“Siap, Panglima!”
Desahan lega keluar dari mulut sosok bermantel hitam. Dia sebenarnya
bosan terus diburu seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi. Nama, gelar,
dan wajahnya sudah buruk di mata semua orang karena peristiwa
runtuhnya kerajaan Vandal dua tahun yang lalu. Tidak ada yang mau
mempercayainya kembali sebagai Helt.
“Syukurlah mereka sudah pergi. Aku harus segera keluar dari sini.” Dia
menggeliat mencoba mengeluarkan tubuhnya dari sela bangunan. Iris
hitam membola panik. “Tidak ... TIDAK! AKU TERJEPIT! TOLONG AKU!”
Dia telah sampai di tempat tujuan. Rumah salah seorang warga yang
dikenal sebagai keluarga penangkap tikus tanah. Rasa cemas datang saat
ingin mengetuk pintu. Dia berharap mereka mau mendengarkan apa
yang ingin diceritakan. Sebelum diketuk, pintu mahoni terbuka
menampilkan sosok seorang pria tua beruban yang menggendong
keranjang berisi bongkahan batu kapur. Pria itu memandang heran
orang asing yang ada di teras rumahnya.
“Kamu siapa?”
Meneguk saliva lamat, sosok itu membuka tudung yang menutupi wajah.
“Aku Tobias, seorang Helt, teman mendiang Daenrys Rick. Aku kemari
ingin menceritakan sesuatu tentang--”
“Daenrys Rick? Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Juga ... helt? Apa itu,
Anak Muda?” potongnya sambil menaikkan alis.
“Se-rius, Pak?! Ini ... rumah keluarga Rick si penangkap tikus, ‘kan?”
tanya Tobias tidak percaya.
“Ya, benar. Aku Trogi Rick, kepala keluarga di rumah ini. Apa yang ingin
kau bicarakan, Nak? Aku hanya punya waktu lima menit karena aku
punya pekerjaan penting yang harus dilakukan,” ujarnya.
Tidak ada guna Tobias ke sini. Dia memutuskan untuk pergi dari desa
Slav, melanjutkan perjalanan ke desa lain. Belum ada selangkah, dia
dihentikan oleh suara seorang wanita dari dalam rumah Daenrys. Tobias
seperti bernostalgia begitu melihat sosok yang hampir mirip dengan
cinta pertamanya.
Entah sudah berapa lama wanita yang adalah ibu kandung Daenrys ini
bercerita. Tobias tidak sempat menghitung detik, karena dia merasa
sangat sakit mendengarnya. Wanita itu bilang, Trogi sudah tidak
menganggap Daenrys sebagai anak kandungnya lagi sejak gadis itu
meninggalkan rumah. Kehidupan mereka bertambah susah saat berita
tentang keikutsertaan Daenrys dalam pencarian ksatria. Keluarga Rick
dicibir, dikucilkan, dan jasa sebagai penangkap tikus perlahan mulai
ditinggalkan.
“Aku harap, kau mengerti, Tuan Tobias. Jangan datang kemari lagi. Aku
tidak ingin keluarga yang sudah hancur ini bertambah lebur karena
kedatanganmu. Sebagai seorang ibu, aku sangat sangat berterima kasih
karena selama Daenrys hidup, kau telah menjaganya dengan baik.
Terima kasih.”
“Aku dan Daenrys hanya teman satu tim dalam misi menghancurkan
Black Death. Tapi ... pada akhirnya aku sadar akan sesuatu. Aku ... telah
jatuh cinta pada putri Anda. Sayangnya, rasa itu datang terlambat.
Terima kasih sudah mau mendengarkan permohonan maafku, Nyonya
Rick. Permisi.”
°°°
Tobias dikelilingi kumpulan warga dan orang-orang yang dia kenal.
Raut wajah mereka sangat menyeramkan. Kemudian, berbagai seruan
dan caci maki mereka lontarkan.
“Pembunuh!”
“Kau tidak pantas disebut Ksatria! Tidak pantas disebut seorang Helt!”
“Tobias, kau biadab! Kau sudah membunuh ayah, ibu, seluruh pasukan
kerajaanku, dan aku, teman seperjuanganmu!”
“Tobias ... seharusnya aku tidak percaya padamu. Aku masih ingin
hidup! Aku masih punya impian yang harus kucapai! Tapi ... kau malah
merenggut nyawaku! Kau tidak pantas hidup!”
“Tobias ..., aku kecewa padamu! Mengapa ... mengapa kau terlambat
menolongku! Aku sangat membencimu, Tobias!”
°°°
Sejauh ini, Tobias telah berhasil membunuh semua monster hitam yang
muncul dengan tombak hitam atau black hole miliknya. Seseorang yang
mengendalikan mereka tak kunjung muncul, dan Tobias beranggapan
mungkin saja bos mereka adalah kakak kandungnya, Illiyos. Jika memang
begitu, pemusnahan black death sekarang lebih mudah baginya.
“Sial. Waktu rasa-rasanya berjalan terlalu cepat. Kini, hari sudah pagi
saja. Oke ... ke mana tujuan kita berikutnya ....” Tobias berbicara sendiri
sambil menggelar peta. Dia tersenyum, tahu akan menuju ke mana
selanjutnya. Dia memutuskan meninggalkan barang-barang perbekalan
di bawah pohon pinus, lalu pergi menuju sebuah sungai kecil yang
lumayan jauh dari sana.
Usai membersihkan badan dan mengisi air untuk minum, Tobias kembali
ke kemah. Teriakan keras diredam dengan telapak tangan. Pemuda itu
beringsut bersembunyi di balik pohon mengintip sosok penyamun.
Pukk!
“Kukuku~ ampun! Ampun, Mas! Bang! Pak! Tuan! Haduh! Harus gimana
lagi ngadepin manusia yang tidak bisa bahasa burung! Huhuhu~ aku
harap, Daenrys ada di sini dan menolongku ....”
Tobias menatap lekat burung biru di depannya. “Kau ... itu tadi kau yang
berbicara, Burung Pencuri?!”
“Tadi kau bilang ... Daenrys? Kau ... mengenalnya? Daenrys Rick dari
desa Slav?” tanya Tobias penasaran.
Burung biru mengepakkan sayap antusias. Ia bercuit. “Ya! Ya! Kau juga
kenal sama Daenrys?! Dia adalah tuanku yang baik hati! Kita sudah
berteman sejak aku masih belum bisa terbang! Kau siapa? Apa kau tahu
di mana Daenrys?”
Hati Tobias teriris mendengar pertanyaan si burung biru. Dia ragu untuk
mengatakan kebenarannya. Tobias juga heran, sebagai seorang burung,
mengapa ia tidak pernah mendengar desas-desus kematian ksatria
bernama Daenrys? Apa mungkin nama Daenrys tidak dikenal? Entah,
yang pasti, Tobias harus jujur padanya.
“Burung biru, tuanmu Daenrys sudah ... meninggal dalam misi dua tahun
yang lalu. Aku ... adalah teman semisinya. Waktu itu, aku gagal
menolongnya. Maafkan aku ....”
Bulatan mata bahagia berubah layu. Sang burung kecil biru bercuit sedih.
Ia tidak percaya tuannya pergi secepat ini. Ia menatap lekat Tobias, air
mata jatuh deras. “Kenapa ... harusnya kau menolongnya sebagai
seorang teman seperjuangan! Rys ingin menjadi ksatria agar bisa pulang
dan mengumumkan kemenangannya pada para warga Slav! Dia ingin
derajat warga Slav dan keluarganya ditinggikan!” bentaknya.
“Maaf ... maafkan aku, Burung Biru.” Tobias menggapai burung tersebut,
memeluk erat ikut menangis.
Setelah keduanya saling berkenalan, Fura—burung Bluetumb itu—
memutuskan mengikuti Tobias. Antara percaya dan tidak percaya, Fura
terpaksa harus bergantung hidup pada pemuda yang mengaku
mencintai mendiang tuannya. Tobias telah menceritakan kekuatan non
sihir yang aneh dan berbahaya pada Fura. Kekuatan yang juga mirip
dengan kekuatan black death penyebab terbunuhnya Daenrys dan tiga
ksatria lain serta raja dan ratu kerajaan Vandal.
“Jadi, mengapa kau cari mati dengan pergi ke ibukota, Tobias?” tanya
Fura.
“Siapa yang cari mati, Fura? Aku hanya mau lihat siapa-siapa saja calon
ksatria baru tahun ini. Pemilihan ksatria baru dibuka setelah dua tahun
berlalu kejadian kelam itu. Aku tahu, mungkin ini bunuh diri. Tapi ... aku
ingin melihat seseorang di sana,” jawab Tobias.
Tobias tertawa. “Yang sudah kau sebutkan itu tidak ada dalam
kehidupanku sekarang ini, Fura. Teman pertama dan cinta pertamaku
telah mati karena kelalaian dan kelemahanku dalam mengontrol
kekuatan. Jika kau ingin tahu, tolong jangan berisik dan bantu aku
beraksi. Oke?”
“Ya, ya, terserah! Aku tidak percaya Rys betah bersama dengan pemuda
tidak jelas sepertimu!” Fura terbang mendahului Tobias memasuki toko
kostum.
***
Proses seleksi telah memasuki final. Battle empat lawan empat. Mereka
akan bertarung di dalam sangkar yang susah dibuka. Tobias dan Fura
membaur di antara ribuan peserta yang tereliminasi dan penonton. Raja
Oscar sepertinya merefitalisasi konsep battle tahun ini. Mungkin untuk
menguji kekompakan, kecepatan, dan kecerdasan semua peserta.
“Tim satu terdiri dari: Yordan, Varaz, Dominique, Astro. Tim dua: Lucas
Miranda, Rivendosni, Edward, Nana. Dalam pertarungan, tidak perlu
pemenang. Antara tim penyerang dan tim yang diserang bisa saling
bahu-membahu dalam membebaskan diri dari sangkar. Meski di final
battle ini tidak perlu pemenang, tetapi inilah yang kami uji. Kekompakan
dan kesetiaan antar calon ksatria. Kami tidak ingin ada penghianat
kerajaan seperti salah satu ksatria dua tahun lalu yang sampai sekarang
masih buron. Oke! Sekian dari saya! Battle dimulai!”
“Tidak masalah. Itu memang kenyataan. Ah, dari semua peserta yang
tersisa, aku tidak melihat ada di antara mereka yang berasal dari desa
Slav,” ujar Tobias pelan.
“Aku bisa menebak. Pasti karena Daenrys orang yang membelaku mati-
matian dan menentang sang Raja waktu itu. Gadis itu telah
menyelamatkan hidupku bahkan sebelum kami dilantik menjadi ksatria,”
sahut Tobias.
Bunyi denting pedang beradu dengan kapak terdengar riuh. Tim satu ada
Dominique—penyihir dengan senjata pedang mata tiga—berhadapan
dengan Edward, si penyihir pengguna kapak. Varaz dan Astro sendiri
bertarung melawan Lucas dan Rivendosni.
“Hmm ... aku gatal~” Lucas berdeham. Dalam pikirannya, dia sungguh
tidak sabar mengeluarkan sihir terbaiknya.
“Jangan menunggu persetujuanku, Lucas. Jika ingin mengeluarkan sihir
doppelganger, keluarkan saja! Aku sudah kebas melawan mereka juga,”
tutur Rivendosni.
“K-kau! Dari mana kau tahu kalau aku memikirkan itu?! Apa ... itu
sihirmu?! Tapi ... itu tidak seperti unsur sihir?” Lucas berjingkat terkejut.
“Sialan! Kau ingin mengancamku, ya? Oke! Ketika keluar nanti, akan
kutendang bokongmu!” pikir Lucas.
“Astro ... kita memang teman setim. Tapi ... AKU TIDAK INGIN
BERTEMAN DENGAN SEORANG PENGECUT SEPERTIMU! CARAMU
MENYERANG TIDAK GENTLE! ITU JELAS MEMBUKTIKAN MUNGKIN
SUATU SAAT KAU BISA MENGHIANATI KSATRIA LAIN!” teriak Varaz
murka sembari menekan bahu kanan yang berdarah.
Teriakan itu membuat tiga juri berbisik. Penasihat dan Raja Oscar pun
ikut berunding mempermasalahkan sikap Varaz dan Astro. Astro
mengamati sekitar sambil meneguk ludah. Dia terlihat tidak baik di
hadapan setiap orang.
“Aku tidak mungkin menyerang Lucas tanpa sebab, Varaz. Kau juga tahu,
bukan? Orang yang berhasil keluar dari sangkar adalah ksatria. Tidak
dibutuhkan kemenangan, tetapi kita juga dituntut untuk tidak kalah. Apa
kesalahanku di sini?”
“Kau--”
“Ayo lawan aku, Pengecut!— eh?” Nana bingung karena orang yang tadi
dia tantang menghilang dari hadapannya. Setelah mendengar tepuk
tangan meriah semua orang, dia menoleh ke belakang. Gadis dengan
sihir cambuk api jatuh berlutut dengan mulut menganga melihat
lawannya telah keluar bersama tiga orang lainnya.
