Anda di halaman 1dari 14

RAHASIA ISTANA SALJU

Oleh SD Liong

Jilid 20

PADERI Penyesat-jiwa marah sekali. Sambil lepaskan sebuah hantaman, ia menyusup mundur kedalam
barisan. Ho Ci-ping dapat hati tanpa curiga apa2 ia mengejar. Tetapi segera ia disongsong oleh segulung
asap hitam yang membuat kepalanya pening, matanya berkunang kunang dan kakinya lentuk. Bluk
rubuhlah anak nuda itu. “Oho. kukira dia seorang anak muda sakti kiranya hanya sebuah kantong nasi
saja, hanya…” Si paderi tertawa riang lalu menghampiri sang korban. “Budak kau telah mencengkeram
aku sakali, sekarang hendak kubikinmu cacad selama2nya,” serunya sambil ulurkan tangan hendak
menutuk Ci-ping. Sekonyong2 tangannya diserang oleh angin tajam yang membuatnya kesemutan. Ah.
jalan darahnya terkena tutuka. Cepat ia memandang kemuka dan ho, setan alas.,. “Kau..kau hidup?”

“Benar akulah! Karena kerubuhan tubuhmu maka aku tertolong!” seru orang itu yang tak lain Su-kiat
adanya. “Kau benar2 anak setan!” paderi itu berseru ketakutan dan mundur. “Kau mau lari? Oh,
makanlah dulu pedangku ini!” Su-kiat luncurkan jurus Membunuh-naga kepada paderi itu. Paderi itu
serasa hilang semangatnya. Ia lari ter-birit2 seraya mulut berkemak -kemik dan tangannya mengibar-
ngibarkan bendera. Barisanpun bergerak menyerbu Su-kiat pula. Tetapi setiap kali pedang Tujuh-racun
berkiblat, tentu terdengar jeritan ngeri dari tubuh yang rubuh. Barisan berantakan, paderi Penyesat-jiwa
melongo kehilangan akal. Se-konyong2 Wisma Neraka terang benderang dan terdengarlah suara orang
memerintah dari atas loteng. “Paderi Penyesat-jiwa biarkan dia masuk!” Paderi itu soperti terlepas dari
tindihan batu berat, segera ia lari keatas loteng. Tetapi Su-kiat tak mau memberi hati lagi “Hai, paderi
jahanam, makan dulu jariku ini!”

Ia kerahkn tenaga dalam kearah ujung jari. Sekali ia menusuk kearah punggung Sipaderi, paderi itu
seperti ditembus oleh angin yang tajam bagai sayatan pisau. la berpaling, ah... ilmu Jari-langit!” serentak
mulutnya menghambur jeritan kaget. Tetapi sebelum sempat berbuat apa2 tubuhnyapun sudah
mencelat jatuh kebalik genteng.... Cret......Su-kiat loncat menghampiri dan menyabet tubuh paderi itu
hingga kutung. Kemudian menendang gembungnya ke bawah. Cepat ia memanggu tubuh Ho Ci-ping dan
lari keloteng. Tetapi ketika menyerbu kedalam loteng misterius itu ia tersentak kesima….

Ternyata diruang loteng itu tengah diselenggarakan sebuah pesta besar. Penuh dengan tetamu yang
berpakaian aneka ragam. Mereka tengah duduk menikmati hidangan dan mendengarkan tetabuhan,
Barisan penari yang terdiri dari gadis2 cantik tengah memamerkan tubuhnya yang hampir tak
mengenakan pakaian dan suara yang merdu mencumbu rayu… Sejenak Su-kiat berusaha tenangkan hati
dari pemandangan yang “seram”.

Kemudian ia meneliti tiap2 tetamu, yang duduk dikursi tuan rumah adalah seorang tua berjenggot
panjang. Muka dan hidung besar seperti singa, kedua matanya bersinar2 tajam. Mengenakan jubah
panjang warna kuning emas. Dia menuang arak sambil tertawa gelak gelak. Setitikpun tak menghiraukan
kedatangan Su-k1at... Yang mengejutkan Su-kiat. Yakni terdapat pula Kiu Thian-seng wakil ketua Hantu-
darah diantara tetamu tetamu itu. Orang she Kiu itu tengah ber-kicup2 mata menikmati arak, sedikitpun
tak menggubris Su-kiat. Timbulah seketika amarah Su-kiat. Ia meletakan tubuh Ci-ping lalu mencabut
pedang hendak mengamuk. Tetapi tiba2 dari kejauhan terdongar suara nyanyian datangnya seperti dari
udara. Su-kiat berpaling mengawasi. Dibawah sinar bulan benderang tampak sebuah benda hitam
melayang dari udara benda itu sebesar seekor kerbau, warnanya hitam berbentuk persegi bundar.
Ditengahnya diduduki dua orang seorang wanita berkerudung putih dan seorang gadis berpakaian hijau.
Kedua wanita itu se-olah2 dua orang dewi yang turun dari kahyangan. Pelahan2 benda hitam yang
membawa kedua orang wanita itu melayang turun diatas sebuah panggung dimuka loteng. Melihat itu
siorang tua berjubah kuning emas segera menyambut dengan tertawa gelak-gelak: “Selamat datang atas
kunjungan yang berharga dari Song kau-tiu. Sungguh suatu kehormatan besar Song kaucu sudi
berkunjung ketempat yag buruk ini, Ha ha ha..” ia bangkit menyambut keluar. Kini Su-kiat baru jelas
bahwa kedua wanita itu ternyata Dewi Ular dan Liok Ih-jin. Saat itu Su-kiatpun membungkus mukanya
dengan kain hitam hingga Dewi ular tak mengetahui. Terdengar Dewi Ular tertawa melengking “Atas
kebaikan Lau kaucu mengundang aku kuucapkan beribu terima kasih..” dengan langkah seringan kapas
ia menuju kedalam ruang loteng. Segenap tokoh2 yang hadir tersentak berdiri memberi hormat.
Rombongan penaripun berhenti.

Dua orang bujang menghampiri benda hitam yang membawa terbang Dewi Ular tadi. Dicabutnya sebuah
benda kecil dari benda hitam itu. Sekatika kempeslah gelembung benda hitam itu. Kiranya benda itu
sebuah balon. Balon itu lalu dilipat dan dibawa masuk. Su-kiat tahankan diri, ia mundur kesudut ruang
untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Diam2 anak muda itu menyesali tindak nnya yang ceroboh
karena buru2 menerobos masuk keruang loteng hingga jejaknya telah ketahuan. Tetapi apa boleh buat,
sebaiknya ia harus waspada siap2. Dalam pada itu Dewi Ularpun sudah mengambil tempat duduk.
Tampak tuan rumah si orang tua berjubah kuning ber-seri2 wajahnya. Dua pelayan wanita segera
mengitari arak pada para tetamu. Tuan rumah mengangkat cawannya tertawa gemerontang: “Telah
lama kudengar kemasyhuran nama Song kaucu sebagai tokoh yang tersakti didunia persilatan Tiong-
goan. Hai ini baru aku benar mendapat kehormatan….” Dewi Ular berbangkit, serunya “Ah, Lau kaucu
terlalu menyanjung.

Lau kaucu sendiri adalah tokoh yang kupuja kesaktiannya lama sebenarnya aku hendak berkunjung
kemari sayang baru terlaksana….” Siorang tua berjubah kuning emas tertawa keras “Ah, Song kaucu
juga keliwatt memuji. Konon kudengar bahwa kunjungan kaucu kematri ini adalah karena hendak
mencari Kunci Kumala ditembah Embun-hiuggap. Entah apakah hal itu benar?”

