Anda di halaman 1dari 7

PETUALANGAN TIGA SAHABAT

KARYA RAHMA CARISA

Halo! Aku Mentari. Aku merasa, aku salah satu orang terberuntung di muka bumi ini.
Keberuntungan yang sangat aku syukuri adalah memiliki pertemanan yang membuatku yakin
pasti orang di luar sana bakal iri. Harus bagaimana aku menunjukan rasa syukurku ini kepada
Tuhan yang telah mengirimkan mereka untuk diriku yang masih banyak kekurangannya?

Akan kuperkenalkan kepada kalian satu-persatu dari kami. Dimulai dari aku, ya. Seperti
yang kalian tahu, aku Mentari, biasa orang-orang panggil aku Tari. Aku orang yang easygoing,
berani dan sedikit pelupa, itu juga kata temen-temenku, sihh. Gak jarang mereka menyuruhku
yang meminta izin atau bertanya ke orang yang mereka gak kenal. Lalu ada Delilah, yang
akrabnya Dila, dia aktif dan cerewet bangeett. Bahkan semut lewat aja dia bakal ajakin ngobrol
bermenit-menit. Tapi akan berbeda jauh kalau dia bertemu orang asing. Dia bakal diam seribu
Bahasa. Mulutnya bagaikan dijahit dengan benang yang sangat kuat. Jika ditanya maka dia akan
menjawab dengan gelengan, anggukan, atau mengangkat kedua bahunya. Atau memang kalua
pertanyaannya harus dijawab, dia akan jelasinnya dengan singkat. Dan yang terakhir, Yasmin, si
bijak, bertingkah dewasa, lemah lembut, dan selalu berkepala dingin. Bahkan banyak juga loh
laki-laki di sekolah kita suka sama Yasmin karena sifatnya yang membuat orang lain pun akan
tersentuh.

Orangtuaku sangatlah ketat. Tak jarang kami membatalkan rencana buat pergi bermain
karena orangtuaku gak kasih izin. Seperti sekarang contohnya, kami sudah berjanji untuk pergi
berkemah. Tentu Yasmin dan Dila dapat izin dari orangtua mereka. Bahkan orangtua Dilalah
yang akan mengantar kami ke tempat berkemah nanti. Sepertinya kalian sudah tau apa jawaban
orangtuaku.

“Gak!” itu kata yang dilontarkan Ayahku masih terngiang di kepalaku. Huftt.. emangnya
kenapa, sih? Aku juga sudah besar. Mereka juga memanggilku dengan sebutan ‘Bayi Besar’.
Karena sangat ingin pergi berkemah aku berencana buat berbohong kepada mereka, dengan
berkata akan menginap di rumah Dila, padahal pergi kemah.
Yasmin dan Dila mendengar rencanaku kelihatannya ragu dan gak yakin. Melihat reaksi
mereka aku sudah menduga mereka tak akan mengikuti rencanaku. Tapi aku terus memohon
pada mereka dan memasang muka sememelas mungkin, siapa tahu mereka luluh, hehehe.

Aku puas saat melihat reaksi kedua mereka, sepertinya mereka luluh. Dan ternyata benar,
mereka mengiyakan rencana yang menurut mereka bodoh untuk berbohong pada orangtuaku,
padahal kan itu rencana terpintar yang pernah kurencanakan.

***

Hatiku berdebar lebih kencang dari biasanya. Aku terus melengkungkan bibirku ke atas,
bahkan belum berubah bentuk sedari rumah sampai di sini, perkemahan. Sepertinya kalau aku
ikut lomba tatap-tatapan aku yang bakal menang sih, aku rasa aku belum berkedip, memandangi
hutan-hutan yang kami lewati lebih penting daripada berkedip sekarang. Alias ini pasti bakal
jarang sekali aku rasakan. Saat tiba di lapangan kosong yang akan kami isi tenda dengan
perlengkapan kami, aku belum mengubah ekspresi wajah bahagiaku.

Orangtua Dila Kembali ke rumah, tak laa setelah kami sampai di tempat kemah. Kami
menyiapkan segala sesuatunya dibantu Pak Somat, penjaga tempat ini. Gak terlalu ramai
tempatnya, mungkin hanya 2-4 orang yang menyewa ini termasuk kami. Orangtua Dila pun pergi
berpamitan dan menitip pesan, “Mama pulang dulu, ya, Neng. Kalo ada apa-apa minta tolong ke
Pak Somat yang sopan, ya, Neng. Mama udah minta tolong ke Pak Somat buat bantuin kalian
semua kalo ada kesusahan. Hati-hati, ya. Jaga diri baik-baik”

“Siap, Ma! Hati-hati pulangnya. Makasih banyak mamaa!” ucap kami serempak dengan
semangat sambil melakukan pose hormat.

