(Ko-lo-hiat-ki)
karya SD Liong
Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun itu rupanya seorang yang
berhati keras. Dan agaknya ia tengah melaksanakan suatu tugas penting
sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan, kepribadian pemuda itu tetap
menonjol. Wajahnya cakap berseri, lengkung alis lebat yang menaungi sepasang
bola matanya menambah kesemarakan yang sedap dipandang. Sinar matanya
tajam jernih, mencerminkan perangai hatinya yang polos jujur.
Entah apa yang tengah dikerjakannya itu!
Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil membuatnya tiba di hutan kuburan tak
berapa jauh dari puncak gunung. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika tertumbuk
pada sehelai panji merah yang berkibar-kibar di atas puncak gunung Hun-tiong-
san itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api. Musuh besarnya sudah di
depan mata.
Menuntut balas!
Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan. Semula merupakan berpuluh-
puluh sinar lentera sebesar tinju. Tetapi lama kelamaan berubah merupakan
sebuah pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu gerbang itu memancar
sederet lampu merah yang merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat !
Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris lentera hijau yang memanjnag
ke dalam hutan. Rupanya diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi para tamu.
Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan tiu, samar-samar seperti
tertutup kabut tebal sehingga makin menambah kerawanan hutan. Hanya bayang-
bayang pohon yang tampak dan makin ke dalam makin suram tampaknya deretan
lentera hijau itu.
Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula suara merintih seperti
suasana penyiksaan dalam neraka.
“O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku. Entah siapakah mereka itu?”
pikir si pemuda.
Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan sebuah makam besar tiba-tiba
terbuka. Segulung asap memyembur keluar, menyusul muncullah sesosok rangka
manusia yang menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu, wajahnya
seram, mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia tertawa meringkik seperti
burung hantu berbunyi di tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi, “
Ah, tak kecewalah lo-siansu menjadi paderi suci dari kuil Siau-lim-si sehingga
dapat bertahan menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )!”
Pemuda tadi terkejut. Benarkah di dalam rombongan paderi itu terdapat ketua
Siau-lim-si? Kalau benar, iblis pemilik panji tengkorak darah yang tersohor dengan
julukan Hun-tiong-sin-mo ( Iblis sakti dari Hun-tiong-san) itu pasti hancur lebur!
Tak ragu lagi, iapun segera mengikuti rombongan paderi itu melangkah masuk.
Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya, mereka tiba di sebuah lapangan kosong
yang luas. Lapangan ini tertutup oleh rumput halus dan diterangi oleh lampu yang
terang-benderang. Jauh sekali bedanya dengan suasana makam di hutan tadi,
apa yang merka hadapi ialah sebuah lapangan perayaan pesta!
Sekalipun begitu, tempat ini yang sekeliling empat penjuru ditumbuhi pohon-
pohon tinggi itu tetap memberi kesan yang seram, karena seolah-olah seperti
berada di sebuah daerah iblis dan hantu.
Di sudut lapangan muncullah dua rombongan orang yang wujudnya seperti orang
yang menjadi penunuk jalan tadi. Rambutnya terurai ke bahu, berpakaian serba
putih dan berwajah seram.
Namun pemuda tadi tidak terpengaruh oleh paras si dara. Darahnya tetap
mendidih oleh api dendam kesumat. Diam-diam ia memaki, “Hun-tiong-sin-mo,
malam ini adalah hari terakhirmu!”
Sekalipun begitu tak urung timbul juga rasa herannya. Konon kabarnya Hun-tiong-
sin-mo itu seorang iblis ganas, seorang tua yang tiada sanak saudara. Mengapa ia
membawa seorang dara? Siapakah dara itu?
Orang berbaju hitam itu tertawa kecil, serunya, “Sungguh besar sekali
peruntungan hari ini dapat menerima kunjungan para paderi suci dari Siau-limsi!”
“Apakah sicu ini Jun Ih-hui yang bergelar Hun-tiong-sin-mo?” penuh keheranan
paderi Bu Ceng bertanya.
Pemuda tadipun terbeliak heran. Mengapa yang begitu kondang sebagai momok
ganas, ternyata bertubuh demikian kecil dan mempunyai nada suara seperti
wanita?
Berubahlah seketika wajah paderi Bu Ceng dan rombongannya. Hampir tak dapat
Bu Ceng mengusai amarahnya, seketika ia berseru, “Jangan sicu terlalu
mendesak padaku. Camkanlah, aku datang dengan itikad baik.!”
Sin-mo menurunkan tinjunya dan tertawa, “Dalam 3 jurus jika tak dapat mengambil
jiwamu, aku akan bunuh diri.!”
Iblis sakti itu tetap tegak berdiri di tempat, menyambut badai serangan. Heran,
jangankan tubuhnya, bahkan pakaiannyapun tak berkibar oleh badai pukulan
lawan. Seolah-olah gelombang tenaga lawan terbelah dua dan lalu di
sampingnya…
Karena dalam gebrakan pertama menderita luka dalam yang berat, maka Bu Ceng
segera mengeluarkan ilmu simpanan, ia berusaha menebus kekalahannya.
Tetapi momok dari gunung Hun-tiong itu memang luar biasa. Hanya dengan
mengebutkan lengan bajunya saja, maka tekanan jari Bu Ceng dapat ditahan.
Serempak dengan itu, suatu tenaga membal melontar keras dan terpentallah Bu
Ceng sampai dua tombak jauhnya!
Ketua Siau-lim-si itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita dan
sesaat kemudian ia tak dapat berkutik lagi….
Melihat ketuanya menderita luka parah, serempak ke delapan tianglo dari Siau-
lim-si segera loncat menerjang Sin-mo.
“Berhenti! Aku paling benci main keroyokan. Kalian tentu takkan terkubur tanah
lagi!” bentak Hun-tiong-sin-mo seraya mendorongkan kedua tangannya. Sinar
merah berkilat dari kedua telapak tangannya. Jangan memandang dia bertubuh
kecil, tetapi tenaga pukulannya amatlah hebat laksana petir menyambar.
Karena tidak ditangkis, pemuda itu lipat gandakan tenaga tusukan pedangnya.
Tetapi ketika hampir menyentuh tubuh Sin-mo, tiba-tiba pedangnya terpental balik.
Sedemikian keras tenaga membalik yang keluar dari tubuh Sin-mo sehingga si
pemuda terpental sampai setombak jauhnya, pedangnyapun melayang terlepas
dari tangannya.
Namun pemuda itu tetap ngotot, ia melompat bangun dan menyerang lagi.
“Jawab dulu pertanyaanku tadi!” bentak Hun-tiong-sin-mo.
“Membalas sakit hati!” teriak si pemuda.
“Apa aku bermusuhan denganmu?” tegur Hun-tiong-sin-mo.
“Musuh besar!” si pemuda menggeram penuh dendam.” Tiga turunan keluarga
yang terdiri dari 40 orang lebih telah kau binasakan sampai ludas….” ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isakan harunya.
Di luar dugaan, Hun-tiong-sin-mo bukannya marah, malah tertarik, tanyanya,
“Kapan?”
“70 tahun yang lalu!”
Hun-tiong-sin-mo terkesiap,serunya,” 70 tahun yang lalu…… Ah, aku tak ingat
lagi!”
“Kau yang biasa membunuh jiwa manusia mungkin sudah lupa. Tetapi hanya 3
hari yang lalu kau bunuh ibuku lagi!”
“Ngaco!” bentak Sin-mo, “sudah 3 bulan tak keluar gunung, bagaimana aku dapat
membunuh ibumu?”
Si pemuda tertawa menghina, “Setan tua, begitu saja kau tak berani mengakui ? “
Marah sekali iblis itu, “Berpuluh tahun ini, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh
silat yang binasa di tanganku. Mengapa aku tak berani mengakui pembunuhan
ibumu?”
Ia berhenti sejenak, serunya pula,”Hai, siapakah namamu?”
“Kang Thian-leng!” sahut si pemuda seraya mengeluarkan sehelai bendera kecil
terus dilontarkan ke muka Sin-mo,” Itu milikmu bukan?”
Bendera itu berbentuk segi tiga, bentuknya seperti bendera besar yang berkibar di
puncak gunung. Itulah bendera lencana yang ditinggalkan Hun-tiong-sin-mo
sebelum atau sesudah membunuh orang.
Kang Thian-leng tertawa geram, “Kang Thian-leng sudah sedia mati, tetapi kaupun
jangan harap hidup sampai besok pagi!”
Ternyata iblis itu melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Ketika mendongak
hendak menghancurkan Thian-leng, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah tahi
lalat merah sebesar kedele. Itulah yang membuat dada Sin-mo berdebar keras,
hatinya memukul sehingga ia merobah rencananya.
Dara baju merah terkejut melihat tubuh Thian-leng berlumuran dara, namun ia tak
berani banyak mulut. Dari dinding tembok ia mengeluarkan sebuah botol kecil
terbuat dari batu kumala hijau. Hati-hati sekali ia berikan botol itu kepada Sin-mo.
Botol kumala itu berisi hanya 5 butir pil warna merah. Hun-tiong-sin-mo mengambil
sebutir lalu disisipkan ke mulut Thian-leng, setelah itu iapun menelan sebutir.
Kedengaran ia menghela napas, “Jika tak ada pil Tay-hoan-tan ini, entah
bagaimana jadinya diriku malam ini. Pek-tok-jong merupakan benda mukjijat di
dunia persilatan. Eh, entah mengapa budak ini bisa memperolehnya…?”
Dar baju merah menyeletuk, “Dia jahat sekali, lebih baik dilenyapkan saja.
Mengapa kau malah memberinya pil mukjijat itu?”
Setelah minum pil Tay-hoan-tan, tak berapa lama kemudian Thian-leng pun sadar.
Cepat-cepat ia meloncat bangun. Apa yang disaksikannya saat itu membuatnya
terlongong-longong terkesima.
“Kau…kau mengapa menolong aku?” serunya setelah teringat apa yang telah
terjadi tadi.
Thian-leng, bahkan si dara baju merah terbeliak kaget. Malah si bujang baju
kuning merintih perlahan. Mereka menatap ke arah wajah Sin-mo yang tertutup
kerudung sutera hijau.
Entah girang, entah sedih, tak tahulah Thian-leng perasaan yang berkecamuk
dalam hatinya saat itu. Meluncurlah pertanyaan heran dari mulutnya, “Kau tak
kuatir aku akan melakukan pembalasan lagi?”
Si bujang baju kuning mengiyakan, lalu mengajak Thian-leng pergi. Belum lama
berjalan, tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo berseru,” Berhenti!”
“Tak pernah kusesali apa yang telah kulakukan,” agak kurang senang Sin-mo
menyahut, “Aku tak mengharap balas atas pertolonganku tadi. Yang kuminta
hanyalah, janganlah kau katakan sepatahpun juga apa yang kau lihat di sini
kepada orang lain!”
Sementara itu Thian-leng yang mengikuti si bujang baju kuningpun keluar dari
sebuah kuburan besar. Ternyata ia berada di lapangan tadi pula. Lapangan itu
sunyi senyap, melainkan hanya terdapat 9 buah peti mati tadi yang berjajar di
tengah-tengah lapangan. Ketika lewat di hadapan peti-peti mati itu, timbullah rasa
duka di hati thian-leng.
Peti-peti itu belum ditutup. Dalam setiap peti membujur sesosok mayat.
Sekonyong-konyong mayat yang berada pada peti mati terakhir menggeliat-geliat
berusaha duduk. Serasa terbanglah semangat Thian-leng melihat kejadian itu.
Tapi demi dilihatnya mayat hidup itu ialah Bu Ceng Taysu, tenanglah hatinya.
Melihat tangan paderi itu seperti menggenggam sebuah benda yang seperti
hendak diberikan kepadanya, tergeraklah hati Thian-leng. Buru-buru ia
menyambuti terus dimasukkan ke dalam baju.
Bluk, rupanya setelah menyampaikan pesan terakhir Bu Ceng jatuh ke dalam peti
mati lagi.
Tiba-tiba Thian-leng tercekam oleh suatu perasaan ngeri. Nyata kematian paderi
Siau-lim-si itu bukan dikarenakan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tetapi oleh karena
taburan Pek-tok-jong.
“Tolol, mengapa tak lekas jalan!” melihat Thian-leng berhenti, si bujang baju
kuning
segera menariknya.
Thian-leng seperti ditarik oleh suatu tenaga yang kuat, sehingga di luar
kehendaknya ia terseret ke muka…
Saat itu terdengar kentongan malam sayup-sayup bertalu 4 kali. Malam kelam,
bintang-bintang bersembunyi, rembulan malu-malu mengintip di balik awan. Tiba
di gerbang tengkorak, bujang baju kuning itu segera kibaskan tangannya, “Silakan
pergi sendiri, aku akan kembali!”
“Jika pihak Siau-lim-si menerima giok-pay ini, mereka tentu akan menyerang Sin-
mo. Ya, hanya dengan mengharapkan turun tangannya pihak Siau-lim-si, dapatlah
Hun-tiong-sin-mo tertumpas. Kalau hanya mengandalkan kepandaianku, mungkin
seumur hidup tak nanti dapat kulampiaskan sakit hatiku, “ pikir Thian-leng.
Sepasang mata orang tua itu berkilat-kilat tajam. Kedua pelipisnya menonjol
keluar, pertanda dari seorang ahli yang memiliki lwekang tinggi.
“Eh, siapakah namamu anak muda?” orang tua itu tertawa sinis.
Tiba-tiba kedua mata orang tua itu memancarkan sinar ganas. Ditatapnya wajah
Thian-leng dengan seram, serunya bengis,”Di hadapan seorang tua jangan suka
berbohong! Mengapa kau tak brani menyebutkan namamu yang asli?”
“Mengapa kau keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo!?” bentak si orang tua dengan
marah.
Orang tua itu tertawa hina, “Sudah sehari semalam aku menunggu di sini!”
Wajah si orang tua mengerut gelap, “Ini…. aku tak bisa menerangkan !“, setelah
berhenti sejenak ia berkata pula, “ Kau tentu kaki tangan Hun-tiong-sin-mo!”
Thian-leng tertawa kecut, “Kau salah paham. Benar aku dapat keluar dari sarang
iblis itu, tetapi aku tak mempunyai kepandaian apa-apa dan sama sekali bukan
kaki tangan iblis itu!”
Mata orang tua itu memancarkan api keganasan, serunya dengan nada bengis,
“Tahukah kau siapa aku ini?”
Thian-leng sudah mempunyai kesan buruk terhadap orang tua liar itu, maka
menyahutlah ia dengan tawar, “Pengalamanku kurang, tidak…..”
Orang tua tadi terkejut dan menarik pulang pukulannya. Cepat sekali orang-orang
itu muncul. Semuanya berjumlah 5 orang, dipimpin oleh seorang dara berbaju
ungu. Usianya sekitar 20 tahun. Seorang dara jelita yang memikat hati.
Pengiringnya terdiri dari 4 orang tua yang dandanannya serupa dengan orang tua
yang menghadang Thian-leng itu.
Orang tua yang pertama tadi segera maju memberi hormat kepada si dara jelita,
serunya, “Memberitahukan kepada ji-kongcu (tuan puteri kedua), orang ini
menyebut dirinya kang Thian-leng. Sepatah katapun ia tak mau bicara
sejujurnya…. hanya mengaku memang telah keluar dari sarang Hun-tiong-sin-
mo….”
“Aku sudah tahu!” si dara tertawa, lalu kisarkan pandangannya ke arah Kang
Thian-leng, serunya dengan ramah,” Kang tayhiap, berapakah usiamu sekarang?”
Dara itu kedipkan mata kepada Thian-leng dan tertawa, “O, terpaut 2 tahun
dengan aku. Panggillah taci padaku!”
Thian-leng tertawa dingin dan menyurut mundur dua langkah,” Aku masih
mempunyai urusan penting, maaf!”
Thian-leng terus hendak berlalu, tapi tiba-tiba dara itu menghadangnya. Wajahnya
berobah masam, “Kau mau pergi?”
“Orang she Kang, apakah kau sungguh tak memandang muka padaku?” Ki Seng-
wan melengking marah dan kemarahannya itu ditumpahkan dengan sebuah
cengkeraman ke dada Thian-leng. Pemuda itu terkejut sekali, cengkeraman itu
luar biasa cepat dan hebatnya, sehingga sebelum ia sempat menghindar,
dadanya sudah kena. Thian-leng rasakan dadanya seperti dihantam palu godam.
Dadanya bergolak seketika, kakinya goyah dan tubuhpun terhuyung-huyung
mundur 3 langkah…
Tetapi di luar dugaan, Ki Seng-wan pun kaget dan tersurut mundur sampai 3 – 4
langkah. Ia berseru tertahan, “Kim-wi-sin-kang!”
Mendengar disebutnya Kim-wi-sin-kang atau ilmu lwekang sakti perut emas itu,
kelima orang tua pengawal Ki Seng-wan pun mundur selangkah.
Orang tua yang pertama kali mencegat Thian-leng segera berkata kepada Ki
Seng-wan, “Memang sejak tadi hamba sudah menduga dia tentu memiliki ilmu Bu-
siang-sin-kang!”
Thian-leng termangu-mangu. Tak tahu ia apa yang disebut istana Sin-bu-kiong itu.
Dan siapakah orang yang menamakan dirinya baginda Sin-bu-te-kun. Namun
melihat si dara Ki Seng-wan dan para pengawalnya itu memiliki kepandaian sakti,
Sin-bu-te-kun tentulah seorang tokoh lihay. Mungkin tak di bawah kepandaian
Hun-tiong-sin-mo.
Suatu titik harapan melintas dalam hati Thian-leng tetapi secepat itupun lenyaplah.
Gerak-gerik Ki Seng-wan yang genit dan sikap para pengawalnya yang bengis,
memberi kesan buruk pada Thian-leng. Ia duga Ki Seng-wan dan pengawalnya itu
tentu sebangsa gerombolan liar.
“Kecuali kau kembali ke dalam sarangmu Hun-tiong-san, jangan harap kau dapat
melarikan diri malam ini!” terdengar Ki Seng-wan berseru memberi ancaman.
Thian-leng berpaling, dilihatnya Ki Seng-wan bersama keempat pengawalnya
tengah mengejar. Mau tak mau gelisah juga Thian-leng. Sebenarnya ia tak
mempunyai kepandaian yang berarti. Dalam ginkang ia kalah jauh dari mereka,
ilmu silatpun sama saja. Adalah berkat giok-pay di dadanya itu maka ia beruntung
dapat menyelamatkan diri dari cengkeraman si nona. Tetapi hal kebetulan ini tak
mungkin terjadi lagi. Manakala Ki Seng-wan menyerangnya pula, ia pasti
tertangkap.
Tambahan pula pengawal tua yang disuruh melapor pada pemimpin mereka, tentu
akan segera membawa bala bantuan. Apabila mereka datang, tak mungkin lagi ia
dapat meloloskan diri!
“Hah, lihatlah dia! Apakah orang semacam ini sesuai dikatakan mempunyai ilmu
Bu-siang-sin-kang?” dengus Ki Seng-wan.
“Hambapun berpendapat demikian,” sahut keempat pengawalnya.
Di atas batu menonjol itu ternyata merupakan sebuah pintu goa. Ayunan tubuh
Thian-leng itu tepat jatuh ke dalam mulut goa. ‘Blek ..’ kembali ia tersirap kaget. Ia
merasa tidak jatuh pada karang keras, tetapi menjatuhi segumpal daging manusia
yang lunak.
Rasa terkejutnya meledak ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh manusia
yang berdiri dengan berjungkir balik, kepala di bawah , kaki di atas.
Ternyata di dalam doa itu terdapat seorang manusia aneh yang tengah ebrtapa.
Rambut terurai kusut masai, muka penuh ditumbuhi brewok lebat dan pakaian
compang-camping tak keruan.
Benturan tadi membuat Thian-leng terkapar jatuh, sedang orang tua aneh itupun
terjungkir balik. Sepasang mata orang aneh itu berapi-api penuh dendam
kebencian, seolah-olah hendak menelan Thian-leng.
Sebelum Thian-leng sempat bangun, orang aneh itu sudah menyusuli lagi pukulan
kedua. Tetapi ketika tinjunya hendak dilayangkan, sekonyong-konyong tubuhnya
tergetar dan mulutnya menyemburkan darah segar dan ‘bluk..’ iapun jatuh
terduduk.!
Dengan napas terengah-engah, orang aneh itu memaki, “ Binatang, kau telah
mencelakai aku. Sayang tak dapat kuganyang dagingmu!” Suaranya gemerontang
bagai geledek.
“Aku tergelincir jatuh ke dalam jurang ini dan sekali-kali tak sengaja…”
“Jerih payahku selama 30 tahun meyakinkan ilmu sakti yang hampir selesai itu,
telah kau rusak berantakan. Organ dalam tubuhkupun morat marit, bahkan jiwaku
turut kaurenggut!”
Orang kate itu terengah-engah hendak bangun dan memukul lagi. Melihat itu,
Thian-leng buru-buru mencegah, “Jangan bergerak lo-cianpwe, kau sudah ‘Cau-
hwe-jip-mo’…”
‘Cau-hwe-jip-mo’ ialah istilah dalam ilmu silat yang berarti sesat napas dan salah
jalan. Seorang yang meyakinkan ilmu lwekang sakti, apabila sampai terganggu
atau keliru, akan terjerumus dalam keadaan begitu. Organ tubuh bagian dalamnya
akan terguncang tak keruan, aliran darahnya akan simpang siur dan dapat
menyebabkan kelumpuhan.
“Aku hendak mengadu jiwa denganmu….huak!” si orang kate berseru, tetapi
mulutnya kembali menyemburkan darah dan jatuhlah ia ke tanah pula.
Orang aneh itu terbelalak kaget. ‘ Wut’, cepat ia menyambar pil itu dari tangan si
anak muda,”Tay-…hoan….-tan..” Sejenak ia mengamat-amati pil itu, lalu berpaling
menatap Thian-leng pula, “Kau berikan pil ini padaku?”
“Ya, harap lo-cianpwe lekas minum. Pil ini luar biasa khasiatnya!” sahut Thian-
leng.
Orang kate itu tertawa mengikik, “Hi,hi,hi, …tapi setelah sembuh ..kau tentu
kubunuh!”
gunung Hun-tiong-san ini. Bangsat Song-hun Kui-mo itu jeri terhadap Hun-tiong-
sin-mo, dia tentu tak berani datang kemari. Dengan begitu dapatlah aku
meyakinkan ilmu sakti Lui-hwe-ciang dengan aman….” tiba-tiba ia berhenti dan
menghela napas.
“Sayang kepandaianku tak berguna, kalau tidak aku tentu dapat mewakili lo-
cianpwe membasmi durjana itu dan merebut kembali kitab pusaka lo-cianpwe!” ia
menghela napas.
Agak kecewa Thian-leng, “Entah siapa nama tokoh sakti itu. Aku belum
mengenalnya….”
Oh-se Gong-mo tertawa, “Beliau she Sip bernama Uh-jong. Jarang muncul di
dunia persilatan, maka namanyapun tak terkenal. Asal kau katakan tentang
pertemuanmu denganku, serta memohon supaya kau diterima menjadi murid,
berkat bahan tulangmu yang bagus, tentulah besar harapan akan diterima!”
Begitu yakin Oh-se Gong-mo dengan ucapannya sehingga asal Thian-leng dapat
menjumpaitokoh Sip Uh-jong, tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang dapat
melaksanakan cita-cita untuk melakukan pembalasan kepada Song-bun Kui-mo.
“Baik locinpwe. Akan kubunuh Song-bun Kui-mo dulu, baru nanti Hun-tiong-sin-
mo!” cepat Thian-leng memberi pernyataan. Tiba-tiba terkilas sesuatu dalam
pikirannya, tanyanya,” Tentulah lo-cianpwe pernah bertemu muka dengan Hun-
tiong-sin-mo?”
“Ya…”
“Bagaimanakah orang itu?”
“Seorang tinggi besar yang mempunyai suara seperti geledek..”
“Ah, salah…..” di luar kesadaran Thian-leng berseru. Tetapi tiba-tiba ia teringat
akan janjinya kepada Hun-tiongSin-mo. Maka tak mau ia melanjutkan kata-
katanya lagi.
“Mengapa salah?” tegur Oh-se Gong-mo.
“Ah, tak apa-apa..” Thian-leng tergugu.
Untung Oh-se Gong-mo tak mau mendesak. Ia merogoh ke sebuah lubang pada
dinding goa dan mengeluarkan secarik kain warna kuning. Hati-hati sekali ia
menyerahkannya pada Thian-leng, “Inilah peta letak lembah Sing-sip-kiap. Tempat
tinggal tokoh aneh itu adalah yang kutandai dengan lingkaran merah.!”
Buru-buru Thian-leng menyimpannya dalam baju.
Oh-se Gong-mo , si kate yang pernah menggemparkan dunia persilatan saat itu
mulai menerangkan tentanag gerakan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang. Thian-leng
mendengarkan dengan penuh perhatian. Diam-diam ia membatin,” Sekalipun aku
sudah dapat mengerti jelas ilmu itu, tetapi tanpa peryakinan berpuluh tahun, tentu
takkan berarti apa-apa!”
‘Apakah juga harus mengasingkan diri selama 30 tahun seperti Oh-se Gong-mo ?
Demikian pertanyaan yang meresahkan pikiran Thian-leng.
Karena kuatir Thian-leng tak dapat menerima jelas, maka Oh-se Gong-mo
mengulang sekali lagi keterangannya. Sebenarnya Thian-leng yang berotak
cerdas sudah dapat menerima seluruhnya. Begitulah kira-kira tiga jam lamanya,
barulah Oh-se Gong-mo hentikan uraiannya.
Entah berselang berapa lama, barulah ia tersadar kembali. Ketika teringat apa
yang telah terjadi tadi, serentak ia meloncat bangun. Ah, betapa hancur hatinya
manakala tampak Oh-se Gong-mo meringkuk di tanah dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Dia telah kehabisan tenaga dalam. Di sampingnya terdapat
beberapa guratan huruf, “Jangan bersedih, lekas pergi ke Thay-heng-san…”
Rupanya karena kehabisan tenaga, tak dapat lagi Oh-se Gong-mo melanjutkan
tulisannya. Menangislah Thian-leng tersedu-sedan….. Setelah puas mengalirkan
air mata, ia berlutut di hadapan jenazah jago tua itu dan bersumpah, “Setelah
selesai menuntut ilmu kesaktian dan membalaskan dendam, tentulah aku datang
lagi kemari untuk menguburkan jenazah lo-cianpwe.!”
Melongok keluar, kira-kira beberapa tombak dari goa itu terdapat sebuah batu
yang menonjol. Terkilas suatu rencana untuk melompat ke arah batu itu, kemudian
baru mengenjot tubuhnya melambung ke atas. Tetapi ia lupa bahwa setelah
menerima saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo, kini dirinya sudah jauh berlainan
dari yang tadi. Maka lompatannya itu bukan saja dapat mencapai, bahkan
melampaui batu itu beberapa meter jauhnya, sehingga tubuhnya meluncur turun
ke bawah jurang. Ia menjerit, tapi secepat itu pula ia tenangkan dirinya. Ada
sesuatu yang dirasanya aneh, tubuhnya terasa ringan sekali. Ia coba menjejakkan
ujung kakinya ke dinding karang dan serentak menggeliatkan tubuh, ah…. ia
berhasil melambung ke atas tepi jurang. Bukan main lega hatinya.
Ternyata yang datang itu ialah si nona baju ungu Ki Seng-wan dan seorang baju
hijau. Mereka membawa pengiring 8 orang tua berjubah biru.
“O, Kang Tayhiap, sungguh tak nyana kita berjumpa pula!” Ki Seng-wan tertawa
genit.
Thian-leng hanya mendengus dingin.
“Apakah ini orangnya yang kaukatakan itu?” tanya si nona baju biru.
“Ya,” Ki Seng-wan mengiyakan, “dia luar biasa anehnya. Sebentar bisa ilmu Kim-
wi-sin-kang, sebentar bisa ilmu Bu-siang-sin-kang dan sebentar berobah seperti
seekor kerbau gila. Pendek kata segala apa dia bisa.Semalam dia jatuh ke dalam
jurang, tetapi tak meninggal dan sekarang hendak menghilangkan jejak
perbuatannya membunuh sekian banyak jiwa manusia!”
Makin Thian-leng marah, makin keras Ki Seng-wan tertawa, “Enak saja kau
omong. Kemarin malam kau sudah mendapat kemurahan, tetapi jangan harap
sekarang kau bisa lolos lagi!”
“Ji-moay, perlu apa berbantah dengan dia? Ringkus saja nanti kita periksa!” nona
baju hijau berseru. Ia mengangkat tangan dan 8 pengawal segera mengurung
Thian-leng.
Dua orang pengawal membuka serangan dari kanan-kiri. Thian-leng marah dan
balas memukul. Kedua orang itu terpental beberapa langkah ke belakang. Yang
seorang menjerit ngeri karena sebelah lengannya putus. Pakaian keduanya
berlubang seperti terbakar.
“Hai, dia bisa ilmu pukulan Lui-hwe-ciang, awas ….!” Ki Seng-wan berseru kaget.
tetapi Thian-leng tak mau menyerang lagi karena ia tak bermaksud melukai orang.
“Kau benar-benar bukan orang sembarangan, tetapi tetap jangan harap bisa
lolos!” seru Ki Seng-wan seraya maju menutuk.
Thian-leng jengkel dan balas menghantam. Tetapi tutukan Ki Seng-wan itu hanya
sebuah siasat, sambil menyelinap ke samping ia melepaskan sebuah pukulan.
Tetapi Thian-leng juga tak mau kalah, begitu pukulannya luput, ia segera berkisar
dan menangkis. Kali ini adu pukulan tak dapat dihindari lagi. Aneh, tiada terdengar
suara apa-apa, tetapi kedua-duanya sama-sama tersurut mundur selangkah.
“Sifat keras yang sempurna tentu dapat menundukkan sifat lunak. Betapapun kau
gunakan lwekang lunak, tetap akan hancur ! “ dengusnya.
“Sifat lunak yang sempurna tentu dapat mengatasi sifat keras. Betapa hebat
lwekang kerasmu, aku tetap dapat menundukkan. Apalagi ….” Ki Seng-wan
berkata dengan tekanan nada keras, “Kau tak sempat mempelajari lwekang keas
yang sempurna!”
Thian-leng benar-benar tak berdaya. Kedua nona itu menyerang secara rapat,
sehingga ia tak dapat mengembangkan kedahsyatan ilmu pukulan Lui-hwe-
ciangnya.
“Orang she Kang, sebaiknya kau menyerah saja. Jika kau suka menyerah, maka
aku dan taciku takkan membunuhmu!” tiba-tiba Ki Seng-wan berseru.
“Hm, karena tak mempunyai dendam apa-apa, maka aku tak mau menyerang
kalian sungguh-sungguh…”sambil menjawab Thian-leng dorongkan kedua
tangannya. Ki Seng-wan terdesak mundur beberapa langkah karena tertekan
hawa panas dari pukulan Thian-leng.
Melihat itu si nona baju hijau segera memberi perintah, “Selesaikan dia hidup atau
mati.” Ia sendiri segera menyerang dengan gencar. Amukan si nona itu dapat
menggagalkan kedudukan Thian-leng yang hampir saja di atas angin. Pada saat
ke 8 pengawal itu ikut maju menyerang, kembali Thian-leng di pihak yang terdesak
lagi.
Thian-leng terkesiap heran. Gerakan pendatang itu luar biasa cepatnya, sesaat
kemudian terdengar Ki Seng-wan menjerit tajam. Orang itupun menghentikan
serangannya dan berdiri tegak.
Tampak wajah kedua nona itu berobah. Ki Seng-wan mendekap lengan kanan,
darah bercucuran dari lengan itu. Ternyata lengannya kena dilukai. Sedangkan si
nona baju hijaupun mengalami malu yang hebat, baju di bagian dadanya kena
tergurat robek, sehingga para pengawalnya melongo.
Thian-leng saat itu baru melihat jelas. Pendatang tak dikenal itu berumur kurang
lebih 20 tahun, memakai kain ikat kepala dan jubah warna biru muda. Tubuhnya
langsing, wajahnya kuning pucat macam orang sakit. Hanya sepasang matanya
yang berkilat-kilat memancarkan sinar tajam.
Orang itu sejenak berpaling ke arah Thian-leng dan memberi senyuman tawar.
Setelah itu berpaling lagi ke muka. Tersirap darah Thian-leng ketika beradu
pandang, Ah, ia ingat-ingat lupa , seperti pernah mengenalnya. Ia memandang
pula dengan seksama. Ah, rasanya ia belum pernah kenal. Akhirnya ia memberi
hormat menghaturkan terima kasih, “Banyak terima kasih atas bantuan saudara.
Aku….”
“Nanti kita bicara lagi setelah kuhalau mereka!“ orang itu cepat menukas.
“Aku paling benci pada orang yang main keroyokan. Setiap melihat perbuatan
yang tak adil, aku tentu campur tangan, “ sahut pemuda itu.
“Siapakah namamu?” tanya si nona.
Pemuda itu sejenak meragu, lalu menyahut, “Cu Siau-bun, setiap saat kalian boleh
mencari balas padaku ! “
“Cu Siau-bun…. ah seorang tak ternama! “ si nona baju hijau mendengus hina.
Cu Siau-bun tertawa keras, “Memang aku tak ternama. Sebenarnya mudah untuk
mengangkat nama. Asal kubunuhi tokoh-tokoh persilatan, tentu namaku cepat
termasyhur….” sekonyong-konyong ia mengebutkan lengan bajunya. Serangkum
sinar kemilau meluncur ke arah 4 orang pengawal. Mereka mengerang dan rubuh!
Tenang sekali si nona baju hijau memandang keempat pengawalnya yang rubuh
itu, ujarnya,” Ah, selain ilmu pedang, Cu tayhiap juga mahir menimpukkan senjata
rahasia!”
Kembali Cu Siau-bun tertawa, “Jangan kuatir, senjata rahasia Tui-hong-kiong
(passer pengejar angin) itu tak beracun. Tetapi dapat menembus jantung orang.
Jauh lebih ganas dari segala racun. ! “
Tetapi sudah terlambat. Salah seorang pengawal menjerit rubuh.! Dan Cu Siau-
bun tertawa kepada Thian-leng. Rupanya pemuda itu menganggap membunuh
jiwa orang seperti suatu permainan yang menggembirakan.
“Agaknya Cu tayhiap juga tak mau melepaskan kami berdua kakak beradik?” tegur
nona baju hijau.
Cu Siau-bun tertawa, “Kebalikannya, silakan nona pergi agar aku tak merobah
keputusanku!”
Kata nona baju hijau itu lagi, “Sekalipun kami bukan tandinganmu, tetapi pihakku
tentu akan membuat perhitungan padamu!” ia terus ajak Ki Seng-wan angkat kaki.
“Terima kasih atas bantuan saudara, “Thian-leng menghela napas, “tetapi caramu
melakukan pembunuhan itu sungguh keterlaluan sekali!”
Sambil memungut kayu, kembali ia teruskan membuat liang kuburan lagi.
“Eh, apakah kau tak suka bersahabat dengan aku?” teriak Cu Siau-bun.
“Aku hendak berkelana tanpa tujuan, bagaimana saudara hendak ikut?”
“Itu bagus, memang akupun sedang mengembara. Senang sekali aku dapat
mengawanimu kemana saja ! “
Thian-leng mati kutu. Tak dapat ia menolak. Cu Siau-bun segan-seganan bangkit.
Tiba-tiba ia mencabut panji tengkorak darah yang tertancap di pohon.
“Hm, pintar sekali orang yang membuat ini sehingga menyerupai yang tulen ! “
dengusnya.
“Tetapi itu terang panji dari Hun-tiong-sin-mo…. ! teriak Thian-leng.
“Palsu!” bentak Cu Siau-hun.
Thian-leng tersentak mundur, serunya,”Bagaimana kau tahu kalau palsu?”
Cu Siau-hun terkesiap, serunya,”Sudah beberapa hari aku mondar mandir di kaki
gunung Hun-tiong-san. Selama itu tak kupergoki dia pergi kemana-mana. Terang
ada orang yang memalsunya!”
“Iblis itu sakti sekali, gerak-geriknya sukar diduga. Dia pergi atau tidak, bagaimana
kau tahu? Hanya…..akupun mempunyai dugaan, bahkan Hun-tiong-sin-mo itu
sendiri juga palsu…..! tiba-tiba Thian-leng menghentikan kata-katanya, karena
teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo.
“Bagaimana kau tahu kalau iblis Hun-tiong-sin-mo itu palsu?” sekarang giliran Cu
Siau-bun yang menegur tajam.
Thian-leng tersentak mundur dan berkata dengan tergagap, “Aku…aku hanya
menduga saja…” Dengan cepat iapun mengalihkan pembicaraan, “Aku masih
mempunyai urusan penting, maaf saudara Cu… silakan kau pergi sendiri!” Ia
memberi hormat lalu melangkah pergi.
“Aku berasal dari Lamciang, asing dengan daerah ini. Kulihat Kang-heng seorang
yang baik hati dan juga sendirian, maka ingin kumengikat persahabatan. Tapi ah,
mengapa Kang-heng begitu getas menolak diriku!”
Thian-leng kehabisan alasan, terpaksa ia menerima. Apalagi jika pemuda itu tak
membantunya, mungkin ia sudah tertangkap rombongan Ki Seng-wan.
“Siapa lagi yang berada di rumah Kang-heng?” tanya Cu Siau-bun setelah
mengetahui orang tak menolak.
Thian-leng menghela napas, “Sejak kecil aku bernasib malang. Hidup bersama
sorang ibu di lembah Pek-hun-koh yang terpencil di gunung Lu-liang-san…”
“Apakah ibu Kang-heng sudah menutup mata?”
“Ya, baru tiga hari yang lalu, dibunuh Hun-tiong-sin-mo!” Thian-leng menggeram.
“O, kiranya Kang-heng hendak melakukan pembalasan !? “
Setelah membuka kunci, Thian-leng segera menerobos masuk. Tetapi seketika itu
dia lantas tegak seperti patung, darahnya serasa berhenti. Sampai sekian lama
barulah mulutnya berseru terputus-putus, “Jenazah ….. ibuku…. lenyap…. !”
Matanya berkunang-kunang, bumi yang dipijaknya serasa berputar dan robohlah
pemuda itu. Untung Cu Siau-bun cepat menyambutnya, ia mengulum senyum
sinis.
Pada saat itu Thian-leng duduk di atas sebuah kursi bambu. Hatinya sudah agak
tenang, tetapi demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, bangkitlah ia serentak,
bentaknya,”Kau… kau tak layak menghina ibuku!”
Pemuda itu memandang wajah Thian-leng dengan ramah. Seri wajahnya seolah-
olah mengunjukkan rasa mesra dan simpati kepada Thian-leng.
Thian-leng menghela napas,” Tujuh belas tahun yang lampau, tak lama setelah
aku dilahirkan, Hun-tiong-sin-mo mengganas di keluargaku. Empat puluh orang
keluargaku dibunuh semua. Mungkin penderitaan batin itu merobah perangai
ibuku…”
“Apakah gundukan tanah di luar itu kuburan dari keluargamu?” tanya Cu Siau-bun.
Thian-leng mengangguk dengan mata berllinang. Tiba-tiba Siau-bun tertawa
terkekeh, serunya,”Ah, saudara Kang, kau telah masuk dalam perangkap yang
lihay. Kasihan kau tak mengetahui. Jika tak berjumpa denganku, mungkin sampai
matipun kau tak sadar….” Kemudian ia berkata seorang diri, “Hebat betul tipu
siasat orang ini. Sedemikian halus dan licin, sehingga orang tak menyadari…”
Tergerak pikiran Thian-leng. Ya, memang kata-kata Cu Siau-bun itu masuk akal.
Tetapi ia tak tahu bahwa di balik diri ibunya itu tersembunyi sesuatu rahasia.
“Beliau bukan seorang ibu yang suka berbohong!” Thian-leng berseru geram.
Cu Siau-bun tertawa sinis,”Baik, taruh kata hal itu benar, tetapi masih ada lagi hal
yang menyangsikan. Kau mengatakan ibumu dibunuh oleh Hun-tiong-sin-mo,
tetapi mengapa dia tak membunuhmu sekalian…?”
“Karena waktu itu aku tidur di rumah belakang, mungkin iblis itu tak mengetahui.”
“Tujuan Hun-tiong-sin-mo ke lembah terpencil ini, adalah semata-mata hendak
membunuh kalian ibu dan anak. Masakan dia tak mencarimu ke rumah
belakang….!”
“Apabila penilaianku tak salah, pembunuhan itu tentu dilakukan pada malam hari.
Jeritan ngeri dari ibumu telah membangunkan kau. Kau segera bergegas lari
menghampiri dan mendapatkan ibumu rebah dengan dada tertancap pedang, di
samping tempat tidurnya terdapat panji tengkorak. Saat itu ibumu masih dapat
berkata-kata memberi pesan terakhir, setelah itu baru menutup mata…. “
“Di atas tempat tidur maupun di bawahnya tentu tak terdapat bekas-bekas darah.
Dia menggunakan ilmu menutuk tubuh dengan senjata. Orang lain mungkin kena
dikelabui, tetapi prmainan anak kecil semacam itu mana dapat menipu aku… “
Cu Siau-bun berhenti sejenak, katanya pula, “Dia telah mengatur siasat
sedemikian indah Dipilihnya 3 hari sebelum Hun-tiong-sin-mo menerima
tantangan kaum persilatan. Tempo 3 hari itu cukup untuk menyuruhmu ke Hun-
tiong-san…..”
“Tetapi beliau pesan agar aku menyingkir pergi sejauh mungkin, jangan
melakukan pembalasan. Beliau tahu bahwa aku bukan tandingan iblis itu…”
bantah Thian-leng.
Cu Siau-bun tertawa geli, “Ha, ha, hebat sekali dia mengatur rencananya, tetapi
masih ada kelemahannya. Ia tak menyangka akan timbul hal-hal di luar
perhitungannya!”
Saat itu Thian-leng seperti jago yang sudah keok. Ia menundukkan kepala dan
mengeluh sedih, “Tetapi mengapa ibuku berbuat begitu, apakah alasannya…”
“Ho, kau tetap belum menyadari bahwa dia itu bukan ibumu!” teriak Cu Siau-bun.
Kembali Thian-leng terbelalak. Namun hal itu penting sekali baginya. Segera ia
mencari cangkul dan mulai menggali sebuah kuburan. Menurut batu nisan yang
terpancang di muka kuburan, yang digali itu adalah kuburan pamannya. Cepat
sekali ia sudah menggali sampai 2 meter lebih dalamnya. Darahnya serasa
berhenti ketika tak didapatinya barang satu peti mati dalam liang kubur itu. Masih
dia penasaran, digalinya 5 buah kuburan lagi… ah… kosong melompong semua !
Hanya dalam beberapa detik saja, Thian-leng merasa dirinya tercebur ke dalam
lembah teka-teki yang penuh rahasia. Apa yang dirasa benar selama ini ternyata
salah semua. Ia kehilangan paham paham akan keadaan dirinya sendiri. Ah, kalau
begitu Hun-tiong-sin-mo itu bukanlah musuhnya! Kemungkinan wanita yang
mengaku jadi ibunya selama 17 tahun itulah yang menjadi musuh sebenarnya.
Tetapi mustahil, aneh, tak masuk akal…. demikian benak thian-leng berbantah
sendiri. Perlu apa wanita itu memeliharanya sampai besar? Bukankah kalau mau,
dapat membunuhnya dengan mudah? Tetapi mengapa tidak? Kalau wanita itu
mempunyai dendam pada Hun-tiong-sin-mo, bukankah dapat mencari rencana
lain dan tak perlu memelihara dirinya sampai 17 tahun lamanya! Mengapa , ya ,
mengapa….?
Tiba-tiba thian-leng teringat pada Hun-tiong-sin-mo. Iblis itu jelas tak sesuai seperti
yang dikatakan Oh-se Gong-mo. Kalau begitu Hun-tiong-sin-mo yang menguasai
gunung Hun-tiong-san itu bukanlah iblis Hun-tiong-sin-mo yang asli. Benar suatu
teka-teki yang luar biasa…. Nyata bahwa dunia persilatan itu merupakan
panggung sandiwara yang besar. Dan nasib telah menbuat Thian-leng dilahirkan
dalam kancah pergolakan dunia persilatan yang penuh keanehan!
Tiba-tiba sebuah tangan yang halus telah menjamah bahunya dan terdengarlah
suara yang lemah lembut di telinganya, “Mengapa? Itulah yang harus kita
pecahkan…..”
“Ah, sudah lewat tengah malam, marilah kita beristirahat, “kata Cu Siau-bun,
“Besok pagi kita lanjutkan lagi penyelidikan kita.”
Thian-leng tidur di rumah belakang. Karena lelah, cepat ia tertidur pulas. Tetapi Cu
Siau-bun tak dapat tidur, ia mondar-mandir dalam gubug itu, pikirannya melayang-
layang. Ia merasa aneh kepada dirinya sendiri/ Mengapa ia paksakan diri untuk
membantu urusan Thian-leng? Mengapa ia rela memomong pemuda itu? Thian-
leng seorang yang polos hatinya sehingga tampaknya seperti ketolol-toloan.
Semula ia tak ambil pusing tetapi, lama kelamaan timbullah rasa sukanya kepada
pemuda itu. Aneh, aneh…..
Setelah letih dalam lamunan, akhirnya dapat juga ia tertidur beberapa jam. Tetapi
tiba-tiba ia tersentak bangun. Lapat-lapat di luar jendela terdengar suara angin
berhembus perlahan. Sekalipun hampir tak kedengaran, namun telinganya yang
tajam dapat juga menangkap suar yang mencurigakan itu. Diam-diam ia siapkan
tiga batang jarum Tui-hong-jiong di tangan. Setelah memperhatikan arahnya,
segera ia taburkan keluar jendela….
Tring, tring, tring….. terdengar kerincing halus dari 3 batang jarum yang
berhamburan jatuh. Menyusul sebuah ketawa mengejek berkumandang perlahan.
Cu Siau-bun terkejut, pikirnya, “ Ah, wanita yang mengaku ibu Thian-leng itu
ternyata lihay sekali, taburan jarumku dapat dikebutnya!”
Wanita berkerudung itu terkesiap kaget, serunya, “Kau bisa ilmu melicinkan
tubuh?”
Wanita itu semakin kaget, namun iapun dapat mengelak dengan gesit sekali. Tiga
buah serangan Cu Siau-bun tak mampu mengenainya. Pemuda itupun terkejut. Ia
tarik pedangnya dan tegak berdiri di muka wanita itu.
“Aku hanya lengah sedikit, tak mengira kalau Hun-tiong-sin-mo masih mempunyai
pil Tay-hoan-tan. kalau tidak, saat ini dia tentu sudah mampus!” sahut si wanita.
Wanita berkerudung itu tertawa hambar, “Sudah tentu tahu. Tiada yang tahu lebih
jelas asal-usul Hun-tiong-sin-mo kecuali aku. Dari mana pil Tay-hoan-tan itupun
aku juga tahu. Hm, aku lupa bahwa pil itulah satu-satunya obat yang dpat menolak
segala macam racun.....”
“Kalau bukan gara-garamu, tentu dia masih belum tahu. kau seharusnya
dilenyapkan....... !’ tiba-tiba wanita berkerudung itu menghentikan kata-katanya
sejenak, lalu berkata lagi dengan bengis, “Tetapi tak nanti dia bisa lolos dari
cengkeramanku. Setiap saat aku dapat membunuhnya. Hanya saja untuk
sementara waktu ini aku masih belum berniat membunuhnya. Hendak kugunakan
tenaganya untuk membunuh Hun-tiong-sin-mo!”
Wanita berkerudung tertawa menghina, “ Baiklah tetapi lebih dulu aku hendak
mengetahui dengan jelas mengenai suatu hal!”
“Kau ingin mengetahui bagaimana dapat kubuka kedokmu kepada puteramu itu?”
“Bukan! Aku ingin tahu kau ini pria atau wanita?” seru wanita berkerudung.
Pertanyaannya itu dibarengi dengan loncatan ke muka.
Namun wanita itu menggelengkan kepala, “Kau bukan tandinganku. Jika mau
membunuhmu, itulah semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi , aku.... tak
dapat membunuhmu....!”
Berbagai kenangan melintas dalam benak Cu Siau-bun, tetapi kesemuanya itu tak
ada yang merupakan jawaban dari pertanyaannya. Untuk pertama kali, baru saat
inilah Cu Siau-bun merasa seperti orang dungu yang tak mengerti apa-apa!
“Tak mungkin kau dapat menyelidiki. Kau tak tahu siapa diriku dan kelak kitapun
takkan berjumpa lagi!” sahut wanita itu.
Wanita berkerudung itu menghela napas, ujarnya “Ah, pintarmu keblinger! Sekali
lagi kunasehati, jangan ikut campur urusan ini demi untuk kebaikanmu sendiri.
Jika tidak, kau tentu akan menyesal di kemudian hari....”
Habis berkata, wanita itu berputar diri dan melesat pergi. Gerakannya tak ubahnya
seperti bayangan melintas, sekejap saja sudah menghilang…
“Hm, aku harus ikut campur tangan . Apapun yang akan terjadi aku tak akan
menyesal.” Cu Siau-bun berteriak mengantar kepergian wanita itu. namun
orangnya sudah lenyap dari pandangan.
Eh, tiada sahutan. Buru-buru ia menerobos masuk dan astaga....... kamar belakang
itu ternyata kosong melompong. Yang tampak hanya seonggok rumput kering.
Thian-leng sudah lenyap. Tak ada bekas-bekas perkelahian, seolah-olah seperti
Thian-leng sendiri yang keluar dari kamar itu.
“Ah, kembali aku harus menerima kekalahan yang menusuk hati..... Cu Siau-bun ,
Cu Siau-bun ... bagaimanakah keteranganmu pada ibu nanti?” keluhnya.
Juragan perahu terdapat seorang dara cantik berbaju ungu yang tengah
melepaskan pandangannya ke permukaan sungai yang luas. Tiba-tiba ia berseru,
“Ah, dalam sehari saja sudah mencapai lima ratusan li. Mungkin tak sampai
seminggu saja kita sudah dapat mencapai lembah Tiang-ceng-koh...”
“Eh, mengapa kau menghela napas?” tegur nona baju hijau itu.
“Tak apa-apa. “ sahut si dara baju ungu, “Aku hanya merasa bahwa jagad kita ini
sungguh luas sekali. Coba lihatlah, betapa kecil kita apabila dibandingkan dengan
gunung-gunung yang menjulang ke langit dan sungai yang begini dahsyat…. “
“Budak tolol, jangan mengoceh yang tidak-tidak, “ nona baju hijau membentak
dengan tertawa.
Kabut malam makin menebal. Permukaan sungai makin suram. Seorang budak
perempuan muncul membawa lilin, sehingga ruang perahu itu terang. Tiba-tiba
terdengar suara orang mengrang . Si nona baju hijau serentak bangkit
menghampiri ke sudut ruang perahu dan menyingkap sehelai kain tenda. Seorang
pemuda cakap tengah berbaring di atas tempat tidur. Dialah yang mengrang itu.
“Hm, obatnya sudah hampir hilang dayanya…..” dengus nona itu. Ia mengangkat
tangan kanannya ke atas.
“Cici, kau hendak…..” si dara baju ungu terkejut mencegahnya., “Onghui pesan
supaya jangan dibunuh. Kau… .. “
Nona baju hijau meliriknya dengan heran, “Siapa bilang aku hendak
membunuhnya! Bukankah aku akan dimintai pertanggung jawab oleh Onghui? Uh,
mengapa kau begitu tegang..?”
Dara baju ungu terkesiap. Pipinya merah. Diam-diam ia malu dalam hati.
Betapapun besar nyali tacinya, tetapi mana bernai melanggar perintah Onghui.
Dan lagi-lagi si dara baju ungu tersentak dan cepat menarik tangan
tacinya,”Mengapa kau hendak mencelakainya? Apakah kau mempunyai
permusuhan padanya ? “
Si nona baju hijau tertawa dingin, “Kau lupa atas hinaan di gunung Hun-tiong-san
itu? Seumur hidup aku tak dapat melupakannya!”
“Tetapi itu perbuatan orang she Cu, tak ada sangkut pautnya dengan dengan dia!”
bantah si dara.
“Tetapi dialah yang menjadi gara-garanya. Masih murah kalau hanya dipotong
urat kakinya saja ! “
Pipi si dara makin merah, bantahnya, “Dia memang orang yang tak kenal budi,
hanya saja aku tak sampai hati. Jebloskan saja ke penjara Tiang-ceng-koh,
kiranya sudah cukup menyiksanya. Perlu apa kita sendiri turun tangan.?”
“Ih, tak nyana kau berobah menjadi manusia yang begitu baik hati!” si nona baju
hijau tertawa menyingkir.
“Ho, di sini tak ada Cu-heng atau Gu-heng, yang ada hanya kedua taci beradik
Ki…..!” nona hijau menertawakan. Kemudian berkata kepada adiknya, “Rupanya
pengaruh obat sudah hampir hilang. Dia memiliki ilmu pukulan Lui-hwe-ciang
yang berbahaya. Bagaimana tindakan kita? APakah kita tunggu sampai dia sudah
sadar baru kita ajak bertempur?”
Secepat kilat jari si nona baju hijau menutuk tangan dan kaki si pemuda. Pemuda
itu tersadar. Begitu membuka mata, mulutnya segera berseru memanggil Cu Siau-
bun, kemudian bangkit, tetapi…ah…kaki tangannya terasa kaku sekali tak dapat
digerakkan. Dan sesaat itu terdengarlah suara tertawa mengikik. Kini pemuda itu
yang bukan lain adalah Thian-leng, sadar apa yang dihadapinya. Tetapi ia tak
gentar melainkan cemas memikirkan nasib Cu Siau-bun, sang kawan yang
berwajah pucat itu.
Tiba-tiba tempat tidurnya bergoncang dan berobahlah wajah kedua kakak beradik
Ki seketika. Si nona baju hijau yang ternyata bernama Ki Gwat-wan buru-buru
padamkan lilin, terus ajak Ki Seng-wan keluar ke geladak, Kembali terasa
goncangan hebat. Lebih mengejutkan hati kedua nona itu ialah kenyataan bahwa
perahu itu tengah menuju ke pantai. Si tukang perahu tak berdaya sama sekali.
Betapapun ia mendayung sekuat tenaganya, namun perahu tetap berputar menuju
ke pantai.
Pucat seketika wajah kedua nona itu. Belum pernah mereka mengalami peristiwa
yang mengherankan seperti itu.
Tiba-tiba terdengar lengking suara kecil yang menyusup ke telingan kedua nona
itu, “Turunkan anak muda she Kang itu dari perahumu, baru kalian tak kuganggu.!”
Kedua nona itu saling berpandangan, mereka sadar berhadapan dengan seorang
sakti. Adalah demi menjaga gangguan dari musuh, maka Onghui memerintahkan
supaya Thian-leng ‘disimpan’ dalam penjara rahasia di Tiang-ceng-pia-kiong.
Siapa tahu kini di tengah perjalanan dicegat orang.
Saat itu kedua nona itupun melihat sesosok bayangan hitam tengah duduk di
gerombol semak yang tumbuh di tepi pantai. Kedua tangannya dicakar-cakarkan
ke atas seperti orang menarik. Adalah karena gerakan itu maka perahu macet dan
menghampiri ke arahnya.
Orang berbaju hitam itu tetap duduk di muka semak. Tubuhnya kecil, rambut putih
dan muka penuh keriput. Selintas pandang seperti seorang nenek tua. Tetapi
kedua saudara Ki segera mengetahui bahwa wajah si nenek itu bukan wajah yang
sebenarnya, melainkan memakai topeng.
“Silakan kalian pergi, jangan sampai aku berobah pikiran!” dengus nenek tua itu.
“Kalian sudah jemu hidup dan ingin mati?” nenek itu menjengek.
“Sekalipun tidak ingin mati, tetapi majikan kamipun tentu takkan mengampuni
kami. Dicincang pisau atau disiksa sampai mati!”
“Bukalah jalan hidup, lepaskan dirimu dari cengkeraman maut. Masakan kalian tak
dapat melarikan diri jauh-jauh dan hanya mandah menjadi budak seumur hidup ! “
nenek aneh itu tertawa.
“Lekas enyah!” bentak nenek baju hitam. Sekali kebutkan lengan bajunya, Ki
Gwat-wan, Ki Seng-wan, tukang perahu dan si bujang terpental sampai dua
tombak jauhnya. Hebat benar tenaga yang dipancarkan si nenek. Tetapi yang
lebih mengagumkan bahwa keempat orang itu sama sekali tak ada yang terluka.
‘Wut’ ,tiba-tiba nenek itu kebutkan tangannya. Seketika itu Thian-leng merasakan
darahnya lancar kembali. Buru-buru ia bangun. Ternyata kebutan tangan si nenek
itu dapat membuka jalan darah thian-leng yang tertutuk.
“Kebetulan aku lewat di sini dan melihat dari jendela kau hendak dicelakai kedua
budak peremputuan tadi. Maka terpaksa aku turun tangan,” tukas si nenek.
Masih tak mengerti THian-leng mengapa si nenek begitu baik hati menolongnya.
Hendak menanyakan lebih jauh, ia merasa jeri terhadap sikap si nenek yang
begitu angker.
“Aneh, setiap orang tentu mempunyai she, siapakah she keturunanmu? Siapa
namamu?” nenek itu bertanya heran.
“Mestinya akupun mempunyai nama, tetapi nama itu ternyata nama palsu. Aku
benci pada nama itu ! Tak tahu aku ini orang she apa dan namaku…. “ Thian-leng
tertegun sejenak, lalu berkata pula, “ Karena sekarang aku tak mempunyai she
dan nama, baiklah lo-cianpwe panggil diriku Bu-beng-jin sajalah!”
Bu-beng-jin artinya orang yang tak bernama.
“Baiklah, “ nenek itu tersenyum, “rupanya kau tentu mempunyai riwayat yang
menyedihkan, mengapa tak mau menceritakan padaku?”
Thian-leng mempunyai kesan baik terhadap nenek itu. Maka iapun segera
menceritakan riwayat dirinya. Hanya pengalamannya bertemu dengan Hun-tiong-
sin-mo tak dituturkan.
“Ingatkah kau waktu kecilmu mempunyai seorang ayah?” tanya nenek itu.
Thian-leng gelengkan kepala, “Tidak. Yang kuingat hanya sejak kecil aku hidup
bersama seorang ‘ibu’ yang mengaku bernama Liok Po-bwe dan tinggal di lembah
Pek-hun-koh. Menurut keterangannya, ayahku bernama Kang Siang-liong. Sudah
mati sejak 17 tahun yang lalu. tetapi aku percaya keterangannya itu tentu bohong!”
“Ceritamu itu mengingatkan aku pada seorang sahabat lama. tetapi dengan yang
kau ceritakan orang itu tidak sesuai….” si nenek sejenak menatap wajah Thian-
leng, lalu melanjutkan kata-katanya. “Kalau benar seperti yang kuduga, ‘ibumu’ itu
tentulah orang she Ma dan kau masih mempunyai seorang ayah she Nyo. Kau
memang benar anak mereka!”
“Budi pertolongan lo-cianpwe masih belum dapat kubalas, mana aku berani
menerima hadiah lo-cianpwe lagi?” buru-buru Thian-leng menolak.
Si nenek tersenyum, “Liku-liku kehidupan dunia persilatan itu penuh bahaya. Jika
tak mempunyai kepandaian apa-apa, setiap saat tentu terancam bahaya. Kupikir
hendak memberimu tiga jurus ilmu pedang……”
Bukan main girangnya Thian-leng, serunya,” Jika lo-cianpwe tak menampik, wan-
pwe mohon supaya diterima menjadi murid….!” Habis berkata Thian-leng terus
hendak berlutut memberi hormat.
“Jangan!” nenek itu tertawa, “telah menjadi peraturan kaumku, selain ahli waris, tak
boleh menerima murid lagi. Tak usah kita terikat sebagai murid dan guru!”
Heran Thian-leng dibuatnya. Jelas nenek itu tak mengadakan gerakan apa-apa,
tetapi maksudnya hendak berlutut itu kandas karena dirinya seperti tertarik oleh
tenaga yang tak terlihat.
“Di atas gunung masih ada langit, di atas langit masih ada langit lagi. Dalam jagad
yang begini luasnya, masih banyak orang yang lebih sakti dari diriku. Soalnya
mereka itu tak mau diketahui orang !”
Tergerak hati Thian-leng atas ucapan nenek itu. Terlintas suatu pertanyaan dalam
hati, serunya, “Entah siapa yang lebih sakti antara lo-cianpwe dengan Hun-tiong-
sin-mo?”
Nenek itu tertegun, tertawa, “ Sukar dikatakan karena selama ini aku belum pernah
bertempur dengannya. Hanya saja….” ia berhenti sejenak baru melanjutkan
berkata pula, “Hun-tiong-sin-mo juga bukan jago nomor satu di dunia. Di dunia ini
masih ada tokoh yang lebih sakti. Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan sendiri-sendiri. Memang selama 60 tahun ini Hun-tiong-sin-mo tak
pernah dikalahkan orang. Tetapi penantang-penantangnya itu bukanlah tokoh-
tokoh yang benar-benar sakti.!”
Thian-leng heran. Kalau memang ada orang yang lebih sakti, mengapa selama 60
tahun Hun-tiong-sin-mo dapat sewenang-wenang merajai dunia persilatan?
Nenek itu berkata pula dengan agak rawan, “Ah, pertumpahan darah besar-
besaran memang sukar dihindari. Tak lama tentu bakal terjadi suatu peristiwa luar
biasa. Dunia persilatan akan mengalami banjir darah besar, tetapi setelah itu akan
berganti suasana yang lain… ”
Thian-leng terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Ia
Yakin, nenek itu tentu tokoh nomor satu di dunia. Ya, siapa lagi yang mampu
menandingi kesaktian sedahsyat itu. Tetapi aneh, mengapa si nenek mengatkan
bahwa di dunia masih banyak orang yang lebih sakti daripada dirinya ?
Rupanya si nenek agak riang hatinya, ia bangkit dan berkata, “Tiga jurus ilmu
pedang ini penuh dengan perobahan ayng sukar diduga. Terserah pada
kecerdasan otakmu, sampai di mana kau mampu menyelaminya ! “
Ia maju ke sebidang tanah lapang di tepi sungai dan mulai mengajarkan ilmu
pedang pada Thian-leng.
Di bawah sinar rembulan, pedang itu berobah menjadi hamparan sinar perak yang
berhawa dingin. Sepintas mirip dengan ribuan bintang yang berhamburan jatuh
dari langit….
“Bagus, bagus!” si nenek bertepuk tangan memuji, “bakatmu tak jelek! Meskipun
belum sepenuhnya kau selami ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam (Tiga pedang
perenggut nyawa), tapi cukuplah memadai!”
Si nenek merenung sejenak, ujarnya ,”Baiklah, aku hendak minta tolong sebuah
hal!”
Agak lama nenek itu berdiam diri, baru setelah itu ia berkata pula, “Aku
mempunyai seorang sahabat lama. Karena belasan tahun yang lalu pernah
bentrok mengenai suatu hal yang tak menyenangkan hati, maka ia menganggap
aku sebagai musuhnya. Sejak saat itu ia memutuskan hubungan…..” ia behenti
sejenak untuk menghela napas panjang, lalu ujarnya lebih lanjut, “Tetapi setelah
mengasingkan diri selama belasan tahun, aku merasa menyesal dengan peristiwa
itu. Tetapi selama ini aku tak mendengar beritanya lagi….”
Nenek tua itu tertawa getir, “ Di dunia yang begini luasnya, mana dapat kau
mencarinya? Tetapi cobalah kau mencari beritanya di kalangan kaum persilatan.
Kalau sifatnya belum berubah, dia memang gemar menimbulkan kegemparan!”
“Siapakah nama orang itu? Tentu seorang tokoh yang ternama bukan?” tanya
Thian-leng.
Di luar dugaan nenek itu menggeleng, “Sukar kukatakan padamu. Yang jelas dia
sudah menghilang selama 16 tahun lebih. Taruh kata pada masa itu dia seorang
tokoh ternama, tetapi lewat waktu yang sedemikian lama, mungkin sudah
dilupakan orang… hm,,.., dia bernama Thiat Beng bergelar Pendekar Pedang
bebas. Sekarang dia berumur 37 tahun!”
Wajah si nenek agak menegang sesaat, katanya dengan nada agak gemetar, “Kau
dapat menjumpainya? …Apaka dia dapat kembali…?”
Cepat si nenek itu menyadari keterlepasan bicara, tertawalah ia dengan
rawan,”Bila kau dapat berjumpa dengannya, katakanlah bahwa aku
mengundangnya datang ke puncak Giok-lo-hong gunung heng-san….Asal dia
mau mebuang sifatnya yang lama, tentu akan datang. Namun, tidakpun tak
apalah…!”
Si nenek tertawa hambar, “Asal kau menurut apa yang kukatakan tadi, dia tentu
sudah mengerti sendiri. Aku suka berkelana, tak punya tempat tinggal tertentu. !“
Kembali keriput di wajah nenek itu menegang, jawabnya,” Namaku sudah lama tak
disebut orang. Dan lebih baik begitulah…. .” Tiba-tiba dengan nada rendah
setengah berbisik, si nenek berdendang, “Di kala dikau pulang, di saat itulah
istreimu patah hati…. Ya, namaku Toan-jong-jin sajalah!”
Thian-leng makin terbenam dalam kabut rahasia. Jelas bahwa pendekar Pedang
bebas Thiat Beng itu tentulah kekasih dari si nenek. Tetapi ah, hal itu tak masuk
akal. Masakah seorang nenek berumur tujuh delapan puluh tahun mempunyai
kekasih seorang pria umur 37 tahun. Apalagi peristiwa asmara itu terjalin pada 17
tahun yang lampau, yaitu waktu Thiat Beng masih berumur 20 tahun dan si nenek
sudah 5-6 puluh tahun usianya….
Ternyata pedang pendek itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya.
Dapat dipakai membelah segala macam logam. Sehabis melakukan ajaran ilmu
pedang Toh-beng-sam-kiam, Thian-leng lupa mengembalikan pedang ini kepada
si nenek.
Habis berkata nenek aneh itupun sudah lantas pergi. Ketika tak mendapat
jawaban, Thian-leng mengangkat muka, ah… ternyata si nenek sudah lenyap dari
hadapannya.
Jadi tadi ia hanya berlutut memberi hormat pada angin saja.
Terlongong-longong Thian-leng memikirkan kesaktian yang dimiliki nenek itu.
Muncul perginya seperti angin saja.
Sampai beberapa saat barulah ia tersadar. Telah beberapa hari ini, ia selalu
mengalami beberapa peristiwa yang mengherankan. Hampir tak masuk akal
namun merupakan kenyataan.
Terbayang pula akan tugas yang diminta oleh si nenek Toan-jong-jin. Ia harus
melaksanakan pesan wanita yang telah banyak memberi budi kepadanya itu.
Tetapi ke manakah ia harus mencari Pendekar Pedang bebas Thiat Beng?
Satu-satunya cara yang akan ditempuh ialah, dalam perjalanan ke gunung Thay-
heng-san itu, ia akan mencoba untuk mencari berita mengenai tokoh itu serta Liok
Po-bwe wanita yang memalsu sebagai ibunya.
Tak tahu saat itu ia berada di mana, iapun tak kenal jalan. Yang diketahuinya ialah
gunung Thay-heng-san terletak di sebelah timur.
Karena baru pertama kali keluar mengembara di dunia persilatan, maka thian-leng
selalu tertarik dan memperhatikan segala yang ditemuinya dalam perjalanan. Tak
mau ia berjalan cepat-cepat. Ia selalu mempelajari sesuatu dan mencari berita
ketiga orang yang hendak dicarinya itu, yakniThiat Beng, Liok Po-bwe dan Cu
Siau-bun.
Hari itu adalah hari yang ke 12 ketika menjelang magrib ia tiba di tepi sebuah
sungai Tan Ho. Sebenarnya ia hendak mencari penginapan, tetapi saat itu ia
berada di tengah sebuah hutan belantara jauh dari pedesaan. Namun ia tak
bingung, paling-paling tidur di udara terbuka, demikian pikirnya sambil
mengayunkan langkahnya.
Tiba-tiba angin malam membawa suara gemerincing senjata beradu. Itulah jelas
suatu pertempuran. Tapi pertempuran itu berlangsung singkat sekali. Pada lain
saat terdengarlah jerit yang menyeramkan. Tak ayal lagi Thian-leng segera
mengenjot tubuhnya menerobos ke arah datangnya suara itu. Cepat sekali ia
bergerak, namun masih terlambat juga. Melintasi sebuah puncak yang tandus,
segera ia menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan….
Tujuh sosok manusia bergelimpangan menjadi mayat di atas rumput. Dua orang
paderi, lima imam. Tubuh mereka hancur lebur akibat hantaman tenaga berat atau
Ciong-chiu-hwat!
Pada dahi salah seorang imam yang rebah terlentang, tertancap sebatang panji
kecil Tengkorak darah, lambang keganasan Hun-tiong-sin-mo…
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kaki yang begemuruh. Dan pada lain saat
muncullah berpuluh-puluh orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah 20
orang lebih, dan terdiri dari bermacam golongan; paderi, imam dan orang biasa.
Melihat langkah kaki yang berat dan mata mereka yang berkilat-kilat tajam, terang
mereka itu tentu jago-jago silat yang berilmu tinggi. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, mereka bersikap bengis dan bermusuhan kepada Thian-leng..!
Dengan masih mencekal panji kecil, Thian-leng menyapa heran, “Apakah cuwi….”
“Benda apakah yang kau cekal itu?” bentak seorang tua yang tampil ke muka.
“Bukti sudah jelas, mengapa masih menyangkal!” bentak si orang tua tadi, ”Darah
para korban masih belum kering. Kami cepat datang kemari tiada orang lain
kecuali engkau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau?”
“Lo-hu dari kuil Siau-lim-si,” rupanya paderi itu agak sabar dari kawan-kawannya.
Thian-leng yang berhati polos sedikitpun tidak menduga bahwa penyerahan giok-
pay itu bahkan akan makin menimbulkan salah paham. Sejak 60 tahun lamanya,
tak pernah ada orang yang keluar dari markas Hun-tiong-sin-mo dengan masih
hidup. Jelas sudah bahwa Thian-leng tentu anak buah Hun-tiong-sin-mo, apalagi
dia dapat membawa giok-pay yang dibawa Bu Ceng.
Dengan gemetar paderi tua itu menyambuti giok-pay , ujarnya, “Ketua dan
kedelapan Tiang-lo kami…”
Paderi tua itu segera berdoa beberapa kali , lalu berkata, “Memang hal itu telah
kami duga. Karena berselang 10 hari ketua dan kedelapan tiang-lo kami tak
pulang, maka kami duga tentu binasa di sarang Hun-tiong-sin-mo….. terima kasih
atas kebaikanmu mengantar tanda pusaka dari kuil kami ini!”
Thian-leng tertegun, ujarnya, “Secara kebetulan saja aku dapat melarikan diri dari
sarang Hun-tiong-sin-mo. Aku menerima permintaan dari lo-siansu…., “ ia tak
dapat melanjutkan perkataannya. Ia merasa urusan itu makin dijelaskan makin tak
dipercaya. Tak tahu ia bagaimana baiknya.
Paderi itu tertawa dingin, “Tak perlu sicu banyak-banyak memberi penjelasan.
Kalau ketua dan ke 8 tiang-lo saja tetap kalah dengan Hun-tiong-sin-mo, apalagi
sicu yang masih begitu muda…”
“Tak perlu kiranya taysu membuang waktu dengannya, “ tiba-tiba imam tua yang
tampil ke depan tadi menukas. “Terang dia itu kaki tangan Sin-mo. Dapat
membunuh kelima sute kami dan dua orang paderi Siau-lim-si, jelas kalau dia
mempunyai kepandaian sakti. Baiklah kita tak usah menurutkan segala macam
peraturan dunia persilatan untuk menghadapi manusia yang seganas ini. Marilah
kita beramai-ramai meringkusnya….”
“Benar,” sahut seorang paderi muda, “Andaikata kita mati ditangannya, pun tetap
ada saudara kita yang akan membalasnya. Ketiga Cun-cia ( paderi yang
berkedudukan tinggi) telah mengirimkan undangan ke berbagai tempat. Tak lama
lagi partai-partai persilatan akan mengerahkan orangnya untuk meluruk ke Hun-
tiong-san. Betapapun saktinya Sin-mo, jangan harap dapat lolos lagi. Dan kau
boleh menerima kematianmu dulu!”, ucapan itu ditutup dengan sebuah serangan
kepada Thian-leng. Serempak ke duapuluh orangpun segera turut menyerang.
Salah seorang imam berseru, “Mengapa sicu tak melanjutkan keganasan lagi?
Ayo , masakah sicu mau memberi ampun kepada kami sekalian!”
Ya, memang Thian-leng terpaksa berbuat begitu. Ia tak dapat memberi penjelasan,
maka dibiarkan saja mereka menyangka begitu. Adalah karena tak tega
menyaksikan korban-korban tadi, maka ia segera angkat kaki.
“Baik, Bu-beng-jin! Ingatlah hutang darah hari ini.Tak lama kau harus
membayarnya!” seru paderi muda itu.
Thian-leng tak menyahut. Cepat ia ayunkan langkah lagi. Tak berapa lama
kembali ia berada seorang diri di tengah kepekatan kabut malam yang
menyelubungi tepi sungai.
Teringat ia akan kata-kata paderi muda yang turut dalam pengeroyokan tempo
hari, bahwa para Cun-cia dari kuil Siau-lim-si telah mengirimkan undangan
kepada seluruh partai persilatan agar datang dalam pertemuan di gunung Thay-
heng-san. Kalau tujuan pertama itu ialah diperuntukkan menyatukan langkah
menghadapi Hun-tiong-sin-mo, itu sih tak mengapa. Tapi anehnya mengapa
tempat pertemuan di pilih di gunung Thay-heng-san? Dan di daerah pegunungan
Thay-heng-san yang beratus-ratus li luasnya itu, tak tahu ia dimana pertemuan
kaum persilatan itu diadakan….
Setelah melintasi sungai itu dan menikung di sebuah barisan karang curam,
hatinyapun berdebar keras. Ya, menurut keterangan peta, tempat yang ditandai
dengan lingkaran merah itu merupakan tempat tinggal dari si orang sakti Sip-Uh-
jong, tokoh yang hendak dicarinya itu. Apakah tokoh itu masih berada di situ?
Demikian pertanyaan yang timbul di hati Thian-leng.
Masih ada sebuah pertanyaan lagi. Apakah tokoh itu mau menerimanya sebagai
wakil dari Oh-se-gong-mo, kemudian mau memberikan pil Kong-yang-sin-tan
kepadanya? Thian-leng berjalan dengan seribu satu kegelisahan.
Tak berapa lama tampaklah sebuah goa dari batu karang yang menjulang tinggi.
Timbullah kegirangan pada Thian-leng karena goa itu mungkin goa kediaman Sip-
Uh-jong. Tetapi dalam sekejap api kegirangan itupun padam kembali. Karena di
muka goa itu penuh ditumbuhi rumput liar setinggi dada orang. Suatu tanda bahwa
goa itu tentu sudah lama tak dihuni orang.
Melangkah ke dalam goa, didapatinya goa itu penuh dengan sarang laba-laba.
Suatu hal yang membuatnya kecewa. Ia menghibur hatinya sendiri, sekalipun tak
berhasil memperdalam ilmu Lui-hwe-ciang, namun ia masih mempunyai ilmu
pedang Toh-beng-sam-kiam yang sakti. Kiranya ilmu pedang itu cukup untuk
menghadapi Song-bun-kui-mo nanti.
Makin diperhatikan, makin jelaslah bahwa benda itu memang seorang manusia
yang tengah melingkar tidur di sebuah bale-bale batu. Karena mukanya ditutupi
dengan kedua lengan baju, maka tak jelaslah bagaimana wajahnya.
Ya, siapa lagi kalau bukan Sip-Uh-jong. Dengan pemikiran itu, segera Thian-leng
melangkah maju kemudian berlutut di depan bale-bale batu, ujarnya, “Sip lo-
cianpwe…...”
Ya, memang yang tidur melingkar itu bukan tokoh sakti Sip Uh-jong, tetapi Cu
Siau-bun si pemuda berwajah pucat.
Thian-leng terharu sehingga hidungnya mulai lembab menahan air mata. “Apa
yang kau derita Cu-heng?” katanya dengan terharu.
Cu Siau-bun menghela napas: “Sudah setengah bulan aku tinggal di goa ini.
Bermula kurasakan badanku kurang enak, kemudian baru kuketahui kalau aku
terkena kabut beracun …”
“Kalau begitu seharusnya Cu-heng lekas-lekas tinggalkan goa ini mencari obat!”
Dijabatnya kedua tangan pemuda itu dengan rasa syukur yang tak terhingga:
“Cuheng, entah bagaimana aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu …”
Cu Siau-bun menarik tangannya dari dekapan Thian-leng. Tapi pada lain saat
tiba-tiba ia merangkul leher Thian-leng, ujarnya: “Apakah kau mau meluluskan
sebuah permintaanku?”
“Kelak apabila segala urusan sudah selesai, kita mencari tempat yang sepi dan
jauh dari masyarakat ramai. Kita dirikan gubuk, menanam ladang. Tiap sore kita
duduk minum arak, malam kita ngobrol di dekat perapian. Kita nikmati kehidupan
yang tenteram bahagia, jangan campur urusan dunia persilatan yang kotor lagi.
Maukah kau?”
Cu Siau-bun tertawa sedap: “Asal kau mau, hari itu pasti akan tiba. Harap kau
jangan ingkar janji!”
“Benar, lebih dulu kita pergi ke kota yang terdekat dari sini untuk mengobati
lukamu!” sahut Thian-leng.
“Itu tak penting,” sahut Cu Siau-bun, “asal aku nanti beristirahat dua hari saja,
penyakitku itu tentu sembuh sendiri.”
Thian-leng gelisah. Tak mau ia bentrok lebih lanjut dengan partai-partai persilatan
dan memperdalam jurang kesalah pahaman. Apalagi Cu Siau-bun sedang sakit.
Kalau sampai terjadi pertempuran dan mengakibatkan Cu Siau-bun menderita
lebih parah, Thian-leng benar-benar penasaran sekali.
Rombongan penghadang yang muncul itu bukan saja terdiri dari orang-orang
yang pernah bertempur dengannya di hutan tempo hari, bahkan bertambah lagi
dengan belasan paderi dan imam. Terang mereka itu masih penasaran dengan
kekalahannya dulu dan mengundang bala-bantuan untuk mencari Thian-leng.
Situasi itu menyadarkan Thian-leng bahwa suatu kesulitan sukar dihindarkan lagi.
Segera ia letakkan Cu Siau-bun di atas tanah: “Biar kuhadapi mereka dulu!”
katanya dengan tenang sekalipun hatinya berdebar keras.
Yang melangkah maju lebih dulu ialah 3 orang paderi tubuh kurus. Mata mereka
berkilat-kilat tajam, langkah berat dan kuat.
“Tentulah cuwi bertiga ini ko-jin dari partai persilatan ternama. Apakah cuwi ijinkan
aku berbicara?” seru Thian-leng.
Salah seorang paderi itu menyahut dengan suara nyaring: “Lohu tak ingin
mendengar bantahan dari orang yang tangannya berlumuran darah manusia!”
“Lain orang diperbolehkan, kecuali kau!” bentak paderi itu, “keputusan dari rapat
para kaum persilatan memutuskan untuk melenyapkan Hun-tiong Sin-mo dan
antek-anteknya. Di dunia tak boleh terdapat kutu busuk yang merusak
ketenteraman rakyat!”
Pada lain saat kedua paderi dan keempat imam bertubuh kurus itu berseru dan
serempak menyerang berbareng.
Tetapi tak seorangpun yang menghiraukannya. Seorang paderi tua tampil dengan
sebuah hantaman, Thian-leng mencelat sampai dua tombak jauhnya, tubuhnya
mandi darah! Seorang imam menyusuli lagi dengan sebuah hantaman sehingga
untuk yang kedua kalinya tubuh Thian-leng mencelat ke udara dan blung … ia
tercebur ke dalam sungai. Pada lain kejap, tubuhnyapun hilang ditelan arus yang
deras …
Hati Cu Siau-bun seperti disayat sembilu, namun ia masih paksakan diri berseru
keras: “Tak perlu tunggu sampai bulan satu tanggal 15, sekarang juga aku hendak
membalas dendam pada kalian. Semua orang dari sembilan partai besar itu akan
kuhancurkan … aku hendak … membalaskan dendam … untuknya …”
Lengking jeritan itu penuh dengan bara dendam yang merintih-rintih. Namun
hanya gemuruh arus sungai yang menyambutnya, karena sekalian jago-jago
itupun sudah angkat kaki. Mereka tak mempedulikan lagi kepada pemuda yang
tengah memaki-maki dengan suara yang makin lemah …
Mungkin kalau tidak seperti saat itu, tentu ia dapat melompati sungai yang
lebarnya hanya setombak lebih. Tetapi dalam keadaan separah itu, ia hanja dapat
menghela napas saja.
Thian-leng telah mencuri segenap isi hatinya. Pemuda itu mati dengan membawa
kasih hatinya juga. Tidak, ia tak dapat hidup lagi. Seluruh impiannya, cita-citanya
dan kebahagiaan hidupnya telah terbawa hanyut oleh Thian-leng.
Lalu-lalang kenangan itu bertemu dalam suatu titik, kemudian meletus menjadi
suatu tekad yang bulat: “Balaslah! Ya, ia harus membalaskan sakit hati Kang
Thian-leng!”
Wanita itu tertawa mesra: “Nak, sering kukatakan bahwa kau ini adalah orang yang
paling keras kepala dan tinggi hati. Tetapi apa sebab sekarang kau menangis
begitu sedih …?”
Cu Siau-bun terkesiap. Mengusap air mata, ia menjerit: “Mah, dia … dia sudah
mati!”
Si wanita tuapun terkejut, serunya: “Dia mati?”
Cu Siau-bun mengerutkan gigi, sahutnya: “Mah, kau harus membantu aku untuk
membalaskan sakit hatinya!”
Sejenak wanita tua itu mengerutkan kening, kemudian tertawa hambar: “Ceritakan
dulu bagaimana ia sampai mati itu!”
Dikala ia terbenam dalam renungan itu tiba-tiba angin berhembus dan leher
bajunyapun tersikap sedikit. Ah, walaupun wajahnya tampak seperti seorang
nenek yang sudah berumur 80-an tahun tapi kulit lehernya putih segar seperti
yang dimiliki oleh wanita di antara 30 tahun lebih umurnya. Dan yang paling
mengesankan adalah terdapatnya sebuah tahi lalat merah pada lehernya itu.
Wanita itu tersirap, tertawa: “Tidak apa-apa, mari kita pergi!” – ia mengeluarkan
sebutir pil diberikan pada Cu Siau-bun: “Makanlah, hawa racun dalam tubuhmu
tentu hilang …”
Setelah menelan pil itu, Cu Siau-bun tetap enggan pergi: “Aku tak ikut!”
“Tidak! Sampai matinya dia belum mengetahui aku ini seorang perempuan!” Cu
Siau-bun tersipu merah.
Wanita itu menghembus napas longgar, ujarnya: “Jangan kau resahkan hal itu.
Lewat beberapa waktu, kau tentu melupakannya.”
Mata wanita itu berkaca-kacaa. “Ah, Siau-bun,” ia menghela napas. “Mengapa kau
begitu tolol. Sedangkan dia belum tahu kau ini seorang gadis, mengapa kau
hendak bela-mati untuknya?”
Wanita itu menggeleng: “Aku masih mempunyai urusan yang lebih penting lagi.
Tak usah hiraukan ocehan mereka!”
“Aku telah bersumpah dalam hati, sebelum tanggal itu akan menghancurkan
mereka.”
Wanita itu mengerutkan dahi, ujarnya: “Dewasa ini di dunia persilatan timbul
kekacauan. Tiap hari terjadi pembunuhan keji. Dan setiap pembunuhan tentu
meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah palsu. Sedangkan peristiwa ini belum
dibikin terang, lalu sekarang akan membasmi 9 partai lagi. Bukankah hal itu akan
menambah berat beban penderitaanku? Selama yang tulen dan yang palsu itu
belum dibikin terang, bukankah mamahmu ini tetap akan dihina oleh kaum
persilatan sebagai manusia berdosa?”
“Bukan sadja telah kuperoleh bukti bahwa pembunuh ganas dan pemalsu Panji
Tengkorak Darah itu orang Sin-bu-kiong, pun telah kuketahui juga bahwa yang
memalsu jadi ibunya Kang Thian-leng itu ialah Te-it Ong-hui dari Sin-bu-kiong …!”
“Ai …!”
“Ibu dari Thian-leng itu bukan saja tidak meninggal, pun ternyata bukan ibunya
yang sejati!” Cu Siau-bun lanjutkan keterangannya.
Ibunya menggeleng. “Sekalipun begitu, tetapi kita harus ingat bahwa di atas langit
masih ada langit. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Mamahmu ini
bukanlah tokoh nomor satu di dunia!” cepat ia tarik puterinya dibawa melesat
pergi. Mereka lenyap di antara gundukan batu yang menyela di semak
pepohonan.
Tak lama rombongan yang dikatakan wanita itupun tiba. Mereka bukan lain ialah
rombongan 9 partai tadi. Entah apa sebabnya mereka kembali lagi. Malah
sekarang ditambah dengan seorang tua berjenggot putih, berjubah ungu.
Tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sikapnya congkak.
Ia berjalan dengan langkah lebar, mengikuti ketiga Cuncia dari Siau-lim-si yang
menjadi penunjuk jalan.
Tiba di tepi sungai rombonganpun berhenti. Salah seorang cuncia yang bergelar
Hang Liong cuncia berseru nyaring: “Melintasi sungai itu kita mencapai ujung
terakhir dari lembah ini. Tetapi tak menemukan apa-apa. Kemungkinan si orangtua
Sip Lojin itu tentu sudah meninggal dunia …”
Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Tetapi hal itu tak berapa penting. Memang
aku telah mendapat tugas dari Te-kun untuk mencari jejak Sip Lojin itu. Tetapi
yang lebih penting lagi ialah untuk mengajak saudara-saudara sekalian
merundingkan rencana menghancurkan Hun-tiong Sin-mo!”
Hang Liong bukan saja menjadi tetua dari ketiga Cuncia kuil Siau-lim-si, pun dia
juga merupakan pemimpin dari rombongan jago-jago 9 partai. Ia memberi
sambutan atas pernyataan orang tua gagah itu: “Sungguh suatu rejeki besar bisa
memperoleh bantuan dari pihak Sin-bu-kiong. Harap Ni Cong-hou-hoat suka
bantu membicarakan perserikatan ini di hadapan Te-kun.”
Kiranya orang tua bertubuh tinggi besar itu menjabat sebagai cong-hou-hoat
(kepala pengawal) dari istana Sin-bu-kiong. Namanya Ni Jin-hiong bergelar Ci-
chiu-hoan-thian (tangan mengaduk langit).
Sekalian orang tak ada yang menyanggah dan mengangguk setuju, Ni Jin-hiong
tertawa puas, serunya: “Kalau demikian dapatlah kulaporkan pada Te-kun, hanya
saja …”
Hang Liong Cuncia mengiyakan. Kembali orang she Ni utusan Sin-bu-kiong itu
tertawa congkak kemudian ia minta diri.
Tak seorangpun yang menyahut kecuali seorang setengah tua yang mengenakan
dandanan sebagai pelajar.
Ketiga cuncia itu adalah golongan paderi yang paling tinggi kedudukannya dalam
partai Siau-lim-si, maka di dunia persilatan mereka mendapat penghormatan yang
tinggi. Sudah tentu mereka tak memandang mata kepada Li Cu-liong. Itulah
sebabnya maka Hang Liong Cuncia mengunjuk sikap kurang senang kepada
ketua Tiam-jong-pay.
Semula memang Hang Liong Cuncia tak senang, tetapi dia seorang paderi yang
telah berpuluh-puluh tahun menghisap sari pelajaran agama. Peribadinya kuat,
toleransinya penuh. Ia mengangguk perlahan. “Lohu-pun sudah tahu. Adalah
karena tak tega mendengar tiap hari Hun-tiong Sin-mo melakukan pembunuhan
ganas, maka kecuali dengan jalan itu rasanya tiada lain daya lagi …” ia berhenti
sejenak, katanya pula: “Supaya cuwi sekalian mengetahui bahwa tindakan lohu
sekali-kali bukan karena hendak menuntut balas atas kematian ketua dan
kedelapan tianglo kami. Tetapi yang penting ialah demi memikirkan keselamatan
dunia persilatan!”
Li Cu-liong tak mau banyak bicara. Setelah memberi hormat segera ia angkat kaki
diikuti oleh kedua pengawalnya. Pada lain kejap mereka sudah lenyap dari
pandangan.
Setelah menelan pil dari ibunya, maka racun dalam tubuh Cu Siau-bun pun sudah
lenyap. Kini tenaganya sudah pulih.
Wanita tua itu tertawa hambar: “Jika tak tahan menderita soal kecil, tentu akan
membikin terlantar urusan besar. Apalagi ke 9 partai itu sebenarnya tak berdosa.
Mereka telah masuk dalam perangkap orang. Si kepala gedung Sin-bu-kiong yang
menamakan dirinya sebagai Te-kun (raja) itulah biang-keladi yang sebenarnya …”
“Kau tak tahu …!” kata wanita itu. Setelah merenung sesaat, ia berkata pula:
“Pertama, aku hendak menjaga peraturan mendiang guruku. Yakni tak
membiarkan orang yang menantang, keluar dari Mo-hu (sarang hantu) dengan
masih hidup! Kedua, ke 9 paderi itu memang cari mati sendiri …”
Cu Siau-bun tak berani membantah. Segera mengikuti sang ibu melintasi sungai
terus keluar dari lembah. Namun mulut nona itu masih menyumpah-nyumpah: “9
partai adalah musuh besarku, termasuk Tiam-jong-pay pun hendak kubasmi!”
Wanita itu entah dengar entah memang tak mau menghiraukan gerutu puterinya,
tetap berjalan terus …
oo00oo
Bagaimana dengan Kang Thian-leng yang kecebur di dalam sungai? Apakah dia
binasa? Tidak, ternyata dia memang belum ditakdirkan mati, masih harus
melanjutkan perdjalanan hidupnya yang penuh cerita petualangan.
Malah ketika terendam dalam air, iapun agak tersadar dari pingsannya. Lapat-
lapat ia merasa seperti membentur sebuah benda dan tahu-tahu tubuhnya
terlempar ke tepi pesisir. Lemparan itu kuat sekali sehingga tulang persendiannya
serasa remuk, kepala pening, mata berkunang-kunang. Sedemikian nyerinya sakit
yang diderita saat itu sampai-sampai ia hampir pingsan lagi! Untung tempat
jatuhnya itu di atas pasir, andaikata di atas batu karang tentulah tubuhnya sudah
hancur.
Dia mencekal sebatang kail, batang kail terbuat dari bambu sebesar lengan bayi.
Kini orang aneh itu tengah melepaskan kait yang menyantol di baju Thian-leng.
Astaga … serentak tersiraplah darah Thian-leng ketika mengetahui apa yang
terjadi. Ternyata tadi dia dipancing orang aneh itu! Ia hendak membuka mulut,
tetapi napasnya terengah sehingga terpaksa tak bisa bicara.
Orang aneh itu tertawa mengikik dan berkata seorang diri: “Besar nian rejeki hari
ini, dapat memancing seekor manusia-ikan …” – ia menjilat-jilat lidah, katanja: “Eh,
mana lebih lezat, dimasak atau dibakar …?”
Sudah tentu Thian-leng berjingkat kaget. Terhindar dari mati tenggelam, jatuh ke
tangan seorang manusia aneh. Bukan mustahil orang aneh itu suka makan daging
orang!
Ia paksakan diri berteriak: “Aku bukan ikan tetapi bangsa manusia seperti kau.
Jangan kau …” karena lukanya parah sekali, sekalipun sudah menggunakan
sekuat tenaga tetapi teriakannya itu lemah sekali dan akhirnya malah tak
kedengaran lagi.
“Kau bukan ikan? Mengapa kau berada dalam air?” orang aneh itu tetap cekikikan.
Setelah memulangkan napas, Thian-leng menyahut dalam suara lemah: “Aku
dianiaya orang dan dipukul jatuh ke dalam sungai!”
“O, jadi kalau tidak kupancing, kau tentu sudah mati, bukan?” orang aneh itu
mengikik.
“Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Kelak wanpwe tentu akan
membalasnya.”
“Selama hidup aku tak pernah berminat menolong orang. Ransumku sudah habis
3 hari yang lalu, terpaksa kujadikan kau sebagai ikan. Anggap saja kau tadi sudah
mati tenggelam dalam sungai itu!” sambil masih tertawa mengikik sekonyong-
konyong orang aneh itu menampar.
“Mati aku!” keluh Thian-leng yang tak berdaya menyingkir karena tenaganya
lumpuh. Terpaksa ia meramkan mata menunggu kematian.
Plak, keajaiban terjadi! Berat kedengaran tangan orang aneh itu. menampar tubuh
Thian-leng tetapi ternyata jatuhnya lunak sekali dan yang ditampar ialah bagian
bawah perut. Seketika itu Thian-leng rasakan tubuhnya dialiri arus hawa yang
hangat. Thian-leng memberi reaksi spontan (serentak). Ia segera pusatkan seluruh
lwekangnya untuk menyambut hawa hangat itu …
Tampak wajah orang aneh itu tegang. Rupanya ada sesuatu perasaan dalam
hatinya yang tersinggung oleh kata-kata Thian-leng tadi sehingga meledak.
Orang aneh itu tertegun, tiba-tiba ia tertawa: “Buyung, mungkin karena sudah
berpuluh-puluh tahun tak ketemu orang maka aku senang bicara padamu. Ya,
terus terang saja aku ini ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok) yang dahulu
mengangkangi dunia persilatan …!” – ia tertawa mengikik: “Pernahkah kau
mendengar nama keempat momok itu?”
