Anda di halaman 1dari 66

Prolog

Langkah pertama untuk mendapat Lucid Dream adalah dengan tidur dalam kondisi serileks
mungkin.

Setidaknya, aku harus melatih diri untuk terbiasa sadar di dalam mimpi kalau mau berhasil
melakukan proyeksi astral. Bapak, sebentar lagi aku pasti datang.
Aku menarik selimut menutupi sekujur tubuh, kamar ini sengaja kubuat remang dengan
pencahayaan minim dan posisi bantal senyaman mungkin. Aku masih penasaran dengan penjelasan dan
langkah-langkah yang ada di buku itu. Pertama-tama aku berusaha melakukan visualisasi dengan
membayangkan wajah bapak. Bagiku tak ada yang lebih mendamaikan di dunia ini melebihi senyuman
hangat lelaki itu, bapakku. Seorang yang sangat ingin dan paling ingin kutemui saat ini.
Selanjutnya aku memutar sebuah instrument dengan gelombang musik yang bisa membantu dan
mempermudah seseorang mendapatkan lucid dream, kali ini pilihanku jatuh pada instrumen lagu Bunda.

Ke dua, kontrol pernapasan dan konsentrasi.

Perlahan, aku mengatur pernapasan dengan cara memperlambatnya, berusaha untuk tetap rileks
dengan mata terpejam.

Jaga pikiran tetap sadar, namun santai. Jika Anda berusaha tersadar namun tidak santai, Anda
tidak akan bisa tertidur. Berusahalah untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat Anda tetap sadar dalam
kondisi rileks, seperti menghitung domba atau membayangkan diri Anda naik turun tangga.

Kali ini aku membayangkan ribuan bintang yang ada di langit, lalu menghitungnya satu-satu.
Ah, ya! Lagu anak-anak seperti bintang kecil mungkin bisa membantuku untuk lebih rileks. Kupikir itu
bukan ide buruk, bahkan cukup brilian untuk ukuran otak orang yang sudah hampir tidur begini, kan?

Sleep Paralysis. Kondisi ini adalah tahapan utama ke arah Lucid Dream. Anda mungkin akan
merasa ditindih oleh sesuatu yang sangat berat, susah bernafas, tubuh serasa berputar dan terlempar.
Ingat, jangan terbangun saat mencapai tahap ini. Jika Anda bangun karena merasa ketakutan, Lucid Dream
Anda akan gagal.

Seketika itu pula aku merasa sesuatu menindih tubuhku dengan berat yang luar biasa. Napasku
seakan tercekal, membuatku harus berjuang untuk tetap memasok oksigen ke paru-paru tanpa membuka
mata. Beberapa detik kemudian aku merasa jatuh, terperosok dalam lubang yang dalam, seolah gravitasi
begitu kuat menarik tubuhku. Beberapa kali merasa terlambung, berputar-berputar dalam kegelapan,
bahkan terombang-ambing. Perasaan takut itu perlahan menelusup masuk ke dalam pikiran, sedikit demi
sedikit memecah konsentrasi.

“Aku tak boleh gagal.”

Kemudian Black Out. Periode transisi di mana Anda merasa memasuki ruang hitam kelam. Akan
berlangsung selama beberapa saat, dan sekali lagi jangan sampai terbangun.

Di hadapanku tiba-tiba saja muncul sebuah gerbang hitam, mirip dengan sebuah portal tak
berujung. Ke mana itu akan menuju aku tidak pernah tahu, karena gerbang itu diselimuti kabut yang
cukup pekat. Tapi kaki ini justru menjadi lancang melangkah masuk ke gerbang hitam itu, seolah
terpanggil oleh seseorang di dalam sana. Bapak? Benarkah bapak ada di sana?

Segerombol angin yang pongah menyerbu wajah, lalu dalam sekejap, tubuhku sudah berpindah
tempat. Hutan? Apa ini Hutan Banawasa yang mereka bilang angker itu? Apa mungkin, mahluk jahat
benar-benar menahan bapak di tempat ini?

***

Aku baru selesai merapikan jilbab, saat Marningsih menerobos pintu kamar. Dia bertingkah
seperti orang setengah waras. Kurasa begitu. Dia memang setengah waras setiap kali imajinasinya
dipenuhi oleh cowok-cowok ganteng dari negeri gingseng, yang menurutku justru kelihatan cantik. Lihat
saja tingkahnya sekarang, gadis itu bergulingan di kasur sambil memegangi tangan. Kakinya menendang-
nendang kecil udara malang yang sebenarnya tak bersalah. Aku hanya menatap iba pada gadis itu, ia
histeris sendiri.

