Anda di halaman 1dari 109

“Menyebar! Cari dia sampai dapat!

“Siap, Panglima!”

Tapal kuda menghentak keras tanah memecah ketenangan desa di pagi


buta. Kikikan sekelompok kuda semakin lama semakin menjauh dari
depan halaman rumah salah seorang warga. Siluet hitam yang kontras
dengan bayangan di sela-sela bangunan rumah warga luput dari
penglihatan.

Desahan lega keluar dari mulut sosok bermantel hitam. Dia sebenarnya
bosan terus diburu seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi. Nama, gelar,
dan wajahnya sudah buruk di mata semua orang karena peristiwa
runtuhnya kerajaan Vandal dua tahun yang lalu. Tidak ada yang mau
mempercayainya kembali sebagai Helt.

“Syukurlah mereka sudah pergi. Aku harus segera keluar dari sini.” Dia
menggeliat mencoba mengeluarkan tubuhnya dari sela bangunan. Iris
hitam membola panik. “Tidak ... TIDAK! AKU TERJEPIT! TOLONG AKU!”

Ketika matahari muncul di ufuk timur, sosok yang terjebak di sela


bangunan pun berhasil keluar dari sana. Ada yang harus dikorbankan,
yakni setengah bagian rumah warga yang terpaksa dihancurkan dengan
Black Sword.

Dia telah sampai di tempat tujuan. Rumah salah seorang warga yang
dikenal sebagai keluarga penangkap tikus tanah. Rasa cemas datang saat
ingin mengetuk pintu. Dia berharap mereka mau mendengarkan apa
yang ingin diceritakan. Sebelum diketuk, pintu mahoni terbuka
menampilkan sosok seorang pria tua beruban yang menggendong
keranjang berisi bongkahan batu kapur. Pria itu memandang heran
orang asing yang ada di teras rumahnya.

“Kamu siapa?”
Meneguk saliva lamat, sosok itu membuka tudung yang menutupi wajah.
“Aku Tobias, seorang Helt, teman mendiang Daenrys Rick. Aku kemari
ingin menceritakan sesuatu tentang--”

“Daenrys Rick? Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Juga ... helt? Apa itu,
Anak Muda?” potongnya sambil menaikkan alis.

“Se-rius, Pak?! Ini ... rumah keluarga Rick si penangkap tikus, ‘kan?”
tanya Tobias tidak percaya.

“Ya, benar. Aku Trogi Rick, kepala keluarga di rumah ini. Apa yang ingin
kau bicarakan, Nak? Aku hanya punya waktu lima menit karena aku
punya pekerjaan penting yang harus dilakukan,” ujarnya.

Tobias menatap tanah, berucap penuh penyesalan. “Maafkan aku, Pak.


Aku ... tidak bisa menolong Daenrys waktu itu. Juga sebenarnya,
peristiwa di Kerajaan Vandal dua tahun yang lalu adalah kesalahanku.
Semua ksatria telah gugur, bahkan Raja dan Ratu Vandal juga mati
karena aku.”

Terjadi hening yang buncit, sampai akhirnya Trogi berlalu melewati


Tobias. Tidak ada kata, tidak ada ekspresi di wajah tua itu. Tobias ingin
mengejar, tetapi dia sungkan. Merasa tingkah tersebut adalah jawaban
dari Trogi. Tobias tahu, ayah mana yang akan memaafkan orang yang
sudah menjadi penyebab kematian putrinya. Akan tetapi, yang
mengherankan Trogi justru seperti tidak memahami apa yang dikatakan
Tobias tadi. Seperti memang dia dan Daenrys tidak ada hubungan darah.

Tidak ada guna Tobias ke sini. Dia memutuskan untuk pergi dari desa
Slav, melanjutkan perjalanan ke desa lain. Belum ada selangkah, dia
dihentikan oleh suara seorang wanita dari dalam rumah Daenrys. Tobias
seperti bernostalgia begitu melihat sosok yang hampir mirip dengan
cinta pertamanya.

“Tobias ...? Itukah namamu, Nak? Bisa kita bicara di dalam?”

Tobias mengangguk. Ini kali pertama dia diundang masuk ke rumah


orang. Biasanya, dia diperlakukan seperti hewan. Ditimpuki batu,
ditendang keluar dari kandang kuda waktu dia bermalam di sana, dan
masih banyak lagi.

Entah sudah berapa lama wanita yang adalah ibu kandung Daenrys ini
bercerita. Tobias tidak sempat menghitung detik, karena dia merasa
sangat sakit mendengarnya. Wanita itu bilang, Trogi sudah tidak
menganggap Daenrys sebagai anak kandungnya lagi sejak gadis itu
meninggalkan rumah. Kehidupan mereka bertambah susah saat berita
tentang keikutsertaan Daenrys dalam pencarian ksatria. Keluarga Rick
dicibir, dikucilkan, dan jasa sebagai penangkap tikus perlahan mulai
ditinggalkan.

“Aku harap, kau mengerti, Tuan Tobias. Jangan datang kemari lagi. Aku
tidak ingin keluarga yang sudah hancur ini bertambah lebur karena
kedatanganmu. Sebagai seorang ibu, aku sangat sangat berterima kasih
karena selama Daenrys hidup, kau telah menjaganya dengan baik.
Terima kasih.”

“Aku dan Daenrys hanya teman satu tim dalam misi menghancurkan
Black Death. Tapi ... pada akhirnya aku sadar akan sesuatu. Aku ... telah
jatuh cinta pada putri Anda. Sayangnya, rasa itu datang terlambat.
Terima kasih sudah mau mendengarkan permohonan maafku, Nyonya
Rick. Permisi.”

“Semoga beruntung di luar sana, Tuan Tobias.”

Seulas senyum tipis ditampilkan sebelum kaki melangkah keluar dari


rumah orang yang dia cintai. Tudung dipasang kembali, lalu Tobias
berjalan melewati jalan desa yang padat dengan lalu-lalang orang.
Wajah menunduk sedih, suasana hati Tobias semakin memburuk sehabis
dari rumah Daenrys. Sampai pemuda itu tidak sadar kalau dia sudah
berada di tengah hutan belantara.

“Eh? Sudah senja?” Tobias berkedip, mendongak ke langit yang


memancarkan warna jingga. “Lebih baik aku bersiap untuk berkemah di
sini.”

°°°
Tobias dikelilingi kumpulan warga dan orang-orang yang dia kenal.
Raut wajah mereka sangat menyeramkan. Kemudian, berbagai seruan
dan caci maki mereka lontarkan.

“Pembunuh!”

“Kau tidak pantas disebut Ksatria! Tidak pantas disebut seorang Helt!”

“Tobias, mengapa kau tega membunuh kami, kedua orang tuamu,


Nak?”

“Tobias, kau biadab! Kau sudah membunuh ayah, ibu, seluruh pasukan
kerajaanku, dan aku, teman seperjuanganmu!”

“Tobias ... seharusnya aku tidak percaya padamu. Aku masih ingin
hidup! Aku masih punya impian yang harus kucapai! Tapi ... kau malah
merenggut nyawaku! Kau tidak pantas hidup!”

“Tobias ..., aku kecewa padamu! Mengapa ... mengapa kau terlambat
menolongku! Aku sangat membencimu, Tobias!”

°°°

“TIDAK! AKU BUKAN PEMBUNUH!”

Tobias berteriak, mata membeliak dengan tangan terulur menggapai


udara. Sudah hampir tiga tahun setelah kematian empat rekannya,
Tobias selalu bermimpi buruk tentang hal yang sama. Tentang semua
korban keganasan Black Death yang menuduhnya sebagai pembunuh.

Selama ini, yang menguatkan hatinya hanyalah pesan terakhir dari


Daenrys. Tobias harus membuktikan pada seluruh dunia kalau dia bukan
si pengendali black death, tetapi seorang helt. Dia sudah membuktikan
dengan cara melacak keberadaan black death. Setidaknya, ada tiga kali
dalam setahun black death muncul. Bulan Maret, Juli, dan Desember.

Sejauh ini, Tobias telah berhasil membunuh semua monster hitam yang
muncul dengan tombak hitam atau black hole miliknya. Seseorang yang
mengendalikan mereka tak kunjung muncul, dan Tobias beranggapan
mungkin saja bos mereka adalah kakak kandungnya, Illiyos. Jika memang
begitu, pemusnahan black death sekarang lebih mudah baginya.
“Sial. Waktu rasa-rasanya berjalan terlalu cepat. Kini, hari sudah pagi
saja. Oke ... ke mana tujuan kita berikutnya ....” Tobias berbicara sendiri
sambil menggelar peta. Dia tersenyum, tahu akan menuju ke mana
selanjutnya. Dia memutuskan meninggalkan barang-barang perbekalan
di bawah pohon pinus, lalu pergi menuju sebuah sungai kecil yang
lumayan jauh dari sana.

Usai membersihkan badan dan mengisi air untuk minum, Tobias kembali
ke kemah. Teriakan keras diredam dengan telapak tangan. Pemuda itu
beringsut bersembunyi di balik pohon mengintip sosok penyamun.

“Sialan. Di saat cekak begini, dia berani menghabiskan makanan satu-


satunya milikku! Awas saja!” geramTobias kesal.

Seekor burung berwarna biru bercuit senang. Ia terlalu asyik mematuk-


matuk roti dari kantung kain cokelat dan memakannya. Tak sadar ada
sosok manusia membawa batu koral mendekati dari belakang.

Pukk!

“Kukuku! Siapa kamu orang asing!” Burung itu menghindar dari


timpukan batu bertubi-tubi dari si pemuda yang adalah Tobias.

“Kau tidak akan bisa terbang! Terimalah serangan pembalasanku,


Burung Pencuri!” Tobias tanpa lelah melempari batu koral ke arah
burung malang tersebut. Taktiknya memang ampuh. Terbukti, si burung
panik dan bingung tidak bisa lepas landas. Akan tetapi, setiap ocehan
dan permohonan maaf sang burung tidak bisa dimengerti oleh Tobias.

“Kukuku~ ampun! Ampun, Mas! Bang! Pak! Tuan! Haduh! Harus gimana
lagi ngadepin manusia yang tidak bisa bahasa burung! Huhuhu~ aku
harap, Daenrys ada di sini dan menolongku ....”

Di tengah perkelahian yang semakin memanas, Tobias diterpa angin


cukup kuat dari arah selatan yang dibarengi hujan kelopak bunga teratai
putih. Sepintas, Tobias merasa aneh dengan kehadiran angin tersebut.
Mengingatkannya pada sihir angin milik mendiang Daenrys. Dia
tersentak kaget mendengar suara mungil disertai cericip khas burung.
“Rys! Itu kamu, bukan?! Kamu di mana Daenrys! Aku sudah bertahun-
tahun berkelana mencarimu, tapi kau tidak kunjung kutemukan. Aku
tahu tadi kau yang menolongku! Aku ingin bertemu denganmu! Aku
kangen!”

Tobias menatap lekat burung biru di depannya. “Kau ... itu tadi kau yang
berbicara, Burung Pencuri?!”

Si burung biru mundur hampir terjungkal. Ia bertanya takut. “Kukuku~ i-


iya. Itu ... aku! Mau apa lagi, Manusia Jahat! Kau tidak akan pernah bisa
membunuhku! Daenrys pasti akan melindungiku!”

“Tadi kau bilang ... Daenrys? Kau ... mengenalnya? Daenrys Rick dari
desa Slav?” tanya Tobias penasaran.

Burung biru mengepakkan sayap antusias. Ia bercuit. “Ya! Ya! Kau juga
kenal sama Daenrys?! Dia adalah tuanku yang baik hati! Kita sudah
berteman sejak aku masih belum bisa terbang! Kau siapa? Apa kau tahu
di mana Daenrys?”

Hati Tobias teriris mendengar pertanyaan si burung biru. Dia ragu untuk
mengatakan kebenarannya. Tobias juga heran, sebagai seorang burung,
mengapa ia tidak pernah mendengar desas-desus kematian ksatria
bernama Daenrys? Apa mungkin nama Daenrys tidak dikenal? Entah,
yang pasti, Tobias harus jujur padanya.

“Burung biru, tuanmu Daenrys sudah ... meninggal dalam misi dua tahun
yang lalu. Aku ... adalah teman semisinya. Waktu itu, aku gagal
menolongnya. Maafkan aku ....”

Bulatan mata bahagia berubah layu. Sang burung kecil biru bercuit sedih.
Ia tidak percaya tuannya pergi secepat ini. Ia menatap lekat Tobias, air
mata jatuh deras. “Kenapa ... harusnya kau menolongnya sebagai
seorang teman seperjuangan! Rys ingin menjadi ksatria agar bisa pulang
dan mengumumkan kemenangannya pada para warga Slav! Dia ingin
derajat warga Slav dan keluarganya ditinggikan!” bentaknya.

“Maaf ... maafkan aku, Burung Biru.” Tobias menggapai burung tersebut,
memeluk erat ikut menangis.
Setelah keduanya saling berkenalan, Fura—burung Bluetumb itu—
memutuskan mengikuti Tobias. Antara percaya dan tidak percaya, Fura
terpaksa harus bergantung hidup pada pemuda yang mengaku
mencintai mendiang tuannya. Tobias telah menceritakan kekuatan non
sihir yang aneh dan berbahaya pada Fura. Kekuatan yang juga mirip
dengan kekuatan black death penyebab terbunuhnya Daenrys dan tiga
ksatria lain serta raja dan ratu kerajaan Vandal.

“Jadi, mengapa kau cari mati dengan pergi ke ibukota, Tobias?” tanya
Fura.

“Siapa yang cari mati, Fura? Aku hanya mau lihat siapa-siapa saja calon
ksatria baru tahun ini. Pemilihan ksatria baru dibuka setelah dua tahun
berlalu kejadian kelam itu. Aku tahu, mungkin ini bunuh diri. Tapi ... aku
ingin melihat seseorang di sana,” jawab Tobias.

“Siapa? Pacar barumu? Teman? Tetangga? Saudara?” cecar Fura.

Tobias tertawa. “Yang sudah kau sebutkan itu tidak ada dalam
kehidupanku sekarang ini, Fura. Teman pertama dan cinta pertamaku
telah mati karena kelalaian dan kelemahanku dalam mengontrol
kekuatan. Jika kau ingin tahu, tolong jangan berisik dan bantu aku
beraksi. Oke?”

“Ya, ya, terserah! Aku tidak percaya Rys betah bersama dengan pemuda
tidak jelas sepertimu!” Fura terbang mendahului Tobias memasuki toko
kostum.

Tidak banyak perubahan yang dilakukan Tobias pada kostumnya. Warna


dasar jubah dan pakaian tetap hitam, tetapi kali ini ditambah cadar biru.
Fura benci kostum baru Tobias. Warna biru itu seakan menyaingi warna
bulu si burung bluetumb.

***

Proses seleksi telah memasuki final. Battle empat lawan empat. Mereka
akan bertarung di dalam sangkar yang susah dibuka. Tobias dan Fura
membaur di antara ribuan peserta yang tereliminasi dan penonton. Raja
Oscar sepertinya merefitalisasi konsep battle tahun ini. Mungkin untuk
menguji kekompakan, kecepatan, dan kecerdasan semua peserta.

“Tim satu terdiri dari: Yordan, Varaz, Dominique, Astro. Tim dua: Lucas
Miranda, Rivendosni, Edward, Nana. Dalam pertarungan, tidak perlu
pemenang. Antara tim penyerang dan tim yang diserang bisa saling
bahu-membahu dalam membebaskan diri dari sangkar. Meski di final
battle ini tidak perlu pemenang, tetapi inilah yang kami uji. Kekompakan
dan kesetiaan antar calon ksatria. Kami tidak ingin ada penghianat
kerajaan seperti salah satu ksatria dua tahun lalu yang sampai sekarang
masih buron. Oke! Sekian dari saya! Battle dimulai!”

“Kuku~ juri itu menyindirmu, Tobias,” celetuk Fura.

“Tidak masalah. Itu memang kenyataan. Ah, dari semua peserta yang
tersisa, aku tidak melihat ada di antara mereka yang berasal dari desa
Slav,” ujar Tobias pelan.

Fura mendesah sedih. “Warga desa Slav sekarang dilarang mengikuti


seleksi ksatria, Tobias. Aku mendengarnya dari burung merpati pos yang
kebetulan sedang bergosip ria di atas atap rumah Daenrys setahun yang
lalu. Memang tidak adil rasanya.”

“Aku bisa menebak. Pasti karena Daenrys orang yang membelaku mati-
matian dan menentang sang Raja waktu itu. Gadis itu telah
menyelamatkan hidupku bahkan sebelum kami dilantik menjadi ksatria,”
sahut Tobias.

“Dan kau malah telat menolongnya, Tobias. Sudah! Kau membongkar


lagi luka di hatiku, tahu! Lebih baik kita lihat siapa pemenang battle final
ini!” sentak Fura cemberut.

Bunyi denting pedang beradu dengan kapak terdengar riuh. Tim satu ada
Dominique—penyihir dengan senjata pedang mata tiga—berhadapan
dengan Edward, si penyihir pengguna kapak. Varaz dan Astro sendiri
bertarung melawan Lucas dan Rivendosni.

“Hmm ... aku gatal~” Lucas berdeham. Dalam pikirannya, dia sungguh
tidak sabar mengeluarkan sihir terbaiknya.
“Jangan menunggu persetujuanku, Lucas. Jika ingin mengeluarkan sihir
doppelganger, keluarkan saja! Aku sudah kebas melawan mereka juga,”
tutur Rivendosni.

“K-kau! Dari mana kau tahu kalau aku memikirkan itu?! Apa ... itu
sihirmu?! Tapi ... itu tidak seperti unsur sihir?” Lucas berjingkat terkejut.

Rivendosni menoleh ke samping kanan tempat Lucas berdiri. Dia


memberikan senyuman ramah palsu. “Kalau kau ingin tahu, kenapa tidak
kita bersatu untuk keluar dari sangkar ini?”

“Sialan! Kau ingin mengancamku, ya? Oke! Ketika keluar nanti, akan
kutendang bokongmu!” pikir Lucas.

“Oke! Aku akan bekerjasama denganmu,” putus Lucas setengah hati.

“Hey,” panggil Rivendosni, “sebelum kau tendang bokongku, aku akan


memotong kakimu.”

“Cih! Rupanya kau benar-benar bisa membaca pikiranku,” gumam Lucas


sebal.

Mereka menyerang bersama dan berhasil memojokan Varaz dan Astro.


Gadis pengendali tumbuhan tidak bisa membantu banyak rekannya,
pemuda dengan sihir petir. Selain bisa membaca pikiran manusia,
Rivendosni juga ahli dalam membaca sistem sihir kunci sangkar.
Lambang-lambang rumit terlihat di mata secara gaib. Dia mencoba
menyusun lambang membentuk ribuan angka sampai akhirnya angka-
angka bergabung membentuk sebuah benda. Benda tersebut nantinya
akan muncul ke permukaan setelah Rivendosni menyentuh gembok.

Akhirnya, usaha pemuda pembaca pikiran tidak sia-sia. Kunci berukiran


naga dan aligator muncul di tangan kiri yang tidak memegang gembok.

“Lucas! Cepat ke sini! Aku sudah mendapatkan kuncinya!” teriak


Rivendosni.

Lucas berhenti sejenak di tengah perlawanan terakhir Astro. Dia


mendorong tubuh pemuda penuh luka itu, lalu berlari menuju
Rivendosni.
“Tidak bisa. Yang harus keluar dari sini dan menjadi ksatria hanya AKU!”
Astro melemparkan pisau petir ke punggung Lucas. Namun, hal itu
diketahui oleh Varaz. Gadis itu melesat mendorong Lucas sehingga pisau
meleset menyerempet bahu kanannya. Lucas dan Rivendosni terkejut
melihat penyerangan itu. Lebih mengejutkan lagi Varaz, teman setim
Astro malah menyelamatkan tim musuh.

“Astro ... kita memang teman setim. Tapi ... AKU TIDAK INGIN
BERTEMAN DENGAN SEORANG PENGECUT SEPERTIMU! CARAMU
MENYERANG TIDAK GENTLE! ITU JELAS MEMBUKTIKAN MUNGKIN
SUATU SAAT KAU BISA MENGHIANATI KSATRIA LAIN!” teriak Varaz
murka sembari menekan bahu kanan yang berdarah.

Teriakan itu membuat tiga juri berbisik. Penasihat dan Raja Oscar pun
ikut berunding mempermasalahkan sikap Varaz dan Astro. Astro
mengamati sekitar sambil meneguk ludah. Dia terlihat tidak baik di
hadapan setiap orang.

“Aku tidak mungkin menyerang Lucas tanpa sebab, Varaz. Kau juga tahu,
bukan? Orang yang berhasil keluar dari sangkar adalah ksatria. Tidak
dibutuhkan kemenangan, tetapi kita juga dituntut untuk tidak kalah. Apa
kesalahanku di sini?”

“Kau--”

“MAAF MENGINTERUPSI!” teriak si pembawa acara. Dia melanjutkan


membaca sebuah putusan yang ditulis di selembar kertas. “Peraturan
yang dikemukakan oleh Tuan Astro memang benar. Tapi yang paling
benar adalah tindakan Nona Varaz. Raja dan ketiga juri juga sepakat
kalau keputusan Nona Varaz untuk menyelamatkan Tuan Lucas adalah
benar. Karena sebagai ksatria, harus ada jiwa tolong-menolong. Jadi,
Nona Varaz tidak kami diskualifikasi, tapi Anda, Tuan Astro. Anda kami
diskualifikasi.”

Semua orang mengoarkan huruf O panjang. Hanya Tobias yang berdecih,


mengepalkan tangan kuat mencoba menahan emosi. Dia ingat dulu juga
ada peserta yang menolong rekan tim lawan, tetapi malah dia
didiskualifikasi karena dibilang tidak sejalan dengan tim. Tobias mulai
mempertanyakan keadilan Raja Oscar yang berubah-ubah ini.

“Silakan lanjutkan pertarungan!” seru si pembawa acara.

Ketika pertandingan kembali berlanjut, ada sebuah kejanggalan yang


luput dari perhatian semua orang, bahkan Tobias. Entah dari mana, tiba-
tiba Lucas, Rivendosni, dan Varaz keluar dari sangkar saling berpegangan
tangan. Pemimpin terdepan adalah Yordan. Pemuda albino pendiam
yang selama pertarungan hanya jongkok di pojok sangkar.

“Ayo lawan aku, Pengecut!— eh?” Nana bingung karena orang yang tadi
dia tantang menghilang dari hadapannya. Setelah mendengar tepuk
tangan meriah semua orang, dia menoleh ke belakang. Gadis dengan
sihir cambuk api jatuh berlutut dengan mulut menganga melihat
lawannya telah keluar bersama tiga orang lainnya.

Tobias menjatuhkan dagu. Otak berasap seketika saat mencoba


memikirkan apa yang telah dia lewatkan. Namun, memori mengatakan
tidak ada yang terlewat sedetik pun dari pandangan pemuda tersebut.
Fura bercuit ikut protes memakai bahasa burung. Tobias tahu apa yang
dia ributkan. Ternyata, burung biru pun merasa janggal pada sesuatu.
Benar, kehadiran Yordan di tengah-tengah Lucas, Rivendosni, dan Varaz
memang tidak masuk akal.

“Selamat untuk keempat peserta! Yordan, Lucas Miranda, Rivendosni,


dan Varaz! Kalian adalah empat ksatria tahun ini yang akan bertarung
untuk kerajaan Matilda melawan si pengendali black death!” Pembawa
acara mengumumkan secara meriah. Tepuk tangan dan standing
applause dari Raja Oscar dan ketiga juri menjadi akhir dari final battle.

Tobias memilih pergi jelang pembagian uang perbekalan dan rute


perjalanan empat ksatria. Selain acara itu tidak penting, dia juga pergi
dari sana karena sudah ada beberapa intel istana yang curiga pada
kostum anehnya. Diam-diam dan hati-hati, Tobias berhasil keluar dari
ibukota.

“Fura, yang kucari ternyata tidak ada di sana,” kata Tobias tiba-tiba.
“Siapa?” tanya Fira penasaran.

“Fixtra, ksatria yang berhasil bertahan hidup dari penyerangan waktu itu
selain aku. Saat aku tersadar, gadis itu sudah menghilang. Aku yakin,
hujan tombak hitam waktu itu hanya mengenai Illiyos saja. Ada
kemungkinan, Fixtra adalah penghianat di antara ksatria. Mungkin saja
yang memberikan informasi tentang rute perjalanan kami waktu itu
adalah dia. Fixtra semacam kaki tangan kakakku,” papar Tobias.

“Gadis sihir unlimited itu? Hoo ... itu bisa jadi, Tobias! Sekarang!
Sekarang! Aku lapar ... kukuku!” rengek Fura. Terbang bolak-balik di
depan wajah Tobias yang asyik berdiri merenung.

“Bawel! Ya, ya! Ayo kita cari buah-buahan di hutan!” ajak Tobias.

“Hee~ tapi aku maunya cake volcano yang tadi!” tolak Fura.

“Nih, kukasih uangnya. Kamu balik lagi ke Hounorius dan beli cake itu,
terus balik kemari.” Tobias merogoh saku mantel, menjulurkan sekeping
koin emas pada Fura dengan wajah datar. Burung biru bercuit tanpa
henti, pergi dari hadapan Tobias. Ia terbukti jengkel pada sikap Tobias.
Sementara Tobias, dia masa bodoh tak memedulikan Fura.

***

Api hitam pekat berkobar melahap seluruh rumah warga desa Bizantin.
Naga hitam bermata merah mencoba menghancurkan perisai turun
temurun terkuat di Matilda dengan ludah lava hitamnya. Penunggang
berjubah hitam masih menunduk, mengamati sepuluh orang warga desa
Bizantin yang tersisa dalam perisai. Sayang, tatapan sendu tidak mampu
dilihat karena wajah tertutup tudung.

“Tenang, semuanya! Aku yakin, perisai peninggalan nenek kami, ksatria


Velvet mampu menangkal serangan naga itu!” seru seorang pria berusia
tiga puluhan. Anak perempuannya yang baru berusia dua tahun terus
menangis memeluk kaki sang ayah.

Pria itu menggeram merasa kurang cepat tanggap dalam mengevakuasi


warga. Semua karena dia tidak punya ilmu sihir sama sekali, tidak seperti
kakaknya yang menghilang dua tahun yang lalu. Dia merasa mengotori
nama ksatria Velvet dengan sihir unlimited.

Prakk!

“Aaaaa! Perisainya pecah! Kita akan mati! Kita akan mati!”

“Te-tenang semuanya! Tetap di belakangku!”

Salah satu warga mengumpatnya. “Persetan! Kau tidak berguna sama


sekali! Apanya yang keturunan ksatria Velvet! Cih! Ayo semua, kita
selamatkan diri masing-masing!”

Ajakan si pria beruban diikuti oleh tujuh orang lainnya. Mereka


berhambur keluar dari perisai yang sudah hancur berkeping-keping. Saat
naga hitam mendekat ingin memuncratkan ludah lava, si pengendali di
punggungnya menarik tali kekang. Menahan pergerakan sang naga agar
tidak mengeluarkan senjata mematikan. Membuat pria itu mengernyit
bingung.

“Aku ... hanya ingin tahu apakah ayah dan ibu sudah ... meninggal?”

“Ka-kau!”

Si pria menggendong putrinya di lengan. Mata fokus memandangi sosok


penunggang berjubah hitam yang wajahnya masih tertutup tudung.
Akan tetapi, dia sangat mengenali suara tadi. Suara seorang wanita yang
adalah kakak kandungnya yang dua tahun lalu menghilang.

“Furlan, adikku, aku sangat merindukanmu ....” Tudung ditarik


mengungkap wajah seorang wanita. Dia adalah Fixtra.