Tiba-tiba orang aneh itu menggeram: “Song-bun Kui-mo? Uh, aku membencinya
setengah mati. Ingin benar kumakan dagingnya …”
Thian-leng menghela napas longgar: “Kalau begitu tentulah Tui-hun Hui-mo!”
“Hm, benarlah!” sahut orang aneh itu.
Tanpa diberi keterangan, Thian-leng telah mengetahui apa sebab tokoh Tui-hun
Hui-mo (Iblis pengejar maut) sampai sedemikian mengenaskan keadaannya. Di
dalam apa yang disebut Su-mo (4 iblis), Hun-tiong Sin-molah yang paling tinggi
kepandaiannya. Kemudian setelah Song-bun Kui-mo berhasil merebut kitab
pusaka Im-hu-po-kip, kesaktiannyapun bertambah hebat. Dengan begitu hanja
Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo yang terbelakang sehingga mereka lari
menyembunjikan diri.
“Sekalipun semula wanpwe mempunyai nama, tetapi ternyata nama itu palsu,
karena …” dengan terus terang Thian-leng segera tuturkan riwayatnya. Tetapi
peristiwa masuk ke sarang Hun-tiong-san tidak diceritakannya.
“Tidak!” bentak Tui-hun Hui-mo, “kalau Oh-se Gong-mo rela memberikan lwekang
peryakinannya selama 80 tahun kepadamu, masakan aku sudi mengangkangi pil
itu? Minumlah pil itu, buyung, agar kau dapat membasmi Hun-tiong Sin-mo dan
Song-bun Kui-mo kedua keparat itu!”
Thian-leng terlongong. Memang Song-bun Kui-mo harus ia basmi. Tetapi Hun-
tiong Sin-mo? Bukankah Hun-tiong Sin-mo itu jelas bukan musuhnya? Bukankah
momok itu telah melepas budi kepadanya? Ah …
“Hai, buyung, tahukah kau siapa Song-bun Kui-mo itu?” tiba-tiba Tui-hun Hui-mo
berseru.
“Justru wanpwe bingung mencari tempat tinggalnya …”
Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tempat tinggal? Saat ini dia ibarat matahari yang muncul
di langit, sinarnya memenuhi jagad. Dia hendak menguasai dunia persilatan,
menundukkan tokoh-tokoh silat. Masakan kau tak tahu tempat tinggalnya …”
“Dia … ?!”
“Dia ialah manusia yang mengangkat diri sebagai raja Sin-bu Te-kun dalam
sarang istananya Sin-bu-kiong!”
“Sin-bu Te-kun?” Thian-leng tergagap. Sungguh tak diduganya sama sekali.
Segera ia teringat akan dua taci-adik Ki, si orang tua baju biru. Dan Cu Siau-bun
yang entah berada di mana sekarang!
Tui-hun Hui-mo heran memandang anak muda yang tampak termenung itu,
tegurnya: “Hai, apa-apaan kau ini?”
“Tak apa-apa,” Thian-leng gelagapan, “kita …”
Setelah beberapa saat memandang keadaan lembah itu, barulah Thian-leng mulai
memasukinya. Tiba-tiba ia berhenti terlongong-longong …
***
Berhasilkah Thian-leng mencari si orang sakti Sip U-jong yang misterius …?
(Bersambung jilid 3)
Jilid 3 .
Tertangkap basah.
Di kaki puncak gunung, terdapat sebuah gubuk. Tak jauh di belakang gubuk itu,
sebuah air terjun tengah mencurah, dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang.
Sekilas alam pemandangan di situ mirip dengan sebuah lukisan.
Thian-leng mendengarkan ocehan orang tua aneh itu setengah mengerti setengah
tidak. Ketika hampir menemukan pemecahan artinya, tiba-tiba orang tua berambut
putih itu melambaikan tangannya berseru: “Masuklah, anak muda!”
Bukan main kejutnya Thian-leng. Karena jelas bahwa orang tua itu melambai
kepadanya. Akhirnya dengan berdebar-debar ia melangkah masuk.
“Inilah pil Kong-yan-sin-tan yang dibuat rebutan orang persilatan. Lekas telanlah!”
“Tidak, tidak! Wanpwe …” Thian-leng menolak. Ia terkejut dengan peruntungan
yang diperolehnya begitu mudah. Dan diapun tak mau merebut Tui-hun Hui-mo
yang sudah 3 tahun mengejar pil itu.
Sip U-jong tertawa tergelak-gelak: “Tiga puluh tahun yang lalu aku mengadakan
perjanjian dengan Oh-se Gong-mo. Kuperhitungkan waktu perjanjian itu ialah hari
ini …”
Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali berlutut menghaturkan terima kasih
kepada kedua orang aneh itu. Tiba-tiba ia menjerit, loncat beberapa meter ke
udara dan jatuh berguling-guling mendekap perutnya. Kiranya pil itu mulai
bekerda. Perut Thian-leng serasa terbakar api, organ dalam tubuhnya serasa
disayati sehingga ia menjerit- jerit seperti babi disembelih!
“Pil itu telah kubuat selama 50 tahun. Untuk menjaga pil itu aku sampai
menelantarkan ilmu silat. Montang-manting lari ke mana-mana sehingga hampir
kehilangan jiwa! Ah, tak kira pil itu sedemikian mencelakakan orang …”
Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tetapi kuharap kau membuat 2 butir, biar aku turut
merasakan bagaimana sakitnya!”
Sip U-jong tertawa perlahan: “Kau dan aku sudah ibarat senja hari, biarlah kita
titipkan harapan kita di atas bahunya saja …!” – ia berhenti untuk menghitung-
hitung dengan jarinya. Tiba-tiba ia terkejut: “Celaka, musuh mendesak, jalanan
lembah sudah tertutup! Bagaimana ini!”
“Kau mengerti ramalan, mengapa tak mengetahui keadaan mereka?” kata Tui-hun
Hui-mo.
“Hai, benar, mengapa aku begini limbung …” Sip U-jong seperti orang disadarkan.
Segera ia memeriksa wajah Thian-leng. Saat itu Thian-leng sudah tak menggeliat-
geliat, hanja keningnya masih bercucuran keringat panas. Sebenarnya jalan darah
utama Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Thian-leng sudah tertembus. Jalan darah
ini merupakan “pintu” terakhir dari suksesnya suatu peryakinan lwekang. Selama
jalan darah itu tak dapat terbuka, orang tetap tak mampu mencapai kesempurnaan
lwekang. Tidak banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah tertembus bagian jalan
darah Seng-si-hian-kwan.
“Ah, mungkin pilihanku salah. Seumur hidup aku menderita kekecewaan!” sesaat
kemudian Sip U-jong berseru sambil membanting-banting kaki.
“Apakah usianya tak panjang?” Tui-hun Hui-mo terkejut.
Sip U-jong gelengkan kepala: “Ini sukar dikatakan. Hanya perjalanan hidupnya
memang penuh kesulitan, selalu tertimpa bahaya maut. Jika tak ketemu bintang
penolong mungkin dia takkan hidup panjang …” ia berhenti sejenak, katanya:
“tetapi yang kukuatrkan bukan hal itu. Dia seorang anak
keras kepala, mungkin tak dapat memenuhi harapanku dengan lancar …”
“Aku tak tahu apa isi harapanmu itu, tetapi tentulah ada hubungannya dengan
Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo!” seru Tui-hun Hui-mo.
Sip U-jong menggeram: “Isteri dan puteriku telah dibunuh Song-bun Kui-mo,
masakan kau tak mendengar hal itu!”
Tui-hun Kui-mo tertawa: “Asal anak itu masih bisa hidup saja, jangan kau kuatirkan
hal itu …”
Tiba-tiba ia bertanya: “Kelinci yang licin masih punya 3 liang. Selain timur, selatan,
apakah tak ada lain jalan lagi?”
Kejut Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo tak kepalang. Melihat ke arah datangnya
suara, tampak seorang wanita mengenakan kerudung muka sudah memasuki
pintu gubuk. Di belakangnya diiring oleh 4 bujang wanita berbaju biru.
Mereka datang tanpa menimbulkan suara apa-apa. Bahwa seorang tokoh sakti
macam Tui-hun Hui-mo sampai tak mengetahui sama sekali kedatangan
rombongan wanita itu, memang mengherankan sekali!
“Persetan kau ini siapa, lekas keluar dari pondok ini, atau …”
“Atau bagaimana?” tantang wanta itu.
“Mayatmu jadi bubur daging!”
“Mengapa kau tak lekas turun tangan?” wanita itu mengikik.
Memang Tui-hun Hui-mo sudah memutuskan. Rombongan wanita itu terang bukan
manusia baik. Lebih cepat ia turun tangan, lebih baik. Tak usah mengalami
pertempuran yang lama. Ia menggerung keras dan mendorong ke muka.
Wanita berkerudung itu tetap berdiri. Kedua tangan disembunyikan dalam lengan
baju. Sikapnya tenang-tenang saja. Begitu Tui-hun Hui-mo bergerak, iapun segera
ulurkan jarinya menutuk.
Tahu bahwa wanita yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan, maka sekali
gebrak Tui-hun Hui-mo pun gunakan ilmu simpanan Tui-hun-sinciang dalam jurus
yang paling dahsyat, yakni Ngo-gak-kie-pheng (5 gunung berbareng meletus).
Pukulan dahsyat dilambari dengan tenaga penuh. Dahsyatnya bagaikan gunung
Thay-san rubuh …
Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar tak diduganya sama sekali. Wanita
berkerudung itu gunakan jarinya untuk menyambut. Gilakah barang kali wanita itu.
Memang tenaga tutukan jari itu tajam sekali tetapi mana dapat diadu dengan
tenaga pukulan. Kecuali memang wanita itu bermaksud hendak berjibaku atau
sama-sama remuk. Tetapi anehnya wanita itu tak mengunjuk sikap hendak
mengadu jiwa.
Di saat Tui-hun Hui-mo tercengang, angin tutukan jari dan angin pukulannya telah
beradu! Aneh, aneh … angin keras yang menghambur dari pukulannya itu ketika
beradu dengan tutukan jari, berobahlah seperti api disiram air. Hilang lenyap
segala daya tenaga pukulan itu. Bahkan tak berhenti sampai di situ saja. Tui-hun
Hui-mo merasa tersembur oleh aliran hawa dingin yang keras sekali sehingga
darahnya serasa bergolak. Pemusatan tenaganya seolah-olah buyar ambyar …
“Kau berani menyebut nama Te-kun yang dulu? Dosamu sudah tak dapat diberi
ampun!” seru wanita berkerudung itu.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo tertawa keras: “Tekun? Ha, ha, kau tentulah permaisuri
Ong-hui-nya?”
“Te-it Ong-hui!” sahut wanita itu dengan nada angkuh, bangga.
Tui-hun Hui-mo berhenti tertawa, serunya: “Bilang apa maksudmu kemari?”
“Kesatu, untuk mengambil jiwa kalian berdua setan tua!” jawab Te-it Ong-hui atau
isteri pertama dari Song-bun Kui-mo yang berganti gelar menjadi Sin-bu Te-kun
atau raja dari istana Sin-bu-kiong. “Kedua, membawa anak itu!”
Tiba-tiba Sip U-jong yang sedjak tadi masih tetap duduk di atas bale-bale, berseru:
“Ah, tak semudah itu!”
Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Sebelum Te-kun mendapat kitab Im-hu-po-kip
saja kau sudah dipukulnya terkencing-kencing sehingga kepandaianmu lenyap.
Apa yang hendak kau andalkan berani menolak perintah Te-kun sekarang?”
Habis berkata Te-it Ong-hui segera menghampiri bale-bale. Seketika itu timbullah
kenekadan Tui-hun Hui-mo. Pada saat wanita itu bergerak ke tempat Sip U-jong,
iapun segera lepaskan hantaman dari samping.
Tetapi untuk itu ia harus membayar mahal. Kebutan kedua bujang itu ternyata
seperti ribuan anak panah menyambar. Bukan saja tenaga pukulan Tui-hun Hui-
mo buyar, pun dia malah tersambar hawa dingin yang menyerang masuk ke
tulang-tulang sehingga tak dapat menguasai diri lagi terhuyung-huyung tiga -
empat langkah!
Dalam pada itu Sip U-jong pun berbareng timpukkan sebuah benda bersinar
merah kepada muka si wanita berkerudung. Meski tenaganya sudah punah, tetapi
ia masih mahir menimpuk.
Te-it Ong-hui tertawa mengikik seraya ulurkan jarinya menjepit. Enak dan mudah
sekali ia menyambut timpukan itu. Benda merah terjepit dengan tepat. Tetapi
seketika itu Te-it Ong-hui menjerit kesakitan …
Kiranya benda merah itu bukan senjata rahasia apa-apa, melainkan seekor … ular
kecil yang berwarna merah. Panjangnya hanya 3 dim. Begitu dijepit dengan jari,
ular itu melingkar lalu mematuk telapak jari Te-it Ong-hui!
Te-it Ong-hui kebaskan ular yang mematuknya dan menutuk hingga mati. Dan
cepat-cepat ia tutuk jarinya sendiri karena tahu bahwa ular itu berbisa.
“Setan tua, kau mempunyai nyali!” bentaknja dengan gusar.
Sip U-jong tertawa nyaring: “Itu adalah ratu ular. Betapa hebat kepandaianmu
jangan harap kau bisa hidup!”
Te-it Ong-hui menggeram: “Kalau mati aku akan mati dengan meram. Di dalam
kitab Im-hu-po-kip, terdapat pelajaran tentang ilmu racun. Betapa hebatnya ilmu
racun dari Hwat-hun-nio, namun tak nanti mampu membunuh aku …”
Hwat-hun-nio artinya Dewi Awan Merah, sejenis ular kecil yang luar biasa
berbisanya. Sekali gigit tentu matilah korbannya!
“Sip U-jong,” seru Te-it Ong-hui pula, “tahukah kau selain kedua benda itu, apalagi
yang hendak kuganjar padamu?”
Sip U-jong terkejut namun ia berlaku tenang. Toh paling banyak hanya mati.
“Entah, aku tak tahu apa rencana keganasanmu itu?”
Te-it Ong-hui tertawa dingin: “Sebelum mati kau harus menyerahkan sebuah
benda padaku!”
“Benda apa, aku seorang jembel, apa yang dapat kuberikan kepadamu!” dengus
Sip U-jong.
“Berikan peta Giok ti tho (Telaga Zamrud )?” Te-it Ong-hui berseru bengis
“Giok ......ti ........tho………… bagaimana kau tahu ………..” Sip U-jong menyahut.
Te-it Ong-hui tertawa: “Soal sepenting itu mana mungkin mengelabui Sin-bu-kiong
…” lalu ia melanjutkan pula: “Baik Sin-bu-kiong maupun Hun-tiong Sin-mo atau
tokoh-tokoh persilatan lain, mengetahui bahwa engkau mendapat peta mustika itu
dari seorang cianpwe yang aneh, sekarang peta harus menjadi milik Sin-bu-
kiong!”
Sip U-jong mendengus: “Memang peta itu pernah jatuh di tanganku, tetapi …
karena seumur hidup aku tak mempunyai harapan meyakinkan ilmu silat lagi,
maka untuk menghindarkan tangan orang jahat kubakar saja peta itu!”
Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Dibakar …? Jika kau mau menyerahkan dengan
baik-baik, akan kuberi kemurahan agar mayatmu tetap utuh, jika tidak …”
“Kalau begitu, tunggulah sebentar …” seru Sip U-jong seraya merogoh sebuah
bungkusan kain dari kantongnya. Setelah dibuka, di antaranya terdapat sehelai
kertas putih yang kumal. Mungkin karena tuanya maka kertas itu berobah kuning.
Te-it Ong-hui puas. Baru ia hendak ulurkan tangan, tiba-tiba secepat kilat Sip U-
jong merobek-robek kertas itu menjadi berkeping-keping. Tetapi Te-it Ong-hui pun
dapat bergerak sebat. Cepat luar biasa, ia merebut sisa peta itu dari Sip U-jong.
“Setan tua licik,” bentaknya dengan geram sembari menampar, “Bum” … Sip U-
jong terpental serta bale-balenya hancur berantakan!
Di lain pihak, Tui-hun Hui-mo telah didesak ke pojok oleh kedua bujang
perempuan. Tui-hun Hui-mo keluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, tetapi
tiap kali tentu dihapus oleh kebutan hud-tim kedua bujang itu. Makin Tui-hun Hui-
mo kalap dan menggerung-gerung seperti macan mencium darah, makin dia
kelabakan tak keruan!
Untung juga karena agaknya kedua bujang itu belum menerima perintah Te-it
Ong-hui, maka sampai sekian lama mereka belum mau melukai lawan.
Kedua bujang yang lain, melihat Te-it Ong-hui terluka, segera menghampiri dan
menjaga di sampingnya.
Sementara Sip U-jong saat itu menggeletak berlumuran darah. Mati tidak hidup
pun tidak. Ia keraskan hati mengerahkan seluruh sisa tenaganja untuk
menggelinding ke dekat Thian-leng. Sejenak ia mengembalikan napasnya yang
terengah-engah dan sekalian melihat suasana. Tampaknya Te-it Ong-hui sedang
bersemedhi dan keempat bujangnya sedang sibuk melaksanakan tugasnya
masing-masing. Jadi tak ada orang yang memperhatikannya. Tiba-tiba ia merogoh
sehelai bungkusan kain. Ia mengusap darah di mulut dengan kain itu lalu
menulisnja dengan beberapa kata. Setelah itu cepat-cepat ia masukkan kain itu ke
dalam baju Thian-leng.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, Te-it Ong-hui pun bangkit. Serunya: “Jun-hong,
He-liok, bawalah anak itu!”
Kedua bujangpun segera mengangkat Thian-leng lalu diseretnya keluar. Tiba-tiba
Thian-leng meronta. Keringatnya sudah berkurang dan layap-layap ia sudah
mendapat kesadaran pikirannya kembali. Kedua bujang itu tak menyangka-
nyangka bahwa pemuda yang tampaknja tak berkutik itu akan berontak sehebat
itu. Meskipun kedua bujang itu anak buah Te-it Ong-hui yang paling terpercaya,
tetapi toh tak kuat menahan tenaga si anak muda. Mereka melengking kaget dan
terlempar di tanah.Cepat mereka merangkak bangun tetapi tenaganya sudah
lemah. Menandakan bahwa mereka menderita luka dalam yang tak ringan.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo yang terpojok di sudut ruangan, berteriak keras: “Bu-
beng-jin, bunuh …”
Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Te-it Ong-hui sudah
mendahului menutuk dada Thian-leng. Pemuda itu baru saja mulai tersadar tetapi
belum pulih ingatannya. Tahu-tahu ia rasakan dadanya ampek dan bluk …
jatuhlah pula ia ke tanah!
“Lekas bawa dia pergi!” seru Te-it Ong-hui. Kedua bujang segera menyeret lagi
pemuda itu. Setelah mereka pergi barulah Te-it Ong-hui loncat ke muka Tui-hun
Hui-mo.
Kini berhadapan Tui-hun Hui-mo dengan Te-it Ong-hui. Menghadapi bahaya yang
lebih besar, sebaliknya Tui-hun Hui-mo malah lebih tenang. Tertawalah ia nyaring-
nyaring: “Siluman perempuan, mungkin hari ini kau dapat bersuka-ria, tetapi
lambat atau cepat kau tentu takkan terlepas dari kehancuran?”
Murka benar Te-it Ong-hui, dampratnya: “Sebenarnya mengingat hubunganmu
dengan Sin-bu Te-kun pada masa dahulu hendak kuberimu ampun. Tetapi
ternyata kau cari mati sendiri. Baiklah, akan kusempurnakan engkau!”
Tidak terdengar suara letupan apa-apa, tidak pula benturan pukulan. Tetapi tahu-
tahu tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar dan tubuh tokoh itupun terkulai. Hanya
sebuah erang tertahan yang terdengar, kemudian putuslah jiwa Tui-hun Hui-mo.
Ternyata Te-it Ong-hui telah melancarkan jurus Ngo-hian-ki-poh atau lima utas
sutera berhamburan. Salah sebuah jurus yang paling maut dari ilmu Hian-im-ci.
Jangankan tubuh manusia, batupun tentu hancur menjadi tepung …
Tetapi ketika tiba di mulut lembah, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam
hutan: “Ong-hui berhentilah!”
Sesosok bayangan laksana burung elang, melayang keluar …
Te-it Ong-hui tertegun kaget. Pendatang itu seorang bertubuh tinggi besar, jubah
warna ungu, menyanggul mantel warna kuning. Jenggotnya menjulai sampai ke
dada, romannya gagah-perkasa.
“Ong-hui tinggalkan istana, bukan hal yang biasa. Karena tugas, hamba tak berani
…”
“Rubah yang licin!” tukas Te-it Ong-hui, “lekas katakan apa maksudmu?”
Sejenak Ni Jin-hiong sapukan mata ke arah empat bujang, ujarnya: “Bolehkah …
aku mendapat kebebasan bicara?”
Sebuah wajah tersembul. Sebuah wajah yang cantik sekali. Sayang sudah agak
setengah tua. Kira-kira berumur 35-an tahun lebih.
Ni Jin-hiong tertawa berat: “Paling tidak kita harus memeriksanya dan mempelajari
letak tempat itu!”
Ma Hong-ing merenung sejenak kemudian mengeluarkan bungkusan kain yang
berisi robekan peta Giok-ti-tho. Mereka berdua segera asyik memeriksa peta itu.
Tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong berobah.
“Palsu!” serunya dengan putus asa.
Juga Ma Hong-ing mengerut gigi, menggeram sengit: “Bangsat tua itu sungguh
menjengkelkan sekali, aku termakan tipunya … Celaka, kitab pusaka It Bi Sianjin
takkan muncul di dunia lagi!” – Ma Hong-ing membanting-banting kaki.
“Ya, benar. Lekas tangkap si tua celaka itu, peta tentu masih berada di tangannya!”
“Dia telah kubunuh!” Ma Hong-ing gelengkan kepala.
“Kalau begitu carilah mayatnya!”
Sahut Ma Hong-ing dengan nada lemah: “Mayatnya sudah hangus jadi abu!”
“Kau bakar?”
Hampir pingsan Ma Hong-ing mengalami kegoncangan batin yang sedemikian
hebatnya.
Berhenti sejenak, ia membentak pula: “Mengapa tak lekas kembali ke istana? Jika
dia mengetahui hubungan kita, mungkin kedudukan jadi hamba sajapun kita tak
dapat menikmati!”
Tanyanya kepada Ma Hong-ing: “Apakah itu budak Kang Thian-leng yang kau
pelihara selama 17 tahun?”
Ma Hong-ing mengangguk.
“Budak itu sudah tak berharga lagi, perlu apa kau bawa pulang?”
Karena jalan darahnya masih tertutuk, ketika dilepaskan, Thian-leng hendak rubuh
lagi. Tetapi pada saat tubuhnya melorot jatuh, Ni Jin-hiong telah membarengi
dengan sebuah hantaman dahsyat … Hantaman itu disertai dendam kebencian!
Bum … karena tak dapat berkutik, maka Thian-leng terlempar seperti layang-
layang putus. Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali lalu jatuh dua puluhan
tombak jauhnya!
Ni Jin-hiong yakin anak muda itu tentu sudah mati, maka iapun tak mau
memeriksanya lagi.
Ma Hong-ing atau isteri dari Sin-bu Te-kun yang ternyata main gila dengan Ni Jin-
hiong, mengawasi kesemua itu dengan menghela napas perlahan. Ia tak dapat
berbuat apa-apa terhadap kepala penjaga Sin-bu-kiong itu.
Keesokan hari menjjelang magrib, tampak dua buah tandu melintas di muka
lembah Hong-lim-koh. Tandu yang dipikul oleh berpuluh orang tua baju biru,
berjalan perlahan-lahan menyusur lamping gunung.
Tiba-tiba dari tandu yang di sebelah muka terdengar perintah berhenti. Seorang
gadis berpakaian hijau keluar dari tandu itu. Ia menghampiri sebuah semak
pohon.
Tandu yang di belakangpun berhenti. Yang keluarpun seorang dara yang lebih
muda dari gadis tadi. Bajunya warna ungu.
Ketika menghampiri, dara itu melihat seorang pemuda baju biru menggeletak di
tengah semak dengan tubuh berlumuran darah. Tampaknya pemuda itu sudah
mati beberapa waktu yang lalu.
“Perlu apa kita nonton sebuah mayat?” kembali dara itu menggerutu.
Gadis baju hijau tersenyum: “Sudahkah kau melihat jelas wajahnya?”
Rupanya dara itu muak melihat mayat. Serunya: “Perlu apa melihat mayat yang
begitu ngeri?”
“Oh, mengapa kau mati begini mengenaskan …” dara itu berjongkok menangis di
samping mayat Thian-leng.
“Budak tolol, apa-apaan kau ini? … Apakah kau benar-benar mencintainya?” Ki
Gwat-wan kerutkan dahi.
Namun dara itu diam mematung. Matanya tak berkedip memandang tubuh Thian-
leng yang berlumuran darah itu. Ia tak menghiraukan ucapan kakaknya.
“Dulu ketika terjadi peristiwa di Hong-ho, jika bukan berhasil merampas panji
tengkorak dari tangannya (Thian-leng), kita berdua tentu sudah diganyang Hun-
tiong Sin-mo. Sekarang kalau kita melanggar peraturan lagi, ayah tentu marah
pada kita …”
Tiba-tiba Ki Seng-wan menangis: “Aku tak peduli. Biarlah segala apa aku sendiri
yang menanggung, takkan merembet taci!”
Ki Gwat-wan mendengus: “Budak tolol, bukan karena aku takut terembet, tetapi …”
– ia berhenti sebentar: “Ong-hui dan cong-hou-hwat tidak berada dalam istana.
Kemungkinan besar mereka memergoki kita di sini, tentu hebat akbatnya. Lebih
baik kita segera berangkat saja!”
Ki Gwat-wan memandang wajah pemuda itu. Ah, memang seorang pemuda yang
cakap. Sebenarnya sayang kalau mati. Pun Hun-tiong Sin-mo pernah
menolongnya? Mengapa sekarang mati di sini? Siapa pembunuhnya? Apa
hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo?
“Semua kemarahan dan hukuman ayah, biarlah aku yang menanggung!” sahut Ki
Seng-wan.
“Sudahlah,” kata Ki Gwat-wan, “tetapi menolong pemuda itu bukan hal yang
mudah …”
“Tetapi aku sanggup melakukan apa saja,” seru si dara.
“Begitu mati-matian kau mencintainya. Tetapi setelah dia hidup kembali, apakah
dia akan membalas cintamu? Hm, mungkin dia akan membalikkan muka padamu!”
“Hal itu tak kuhiraukan. Yang penting, dia harus ditolong!” sahut Ki Seng-wan
dengan mantep.
“Baik, angkatlah!”
Ki Seng-wan segera mengangkat tubuh Thian-leng mengikuti Ki Gwat-wan.
Ternyata Ki Gwat-wan menuju ke sebuah kuil rusak yang terletak di kaki puncak. Ia
menyuruh adiknya meletakkan si pemuda dalam sebuah ruangan gelap.
Kemudian ia sendiri duduk di ambang pintu dengan membelakangi tubuh.
“Cici …”
“Lepaskan pakaiannya!”
“Apa? Melepaskan pakaiannya?” Ki Seng-wan kaget.
“Ya! Kau harus menusuk ke 72 jalan darahnya. Kalau tidak, walaupun sembuh, dia
bakal jadi seorang invalid!”
“Aku … tidak bisa!”
“Kalau begitu, mari tinggalkan saja!” terus Ki Gwat-wan hendak bangkit pergi.
“Ci … ci … apakah tak ada lain jalan lagi?” Ki Seng-wan berseru kebingungan.
“Tidak ada …” katanya dengan serius: “Telah kukatakan tadi bahwa memang tak
mudah untuk menolongnya. Karena nantinya akan meminta pengorbanan dirimu.
Lebih baik jangan …”
Ki Seng-wan tak menyahut tetapi terdengar suara pakaian dibuka.
“Ci … ci …” seru dara itu dengan gemetar.
“Apakah sudah kau lepaskan semua?”
“Su … dah …!”
“Baik, rebahkan dengan terlentang. Siapkan tusukan jarum pertama … Tusuk jalan
darah Kian-li-hiat di dadanya, kemudian jalan darah Gi-tay-hiat di perutnya.
Setelah keluar darah baru berhenti … Yang ketiga, tusuk jalan darah than-tiong-
hiat. Cabut jarum kesatu dan tusuk 3 kali jalan darah Ciang-tay-hat. Jika
mengalirkan darah hitam, barulah kau berhenti …”
“Tadi hanya membuka jalan darahnya yang tertutuk, agar darahnya mengalir. Dia
menderita luka dalam yang parah, mana bisa sembuh begitu cepat!” djawab Ki
Gwat-wan.
“Lalu …?”
“Tetapi aku …”
“Untuk menolongnya, tak ada lain jalan kecuali harus mengorbankan diri!” tukas Ki
Gwat-wan.
“Dia telah memperoleh rejeki yang luar biasa. Mungkin orang yang seumur hidup
meyakinkan ilmu silat, belum tentu bisa mencapai kesempurnaan lwekang seperti
dia. Masakan begitu cepatnya ia sembuh …!” sahut Ki Gwat-wan. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa paling banyak dalam waktu sejam lagi Thian-leng tentu sudah
dapat bergerak seperti biasa.
“Memperisteri aku …?” Ki Seng-wan tersenyum redup, “dia adalah musuh dari
Ong-hui. Meskipun kita ini anak angkat dari ayah tetapi tak lain tak bukan hanya
sebagai budak saja. Coba pikirkan, layakkah itu?”
“Hm, baru sekarang kau sadar tetapi sudah terlambat,” Ki Gwat-wan mengeluh.
Ki Seng-wan tundukkan kepala berbisik: “Telah lama kuketahui hal itu, tetapi aku
tak dapat tak menolongnya. Ci, kau tak mungkin dapat mengerti hal itu!”
“Tak mungkin mengerti? Hm, kau benar-benar budak yang paling tolol di dunia!”
“Sudahlah, mari kita pergi!” Ki Seng-wan menahan air mata.
Apa boleh buat, terpaksa Ki Gwat-wan bangkit dan mengikuti sang adik
melangkah keluar. Sekonjong-konyong ia tertegun. Cepat ia menarik tangan
adiknya: “Sst, lekas sembunyi di belakang arca itu!”
Sesaat kedua gadis itu bersembunyi, beberapa sosok bayangan melesat masuk.
Empat orang yang masuk lebih dulu, ialah kawanan bujang perempuan baju biru.
Cepat-cepat mereka menyapu ruang tengah lalu berjajar di kedua samping sambil
mencekal kebut hudtim.
Tak lama masuklah seorang wanita memakai kerudung muka. Ah, itulah Te-it-ong-
hui atau Ma Hong-ing. Kedua taci-adik Ki melihat jelas. Mereka gelisah sekali.
Apalagi kalau memikirkan keadaan Thian-leng yang tengah menjalankan
pernapasan itu. Sekali diketahui Ma Hong-ing, pasti akan dibunuh.
Tak berapa lama tiba-tiba di luar terdengar suitan panjang berasal dari jarak
beberapa li jauhnya. Tetapi ketika suitan kedua terdengar lagi, ternyata sudah
berada di depan kuil. Kecepatan gerak orang itu sungguh hebat sekali!
Seorang tua berjenggot putih dengan jubah warna ungu, melangkah masuk.
“Bagaimana kabarnya?” Te-it Ong-hui serentak menyambutnya dengan
pertanyaan.
Orang tua itu ternyata Ni Jin-hiong, kepala pegawal Sin-bu-kiong. Ia tertawa sinis,
ujarnya: “Coba katakan dulu, bagaimana kau akan berterima kasih padaku?”
“Gila, masakan hal itu perlu meminta pernyataanku lagi? Apa yang harus kuterima
kasihi? Tubuhku dan hatiku seluruhnya telah kuserahkan padamu, mengapa
masih meminta aku berterima kasih lagi …”
“Adik Ing,” Ni Jin-hiong tertawa, “kau terlalu meremehkan diriku. Jika kuminta kau
jangan kuatir, sudah tentu aku telah menyiapkan rencana yang tepat …”
“Coba katakanlah rencanamu itu!”
Te-it Ong-hui Ma Hong-ing menghela napas: “Bukan tak percaya lagi melainkan
urusan ini maha penting, sekali salah tindak, akibatnya …”
“jika peta Telaga Zamrud belum terbakar, tak sampai kita begini resah …” ia
menghela napas lalu membisiki ke dekat telinga Ma Hong-ing. Wanita itu
mengangguk dan mengulum seri kegirangan.
“Teserah padamu, sudah beberapa hari aku pergi, harus lekas-lekas pulang,”
katanya. Ia bangkit tetapi tiba-tiba hentikan langkah lagi. Matanya berkeliaran
menyapu ke sekeliling ruang lalu membentak kepada keempat pelayannya.
“Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut kuil ini?”
Salah seorang dayang yang bernama Jun Hong tampil ke muka dan menjatakan
bahwa karena sudah terlalu rusak, merekapun menduga tentu tak terdapat
penghuninya.
Kiranya Ma Hong-ing telah melihat bekas-bekas gurat lukisan pada lantai di
ambang pintu. Itulah perbuatan Ki Gwat-wan yang pada waktu keisengan
menunggu Ki Seng-wan mengobati Thian-leng dengan ilmu Hian-im-kiu-coan,
telah mencorat-coret lantai.
“Kelengahan kecil berarti malapetaka besar! Jika di dalam ruang ini terdapat
orang. Te-kun tentu bakal mendengar. Kita sekalian tentu akan hancur-lebur!”
Sesaat Ni Jin-hiong terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: “Kau
memang terlalu berhati-hati, tetapi peristiwa di sini tak nanti sampai bocor keluar!”
“Menghaturkan hormat kepada Ong-hui,” mereka berdua segera maju dan berlutut
di hadapan Ma Hong-ing. Kepala menunduk tak berani memandang.
“Anak memang bersalah,” sahut kedua taci-beradik Ki. “Karena kebetulan lewat di
sini kami hendak melepaskan lelah. Tak tahu Ong-hui …”
Ki Gwat-wan mengangkat kepala memandang Ma Hong-ing, serunya dengan
lemah: “Ong-hui senantiasa menyayang pada anak berdua. Kami berdua adalah
buah hati Ong-hui …” – Ucapan itu mengandung maksud bahwa mereka berjanji
takkan memberitahukan kepada Te-kun.
“Tetapi kalau dibunuh, Te-kun tentu bisa menyelidiki. Sekali ketahuan …” sahut Ma
Hong-ing.
“Mengapa pikiranmu selimbung itu?”
“Limbung bagaimana? Aku tak mengerti!”
“Kabarnya Hun-tiong Sin-mo sudah meninggalkan gunung, mengapa kita tak
gunakan siasat adu domba?”
Kiranya nona itu hendak memancing Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing keluar dari kuil
agar jangan mengetahui diri Thian-leng.
Ma Hong-ing memandang kepada Ni Jin-hiong, meminta pendapatnya.
Kepala pengawal Sin-bu-kiong itu tertawa hambar: “Usah ji-kongcu kuatir. Kedua
kongcu adalah puteri Te-kun yang kami hormati. Sudah tentu nanti jenazah
kongcu berdua akan kami bawa pulang ke Sin-bu-kiong dengan segala upacara!”
Kiranya pendatang itu ialah Kang Thian-leng, pemuda yang telah mati dibunuh Ni
Jin-hiong. Bukan saja pemuda itu hidup kembali bahkan ilmu pukulan Lui-hwe-
ciangnya sudah “jadi”.
Tentu diketahui jelas bahwa yang dihadapinya itu ialah ibu palsunya. Ibu palsu
yang pura-pura meninggal dunia dan menyuruhnya membalaskan sakit hati
kepada Hun-tiong Sin-mo. Ibu palsu yang menutuk jalan darahnya dan
menyerahkannya kepada Ni Jin-hiong untuk dibunuh.
Kejut Te-it Ong-hui Ma Hong-ing tak kalah dengan Thian-leng. Tujuh belas tahun
memelihara lalu memberi Pek-to-jong dalam rangka rencananya untuk membunuh
Hun-tiong Sin-mo ternyata gagal. Hun-tiong Sin-mo tak terduga-duga telah
melepaskan anak itu. Juga hukuman mati yang dijatuhkan Ni jin-hiong ternyata tak
membuat pemuda itu mati. Bahkan sebaliknya kini anak itu malah bertambah
hebat lwekangnya. Benar-benar Ma Hong-ing tak dapat membayangkan.
Ma Hong-ing menyurut mundur, mukanya merah. “Toh kau sudah tahu bahwa aku
bukan ibumu …”
“Lalu siapakah kau ini? Mengapa kau memelihara aku sejak kecil tetapi kemudian
menipu aku dengan pura-pura mati? Siapakah ayah-bundaku yang
sesungguhnya? Hendak kau apakan diriku …?”
Ilmu Hian-im-ci bukan saja dapat meleburkan segala macam benda, pun dapat
menghapus serangan tanaga lawan. Tetapi ternyata Thian-leng mampu
menembus. Tujuh bagian tenaga pukulan Lui-hwe-ciang terhapus, tiga bagian
masih dapat mengenai tubuh Ma Hong-ing Hanya tiga bagian tenaga, tetapi cukup
membuat darah wanita itu bergolak-golak dan tubuhnya terhuyung-huyung mau
rubuh. Pun Than-leng juga menderita serupa, wajahnya pucat lesi!
Thian-leng tak kenal siapa Ni Jin-hiong, pun karena pingsan ia tak tahu kalau
orang she Ni itulah yang memberi pukulan maut ketika di lembah Hong-lim-koh.
Sampai di mana kepandaian Ni Jin-hiong, juga tak diketahuinya. Yang penting
bagi Thian-leng saat itu, ialah hendak mengorek keterangan dari Ma Hong-ing,
siapakah sebenarnya ayah-bundanya itu.
“Mengingat budimu memelihara aku selama 17 tahun, sekalipun jelas kau bukan
ibuku dan pernah menipu aku mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo,
akupun tak mau membunuhmu!” seru Thian-leng.
“Jangan bohong! Jika kau tetap menolak, terpaksa kuhapus budimu selama 17
tahun itu,” teriak Thian-leng marah. “Perlu apa kau memelihara aku sampai 17
tahun? Mengapa tak kau bunuh saja? Perlu apa kau menipu aku mengantar
kematian kepada Hun-tiong Sin-mo? Kau mempunyai permusuhan apa dengan
Hun-tiong Sin-mo?”
Hujan pertanyaan itu membuat Ma Hong-ing tergugu tak dapat berkata. Hatinya
gelisah menampung berbagai perasaan.
“Ngaco! Aku tak dapat mengatakan hal itu!” tiba-tiba Ma Hong-ing melengking.
Ni Jin-hiong memandangnya tajam, lalu berkata pula kepada Thian-leng: “Kau
telah menelan pil Kong-yang-sin-tan dari Sip U-jong, tentulah kau mendapat lain
hadiah lagi darinya!”
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Penderitaan batin yang paling menyiksa, ialah apabila
kita tak tahu asal-usul diri kita. Jika kau mau mengorbankan peta itu segera kau
akan jelas akan asal-usul dirimu. Bukankah itu lebih berharga bagimu?”
“Hm, masakan kau mampu lolos dari tanganku,” gerutu Ni Jin-hiong. Kemudian
berpaling kepada Ma Hong-ing: “Kasih tahu padanya!”
Ma Hong-ing gugup, serunya: “Tidak, aku tak dapat mengatakan. Aku tak tahu apa-
apa ”
Thian-leng sedih-sedih gusar. Maju selangkah segera ia mencengkeram leher
baju Ma Hong-ing. Saat itu Ma Hong-ing sedang limbung pikirannya. Ia diam saja
ketika dicengkeram Thian-leng.
Ni Jin-hiong terkejut dan hendak turun tangan. Tetapi ketika dilihatnya Thian-leng
tak melakukan pemukulan, iapun tak jadi menyerang juga.
“Kau bilang atau tidak?” teriak Thian-leng.
“Bilang apa?” Ma Hong-ing tergugu.
“Siapakah ayah-bundaku?”
Rasa dendam kemarahan yang menumpah dari sanubari Te-it Ong-hui itu telah
memancarkan lwekang-nya keluar. Lwekang Im-han-keng yang bersifat dingin
meluncur keluar dari lubang jalan darahnya.
Sama sekali Thian-leng tak menduga akan menderita serangan semacam itu.
Seketika ia rasakan tangan kirinya yang mencengkeram leher baju Ma Hong-ing
sakit sekali seperti dipatah-patahkan tulangnya.
Ia lepaskan cengkeramannya dan mundur tiga langkah …
“Perempuan siluman, apakah kau benar menyuruh aku membunuhmu?” teriaknya
seraya mengangkat tinju kanannya.
“Kurang toleransi akan menggagalkan rencana besar! Janganlah adik Ing…” tiba-
tiba Ni Jin-hiong menghadang di tengah dan gunakan ilmu menyusup suara
kepada Ma Hong-ing. Setelah itu ia berpaling ke arah Thian-leng: “Telah
kujanjikan padamu, harapanmu tentu terlaksana. Apalagi berkumpul selama 17
tahun itu, walaupun bukan ibu dan anak tetapi seharusnya juga mempunyai ikatan
rasa. Perlu apa harus saling bunuh-membunuh?”
“Suamiku juga belum mati tetapi hilang 17 tahun yang lalu!” tiba-tiba Ma Hong-ing
menggeram dengan nada penuh kemurkaan.
Thian-leng makin tenggelam ke dalam lembah kebingungan. Serentak ia teringat
akan wanita yang menolongnya di tepi sungai Hong-ho dan kemudian
memberinya sebatang pedang, Wanita itu menamakan dirinya sebagai Toan-jong-
jin. Agaknya wanita itulah yang mengetahui asal-usul dirinya. Bukankah wanita itu
pernah mengatakan bahwa dirinya (Thian-leng) memang seperti orang yang
dicurigai, tetapi seharusnya dia (Thian-leng) beribu orang she Ma dan berayah
orang she Nyo! Toan-jong-jin yakin bahwa Thian-leng itu adalah putera kandung
dari orang she Ma dan orang she Nyo. Dan kini wanita yang merawatnya selama
17 tahun itu juga mengaku sebagai orang she Ma dan mengatakan suaminya
orang she Nyo. Ah …
Tetapi … tiba-tiba Thian-leng tersentak. Apakah tidak mungkin Ma Hong-ing itu
memang sengaja memakai nama ibu Thian-leng yang sesungguhnya. Karena
sukar menerangkan, maka wanita itu selanjutnya terus memakai nama itu sekali.
Benak Thian-leng serasa berdenyut-denyut pusing …
“Siapakah nama dan she dari orang tuaku itu?” bentaknya pula.
Ma Hong-ing tergetar dan terhuyung-huyung. “Tak dapat kukatakan, aku …”
Wut, kembali Thian-leng menyambar leher baju wanita itu. Tetapi kali ini Ma Hong-
ing sudah berjaga. Secepat kilat ia menyambar siku kiri Thian-leng yang
merasakan separoh tubuhnya kesemutan dan serempak jatuhlah ia dalam
kekuasaan Ma Hong-ing!
Tetapi Ma Hong-ing salah duga, Thian-leng yang dicekalnya saat ini bukanlah
Thian-leng yang dirawatnya selama 17 tahun yang lalu. Lwekang-nya Lui-hwat-
ciang sudah mencapai tingkat yang hampir dapat dikuasai semau hatinya. Pada
saat Ma Hong-ing mencengkeram, pada saat itu pula Lui-hwe-sin-kang menyalur
ke lengan. Ma Hong-ing tersentak mundur tiga langkah!
Ia yakin sekali bergerak tentu mampu menjatuhkan si anak muda. Tak terduga
kedua taci-beradik Ki berseru memberi peringatan pada Thian-leng sehingga
pemuda itu cepat menyambut. Des … terdengar suara benturan yang aneh,
macam api tersiram minyak.
Hanya karena belum mampu menguasai , maka darah Thian-leng bergolak dan
tubuhnya terhuyung. Meskipun Ni Jin-hiong juga bergolak darahnya tetapi ia tetap
dapat berdiri tegak.
“Budak, lekas katakan di mana peta itu? Kalau berkeras kepala, jiwamu tentu
hilang!” serunya.
Thian-leng tak mau memberi hati. Dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-
keng-liong atau Laut bergolak mengejutkan naga, ia mengejar. Ni Jin-hiong makin
gentar. Kepalanya serasa diselubungi deru sinar pedang sedahsyat ombak
mendampar. Betapa sakti dan luas pengalamannya namun kali ini benar-benar ia
tercengang kaget. Belum pernah ia menyaksikan permainan pedang yang
sedemikian aneh dan dahsyatnya. Kembali ia loncat mundur.
Murka sekali kepala pengawal istana Sin-bu-kiong itu. Sejak keluar dari
perguruan, belum pernah ia mengalami hinaan semacam itu. Apalagi dari seorang
anak muda yang tak ternama. Namun ia sabarkan hati menunggu sampai si anak
muda sudah menyelesaikan jurus permainannya.
Serentak Thian-leng berputar diri untuk mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi.
Tetapi apa yang dilihatnya hanya membuatnya terbelalak kaget sekali. Ya, Ki
Seng-wan ngelumpruk jatuh di tanah, wajahnja pucat seperti kertas dan mulutnya
mengucurkan darah. Jelas dara itu menderita luka parah.
Dess … tiba-tiba Thian-leng sadar apa yang telah terjadi. Tanpa ayal segera ia
lontarkan pukulan kepada Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tersurut mundur tiga
langkah …
Jelas bahwa sekarang tenaga Thian-leng sudah berimbang dengan Ni Jin-hiong
maupun Ma Hong-ng. Hanya karena tadi ia sudah menderita luka dalam, maka
habis memukul ia tak dapat menahan darahnya yang menyembur keluar dari
mulut. Tubuhnyapun terhuyung-huyung hendak jatuh!
Thian-leng tak mampu berbuat apa-apa, tenaganya sudah habis. Tiba-tiba pada
saat bahunya tercengkeram tangan Ni Jin-hiong, kepala pengawal Sin-bu-kiong
itu menjerit kaget dan loncat mundur. Ia memeriksa mantel yang menggelantung di
punggung. Astaga … sebatang passer kecil yang runcing menancap di mantelnya.
Tangkai passer itu berukir lukisan seekor burung cendrawasih yang berkilau-
kilauan indah sekali!
Sejenak mengejapkan matanya yang bagus, dara itu menggerutu: “Eh, mana ada
pertempuran berdarah di sini. Kedua momok itu sungguh menggelikan …” – Tiba-
tiba ia menegur: “Hai, siapakah kalian ini?”
Dara baju kuning itu kerutkan alis, mendamprat: “Kau benar-benar seorang
manusia yang tak tahu budi, tadi jika bukan …”
“Karena ada urusan penting, maaf, aku tak dapat melayani nona!” tukas Thian-
leng.
“Nyalimu besar sekali …” si dara loncat menghadang.
Thian-leng terkejut. Sungguh tak terduga dara yang masih semuda itu ternyata
memiliki gerakan yang sedemikian hebatnya. Namun Thian-leng tak puas dengan
tindakan si dara.
“Kalau nona tak mempunyai urusan apa-apa, maaf aku hendak meneruskan
perjalanan!” kata Thian-leng pula seraya terus melangkah pergi.
Dara itu malu dan marah. Sekali melesat ia mencegat lagi: “Berhenti!”
Ki Gwat-wan yang mengikuti di belakang Thian-leng terpaksa tampil ke muka:
“Siapakah adik ini? Mengapa …”
“Siapa yang kau panggil sebagai adikmu itu? Aku tak kenal padamu …!” bentak
dara itu.
“Kalau aku menghina, kau mau apa …?” bentak si dara. Ia kedipkan mata lalu
menantangnya, “bukan hanya menghina saja, pun akan kupukul engkau juga …”
Rupanya dara itu masih belum puas. Ia memburu maju dan hendak menampar
lagi. Melihat itu Thian-leng segera letakkan Ki Seng-wan di tanah lalu loncat
menghadang si dara: “Jangan terlalu galak!”
“Kalau ia tidak terima, boleh coba-coba dengan aku!” si dara deliki mata kepada Ki
Gwat-wan.
Sebenarnya Ki Gwat-wan sudah hendak menerjang tetapi karena dihadang Thian-
leng, terpaksa ia berhenti.
Thian-leng menghela napas: “Tiada dendam tiada permusuhan, perlu apa harus
berkelahi? Anggap aku bersalah dan harap nona suka maafkan!”
Adalah karena perlu menolong Ki Seng-wan maka Thian-leng berlaku luar biasa
sabarnya. Ia memberi hormat lalu hendak memanggul Ki Seng-wan lagi.
Karena mendapat muka terang, nada dara itu berobah lunak: “Ini baru ucapan
orang terhormat. Eh, siapakah namamu?”
Thian-leng kerutkan alis, sahutnya: “Aku bernama … Bu-beng-jin!”
“Bu-beng-jin …?” dara itu cebikan bibir, katanya dengan ewah: “Anjing dan
kucingpun mempunyai nama, mengapa kau tak punya nama!”
Dara baju kuning kerutkan kening, mengejek: “Coba lihat saja siapa yang akan
ditampar mulutnya!”
Plak … tiba-tiba dara itu sudah menampar pipi Thian-leng. Gerakan dara itu luar
biasa aneh dan cepatnya. Sekalipun andaikata Thian-leng sudah mengetahui,
juga sukar rasanya untuk menghindar.
“Nona sudah cukup puas memaki dan memukul, mengapa masih menuduh aku
menghinamu? jangan terlalu bicara seenakmu saja! Ketahuilah bahwa aku …”
“Mau marah? Hm, jika bukan aku, kau tentu sudah mati!” lengking si dara.
“Kalau begitu kuhaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu …” tiba-tiba
dengan nada bengis Thian-leng membentak: “Lalu apakah maksud nona?”
“Kau pakai senjata apa?” teriak si dara.
“Apakah nona tetap hendak …”
“Kau yang mati atau aku yang mati!”
(Bersambung jilid 4)
Jilid 4 .
Harimau betina.
Dara baju kuning tertawa mengikik. Sekali gerakkan pedang, ia menusuk ke arah
dada.
Tetapi betapa terkejutnya ketika tangkisannya itu luput. Tusukan si dara itu hanya
sebuah gertakan kosong belaka. Thian-leng tercengang. Dua hal yang
membuatnya heran. Dalam gebrak pertama, si dara sudah menggunakan jurus
kosong. Ini tidak umum. Dan yang paling mengejutkan ialah gerakan si dara yang
luar biasa cepatnya. Matanya sampai tak dapat menangkap bagaimana lenyapnya
pedang si dara itu tadi.
Sebaliknya si dara itu angkuh menegur: “Bagaimana … apa kau menyerah kalah!”
“ya, aku menyerah kalah tetapi masih penasaran dengan kekalahan itu!”
“Dalam soal kepandaian, aku tak kalah padamu! Tetapi dalam soal siasat licik, kau
lebih pintar. Maka sekalipun kau menang, tetapi bukan kemenangan yang
gemilang!”
“Aku tetap tak puas dengan cara-cara begitu …” Thian-leng mendengus, “aku
sudah kalah, silahkan nona bertindak!” – Ia meramkan kedua mata menunggu
kematian dengan ikhlas.
Si dara terkesiap. Pedang di tangan hanya dicekal saja, tak tahu ia bagaimana
harus bertindak.
Wajah dara itu sebentar pucat sebentar merah dan akhirnya menggigit bibir keras-
keras.
Sambil kiblatkan pedangnya, dara itu berseru: “Mari kita bertanding lagi. Silahkan
kau mulai dulu!”
Thian-leng tertawa menghina: “Jika bertempur lagi, mungkin kau tak dapat
menggunakan akalan!”
Merah-padam wajah dara itu, lengkingnya: “Jangan banyak mulut, lekas mulai!”
Si dara tak tinggal diam. Iapun kembangkan pedangnya. Tring, tring, tring, dalam
sekejap mata terdengarlah tiga kali beradunya pedang mereka. Thian-leng
terkejut. Sikap congkak si dara itu ternyata karena mengandalkan kepandaiannya
yang sakti. Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa aneh, pun memiliki tenaga-
dalam yang hebat. Tak jauh terpaut dengan tenaga dalamnya. Pada hal ia (Thian-
leng) telah mendapat penyaluran tenaga dalam dari Oh-se Gong-mo dan minum
pil Kong-yang-sin-tan.
Dara itu usianya tak lebih dari 18 tahun. Taruh kata sejak lahir ia sudah berlatih,
pun tak nanti dapat mencapai kesempurnaan yang sedemikian hebatnya. Apakah
dara itu juga mendapat rejeki luar biasa? Demikian Thian-leng bertanya-tanya
dalam hati.
Selesainya jurus pertama terus dilanjutkan dengan jurus kedua yang disebut Nok-
hay-keng-liong (laut marah mengejutkan naga). Sambaran angin yang
menerbitkan lengking tajam segera berhamburan seluas dua tombak.
Rupanya dara itu juga terkedjut, serunya: “Bagus, ternyata boleh juga!” – Ia
taburkan pedangnya menjadi gumpalan sinar untuk menahan serangan lawan.
Kali ini benar-benar si dara itu terkejut sekali. Cepat ia loncat mundur. Karena tak
bermaksud hendak membunuh, maka Thian-leng tak mau mengejar. Segera ia
tarik pedang dan berdiri tegak, serunya sambil tersenyum: “Terima kasih atas
kesungkanan nona!”
Wajah dara itu berobah gelap. Ternyata dua jemput rambut di kanan-kiri
keningnya kena terpapas! Thian-leng pun melongo sendiri. Dara itu memang
congkak sekali, tetapi memapas rambut seorang anak perempuan adalah
perbuatan yang keliwat garis …
Ketika tertumbuk pada gumpalan rambut si dara yang jatuh di tanah, Thian-leng
hentikan langkah. ”Sungguh aku tak sengadja, nona …” ia hendak minta maaf,
tetapi tiba-tiba si dara berhenti menangis dan membentaknya: “Jangan jual lagak
kau! Jika sungguh mau membunuhmu adalah semudah membalikkan tanganku!”
Thian-leng tertawa kecut. Pikirnya, dara itu benar-benar centil sekali. Masakan ia
minta maaf malah diberi semprotan yang menusuk hati! Namun tak mau ia
meladeni. Berpaling ia mengajak Ki Gwat-wan pergi. Tanpa diulang, nona itupun
segera memanggul Ki Seng-wan. Thian-leng pun segera mengikuti.
Si dara tertawa mengikik: “Bu-beng-jin, telah kukatakan tadi bahwa kalau hendak
membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tangan. Apakah sekarang
kau sungguh tunduk?”
Thian-leng mengangguk, sahutnya serta merta: “Ya, sekarang aku tunduk sungguh
atas kesaktian nona!”
Ia segera memberi hormat kepada dara itu lalu berputar tubuh dan terus berlalu.
Kali ini si dara tak mau merintangi lagi. Dipandangnya si anak muda yang berjalan
mengikuti Ki Gwat-wan. Setelah itu ia memungut gumpalan rambutnya yang jatuh
di tanah dan menghela napas panjang.
“Niu-niu, apakah kau setuju dengan budak itu?” menyusul terdengar suara lantang
nyaring. Sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah karang. Seorang
lelaki tua yang berambut putih tetapi wajahnya segar kemerah-merahan seperti
seorang anak. Usianya lebih dari 70 tahun namun masih tampak gagah.
“Kurang ajar kau, Niu-niu, berani memaki ayahmu!” bentak lelaki tua itu.
Lelaki tua tertawa meloroh: “Niu-niu, ayah tahu kau suka padanya. Tetapi caramu
tadi dapat menimbulkan salah pahamnya, mungkin …”
“Peduli dengan dia! Sayang tadi tak kubunuh saja … dia keliwat menghina
padaku!”
Dengan berlinang-linang dara itu berseru manja: “Lihatlah sendiri ini.” Sekali
goyangkan bahunya maka berhamburan gumpalan rambutnya yang terkupas tadi.
“Kurang ajar, Niu-niu, tunggulah. Paling lama setengah jam ayah tentu akan
menghancurkan kepala budak liar itu!” habis berkata, lelaki tua segera melesat
pergi.
“Yah, kau hendak …” tiba-tiba si dara berseru kaget.
“Seorang budak tak bernama masakan layak kau ajak berkelahi. Sudahlah, yah!”
di luar dugaan dara itu mencegah.
Sejenak memandang sang puteri, tertawalah lelaki tua itu: “Kelak kalau kau
berjumpa padanya, mungkin dia sudah jadi suami orang … Niu-niu, lebih baik kita
kejar dia sekarang saja!”
Lelaki tua tertawa: “Hukumannya mudah saja, suruhlah aku minum secawan arak
kebahagiaanmu!”
Thian-leng terkejut, serunya: “Ah, karena mendongkol pada anak perempuan tadi,
aku sampai lupa membiarkan kau …” ia ulurkan tangan hendak menyambuti tubuh
Ki Seng-wan. Ia kira Ki Gwat-wan letih memanggul.
Thian-leng kucurkan air mata terharu, ujarnya rawan: “Apakah kita berpeluk
tangan saja melihat ia meninggal …”
“Kita … tak berdaya lagi,” sahut Ki Gwat-wan. Segera ia angsurkan tubuh Ki Seng-
wan kepada Thian-leng: “Adikku ini terhadap kau …”
Salah seorang rombongan jago silat yang sudah berambut putih segera
menjawab: “Lereng Gan-beng-poh biasanya menjadi tempat pertemuan kita,
sudah tentu dapat mencari …”
Kata-kata itu diganggu oleh terdengarnya derap kaki yang berlari-lari mendatangi.
Seorang lelaki bertubuh kekar muncul terus memberi hormat kepada orang tua itu:
“Melapor pada bengcu (ketua), bahwa menurut laporan mata-mata, sampai seluas
30 li belum tampak tanda-tanda jejak musuh!”
Ternjata lelaki kekar itu adalah salah seorang kepala cabang suatu perserikatan
partai-partai persilatan. Dan lelaki tua itu ialah Suma Beng, ketua perserikatan
partai-partai persilatan dari 13 propinsi. Suma Beng bergelar Tok-bok-sin-tiau atau
Kokok-beluk sakti bermata satu.
Lelaki kekar itu mengatakan bahwa semua tempat dan biara tua tu sudah
dijelajahi, tetapi tak menemukan suatu apa. Hanya saja caranya bicara itu tak
lancar seperti menyembunyikan sesuatu.
Melihat itu dengan membawa sikap sebagai seorang Ong-hui (ratu), Ma Hong-ing
membentak Suma Beng: “Tadi di dalam biara rusak jelas terdapat tanda-tanda
munculnya orang Thiat-hiat-bun dan kedua puteri itu juga berada di dalam situ.
Mengapa mengatakan tak ada jejak apa-apa. Kalian membanggakan diri sebagai
kaum persilatan yang palng pandai mencari berita, mengapa ternyata tak berguna
sama sekali?”
Suma Beng mengiyakan dan lalu memberi perintah kepada si lelaki bertubuh
kekar: “Urusan ini harus kusampaikan sendiri pada cabang di daerah selatan.
Kalian harus hati-hati menjaga di sini!”
Jago tua bermata satu itu segera melesat pergi. Ma Hong-ing mondar-mandir
dengan gelisah dan Ni Jin-hiong pun cemas sekali.
Thian-leng pun kaget. Tetapi ia tak mendengar suatu suara apapun. Namun ia
percaya Ni Jin-hiong tentu bukan pura-pura. Tentu ada sesuatu yang dicurigai.
Thian-leng pun tumpahkan perhatian menanti perkembangan selanjutnya …
Ah, ternyata benar. Tak berapa lama terdengarlah derap kaki ringan dan dari jarak
10 tombak jauhnya muncullah 3 orang imam bertubuh kurus. Begitu kurus hingga
mirip dengan orang-orangan bambu yang diberi pakaian jubah. Punggung mereka
masing-masing menyelinap hud-tim (kebut yang dipakai kaum paderi atau imam).
Tak tahu Thian-leng siapa ketiga imam itu. Hanya diduganya tentulah orang dari
salah satu 9 partai besar di dunia persilatan.
“Ah, tak nyana di sini aku bertemu dengan orang sakti,” serunya seraya mencabut
hudtim. Tetapi seruannya segera mendapat sambutan dari suara orang tertawa
gelak: “Ah, kiranya ketiga totiang dari Lo-san …!”
Ketiga imam itu tersirap kaget. Ketika berpaling tampak beberapa sosok tubuh
melesat dari balik gerumbul pohon. Heran ketiga orang itu dibuatnya. Tetapi
segera imam itu tertawa menegur: “Bukankah sicu ini kepala penjaga istana Sin-
bu-kiong?
Memang yang keluar itu adalah Ni Jin-hiong dan rombongannya. Kepala penjaga
Sin-bu-kiong ini menjawab: “Sungguh kuat sekali ingatan totiang,” ia keliarkan
mata sejenak. “Ah, jika bukan totiang yang kebetulan lewat di sini, mungkin
beberapa budak murtad itu dapat mengelabui aku!”
Imam berjenggot putih itu berseru heran: “Ini … ini bagaimana duduk perkaranya?”
“Terus terang saja, kami memang hendak menggabungkan diri pada Sin-bu-
kiong!” tukas ketiga imam dari Lo-san itu.
Imam tua itu menghela napas perlahan, ujarnya: “Walaupun sudah mendekati
hari-hari tua, tapi rupanya Hun-tiong Sin-mo itu masih gemar menjagal manusia.
Peristiwa pembunuhan ketua kuil Siau-lim-si dan ke delapan paderi tinggi, telah
menggemparkan dunia persilatan. Sejak itu dunia persilatan menjadi gelisah.
Panji Tengkorak Darah muncul di mana-mana.
Ratusan jiwa telah melayang. Sebenarnya gunung Lo-san merupakan daerah
yang suci, tetapi beberapa hari yang lalu Panji Tengkorak Darahpun muncul di situ
…”
Imam tua menggeram: “Kalau yang dijagal itu kaum persilatan, itu dapat
dimengerti …”
“Apa? Apakah Hun-tiong Sin-mo membunuh orang yang tak mengerti ilmu silat?”
Ni Jin-hiong pura-pura kaget.
“Benar!” imam tua itu makin merah matanya, “beberapa hari yang lalu terdapat dua
belas pemburu yang mati dibunuh di bawah puncak Ou-lay-hong. Di samping
mayat mereka terdapat panji berlukis tengkorak darah …” – ia berhenti sejenak,
katanya pula: “kami dengar para pemimpin sembilan partai besar telah meminta
bantuan pada Sin-bu Te-kun dan Te-kun pun sudah menerima baik untuk
memimpin gerakan membasmi Hun-tiong Sin-mo. Maka jauh-jauh kami perlukan
menuju ke Sin-bu-kiong!”
Serta merta Ni Jin-hiong memberi pujian atas sikap ketiga imam dari Lo-san yang
sedia berjoang untuk peri-kemanusiaan. Tiba-tiba ia beralih pembicaraan: “Tetapi
baiklah hal itu kita bicarakan lagi setelah menangkap ketiga murid murtad ini …”
Imam tua menatap pada Thian-leng, serunya: “Rupanya budak itu memiliki ilmu
pukulan bagus, tenaga dalamnyapun tinggi, tadi kamipun hampir …” teringat akan
peristiwa tadi, ia tak jadi lanjutkan kata-katanya. Mukanya merah-padam.
Lo-san Sam-to atau tiga imam dari Lo-san, meskipun bukan termasuk tokoh-tokoh
sembilan partai, tetapi juga tergolong tokoh yang dimalui. Beberapa puluh yang
lalu banyak juga jago-jago yang dijatuhkan. Maka ia merasa malu, kalau ketahuan
orang bahwa dirinya sampai dipukul sempoyongan oleh seseorang anak yang tak
terkenal!
Setelah dirinya dipergoki dan mengetahui bahwa ketiga imam itu hendak
menggabung diri pada Sin-bu-kiong, terpaksa Thian-leng ambil putusan nekad.
Dengan melindungi Gwat-wan yang memondong adiknya, Thian-leng tegak
bersiap sambil menghunus pedang pendeknya.
Tiba-tiba Ni Jin-hiong berseru: “Budak, menyerahlah. Jika kau mau membunuh diri
sendiri, mayatmu kubiarkan utuh. Tetapi kalau membangkang, hm, aku bukan
orang yang suka memberi ampun!”
Namun sekalipun mulut berkata begitu garang, diam-diam hati Ni Jin-hiong cemas
juga. Permainan pedang si anak muda yang dapat menggurat robek mantelnya
tadi, cukup membuat nyalinya nanar. Maka iapun memberi isyarat mata kepada
Ma Hong-ing supaya siap-siap menyerang dari belakang anak itu.
Sambil mencekal pedang di tangan kiri, Thian-leng pun siapkan ilmu pukulan Lui-
hwe-sin-ciang. Dia siap bertempur mati-matian.
Kiranya serempak dengan suara ketawa yang menggetarkan urat jantung itu, juga
tangan Ni Jin-hiong serta kawannya yang dihantamkan kepada Thian-leng itu,
terasa sakit sekali. Tangan mereka masing-masing, tertusuk sebatang passer kecil
yang berkepala burung hong. Ujung passer kecil runcing sekali dan tepat
menyusup di sela jari. Itulah yang menyebabkan mereka menjerit kaget dan loncat
mundur.
Hebat dan luar biasa sekali kepandaian orang yang menimpukkan passer kecil itu.
Belasan jago-jago yang menyerang Thian-leng, tidak seorangpun yang mampu
menghindar. Bahkan ke empat dayang pelayan Ma Hong-ing pun menderita
senjata rahasia itu.
Orang tua itu mengusap-usap jenggotnya yang putih mengkilap seperti perak
seraya tertawa terkekeh-kekeh. Rupanya ia gembira sekali.
Gin-hi-sin-soh artinja Jenggot perak si kurus sakti. Orang tua berjenggot perak itu
tertawa: “Selama hidup aku belum pernah masuk ke daerah Tionggoan, mengapa
kau kenal padaku!”
Orang tua berjenggot perak itu mengangguk tertawa: “Benar, memang aku ini …” –
ia keliarkan matanya ke sekeliling, serunya: “Melihat kamu begini banyak
mengeroyok seorang anak muda, mataku tak tahan maka tadi kuberi peringatan
…”
Ucapan sedap, wajah berseri tertawa. Enak sekali tampaknya orang tua jenggot
perak itu bicara seolah-olah menghadapi anak kecil saja.
Lu Liang-ong tertawa: “Entahlah, aku juga sudah beberapa tahun tak ketemu
dengan dia!”
“Tetapi bagaimana?”
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Melintasi pagar baja harus dipatahkan, apalagi negara
Tionggoan adalah kandang naga dan harimau …”
Mengetahui betapa tinggi kepandaian ketua Thiat-hiat-bun, ketiga imam dari Lo-
san itu hendak gunakan siasat memprovokasi (membakar) hati Lu Liang-ong agar
menempur Hun-tiong Sin-mo. Pikirnya, siasat adu domba itu adalah yang paling
tepat. Tetapi demi diperhatikan Ni Jin-hiong tak mengajukan siasat itu, maka ketiga
imampun tak dapat menahan kesabarannya lagi.
“Kalau begitu, aku tak usah pergi saja!” ketua partai Thiat-hiat-bun tersenyum.
“Hm, kau hendak mengusir aku?” dengus orang tua berjenggot perak itu.
“Eh, masakan kalian tak marah karena kulukai tadi?” Si Jenggot perak tertawa.
Memang mata sekalian jago pada merah, tetapi mereka tak berani berbuat apa-
apa. Ni Jin-hiong memaksa tertawa: “Ah, itu hanya sedikit salah paham. Hanya
luka tak berarti saja!”
“Eh, tadi pertanyaanku belum terjawab! Mengapa kalian mengeroyok kedua anak
itu!” tiba-tiba ketua partai Thiat-hiat-bun berganti pembicaraan.
Thian-leng menyaksikan beberapa hal yang tak diduga-duga. Jelas bahwa Ni Jjin-
hiong merasa takut dengan orang tua jenggot perak yang sakti itu. Dan nyata pula
bahwa orang tua itu bukan tokoh golongan hitam melainkan pendekar yang suka
membela kebenaran. Ada titik terang yang memantul dalam harapan Thian-leng.
Tetapi harapan itu juga tercampur kecemasan. Passer kecil berkepala burung
hong yang mengenai tangan orang-orang itu, serupa benar dengan passer yang
ditimpukkan si dara baju kuning ke padanya. Dan juga caranya menimpuk
terdapat persamaan. Apakah si dara dan orang tua berjenggot perak itu sekaum?
Karena belum mendapat kesimpulan jelas maka Thian-leng pun hanya diam saja,
menunggu perkembangan selanjutnya.
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Meskipun kau bukan anak murid Sin-bu-kiong, tetapi
kau telah melarikan kedua puteri Sin-bu Te-kun. Tentunya kau tak menyangkal …”
– ia menunjuk pada nona Ki Gwat-wan yang berada di belakang Thian-leng, lalu
berkata kepada ketua Thiat-hiat-bun: “Silahkan locianpwe tanyakan, benar tidak?”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa: “Aku tak punya tempo mengurusi soal tetek-
bengek begitu, tetapi …” ia berhenti sejenak, katanya pula:
“Anak ini rupanya berjodoh padaku, kalau tidak tentu tak ketemu dengan aku.
Sekali bertemu tak dapat kutinggal diam saja …”
“Ini …”
“Pergi kau beritahukan pada Sin-bu Te-kun, aku akan tinggal di Tionggoan selama
beberapa bulan. Di mana dan kapan saja dia boleh mencari aku kalau minta
orang!”
Pukulannya itu tampak lemah dan tak mengeluarkan deru angin apa-apa. Mengira
kalau orang tua itu hanya main gertak, Ni Jin-hiong terlongong-longong, dalam
batin ia malu-malu mendongkol.
Daun dari pohon cemara yang sebesar dua pemeluk tangan orang, rontok
berguguran akibat pukulan kosong dari jago tua Thiat-hiat-bun. Suara gemuruh
tadi berasal dari ribuan daun yang berhamburan ke tanah. Kini pohon cemara itu
berobah gundul.
“Ho ho, kali ini pukulanku kutujukan pada batang pohon, tetapi lain kali tentu pada
orang!” Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh.
Mendengar itu serasa terbanglah semangat jago-jago, baik dari rombongan Sin-
bu-kiong maupun anak buah Kokok-beluk bermata satu Suma Beng. Pertama-
tama adalah Ma Hong-ing yang angkat kaki diiring oleh ke empat dayangnya,
setelah itu menyusul Ni Jin-hiong, ketiga imam dari Lo-san dan berpuluh anak
buah Suma Beng, berbondong-bondong tinggalkan tempat itu …
Istana Hantu.
Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan orang tua berjenggot
perak itu.
“Memang jitu, tepat! Mata Niu-niu memang tajam sekali … ha, ha, ha!” ketua Thiat-
hiat-bun tertawa sambil mengawasi Thian-leng.
Thian-leng tak mengerti apa yang diucapkan orang tua berjenggot perak itu.
Sejenak ia berpaling ke arah Ki Seng-wan. Ah, kedua mata nona itu meram.
Keadaannya sedemikian parah seperti pelita yang sudah hampir padam sinarnya.
Taci-nya bercucuran air mata. Nona itupun menghaturkan terima kasih kepada
ketua Thiat-hiat-bun tetapi tak berkata suatu apa.
“Maaf, sekiranya locianpwe tak keberatan, aku hendak mohon … diri!” akhirnya
Thian-leng memberanikan diri berkata kepada orang tua itu.
“Bu-beng-jin …?” dengus Jenggot perak, “kau tak mau mengatakan namamu atau
memang tak punya nama?”
“Nona itu,” kata Thian-leng sembari melirik ke arah Ki Seng-wan yang pingsan,
“menderita luka parah sekali. Kecuali Thay-gak Sian-ong, siapa lagi yang dapat
menolongnya. Maka terpaksa aku harus cepat-cepat ke sana!”
“Sebenarnya bukan apa-apa, tetapi lukanya itu karena ia hendak menolong aku,
maka akupun harus membalas budi …”
“Eh, andaikata tadi aku tak muncul, apakah kau mampu melanjutkan perjalananmu
ke Gak-san?”
“Ayo, coba jawablah sebuah pertanyaanku lagi!” kembali ketua Thiat-hiat-bun itu
berkata.
“Silahkan!”
“Aku tak suka berpura-pura. Ada ubi ada talas. Kau sudah hutang budi, sekarang
harus membayar!” ketua Thiat-hiat-bun tertawa.
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa: “Ah, bukan meminta kau harus menerjang bahaya,
hanya …” ia berhenti sejenak lalu berganti nada berat, “kuminta kau meluluskan
sebuah hal!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa renyah: “Urusan itu tak memerlukan kau buru-
buru melaksanakan, tetapi cukup kau mengatakan janji dulu.”
“Jadi kau tak mau meluluskan?” nada ketua That-hiat-bun berobah berat.
“Mana aku berani menolak? Sekalipun locianpwe meminta kepalaku, tentu akan
kuberikan. Hanya …”
“Aku merasa heran, mengapa locianpwe tak mau segera mengatakan apakah
urusan yang locianpwe kehendaki itu … apalagi aku seorang kelana yang tak
punya tempat tinggal menentu. Mungkin kelak sukar berjumpa dengan locianpwe,
apakah itu tak akan mengecewakan …”
“Tak usah kau resahkan hal itu. Pokoknya sekarang kau harus menyatakan
persetujuanmu dulu.”
“Aku seorang yang taat akan janji, kiranya janganlah locianpwe meragukan
pernyataanku tadi!”
“Selama kau tak bersumpah, tetap aku tak mempercayai!” seru Jenggot perak Lu-
liang-ong.
Thian-leng tertawa masam. Ia anggap orang tua sakti itu memang aneh. Namun
karena sudah berhutang budi, akhirnya Thian-leng pun segera berlutut dan
menyatakan sumpahnya.
“Bagus, sekarang bolehlah kau pergi!” ketua Thiat-hiat-bun tertawa puas sambil
mengusap-usap jenggotnya yang putih seperti perak.
“Nona Ki, marilah …” belum habis Thian-leng berkata mengajak pergi Ki Gwat-
wan, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun sudah membentaknya: “Kau sendiri yang pergi,
kedua anak perempuan ini tinggalkan padaku!”
“Luka budak perempuan itu keliwat parahnya. Sebelum kau dapat mencapai
gunung Gak-san, tentu ia sudah mati di tengah jalan!”
Sungguh ajaib, tak berapa lama muka nona itu mulai merah dan napasnya makin
deras. Thian-leng dan Ki Gwat-wan girang sekali.
“Rupanya kau juga banyak urusan,” kata ketua Thiat-hiat-bun kepada Thian-leng,
“nona itu masih perlu mendapat perawatan. Maka jika kau hendak menyelidiki
asal-usul dirimu, silahkan pergi. Jangan kuatir, tinggalkan saja nona itu padaku!”
“Kemanakah locianpwe hendak pergi dan di mana kiranya kelak aku dapat
menjumpai?” tanyanya.
“Jangan hiraukan hal itu. Jika aku hendak mencarimu, sekalipun kau berada di
ujung langit, setiap saat aku dapat menemukan juga …!”
“Kalau begitu, aku mohon diri,” Thian-leng segera pamit. Melihat itu Ki Gwat-wan
seperti kehilangan sesuatu. Buru-buru ia menghampiri pemuda itu dan berbisik
rawan: “Harap Kang-siangkong baik-baik menjaga adikku ini …”
Tak dapat nona itu melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun
melesat di tengah mereka dan memberi isyarat agar Thian-leng segera angkat
kaki. Terpaksa anak muda itu melangkah pergi.
Setelah pemuda itu jauh, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun tertawa keras: “Niu-niu,
mengapa kau tak lekas muncul!”
Sesosok tubuh kecil melayang turun dari sebatang pohon yang beberapa tombak
jauhnya. Gerakannya gesit seperti burung walet. Sedikitpun tak mengeluarkan
suara ketika kakinya menginjak tanah. Itulah si dara baju kuning Niu-niu.
Melihat itu segera Ki Gwat-wan tahu apa sesungguhnya maksud yang tersembunyi
dalam percakapan si Jenggot perak tadi. Seketika luluhlah hatinya. Ia
membungkuk membisiki ke dekat telinga adiknya yang masih belum sadar,
perlahan: “Oh, adikku, malang benar nasibmu …”
“Niu-niu, bagus tidak caraku bekerja tadi!” seru Jenggot perak Lu Liang-ong.
“Uh, masih bertanya begitu? Apa ingin aku mati kaku?” dengus Niu-niu.
Wajah Niu-niu merah: “Lain kali? Siapa tahu bagaimana dengan lain kali itu …!”
Niu-niu menampar dada ayahnya: “Yah, kau benar-benar hendak membuat aku
mati kaku!”
Ketua Thiat-hiat-bun itu segera ayunkan langkah. Niu-niu melirik kedua saudara
Ki, tiba-tiba ia gunakan ilmu menyusup suara berkata kepada ayahnya: “Yah,
kedua anak perempuan itu tak boleh dibiarkan!”
Liu Liang-ong kerut alis dan menjawab dengan ilmu menyusup suara juga: “Habis,
kemauanmu?”
Niu-niu terkesiap, lalu menggeram: “Bunuh saja. Aku benci kepada mereka!”
“Membunuh mereka berarti kau akan kehilangan budak laki itu selama-lamanya
…!” ketua Thiat-hiat-bun merenung sejenak, katanya pula: “Ketahuilah Niu-niu.
Ayah memang cinta dan sayang sekali padamu. Tetapi pun takkan membiarkan
kau melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang alam!”
Niu-niu si dara manja, terkejut sekali mendengar kata-kata sang ayah. Biasanya
ayah itu tentu suka bergurau dan memanjakannya sekali. Tetapi kali ini sampai
berkata dengan nada yang begitu serius dan bengis!
Niu-niu tak berani banyak bicara lagi. Iapun mengikuti saja di belakang ayahnya.
Demikianlah keempat orang itu segera lenyap dalam kepekatan malam …
***
Entah berapa jauh sudah, hanya ketika cuaca di ufuk timur sudah mulai terang,
Thian-leng pun kendorkan langkahnya. Ia menghela napas panjang. Ia bingung
apa yang harus dilakukan lebih dulu.
Thian-leng benar-benar tak dapat menganalisa persoalan itu. Dan terutama, asal-
usul dirinya sendiripun masih merupakan teka-teki besar …
Tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Ya, ia memutuskan untuk
menyelidiki istana Sin-bu-kiong di gunung Hun-san saja. Di sana ia akan
mendapatkan Ma Hong-ing, wanita yang telah mengaku menjadi ibunya dan
memelihara selama tujuh belas tahun. Dan Sin-bu Te-kun ialah Song-bu Kui-mo,
orang yang dikehendaki Oh-se Gong-mo untuk dibunuh! Sekali tepuk dua lalat.
Dapat menyelidiki asal-usulnya dan membunuh momok itu.
Memang Sin-bu-kiong penuh bahaya maut, tetapi jika tak berani masuk ke sarang
harimau, mana ia akan memperoleh anak harimau?
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, pada hari kedua ia sudah tiba di kaki
gunung Hun-san. Sebuah gunung yang tinggi penuh dengan tebing curam dan
hutan lebat.
Ketika mencapai puncak, bertemulah ia dengan sebuah tempat alam yang
strategis sekali. Di atas puncak terdapat sebuah lembah yang empat penjuru
dikelilingi karang tinggi. Di tengah lembah terdapat beratus-ratus bangunan
gedung. Diam-diam Thian-leng terpaksa memikir-mikir lagi. Istana Sin-bu-kiong
yang seolah-olah seperti benteng itu tentu penuh dengan alat-alat rahasia dan
penjagaan yang kuat.
Teringat akan rejeki yang diperolehnya selama ini, antara lain mendapat saluran
lwekang dari Oh-se Gong-mo, pelajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari
wanita Toan-jong-jin dan minum pil mujijat Kong-yang-sin-tan dari Sip U-jong,
serta ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang sudah hampir sempurna diyakinkan itu,
timbullah keberaniannya.
Seketika iapun lari menuju ke gedung Sin-bu-kiong. Cepat sekali ia sudah tiba di
kaki tembok istana. Tembok yang memagari istana, tak kurang dari tiga tombak
tingginya, terbuat dari tumpukan batu-batu besar. Thian-leng gunakan ilmu Ciam-
liong-seng-thian (naga muncul ke atas) untuk loncat ke atas tembok. Ia mencekal
pedang dan siapkan pukulan Lui-hwe-ciang pada tangan kiri. Tetapi keadaan di
sekeliling, sunyi-senyap saja. Hanya lampu yang menyinari menembus atap
gedung-gedung itu.
Ah, apakah penghuni gedung sudah tidur semua? Demikian sambil berjalan di
sepanjang tembok, pikirannya bertanja-tanya.
Taman penuh ditumbuhi pohon-pohon bunga yang harum. Bayangan itupun telah
lenyap. Thian-leng terkejut atas kegesitan orang itu. Sejak tadi ia ikuti dengan
lekat, tahu-tahu orang itu sudah menghilang di luar pengetahuannya!
Hai … tiba-tiba ia tersirap demi menangkap derap kaki ringan menghampiri. Ah,
ternyata seorang bujang perempuan muncul dari pintu dengan membawa pelita
tanduk kambing. Bujang itu melalui taman hendak menuju ke ruang besar. Cepat
Thian-leng bersembunyi di balik sebatang pohon. Begitu bujang itu lewat, segera
ia tutuk jalan darahnya.
“Dan Te-kun?”
Budak itu agak mengerut alis, ujarnya: “Sudah tiga hari ini Te-kun tak pernah
berkunjung ke ruang Ing-jun-wan. Mungkin Ong-hui akan kesepian.”
Semula budak itu terkejut, tetapi sesaat kemudian ia bertanya: “Siapa yang akan
kau cari, Te-kun atau Te-it Ong-hui?”
“Te-it Ong-hui dulu!” kata Thian-leng. Ia hendak bicara empat mata dengan Ma
Hong-ing untuk menjelaskan teka-teki yang selama ini menyelubungi asal-usul
dirinya. Tetapi dia lupa bahwa saat itu ia berada di dalam sarang harimau. Setiap
saat dan setiap sudut merupakan bencana maut.
“Baik, mari kuantarkan!” tanpa bersangsi budak itupun menyahut. Berputar tubuh
iapun balik menuju ke pintu tadi lagi. Thian-leng lekatkan ujung pedang di
punggung budak itu dan mengancam: “Awas, kalau berani bohong, jiwamu tentu
melayang!”
Setelah melalui belasan pintu bundar dan melintasi lorong yang berbelok-belok,
tiba-tiba budak itu berhenti. Ternyata mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi
gedung-gedung tinggi berpagar tembok.
Thian-leng malu dalam hati mengapa ia begitu menguatirkan seorang budak saja.
“Tidak, tetapi kalau berjalan lurus, mungkin kepergok penjaga. Maka lebih baik
mengitar saja, meskipun sedikit jauh.”
Gedung itu luas sekali, karena temboknya tinggi maka tak dapat Thian-leng
memperkirakan dalamnya. Halaman gedung ditumbuhi pohon cemara yang tinggi-
tinggi sehingga menambah seram suasana.
“Tak usah ...” sahut Thian-leng, “ingat, jangan mengatakan kepada siapapun atau
kau …”
Kiranya orang itu memang si wanita sakti Toan-jong-jin. Wanita itu cepat-cepat
gunakan ilmu menyusup suara: “Di sini banyak jago-jago lihay, jangan membikin
kaget mereka...”
“Mungkin nasibku masih belum ditakdirkan mati,” sahut Thian-leng, “di dalam
bahaya selalu mendapat penolong. Untuk mencari asal-usul diriku, maka akupun
…”
“Locianpwe, ternyata Te-it Ong-hui lah yang memelihara aku selama tujuh belas
tahun. Maka aku sengaja kemari hendak …”
“Bagaimana?”
Thian-leng mengangguk: “Benar! Ia memang telah mengakui hal itu, tetapi selama
selama tahun ia mengaku bernama Liok Poh-bwe dan mengatakan ayahku
bernama Kang Siang-liong …”
Toan-jong-jin tertawa getir: “Itu bohong, mungkin karena takut aku nanti mencari
mereka!”
Thian-leng cepat mengikuti tindakan wanita sakti itu. Tetapi sampai beberapa saat,
keadaan di sekelilingnya tetap sunyi saja. Karena heran, iapun segera bertanya
dengan ilmu menyusup suara: “Tampaknya tidak ada apa-apa, mengapa
locianpwe …”
“Seluas 50 tombak jauhnya, aku dapat mendengar daun yang rontok ke tanah!”
sahut Thian-leng dengan bangga.
“Kalau kukerahkan perhatian, dalam lingkaran 10 li jauhnya aku tak kena dikelabui
oleh suara apapun juga!”
Hampir tak percaya Thian-leng akan keterangan itu, namun karena tampaknya
Toan-jong-jin serius, iapun tak berani menyangsikan hal itu.
Sin-bu Te-kun.
Tak lama kemudian, memang terdengarlah derap kaki orang. Pada lain saat
muncul serombongan orang. Dua orang yang berjalan di sebelah muka, rupanya
menjadi pembuka jalan. Mereka membolang-balingkan pedang ke kanan-kiri
dengan sikap yang mengerikan.
Kemudian di belakangnya tampak seorang berjubah merah darah. Tubuhnya
pendek sekali, kurus dan kecil. Memelihara segumpal jenggot seperti jenggot
kambing. Gerakannya bersemangat, matanya bersinar tajam. Mempunyai perbawa
yang memaksa orang menaruh rasa hormat!
Di belakang mengiring Ni Jin-hiong, kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang
bertubuh tinggi besar, ia mengepalai serombongan lelaki tua yang mengenakan
jubah warna ungu.
“Song-bun Kui-mo, juga Sin-bu Te-kun yang belakangan ini memalsu sebagai
Hun-tiong Sin-mo untuk membunuhi jiwa manusia dan meninggalkan tanda Panji
Tengkorak Darah!”
Saat itu rombongan Sin-bu Te-kun hanya terpisah satu tombak dari
persembunyian Thian-leng.
Darah Thian-leng mendidih. Digenggamnya pedang pemberian Toan-jong-jin
erat-erat. Urat syarafnya tegang sekali. Sin-bu Te-kun alias Song-bun Kui-mo ialah
musuh dari Oh-se Gong-mo. Sekalipun bukan guru, tetapi Thian-leng berhutang
budi besar sekali kepada Oh-se Gong-mo. Saat itu Song-bun Kui-mo berada di
hadapannya, apakah hendak ia biarkan saja kesempatan sebagus itu?
Di samping membalaskan sakit hati Oh-se Gong-mo, juga untuk membalas budi
kebaikan Hun-tiong Sin-mo. Karena Song-bun Kui-mo telah memfitnah nama baik
Hun-tiong Sin-mo.
Dan … dan juga untuk kepentingannya sendiri. Ma Hong-ing menjadi Ong-hui
(isteri) dari Song-bun Kui-mo. Jika keterangan Toan-jong-jin tadi benar, Ma Hong-
ing itu adalah ibu kandungnya. Relakah hatinya membiarkan sang ibu diperisteri
seorang manusia serigala …?
Pikiran Thian-leng melayang lebih jauh … Ya, berobahnya watak ibunya sehingga
sampai tega hendak membunuhnya serta perbuatannya berlaku serong dengan Ni
Jin-hiong, mungkin karena akibat dijadikan isteri oleh Sin-bu Te-kun. Kalau tidak,
mungkin ibunya itu tentu masih hidup bersamanya di lembah Pek-hun-koh yang
tenteram.
Lelaki pendek kurus yang memelihara jenggot kambing itu memang Song-bun
Kui-mo yang kini berganti gelar sebagai Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-
bu-kiong. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti dan memandang ke sekeliling.
Jaraknya dengan gerumbul pohon tempat persembunyian Thian-leng hanya 2-3
meter saja. Mayat budak perempuan yang terkapar di muka pintupun hanya dua
tombak jaraknya. Sudah tentu Sin-bu Te-kun dan rombongannya tahu. Tetapi di
luar dugaan mereka seperti acuh tak acuh.
Keheranan Thian-leng pecah menjadi rasa kaget. Kiranya Sin-bu Te-kun telah
mengetahui mayat si budak. Tetapi mengapa dia bersikap diam saja?
Thian-leng palingkan muka ke arah Toan-jong-jin. Tampak wanita sakti itu tenang
sekali.
Perintah Sin-bu Te-kun segera dilakukan. Dua lelaki berjubah biru menyeret mayat
si budak. Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun mengusap-usap jenggot kambingnya
dengan kelima jarinya yang kurus kering macam cakar. Sekonyong-konyong ia
menengadah ke langit dan tertawa nyaring. Orangnya pendek kurus tetapi suara
tertawanya ternyata seperti singa meraung. Jantung Thian-leng berdetak keras,
darahnya bergolak.
Buru-buru ia kerahkan semangat untuk menenangkan darahnya.
“Apakah sudah kau ketahui berapa jumlahnya dan dari golongan apa mereka itu?”
bentak Sin-bu Te-kun dengan gusar.
“Ini … ini hamba segera dapat mengetahui. Segera mereka tentu dapat ditangkap!”
Ni Jin-hiong makin gugup.
“Seorang saja dari mereka sampai lolos, awas batang kepalamu!” Sin-bu Te-kun
berseru bengis.
“Sebelum tengah malam, datang ke Pek-bong-loh terima perintah lagi!” seru Sin-
bu Te-kun seraya berputar diri hendak berlalu.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh meloncat dari balik gerumbul pohon dan terus
menikamnya. Itulah Than-leng yang sudah tak dapat mengendalikan diri lagi.
Bukan saja Sin-bu Te-kun, pun Toan-jong-jin juga terkejut melihat tindakan
pemuda itu.
Sin-bu Te-kun terperanjat dan Ni Jin-hiong sekalipun tahu juga, namun karena
menurut peraturan Sin-bu Te-kun tak beranilah ia sembarangan bergerak. Maka
terpaksa ia diam saja.
Sin-bu Te-kun gusar, segera ia gerakkan jari kanannya untuk menutuk. Ilmu
kepandaian yang dibuat andalan Thian-leng ialah pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan
ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Tetapi karena serangan pertama tadi gagal,
hampir saja nyalinya menurun. Cepat ia siapkan pedang di tangan kiri untuk
menyambut. Melihat itu Sin-bu Te-kun turunkan pula tangannya.
“Bu-beng-jin!”
Terkesiap Sin-bu Te-kun mendengar jawaban itu, tetapi pada lain kilas ia tertawa:
“Oh, kiranya orang yang tak bernama … Mengapa kau berani masuk ke istana
ini?”
“Song-bun Kui-mo, malam ini tuanmu akan mengambil jiwamu!” bentak Thian-
leng.
“Tadi jika sungguh-sungguh kuhantam, kau tentu sudah jadi gumpalan darah!”
beberapa saat kemudian kedengaran Sin-bu Te-kun berseru.
“Tuanmu sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi. Hanya aku kecewa kalau mati
di tanganmu!” bentak Thian-leng.
Wajah Sin-bu Te-kun berseri dan tersenyum, nadanyapun lebih ramah. Serunya:
“Kau tak takut mati?”
Sin-bu Te-kun tertawa: “Di dunia tak ada orang yang tak takut mati. Sekalipun
mulut mengatakan tak takut mati, tetapi dalam hati tentu takut! Mungkin kau hendak
berlagak sebagai ksatria gagah …”
“Setan tua, itu anggapanmu sendiri. Seorang lelaki, mati boleh hiduppun baik.
Tidak seperti manusia tak tahu malu macam kau …”
Amarah Sin-bu Te-kun tak terkendalikan lagi. Kelima jarinya segera ditamparkan
ke muka Thian-leng. Jaraknya tak begitu jauh dan Thian-leng pun segera
menyabet dengan pedang. “Plak “… entah bagaimana, tahu-tahu tangan Sin-bu
Te-kun sudah lebih cepat menampar muka Thian-leng. Pipi pemuda itu merah
membara, mulutnya mengucur darah.
“Tahan! Tamparan tadi, hanya sebagai hukuman kecil atas penghinaanmu …” Sin-
bu Te-kun tersenyum, “sekarang marilah bicara perlahan-lahan.
“Hm, apakah kau tak mengakui bahwa kau ialah salah seorang dari Su-mo (4
momok)?” tanya Thian-leng.
“Aku tak pernah menyangkal dan semua orang persilatan memang sudah
mengetahui!”
Sin-bu Te-kun kerutkan alis, namun dengan nada masih ramah ia menyahut:
“Bersama-sama menjadi Su-mo dan bersahabat lama, hanya itu …” – ia kerlingkan
mata, ujarnya pula: “Perlu apa kau tanyakan hal itu?”
“Agar kau tahu alasanku hendak membunuhmu terpaksa harus menyebut hal itu.
Tentunya hal itu mencemarkan kau dan kau tentu menyesal!”
“Kurang ajar, aku tak pernah menyesali apa yang kuperbuat, masakan kau …”
“Kau telah merebut kitab Im-hu-po-kip milik Oh-se Gong-mo Locianpwe secara
licik! Beranikah kau menerangkan secara blak-blakan …”
“Apakah kau mempunyai hubungan dengan Oh-se Gong-mo!” tukas Sin-bu Te-kun
dengan wajah berobah muram.
“Tidak ada hubungan apa-apa!” sahut Thian-leng, “tetapi di kala Oh-se Gong-mo
hendak menutup mata aku, telah mendapat perintahnya supaya membunuh
musuhnya dan merebut kembali kitab pusaka itu!”
“Rupanya kau hanya mendengar keterangan sepihak dari dia saja!” – sejenak
matanya berkeliaran, serunya, “karena memandang usiamu masih muda sehingga
kena dipergunakan orang, maka aku tak mau membunuhmu. Ketahuilah, bahwa
aku hendak membangun kesejahteraan bagi umat manusia, sudah tentu aku tak
mau melakukan hal-hal yang hina. Jika kau masih berani menghina namaku,
awas, akan kubuat mayatmu tiada tempat berkubur lagi!”
