Anda di halaman 1dari 102

“Aihhh...!” Tiba-tiba kakek bongkok itu menepuk dahinya. “Jadi putera Jenderal Kao...?

” Sepasang matanya
yang mencorong itu kini bersinar-sinar sehingga mengejutkan dan menakutkan hati Syanti Dewi dan Tek
Hoat. Mata kakek ini tidak lumrah mata manusia, mencorong seperti mengandung api!

“Orang muda, engkau menderita keracunan yang lumayan. Di sini aku menerima berita tentang muridku,
sudah sepatutnya pula kalau aku merubah sedikit keadaanmu agar lekas sembuh!”

Kakek itu lalu menggerakkan lengannya dan Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan ngeri.
Kakek itu berdiri kurang lebih tiga meter jauhnya dari Tek Hoat, akan tetapi lengannya terus memanjang
sampai akhirnya telapak tangannya menempel di punggung pemuda itu, mengusap beberapa kali di
punggung, leher dan pundak, lalu lengan itu ditarik.

“Aku pergi!” terdengar suaranya akan tetapi orangnya sudah lenyap!

Syanti Dewi bengong, menoleh ke kanan kiri dengan bulu tengkuk meremang. Sukar dia percaya bahwa
kakek tadi seorang manusia, pantasnya sebangsa dewa atau juga siluman!

Tiba-tiba Tek Hoat berseru kaget, “Aihhh... aku sudah sembuh!”

Syanti Dewi cepat berlutut mendekati dan ketika dia memeriksa, benar saja, warna biru kehitaman di
dadanya lenyap, juga luka-luka di leher dan pundaknya sudah tidak hitam lagi, bahkan hampir kering. Akan
tetapi tubuhnya masih lemas sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia terhuyung.

Tek Hoat lalu berlutut. “Terima kasih, Locianpwe.”

“Akan tetapi kenapa kau kelihatan lemas sekali, Tek Hoat?”

“Semua racun telah lenyap dari tubuhku, dan luka-lukaku tidak ada artinya lagi. Akan tetapi tenagaku
belum pulih dan aku perlu mengaso...”

Pada saat itu terdengar sorak-sorai dan pertempuran makin menghebat, terdengar dari tempat itu.
Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut, cepat dia menarik lengan Tek Hoat dan diajaknya terus lari memasuki
hutan yang lebat itu, makin jauh ke dalam. Kalau saja dia tahu bahwa sorak-sorai itu adalah tanda
kedatangan pasukan pembantu dari negerinya, tentu dia tidak akan lari ketakutan.

Setelah racun yang berada di tubuhnya lenyap semua berkat kesaktian kakek bongkok, tubuh Tek Hoat
menjadi lemas sekali. Akan tetapi Syanti Dewi terus memaksanya untuk memasuki hutan lebih dalam
sehingga pemuda ini berjalan terhuyung-huyung dipapah oleh dara itu. Hati pemuda ini terharu bukan
main. Seorang dara begitu lembut dan halus, seorang puteri kerajaan, kini memapahnya, tersaruk-saruk
menerjang semak-semak belukar yang penuh duri sehingga kaki tangan dara itu yang tidak terlindung,
luka-luka dan lecet-lecet berdarah.

Akhirnya senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di
tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat
merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang telah condong ke barat, sudah amat gelap
sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

“Kita berhenti dulu di sini...” Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh
Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.

Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat
api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah
kelelahan.

“Dewi... Syanti Dewi... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...” Tek Hoat mengeluh, hatinya
terharu sekali.

“Janganlah mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku
dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”

Hening sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di kereta itu... dan selama itu engkau berada di bilik kereta
depan?”
Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun,
sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”

“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan
oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua
losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan
aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin
dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam
kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Bilik belakang itu adalah
tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika
membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang.
Ketika kau masih pingsan... aku merawatmu. Akan tetapi sesudah engkau siuman dan aku lalu masuk
kembali ke bilik depan.”

Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu.
“Dan aku... aku mengigau tentang dirimu, aku... aku bernyanyi... menyebut-nyebut namamu... kau... kau
mendengar semua itu...?”

Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula
Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda
ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap
dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.

“Kalau begitu...” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

“Mengapa, Tek Hoat?”

“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”

“Hemm, mengapa?”

“Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita
dan berbudi mulia, sedangkan aku...”

“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”

“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...”

“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh-sungguh tak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri
secara berlebihan tak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain.
Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan
perubahan, bukan hanya sekedar penyesalan kosong belaka!”

“Maaf, akan tetapi kau... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”

“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah tahu lebih banyak tentang dirimu dari
pada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tak
sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnya, aku lebih tahu dari pada engkau sendiri tentang dirimu.”

Tek Hoat memandang terbelalak heran. “Apa yang kau maksudkan, Dewi?”

Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya
demikian hanyalah Gak Bun Beng. Baginya ada persamaan antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu
bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri
tentang dirimu.”
Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan
tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan
apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”

Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut
ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu terlebih dahulu, apakah engkau mengenal nama
Gak Bun Beng?”

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram. “Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama
itu!”

“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”

“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus
dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.

“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku
mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu... hal itu... akan
amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu,
bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang
patut dihormati dan dikagumi...”

“Dewi! Apa maksudmu?”

“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum
bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai
musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali
bukan musuh besarnya. Katakanlah lebih dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu
dan tentang Gak Bun Beng?”

“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak
Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih
hidup...”

“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah
duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih
gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda
itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya... ehhh, kenapa kau?”
Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar
permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang
melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari,
bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng,
ibumu dan beberapa orang wanita itu berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus
ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga
dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi
Milana akhirnya mengetahui bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah
tewas menebus dosanya. Namun ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan
engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka
pemerkosanya.”

Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andai kata bukan puteri itu yang bercerita
seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan
akan membunuh yang bercerita itu.

“Dewi... Dewi... demi Tuhan...! Benarkah itu...?”


“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”

“Lalu... lalu bagaimana...? Lalu siapa orang itu? Siapa... pemerkosa Ibu dan... ayahku itu...?”

“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she
Wan.”

“Dan... dan Ang Thian Pa... ahhh, bisa jadi dialah kakekku... bekas ketua Bu-tong-pai... ahh, Ibuuu...!” Tek
Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan.

Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-
manggil.....

********************

Panglima Jayin dan para anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan
mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya
melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia kemudian menyebar orang-orangnya untuk
mencari ke sana-sini.

“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang
Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali
ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian Hoat-su
membanting-banting kakinya.

“Suhu, mengapa tidak semenjak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam
setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?” Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk
dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini
mengakibatkan mala petaka.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa
khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.

Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring, “Heiiiii...! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini...!”

Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik
Kakek See-thian Hoat-su mau pun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan
dengan Suma Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan
diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini amat
menggirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini,
tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu.

Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang
lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian
Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil
tertawa cekikian menutupi mulutnya dia kemudian menceritakan dengan suara nyerocos tiada hentinya
tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

“Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat
itu. Engkau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga
namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana,
kuperlihatkan kepadamu!” Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik
tangan Kian Bu pergi dari situ.

Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara
remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai
dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos,
begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-
maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik
menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

“Nah, kaulihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?” Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh
Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya
sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu
menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.

Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang
dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah
seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta
oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan,
sudah pernah menghamba kepada nafsu birahi.

Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul
melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung yang mancung itu agak kembang-
kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu
mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan
kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya,
jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

“Kau... menggemaskan...!” Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak
merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan
mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai
lama tidak dilepaskannya.

Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tidak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari
kerongkongannya hanya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-
nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu
dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan
kanannya menyambar ke depan.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

“Kau... kau... jahat! Kau menjijikkan...!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil
meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon
sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ehhh, ada apa? Apa yang terjadi?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-
banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menerus menangis.

“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya
menggeleng-gelengkan kepala dengan keras dan masih terus menangis, menyembunyikan mukanya di
baju suhu-nya.

Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi.
Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar
keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat
dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan
mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!

Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa
Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung
menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.

Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia
sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa serba
salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika
mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia amat terkejut dan khawatir sekali. Betapa pun juga,
cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu
masih belum sembuh.

Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui.
Andai kata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru seorang Hong Kui, biar
ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan
Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat,
membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadi pun dia tidak dapat menahan diri!

Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu
karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari
puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.

Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi barulah dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah
sehingga tidur di atas pohon itu terasa amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru
terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat
dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan
menengok ke kanan kiri.

“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau
puteri itu tidak berada di sini.”

“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi kalau tidak ke hutan
lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek
Hoat yang sudah terluka.”

“Hehh, pemuda itu memang hebat!”

“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan
masih terkena pukulan dan tendangan. Andai kata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu
melawan lagi.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua
orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh dan dengan hati-hati sekali.
Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak
daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun
cepat berhenti

Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak. “Aku mendengar suara orang!” bisiknya. Tambolon terkejut,
memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.

“Tidak ada suara, Subo.”

“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang.”

Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi-sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subo-nya
yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka
lewati dan mereka lihat tadi.

“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi.”

“Ke mana?”

“Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah
pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke
sanalah mereka.”

“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar
kaki!” nenek itu mengomel lagi.
Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih
memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang walau pun tidak mendengar dengan telinganya, mampu
menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam
di hutan yang amat lebat.

“Ssssttt...!” Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini.

Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia
cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia
mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon.
Jantungnya berdebar tegang.

Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya
kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang
dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air
butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri jelita ini merupakan orang yang
sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seakan-akan di dalam tangannya
dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa
kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut
dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.

Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat
mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang
mengambil air dengan periuk butut itu.

“Bressss...!”

“Aihhhh...!” Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika
menoleh dia melihat Tambolon menubruknya.

Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian
Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke
samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang barusan menghalanginya adalah
pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

“Keparat, berani engkau menghalangiku?” bentaknya.

“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.

“Bu-koko...!” Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali.
Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling
serang dengan dahsyatnya itu.

“Syanti Dewi, kau larilah cepat...!” Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon
menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sinkang yang amat
dingin.

Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil
menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun
kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih
terlampau lambat.

Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai
putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang
banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), kemudian dirubah dengan
jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan
Dewa).

Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biar pun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar
itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan
tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan
tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sinkang membuat dia menggigil dan jerilah raja liar ini.

“Subo, tolong...! Subo...!”

Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya
tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

“Suboooo...!” Tambolon berteriak.

“Desss...!”

Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja
menggulingkan dirinya ke dekat subo-nya, tidak peduli pakaiannya sudah menjadi kotor semua.

“Subo... Subo... bangun, bangun..., tolonglah aku!” Sekarang ia mengguncang-guncang tubuh subo-nya.

“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh...!”

Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini
terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga
kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

“Subo, ini aku...! Itu di sana barulah musuhku...!” Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang
bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya karena tamparan nenek itu.

“Apa...? Heeii..., kaukah itu? Siapa? Mana...?” Nenek itu masih juga bingung karena semangatnya masih
tertinggal di luar setengahnya.

“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.

Kini Nenek Durganini baru dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu
tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok dia lalu menghampiri Kian Bu.

“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?!” Nenek itu
menggerakkan tongkatnya.

“Wirrr... siuuut...!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.

Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis
dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

“Plakkk!”

“Aihhh... dingin... dingin bukan main...!” Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan
melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”

Suma Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan
sinkang-nya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki
kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang
lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan. Namun, sebagai seorang putera
pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sinkang dia dapat melawan pengaruh sihir.

Dia sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga.
Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan
api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan.
Akan tetapi Kian Bu, biar pun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali
tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang
mengandung tenaga Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im
Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

“Blarrrr... darrrrr...!”
Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biar
pun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak
kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah
terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

“Aihhhh...!” Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali hingga terdengar amat tajam seperti mengiris
jantung. “Bocah lancang..., lihat ini...!”

Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi kemudian
memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia
terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai,
ibunya sendiri!

“Ibu...!” Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.

“Hi-hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak...!”

Kian Bu lari menghampiri.

“Desss...!”

Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang
bertenaga mukjijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena ‘ibunya’ memukul, masih sempat miringkan
kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya.

Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih
saja ibunya yang berdiri di situ.

“Ibu...!”

“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

“Subo, pergunakan pedangku!” Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya yang diterima oleh
Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa
Tambolon menyebut ibunya subo?

Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan
beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

“Cessss...!”

Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang
disangka ‘ibunya’ itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat pedang hendak
membacok kepalanya. Secara otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang dan sambil
melompat dia mengirim pukulan.

“Blarrrrr...!”

Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke
belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan
tiba-tiba nenek itu menangis.

“Aduhh... hu-hu-hu... celaka... Tambolon... Tambolon...! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa
masuk angin kehujanan... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku... hu-huuu-huuhhh...” Terseok-seok
nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya,
kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara
bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di
tengah-tengah hutan. Cepat-cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat
menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?
Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit.
Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang
memberi minum kepada pemuda itu!

“Dewi... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini...? Ahh... aku harus melawan mereka... aku harus
melindungimu...” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu memaksa hendak bangkit.

Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya. “Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu
belum lagi pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita
bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau
memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...”

Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk
jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu
mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat
diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.

Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang
duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-
orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

“Iblis keji, kalian harus mampus!”

Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah
bukan main, apa lagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan
kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan
terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jeri dan mereka
lalu melarikan diri tunggang langgang.

Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis
semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas
dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya,
meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan
turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk
dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat.
Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana
di pahanya. Pahanya berdarah, dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu
mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa
menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus
ke dagunya.

Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti
nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar
amat menyedihkan.

Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan
pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan
dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya,
karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu
apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu,
bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena semuanya itu sudah
diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada!

********************

“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan pada saat akhirnya dia
dapat menyusul orang itu.
Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan
lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi
kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang
malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir
dia memegang lengan Topeng Setan.

Mereka sudah pergi jauh dan tiba di sebuah tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng
Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab, “Bagaimana aku bisa
marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa
tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa,
engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”

“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah-payah bersama,
menghadapi maut bersama dan engkau... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku
dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal
dengan siapa pun juga.”

“Eh, aku mendengar tadi kau... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...”

“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”

Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung
jenderal itu?”

“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau
dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biar pun
dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau,
Paman.”

“Ehhh...? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa
engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”

“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan,
dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku.
Marilah kita ke sana, Paman...”

“Dan bagaimana dengan... dia...?”

“Dia siapa?”

“Musuh besarmu!”

“Ohhh..., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”

“Kalau tidak bertemu?”

“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”

“Ceng Ceng, benar-benarkah engkau tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”

Ceng Ceng menggeleng kepala. “Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu,
Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku
sebagai anak sendiri.”

“Hemmm...”

“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”

“Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”
“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan... wanita itu? Apakah Paman
tidak dapat melupakan dia?”

“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”

“Kenapa Paman membunuhnya?”

Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman. Tak
perlu dijawab pertanyaanku itu.”

“Aku telah gila, aku telah mabok... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng...”
Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-
susah?”

Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia kemudian menceritakan
pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman.
Entah mengapa, tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapa pun, masih jauh lebih
kuat dari pada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun
tangannya yang halus.

“Darrrrr...!” Batu itu pecah berkeping-keping!

Topeng Setan mengangguk-angguk. “Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali,
engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya
engkau memperoleh kekuatan sinkang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu.”

“Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan
agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”

“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak mau
menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat
Sin-liong-ciang-hoat.

Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini
berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana, “Mungkin hanya penglihatanmu
saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”

Biar pun sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya
mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah
penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya,
bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah
pemandangannya.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng
menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok
Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di
antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian
ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka
sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan
lewat di dusun itu.

Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguh pun diam-diam dia menjadi girang pula. “Siapakah
jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga
mendengarkan dengan penuh perhatian sungguh pun dia tidak ikut bicara.

“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu.

Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa
adanya Jenderal Kao yang dahulu sering kali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini
dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya
membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum
berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali
pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, disamping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan
sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman.

Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba
terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh
jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri.
Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.

Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan
sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa
disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

“Ah-ehh-ehhh...!” Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang
duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya
terbelalak melihat mejanya itu remuk.

“Keparat...!” Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke
pintu bagaikan kilat.

Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda
yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya!
Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biar pun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan
tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya!

Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng
Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Namun tiba-tiba tangannya
yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda
ombak yang menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi
bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya
sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang
menyerang dan kini merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

“Eh, kau...?” Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling
dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini
malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan
sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”

“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tidak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan
lupa!”

“Hemmm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih
dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya
agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...”

Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan
heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali.
Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda
remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

“Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya... wajahnya...” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak
melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus
yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu.

Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang
kedua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu,
akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.
“Itu... dia...” Ceng Ceng kembali menjadi beringas memandang pemuda kedua yang baru masuk.
Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul.

Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini
gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada
pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sinkang mukjijat yang timbul dari khasiat anak ular
naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang
terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

“Hemmm...!” Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah.

Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan... bukan main anehnya, uap dan
angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan ‘tersedot’ ke arah kakek ini dan
seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik
kembali tangannya.

Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa
kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dia tahu pula
bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biar pun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan
maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng
Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

“Sabarlah... kau... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah
lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu..., juga lebih muda... jauh sekali. Kau ingatlah baik-
baik...” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.

Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan
memandang dengan heran kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng
Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu...!

“Tapi... tetapi... ahhh, bagaimana ini...? Paman... aku... aku bingung...,” dia merintih dengan penuh
kekecewaan dan rasa penasaran.

Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya terasa habis karena kecewa mendapat
kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat
dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang, lalu jatuh pingsan!

Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan
bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena
tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu.
Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas salah satu bangku panjang dan menggoyang-
goyang tubuhnya.

Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncullah seorang nenek yang
agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng
Ceng tadi, tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang
pingsan, nenek ini segera mendekati.

“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan
tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada
kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat
menghampiri. “Ada... ada... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.

Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan
orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi
tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih
panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara
denganmu, Sobat.”
Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada
orang-orang yang berniat baik itu, apa lagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang
sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera
Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya
yang bersama Kao Kok Han. Biar pun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti
ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki
ilmu silat yang lumayan.

Ada pun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super
Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang kedua, yaitu Nenek Lulu.
Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam
perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu
lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.

Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera
mereka yang banyak berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali
akan tetapi kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri
Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke
barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.

Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang
juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami isteri yang
mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao,
Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu
bersama dua orang putera Jenderal Kao.

Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang
berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar
biasa, yang memiliki kepandaian mukjijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia
dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih
senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya
seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang
sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini
sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang
kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana
nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biar
pun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa
cantiknya dia di waktu mudanya.

“Apakah engkau suaminya...?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.

Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing
dan dia gelagapan.

“Anu... anu... itu... ehh, benar... ahhh, bukan...!”

Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya
bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi
terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih
belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam
rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab
pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya takkan
terancam, sungguh pun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa
hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan
biarkan dia terlalu lemah...”

Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong, “Apa... apa... maksud
Locianpwe...?”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan
biasa saja, dan dia selalu tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak
kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang
penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

“Ya Tuhan...!” Topeng Setan berteriak.

Kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu bagai kilat
cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, bahkan hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun
dari kakek yang sangat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-
geleng kepalanya saking kagum.

“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jikalau seandainya harus
bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih
begitu muda!”

“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”

Nenek Lulu menggelengkan kepala. “Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil
memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan dan minum? Lihatlah, dua
orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.” Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan
Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah
memasuki kamar itu. “Ceng Ceng... ah, Ceng Ceng...!” Dia berseru.

Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-
gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia
menengok dan memandang.

“Paman...!” Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku... aku bingung sekali... aku...
aku...” Dia menangis.

Topeng Setan gemetar menahan perasaan. “Ceng Ceng, sungguh tidak kusangka... kau... kau
mengandung sampai keguguran... ya Tuhan...!”

“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah
terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat... agaknya khasiat anak ular naga...”

“Ya Tuhan..., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak
tertahan.

“Tidak apa-apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu?
Andai kata tidak gugur karena anak ular naga itu... andai kata aku tahu bahwa aku telah mengandung
selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”

“Ahhh, jadi kau... kau sendiri tidak tahu bahwa... bahwa kau... mengandung, Ceng Ceng?”

“Tidak, Paman. Bagaimana aku bisa tahu?” jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan
semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

“Jangan khawatir... jangan sedih... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu.
Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!” Topeng Setan melepaskan
rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil
gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.
Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu...! Mengapa kau lakukan itu?
Untuk apa...?”

Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam
saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng, bagaimana pun juga ini adalah
calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si
jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...”

Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik, “Kau benar... dia itu... senasib dengan aku...
hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga...”

“Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat.
Akan tetapi lebih dulu mari kupertemukan engkau dengan... keluargamu.”

“Apa...? Siapa...?” Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.

“Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar...”

“Nenek tadi...? Dia... dia... nenekku sendiri...?”

“Kau tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau punya hak bertemu dengan keluargamu.”

“Tidak...! Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum...
sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...”

“Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas
dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!” Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh
Ceng Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu.

Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia
berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap
tenang dan sinar mata tajam!

“Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang
yang telah melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur.

Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini sangat tidak
patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang
berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah
menghadang di atas genteng.

“Harap... harap Locianpwe maafkan kami... ehhh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak
bermaksud buruk...”

Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan
pendekar kaki satu itu. “Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan
tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami mengambil jalan ini,
karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian. Saya... saya berterima kasih kepada Nenek... kepada
Locianpwe yang menolong saya tadi...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia
mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru
keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita
muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa
pelarian mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum
lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang yang merupakan sepasang manusia aneh penuh rahasia
ini!

“Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi
karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah
bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?”
Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak
menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe.
Bahkan dia telah pernah menolong saya.”

“Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dia meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu.
Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, namun
tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee.”

“Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota
raja.”

“Hemm..., sayang...”

“Ceng Ceng, mari kita pergi.”

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan
gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super
Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar
tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu.

Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan
mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng
Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian tiba-tiba Topeng Setan kelihatan beringas
dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.

“Darrrrr...!” Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.

“Paman...! Ada apakah, Paman?”

“Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus
disiksa sepuas hatimu!”

“Paman, ke manakah kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu
aku mencarinya, namun sia-sia belaka.”

“Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya.
Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah, kita ke
sana!”

Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai tawar dan
ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya
yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda
laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang
yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan
nyawa pemuda jahanam itu!

Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang
diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat pulih
kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak
dikehendakinya itu telah keguguran. Andai kata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa
makin tersiksa!

Keparat! Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus!
Kesehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari Ban-tok Mo-li
telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan
kandungannya, juga mendatangkan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat
diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun!

Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja,
mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua
pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.
“Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?”

Topeng Setan mengangguk. “Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam.
Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa perbekalan cukup.”

Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang banyak
gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, walau pun harus
menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya
itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apa lagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian
lihainya, apa lagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!

“Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi
dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong
Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah
itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao
tinggal.”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng
merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu!

Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal dari pada Ceng Ceng yang baru satu kali
berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan
pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu.

Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik. Pantas
saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya
berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular
besar.

Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan
tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka
berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlomba lari berhembus angin semilir.

Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu
merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur
di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.

“Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!”

Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka
lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.

Kenyataan lebih pahit dari pada bayangan,


lebih kejam dari pada kenangan,
cinta hanya mendatangkan penderitaan!

“Ohhh...!” Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.

“Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan
menuliskan sajak-sajak ini...” Topeng Setan berkata perlahan.

Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya ada banyak di antara batu-batu yang berserakan itu bekas
ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.

“Heiii... ini... seperti gambarmu, Ceng Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.

Ceng Ceng melompat mendekat. Mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas
permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biar pun hanya
merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.

“Benarkah gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng bertanya ragu.


dunia-kangouw.blogspot.com

“Tak salah lagi, dan dia pandai benar melukis!”

“Kalau begitu engkau mendapat saingan, Paman!” Ceng Ceng menggoda.

“Aku...? Ahhh, banyak benar dia menulis...” Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua
membayangkan kegagalan cinta itu.

Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama dia termenung, kemudian
dia berseru. “Ah, ini tentu dia...!”

Topeng Setan kaget, menengok. “Dia?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!”

“Ohhh...! Tapi... tapi...” Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ceng Ceng kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia... dia cinta
padaku? Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali
peristiwa di dalam goa itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak
sewajarnya, seperti keracunan hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu
jatuh cinta kepadanya? Mana mungkin?!

Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu
mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di goa itu,
dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda
itu! Akan tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan
kebencian, dengan dendam dan sakit hati.

“Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar
tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya
berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas
dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?

Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan
di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka
mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang
seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena
pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu
malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan sendirian di luar dusun sambil
meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.

Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal.

“Mengapa Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”

“Kami adalah sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.

Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan
mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang
rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang
sama dengan di sumur maut, akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang
amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah berantakan.
Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.

“Hebat... dia hebat...” Topeng Setan mengangguk-angguk.

Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan. “Sudah kukatakan jika dia berilmu tinggi, Paman. Apakah
sekiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku untuk menghadapinya?”

“Dia siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!”


“Hemm... kita lihat sajalah nanti.”

Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana
perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan
perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan itu.

Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata
adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak
ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat kepadaku?
Aku Ceng Ceng!”

Mereka yang ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang
datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apa lagi kedatangannya
bersama dengan seorang manusia berwajah setan!

“Nona... Nona... bukankah dahulu sudah... ehhh... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga tua
memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil.

Ceng Ceng tertawa. “Memang aku disangka mati, akan tetapi untungnya Thian masih melindungiku dan
aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi
komandan di sini sekarang?”

“Bukan Jenderal Kao lagi, Nona...”

“Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di
sini?”

“Thio-goanswe (Jenderal Thio),” jawab penjaga itu.

“Hemm, siapakah dia?”

“Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”

“Ahh, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya
pula!” Ceng Ceng berseru.

Mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal Thio yang
tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak,
segera menyambut dan menjamu mereka.

Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya
dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati.
Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li
diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal
Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan
penuh kagum.

“Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda berseru kagum.
“Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi... ehhh...” Tiba-tiba dia menoleh kepada
Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.

Jenderal Thio tertawa sambil mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-
sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu pada mereka ini.”

Perwira itu lalu bercerita dengan hati gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan
kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin dia
beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali.....

Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para
prajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, tetapi
menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada
di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya
sudah banyak yang runtuh dan sudah tua. Berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin sampai di
puncaknya karena anak tangga ke puncak itu pun sudah runtuh semua. Akan tetapi pada suatu malam
terdengar suara orang meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki
bernyanyi dengan nada sedih!

Biar pun para prajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa menghadapi maut di
medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka merasa ngeri dan takut! Apa lagi karena
menara ini terkenal sebagai tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang prajurit
yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya. Kadang-kadang di
tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak atau turun dari puncak, bayangan yang
demikian cepat gerakannya, sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua prajurit di benteng
itu mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari prajurit yang mati berjaga itu.

“Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,” demikian perwira muda itu melanjutkan
ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa
berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia
menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang dicarinya.

“Apakah sekarang dia masih berada di atas menara?” otomatis dia bertanya.

Perwira muda itu menggeleng kepala. “Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu,
di benteng ini muncul pula seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali...”

“Ahhh...!” Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah
menduga siapa adanya kakek bongkok itu.

“Dia datang dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang
tampan... Dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas menara,
suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami
hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di
atas menara!”

“Hemmm...” Topeng Setan menggeram.

“Kami tadinya hanya ingin main-main saja, tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah
itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan... dia terbang ke atas!”

“Terbang...?” Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.

“Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi
bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya! Suara
suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari
puncak menara itu dan lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak
pernah muncul lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu.

Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata, “Tentu saja
cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang kang-
ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah
gurunya.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Mungkin sekali... bahkan, kuyakin begitulah!”

Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu,
Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.

“Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,” akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya.

Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah
pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia?
Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu
diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di
tempat tinggal gurunya.

Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apa lagi kini ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh
lain di dalam Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah ‘pembantunya’ yang duduk melamun sambil
memegang cawan arak karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya,
karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja
tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah
maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan
muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa... ah, buruk?

Belum tentu! Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa melebihi semua
pria yang pernah dilihatnya! Ahh, apa pula yang dipikirkannya ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya
sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat
setia.

Betapa pun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng
Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka
bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang
matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata
bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang
mencorong itu.

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua
menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-
desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang
emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk
menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang
dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini.
Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di
tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju
ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya
dengan sedih.

Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan
bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat
dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka
kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan...

“Ahhhhh...!”

Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru
sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

“Kenapa, Ceng Ceng?”

“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman.
Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh
beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan
aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih terkurung.”

Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak
sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang
racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing
mempergunakan racun-racun jahat.

“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”


“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, yaitu di dalam kerangkeng itu.”

“Hemm... kalau begitu... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di
dalam kerangkeng?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku tidak tahu,
akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku... aku merasa kasihan. Maka aku kemudian
menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa
kerangkeng itu sembunyi di dalam goa.”

Topeng Setan menggeleng kepala. “Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu
pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah
Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk
menolong orang yang tidak kau kenal?”

Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, ia takkan menyimpan
rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan
dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekali pun.

“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku
merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku... eh, terus terang
saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria
segagah dia, sangat gagah dan tampan...”

“Tampan mana jika dibandingkan dengan... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba
Topeng Setan bertanya.

“Hemmm... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya,
menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu. Dia gagah dan tampan,
aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata
bersembunyi moral yang bejat!”

Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam
ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya, “Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”

“Setelah bersembunyi di dalam goa, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya,
akan tetapi dia menolak dengan keras...”

“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak?
Mengapa?”

“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan
beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”

“Hemmm... lalu bagaimana?”

“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan... dan... dia menubrukku, dia memeluk dan
menciumiku...”

“Hemmm, bedebah...!”

“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, lalu dia memandangku dengan mata merah, seperti
orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya
dia meloncat keluar dari dalam goa! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda
itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...”

“Hemm, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”

“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan goa, lalu
dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia saja. Dia amat
kuat dan dia... dia lalu menggagahi aku, dia... dia memperkosaku... Paman, ahhh, Paman...”
“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau memang layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar
kepalanya sendiri.

“Plakkk...!” Dan dia roboh terpelanting.

“Paman...!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Ehhh, Paman, mengapa...? Mengapa Paman menampar
kepala sendiri?”

Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mukjijat dari Sin-liong-hok-
te, sebelum ilmu mukjijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi
memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa
diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman
sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan
dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!”

“Tapi... tapi... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah
Paman mampu melawan mereka?”

“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”

“Paman... Paman... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki
Topeng Setan dan berlutut.

Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang
berlutut di depan kakinya itu. Dengan halus dia lalu membangunkan Ceng Ceng.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”

“Nanti dulu, Paman. Aku... aku ingin sekali... menengok tempat itu. Sekali lagi...”

“Tempat apa? Di mana?”

“Goa itu...”

“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau... kau malah ingin melihat tempat itu,
tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”

“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.” Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri
sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya,
seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!

Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke goa jauh di depan. Ketika
tiba di depan goa, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, lalu memejamkan matanya dan terbayanglah
peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan
memasuki goa besar itu. Tiba-tiba dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak
memandang ke depan.

“Ada apa, Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar,
agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa seram memasuki goa ini!

“Sssttt... Paman... ada asap... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia... harap Paman waspada dan suka
membantuku!”

Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam goa itu. Tidak salah lagi,
pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang
paling dalam dari goa itu dan... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas
api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan
dibentangkan di situ.

Tiba-tiba Topeng Setan berbisik, “Ssssttt... mari keluar, ada suara orang di luar!”
Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar goa dan mereka cepat
bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan goa itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara
seorang wanita, “Aihhh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”

Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang
kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin
dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda
muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara
itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo!

Dara cilik itu sedang berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan
dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di
jalan tak jauh dari tempat itu.

“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega
hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan
dari belakang.

Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang
matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

“Ehhh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu
dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas
mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”

Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan
dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka,
jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu. “Kelak kalau aku
sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal
di dalam goa itu?”

Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku
mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah
seperti dia yang tak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu
menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya... ehhh, siapa dia ini? Tentu
jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah
seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.

Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya berwajah
gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu
tentu tersembunyi wajah yang gagah tampan, boleh aku membuka topengmu?”

Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja
Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan
cemberut.

“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang
kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

“Hemmm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.

“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, tetapi
sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biar pun Subo mengatakan kau
seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di
belakang topeng?”
Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu
menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu. “Hwee Li, diam kau, jangan
cerewet. Aku tak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”

Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, “Subo
mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”

Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat
perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan
bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam goa itu?”

Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku, Subo. Tadi kucuci,
sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan... ehhh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat
kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan
lagi.

“Wah, celaka, rugi besar aku...” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...,” kata Topeng Setan
menawarkan.

“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri
belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan
dendeng.

Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo hendak mengajak
aku ke mana?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! “Kami
berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Karena itu, kau menanti
saja di goa ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”

“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”

Ceng Ceng merangkul pundak ‘muridnya’ itu. “Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami
menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu
akan memperlambat perjalanan...”

“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini
menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekali pun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut,
Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan
bisa pula mendahului kalau perlu!”

Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu. “Ehh, Nona cilik,
jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”

“Mengapa tidak? Ehh, apa Paman pandai terbang?”

“Terbang?”

“Ya, terbang di angkasa.”

“Tentu saja tidak bisa!”

“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”

“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”

Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sama sekali
tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.
“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa
dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”

“Ehh, mana burung itu?”

“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau
Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”

Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi. “Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus
menurut semua omonganku.”

“Baik, Subo, baik. Ahhh, Subo manis sekali!”

Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andai kata dia masih
memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada
bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau
kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”

Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subo-nya dan Topeng Setan melanjutkan
perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit nyaring dan berkali-kali. Tak
lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar
menyambar turun.

Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang
asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan
kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau
dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang
berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.

Setelah mengambil pakaiannya dari dalam goa, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam.
“Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana...!”

Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke
atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.

Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar ‘muridnya’ itu tidak benar-benar
mengejarnya.

“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang
tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu,
Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali.”

“Memang, tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan
kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti
yang dibualkan.”

Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah muridmu itu.
Lihat!” Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas
mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

“Subo...! Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan
terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan
membikin keributan.”

Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu.
Kalau malam tiba dan melihat subo-nya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun
agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subo-nya, membantu
subo-nya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama.
Keesokan harinya, setelah subo-nya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauw-nya dan
kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.

Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui
perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun
seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi
sekali dan karenanya kelihatan ‘angker’ dan keramat.

“Hati-hati, Paman...” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas.

Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada
muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini!
Tunggu sampai kami keluar!”

“Baik, Subo...!” Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh
dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turut masuk. Akan tetapi karena dilarang subo-nya, maka dia
lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

“Mari kita masuk, Paman...” Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan
muridnya itu melayang tinggi dan jauh.

Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana
itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna
sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di
belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga,
cukup segar dan indah!

Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-
lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang
tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh
mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya.

Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di
mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua
tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air
memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau
tidak ada penghuninya.

“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.

“Hemm... mungkin begitu...” jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik.

Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang
mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jeri! Apa lagi dia. Dia sudah merasa seram
dan longak-longok memandang ke sana-sini.

“Sregggg...! Sregggg...!”

Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu mendadak dipecahkan suara yang
amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru
saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.

Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu adalah seorang perawat atau pelayan rumah
besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka secara otomatis kakinya bergerak,
berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.

Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang
pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika
mereka lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan. Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan
memandang ke kanan kiri.
Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main!
Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara
menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu
ajaib itu telah lenyap.

Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu
memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh
itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan
memandang ke arah bekas tempat yang disapu.

Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat
teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin
menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga
mukjijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.

Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut sekali karena gerakan-
gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang
bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini, tadi menyapu sambil
bersilat! Semua ‘serangan’ ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan
menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

“Sreggg! Sreggg!”

Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang
menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan semedhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia
hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah
disapu itu!

Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia
lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal
ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini
sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja
mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas.

Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia
tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk
menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mukjijat, khasiat anak naga
itu. Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit
demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mukjijatnya itu, sungguh pun belum
seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai
seluruh tenaga mukjijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sinkang-
nya.

“Paman...” Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan
Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!

“Ahh, di mana dia...?” Ceng Ceng memandang ke kanan kiri.

Dia sampai lupa pada Topeng Setan karena digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia
lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia
sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah ‘dipancing’
untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat
memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

“Paman...!” Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan.

Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua
kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan seram, bulu tengkuknya meremang.
Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai
condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi
tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.
Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam
istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada tamannya, ada anak sungai dengan jembatan
yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun indah.

Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang
menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di luar
dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat
istana itu kosong dan menanti dia di luar.

Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun yang diambilnya,
tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar,
bahkan memasuki bagian-bagian yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong
itu!

“Paman Topeng Setan...!” Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan.

Akan tetapi, teriakannya itu sekarang bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara terakhir,
“...setaaaann...!”

Bulu tengkuknya makin meremang. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan
diraba dan dicekik tangan setan yang dingin! Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia merasa takut,
takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan.

Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh pengalaman-
pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi bahaya maut. Namun baru satu kali
ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang
membingungkan dan tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang
mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar, seorang diri dan tidak tahu apa
yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.

Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-
larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh jebakan.

Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan sana,
bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak
dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang
lilin bernyala itu. Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di
setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat
cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak.

Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya,
meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan
akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap!

Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu
minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin
menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar
hati. Andai kata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar
lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu.

Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh
di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba
di bawah sebuah bangunan tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling
serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang
bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi
besar.

Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan... hampir saja
Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!

“Keparat...!” Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas.


Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke
depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke
atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran. Akan tetapi, gerakan mereka
cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang
sudah diterangi banyak lampu.

Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan
seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang
bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang. Yang
dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya.

Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si
pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari atas
dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki, “Hendak lari ke mana kau?”

Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul
wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam goa kelihatan kemerahan dan beringas, akan
tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan
melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan
cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan sebentar
saja sudah kehilangan bayangan mereka.

Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi.
Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya
yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang
bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak
mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng.

Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara bagai mana? Kalau dia
sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian.
Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui
perasaan pemuda itu.

Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi.
Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat
kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat
arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai
diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu.

Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang
bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi, melainkan seorang kakek
yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata
kebutan dan yang seorang bersenjata tasbeh.

Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu tidak kalah lihainya.
Terutama sekali ginkang-nya, amat luar biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga
pandang mata Ceng Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya
digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya.

Biar pun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka mendatangkan
angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini tetap mampu melindungi dirinya, bahkan masih
sempat pula menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang agak parau.

“Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah
orang?”

“Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami
ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!” teriak lawannya yang bersenjata kebutan.

“Hemm, kiranya kalian ini maling-maling tidak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa, berani datang
merampok selagi tuanku pergi. Kalau bellau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar
pengecut!”
“Pelayan hina bermulut lancang!” bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi
makin seru.

Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si
pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di balik
tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri. Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia
melihat si pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai.

Agaknya si pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan
lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng yang sudah menyelinap
hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong
yang agak gelap.

Lima orang lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu memasuki
lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan mengambil jalan atas dengan
berloncatan ke atas genteng. Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah
mengejar secepatnya ke dalam lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu,
tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget dan terguling di dalam
lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua kakinya.

Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti yang dipakai oleh
pemuda musuh besarnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia
meloncat bangun kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil
melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong
gelap.

Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng termangu-mangu,
tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang tengah
dicarinya, sedangkan di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan, kembali
terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan
setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan
dengan Topeng Setan!

Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai
dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana
didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana
Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan
perampok!

Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus
memusuhinya. Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan para
perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan
Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat
seperti perampokan. Akan tetapi dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!

Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan
sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan
seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak mengejarnya.

“Paman...!” Ceng Ceng berteriak.

Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata, “Ceng Ceng, istana ini lagi kemasukan
maling-maling dan aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka.”
Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya hendak
membantu si tukang sapu.

Ceng Ceng termenung, dia bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan
urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat
membantunya menangkap si pemuda laknat? Dengan hati panas dia lalu mengejar pula.
Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari
menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng
Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang si pemuda laknat!

Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia
menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali. Ada sebelas orang yang
lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat
itu tidak kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan
terdengar seorang di antara mereka berkata nyaring, “Mereka berdua telah dikurung, mari kita mencari
sendiri gudang pusaka!”

Empat orang anggota gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh
mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa, “Ha-ha-ha, kalian berempat
hanya mengantar nyawa!”

Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia
tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para
penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang
perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya.

Kakek tukang sapu itu memang gagah berani. Biar pun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu
berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak
mengenal takut.

Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis
cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi
mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam
raksasa menyambar ke arah empat orang anggota penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng!
Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas.

Akan tetapi sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya, sehingga dua
orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka berdarah kena dihantam cakar, orang
ketiga terpelanting kena disambar sayap dan orang keempat berteriak-teriak menutupi mata kanannya
yang disambar ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun kembali
dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran sambil menonton pertempuran
hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.

Pada saat itu pula terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu
menggerakkan sayapnya, terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng
mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan dia berseru, “Hwee Li, hati-hati kau...!”

Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-
sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor rajawali
putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan
berambut putih panjang riap-riapan.

“Hemmm... orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!” Terdengar kakek
berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.

“Pendekar Siluman...!” Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua
menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di bawah telah
terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh
orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia
menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu Soan-hong-lui-kun!

Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.

“Lari...!” teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas
orang itu segera meninggalkan ternpat itu dengan kacau-balau dan ketakukan. Padahal mereka adalah
orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi.
Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han
yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi sepuluh
orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma Han dan berkata, “Kiranya
Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan
hamba dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para penjahat.
Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,” katanya lebih lanjut dan menjura ke arah
Ceng Ceng dan Topeng Setan.

Pendekar Super Sakti mengangguk. “Pelayan yang baik dan setia,” katanya. “Di manakah adanya tuanmu?
Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama
dengan majikanmu?”

Tukang kebun itu kembali menjura. “Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu,
kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah datang undangan dan tantangan dari
ketiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah selatan.
Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan
penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami.”

Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang
menjadi terkejut sekali. “Hayo katakan, siapa kongcu-mu itu? Bukankah dia yang bernama Kok Cu?”

“Benar, Nona... kenapa...?”

“Di mana dia? Lekas suruh dia keluar!”

“Eh, hamba... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu
bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka.”

“Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan.” Tiba-tiba Pendekar Super
Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.

“Maaf, Locianpwe,” katanya dan dia menyimpan pedangnya.

“Biar saya yang mencarinya bersama orang tua ini,” kata Topeng Setan. Tukang sapu mengangguk dan
sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman.

Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya,
“Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak pernah kusangka akan bertemu lagi dengan kau di sini.
Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia?”

“Dia adalah sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan.”

“Paman? Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu adalah suamimu. Kepandaiannya
hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini? Tidak sembarang manusia dapat
sampai di tempat berbahaya ini.”

“Saya... saya sedang mencari... seorang musuh besar saya,” kata Ceng Ceng gagap. Jantungnya berdebar
dan dia merasa jeri sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung kakek
tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia
merasa tidak enak, takut dan sungkan.

“Hemm, jadi itukah yang kau katakan urusan pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram
oleh dendam yang begitu hebat...” Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih seperti bicara
kepada dirinya sendiri. “Dan bocah perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru
kepadanya.”

“Dia... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”

“Ehh! Ketua Pulau Neraka?” Suma Han kelihatan tercengang juga.

“Benar, Locianpwe, dan dia... dia menjadi murid saya.”


Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya
perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu sudah
muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.

“Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini,” kata Topeng Setan kepada Ceng
Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.

“Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada saya,” katanya.

Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa,
mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu
gurunya menghadapi para datuk lainnya.

“Kalau begitu, kita menyusul ke Yin-san!” Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.

“Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini...” Topeng Setan berkata.

“Tidak peduli, aku harus menyusulnya!” Ceng Ceng berkata penasaran.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas, “Subo... celaka! Kedua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-
ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!” Dari atas menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li
cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata, “Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat,
kau tidak boleh nakal.” Dengan susah payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan
gelisah melihat orang-orang asing itu.

Mendadak Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan
telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap, “Celaka... aku... aku pernah mendengar... kau... kau
Pendekar Super Sakti...”

Suma Han tersenyum dan mengangguk. “Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh bahagia
sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau.”

Hwee Li memainkan matanya yang jeli. “Ehhh?! Kau... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku...?”

Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.

“...tapi rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu,
yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas dari pada hek-tiauw ini.”

Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu
mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li
karena kelihatan gelisah dan gemetaran.

“Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari
Pulau Neraka.” Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan. “Agaknya kita semua
mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama
Dewa Bongkok ke Yin-san. Kalau kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauw-ku yang seekor lagi.
Nona dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh
memakai pek-tiauw jantan ini.”

Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng lalu
meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung
pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina. Suma Han menerbangkan pek-
tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Kim Hwee Li
yang gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti
sepasang rajawali putih itu.

Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang
amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apa lagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil
menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja. Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan
Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar
Super Sakti dengan enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh
rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi kesempatan kepada tiga ekor
burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi
perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Saat istirahat setelah makan digunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersemedhi. Melihat ini, Topeng
Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, bahkan Topeng Setan mengajak mereka agak
menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan
penguasaan tenaga sinkang-nya, sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan
kepada Hwee Li.

Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan
latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat,
batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan.
Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang
amat lihai.

Dia tidak tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mukjijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu Sin-liong-hok-
te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang akhirnya menguasai ilmu mukjijat itu
setelah lengan kirinya buntung. Juga sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu
melihat sikap termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya
disembunyikan di balik topeng itu.

Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng
Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada
sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh
perhatian, apa lagi menanyakan.

Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Ketiga ekor
burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat
gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.

“Subo, itu di sana ada orang bertempur!” serunya.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk muridnya. “Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka
nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun.” Hwee Li kemudian menepuk-nepuk leher rajawali hitam
yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat sekali.

Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali
yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan
Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu.

Oleh karena rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw
betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super Sakti. Tak
lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu
yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya
tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan
mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka.

Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh
Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ.
Kiranya dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya
sedang bersemedhi. Seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee!

Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus,
“Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu.”

Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khikang sehingga suara itu langsung
memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik
girang. “Ayah...!”
Lalu dia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga, gerakannya
agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak tanda telapak jari kehijauan di
punggungnya.

Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa
puteranya itu terluka hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan
mengetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan ayahnya.

Pendekar Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu. “Hemmm... pukulan dengan dasar yang-kang
akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di sini memakan waktu lama,” kata
pendekar itu.

Suma Han lalu berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya menotok dan
menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya,
menempelkan tangan kirinya ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mukjijat dan tidak
lama kemudian, pada saat dia sudah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan kehijauan itu telah
lenyap pula! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat
membayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang dari kakek buntung ini!

“Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan
terluka,” kata Pendekar Super Sakti.

Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di
daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan
tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa
Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!

“Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)...”

“Siapa dia?”

“Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir...”

“Oh, dia? Lalu bagaimana?”

“Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di
gurun pasir. Namun setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk besar di
Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau
sudah memesan agar saya tidak mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga
orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai seperti biasa,
melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat
kecurangan itu dan saya maju membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu
menasehatkan saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak
menolong.”

“Hemmm... dia benar. Akan tetapi masih kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang,
akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, sebaiknya kau
pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sinkang di rumah.”

“Baik, Ayah!”

Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun. “Kau bawa pek-
tiauw betina pulang ke Pulau Es.”

“Tapi Ayah...”

“Biar aku yang akan membantu Dewa Bongkok.”

Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu
memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang
bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera terbang
melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi
Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya dan berkata, “Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!”
Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang, meninggalkan
angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.

“Mari kita melihat pertemuan itu,” kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak
cepat menuju ke puncak gunung.

Ketika mereka sudah tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya
melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula,
menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat
sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang!

Tidak jauh dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang
mengusahakan pengobatan dengan sinkang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan dekat telinga
Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan. “Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian
jangan mencampuri.”

Suma Han mengangguk-angguk dan kagum sekali pada kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si
Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang biasanya memperkenalkan diri sendiri sebagai
Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu. Biar pun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan
tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dan
lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si
Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal,
biar pun yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga
orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si Dewa
Bongkok.