“Mereka ... sudah lama meninggal karena sakit setelah kamu


menghilang, Kak. Kenapa ... kenapa kakak berpihak pada musuh kita!
Kenapa kakak tega membakar habis tempat kelahiran kakak sendiri!
Kenapa!” Air mata Furlan menetes menganak sungai. Rasa sakit
menerpa hati dan jiwa mengetahui kebenaran ini.

“Aku--” Baru hendak menjawab, Fixtra tiba-tiba mendengar suara


langkah raksasa dari arah belakangnya. Raksasa sehitam arang muncul
berdiri di samping kiri Fixtra. Kelopak mata abu-abu yang ada di atas
jidat sang raksasa terbuka menampilkan gigi bergerigi.

“Tuanmu mengirim peliharaan pribadinya untuk melihat pekerjaanmu


yang terlalu lama. Cepat sedikit! Nah, biar kubantu pekerjaanmu,”
ujarnya.

Lidah hitam panjang keluar, tergelar bak karpet, membelit cepat delapan
orang warga yang mencoba melarikan diri. Sekejap mata, para warga
menghilang. Masuk ke dalam mulut raksasa tanpa terdengar suara
kunyahan.

“Sekarang, bereskan dua yang tersisa! Ingat perjanjian kita, Nona Fixtra.”
Sang raksasa melangkah pergi ke tempat asal bersama monster mata.

“Kau ... sungguh ingin membunuhku, Kak?”

Fixtra menunduk dalam, kemudian mendongak menunjukkan genangan


air mata di pelupuk. “Ya. Selamat jalan ... adik dan keponakanku
tercinta ....”

Fixtra tidak menyuruh sang naga hitam untuk membunuh mereka.


Dialah yang mengotori tangannya sendiri kali ini. Melempar dua pisau
kecil berwarna hitam yang dia ambil dari tas pinggang. Pisau menancap
di dada ayah dan anak tersebut. Mereka tercekat sebentar, lalu perlahan
kaki mereka berubah menghitam sampai ke ujung rambut. Fixtra
melangkah pergi membelakangi mereka. Angin datang mengikis patung
batu hitam menjadi serpihan pasir hitam.

Part 2

Dari desa Avar, keempat ksatria pergi ke arah timur laut. Bizantin, desa
yang terkenal sebagai desa dengan sihir terkuat di negara Matilda.
Mereka berharap bisa mencari tahu keberadaan ksatria sihir unlimited
yang sudah dua tahun menghilang. Pihak kerajaan mengatakan pada
mereka kalau Fixtra ditangkap oleh Tobias dan pasukan black death-nya.
Informasi itu semakin membuat para ksatria membenci Tobias dan ingin
membunuhnya.

Berkedip, mereka syok melihat kenyataan yang ada. Keempat ksatria


terlambat datang. Black death telah menerjang, meratakan seluruh desa
tanpa sisa. Hanya ada tanah lapang kosong berwarna hitam pekat seluas
mata memandang.

“Sial! Kita terlambat datang!” umpat Lucas, mengeluarkan suara kelaki-


lakiannya.

Rivendosni turun dari kuda. Berjongkok meraup pasir hitam yang


tergeletak di tanah. Rasa dingin menghantam tangan. Dari itu,
Rivendosni yakin akan sesuatu. “Badai black death telah berlangsung
dua hari yang lalu ketika kita mengunjungi desa pertama, desa Slav. Pasir
ini, aku yakin ini milik seorang warga desa yang telah diubah mereka
menjadi pasir. Tidak ... sepertinya dua orang warga desa. Sedang yang
lain, aku tidak bisa menebaknya.”

“Wow! Kau hebat juga bisa menebak waktu penyerangan black death,
Riven!” puji Varaz.

“Heleh! Paling cuma buat tebar pesona di depan Varaz. Aslinya itu orang
pasti cuma omong kosong,” pikir Lucas.

“Aku benci menipu dan ditipu orang, Lucas. Ucapanku benar adanya.
Apa perlu kupanggil profesor kerajaan untuk mengujinya agar kau
percaya?” celetuk Riven kesal.

“Anjirr! Jangan baca pikiran eike lagi, lah, Dosni! Itu privasi!” jerit Lucas
marah.

Riven menaiki kuda, tidak menyahuti ocehan pria jadi-jadian itu. Tiga
ksatria mengikutinya dari belakang. Sepanjang perjalanan, hanya Varaz
yang mendinginkan hati Lucas. Yordan hanya diam memperhatikan dari
belakang.

***
“Eh, eh, tahu, enggak? Akhir-akhir ini aku mencium bau bunga teratai
putih, loh!”

“Iya! Aku juga! Di desa Visgouth sudah menjadi bahan pergunjingan


manusia!”

“Memangnya, bunga teratai putih itu tumbuh di mana?”

“Serius?! Kamu enggak tahu sejarahnya?!”

“Leila, maklum saja sayang, dia baru netes bulan kemarin.”

“Oh ... yang anaknya si janda tua paruh sumbing, ya?”

“Jangan gitu sama jenis sendiri, Leila! Sesama merpati, dilarang saling
mengatai!”

“Betul, tuh, apa kata Tante Elsa!” Suara cuitan terakhir bernada berbeda
dari kerumunan merpati yang bertengger di atas atap. Fura tertawa
garing ketika semua merpati memincing.

“Siapa burung bantet bercat biru ini! Kalian kenal?” tanya merpati
berbulu pink, Leila. Dia adalah pemimpin merpati pos sekaligus ketua
perkumpulan merpati tukang gosip.

Lima dari enam merpati menggeleng. Merpati yang tidak menggeleng


membuka suara pedas. “Ini si Fura, burung bluetumb kepo pencari
majikan yang hilang. Kamu mau apa lagi kemari!”

“Kuku~ Tante Elsa suka begitu sama aku. Aku cuma numpang lewat.
Mau buang hajat di dekat cerobong asap itu, tahu!” tunjuk Fura ke
cerobong asap di belakang para merpati. Burung biru berbohong dengan
sangat apik.

“Kakak, Kakak! Kalau buang hajat itu enakan pas mengudara, loh!
Seperti Bibi Leila! Ya, ‘kan, Bi?” Merpati paling kecil membuka kartu as
sang ketua merpati. Fura menyeringai dalam hati karena jalannya
dipermudah oleh bocah merpati.

Leila memelototi sang kekasih, merpati jantan yang ada di sebelah kanan
merpati bontot. Merpati jantan segera mengajak si bontot balik ke
sarang sebelum bocah itu dimakan hidup-hidup oleh kekasihnya. Leila
tidak mau aibnya menjadi bahan gosip burung tetangga, burung nuri.

“So? Bibi Leila, sosialita merpati ternyata yang suka dihujat para
manusia apes di bawah sana, ya? Yang terkena kotoran burung di atas
kepala?” celetuk Fura, pura-pura polos.

“Kau! Mau apa kemari?! Cepat katakan dan jangan pernah mengungkit
hal itu lagi!” berang Leila.

“Sebenarnya, aku akan tutup mulut soal ‘kotoran mengudara’ jika Bibi
Leila mau memberitahuku lebih rinci soal bunga teratai putih.” Fura
mendekat, merangkul leher Leila dengan sayap kiri.

“Ya, ya.” Leila melepas rangkulan sok akrab. “Dengar, aku tidak mau
mengulangi lagi. Bunga teratai akhir-akhir ini tercium begitu wangi dari
arah utara, tepatnya dari pulau Lotus. Legenda mengatakan kalau di
pulau itu menyimpan sebuah batu permata kehidupan yang ada dalam
kuncup bunga teratai putih. Wangi yang keluar dari bunga teratai
mengatakan bahwa bunga tersebut telah mekar. Dan salah satu dari
jutaan bunga yang mekar di pulau tersebut terdapat batu permata
kehidupan.”

“Dan ... apa yang menarik? Kenapa kau menggosipkan tentang ini?”
tanya Fura terheran.

Leila menggeleng tidak habis pikir. “Fura, kau kurang gaul. Aku
menyebarkan berita itu karena konon, orang yang berhasil
mendapatkan batu permata kehidupan, bisa menghidupkan kembali
orang yang penting bagi mereka. Ini berita penting untuk kaum
manusia. Ketika mereka tahu, mereka akan terus memakai jasa kami
untuk surat-menyurat. Lalu, kami pasti akan diberikan makanan yang
banyak oleh majikan kami. Belum lagi ada bonus makanan dari teman
majikan kami yang dikirimi surat.”

“Jadi, majikanku bisa dihidupkan kembali?!”

“Ya, begitulah. Eh ...? Majikanmu sudah ... meninggal?”


“Terima kasih, Bibi Leila! Ah, btw, nama batu itu apa? Aku ingin
mencarinya!”

“Fura, batu Moisavind tidak bisa disentuh atau dicari oleh hewan.
Bukankah sudah kubilang—oi! Mau ke mana! Main pergi aja!”

Fura tidak peduli dengan cuitan Leila. Dia sekarang fokus kembali ke
hutan tempat Tobias sedang tidur siang. Sesampainya di sana, Fura
langsung mematuk hidung Tobias agar segera bangun.

“Ouch! Sakit, tahu, Fura! Jangan ganggu tidur siangku!” desis Tobias.

“Kuku! Tobias! Aku punya berita penting mengenai Daenrys!” Nama


orang yang dia cintai mendadak membuat mata Tobias terbuka
sepenuhnya.

“Daenrys kenapa?!”

“Aku mendengar dari temanku kalau bunga teratai putih telah mekar di
Pulau Lotus!”

“Oh, kukira apa. Sudah, ah! Aku mau lanjut tidur.”

Fura menjepit ujung hidung Tobias dengan paruhnya melihat pemuda


tersebut hendak menutup mata.

“Kau mau aku sate, huh?!” Tobias menangkap Fura, meremas kuat
tubuh bantet burung biru.

“Kkkuuu! Tidak! Tobias, masa kau belum tahu tentang pulau Lotus!
Dengar, di pulau itu ada bunga teratai yang di dalamnya terdapat batu
permata kehidupan! Batu itu bisa menghidupkan orang yang sudah
mati!” jerit Fura berusaha melepaskan diri.

Remasan terlepas. Wajah Tobias terlihat lebih bodoh dari biasanya.


Perlu waktu agak lama sampai Tobias benar-benar berteriak sangat
bahagia.

“Fura! Daenrys ... pacarku akan hidup lagi ... hiks!”

“Belum juga ditembak sudah ngaku-ngaku pacar!”


“Ayo kita ke Pulau Lotus!”

“Tu-tunggu dulu!”

***

Fura resmi merajuk. Sebenarnya, dia muak meladeni Tobias yang terus
memelas di semak-semak. Meminta arah petunjuk keberadaan pulau
Lotus.

“Fura yang bahenol~ ayo jangan ngambek lagi, dong!” bujuk Tobias.

“Tidak! Pantas saja Rys selalu darah tinggi kalau ada di dekatmu. Kau itu
benar-benar masih bocah, Tobias! Kalau orang lagi berbicara itu jangan
langsung dipotong!” omel Fura.

“Tapi kau itu burung, bukan orang, Fura,” cibir Tobias.

“Suka-suka Fura, dong! Fura akan memaafkan kalau--” Insting hewan


menghentikan ucapan. Fura—yang bertengger di dahan pohon— diam
mengamati sekitar. Dia melihat ada rombongan orang yang menuntun
kuda mereka mendekat ke arah semak-semak.

“Fura! Kenapa berhenti? Masih marah sama--”

“Diam, Idiot! Pakai telingamu! Ada orang yang mendekat.”

Tobias mencoba mendengarkan dengan seksama. Benar saja, ada suara


langkah kaki orang dan kuda dari arah kanan. Suara semakin jelas
terdengar pertanda mereka telah sampai di dekat semak-semak tempat
Tobias bersembunyi.

“Sungguh, kambing guling di desa Fluot tidak enak! Masih enakan di


Visgoth ke mana-mana!” keluh Lucas.

“Bersyukur kau masih bisa makan, Lucas. Di desa Greebil kau tidak akan
menemukan yang namanya daging dan ikan. Kami semua vegetarian,”
sahut Varaz.

“Banci itu memang manja, Varaz. Buat apa juga kau menceramahinya.
Paling juga masuk kuping kanan, keluar kuping kiri,” celetuk Riven.
“Oh, sial! Mengapa para ksatria bisa ada di sini juga! Untung saja aku
bersembunyi di semak-semak,” pikir Tobias.

Riven yang ada di barisan paling akhir berhenti mendadak. Dia menoleh
ke semak-semak yang ada di samping kanan dan kiri. Pikiran itu adalah
pikiran orang asing yang bersembunyi dari mereka. Riven berasumsi
kalau suara pikiran itu milik seorang pemuda. Mungkin seorang
perampok atau ....

“Aku tahu kamu ada di semak-semak, Tuan. Tunjukkan wajahmu atau


kami akan menyerangmu!” seru Riven mengancam.

Tobias mengumpat pelan. Dia lupa kalau salah satu ksatria ada yang bisa
membaca pikiran. Menetralkan kepanikan, Tobias telah bersiap pada
kemungkinan yang ada. Jika harus berhadapan dengan mereka
berempat, maka Tobias akan melakukannya. Akan tetapi, seperti dahulu.
Dia tidak mau menyakiti dan disakiti.

“Riven, kau bicara pada siapa?” tanya Varaz bingung.

“Keh! Aku tahu sihirmu itu cukup ampuh di saat-saat seperti ini,” ujar
Lucas. “Saatnya aku menggandakan diri! Doppel--”

“No, no! Aku tidak mau melihat ada lebih banyak banci lagi. Varaz dan
aku sanggup mengatasinya. Kau jaga saja si Yordan,” potong Riven.

“Hah?! Itu tidak adil! Dari kemarin aku sudah menjaga zombie albino
ini!” rengek Lucas.

“Jika kau tidak mau keluar, kami yang akan menyambangi!” Itu
peringatan terakhir dari Riven. Tobias buntu berpikir. Fura juga sudah
kocar-kacir mencari jalan keluar demi menolong Tobias. Ia paham kalau
misalkan Tobias nyawanya terdesak, bukan tidak mungkin black hole
akan keluar dan tidak bisa dikontrol lagi seperti dua tahun lalu. Bukan
hanya empat ksatria baru, nyawa Fura juga bisa melayang.

Langkah demi langkah terlampaui. Riven tinggal sejengkal mendekati


Tobias, tetapi waktu tiba-tiba berhenti. Semua orang mematung di
tempatnya, kecuali Yordan. Pemuda albino dengan wajah lesu
mendengkus sebal karena terpaksa memakai kekuatannya lagi.
Sebelumnya, Yordan sudah mengambil satu langkah ke belakang dengan
kaki kiri untuk menghentikan waktu. Sekarang, dia menggeret susah
payah Riven ke tempatnya semula. Dia balik lagi ke arah semak-semak.
Melongok Tobias yang sedang jongkok dengan tangan kanan mengepal
di dada. Yordan kemudian menepuk kepala Tobias.

“Hyaattt!— eh? Kamu?”

Yordan hanya tersenyum tipis sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir.


Tobias gagal paham. Namun saat berdiri dan melihat ke belakang
Yordan, barulah dia mengerti. Seperti apa kekuatan Yordan yang sejak
awal tidak masuk logika.

“Siapa kau sebenarnya? Kekuatan ini ... bukan elemen sihir dunia
manusia,” tanya Tobias penasaran.

“Waktumu untuk melarikan diri tidak banyak, Pangeran Skotadi. Sepuluh


menit. Dan jangan lupa bawa burung kesayanganmu itu,” tunjuk Yordan
pada Fura. Seketika, hal yang sama terjadi pada Fura. Burung biru itu
terbebas dari penghentian waktu.

“Fura! Kau juga terbebas?! Oh, cepat kita tinggalkan hutan ini dalam
sepuluh menit!”

“Kuku! Apa?! Itu mustahil! Paling kita baru mencapai sungai!”

Yordan berbicara lagi. “Itu sudah cukup jauh dari kami, bukan? Sekarang
atau kalian akan dikeroyok. Tersisa beberapa detik menuju sembilan
menit.”

“SIAL! FLY! / RUN!”

Yordan mendengkus usai keduanya pergi. Dia balik ke posisi


sebelumnya. Kaki kiri yang tadi melangkah ke belakang, kini disusul kaki
kanan yang melangkah ke belakang. Waktu pun diundur menjadi
beberapa menit sebelum mencapai semak-semak. Sungguh, Yordan
malas mengulang waktu.

***

“Kita selamat!”
Fura bertanya dengan napas putus-putus. “Ksatria itu ... sihirnya ...
hah ... luar biasa ....”

“No, no, Fura! Itu bukan sihir! Kekuatan itu bukan kekuatan manusia. Dia
sama sepertiku. Bukan dari dunia ini. Bahkan dia tahu kalau aku adalah
pangeran negeri Skotadi. Aku jadi curiga, apa dia itu kaki tangannya si
pengendali black death? Mungkin anak dari abangku Illiyos?”

“Kalau dia si pengendali black death, kenapa dia malah menolongmu,


Idiot!”

“Eh? Iya juga. Hmmm ... apa dia ... ADIKKU YANG TELAH LAMA
HILANG?!”

“Dah, lah, males aku mengikuti percakapan ini sampai akhir.”

***

“Yang Mulia, keempat ksatria telah menuju utara sesuai pada arahan
peta.”

Sang Raja melirik kaca jendela yang sedikit terbuka. Sosok berjubah
hitam masih setia berlutut satu kaki dan menunduk. Menunggu perintah
sang Raja selanjutnya.

Raja Oscar melangkah ke nakas di sebelah kanan jendela. Membuka


kotak kayu berukiran mozaik berwarna emas. Dia berkata, “Pantau
mereka terus. Dan pastikan, dia tidak mengganggu rencanaku.”

“Baik, Yang Mulia.” Sosok itu pergi, melompat dari balkon. Setinggi apa
pun itu, dia tidak akan pernah jatuh dan mati. Sosok manusia pasti
berganti wujud yang aman. Menjadi burung gagak hitam.

“Sebentar lagi akan lengkap dan sempurna,” ucap Raja Oscar sambil
memandangi black diamond dan red crystal yang ada di dalam kotak.

Part 3
Sudah sehari berlalu sejak mereka sampai di desa Northypin, Riven
masih memikirkan kejanggalan itu. Ketika mereka melewati semak-
semak di hutan perbatasan Fluot dengan Northypin. Intuisinya tidak
pernah salah. Riven sangat yakin ada sesuatu yang penting yang terjadi
kemarin.

Bertanya? Riven sudah puluhan kali bertanya pada ketiga temannya.


Akan tetapi, selalu mendapatkan jawaban yang sama. Mereka tidak
merasakan ada hal mengganjal dari perjalanan kemarin. Bahkan Lucas
sampai menertawai Riven, menganggap pemuda itu sudah gila. Namun,
Riven tidak akan pernah menyerah begitu saja. Otak jenius dipaksa
bekerja lebih keras hingga akhirnya misteri itu terjawab. Jika ada Yordan
di dekat mereka, pasti akan ada kejanggalan yang tidak masuk logika.
Riven harus mengobrol empat mata dengan Yordan untuk memastikan.

Riven bangkit lebih cepat dari ruang makan. Meninggalkan dua


temannya yang sedang mengobrol dengan pemilik motel dan
pengunjung lain. Riven sudah hapal kebiasaan Yordan yang pergi makan
malam hanya lima menit. Itu pun tadi dia cuma melahap roti isi daging
cincang dan meminum susu. Lalu, pemuda albino naik ke lantai tiga
menuju kamar untuk tidur.

Pemuda beriris golden menjeblak pintu kamar sambil menyipit ke arah


Yordan. Dia menutup pintu, lalu menguncinya. Yordan memandang
sekilas, kemudian kembali membaca buku bersampul hitam tanpa
bersuara.

“Yordan, aku ingin bicara empat mata denganmu.”

“Ya.”

“Aku merasakan ada kejanggalan saat kita melewati semak-semak


kemarin di hutan perbatasan. Aku tahu, kau dan yang lainnya sudah
mengatakan kalau tidak ada yang aneh di sana. Tapi ... intuisiku tidak
akan pernah salah! Sudah ratusan kali aku selamat karena kemampuan
itu! Dan ... mengapa selalu ada kejanggalan ketika kau ada bersama
kami?!”
Yordan menjawab sekenanya tanpa menatap Riven. “Intuisi punya
beberapa kelemahan. Semua bergantung pada asupan makanan agar
darah tetap mengalir dari jantung ke jaringan sel otak.”

“KAU! OMONG KOSONG MACAM APA YANG KAU KATAKAN INI!” Riven
melempar buku yang dibaca Yordan. Menjatuhkan pemuda itu ke
ranjang sambil menarik kerah kemeja putih dengan kedua tangan.

Yordan menatap tanpa gairah. “Menyingkir, Rivendosni. Aku tidak


mengerti apa yang kau bicarakan.”

“Tidak! Kau ... jangan berpura-pura lagi di depanku, sialan! Aku


meragukan loyalitasmu untuk Raja Oscar! Sejak dimulainya penyeleksian
sampai final battle calon ksatria, aku telah menyadari kejanggalan itu!
Bagaimana caranya kau bisa mengalahkan lawanmu? Sihir apa yang kau
miliki? Aku, Yang Mulia, semua juri, para peserta lain, dan semua
penonton pun tidak ada yang tahu! Hipotesa pun tidak berguna untuk
membuktikan kejanggalan itu! Jawab aku sekarang juga sebenar-
benarnya, Yordan! Siapa kau sebenarnya?!”

Kali ini, tatapan dan raut wajah Yordan berubah. Iris abu-abu menyipit
tajam diikuti tatapan dingin menyeramkan. Riven meneguk saliva,
keringat dingin membanjiri tubuh. Pemuda itu merasakan tekanan
kekuatan supernatural dari Yordan.

Yordan menjulurkan jemari tangan kanan ke depan wajah Riven.


Membuat pemuda itu melebarkan mata agak takut. Jari telunjuk
diletakkan ke tengah dahi Riven

“Repeat switch.”

Kilat putih menyelimuti keduanya sekitar beberapa detik. Dalam sekejap,


posisi mereka bertukar. Riven di bawah dan Yordan ada di atasnya
dengan jari telunjuk tetap menyentuh dahi Ribet. Ketika telunjuk ditarik,
Riven bisa kembali bergerak. Pemuda itu panik sendiri dengan posisi
yang berubah menyudutkannya.
“Brengsek! Apa yang kau lakukan tadi!” umpat Riven, mencoba bangkit
dari ranjang. Akan tetapi, Yordan tidak membiarkan. Dia mencengkeram
leher Riven cukup kuat.

“Kkhhh! Kau ingin membunuhku, hah?! Oh! Jika aku mati, maka kau
pasti akan ditangkap oleh yang lain! Jadi ... ini jawabanmu, Yordan?!
Kau ... ternyata seorang penghianat! Penipu!” berang Riven
memelototinya.

“Tidak. Aku datang kemari bukan untuk membunuh seseorang. Apalagi


manusia yang rapuh sepertimu,” jelas Yordan sambil melepas
cengkeraman.

“Persetan!” Riven hendak mengarahkan tonjokan ke wajah Yordan,


tetapi tangannya berhasil disergap. Diremas kuat sampai menyebabkan
Riven melolong kesakitan.

Yordan membungkuk, membisikkan sesuatu penuh ancam di telinga


Riven. “Aku punya privasi dan sangat tidak ingin seseorang memasuki
daerahku. Jika sampai kau memasukinya lagi, maka kau akan
kuhilangkan dari ingatan semua orang di dunia ini.”

Riven menggertakan gigi seraya menatap tajam Yordan. Hal yang sama
dilakukan oleh pemuda albino. Situasi tegang campur ambigu
dibuyarkan oleh tendangan kuat dari arah pintu. Pintu kamar lepas dari
engsel. Sosok perusak masuk sambil mengomel.

“Sudah setengah jam aku mengetuk pintu dan— OMG! Kyaa~ yaoi live
action!” Si ksatria banci malah menjerit antusias. Mata melotot, hidung
mengucurkan darah segar saat melihat pemandangan di depan.

“Yaoi dengkulmu! Dasar banci homo! Aku masih lurus, tahu!” umpat
Riven.

Yordan tidak berkomentar, memilih pergi ke kamar mandi untuk gosok


gigi. Lucas tak henti menggoda Riven setelah kejadian tersebut.
Mengatainya uke bar-bar dan semacamnya. Sungguh, Riven jijik dengan
tingkah banci satu itu.
Memasuki pagi, keempat ksatria berkuda menuju pelabuhan. Mereka
berpatungan dengan masing-masing uang pemberian Raja Oscar untuk
menyewa sebuah kapal. Tujuan mereka kali ini adalah Pulau Lotus. Dari
arahan Raja Oscar waktu itu, dia bilang, markas utama si pengendali
black death ada di tempat itu. Mereka diperintahkan untuk
menghancurkan tempat tersebut dan mengambil benda pusaka milik
kerajaan Matilda. Batu permata Moisavind.

Sementara itu, Tobias dan Fura dihadang oleh kelinci hitam bermata
merah sebesar manusia yang memakai jubah putih bertuliskan 1k.

“Fura, lihat patung kelinci itu! Terlihat kusam dan kotor. Padahal,
jubahnya sudah bagus.”

“Hmm ... iya, benar. Jadi enggak maching gitu sama badan. Mendingan
kamu tukar saja dengan jubah hitammu yang sudah buluk itu ... kuku!”

“Ide bagus! Tumben kamu pinter, Fura!”

“Aku memang burung terpintar di jagat raya, Tobias!”

Saat Tobias mendekat, tangan si kelinci hitam terjulur ingin


memukulnya. Refleks, Tobias mengelak dan mundur ke tempat semula.
Bukannya takut, Tobias malah memekik senang.

“Aye! Ini bukan patung kelinci, Fura! Ini badut kelinci! Wow! Keren!
Sayang banget kostumnya buluk begitu. Nah, Tuan Badut Kelinci,
kostumnya habis terkena lumpur, ya? Kok hitam dekil begitu?”

“INI BADANKU REAL, IDIOT! AKU ANGGOTA KHUSUS JUNIOR MASTER!


NAMAKU NINKURU!” teriak si kelinci murka.

“Master? Ninkuru? Hmm ... itu nama agensi badutmu, ya? Begitu ..., ”
ujar Tobias sambil manggut-manggut.

Fura ikutan emosi karena kebodohan Tobias. Ia mencakar kepala si


pemuda raven. “Idiot ini! Kelinci itu adalah salah satu monster yang
dikendalikan black death! Dia bukan badut! Sekarang, cepat lawan dia
agar kita bisa menyewa kapal!”

“One thousand punch!”


Tobias terpukul mundur saat Ninkuru tiba-tiba mengeluarkan tinjuan
yang bertubi-tubi ke arahnya. Fura menghela napas, beruntung bisa
terbang sejauh mungkin dari arena pertarungan.

“Bagaimana? Aku sungguh hebat, bukan? Hahaha!” tawa Ninkuru sambil


bertelak pinggang.

“Ya! Tinjuanmu luar biasa! Tapi ... bisakah kita sudahi saja? Aku dan
burung gendut di atas sana ada urusan penting,” tawar Tobias, mencoba
bernegosiasi.

“Tidak sebelum kau mengalahkanku!” tolak Ninkuru. Dia kini melompat-


lompat ke samping kanan dan kiri sambil mengangkat kepalan tangan di
dada.

Tobias meringis sambil menggaruk kepala belakangnya. “Begini, Kelinci


Kecil. Aku bukan seorang helt yang hobi bertarung seperti yang lainnya.
Apalagi sekarang ini. Aku tidak mungkin menyakiti makhluk kecil, mungil,
dan imut sepertimu.”

“Aku bukan kelinci kecil yang lemah! Maju! Keluarkan semua


kekuatanmu! Aku akan mengalahkanmu!”