8udah tampak teRang kembalz da

8HDggubnya tiada begitn penting

Dewi Ular terkesiap, tetapi secepat itu ia sudah tampak tenang kembali dan tertawa datar “Benar
sebenarnya kunci itu adalah barang peninggalan suamiku almarhum. Sesungguhnya tiada begitu
penting…”Tuan rumah batuk2 ujarnya “Bebarapa tahun yang lalu wakil ketua kami Kiu Thiam seng
secara kebetulan telah menemui kunci itu. Apabila memang menjadi milik Song kaucu silahkan kaucu
mengambilnya. Hanya saja…” ia mengurut2 jenggotnya yang panjang dan tak melanjutkan kata2nya.
“Ah, kiranya kunci itu benar berada pada Kiu Thiam seng” kata Sukiat dalam hati. Dewi Ular tertawa
hambar: “Banyak terimakasih atas kemurahan hati kaucu. Tetapi rupanya kaucu hendak mengajukan
sesuatu syarat bukan?”

Orang tua berjubah kuning emas itu tertawa lepas: “Song kaucu benar2 seorang yang cerdas. Hanya dua
buah permintaan yang hendak kuajukan, entah apakah Song kaucu suka meluluskannya?” “Silahkan Lau
kaucu mengatakan , sahut Dewi Ular. Orang tua jubah kuning emas itu hentikan tertawanya dan berkata
dalam dada sungguh-sungguh.. Lama sekali kukagumi keindahan tanah air Tionggoan dan ingin kesana
menikmati. Tetapi agaknya jago2 persilatan Tionggoan itu membenci sekali kepada orang asing. Maka
apabila akan jadi pergi kesana. Harap Song kaucu sudi memperkenalkan kepada mereka. Barang siapa
yang menolak segera dibasmi saja!” “Oh tua Bangka itu hendak menaklukhkan dunia persilatan Tiong
gosn” Sukiat mendamprat dalam hati. Dewi ular tertawa “Dengan kepandaian Lau kaucu yang sakti ini
tentulah tak sukar untuk melaksanakan hal itu. Jago2 Tionggoan hanyalah kebanyakan bernama kosong
saja harap Lau kaucu jangan kuatir. “Kalau begitu song kaucu setuju untuk kerja sama dengan aku?”
tuan rumah tertawa. Dewi Ular mengangguk perlahan. Tuan rumah menyambutnya dengan tertawa
riang gembira. Kemudian katanya lebih lanjut “Permintaan yang kedua tentang seorang jago muda yang
namanya sangat tenar di dunia persilatan Tiong goan pada akhir2 ini. Yakni yang digelari pedang tujuh
racun. Jika dapat menangkap anak itu mudahlah untuk menguasai dunia persilatan disana.”

Su-kiat tergetar mendengar hal itu. Tetapi ia bergirang karena mengira ketua Hintu-darah atau siorang
tua berjubah kuning emas itu tidak mengetahui dirinya (Su-kiat). Sahut Dewi Ular dengan tertawa tawar:
“Memang benar ada pendekar Pedang-tujuh.racun itu tetapi tak sehebat seperti yang didesas desuskan
orang. Mengapa Lau Kaucu perlu mengkawatirkannya?” Ketua Hantu-darah gelengkan kepala. Jaagan
Song kaucu terlalu memandang rendah pemuda itu. Kuminta Song kaucu suka bekerja sama untuk
menangkap anak itu!” Dewi Ular termenung sejenak. Sahutnya kemudian “Baik, kelak apabila
kujumpainya tentu akan kubantu rencana Lau kaucu. Tetapi kuminta Lau kaucu jangan melukainya!”
Orang tua berjubah kuning emas itu menghambur tertawa panjang, serunya:, “Baik Baik! Marilah kita
adakan persetujuan secara ksatrya. Takkan kulukainya tetapi Song kaucu pun jangan membantunya...
Tiba2 ketua Hantu-darah itu berhenti tertawa lalu bertepuk tangan “Perjamuan mulai!” hai Pagar ayu
hiburlah para tetamu!” Musik segera terdengar pula. Tiba2 puncak wuwungan loteng meletus terbuka
sebuah lubang. Sebuah anak tangga meluncur turun ke bawah lantai ruangan. Seorang dara jelita
muncul dan turun dari atas anak tangga. Berpuluh2 pasang mata berhamburan kearah dara jelita yang
berpakaian indah itu. Dara itu memang hebat. Cantik laksana bidadari….

Begitu menginjak lantai anak tangga itu pun di naikkan pula. Jelita itu memberi hormat kepada segenap
hadirin dan berkata dengan suara lemah lembut “Aku yang rendah ingin mempersembahkan nyanyian
harap para tetamu jangan menertawakan suara ku yang buruk….” Baik rupa, nada ucapan dan tertawa
dara itu amat mempesonakan Sukiat. Para tetamu memberi sambutan tepukan yang meriah. Sinar mata
dara itu bagaikan bintang kejora yang menyilaukan mata para tetamu. Pun ketika berbentur pandangan
Sukiat berdebar2. Diam2 dia heran mengapa sinar mata dara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa
kerasnya. Pada lain saat terdengarlah dara itu membawakan lagu yang merdu:

Alangkah indahnya rembulan sang dewi

Memeriahkan pertemuanku dengan kekasih.

Harta pangkat dan kekayaan duniawi tiada berarti seperti dikau, kekasihku ingin ku temani dikau
kekasihku
Ingin kutemani dikau mengarungi bumi

Oh, kekasih ku jangan tinggalkan aku

Lagu merayu dialun suara nan merdu membuat hati orang seperti kelebuh dalam sorga ke tujuh….
Empat buah perapian yang di taruh pada keempat sudut ruangan memancarkan asap yang wangi.
Seluruh ruangan semerbak harum baunya. Suatu hal aneh secara tidak disadari telah terjadi pada diri
Sukiat, setelah mendengar nyanyian dan mencium bebauan wangi, ia rasakan kepalanya pening mata
berkunang kunang. Darahnya memancar lebih keras nafsunya merangsang. Buru2 ia meramkan mata
,menenangkan pikiran. Tiba2 ia merasa suara nyanyian itu seperti berada dihadapannya. Cepat ia
membuka mata lagi dan ah….. Dara jelita itu memang telah berada di mukanya, tengah bergeliatan
menari sambil melepaskan pakaiannya (semacam tari strip tease). Sukiat berusaha sekuat-kuatnya untuk
menindas gejolak hatinya. Pikirnya “Mengapa ia khusus mencari sasaaran pada diriku? Jangan2 hal ini
memang sudah direncanakan….” Dan ia lebih terkejut lagi ketika dapatkan penyaluran darah tubuhnya
tidak wajar lagi pikirnya “Celaka! Asap wangi dalam ruangan ini membawa daya perangsang…!”

Cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menolak tetapi celaka…..tenaga dalamnya seolah olah lenyap,
tangan dan kaki serasa lentuk lunglai: Dan tiba2 dara jelita itu maju kehadapannya dan….memeluknya!
“Oh kekasihku! Betapa susah payah kumencarimu. Jangan tinggalkan aku lagi kekasih!” dara itu merayu2
dengan mesra sekali. Berdebar keras hati Sukiat ketika bersentuhan tubuh dengan dara yang
menyiarkan hawa wangi itu. Cepat ia membentaknya “Siapa kau? Aku tak kenal padamu, silahkan
pergi!” Hendak didorongnya dara itu namun tangannya lentuk tak bertenaga. “Aduh kekasihku mengapa
kau tak kenal lagi padaku? Bukankah aku ini si Pagar Ayu?” dara itu makin merangsang. “Pagar Ayu?”
Sukiat mengulang. Ia gelengkan kepala “Aku tak mempunyai kekasih bernama itu aku tak kenal
kepadamu!”

