci 212 akan mendatangkan
malapetaka bagi orang yang memakainya secara salah….”
“Nasihat Kiai akan saya perhatikan…” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia
berkata. “Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji
senjata itu tidak cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak
melakukan hal-hal yang tidak benar…. Agaknya aku harus melupakan pedang
sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang ke arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri
yang menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi
sekarang!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya
satu sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat
menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih
berbuntal-buntal. Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas
lenyap masuk ke dalam telaga.
Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara
dinginnya bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan
tubuhnya telah bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang
dalam rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam
pengelanaannya itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata
hati dan bujukan nafsu. Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis
cantik. Mudah jatuh hati. Sebelum dan sesudah kawin dengan seorang janda
cantik puteri Adipati Plered, pemuda itu menjalin hubungan cinta dengan
beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-
rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika
sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul
kembali keadaannya berubah seperti orang kurang waras. Tindak tanduknya
menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh golongan
hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan putih yang dianggapnya
menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa dia
ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua perbuatannya itu akibat
penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut
sebagai Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa
gelar yang diberikan orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila.
Dalam usia tuanya dia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
dan mengajarkan ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang
sebelumnya telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal
dengan nama Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia
persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212.
Sedangkan Pedang Naga Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun
di hari tuanya dia telah bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat
Tandika kekasihnya di masa muda. Sinto Gendeng sendiri tidak pernah
mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia menyadari sejak menjalin
hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi Setelah cinta dan
kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu tidak mungkin,
bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng merahasiakan di
mana dia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada akhirnya Tua Gila
mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian
diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat
Malaikat kini kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar
santar, membuat para tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-
sama membuka mata memasang telinga dan mengatur siasat untuk
menjejakinya!
*
**

EMPAT
Badai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main.
Sejak tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja
yang ada di permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke
dasar samudera. Puluhan nelayan menemui ajal, tenggelam bersama perahu
mereka.
Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan
segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai,
menyapu segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau
yang kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia
melangkah mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian
kemari dan sebentar-sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia
saat itu berada. Semua gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat
itu dia berada dalam satu kegelisahan. Paling tidak ada sesuatu yang
membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha
bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat
suara deru angin yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan
letak destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan
menuju mulut goa yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang
menerpa muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar,
janggut serta kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut
berkibar-kibar.
“Pertanda apakah yang tengah diberikan alam…” kata si orang tua dalam hati,
“Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat.
Alam agaknya mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu
isyarat bagiku untuk segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi
jahat itu? Orang tua itu kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu
gelengkan kepala. Beberapa kali menarik nafas dalam, biasanya kalau dia
berdiri di mulut goa seperti itu dia akan melihat pemandangan sangat indah di
sepanjang lereng sampai kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris
tidak dapat melihat apa-apa karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut
menutup dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian
bawah jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua
ini melangkah mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya
terhenti ketika sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa,
tersamar oleh badai dan hujan.
Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang
aku tunggu sudah datang…” hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di
hadapan orang tua itu.
Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua
bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan
tak berkesip. “Hemmm…. Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat
sebelumnya tapi dari ciri-ciri jelas dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu
untuk memastikan,” kata orang tua berjubah hijau dalam hati.
“Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau
memang goaku ini menjadi tujuanmu?”
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi
besar hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak
mulut goa. Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga
berwarna hitam. Orang ini memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung
mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis kanan. Di atas alis, pada keningnya
terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam
lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua
belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
“Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang
tegak di depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi
orang tua di hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras
begitu rupa ucapannya itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia
barusan bicara dengan memperguna-kan tenaga dalam.
“Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini
hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin
bertanya?!”
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan
Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu
mengenakan jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang
kudengar dengan kenyataan.”
Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali.
Sambil menyeringai dia kemudian berkata.
“Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah
kau lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau begitu…. Hemmm….” Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka
berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas
sepasang mata. “Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam
Rajo Di Bumi?!”
“Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa.
“Aku sudah tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud
dan tujuan kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung!”
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia
adanya.
“Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima
salam hormatku!”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat
lutut sedikit.
Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata.
“Tampangmu seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan,
tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku!”
“Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan
pegangan….”
“Eh, apa maksudmu…?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih
terkulum di bibirnya.
“Karena usiaku jauh lebih tua darimu….”
Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh
puiuh tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya.
“Tujuh puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar
bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki
tubuh tegap kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu
seburuk setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu
apa yang kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha… ha… ha!” Sutan Alam Rajo
Di Bumi tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap.
“Lama mendengar nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku
tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah
maksud kedatanganmu!”
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah
hitamnya mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
“Silahkan duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya
menunjuk pada sebuah batu berbentuk kursi.
“Aku lebih suka berdiri saja….”
“Hemmm…. Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada
atau bercuriga besar. Jangan-jangan dia….” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah
kepala dan berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku
tadi, aku sudah menduga apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau
mau mulai membicarakannya!”
“Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk
menjelaskannya,” jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada
sepasang mata jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. “Sejak
beberapa bulan belakangan ini beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas
menemui kematian secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka
kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang membuat dunia persilatan tanah
Andalas menjadi geger….”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa
yang kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan.
Hantu Balak Anam teruskan penuturanmu!”
“Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh
diduga keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon
merupakan anak angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh
silat golongan putih lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak
Putih ditemukan tewas secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng
Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah, tokoh silat Magek Bagak Bacufo Duo
dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar
dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak
seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana beradanya.
Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan julukan Datuk
Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam keadaan tergantung di Baturaja.
Pada jubah putihnya si pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti
Belanak. Seorang tokoh silat golongan putih, kawan lama Datuk Agung
Berbangsa yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit Martapura. Semua
peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling curiga antara
sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu
perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang
dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu
seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari
Gunung Sing-galang ini…. Ada yang menduga bahwa semua pembunuhan itu
didalangi oleh Nyanyuk Amber!”
*
**

LIMA
Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak
Anam itu. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan
barusan semua benar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian
itu. Bukan mustahil kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila,
apa yang sesungguhnya terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama
teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk Amber memang merupakan satu tanda
tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di sini, Gunung Singgalang ini dibagi
tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di bawah pada lereng
sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat. Namun anehnya,
tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari tempat
kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba seperti
sirna.” (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul
“Raja Rencong Dari Utara”).
Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap
langit-langit goa batu lalu terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian
itu, kedatanganmu kemari pasti membawa satu rencana….”
“Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih
berkumpul, berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi
korban-korban berikutnya.”
“Aku mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul
bagaimana kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana
pertemuan itu….”
“Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil.
Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku
menghubungi para tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta
pertolongannya untuk mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka
saat ini sudah bisa ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan
dilakukan. Makin cepat pasti makin baik…..”
“Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di
Bumi pula. “Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku
katakan dan tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang
tokoh silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit?”
“Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?”
. “Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum
peristiwa pembunuhan beruntun itu….”
“Apa mungkin dia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak
pernah ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti….”
“Apa?” tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar
kematian Tua Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda
dari tanah Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-
mandir di ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah
dan berkata. “Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik
lenyapnya Patuk Tinggi Raja Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar.
Dalam pada itu di tanah Jawa pun kudengar peristiwa yang hampir bersamaan
dengan kejadian-kejadian di pulau Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan
putih dibunuh oleh orang-orang segolongan. Terakhir kudengar kabar bahwa
Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati dibunuh seorang tokoh
aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada juga dugaan, pembunuh
sebenarnya adalah Tua Gila….”
“Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah
berada di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin
membalaskan sakit hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya
melarikan diri ke tanah Jawa.”
“Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba
persilatan akhir-akhir ini…” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan
seringai. “Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam.
Apa kau mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang, bernama
Pedang Naga Suci 212?”
Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya
mungkin ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar
212.”
“Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa.
Sejak puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di
mana letaknya hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di
kawasan barat pulau Jawa yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua
adalah Tua Gila.”
“Apakah Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu
Balak Anam.
“Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin
memiliki senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun
urusanku di sini banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh
di kawasan ini kau bisa. pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana
beradanya Pedang Naga Suci 212 Itu, lalu mem-bawanya kepadaku.”
Hantu Balak Anam mengangguk. “Akari aku coba melakukan apa yang kau
katakan.” Namun dalam hati dia berkata. “Kalau aku berhasil menemukan,
pedang mustika sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!”
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo
Di Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini
rupa, meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu
tidak dapat ku-sediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua
butir kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi
minuman kelapa muda itu Hantu Balak Anam?”
“Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk
kelapa muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku
memang terasa kering, apa boleh buat!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa.
Tak lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa
diletakkannya di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di
depan dada. Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya
bergerak. Hantu Balak Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu
menusuk menembus buah kelapa. Lalu “kraakk!” Sekali si orang tua menarik
buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam
Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang
tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada
Hantu Balak Anam.
“Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan
meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang
diletakkan di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang
telah dipegangnya itu meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan
lenyap di luar sana.
“Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa
yang enak Ku. Bodohnya akui” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang
matanya yang jereng memandang ke mulut goa.
“Biar aku keluar mengambil kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya
meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
“Hujan masih derasi” mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah
kuyup….”
“Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa
Ku, aku akan sangat berterima kasih.”
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya
ada dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat
keluarkan satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka
lalu sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air
pada dua belahan buah kelapa. Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat
kembali dan disimpan di balik jubahnya.
“Ah…! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama
kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh
menggelinding keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan
cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi,
mudah saja dia membelah buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu
seperti orang kehausan tanpa tunggu lebih lama dia segera meneguk habis air
kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling
pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai dia menegur. “Apa lagi yang kau
tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!”
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang
ada di atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air
yang ada di belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali
berputar.
“Manis dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas
kursi batu.
Sutan Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih
lembut itu?”
Hantu Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup membuat hausku hilang
dan perutku kenyang!”
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya
diietakkahnya puia di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia
bertanya. “Apakah masih ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak
Anam?”
Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku
utarakan,” katanya.
“Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan
pulau Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka
menyirap kabar di mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro
Sableng itu. Lalu mehcari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan aku lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu
muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki
kepandaian luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian
kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa
usianya apa lagi menduga siapa dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena
tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun
semua pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.”
“Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam.
“Kalau ada kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki.”
“Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk
menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa
tak bakal tenteram….”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau
boleh menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak
berada di bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas
lantai goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas
lutut. Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai
bersamadi.
“Tua bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin
menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!”
Hantu Balak Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat
dia membalikkan badan lalu tinggalkan goa.
Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat
itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya
terkulum seringai buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar
suara tawa bergelak. Dia melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam
tak kelihatan lagi. Orang tua berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang
lalu berkata dengan suara lantang.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!”
Belum lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar
suara berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik
dinding yang terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar
mengenakan destar serta jubah putih menjela lantai batu.
*
**
ENAM
Hantu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan
yang masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak
bersandar ke sebatang pohon besar.
“Aneh…. Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum
berapa jauh. Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam
tubuhku sepertinya tidak beres. Aku….” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk
beberapa kali. Dia merasa ngeri sendiri mendengar suara batuknya. “Apa yang
terjadi dengan diriku?” Diusapnya wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas.
Lalu dia batuk-batuk lagi. Kemudian dirasakannya ada hawa panas seolah
membakar perut dan dadanya. Kepalanya berat seperti mau pecah. Ke dua
telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika melihat
bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi
kebiruan.
“Aku termakan racun…” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar
tak kuat menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut
menyembur keluar dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti
orang tua di puncak Singgalang Ku! Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku
culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!”
Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah
lambung, pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir
obat berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih
enteng dan debaran jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat
itu, naik kembali menuju puncak Gunung Singgalang.
“Sutan Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam
begitu dia sampai di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu
mulut goa hancur berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke
dalam.
Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri
sosok tubuh tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak
kenal orang ini dan dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam
membentak.
“Mana dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti
ijuk dan basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang
mencuat pada ke dua ujungnya.
Orang tua di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam
dengan tenang lalu menegur.
“Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung
membentak. Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri?!”
Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali
mendenyut sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
“Kau seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau
kejar dan kesasar ke tempatku ini?!”
Hantu Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama
Sutan Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku
dengan air kelapa!” Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk
kursi. Tadi sebelum pergi di atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam
keadaan terbelah. Tapi saat Hu benda Ku tak tampak lagi.
“Aneh sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi
Bumi! Aku tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku?!” Orang
berjubah putih ajukan pertanyaan.
“Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di
sini aku menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam
Rajo Di Bumi! Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia
menjamuku dengan air kelapa yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di
sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam
goa celaka ini?!”
“Sobat, agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap
tenang dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam
Rajo Di Bumi maka akulah orangnya!”
“Lalu siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama
Sutan Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku, selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau
tidak percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini….”
“Aku memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang
liar kian kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau
tidak menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan
membunuhmu saat ini juga!”
“Malaikat maut datangnya memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar
yang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai
mengejek. “Tapi jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah
satu keanehan yang sangat mahal harganya!”
“Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama
Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku
bernama Sutan Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau
yang aku bunuh lebih dulu!”
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih
dengan satu pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak
tinggal diam. Sambil membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya
menepis hantaman lawan.
“Bukkk!”
Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke
dua orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih,
terpental sampai dua langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar
ke dinding goa!
Dari akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan
memiliki kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka
dalam racun yang menciderai dirinya.
“Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!”
membatin Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!”
Walau agak susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun
hampir tiga perempat tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak
Anam semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali
lebih besar. Dua belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan
cahaya aneh berkilauan. Tiba-tiba dari lobang-lobang itu melesat dua belas
larikan sinar hitam panas luar biasa, menderu ke arah dua belas bagian tubuh si
jubah putih!
“Dua belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali
ilmu kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel
rata di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang
matanya mendadak menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya
mencuat keluar dua larik sinar merah dan laksana kilat menghantam ke arah
Hantu Balak Anam!
Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian
lawan yang dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga
jadi kau benar Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya
menyingkir dengan muka pucat.
Namun terlambat.
Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah
bahu sebelah kanan.
“Craaasss!”
Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman
serangan lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada
kanannya kini telah geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan!
Jubah hitamnya di sekeliling lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari
api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur
dari bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam
keadaan seperti itu terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian.
Sambil kertakkan rahang menahan sakit dia berkata. “Orang tua berjubah
putih! Siapapun kau adanya jangan mengira urusan sudah selesai sampai di sini.
Aku akan datang lagi mencari dan mengorek nyawa busukmu!”
Orang tua berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa
keluarkan tawa mengekeh.
“Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu
nyawamu!” Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah
menjadi merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat
menghantam ke arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang
diserang sudah lebih dulu berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam
lantai dan dinding goa. Goa batu itu menggelegar keras. Pecahan batu dan debu
bertaburan di udara.
“Kurang ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan
dia melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai
batu kagetlah dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya.
Ternyata tiga dari dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat
menghantam tubuhnya. Yang pertama pada bagian jubah sebelah bawah yang
hanya menghanguskan ke dua pada bagian lengan tangan sebelah kanan yang
juga tidak membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga sempat
menyerempet pinggulnya. Orang tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul
dan parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah
kanan luka besar dan membengkak berwarna merah kebiruan. Cepat dia
membuat tiga totokan di sekitar luka. Lalu dengan terpineang-pincang dia
masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan batu diambilnya satu kendi
kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi perak ini lalu
diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”
Cairan itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara
berdengus dan mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat
dingin menahan sakit. Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari
tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke dinding goa. Ketika dia memandang ke
dinding goa di sebelah depannya tampangnya berubah garang. Dari mulutnya
keluar teriakan keras,
“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!”
Belum lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan
terdengar suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan
orang tua ftu secara aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut
kanan. Dari pintu ini keluarlah orang tua berjubah dan berdestar hijau.
Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia melangkah ke hadapan si jubah
putih sementara dinding batu di belakangnya kembali bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto, kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan
besar?!”
“Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang
tua berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di
Bumi. Sedang orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi
yang asli.
“Berapa bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian,
malah sanggup kembali ke sini dan hendak membunuhku!”
“Saya hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan….”
“Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang
sembarangan. Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-
matian! Bukankah aku memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh
racun yang ada?!”
“Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari,
mahal harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh
dengan racun itu, maka saya hanya menaruhkan setengah….”
“Plaakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana
dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran
di kepalanya tercampak ke lantai goa.
“Sutan, saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan
keras?!”
“Kau berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu
Mangkuto?!” bentak Sutan Alam Rajo Di Langit.
“Sutan, saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar
sebagai anggota komplotan kejimu!”
Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam
Rajo Di Bumi menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak.
“Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam
Rajo Di Bumi pula seperti tak acuh.
Tanpa menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke
pintu. Namun sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang
sepasang bola mata Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu
“wuss…. Wusss!” Dua larik sinar merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat.
Datuk Mangkuto masih sempat berpaling dan berusaha selamatkan diri ketika
melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke arahnya. Namun terlambat.
Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya, membuat dia mencelat dan
terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang mengerikan
yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi
membentang di punggungnya!
*
**

TUJUH
Pertemuan dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia
mendapat kawan seiring seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa
mendapat pelindung jika terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti
itu. Sikap dan cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya
gadis ini telah matang oleh pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali
tidak menyinggung masalah atau rencana gurunya yang hendak menjodohkan
dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
“Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di
masa muda, namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi
mengingat belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh
silat sesama golongan putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan
munculnya komplotan orang-orang aneh yang bermarkas di Lembah Akhirat…”
“Aku juga bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan
Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya
aku menduga sang Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba
persilatan tidak pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata
Wiro sambil melirik pada gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan
mereka saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara
murid Sinto Gendeng tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Anggini, apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro
ajukan pertanyaan-Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar.
“Rencana memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak
berada. Sekaligus memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang
Lembah Akhirat….”
Saat itu hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung
timur pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi
pohon-pohon besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan
yang sedang berkembang membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah
satu sisi bebatuan cadas tampak air mengucur jernih.
“Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku
ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah
sana…” kata Anggini.
Wiro memandang ke langit. “Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja….”
“Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?”
“Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau
membersihkan diri buka baju segala….”
“Ah, penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu
gadis ini cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap.
Belum lagi Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah
mendengkur!
Di lembah Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang
mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu
sepuasnya dia duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya
digulung ke atas lalu seperti anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid
Dewa Tuak ini permainkan air dengan ke dua kakinya. Sementara kakinya
mempermainkan air Anggini basahi tangannya lalu diusapkan ke balik dada
pakaiannya. Saat itulah dia menyadari kalau dia1 tidak sendirian di tempat itu.
Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu
pohon besar yang mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka
orang itu adalah Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata
ternyata bukan.
“Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini
berteriak.
Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus! Jadi kau memilih mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis
bergerak ke pinggang. Lalu “wuttt!” Terdengar suara menderu. Tiga buah
benda berupa paku perak melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di
mana orang yang mengintip berada. Anggini menunggu suara orang itu terpekik
ditembus paku perak yang menjadi senjata rahasia andalannya. Tapi itu tak
terjadi. Ketika dia memandang ke arah pohon, orang yang tadi mendekam di
salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang dilemparkan
Anggini menancap di batang dah cabang yang melintang.
“Aneh, tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang!
Gerakan orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau
orang hutan. Lalu ke mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini.
Pandangannya diputar berkeliling ke arah pohon-pohon besar sekitar lembah
batu cadas.
Tiba-tiba dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika
diperhatikan suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah
lagi ke pohon terdekat.
“Wuttt!”
Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di
hadapannya telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus
berwarna hijau. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga
kanannya ada sebuah anting terbuat dari emas.
“Kau yang barusan mengintip orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali.
“Jangan salah paham. Aku tidak mengintip…” si pemuda agak tergagau dibentak
begitu rupa.
“Lalu mengapa berada di atas pohon?!”
“Dengar, sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di
pohon itu…”
“Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu
mengintainya waktu mandi….”
Si pemuda tertawa lebar. “Namaku Panji, siapa namamu….”
“Pemuda kurang ajari Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang
sejak tadi membentak-bentakku!”
“Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah
putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran
Rajo Mudo.
“Kau saja yang pergi!” Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya
hingga tampak dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke
belakang.
“Kau memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan
santun!” Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar
ke arah pipi kiri si pemuda.