Tobias terkesiap. Kata-kata akhir si kelinci hitam mengingatkannya pada


seorang helt yang menganggapnya teman. Dia terkekeh, lalu mau tak
mau menuruti permintaan Ninkuru.

“Black sword!” Pedang hitam sudah ada dalam genggaman. Tobias


sengaja memilih senjata yang tidak terlalu kuat. Dari awal, dia tahu
kemampuan si penantang. Kekuatan mereka tidak seimbang.

“One thousand punch hole!”

Kali ini, Ninkuru meninju tanah hingga dia masuk ke dalamnya. Kelinci
hitam menggali tanah, membuat seribu lubang sehingga Tobias harus
melompat ke sana kemari agar tidak terjeblos ke dalam lubang.

“Ya ampun ... entah kenapa seperti bermain pukul kelinci.”

Garis horizontal adalah permukaan tanah yang tersisa dan tidak


berlubang yang sekarang diinjak oleh Tobias. Tobias tidak bisa maju,
mundur, bergerak ke samping kanan, dan kiri karena dipenuhi lubang-
lubang jumbo.

“Kau tidak akan bisa menyerangku ... hahaha!” Ninkuru kembali tertawa.
Kepalanya timbul-tenggelam ke tanah di lubang-lubang acak dekat
dengan posisi Tobias berdiri.

“Kelinci brengsek itu membuat mataku pusing!” teriak Fura dari atas
pohon.

“Siapa juga yang menyuruhmu melihat pergerakannya, Fura! Diam saja!


Percaya padaku! Ini tidak akan lama!” balas Tobias menyeringai.

Tanpa Ninkuru tahu, Tobias sudah bergerak di dalam tanah.


Menyebarkan sulur hitam ke dalam lubang-lubang galian. Sampai
akhirnya, terdengar jeritan dan rontaan dari lubang di hadapan Tobias.
Sulur hitam timbul bersamaan dengan tubuh Ninkuru yang sudah terikat
membentuk kepompong.

“Sial! Lepaskan aku! Aku tidak mungkin kalah!”

“Sudah, sudah, Kelinci Kecil. Dengar, aku tidak akan membunuhmu.


Game ini sudah selesai.”

“Tidaaakkk!”

Tobias melempar Ninkuru ke langit, kemudian dia dan Fura melanjutkan


perjalanan menuju pelabuhan. Ketika sampai di sana, mereka sudah
kehabisan kapal. Semua kapal sewaan sudah disewa orang, bahkan kapal
nelayan pun sudah berlayar. Petugas pelabuhan hanya punya satu buah
perahu tua.

“Seribu keping emas untuk seorang,” ucap si petugas.

“Tidak mungkin! Itu terlalu mahal! Biasanya hanya dua ratus keping
untuk menyewa perahu. Bahkan menyewa sebuah kapal hanya delapan
ratus keping emas! Jangan coba menipu kami!” protes Tobias.

Si petugas pelabuhan menyeringai. Dia mendekati Tobias dan berbisik,


“Aku tahu siapa kau. Kau adalah buronan, si pengendali black death. Jika
aku mau, aku bisa berteriak memberitahu semua orang bahwa kau ada
di sini. Dan ... tentara kerajaan akan datang menangkapmu.”

Sial! Sial! Tidak ada pilihan lain! umpat Tobias dalam hati.

“Oke. Aku ambil kapal itu.” Tobias memberikan seribu keping emas
untuk si petugas pelabuhan. Selesai menghitung, petugas malah kembali
menadahkan telapak tangan di depan wajah Tobias.

“Ini hanya untuk satu orang. Burungmu harus bayar separuhnya jika
ingin menyewa perahu itu,” tuturnya.

“Baiklah! Ini!” Tobias melemparkan kantung uang ke arahnya. Menaiki


perahu tua yang kayunya retak-retak. Dia mendayung dengan sebal.

***

Lima jam sudah keempat ksatria berlayar. Bersyukur karena tidak ada
halangan di sepanjang perjalanan. Hanya muntahan Lucas yang merusak
pemandangan indah di kapal tersebut. Riven jijik, Yordan memilih
minum teh sambil duduk di sudut kapal, dan Varaz yang baik hati sedang
meramu tumbuhan obat untuk mual yang didapat dari kekuatan
sihirnya.

Yordan memandang penasaran bayangan hitam di bawah air laut di


seberang kapal. Teh earl grey ditinggalkan demi berdiri dan menatap
lebih dekat. Tiba-tiba, ada benturan keras membuat kapal goyang
hampir terbalik.

“Apa yang terjadi!” Riven mendekat ke pinggir kapal, melongok ke


hamparan air laut. Riven menyipit, memperjelas apa yang dia lihat.

“Sial! Apa yang hitam dan bergerak di bawah sana?”

“Sepertinya monster laut atau ... monster laut yang dikirim si pengendali
black death.”

Riven menoleh ke samping kanan tempat Yordan berdiri. Jika yang


dikatakan Yordan benar, maka dia dan yang lainnya harus segera siap
siaga.
“Lucas! Varaz! Bersiap! Kapal kita sepertinya diserang monster laut black
death!” perintah Riven.

“Haa? Baru juga aku sembuh dari mabuk laut, sekarang malah disuruh
bertarung? Fuck! Bisakah mereka mengizinkan kita beristirahat
sebentar?!” rengek Lucas.

“Jangan terus mengeluh, Lucas! Cepat minum obatnya!” bentak Varaz.


Dia merapalkan sihir, kemudian muncul pohon rindang berdaun bulat
telur di tengah kapal. Ranting terus tumbuh dan menjalar hingga
menutupi badan kapal. Ketika selesai, dia segera merapalkan mantra
penyelesaian.

“Molinga Save!”

Jaring-jaring hijau keunguan menyinari seluruh kapal. Tumbuhan itu


adalah tameng dari berbagai serangan monster black death nantinya.
Namun begitu, tetap saja ksatria lain harus bertarung mengalahkan
monster agar pertahanan tameng tidak terkikis.

“Sisanya kuserahkan pada kalian!” seru Varaz. Lucas dan Riven


mengangguk. Sedang Yordan masih bergeming. Seolah tidak peduli sama
sekali pada apa yang akan terjadi.

Lucas berputar-putar di tempat dengan satu kaki sambil berseru manja.


“Doppleganger Fourty!”

Empat puluh cahaya kuning keluar dari tubuh Lucas. Cahaya menghilang
menampilkan sosok yang mirip dengan Lucas. Rambut blonde sebahu,
memakai jubah pink, dan sepatu boat hitam. Perbedaan yang cukup
mencolok adalah senjatanya. Tiap-tiap doppelganger punya senjata yang
berbeda. Pedang, tombak, panah, pedang gergaji, senapan, dll.
Sementara Lucas tidak memegang senjata apa pun. Dia hanya
memandori para doppelganger.

“Nah, seperti apa rencananya ..., Kapten Rivendosni?” ledek Lucas.

“Siapa juga yang mau memimpin kelompok banci sepertimu,” balas


Riven sengit.
“Kubunuh kau!” Lucas menghentikan langkah doppelganger ke-35. Tahu
persis orang ini memiliki sifat marah yang dominan. Dia tidak ingin
doppelganger-nya malah berkelahi dengan Riven. “35, tahan emosimu.
Riven memang seperti itu orangnya,” tutur Lucas.

Riven mendesah. “Oke, dua puluh yang pertama mulai menyerang


bersamaku. Sisanya menunggu gelombang berikutnya. Dan Yor--” Lirikan
diputus, dia memilih tidak melanjutkan perkataannya. Membuat Varaz
dan Lucas kebingungan.

“Panah!” Riven mengomando D-20 dan D-14 untuk memanah tubuh


monster yang masih berada di bawah air.

Seketika, tubuh hitam panjang bersisik mirip ular menggeliat. Monster


melingkari seluruh bagian kapal, lalu mulai meremukannya. Tanaman
sihir Varaz mulai bekerja. Percikan asap hijau keunguan berseteru
dengan asap cairan hitam mirip tinta cumi yang keluar dari tubuh si
monster.

Tameng hanya bisa bertahan beberapa kali dari serangan. Riven sudah
tahu setelah membaca pikiran Varaz. Maka dari itu, dia kembali
menyuruh sepuluh orang doppelganger untuk menyerang tubuh ular
tersebut. Lima orang lain dipinta untuk melihat situasi, sedang Riven dan
sisa doppelganger bersama-sama menceburkan diri ke laut. Mencari
kepala dari sang monster yang sampai sekarang tidak timbul ke
permukaan.

Di dalam air, Riven dan yang lainnya bisa bernapas sampai dua jam saja.
Itu karena Varaz telah memberikan buah Watar, buah sihir yang
memungkinkan seseorang bernapas dalam air. Kesempatan singkat
harus dipakai matang-matang oleh Riven. Dia harus segera membunuh si
monster dan melanjutkan perjalanan.

Mereka berenang, membentuk lingkaran melingkari kapal. Kesunyian di


dalam air tidak sama seperti di permukaan. Insting Riven sedikit tertutup
karena telinganya tidak bisa mendengar apa pun. Benar saja, dia
bereaksi lambat saat seorang doppelganger disambar sesuatu yang
bergerigi berwarna putih. Doppelganger itu hilang, hanya meninggalkan
larutan merah yang menyebar menyatu dengan air laut. Setelah
pendengaran, kini penglihatan Riven yang tertutup oleh pekatnya warna
merah darah.

Jantung Riven berdetak cepat karena was-was. Dia bersiap pada


kemungkinan yang ada. Kedua tangan meremat pedang andalannya.
Kecepatan flash datang hampir menyambar kepala Riven. Beruntung,
Riven berhasil berenang cepat menghindarinya. Kini, dia melihat
semuanya saat warna merah pekat hilang. Empat doppelganger yang
tersisa sudah mati dengan kondisi mengerikan. Tubuh mereka
menghitam dan kaki serta tangan mereka hilang.

“Sial! Jadi ... inilah monster yang sudah menyerang kami,” pikir Riven
yang saling bertatapan dengan sang monster ular berkepala ikan hiu
putih.

“Ya, itu aku, Pyark, Helt. Kalian tidak boleh ke pulau Lotus.”

Si monster membalas melalui pikiran. Menyebabkan Riven terbelalak


terkejut. Pantas saja dia dan lima doppelganger mudah sekali
dikalahkan. Riven menyesal terlalu banyak memikirkan strategi
penyerangan tadi.

“Kau ... pasti anak buah si pengendali black death! Kami akan
mengalahkanmu! Pulau Lotus adalah wilayah kerajaan kami!”

“Apa? Kau salah besar, Helt. Pulau Lotus adalah milik kami! Manusia
memang serakah! Aku tidak akan membiarkan kalian menginjakkan kaki
di pulau kami!”

Pyark melesat cepat, membuka mulutnya lebar-lebar untuk memakan


Riven. Riven langsung mengarahkan pedang ke arah gigi Pyark. Selama
beberapa menit, pemenang sudah bisa ditentukan. Pyark berhasil
mematahkan pedang sihir milik Riven. Memaksa pemuda itu untuk
berenang ke permukaan dan kembali ke kapal.

“B-bagaimana?” tanya Lucas sesudah menarik Riven naik ke atas kapal.

“Aku gagal dan lima doppel--”


“Mati, ‘kan?” putus Lucas. Dia mengembuskan napas sedih. “Pantas saja
rambutku rontok lima helai.”

“Rontok?” beo Riven tidak paham.

“Iya. Jadi, saat salah satu doppelganger-ku ada yang mati, rambutku
akan rontok sendiri,” jelas Lucas.

“Jadi, bagaimana kondisi kapal?” tanya Riven sambil melihat sekeliling.

Lucas langsung memeluk erat Riven sambil menangis. “Huaa! Aku ...
kehilangan dua puluh doppelganger karena semburan cairan hitam dari
tubuh monster itu, Riven!”

“A-pa?! Terus, kita sekarang hanya memiliki lima belas orang saja?!”
Riven menyipit setelah melihat sisa doppelganger milik Lucas. Jumlah
yang ada malah kurang dari lima belas orang.

“Kau yakin kembaran bancimu tinggal lima belas? Kalau begitu, kenapa
yang kuhitung cuma sepuluh orang, hmm?” tanya Riven dengan nada
tidak bersahabat.

Lucas melepas pelukan. Mata ikut menyipit, jari telunjuk menunjuk satu
per satu doppelganger demi menghitung ulang.

“Hee?! Bohong! Terakhir kuhitung ada lima belas, sumpah!” pekik Lucas
tidak percaya.

Varaz datang di antara mereka. Langsung menggeplak kepala belakang


Lucas. “Bodoh! Apa kau lupa?! Lima orang lagi tiba-tiba menghilang dari
kapal karena kau salah sebut mantra!”

“Oh! Ehh ... aku ... baru ingat ... hehe!” Lucas tertawa innocent di
hadapan kedua temannya. Segera, Riven meninju wajah Lucas berulang
kali sampai bengkak dan pemuda itu pingsan.

“Aku tidak percaya banci itu begitu bodoh dan ceroboh. Harusnya aku
tidak meninggalkan kapal ini dan melawan Pyark,” ucap Riven.

“Pyark? Apa itu nama monster yang menyerang kita ini?” tanya Varaz.
“Ya. Dia monster ular python berkepala hiu putih yang bisa membaca
pikiran, sana sepertiku. Sungguh, musuh kali ini agak sulit kuatasi, Varaz.
Untuk itu, kau harus berhati-hati dalam bertindak. Jangan pikirkan apa
yang hendak kau lakukan,” jelas Riven serius.

“Baiklah. Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” Riven menatap
lekat Varaz dan memerintah, “Tolong ambilkan buku atau selembar
kertas kosong dan pena!”

Varaz berlari menuju kabin untuk mendapatkan apa yang diinginkan


Riven. Lamunan Yordan terhenti begitu Riven mendatangi.

“Yordan, bisakah kau membantu? Menggunakan kekuatanmu agar kita


selamat sampai tujuan?”

“Aku ... tidak.”

Riven mengepalkan jemari tangan. “Mengapa? Apa kau ingin mati


bersama kami? Tanpa kemenangan dan mencapai tujuan kita?!”

Yordan mengalihkan pandangan ke arah laut biru yang tenang. “Belum.


Tujuanku dengan kalian itu berbeda. Lima menit lagi, ada seorang helt
datang menyelamatkan kita.”

“Apa yang kau bicarakan, sialan?!”

Part 4

“Bocor! Bocor!”

“Berisik, Burung Gendut! Cepat terbang dan cari bantuan agar aku tidak
tenggelam!”

“Hah?! Mana sudi aku menolong orang yang selalu mengataiku ‘burung
gendut’!”

“Kau!”
Tobias menyeringai melihat ke depan. Ada sebuah kapal besar sepuluh
meter dari tempatnya berada. Dia meregangkan tubuh untuk
pemanasan sebelum akhirnya melompat ke dalam air. Meninggalkan
perahu tua yang bocor dan hanya menyisakan dua sampan
mengambang. Fura bercuit, mengomel pada Tobias yang sudah
berenang menjauh meninggalkannya.

Fura mendelik panik saat tahu siapa yang ada di dalam kapal tersebut. Ia
terbang rendah, hinggap di kepala Tobias yang sedang memanjat naik.

“Tobias! Kuku! Berhenti! Ini kapalnya para helt! Nanti kita bisa
dibunuh!”

“Halah! Jangan ngelawak, deh, Fura! Enggak lucu!”

“Siapa yang ngelawak, bodoh! Aku sudah melihatnya sendiri!”

“Terus? Kau mau aku melakukan apa? Loncat lagi? Berenang lagi? Tidak!
Bisa mati tenggelam kalau berenang dari sini sampai ke pulau!”

“Tapi!”

Mulut pangeran Skotadi menganga, terpesona pada besarnya ular


python berkepala hiu putih yang membelit badan kapal dan menggigit
tiang juga layar kapal. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke tengah. Dia
berdiri tepat di belakang Varaz dan Rivendosni. Tidak peduli walau kaki
menginjak tubuh Lucas yang tepar.

“Keren! Besar! Gagah!” pekik Tobias dengan mata berbinar. Varaz dan
Riven menoleh bersamaan ke belakang. Mereka terbelalak, mundur
beberapa senti dari Tobias. Sikap kuda-kuda siap menyerang
diperlihatkan dibarengi tatapan tajam menusuk.

“Tobias, si pengendali black death!” seru Riven.

“Cih! Mengapa semua orang memanggilku seperti itu, sih!


Menyebalkan!” decih Tobias.

“Kami tahu, pasti kaulah otak dari penyerangan kapal kami! Kau yang
telah memerintahkan Pyark untuk menghalangi jalan kami ke Pulau
Lotus!” sentak Varaz kesal.
“Huh?” Tobias menelengkan kepala. “Pyark? Maksudmu monster keren
ini? Tidak. Aku hanya ingin menumpang saja. Perahuku bocor. Btw,
tujuan kita, kok, bisa sama, ya? Hmmm ... inikah yang disebut takdir?”

“Jangan banyak bicara! Kami akan menangkapmu! Membawamu ke


hadapan raja untuk dipenggal!”

Riven melesat menyerang Tobias dengan pedang sihir. Varaz juga tidak
berdiam diri. Gadis itu merangkai puluhan bunga Molinga, menjalin
tangkai per tangkai dengan sihir sehingga membentuk sebuah tali.

Tobias tidak menyangka ksatria baru di hadapannya bisa menahan


serangan black sword-nya. Semangat itu mengingatkan Tobias pada
Granyof. Sebelum Varaz membelit kedua kakinya, Tobias melompat
menghindar dari tali bunga Molinga. Varaz menggeram melihat serangan
diam-diam miliknya mampu dihindari Tobias.

Arah barat, tepatnya di pinggir kapal, Fura bertengger menonton seraya


terus menghela napas. Burung itu merasa sial karena mendapatkan
majikan pengganti seperti Tobias.

“Jangan murung begitu. Sang pangeran lumayan bisa diandalkan.”

Fura mematung mendengar suara itu. Langkah kaki seseorang perlahan


mendekat. Lalu, sosok itu pun berdiri di depannya.

“K-k-kau!”

“Jangan takut padaku, Fura. Aku bukan orang jahat.”

“Da-dari mana kau tahu namaku?!”

“Dari Tobias. Waktu itu dia memanggilmu begitu, ‘kan? Jadi, kalian
sedang apa di sini?” Yordan mengelus kepala Fura dengan jari telunjuk
sampai burung itu gemetaran.

“K-kami mau ke Pulau Lotus untuk mengambil batu permata Moisavind.


Tapi di perjalanan, perahu kami bocor dan tenggelam. Makanya, kami
kemari ingin menumpang,” terang Fura.
“Oh, tujuan kita sama rupanya. Sangat kebetulan.” Yordan menarik diri,
berdiri tegap, lalu membalikkan badan melihat pertarungan yang belum
usai.

“S-so? Kalian juga ingin mengambil batu itu? Untuk apa? Apakah sang
raja juga perlu menghidupkan seseorang?” tanya Fura gagap.

“Tidak. Dia bilang, batu pusaka itu milik kerajaan Matilda. Dia menyuruh
kami berempat untuk mengambil batu tersebut yang sekarang berada di
tangan bos besar pengendali black death,” jawab Yordan.

“Maksudmu, pulau Lotus adalah markas si pengendali black death?!


Tempat tinggal bos dari para monster?!”

“Kau berpikir begitu?”

Fura diam berpikir. Dari semua sejarah tentang black death yang dia
tahu, bos pengendali black death adalah Illiyos. Pemuda yang
merupakan kakak kandung Tobias. Jika masih ada bos di atas bos
pengendali black death, maka orang itu pasti ... Tobias.

“Tidak ... mungkin! Tobias bukan--”

“Bukan? Lalu, siapa yang selama ini mengendalikan monster black death
setelah kematian Illiyos?”

Kepala Fura resmi terbelah secara imaginer. Dia berteriak, merasa gila
jika terus menggali menemukan siapa sebenarnya si pengendali black
death. Yordan tersenyum tipis menanggapinya.

“Fura, kuncinya hanya pada Tobias. Aku pun tidak tahu siapa si
pengendali black death yang sebenarnya. Aku hanya ingin mengatakan
kebenaran yang kurahasiakan dari teman-temanku. Aku sebenarnya
datang untuk membantu Tobias mengambil kekuasaannya lagi.”

“Maksudmu, menjadikan dia sebagai Raja di Skotadi?”

“Tepat, tapi bukan hanya itu saja tugasku. Aku punya tugas lain yang
tidak boleh dikatakan pada orang lain termasuk juga Tobias.”

“Oh ....”
Fura menunduk lesu, sedang Yordan mulai melangkah pergi
meninggalkannya menuju arena pertarungan. Dia berhenti di tempat.

“Repeat Cease.”

Waktu berhenti seketika, lalu Yordan beranjak ke arah monster Pyark.


Dia menyentuh ekor Pyark dengan lima jari kanan dan berkata, “Repeat.
Go to Origin.”

Monster yang membeku sedikit bergerak, kemudian ia menghilang


sekejap mata. Yordan menutup mata, membukanya kembali sambil
melangkahkan kaki dua jengkal ke belakang.

Waktu mundur dua kali lebih cepat dan kembali dimulai ketika Riven dan
Varaz sibuk berdiskusi untuk mengalahkan Pyark.

“Begini. Nantinya, kau harus mengikat tubuh Pyark dengan tali dari
rumput laut sihir buatanmu. Terus--”

“Eh?! Ke mana monster itu?! Tadi ... tadi dia masih ada di sana!”

“Apa yang kau bicarakan! Monster itu masih ada di ....”

Riven berdiri tegang. Mata melebar hampir keluar melihat bagian layar
dan tiang kapal yang masih pada tempatnya. Tubuh ular hitam yang
membelit bagian tengah kapal hilang entah ke mana bagai trik sulap.

Insting Riven mencium adanya kesalahan dari semua ini. Asumsi


mengarah lagi kepada satu orang seperti kejadian sumbang waktu di
hutan. Pemuda itu mendesis murka menyambangi pemuda albino yang
berdiri di pinggir kapal.

“KAU! APA YANG KAU LAKUKAN TADI?!” Riven menarik kerah jubah
putih Yordan.

“Tidak ada. Aku hanya mengamati luasnya samudera,” jawab Yordan


datar.

“AKU. TIDAK. PERCAYA. PADAMU! MENGAPA?! APA YANG TERJADI


PADA MONSTER ITU?!” teriak Riven.
“Riven, hentikan! Yordan tidak bersalah! Apa yang kau pikirkan?!” Varaz
datang melerai.

“He?! Monsternya hilang?! Ohh! Terima kasih, Tuhan~” Lucas bangun


dari pingsannya. Memekik senang menyebabkan fokus Riven terpecah
belah.

Yordan dengan mudah melepas cengkeraman Riven. Dia pergi ke ujung


selatan kapal tanpa berkata. Lucas datang mengganggu Riven dan Varaz.
Memaksa mereka kembali ke kabin untuk makan siang. Mau tak mau,
Riven mengikuti. Membawa rasa penasaran pada Yordan ke dalam ruang
makan.

Sementara itu, Tobias merasa lelah memanjat kapal yang hendak


ditumpanginya. Entah mengapa, dia merasa sudah bagaikan habis
bertarung dengan seseorang yang kuat saat memanjat kapal. Fura juga
demikian. Jantungnya hampir copot begitu terbang mendekati kapal.
Seperti ditekan oleh ancaman mematikan dari seseorang. Dan lagi, ada
sesuatu yang membuatnya teringat pada kerajaan Skotadi. Akan tetapi,
dia lupa apa itu.

“Akhirnya sampai juga!”

Senyuman lega terganti keringat dingin. Tobias tidak meminta untuk


bertemu lagi dengan pemuda albino misterius. Namun, inilah yang
terjadi.

“Apa yang kau lakukan di sini, Tobias?”

“Hehe! Anu ... perahuku bocor dan tenggelam. Aku mau menumpang di
kapal ini, boleh?”

“Silakan naik. Tapi kau harus bersembunyi agar mereka tidak


menangkapmu.”

Tobias menopang dagu, lalu melirik penuh selidik pada Yordan. “Apa kita
pernah melakukan percakapan seperti ini sebelumnya? Mengapa aku
merasa seperti dejavu?”

“Hanya perasaanmu saja, Pangeran Skotadi.”


Mereka berjalan ke bagian tergelap di bagian pinggir utara kapal. Yordan
mengamati sekitar dan menemukan sebuah gudang perkakas yang
cukup aman untuk bersembunyi.

“Kau bisa bersembunyi di gudang ini. Sekitar satu jam lagi, kita akan
sampai di Pulau Lotus.”

“Oke, terima kasih! Tapi ... kok bisa, ya, kita punya tujuan yang sama?
Btw, siapa namamu, Ksatria?”

“Yordan.”

Tobias masuk ke dalam gudang bersama Fura. Dia duduk di atas kotak
kayu berdebu sembari merenung memikirkan sesuatu. Nama ksatria
albino menjadi perhatiannya. Dia seperti pernah mendengar nama itu
disebutkan oleh seseorang, tetapi dia masih belum mengingat siapa
orang tersebut.

***

Kapal merapat di dermaga kecil. Empat ksatria turun dan disambut angin
dengan wangi bunga teratai yang ikut serta menerbangkan ratusan
kelopak bunga berwarna putih. Mereka dengan mantap berjalan lurus
memasuki rimbunnya pepohonan pinus raksasa.

Di belakang, Tobias dan Fura mengikuti dengan hati-hati. Sejauh mata


memandang hanya ada pepohonan tinggi menjulang. Ketika memasuki
seperempat hutan, barulah mereka menyadari sesuatu yang janggal.
Banyak sekali sarang burung dengan puluhan telur besar berwarna pink
berbintik hitam.

“Fura, setelah misi ini selesai, kita tinggal di sini, ya,” tutur Tobias.

Fura terbang rendah, hinggap di pundak kiri Tobias. “Kenapa harus di


sini?”

“Karena di sini tempat pemasok makanan terbesar,” kata Tobias,


menatapi telur-telur dengan mulut berair.

“Kuku! Kuku! Mati saja kau!” Fura pergi setelah memberikan hadiah
istimewa di pundak Tobias. Pangeran Skotadi langsung berteriak marah.
Teriakan keras mampu menghentikan langkah keempat ksatria. Tiga dari
empat ksatria menoleh ke belakang, lain halnya dengan Yordan. Dia
mengembuskan napas lelah. Seseorang yang dia lindungi dari teman-
teman ksatria sepertinya memang susah diajak bekerjasama.

“Si Pengendali Black Death!” seru Riven, sudah ancang-ancang untuk


menyerang Tobias.

“Sedang apa kau di sini?! Apa kau pemilik pulau Lotus? Yang telah
mencuri benda berharga milik kerajaan?!” tanya Varaz. Gadis itu sudah
menggunakan sihir tumbuhannya dengan menumbuhkan Molinga
mengelilingi mereka.

Lucas berdecih, maju ke depan seraya menarik keluar pedangnya. “Buat


apa ditanyakan lagi! Kita harus menyerang dia! Membunuh penjahat
itu!”

“Tu-tunggu dulu! Aku datang kemari untuk mencari batu permata


Moisavind. Aku bukan pemilik pulau ini, tapi jika memang pulau ini tak
berpenghuni ... ya ... kurasa aku ingin menjadikan pulau ini tempat
tinggalku ... hehe!” Tobias terkekeh sambil menggaruk tengkuk.

“Benar rupanya. Kau orang yang telah mencuri benda berharga milik
kerajaan Matilda. Sekarang, serahkan batu itu pada kami atau nyawamu
melayang!” pinta Riven paksa.

“Kau tuli? Siapa yang mencuri batu itu! Aku saja baru tahu sekitar
seminggu yang lalu! Aku juga mencarinya! Sama seperti kalian! Eh ...
omong-omong, tahun lalu, informasi seperti itu tidak ada dalam misi
kami? Ini aneh, loh. Apa Raja Oscar perlu menghidupkan seseorang yang
penting untuknya sampai harus menyuruh kalian untuk mengambil batu
itu di pulau ini?” Tobias mengelus dagu berpikir.

