Anda di halaman 1dari 6

Teks cerpen

Alif Nur Mushoffa (19410073)


Nilai-Nilai

Nilai Nilai
Agama Budaya

Nilai Nilai
Sosial Moral
Sudah berbulan-bulan lamanya Randi kebingungan mencari kerja. Randi sudah memasukkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan, tetapi belum ada jawaban sama
sekali. Tanpa adanya pekerjaan yang jelas, hari-harinya terasa hambar. Setiap hari, Randi hanya ke sana kemari tidak jelas. Randi kebingungan, mau mencoba usaha, tetapi modal
juga belum ada. Suatu hari, Randi membuat janji bertemu dengan teman lamanya. Randi ingin menceritakan permasalahannya itu. Ketika Randi sedang dalam perjalanan ke
rumah temannya, samar-samar Randi melihat sesuatu di samping jalan, dekat trotoar. Sepertinya, itu adalah dompet. Karena penasaran, Randi pun mendekat untuk
memastikannya. Ternyata memang benar sebuah dompet kulit berwarna cokelat. Tanpa berpikir lama, Randi pun membuka dompet itu. Randi sangat terkejut mendapati bahwa isi
dari dompet yang ia temukan adalah KTP, kartu ATM, kartu kredit serta sejumlah uang yang lumayan banyak. “Wah rejeki nih!” ujarnya dalam hati. Randi ingin mengambil uang
dalam dompet itu.
Akan tetapi, Randi berubah pikiran. Ia berinisiatif untuk mengantarkan dompet itu ke pemilik dalam KTP tersebut. Jadi, ia membawa dompet tersebut dan melanjutkan
perjalanan ke rumah temannya. Sesampainya di rumah teman lamanya, Randi pun menceritakan semua masalah yang ia hadapi. Setelah selesai, Randi langsung berangkat menuju
alamat sesuai KTP dalam dompet yang ia temukan untuk mengembalikan dompet itu. Randi mencari-cari alamat serta nama dari pemilik dompet sesuai dengan KTP. Setelah
sampai di alamat yang sama dengan yang tercantum di KTP, Randi memberanikan diri untuk memencet bel di depan. Tidak lama, ada seseorang yang keluar. Kemudian Randi
bertanya pada Ibu itu, “Permisi, Bu, saya mau bertanya. Apa benar ini rumah Pak Bima?” “Iya benar, Mas. Maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa?” Ibu itu menjawab dan
bertanya kembali. “Perkenalkan, Bu, saya Randi. Saya kemari ingin bertemu dengan Pak Bima. Ada urusan yang sangat penting.” jawabnya.
Ternyata, Pak Bima ada di rumah dan Randi diminta untuk masuk ke dalam rumah. Randi duduk di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Pak Bima pun muncul. Randi
mengatakan maksud dan tujuannya seraya menyerahkan dompet yang ia temukan di jalan. Dompet itu masih lengkap dengan isinya. Karena penasaran dengan anak muda yang ia
temui, Pak Bima bertanya, “Kamu tinggal di mana, Nak? Juga kerja di mana?” “Saya tinggal di komplek Sido Makmur, Pak. Kebetulan saya masih menunggu panggilan kerja
tetapi sudah beberapa bulan belum ada kabar.” jawabnya dengan jujur. “Memangnya kamu lulusan apa?” tanya Pak Bima kepada Randi. “S1 jurusan Manajemen Bisnis Syariah,
Pak.” jawabnya. “Bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan saya?” “Ini kartu nama saya. Jika tertarik, besok datang saja ke kantor dan bilang kalo saya yang menyuruh.”
lanjut Pak Bima. “Saya rasa kamu adalah pemuda yang jujur, dan perusahaan saya membutuhkan karyawan yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi seperti kamu ini. Lihat
dompet ini. Kalau kamu mau, pasti sudah kamu ambil isinya dan buang dompetnya. Tapi, justru kamu kembalikan.” jelas Pak Bima. Randi sungguh tidak menyangka akan
mendapatkan kesempatan seperti ini. Ia berterima kasih kepada Pak Bima, dan kemudian berpamitan untuk menyiapkan kebutuhan besok.
Ketika Sebuah Mimpi Dipahami
Tidak kusangka, siang yang tadinya ingin kujadikan waktu bersantai untuk melepas lelah. Setelah seharian berolahraga seperti minggu biasanya, malah berubah menjadi