“Fura, yang kucari ternyata tidak ada di sana,” kata Tobias tiba-tiba.
“Siapa?” tanya Fira penasaran.
“Fixtra, ksatria yang berhasil bertahan hidup dari penyerangan waktu itu
selain aku. Saat aku tersadar, gadis itu sudah menghilang. Aku yakin,
hujan tombak hitam waktu itu hanya mengenai Illiyos saja. Ada
kemungkinan, Fixtra adalah penghianat di antara ksatria. Mungkin saja
yang memberikan informasi tentang rute perjalanan kami waktu itu
adalah dia. Fixtra semacam kaki tangan kakakku,” papar Tobias.
“Gadis sihir unlimited itu? Hoo ... itu bisa jadi, Tobias! Sekarang!
Sekarang! Aku lapar ... kukuku!” rengek Fura. Terbang bolak-balik di
depan wajah Tobias yang asyik berdiri merenung.
“Bawel! Ya, ya! Ayo kita cari buah-buahan di hutan!” ajak Tobias.
“Hee~ tapi aku maunya cake volcano yang tadi!” tolak Fura.
“Nih, kukasih uangnya. Kamu balik lagi ke Hounorius dan beli cake itu,
terus balik kemari.” Tobias merogoh saku mantel, menjulurkan sekeping
koin emas pada Fura dengan wajah datar. Burung biru bercuit tanpa
henti, pergi dari hadapan Tobias. Ia terbukti jengkel pada sikap Tobias.
Sementara Tobias, dia masa bodoh tak memedulikan Fura.
***
Api hitam pekat berkobar melahap seluruh rumah warga desa Bizantin.
Naga hitam bermata merah mencoba menghancurkan perisai turun
temurun terkuat di Matilda dengan ludah lava hitamnya. Penunggang
berjubah hitam masih menunduk, mengamati sepuluh orang warga desa
Bizantin yang tersisa dalam perisai. Sayang, tatapan sendu tidak mampu
dilihat karena wajah tertutup tudung.
Prakk!
“Aku ... hanya ingin tahu apakah ayah dan ibu sudah ... meninggal?”
“Ka-kau!”
Lidah hitam panjang keluar, tergelar bak karpet, membelit cepat delapan
orang warga yang mencoba melarikan diri. Sekejap mata, para warga
menghilang. Masuk ke dalam mulut raksasa tanpa terdengar suara
kunyahan.
“Sekarang, bereskan dua yang tersisa! Ingat perjanjian kita, Nona Fixtra.”
Sang raksasa melangkah pergi ke tempat asal bersama monster mata.
Part 2
Dari desa Avar, keempat ksatria pergi ke arah timur laut. Bizantin, desa
yang terkenal sebagai desa dengan sihir terkuat di negara Matilda.
Mereka berharap bisa mencari tahu keberadaan ksatria sihir unlimited
yang sudah dua tahun menghilang. Pihak kerajaan mengatakan pada
mereka kalau Fixtra ditangkap oleh Tobias dan pasukan black death-nya.
Informasi itu semakin membuat para ksatria membenci Tobias dan ingin
membunuhnya.
“Wow! Kau hebat juga bisa menebak waktu penyerangan black death,
Riven!” puji Varaz.
“Heleh! Paling cuma buat tebar pesona di depan Varaz. Aslinya itu orang
pasti cuma omong kosong,” pikir Lucas.
“Aku benci menipu dan ditipu orang, Lucas. Ucapanku benar adanya.
Apa perlu kupanggil profesor kerajaan untuk mengujinya agar kau
percaya?” celetuk Riven kesal.
“Anjirr! Jangan baca pikiran eike lagi, lah, Dosni! Itu privasi!” jerit Lucas
marah.
Riven menaiki kuda, tidak menyahuti ocehan pria jadi-jadian itu. Tiga
ksatria mengikutinya dari belakang. Sepanjang perjalanan, hanya Varaz
yang mendinginkan hati Lucas. Yordan hanya diam memperhatikan dari
belakang.
***
“Eh, eh, tahu, enggak? Akhir-akhir ini aku mencium bau bunga teratai
putih, loh!”
“Jangan gitu sama jenis sendiri, Leila! Sesama merpati, dilarang saling
mengatai!”
“Betul, tuh, apa kata Tante Elsa!” Suara cuitan terakhir bernada berbeda
dari kerumunan merpati yang bertengger di atas atap. Fura tertawa
garing ketika semua merpati memincing.
“Siapa burung bantet bercat biru ini! Kalian kenal?” tanya merpati
berbulu pink, Leila. Dia adalah pemimpin merpati pos sekaligus ketua
perkumpulan merpati tukang gosip.
“Kuku~ Tante Elsa suka begitu sama aku. Aku cuma numpang lewat.
Mau buang hajat di dekat cerobong asap itu, tahu!” tunjuk Fura ke
cerobong asap di belakang para merpati. Burung biru berbohong dengan
sangat apik.
“Kakak, Kakak! Kalau buang hajat itu enakan pas mengudara, loh!
Seperti Bibi Leila! Ya, ‘kan, Bi?” Merpati paling kecil membuka kartu as
sang ketua merpati. Fura menyeringai dalam hati karena jalannya
dipermudah oleh bocah merpati.
Leila memelototi sang kekasih, merpati jantan yang ada di sebelah kanan
merpati bontot. Merpati jantan segera mengajak si bontot balik ke
sarang sebelum bocah itu dimakan hidup-hidup oleh kekasihnya. Leila
tidak mau aibnya menjadi bahan gosip burung tetangga, burung nuri.
“So? Bibi Leila, sosialita merpati ternyata yang suka dihujat para
manusia apes di bawah sana, ya? Yang terkena kotoran burung di atas
kepala?” celetuk Fura, pura-pura polos.
“Kau! Mau apa kemari?! Cepat katakan dan jangan pernah mengungkit
hal itu lagi!” berang Leila.
“Sebenarnya, aku akan tutup mulut soal ‘kotoran mengudara’ jika Bibi
Leila mau memberitahuku lebih rinci soal bunga teratai putih.” Fura
mendekat, merangkul leher Leila dengan sayap kiri.
“Ya, ya.” Leila melepas rangkulan sok akrab. “Dengar, aku tidak mau
mengulangi lagi. Bunga teratai akhir-akhir ini tercium begitu wangi dari
arah utara, tepatnya dari pulau Lotus. Legenda mengatakan kalau di
pulau itu menyimpan sebuah batu permata kehidupan yang ada dalam
kuncup bunga teratai putih. Wangi yang keluar dari bunga teratai
mengatakan bahwa bunga tersebut telah mekar. Dan salah satu dari
jutaan bunga yang mekar di pulau tersebut terdapat batu permata
kehidupan.”
“Dan ... apa yang menarik? Kenapa kau menggosipkan tentang ini?”
tanya Fura terheran.
Leila menggeleng tidak habis pikir. “Fura, kau kurang gaul. Aku
menyebarkan berita itu karena konon, orang yang berhasil
mendapatkan batu permata kehidupan, bisa menghidupkan kembali
orang yang penting bagi mereka. Ini berita penting untuk kaum
manusia. Ketika mereka tahu, mereka akan terus memakai jasa kami
untuk surat-menyurat. Lalu, kami pasti akan diberikan makanan yang
banyak oleh majikan kami. Belum lagi ada bonus makanan dari teman
majikan kami yang dikirimi surat.”
“Fura, batu Moisavind tidak bisa disentuh atau dicari oleh hewan.
Bukankah sudah kubilang—oi! Mau ke mana! Main pergi aja!”
Fura tidak peduli dengan cuitan Leila. Dia sekarang fokus kembali ke
hutan tempat Tobias sedang tidur siang. Sesampainya di sana, Fura
langsung mematuk hidung Tobias agar segera bangun.
“Ouch! Sakit, tahu, Fura! Jangan ganggu tidur siangku!” desis Tobias.
“Daenrys kenapa?!”
“Aku mendengar dari temanku kalau bunga teratai putih telah mekar di
Pulau Lotus!”
“Kau mau aku sate, huh?!” Tobias menangkap Fura, meremas kuat
tubuh bantet burung biru.
“Kkkuuu! Tidak! Tobias, masa kau belum tahu tentang pulau Lotus!
Dengar, di pulau itu ada bunga teratai yang di dalamnya terdapat batu
permata kehidupan! Batu itu bisa menghidupkan orang yang sudah
mati!” jerit Fura berusaha melepaskan diri.
“Tu-tunggu dulu!”
***
Fura resmi merajuk. Sebenarnya, dia muak meladeni Tobias yang terus
memelas di semak-semak. Meminta arah petunjuk keberadaan pulau
Lotus.
“Fura yang bahenol~ ayo jangan ngambek lagi, dong!” bujuk Tobias.
“Tidak! Pantas saja Rys selalu darah tinggi kalau ada di dekatmu. Kau itu
benar-benar masih bocah, Tobias! Kalau orang lagi berbicara itu jangan
langsung dipotong!” omel Fura.
“Bersyukur kau masih bisa makan, Lucas. Di desa Greebil kau tidak akan
menemukan yang namanya daging dan ikan. Kami semua vegetarian,”
sahut Varaz.
“Banci itu memang manja, Varaz. Buat apa juga kau menceramahinya.
Paling juga masuk kuping kanan, keluar kuping kiri,” celetuk Riven.
“Oh, sial! Mengapa para ksatria bisa ada di sini juga! Untung saja aku
bersembunyi di semak-semak,” pikir Tobias.
Riven yang ada di barisan paling akhir berhenti mendadak. Dia menoleh
ke semak-semak yang ada di samping kanan dan kiri. Pikiran itu adalah
pikiran orang asing yang bersembunyi dari mereka. Riven berasumsi
kalau suara pikiran itu milik seorang pemuda. Mungkin seorang
perampok atau ....
Tobias mengumpat pelan. Dia lupa kalau salah satu ksatria ada yang bisa
membaca pikiran. Menetralkan kepanikan, Tobias telah bersiap pada
kemungkinan yang ada. Jika harus berhadapan dengan mereka
berempat, maka Tobias akan melakukannya. Akan tetapi, seperti dahulu.
Dia tidak mau menyakiti dan disakiti.
“Keh! Aku tahu sihirmu itu cukup ampuh di saat-saat seperti ini,” ujar
Lucas. “Saatnya aku menggandakan diri! Doppel--”
“No, no! Aku tidak mau melihat ada lebih banyak banci lagi. Varaz dan
aku sanggup mengatasinya. Kau jaga saja si Yordan,” potong Riven.
“Hah?! Itu tidak adil! Dari kemarin aku sudah menjaga zombie albino
ini!” rengek Lucas.
“Jika kau tidak mau keluar, kami yang akan menyambangi!” Itu
peringatan terakhir dari Riven. Tobias buntu berpikir. Fura juga sudah
kocar-kacir mencari jalan keluar demi menolong Tobias. Ia paham kalau
misalkan Tobias nyawanya terdesak, bukan tidak mungkin black hole
akan keluar dan tidak bisa dikontrol lagi seperti dua tahun lalu. Bukan
hanya empat ksatria baru, nyawa Fura juga bisa melayang.
“Siapa kau sebenarnya? Kekuatan ini ... bukan elemen sihir dunia
manusia,” tanya Tobias penasaran.
“Fura! Kau juga terbebas?! Oh, cepat kita tinggalkan hutan ini dalam
sepuluh menit!”
Yordan berbicara lagi. “Itu sudah cukup jauh dari kami, bukan? Sekarang
atau kalian akan dikeroyok. Tersisa beberapa detik menuju sembilan
menit.”
***
“Kita selamat!”
Fura bertanya dengan napas putus-putus. “Ksatria itu ... sihirnya ...
hah ... luar biasa ....”
“No, no, Fura! Itu bukan sihir! Kekuatan itu bukan kekuatan manusia. Dia
sama sepertiku. Bukan dari dunia ini. Bahkan dia tahu kalau aku adalah
pangeran negeri Skotadi. Aku jadi curiga, apa dia itu kaki tangannya si
pengendali black death? Mungkin anak dari abangku Illiyos?”
“Eh? Iya juga. Hmmm ... apa dia ... ADIKKU YANG TELAH LAMA
HILANG?!”
***
“Yang Mulia, keempat ksatria telah menuju utara sesuai pada arahan
peta.”
Sang Raja melirik kaca jendela yang sedikit terbuka. Sosok berjubah
hitam masih setia berlutut satu kaki dan menunduk. Menunggu perintah
sang Raja selanjutnya.
“Baik, Yang Mulia.” Sosok itu pergi, melompat dari balkon. Setinggi apa
pun itu, dia tidak akan pernah jatuh dan mati. Sosok manusia pasti
berganti wujud yang aman. Menjadi burung gagak hitam.