“Jangan banyak omong, Pengendali Black Death! Serahkan batu


permatanya sekarang!” bentak Riven.

“Ya ampun! Kau ini ksatria atau perampok, hah?!” balas Tobias kesal.

Adu mulut berhenti karena suara retakan yang mirip retakan cangkang
telur. Mereka kompak melihat sekitar, lalu memucat. Puluhan telur
besar retak bersamaan, memunculkan seekor burung yang bernama
Flamingo. Sosok burung pink seukuran anak gajah berkoar serentak
ketika melihat mereka. Para bayi burung kompak melepaskan diri dari
cangkang telur dan berlari ke arah mereka.

“Kuku! Kuku! Ayo lari, Tobias!” ajak Fura.

“Eh? Kenapa? Aku padahal ingin menggendong bayi burung


menggemaskan itu,” sahut Tobias dengan mata berbinar.

“Ayo! Sekarang! Mereka itu bukan burung biasa! Aku bisa membaca isi
pikiran mereka! Mereka menganggap kita makanan yang ditinggalkan
dari ibunya!” Tobias menjerit, lari sekencang mungkin dari sana. Fura
mengikuti sambil mengomel.

“Varaz! Buat barrier!” perintah Riven.

“Oke!” Varaz memperlebat tumbuhan, merangkai dahan pohon tersebut


menjadi kubah.

Puluhan bayi Flamingo mematuk kubah, mencoba masuk ke dalamnya.


Riven, Varaz, dan Lucas berdiskusi mencari solusi. Akhirnya, mereka
sepakat untuk membunuh semua bayi Flamingo. Menggunakan
kemampuan sihir masing-masing, para ksatria tidak ragu sedikit pun
dalam membunuh hewan tersebut. Usaha mati-matian terbayar sudah.
Semua bayi burung telah mati. Mayat mereka bergelimpangan di
sekeliling para ksatria. Detik berikutnya, terjadi gempa ringan yang
membuat tanah bergetar. Ada suara langkah raksasa yang keluar dari
jantung hutan.

Tubuh mereka gemetar ketakutan karena aura yang terpancar dari


tubuh burung Flamingo raksasa dengan mahkota ratu di atas kepala. Dua
mata besar menatap mereka dengan marah. Tidak berbasa-basi, burung
itu pun langsung mengepakkan sayap besar berwarna pink. Ia
menghempaskan para ksatria hingga tubuh mereka terlempar menabrak
pepohonan.

“Uhuk! Sepertinya, dia adalah induk para bayi. Apakah kita juga akan
membunuhnya?” tanya Varaz.
“Tentu saja harus! Aku yakin, pasti dia adalah pengawal si pengendali
black death itu! Buktinya, mereka pergi dan para bayi Flamingo
menyerang kita!” seru Lucas.

“Tapi ... rasanya ini aneh. Ciri khas monster yang merupakan anak buah
si pengendali black death selalu berwarna hitam. Flamingo ini punya
warna yang normal,” ucap Riven.

“Bisa saja mereka mengecat tubuh mereka menjadi warna pink! Lagi
pula, lihat! Ukurannya tidak normal untuk seekor Flamingo!” bantah
Lucas.

“Oh, begitu. Ternyata di sana,” ucap Yordan pelan.

“Apa yang kau bicarakan, Yordan? Kau ... menyembunyikan sesuatu dari
kami?” Riven beralih menatap curiga Yordan. Pemuda albino balas
menatap datar, kemudian kembali menatap lurus burung Flamingo yang
ada di hadapan mereka. “Tidak,” jawab Yordan, datar seperti biasa.

“Cih! Kau memang tidak bisa diharapkan!” Riven kembali memerintah,


“Bersiaplah, Varaz! Lucas! Kita akan mengalahkan Flamingo raksasa ini!
For Matilda!”

“For Matilda!” Varaz dan Lucas meneriakan kata-kata penyemangat itu.

“Doppelganger ten!” Lucas merapal mantra. Sesudahnya, muncul


sepuluh orang kembaran Lucas yang memegang sepuluh senjata yang
paling kuat milik pemuda tersebut. Ada trisula api, kapak es, panah laser,
sarung tinju batu, hammer perak, ketapel angin, tombak petir, perisai
jarum, cambuk ular, dan pedang darah.

“Riven, kau dan Varaz tunggu saja di sini sementara kami menyerang.
Jika ada kesempatan, segera serang burung itu,” ujar Lucas bertelak
pinggang.

“Hah?! Memang kau siapa? Pimpinan kami?” sahut Riven sengak.

Lucas menyibak rambut blonde-nya dengan elegan. “Begitulah. Karena


aku satu-satunya ksatria dengan kemampuan sihir yang kuat.”
“Sombong! Siapa juga yang mau dipimpin oleh banci sepertimu! Sudah
sana kalahkan burung itu! Kami menantikan kemenanganmu,” usir
Riven.

“Kenapa kau sangat membenciku, Riven,” rengek Lucas. Dia pun segera
melesat masuk ke barisan formasi sepuluh doppelganger lainnya.
Mereka sekarang membentuk lingkaran mengelilingi si Flamingo
Raksasa.

“D-1, D-6! Serang!” Pemilik senjata trisula api mengarahkan api besar ke
arah Flamingo dibarengi tembakan dari si pemilik ketapel angin yang
memunculkan tornado. Menjadikan api semakin membesar menyelimuti
sekujur tubuh Flamingo.

Lucas geram. Karena begitu api menghilang, burung pink raksasa masih
ada di tempatnya tanpa terluka secuil pun. Dia kembali mengomando
doppelganger yang tersisa. “D-3, D-7! Giliran kalian!”

Anak panah yang memunculkan laser pembelah dilontarkan bersamaan


dengan tombak petir. Sebuah ledakan hebat terjadi. Asap hitam
mengepul, menerbitkan seringai di bibir Lucas. Pemuda itu yakin
sekarang burung raksasa sudah benar-benar hancur. Saat asap
menghilang, mulut Lucas bahkan Varaz dan Riven menganga terkejut.
Burung Flamingo tersebut masih tidak terluka juga.

“D-2, D-10, dan D-8! Serang!” perintah Lucas.

Kapak es menghantam tanah dan menyebar ke tempat burung raksasa


berdiri tegap. Membekukan tubuh unggas sampai ke leher. Lalu,
doppelganger pemegang senjata pedang darah berlari ke arah sang
burung, menebas kepalanya sampai putus. Kemudian dilanjutkan
membungkus tubuh si burung dengan perisai menyerupai lemari penuh
ribuan jarum.

“Sekarang terakhir! D-4, D-5, dan D-9! Serang bergantian!”

“Ya, Kapten!”

Tinjuan batu diarahkan bertubi-tubi di sisi kanan perisai berbarengan


dengan pukulan hammer di sisi kiri. Perisai resmi retak dan penyok.
Mereka berdua menyingkir, lalu mempercayakan orang terakhir
pemegang cambuk ular untuk meremukkan perisai. Cambuk membelit
begitu kuat sampai terdengar bunyi retakan. Lemari perisai hancur
berkeping-keping menjadikan bukti bahwa burung tersebut sudah
benar-benar mati.

“Akhirnya, kita berhasil melenyapkan monster itu!”

“Horee! Hidup Kapten Lucas Yang Terhebat!”

“Hidup Kapten Lucas Yang Terhebat!”

Para doppelganger bersorak mengelu-elukan nama Lucas. Pemuda


gemulai mulai besar kepala, sedang Varaz dan Riven tak mampu berkata.
Sulit percaya pada apa yang mereka lihat tadi. Namun, mereka salah
besar. Di tengah kegembiraan, sesuatu berwarna putih kemerahan
muncul dari langit. Menghantam ke tanah dan meledak. Para
doppelganger milik Lucas mati seketika terkena ledakan. Beruntung,
Lucas sigap melompat dan selamat dari serangan tersebut. Varaz dan
Riven tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Benda aneh itu apa?
Mereka bahkan tidak begitu jelas untuk mendeskripsikan.

Boom!

Kembali, sesuatu besar mirip batu berwarna putih kemerahan


menghantam tanah di dekat mereka. Empat ksatria pun terpental ke
langit sampai ke luar dari pulau. Saat melayang di langit, Riven sempat
melihatnya. Burung Flamingo raksasa yang terbang tinggi menatap
murka tepat ke dalam mata Riven. Pemuda itu melihat air mata
berwarna putih kemerahan yang menggantung di pupil. Oh, Riven tahu
benda apa yang jatuh ke tanah tadi. Induk Flamingo masih bisa hidup
lagi setelah diserang bertubi-tubi oleh Lucas. Ia menangis karena
kebiadaban para ksatria yang membunuh bayi-bayinya.

“Dasar pembunuh! Pergi dari pulauku! Jika kalian datang lagi, maka aku
akan membunuh kalian!” pikir si burung.
Riven terbelalak mendengar pikiran si burung Flamingo. Ketika hendak
berbicara, itu terputus karena dia telah jatuh ke dalam air laut. Dia dan
teman-temannya sekarang berada cukup jauh dari garis dermaga pulau.

“Riven! Riven! Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Lucas yang
tubuhnya timbul tenggelam di air.

Renungan Riven sukses hancur karena teriakan si ksatria banci. Dia


mengomel keras pada Lucas, lalu menyuruh Varaz menolong Lucas. Dia
melihat sekitar dan menyadari kalau ada yang aneh dengan lautnya.
Seperti bukan lagi laut di dekat pulau Lotus. Sejauh mata memandang,
hanya ada hamparan air laut yang tenang.

“Oi, kalian! Jangan berenang di tempat kapal akan berlabuh!” teriak


seseorang dari belakang mereka.

Mereka berbalik, berkedip pada pria si penjaga pelabuhan. Mereka


bingung melihat ada banyak kapal bersandar di dermaga yang secara
mengejutkan menjadi luas.

“Apakah ... Anda juga ke pulau Lotus ini untuk mencari batu permata
itu? Kau ... penghuni pulau ini?” tanya Riven dengan tampang bodoh.

“Hah?! Kau gila, Nak? Ini wilayah utara kerajaan Matilda. Dermaga
Northypin. Btw, di mana kapalku?” Penjelasan si petugas pelabuhan
membuat ketiga ksatria berteriak syok.

“TIDAK MUNGKIN! KITA KEMBALI LAGI KE PELABUHAN NORTHPYN!”


teriak Lucas.

“Burung itu benar-benar bukan lawan kita. Ia sanggup melempar kita


sampai kembali ke dermaga ini.” Varaz menunduk takut sambil
memapah Lucas yang semakin sekarat.

“Ini ... bohong! Teman-teman, aku benar-benar yakin sekilas kita hanya
jatuh beberapa meter dari pulau Lotus! Ini mustahil! Seperti ada yang--”
Riven berhenti berucap. Matanya melirik ke segala arah mencari orang
aneh itu. Dia menggeram melihat orang itu sudah naik ke atas jembatan
kayu. Riven langsung menyusul naik ke permukaan. Melesat dan
mencengkeram kerah jubah putih basah pemuda albino.
“KAU! INI PASTI ULAHMU, BUKAN, YORDAN! KAU PASTI ANAK BIAH DARI
SI PENGENDALI BLACK DEATH!”

“Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti?”

“Jangan pura-pura lagi di depanku, Yordan! Apa sebenarnya tujuanmu


menjadi ksatria?!”

Varaz datang melerai. “Cukup, Riven! Jangan menuduh Yordan yang


bukan-bukan! Kau ini kenapa! Apa masalahmu dengannya!”

“Kau tidak bisa melihat kejanggalannya, Varaz?! Bagaimana seorang


pemuda lemah seperti dia bisa memenangkan segala pertandingan
hanya dengan berdiam diri saja?! Tanpa sihir yang kita semua tidak tahu
apa itu, dia bisa keluar menjadi seorang ksatria! Itu hal yang tidak masuk
akal!” sentak Riven kalap.

Penyihir tumbuhan mulai diam memikirkan ucapan dari Riven. Dia


memang belum perbah melihat sihir Yordan selama turnamen dan
sepanjang perjalanan ini. Dia menatap lekat Yordan. “Yordan, bisakah
kau menunjukan pada kami seperti apa sihirmu?”

Yordan hanya terdiam dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Part 5

•Beberapa Detik Saat Burung Flamingo Raksasa Melemparkan Empat


Ksatria Ke Laut•

Yordan sungguh kesal pada sikap seseorang yang menyebut diri mereka
adalah ksatria. Dia paham seperti apa itu manusia. Hanya berpikir secara
sederhana dalam menyelesaikan masalah. Bunuh atau kabur.
Menurutnya, daripada membunuh, mengapa tidak melarikan diri saja
seperti Tobias.
Untuk itu, dia memutuskan menggunakan kemampuan supernaturalnya
lagi. Dia memercik air laut dengan kedua tangan, lalu mengucapkan kata
itu.

“Repeat Back Begin.”

Mereka kini berenang di sekitar dermaga, tempat kapal-kapal bersandar.


Kapal milik mereka sendiri masih ada di pulau Lotus. Yordan hanya
mengembalikan dirinya dan yang lainnya ke tempat semula. Berharap
tidak ada yang menyadari hal janggal ini.

•••

“Yordan, tolong beri jawaban pada kami!” desak Varaz.

Riven masih menggeram, sedang Lucas linglung setelah sadar dari


pingsan. Yordan tahu apa yang harus dikatakan sekarang.

“Lucas, waktu di turnamen, bukankah kau pernah melihat sihirku?”


tanya Yordan.

Lucas mengerjap bingung. “Sihir? Hmmm ... oh! Yang itu, ya! Itu keren,
loh!”

“Lucas, apa kau benar-benar pernah melihatnya menggunakan sihirnya


secara nyata?” tanya Riven.

“Tentu saja! Di battle pertama, aku melawannya satu lawan satu. Dia
pengguna teleportasi. Aku sampai bingung kenapa dia bisa merebut
pedangku dan langsung mengarahkannya di leherku. Doppelganger-ku
juga dia pindahkan entah ke mana,” terang Lucas. Agak sedikit sedih
mengingat sehelai rambutnya yang hilang entah ke mana.

“Begitu, ya. Itu sangat ... luar biasa. Kekuatanmu bahkan lebih unggul
daripada Ksatria Fixtra. Jadi, kau bisa men-teleport orang dan benda
sesuai keinginanmu, ya?” tanya Varaz.

“Ya, begitulah.” Yordan membalas tanpa menatap. Dia melangkah ke


pelabuhan disusul Varaz dan Lucas. Riven mulai berpikir. Dia sama sekali
tidak ingat pertarungan antara Lucas dengan Yordan. Itu seperti bukan
sihir, tetapi kemampuan supernatural. Riven pusing terus memikirkan
keanehan Yordan. Ditambah dengan kemampuan membaca pikirannya
yang sepertinya telah berkembang. Dia sadar setelah melihat burung
Flamingo yang tengah murka. Dia kini bisa membaca pikiran hewan.

***

“Fura, ini di mana?”

“Aku juga tidak tahu, Tobias. Ini semua karena kesalahanmu! Kita
sepertinya tersesat.”

“Enak saja! Ini salah si burung raksasa itu, tahu! Eh ... hmm ... jika dipikir-
pikir, ini semua salah empat ksatria. Mereka kejam sekali membunuh
bayi burung yang baru lahir.”

Fura tercekat. “Eh?! Kau ... kenapa bisa tahu?!”

“Aku mendengar tangisan yang mengaku sebagai ibunya. Dia bilang,


‘Siapa yang membunuh anakku! Pasti kalian! Dasar pembunuh! Aku
akan membalas perbuatan kalian!’. Itu menyeramkan, bukan?” terang
Tobias.

“Oh, seperti itu. Tapi ... bukankah hanya bahasaku yang kau mengerti?
Mengapa kau bisa mengartikan bahasa induk flamingo?” tanya Fura
penuh selidik.

“Mana kutahu! Sepertinya, ini ada hubungannya dengan angin yang


menerbangkan kelopak bunga teratai.” Hening sebentar, kemudian
terdengar suara kerosak dari arah semak-semak. Tobias dan Fura
memilih bersembunyi di balik pohon pinus. Mengawasi semak-semak
dengan hati-hati.

“Sial! Aku terdampar di tempat berba--” Pandangan mereka bertemu.


Sosok kelinci hitam berjubah putih dengan tulisan 1k memucat.

“Eh?! Itu kau rupanya, Kelinci Kecil!” pekik Tobias senang. Dia melesat
menangkap kelinci tersebut ke dalam pelukannya.
“Wuaaa! Lepaskan aku! Ini pelecehan namanya!” ronta si kelinci
meminta dilepaskan.

“Tobias, kita harus fokus pada misi kita! Ayo kita temukan batu permata
itu!” tegur Fura.

“Batu permata?! Apa maksudmu Moisavind?!” Pekikan si kelinci hitam


menghentikan remasan Tobias. Fura bertengger di atas kepala si kelinci.

“Kau juga tahu tentang batu itu? Apa ... tujuanmu juga sama seperti
para ksatria yang datang ke sini?” tanya Fura.

“Ksatria? Maksudmu empat helt yang baru itu?” Fura mengangguk.


“Buat apa mengambil batu itu! Aku bukan makhluk penuh impian yang
terlalu tinggi seperti manusia. Menghidupkan orang mati, heh? Itu hal
yang mustahil, tahu!” ucap si kelinci bernama Ninkuru.

“Jadi ... batu itu tidak benar-benar bisa menghidupkan orang mati ...?”
Tobias terduduk lemah bersandar ke batang pohon. Dia tidak percaya
semua yang dilakukannya hanya sia-sia.

“Tidak ... mungkin ....” Fura menunduk dalam penuh kesedihan. Dari
awal, seharusnya dia tidak percaya begitu saja pada perkataan merpati
tukang gosip.

Ninkuru menyeringai licik. Dia mengarahkan tinjunya ke arah Fura, tetapi


hal itu dilihat oleh Tobias. Dia meneriaki Fura untuk menyingkir dari
kepala Ninkuru.

“Sialan! Kau benar-benar licik, Ninkuru!” umpat Fura kesal.

“Kau ... BERANINYA MENIPUKU!” Tobias marah. Langit biru tiba-tiba


mendung. Ada angin puyuh yang tiba-tiba datang menerjang. Fura
merinding, tahu pasti tanda-tanda ini.

“Tobias, hentikan! Sabar! Jangan keluarkan black hole! Kendalikan


kekuatanmu!” teriak Fura, berusaha terbang tanpa terbawa arus angin.

Ninkuru menangis, memohon ampun sambil memeluk erat kaki Tobias


agar tidak terbang terbawa angin puyuh. Tangisan kelinci hitam akhirnya
berhasil menghentikan amarah Tobias. Dia menjinjing Ninkuru,
menempatkannya di tanah. Tangannya membelai lembut kepala
Ninkuru.

“Ninkuru, aku benci seorang pembohong. Tapi ... aku lebih membenci
jika harus mengotori tanganku untuk membunuhmu. Aku ... tidak ingin
membunuh seorang teman dengan kekuatanku,” tutur Tobias lembut.

Fura dan Ninkuru mematung dengan mulut menganga. Mereka tidak


percaya Tobias berkata lembut seperti itu. Terlebih, Fura terkejut karena
pemuda itu menyebut Ninkuru adalah temannya. Itu hal gila yang
pernah dia dengar.

“Tapi ... aku adalah monster ... junior master ... black death dan ... kau ...
helt?” Ninkuru menatap tidak percaya pada ucapan Tobias.

“Memangnya kenapa? Apa tidak boleh monster dan manusia berteman?


Aku tidak keberatan karena aku tahu kau bukanlah monster jahat,” tutur
Tobias.

“Aku ....”

Suara kepakan sayap terdengar dari kejauhan memaksa mereka untuk


bersembunyi di semak-semak. Tak lama, terlihat burung Flamingo
raksasa terbang rendah ke tengah-tengah dua pohon beringin kembar
lalu menghilang.

“Fura, sepertinya itu gerbang menuju tempat batu Moisavinnd berada,”


bisik Tobias.

“Ya. Aku merasakan ada sihir kuat dari arah dua pohon beringin kembar
itu,” balas Fura.

“Ayo kita ke sana!” ajak Tobias. Fura mengangguk, terbang cepat


menyusul Tobias yang berlari kencang ke tengah-tengah celah antar
pohon beringin. Tak mau ketinggalan, Ninkuru mencoba mempercepat
melompat menyusul mereka. Akan tetapi, Ninkuru terpental sebelum
mencapai celah. Begitu membuka mata, dia tidak melihat lagi Tobias dan
Fura.
Tempat asing memang menakjubkan. Tobias baru kali ini melihat ada
tempat yang lebih indah dari padang bunga di desa Slav. Di hadapannya,
terbentang danau yang unik berbentuk seperti bunga teratai. Di
pinggiran danau, ditumbuhi ratusan bunga teratai putih yang mekar.
Wangi angin ini sama seperti angin yang tempo hari menghantam
hidungnya. Di tengah danau, terdapat teratai putih raksasa yang masih
kuncup. Bunga itu sedang dijaga oleh seekor Flamingo raksasa yang
tertidur di atas daunnya.

Tobias merasa agak familiar pada mahkota yang dipakai unggas


tersebut. Mahkota emas bertabur berlian pink, sama dengan mahkota
yang dipakai oleh Flamingo yang tadi ditemuinya. Hanya bedanya,
mahkota itu terlihat seperti mahkota seorang Raja. Tobias berasumsi
kalau Flamingo raksasa itu adalah penguasa pulau Lotus sekaligus
penjaga batu permata Moisavind.

“Siapa di sana?”

Tobias berhenti di tempat. Kaki mati rasa, lidah kelu untuk bicara. Sang
Flamingo raksasa semakin berenang mendekat ke daratan. Iris hijau
emerald besar masih menatap ke arah Tobias. Menghadirkan lebih
banyak tekanan untuknya. Seumur hidup, Tobias belum pernah merasa
takut pada monster atau musuh apa pun. Akan tetapi, pertemuan ini
menjadi bukti bahwa dia bukan satu-satunya makhluk terkuat.

“Siapa kau, wahai anak muda?” tanyanya dengan suara bariton.

Akhirnya, Tobias bisa menjawabnya. “Aku Tobias, seorang helt atau


ksatria. Aku ke sini untuk mengambil batu permata Moisavind.”

“Oh, begitu. Dan burung kecil biru ini?” Fura langsung merespon. “Aku
Fura. Aku hanya mengantar Tobias kemari. Aku juga punya tujuan yang
sama, Tuan Flamingo.”

“Greater. Panggil aku begitu, Fura, Tobias.” Greater mengoreksi.

Greater memijakkan kakinya ke tanah berumput. Dua sayap pink


dibentangkan lebar-lebar dan dikepakan guna mengeringkan bulu dari
air. Greater lalu duduk di samping kanan Tobias seraya menatap lekat.
“Jadi, jika kukatakan batu Moisavind itu adalah bagian dari ia yang
kucintai, apakah kau akan membunuhnya untuk mendapatkannya?”
tanya Greater serius.

“Maksud Anda?” Tobias meneleng bingung. Begitu pula dengan Fura.

“Suamiku, Greater. Kau sudah bangun?” Ada suara yang familiar


terdengar memasuki area danau. Tobias dan Fura tidak perlu menoleh
untuk mengetahuinya. Itu adalah induk Flamingo raksasa yang tadi
murka karena anak-anaknya mati dibantai oleh para ksatria.

“Ya, terpaksa. Karena ada tamu yang datang. Mereka seorang ksatria
dan burung kecil biru. Tobias dan Fura,” jelas Greater.

“Ksatria?” Sang Flamingo raksasa mendekat. Leher melengkung,


menunduk untuk mendekatkan kepalanya ke wajah Tobias. “Kau teman
para ksatria yang telah membantai anak-anakku, bukan?” tanyanya.

Tobias menjawab sedih sambil menundukkan wajah. “Bukan. Aku


memang ksatria, tapi aku sama sekali tidak dianggap demikian. Aku ...
turut berduka cita untuk kematian anak-anakmu. Aku tidak menyangka
mereka tidak ikut melarikan diri meskipun sudah Fura peringati.
Sepertinya, mereka tidak mengerti bahasanya.”

“Kuku ... itu salahku yang tidak meminta Tobias untuk menyampaikan
perkataanku pada mereka. Aku malah memaksanya untuk pergi dari
sana saat telur-telur itu menetas. Maafkan Fura, Nyonya Greater.” Fura
bercuit sedih.

Sang Flamingo betina duduk di samping sang Flamingo jantan. Ia


bersandar, menggesekan kepalanya pada Greater. Air mata menetes
satu per satu dan berubah menjadi kristal ketika jatuh ke tanah.

“Menerima maaf tidak semudah mengayunkan pedang. Aku tahu ini


bukan kesalahan kalian, tapi hatiku masih tidak terima pada semua ini.
Telur-telur yang selalu kujaga dengan sepenuh hati malah ... hancur tak
tersisa. Bayi-bayiku sungguh malang.” Tobias dan Fura semakin
menunduk merasa bersalah. “Kalian tahu, mereka memang menyerang
manusia saat menetas. Tapi, jika kalian bisa membujuk dan berbicara
pada mereka, mereka tidak akan menyerang kalian. Hewan seperti kami
memang liar, tapi kami juga punya pikiran yang bisa membedakan
mana yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan,” lanjutnya.

“Kalian harus tahu. Agatha, Ratu Flamingo yang adalah istriku ini sudah
lima tahun menantikan kehadiran bayi-bayi Flamingo. Dan ... yang
kalian cari ada pada Agatha. Tepat dalam jantungnya,” tutur Greater.

Tobias dan Fura menegang. Mulut terbuka lebar tanpa ada satu pun
suara yang keluar. Keresahan dan keraguan muncul di hati mereka.
Mereka sama-sama memikirkan hal yang sama. Tidak mungkin mereka
membunuh Ratu Agatha setelah ia kehilangan semua anak-anaknya.
Mereka tidak mau Greater kesepian tinggal di pulau ini tanpa seorang
istri dan anak. Mereka sudah mengalaminya. Hidup sendirian itu tidak
enak.

“Katakan padaku, Tobias, Fura. Apa kalian masih menginginkan batu


Moisavind?” tanya Greater sekali lagi.

“Kami ....” Keduanya berhenti di tengah.

Agatha angkat bicara. “Kalian menginginkan batu Moisavind?”

Tobias dan Fura sama-sama terperanjat. “Ti-tidak! Anu ... kami ...
mmm ... sebenarnya ....”

“Jika kau mau, ambilah! Belah dadaku, ambil jantungku! Batu itu ada di
jantungku,” suruh Agatha, maju selangkah ke depan Tobias.

“Tapi nanti Raja Greater akan--”

“Tak apa, Nak.” Greater ikut maju ke depan Tobias. Ia melanjutkan,


“Jika kau telah selesai, segeralah bunuh aku! Seorang Raja tanpa Ratu
dan keturunannya bukanlah apa-apa. Pulau ini akan terasa sepi. Aku
sudah memikirkannya. Kau dan Fura bisa memiliki pulauku setelah kau
menyelesaikan misimu.”

Dua tangan terkepal kuat. Tobias menunduk menyembunyikan


wajahnya. Geraman marah datang bersama tangisan. Dia menatap
tajam raja dan ratu flamingo.
“Aku tidak akan pernah melakukannya lagi! Membunuh raja dan ratu
lagi! Aku tidak ingin mengulang masa lalu kelam itu!” bentaknya.

Fura memandang takjub Tobias. Benar, ia tahu persis kalau permintaan


Greater itu mirip dengan kejadian di mana Tobias menggunakan kedua
tangannya untuk membunuh kedua orang tuanya sendiri. Tentu saja
Tobias tidak akan pernah melakukannya.