“Rontok gigimu!” kata Anggini. Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya
akan mendarat keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah
saking kerasnya dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah
lingkaran. Kaki kanannya terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum
sempat dia mengimbangi diri tahu-tahu tu-buhnya telah jatuh dan masuk ke
dalam air setinggi dada!.
Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali.
Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal
lengannya lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh
masuk ke dalam air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam
air begitu saja. Ketika tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya
yang dicekal membuat gerakan berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si
gadis. Akibatnya ke dua orang itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih
tubuh dan muka satu sama lain. Si pemuda di sebelah bawah, Anggini menindih
di sebelah atasi
Selagi Anggini memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk
karena tertelan air, di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-
gelak.
“Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng.
Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat
keluar dari air kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan! Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat
menghindar dari tendangan si gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid
Dewa Tuak ini jadi tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup
hingga bentuk tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan
kilat untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-
tubi. Di satu saat ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi
punggung, Anggini gerakkan tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari
menusuk dengan deras ke arah jantung. Ini adalah totokan maut yang walau
bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus
maut yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya
sendiri Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua
tangannya memegangi lengan Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si
gadis hingga Anggini tak dapat meneruskan totokan mautnya.
“Apa-apaan kau ini?!” bentak Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di
tanganku!”
“Sabar Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro
seperti dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar.
Sambil geleng-geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak
dapat berbuat lain dari pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang
tertarik bisa robek di bagian dada sampai ke perut!
“Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil
menyuruh duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri
dan menatap Wiro dengan mata berkilat-kilat.
“Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja
mengintip aku mandi!” kata Anggini setengah berteriak.
“Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip…!”
Panji membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi
sengaja menjaga jarak dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan
menyerangnya kembali.
“Sobatku beranting emas,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau
mengintipnya ketika sedang mandi?”
Panji menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka….”
“Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik
Anggini marah.
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah
bingung.
“Harap maafkan, aku tidak tahu kalau.». Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka.
Aku sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini.
Lagipula dia tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas
batu. Kalau dia mandi mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti
itu.,..”
“Anggini, kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu….”
Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja
dia tidak mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak
bertelanjang di depanku?!”
Wiro jadi melengak. “Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya
Wiro.
“Benar, tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju
lalu mandi. Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau
temanmu itu merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku
tetap tidak mau dituduh mengintip perempuan mandi!”
Wiro angkat tangannya lalu berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang
kau lakukan di atas pohon?!”
“Aku dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat
pohon adalah kesukaanku….”
“Berartikalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!”
sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku
memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan
menyelam ke dasar laut!”
“Sahabat beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas
pohon itu,” Wiro mengingatkan.
“Terus terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih
duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji.
“Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu perempuan satu lagi lelaki.”
“Apa mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik
pada Anggini.
“Yang satu memang seorang gadis….”
“Jelas bukan sahabatku ini, bukan?”
“Memang bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab
Panji polos membuat Anggini kembali merengut.
“Siapa nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu,” jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini
seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang
ditolongnya dari serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam
keadaan pingsan akibat ilmu yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm…. Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?”
“Seorang kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!”
Murid Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji,
Anggini sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda
beranting emas itu.
“Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?”
“Eh, kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu
kali dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang….”
“Mengapa kau mencarinya?” tanya Wiro pula.
“Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari
karena dia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di
pulau dia telah menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat, coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar
Wiro.
“Orangnya agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan
janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan
mukanya sangat cekung seolah tak berdaging….”
“Tua Gila! Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini,
memberi isyarat bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah
orangnya yang bernama Wiro Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku, kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik
melanjutkan perjalanan dari pada mendekam di atas pohon….”
Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya
yang berpakaian serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik
mengikuti nasihat si pemuda yaitu melanjutkan perjalanan.
“Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata
Panji. Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak
bergerak pergi tiba-tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh
suitan-suitan nyaring. Sesaat kemudian beberapa bayangan berkelebat dan
tahu-tahu empat orang telah tegak di atas batu-batu cadas di empat jurusan.
*
**

DELAPAN
Orang pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam
berbelang putih. Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya
yang merah sangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak
menghadap ke arah lembah batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada,
namun kepalanya terus-terusan mendongak ke langit seolah memandang
sesuatu di atas sana.
Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua
bangka aneh ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan
sepasang matanya yang seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke
tanah!”
Orang ke dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak
kelihatan karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua
tangan berada di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang
didudukinya. Orang ini mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa
lengan. Karena tubuhnya tak bergerak sedikitpun tak dapat dipastikan apakah
dia saat itu tengah tertidur atau bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan
berkacak pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah
hijau penuh benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting
halus tersusun tinggi ke atas seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih
ditambah dengan sepotong tulang yang ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!”
berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan
kanannya yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di
tangan kanan itu,” pikir Wiro.
Orang ke empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu
bukan lain si nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam
Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan
Sipatoka dia telah menyamar menjadi seorang dukun yang dikenal dengan
panggilan Dukun Sakti Langit Takambang. Kini karena dia muncul dalam bentuk
aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa mengenalinya.
Sebaliknya si nenek memandang pada pemuda itu dengan mata berkilat-kilat.
Dulu dia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua
orang tua Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal
berkat pertolongan Tua Gila yang tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat
Panji berada di tempat itu, kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak
dapat ibu bapaknya, anaknya pun tak jadi apa! Putera Mahkota keparat ini
harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek dalam hati penuh geram.
Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm…. Pemuda
keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat membunuhnya! Namun saat
itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi
permintaannya aku tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku sudah
gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga
orang yang datang bersamanya lalu berkata. “Kita berempat tidak satu golongan
tapi punya satu tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian?!”
Kakek berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem
beberapa kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih
dulu.
“Gadis berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku
ucapkan. Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar
apa-apa lagi…!”
Anggini yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar
orang tua tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa
adanya kakek ini.
“Beberapa waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama
Datuk Mangkuto Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu
membunuh seorang tua, sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan
sang Datuk sesama orang satu golongan putih dalam rimba persilatan.” Ketika
bicara sepasang mata si kakek tampak bergerak bergoyang-goyang. Masih terus
dengan kepala mendongak dia lanjutkan ucapannya.
“Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun
luasnya bumi ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau
kutemui. Berarti hari ini kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk
Mangkuto Kamang. Aku Datuk Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto
Kamang I”
Anggini sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua
mengaku bernama Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang
kembali pada kakek berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang.
“Orang tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang
bernama Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku
membunuh adikmu! Apa kau tidak keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak
terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau tidak sedang mimpi dan mengigau
sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-
goyang tanda dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan
sebuah benda berwarna ungu.
“Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka
matamu lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!”
Habis berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke
hadapan Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah
satu ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat
selendang itu. Bentuknya sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu
melingkar di leher. Orang lain akan sulit membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk
mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang
itu diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu
didekatkannya ke hidung dan diciumnya.
“Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Hebat juga tua bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia
mendongak dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau
aku melakukan sesuatu?!”
“Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak
serupa alias tidak asli….”
“Aku tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari
membentak.
Wiro angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa
memperhatikan si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama
bentuk dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera
asli, selendang yang kau bawa terbuat dari sutera tiruan….”
“Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!”
sambung Wiro pula.
Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari
hidungnya terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan
lenyap di udara.
“Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan
melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa
kau masih ingin mencari dalih?!”
“Perlu apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk
Mangkuto Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola
matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya
memang kepala ini tak bisa diluruskan!
“Aku punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan
melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh
adikku!”
“Katakan siapa orangnya!” kata Anggini dengan suara keras.
“Aku tak bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa
maksudmu melakukan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak
dan suaranya lantang membahana.
“Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia
adalah seorang tokoh di Gunung Singgalang!”
Kening Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di
gunung itu. Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun
sejak lama dia melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi
adalah seorang nenek berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia….”
“Tidak, tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang
menyaksikan perbuatan kejimu itu….”
“Berarti….”
“Sudahlah, aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah
jelas. Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk
Gadang Mentari berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja
mendongak.
“Perempuan tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada
calon-calon mayat yang ada di tempat ini!”
“Calon-calon mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia
memandang pada Wiro dan Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada
di sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum
saja dia baru sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami
bertiga ini yang kau sebut sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh
kami?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka!
Kau mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik… hik… hik!”
Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip
menatap wajah bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang
riap-riapan dihembus angin lembah. “Siapa sebenarnya perempuan tua ini…?”
pikir Panji. Matanya turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat
di tubuh si nenek lalu pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure
Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek dilihatnya berwarna hitam dan panjang-
panjang. Pemuda ini mencoba mengingat-ingat. “
“Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu
suaranya. Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan….”
*
**
SEMBILAN
Nenek bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar
tawa panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-
heran karena barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
"Anak muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal
sebagai Dukun Sakti Langit Takambang!”
“Kau!” seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti
saga! Dan darah amarah menggelegak!
“Hik… hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di
antara kita…?”
“Aku belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah, nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan
jadi calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil
garuk-garuk kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih
apalagi takut.
Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat
akan keadaan Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni
212, mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur
dengan ilmu tidur, namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik.
“Jangan jauh-jauh dariku Wiro. Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu…”
kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan
keselamatannya.
“Dukun tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira
bisa lolos dari tanganku? Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku
memuntir putus kepalamu!”
Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung!
Tubuh masih bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya
comberan busuk! Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara.
Dia masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok
keluar bergerak-gerak liar.
“Tunggu! Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang
memberojol bergoyang beberapa kali.
“Kaii!” tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari
telunjuk tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng mengambil sikap diam menunggu. “Terakhir kali
nyawamu selamat karena gadis cantik berlesung pipit kekasihmu itu
menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa selamat dari kematian!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras
gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang
jadi kekasihnya. “Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada
dalam benak serta hati Anggini…?” membatin Wiro.
“Pendekar 212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana
adanya kakek keparat Tua Gila?!”
“Bukankah tempo hari sudah kubilang di mana dia berada?!” ujar Wiro sambil
cengar-cengir.
Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si
nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia
cepat berbisik. “Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki
kepandaian tinggi….”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di
mana?!”
“Kau sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu
padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar
alias berak?! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang
mengherankan. Buang hajat besar saja sampai berminggu-minggu….” Wiro
tertawa gelak-gelak. Anggini menggigit bibir melihat. Wiro abaikan nasihatnya.