“Sebentar lagi akan lengkap dan sempurna,” ucap Raja Oscar sambil
memandangi black diamond dan red crystal yang ada di dalam kotak.
Part 3
Sudah sehari berlalu sejak mereka sampai di desa Northypin, Riven
masih memikirkan kejanggalan itu. Ketika mereka melewati semak-
semak di hutan perbatasan Fluot dengan Northypin. Intuisinya tidak
pernah salah. Riven sangat yakin ada sesuatu yang penting yang terjadi
kemarin.
“Ya.”
“KAU! OMONG KOSONG MACAM APA YANG KAU KATAKAN INI!” Riven
melempar buku yang dibaca Yordan. Menjatuhkan pemuda itu ke
ranjang sambil menarik kerah kemeja putih dengan kedua tangan.
Kali ini, tatapan dan raut wajah Yordan berubah. Iris abu-abu menyipit
tajam diikuti tatapan dingin menyeramkan. Riven meneguk saliva,
keringat dingin membanjiri tubuh. Pemuda itu merasakan tekanan
kekuatan supernatural dari Yordan.
“Repeat switch.”
“Kkhhh! Kau ingin membunuhku, hah?! Oh! Jika aku mati, maka kau
pasti akan ditangkap oleh yang lain! Jadi ... ini jawabanmu, Yordan?!
Kau ... ternyata seorang penghianat! Penipu!” berang Riven
memelototinya.
Riven menggertakan gigi seraya menatap tajam Yordan. Hal yang sama
dilakukan oleh pemuda albino. Situasi tegang campur ambigu
dibuyarkan oleh tendangan kuat dari arah pintu. Pintu kamar lepas dari
engsel. Sosok perusak masuk sambil mengomel.
“Sudah setengah jam aku mengetuk pintu dan— OMG! Kyaa~ yaoi live
action!” Si ksatria banci malah menjerit antusias. Mata melotot, hidung
mengucurkan darah segar saat melihat pemandangan di depan.
“Yaoi dengkulmu! Dasar banci homo! Aku masih lurus, tahu!” umpat
Riven.
Sementara itu, Tobias dan Fura dihadang oleh kelinci hitam bermata
merah sebesar manusia yang memakai jubah putih bertuliskan 1k.
“Fura, lihat patung kelinci itu! Terlihat kusam dan kotor. Padahal,
jubahnya sudah bagus.”
“Hmm ... iya, benar. Jadi enggak maching gitu sama badan. Mendingan
kamu tukar saja dengan jubah hitammu yang sudah buluk itu ... kuku!”
“Aye! Ini bukan patung kelinci, Fura! Ini badut kelinci! Wow! Keren!
Sayang banget kostumnya buluk begitu. Nah, Tuan Badut Kelinci,
kostumnya habis terkena lumpur, ya? Kok hitam dekil begitu?”
“Master? Ninkuru? Hmm ... itu nama agensi badutmu, ya? Begitu ..., ”
ujar Tobias sambil manggut-manggut.
“Ya! Tinjuanmu luar biasa! Tapi ... bisakah kita sudahi saja? Aku dan
burung gendut di atas sana ada urusan penting,” tawar Tobias, mencoba
bernegosiasi.
Kali ini, Ninkuru meninju tanah hingga dia masuk ke dalamnya. Kelinci
hitam menggali tanah, membuat seribu lubang sehingga Tobias harus
melompat ke sana kemari agar tidak terjeblos ke dalam lubang.
“Kau tidak akan bisa menyerangku ... hahaha!” Ninkuru kembali tertawa.
Kepalanya timbul-tenggelam ke tanah di lubang-lubang acak dekat
dengan posisi Tobias berdiri.
“Kelinci brengsek itu membuat mataku pusing!” teriak Fura dari atas
pohon.
“Tidaaakkk!”
“Tidak mungkin! Itu terlalu mahal! Biasanya hanya dua ratus keping
untuk menyewa perahu. Bahkan menyewa sebuah kapal hanya delapan
ratus keping emas! Jangan coba menipu kami!” protes Tobias.
Sial! Sial! Tidak ada pilihan lain! umpat Tobias dalam hati.
“Oke. Aku ambil kapal itu.” Tobias memberikan seribu keping emas
untuk si petugas pelabuhan. Selesai menghitung, petugas malah kembali
menadahkan telapak tangan di depan wajah Tobias.
“Ini hanya untuk satu orang. Burungmu harus bayar separuhnya jika
ingin menyewa perahu itu,” tuturnya.
***
Lima jam sudah keempat ksatria berlayar. Bersyukur karena tidak ada
halangan di sepanjang perjalanan. Hanya muntahan Lucas yang merusak
pemandangan indah di kapal tersebut. Riven jijik, Yordan memilih
minum teh sambil duduk di sudut kapal, dan Varaz yang baik hati sedang
meramu tumbuhan obat untuk mual yang didapat dari kekuatan
sihirnya.
“Sepertinya monster laut atau ... monster laut yang dikirim si pengendali
black death.”
“Haa? Baru juga aku sembuh dari mabuk laut, sekarang malah disuruh
bertarung? Fuck! Bisakah mereka mengizinkan kita beristirahat
sebentar?!” rengek Lucas.
“Molinga Save!”
Empat puluh cahaya kuning keluar dari tubuh Lucas. Cahaya menghilang
menampilkan sosok yang mirip dengan Lucas. Rambut blonde sebahu,
memakai jubah pink, dan sepatu boat hitam. Perbedaan yang cukup
mencolok adalah senjatanya. Tiap-tiap doppelganger punya senjata yang
berbeda. Pedang, tombak, panah, pedang gergaji, senapan, dll.
Sementara Lucas tidak memegang senjata apa pun. Dia hanya
memandori para doppelganger.
Tameng hanya bisa bertahan beberapa kali dari serangan. Riven sudah
tahu setelah membaca pikiran Varaz. Maka dari itu, dia kembali
menyuruh sepuluh orang doppelganger untuk menyerang tubuh ular
tersebut. Lima orang lain dipinta untuk melihat situasi, sedang Riven dan
sisa doppelganger bersama-sama menceburkan diri ke laut. Mencari
kepala dari sang monster yang sampai sekarang tidak timbul ke
permukaan.
Di dalam air, Riven dan yang lainnya bisa bernapas sampai dua jam saja.
Itu karena Varaz telah memberikan buah Watar, buah sihir yang
memungkinkan seseorang bernapas dalam air. Kesempatan singkat
harus dipakai matang-matang oleh Riven. Dia harus segera membunuh si
monster dan melanjutkan perjalanan.
“Sial! Jadi ... inilah monster yang sudah menyerang kami,” pikir Riven
yang saling bertatapan dengan sang monster ular berkepala ikan hiu
putih.
“Ya, itu aku, Pyark, Helt. Kalian tidak boleh ke pulau Lotus.”
“Kau ... pasti anak buah si pengendali black death! Kami akan
mengalahkanmu! Pulau Lotus adalah wilayah kerajaan kami!”
“Apa? Kau salah besar, Helt. Pulau Lotus adalah milik kami! Manusia
memang serakah! Aku tidak akan membiarkan kalian menginjakkan kaki
di pulau kami!”
“Iya. Jadi, saat salah satu doppelganger-ku ada yang mati, rambutku
akan rontok sendiri,” jelas Lucas.
Lucas langsung memeluk erat Riven sambil menangis. “Huaa! Aku ...
kehilangan dua puluh doppelganger karena semburan cairan hitam dari
tubuh monster itu, Riven!”
“A-pa?! Terus, kita sekarang hanya memiliki lima belas orang saja?!”
Riven menyipit setelah melihat sisa doppelganger milik Lucas. Jumlah
yang ada malah kurang dari lima belas orang.
“Kau yakin kembaran bancimu tinggal lima belas? Kalau begitu, kenapa
yang kuhitung cuma sepuluh orang, hmm?” tanya Riven dengan nada
tidak bersahabat.
Lucas melepas pelukan. Mata ikut menyipit, jari telunjuk menunjuk satu
per satu doppelganger demi menghitung ulang.
“Hee?! Bohong! Terakhir kuhitung ada lima belas, sumpah!” pekik Lucas
tidak percaya.
“Oh! Ehh ... aku ... baru ingat ... hehe!” Lucas tertawa innocent di
hadapan kedua temannya. Segera, Riven meninju wajah Lucas berulang
kali sampai bengkak dan pemuda itu pingsan.
“Aku tidak percaya banci itu begitu bodoh dan ceroboh. Harusnya aku
tidak meninggalkan kapal ini dan melawan Pyark,” ucap Riven.
“Pyark? Apa itu nama monster yang menyerang kita ini?” tanya Varaz.
“Ya. Dia monster ular python berkepala hiu putih yang bisa membaca
pikiran, sana sepertiku. Sungguh, musuh kali ini agak sulit kuatasi, Varaz.
Untuk itu, kau harus berhati-hati dalam bertindak. Jangan pikirkan apa
yang hendak kau lakukan,” jelas Riven serius.
“Baiklah. Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” Riven menatap
lekat Varaz dan memerintah, “Tolong ambilkan buku atau selembar
kertas kosong dan pena!”
Part 4
“Bocor! Bocor!”
“Berisik, Burung Gendut! Cepat terbang dan cari bantuan agar aku tidak
tenggelam!”
“Hah?! Mana sudi aku menolong orang yang selalu mengataiku ‘burung
gendut’!”
“Kau!”
Tobias menyeringai melihat ke depan. Ada sebuah kapal besar sepuluh
meter dari tempatnya berada. Dia meregangkan tubuh untuk
pemanasan sebelum akhirnya melompat ke dalam air. Meninggalkan
perahu tua yang bocor dan hanya menyisakan dua sampan
mengambang. Fura bercuit, mengomel pada Tobias yang sudah
berenang menjauh meninggalkannya.
Fura mendelik panik saat tahu siapa yang ada di dalam kapal tersebut. Ia
terbang rendah, hinggap di kepala Tobias yang sedang memanjat naik.
“Tobias! Kuku! Berhenti! Ini kapalnya para helt! Nanti kita bisa
dibunuh!”
“Terus? Kau mau aku melakukan apa? Loncat lagi? Berenang lagi? Tidak!
Bisa mati tenggelam kalau berenang dari sini sampai ke pulau!”
“Tapi!”
“Keren! Besar! Gagah!” pekik Tobias dengan mata berbinar. Varaz dan
Riven menoleh bersamaan ke belakang. Mereka terbelalak, mundur
beberapa senti dari Tobias. Sikap kuda-kuda siap menyerang
diperlihatkan dibarengi tatapan tajam menusuk.
“Kami tahu, pasti kaulah otak dari penyerangan kapal kami! Kau yang
telah memerintahkan Pyark untuk menghalangi jalan kami ke Pulau
Lotus!” sentak Varaz kesal.
“Huh?” Tobias menelengkan kepala. “Pyark? Maksudmu monster keren
ini? Tidak. Aku hanya ingin menumpang saja. Perahuku bocor. Btw,
tujuan kita, kok, bisa sama, ya? Hmmm ... inikah yang disebut takdir?”
Riven melesat menyerang Tobias dengan pedang sihir. Varaz juga tidak
berdiam diri. Gadis itu merangkai puluhan bunga Molinga, menjalin
tangkai per tangkai dengan sihir sehingga membentuk sebuah tali.
“K-k-kau!”
“Dari Tobias. Waktu itu dia memanggilmu begitu, ‘kan? Jadi, kalian
sedang apa di sini?” Yordan mengelus kepala Fura dengan jari telunjuk
sampai burung itu gemetaran.
“S-so? Kalian juga ingin mengambil batu itu? Untuk apa? Apakah sang
raja juga perlu menghidupkan seseorang?” tanya Fura gagap.
“Tidak. Dia bilang, batu pusaka itu milik kerajaan Matilda. Dia menyuruh
kami berempat untuk mengambil batu tersebut yang sekarang berada di
tangan bos besar pengendali black death,” jawab Yordan.
Fura diam berpikir. Dari semua sejarah tentang black death yang dia
tahu, bos pengendali black death adalah Illiyos. Pemuda yang
merupakan kakak kandung Tobias. Jika masih ada bos di atas bos
pengendali black death, maka orang itu pasti ... Tobias.
“Bukan? Lalu, siapa yang selama ini mengendalikan monster black death
setelah kematian Illiyos?”
Kepala Fura resmi terbelah secara imaginer. Dia berteriak, merasa gila
jika terus menggali menemukan siapa sebenarnya si pengendali black
death. Yordan tersenyum tipis menanggapinya.
“Fura, kuncinya hanya pada Tobias. Aku pun tidak tahu siapa si
pengendali black death yang sebenarnya. Aku hanya ingin mengatakan
kebenaran yang kurahasiakan dari teman-temanku. Aku sebenarnya
datang untuk membantu Tobias mengambil kekuasaannya lagi.”
“Tepat, tapi bukan hanya itu saja tugasku. Aku punya tugas lain yang
tidak boleh dikatakan pada orang lain termasuk juga Tobias.”