“Kenalkah kau kepada mereka?” Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama
hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguh pun telah pernah dia mendengar
nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.

Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum bahwa
orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang
lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan
oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan
Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan erat antara Topeng Setan dan Dewa
Bongkok.

“Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang
berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang
lagi dan agaknya sedang bersemedhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur.
Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang
tidak pernah menyeberang tembok besar, maka tidak terkenal di pedalaman.”

Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia sangat terkejut karena
mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat
kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.

“Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan sekarang menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan
dari Istana Gurun Pasir, bukan?” tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng
Setan dengan penuh selidik. Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat
menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan
menunduk.

Pada saat itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang.
Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan serentak menyerang Si Dewa
Bongkok dari dua jurusan. Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun
lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun
tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang
hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.

“Bresss...!” Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh.


Seperti menerima komando saja, berbarengan Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke depan.
Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang, sedangkan Topeng Setan
sudah langsung menerjang kedua orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.

“He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung berambut putih... heiiii, matamu itu... bukankah kau Pendekar
Siluman dari Pulau Es?” bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han
berkelebat.

“Dan kau seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja.”

“Hi-hi-hik, kau tahu apa? Kau melindungi Dewa Bongkok?”

“Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang,” jawab Suma Han dengan
tenang.

“Kalau begitu mampuslah kau!”

Nenek itu sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah
kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya menghalau sinar
emas dan perak itu.

“Tinggg! Tinggg!”

Dua buah benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis,
dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya kembali dan kini
menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya
dan yang nampak hanya sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.

Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia
menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera menggunakan ilmunya yang
dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya
halilintar yang tiada henti, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu
terpekik kaget.

Memang benarlah seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super
Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak
pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya
adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar itu. Setiap lima tahun sekali, empat orang ini selalu
mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar
menguji hasil ciptaan masing-masing.

Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati.
Diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu
mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu, mereka bertiga
telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka
undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan
dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok
dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan
dan Pendekar Super Sakti.

Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang
bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sekarang sibuk sekali
menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan
tingkat para datuk lainnya itu. Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka
biar pun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan
terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani
bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat
mukjijat dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar
turun.

“Hek-tiauw, kau bantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!”
teriaknya kepada burungnya.

Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, terlihat takut-takut dan ragu-
ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang
bertanding di bawah itu bukanlah manusia-manusia biasa.

“Hayo, hek-tiauw...!” Hwee Li berteriak-teriak.

Terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang
kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah datuk dari kutub utara dan melihat
sambaran bayangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja
menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan
dengan persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.

“Plak...! Bresss...!”

Dalam sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu, terlempar
mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik
seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu,
terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar dari
dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan Topeng Setan yang
mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan
mereka pun terluka hebat.

“Paman...!”

“Hek-tiauw...!”

Jika Hwee Li lari menghampiri burungnya, Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan. Akan tetapi dua
orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena
mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu juga mempunyai kepandaian
istimewa. Seorang di antara mereka langsung mengebutkan ujung bajunya.

“Prattt...!” pundak Ceng Ceng kena disambar ujung baju dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng
Setan.

Melihat ini, Suma Han menjadi tak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa
dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya
itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut. Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan,
darah mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah
terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jeri.

Akhirnya ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang menghadapi Dewa
Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan teriakan nyaring melampiaskan
kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri.

Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan
di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka.
Dia menarik napas panjang. Di mana pun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah
mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia merupakan makhluk-makhluk yang suka
menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak
ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau didekati
orang lain kecuali nonanya, Suma Han kemudian menghampiri Dewa Bongkok.

“Maafkan kelancangan saya,” bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu,
menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni
dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.
“Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan?”

Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi.

Ceng Ceng siuman, kemudian ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu,
dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap
itu!

“Paman...!” Dia menjerit. “Paman Topeng Setan, jangan kau tinggalkan aku, Paman...!” Dia menangis dan
mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya, amat
baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati,
barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya... cinta
sekali kepada orang ini.

“Paman..., aku mana bisa hidup tanpa kau...?” ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki
leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya
meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar.

Dia berlutut dan berkata lirih, “Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku.
Engkau begitu sayang dan cinta padaku, namun engkau selalu menyembunyikan wajahmu dariku.
Sekarang engkau telah mati... hu-huuukkk... Paman, kau perkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman.
Kau... kau maafkan aku, Paman... hu-hu-huuukk...”

Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang rebah
miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia
menanggalkan topeng itu!

Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini
terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang
mancung dan mulut yang tegas membayangkan kegagahan, wajah... si pemuda laknat yang selama ini
dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!

“Aiiiihhhh...!”

Ceng Ceng menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut,
matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti.
Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat,
yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat
hantaman pukulan dahsyat dua orang lawannya.

“Ti... tidaaaaakkk..., bukan... ohhh, bukan...!” Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia
tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng
Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam goa itu.

Ceng Ceng rebah terlentang di samping tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali tak ubahnya seperti
mayat, kedua pipinya masih basah air mata. Tangan kanannya masih mencengkeram topeng, sedangkan
mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa, menanggung penderitaan
batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali.

Memang hebat sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat
menyakitkan hati, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia meninggalkan
Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam
kebencian.

Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita sendiri. Suka atau duka adalah buatan kita sendiri, buatan
pikiran kita. Sebab dan akibat tidak dapat terpisah dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri.
Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam
hati kita.

Dari mana timbulnya kebencian? Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, kerugian lahir
mau pun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci
kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas
sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada yang
sudah dijatuhkannya kepada diri kita.

Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang menimbulkan
dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng. Hidupnya dicengkeram oleh kebencian kepada
seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam goa itu. Dasar kebencian karena dia
merasa dirugikan.

Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan
kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk
itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin!

Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap
telah merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang dianggap sudah
menguntungkannya.

Rasa benci dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita
mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi bulan-bulanan dan permainan dari
suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti Ceng Ceng itulah! Dan akhirnya muncullah penderitaan-
penderitaan hidup dan kesengsaraan-kesengsaraan.

Benci bukanlah kebalikan dari pada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci
hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan
bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu
mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak disenangkan, tidak dipuaskan,
dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada
benci di hati, sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan mukanya di
dalam batin kita.

Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat
bahwa orang yang paling dibencinya itu justru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi permainan
dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa,
penasaran, dan putus harapan.

Mula-mula dilihatnya Topeng Setan sebagai satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian melihat
bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia kehilangan dua orang manusia yang
dianggapnya paling penting di dunia ini, yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia
masih suka hidup! Sekarang dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.

“Kasihan sekali kau, Nona muda...!”

Suara ini terdengar seperti datang dari langit oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tidak terasa lagi air
matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Lalu teringatlah dia akan segala hal. Mendadak
dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.

“Keparat busuk! Jahanam kau...!” Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam
kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan meledak,
Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mukjijat yang didapatnya sebagai khasiat
anak naga itu timbul.

“Braaaak... braaakkkk...!”

Dua batang pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi hantaman
tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.

“Ehhh, Nona...!” Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan
membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang
demikian dahsyatnya.

Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia
terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-
keluhan panjang.
“Haiiiittt... darrr! Dessss!” Dua bongkah batu yang besar hancur berhamburan terkena tendangan dan
pukulannya.

“Subo...!” Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa dua kepalan tangan subo-nya itu
berdarah.

Memang tenaga mukjijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih
baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mukjijat, menjadi berdarah ketika dia
menghantami pohon dan batu.

Melihat berkelebatnya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak
menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!

“Plakkk... dukkkk!”

Ceng Ceng jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li
tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng memandang ke kanan
kiri, mencari-cari, dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar suaranya lirih, “Paman... Paman Topeng
Setan...?”

Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil, menutupi
mukanya dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari
tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.

“Subo...!” Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, padahal tidak tahu apa yang ditangiskannya,
hanya karena terharu melihat subo-nya begitu berduka.

Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas
panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka.
Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis
dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu.

Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia penuh dengan
kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan, kebencian dan penderitaan hidup
di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa bodohnya dia dahulu.

Kebahagiaan telah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling
manusia. Akan tetapi manusia menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan
kebahagiaan itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di
depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik,
paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan
lagi!

Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di dalam
tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tidak dapat dihindarkan lagi pasti akan
mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga
dalam usaha mengejar segala sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak
lagi memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi memperoleh yang
dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk penyelewengan dan kejahatan.....

Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata dengan mengerahkan khikang-
nya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan
getaran pengaruh kuat sekali, “Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup
hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba
diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka.”

Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya
mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ, tidak
ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.

“Di... mana...? Di mana mereka semua...?” tanyanya, suaranya lirih dan lemah.
Tiga orang datuk itu? Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun
Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu.
Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik hati
Ceng Ceng. Ia terisak kemudian menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya!

Melihat gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup,
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang. “Nona, sekarang bagaimana kehendakmu? Engkau hendak
ke manakah?”

Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan
pandang mata kosong. Ke mana? Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan?
Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu
kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.

“Saya akan pulang ke Bhutan...,” katanya perlahan.

Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng merasa heran juga mendengar jawaban ini.
“Ehhh, jadi engkau datang dari Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?”

Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu
sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu,
riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik dari
pada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.

“Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke
Bhutan, Locianpwe.”

“Subo, aku ikut!” Tiba-tiba Hwee Li berkata.

Ceng Ceng memandang anak perempuan itu. “Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau
pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu?”

Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat. “Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah
agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sayang kepadaku. Aku
mau ikut Subo ke Bhutan.”

Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini!
“Hwee Li, perjalanan ke Bhutan sangat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan
ayahmu, aku akan dipersalahkan...”

“Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah.”

Suma Han berkata, “Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah
dia ikut bersama kita ke Bhutan, dan kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu
di mana adanya Pulau Neraka.”

“Locianpwe hendak ke Bhutan? Ahhh, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami
berdua...”

“Tidak ada yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul
dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama merantau. Apa
lagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga.”

Tentu saja Ceng Ceng tak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan
perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada
lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mukjijat dalam dirinya.

Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju
ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguh pun kini
dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang
wanita muda yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.
********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng
Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita
menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal
Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang
Puteri bersembunyi dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan
musuh. Tetapi tetap saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara
kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.

Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu enci-nya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng,
diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari
ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat,
untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka. Dia
tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja
cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara
bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan
itu.

Teng Sian In juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek
rambut putih bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tak begitu mempedulikan akan hilangnya
Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi
sepak terjang Durganini belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak
mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!

Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak
melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang
yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut dengan penuh
penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka
terkejut bukan main. “Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?” Puteri Milana menegur.

Panglima Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan
mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Ang Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang
Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam
keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.

“Hemmm...!” Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alis dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun
Beng. “Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali.”

“Kami pun berpikir demikian,” Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng. “Agaknya kalau Sang Puteri
tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu.”

“Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan dahulu,” kata Gak Bun Beng. “Kita harus menyelidiki
persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri.”

“Aku pun akan membantu mencarinya,” kata Puteri Milana.

“Terima kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadi pun telah datang adik paduka Puteri
dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi.”

Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang. “Apa? Kau maksudkan siapa?” Milana
mendesak.

“Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu.”

“Aihh, anak itu!” Milana mengomel. “Disuruh pulang malah mendahului ke sini...”
Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata. “Moi-moi, kau tentu sudah
dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.”

Milana mengerutkan alisnya. “Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta
seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi
dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji.”

Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan
usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha
pencarian itu masih belum ada hasilnya.

“Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari
terus,” kata Milana. “Kami berdua sendiri akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau
tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi.”

Selagi mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh
mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika.
Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin
memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan
musuh. Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para prajurit.

Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali
bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak
sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di
perbatasan Bhutan. Pasukan raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh
belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Ada pun pasukan itu dipimpin sendiri oleh
Panglima Sangita yang sudah tua.

Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti juga oleh Puteri Milana dan Gak
Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan
pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan
berkenalan dengan kedua orang lihai itu. Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang
bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan
Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda
menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan
Sang Puteri.

“Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!” Sri Baginda mengeluarkan
perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut
kembali puterinya yang hilang.

Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam
kemahnya. Namun dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang
datang terlambat sehingga tidak sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu
untuk menemukan kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan dua
orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang Puteri, dan juga jejak Suma
Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba
di tempat itu.

Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka
parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan
keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam
hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi
tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, dia tidak tega
meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa
pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta luka-luka dalam
akibat pukulan beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati hingga seketika dia sembuh
sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat
berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi merawat Tek
Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat
tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir
Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian Bu kepada
pemuda itu.

Sebetulnya Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-
tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, tetapi dengan kemukjijatan dan
keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya
pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang
Gak Bun Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan
hatinya merasa kecewa penuh penyesalan.

Betapa dia tak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk
memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu
bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apa lagi kalau teringat betapa dia telah melakukan
penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan
Puteri Syanti Dewi, apa lagi mencintanya.

Betapa pun juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan oleh puteri itu dengan kesungguhan
hati, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di batinnya.
Jika saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Alangkah akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini.
Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin
saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi? Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai
bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar.
Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya....

Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih
kembali. Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna
kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, di latar belakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk
melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir.

Dara itu nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan air
sumber di belakang kuil. Kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah, rambutnya masih agak awut-
awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang
matanya bening dan berkilauan, bibirnya kelihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum ditahan,
nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya menambah daya tarik. Seperti bidadari
pagi yang turun melalui tangga sinar matahari!

“Hi-hikk...” Syanti Dewi menutupi mulutnya. “Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam mimpi?”
Puteri itu menegur sambil tersenyum. “Kau memandang aku seperti selama hidup baru sekali ini kita saling
bertemu.”

Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang namun tidak mampu melepaskan pandang matanya yang
melekat pada wajah itu. “Kau... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...,” katanya dengan sejujurnya.

Warna merah menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya
seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.

“Ihh! Kau memang perayu!” celanya sambil jalan menghampiri. “Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek
Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin.”

Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan
tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat
menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara
angin menyambar-nyambar dahsyat.

“Aku memang sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ahh, betapa besar budimu dan
entah bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak akan mampu
membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan menjelma menjadi anjing atau pun
kuda untuk mengabdi kepadamu.”
Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya. “Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam
kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda? Bagaimana kalau kau
menjelma menjadi... tikus misalnya? Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus?”

“Wah, ini... repot kalau jadi tikus!” Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung. “Binatang itu
hanya pandai merusak!”

“Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan.
Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai
hampir tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justru ketika engkau
menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi?”

Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra. “Dewi, betapa
pun juga aku hanyalah seorang...”

“Cucu dari Pendekar Super Sakti!”

“Hemm... kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa!
Sedangkan engkau... seorang puteri raja, puteri bangsawan yang luhur dan agung...”

“Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau
dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka...?”

“Aihh, tidak...!”

“Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin?”

“Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu,
akan tetapi kau...”

Syanti Dewi menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya. “Sudahlah, aku tidak senang kalau kau
bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil...” Dan puteri itu lalu
berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil
melalui pintu belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke
dalam kuil.

“Dewi... pujaan hatiku...”

Tiba-tiba dia terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan mengira dia
Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita itu membalik, ternyata wanita itu
sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan Puteri Milana!

Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru
saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi. Sebagai
seorang kakak perempuan, tentu saja dia berharap agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat
mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan
tetapi di hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat.

Ia sudah tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak,
bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan
nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng. Kini dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk,
telinganya mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti
Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan main, marah dan
cemburu demi adiknya!

“Keparat, engkau memang manusia busuk!” Puteri Milana memaki dan memandang tajam.

Ang Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang
baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain
menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.
“Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini? Aku tidak
mengundangmu.”

“Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat dari pada ayahmu! Manusia macam kau
memang tidak patut dikasihani lagi!”

“Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa
pun, dan tidak takut untuk mati!” Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit.
Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari
tempat yang lebih luas.

Mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, ucapan Tek Hoat itu diterima oleh
Milana yang sedang marah sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan
langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.

“Plak... dessss...!”

Keduanya terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan
tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini membuat dia makin penasaran
dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan
dahsyat seperti seekor naga betina mengamuk.

“Manusia busuk...!” Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga
dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu mengerahkan Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju
dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mukjijat ini dia menghantam.

Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka
terpaksa Tek Hoat menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari kitab
peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.

“Bressss...!”

Kembali keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke
dadanya, akan tetapi dengan pengerahan sinkang dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-
huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan
tenaga hebat barusan tadi, keadaan Puteri Milana kalah unggul!

“Sumoi, minggirlah!” Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng.

Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu
saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat sudah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu
Milana tidak akan menyerangnya.

Sementara itu, pada saat Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh
ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh
besarnya, pembunuh ayahnya! Biar pun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari
keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun
Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!

“Bagus, memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!” Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke
depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua lengannya itu
menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun Beng.

Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani
memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-
yang Sinkang, tiga tenaga mukjijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun
menangkis.

“Blarrrrr...!”

Dua tenaga mukjijat yang jauh lebih kuat dari pada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan
akibatnya tubuh Ang Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua tindak.
Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apa lagi
dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat.

Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata
mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengarlah seruan nyaring, “Paman Gak Bun Beng...!”

Bun Beng menoleh dan berseru girang, “Dewi...!”

Syanti Dewi menjatuhkan buah-buahan yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya bercucuran
akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu
selamat juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.

“Paman...!” Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan.

Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri.
Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi
lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan
hati... mendongkol!

Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa
agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu, sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa
dadanya seperti dibakar, apa lagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh
besarnya! Kalau Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa
yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan
kemarahannya.

“Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!”

Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek
Hoat dengan mata terbelalak. “Tek Hoat, jangan gila kau...!”

Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek
Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu
melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas.

Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar
dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun
Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka pun saling pukul dan saling tangkis!

“Paman Gak... jangan bunuh dia... jangan lukai dia... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya...” Syanti
Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua orang itu.

Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu
yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini
amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya sudah tidak mempunyai harapan lagi.
Kebenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu
tidak menculiknya, bahkan justru menolongnya.

Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang. “Orang muda, tahan dulu!”

“Lebih baik mati!” Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia
pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut.

Terpaksa Bun Beng melayaninya dengan bingung. Andai kata tidak ada seruan-seruan yang meminta
kepadanya agar jangan melukai Ang Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan lawannya dengan
pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi kini Bun Beng tidak mau melakukan hal itu. Dia hanya menjaga diri,
menangkis atau mengelak tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu
telah menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat.

Tadinya pun Tek Hoat sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya. Kini
munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga lagi, ditambah pula
panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan demikian bahagia dengan orang yang
dibencinya.

Ketika pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin,
yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua
orang itu bertanding. Akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka lalu mundur lagi dan tidak berani
mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun
pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar suaranya.

Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat
mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua
tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu
seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu
bergerak lagi.

“Lepaskan aku dan mari kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!” Tek Hoat meronta-ronta. “Gak
Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk
engkau...!”

Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat. “Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku minta
kau diam dan mendengarkan penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang baik itu? Apakah kau ingin
membuat aku berduka, Tek Hoat?”

Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan
dia menunduk. “Dewi...” Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya.

Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan
tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang
oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat dari pada ikatan sabuk Puteri Milana,
karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan
Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya.

Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi,
ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya kini
pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.

“Akan tetapi... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan
Keng In itu...?” Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.

“Tek Hoat, kau lihatlah aku!” Puteri Milana tiba-tiba berkata. “Kau sedikit banyak sudah mengenal aku,
bukan? Apakah aku seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng In,
juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku
sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-
suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi
dan tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan
kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu.”

“Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang
berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun
demikian...,” kata Syanti Dewi.

Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya. “Dan aku... aku telah...
menodai namanya..., persis seperti yang dilakukan oleh... oleh ayahku yang jahanam itu!” Dia bangkit dan
melotot. “Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apa lagi berdekatan denganmu.”

“Tek Hoat...!” Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya. “Tek Hoat, jangan...
jangan nekat... kau... adalah sebaik-baiknya orang bagiku...”

“Tidak, Dewi. Aku orang jahat...” Dia masih meronta.

Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada
keras, “Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan? Apakah kau begini pengecut sehingga kau menjadi
putus harapan? Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan. Siapakah di antara kita
yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan itu,
karena hanya kesadaran saja yang akan dapat mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu
yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi
amat membutuhkanmu.”

Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan
lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang. “Baiklah... baiklah..., aku
menyerah dan menurut... tapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu dari ibuku...”

Bagaikan seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak
keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi
untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di hutan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini telah tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar
bahwa puterinya sudah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-
gopoh dia keluar dari tendanya menyambut sendiri.

Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa
mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala
puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi.

Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun
Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam usaha menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri
Baginda Kerajaan Bhutan merasa berterima kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima
kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan
Bhutan.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan
Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang
mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi.

Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan
oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bemufakat untuk singgah beberapa hari di
kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu,
kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.

Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi
kegembiraan oleh karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman
yang hebat! Rombongan megah yang sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah
daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat
datangnya seorang prajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di
tengah jalan menghadang rombongan itu!

Mula-mula Panglima Jayin yang menghampiri dan dengan marah menegur prajurit Bhutan yang membawa
tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan prajurit yang ternyata merupakan seorang kurir atau
utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu
menghadap Sri Baginda sendiri.

“Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil,” utusan itu berlutut
kemudian menjawab pertanyaan Sri Baginda. “Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa
kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri
oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan
paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh
pihak musuh.”

“Hemm, Si Tambolon keparat!” Sri Baginda berseru marah. “Apa kehendaknya sekali ini?”

“Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa kini dia menuntut agar Sang
Puteri diserahkan kepadanya.”

“Ayah... kedatanganku ternyata hanya mendatangkan mala petaka saja...!” Syanti Dewi berseru kaget.
“Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan segera kumpulkan semua
panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding.”

Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan
perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng
dan Tek Hoat.

Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu, kemudian
berkata kepada tiga orang tamunya, “Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan
Anda bertiga.”

“Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah,” Syanti Dewi juga
berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah.

Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada
Panglima Jayin, “Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana keadaan
kekuatan para penjaga di kota raja?”

“Menurut pelaporan, para pengepungan berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru
menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar,” jawab Panglima Jayin.
“Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di
kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota
raja agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam.”

“Usul itu tepat,” kata Panglima Sangita yang tua. “Biar pun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda
tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan
dalam, biar pun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka.”

“Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan
pertahanan kota raja lebih dulu.” Puteri Milana berkata dengan tenang. “Kehadiran Sri Baginda di kota raja
amat diperlukan, karena hal itu tentu akan dapat menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya
dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan
masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat pasukan.”

“Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!” Panglima Sangita
membantah dengan nada khawatir.

“Tidak lebih berbahaya dari pada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini,” Gak
Bun Beng berkata. “Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di luar
kota raja. Kalau sudah tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk
mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang
jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk
menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja.”

Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu
betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang
terkepung itu.

Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan berkata,
“Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun
Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apa pun juga.”

Sri Baginda menghela napas panjang. “Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk
membantu kami.” Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu
memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula. “Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana?”

Puteri Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan
yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan
keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia
berkata, “Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan
menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Ada pun pasukan pengawal dipimpin
oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat secara diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi.
Syukur kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andai kata sampai ketahuan,
pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah perhatian musuh sehingga
dapat memudahkan kita masuk ke kota raja.”

“Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?” Sri Baginda
menyatakan kekhawatirannya.

“Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka
berdua meloncat tembok benteng.”

“Wah, begitu tingginya...?” Sri Baginda terkejut.

“Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa,” kata
Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut. “Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang
dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan
selamat.”

Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan,
apa lagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta
kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan
amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan
mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar ucapan
Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak
dan dia hanya berkata, “Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba.”

“Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat,” Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu. “Engkau
sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa engkau tentu
akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan
hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya
merupakan perbuatan nekat yang konyol.”

Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi mengangguk.

Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui
tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek
Hoat memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang
dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan penjagaan
musuh yang mengepung kota raja.

Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat
tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tak
mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat
dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah dan bahkan regu
alat-alat peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.

“Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah
begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga agaknya
mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat
dilakukan dengan lebih aman.”

Puteri Milana mengangguk-angguk. “Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan
barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kau lihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran,
baru kau boleh mengerahkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan
mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak.”

“Baik,” kata Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan
yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di angkasa
yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja
digendong oleh Gak Bun Beng.
Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap
dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai
yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung
kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi.

Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan puterinya
menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang
berkepandaian tinggi itu. Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin
memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan
puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat
ke bagian tembok yang paling rendah saja, apa lagi sampai ke tingkat paling tinggi.

Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum
bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu terdapat pihak musuh
yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau sampai kehadiran mereka
diketahui.

“Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau
dilakukan secara berbareng, kita tidak dapat melakukan perlindungan dengan sempurna.”

“Memang aku pun berpikir demikian, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu di
sini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng.”

Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh
dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan.

“Sudah siap, Sumoi?”

“Sudah, Suheng,” kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama,
disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang
dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri
di atas tembok pertama. Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak
meloncat ke atas ke tembok tingkat dua.

Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang
telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah pihak
musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul
kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah.

Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak
panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu karena pihak
pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam benteng.

“Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!” Milana berseru dan pedangnya sudah diputar
cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah.
Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis
anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka
diserang dari depan dan belakang!

“Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!” Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga ginkang-nya,
dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.

“Trang-tranggg...!”

Bun Beng sudah berhasil sampai di atas tembok tingkat ketiga dengan Raja Bhutan di gendongannya.
Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri
ini sibuk juga melindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.
“Haiii... para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!” Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di
tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata
dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu!

Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah.
“Betapa tololnya mereka!” dia memaki.

“Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka
berpegang kuat-kuat.”

“Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang.” Milana berkata. “Cepat, karena serangan dari
bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka.”

Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ
sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya. Maka
dia lalu menggunakan sinkang-nya, dan mulailah pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak!
Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur
dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang
merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri
harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang
dari bawah dan atas.

Ketika tiba di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang
yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan para
musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.

Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada
bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan gesit
sekali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng. Karena
dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan
loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja
Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat
ke arah bayangan itu. Namun terlambat!

Bayangan orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak
sambil berseru, “Bunuh Raja Bhutan!”

Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang
ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu
dia mendengar teriakan Milana, “Suheng, lemparkan beliau ke sini!”

Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi
dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan
melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan
panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi,
sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan
tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil.

“Harap paduka tenang...” Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak panah.

Sementara itu, orang kurus yang menyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.

“Dessss...!”

Begitu tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian
yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke bawah yang gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa
melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia
menangkis semua senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru keras, “Kami adalah orang-orang
sendiri! Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!”
Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang
berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah
musuh juga.

Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan
senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah
mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak
girang oleh para penjaga.

Milana telah meloncat turun disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini
giliran Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik
pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan
dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh
menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua
prajurit Bhutan, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala
tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi
pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan
pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk
mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula
yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan sendiri.

Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang
bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan
juga semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan
yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya.
Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja
dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga.

Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke
dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam
tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi marah bukan main. Dia sendiri lalu
memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang
kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi
alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!

Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain,
memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang
setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw
Lo-mo. Dan biar pun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari
Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara
barisan musuh itu.

Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja
pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan
beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri
Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan
mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.

Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam
puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Setelah mendapat perkenan Gak
Bun Beng, Panglima Jayin dengan marah lalu maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima
musuh, tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja
pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!

Gak Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh
Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan
ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula
mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak
hebat.
Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apa lagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia
memperoleh kenyataan betapa pendekar ini ternyata memiliki tenaga Hui-yang Sinkang, Swat-im Sinkang
dan juga tenaga mukjijat Inti Bumi!

“Kau siapakah?” bentaknya berulang-ulang.

Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-
ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!

“Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari
Tambolon si pemberontak!” Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh
Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, dan...

“Krakkk!”

Terdengar suara dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat
mundur.

“Namaku adalah Gak Bun Beng.”

Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es?”

“Beliau boleh dibilang adalah guruku!” Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya
membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.

Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi
perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah
penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan
terjadilah perang sampyuh yang hebat.

Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak
yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian
hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.

Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun
Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja
dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun
Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah.

Dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan
berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri
dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru.

Tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya
telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia
tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

“Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak
menyambar.

“Haiiitttt...!” Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak
kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan
lengking panjang, terdengar suara keras dan... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat
keluar dari dalam jala.

Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri
dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang sangat tinggi dalam
pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-
yang Sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mukjijat
ini sehingga dapat dibikin putus.

Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang
didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang.

“Trakkkk...!”

Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-
tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah
kesalahan besar Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia menggunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia
berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia
berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang
amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu
dengan telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.

Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi
pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti
Salju ini.

“Dessss...!”

Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya.
Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus
mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun
mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil
bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup
rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh
yang mengejar terpaksa mundur kembali.

Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah sebab ternyata bahwa pihak
lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat
penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat
penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak
panah dan batu-batu.

Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh.
Biar pun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat
banyak, dan Tambolon tentu saja masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak
Bhutan sudah terkurung dan tak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di
timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu.
Sayang bahwa Kerajaan Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu
Tibet dapat membantu mereka.

“Besok harus ada penentuan,” Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. “Kalau musuh dibiarkan
mengepung lebih lama, tentu mereka akan bisa memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan
hal itu akan berbahaya sekali. Yang paling penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang
menjadi biang keladi. Kalau sudah tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara
suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar.”

“Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak,” Gak Bun Beng berkata.

“Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada
Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh.”

“Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng
mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoi-nya itu.
Milana tersenyum. “Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali,
selagi mereka kacau-balau, kita lalu menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu
akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar.”

Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan,
namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka
yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas
anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan
usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah
dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.

Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-
masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua
orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali
sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka
berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.

Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di
bawah sana, di luar tembok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam
sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian
terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan
pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!

Puteri Milana tersenyum memandang keluar. “Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih akan tetapi cukup
terdengar oleh Bun Beng.

“Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...,” berkata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama
para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.....

********************

Kita tinggalkan dulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku
bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar
jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng
Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus
membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah
berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang
memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti
kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong
yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan
hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya.
Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!

Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia
dibesarkan dan untuk... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal
kakeknya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang
nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma
Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang
namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat
menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang
gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari
seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada
yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han
menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan
melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu
menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat
pula ‘terbang’ tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang
sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena sebetulnya daerah ini sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat
dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di
sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak.

Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat
padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya.
Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak
itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh
mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.

Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan
pahlawan-pahlawan mereka yang menang dalam perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu
bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut
menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan
kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang
dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.

Dan sukarnya, di antara suku bangsa ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu
pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan
mereka. Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap
bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta ‘menang perang’, akan tetapi tidak jelas perang dengan
siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah
untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum
sekenyangnya.

Hwee Li yang bengal itu tak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku
bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-
macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan
lain-lain. Tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang
agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi
gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton
merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka
menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar
yang mengitari perkampungan itu.

Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main
dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling
buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang
bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah
menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu
mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.

Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton
yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li,
akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi
Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tak
mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik
ular itu.

Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li
sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya.
Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu ‘kawan lama’, yaitu
seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan sekarang
Hwee Li menggerak-gerakkan dua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat
lemasnya bagai dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti
badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.
Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji
karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang
penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan
bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang
India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis,
lehernya mekar makin lebar.

Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular
yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat pada sulingnya itu kini mendadak saja meninggalkannya
dan suara sulingnya tak lagi berpengaruh. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga
lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu
lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

“Trak-trak... cek-cek-cek...!”

Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya,
disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya.
Terjadilah ‘adu kekuatan’ antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular
itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya
ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis
cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan,
melainkan seorang ‘pawang ular’ yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan
menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta
agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk
tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini
dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.

Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan
menghina, apa lagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang
hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya,
kemudian dia berkata, “Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang!
Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak
tahu malu!”

Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja
orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga
berbahasa Han.

“Nona, tunggu...! Kau kembalikan ularku!” katanya marah.

Hwee Li berhenti melangkah, kemudian membalikkan tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu
ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!”

“Kembalikan!” Orang India itu membentak.

“Tidak!” Hwee Li juga membentak.

Dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terlihat terkejut
dan merayap pergi, lalu menghilang di dalam semak-semak yang tebal.