Datuk Gadang Mentari keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. Orang
bermuka hijau yang rambutnya seperti sarang tawon keluarkan suara
gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu
terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang
duduk dengan menyembunyikan mukanya di atas batu cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap
melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari
rentangkan tangan kirinya ke samping. “Wuuttt!” Selarik angin menyambar di
depan Sika Sure Jelantik membuat gerakan si nenek tertahan.
“Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure
Jelantik marah.
“Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan
bertindak sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!”
Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang
dipijaknya retak lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke
batu lain di sebelahnya.
“Giliran siapa sekarang yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala
masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk
beberapa kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan
garang pada Wiro, Anggini dan Panji.
“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus
untuk menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan
kekejian dalam rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak
bisa diperbaiki maka aku membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro pencongkan mulutnya. “Hebat benar tugas manusia ular keket ini!”
katanya dalam hati.
Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka
Hijau menatap ke arah Wiro lalu berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki
Pendekar 212, seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin
menanyakan di mana adanya gurumu si Tua Gila itu?”
“Hemm…. Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro
seenaknya.
Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah
membunuh seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah
Magek Bagak Baculo Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal
Kalau kau tidak memberitahu di mana dia berada maka aku akan mewakili
dunia persilatan untuk menghabisimu saat ini juga. Tapi mengingat nama
besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu syarat…”
“Asyik juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon?!”
bertanya Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk
Lembah Akhirat masuk menjadi anggota kami!”
“Hemmm…. Coba aku pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Sebelum aku memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh
aku bertanya? Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya?
Walah, perjalanan ke sana pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju
ke sana atau ada tangganya naik ke langit sana atau bagaimana ya…?” Wiro
tutup ucapannya dengan tawa bergelak.
Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa.
Murid Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya
sampai di sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau
tahu Tua Gila sejak lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan
Kapan dia sempat-sempatnya membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha…
ha… ha…!”
“Baculo duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu
cadas membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut
nyawa orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang
terakhir untuk bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis
menggembung bergerak-gerak saking mendidih amarahnya.
“Sobatku di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja!
Kami memberi kesempatan padamu untuk bicara!”
Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi.
Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari,
kau tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku
bicara!”
“Hemm….” Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke
langit. “Sobatku Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada
dua kecoak ingusan itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama
Anggini, dengar baik-baik apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua
seorang tokoh bernama Datuk Bululawang menemui kematian! Malang bagi
kalian berdua, Datuk Bululawang adalah kakak kandung sobatku Iblis Pemalu
yang saat ini duduk di atas batu cadas sanal Celaka bagi kalian berdua, hari ini
akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah sekian lama
mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!”
“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi
nyawanya harus dibagi empat!” Si nenek lalu tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam
duduk. Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui
tentang manusia aneh bernama Iblis Pemalu itu?”
“Aku memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang
seorang diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi
tapi dia bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan
hitam, Aneh kalau hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu!
Lekas kau bicara menjelaskan kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu, apakah kau
menyaksikan dengan mata kepala sendiri?!”
“Sobatku Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu
bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
“Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri
kakaknya! Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa orang lain itu?!” tanya Anggini.
“Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu
siapa orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!” kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah
Pengiring Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai
bicara membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita
sudah siap mulai dengan pesta kematian ini?!”
Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu dia naik
ke atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau
saja dia masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah
naik ke atas batu itu. Tapi cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan
cepat dan mudah bisa sampai di sana. “Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar
penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang bukan kami yang membunuh. Dia jadi
korban pembalasan sakit hati Sandaka, seorang pemuda berjuluk Manusia Paku.
Pemuda itu sendiri adalah korban ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku
tak pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga
Dewi Ular. Coba jelaskan di mana perempuan itu berada!”
“Mereka amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan
tidak masuk akal! Datuk…. Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai
Sandaka atau Manusia Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam
Manusia Paku)
“Datuk Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis
Pemalu berkata.
“Astaga, hampir aku terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap
kabar, salah satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya
sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta
itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka segala urusan menyangkut dirimu akan
dilupakannya!”
“Gila, kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian
semua dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta
petunjuk!”
“Aku juga!” kata Anggini.
“Aku yang menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri
keluarkan seruan.
Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah
pemuda itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja
mendongak ke langit. Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak
tadi bersitekan ke batu.
“Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan dia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik
kain putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang
ada di tempat itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik
pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-
gerakkan kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika
Sure Jelantik merupakan satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan
urusan Pedang Naga Suci 212 itu. Sepasang matanya terus menerus mengawasi
Wiro yang sejak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu
dia sudah berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas
sebatang pohon besar dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!” teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak
tertutup lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di
udara dia membuat gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke
arah pohon besar tempat lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap
berada di atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak
melepaskan Wiro dari pengawasannya.
“Sika Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta,
bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk
Gadang Mentari itu,
“Sika, kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk
Gadang Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya
melesat ke arah Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan
kanannya membuat gerakan kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah
Pendekar 212!
*
**
SEPULUH
Kita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang
dilakukan oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui
putera Rajo Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu
memiliki ilmu kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam
waktu sanya W! dalam air. Lalu dia juga sangat pandai dalam soal panjat
memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya lenyap seolah berubah jadi
angin.
Pengiring Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang
berkeliling. Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat
menarik tangannya ketika mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil
tutupi kedua mukanya dengan tangan manusia aneh ini mengawasi keadaan
sekelilingnya lewat celah-celah jarinya.
“Ke mana lenyapnya jahanam itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah
berteriak. “Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil
menangkap manusia kampret itu!” kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat
mukanya dengan ke dua tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis
Pemalu. “Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak
buah Datuk Lembah Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si
Pengiring Mayat Muka Hijau melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu
amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia
akan terperosok jatuh.
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas
patahan cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada
tanda bekas dipotong dengan beda tajam. “Pasti pemuda jahanam itu yang
punya, pekerjaan!”
Perigiring Mayat Muka Hijau memaki.
“Sobatku dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring. Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu.
“Aku malu tak dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak
mengerahkan Ilmu Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini
akan musnah dan jahanam itu tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan.
Sebentar lagi matahari akan terbenam dan tempat ini akan diselimuti
kegelapan!”
Pengiring Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya dia
membenarkan kata-kata Iblis Pemalu. Maka dia segera kerahkan tenaga dalam
ke tangan kanannya yang telapaknya berwarna hijau. “Wusss!”
Pengiring Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar
hijau menderu. Cabang, ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana
dikobari api berwarna hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu berubah
menjadi bubuk berwarna hijau yang kemudian lenyap bertaburan tertiup angin,
Di pohon yang kini menjadi gundul itu sama sekali tidak terlihat sosok pemuda
yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat Muka Hijau kembali menghantam
pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon ini pun menerima nasib
sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja tidak kelihatan!
“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.
Tiba-tiba seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping
Pengiring Mayat Muka Hijau, membuat orang ini terkejut dan kembali
menyumpah panjang pendek. Yang datang ternyata adalah Iblis Pemalu.
“Sobatku Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah
melihat pemuda itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau
menghantam kembali. Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu
menyerangnya. Tapi tidak malu menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah,
ucapanmu membuat diriku tambah malu,” katanya tetap dengan suara berbisik.
“Ayo cepat kau menghantam pohon itu sebelum dia kabur dari sana!”
“Sialan! Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta
itu!” rutuk Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di
sebelahnya dia langsung menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena
Pengiring Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan
tenaga dalam tinggi
Pohon besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi
setengah dari batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian
lebur ditiup angin!
“Mana dia! Katamu bangsat itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada
di sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak
melihat sosok Panji.
“Ah, bagaimana ini. Tadi jelas aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi
malu!” Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba terdengar suara bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan
Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik.
Sesosok tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke
arah Pengiring Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan
membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini tidak dapat berkelit. Meskipun
dia tak sempat menghindar namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak diam
begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan ke arah si penyerang.
“Bukkk!”
“Wuss!”
Satu tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan
telak. Selarik sinar hijau berkiblat!
Pengiring Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di
semak belukar. Dada kanannya serasa remuk.
“Memalukan! Ah, kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan
mendatangi Pengiring Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke
mukanya. Tangan kanan diulurkan untuk menolong.
Saat itu bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi
amarahnya pun sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya
diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat bangkit
kembali.
Sambil menutupkan ke dua tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata.
“Memalukan, diantara sahabat terjadi salah paham!”
“Jahanam! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi
debu kau saat ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah memalukan! Memalukan aku harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan
kepalanya beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke
arah lenyapnya bayangan hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka
Hijau.
Dengan susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari
semak belukar. Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya
berulang kali. Dia memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda
baju hijau itu tak bakal lari jauh! Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang
aku lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau tidak telak….”
Dengan cepat dia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu
selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darah dia segera menyadari satu
hal.
“Aku harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu
mendapatkan peta petunjuk di mana adanya Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau
sampai dia mendahului pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi hukuman
berat padaku!”
Memikir sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun
gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa
membahana. Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau
penuh benjolan seperti bisul ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara
tawa biasa. Kedua kakinya yang menginjak tanah dapat merasakan getaran
hebat tanda siapa pun adanya orang yang tertawa pasti memiliki ilmu
kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat bakal ada bahaya yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam
ke tangan kanannya. Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat!
*
**

SEBELAS
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak
lama orang yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal suara tawanya begitu
keras tanda orangnya tidak berada jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana
yang mendadak menjadi sunyi senyap membuat anak buah Datuk Lembah
Akhirat ini menjadi salah tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi
khawatir orang akan membokongnya. Tidak keluar membuat ketegangan
semakin bertumpuk.
Si muka hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini
datangnya justru dari atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke
atas terkejutlah dia. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan
yang demikian luar biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk
memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini
rupa?!”
Di atas pohon besar, di salah satu cabang dia melihat seekor keledai pendek
kurus. Tegak dengan telinga bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor
bergoyang-goyang kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk
seorang kakek gemuk luar biasa. Rambutnya digulung di atas kepala.
Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan hingga dada dan perutnya yang
gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau perhatikan wajah
orang di atas pohon itu. Tua dan memiliki sepasang mata sangat sipit.
“Benar-benar edani” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada
di atas pohon! Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski
binatang itu kurus tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya.
