Anda di halaman 1dari 9

“Apakah kelihatan buruk?

Ucap ayahku. Dengan hati hati, aku menarik tubuhnya yang sedang tersandar di batang pohon,
meninggalkan bercak darah gelap yang menempel di batang pohon tersebut. Aku tak bisa berkata sama
sekali melihat pemandangan horror yang ada di punggung ayahku. Satu luka sayatan pedang tersebar
panjang dari ujung bahu ke ujung pinggangnya. Robekan daging, otot, dan urat terlihat menembus
bajunya yang berawarna putih dan terlapis darah. Didalam gelap gulita malam itu, aku mencoba untuk
membersihkan darah dari tubuh ayahku, tapi hal itu tidak membuat lukanya sedikit lebih baik. Dengan
perlahan aku kembali menyandarkan tubuhnya ke posisi istrahat.

“Ayah kuat ya yah, lukanya nggak dalam kok”

Ayahku terkekeh, mengetahui kalau ucapanku barusan hanyalah sebuah kebohongan

“Ayah hanya butuh istirahat saja, palingan sembuh besok pagi”

Dia terkekeh lagi, tapi kali ini diikuti senyuman, senyuman yang tidak lebar, seakan akan tidak memiliki
tenaga lagi untuk senyum yang lebih lebar

“Nak, ayah sampai sini saja ya, kamu jadi anak yang baik, bila kamu besar nanti, balaskan perbuatan dia
demi ayah ya?.”

“Iya yah…” aku tidak mempunyai pilihan lain lagi selain mengucapkan kata itu.

Aku menatap ayahku yang sebatang kara, berharap rasa percaya ku menginspirasi dia untuk bertahan
lebih lama lagi untuk hidup. Ia menatap balik, kelopak matanya menurun. Aku tahu kalau dia sudah
sangat lelah, aku tahu kalau dia tidak punya tenaga lagi untuk bertahan, bahkan untuk mengucapkan
satu patah kata lagi. Hembusan dingin angin malam melewati kita berdua. Tanganku sudah tidak
merasakan hangat lagi dari tubuh ayahku. Aku berharap tubuh ayahku hanya kedinginan dari hembusan
angin tersebut, namun hembusan angin itu berhenti. Tetapi sayangnya tubuh ayahku tak kunjung hangat.
Aku tak tahu harus berbuat apa, aku tak tahu harus merasa apa, dengan tatapan kosong aku melihat
ayahku yang terkapar jauh digelapnya hutan. Samar-samar, aku mendengar suara langkah kaki yang
semakin mendekat ke arah kita, jantungku berdetak keras dengan perasaanku yang bercampur aduk
takut, gugup, sedih, dan marah. Langkah tersebut semakin keras dan jelas, aku tidak berani
meninggalkan ayahku disini.

Dan itulah dia. Sosok yang membunuh ayahku, Muncul perlahan dari gelapnya kabut malam. Sosok yang
tinggi, perkasa, memakai baju lapis besi. Ditangan kananya terlihat pedang yang berlumuran dengan
darah. Dan aku tahu pasti bahwa darah yang menetes dari pedang berwarna merah pekat itu adalah
darah dari ayahku. Aku ketakutan setengah mati, tidak bisa bergerak dan berkata. Kalian tidak akan
percaya betapa menyeramkanya seringai lebar yang ia keluarkan, dan ia menatapku seolah olah aku
adalah mangsa berikutnya

“Aku beri kamu tiga puluh detik, dan kalau hutan ini tidak memakanmu hidup hidup, akulah yang akan
melakukanya. ”
Kalimat yang sungguh mendebarkan itu membuat insting bertahan hidupku menyala. Entah kenapa aku
tidak peduli lagi dengan rasa yang kualami saat ini, ketakutan yang luar biasa memicu otot kakiku untuk
lari sekuat kuatnya jauh lebih dalam lagi ke gelapnya hutan.

“Larilah mangsa kecilku, larilah!.”

Suaranya terdengar diiringi tertawa selagi aku lari menjauh darinya.