“Oh ....”
Fura menunduk lesu, sedang Yordan mulai melangkah pergi
meninggalkannya menuju arena pertarungan. Dia berhenti di tempat.
“Repeat Cease.”
Waktu mundur dua kali lebih cepat dan kembali dimulai ketika Riven dan
Varaz sibuk berdiskusi untuk mengalahkan Pyark.
“Begini. Nantinya, kau harus mengikat tubuh Pyark dengan tali dari
rumput laut sihir buatanmu. Terus--”
“Eh?! Ke mana monster itu?! Tadi ... tadi dia masih ada di sana!”
Riven berdiri tegang. Mata melebar hampir keluar melihat bagian layar
dan tiang kapal yang masih pada tempatnya. Tubuh ular hitam yang
membelit bagian tengah kapal hilang entah ke mana bagai trik sulap.
“KAU! APA YANG KAU LAKUKAN TADI?!” Riven menarik kerah jubah
putih Yordan.
“Hehe! Anu ... perahuku bocor dan tenggelam. Aku mau menumpang di
kapal ini, boleh?”
Tobias menopang dagu, lalu melirik penuh selidik pada Yordan. “Apa kita
pernah melakukan percakapan seperti ini sebelumnya? Mengapa aku
merasa seperti dejavu?”
“Kau bisa bersembunyi di gudang ini. Sekitar satu jam lagi, kita akan
sampai di Pulau Lotus.”
“Oke, terima kasih! Tapi ... kok bisa, ya, kita punya tujuan yang sama?
Btw, siapa namamu, Ksatria?”
“Yordan.”
Tobias masuk ke dalam gudang bersama Fura. Dia duduk di atas kotak
kayu berdebu sembari merenung memikirkan sesuatu. Nama ksatria
albino menjadi perhatiannya. Dia seperti pernah mendengar nama itu
disebutkan oleh seseorang, tetapi dia masih belum mengingat siapa
orang tersebut.
***
Kapal merapat di dermaga kecil. Empat ksatria turun dan disambut angin
dengan wangi bunga teratai yang ikut serta menerbangkan ratusan
kelopak bunga berwarna putih. Mereka dengan mantap berjalan lurus
memasuki rimbunnya pepohonan pinus raksasa.
“Fura, setelah misi ini selesai, kita tinggal di sini, ya,” tutur Tobias.
“Kuku! Kuku! Mati saja kau!” Fura pergi setelah memberikan hadiah
istimewa di pundak Tobias. Pangeran Skotadi langsung berteriak marah.
Teriakan keras mampu menghentikan langkah keempat ksatria. Tiga dari
empat ksatria menoleh ke belakang, lain halnya dengan Yordan. Dia
mengembuskan napas lelah. Seseorang yang dia lindungi dari teman-
teman ksatria sepertinya memang susah diajak bekerjasama.
“Sedang apa kau di sini?! Apa kau pemilik pulau Lotus? Yang telah
mencuri benda berharga milik kerajaan?!” tanya Varaz. Gadis itu sudah
menggunakan sihir tumbuhannya dengan menumbuhkan Molinga
mengelilingi mereka.
“Benar rupanya. Kau orang yang telah mencuri benda berharga milik
kerajaan Matilda. Sekarang, serahkan batu itu pada kami atau nyawamu
melayang!” pinta Riven paksa.
“Kau tuli? Siapa yang mencuri batu itu! Aku saja baru tahu sekitar
seminggu yang lalu! Aku juga mencarinya! Sama seperti kalian! Eh ...
omong-omong, tahun lalu, informasi seperti itu tidak ada dalam misi
kami? Ini aneh, loh. Apa Raja Oscar perlu menghidupkan seseorang yang
penting untuknya sampai harus menyuruh kalian untuk mengambil batu
itu di pulau ini?” Tobias mengelus dagu berpikir.
“Ya ampun! Kau ini ksatria atau perampok, hah?!” balas Tobias kesal.
Adu mulut berhenti karena suara retakan yang mirip retakan cangkang
telur. Mereka kompak melihat sekitar, lalu memucat. Puluhan telur
besar retak bersamaan, memunculkan seekor burung yang bernama
Flamingo. Sosok burung pink seukuran anak gajah berkoar serentak
ketika melihat mereka. Para bayi burung kompak melepaskan diri dari
cangkang telur dan berlari ke arah mereka.
“Ayo! Sekarang! Mereka itu bukan burung biasa! Aku bisa membaca isi
pikiran mereka! Mereka menganggap kita makanan yang ditinggalkan
dari ibunya!” Tobias menjerit, lari sekencang mungkin dari sana. Fura
mengikuti sambil mengomel.
“Uhuk! Sepertinya, dia adalah induk para bayi. Apakah kita juga akan
membunuhnya?” tanya Varaz.
“Tentu saja harus! Aku yakin, pasti dia adalah pengawal si pengendali
black death itu! Buktinya, mereka pergi dan para bayi Flamingo
menyerang kita!” seru Lucas.
“Tapi ... rasanya ini aneh. Ciri khas monster yang merupakan anak buah
si pengendali black death selalu berwarna hitam. Flamingo ini punya
warna yang normal,” ucap Riven.
“Bisa saja mereka mengecat tubuh mereka menjadi warna pink! Lagi
pula, lihat! Ukurannya tidak normal untuk seekor Flamingo!” bantah
Lucas.
“Apa yang kau bicarakan, Yordan? Kau ... menyembunyikan sesuatu dari
kami?” Riven beralih menatap curiga Yordan. Pemuda albino balas
menatap datar, kemudian kembali menatap lurus burung Flamingo yang
ada di hadapan mereka. “Tidak,” jawab Yordan, datar seperti biasa.
“Riven, kau dan Varaz tunggu saja di sini sementara kami menyerang.
Jika ada kesempatan, segera serang burung itu,” ujar Lucas bertelak
pinggang.
“Kenapa kau sangat membenciku, Riven,” rengek Lucas. Dia pun segera
melesat masuk ke barisan formasi sepuluh doppelganger lainnya.
Mereka sekarang membentuk lingkaran mengelilingi si Flamingo
Raksasa.
“D-1, D-6! Serang!” Pemilik senjata trisula api mengarahkan api besar ke
arah Flamingo dibarengi tembakan dari si pemilik ketapel angin yang
memunculkan tornado. Menjadikan api semakin membesar menyelimuti
sekujur tubuh Flamingo.
Lucas geram. Karena begitu api menghilang, burung pink raksasa masih
ada di tempatnya tanpa terluka secuil pun. Dia kembali mengomando
doppelganger yang tersisa. “D-3, D-7! Giliran kalian!”
“Ya, Kapten!”
Boom!
“Dasar pembunuh! Pergi dari pulauku! Jika kalian datang lagi, maka aku
akan membunuh kalian!” pikir si burung.
Riven terbelalak mendengar pikiran si burung Flamingo. Ketika hendak
berbicara, itu terputus karena dia telah jatuh ke dalam air laut. Dia dan
teman-temannya sekarang berada cukup jauh dari garis dermaga pulau.
“Riven! Riven! Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Lucas yang
tubuhnya timbul tenggelam di air.
“Apakah ... Anda juga ke pulau Lotus ini untuk mencari batu permata
itu? Kau ... penghuni pulau ini?” tanya Riven dengan tampang bodoh.
“Hah?! Kau gila, Nak? Ini wilayah utara kerajaan Matilda. Dermaga
Northypin. Btw, di mana kapalku?” Penjelasan si petugas pelabuhan
membuat ketiga ksatria berteriak syok.
“Ini ... bohong! Teman-teman, aku benar-benar yakin sekilas kita hanya
jatuh beberapa meter dari pulau Lotus! Ini mustahil! Seperti ada yang--”
Riven berhenti berucap. Matanya melirik ke segala arah mencari orang
aneh itu. Dia menggeram melihat orang itu sudah naik ke atas jembatan
kayu. Riven langsung menyusul naik ke permukaan. Melesat dan
mencengkeram kerah jubah putih basah pemuda albino.
“KAU! INI PASTI ULAHMU, BUKAN, YORDAN! KAU PASTI ANAK BIAH DARI
SI PENGENDALI BLACK DEATH!”
Part 5
Yordan sungguh kesal pada sikap seseorang yang menyebut diri mereka
adalah ksatria. Dia paham seperti apa itu manusia. Hanya berpikir secara
sederhana dalam menyelesaikan masalah. Bunuh atau kabur.
Menurutnya, daripada membunuh, mengapa tidak melarikan diri saja
seperti Tobias.
Untuk itu, dia memutuskan menggunakan kemampuan supernaturalnya
lagi. Dia memercik air laut dengan kedua tangan, lalu mengucapkan kata
itu.
•••
Lucas mengerjap bingung. “Sihir? Hmmm ... oh! Yang itu, ya! Itu keren,
loh!”
“Tentu saja! Di battle pertama, aku melawannya satu lawan satu. Dia
pengguna teleportasi. Aku sampai bingung kenapa dia bisa merebut
pedangku dan langsung mengarahkannya di leherku. Doppelganger-ku
juga dia pindahkan entah ke mana,” terang Lucas. Agak sedikit sedih
mengingat sehelai rambutnya yang hilang entah ke mana.
“Begitu, ya. Itu sangat ... luar biasa. Kekuatanmu bahkan lebih unggul
daripada Ksatria Fixtra. Jadi, kau bisa men-teleport orang dan benda
sesuai keinginanmu, ya?” tanya Varaz.
***
“Aku juga tidak tahu, Tobias. Ini semua karena kesalahanmu! Kita
sepertinya tersesat.”
“Enak saja! Ini salah si burung raksasa itu, tahu! Eh ... hmm ... jika dipikir-
pikir, ini semua salah empat ksatria. Mereka kejam sekali membunuh
bayi burung yang baru lahir.”
“Oh, seperti itu. Tapi ... bukankah hanya bahasaku yang kau mengerti?
Mengapa kau bisa mengartikan bahasa induk flamingo?” tanya Fura
penuh selidik.
“Eh?! Itu kau rupanya, Kelinci Kecil!” pekik Tobias senang. Dia melesat
menangkap kelinci tersebut ke dalam pelukannya.
“Wuaaa! Lepaskan aku! Ini pelecehan namanya!” ronta si kelinci
meminta dilepaskan.
“Tobias, kita harus fokus pada misi kita! Ayo kita temukan batu permata
itu!” tegur Fura.
“Kau juga tahu tentang batu itu? Apa ... tujuanmu juga sama seperti
para ksatria yang datang ke sini?” tanya Fura.
“Jadi ... batu itu tidak benar-benar bisa menghidupkan orang mati ...?”
Tobias terduduk lemah bersandar ke batang pohon. Dia tidak percaya
semua yang dilakukannya hanya sia-sia.
“Tidak ... mungkin ....” Fura menunduk dalam penuh kesedihan. Dari
awal, seharusnya dia tidak percaya begitu saja pada perkataan merpati
tukang gosip.
“Ninkuru, aku benci seorang pembohong. Tapi ... aku lebih membenci
jika harus mengotori tanganku untuk membunuhmu. Aku ... tidak ingin
membunuh seorang teman dengan kekuatanku,” tutur Tobias lembut.
“Tapi ... aku adalah monster ... junior master ... black death dan ... kau ...
helt?” Ninkuru menatap tidak percaya pada ucapan Tobias.
“Aku ....”
“Ya. Aku merasakan ada sihir kuat dari arah dua pohon beringin kembar
itu,” balas Fura.
“Siapa di sana?”
Tobias berhenti di tempat. Kaki mati rasa, lidah kelu untuk bicara. Sang
Flamingo raksasa semakin berenang mendekat ke daratan. Iris hijau
emerald besar masih menatap ke arah Tobias. Menghadirkan lebih
banyak tekanan untuknya. Seumur hidup, Tobias belum pernah merasa
takut pada monster atau musuh apa pun. Akan tetapi, pertemuan ini
menjadi bukti bahwa dia bukan satu-satunya makhluk terkuat.
“Oh, begitu. Dan burung kecil biru ini?” Fura langsung merespon. “Aku
Fura. Aku hanya mengantar Tobias kemari. Aku juga punya tujuan yang
sama, Tuan Flamingo.”
“Ya, terpaksa. Karena ada tamu yang datang. Mereka seorang ksatria
dan burung kecil biru. Tobias dan Fura,” jelas Greater.
“Kuku ... itu salahku yang tidak meminta Tobias untuk menyampaikan
perkataanku pada mereka. Aku malah memaksanya untuk pergi dari
sana saat telur-telur itu menetas. Maafkan Fura, Nyonya Greater.” Fura
bercuit sedih.
“Kalian harus tahu. Agatha, Ratu Flamingo yang adalah istriku ini sudah
lima tahun menantikan kehadiran bayi-bayi Flamingo. Dan ... yang
kalian cari ada pada Agatha. Tepat dalam jantungnya,” tutur Greater.