“Kurang ajar!” Orang bersorban itu marah sekali.

Dia lalu mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan
panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari
tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!

Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan
cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai
sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular
terlepas dan ular kecil itu cepat membalik dan menggigit ibu jari tangannya.
Orang India itu menjerit, membuang ularnya kemudian dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari
tangannya yang tergigit ular beracun itu. Ada pun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di
lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka
adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan
memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikit pun juga. Akan tetapi, orang India itu
ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu
bagaimana caranya mengobatinya.

Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak
mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak
ada yang menyalahkan si gadis cilik, apa lagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya
yang membuat mereka terheran-heran adalah, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang
India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?

Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita,
sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas
masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa dari pada Hwee Li.

Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu,
mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari
itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan
robekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu
seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat
menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu.

Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti
seorang guru memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!” Nona itu
menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.

“Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu
akan menjadi iblis betina!”

Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga
membayangkan sifat kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu
saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona
penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?”

Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat,
tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su,
di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat
menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-
penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang
India itu.

Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan
Hwee Li yang bengal, diejek sebagai penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biar pun dia
belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia sudah pernah belajar ilmu silat bersama
kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.

Akan tetapi, biar pun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit
dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-
sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar
yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apa lagi kalau dilakukan
oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.

Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan beberapa kali sudah dia
menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu
memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba
di tempat perkelahian itu.
Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan
gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi mati-matian itu,
hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

“Berhenti, jangan berkelahi!” Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee Li, mundur kau!”

“Subo, dia kurang ajar!” Hwee Li berkata. “Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia
sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku.”

“Bocah setan!” Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. “Muridnya
setan, gurunya tentu iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan
hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

“Hemm, apakah kau benar tukang obat yang pandai?” Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan
alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.

Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, “Aku
tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih dari pada kalian guru dan murid iblis yang mengganggu
orang!” Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan
hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

“Bocah lancang dan sombong! Cobalah kau obati ini kalau bisa!” Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan
kirinya.

“Plakkk...! Oughhh...!”

Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biar pun tubuh Ceng Ceng
sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai
pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

“Ehh, Siang In, kau kenapa...?” Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton
menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu bangkit
menghadapi Ceng Ceng.

“Hemmm... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam
sekali kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan
sampai aku orang tua menjadi kehilangan sabar kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain adalah See-
thian Hoat-su.

“Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang
beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.

Ceng Ceng memandang kakek itu. “Muridmu inilah yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih
dahulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau
mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!”

Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru, “Tahan
dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”

Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, bersiap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan
menyerang mereka. Tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, lalu melemparkan jubah itu
ke arah mereka dan... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi
‘hidup’, bahkan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka berdua dengan lengan jubah
seolah-olah digerakkan oleh setan!

“Hiiiiiihhh..., tolongggg, Subo...!” Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan
perasaan tegang dan seram.
Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh
karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk,
mereka tentu saja menjadi ketakutan.

Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang
sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa
ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi ‘hidup’! Biar pun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat,
tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu
tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa
panas.

“Hiiiihhhh... tolongg... takuttt... Locianpwe... tolong, Locianpweee...!” Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh
jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.

Mendadak muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang.
“Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-
kanakan saja!”

Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang
kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi
tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih
gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton.
Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh
dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.

Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, “Ha-ha-
ha-ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari
Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”

Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka
dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang datang dari Pulau Es.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman,
kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak terkalahkan, juga amat kuat di dalam
ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan
ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita.”

“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer?
Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han
berkata.

“Ha-ha-ha-ha, justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main
saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang
aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”

Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”

Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan
tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara mereka. Pendekar Super Sakti hanya
bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya,
melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah
sebuah benda hidup.

“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!” Terdengar
suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di
dalam suaranya itu terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.

Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika
melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini
telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara
menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang
kakek berkaki buntung sebelah itu.

“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak
menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa
yang amat kuat.

Para penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri,
kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar
itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak
menyerang Kakek See-thian Hoat-su!

See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi
menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti
yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang
yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.

Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk
harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu sedemikian hebatnya hingga ada
kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau
malah seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi
ketakutan dan makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap
siluman-siluman itu.

Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui
keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang
beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan
pengerahan tenaga mukjijat.

Suma Han mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi
sebatang tongkat.

“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak
saja.” Pendekar Super Sakti menegur.

“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka
bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran-
pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”

Suma Han tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua orang
temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng
dan Hwee Li.

Akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk
berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan
Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee
Li telah setengah memaksa subo-nya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di
antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.

“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek
See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun juga itu bertanya.

“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...”

“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu
memanggil muridnya.

Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah
sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar
Super Sakti dengan penuh selidik.
“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.

“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”

“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula bertanya tentang
dia?”

“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari
pemuda itu.”

Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang
sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

“Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang
pertanyaannya.

“Di dalam hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap
rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan
betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!

Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya
anakku yang suka bertualang itu, Nona?”

“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal batas
Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang anggota suku bangsa penggembala
itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku
bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani
bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”

Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu
mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata
kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”

See-thian Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai
urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang
tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada
Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.

Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus berhati-
hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu pimpinan suku bangsa ini dan
mencari keterangan dari mereka.”

Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini
yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum
dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang
berpakaian jubah lebar dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga
orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung
sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular.

Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang
dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar
Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang
terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah,
yaitu susu domba.

Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang
penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja
Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.
“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil
memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin
yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan
Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh
seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar
biasa.”

Mendengar ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan
Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya
dengan girang.

Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki
muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon
yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut
bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan
dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui
pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan,
ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking
tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan
berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan
pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

“Jangan panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah
burung.

“Hek-tiauw, awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.

Akan tetapi penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak
panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang
memanahnya tadi.

Akan tetapi, dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki
rajawali hitam yang menyambar turun itu.

“Plak! Desss...!”

Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang
menunggang rajawali itu.

“Ayah...!” Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.

Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika
serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka
kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung
rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

“Ayah...! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-
sungut.

Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan
manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa
untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia
itu kini menjatuhkan diri berlutut!

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah
sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian
kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama
kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah
tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke
dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

“Aih, hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang
mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya.

Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan. Kiranya
rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!

“Kau... kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!” Akhirnya Hek-
tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.

“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,” kata
Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan
kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu,
karena kepergiannya berarti hanya menyebar mala petaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”

“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan
Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang
bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”

Setelah berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara
berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian
Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun
Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

“Wuuuutttt... syuuuuttt...!”

Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang
dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur
dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.

“Hemmm...!” Suma Han mengeluarkan seruan.

Tubuhnya telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-
tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa
kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han
menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.

“Ayaaaah... jangan...!” Hwee Li berteriak.

“Sssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena
dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu.
Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh
Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan
dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.

Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia
tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok
Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu
dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan
kuda masing-masing.

“Haaaihhh... waaahhhh!”

Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus
dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada
lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan
pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan
gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua
orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.
“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.

Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang
dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun
tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang
dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya mengelak dan
menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!” teriaknya
marah dan juga jeri.

“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”

“Heiiittttt!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya
bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.

“Plakkk!”

Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek seperti terbakar. Itulah
pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu
masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku
ini!”

“Hemm...!” Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan
satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.

“Dessss...!”

Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri
dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-
mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi
merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia
memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan
yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.

Sejenak mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk,
membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan...!” Lalu
tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau
menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan
lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

“Capppp...!”

Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau
Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Mendadak kedua tangannya
bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih
dulu menggerakkan kedua tangannya menyambut hantaman itu!

“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.

“Locianpwe, jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru
nyaring.

Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi
melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan
membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-
tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.
“Aduuuhhhh...!” Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang
kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang,
kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam
yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

“Hwee Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.

“Ayah, lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan
diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat
terdengar tangis Hwee Li.

“Ohhh...,” Ceng Ceng mengeluh.

“Dia diajak pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan
ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti.
Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah
menjadi layu.

Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Pendekar besar... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu golongan dewa
atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han dari pada yang lain.

Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.

“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat,
mereka berlutut dan menyembah-nyembah.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.

Oleh karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota
raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon dengan gembira.....

********************

Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan
perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka ternyata tidak menguntungkan mereka. Biar
pun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena
jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan
tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan
mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun
kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!

Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan
siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau mengandalkan
perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka pasti akan menderita kerugian
besar. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”

“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”

“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan
mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan
keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau.
Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan
oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu adalah bala
bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan
yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku
bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”

Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
“Biar aku yang memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun
Beng.

Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita
memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan sudah
diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-
pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang
baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh
tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”

Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para
pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengatur persiapan karena menurut
rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh
sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.

Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok,
sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan
diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa,
bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti
yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa
pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.

Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, mendadak terdengar suara gaduh di luar tembok.
Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur
terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar
teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!

Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan
penerobosan itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng.
“Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan
sesuatu di luar rencana.”

Semua orang berkumpul di atas benteng, memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang
yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, sinar matahari pagi
menerangi keadaan di bawah dan tidak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana
melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biar pun dari atas
menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil
saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut
bukan main.

“Dia Tek Hoat...!” serunya.

“Eh, benarkah?” tanya Milana.

“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”

“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali.”

“Dan terlalu berani. Lihat, kemungkinan semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding hanya
tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang
untuk bersiap menolongku masuk..., aku harus menolongnya.”

“Tapi...”

“Tidak ada tapi...”

“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah
itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”

“Kita tak boleh kehilangan banyak anggota pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku
pergi!”
Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih
rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi
mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia
telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Segera terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah
meluncur dari berbagai jurusan.

Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah
memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak
panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat
yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu
gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat jika mereka nanti sudah mundur sampai di
pintu gerbang.

Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi hari itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek
Hoat telah memimpin pasukannya untuk mengacau dan membakar perkemahan Tambolon dan
mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.

“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak
sendiri tanpa menanti perintah atasan.”

“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat
kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung
dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka,
menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka
sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan
merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus terus
berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.”

Demikianlah Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera
menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan itu adalah pasukan pilihan yang gagah
perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja
dikepung pihak musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah
perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, mulailah mereka bergerak menyerbu dan membakar
perkemahan pihak musuh.

Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu sangat tidak mereka sangka dan
sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan
banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah,
namun tentu saja pihak penyerbu lebih diuntungkan karena mereka sudah memperhitungkan segala-
galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana
kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.

Tetapi Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini telah mengumpulkan pasukan besar dan
mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai
jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biar pun mereka telah
merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang prajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh,
namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu
karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan
sepasang goloknya seperti seekor singa tua.

Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, tetapi akhirnya dia pun roboh di
bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah
dari seorang prajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.

Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik,
selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat
mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek
Hoat sendiri yang masih mengamuk.

Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya
sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar
dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh
luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk
hebat ketika Bun Beng muncul.

Betapa pun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh
datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-
lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.

“Plak-plak-desss...!”

Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat segera terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir
ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya
dengan pedang rampasannya.

“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang...!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua
orang pengeroyok lagi.

“Tidak bisa!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik
darah terakhir membela mereka!”

Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga
baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang
lawan!

“Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...,” Bun Beng membujuk.

“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.

Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada
gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak
memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biar pun pernah melakukan penyelewengan,
namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.

“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat.

Hatinya pun lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah
lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu.
Diam-diam Bun Beng merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa
malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah
dan nyawanya!

Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat. Pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi
serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan
pengerahan tenaga sinkang-nya yang amat kuat. Biar pun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat
lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini.

Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya
terus dipanggulnya, kemudian menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar
sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula
musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jeri para prajurit musuh.

“Tangkap dia! Kejar! Kurung...!” Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut
menyerang.

Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya,
membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jeri, akan tetapi dia
masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apa bila Bun Beng meloncat
makin mendekati pintu gerbang.

“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.


Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari
mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar
oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah
anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng
itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang
sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh
hujan anak panah dari atas benteng.

Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Ang Tek Hoat. Serbuan pemuda itu
dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-
benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya
dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit
perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat.
Tempatnya digantikan oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil pula membawa keluar pasukannya,
kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar keempat penjuru, bersembunyi di
hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.

Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis
melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk
mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat
nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, karena dia sendiri pun kagum dan suka
sekali kepada pemuda yang gagah perkasa itu, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan,
bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawa. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek
Hoat ini dan memuji-muji.

Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan
oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah
malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh
kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh
amukan api.

Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu kemudian mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga
menurunkan semangat juang mereka sungguh pun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan
semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala
bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki
kota raja Bhutan!

Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya,
Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, dan berkata dengan lantang, “Kita
memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Tetapi tunggu sampai satu
minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta
berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri
Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu
gaib.”

Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang
takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama
kemudian nenek itu ‘menelan’ kembali semua api itu dan Tambolon berkata, “Lihat betapa guruku akan
dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mukjijat dari mulutnya. Dan guruku dapat pula
menutup matahari menimbulkan kegelapan!”

Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang
yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang
menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang
memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon
berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa
liar itu.

Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi
terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari
saja sembuhlah Tek Hoat.

“Dewi... aku... sungguh berhutang budi padamu...” Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas
pembaringan, berkata dengan suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa
tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki
kamarnya dengan membawa sarapan dan minuman panas.

“Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus
ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...”

“Dewi, baru membolehkan aku menyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya
bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku... aku...”

“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua prajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu
terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi
tersenyum dan Tek Hoat memandang silau.

“Tidak, Dewi..., ketahuilah bahwa dahulu aku...”

“Sudah kau ceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tak peduli apa
adanya engkau dahulu... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku...
engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati... dan di kereta itu... kalau
saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...”

“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan
keadaan diriku. Tidak! Engkau terlalu agung dan aku terlalu rendah... mencium ujung sepatumu pun masih
terlalu terhormat bagiku...”

“Ihhh, jangan berkata demikian, Tek Hoat... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau
terus merendah, karena... engkaulah satu-satunya pria...” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua
pipinya menjadi merah sekali.

Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini,
akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.

“...ya...? Lalu bagaimana..., Dewi?” Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan
meledak.

“...engkau satu-satunya pria yang... kucinta, Tek Hoat...”

“Ahh...!” Tek Hoat meloncat ke dekat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan
kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.

“Tek Hoat...! Ada apakah...?” Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.

Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di
bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!

“Kau... kau menangis...?” bisiknya di antara isaknya.

Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, “Tangis bahagia... tetapi mungkinkah ini...?”

Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia
membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah
dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya sehingga mereka tidak akan terpisah lagi, agar
tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.

Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tak bergerak, dengan seluruh
tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka lupa
akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu tidak mendengar ketika ada
orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan
rangkulannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya,
sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.

“Ayah... kami... kami berdua saling mencinta...” bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi
kekasihnya.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku amat
girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek
Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang
besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”

“Hamba... hamba... akan mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...” kata
Tek Hoat lirih.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu
terhadap kerajaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung oleh
musuh, dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan
kesenangan pribadi?”

Ang Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa
marah sebetulnya hati orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam
bahaya.

“Harap paduka mengampunkan hamba... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat
memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.

“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.

“Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak, kemudian dia
merangkul puterinya dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu
Kerajaan Bhutan, Anakku.”

Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan
panglima lainnya sudah hadir dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima
gembira oleh Milana dan Bun Beng.

“Ahhh, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan
malam nanti kita harus bergerak.”

Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia
merasa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang
dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!

“Kini Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan
di empat penjuru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru,
musuh tentu dapat dibikin kacau dan biar pun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat
dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para
musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur,
dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan
memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan
musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda
kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang
bagian belakang pihak musuh.”

Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para
perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan
oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak
sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh
terkantuk-kantuk di udara terbuka.

Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang
mengantuk-ngantuknya, mendadak terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan.
Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak
musuh yang sudah diketahui sebelumnya.

Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan
mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah
telanjang, mereka berlarian keluar dari kemah untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada
dalam keadaan bersemangat dan segar.

Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan.
Mereka dapat mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat bentakan ‘houw’ yang berarti ‘harimau’
sehingga biar pun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat
bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan ‘houw’ terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan
dan robohnya para anggota tentara musuh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di
antara kawan sendiri di dalam gelap.

Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng
juga mengadakan penyerbuan yang sama. Pasukan ini menggunakan isyarat bentakan ‘liong’ (naga) untuk
saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang
memimpin pasukannya dengan penuh keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh,
demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.

Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur kembali oleh Tambolon serta para pembantunya, tiba-
tiba di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur
dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan
menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga
hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar
mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat penjuru
pula!

Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin
pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur
dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolah-
olah mereka menghadapi lawan dari depan, belakang, kanan dan kiri! Apa lagi pihak Bhutan menyerang di
malam gelap, dengan gerakan yang begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala
bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.

Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang
diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biar pun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun
sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan
kocar-kacir.

Hal ini adalah karena Tambolon terlalu mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-
pasukan itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak.
Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka menghadapi siasat yang cerdik
itu mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di
malam gelap, hanya diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.

Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga
pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu. Di mana-mana
mayat anggota pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang
tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur
kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga telah mengalami
hantaman dahsyat dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar.

Kini pasukan ‘harimau’ yang dipimpin Tek Hoat bergabung dengan sisa pasukan yang menyerbu dari
belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat
dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali,
menggiriskan pihak lawan. Biar pun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki
mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.
Pada saat perang sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap
sehingga menggelisahkan pasukan Bhutan, apa lagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan
kegelapan itu.

“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir...!” Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan
Bhutan berseru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu.

Namun pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan
banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri oleh karena mereka melihat awan hitam datang
bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan
ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh
babatan senjata lawan.

Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mukjijat ini. “Celaka, agaknya musuh
menggunakan ilmu hitam!” kata Bun Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya
karena dia tidak menguasai ilmu itu.

“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia
dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mukjijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang
perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena
maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang
amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.

Dugaan Tek Hoat memang tepat sekali. Melihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam
kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari
sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia
setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.

Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya,
mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga
siluman sehingga pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan
kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya
berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba
muncul seorang kakek berkaki satu.

Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan
rombongan penggembala liar yang hendak membantu ‘perjuangan’ Raja Tambolon. Kebetulan sekali
begitu memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang
ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.

“Nona, kau tunggu dulu di sini...” katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu
itu sudah berkelebat dan kemudian lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.

Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhutan yang mudah dikenalnya
dari pakaiannya. Melihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka, para prajurit Bhutan
menjadi girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.

Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan
Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak
senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan
kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.

“Blaaarrr...!”

Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga
lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.

Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-
laki berusia kurang dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya,
laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia
menjadi marah.
“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi
orang-orang Bhutan!” Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar kilat
ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari
ketakutan karena ada lidah-lidah api yang ‘hidup’ mengejar-ngejar mereka.

“Hemmm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han berseru dan menggerakkan tangannya ke atas.
“Apa artinya api menghadapi air?” Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api
itu!

Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga siluman tadi lenyap,
tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat
mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu
membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!

“Keparat, siapa engkau?” tanyanya kepada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang
matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.

“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang sekali dan dia pun menentang pandang
mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.

Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang
Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya
ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini kedua yang menerjang ke depan dengan kedua
tangan membentuk cakar harimau.

Suma Han memandang tajam, lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan
dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang
bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon mau pun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur
karena mereka melihat peristiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu
berdiri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.

Keduanya berdiri tak bergerak, akan tetapi di atas udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat
bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa! Suma Han menjadi
terkejut dan kagum. Tahulah dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga
batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir, mungkin dia akan kalah.
Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian
Hoat-su dan gadis remaja yang menjadi muridnya itu.

“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat
Nenek Durganini.

Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang
mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan
lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu
menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.

Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau
tidak ada engkau yang membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai
jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. “Hayo kita pergi, Siang
In.”

“Ouhhh... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini.”

“Bukkk!” kakinya sudah menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon sehingga
orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena
tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya
dengan tombak, kemudian membalik dan menuding ke arah orang itu.

“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”

Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular!
Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir,
Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja jari-
jari tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia
menjadi gelap baginya.

Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah
ibumu!” Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi
pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa
tahun yang lalu.

“Dukkk!”

Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan
Siang In menonjok lambungnya. Dia terpelanting sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas,
agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil
ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main hingga dia
menjadi kurang waspada.

“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu
meringkusnya dari belakang.

Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya sia-sia belaka. Rasa takut
membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang
yang cerdik, biar pun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir,
bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya dapat terlihat oleh
orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang
tersenyum luar biasa manisnya itu.

“Aihh... kamu benar-benar jantan dan kuat sekali... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat... menyakitkan...,”
kata Siang In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw
Siauw Mo-li seperti yang pernah dia pamerkan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka,
matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biar pun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu,
diam-diam dia melangkah maju.

Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar
dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya dari pada ilmu sihirnya,
maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu
membuat gerakan seperti seekor kuda ke menyepak belakang.

“Bukkk... aughhhh... adouuuuhhh...” Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki
Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok.

Siang In mengayun kakinya lagi menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan
tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang,
terasa sampai ke ubun-ubun!

“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya
dan membawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.

Pendekar Super Sakti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek,
bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di
sekelilingnya tidak ada yang berani mengganggunya.

Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah
mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah
terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya
ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.

Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga
mengamuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu
melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa oleh pemuda ini dia
telah diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.
“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia
menyerang Tek Hoat.

Serangan itu demikian dahsyat karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan
tenaga sinkang mukjijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang
amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih
terhuyung ke belakang! Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia
memandang rendah dan juga menjadi marah.

“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng
menyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan
hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjuk-
petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki sinkang mukjijat dari anak ular naga.

Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para prajurit kedua pihak tidak ada yang berani
mendekati karena gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja
mereka hampir tidak dapat menahan.

Betapa pun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek
Hoat mendesaknya. Akan tetapi, sejak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng
Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng.

“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru
kepadanya.

Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan
Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak
takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan.
Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya!
Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!

Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-
olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah!
Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”

“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?” Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang lagi
seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.

“Plakkkk...!”

Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng. Ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia
cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur.
Kesempatan itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang lengan Ceng Ceng dengan tangan
kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sinkang
Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan langsung
menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk
membikin remuk batu karang.

“Tek Hoat, jangan...!” Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa
pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.

Pemuda ini terkejut sekali, sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang
sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali
kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang
telah nekat, hampir saja ia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan
pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.

“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng,
bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”
Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek
Hoat, “Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau... kalau Paman Topeng Setan tidak mati...
kalau dia ada... kau tidak akan berani menjual lagak...!” Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena
dia teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!

Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru, “Apa...? Dia... Ceng Ceng
ini... saudaraku sendiri?”

Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku
mempunyai saudara macam engkau!”

“Ceng Ceng, janganlah engkau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan
Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih
kakak beradik, seayah.”

Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas...” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh
terhadap dia... aku suka sekali padanya...”

“Hah, kau suka tetapi baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam
apakah kau ini?”

“Ceng Ceng..., maafkan aku... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat
berbahaya...”

“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka.
“Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”

“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”

“Ahhh...?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”

Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi
untuk mencari gurunya sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”

Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya
berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah
adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia
dibunuh oleh Tek Hoat.

“Ceng Ceng, engkau... engkau adikku...”

“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu dari pada engkau.
Mungkin aku malah enci-mu!”

“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Ehh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak
kecil engkau di Bhutan, marilah kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”

Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat
membantah.

“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng
yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon.

Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka dapat melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh
Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon
yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian
Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar itu kini menggunakan senjata golok gagang panjang
dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.

“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru.
Melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan langsung memerintahkan para pembantunya untuk
mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi...!”

Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia
memanggil Ceng Ceng sumoi.

“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan.

Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoi-
nya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan
Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoi-nya itu
tidak boleh dibandingkan dengan sumoi-nya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.

Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan
kelihaian pemuda itu, dan teringat pula betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan
memperlihatkan tenaga mukjijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak
ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya
penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan
sekali tangan kanannya bergerak....

“Kraakkk!” terdengar bunyi dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah
menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.

“Singggg...!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mukjijat dan menyeramkan.

“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”

Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang
telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.

“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!” Ceng Ceng yang sudah nekat itu segera menubruk ke
depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu
memapaki.

“Ceng Ceng, hati-hatilah...!” Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia
pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Terpaksa Raja liar ini menggunakan goloknya
menyambut serangan Tek Hoat.

Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja. Tubuhnya sudah
cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang
memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang
sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.

“Dessss...!”

Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya
dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar yang saling
membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.

“Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua
batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.

Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang
dihadiahkan kepada suheng-nya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun
merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang
diterimanya dari rajanya. Biar pun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang
mukjijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.

Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal
keampuhan pedang Ban-tok-kiam, maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-
kiam, tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dulu,
pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.
“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di
tangan kirinya.

Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga
biar pun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai
merasa cemas.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring. Muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si
Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut
telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.

Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh
bentakan halus nyaring, “Harap kalian minggir!”

Panglima Jayin terkejut dan girang ketika mengenali Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin
seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.

“Bibi Milana...!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.

Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum
kepada Ceng Ceng. “Engkau membantu saudaramu? Bagus!”

Ang Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka
telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.

“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.

“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur,
akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.

“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru
karena dia maklum bahwa betapa pun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi
Tambolon yang amat lihai itu.

Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk
menghadapi Tambolon, dia berkata, “Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”

Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan
mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mukjijat sehingga tangkisan
siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.

Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton
pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah
kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka ‘tontonan’ yang
demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.

Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka
semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”

Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa
terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah
saudaranya, satu ayah! Dia tidak lagi mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana
dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apa lagi Puteri Milana yang
menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.

Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini
menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-
satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh
sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.
Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh
keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia
roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya
dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu lantas terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali
Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!

Tambolon mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar
ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan
hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.

“Bressss...!”

Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban-tok-kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai
bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi
yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang
dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tok-
kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biar pun sudah ditangkis oleh tangan kiri
Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.

Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan
berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan
dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang karena jalanya
berhasil menangkap dan membelit pedang. Dia menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan
berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya
terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar
sedangkan yang kanan ke arah pelipis.

Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan
tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.

“Dessss...!”

Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika!

Jayin dan para pembantunya segera bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala
Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua
orang dan untuk melenyapkan semangat tentara musuh.

“Tek Hoat, kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.

Tek Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteri Milana yang dia tahu amat lihai itu dan
Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan
dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jeri sekali karena dia
bukan tidak tahu betapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan
pikulannya. Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu. Dengan pengerahan tenaga
dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang pikulan memasuki perutnya
menembus ke punggung.

Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut
sambil berseru, “Ceng Ceng minggirlah!”

Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah
melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan juga menghentikan jalan darah di bagian
yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan
seperti sebatang pedang menusuk ke depan.

“Craattt!” Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah
pengawal kedua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.
Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk
sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apa
lagi setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas.

Berakhirlah perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat
sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah menyaksikan betapa pemuda yang
gagah perkasa ini sudah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini
memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan
setia telah membela Kerajaan Bhutan.

Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu,
memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan
pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.

Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, lalu mengangguk-angguk dan bertanya,
“Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana
sekarang dia?”

“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana
keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”

“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari dua orang
sute-mu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari.
Apakah engkau melihat dia?”

Bun Beng menggeleng kepala. “Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah
menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute
Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar lagi beritanya pada waktu dia menolong Puteri
Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke
mana, Suhu.”

“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”

Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu
melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya
dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar
sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama
setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah
menjadi janda yang masih perawan!

Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat
mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukan-
pasukan Bhutan.

“Ayah...!” Milana cepat lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua
itu. Air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.

Pendekar Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang. “Milana..., mana suamimu?”

Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu
hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, “...dia... dia telah tewas...”

Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan,
maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, “Bagaimana terjadinya hal itu?”

“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”

Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung
yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar Siluman
tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong,
mantunya yang dikabarkan tewas itu.
Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung
Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu
raja!

Istana telah cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi
sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah
dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.

Pertemuan yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri
dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa disangka-
sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di antara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti
mimpi saja dia melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang dara cantik itu menjerit dan saling
menubruk.

“Candra...!”

“Enci Syanti...!”

Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena sejak berpisah di tengah mala petaka ketika
perahu mereka terguling, baru satu kali inilah mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini
terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi.
Betapa hebat pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena
begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling
berpisah.

Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng
bersama semua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan
pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.

Rakyat dan para prajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan besar itu. Suasana Kerajaan
Bhutan gembira bukan main, sungguh pun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda
kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi prajurit Bhutan dan gugur dalam
perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja
yang merayakan kemenangan.

Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun!
Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan
kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang. Kalau pun para korban itu
diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat,
sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban,
sungguh pun yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa
menit saja, lalu tidak dipedulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati lagi!

Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji mempergunakan
manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai cita-
cita yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri
pribadi lahir mau pun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh
slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan
tersembunyi maut!

Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana
tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang
kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.

“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian
bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim
Bwee.”

Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang sedang duduk menyendiri dengan
wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan
isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian
melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong
cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti
menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!

“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri,
mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”

“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu
tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.” Puteri Milana mengerling
dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di
samping Raja Bhutan dan permaisuri!

“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya...” Suma
Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri.
Di mana kiranya dia sekarang?”

“Aku tidak tahu, Ayah.”

“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa
suamimu? Dan apa pula artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”

Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian,
dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu
menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong
telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.

Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan
‘bunuh diri’ untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya,
yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun
Beng.

Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah
siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali
matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri,
tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan. Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti
bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih
di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan
kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun
Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun
Beng...”

Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. “Kami telah bersepakat untuk menghadap ke
Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja,
maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut
dengan Gak-suheng...”

Suma Han mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya jika kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah,
biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.” Sebelum Puteri Milana
menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah
menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.

Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan mintakan
maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting.
Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa seram melihat ada
orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman!

Tidak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng sudah duduk berdua menghadapi meja
dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasihnya
tentang reaksi ayahnya ketika tadi mendengar pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng
karena tadi pun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali
dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka tentu saja hatinya
merasa lega.
Semua orang di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga
tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan
dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil
tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa
pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan
pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.

Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena
kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-
satunya manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata
kedua orang itu adalah sama, dan kini telah mati!

Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh
duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada
orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan
karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang banyak dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu
sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru.

Ada pun Kok Cu yang selama ini dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah memperkosanya,
merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu sebelum dia dapat membalas
dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat
dia bersemangat untuk hidup. Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang
amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata
adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apa lagi
yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati
akan jauh lebih menyenangkan dari pada hidup!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini
dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng
Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus
akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita
sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia dari pada kita.

Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan


keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri,
memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justru kekecewaan dan kedukaan itu
datang karena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak
apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak
menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan dapat menyenangkan.

Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka mau pun duka. Kenyataan apa adanya
adalah kebenaran! Ada pun senang atau susah bukanlah bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan
permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau
diuntungkan lahir mau pun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir mau pun batin. Pikiranlah biang
keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan ini merupakan suatu
kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa
dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan
dari pikiran pula.

Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini,
demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka
ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama
satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula
oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum
manis.

Ketika Raja mengumumkan pertunangan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti
Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera
menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat.
Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat
sambil menjura dan berkata, “Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang
baik.”
Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah,
maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kau maafkan segala kesalahanku
yang lalu terhadapmu.”

Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya
akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan
jahat. Betapa pun juga, dia tak mengatakan apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak
pernah dapat dilupakannya, biar pun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat,
baik atau jahatkah?

Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam goa, maka jelas bahwa
pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan
harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu
baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan
beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau jahatkah?

Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung dari pada penilaian kita sendiri, dan penilaian
kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah
merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan
yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu
adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa
dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah
menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja
menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!

Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia
menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan
yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau
tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan
kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.

Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biar
pun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan
matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura
belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.

Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang
membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek
Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis
diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha
menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya.
Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.

“Adik Candra...!” Syanti Dewi menjerit.