“Ai, kekasih mengapa pelupa benar kau ini? Bukankah kita pernah bersumpah pada langit dan bumi
untuk hidup bersatu padu? Mengapa hatimu berbalik?” masih dara itu merayu. Tidak tidak aku tak kenal
padamu kau salah liat!” Pagar ayu tak memperdulikan penolakan Sukiat. Ia jatuhkan diri pada pelukan
anakmuda itu. Pengaruh obat perangsang yang terpancar dari bau wangi dara itu membuat Sukiat tak
dapat menguasai diri. “Pagar Ayu lekas bawa dia pergi!” tiba2 ketua Hantu Darah memberi perintah.
Dara itupun segera meringkus Sukiat yang sudah kehilangan tenaga. “Nanti dulu!” tiba2 Dewi Ular
berseru. “Orang itu memakai kerudung muka tentu ada sebabnya. Tunggu dulu akan kubuka kerudung
nya!” dengan sebuah gerakan yang gesit Dewi Ular melesat dan menyambar kain kerudung yang
menutupi muka Sukiat. Karena tak menyangka sama sekali. Pagar Ayu tak keburu menghindar lagiu.
Terbukalah kerudung muka Sukiat. “Ih kiranya dia!” seru Dewi Ular terkejut. Ketua Hantu Darah tertawa
gelak2 “Benar memang pendekar Pedang tujuh racun! Song kaucu sudah berjanji tadi harap suka
pegang ucapan.

“Ini……ini…..” Dewi Ular tergugu2. Ketua Hantu Darah mengeluarkan sebatang kunci yang
bergemerlapan cahanyanya “Inilah kunci kumala? Jika Song kaucu memenuhi kedua syarat ku mustika
ini segera aku haturkan!” Ketua Hantu Darah berhenti sejenak kemudian berkata pula “Kabarnya anak
itu mempunyai dendam pada Song kaucu. Sekarang kita dapat melenyapkannya.” Dewi Ular terjepit
dalam dua kesukaran. Kebenciannya semuka kepada pemuda itu pudar menjadi rasa saying demi
diketahui bahwa anak muda itu ternyata puteranya sendiri. Saat itu Sukiat dalam bahaya, tetapi ia (Dewi
Ular) telah memberikan janjinya kepada tuan rumah. Di dalam hatinya terjadi dua pertentangan hebat
antara rasa kesayangan seorang ibu terhadap puteranya dan kedudukan seorang ketua partai yang
harus menepati janji….. Rupanya ketua Hantu Darah mengerti apa yang sedang berkecamuk dalam batin
Dewi Ular. Ia tak mau menunggu lebih lagi. Serunya kepada anak buahnya “Lekas bawa anak itu keruang
siksaan. Hokum dia dengan hukuman mayat hidup yang ganas!”

Wajah Dewi Ular berobah seketika. Liok I jin pun tak dapat bersabar lagi. Ia segera hendak turun tangan.
Tetapi tiba2 dari luar loteng terdengar bunyi Ting ting tang ting yang meandering tajam sekali. Sekalian
tetamu terkejut. Bunyi itu tidak sewajarnya. Membawa pengaruh yang menggetarkan hati sekalian
orang. Buru2 mereka memandang keluar ah…..ternyata seorang tukang ramal yang memang banyak
terdapat di dunia persilatan sedang naik keatas loteng. Tukang ramal itu berpakaian seperti seorang
sastrawan. Memakasai kaca mata hitam, berjalan dengan menyeret sepatunya. Cepat sekali ia sudah
masuk kedalam ruang loteng. “Hai mengapa kau berani masuk kemari?” teriak ketua Hantu Darah
dengan bengis. Tukang ramala itu hanya ganda tertawa “Setiap dunia persilatan terbuka untuk seorang
tukang ramal. Aku si orang desa telah mempelajari ilmu Bun ong (tukang ramal). Dapat meramalkan
sesuatu dengan jitu….”

Tuan rumah hendak mendamprat tetapi di dahului lagi oleh si tukang ramal “Disamping itu aku bisa
memberi tolak dan tumbal. Silahkan tuan mencoba!” bukan main marah ketua Hantu Darah “Ngaco belo
enyah dari sini lekas!” Tetapi si tukang ramal tak menghiraukan kemarahan tuan rumah. Bahkan dengan
tertawa2 ia tetap membujuk “Jangan marah tuan! Janganlah tuan memandang remeh ramalanku.
Meskipun aku menuntut penghidupan sebagai tukang ramal tetapi bukan sembarang tukang ramal.
Apalagi ilmu ramal Bun ong itu jarang sekali kugunakan kecuali kepada mereka yang telah memenuhi
syarat2ku. “Siapa suruh kau meramal!” kembali ketua Hantu darah menjerit sengit. “Maakan jika aku
menyinggung perasaan. Tetapi dari wajah tuan yang gelap itu menunjukkan suara awan mendung, tak
lama tentu tuan akan mengalami bencana besar. Ketua Hantu darah tersentak kaget serunya “Siapa
kau?”

“Aku adalah tukang ramal namaku telah kukubur lama!” sahut si tukang ramal. Diam2 ketua Hantu
darah membatin “Ah wajah tukang ramal ini memang luar biasa tentu bukan sembarang orang….”
Berkatalah ia dengan wajah bersungguh “Aku tak ingin di ramal dan tak mengundang mu. Apa,
maksudmu datang kemari?” Tukang ramal itu tersenyum “Aku sengaja datang kemari hendak menolong
kaucu. Selain itu aku hendak mengajukan sebuah permohonan…” Ketua Hantu darah tak mengerti
ucapan orang itu. Sambil menunjuk batang hidung nya sendiri ia berseru “Kau hendak menolong aku?
Tempatku adalah wisma neraka yang di jaga oleh ratusan jago2 lihay. Bahaya apa yang dapat menimpah
diriku?” Tukang ramal itu tertawa gelak2 “Bukankah tuan pernah mendengar tentang sebuah ujar2
bahwa angina dan awan itu tiada menentu datangnya peruntungan nasib manusiapun tiada
berketentuan “Jika tuan suka mendengarkan omonganku, tentu dapat menghindarkan bahaya itu
kebalikannya…”

“Aku tak percaya akan segala ramalan kosong. Tetapi propaganda ku cukup menarik. Coba katakana
bencana apa yang akan menimpa diriku itu?” akhirnya tan rumah ketarik juga. “Ijinkan kuperiksa wajah
tuan dulu, baru nanti tuan kumohonkan melakukan sesuatu. Setelah itu barulah kuberi tahukan tentang
cara penolakan bahaya itu.” Habis berkata si tukang ramal aneh segera menatap wajah tuan rumah
dengan lekat. Beberapa saat kemudian dia berkata “Dari sinar wajah tuan dalam waktu tak lama ini
tentu akan tertimpa bahaya. Untung masih ada hal yang dapat menyelamatkan tuan. Hanya saja…” ia
berhenti batuk2. “Hanya apa? Lekas bilang!” teriak ketua Hantu darah. Tukang ramal sejenak meramkan
mata lalu berkata “Harap kaucu membuat sebuah cara menilai suatu huruf. Dari penilaian huruf itu
dapat kuperpoleh cara tambal penolakkannya!”

“Bagaimana caranya?” ketua Hantu darah menegas. “Kaucu boleh sembarang menulis sebuah huruf
atau mengatakan sebuah huruf. Dari situ akan dapat kuperoleh suatu pengunjukan!” tukang ramal
tertawa. Ketua Hantu darah mengicuo mata kearah Sukiat serempak mulutnya mengatkan sebuah huruf
“TANGKAP”. Tukang ramal meramkan mata sambil mengulang kata itu beberapa kali. Kemudian ia
membuka mata dan tertawa. “Bagus bagus bagus! Lawan kata dari TANGKAP ialah LEPAS. Melepas
adalah suatu kebaikan melepas orangpun akan dapat terhindar dari bencana. Dendam itu mudah
dilepas daripada diikat. Baik dan buruk untung serta celaka itu hanya tergantung dari pikiran kita
sendiri,” Tuan rumah mendengus hina “Hm, melepas siapa?” “Melepas orang yang baru saja kaucu
tawan itu!” sahut si tukang eamal dengan lancer. Segenap tetamu tersiak kaget . berpuluh2 pasang mata
ditunjukkan pada tukang ramal aneh itu. “Kentut! Siapa kau? Lekas bilang!” teriak ketua Hantu darah
dengan murka sekali.