Tobias dan Fura menegang. Mulut terbuka lebar tanpa ada satu pun
suara yang keluar. Keresahan dan keraguan muncul di hati mereka.
Mereka sama-sama memikirkan hal yang sama. Tidak mungkin mereka
membunuh Ratu Agatha setelah ia kehilangan semua anak-anaknya.
Mereka tidak mau Greater kesepian tinggal di pulau ini tanpa seorang
istri dan anak. Mereka sudah mengalaminya. Hidup sendirian itu tidak
enak.
Tobias dan Fura sama-sama terperanjat. “Ti-tidak! Anu ... kami ...
mmm ... sebenarnya ....”
“Jika kau mau, ambilah! Belah dadaku, ambil jantungku! Batu itu ada di
jantungku,” suruh Agatha, maju selangkah ke depan Tobias.
“Fura, ayo pergi dari sini!” ajak Tobias. Fura membungkuk hormat ke
arah Greater dan Agatha. Baru dua langkah, Tobias berhenti dan
menepuk jidat. Dia menoleh ke belakang, mulai berbicara pelan.
“Tuan Greater ... itu ... perahu kami tenggelam. Kami tidak bisa pulang
sekarang tanpa perahu dan aku yakin, kapal para ksatria tidak mungkin
kami curi. Jadi ..., bisakah Anda membantu kami?”
“Kau ini hobi sekali merepotkan orang lain. Memangnya kenapa kalau
mencuri kapal mereka? Toh, mereka bisa pakai sihir untuk pulang atau
berenang sampai ke dermaga,” bisik Fura.
“Eh? Kau bisa kejam juga, ya, Fura. Tidak. Aku tidak ingin mereka mati
tenggelam karena berenang berjam-jam. Bagaimana pun juga, mereka
adalah para ksatria, perwakilan kekuatan manusia yang akan
membantuku mengalahkan si pengendali black death. Lagi pula, aku
tidak mau orang yang menyelamatkanku waktu itu mati,” balas Tobias.
“Kalau seperti itu, baiklah. Aku akan membantu kalian,” kata Agatha.
“Ah! Aku baru ingat! Yang Mulia Ratu, ada seorang teman yang masih di
luar danau ini. Aku juga ingin dia ikut bersama kami, boleh?” tanya
Tobias.
“Tentu. Mari kita keluar dari danau.”
“Kuku! Kau pun juga sama sebenarnya, ‘kan? Kelinci hitam raksasa?”
“Ya, tapi sekarang tubuhku jadi kecil lagi karena kekuatanku habis, Fura!
Btw, di mana Tobias?”
“Tentu saja! Kau kan temanku, bukan begitu, Fura?” Tobias melihat ke
arah si burung biru. “Kuku~ itu benar meskipun aku agak jijik dengan
warnamu. Tapi mulai sekarang, kau adalah bagian dari tim kami,” ucap
Fura.
“Terima kasih banyak ..., Teman.” Ninkuru tidak bisa lagi menahan
tangis. Baru kali ini ada yang menganggapnya seorang teman. Dan
hebatnya, orang itu adalah seorang helt.
***
“Kami mohon, Pak! Antar kami ke Pulau Lotus! Uang dan barang-barang
kami ada di sana! Kami janji akan membayar--”
“Tapi--”
“Benar, tuh! Sudah sehari ini kita mengais tempat sampah demi roti
sisaan, kau tahu? Perutku bisa bermasalah kalau terus begini!” tambah
Lucas, merengek memegangi perutnya.
Bagi Yordan, itu semua tidak penting. Masalahnya sekarang hanya dua.
Bagaimana tanggapan Raja Oscar tentang kegagalan mereka? Dan ... apa
Tobias dan Fura berhasil mendapatkan batu permata Moisavind? Yordan
selalu memikirkan hal itu.
Riven maju ke hadapan Raja Oscar sambil berlutut dengan satu kaki.
“Maaf jika kedatangan kami mengganggu waktu Anda, Yang Mulia. Kami
kembali karena ada beberapa masalah dalam misi khusus dari Anda.
Ketika kami menginjakkan kaki ke pulau itu, Ratu penguasa di sana—
flamingo raksasa—menyerang kami dan ... kami tiba-tiba terpental
kembali ke dermaga Northypin.”
“Kalian tidak perlu lagi melanjutkan misi khusus dariku. Karena batu
Moisavind sudah ada di tangan si pengendali black death.”
“Maafkan kami, Yang Mulia Raja Oscar! Kami berjanji akan merebut
kembali batu itu jika kami bertemu dengannya lagi!” Riven bersimpuh di
hadapan Raja Oscar diikuti tiga ksatria lain.
“Bangunlah, Para Ksatria!” Mereka berdiri lagi menatap Raja Oscar. “Aku
akan memberikan lagi sekantung koin emas senilai lima ratus keping
untuk kalian. Fokuskan pada pemusnahan black death! Masalah batu
Moisavind, kalian bisa mengambilnya lain waktu,” katanya sambil
memperlihatkan wajah sedih.
Tobias akhirnya sampai di sana. Kampung halaman gadis yang dia cintai.
Seharusnya, dia merasa senang karena telah membawa batu permata
Moisavind ke sini. Akan tetapi, batu tersebut masih ada dalam jantung
sang Ratu Flamingo. Pemuda itu tahu, takdir kematian memang tidak
seharusnya dihancurkan. Orang mati tidak bisa dihidupkan kembali.
Fura tidak jauh dari Tobias. Burung biru kini bisu. Tidak cerewet dan
terus bercuit seperti di perjalanan tadi. Ninkuru sedikit mengerti
perasaan mereka berdua setelah mendengar cerita itu di sepanjang
perjalanan. Kelinci itu sebenarnya juga tertarik pada batu tersebut. Ia
juga punya seseorang yang ingin dihidupkan.
“Ini ... apa?” Tobias menatap heran benda putih padat bercahaya
berbentuk mirip tetesan air mata.
“Ini hadiahmu. Ini benih teratai. Tanamkan pada kuburan orang yang
kau cintai. Selamat tinggal, Tobias, Fura, dan Ninkuru.”
“Bodoh! Kenapa tidak kau cegah sang ratu tadi! Tanyakan padanya
maksud dari perkataannya tadi!” teriak Fura.
“Eh? Arrghh! Sialan! Aku terlalu asyik berpikir. Maaf, Fura! Aku ...
arrghh! Sudahlah, mari kita lihat apa yang terjadi jika kita menanam
benih ini di kuburan Daenrys!” Fura berdecak sebal. Terus mengomeli
Tobias sepanjang jalan menuju makam Daenrys. Ninkuru mengikuti
sambil menyemili rumput liar yang tadi dicomotnya dari hutan.
Pemakaman desa Slav sangat luas, tetapi jumlah makam di sini sangat
sedikit. Semua karena para penduduk selalu memakan sayur-mayur dan
sangat jarang sakit. Penjahat atau perampok di desa ini tidak ada sama
sekali. Itu juga yang menyebabkan angka kematian karena kriminalitas
nihil.
Langkah kaki pangeran Skotadi berhenti tepat di depan batu nisan usang
penuh bekas sayatan dan bolong-bolong. Seperti sering dikapak, ditusuk
obeng, dan jarang sekali dibersihkan. Beruntungnya, masih ada yang
berziarah ke makam malang ini dari bekas bunga kering yang terserak di
bawah nisan.
“Kukhuhu ... Rys, aku ... sangat merindukanmu. Aku masih belum
percaya kau telah pergi meninggalkanku.” Fura menangis, bertengger di
batu nisan Daenrys.
“Aku ju-ga tidak tahu. Mungkinkah itu ... ular?!” Dugaan Fura malah
semakin membuat Ninkuru meringkuk menjadi bola. Pelan-pelan, Fura
terbang rendah ke pundak kanan Tobias. Ia berbisik di telinganya.
“Anjirr! Tobias, ini serius! Buka matamu dan lihat ke samping kirimu!
Ada sesuatu yang besar yang tertutup selimut.”
Dengan penuh hati-hati, Tobias menyibak selimut itu. Saat selimut jatuh
ke tanah, dia melihat pemandangan vulgar. Di mana seorang wanita
berambut cokelat sepunggung telanjang memeluknya.
“Ungggmm ... Tobias? Kau sudah bangun?” Gadis itu duduk tepat di atas
barang yang mudah menggembung. Dia menguap sambil mengucek
mata.
Mau tak mau, Tobias mengintip dari sela jari. Dia terhenyak, dua tangan
terlepas dari mata, beralih membawa gadis itu dalam pelukan erat.
“Tobias, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi ... aku senang kita bisa
bersama lagi. Aku juga sangat mencintaimu,” ucap Daenrys.
“Kuku! Kuku! Masih pagi sudah mesum! Dasar lelaki!” omel Fura.
“Kuku~ aku pun begitu, Rys. Aku senang kau hidup kembali! Berarti
benih teratai itu yang sudah menghidupkanmu!” celoteh Fura.
***
Sang ibu menjawab murung. “Dia sedang bekerja di rumah Sir Yakub.
Menangkap tikus seperti biasanya.”
***
***
Empat ksatria melanjutkan perjalanan sehabis bermalam di desa Lovut,
sebelah timur desa Avar. Mereka kini harus melewati desa Avar. Desa
yang menjadi saksi bisu awal penyerangan black death. Badai hitam yang
merusak alam dan bisa membunuh manusia. Badai tersebut
dikendalikan oleh satu makhluk dunia lain. Dialah si pengendali black
death. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya dan
dari mana asalnya.
“Sebentar lagi, kita akan melewati desa Avar. Tetap waspada dan jangan
lengah, Teman-teman,” ucap Riven mengingatkan.
Riven merasa agak mengantuk. Dia sempat berkedip, lalu terjaga lagi
untuk melihat semua rekannya. Mereka masih ada di tempat. Akan
tetapi, dia merasa janggal pada kondisi sekitar. Ketika hujan berhenti,
sesuatu terjadi. Dia melihat ada sekumpulan titan hitam datang dari
jantung hutan menuju ke arah mereka.
“Aku juga tidak bisa membelit mereka semua dengar sulurku! Keluarkan
sekarang, Lucas!” Varaz berkomentar sambil membuat barrier di
sekitarnya.
Bruukk! Crassshh!
Seperti slow motion. Riven, Varaz, dan bahkan Yordan ternganga melihat
kejadian naas itu. Melihat temannya mati terinjak kaki titan hitam.
Tubuh si ksatria banci hancur berdarah-darah, rata dengan tanah.
“Repeat Cease.”
Sementara di sisi lain hutan yang sama, Tobias, Fura, Daenrys, dan
Ninkuru berkuda santai menapaki hutan yang sepi. Daenrys merasakan
ada yang berbeda dari udara di sini. Terasa lebih dingin membuat
merinding.
“Kalau begitu ... MATILAH KALIAN SEMUA!” Sosok itu melesat, menarik
pedang ganda berwarna monokrom. Ujung tajam hampir mengenai
leher Tobias kalau tidak pemuda itu tahan dengan black sword. Tobias
melompat dari kuda, maju ke depan untuk menyerang balik. Black
sword menggores jubah, merobek jubah tersebut hingga jatuh ke tanah.
Sosok dalam jubah pun terungkap. Syok datang melanda Tobias dan
Daenrys yang ada di belakang. Wajah itu sangat mereka kenal.
“Heh! Kekuatanmu tidak akan bisa membunuhku, Tobias! Aku waktu itu
hanya pura-pura mati.”
“Kau ... bukan Granyof! Kau tidak memiliki aura Granyof! Siapa kau
sebenarnya?!” seru Daenrys.
“Apa maksudmu, Daenrys? Kau ... bisa melihat aura milik seseorang?!”
Teriakan Tobias yang syok ikut membuat Daenrys terkejut. Gadis itu juga
bingung dengan apa yang dilihat dan dipikirkannya.
“Aku juga tidak tahu, Tobias. Setelah melihat Granyof beberapa kali, aku
melihat ada asap hitam di sekitar tubuhnya. Aura itu kurang lebih mirip
sepertimu. Itu juga yang kupikirkan. Aku kira ... Granyof adalah manusia
yang tentunya ... tidak memiliki aura yang mirip denganmu,” terang
Daenrys.
Granyof tiba-tiba tertawa lepas. “Aku ketahuan, ya. Hmmm ... aku tidak
tahu ternyata kemampuan sihirmu meningkat setelah dihidupkan
kembali, Daenrys.”
“Jadi, kau mengaku pada kami kalau kau bukan Granyof? Siapa kau!
Tunjukan wujud aslimu!” sentak Tobias.
“Aku ....” Sinar hitam terang menutupi tubuh sosok yang mengaku
sebagai Granyof. Selanjutnya, terlihatlah sosok yang tidak asing untuk
Tobias, Fura, dan Ninkuru.
“Kau benar, Juniorku. Namaku Lucas Miranda. Atau kalian bisa panggil
aku sebagai ... Jenderal baru pengganti Illiyos, pemimpin pasukan black
death,” ujarnya seraya menyeringai.