“Fura, ayo pergi dari sini!” ajak Tobias. Fura membungkuk hormat ke
arah Greater dan Agatha. Baru dua langkah, Tobias berhenti dan
menepuk jidat. Dia menoleh ke belakang, mulai berbicara pelan.

“Tuan Greater ... itu ... perahu kami tenggelam. Kami tidak bisa pulang
sekarang tanpa perahu dan aku yakin, kapal para ksatria tidak mungkin
kami curi. Jadi ..., bisakah Anda membantu kami?”

“Kau ini hobi sekali merepotkan orang lain. Memangnya kenapa kalau
mencuri kapal mereka? Toh, mereka bisa pakai sihir untuk pulang atau
berenang sampai ke dermaga,” bisik Fura.

“Eh? Kau bisa kejam juga, ya, Fura. Tidak. Aku tidak ingin mereka mati
tenggelam karena berenang berjam-jam. Bagaimana pun juga, mereka
adalah para ksatria, perwakilan kekuatan manusia yang akan
membantuku mengalahkan si pengendali black death. Lagi pula, aku
tidak mau orang yang menyelamatkanku waktu itu mati,” balas Tobias.

“Maksudmu si pemuda albino aneh itu? Huhu~ baiklah,” ujar Fura


terpaksa setuju.

“Kalau seperti itu, baiklah. Aku akan membantu kalian,” kata Agatha.

“Oh, terima kasih, Yang Mulia Ratu.” Tobias membungkuk hormat.

“Kalau begitu, naiklah ke punggungku! Aku akan mengantar kalian ke


tempat yang dituju.” Agatha menurunkan tubuhnya ke depan Tobias dan
Fura.

“Ah! Aku baru ingat! Yang Mulia Ratu, ada seorang teman yang masih di
luar danau ini. Aku juga ingin dia ikut bersama kami, boleh?” tanya
Tobias.
“Tentu. Mari kita keluar dari danau.”

Ninkuru terbangun karena patukan dari seekor burung biru. Ketika


membuka mata, ia melonmpat kaget melihat sosok flamingo raksasa
berdiri di depannya. Fura bercuit menertawainya.

“I-tu! Flamingo raksasa!”

“Kuku! Kau pun juga sama sebenarnya, ‘kan? Kelinci hitam raksasa?”

“Ya, tapi sekarang tubuhku jadi kecil lagi karena kekuatanku habis, Fura!
Btw, di mana Tobias?”

“Halo, Kelinci kecilku!” Tobias melongok dari atas Agatha sambil


melambai ceria. “Ayo naik kemari! Kita akan pergi ke desa Slav!”

“Aku ... boleh ikut?” tanya Ninkuru ragu.

“Tentu saja! Kau kan temanku, bukan begitu, Fura?” Tobias melihat ke
arah si burung biru. “Kuku~ itu benar meskipun aku agak jijik dengan
warnamu. Tapi mulai sekarang, kau adalah bagian dari tim kami,” ucap
Fura.

“Terima kasih banyak ..., Teman.” Ninkuru tidak bisa lagi menahan
tangis. Baru kali ini ada yang menganggapnya seorang teman. Dan
hebatnya, orang itu adalah seorang helt.

***

“Kami mohon, Pak! Antar kami ke Pulau Lotus! Uang dan barang-barang
kami ada di sana! Kami janji akan membayar--”

“Membayar? Keh! Aku tahu kalian ini sebenarnya adalah penipu.


Mengaku-ngaku sebagai ksatria untuk mengambil kapal kami, ‘kan? Aku
menolak!”

“Tapi--”

“Sudah sana! Jangan ganggu kami yang hendak berlayar!”

Semua sia-sia. Petugas pelabuhan sudah tidak mau mengurusi dan


menyewakan kapalnya pada mereka. Lalu sekarang, memelas meminta
tumpangan pada seorang nelayan pun dia ditolak. Riven tahu inilah akhir
dari segalanya. Misi khusus dari sang raja tidak dapat dia dan teman-
temannya laksanakan.

“Riven, menurutku, lebih baik kita kembali ke ibukota untuk meminta


bantuan dari Yang Mulia. Masih ada waktu untuk mengambil batu
permata tersebut,” saran Varaz.

“Benar, tuh! Sudah sehari ini kita mengais tempat sampah demi roti
sisaan, kau tahu? Perutku bisa bermasalah kalau terus begini!” tambah
Lucas, merengek memegangi perutnya.

“Oke. Kita akan berkuda, kembali ke ibukota untuk memberitahukan ini


pada Raja Oscar,” putus Riven.

Sekitar seminggu lebih sehari, mereka pun sampai di Hounorius.


Kedatangan mereka menjadi perbincangan dan gosip hangat. Ada yang
mengira para ksatria telah berhasil mengalahkan si pengendali black
death, ada juga yang menganggap mereka pulang karena menyerah.

Bagi Yordan, itu semua tidak penting. Masalahnya sekarang hanya dua.
Bagaimana tanggapan Raja Oscar tentang kegagalan mereka? Dan ... apa
Tobias dan Fura berhasil mendapatkan batu permata Moisavind? Yordan
selalu memikirkan hal itu.

Pintu gerbang istana dibuka. Pengawal kerajaan mengantar mereka


menuju ruang pertemuan. Sementara itu, Raja Oscar tampak murka.
Raut wajah itu mati-matian dia ubah, sampai akhirnya berhasil. Raja
Oscar sudah mengetahui semuanya. Seorang intel memberitahu kalau
para ksatria dilempar oleh penguasa pulau Lotus sampai kembali ke
dermaga. Dia tidak menyangka sang penguasa ternyata lebih kuat dari
yang diprediksikan. Selain itu, ada berita rahasia yang sangat tidak ingin
dia dengar. Kegagalan untuk mendapatkan batu permata dan
membunuh orang itu.

“Yang Mulia Raja Oscar telah tiba!”

Delapan mata mengikuti langkah sang raja menuju singgasana. Setelah


itu, sang raja mulai bertanya penuh wibawa.
“Ada apa gerangan kalian kembali ke ibukota, Para Ksatriaku?”

Riven maju ke hadapan Raja Oscar sambil berlutut dengan satu kaki.
“Maaf jika kedatangan kami mengganggu waktu Anda, Yang Mulia. Kami
kembali karena ada beberapa masalah dalam misi khusus dari Anda.
Ketika kami menginjakkan kaki ke pulau itu, Ratu penguasa di sana—
flamingo raksasa—menyerang kami dan ... kami tiba-tiba terpental
kembali ke dermaga Northypin.”

“Lalu?” tanya Raja Oscar.

Riven menjawab apa adanya. “Kami sudah mencoba menyewa kapal


lagi, tapi kami tidak punya uang. Uang kami semua ada di kapal yang
tertinggal di pulau tersebut. Kami ... telah gagal di hari ini untuk
menjalankan misi. Kami kemari ingin meminta belas kasih Yang Mulia
Raja Oscar untuk memberikan beberapa keping emas agar perjalanan
kami berikutnya bisa berlanjut.”

Terjadi hening yang panjang. Kemudian, Raja Oscar memaparkan berita


itu.

“Kalian tidak perlu lagi melanjutkan misi khusus dariku. Karena batu
Moisavind sudah ada di tangan si pengendali black death.”

Ketiga ksatria tercengang mendengarnya. Yordan tetap pada wajah


tanpa ekspresi. Menatap lurus pada sang raja untuk mengungkap
sesuatu yang dia curigai.

“Maafkan kami, Yang Mulia Raja Oscar! Kami berjanji akan merebut
kembali batu itu jika kami bertemu dengannya lagi!” Riven bersimpuh di
hadapan Raja Oscar diikuti tiga ksatria lain.

“Bangunlah, Para Ksatria!” Mereka berdiri lagi menatap Raja Oscar. “Aku
akan memberikan lagi sekantung koin emas senilai lima ratus keping
untuk kalian. Fokuskan pada pemusnahan black death! Masalah batu
Moisavind, kalian bisa mengambilnya lain waktu,” katanya sambil
memperlihatkan wajah sedih.

“Baik, Yang Mulia Raja Oscar!” seru keempatnya kompak.


Part 6

Tobias akhirnya sampai di sana. Kampung halaman gadis yang dia cintai.
Seharusnya, dia merasa senang karena telah membawa batu permata
Moisavind ke sini. Akan tetapi, batu tersebut masih ada dalam jantung
sang Ratu Flamingo. Pemuda itu tahu, takdir kematian memang tidak
seharusnya dihancurkan. Orang mati tidak bisa dihidupkan kembali.

Fura tidak jauh dari Tobias. Burung biru kini bisu. Tidak cerewet dan
terus bercuit seperti di perjalanan tadi. Ninkuru sedikit mengerti
perasaan mereka berdua setelah mendengar cerita itu di sepanjang
perjalanan. Kelinci itu sebenarnya juga tertarik pada batu tersebut. Ia
juga punya seseorang yang ingin dihidupkan.

“Tobias, aku punya kenang-kenangan untukmu. Kemarikan telapak


tanganmu,” tutur Agatha, sang Ratu Flamingo.

Tobias menurut. Telapak tangan kanan disodorkan ke depan paruh


Agatha. Paruh putih dengan garis hitam terbuka setengah, lalu sesuatu
berwarna putih bercahaya meluncur dari mulut.

“Ini ... apa?” Tobias menatap heran benda putih padat bercahaya
berbentuk mirip tetesan air mata.

“Ini hadiahmu. Ini benih teratai. Tanamkan pada kuburan orang yang
kau cintai. Selamat tinggal, Tobias, Fura, dan Ninkuru.”

Tobias masih terdiam ketika Agatha sudah terbang jauh meninggalkan


hutan desa Slav. Teriakan Fura segera menyadarkannya dari proses
berpikir. Ninkuru masa bodoh, tidak ingin terlibat pertengkaran dengan
mereka.

“Bodoh! Kenapa tidak kau cegah sang ratu tadi! Tanyakan padanya
maksud dari perkataannya tadi!” teriak Fura.
“Eh? Arrghh! Sialan! Aku terlalu asyik berpikir. Maaf, Fura! Aku ...
arrghh! Sudahlah, mari kita lihat apa yang terjadi jika kita menanam
benih ini di kuburan Daenrys!” Fura berdecak sebal. Terus mengomeli
Tobias sepanjang jalan menuju makam Daenrys. Ninkuru mengikuti
sambil menyemili rumput liar yang tadi dicomotnya dari hutan.

Pemakaman desa Slav sangat luas, tetapi jumlah makam di sini sangat
sedikit. Semua karena para penduduk selalu memakan sayur-mayur dan
sangat jarang sakit. Penjahat atau perampok di desa ini tidak ada sama
sekali. Itu juga yang menyebabkan angka kematian karena kriminalitas
nihil.

Langkah kaki pangeran Skotadi berhenti tepat di depan batu nisan usang
penuh bekas sayatan dan bolong-bolong. Seperti sering dikapak, ditusuk
obeng, dan jarang sekali dibersihkan. Beruntungnya, masih ada yang
berziarah ke makam malang ini dari bekas bunga kering yang terserak di
bawah nisan.

Tobias tersenyum getir, mengelus batu nisan yang mengukirkan nama


gadis yang dia cintai.

“Halo, Daenrys. Aku datang lagi. Maafkan aku karena gagal


mendapatkan batu permata yang bisa menghidupkanmu. Tapi, aku
masih berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi. Saling berbagi
kasih dan berpetualang bersama,” tutur Tobias.

“Kukhuhu ... Rys, aku ... sangat merindukanmu. Aku masih belum
percaya kau telah pergi meninggalkanku.” Fura menangis, bertengger di
batu nisan Daenrys.

Setelah berdoa, Tobias dibantu Ninkuru menggali tanah makam dekat


batu nisan Daenrys. Benih bunga teratai pun ditanam di sana. Menunggu
sekitar lima menit, tidak ada yang terjadi. Tobias menghela napas, dia
sepertinya harus merelakan Daenrys. Dia harus tetap maju dan berjuang
menjadi seorang helt seperti pesan gadis itu. Dia bangkit dari
pemakaman, berjalan kembali menuju hutan dekat pemakaman untuk
berkemah.
Malam itu, ketenangan yang damai datang. Mengantarkan Tobias, Fura,
dan Ninkuru lebih cepat ke alam mimpi. Suara patahan ranting tidak
mampu mereka dengar. Dalam mimpi, Tobias merasa lebih hangat saat
tidur dengan selembar selimut tipis berwarna putih. Seolah ada yang
menambah kehangatan itu sendiri.

Fura berkicau lebih dulu, menyahuti kicauan burung-burung lain.


Pertanda pagi telah datang. Ninkuru menguap dan membuka mata
perlahan. Kelinci hitam dan burung biru terkejut melihat gundukan besar
yang ada di samping kiri tempat Tobias tertidur.

“Fura, i-tu a-pa?” tunjuk Ninkuru takut.

“Aku ju-ga tidak tahu. Mungkinkah itu ... ular?!” Dugaan Fura malah
semakin membuat Ninkuru meringkuk menjadi bola. Pelan-pelan, Fura
terbang rendah ke pundak kanan Tobias. Ia berbisik di telinganya.

“Tobias, bangun. Tolong bangun sekarang. Lihat yang ada di samping


kirimu.”

“Hmm ... Fura! Aku masih ngantuk!”

“Anjirr! Tobias, ini serius! Buka matamu dan lihat ke samping kirimu!
Ada sesuatu yang besar yang tertutup selimut.”

Tobias mengucek mata, melihat apa yang diperintahkan Fura. Tubuhnya


agak melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Dia buru-buru
mengatur napas untuk tetap tenang. Gundukan itu menggeliat. Ada
sepasang lengan yang memeluk erat perutnya.

Dengan penuh hati-hati, Tobias menyibak selimut itu. Saat selimut jatuh
ke tanah, dia melihat pemandangan vulgar. Di mana seorang wanita
berambut cokelat sepunggung telanjang memeluknya.

“Waaa! Siapa kau!” teriak Tobias, menutupi kedua matanya.

“Ungggmm ... Tobias? Kau sudah bangun?” Gadis itu duduk tepat di atas
barang yang mudah menggembung. Dia menguap sambil mengucek
mata.
Mau tak mau, Tobias mengintip dari sela jari. Dia terhenyak, dua tangan
terlepas dari mata, beralih membawa gadis itu dalam pelukan erat.

“Daenrys! Daenrys! Syukurlah kau hidup lagi! Aku mencintaimu!” jerit


Tobias seraya menitihkan air mata.

“Tobias, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi ... aku senang kita bisa
bersama lagi. Aku juga sangat mencintaimu,” ucap Daenrys.

Tobias menarik diri, wajahnya dan Daenrys saling mendekat mengikis


jarak sampai suara kicauan berisik menghentikan mereka.

“Kuku! Kuku! Masih pagi sudah mesum! Dasar lelaki!” omel Fura.

Daenrys tertawa. Dia membungkus tubuh bugil dengan selimut, lalu


mengelus lembut kepala sahabatnya. “Fura, maafkan aku melupakan
kehadiranmu. Aku merindukanmu.”

“Kuku~ aku pun begitu, Rys. Aku senang kau hidup kembali! Berarti
benih teratai itu yang sudah menghidupkanmu!” celoteh Fura.

“Benih teratai?” beo Daenrys.

“Ya. Kami awalnya mencari batu permata Moisavind untuk


menghidupkanmu kembali, tapi kami gagal. Ratu Agatha pun
mengantarkan kami pulang dan memberi kami benih teratai. Aku
disuruh menanamnya di makam orang yang kucintai. Dan kutanam
benih itu di makammu. Sekarang ... kau ada di sini,” terang Tobias sambil
tersenyum.

“Aku tidak menyangka segitu inginnya kalian untuk menghidupkanku


kembali,” ucap Daenrys terharu.

“Nah, sekarang, kita harus menyelinap ke desa untuk memberikanmu


pakaian. Juga ... untuk bertemu ibu mertua.” Pernyataan Tobias
membuat Daenrys merasa mortifikasi. Dia mengangguk, berjalan
bersama Tobias menuju desa.

***

“Nyonya Rick, aku punya kejutan untukmu.”


Wanita itu menutup mulut menahan jerit bahagia. Dia langsung menarik
Daenrys ke dalam rumah. Tobias, Fura, dan Ninkuru mengikuti dari
belakang.

Pertemuan anak-ibu terasa mengharukan. Sejumlah cerita panjang


semakin membuat senyum wanita itu mengembang. Dia juga melirik
penuh terima kasih pada Tobias.

“Ibu, di mana ayah?” tanya Daenrys.

Sang ibu menjawab murung. “Dia sedang bekerja di rumah Sir Yakub.
Menangkap tikus seperti biasanya.”

“Ayah memang pekerja keras, ya,” sahut Daenrys tersenyum.

“Daenrys, sebenarnya, ayahmu sangat membencimu mengetahui kau


kabur dari rumah dan bergabung menjadi ksatria kerajaan waktu itu.
Bahkan ketika kau meninggal, ayahmu ... mengabaikanmu. Dia ...
membiarkan para warga desa merusak makammu. Dua juga tidak
pernah berkunjung ke makammu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi
untuk membujuknya agar memaafkanmu,” paparnya.

Daenrys menggenggam kedua tangan ibunya lembut. “Ibu, tidak apa-apa


bila ayah membenciku. Walau begitu, aku akan tetap mencintainya dan
dirimu. Kalian masih orang tuaku. Aku yakin, suatu saat nanti, ayah pasti
mau memaafkanku.”

“Terima kasih mau mengerti, Daenrys.”

***

Fixtra terus berjalan mengikuti rombongan menuju sebuah desa mati.


Desa yang dua tahun lalu menjadi wilayah penyerangan pertama si
pengendali black death.

“Sudah saatnya kau menunjukkan kegunaanmu padaku, Fixtra. Jangan


buat aku menyesal karena mengampuni nyawamu waktu itu.”

“Ya, Master Horus.”

***
Empat ksatria melanjutkan perjalanan sehabis bermalam di desa Lovut,
sebelah timur desa Avar. Mereka kini harus melewati desa Avar. Desa
yang menjadi saksi bisu awal penyerangan black death. Badai hitam yang
merusak alam dan bisa membunuh manusia. Badai tersebut
dikendalikan oleh satu makhluk dunia lain. Dialah si pengendali black
death. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya dan
dari mana asalnya.

“Sebentar lagi, kita akan melewati desa Avar. Tetap waspada dan jangan
lengah, Teman-teman,” ucap Riven mengingatkan.

Hujan deras turun memaksa mereka berteduh di bawah pohon. Mereka


berpencar karena satu pohon tidak mampu untuk membuat semua
orang tetap kering. Entah sudah berapa lama mereka berdiam diri di
bawah pohon. Hujan pun belum juga reda.

Riven merasa agak mengantuk. Dia sempat berkedip, lalu terjaga lagi
untuk melihat semua rekannya. Mereka masih ada di tempat. Akan
tetapi, dia merasa janggal pada kondisi sekitar. Ketika hujan berhenti,
sesuatu terjadi. Dia melihat ada sekumpulan titan hitam datang dari
jantung hutan menuju ke arah mereka.

“A-pa itu?!” pekik Lucas tergagap.

“Ini seperti ... monster black death!” seru Varaz.

“Sialan! Mereka tidak bisa sehari saja membiarkan kami beristirahat!—


Semuanya! Bersiap untuk menyerang!” seru Riven mengomando.

Riven, Varaz, dan Lucas maju, mengeluarkan kemampuan sihir masing-


masing untuk melawan titan hitam. Yordan masih berdiri tegap dengan
raut wajah yang murka. Dia terus menonton dari kejauhan. Pemuda
albino melirik ke atas salah satu pohon tempat mereka berteduh. Di
antara dedaunan, ada akar tanaman yang merambat. Tumbuhan itu
berdaun bulat berbunga ungu. Yordan berdecak, tahu ada sesuatu yang
tidak beres tentang penyerangan ini.
“Lucas! Kami tidak bisa menang dengan hanya tiga orang! Kau sebaiknya
menggunakan sihir doppelganger!” saran Riven di tengah
pertarungannya dengan dua raksasa.

“Aku juga tidak bisa membelit mereka semua dengar sulurku! Keluarkan
sekarang, Lucas!” Varaz berkomentar sambil membuat barrier di
sekitarnya.

“Oke! Aku ak--”

Bruukk! Crassshh!

Seperti slow motion. Riven, Varaz, dan bahkan Yordan ternganga melihat
kejadian naas itu. Melihat temannya mati terinjak kaki titan hitam.
Tubuh si ksatria banci hancur berdarah-darah, rata dengan tanah.

“Ti ...DAK! LUCAS!” Varaz menangis meneriaki nama pemuda blonde.


Riven menggeram menutup mata. Setengah dirinya berduka karena
kehilangan seorang teman seperjuangan. Kejadian tragis tersebut
menggugah hati Yordan untuk ikut menolong. Dia memejamkan mata,
mengucap mantra.

“Repeat Cease.”

Mata Yordan terbuka dan dia tidak melihat adanya perubahan.


Seharusnya, waktu berhenti, tetapi dia masih melihat Riven dan Varaz
masih bisa bergerak menyerang titan hitam. Dicoba berulang kali pun
hasilnya masih sama.

Sementara di sisi lain hutan yang sama, Tobias, Fura, Daenrys, dan
Ninkuru berkuda santai menapaki hutan yang sepi. Daenrys merasakan
ada yang berbeda dari udara di sini. Terasa lebih dingin membuat
merinding.

Sesampainya mereka di ujung hutan, mereka melihat ada sosok


berjubah hitam berdiri di tengah-tengah seolah menghalangi mereka
untuk keluar dari hutan.

“Siapa kau?” tanya Tobias keras.


“Kau tidak perlu tahu siapa aku! Serahkan saja batu Moisavind padaku!”
todongnya.

“Kami tidak memilikinya,” jawab Tobias mantap.

“Kalau begitu ... MATILAH KALIAN SEMUA!” Sosok itu melesat, menarik
pedang ganda berwarna monokrom. Ujung tajam hampir mengenai
leher Tobias kalau tidak pemuda itu tahan dengan black sword. Tobias
melompat dari kuda, maju ke depan untuk menyerang balik. Black
sword menggores jubah, merobek jubah tersebut hingga jatuh ke tanah.
Sosok dalam jubah pun terungkap. Syok datang melanda Tobias dan
Daenrys yang ada di belakang. Wajah itu sangat mereka kenal.

“Lama tidak berjumpa, Tobias, Daenrys.”

“Tidak ... mungkin. Kau ... Granyof ....”

“Kenapa, Tobias? Seharusnya kau senang karena temanmu ini masih


hidup. Ah, tidak. Kau bukan lagi temanku, begitu pula denganmu,
Daenrys!” tunjuk Granyof garang. “Kalian adalah pengkhianat! Kalian
adalah si pengendali black death! Pencuri benda pusaka berharga milik
kerajaan Matilda!”

“Tu-tunggu dulu, Granyof! Kami bukan--” Ucapan Daenrys diputus


Granyof. “Diam saja, Keparat! Sekarang, serahkan batu Moisavind
padaku atau mati!”

“Kami memang tidak memilikinya, Granyof! Lagipun, kau ... mengapa


masih hidup?! Aku yakin telah--”

“Heh! Kekuatanmu tidak akan bisa membunuhku, Tobias! Aku waktu itu
hanya pura-pura mati.”

“Tidak mungkin ....” Daenrys menutup mulut menahan jerit


keterkejutan. Dia yakin, Tobias sudah menceritakan semuanya dengan
penuh kejujuran. Mungkinkah ... selama ini Tobias adalah si pengendali
black death yang sebenarnya? Daenrys tidak mampu lagi berpikir.

“Granyof, bukankah kita adalah teman?! Aku tidak mungkin berkata


bohong padamu dan Daenrys! Aku memang tidak memiliki batu
Moisavind! Aku juga bukan si pengendali black death!” pekik Tobias
membela diri.

“Terpaksa, aku harus membunuhmu lalu mengambil batu itu!” Granyof


melesat cepat ke arah Tobias. Adu pedang tak terelakkan. Tobias sampai
detik ini ragu untuk membalas serangan Granyof. Dia memilih untuk
bertahan dengan menangkis pedang monokrom. Dia tidak mau
menyakiti temannya sendiri.

“Lawan aku, Tobias!”

“Tidak! Aku tidak akan menyerang temanku sendiri!”

“Kalau begitu, pergilah ke neraka!”

Black sword terpental jatuh ke tanah. Tobias jatuh terduduk.


Pertahanannya hancur, membuat Granyof maju tanpa ragu. Pedang
sudah mengayun ke arah Tobias, tetapi ada pusaran angin mendadak
datang ke arahnya. Granyof terpental jauh ke tanah. Dia melirik sengit
Daenrys yang kini berada di depan Tobias. Menjadi tameng si pangeran
Skotadi.

“Dasar jalang! Jangan campuri urusanku!” umpat Granyof.

“Kau ... bukan Granyof! Kau tidak memiliki aura Granyof! Siapa kau
sebenarnya?!” seru Daenrys.

“Apa maksudmu, Daenrys? Kau ... bisa melihat aura milik seseorang?!”
Teriakan Tobias yang syok ikut membuat Daenrys terkejut. Gadis itu juga
bingung dengan apa yang dilihat dan dipikirkannya.

“Aku juga tidak tahu, Tobias. Setelah melihat Granyof beberapa kali, aku
melihat ada asap hitam di sekitar tubuhnya. Aura itu kurang lebih mirip
sepertimu. Itu juga yang kupikirkan. Aku kira ... Granyof adalah manusia
yang tentunya ... tidak memiliki aura yang mirip denganmu,” terang
Daenrys.

Granyof tiba-tiba tertawa lepas. “Aku ketahuan, ya. Hmmm ... aku tidak
tahu ternyata kemampuan sihirmu meningkat setelah dihidupkan
kembali, Daenrys.”
“Jadi, kau mengaku pada kami kalau kau bukan Granyof? Siapa kau!
Tunjukan wujud aslimu!” sentak Tobias.

“Aku ....” Sinar hitam terang menutupi tubuh sosok yang mengaku
sebagai Granyof. Selanjutnya, terlihatlah sosok yang tidak asing untuk
Tobias, Fura, dan Ninkuru.

“Kau! Salah satu helt!” teriak Ninkuru.

“Kau benar, Juniorku. Namaku Lucas Miranda. Atau kalian bisa panggil
aku sebagai ... Jenderal baru pengganti Illiyos, pemimpin pasukan black
death,” ujarnya seraya menyeringai.

“K-kau! Jenderal Lucas yang itu?!” pekik Ninkuru heboh. Dia mundur
cepat, bersembunyi di belakang kuda. Fura yang ada di atas punuk kuda
meneleng heran.

“Ninkuru, kau bukan lagi bagian dari pasukan black death. Kau adalah
penghianat!” tutur Lucas.

Duarr!

Petir menyambar seiring menggelapnya langit di sore hari. Lucas


menyeringai, tahu kalau sudah saatnya perang akan dimulai. Untuk
membinasakan para helt dan membunuh sang pengendali sebenarnya
kekuatan black death. Pangeran Skotadi yang telah hilang, Tobias.

Part 7

“Sial! Sudah kutebas berulang kali, tapi tetap saja mereka semua hidup
lagi! Apa kelemahan mereka!”

“Kita coba sekali lagi, Riven!”

Riven mengangguk, hendak maju mengikuti ajakan Varaz. Akan tetapi,


Yordan menahannya, menepuk bahu dan menatap serius.
“Ada apa? Jangan coba-coba melarangku untuk bertindak! Aku tidak
pernah melarangmu, dan seharusnya kau juga tidak melarangku!”
sentak Riven.

“Tidak,” jawab Yordan, “aku hanya ingin memintamu melakukan


sesuatu. Tutup hidungmu.”

“Ap--” Hidung Riven dijepit jari Yordan. Raungan marah keluar, Riven
hampir menonjok wajah Yordan sampai semua itu diurungkan. Mata
tidak sengaja melirik ke arah para titan hitam. Mereka kini menghilang
secara ajaib dari pandangan.