Namun tenang2 saja situkang meramal menyahut “Jika tuan tak percaya omonganku bencana segera
tiba!” sambil berkata ia menghampiri Sukiat. Kiu Thiam seng mencabut pedang, bentak nya “Pedangku
inilah yang akan mempercayai omonganmu peramal busuk!” sring pedang melayang ke tubuh orang.
Semua orang kenal siapa Kiu Thiam seng tabasannya tentu akan membelah tubuh si tukang ramal.
Tetapi apa yang terjadi ternyata diluar dugaan orang. Hanya dengan mengebutkan lengan bajunya sekali
terpental lah pedang Kiu Thiam seng. Dengan lenggang tukang ramal itu ayunkan langkahnya. Peristiwa
itu mengejutkan segenap tetamu. “Mau apa kau?” teriak ketua Hantu darah. Tukang ramal hentikan
langkah berputar muka “Sewaktu hendak masuk kemari tadi aku telah berjumpa dengan seorang
kenalan lama. Dia minta tolong padaku supaya membawa anak muda ini. Maka kunasehatkan tuan
melepaskan anak itu saja.” Ketua Hantu darah tertawa dingin “Siapakah kenalanmu itu? Mengapa tak
datang kemari sendiri?”

“Dia tak suka datang kemari karna tak suka bentrok dengan tuan. Jika tuan tak mau melepaskan anak
muda ini, tentu akan timbul bencana besar!” Ketua Hantu darah tertawa lebar “Tukang ramal jangan jual
petai kosong. Diwilayah Cenghay kecuali keta dari dua lembah yang mampu menandingi aku sampai
beberapa jurus, taka da lain orang ini….” “Kalau begitu berarti kaucu tak mau mendengar nasehatku dan
hendak bentrok dengan kenalanku itu?” tukas si tukang ramal. Ketua Hantu darah tertawa congkak
“Bukan saja kenalanmu pun kau sendiri jangan harap dapat keluar dari wisma neraka sini!” Tangan tuan
rumah menekan sebuah kursi di belakang. Seketika terdengarlah bunyi berderak2 pintu loteng tiba2
tertutup. “Aha aku dapat masuk kemari tentu dapat keluar juga. Harap tuan jangan kuatir.” Prak, ketua
Hantu darah menggebarak meja “Kepala Hukum!”

Dari kedua samping tampil empat orang Hantu darah “Kami siap menunggu perintnah kaucu!” seru
mereka. “Lekas ringkus orang gila itu!” seru ketua Hantu darah seraya menuding tukang ramal. Keempat
anak buah Hantu darah itu mengiakan terus mencabut senjata menghadang tukang ramal. Tukang
ramal tertegun memandang keempat penghadangannya dan tertawa dingin “Mau apa kalian?” kepala
dari Bagian Hukum partai Hantu darah membentak “Jangan banyak tingkah lekas serahkan diri saja!”
Tukang ramal tertawa gelak2 “Percuma kalian menghadang aku lebih baik suruh ketuamu datang
sendiri!” “Manusia gila lekas hunus senjatamu!” bentak pemimpin Kepala Hukum. Tukang ramal
gelengkan kepala tertawa “Terhadap kalian beberapa tonggak kayu perlu apa pakai senjata?” Keempat
petugas hokum itu marah bukan kepalang. Serempak mereka menggerung maju menyerang. Tubuh
tukang ramal seperti di landa hujan sinar putih. Namun tukang ramal itu tetap tenang. Hanya
menggeliatkan tubuhnya, terdengarlah suara gemerincing senjata.

Senjata keempat orang itu terpental jatuh ketanah. Tengah mereka terempat terlongong keheranan
tiba2 jalan darah mereka tertutuk sehingga mereka tegak tak berkutik seperti patung. Tukang ramal
menengadahkan muka tertawa panjang. Nadanya macam genta bertalu kumandangnya menggetarkan
ruang loteng….. Wajah ketua Hantu darah berobah seketika. Berteriaklah ia nyaring2 “Ayo kerahkan
semua orang menangkap orang gila itu!” Semua jago2 Hantu darah yang berada dalam ruang loteng
segera menyerbu mengepung tukang ramal. Dewi ular berbangkit dari tempat duduknya. Ia tertawa
gelak2 seraya menghampiri tukang ramal ujarnya “Menilik logat ucapanmu saudara tentu orang Tiong
goan. Kau mempunyai hubungan apa dengan Hoa sukiat sehingga mati2an hendak menolongnya?”
Tukang ramal tertawa “Aku si orang desa ini hanya terdorong oleh rasa kewajiban menolong sesama
manusia.

Apabila kaucu mempunyai kegembiraan, boleh juga ikut turun tangan. Aku tak gentar!” Merah padam
wajah Dewi Ular mendengar tantangan itu. Ia percaya tukang ramal itu tentu bukan sembarang orang.
Dewi Ular batuk2 lalu berkata “Seorang ksatia harus kenal gelagat. Cobalah lihat! Apakah kau percaya
dapat menembus kepungan sekian banyak jago2 tangguh?” Tukang ramal menyambut dengan senyum
simpul sahutnya “Aku selalu menjunjung welas asih tak suka melukai orang. Mengingat hubungan ibu
dan anak seharus kaucu,,….” “Hm siapapun tak kuasa membantumu!” tiba2 ketua Hantu darah
mengerat. Tukang ramal menghela napas ujarnya “Soal mati hidup tak kuhiraukan lagi. Hanya
disayangkan jika sekian banyak orang turun tangan dikuatirkan akan timbul pertumpahan darah hebat!”
Ketua Hantu darah tertawa mengekeh:

“Heh heh dengan tenagamu seorang diri masakan kau mampu menolong anak itu! Lebih baik kau
menyerah secara baik2 saja!” Tukang ramal menatap kearah Sukiat yang masih dipeluk si penari jelita.
Dilihatnya mata anak muda itu mulai terbuka dan napas nya berangsur2. Segera tukang ramal itu
merogoh keluar sebutir pil lali disusupkan kemulut Sukiat. “Lau kaucu entah permusuhan apa kau
dendam kepada Hoa sukiat? Selekas tenaga nya sudah pulih kembali mungkin jiwamu takkan terjamin
lagi!” kata tukang ramal itu. Ketua Hantu darah tertawa dingin “Barang siapa masuk ke Wisma Neraka
dan tak mau menurut perintahku tentu akan kulenyapkan!” “O kau hendak gunakan segala macam obat
cabul dan wanita cantik untuk melenyapkan kesadaran pikiranku?” tukang ramal menegas “Belum tentu
begitu. Nanti kau tentu dapat menyaksikan sendiri. Akan kujadikan kau seorang hamba yang jinak yang
ingin pulang ke Tiong goan lagi!”

“Sayang aku tak dapat menipu diriku supaya percaya kepada hal yang tak dapat di percaya. Apakah Lau
kaucu tetap hendak turun tangan?” tukang ramal tertawa. “Sudahlah jangan ngaco tak keruan. Kau
menyerah sendiri atau menghendaki aku….” Tukang ramal menengadahkan muka dan tertawa lebar
tukasnya “Aku tak ingin menyerah diri tetapipun tak mau melukai orang. Malam ini aku banyak
mengganggu ke tenagan kaucu harap kaucu suka memberi aku jalan pergi!” “Melepaskan kau pergi? Ah
mana di dunia terdapat hal yang seenak demikian?” ketua Hantu darah mengejek. “Aku siorang desa
bukan penjual jamu. Apakah kaucu kuatir aku tak dapat keluar dari penjagaan yang sekuat ini?” Ketua
Hantu darah tertawa sinis “Ah mungkin tak semudah waktu kau masuk tadi!” Tukang ramal tertawa
pula. Tiba2 tubuhnya melesat menyambar Sukiat yang berada di dalam pelukan gadis penari.