Thian-leng tak jeri dengan ancaman itu, dengusnya: “Selain ini, tuanmu ini masih
mempunyi lain alasan lagi untuk membunuhmu!”
Semula wajah Sin-bu Te-kun marah tetapi akhirnya tenang kembali, malah lalu
berseri-seri. “Bagaimana salahnya,” serunya.
Thian-leng tertawa nyaring: “Andaikata Hun-tiong Sin-mo mati, tetapi masih ada
lagi Thiat-hiat-bun …!
Mendengar itu teganglah seketika kerut muka Sin-bu Te-kun. Mulutnya tergagap-
gagap: “Thiat-hiat-bun … Thiat … hiat … bun …”
Thian-leng tunggu sampai orang berhenti tertawa, baru berkata: “Sejak dahulu
sampai sekarang, kecongkakan kesewenang-wenangan, kelicikan dan kejahatan,
hanya dapat berjalan sementara waktu. Karena pada akhirnya kebenaranlah yang
akan menang!”
***
Pertaruhan.
“Budak, bukan saja kau bertulang dan berotak bagus, pun kau pandai berdebat,
sungguh hebat!” Di luar dugaan Sin-bu Te-kun malah memberi pujian. Hal itu
mengejutkan Thian-leng yang bermaksud hendak membikin marah orang. Diam-
diam ia maki momok itu sebagai manusia yang licin dan bermuka tebal.
Terlintas dalam benak Thian-leng tentang kedudukannya pada saat itu. Ia berada
dalam keadaan serba sukar. Tidak dapat mengalahkan lawan, tetapipun tak
mampu lolos. Hanya ada dua pilihan baginya: Menyerah atau bunuh dri! Diam-
diam ia mempersiapkan diri, daripada malu jatuh di tangan musuh, lebih baik ia
bunuh diri saja.
Ni Jin-hiong dan sekalian anak buahnya pucat seketika. Mereka cukup kenal akan
perangai tuannya itu. Betapa keganasan Sin-bu Te-kun telah diketahuinya. Maka
heranlah mereka mengapa Te-kun begitu sabar terhadap pemuda yang berani
memaki-makinya. Namun Ni Jin-hiong tak berani mengatakan apa-apa.
“Kalian keluar dulu dari halaman ini, sebelum mendapat perintah jangan masuk!”
tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru.
Tanpa banyak bicara, Ni Jin-hiong pun segera mengajak anak buahnya keluar.
Juga Thian-leng sendiripun tak kurang herannya. Namun karena sudah mantap,
iapun tak acuh apa yang akan dilakukan oleh si momok. Ia besarkan nyalinya
dengan tertawa dingin dan sikap congkak.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghampiri. Dengan seri wajah yang ramah, ia berkata:
“Lwekang-mu kuat dan ilmu pedangmu luar biasa. Menilik usiamu yang masih
muda, tak mungkin hal itu mampu kau yakinkan kecuali kau memperoleh suatu
rejeki yang luar biasa!”
“Apakah kau diterima murid oleh Oh-se Gong-mo?” Sin-bu Te-kun tersenyum.
“Tidak!”
Sin-bu Te-kun tertegun, ujarnya pula: “Oh-se Gong-mo pernah meyakinkan ilmu
pukulan Lui-hwe-ciang di goa Toan-hun-tong. Dan jelas ilmu pukulanmu tadi …”
Ditatapnya wajah Thian-leng dengan tajam, lalu katanya pula: “Tetapi kupuji juga
keberanianmu itu! Meskipun kau telah memperoleh rejeki luar biasa dan
kepandaian yang kau miliki itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu, tetapi
bagiku hal itu tetap tak berarti apa-apa!”
“Telah kukatakan, aku tak menghiraukan mati atau hidup. Kalah bertempur dan
mati, sudah selayaknya. Momok tua, silahkan kau turun tangan!” Thian-leng
menantang.
Thian-leng heran, namun ia tahu bahwa manusia licik yang ganas itu tentu
menyembunyikan apa-apa dalam keramahannya. Segera ia berseru: “Bagaimana
maksudmu?”
“Taruhan bagaimana?”
“Akan kubuat sebuah lingkaran di tanah. Aku berada dalam lingkaran itu untuk
menerima 100 jurus seranganmu!”
“Aku hanya bertahan, tak balas menyerang. Silahkan kau gunakan tinju, pedang,
jari atau apa saja. Jangankan kau dapat melukai aku, cukup asal kau mampu
membuat aku keluar dari lingkaran itu, kau menang!”
Mau tak mau Thian-leng leletkan lidah. Ia anggap hal itu tak mungkin. Pada lain
saat, marahlah ia karena dirinya diremehkan sebagai anak kecil.
“Setan tua, katakan terus terang saja ilmu sulap apa yang hendak kau
pertunjukkan di hadapanku!” bentaknya.
“Akan kutundukkan hati dan mulutmu!” bentak Sin-bu Te-kun marah, “berani tidak
kau?”
Kata Sin-bu Te-kun: “Kalau dalam 100 jurus kau dapat melukai atau mendesak
aku keluar dari lingkaran, aku mengaku kalah dan segera membubarkan istana
Sin-bu-kiong. Aku sendiripun akan bunuh diri di hadapanmu. Puaskah kau?”
“Jangan-jangan kau nanti ingkar!” seru Thian-leng yang tak percaya akan ucapan
itu.
“Tetapi kalau kau yang kalah, kau harus menyerahkan mati-hidupmu kepadaku.
Entah apa yang akan kujatuhkan kepadamu, kau tak boleh membantah!” kata Sin-
bu Te-kun lebih lanjut.
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh: “Tetapi akupun seperti kau tadi, tak dapat
mempercayai keteranganmu!”
“Cara bagaimana?”
Jin-hiong melongo, tetapi terpaksa ia lakukan perintah juga. Tak lama meja
sembahyangpun disiapkan. Setelah dupa disulut maka suasanapun berobah
seram. Ni Jin-hiong pun disuruh keluar lagi, Sin-bu Te-kun segera mendahului
berlutut di muka meja dan mengucapkan sumpah berat. Thian-leng heran
melihatnya. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun bangkit dan suruh Thian-leng juga
mengucapkan sumpah. Terpaksa Thian-leng menurut juga.
Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun menggurat sebuah lingkaran kecil di tanah, lalu
melangkah masuk ke dalamnya, serunya: “Pertandingan boleh dimulai sekarang!”
“Baik, hati-hatilah!” seru Than-leng seraya menusuk lurus ke muka. Itulah jurus
pertama dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Hong-jin-hun-yong.
Tetapi tusukan itu digerakkan perlahan dan menggunakan 4 bagian tenaganya
saja, karena ia hendak menjajaki tenaga lawannya.
Sin-bu Te-kun tegak dengan tenangnya. Begitu ujung pedang hampir menyentuh
dada, tiba-tiba ia kempiskan dadanya. Ujung pedang tak dapat mengenai, tetapi
tampaknya Sin-bu Te-kun seolah-olah seperti tak bergerak apa-apa. Momok itu
tertawa sinis, serunya: “Satu!”
Thian-leng terbeliak. Cara penghindaran Sin-bu Te-kun itu sungguh enak sekali,
walaupun sebenarnya amat berbahaya sekali. Karena ujung pedang hanya
terpisah selembar rambut dari dada.
Tetapi Thian-leng tak gentar. Serangannya itu hanya percobaan untuk menjajaki
tenaga lawan. Apalagi baru satu jurus, masih ada 99 jurus. Ia yakin tentu dapat
sekurang-kurangnya melukai lawan.
Nok-hay-keng-liong atau Laut marah mengejutkan naga, jurus kedua dari ilmu
pedang Toh-beng-sam-kiam secepat kilat segera dilancarkan. Seketika tampak
segulung sinar pedang seperti ombak besar, mendampar ke tubuh Sin-bu Te-kun.
Dan tenaga yang digunakanpun ditambah menjadi sembilan bagian, sehingga
menimbulkan deru angin yang dahsyat …
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia tarik pulang pedangnya. Tak tahu ia
bagaimana cara Sin-bu Te-kun menghindar tadi. Tetapi yang jelas momok itu
masih tegak berdiri dengan tenang.
Thian-leng pucat seketika. Mimpipun tidak ia, bahwa ternyata Sin-bu Te-kun itu
seorang sakti yang luar biasa. Kedua kakinya tetap terpaku namun mampu
menghindari gelombang sinar pedang yang sedemikian gencarnya.
Di lain pihak, Sin-bu Te-kun saat itu tampak berseri-seri memandang kepadanya.
Sekonyong-konyong Thian-leng meraung. Laksana seekor harimau kelaparan, ia
menerjang lawan.
Kali ini ia menyerang dengan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam dengan
pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan tangan kanan menyerang dengan ilmu pedang
Toh-beng-sam-kian. Tinju dan pedang serempak digunakan bersama. Walaupun
tubuh Sin-bu Te-kun itu terbuat dari daging baja dan tulang besi, namun tak
mungkin ia dapat terhindar dari luka-luka.
“Empat!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru pula, ia tampak tegak di dalam lingkaran.
Sedikitpun kakinya tak berkisar …
Dapatkah Thian-leng memenangkan pertempuran ini?
(Bersambung jilid 5)
Jilid 5 .
Ilmu melawan otak
Nyali Thian-leng turun dengan drastis. Jurus yang paling istimewa telah
digunakan, namun tak dapat menyentuh secarik pakaianpun dari Sin-bu Te-kun.
Iblis itu seakan-akan memiliki kesaktian dapat membuka langit menyusup bumi.
Tetapi ah, apa pedulinya dengan itu. Toh ia sudah mengambil keputusan. Apabila
dalam jurus ke sembilan puluh sembilan nanti ia tetap gagal, segera ia hendak
bunuh diri....
“Hai budak, masih ada sembilan puluh enam jurus lagi, mengapa tak lekas
menyerang? tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh tertawa mengejekdari Sin-bu Te-
kun.
“Lima!” kembali terdengar Sin-bu Te-kun menghitung. Disusul lagi dengan seruan
berturut-turut, “Enam ! “…. “Tujuh ! “…….“Delapan ! “….Sembilan ! “…..Sepuluh ! “
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Separoh dari seratus jurus telah selesai, ternyata
harapanmu memang tipis sekali ! “
Thian-leng mengkal dan gusar sekali, gelisah dan gugup. Badannya terasa dijepit
oleh dua buah batu karang yang membuatnya tak dapat bicara lagi. Tiba-tiba ia
menyadari suatu kekeliruan. Serangan secara kilat memang hebat sekali. Tetapi ia
tak dapat melihat bagaimana cara lawan menghindarkan diri. Masih ada
kesempatan lima puluh jurus untuk mengganti siasat baru.
Perobahan siasat itu telah memberinya hasil seperti yang diharapkan. Pada saat
ujung pedang menuju ke dada, tampak tubuh Sin-bu Te-kun bergeliatan dan pada
saat itu mengeluarkan semacam tenaga lwekang lunak untuk mendorong ujung
pedang ke samping, sehingga pedang itu lewat di sisinya dan orangnya berkisar
ke samping!
Kini jelaslah bagi Thian-leng! Tadi karena ia menyerang secara cepat sehingga
tak mengetahui gerak lawan. Kiranya kini ketahuanlah bahwa Sin-bu Te-kun
bukan malaikat atau menggunakan ilmu sihir, melainkan menggunakan gerakan
tubuh dan tenaga lwekang juga. Hanya gerakan dan lwekang itu memang tepat
sekali digunakannya.
“Lima puluh satu…. “ seru Sin-bu Te-kun. “… Hai budak, kau sungguh cerdik ! “
Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang di tengah udara, “Budak tolol, masih
tak berhenti?”
Sesosok bayangan kuning melesat dan tahu-tahu muncullah seorang dara yang
cantik sekali. Kemunculannya yang begitu mendadak dan cepat itu bukan saja
mengejutkan Thian-leng, juga Sin-bu te-kun tercengang. Bagi Thian-leng
merupakan suatu keuntungan karena saat itu tersadarlah ia dari pesonanya. Ia
gelagapan. Ya, sepuluh jurus lagi dan ia harus bunuh diri karena menderita
kekalahan!
Dipandangnya dara itu, amboi……. itulah dara yang dijumpainya di biara tempo
hari. Ya, si dara baju kuning yang angkuh dan menjengkelkan! Dan serempak
dengan itu, teringatlah Thian-leng pada wanita sakti Toan-jong-jin. Kemanakah
gerangan perginya wanita itu. Mengapa sampai sekian lama tak juga wanita itu
unjuk diri?
Tiba-tiba ia berpaling ke arah gerombolan pohon. Ah, gerombol itu sunyi senyap
saja. Hanya ada dua kemungkinan, Toan-jong-jin masih bersembunyi di situ tapi
tak berani bergerak atau memang sudah pergi.
“Bagus, dalam satu malam ini rupanya banyak tamu berkunjung. Entah bagaimana
harus…. “tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa. “Apakah kalian datang bersama?" tiba-
tiba ia memebentak.
“Hm, siapa kenal padanya? Siapa datang bersamanya?” dengus dara itu.
Mendengar itu Thian-leng kerutkan alis. Ia mendongkol dengan sikap acuh tak
acuh dara angkuh itu, namun diam-diam ia berterima kasih juga. Karena
kemunculan dara itu telah membuatnya menyadari kenyataan yang dihadapi saat
itu.
Sin-bu Te-kun kedipkan mata, serunya tersekat, “Lu Bu-song ?.... Kau ini…. “
“Kalau tak dapat mengingat, baik tutup saja mulutmu ! “ lengking si dara.
“Aku hanya membicarakan persoalan, jangan banyak bicara yang tak berguna ! “
bentak si dara.
Bu-song cebikan bibirnya, “Ucapan yang indah merdu, sayang keluar dari
mulutmu ! Kecuali budak goblok itu, siapapun tentu tak percaya ! “
Tangkas sekali dara baju kuning itu menjawab. ”Sebelumnya kau sudah
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Meskipun kuat, tapi tidak
dahsyat. Meskipun aneh, tapi tidak sempurna. Dengan kepandaianmu, terang kau
dapat mengalahkannya dalam seratus jurus. itulah maka kau lantas pura-pura jual
kemurahan hati.”
“Aku dapat membunuhnya dengan seketika, perlu apa harus mengatur tipu
muslihat!”
“Jelaskan!”
“Untuk menundukkan orang, harus menundukkan hatinya. Sekalipun kau tak dapat
menundukkan hatinya, tapi kau akan membuatnya menyerah tanpa syarat, karena
kau tahu dia tentu tak mau ingkar janji, seorang yang keras hati….”
“Melakukan sumpah, mengadakan pertandingan seratus jurus. Ya, entah apa saja
yang kau usulkan dia tentu menerima, karena dia tak mau menjilat ludahnya.
Apalagi selama pertandingan seratus jurus itu berlangsung, sengaja kau memberi
pelajaran, sehingga dia makin jinak dalam cengkeramanmu ! ”
Wajah Sin-bu Te-kun membesi seketika, serunya bengis. ”Apa yang kuhendaki
harus tercapai, kalau tidak, lebih baik kuhancurkan saja. Membiarkan seorang
seperti kau hidup di dunia, berarti menanam bahaya di kemudian hari. Jika kau tak
mau menjadi anak pungutku, lebih baik kuhancur-leburkan tubuhmu saja ! ”
Bu-song tertawa hina, ”Mungkin aku tak menang, tetapi sekalipun bisa menang,
akupun tak sudi mengotorkan tangan bertanding dengan manusia semacam
kau…… ” sejenak ia kedipkan mata, serunya pula, ”Barangkali kau lupa namaku!”
Sin-bu Te-kun terkesiap, ujarnya, “Tidak, aku tak lupa, tetapi karena kau berani
masuk ke istanaku, kalau kubunuhpun kakekmu yang tersayang itu juga tak dapat
berbuat apa-apa terhadap aku…!”
Lu Bu-song tetap tertawa hina, “Kakekku seorang memang tak perlu kau takuti.
Tetapi beliau adalah ketua dari sebuah perkumpulan besar. Dan saat ini beliau
mengajak rombongan tokoh-tokoh sakti masuk ke Tionggoan. Mungkin dalam
waktu yang singkat akan menyelenggarakan suatu Eng-hiong-tay-hwee
( pertemuan besar para orang gagah), untuk menguji kepandaian dengan jago-
jago persilatan dari daerah Tionggoan. Nah, hal itu besar sekali pengaruhnya
terhadap kewibawaanmu.
Menjadi musuh atau menjadi kawan, tergantung pada tindakanmu……” – ia
berhenti sejenak, lalu berkata pula. “ Jika berhasil mendapat dukungan partai
Thiat-hiat-bun, tentu mudah sekali hendak menguasai dunia persilatan Tiong-
goan. Namun jika menempatkan Thiat-hiat-bun sebagai musuh, mungkin namamu
akan hancur di dalam sampah. Paling tidak kedua-duanya tentu sama menderita
kerugian besar!”
Thian-leng tergetar hatinya. Kini baru ia tersadar kalau hampir saja masuk ke
dalam perangkap Sin-bu Te-kun. Jika ia melaksanakan keputusannya untuk
bunuh diri, bukankah akan sia-sia saja pengorbanannya itu?
Dan kini tahu juga ia bahwa orang tua jenggot perak yang menjadi ketua partai
Thiat-hiat-bun itu ternyata kakek si dara baju kuning. Eh, mengapa dara itu juga
menyelundup ke Sin-bu-kiong? Ia mempunyai rencana sendiri atau memang
hanya hendak menolongnya?
Dan yang paling meresahkan hatinya ialah, bahwa penyaluran lwekang 18 tahun
dari Oh-se Gong-mo dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-
jin, ternyata tak dapat mengapa-apakan Sin-bu Te-kun. Taruh kata nanti ia dapat
keluar dari Sin-bu-kiong, tetapi cita-citanya untuk melakukan pembalasan akan
kabur selama-lamanya.
Sin-bu Te-kun tertawa keras, “Kakekmu itu menyayangi dirimu melebihi jiwanya
sendiri. Segala permintaanmu tentu dituruti!”
Sin-bu te-kun makin gembira, “Kalau begitu akupun tak mau membunuh, tetapi
juga tak akan melepaskanmu. Hendak kukurung kau dalam istanaku sini….”
“Andaikata dapat memikirkan, pun apa gunanya. Asal kau terkurung dalam istana
ini, sekalipun kakekmu mempunyai tiga kepala dan enam lengan, juga tentu
takkan berani main-main mempertaruhkan jiwamu !” Sin-bu Te-kun tertawa sinis.
”Untuk menghadapi kemungkinan itu, aku telah mengatur persiapan!” dengus Bu-
song.
Senaknya saja Bu-song berkata, “Pertama, jika kau berani menyerang aku,
akupun segera memberikankan tanda…..”
“Begitu kakekmu tiba, kau sudah menjadi tawananku!” Sin-bu Te-kun tertawa.
”Tentulah kau kenal pada Thiat-hiat Su-kiat dari Thiat-hiat-bun? ” seru Bu-song.
Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat tokoh gagah dari partai Thiat-hiat.
”Sedang aku yang masuk ke sini orang-orangmu tak mengetahui, apalagi Thia-hiat
Su-kiat yang jauh lebih lihay dari aku, mungkin…..”
Sin-bu Te-kun melangkah ke dalam lingkaran dan tegak menunggu serangan. Hal
itu menggelisahkan Thian-leng. Ia sudah melakukan sumpah dan menyatakan
janji. Tak dapat ia menarik omongan lagi. Apalagi pertandingan sudah berjalan
sembilan puluh jurus. Tetapi jika melanjutkan pertandingan, hasilnya sudah jelas.
Thian-leng tertegun serunya, “Janji sudah diucapkan, laksana kuda terlepas dari
kendali. Bagaimana akibatnya, bukan soal. Aku hanya hendak melaksanakan
janji!”
Sin-bu Te-kun tertawa hina, “Hm, menolak melanjutkan pertandingan berarti ingkar
janji.”
“Sebagai putra persilatan, sudah tentu dia tak mau ingkar janji menolak
pertandingan!” sahut Bu-song.
Bu-song tertawa dingin, ”Aku hanya menganggap dia goblok sekali. Toh bisa saja
dia minta pertandingan itu diundur!”
“Eh, kau mau naik pitam ? Lupa malu mau menyerang ? ” Bu-song menertawakan.
Gemetar tubuh Sin-bu Te-kun karena marahnya. ” Ya, aku tak peduli bagaimana
akibatnya, malam ini aku hendak membunuhmu budak !” Habis berkata segera ia
mengangkat lengannya.
”Hai, jika urusan kecil tak dapat menahan hati, urusan besar tentu kapiran. Apakah
kau benar-benar mau turun tangan tanpa pertimbangan lagi?”
Tiba-tiba terdengar tiga kali lengking genta bertalu. Seketika berserilah wajah Bu-
song, serunya, “Nah, itulah kakekku sudah datang.”
Seketika alis Sin-bu Te-kun mengerut cekung. Dengan mata berapi dibakar
kemarahan dan kebencian dipandangnya si dara. Habis itu tanpa berkata apa-
apa, ia terus melesat pergi.
Rupanya tiga kali lengking genta tadi merupakan pertandaan penting. Maka tanpa
menghiraukan kedua anak muda itu, Sin-bu te-kun segera meninggalkan mereka.
Dengan muka tersipu-sipu malu, Thian-leng segera menghaturkan terima kasih,
”Terima kasih, nona….”
ooo0000ooo
Si dara merah
Pipi Bu-song bersemu merah. Diliriknya pemuda itu dengan setengah menyesali,
“Aku hanya secara kebetulan saja lewat di sini. Sekali-kali bukan sengaja datang
untuk menolongmu...” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia merasa makin memberi
penjelasan makin ketahuan kalau ia memang datang memberi pertolongan.
Sebenarnya Thian-leng tak menaruh perhatian akan hal itu. Kini ia memandang ke
arah gerumbul pohon tempat ia bersembunyi tadi. Cepat ia lari menghampiri. Ah,
ternyata Toan-jong-jin tak berada di situ.
Cepat Bu-song gunakan ilmu menyusup suara menukasnya, “Apa yang kukatakan
tadi hanya gertakan kosong saja. Thia-hiat Su-kiat dan kakekku tidak tahu
kepergianku!”
Thian-leng tertegun. Dara itu memang centil sekali, pintar mendamprat orang.
Ujarnya, “Kalau begitu, momok itu tentu akan kemari lagi, lebih baik nona lekas
tinggalkan tempat ini. Aku sudah terlanjur masuk ke sarang hantu, tak mau kupergi
tanpa hasil. Sekurang-kurangnya hendak kutemui Te-it Ong-hui itu!”
Bu-song tertawa dingin, “Kalau kau tak pergi, perlu apa mengusir aku….” tiba-tiba
ia merasa kelepasan omong lagi, mukanya merah. Diam-diam ia jengkel terhadap
dirinya sendiri. Ia seorang dara yang centil, tetapi mengapa selalu limbung
terhadap pemuda itu.
Syukur Thian-leng tak mengetahui hal itu. Ia mengerutkan sepasang alisnya, “Aku
memikirkan kepentingan nona, karena kakek nona…”
“Sekalipun aku dapat menerobos penjagaan Sin-bu-kiong yang kuat, tetapi untuk
keluar tidaklah semudah itu. Dikuatirkan momok itu sudah menyiapkan jago-
jagonya untuk menutup semua jalan keluar!”
“Maksud nona, apakah……?” Thian-leng mengerutkan kening.
“Lebih baik kutemui Te-it Ong-hui juga, mari kita bersama-sama mencarinya!”
dengus Bu-song.
Thian-leng cukup kenal perangai si dara. Terpaksa ia menuruti saja. Tetapi baru
beberapa langkah, kembali ia bersangsi. Gerumbul pohon cemara yang lebat dan
gedung yang pintunya tertutup rapat itu, menurut Toan-jong-jin bukanlah wisma
Ing-jun-wan, tetapi sebuah tempat yang berbahaya sekali. Thian-leng hentikan
langkah, berdiri terlongong-longong!
“Bah, goblok, bagaimana kau?” Bu-song tak dapat menahan tertawanya lagi.
Sebenarnya jengkel juga Thian-leng selalu dimaki goblok itu. Namun karena
mengingat budi terpaksa ia menahan sabar. Ujarnya, “Aku hendak mencari tempat
kediaman Te-it Ong-hui, tetapi tak tahu yang mana!”
Thian-leng gelengkan kepala, “Sudah terlanjur masuk ke sini, tak dapat aku pergi
dengan begitu saja!” Thian-leng mengucapkan kata-katanya dan lantas
melangkah ke muka.
Jilid 6 .
Namun terpaksa ia mengikuti juga. Mereka berjalan di sebuah lorong, tetapi belum
setombak jauhnya, empat orang yang berjubah ungu menghalang dengan
bentakan bengis.
Salah seorang baju ungu itu tertawa hina, “ Kami mendapat tugas untuk menjaga
tempat ini. Sebelum Te-kun kembali, kalian tidak boleh pergi!”
Keempat pengawal baju ungu itu agak terkejut ketika diri mereka tertusuk jarum
kepala burung Hong ( Hong-thau-kiong) . Mereka mundur selangkah. Tetapi jarum
itu tidak beracun dan tidak mengenai jalan darah penting. Apalagi mereka
berempat berkepandaian tinggi, dengan serentak jarum itu dicabutnya.
Sekalipun begitu, ilmu menebar jarum dari si dara cukup menggetarkan hati
mereka. Saat itu Thian-lengpun tak mau berayal lagi. Ilmu pedang toh-beng-sam-
kiam dan pukulan Lui-hwe-sin-ciang, segera dilancarkan dengan gencar !
Ilmu pedang ke empat pengawal baju ungu itu hebat juga. Apalagi mereka maju
bersama, selang beberapa jurus, pertandingan tetap berimbang.
Mendapat angin, thian-leng menggerung dan melepaskan tiga buah pukulan dan
lima kali tebasan. Dengan bantuan Bu-song, sekejap saja mereka dapat
mendesak mundur ketiga lawannya.
“Lekas lari!” seru Bu-song seraya menerobos keluar. Tetapi baru beberapa
langkah, ia sudah didampar oleh tenaga dahsyat dan bentakan keras, sehingga
kepalanya pusing. Hampir saja dara itu tak dapat mempertahankan keseimbangan
dirinya.
Thian-leng yang menyusul tiba terkejut sekali. Ternyata yang menghadang kali ini
adalah Ni Jin-hiong. Di Belakangnya tegak belasan anak buahnya dalam seragam
warna ungu. Jelas mereka itu ialah rombongan jago-jago kelas satu dalam istana
Sin-bu-kiong.
Bu-song menggunakan taktik, sambil memainkan pedang, tangan kirinya tak henti-
hentinya menaburkan jarum Hong-thau-kiong. Setiap batang jarum tentu
mendapat hasil, tetapi karena jarum itu tak beracun dan hanya dapat menimbulkan
luka kecil, maka belasan jago baju ungu itupun tidak menderita apa-apa. Mereka
tetap melancarkan serangan bertubi-tubi. Tak berapa lama, jalannya
pertempuranpun berubah lagi.
Ilmu pedang Bu-song tak sehebat ilmu pedang Thian-leng. Jarum Hong-thau-
kiong pun telah dipakai habis. Berhadapan dengan Ni Jin-hiong saja, Thian-leng
sudah payah, apalagi menghadapi serangan serempak dari belasan jago-jago
lihay. Sudah tentu makin payah lagi. Kedua anak muda itu berada dalam keadaan
berbahaya, sewaktu-waktu tentu akan celaka.
Hebat sekali. Rombongan pengawal baju ungu itu adalah jago-jago kelas satu
dalam istana Sin-bu-kiong, bahwa sekali muncul, pendatang tak dikenal itu dapat
merubuhkan lima orang baju ungu sungguh mengejutkan sekali. Ni Jin-hiong
menjadi pucat dan terpaksa ia mundur serta menghentikan serangannnya.
Ketika pendatang itu sudah melayang tiba di tanah , sekalian orang semakin
terbeliak kaget. Bukan dewa bukan lelaki gagah perkasa, melainkan hanya
seorang dara yang cantik jelita, segar meriah dalam pakaian merah menyala.
Thian-leng terbelalak matanya. Ia seperti pernah melihat dara itu tapi entah di
mana.
“Hai, siapa kau budak,” teriak Ni Jin-hiong, “kau berani mengganas dalam istana
Sin-bu-kiong? Hm, tidakkah kau mengetahui bahwa istana ini mudah dimasuki tapi
sukar keluarnya?”
Si dara merah itu tertawa hina, “Kalau berani masuk tentu berani keluar!”
Secepat kilat dara merah itu mencuri lirik ke arah Thian-leng dan Bu-song, lalu
tertawa dingin, ” Senjata rahasia milikku itu tanggung tak beracun, tetapi dapat
menembus ke jantung dan menyebabkan orang mati seketika ! ”
Ni Jin-hiong menggertek gigi, ” Kalau tak dapat mencincang tubuhmu, aku segera
akan bunuh diri di tempat ini !”
”Ih, mungkin kau tak mempunyai kemampuan melakukan hal itu,” ejek si dara baju
merah. Tiba-tiba menaburkan senjata rahasia jarum. Tetapi Ni Jin-hiong sudah
siap. Ia mengerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan darahnya.
Tring … tring… terdengar dering jarum terbentur benda keras dan jatuh
berhamburan ke tanah.
Si dara baju merah terbeliak kaget. Ia tak mengira bahwa kepala pengawal Sin-bu-
kiong memiliki ilmu Thiat-poh-san ( ilmu baju besi) yang tak tembus jarum Tui-
hong-kiong.
Selagi dara itu masih terkesima, tiba-tiba Ni Jin-hiong menerkam dengan jurus Jip-
hay-kin-kau (masuk ke laut menangkap naga ). Marah sekali kepala pengawal Sin-
bu-kiong itu , maka serangannyapun dilakukan dengan cepat dan dahsyat sekali.
Ketika orang itu tiba di tanah, kembali sekalian orang terbeliak matanya…..
Ternyata yang muncul itu ialah Te-it-ong-hui Hong-ing sendiri, diikuti oleh keempat
dayangnya. Ni Jin-hiong dan belasan pengawal baju ungu itu segera
menghaturkan hormatnya.
Ni Jin-hiong segera menggunakan ilmu menyusup suara, “Adik Ing, mengapa kau
tak tahu gelagat? Mengapa kau mencampuri urusan ini. Kalau Te-kun sampai
mengetahui hubungan kita berdua….”
Sahut Ma Hong-ing juga dengan ilmu menyusup suara, ” Lain-lainnya boleh kau
bunuh, tetapi dara baju merah ini jangan kau apa-apakan! ”
” Wanita selalu lemah hati! Apakah kau tak takut membuat kapiran urusan besar?”
masih Ni Jin-hiong menyanggah.
Sekalipun marah sekali, namun di hadapan para pengawal baju ungu terpaksa Ni
Jin-hiong berlaku hormat kepada ‘permaisuri’ ini. Buru-buru ia mengiyakan.
“Dara baju merah itu hendak kubawa pergi….” Ma Hong-ing menuding pada
Thian-leng dan Bu-song. “Mereka berdua terserah padamu hendak mengurusnya.
Lain-lainnya harus segera melapor kepada Te-kun.!”
Ma hong-ing pun menyahut dengan ilmu suara, “Lain-lain urusan memang aku
boleh berunding dengan kau. Tetapi urusan ini, janganlah kau bertanya. Jika takut
urusan kita ketahuan Te-kun, bunuh saja budak laki itu. Lebih baik kalau dapat
menemukan jejak kedua taci beradik Ki….. Entah bagaimana akibatnya, sekalipun
harus mempertaruhkan jiwa di hadapan Te-kun, tetap aku harus menolong anak
peremouan ini!”
Habis itu segera ia memberi anggukan kepada si dara baju merah,” Ikutlah aku!”
Sudah tentu dara baju merah itu tertegun. Heran ia mengapa Te-it-ong-hui ini
begitu baik hati kepadanya. Setelah merenung sejenak, segera ia memaberi
isyarat mata kepada Thian-leng, serunya, “Mengapa tak ikut!”
Terjadi suatu benturan antara lwekang keras dan lwekang lunak. terdengar
semacam suara mendesis, kedua macam lwekang itu hampir buyar kekuatannya.
Thian-leng masih merasakan tubuhnya seperti terserap lwekang dingin sehingga
ia menggigil dan terpaksa mundur selangkah.
Kedua pihak bergerak cepat sekali. Dua jurus serangan hanya berlangsung dlam
sekejap mata saja. Celakanya, ketika Thian-leng terhuyung mundur, belasan
pengawal baju ungu itupun segera mengepungnya.
“Apa kau sudah bosan hidup ? “ tatap Ma Hong-ing kepada si dara baju merah.
Dara itu tertawa ringan, “Belum tentu kalian dapat merenggut jiwaku!”
Dara baju merah itu mengerutkan alisnya keheranan….Bukan saja tingkah laku
Ma Hong-ing itu tak wajar, tetapi ucapannya….’tak nyana kaupun menirukan
perangainya’…. makin membuatnya tak mengerti. Siapakah perempuan yang
dimaksudkan dengan ‘nya’ itu? Dan perlu apa ia harus mengucapkan kata-kata
semacam itu?
Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara genta bertalu. Ma Hong-ing tegang
wajahnya, buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, “Budak perempuan, jika
kau ingin hidup, lebih baik iktu aku tinggalkan tempat ini. Begitu Te-kun datang
bersama anak buahnya, tentu sudah terlambat…..!
Kutanggung tentu dapat mengantarkan engkau keluar. Kalau kau masih
penasaran, di kemudian hari bolehlah kau kemari lagi ! “
Rupanya kali ini termakan dalam hari si dara baju merah. Sahutnya dengan ilmu
menyusup suara, “ Aku mau, tetapi pemuda she Kang itupun harus bersama-sama
diantar keluar! “
Wajah Ni Jin-hiong mengerut. Marah dan gelisah, mengkal dan cemas. Tetapi di
hadapan rombongan pengawal anak buahnya, tak mau ia mengunjukkan reaksi
apa-apa.
Rombongan baju ungu yang menjadi jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-
kiong itupun tercengang heran. Mereka saling berpandangan. Mereka
menyaksikan sendiri keeratan hubungan Ong-hui dengan si dara baju merah.
Aneh, mengapa Ong-hui tak membunuhnya tetapi kebalikannya malah hendak
mengantarnya keluar? Hubungan apakah antara Ong-hui dengan dara itu?
Namun kedudukan Ong-hui dalam Sin-bu-kiong hanyalh di bawah Sin-bu Te-kun.
Wanita itu merupakan orang kedua yang berpengaruh. Walaupun pengawal baju
ungu itu tak keruan perasannya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa.
“Serahkan ketiga budak itu kepadaku. Silakan kalian mundur semua!” tiba-tiba ma
Hong-ing berseru keras kepada Ni Jin-hiong.
Kini dalam halaman yang luas itu hanya tinggal empat orang saja. Tiba-tiba thian-
leng melangkah menghampiri Ma Hong-ing.
Ma Hong-ing terbeliak. Bu-song dan si dara baju merahpun terkesiap kaget! Tetapi
pada lain saat wajah Ma hong-ing pun membeku! “Tentulah kau sudah tahu
bahwa aku bukan ibu kandungmu!”
“Aku tak butuh membohongimu! Aku tak butuh anak semacam engkau! Aku ingin
mencacah-cacah tubuhmu agar puas penasaran hatiku!”
Hati Thian-leng seperti disayat-sayat. Dia tak berdaya mengetahui hal yang
sebenarnya. Dan sesaat timbullah kesangsiannya akan ucapan wanita Toan-jong-
jin. Menilik sikap Ma Hong-ing itu tak menyerupai seorang ibu kandung.
Namun Ma Hong-ing hanya tertawa sinis, “Biarlah kau merasakan siksaan batin
begitu. Selamanya tak sudi aku memberitahukan kepadamu!”
Si dara baju merah terkejut. Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Jelas
bahwa ia menderita goncangan hati.
“Sekalipun aku tak tahu nama beliau, tetapi rupanya ia mempunyai hubungan erat
dengan beliau. Tentunya kau dapat menduga siapa orangnya!” seru Thian-leng.
“Beliau mengatakan bahwa kau pernah menjadi budaknya pada tujuh belas tahun
yang lalu!”
“Benar, memang dia! Dan saat ini beliaupun sudah berada dalam istana ini!” seru
Thian-leng.
“Entah beliau berada di mana, tetapi tentu masih berada di dalam istana ini….
Beliau seorang wanita yang memiliki kepandaian sakti. Mau datang bisa datang
seketika. Mau pergipun dapat lenyap seketika. Istana Sin-bu-kiong yang begini
kecil mana mampu menghalanginya?”
“Habis mengapa kau perlu memelihara aku selama tujuh belas tahun? Mengapa
kau tak mau memberitahukan nama ayah bundaku ? Mengapa kau
menjerumuskan aku supaya mati bersama Hun-tiong Sin-mo? Mengapa … ? ”
“Aku tak punya waktu ribut-ribut dengan kau…!” Ma Hong-ing membentak bengis.
“Lekas! Kalau ayal tentu terlambat!” Ma Hong-ing berseru kepada si dara baju
merah. Tanpa menghiraukan reaksi Thian-leng dan si dara baju merah lagi, iapun
terus mengayunkan langkah. Keempat bujangnya segera mengiringkan.
Tetapi mereka berjalan perlahan dan setiap kali berhenti, seolah-olah kuatir
ketahuan orang. Si dara baju merah mengikuti di belakangnya. Tiap-tiap kali ia
berpaling ke belakang menengok Thian-leng dan Bu-song.
“Apa yang hendak kau tanyakan?” tukas dara baju merah itu.
“Rasanya aku pernah kenal dengan nona, tetapi entah di mana?” kata Thian-leng.
“Cu Siau-bun…..!”
”Apa kau sungguh kenal padaku?” dara baju merah itu melengking.
Thian-leng mengangguk, ” Sudah tentu, dia banyak melepas budi padaku, dan
lagi…. ”
Sampai beberapa jenak Thian-leng tak menyahut. Dipandangnya dara itu lekat-
lekat. Cu Siau-bun risih, buru-buru ia berpaling ke muka lagi.
“Di saat dan tempat seperti sekarang, mengapa nona mengemukakan hal itu?”
tanya Thian-leng.
Cu Siau-bun menghela napas, ujarnya,” Aku hanya menruh simpati kepada kalian.
Tetapi mungkin aku dapat membantu kalian agar kalian dapat melaksanakan cita-
cita kalian itu!”
Thian-leng menghela napas rawan. “Ah, mungkin dalam kehidupan sekarang hal
itu sukar. Karena setiap saat jiwaku terancam maut, dan aku kuatir sahabatku
itupun sudah…. tiada di dunia lagi!”
Tiba-tiba Cu Siau-bun tertawa, ”Mengapa karena aku maka kau lantas teringat
padanya?”
“Karena nama nona sama dengan dia! Sahabatku itupun bernama Cu Siau-bun,
dan lagi…” ia berhenti sejenak, “maaf, meskipun tubuhnya lemah dan sakitan,
tetapi mirip sekali dengan nona…. inilah sebabnya kukatakan aku seperti pernah
kenal dengan nona!”
Pembicaraan kedua anak muda itu didengar jelas oleh Ma Hong-ing. Tetapi ia tak
mau mencegah. Bu-song pun menangkap pembicaraan itu. Juga seperti Ma Hong-
ing ia mengerutkan dahi.
Gedung itu sebuah gedung bertingkat yang luas dan indah. Lampunya terang
benderang, kain jendela warna warni. Gedung itu adalah Ing-ju-wan (wisma
menyambut musim semi) yang didiami oleh Te-it Ong-hui Ma Hong-ing.
Thian-leng gelisah. Bukan karena menghadapi bahaya maut, bukan pula takut
memikirkan bagaimana akibatnya nanti. Ia hanya merasa dadanya penuh sesak
seolah-olah tertindih batu besar.
Mata Ma Hong-ing berkaca-kaca, katanya dnegan nada gemetar, “Nak, aku tak
memasang perangkap apa-apa, kecuali hendak menolongmu keluar dari
bahaya… “ Dua butir air mata keluar dari mata Ma Hong-ing, buru-buru ia
melengos ke samping.
Cu Siau-bun tergetar hatinya. Dari sinar matanya yang rawan, ia mendapat kesan
bahwa air mata Ma Hong-ing itu sungguh-sungguh air mata kesedihan. Beberapa
perkataan yang sedianya hendak dilontarkan kepada Ma hong-ing terpaksa tak
jadi diucapkan.
Tiba-tiba pikirannya jauh melayang ke puncak lamunan yang ngeri. Ah, tidak,
tidak ! Tak dapat ia mempunyai ikatan apa-apa dengan wanita yang ganas ini.
Biar, biarlah ….. tak mau Cu Siau-bun menyelidiki rahasia apa yang terselip antara
Ma Hong-ing dengan dirinya. Biarlah hal itu terpendam. Ngeri ia membayangkan
andaikata Ma Hong-ing itu benar-benar mempunyai ikatan hubungan darah
dengan dirinya!
Tiba-tiba ia menemukan suatu keputusan yang seram. Ya, tak ada jalan lain
kecuali harus melenyapkan Ma Hong-ing. Asal wanita itu mati, maka segala
rahasia…-andaikan ada- biarlah turut lenyap selama-lamanya.
Saat itu tampak Ma Hong-ing membesut air matanya, kemudian berpaling ke arah
Cu Siau-bun, “Nak, percayalah kepadaku. Jika lambat tentu sudah kasip.”
“Hal itu tak perlu, hanya saja…. “ Cu Siau-bun sejenak kerlingkan pandangannya
ke arah lorong gelap, katanya,” Lorong segelap itu, masakah tak tada perkakas
rahasianya?”
Sesosok bayangan hitam melesat keluar dari sebuah sudut lorong. dengan
pedang terhunus, orang itu menghadang di tengah jalan. bentaknya, “Siapa
tengah malam berani melintasi Kian-koan? Apakah membawa perintah Te-kun?”
“Aku Ong-hui yang datang, perlu apa harus membawa perintah Te-kun? Apakah
matamu buta?” Ma Hong-ing mendamprat.
Orang itu mengeluh dan buru-buru berlutut minta maaf. ”Hamba tak tahu kalau
Ong-hui yang datang ! ” Kemudian ia bangkit dan berdiri dengan kepala
menunduk.
Kira-kira berjalan lima-enam puluh tombak jauhnya dan sudah melalui tiga pos
penjagaan yang semuanya dapat dilalui Ma Hong-ing dengan mudah, tiba-tiba cu
Siau-bun berhenti, serunya, “Masih berapa lama lagi kita harus menyusuri?”
Ma Hong-ing menghentikan langkah, “Cepat, paling lama dua puluhan tombak lagi
sudah tiba di luar istana!”
Jilid 7 .
Thian-leng dan Bu-song terkejut juga. Mereka tak menyangka bahwa Cu Siau-bun
akan berbuat begitu. Mereka buru-buru menghampiri Ma Hong-ing.
Tak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah pintu besi yang menutup
jalanan. Ma Hong-ing segera memijat sebuah alat yang berbentuk seperti gelang
kecil. Terdengarlah bunyi berderak-derak dan terbukalah seketika sebuah pintu
kecil. Pintu itu hanya cukup dimasuki seorang. Pun tidak bisa masuk dengan
tegak, tetapi harus membungkuk.
“Sekeluarnya dari lorong berdinding besi ini kita bakal tiba di luar istana yang
gelap pintunya!” kata Ma Hong-ing sambil mendahului jalan.
Kali Cu Siau-bun tak bersangsi. Ia terus mengikuti saja. Tetapi baru ia melangkah
melalui pintu besi itu, tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan!
Habis melalui pintu besi, Ma Hong-ing segera berhenti menjaga di samping pintu.
Karena mengira Ong-hui hendak melindungi sampai rombongan muda-mudi itu
selamat melalui pintu besi, maka tanpa curiga apa-apa Cu Siau-bun pun segera
ayunkan langkah.
Daarr…. karena tak menyangka, Thian-leng dan Bu-song termakan pukulan Hian-
im-ciang dari Ma Hong-ing dengan jitu. Tubuh kedua anak muda itu serasa
dilanda oleh hawa dingin, darah merekapun bergolak sehingga terhuyung-huyung
mundur beberapa langkah. Dan pada saat itu tiba-tiba pintu besi tertutup pula.
Thian-leng dan Bu-song baru hendak berusaha memperbaiki keseimbangan
tubuh, sekonyong-konyong tanah yang mereka injak itu amblas dan terceburlah
mereka ke dalam sebuah lubang jebakan yang gelap….
Cu Siau-bun kaget sekali. Buru-buru ia hendak menerjang keluar untuk menolong
Thian-leng, tapi sudah terlambat. Pintu besi itu sudah tertutup. Ternyata pintu itu
ditutup oleh dua orang penjaga.
“Apakah Ong-hui masih ada perintah?” kedua pengawal baju biru segera
menanya.
Berobahlah wajah kedua pengawal itu. Mereka kembali berpandangan satu sama
lain.
Wajah kedua pengawal itu pucat pasi. Namun tanpa ayal lagi mereka segera
menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Terdengar dua sosok tubuh mengelepar
jatuh ke tanah. Kedua pengawal itupun melayang jiwanya.
Cu Siau-bun tiba-tiba memutar tubuhnya. Ia memukul dan menebas pintu besi itu.
Tetapi betapapun ia habiskan tenaganya, pintu besi itu tak bergeming sedikitpun
jua. Matanya yang mengembang air mata menyinarkan gelora pembunuhan yang
menyala-nyala. Cepat ia berputar dan mengancamkan pedangnya ke dada Ma
Hong-ing lagi, bentaknya, “Jika kau tak mau membuka pintu besi ini, segera akan
kubunuh!”
Sebenarnya ia tak tahu apakah rahasia terpendam itu. Hanya ia merasa bahwa
hal itu tentu tak menguntungkan dirinya, “Bunuh, bunuhlah saja….!” demikian sang
hati meronta-ronta mendesak sang pikiran yang masih ayal.
Entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita tua berambut
putih dan wajahnya sudah keriput tampak tegak berdiri di belakangnya. Seperti
seekor domba yang melihat induknya, maka Cu Siau-bunpun segera loncat
menubruk ke dada wanita itu seraya menangis, “Mah….”
Wanita itu mengerutkan dahi, “Sekarang belum saatnya aku menunjukkan diri. Aku
hendak menyelidiki secara diam-diam, baru nanti turun tangan menyelesaikan
seluruh persoalan….”
Wanita itu paksakan tertawa, “Tak usah diramal lagi, jelas bahwa wajahnya tak
memantulkan tanda kenaasan!”
Agak longgar hati Cu Siau-bun, namun ia tetap mendesak ibunya, “Kalau begitu
baiklah kita lekas menolongnya!”
“Tak perlu, karena tentu sudah ada orang yang menolongnya!” wanita itu
tersenyum.
“Aku tak percaya,” Siau-bun menyengit, “mungkin saat ini dia sudah meninggal!”
“Siapa?”
“Ka……kekmu!”
“Mamah mempunyai alasan yang sukar diutarakan. Baiklah kau jangan banyak
tanya lagi!”
Ibunya seorang wanita yang keras tetapi mengasihinya dan terutama sang ibu itu
tak pernah berbohong.
Sekalipun manja tetapi Siau-bun mengindahkan ibunya.
ooo000oooo
Wanita tua itu mendengus dingin. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Hai….. kulit
mukanya bergulung seperti dikupas. Ah….. , kiranya ia memakai kedok dari kulit
orang. Dan hilangnya muka orang tua berwajah keriput itu, tampaklah wajahnya
yang asli.
Seorang wanita yang cantik sekali. Walaupun usianya sudah mendekati tiga puluh
enam-tiga puluh tujuh tahun, namun kecantikannya masih memancar gilang-
gemilang….
Ma Hong-ing terbeliak kaget, serunya tergugu, “Ah, kiranya memang kau ….Cu
Giok-bun!”
Wanita yang ternyata bernama Cu Giok-bun itu terpukau dalam badai perasaan
yang melanda hatinya. Dia tegang, hatinya bergolak-golak!
“Tujuh belas tahun tak bertemu, ternyata kau masih dapat mengenali diriku,”
akhirnya meluncurlah kata-kata dari mulutnya.
“Jangankan tujuh belas tahun, tujuh puluh tahunpun aku tetap mengenalimu.
Siang malam aku selalu terkenang padamu…….” Ma Hong-ing menjerit geram.
“Ya, ingin sekali kumakan dagingmu, membeset kulitmu!” tiba-tiba Ma Hong-ing
menjerit pula dengan kalap.
“Sebelum menjadi pelayanku, kau toh belum kenal padaku? Mengapa kau
mempunyai dendam sakit hati?” Cu Giok-bun mengerutkan dahi.
“Mungkin kau memang lupa. Kau telah membunuh ratusan jiwa manusia, sudah
tentu tak teringat akan peristiwa kecil itu…..” seru Ma Hong-ing,”tetapi yang jelas,
seluruh empat belas jiwa keluargaku, telah mati di tanganmu!”
Wajah Cu Giok-bun mengerut gelap, serunya sengit, “Meskipun sejak kecil aku
sudah belajar silat, tetapi belum pernah membunuh seorang manusia. Apalagi
ketika kau menjadi pelayanku, aku masih kecil, mana dapat membunuh orang!”
“Memang bukan tanganmu yang membunuh! “ teriak Ma Hong-ing makin sengit,
“tetapi ketahuilah bahwa ‘lidah itu lebih tajam daripada pedang’. Mungkin
keluargaku mati karena pengaruh lidahmu!”
Cu Giok-bun makin heran, serunya, ”Aku sungguh tak ingat hal itu. Lebih baik
segera jelaskan. Jika benar aku yang membunuh keluargamu, silakan kau
melakukan pembalasan dendam sesukamu!”
Ma Hong-ing tertawa hina, “Aku tak suka bicara yang tak berguna! Saat ini aku
jatuh di tanganmu, adalah nasibku yang jelek. Jika kau takut terancam bahaya di
kemudian hari, lekas bunuh aku!”
Cu Giok-bun tertawa getir, “Telah kukatakan, tak tahu aku di mana letaknya
permusuhan kita ini. Perlu apa aku harus membunuhmu……” matanya berkilat-
kilat dan nadanya berubah serius. “Aku ingin mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya. Apakah dendammu kepadaku itu ? Mengapa kau mati-matian hendak
mencari balas padaku? Mengapa kau tahu bahwa aku adalah Hun-tiong…., “ tiba-
tiba ia mengganti kata-katanya, “Tuduhanmu aku takut menerima pembalasanmu,
sungguh menggelikan. Asal kau mau mengatakan sejujurnya, segera aku angkat
kaki dari sini.
Silakan kau mengatur rencana pembalasanmu. Aku Cu Giok-bun setiap saat dan
di manapun saja selalu bersedia menerima kedatanganmu!”
“Mah, dia bukan putera wanita ini. Aku mempunyai beberapa bukti!” tiba-tiba Siau-
bun menyeletuk.
Sambil menahan rasa sakit, Ma Hong-ing kertak giginya memaksakan diri berseru,
”Puteraku sendiri atau bukan , bukanlah urusanmu! ”
“Siau-bun , mari kita pergi,” ia berpaling dan ajak si dara baju merah.
Ketika melihat seorang wanita cantik, Ni Jin-hiong terkesiap. Tetapi pada lain saat
ia membentak,” Siapa kau…….?”
“Hamba mendapat perintah Te-kun, tak boleh melepaskan orang. Karena tugas,
terpaksa hamba tak dapat meluluskan perintah Ong-hui,” sahut Ni Jin-hiong. Habis
itu ia mengumpulkan tenaga dan sekoyong-konyong menghantam.
Ni Jin-hiong tertawa congkak, “Tak peduli dia orang bagaimana, sekali jatuh ke
dalam tanganku, tentu tamat riwayatnya.”
Ia tak kenal siapa wanita pertengahn umur yang cantik itu. Tetapi ia yakin wanita
itu tentu tak kuat bertahan dalam tiga buah jurus serangannya. Bahkan mungkin
sekali pukulan saja, wanita itu sudah mampus. Maka dengan keyakinan itulah ia
tak menghiraukan peringatan Ma Hong-ing. Cu Giok-bun hanya tertawa dingin.
Sikapnya acuh tak acuh.
Adalah ketika tenaga dingin itu menyambar ke muka Cu Giok-bun, barulah wanita
itu menggerakkan tangan menyongsong ke muka. Berbareng dengan itu tangan
kirinya dibalikkan ke belakang untuk menutuk kedua pengawal baju ungu yang
menyerang dari belakang itu.
Sama sekali Ni Jin-hiong tak mengetahui ilmu pukulan apa dan tenaga apa yang
dilancarkan si wanita itu, tetapi ia merasa suatu aliran hawa panas melanda
semacam banjir lahar. Bukan saja lwekang dingin Hian-im-sicang sirna seketika,
bahkan hawa panas itu masih menembus menyerang dadanya! Ia terkejut sekali.
Saat itu baru ia menginsyafi kalau berhadapan dengan seorang wanita sakti. Buru-
buru ia hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi. Dadanya merasa di
tampar taufan panas, darahnya bergolak dan tubuhnya serasa dibakar. Tak
mampu lagi ia berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai
beberapa langkah. ‘Huak….’ segumpal darah panas muntah dari mulutnya…..
Ternyata sebelum pukulan mereka melayang, tutukan jari Cu Giok-bun tadi telah
menghamburkan angin keras. Sekeras palu besi yang menghantam kepala
mereka. Betapapun kerasnya batok kepala, tetapi tetap hancur diadu dengan palu
besi!
Walaupun segan, namun Siau-bun tak dapat membantah lagi. Sekali enjot tubuh,
kedua ibu dan anak itu lenyap dari pandangan !
Ni Jin-hiong melirik ke arah kedua pengawal yang sudah menjadi mayat itu,
mulutnya mengoceh seorang diri, “Hun-tiong Sin-mo….mengapa hanya seorang
wanita yang begitu cantik…. ?” Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ma Hong-ing,
“Benarkah keteranganmu ini?”
Ia termenung sejenak, ujarnya pula, “Menurut cerita, Hun-tiong Sin-mo itu sudah
berusia sembilan puluhan tahun dan lagi dia itu seorang lelaki. Adik Ing,
bagaimanakah hal ini...”
Agak tak sabar Ma Hong-ing menjawab, “Hal itu sekarang enggan aku
menceritakan. Apalagi sekalipun kuterangkan juga tak dapat sejelas-jelasnya.” Ia
tertawa rawan, serunya, “Apakah anak itu sudah kau bunuh?”
“ Belum …….”Ni Jin-hiong terkejut, “pada saat hendak kubunuh, tiba-tiba Te-kun
mengirim perintah anak itu harus ditangkap hidup-hidup dan tak boleh dibunuh,
maka…..”
Seketika pucat pasilah wajah Ma Hong-ing, serunya gugup, “Di mana dia
sekarang?”
“Di dalam penjara Cui-lo (penjara air). tetapi Te-kun telah menitahkan kedua Su-
cia untuk melihatnya !”
”Kalau begitu kita harus mencari akal, masakah kita mandah saja menunggu
hukuman Te-kun…..” kata Ma Hong-ing.
Tiba-tiba mata Ni Jin-hiong berkilat, serunya, ”Sekarang hanya ada sebuah akal.
Kita tinggalkan istana ini!”
”Adik Ing, kalau terlambat tentu kasip. Mungkin Te-kun akan keluar sendiri……
percayalah, adik Ing, marilah kita lewatkan sisa hidup kita….. ”
Tiba-tiba kata-kata Ni Jin-hiong itu terputus oleh sebuah suara yang bernada
dingin, ”Siapa yang kau sebut adik Ing itu?”
******
Penjara Air
Seorang pendek kurus, berjenggot kambing dan mengenakan jubah warna merah,
tengah berdiri tak jauh di sebelahnya!
Semangat Ni Jin-hiong serasa terbang, mukanya pucat seperti mayat. Serta merta
ia berlutut dan meratap, “Hamba pantas dibunuh….!”
Wajah Te-kun membesi, “Bukankah kalian hendak melarikan diri ke tempat jauh?
Ayo, pergilah sekarang juga!”
Dipandangnya kedua lelaki perempuan itu. Serunya geram, “Yang satu permaisuri
tersayang dari Te-kun, yang satu kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang paling
kupercaya. Ah, ternyata mereka telah melakukan perbuatan zinah. Kedua-duanya
telah menghianati aku….”
Sin-bu Te-kun rupanya masih belum puas. Ia kibatkan dua buah jari tangannya,
yang satu ke arah Ni Jin-hiong, yang satu pada Ma Hong-ing.
“Bawa kedua anjing ini ke dalam penjara Si-lo. lain hari aku sendiri yang hendak
memberi hukuman kepada mereka!”
Dua pengawal baju ungu segera tampil. Mereka mengangkut tubuh Ni Jin-hiong
dan Ma Hong-ing menuju ke pintu besi. Pada lain saat, pintu besi itupun tertutup
lagi.
Suasana di luar pintu besi kembali diselubungi oleh kesunyian. Mayat dari kedua
pengawal baju biru yang disuruh bunuh diri oleh Ma Hong-ing dan dua pengawal
baju ungu yang dibunuh oleh Cu Giok-bun masih malang melintang di tanah…..
Sekarang marilah kita ikuti Thian-leng dan Bu-song yang jatuh ke dalam liang
jebakan itu.
Akibat pukulan Ma Hong-ing, kedua anak muda itu telah menderita luka yang tak
ringan. Darah mereka serasa bergolak-golak. Untung lwekang mereka cukup
kokoh.
Pada saat menerima pukulan, mereka segera mengerahkan tenaga untuk
menahan, sehingga pukulan lwekang Ma Hong-ing yang mengandung racun Im-
han (dingin) itu tak sampai menembus ke dalam tulang.
Lubang perangkap itu cukup dalam. Adalah karena lwekangnya buyar, Thian-leng
tak dapat memusatkan pertahanan diri lagi. Ia coba kerahkan sisa tenaga untuk
memusatkan ketenangan pikirannya ketika sang tubuh meluncur turun ke bawah.
Api kebencian membakar hatinya. Tak mungkin Ma Hong-ing itu ibunya. Macan
yang buaspun tak akan memakan anaknya. Ma Hong-ing ternyata lebih buas dari
macan. Apalagi selama berkumpul tujuh belas tahun itu, seingatnya ia tak pernah
berbuat salah terhadap ibunya itu. Ah, benarkah wanita itu ibunya….?
Tiba-tiba ia teringat kepada Bu-song. Bukankah tadi nona itu juga terkena pukulan
Ma Hong-ing dan bersama-sama jatuh ke dalam lubang jebakan ini?
Thian-leng tergetar. Ia mengulangi lagi berteriak lebih keras, “Nona Lu! No…
na..Lu..!”
“Ah, mungkin kita akan mati di sini, " Bu-song menghela napas. Thian-lengpun
rawan hatinya. Meskipun tak takut mati, tetapi ia kecewa dengan kematian cara
begitu.
Jilid 8 .
Kenangan
Bu-song tertawa getir, ”Lukaku tak menguatirkan, tetapi yang penting bagaimana
kita keluar dari tempat ini...?”
“Tak usah nona kuatir, “Thian-leng paksakan tertawa menghiburnya, “lebih baik
kita beristirahat mengembalikan semangat dulu. Setelah itu baru kita berusaha!”
Biji mata Bu-song yang berkilau-kilau laksana bintang kejora menatap tajam pada
Thian-leng, ujarnya,”Mungkin kau........masih mendongkol padaku?”
Thian-leng tertegun, “Eh, mengapa nona mengatakan begitu, mana aku berani....”
Thian-leng menyeringai. Untung karena gelap kerut wajahnya tak kelihatab Bu-
song. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu menjawab, “Nona tak bersalah, memang aku
sendiripun juga tidak benar!”
“Tak perlu menyalurkan lwekang, nanti saja setelah berada di neraka kalian boleh
melakukan hal itu!” tiba-tiba terdengar suara tertawa sinis.
Thian-leng terbeliak kaget! Walaupun tak tampak orangnya, tapi ia kenal suara
ketawa itu sebagai suara Ni Jin-hiong. Buru-buru Thian-leng kerahkan
lwekangnya siap sedia. Tetapi ia menderita luka parah, geraknya agak ayal.
Seketika ia rasakan punggungnya kesemutan dan tahu-tahu jalan darahnya kena
tersambar angin tutukan jari Ni Jin-hiong. Bu-songpun mengalami nasib serupa.
Pada lain saat Ni Jin-hiong muncul. Sambil menyambar pedang salah seorang
pengikutnya, segera ia tebaskan kepada kedua anak muda itu.........
Pada lain saat Ni Jin-hiongpun lenyap. Tampak di sebelah muka terdapat sebuah
pintu batu yang tertutup rapat. Di kedua sampingnya diterangi oleh empat batang
lilin yang sebesar lengan anak kecil.
“Apakah yang kau bawa itu kedua tawanan tadi?” tiba-tiba terdengar suara
bentakan keras. Dua penjaga tua yang bertubuh kurus dan gemuk muncul dari kiri-
kanan pintu.
Penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus itu brseru, “Baik, jebloskan ke dalam!”
Terdengar suara berdrak-derak dan kedua daun pintu batu itupun perlahan-lahan
terbuka. Di dalam pintu ternyata merupakan sebuah kubangan seluas sepuluh
tombak, penuh digenangi air busuk. Baunya menusuk hidung. Di tengah
kubangan terdapat beberapa tiang batu yang ujungnya diberi gelang baja besar.
Rombongan pengawal segera mengikat Thian-leng dan Bu-song. Kedua anak itu
diikat pada gelang baja. Dengan demikian Thian-leng dan Bu-song dibenam
dalam kubangan air itu sebatas dada. Kedua tangan mereka diikat pada tiang
batu. Keadaannya tak berdaya sama sekali karena jalan darah mereka tertutuk….
Selesai mengikat, rombongan pengawal segera pergi dan pintu batupun tertutup
pula. Kini di dalam penjara Cui-lo hanya tertinggal kedua anak muda itu. Lama
sekali keduanya tak dapat bicara. Akhirnya Thian-lenglah yang mulai membuka
mulut, “Nona Lu……… lukamu…..”
Bu-song tertawa getir, “Jiwapun belum tentu selamat, mengapa masih menyibuki
luka!”
Pedih hati Thian-leng, katanya dengan rawan, ”Mati tak kusayangkan, tetapi tak
seharusnya kurembet nona…..”
Bu-song menghela napas, “Aku tak sesalkan kau, biarlah kita serahkan pada
nasib!”
Habis berkata dara itu pejamkan mata, Thian-lengpun ikut terbenam dalam
renungan.
Sesaat sunyi senyap dalam penjara air. Dari berpuluh-puluh tonggak batu yang
berada dalam kubangan air busuk itu, semua kosong kecuali terisi mereka berdua.
Dinding tembok penjara itu terbuat dari batu yang tebal, hanya bagian wuwungan
atas diberi berpuluh lubang kecil untuk udara. Penjara air yang sekokoh itu masih
dijaga pula oleh dua penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus…..
Kubangan air busuk sekali hawanya. Sedemikian busuk sampai membuat orang
hampir muntah. Bu-song mengkertak gigi, dahinya mengerut dan tak henti-
hentinya tubuhnya bergetar. Jelas dara itu tengah berjuang menahan derita
kesakitan.
Thian-leng tertegun ujarnya, “Jika berhasil lolos dari neraka ini, kelak aku tentu
akan membalas budi nona. tetapi jika tak beruntung mati di sini, biarlah dalam
penjelmaan kelak kubalas budi nona!”
“Jika kita tidak mati, bagaimana kau hendak membalas budi padaku?”
“Tidak, kau harus mengatakan hal itu. Setelah itu baru kita bicarakan lain-lainnya!”
si dara bersikukuh.
Thian-leng kerutkan alis, ”Jika beruntung tak mati di sini, apapun yang nona
hendak perintahkan padaku, tentu aku sanggup melaksanakan, sekalipun harus
terjun ke dalam lautan api !”
Diam-diam Thian-leng membatin. Anak perawan ini aneh sekali. Budi dibalas budi
adalah sudah layak. Mengapa masih ngotot, apa yang dikehendaki lagi?
“Maaf, aku tak dapat memikirkan, bagaimana cara membalas budi yang
memuaskan nona, hanya saja.......aaa, tak peduli nona akan menitahkan apapun,
tentu kululuskan!”
“Aku percaya padamu. Tak usah berkata lagi.....” tukas Bu-song. “Coba terka, apa
yang hendak kuminta darimu?”
Kembali Thian-leng tertegun, “Bagaimana aku tahu hati nona? Tetapi pokoknya
apapun yang nona katakan, pasti kulakukan dengan sepenuh tenaga. Tentu
takkan mengecewakan!”
Tiba-tiba mata Bu-song berkilat-kilat penuh sinar harapan hidup dan mulutnya
tersekat-sekat berkata, “Aku ....... menghendaki kau seumur hidup.............”
“Bawa anak perempuan itu!” serunya dengan bengis. Dua penjaga berpakaian
hitam muncul menghampiri Bu-song. Mereka membuka ikatan si nona lalu
menyeretnya pergi.
“Kalian hendak membawa aku kemana?” karena jalan darahnya tertutuk, Bu-song
tak dapat berbuat apa-apa kecuali menjerit-jerit.
“Jangan ribut!” bentak kedua pengawal gemuk dan kurus, “sebentar kau tentu tahu
sendiri!”
“Aku tak mau pergi!” Bu-song menjerit-jerit, “kalau mau membawa aku, bawalah
pemuda itu juga....”
Masih terdengar suara Bu-song yang penghabisan kalinya, “Kang Thian-leng, jika
aku tak mati, aku tentu datang menolongmu, kau.......” Hanya itu suara yang dapat
diteriakkan si dara karena sekejap kemudian suaranya telah lenyap ditelan
tertutupnya pintu batu.
Penjara airpun kembali dalam kegelapan. Kini hanya berisi Thian-leng seorang.
Badannya yang terikat dan rasa sakit pada luka-lukanya, tak dihiraukan sama
sekali. Ia masih dapat bertahan. Tetapi derita batin memikirkan keselamatan Bu-
song jauh lebih menyiksa hatinya. Dalam kemarahan yang tak berdaya itu, hampir
putuslah segala harapan. Betapa inginnya saat itu ia segera mati saja! Ya, hanya
kematianlah yang kiranya dapat membebaskannya dari penderitaan semacam itu.
Sekilas kemudian, terlintas suatu percikan sinar terang dalam otaknya. Mati, ya,
kematian memang enak, memang satu-satunya cara untuk membebaskan
penderitaan.
Tetapi hal itu hanyalah suatu penghindaran diri dari kenyataan. Suatu pengelakan
dari tanggung jawab.
Suatu perbuatan pengecut dari manusia yang tak berani menghadapi kenyataan
hidup. Bukankah ia seorang jantan ? Mengapa ia takut menanggung segala akibat
perjalanan hidupnya ?
Mengapa dara itu dibawa pergi kalau tidak akan dibunuh? Memikirkan hal itu
kembali hati thian-leng tegang sekali. tetapi pada lain saat ia teringat bahwa Bu-
song adalah cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun. Kakek berjenggot
perak ketua partai Thiat-hiat-bun adalah seorang tokoh sakti. Mungkin tentu dapat
menolong cucunya.
Tiba-tiba ia tersentak kaget lagi. Mau tak mau ia harus mempercayai pendengaran
telinganya. Ya, terdengar pula suara lemah itu. Malah kini lebih dari yang tadi. Ia
yakin tentu tak salah dengar. Jelas bahwa suara itu merupakan suara erang
seruan seseorang. Ah, tak salah lagi !
Satu-satunya jalan yang dapat ditembusi ialah dari lubang-lubang kecil pada
langit-langit ruang penjara. Maka kali ini ia hentikan pernapasan dan mendongak
ke atas mendengarkan dengan penuh perhatian. Ah, benarlah. Suara lemah itu
terdengar jelas…..
Sayup-sayup terdengar suara seorang tua yang parau, “Nak, apakah kau
mendengar suaraku….?”
Girang Thian-leng tak terkira, segera ia menyahut. “Ya, mendengar. Siapa kau?”
karena meluapnya rasa girang, Thian-lengpun menghamburkan suaranya dengan
keras sehingga ruang penjara air itu seolah-olah terselubung oleh suara
kumandangnya yang bergema lama.
Ketika suara Thian-leng sudah lenyap, terdengar pula suara parau itu, “Nak,
jangan keras-keras, aku tak dapat mendengar dan lagi akan menarik perhatian
penjaga!”
Orang tak dikenal itu menghela napas, “Aku berada di ruang penjara Si-lo
( Penjara maut), di sebelah penjara air……”
Orang itu mengerang sejenak, ujarnya, “Tujuh belas tahun yang lalu…………”
“Tujuh belas tahun yang lalu?” kembali Thian-leng terkejut, ‘’siapakah nama
locianpwe.. ?”
Kata-kata tujuh belas tahun itu memberi getaran keras pada perasaan Thian-leng.
Ia mendapat firasat bahwa pada masa itu telah terjadi suatu peristiwa yang tak
wajar dan peristiwa itu mempunyai sangkut-paut dengan dirinya.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, “Nak, jangan banyak tanya
dulu. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Thian-leng tertawa getir, “Jalan darahku tertutuk, kedua tanganku diikat dan aku
dijebloskan dalam penjara air yang berdinding kokoh. Locianpwe, kiranya engkau
tentu dapat membayangkan keadaanku itu!”
“Sekalipun menderita luka, tetapi aku telah mendapat peruntungan yang luar biasa
dari seorang sakti. Tenaga dalamku telah digembleng sehingga luka yang kuderita
ini tak menjadi soal.”
“Dapatkah kau menguasai ilmu mengerahkan lwekang untuk membuka jalan
darah yang tertutuk?” tanya orang itu pula.
Thian-leng tak berani banyak bicara lagi. Ia anggap perkataan orang tak dikenal
itu memang benar. Siapa tahu jika memang dengan pengerahan tenaga lwekang
dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk, bukankah itu suatu pertolongan
yang besar? Segera ia mengerahkan semangat dan pusatkan seluruh
perhatiannya. Setelah tenaga itu terpusat, segera ia salurkan ke arah jalan
darahnya yang tertutuk. Tetapi secepat itu ia merasakan suatu penderitaan yang
hebat. Tulang-tulangnya serasa ditusuk senjata tajam. Sakitnya bukan kepalang
sehingga ia mengerang.
Tiba-tiba terdengar keluh orang itu, “Ah, mungkin aku salah menilai orang. Hm, kita
sudahi saja pembicaraan sampai di sini!”
Terdorong oleh rasa malu dan gugup, ia segera menggertak gigi dan
mengerahkan seluruh lwekangnya untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk
itu. Sekali…. dua kali… tiga kali…. ia tahan segala kesakitan, terus
menggempurkan lwekangnya.
Sampai pada putaran yang ke sembilan kali, terdengarlah tulang-tulangnya
berkerotokan dan jalan darahnya yang tertutuk itupun …terbuka!
Girang Thian-leng bukan kepalang! Tetapi saat itu ia merasa letih sekali. Tulang-
tulangnya serasa lunglai, kepalanya mandi keringat, napas terengah-engah.
“Tetapi….”
“Tetapi bagaimana?”
“Karena terikat oleh kulit ular , sekalipun jalan darahku sudah terbuka, tetapi belum
dapat memutuskan tali pengikat itu!”
Orang di dalam penjara air itu tertawa, “Tak perlu kuatir! Cobalah kau ulangi lagi
jurus-jurus yang kau pelajari dari Sin-bu Te-kun itu!”
“Jangan banyak bicara ?” tiba-tiba orang itu menukas, “lekas turut perintahku ini!”
Thian-leng yang sudah mengenal akan perangai orang, terpaksa tak berani
membantah. Segera ia ulangi menjalankan jurus-jurus dari permainan Sin-bu Te-
kun. Makin lama makin terlelap ia dalam ilmu permainan yang luar biasa itu.
Entah berapa lama ia terbenam dalam permainan itu. Satu demi satu, dari jurus ke
jurus, telah dimainkan sampai selesai. Setelah inti pelajaran itu dicamkan benar-
benar, barulah ia berkata, ’’Locianpwe, telah kupelajari pelajaran itu dengan
paham !’’
Dengan suara menghibur, orang aneh itu berseru, “ Bagus, sekarang kau boleh
bertanya!”
Makin terengah napas Thian-leng seketika. Serunya , “Pada tujuh belas tahun
berselang, bukankah kau pernah mempunyai seorang putera? Mengapa kau
sekarang dijebloskan dalam penjara maut ini?”
Nyo Sam-koan tertawa getir, “Nak, akan kuceritakan padamu dengan perlahan-
lahan. Tetapi yang jelas, aku bukanlah ayahmu……! Siapa ayahmu aku sendiri tak
jelas….! Mungkin kau anaka pungut Ma Hong-ing atau mungkin anak orang lain
yang dicuri… ‘’
Kata Nyo Sam-koan pula, “Sekarang aku sudah berumur tujuh puluh lima tahun.
Dahulu sejak kecil aku menjadi bujang dari keluarga Pok di Lulam. Keluarga Pok
termasyhur sebagai tokoh silat yang dihormati orang. Aku disuruh melayani
puteranya yang bernama Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng…..”
“Mungkin seharusnya Pok kongcu jangan pesiar ke Ling-lam. Karena hal itulah
maka sampai menimbulkan bermacam kejadian yang berbelit-belit!”
“Memang Pok kongcu memiliki kepandaian silat yang hebat, sehingga dalam usia
kurang dari dua puluh tahun saja dia sudah merupakan tokoh silat yang
termasyhur di dunia persilatan Tiong-goan. Sebagai anak muda, tak lepas Pok
kongcu dari rasa bangga. Julukan Siau-yau kiam-khek (Pendekar pedang bebas)
itu dia sendirilah yang mengumumkan. Selama dalam pengembaraan itu, tak
sedikit sahabat-sahabat persilatan yang coba-coba hendak menjajal kepandaian
Pok kongcu. Tetapi rata-rata mereka hanya mampu melayani Pok kongcu sampai
sepuluh jurus saja. Tak seorangpun dari tokoh persilatan yang tak mengagumi
ilmu pedang Pok kongcu! Tetapi setiba di Liang-lam, terjadilah suatu peristiwa
yang luar biasa. Pok kongcu telah ketemu batunya…. »
‘’Apakah dia dikalahkan orang ?’’ Thian-leng tak dapat menahan diri lagi.
“Benar!” sahut Nyo Sam-koan. “Bahkan menderita kekalahan yang mengenaskan.
Baru bertempur tiga jurus saja, pedangnya telah dimentalkan jauh, lengan
kanannya terluka. Sekalipun lawan tak bermaksud melukainya sungguh-sungguh,
namun hal itu dianggapnya suatu penghinaa yang hebat!”
“Lawannya itu hanya seorang dara yang baru kira-kira berumur enam belas tahun.
Puteri kesayangan dari Lu Liang-ong, ketua partai Thiat-hiat-bun sendiri!” kata Nyo
Sam-koan lebih lanjut.
Hati Thian-leng bergelombang keras. Seketika teringatlah dia akan si dara Bu-
song. Bu-song ialah cucu si Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Thiat-hiat-bun.
Kalau begitu bukankah yang mengalahkan Pok Thiat-beng itu ibu dari Bu-song?
Sesaat kemudian Nyo Sam-koan berkata pula, “Seteloah menderita kekalahan itu,
Pok kongcu segera hendak membunuh diri. tetapi ah………. rupanya masih
panjang lelakonnya. Ternyata dara yang mengalahkan Pok kongcu itu malah jatuh
cinta padanya….!”
“Ya,” jawab Nyo Sam-koan, “tiga hari kemudian disaksikan oleh ketua Thiat-hiat-
bun Lu Liang-ong, mereka terangkap menjadi suami isteri, bersumpah sehidup
semati…..!”
“Siapa nama gadis yang menikah dengan Pok Thian-beng itu?” tanyanya.
“Meskipun Pok kongcu sudah menikah dengan nona Lu, tetapi ia tak mau menetap
di daerah Ling-lam. Setelah beberapa bulan kemudian ia pamit pada ayah
mertuanya dan membawa isterinya pulang ke utara.
Nona Lu mempunyai seorang pelayan perempuan yang semestinya ditinggal di
rumah untuk melayani Lu Liang-ong. Tetapi bujang perempuan itu dengan sangat
meminta pada nona Lu supaya diperbolehkan mengikutinya. Katanya ia ingin
melayani nona majikannya selama-lamanya. Sekalipun terharu atas kesetiaan
bujang itu, namun nona Lu tak meluluskan, karena mengingat kepentingan
ayahnya nanti.
Di luar dugaan bujang itu menyatakn bahwa ia jatuh cinta padaku dan ingin
menjadi isteriku…..”
“Ialah Ma Hong-ing yang menjadi Teit Ong-hui dari Sin-bu Te-kun sekarang!” ia
menutup kata-katanya dengan helaan napas.
“Baik, “ kata Nyo Sam-koan, “atas permintaan yang sangat dari Ma Hong-ing,
akhirnya nona Lu meluluskan Ma Hong-ing jadi dinikahkan dengan aku lalu diajak
pulang ke rumah Pok kongcu. Tetapi sebelum sempat pulang ke Lu-lam, di tengah
jalan telah timbul peristiwa….”
“Karena tujuan semula Pok kongcu hendak pesiar, maka iapun mengajak isterinya
berbulan madu dahulu, pesiar ke berbagai tempat yang indah alamnya. Maka
kurang lebih delapan bulan lamanya, barulah kami tiba di daerah Su-chuan.
Waktu itu nona Lu dan Ma Hong-ing masing-masing sudah mengancdung. Karena
kuatir tak keburu mencapai rumah , maka Pok kongcu segera mengutus aku untuk
memberi kabar dulu ke lu-lam. Pok kongcu dan isteri terpaksa tinggal di Su-chuan
menunggu kelahiran….”
“Pergi pulang ke Lu-lam itu memakan waktu delapan bulan lebih. Ketika aku
kembali ke Su-chuan, nona Lu dan Ma Hong-ing pun telah melahirkan anak. Nona
Lu melahirkan seorang puteri dan Ma Hong-ing seorang lelaki….”
Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tiba-tiba ia berseru, “Anak
lelaki itu ialah Kau!”
Nyo Sam-koan tertawa getir, “Tidak, yang jelas aku bukanlah ayahmu!”
“Hai, bagaimana kau begitu yakin?” seru Thian-leng.
“Ini........ ada dua kemungkinan. Pertama, dia pura-pura hamil. Pada saatnya
melahirkan, dia diam-diam menculik bayi dari salah seorang penduduk yang
tinggal di dekat desa situ.....”
Nyo Sam-koan menghela napas, ujarnya pula, “Dan kemungkina kedua, Ma Hong-
ing hamil sungguhan!”
Darah Thian-leng serasa membeku. Kalau benar begitu, ia seorang anak haram.
Hai…. tiba-tiba ia teringat akan tingkah laku Ma Hong-ing. Apakah ...... apakah dia
berjinah dengan Ni Jin-hiong? Ah.... kalau begitu, Ni Jin-hiong itukah ayahnya...?
Sungguh ngeri....!
Kesimpulan ini lebih banyak mendapat tempat dalam pikiran Thian-leng. Karena
kalau tidak, perlu apa Ma Hong-ing pura-pura hamil lalu mencuri bayi orang?
Kemungkinan pertama itu, rasanya lebih tidak masuk akal. Mungkin Ma Hong-ing
takkan berbuat begitu!
Jika benar ia itu putera Ni Jin-hiong, ah.....! Tak tahu bagaimana perasaan Thian-
leng saat itu. Yang nyata ia kepingin segera mati saat itu juga!
Kembali suara parau dari Nyo Sam-koan terdengar pula, “Nak, tak usah kau resah.
Macan betina yang buas, tetap takkan memakan anaknya. Tetapi melihat tindakan
Ma Hong-ing yang dengan berbagai tipu muslihat hendak membunuhmu,
membuktikan bahwa kau bukanlah anak kandungnya.....!”
Thian-leng menghela napas, “Namun andaikata benar mereka itu ayah bundaku,
akupun ....”
“Justru hal itulah yang harus kau selidiki sampai jelas!” tukas Nyo Sam-koan.
Nyo Sam-koan menarik napas, ujarnya, “Pada saat aku kembali ke Su-chuan,
terjadilah suatu peristiwa yang tak terduga-duga…..” ia berhenti sejenak untuk
menggali ingatan. Kemudian melanjutkan, “ Saat itu tengah malam buta. Tiba-tiba
kudengar percekcokan mulut antara Pok kongcu dengan nona Lu. Baru pertama
kali itu sejak menikah mereka cekcok. Yang pertama, tetapi juga yang terakhir!
Semula hanya dengan suara perlahan, tetapi makin lama makin keras dan nyolot.
Ketika aku menyadari bahwa keduanya sudah sama-sama naik darah, segera aku
bergegas keluar hendak meramaikan. Tetapi sudah terlambat. Kedua suami isteri
itu sudah bertempur!
Mereka sama-sama memiliki kepandaian sakti. Betapapun usahaku hendak
melerai, namun tak berdaya juga. Pok kongcu dapat melukai lengan kiri nona Lu,
tetapi nona Lu pun dapat menusuk dadanya. Sepasang suami isteri yang saling
mencintai satu sama lain, pada saat itu telah berobah menjadi dua musuh yang
mendendam. Akibatnya telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan
sekali…..
Akhirnya Pok kongcu marah dan tinggalkan isterinya. Dan nona Lu pun membawa
puterinya itu pergi. Sepasang burung merpati, kini saling terbang tercerai-berai....”
Kali ini Nyo Sam-koan menghela napas panjang, ujarnya, “ Semula aku sendiripun
tak tahu persoalannya. Tetapi akhirnya ku ketahui juga. Kiranya wanita busuk Ma
Hong-ing itulah yang menjadi gara-garanya. Dia telah mengatur siasat mengadu
domba…….”
“Di hadapan Pok kongcu ia merangkai cerita bahwa sewaktu masih gadis di Liong-
lam, nona Lu sudah mempunyai kekasih. Juga sebaliknya di depan nona Lu, Ma
hOng-ing menggosok-gosok bahwa Pok kongcu itu sebenarnya sudah mempunyai
isteri di rumah!”
“Masakan kedua suami isteri itu begitu mudah saja memercayai cerita itu?” seru
Thian-leng.
“Ah, Pok kongcu dan nona Lu sama-sama masih muda. Darah mereka mudah
meluap. Apalagi karena rasa cintanya, mereka mudah dihinggapi rasa cemburu.
Pada saat masing-masing menganggap bahwa orang yang dicintainya itu ternyata
sudah mempunyai kekasih, meletuslah perang mulut yang berakhir dengan
pecahnya istana kasih yang mereka bentuk selama itu. Perempuan busuk Ma
Hong-ing memang lihay. Selain cerita, iapun dapat menunjukkan beberapa bukti
untuk memperkuat ceritanya itu. Demikianlah akhirnya kedua suami isteri itu
berpisah……”
Thian-leng dapat meraba apa yang telah terjadi. Namun dicobanya berkata juga,
“Bukankah akhirnya kau kena diringkus Ma Hong-ing dan dijebloskan ke dalam
Sin-bu-kiong sini……”
Cerita itu telah memberi banyak pengetahuan pada Thian-leng. Tetapi juga lebih
mempertebal kabut rahasia yang menyelimuti asal-usul dirinya.
“Lo cianpwe, apakah selama tujuh belas tahun ini kau dijebloskan dalam penjara
air ini?” tanyanya.
“Tetapi mengapa lo-cianpwe tahu semua kejadian dalam istana Sin-bu-kiong ini?”
Mengapa lo-cianpwe tahu aku....”
Nyo Sam-koan menukas tertawa, “Memang sudah selayaknya kau heran! Dahulu
aku pernah menerima ajaran ilmu gaib dari nona Lu yang disebut ilmu Melihat-
langit-mendengarkan-bumi…”
“Apabila ilmu itu diyakinkan sampai sempurna, maka apa yang terjadi di daerah
seluas sepuluh li, apakah itu angin meniup atau rumput bergoyang, kita dapat
mendengarkan dengan jelas!”
“Ilmi itu tak memerlukan suatu tenaga dalam, melainkan hanya konsentrasi hati,
pikiran dan indra. Selama tujuh belas tahun disekap di sini, tak henti-hentinya
kulatih ilmu itu.
Kata Thian-leng dengan tegas, “Apabila aku berhasil lolos dari penjara air sini, aku
tentu berdaya menolong lo cianpwe. Tetapi bagaimana cara memecahkan penjara
Si-lo itu? Apakah di situ tak dipasangi alat rahasia?”
“Jangan!” sahut Nyo Sam-koan, “jika kau berhasil lolos, harus segera tinggalkan
Sin-bu-kiong untuk menyiapkan rencana menghancurkan Sin-bu Te-kun. Yang
perlu kau ketahui, penjara Si-lo ini adalah pos terpenting dalam istana Sin-bu-
kiong. Bukan hanya penuh dengan alat rahasia, tapi juga dijaga keras oleh
sejumlah besar jago-jago tangguh. Jangan sekali-kali gegabah ke tempat
berbahaya ini....!”
Nyo Sam-koan berhenti untuk menghela napas, ujarnya pula, “Apalagi selama
disiksa tujuh belas tahun ini, kini diriku hanya tinggal serangka tulang. Sekali
melihat sinar matahari, mungkin aku tak tahan. Bisa buta atau mati seketika!”
“Orang yang datang itu sudah tiba di luar penjara air, sudahlah, jangan banyak
cakap lagi!” serunya.
Kata-kata Nyo Sam-koan terputus oleh bunyi berderak-derak dari pintu batu yang
terpentang.
Jilid 9 .
Thian-leng pura-pura meramkan mata, napas terengah-engah macam orang yang
sudah lemas-lunglai. tetapi diam-diam ia siap sedia untuk menghadapi segala
kemungkinan!
Begitu pintu batu terbuka, maka empat orang penjaga berpakaian ungu segera
menerobos masuk. Dua diantaranya segera terjun ke dalam air dan melepaskan
tali pengikat kedua tangan Thian-leng. Kemudian tanpa berkata apa-apa, kedua
penjaga itu segera memapah Thian-leng keluar.
Kedua pengawal yang menyeret Thian-leng tadi terperanjat sekali. Tetapi cepat
sekali Thian-leng sudah mencabut pedangnya. Sebelum kedua penjaga itu
sempat menyerang, tahu-tahu tubuh mereka sudah tertebas. Dalam sekejap mata
saja, keempat penjaga itupun sudah menjadi setan penghuni penjara air!
Ternyata di sebelah luar dari penjara air, tampak muncul serombongan orang
yang dikepalai oleh Sin-bu Te-kun sendiri!
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Ah, tak usah banyak peradatan!
Mana cucu perempuanku?”
“Ia bersama diriku telah dijebloskan ke dalam penjara air, tetapi diambil pergi oleh
dua penjaga lagi, entah di mana………..” sahut Thian-leng.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sejak semula memang tak kusangkal hal itu. Cucumu
telah mendapat pelayanan istimewa dari istana kami. Makan dan oakaian tak
kekurangan, harap Lu lo-hiapsu jangan kuatir!”
Lu Liang-ong mendengus, “Hm, jika tak salah anak itu tentu sudah dimasukkan ke
dalam penjara Si-lo, kaki tangannya dirantai. Apakah itu yang kausebut sebagai
pelayanan istimewa?”
Sin-bu Te-kun tampak agak terkejut, namun segera menghamburkan tawa sinis.
“Memang begitu. Tetapi bagaimana lo-hiapsu tahu?”
Jago tua itu sejenak keliarkan matanya, lalu berkata pula, “Terus terang, segala
sesuatu yang terjadi dalam istana sekecil ini, tentu tak terlepas dari
pengetahuanku!”
Sin-bu Te-kun tertawa lepas, “Di dalam kitab Im-hu-po-coan juga terdapat
semacam ilmu begitu, hanya namanya yang berlainan, ialah Liok-ji-thong-leng
( enam telinga menembus alam ). Rasanya tak lebih rendah dari ilmu Lu lo-
hiapsu....”
“Seluas tiga li dapat membedakan langkah kaki orang!” jawab Sin-bu Te-kun
dengan bangga.
Ketua Thiat-hiat-bun terpaksa berhenti tertawa, ujarnya, “Aku tak sakit melainkan
menertawakan pengalamanmu yang sedemikian dangkal itu. Hanya dapat
menangkap suara sejauh tiga li saja mengapa sudah dibanggakan?”
Merah padam muka Sin-bu Te-kun atas hinaan itu. Rasa malu merobah menjadi
gusar, “Coba katakan sampai di mana kelihayan ilmu ‘Melihat langit mendengar
bumi’ mu itu?”
“Ada dua anak buahmu yang saat ini tengah bertempur dengan orang sakti. Yang
seorang terbunuh dan yang seorang lari……”
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, “Omong kosong atau benar, nanti dapat
dibuktikan! Untung masih ada seorang yang hidup. Asal kakinya panjang (bisa lari
cepat), tentu dia bisa selamat kembali ke istana Sin-bu-kiong!”
Muka Sin-bu Te-kun sebentar pucat sebentar merah. Mulutnya tak dapat berkata
apa-apa. Thian-leng pun hanya tercengang-cengang saja mendengarkan
percakapan itu.
“Jika menghendaki permusuhan, partai Thiat-hiat-bun pun tak takut kepada istana
Sin-bu-kiong! Anggota-anggota Thiat-hiat-bun saat ini sedang berbondong-
bondong kemari. Sekali kau sudah memaklumkan permusuhan, segera orang-
orangku siap bertempur sampai ludas….”
Di luar dugaan, ketua Thiat-hiat-bun yang berjenggot putih mengilap itu tertawa
lebar, serunya, “Aku tak ambil pusing dengan cucuku itu. Anak itu memang besar
kepala dan manja, biarlah ada orang yang memebrinya hajaran. Andaikata
sampai dibunuh orangpun malah meringankan bebanku dari rongrongannya.
Bunuhlah, aku malah berterima kasih padamu ! ”
Sin-bu Te-kun terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Serunya sesaat kemudian,
“ Kalau bersahabat lalu bagaimana ? ”
Sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih mengilat, Lu Liang-ong tertawa, “
Kalau bersahabat, baiklah kau adakan perjamuan untukku dan anak ini. Aku telah
memutuskan untuk mengadakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe ( pertemuan besar
orang gagah ) di gunung Tiam-jong-san. Akan kuundang seluruh sahabat
persilatan untuk hadir. Kemudian pada saat itu tentu kubantu usahamu untuk
merebut kedudukan sebagai Bu-lim-beng-cu ( pemimpin kaum persilatan ).
Setelah selesai barulah aku pulang ke King-lam. Bukankah hal itu sesuai dengan
kehendakmu ? ”
“Ketua partai Tiam-jong-pay adalah sahabat lamaku. Karena aku tak punya
banyak kenalan di tionggoan, maka terpaksa aku hendak pinjam tempatnya di
gunung Tiam-jong-san ….ini……mengapa tak leluasa?”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sekalipun kurang leluasa, tetapi mengapa aku takut?
Jika Lo-hiapsu bermaksud sungguh-sungguh hendak mengadakan pertemuan
besar itu, sudah tentu aku akan hadir. Entah kapankah kiranya pertemuan itu akan
diadakan?”
“Pertengahan bulan satu?” gumam Sin-bu Te-kun, “mengapa harus pada tanggal
itu?”
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa lebar. “Tak usah saudara meresahkan hal itu. Ke
sembilan partai besar itu pasti akan merobah tanggal undangannya kepada Hun-
tiong Sin-mo!”
Lagi-lagi wajah Sin-bu Te-kun berobah, ujarnya, “Selama ini Sin-bu-kiong tak
mempunyai hubungan dengan ke sembilan partai besar. Msing-masing menuntut
jalannya sendiri-sendiri. Permintaan lo-hiapsu ini, aku……”
Dan belum lagi Sin-bu Te-kun menyahut, ketua Thia-hiat-bun itu sudah
menyeletuk pula, “ Eh, bagaimana sikap kita ini? Bermusuhan atau bersahabat?”
“Buyung, kau tentu lapar, mari kita suruh dia menjamu dulu!” Jenggot Perak Lu
Liang-ong menarik tangan Thian-leng.
oooo0000ooooo
Mengadu Kesaktian
Ketika menghadapi meja perjamuan yang tumpah ruah penuh dengan segala
macam hidangan lezat, Jenggot perak Lu Liang-ong segera gunakan ilmu
menyusup suara membisiki Thian-leng, “Buyung, tak usah sungkan. Hidangan tak
ada racunnya, makanlah sepuasnya. Habis makan baru kita pergi…..”
Kala itu mereka berada dalam sebuah ruangan yang indah hiasannya,
menghadapi meja yang penuh hidangan dan dilayani oleh berpuluh bujang
wanita. Lu Liang-ong bersikap sebebas-bebasnya. Tanpa dipersilakan oleh Sin-bu
Te-kun lagi, segera ia menyambar cawan arak, terus diteguk habis.
Melihat sikap jago tua itu, diam-diam Thian-leng gelisah. Iapun gunakan ilmu
menyusup suara, “Locianpwe, cucumu nona Lu…….”
“Nona Lu masih berada dalam penjara Si-lo, bagaimana kita bisa tinggalkan
tempat ini?“ kembali Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara.
“Budak itu memang kelewat liar, biarlah ia rasakan sedikit penderitaan!” Lu Liang-
ong tetap acuh tak acuh.
Jawaban itu membuat Thian-leng heran sekali. Sikap manja dari dara itu tenttulah
karena jago tua itu kelewat menyayangnya. Mengapa tiba-tiba sekarang tak
dipedulikan?
Penjaga tua waju ungu itu memandang sejenak kepada Thian-leng dan Lu Liang-
ong, tampaknya ia kurang leluasa bicara.
Mendengar perintah barulah si baju ungu berani berkata dengan suara perlahan,
“Dua orang murid dari paseban Hian-tian telah bertempur dengan musuh di luar
istana, satu meninggal satu terluka…….”
Serentak bangkitlah Sin-bu Te-kun dari tempat duduknya, “Di mana terjadinya
peristiwa itu?” serunya dengan gusar.
Tiba-tiba Lu Liang-ong menyeletuk, “Berita yang kau bawa itu bukan hal yang
baru! Tadi akupun sudah mengatakan kepada Te-kun kalian!”