momen paling mengasyikan daripada hanya sekedar melepas rasa letih di tubuhku hari ini. Pukul 13:00 tengah hari tadi, sewaktu mataku yang terjaga ini mulai kehilangan
arah dalam persiagaannya di tempat tidurku, kemudian ia (baca: mata) menutup dirinya dan membawaku ke alam lain. Dalam khayalnya aku hanya mengikuti kemana alam
bawah sadar mengalir, karena aku berharap bisa bermimpi indah. Di suatu tempat yang belum jelas asal usulnya, cahaya matahari menyilaukan mataku yang masih
berkedip-kedip mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Terlihat bangunan batu bata besar memanjang ke arah pegunungan tinggi berkebut ini seperti sebuah benteng
raksasa tak berujung. Dengan lebar sisinya sekitar 10 meter. Aku berada di atasnya dan mulai tahu dimana aku berdiri. Betul sekali, TEMBOK BESAR CINA biasa orang-
orang menyebutnya.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori 7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya
sebuah fantasi belaka. “Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang kulihat ini.” Pikirku. Sejuknya angin membuatku penasaran untuk
melihat setiap sudut di tembok ini. Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara. Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di
telingaku, disaat indra penghlihatan mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar
berlari ke arahku.
Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin nyawaku
juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku. Berlari dan terus berlari
walau kaki terasa sangat lelah, tapi itulah yang sedang aku lakukan karena tak ada cara lain kecuali berlari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan diri. Beberapa saat
kemudian aku terhenti ketika melihat nyawaku sudah tidak punya harapan lagi ditambah kaki yang sudah tak mampu melangkah dalam peristiwa berbahaya ini, karena
seekor singa buas berada di depanku dengan jarak 50 meter.
“Astaga kalau begini, aku hanya bisa pasrah kepadamu tuhan.” ucapku. Dalam keadaan yang mungkin tidak bisa dibayangkan. Aku mencoba menenangkan hati, dan
berdamai dengan diriku sendiri. Aku bertanya “Tunggu-tunggu, kenapa aku berada di tempat ini?” “Sedangkan aku tidak tahu jalan ke negeri ini.” lanjutku dalam hati yang
agak tenang. Terbesit kesadaranku yang memahami tentang kejadian semua ini. Aku membuka mata melihat tubuhku masih berada di antara segerombolan singa dari
belakang dan seekor singa paling besar dari depan yang mendekat ke arah se’onggok daging segar, yah daging itu adalah diriku. Singa-singa yang berlari langsung
melompat ke arahku dengan cakar dan taring-taringnya yang tajam wuuz… seketika terhanti begitu saja, saat mereka melihatku tertawa. “Hahahaha… Hey kalian mau
makan apa dariku?” tubuhku dan kalian hanya ilusi dalam keadaan sekarang ini, aku ini sedang bermimpi.” “Kalian diciptakan oleh pikiranku sendiri, bahkan bukan kalian
saja, semua yang kulihat cuma ada di halusinasiku.” lanjutku pada binatang-binatang itu yang sepertinya mengerti ucapanku.
Sekarang singa-singa itu menunduk padaku kemudian lenyap tak tahu kemana. Aku pun kembali menikmati pemandangan indah dari atas tembok besar, beberapa saat juga
semuanya yang ku lihat sirna seperti singa singa tadi. Mataku yang mulai terbuka membuatku sadar, kalau aku sudah kembali ke kamarku lagi, dan dalam kelelahan kaki
yang kurasakan karena sudah berlarian dalam pikiranku sendiri, aku pun tersenyum puas telah melewati mimpi yang mengasyikan hari ini. Kejadian ini memberiku pesan
bahwa ketakutan, keindahan, rasa senang atau derita semuanya hanya ada di dalam pikiranku, bukan hanya di dunia mimpi, tapi juga dunia nyata.
TUGAS
1. Carilah cerpen yang ada di internet atau sumber yang lain!
2. Carilah nilai-nilai yang ada pada teks cerpen tersebut!

Anda mungkin juga menyukai