Dua anggota Hantu darah segera menyegan ke belakang si tukang ramal tetapi kontan tokoh aneh itu
tamparkan tangannya kebelakang.” Rebablah kau semua!” Terdengar dua buah jeritan ngeri dan
melayangnya kedua buah tubuh orang itu membentur dinding loteng. Bum…. Terkaparlah mereka ke
lantai sekalian jago terlongong-longong! Lupa sesaat mereka apa yang harus mereka lakukan sehingga
leluasalah situkang ramal memanggul Sukiat berjalan ke pintu. Sekonyong2 ketua Hantu darah melayang
kehadapan tukang ramal “Hm dengan ilmu bayangan sakti begitu kau merasa yakin dapat menerobos
keluar dari gedung ini?” Tukang ramal kesima mendengar uacapan tuan rumah, pikirnya “Hm, hebat
juga mata orang tua ini. Dia dapat mengetahui ilmu pukulanku tadi.” Namun pada lain jenak ia tertawa
“Lau kaucu sungguh hebat sehingga mengenai juga tentang ilmu pukulanku tadi. Tetapi bukankah
dengan pengetahuan itu Lau kaucu akan memberi kemurahan padaku?”

Ketua Hantu darah tertawa congkak “Ilmu mu itu mungkin membuat orang lain kagum tetapi bagiku
hanya sebuah permainan anak kecil belaka.” “Ilmu bayangan sakti apabila dimainkan seluruhnya
dikuatirkan semua orang yang berada di ruang loteng ini akan rebah dilantai. Apakah kaucu tak
menyayangkan pendirian partai kaucu yang memakan jerih payah bertahun-tahun itu?” Ketua Hantu
darah agak menekuk sedikit pinggang dan kedua tangan bersikap seperti hendak memeluk kemudian
mendengus “Kenalkah kau akan jurus yang kusiapkan ini dengan segala hasil kehebatannya?” Habis
melirik sejenak berkatalah si tukang ramal “Lalu He hui apakah kau sungguh hendak menempur aku?
Memang hebat sekali jurusmu Meraih bukan memeluk bintang itu namun jangan harap dapat
mencelakai diriku!” “Hai mengapa dia tahu namaku?” diam2 ketua Hantu darah yang bernama Lau hui
itu serentak kaget. Tetapi ia cepat menghapus kejutnya itu dengan tertawa dingin “Mataku tajam benar
tetapi pengetahuanmu masih dangkal. Kalau toh sudah kenal dengan jurus Meraih bulan memeluk
bintang tentunya mengerti betapakah kehebatannya Rembulan dan bintang gemerlapan tanpa
bayangan. Tanpa bayangan menyerang Yang punya bayangan. Mampukah kau menerimanya?”

Tukang ramal tersenyum “Menurut hemat ku tidak demikian. Tiada kehampaan tiada keisian. Bulan dan
bintang walaupun tanpa bayangan dapat kita lihat. Dengan begitu menurut penilaian kaucu sudah
jatuh1” Lau He hui tertawa mengekeh “Benar bulan dan bintang mempunyai bentuk. Kalah dengan ilmu
Bayangan saktimu tetapi dapatkah kau sebutkan bagaimanakah bentuk dan sifat Bintang rembulan itu?”
Kedua tokoh itu berbicara tentang istilah suatu ilmu kesaktian Hantu darah memiliki ilmu Meraih bulan
memeluk bintang Tukang ramal mempunyai ilmu Bayangn sakti.

Tukang ramal tertegun tak dapat menyahut. Sedangkan Lao He hui tertawa terbahak bahak “Tukang
ramal menilik usiamu masih muda apabila kau suka masuk kedalam partaiku, akan kuberimu dua
hadiah. Pertama, permintaanmu supaya aku kukabulkan kedua dara penari yang cantik jelita akan
kuberikan menjadi istrimu. Mengertikah kau?” Serempak bersungguhlah kerut wajah tukang ramal “Aku
tak mengerti dan tak ingin mengerti!” pun ketua Hantu darah juga menghentikan keriangan wajahnya
dan berseru dengan bengis “Rupanya kita terpaksa harus bertempur, Tukang ramal kau boleh
menyerang dulu!” Tukang ramal termenung sejenak, sahutnya “Aku tak menolak pertempuran tetapi tak
mau menyerang orang lebih dahulu. Jika Lau kaucu tetap hendak menggunakan kekerasan mungkin aku
akan kalah. Tetapi pada saat nya akan muncul seorang sakti. Bila jal terjadi harap kau jangan menyesal!”

Terkesiap ketua Hantu darah mendengar ucapan itu. Sepasang matanya yang seperti mata burung alap2
itu segera berkeliaran menyapu kearah sekalian tetamu. Sekalian jago2 partai Hantu darah menangkap
hal itu sebagai suatu isyarat supaya mereka segera turun tangan. Suasana hening seketika. Tiba2
terdengar Sukiat menghela napas panjang dan bangkit berdiri dari pelukan tukang ramal. Obat dari
tukang ramal itu telah menyembuhkan tenaganya. Anak muda itu mencoba mengerahkan napas.
Didapatinya tenaga dalamnya sudah pulih. Cret, serentak ia mencabut pedang. “Hoa Sukiat jangan turun
tangan secara gegabah!” tukang ramal memberi peringatan. Sukiat terkesiap ketika menatap tukang
ramal, memancarlah rasa kejut tercampur kegirangan. Kiranya tukang ramal itu adalah yang di
jumpainya ketika di kota Ki lian koan tempo hari. Ketika ia hendak bicara, si tukang ramal sudah
menyupkan ilmu suara kepadanya “Kau yang merampas kunci kumala aku yang menghadapi mereka!”

Buru2 Sukiat membalas dengan ilmu menyusup suara juga “Dimana kunci itu?” “Didalam kantong
siorang tua jubah kuning emas itu!” sahut tukang ramal. Sukiat melirik kea rah tuan rumah. Tampak
ketua Hantu darah itu mengembang besar jubahnya. Sepasang matanya merah menyala wajahnya
seperti terbakar. Sukiat terkesiap buru2 ia salurkan tenaga dalam kearah pedangnya. “Serang!” tiba2
ketua Hantu darah berseru. Berpuluh2 jago tangguh dari partai Hantu darah segera bergerak. Tetapi si
tukang ramalpun segera menyambut dengan hangat…. Meja berhamburan mangkuk cawan tumpah
ruah. Angina menderu2 tiang dan blandar berderak derak, ganteng loteng berhamburan. Sukiat
kembangkan pedang tujuh racun yang perbawanya memaksa ketua Hantu darah mundur Sukiat terus
membayanginya. Sekonyong2 tangan kiri anak muda itu menyambar baju orang. Ketua Hantu darah tak
menyangka kalau Sukiat bergerak begitu.

Ketika ia menyadari kunci kumala sudah berada di tangan Sukiat. Dengan gusarnya ketua Hantu darah
itu lepaskan pukulan dengan kedua tangan. Karena perhatiannya tertumpah pada kunci Sukiat lengah.
Bluk, ia terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tiba2 Dewi Ular bergerak untuk menyambut tubuh
anak mulut yang menjadi puteranya itu. Huak…… mulut Sukiat menyembur segumpal darah segar!

Dewi Ular membawa sukiat kepintu. Brak, sekali hantam pintu hancur dan meneroboslah Dewi Ular
keluar. Tukang ramal gugup. Ia mengamuk dan mengundurkan jago2 Hantu darah menyambar Ho Ci
ping yang menggeletak di lantai lalu kabur keluar. Di tengah kegelapan malam dilihatnya dua sosok
bayangan lari kejurusan timur. Cepat iapun mengejarnya.