Wajah Sin-bu Te-kun seperti direbus, serunya nyaring,” Siapakah orang yang
berani mencabut kumis harimau itu?”
“Memang sukar untuk dikata.” sahut Sin-bu Te-kun, “namun sekali Sin-bu-kiong
sudah berani mencita-citakan menguasai dunia persilatan, sudah tentu tak takut
pada siapa saja….”
Lu Liang-ong hanya tertawa hambar. Dia tak mau menyahut tetapi gunakan ilmu
menyusup suara kepada Thian-leng, “Buyung, sudahlah, jangan pikirkan apa-apa.
Makanlah sekenyangmu, habis itu kita pergi!”
Memang Thian-leng merasa lapar. Iapun segera menurut perintah jago tua itu.
Masih penjaga baju ungu itu berkata dengan terbata-bata, “Karena hal ini....
menyangkut ke sembilan partai, maka hamba mohon Te-kun sudi memberi
petunjuk...”
Serta merta pengawal baju ungu itu mengiyakan dan minta diri. Pada saat itu
Jenggot Perak Lu Liang-ong pun sudah kenyang melalap hidangan. Sambil
mengusap-usap mulut, ia berkata, “Jangan lupa bahwa aku sudah meminjam
tempat Tiam-jong-san untuk mengadakan pertemuan besar. Takkan kubiarkan
tempat itu dirusak orang. Jika saudara sungguh-sungguh....”
Mata Sin-bu Te-kun meliar buas, serunya, ”Jangan lupa bahwa hidup matinya
cucumu itu masih berada dalam tanganku!”
Enak saja ketua Thiat-hiat-bun itu menyahut, “Akan kusampaikan ucapanmu itu
kepada Tiam-jong-pay. Mau bersikap musuh atau sahabat, terserah saja padamu.
Atau menyelesaikan dulu pertentangan antara Sin-bu-kiong dengan Tiam-jong-
pay, kemudian baru mengadakan pertemuan besar tokoh-tokoh persilatan pun
baik saja...... Atas kerepotanmu menjamu hidangan tadi, nanti Tiam-jong-san tetntu
akan membalasnya, nah, selamat tinggal!”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Aku bukanlah orang yang tak menghormati
peraturan, tetapi…“
Ia menunjuk pada Thian-leng, “Anak muda itu telah mengucap sumpah, akan
bertempur melawan aku sampai seratus jurus. Sekarang masih kurang sepuluh
jurus yang belum diselesaikan. Tambahan pula, tindakannya membunuh ke empat
anak buahku tadipun memerlukan ia harus tinggal di sini dulu ! “
Mata Jenggot perak Lu Liang-ong berputar sebentar, lalu katanya, “Selain paham
dalam ilmu ‘melihat-langit-mendengar-bumi’, aku si orang tua ini juga mempunyai
semacam kesaktian. Apakah kau ingin mengenalnya ? “
Sampai berapa jauh kesaktian jago Thiat-hiat-bun itu, ingin juga Sin-bu Te-kun
untuk menjajakinya. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia, “Halaman di ruang
muka luasnya duapuluhan tombak, bagaimana kalau kau berikan pelajaran
padaku di situ saja ? “
Dalam pada itu Lu Liang-ong pun tertawa geli. Katanya kepada Thian-leng,
“Buyung, tempat munculnya Sin-liong-sam-sian yang kedua ialah pada puncak
lereng yang tinggi itu. Kali ini kita harus loncat sampai empat puluhan tombak.
Slain tenagaku, kau sendiripun harus gunakan tenaga!”
Diam-diam Thian-leng gelisah. Lima puluh tombak bukan jarak yang mudah
dilompati. Apalagi seluruh anak buah Sin-bu-kiong pun sudah beramai-ramai
mengepung dengan membawa obor. Bahkan saat itu Sin-bu te-kun sendiri juga
sudah mengejar.
“Di dunia tiada hal yang tak mungkin! Apakah kau hendak suruh aku si orang tua
begini menggendongmu!” bentak ketua Thiat-hiat-bun dengan murka. Berabreng
dengan itu terdengar gemboran keras dari Sin-bu Te-kun yang melayang
mengejar.
Sin-bu Te-kun tak percaya kalau orang benar-benar hendak menimpuknya. Dan
kedua kalinya ia sedang dirangsang kemarahan, maka tanpa menghiraukan suatu
apapun, ia terus melayang. Dan memang selama itu tak terjadi apa-apa. Bahkan
ketika hampir dekat ia seilangkan kedua tangannya untuk melindungi mata. Begitu
tiba segera ia hendak menghantam remuk lawan!
Panah rahasia yang berkepala burung Hong dari partai Thiat-hiat-bun itu sudah
bertahun-tahun menggetarkan dunia persilatan. Tak pernah panah itu gagal
memenuhi tugasnya. Cikal bakal pendiri Thiat-hiat-bun yang dulu merendam
panah itu dalam racun. Setiap korban tentu binasa. Tetapi untunglah ketua Thiat-
hiat-bun yang sekarang tak mau melanjutkan warisan itu. Ia melarang panah diberi
racun dan tak boleh sembarangan digunakan. Maka sekalipun panah Hong-thau-
kiong termasuk salah satu dari tiga-senjata-rahasia ampuh dalam dunia persilatan,
tetapi yang binasa karena panah itu boleh dikata tak ada!
Setelah menghisap ilmu kepandaian dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, Sin-bu Te-
kun bercita-cita hendak menguasai dunia persilatan. Memang telah didengarnya
juga tentang panah sakti dari Thiat-hiat-bun itu, tetapi dalam hati ia tak tunduk.
Adalah karena hendak menggunakan tenaga partai Thiat-hiat-bun, maka ia tetap
bersabar terhadap tingkah laku ketua Thiat-hiat-bun.
Tetapi kini setelah dirinya dipermainkan begitu rupa oleh Lu Liang-ong, tak dapat
lagi ia menahan kemarahannya. Persetan dengan panah hong-thau-kiong!
Alangkah terkejutnya ketika menghadapai tipu orang yang licin. Ia tak menyangka
bahwa yang di arah lawan bukan kedua matanya, melainkan bahu. Dalam
keadaan di dirinya melayang di udar, betapapun lincahnya namun Sin-bu te-kun
tak berdaya menghindari timpukan jago thiat-hiat-bun. Juga ternyata cara Lu
Liang-ong menimpukkan panahnya itu luar biasa anehnya. Aum suaranya berada
di sebelah barat, tetapi yang diserang di sebelah timur. Terpaksa Sin-bu Te-kun
hanya kerutkan gigi untuk menerimanya! Seketika ketua Sin-bu-kiong itu
merasakan bahunya sakit sekali. Dua batang Hong-thau-kiong tepat menyusup ke
jalan darah bahu kanan kirinya!
Saat itu Sin-bu Te-kun hanya terpisah dua tombak dari puncak loteng tertinggi.
Walaupun panah Hong-thau-kiong itu tak sampai membuatnya tak dapat berkutik,
namun karena jalan daranya terkena, maka mau tak mau sekujur tubuhnya terasa
kesemutan, tangannyapun tak leluasa digerakkan lagi. Tak ampun lagi ia
meluncur turun bagaikan seekor burung alap-alap yang terkena anak panah….
Jilid 10 .
Jenggot perak Lu Liang-ong mengantar kejatuhan lawan dengan gelak tertawa.
Segera ia menarik Thian-leng untuk diajak loncat lagi. Diam-diam Thian-leng
putus asa.
Dua kali mengadakan gerak loncatan yang demikian tinggi, telah membuat
tenaganya hampir habis. Kalau harus loncat lagi sejauh lima pukuh tombak,
rasanya ia tentu tak kuat.
Tetapi aneh bin ajaib. Ketika ditarik Lu Liang-ong ia rasakan tubuhnya sudah
melambung sampai sepuluh tombak.
“Sejak berdiri, belum pernah ada orang yang mampu keluar dari istana Sin-bu-
kiong. Tetapi hari ini, kita dapat memecahkan hal itu!” Lu Liang-ong tertawa.
“Tidak begitu,” sahut ketua Thiat-hiat-bun. “Di dunia terdapat banyak orang-orang
sakti. Misalnya malam ini, yang bebas keluar masuk ke istana Sin-bu-kiong bukan
hanya aku seorang saja!”
“Hun-tiong Sin-mo!”
Sebagai jawaban Lu Liang-ong menarik tangan pemuda itu untuk diajak loncat
keluar dari lingkungan Sin-bu-kiong.
Kala itu sudah menjelang fajar. Di dalam istana Sin-bui-kiong masih terdengar
suara hiruk pikuk, tetapi tak lama kemudian sunyi kembali. Tiada seorang pun
anak buah Sin-bu-kiong yang mengejar keluar. Rupanya Sin-bu Te-kun sudah
menerima kekalahannya.
Setelah berjalan dua li, Lu Liang-ong berhenti di sebuah lereng gunung yang
landai. Di bawah lereng tampak sebuah biara yang masih memancarkan lampu.
Agaknya para imam dalam biara itu sedang melakukan sembahyang subuh.
Teringat akan diri si dara Bu-song, serentak Thian-leng berseru terbata-bata, ‘’Lo-
cianpwe….,” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tak tahu bagaimana
harus menyatakan. Kiranya ia hendak menyatakan isi hatinya kepada jago Thiat-
hiat-bun itu. Sedangkan ia yang baru dikenal saja toh ditolong, mengapa Lu Bu-
song dibiarkan saja menderita dalam penjara Sin-bu-kiong. Bukankah Bu-song itu
cucu ketua Thiat-hiat-bun itu sendiri ?
“Walaupun lo-cianpwe telah menolong diriku, tetapi Sin-bu Te-kun itu seorang
momok yang ganas sekali. Kalau dia menurunkan tangan jahat kepada nona Lu,
bukankah …….”
“Eh, bukankah telah kukatakan tadi bahwa budak perempuan itu telah rusak
karena kumanjakan? Biarlah dia merasakan sedikit rasa pahit agar dapat
menjinakkan keliarannya, besok mungkin….”
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh sosok bayangan yang melesat datang. Thian-
leng cepat-cepat berpaling, ah….. si dara Bu-song.!
Wajah dara itu tampak merengut. Sejenak melirik pada Thian-leng, tangannya
menyambar jenggot kakeknya, lengkingnya, ”Kek, kau bilang apa?”
“Kali ini aku tak dapat memberi ampun. Kek, kau hendak menyuruh aku mati!” Bu-
song merajuk.
Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Ho, ho, masakah kau masih mempunyai lain
kakek yang lebih buruk dari aku…..eh, kakek menyakiti kau apa?”
“Kek, apakah kau tak menghajar iblis tua itu?” seru si dara dengan aleman.
Wajah ketua Thia-hiat-bun berobah serius, “Lumayan saja, tetapi karena hal itu
bakal menimbulkan kesukaran besar…”
Lu Liang-ong merenung sejenak, katanya, “Eh, budak, coba katakan dulu apa
rencanamu?”
Merah padam seketika selebar wajah dara itu. Ia tundukkan kepala memandang
ujung baju. Sepatahpun tak berkata.
Setelah berdiam diri sejenak, dengan tersipu-sipu malu dara itu menyahut, “Kek,
hendak kemana kau?”
Wajah Bu-song semakin merah. Ia mencubit dada kakeknya pula, “Aku tak mau
bersama siapa-siapa! Masakah aku takut berjalan seorang diri?” Habis berkata
dara itupun sudah melesat beberapa tombak jauhnya.
“Ini....ini.......”
“Bukan hanya untuk sekarang, tetapi selama-lamanya. Ya, ambillah dia sebagi
isterimu!”
“Ini......”
“Tetapi….. “
“Tetapi bagaimana ? “
“Nona Lu telah pergi dengan marah, aku kuatir tak dapat menyusulnya!”
Ditilik dari sikapnya tadi. Bu-song tentu pergi dengan marah-marah. Saat itu
tentulah dara itu sudah jauh berpuluh-puluh li. Tetapi di luar dgaan, ketika Thian-
leng melintasi tikungan di lereng gunung, ia terkejut.
Tak jauh di sebelah muka tampak si dara berjalan dengan lenggangnya. Dengan
berdebar-debar segera Thian-leng menyusulnya. “Nona Lu...”
Bu-song berpaling. Dengan nada acuh tak acuh ia menjawab, “Ada apa?”
“Hai, nona Lu! Nona Lu….!” Thian-leng kaget dan buru-buru mengejar.
Kira-kira satu li jauhnya barulah Bu-song berhenti. Serunya dingin, “Eh, kau ini
bagaimana? Mengapa mengikuti aku saja?”
“Aku sungguh menerima perintah dari kakek nona suapaya menjaga nona.....”
“Kalau begitu baiklah. Akan kucari kakekmu dan minta beliau supaya menarik
kembali perintahnya!” kali ini Thian-leng benar-benar unjuk gigi. Pikirnya kalau
mempunyai istri macam dara yang tinggi hati itu, kelak tentu ia menerima
cemoohan saja. Maka habis berkata segera ia memutar tubuh dan melesat pergi.
“Berhenti!” Cepat ia berseru kepada si anak muda yang sudah enam tujuh tombak
jauhnya.
Beberapa saat Bu-song tak berkata apa-apa. Tiba-tiba terdengar suara terisak-
isak. Thian-leng tercengang. Bukankah tadi dara itu bersikap sedemikian garang.
Beberapa kali menghinanya tak akan mampu menjaga? Mengapa ketika ditinggal
pergi malah menangis?
Thian-leng tertawa masam, “Karena nona mengatakan aku tak mampu menjaga
nona, maka akupun terpaksa pergi!”
Thian-leng terhenyak, “Demi mentaati sumpah, aku tak dapat menolak lagi!”
“Dan lagi asal-usul diriku masih belum terang. Aku masih mempunyai tugas berat.
Sebagai seorang pemuda persilatan, jiwaku setiap saat belum ketentuan
nasibnya. Mungkin akan mengecewakan hati nona, maka.....”
Bu-song tertawa. Kali ini tertawanya merdu meresap, “Mungkin kata-katamu itu
benar, tetapi aku ingin tahu....bagaimana anggapanmu terhadap diriku? Apakah
kau mempunyai sedikit .... rasa suka kepadaku?”
Thian-leng membatin, “Kau seorang dara manja. Jika mengambilmu sebagai isteri
tentu runyam. Untung kakekmu melepas budi besar kepadaku. Apalagi aku telah
mengucapkan sumpah. Apa boleh buat, untung celaka terpaksa kuterima!”
“Nona mempunyai ilmu sakti dan rupa yang cantik. Pula menjadi cucu kesayangan
dari ketua partai Thiat-hiat-bun yang termasyhur. Jika aku beruntung mendapat
isteri sebagai nona, sungguh......”
“Tetapi apa?”
“Perangai nona itu .....agak kelewat manja, sehingga orang tak berani mendekati!”
“Baik, baik, kalau begitu aku akan berlaku ramah kepadamu ya!” si dara tetap
tertawa.
Thian-leng mengeluh dalam hati. Ah, rupanya seumur hidup ia akan ditakdirkan
untuk menerima kocokan dari si dara manja itu. Ia kerutkan alis tak dapat berkata
apa-apa lagi.
“Eh, sekarang kemana kita hendak pergi? “ tiba-tiba Bu-song menegur. Tetapi
belum dijawab, ia sudah berkata lagi, “Kukira begini saja. Lebih baik kita pesiar
menikmati alam pemandangan indah dari gunung Thay-san!”
Thian-leng gelengkan kepala tertawa rawan, “Tidak! Aku tak mempunyai selera
dan tak punya waktu luang untuk pesiar. Maaf, aku tak dapat menemani nona…..”
“Kalau tak mau, tak apalah! Perlu apa harus minta maaf ? “ tukas Bu-song. Ia
kerutkan kening, sesaat kemudian berseru pula, “ Eh, kau tadi memanggil aku
dengan sebutan apa ? “
“No…..na….. “
“Kalau tak mau pesiar terserah. Kemanapun kau pergi, aku tentu ikut padamu! “
katanya dengan nada lemah lembut.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian
hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian
hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai. Dan
kekalahannya di istana Sin-bu-kiong telah memukul batinnya. Ia merasa
kepandaiannya masih jauh dari memadai.
Ia menghela napas, “ketika Oh-se Gong-mo lo cianpwe menutup mata, beliau telah
meninggalkan pesan kepadaku supaya melakukan pembalasan kepada Sonh-bun
Kui-mo. Tetapi karena kepandaianku masih dangkal maka tak dapatlah
kulaksanakan pesannya itu. Kini antara partai Tiam-jong-pay dan Sin-bu-kiong
telah timbul permusuhan. Sin-bu Te-kun mengatakan, apabila dalam tiga hari
Tiam-jong-pay tak menyerahkan anak buahnya yang membunuh penjaga Sin-bu-
kiong, maka dia hendak menyerang Tiam-jong-san. Lu Lo-cianpwe juga ke sana.
Kurasa lebih baik kita ke gunung itu. Sedikit banyak dapat menyumbangkan
tenaganya untuk menghancurkan Sin-bu Te-kun. Dengan begitu dapatlah
sekurang-kurangnya kupenuhi pesan Oh-se Gong-mo lo-cianpwe.
“Baik,” acuh tak acuh Bu-song mengiyakan, “kita ke Tiam-jong-san. Tetapi jika
dugaanku tak salah, untuk sementara ini Sin-bu Te-kun tentu tak berani ke sana.
Dia tak mau mengurus soal kecil yang dapat merugikan cita-citanya menguasai
dunia persilatan!”
“Sin-bu Te-kun tentu tak berani bermusuhan dengan partai Thiat-hiat-bun karena
akibatnya keduanya tentu sama remuk. Ia berani buka mulut besar di hadapan
kakekku karena aku menjadi orang tawanannya. Tetapi siap tahu…..”
“Ya, ya , bagaimana adik bisa keluar dari penjara itu?” tanya Thian-leng.
“Ya, ya, aku ingat. Tetapi bukankah kemudian kau mengatakan bahwa hal itu
hanya obrolan kosong dari Sin-bu Te-kun saja?”
Bu-song tertawa riang, “Memang apa yang kukatakan kala itu sungguh-sungguh,
karena kepergianku ke Sin-bu-kiong itu di luar tahu kakekku. Saat itu kakek
sedang sibuk mengobati budak perempuan dari Sin-bu-kiong….” sejenak Bu-song
melirik tajam kepada Thian-leng, ujarnya pula, “tetapi ilmu ‘Melihat-langit-
mendengar-bumi’ dari kakek dapat melingkupi seluas sepuluh li. Maka gerak-
gerikku tak luput dari pengetahuannya. Selain mengirim keempat Su-kiat, ia
sendiripun segera menyusul ke istana Sin-bu-kiong…!”
“Bagaimana dengan luka nona itu?” tiba-tiba Thian-leng teringat akan kedua taci
beradik Ki Seng-wan dan Ki Gwat-wan.
Thian-leng tersentak kaget. Ia tak yakin tetapi ketika hendak menanyakan lebih
lanjut, Bu-song mendengus, memutar tubuh terus pergi……
Tamparan itu tak menyebabkannya menderita luka , tidak pula membuatnya sakit.
Tetapi yang terluka adalah perasaan hatinya. Kepribadiannya sebagai seorang
lelaki. Diam-diam ia menyesal dalam hati.
Tetapi si dara yang sudah biasa dimanja, malah membentak-bentak lagi, “Kau
hendak kasak-kusuk apa dengannya? Ayo, jalan tidak?”
Sekalipun tidak ada orang lain, kata-kata itu juga tak pantas diucapkan. Apalagi
Cu Siao-bun ada di situ. Darah panas Thian-leng menggelora dan lupalah ia
seketika.
“Kau ….. kau berani memukul…..” Bu-song melengking, ia memutar tubuh terus lari
terhuyung-huyung.
“Tentunya kau masih ada lain urusan lagi?” tegur Cu Siao-bun dengan tetap
tertawa.
Thian-leng tak biasa berbohong. Maka merahlah mukanya. Kembali rasa gelisah
mencengkam hatinya. Betapapun kesalahan si dara Bu-song, tetapi karena
kakeknya telah melepas budi besar, seharusnya ia tak boleh mengimbangi sikap
dara itu. Bukankah ia sudah mengangkat sumpah? Bagaimana nanti pertanggung
jawabannya kepada Jenggot perak Lu Liang-ong?
“Jika nona tiada pesan lain lagi, maaf, aku hendak berangkat dulu!” akhirnya ia
paksakan berkata.
“Ah, mana berani aku memberi perintah? Tetapi aku hanya hendak menyerahkan
sepucuk surat dari seorang sahabat.....”
“Cu Siau-bun.....!”
Jilid 11 .
Pengemis Bulu besi.
“O, kiranya nona adik dari saudara Cu, maaf!” Thian-leng seperti tersadar.
“Ya, engkoh nona itu telah banyak melepas budi padaku. Sudah tentu aku harus
menjenguknya!”
“Rupanya engkohku juga selalu teringat padamu. Kini ia berada dalam rumah
penginapan Ih-hian di kota Ceng-liong-tin. Kira-kira dua ratus li dari sini....”
“Jangankan hanya dua ratus li, sekalipun ribuan li aku tetap akan menjumpainya,”
sahut Thian-leng.
Tampak wajah Siao-bun tertawa girang, ujarnya dengan tertawa, “Jika kau
memang bermaksud begitu, silakan lekas ke sana. Kalau tidak dikuatirkan kau tak
dapat bertemu dengan engkohku lagi selama-lamanya!”
“Maaf, aku segera hendak ke sana!” Thian-leng terus memutar tubuh melesat
pergi.
ooooo00000ooooo
Thian-leng menggunakan ilmu lari cepat. Ia ingin segera dapat menyusul si dara
Bu-song, kemudian baru menuju ke kota Ceng-liong-tin menjenguk Cu Siau-bun
yang sakit keras. Kepada pemuda wajah pucat itu, Thian-leng juga berhutang
budi. Adalah pemuda itu yang membebaskan dirinya dari kepungan delapan anak
buah Sin-bu-kiong ketika Thian-leng baru keluar dari markas Hun-tiong Sin-mo.
Adalah pemuda itu juga yang menunjukkan tentang tipu muslihat Ma Hong-ing
yang mengaku jadi ibunya itu…..
Namun bayangan dara itu tak tampak sama sekali. Seluas puluhan li telah
dijelajahi, tetapi ia tak berhasil mencari dara itu.
“Celaka, dia tentu marah dan pulang melapor pada kakeknya!” diam-diam ia
mengeluh.
Ketika ia sedang gelisah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara helaan napas
panjang. Dan matanya segera melihat sesosok tubuh manusia tengah berlutut di
bawah sebuah pohon besar. Ketika dihampiri, ternyata hanya seorang pengemis
tua yang sudah putih rambutnya. Wajahnya kumal penuh debu. Pengemis itu
duduk bersandar pada batang pohon, sebatang tongkat bambu terletak di
sampingnya.
Sekalipun lelah, namun terpaksa ditegurnya juga pengemis itu. “Mengapa lo-
cianpwe seorang diri berada di hutan sunyi ini, apakah....”
“Aku tak tahu kalau lo-cianpwe sedang beristirahat di sini, maaf! “ terpaksa Thian-
leng meminta maaf lagi, lalu melangkah pergi.
Tetapi baru beberapa langkah, kembali pengemis tua itu membentaknya,
“Kembali!”
Kali ini Thian-leng tak mau. Ia hanya menyahut tawar, “Aku toh sudah minta maaf
padamu!”
Auyong Beng tertawa gelak-gelak, “Bu-beng-jin, ah, bagus juga nama itu……”
Thian-leng hanya tertawa masam. Sambil berputar ia terus hendak berlalu lagi….
“Sebenarnya aku hendak tidur, tetapi terganggu dengan jerat-jeritmu tadi. Karena
sudah terlanjur terjaga, mari kita omong-omong!”
Pengemis sakti tertawa meloroh, “Meskipun kau tetap hendak pergi, tetapi juga tak
perlu terburu-buru begitu. Kalau kita omong-omong barang dua tiga patah kata
lagi, toh takkan membuatmu rugi bukan?”
“Tadi kau jerat-jerit tak keruan itu hendak mencari siapa saja?”
Merah padam seketika wajah Thian-leng, “Itu urusanku pribadi, harap lo-canpwe
jangan mendesak!”
Kembali pengemis tua itu tertawa keras, “Baik, aku takkan menanyakan urusan
pribadi. Bu-beng-jin, rupanya jodoh kita hanya sampai di sini saja. Karena kau
mempunyai urusan lain, silakan pergi!”
Thian-leng tak mau banyak cakap. Setelah memberi hormat, segera ia memutar
diri dan melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia harus
berhenti lagi. Kiranya ia mendengar pengemis tua itu berkata seorang diri, “Ah, Sip
Uh-jong, Sip Uh-jong, kematianmu sungguh mengenaskan sekali.”
Buru-buru Thian-leng balik dan bertanya, “Apakah lo-cianpwe kenal pada Sip lo-
cianpwe? Apakah dia....”
“O, kiranya kau masih ingat budi? Sayang sahabatku itu sudah mati!”
“Aku pengemis tua tak pernah bohong!” sahut si pengemis. Namun Thian-leng
masih tetap meminta keterangan yang jelas.
“Sahabatku itu dan Tui-hun Hui-mo telah ditutuk jalan darahnya oleh isteri Sin-bu
Te-kun. Setelah mereka tak berdaya lalu dibakar!”
“Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Tetapi segala peristiwa di dunia persilatan,
baik kecil maupun besar, tak nanti luput dari pendengaranku. Maukah kau
mendengar peristiwa-peritiwa itu semua?”
“Tak usah, aku percaya penuh pada lo-cianpwe. Aku hanya mengutuk diriku
sendiri yang tak punya kepandaian tinggi hingga tak mampu membalaskan sakit
hati Sip lo-cianpwe....”
Pengemis sakti menghela napas, “Benar, meskipun kau sudah meyakinkan ilmu
pukulan Lui-hwe-sin-ciang dengan hebat, tetapi hawa dalammu masih kalah jauh
dari Sin-bu Te-kun, si Jenggot perak Lu Liang-ong, Hun-tiong Sin-mo dan lain-lain,
kecuali.....”
Pengemis sakti perdengarkan tawa yang dalam, ujarnya, “Sip U-jong paham ilmu
meramal. Tak nanti ia biarkan peta telaga Zamrut itu terbakar bersamanya. Jika
sudah memberimu pil Kong-yang-sin-tan, masakah tidak peta itu sekalian?”
“Apa kata lo-cianpwe?” ulang Thian-leng.
“Aku tahu segala apa, tetapi soal peta itu benar-benar aku masih gelap. Sip U-jong
memiliki selembar peta Telaga Zamrut. Sebelum ia menutup mata apakah tak
diserahkan padamu?”
“Aneh, masakah peta itu turut terbakar……?” gumam pengemis sakti. Beberapa
saat kemudian baru ia berkata pula, “Beberapa tahun yang lalu di dunia persilatan
telah muncul seorang tokoh baru yang mengejutkan. Kepandaiannya luar biasa.
Tokoh-tokoh kelas satu yang berhadapan dengan orang itu hanya seperti anai-
anai yang menerjang api. Belum pernah ada seorangpun jago persilatan yang
mampu melayani lebih dari tiga jurus….”
“It Bi siangjin….. ?” Thian-leng mengulang heran. Ia tak tahu siapa tokoh itu.
“It Bi siangjin adalah seorang pertapa aneh. Tak suka bergaul dengan orang.
Sudah berpuluh tahun ia berkelana untuk mencari seorang yang dipandang dapat
menjadi murid penggantinya. Tetapi tak ada yang dicocoki, sehingga karena putus
asa, ia menguburkan kitab dan pedang pusaka Liong-coan-po-kiam …….”
“O, jadi Telaga Zamrut itu tempat kuburan pusaka!” seru Thian-leng.
“Bagaimana lo-cianpwe tahu peta itu berada pada Sip lo-cianpwe ? Dan mengapa
Sip lo-cianpwe tak berusaha mencari pusaka itu?”
“Berita itu sudah lama tersiar di dunia persilatan, jadi tak mungkin bohong. Sip U-
jong sudah dipunahkan kepandaiannya oleh musuh, maka percuma ia mendapat
kitab itu, toh tak dapat meyakinkan lagi. Ia hendak menyerahkan kitab itu kepada
orang yang dianggapnya berbakat bagus, agar dapat membalaskan sakit hatinya.
Sip U-jong seorang yang pandai meramal, licin dan pandai tentang obat-obatan
beracun. Sekalipun ilmu silatnya sudah punah, tetapi bertahun-tahun ia dapat
mempertahankan peta itu dari sergapan orang. Ditilik dari akal muslihatnya, tak
mungkin peta itu sampai jatuh di tangan Te-it Ong-hui. Maka kusangka kaulah
yang diberi peta itu !”
“Tetapi aku tak tahu menahu tentang peta itu dan Sip lo-cianpwe pun tak pernah
mengatakannya !” sahut Thian-leng.
“Setelah minum pil, bukankah kau lantas pingsan? Pun pada saat Te-it Ong-hui
tiba, ia tak sempat menggeledah badanmu. Siapa tahu Sip U-jong diam-diam
menyelinapkan peta itu dalam tubuhmu!”
Thian-leng tegang sekali. Ia tak tahu bahwa kantongnya berisi sebuah bungkusan
kain yang sudah kumal. Dengan berdebar-debar ia membuka lipatan kain itu.
Ah……. hampir ia menjerit kegirangan. Sebuah peta yang penuh dengan jalur-
jalur goresan. Di sebelahnya tertulis tiga buah huruf Giok-ti-tho ( peta telaga
zamrut)!
Tetapi yang membuat Thian-leng terkejut ialah sebaris tulisan di balik peta itu.
Tulisan itu ditulis dengan darah, berbunyi :
“Hun-tiong dan Song-bun kedua durjana, adalah musuh bebuyutanku. Aku mati
dibunuh Ma Hong-ing, supaya membalaskan sakit hatiku. Jangan lupa……”
Thian-leng tak berkata-kata. Hatinya penuh dengan rasa haru dan dendam. Sip U-
jong bukan saja memberinya minum pil Kong-yang-sin-tan, tetapi juga
menyerahkan peta. Ia harus menunaikan pesan tokoh yang bernasib malang itu,
menuntut balas pada Hun-tiong Sin-mo, Song-bun Kui-mo dan Ma Hong-ing. Dan
memang Song-bun Kui-mo yang kini menjelma menjadi Sin-bu Te-kun itu adalah
manusia yang harus dilenyapkan demi keselamatan dunia persilatan! Tetapi yang
dua orang itu….. ya, Hun-tiong Sin-mo telah menyembuhkan lukanya, Ma Hong-
ing kemungkinan adalah ibunya sendiri! Hendak dibunuhkah kedua orang itu?
Tidak…..! Ia tak dapat membunuh orang yang telah melepas budi padanya. Dan
sebelum asal-usul dirinya diketahui, ia tak dapat membunuh Ma Hong-ing dulu.
Karena kalau-kalau wanita itu benar ibu kandungnya….
Benak Thian-leng penuh dengan berbagai persoalan yang rumit, sehingga untuk
beberapa saat lamanya ia hanya tegak terlongong-longong saja.
“Lekas simpan peta itu! Kalau aku seorang temaha, mungkin peta itu tentu sudah
pindah ke tanganku!”tiba-tiba Pengemis sakti memperingatkan.
Kalau tak mengambil peta itu berarti bebas dari kewajiban melaksanakan pesan
Sip U-jong. Dmeikianlah jalan pikiran Thian-leng.
Thian-leng hanya menghela napas, “Aku masih muda dan kurang pengalaman,
mungkin tak layak mendapat kitab pusaka itu. Lo-cianpwe lebih ternama dan lebih
berpengalaman, bukankah.....”
“Tidak! Tidak!” Pengemis sakti menolak tegas. “Aku si pengemis tua tak mau
melanggar kemauan alam! Apalagi pilihan Sip U-jong tentu tak salah. Dia tentu
sudah memperhitungkan bahwa bukan saja kau dapat melaksanakan pesannya,
juga dapat pula memikul beban kewajiban menjaga keselamatan dunia persilatan.
Aku si pengmis tua ini tak punya rejeki sedemikian besar !”
“Apakah kau hendak mencari adik angkatmu itu lagi?” tanya si pengemis.
Thian-leng mengiyakan.
“Aku si pengemis tua bersedia mewakili pekerjaanmu itu tetapi .... kau .....harus
segera menjenguk sahabatmu yang sakit keras itu. Sudah, jangan membuang
waktu lagi....”
Thian-leng tersirap kaget. Mengapa pengemis itu tahu urusan itu pula?
“Apakah lo-cianpwe yakin berhasil mencari nona Lu itu?”
“Jangankan dia, sekalipun kau suruh cari seekor semut di ujung langit, aku tentu
sanggup mengerjakannya!”
“Aku seorang yang tahu membalas budi dan dendam. Atas budi lo-cianpwe kelak
aku tentu membalasnya. Sekalipun lo-cianpwe suruh aku menyebur ke dalam
lautan api, tentu aku tak menolak !”
“Bagus, bagus. “ si pengemis tua tertawa, “aku memang tak mau bekerja percuma.
Setiap bantuan yang kuberikan, tentu kuminta balas. Sekarangpun aku hendak
minta balas padamu!”
“Tidak menyuruh melainkan hanya meminta kau meluluskan dua buah hal!”
“Silakan mengatakan.”
Seketika wajah Pengemis sakti berobah serius, ujarnya dengan nada sungguh-
sungguh, “Pertama, mulai saat ini jangan kau berbahasa ‘lo-cianpwe’ lagi
kepadaku. Aku akan memanggilmu ‘laote’ (adik) dan kau panggil aku
‘laoko’(kakak)!”
Pengemis sakti tertawa aneh, “Yang kedua, kuminta kau menyimpan sebuah
barangku. Harus kau pakai selama-lamanya dan jangan sampai hilang !”
Diam-diam Thian-leng geli-geli heran. Mengapa memberi barang saja harus pakai
perjanjian? Dan mengapa harus suruh memakai seumur hidup?
“Lencana ini, meskipun tak berharga, tetapi merupakan barang pusakaku. Harap
jangan dibuang!” pesannya.
Benda itu ternyata sebuah lencana berukirkan beberapa batang bambu yang
malang-melintang. Lencana itu diikat dengan sebuah kalung kecil.
Thian-leng tak tahu apa guna dan arti lencana bergambar bambu itu. Namun
karena sudah berjanji ia biarkan saja lencana itu dipasangkan si pengemis pada
lehernya.
Sebelum pamit pergi, Thian-leng sekali lagi menyampaikan permintaan supaya si
Pengemis Sakti bulu-besi suka mengusahakan mencari Lu Bu-song.
Si Pengemis sakti menyanggupi.
ooo000ooo
Ah, kau.......!
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dalam setengah hari saja dapatlah Thian-
leng mencapai seratus li. Pikirannya masih penuh dengan bermacam perasaan.
Ia tak mengira Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo mati begitu mengenaskan. Lebih-
lebih tak menyangka kalau Sip U-jong diam-diam menyerahkan peta pusaka
kepadanya. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka dan meyakinkannya, kelak ia
bakal menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan. Dengan begitu dapatlah ia
melakukan segala rencananya.
Hari kedua tibalah ia di kota Ceng-liong-tin, sebuah kota yang terletak di tepi
sungai Hong-ho. Kota itu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai.
Pertama-tama Thian-leng mencari keterangan tentang rumah penginapan Ih-hian.
Ternyata rumah penginapan itu terletak di sebuah jalan kecil yang sepi. Rumah itu
sepi tetamu. Diam-diam ia heran mengapa Cu Siau-bun memilih rumah
penginapan yang sedemikian jorok dan kecil Apakah sahabatnya itu kehabisan
uang?
Melihat itu Thian-leng terharu sampai menitikkan dua tetes air mata, serunya
teriba-iba, “ Cu-heng, Cu-heng ………kau masih ingat padaku!”
Pemuda itu yang bukan lain memang Cu Siau-bun, memaksakan diri memandang
Thian-leng, “Kau…. Kang-heng….. aku menunggumu setengah mati!”
Thian-leng menghela napas, “Aku bukan she Kang, Cu-heng tentunya tahu.
Sampai saat inipun aku belum tahu asal-usulku, …… tetapi bagaimana dengan
penyakit Cu-heng?”
Sekalipun mulut mengatakan begitu, tapi dalam hati Thian-leng gelisah. Ia belum
yakin si Pengemis sakti dapat mencari Lu Bu-song. Kalau dara itu belum
diketemukan, ketua Thiat-hiat-bun tentu marah.
Selain itu iapun memikirkan tentang pernyataan Sin-bu Te-kun yang hendak
menggempur Tiam-jong-san. Belum tentu dugaan Lu Bu-song bahwa Sin-bu Te-
kun tentu tak berani menyerang Tiam-jong-san itu yang benar. Kalau Sin-bu Te-
kun benar-benar membuktikan ancamannya, bukankah berabe membawa orang
sakit kepada ketua Thiat-hiat-bun yang sedang bertempur dengan Sin-bu-kiong
itu ?
“Seorang lelaki rela berkorban untuk sahabatnya!” seru Thian-leng dengan tegas.
“Asal Cu-heng bisa sembuh aku rela mengorbankan apa saja….!Eh, apakah Cu-
heng masih ingat perjanjian kita di lembah Sing-sim-kiap dahulu?”
Akhirnya Cu Siau-bun terpaksa berkata dengan nada jengah, “Sejak kecil tubuhku
telah terkena semacam racun. Racun itu kecuali dengan cara pengobatan Goan-
yang-sam-hwe ialah menggunakan sari perjakamu untukmu mengenyahkan
racun, tiada lain jalan lagi!”
Demikian kedua pemuda itu hendak melakukan pengobatan istimewa. Pada detik-
detik
di mana keduanya sudah siap melaksanakan, terdengar Cu Siau-bun menghela
napas, “Apakah kau bersungguh hati hendak menolong jiwaku?”
“Bukan tak percaya, tetapi kuatir kau…..” tiba-tiba suara dan tubuh Cu Siau-bun
gemetar, ujarnya, “Aku…..aku….sebenarnya……”
“Kau seorang ….. gadis!” Thian-leng menjerit kaget, “kau ini Cu Siao-bun, kau
ternyata tak sakit!”
Tetapi dalam hati nona itu telah memutuskan. Ia hendak berjuang mengalahkan
Lu Bu-song untuk merebut Thian-leng. Dan kini dalam babak pertama, ia sudah
menang…..
Jilid 12 .
Utusan Neraka
Siau-bun menjulurkan sebuah jarinya dan lilin itupun padam. Keduanya segera
mengemasi pakaiannya.
“Awas, jaga baik-baik petamu, mungkin orang ini hendak mengarah petamu itu!”
bisiknya kepada Thian-leng.
Thian-leng mendorong jendela dan loncat keluar. Dengan sebuah loncatan yang
indah ia hinggap di atas penglari rumah. Rumah penginapan seolah-olah
terbungkus oleh kegelapan, sunyi dan senyap.
“Apakah kau melihat sesuatu?” tanya Siau-bun ketika menyusul loncat ke atas
rumah. Thian-leng hanya menggeleng. Mungkin waktu berpakaian tadi orang
sudah menyingkir pergi. Apa tujuan orang itu? Mengapa ia terus melarikan diri?
Siau-bun pun heran. Ia masih mengenakan pakaian laki-laki, wajahnya yang pucat
kini tampak kemerah-merahan. Thian-leng melirik padanya dan tertawa.
“Kau menertawakan aku?” dengus Siau-bun.
Terpaksa Thian-leng menghiburnya, “Adik Bun, ya..., akulah .... yang salah.....”
“Hai, siapa itu berani mengganggu tak berani berhadapan muka?” Thian-leng
berseru seraya loncat mengejar.
“Biarkan saja, jangan kena tertipu….” Siau-bun mencegah. Tetapi Thian-leng yang
sudah dirangsang kemarahan sudah terlanjur melambung ke atas wuwungan.
Terpaksa Siau-bun pun mengikuti.
Mereka sudah berada di luar kota. Orang itu berlari menyusur sepanjang pantai
sungai Hongho. Air bengawan yang mengkilap gelap di malam pekat, makin
menambah keseraman suasana.
“Kita masih mempunyai urusan. Kalau kau tak tahu siapa orang itu, perlu apa mati-
matian mengejarnya? Kemungkinan besar ia hendak gunakan tipu untuk
memancing kita!”
Thian-leng menghentikan langkahnya. Ia pikir alasan Siau-bun itu benar. Ya, perlu
apa ia harus mengejar orang yang tak dikenal itu?
“Baiklah, mari kita balik ke pondok lagi.” katanya. Tetapi pada saat keduanya
memutar tubuh, tiba-tiba terdengar orang itu menggunakan ilmu menyusup suara
berseru kepada Thian-leng.
Sudah tentu Thian-leng tersentak kaget dan cepat-cepat memutar tubuh lagi.
Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, “Ketahuilah
bahwa aku bermaksud baik. Aku tak punya dendam apa-apa kepadamu, jangan
kau menguatirkan diriku. Jika ingin tahu asal-usul dirimu, bebaskanlah dirimu dari
libatan kawanmu itu dan ikutlah aku ke dalam sarangku. Jika tak mau, maaf aku
tak dapat menunggumu lebih lama lagi....”
Hati Thian-leng berdebar keras. Hal yang paling menjadi pemikirannya ialah
tentang asal-usul dirinya. Apalagi orang itu memang tak bermusuhahn padanya.
Ditilik dari caranya menyalakan lilin dari kejauhan dan ilmu lari cepatnya, jelask
kalau seorang sakti. Mungkin orang itu memang sungguh-sungguh bermaksud
baik hendak memberi petunjuk padanya!
Seketika tergeraklah hati Thian-leng. Ia hendak menurut seruan orang itu. tetapi
pada lain saat, timbullah suatu prasangka. Nada suara orang itu memang tak
pernah didenagrnya, tetapi mengapa dia tahu tentang riwayat dirinya? Mengapa
orang itu begitu menaruh perhatian padanya? Kaki Thian-leng yang sedianya di
ayun, kembali terhenti pula.
“Lekas, mengapa kau ini?” melihat Thian-leng berhenti, Siau-bun menegur heran.
“Mengapa kau hendak menemuinya? Apakah kau tak kuatir terjebak tipunya?”
Thian-leng menggeleng,”Tidak, aku harus pergi, harap adik Bun jangan kuatir!”
tanpa menunggu sahutan si nona lagi, Thian-leng pun segera loncat mengejar
orang aneh tadi.
Siau-bun heran atas tindakan pemuda itu. Setelah menyimpan peta ke dalam baju,
iapun segera menyusul.
Bayangan hitam itu tetap berada pada jarak dua puluhan tombak. Melihat Thian-
leng menyusul, ia tertawa gelak-gelak dan melanjutkan larinya lagi. Betapapun
Thian-leng hendak menyusulnya tetap tak mampu.
Tiba di puncak bukit yang sunyi, tiba-tiba orang aneh itu berhenti. Sekeliling bukit
itu penuh ditumbuhi huatan pohon Yang dan Siong yang rindang.
Secepat Thian-leng dan Siau-bun tiba, kejut mereka bukan kepalang ketika
melihat wajah orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar, mata sebesar
kelereng, dahinya menonjol, wajahnya mengerikan.
Punggungnya menyelip sebatang kipas besi. Begitu melihat Thian-leng,
berserulah orang itu dengan bengis, “Hai, telah ukatkan supaya jangan membawa
kawanmu, mengapa……..”
Orang aneh itu tertawa seram, “Aku mempunyai she ganda Tok-ko dan nama Sing.
Atas perintah tuanku, aku disuruh mengundang Be-beng tayhiap untuk
diberitahukan sebuah rahasia penting!”
Ia anggap orang itu mempunyai kepandaian sakti dan umurnyapun sudah enam
puluhan tahun, masakah masih berhamba pada orang. Kalau orang itu saja sudah
dapat digolongkan sebagai tokoh kelas satu, bagaimana dengan majikannya!
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak,” Tuanku juga mempunyai she ganda Kong-sun
dan nama gnda Bu-wi.”
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, “Hek-gak sudah melenyapkan diri dari dunia
persilatan selama enam tujuh tahun. Sungguh tak nyana nona bisa
mengetahuinya dengan jelas!”
Siau-bun memandang Thian-leng, “Jangan kena jebakannya, ayo kita pergi saja!”
Kembali Thian-leng ragu. Ia tak tahu siapa yang disebut Hek-gak itu, tetapi dari
ucapan Siau-bun yang begitu serius, tentu Hek-gak itu sebuah tempat yang
misterius. Tetapi ia tertarik dengan undangan Tok-ko Sing tadi…..
“Eh, apakah kau masih berkeras tak mau mendengar kata-kataku?” Siau-bun
banting-banting kaki.
Baru Thian-leng hendak menyahut, Tok-ko Sing sudah mendahului tertawa sinis,
“Apakah nona marah karena aku mengganggu kesenangan kalian tadi sehingga
nona melarang dia memenuhi undanganku?”
“Karena sudah datang, maka harap cianpwe suka membawa aku ke sana!”
akhirnya Thian-leng pun mengambil keputusan.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, “Aha, ternyata kau tak mengecewakan sebagai
seorang pendekar muda. Pandangan tuanku itu maha tajam dalam menilai pribadi
seorang ksatria….”
Habis berkata orang aneh itupun segera ayun langkah menuju ke dalam hutan.
Neraka Hitam
Tak lama mereka sudah menyusup berpuluh-puluh tombak ke dalam hutan. Saat
itu hari
makin malam. Hutan Siong dan jati makin pekat. Sedemikian gelap sehingga tak
dapat melihat jari sendiri. Namun karena lwekang Thian-leng dan Siau-bun cukup
tinggi, maka dapatlah mereka menembus kegelapan itu. Sejauh beberapa tombak
mereka masih dapat melihat jelas. Sekalipun demikian tak urung kedua muda-
mudi itu tercekat juga hatinya.
“Putusanku telah bulat. Biarpun masuk ke dalam sarang harimau telaga naga, aku
tetap tak gentar,” sahut Thian-leng, “sekiranya adik Bun kuatir, baiklah pulang lebih
dahulu!”
“Apakah kau anggap aku tega membiarkan kau seorang diri menempuh bahaya?”
gumam Siau-bun.
Sederhana kedengarannya ucapan itu, tetapi penuh dengan kasih sayang yang
mesra. Mau tak mau tergeraklah nurani Thian-leng.
“O, jadi dia hendak memberitahukan tentang asal-usulmu?” tanya SIau-bun pula.
Thian-leng mengiyakan.
Siau-bun geleng-geleng kepala, ”Kau termakan tipunya. Tahukah kau tempat apa
Neraka Hitam ini?”
“Pemilik dari Neraka Hitam ini ialah Kongsun Bu-wi, seorang durjana besar pada
enam tujuh puluh tahun yang lalu. Dia membunuh jiwa manusia seperti
membunuh lalat. Tak ada kejahatan yang tak dilakukan…..”
“Karena waktu itu ia dikalahkan Hun-tiong Sin-mo dan sejak itu kekuasaan dunia
persilatan pindah ke tangan Hun-tiong Sin-mo. Kongsun Bu-wi beruntung masih
dapat melarikan diri!”
“Kalau begitu ibumu itu tentulah seorang pendekar wanita yang ternama?” tiba-
tiba Thian-leng mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Siau-bun
tertegun.
“Apakah kau benar-benar tak mau merobah keputusan?” cepat-cepat nona itu
mengalihkan pembicaraan.
Thian-leng menghela napas, “Hal yang paling menyiksa batin orang ialah kalau
tak tahu asal-usul dirinya. Itulah sebabnya maka aku menggunakan nama Bu-
beng-jin. Setiap kesempatan mencari tahu hal itu sudah tentu takkan kulepaskan!”
Siau-bun menghela napas, “Soalnya, bukan saja kau tak berhasil mencapai
tujuanmu pun bahkan malah terjebak dalam bahaya. Kau tak pernah mendengar
betapa keganasan momok Kongsun Bu-wi! Dia lebih ganas daripada Sin-bu Te-
kun!”
Siau-bun tertawa getir, “Ilmu kepandaian itu sukar diukur dalamnya. Tiada ujung
tiada pangkal kecuali It Bi siangjin seorang, mungkin tiada seorang tokoh lain yang
berani membanggakan diri sebagai tokoh lain yang berani membanggakan diri
sebagai tokoh tanpa tandingan…….” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula,
“Rupanya dalam persembunyiannya selama enam puluh tahun itu, Kongsun Bu-wi
telah meyakinkan suatu ilmu kesaktian untuk menebus kekalahannya yang
dahulu. Dikuatirkan tak lama lagi dunia persialtan tentu akan timbul suatu huru-
hara hebat!”
“Apakah Bu-beng tayhiap tetap hendak bersama dengan sahabatmu itu?” tiba-tiba
Tok-ko Sing berhenti dan memutar tubuh.
Siau-bun tertawa datar, “Begini sajalah. Aku tak kan menyusahkan kau. Nanti
apabila berhadapan dengan majikanmu, akan kukatakan bahwa aku datang
sendiri bukan karena ikut kau!”
“Terserah bagaimana kau hendak mengaturnya,” Siau-bun balas tertawa tak acuh.
Kata-katanya juga mengandung berbagai tafsiran.
Tok-ko Sing tertawa, “Pintu gerbang tengah dalam Neraka Hitam sudah dibuka,
menunggu kedatangan tetamu!”
Thian-leng dan Siau-bun segera mengikuti orang itu melintasi gerombol pohon
yang lebar. Tiba-tiba mata kedua muda-mudi itu tertumbuk pada selarik sinar
penerangan yang melingkar-lingkar dalam warna hijau kebiru-biruan. Ketika
mengawasi dengan seksama, terkejutlah kedua anak muda itu. Kiranya lingkaran
sinar hijau itu tergantung di atas puncak sebuah gedung dan berbentuk dua buah
huruf “ Hek Gak”.
Pada kedua samping tembok pintu, tergantung berpuluh mayat manusia yang
perutnya pecah, usus berhamburan keluar dan darah bercucuran!
Thian-leng memekik tertahan dan berhenti.
“Ha, ha, masakah Bu-beng tayhiap takut?” Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak.
Thian-leng mendengus geram, “Sejak lahir, aku tak kenal dengan kata-kata takut!”
“Salah tafsir?” Thian-leng terbeliak, “Apakah mereka bukan dibunuh oleh orang
Neraka Hitam? Apakah pembunuhan itu tiada sangkut pautnya dengan
majikanmu?”
Rupanya Tok-ko Sing mengetahui isi hatinya, ia tertawa, “Bu-beng tayhiap tentu
heran melihat orang-orangan itu bukan?”
Tok-ko Sing tertawa, “Orang-orangan lilin itu ialah sasaran yang hendak dituju
majikanku pada saat ia keluar ke dunia persilatan lagi……” Sambil menunjuk pada
mayat lilin yang tergantung di tengah-tengah, ia berkata pula. “Itulah lambang
Hun-tiong Sin-mo dan itu Song-bun Kui-mo. Sebenarnya masih ada dua orang-
orangan lilin lagi, tetapi karena orangnya sudah mati, maka tak dipasang lagi….”
Memang Thian-leng melihat bahwa ada dua tempat yang kosong. Diam-diam ia
menduga bahwa yang diambil itu tentulah orang-orangan lilin lambang Oh-se
Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo. Karena kedua tokoh itu sudah meninggal.
Kembali Tok-ko Sing menunjuk ke arah kanan, “Tahukah Bu-beng tayhiap siapa
orang-orangan itu?”
Thian-leng memperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh Tok-ko Sing itu berjumlah
sembilan buah orang-orangan lilin terdiri dari lambang paderi, imam, rahib dan
ada orang biasa.
“Benar!” sahut Tok-ko Sing. Kemudian ia menunjuk ke arah kiri pada empat lima
puluh mayat orang-orangan lilin. “Dan yang sana itu lebih banyak lagi jumlahnya,
tahukah Bu-beng tayhiap siapa mereka itu?”
“Aku masih hijau, tak mengerti banyak!” Thian-leng agak mengkal menyahut.
“Mereka itu juga tokoh-tokoh yang terkenal, antara lain ketua Thiat-hiat-bun
Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Bu-siong-hwe yang bernama Hun-bin Bu-
siong, ketua perkumpulan agama Pek-tok-kau yang bernama Ha-Lui, ketua
perkumpulan pengemis Kay-pang….”
Siau-bun hanya ganda tersenyum saja. Sepatahpun ia tak berkata. Tetapi lama-
kelamaan
ia tak tahan lagi. Tukasnya dengan tawar, “Sudahlah, tak usah cerita terus.
Memang cita-cita majikanmu besar sekali, tetapi sayang ia melalaikan sebuah
hal!”
Tok-ko Sing tertegun, ujarnya, “Hal ini tak dapat kukatakan. Coba saja buktikan
nanti!”
“Sekarang terserah pada Bu-beng tayhiap apakah tetap hendak masuk ke dalam
Neraka Hitam ataukah mundur…..” kata Tok-ko Sing.
Tok-ko Sing tertawa sinis. Segera ia memberi isyarat tangan mempersilakan kedua
muda-mudi itu.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Serentak dengan gerakan Tok-ko Sing itu maka
terdengarlah suara berdrak-derak dari pintu gerbang besi yang terpentang. Thian-
leng sejenak termangu tetapi pada lain saat ia segera melangkah masuk diikuti
oleh Siau-bun.
Dua deret rombongan penjaga yang mengenakan pakaian ringkas dan senjata
lengkap tampak menjaga di sepanjang jalan masuk. Deretan terakhir terdiri dari
dua orang bujang perempuan dalam pakaian sederhana. Kedua bujang itu
menghadang di tengah dan menyambut kedatanagn sang tetamu, “Selamat
datang Bu-beng tayhiap!”
Tetapi kedua bujang itu segera tersirap kaget demi melihat Siau-bun. Heran
mereka mengapa Thian-leng membawa kawan.
Ruangan dalam gedung itu tinggi-tinggi, tetapi semuanya dicat hitam sehingga
seram tampaknya. Kedua bujang itu membawa Thian-leng dan Siau-bun masuk.
Selama melalui jalan kecil dan tikungan-tikungan gang, diam-diam Thian-leng
mencatat dalam hati. Kira-kira empat puluh tombak jauhnya setelah melintasi dua
buah halaman, tibalah mereka di ruang tamu. Sebuah ruangan yang luas, penuh
dengan kamar-kamar tetapi sepi-sepi semua. Juga kamar-kamar itu dicat warna
hitam, tanpa lampu sama sekali. Tetapi ketika Thian-leng dan Siau-bun
dipersilakan masuk ke dalam kamar sebelah utara, kedua bujang itupun menyulut
juga sebuah pelita.
Setelah menghidangkan dua cawan the wangi, kedua bujang itupun
meninggalkan ruangan. Begitu mereka pergi, Thian-leng cepat-cepat mengunci
pintu. Ia periksa seluruh ruangan itu dengan teliti. Di situ terdapat tiga buah kamar.
Ruangan dihias indah, tetapi serba sederhana. Sekilas pandang seperti tak ada
sesuatu alat rahasia.
“Adik Bun, jangan minum teh itu!” habis memeriksa ruangan, Thian-leng terkejut
melihat Siau-bun tengah mengangkat cawan arak.
“Kita berada dalam tempat berbahaya. Segala tindak tanduk kita harus hati-hati.
Kalau teh itu diberi obat, bukankah....”
“Teh ini tiada racunnya dan ternyata teh dari Liong-keng yang termasyhur. Ayo,
kita nikmati saja!” Siau-bun tertawa.
“Sebabnya sederhana saja. Pertama, gedung ini berdinding sangat tinggi, berpintu
besi dan penuh alat rahasia. Sekali kau sudah masuk tak nanti kau mampu keluar
lagi. Kedua, pemilik Neraka Hitam ini sudah enam-tujuh puluh tahun
menyembunyikan diri. Begitu hendak muncul lagi sudah tentu harus menjaga
gengsi. Tak nanti mau merendahkan diri membunuh kita dengan racun. Masih
banyak lagi alasan-alasannya, tetapi pada pokoknya untuk sementara ini tentu
takkan bertindak curang....”
Thian-leng anggap analisa nona itu tepat, namun ia tetap merasa cemas. Ia masih
sangsi akan keterangan Tok-ko Sing bahwa pemilik Neraka Hitam itu akan
memberi keterangan tentang asal-usul dirinya. Mengapa Kongsun Bu-wi begitu
menaruh perhatian besar kepadanya? Apakah maksudnya.......
Thian-leng mengatakan bahwa tampaknya ruang itu tiada diberi barang suatu
perkakas rahasia.
“Gila kau!” Siau-bun tertawa hambar, “ruangan ini justru penuh dengan perkakas
rahasia.!”
“Kalau begitu kita ini berada dalam jebakan mereka?” Thian-leng terkejut.
“Bukankah aku pernah menganjurkan kau supaya jangan ikut padanya?” sahut
Siau-bun hambar.
“Jadi kau sudah mengetahui kalau dia hendak mengelabui?” Thian-leng terbeliak
kaget.
“Tidak!”
Segera Siau-bun menggunakan ilmu mnyusup suara, “Kita toh dapat melihat dlam
kegelapan, jadi tak perlu dengan penerangan macam kunang-kunang begitu.
Siapa tahu diam-diam ada orang tengah mengawasi gerak-gerik kita. Dalam
kegelapan tentu sukarlah dia melakukan pengintaiannya!”
Beberapa kali nona itu telah mengemukakan analisa yang dapat diterima akal.
Diam-diam Thian-leng kagum. Mereka segera duduk bersamadi.
Tak berapa lama tiba-tiba Siau-bun berseru dengan ilmu menyusup suara. “Ada
orang datang, lekas...!” nona itu menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan
loncat ke atas tiang penglari. Tanpa banyak bicara Thian-leng pun segera
mengikuti.
Benar juga, sesaat kemudian terdengar langkah kaki seorang berjalan dengan
perlahan-lahan.
“Kuduga pemilik gedung ini tentu akan datang sendiri. Dengan menawarkan
keterangan tentang asal-usulmu, dia akan minta peta Telaga zamrud. Jika kau
menolak, dia akan menggunakan keerasan. Peta direbut dan kau akan dibunuh
untuk menghilangkan jejak..”
“Apakah dia sudah tahu peta itu ada padaku?” Thian-leng tersirap kaget.
“Hal itu memang berliku-liku, sayang kau mudah tertipu!” tukas Siau-bun.
Thian-leng menghela napas penyesalan. Langkah kaki itu makin dekat tapi makin
perlahan.
“Apa yang kau maksud dengan di luar dugaan tadi?” Thian-leng bertanya pula.
“Langkah kaki seperlahan itu menunjukkan bahwa orang berjalan dengan penuh
hati-hati. Mungkin takut diketahui orang. Apakah di dalam Neraka hitam ini telah
kemasukan orang lagi?”
Mendengar itu Thian-leng makin bingung. Saat itu langkah kaki sudah berada di
luar pintu, menyusul terdengar suara ketukan pintu perlahan-lahan dan orang
berseru lirih, “Bu-beng tayhiap…..!”
Thian-leng memandang Siau-bun, bagaimana adik Bun, kita bukakan pintu tidak?”
Dengan sebuah gerakan seperti kucing, Thian-leng loncat turun dan membukan
palang pintu. Siau-bun menyiapkan senjata rahasia tui-hong-kiong. Juga Thian-
leng telah siap dengan pukulan Lui-hwe-ciang.
Tetapi apa yang muncul hampir membuat si anak muda menjerit kaget. ternyata
hanya seoarang dara baju hijau. Wajahnya memancarkan seri kecemasan.
“Nona ini…..?”
Baru Thian-leng mengiyakan. Siau-bun sudah berseru supaya menyuruh dara itu
masuk dan segera menutup pintu lagi. ternyata Siau-bun pun sudah loncat turun di
belakang Thian-leng.
“Mungkin kau ini nona Cu yang bersama dengan Bu-beng tayhiap?” tanya si dara
itu setelah masuk.
“Kau ini sebagai apa di dalam Neraka Hitam? Mengapa tengah malam datang
kemari? Mengapa kau tahu kami berdua berada di sini?”
“Di Neraka Hitam ini kedudukanku cukup tinggi. Namanya saja aku ini majikan dari
Hong-kiong (istana burung Hong), tetapi sebenarnya tak lebih dari seorang
tawanan….kecuali pada saat berada di samping ayahku!”
Ucapan itu membuat Thian-leng dan Siau-bun bingung karena tak mengerti apa
maksudnya.
“Hendak mophon bantuan tuan berdua agar menolong kakekku!” sahut si dara.
“Asal kami dapat tentu dengan senang hati membantu nona, “ sahut Thian-leng
serempak.
Dara baju hijau itu tertegun, “Kakekku itu tidak dipenjarakan karena dia….. dia
bukan saja Cong-hou-hwat (kepala penjaga) Neraka Hitam, juga merupakan guru
dari Kongsun Bu-wi…..!”
“Astaga!” Thian-leng mengeluh kaget. Ia memperhatikan lagi wajah nona itu, tetapi
nyata kalau nona itu bukan seorang gila. tetapi mengapa ucapannya begitu aneh?
Kakek nona itu menjabat kedudukan yang sedemikian tinggi, perlu apa ia minta
pertolongan pada orang asing? Juga nona itu sendiri menjabat sebagai kepala
Hong-kiong. Mengapa dia begitu ketakutan dan minta tolong pada lain orang?
Secerdas-cerdasnya otak Siau-bun, kali ini benar-beanr ia tak mengerti.
“Kami keluarga she Bok. Kakekku itu bernama Bok Sam-pi, bergelar Ang-tim
Cong-khek….”
Jilid 13 .
Bok Sam-pi walaupun tak begitu terkenal, tetapi juga seorang tokoh sakti. Ilmu
kepandaiannya sukar diukur. Memang jarang orang persilatan yang tahu dia,
tetapi orang yang kenal padanya tentu mengindahkan. Malah ada yang
menganggap bahwa Bok Sam-pi itu tokoh kedua setelah It Bi siangjin!
Tetapi Bok Sam-pi itu juga lebih senang mengasingkan diri. Itulah sebabnya maka
angkatan muda jarang yang tahu namanya. Tetapi rupanya Siau-bun yang masih
muda itu tahu banyak sekali tentang seluk-beluk dunia persilatan.
Siau-bun tertawa getir, “Kepandaian kakek nona ini sukar dicari tandingannya.
Bukankah dia menjadi guru dari Kongsun Bu-wi? Bagaimana kami dapat
menolongnya….?” ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Apalagi kami sendiripun
terjebak kemari, bagaimana dapat memberi pertolongan pada kakek nona?”
“Jadi tuan berdua tak mau membantu kesusahanku?” kata nona itu dengan nada
terisak.
“Harap nona bercerita yang jelas. Asal kami dapat melakukan, tentu akan
berusaha sekuat tenaga! Apa yang telah terjadi dengan kakek nona…”
Baru Thian-leng bertanya begitu, tiba-tiba Siau-bun menukasnya, “Celaka, kali ini
kepala Neraka yang datang, lekas……!” ia suruh Bok Ceng-ceng bersembunyi.
Ceng-ceng gugup sekali. Cepat ia menyusup ke bawah kolong ranjang.
Sesaat kemudian terdengar derap kaki riuh. Paling tidak tentu ada lima orang yang
datang. Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara supaya Thian-leng
bertindak menurut isyarat matanya. Jangan bertindak sekehendak sendiri.
“Masih begini sore mengapa kalian sudah sama tidur?” segera terdengar suara
orang berkata-kata bercampur tawa. Nadanya berat, mengiang keras di telinga.
Thian-leng pun tertawa seraya membuka palang pintu. Serombongan lima orang
melangkah masuk. Pelopornya seorang lelaki bongkok, kaki pincang, tangan
kutung sebelah. Jenggotnya putih mengkilap, wajahnya penuh keriput. Umurnya
ditaksir tentu sudah seratusan tahun.
Rombongan pengiringanya, kecuali Tok-ko Sing masih ada empat orang yang
mengenakan pakaian seragam. Tok-ko Sing segera melangkah maju,
memperkenalkan orang cacat itu kepada Thian-leng, “Inilah pemimpin kami.......!”
Ketua Hek-gak itu tertawa, “Bu-beng tayhiap benar-benar tak bernama kosong.
Seorang berbakat yang hebat dan berwibawa….”
Tetapi wajah ketua Hek-gak itu cepat berobah kurang senang ketika melihat Siau-
bun. Sebaliknya Siau-bun acuh tak acuh.
“Ah, adalah karena kebetulan bertemu dengan seorang kawan lama yang tahu
jelas tentang riwayat tayhiap, maka….” ketua Hek Gak tiba-tiba tak melanjutkan
ucapannya.
“Mohon Gak-cu (kepala neraka) sudi memberitahukan. Untuk itu takkan kulupakan
budi Gak-cu seumur hidup,” Thian-leng mendesaknya.
Kongsun Bu-wi mengangguk, “Sudah tentu, hanya saja.....” ia berhenti sejenak lalu
menyambung pula, “Sebelum menceritakan riwayat tayhiap, bolehkah aku
bertanya dulu tentang suatu hal?”
“Kudengar tayhiap memiliki sebuah peta Telaga zamrut, benarkah itu?” sesuai
dengan dugaan Siau-bun, ketua Hek gak itu menyatakan maksudnya.
Hampir meledak dada Thian-leng. Namun ia tetap bersabar dan pura-pura tak
mengerti. “Peta Telaga zamrut? Aku tak pernah mendengarnya apalagi memiliki!”
Ketua Hek Gak tetap tertawa, “Peta itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai
harganya. Tetapi pun bisa dianggap tak berharga sepeser juga!”
“Entah bagaimanakah wujud peta itu, harap cianpwe suka menjelaskan. Kelak
apabila berkelana, aku tentu berusaha untuk mencarikan !” Thian-leng tetap
membodoh.
“Eh, kabarnya kau ini seorang kstria yang suka berterus terang, tak pernah
bohong! Tetapi mengapa kau tak mau berlaku jujur?”
Wajah Thian-leng tampak agak berubah, ujarnya, ”Taruh kata aku memiliki peta
itu, tetapi cara cianpwe hendak merebut dengan siasat serendah ini, tentu tak
kuserahkan! Apalagi sesungguhnya peta itu tak berada padaku!”
Wajah Kongsun Bu-wi pun berobah juga, serunya, “Jadi kau tak mau mengaku?”
Tok-ko Sing tertawa sinis dan segera menyeletuk, “Walaupun tayhiap telah
mendapatkan peta itu secara rahasia sekali, tetapi beritanya sudah tersiar luas di
dunia persilatan. Kalau kau tak mau menyerahkan peta itu kepada ketua kami,
dikuatirkan kau tak dapat mempertahankannya lebih lama dari tiga hari,
apalagi...... tempat persembunyian pusaka itu telah diketahui di gunung Thay-
heng-san! Seluruh wilayah gunung itu kini berada dalam pengawasan kami.
Jangan harap kau bisa menggali tempat itu. Maka daripada melakukan pekerjaan
yang sia-sia, lebih baik kau tukarkan saja dengan keterangan tentang asal-usul
dirimu!”
Tetapi secepat itu Siau-bun segera berseru, “Jangan keburu nafsu dulu……
memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Jika kau memang memiliki peta,
tak beda seperti secarik kertas tak berharga saja!”
Tok-ko Sing tertawa sinis. ”Ha, benar! Kiranya nona Cu lebih mengerti
persoalan….!” tiba-tiba ia memutar tubuh dan berbisik-bisik kepada Kongsun Bu-
wi. Ketua Hek Gak itu mengangguk, “Baik, kita beri waktu dua jam lagi untuk
mereka pikir-pikir. Nanti tengah malam aku akan kembali kesini lagi minta
jawaban.....”
Sebelum pergi ketua Hek Gak itu melontarkan pandangan tajam pada Thian-leng,
serunya tandas, “Ingin mati atau hidup, terserah padamu!”
Baru ketua itu memutar tubuh hendak berlalu, tiba-tiba ia memutar diri lagi. Thian-
leng dan Siau-bun terkejut. Merekapun bersiap-siap. Tetapi ternyata ketua Hek
Gak itu tak mengacuhkan kedua anak muda itu. Dengan suatu gerakan yang tak
terduga, tiba-tiba ia mencengkeramkan tangannya ke arah kamar.
Cengkeraman itu dilakukan dari jauh dan tampaknya lemah-lemah saja, tetapi
hasilnya sungguh tak terduga, Bok Ceng-ceng yang bersembunyi di kolong
ranjang telah tertarik keluar!
Kejut Thian-leng tak kepalang. Cepat ia meraih pedangnya, tetapi Siau-bun
menepuk bahunya perlahan-lahan, bisiknya dengan ilmu menyusup suara,
“Sebelum terpaksa jangan bertindak gegabah!”
Thian-leng menurut. Ceng-ceng yang terseret keluar itu, bagaikan seekor ikan
dalam jaring. Serta merta ia memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi.
Ketua Hek Gak tertawa meloroh, “O, kukira ada penjahat masuk ke sini, ternyata
kepala dari Hong-kiong….” tiba-tiba ia berganti nada bengis.” Mengapa kau tidur
di kamar tamu? Bukankah kau tak mempunyai kebiasaan jalan-jalan di waktu
tidur?”
Kongsun Bu-wi kerutkan dahi, ujarnya, “Tetapi dia adalah cucu tunggal dari
guruku, boleh diperingan hukumannya….” melirik pada Ceng-ceng ketua Hek Gak
itu berseru pula. “Potong kedua paha saja, jiwanya tetap diampuni!”
Sambil mencabut sebatang badik, Tok-ko Sing membentak, “Kau diberi ampun tak
dihukum mati, mengapa tak lekas menghaturkan terima kasih kepada Gak-cu!”
Tok-ko Sing tak menyangka sama sekali. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam
untuk menyambut. Das.. badik mencelat lepas ke udara, tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa langkah……. Namun Thian-leng sendiri juga tak kurang
terkejutnya. Ternyata tenaga dalam Tok-ko Sing hebat sekali, sehingga ia rasakan
separoh tangannya yang digunakan memukul tadi kesemutan. Darah bergolak-
golak.
Setelah dapat berdiri tegak, wajah Tok-ko Sing merah padam. Ditatapnya anak
muda itu, “Bu-beng tayhiap mempunyai hubungan apa dengan kepala Hong-kiong
itu?” serunya bengis.
“Tidak kenal mengenal, tidak ada sangkut pautnya!” Thian-leng menjawab lantang.
Tok-ko Sing tertawa sinis. ”Kalau tiada sangkut pautnya mengapa tayhiap hendak
menolongnya? Mengapa tayhiap menghalangi hukuman tadi?”
Sahut Thian-leng, “Aku tak tahan melihat cara-cara yang sekeji itu. Hanya karena
sedikit kesalahan saja lantas mau memotong kaki seorang gadis….”
“Ini bukan urusan kecil, harus memberi tahu pada guru!” seru Kongsun Bu-wi. Lalu
ia menyuruh keempat pengawalnya pergi ke istana Yang-sim-kiong. “ Coba
jenguklah apakah Cong-hou-hwat sudah tidur atau belum. Kasih tahu aku hendak
bertemu padanya!”
Salah seorang pengawal segera melakukan perintah itu. Setelah itu Kongsun Bu-
wi berkata pula kepada Ceng-ceng, “Aku tak berani gegabah menghukummu
nanti. Hal itu akan kurundingkan dengan guru dulu, kau tentu tak keberatan….”
Thian-leng mendengus lega, karena ia tahu guru Kongsun Bu-wi itu ialah kakek
dari Ceng-ceng. Tidak demikian dengan Ceng-ceng. Wajah dara itu pucat pasi.
Tiba-tiba ia merangkak ke hadapan Kongsun Bu-wi dan meratap, “Mohon Gak-cu
memberi hukuman potong kaki saja….”
“Mengingat kau ini cucu tunggal dari guru, maka hendak kuserahkan hukumanmu
itu kepadanya,” Kong sun Bu-wi tetap menolak. Ceng-ceng pun tetap meminta
dengan ratap tangis.
“Hek Gak mempunyai peraturan keras. Sekalipun aku sendiri yang bersalah juga
harus dihukum. Adalah karena Ceng-cengmu itu cucu guruku, maka kuadakan
pengecualian. Apakah itu ganjil?”
Ceng-ceng telah ditutuk kedua bahunya. tetapi ia masih dapat bicara. Segera ia
berseru kepada Thian-leng dan Siau-bun, “Mohon kalian berdua menyelamatkan
jiwaku dan kakekku….”
Bukan main marahnya Kongsun Bu-wi. Cepat-cepat ia tutuk rubuh dara itu. Belum
Thian-leng hilang herannya, tiba-tiba pengawal yang disuruh tadi muncul lagi dan
memberitahukan bahwa cong-hou-hwat menunggu di istana Yang-sim-kiong.
“Bawa dia!” Kongsun Bu-wi memberi perintah, dan Ceng-ceng segera diseret oleh
dua pengawal.
“Bu-beng tayhiap silakan menimbang lagi. Nanti lewat tengah malam aku akan
datang minta jawaban, saat itu..........” kepala Hek Gak menutup kata-katanya
dengan tertawa dan melangkah keluar.
“Selain menghadapi dengan kekerasan, rasanya tiada jalan lain lagi,” Thian-leng
menggeram.
“Ya, mungkin Kongsun Bu-wi tak membawa gadis itu ke tempat kakeknya
melainkan ke lain tempat untuk dihukum mati……”
“Bukan itu yang kucurigai, ” sahut Siu-bun, “ mungkin kau tak tahu riwayat kakek
nona itu. Ang Tim Gong-khek selain sakti pun cerdik sekali. Masakah tokoh seperti
dia sudi berhamba pada Kongsun Bu-wi? Dan mengapa ia biarkan cucunya
disiksa orang? Kemudian yang lebih aneh lagi, mengapa Ceng-ceng begitu
sungguh-sungguh minta kita menolong kakeknya. Tokoh semacam Ang Tim
masakah perlu ditolong orang lain….?”
“Hanya ada satu cara untuk menyelidiki kesemuanya itu,” Siau-bun tersenyum.
“Bagaimana?”
“Di dalam Hek Gak ini tentu penuh dnegan perkakas rahasia. Setiap sudut, setiap
lantai merupakan bahaya. Jika kita sampai terperosok dalam jebakan, bukankah
akan celaka?”
“Tetapi mereka sudah jauh. Jalanan di sini berkelok-kelok rumit sekali. Mungkin
sukar untuk mengejar mereka....”
“Jangan kuatir,” Siau-bun menghibur, “aku pernah mempelajari ilmu ‘melihat langit
mendengarkan bumi’. Meskipun belum sempurna, tetapi dalam jarak seratus
tombak aku masih dapat menangkap derap kaki orang. Dengan menurutkan derap
kaki itu, tentulah tak sukar mengikuti mereka!”
Thian-leng tersirap kaget. Ketika dalam penjara air di istana Sin-bu-kiong, Nyo
Sam-koan pernah menceritakan tentang ilmu itu. Dan kemudian ia pernah
menyaksikan ketua Thia-hiat-bun menggunakan ilmu itu. Mengapa Siau-bun
mengerti juga ilmu sakti itu? Sejak kenal memang ia tak banyak mengetahui
tentang diri nona itu. Dan memang ia tak pernah menanyakan hal itu kepada Siau-
bun. Kini tiba-tiba timbullah kecurigaannya. Apakah nona itu mempunyai
hubungan juga dengan partai Thia-hiat-bun?
Thian-leng gelagapan. ”Eh, dari manakah adik Bun mempelajari ilmu itu?”
Tiba-tiba Siau-bun berhenti, serunya, “Setelah melintasi tembok tinggi ini kita akan
tiba di istana Yan-sin-kiong!”
Kedua anak muda itu loncat ke atas tembok. Mereka agak terkesima. Di sebelah
luar tembok itu terdapat sebuah halaman luas penuh ditumbuhi pohon bunga. Tiga
buah paseban besar terang-benderang dengan penerangan. Di ruang paseban itu
penuh sesak orang. Tampak Kongsun Bu-wi diiringai oleh para pengawalnya
tengah menyeret Bok Ceng-ceng. Rupanya mereka baru tiba.
“Kita sembunyi di luar jendela dalam kebun belakang agar dapat melihat dengan
jelas,” Siau-bun mengajak. Anehnya tempat yang dituju kedua anak muda itu tiada
penjaganya sama sekali. Daun jendela besar sekali tertutup dengan kertas lilin
yang sudah penuh lubang. Untung karena di sebelah luar gelap, maka jejak kedua
anak muda itu tak sampai ketahuan oleh orang di dalam ruangan. Dari lubang
kertas jendela, mereka mengintai apa yang sedang terjadi di dalam.
Di tengah ruang terdapat sebuah ranjang kayu yang besar sekali dan dicat merah.
Di situ rebah seorang tua yang aneh. Kepalanya gundul kelimis. Wajahnya putih
bersih, tetapi yang aneh ialah hidungnya. Hidungnya besar dan merah, penuh
dengan tonjolan bintil. Dia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, shingga
perutnya yang buncit tampak menonjol jelas. Di belakang ranjang terdapat empat
bujang perempuan yang masih muda.
“Dia tentu Ang Tim Gong-khek?” tanya Thian-leng dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng hampir tertawa, Bok Sam-pi ( Bok si hidung tiga ) memang sesuai
dengan namanya. Bukan saja besar sekali, tetapi hidungnya itu seperti terbelah
jadi tiga.
Begitu tiba di hadapan ranjang, Kongsun Bu-wi segera berlutut memberi hormat.
Bok Sam-pi mempersilakan dia bangun. Tetapi tiba-tiba Ang Tim Gong-khek itu
loncat bangun dan berlutut di hadapan Kongsun Bu-wi juga, “Hamba
menghaturkan hormat kepada Gak-cu!”
Pertama, Kongsun Bu-wi memberi hormat kepada Ang Tim Gong-khek dalam
kedudukan sebagai gurunya. Tetapi Ang Tim Gong-khek pun balas memberi
hormat kepada Kongsun Bu-wi dalam kedudukan sebagai kepala Hek Gak. Habis
memberi hormat Bok Sam-pi pun rebah lagi di atas ranjang.
Thian-leng heran mengapa Bok Sam-pi acuh tak acuh melihat cucunya dalam
keadaan ditutuk jalan darahnya.
“Tengah malam menemui aku, ada urusan apa?” tegur Bok Sam-pi.
“Jika tidak penting, masakah murid berani mengganggu guru. Adalah karena…”
“Nanti dulu!” Bok Sam-pi cepat menukas, “aku tak mau menjalankan peradatan
sebagai cong-hou-hwat lagi. Jangan membicarakan urusan dalam Hek Gak…”
Kembali ketua Hek Gak menjura, “Murid tak berani kurang adat, silakan suhu
rebahan saja.”
“Ada seorang murid yang mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar,”
kata ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi terkejut marah, “Siapa?”
“Dia?” Bok Sam-pi menuding ke arah Ceng-ceng dan Kongsun Bu-wi mengiyakan.
“Kemari kau!” serunya. tetapi karena tertutuk jalan darahnya, sudah tentu Ceng-
ceng tak dapat berjalan. Kongsun Bu-wi memberi isyarat mata kepada kedua
pengawal. Kedua pengawal itu segera membuka jalan darah si dara.
“Saat ini kakek sebagai cong-hou-hwat, lekas haturkan hormat!” bentak Bok Sam-
pi.
“Benarkah kau mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar?” seru Bok
Sam-pi.
“Tahukah apa hukuman yang harus dijatuhkan?” dengus Bok Sam-pi pula.
Ketua Hek Gak segera melangkah maju. “Menurut undang-undang Hek Gak, harus
menerima hukuman digigit lima binatang beracun, tetapi….”
“Tak peduli apaku, sebagai cong-hou-hwat, aku harus bertindak menurut hukum.
Kalau hukum tak dipegang, rusaklah peraturan!” teriak Bok Sam-pi, “Lekas
jalankan hukuman!”
Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera memanggil Tok-ko Sing yang menjabat
sebagai pelaksana hukum atau algojo. Tok-ko Sing pun segera bertindak. Ia
hendak mencengkeram bahu kanan dara itu dan Ceng-ceng tak mengadakan
perlawanan apa-apa.
“Apakah ada buktinya Bok Ceng-ceng melakukan hubungan itu?” tegur Bok Sam-
pi.
“Orang itu masih berada di ruang tamu. Apakah suhu perlu suruh mereka
menghadap?”
Tiba-tiba Bok Sam-pi tertawa keras-keras. “Tak usah, lebih baik kau lihat saja
kutangkap mereka!”
Thian-leng dan Siau-bun menginsyafi betapa hebat kesaktian orang she Bok itu.
Maka merekapun tak mau bertindak sembarangan.
“Benar ,” buru-buru ketua Hek Gak menjawab, “dengan baik-baik murid melayani
mereka di ruang tamu, tetapi ternyata mereka telah bersekongkol dengan Bok
Ceng-ceng. Dan ternyata juga diam-diam mengikuti murid kemari hendak
mencelakai suhu.”
“Mereka bukan murid kita, sudah tentu boleh dihukum apa saja…..” mata ketua
Hek Gak itu berkedip-kedip, “sudah lama suhu kesepian. Baiklah kedua orang ini
dijadikan hiburan saja, entah bagaimana kehendak suhu….”
Tiba-tiba Bok Sam-pi bangkit duduk serunya, “Ya, ya, aku ingin menyaksikan
hukuman Toa-gi-pat-kui, lakukanlah sekarang!”
Thian-leng tertegun, “Tidak, aku tak takut mati. Hanya yang kusesalkan ialah
tindakanku yang sembrono hingga merembet dirimu…..”
“Mati atau hidup masih belum ketahuan. Perlu apa kau sudah putus asa?”
Sentilan si nona membuat Thian-leng malu hati. Segera ia menjamah pedangnya
dan dengan ilmu menyusup suara ia berkata tegas, “Akan kuserang tua bangka
itu, adik Bun…..”
“Jangan gegabah. Melawan si tua itu berarti seperti ana-anai melanda api, telur
membentur tanduk. Kalau kita bertindak begitu, tentu mereka segera menjalankan
hukuman Toa-gi-pat-kui itu!” cegah Siau-bun.
Pada saat kedua anak muda itu bercakap-cakap, Kongsun Bu-wi sudah
perintahkan pengawalnya mengambil sebuah tiang kayu yang besar, tali dan
beberapa batang golok tajam. Alat-alat itu dibawa ke tengah, sedang Bok Sam-pi
tetap menunggu di ranjang kayu. Dengan tenang ia menunggu dilaksanakannya
hukuman Toa-gi-pat-kui.
Sebenarnya Siau-bun pun berdebar-debar hatinya. Namun dara itu sudah biasa
menghadapi ancaman bahaya. Maka sikapnyapun tenang-tenang saja. Tidak
demikian halnya dengan Thian-leng yang sudah gelisah tak keruan. Sedang
terhadap cucunya sendiri saja Bok Sam-pi begitu kejam, apalagi terhadap orang
luar!
“Jalankan dulu hukuman Toa-gi-pat-kui pada kedua mata-mata itu, baru kemudian
menghukum budak ini,” seru Bok Sam-pi. Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera
menyuruh orang mengikat Thian-leng dan Siau-bun pada tiang.
Siau-bun makin perkeras tawanya, “Karena aku tak dapat mati. Tiada seorangpun
di ruang ini yang mampu membunuhku!”
“Di antara kalian siapakah yang paling sakti?” tegur Siau-bun dengan senyum tak
acuh.
Bok Sam-pi tegak di hadapan Siau-bun. Perutnya yang gendut terkial-kial karena
menahan kemarahan. Biji matanya yang sebesar kelereng menyala tajam.
“Kau hendak menantang berkelahi denganku?” serunya.
“Benar,” Siau-bun tertawa, “aku ingin bermain-main beberapa jurus dengan kau.”
“Bagus, sayang kau tak mampu…..” Siau-bun mengedipkan mata sejenak, “eh,
bagaimana? Apakah kau mau adu kepandaian denganku?”
Bok Sam-pi memekik, “Budak perempuan, kalau mau adu kepandaian lekaslah!
Kalau ayal-ayalan mungkin kau tak sempat lagi!”
Menunjuk pada perutnya yang buncit, ia berseru pula, “Boleh kau gunakan senjata
tajam atau senjata rahasia, pukulan, kaki, jari ataupun apa saja. Kalau mampu
merontokkan selembar buluku saja, aku menyerah kalah dan terserah hendak kau
apakan…..”
Siau-bun tertawa nyaring, “Cara itu tidak adil. Jika kau menghendaki cara
berkelahi mati-matian macam benggolan penjahat….., maaf, aku tak sudi
melayani!”
“Kasar!”
Biji mata Bok Sam-pi yang besar berkilat-kilat. “Katakanlah, teresrah kau hendak
memakai cara apa, aku menurut saja!”
Bok Sam-pi hendak menyahut, tetapi Kongsun Bu-wi sudah mendahului, “Suhu,
budak perempuan ini banyak akal, jangan kena diakali!”
Bok Sam-pi merengut kurang senang, “Apakah aku anak kemarin sore? Kau
pandang aku ini orang apa?”
“Harap suhu jangan marah. Murid hendak mengatakan tentang mustika Ban-lian-
liong-cu……”
“Persetan dengan Ban-lian-liong-cu! Apakah kau kira aku tak dapat memijatnya
hancur?”
Kongsun Bu-wi gelengkan kepala, “Bukan maksud murid mengatakan suhu tak
dapat meremasnya. Melainkan hanya mengatakan bahwa Ban-lian-liong-cu itu
adalah mustika yang jarang terdapat di dunia. Kemungkina tentu dia tak punya.
Dan andaikan punya pun, bagaimana hendak suruh suhu menghancurkannya?”
“Benda yang paling keras di dunia, apakah dapat menandingi kekerasan Ban-lian-
liong-cu?” Siau-bun tertawa dingin.
“JIka gurumu dapat memijat hancur Ban-lian-liong-cu, kalau kuberikan yang palsu,
bukankah akan lebih cepat lagi? Dengan begitu bukankah aku kalah dan akan
menerima hukuman Toa-gi-pat-kui atau apa itu Sam-sing-ka-sim atau Ngo-tok-ya-
thi? Apakah aku dapat mengingkari perjanjian lagi?”
Sahutan nona itu membuat ketua Hek Gak gelagapan dan hanya dapat menjawab
sekenanya, “Siapa yang tahu permainan setan itu?”
Siau-bun tertawa dingin, “Dalam hal main setan-setanan, mungkin kau lebih ahli.
Dengan menipu orang untuk diberi tahu tentang asal-usulnya, kau menjebaknya
kemari. Perlunya tak lain hanya hendak merampas peta pusakanya….!” Sambil
menunjuk pada Bok Sam-pi, ia berseru pula, “dan dia seorang cianpwe persilatan
yang sakti, telah kau cekoki dengan obat yang membuatnya berobah linglung tak
sehat pikirannya! Bukankah perbuatanmu itu sangat keji…..!”
“Keparat!” teriak ketua Hek Gak kalap, “kalau kau berani mengoceh tak keruan
tentu akan kucincang tubuhmu!”
Siau-bun acuh tak acuh menyahut, “Sayang saat ini kau tak dapat bertindak
semaumu……” ia berhenti sejenak. “Kepintaran yang digunakan untuk menipu
orang, akhirnya keblinger sendiri. Mungkin kau akan menyesal atas perbuatanmu
itu!”
“Budak perempuan, dengan mengandal akal muslihatmu itu jangan harap kau
mampu lolos dari sini kecuali kau dapat membujuk Bubeng tayhiap supaya
menyerahkan peta padaku!”
“Kalau benar punya Ban-lian-liong-cu, ayo, lekas keluarkan! Coba lihat saja aku
dapat memijatnya hancur atau tidak?” teriak Bok Sam-pi yang rupanya tidak sabar
lagi.
Sahut Siau-bun tenang-tenang, “Jangan terburu nafsu dulu. Akan kujelaskan dulu
palsu tidaknya mustika Ban-lian-liong-cu itu. Toh akhirnya nanti kau tentu akan
memijatnya!”
Ia berpaling ke arah ketua Hek Gak, “Apakah kau tahu khasiat Ban-lian-liong-cu
dan dapat membedakan palsu tidaknya ?”
Siau-bun tertawa tawar, “Kalau begitu harap sediakan air dan api, kita buktikan
saja!”
Tepat seperti yang dikatakan ketua Hek Gak tadi, memang mustika itu berwarna
merah tua berkilau-kilauan memancarkan sinar terang-benderang yang
menyilaukan mata. Seketika berhamburan semacam hawa dingin. Begitu dingin
sehingga membuat keempat pengawal Hek Gak yang berdiri pada jarak beberapa
tombak sampai gemetar badannya.
Juga Bok Sam-pi ternganga, serunya dengan terbata-bata, “Mustika yang hebat,
mustika yang hebat, benar-benar mustika yang tiada tandingannya….!”
Siau-bun hanya mengulum senyum. Dengan angkuh ia berkata kepada ketua Hek
Gak, “Apakah seumur hidupmu kau pernah melihat mustika semacam ini?”
Mulut ketua Hek Gak tersekat, “Kalau menilik ujudnya saja, memang belum dapat
dibuktikan palsu tidaknya………” ia berpaling kepada pengawalnya menyuruh
siapkan air dan api. Empat pengawal Hek Gak segera mengiyakan.
”Ha !? Kalau sampai dipijat hancur oleh setan tua itu, bukankah……”
“Tetapi dengan mengorbankan mustika itu apakah kita pasti dapat lolos ?” ia
masih penasaran.
“Ya, sekalipun Ban-lian-liong-cu itu mustika yang keras sekali, tetapi bukannya
mustahil dihancurkan. Kepandaian setan tua itu memang tinggi sekali. Aku tak
tahu pasti apakah ia mampu memijatnya hancur atau tidak!”
Jilid 14 .
Thian-leng cemas, “ Kalau begitu bukankah …. ?”
“Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas!” tukas
Siau-bun.
Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air
dan tempat api. Siau-bun dengan tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-
liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, “Silakan mencobanya di hadapan
hadirin!”
“Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh?” Siau-bun
tertawa mengolok.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, “Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau
merasa gelisah kalau mustika itu sampai teremas hancur oleh gurumu. Karena
dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya!”
Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, “Ngaco! Orang macam apakah diriku?
Masakah sebutir mustika macam begitu saja dapat menggerakkan keinginanku!?”
Alis Siau-bun menjungkit, “Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada
yang tahu!”
Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-
cu ke dalam baskom air. Serentak terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang.
Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling mustika air
sama menyiah beberapa dim jauhnya.
Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika
memasukkan tangan ke dalam basko, ujung bajunya itu terendam air. Tetapi
anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu
kering kerontang.
“Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu!” tiba-tiba Bok Sam-pi
berteriak.
“Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa? Masakah aku sudi ingkar janji
padamu ! » Bok Sam-pi marah-marah.
“Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak
perempuan! dengan begitu bukankah aku…..bukankah ….” tiba-tiba Bok Sam-pi
bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulai
kencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu…….
Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya
terpentang lebar. Kedua tulang pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya.
Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran!
Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata
mereka mengikuti lekat-lekat pada mustika yang terjepit di tengah kedua jari
tangan Bok Sam-pi.
Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya
mengerut kencang. Inilah yang pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan
kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh.
Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah
sejam lamanya Bok Sam-pi melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak
gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji kedele. Warna
wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan
seluruh tenaga dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu.
Akhirnya… ia menghela napas, “Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku
menyerah kalah!” ujarnya disertai helaan napas rawan.
“Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya....” ia lepaskan lirikan tajam
kepada Siau-bun, katanya pula, “Jika dia mampu meremasnya hancur, barulah
benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri. Pertandingan ini
tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain.”
Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-
wi. “Memang telah kuduga kau akan mengajukan usul ini!”
“Tentu, ayo pijitlah!” Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat.
Kongsun Bu-wi tertawa yakin. Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap
ditelan kekagetan........ Ketua Hek Gak itu terlongong-longong melongo... lutnya
ternganga!
Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak
berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng
yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh diliputi
seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat.
Ketua Hek Gak tertaw sinis.” Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal.
Mengapa dia hanya sekali pijat saja sudah dapat menghancurkan? Bukankah kau
lebih sakti dari dia? Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!”
Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak
perasaan. tetapi tak tahu bagaimana hendak menumpahkan. Marahkah atau
sedihkah?
Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, “Ketika kupijit Ban-lian-liong-
cu bukankah cianpwe mengawasi dengan jelas?”
“Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah?” kata Siau-bun dengan nada
serius.
“Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika.....” cepat-cepat ketua Hek Gak
menukas. Tetapi secepat itu pula Siau-bun segera berseru keras kepada Bok
Sam-pi, “Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat apa-
apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk
menelan ludah lagi!”
“O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan
perjanjian kita!” desak Siau-bun.
Bok Sam-pi mendengus, “Karena kau yang menang, maka segala macam
hukuman
yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana
Hek Gak sini. Apakah ini tidak cukup? Apakah masih hendak suruh aku menganar
kalian?”
Cepat Siau-bun menanggapi, “Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang
memerlukan persetujuan lo-cianpwe!”
Bok Sam-pi mendengus lagi, “Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau
suruh mengantarkan!”
Siau-bun tertawa dingin, “Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati,
haruslah berjiwa ksatria!”
Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak
menghantam. Tetapi Siau-bun acuh tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi
menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput
kemarahannya perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela
napaslah ia, “Baik, akan kuantar kalian keluar dan sebutkanlah kedua tuntutanmu
itu.”
“Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah
sebutir pil dariku.”
“Kau hendak suruh aku minum pil? Perlu apa?” Bok Sam-pi melongo.
Bok Sam-pi menggelengkan, “Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan
kalian keluar dari sini dan kuminum pil mautmu itu…….!”
Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, “Telah kukatakan
padamu tadi bahwa ada suatu saat kau pasti menyesali perbuatanmu selama ini,
nah, bagaimana sekarang?”
“Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu......”
Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, “Jika kau sampai mampu keluar dari
istana ini akan kurayakan dengan bunuh diri!”
Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, “Bok
conghouhwat!”
Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut
memberi hormat. Tetapi secepat itu juga Siau-bun sudah membentaknya, “Nanti
dulu!”
“Jangan menjual muslihat!” bentak ketua Hek Gak murka.
“Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-
cianpwe tunduk kepadamu bukan?”
“Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi
guruku, tetapi karena beliau menjabat sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut
perintahku!” sahut ketua Hek Gak dengan congkak.
“Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah!” Siau-bun tertawa.
“Bagaiman kalahnya?”
“Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah
antara ketua dan anak buah, melainkan beliau berbicara dalam kedudukan
sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan kekalahan
bagimu?”
“Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku!” Bok
Sam-pi seperti disadarkan.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu
menyusup suara berseru kepadanya, “Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki
dari sini!”
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu,” Muridmu
itu sukar diraba hatinya. Jika lo-cianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan
memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas rahasia. Mati
bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar
akibatnya bagi kebesaran nama lo-cianpwe!”
“Beralasan juga ,” dengus Bok Sam-pi.
“Apa kata mereka kepada suhu?” ketua Hek Gak berseru kaget.
“Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia,
hal itu pasti akan menjatuhkan namaku!”
Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. “Percaya
saja. Kutahu apa yang dapat kaulakukan….” ia berhenti sejenak lau melanjutkan
pula. “Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangan tanganmu agar hatiku
tenteram!”
Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa
langkah. Maksudnya ia akan loncat keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat
menyentaknya, “Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat dari
kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!”
Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya
murka, “Apa? Kau hendak lari?” Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram.
Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan
kepalang. Secepat kilat ia sudah mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun
Bu-wi.
Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, “Cu Siau-bun,
ingatlah, lambat atau cepat ada suatu hari tulang belulangmu tentu akan
kuremukkan!”
Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, “Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu
sudah tiba...”
Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang
penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya
mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apa-apa, karena tahu ketuanya
sudah dalam penguasaan.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun
berseru kepada Bok Sam-pi, “Bok Lo-cianpwe, kini sudah berada di luar istana.
Boleh suruh mereka pulang!”
“Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan...” sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja.
Segera ia melepaskan cekalan dan menyuruh Kongsun Bu-wi pergi.
Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa
yang dikatakan nona itu.
Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera
keluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju.
Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, “Apakah kau benar-benar
hendak meracuni kakekku! Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak
menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti orang limbung
begitu!”
“Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, ” kata Siau-bun sesaat kemudian.
Siau-bun tak dapat menahan gelinya, “Terserah kalau kau tahan menunggu di
sini!”
“Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh
hari baru bisa bekerja. Atau mungkin juga seumur hidup takkan bekerja!”
Bok Sam-pi menghela napas, “Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku….”
Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah
berat dan menundukkan kepala ia melangkah kembali ke istana Hek Gak.
“Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin
kuketahui. Yang kuberikan padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu
menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah minum pil itu memang
seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa
lebih baik kulepaskan pulang saja!”
Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah
pulih kembali, tanpa harus diberi petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah
terjadi atas dirinya selama ini. “Dia tentu akan membuat perhitungan dengan
Kongsun Bu-wi!” kata Siau-bun.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. “Tetapi bagaimana dengan
mutiara Ban-lian-liong-cu itu...?”
Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. “Apakah
kau ingin melihat mutiara ini lagi!” katanya.
“Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya.
Kupercaya mutiara itu tentu masih berada dalam tempatnya, bukan?”
Siau-bun tertawa geli, “Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut
diherankan! Selain mustika Ban-lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir
mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu itu. Pun
kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga
sama sekali. Hanya bedanya yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika
yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun Bok lo-cianpwe
itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga
tak dapat memperhatikan palsu tidaknya mustika itu.
Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar
dengan mustika yang palsu. Maka sekali pijat saja hancurlah mutiara itu.....!”
Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, “Adik Ceng, tahukah kau mengapa
kubawa kau keluar dari istana Hek Gak.?”
Ceng-ceng mengangguk, “Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku
bahkan ada kala begitu membenci dan ingin membunuhku. Setelah terjadi
peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar tentu
akan membereskan diriku...” habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-
bun dan Thian-leng, ujarnya, “Terimalah hormat dan terima kasihku atas
pertolongan tuan berdua!”
Siau-bun buru-buru menilakan bangun, “Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak
berani menerima kehormatan yang demikian besar.”
Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan
antara Siau-bun dengan Thian-leng.
Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, “Adik Ceng, lihatlah,
aku juga seorang anak perempuan seperti engkau!”
“Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai
jodoh, “ Siau-bun tertawa ramah, ”sekiranya adik tak menolak, aku ingin
mengangkat saudara denganmu, entah…..”
“Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku!” Bok Ceng-ceng
berteriak menukas.
Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan
kedua nona itu. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya
mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu uplek
mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan…
“Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku?” tanya Siau-bun.
Siau-bun tertawa, “Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong
supaya kau mengantarkan suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah
selama dua tahun!”
“Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau
lakukan, apalagi aku tak mempunyai hubungan apa-apa dengan nona itu!”
Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja
berkenalan sudah dicemburui. Kalau seorang nona yang berpandangan luas
seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya.
“Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh?” Siau-
bun tertawa.
Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali......
ooo0000oooo
Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat
yang ia merasa tak leluasa kalau mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia
sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang Lu Bu-
song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali.....
“Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja
mendengar jelas, akupun bahkan dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang
kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di bawah pohon.
Mengapa kita ribut-ribut?” sahut Siau-bun.
Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi
menyandar pada pohon. Buru-buru Thian-leng memapahnya, “Lo-cianpwe,
maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib?”
Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, “Tak usah.,
penyakitku ini memang sering kumat, sebentar tentu sembuh!”
Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu.
Ternyata Siau-bun lambat sekali jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya.
Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan menertawakannya, “Uh,
ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia!”
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian
Thian-leng menanyakan apakah si nona tidak dingin.
“Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat,” Siau-bun memberi sebuah
lirikan kepada pemuda itu. Gelora darah muda telah mendorong si nona
menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng terpaksa
menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan.
“Apa? bagaimana dengan peta itu? Bukankah telah kau simpan dalam bajumu?”
Siau-bun gugup.
“Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya,” seru Thian-leng. Demikianlah keduanya
segera balik menyusur sepanjang jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-
matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di jalan, tidak
demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa
pencariannya itu tentu akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah
disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan andaikata benar-benar
jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin.
Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil
menemukan apa-apa. Saking jengkelnya Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun
juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan orang
Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya.
Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, “Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi
terang dicuri orang!”
“HA? Dicuri orang?” Thian-leng tercengang. “Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita
toh belum berjumpa dengan siapa-siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di
dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang...” ia berhenti seketika, seolah-olah
seperti orang tersadar, “Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi?”
Jilid 15 .
Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia
tak ingat lagi bagaimana potongan mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu
sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti orang
pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak
diketahuinya. Jaraknya sudah berselang tiga jam, kemanakah harus mencarinya?
Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang
itu seorang kaum persilatan yang sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing
mentah-mentah.
Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia
berdosa terhadap It-bi siang-jin pencipta peta itu? Makin merenung makin
kalaplah Thian-leng...
Siau-bun menghela napas, “Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita
harus berdaya!”
“Kalau begitu apakah kau hendak mati saja?” Siau-bun menyentil tajam, “putus
asa berarti membunuh semua daya upaya!”
“Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu?” tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
Siau-bun menghela napas, “Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain!”
oo000oo
Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika
pengemis itu melihat thong-pay (lencana tembaga) yang terpampang pada dada si
pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling, barulah pengemis
itu mendekati si pemuda, bisiknya, “Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan?”
Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, “Tetapi di sini kurang leluasa bicara,
sebaiknya......”
Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, “Baiklah
silakan menunjukkan tempatnya.”
Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak
berapa lama kemudian mereka tiba di luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara
tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum pengemis.
Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi
tampak di mana-mana, tetapi pada meja sembahyang terdapat sebuah lampu
yang masih memancarkan cahaya redup.
“Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan?” jawab si pengemis dengan
nada menghormat.
Pengemis itu terbeliak, “Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa
itu, entah berasal dari mana?”
“Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu?” tegur Thian-leng.
Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, “Ya, harap siauhiap....”
“Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini,
ambillah...”
“Tidak.. .tidak!” pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. “ Hamba tak berani
mengambilnya….. tetapi sukalah siauhiap memberitahukan nama cianpwe itu?”
“Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-
sin-kay. Kenalkah bapak padanya?”
Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut
seraya berseru nyaring, “Murid Kay-bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau
Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua!”
Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada
bengis, “Ketua telah datang, mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat!”
“Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!”Siau-
bun tertawa ringan.
“Hai, mengapa kau juga memperolok diriku………….” Thian-leng makin
kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si nona. Ditatapnya nona itu dengan
pandangan minta bantuan, “Bagaimana nih, “ ia tertawa masam.
Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun,
bentaknya, ”Apa-apaan ini? Lekas terangkan yang jelas, atau aku segera
tinggalkan tempat ini!”
Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya.”Apakah ketua tahu di
mana berjumpa dengan Thiat-ik-sin-kay?”
“Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay!”
“Tetapi sekarang kau adalah ketua kami!” Lau Gik-siu berkata dengan yakin.
“Mengapa?”
“Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!”
“Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus?” tegur Siau-bun.
“Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-
sin-kay menyuruh kami beramai-ramai menunggu di sini untuk menyambut
kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar.” kata Lau Gik-siu.
“Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji
Tengkorak Darah!”
“Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak
dapat memeriksa berita yang palsu dan benar?”
“Panji Tengkorak darah itu palsu!” Siau-bun berseru pula dengan tegas.
“Palsu?”
“Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia
persilatan. Dia memfitnah Hun-tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian
dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia telah mainkan
sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya!”
Terdengar gemuruh sorak para pengemis, “Mohon ketua suka memberi keputusan
untuk membalaskan sakit hati mendiang pangcu!”
Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-
leng sudah menerima pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata
pengemis-pengemis
yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas
petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-
heng-san menunggu kedatangan ketua baru.
Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke
samping dan membisikinya perlahan-lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi.
Pengemis tua itu mengangguk-angguk, “Murid segera akan menyebar
pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi
laporan pada pangcu.... Tetapi saat ini pangcu hendak pergi ke.....?”
“Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk
sementara ini kaulah yang mengurusi.” sahut Thian-leng.
Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya
membuat bulu romanya berdiri….
Dengan susah payah, orang itu berkata, “Pertempuran besar segera terjadi. Ketua
kami di…… kurung oleh beberapa orang tak dikenal………lekas….lekas bantu!”
“Orang-orang partaiku....”
Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa
tenaganya, ia membuka mata dan memandang Thian-leng.
Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia
mendengar mulut orang itu mengucapkan beberapa patah kata lemah, “
Tiam...jong.....”
Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan
ketua merekapun telah dikurung oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi,
tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya......
Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh
kejadian saat itu. Buru-buru ia mengajak Thian-leng, “Ayo, cepat ke Co-gan-hong!”
Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu
li, tampak sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit.
Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi
tak tampak barang seorangpun di sana. Siau-bun membaringkan diri memasang
telinga.
Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun
dan Thian-leng tersentak kaget. Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan
serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru mengejek, “Oho,
jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi!”
Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki
bertubuh kurus pendek dalam pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia
memelihara jenggot kambing.
Sin-bu Te-kun!
Thian-leng malu dan marah sekali. Tahulah ia di mana jatuhnya perkataan orang.
Seketika merah padamlah air mukanya.....
oooo00000oooo
Empat Serangkai
Siau-bun tertawa hina, “Baiklah aku mewakilinya berbicara. Yang paling dihormati
kaum persilatan ialah kepercayaan dan kebajikan. Benar tidak?”
Sin-bu Te-kun tertegun. Matanya berkilat-kilat menyapu si nona. Pada lain kilas ia
tertawa membatu, “Nona seorang yang tangkas bicara, tak kecewa menjadi ratu
kembang, pendekar wanita.”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun alihkan pandangan ke arah Thian-leng, “Buyung, eh, Bu-
beng-tay-hiap, setujukah kau dengan kata-kata nona tadi?”
Wajah Thian-leng membesi. Rasa malu bercampur marah membuatnya tak dapat
bicara.
Sejenak Siau-bun melirik Thian-leng lalu berkata dengan tenang, “Bukan saja
menjunjung kepercayaan dan kebajikan, Bu-beng-tay-hiap pun paling konsekwen
melaksanakan kedua hal itu!”
“Setan tua, pertandingan seratus jurus itu hanya tipu muslihatmu belaka….!” tiba-
tiba Thian-leng membentaknya.
“Taruh kata benar suatu tipu muslihat, mengapa kau sampai kena tertipu? Apakah
kau seorang anak kecil atau kau menyesal sekarang?” Sin-bu Te-kun tertawa hina.
“Apakah aku menyatakan menyesal? Seorang lelaki sekali berkata tentu tak mau
menjilatnya lagi. Apalagi aku sudah bersumpah kepada langit….”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ia lingkarkan jari telunjuknya ke arah tanah dan
terbentuklah sebuah lingkaran di tanah. Tubuhnya yang kecil kurus berada di
tengah lingkaran.
Tiba-tiba terdengar suara Sin-bu Te-kun dalam ilmu menyusup suara, melengking
di telinga Thian-leng, “Buyung, hendak kugunakan sepuluh jurus ilmu silat yang
paling sakti untuk menghindari seranganmu. Harap kau perhatikan dengan
seksama. Mungkin di kemudian hari akan banyak berguna padamu!”
“Hai, perlu apa kau turut campur?” bentak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Siau-bun tersenyum, “ Memang tak ada hubungan apa-apa. Aku tak mau
merintangi kalian melanjutkan pertempuran, tetapi aku perlu memperingatkan dulu
pada Bu-beng-tay-hiap!”
Thian-leng tertegun, serunya kemudian, “Seorang lelaki tak serakah hidup, tak
gentar mati. Karena aku sudah terlanjur berjanji, maka tak ada jalan lain kecuali
harus menempurnya. Jika gagal kematianlah yang menjadi bagianku. Tak nanti
aku sudi jatuh ke tangan setan tua itu!”
Siau-bun gelengkan kepala, “Justru hal itu yang hendak kuingatkan kepadamu.
Sekalipun kau sudah bertekad begitu, tetap kau tak kenal siapa lawanmu itu.
Sekali sudah menghendaki mengambil kau sebagai murid, maukah ia
membiarkan kau bunuh diri?”
Nona itu berpaling kepada Sin-bu Te-kun, “Maaf karena menelanjangi rencanamu.
Kau tentu tahu ia tak sudi menjadi muridmu dan akan bunuh diri. Tetapi dengan
kepandaianmu kau pasti dapat mencegahnya. Dengan selesainya pertandingan
seratus jurus itu, tentu kau yakin dia akan menurut perintahmu.”
Dalam pada itu tampak Sin-bu Te-kun marah sekali, serunya mengekeh,
“Anggaplah ucapanmu itu benar, lalu bagaimana……” ia melirik tajam kepada
Thian-leng, serunya, “Apakah kau hendak membatalkan pertandinagn ini?”
Siau-bun tertawa mengejek, “Kau mau menghabiskan urusan ini atau tidak, Bu-
beng-tay-hiap kelak tetap akan mencarimu untuk membikin perhitungan ….”
Tergerak sekali semangat Thian-leng mendengar ucapan itu. Dia telah
menyanggupi Oh-se Gong-mo untuk menuntut balas pada Song-bun-kui-mo atau
Sin-bu Te-kun sekarang…. Tetapi ia kalah sakti dengan musuh itu dan kini masuk
ke dalam perangkapnya. Tidak hidup juga tidak mati….
“He, he…” Sin-bu te-kun mengekeh tertawa, “Ucapan nona memang tepat sekali,
lalu….”
“Sisa pertandingan ini diundur lagi sampai lain waktu!” Siau-bun cepat
menanggapi.
Merah padam muka Thian-leng tetapi segera ia menyahut lantang, “Saat ini aku
tak mempunyai selera bertempur, maka harus....”
“Toh baru diundur satu kali masakah tak boleh sekali lagi....” Siau-bun tertawa.
“Salahmu mengapa kau lalai pada waktu permulaannnya!” kata Sin-bu Te-kun
kepada
Siau-bun.
Marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Ia tertawa meringkik, “Kalau begitu, jangan
salahkan aku seorang yang ganas…”
Sin-bu Te-kun mendesah. “Akan kucincang tubuhmu lebih dahulu, baru nanti
kulanjutkan pertempuran dengan budak itu!”
Siau-bun tertawa nyaring. “Oh, jadi kau hendak bertempur melawan aku!”
“Terhadap seorang budak perempuan seperti kau, tak perlu menggunakan kata-
kata bertempur. Jika mau membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak
tanganku ini!” seru Sin-bu Te-kun dan tanpa tampak bergerak, tiba-tiba ia sudah
melesat ke hadapan Siau-bun. Kelima jari tangannya segera dicakarkan….
Bukan main terkejutnya Thian-leng. Sekalipun ia tahu kepandaiannya kalah jauh
dengan Sin-bu Te-kun, namun untuk menolong Siau-bun ia tak segan mengadu
jiwa. Dengan sepenuh tenaga ia siapkan Lui-hwe-sin-ciang dengan tangan kiri,
sedang tangan kanan siap mencabut pedang.
Tetapi anehnya Siau-bun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak
mengacuhkan Sin-bu Te-kun.
Nona itu tertawa hambar, “Sayang saat ini aku tak gembira bertempur dengan
engkau. Apalagi kuperhitungkan kau tentu tak berani membunuhku!”
Kata-kata gagah itu membuat Sin-bu Te-kun tertegun, serunya geram,”Kau sudah
yakin? Bagaimana kau tahu aku akan memberi ampun kepadamu?”
Ucapan nona itu ditutup dengan menaburkan tangannya ke udara. Seutas sinar
merah segera menghambur. Cepat sekali Sin-bu Te-kun sudah menyambut benda
yang dilontarkan si nona itu. Hanya yang jelas benda itu bukanlah sejenis senjata
rahasia. Tetapi untuk keheranannya begitu memeriksa benda itu terbeliak mata
Sin-bu Te-kun..
Thian-leng tak dapat mendengar apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun lebih jauh,
karena pada saat itu juga Siau-bun segera mengajaknya pergi,” Jangan lupa
tujuan kita, ayo kita berangkat!”
Tiba-tiba raja Sin-bu-kiong itu berseru sinis, “Kasih tahu pada ibumu, keputusanku
untuk menguasai dunia persilatan sudah lenyap! Jika dia mau bekerja sama, tentu
kubagi rata kedudukan itu, tetapi kalau tidak.....”
Thian-leng hanya samar-samar menangkap arti kata-kata itu, tapi ia tak sempat
merenungkan lebih jauh karena ia sudah diseret sampai tujuh delapan tombak
jauhnya oleh Siau-bun.
“Apakah yang kau lemparkan tadi sehingga membuat ia......” ia hendak minta
keterangan.
“Saat ini kita berada dalam kepungan orang Sin-bu-kiong,” Siau-bun memutus,
“iblis tua itu setiap saat dapat berobah haluan. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!”
Thian-leng terpaksa menurut. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba di
dalam sebuah hutan di kaki gunung. Suasana malam sunyi sekali.
Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara,”Tempat ini tampaknya sunyi
senyap, tetapi sebenarnya penuh dengan naga dan harimau!”
Siau-bun mengiyakan.
Thian-leng tak habis herannya. Banyak nian keanehan yang dijumpainya. Tiba-
tiba dari dalam hutan muncul lima sosok bayangan hitam. Gerakan mereka gesit
sekali, tentulah jago-jago silat yang sakti.
“Akupun tak tahu golongan mana mereka itu,” jawab Siau-bun, “tetapi yang jelas di
hutan ini penuh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru dunia....”
“Mengapa aku tak dengar apa-apa? Apakah karena kau menggunakan ilmu
Melihat-langit-mendengar bumi….. ”
“Tetapi sampai saat inipun aku tak mendengar apa-apa,” sahut Siau-bun, “ini
membuktikan mereka itu memiliki kepandaian sakti. Dan lagi karena terhalang
lamping gunung, sehingga tak mudah tertangkap suaranya…. ”
“Sekeliling penjuru ini penuh dengan orang. Entah apakah yang mereka tunggu,”
kata Siau-bun, “Celaka, kedatangan kita mungkin sudah diketahui, lebih baik…..”
(bersambung jilid 16 )
Jilid 16 .
Belum selesai ucapannya, tiba-tiba kelima sosok bayangan tadi melesat keluar
dari hutan. rupanya mereka bertemu rintangan.
“Sahabat manakah yang di depan itu?” salah seorang berseru dengan nada berat.
Terdengar suara sahutan disertai tawa dingin, “Mengapa bukan kau yang melapor
dirimu terlebih dahulu?”
Kelima orang itu terbeliak. Orang yang berseru tadi kembali berseru pula, “Kami
adalah orang Sin-bu-kiong, mohon tanya siapa saudara?”
Kelima orang itu mengeluh kaget dan menyurut langkah, “Thiat-hiat-bun sudah
datang?”
Sebagai jawaban, sebuah pukulan dilayangkan. Kelima orang itu sama sekali tak
menyangka. Mereka menangkis kalang kabut, namun tetap harus terhuyung-
huyung beberapa langkah. Pukulan orang Thiat-hiat-bun itu keras sekali.
Tiba-tiba dari dalam hutan melesat keluar lagi tiga orang yang menggabung di
sebelah orang tua itu. Salah seorang segera menegur rombongan orang Sin-bu-
kiong.” Di mana Poh-ih-siu Li ciangbun sekarang?”
Seorang Thiat-hiat-bun saja sudah cukup ngeri, apalagi empat orang. Kelima
orang Sin-bu-kiong mundur seraya memberi isyarat tangan, “Tahan dulu!”
Tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat. Seorang tua bertubuh kecil kurus
melayang dari udara dan menangkis serangan keempat Su-kiat.
Bum….terdengarlah letusan dahsyat dan debu berhamburan….
Keempat Su-kiat itu tersentak kaget. Mereka dapatkan selain luar biasa kuatnya,
tenaga pukulan orang tua pendek itupun mengandung tenaga Imhan ( dingin ),
yang menusuk sampai ke tulang, sehingga menyurutkan tenaga keempat Su-kiat
sampai beberapa bagian. Penyurutan tenaga itu membuat kuda-kuda kaki mereka
tergempur mundur beberapa langkah.
Pendatang baru itu bukan lain Sin-bu Te-kun sendiri. Tetapi dia juga tak terlepas
dari rasa kaget. Sejak mempelajari ilmu kesaktian dari kitab Im-hu-po-tian, ia
anggap dirinya tiada yang menandingi lagi. Tetapi diam-diam ia masih kuatir
terhadap partai Thiat-hiat-bun.
Thiat-hiat Su-kiat pun termangu heran. Mereka diperintahkan oleh ketua Thiat-hiat-
bun untuk menolong Lu Bu-song yang ditawan dalam penjara istana Sin-bu-kiong.
Memang telah diketahui bahwa istana Sin-bu-kiong itu penuh dengan naga dan
harimau, juga ketua Sin-bu-kiong itu memiliki kepandaian yang tiada taranya.
Tetapi mereka tak sampai membayangkan kalau raja Sin-bu-kiong itu ternyata
sedemikian saktinya. Tenaga pukulan mereka berempat dapat ditolak mundur
olehnya.
Namun keempat Su-kiat itu juga tokoh-tokoh kenamaan. Setelah saling memberi
isyarat, mereka serempak maju memukul.
oo000oo
Seorang tua bertubuh kokoh kekar dengan jenggot berkelap-kelip seperti perak
melayang turun dari udara. Dia tegak di tengah-tengah kedua pihak yang hendak
bertempur.
“Adu tenaga yang tadi sudah cukup!” jago Thiat-hiat-bun itu tertawa meloroh. Ia
mengurut-urut jenggot dan menatap Sin-bu Te-kun. “Cukuplah kiranya kau
menikmati rasanya orang Thiat-hiat-bun!”
Wajah Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya dengan geram. “Lu tua, jangan
terlalu menghina orang!”
Ia menengadah sambil bersuit panjang. Nadanya aneh dan seram. Begitu berhenti
bersuit, tiba-tiba muncullah serombongan orang Sin-bu-kiong, antara lain Co sucia
dan Yu sucia. Kepala Cong houhwat yang baru dan berpuluh-puluh pengawal
baju ungu. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun.
“Aha, apakah semua kochiu Sin-bu-kiong sudah lengkap?” Jenggot perak tertawa.
Sahut Sin-bu Te-kun sinis, “Lengkap atau tidak, tetapi rasanya cukup sudah untuk
menghadapi Thiat-hiat-bun!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, “Kukuatir kau salah hitung……” tiba-
tiba ia bertepuk tangan.
Seketika dari dalam hutan samping berbondong-bondong muncul puluhan orang
Thiat-hiat-bun. Di antaranya terdapat juga ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke
tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun.
Thian-kong dan Te-sat merupakan kedudukan yang tinggi dalam partai Thiat-hiat-
bun. Ke tiga puluh enam Thian-kong itu mengenakan pakaian ringkas warna biru
dan ke tujuh puluh dua tokoh Te-sat berpakaian kuning. Masing-masing bersabuk
kong-pian atau ruyung emas seperti cemeti.
Sin-bu Te-kun terbelalak, serunya, ”Lu tua, kiranya kau merencanakan hendak
menancapkan kaki di Tiong-goan !”
Jenggot perak tertawa datar. “Daerah di Lam-hong sudah cukup luas, perlu apa
aku menginginkan daerah Tiong-goan lagi…”
Rambut Sin-bu Te-kun menjinggrak. Mulutnya memekik makian, “Lu tua yang licik!
Terang kau hendak menancapkan kaki di Tiong-goan, sebaliknya malah menuduh
pihakku yang salah!” Ia berhenti sejenak, serunya pula, “Bukankah kau hendak ke
Tiam-jong-san? Mengapa datang ke Thay-heng-san sini?”
“Aku mengejar jejak ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong. Kini dia sudah kutawan dan
hendak kutuntut dosanya mengapa berani membunuh orang Sin-bu-kiong!”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa sekeras-kerasnya. “Lu tua, terlebih dahulu aku
hendak minta penjelasan padamu!”
“Silakan!”
“Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong itu pernah apa dengan engkau? Mengapa kau
begitu ngotot hendak melindunginya?”
Di luar dugaan Jenggot Perak tertawa dan menghela napas longgar. Diam-diam ia
girang karena yang diketahui Sin-bu Te-kun hanyalah sampai di situ saja.
“Apakah tuduhanmu itu benar atau tidak, aku takkan mewajibkan diriku untuk
membantahnya….” ia berhenti sejenak lalu berkata pula. “Sekarang kita
selesaikan dulu persoalan ini. Jika kau mau percaya padaku, hapuslah
permusuhan dengan persahabatan. Kelak dalam perjamuan para orang gagah di
Tiam-jong-pay, akan kubantu engkau untuk mencapai kedudukan ketua dunia
persilatan Tionggoan!”
“Ooo, Lu tua, betapapun lincah lidahmu, tak nanti aku jatuh ke dalam
perrangkapmu lagi!” dengus Sin-bu Te-kun.
“Sebenarnya tidak!” sahut Sin-bu Te-kun, “asal kau segera ajak anak buahmu
pulang ke Lam-hong, akupun takkan memusuhi Thiat-hiat-bun lagi!”
Jenggot perak tertegun. Tiba-tiba ia tertawa, “Oho, makanya kau begitu bernyali
besar. Kiranya sahabatmu datang juga!”
Pemilik Hek Gak, Kongsun Bu-wi! Dia datang bersama puluhan su-cia Hek Gak.
tetapi yang paling mengejutkan orang ialah ikut sertanya Ang-tim-gong-khek Bok
Sam-pi!
Ketua Hek Gak tertawa tajam, “Maaf, maaf, aku datang terlambat!”
“Kalau mataku si orang tua ini tak salah lihat, kaulah yang datang paling pagi di
sini. Hanya saja kau tak mau unjuk diri, melainkan bersembunyi dulu.” Jenggot
perak tertawa.
Merah padam wajah ketua Hek Gak, serunya, ”Jangan jual ketuaanmu di sini!
Setiap berkata tentu tak lupa menyebut ‘aku si orang tua’! Kau hendak menakut-
nakuti atau menjual lagak?”
Jenggot perak tetap tertawa, ”Dalam hal umur sebenarnya kau lebih tua dari aku.
Tetapi dalam sejarah hidupku, aku tak pernah jatuh di tangan orang. Tak seperti
kau seorang tua yang sudah hidup tujuh puluhan tahun masih tak berani unjuk
muka!”
Marah ketua Hek Gak bukan kepalang. Sampai rambutnya jigrak, mata mendelik.
“Seoarng lelaki tak mau bergerak sembarangan. Akan menunggu sampai saatnya
baru bertindak. Asal dapat mencuci bersih hinaan yang lampau, tetap berharga
sebagai insan persilatan sejati….!”
“Sayang dalam kehidupanmu sekarang kau tak sempat mencuci hinaan itu!”
dengus jenggot Perak.
Jenggot perak terkejut melihat perawakan orang yang gendut perutnya tapi
tangkas sekali.
“Hajar orang tua yang tak tahu adat itu!” teriak ketua Hek Gak.
“Murid!” serunya.
Ketua Hek Gak tercengang, tegurnya, “Hai, mengapa kau memanggilku begitu?”
“Panggilan murid dan guru hanya apabila kita berdua saja. Atau di kala sedang
mengajar kepandaian. Saat ini aku sebagai ketua hek Gak yang sedang ngeluruk
keluar. Yang ada hanyalah antara pemimpin dan anak buah. Kaupun harus
berbahasa begitu!” sahut ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi kurang senang, “Persetan, di dalam dan di luar Hek Gak apa
bedanya?”
Ketua Hek Gak Kongsun Bu-wi menghela napas. “Kejayaan Hek Gak memang
tergantung tenaga suhu, tetapi…..”
“Murid!” Bok Sam-pi berteriak menukas.
“Eh, suhu hendak memberi pesan apa?” terpaksa ketua Hek Gak mengalah.
Bok Sam-pi menuding pada Jenggot Perak, serunya, “Orang tua itu berwajah
terang. Kita harus bersahabat dengannya, mengapa kau hendak memusuhi?”
Kongsun Bu-wi mengerutkan dahi, “Tetapi hati orang siapa tahu, suhu....”
“Masakah suhu bisa salah lihat? Kau berani membantah perintahku?” Bok Sam-pi
memekik.
“Ya, ya, murid menurut.” ketua Hek gak tak berdaya lagi. Ia memberi isyarat
kepada Tokko Sing yang berdiri di belakang, serunya, ”Sudah saatnya suhu
minum arak. Apakah minumannya dibawa?”
Tokko Sing segera mengatakan bahwa hidangan untuk guru besar Bok Sam-pi
sudah disiapkan.
“Bagus, aku hendak minum tiga cawan dulu, baru istirahat sebentar. Urusan di sini
kuserahkan padamu!” mendengar arak, selera Bok Sam-pi pun berontak.
Dengan khidmat ketua Hek Gak mengiyakan. Tokko Sing pun segera mengiring
Bok Sam-pi untuk minum arak. Begitu jago tua itu angkat kaki, ketua Hek Gak
segera mengambil sebutir pil hitam dan menyerahkan pada salah seorang
pengawal. Ia membisiki beberapa patah kata. Pengawal itu mengangguk dan
segera pergi.
Selama itu Jenggot perak hanya diam saja mengawasi gerak-gerik kedua suhu
dan murid itu.
Setelah Bok Sam-pi pergi, barulah ia tertawa gelak-gelak, “Apakah artinya
pertunjukan ini?”
Wajah ketua Hek Gak memerah, “Jangan banyak bicara, sebentar kau tentu
merasakan sendiri!”
“Bagaimana andaikata pil hitammu itu tak manjur?” Jenggot perak tertawa
mengolok.
Berobahlah seketika wajah ketua Hek Gak , “Pil itu adalah penguat tubuh. Setiap
minum arak tentu dicampurkan. Jangan mengoceh tak keruan!” bentaknya murka.
“Aneh, aneh,” Jenggot perak tertawa sinis, “aku toh tidak mengatakan pil itu obat
bius atau obat kuat. Mengapa kau kalang kabut memberikan penjelasan…. “ ia
tertawa meloroh, “siapa berbuat tentu merasa. Kira-kira tentu begitulah
keadaanmu!”
Menyala mata ketua Hek Gak. rupanya ia hendak menyerang. Namun si Jenggot
Perak tetap acuh tak acuh. Sebaliknya para anggota rombongannya, keempat
Thiat-hiat Su-kiat dan ke tiga puluh enam Thian-kong serta ke tujuh puluh dua Te-
sat sudah mengepal-ngepal tinju siap hendak menyerang.
Tiba-tiba ketua Hek Gak mendapat pikiran. Ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun dan
memberi anggukan kepala. “Ah, sahabatku, sudah lama kita tak berjumpa!”
Sin-bu Te-kun yang sejak tadi hanya mengawasi ramai-rami itu balas tertawa,
“Berpuluh tahun tak bertemu, tentulah kepandaian saudara makin sakti.”
“Aha, tak usah main sandiwara, ”Jenggot perak menyeletuk tertawa, “rasanya
memang sudah ada sekongkolan di antara kalian berdua.”
“Tua bangka Lu, jangan mengadu domba!” bentak ketua Hek Gak, “Jangan
bermimpi kau dapat menipu kami…. ” ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun. “Thiat-
hiat-bun berani masuk ke wilayah Tiong-goan, ini suatu penghinaan bagi kita.
Tidakkah kita bersatu mengusirnya?”
“Bagus, bagus!” Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “ maju keroyokan atau satu
lawan satu, Thiat-hiat-bun siap melayani. Tetapi sayang tidak semudah itu
kawan….. !”
ooo000ooo
Barisan darah besi.
Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak soal kedua. Hanya dikuatirkan tak ada
orang yang berani bertempur!”
Kembali kepala Hek Gak memperdengarkan tertawa sinis, “Aku tak percaya Thiat-
hiat-bun sedemikian menyeramkan. Toh kau juga tak memiliki tiga buah kepala
dan enam lengan ! Percaya bahwa orang-orangku tentu dapat melenyapkan partai
Thiat-hiat-bun! ”
Jenggot perak maju selangkah, tertawa mengejek, “Mengapa kau tak turun
tangan?” iapun bersiap menunggu serangan.
Dengan sebelah tangan yang tinggal satu, ketua Hek Gak segera hendak
menyerang. tetapi secepat itu pula segera menurunkan tangannya lagi. Tertawa
sinis dan mundur selangkah!
Jenggot perak menatap wajah kepala Hek Gak dengan tajam, serunya pula,
“Tetapi aku si orang tua mengerti tentang ilmu melihat tampang orang. Telah
kuketahui isi hatimu. Tak nanti kau mau menguntungkan orang lain dan merugikan
diri sendiri. Tak nanti kau sudi menyerahkan kekuasaan dunia persilatan kepada
Sin-bu-kiong. Itulah sebabnya maka kutahu kau pasti tak berani menempur aku!”
“Hun-tiong Sin-mo!”
“Huh, Hun-tiong Sin-mo sudah ibarat ikan dalam jaring. Pasti segera mampus!”
Sin-bu Te-kun menggeram.
Jenggot Perak tertawa nyaring, “Ah, kata-katamu ini agak sombong….” ia berhenti
sejenak, serunya pula, “Kau telah membuat Panji Tengkorak Darah palsu untuk
melakukan pembunuhan besar-besaran. Fitnah itu telah menimbulkan kemarahan
besar pada sembilan partai, sehingga mereka menantang Hun-tiong Sin-mo untuk
bertempur di puncak Sin-li-hong. Hal ini membuktikan bahwa kau jeri terhadap
Hun-tiong Sin-mo!”
“Ngaco! Seumur hidup aku tak pernah takut kepada siapapun juga!” teriak Sin-bu
Te-kun.
Jenggot Perak geleng-geleng kepala, “Jika kau tak takut, sejak dulu-dulu kau tentu
sudah ke Hun-tiong-san menantangnya! Perlu apa kau gunakan siasat memfitnah
sehingga menimbulkan kemarahan sembilan partai.?”
Jenggot perak berobah wajahnya. Tetapi pada lain saat ia sudah tertawa lagi.
“Kau tahu atau tidak, itu tak ada kepentingannya. Sekarang aku hendak minta
kepadamu menyerahkan dua orang budak Thiat-hiat-bun yang melarikan diri, yaitu
Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing. Jika bukan karena mereka berdua, tak nanti kau
tahu tentang urusan ini!”
Kata-kata Jenggot Perak itu tidak diucapkan dengan ilmu menyusup suara,
melainkan dengan suara biasa. Sudah tentu hal itu terdengar jelas oleh Kongsun
Bu-wi ketua Hek Gak. Tetapi ketua Hek Gak ini tak mengerti apa yang terjadi
sebenarnya. Maka iapun hanya terlongong-longong saja!
Wajah Sin-bu Te-kun membesi, segera ia berseru kepada ketua Hek Gak, “Selama
Thiat-hiat-bun masih ada, kita tak dapat hidup tenang. Marilah kita bersatu padu
untuk membasminya!”
Setelah menunggu sekian lama tiada yang menyerang, Jenggot Perak tertawa
nyaring, “Aha, ramalanku selalu manjur! Sudah kuketahui bahwa baik Sin-bu-
kiong maupun Hek Gak tentu tak ada yang berani membentur perutku.......” sejenak
ia kedipkan mata, katanya pula, “Aku masih memepunyai sebuah pertanyaan lagi
pada kalian.”
Karena kelemahannya diketahui, Sin-bu Te-kun dan Hek Gak hanya meringis saja.
Maju gentar, mundurpun sukar.
Pertanyaan ini membuat Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak melongo.
“Tak lain tak bukan adalah karena peta Telaga Zamrut dan kitab pusaka It Bi
Siangjin!” seru Jenggot Perak dengan suara datar.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak seperti disengat kalajengking kagetnya. Baru
mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba dari kejauhan terdengar berisik suara
orang.
Jenggot perak masih tetap tertawa, “Dewasa ini di dunia persilatan timbul
beberapa panji kekuatan yang hebat. Masing-masing belum diketahui siapakah
yang paling unggul ! Hun-tiong- san, Sin-bu-kiong, Hek Gak dan pihakku Thiat-
hiat-bun serta partai-partai besar di dunia Tiong-goan. Masing-masing mempunyai
sumber kepandaian sakti yang berlain-lainan. Boleh dikata mutu kepandaian
mereka hampir berimbang, maka tak ada pihak manapun yang dapat merajai
dunia persilatan. Hanya ada satu jalan yang dapat mengatasi. Barang siapa yang
berhasil mendapatkan kitab pelajaran dari It Bi siangjin barulah dia akan menjadi
jago yang tiada tandingannya di dunia persilatan…”
Mendengar uraian itu, pucatlah seketika wajah Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak.
Sin-bu Te-kun berusaha untuk menenangkan kegelisahannya.
“Lu loji, ” ia tertawa sinis, “Apakah kedatanganmu juga bukan karena hendak
mencari kitab pusaka itu?”
“Aku?” sahut Jenggot Perak dengan dingin, “jika aku memang bermaksud hendak
mengambil kitab itu, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk
mendapatkannya lagi!”
“Heh, heh,” ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Lu tua, kau terlalu memandang
tinggi dirimu!”
Sambil berkata itu diam-diam lengan tunggal ketua Hek Gak itu dilambaikan ke
belakang. Empat orang sucia (jago) Hek gak yang berada di belakang ketuanya
mengerti isyarat itu. Segera mereka menyelinap pergi.
Tetapi perbuatan itu tak lepas dari mata Sin-bu Te-kun. “Eh, apa maksud saudara
Kongsun menyuruh anak buahmu pergi?” tegurnya.
Wajah Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak memerah, serunya, “Suruh mereka lihat
apakah suhuku sudah minum arak atau belum?”
Namun jawaban itu disambut dengan tertawa sinis oleh Sin-bu Te-kun. Kepala
istana Sin-bu-kiong itupun segera lambaikan tangannya. Dua orang sucia yang
berada di kanan kirinya segera mengundurkan diri. Mereka mengajak belasan
anak buah baju ungu pergi menyusul keempat sucia Hek Gak.
ooo00000ooo
Barisan Thiat-hiat-tin
Tiba-tiba Jenggot perak lambaikan tangan. Dari empat penjuru segera muncul
Empat Su-kiat, tiga puluh enam Thian-kong dan tujuh puluh dua Te-sat. Mereka
memecah diri membentuk sebuah lingkaran seluas berpuluh tombak. Rombongan
Sin-bu-kiong dan Hek Gak terkepung di tengah-tengah.
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, “Aha, Lu tua, kau hendak main apa ini ?”
Jenggot perak balas tertawa, “Cuma akan meminta kalian merasakan kenikmatan
barisan Thiat-hiat-tin!”
“Oh, hanya sebuah barisan sekecil ini mana dapat mengepung rombongan Hek
Gak dan Sin-bu-kiong!” ketua Hek Gak berseru mengejek.
Semula Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak mengacuhkan. Pikir mereka tentu
dapat menerobos dari barisan Thiat-hiat-tin. Tetapi apa yang tampak di
hadapannya, membuat mereka terkejut….
Memang tampaknya barisan itu tiada yang aneh. Tetapi setelah persiapan selesai,
semua orang Thiat-hiat-bun itu sama mengeluarkan asap kuning. Asap itu keluar
dari lengan baju, celana dan leher baju mereka. Rupanya obat telah disimpan
dalam dadanya lebih dahulu, kemudian ditekan keluar dengan tenaga dalam.
Asap kuning makin lama makin tebal. Di bawah teriakan-teriakan Jenggot perak,
anggota-anggota Thiat-hiat-bun itu segera berputar-putar membuat lingkaran.
Asap bergulung-gulung menghambur ke tengah.
Sin-bu Te-kun gugup dan segera memerintahkan anak buahnya, “Terobos keluar!”
dan ia sendiri mendahului menerobos keluar barisan.
Dalam keadaan yang tak berdaya itu Sin-bu Te-kun hanya dapat menutupkan
kedua tangannya untuk melindungi mukanya. Untung Jenggot Perak tak
menggunakan ilmu Penyesat suara, yakni suaranya terdengar di sebelah timur,
tetapi orangnya berada di barat. Dan timpukannya itu memang hanya ditujukan ke
arah muka orang. Maka terhindarlah muka Sin-bu Te-kun dari dua buah panah
Hong-thau-kiong.
Sin-bu Te-kun rasakan tangannya seperti digigit ular. Begitu menginjak tanah
segera ia kibaskan panah itu.
“Lu tua, aku bersumpah tak mau hidup bersama engkau! Hari ini kau atau aku
yang mati!” teriaknya dengan marah.
Bukan saja Jenggot Perak lenyap dari pandangan, juga seluruh anggota Sin-bu
kiong dan ketua Hek Gak serta rombongannya pun tak kelihatan lagi
bayangannya!
Sin-bu Te-kun dapatkan dirinya seolah-olah hanya seorang diri dalam lautan asap
warna kuning. Sedemikian tebal asap itu mengembang sehingga tak dapat lagi ia
melihat jari-jari tangannya. Dan yang lebih mengerikan lagi ialah saat itu
hidungnya mencium bau wangi. Karena curiga kalau-kalau bau itu mengandung
racun, buru-buru ia menutup jalan darah penting pada tubuhnya. Kemudian ia
menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah
kemasukan racun atau belum.
Jenggot perak tertawa nyaring, “Aku sudah tua tak punya selera lagi untuk
berkelahi. Yang kusuka ialah melihat orang kelabakan seperti ikan dalam jaring...”
ia berhenti sejenak lalu berseru pula, “Ki Pek-lam, bukankah kau sudah
mempelajari kitab Im-hu-po-kip sampai paham? Dalam dunia persilatan jarang
terdapat orang yang dapat menandingimu! Barisan sekecil ini masakah mampu
mengepungmu? Ayo, mengapa kau tak gunakan kesaktianmu membobolkan
barisan ini?”
Sin-bu Te-kun berkeliaran memandang empat penjuru. Tetapi asap yang demikian
tebal tak dapat ditembus dengan matanya. Ia tak tahu di mana Jenggot Perak
berada! Dan yang menjengkelkan, suara Jenggot Perak itu sebentar terdengar
dekat sebentar jauh. Sukar diduga tempatnya yang pasti.
(bersambung jilid 17 )
Jilid 17 .
Angin menderu-deru laksana badai meniup, tetapi yang mengejutkan, ke sepuluh
pukulan dahsyat itu malah membuat asap bergulung-gulung deras. Kecuali itu tak
ada lain-lain hasil lagi.
Sin-bu Te-kun memiliki apa yang disebut Liok-ji-thong-leng ( enam telinga ajaib),
yakni ilmu pendengaran yang sakti. Tetapi pada saat itu ilmu tersebut tak dapat
digunakan lagi. Asap yang makin tebal itu seakan mempunyai kekuatan untuk
menyumbat telinga, Bukan saja yang terjadi di luar barisan tak dapat didengarnya,
bahkan orang-orang yang terkepung dalam barisan itu sedikitpun tak kedengaran
suaranya.
Ilmunya melihat di tempat gelappun mengalami nasib serupa. Asap kuning telah
menyerang mata sedemikian pedas, sehingga tak dapat dibuka. Dan yang
mengejutkan lagi bahwa ilmu menyusup suara yang dicobanya untuk
menghubungi ketua Hek Gak dan anak buahnya sendiri, pun tak ada hasilnya
alias melempem.
Ia benar-benar merasa sebatang kara dalam barisan asap.
Selain ilmu silat sakti, iapun mengerti segala macam ilmu barisan. Tetapi terhadap
barisan asap ini, benar-benar ia asing sama sekali.
“Asal arahkan langkah ke muka, tentu akan dapat menerobos keluar,” katanya
dalam hati. Ia percaya dengan ilmunya Hian-im-ciang-ci yang sakti, segala
rintangan tentu dapat dihancurkan.
Gigi Sin-bu Te-kun bercatrukan keras. Ingin ia memakan daging Jenggot perak
dan minum darahnya, tetapi aah, apa daya.....
Setelah ia dalam keadaan seperti semut dipanggang di atas kuali panas, tiba-tiba
terdengar si Jenggot Perak berseru pula , “Ki Pek-lam, mengapa kau sibuk. Aku
toh hendak memberimu istirahat! Setelah duapuluhempat jam, barisan ini akan
buyar sendiri. Sekarang menyerah sajalah!”
“Lu tua, aku tak peduli dengan segala macam peta Telaga zamrud atau nafsu
menguasai dunia persilatan lagi. Asal barisan ini buyar, segera kau akan
mengetahui apa yang hendak kulakukan!”
“Heh, heh, tentu akan mengadu jiwa denganku ?” Jenggot perak tertawa
mengejek.
“Ki Pek-lam, jagalah kedua biji matamu, aku hendak membidiknya!” seru Jenggot
perak.
Kejut dan marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Tetapi ia tak berani berayal.
Segera ia menutupi matanya dengan tangan. Begitu pula ia menyalurkan tenaga
dalamnya untuk melindungi kelima indranya.....
Bagaimana dengan ketua Hek Gak? Diapun serupa nasibnya dengan Sin-bu Te-
kun. Hanya bedanya yang menjaga ialah keempat Su-kiat. Ketika ketua Hek Gak
hendak berusaha menerobos keluar barisan, keempat Su-kiat dari partai Thiat-
hiat-bun serempak menghantamnya. Berbareng itu timpukan empat batang panah
Hong-thau-kiong ke dada dan punggung ketua Hek gak. Panah-panah itu dak
dapat membinasakan, tetapi cukup untuk menggagalkan rencana Kongsun Bu-wi.
Keadaannya senasib dengan Sin-bu te-kun. Bagaikan harimau yang terkurung
dalam perangkap meraung-raung di tengah lautan asap kuning.
Sekalipun belum larut, tetapi malam terasa sepi sekali. Tabir asap seluas
berpuluh-puluh tombak itu tampak seperti gulungan awan yang menyelubungi
puncak gunung....
oo000ooo
Kini kita jenguk keadaan Siau-bun dan Thian-leng yang bersembunyi di dalam
hutan. Mereka tak berani bergerak. Apa yang terjadi di luar hutan diikuti dengan
seksama. Adalah ketika barisan Thiat-hiat-tin menghamburkan asap tebal,
begitulah mereka kehilangan pandangan. Untunglah kedua anak muda itu berada
di luar lingkungan asap.
Dan apa yang paling menggelisahkan hatinya ialah tentang peta Telaga zamrud.
Bukankah tokoh-tokoh yang berkumpul di gunung situ datang untuk mencari kitab
pusaka itu ? Jelas didengarnya dari percakapan mereka, bahwa siapa yang dapat
memiliki kitab itu akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan bukankah
peta yang sudah di tangannya itu hilang ?
Lu Bu-song tak bersamanya, sudah cukup membuat Jenggot perak marah, apalagi
ditambah pula dengan menghilangkan peta Telaga zamrud….. Seketika
berhamburan airmata Thian-leng karena dilanda gelombang kemengkalan!
Thian-lengpun terkejut girang. Wanita tua itu bukan lain ialah Toan-jong-jin, wanita
sakti yang pernah memberinya pedang pusaka. Tetapi yang membuatnya heran,
mengapa Siau-bun memanggil ‘mamah’. Thian-leng terlongong-longong heran.
Pun ketika wanita itu menolongnya di tepi sungai Huang-ho, sehabis menurunkan
ilmu pedang, dia memesan padanya untuk mencari seorang yang bernama Pok
Thiat-beng yang bergelar Si Pedang bebas.
Toan-jong-jin atau Si Patah hati, nama samaran yang dipakai wanita itu serta nada
ucapannya yang penuh kepedihan, membuktikan adanya suatu rngkaian
hubungan antara wanita itu dengan pendekar Pok Thiat-beng. Sekurang-
kurangnya mereka itu tentulah sejoli kekasih.
Toan-jong-jin tentulah isteri tercinta dari Pok Thiat-beng. Dan toan-jong-jin bukan
lain ialah puteri kesayangan Jenggot Perak Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun.
toan-jong-jin sebenarnya ialah Cu Giok-bun ibu dari si dara Cu Siau-bun!
Otak Thian-leng bernanaran diamuk badai lamunan.....
“Jika cianpwe tak menyalahkan, kini aku sudah dapat menduga,” sahut Thian-leng.
“Coba katakanlah!”
Sejenak Thian-leng merenung, katanya, “Tempo itu dalam penjara Cui-lo di Sin-
bu-kiong, aku telah bertemu dengan seseorang.”
“Siapa?”
“Nyo Sam-koan!”
“Karena Nyo Sam-koan menyangkal keras. Dia bilang…..” sampai di sini Thian-
leng berhenti dalam kesangsian. Baik ia lanjutkan keterangannya atau tidak.
“Mah!” teriak Siau-bun, “Telah kukatakan bahwa dia bukan anak Ma Hong-ing!”
Toan-jong-jin tenangkan kegoncangan hatinya.
Beberapa saat kemudian baru ia membuka mulut, “Habis, anak siapakah dia itu?”
Siau-bun pun berdiam diri tenggelam dalam renungan. Jelas masih segar dalam
ingatannya. Ketika berada dalam istana Sin-bu-kiong tempo hari, Ma Hong-ing
memanggilnya dengan kata-kata ‘nak’. Mengapa? Mengapa.....?
Sam-chiu Sin-kun
“Ijinkanlah wanpwe berkata sepatah lagi,” kata Thian-leng pula, “Cianpwe tentulah
wanita yang dikatakan Nyo Sam-koan, ialah Pedang bebas Pok.... cianpwe...”
sampai di sini Thian-leng tergagap tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Toan-jong-jin memakai kedok lagi, sahutnya tertawa, “Benar, memang aku adalah
isteri dari Pok Thiat-beng. Hanya sayang kami suami isteri......” Toan-jong-jin tak
melanjutkan keterangannya lebih jauh.
Toan-jong-jin tertawa rawan, ujarnya, “Hal itu tak dapat menyalahkanmu. Memang
dia sukar dicari jejaknya. Mungkin sudah melenyapkan diri jauh ke luar
perbatasan. Mungkin dalam kehidupan sekarang takkan dapat berjumpa lagi....”
Thian-leng seperti terbungkus dalam kabut rahasia.Tak tahu ia apa yang telah
terjadi sebenarnya. Namun ia tak mau banyak tanya. Memang yang diketahui
hanya hal-hal yang telah dikatakan tadi. Tak tahu ia apa lagi yang tersembunyi di
balik diri wanita Toan-jong-jin yang serba misterius itu.
Pun karena ingin mengetahui, Thian-leng diam untuk mendengarkan. Tetapi Toan-
jong-jin hanya tersenyum misterius. “Nanti kalian tentu tahu sendiri, tunggu saja
sebentar!”
Habis bicara, tiba-tiba ia melesat lima - enam tombak jauhnya. Saat itu asap
kuning dari barisan Thiat-hiat-tin masih menghambur tebal. Rombongan Sin-bu-
kiong dan Hek Gak tetapa tenggelam di dalamnya.
Tetapi Toan-jong-jin hanya mengerut sebuah senyum kecil, lalu melesat sepuluh
tombak lagi. Siau-bun dan Thian-leng tetap mengejar. Dalam beberapa kejap saja
mereka sudah mencapai satu li jauhnya.
Ilmu ginkang dari Siau-bun dan Thian-leng sebenarnya sudah tergolong tingkat
kelas satu. Tetapi ketika mengejar Toan-jong-jin tampak jelas sekali bedanya.
Hanya dalam beberapa saat saja mereka sudah tertinggal setengah li di belakang.
Dan ketika kedua anak muda itu tiba di tempat yang dituju, di situ sudah terjadi
peristiwa yang mengerikan!
Belasan jago-jago baju ungu tampak bergelimpangan tersebar di tanah. Tubuh
mereka hancur dan gosong seperti terbakar. Jelas mereka telah dibunuh orang
dengan ilmu Ciong-chin-hoat atau tenaga dalam keras. Di samping mereka
terdepat tiga sosok mayat pengemis. Belasan pengmis tengah tegak terlongong-
longong seperti patung....
Thian-leng cepat mengerti apa yang telah terjadi. Belasan pengemis itu telah
dianiaya oleh orang Sin-bu-kiong dan ketika Toan-jong-jin tiba ia hanya berhasil
membunuh tiga orang Sin-bu-kiong. Yang lain-lain tentu sudah melarikan diri.
“Eh, aku sampai lupa menghaturkan selamat padamu yang dalam usia begitu
muda sudah menjadi ketua Kay-pang..” tiba-tiba Toan-jong-jin berseru tertawa, “
hanya.....ah, pengemis-pengemis itu baunya sungguh tak tahan......” ia berpaling
kepada Siau-bun, “Nak, apakah kau juga bersedia menemaninya seumur hidup
makan nasi sisa dan sayur sisa?”
Tetapi Toan-jong-jin tak menghiraukan urusan itu lagi dan berkata cepat, “Ah, aku
masih mempunyai urusan lain. Aku hendak pergi dulu, kalian boleh bersama
melanjutkan perjalanan.”
Siau-bun terkejut dan menyambar ujung baju ibunya, “Mah, kami ikut bersamamu!”
“Tak usah kalian cari. Begitu urusan selesai aku tentu dapat mencarimu!” sahut
Toan-jong-jin.
Lau Gik-siu segera menyahut dengan hormat, “Sejak pangcu pergi, muridpun
mengirim berita dengan burung. Ada sebuah berita yang kami terima, bahwa ada
seorang misterius yang masuk secara mencurigakan di wilayah gunung Thay-
heng-san....”
“Tetapi orang itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang termashyur, “ buru-
buru Lau Gik-siu menjelaskan, “dan jejaknya memang sangat mencurigakan.
Karena itu kami segera mengikutinya!”
“Kemungkinan dialah yang mencui peta Telaga zamrut milik pangcu,” sahut Lau
Gik-siu dengan perlahan.
“Menuju ke arah selat Pak-bong-kiap. Tetapi ketika kami sampai di tempat ini, telah
bertemu dengan anak buah Sin-bu-kiong. Dalam pertempuran , kami kehilangan
tiga orang anggota!”
“Tinggalkan dua orang anggota untuk mengurus mayat-mayat itu. Dan harap Lau-
tongcu memimpin rombongan untuk mengejar Sam-chiu sin-kun!” Thian-leng
memberi perintah.
Lau Gik-siu segera melakukan perintah ketuanya. Setelah menyuruh dua orang
pengmis tinggal di situ untuk mengubur mayat, ia segera ajak rombongannya
meneruskan pengejaran.
Lembah itu aneh dan seram. Kedua belah dindingnya menjulang ke langit, penuh
hutan cemara yang lebat dan batu-batu besar yang berserakan. Sepintas pandang
mirip dengan kuburan.
Siau-bun menjawab dengan menarik lengan baju anak muda itu terus diajak
loncat ke atas batu karang yang tinggi. Karang itu tepat di samping lembah,
sehingga dari situ dapat melihat jelas ke dalam lembah. Tetapi hutan cemara yang
lebat tetap menutupi pandangan mata.
“Apakah adik Bun tak salah dengar?” tanya Thian-leng dengan menggunakan ilmu
menyusup suara
“Meskipun ilmu mendengar bumi ada kalanya menerima rintangan dari hutan,
hujan dan angin, tetapi tetap takkan salah dengar!” sahut Siau-bun.
“Kami telah menemukan jejak Sam-chiu Sin-kun. Dia memang benar telah
memasuki lembah. Harap pangcu lekas mengejar…..” Lau Gik-siu berhenti
sejenak, lalu berkata pula, “Sam-chiu Sin-kun memang mempunyai kepandaian
istimewa dalam mencuri dan banyak tipu muslihatnya pula!”
Thian-leng sejenak melirik Siau-bun. Nona itu tampak mengerutkan kening seperti
tengah memikirkan persoalan yang rumit, sepertinya tak mengacuhkan anak muda
itu.
“Ya, aku tahu…..” terpaksa Thian-leng menjawab Lau Gik-siu. Tetapi walaupun
begitu, ia tetap tak bergerak melainkan hanya memandang Siau-bun saja.
Beberapa saat kemudian baru kelihatan Siau-bun mengangguk dan loncat turun.
“Tanyakan Lau tongcu, apakah di belakang lembah ini terdapat jalan tembus?”
kata Siau-bun.
“Terlambat, kita terjang saja!” Siau-bun terus hendak menyerbu ke dalam lembah.
tetapi dicegah Thian-leng, “Nanti dulu, apa sajakah yang kau dengar ?”
“Aku sendiri belum dapat memastikannya, ”kata Siau-bun, “di dalam lembah
memang ada seorang yang tengah berjalan dengan langkah aneh. Dia seorang
sakti, umurnya di antara tujuhpuluhan tahun, jenggot melambai sampai dada. Dia
berjalan perlahan sekali seakan mencari jalan. Dan saat ini sudah memasuki
lembah sejauh seratus tombak, menuju ke belakang lembah…. ”
“Kalau pendengaranku tak salah, Sam-chiu Sin-kun diam-diam sedang diikuti oleh
lima orang!”
“Tetapi bukankah kau tadi mengatakan belum dapat memastikan?” tanya Thian-
leng.
“Itulah yang membingungkan aku,” kata Siau-bun, “kelima pengejarnya itu tidak
mengambil jalan dari tengah lembah, tetapi muncul dari empat penjuru lembah.
Padahal jalan di situ sukarnya bukan main. Dan yang lebih hebat, langkah mereka
hampir tak tertangkap ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi…”
“Oh, mereka tentu orang-orang yang berilmu sakti,” Thian-leng berseru kaget,
“Kecuali Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak, tentu tak ada lainnya lagi. Kita beresi
dulu kedua durjana itu baru kemudian membekuk Sam-chiu Sin-kun….”
“Tidak,” tukas Siau-bun, “Menurut dugaanku, kalau orang itu memang bangsa
manusia, tentu bukanlah Sin-bu Te-kun ataupun ketua Hek Gak!”
“Bagaimana kau dapat memastikan?”
“Sin-bu Te-kun dan rombongan Hek Gak masih dikepung oleh Thiat-hiat-tin. Lain
orang tentu tak ada yang memiliki ilmu sehebat itu!”
Thian-leng terbeliak. Habis siapakah kelima orang pengejar yang sakti itu? Jelas
tujuan mereka ialah hendak merebut peta Telaga zamrud.
“Baik, aku yang menjadi pembuka jalan!” kata Thian-leng seraya terus melangkah
ke dalam lembah.
“Hai, tahukan kau di mana beradanya Sam-chiu Sin-kun?” Siau-bun berseru
seraya mengejar.
Thian-leng tertegun, Serunya. “Dia toh berada dlam lembah, masakah kita tak
dapat menemukannya?”
“Uh, lebih baik kau ikut aku saja!” Siau-bun tertawa hambar.
Lembah itu tiada jalannya. Hanya sebuah lembah mati yang penuh batu-batu
besar dan hutan lebat. Baru berjalan sepuluhan tombak, Thian-leng merasa
kehilangan arah. Coba tak ada Siau-bun yang menjadi penunjuk jalan, tentu ia
sedah tersesat.
Siau-bun berjalan dengan hati-hati sekali. Setiap kali ia berhenti untuk memasang
telinga. Belum tujuh puluh tombak jauhnya, tiba-tiba nona itu berhenti. Ia gunakan
ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Sam-chiu Sin-kun berada pada jarak
tiga puluh tombak. Para pengejarnyapun sudah muncul mengepungnya. Mereka
berilmu tinggi semua. Kita harus menjaga jangan sampai ketahuan mereka.!”
“Tidak, bagaimana kami disuruh tinggal diam saja melhat pangcu terancam
bahaya....” bantah Lau Gik-siu.
“Tetapi ini harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau kalian ikut, lebih besar
bahayanya!”
Lau Gik-siu tetap menolak, ”Pesan mendiang cikal bakal kaum Kay-pang, murid-
murid Kay-pang harus perintah ketuanya dan melindumginya….”
“Untuk sementara ini kuserahkan kekuasaan partai kepadamu. Kau jaga di sini.
Jika terjadi sesuatu, bertindaklah menurut gelagat!”
Walaupun ragu, tapi Lau Gik-siu terpaksa menerima perintah itu. Thian-leng
segera gunakan ilmu menyusup suara untuk mengajak Siau-bun melanjutkan
perjalanan lagi.
Jalan semakin sukar. Hampir sejam mereka baru mencapai lima puluh tombak.
Tiba-tiba Siau-bun berkata, “Kalau pendengaranku tak salah, sudah sepenanakan
nasi lamanya Sam-chiu Sin-kun berhenti di sebelah muka.....”
“Di mana?”
“Apakah kau melihat tiga batang pohon jati di sebelah muka itu?” tanya Siau-bun.
Memang benar. Thian-leng melihat tiga batang pohon jati tumbuh menggerumbul.
Setiap batang besarnya sepelukan tangan orang. Karena berjajar rapat pohon itu
seperti tembok tinggi.
“Ya, memang kelihatan.” sahutnya.
“Entahlah, “ Siau-bun mengerutkan dahi, “aku tak tahu apakah mereka juga
mempunyai ilmu gaib seperti Melihat langit mendengar bumi. Tetapi yang jelas
mereka tak dapat bertahan menyembunyikan diri lagi!”
“Tetapi tahukah kau bahwa di belakang pohon itu penuh dengan batu-batu
besar?”
“Tahu!” sahut Thian-leng, “mengapa kau tanyakan hal itu?”
Jilid 18 .
Thian-leng meringis. Ia tahu sampai di mana kelihayan otak si nona itu. Cara-cara
meloloskan diri dan mengocok Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak dengan gurunya si
Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi, cukup membuktikan betapa cerdas nona itu.
Setelah kedua anak muda itu merenung lama, barulah tiba-tiba Siau-bun berkata
pula, “Sam-chiu-Sin-kun pasti bersembunyi di balik pohon, kuyakin
pendengaranku tak salah. Menurut pendapatku, kepandaiannya tak ungkul dari
kau. Dapatkah kau dalam tiga jurus serangan mendadak, membuatnya tak
berdaya?”
“Baik, aku sanggup! Tetapi …..” ia meragu, “tetapi bagaimana kalau orang-orang
itu menyerang aku…”
“Sudah tentu mereka akan menyerangmu. Tetapi janganlah kau hiraukan mereka.”
jawab Siau-bun, “yang penting kau harus segera melukai Sam-chiu Sin-kun dan
menyeretnya ke tengah tumpukan batu dan mengambil peta lalu memasukkan ke
dalam sepatu…”
“Ilmuku menimpuk panah Tui-hong-kiong dan ilmu pedang, mungkin masih dapat
menghalangi mereka. Begitu kau berhasil mendapat peta itu, berhasillah kita!”
Siau-bun tersenyum simpul, “Biarkan mereka saling merebut peta itu sendiri
seperti anjing merebut tulang.....” ia segera mengeluarkan sehelai kain. Setelah
dilipat lalu diberikan kepada Thian-leng.
“Begitu kau berhasil mengambil peta dan menyusupkan ke dalam sepatu, segera
kau lemparkan kain itu kepadaku…”
“Jangan kuatir,” kata Thian-leng dengan tenang, “asal Sam-chiu Sin-kun benar-
benar berada di balik pohon, tentu aku akan dapat melakukan rencana kita itu
dengan berhasil!”
Berebut peta!
Memang tepat sekali dugaan Siau-bun. Di belakang ketiga pohon besar tampak
sesosok bayangan putih. Punggung orang itu menempel pada batang pohon.
Walaupun belum jelas apakah orang itu benar Sam-chiu Sin-kun yang mencuri
petanya, Thian-leng segera melancarkan pukulan dahsyat dan serangan pedang
secepat-cepatnya dan sedahsyat-dahsyatnya.
Sungguh aneh sekali. Orang itu tak menghindar maupun menangkis. Sebuah
pukulan dan tiga tebasan pedang Thian-leng tepat jatuh di tubuhnya. Dan tanpa
mengerang serta menggeliat, rubuhlah orang itu.
Tetapi pada saat Thian-leng menginjak batu dan hendak menggeledah, kejutnya
bukan kepalang. Tiga sosok tubuh serempak bersuit dan mencelat keluar dari tiga
penjuru. Siau-bun sudah memperhitungkan hal itu. Maka berbareng dengan
tibanya orang-orang itu, iapun sudah menyerang dengan pukulan dan timpukan
panah Tui-hong-kiong.
Ketiga orang itu rupanya tahu jelas dengan kelihayan Tui-hong-kiong. Mereka
menyurut mundur dan mengebut dengan lengan bajunya. Adalah karena sedetik
rintangan itu, cukuplah sudah bagi Thian-leng untuk menyelinap ke tengah
gundukan karang.
Dalam pada itu Siau-bun sudah melolos pedang dan menyerang dua orang
musuh. Pedang nona itu merupakan pasangan dari pedang Thian-leng. Walaupun
pendek, tetapi sinarnya dapat memancar sampai beberapa meter. Juga ilmu
pedang yang dimainkan adalah Toh-beng-sam-kiam. Hanya bedanya Siau-bun
lebih unggul setingkat dalam peryakinan.
Dua orang yang menyerang dari samping kiri terdiri dari seorang lelaki dan
seorang wanita. Umurnya di antara empat puluh tahun. Wajahnya buruk. Yang
lelaki beralis tebal, mata besar mulut lebar. Yang perempuan daging mukanya
menonjol macam setan malam.
Orang tua itu sebenarnya hendak memburu Thian-leng , tetapi karena dihalangi
Siau-bun terpaksa berhenti. Marahlah orang tua itu.
“Budak perempuan, apa kau bosan hidup?” serunya seraya menusukkan sebuah
jari ke pedang si nona.
Siau-bun tak berdaya merintangi lagi. Lelaki dan wanita jelek tadipun sudah
memburu Thian-leng. Thian-leng terancam bahaya!
Adegan itu berlangsung hanya dalam sekejap saja. Pada saat Thian-leng
melemparkan tubuh tawanannya ke tengah gundukan batu, penyerang-
penyerangnyapun sudah tiba. Thian-leng tercengang.
Si paderi dan si imam yang sudah tiba di muka Siau-bun tertegun. Adalah si imam
yang lebih dulu tertawa gelak-gelak, terus mengenjot tubuhnya melayang di udara
dan segera menyambar bungkusan kain. Begitu menyambuti bungkusan, ia
melambung terus sampai setinggi-tingginya, bergeliatan dan meluncur sampai
beberapa tombak jauhnya. Dia yakin peta Telaga zamrud sudah dikuasainya!
Si orang tua berjenggot kuning dan sepasang lelaki perempuan berwajah buruk
tadi, sebenarnya sudah tiba di muka Thian-leng dan hendak menyambarnya.
tetapi timbulnya perobahan yang mendadak itu membuat mereka kaget bukan
kepalang.
Si orang tua jenggot kuning secepat kilat menarik pulang tangannya terus
mencelat ke udara, “Coba saja kalau kau mampu lepas dari tangan Thian-san Siu-
sin ( Dewa hewan dari gunung Thian-san)!”
Juga sepasang lelaki perempuan berwajah buruk yang agaknya seperti sepasang
suami istri itu bergerak aneh sekali. Mereka tak menghiraukan Thian-leng lagi.
Tiba-tiba si lelaki menyambar paha kiri si perempuan, terus dilemparkan ke udara
seraya berseru, “Di hadapan Im-yang Song-sat, kalian berani main gila!”
Tubuh wanita itu meluncur laksana anak panah. Dalam sekejap saja sudah
melampaui si orang tua berjenggot kuning, terus mengejar si paderi dan si imam.
Sesaat kemudian terdengarlah suara letupan dari pukulan beradu, disusul dengan
gemuruh pohon tumbang dan batu meledak pecah. Jelas bahwa mereka telah
saling memukul.
Cepat Siau-bun memeriksa dan secepat itu pula ia termangu terkesima. Ternyata
yang dibunuh Thian-leng itu bukan Sam-chiu Sin-kun, bukan pula manusia,
melainkan orang-orangan dari batu dan dahan pohon, tetapi dibuat sedemikian
rupa sehingga menyerupai seorang manusia, lengkap dengan panca indra dan
jenggot panjang. Di tempat segelap itu, apalagi pada malam hari, orang tentu
keliru menyangkanya sebagai manusia!
Dan yang istimewa lagi, orang-orangan itu dibalut dengan tali sutera yang ulet
sekali. Maka tiga buah tusukan pedang Thian-leng dan sebuah pukulannya tadi
tak berhasil menghancurkan orang-orangan itu!
“Rase tua yang licin sekali. Dia-benar-benar lihay mengatur siasat!” Siau-bun
membanting-banting kaki.
“Tetapi dari mana ia membuat orang-orangan ini? Apakah sebelumnya kau tak
mengetahui?”
Siau-bun hanya menghela napas, “Setan tua itu memang licin sekali. Bodoh sekali
kalau ia membuat orang-orangan itu dari lain tempat...... eh, apakah kau tak
memperhatikan kaki pohon itu? Di situlah ia mempersiapkan orang-orangannya!”
Memang di bawah ketiga pohon tua tadi tampak ranting dan dahan pohon
berhamburan.
“Dia sudah tahu kalau dikejar orang, maka sengaja ia berhenti di sini. Diapun
sudah memperhitungkan bahwa pengejar-pengejarnya itu tentu saling menunggu
siapa yang berani bergerak dulu. Hal itu tentu memakan waktu cukup lama. Maka
enak saja ia membuat orang-orangan itu. Karena kesemuanya itu sudah
diperhitungkan lebih dahulu, maka sebelumnya iapun sudah membawa pakaian,
rambut dan jenggot palsu!”
“Ah, akupun kena dikelabui. Kukira orang-orangan itu adalah dia, maka yang
kuperhatikan hanya itu saja,” Siau-bun menghela napas lagi.
“Ah, kitab pusaka It Bi siangjain tentu akan dimilikinya!” Thian-leng berteriak kaget.
“Habis?” Siau-bun mengangkat bahu, “dengan kecerdikannya bangsat tua itu tentu
berhasil menemukan tempat kitab itu!”
“Apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir,” sahut Siau-bun lesu, “mungkin
dunia persilatan memang harus mengalami banjir darah!”
Thian-leng merasakan bumi yang dipijaknya seperti bergoyang. Ingin ia mati saja
saat itu. Bayang-bayang Oh-se Gong-mo, Tui-hun Hui-mo dan tabib Sip U-jong
bermunculan di kalbunya. Mereka menuding-nuding kepada Thian-leng, seolah
hendak menuntut janji pemuda itu.
Pada lain saat terbayang pula budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo memberinya obat
dahulu, Toan-jong-jin memberi pedang dan ilmu pedang, pengangkatannya
sebagai ketua partai Pengemis, serta budi kebaikan yang dilimpahkan si Jenggot
perak dan cucu perempuannya Lu Bu-song….
Untuk membalas budi dan melaksanakan harapan mereka yang telah memberi
kepercayaan kepadanya hanyalah disandarkan pada kitab pusaka. Tetapi.. ah
peta itu telah hilang. Dia adalah manusia yang berdosa. Berdosa karena
menghancurkan harapan mereka. Ia harus mati untuk menebus dosa itu…..
“Suara pertempuran sudah berhenti, jelas bahwa mereka tentu sudah mengetahui
bahwa buntalan kain itu bukan peta. Sebentar lagi mereka tentu kembali mencari
kita……”
“Tetapi kita sendiri juga tertipu. Asal kita terus terang menceritakan..........”
“Mereka jago-jago sakti dan belum ketahuan dari golongan mana. Paling tidak
mereka tetap akan menuntut karena kau telah menipunya. Jika bertempur, kita
tentu menderita. Lebih baik kita lari dulu baru nanti kita mengatur rencana lagi!”
“Budak bernyali besar!” bentak si imam sembari menimpukkan kain kepada Thian-
leng, “Kau berani menipu aku berarti bosan hidup! Kau belum mendengar siapa
Tiang Pek cinjin?”
Paderi Ko Bok juga seorang paderi ganas yang berpuluh tahun memendam diri. Ia
menggaruk-garuk telinga, “Aneh, memang aneh. Kemana si tua Sam chiu Sin kun
itu?”
Siau-bun tertawa getir, “Cuwi tentulah para cianpwe dari dunia persilatan.
Sebaiknya segera melakukan pengejaran pada Sam chiu Sin-kun, jangan buang
waktu!”
Thian-san Siu sin si tua jenggot kuning mendengus, “Hm, jangan kira kau dapat
mengelabui kami lagi! Dengan tipu muslihatmu yang licik, kau telah menipu kita,
kemudian di sini kau lakukan sulapan. Aku sudah tua, masakah kena diingusi
seperti anak kecil!”
Sepasang suami isteri berwajah buruk segera ikut membentak, “Memang benar!
Lekas serahkan peta itu, nanti kalian boleh bebas pergi!”
Turut campurnya kedua suami isteri yang bergelar Im Yang song-sat itu membuat
si paderi dan si imam gusar sekali.
“Jika peta telaga zamrut sampai jatuh ke tangan kalian, aku paderi Ko Bok dan
imam Tiang Pek segera akan bunuh diri saja!” bentak paderi Ko Bok.
“Mau bunuh diri atau tidak, itu urusanmu sendiri. Tetapi peta itu harus menjadi
milik kami suami isteri!” sahut Im Yang song-sat.
“Jenggot kuning, tak usah kau campur mulut, kau tak berhak ikut menginginkan
peta!” bentak Im Yang song-sat.
Juga paderi Ko Bok mengenyahkan jenggot kuning, “Menyingkir sajalah kau ini.
Atau akan kuremukkan dulu tulang-belulangmu yang bangkotan itu!”
Didamprat kedua belah pihak, Thian-san Siu-sin tertawa sinis, “Kalian begitu
congkak terlalu tak memandang mata padaku Thian-san Siu-sin. Aku bukan
seorang pengecut, tetapi……” sejenak ia memandang Thian-leng, lalu berseru
pula, “Coba jawab, di mana peta itu sekarang?”
Thian-san Siu-sin tertawa, “Kalau begitu mengapa tak tunggu setelah peta ketemu
baru kalian bertempur lagi?”
Paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek saling tukar isyarat mata. Ko Bok berseru,
“Baik, kami setuju dengan usulmu itu!”
“Begitu peta diketemukan, segera kita rundingkan cara pertempuran. Siapa yang
menang paling akhir, dialah yang berhak memiliki peta itu!” imam Tiang Pek
menambah.
“Baik, kami suami isteri yang menggeledah budak itu!” tiba-tiba Im Yang song-sat
mencelat ke arah Thian-leng.
Siau-bun yang tengah memutar otak mencari akal terkejut sekali. Cepat ia
menimpukkan dua buah tui-hong-kiong. Tetapi Im Yang song-sat sudah
melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka tak mengacuhkan tui-hong-
kiong si nona dan tetap hendak mencengkeram Thian-leng.
Pemilik Peta
Tetapi di luar dugaan, timbul suatu hal yang menggemparkan. Terdengar letupan
keras, disusul dengan mencelatnya kedua suami isteri jahat itu sampai beberapa
meter jauhnya.
Dan kejut mereka makin menjadi, ketika tahu-tahu di belakang Thian-leng muncul
seorang tua dengan dandanan seperti pertapa.
Rambut dan jenggotnya yang menjulai panjang berwarna putih seperti salju.
Jubahnya berwarna kuning menyentuh sampai ke tanah. Kemunculan pertapa itu
benar-benar seperti dewa turun ke bumi.
Terjungkalnya kedua suami isteri Im Yang song-sat tadi hanyalah karena dikebut
dengan lengan jubahnya. Dan kedatangannya yang sama sekali tak diketahui
oleh jago-jago yang berada di situ benar-benar menggemparkan sekali.
Pertapa jubah kuning itu tertawa meloroh, “Siapa lagi yang tidak terima?”
Merahlah mata paderi Ko Bok mendapat hinaan semacam itu, bentaknya, ”Selama
keluar dari pertapaan, belum pernah aku menyerah pada orang lain.”
Kata-kata itu ditutup dengan tusukan ujung tongkatnya kepada si pertapa jubah
kuning. Ia insyaf bahwa pertapa itu bukan tokoh sembarangan, maka
serangannyapun harus yang istimewa. Tusukan ujung tongkat disaluri dengan
tenaga dalam penuh!
Ujung tongkat sudah meluncur ke arah dada si pertapa. tetapi anehnya pertapa itu
tetap diam saja, seolah-olah membiarkan ujung tongkat menusuk dadanya.
Melihat itu diam-diam paderi Ko Bok girang sekali. Ia melipat gandakan saluran
tenaga dalamnya.
Ujung tongkat yang tepat mengenai dada si pertapa, tiba-tiba menemui tempat
kosong. Padahal jelas dilihatnya pertapa itu tadi tetap tegak berdiri di hadapannya.
Dan karena menusuk angin, paderi Ko Bok terdorong ke muka. Buru-buru ia
hendak membalik tubuh. Tetapi bukan main kagetnya ketika dilihatnya pertapa itu
tegak lagi di hadapannya dan mendorongkan tangannya.
“Ilmu siluman….!” Ko Bok memekik kaget. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-
katanya karena tubuhnya mencelat ke udara. Dan serupa dengan Im Yang song-
sat, iapun terbanting sampai dua tombak jauhnya!
Bantingan itu jauh lebih hebat dari Im Yang song-sat. Kalau suami isteri Im Yang
song-sat hanya babak belur, paderi Ko Bok harus meringis seperti monyet makan
terasi. Mata berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling dan tulang-tulang
seperti remuk-redam.
Masih untung pertapa jubah kuning itu tak mau menggunakan tenaga besar,
sehingga Ko Bok terhindar dari luka dalam. Ia terpaksa bangun perlahan-lahan.
Thian-leng dan Siau-bun tercengang terkesima. hampir mereka tak percaya apa
yang disaksikannya.
Im Yang song-sat, paderi Ko Bok dan Thian-san Siu-sin adalah tokoh-tokoh
persilatan yang sakti. Kesaktian mereka hampir menyamai Sin-bu Te-kun dan
ketua Hek Gak. Tetapi berhadapan dengan pertapa jubah kuning, mereka
diperlakukan seperti anak-anak kecil saja. Sungguh ajaib sekali!
Setelah memberi hajaran kepada ke empat orang itu, pertapa baju kuning itu
segera menghampiri Tiang-Pek cinjin. Paderi itu tegak berdiri seperti patung.
Nyalinya sudah hancur berantakan ketika pertapa itu mendatanginya.
Pertapa itu tertawa tergelak-gelak, “ Kau dan aku sama-sama murid Sam Ceng.
Perlukah kita mengukur kepandaian?”
Tiang Pek cinjin gelagapan. Serunya tergugu, “ Tidak…… tidak usahlah. Pe…..ta
Telaga zamrud silakan kau ambil…….”
“Kau pandai melihat gelagat!” pertapa itu tertawa. Tiba-tiba ia ajukan langkah
seraya berseru kepada Thian-leng, “Ikut aku!”
Thian-leng tak kenal siapa pertapa ajaib itu dan apakah maksud kedatangannya.
Jika pertapa itu juga bertujuan merebut peta telaga zamrud, habislah segala
harapannya. Ia tegak termangu-mangu.
“Mari kita pergi!” tiba-tiba Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara. Dan
sekali melesat nona itu sudah mendahului.
“Tetapi bagaimanapun tetap lebih baik daripada kita menunggu kematian di sini!”
Thian-leng anggap kata-kata si nona itu tepat, peristiwa saat itu tentu akan
menambah kebencian Im Yang song-sat dan lain-lain kepadanya. Begitu pertapa
itu pergi, mereka tentu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Apalagi tadi
jelas didengarnya pertapa itu mengajaknya pergi. Tanpa bersangsi lagi, iapun
segera mengikuti Siau-bun.
Im Yang song-sat, Thian-san Siu-sin, Ko Bok dan Tiang Pek cinjin tak berani
berkutik merintangi Thian-leng. Begitu pertapa itu sudah lenyap dari pandangan
mata, barulah kelima tokoh itu saling berpandangan. Kemudian merekapun
melangkah ke dalam lembah.
Lembah itu penuh dengan jalan berliku-liku yang panjang. Diselimuti dengan
kabut malam yang tebal, sukar mengetahui arah yang harus dituju. Kelima tokoh
itu tak mengerti di mana mereka berada.
Pertapa jubah kuning itu berjalan dengan melenggang, tetapi cepatnya bukan
main. Thian-leng dan Siau-bun mengerahkan seluruh kepandaiannya berjalan
cepat barulah mereka dapat mengejar pertapa itu. Kejut kedua anak muda itu tak
terperikan.
Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba dari kejauhan tampak selarik sinar lampu dan
pertapa itupun berseru, “Sudah sampai!”
Sekonyong-konyong ia enjot tubuhnya melambung dan melayang seperti seekor
burung garuda. Hanya dalam dua tiga lompatan, pertapa itu sudah berada pada
jarak tiga empat tombak jauhnya.
Thian-leng tertegun, ujarnya, “Benar, tetapi peta itu dicopet orang, tak berada
padaku lagi!”
Thian-leng tidak mengerti apa yang dikatakan si pertapa. Saking tak tahan ia
memberanikan diri bertanya, “Mohon to-tiang suka memberitahukan nama gelaran
to-tiang. Terhadap peta itu…….” Ia tak melanjutkan kata-katanya. Kedatangan
pertapa itu terang dapat menyelamatkan jiwanya dari ancaman kelima
pengejarnya. Mengapa ia harus menanyakan lagi?
Perta itu hanya ganda tertawa dan menyahut seenaknya, “Aku It Bi…..”
Thian-leng dan Siau-bun seperti mendengar petir menyambar di tengah hari,
serunya, “Jadi to-tiang ini It Bi siangjin…..!”
(bersambung ke jilid 19 )
Jilid 19 .
Tetapi ah, tak mungkin. It Bi siangjin tentu sudah tidak ada di dunia lagi. Kedua
anak muda itu tak melanjutkan lagi kata-katanya. Mereka malu sendiri.
Pertapa itu tetap ganda tertawa, “It Bi siangjin sudah beratus tahun wafat. Mana
orang mati bisa hidup kembali? Aku........”
Pertapa itu melirik sejenak kepada Siau-bun, ujarnya, “Benar, kau pandai sekali.
Memang karena aku adalah pemuja yang mengagumi sekali riwayat It Bi siangjin.
Untuk mengabadikan, kupakai nama It Bi.....”
Pertapa itu menghela napas, “Ah, tetapi ada beberapa hal yang kalian tak tahu....”
Cepat Siau-bun pun menukas, “Kalau tak salah, di sekitar tempat ini tentulah
merupakan telaga zamrud seperti yang dimaksud dalam peta. Usaha Sam-chiu
Sin-kun Ki Bu-sin mencuri peta dan menyelundup kemari, juga telah kau ringkus!”
“Menebak?”
“Ya,” sahut Siau-bun, “toh soal itu sudah jelas. Menilik keadaan lembah Pak-bong-
kiap yang begini seram, tak mungkin dijadikan tempat tinggal. To-tiang menyebut
diri sebagai It Bi, tetapi di sini tak ada pusaranya. To-tiang membuat rumah di sini
tentulah ada maksudnya. Sesudah mencuri peta, Samchiu Sin-kun terus menuju
kemari. Kesemuanya itu cukup membuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat
penyimpanan kitab pusaka It Bi siangjin. Totiang tepat pada waktunya datang
menolong kami berdua, tentulah telah dapat meringkus Sam chiu Sin-kun.....”
Thian-leng terkesiap dan berpaling. Tampak di balik tirai penutup pintu kamar, dua
buah paha orang menjulur di tanah. Tentu orangnya sudah ditutuk jalan darahnya,
dan jelas orang itu tentu Sam-chiu Sin-kun.
Siau-bun tertawa tawar, “Benar, karena Sam-chiu Sin-kun kena kau tutuk, barulah
aku dapat menduga tempat ini. Tetapi ada beberapa hal yang tak kumengerti.”
“Dalam hal apa, silakan bertanya!”
It Bi kerutkan kening menghela napas, “Hm, sekalipun otakmu cerdas, tetapi kau
tetap tak dapat menerka hal itu!”
“Setelah mendapat kitab itu, mengapa totiang perlu mengadakan lelucon lagi?
Perlu apakah totiang memikat orang datang kemari..... ”
It Bi tertawa masam, “Ilmu ajaran It Bi siangjin itu dalam sekali, tak mudah
dipelajari sembarang orang. Baru tiga hari berlatih Sip U-jong telah mengalami co-
hwe-jip-mo ( salah latihan dan merusak diri), sehingga menyebabkan ia
kehilangan semua kepandaiannya. Tetapi ia akhirnya dapat mempelajari sedikit
ilmu meramal……”
Kini tergeraklah hati Thian-leng, “Ilmu apakah yang tertulis dalam kitab pusaka
itu?”
“Satu hari!”
“Satu hari?” Thian-leng berteriak kaget, “berapakah hasil dari pelajaran sehari
saja? Tetapi ilmu kepandaian yang totiang miliki………”
It Bi tertawa, “Jika aku temaha dan belajar ngotot seperti Sip U-jong, tentu akupun
akan mengalami nasib seperti dia, menjadi orang yang cacat!”
Heran Thian-leng tak terkira. Masakah belajar sehari saja sudah dapat memiliki
kepandaian sesakti itu.
It Bi tertawa, tuturnya, “Ilmu pelajaran dalam kitab It Bi bu-cui itu sekalipun tak
sukar dipelajari, tetapi setiap bagian mempunyai keistimewaan sendiri. Jika tidak
mempunyai tulang yang bagus, tak mungkin dapat mempelajari. Setelah Sip U-
jong menyadari hal itu, dia menjadi putus asa. Tetapi dia tak dapat berdaya apa-
apa lagi…”
It Bi menghela napas, “Ah, ilmu pelajaran dalam kitab itu tidak sesuai diyakinkan
oleh kaum wanita!”
Thian-leng melongo.
Siau-bun tertawa acuh tak acuh, “Huh, andaikata sesuai untuk kaum wanita,
akupun tak ngiler. Karena aku sudah mengangkat sumpah di hadapan suhu
bahwa aku akan bersetia kepada sumber ajarannya. Tak boleh berguru pada lain
orang,” Siau-bun melanjutkan pula.
Kamar Rahasia.
Ia bangkit dan mengajak mereka mengikutinya. Pertapa aneh itu menuju ke ruang
sebelah kiri. Thian-leng dan Siau-bun pun segera ikut.
Kamar itu gelap gulita, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, dapatlah kedua anak
muda itu melihat jelas. Di tengah ruangan seperti terdapat sebuah lubang
terowongan selebar dua meter.
“ Itulah pintu masuk dari apa yang dihebohkan orang dalam peta Telaga zamrud.
Dulu setelah kubuka, aku terus tinggal di sini , tak pernah pergi kemanapun juga,“
kata It Bi seraya masuk ke dalam terowongan itu.
Thian-leng dan Siau-bun tetap mengikuti. Terowongan itu dalamnya seperti sumur,
mempunyai titian batu yang menurun. Diam-diam Thian-leng menghitung titian itu.
Jumlahnya tak kurang dari 200 buah undakan. Dasar terowongan itu merupakan
sebuah dataran yang terang. Luasnya puluhan tombak. Baik atap maupun
lantainya terbuat dari batu seluruhnya. Benar-benar merupakan sebuah bangunan
yang besar dan megah.
“Menurut catatan dalam kitabnya. Ruangan ini dibuat sendiri oleh mendiang It Bi
siangjin dalam waktu tiga hari!” tiba-tiba It Bi berkata.
“Seorang yang berilmu sakti, apapun dapat dilakukan. Mungkin batu-batu raksasa
ini hanya sebagai benda tak berarti bagi almarhum, ” tukans Siau-bun.
“Benar,” It Bi tertawa, “baginya ruang ini masih belum menyulitkan…… eh, tahukah
kalian apa guna ruangan ini?”
“Benarlah,” seru It Bi, “ruang ini mempunyai delapan buah pintu rahasia. Hanya
ada sebuah pintu hidup yang boleh dimasuki….” ia menutukkan jari pada ujung
dinding batu yang sebelah kanan. Terdengarlah bunyi berdrak-derak dan
terbukalah sebuah lubang pintu, It Bi melangkah masuk, Thian-leng dan Siau-bun
mengikuti terus.
Melintasi pintu itu, mereka berada di sebuah ruang batu yang terang benderang.
Sekeliling dindingnya penuh brtaburan mutiara. Mutiara-mutiara itulah yang
memancarkan cahaya cemerlang.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut ketika matanya tertumbuk pada sebuah peti mati
yang terletak di tengah ruangan. Peti mati itu terbuat dari batu mustika. Di
depannya tercantum sebuah tong-pay ( nisan dari logam). Tong-pay itu bertuliskan
beberapa huruf yang ditulis dengan guratan jari.’Tempat arwah It Bi siangjin’.
It Bi segera berlutut dan menyuruh kedua anak muda itu berlutut juga. Mereka
bersujud dengan khidmat. It Bi bangkit, tetapi ketika Thian-leng hendak bangkit, It
Bi melarangnya.
It Bi berhenti sejenak, katanya pula, “Lebih dulu kau harus mengangkat sumpah
untuk menjaga dan melaksanakan pesan almarhum, barulah kau dapat menjadi
pewaris It Bi siangjin yang nomor dua dan menjadi muridnya…..”
“Dua buah pesan penting itu, pertama harus orang yang jujur, berjiwa ksatria dan
mempunyai cita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua, dia
harus memilih pewaris dengan hati-hati, agar ilmu pelajaran It Bi siangjin akan
terus berkembang selama-lamanya!”
“Cukup! Bebanku kini sudah impas separoh.... mari ikut!” kata It Bi terus menuju ke
belakang peti mati. Di situ terdapat sebuah meja dan ranjang, serta beberapa
kursi. Tempatnya bersih. Pada dinding tengah terdapat dua buah gelang batu
mustika. It Bi menarik gelang sebelah kanan dan terbukalah sebuah pintu rahasia.
Ternyata di situ terdapat pula sebuah kamar rahasia.
Tanpa bersanggsi lagi Thian-leng segera melangkah masuk. Tetapi baru kakinya
melalui pintu, sekonyong-konyong pintu itu menutup. It Bi telah menggerakkkan
alat penutup pintu.
Kejut Thian-leng bukan buatan, “Totiang! Totiang……!” ia berteriak sekuat-kuatnya,
tetapi tiada sahutan sama sekali. Dicobanya untuk mendorong pintu itu,
tetapi..ah… pintu itu tak bergeming sama sekali. Walaupun mendorong sekuat
tenagapun tetap tak berhasil.
Pada lain saat ia sadar. Mungkin It Bi memang sengaja menutup pintu agar Siau-
bun tak ikut masuk. Karena yang diperbolehkan mempelajari ilmu kitab pusaka itu
hanya dia seorang. Tetapi ia memikirkan nona itu. Siau-bun telah menemaninya
menempuh bahaya, sekarang setelah mendapat rejeki, ditinggal begitu saja di
luar. Ah…. namun ia tak berdaya.!
Ruang itu tak seberapa luasnya, kira-kira hanya seluas dua tombak. Empat
dinding ruang dilekati belasan mutiara yang cukup memancarkan terang.
Tetapi yang membuat Thian-leng heran ialah, ruang itu tak terdapat apa-apa.
Sebuah ruang yang kosong melompong tanpa isi.
Thian-leng segera memulai meneliti tulisan di tembok itu. Makin lama ia makin
seperti tenggelam dalam lautan yang tiada dasarnya. Dipelajarinya gerak kaki dan
tangan sesuai dengan petunjuk-petunjuk tulisan di tembok. Entah berapa lama ia
terbenam dalam keasyikan belajar itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak-
derak dan pintu batu terbuka.......
“Sudah dua hari, berapa bagiankah yang sudah kau pelajari?” It Bi tegak di
ambang pintu dengan tersenyum.
Memang Thian-leng baru dapat mempelajari sebuah dinding saja. Masih ada tiga
buah dinding yang belum dipelajari.
“Cukup dengan sebuah dinding saja, mungkin kau sudah tak ada tandingannya!”
seru Siau-bun yang berdiri di belakang It Bi.
“Ah, mana mungkin. Aku hanya mempelajari dua hari, masakah sudah sedemikian
rupa hebatnya,” Thian-leng tak percaya.
“Sebentar kau tentu mengetahui sendiri. Sekarang aku hendak bicara padamu,
mari kita keluar!”
Thian-leng keluar dan It Bi pun menutup pintu rahasia itu lagi. Kemudian Thian-
leng menanyakan apa yang hendak ditanyakan It Bi.