Dengan sekuat tenaga aku lari tanpa mengetahui arah yang kutuju, jauh kedalam asingnya flora alam
yang diselimuti gelap gulita. Aku terus berlari, berharap waktu tiga puluh detik yang diberikan bisa
membuatku lolos dari sosok tinggi itu. Telapak kakiku hancur menginjak berbagai puing puing yang ada
ditanah, aku bisa merasakan puing puing batu kecil, serpihan ranting,dan taburan tanah memasuki kulit
daging telapak kakiku. Namun perasaan itu tidak besar dibanding perasaan takut ku yang luar biasa
memacu kakiku untuk terus berlari.

Apakah tiga puluh detik sudah berlalu?. Entahlah aku pun tidak tahu. Yang hanya kupirkan saat ini
hanyalah bertahan hidup dan lari dari pembunuh kejam tersebut. Aku bisa mendengar langkah
panjangnya berlari mengejarku, aku bisa mendengar isakan nafasnya yang penuh nafsu. Lariku semakin
memelan, tenagaku sudah melebihi habis, dan didepanku terlihat jurang buntu yang dibawahnya aliran
sungai deras.
Aku bingung, takut. Haruskah aku lompat kejurang ini?. Lalu aku menolehkan kepalaku kebelakang. Yang
kulihat adalah matanya yang seperti bersinar merah menatapku. Seringai yang sangat mengerikan dan
suara pedang berbenturan dengan tanah. Seolah olah dia tahu inilah titik terakhir hidupku.

Perasaan bimbang yang menyelimuti pikiranku hilang. Pilihanku untuk bertahan hidup saat ini adalah
lompat, Ke dalam derasnya aliran sungai yang entah akan membawaku kemana. Dan aku melompat.
Jatuh kedalam sungai dan meninggalkan sosok tinggi tersebut

“Sampai jumpa, mangsa kecilku.”

Ucapnya saat aku jatuh kedalam deras aliran sungai.

Aku mencoba berenang ke permukaan, aku melawan arus sungai menggunakan sisa tenagaku sekuat
kuatnya. Namun arus tersebut amat sangat kuat membawaku lebih jauh entah kemana sungai ini
menuju.

Aku teramat pasrah. tidak bisa melawan lagi, dan aku sudah menerima takdirku bahwa sungai ini akan
menjadi tempat terakhirku.

“Maaf ayah, aku sungguh minta maaf”

Hanya kata kata tersebut yang berada dipikiranku. Berulang ulang terus seiring kelopak mataku menurun
lemas. Dan aku berpikir bahwa ini adalah akhir dari semuanya.

Namun tiba-tiba saja aku terbangun didalam sebuah ruangan, entah dimana letaknya aku tidak tahu
pasti, tapi aku melihat seseorang yang tampaknya sedang membantu mengobatiku. Aku sangat
bersyukur aku masih bisa merasakan kehidupan, aku bersyukur aku tidak lagi berada dekat di sosok
tinggi itu. Namun dibalik itu semua, aku merasakan sedih dan menyesal atas kematian ayahku. Aku harus
membalaskan perbuatanya, aku harus melanjutkan perintah ayahku untuk membalasnya, aku tidak tahu
dari mana mulainya, tapi aku pasti akan membalaskan ayahku. Namun untuk saat ini, aku akan
beristirahat dan menikmati hangatnya ruangan ini.

“Hey, kau sudah bangun…”

Ucap si orang asing yang mengobatiku, ia tampak seperti rakyat biasa pada umumnya, tinggi normal,
kulit cokelat, dan tampaknya ia seperti memakai pakaian adat seperti suku suku kuno.

“Siapa kau? Dan dimana aku sekarang?.”

“Kau sedang berada di Desa Melati, aku melihatmu terdampar disungai dekat sini, dan menolongmu lalu
membawamu kesini. Oh iya… kau bisa memanggilku Gabriel, aku kepala Desa Melati disini…”

“Terimkasih banyak, tapi kenapa kamu menolongku?”

“Entahlah. tapi kalau dugaanku benar, kau merupakan korban dari kekacauan semalam kan?”

“Bagaimana bisa kau tahu…?”

“Tentu saja aku tahu. Bagaimana tidak, kekacauan semalam tadi membuat seluruh warga desa tidak bisa
tidur ketakutan. Jeritan orang yang kesakitan disertai suara reruntuhan bangunan dan kobaran api,
hingga asap yang tebal melayang keatas. Semuanya terlihat dan terdengar dari kejauhan desa ini.
Bagaimana kamu bisa selamat?”