“Tidak mungkin ...,” lirihnya dalam suara tertahan.

“Inilah yang kita lihat secara nyata, Riven. Karena para titan hitam itu
hanyalah wujud yang terbentuk dari halusinasi kita. Dan penyebab kita
mengalami halusinasi itu tak lain karena tumbuhan aneh berbunga ungu
yang tumbuh di salah satu dahan pohon tempat kita berteduh.” Yordan
menjelaskan sambil menunjuk ke arah salah satu pohon dengan tangan
kiri.

Riven melotot terkejut. “I-tu! Itu pohon Mandrake! Pohon sihir


halusinasi! Tapi ... aku sangat yakin, pohon itu hanya ada di gunung
Snork, di desa Tark.”

Yordan menyeringai. Iris abu-abu melirik satu-satunya penyihir wanita.


Dia langsung menuding, “Seseorang yang bisa melakukan sihir
tumbuhan pastilah pelakunya. Varaz, kaulah yang menumbuhkan pohon
Mandrake untuk memanipulasi pikiran kami.”

Rahang Riven kaku untuk bergerak. Dia berkata putus-putus. “Varaz ...
benarkah ... itu ...?”

Varaz menunduk sebentar, kemudian tertawa seperti psikopat. Dia


memincing tajam ke arah Yordan. “Hebat sekali, kau, Yordan! Ya! Aku
yang telah menumbuhkan pohon Mandrake! Semua kulakukan untuk
mengulur waktu untuknya.”

“Untuk siapa?! Mengapa kau tega melakukan ini pada kami!” teriak
Riven marah.
Varaz menyeringai. “Untuk kaptenku tercinta, pemimpin pasukan black
death, Lucas Miranda. Sungguh helt yang malang. Kau begitu mudahnya
percaya pada kami berdua. Yang mati tadi sebenarnya hanya
doppelganger Lucas. Dasar bodoh ... hahaha!”

“Kau ... penghianat! Mengapa! Padahal, kita sudah seperti saudara


kandung dan ....”

“Cih! Aku jijik mendengar suaramu! Melihat dirimu yang seenaknya


memerintah kami! Kau bukan seorang pemimpin! Kau hanya helt
pecundang!”

“Sekarang, di mana Lucas? Di mana si pengendali black death berada?”


Yordan menyela tegas.

“Apa pentingnya buatmu? Juga ... siapa sebenarnya kau! Aku dan kapten
sangat yakin kau bukanlah manusia!” Varaz maju selangkah demi
selangkah menuju keduanya.

“Ya. Kau benar, Varaz. Aku bukanlah manusia.” Pengakuan Yordan


membuat Riven terbelalak. “Aku turun ke bumi karena mendapatkan
tugas khusus dari ayahku.”

“Siapa ayahmu? Dari mana asalmu? Tugas khusus apa itu?” cecar Varaz.

“Sebenarnya itu rahasia, tapi karena kau telah berbaik hati membongkar
rahasia sendiri, aku akan membongkar sedikit rahasia juga. Dengar baik-
baik dan sampaikan pada bos besarmu, si pengendali black death.” Riven
mengernyit saat tangan Yordan bertengger di pundak kanannya. “Aku
berasal dari kerajaan Foteino. Tugasku adalah membantu Tobias,
Pangeran kerajaan Skotadi untuk merebut kembali tahtanya,” lanjutnya.

“Repeat Freeze.”

Kemampuan andalan kedua Yordan dipakai untuk melarikan diri dari


Varaz. Hanya Riven yang tidak terkena efeknya karena dia telah disentuh
oleh Yordan. Rasa takjub sekaligus merinding datang menyebar ke
seluruh tubuh Riven. Seseorang seperti dia bukan apa-apa. Pecundang,
seperti kata Varaz.
“Ayo kita pergi dari sini, Riven! Ada yang lebih penting dari melawan
orang rendahan black death,” ajak Yordan.

“Baiklah,” jawab Riven lesu.

Tepat di tengah-tengah padang rumput yang menghitam, Tobias,


Daenrys, Fura, dan Ninkuru melihat ada puluhan monster hitam dan
prajurit zombie hitam. Mereka berbaris rapi, membawa bendera hitam
dengan bintang merah di tengahnya.

“Pangeran Tobias, kami akan berperang melawanmu! Kami hanya ingin


Master mendapatkan apa yang dia inginkan! Batu Moisavind dan
Monochrome Diamond!” seru sang jenderal perang, Krovirbro. Monster
setinggi lima meter berkepala buaya bertubuh banteng yang
menunggangi Griffin hitam.

“Monochrome Diamond? Hmm ... aku tidak mengerti mengapa dia


menyangka batu itu ada padaku. Aku pun tidak tahu batu apa
sebenarnya itu,” gumam Tobias.

“Tobias, apa yang harus kita lakukan sekarang?! Musuh kita sangat
banyak, tidak sebanding dengan kita!” pekik Daenrys panik.

“Kuku! Aku belum kawin! Dewa, aku belum ingin mati muda!” Fura ikut
bercuit frustasi.

“A-ku ... tidak mungkin bisa mengalahkan mereka, Tobias. Meskipun aku
cukup tahu seperti apa strategi Jenderal Krovirbro,” ucap Ninkuru,
bersembunyi ketakutan di belakang kaki Tobias.

Tobias tersentak. Dia mendapatkan sebuah ide untuk melawan para


prajurit. Telinga panjang Ninkuru diangkat ke udara. Wajah mereka
saling berdekatan, saling menatap.

“Katakan, Ninkuru. Apa srategi mereka? Dan ... bagaimana caranya agar
kau bisa kembali ke wujudmu yang semula?”

“Mereka akan menyerang dengan memerintah prajurit zombie di baris


depan. Kemudian, saat kita kehabisan tenaga, jenderal akan mengirim
kurang lebih sepuluh monster beruang hitam untuk membuat kita
kehilangan konsentrasi. Lalu, ketika tubuh dan pikiran kita tidak sejalan,
monster terakhir, naga hitam akan menyerang dari atas langit.
Membakar hidup-hidup dengan api hitamnya.”

Tobias menopang dagu berpikir. Dia melirik Ninkuru. “Dan kau?”

“Oh!” cetus Ninkuru, “aku bisa kembali ke wujud asal dengan bantuan
masterku, si pengendali black death. Itu semacam ... pentransferan
energi. Aku tidak yakin kau setuju membiarkanku pergi memelas
kepadanya, ‘kan?”

“Benar. Aku tidak ingin kau melakukan hal bodoh seperti itu. Si
pengendali bisa saja malah membunuhmu atau memanfaatkan
pertemanan kita untuk mengetahui kelemahanku,” ujar Tobias.

Daenrys berjingkat berteriak tertahan. “Kau! Tobias ... setelah dua tahun
tidak bertemu, aku tidak menyangka kau akan tumbuh sepintar ini?!”

Perempatan imaginer hadir di dahi Tobias. “Jangan menganggapku


sepenuhnya idiot, Daenrys! Kau juga, Fura! Apa yang kau tertawakan?!”

Tawa si burung biru terhenti. Ia mulai merengut sebal. “Aku hanya tidak
percaya ternyata seorang pangeran kerajaan Skotadi itu pintar.”

“Dengar, aku tahu apa yang harus kulakukan. Dan Ninkuru, apa kau
sanggup melakukan serangan yang dulu kau terapkan padaku dalam
kondisi seperti ini?”

“Kalau hanya menggali puluhan lubang, aku sanggup. Tapi lubang itu
mungkin tidak sebesar lubang waktu itu dan pergerakanku tidak begitu
cepat.”

“Tidak masalah. Yang terpenting adalah hasilnya. Aku akan


mendukungmu, Ninkuru. Semangatlah, Sahabatku!” Tobias tersenyum
lembut sambil memeluk erat kelinci hitam.

Ninkuru terperangah. Hatinya menghangat ketika berada dalam pelukan


Tobias. Dia merasa sangat diandalkan. Air mata hitam tak sadar jatuh
dari pupil, membasahi jubah yang memiliki warna serupa. Ninkuru
mengangguk, dengan cepat menggali tanah dengan dua kaki depannya.
Tobias, Fura, dan Daenrys memasang sikap kuda-kuda. Mereka mulai
fokus pada musuh yang mulai mendekat. Di dalam tanah, Ninkuru terus
menggali dengan penuh semangat menuju posisi para prajurit zombie.
Tak sadar, kecepatannya mulai kembali dan sesuatu yang ajaib terjadi.

Tubuh Ninkuru perlahan membesar berubah menjadi setinggi dua


meter. Rasa tak percaya muncul. Ninkuru menggelengkan kepala,
memilih fokus pada misi. Dengan garukan cakar besar nan kuat, lubang-
lubang raksasa muncul di berbagai tempat. Bersama itu pula prajurit
zombie jatuh ke dalam lubang galian.

Satu per satu dari mereka Ninkuru lawan. Kelemahan mereka terletak
pada ibu jari tangan kanan yang berwarna putih kecokelatan seperti kulit
manusia. Ninkuru sudah diberitahu tentang itu dari pelatih pasukan
black death. Dia hanya perlu memutuskan ibu jari tangan kanan mereka.
Hanya dalam setengah jam, puluhan prajurit zombie mati. Tubuhnya
berubah kembali menjadi tengkorak manusia. Misi pertama selesai.

***

Angin tornado menghempas sekitar sepuluh beruang hitam dan prajurit


zombie yang tersisa. Di belakang punggungnya, sang pangeran Skotadi
berusaha mengarahkan black sword pada beruang-beruang hitam. Di
udara, Fura terbang menyelip di antara kerumunan prajurit zombie. Dia
langsung menyambar ibu jari tangan kanan prajurit hingga putus.

Jumlah pasukan black death perlahan berkurang membuat sang jenderal


perang gusar. Tanpa membuang waktu lagi, dia langsung bersiul. Suara
itu menjadi pertanda untuk pasukan naga hitam mengudara. Siulan
dibalas koaran ganas dan puluhan suara kepakan sayap. Jenderal
Krovirbro menyeringai puas.

Tepat di tengah pertarungan sengit yang membuyarkan konsetrasi,


semburan api hitam terlontar ke arah mereka. Tobias, Fura, dan Daenrys
membuka mulut lebar-lebar seraya melotot. Saat menegangkan di mana
nyawa akan melayang terhenti. Langkah kaki berlari hadir dari belakang
hutan.

“Aku benci ini!”


“Maaf saja. Tapi hanya ini yang bisa kulakukan agar kau tidak
terpengaruh kemampuan supernaturalku, Riven.”

Yordan berlari bersama Rivendosni seraya bergandengan tangan menuju


ke arah Tobias, Fura, dan Daenrys. Yordan menepuk pundak Daenrys,
mengelus bulu Fura, dan menjitak kepala Tobias.

“Eh?"

“Uh?"

“Kutukupret! Siapa yang beraninya menjitakku!”

Daenrys menatap heran pemuda albino. Pemuda asing itu membuatnya


berpikir keras. Otak Daenrys sampai-sampai hampir meledak.

“Kuku! Kau penyelamat kami, Tuan Albino!” Fura bercuit gembira.

“Kau! Mengapa kau menjitakku, hah?!” tunjuk Tobias murka.

Yordan menjawab datar. Matanya fokus pada Daenrys. “Karena kau


idiot. Seharusnya kau pakai kemampuan black hole atau tombak hitam
untuk melawan musuh.”

“Aku ... ragu bisa melakukannya. Lagi pula ... BERHENTILAH MENATAP
KEKASIHKU, KAKEK TUA!” Tobias meraung marah.

Iris abu-abu menutup diiringi senyuman lembut. Yordan mencubit kedua


pipi Tobias gemas. “Siapa yang kau panggil ‘Kakek Tua’, Tobias? Kita ini
seumuran, tahu. Kau masih saja seperti waktu kita kecil. Suka mengatai
orang lain.”

“Siapa kau? Aku tidak ingat pernah punya teman sedatar teplon
sepertimu,” cibir Tobias.

“Aku Yordan, teman masa kecilmu. Ah, yang terpenting, ayo kita
menyingkir dari sini! Kemampuanku hanya bertahan sampai tiga menit
lagi,” ajak Yordan.

Semua orang berlari kembali ke dalam hutan. Mereka bersembunyi di


balik semak-semak. Ketika Yordan menarik kemampuannya, para
pasukan black death kebingungan. Mereka tidak menemukan sang
pangeran dan kelompoknya.

Dari situ, Jenderal Krovirbro yakin ada campur tangan orang asing yang
membantu Tobias. Dia memerintahkan para monster beruang dan naga
hitam berpencar menyisir hutan mencari keberadaan mereka.

“Sepertinya, Ninkuru telah berjuang begitu banyak untuk kita. Lihat ...
hiks ... prajurit zombie sebagian besar telah menghilang. Padahal, aku
sudah menyiapkan hadiah untuk kelinci kecilku yang menggemaskan
itu ... hiks!” Tobias menangis sedih. Dia mengeluarkan sebuah wortel
jumbo dari balik jubah.

Secara mengejutkan, sebuah cakar raksasa muncul dari dalam tanah.


Mencuri wortel dari tangan Tobias. Pemuda itu jatuh terduduk dalam
kepanikan. Lalu, muncul seekor kelinci hitam dua meter yang memakai
jubah putih bertuliskan 1k dri dalam tanah. Wortel dilahap sekali
kunyah.

“K-kau ... siapa?!”

“Eh? Kau tidak mengenaliku?! Aku Ninkuru, sahabatmu, Tobias!”

Tobias menopang dagu, menatap dari atas ke bawah sosok itu. Keraguan
muncul di hatinya, menghadirkan respon desahan frustasi dan gelengan
kepala dari Daenrys dan Fura.

“Nah, ini dia! Idiotnya Tobias muncul lagi!” Daenrys menyambangi sang
kekasih, “Tobias, ini wujud asli Ninkuru. Bukankah kau dan Fura pernah
melihat dan bertarung dengannya dalam bentuk ini?”

“Oh, iya! Hahaha! Aku ... baru ingat.” Tobias tertawa innocent.

Riven melotot, tiba-tiba menyuruh semua orang untuk tiarap.


Bersembunyi di balik semak-semak dan menutup hidung serta mulut.
Dia tadi telah membaca pikiran orang asing yang mendekat.

Orang itu memikirkan kalau mudah mencari mereka karena dengan


suara napas, dia dan naga hitam bisa menemukannya. Benar saja, suara
kepakan sayap terdengar dibarengi suara pijakan kaki besar. Pertanda
sang naga hitam dan penunggangya telah mendarat di tanah.

“Enduslah mereka! Aku yakin, mereka ada di sekitar sini,” perintahnya.

Tobias dan Daenrys saling pandang. Mereka saling berinteraksi melalui


pikiran. Tentu saja mau tak mau Riven membaca pikiran mereka.

Fixtra. Si penunggang naga hitam, pengendali kawanan monster itu


adalah seorang ksatria yang dulu dikabarkan menghilang tanpa jejak.
Riven tidak sanggup lagi melihat kebenaran lainnya. Fixtra adalah ksatria
idolanya dan sekarang, dia adalah pengkhianat. Dia berpihak pada si
pengendali black death.

Naga hitam terbang keluar hutan tanpa mendapatkan mangsa. Empat


orang, dua hewan, membuka mulut dan bernapas lagi. Mereka agak
kesal karena perintah tiba-tiba dari Riven. Akan tetapi, mereka terlihat
lebih kesal pada si penunggang naga hitam yang sangat pintar
mengetahui lokasi mereka.

“Fixtra ... aku tidak menyangka dia bergabung pada black death,” tutur
Tobias.

“Aku pikir, dia gadis yang baik,” ucap Daenrys sedih. Teringat kenangan
dua tahun lalu saat dia menyelamatkan Fixtra dari serangan Illiyos.

“Jadi, dia siapa, Tobias, Daenrys?” tanya Yordan.

“Dia Fixtra, salah satu ksatria yang setim denganku dan Daenrys. Dia
pengguna sihir unlimited, sihirnya banyak dan tidak terbatas. Dia tiba-
tiba menghilang saat ... aku berhasil membunuh kakakku dan ... karena
itu, aku juga kehilangan Daenrys,” jawab Tobias, merasa sedih
mengungkit kenangan pahit.

“Begitu. Sekarang, kita harus memikirkan cara untuk mengalahkan


pasukan black death, terutama sang jenderal. Aku berasumsi, jika kita
berhasil membunuh jenderal mereka, pasti pasukan itu akan mundur
dan kabur,” ujar Yordan.
Ninkuru bersuara. “Sebenarnya, sangat sulit untuk bisa mengalahkan
jenderal Krovirbro. Pelatihku saja kalah melawannya. Dia itu punya
kemampuan teleport dari segala arah dan pada kondisi lingkungan apa
pun.”

“Hmm ... kupikir, dia akan setara denganku. Oke! Sudah kuputuskan. Aku
akan melawan sang jenderal. Kalian akan melawan si Lucas, Varaz,
Fixtra, dan monster-monster yang tersisa,” papar Yordan.

“Kau ... yakin, Yordan?” Tobias bertanya cemas. Pemuda albino


tersenyum ceria. Maju ke depan Tobias dengan tangan merentang siap
memeluk. Akan tetapi, dadanya disikut oleh Riven. Ksatria pembaca
pikiran membentaknya. Menyuruh Yordan segera angkat kaki. Riven
muak melihat adegan incess menjorok ke yaoi.

***

“Kena kau!” Fixtra menyeringai lebar. Dia terbang rendah menuju ke


arah Tobias. Begitu pemuda itu berbalik, dia mengeluarkan tombak
hitam. Melemparnya ke arah Fixtra. Sayang, serangan itu meleset ke
pohon yang ada di belakang Fixtra.

“Aku tidak menyangka kau berpihak pada si pengendali black death.


Padahal, kau telah diselamatkan oleh Daenrys. Dasar tidak tahu balas
budi!”

“Terserah kau mau bilang apa, Tobias! Aku melakukan ini karena suatu
alasan! Tidak ada orang baik yang berubah menjadi jahat tanpa alasan!”

“Lalu, apa! Apa alasanmu, Fixtra!”

Fixtra menunduk dalam. Ada isak tangis yang terdengar darinya. “Semua
karena dia! Dia, si pengendali busuk itu! Dia mengancam akan
memusnahkan desaku dan mengambil pusaka peninggalan nenekku!
Aku harus menjadi budaknya! Aku tidak punya pilihan lain, Tobias!”

“Kau ... sudah pernah bertemu dengan si pengendali black death?” tanya
Tobias serius.
Fixtra menatap tepat ke mata Tobias. “Ya. Dia adalah orang yang
menyuruh kita untuk membunuh dirinya sendiri. Yang melantik kita
menjadi ksatria. Sang Raja Agung Matilda. Raja Oscar.”

***

Daenrys berjalan sembunyi-sembunyi mengintai dari belakang sosok


penyihir tumbuhan. Langkah seringan angin mendekati Varaz. Insting
gadis itu sangat baik. Dia langsung tahu kalau itu adalah musuhnya.

“Ayeah ... kebetulan, bukan? Aku sedang mencarimu, Daenrys. Sang


mantan ksatria yang bangkit dari kubur. Sekarang, serahkan batu
Moisavind padaku!”

“Aku tidak memilikinya! Aku bahkan tidak mengenalmu!”

“Omong kosong! Kau pasti sudah tahu siapa aku dari si pangeran dan
Riven. Serahkan padaku!”

Varaz mengangkat tangan kanan, lalu sulur tanaman kacang polong


keluar dari tanah. Sulur melata, melesat cepat mengikat kedua kaki dan
tangan Daenrys.

“Sial!”

“Sekarang, berikan aku batu Moisavind itu!”

“Kau ... benar-benar keras kepala!— tornado slice!”

Sulur terpotong berkat angin tornado pemotong. Daenrys akhirnya


terbebas dari jerat. Tak membuang waktu, dia segera merapal mantra
pengendali angin.

“Tornado double!”

“Akar beringin!”

Angin tornado kembar besar tidak mampu menerbangkan dan menjebol


perisai akar beringin Varaz yang kokoh. Varaz mulai membalas dengan
melontarkan aneka jamur beracun. Gas beracun yang tumbuhan itu
keluarkan hampir dihirup Daenrys.
Lama-kelamaan, kabut kuning gas beracun menutupi pandangan.
Daenrys mati-matian menahan napas. Mata fokus menatap sekitar demi
menemukan Varaz. Tiba-tiba, sesuatu datang dari arah belakang melesat
cepat menindih punggung Daenrys. Pelakunya adalah Varaz. Ujung
lancip batang tanaman Manchineel mengarah ke leher Daenrys. Getah
dari batang itu bisa melepuhkan kulit leher Daenrys.

“Bergerak sedikit, maka kau akan kembali ke alam kubur, Daenrys!”

Dalam kondisi panik, pikiran dan jiwa Daenrys tiba-tiba terasa ringan.
Mulutnya bergerak sendiri, merapalkan mantra yang sama sekali tidak
dia kenal.

“Hidup ada untuk dijaga. Kematian ada untuk diingat. Semua yang ada di
bumi terikat pada udara. Binding Caeli!”

Sosok di belakang Daenrys gemetar. Batang pohon Manchineel terjatuh


ke tanah. Suara seperti tercekik terdengar dari tenggorokan Varaz. Gadis
itu menggeliat, jatuh telentang di tanah. Dia memegangi leher dan dada
dengan mata melotot hampir memutih. Tidak lama setelahnya, Varaz
menutup mata. Tubuhnya sudah tidak bergerak lagi.

“Apa ... yang tadi terjadi ....” Daenrys menutup mulut syok.

***

Riven lelah terus menghadapi puluhan doppelganger milik Lucas. Sudah


beberapa yang meregang nyawa, tetapi malah muncul lagi
doppelganger yang baru. Seolah mereka tidak ada habisnya.

Dalam napas terbata, fokus Riven masih tetap utuh. Dia memandangi
satu per satu doppelganger. Tahu kalau satu di antara mereka bukanlah
Lucas yang asli. Sebagai mantan teman seperjuangan, Riven tahu di
mana letak kelemahan kemampuan Lucas. Sang kapten banci pasti
bersembunyi di tempat yang aman, lumayan jauh dari arena
pertarungan. Tempat yang sejuk dan asri. Ya ... di bawah pohon rindang.

Untuk itu, Riven berlari kecil melarikan diri dari mereka. Para
doppelganger mengejar tanpa berhenti ke mana Riven pergi. Ketika
sampai di sebuah pohon rindang, Riven menyandarkan punggungnya ke
batang pohon. Dia sengaja mendesah seperti seorang gadis.

“Uhh ... aku lelah sampai kemejaku basah semua. Sepertinya, lebih baik
kulepas saja ....” Riven bergerak mencopot kancing kemejanya dari atas.
Baru tiga kancing terbuka, Lucas sudah muncul dari sisi belakang pohon
yang sama. Dia menggenggam tangan Riven yang sedang mencopot
kancing. Seringai mesum terbit, membuat Riven bergidik jijik dalam hati.

“Bolehkah aku membantumu ..., Helt-ku yang cantik?” goda Lucas.

Riven terpaksa memainkan peran. Dia mengangguk malu-malu. Pipi


bersemu merah, tetapi bukan karena malu. “Tolong, Kapten ....”

Saat Lucas sibuk mencopot kancing, tangan kanan Riven terkepal kuat.
Dia mengeluarkan pedang sihirnya, lalu dengan cepat menusuk
punggung Lucas sampai tembus ke dada kiri. Semburan darah dari mulut
sang kapten banci menjadi pertanda kemenangan Riven.

“Akhirnya kau mati juga ..., Banci Homo Keparat.”

***

Fura dan Ninkuru adalah pasangan duet terbaik dalam menyerang. Fura
mematuk, Ninkuru meninju. Berkat kerjasama yang baik, mereka
berhasil masuk ke depan lini musuh. Mereka sekarang menghadapi lima
naga hitam yang tersisa, yang menjaga jenderal Krovirbro.

“Oh, ini rupanya penghianat itu. Ninkuru, si Junior Master Black Death,
anak buah Ninkuro, si Kura-Kura tua renta,” cibir Krovirbro.

“Jangan menghina pelatihku! Kau dan dia itu berbeda jauh!” balas
Ninkuru marah.

“Ninkuru, ini adalah bagianku. Sebaiknya, kau mundur dan bergabung


dengan yang lainnya.” Yordan datang menegahi perseteruan mereka.
Ninkuru dan Fura segera berbalik arah, kembali ke hutan.

Krovirbro terkekeh. “Jadi, kau mau menantangku, hmm? Manusia?”


“Ya. Lebih tepatnya membunuhmu. Tapi sebelum itu, aku ingin
bertanya. Di mana pimpinan tertinggimu, si pengendali black death
palsu itu?” tanya Yordan datar.

“Keh! Dasar manusia sombong! Kau tidak pantas mengetahui di mana


bos besarku! Matilah!” Krovirbro mengambil satu langkah ke depan.
Namun sebelum dia menghilang dan berteleportasi, Yordan telah lebih
dulu mengucapkan mantra.

“Repeat Freeze.”

Waktu membeku cukup lama hingga memungkinkan Yordan berlari


menuju Krovirbro. Sesampainya di hadapan sang jenderal, Yordan
mengambil tombak merah yang ada dalam genggaman, lalu
memosisikan ujung runcing tombak ke arah jantung sang jenderal.
Kemudian, dia mundur beberapa meter, kembali ke posisi awal. Dia
menutup mata.

“Repeat Back Off Up-Weapons.”

“Kau—ahhkk! A-pa yang kau ... lakukan?!”

Yordan tersenyum tipis melihat Krovirbro menusuk dada kirinya sendiri


dengan tombak berulang-ulang. Hitungan detik, tangan sang jenderal
tergolek lemah bersama tubuhnya di tanah. Darah hitam merendam
sekujur tubuh sang jenderal. Tombak merah masih menancap di dada.

Naga hitam yang tersisa meraung sedih campur takut. Dia memanggil
sang pengendali mereka, Fixtra. Akan tetapi, gadis unlimited tidak
kunjung datang. Yordan mendekati mereka, siap untuk menangkap.
Namun, petir hitam menyambar celah di antara mereka.

“Oh ... akhirnya dia muncul juga. Si pengendali black death,” gumamnya.
Mendongak melihat langit hitam pekat penuh kilat.

Sosok berjubah hitam muncul turun dari balik awan bersama burung
gagak raksasa. Dia turun ke tanah, memandangi lekat Yordan dari balik
tudung.

“Jadi ..., siapa kau, Nak?”


Part 8

Sudah dua jam, pertarungan antara Fixtra dengan Tobias masih imbang.
Belum ada yang bisa dinyatakan kalah. Itu semua karena Tobias ragu
untuk mengeluarkan black hole. Padahal jelas dia telah dinasihati Yordan
tadi. Namun sekarang, dia kembali mengulangi kesalahannya lagi.
Hatinya menolak untuk membunuh Fixtra dengan black hole.

“Fixtra! Apa kau tidak mau kembali menjadi ksatria?!” tanya Tobias di
sela pertarungan.

“Apa pedulimu! Jangan harap aku akan termakan oleh omonganmu!”


sentak Fixtra.

“Fixtra, kau tahu, aku sebenarnya juga si pengendali black death.


Berjalan di atas hitam itu terkadang memilukan. Aku ... bertahun-tahun
tidak bisa mengingat jelas siapa diriku yang sebenarnya. Yang kutahu,
aku adalah seorang pembunuh. Pembunuh kedua orang tuanya sendiri
dan juga kakak kandungnya. Aku juga sudah membunuh Granyof dan
menjadi penyebab kematian Daenrys. Aku juga telah melenyapkan
kerajaan Vandal dalam satu malam. Dosaku tidak akan bisa terhapus.
Tapi kau bi--”

“Hahaha! Dosa? Makhluk aneh sepertimu juga tahu apa itu dosa, ya?
Sama sepertimu, dosaku tidak akan pernah bisa terhapus juga, Tobias.
Yang membedakanku denganmu adalah satu. Aku tidak punya lagi
tujuan hidup.”