It Bi berkata, “Sejak kau mengangkat sumpah di hadapan arwah It Bi siangjin, kau
sudah menjadi murid pewaris kedua. Saat ini aku kalah tingkatan dan tunduk pada
perintahmu. Maka tak usah kau berlaku menghormat lagi padaku....... ”
“Ah, tanpa bantuan totiang mana aku dapat menemui rejeki yang sedemikian
besarnya ini,” buru-buru Thian-leng merendahkan diri.
“Aku bukan menolong, tetapi melaksanakan tugas dalam pesan It Bi siangjin,” kata
It Bi kemudian dengan nada bersungguh-sungguh. “Jadi sesungguhnya akulah
yang harus berterima kasih padamu.”
Keduanya sama tak mau mengalah. Siau-bun tertawa geli, “Ah, kalau terus
menerus berdebat tentu takkan putus-putusnya. Aku mempunyai usul.”
“Kusulkan baiklah kalian berbahasa sebagai kakak dan adik saja,” kata Siau-bun.
Masih It Bi kurang puas dan mengatakan hal itu masih melanggar tata tertib. Tetapi
Thian-leng segera menjura memberi hormat dan menyebutnya ‘totiang toako’ atau
engkoh imam. Akhirnya It Bi terpaksa menerima. Sejak saat itu keduanya sling
memanggil kakak adik.
“Sudah dua hari kau berada di situ, apakah kau tak lapar?” It Bi tersenyum.
Peringatan itu serentak membuat perut Thian-leng berkeruyuk.
“Sudahlah, makan dulu baru nanti sambung bicara lagi!” seru Siau-bun.
“Nanti dulu, ijinkanlah aku merenungkan sekali lagi pelajaran dalam ruang itu agar
tak lupa….”
Ketika keluar dari Telaga zamrud, haripun sudah tengah malam. Kiranya sudah
dua hari dua malam Thian-leng masuk ke dalam goa Telaga zamrud. Ia masih
belum yakin bahwa kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu akan dapat
mengalahkan Sin-bu Te-kun dan kepala Hek Gak….
“Menurut ukuran kepandaianmu sekarang, kau lebih sakti beberapa kali dari dua
hari yang lalu. Apakah saat ini kau tak mendengar atau melihat sesuatu?” tiba-tiba
Siau-bun menegur.
“Sudah tentu Im Yang songsat dan lainnya. Mungkin selama dua hari ini mereka
tetap berkeliaran di sekeliling lembah, tetapi mereka takut kepada It Bi..... ” kata
Siau-bun.
Baru melintasi mulut lembah, tiba-tiba muncullah lima orang yang mengepung
mereka dari lima jurusan.
Mereka ialah Im Yang song-sat suami isteri, Thian-san Siu-sin, paderi Ko Bok dan
imam Tiang Pek cinjin. Thian-leng pun lantas bersiap diri.
“Eh, apakah kalian belum pergi?” acuh tak cuh Siau-bun menegur mereka.
“Si pertapa busuk itu telah membawa kalian ke dalam sarangnya sampai dua hari.
Tentulah memberikan kitab itu kepadamu!” teriak Thian-san Siu-sin.
“Dia hanya menjamu kita dengan hidangan yang lezat. Maksudnya begitu kalian
sudah pergi, barulah melepaskan kita lagi.” jawab Siau-bun.
“Ngaco!” bentak Tiang Pek cinjin, “Sam-chiu Sin-kun ditutuk jalan darahnya.
Terowongan goa dalam sekali, tentulah Telaga zamrud berada di situ! Kau masih
menyangkal!”
“Benar di situ tentulah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin!” seru Tiang Pek
cinjin.
Merahlah wajah pertapa Tiang Pek, ia berpaling kepada paderi Ko Bok , “Budak
perempuan ini bermulut tajam, tak perlu berdebat dengannya. Kita mulai
menggeledahnya saja!”
“Jangan terburu-buru....” teriak Siau-bun sehingga kelima jari Ko Bok yang sudah
direntang hendak mencengkeram si nona itu terpaksa dihentikan.
“Asal kalian mau menyerahkan dengan baik, tentu kami lepaskan kalian pergi....”
“Apakah kalian tentu harus mendapatkan benda itu?” Siau-bun tertawa terpaksa.
“Sudah tentu!”
“Benar, kita harus mendapatkan sekarang juga!” bentak paderi Ko Bok seraya
berputar merangsek Thian-leng. Melihat itu kedua suami isteri Im Yang song-sat,
Tiang Pek cinjin dan Thian-san Siu-sin pun menyerbu Thian-leng.
“Adik Bun, kau tahu jelas aku tak membawa apa-apa, mengapa kau katakan kitab
itu berada padaku?” Thian-leng menyesali Siau-bun.
Namun nona itu hanya tertawa, “Kita berada selama dua hari dalam goa telaga
zamrud, apakah mereka mau percaya kita tak membawa apa-apa?”
Tiang Pek cinjin tertawa sinis dan loncat merintangi, “Tak usah saudara
mencapekan diri, aku sendiri cukup membereskannya!”
Ternyata tokoh-tokoh itu sama mengerti. Mereka tahu jelas sampai di mana
kepandaian Thian-leng dan Siau-bun ini. Salah seorang dari mereka itu sudah
cukup untuk meringkus anak muda itu. Hal itu menimbulkan perebutan. Mereka
saling berebut hendak menangkap Thian-leng yang dikira tentu menyimpan kitab
pusaka.
Thian-leng masih meragu. Ia hendak segera meloloskan diri dan yang kedua ia
masih belum yakin akan kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu.
“Eh, mengapa kau masih ragu-ragu? Inilah saat yang tepat untuk menguji
kepandaianmu!” teriak Siau-bun.
Mempelajari ilmu silat It Bi siangjin yang luar biasa dalamnya itu, tak mungkin
selesai dalam waktu dua hari saja. Untunglah berkat otaknya yang terang, Thian-
leng dapat mengingat semua pelajaran itu. Kini dicobanya menggunakan salah
satu jurus dari It bi bu-cui.
Tamparan Thian-leng tepat sekali mengenai siku lengan lawan. Cepat dan aneh
sekali gerak tamparan itu sehingga musuh tak sempat menghindar lagi.
Menjeritlah paderi Ko Bok seperti babi yang disembelih. Lengannya serasa putus
dan tubuhnyapun terlempar…
Sekalian orang terbeliak kaget. Bahkan Thian-leng sendiripun terkesima.
Sebenarnya ia hendak menggunakan ilmu pukulan Lui hwe ciang. Adalah karena
paderi Ko Bok menyerang secara cepat, ia tak sempat mengembangkan Lui hwe
caing dan terpaksa mainkan gerakan menampar itu. Sedikitpun ia tak menyangka
bahwa ia dapat menggulingkan lawannya secara begitu gemilang.
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menyambut dengan gemboran keras dan
bergerak menerjang. Keduanya tahu apa yang diderita paderi Ko Bok, tetapi
mereka masih tetap yakin, apabila menyerang secara cepat tentu dapat membuat
si anak muda tak berkutik. Dan telah menjadi tekad mereka, lebih baik mati
daripada tak mendapatkan kitab pusaka.
Jilid 20 .
Dalam beberapa detik saja Thian-leng telah berhasil mengalahkan tiga orang
tokoh persilatan yang ternama. Thian-leng makin heran. Ia mengkombinasikan
jurus ilmu pedang Toh beng-sam-kiam dengan sedikit jurus It bi-bu-cui. Ia merasa
selama dua hari ini tak ada perobahan yang menyolok. Tetapi apa yang
dihasilkan, benar-benar membuatnya seperti bermimpi.
Thian-san Siu-sin diam-diam menyadari apa yang terjadi pada anak muda itu. Ia
mencuri lirik pada Tiang Pek cinjin. Pertapa itupun mengetahui apa yang
dipikirkan Thian-san Siu-sin. Jelas si anak muda telah mendapat ilmu pelajaran
dari It Bi. Mundur malu, maju gentar. Tetapi, ah… anak muda itu baru mempelajari
dua hari saja. Bagaimanapun tentu belum sempurna latihannya. Kalau tak segera
ditumpas, kelak tentu semakin sukar. Tiang Pek cinjin membalas isyarat Thian-san
Siu-sin dengan tatapan mata.
Segera Thian-san Siu-sin tertawa sinis dan melangkah maju ke hadapan Thian-
leng.
“Sebenarnya aku tak mau bermusuhan dengan orang. Baiklah saudara jangan
mendesak, benar-benar aku tak membawa kitab pusaka itu!” Thian-leng memberi
peringatan.
“Ah, Bu Beng tayhiap salah paham….” Thian-san Siu-sin kedipkan mata, “setiap
pusaka tentu mencari pemilik yang tepat. Aku tahu diriku tak berjodoh, takkan
melanggar garis alam.”
Mulutnya berbicara begitu, tetapi dia tetap melangkah maju. Siau-bun yang berdiri
di samping, tahu maksud orang, namun ia hanya ganda tertawa saja.
“Kalau cunkia tak bermaksud begitu, baiklah segera tinggalkan tempat ini….”
“Aku tak bermusuhan kepada kalian berdua. Sedapat mungkin jangan kita
bertempur lagi. Silakan bertanya, akupun segera angkat kaki dari sini!” sahut
Thian-leng.
Tiba-tiba Tiang Pek cinjin memberi isyarat mata kepada Thian-san Siu-sin.
“Aku ingin bertanya apakah Bu Beng tayhiap sudah mendapatkan kitab pusaka itu
atau belum?” tanya Thian-san Siu-sin pula.
Suami isteri Im Yang songsat dan paderi Ko Bok yang masih duduk di tanah,
mengerang
kaget mendengar kata-kata si anak muda. Serentak Thian-san Siu-sin menyeletuk,
“Siansu , apakah....?”
“Oh, jadi tadi Bu Beng tayhiap telah menggunakan ajaran It bi-bu-cui?” Thian-san
Siu-sin berseru kaget.
Thian-leng seorang pemuda yang jujur. Karena melihat keramahan Thian-san Siu-
sin, iapun menjawab dengan terus terang. Tetapi di luar dugaan, sekonyong-
konyong Thian-san Siu-sin memukulkan kedua tangannya. Seluruh tenaganya
ditumpahkan dalam pukulan dahsyat yang di arahkan ke dada si anak muda!
Berbareng dengan itu Tiang Pek cinjin segera bergerak secepat kilat menyerang
punggung Thian-leng. Dua tokoh kenamaan, pada jarak yang dekat dan waktu
yang bersamaan telah menyerang dengan seluruh tenaganya. Bagaimana
akibatnya benar-benar tak dapat dibayangkan!
Thian-leng kaget sekali. Di luar kesadarannya, rasa kaget itu telah membangkitkan
tenaga dalam. Dua hari belajar dalam goa rahasia telaga zamrud benar-benar
membuat Thian-leng seorang manusia baru. Kini ia telah memiliki semacam
tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga setiap saat daapt
dikembangkan. Serangkum hawa hangat serentak menghambur dari tubuhnya.
“Uh….” terdengar jeritan tertahan dari kedua orang itu ketika pukulan mereka
terpental oleh tenaga dorongan yang tak tampak. Dan serentak dengan itu, Thian-
leng pun membalas. Ia memukul Thian-san Siu-sin dengan pukulan Lui-hwe-ciang
dan menebas Tiang Pek cinjin dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam.
Terdengar jeritan ngeri dari tiga sosok tubuh yang terlempar sampai setombak
jauhnya. Tiang Pek cinjin pecah perutnya, ususnya berhamburan keluar. Thian-
san Siu-sin terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Dan yang ketiga ialah paderi Ko
Bok yang remuk lengannya.
Waktu melihat Thian-san Siu-sin dan Tiang Pek cinjin menyerang Thian-leng, ia
yakin anak muda itu tentu akan terbekuk dan kitab pusaka pasti jatuh ke tangan
kedua tokoh itu. Dalam keadaan lengannya masih kesemutan, ia tetap bernafsu
untuk ikut merebut kitab.
Segera ia menghantam Thian-leng dengan tinju kirinya. Tetapi akibatnya
mengerikan sekali. Thian-leng berputar dan menyongsong dengan pukulan.
Tubuh paderi Ko Bok laksana layang-layang putus talinya, ia terlempar sampai
setombak lebih. Separoh badan gosong, tulang remuk dan jiwanyapun
melayang….
Sepasang suami isteri Im Yang songsat menjerit ngeri dan mundur beberapa
langkah. Thian-leng memandang terlongong-longong ke arah ketiga mayat yang
menjadi korbannya itu. Ia benar-benar seperti bermimpi………….
“Adik Bun, apakah ….. ini benar-benar terjadi?” beberapa saat kemudian ia
bertanya.
Siau-bun tertawa sedap.”Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau sudah
tergolong jago nomor satu atau dua dalam dunia persilatan! Kau tentu sudah
mengetahui apa manfaat pelajaran yang kau yakinkan dalam dua hari itu!”
Di luar dugaan Thian-leng malah menghela napas dan segera mengajak Siau-bun
berjalan. Ia tak tahu apakah ia harus bergembira atau bersedih. Apa yang dicita-
citakan selama ini telah tercapai. Seharusnya ia bergembira, tetapi entah
bagaimana terharu sekali. Hampir tak dapat ia menahan air matanya.
“Ah, masih ada dua orang pengganggu lagi!” tiba-tiba Siau-bun berseru seraya
melirik kepada sepasang suami isteri Im Yang songsat yang berlumuran darah.
Thian-leng tak setuju atas tindakan Siau-bun yang sering main bunuh orang. Ia tak
mau mengganggu jiwa suami isteri itu. Tiga jiwa tadi sudah cukup mengerikan.
“Eh, apa mereka mau melepaskan engkau?” Siau-bun tertawa ketika Thian-leng
hendak melanjutkan langkah.
Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Si wanita berseru, “Kami berdua
sekali-kali bukan takut mati. Tetapi kami mohon Bu Beng tayhiap suka menerima
kami.”
“Menerima apa? Sebagai murid?” Thian-leng heran. Ia duga kedua suami isteri itu
masih tak mau mundur untuk mencari kitab pusaka.
Yang-sat Go Goan-pa cepat berseru, “Seumur hidup kami suami isteri belum
pernah tunduk pada orang lain, tetapi terhadap Bu Beng tayhiap kami benar-benar
kagum sekali. Mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami sebagai budak. Kami
rela melayani tayhiap
seumur hidup!”
“Ah jangan!” buru-buru Thian-leng berseru, “aku masih muda dan masih
mempunyai tugas berat. Aku tiada tempat tinggal menentu dan tak mau kuseret
kalian turut menderita. Dan yang ketiga......”
“Jika tayhiap menolak, lebih baik kami bunuh diri saja...” tiba-tiba kedua suami
isteri itu menukas dan berbareng bersikap hendak menghantam ubun-ubun
kepala mereka.
“Nona mengerti jelas, “buru-buru suami isteri itu menghadap ke arah Siau-bun,
“bahwa kami bersungguh hati hendak menjadi hamba tayhiap. Kami harap
bantuan nona untuk menganjurkan tayhiap supaya sudi menerima permintaan
kami. Dahulu kami telah bersumpah, kalau tak dapat menjadi jago nomor satu di
dunia, kami rela menjadi budaknya saja atau lebih baik mati!”
“Telah kukatakan,” Siau-bun tertawa sinis, “aku tak mau campur urusan ini. Lebih
baik kalian langsung menanyakan padanya, mungkin....... Bu Beng tayhiap bukan
orang yang suka mengecewakan harapan orang, mungkin saja......” ia tertawa.
Dengan girang kedua suami isteri itu segera mendesak Thian-leng pula.
Yang-sat Go Goan-po menghela napas panjang. “Ah, kalau begitu, hambapun tak
berani memaksa. Ah,…” ia berpaling kepada isterinya, “kita terpaksa harus
melaksanakan sumpah kita dahulu!”
Sahut si isteri Im-sat dengan menghela napas, “Apa boleh buat, kita tak dapat
berbuat apa-apa!”
“Yang jelek adalah nasib kita,” kata Yang-sat Go Goan-po dengan nada rawan, ia
mengangkat tinjunya lagi ke atas. “Selamat tinggal isteriku, kutunggu kau di pintu
akhirat!” Ia segera ayunkan tinjunya.
Benar-benar Thianleng kaget tak terkira. Ia tak mau melihat korban yang keempat.
Tanpa disadari, ia ulurkan tangannya menyambar lengan Yang-sat Go Goan-po.
Go Goan-po meronta-ronta, “Lepaskan tayhiap, karena tayhiap tak mau menerima
permintaan kami lebih baik kami mati saja. Apa artinya kami hidup di dunia lagi,
lebih baik…..” ia meronta-ronta seperti orang kalap hendak bunuh diri.
“Mengapa kau begitu keras kepala. Ketahuilah kalau kalian ikut padaku, lebih
banyak menderita daripada bahagia.... ”
“Tetapi itu sudah menjadi sumpah kami. Untung celaka kami sudah bersedia!” si
wanita Im-sat menyeletuk.
Kembali Thian-leng memandang ke arah Siau-bun, tapi nona itu hanya tertawa
mengikik tak mengacuhkan. Akhirnya Thian-leng mengalah, “Baiklah, kuterima
permintaan kalian, tetapi.......... ” tiba-tiba ia berobah nada bengis, “Lebih dahulu
kalian harus berjanji tak boleh melakukan kejahatan lagi. Segala hal harus
berunding padaku......... ”
“Sudah tentu hamba tak berani bertindak sendiri. Dalam segala hal, biar kecil
maupun besar tentu akan menjalankan perintah tuan!” buru-buru kedua suami
isteri itu menyatakan.
Thian-leng menghela napas. Terpaksa ia menerima kedua suami isteri itu menjadi
budaknya, walaupun sebenarnya ia tak suka.
Di luar lembah rombongan pengemis yang dipimpin Lau Gik-siu tentu akan
menyambut kedatangannya dengan gembira. Demikian pikir Thian-leng. Tetapi
ternyata ia tak melihat barang seorangpun pengemis.
“Sebagai ketua kaypang, aku belum pernah mendirikan jasa apa-apa terhadap
partai. Kini kelihatannya malah membuat mereka tertimpa bahaya. Bukankah
perbuatanku ini merugikan Kay-pang?” Thian-leng membanting-banting kaki.
Siau-bun tertawa, “Sudah dua hari kita meninggalkan tempat ini. Apakah kau kira
mereka mau menunggu di sini? Siapa tahu mereka sudah pulang ke sarangnya!”
“Ah, kau tak mengetahui tata tertib Kay-pang!” Thian-leng penasaran, “ketua
memerintahkan mereka menunggu di sini, biarpun menghadapi bahaya apa saja,
mereka tentu tetap menunggu di sini. Itulah sebabnya....”
Penyesalan.
Kini Thian-leng bukanlahThian-leng pada dua hari yang lalu. Betapapun Siau-bun
dan kedua suami isteri Im Yang song-sat hendak menyusul, tetapi tetap
ketinggalan beberapa tombak di belakang anak muda itu.
Pada saat itu barisan partai Thiat-hiat-bun terlihat. Teganglah hati Thian-leng.
Sekalipun masih terpisah pada jarak puluhan tombak, tetapi Thian-leng dapat
melihat jelas. Sesaat kemudian Siau-bun dan Im Yang song-satpun tiba.
Merekapun mengetahui apa yang telah terjadi di dalam barisan Thiat-hiat-bun saat
itu.
Tokoh-tokoh sakti dari partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek Gak, semua
lengkap berkumpul di tengah lapangan.
Dari wajah mereka terlihat rupanya mereka sedang menghadapi suatu masalah
berat. Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang
mengherankan. Si gendut Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi berada di samping
Tokko Sing ( algojo Hek Gak).
“Adik Bun, bukankah Bok cianpwe telah kau beri minum pil? Mengapa dia.......”
baru Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara, Siau-bun sudah
menukas. “Mestinya pil itu dapat menyembuhkan ingatannya yang linglung. Hanya
ada dua kemungkinan. Dia telah diberi racun ganas, atau entah diapakan oleh
ketua Hek Gak!”
Thian-leng menghela napas. Kalau ketua Hek Gak benar-benar telah merusak urat
syaraf jago tua itu, sukarlah untuk menyembuhkannya lagi.
Ketiga partai yang hadir di lapangan itu tak kurang dari dua tiga ratus orang
banyaknya. Sekalipun belum ada tanda-tanda petempuran tetapi suasananya
tegang sekali.
“Telah membuat saudara menunggu sampai dua hari dua malam. Sekarang ......
apakah hendak bubaran?” tiba-tiba Jenggot perak Lu Liang-ong berseru.
Sin-bu Te-kun segera menggembor, “Lu loji, tak kuhiraukan segala apa lagi
kecuali hendak bertempur denganmu. Di dunia persilatan hanya terdapat satu,
ada Thiat-hiat-bun tak ada Sin-bu-kiong, ada Sin-bu-kiong tak ada Thiat-hiat-bun!”
Lu Liang-ong tertawa acuh tak acuh, “Oh, jadi kedatanganmu ke gunung Thay-
heng-san sini untuk hal itu?”
“Bagaimana dengan kitab pusaka It Bi siangjin? Tidak kuatir didahului orang lain?”
Jenggot perak tertawa mengejek.
“Dengarlah!” seru Sin-bu Te-kun dengan suara mantap, “sekalipun orang yang
mempunyai peta telaga zamrud itu sudah berhasil mendapatkan kitab pusaka,
tetapi jangan harap dia bisa lolos dari gunung ini!”
Ucapan itu mengandung maksud bahwa Sin-bu Te-kun telah memerintahkan anak
buahnya untuk menghadang semua jalan di Thay-heng-san. Karena ketua Hek
Gak juga mempunyai kepentingan dalam memburu kitab itu, ia hanya mendengus
saja. Rupanya ia mempunyai rencana juga.
Jenggot perak Lu Liang-ong tetap ganda ketawa, “Berulang kali kukatakan, aku tak
bermaksud bermusuhan padamu. Juga telah kujanjikan akan membantumu dalam
rapat tokoh persilatan nanti supaya kau berhasil melaksanakan cita-citamu. Tetapi
eh, mengapa kau selalu bersikap memusuhi aku saja?”
“Hm, aku sudah kenyang makan tipu muslihatmu! Jangan harap kau dapat
meninabobokan aku lagi!” Sin-bu Te-kun menggerung.
“Jika tak dapat menahan diri dalam urusan kecil, tentu akan menderita kerugian
dalam urusan besar. Apakah kau tak akan menyesal?”
Sin-bu Te-kun benci setengah mati kepada ketua Thiat-hiat-bun itu. Seolah-olah
kalap hendak menempur Thiat-hiat-bun. Tetapi di kala mendengar penegasan Lu
Liang-ong itu hatinya berdebar keras.
Di sampingnya ialah Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak yang berambisi besar. Bukan
saja dia hendak memburu kitab pusaka, tetapi juga hendak merebut kedudukan
kepala dunia persilatan. Jika ia bertempur dengan ketua Thiat-hiat-bun, tentulah
keduanya menderita kehancuran. Dan...ah..... siapa lagi yang akan memperoleh
keuntungan kalau tidak ketua Hek Gak yang licin dan ganas itu....
Diam-diam ketua Hek Gak itu girang dan mengharapkan agar Sin-bu-kiong lekas
bertempur dengan Thiat-hiat-bun. Kebalikannya hati Sin-bu Te-kun seperti disiram
air. Kemarahannya pun mereda. Kalau toh hendak bertempur, paling tidak ia harus
menarik supaya pihak Hek Gak ikut serta dengan serempak.
Rupanya jenggot perak dapat membaca isi hati kedua tokoh itu. Tiba-tiba ia
berseru dengan nada bengis, “Aku si orang tua tak suka ribut-ribut, kalau kalian
memang belum mengambil keputusan, silakan merundingkan kembali!” Habis
berkata ia memberi isyarat dengan kebutan lengan baju. Jago-jago Thiat-hiat-bun
yang terdiri dari empat su-kiat, tigapuluh enam Thian-kong dan tujuhpuluhdua Te-
sat segera pecahkan diri dalam dua formasi deretan. Mereka berjajar mengawal
ketuanya.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak terkejut. Merekapun segera memberi isyarat
kepada anak buahnya supaya bersiap. Rombongan jago Sin-bu-kiong dan Hek
Gak segera berbondong-bondong merintangi rombongan Thiat-hiat-bun.
“Lu loji, aku tak sudi menelan tipumu lagi. Barisanmu itu mungkin tak sempat main-
main lagi di hadapanku!” seru Sin-bu Te-kun.
“Andaikan barisan itu hancur, tetap kau ini kuanggap sepi....” seru Lu Liang-ong
sambil menatap tajam kepada Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. “Kita akan
bertempur satu lawan satu atau secara keroyokan? Silakan kau memilih, kalau
tidak.......ah, aku tak punya waktu lagi menemani kalian! ”
Namun Jenggot perak tetap sabar, serunya,“Kalau begitu harap kalian segera
mengatakan caranya bertempur. Aku si orang tua tentu takkan mengecewakan
harapan kalian!”
“Aku mempunyai rencana, entah saudara Kongsun.... ” kata Sin-bu Te-kun kepada
ketua Hek Gak.
“Salah!” Jenggot perak menukas. “Penyelenggaraan rapat orang gagah itu adalah
sebagai suatu penghormatan kepada ksatria-ksatria Tionggoan...... ” ia tertawa.
“Tetapi sayang, di antaranya masih terdapat tokoh yang tak kupandang sebelah
mata. Yang satu dari Sin-bu-kiong dan yang satu dari Hek Gak!”
Bukan kepalang marahnya Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Seru Sin-bu Te-kun
kepada ketua Hek Gak, “Kita berdua masing-masing menempur si Lo tua itu satu
jurus, kemudian .... silakan cong-houhwat Ang-tim gong-khek ( Bok Sam pi)
menempurnya sejurus. Jadi tua bangka itu harus bertempur tiga jurus. Kalau dia
kalah dua jurus...... ”
Sengaja kata-kata itu diucapkan dengan keras agar Jenggot perak mendengar.
Sebelum selesai, Jenggot perak sudah menukas, “Jika aku si tua ini sampai kalah
dua kali, aku segera meninggalkan Tionggoan dan Thiat-hiat-bun takkan muncul
lagi di masyarakat.....
Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Aku setuju dengan cara itu,
tetapi….bagaimana kalau aku yang menang?”
Sebenarnya ketua Hek Gak tak menyetujui usul Sin-bu Te-kun. Tetapi ia tiba-tiba
mendapat pikiran. Ia merasa kepandaiannya masih kalah dengan Sin-bu Te-kun.
Ia harus mengadu Sin-bu Te-kun dengan Jenggot perak. Andaikata Sin-bu Te-kun
yang menang, ia akan mengajukan gurunya. Tetapi kalau Jenggot perak yang
menang, ia nanti akan mencari alasan untuk membatalkan perjanjian.
Tertawalah ia dengan sinis, “Lo tua berjanji akan pergi dari Tionggoan kalau
sampai kalah. Kitapun juga demikian. Kalau sampai kalah, kita harus
mengasingkan diri takkan muncul lagi di dunia persilatan. Adil bukan?”
Jenggot perak mengangguk-angguk tertawa puas, “Aku tak berani meminta lebih
dari itu. Perjanjian itu kita resmikan……..” ia mengisar maju selangkah, serunya,
“Aku si orang tua harus menghadapi tiga lawan. Siapakah yang lebih dulu hendak
menjadi lawanku?”
Cepat ketua Hek Gak menyahut, “Nama Sin-bu-kiong sudah termasyhur di dunia
persilatan, sudah tentu aku tak berani melancangi!”
Diam-diam Sin-bu Te-kun mendamprat kelicikan ketua Hek Gak. Namun iapun
sgera melangkah ke hadapan jago Thiat-hiat-bun, serunya, “Baiklah, aku akan
mohon sejurus pelajaran darimu!”
Dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, ilmu jari Hiat-im-ci termasuk yang paling hebat
sendiri. Dan ilmu itu telah dilatihnya dengan sempurna. Apabila kelima jarinya
digerakkan, hebatnya bukan kepalang. Betapapun lihaynya Jenggot perak, pun
tentu akan kalah.
Keduanya adalah tokoh kelas satu. Gerakan mereka cepat dan dahsyat. Dalam
lingkungan satu tombak, bumi terasa bergetar! Tetapi ketika kedua jago itu belum
beradu pukulan, sekonyong-konyong terdengar lengking bentakan orang, “Tahan!”
Sesosok tubuh menyela di tengah kedua tokoh itu. Jenggot perak dan Sin-bu Te-
kun serentak menyurut mundur beberapa langkah. Seorang pemuda berbaju biru
tegak berdiri dengan gagahnya. Jenggot perak girang, Sin-bu Te-kun terkejut dan
sekalian orang berteriak kaget. Itulah Thian-leng!
Mereka melihat gerakan pemuda itu jauh bedanya dengan dua hari yang lalu.
“Hai budak, apakah kau hendak melanjutkan pertempuran kita lagi?” teriak Sin-bu
Te-kun.
“Benar, memang aku hendak melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai
itu,” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun membelalakkan matanya, “Eh”, rupanya dalam dua hari ini
kegagahanmu bertambah……”
“Tahu sendiri sajalah, ” Thian-leng tertawa dingin, lalu memberi hormat kepada
Jenggot perak, “Wanpwe telah berjumpa .....”
“Tetapi kau hanya belajar dua hari, mana dapat mempelajari dengan mahir?”
Jenggot perak menegas, walaupun tadi telah diketahui jelas betapa jauh bedanya
gerakan pemuda itu sekarang.
Di antara sekalian orang yang berada di situ, adalah Ang-tim gong-khek Bok Sam-
pi yang paling tegang. Ia masih ingat ketika di dalam Hek Gak dijatuhkan oleh
anak perempuan kawan pemuda itu.
Segera ia hendak melangkah maju, tetapi ketua Hek Gak cepat-cepat
membisikinya. Bok Sam-pi terpaksa menahan kemarahannya.
Di manakah Siau-bu dan kedua suami isteri Im Yang song-sat? Ternyata mereka
bersembunyi untuk menunggu perkembangan.
“Lu tua, hendak menerencanakan apa kau dengan budak hina itu? Bagaimana
dengan acara kita?” tegurnya ketika melihat Jenggot perak bertukar cakap dengan
Thian-leng.
“Menarik diri?” Sin-bu Te-kun terkejut, “hai, apakah kau menyesal karena takut
mati di tangan orang Sin-bu-kiong?”
“Kuwakilkan pada anak muda ini, aku cukup menonton di samping saja.” sahut
Jenggot perak.
“Terserah saja pada saudara Ki, aku menurut,” tukas ketua Hek Gak. Justru itulah
yang dikehendakinya. Serentak ia mundur ke samping.
“Aku tak sudi bertanding dengan cara begitu lagi!” Thian-leng tertawa hina.
“Adil?”
Thian-leng berseru nyaring, “Di hadapan sekalian orang gagah pada malam ini,
jika dalam sepuluh jurus aku kalah, aku akan tetap melaksanakan perjanjian
tempo hari. Tetapi jika kau yang kalah, janganlah menyesal!“
Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Tak habis herannya melihat sikap pemuda itu,
tetapi cepat ia merobah dugaan. Kemunculan Thian-leng dalam gerakan yang
sebat sekali tadi dan kasak-kusuknya dengan Jenggot perak, tentu mengandung
sesuatu yang luar biasa.
Tetapi betapapun juga, hanya dalam dua hari saja masakah pemuda itu dapat
berobah menjadi sakti sekali. Andaikata Thian-leng benar-benar telah
mendapatkan warisan kitab pusaka It Bi siangjin, pun dalam waktu dua hari saja
apa yang dapat dicapainya.
“Baik, baik, aku menurut saja kehendakmu budak!” ia segera tertawa mengejek.
Thian-leng mendengus hina, “Hm, iblis tua, jangan sombong kau, hati-hatilah!”
“Oho, permainan lama kau keluarkan lagi. Apakah kau sudah bosan hidup....
”ejeknya. Ia yakin sekali gerak tentu dapat memunahkan serangan anak muda itu.
Ia hendak membunuh pemuda itu. Maka sekali gerak ia menggunakan ilmu Kin-
na-chiu.
Pil Pahit!
Kin-na-chiu adalah ilmu tangan kosong untuk merampas senjata atau meringkus
lawan. Sin-bu Te-kun sekali gerak hendak mencengkeram lengan kanan Thian-
leng. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, ia terkejut. Ia merasakan
jarinya seperti tercengkam api dan lengannya seperti dirayapi aliran tenaga panas
yang menyerang dadanya…
Sebagai seorang tokoh sakti, ia cukup paham apa artinya itu. Nyata kepandaian
anak muda itu sepuluh kali lipat dari yang dulu! Ya, memang demikianlah. Ilmu
Lui-hwe-ciang memang dapat membakar hangus organ dalam tubuh orang dan
dapat memusnahkan tenaga lawan.
Gerakan Kin-na-chiu Sin-bu Te-kun tadi telah menimbulkan reaksi hebat. Dia
seperti membentur tenaga membalik yang hebat, sehingga di luar kehendaknya,
tubuhnya terhuyung. Untunglah ia cepat-cepat loncat ke samping. Karena
gerakannya itu secepat angin, maka pukulan Thian-leng menghantam tempat
kosong dan……… Bum. Sebuah batu besar yang berada beberapa langkah di
sebelah depan berguguran hancur. Dan serentak dengan itu berhembuslah angin
panas keseluruh penjuru. Sekalian orang sama terkejut!
“Budak, dalam dua hari ini apa yang kau ketemukan?” teriak Sin-bu Te-kun
dengan wajah pucat.
Thian-leng sendiri juga terkejut atas hasil pukulannya itu. Hampir ia sendiri tak
percaya. Memang yang dilancarkan itu ialah pukulan Lui-hwe-ciang ( api geledek).
Tetapi perbawanya jauh sekali bedanya dengan yang dulu.
“Ya, masih ada sembilan jurus lagi. Dan kali ini silakan kau yang menyerang dulu!”
seru Thian-leng.
Wajah Sin-bu Te-kun pucat seperti kertas. Darahnya serasa bergolak. Matanya
berkunang-kunang gelap. Bumi yang dipijaknya serasa berputar, bluk, akhirnya ia
jatuh ke tanah.
“Iblis tua, masih delapan jurus lagi, ayo silakan menyerang lagi!” seru Thian-leng.
Thian-leng kaget. Jelas bahwa sekarang Sin-bu Te-kun jeri padanya. Sebenarnya
ia ingin
menghancurkan si iblis saat itu juga. Tetapi dulu ia pernah mengajukan usul
begitu. Di hadapan sekalian orang gagah, terpaksa ia meluluskan usul Sin-bu Te-
kun.
Jilid 21 .
Sin-bu Te-kun seperti jago yang keok. Tetapi dari kerut di wajahnya, ia tetap
menyungging senyum misterius. Ia tak mau segera angkat kaki, tetapi masih
bertanya pula, “ Aku masih hendak bertanya lagi!”
“Silakan!”
“Ini......”
“Suatu rahasia yang tak dapat kau katakan?” Sin-bu Te-kun menegas.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa gelak-gelak, “Baiklah, hari ini aku mengaku kalah.
Sisa yang delapan jurus lagi, kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong.
Tetapi apabila kau tak datang, tetap akan kucari engkau kemanapun.!”
“Hm, sekalipun tanpa pertadingan seratus jurus itu, akupun akan tetap hendak
menuntut balas untuk Oh se-Gong-mo cianpwe. Sin-bu-kiong akan kuratakan
dengan tanah!”
Sin-bu Te-kun tak mau banyak bicara lagi. Ia memutar tubuh lalu melesat pergi
tanpa mengucapkan apa-apa kepada ketua Hek Gak. Rombongan orang Sin-bu-
kiongpun segera mengikuti.
Kepergian mereka diantar oleh gelak tertawa Jenggot perak yang dalam
keheningan malam seperti menyambar-nyambar di angkasa. Puas tertawa, ia
menegur ketua Hek Gak, “Eh, Kongsun loji, kaupun seharusnya angkat kaki juga!”
Jawaban itu membuat Jenggot perak terbeliak, “Jadi kau tetap hendak
bertanding?”
Ketua Hek Gak menyahut dengan congkak, “Kiranya belum perlu kuturn tangan
sendiri!”
Kini sadarlah Jenggot perak, “Hm, kau pintar sekali memainkan swipoamu,
tetapi…..”
“Ya!” Bok Sam-pi cepat tampil ke muka. Saat itu ia sedang dirangsang oleh
pembius ingatan. Matanya berapi-api, tetapi terhadap ketua Hek Gak ia bersikap
patuh.
Thian-lengpun sadar. Ketua Hek Gak tak berani menghadapinya, tetapi hendak
menyuruh Bok Sam-pi yang maju.
“Hajar budak kurang ajar itu!” tiba-tiba ketua Hek Gak memberi perintah, “tetapi
ingat, hanya boleh bertempur satu jurus. Tanpa perintah, jangan lanjutkan jurus
kedua!”
Dengan perutnya yang buncit, jago tua itu loncat ke depan Thian-leng, bentaknya,
“Mana budak perempuan itu?”
Thian-leng tertawa dingin, “Kalahkan dulu aku baru kau dapat menemuinya. Jika
tidak, selakan kau tunggu di pintu akhirat saja!”
Marah Bok Sam-pi bukan kepalang, sehingga gelap seperti besi. Ia mengulurkan
tangan kanannya. Telapak tangannya yang bundar seperti kipas mulai diangkat ke
atas.
Seketika daun-daun pada gerombol pohon yang terpisah dua tombak jauhnya
sama berderak-derak bergoncangan keras.
Diam-diam Thian-leng terkejut. Pikirnya, “Ah, kepandaian orang tua ini lebih hebat
dari pada Sin-bu Te-kun!”
Melihat sikap dan perawakannya, Bok Sam-pi seperti seorang gendut yang tak
mengerti ilmu silat. Tiba-tiba ia hentikan tinjunya di atas.
“Jika kau menyerahkan budak perempuan itu, kau akan kubebaskan dari
pertempuran ini!” serunya.
“Kalah menang belum ketentuan, bagaimana kau mengira aku akan kalah?” seru
Thian-leng dengan garang.
“Di kolong langit, siapakah yang dapat menandingi aku? Apakah kau berani
dengan aku?” teriak Bok Sam-pi.
Thian-leng tertawa getir. Memang kata-kata Bok Sam-pi itu benar. Dalam jaman
itu, jangankan dapat mengalahkan, sedangkan orang yang dapat melayani Bok
Sam-pi sampai belasan jurus saja , sudah jarang didapat. Sayang jago yang
sedemikian saktinya itu kini hilang ingatannya, sehingga kepandaiannya
digunakan orang untuk melakukan kejahatan.
Tetapi hasil serangannya itu, tak seperti yang diharapkan. Begitu pukulan saling
beradu, tangan Thian-leng lekat dengan tinju Bok Sam-pi. Berhamburan
gelombang tenaga dalam yang hebat. Masing-masing berusaha untuk menindas
lawannya. Dan ini menggagalkan rencana Thian-leng untuk menggunakan
pedang, karena ia harus mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi
tekanan Bok Sam-pi. Walaupun mencekal pedang, tetapi tak berguna. Dan karena
ia menggunakan tangan kiri menghadapi tangan kana Bok Sam-pi, ia menderita.
Melihat itu Jenggot perak mengerutkan dahi. Ia merasa gelisah sekali. Adu tenaga
dlam merupakan pertandingan yang mengerikan. Lebih hebat daripada
pertempuran biasa. Sekali tenaga dalam beradu, sukar dhentikan sebelum ada
salah satu yang remuk. Dari posisinya, jelas bahwa Thian-leng di bawah angin.
Tetapi apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong........
Ketua Hek Gak juga tak kurang terkejutnya. Adanya tadi ia membatasi Bok Sam-pi
supaya bertempur sejurus saja, adalah karena takut terjadi pertandingan adu
tenaga dalam. Dan ternyata kekutiarannya itu terjadi. Kalau Bok Sam-pi menang,
bukan saja dapat menindas partai Thiat-hiat-bun, tetapi juga sekaligus dapat
merebut kitab pusaka It Bi siangjin. Hek Gak akan menguasai dunia persilatan!
Tetapi apabila kalah, akibatnya tak dapat dibayangkan. Hek Gak pasti akan
dilenyapkan dan Thiat-hiat-bun akan menguasai dunia persilatan Tiong-goan.
Sakit hati Hek Gak kepada Hun-tiong Sin-mo, takkan terbalas selama-lamanya.
Rombongan Sin-bu-kiong sudah mengundurkan diri. Kini tinggal Hek Gak yang
berhadapan dengan Thiat-hiat-bun. Dan kitab pusaka It Bi siangjin jelas jatuh ke
tangan pemuda itu. Diam-diam ketua Hek Gak membuat kesimpulan; pertempuran
saat itu akan membawa akibat hebat, tetapi juga akan membuahkan keuntungan
luar biasa. Mati hidup tergantung dari hasil pertempuran saat itu!
Dahi ketua Hek Gak bercucuran keringat. Matanya tak berkedip mengawasi Bok
Sam-pi.
Siau-bun dan Im Yang songsat yang bersembunyi di balik geombol pohon juga
gelisah sekali. Sekeliling penjuru hening seketika.
Wajah Bok Sam-pi dan Thian-leng berobah merah gelap. Tubuh mereka
menghamburkan asap tipis. Pertanda bagaimana dahsyatnya adu tenaga dalam
itu berlangsung. Masing-masing telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Selang sepeminum teh lamanya, wajah mereka berobah biru gelap, kemudian
hijau lalu pucat lesi. Tubuh mereka mandi keringat, mata berkedip-kedip dan bahu
bergetaran. Demikianlah detik demi detik berlangsung. Keadaan mereka makin
menyeramkan. Rupanya mereka bertekad hancur bersama-sama……
Tung…. terdengar pula genderang itu meletup. Kali ini lebih hebat dari tadi.
“Celaka, malam ini habislah riwayat kita.” diam-diam Jenggot perak menghela
napas. betapapun ia berusaha untuk menolak, namun talu genderang itu tetap
melengking tajam menembus dinding pertahanannya. Dadanya terasa sesak,
darah bergolak keras, sehingga kakinya pun terhuyung. Orang yang tak tinggi
kepandaiannya, pasti akan binasa seketika itu juga.
Thian-leng dan Bok Sam-pi masih terbenam dalam adu tenaga dalam. Rupanya
mereka tak menghiraukan perobahan yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba
genderang itu makin gencar. Tung...tung....tung.....tung...... deras bagaikan hujan
dicurahkan. Bluk, bluk, bluk... satu demi satu anak buah Thiat-hiat-bun dan Hek
Gak susul menyusul roboh ke tanah.. Dan paling akhir adalah ketua Hek Gak
sendiri serta Jenggot perak yang tak dapat bertahan lagi. Keduanya jatuh terduduk
di tanah. Bagaimana keadaan Bok Sam-pi dan Thian-leng, tak dapatlah mereka
mengetahui lebih jauh.
Ternyata Thian-leng dan Bok Sam-pi pun mengealami nasib yang hebat. Pada
saat genderang bertalu gencar, keduanya terlempar sampai dua tombak jauhnya
dan tak ingat diri lagi.
Sebenarnya mereka sudah tak kuat lagi. Tetatpi emreka memaksakan diri untuk
bertempur terus. Sampai akhirnya, habislah sudah pertahanan mereka. Pancaran
tenaga dalam mereka menimbulkan tenaga membalik yang membuat mereka
terpental.......
Usianya paling banyak baru sebelas-duabelas tahun. Seorang dara belia yang
berwajah cantik berseri. Dalam pakaian warna merah makin menonjollah
kecantikannya!
Sekalian orang tak mengetahui apa yang terjadi pada saat itu. Satu-satunya yang
samar-samar masih dapat melihat ialah Jenggot perak Lu Liang-ong. Namun
karena tenaganya punah dan kaki tangannya lemas, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Berselang beberapa saat, Jenggot perak loncat bangun. Dialah orang pertama
yang dapat bangun. Kemudian ketua Hek Gak, lalu keempat su-kiat dari partai
thiat-hiat-bun. Sejam kemudian barulah anak buah Thiat-hiat-bun dan hek gak.
Jenggot perak tegak berdiam diri. Tampaknya seperti menyalurkan tenaga dalam
untuk memulihkan diri. Tetapi sebenarnya ia tengah merenung keras. Pikirannya
bekerja keras untuk mencari tahu siapakah dara berbaju merah itu. Jelas bahwa
bunyi genderang itu mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Dan yang
paling istimewa, dara itu pandai sekali menyusupkan bunyi genderangnya di kala
pikiran oeang sedang kosong. Andaikata dalam keadaan biasa, tidak sedan
mencurahkan perhatian pada Bok Sam-pi dan Thian-leng yang sedang mengadu
tenaga dalam, mungkin ia dan jago-jago Thiat-hiat-bun tak semudah itu dijatuhkan
oleh genderang si dara.
Namun ia tetap mengagumi si dara. Dara itu baru berumur duabelasan tahun,
tetapi sudah sedemikian hebat, apalagi orang tuanya, tentulah sakti luar biasa.
Betapapun Jenggot perak menggali ingatannya, namun tak dapat juga ia
mengetahui siapa gerangan si dara itu.
Saat itu sekalian orang pun sudah lama sadar. Tetapi mereka terkesima. Tiba-tiba
ketua Hek Gak lari menubruk tubuh Bok Sam-pi. “Bok cong houhwat, suhu.... “
melihat keadaan gurunya ia tak tahan lagi berteriak-teriak seperti orang kalap.
Kaki dan tangan jago tua itu kaku. Daya menolak dari tenaga dalam thian-leng
telah membuat organ dalam tubuhnya terluka parah. Wajahnya pucat seperti
kertas, napasnya lemah. Keadaannya seperti lilin yang tertiup angin……
Ketua Hek gak berbalik diri dan menatap Jenggot perak, serunya, “Mana
orangmu?”
“Lenyap!” ketua hek gak tersentak kaget. Gurunya terluka parah dan pemuda itu
lenyap. Apakah pemuda itu benar-benar lebih sakti dari Bok Sam-pi?
Dan……. dan bunyi genderang tadi! Mengapa begitu hebat perbawanya sehingga
dapat merobohkan sekalian orang. Ajaib sekali! Siapakah gerangan yang
membunyikannya?
Ketua Hek Gak pun tak lepas dari mencari-cari. tetapi ia pun tak dapat menduga-
duga siapakah si pemukul genderang ajaib itu. Hanya satu hal yang melegakan
hatinya, ialah orang itu terang tak bermusuhan dengan pihak Thiat-hiat-bun
maupun Hek Gak.
Kelegaan hatinya hanya sesaat, karena pada lain saat timbullah kecemasannya
pula. Tiang andalannya ialah Bok Sam-pi. Kini gurunya itu terluka parah, apabila
Jenggot perak memerintahkan anak buahnya menyerang, bukankah......
“Apa yang terjadi malam ini benar-benar di luar dugaan!” ia tutup kecemasan
hatinya dengan tertawa terpaksa.
“Benar,... memang tak terduga-duga, ” sahut Jenggot perak dengan tertawa lesu
juga. Tiba-tiba ia menyadari maksud ketua Hek Gak. Buru-buru ia menyusuli kata-
katanya, “Tak nanti aku menyerang secara hina, silakan kalian pergi!”
Lega hati ketua Hek Gak, serunya, “Bagaimanapun juga Hek Gak dan Thiat-hiat-
bun tak dapat hidup bersama. Kelak kita selesaikan perhitungan lagi!”
Jenggot perak tertawa hambar, “Berani masuk ke daerah tionggoan, berati berani
menangung resikonya. Di mana dan kapan saja aku selalu melayani
kehendakmu!”
“Ingatlah, kelak Hek Gak tentu akan mencucui bersih hinaan dua hari dua malam
ini!” ketua Hek gak tertawa dingin. Habis itu segera ia mengajak anak buahnya
pulang. Bok Sam-pi disuruhnya digotong.
Jenggot perak tertawa, “Kau mengukur baju orang dengan badanmu sendiri!
Sekali kukatakan boleh pergi, tentu takkan kurintangi lagi. tetapi……….” ia tertegun
sejenak, katanya pula. “Tahun depan bulan satu tanggal lima belas, aku hendak
menyelenggarakan rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Hendak
kuundang sahabat-sahabat dunia persilatan Tiong-goan. Kuharap kau juga hadir!”
Ketua Hek Gak tertegun, ujarnya, “Asal kau masih dapat hidup sampai saat itu, aku
pasti datang!”
Jenggot perak tertawa, “Akan kuberi kesempatan besar, tentulah kau datang!”
“Kesempatan apa yang kau berikan padaku itu?” ketua Hek Gak heran.
Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak, saat itu baru dapat dibuktikan. Silakan
pergi, jangan tunggu lama-lama di sini. Siapa tahu nanti hatiku berobah!”
Dengan menahan kemarahan, ketua Hek Gak segera melanjutkan perjalanan. Kini
yang tinggal di lapangan hanyalah rombongan Thiat-hiat-bun. Setelah merenung
beberapa lama, Jenggot perakpun hendak mengajak rombongannya pergi.
Tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan. Walaupun terpisah berpuluh-puluh tombak
jauhnya, namun dengan ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi, dapatlah ia
menangkap gerak-gerik mereka. Seharusnya ia tahu bahwa ketiga orang itu Siau-
bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat. Tetapi karena seluruh perhatiannya
ditumpahkan pada kejadian di lapangan, maka ia tak mengetahui tempat
persembunyian mereka.
Jenggot perak tertawa meloroh dan segera mengangkat bangun nona itu, “Ah,
kau…… sudah tahu bukan?”
“Aku bukan seorang tolol. Tetapi …… selama kakek tak mau mengakui diriku,
akupun tak mau minta kasihan!”
„Ah, karena kakek tak suka melihatku, akupun hendak pergi saja!“ Siau-bun terus
hendak berputar diri.
“Kakek tak mau mengakui aku, perlu apa menahan?” lengkingnya dengan sikap
aleman.
“Siapa bilang kakek tak mau mengakui kau?”Jenggot perak tertawa. Tiba-tiba
iamenarik nona itu ke dalam pelukannya. Dibelai-belainya rambut dara itu dengan
penuh kasih sayang. Dan tanpa dapat ditahan dua butir air mata mengucur keluar
dari kelopak jago tua itu..................
Sekalian anak buah Thiat-hiat-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat hanya
mengawasi adegan itu tanpa berani berkata apa-apa.
Sampai beberapa lama kemudain barulah Siau-bun melepaskan diri dari pelukan
kakeknya itu.
“Kek....., ” serunya lembut.
“Hm……”
“Bilanglah!”
“Kemankah Bu Beng-jin?”
“Bu Beng-jin?” Jenggot perak terbeliak, “mengapa kau menaruh perhatian pada
Bu Beng-jin?”
oo000000oo
Wajah Jenggot perak pucat lesi, serunya agak gugup, “Dia .....dibawa lari oleh
seorang dara baju merah!”
“Benar, dia telah dilarikan……. tetapi rupanya orang itu tak bermaksud jahat dan
memang bermaksud menolong………….”
“Kutanggung pemuda itu tentu takkan mati……Ah, jangan banyak bertanya ini itu
dulu. Aku hendak bertanya padamu………… tetapi jangan bohong!”
“Silakan!”
Wajah Siau-bun memerah, “Kau anggap aku anak perempuan yang bagaimana.
Mengapa kau masih tak sungkan menanyakan begitu? Aku….. aku tak mau hidup
lagi, kek!” tiba-tiba ia menangis dan mengayunkan tangannya hendak menampar
batok kepala sendiri.
“Ah, akulah yang bersalah. Kukuatir kelak masih akan timbul kesulitan lagi!”
Jenggot perak menghela napas.
Sambil meronta dari pelukan kakeknya, Siau-bun berseru, “Kakek bersalah? Akan
timbul kesulitan?”
“Masakah kakek tak kenal akan perangai ibu? Jika ia tak setuju, masakah aku
berani……..”
“Ya, ya…. mungkin hal ini sudah suratan takdir. Kukuatir kalian akan menghadapi
kehebohan!” Jenggot perak tertawa datar.
Tetapi saat itu Siau-bun tetap gelisah. Siapakah dara baju merah yang melarikan
Thian-leng itu.
Apakah maksudnya? Namun ada sedikit hal yang melonggarkan perasaan Siau-
bun, ialah Thian-leng tentu tak mati. Dengan terpilihnya pemuda itu sebagi
pewaris It Bi siang-jin, tentulah sudah diramalkan jelas bahwa pemuda itu takkan
berumur pendek.....
“Selamat tinggal kek, harap kakek baik-baik menjaga diri.” Siau-bun terus
melangkah pergi. Im Yang song-sat pun segera mengikutinya.
“Sejak kecil kita tak pernah berjumpa. Kali ini kita tentu dapat bermain-main
dengan gembira!”
“Sejak kecil ia sudah kehilangan ayah bunda dan ikut aku sampai besar. Dia,,,,,
sungguh kasihan sekali!” kata Jenggot perak dengan nada berat.
Siau-bun tertegun. Tak tahu ia apa yang tersembunyi dalam kata-kata kakeknya
itu. Namun ia segera menjawab dengan hati lapang, “Harap kakek jangan kuatir,
aku tentu ekan memperlakukannya dengan baik sebagai adikku sendiri!”
Jenggot perak menghela napas, “Jangan mendesak aku, pokoknya kau harus
ingat permintaanku ini!”
Siau-bun tak mau mendesak. Ia pura-pura mengerti, Baik kek. Apakah masih ada
pesan lain lagi?”
“Masih,” kata jenggot perak, “karena sejak kecil adik misanmu itu kumanjakan,
perangainyapun kurang baik. Kau lebih besar, sebagai cici harap kau suka
mengalah sedikit…..”
Dengan diikuti kedua suami isteri Im Yang song-sat, Siu-bun segera pamit. Dalam
beberapa loncatan saja mereka sudah lenyap.
Jenggot perak menghela napas. Iapun segera memberi isyarat kepada anak
buahnya. Tetapi langkah kakinya terasa berat. Selangkah demi selangkah ia
berjalan seperti orang kehilangan semangat.
Keempat Su-kiat, ketiga puluh enam Thian-kong, ketujuh puluh dua Te-sat dan
anak buah Thiat-hiat-bun tahu juga akan kesulitan yang dihadapi ketuanya. tetapi
mereka tak berani mengucapkan apa-apa.
oo0000000oo
Thian-leng yang pingsan karena terluka dalam itu, setelah berselang beberapa
lama, barulah dapat juga tersadar. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa
yang dialami tadi. Pada saat tenaga dalamnya hampir habis, tiba-tiba terdengar
genderang dipukul dan tak ingatlah lagi ia apa yang terjadi selanjutnya……
Gubuk itu tertutup rapat. Tiada seorangpun ada di situ. “Heran, siapakah yang
menolongku ini?” demikian pertanyaan yang meliputi pikirannya.
Tiba-tiba ia terkejut sekali. matanya tertumbuk pada sebuah genderang kecil yang
tergantung di sudut dinding. Pikirannya segera melayang-layang.
“Apakah pemilik gubuk ini, benar-benar dia.....”, baru ia memikir sampai sampai di
situ, tiba-tiba pintu dibuka orang.
Samar-samar Thian-leng melihat seorang dara berbaju merah menerobos masuk.
Usianya baru belasan tahun, rambut dikuncir, kulit mukanya berwarna merah
segar. Dalam pakaian warna merah, dara itu tampak menyala sekali.
“Kau sudah bangun?” dara itu terkejut begitu melihat Thian-leng tersadar.
“Jangan banyak bicara dulu, minumlah obat ini,” kata si dara itu seraya
menghampiri. ternyata ia membawa sebutir pil putih dan disisipkan ke mulut Thian-
leng.
Dara itu lincah dan ramah. Thian-leng menerima saja. Pil terus ditelannya.
“Eh, kau minum pil tanpa diantar air?” dara itu tertawa bertepuk tangan.
“Sungguh,” kata dara itu dengan nada sungguh-sungguh, “sekarang sudah akhir
bulan sebelas,s ebulan lagi bakal tahun baru…….” tiba-tiba wajah dara itu berseri
girang, serunya, “Tahun baru yang lalu, hanya aku dan ayah yang merayakan.
Tetapis ekarang kita akan merayakan dengan ramai. Selain kau, juga kedua enci
Ki juga..... ”
“Maaf, aku tak dapat melewatkan tahun baru di sini. Aku masih punya banyak
urusan dan harus segera pergi,” tukas Thian-leng.
“Mana bisa,” dara itu tertawa, “lukamu masih belum sembuh. Lewat tahun baru,
baru kau sembuh sama sekali!”
“Aku sendiri!”
“Kau?” Thian-leng menatap dara itu tajam-tajam, lalu melirik pada genderang di
dinding, “Genderang itu kepunyaanmu?”
“Dulu semasa hidupnnya, nenek telah membuat nama yang termashyur sekali,
digelari sebagai Sin-ko-sian-poh,….” dara itu memandang sejenak wajah Thian-
leng. Rupanya ia yakin Thian-leng tentu akan menunjukkan kekaguman. Tetapi di
luar dugaan Thian-leng
menggelengkan kepala. Ia tak kenal siapa Sin-ko-sian-poh ( Dewi genderang
sakti ) itu.
“Ibuku juga sudah meningal dunia,” kata dara itu dengan rawan, “Aku hanya hidup
bersama kakek. Kakek membawaku ke Tiong-goan!”
“Bukan, tetapi kakek bangsa Han..... aku berasal dari daerah ajauh, di padang
pasir yang tak dihuni orang. Dari sana kemari memerlukan perjalanan tiga hari tiga
malam.”
Mendengar cerita itu, diam-diam timbullah rasa kasihan Thian-leng pada si dara.
Neneknya pasti mati kemudian ibunya. Dia kini hidup sebatang kara ikut pada
kakeknya. Ah, nyata di dunia ini banyak sekali manusia-manusia yang menderita!
“Ayahmu?” tanyanya.
“Dia sedang keluar mengurus suatu hal, mungkin juga segera akan pulang,” dara
itu buru-buru menyahut, “eh siapakah namamu? Bagaimana seharusnya aku
memanggilmu?”
Thian-leng mengerutkan alisnya, “Aku tak punya nama , panggil saja Bu-beng-
jin....”
“Ih, mengapa orang tak punya nama, bohong!” dara itu melengking.
Thian-leng menghela napas, “Tidak, aku tak bohong. Memang dulu aku punya
nama, tetapi nama itu palsu......, ah, jika kututurkan hal itu kepadamu, kaupun tentu
tak mengerti juga.......”
“Ih, mengapa nama ada yang palsu? Siapakah nama palsumu itu?” si dara
semakin heran.
( bersambung ke jilid 22 )
Jilid 22 .
“Kang Thian-leng? Ah, merdu juga kedengarannya,” tiba-tiba dara itu berseru
gembira, “begini saja, kuanggap kau sebagai kaka angkatku. Kau pakai saja she
keluarga kami, mau?”
“Tentu saja aku suka mendapatkan seorang adik seperti kau. Ya, ya, baiklah. Tapi
siapakah namamu?”
“Kau setuju?” dara itu melonjak-lonjak gembira sekali seperti anak kecil mendapat
permen, “keluargaku orang she Pok. Namaku Pok Lian-ci, tetapi ayah selalu
memanggilku Ang-ko ( si merah). Kau pun boleh panggil Ang-po saja!”
Pedang bebas.
“Kau sudah pulang, yah!” teriak Ang-ko seraya menubruk dada sasterawan
setengah umur itu. “Dia sudah sadar dan kuangkat sebagai engkoh. Kau tetntu
suka, bukan?”
Sasterawan setengah umur itu tertawa. Dibelainya rambut si dara itu dengan
penuh kasih,“Sudahlah jangan ribut-ribut............. ”
Mata sasterawan itu itu menuju ke Thian-leng yang gagal bangun. Tangan dan
kaki Thian-leng lemas tak bertenaga. terpaksa ia rebah lagi.
“Pok cianpwe, maaf aku tak dapat bangun menghaturkan hormat..... ” serunya.
Kini barulah Thian-leng dapat memandang jelas wajah sasterawan itu. Seorang
lelaki cakap dan berwibawa. Hidung mancung, mulut lebar, mata bundar dengan
sepasang alis tebal. Hanya sayang pada gumpalan alisnya terdapat dekik warna
gelap dan kerut-kerut tanda ketuaan. Seri wajahnya sunyi dan rawan.
“Dia bernama Kang Thian-leng, tetapi katanya nama itu palsu dan tak dipakainya
lagi. Karena sudah jadi engkoh angkat, diapun memakai she keluarga kita.” si dara
menyeletuk.
“Tidak, memang wanpwe sendiri senang dengan setulusnya. Kalau Pok cianpwe
mengatakan begitu, berarti cianpwe tak mau menerima diri wanpwe!”
Sasterawan itu terpaksa mengalah. Kemudian ia menanyakan diri anak muda itu.
Thian-leng menuturkan riwayat hidupnya dengan terus terang.
“Dulu aku sedih karena tak punya she, tetapi kini aku girang sekali memakai she
Pok. Pok Thian-leng!” kata Thian-leng.
“Aku Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng,” tanpa menunggu jawaban Thian-
leng, sasterawan itu memberi keterangan sendiri.
Menurut keterangan Nyo Sam-koan, sepasang suami isteri Pok Thiat-beng dan
Toan-jong-jin itu retak hubungannya akibat salah paham. Dan hal itu akibat
rencana busuk yang dilakukan oleh Ma Hong-ing.
“Gihu (ayah angkat), aku hendak mohon tanya sedikit hal!” akhirnya Thian-leng
membuka mulut.
“Silakan!”
Mendengar itu Ang-ko tercengang. Tak tahu ia apa maksud pertanyaan engkoh
angkatnya itu.
Pok Thiat-beng pun terkesiap lalu menyahut dengan terbata-bata, “Giok.... lo.....
hong.....”
Seketika berobah wajah Pok Thiat-beng. Segera ia megerti apa maksud Thian-
leng. Setelah merenung sejenak, ia berpaling kepada Ang-ko yang terlongong-
longong, “Coba tengoklah kedua taci beradik Ki, apakah nasi sudah masak?”
“Ya, ya, kalian hendak bicara rahasia yang tak boleh kudengarkan……..” Ang-ko
mencibirkan bibir. Dara yang masih kekanak-kanakan itu tiba-tiba bertepuk tangan
dan tertawa. “Ai, benar… benar, aku memang hendak memberitahukan kedua cici
itu!”
“Maksudmu Giok-bun, apakah dia tak kurang suatu apapun?” belum Thian-leng
menyelesaikan kata-katanya, Pok Thiat-beng sudah menukasnya.
“Beliau baik-baik saja,” buru-buru Thian-leng menyahut, “hanya saja beliau setiap
saat selalu mengenangkan gihu. Karena kejadian yang lalu itu ternyata hanya
suatu kesalah-pahaman saja.....”
“Gi-bo suruh aku mencari berita di mana gihu berada.” kata Thian-leng pula,
“apabila bertemu supaya menyampaikan pesan beliau agar gihu suka
menemuinya di puncak Giok-lo-hong........” ia berhenti sejenak, katanya pula. “Gi-
bo tak mau mengatakan dirinya dengan terus terang dan menyamar sebagai
seorang nenek berambut putih yang bernama Toan-jong-jin. Tetapi dari pesan itu
dapatlah kuketahui bahwa beliau memang sungguh-sungguh terkenang pada gi-
hu!”
Pok Thiat-beng menundukkan kepala, karena ia malu diketahui bahwa dua butir
air mata telah mengalir dari pelupuk matanya.
“Apakah ia benar telah melupakan peristiwa yang lampau?” katanya dengan suara
tersekat.
Pok Thiat-beng menghela napas, “Tidak, aku tak menyangsikannya, tetapi aku …..
telah berbuat hal yang menyalahinya. Pada waktu itu seharusnya aku menyelidiki
dulu dan selama tujuh belas tahun itu seharusnya aku mencarinya…..dan..
dan….akupun telah menikah lagi…..”
Setelah berhenti beberapa saat, barulah jago pedang itu berkata pula, “Karena itu,
maka aku tak berani bertemu muka dengannya!”
“Aku berani memastikan bahwa tak sedikitpun gi-bo pernah melupakan gi-hu.
Sudah tentu beliau tidak marah kepada gihu. Tahukah gi-hu bahwa beliau
tinggal…..” tiba-tiba Thian-leng tak melanjutkan kata-katanya. Karena ia merasa
salah omong. Dia sendiri tak tahu di mana tempat tinggal Toan-jong-jin dan Cu
Siau-bun. Teringat nona itu, hatinya terasa tersayat dan pikirannya segera
melayang ke peristiwa yang dialami baru-baru ini. Ketika ia pingsan dalam adu
tenaga dalam dengan Bok Sam-pi, ia ingat si Jenggot perak masih tantang-
tantangan dengan ketua Hek Gak. Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-
sat bersembunyi di sekitar tempat itu. Tetapi ketika ia sadar, orang-orang itu sudah
lenyap…..
“Apakah gi-hu tak pernah berjumpa dengan ketua Thiat-hiat-bun si Jenggot perak
itu?” tanya Thian-leng.
“Aku tak tahu bagaimana pandangannya terhadap diriku. Tetapi karena aku
menikah dengan gi-bomu hanya setahun lalu berpisah, mungkin dia ( Jenggot
perak ) tak dapat memaafkan aku….”
“Asal dapat bertemu dengan orang tua itu, tentu dapat menanyakan tempat tinggal
gi-bo. Dan jika gi-hu dapat bersatu lagi dengan gi-bo, beliau tentu girang sekali
dan takkan membenci gi-hu!” kata Thian-leng
“Ah, temponya terlalu lama, delapan bulan siapa tahu……” tiba-tiba Thian-leng
membuka mulut lagi, tetapi secepat itu pula ia berhenti. Rupanya ia merasa
kelepasan omong.
“Selain itu, masih ada satu daya……” tiba-tiba Pok Thiat-beng berkata sambil
tertawa rawan.
Pok Thiat-beng menghela napas. “Menurut apa yang kuketahui, gi-bomu telah
pergi ke gunung Tiam-jong-san….”
Mendengar itu hati Thian-leng gelisah sekali. Ternyata Pok Thiat-beng sudah
mengetahui tentang kejadian di luaran. Apakah jago itu mengetahui juga tentang
hubungannya dengan Siau-bun?
“Kalau begitu, silakan gi-hu segera menuju ke Tiam-jong-san saja.” Thian-leng tak
menghiraukan dirinya. Pokoknya asal kedua suami isteri itu dapat bersatu padu
lagi.
Pok Thiat-beng menghela napas, “Tetapi aku masih mempunyai keresahan, ialah
tentang Ang-ko…..Selama ini dia tak kuberitahukan hal itu, bahkan mendiang
mamanyapun tidak tahu. Mungkin perasaan anak itu akan tersinggung…..”
“Ang-ko cerdas dan lapang hati. Biarlah aku yang memberitahukan hal itu, rasanya
dia tentu....... ” belum selesai Thian-leng berkata, Pok Thiat-beng sudah menukas,
“Baik, aku akan ke Tiam-jong-san, tetapi,.......ah, nanti saja bila lukamu sudah
sembuh. Sesudah tahun baru , baru aku berangkat!”
“Keputusanku sudah tetap, jangan banyak bicara lagi!” berkata Pok Thiat-beng,
“kau menderita luka dalam yang parah, masih memerlukan perawatan yang
teratur........mereka datang!” tiba-tiba Pok Thiat-beng berseru.
“Yah, nasi sudah masak..... hari ini engkoh Leng pun boleh makan nasi!”, masih di
luar kamar si dara Ang-ko sudah berteriak. Dan sesaat kemudian muncullah ia
bersama dua orang nona yang membawa hidangan.
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Kedua nona itu bukan lain ialah Ki Gwat-wan
dan Ki Seng-wan. Dan kedua nona itupun girang karena Thian-leng sudah sadar.
Mereka mencuri lirik sejenak, lalu menunduk tersipu-sipu.
Adalah Thian-leng yang menegur dulu, menanyakan keadaan mereka selama ini
dan luka Ki Seng-wan.
“Untunglah Pok tay-hiap memungut kami sebagai anak angkat, sehingga kini kami
mempunyai tempat meneduh yang tetap. Oleh karena usia kami lebih tua, baiklah
kau panggil taci kepada kami!” kata Ki Gwat-wan lebih lanjut.
“Baiklah,” Thian-leng tertawa meringis, “nanti setelah lukaku sembuh, tentu akan
kuberi hormat kepada taci berdua!” Dia percaya keterangan nona itu tentu tak
bohong.
“Dulu aku seorang diri, sekarang aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang
taci….” Ang-ko berseru dengan melonjak-lonjak kegirangan. Ia mendekap dada
ayahnya, “Yah, kaupun harus bergembira!”
Sekalipun berseri girang, namun lekuk alis jago pedang itu mengerut kedukaan
yang dalam.
“Setelah berpisah, apakah kau masih ingat kepada kami berdua?” tiba-tiba Ki
Gwat-wan bertanya.
“Hai, mengapa kau tersendat-sendat? Lekas bilang, kau pernah teringat kedua taci
ini atau tidak?” tiba-tiba Ang-ko membentak.
Thian-leng sebenarnya sukar untuk mengutarakan hal itu. Terus terang sejak
berpisah, ia tak ingat lagi kepada kedua nona Ki itu.
“Sejak berpisah, aku selalu menghadapi bahaya maut, sehingga tak pernah
mengingat mereka lagi…..” akhirnya Thian-leng terpaksa menerangkan.
Gwat-wan tak menghiraukan anak muda itu. Tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pok
Thiat-beng. Sudah tentu Pok Thiat-beng tersipu-sipu mengangkatnya bangun,
“Kalau ada persoalan, katakanlah…..”
“Katakanlah!”
Ki Seng-wan tersipu-sipu malu, ujarnya rawan, “Perlu apa mengungkit hal yang
sudah lampau?”
“Apa? Hal yang sudah lampau? Tetapi hal itu menyangkut nasibmu. Sekalipun kau
sanggup menderita, tetapi aku sebagai taci tak dapat melihat kau tersiksa!”
“Eh, apa saja? Bilanglah, nanti dapat kuputuskan!” desak Pok Thiat-beng.
“Tentang diri adik Seng-wan itu. Pada suatu hari ketika lewat di lembah Hong-lim-
koh, kami melihat sesosok....... ” ia berhenti sejenak, melirik ke arah Thian-leng,
katanya pula, “ dikata mayat, tapi sebenarnya masih hidup. Hanya orang itu sudah
sehari semalam menggeletak di muka lembah. Kaki tangannya kaku, napasnya
hampir habis. Paling banyak dia hanya dapat hidup sejam dua jam lagi.....”
“Aku sih tak punya hati sebaik itu. Jika menurut kehendakku mungkin saat ini kau
sudah menjadi tumpukan tulang..... ” Gwat-wan tertawa dingin.
“Apakah gi-hu tahu cara pertolongan dengan ilmu Hian-im-kiu-coan itu?” tanya Ki
Gwat-wan.
Ki Seng-wan masih tetap berlutut dan Pok Thiat-beng terdiam. Ruangan hening
lelap.
“Gwat-wan …. bangunlah!” beberapa saat kemudian Pok Thiat-beng berseru.
“Cici, hidangan sudah dingin, engkoh akan kuberi makan!” tiba-tiba Ang-ko
melengking.
“Tak usah, mungkin dia tak bernapsu makan malam ini. Mari kita ke ruang
belakang!” sahut Ki Gwat-wan. Ia terus ajak dara itu menuju keluar.
Tak berapa lama, ruangan itu menjadi sunyi.
ooo000ooo
Waktu berjalan laksana anak panah terlepas dari busur. Cepat sekali tahun
barupun sudah tiba.
Tetapi benarkah begitu? Tidak, tidak! Ketenangan itu hanyalah suatu persiapan
dari banjir darah yang akan melanda dunia persilatan!
Rapat pertemuan orang gagah itu akan diselenggarakan di markas partai Tiam-
jong-pay pada bulan satu tanggal lima belas. Disebut perjamuan, tetapi tak ada
acara hidangannya. Baru pertama kali itu dalam sejarah dunia persilatan
menerima undangan yang seaneh itu. Dan perhatian kaum persilatan segera
tertumpah pada markas Hun-tiong-hu!
Apakah tokoh Hun-tiong Sin-mo yang menjagoi dunia persilatan selama enam
puluh tahun itu juga menerima undangan? Dan kalau menerima apakah dia akan
menghadiri?
Pecah berita yang menambah keseraman suasana. Yakni ada orang yang
menyaksikan sendiri pihak Hun-tiong-hu telah menyebar anak buahnya
berbondong-bondong menuju ke gunung Tiam-jong-san. Rombongan anak buah
Hun-tiong-hu itu mengenakan pakaian aneh dari berbagai corak.
Berita yang lebih mengejutkan lagi telah tersiar, bahwa rombongan Hun-tiong-hu
itu telah disambut dengan penuh penghormatan oleh pihak Tiam-jong-pay.
Setelah Hun-tiong-hu, sasaran kedua yang diperhatikan kaum persilatan ialah Sin-
bu-kiong.
Peristiwa Sin-bu Te-kun dihajar oleh Bu-beng-jin di gunung Thay-heng-san telah
menjadi buah pembicaraan luas di kalangan persilatan. Bahwa Bu-beng-jin telah
menerima ilmu pelajaran dalam kitab peninggalan It Bi siangjin pun telah diketahui
oleh kaum persilatan.
Apakah Sin-bu-kiong akan menghadiri rapat itu? Ah, kali ini Sin-bu-kiong benar-
benar dihadapkan pada persoalan yang pahit. Kalau tak hadir, tentu dianggap
menyerah kalah. Namun kalau hadir, tentu akan menghadapi bahaya kekalahan
yang fatal.
Pihak pengundang ialah Thiat-hiat-bun, sebuah partai persilatan yang kuat dan
berpengaruh. Apa lagi dibantu oleh Hun-tiong Sin-mo, ah, benar-benar ngeri.
Hari itu adalah malam widadari ( malam sehari sebelumnya ) dari rapat besar
orang gagah di gunung Tiam-jong-san….
Heboh!
Tanggal satu bulan satu.
Gunung Tiam-jong-san ramai sekali. Orang datang berbondong-bondong dari
seluruh penjuru. Kesibukan tampak nyata. Mulai dari markas besar Tiam-jong-pay
yang terletak di muka puncak Lok-he-hong sampai turun ke kaki gunung, telah
dihias dengan lampu warna-warni yang gilang-gemilang.
Perjamuan atau pertemuan orang gagah yang diselenggarakan saat itu, bukan
saja merupakan lembaran baru dari sejarah partai Tiam-jong-pay, tapi juga
merupakan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan!
Para tokoh-tokoh gagah dari empat penjuru gunung dan delapan pelosok daerah
di seluruh negeri, sama datang hadir.
Anak buah Tiam-jong-pay bekerja keras dan teratur, sehingga banjir tamu itu
dapat diatur rapi.
Banyak tafsiran dan dugaan telah dilontarkan. Tetapi sedikit orang yang tahu
bagaimana sesungguhnya hubungan antara ketua Thiat-hiat-bun dengan ketua
Tiam-jong-pay itu. Mengapa Li Cu-liong begitu menghormat sekali terhadap
Jenggot perak Lu Liang-ong….
Yang tahu akan rahasia mereka hanyalah sedikit sekali, bahwa Li Cu-liong itu
sebenarnya adalah anak angkat dari Lu Liang-ong.
Sekilas pandang, pertemuan itu merupakan suatu perjamuan besar. Suatu pesta
ria antara kaum persilatan. Tetapi sebenarnya pertemuan itu membawa arti yang
besar. Merupakan suatu pertemuan yang memastikan. Barangsiapa yang berhasil
merajai pertemuan itu, dialah yang akan dinobatkan sebagai yang dipertuan
dalam dunia persilatan!
Bagi setiap orang persilatan yang hadir dalam pertemuan itu segera mencium bau.
Regu rahasia itu bukan lain adalah jago-jago dari Hun-tiong-hu yang berilmu
tinggi.
Apakah Hun-tiong Sin-mo juga hadir?
Adanya regu rahasia dari Hun-tiong-hu itu menyebabkan setiap tamu tak berani
sembarangan bergerak kemana-mana. Mereka takut menghadapi hal-hal yang tak
diinginkan.
Hjek Gak muncul kembali setelah memendam diri selama enam puluh - tujuh
puluh tahun.
Kembalinya Hek Gak di dunia persilatan itu tentu dengan tujuan besar, dan tujuan
besar itu jelas ditunjukkan pada hiasan pagar tembok markasnya.
Di sekeliling pagar tembok markas Hek Gak, penuh digantung patung-patung
tokoh persilatan yang ternama. Tokoh-tokoh itulah yang hendak dilenyapkan. Dan
sekali muncul, ketua Hek Gak tentu sudah mempersenjatai diri dengan ilmu
kepandaian yang sakti.
Antara lain misalnya, cukup dengan mengandalkan tenaga dari Ang-tim-gong-
khek Bok Sam-pi yang menjabat sebagai Cong-hou-hwat Hek Gak saja, cukuplah
sudah menundukkan jago-jago persilatan yang manapun juga. Munculnya Hek
Gak benar-benar merupakan ancaman besar di dunia persilatan.!
Sementara mengenai diri Sin-bu Te-kun, dia sebenarnya adalah Song-bun Kui-
mo, salah seorang dari kui-mo yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Di
samping Hek Gak, Sin-bu-kiong pun merupakan momok yang menyita perhatian
besar.
Membicarakan Hek Gak dan Sin-bu Te-kun, orang tak dapat lepas dari
membicarakan Hun-tiong Sin-mo. Selama lebih dari enam puluh tahun lamanya,
setiap bulan sembilan tanggal lima belas, markas Hun-tiong-hu selalu menerima
kedatangan jago-jago yang hendak menantang bertempur. Selama enam puluh
tahun, entah sudah berapa banyak jago-jago yang harus menderita kekalahan
pahit. Mereka yang berani datang, tentu tak pernah pulang lagi!
Selama enam puluh tahun, Hun-tiong Sin-mo telah menjagoi dunia persilatan.
Beberapa bulan yang lalu, di dunia persilatan telah timbul kehebohan. Di sana-sini
timbul pembunuhan dan pembunuhnya meninggalkan Panji tengkorak darah.
Rakyat dan dunia persilatan gentar. Mereka membenci Hun-tiong Sin-mo yang
diduga tentu melakukan keganasan itu.
Adalah karena pernah dikalahkan Hun-tiong Sin-mo, maka Hek Gak segera
bertapa selama enam puluh tahun. Dia hendak menuntut balas atas kekalahannya
dari Hun-tiong Sin-mo yang telah membuat cacat tubuhnya.
Tetapi di luar dugaan, kini muncul Thiat-hiat-bun. Partai dari luar Tiong-goan ini
muncul di wilayah Tiong-goan dan rupanya bersekutu dengan Hun-tiong Sin-mo.
Orang sama menduga, bahwa pihak Hun-tiong-hu tentu sudah berada lebih dulu
di Tiam-jong-san. Tidak menampilkan muka kepada para tamu, mungkin telah
direncanakan oleh hun-tiong Sin-mo dan thiat-hiat-bun. Sekaligus mereka hendak
menjaring seluruh tokoh-tokoh silat untuk dilenyapkan.
Apabila sampai pada kesimpulan itu, mau tak mau bergidiklah bulu roma sekalian
tamau. Dan yang lebih mencemaskan hati mereka, mengapa sampai detik ini Sin-
bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak muncul! Takutkah kedua tokoh itu?
Menurut perhitungan, tanpa hadirnya ketua Sin-bu-kiong dan Hek Gak, pasti akan
merupakan kehilangan yang besar. Sekalipun seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir
di tiam-jong-san itu bersatu padu menghadapi tantangan tuan rumah dan Hun-
tiong Sin-mo, namun mereka tetap seperti telor beradu dengan tanduk. Pasti
mereka akan dihancur -leburkan oleh momok Hun-tiong Sin-mo. Bayang-bayang
dunia persilatan bakal dikuasai oleh momok Hun-tiong Sin-mo makin jelas.
Ada lagi sebuah hal yang lebih merontokkan nyali sekalian tamu. Ialah tentang
pemuda Bu-beng-jin yang konon telah mendapat ajaran kitab pusaka It Bi siang-
jin. Pemuda itu memang sakti sekali. Pernah bertempur belum selesai dengan Sin-
bu Te-kun dan bertempur seri dengan sama-sama terluka melawan Bok Sam-pi.
Kemanakah beradanya pemuda itu sekarang? Apakah ia sudah mati atau masih
hidup?
Pemuda itu pernah membunuh orang-orang dari ke sembilan partai persilatan dan
ke sembilan partai persilatan menganggap pemuda itu sebagai anak buah Hun-
tiong Sin-mo, sehingga dipukul dan dilempar ke dalam sungai. Jelas pemuda itu
tentu mendendam. Jika ia muncul lagi di Tiam-jong-san, hebatlah akibatnya bagi
kesembilan partai persilatan.
Pembukaan
Di bawah naungan kabut rahasia yang penuh teka-teki, tibalah hari pembukaan
rapat orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Rapat yang sangat dinanti-nantikan
dengan penuh perhatian oleh seluruh kaum persilatan.
Momok hun-tiong Sin-mo yang menggetarkan dunia persilatan itu tak lain tak
bukan ialah Cu Giok-bun sendiri. Mengapa Giok-bun memakai she Cu dan
mengapa ia menjadi Hun-tiong Sin-mo, memang tak diketahui jelas.
Perundingan dalam kamar rahasia itu berlangsung dalam suasana yang sepi.
Rupanya mereka tengah menghadapi masalah berat. Beberapa saat kemudian
tiba-tiba Li Cu-liong membuka mulut, “Dari regu penyelidik yang pulang melapor,
pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak memperlihatkan gerakan apa-apa.
Kemungkinan besar mereka tak menghadiri rapat ini!”
Jenggot perak menghela napas perlahan, “ Pintar juga tindakan mereka itu,
tetapi..... ia tertawa datar, “mungkin perhitunganmu itu meleset!”
“Menurut pendapatku, bukan saja mereka akan datang, juga kedatangan mereka
itu tentu dengan tujuan jahat. Mungkin........” tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk,
tetapi belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ibunya sudah memutuskan ,
“Eh, apakah kau berhak bicara di sini?”
Siau-bun bungkam.
“Giok-bun, mengapa kau begitu keras terhadap anak!” Jenggot perak tertawa.
kemudian dengan pandangan ramah ia menatap Siau-bun, ujarnya, “Sebenarnya
dugaanmu itu tadi benar. Mereka pasti datang dengan berbekal rencana jahat.
Tetapi, ..eh, mengapa kau
dapat menduga begitu?”
Siau-bun hendak menyahut, tetapi didahului Lu Bu-song, “Itu mudah saja! Kalau
tidak masakah kakek tegang sekali sehingga memerintahkan supaya Tiam-jong-
san dijaga seketat ini?”
Kembali Jenggot perak tertawa keras, “Benar, benar jugalah. kalian memang anak
perempuan keranjingan.......” ketika memandang Cu Siau-bun, tiba-tiba Jenggot
perak berhenti bicara. Teringatlah ia akan kata-kata Siau-bun ketika berada di
gunung Thay-heng-san tempo hari. Ia telah meluluskan untuk menjodohkan Bu-
song dengan Bu-beng-jin. Siapa tahu ternyata sebelumnya Bu-beng-jin telah
mengadakan hubungan luar biasa dengan Siau-bun. Jenggot perak pedih hatinya
atas tindakan Bu-beng-jin yang beriman tipis itu. Bagaimana nanti dengan Lu Bu-
song.
Karena tak tahu apa yang sedang dipikirkan Jenggot perak saat itu, begitu tampak
wajah orang tua itu muram, diam-diam Li Cu-liong terkejut. Sejak kecil ia dipungut
anak oleh jenggot perak, maka tahulah ia bagaimana perangai ayah angkatnya
itu.
Menghadapi persoalan yang bagaimanapun beratnya, selalu Jenggot perak itu tak
acuh. Tetapi kalau saat itu tampak begitu gelisah, terang masalahnya genting
sekali.
“Mereka datang atau tidak, aku tak peduli. begitu perjamuan ini selesai, aku
segera mengajak Bu-song pulang ke Ling-lam lagi....” ia menghela napas, “Dunia
persilatan Tiong-goan bakal menjadi bagaimana, aku tak sudi mengurus lagi!”
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan nada rawan.
Li Cu-liong melongo. Ia tak tahu apa yang dimaksud dalam ucapan ayah
angkatnya itu. Suasana kamar rahasia itu diliputi oleh kerawanan.
“Apakah kata-kataku tadi belum jelas?” Jenggot perak menyeringai kepada Bu-
song.
Bu-song terkejut. Selama ini belum pernah kakeknya bersikap begitu kepadanya.
“Besok lusa, kita pulang ke Ling-lam dan takkan datang ke Tiong-goan lagi
selama-lamanya!” kata Jenggot perak dengan suara berat.
“Tidak apa-apa,” kata Jenggot perak dengan suara tetap, “kudapatkan dunia ini
kotor palsu, hati manusia banyak yang culas. Aku tak mau keluar ke dunia ramai
lagi selama-lamanya!”
“Eh, kek, mengapa hari ini? ” serentak Bu-song bangkit dengan kaget, “apakah
yang terjadi? Apakah ... ” cepat sekali dara itu mereka dugaan, jangan-jangan Bu-
beng-jin mendapat bahaya. Bukankah tempo hari kakeknya itu pernah
mengatakan bahwa pemuda itu lenyap di gunung Thay-heng-san?
Siau-bun mengulum lidah dan tertawa dingin, “Eh, Adik Song, siapakah yang
kaumaksudkan ‘dia’ itu?”
Sejenak Jenggot perak melirik kepada Siau-bun, ingin berkata tetapi tak jadi.
“Kek, aku bukannya anak kecil yang tak tahan menderita siksaan batin. Bilanglah,
apakah dia mati?” kembali Bu-song mendesak dengan garang.
Air mata yang sudah mengembang di pelupuk mata Bu-song segera melanda
keluar laksana banjir meluap.
Melihat itu hati Siau-bun pilu. Ia menundukkan kepala. Kedukaan kakek dan
cucunya itu benar-benar menyayat sanubari.
Tiba-tiba Bu-song mengusap air matanya dan berkata dengan suara gagah.
“Lebih baik mati, dia….. memang seharusnya dulu-dulu sudah mati!”
“Aku benci padanya. Sebenarnya akan kubunuh , syukur kalau dia sudah mati!”
Bu-song tertawa.
“Mengapa tidak ? Setelah rapat besok pagi selesai, kita segera pulang saja!”
“Kau toh sudah benci, buat apa menanyakan?” sahut Jenggot perak yang
sebenarnya tak tahu bagaimana keadaan Bu-beng-jin .
“Ah, aku hanya ingin tahu saja. Siapa tahu aku akan berterima kasih padanya.”
Jenggot perak terkejut melihat sikap cucunya yang tak wajar. Ia tertawa getir. “Bok
Sam-pi menjabat Cong-hou-hwat dari Hek Gak. Jika pihak Hek Gak berani datang,
sudah tentu diapun ikut serta!”
Bu-song mengangguk, “Baik, akupun hanya ingin tahu begitu saja. Sekarang
silakan membicarakan hal-hal lain yang penting.” Ia kembali duduk di tempatnya
semula. Wajahnya menyungging senyum yang aneh.
Beberapa kali sebenarnya Cu Siau-bun hendak membuka mulut, tapi tak jadi.
Sedangkan Thian-ik Sin-kay pun hanya terlongong-longong saja mengawasi
Jenggot Perak.
“Lekas katakan berita yang kau bawa kepada Lu lo-cianpwe!” perintah Thia-ik Sin-
kay.
“Benar, Sin-bu-kiong dan Hek Gak mengeluarkan beberapa jago-jago desa yang
sudah lama tak muncul,” sahut Nyo Bu-hiong.
Nyo Bu-hiong menyahut agak gugup, “ Ini….maaf, tecu kurang cermat, sehingga
tak menyelidiki asal-usul mereka. Hanya salah satu dikenal sebagai Cian-bin
cuncia….”
Kecuali Thiat-ik Sin-kay, sekalian orang yang berada dalam kamar rahasia itu
sama tercengang. Cian-bin cun-cia atau paderi seribu wajah, memang asing bagi
mereka. Namun dari reaksi Jenggot perak, jelas bahwa Cian-bin cuncia itu tentu
bukan tokoh sembarangan.
Sampai beberapa lama kemudian barulah jenggot perak menyuruh Nyo Bu-hiong
keluar.
“Anak tak kenal siapa Cian-bin cuncia itu Gihu… ” baru Li Cu-liong bertanya begitu
Jenggot perak sudah menukas. “Gelar Cian-bin cuncia itu diperoleh karena orang
itu benar-benar dapat berobah dalam seribu macam wajah. Sebentar menyaru jadi
pengemis, sebentar imam tua. Jadi pendek kata menyaru jadi orang apa saja dia
bisa. Ilmu kepandaian itu benar-benar menyesatkan orang..... ”
“Ah, kalau begitu pertempuran besok pagi sudah tentu akan membuat Lu lohiap
sibuk sekali,” seru Thiat-ik Sin-kay.
“Tetapi telah kukatakan tadi, begitu rapat besok pagi itu selesai, aku segera
kembali ke Ling-lam. Tetapi menilik gelagatnya, Sin-bu-kiong telah berhasil
menarik manusia belut itu dalam pihaknya. Siapa tahu rencanaku pulang akan
mengalami kegagalan, karen atulang-tulangku yang bangkotan ini bakal terkubur
di sini!”
Thiat-ik Sin-kay tertawa, “Ah, ucapan Lu lohiap itu terlalu meremehkan diri sendiri.
Jangankan Cian-bin cuncia belum tentu berani menghadapi engkau secara
terang-terangan, sekalipun berani tetap takkan menang. Kekuatiran Lu lohiap tak
beralasan....,” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Sekalipun aku si
pengemis tak berguna ini, juga belum tentu begitu mudah menyerah!”
“Tetapi yang aku kuatirkan bukan Cian-bin cuncia itu melainkan mengenai hidup
matinya seseorang. Ketahuilah, kalau Sin-bu-kiong berhasil menarik Cian-bin
cuncia, mungkin Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (orang aneh utara) Bu Te
suseng dan lainnya telah dapat dikuasai Sin-bu-kiong. Jika kawanan pentolan itu
bersatu, tentu sukar ditundukkan. Dalam pertempuran besok pagi, tentu akan
timbul pertumpahan darah yang hebat....”
Thiat-ik Sin-kay pun tegang wajahnya. Apa yang menjadi kekuatiran Jengot perak ,
memang bukan mustahil. Kawanan Cian-bin cuncia itu merupakan momok-momok
termashyur di dunia persilatan. Munculnya mereka tentu akan mempergenting
suasana rapat besok pagi.!
Siau-bun diam saja. Wajahnya mengerut, hatinya bergolak. Demikian juga Bu-
song. Kedua gadis ini sama gelisah memikirkan Bu-beng-jin.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara jenggot perak yang bertanya kepada
Li Cu-liong, “Apakah tamu-tamu yang hadir itu telah diketahui asal-usulnya?”
“Ah, ini.....”
“Karena banyak pekerjaan, anak sampai tak melakukan hal itu,” wajah Li Cu-liong
berobah pucat.
“Kini para tamu sudah hadir, masakah engkau hendak memeriksanya satu
persatu?” tukas Jenggot perak.
“Tidak!” Thiat-ik Sin-kay menyeletuk, “hal ini dapat dianggap menghina kaum
persilatan....”
Jenggot perak tertawa mengangguk. “Kalau kau yang bertindak itulah bagus.
Tetapi ayahmu mempunyai rencana yang lebih bagus!”
Kiranya para tamu mempunyai perhitungan sama. Dalam tempat dan suasana
yang sedemikian gawat, lebih baik mereka jangan gegabah keluar kemana-mana.
Kalau tidak tidur, mereka lebih suka menyekap diri bersemedhi memelihara
tenaga.
Kurang lebih setengah jam, rombongan Jenggot perak sudah menjelajahi seluruh
kamar-kamar para tamu. Li Cu-liong berhenti di ujung bangsal dan dengan suara
berbisik-bisik menanyakan pada Jenggot perak apakah melihat sesuatu yang
mencurigakan.
“Selain bangsal ini, apakah tak ada tempat untuk menampung para tamu lagi?”
Jenggot perak mengerutkan kening.
“Anak hanya menurut semua petunjuk gi-hu. Selain di sini, memang tak ada lain
tempat penampungan lagi.”
Sahut hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, “Li-ji pun tak mendapatkan sesuatu hal yang
mencurigakan, hanya......” ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “li-ji telah
menemukan sesuatu hal yang agak aneh!”
“Coba katakanlah!”
“Sekarang baru kurang lebih jam sepuluh malam, mengapa tak seorangpun yang
keluar? Apakah mereka sudah tidur semua?”
“Mungkin mereka tak mau terlibat hal-hal yang tak diinginkan, maka lebih baik
mengeram diri dalam kamar saja.....”
Cu Giok-bun memberi isyarat mata kepada puterinya itu, tetapi tak mengatakan
apa-apa.
Sambil tersenyum kecil, Cu Siau-bun berkata, “Aku tak mengatakan kamar Siau-
lim-pay tak boleh dicurigai, melainkan mengatakan bahwa kecurigaan itu dapat
ditujukan pada semua kamar tamu!” ia berhenti sejenak, lalu mengedipkan mata.
“Kakek seorang cerdik, tentu mengetahui apa sebabnya!”
Senang juga hati Jenggot perak mendapat pujian itu. Dan berbareng itu diapun
menyadari. Sambil mengelus-elus jenggotnya, ia tertawa, “Benar, memang Siau-
lim-pay patut dicurigai, tetapi lain-lain partai yang tak keluar dari kamar itupun juga
harus mendapat perhatian kita. Karena kalau tidak, masakah mereka tak mau
keluar semua!”
Meliha tSiu-bun mendapat angin, Bu-song resah hatinya. Segera iapun berseru,
“Kek, bolehkah aku buka suara?”
Bu-song mencibirkan bibir, serunya, “Dari segala jenis racun yang beredar di
dunia persilatan, kabarnya racun Peh-tok-jong ( kutu beracun) yang paling ganas
sendiri. Benarkah itu?”