“Sial… aku sendiri menganggap saat ini adalah keajaiban kalau aku bisa selamat. Ayahku terbunuh dari
kekacauan semalam, dan aku melarikan diri dan melompat ke sungai.”

“Tunggu dulu… apa kau melihat siapapun yang ada disitu?”

“Ya… pembunuh ayahku, sungguh sosok yang menyeramkan. Tinggi dan perkasa dan memakai baju lapis
baja. Aku menyimpan dendam yang teramat dalam untuknya, karena dialah yang membunuh ayahku.”

“Sial, sepertinya aku mengetahui siapa sosok tersebut… apakah ia memegang pedang berwarna merah?”

“Siapa dia? Beritahu aku sekarang, aku akan bunuh bajingan itu”

“Tidak secepat itu nak, kau masih terlalu muda untuk melawanya. Namanya Yosua. dia bukanlah orang
biasa. Ia memimpin pasukan besar perampok di pulau ini. Sejak kecil ia dilatih untuk menghancurkan dan
menguasai, ia sudah mengalami banyak penedritaan dan luka, Senjata apapun tidak akan bisa
menembus baju lapis baja yang ia pakai. Kabarnya baja itu diambil dari inti gunung berapi yang paling
dalam, dan ditempa seribu kali. Pedang yang ia pegang bukanlah sembarang pedang biasa, pedang itu
adalah pedang keramat peninggalan raja dua ratus tahun yang lalu, pedang itu tidak akan hancur karena
pedang itu dibuat dari inti batu kristal merah yang dipahat dengan hati hati oleh pemahat terbaik di
pulau ini. Percayalah nak, kau bukan lawan yang seimbang untuknya, bahkan dipandanganya kau hanyala
sebuah kutu untuk diinjak. Sudahlah, relakan saja ayahmu, ia sudah berada ditempat yang lebih tenang
sekarang.”
“Apakah kau pikir aku akan diam saja setelah melihat ayahku terkapar tak berdaya ditanganku? Apakah
kau pikir aku tidak merasakan amarah yang sungguh amat besar untuk membalaskan dendam ini?. Ya
kau benar, aku bukanlah lawan yang seimbang untuknya, tapi perasaan takut ini tidak sebanding
semangat dan amarah yang aku rasakan terhadap Yosua bajingan itu. Ialah yang membunuh ayahku, dan
aku akan membalaskanya tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, tapi aku berjanji aku akan
melakukanya. Ayolah gabriel… pasti ada cara untuk mengalahkanya, tidak peduli sesusah apapun caranya
akan kulakukan…”

“Sial… aku turut berduka tentang ayahmu… Tunggu sebentar… sepertinya aku tahu satu satunya cara
untuk mengalahkanya, tetapi kamu harus ingat bahwa untuk melawanya, sama bodohnya seperti bunuh
diri.”

“Apakah aku terlihat ragu saat kau mengucapkan itu?”

“Baiklah jika kau sudah mengetahui resikonya. Diatas puncak gunung Avalon, dalam dikedalaman puncak
gunung tersebut, tersimpan pisau keramat yang sudah turun temurun disimpan oleh leluhur Desa
Melati, hanya pisau itulah yang dapat menembus lapisan baja yang digunakan Yosua, jika kau berhasil
mendapatkan pisau itu, maka kau akan mempunyai kesempatan untuk melawan dia”

“Baiklah aku akan mendapatkan pisau itu”

“Jangan terlalu buru buru, tidak hanya kau yang mencari pisau keramat itu, pasukan Yosua sudah
bertahun tahun mencari dan menjaga gunung itu, namun mereka tidak tahu bahwa untuk mendapatkan
pisau itu, kau membutuhkan kunci sakti ini.”

Gabriel memberiku kunci berwarna hijau terang, layaknya kunci tersebut memancarkan sinar dari dalam.

“Ingatlah bahwa pasukan yang menjaga gunung itu tidaklah sedikit, ratusan bahkan ribuan perampok
jahat siap untuk menghentikan perjalananmu untuk mendapatkan pisau itu. Sebaiknya kamu berlatih
keras untuk bekal melawan mereka dan melawan Yosua.”