Apalagi ditambah dengan berat orang tua bertubuh gemuk itul Tapi cabang
tidak patah, bergoyang atau meliuk pun tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh
ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau mendadak menjadi dingin. Dia tidak
bisa menduga pasti. Namun terus memutar otak mengingat-ingat.
Tiba-tiba si gemuk di atas pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa
bergelak. Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik
bahkan ada yang berguguran.
“Dasar keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan
ke sorga bukan di sini! . Ha… ha… ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku
gamang. Bisa-bisa aku ngompo! di celana! Ha… ha… ha! Ayo turun!”
Si gemuk tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara
melenguh lalu menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali.
Si gemuk di atas punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya
yang gembrot bergoyang-goyang.
“Keledai dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku
jadi gamang! Nah… nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau
aku kencingi!”
Di bawah pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air
jatuh membasahi muka dan dadanya. Ketika mencium bau air dan menyadari
air apa adanya yang barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah
dia habis-habisan.
Sementara itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk
pantat keledai seraya berkata mengancam. “Keledai geblek! Lekas turun ke
tanah! Kalau kau masih membandel akan aku tutup lobang anusmu! Jangan
harap kau bisa buang hajat selama satu minggu!”
Entah mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu
melenguh tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi
selangkah dia meniti cabang pohon. Begitu sampai pada batang pohon keledai
ini terus membelok ke bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus
menjejakkan kaki pada batang pohon, bergerak turun ke bawah!
Pengiring Mayat Muka Hijau yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat
jadi terkesiap. Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika dia
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi kembali dia menyumpah.
“Jahanam gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang
pohon. Keledai di bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!” Walaupun
demikian Pengiring Mayat Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan
kakek gemuk yang terus-terusan keluarkan suara tertawa itu. “Dia memiliki
tenaga dalam aneh yang mampu membuatnya meniti pohon dengan tubuh
melintang di udara!
Telapak kakinya seperti memiliki perekat!”
Keledai dan si gemuk akhirnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di
mata Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di
atas punggung keledainya karena ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak
tanah menopang tubuhnya yang berat!
Si gemuk usap-usap perutnya lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan
seantero tem-pat. “Keledaiku, kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas!
Jangan jauh. Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau.
Aku menunggumu di sini sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu
menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu
duduk menjelepok di tanah, bersandar ke pohon. Padahal di sebelah
belakangnya tegak bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan
dikencinginya!
Mencari saudara semata wayang
Entah hilang entah nyawa sudah melayang
Lain yang dicari
Lain yang ditemui
Kalau memang bukan maling bukan pencuri
Mengapa sengaja sembunyikan diri
Ha… ha… ha….
Enaknya hidup di dunia ini
Bisa tertawa bisa menyanyi
Ha… ha… ha!
Di balik pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau
nyanyi yang dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya.
Dalam pada itu dia kini sudah bisa menduga siapa adanya orang itu. Maka tanpa
tunggu lebih lama dia segera keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.
“Bukankah aku berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang
disebut dengan gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara tawa si kakek gemuk langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit
memandangi Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu
meledaklah tawa orang ini kembali.
“Kau pandai menerka siapa diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga
siapa dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha… ha… ha! Mukamu hijau
benjal-benjol seperti ulat daun. Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli
tulang. Bagaimana kau mencium kekasih atau istrimu! Ha… ha… ha…. Siapa kau
ini kira-kira ya? Ha… ha… ha!”
Rahang Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik.
“Orang tua gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!”
“Huss! Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan
membanyol! Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha… ha…
ha!”
“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya aku punya
rencana baik untukmu! Tapi kini terpaksa aku batalkan!”
“Ah, kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat
rencana baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada
setan pohon yang mengencingimu?! Ha… ha… ha!”
“Dewa Ketawa, kau boleh tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau
aku beri tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami
orang-orang Lembah Akhirat….”
“Eh, apa…?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut
Dewa Ketawa ketok-ketok bagian kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau
ulangi lagi ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau
bilang kakakku mau kawin? Eh…! Ha.,, ha… ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah
Akhirat! Tak ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan
jadi budak Datuk Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan
segera menerima giliran!”
“Ha… ha…! Kalau hendak diajak jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum
pernah aku pergi ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang…?!” Dewa Ketawa
bergerak bangkit.
Namun saat itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si
gendut itu jatuh terduduk kembali di bawah pohon.
“Hai! Barusan kau bilang hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa
sekarang menye-rimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil
menahan tawa.
Tadi kakimu! Sekarang mulut besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau.
Lalu tangan kanannya melesat ke depan.
“Bukkk!”
Kepala Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan
tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya
pecah. Darah mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka
darah di mulutnya.
“Kau baik hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku!
Ha… ha… ha! Untung…. Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha…
ha… ha!”
“Berapa nyawa yang adadalam tubuhmugendut keparat?!” tanya Pengiring
Mayat Muka Hijau.
“Eh, walau dara bertanyamu mulai kasar tapi aneh juga! Kampret cuma punya
satu nyawa! Burung hantu alias kokokbeluk juga punya satu nyawa! Ular keket
yang tampangnya sepertimu hanya punya Satu nyawa. Keledai butut
tungganganku juga punya satu nyawa. Lalu apa menurutmu aku bisa punya dua
nyawa kalau yang satu aku pinjam darimu?! Ha… ha… ha…! Untung mukamu
hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu saat ini! Ha… ha… ha!”
“Gendut edan! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur! Nyawamu yang cuma
satu itu terpaksa harus kau serahkan padaku saat ini juga!”
Saat itu diam-diam Pengiring Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanannya untuk mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi
Dewa Ketawa masih asyik tertawa-tawa tiba-tiba dia hantamkan tangannya ke
depan. “Wuutt!” “Settt!”
Belum lagi sinar hijau mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat
Muka Hijau tiba-tiba tangan kanan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah
masuk dalam cengkeraman tangan kanan Dewa Ketawa.
Pengiring Mayat Muka Hijau kaget luar biasa. Dengan cepat dia menarik
tangannya. Namun bagaimanapun dia mengerahkan tenaga sampai keluarkan
keringat dingin, dia tidak mampu melepaskan tangan kanannya dari
cengkeraman si gemuk itu.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh. “Apa ceritamu tentang nyawa sudah
selesai….” Dewa Ketawa mengejek. “Aku masih punya waktu untuk
mendengarkan! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam! Lepaskan cengkeramanmu! Atau kakakmu akan aku suruh bunuh
biar jadi setan penasaran!” Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-
tonjolan di mukanya kelihatan seperti membengkak hingga kepalanya jadi
tampak lebih besar.
Dewa Ketawa ganda tertawa. “Kasihan, kau kesakitan rupanya. Memang
tanganku kasar, tidak sehalus tangan gadis cantik jelita! Ha… ha… ha! Sudah,
tak perlu cengeng. Lihat tanganmu akan aku lepaskan…. Ha… ha… ha!”
Ternyata Dewa Ketawa tidak segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya
pada tangan Pengiring Mayat Muka Hijau. Acuh tak acuh sambil terus tertawa-
tawa lima jari tangannya bergerak meremas. Telapak tangannya menjepit
laksana jepitan besi.
“Kreekkk…. Kereekkkk…. kereek!”
Terdengar suara berderak tiga kali.
Pengiring Mayat Muka Hijau menjerit setinggi langit.
Ketika Dewa Ketawa lepaskan cengkeramannya kelihatan bagaimana tangan
kanan Pengiring Mayat Muka Hijau telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat
berpatahan!
“Manusia tak tahu diuntung! Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah aku
lepaskan bukannya mengucapkan terima kasih malah menjerit-jerit seperti
anak kecil!”
“Keparat jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka
Hijau. Tiga jari tangan kirinya melesat laksana tiga mata tombak ke
tenggorokan Dewa Ketawa.
Yang diserang sesaat masih tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan.
Saat itu juga sekujur tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa
bergerak, tak mampu bersuara! Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang
dalam rimba persilatan hanya dimiliki oleh Dewa Ketawa!
“Ha… ha… ha! Sekarang kau sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau
mengantarkan aku ke tempat terletaknya Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa bangkit berdiri. Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam
mulut. Lalu dari mulut itu keluar suara bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat
kemudian dari balik semak belukar menyeruak datang keledai pendek kurus
tunggangannya.
DewaKetawa tertawa panjang. “Bagus, sekali ini kau datang cepat. Berarti kau
juga senang diajak jalan-jalan ke Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa naik ke punggung keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah.
Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan tangan kanan digebuknya pinggul keledai. Binatang dan penunggang
sama-sama bergerak. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau ikut terseret!
*
**

DUA BELAS
Panji menghentikan larinya ketika dirasakannya tangan kanannya seperti
kesemutan. Ketika dia meneliti berubahlah paras pemuda ini. Ujung baju
hijaunya mulai dari bahu sampai ke pinggang nampak berlubang besar, berubah
jadi bubuk!
“Sedikit saja pukulan itu lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah
jadi debu!” membatin si pemuda. “Rupanya bukan cerita kosong bahwa orang-
orang Lembah Akhirat memiliki ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang
mengerikan itu! Kalau dibiarkan mereka malang melintang berbuat sekehendak
hatinya celakalah dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal aku baru saja
menjejakkan kaki di sini. Belum punya pengalaman, apalagi yang namanya
menimba ilmu baru!”
Tiba-tiba ingat pada Anggini dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa
kujadikan sahabat. Apa yang terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi dapat
menolong mereka? Sampai saat ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka
sampai dikeroyok empat celaka besar akan mereka hadapi! Aku harus kembali
ke lembah batu itu!”
Berpikir sampai di situ Panji berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus
itu. Ketika dia belum lama menyusuri jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di
depannya tegak menghadang Iblis Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua
tangan menutupi wajah namun di antara sela-sela jarinya Panji melihat
sepasang mata memandang tak berkesip padanya.
“Hanya dia seorang yang mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah,”
pikir Panji yang tidak mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah
dibuat tak berdaya oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku, mengapa kau menghadangku?” menegur Panji dengan nada
bersahabat.
“Aku bukan sobatmu! Aku malu jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!”
Melihat sikap aneh orang di hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya
Panji memutar otak. “Orang aneh kalau diikuti segala perbuatannya bisa
dijadikan sahabat. Tapi kalau meleset bisa membawa kematian…. Orang ini
jelas memiliki ilmu kepandaian yang bisa membawa bencana bagiku! Aku harus
berani ambil keputusan!”