"Masyaa Allah, Jea! O em ji! kok ada yah, orang gantengnya keterlaluan gitu?" Dia bangkit dan
duduk di tepian ranjang, "Hmmmmmm ... Tangannya wangi banget," lanjutnya setelah menghirup udara
lebih dalam dari sebelumnya.

"Ada apa lagi? Pelakor baru?"

"Hah? Pelakor?" Alisnya menjinjit sebelah.

"Iya, yang kalau kamu lihat cowoknya suka njerit-njerit itu, kan? Siapa namanya?" Aku
mengingat ingat sebentar, tanganku menata satu-satu pakaian yang sudah disetrika. "Hmmm, ya, itu Ji
Chang Wook , apa Seo Kang Joon, apa siapa itu yang katamu pelakor?"
"Drakor!" Marningsih menimpukku dengan bantal. "Enak aja pelakor. Beda jauh, tau! Jelek
banget si omonganmu." Dia manyun sok imut. Katanya sih, pipi yang menggembung dengan bibir yang
bisa diikat karet gelang itu merupakan gaya imut. Menurutku justru mirip pantat ayam yang baru
bertelur. Hahaa!

"Kan kamu yang ngajarin."

"Enak aja!" Mukanya nyolot sebentar, tapi detik berikutnya Marningsih sudah kembali setengah
waras. Dia mengambil guling milikku, memeluknya lalu meletakkan kepala di atasnya dengan mata
terpejam dan bibir menyunggingkan senyum, seolah yang dia lakukan saat ini adalah hal paling romantis
sejagat otak dramanya.
"Ini bukan cowok korea, tapi manusia nyata yang benar-benar nyata. Dan tanganku ini baru
salaman sama dia. Kayaknya dia itu bidadara yang nyasar ke bumi, deh."

Tuh kan, dia mulai ngawur lagi. Dia memang begitu, pokoknya, punya sepupu Marningsih itu
benar-benar ujian. Harus extra sabar telinganya kalau dia udah mulai ngomong masalah cowok korea.
Apa lagi kalau udah ngomong pakai bahasa alien, siap-siap melongo melihat tingkahnya yang kadang
jingkrak-jingkrak nggak jelas seperti anak bayi yang baru mulai belajar berdiri di pangkuan ibunya.

"Sadar, Ning. Kamu itu sudah dewasa, jangan bersikap seperti anak kemarin sore terus-terusan.
Kasihan Mamak sama Bapakmu, punya anak perawan, tapi demennya ngayal. Mbok ya realistis dikit."

"Aku serius, Je. Yang ini beneran nyata, dia itu Da'i yang baru datang dari Tegalrejo," Marningsih
bicara dengan kadar kelembutan yang melebihi marshmellow. "Gantengnya nggak ketulungan. Pokoknya
Song Joong Ki mah lewat. Matanya, hidungnya, senyumnya, semuanya. Masyaa Allah banget. Nyaris
sempurna kalau aku bilang," bisiknya sangat lirih. Aku sampai harus medekatkan telinga demi
mendengarnya. "Bukan nyaris malah, tapi perfecto! Suamiable banget. Oh mai gat!"

"Maksudmu? Kamu habis salaman sama Mas Da'i? Kok bisa, sih?.

"Ya, bisa lah. Malahan dia duluan yang ngajak salaman."

"Haaah?"

Aneh, santri Tegalrejo biasanya menghindari berjabat tangan dengan yang bukan mahram,
kenapa ini malah dia yang ngajak salaman? Apa Marningsih nggak salah orang?
"Biasa aja kali, 'haah'nya. Ntar juga kamu dapet giliran."
"Jea!" Uwa Yatin menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Dalem, Wa. Ada apa?"
"Itu, kamu dipanggil sama Pak Asman. Katanya disuruh kenalan sama Mas Da'i. Sekalian mau
nitip sama kamu, biar bantu-bantu sama jelasin adat dan kebiasaan orang sini."
"Lha, kok nitipnya sama aku? Emangnya Si Bulus ke mana? Dia kan cowok, pasti lebih gampang
akrab lah. Kalau sama aku takutnya malah rikuh, Wa."
"Udah, nggak usah nanyain Asrul. Dia di kamarnya ngurusin alat-alat listrik nggak penting.
Lagian kayak nggak tahu aja, dia mana mau ngurusin urusan masjid."