“Baiklah, kau benar, tapi dimana aku bisa berlatih untuk bertarung di tempat sekitar ini?”

Gabriel terkekeh, dan menarik tanganku untuk memandu keluar ruangan. Ketika ia membuka pintu
ruangan, aku hanya bisa tercengang melihat betapa indahnya halaman Desa Melati ini, dipenuhi oleh
orang orang ramah yang terdengar sedang berbicara dengan suara yang amat lembut, dikanan kiriku
terlihat lahan luas dipenuhi tanaman hijau yang hidup dengan berbagai bunga dan pohon, suara tertawa
anak anak yang sedang bermain. Suasana ini sangat beda dengan kekacauan semalam itu, aku hampir
meneteskan air mata melihat dan merasakan suasana di Desa Melait ini yang sangat amat tentram.

“Ikuti aku”

Dengan masih terkagum dengan pemandangan sekitar, aku berjalan mengikuti Gabriel ke sebuah
bangunan kayu tua yang amat besar. Dan ia membukakan pintunya untuk mengajaku kedalam.
Didalamnya adalah tempat berlatih prajurit prajurit Desa Melati, berbagai perlengkapan senjata dan baju
pelindung yang unik bisa dilihat dari awal masuk pintu depan. Suara para prajurit yang sedang berlatih
dan bertarung bisa didengar dari kejauhan.
“Disinilah kau akan tinggal, aku akan melatihmu sampai kau siap pergi ke gunung itu. Perlu kau ingat ini
akan membutuhkan proses yang panjang dan banyak rintangan. Jadi kalau kau yakin kau akan
mengalahkan Yosua, kau harus bisa kulatih menjadi prajurit terbaik dan pemberani di Desa ini”

“ Baiklah gabriel. aku berjanji aku tidak akan mengecewakanmu, mohon bimbing aku menjadi prajurit
terbaik di desa ini.”

Mulai sekarang aku tinggal di sini untuk berlatih menjadi prajurit terbaik di desa melati, dan yang
terpenting untuk mengalahkan Yosua, bajingan yangmembunuh ayahku.

Hari demi hari, rintangan demi rintangan, kerasnya latihan aku jalani. Hal hal yang tidak layak seorang
manusia lakukan,aku harus lakukan demi meningkatkan kemampuanku. Tugas tugas yang terdengar
mustahil bagi orang biasa, harus aku selesaikan demi meningkatkan keberanianku. Mungkin ini semua
terdengar sebagai siksaan yang kejam,namun aku yakin perasaan menderita ini akan terbalas saat aku
berhasil menancapkan pisau keramat itu ke jantung Yosua.

Satu tahun berlalu. Gabriel memanggilku untuk melakukan tes terakhir dalam menjadi prajurit
terkuat.Ketika aku mendatangi nya, yang kulihat di depan mataku adalah sekumpulan prajurit yang
berlatih bersamaku, mereka duduk berkumpul membentuk barisan yang tampaknya seperti ratusan
orang.

“ Apakah kau tahu tes apa yang akan kuberikan padamu kali ini?”

“Tidak, beritahu aku”

“ Untuk menjadi prajurit terbaik,pastinya prajurit itu tidak boleh mengalami kekalahan dalam perang
melawan siapa pun”

“Iya, lalu kenapa?”

“ Dan untuk hal itulah aku memanggilmu kesini. kau harus membuktikan dirimu sendiri dengan
mengalahkan semua prajurit ku di pertarungan adil.Setiap pertarungan kuanggap selesai bila aku melihat
lawan yang sudah tidak mampu untuk bertarung lagi atau lawan itu menyerah.”

“ Apakah kau gila?Mana mungkin aku akan melawan ratusan pasukanmu?”

“ Kalau begitu kau tidak akan menjadi prajurit terbaik didesa ini, ingatkah kau pada saat awal kau aku
selamatkan, kau bilang sendiri kepadaku bahwa kau akan melaksanakan apapun itu untuk mendapatkan
pisau tersebut dan kau tidak akan mengecewakanku. Kau perlu ingat bahwa pasukan di sini tidak
seberapa bandingnya dengan ratusan pasukan gunung di atas sana.”