Maka Panji lantas meniru perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya dia
menutupi mukanya. “Aku jadi malu kau tidak menerima persahabatanku!
Daripada malu terus lebih baik aku pergi saja….” Panji lalu memutar diri dan
melangkah pergi.
“Tunggu! Jangan pergi!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat
dia telah berada di hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu, aku
tidak akan menjadi sahabatmu! Malah aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab!” keluh Panji.
“Mengapa tak menjawab? Apa merasa malu?!” bentak iblis Pemalu.
“Ya… yai Aku merasa malu. Yang aku perlihatkan di lembah itu sebenarnya
bukan peta. Tapi sehelai potongan kain butut!”
“Aku tidak percaya. Jangan membuat aku malu karena tertipu! Keluarkan kain
itu! Perlihatkan padaku!” bentak Iblis Pemalu.
“Ah…. Aku benar-benar malu!” ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik
pakaian. Ketika dikeluarkan tampak dia memegang sehelai kain putih yang
sudah kusut dan dekil. Kain itu diulurkannya pada Iblis Pemalu.
“Aku malu memegangnya! Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.
Panji membungkuk. Potongan kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu
memang tidak ada tulisan ataupun peta seperti yang dikatakan Panji.
“Balikkan kainnya!” kata !b!is Pemalu pu!a.
Kembali Panji mengikuti apa yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan
dikembangkan. Pada bagian ini pun tidak ada apa-apanya. ,
“Hemmm…. Sayang matahari hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan
kain itu ke arah matahari. Siapa tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan
hanya bisa dilihat kalau dikembangkan di bawah penerangan tembus sinar sang
surya!”
“Sobatku, kau cerdik sekali,” memuji Panji.
“Jangan membuat aku malu dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu.
“Harap maafkan aku. Tapi terus terang sebenarnya aku merasa malu karena
telah menipumu….”
“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!”
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya
karena ingin menolong dua sahabatku yang sekarang mungkin masih ada di
lembah, dikeroyok oleh tiga orang kawan-kawanmu itu….”
“Aku datang ke sana bukan untuk mengeroyok! Mengeroyok adalah perbuatan
memalukan! Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum
menerangkan tuntas apa maksudmu sengaja menipu!”
“Sekali melihat saja aku sudah tahu bahwa kau dan teman-temanmu adalah
orang-orang persilatan berkepandaian tinggi. Aku dan dua kawahku tak
mungkin bisa menang menghadapi kalian. Karena itu aku memancing dengan
memperlihatkan secarik kain butut yang kebetulan kubawa. Lalu kukatakan
saja kain itu adalah peta petunjuk di mana beradanya Pedang Naga Suci 212.
Habis berkata begitu aku lalu melarikan diri dengan harapan agar kalian
mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu selamat dari keroyokan kalian.
Nyatanya yang mengejar aku cuma kau sendiri. Berarti tiga temanmu masih ada
di sana! Pasti saat ini tengah terjadi perkelahian hebat di lembah. Aku harus
kembali ke sana menolong mereka!”
“Jangan kau berani pergi dari sini!” bentak Iblis Pemalu. Dua matanya
berputar-putar memandangi Panji. Lalu dari mulutnya terdengar suara tawa
cekikikan.
“Manusia aneh, apa pula yang ditertawakannya!” pikir Panji.
“Sobatku, kalau kau tetap menghadang berarti kau melakukan perbuatan yang
memalukan. Kau membantu tiga orang itu mencelakai dua temanku!”
“Jangan bicara seenak perutmu! Yang mengejarmu bukan aku sendirian. Tapi
manusia bermuka hijau itu juga ikut mengejar. Hanya aku tidak tahu sampai
saat ini dia tidak muncul!”
“Kalau kau Jngin dipermalukan apa kau mau memberi jalan agar aku segera
bisa kembali ke lembarrbatu?” tanya Panji pula.
“Berarti aku juga harus segera ikut ke sana!”
“Guna membantu tiga temanmu itu?!”
“Jangan bicara memalukan! Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka karena
diajak oleh Datuk Gadang Mentari, katanya aku akan dipertemukan dengan dua
orang yang telah membunuh saudaraku yaitu Datuk Buluiawang! Kalau aku tidak
ikut mereka bukankah itu satu hal yang memalukan? Tidak melakukan sesuatu
terhadap orang-orang yang telah membunuh saudara sendiri?! Kalau aku dibuat
malu terus-terusan apakah menurutmu lambat laun kemaluanku tidak tambah
besar? Astaga aku mengatakan sesuatu yang salah! Sungguh memalukan!
Maksudku….”
“Sudah! Sudah! Aku mengerti maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti,
tentu saja memalukan jika tidak melakukan sesuatu atas kematian saudara yang
dibunuh orang. Aku dapat mengerti perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi
kalau ternyata dua orang itu sebenarnya bukan pembunuh saudaramu! Itu
hanya akal-akalan Datuk Gadang Mentari saja! Mungkin dia punya maksud
tertentu atau disuruh oleh seseorang yang hendak mencari keuntungan
darimu….”
Iblis Pemalu terdiam sesaat. Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan
tampak basah keringatan. “Agar aku tidak tambah malu, apa yang harus aku
lakukan?”
“Kau teruskan perjalananmu. Aku akan kembali ke lembah batu untuk
menolong dua sahabatku itu!”
“Hemm… Kalau mereka sahabatmu, adalah memalukan kalau aku tidak
menganggap mereka sahabatku juga. Aku ikut bersamamu!”
Panji terdiam bimbang. “Apakah orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa
dipercaya?” pikirnya. “Dia dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak memiliki sifat jahat
seperti iblis, tidak mungkin dia digelari seperti itu.
“Kau malu membawa aku ke sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm…. aku tahu!
Jangan-jangan…. Ha… ha… ha!”
“Jangan-jangan apa?!” tanya Panji tak mengerti.
“Kau takut aku merampas gadis cantik berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati
padanya! Benar?!”
Panji tertawa gelak-gelak. Tapi wajahnya tampak kemerahan.
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah!
Pasti dugaanku betul! Ha… ha… ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?”
“Panji.”
“Dengar, jika aku sudah menganggap seseorang sebagai sahabat, walau hatiku
bisa berubah sejahat iblis tapi aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Terima kasih kau mau menganggapku sebagai sahabat,” kata Panji dengan
perasaan lega.
“Aku menduga gadis itu menyukaimu….”
“Kau bicara memalukan saja sobatku. Pemuda yang bersamanya adalah
kekasihnya!” kata Panji.
“Bagaimana kau tahu?” tanya ibis Pemalu. Panji terdiam. “Nah, kau tak bisa
menjawab. Berarti dugaanku tidak salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah.
Sebentar lagi hari akan gelap!”
Iblis Pemalu putar tubuhnya lalu tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak
menginginkan orang aneh itu kembali ke lembah, kini dia yang jadi mengikuti.
Ketika sampai di lembah batu matahari telah tenggelam dan keadaan di tempat
itu mulai gelap. Mereka tidak menemukan Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di
tempat itu menggeletak mayat Datuk Gadang Mentari. Kepalanya pecah.
Mukanya hancur dan lehernya hampir putus dijirat selendang berwarna ungu.
“Kita datang terlambat sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.
Panji hanya bisa anggukkan kepala. Dalam udara yang mulai gelap dia
memandang berkeliling. Namun tak seorang lain pun tampak di tempat itu.
Tiba-tiba Iblis Pemalu mendongak.
“Aku mendengar suara seseorang merintih…. Datangnya dari arah sana. Dari
balik batu cadas besar…. Jangan bertindak yang memalukan. Lekas kita
menyelidik ke sana!” Iblis Pemalu berkelebat ke arah batu besar di ujung kanan
lembah. Lalu terdengar suaranya berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!”
Panji melompat ke balik batu besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut
ketika menyaksikan sesosok tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh
robek. Luka berdarah terlihat di mana di mana-mana.
“Anggini!” seru Panji. “Apa yang terjadi?!”
“Sungguh memalukan!” desis Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat
memandangi sekujur tubuh Anggini. Lalu dia cepat berkata. “Panji, luka yang
diderita sahabatmu tidak seberapa. Tapi racun yang mengendap dalam
tubuhnya sangat jahat! Lekas kau suruh dia menelan obat ini!”
Iblis Pemalu angkat tangan kanannya dari wajahnya. Tangan kiri masih
menutupi. Dari kantong celana hitamnya dia keluarkan satu lipatan kertas yang
segera diserahkannya pada Panji. “Lekas kau. masukkan semua obat itu ke
dalam mulutnya. Memalukan kalau dia sampai menemui ajal dan kita tidak bisa
menolong!”
Panji yang telah percaya penuh pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan
kertas di dalam mana terdapat sejenis bubuk berwarna kuning dan menebar
bau harum.
“Anggini, buka mulutmu. Telan obat ini….”
“Ja… jangan perdulikart di… diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia… dia
diculik nenek jahat bernama Sika Sure Jelantik…”
“Kami akan menolongnya nanti. Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata
Panji pula. Lalu setengah memaksa ditekannya ke dua pipi si gadis hingga mulut
Anggini terbuka. Obat bubuk kuning yang ada dalam lipatan kertas
dikucurkannya ke dalam mulut gadis itu. Anggini mengeluarkan suara tercekik
lalu batuk-batuk.
Panji cepat tekap mulut gadis itu hingga akhirnya obat dalam tubuhnya tertelan
masuk ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam
perut si gadis langsung jatuh pingsan.
“Anggini!” seru Panji yang jadi bingung melihat keadaan si gadis dan
menyangka telah menghembuskan nafas terakhir, Dia berpaling pada Iblis
Pemalu dan memandang penuh curiga.
“Jangan khawatir. Gadis itu cuma pingan! Aku tidak melakukan sesuatu yang
memalukan! Dengar, kau tunggu gadis itu sampai dia siuman. Aku akan coba
mengejar nenek yang melarikan sahabatmu itu! Memalukan, sudah tua bangka
masih suka-sukanya melarikan anak muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu
segera berkelebat pergi sementara hari merayap gelap.
Apakah yang telah terjadi di lembah batu sepeninggalnya Panji, Iblis Pemalu
dan Pengiring Mayat Muka Hijau?