“Fixtra ....”

Percakapan lumpuh sesaat. Setelah itu, muncul lidah hitam panjang dari
balik pepohonan. Benda itu menyasar ke arah Tobias. Hampir tertangkap
dalam belitan, Fixtra datang mendorongnya sampai tersungkur. Tubuh
gadis itu menjadi sasaran belitan kuat yang menghancurkan tulang. Sang
pemilik lidah datang dengan arogan.
“Tidak bisa dipercaya. Dasar manusia lemah! Harusnya kau
membunuhnya, bukan menyelamatkan hidupnya!” serunya.

Tobias meneleng bingung memandang sosok raksasa hitam bermata


merah darah dengan lidah panjang. Jelas sangat monster itu tidak
berbicara, tetapi mengapa ada suara yang keluar darinya? Pemikiran
rumit Tobias ditanggapi oleh suara itu lagi.

“Aku tahu kau bingung, Prince Skotadi. Sebelum aku berbicara lebih
lanjut, izinkan peliharaanku ini memakan hama tidak berguna ini,”
tuturnya.

“Rooaarrr!” Sang raksasa hitam berkoar setuju. Dia langsung melipat


lidah tersebut masuk kembali ke mulut. Sebuah kalimat terakhir dari
Fixtra, mampu membumbungkan emosi Tobias.

“Aku bersyukur bisa berbalas budi padamu ... Tobias.”

Sang raksasa diam mengamati. Barulah, sebuah kelopak mata berwarna


merah muncul dari jidat sang titan. Kelopak mata terbuka lebar
menampilkan rentetan pagar putih bergerigi.

“Perkenalkan, namaku Horus. Akulah yang mengendalikan black death


kepunyaanmu, warisanmu, Pangeran Tobias.”

“Jadi ... kau .... Tapi! Fixtra bilang kalau si pengendali adalah Raja Oscar.
Apa kalian berdua yang mengendalikan black death?!"

“Hama itu belum kuberitahu kebenaran yang sesungguhnya. Izinkan aku


menceritakan kembali hari itu.”

•KERAJAAN MATILDA, 3 TAHUN YANG LALU•

Negara Matilda menjadi satu-satunya negara yang mempunyai


kerjasama asing dengan kerajaan dunia lain. Dunia itu mempunyai dua
kerajaan. Kerajaan Skotadi dan kerajaan Foteino. Hanya kerajaan Skotadi
yang bermitra dengan negara itu. Mereka melakukan barter.
Raja Skotadi, Lucifer meminta sebidang tanah untuk bercocok tanam
karena tanah di kerajaannya tidak bisa menumbuhkan sayur -mayur dan
buah yang lezat. Sedang Raja Matilda, Horus meminta sekarung black
diamond tiap bulan untuk dijual lagi ke luar kerajaan agar dia bisa
menyejahterakan rakyatnya.

Awalnya, hubungan simbiosis mutualisme itu berjalan sangat baik dan


lancar. Sampai suatu ketika, sang Raja Matilda tertarik pada red crystal
koleksi pribadi Raja Lucifer. Dia hendak bernegosiasi untuk membeli
batu tersebut dan menukarnya dengan sebuah desa. Akan tetapi, Raja
Lucifer menolak. Hubungan mereka agak renggang setelah kejadian itu.

Lalu, pada malam bulan darah di kerajaan Skotadi, red crystal hilang
dicuri seseorang. Raja Lucifer langsung turun ke bumi. Menuding
pelakunya adalah Raja Horus, rekan bisnisnya sendiri. Akibatnya, Raja
Lucifer meminta paksa kembali black diamond yang dulu dia kasih. Mau
tak mau, Raja Horus mengambilnya lagi dari tangan pembeli di luar
kerajaan yang ternyata adalah Raja Vandal. Raja Horus langsung
memutuskan hubungan bisnis saat menyerahkan sekarung black
diamond. Dia merasa kecewa dan sakit hati karena dituding sebagai
pencuri.

Kemudian, desas-desus adanya red crystal di kerajaan Vandal tersebar


hingga mencapai telinga Raja Horus. Dia pun bergegas bertamu ke
kerajaan tetangga dan melihatnya. Raja Vandal memakaikan red crystal
pada tombak sihirnya. Walaupun hanya separuh, karakteristik red
crystal itu mampu dikenali. Itu benar milik kerajaan Skotadi.

Raja Horus yang malang hanya menjadi penonton. Melihat tingkah tinggi
hati sang raja tetangga di perjamuan. Dia tidak punya kuasa dan
kekuatan apa-apa untuk merebut red crystal. Bahkan jika dia
menjelaskan pun pasti Raja Vandal akan berkelit.

Tahun demi tahun berlalu. Kerajaan Matilda sudah di ambang


kehancuran. Banyak rakyat yang mati kelaparan dan terpaksa pindah ke
kerajaan seberang. Sebagai seorang raja, dia tidak ingin kerajaannya
hancur dan ditinggalkan. Oleh sebab itu, dia menghalalkan segala cara
untuk mengembalikan kondisi kerajaannya seperti semula. Dibantu oleh
adiknya, Oscar, Raja Horus dan pasukan kerajaan nekat menyerang
kerajaan Skotadi.

Ketidaksiapan pasukan kerajaan Skotadi dalam berperang dimanfaatkan


oleh Raja Horus. Dia berhasil menyelinap masuk ke dalam istana. Pergi
ke ruang koleksi sang Raja Lucifer. Dia tahu, ada benda pusaka terkuat
dan terpenting di kerajaan Skotadi. Benda itu adalah Monochrome
Diamond.

Di sana, dia bertatapan langsung dengan mantan rekan bisnisnya, Raja


Lucifer. Sang Raja menyerang Raja Horus dengan tombak hitam. Sayang,
Raja Horus berhasil menghindar dan mengejar Raja Lucifer yang
melarikan diri menuju ke ruang singgasana. Di tengah perjalanan, dia
dihadang dua knight raksasa hitam dengan lidah panjang terjulur. Raja
Horus sangat tahu seperti apa kekuatan mereka dari pengakuan Raja
Lucifer waktu itu. Lidah titan itu bisa meremukkan tubuh seseorang.
Setelah tubuh diremukkan, musuhnya akan ditelan hidup-hidup. Raja
Horus terpaksa mundur sejenak untuk mencari ide.

Akhirnya, dewi fortuna berpihak padanya. Di pertigaan lorong, dia


melihat sosok pemuda berumur sekitar enam belas tahun tergeletak
pingsan di lantai. Raja Horus mendekat, mengangkat wajah sosok itu lalu
menyeringai. Dia tahu apa yang harus dilakukan.

Dua knight menyerah begitu Raja Horus kembali lagi dengan membawa
sandera. Pangeran tertua kerajaan Skotadi, anak pertama dari Raja
Lucifer, pangeran Illiyos. Pintu ruang singgasana dibuka lebar-lebar. Raja
Horus dengan santai berjalan di atas karpet merah seraya menyeret
tubuh Illiyos. Mereka menuju ke singgasana, tempat raja dan ratu
Skotadi memincing tajam. Di depan mereka, ada pangeran bungsu,
Tobias yang menggeram marah.

“Kembalikan abang Iyos! Dasar manusia jahat!” umpat Tobias.

“Tobias, diamlah. Ibu hanya ingin kau di sini dan jangan mengatakan apa
pun!” omel sang ratu, memeras kuat kedua bahu Tobias.

“Raja Horus, kita sudah bukan rekan bisnis lagi! Apa tujuanmu
menyerang kerajaanku?!” seru Raja Lucifer.
Raja Horus menyeringai jahat. “Lucifer, serahkan monochrome diamond
milikmu padaku! Atau ... kau akan melihat putra tertuamu mati di
hadapanmu!”

“Jangan beraninya--”

“Tenang, Sayang. Aku akan bernegosiasi dengannya.” Raja Lucifer


memutus ucapan sang istri, kembali berbicara pada Raja Horus. “Horus,
permintaanmu mustahil untuk kukabulkan. Tapi, aku akan memerikan
kerajaan ini padamu jika kau mau melepaskan putraku.”

Raja Horus meludah kasar. “Fuih! Tidak ada untungnya aku menguasai
kerajaanmu yang tidak berguna untukku dan rakyatku! Kami manusia,
hanya perlu berlian itu! Harganya pasti akan sangat mahal bila dijual!”

“Horus, ternyata benar, kau ini raja yang tamak akan harta! Jika kau
membutuhkan harta untuk kesejahteraan rakyatmu, maka gunakanlah
otakmu! Kau punya lahan yang subur dan bagus. Kenapa tidak kau
manfaatkan itu?”

“Tahu apa kau, tentang dunia manusia! Berbicara memang mudah, tidak
serumit melakukannya. Semua itu butuh waktu lama dan ada
kemungkinan kami akan gagal! Sementara, kelaparan dan kematian
melanda di seluruh desa, bahkan ibukota! Kau perlu tahu, Lucifer!
Karena tuduhanmu, kerajaanku jadi hancur! Tidak ada yang mau
menolongku, menolong para rakyatku yang kelaparan!”

Raja Lucifer melirik sang istri dan sang anak bungsu. Dia beralih lagi ke
Raja Horus, memandangnya sendu.

“Maaf, kami tidak bisa membantumu. Aku harap, kau bisa bersabar dan
terus berdoa pada Tuhanmu. Aku yakin, sebentar lagi kerajaanmu akan
pulih kembali, Horus,” tutur Raja Lucifer.

“Tidak ... TIDAK BISA! AKU HANYA MENGINGINKAN BERLIAN ITU!” teriak
Raja Horus kesal. Dia menjatuhkan Illiyos di karpet, lalu melesat
mengeluarkan pedang sihirnya. Menyerang tanpa ragu tiga anggota
kerajaan. Namun, dia gagal karena mereka terlindungi barrier hitam
transparan. Kemampuan itu milik sang ratu Skotadi.
Tak mau menyerah, Raja Horus terus menyerang barrier. Retakan kecil
muncul dan merambat hingga membesar. Memunculkan rasa khawatir
di hati sang raja dan ratu. Raja Lucifer bisa saja melawan, menggunakan
kekuatan terbesarnya. Akan tetapi, itu banyak menimbulkan resiko. Bisa-
bisa Raja Horus menjadikan Illiyos tameng untuk menyelamatkan diri
dari serangannya. Hal itu tidak mungkin dia biarkan terjadi. Dari situ,
Raja Lucifer tahu apa yang harus diputuskan.

“Sayang, sudah saatnya untuk pergi,” kata Raja Lucifer.

“Aku ... siap, Sayang.” Sang ratu membalas seraya menangis deras.

“Pergi ke mana, Ayah, Ibu? Izinkan Tobi ikut!” Tobias membalik badan,
memandang bergantian kedua orang tuanya. Mereka hanya balas
tersenyum pada Tobias.

Raja Lucifer tiba-tiba mengeluarkan tombak hitam ke arah Raja Horus.


Lelaki itu berhasil menghindar, dan lemparan berikutnya tertuju pada
Illiyos. Sinar merah terang melayang ke arah Illiyos, kemudian terlihat
sebuah batu kristal merah di atas punggung Illiyos. Batu tersebut jatuh,
masuk ke dalam tubuh si pangeran.

“Apa itu tadi?!” pekik Raja Horus terkejut.

Kini, barrier yang melindungi mereka bertiga menghilang. Raja dan ratu
Skotadi tersenyum lembut, masing-masing memegang erat pundak
Tobias. Kemudian, sesuatu terjadi. Sinar besar berwarna hitam dan putih
terpancar keluar dari tubuh Tobias. Pangeran muda melolong kesakitan,
membuat ngeri Raja Horus. Dia memilih diam mengamati apa yang
selanjutnya terjadi.

Sinar hitam dan putih perlahan menghilang, setelahnya muncul dua


tombak hitam di kedua tangan Tobias. Dalam keadaan linglung, Tobias
tidak sengaja malah meluncurkan tombak ke arah kedua orang tuanya.
Mereka memekik menahan sakit tanpa merubah ekspresi. Detik demi
detik, tubuh mereka menghitam, hancur berubah menjadi abu.
“Ti-dak ... ini ... kekuatan apa ini! Aku ... bukan pembunuh! Aku tidak
membunuh ayah dan ibu!” Tobias berteriak seraya menangis. Dia
berlutut di lantai, terus meracau gila.

Dari kejauhan, Illiyos yang sudah terbangun mengeluarkan air mata.


Tangan terkepal kuat karena amarah. Dia ingin bangkit dari karpet
merah, tetapi tubuhnya mati rasa.

“Tidak ... tidak ... TIDAK! DASAR ANAK SETAN! KAU TELAH MEMBUNUH
ORANG YANG PALING BERHARGA UNTUKKU! SEKARANG ... MATILAH!”
umpat Raja Horus.

Raja Horus melesat sambil membawa pedang ke arah Tobias, hendak


membunuhnya. Sebelum semua terjadi, lagi-lagi tubuh bocah lima belas
tahun itu mengeluarkan kekuatannya. Dia bangkit, melayang di udara.
Iris hitam berubah menjadi merah terang. Tatapan membunuh terlontar
pada Raja Horus. Selanjutnya, muncul black hole di belakang tubuh Raja
Horus. Lubang tersebut mengisap tubuhnya. Beruntung, Raja Horus
menancapkan pedang ke tanah untuk bertahan.

“HENTIKAN! DASAR ANAK DURHAKA!” teriak Illiyos keras. Muncul red


hole di belakang black hole milik Tobias. Menyebabkan sebuah ledakan
yang besar. Tobias terpental jauh. Dalam kondisi tidak sadar, dia
menghilang. Terseret masuk ke dalam pintu dunia manusia yang tiba-
tiba muncul di kursi singgasana.

“Panas! Tubuhku! Aakkhh!” Raja Horus merintih kesakitan memegangi


seluruh tubuhnya yang perlahan hancur menjadi abu hitam. Separuh
wajah sudah retak, siap terkikis kapan saja. Dengan cepat, Raja Horus
bertindak menyelamatkan anggota tubuh yang tidak menghitam. Itu
hanya mata sebelah kanan.

“Wahai jiwa sang penguasa Matilda! Berikan aku kekuatanmu untuk


tetap hidup!” Pedang sihir berwarna emas bersinar. Tanpa ragu, Raja
Horus menusuk mata kanannya dengan ujung tajam pedang. Sinar
keemasan muncul menutupi mata itu. Sinar menghilang, kelopak mata
berwarna merah bata terlihat mengambang di udara. Ketika kelopak
terbuka, barisan gigi putih runcing ditampilkan. Gigi terbuka seiring lidah
manusia mengucap kata.

“Terima kasih, Dewa! Kau masih mengizinkanku untuk tetap hidup!”

Illiyos melangkah tertatih menghampiri mata satu. Dia bertanya bingung.


“Kau ... siapa? Apa kau yang memimpin penyerangan ke kerajaanku?”

Mata itu berbalik menghadap Illiyos. “Ya, itu aku. Tujuanku untuk
menyadarkan kedua orang tuamu kalau adik kecilmu akan menjadi
makhluk pembunuh berdarah dingin. Jika dia dibiarkan hidup, maka
bukan hanya kerajaanmu yang dia hancurkan. Tapi juga seluruh jagat
raya.”

“Apa?! Tobias ... menghancurkan ... seluruh jagat raya?! Itu ...
mustahil ...,” ucap Illiyos tidak percaya.

Sang mata membenarkan. Menanamkan setiap kata bohong ke dalam


pikiran sang pangeran tertua. “Itu benar. Bukankah kau sudah
melihatnya sendiri? Bagaimana dia dengan santai membunuh ayah dan
ibu kalian? Lalu pura-pura menangis dan menyesal seperti seorang
psikopat. Dia bukan lagi adikmu, Illiyos.”

“Terus, di mana dia sekarang? Kau ini, siapanya ayahku?” tanya Illiyos.

“Dia pasti ada di bumi. Aku Horus, sahabat ayahmu, Illiyos. Aku berjanji
akan membantumu menangkap Tobias. Asal ..., kau bersedia
membiarkanku menjadi raja sementara di kerajaanmu sampai kau siap
untuk naik tahta. Bagaimana?” tawar sang mata.

“Ya. Aku bersedia,” jawab Illiyos mantap.

•••

Miliyaran sel otak telah tersambung kembali. Memori yang hilang


berhasil didapat Tobias setelah mendengarkan cerita dari Mata Horus.
Dia berpendapat, kekuatan yang bersarang di tubuhnya adalah kekuatan
dari kedua orang tuanya. Sebuah warisan yang bersemayam jauh dalam
jantung Tobias. Monochrome Diamond.
“Kau ... mengapa menceritakan semua ini padaku? Bukankah lebih baik
bila langsung menyerang dan membunuhku saja?” tanya Tobias, mundur
penuh waspada.

“Aku bukan pembunuh yang mengikuti nafsu, Prince. Aku hanya


mengikuti alur. Dari semua cerita itu, sekarang, menurutmu siapa yang
jahat di sini?” Mata Horus bertanya balik. Mencoba memainkan logika
Tobias.

“Aku ....” Tobias menunduk sedih. Hatinya benar-benar sakit. Pikirannya


pun terpecah-belah.

Situasi itu pun dipakai Mata Horus untuk beraksi. Dari balik lidah,
muncul jarum hitam kecil. Jarum tersebut disemburkan oleh Mata Horus
sampai menancap di leher belakang Tobias. Sang pangeran langsung
jatuh pingsan karena jarum bius tersebut.

“Bawa dia! Jaga agar tetap hidup!” perintahnya. Sang raksasa hitam
menganggu. Mereka pergi menuju tempat orang itu.

Di tengah padang rumput, duel terjadi begitu sengit. Yordan tahu, ada
sesuatu yang lain dari sang pengendali black death ini. Dia sudah
menduga dari awal kalau sosok bertudung hitam ini adalah manusia.
Namun, ukuran kekuatan sihirnya sangat besar. Mirip kemampuan
supernatural.

“Kau! Siapa sebenarnya kau, Sang Pengendali Black Death!”

Sosok itu tertawa keras. Tudung yang menutupi wajah dia tarik. Yordan
tidak menyangka kalau orang ini adalah si pengendali black death.

“Kau ... Raja Oscar ....”

“Ya, itu aku, Ksatriaku. Maaf bila aku mengecewakanmu. Sekarang, apa
kau pikir bisa membunuh rajamu sendiri?”

Dengan jelas dan mantap, Yordan menjawab, “Tentu saja. Lagi pula, aku
bukanlah rakyatmu, Raja Oscar.”

Raja Oscar menggertakkan gigi. “Kau! Beraninya!”


Hujan petir datang hendak menyambar Yordan. Pemuda albino sigap
melompat untuk menghindar. Tidak habis akal, Yordan pun
mengeluarkan serangan balik. Dia mengarahkan telapak tangan kanan
ke atas awan sambil merapal.

“Repeat Back And Crush.”

Kilat petir yang hampir sampai ke tanah, tertarik lagi kembali ke awan.
Kemudian, awan hitam menampakkan urat-urat kekuningan dan
meledak. Langit sekarang sudah kembali menjadi biru.

“B-bagaimana bisa?! Kau ... SIAPA KAU SEBENARNYA!”

“Aku tak perlu memberitahumu. Tugasku hanya untuk memusnahkanmu


dan membersihkan nama teman kecilku.”

Yordan akhirnya mengeluarkan senjata pamungkas. Dari telapak tangan,


muncul cahaya putih menyilaukan yang perlahan meredup. Sebuah
busur dan anak panah bercahaya putih berkelip terlihat mempesona.

Yordan menarik tali busur, menempatkan anak panah ke tempatnya. Dia


membidik dengan sempurna, tepat di dada kiri Raja Oscar. Begitu panah
ingin dilepaskan, sebuah suara menginterupsi. Di belakang Raja Oscar,
muncul pusaran hitam. Dari dalamnya, keluar sesosok raksasa hitam
bermata merah bersama dengan sebuah mata yang mengambang di
udara.

“Kakak! Syukurlah kau datang! Aku ... dikalahkan oleh bocah itu! Dia ...
sepertinya bukan manusia,” adu Raja Oscar.

Mata Horus melihat dengan mata batinnya, dan memang benar kalau
sosok pemuda albino di depan mereka tidak punya hawa hangat khas
manusia.

“Siapa kau, Wahai Anak Muda?” tanyanya.

“Aku teman dari pangeran Tobias, pengendali black death


sesungguhnya,” jawab Yordan.

“Hmmm ... kau sepertinya bukan berasal dari kerajaan Skotadi. Jadi, dari
mana asalmu?” Mata Horus masih terus bertanya.
“Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskannya. Lagi pula, kau belum
memperkenalkan dirimu sendiri.”

“Aku Horus. Mantan Raja Matilda dan penguasa di kerajaan Skotadi. Aku
turun ke bumi untuk melenyapkan Tobias dan mengambil apa yang
kubutuhkan.” Mata Horus mengode sang titan untuk menjulurkan
lidahnya. Dari dalam mulut sebesar gua, tubuh Tobias yang tidak
sadarkan diri menggelinding jatuh sampai ke pangkal lidah.

“Tobias!” Mata Yordan membola. Dia melenyapkan busur dan panah.


Kedua kaki berlari ke arah mereka, tetapi naga hitam menghalanginya
dengan menyemburkan lava hitam ke tempat Yordan berpijak. Yordan
hilang keseimbangan hampir jatuh ke kubangan lava. Sampai seseorang
menarik lengannya, menyelamatkannya.

“Yordan, kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi di sini?” tanya si


penyelamat, Rivendosni.

“Tobias ingin dibunuh oleh si Mata Horus. Dan ... ternyata si pengendali
black death palsu itu adalah Raja Oscar, adik kandung dari si Mata
Horus. Itulah yang kuketahui, Riven. Aku tidak tahu apa yang diinginkan
si Mata Horus dengan membunuh Tobias,” terang Yordan.

Daenrys, Ninkuru, dan Fura yang datang bersama Riven pun tertunduk
lesu. Mereka terlambat datang kepada Tobias. Daenrys tidak mau
kehilangan Tobias. Perjalanan cintanya seharusnya tidak sesingkat ini.

“Apa yang harus kita lakukan? Apa kita ... bisa mengalahkan mereka
tanpa Tobias?” Daenrys berbicara pelan.

“Kuku ... tubuhku sudah lelah untuk bertarung ....” Fura mengeluh sedih.

Ninkuru mengepalkan tangan kuat. Dia meneriaki semua orang.


“KALIAN?! HARUSNYA KALIAN TETAP PERCAYA DIRI DAN SEMANGAT!
BUKANKAH KALIAN ADALAH SEORANG HELT?!”

Semua orang tersentak, menatap kelinci hitam raksasa patah-patah.


Mereka takjub pada perkataan si mantan musuh. Yordan tersenyum, lalu
menanggapi. “Kau benar, Ninkuru. Tidak ada kata menyerah dalam
kamus seorang helt. Untuk itu, Teman-teman. Aku minta bantuan kalian
untuk mendapatkan kembali Tobias.”

Daenrys tersenyum lembut. “Jangan meminta bantuan pada seorang


teman. Karena teman akan membantu tanpa harus dimintai, Yordan.
Lagipun, si idiot itu adalah kekasihku.”

“Kuku~ ayo kita beraksi!” Cuitan semangat Fura disahuti teriakan berapi-
api Ninkuru.

“Walaupun aku tidak mengenal si Tobias, tapi mau bagaimana lagi. Demi
negaraku, aku harus ikut dengan kalian. Nah, siapa yang mau mendengar
rencanaku?” Riven bertelak pinggang sambil menyeringai.

Part 9

Kerjasama yang mereka bangun sedikit demi sedikit mulai membuahkan


hasil. Daenrys, Ninkuru, dan Fura berhasil membuat raksasa hitam tidak
bergerak di tempat. Semua karena lubang galian Ninkuru yang membuat
kedua kakinya terperosok masuk ke dalam tanah.

“Wind Slice!”

“One Thausand Punch!”

Kombo Daenrys dan Ninkuru memberikan kelelahan yang cukup untuk


Fura bergerak mendekati pangkal lidah tempat di mana Tobias terbelit.
Burung bluetumb berusaha keras menarik lilitan agar terlepas. Akan
tetapi, usahanya masih belum berhasil.

Sementara itu, Riven dan Yordan berduet untuk mengalahkan Raja Oscar
dan Mata Horus. Pedang sihir Riven lumayan efektif untuk mengatasi
pedang titanium berhiaskan black diamond. Namun, semua tak cukup
untuk menyudutkan Raja Oscar. Dia butuh sesuatu yang lain untuk
mengalahkannya. Lalu, suara pikiran Raja Oscar tidak sengaja keluar
dengan jelas. Mencetuskan ide untuk Rivendosni.
“Aku akan menjadi penguasa bumi setelah peperangan ini! Kakak pasti
akan memberikan kekuatan hebat itu sepenuhnya!”

“Yang Mulia, kau yakin kakakmu akan memberikan kekuatan itu


padamu? Aku tidak tahu kekuatan apa itu, tapi ... bukankah lebih baik
jika kau membunuhnya dan mengambil semua kekuatan? Dengan
begitu, kau bukan lagi penguasa bumi, tapi penguasa seluruh jagat raya
ini,” hasut Riven.

Raja Oscar terdiam sejenak, mundur selangkah dari Riven dan berpikir
lagi. “Hmmm ... benar juga. Aku harus melakukannya jika ingin
menguasai seluruh jagat raya. Habisnya, kakakku itu sangat
perhitungan dalam berbagi kekuatan. Ya! Aku harus mengambil
monochrome diamond yang ada pada jantung Tobias. Setelahnya,
tinggal kuambil batu Moisavind dari Daenrys. Lalu ketika keempat batu
berhasil kurebut, maka jagat raya ini menjadi milikku!”

“Apa?! Keempat batu? Jadi, dia mengincar batu itu dengan tujuan untuk
menguasai jagat raya?! Dan ... batu Monochrome Diamond ada di ...
jantung Tobias?! Aku tidak percaya ini,” pikir Riven.

Yordan menoleh ke arah kiri tempat duel Riven dan Raja Oscar. Ekspresi
itu sudah cukup membuat Yordan tahu. Bahwasanya ada sesuatu yang
buruk yang akan terjadi tentang Tobias dan batu diamond serta batu
crystal tersebut.

“Apa tujuanmu membunuh Tobias? Apa yang kau butuhkan dari


temanku itu?” tanya Yordan.

Mata Horus terkekeh. “Yordan ... itu namamu, bukan? Nah, jika
kuceritakan padamu apa alasanku sebenarnya secara rinci, maka aku
yakin kau akan mati bosan. Jadi, biar aku persingkat. Yang kubutuhkan
dari Tobias adalah ... monochrome diamond yang ada dalam jantungnya.
Tujuanku yang lain, tentu saja ada! Tapi ... belum waktunya aku untuk
mengumumkan padamu dan semua orang.”

“Sial!”
Bermacam kemampuan supernatural tidak mempan terhadap Mata
Horus. Monster mata tersebut masih bisa menghindar dan bergerak
bebas meskipun tidak ada serangan balasan darinya. Hal ini semakin
membuang tenaga Yordan dengan percuma.

***

Sudah hampir dua jam mereka bertarung sengit. Daenrys, Ninkuru, dan
Fura lecet-lecet setelah berguling dan terpental ke tanah karena
semburan api hitam si raksasa. Beruntung mereka tidak terkena luka
bakar. Jika api terkena anggota tubuh, dipastikan luka bakar itu akan
merambat ke seluruh tubuh dan perlahan menghancurkan tubuh
menjadi abu hitam. Sang raksasa hitam semakin beringas menyerang
setelah kedua kakinya terbebas dari lubang.