“ Sial,kau benar...Baiklah aku akan mengalahkan pasukanmu.”

“ Baiklah mari mulai pertarungan ini.”

tes terakhir pun dimulai.Tes untuk menjadi prajurit terkuat di desa ini. Awalnya aku merasa gugup
dengan pertandingan ini, namun seiring pertandingan berjalan,aku berhasil mengalahkan beberapa
prajurit terbaik di desa ini, Aku merasa terkejut bahwa latihan ku selama ini tidak sia sia, dan aku sudah
berkembang jauh pesat. Semakin banyak prajurit yang kukalahkan semakin besar rasa siap ini untuk
mengalahkan Yosua.

Waktu terus berjalan,aku sendiri tidak tahu ini pertandingan keberapa. namun aku tidak melihat lagi
satupun prajurit di depan mataku,yang berarti aku sudah berhasil mengalahkan prajurit desa ini,dan
menjadi prajurit terbaik yang akan mengalahkan Yosua.

“ Hei Gabriel, apakah semua ini sudah selesai?”

Gabriel tertawa senang. Menandakan kalau aku sudah berhasil melalui tes terakhir ini,aku merasa lega
dan bangga.

“Baiklah nak, aku yakin kamu sudah siap.”

Lalu ia memberiku kunci hijau itu untuk kubawa keatas puncak gunung.

“Ketika kau berada dipuncak, carilah bangunan kuno dengan gerbang berwarna hitam, dan gunakan
kunci ini untuk masuk kedalam.”

“Baiklah. Terimakasih Gabriel, berkat bantuanmu lah aku menjadi lebih kuat dan siap untuk menghadapi
Yosua, seandainya kau tidak menyelamatkanku pada saat itu, entah dimana aku akan berada sekarang.”

“Hey nak. Aku turut bangga kepada pencapaiannu hingga sekarang. Namun sekaranglah waktunya kita
berpisah menyusuri jalan masing masing, naiklah ke gunung itu nak, balaskanlah dendam ayahmu.”

“Selamat tinggal gabriel. Aku tidak akan melupakanmu.”

“Selamat tinggal nak.”

Aku pun mengucapkan salam terakhir ku ke Gabriel, memeluknya dengan rasa berterimakasih. Aku bisa
merasakan air mata Gabriel yang menetes ke pundakku, seolah olah ini adalah perpisahan yang paling
bermakna baginya, melepas seorang prajurit terbaik di Desa Melati. Tatapan matanya seperti
melepaskan seorang anak kandung yang berpisah jalan dari ayahnya. Tatapan yang kurasa mirip dengan
tatapan ayahku. Sial… sepertinya aku akan sangat merindukan Desa yang indah ini.

Dan berangkatlah aku. Menuju gunung Avalon, tempat dimana pisau keramat itu disimpan. Berbagai
jenis lahan ku lewati. Pepohonan yang tinggi, gurun yang gersang, badai salju yang menerjang. Aku terus
berjalan jauh kearah gunung itu. Setiap langkahku mengandung amarah dan dendam untuk
membalaskan perbuatan Yosua itu.

Dari pagi hingga pagi, dari malam hingga malam, aku menghabiskan tiga hari berjalan menuju gunung
Avalon itu. Tidak sedetikpun aku merasa lelah. Entah ini amarahku yang luar biasa, atau latihan ku yang
tidak sia sia, atau mungkin keduanya. Aku terus berjalan dan pada akhirnya dibola mataku terlihat kaki
gunung Avalon didepan mataku. aku menoleh dari bawah keatas, satu satunya hal yang ada dipikiranku
sekarang adalah gunung ini mustahil untuk didaki manusia. Sungguh amat tinggi dan berstruktur sangat
curam, tidak mungkin aku akan melakukan ini.
Namun aku teringat ucapan terakhir ayahku, tatapan terakhir ayahku. Aku juga teringat oleh ucapanku
sendiri, bahwa aku akan melakukan cara apapun untuk membalaskan dendam ini. Dan disitulah
semangatku kembali menyala, layaknya api unggun yang dinyalakan kembali. Aku melangkahkan kakiku
yang terisi semangat dan amarah ku ini. Perlahan tapi pasti, aku melewati berbagai halangan. Jalur yang
sangat canggung dan curam, badai salju yang membekukan kulitku, pecahan batu yang mengikis telapak
kakiku.