*
**

TIGA BELAS
Seperti dituturkan sebelumnya yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang adalah
Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun Sutan Alam kemudian mengarang cerita
bahwa murid Dewa Tuak Angginilah yang membunuh sang Datuk disertai bukti-
bukti palsu. Terhasut oleh fitnah itu maka Datuk Gadang mentari, kakak-
kandung Datuk Mangkuto Kamang meninggalkan tempat kediamannya di muara
sungai Siak. Sebenarnya Datuk Gadang Mentari sudah belasan tahun tak pernah
lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Dalam usianya yang telah lanjut itu
dia lebih banyak bersunyi diri di tempat kediamannya. Apa lagi dia menderita
semacam penyakit yang membuat kedua matanya sedikit demi sedikit keluar
dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan bagaimanapun orang tua ini
terpaksa harus mendongakkan kepala agar kedua bola matanya tidak bergayut
yang dikhawatirkannya bisa tangga! dan jatuh!
Walau sudah lama tidak turun lagi ke rimba persilatan namun di kawasan timur
pulau Andalas orang tua ini tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang
disegani kawan ditakuti lawan. Dengan demikian jelas dia memiliki kepandaian
tinggi. Hari itu yang dihadapinya adalah seorang gadis yang meskipun masih
muda belia tapi telah mendapat gemblengan hebat serta pengalaman luas.
Ketika Sang Datuk melancarkan serangan tangan kosong Anggini langsung balas
menghantam dengan selendang ungunya.
“Wuttt!” “Desss!”
Tangan kanan Datuk Gadang beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk
tersentak kaget dantersurut dua langkah. Mukanya yang mendongak tampak
berobah sedang sepasang matanya bergerak cepat. Walau tangannya tidak
cidera namun dari bentrokan tadi dia, segera maklum kalau lawannya yang
masih muda itu memiliki tenaga dalam tinggi. Ketika menyerang lagi untuk ke
dua kalinya sang Datuk tidak berani memukul langsung tapi kibaskan lengan
jubahnya.
Satu gelombang angin menderu ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan
melompat ke atas. Dari atas selendangnya berkelebat menyambar ke arah
kepala lawan. Datuk Gadang Mentari lipat ke dua lututnya. Begitu selendang
lewat di atas kepalanya dia langsung menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Angin laksana topan prahara menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini
terpekik kaget. Dia cepat berputar. Walau sempat mengelak namun tak urung
salah satu kaki celana ungunya tersambar robek. Merasa mendapat angin Datuk
Gadang Mentari susul dengan serangan berantai hingga Anggini terpaksa
melompat ke atas sebuah batu cadas.
Datuk Gadang Mentari agaknya tak mau memberi kesempatan. Beium lagi
sepasang kaki si gadis menyentuh batu dia kembali melancarkan serangan
tangan kosong-mengandung tenaga dalam tinggi.
“Braaakkk!”
Batu di bawah kaki murid Dewa Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan
agak gugup dan terlambat mengatur kuda-kuda. Ketika dia melompat ke kiri,
salah satu kakinya tertekuk dan tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-
siakan oleh Datuk Gadang Mentari. Didahului suara menggembor, dengan kepala
mendongak dia menerjang dan kirimkan satu tendangan kaki kanan.
Anggini gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang.
“Wuttt!”
Selarik sinar ungu membeset ke arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari
sasaran di kepala si gadis. Namun serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan
belaka. Begitu sambaran selendang yang bisa mematahkan kakinya lewat, Datuk
Gadang Mentari teka p matanya dengan tangan kiri lalu membuat gerakan
berjumpalitan dua kali. Ke dua kakinya mencuat ke udara. Anggini melompat
mundur untuk menghindar namun tubuhnya tertahan oleh dinding batu cadas!
Mau tak mau, satu-satunya jalan untuk selamatkan diri adalah melompat ke kiri
atau ke kanan.
Anggini memilih melompat ke kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan
lawan memang bisa dielakkannya. Kaki itu menghantam batu cadas hingga
pecah berantakan. Sebaliknya kaki kiri sang Datuk melesat mengikuti arah
gerakan mengelak si gadis.
“Bukkk!”
Anggini terpekik. Tubuhnya terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk
Gadang Mentari menghantam pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu
dinding batu cadas. Anggini merasa seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan
hancur remuk begitu beradu keras dengan batu. Selendang sutera ungunya
terlepas dari tangan dan jatuh ke dalam telaga kecil. Dia sendiri tersandar
menahan sakit di dinding batu.
Datuk Gadang Mentari dengan kepala mendongak ke langit melangkah
mendatangi.
“Anak gadis, sebenarnya aku dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat!
Tapi dosamu keliwat besar! Aku terpaksa melupakan persahabatan itu dan
membunuhmu saat ini sebagai batasan sakit hati atas pembunuhan yang kau
lakukan terhadap saudaraku!”
“Aku tidak membunuh adikmu!” teriak Anggini.
Datuk Gadang Mentari keluarkan tawa mengekeh. Sekali berkelebat dia sudah
berada satu langkah dari samping Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali
dan tahu-tahu sudah mencekal leher si gadis!
Anggini merasa nyawanya seolah terbang. Namun dia tidak hilang akal. Dengan
siku tangan kirinya dihantamnya rusuk orang tua itu.
“Kraaakk!”
Paling tidak ada dua tulang iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang
Datuk mengeluh tinggi kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam
telaga, dengan cepat mengambil selendangnya yang mengapung di air. Datuk
Gadang Mentari yang walau mendongak dan kesakitan masih bisa mengetahui di
mana lawannya berada. Tangan kiri-nya dihantamkan dengan pengerahan
tenaga dalam penuh. Di saat yang sama, sedikit lebih cepat Anggini putar
selendang suteranya ke arah kaki Datuk Gadang Mentari. Walau cuma sehelai
selendang halus dan dalam keadaan basah, namun di tangan murid Dewa Tuak
benda itu bisa berubah seperti ular atau tombak atau pentungan besi!
Datuk Gadang Mentari terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di
dalam air Anggini sudah menunggu dengan hantaman berikutnya karena
mengira sang Datuk akan terbanting jatuh ke dalam telaga. Namun lawan
berlaku cerdik. Dengan membuat gerakan berputar Datuk Gadang Mentari
berhasil melesatkan dirinya ke kanan hingga dia jatuh di antara batu-batu cadas
di sebelah atas telaga. Orang tua ini bergerak bangkit dengan cepat. Ketika
dilihatnya Anggini muncul di antara dua Celah batu cadas, sang Datuk cepat
menghantam salah satu batu di depannya. Hancuran batu berhamburan
menghantam ke arah Anggini. Hancuran batu ini bukan sembarangan karena
tidak ubahnya dengan puluhan senjata rahasia yang bisa membuat sekujur
tubuhnya tercabik-cabik!
Secepat kilat Anggini jatuhkan diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian
cepat namun masih ada hancuran batu yang merobek pakaian dan melukai
tubuhnya. Bahkan beberapa diantaranya menggores kening dan pipinya hingga
menimbulkan luka berdarah.
Datuk Gadang Mentari bangkit berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah
kesalahannya. Sebelum dia melancarkan satu tendangan mematikan ke arah
kepala si gadis, murid Dewa Tuak hantamkan selendangnya ke bawah perut
sang Datuk. Jubah hitam belang putih Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari
sela robekan kelihatan darah mengucur. Sang Datuk terjajar mundur.
Kepalanya masih mendongak namun tersentak-sentak.
“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan
jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara bersiur disusul melesatnya tiga buah
benda terbuat dari besi hitam berujung tiga. Seumur hidupnya baru dua kali
Datuk Gadang Mentari mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada
keadaan sangat terdesak dimana dia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini
adalah kali ke tiga dia terpaksa mengeluarkan senjata itu untuk menyerang
lawannya.
Anggini tak tinggal diam. Dengan tangan kirinya dia mengeruk ke dalam sebuah
kantong kecil di balik pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka
setengah lusin paku terbuat dari perak putih berukuran panjang setengah
jengkal berkiblat berkilauan dalam udara yang mulai menggelap.
“Traang… trang… trang!”
Sembilan senjata rahasia berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga
api. Selagi Datuk Gadang Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata
rahasianya dikepung dan dibuat mental oleh enam senjata rahasia lawan,
Anggini bergerak menyusup lancarkan serangan. Selendang ungu di tangan
kanannya melesat ke udara lalu berputar dan se-terusnya laksana seekor kepala
ular mematuk ke bawah dua kali berturut-turut. Inilah jurus yang disebut
Memecah Angin Memukul Matahari Menghancurkan Rembulan!
“Praaakk!”
“Praaakk!”
Datuk Gadang Mentari keluarkan pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya
yang pecah dan mukanya yang hancur. Sepasang matanya mencelat mental
entah ke mana. Walau cidera berat demikian rupa namun Datuk Gadang Mentari
tak segera mati. Terhuyung-huyung dia melangkah menghampiri Anggini. Dua
tangan diulurkan seolah hendak men-cekik. Ngeri dan juga khawatir lawan
masih memiliki ilmu simpanan yang bisa mencelakainya, murid Dewa Tuak
kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang. Senjata andalan
si gadis melesat deras, laksana seekor ular menggelung leher Datuk Gadang
Mentari!
Anggini putar pergelangan tangannya. Gerakannya membuat jiratan selendang
mengencang dan “kraakk!” Tulang leher Datuk Gadang Mentari hancur.
Kepalanya miring ke kiri. Nafasnya terhenti. Nyawanya melayang!
Belum lagi sempat Anggini melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk
tiba-tiba ada siuran angin di belakangnya. Lalu “bukk!”
Satu hantaman keras mendera punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini
terpekik dan mencelat sampai dua tombak lalu terhampar di tanah.
“Pengecut pembokong!” teriak Anggini dan cepat berdiri.
Di belakangnya terdengar suara orang tertawa mengekeh!
*
**

EMPAT BELAS
Anggini berpaling. Dalam menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut
kaget. Di hadapannya tegak si nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut awut-
awutan dan jubah robek. Dia memanggul sesosok tubuh yang ketika
diperhatikan si gadis membuat dirinya tercekat. Yang dipanggul oleh
perempuan tua itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Apa yang terjadi dengan Wiro. Pingsan, dalam keadaan tertotok atau…?
Kulihat pakaian putihnya robek dan hangus.” Habis membatin begitu murid
Dewa Tuak ini langsung membentak.
“Tua bangka pembokong keji. Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut.