Sebenarnya, walau tidak kenalan juga nanti pasti kenal. Apa lagi tahun ini, giliran simbahku yang
kebagian ditempati Da'i. Sudah jadi kesepakatan warga di sini, kalau setiap tahunnya akan digilir dari
rumah ke rumah. Tapi untuk memudahkan kegiatan belajar-mengajar, biasanya hanya rumah dengan
jarak terdekat dengan Masjid saja yang mendapat giliran.

Di rumah ini, Mbah Kasmaji hanya tinggal dengan Iyung, Aku, dan Asrul. Bapak hilang saat
mencari kayu bakar di Hutan Banawasa.

Mereka bilang, orang yang tersesat di hutan terlarang itu, pasti meninggal. Bapak memang keras
kepala, dia tidak mempercayai segala bentuk mitos. Makanya saat semua orang mengatakan kalau Hutan
Banawasa itu angker, bapak tetap tidak percaya. Baginya, segala sesuatu yang terjadi adalah atas
kehendak-Nya. Tidak ada hubungannya dengan mitos yang mengatakan bahwa penguasa Hutan
Banawasa adalah raja jin yang haus darah. Aku sendiri setuju dengannya.
Saat ini, semua orang mengatakan bahwa bapak sudah meninggal. Tapi selama belum melihat
jasadnya, maka bagiku bapak masih hidup.

Aku menuju ruang tamu, meninggalkan Marningsih dengan segala imajinasi luar biasa yang ia
miliki.
Di ruang tengah, Uwa Yatin, Bibi Gowas, dan Bibi Iwo sedang mengintip dari balik pintu.
Aku heran kenapa mereka masih saja suka melakukan hal itu. Padahal nanti malam saat tarawih
juga pasti ketemu, apa lagi dia tinggal di rumah ini. Tapi kok ya masih suka ngintip-ngintip gitu. Apa
sebegitu penasarannya, yah?

Saat memasuki ruang tamu, aku mencuri pandang ke arah Mas Da'i.
Dia duduk di samping Pak Asman, Ketua Rt kami. Di kursi seberang ada Simbah sama Iyung.
Dan ada Mas Karisan juga. Lalu Uwa Wasono, takmir Masjid Ar-Rahman.

Kulihat sekilas, pria berpeci itu memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, dan kulitnya putih
bersih. Tidak seperti santri kebanyakan, yang biasanya kalau baru datang ke sini pasti bulukan.
Punggungnya terlihat kokoh dan melindungi, pasti sangat nyaman kalau bisa bersandar di sana.
Eh ... Kenapa pikiranku malah jadi ngelantur gini? Pasti gara-gara Marningsih. Cara dia
mendeskripsikan sosok Mas Da'i yang hiperbolis, sukses membuat otakku keracunan rasa penasaran.

"Jea, sini kenalan sama Mas Da'i."


"Nggih, Pak." Aku berjalan sambil menunduk.
"Mas, ini Mbak Jea. Cucunya Mbah Kasmaji. Selama di sini, Mas Da'i nggak usah sungkan-
sungkan, kalau ada perlu apa-apa, tinggal bilang sama Mbak Jea, atau saya. Nantinya Mbak Jea juga yang
akan membantu Mas Da'i mengajar, tapi kalau dia sedang berhalangan, biasanya sama Marningsih. Yang
tadi sudah saya kenalkan."

"Oh, nggih, Pak."


Suara bariton bening itu menabrak gendang telingaku, dengan sensasi yang sedikit aneh. Aku
pernah mengenal seorang pemilik jenis suara seperti itu.

Selanjutnya yang kulihat adalah sebuah tangan. Dia mengajakku bersalaman? Lagi-lagi aku
merasa pernah melihat tangan itu. Pandanganku naik ke lengan, dan berhenti pada wajahnya.

Jantungku berdetak dengan cara yang ganjil, getaran yang kurasakan membuatku berpikir
tentang kemungkinan terjadinya gempa lokal di dalam diriku. Tubuhku seperti tersengat listrik jutaan
volt saat tangan kami saling bertaut.
"Ayas." Ia menyebutkan namanya.
Suara itu adalah candu yang selalu ingin kudengar. Sejak dulu. Aku selalu menyukai gelombang
suara yang dimiliki pemuda itu.
Tapi kenapa harus dia? Kenapa dia yang ada di sini sekarang?
"Jea Ayuningtyas." Itu bukan suaraku. Sungguh. Orang itu yang menyebutkan nama lengkapku.
Dia masih mengingatnya?
Ya, Gusti! Selamatkan kewarasanku. Kenapa aku serasa melayang, hanya karena dia
menyebutkan namaku.