Berbekalkan sebuah pedang dan perisai, serta baju pelindung, dan semua itu berkat pemberian Gabriel.
Aku menerjang mengalahkan prajurit Yosua yang berani menghalangi jalanku ke puncak. Ratusan- ah
tidak… bahkan ribuan orang aku kalahkan dalam perjalanan mendaki gunung ini. Dan tidak sedikitpun
rasa semangatku berkurang.

Dan itu dia… puncak gunung Avalon sudah berada didepanku sekarang, beberapa langkah lagi aku akan
mendapatkan pisau itu, dan mengakhiri ini semua. Aku rasa seluruh pasukan Yosua yang ada digunung
ini sudah aku kalahkan, jadi yang harus aku lakukan saat ini adalah mencari bangunan kuno dengan
gerbang hitam yang disebut oleh gabriel.

Aku mencari, dan terus mencari, ke kedalaman puncak gunung ini. Berapa lama waktu yang sudah
berlalu sejak aku mencari? Entahlah… aku akan tetap terus mencari walaupun hari berlalu.

Dan akhirnya aku melihat sebuah bangunan kuno yang tersembunyi di tebalnya kabut mistis, dengan
gerbang berwarna hitam pekat. Disela-sela gerbang tersebut terlihat pancaran cahaya berwarna emas
yang sangat terang. Aku bergegas menggunakan kunci sakti pemberian Desa Melati untuk membuka
gerbang hitam ini. Ketika gerbang ini terbuka, aku tercengang. Didalamnya emas, perak, berlian, bahkan
perhiasan yang memancarkan cahaya terang. Semua itu menumpuk bagaikan gunung harta, menunggu
untuk diambil. Namun satu-satunya hal yang mendapat perhatianku adalah pisau yang ada didepanku,
berwarna hijau terang dan memancarkan cahaya. Aku bergegas mengambilnya tanpa rasa ragu, merasa
sangat puas akhirnya aku bisa melawan Yosua. Namun tiba-tiba…

“Hey mangsa kecilku…”

Aku tidak bisa bergerak, kaku terdiam seakan membeku mendengar suara itu. Suara yang tidak berubah
sedikitpun sejak malam kekacauan itu. Mataku tidak berani untuk menoleh kebelakang. Bagaimana dia
bisa tahu kalau aku disini?

“Apakah kau siap kujadikan makan sore ku? Hahaha”

Aku masih tidak bisa bergerak. Pikiranku kosong seolah olah otak ku tidak berfungsi lagi. Aku mulai
menyesali perjalananku kesini dan yang aku inginkan sekarang hanyalah melarikan diri.

“Mari kita akhiri dengan cara yang sama seperti aku membunuh ayahmu, Hahaha, aku masih bisa
mengingat jelas jeritan kesakitan saat aku menyayat punggungnya, sungguh manusia yang tidak
berguna.”

Entah kenapa, kata kata itu membuat kesadaranku penuh lagi, seolah olah ayahku mengiringiku saat ia
mengucapkan itu. Kata kata itu membuat amarahku jauh melebihi rasa takut ku. Aku mulai sadar akan
tujuanku kesini. Janjiku kepada ayah, tidak akan aku ingkari hanya karena rasa ketakutan. Aku adalah
orang yang berbeda dari yang dulu. Aku kesini untuk membunuh keparat ini bukan melarikan diri
darinya. Yosua.

“Hey bajingan, bagaimana kalau aku duluan yang membunuhmu.”

Yosua tertawa mendengar ucapanku.

“Hahaha apakah kamu bisa mendengar suaramu sendiri saat kau mengucapkan itu? Kau terdengar
seperti anak kucing yang mengeong. Hahaha betapa menyedihkanya, memang apa yang membuatmu
berpikir kau bisa mengalahkanku?”

“Kau lihat apa yang ada ditanganku sekarang ini kan?”

Aku bisa melihat Yosua sedikit terguncang, namun ia mencoba menyembunyikanya.