Tapi juga penculik busuk! Apa yang kau lakukan terhadapnya?!”
Si nenek tertawa panjang. “Kau begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau
mencintainya?! Hik… hik… hik!”
“Jangan bicara hgacok! Lekas lepaskan pemuda itu!” Hardik Anggini.
“Percuma kau memperhatikan dirinya. Apa kau tak tahu kalau dia dicintai oleh
seorang gadis berwajah secantik bidadari?! Nasibmu buruk…. Hik… hik… hik!”
Walaupun wajahnya menjadi merah dari dadanya berdebar namun dalam
keadaan seperti itu Anggini tidak terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure
Jelantik, Hantaman si nenek yang dilakukan secara membokong pada
punggungnya membuat sekujur tubuhnya terasa sakit. Tapi dia bersedia
bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat kilat Anggini mengeruk
kantong senjata rahasianya.
Enam buah paku berdesing di kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut
dan hentikan tawanya.
“Gadis sialan! Dari senjata rahasiamu aku bisa menduga siapa kau adanya!
Gurumu dan guru pemuda ini masih satu komplotan! Jadi jangan kira aku tidak
tega membunuhmu! Terima kematianmu!”
Habis berkata begitu si nenek gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam
menderu ke arah Anggini. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku
Akhirat. Sebenarnya si nenek memiliki ilmu yang sama namun berdaya
kekuatan jauh lebih dahsyat yang disebut Jalur Hitam Bara Dendam. Namun
pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam itu hanya akan dikeluarkannya untuk
membunuh Tua Gila. Lagi pula dia menganggap dengan pukulan Kilat Kuku
Akhirat sudah cukup bagi si gadis untuk meregang nyawa karena selama ini
belum ada musuh yang sanggup bertahan.
Melihat enam paku peraknya yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi
mental berpatahan Anggini segera maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan
sakti yang dilepaskan si nenek tidak bisa dibuat main. Serta merta gadis ini
jatuhkan diri. Dua jalur sinar hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan
bagian bahu baju ungu murid Dewa Tuak.
Gadis ini memekik keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa
terbang. Dia tak berani bergerak ketika si nenek melangkah mendekatinya.
Untung saja Anggini terjatuh di bawah bayang-bayang gelap sebuah batu besar
hingga si nenek tidak bisa melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui
ajalnya Sika Sure Jelantik segera tinggalkan lembah batu itu dengan
memboyong Pendekar 212 di bahu kirinya.
Sebelumnya telah terjadi perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek.
Walau tidak lagi memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur
yang diberikan Si Raja Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya
membuat Wiro sanggup bertahan sampai dua puluh jurus walau untuk itu dia
dibuat babak belur dan megap-megap kehabisan nafas serta tenaga.
Sika Sure Jelantik dua kali melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur
baju putih yang dikenakan Wiro tampak robek hangus dan setiap menerima
pukulan itu tubuh Wiro terpental sampai tiga tombak. Asap mengepul.dari
tubuhnya! Tapi sungguh mengherankan si nenek, pemuda itu sama sekali tidak
menemui ajalnya. Dari marah Sika Sure Jelantik berubah menjadi heran. Dari
rasa heran ini timbullah rasa ingin tahu.
Memikir sampai di situ, Sika Sure Jelantik hampiri Wiro yang tergeletak di
tanah.
“Kau ingin membunuhku, lakukan cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah
sudah pasrah menghadapi kematian.
“Nyalimu boleh juga anak muda! Tidak, jangan kawatir. Aku tak ingin
membunuhmu cepat-cepat….”
“Kalau kau mengharapkan keterangan tentang guruku, walau lidahku kau copot
aku tak akan memberi tahu!”
“Hemmm…. Kau memang murid yang pantas dipuji! Haik… hik!” Dua jari tangan
kiri Sika Sure Jelantik bergerak cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga
Pendekar 212 tenggelam dalam totokan yang membuatnya tak mampu bergerak
ataupun bicara!
Si nenek segera menyambar tubuh Wiro, me-, letakkannya di atas bahu lalu
berkelebat pergi dari tempat itu.
Tak lama setelah si nenek kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di
lembah batu yang ada telaganya itu. Mereka berhasil menemukan Anggini.
Setelah memberikan obat dan meminta Panji menjaga serta merawat gadis itu,
Iblis Pemalu segera pergi untuk mengejar Sika Sure Jelantik yang sesuai
keterangan Anggini telah melarikan Pendekar 212.
Iblis Pemalu berlari dengan satu tangan menutupi wajahnya. Tidak mudah
untuk mencari jejek Sika Sure Jelantik. Selain hari telah gelap dia juga tidak
mengetahui ke arah mana si nenek melarikan Wiro.
Ternyata si nenek melarikan Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap
dan jalan yang ditempuh terhalang oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun
dia mampu berlari dengan cepat. Pertanda dia mengenali betul seluk beluk
kawasan itu. Sesampainya di satu pedataran tinggi Sika Sure Jelantik langsung
mendaki ke lereng timur. Di satu tempat di mana terdapat sebuah gubuk tanpa
dinding si nenek hentikan larinya. Tubuh Wiro yang berada dalam keadaan
tertotok dilemparkannya begitu saja ke tanah.
212! “Pendekar Aku memberi kesempatan padamu sampai matahari terbit!
Kalau sampai saat itu kau tidak mau memberitahu dimana gurumu si Tua Gila
berada maka tamatlah riwayatmu! Apa jawabmu?!” Si nenek membungkuk lalu
menotok leher Wiro membuka jalan suaranya. “Kau tidak tuli! Kau mendengar
apa yang barusan aku ucapkan! Ayo jawab!”
Setelah menguap lebar-lebar baru Wiro menjawab.
“Kau sudah tahu apa jawabku! Aku tidak tahu dimana orang tua itu berada.
Kalaupun tahu tak bakal kukatakan!”
“Bagus! Murid dan guru sama saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah
menentukan kematianmu sebelum marahari terbit besok pagi-pagi buta!”
“Aku tidak takut mati! Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab
Wiro.
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu
cepat-cepat. Biar rasa takut menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum
mampus! Jangan mengharap ada yang bakal menolongmu! Kalaupun gadis
berbaju biru berwajah seperti bidadari kekasihmu itu muncul meminta
pengampunan untuk ke dua kali bagimu, jangan harap aku bakal mengabulkan!”
Yang dimaksud si nenek adalah Bidadari Angin Timur.
“Nek, kurasa kau adalah manusia paling tidak berbudi dan paling tidak
bersyukur di muka bumi ini!”
“Jahanam! Lancang betul mulutmu! Apa maksudmu hah?!”
“Ketika kau bercinta dengan gurukupaling tidak kau telah merasakah
kebahagiaan hidup! Kalau kemudian kalian tidak berjodoh apa itu salah Tua
Gila? Tidak! Juga bukan salahmu Nek! Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun
lalu. Di usia tua seperti ini apa bukan lebih baik kalian berbaik-baik saja?
Dengan -bersikap garang dan terus mendesak guruku apa yang bakal kau
dapat?!”
“Kalau dia mampus di tanganku aku merasa puas selangit!” jawab Sika Sure
Jelantik.
“Belum tentu. Rasa puasmu mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin
akan dirundung penyesalan sampai malaikat maut memanggilmu masuk ke liang
kubur!”
“Anak setan! Kau pandai bicara! Siapa bakal menyesal atas kematian manusia
terkutuk seperti gurumu itu?!”
“Nek, aku jauh lebih muda darimu. Katkanlah aku hijau dalam pengalaman.
Tapi aku percaya pada satu ujar-ujar yang berkata begini. Kita baru menyadari
betapa berartinya seseorang bagi kita setelah dia tidak ada lagi. Kuharap hal itu
tidak terjadi dengan dirimu Nek!”
Sesaat mulut Sika Sure Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar
212 itu. Hatinya tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak
berkesip pada Wiro. Apakah ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya?
Ternyata tidak. Tiba-tiba dia membentak keras.
“Jangan kira aku akan terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak
berubah! Aku akan membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!”
“Terserah padamu! Aku capek bicara denganmu! Lebih baik aku tidur saja!”
Wiro lalu menguap lebar-lebar.
Sika Sure Jelantik jadi jengkel penasaran dan merasa seolah diejek. Dia
membungkuk memperhatikan sosok Pendekar 212.
“Dia mampu menahan pukulan Kilat Kuku Akhirat sampai dua kali. Berarti dia
memiliki ilmu kebal luar biasa. Aku harus memeriksanya. Mungkin dia punya
semacam jimat. Aku harus mendapatkan jimat itu! Hemmm….”
Si nenek pergunakan ke dua tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia
menyentuh sebuah benda keras di balik pinggang si pemuda. Ketika pakaian
putih Wiro yang hancur hangus disibakkannya dia melihat Kapak Maut Naga Geni
212 terselip di pinggang pemuda ini.
“Hemmm, senjata ini perlu aku amankan dulu…” kata si nenek lalu kapak
bermata dua itu ditariknya dan diletakkan di tanah.
“Kau merabai tubuhku, mengambil senjataku! Ternyata kau seorang tua bangka
yang masih menyimpan nafsu kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya
sifat Tua Gila, dia jauh lebih baik darimu!”
“Plaaaakkk!”
Sika Sure Jelantik layangkan satu tamparan keras hingga darah mengucur dari
sudut mulut Pendekar 212.
Gilanya yang ditampar malah menguap lebar-lebar. Hal ini membuat si nenek
penasaran setengah mati.
“Kau tidak mengerang kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi
sampai mukamu ku-bikin memar?!”
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat
itulah dalam gelap dia menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya
Wiro mengenakan satu pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya
meneliti. “Pakaian bagus, terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning
emas. Aneh! Pakaian ini tidak cidera oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan…”
“Breeett! Breettt!”
Sika Sure Jelantik tanpa pikir panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika
dia hendak menanggalkan pakaian merah yang dikenakan si pemuda yang bukan
lain adalah jubah sakti Kencono Geni pemberian Si Raja Penidur mendadak ada
suara tertawa cekikikan di belakangnya.
“Setahuku lelaki yang suka menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik!
Ada nenek-nenek hendak membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik
rupanya! Hik… hik… hik!”
Sika Sure Jelantik tersentak kaget. Dia berpaling ke arah datangnya suara tadi.
Namun dia tidak melihat siapa-siapa!
*

Anda mungkin juga menyukai