***

Selagi menyiapkan tenda dan barang-barang lainnya, tiba-tiba sesuatu dalam perutku
rasanya sudah bosan di dalam dan akan keluar. Aku mau buang air besar. Aku pun kasih tau
Yasmin dan Dila dulu kalau aku mau BAB biar mereka gak kebingungan mencariku.

“Kebelet banget? Kenapa gak BAB pas di rumah tadi, Tari.. Mau aku temenin gak, nih?”
ucap Dila dengan memasang muka jengkelnya.
“Ya kan aku tadi di rumah belum kebelet. Eh gausah ditemenin gapapa, kok, aku tau
pasti nanti kamu bakal isengin aku dengan nakut-nakutin” ucapku sambil mengikuti ekspresi
Dila. Untungnya sudah dikasih tau jalannya sama Pak Somat tadi, pasti aku gak bakal nyasar.

***

Hmmm… Akhirnya panggilan alamku sudah terpenuhi, rasanya perutku lega sekali.
Tapi sepertinya aku belum boleh lega. Tadi kesini kan aku hapal jalan, kenapa pas mau pulang
jadi mendadak lupa? Sepertinya aku terpaksa menggunakan keberuntunganku untuk memilih
jalan yang tepat. Kakiku perlahan melangkah mengikuti instingku. Bismillah, semoga jalan yang
kuambil ini benar. Mulutku komat-kamit merapal do’a. Jantungku mulai berdetak tak karuan.

Aku tak tahu di mana aku sekarang. Hanya ada pohon-pohon besar dan semak-semak.
Dadaku rasanya sesak. Jantungku semakin berdetak kencang. Mataku mulai memanas,
pemandangan yang kulihat pun jadi memudar. Mulutku mulai bergetar berusaha menahan isakan
yang akan keluar. Ini sudah menjelang malam dan aku masih belum menemukan jalan
keluar.Malah sepertinya aku makin tersesat di dalam hutan.

Kakiku mulai melemas. Badanku rasanya ta bertulang. Aku terduduk lemas, di bawah
pohon yang berdekatan dengan sungai. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap!

Tak! Tak! Tak!

Suara patahan kayu yang berasal dari injakan kaki itu membangunkanku. Mataku samar-
samar melihat sesosok laki-laki yang sedang menggendong sebuah karung di bahunya pergi
menuju sungai itu. Dilihat dari baju laki-laki itu, sepertinya isinya sesuatu yang mengerikan!
Bajunya dilumuri banyak darah! Aku berusaha tetap berpikir positif bahwa itu adalah hewan
yang ia buru.

Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Perlahan ia menjatuhkan karung itu dengan hati-
hati agar tidak menimbulkan suara yang keras. Seketika karung tersebut terbuka. Hal yang
pertama kulihat adalah.. rambut? Aku terkesiap. Aku harus tetap berpikir positif, mungkin aja itu
bulu hewan yang digabung sampai terlihat lebat seperti rambut manusia. Namun ketika melihat
pemandangan kedua aku udah gak bisa berpikir positif. Tangan manusia yang berlumur darah!

Astaghfirullah… Aku memekik. Lelaki itu refleks membeku di tempat dan mencerna
suara apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menengok ke kanan ke kiri. Secepat kilat aku
menutup mulutku dan bersembunyi di semak-semak berharap ia tak menyadari kehadiranku.
Mataku kembali memanas, namun kali ini aku tak bisa menahannya. Cairan bening itu mulai
membasahi kedua belah pipiku. Sementara nafasku mulai tak beraturan.

Aku mulai mengendap-ngendap dan kabur dari semak-semak itu. Saat aku mencoba
melarikan diri dan dirasa sudah agak jauh dengan sungai itu aku mulai menampakkan diri dan
berlari sekencang mungkin!

“Hei, siapa itu? Kamu ngapain disini?!” teriak laki-laki itu sambil menunjukku.

LARI, LARI, LARI, LARI, CEPAT LARI TARI!!!!

***

Huh! Hah! Huh!

Aku memegang kedua lututku sambil membungkuk, berusaha mengumpulkan energi


yang aku habiskan untuk berlari agar menjauh dari laki-laki misterius itu. Sepertinya sudah jauh,
aku bisa berjalan santai buat cari jalan keluarnya. Dan juga aku melanjutkan acara nangis-
menangisku sambil berjalan lunglai. Mataku dari tadi tak bisa memalingkan ke objek apapun
selain langkah kakiku. Membiarkan kakiku basah terkena cairan bening yang keluar dari mataku
dan terus menetes. Banyak yang kupikirkan sekarang, bagaimana reaksi orangtuaku setelah
mengetahui apa yang terjadi padaku? Apa yang dilakukan oleh Yasmin dan Dila sekarang? Apa
mereka lagi mencariku?