“Korbannya segera meleleh menjadi cairan darah. Tak ada obatnya lagi!”
“Nak, mengapa kau main goda dengan kakek? Katakanlah lekas!” Akhirnya
Jenggot perak berseru.
Sekalian orangpun ikut memandang ke sana. Di belakang kamar tamu itu, tampak
berserakan selongsong kulit ular, kaki laba-laba, betis tonggeret dan lain-lain.
Sayup-sayup seperti terbaur hawa anyir.
“Kamar tamu itu ditempati oleh partai Ji-tok-kau,” Jenggot perak tertawa hambar,
“karena kuatir lain tamu tak puas dengan adat kebiasaan Ji-tok-kau, maka
kuperintahkan supaya rombongan Ji-tok-kau ditempatkan di kamar yang paling
belakang sendiri... apakah hubungannya dengan Peh-tok-jong?”
Bu-song tertawa, “Coh Sing si raja kutu beracun itu mungkin berada di sini!”
“Mustahil!” teriak Jenggot perak, “apakah kau tahu sendiri?”
Jenggot perak merenung, ujarnya, “Nak, kau memang teliti sekali. Kalau tidak,
perjamuan besok pagi tentu gagal berantakan!”
Siau-bun cebikan bibir tertawa, “Aku hendak unjuk ketololan di hadapanmu, tidak
secerdik adik Song. Tetapi cobalah kakek pikirkan. Di dalam perumahan para
tamu ini penuh dengan jago-jago ulung yang membawa rombongan anak
buahnya. Bagaimana juga gerak-gerik Coh Seng tentu akan ketahuan. Tetapi ada
dua hal yang patut menjadi perhatian.... ”
Siau-bun tertawa pula, “Hanya beberapa anak buah partai Ji-tok-kau dan
ditambah seorang Raja kutu beracun Coh Seng, dapat berbuat apa? Asal kita
dapat menjaga jangan sampai mereka sempat menggunakan racun, tentulah
pertemuan besok dapat diselamatkan. Masakah kakek tak mampu menindak
mereka?”
“Baik, biarlah aku sendiri yang turun tangan!” kata Jenggot perak seraya loncat ke
udara, melayang ke dalam ruang tamu.
Tempat mereka omong-omong tadi tak berapa jauh dari ruang tamu. Bagi tamu
yang tinggi ilmu lwekangnya, tentulah dapat menangkap pembicaraan Jenggot
perak tadi. Tetapi ternyata keadaan sepi-sepi saja.
Bahkan setibanya di dalam ruanga tamu, Jenggot perak sudah disambut oleh bau
anyir darah. Dan segera jago tua itu menyaksikan pemandangan yang
mengerikan. Di ruang tamu kamar tengah, tampak empat sosok tubuh manusia
tergeletak di lantai.
Tetapi seruannya agak terlambat. Li Cu-liong menghantam daun pintu kamar dan
menerobos masuk.
Karena kamar-kamar itu terbuat dari bambu, maka sekali hantam dapatlah Li Cu-
liong menjebolnya.
Karena dia sendiri yang mengawasi pembuatan bangsal penginapan para tamu,
maka pahamlah ia akan keadaan di situ. Setiap ruang terdiri dari empat buah
kamar yang di jajar empat jurusan. Di tengah-tengahnya sebuah ruang tamu dan
dua buah kamar tidur.
Di luar dugaan, kamar-kamar di situ sunyi senyap saja. Dan ketika ia mendorong
pintu sebuah kamar, serangkum asap hitam membaur ke luar. Buru-buru ia
menutup pernapasan dan melepaskan sebuah pukulan. Brak.... terdengar suara
benda berhamburan jatuh, tetapi anehnya tak seorangpun manusia yang muncul.
Pukulan itu menghembus asap hitam ke samping.
Kagt dan marah sekali Jenggot perak, serunya, “Memang racun Peh-tok-jong!
Kau.... ”
“Pil Tay-hoan-tan masih tinggal dua butir, untung kubawa!” seru Hun-tiong Sin-mo
Cu Giok-bun. Segera Li Cu-liong diberinya minum sebutir. Ketua Tiam-jong-pay itu
muntah-muntah dan tersadar.
Suasana di bangsal penginapan para tamu itu sunyi saja. Seolah-olah tak ada
orang yang mendengar apapun yang terjadi di luar ruangan.
Jenggot perak tertawa datar, “Kalau samapai jatuh di tangan tikus kecil itu, kami
ayah dan anak tentu mendapat malu besar. Bagaimana dengan pertemuan besok
pagi?”
Begitu marahnya Jenggot perak saat itu sehingga dari tubuhnya menghambur
semacam hawa panas yang mendesis-desis.
“Nanti dulu kek!” tiba-tiba Cu Siau-bun mencegah kakeknya yang bersiap hendak
menghantam.
Jenggot perak mengakui kecerdikan kedua anak perempuan itu. Mendengar Siau-
bun mencegahnya, iapun berhenti. “Apa lagi?”
Sahut Siau-bun dengan perlahan. “Gerombolan Ji-tok-kau mahir sekali dalam ilmu
racun. Tadi Li ciang-bun telah terkena racun Peh-tok-jong. Ini menandakan bahwa
si raja racun Coh Seng tentu berada di sini. Pukulan kakek luar biasa hebatnya.
Seluruh isi ruang gerombolan Ji-tok-kau tentu hancur binasa. Tetapi tidakkah
dengan begitu racun mereka akan berhamburan kemana-mana. Mereka dapat
dibinasakan, tetapi kitapun tentu celaka......”
Ruang yang terbuat dari bambu itu terbakar oleh pukulan Cu Giok-bun. Asap
mengepul membawa bau daging gosong. Selain bau bangkai manusia, juga
tercampur dengan bau anyir dari binatang-binatang beracun yang mati terbakar.
Jenggot perak mengerutkan alis, “Meskipun cara ini baik, tetapi bagaimana
pertanggungan jawab kita terhadap sekalian tamu? Bukankah tindakan kita ini
akan menjadi buah ejekan dari para tamu besok pagi? Tidakkah mereka akan
mengatakan kita sebagai tuan rumah telah menindas tamu?”
“Kek, aku mempunyai cara untuk menundukkan sekalian tamu besok pagi!” tiba-
tiba Bu-song menyeletuk. Ia melirik Siau-bun.
Jenggot perak bertepuk tangan, “Benar, tepat sekali....ayo, lekas pindahkan mayat
anggota Tiam-jong-pay itu!”
Memang dari dalam kamar Ji-tok-kau telah menghambur keluar bau manusia
terbakar, tetapi apakah si Raja racun Coh Seng juga turut terbakar, masih belum
diketahui.
Api makin menjalar besar. Jika tak dipadamkan tentu akan memakan seluruh
abngsal.
“Api ini seharusnya .....” baru Siau-bun berseru begitu, Jenggot perak sudah
menukasnya, “Api yang menyulut ibumu, bagaimana kau hendak suruh kakek
yang memadamkan?” Sekalipun mulutnya mengatakan begitu, tetapi jago tua itu
segera menampar beberapa kali. Serangkum hawa dingin segera menghambur
keluar. Api makin lama makin menyurut kecil.
Di dalam kejadian itu, sukar diketahui berapa jumlah korban yang terbakar. Tetapi
dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui
bahwa tak seorangpun yang ada dalam kamar Ji-tok-kau dapat meloloskan diri.
“ Terpaksa kita harus minta ibu melepas pukulan lagi, biar seluruh orang ji-tok-kau
mati semua!” Cu Siau-bun menyeletuk.
“Ah, tetapi tindakan itu agak terlalu ganas,” Jenggot perak mengerutkan dahi.
Bu-song menyeletuk, “Ganas atau tidak ganas, tak usah dibicarakan dulu. Tetapi
dalam hal ini memang masih ada hal-hal yang mencurigakan....” ia berhenti
sejenak lalu berkata pula, “Tiga buah kamar yang dihuni rombongan Ji-tok-kau
tentulah bukan terdiri dari orang-orang tuli semua. Apakah mereka begitu saja
mau menerima kematian tanpa memberi perlawanan apa-apa? Apakah tak ada
seorangpun yang mempunyai pikiran untuk lolos?”
“Kek, kemarilah lekas!” tiba-tiba terdengar Siau-bun berseru dari dalam kamar.
Ketua Thiat-hiat-bun itu terkejut bukan kepalang. Sekali loncat ia menerjang ke
dalam. Thiat-ik Sin-kay, Bu-song dan Li Cu-liong pun mengikuti.
Apa yang mereka lihat di dalam kamar benar-benar membuat mereka tercengang.
Di dalam kamar itu tampak tujuh-delapan orang Ji-tok-kau. Sekilas pandang
mereka seperti orang yang duduk bersemedhi dengan mata merem melek. tetapi
setelah diperhatikan lagi kiranya mereka sudah tak bernyawa lagi.
Seperti telah dikatakan di atas, ketiga ruangan itu khusus ditinggali oleh
rombongan Ji-tok-kau. Di luar bangsal dijaga keras oleh para penjaga, baik yang
terang maupun yang meronda secara gelap. Ketatnya penjagaan begitu rupa,
sehingga umpama lalat terbang masukpun tentu diketahui.
Jenggot perak mengerutkan alis. Selama hidup baru sekali itu menyaksikan
perbuatan yang sedemikian kejamnya.
“Kek, mereka mati keracunan semua!” kata Bu-song sehabis memeriksa orang-
orang itu.
“Kali ini mungkin kau salah raba!” Jenggot perak menggelengkan kepala.
Ternyata korban-korban itu wajahnya seperti biasa, seperti orang yang hanya
ditutuk jalan darahnya saja. Baik alis maupun bibir mereka sedikitpun tak tampak
tanda-tanda keracunan.
Thiat-ik Sin-kay dan lain-lain yang banyak pengalamanpun, tak dapat memberi
komentar apa-apa. Segala sesuatu yang mereka hadapi memang sukar diduga....
“Budak, mengapa kau diam saja?” tegur Jenggot perak kepada Siau-bun.
Nona itu menggelengkan kepala, “Adik Song sudah mengatakan tepat. Mereka
memang mati keracunan, apa yang masih harus kukatakan lagi?”
Siau-bun tertawa, “Kek, apakah kau memang berpura-pura hendak menguji kami!
Pertama, mereka telah terlatih dan kebal terhadap racun. Begitu kena racun,
sudah tentu tubuhnya biasa saja. Kedua, jika tidak mati keracunan, mengapa
mereka duduk begitu rapi? Dan ketiga, karena raja racun Coh Seng berada di sini,
siapa lagi yang berbuat begitu kalau bukan dia........ kakek kaya pengalaman,
dalam hal-hal sekecil ini, bagaimana aku dapat mengelabuimu? Benar atau
salahkah kata-kataku ini?”
“Ayo, kaupun juga ikut menyatakan pendapat!” seru Jenggot perak kepada Cu
Giok-bun, “Si Raja racun Coh Seng diundang partai Ji-tok-kau untuk membantu
meracuni jago-jago yang kita undang. Tetapi mengapa mendadak sontak ia malah
meracuni orang-orang Ji-tok-kau sendiri?”
Bu-song tertawa dingin, “Tak usah kakek memuji aku, aku tak secerdas cici Bun...”
dara itu agak merajuk, tetapi pada lain kejap ia menyusuli pula, “Itupun
sebenarnya sederhana saja. Tentulah kakek mengetahui bahwa sekalipun kutu
dengan racun itu berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai kegunaan yang
sama. Raja racun Coh Seng memang hebat dalam menggunakan kutu, tetapi ia
tak mampu melawan kepandaian orang Ji-tok-kau dalam menggunakan racun.
Kalau tidak, tentulah dulu-dulu kedua orang itu sudah bersatu. Mengapa Ji-tok-kau
tak mau berdaya menyelidiki penggunaan kutu itu.
Akibatnya undangan Ji-tok-kau kepada Coh Seng itu suatu kesalahan besar. Coh
Seng mendapat kesempatan untuk menghancurkan saingannya.
Rombongan partai Ji-tok-kau yang datang kesini antara lain termasuk ketuanya,
yakni Ti Bo dan jago-jago pilihan mereka. Apabila dapat melenyapkan mereka,
mudahlah bagi Coh Seng untuk menguasai Ji-tok-kau dan mengambil alih partai
itu!
Nah, cukup dengan hal-hal yang kusebutkan ini, jelas menunjukkan bahwa
kebinasaan orang-orang Ji-tok-kau itu adalah dilakukan oleh Coh Seng.”
Jilid 24 .
Si Wajah Seribu!
Karena gugup, tanpa menunggu perintah Jenggot perak lagi, sekalian orang
segera lari serabutan menuju ke markas. Jenggot perak hendak menyusul, tetapi
tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinganya, “Ah, sudah terlambat Lu tua!
Kalian kali ini tentu akan hancur lebur! ”
Menyusul kata-kata itu, terdengar ledakan keras diiringi dengan muncratnya nyala
api ke udara.
“Celaka, kekalahan kali ini benar-benar hebat.....” Jenggot perak menghela napas.
Ia segera mencelat keluar sambil menamparkan kedua tangannya. Serangkum
hawa dingin berhamburan keluar dan apipun mulai reda.
Tetapi ledakan itu rupanya berasal dari bahan peledak. Sekalipun api dapat
dipadamkan, tetapi sebagian besar dari markas telah hancur berantakan.
Perempuan tua itu tertawa mengekeh, “Oh, kau kenal juga diriku?”
Perempuan tua bertubuh gemuk pendek itu memang Cian-bin cuncia atau rahib
wajah seribu Auyang Teng.!
“Ah, matamu ternyata masih awas Lu tua,” Rahib wajah seribu tertawa.
Bu-song dan Siau-bun terkejut mendengar nama rahib tua itu. Juga Li Cu-liong
dan Cu Giok-bun pun tak terkecuali.
Baru saja tadi mereka mendapat berita dari para pengintai dan dalam beberapa
kejap saja
Rahib seribu wajah sudah muncul. Juga ilmu berjalan di tengah api yang
diperagakan tadi benar-benar menakjubkan.
“Maaf, karena satu dan lain hal, aku tak dapat menyambutmu dengan penuh
kehormatan,” Jenggot perak tertawa.
“Disambut atau tidak, aku tak pusing. Tetapi apakah satu dan lain hal yang kau
katakan itu? Katakanlah!” seru si wajah seribu.
“Cukup! Terhadap orang semacam aku, mengapa kau berani berkata begitu
keterlaluan!” marahlah Si wajah seribu seketika.
Habis berkata begitu ia mencelat sampai tujuh-delapan tombak dan pada lain saat
lenyap dari pemandangan.
“Kek, iblis itu memuakkan sekali. Mengapa kau biarkan dia pergi?” teriak Bu-song.
Jenggot perak tertawa, “Mungkin tak semudah itu kita menundukkan dia!”
“Hai, imam hidung kerbau, dari mana kau?” serentak Bu-song berseru.
“Eh, budak perempuan, apa kau lupa?” imam tua itu tertawa meloroh.
Jenggot perak tertawa dingin, “Cian-bin cuncia, betapapun kau hendak unjuk
kepandaianmu menyaru, jangan harap kau dapat mengelabui mataku!”
“Benar,” kata Jenggot perak, “dia memang mahir dalam hal itu. Sebentar menjadi
lelaki sebentar jadi perempuan atau sesaat seorang paderi, pada lain saat
seorang rahib. Tubuhnyapun dapat berobah menjadi gemuk-pendek, kurus-kering,
tinggi-besar menurut kemauannya! Tetapi kakekmu tak nanti dapat dikelabuinya!”
Memang imam tua itu adalah si Wajah seribu, ia tertawa terkial-kial, “Lu tua, kau
memang hebat, dapat mengenali diriku!”
Bu-song, Siau-bun dan Li Cu-liong terkesiap. Jika bukan Jenggot perak yang
mengatakan, tentu mereka takkan percaya. Apa yang dilihat memang berbeda
sama sekali. Yang tadi seorang perempuan gemuk pendek, kini seorang imam tua
bertubuh tinggi kurus. Kalau tadi seorang rahib, kini seorang imam....
Kebakaran dari bahan peledak itu telah menimbulkan kerusakan besar. Beberapa
bagian dari gedung markas Tiam-jong-pay telah ambruk. Kamar rahasia yang
dibuat berunding oleh Jenggot perak tadipun hancur. Beberapa penjaga regu Pik-
ih-tiang-hoat dari Hun-tiong-hu menjadi korban. Kesemuanya itu adalah perbuatan
si Wajah seribu...
Dengan gusar berserulah Jenggot perak, “Ayo suruh kawan-kawanmu keluar. Kita
putuskan dulu siapa di antara kita yang lebih unggul.... ”
Wajah seribu tertawa keras, “Kawan? Hm, masakah kau tak pernah mendengar
bahwa aku selalu bergerak seorang diri?”
“Aku senang melihat keramaian yang bakal diadakan di sini. Sekalipun kau lupa
mengundang aku, aku tetap akan datang sendiri..... Kenbakaran markasmu itu
adalah selaku hukuman kecil untuk kelalaianmu mengundang aku!”
Ketua Tiam-jong-pay tak dapat menahan amarahnya lagi. Sambil loncat ke muka,
ia mendamprat, “Iblis tua, jangan ngaco belo di sini, serahkan jiwamu!” kata-
katanya ditutup dengan sebuah pukulan.
Ketua Tiam-jong-pay tak mau dibuat permainan. Dia ayunkan kedua tinjunya
memukul ke kanan dan ke kiri. Terdengar kedua Wajah seribu itu tertawa gelak-
gelak dan sekonyong-konyong lenyap!
Li Cu-liong tertegun. Hai…… tiba-tiba ia terbeliak kaget sekali. Kini bukan hanya
dua, tetapi empat orang Wajah seribu yang berdiri mengepungnya dari empat
jurusan….!
Li Cu-liong menyadari bahwa di antara keempat Wajah seribu, hanya satulah yang
tulen. Yang tiga hanya bayangan kosong. Tetapi pengertian itupun tak banyak
membantunya, karena ia tak tahu yang manakah yang tulen dan yang palsu.
Mengira orang sudah tak berdaya, Wajah seribu segera hendak memberi pukulan
maut kepada Li Cu-liong. Pukulannya dilancarkan cepat dan ganas.
Tetapi tutukan jari maut Hun-tiong Sin-mo pun sakti sekali. Walaupun dari jauh,
tetapi angin tenaganya bagaikan kilat menyambarnya. Wajah seribu kaget. Untuk
menyelamatkan jiwanya, terpaksa ia loncat menghindar.
Di sana Hun-tiong Sin-mo pun agak terkesiap. Meskipun tutukan jari maut itu
bukan merupakan ilmu simpanannya, tetapi Wajah seribu dapat menghindar
dengan begitu mudah, mau tak mau membuat Hun-tiong Sin-mo tercengang juga.
Karena sejak belasan tahun, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari
tutukan jarinya. Dan belum pernah ada yang selamat. Kalau tidak mati, tentu
menderita luka parah.........
Tetapi kekagetan Wajah seribu pun tak kalah besarnya. Di dalam dunia persilatan,
tak ada orang yang sekali gebrak dapat mengundurkannya. Sebelumnya ia tak
percaya, tetapi apa yang dialaminya saat itu, benar-benar membuatnya seperti
orang bermimpi!
Tetapi sikap itu bahkan membangkitkan kemarahan Wajah seribu. Dengan murka
ia membentak, “Perempuan hina, jika malam ini tak kuhancurkan tubuhmu, aku tak
mau meningalkan Tiam-jong-san ini!”
“Oh, mungkin tak mudah bagimu untuk meninggalkan gunung ini!” Hun-tiong Sin-
mo membalas.
Kiranya Jenggot perak telah berhasil menghantam dadanya. Tetapi dia sendiripun
menderita juga. Tenaga tolakan yang dilancarkan Wajah seribu membuat Jenggot
perak juga terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Jago Thiat-hiat-bun itu
tertegun. Ia merasa sekali ini benar-benar mendapat tanding.
Dalam beberapa saat, belasan sosok bayangan Wajah seribu itupun lenyap. Kini
tampaklah ia tegak berdiri beberapa langkah di hadapan Jenggot perak.
Dengan mata berkilat-kilat Wajah seribu menatapnya, “Lu tua, mengapa kau diam
saja? Takutkah kau kepadaku?”
Jenggot perak tertawa keras, “Pernahkah kau mendengar cerita orang, kepada
siapa aku pernah merasa gentar?”
Wajah si Wajah seribu berobah gelap, “Kalau begitu, mengapa kau tak bergerak?
Lebih baik kau menyerah sajalah!”
“Memang aku sengaja mengalah supaya kau menyerang dulu!” sahut Jenggot
perak.
“Binatang tua yang sombong, kau berani menghina aku!” Wajah seribu berteriak
seraya menggerakkan kedua tangannya. Gayanya mirip hendak menampar, tetapi
juga seperti hendak menutuk. Tampaknya hendak mencengkeram, tetapi juga
menyerupai orang hendak meremas. Secepat kilat tangannya sudah menjulur ke
muka Jenggot perak. Berbareng itu sekonyong-konyong tubuhnya pecah menjadi
tiga-empat sosok bayangan.
Seketika itu Jenggot perak seperti diserang oleh banyak Wajah seribu. Sukar
dibedakan mana yang palsu dan mana yang sungguhan.
Jago Thiat-hiat-bun itu tegak laksana sebuah gunung. Pada saat serangan itu tiba,
barulah ia bergerak dengan tak terduga-duga. Sekonyong-konyong ia
menamparkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Tar... tar.., terdengar letupan keras
dan bayangan yang menyerupai Wajah seribu itupun lenyap seketika, berganti
dengan Wajah seribu asli yang terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah.
Jenggot perak sendiripun terhuyung tiga langkah ke belakang. Ia merasakan
darah dalam tubuhnya agak bergolak.
Wajah seribu mengerutkan dahi dan termangu sampai beberapa saat, serunya
kemudian, “Setan tua, bagaimana kau dapat membedakan diriku dengan
bayanganku?”
“Hm, masakah permainan anak kecil semacam itu dapat mengelabui aku......”
Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “tetapi memang ilmu ginkangmu patut dipuji!”
Jenggot perak tertawa pula, serunya “Mungkin kau belum tahu bahwa aku si tua ini
memiliki ilmu Melihat langit mendengar bumi? Betapapun kau hendak merobah
dirimu menjadi apa saja, memang pada detik permulaan mungkin dapat
mengelabui mataku, tetapi beberapa saat kemudian, tentu kuketahui juga....”
“Tetapi ilmu itu kan kekuatannya hanya tertuju pada jarak luas dan jauh,
bagaimana kau dapat meneropong ilmu sakti Pek-pian-mo-ing ku?”
“Silakan kau kerahkan seluruh kepandaianmu. Tetapi malam ini adalah malam
kejatuhanmu. Besok pagi, jangan harap kau dapat membuka rapat para orang
gagah.....!”
Tambur Mukjijat.
“Oh, mungkin kau tak mempunyai kemampuan begitu!” sahut Jenggot perak.
Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo tak ikut bicara. Mereka
berdiri di samping mendengarkan percakapan Jenggot perak dan si Wajah seribu
dengan penuh perhatian.
Kebakaran di markas besar Tiam-jong-pay pun sudah reda. Tetapi asap masih
bergulung-gulung memekatkan udara. Banyak anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-
tiong-hu dan Tiam-jong-pay yang menjadi korban. Tetapi sebagian yang dapat
lolos keluar. segera tenang kembali.
Saat itu sudah terang tanah. Pertemuan besar para orang gagah, segera akan tiba
waktunya. Menilik letak pesanggrahan tempat menginap para tamu itu tak jauh di
muka markas Tiam-jong-pay, maka kebakaran di markas itu tentu diketahui oleh
para tamu. Tetapi anehnya, pesanggrahan para tamu itu tampak sunyi-sunyi saja.
“Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku,
kau lekas atur prsiapan pertemuan itu. Apakah meja kursi sudah diatur menurut
rencana!” sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga.
Li Cu-liong mengerutkan alis, ujarnya, “Tetapi durjana ini licin sekali, apakah
ayah…..”
“Jangan banyak bertanya lagi, aku dapat mengatasinya!” tukas Jenggot perak
dengan ilmu menyusup suara. Kemudian ia berganti nada dengan bentakan
biasa, “Lekas kerjakan persiapan yang perlu!”
Sejenak melirik pada pengemis Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo, tiba-tiba
Jenggot perak membentak lawannya, “Hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh
mereka unjukkan diri!”
Wajah seribu terbeliak, teriaknya, “Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah
kubersekongkol dengan orang. Jangan banyak curiga!”
Bukan kepalang marahnya Wajah seribu, teriaknya, “Kau berani menghina aku,
budak? Kaupun takkan menjadi mayat utuh....” tiba-tiba ia menampar.
“Iblis hina, kau tak malu mengganas pada seorang anak perempuan!” iapun
menyongsongkan pukulannya.
Karena ilmu Pek-pian-mo-ing ( seratus bayangan iblis) tak mempan, Wajah seribu
menggunakan pukulan biasa.
Plak.... terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu. Debu dan tanah
berhamburan. Kedua tokoh itu mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya
Jenggot perak menang angin, tetapi kekuatan mereka berimbang.
Sesaat berdiri tegak, Wajah seribu tertawa nyaring.”Setan tua, kecuali kalian maju
berbareng, jangan harap dapat menangkan aku!”
“Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu!” Jenggot
perak marah sekali.
“Kau benar, iblis!” tiba-tiba Bu-song menyeletuk, “hanya sayang tipu muslihatmu itu
tak berguna. Pertemuan orang gagah takkan terpengaruh oleh pengacauanmu!”
Wajah seribu tertawa sinis, “Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan,
siasatku apa yang gagal?”
Wajah seribu melangkah maju, bentaknya ,“Aku mengalah tiga jurus untukmu....”
dari tubuhnya mengepul asap tipis. Ia bersiap menerima serangan.
“Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek menghajar adat
padanya!”
“Dan si Raja kutu Coh Seng , eh, mengapa kakek melupakannya?” tukas Bu-song
dengan ilmu menyusup suara.
“Benar,” sahut Jenggot perak, “orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu Melihat
langit mendengar bumi, tentulah sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari
berpuluh tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka. Mengapa
kau hendak sembrono, ayo lekas menyingkir!”
Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekali. Baru ilmu
Pek-pian-mo-ing atau Seratus wajah tanpa bayangan dari si Wajah seribu saja
sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh lagi. Tetapi
bagaimanapun ia harus bertindak.
Ia tahu jelas suasana saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay, Hun-tiong Sin-mo,
Cu Siau-bun dan tokoh-tokoh lainnya, terpancang oleh Jenggot perak. Tanpa
perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak.
Tetapi tampaknya Jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalau terus-
menerus hanya tantang-tantangan begitu saja, tentulah pertemuan para orang
gagah tak dapat berlangsung!
Bu-song tertawa, “Ini…..sekarang tak dapat kukatakan dulu! Tetapi paling tidak
hendak kuberi hajaran dulu pada momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya!
Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua!”
Melihat Jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, Wajah
seribu hanya tersenyum ewa saja. Setelah beberapa saat, baru ia melengking ,
“Eh, sudah berunding beres atau belum?”
Jenggot perak menyahut dingin, “Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran
dari engkau, maka kali ini aku memberikan kelonggaran padanya!”
Wajah seribu tertawa gelak-gelak, “Aku seorang yang ganas, sekali turun tangan
kalau sampai cucumu mati, harap jangan salahkan aku!”
“Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu!” Bu-song
melengking marah.
“Kau pintar juga!” sahut Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah
ia melancarkan serangannya….
Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya ini hanya serangan kosong. Ia
tahu bahwa menghadapi si Wajah Seribu, tak boleh menggunakan kekerasan
melulu, tetapi harus pakai tipuan. Maka ia menggunakan ilmu Suara di timur
serangan dari barat.
Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri
Bu-song menaburkan senjata rahasia Hong-thau-kiong ( passer kepala burung
Hong).
Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang tulen dan
mana yang palsu, tetapi empat batang passer yang ditaburkan itu kiranya cukup
untuk menghancurkan keempat sosok bayangan itu.
Untuk memperoleh hasil yang mengesankan, ia menggunakan ilmu timpuk yang
paling ganas. Tiap-tiap passer itu sengaja diarahkan untuk mencari mata si
bayangan.
Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke empat sosok
bayangan itu.
Sama sekali Wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan menggunakan
senjata rahasia, karena itu ia agak lengah. Dan juga ia tak tahu bahwa ilmu
menimpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-hiat-bun hebat sekali. Seratus kali
timpuk, tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu,
ialah bahwa telinga, mata, hidung dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling
sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapapun lihainya si Wajah seribu, namun tak
dapat ia mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian itu. Untung dia banyak
pengalaman. Pada detik-detik maut henak merenggut nyawa, masih dapat
memiringkan kepalanya sedikit ke samping, sehingga matanya terhindar dari
kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap termakan passer si dara...
Tetapi yang menaburkan senjata rahasia kali ini bukan Bu-song, melainkan Siau-
bun. Nona itupun tak ketinggalan. Ia menaburkan tiga batang passer Tui-hong-
kiong ( passer pemburu angin). Sebelum si Wajah seribu berdiri tegak, Siau-bun
sudah membarengi. Dalam hal menimpuk, Siau-bun tak kalah sebatnya dengan
Bu-song. Betapapun lihaynya Wajah seribu, namun sukar untuknya menyingkir.
Dalam usahanya yang terakhir, ia masih dapat menyelamatkan bagian berbahaya
dari tubuhnya. Bahunya sebelah kanan menjadi mangsa Tui-hong-kiong. Sakitnya
bukan kepalang, sehingga hampir saja ia terjungkal roboh. Ia terhuyung-huyung
empat lima langkah ke belakang. Bahu kanannya tak dapat digerakkan lagi......
Setitikpun Wajah seribu tak pernah bermimpi, bahwa hari ini ia bakal jatuh di
tangan dua orang anak perempuan. Saking marahnya tubuhnya sampai menggigil
dan mulut meraung-raung. Tetapi sudut matanya yang kiri sakit sekali , begitu pula
bahu kanannya seperti putus rasanya......
“Sasaran tepat, sayang tak dapat menembus ulu hatinya!” Bu-song berpaling dan
berseru kepada Siau-bun.
Siau-bun terkejut. tetapi secepat itu ia insyaf. Mungkin yang dikatakan si dara itu
benar. Jenggot perak, kakek mereka memang seorang tua yang aneh
perangainya.
Siau-bun tertawa tawar, serunya dengan ilmu menyusup suara, “Tadi aku hanya
bermaksud membantumu saja. Jika aku tak turun tangan, iblis tua itu tentu dingin
saja menghadapi passer Hong-thau-kiong mu. Mungkin.............”
“Tak usah kau bicara semerdu itu, aku tak menerima bantuanmu!” sahut Bu-song
dengan dingin.
“He, kuterangkan sedikit,” sahut Siau-bun, “sebelum kau turun tangan, tentulah kau
sudah mengetahui bahwa aku tentu akan membantumu. Dengan begitu barulah
kau berani berkata besar di depan kakek!”
“Benar,” Bu-song tertawa, “hal itu didasarkan pada watakmu. Kutahu kau tentu
takkan melepaskan kesempatan untuk mendirikan pahala!”
“Kau melupakan Lam-yau, Pak-koay, Bu-cui-su-seng dan raja kutu Coh Seng?”
seru Siau-bun.
“Eh, bocah perempuan, partai Thiat-hiat-bun tak pernah menyerang orang yang
sedang terluka. Tak boleh mencari kemenangan secara curang....!” tiba-tiba
Jenggot perak berseru.
“Kek, sekarang aku tak sempat memberi penjelasan padamu!” teriak si dara yang
terus melanjutkan serangannya.
Jenggot perak berteriak mencegah, tapi tak berbuat apa-apa. Sementara si Wajah
seribu masih meram sambil menyalurkan tenaga dalam. Tampaknya ia tak
melawan...
Pada saat pedang akan menusuk tubuh Wajah seribu, tiba-tiba sesosok bayangan
melayang dari udara. Seorang yang bertubuh pendek seperti semangka, tetapi
luar biasa cepatnya sekali ulurkan tangan, telah mencengkeram pedang si dara.
Bu-song seorang dara yang cekatan dan cedas. Meskipun tengah menusuk, tetapi
diam-diam ia sudah memperhitungkan tentu bakal ada orang yang akan menolong
Wajah seribu. Secepat kilat ia menggeliatkan mata pedang dan membabat
pergelangan tangan orang itu. Berbareng itu tangan kirinya menimpukkan tiga
batang passer....
Orang itu tertawa meloroh seraya turun ke bumi. Sepasang tangannya mengibas.
Terdengar dering pedang tertampar dan gemerincing tiga batang passer jatuh
berhamburan!
Terhindar dari maut, Wajah seribu marah bukan kepalang. Pada saat Bu-song
menyurut mundur, sekonyong-konyong Wajah seribu mengayunkan tubuhnya
mencengkeram si dara dengan sepuluh jarinya yang dipentangkan.
Memang bukan olah-olah kepandaian Wajah seribu. Jika orang lain, bahunya
tentu sudah lumpuh. Paling tidak harus istirahat beberapa hari baru sembuh.
Tetapi dalam waktu singkat ia sudah dapat menyembuhkannya seperti sediakala.
Bahkan dapat digunakan untuk menyerang.
Kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau tadi Wajah seribu
yang terancam, sekarang Bu-songlah yang terancam. Dua tokoh sakti berbareng
menyerangnya.
Melihat itu tak dapat Hun-tiong Sin-mo tinggal diam lagi. Serentak ia melepaskan
pukulan Cek-koay-ciang kepada si orang pendek. Demikian pun Jenggot perak. Ia
menghantam Wajah seribu.
Jenggot perak pun berhasil. Sekalipun luka Wajah seribu sudah sembuh, tetapi
menghadapi pukulan maut dari ketua Thiat-hiat-bun, ia harus menelan pil pahit.
Memang kepandaiannya kalah setingkat dari Jenggot perak, apalagi ia baru saja
sembuh dari luka di bahunya. Wajah seribu terhuyung sampai lima langkah.
Wajahnya pucat lesi, darah dalam tubuhnya bergolak-golak......
Jenggot perak hanya tersurut mundur selangkah. Sikapnya biasa seperti tak
mengalami apa-apa.
Kini jelaslah sudah kekuatan mereka.
Wajah seribu dan orang pendek itu saling berpandangan.
“Coh Seng, sungguh beruntung dapat berjumpa!” tiba-tiba Jenggot perak berseru
tertawa.
Ah, kiranya orang pendek itu si Raja kutu Coh Seng. Selain mahir dalam ilmu
pengetahuan jenis kutu-kutu beracun, Coh Seng pun memiliki sebuah ilmu yang
dapat membuat tulang-belulangnya sekeras baja.
Itulah sebabnya maka passer Hong-thau-kiong yang dilepaskan Bu-song tak
mempan.
Pada saat Coh Seng hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seruling melengking
di udara. Jenggot perak terkesiap. Buru-buru ia berpaling dan menyuruh
rombongannya menyalurkan tenaga dalam melawan lengkingan seruling.
Sepintas lalu, suara seruling itu seperti alunan suling biasa. Tetapi lagu yang
ditiupnya sangat memikat hati.
“Tentulah Bu-cui Su-seng yang meniup seruling itu. Lekas, jangan sampai terpikat
oleh suara seruling....” pengemis Thiat-ik Sin-kay pun memberi peringatan kepada
rombongannya.
Jenggot perak, Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo masih dapat bertahan. Tapi
Bu-song dan Siau-bun harus menderita. Beberapa saat kemudian, kedua nona itu
hampir tak tahan lagi.
Jenggot perak tahu keadaan kedua anak perempuan itu, tetapi ia tak dapat
menolong. Ia sendiri sedang berjuang mempertahankan diri.
Hari makin terang. Pertemuan makin mendesak waktunya. Tuan rumah terancam
kemusnahan!
Sekonyong-konyong terdengar tambur bertalu-talu nyaring.
Jenggot perak mengerang. Ia kaget-kaget gembira. Suara tambur itu tak asing
baginya. Teringatlah ia ketika melihat Bu-beng-jin bertempur dengan Bok Sam-pi
di gunung Thay-heng-san, tambur itupun terdengar. Hanya bedanya bunyi tambur
itu keras sekali, jauh lebih nyaring dari ketika di Thay-heng-san.
Jilid 25 .
Raja kutu Coh Seng dan Wajah seribu pucat pasi. Setelah saling berpandangan,
mereka terhuyung mundur. Genderang itu mempunyai pengaruh besar terhadap
mereka. Dengan terhuyung-huyung kedua durjana itu lari menyembunyikan diri
dalam kegelapan.
Setelah seruling sirap dan kedua durjana itu mundur, tamburpun perlahan-lahan
lenyap. Suasana pun hening...........
“Siapakah yang membunyikan tambur itu?” tanya Bu-song. Jenggot perak hanya
menggeleng.
Setelah merenung sejenak, berkatalah Jenggot perak, “Beberapa tahun yang lalu,
kudengar di daerah Se-hek (Tibet) terdapat seorang tokoh wanita bergelar Sin-ku-
sian-lo ( dewi tambur). Mungkin tambur itu mempunyai hubungan dengan wanita
sakti itu. Tetapi kakek belum pernah mendengarnya!”
Diam-diam Jenggot perak teringat akan Bu-beng-jin. Nasib pemuda itu terletak di
tangan si pemilik tambur. Karena jelas ketika di gunung Thay-heng-san, pembawa
tambur itu tak lain tak bukan hanyalah seorang dara baju merah yang baru
berumur belasan tahun. Tetapi, ah, mengapa dara itu tak muncul?
Juga Hun-tiong Sin-mo dan pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay bingung. Suara tambur
itu terdengar jelas dan lenyap secara misterius. Tetapi yang jelas, suaranya hebat
sekali, menggetarkan urat-urat jantung orang.
“Mungkin ia tak mau menemui kita....... atau mungkin ia mendapat perintah jangan
menemui kita,” kata Jenggot perak.
Jenggot perak tertegun, “Baru kali ini kakek mendengar tambur, bagaimana aku
tahu?”
“Kalau tak kenal, mengapa kakek bisa mengatakan dia mendapat perintah orang?”
tanya Bu-song lagi.
“Toh kakek mempunyai ilmu Melihat langit mendengar bumi?” desak si dara.
Bu-song tertawa dingin, “Ah, tak kira malam ini kita bertemu dengan tokoh-tokoh
sakti. Tetapi sayang mereka tak mau unjuk diri!” Dengan kata-kata itu, ia hendak
memancing supaya si pemukul tambur unjuk diri. Ia yakin kata-katanya tentu
terdengar sampai beberapa puluh tombak.
Bu-song terkejut bukan kepalang. Ternyata yang muncul di hadapannya itu hanya
seorang dara belasan tahun yang memakai pakaian serba merah. Rambutnya
dikepang dua, sepasang matanya yang bundar melotot marah kepada Bu-song.
Walaupun bernada marah, tetapi sikap dara itu wajar kekanak-kanakan sekali.
Memang usianya baru sekitar dua belas-tiga belas tahun.
“Oh, aku tak menyangka kalau yang memukul tambur engkau.” seru Bu-song
setelah hilang kejutnya.
Bu-song tertawa, “Benar, aku tak pernah memuji orang. Kalau kau mau, aku suka
mengakumu sebagai adik!”
Dara itu memandang Bu-song dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, kemudian
tertawa, “Bagus, sekarang aku mempunyai tiga orang taci, seorang engkoh.....”
setelah memainkan matanya yang bundar, dara itu berseru pula, “Cici, aku
bernama Pok Lian-ci. Siapakah namamu?”
“Meninggal?” Bu-song terharu juga. Maskah seorang dara yang masih begitu kecil
sudah tak beribu lagi. Dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri. Ayah bundanya
sudah meninggal. Bu-beng-jin yang sudah berjanji pada kakeknya untuk
dijodohkan padanya, ternyata hilang di gunung Thay-heng-san. Bu-song
berlinang-linang……
Bu-song tertawa rawan, “Tak apa-apa! Aku bernama Lu Bu-song. Kita senasib.
Sejak kecil akupun sudah kehilangan ayah bunda dan ikut pada kakek.......” ia
menunjuk pada Jenggot perak, “Kenalkanlah pada kakekku!”
Pok Lain-ci maju ke hadapan Jenggot perak, serunya, “Kek....eh, bagaimana aku
memanggilmu?”
Jenggot perak tertawa meloroh, “Ya, ya....dengan siapa kau datang ke Tiong-
goan?”
“Tidak, nenekku!”
Pok Lain-ci bertepuk tangan, “Tepat sekali dugaanmu, kek! Selain tambur, nenek
juga pandai meniup seruling, memainkan harpa dan lain-lain…. eh, apakah kakek
kenal padanya?”
Jenggot perak menggelengkan kepalanya, “Telah lama kudengar namanya, tetapi
tak pernah berjumpa muka. Apakah dia sehat-sehat saja?”
“Dia …. dia datang bersama aku…..” katanya tergagap. Dara itu tak dapat
berbohong. Walupun sebenarnya ia tak mau mengatakan hal itu, namun tak dapat
juga ia menyimpan rahasia.
“Dimana ayahmu? Mengapa tak ajak ia menjumpai aku!” Jenggot perak berseru
tegang.
“Tidak!” seru Pok Lian-ci, “Ayah mengatakan, jika tak perlu tak mau menemui
kakek. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan tentang dirinya, karena kuatir kakek
mendampratnya.....!”
Cu Giok-bun kewalahan. Katanya pula, “Bukankah ayahmu itu tokoh yang gemar
memakai pedang besi, yang batangnya digantungi kantong kecil berbentuk
hati.....”
Pok Lain-ci memandang bibi itu dengan heran. Namun ia tak berani mengatakan
apa-apa.
Lian-ci tertawa, “Sekarang tambah dengan seorang taci lagi..... tetapi ibuku hanya
melahirkan seorang anak saja. Yang lain adalah setelah aku datang ke Tiong-
goan, aku mendapat engkoh dan taci angkat....”
Lian-ci mengangguk.
“Tujuh belas tahun telah lampau, masakah aku masih mndendam hal itu?” Cu
Giok-bun tertawa.
Jenggot perak tertawa juga, “Itulah baik. Apabila dia benar Thiat-beng, tentulah dia
juga menderita. Jika bertemu muka, kau harus mengalah....” kata-kata itu ia
ucapkan dengan ilmu Menyusup suara, sehingga orang lain tak mndengarnya.
Cu Giok-bun tertawa rawan, “Memang , kini aku tahu bahwa dia bukan orang yang
tak setia. Adalah karena perbuatan Ma Hong-ing yang mengadu domba sehingga
kami suami isteri menjadi retak........” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat rasa haru.
“Tak usah kau katakan hal itu. Cukup asal kau jawab apakah yang kukatakan itu
benar atau tidak!” Cu Giok-bun berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Bukankah
ayahmu bernama Pedang bebas Pok Thiat-beng?”
“Apa yang kukatakan itu benar atau tidak?” Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun
mendesak.
Bukan saja Lian-ci, tetapi Siau-bun dan Bu-song pun terbeliak kaget.
Siau-bun menarik ujung baju ibunya dan bertanya dengan tegang, “Mah, apakah
ayah.....”
“Mungkin tak salah .....” Cu Giok-bun menghela napas, “Kalau datang mengapa tak
lekas menemui aku!”
Eng-hiong tay-hwe.
Beberapa saat Cu Giok-bun , Lian-ci, Jenggot perak dan yang lain-lain berdiam
diri. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dan tambur. Itulah tanda pembukaan rapat
Eng-hiong-tay-hwe ( rapat besar orang gagah), akan dimulai.
Jenggot perak gelagapan, “Bun-ji, dalam beberapa hal Thiat-beng memang harus
dikasihani. Dalam Eng-hiong-tay-hwe nanti, mungkin kau bisa berjumpa…..” ia
berhenti sejenak, katanya pula, “Dahulu ayah yang menjodohkan. Sekarang
ayahpun tetap hendak berusaha supaya kalian suami isteri bisa berkumpul
kembali.”
Orang itu ternyata Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay yang menjadi anak
angkat Jenggot perak. Dahi dan kepala ketua Tiam-jong-pay itu mandi keringat,
sikapnya gugup dan gelisah. Tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada si dara
Pok Lian-ci, ia tertegun.
Li Cu-liong mengiyakan.
Jenggot perak tertawa meloroh, “Jika mereka sungguh tak datang. Setelah
mendapat persetujuan rapat, aku hendak mengajak sekalian tamu untuk ngeluruk
ke Sin-bu-kiong dan Hek Gak………”
Walupun kata-kata itu ditujukan pada Lian-ci tetapi sebenarnya Jenggot perak
hendak menumpahkan keresahan hatinya. Yang paling menjadi pikirannya ialah
diri Bu-beng-jin. Jika pemuda itu muncul dalam perjamuan nanti, bagaimana
reaksi Bu-song dan Siau-bun? Bagaimana ia akan menyelesaikan urusan
mereka?
Saat itu Jenggot perak sudah memasuki ruang pertemuan dan diantar oleh Li Cu-
liong ke tempat duduk yang disediakan untuknya. Tempat duduk itu merupakan
kursi pimpinan rapat. Letaknya di tengah. Di sebelah kanan dan kiri, terdapat dua
buah kursi kosong. Itulah kursi yang diperuntukkan bagi Sin-bu Te-kun dan ketua
Hek Gak. Tetapi saat itu kedua tokoh tersebut belum juga muncul.
Sambil mengambil tempat duduk, jago tua itu bertanya kepada Li Cu-liong,
“Karena gara-gara partai Ji-tok-kau, Wajah seribu sampai muncul. Selain itu
apakah masih terdapat orang-orang yang patut dicurigai lagi?”
Tetapi tidak semua orang gagah yang hadir di situ, suka kepada Tiam-jong-pay.
Mereka sudah mempunyai prasangka yang jelek terhadap Hun-tiong Sin-mo yang
ganas. Hubungan yang rapat antara Hun-tiong Sin-mo dengan Thiat-hiat-bun dan
Tiam-jong-pay, menimbulkan kecurigaan dalam hati mereka.
Di bawah meja tempat Li Cu-liong berdiri, tampak empat sosok mayat terbujur.
Ketika itu Li Cu-liong menerangkan bahwa korban-korban itu adalah anak buah
partai Tiam-jong-pay yang diracuni oleh partai Ji-tok-kau. Hadirin terdiam semua.
Ada yang tak percaya, ada juga yang takut memberi pernyataan , karena kuatir
membuat marah salah satu pihak.
Setelah Li Cu-liong turun, Jenggot perak bangkit dan mengangkat cawan arak
mengajak sekalian hadirin minum, “Inilah yang pertama kali aku mengunjungi
Tiong-goan. Pertama karena ingin menyaksikan keindahan tanah Tiong-goan
yang termashyur dan kedua karena hendak mengikat persahabatan dengan para
ksatria Tiong-goan. Maka dengan meminjam tempat di markas Tiam-jong-pay ini,
aku menyelenggarakan perjamuan besar guna menghormati sekalian sahabat.
Atas kesudian dan penghargaan saudara-saudara untuk memenuhi undanganku,
kuhaturkan banyak terima kasih dan marilah kita minum untuk keselamatan kita
bersama!”
Suaranya lantang nyaring bagai genta bertalu. Sekalian hadirin tersentak kaget.
Paderi itu tertawa dingin, “Ada beberapa hal yang lo-ni (paderi membahasakan
dirinya) tak jelas, dan mohon saudara menjelaskan.”
“Saudara adalah partai dari luar daerah. Tetapi saudara berani memaksa
mengundang ksatria Tiong-goan berkumpul di sini. Ini sudah tak menghormat. Dan
pula, pada malam sebelum pembukaan rapat, saudara telah membunuh empat
puluh orang rombongan patai Ji-tok-kau. Tindakan itu jelas hendak saudara
tunjukkan sebagai pameran kekuatan. Untuk mematahkan nyali sekalian ksatria.
Untuk cara-cara yang serendah itu, apakah alasan yang saudara hendak
kemukakan?”
Jemggot perak tertawa nyaring, “Akupun hendak bertanya sepatah kata padamu.
Apakah kau bukan si Wajah seribu?”
Memang paderi gemuk itu bukan lain adalah si Wajah seribu yang telah
menyamar. Setelah dipukul mundur oleh ilmu Tambur dara Pok Lian-ci, dia terus
menyusup ke dalam rombongan partai Go-bi-pay.
Wajah seribu tertawa congkak, “Benar, matamu memang tajam benar. Kalau
sudah mengenal aku, mengapa kau masih berlagak... ” Ia memandang ke empat
penjuru lalu berseru keras, “Ho, apakah kau hendak mengelak dari pertanyaanku
tadi?”
“Kalau kau sudah mengakui sebagai Wajah seribu, aku hendak bertanya sebuah
hal lagi!” sahut Jenggot perak.
“Silakan!”
“Ada orang menyaksikan sendiri bahwa kau bersama Lam-yau, Pak-koay dan Bu-
kiu su-seng telah menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong!”
“Fitnah yang keji! Siapakah yang berani menghina aku begitu?” teriak Wajah
seribu.
Hadirin sekalian terkejut. Itulah pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Sekalipun dalam
dunia persilatan nama partai Kay-pang itu tak tinggi kedudukannya, tetapi
termashyur sebagai partai yang jujur dan adil. Apalagi Thiat-ik Sin-kay adalah
ketua angkatan terdahulu dari Kay-pang. Mereka yakin akan kesaksian ketua Kay-
pang itu yang tentu tak bohong. Tetapi anehnya, soal masuknya Wajah seribu ke
dalam Sin-bu-kiong itu tak banyak menimbulkan keheranan sekalian hadirin. Hal
ini dikarenakan sebagian tokoh-tokoh yang hadir tak mempunyai dendam
permusuhan dengan Sin-bu-kiong.
Wajah seribu tertawa, “Nah sekarang kau harus menjawab pertanyaanku tadi!”
“Hek Gak dan Sin-bu-kiong…..!” sahut Jenggot perak. “Yang pertama adalah
seorang durjana ganas. Sepal terjangnya pada enam puluh tahun berselang tak
mudah dilupakan sekalian kaum persilatan. Kini dengan tipu daya, dia berhasil
mengikat Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi. Membangun markasnya di gunung
Tang-san dan bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Sedangkan Sin-
bu-kiong pun lebih licik dan hina lagi. Dia memfitnah dan memalsukan panji
Tengkorak darah agar kaum persilatan membenci Hun-tiong Sin-mo. Dengan
memperoleh dukungan sekalian kaum persilatan, dia hendak membasmi Hun-
tiong-san dan kemudian merajai dunia persilatan.
Apabila kedua durjana ini berhasil melaksanakan rencananya, kaum persilatan
pasti akan melewati hari-hari yang menyedihkan!”
Mata Wajah seribu berkeliaraan ke empat penjuru. Ia tertawa senyaring-
nyaringnya, “Apakah sekalian hadirin percaya pada ocehan si tua bangka ini?”
Para hadirin tak berani menjawab. Mereka takut menderita akibat yang tak
diinginkan.
Seketika berobahlah muka si Wajah seribu, “Soal ini baiklah kita tangguhkan
dahulu. Sekarang aku hendak bertanya padamu.....” ia berhenti untuk tertawa,
kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kau mengundang Hun-tiong Sin-
mo?”
Kecuali beberapa gelintir tokoh persilatan, boleh dikata kaum persilatan pada
umumnya menganggap Hun-tiong Sin-mo itu sebagai tokoh dalam dongeng yang
ajaib. taks eorangpun yang pernah melihat wajahnya.
Wajah seribu berobah air mukanya. Pada lain saat ia tertawa congkak, serunya
“Memang aku mempunyai maksud begitu!”
“Karena kau sendiri yang meminta, biarlah kukabulkan permintaannmu itu!” tiba-
tiba terdngar lengking suara wanita. Dan pada lain saat Hun-tiong Sin-mo Cu
Giok-bun melayang di hadapan Wajah seribu.
Terdengar seruan tertahan dari mulut Wajah seribu dan teriakan gemuruh dari
para hadirin. Hampir mereka tak percaya bahwa momok yang begitu disohorkan
karena keganasannya, ternyata hanya seorang wanita yang bertubuh langsing
kecil.
Cu Giok-bun tertawa dingin, “Di hadapan sekalian ksatria dari seluruh penjuru,
biarlah kusingkapkan rahasia ini. Hun-tiong Sin-mo Teng Ih-hui adalah mendiang
guruku. Sebelum menutup mata, beliau telah menurunkan seluruh kepandaiannya
padaku. Beliau meninggalkan pesan bahwa turun temurun, kaum Hun-tiong-san
hanya boleh mempunyai seorang murid tunggal dan pewaris itu harus tetap
memakai nama Hun-tiong Sin-mo, serta tinggal di gunung Hun-tiong san.
Maka…….”
“Kalau tak percaya, mengapa kau tak mencoba?” Cu Giok-bun tertawa dngin.
“Baik, memang aku ingin menguji kesaktian kaum Hun-tiong-san yang dishorkan
itu!” Wajah seribu tertawa seraya bergeser maju. Ia tetap tak percaya yang
dihadapannya itu adalah Hun-tiong Sin-mo. Maka iapun bersikap acuh tak acuh.
“Asal kau mempunyai kemampuan begitu, matipun aku rela!” teriak Wajah seribu.
Tiba-tiba ia menamparkan tangannya dan serentak dengan itu tubuhnya
bergoyang dan pecah menjadi beberapa sosok bayangan.
Dess… terdengar bunyi mendesis dan beberapa sosok bayangan itupun lenyap.
Cu Giok-bun dan Wajah seribu sama-sama tegak di tempat masing-masing.
Tampaknya pertukaran pukulan itu berimbang kekuatannya.
Wajah seribu baru saja mengadu pukulan dan sadarlah ia akan tenaga lawan.
Meskipun pukulan lawannya tak membuatnya mundur, tetapi ia cukup tergetar
hatinya.
Jelas tenaga pukulan lawan itu mengandung daya dorong yang luar biasa……
Wajah seribu tak berani berayal, cepat ia hendak menangkis, tetapi ia terlambat.
Ilmu yang paling diandalkan hanyalah Pek-pian-mo-ing, merobah diri menjadi
seratus bayangan. Tetapi ia lupa bahwa lawan mahir juga dalam ilmu melihat
langit mendengar bumi, maka Pek-pian-mo-ing tak berguna sama sekali.
Cu Giok-bun kali ini telah melancarkan serangan yang sangat telengas sekali.
Jauh lebih hebat dari pukulan-pukulan yang dilepaskan Jenggot perak tadi.
Seketika Wajah seribu merasakan dadanya sakit sekali. Tak dapat ia bertahan
lagi. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan sempoyongan hendak
jatuh.
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun meloncat maju dan menyusuli pula dengan sebuah
tamparan. Segumpal sinar merah menghambur, disusul dengan segulung asap.
Sebelum Wajah seribu sempat mengerang, ia sudah roboh di tanah menjadi
sesosok tubuh yang telah hangus…..
Tetapi kini di hadapan ratusan ksatria dari seluruh penjuru, Wajah seribu berani
meremehkan dirinya, benar-benar tak dapat diberi ampun lagi. Untuk menegakkan
kewibawaan Hun-tiong-hu yang sudah enam puluh tahun merajai dunia
persilatan, Cu Giok-bun terpaksa harus membunuh lawannya.
Pemandangan yang sengeri itu membuat sekalian hadirin serentak berdiri. Mereka
terkejut melihat kesaktian Hun-tiong Sin-mo yang sedemikian hebatnya. Kini baru
mereka terbuka matanya, bahwa Hun-tiong Sin-mo yang disohorkan itu ternyata
memang tidak bernama kosong.
Bahkan Jenggot perak sendiripun tak urung terkesiap dalam hati. Ia tak
menyangka kalau anak perempuannya itu memiliki ilmu pukulan yang sedemikian
saktinya.
“Ayah tak mengira kalau Hun-tiong Sin-mo memiliki pukulan yang sedemikian
saktinya....!”
Jilid 26 .
Lam-yau dan Pak-koay
Kini barulah sekalian hadirin percaya bahwa wanita yang tegak di tengah
gelanggang itu memang benar Hun-tiong Sin-mo.
Berpuluh-puluh anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak dengan dipimpin sendiri
oelh ketuanya telah tiba!
Jelas bahwa kedua partai itu memang telah bersepakat untuk datang bersama-
sama. Dan jelas pula, bahwa kedua partai itu telah bertekad hendak menghadapi
Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan Hun-tiong-hu.
Sesaat masuk di ruangan petemuan, ketua Hek Gak dan Sin-bu Te-kun segera
memberi salam kepada hadirin. “Karena ada urusan, kami datang terlambat.
Harap sekalian saudara memaafkan!”
Ucapan itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin. Karena rata-rata mereka
ngeri dan benci melihat keganasan Hun-tiong Sin-mo tadi.
Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “Kami kira saudara berdua tak sudi datang.
Apabila demikian, sebenarnya kami hendak mengunjungi istana kalian. Siapa
tahu ternyata saudara sudi memenuhi undangan kami, sehingga kami tak perlu
bersusah payah mengadakan perjalanan lagi!”
Marah benar Sin-bu Te-kun mendapat sambutan begitu. Serunya, “Menekan kaum
persilatan, mengganas partai Ji-tok-kau dan merangkul momok Hun-tiong Sin-mo
yang bergelimang darah. Hm, kedatanganku kemari adalah hendak membasmi
kuman berbahaya dalam dunia persilatan!”
“Percuma banyak bicara! Pepatah mengatakan, kalau menang menjadi raja, kalau
kalah menjadi buronan. Lebih dulu lenyapkan merka saja....... ” tukas ketua Hek
Gak.
“Kau benar, saudara Kongsun..... ” Sin-bu Te-kun cepat balas memutus omongan.
Kemudian ia menuding pada Cu Giok-bun, “Hun-tiong Sin-mo Teng Ih-hui sudah
mampus. Jika saudara Kongsun hendak membalas hinaan dulu, balaslah pada
wanita itu!”
Sin-bu Te-kun tertawa, “Dia adalah murid pewaris Hun-tiong Sin-mo teng Ih-hui,
atau anak perempuan ketua Thiat-hiat-bun!”
Tiba-tiba ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Heh,he, kiranya si tua Teng Ih-hui itu
sudah mampus! ”
“Kalau dapat membunuh perempuan itu juga sama artinya!” Sin-bu Te-kun tertawa
dingin.
Ketua Hek Gak mendengus, “Tentu! Setelah membunuh, aku tetap hendak ke
gunung Hun-tiong-san untuk merangket mayat Teng Ih-hui sampai tiga ratus
kali.....” tiba-tiba ia menuding pada Cu Giok-bun dan berseru memberi perintah,
“Lekas ringkus perempuan itu dan cincang dagingnya!”
Dua lelaki yang berdiri di belakang, yang satu Bok Sam-pi dan yang satu seorang
tua bertubuh kurus, segera melesat maju.
Cu Giok-bun tertawa datar. Menghadapi Bok Sam-pi dan si tua kurus, ia berseru,
“Jika kalian tak ingin cari mati, harap tinggalkan tempat ini saja!”
“Aku sudah tahu, kau urus dirimu sendiri sajalah!” sahut Cu Giok-bun dengan
dingin.
Bok Sam-pi tak mau bicara. Diam-diam ia mengerahkan lwekang dan tiba-tiba
menghantam. Juga si tua kurus tak bicara. Sepuluh jarinya yang runcing macam
cakar segera dicengkeramkan. Gerakan itu menimbulkan angin mendesis-desis.
Suatu tanda bahwa ilmu orang kurus itu telah mencapai tingkat yang tinggi.
Tiga tokoh sakti yang berilmu tinggi berbareng adu tenaga. Hadirin sekalian
mengira bakal menyaksikan kejadian yang dahsyat. Tetapi alangkah terkejutnya
mereka.
Ketika tenaga ketiga orang itu saling berbenturan, di luar dugaan sebagian besar
kekeuatan tenaga itu buyar lenyap. Tampaknya gerakan ketiga tokoh itu tidak
menggunakan tenaga.
Tetapi dari wajah mereka bertiga yang berobah gelap, terlihat bahwa sebenarnya
mereka sedang melakukan pertempuran yang dahsyat. Dibandingkan dengan adu
pukulan yang mengeluarkan suara dahsyat, jauh lebih hebat beberapa kali.
Sebagian besar dari hadirin adalah jago-jago silat yang memiliki ilmu lwekang.
Serentak mereka berdiri dan memperhatikan dengan seksama pada ketiga tokoh
yang sedang adu kekuatan itu.
Sin-bu Te-kun mengekeh sinis, “Lu tua, kau pun jangan menjadi penonton saja.
Aku telah mengundang dua sahabat untuk mengadu kepandaian dengan engkau!”
Jenggot perak tertawa, “Karena ada tamu agung, aku tentu akan melayani!”
Dua lelaki berwajah buruk seperti siluman, melangkah ke depan. Mereka memberi
hormat kepada Jenggot perak, “Sebenarnya hasrat kami dua bersaudara hendak
mengukur kepandaian dengan Hun-tiong Sin-mo, demi membalas kematian
Wajah seribu. tetapi karena Hun-tiong Sin-mo sudah ada lain saudara yang
melayani, maka kami ingin bermain-main dengan saudara saja!”
Kedua orang perawakannya sama. Hanya yang satu berpakaian warna putih dan
yang satu berwarna hitam. Sepasang mata mereka menonjol keluar, rambutnya
terurai sampai ke bahu. Sepintas pandang mirip dengan setan.
Memang kedua orang berwajah seram itu adalah Lam-yau (siluman selatan) dan
Pak-koay (manusia aneh dari utara).
Merah wajah kedua orang itu. Serempak mereka melengking. “Ngaco! Cukup
dengan mengenal kami berdua kakak beradik saja, masakah dapat diperintah
orang!”
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, “Harap saudara jangan pedulikan ocehan yang
memanaskan dari setan tua itu. Aku pasti membantu saudara!”
Lam-yau dan Pak-koay saling berpandangan. Pada lain saat merekapun segera
menyerang berbareng.
Gaya serangan mereka aneh sekali. Yang satu membentuk jarinya seperti cakar
baja. Yang lain tidak meyerang dengan jari atau tinju, tetapi dengan siku lengan.
Keduanya mirip dengan orang tolol.
Jenggot perak tak berani memandang remeh. Ia duga mereka tentu menggunakan
ilmu silat yang istimewa. Iapun serentak menggerakkan kedua tangannya
menyambut kedua lawan.
Dar…. terdengar getaran keras dan ketiga tokoh itu masing-masing mundur tiga-
empat langkah. Jelas bahwa kekuatan mereka berimbang.
Kesempatan itu tak disia-siakan ketua Hek Gak. Ia segera menghampiri Li Cu-
liong ketua Tiam-jong-pay, “Karena tak ada musuh, maka kaulah yang akan
kuganyang!”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Li Cu-liong tak berani
berayal. Ia menyongsong dengan kedua tangannya.
Bum.... terdengar letupan keras dan Li Cu-liong terhuyung-huyung ke belakang.
Hal itu jelas menunjukkan bahwa tenga ketua Tiam-jong-pay masih kalah jauh
dibandingkan ketua Hek Gak!
Ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Ho, kantong nasi yang tak berguna, lekas
serahkan jiwamu!”
Betapapun saktinya ketua Hek Gak, namun ia tetap tak mampu menahan tenaga
empat jago sakti dari Thiat-hiat-bun. Seketika ketua Hek gak terhuyung-huyung ke
belakang, hampir saja ia roboh.
Melihat itu empat orang su-cia dari Hek Gak pun tak tinggal diam. Mereka cepat
melompat menerjang empat su-kiat dari Thiat-hiat-bun. Seketika suasana menjadi
gaduh dengan pertempuran amuk-amukan.
Dara Pok Lian-ci yang sejak tadi terlongong-longong mengawasi ribut-ribut itu,
tampak gelagapan. Buru-buru ia menjemput tambur kecil di belakang bahunya,
lalu ditabuhnya.
Sekalipun hanya sebuah tambur kecil, tapi nadanya hebat sekali. Udara seolah-
olah penuh dengan kumandang bunyi tambur dan bumi serasa bergetar-getar.
Kedelapan orang penabuh tambur dari rombongan Hek Gak tadi, segera
menghentikan pukulannya. Mereka tak dapat menahan desakan bunyi tambur si
dara.
Pertempuran secara massal segera terjadi. Ke tiga puluh enam Tian-kong, tujuh
puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun segera terjun dalam gelanggang, disambut
oleh jago-jago Hek Gak dan Sin-bu-kiong.
“Cici Bun, lekas Tui-hong-kiongmu!” seru Bu-song kepada Siau-bun. Dan ia sendiri
segera menaburkan tiga batang Hong-thau-kiong (passer berkepala burung
Hong).
Sin-bu Te-kun hanya mengekeh tertawa, “Ho, budak perempuan, hari ini kalian
tentu akan mati di tanganku!”
Tubuhnya bergetaran di udara, disusul oleh dering gemerincing dari passer Hong-
thau-kiong dan Tui-hong-kiong yang berhamburan jatuh di tanah.
Saat itu Bu-song dan Siau-bun pun terkesiap kaget.Untung saat itu pengemis sakti
Thiat-ik Sin-kay segera bertindak menolong. Ia loncat menghantam Sin-bu Te-kun.
Tetapi Sin-bu Te-kun bukan tokoh sembarnagan. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay
terpental sampai setombak lebih jauhnya. Bu-song dan Siau-bun pun meundur
belasan langkah.
Reuni
Lwe-kang yang dimiliki oleh Sin-bu Te-kun sudah mencapai tingkat yang hebat.
Jarang orang yang kuat menerima pukulannya. Apalagi pukulannya saat itu
dilakukan dengan cepat dan keras. Kalau tak mati atau luka berat, tentulah
korbannya akan mencelat beberapa langkah.
Tetapi orang itu hanya tertawa mengejek . Tidak menangkis pukulan, melainkan
hanya menghindar dan tetap melayang ke samping.
Siau-bun dan Bu-song pun terkejut. Mereka tak kenal siapa pendatang itu.
Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay sebenarnya hendak menegur pendatang itu, tetapi
tak jadi.
“Masakah kau tak dapat menduga!” sahut orang itu dengan nyaring.
Sebenarnya pertempuran antara Bok Sam-pi dan si tua kurus melawan Cu Giok-
bun , masih berjalan seimbang. Sebenarnya kedua pengeroyok itu kewalahan.
Melihat Cu Giok-bun tiba-tiba mundur, merekapun mendapat kesempatan untuk
memulangkan napas.
Wajah Jenggot perak pun berobah. Secepat kilat ia melontarkan tiga buah pukulan
untuk mendesak mundur Lam-yau dan Pak-koay, lalu jago Thiat-hiat-bun itu
mengenjot tubuhnya ke udara dan melayang ke samping pendatang itu.
Kini seluruh mata ditujukan ke arah pendatang yang tak dikenal itu.
Memang orang itu adalah Pok Thiat-beng, si Pedang bebas. Juga Thiat-beng
berkaca-kaca menyambut, “Gak-hu….”
“Ya, aku bersalah padanya, aku…….” Thiat-beng tak dapat melanjutkan kata-
katanya karena Sin-bu Te-kun tiba-tiba mundur selangkah dan menukas. “Oh,
kiranya kau Pedang bebas Pok Thiat-beng……….!”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. “Tahu atau tidak, tidak penting. Aku hanya merasa
kasihan padamu!”
“Ki Pek-lam!” bentak Thiat-beng, “Aku tak kenal padamu. Bagaimana si Ma Hong-
ing dapat menjadi gundikmu!”
Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh. “Itulah yang kukatakan kasihan! Banyak sekali
hal yang tak kau ketahui. Sekalipun kau merengek-rengek sampai mati, jangan
harap kuberitahukan.......” ia sejenak mengedipkan matanya dan menyambung
pula, “Kasihan puluhan tahun kau telah menderita.....”
“Seumur hidup aku tak pernah menerima tekanan orang. Bagaimanapun pribadi
Ma Hong-ing, tetap ia adalah permaisuri Sin-bu-kiong. Mana dapat diserahkan
padamu!”
“Bukan hanya musuh, tetapi kita harus memutuskan siapa yang harus mati dan
hidup..... ” ia maju selangkah, mendengus, “Pok tayhiap..., ayolah mulai!”
Thiat-beng tertawa dingin, “Bukan karena aku tak sudi bertempur denganmu,
sebenarnya.......”
Thiat-beng tertawa, “Aku kuatir sekali turun tangan nyawamu amblas. Padahal
jiwamu hendak kuserahkan pada orang lain....”
“Pok Thiat-beng, jangan terlalu sombong!” bentak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Cepat ia menghantam dengan pukulan Hian-im-ciang.
Seluas dua tombak, saat itu terbaur oleh oleh hawa dingin yang menusuk tulang,
sehingga sekalian orang menggigil kedinginan.
Kiranya serangkum tenaga kuat tiba-tiba meluncur dari udara dan membentur
pukulan Sin-bu Te-kun. Itulah tenaga pukulan Hian-im-ciang yang hebat.
Datangnya pukulan itu benar-benar tak terduga sama sekali. Sin-bu Te-kun tak
mampu mendengarnya. Pada saat menghantam Thiat-beng, ia sudah
memperhitungkan bahwa tentu takkan ada orang yang membantu lawan. Bahwa
Jenggot perak yang berada di samping Thiat-beng pun tak nanti dapat
mengimbangi kecepatan serangannya itu!.
Bukan hanya Sin-bu Te-kun saja, tetapi semua hadirinpun kaget. Mereka menjerit
terkejut.
Sesosok bayangan biru meluncur turun dari udara dan tegak berdiri di tengah-
tengah Sin-bu te-kun dan Thiat-beng.
Kang Thian-leng......
“Bu-beng-jin, memang telah kuduga tentu engkau!” teriak Sin-bu Te-kun dengan
murka.
Thian-leng telah melayang dari jarak sepuluh tombak jauhnya. Tetapi ia dapat
menghantam Sin-bu Te-kun sampai mundur beberapa langkah.
“Eh, apakah kau sekarang sudah mempunyai nama? Siapakah namamu?” ejek
Sin-bu Te-kun.
“Pok Thian-leng!”
“Ha, ha, ha, !” Sin-bu Te-kun tertawa tergelak-gelak, “oh, kiranya begitu. Kau....”
“Baik, taruh kata kau Pok Thian-leng, tetapi ayah bunda kandungmu..... ”
“Setan tua, kau berani mengoceh tak keruan? Hari ini hendak kucincang tubuhmu
sampai hancur-lenur!” bentak Thian-leng dengan bengis, walaupun diam-diam
hatinya pedih. Karena apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun itu memang nyata.
Sampai saat itu ia belum mengetahui asal-usulnya.
Sin-bu Te-kun terkesiap, tetapi cepat ia tertawa, ”Jangan membual! Sekalipun ilmu
pelajaran It Bi siangjin tinggi, tetapi belum tentu sesakti itu…. dan juga paling-
paling kau hanya mempelajari beberapa jurus permainan saja!”
“Hm, sejak dahulu kala siapakah yang dapat mencapai kesempurnaan?” Thian-
leng tertawa mengejek.
Sin-bu Te-kun tertawa, “Baiklah, nanti sepuluh hari lagi kutunggu kedatanganmu di
istana Sin-bu-kiong!”
“Bukan hanya delapan jurus itu saja, juga segala macam kepandaianmu boleh
kau keluarkan!” sahut Sin-bu Te-kun dengan garang.
Thian-leng tertawa mengejek, “Baik, kali ini kuampuni jiwamu!” ia melirik tajam
kepada lawannya, serunya, “tetapi apakah lain-lain cianpwe mau memberi ampun
kepadamu atau tidak, terserah saja, aku tak berani mencampuri!”
Thiat-beng dan Giok-bun diam-diam mengerti, bahwa ayah mereka tentu sudah
mempunyai rencana.
Pertama supaya mereka segera terangkap sebagai suami isteri lagi. Kedua
supaya lekas dapat mencari Ma Hong-ing. Karena hanya dari si bujang wanita
yang beracun lidahnya itu dapat diketahui duduk perkara yang sebenarnya.
Dan ketiga, soal Thian-leng dengan Siau-bun dan Bu-song harus segera
diselesaikan juga.
Di luar dugaan, Thian-leng telah muncul dengan tak kurang sesuatu apapun,
bahkan dengan membawa kesaktian yang mengagumkan, Bu-song sampai
terlongong-longong tak dapat berbicara.
Juga Siau-bun tak kurang girangnya. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri
untuk menghampiri pemuda itu. Tetapi karena malu dengan sekian banyak orang,
terpaksa ia hanya berdiam diri saja. Paling-paling ia mencuri kesempatan melirik
pemuda itu.
“Kalau begitu aku pulang dulu!” dengan gaya garang Sin-bu Te-kun yang licin
segera menggunakan kesempatan.
Jenggot perak tertawa, “Dari jauh-jauh saudara datang kemari, mengapa terburu-
buru hendak pulang?”
Sin-bu Te-kun terbeliak, “Apakah kau hendak mengajukan acara lain lagi?”
Kerut wajah Sin-bu Te-kun agak mengendor, ujarnya, “Terima ksih, tetapi lebih
baik aku pulang saja!” tanpa menunggu sahutan orang lagi, segera ia melangkah
pergi. Berhenti di depan ketua Hek Gak, ia menggunakan ilmu menyusup suara,
“Situasi berobah begini, apakah saudara Kongsun masih mempunyai rencana
lain?”
Tiang andalan ketua Hek Gak hanyalah Bok Sam-pi. tetapi ternyata walaupun bok
Sam-pi maju bersama si tua kurus, tetap tak dapat mengalahkan Hun-tiong Sin-mo
Cu Giok-bun. Diam-diam hati ketua Hek Gak sudah gentar. Apalagi Pok Thiat-beng
dan Thian-leng berturut-turut muncul, nyali ketua Hek Gak semakin rontok.
“Saudara masih mempunyai dendam dari enam puluh tahun silam,” Sin-bu Te-kun
tertawa, “Nafsu besar tetapi nyali kecil. Jika mempunyai rencana untuk menguasai
dunia persilatan, tak boleh kita takut menghadapi kesulitan!”
Merahlah muka ketua Hek Gak, serunya, “Bagaimanakah pendapat saudara Ki!”
“Terus terang, aku sudah mempunyai rencana untuk mati bersama-sama mereka!”
Mendengar itu ketua Hek Gak terbelalak, tetapi cepat ia menegas, “Bagaimanakah
caranya?”
“Telah dapat kuundurkan pertempuran kita sampai sepuluh hari lagi dan
tempatnyapun kupilih di Sin-bu-kiong. Lihat saja apakah mereka nanti dapat
keluar dari Sin-bu-kiong dengan masih bernyawa!” sahut Sin-bu Te-kun dengan
bangga.
“Apakah saudara bermaksud.....”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berganti nada serius, “Asal saudara suka mengajak anak
buah saudara berkumpul di Sin-bu-kiong, kutanggung harapanmu tentu
terlaksana….,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh. Asal kita bersatu, siapakah yang dapat menandingi? Harap saudara
Kongsun memberi keputusan!”
Ketua Hek Gak mengerutkan wajah dan menjawab terbata-bata, “Ini..... sebagai
ketua Hek Gak aku.....”
Permintaan Sin-bu Te-kun itu berarti menyuruh ketua Hek Gak takluk pada Sin-bu
Te-kun. Suatu hal yang terlampau berat bagi ketua Hek Gak.
“Ya, ya, setuju, setuju.....” akhirnya dengan wajah meringis, ketua Hek Gak
menyahut, “memang seharusnya kubantu kesulitan saudara dalam pertempuran di
Sin-bu-kiong nanti!”
Tiba-tiba wajah Sin-bu Te-kun mengerut gelap, ujarnya, “Mungkin saudara belum
menangkap kata-kataku. Maksudku agar saudara menggabung pada Sin-bu-kiong
atau jelasnya supaya Hek Gak masuk menjadi anak buah Sin-bu-kiong. Segala
apa harus menurut perintahku......” ia berhenti sejenak, katanya pula, “tetapi
hendaknya saudara Kongsun jangan cemas. Kesemuanya ini hanya rencana
sementara. Begitu sudah berhasil, dunia persilatan akan menjadi di bawah
kekuasaan Hek Gak dan Sin-bu-kiong! Aku pasti tak akan...”
Walaupun di dalam hati benci sekali, namun ia tak berdaya dan terpaksa batuk-
batuk, “Ya, ya , aku menurut saja!”
Percakapan yang dilakukan oleh kedua tokoh itu menggunakan ilmu menyusup
suara, sehingga orang lain tak mendengar sama sekali. Tetapi karena memakan
waktu lama, Thian-leng pun tak sabar lagi, bentaknya, “Kalau tetap tak lekas
enyah, jangan menyesal kalau keputusanku berobah menjadi tak menguntungkan
dirimu!”
Kiranya tamparan yang ditujukan pada Sin-bu Te-kun itu itu tidak langsung
ditujukan pada orangnya, melainkan ke sebelahnya.
Seketika tanah seluas dua meter di sisi Sin-bu Te-kun meranggas hangus. Sampai
beberapa lama api baru padam. Sekalian orang terkejut bukan kepalang.
Pukulan yang dapat membakar tanah...... Di dunia persilatan mungkin tak ada
orang kedua yang memiliki ilmu pukulan semacam itu.
Tiba-tiba terdengar raung seperti singa. Sesosok tubuh gendut loncat ke muka
Thian-leng.
Kiranya yang tegak di hadapannya itu ialah Bok Sam-pi, tokoh linglung yang
bertubuh gemuk.
“Buyung, ayo kita bertanding sejurus lagi!” Bok Sam-pi menggerung. Walaupun
linglung, namun ia masih ingat akan pertempuran di gunung Thay-heng-san
tempo hari.
Karena belum memperdalam ilmu ajaran It Bi siangjin, Thian-leng lebih parah
lukanya, walaupun begitu Bok Sam-pi pun harus beristirahat lebih dari sebulan
untuk memulihkan lukanya.
“Dalam kedudukan sebagai guru dan murid, siapakah yang harus mendengar
perintah?” di luar dugaan Bok Sam-pi marah.
Jago tua itu selama hidup jarang menderita kekalahan. Bencinya terhadap Thian-
leng benar-benar merasuk tulang. Ia tak menghiraukan peringatan ketua Hek Gak
lagi.
Ketua Hek Gak semakin gelisah. Ia tahu bahwa kalau Bok Sam-pi menempur
Thian-leng, tentu akan kalah. Tiang andalan satu-satunya hanyalah pada Bok
Sam-pi. Jika Bok Sam-pi sampai kenapa-napa, ia tentu akan kehilangan tiang
andalannya.
“Locianpwe, apakah kau tak ingat pada cucumu Bok Ceng-ceng?” masih Thian-
leng bersabar. Dia berusaha hendak menyadarkan ingatan jago tua itu. Mungkin
dengan mengemukakan Ceng-ceng, Bok Sam-pi akan pulih kesadarannya.
Di luar dugaan, usaha Thian-leng itu malah menimbulkan kebalikan. Bok Sam-pi
marah sekali dan membentak-bentak, “Siapa suruh kau mengatakan anak
perempuan itu!” sekoyong-konyong ia menghantam.
Thian-leng tahu bahwa orang tua itu masih hilang ingatannya. Maka ia tak mau
menandingi dan hanya menghindar ke samping saja.
Tetapi Bok Sam-pi tetap tak mau menghiraukan dan membentak Thian-leng,
“Buyung, mengapa kau tak berani menyambut pukulanku!”
Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah melangkah pergi, tetapi begitu Bok Sam-pi
menantang Thian-leng, ia menghentikan langkahnya dan mengikuti perkelahian
itu.
Ketika melihat ketua Hek Gak gelisah, segera ia menghampirinya.
Ketua Hek Gak menggeleng, “Tak mungkin! Kekuatan obat itu dapat bertahan
sampai petang hari!”
“Kalau begitu..... ”
“Dengan beberapa patah kata, aku dapat menguasainya!” seru Sin-bu Te-kun.
Wajah Sin-bu Te-kun mengerut serius, “Masakah dalam saat seperti sekarang aku
bergurau?”
“Kalau benar, aku taat dan ikhlas untuk menjadi orang bawahan sin-bu-kiong!”
Bok Sam-pi yang sebenarnya hendak melontarkan pukulan lagi, tiba-tiba tertegun
mendengar kata-kata Sin-bu Te-kun. Sesaat kemudian ia menyahut dengan ilmu
menyusup suara juga, “Apa hubungannya dengan diriku?”
“Katakanlah!”
Dan tanpa menghiraukan sahutan orang lagi, jago tua itu berputar dan terus
melangkah pergi dengan kepala menengadah.
Thian-leng meringis. Sekalipun ia tak tahu apa yang dibicarakan antara Sin-bu Te-
kun dan Bok Sam-pi tadi, tapi ia mempunyai dugaan bahwa Bok Sam-pi tentu kena
ditipu. Diam-diam ia kasihan dengan locianpwe yang kehilangan pikirannya itu.
Sayang ia belum dapat mempelajari ilmu pengobatan dari kitab It Bi siangjin,
sehingga tak dapat menolong jago tua itu.
Bok Sam-pi tak menghiraukan semua orang. Dia terus melangkah keluar. Ketua
Hek Gak segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Seluruh rombogan Hek
Gak pun segera mengikuti Bok Sam-pi. Sin-bu Te-kun, Lam-yau, Pak-koay, Bu-ciu
su-seng dan rombongan Sin-bu-kiong pun segera angkat kaki.
Karena pemimpinnya tak memberi komando, anak buah Tiam-jong-pay dan Thiat-
hiat-bun pun tak berani mencegah mereka.
Saat itu fajar mulai menyingsing. Hanya kurang lebih setengah jam lamanya, Sin-
bu Te-kun dan ketua Hek Gak datang dengan semangat menyala-nyala, tetapi
pergi dengan nyali pecah. Sekalian hadirin menyaksikan kejadian itu, tetapi
mereka tak berani bicara dengan mulut melainkan dalam hati. Ada sebagian besar
yang masih menganggap bahwa pihak Sin-bu-kiong adalah bintang penolong,
yang akan menyelamatkan dunia persilatan Tiong-goan dari kekejaman Hun-tiong
Sin-mo dan Thiat-hiat-bun.
Tetapi apa yang terjadi, benar-benar di luar dugaan mereka. Thian-leng sama
sekali tak menghiraukan rombongan sembilan partai. Tampaknya pemuda itu
sudah lupa pada apa yang terjadi di selat Sing-sim-kiap dulu. Dia hanya sibuk
berbicara dengan ketua Thiat-hiat-bun saja.
Yang lucu adalah kedua tokoh Im Yang song-sat. Semula kedua orang itu ikut Cu
Siau-bun, tetapi ketika Thian-leng muncul, mereka segera terbirit-birit melarikan
diri.
Jilid 27 .
Li Cu-liong buru-buru maju. “Apakah pesan gihu?”
Ketua Thiat-hiat-bun berkata dengan keren, “Medan pesta telah berobah menjadi
medan pertempuran. Kegembiraan para tamu kita terganggu.... Entah makan
waktu berapa lama untuk mengembalikan meja kursi yang telah morat-marit ini?”
“Kalau begitu harap Li Ciangbun suka menyuruh orang untuk mengatur lagi!”
Li Cu-liong mengiyakan.
Jenggot perak tak menuju ke ruangan besar, tetapi ke belakang markas. Di situ
terdapat sebuah hutan kecil, yang walaupun tak lebat, namun cukup sepi. Ketika
berada di tengah hutan, ia berhenti. Tanpa memalingkan tubuh ia sudah tahu
bahwa Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun, Siau-bun, Bu-song serta si pengemis sakti
Thiat-ik Sin-kay mengikutinya.
“Gakhu, apakah selama ini kau baik-baik saja?” Thiat-beng tertegun menghela
napas. Gakhu artinya ayah mertua.
Jenggot perak tertawa, “Anak tolol, mengapa seorang yang sudah berumur empat
puluhan tahun masih seperti kanak-kanak. Apakah tak mau mengakui kesalahan
yang dulu?”
“Tujuh belas tahun lamanya!” tiba-tiba dari mulutnya meluncur kata-kata sayu.
Keduanya tenggelam dalam kenangan. Salah paham pada tujuh belas tahun
berselang, menimbulkan berbagai duka nestapa. Banyak sekali hal-hal yang telah
terjadi selama tujuh belas tahun itu. Setelah berpisah selama tujuh belas tahun,
kini mereka berjumpa pula. Lama, lama benar kedua suami isteri itu terbenam
dalam lautan kenangan…..
Thiat-beng mengusap dua titik air mata yang mengucur di celah matanya. “Giok-
bun, aku…. berdosa padamu, aku……”
“Ah, kau tak bersalah. Semuanya itu, akulah yang paling bersalah…..”
“Aku tak menyesalinya,” kata Giok-bun. “Aku tahu waktu itu kau kesepian?”
“Bukan maksudku untuk menghianatimu, selama tujuh belasa tahun itu telah
banyak mengalami perubahan, namun hatiku tidak sedikitpun berubah. Walaupun
kepergianku membawa semua kemarahan, kegalauan dan bermaksud untuk
mengasingkan diri karena kekecewan hati, ditambah aku beristeri lagi, tak pernah
aku melupakan dirimu. Sebenarnya aku berniat pulang, namun aku merasa takut
kalau kau membenciku, maka .........”
Hati Pok Thiat-beng seperti disayat. Dua butir air mata mengalir dari kelopaknya.
Sampai lama mereka tak dapat berkata-kata.
Thiat-beng pun terbelalak. Ia baru tahu bahwa gadis cantik yang berada di
hadapannya itu adalah puterinya sendiri.
“Tahukah kau bahwa aku adalah ahli waris dari Hun-tiong Sin-mo?”
“Eh, mengapa kau tak memberitahukan hal itu kepadaku? Apakah kau mendapat
ayah angkat?” tiba-tiba Jenggot perak menyeletuk.
“Lalu ....”
“Yah, kau hatus memaafkan. Orang tua she Cu itu telah melepas budi sebesar
lautan kepadaku. Dia tak ubahnya seperti ayah kandungku sendiri. Kalau tak ada
dia, tak mungkin aku bertemu dengan suhu. Tak menjadi ahli waris dari Hun-tiong-
hu.”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Karena itu maka aku telah
mengucapkan sumpah di hadapannya, akan merawatnya sampai mati dan
mengganti she dengan she Cu, menganggapnya sebagai ayah kandung
sendiri.....”
“Hai, apakah dia bukan Tabib sakti Cu Thian-hoan?“ celetuk Jenggot perak.
“Dia .... adalah sahabatku juga! Sekarang ...... apakah dia tak kurang suatu
apapun?”
Cu Giok-bun tertawa rawan, “Seorang yang banyak menolong jiwa manusia dan
berbuat kebaikan, pada hari tuanya malah menderita penyakit....”
“Entahlah, aku tak tahu. Hanya kaki tangannya terasa lemas, tak bertenaga sama
sekali. Bangun dan bergerak harus dibantu orang!”
“Di Hun-tiong-hu!”
“Pulang ke Hung-tiong-san?”
“Siau-bun, apakah kau tak ikut mamah?” tegur Cu Giok-bun kepada si dara. Lalu
dipandangnya Thian-leng dengan tatapan tajam. Thian-leng tersipu-sipu
menundukkan kepala. Banyak nian yang berkecamuk dalam hatinya, sehingga
sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.
Walaupun mulutnya mengiyakan tetapi berat sekali kaki Siau-bun bergerak. Juga
wajah Jenggot perak tegang. Cu Giok-bun telah menceritakan kepadanya tentang
hubungan Siau-bun dengan Thian-leng dan perjanjian hidup mereka. Bahkan
yang lebih lanjut, tentang hubungan yang sudah melampaui batas antara kedua
anak muda itu. Siau-bun sudah tentu tak mau pergi.....
“Siau-bun, karena kau tak suka ikut, terpaksa aku akan pergi sendiri!” serunya
sesaat kemudian.
“Sudah!”
“Ini ...”
Baru pertama kali itulah ia memanggil Thian-leng seperti itu. Walaupun sudah
dibesarkan nyalinya, namun nadanya tetap bergetar juga.
Tahu Pok Thiat-beng itu ayahnya, tetapi karena sejak kecil ia tak pernah
berkumpul, maka perasaannyapun seperti orang asing.
Thiat-beng sedikit banyak dapat mengetahui hubungan kedua anak muda itu,
serunya dengan tegang, “Thian-leng sekarang menjadi putera angkatku. Kalian
harus berbahasa engkoh-adik!”
Siau-bun tertawa manja, “Yah, tahukah kau siapa di antara kami berdua yang lebih
tua? Kalau aku lebih tua beberapa hari, bagaimanakah harus memanggilnya?”
Merah seketika telinga Thian-leng, serunya, “Mana aku berani memberi perintah
padamu, hanya .... ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan padamu!”
“Katakanlah saja!”
Bu-song muramkan wajah, “Apakah kau tahu dia……. berhubungan dengan aku?”
Dan bertengkarlah kedua dara itu dengan ngotot. Sekalian orang tak mengerti apa
persoalan mereka.
Bu-song menenangkan hatinya lalu mengangkat muka, “Belum lama ini atas
kehendak kakek, aku telah….. dijodohkan padanya!”
“Semula memang anak hendak menceritakan hal itu kepada gihu. Tetapi karena
gihu melarang aku banyak bicara, jadi sampai sekarang belum ......”
Memang Thiat-beng teringat hal itu dan bahkan pernah memaksa pemuda itu
menikah dengan Ki Seng-wan.
“Ah, aku yang salah, akulah yang mencelakai kalian ....” Akhirnya ia menghela
napas.
“Paman, apa kesalahanmu? Ini,…. apa artinya?” seru Bu-song dengan heran.
“Tahukah kau bahwa Thian-leng sudah menjadi calon suami orang?” seru Thiat-
beng.
“Benarkah ...?” Bu-song melengking kaget. Lebih kaget dari mendengar halilintar
menyambar di tengah hari. Tubuhnya gemetar hampir tak kuat berdiri lagi. Ia tekan
keras supaya darahnya jangan meluap keluar dari mulut.
Juga Siau-bun gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas. Kegoncangan hatinya tak
kalah dengan Bu-song.
Bu-song mengusap air matanya, ujarnya, “Kalau begitu perkawinannya itu atas
kehendak paman?”
“Siapa isterinya?”
“Ki Seng-wan!”
“Ya, tetapi mereka berdua taci beradik itu baik-baik, dan pula ...”
Thiat-beng mengerutkan dahi tak bicara. Dia tak tahu peristiwa Thian-leng dengan
Bu-song. Jika tahu tentu takkan dipaksanya Thian-leng menikah dengan Ki Seng-
wan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Bahwa Bu-song
menyatakan kebenciannya, Thiat-beng tak dapat berbuat apa-apa. Ia mandah
saja!
Sembari berlari dara itu sudah menyelinap jauh. Thiat-beng termangu-mangu tak
dapat berbuat apa-apa. Mau mengejar tak enak, tidak mengejarpun tak enak.
Bagaimana ia harus bertanggung jawab kepada Jenggot perak apabila dara itu
sampai kena apa-apa.
Bu-song yang sudah jauh terpaksa berhenti. Sambil berpaling ia tertawa sinis,
“Perlu apa kau hendak mencari aku? Apakah kau hendak menuduh aku
melarikannya?”
Sekejap saja Siau-bun telah tiba di hadapan dara itu, “Adik Song, sekarang kita
harus bersatu padu!”
“Apa guna bersatu padu? Toh dia sudah menikah dengan orang lain!”
“Kita aduk-aduk sampai kacau balau baru kemudian mencukur rambuk masuk
menjadi rahib!”
“Tetapi orang sudah mendapatkannya, nasi sudah menjadi bubur, apa daya kita?”
Siau-bun berseru gembira, “Suami isteri yang berantakan jauh lebih menderita
dari kekasih yang patah hati!”
“Eh, kau biasanya cerdik mengapa sekarang tak dapat memikirkan hal itu?” Siau-
bun tertawa.
Siau-bun segera mengajak berangkat. Dalam beberapa loncatan, kedua gadis itu
pun sudah lenyap.
“Gihu ... ” baru Thian-leng hendak berkata. Thiat-beng sudah membentak, “Lekas
kejar!”
ooo000ooo
Menjerat Kerbau
Bu-song dan Siau-bun tahu bahwa Thian-leng mengejar mereka, namun mereka
pura-pura tak menghiraukan dan lari sekencang-kencangnya.
“Piauci, rencana berhasil. Manusia lupa budi itu mengejar!” Bu-song berseru
kepada Siau-bun dengan ilmu menyusup suara.
Siau-bun menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Asal rencana pertama
berhasil, kemungkinan besar kita tentu berhasil!”
“Ya, ya, mari kita belok ke jalan ini!” sahut Bu-song seraya melesat ke jurusan lain.
Tetapi kedua nona itu tidak menghiraukannya dan tetap berjalan maju. Thian-leng
terpaksa melintangkan kedua tangannya. “Andaikata aku bersalah, harap nona
suka .....”
“Kalau tidak mengapa kau gerakkan kaki dan tanganmu?” teriak Bu-song.
Kedua gadis itu tertawa dingin dan tetap melesat dari samping Thian-leng. Karena
gugup, Thian-leng melintangkan lagi tangannya.
“Fui, laki dan perempuan tak boleh bersentuhan. Mengapa kau begitu tak tahu
aturan?” bentak Siau-bun. Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya...
Plak .... karena tak menduga, pipi Thian-leng kena tampar. Lima buah bekas jari-
jari halus melekat di pipinya. Dan dari ujung mulutnya mengalir darah.
Thian-leng malu dan menyesal tetapi ia tak berani berkata apa-apa. Dilepasnya
kedua nona itu dengan mata terlongong-longong. Setelah beberapa saat, barulah
ia ayunkan langkah mengikuti mereka.
Ia tahu bahwa kedua nona itu tentu mendendam sekali kepadanya. Mereka rela
berkorban segalanya. Maka dapat dimengerti bagaimana terpukulnya hati mereka
ketika mendengar ia sudah menikah dengan lain nona. Melihat watak mereka,
bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang sukar diduga. Dan
andaikata terjadi sesuatu dengan mereka, bukan saja ia harus mempertanggung
jawabkan kepada Jenggot perak dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ia sendiri
juga akan tersiksa seumur hidup.