Kedua bayangan itu memang Dewi Ular serta Lok I jin. Mereka berlari dengan gunakan ilmu lari cepat.
Setengah jam kemudian setelah tak tampak orang2 Hantu Darah mengejar barulah mereka kendorkan
larinya. Tiba2 di sebuah puncak gunung Dewi Ular segera meletakkan tubuh Sukiat. Menutuk jalan darah
pembisu dan kedua bahu anak itu kemudian mengambil anak kunci kumala. Sukiat menderita luka
dalam yang parah dan tak dapat bicara, hanya sepasang matanya yang berapi2 memancar dendam
kemarahan kepada Dewi Ular. Dewi Ular sambil menjinjing kunci kumala tertawa mengikik “Hoa Sukiat
dari ribuan li jauhnya kau datang ke Ceng hay akhirnya toh percuma saja…ha…ha….” Sukiat tak berdaya
apa2 kecuali menumpahkan kemarahannya melalui pancaran matanya yang membara. Ingin sekali ia
memakan daging wanita yang ganas itu. Sia2 kau membeciku sedemikian hebat selekas aku masuk
kedalam Istana salju dan mendapatkan pusaka itu, siapakah yang berani membantah perintahku lagi?”
kembali Dewin Ular tertawa. Katanya pula “Sukiat lebih baik kau turut ibumu saja.

Asal kau tak menentang ibumu, Liok I jin dan Pik Hun hun akan kukawinkan padamu.” “Engkoh Kiat,
pertama kali kulihat pada mu hatimu telah menjadi milikmu. Engkoh lakukanlah permintaan suhu agar
ibu dan putera berkumpul jadi satu!” buru2 Liok I jin menyeletuk. Karena tak dapat bicara Sukiat hanya
gelengkan kepala dengan kerut wajah rawan. Tiba2 Dewi Ular mendapat pikiran “Anak ini memang
sangat berbakti kepada orang tua jika kugunakan cara yang ramah saying tentu dapat mendinginkan
kekerasan hatinya. Dewi Ular seorang wanita yang mahir membujuk orang. Ujarnya dengan sebuah
helaan napas yang rawan “Sukiat kau salah mengerti terhadap ibumu. Ayahmu dulu telah mensia2kan
aku, lalu mengadu domba kau supaya membenci ibumu…” Dewi Ular membawakan kata2nya dengan
nada penuh haru rawan dan kasih saying sebagi seorang ibu kepada sang putera. Bahkan diakhir kata dia
tak melanjutkan ucapannya karena di putus dengan sedu tangis.

Namun Sukiat pemuda yang keras hatinya itu tetap gelengkan kepala. Liok I jin menghela napas pula
“Engkoh ucapan suhu itu sungguh keluar dari hati yang tulus. Beliau tak sedetikpun pernah melupakan
kau puterany yang tersayang!” Sukiat kerutkan alis. Awan kesangsian bertebaran di benaknya berlainan
dengan perbuatannya. Pikirnya “Benarkah itu? Tetapi ah kata2nya berlainan dengan perbuatannya.
Pertama mengapa ia mencelakai ayah? Kedua mengapa ia tetap ngotot hendak merebut kunci kumala
yang kuperoleh itu?” Dewi Ular mengetahui isi hati anak muda itu. Buru2 ia berseru “Anak Kiat bila kau
tak percaya pada omongan ibumu biarlah kusembuhkan lukamu dulu nanti baru kuberikan kunci kumala
itu kepadamu!” Kunci di masukkan ke dalam baju lalu Dewi Ular mengambil sebutir pil merah ujarnya
“Puteraku makanlah pil ini dulu nanti ibu membuka jalan darahmu yang tertutup itu.”

Sukiat tetap menggeleng. Dewi ular memberi lirikan kepada Liok I Jin. Nona itu mengerti. Segera ia
menyambuti pil dari gurunya lalu membujuk Sukiat “Engkoh Kiat minumlah. Ibumu bermaksud baik, kau
harus menerimanya. Dibelainya rambut anak muda itu dengan penuh kasih saying dan dengan
perlakuan yang lemah lembut disisipkannya pil itu ke bibir Sukiat. Sukiat seorang pemuda yang
sentimental (berperasaan halus). Melihat Liok I jin mengunjuk sikap yang sedemikian menyayang,
tegeraklah hatinya. Segera ia mengangakan mulut hendak menelan pil tetapi tiba2 terdengar bunyi bok
hi (alat sembahyang) berkelotekan dari jauh. Bunyi bok hi itu terasa menyentuh hati. Seketika
kembalilah kesadaran Sukiat. Cepat ia membungkam mulut tak jadi menelan. Dewi Ular dan Liok I jin
terkesiap mendengar bunyi bok hi itu. Ketika mengangkat muka haripun sudah fajar. Sesosok tubuh
tiba2 melayang kehadapan mereka.

“Pil hati beracun amat ganas, janganlah dimakan!” sebuah suara berseru dan serempak dengan itu
muncullah seorang paderi di hadapan Sukiat. Muka paderi itu di tutup dengan kain putih. “Bukankah
sicu (anda) belum minum pil itu?” katanya kepada Sukiat. Ketika sukiat gelengkan kepala, paderi itupun
tampak berseri girang. Sejenak menatap si anak muda paderi itu mengangguk2kan kepalanya “Orang
baik selalu diberkahi Tuhan. Perjalanan sicu penuh bahaya tetapi selalu datang bintang penolong. Ini
menandakan ssicu mempunyai rejeki besar!” Hoa Sukiat bercahaya matanya menandakan rasa terima
kasih sepertinya ia pernah kenal pada paderi itu entah dimana. Dilain pihak Dewi Ularlah yang marah
bukan kepalang karena rencananya digagalkan. “Paderi tua bicaralah yang genah sebagai seorang
pertapaan. Aku toh ibunya, masakan seorang ibu hendak memberi pil beracun kepada puteranya?”
tegurnya. “Omitohud! Seorang pertapaan tak boleh bicara bohong. Tetapi apa yang kau lakukan hanya
kau sendiri yang mengetahui mengapa perlu kujelaskan?” sahut paderi.

Paderi tua katakanlah!’ teriak Dewi Ular marah2 “Aku toh kak mempunyai rahasia apa2. Mengapa takut
kau bongkar? Kau hendak meretakkan hubungan ibu dan anak.” Paderi berkerudung kain putih itu
meramkan kedua matanya “Ucapan anda terlalu keras. Seorang paderi selalu menjunjung peri budi
welas asih. Seorang budiman takkan mengatakan kejelekan orang. Baiklah anda lanjutkan perjalanan
saja!” Meskipun saat itu Sukiat masih tak dapat biacara namun pikirannya tetap sadar. Ia memandang
Dewi Ular dengan sorot mata kemarahan. “Paderi tua kau anggap aku ini siapa? Mengapa bicaramu
begitu sembarangan!” Dewi Ular menggeram. Paderi tua membuka mata dan menjawab perlahan lahan
“Anda adalah Dewi Ular Song lili yang termasyur di dunia persilatan Tiong goan ketua dari partai Ping
thian kau. Benar bukan?” “Hm, tahukah kau bagaimana kesan setiap orang yang mendengar nama Ping
thian kau itu?” dengus Dewi Ular.

Paderi tertawa tawar “Ada dua kesan!” “Dua kesan yang bagaimana?” Dewi Ular tertawa hambar. “Yang
kesatu ialah kesan ketakutan. Dan kesan yang lainnya ialah terpesona. Tetapi orang yang sudah kosong
dengan segala keinginan dunia seperti aku ini kedua kesan itu tak ada sama sekali.” Dewi Ular tertawa
mengikik “Paderi tua kau menyebut dirimu seorang suci. Hm, rasanya hal itu tak mungkin kupercaya!”
“Terserah!” Diam2 Dewi Ular mengambil putusan untuk melenyapkan paderi penghalang itu lebih
dahulu baru nanti menundukkan Sukiat. “Sudah tentu tidak percaya paderi. Karena pertanyaan mulut itu
sukar di jadikan dasar kepercayaan. Beranikah kau ku uji? Ia tertawa genit. “Bagaimana cara ujian itu?”
Wajah Dewi Ular mengerut serius “Paderi bagaimana orang menyohorkan wajah Dewi Ular?” “Kata
orang Dewi Ular itu mempunyai wajah yang cantik gilang gemilang laksana puteri kahyangan. Sekalipun
saat ini anda mengenakan kerudung muka namun dari perawakan anda yang langsing dan sinar mata
yang bening serta rambut emas, terang lah kalau apa yang di sohorkan orang itu bukan hal yang di lebih
lebihkan….” Dewi Ular tertawa gelak2. “Kau mengatakan dirimu suci, tetapi beranikah kau melihat wajah
guruku?” tiba2 Liok I jin menyeletuk. “Mengapa tak berani? Kata orang barang siapa melihat wajah Dewi
Ular tentu segera akan mati. Tetapi hatiku yang sudah kosong melompong dengan getaran nafsu itu
takkan terpengaruh dengan segala macam kecantikan!” “Sungguh berani mencoba?” seru Dewi Ular.
Paderi tua tertawa lebar. Nadanya bagai naga meringkik kumandangnya mengarung empat penjuru
gunung. “Mengapa tak berani mencoba? Katanya setelah berhenti tertawa silahkan menguji. Tetapi aku
juga mempunyai sebuah syarat. Dapatkah anda meluluskan?