Riven dan Raja Oscar sama-sama terengah-engah. Mereka imbang dalam


pertarungan pedang. Belum ada yang tumbang. Beda halnya dengan
duel berat sebelah antara Yordan dan Mata Horus. Pemuda albino sudah
duduk di tanah. Napasnya terbata karena lelah yang mendera. Dia bukan
tipe penyerang yang atletis dan energik. Yordan sangat membenci tipe
musuh yang memaksanya untuk terus bergerak dan menyerang. Seolah
dia tahu apa yang menjadi kelemahan utama Yordan.

“Kenapa, Nak Yordan? Ingin menyerah? Sayang sekali, aku tidak yakin
akan membiarkanmu tetap hidup,” tutur Mata Horus.

“Aku ... tidak akan menyerah untuk Tobias ...,” balas Yordan pelan.

Suara kepakan sayap besar terdengar dari arah Utara. Seekor monster
gagak datang menyebabkan gelombang angin badai besar. Daenrys,
Fura, Ninkuru, Riven, dan Yordan terpental beberapa meter ke tanah.
Burung gagak mendarat di pundak si raksasa hitam dan membungkuk
hormat pada Mata Horus.

“Master, sesuai keinginanmu. Aku telah berhasil membunuh sang ratu


flamingo dan mendapatkan batu Moisavind.” Crown membuka paruh
lebar-lebar. Di atas lidahnya, terdapat batu kristal jernih dengan gradasi
pink berbentuk bunga teratai.
Mata Horus menyeringai tipis, menggunakan kekuatan sihirnya untuk
membuat batu tersebut keluar dan mengambang di dekatnya. “Kerja
bagus, Crown.”

“Terima kasih atas pujiannya, Master,” sahut Crown penuh rasa hormat.

“Dengan ini, keempat batu telah kukumpulkan dan sudah saatnya


upacara di--”

Ucapan Mata Horus terputus kala di depan matanya terdapat ujung


tajam pedang platinum. Sang mantan raja Matilda berdecih melihat si
pelaku penodongan.

“Serahkan batu itu padaku, Horus!”

“Dasar manusia serakah! Jangan bilang kau terhasut ucapan seorang


bocah sampai kau berniat ingin membunuh kakak kandungmu sendiri?
Dan menguasai empat batu agar menjadi penguasa jagat raya?”

“Diam! Ini adalah keputusanku sendiri! Kau sudah lama hidup menjadi
Raja Skotadi dan Raja Matilda! Kau tidak perlu lagi menjadi raja seluruh
jagat raya! Kau juga serakah, bukan, jika bertujuan seperti itu, Kak?!”

Mata Horus tertawa keras. “Oh, ya? Mungkin kau benar, Adikku
Tercinta. Tapi ... aku melakukan ini agar umat manusia hidup sejahtera
dan mendapatkan takdir yang adil di antara semua makhluk dunia ini
dan dunia lain. Bisa dibilang ... aku ingin menjadi Dewa! Dewa Horus
Yang Agung!”

“Apa ...? Kau ... sudah gila, Kak! Aku--”

Brusshh!

Naga hitam memuntahkan lava hitam ke atas kepala Raja Oscar. Sang
Raja menjerit kesakitan. Satu demi satu, anggota tubuhnya meleleh. Lalu
akhirnya, hanya terlihat kubangan lava hitam berbuih merah. Naga
hitam langsung mengorek kubangan dan mengangkut black diamond
dan red crystal dengan kakinya. Ia menyerahkan pada sang master
pengendali black death.
“Ya ... itulah mengapa aku lebih suka menjadi anak tunggal,” gumam
Mata Horus.

Mata Horus menyusun keempat batu di udara mengelilinginya. Dia


mengumumkan. “Dan sekarang, tiba saatnya untuk mengambil batu
terakhir!”

“Tidak!”

“Tobias!”

Daenrys yang berlari mendekati Tobias terpental karena adanya barrier


ciptaan Mata Horus. Barrier itu berbeda dari milik Daenrys atau Varaz.
Salah satu dari mereka tidak dapat menghancurkannya.

“Sekarang lakukan, Peliharaanku!” perintah Mata Horus pada sang


raksasa hitam.

Raksasa hitam mengangguk. Gigi gergaji mendekat ke dada kiri Tobias.


Ujung runcing menusuk dan mengoyak bagian tubuh Tobias hingga
menganga. Daenrys menjerit dari kejauhan, berusaha melepaskan diri
dari cekalan Riven dan Yordan.

Cahaya hitam putih terlihat di dalam jantung yang berdetak. Sang titan
kembali melanjutkan mengoyak jantung sampai darah hitam
menyembur keluar. Monochrome diamond terlihat, semakin melebarkan
senyuman Mata Horus. Batu terakhir diangkat ke udara dengan
kekuatan sihir. Kini, kelima batu telah lengkap mengelilinginya. Dia siap
memulai upacara terakhir. Upacara kebangkitan dirinya, Sang Dewa
Horus.

Part 10

Tobias ....

Tobias ....
“Siapa?”

Ini kami, Ayah dan Ibumu ....

“Ayah! Ibu! Kalian di mana?! Aku ada di mana! Mengapa semua terlihat
gelap?!”

Karena kita berasal dari sana, Tobias. Jiwamu memang bercahaya


gelap ....

“Tapi ... aku tidak ingin ini! Aku hanya ingin menjadi orang baik! Aku
tidak ingin menyakiti orang lain!”

Bahkan jika kami bilang, kau akan mewarisi kekuatan black death?
Menjadi si pengendali itu sendiri?

“Tidak! Aku tidak mau menjadi pengendali black death! Aku tidak ingin
membunuh orang-orang yang kusayangi!”

Hahaha! Jangan bergurau padaku, Nak! Dengar, meskipun kita ini


penguasa kegelapan, bukan berarti kita ini jahat dan tidak punya rasa
belas kasih terhadap makhluk lain. Kekuatan itu tidak hanya untuk
membunuh seseorang ....

“Ayah? Jadi ... aku harus menerima kekuatan yang telah kau dan ibu
wariskan padaku? Suka atau tidak?”

Ya, Tobias Sayang. Gunakan kekuatanmu untuk melindungi orang


yang kau sayangi, terlebih untuk kekasihmu itu ....

“Ibu ... kau ... tahu Daenrys? Uuhh ... dia itu ... ya ....”

Aku dan Ayahmu tahu semuanya, Tobias. Walaupun kami tidak ada,
tapi jiwa kami masih ada dalam jantungmu. Tolong ... bertahanlah!
Untuk kami dan untuk para teman-temanmu ....

“Ya, akan kulakukan, Ayah, Ibu. Aku akan menerima kekuatan ini! Aku
akan menjadi pengendali black death!”

***
Mata Horus terus tersenyum ketika sinar laser pelangi dari kelima batu
terpancar ke tubuhnya. Dia sudah mulai merasakan kekuatan bertubi-
tubi membanjirinya. Sesuai perkiraan, tinggal satu menit lagi dia akan
terlahir kembali, mendapatkan tubuh utuh seperti semula. Sebagai
Dewa Horus, sang penguasa jagat raya.

Keputusasaan para helt terputus setelah melihat satu titik sinar hitam
dari dada kiri Tobias yang terkoyak. Sinar yang kecil, lama-kelamaan
bertambah besar membuyarkan konsentrasi Mata Horus pada
upacaranya.

“Apa yang terjadi?!” Mata Horus memerintah, “Naga hitam! Raksasa


hitam! Lenyapkan tubuh Tobias!”

Naga hitam terbang rendah menuju raksasa hitam. Sang raksasa sudah
mendekatkan cakarnya ke arah tubuh Tobias, tetapi malah tangannya
terpotong dan masuk ke dalam cahaya hitam. Cahaya tersebut
bertambah besar secara misterius. Naga hitam nekat terbang di dekat
cahaya hitam yang menyorot ke langit. Ia bersiap menyemburkan lava
hitam ke tubuh Tobias. Namun, sang naga malah terseret arus cahaya
hitam. Naga meraung kesakitan, tubuhnya lenyap seketika. Menambah
besar sorot cahaya ke langit. Lambat laun, tubuh sang raksasa ikut
terbawa masuk ke dalam cahaya hitam. Dari mulai kepala sampai
seluruh badan tergerus masuk ke dalam sana.

Sorot cahaya hitam besar perlahan menyusut, jatuh masuk kembali ke


tubuh Tobias. Mata Horus terpental waktu menyerang Tobias dengan
kekuatan pedang sihir berwarna emas. Bahkan menyebabkan barrier
hancur seketika.

“Tidak mungkin! Itu mustahil! Seharusnya dia sudah mati!” seru Mata
Horus kesal.

Daenrys bergumam menghentikan tangis. “Tobias ....”

Luka menganga sudah tertutup tidak meninggalkan bekas. Tobias berdiri


tegak di udara. Kelopak mata terbuka lebar, memancarkan cahaya
merah darah. Daenrys terkesiap melihat aura milik Tobias yang
sepenuhnya berubah. Dulu hanya ada asap-asap hitam di sekelilingnya,
tetapi saat ini seluruh tubuhnya, kecuali mata diselimuti asap hitam
tebal. Pangeran Skotadi tampak sangat mengerikan.

“Horus, tunduklah pada penguasa kegelapan! Tobias, si pengendali


black death!” perintahnya dengan suara menggelegar.

“Tidak! Aku adalah Dewa Horus! Dan kau! Beraninya mengganggu


upacara agung kebangkitanku! Aku akan membunuhmu!” balas Mata
Horus.

“Sekali lagi kuperintahkan kau, Horus! Tunduk atau aku terpaksa


menundukkanmu!”

Mata Horus menyeringai, kemudian dia menelan seluruh batu ke dalam


mulutnya. Retakan keras terjadi pada mata itu. Daging-daging tumbuh di
sisi kiri dan kanan mata. Membentuk lekuk tubuh. Kerangka tulang jatuh
dari bawah kelopak mata, lalu bergabung dengan daging-daging
tersebut. Sampai terakhir, semua daging dan tulang membentuk tubuh.
Kulit dan rambut tumbuh secepat mata berkedip. Semua anggota
tubuhnya telah lengkap. Saat membuka mata, antara mata kanan dan
kiri terdapat iris mata yang berbeda. Warna pelangi di kanan dan warna
emas dengan simbol pentagon di kiri.

“Sempurna! Aku sekarang telah terlahir kembali! Sebagai Dewa Horus


Yang Agung ... hahaha!” tawa Mata Horus, atau sekarang adalah Dewa
Horus.

“Dewa? Seseorang yang keji sepertimu tidak pantas menjadi dewa!


Horus, ini terakhir kali aku memperingatkanmu! Tunduklah padaku,
maka kau akan tetap hidup!” perintahnya lagi.

“Hahaha! Seorang bocah tidak pantas memerintahku! Kaulah yang


harusnya tunduk padaku! Sang Dewa Penguasa Jagat Raya!” seru Dewa
Horus.

“Tidak ada pilihan lain.”

Tobias mengeluarkan tombak hitam, lalu mengarahkannya kepada Dewa


Horus. Sayang, tombak berhasil di belokkan setelah Dewa Horus
mengeluarkan perisai hitam dari kekuatan black diamond.
Tak mau kalah, Dewa Horus menyerang balik dengan tombak merah
hasil ekstraksi dari red crystal. Tobias berhasil menghindar. Tidak seperti
tombaknya yang akan hilang setelah tidak berhasil mengenai lawan,
tombak milik Dewa Horus berubah bentuk menjadi red hole. Red hole
menghisap tubuh Tobias dari belakang, tetapi sesegera mungkin Tobias
melontarkan black hole sebagai tandingan.

Tarik-menarik bak dua kutub berlawanan terjadi. Detik berikutnya,


kedua hole meledak di angkasa. Dewa Horus masih terus menyerang.
Kali ini, dia memakai kekuatan laser hitam dan putih yang keluar dari
ujung kuku telunjuk kanan dan kiri. Tarian jari memaksa Tobias menari di
angkasa. Dewa Horus menyeringai licik. Dia sengaja menyeret serangan
ke tempat para helt menonton.

Tobias melirik panik. Dengan cepat, dia berdiri di depan mereka.


Menyilangkan kedua tangan di depan wajah. Kedua lengan menjadi
korban sorotan laser. Kulit lengan Tobias terpotong membentuk huruf x
besar. Darah hitam mengucur, menetes jatuh ke rerumputan.

“Tobias!” Daenrys mendekat, memegang kedua lengan yang terluka.


Menatap layu penuh rasa bersalah.

“Daenrys, aku akan melindungimu dengan hidupku. Begitu juga dengan


kalian semua. Jadi, bertahanlah dalam barrier yang kubuat ini!” Tobias
berucap sambil tersenyum.

“Barrier? Maksudnya?” beo Riven bingung.

Darah hitam yang berceceran di rumput tertarik membentuk lingkaran


yang menggelilingi mereka berlima. Asap hitam transparan muncul
membentuk kubah. Tobias tersenyum, kembali terbang ke langit
melanjutkan duel.

“Kita ... bisakah kita membantunya?” tanya Daenrys pada Yordan.

“Tidak.” Jawaban Yordan memicu emosi Riven. “Kau! Bukankah kita ini
temannya?! Mengapa kita tidak boleh membantunya! Sekali pun kita
hanya sekuat serangga, tapi aku yakin, kita bisa menggigit dewa palsu itu
sampai berdarah!” sentak Riven.
Yordan memandang datar Riven. “Jangan terbawa arus kemarahan dan
ambisi berlebih, Riven. Mereka akan menghancurkanmu. Dari sini, kita
bisa tahu siapa di antara mereka yang terbawa kedua arus tersebut.” Dia
beralih menatap Tobias dan Dewa Horus.

Riven mengarahkan pandangan ke langit. Dia mungkin tidak bisa


membaca pikiran Yordan, tetapi informasi bisa didapat melalui mata.
Ksatria muda tersenyum memahami hal itu. Dari cerita yang Daenrys
ceritakan, sejak dulu sampai sekarang Tobias memang selalu santai
menghadapi musuh.

***

“Bocah sialan! Matilah! Mati!" teriak Dewa Horus marah. Serangan


bertubi-tubi dilancarkan, tetapi masih bisa dihindari Tobias.

“Jika kau terus menggunakan kekuatan kelima batu, kelak batu itu akan
tergerus dan lenyap, Horus. Aku tahu, upacara penyempurnaan
tubuhmu tidak sempurna. Kalau batu-batu itu lenyap, maka kau juga
akan lenyap,” papar Tobias.

“Persetan dengan batu-batu itu! Yang terpenting, kau harus mati!”


umpat Dewa Horus, melesat demi menyerang kembali.

Red black hole diluncurkan mengelilingi Tobias. Lubang-lubang ukuran


besar menghisap kuat tubuhnya ke dalam. Tobias tetap memasang
wajah santai begitu mendengar tawa kemenangan Dewa Horus. Dia
mendesah, memunculkan suppermassive black hole tepat di bawah
kakinya. Semua red black hole itu masuk terhisap ke dalam. Dewa Horus
merubah ekspresi menjadi geraman rendah.

Dengan gegabah, sang dewa memutuskan meningkatkan bentuk


tubuhnya menjadi mirip raksasa. Dia menghabiskan sisa red crystal
untuk membuat tombak merah raksasa, memakai semua black diamond
menjadi perisai. Sedang batu Moisavind diserap habis oleh tubuhnya.
Cahaya merah jambu menjalar ke seluruh tubuh membentuk urat. Batu
yang tersisa—monochrome diamond—ditanam di jidat.

“Oh ... aku kecewa melihat perubahan ini,” gumam Tobias.


“Bersiaplah untuk mati, Tobias!” seru Dewa Horus.

***

Serang sana-sini tidaklah mempan. Tobias agak sedikit lelah karena terus
menyerangnya. Dewa Horus membalas serangan dan akibatnya, sangat
buruk untuk bumi. Sinar merah tombak membakar rerumputan. Dan
perisai hitam, setiap beradu dengan tombak hitam Tobias, perisai itu
akan mengeluarkan percikan api hitam. Tetesan api melelehkan tanah
yang terkena.

“Ayo balas aku, Tobias!” hasut Dewa Horus, mencoba memprovokasi


Tobias.

Tidak ... aku tidak akan termakan olehnya lagi, batin Tobias.

Semua kemampuan telah dikeluarkan. Namun, tetap saja sang dewa


masih tegap berdiri menginjak tanah. Tobias lengah karena lelah. Sulur
hitam yang keluar dari perisai hitam Dewa Horus membelit tubuhnya.
Tobias mencoba melepaskan diri, tetapi sulur itu malah semakin erat
membelit.

“Skakmat.” Dewa Horus menyeringai puas. Siap meremukan tubuh


Tobias sampai menjadi bubur.

“Lepaskan Tobias!” Angin tornado muncul bersama teriakan seorang


gadis. Tobias mendelik semakin panik melihat Daenrys keluar dari
barrier.

“Tidak! Daenrys! Tetap dalam barrier! Aku tidak mau--”

“Dasar egois! Mana mungkin aku diam saja saat kekasihku sedang
terpojok?! Dengar, Idiot! Aku akan tetap berusaha menolongmu! Aku
siap dengan resikonya! Bahkan jika harus mati sekali lagi!”

“Tapi ....”

Dewa Horus memotong, “Hoo ... sungguh kisah cinta yang klise. Baiklah,
aku akan mengabulkan keinginanmu, Helt Slav!”
Diamond hitam putih membidik Daenrys. Sinar laser dwi warna
terpancar ke arah sang helt. Daenrys hanya bisa melotot di tempat.
Sampai Riven datang membawanya berguling di tanah. Mereka selamat
dari laser hitam putih.

“Sialan!” umpat Dewa Horus

“Riven! Kenapa kau juga ikut-ikutan?!” bentak Tobias pada si


penyelamat sang kekasih.

Riven membalas cuek. “Cuma mengikuti instruksi.”

Tobias mengerutkan dahi bingung. Kemudian, sebuah panah cahaya


meluncur ke tubuh Tobias. Sulur hitam menghilang tanpa bekas. Tobias
melompat menjaga jarak setelah terbebas dari jerat. Dewa Horus murka.
Baru saja ingin menggerakkan tombak ke arah Riven dan Daenrys, tetapi
tombaknya terasa tersangkut.

Senyum kemenangan muncul di dalam lubang di tanah. Rencana yang


disusun Yordan berhasil dengan baik. Ninkuru tidak menyangka
keahliannya yang sepele bisa membantu para helt.

Fura terbang diam-diam di belakang punggung Dewa Horus. Sesuai


rencana, dia harus mengambil sisa batu yang ada di tubuh sang dewa.
Batu warisan raja dan ratu Skotadi, monochrome diamond. Sebenarnya,
ini tugas terberat di antara yang lainnya. Fura harus bisa menggunakan
keahlian mencurinya untuk ini.

“Sialan! Aku akan memusnahkan kalian semua!” teriak Dewa Horus.

“Kau sudah tidak berkutik, Horus. Sebaiknya kau menyerah saja!” balas
Tobias.

Dewa Horus semakin sibuk menyerang Tobias. Sesekali angin tornado


Daenrys ikut memecah konsentrasinya. Dewa Horus tidak sadar ada
seekor burung biru yang bertengger di rambut putihnya yang
bergelombang. Maju jauh ke dahi, Fura akhirnya berada lima senti dari
monochrome diamond. Meneguk ludah susah payah, paruh Fura
condong ke batu tersebut. Paruh kecil terbuka, mulai menyerok pelan-
pelan batu itu ke mulut. Fura langsung terbang menjauh dari atas
rambut sang dewa dengan mulut penuh batu monochrome. Dia kembali
dengan selamat ke dalam barrier.

“Fura~ kau berhasil!” Daenrys memeluk dan menyiumi burung


kesayangannya. Dia, Riven, dan Yordan telah mundur masuk ke dalam
barrier ketika Fura terbang rendah di belakang barrier. Mereka
menyerahkan sisanya pada Tobias.

“Kuku~ Fura adalah burung terhebat, Rys! Tentu saja Fura bisa
mengatasinya!” Fura mengercip bangga.

Duel berhenti sementara karena keduanya kelelahan. Dari itu, Dewa


Horus tidak sengaja menggaruk dahi dan terkejut ketika merabanya.
Monochrome diamond milik dia hilang. Mata melirik ke tanah untuk
mencari, tetapi tidak menemukannya. Lirikan berhenti pada barrier
hitam transparan. Mata memincing murka melihat batu tersebut ada
dalam pegangan Daenrys.

“Dasar licik! Aku tahu, ini semua ulahmu, bukan, Tobias? Kau sengaja
memerintah teman-teman tikusmu untuk mengganggu pertarungan kita,
lalu mereka mencuri batu berhargaku!” geram sang dewa.

“Aku? Tidak sama sekali. Mereka itu teman-temanku. Aku tidak bisa
memerintah mereka seenak hati. Mungkin, mereka hanya berinisiatif,”
kata Tobias sambil mengendikan bahu.

“Keparat!” Kaki raksasa terangkat dari lubang bersama tombak merah.


Tombak melayang dilempar ke arah Tobias. Pemuda itu tetap tenang,
malah menutup kedua matanya. Iris merah terisi sedikit titik hitam di
tengahnya. Tobias menangkap tombak, lalu melemparnya kembali ke
arah Dewa Horus. Sang dewa sukses terkena tombak di bagian perut. Dia
memekik kesakitan, mencoba melepas tombak yang menancap. Namun,
serangan Tobias belum berakhir.

Tangan kiri Tobias terangkat ke langit. Sesuatu muncul dari langit


mendung. Sebuah pusaran hitam kecil yang lama-kelamaan menjadi
besar, hampir menutupi seluruh wilayah kerajaan Matilda.
Celah hitam terbuka selebar danau. Dari dalamnya, muncul seekor naga
setengah hitam setengah putih. Naga bergerak melesat ke bawah
dengan mulut terbuka lebar. Dia berkoar sesaat sebelum menelan
sekujur tubuh Dewa Horus.

Sang dewa mematung di tempat. Tidak, sesungguhnya dia tidak bisa


menggerakkan tubuhnya untuk melawan ataupun melarikan diri. Seperti
ada sesuatu yang menekannya untuk tetap diam.

Tobias tetap menatap lekat saat-saat sang naga menelan utuh sang
dewa palsu. Tanpa sadar, ada air mata hitam keluar dari pupilnya. Tobias
merasa iba dan kasihan melihat Horus mati mengenaskan. Namun,
itulah takdir yang harus dia terima. Salahnya karena menolak tawaran
Tobias untuk menyerah dan tunduk padanya.

Sang naga menggeliat, terbang mundur kembali ke dalam celah hitam.


Tobias menurunkan tangan, dan dia jatuh dari ketinggian. Yordan berlari
keluar barrier menangkapnya dalam gendongan. Dia kemudian
membaringkan Tobias ke tanah. Daenrys datang, merengkuh sang
kekasih seraya menangis.

“Tobias! Bangunlah!”

“Kuku~ Tobias, kau masih hidup, ‘kan?” Fura ikut serta membangunkan
si pangeran dengan mematuk-matuk hidung mancungnya.

“Aku kagum pada Tobias. Dia sudah bekerja keras untuk melawan Horus
dan juga melindungi kita. Itu ... sungguh berat,” tutur Riven memandangi
Tobias sendu.

“Ya, itu memang tugas utama seorang raja dan seorang teman, bukan?”
sahut Yordan tersenyum.

“Ah, raja?!” Tobias langsung melompat dari rengkuhan Daenrys. Mata


melotot syok. “Tidak mungkin! Aku belum mau menjadi raja! Aku mau
menjadi seorang helt!”

“Oh ... jadi kau masih hidup, Idiot." Daenrys memasang wajah kesal
merasa kena tipu.
“Kau pikir aku mati, hah?! Aku tidak mungkin mati sebab diriku belum
melamarmu,” kata Tobias, mulai gombal.

“Heleh! Kalau begitu, cepat lamar aku dan jadilah raja! Dengan begitu,
derajatku dan keluargaku bisa naik menjadi keluarga bangsawan,”
celetuk Daenrys.

“Loh? Kau yakin, Rys? Apa kamu tidak takut nanti anakmu jadi idiot?”
tambah Fura. Sang burung dihadiahi lemparan batu kerikil oleh Tobias.

“Kalian ini! Jadi raja itu berat, tahu! Aku saja baru mengemban tugas
menjadi si pengendali black death!” keluh Tobias.

Ninkuru ikut bersuara. “Aku! Aku! Bolehkah aku jadi knight-mu, Yang
Mulia Raja Tobias?”

“Hah? Tidak! Aku tidak butuh hewan peliharaan yang makan tempat
sepertimu!” cibir Tobias, membuat senyum Ninkuru menghilang.

Yordan tertawa lepas. Semua orang berkedip merasa aneh. “Tobias, aku
juga punya usul. Sebaiknya, kau segera mengesahkan statusmu sebagai
raja Skotadi. Bukan tidak mungkin akan ada raja dari dunia ini atau dunia
lain yang akan merebut kerajaanmu karena tidak berpenghuni. Dan ....”
Pemuda albino menepuk kepala Riven. “Kau butuh seorang penasihat
yang cerdas seperti dia.”

“Jangan sentuh kepalaku, sialan! Aku jijik, tahu! Lagi pula ... apakah Yang
Mulia Raja Tobias mau menerimaku menjadi penasihatnya?” Riven
menunduk tidak percaya diri.

Tobias berdecak, lalu mengacak-acak rambutnya. “Ahh! Mau bagaimana


lagi! Ya sudah! Aku akan menerima usulanmu, Yoyo! Dan kau, Riven,
jadilah penasihatku sebagai perwakilan manusia di dunia lain!”

Yordan terperangah. “Kau ... ingat nama panggilanku dulu?”

“Ya. Aku ingat semuanya. Nah, mari kita pulang ke ibukota untuk
mengumumkan yang sebenarnya.”

***
Hari berikutnya, ballroom istana Matilda ramai dipenuhi tamu
undangan. Para rakyat jelata juga ada di halaman istana. Saling berbisik
dan bergosip tentang berita besar itu. Berita tentang kematian Raja
Oscar dan mantan raja mereka yang adalah si pengendali black death
palsu. Yang menyerang dengan brutal para warganya sendiri.

Satu lagi berita tidak kalah heboh. Mereka diundang kemari karena
pengumuman perjanjian penggabungan kerajaan. Tobias dengan lantang
membaca teks yang ditulis oleh Riven di depan semua rakyat Matilda.
Bahwasanya, dia adalah raja dari kerajaan Skotadi, kerajaan dunia lain
yang akan mengambil tahta kosong kerajaan Matilda. Dia berjanji akan
menyejahterakan rakyat bumi dan mengizinkan beberapa warga untuk
menjadi prajuritnya di kerajaan Skotadi. Juga, dia mengumumkan kalau
dia telah melamar seorang gadis dari kerajaan Matilda, desa Slav,
Daenrys Rick. Lalu, Tobias menunjuk Daenrys untuk mengawasi dan
memerintah juga di kerajaan Matilda.

Seiring berjalannya waktu, kondisi kedua kerajaan semakin baik. Tidak


ada lagi pembatas antara manusia dan makhluk dunia lain. Mereka
adalah teman, merasa sama seperti manusia. Dalam jiwa gelap makhluk
dunia lain, masih tersisa cahaya terang di hati mereka. Mereka juga bisa
merasakan sakit hati dan marah. Mereka juga memiliki perasaan iba
pada makhluk lain.

Tobias merasa puas telah menyelesaikan apa yang menjadi cita-citanya


waktu kecil. Menyatukan segala macam perbedaan antar makhluk
hidup. Sama seperti dulu, saat dia berteman dengan pangeran yang
sebenarnya dari kerajaan musuh. Hitam dan putih tidak mungkin
bersatu. Akan tetapi, mereka bisa melakukannya meski hanya
sementara.

•End•

Anda mungkin juga menyukai