“Cih. Apakah kau pikir kau bisa mengalahkanmu hanya dengan pisau itu?”

“Mari kita cari tahu, keparat”

Kita berdua berseringai lebar.

“Hmm baiklah sepertinya ini akan menjadi seru!”

Dan pertarungan yang luar biasa pun terjadi, aku mengayunkan pisau keramatku, ia mengayunkan
pedang merahnya, suara benturan keduanya terdengar sangat keras, sungguh keras seolah olah kita
mendengar suara benturan pedang itu bagaikan musik untuk berdansa.

Pertarungan dahsyat berlangsung lama. Benar saja, pisau ini berhasil menembus baju pelindung Yosua.
Aku bisa melihat aliran darah yang mengalir keluar dari dalam sayatan pisau keramat ku dibaju
pelindungnya. Namun bukan Yosua saja yang terluka. Sayatan pedang merah Yosua juga menembus
kulitku seolah olah memotong buah. Darah yang keluar menyelimuti bagaikan menjadi warna baru baju
pelindungku. Kami berdua terluka amat parah. Tenaga yang tersisa juga tidak banyak, seakan akan hanya
kuat mengeluarkan satu serangan terakhir.

Aku terkejut aku bisa sampai dititik ini, yang awalnya bagaikan mangsa kecil dihadapan predatornya,
sekarang aku bisa mengimbangi Yosua. Kami berdua menatap satu sama lain, menunggu serangan yang
akan dikeluarkan.

“Hey bodoh, sejak kapan kau bisa jadi seperti ini, seingatku kau hanyalah mangsa kecil yang penakut dan
akulah sang pemangsanya.”

Ucapnya dengan terisak isak kehabisan tenaga.

“Dan lihatlah Yosua… sepertinya yang sekarang jadi mangsa kecilnya adalah kau, haha”

Mendengar kata itu, amarahnya bangkit kembali. Dengan penuh kekesalan, ia menyerangku sekuat
kuatnya, mengayunkan pedangnya dari atas kebawah. Namun karena tenaga yang sudah habis,
seranganya terlihat sangat lambat dimataku, aku menghindari seranganya dan menancapkan pisau
keramatnya kedalam jantung Yosua.

Seiring tanganku menusuk jantungnya, aku bisa merasakan sosok ayahku yang membantuku mendorong
pisau ini untuk menusuk lebih dalam. Dan ia pun terkesiap, dengan tatapanya yang masih terisi amarah,
menatap mataku seolah tidak percaya apa yang ia saksikan sekarang.

Perlahan ia jatuh ke tanah, terbaring lemas dengan tatapanya yang masih lekat dimataku.
Namun kali ini kelopak matanya menurun, seperti orang yang lesu menerima kekalahan.

“Tidak buruk. Mangsa kecilku…”

Ucap Yosua pada saat momen terakhirnya. Sebelum matanya tertutup penuh dan tubuhnya mendingin
menandakan kematian.

Aku terkekeh, namun aku tidak berkata apapun. Perasaan puasku melebihi rasa lelah yang kualami dari
awal perjalananku kesini. Aku sudah berhasil membalaskan dendam ayahku dan membuatnya hidup
tenang diatas sana. Aku sudah berhasil mengalahkan Yosua dan pasukan perampoknya. Aku sudah
berhasil membebaskan pulau ini dari kuasa orang orang jahat.

Perlahan aku berjalan keluar dari bangunan itu. Luka sayatan disekujur tubuhku dan tenagaku yang
sudah habis membuatku tidak bisa berjalan lebih jauh lagi. Diufuk barat, terlihat matahari yang setengah
tenggelam. Dengan cahayanya yang indah. Aku duduk beristirahat diri untuk menikmati pemandangan
tersebut. Disekitar cahaya matahari itu, aku bisa melihat sosok ayahku yang tersenyum bangga. Diantara
angin sejuk yang lewat, aku bisa merasakan hangatnya pelukan ayahku yang penuh rasa sayang. Diantara
kicauan burung yang lewat, aku bisa mendengar ayahku.

“Ayah bangga padamu.”

“Aku berhasil yah… aku berhasil.”

Anda mungkin juga menyukai