“Mau membawa Sukiat bukan? Dewi Ular tertawa mengejek. “Paderi mengangguk. Anda memang
cerdas setelah memandang wajah anda nanti aku juga akan mempertunjukkan dua buah permainan
anak kecil untuk anda. Ya, semoga dengan itu dapatlah anda puas.” “Baik mari segera kita coba!” kata
Dewi Ular. Sukiat merasa tegang sekali. Karena ia pernah mengetahui bahwa orang yg berani melihat
wajah Dewi Ular tentu segera binasa. Jika paderi sampai tertimpa malapetaka siapakah yang akan
menolongnya? ia memandang paderi it dengan penuh kecemasan. Rupanya paderi itu tahu apa yang di
pikirkan Sukiat katanya sambil tertawa “Hara anda jangn kuatir. Kebesaran agama itu ada batasnya.
Kejahatan takkan menggalkan kesucian…” Sudahlah jangan banyak cakap paderi bentak Dewi Ular
“Lekas kau melangkah kemari dan berdiri sepuluh langkah dari tempatku ini!”

Dewi Ular segera berputar diri membelakangi Sukiat kemudian menyuruh Liok I jin supaya beralih
kebelakangnya juga. Sekalipun sudah menjadi murid selama dua puluh tahun tetapi Liok I jin belum
pernah melihat wajah gurunya yang sebenarnnya. Segera ia melangkah kebelakang Dewi ular.
Sementara Sukiatpun makin tegang. Dewi Ular tertawa mengekeh paderi tua masih kuberimu sebuah
kesempatan. Kubebaskan kau dari ujian ini tetapi kau harus menjadi orang biasa dan aku bersedia
menjadi istrimu. Buru2 si paderi mengatup sepasan mata dan menyebut doa “Omitohud Dosa! Dosa..”
“Manusia yang tak kenal kebaikan!” Dewi Ular menggeram majulah beberapa langkah dan berhenti
pada jarak empat langkah dari aku. Nanti kau pasti akan menyaksikan pertunjukan yang hebat!” Paderi
itupun segera ayunkan langkah satu dua…. Hati Sukiat berdegup kencang mengikuti derap langkah si
paderi. Ketika si paderi melangkah empat kali Sukiat segera pejamkan mata mengeluh “Tamat…” ia tak
tega melihat si paderi menderita kematian yang mengerikan.
Namun sampai sekian lama tak juga kedengaran barang suatu suara apa2. Sukiat heran dan segera buka
mata. Ah….tampak paderi tua itu masih hidup tak kurang suatu, tengah melangkah menghampiri
tempatnya. Dewi Ular menghela napas rawan berputar diri berseru kepada Liok I jin “Murid ku mari kita
pergi!” Tmpak Dewi Ular mengenakan kerudung mukanya kembali tetapi rambutnya berkibar kibar.
Suatu tanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang cukup parah. “Silahkan anda pergi!” kata paderi
yang tak mau merintangangi. Sambil memimpin tangan muridnya berkatalah Dewi Ular dengan
geramnya “ selama gunung masih menghijau sungai masih mengalir tiga tahun kemudian kita bertemu
lagi di puncak gunung Hoa san!’ “Baiklah saat itu aku tentu akan menerima pelajaran yang anda
dapatkan dari kitab pusaka Istana es!” sahut si paderi. Dewi Ular kerutkan alis. Heran ia mengapa paderi
itu mengetahui segala sesuatu tentang dirinya. Liok I jin cepat2 ajak gurunya pergi.

Sukiat cemas melihat kedua wanita itu pergi. Tapi karena mulutnya tak dapat bicara ia hanya memberi
isyarat mata kepada si paderi agar mencegah mereka. Sipaderi tak memperhatikan melainkan membuka
dulu jalan darah Sukiat yang tertutuk itu. “Taysu lekas kejar mereka!” selekas mulut dapat bicara Sukiat
segera berseru. Paderi gelengkan kepala “Telah kulepaskan mereka pergi. Kalau kularang lagi mereka
tentu memaki aku tak pegang janji!” “Tetapi Dewi Ular telah merampas kunci kumala dari kantong
bajuku,” Paderi tua hanya tersenyum simpul “segala apa di dunia ini hanya terdiri dari dua unsur yang
tulen dan palsu. Dan antara tulen dengan palsu itu sukar di bedakana. Mungkin yang tulen itu palsu itu
sukar di bedakan. Mungkin yang tulen itu palsu dan yang palsu itu tulen. Perlu apa anda begitu
gelisah?” “Tulen dan palsu? Palsu dan tulen?” sukiat mengulang. sekilas penemuan terlintas dalam
pikirannya “Apakah kunci kumala itu palsu?”

“Ucapan taysu itu dapat menimbulkan kesan bahwa kunci kumala itu palsu…” kata nya kepada sipaderi.
Paderi itu tertawa gelak2. “Apakah kau kira ketua Hantu darah itu sedemikian tololnya? Baiklah anda
merawat luka sampai sembuh dulu, baru nanti kita menuju ke gunung Tiang pek san di luar perbatasan.
Kalau terlambat kemungkinan ketua Hantu darah itu tentu akan mendahului masuk ke Istana Es!” Sukiat
menghaturkan terima kasih. “Paderi tua tertawa “Menolong orang adalah kewajiban dari kaum kita
golongan agama. Kami tak mengharap balas. Kepergian anda ke Tiang pek sam kali ini, mungkin akan
berjumpa lagi dengan rombongan Dewi Ular dan beberapa jago sakti. Maka haraplah anda slalu berjaga
diri. Kembali Sukiat menghaturkan terima kasih dan sebagai peringatan kelak supaya dapat membalas
budi ia menanyakan gelaran nama paderi itu.

Paderi tersenyum “Sudah berpuluh2 tahun aku masuk dalam dunia keagamaan, namaku telah lama tak
kupakai lagi. Kali ini karena mengingat kepentingan beberapa anak muda barulah terpaksa aku turun
kedunia persilatan…” Sejenak berhenti menghela napas, berkata pula paderi itu “Dan hal itu mendorong
diriku dalam kancah percaturan karma, pemulihannya memerlurkan waktu sepuluhan tahun. Ah,
mungkinkah hal itu memang sudah di gariskan?” Ia mengeluarkan sebuah botol terbuat dari batu
kumala putih, menuang dua butir pil putih lalu di berikan kepada Sukiat. “Dua butir pil Hidup kembali
menambah tenaga ini mempunyai daya khasiat yang luar biasa. Telah kugunakan waktu sepuluh tahun
untuk mencari daun dan rumput Lengci yang kuramu dengan buah per yang terendam dalam salju
ribuan tahun. Kubuat sepuluh butir dan telah kupakai dua butir masih delapan butir. Kuberikan padamu
dua butir. Minumlah sebutir luka dalam tubuhmu tentu segera sembuh. Yang sebutir boleh kau simpan.
Kecuali dalam keadaan yang berbahaya sekali barulah boleh kau minum!”