“K-kau! Jenderal Lucas yang itu?!” pekik Ninkuru heboh. Dia mundur
cepat, bersembunyi di belakang kuda. Fura yang ada di atas punuk kuda
meneleng heran.
“Ninkuru, kau bukan lagi bagian dari pasukan black death. Kau adalah
penghianat!” tutur Lucas.
Duarr!
Part 7
“Sial! Sudah kutebas berulang kali, tapi tetap saja mereka semua hidup
lagi! Apa kelemahan mereka!”
“Ap--” Hidung Riven dijepit jari Yordan. Raungan marah keluar, Riven
hampir menonjok wajah Yordan sampai semua itu diurungkan. Mata
tidak sengaja melirik ke arah para titan hitam. Mereka kini menghilang
secara ajaib dari pandangan.
“Inilah yang kita lihat secara nyata, Riven. Karena para titan hitam itu
hanyalah wujud yang terbentuk dari halusinasi kita. Dan penyebab kita
mengalami halusinasi itu tak lain karena tumbuhan aneh berbunga ungu
yang tumbuh di salah satu dahan pohon tempat kita berteduh.” Yordan
menjelaskan sambil menunjuk ke arah salah satu pohon dengan tangan
kiri.
Rahang Riven kaku untuk bergerak. Dia berkata putus-putus. “Varaz ...
benarkah ... itu ...?”
“Untuk siapa?! Mengapa kau tega melakukan ini pada kami!” teriak
Riven marah.
Varaz menyeringai. “Untuk kaptenku tercinta, pemimpin pasukan black
death, Lucas Miranda. Sungguh helt yang malang. Kau begitu mudahnya
percaya pada kami berdua. Yang mati tadi sebenarnya hanya
doppelganger Lucas. Dasar bodoh ... hahaha!”
“Apa pentingnya buatmu? Juga ... siapa sebenarnya kau! Aku dan kapten
sangat yakin kau bukanlah manusia!” Varaz maju selangkah demi
selangkah menuju keduanya.
“Siapa ayahmu? Dari mana asalmu? Tugas khusus apa itu?” cecar Varaz.
“Sebenarnya itu rahasia, tapi karena kau telah berbaik hati membongkar
rahasia sendiri, aku akan membongkar sedikit rahasia juga. Dengar baik-
baik dan sampaikan pada bos besarmu, si pengendali black death.” Riven
mengernyit saat tangan Yordan bertengger di pundak kanannya. “Aku
berasal dari kerajaan Foteino. Tugasku adalah membantu Tobias,
Pangeran kerajaan Skotadi untuk merebut kembali tahtanya,” lanjutnya.
“Repeat Freeze.”
“Tobias, apa yang harus kita lakukan sekarang?! Musuh kita sangat
banyak, tidak sebanding dengan kita!” pekik Daenrys panik.
“Kuku! Aku belum kawin! Dewa, aku belum ingin mati muda!” Fura ikut
bercuit frustasi.
“A-ku ... tidak mungkin bisa mengalahkan mereka, Tobias. Meskipun aku
cukup tahu seperti apa strategi Jenderal Krovirbro,” ucap Ninkuru,
bersembunyi ketakutan di belakang kaki Tobias.
“Katakan, Ninkuru. Apa srategi mereka? Dan ... bagaimana caranya agar
kau bisa kembali ke wujudmu yang semula?”
“Oh!” cetus Ninkuru, “aku bisa kembali ke wujud asal dengan bantuan
masterku, si pengendali black death. Itu semacam ... pentransferan
energi. Aku tidak yakin kau setuju membiarkanku pergi memelas
kepadanya, ‘kan?”
“Benar. Aku tidak ingin kau melakukan hal bodoh seperti itu. Si
pengendali bisa saja malah membunuhmu atau memanfaatkan
pertemanan kita untuk mengetahui kelemahanku,” ujar Tobias.
Daenrys berjingkat berteriak tertahan. “Kau! Tobias ... setelah dua tahun
tidak bertemu, aku tidak menyangka kau akan tumbuh sepintar ini?!”
Tawa si burung biru terhenti. Ia mulai merengut sebal. “Aku hanya tidak
percaya ternyata seorang pangeran kerajaan Skotadi itu pintar.”
“Dengar, aku tahu apa yang harus kulakukan. Dan Ninkuru, apa kau
sanggup melakukan serangan yang dulu kau terapkan padaku dalam
kondisi seperti ini?”
“Kalau hanya menggali puluhan lubang, aku sanggup. Tapi lubang itu
mungkin tidak sebesar lubang waktu itu dan pergerakanku tidak begitu
cepat.”
Satu per satu dari mereka Ninkuru lawan. Kelemahan mereka terletak
pada ibu jari tangan kanan yang berwarna putih kecokelatan seperti kulit
manusia. Ninkuru sudah diberitahu tentang itu dari pelatih pasukan
black death. Dia hanya perlu memutuskan ibu jari tangan kanan mereka.
Hanya dalam setengah jam, puluhan prajurit zombie mati. Tubuhnya
berubah kembali menjadi tengkorak manusia. Misi pertama selesai.
***
“Eh?"
“Uh?"
“Aku ... ragu bisa melakukannya. Lagi pula ... BERHENTILAH MENATAP
KEKASIHKU, KAKEK TUA!” Tobias meraung marah.
“Siapa kau? Aku tidak ingat pernah punya teman sedatar teplon
sepertimu,” cibir Tobias.
“Aku Yordan, teman masa kecilmu. Ah, yang terpenting, ayo kita
menyingkir dari sini! Kemampuanku hanya bertahan sampai tiga menit
lagi,” ajak Yordan.
Dari situ, Jenderal Krovirbro yakin ada campur tangan orang asing yang
membantu Tobias. Dia memerintahkan para monster beruang dan naga
hitam berpencar menyisir hutan mencari keberadaan mereka.
“Sepertinya, Ninkuru telah berjuang begitu banyak untuk kita. Lihat ...
hiks ... prajurit zombie sebagian besar telah menghilang. Padahal, aku
sudah menyiapkan hadiah untuk kelinci kecilku yang menggemaskan
itu ... hiks!” Tobias menangis sedih. Dia mengeluarkan sebuah wortel
jumbo dari balik jubah.
Tobias menopang dagu, menatap dari atas ke bawah sosok itu. Keraguan
muncul di hatinya, menghadirkan respon desahan frustasi dan gelengan
kepala dari Daenrys dan Fura.
“Nah, ini dia! Idiotnya Tobias muncul lagi!” Daenrys menyambangi sang
kekasih, “Tobias, ini wujud asli Ninkuru. Bukankah kau dan Fura pernah
melihat dan bertarung dengannya dalam bentuk ini?”
“Oh, iya! Hahaha! Aku ... baru ingat.” Tobias tertawa innocent.
“Fixtra ... aku tidak menyangka dia bergabung pada black death,” tutur
Tobias.
“Aku pikir, dia gadis yang baik,” ucap Daenrys sedih. Teringat kenangan
dua tahun lalu saat dia menyelamatkan Fixtra dari serangan Illiyos.
“Dia Fixtra, salah satu ksatria yang setim denganku dan Daenrys. Dia
pengguna sihir unlimited, sihirnya banyak dan tidak terbatas. Dia tiba-
tiba menghilang saat ... aku berhasil membunuh kakakku dan ... karena
itu, aku juga kehilangan Daenrys,” jawab Tobias, merasa sedih
mengungkit kenangan pahit.
“Hmm ... kupikir, dia akan setara denganku. Oke! Sudah kuputuskan. Aku
akan melawan sang jenderal. Kalian akan melawan si Lucas, Varaz,
Fixtra, dan monster-monster yang tersisa,” papar Yordan.
***
“Terserah kau mau bilang apa, Tobias! Aku melakukan ini karena suatu
alasan! Tidak ada orang baik yang berubah menjadi jahat tanpa alasan!”
Fixtra menunduk dalam. Ada isak tangis yang terdengar darinya. “Semua
karena dia! Dia, si pengendali busuk itu! Dia mengancam akan
memusnahkan desaku dan mengambil pusaka peninggalan nenekku!
Aku harus menjadi budaknya! Aku tidak punya pilihan lain, Tobias!”
“Kau ... sudah pernah bertemu dengan si pengendali black death?” tanya
Tobias serius.
Fixtra menatap tepat ke mata Tobias. “Ya. Dia adalah orang yang
menyuruh kita untuk membunuh dirinya sendiri. Yang melantik kita
menjadi ksatria. Sang Raja Agung Matilda. Raja Oscar.”
***
“Omong kosong! Kau pasti sudah tahu siapa aku dari si pangeran dan
Riven. Serahkan padaku!”
“Sial!”
“Tornado double!”
“Akar beringin!”
Dalam kondisi panik, pikiran dan jiwa Daenrys tiba-tiba terasa ringan.
Mulutnya bergerak sendiri, merapalkan mantra yang sama sekali tidak
dia kenal.
“Hidup ada untuk dijaga. Kematian ada untuk diingat. Semua yang ada di
bumi terikat pada udara. Binding Caeli!”
“Apa ... yang tadi terjadi ....” Daenrys menutup mulut syok.
***
Dalam napas terbata, fokus Riven masih tetap utuh. Dia memandangi
satu per satu doppelganger. Tahu kalau satu di antara mereka bukanlah
Lucas yang asli. Sebagai mantan teman seperjuangan, Riven tahu di
mana letak kelemahan kemampuan Lucas. Sang kapten banci pasti
bersembunyi di tempat yang aman, lumayan jauh dari arena
pertarungan. Tempat yang sejuk dan asri. Ya ... di bawah pohon rindang.
Untuk itu, Riven berlari kecil melarikan diri dari mereka. Para
doppelganger mengejar tanpa berhenti ke mana Riven pergi. Ketika
sampai di sebuah pohon rindang, Riven menyandarkan punggungnya ke
batang pohon. Dia sengaja mendesah seperti seorang gadis.
“Uhh ... aku lelah sampai kemejaku basah semua. Sepertinya, lebih baik
kulepas saja ....” Riven bergerak mencopot kancing kemejanya dari atas.
Baru tiga kancing terbuka, Lucas sudah muncul dari sisi belakang pohon
yang sama. Dia menggenggam tangan Riven yang sedang mencopot
kancing. Seringai mesum terbit, membuat Riven bergidik jijik dalam hati.
Saat Lucas sibuk mencopot kancing, tangan kanan Riven terkepal kuat.
Dia mengeluarkan pedang sihirnya, lalu dengan cepat menusuk
punggung Lucas sampai tembus ke dada kiri. Semburan darah dari mulut
sang kapten banci menjadi pertanda kemenangan Riven.
***
Fura dan Ninkuru adalah pasangan duet terbaik dalam menyerang. Fura
mematuk, Ninkuru meninju. Berkat kerjasama yang baik, mereka
berhasil masuk ke depan lini musuh. Mereka sekarang menghadapi lima
naga hitam yang tersisa, yang menjaga jenderal Krovirbro.
“Oh, ini rupanya penghianat itu. Ninkuru, si Junior Master Black Death,
anak buah Ninkuro, si Kura-Kura tua renta,” cibir Krovirbro.
“Jangan menghina pelatihku! Kau dan dia itu berbeda jauh!” balas
Ninkuru marah.
“Repeat Freeze.”
Naga hitam yang tersisa meraung sedih campur takut. Dia memanggil
sang pengendali mereka, Fixtra. Akan tetapi, gadis unlimited tidak
kunjung datang. Yordan mendekati mereka, siap untuk menangkap.
Namun, petir hitam menyambar celah di antara mereka.
“Oh ... akhirnya dia muncul juga. Si pengendali black death,” gumamnya.
Mendongak melihat langit hitam pekat penuh kilat.
Sosok berjubah hitam muncul turun dari balik awan bersama burung
gagak raksasa. Dia turun ke tanah, memandangi lekat Yordan dari balik
tudung.
Sudah dua jam, pertarungan antara Fixtra dengan Tobias masih imbang.
Belum ada yang bisa dinyatakan kalah. Itu semua karena Tobias ragu
untuk mengeluarkan black hole. Padahal jelas dia telah dinasihati Yordan
tadi. Namun sekarang, dia kembali mengulangi kesalahannya lagi.
Hatinya menolak untuk membunuh Fixtra dengan black hole.
“Fixtra! Apa kau tidak mau kembali menjadi ksatria?!” tanya Tobias di
sela pertarungan.
“Hahaha! Dosa? Makhluk aneh sepertimu juga tahu apa itu dosa, ya?
Sama sepertimu, dosaku tidak akan pernah bisa terhapus juga, Tobias.
Yang membedakanku denganmu adalah satu. Aku tidak punya lagi
tujuan hidup.”
“Fixtra ....”