( bersambung ke jilid 28)
Jilid 28 .
Kalau yang mengikuti dicengkeram kecemasan, yang diikuti sebaliknya malah
riang gembira. Berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Bagaikan tingkah
pemburu, mereka mengambil jalan di lereng gunung curam.
“Cici, hari sudah malam, kita bermalam di kuil ini saja!” kata Bu-song.
Siau-bun mengangguk, “Baik, sehari suntuk perut kita tak terisi. Mari kita buat sate
kelinci yang kutangkap di hutan tadi,” sahut Siau-bun.
Sambil bercakap-cakap diseling tertawa-tawa, kedua nona itu membuat api dan
membakar kelinci. Tampaknya mereka riang gembira. Thian-leng yang
bersembunyi di balik sebuah batu yang berada sepuluhan tombak di luar kuil,
hanya mengigit jari saja. Bau sate kelinci yang dibawa oleh angin malam, benar-
benar mengelitik perutnya. Air liurnyapun beberapa kali terpaksa ditelannya.
Tetapi karena sikap kedua nona yang begitu dingin, ia tak berani menghampiri ke
dalam kuil. Terpaksa ia mengawasi mereka di luar saja.
Menjelang tengah malam, tak terdengar lagi percakapan kedua nona. Rupanya
mereka tidur nyenyak di dekat api unggun. Sebaliknya Thian-leng tak berani
memejamkan mata karena kuatir kedua nona itu lenyap.
Tiba-tiba dari dalam kuil terdengar suara helaan napas. Thian-leng terkejut. Jelas
itulah suara helaan napas Bu-song. Benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri
lagi. Ia memberanikan diri menghampiri ke dalam kuil. Melangkah ke dalam
ruangan kuil, barulah hatinya lega. Kedua nona itu tidur disamping api unggun.
Tiba-tiba dara itu mencelat bangun. “Aku sakit atau tidak, apa pedulimu,” ia
tengkurap lagi.
“Biarlah langit dan bumi menjadi saksi isi hatiku. Mengapa kau tak dapat
memaafkan aku?”
“Lalu mengapa kau....?”
“Jangan kuatir, dia hanya masuk angin karena mendongkol,” jawab Siau-bun. Ia
memberi minum dara itu sebutir pil.
Tak berapa lama dara itupun sudah dapat bangun. Tetapi ketika melihat Thian-
leng ia segera melengos.
Thian-leng menghela napas, “Jika kalian tak mau pulang, akupun takut menemui
Lu dan Cu cianpwe dan ikut saja pada kalian terus!”
“Boleh tetapi paling tidak harus memenuhi sebuah syarat!” kata Siau-bun.
Siau-bun tertawa, “Ah, sebenarnya bukan syarat yang sukar. Hanya asal kau mau
mengatakan dengan sejujurnya!”
Siau-bun tertawa datar dan berpaling kepada Bu-song, “Adik, pertanyaanku sudah
selesai.”
Bu-song mendengus, serunya. “Eh, sampai berapa jauh telah kau pelajari ilmu
dalam kitab It Bi siangjin itu?”
“Hm, pertanyaankupun selesai .... itu ada sisa sate kelinci, silakan makan!”
“Ah, adik Song terlalu menghina!” kata Thian-leng terus menyambar paha kelinci
dan dimakannya.
Tetapi begitu daging kelinci masuk ke dalam perut, perutnya seperti diaduk.
Serangkum hawa memuakkan menghambur ke atas. Kepalanya serasa pusing
dan bluk ..... jatuhlah ia tak sadarkan diri.
“Jangan lagi kedua, sampai habispun tentu berhasil!” sahut Siau-bun, “Mana ayam
alasnya?”
Bu-song mengambil seekor ayam hutan dari meja. Kaki ayam itu diikat kencang.
Siau-bun menyambut dengan gembira. Dirobeknya baju Thian-leng sedikit di
bagian dada.
Siau-bun tertawa,“Sayang wanita itu tak secerdas kau. Jika ia tak datang. Aku
berani memberikan kepalaku kepadamu!”
“Sederhana saja, lihatlah!” Siau-bun segera menusuk ayam hutan dan memotes
kepalanya. Kemudian ia menggunakan darah ayam itu untuk menulis di baju
Thian-leng :
“Wanita hina itu jika menerima surat ini tentu segera datang dan tentu menangis
sedih,” kata Siau-bun.
“Ya,ya, kita lihat pertunjukan itu di sini. Kemudian kita cari akal lagi untuk
menyiksanya lebih lanjut. Ah, cici benar-benar cerdik.... eh, tetapi bagaimana
mengirimkan surat ini?”
“Dia sekarang adalah ketua Kay-pang. Anak buah partai Kay-pang banyak sekali.
Asal kita mencari seorang anak buahnya, surat berdarah ini tentu segera
disampaikan pada penerimanya....”
“Thay-heng-san jauh sekali. Taruh kata wanita itu segera berangkat paling tidak
juga memakan waktu seminggu. Dalam jangka waktu sekian lama apakah takkan
terjadi sesuatu?” Bu-song menyatakan kekuatirannya.
“Setelah menerima surat ini, dia tentu segera berangkat dan menempuh
perjalanan siang malam. Mungkin dalam waktu tiga-empat hari tentu tiba di
gunung Thay-heng-san. Tentang terjadinya perobahan, memang sukar diduga.
Tetapi .........paling tidak pemuda ini tetap berada dalam tangan kita!”
“Benar, benar,” Bu-song tertawa, “ tetapi sampai berapa lama kekuatan obat tidur
itu?”
“Jika orang biasa tentu tertidur selama sepuluh jam. Tetapi karena dia yang
makan, mungkin hanya tahan dua jam saja.”
“Mengapa?”
“Seluruh jalan darah di tubuhnya telah kututuki, hanya kutinggalkan jalan darah
pembisu. Nanti kalau bangun, dia hanya dapat mendengar dan bicara tetapi tak
dapat bergerak ...”
“Bukan begitu maksudku,” Siaubun tertawa, “aku kuatir ilmu tutukanmu tak
mempan kepadanya!”
Bu-song terkejut, “Ya, Ya, benar. Dia sudah mendapatkan pelajaran sakti dari It Bi
siangjin. Mungkin dapat mengatasi tutukanku dengan mudah!”
“Tetapi benda itu sukar di dapat. Dan saat ini kita berada di tengah gunung yang
terpencil. Kemana hendak kita cari?” bantah Bu-song
Dari bajunya Siau-bun mengeluarkan dua kerat otot ular besar, serunya, “Telah
lama kusimpan benda ini. Bukan karena khusus untuk menangkap pemuda ini,
tetapi memang menjadi alat-alat yang kubekal. Ah, tak kira hari ini ada gunanya!”
“Memang banyak hal-hal yang tak terkira. Ayo, kita ikat saja dia!” seru Bu-song.
Dara itu segera menyambar tali dari Siau-bun, terus diikatnya tubuh Thian-leng
sekencang-kencangnya.
“Sekarang kita harus cari anggota Kay-pang untuk mengirimkan surat ini kepada
perempuan hina itu ...” kata Siau-bun.
“Aku yang menunggu di sini, silakan taci yang mencari!” kata Bu-song.
Setelah menyimpan robekan baju yang bertuliskan darah. Siau-bun segera pergi.
Ia tak paham jalan di gunung situ apalagi di tengah malam. Hampir sejam lamanya
baru ia dapat mencapai kaki gunung dan berhasil menemukan seorang anak buah
Kay-pang.
Demi mendengar ketuanya sakit, pengemis itu pucat. Segera ia menyerahkan
surat darah itu kepada kepalanya. Siau-bunpun bergegas-gegas kembali ke
gunung. Tiba di kuil, hari sudah hampir terang tanah. Thian-leng pun sudah
terjaga tetapi matanya tetap meram dan terdiam. Kedua belah pipinya terdapat
jalur bekas merah biru, mulutnyapun berdarah. Terang bahwa dia menerima
beberapa tamparan dari Bu-song.
Siau-bun mengerutkan dahi, “Perempuan hina itu tentu beberapa hari baru dapat
tiba kemari. Tak perlu buru-buru menyiksanya. Jika dia sampai mati, urusan malah
menjadi .... ”
“Dia pernah berjanji mengikat jodoh dengan aku. Sedang aku tak merasa kasihan
sedikitpun kepadanya, mengapa kau berbalik hendak membelanya?” Bu-song
melengking.
Siau-bun tertawa dingin, “Banyak sekala hal-hal di dunia yang di luar dugaan
manusia. Memang hati manusia sukar diduga. Dia sudah berjanji menikah dengan
kau, mengapa bisa jatuh di pelukan lain orang. Sejak ini mungkin ......”
Dada Bu-song berombak keras, “Tunggu kalau perempuan hina itu sudah datang,
di hadapannya nanti tentu akan kubunuh lalu kucincang perempuan hina itu,
barulah hatiku puas!”
Bu-song terkesiap kaget. Katanya kemudian, “Aku tak bicara padamu, mengapa
kau bertanya?”
“Apakah kau hendak menasehati kami?” bentak Bu-song dengan marah. Plak .... ia
memberi sebuah tamparan lagi.
Pipi Thian-leng makin bengap. Pemuda itu tak dapat menahan kemarahannya
lagi, “Akulah yang buta sehingga tak dapat mengetahui bahwa kalian ternyata
begini buas!”
“Hm, kau toh sudah mendapat ilmu sakti dari It Bi siangjin, mengapa tak mampu
melepaskan diri dari ikatan tali saja? Ayo, mari kita bertempur!”
“Hi, hi, hi ,” Siau-bun tertawa, “tali itu walaupun tampaknya kecil tetapi tak mudah
putus. Asal kau mampu memutuskannya, tak perlu bertempur lagi, aku dan adik
Song segera akan bunuh diri!”
Thian-leng menghentikan usahanya. Memang tak perlu dinasehati, ia sudah
mencoba kekuatan tali itu. Jika bukan tali dari urat ular, tentulah dari ulat Thian-jan
yang jarang terdapat di dunia. Betapun saktinya tentu tak mungkin dapat
memutuskan tali itu.
“Pada saatnya kau tentu tahu sendiri. Sekarang kau harus menderita beberapa
hari dulu!” seru Bu-song.
“Mengapa?”
“Adik Song, kau toh seorang cerdik, mengapa harus kuterangkan lagi? Dia toh
saat ini menjadi tawanan kita, takut apa kita kasih tahu padanya?”
Bu-song bertepuk tangan, serunya, “Ya, ya, benar. Toh perempuan hina itu baru
empat-lima hari lagi datang. Kita beritahukan dia agar dia bisa merenungkan!”
“Tak nanti dia menurut perintahmu, tentu takkan datang kemari,” jawab Thian-leng.
“Jika ia tak datang, kau akan kubebaskan dan aku akan bunuh diri!” seru Bu-song.
“Terhadap manusia rendah budi semacam kau, terpaksa harus dihadapi dengan
siasat begitu. Tunggu saja pertunjukan yang lebih bagus bila perempuan hina itu
sudah datang nanti.!”
Thian leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dalam-dalam. Ia
tahu bahwa keganasan kedua nona itu disebabkan kekecewaan hatinya. Hati
yang patah karena merasa dikhianati cintanya....
Haripun makin terang. Akhirnya Siau-bun menghela napas, “Adik Song aku lelah.
Harap kau yang menjaga dulu.”
Memang Siau-bun letih. Letih tenaga dan hati. Sekalipun saat itu ia mendapat
kemenangan, tetapi hatinya rawan sekali. Tak beberapa lama iapun jatuh tertidur.
Setelah memberi tamparan beberapa kali, hati Bu-songpun longgar sekali. Karena
mengingat kuil di situ sunyi senyap dan tak mungkin terjadi apa-apa, maka iapun
mulai layap-layap tidur.
Tetapi suara itu cukup membangunkan Siau-bun. Jelas dilihatnya bahwa seorang
manusia aneh yang bermuka hitam sekali dan berambut putih, berpakaian warna
merah tengah menutuk roboh Bu-song. Dan kini orang itu tengah menyerangnya.
Kejut Siau-bun bukan kepalang. Walaupun tengah tidur, tetapi suara yang timbul
dari jarak beberapa puluh tombak jauhnya, dapat diketahuinya. Anehnya, manusia
aneh itu muncul tanpa suara sama sekali, dan cara-cara serangannyapun luar
biasa. Kalau Bu-song tak roboh tentu dia tak mendengar suara apa-apa.
“Lekas bukakan ikatanku. Kau bukan tandingan orang itu!” terdengar Thian-leng
berseru kepadanya. Tetapi Siau-bun tak menghirauka. Ia tahu bahwa manusia
aneh itu tentulah seorang tokoh yang sakti. Cepat ia taburkan passer Tui-hong-
kiong. Kaki, perut dan tenggorokan orang itu sekaligus diserangnya.
Tring, tring tring ..... terdengar orang aneh itu mengekeh dan menangkis jatuh Tui-
hong-kiong. Menyusul ia gerakkan tangan kirinya. Dari kelima jarinya terdengar
angin mendesis-desis menyambar ke arah Siau-bun.
Siau-bun mencabut pedang. Tiga buah jurus ia lancarkan ke arah manusia aneh
itu. Suaranya menderu-deru, sinarnya berkelebatan laksana kilat menyambar.
Jurus itu dinamakan Toh beng sam-kiam atau Pedang pencabut nyawa. Sejak
kecil Siau-bun sudah meyakinkannya, sehingga sudah mendarah daging.
Orang aneh itu tetap tak memakai senjata. Dengan kesepuluh jarinya yang runcing
seperti cakar besi, ia menyambar pedang Siau-bun.
Hok Mo tongcu
“Budak perempuan, ayo keluarkan kepandaianmu lagi!” seru orang aneh itu
seraya tertawa mengikik.
Siau-bun kaget dan marah sekali. Dengan berteriak kalap seperti orang gila, ia
menaburkan tui-hong-kiong lagi.
“Eh, mainan anak kecil itu hendak kau pertunjukkan di hadapanku?” orang aneh
itu tertawa gelak-gelak seraya menyapu dengan tangannya. Tring,..tring... tring...
Tui-hong-kiong jatuh berhamburan.
“Aku adalah naganya manusia, mengapa kau katakan siluman?” orang aneh
berbaju merah itu tertawa.
“Apa itu? Siapa kenal dengan bangsa manusia tak ternama!”teriak Siau-bun.
Hok Mo tongcu atau kepala dari goa Hok-mo-tong, tertawa dingin, “Benar, aku
memang bukan manusia ternama. Tetapi banyak sudah tokoh-tokoh terkenal yang
menyembah kakiku.....” ia menyapu pandangannya kepada si nona, lalu berkata
pula, “Jadi kau tak memandang mata kepadaku?”
Siau-bun membelalakkan matanya. Thian-leng masih terikat, sedang Bu-song
sudah tertutuk jalan darahnya. Menghadapi manusia setengah siluman yang
berkepandaian sakti itu, ia benar-benar bingung.
“Oh, jadi kau menganggap dirimu sebagai tokoh nomor satu di dunia?” serunya
sesaat kemudian.
Wajah si orang aneh yang hitam seperti pantat kuali tampak berobah. Pada lain
saat ia tertawa nyaring, “Dia seorang pemuda yang lemah, bagaimana aku sudi
bertanding dengannya?”
“Jangan pakai alasan ini-itu. Pokoknya, kau berani atau tidak!” teriak Siau-bun.
Siau-bun hendak membikin panas hati orang aneh itu sehingga memberi
kesempatan padanya untuk membuka ikatan Thian-leng. Tetapi ternyata walaupun
tampaknya ketolol-tololan, orang aneh itu cerdik juga. Dia tak kena diakali.
Thian-leng tak kurang gelisahnya. Tetapi karena masih terikat. Ia tak dapat berbuat
apa-apa.
Pada saat itu Bu-songpun sudah berusaha keras untuk menyalurkan tenaga
dalamnya. Tetapi sampai detik itu ia belum berhasil membuka jalan darah yang
tertutuk.
“Heh, heh, budak perempuan, kau tunduk padaku atau tidak ?” tiba-tiba manusia
aneh itu tertawa mengekeh.
Hok –motong-cu melirik Thian-leng, serunya, “Apakah dia benar Bu-beng-jin yang
telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi siangjin itu?”
“Hm, kini kau mulai membuka kartu,” kata Siau-bun. “Kalau benar bagaimana dan
kalau bukan bagaimana pula?”
Hok-mo-tong-cu membentak, “Aku hanya minta kau menjawab sejujurnya. Jika kau
banyak mulut, jangan sesalkan aku berlaku ganas. Tentu kuberi engkau sedikit
hajaran.... lekas bilang, apakah dia benar Bu-beng-jin?”
Hok-mo-tong-cu tertawa puas. “Benda apapun di dunia ini, tak ada yang
kuinginkan, kecuali satu ialah kitab pusaka peninggalan It Bi siangjin…..” Ia
berhenti sejenak lalu menyambung pula. “Apakah kitab itu berada padanya?”
“Mungkin kau buta!” Siau-bun tertawa mengikik. “Jangankan aku memang tak tahu,
sekalipun tahu, jangan kau harap dapat mencari keterangan dariku.”
Hok mo-tong-cu marah, “Rupanya tulangmu keras sekali, budak! Jika tak kuberi
hajaran tentu tak mau berkata terus terang!” tiba-tiba ia mencengkeram bahu Siau-
bun.
Karena pedang dan senjata rahasianya tak berhasil, Siau-bun sudah putus asa.
Dengan berteriak seperti orang gila ia menerjang manusia aneh itu. Tetapi ia
terkejut sekali karena tahu-tahu tenaganya hilang. Yang dirasakan hanya angin
dingin yang menghambur dari kelima jari Hok mo-tong-cu, tahu-tahu tenaganya
terbawa hanyut. Dan yang lebih mengejutkan, jari-jari berhawa dingin dari Ho-mo-
tong-cu itu langsung menusuknya.....
Tetapi hal itu tak dapat lepas dari mata Hok-mo-tong-cu. Dengan tertawa
mengekeh, ia membalikkan tangannya. Serangkum asap putih menyembur ke
arah Siau-bun. Tuk ..... jalan darah Ciang-thay-hiat Siau-bun tertutuk. Robohlah
nona itu........
“Heh, heh, erat sekali hubungan kalian ini. Mereka berdua telah mengikatmu dan
menyiksamu, tetapi kau masih begitu sayang kepada mereka, hm, jarang sekali
ada orang semacam kau.....” Hok mo-tong-cu tertawa mengejek.
Sejenak memandang kepada ketiga anak muda yang terbaring di tanah, momok
itu kembali berseru, “Karena kau begitu sayang kepada mereka, baiklah hendak
kusiksa mereka supaya kau dapat menikmati!”
Hok-mo-tong-cu sangsi, “Tetapi ingat, jangan kau berani menipuku atau kalian
bertiga tentu akan kusiksa sampai mati!”
“Bersumpahlah!”
Iblis Hok-mo-tong-cu tertawa mengekeh, “Budak, enak sekali kau bicara. Sekali
kulepas, habislah segala jerih payahku.”
Siau-bun dan Bu-song meskipun tak dapat berkutik, tetapi pikiran mereka masih
tetap sadar. Mereka menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada diri Thian-leng.
Diam-diam timbullah rasa sesal mereka.
“Kuil yang kalian pilih ini memang tepat sekali. Takkan ada orang yang datang
kemari, takkan ada orang yang mengetahui kalian!”
Momok dari Hok-mo-tong itupun segera lenyap. Tak berapa lama haripun terang.
Sinar matahari mulai merembes di celah-celah retakan dinding kuil, seolah
berusaha menerobos masuk untuk membantu mengeringkan air mata yang
membasahi pipi kedua dara itu.....
Siau-bun dan Bu-song membasuh muka mereka dengan kucuran air mata yang
deras. Sampai lama mereka bungkam dibenam penyesalan.
Siau-bun mendengus, “Bukan rencana kita yang salah, tetapi karena diganggu
oleh kejadian yang tak terduga-duga!”
Bu-song menghela napas, “Bagaimanapun juga, kita mencelakai orang akhirnya
mencelakai diri kita sendiri...”
“Kau menyesal?”
Bu-song tertegun, serunya, “Aku tak menyesal. Yang penting sekarang kita harus
mencari akal bagaimana supaya jangan tersiksa begini!”
“Jangan takut!” kata Siau-bun, “dia hanya menutuk jalan darah kita. Beberapa saat
lagi kita tentu dapat terlepas!”
Bu-song tersenyum tawar. “Ah, percuma. Ilmu tutuk iblis itu berbeda dengan yang
lain. Kalau tak percaya kau boleh coba!”
“Bagaimana?” Bu-song tertawa rawan, “rupanya kita harus menunggu ajal dengan
perlahan!”
Siau-bun pun tertawa sedih, “Ah, belum tentu. Kita toh masih mempunyai waktu
lima hari. Perempuan hina Ki-seng-wan itu tentu datang kemari….”
“Itu lebih celaka lagi, ia tentu akan membunuh kita!” seru Bu-song.
Siau-bun menghela napas. “Apa boleh buat kalau memang harus begitu!”
“Manusia berdaya, Thian yang berkuasa. Taci Bun. Aku tetap menganggap
rencana kita ini gagal.”
Siau-bun tak menyahut. Dan memang ia tak mempunyai bahan yang dapat
dikatakan lagi. Adalah karena munculnya iblis Hok mo-tong itu maka rencananya
gagal total, bahkan dirinya sendiripun celaka.
Hari keduapun tak ada perobahan. Demikianpun ketiga dan keempat, hingga hari
yang kelimapun tiba.
Menjelang magrib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki orang berlari-lari
mendatangi.
“Tetapi agaknya bukan hanya seorang, apakah tidak .....” baru Bu-song berkata
sampai di situ, sesosok bayangan warna ungu dan hijau menerobos ke dalam kuil.
Ah, pendatang itu bukan lain Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan taci beradik.
Wajah mereka kumal penuh debu dan tampaknya letih sekali. Jelas bahwa
mereka telah melakukan perjalanan jauh tanpa berhenti.
Ki Seng-wan menghela napas, “Kita harus percaya apa yang nyata. Memang aku
tak pernah berpikir begitu jauh………..” ia melirik ke arah Bu-song dan Siau-bun
lalu tertawa dingin. “Bangunlah! Karena kalian sudah berhasil menipu kami
berdua kemari, ayo bangun dan bereskan perhitungan. Mengapa kalian pura-pura
menggeletak di situ?”
Tetapi Siau-bun dan Bu-song tak menyahut dan tak bergerak. Suatu hal yang
menimbulkan keheranan kedua taci beradik Ki itu.
Walaupun marah tetapi diam-diam hati Ki Seng-wan lega juga. Ia tahu bahwa
dirinya telah dijebak kedua dara itu. Tetapi karena Thian-leng tak berada di situ,
berarti tentu selamat. Bahwa pemuda itu terkena racun, tentu isapan jempol saja.
“Takkan kubenci kalian asal kalian mau mengatakan dia sekarang?” katanya
kepada Siau-bun dan Bu-song.
Tetapi Gwat-wan cepat menarik adiknya, “Tak perlu tanya mereka, masakah kita
tak mampu mencari sendiri?”
“Tetapi dunia begini luasnya, kemana kita harus mencari?” Seng-wan meragu.
Gwat-wan tertawa dingin, “Dia toh hadir dalam rapat Eng-hiong tay-hwe di gunung
Tiam-jong-san. Kita kesana tentu dapat menemuinya. Paling tidak kita dapat
bertanya pada orang!”
“Benar, benar. Ayo, kita kesana!” seru Seng-wan seraya terus hendak melangkah
pergi.
“Tunggu!” tiba-tiba Siau-bun berseru, “tak nanti kalian bisa mencari di sana!”
Seng-wan menghentikan langkah, “Eh, mengapa? Apa dia sudah pergi?”
ditatapnya kedua dara itu tajam-tajam.
“Hai, mengapa kalian terus-menerus berbaring di lantai saja?”
Bu-song mendengus, “Jika kami dapat bangun tentu tak mau membuang waktu
bicara dengan engkau! Eh, coba kau tolong bukakan jalan darah Ciang-thay-hiat
ini!”
Kini baru kedua taci beradik itu tahu akan keadaan kedua dara itu. Ki Seng-wan
serentak hendak memberi bantuan.
Dua buah tamparan berhasil membuka jalan darah Bu-song dan Siau-bun.
“Jika ingin menemuinya, harap ikut kami!” sahut Bu-song dingin. Terus ia hendak
bangkit.
Ah....walaupun jalan darahnya sudah terbuka, tetapi tubuhnya masih tak dapat
berkutik, seolah-olah seperti terikat oleh tali. Juga Siau-bun serupa keadaannya.
ooo000ooo
Jilid 29 .
Air susu dibalas air tuba
Seng-wan menghela napas, “Bukan karena aku tak mau menolong kalian, tetapi
benar-benar.....” habis berkata ia terus mengikuti Gwat-wan pergi.
“Paling tidak kau harus berusaha membuka jalan darahku ini!” sahut Siau-bun.
Seng-wan mengerutkan dahi, “Kalau dapat membukanya tentu saat ini kalian
sudah sembuh. Bukan karena tak mau membantu kalian, tetapi sesungguhnya aku
tak mampu.....”
“Lekas katakan! Asal aku mampu tentu tak menolak!” kata Seng-wan.
Sejenak Siau-bun berdiam diri, ujarnya, “Asal kau dapat membuka jalan darah
kami berdua, tentu akan kuberitahukan dimana Thian-leng berada. Tetapi aku
hendak bertanya padamu!”
“Silakan.”
Kata Siau-bun, “Dia mempunyai pukulan dan tutukan jari yang berhawa dingin.
Dibanding dengan Sin-bu-Te-kun, Hok-mo-tong-cu lebih tinggi kepandaiannya.....”
“Hai, benar!” teriak Siau-bun, “dengan begitu ilmu kepandaian kalian sesumber
dengan iblis itu.... tentulah sedikit banyak Sin-bu Te-kun telah memberi kalian
pelajaran-pelajaran dasar?”
“Tak apa,” kata Siau-bun, “Ini kuberitahu. Tiap hari tolong kau mengurut-urut jalan
darahku yang tertutuk itu sampai tiga jam. Paling lama dalam tiga hari, betapapun
hebatnya ilmu tutukan itu, tentu akan terbuka juga. Maukah kalian meluluskan
permintaan ini?”
Seng-wan mengerutkan dahi, ujarnya, “Jika permintaanmu itu keluar dari hati
setulusnya, aku mau. Tetapi kalau hanya siasat, aku ................”
“Akupun saudara misan, jadi kau ensoh misanku. Apakah kau tega hendak
meninggalkan tempat ini?” Bu-songpun ikut berseru.
Seng-wan memandang tacinya, “Karena ada jalan untuk menolong, aku harus
berusaha melakukannya. Kalau tidak, bagaimana aku harus mempertanggung
jawabkan apabila bertemu dengan Thian-leng?”
Gwat-wan menghela napas dan tak berkata apa-apa lagi. Tak berani lagi ia
berbicara. Ia lebih tua dari Seng-wan, tetapi karena Seng-wan sudah menikah
dengan Thian-leng, iapun tak berani campur tangan menguasai adiknya lagi. Ia
tak dapat mencegah Seng-wan menolong Siau-bun dan Bu-song yang merupakan
adik Thian-leng.
“Bagus!” seru Seng-wan. “Tak perlu tunggu besok pagi, nanti saja akan kuurut lagi.
Hanya harapanku, jangan kau ......mendendam!”
Namun sekalipun mulutnya bersungut, iapun segera mengurut Bu-song lagi. Kali
ini pengurutan berjalan lebih payah. Selang sejam kemudian, kedua taci beradik
Ki itu sudah mandi keringat. Dua jam lagi haripun sudah malam. Di luar angin
malam menderu-deru, menambah keseraman suasana.
Wajah kedua taci beradik itu pucat, kedua bahunyapun mulai gemetar. Jelas
bahwa mereka telah menguras seluruh tenaga dalamnya. Hampir mendekati tiga
jam, rupanya Seng-wan tak kuat. Mulutnya gemetar dan tubuhnya terjerembab
roboh.
Siau-bun tertawa, “Rencana kita semula ialah menipu mereka supaya datang
kemari, lalu kita siksa, baru kemudian kita bunuh. Ah, siapa kira mereka malah
berbalik menjadi penolong kita!”
Sejenak Siau-bun merenung, ujarnya, “Karena mereka telah melepas budi, kita
terpaksa memberi ampun jiwanya!”
Bu-song mendengus, “Uh, sayang aku tak pemurah hati seperti engkau! Dia telah
merebut tunanganku. Kuanggap dia musuh bebuyutan. Dia atau aku yang berhak
hidup di dunia!”
Walaupun kehabisan tenaga, tetapi panca indera kedua saudara Ki masih baik.
Mereka terkejut mendengar ucapan kedua gadis itu. Seng-wan memaksakan diri
berseru, “Taciku memang benar. Kalian ternyata memang bangsa ular berbisa.
Jika tidak kami berdua yang menolong, masakah kalian bisa hidup. Kalau tidak
dimakan binatang buas, tentu akan mati kelaparan!”
Siau-bun tertawa, “Ah, tidak begitu mengerikan! Sebelum pergi, iblis Hok-mo-tong-
cu telah memakankan sebutir pil kepada kami. Pil itu dapat menahan lapar selama
sepuluh hari!”
Jawab Siau-bun, “Kau adalah ensohku. Aku tak dapat mengapa-apakan kau.
Tetapi......” ia mengedipkan mata, lalu berkata pula, “Sebelum menikah dengan
engkau, Pok Thian-leng sudah bertunangan dengan adik misanku ini. Sakit hati
direbut suaminya, termasuk dendam yang hebat. Hal ini biarlah adikku yang
mengambil keputusan!”
Bu-song tertawa riang, “Akupun bukan orang yang haus darah. Apalagi kalian
sudah melepas budi kepadaku. Sedikit banyak tentu akan kubalas…..” ia berhenti
sejenak, lalu ujarnya pula, “Sebenarnya kau harus menerima hukuman mati.
Tetapi hukuman itu kutiadakan. Hanya akan kusuruh kalian menerima hukuman
hidup!”
Seng-wan terkejut, serunya, “Jika hal itu dianggap bersalah, biarlah aku yang
menanggung sendiri. Taciku ini tiada sangkut-pautnya. Hendak kau bunuh atau
kau siksa, aku rela menerima asalkan jangan kau ganggu taciku ini!”
Bu-song diam beberapa saat. Siau-bun tersenyum, “Eh, tetapi jika ditinjau
sedalam-dalamnya, tacimulah yang berdosa!”
“Ngaco!” teriak Seng-wan, “tacikulah yang menolong nona Lu dan dulupun belum
pernah bersalah kepada kalian. Jangan mengada-ada kesalahan pada dirinya!”
Siau-bun tertawa, “Segala rencana adalah dia yang mengeluarkan. Masakah dia
tak bersalah....”
ia melirik Bu-song, katanya pula, “Sesungguhnya, biang keladinya ialah tacimu.
Dalam hal hukuman, dia juga harus menerima......”
Siau-bun tertawa mengikik, “Tak usah kau pikirkan diriku. Akupun hanya
mengatakan hal yang sebenarnya. Tentang bagaimana hukuman padamu, tetap
kuserahkan pada adikku!”
Teriak Seng-wan, “Baik, anggap saja aku seorang buta. tetapi ingat, Jika kau tak
membunuh aku, kelak pada suatu hari aku tentu akan membalas dendam,
padamu.....”
Gwat-wan tertawa rawan, “Adik, sudahlah, jangan banyak bicara. Jatuh di tangan
gadis yang sebuas itu, masakah kita dapat bicara tentang budi welas asih?”
“Adik Song, aku sudah memberi siksaan batin kepada mereka. Sekarang silakan
kau memberi hukuman badan!” kata Siau-bun.
“Menurut pendapatmu, apakah iblis Hok Mo tongcu itu bisa kembali lagi ke sini
atau tidak?” tanya Bu-song.
“Mungkin kau masih belum jelas. Apa yang disebut kitab pusaka peninggalan It Bi
siangjin itu, terukir pada dinding goa rahasia di dalam telaga zamrud....”
“Ya!”
Bu-song terkejut sekali, serunya, “Tetapi tangan dan kaki Thian-leng terikat
dengan tali urat-ular. Jika Hok Mo tongcu berhasil masuk ke dalam goa Telaga
zamrud dan dapat meyakinkan lukisan di dinding goa, bukankah........ ”
”Siau-bun tertawa, “Kau tahu satu, tetapi tak tahu dua. Di dalam Telaga zamrud
maish dijaga oleh seorang tokoh aneh. Dia juga banyak mempelajari ilmu
peninggalan It Bi siangjin. Dia sudah mengangkat saudara dengan Thian-leng.
Begitu masuk goa, Hok Mo tongcu tentu bakal dibekuk oleh murid It Bi siangjin itu.
Maka kita tak perlu kuatir lagi!”
Bu-song tertawa riang, “Kalau begitu iblis Hok Mo tongcu itu pasti mampus dan
takkan balik lagi ke sini. Di sini jarang didatangi orang. Bagaimana kalau kita tiru
saja tindakan Hok Mo tongcu untuk menghukum mereka?”
Siau-bun tertawa, “Sayang kita tak mampu menutuk seperti Hok Mo tongcu!”
Bu-song mendengus, “Sekalipun bisa, tetapi kita takkan menyuruh mereka enak-
enak tidur di lantai. Aku sudah mempersiapkan suatu rencana bagus.......kita
lakukan tutukan Tiam-hong-kian-jin-yok!”
Tiam-hong-kian-jin-yok artinya menutuk angin menyusupkan ke daging orang.
Siau-bun tertegun, “Apakah itu? Apakah yang hendak kau rencanakan itu?”
Bu-song tak menyahut, melainkan mengeluarkan dua utas tali sebesar ibu jari.
Direntangnya tali itu di hadapan Siau-bun.
“Tali ini terbuat dari sutera asli. Walaupun tak sesakti tali urat ularmu, tetapi dapat
menahan tenaga meeka. Tiang penglari di atas itu rasanya tempat yang cocok
untuk mereka beristirahat!”
Tak lama Bu-song telah melaksanakan rencananya. Kedua taci beradik Ki dikerek
ke atas dan digantung pada tiang penglari dengan tubuh terikat. Tubuh mereka
bergelantungan kian kemari mirip daging yang digantung di warung.
Tantangan
“Taci Bun, kemanakah sekarang kita hendak pergi?” tanya Bu-song setelah
menguap.
“Eng-hiong-tay-hwe sudah lewat beberapa hari. Saat ini kakek dan ayah tentu
sudah meninggalkan Tiam-jong-san……”
“Sin-bu Te-kun sudah menantang. Sepuluh hari lagi akan menunggu mereka di
Sin-bu-kiong. Mungkin mereka sudah menuju ke sana!” tukas Bu-song.
“Benar,” sahut Siau-bun, “bukan hanya mereka saja, rasanya Thian-leng pun juga
akan ke sana……. eh, kalau berjumpa dengannya, kita harus merangkai cerita
bohong untuk mengelabuinya!”
“Tetapi ia sudah tahu sendiri, bagaimana kita dapat membohonginya?” tanya Bu-
song.
Menjelang tengah hari baru mereka tiba di kaki gunung Ceng-hun-san. Gunung itu
tak berbahaya, tetapi puncak-puncaknya saling berdekatan.
Sambil memandang ke atas puncak, berkatalah Bu-song, “Pintar juga Sin-bu Te-
kun memilih tempat. Jika dia tak temaha hendak merajai dunia persilatan, tentulah
sudah hidup enak di tempat setenang ini!”
Bu-song hanya tertawa dan terus berlari. Karena paham jalannya dan dengan
menggunakan ilmu berlari cepat, mereka segera tiba di Sin-bu-kiong.
“Mengapa?”
“Thian-leng bukan pemuda yang berhati sempit. Walaupun kita bertindak terlalu
kejam padanya, tetapi kita pernah menolong jiwanya. Dia tentu tetap
memperhatikan keselamatan kita!”
Siau-bun menghela napas, “Kalau sudah lolos dari Thay-heng-san, dia tentu
segera ke Tiam-jong-san untuk menolong kita…..”
Siau-bun menghela napas, “Ke sana paling tidak tentu memakan waktu empat
hari. Dan lagi dia dengan kedua dara Ki itu, belum tentu masih ada di sana!”
Bu-song bingung, “Kalau begitu, bagaimana tindakan kita sekarang? Ai, harap kau
cari rencana lagilah!”
“Tetapi sudah begini, tak ada jalan lain lagi…..” Siau-bun tertawa tertawa getir.
“Eh, kakekku....... Sekalipun kuminta bintang di langit, kakek tentu akan menuruti!”
kata Bu-song dengan aleman.
Kedua gadis itu segera meneruskan larinya. Tetapi mereka tidak menuju ke pintu
gerbang Sin-bu-kiong, melainkan menyelinap ke dalam gerombol di samping
gedung itu.
ooo0000ooo
Baru saja hari mulai gelap, istana Sin-bu-kiong sudah terang benderang dengan
penerangan yang gemilang. Memang malam itu adalah hari ke sepuluh dari
tantangan Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng dan rombongannya.
Tetapi suasana dalam istana itu tampak sunyi saja. Berpuluh-puluh penjaga
dengan menyelipkan senjata di pinggang tampak mondar-mandir berseliweran
kian kemari. Seolah-olah sedang menghadapi kesibukan. Tetapi mereka diam,
tidak menimbulkan suara berisik....
Di luar ruangan, berjajar dua deret pengawal tua berseragam baju ungu. Mereka
membentuk diri dalam formasi burung garuda. Dengan senjata terhunus di
pinggang masing-masing, tampaknya mereka gagah sekali.
Di dalam ruangan besar, tak tampak barang seorangpun juga. Tetapi di dalam
bilik, sedang berkumpul belasan orang. Wajah mereka tampak tegang sekali.
Rupanya mereka tengah berunding dengan suara seperlahan mungkin.
Di antara orang-orang yang tengah rapat itu, terdapat Sin-bu Te-kun, ketua Hek
Gak, Bu Cui suseng, kedua Lam-yau dan Pak-koay, Ko Liu siangjin, Bok Sam-pi
dan lain-lain.
Di antara sekian hadirin, hanya Bok Sam-pi yang tetap tenang wajahnya. Dia
duduk dengan kepala menengadah. Tangannya memegang sebuah cawan arak
yang tak hentinya diteguk.
Yang istimewa, jago tua itu tidak lagi telanjang badan, tetapi sudah mengenakan
baju kapas yang kedombrongan, sehingga menutupi kedua lengannya.
Walaupun tenang, tetapi sebenarnya sikap dan tingkah laku Bok Sam-pi saat itu
jauh lebih linglung dari beberapa hari yang lalu.
Selain orang itu, masih terdapat juga tiga orang aneh yang wajahnya mirip satu
sama lain. Sama mengenakan pakaian putih, berambut merah. Tiga bagian seperti
manusia, tujuh bagian menyerupai setan.
“Yang kutakuti bukan jago-jago persilatan lainnya, melainkan hanya Pok Thian-
leng seorang!” kata ketua Hek Gak, “asal dia sudah lenyap, barulah kita dapat
melaksanakan cita-cita………”
“Benar. Tetapi ruang Thiau-hui-thia (pencuci dosa) yang telah kupersiapkan itu
memakan waktu berpuluh tahun. Dibangun atas dasar Ngo-heng-ki-bun ( ilmu
ajaib lima unsur ). Biar dia atau malaikat, asal berani masuk ke dalam ruang itu,
tentu akan amblas nyawanya……”
Tetapi wajah Sin-bu Te-kun mengerut, ujarnya, “Menang atau kalah lebih baik
jangan kita bicarakan dulu. Lebih dulu aku hendak memperingatkan engkau!”
“Silakan!”
Raja Sin-bu-kiong batuk-batuk sebentar, lalu katanya pula, “Apakah layak kalau
sekarang kita menggunakan panggilan saudara?”
Ketua Hek Gak terkejut bukan kepalang. Tubuhnya menggigil seperti terserang
demam.
“Tahu akan kesalahan dan dapat merobah, adalah suatu berkah. Aku bukan
manusia yang berhati sempit.”
“Terima kasih Te-kun!” buru-buru ketua Hek Gak menyambut. Ia memberi hormat
lalu mengundurkan diri.
Sambil mencekal serulingnya yang panjang, Bu Cui suseng tiba-tiba bangkit dari
tempat duduknya. “Walaupun kita menderita kekalahan di Tiam-jong-san, tetapi
saat ini kedudukannya sudah berobah. Aku berani mengatakan dengan bangga,
seklaipun tak ada persiapan alat-alat rahasia dari Saudara Ki, tetapi jangan harap
Pok Thian-leng dan gerombolan Lu tua itu dapat meninggalkan istana Sin-bu-
kiong.....” katanya dengan tersenyum. Sejenak mengedarkan pandangan matanya,
ia berkata pula, “Mo-pak-sam-cat mana mau membiarkan orang terlepas dari
cengkeramannya?”
Kiranya ketiga orang aneh yang berpakaian putih dan rambut merah itu adalah
yang disebut Mo-pak-sam-cat ( tiga durjana dari padang pasir utara).
Mereka adalah orang-orang yang dibawa oleh Bu-cui suseng. Karena itulah maka
Bu Cuui suseng berani menepuk dada. Diagulkannya kesaktian Mo-pak sam-cat
yang garang untuk menonjolkan pahalanya dalam menghadapi kawanan Thiat-
hiat-bun.
Setelah disentil secara halus oleh Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak tak berani
membuka suara lagi. Tetapi diam-diam ia mendekati Bok Sam-pi.
Bok Sam-pi mendengus, “Hm, aku tak kurang suatu apapun. Hanya jubah yang
kupakai ini amat ketat!”
“Meskipun ketat, tetapi besar gunanya. Baiklah suhu suka tahankan diri dulu!” kata
ketua Hek Gak.
Anak buah itu bejongkok dan berseru dengan suara lantang, “Ingin memberi tahu
kepada Te-kun bahwa tamu telah tiba!”
Serentak anak buah itu menyahut dengan nyaring, menyebut nama-nama tetamu
ynag datang:
“Cukup!” bentak Sin-bu Te-kun, “Katakan aku sendiri yang segera akan keluar
menyambut!”
Sin-bu Te-kun segera mendahului melangkah keluar. Sekalian hadirin pun segera
mengikutinya.
Dari ruang yang mereka tempati tadi sampai ke pintu gerbang istana Sin-bu-kiong,
tak kurang dari seratus tombak jauhnya. Sepanjang lorong yang mereka lalui
tampak penjagaan yang kuat dari anak buah Sin-bu-kiong.
Pintu gerbang dibuka dan yang pertama kali melangkah masuk ialah si Jenggot
perak! Di belakangnya mengikuti Pedang bebas Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo
Cu Giok-bun, ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong, Thiat-ik Sin-kay, si dara Pok Lian-ci,
kedua Im Yang songsat dan beberapa pengikut.
Sin-bu Te-kun tertawa. Sambil memberi hormat berserulah Sin-bu Te-kun dengan
nyaring, “Kalian benar-benar orang yang dapat dipercaya. Kuhaturkan selamat
datang kepada tuan-tuan sekalian.”
Jenggot perak balas tertawa keras. “Ah, suatu kata sambutan yang terlalu berat
bagi kami. Memang aku si orang tua ini senantiasa menjunjung kepercayaan.
Pula.....”
Ia berhenti sejenak untuk mengedarkan matanya lalu berkata pula dengan
perlahan, “Jika kami hari ini tak datang, dunia persilatan Tiong-goan tentu bakal
menjadi duniamu!”
Jenggot perak tertawa lebar. “Memang perangaiku sejak dulu selalu begitu, terus
terang secara blak-blakan. Bicaraku selalu gamblang. Meskipun mungkin tak enak
bagi pendengaran, tetapi......”
Yang berseru itu ialah Sitho Hong, saudara tertua dari tiga serangkai Mo-pak-sam-
cat. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun.
Jenggot perak meliriknya dengan dingin, serunya, “Kukira siapa, kiranya saudara
Sitho dari Mo-pak sam-cat yang termashyur......!”
“Kalau sudah tahu nama kami, seharusnya kau berlaku sopan sedikit!” tukas Sitho
Hong.
Jenggot perak tertawa datar, “Justru kebalikannya. Aku tak doyan kepada
kawanan manusia dari padang pasir.....”
Sejenak matanya menegang, lalu berteriak sekeras-kerasnya. “Di hadapan kalian
bertiga, jangan menganggap aku mengandalkan usia tua. Sekalipun setan-setan
leluhurmu kau seret kemari, aku tetap akan menghajarnya.....”
“Tahan!” buru-buru Sin-bu Te-kun berseru dan menghadang di muka ketiga Mo-
pak-sam-cat. “Harap saudara bertiga jangan berkelahi dahulu!”
Dengan congkak ketiga durjana itu menyahut, “Beta sabarnyapun tetap tak tahan
mendengar ocehannya. Apakah saudara Ki hendak menyuruh kami menelan
hinaan anjing tua itu?”
Mo-pak Sam-cat mendengus, tetapi kerut di wajah mereka mulai longgar. Tanpa
bicara apa-apa merekapun mundur dan berdiri di samping.
Sin-bu Te-kun memaksakan diri berlaku hormat selaku tuan rumah, ujarnya, “Pada
pertemuan di gunung Tiam-jong-san, karena satu sama lain salah paham, maka
tak menghasilkan apa-apa. Kita bubar dengan persaan tak puas. Hari ini akulah
yang berganti menjadi tuan rumah. Harap tuan-tuan suka menghadiri dengan
sepenuh hati. Kita sama-sama melaksanakan peraturan dunia persilatan,
menjunjung kelakuan kaum berilmu……”
“Ah, tak usah bicara terlalu muluk-muluk!” tukas Jenggot perak, “mengapa tak
meniru saja aku si orang tua yang suka bicara secara blak-blakan.”
“Lu lohiapsu memang seorang manusia bebas yang tak mau terikat peradatan.
Sungguh sesuai dengan tingkah laku bangsa Ko-jin ( orang sakti)…” seru Sin-bu
Te-kun, “tetapi ai, di sini bukan tempat yang layak untuk menyambut tamu. Mari
silakan masuk!”
“Telah kukatakan tadi. Aku selalu bicara secara blak-blakan,” kata Jenggot perak,
“ruang Thiau-kui-thia dalam istanamu itu penuh dengan alat perangkap dan
perkakas rahasia. Sekali masuk tentu menemui kesukaran. Maka lebih baik aku
tak masuk saja!”
Kembali Jenggot perak tertawa keras, “Tak usah mengutus orang, tetapi aku
sendiri cukup tahu tentang alat-alat rahasia!”
“Bagus,” seru Sin-bu Te-kun, “kalau begitu silakan Lu lohiapsu saja yang
memeriksanya..... ”
Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay tampil ke muka, “Aku si pengemis tua ini termasuk
orang yang tak punya kepandaian apa-apa. Tetapi aku kenal banyak sekali orang-
orang yang ternama. Cukat Jin si Cakar langit itu memang tak terkenal di dunia
persilatan. Kebanyakan orang tentu tak kenal. Tetapi bagiku si pengemis tua ini,
dia bukanlah orang asing lagi!”
“Cukat jin seorang yang berwatak aneh. Semasa mudanya pernah bertemu
dengan orang sakti yang memberinya pelajaran tentang berbagai ilmu Ngo-heng-
tun-kah ( ilmu lima unsur bumi), bangunan-bangunan rahasia. Pernah membuat
goa di bawah gunung Lian-hoa-san yang diselesaikan hanya dalam waktu tiga
hari saja. Padahal goa itu cukup untuk dimasuki lima ribu orang. Oleh karena itu ia
digelari sebagai Pencakar langit atau jelmaasn dari Lu pan. Tentang dirinya....... ”
“Apakah Cukat Jin sianseng itu saat ini juga berada di sini?” tanyanya kepada Sin-
bu Te-kun.
Jenggot perak kembali berkata kepada Thiat-ik Sin-kay, “Jika Cukat Jin yang
membuat alat perangkap dalam ruang Thiau-hui-thia di sini, dapatkah kita semua
mengetahuinya?”
“Apakah andaikata kita terjebak di situ, kita mampu lolos?” tanya Jenggot perak
pula.
Sekalian orang mendengar jelas percakapan antara kedua tokoh itu. Mau tak mau
tergetar juga hati mereka.
Yang paling risih sendiri adalah Sin-bu Te-kun. Dia tak berhasil memikat
rombongan tamunya masuk dan tak dapat juga mencegah percakapan mereka.
Benar-benar ia sibuk seperti semut di atas kuali panas. Paling-paling ia hanya
tertawa meringis seperti monyet makan terasi....
Akhirnya Jenggot perak menatap tajam kepadanya, “Jelaslah kini apa rencanamu.
Hei, tak heran walaupun sudah menderita kekalahan di Tiam-jong-san, kau masih
berani menantang lagi. Bahkan kaupun mengundang banyak bala bantuan.
Kiranya kau sudah mempunyai tiang andalan yang hebat. Kau menyuruh Cukat
Jin membuat alat-alat perangkap dalam Thiau-hui-thia untuk menjebak
rombonganku. Dengan begitu jelas isi hatimu yang seganas serigala!”
Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah akan meledak marah, tetapi ia masih dapat
menekan dan memaksakan tertawa, “Jika Lu lohiapsu tetap mengatakan begitu,
akupun tak dapat berbuat apa-apa...... Ketika di Tiam-jong-san, yang kutantang
ialah Pok Thian-leng. Apakah Lu Lohiapsu akan menjadi saksi? Tetapi karena dia
tak datang, maka tantangan ini mungkin akan diundur sampai lain kali....”
Jilid 30 .
Sin-bu Te-kun terkesiap. Adalah karena Thian-leng tak kelihatan, maka ia berani
mengatakan seperti tadi. Tetapi mengapa Jenggot peraka menolak. Ditelitinya ke
arah rombongan tamu. Ah, tak salah lagi. Thian-leng tak berada di antara mereka.
Hatinyapun tenang. Serunya dengan tertawa, “Apakah pemuda itu sudah datang?”
“TIdak!”
“Hai, mengapa dia tak memenuhi perjanjian? Mungkin dia sudah lebih
berpengalaman tentang keadaan Sin-bu-kiong, sehingga dipikir-pikir lebih baik
megnundurkan diri saja!” kata Sin-bu Te-kun.
“Jangan takabur!” bentak Jenggot perak, “anak muda itu bukan manusia yang
ingkar janji. Kecuali mendapat halangan besar, tentu dia akan datang tepat pada
saatnya!”
“Ah, langit memang sukar diukur tingginya. Orang yang sakti masih ada yang lebih
sakti lagi. Meskipun dia sudah mendapat ilmu warisan dari It Bi siangjin, tetapi
kemungkian dia ketemu dengan batunya, seorang yang lebih sakti lagi.
kemungkinan dia dikalahkan dan bahkan.....sudah amblas nyawanya....”
“Mati hidup, kaya miskin, sudah suratan takdir,” seru Jenggot perak dengan nada
serius, “andaikata dia bernasib seperti yang kau katakan, itulah sudah ditentukan
oleh takdir. Aku tak kecewa.....”
Apabila sampai jam lima pagi dia tetap tak muncul, maka pertandingan ini
kuanggap selesai!” seru Sin-bu Te-kun.
Jenggot perak tertawa lebar, “Tetapi sekarang toh baru jam sepuluhan!”
Percakapan itu menimbulkan berbagai tafsiran di dalam hati Sin-bu T-kun. Dari
kata-kata Jeggot perak, ia benar-benar tak jelas tentang keadaan yang
sesungguhnya dari rombonagn tamunya. Benarkah Pok Thian-leng mendapat
kesukaran? Kalau tidak,mengapa ia tak ikut serta?.
Tetapi sikap dan kata-kata Jenggot perak yang selalu dihias senyuman,
menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan Thian-leng memang sengaja disimpan
supaya jangan muncul dahulu.
Ruang Thiau-hui-thia memang dibuat oleh ahli bangunan Cakar langit Cukat Ji.
Dia memasang alat-alat rahasia di bawah tanah. Asal rombongan Jenggot perak
dapat dibujuk masuk, tak nanti mereka mampu keluar lagi.!
Pada waktu memasang alat-alat perangkap itu, penjagaan dilakukan sedemikian
kerasnya. Hanya beberapa anak buah Sin-bu-kiong saja yang mengetahui. Sudah
tentu Jenggot perak sukar juga untuk melakukan penyelidikan.
Memang Jenggot perak seekor rase tua yang licin. Tak mudah memikatnya masuk
jebakan. Dan dengan terbongkarnya rahasia Thiau-hui-thia itu, berarti pihak Sin-
bu-kiong sudah menderita kekalahan setengah bagian…..
Bagi Sin-bu Te-kun, saat itu hanya ada dua harapan. Pertama, ia mengharap agar
thian-leng benar-benar bertemu dengan lawan yang lebih sakti. Anak muda itu
dapat dikalahkan, syukur terbunuh mati.
Harapan kedua, mengandalkan tenaga jago-jago lihai sepeti Mo-pak sam-cat dan
mengerahkan alat-alat rahasia dalam istana Sin-bu-kiong untuk menghancurkan
musuh. Tetapi harapan itu hanya harapan. Boleh diharap tetapi tak dapat
dipastikan.
Sin Bu Te-kun gelisah. Wajahnya pucat pasi. Rupanya isi hati Sin-bu Te-kun
diketahui jenggot perak yang dapat melihat perobahan air muka orang.
Baru Jenggot perak mengatakan sampai di situ, Sin-bu Te-kun cepat mendengus,
“Kepergianku dari Tiam-jong-san memang sengaja hendak menantang Thian-leng
agar melanjutkan sisa pertandingan yang belum selesai itu. Tetapi oleh karena dia
belum datang, terpaksa akupun tak dapat menerima kunjungan lain tamu.
Maafkan, aku tak dapat menemani kalian lebih lama lagi....” ia terus berputar dan
hendak masuk ke dalam.
Memang Sin-bu Te-kun sudah mempunyai rencana. Dengan alasan karena Thian-
leng tak datang, maka dia hendak masuk ke dalam istana. Jika Jenggot perak tak
merintangi, nanti ia hendak mengajak Mo-pak-sam-cat dan lain-lainnya
merundingkan rencana mereka lagi.
tetapi kalau Jenggot perak merintangi, dapatlah ia menjebak mereka supaya
masuk kedalam istana. Biarlah mereka hati-hati supaya jangan tersesat memasuki
ruang Thiau-hui-thia, tetapi lain-lain tempat dalam istananya penuh dengan alat-
alat rahasia yang cukup mampu untuk menangkap mereka.
Tetapi untuk kesekian kalinya, Sin-bu Te-kun terkejut. Baru ia hendak melangkah,
tiba-tiba terdengar orang berseru dan melesat menghadang jalannya.!
Makin terkejut Sin-bu Te-kun ketika mengetahui siapa penghadangnya itu. Pok
Thiat-beng si Jago pedang bebas dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, sepasang
suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan!
Di belakang kedua suami isteri itu tampak pula Pok Lian-ci, si dara tambur sakti
dan Cu Siau-bun. Dua saudara tunggal ayah lain ibu.
Tujuh belas tahun sepasang suami isteri itu berpisah atau lebih tepat dipisahkan
oleh mulut berbisa. Kini mereka telah bersatu padu pula dan tegak mencegat di
hadapan Sin-bu Te-kun. Wajah mereka serius.
Thiat-beng melintangkan pedangnya. Cu Giok-bun menyiapkan jarinya. Walaupun
tampaknya tenang-tenang saja, tetapi jelas bahwa kedua suami isteri itu sedang
mengerahka seluruh perhatiannya. Sekali bergerak tentu dahsyat sekali.....
Mau tak mau Sin-bu Te-kun tergetar juga hatinya. Namun ia paksakan tertawa.
“Ah, aku turut prihatin atas nasib kalian berdua. Tujuh belas tahun berpisah, kini
dapat bersatu pula. Aku turut merasa bersyukur sekali......”
Posisi yang diambil oleh kedua suami isteri itu memang berbahaya. Tetapi justru
karena tindakan yang luar biasa beraninya itu, Mo-pak-sam-cat dan kawan-
kawannya tergetar nyalinya. Mereka tak berani betindak sembarangan dan hanya
termangu melihat saja.....
“Karena Pok Tayhiap tetap ingin tahu hal itu, dengan segala kerendahan hati aku
akan memberitahukan,” katanya, “sebelumnya aku tak pernah mempunyai ikatan
apa-apa dengan Ma Hong-ing, waktu kuambil ia sebagai Te-it ong-hui
( permaisuri). Kesemuanya itu adalah atas perkenalan Cong-hou-hwat Ni Jin-
hiong yang mengaturnya....”
Sin-bu Te-kun tertawa menyeringai, “Sudah tentu ti...... sebenarnya aku sudah
mempunyai delapan isteri. Jadi dia termasuk isteri yang ke sembilan. Tetapi
karena ia......”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “He,h, heh, boleh juga kau mau mengatkan begitu.
Tetapi masih ada sebab-sebab lain lagi!“
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya dan tertawa, “Aha, dalam hal ini
perlukah kuminta petunjuk padamu!”
“He, ternyata kau juga suka bercerita secara jujur. Sungguh patut dipuji!” Seru
Jenggot perak.
Sin-bu Te-kun hanya tertawa dingin, ia melanjutkan ceritanya, “Pada waktu itu
juga, aku pun mengutus orang untuk mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh
daerah.....”
“Iblis tua, kau tak malu menceritakan urusan itu lagi!” tiba-tiba Thiat-beng
membentak bengis.
Rupanya Sin-bu Te-kun sudah membulatkan hati. Biarlah ia dihina atau dicaci, tak
mau ia marah.
“Tetapi waktu itu Pok Tayhiap berkeras menolak uluran tanganku. Sedikitpun ia tak
tertarik menggabungkan diri dalam persekutuan yang kubentuk itu. Tetapi
sekalipun begitu, aku tak pernah berputus asa untuk mengambil hatinya. Pada
waktu akhirnya Pok Tayhiap menikah dengan nona Lu, aku benar-benar seperti
mendapat tamparan yang hebat......”
“Ki tua, kiranya peristiwa itu kaulah yang merencanakan.......!” teriak hun-tiong Sin-
mo Cu Giok-bun yang tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Gerahamnya
sampai berkeretekan.
“Pada saat pikiranku ruwet untuk mencari jejak Pok tayhiap, kudengar bahwa Pok
Tayhiap suami isteri menetap di daerah Secuan. Ni Jin-hiong, cong hou-hwat kami
yang dulu, telah memberi usul supaya memikat budak perempuan dari Pok tayhiap
saja. Berulang kali kutandaskan bahwa usul semacam itu pada hakekatnya tentu
akan gagal.
Tetapi Ni Jin-hiong tetap yakin pasti berhasil. Akhirnya kusetujui dengan
menandaskan bahwa Ni Jin-hionglah yang harus melaksanakan. Diapun
sanggup, tetapi di luar dugaan......”
Jenggot perak tiba-tiba tertawa, “Sungguh terperinci sekali ceritamu kali ini.Tetapi
di antaranya kau telah melewatkan sedikit. Perlukah kuperingatkan kepadamu.
Memang Ni Jin-hiong berhasil memikat budak perempuan itu dengan cara
merayunya.
Walaupun usia mereka terpaut jauh, tetapi nyatanya Ni Jin-hiong itu adalah
kekasih dari Ma Hong-ing sendiri. Kau ambil Ma Hong-ing sebagai Te-it ong-hui,
berarti kau dikelabui secara terang-terangan....... ha, ha, ha,” Jenggot perak
tertawa mencemooh.
Jenggot perak tertawa, “Kau mau melanjutkan atau tidak, pada hakekatnya serupa
saja. Tak begitu penting artinya. Karena andaikata kucegah kau bercerita, toh kau
tentu berkeras melanjutkan juga. Karena kau memang hendak menggunakan
siasat mengulur waktu, agar anak buahmu sempat mengatur persiapan-persiapan
dalam istana!”
Kembali wajah Sin-bu Te-kun berobah. Namun ia masih memaksakan diri untuk
tertawa.
“Terserah kau hendak mengatakan apa saja! Tetapi karena aku sudah berjanji
hendak menceritakan, maka tentu akan kuceritakan sampai jelas. Ma Hong-ing
rela menikah dengan Nyo Sam-kui agar dapat ikut pada nona Lu, guna
melaksanakan rencana membalas dendam...”
Sahut Cu Giok-bun, “Sebagai permaisurimu, kau tentu mengetahui apa sakit hati
Ma Hong-ing kepadaku itu?”
Mata Sin-bu Te-kun berkilat, ujarnya, “Tiada halangan untuk memberitahukan hal
itu kepadamu sekarang. Eh, apakah kau masih ingat akan seorang yang bernama
Ma Beng-seng?”
“Apa itu Ma Beng-seng!” serunya heran, “rasanya aku belum pernah mendengar
nama itu. Apakah hubungan Ma Beng-seng dengan Ma Hong-ing? Apakah ia....”
“Ma Beng-seng adalah salah seorang dari rombongan tiga puluh enam Thian-
kong partai Thiat-hiat-bun. Karena dia bersekongkol dengan gerombolan Ngo-tok-
bun dan hendak berkhianat pada partai Thiat-hiat-bun .....”
“Ya, ya, sekarang aku ingat,” tukas Cu Giok-bun, “Ma Beng-seng berkhianat
kepada Thiat-hiat-bun. Dosanya tak terampunkan. Sebenarnya kala itu ayah tak
mau memperbanyak dosa, tetapi akulah yang kelepasan omong sehingga
akhirnya Ma Beng-seng dijatuhi hukuman tumpas seluruh keluarganya yang terdiri
dari empat belas jiwa....... Kalau tak salah peristiwa itu terjadi pada dua puluh
tahun yang lalu, bukan?”
Sin-bu Te-kun menyela, “Benar! Sudah dua puluh lima tahun yang lalu. Ma Hong-
ing adalah anak ketiga dari Ma Beng-seng. Pada saat keluarganya dibunuh, dia
kebetulan sedang berada di tempat neneknya, sehingga tak turut terbunuh.
Pembunuhan keluarganya itu, benar-benar menghancurkan seluruh jiwa raganya.
Ia bertekad untuk melakukan pembalasan. Diam-diam ia masuk dalam partai
Thiat-hiat-bun, menjadi pelayanmu. Sudah tentu tiada seoarangpun yang tahu
siapa dirinya........”
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menggertak giginya dan berkata seorang diri. “Hm,
tak heran kalau ia mendendam sekali padaku. Tetapi anaknya itu...........”
“Eh, tahukah kau bagaimana hubungan antara Pok Thian-leng dengan Ma Hong-
ing itu?” Cu Giok-bun gugup.
“Tentang itu maaf, aku tak dapat mengatakan,” sahut Sin-bu Te-kun.
“Aku tak tahu.....” teriak Sin-bu Te-kun dengan nyaring. Kemudian ia menghela
napas lalu berkata pula, “Hal itu telah terikat dalam perjanjian kita. Ni Jin-hiong
membawa keterangan bahwa Ma Hong-ing mau menerima kedudukan sebagai
Te-it Ong-hui dengan syarat, ia memeinta tinggal di lembah Pek-hun-koh di
gunung Lu Liang-san untuk merawat anak lelaki yang bukan anaknya itu hingga
besar....”
“Apakah sama sekali ia tak pernah kelepasan omong tentang anak itu?” Cu Giok-
bun mendesak.
“Sampai saat ini, tiada gunanya aku berbohong padamu. Syarat Ma Hong-ing itu
kuterima. Selama ia dapat mengatur rencana menceraikan kalian, apapun syarat
yang diajukan aku sanggup meluluskan!”
“Rencana keji!”
“Untuk mencapai tujuan, segala jalan harus ditempuh. Inilah menjadi pendirianku!”
sahut Sin-bu Te-kun.
ooo000ooo
Detik penentuan
Sin-bu Te-kun mendengus, “Tak lama setelah itu akupun mengetahui tentang
peristiwa yang mengejutkan!”
Sin-bu Te-kun tertawa, “Sudah tentu berada dalam istana Sin-bu-kiong ini!”
“Serahkan perempuan hina itu kepadaku dan segala dendam permusuhan antara
kita, akan kuhabiskan sampai di sini!”
Jenggot perak tertawa meloroh, serunya, “Ki Pek-lam, dalam pertemuan di Tiam-
jong-san, meskipun kau dapat meloloskan diri, tetapi rapat besar itu tidak lantas
bubar!”
Jenggot perak mengangguk tertawa, “Benar, dan masih ada lagi suatu
penyelesaian yang memuaskan!”
“Hal itu sepantasnya bukan aku yang mengatakan.......” Jenggot perak tertawa lalu
berpaling kepada rombongannya, “harap saudara-saudara masuk!”
Memang percakapan antara tuan rumah dan rombongan tamu itu terjadi di depan
pintu gerbang Sin-bu-kiong. Rombongan Jenggot perak sebagian masih berada di
luar pintu. Maka tak dapatlah Sin-bu Te-kun mengetahui berapa besar jumlah
rombongan yang dibawa Jenggot perak saat itu!
Serentak dengan seruan Jenggot perak, rombongan yang berada di luar pintu itu
segera bergerak masuk.
Sin-bu Te-kun terbeliak kaget. Kiranya dalam rombongan itu ikut serta ke sembilan
partai dan semua partai persilatan yang hadir di Tiam-jong-san.
Bahwa partai-partai persilatan ternyata mau ikut pada Thiat-hiat-bun, terang tentu
takkan menguntungkan Sin-bu-kiong. Namun Sin-bu Te-kun masih dapat
menahan diri dan memaksa tertawa memberi selamat datang kepada para tamu
itu.
Tetapi alangkah kaget Sin-bu Te-kun ketika sambutannya itu mendapat tanggapan
dingin dari sekalian partai persilatan. Sepatahpun mereka tak mau bicara.
Tiba-tiba seorang imam berambut putih loncat dari tengah rombongan dan berseru
lantang, “Ki sicu, betapa pahit derita yang telah kurasakan dari kebohonganmu!”
Sin-bu Te-kun kenal imam itu sebagai Ki Tim totiang, ketua dari partai Hoa-san-
pay. Di belakangnya ikut serta empat tothong (imam kecil) yang memanggul
pedang.
“Di depan sekalian saudara persilatan totiang berani menghina padaku, apakah
maksud totiang?”
“Aku adalah seorang ketua partai yang terang. Tidak seperti engkau yang suka
mencelakai orang secara menggelap. Bukti sudah nyata, tak mungkin kau
menyangkal lagi!” seru si imam dengan sengit.
Imam itu berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Dalam pertemuan di Tiam-jong-san,
atas kepercayaan seluruh kaum persilatan, aku telah diangkat menjadi Bu-lim
bengcu!”
“Bu-lim bengcu?” Sin-bu Te-kun menegas. Bu-lim bengcu artinya kepala atau
pemimpin kaum persilatan. Sin-bu Te-kun hampir tak percaya pendengarannya.
Sungguh ia tak dapat mempercayai pendengarannya. Sungguh-sungguh tak
dapat dipercaya..... Kedudukan pemimpin dunia persilatan yang siang malam
diimpikan, ternyata direbut oleh sebuah partai kecil seperti Hoa-san-pay.
Disapunya seluruh rombongan itu dengan tatapan mata yang tajam. Jelas sikap
sekalian orang gagah menunjang pernyataan imam Ki Tim. Sampai beberapa
detik Sin-bu Te-kun terpaku diam.
Cita-citanya yang dikandung beberapa tahun dan hampir menjadi kenyataan, kini
telah buyar laksana awan ditiup angin. Bahkan yang lebih mengerikan, saat itu
keadaan Sin-bu Te-kun dalam bahaya. Siasatnya telah terbongkar, kedoknya
terbuka. Apakah Sin-bu-kiong yang berpuluh tahun didirikan akan hancur dalam
sekejap mata saja?
“Menjadi Bu-lim bengcu bukan suatu kebanggan, tetapi suatu beban kewajiban
yang maha berat. Sebenarnya aku berat menerimanya,” kata imam Ki Tim, “sepak
terjangmu menghina dunia persilatan dan mencelakai jiwa manusia, merupakan
bencana bagi dunia persilatan. Di antara satu beban berat dari Bu-lim bengcu
adalah memberantas kejahatan semacam yang kau lakukan selama ini. Di bahuku
kini terletak kewajiban melenyapkan gerombolanmu!”
Masih Sin-bu Te-kun tak dapat bicara apa-apa. Hanya air mukanya yang sebentar
pucat sebentar gelap. Tiba-tiba ia berpaling kepada Mo-pak sam-cat dan Bu-cui
suseng, serunya, “Suasana malam ini sudah jelas. Siapa kuat menang, yang kalah
menjadi buronan. Karena saudara-saudara sudah sedia membantu tenaga
padaku, kumohon saudara suka berjoang mati-matian!”
Sesosok bayangan biru, tahu-tahu sudah tegak berdiri di hadapan Sin-bu Te-kun.
“Ki Pek-lam, perjanjian sepuluh hari telah tiba. Tuan mudamu sekarang telah
datang!” seru bayangan itu.
Serasa terbanglah semangat Sin-bu Te-kun demi mengetahui siapa yang berada
di hadapannya itu.
Pemuda yang menggetarkan nyali Sin-bu Te-kun itu bukan lain adalah Thian-leng
sendiri.
“Tak lain tak bukan adalah untuk meminta ganti rugi jiwa atas kematian Oh-se
gong-mo, Tui-hun-hui-mo dan Sip U-jong locianpwe!” seru Thian-leng.
Thian-leng tertawa hambar. “Kuberi engkau dua jalan. Terserah kau hendak
memilih yang mana. Pertama, kau boleh mempertahankan diri melawan aku mati-
matian. Kita bertempur sampai ada salah satu yang mati. Kedua, kita lanjutkan lagi
sisa pertandingan yang kurang delapan jurus itu. Setelah pertempuran itu selesai,
akan kuanggap habis dan tak akan mengungkit-ungkit lagi atas kematian
beberapa cianpwe yang kusebutkan tadi!”
Mata Sin-bu Te-kun memancarkan sinar iblis. Ujarnya, “Setelah kita bertempur,
apakah ayah angkatmu dan yang lainnya tetap hendak mencari perkara padaku?”
Thian-leng mendengus, “Kata-kata ‘cari perkara’ itu tidak tepat digunakan. Lebih
tepat kalau disebut ‘membasmi kejahatan’. Baik, mungkin ayah angkatku tentu
suka menghentikan gerakannya membersihkan Sin-bu-kiong……..Dan lagi dalam
menyelesaikan sisa delapan jurus itu, akupun hendak meniru perbuatanmu. Aku
hendak membuat garis lingkaran di sekelilingku, kau boleh menyerang dan aku
tetap bertahan saja!”
Thian-leng membentak, “Di hadapan para cianpwe dan jago-jago dunia persilatan,
masakah tuanmu hendak menipu!”
Sin-bu Te-kun mengusap mukanya dan batuk-batuk, “Baik, aku menurut saja!”
ujarnya.
Sin-bu Te-kun seperti orang yang disadarkan. Mau tak mau ia terkesiap melihat
kegarangan pemuda itu.
Thian-leng tertawa dingin, “Sekali meludah, tak kan kujilat kembali. Jika aku
sampai kalah, segera aku bunuh diri!”
“BAgus!” seru Sin-bu Te-kun dengan girang, “aku hanya menurut saja. Awas, hati-
hatilah!”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Ia bermaksud sekali pukul
dapat menghantam mati anak muda itu, maka seluruh tenaganya telah dilampirkan
dalam pukulannya itu. Pukulan dengan tenaga Im-han ( lwekang dingin) dapat
membuat orang yang terpisah beberapa tombak gemetar kedinginan.
Namun Thian-leng tetap tegak dengan tenangnya. Dengan sebuah gerakan yang
bergaya melindungi tubuh, ia dapat melenyapkan pukulan Im-han dari lawan.
Hati Sin-bu Te-kun seperti disayat. Hanya dalam waktu yang singkat, ternyata
pemuda itu telah memiliki kepandaian yang sedemikian sakti. Dengan tubuh
gemetaran, ia menghentikan serangannya.
Keenam jurus ilmu jari yang dilancarkan Sin-bu Te-kun itu adalah jurus yang
paling ganas dari pelajaran dalam kitab Im-hu-po-kip. Semenjak ia menjadi ’raja’
Sin-bu-kiong, belum pernah ia menggunakannya. Karena belum sampai
menggunakan, musuh tentu sudah kalah.
Sin-bu Te-kun tak menyangka sama sekali, bahwa ilmu yang paling diandalkan
ternyata tak dapat berbuat apa-apa terhadap Thian-leng. Padahal pemuda itu
hanya menangkis, tak balas menyerang...
“Sudah tujuh jurus, masih tinggal sejurus lagi. Ayo, mengapa tak lekas
menyerang!” seru Thian-leng.
“Aku hendak mengucapkan beberapa kata terakhir yang akan kukatakan sejelas-
jelasnya!”
“Aku tak mau mengingkari janji.........” ia tertawa kecut, tetapi kemudian mengekeh,
“Meskipun aku mati, tetapi aku tak penasaran….”
Thian-leng mengerutkan dahi, “Asal kau dapat merobah jalan hidupmu yang sesat,
aku tak keberatan membiarkan kau hidup!”
Sin-bu Te-kun menolak dengan tangannya, “Bukan karena aku tak mau menerima
kebaikanmu, tetapi dahulu jika bukan karena aku suka pada bakatmu dan
berminat menerimamu sebagai murid, tentu aku takkan menerima nasib seperti
saat ini..... ”
Mau tak mau tergeraklah hati Thian-leng. Memang apa yang dikatakan momok itu
benar. Pertama kali ditawan pihak Sin-bu-kiong, kepandaiannya kalah jauh
dengan Sin-bu Te-kun. Kalau saat itu Sin-bu Te-kun mau, tentu sudah dapat
membunuhnya.
“Sejak berhasil memiliki kesaktian,” kata Sin-bu Te-kun pula, “aku telah malang
melintang di dunia persilatan dengan mendapat kehormatan dan nama yang
gilang-gemilang. Matipun aku tak penasaran, tetapi.....” ia berhenti sejenak, lalu
berkata pula, “Aku tak punya anak yang dapat meneruskan cita-citaku. Maka aku
hendak mengajukan permintaan padamu!”
Lenyapnya awan
Thian-leng tertegun. Beberapa saat ia tak tahu bagaimana harus menjawab. Sin-
bu Te-kun tetap tak menyesal atas perjalanan hidupnya selama ini. Tetapi dalam
saat-saat seperti itu Thian-leng tak sampai hatinya.
“Hal itu serahkan saja kepadaku. Kau tak usah sibuk memikirkan!” tiba-tiba
Jenggot perak berseru kepada Thian-leng.
Jenggot perak tertawa, “Sayang Oh-se gong-mo sudah meninggal dan tak
mempunyai pewaris. Lalu perlu apa menghendaki kitab itu?”
“Ah, cara yang tolol!” Jenggot perak tertawa pula, “ketahuilah bahwa maksud Oh-
se gong-mo waktu itu, tak lain tentu menghendaki supaya kau yang memiliki kitab
itu. Tetapi kini kau sudah memiliki ilmu ajaran It Bi siangjin. Perlu apa mempelajari
Im-hu-po-kip lagi?”
Sin-bu Te-kun mengerutkan alis, “Tentang siapa yang akan menjadi pewarisku itu,
sebelum mati ingin aku mendengar namanya!”
Jenggot perak tertawa, “Tak usah kau kuatir. Sebelumnya memang sudah
kusiapkan untukmu!”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun mengucurkan air mata, serunya terharu, “Anak angkatku
itu, dia….apa masih hidup?”
“Bukan saja masih hidup dan sehat, juga masih ada lain hal yang perlu
kuberitahukan padamu. Adiknya, Ki Seng-wan……”
“Kalau begitu, aku Ki Pek-lam takkan mati penasaran lagi.” ia menghela napas.
Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya menampar ubun-ubun kepalanya sendiri.
Ketiga tokoh dari padang pasir itu serentak loncat untuk menghalangi, tetapi Sin-
bu Te-kun bergerak terlalu cepat. Plak….. batok kepalanya hancur serempak
dengan hamburan otak. tubuhnyapun terkulai roboh.
Orang mengira dengan kematian Sin-bu Te-kun, ramai-ramai akan selesai. Tetapi
di luar dugaan ketegangan tetap tak mereda. Mo-pak-sam-cat, ketua Hek Gak dan
lainnya, tak puas dengan kekalahan begitu. Serempak mereka mengamuk,
menyerang dengan dahsyat!
Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun pun ikut bagian. Si dara Lian-ci
juga tak mau ketinggalan menabuh tamburnya. Suasana penuh ketegangan,
penuh hawa pembunuhan.
Tetapi amuk-amukan itu tak berlangsung lama. Hanya dalam beberapa kejap saja
sudah sirap kembali.
Kekalapan Mo-pak-sam-cat dan ketua Hek Gak untuk mengadu jiwa, tidaklah
dapat membalikkan keadaan. Thian-leng, Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo,
Jenggot perak dan kawan-kawannya dapat menumpas mereka.
Tiga buah jeritan ngeri terdengar. Dua orang Mo-pak-sam-cat roboh binasa dan
seorang lagi terluka!
Ketua Hek Gak menerima kematian yang lebih mengerikan. Separoh dari
tubuhnya yang memang sudah tak utuh, terbakar hangus oleh pukulan Ceng-
koay-ciang ( pukulan lwekang panas) dari Hun-tiong Sin-mo.
Seruling besi dari tokoh pelajar Bu-cui- su-seng telah dibungkam oleh gema
tambur si dara Lian-ci. Kemudian dada pelajar itu ditembus oleh ujung pedang
Pok Thiat-beng.
Yang paling beruntung adalah Bok Sam-pi. Dia mendapat lawan Jenggot perak.
Karena melihat serangannya sedemikian dahsyat, Jenggot perak terpaksa
menghindar. Tetapi ia tak mengira bahwa pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay berada
di belakangnya. Karena ia menghindar, maka Thiat-ik Sin-kay lah yang menjadi
sasaran Bok Sam-pi.
Seketika Thiat-ik Sin-kay merasakan lengannya nyeri sekali dan separoh tubuhnya
kesemutan. Tahu dirinya kena racun, cepat-cepat ia mundur beberapa langkah.
Si linglung Bok Sam-pi sama sekali tak menghiraukan perobahan apa yang terjadi
di sekelilingnya. Apakah kawan-kawannya sudah mati atau masih bertempur, ia
tak ambil peduli. Pokoknya menyerang Thiat-ik Sin-kay lagi.
Bok Sam-pi tertegun. Cucu perempuannya Bok Ceng-ceng muncul dari pintu
gerbang. Di belakangnya ikut serta seorang tua berambut putih.
“Hai, budak, mengapa kau kemari?” tegur Bok Sam-pi. Jelas bahwa ia masih
terpengaruh obat bius.
Bok Sam-pi deliki mata. Sekonyong-konyong ia mengangkat tinjunya. “Aku tak sudi
dengan anak perempuan yang berkhianat!”
Ucapan itu ditutup dengan ayunan tinju, tetapi tiba-tiba orang tua berambut putih
mengayunkan lengan bajunya. Segulung asap putih menyembur ke arah Bok
Sam-pi. Sebenarnya Thian-lengpun sudah siap menolong si dara, tetapi kalah
cepat dengan hembusan asap itu.
Aneh.....begitu tersembur asap, tubuh Bok Sam-pi seperti balon karet yang
kempes. Serentak ia jatuh terduduk di tanah.
Orang tua berambut putih itu menghela napas. “Muridku, lekas kasih dia minum
rumput Liong-yan-coh-kuo!”
Bok Ceng-ceng mengiyakan. Ia mengambil pil merah dari dalam bajunya dan
disusupkan ke mulut sang kakek. Bok Sam-pi serta merta membuka mulutnya
menelan. Beberapa saat kemudian, perut Bok Sam-pi berkeruyukan keras. Tak
lama ia mengucurkan airmata dan memandang sekelilingnya. Bagai orang
bangun dari tidur, ia mengeluh kaget. Tangannya merangkul Ceng-ceng. Ceng-
ceng menjerit terharu dan menyusupkan kepala ke dada sang kakek.
Karena pertempuran sudah berhenti, maka semua mata ditujukan pada Bok Sam-
pi dan cucunya.
Di kala suasan hening sunyi, dua sosok tubuh langsung menerobos dari luar pintu.
Kemunculan dua orang itu menimbulkan bisikan gempar.
Kedua orang itu bukan lain Bu-song dan Siau-bun. Ternyata kedua gadis itu
bersembunyi di luar Sin-bu-kiong. Siau-bun tahu bahwa Thiat-hiat-bun telah
mengerahkan rombongan besar menuju ke Sin-bu-kiong. Ia memutuskan lebih
baik menunggu di luar istana saja. Apabila ada anak buah Thiat-hiat-bun atau
Tiam-jong-pay atau Hun-tiong-hu yang dijumpainya, ia hendak menyuruhnya
membawa surat kepada Jenggot perak.
Ia hendak merangkai cerita bahwa ia dengan Bu-song telah dicelakai orang.
Apabila Jenggot perak dan rombongannya datang, ia hendak merangkai cerita
palsu. Mengatakan kalau dicelakai oleh kedua taci beradik Ki. Ia hendak
mendesak kakeknya supaya menekan Thian-leng, agar membatalkan
perkawainannya dengan Ki Seng-wan.
Siau-bun menganggap rencananya itu tentu memberi hasil baik. Dan apabila
Thian-leng tak ikut serta dalam rombongan Thiat-hiat-bun, juga tak apa-apa.
Setidaknya rencana itu sudah berhasil separoh bagian.
Di luar dugaan, sampai setengah hari menunggu, tetap tak berjumpa dengan
seorangpun anak buah Thiat-hiat-bun. Yang dijumpai malah Bok Ceng-ceng
dengan orang tua berambut putih. Siau-bun pernah menolong Ceng-ceng
sebelumnya, tetapi karena kuatir Ceng-ceng bergaul rapat dengan Thian-leng, ia
menyuruh dara itu menuju ke Hun-tiong-san saja. Mudah-mudahan dara itu
tertangkap oleh salah satu penjaga Hun-tiong-hu.....
Tetapi dara yang hendak dicelakai itu ternyata beruntung berjumpa dengan si
orang tua berambut putih. Orang tua itu bukan lain adalah Ko Gwat lojin, juga
seorang tokoh sakti yang mahir dalam ilmu pengobatan. Ia setingkat dengan tabib
sakti Cu Thian-hoan yang pernah menolong jiwa Cu Giok-bun.
Dengan sikap manja Bu-song segera memeluk dada kakeknya, “Kek, aku dihina
orang. Ayo, tolong kakek yang menyelesaikan!”
“Kedua taci beradik she Ki.! Mereka telah mencelakai kami berdua dengan racun!”
Bu-song mencibirkan bibirnya, “Huh, apa yang hendak kau katakan lagi?
Bukankah kau sudah tahu ia hendak mencelakai kami berdua?”
Karena teringat akan kedua dara yang masih tertawan di kuil tua, Thian-leng
bergegas kembali ke puncak Ceng-liong-nia. Terdorong oleh rasa tanggung
jawabnya, Thian-leng mengerahkan seluruh kepandaiannya. Perjalanan yang
sedemikian jauh dapat ditempuh hanya dalam waktu dua hari saja.
Tetapi yang dijumpai dalam kuil itu bukan Bu-song dan Siau-bun, melainkan
kedua kakak beradik Ki yang digantung di tiang penglari. Kedua taci beradik itu
menuturkan apa yang telah terjadi.
Mengingat bahwa waktu perjanjian di Sin-bu-kiong hanya tinggal dua hari saja,
maka Thian-leng menyuruh kedua nona itu beristirahat, sedangkan ia sendiri
segera menuju ke Sin-bu-kiong.
Semua kejadian telah dituturkan dengan jelas, kecuali bagian Siau-bun dan Bu-
song menyiksanya di dalam biara tua. Sekalipun demikian Jenggot perak dan
sekalian orang tua juga tahu. Atas desakan Jenggot perak, Thian-leng tak mampu
menghindar lagi. Terpaksa ia menceritakan juga.
“Mah, aku merasa salah!” Siau-bun merintih. Hun-tiong Sin-mo menghela napas.
Boleh dikata tokoh-tokoh durjana telah tersapu. Tetapi dalam rombongan Jenggot
perakpun terdapat seorang korban, yakni pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay.
Walaupun Ko Gwat lojin sudah meminumkan beberapa pil mukjijat, tetapi karena
racun sudah menyusup ke dalam darah, tak dapatlah pengemis itu ditolong lagi.
Sewaktu hendak menghembuskan napas terakhir, Thiat-ik Sin-kay memberi pesan
kepada Thian-leng supaya berusaha mengembangkan perhimpunan Kay-pang.
Untuk menenteramkan hati jago tua yang hendak berangkat ke alam baka itu,
Thian-leng pun bersumpah selama ia masih hidup tentu akan bekerja keras untuk
kepentingan kay-pang.
Bok Sam-pi yang sudah pulih kesadarannya, menangis di hadapan jenasah Thiat-
ik Sin-kay. Kemarahannya hendak ditumpahkan kepada ketua Hek Gak yang
selama ini telah menjadikan dirinya seperti boneka hidup. Tetapi sayang ketua
Hek Gak pun sudah mati. Ia kalap karena tak dapat menumpahkan amarahnya.
Akhirnya ia kena juga dibujuk oleh cucunya Bok Ceng-ceng.
Sesosok tubuh kurus meloncat keluar dari dalam istana dan menghampiri Jenggot
perak, ujarnya, “Aku si orang tua, sanggup melakukan pembongkaran itu!”
“Siapakah saudara………” baru Jenggot perak hendak bertanya, orang itu sudah
menyahut, “Aku si Cakar langit Cukat Jin!”
Dengan wajah merah, Cukat Jin menerangkan bahwa ia terpaksa membuat alat-
alat rahasia itu karena ditekan oleh Sin-bu Te-kun. Jenggot perakpun tak
mempersalahkan. Segera ia menyerahkan pembongkaran itu kepada Cukat Jin.
Cukat Jin lalu membawa rombongan mereka ke dalam istana.
Di antara suami isteri Thiat-beng dan Giok-bun masih ada sebuah ganjalan. Ialah
tentang diri Nyo Sam-kui dan Ma Hong-ing. Dari kedua orang itulah mereka
hendak mencari keterangan yang sejelas-jelasnya, tentang apa yang sebenarnya
telah terjadi selama ini. Keterangan itu dapat membuka semua kesalah-pahaman
yang terjadi.
Cukat Jin membawa mereka ke penjara. Tiba di muka pintu, mereka sudah
disambut bau amis dan rintihan seram. Dan begitu masuk, mata mereka disuguhi
oleh tulang-belulang yang digantung. Setiap korban tentu digantung sampai
menjadi tengkorak.
Penjara itu cukup luas. Dengan hati kebat-kebit Thian-leng segera masuk. Tiba-
tiba……….
Penyelesaian
Pada tiang batu yang terletak di bagian belakang penjara itu, terdapat dua orang
yang diikat tubuhnya dengan rantai besi. Mereka ialah Nyo Sam-kui dan Ma Hong-
ing.
Hal itu memang telah diduga oleh sekalian orang. Tetapi yang mengejutkan hati
mereka ialah, wajah Nyo Sam-kui dan Ma Hong-ing berwarna hitam. Beberapa
bagian dari wajah mereka sudah rusak dan mengalirkan nanah busuk.
Jelaslah sudah. Sebelum diikat di situ, mereka telah diberi racun oleh Sin-bu Te-
kun. Racun yang bekerja secara perlahan, agar kedua orang itu mati tersiksa
secara perlahan.
Thian-leng segera memutuskan rantai mereka. Tetapi Nyo Sam-kui sudah mati
dan Ma Hong-ing hanya tinggal menunggu saatnya saja.
“Ma Hong-ing, masih kenalkah kau akan diriku?” seru Jenggot perak dengan
mengerutkan wajah.
Pipi Ma Hong-ing yang sudah peyot tampak bekernyit. Sahutnya dengan suara
lemah, “Kenal….kau …..adalah ……..majikan tua……..”
Jenggot perak menghela napas dalam-dalam, “Apa sebabnya kau sampai menjadi
seperti begini?”
Buru-buru Thian-leng berjongkok ke dekat wanita yang sedang meregang jiwa itu.
Sahutnya dengan rawan, “Mah, bilanglah.....!”
Pernyataan itu disambut dengan rasa kaget oleh semua orang. Pok Thiat-beng
dan Cu Giok-bun serempak menjerit kaget.
“Apa katamu?” Thian-leng menegas.
Ma Hong-ing menghela napas lagi, “Ketika kau dilahirkan, aku segera mengganti
lain bayi..... Kau kubawa pergi dan bayiku kutinggal........ Siau-bun adalah anakku
yang sebenarnya. Tahi lalat merah pada tengkukmu......menjadi bukti yang nyata!”
Kata-kata dari seorang yang tengah meregang jiwa, tentu sesungguhnya. Apalagi
kata-kata itu diucapkan dengan nada yang ramah. Tiada seorangpun yang tak
percaya atas keterangan yang diucpkan Ma hong-ing itu.
Sambil memutar tubuh, berserulah Thian-leng kepada Pok T”hiat-beng dan Hun-
tiong Sin-mo, “Yah,… mah…!” nadanya penuh haru, dan tersekat putus oleh isak
tangis ….. Cu Siau-bun….
“Ni........... Jin-hiong .........tetapi dia tak tahu!” sahut Ma Hong-ing dengan nada
gemetar.
“Nak, apakah kau tak mau memaafkan aku?” dengan penuh harap Ma Hong-ing
menanti.
Air muka Ma Hong-ing semakin gelap. Sinar matanya makin redup. Jelas bahwa
jiwanya hampir mendekati akhirnya. Betapapun semasa hidupnya ia telah
melakukan berbagai kejahatan dan dosa yang mengerikan, tetapi keadaannya
pada saat itu benar-benar mengetuk rasa kasihan orang…..
Akhirnya terketuklah hati nurani Siau-bun. Betapapun muaknya kepada wanita itu,
tetap dia adalah ibunya. Ibu yang telah melahirkannya ke dunia. Dan ibu itu kini
hampir menutup mata. Apakah dia masih ngotot membencinya?
Tubuh Ma Hong-ing menggigil keras. Matanya yang sudah redup tampak berkilat-
kilat memancarkan sinar lagi. Wajahnya tampak berseri tenteram….
tetapi ibarat pelita yang hampir padam, pancaran terang itu merupakan pancaran
yang terakhir. Begitu pula Ma Hong-ing, hanya sekejap ia menghamburkan
cahaya hidup. Cahaya yang merupakan ujung kehidupannya. Setelah itu
mengatuplah kedua matanya perlahan-lahan. Mengatup selama-lamanya…….
Melihat itu, tak sampailah hati Thian-leng. Dihampirinya nona itu dan dipanggilnya
dengan halus, “Adik Bun! Adik Bun…”
“Entahlah, anak tak tahu, tetapi….dunia yang begini luas tentu akan kuperoleh
tempat meneduh yang sesuai bagiku!”
Cu Giok-bun menghela napas, “Nak, janganlah kau teruskan niatmu yang tak tepat
itu…. apapun yang terjadi, bagiku kau tetap sama. Akan kuanggap dan
kuperlakukan seperti anakku dahulu. Ingatlah Siau-bun, kau tetap anakku….”
Air mata Siau-bun membanjir seperti air bah. Rasa haru yang meluap-luap
menyebabkan Siau-bun segera memeluk Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Rintihnya, “Mah, kau kuanggap sebagai ibuku yang kucintai segenap hati!”
“Benar, memang kesulitan itu sudah beberapa waktu timbulnya,” sahut Jenggot
perak dengan ilmu menyusup suara juga.
“Aku mempunyai rencana yang sekali dayung tiga tepian tercapai,” kata Cu Giok-
bun.
“Apa?” Jeenggot perak mengulang, “kau hendak menikahkan Siau-bun dan Bu-
song kepada budak itu juga?”
“Uruslah hal yang kau anggap penting itu dulu, baru kau nanti pulang ke Hun-
tiong-san, maukah kau?” tukas Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Serta merta Thian-leng menyahut, “Sudah tentu anak akan mengunjukkan bakti
kepada ayah ibu berdua. Setelah urusan-urusan itu selesai, aku tentu akan segera
pulang ke Hun-tiong-san!”
Walaupun agak heran, namun Thian-leng tak mau banyak bertanya lagi. Setelah
memberi hormat kepada sekalian orang tua, ia segera meninggalkan Sin-bu-
kiong.
“Kira-kira sebulan lagi, aku si orang tua bakal minum arak kegirangan, ha, haa,
ha....!” serunya.
“Sudahlah, jangan banyak tanya. Nanti pada waktunya kau tentu akan tahu
sendiri!” sahut Jenggot perak. Kemudain ia berpaling dan membisiki telinga
mantunya.
“Apa? Bu-song dan Siau-bun henak dinikahkan kepadanya?” Pok Thiat-beng
terbelalak. Tiba-tiba ia tertegun karena merasa telah kelepasan omong. Namun
hal itu cukup didengar oleh Bu-song dan Siau-bun. Merah padam wajah kedua
gadis itu. Tetapi mereka berdua memang cerdik, pura-pura tak mendengar.
Yang terakhir, Jenggot perak berkata kepada Ki Tim totiang, “Totiang, sebagai Bu-
lim beng-cu, kuserahkan urusan di sini kepada totiang!”
Jenggot perak menggerutu seorang diri, “Ai, memang aku ditakdirkan untuk
menjadi tukang urus orang. Setelah urusan Thian-leng selesai, masih ada Ki
Gwat-wan yang harus menerima warisan istana Sin-bu-kiong....”
Jago tua itu segera mengajak Bu-song, Li Cu-liong serta Im Yang songsat, Bok
Sam-pi dan Ceng-ceng serta rombongannya menuju ke Tiam-jong-san.
Pok Thiat-beng dengan isterinya Cu Giok-bun serta kedua gadisnya Siau-bun dan
Lian-ci berangkat ke Hun-tiong-san.
Pada saat mereka keluar dari Sin-bu-kiong, fajarpun memancarkan sinarnya yang
gemilang.
Tamat