“Kena kamu!” Laki-laki misterius itu memelukku dari belakang dengan kencang
mengisyaratkan aku gak bisa bebas darinya lagi.

Otak dan tubuhku gak bisa berjalan dengan sempurna. Sekarang jantungku rasanya akan
lompat dan memisahkan diri dengan organ lainnya, naik level dari sebelumnya. Aku berusaha
memberontak, tapi saat aku memberontak akan semakin kencang.
Setelah mengikat kedua tanganku, lelaki itu menyumpal mulutku dengan kerudung yang
kukenakan. Kini, rambutku tergerai kemana-mana

***

Laki-laki itu membawaku ke gubuk reot, yang atapnya sudah roboh.

“Kamu di sini jangan kemana-mana! Saya mau nyari sesuatu! Pergi selangkah aja dari
gubuk ini, jangan harap kamu bisa pulang! Bisa-bisa nasibmu sama dengan orang yang tadi
kamu lihat!” Dia pergi setelah mengancamku.

***

Lelaki stress itu akhirnya pergi juga. Ini waktu yang tepat buat aku kabur. Emang dasarnya orang
gila kali ya! Masa’ aku akan berdiam diri di sin? Dengan bantuan tiang, aku berhasil melepaskan
ikatan tanganku. Aku menggesek-gesek tali itu. Luka lecet tak kurasa. Yang kupikirkan saat it
adalah, bagaimana caranya aku berhasil menyelamatkan diri.

Aku pun berlari gubuk petaka itu sekencang turbo. Berteriak sekencang mungkin sampai
tenggorokanku mati rasa. Tapi aku gak peduli dengan tenggorokanku, nyawaku lebih penting
sekarang!

Brukk!!

Lututku mulai mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Aku bertemu batu sialan ya
menghalangi langkahku, jadilah aku kesandung dengan posisi yang memalukan.

Saat sedang membersihkan lutut dan wajahku, aku mendengar seseorang memanggil namaku,
dan pemilik suara itu adalah seorang yang aku tunggu dan berharapkan akan menolongku,
Yasmin dan Dila!

“YASMIN!! DIL!! AKU DISINI!!” teriakku sembari melambaikan tangan setelah aku
sudah melihat mereka samar-samar, aku gak cuma melihat mereka berdua tapi aku lihat itu ramai
bangeeettt, apa warga-warga ikut membantu mencariku?

Mereka semua berlari menghampiriku, membentuk lingkaran agar masing-masing dapat


melihat keadaanku. Yasmin pun menarikku kepelukannya dengan lembut, berusaha
menenangkanku yang sudah mengeluarkan isakan yang keras. Yasmin juga menanyakan kabarku
dengan tutur yang kelewat lembut.

“Kamu gak apa-apa, Tar? Ada yang luka? Ada sakit? Dari sore tadi, kami mulai
mencarimu! Kami minta bantuan Pak Somat. Kaki Dila sampai terkilir tadi pas lewat jal…” ucap
Yasmin terpotong karena kaget, mendengar ancaman seorang lelaki.

“Berikan gadis itu padaku!” ucapnya sambil menodongkan pisau dileherku.

Saat Pak Somat dan warga lainnya membujuk orang gila itu buat kasih diriku ,
membiarkan aku disandera begini Dila kasih aku kode buat tetep diam. Aku gak tau apa yang
bakal Dila lakukan, jadi aku perlahan mengangguk secara hati-hati agar orang gila ini gak sadar
pergerakkanku.

Dila pun mengendap kebelakang orang gila itu sambil membawa kayu panjang lalu
memukulnya sekeras mungkin. Akhirnya orang itu pingsan. Tanpa pikir panjang warga dan yang
lain menopangku membantu jalan untuk kabur dari hutan itu dan dibawa ke pemukiman lagi.

***

Ketika mereka lagi berusaha menenangkanku dan mengobatiku, tangisku pecah lagi.
Timbul rasa bersalahku karena sudah membohongi kedua orang tuaku.

“Pak Somat, saya mau pulang”

Suara klakson mobil Mama Dila membuatku lega. Alhamdulillah, Allah telah
menyelamatkanku dari sebuah petaka! Teman-teman, ambil pelajaran dari kisahku, ya! Jangan
pernah membohongi orang tua, sekecil apapun kebohongan itu! Karena membohongi mereka
akan menghancurkanmu!

Anda mungkin juga menyukai