Percakapan lumpuh sesaat. Setelah itu, muncul lidah hitam panjang dari
balik pepohonan. Benda itu menyasar ke arah Tobias. Hampir tertangkap
dalam belitan, Fixtra datang mendorongnya sampai tersungkur. Tubuh
gadis itu menjadi sasaran belitan kuat yang menghancurkan tulang. Sang
pemilik lidah datang dengan arogan.
“Tidak bisa dipercaya. Dasar manusia lemah! Harusnya kau
membunuhnya, bukan menyelamatkan hidupnya!” serunya.
“Aku tahu kau bingung, Prince Skotadi. Sebelum aku berbicara lebih
lanjut, izinkan peliharaanku ini memakan hama tidak berguna ini,”
tuturnya.
“Jadi ... kau .... Tapi! Fixtra bilang kalau si pengendali adalah Raja Oscar.
Apa kalian berdua yang mengendalikan black death?!"
Lalu, pada malam bulan darah di kerajaan Skotadi, red crystal hilang
dicuri seseorang. Raja Lucifer langsung turun ke bumi. Menuding
pelakunya adalah Raja Horus, rekan bisnisnya sendiri. Akibatnya, Raja
Lucifer meminta paksa kembali black diamond yang dulu dia kasih. Mau
tak mau, Raja Horus mengambilnya lagi dari tangan pembeli di luar
kerajaan yang ternyata adalah Raja Vandal. Raja Horus langsung
memutuskan hubungan bisnis saat menyerahkan sekarung black
diamond. Dia merasa kecewa dan sakit hati karena dituding sebagai
pencuri.
Raja Horus yang malang hanya menjadi penonton. Melihat tingkah tinggi
hati sang raja tetangga di perjamuan. Dia tidak punya kuasa dan
kekuatan apa-apa untuk merebut red crystal. Bahkan jika dia
menjelaskan pun pasti Raja Vandal akan berkelit.
Dua knight menyerah begitu Raja Horus kembali lagi dengan membawa
sandera. Pangeran tertua kerajaan Skotadi, anak pertama dari Raja
Lucifer, pangeran Illiyos. Pintu ruang singgasana dibuka lebar-lebar. Raja
Horus dengan santai berjalan di atas karpet merah seraya menyeret
tubuh Illiyos. Mereka menuju ke singgasana, tempat raja dan ratu
Skotadi memincing tajam. Di depan mereka, ada pangeran bungsu,
Tobias yang menggeram marah.
“Tobias, diamlah. Ibu hanya ingin kau di sini dan jangan mengatakan apa
pun!” omel sang ratu, memeras kuat kedua bahu Tobias.
“Raja Horus, kita sudah bukan rekan bisnis lagi! Apa tujuanmu
menyerang kerajaanku?!” seru Raja Lucifer.
Raja Horus menyeringai jahat. “Lucifer, serahkan monochrome diamond
milikmu padaku! Atau ... kau akan melihat putra tertuamu mati di
hadapanmu!”
“Jangan beraninya--”
Raja Horus meludah kasar. “Fuih! Tidak ada untungnya aku menguasai
kerajaanmu yang tidak berguna untukku dan rakyatku! Kami manusia,
hanya perlu berlian itu! Harganya pasti akan sangat mahal bila dijual!”
“Horus, ternyata benar, kau ini raja yang tamak akan harta! Jika kau
membutuhkan harta untuk kesejahteraan rakyatmu, maka gunakanlah
otakmu! Kau punya lahan yang subur dan bagus. Kenapa tidak kau
manfaatkan itu?”
“Tahu apa kau, tentang dunia manusia! Berbicara memang mudah, tidak
serumit melakukannya. Semua itu butuh waktu lama dan ada
kemungkinan kami akan gagal! Sementara, kelaparan dan kematian
melanda di seluruh desa, bahkan ibukota! Kau perlu tahu, Lucifer!
Karena tuduhanmu, kerajaanku jadi hancur! Tidak ada yang mau
menolongku, menolong para rakyatku yang kelaparan!”
Raja Lucifer melirik sang istri dan sang anak bungsu. Dia beralih lagi ke
Raja Horus, memandangnya sendu.
“Maaf, kami tidak bisa membantumu. Aku harap, kau bisa bersabar dan
terus berdoa pada Tuhanmu. Aku yakin, sebentar lagi kerajaanmu akan
pulih kembali, Horus,” tutur Raja Lucifer.
“Tidak ... TIDAK BISA! AKU HANYA MENGINGINKAN BERLIAN ITU!” teriak
Raja Horus kesal. Dia menjatuhkan Illiyos di karpet, lalu melesat
mengeluarkan pedang sihirnya. Menyerang tanpa ragu tiga anggota
kerajaan. Namun, dia gagal karena mereka terlindungi barrier hitam
transparan. Kemampuan itu milik sang ratu Skotadi.
Tak mau menyerah, Raja Horus terus menyerang barrier. Retakan kecil
muncul dan merambat hingga membesar. Memunculkan rasa khawatir
di hati sang raja dan ratu. Raja Lucifer bisa saja melawan, menggunakan
kekuatan terbesarnya. Akan tetapi, itu banyak menimbulkan resiko. Bisa-
bisa Raja Horus menjadikan Illiyos tameng untuk menyelamatkan diri
dari serangannya. Hal itu tidak mungkin dia biarkan terjadi. Dari situ,
Raja Lucifer tahu apa yang harus diputuskan.
“Aku ... siap, Sayang.” Sang ratu membalas seraya menangis deras.
“Pergi ke mana, Ayah, Ibu? Izinkan Tobi ikut!” Tobias membalik badan,
memandang bergantian kedua orang tuanya. Mereka hanya balas
tersenyum pada Tobias.
Kini, barrier yang melindungi mereka bertiga menghilang. Raja dan ratu
Skotadi tersenyum lembut, masing-masing memegang erat pundak
Tobias. Kemudian, sesuatu terjadi. Sinar besar berwarna hitam dan putih
terpancar keluar dari tubuh Tobias. Pangeran muda melolong kesakitan,
membuat ngeri Raja Horus. Dia memilih diam mengamati apa yang
selanjutnya terjadi.
“Tidak ... tidak ... TIDAK! DASAR ANAK SETAN! KAU TELAH MEMBUNUH
ORANG YANG PALING BERHARGA UNTUKKU! SEKARANG ... MATILAH!”
umpat Raja Horus.
Mata itu berbalik menghadap Illiyos. “Ya, itu aku. Tujuanku untuk
menyadarkan kedua orang tuamu kalau adik kecilmu akan menjadi
makhluk pembunuh berdarah dingin. Jika dia dibiarkan hidup, maka
bukan hanya kerajaanmu yang dia hancurkan. Tapi juga seluruh jagat
raya.”
“Apa?! Tobias ... menghancurkan ... seluruh jagat raya?! Itu ...
mustahil ...,” ucap Illiyos tidak percaya.
“Terus, di mana dia sekarang? Kau ini, siapanya ayahku?” tanya Illiyos.
“Dia pasti ada di bumi. Aku Horus, sahabat ayahmu, Illiyos. Aku berjanji
akan membantumu menangkap Tobias. Asal ..., kau bersedia
membiarkanku menjadi raja sementara di kerajaanmu sampai kau siap
untuk naik tahta. Bagaimana?” tawar sang mata.
•••
Situasi itu pun dipakai Mata Horus untuk beraksi. Dari balik lidah,
muncul jarum hitam kecil. Jarum tersebut disemburkan oleh Mata Horus
sampai menancap di leher belakang Tobias. Sang pangeran langsung
jatuh pingsan karena jarum bius tersebut.
“Bawa dia! Jaga agar tetap hidup!” perintahnya. Sang raksasa hitam
menganggu. Mereka pergi menuju tempat orang itu.
Di tengah padang rumput, duel terjadi begitu sengit. Yordan tahu, ada
sesuatu yang lain dari sang pengendali black death ini. Dia sudah
menduga dari awal kalau sosok bertudung hitam ini adalah manusia.
Namun, ukuran kekuatan sihirnya sangat besar. Mirip kemampuan
supernatural.
Sosok itu tertawa keras. Tudung yang menutupi wajah dia tarik. Yordan
tidak menyangka kalau orang ini adalah si pengendali black death.
“Ya, itu aku, Ksatriaku. Maaf bila aku mengecewakanmu. Sekarang, apa
kau pikir bisa membunuh rajamu sendiri?”
Dengan jelas dan mantap, Yordan menjawab, “Tentu saja. Lagi pula, aku
bukanlah rakyatmu, Raja Oscar.”
Kilat petir yang hampir sampai ke tanah, tertarik lagi kembali ke awan.
Kemudian, awan hitam menampakkan urat-urat kekuningan dan
meledak. Langit sekarang sudah kembali menjadi biru.
“Kakak! Syukurlah kau datang! Aku ... dikalahkan oleh bocah itu! Dia ...
sepertinya bukan manusia,” adu Raja Oscar.
Mata Horus melihat dengan mata batinnya, dan memang benar kalau
sosok pemuda albino di depan mereka tidak punya hawa hangat khas
manusia.
“Hmmm ... kau sepertinya bukan berasal dari kerajaan Skotadi. Jadi, dari
mana asalmu?” Mata Horus masih terus bertanya.
“Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskannya. Lagi pula, kau belum
memperkenalkan dirimu sendiri.”
“Aku Horus. Mantan Raja Matilda dan penguasa di kerajaan Skotadi. Aku
turun ke bumi untuk melenyapkan Tobias dan mengambil apa yang
kubutuhkan.” Mata Horus mengode sang titan untuk menjulurkan
lidahnya. Dari dalam mulut sebesar gua, tubuh Tobias yang tidak
sadarkan diri menggelinding jatuh sampai ke pangkal lidah.
“Tobias ingin dibunuh oleh si Mata Horus. Dan ... ternyata si pengendali
black death palsu itu adalah Raja Oscar, adik kandung dari si Mata
Horus. Itulah yang kuketahui, Riven. Aku tidak tahu apa yang diinginkan
si Mata Horus dengan membunuh Tobias,” terang Yordan.
Daenrys, Ninkuru, dan Fura yang datang bersama Riven pun tertunduk
lesu. Mereka terlambat datang kepada Tobias. Daenrys tidak mau
kehilangan Tobias. Perjalanan cintanya seharusnya tidak sesingkat ini.
“Apa yang harus kita lakukan? Apa kita ... bisa mengalahkan mereka
tanpa Tobias?” Daenrys berbicara pelan.
“Kuku ... tubuhku sudah lelah untuk bertarung ....” Fura mengeluh sedih.
“Kuku~ ayo kita beraksi!” Cuitan semangat Fura disahuti teriakan berapi-
api Ninkuru.
“Walaupun aku tidak mengenal si Tobias, tapi mau bagaimana lagi. Demi
negaraku, aku harus ikut dengan kalian. Nah, siapa yang mau mendengar
rencanaku?” Riven bertelak pinggang sambil menyeringai.
Part 9
“Wind Slice!”
Sementara itu, Riven dan Yordan berduet untuk mengalahkan Raja Oscar
dan Mata Horus. Pedang sihir Riven lumayan efektif untuk mengatasi
pedang titanium berhiaskan black diamond. Namun, semua tak cukup
untuk menyudutkan Raja Oscar. Dia butuh sesuatu yang lain untuk
mengalahkannya. Lalu, suara pikiran Raja Oscar tidak sengaja keluar
dengan jelas. Mencetuskan ide untuk Rivendosni.
“Aku akan menjadi penguasa bumi setelah peperangan ini! Kakak pasti
akan memberikan kekuatan hebat itu sepenuhnya!”
Raja Oscar terdiam sejenak, mundur selangkah dari Riven dan berpikir
lagi. “Hmmm ... benar juga. Aku harus melakukannya jika ingin
menguasai seluruh jagat raya. Habisnya, kakakku itu sangat
perhitungan dalam berbagi kekuatan. Ya! Aku harus mengambil
monochrome diamond yang ada pada jantung Tobias. Setelahnya,
tinggal kuambil batu Moisavind dari Daenrys. Lalu ketika keempat batu
berhasil kurebut, maka jagat raya ini menjadi milikku!”
“Apa?! Keempat batu? Jadi, dia mengincar batu itu dengan tujuan untuk
menguasai jagat raya?! Dan ... batu Monochrome Diamond ada di ...
jantung Tobias?! Aku tidak percaya ini,” pikir Riven.
Yordan menoleh ke arah kiri tempat duel Riven dan Raja Oscar. Ekspresi
itu sudah cukup membuat Yordan tahu. Bahwasanya ada sesuatu yang
buruk yang akan terjadi tentang Tobias dan batu diamond serta batu
crystal tersebut.
Mata Horus terkekeh. “Yordan ... itu namamu, bukan? Nah, jika
kuceritakan padamu apa alasanku sebenarnya secara rinci, maka aku
yakin kau akan mati bosan. Jadi, biar aku persingkat. Yang kubutuhkan
dari Tobias adalah ... monochrome diamond yang ada dalam jantungnya.