Sukiat menerimanya dengan uacapan terima kasih yang tak terhingga. Ia segera minum yang sebutir.
Ketika mengangkat muka astaga….paderi itu sudah berjalan jauh. Sukiat benar2 terpesona menyaksikan
kesempurnaan ilmu ginkang paderi itu. Tengah ia termangu2 sekonyong2 sesosok bayangan melesat di
hadapannya. Ai, situkang ramal….. “Terima kasih atas budi pertolongan tuan!” buru2 Sukiat
menghaturkan terima kasih. Tukang ramal meletakkan tubuh Ho Ci ping ujarnya “Ah, anda membuat aku
kalang kabut mengejar! Mana Dewi Ular?” Sukiat menceritakan pengalamannya tadi. “Hei aku terlambat
menemui guru!” tiba2 tukang ramal itu berseru sambil jatuh kan diri berlutut kearah sipaderi, namun
paderi itu sudah jauh sekali dan hanya tampak seperti setitik bayangan putih. “Apakah paderi itu
gurumu?” Tanya Sukiat. Tukang ramal menghela napas “Bukan melainkan guru tetapi juga penolongku.
Beberapa bulan yang lampau jika tiada Hun Ho taysu itu yang keburu datang menolong mungkin aku
sudah di siksa dan cacad seumur hidup di sebuah loteng!” Sukiat makin terkejut serunya “Eh, mengapa
nada anda sekarang berobah seperti seorang wanita? Apakah kau pernah akan dipotong2 urat nadimu?
Siapakah musuhmu? Apakah paderi Hun ho itu si paderi tua tadi?” “Peristiwa yang lampau sepertyi
impian saja. Aku berhasil membalas dendam separoh” kata tukang ramal. Tiba2 ia menyopot kaca mata
hitamnya membuka jubah nya amboi…..kiranya gadis berbaju hitam. “Oh, kiranya kau nona berkerudung
hitam yang beberapa kali menolong jiwaku?” Sukiat berseru kaget. Gadis itu tertawa mengikik “Cobalah
terja siapa aku ini?” Sukiat memandang nona itu dengan seksama. Namun ia hanya gelengkan kepala
“Rasanya aku pernah kenal dengan perawakan nona tetapi tak mengetahui siapakah nona ini
sebenarnya!”

Nona itu kini tertawa lebar “Coba kau berputar diri ke belakang. Nanti kau tentu akan lebih terkejut
lagi.” Sukiat menurut lewat beberapa saat terdengar nona itu berseru “Sekarang boleh menghadap
kepadaku sini lihatlah siapa aku.” Ketika Sukiat berputar diri memandang si nona kejutnya bukan alang
kepalang. “Kau Koan koan?” teriak Sukiiat ketika yang di hadapannya itu bukan lagi si orang tukang
ramal, juga bukan sinona berkerudung hitam, tetapi seorang dara berpakaian kuning yang cantik
jelita….Koan koan! Ya Koan koan yang dirindukannya siang dan malam itu…… “Adik Koan mengpa kau
menyiksa aku sedemikian rupa? Mengapa kau tak mau lekas2 unjuk diri?” keluh Sukiat ketika ia
memeluk sidara untuk melepaskan rindu dendamnya. Koan koan bercucuran airmata. “Hai mengapa kau
diam saja Koan? Kau menangis?” Sukiat terkejut. “Karena luapan girang yang tak dapat kutahan
sehingga mulutku serasa tersekat,” sahut sidara.

Beberapa saat setelah kedua kekasih itu melepaskan rindu, barulah Koan koan melepaskan diri dari
pelukan Sukiat dan mulai bercerita. Ia menuturkan bagaimana di tolong oleh Paderi Hun ho kemudian
diberi minum pil dan diberi pelajaran ilmu silat. Sampai ia menuju ke puncak Lok gan hong. “Kisah
selanjutnya ialah tentu dapat kau ketahui sendiri” Koan koan menutup ceritanya. “Tadi Hun ho taysu
memberi dua butir pil kepadaku. Telah kumakan sebutir dan kini luka dalamku sudah sembuh masih ada
sebutir akan kuberikan kepadamu!” kata Sukiat. “Baik engkoh simpan sendiri saja untuk dikemudian
hari. Sekarang marilah kita lekas menyusul Dewi ular dan merebut kunci kumala!” sukiat segera
menuturkan tentang ucapan paderi sakti Hun ho yang mengatakan bahwa kemungkinan besar kunci
kumala yang berada pada Dewi Ular itu kunci yang palsu. Koan koan merenung ujarnya “Ah, kalau begitu
mari kita kembali masuk ke Wisma Neraka lagi!”

“Kiranya tak perlu,” sahut Sukiat “menurut Hun Ho taysu ketua Hantu Darah Lau He hui sekarang ini
tentu sudah menuju kegunung Tiang pek san mencari Istana Es. Lebih baik kita kesana.” Koan koan
setuju. Tetapi ketika berpaling Sukiat dapatkan Ho Ci ping masih menggeletak “Ai, mengapa dia masih
belum siuman? Dia adalah saudara angkatku!” Koan koan tertawa “Dia memang terkena ilmu jahat dari
paderi Penyesat jiwa tetapi tak berbahaya. Akan kutulis sebuah resep obat tanggung tentu sembuh!”
“Kau juga mengerti ilmu obat2an?” “Ai engkoh Kiat, mengapa kau lupa? Bukankah tabib sakti Hoan Hui
thian telah mewariskan kepandaiannya kepadaku?” sahut Koan koan. Sukiat memberi pujian atas rejeki
yang di peroleh nona itu. Koan koan segera mengajak berangkat. Sukiatpun lalu memanggul tubuh Ho Ci
ping mereka hendak menuju kesuatu kota dulu membeli obat.

Dibawah sinar kuning keemasan dari matahari yang hamper terbenam di ufuk barat tampak dua orang
pemuda dan seorang gadis tengah bergegas2 berjalan menyusuri jalan yang menebar di wilayah
Cenghay. Mereka adalah Hoa Sukiat, Ho Ci ping dan Koan koan yang sedang menuju kegunung Tiang pek
san. Koan koan tampak riang gembira, serunya “Adik Ping kalau nanti bertemu dengan anak buah Hantu
Darah tentu akan kubalas kan sakit hatimu.” “Ah, betapa budi yang kuterima dari engkoh Kiat dan taci
Koan berdua. Jika bukan kakak berdua yang menolong tentu saat ini jiwaku sudah melayang” sahut Ci
Ping. “Jika kali ini kita berhasil menuntut balas. Aku bermaksud tinggal di sebuah desa dan hidup
tentram sebagai petani,” kata Sukiat. “Asal jangan lupa mengundang aku minum arak kebahagiaan
kalian berdua.” Ci Ping mengolok.

Koan koan merah mukanya. Ia tersipu sipu tundukkan kepala. Sedang Sukiat menghela napas “Ah,
mungkin diriku ini tak sembabat menjadi pasangan cacimu Koan koan itu. Sekonyong2 dari balik semak
terdengar orang berseru “Memang bahagia benar kau dan Koan koan menjadi mempelai. Tetapi ada
seorang gila di lembah Naga hijau yang akan memnderita sengsara!” sukiat terbeliak kaget serunya “Hai
kawan darimana itu silahkan keluar, mengapa main sembunyi?” “Masakan aku takut berhadapan
denganmu budak?” sahut suara itu disusul dengan melesatnya seorang manusia aneh. Dikata aneh
karena mukanya penuh berewok rambut nya kusut masai dan punggungnya menyanggul sebuah buli2
arak. “Kejut Sukiat berobah menjadi kegirangan yang meluap. Tersipu sipu ia memberi hormat kepada
orang aneh itu serunya “Maaf aku tak tahu kalau Hong Tim locioanpwee yang datang.” Setan arak Hong
Tim tertawa “Huh, bukankah kau sudah berjanji hendak kelembah Naga hijau? Mengapa lupa? Ah
kasihan si budak Suto Hong…..

Sukiat seperti disambar petir kagetnya “Mengapa dara itu?” Jawab setan arak dingin2 “Pergilah
kelembah Naga hijau kau tentu mengetahui sendiri!”

Anda mungkin juga menyukai