“Ceng Ceng, kau kenapa...?” Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong
tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana
dan Gak Bun Beng.

Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang,
lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...”
lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti
Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.

Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa
yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa
Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng,
“Heran sekali, apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?”
“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak
bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan
tahu-tahu datang bersama Suhu.”

Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan
batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati
perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam
perayaan sungguh pun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja
yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.

Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun
Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan tidak
sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sinkang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan
memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apa bila
Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan
terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya
dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air mata
berlinang.

Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi
memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadang-
kadang gadis itu memaki-maki nama ‘Kok Cu’, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil ‘Topeng Setan’
dengan mesranya.

Menjelang tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit, “Kau
telah mati...!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau
tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.

“Candra... adikku... ingatlah, aku siapa...?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau
dan air matanya mengalir di kedua pipinya.

Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak
mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada
semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.

“Candra Dewi... adikku... kau... kau kenapa...?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat
itu.

Akhirnya Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti...!”

Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya
mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti Dewi juga
menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis
akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng
menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil sapu tangannya
dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.

“Adikku... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada enci-mu ini dan aku
bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk
melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”

“Ohh, Enci Syanti...” Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia
akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?

“Ceritakanlah, Adikku...”

Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.

“Aihh, Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita
bersama-sama meninggalkan Bhutan dan kemudian mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan
sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat
lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...”
“Enci Syanti...! Janganlah kau berkata begitu... jangan...” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang
merintih.

“Kalau begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu padaku. Kita ini selain saudara angkat, juga
senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut
berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat
engkau sengsara, Adikku?”

Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia
mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang
dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak
ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan
musuh, sekarang sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling
dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.

Dia menarik napas panjang dan melepaskan rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan
dengarlah ceritaku.”

Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu lalu duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan
mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya
mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang ini.

“Ketika kita saling terpisah karena perahu kita terguling...” Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa
peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!

Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik,
“Lanjutkanlah...”

“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah
kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke
sebuah goa dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya...” Ceng Ceng berhenti lagi.
Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar
supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal
yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!

“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.

“Setelah aku membebaskan dia... lalu dia itu... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan...”

“Ahhh...!”

“Kemudian... kemudian... dia memperkosaku...!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya
seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.

“Ehhh...!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya. Kemudian dia
bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala.
“Dia... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya
sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di
depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”

Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat,
kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali. “Enci Syanti,
ceritaku belum habis...”

Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan. “Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu
berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk
membantumu membekuk jahanam itu!”

Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, kemudian dia
berkata, “Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau maklumi, aku menaruh dendam
kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam
perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”

“Hemm, aku juga sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan
seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”

“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan
nyawaku, bahkan dia... dia... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika menolongku.
Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai
manusia yang paling mulia di dunia ini...”

“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap
Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang
tuaku dan... Tek Hoat.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Dan kemudian... belum lama ini..., aku mendapat kenyataan yang
menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat,
Enci Syanti...” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.

Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau
beritahukan kepadaku.”

“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta... ketika
topengnya terbuka... ternyata... ternyata dia... dia... adalah... pemuda yang memperkosa aku dahulu...”

“Aihhhh...!” Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan
pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar
bisiknya. “...jadi kau... membenci dan sekaligus mencinta orang yang sama...? Dan dia itu... musuhmu dan
sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan sekaligus penolongmu...? Aihhh, bagaimana ini...?”

Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela, “Akan tetapi...
ketika dia memperkosaku... dia... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan... dan dia sudah
berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya...”

Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata
dengan suara serius, “Dengarlah baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah
semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau
sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”

Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.

Syanti Dewi mencium kedua pipinya. “Sadarlah, Adikku. Tak perlu kau membiarkan diri tenggelam dalam
peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”

Ceng Ceng menggeleng kepada. “Entahlah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku,
mungkin tanpa dia aku sudah mati, dan tidak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan
segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah karena aku... akan tetapi... dia... dia yang
memperkosaku.”

Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk
itu, kemudian dia memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang meruncing itu dan
tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau cantik sekali! Tahukah kau apa yang
tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu, Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta
kepadanya.”

“Ehhh...?” Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia
menundukkan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.

“Candra... adikku yang cantik, mengapa kau khawatir? Engkau terlalu memandang rendah kepada
kakakmu ini. Apa kau kira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau mencinta pria itu?
Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu.”
Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. “Aihhh, Enci Syanti, sia-sia saja segala
perhatianmu kepadaku, karena dia... dia sudah mati...” Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua mata
Ceng Ceng.

“Heiiii...?!” Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia
menubruk, merangkul Ceng Ceng dan sekarang puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya,
melihat kakak angkatnya menangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia
melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!

“Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah..., ditangisi pun sia-sia...!”

Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang,
menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat kedukaan orang lain! Kenyataan ini pahit sekali,
membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu
menjadi berkurang kalau melihat orang lain juga menderita, apa lagi kalau penderitaan orang lain itu lebih
besar dari pada penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan dari pada si aku yang selalu
ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan kedukaan yang memenuhi kehidupan
kita.

Perlu sekali untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada pikiran kita
sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan pertentangan-
pertentangan di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal lain dari pada kenyataannya yang ada,
selalu menginginkan yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap
saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak menyenangkan.

Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita menguasai
kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam
setiap peristiwa baru akan tampak apa bila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang
murni dan suci, terhadap apa pun juga, baru ada apa bila pikiran atau si aku tidak memegang kendali!

“Adik Candra..., betapa hebat penderitaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku
bergembira, berbahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa kau sesungguhnya sedang
menderita kedukaan hebat...”

“Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan tidak perlu pula
Enci berduka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak untuk hidup
berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau akan berjodoh dengan seorang yang masih seayah
denganku, membuat aku bersyukur. Aku sendiri... ahhh, hidup tidak ada artinya lagi, aku... aku
bermaksud... akan pergi lagi dari sini besok...”

“Ehhh... ke mana...?”

“Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau... entah ke mana aku sendiri belum bisa
memastikan...”

“Jangan, Candra...! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya dan menghapus sisa air matanya. “Tidak, Enci. Kehadiranku yang
penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk
pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahanku, Enci Syanti...”

“Candra...!” Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib
sehingga keadaan mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.

Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka
membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali saat mendengar semua penuturan kekasihnya itu tentang
Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka seujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah
musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu,
adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas!
Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.

“Kau tidak boleh pergi...!” begitu memasuki kamar itu Tek Hoat berseru.
Ceng Ceng yang tadinya duduk termenung itu, kini meloncat bangun. Mukanya yang tadinya pucat menjadi
agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu
dan menjawab dengan ketus, “Ada hak apa engkau melarang aku pergi?”

“Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi
dalam keadaan begini!”

“Dalam keadaan bagaimana?”

“Kau sedang mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai
saudara untuk menjaga dan melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu,
menghiburmu...”

“Dengan sikapmu yang keras dan selalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau
mengandalkan kepandaianmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku.
Kau kira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok
pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.

“Kau... kau keras kepala!” Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal.

Mereka berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak
mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek
Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah
menghela napas lagi.

“Ceng Ceng, kau tidak tahu... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya
kepadamu. Semenjak kita saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa
suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap dirimu. Cobalah kau ingat-ingat, kalau tidak
begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan sapu tangan,
bahkan aku rela pula menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu! Andai
kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak
pertemuan pertama, agaknya... aku tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu.
Sejak dahulu ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya
engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku... di dunia ini hanya ada seorang adik bagiku...”

“Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara teguran
Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan
Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulu pun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut
hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu.
Ternyata pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.

“Memang, kita sama-sama keras kepala, Adikku. Agaknya inilah yang diwariskan oleh mendiang ayah kita
yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat... akan tetapi hanya aku yang
mewarisi kejahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan berbudi mulia.
Akan tetapi kenapa justru engkau yang menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam
kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng... aku minta,
aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...” Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang
berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!

“Tek Hoat...” Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri
seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.

Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyusut air matanya. “Tek Hoat,
aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau
tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus
pergi menyendiri, entah ke mana. Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak
parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku.”

Tek Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagai mana sifat Ceng
Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk lagi. “Kalau begitu, aku hanya dapat ikut
prihatin dan akan selalu mendoakan, Adikku.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang
bangun dari tidurnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari
pintu gerbang sebelah timur karena para prajurit yang menjaga semua mengenal adik angkat Puteri Bhutan
ini.

Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa menengok lagi.
Langsung dia melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah perlahan maju ke depan tanpa tujuan
karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.

Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya, “Sumoi...!”

Ceng Ceng menghentikan langkahnya, berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara
Panglima Jayin, yang juga merupakan suheng-nya karena panglima ini pernah berguru kepada kakeknya.

Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku
karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh menahanku.”

“Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu karena
aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memanggilmu kembali
karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah
malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi
aku dapat menghadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpaimu itu.
Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk menyusul dan
memanggilmu kembali ke Istana.”

“Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci
Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun.”

“Akan tetapi, Sumoi... engkau belum tahu siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar karena dia pun
sudah mendengar akan keadaan sumoi-nya itu dari Puteri Syanti Dewi. “Dia telah datang menyusul
bersamaku. Inilah dia orangnya!”

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun
orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun,
Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mempedulikan.

Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara, “...bengcu...!”

Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil
dan dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu
pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tidak mungkin! Tapi suara
yang didengarnya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenalnya malah, karena suara itu adalah suara Topeng
Setan!

“Bengcu...!” Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.

Untuk kedua kalinya Ceng Ceng tersentak kaget. Dia menoleh dan....

“Ouhhhhhh...!” dia menutupi mulut dengan punggung tangan kiri, menahan jeritnya.

Betapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian
dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak tertutup topeng itu,
wajah yang tampan dan gagah sekali sungguh pun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan
khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.

“Kau...? Kau...?” Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya
terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas
seperti lumpuh dan kekejutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk
orang itu sambil merintih dan menangis.
“Kau... kau... masih hidup..., ohhh, kau masih hidup...?” berulang-ulang dia berbisik seperti dalam mimpi
ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.

“Suhu menolong dan menyembuhkan aku...,” bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.

“...ahhh... hu-huuu-huukk... aku... aku girang sekali... aku... aku cinta padamu, Pam...” Ceng Ceng tiba-tiba
menghentikan kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan ‘paman’ tadi karena dia segera teringat dan cepat
dia mengangkat mukanya.

Begitu melihat wajah tampan itu, dia berseru, “Ohhhh...!” dan merenggutkan tubuhnya menjauh.

Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul ‘tamu’ itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan
memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, lalu memasuki pintu gerbang dan membiarkan
kedua orang itu bicara dengan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah
itu.

“Aku bukan Topeng Setan lagi...” Pemuda itu berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda
laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di
goa, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apa lagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah
penyelamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu
terhadap Ayah, aku kemudian menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang,
rahasiaku telah kau ketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku,
lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan
seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”

Ceng Ceng yang masih menggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul
karena memang perasaan bahagia melihat ‘Topeng Setan’ masih hidup mengusir semua perasaan lain.
“Paman... Paman... melihat engkau masih hidup, aku... ahhh, betapa bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan
kembali dia lupa akan wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat
engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah darimu...”

“Ceng Ceng, janganlah menyebutku Paman... Engkau isteriku sayang... engkau sudah kuanggap isteriku
sejak aku mengenakan topeng... Betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu...”

Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ternyata amat tampan dan gagah.
Wajah yang semenjak peristiwa di goa itu tidak pernah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah
jelita basah air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka
dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya dengan
seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui bibirnya.

Sejenak Ceng Ceng terlena dan memejamkan mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang dari
hatinya membuat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut.
Akan tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam goa. Mulutnya yang melekat pada mulut Kok Cu
meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya.

Kok Cu memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.

“Plak! Plakk!”

Dua kali kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang
pucat. Pemuda itu tersenyum.

“Terima kasih dan pukulan-pukulanmu barusan baik sekali, merupakan obat yang akan menyembuhkan
penyesalanku. Kau pukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan
kematian sekali pun...”

“Ouhhh... tidak... tidak...!” Ceng Ceng kembali merangkul. Kini dia memandangi wajah tampan itu dan jari-
jari kedua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda itu. “Tidak... kau...
kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang kucinta... kau adalah Topeng Setan yang telah
melimpahkan budi kepadaku...”

“Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng.”
“Tidak... tidak...! Pada waktu itu engkau dalam pengaruh racun... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri.
Engkau sudah berusaha mencegah aku membebasanmu dari kerangkeng... dan engkau sudah berusaha
sekuat tenaga mencegah, akan tetapi racun itu lebih kuat... tidak, engkau tidak bersalah...”

Wajah yang tampan dan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar
biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah
yang tampan itu menjadi kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. “Kalau begitu... kau
mengampuni aku...?”

“Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah.”

“Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng.”

“Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam... eh, Koko (Kakanda)...”

“Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”

Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan
menggeleng kepala. “Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu.”

“Moi-moi...!”

“Koko...!”

Kembali mereka berdekapan dan sekali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan
membalasnya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan
seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masing-
masing sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.

“Ceng Ceng, Moi-moi... betapa bahagia hatiku... ketahuilah, aku datang bersama Ayah. Selain
menyusulmu, juga Ayah membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat kepada Kerajaan
Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri Milana. Selain itu pula... juga Ayah
akan meminangmu secara resmi... marilah, sayang, mari kita kembali ke istana Bhutan...”

Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan dirinya dari rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil tersenyum
di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. “Tidak... aku tidak mau kembali...” Dan
dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.

“Ehh, Ceng Ceng...!” Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul
larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja mengejar dari
belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak mau?”

“Aku malu...!” Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.

Akhirnya Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di
bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda itu kembali menciuminya
sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput
tebal dan hijau.

“Ceng-moi, kenapa kau malu?”

“Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak ingin... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir
kebahagiaanku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia
ini, tidak akan saling terpisah lagi... Koko, ah, Koko... aku masih belum percaya... apakah aku tidak sedang
mimpi...?”

“Ceng-moi, kau kekasihku, kau pujaan hatiku, kau isteriku... apakah ini mimpi?” Dia mencium dan
menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa
engkau dapat mengampuni aku, apa lagi mencintaku! Aku selalu merasa ngeri untuk menghadapi
pertemuan ini... tidak ada kengerian yang lebih hebat dari pada melihat engkau membenci aku...
bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa
hebatnya kebencianmu kepada Kok Cu...”

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memainkan jari-jari tangan kanan Kok
Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. “Siapa sih yang membenci Kok
Cu? Aku membencinya karena dia... menghilang begitu saja setelah peristiwa itu...! Aku benci karena dia
tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan... padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia
di dalam kerangkeng itu...!”

“Tapi kau... kau mencinta Topeng Setan!” Kok Cu menggoda.

Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa tidak?
Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku.
Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik
topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan
sinar matanya, karena... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”

“Hemm..., kalau begitu engkau mencinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kau cinta, Kok Cu
atau Topeng Setan?” pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.

Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli. “Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada
siapa?”

Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau
lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?”

“Ya ampun... tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!”

Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya
dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng. “Bagus,
Ceng Ceng...! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu dari pada
kepadaku?”

Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng pun berkata, “Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman
Topeng Setan!”

Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu
jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menengadah, dia lalu menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya
kau lebih mencinta yang mana?”

“Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan... ehmmm...” Ceng
Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang
seolah-olah tidak akan ada puas-puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka
dan penuh penyerahan.

Angin semilir di atas mereka, membuat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling
berbisik membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu. Bagi Ceng
Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah
kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah.

Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami
oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam
hidup kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara murka yang
kesemuanya itu hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.

Adakah yang lebih indah dari pada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan
menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan.
Cinta bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah
pemberian atau permintaan semata.

Kesemuanya itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan.
Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan bangsa,
tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal
tingkat tinggi atau rendah. Cinta tak mengenal kebencian, tak mengenal permusuhan, tidak mementingkan
diri pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga kehilangan
keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya.

Oleh karena itu, segala macam gerak perbuatan tanpa dasar cinta kasih yang kita adalah palsu belaka.
Ada pun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci apa bila didasari oleh cinta kasih di dalam
hati sanubari kita.....

>>>>> T A M A T <<<<<

Anda mungkin juga menyukai