Tujuanku yang lain, tentu saja ada! Tapi ... belum waktunya aku untuk
mengumumkan padamu dan semua orang.”
“Sial!”
Bermacam kemampuan supernatural tidak mempan terhadap Mata
Horus. Monster mata tersebut masih bisa menghindar dan bergerak
bebas meskipun tidak ada serangan balasan darinya. Hal ini semakin
membuang tenaga Yordan dengan percuma.
***
Sudah hampir dua jam mereka bertarung sengit. Daenrys, Ninkuru, dan
Fura lecet-lecet setelah berguling dan terpental ke tanah karena
semburan api hitam si raksasa. Beruntung mereka tidak terkena luka
bakar. Jika api terkena anggota tubuh, dipastikan luka bakar itu akan
merambat ke seluruh tubuh dan perlahan menghancurkan tubuh
menjadi abu hitam. Sang raksasa hitam semakin beringas menyerang
setelah kedua kakinya terbebas dari lubang.
“Kenapa, Nak Yordan? Ingin menyerah? Sayang sekali, aku tidak yakin
akan membiarkanmu tetap hidup,” tutur Mata Horus.
“Aku ... tidak akan menyerah untuk Tobias ...,” balas Yordan pelan.
Suara kepakan sayap besar terdengar dari arah Utara. Seekor monster
gagak datang menyebabkan gelombang angin badai besar. Daenrys,
Fura, Ninkuru, Riven, dan Yordan terpental beberapa meter ke tanah.
Burung gagak mendarat di pundak si raksasa hitam dan membungkuk
hormat pada Mata Horus.
“Terima kasih atas pujiannya, Master,” sahut Crown penuh rasa hormat.
“Diam! Ini adalah keputusanku sendiri! Kau sudah lama hidup menjadi
Raja Skotadi dan Raja Matilda! Kau tidak perlu lagi menjadi raja seluruh
jagat raya! Kau juga serakah, bukan, jika bertujuan seperti itu, Kak?!”
Mata Horus tertawa keras. “Oh, ya? Mungkin kau benar, Adikku
Tercinta. Tapi ... aku melakukan ini agar umat manusia hidup sejahtera
dan mendapatkan takdir yang adil di antara semua makhluk dunia ini
dan dunia lain. Bisa dibilang ... aku ingin menjadi Dewa! Dewa Horus
Yang Agung!”
Brusshh!
Naga hitam memuntahkan lava hitam ke atas kepala Raja Oscar. Sang
Raja menjerit kesakitan. Satu demi satu, anggota tubuhnya meleleh. Lalu
akhirnya, hanya terlihat kubangan lava hitam berbuih merah. Naga
hitam langsung mengorek kubangan dan mengangkut black diamond
dan red crystal dengan kakinya. Ia menyerahkan pada sang master
pengendali black death.
“Ya ... itulah mengapa aku lebih suka menjadi anak tunggal,” gumam
Mata Horus.
“Tidak!”
“Tobias!”
Cahaya hitam putih terlihat di dalam jantung yang berdetak. Sang titan
kembali melanjutkan mengoyak jantung sampai darah hitam
menyembur keluar. Monochrome diamond terlihat, semakin melebarkan
senyuman Mata Horus. Batu terakhir diangkat ke udara dengan
kekuatan sihir. Kini, kelima batu telah lengkap mengelilinginya. Dia siap
memulai upacara terakhir. Upacara kebangkitan dirinya, Sang Dewa
Horus.
Part 10
Tobias ....
Tobias ....
“Siapa?”
“Ayah! Ibu! Kalian di mana?! Aku ada di mana! Mengapa semua terlihat
gelap?!”
“Tapi ... aku tidak ingin ini! Aku hanya ingin menjadi orang baik! Aku
tidak ingin menyakiti orang lain!”
Bahkan jika kami bilang, kau akan mewarisi kekuatan black death?
Menjadi si pengendali itu sendiri?
“Tidak! Aku tidak mau menjadi pengendali black death! Aku tidak ingin
membunuh orang-orang yang kusayangi!”
“Ayah? Jadi ... aku harus menerima kekuatan yang telah kau dan ibu
wariskan padaku? Suka atau tidak?”
“Ibu ... kau ... tahu Daenrys? Uuhh ... dia itu ... ya ....”
Aku dan Ayahmu tahu semuanya, Tobias. Walaupun kami tidak ada,
tapi jiwa kami masih ada dalam jantungmu. Tolong ... bertahanlah!
Untuk kami dan untuk para teman-temanmu ....
“Ya, akan kulakukan, Ayah, Ibu. Aku akan menerima kekuatan ini! Aku
akan menjadi pengendali black death!”
***
Mata Horus terus tersenyum ketika sinar laser pelangi dari kelima batu
terpancar ke tubuhnya. Dia sudah mulai merasakan kekuatan bertubi-
tubi membanjirinya. Sesuai perkiraan, tinggal satu menit lagi dia akan
terlahir kembali, mendapatkan tubuh utuh seperti semula. Sebagai
Dewa Horus, sang penguasa jagat raya.
Keputusasaan para helt terputus setelah melihat satu titik sinar hitam
dari dada kiri Tobias yang terkoyak. Sinar yang kecil, lama-kelamaan
bertambah besar membuyarkan konsentrasi Mata Horus pada
upacaranya.
Naga hitam terbang rendah menuju raksasa hitam. Sang raksasa sudah
mendekatkan cakarnya ke arah tubuh Tobias, tetapi malah tangannya
terpotong dan masuk ke dalam cahaya hitam. Cahaya tersebut
bertambah besar secara misterius. Naga hitam nekat terbang di dekat
cahaya hitam yang menyorot ke langit. Ia bersiap menyemburkan lava
hitam ke tubuh Tobias. Namun, sang naga malah terseret arus cahaya
hitam. Naga meraung kesakitan, tubuhnya lenyap seketika. Menambah
besar sorot cahaya ke langit. Lambat laun, tubuh sang raksasa ikut
terbawa masuk ke dalam cahaya hitam. Dari mulai kepala sampai
seluruh badan tergerus masuk ke dalam sana.
“Tidak mungkin! Itu mustahil! Seharusnya dia sudah mati!” seru Mata
Horus kesal.
“Tidak.” Jawaban Yordan memicu emosi Riven. “Kau! Bukankah kita ini
temannya?! Mengapa kita tidak boleh membantunya! Sekali pun kita
hanya sekuat serangga, tapi aku yakin, kita bisa menggigit dewa palsu itu
sampai berdarah!” sentak Riven.
Yordan memandang datar Riven. “Jangan terbawa arus kemarahan dan
ambisi berlebih, Riven. Mereka akan menghancurkanmu. Dari sini, kita
bisa tahu siapa di antara mereka yang terbawa kedua arus tersebut.” Dia
beralih menatap Tobias dan Dewa Horus.
***
“Jika kau terus menggunakan kekuatan kelima batu, kelak batu itu akan
tergerus dan lenyap, Horus. Aku tahu, upacara penyempurnaan
tubuhmu tidak sempurna. Kalau batu-batu itu lenyap, maka kau juga
akan lenyap,” papar Tobias.
***
Serang sana-sini tidaklah mempan. Tobias agak sedikit lelah karena terus
menyerangnya. Dewa Horus membalas serangan dan akibatnya, sangat
buruk untuk bumi. Sinar merah tombak membakar rerumputan. Dan
perisai hitam, setiap beradu dengan tombak hitam Tobias, perisai itu
akan mengeluarkan percikan api hitam. Tetesan api melelehkan tanah
yang terkena.
Tidak ... aku tidak akan termakan olehnya lagi, batin Tobias.
“Dasar egois! Mana mungkin aku diam saja saat kekasihku sedang
terpojok?! Dengar, Idiot! Aku akan tetap berusaha menolongmu! Aku
siap dengan resikonya! Bahkan jika harus mati sekali lagi!”
“Tapi ....”
Dewa Horus memotong, “Hoo ... sungguh kisah cinta yang klise. Baiklah,
aku akan mengabulkan keinginanmu, Helt Slav!”
Diamond hitam putih membidik Daenrys. Sinar laser dwi warna
terpancar ke arah sang helt. Daenrys hanya bisa melotot di tempat.
Sampai Riven datang membawanya berguling di tanah. Mereka selamat
dari laser hitam putih.
“Kau sudah tidak berkutik, Horus. Sebaiknya kau menyerah saja!” balas
Tobias.
“Kuku~ Fura adalah burung terhebat, Rys! Tentu saja Fura bisa
mengatasinya!” Fura mengercip bangga.
“Dasar licik! Aku tahu, ini semua ulahmu, bukan, Tobias? Kau sengaja
memerintah teman-teman tikusmu untuk mengganggu pertarungan kita,
lalu mereka mencuri batu berhargaku!” geram sang dewa.
“Aku? Tidak sama sekali. Mereka itu teman-temanku. Aku tidak bisa
memerintah mereka seenak hati. Mungkin, mereka hanya berinisiatif,”
kata Tobias sambil mengendikan bahu.
Tobias tetap menatap lekat saat-saat sang naga menelan utuh sang
dewa palsu. Tanpa sadar, ada air mata hitam keluar dari pupilnya. Tobias
merasa iba dan kasihan melihat Horus mati mengenaskan. Namun,
itulah takdir yang harus dia terima. Salahnya karena menolak tawaran
Tobias untuk menyerah dan tunduk padanya.
“Tobias! Bangunlah!”
“Kuku~ Tobias, kau masih hidup, ‘kan?” Fura ikut serta membangunkan
si pangeran dengan mematuk-matuk hidung mancungnya.
“Aku kagum pada Tobias. Dia sudah bekerja keras untuk melawan Horus
dan juga melindungi kita. Itu ... sungguh berat,” tutur Riven memandangi
Tobias sendu.
“Ya, itu memang tugas utama seorang raja dan seorang teman, bukan?”
sahut Yordan tersenyum.
“Oh ... jadi kau masih hidup, Idiot." Daenrys memasang wajah kesal
merasa kena tipu.
“Kau pikir aku mati, hah?! Aku tidak mungkin mati sebab diriku belum
melamarmu,” kata Tobias, mulai gombal.
“Heleh! Kalau begitu, cepat lamar aku dan jadilah raja! Dengan begitu,
derajatku dan keluargaku bisa naik menjadi keluarga bangsawan,”
celetuk Daenrys.
“Loh? Kau yakin, Rys? Apa kamu tidak takut nanti anakmu jadi idiot?”
tambah Fura. Sang burung dihadiahi lemparan batu kerikil oleh Tobias.
“Kalian ini! Jadi raja itu berat, tahu! Aku saja baru mengemban tugas
menjadi si pengendali black death!” keluh Tobias.
Ninkuru ikut bersuara. “Aku! Aku! Bolehkah aku jadi knight-mu, Yang
Mulia Raja Tobias?”
“Hah? Tidak! Aku tidak butuh hewan peliharaan yang makan tempat
sepertimu!” cibir Tobias, membuat senyum Ninkuru menghilang.
Yordan tertawa lepas. Semua orang berkedip merasa aneh. “Tobias, aku
juga punya usul. Sebaiknya, kau segera mengesahkan statusmu sebagai
raja Skotadi. Bukan tidak mungkin akan ada raja dari dunia ini atau dunia
lain yang akan merebut kerajaanmu karena tidak berpenghuni. Dan ....”
Pemuda albino menepuk kepala Riven. “Kau butuh seorang penasihat
yang cerdas seperti dia.”
“Jangan sentuh kepalaku, sialan! Aku jijik, tahu! Lagi pula ... apakah Yang
Mulia Raja Tobias mau menerimaku menjadi penasihatnya?” Riven
menunduk tidak percaya diri.
“Ya. Aku ingat semuanya. Nah, mari kita pulang ke ibukota untuk
mengumumkan yang sebenarnya.”
***
Hari berikutnya, ballroom istana Matilda ramai dipenuhi tamu
undangan. Para rakyat jelata juga ada di halaman istana. Saling berbisik
dan bergosip tentang berita besar itu. Berita tentang kematian Raja
Oscar dan mantan raja mereka yang adalah si pengendali black death
palsu. Yang menyerang dengan brutal para warganya sendiri.
Satu lagi berita tidak kalah heboh. Mereka diundang kemari karena
pengumuman perjanjian penggabungan kerajaan. Tobias dengan lantang
membaca teks yang ditulis oleh Riven di depan semua rakyat Matilda.
Bahwasanya, dia adalah raja dari kerajaan Skotadi, kerajaan dunia lain
yang akan mengambil tahta kosong kerajaan Matilda. Dia berjanji akan
menyejahterakan rakyat bumi dan mengizinkan beberapa warga untuk
menjadi prajuritnya di kerajaan Skotadi. Juga, dia mengumumkan kalau
dia telah melamar seorang gadis dari kerajaan Matilda, desa Slav,
Daenrys Rick. Lalu, Tobias menunjuk Daenrys untuk mengawasi dan
memerintah juga di kerajaan Matilda.
•End•