"Astaghfirullahhal'adzim." Aku buru-buru menarik diri, saat menyadari kehangatan yang


menyelimuti telapak tangan.
Aku menyentuhnya lagi? Innalillahi, kenapa aku selalu gagal mengendalikan diri saat berada di
dekatnya?
Sudah bertahun-tahun sejak aku meninggalkan pesantren, tapi kenapa otakku begitu kekanakan
tidak mau melupakannya?
Dia Gus Ayas. Putra pengasuh Asrama Perguruan Islam Putri (APIP) 2 Tegalrejo. Seorang yang
telah mengambil sebagian besar ingatanku, rinduku, juga hatiku. Dia yang selalu berhasil membuatku
bertekuk lutut, menyerah pada cintanya, bahkan sebelum kata itu terucap.

Yasssalaaaam, ngalamat kacau kehidupanku selama 30 hari ke depan.


1. Cemburu?

"Jea, kok masih di sini? Mas Da'i sama Asrul belum dibangunin? Sebentar lagi imsak, loh." Mbah
putri keluar dari kamar. Wanita renta yang selalu kupanggil iyung itu baru membangunkan Simbah.
Iyung menarik kursi untuk duduk suaminya, lalu menuangkan teh hangat pada gelas-gelas yang tadi
sudah kusiapkan.
"Iya, Yung, Ini Jea mau bangunin Asrul." Aku meninggalkan dapur yang juga difungsikan untuk
ruang makan, sambil menepuk jidat. Haduh, kok bisa sih aku jadi pelupa gini?
"Bulus! mau ikutan sahur, nggak?" teriakku di depan kamar Asrul. Lama menunggu tidak ada sahutan,
aku langsung menerobos masuk.
“Lus!!"
“Nghhhh." Dia hanya menggeliat kecil, sama sekali tidak mengindahkan teriakanku yang dari
tadi berusaha membangunkannya.
"Mau ikut sahur, nggak!" Suaraku lebih lantang lagi. Tapi anak itu hanya mengubah posisi tidur..
Yang tadinya tengkurap, sekarang membelakangiku. Bukan Asrul namanya kalau bisa bangun hanya
dengan satu teriakan. Bahkan iyung juga pernah menyiramnya dengan air segayung waktu ramadhan
tahun lalu. Dia memang selalu paling lelet kalau dibangunkan untuk sahur.
"Lik ..." Aku mendekatkan wajah. "Mau ikut sahur, nggak? Ditungguin sama Simbah," bisikku
pelan tepat di depan telinga. Biasanya dia paling nggak suka dipanggil lilik. Dan beberapa kali, cara itu
ampuh untuk membangunkannya.
"Panggil apa barusan, Lilik? Tua amat? Panggil aku Kang Mas kalau mau aku cepet bangun." Dia
malah menarik selimut menutupi seluruh tubuh sampai kepala.
Kang Mas? Yang bener aja, biasanya dia kalau dipanggil lilik akan mencak-mencak, ngamuk dan
langsung ngajak berantem, karena menurutnya panggilan lilik yang menurut bahasa daerah kami berarti
paman, itu terlalu kuno dan tua. Padahal secara status karena dia anak angkat simbah, ya, Asrul itu
memang pamanku. Hanya karena kita seumuran, bukan berarti aku bisa seenaknya panggil dia Asrul.
Tapi aku malah lebih sering memanggilnya dengan sebutan Bulus. Durhaka nggak sih, aku?
Dan ternyata, aku sadar, kalau sekarang tingkat ketengilannya sudah naik lagi satu level. Panggilan itu
sudah nggak mempan buat mengerjainya, entah dia yang sudah mulai dewasa, atau memang banyak
maunya. Tapi memanggilnya Kang Mas aku rasa hanya akan membuatku tersedak.
"Mimpi!"
"Mimpiku udah tamat gara-gara teriakanmu. Sekarang mau ngomong lemah lembut, dan panggil
aku Kang Mas Asrul, atau kamu juga nggak bakal bisa ikut sahur." Dih, apa sih sebenernya mau anak itu?
Tapi aku sedang tidak tertarik untuk berdebat dengannya. Rasanya nggak lucu kalau harus berantem
sama Asrul pagi-pagi begini. Jadi utuk sekarang ini, mending aku nurut dulu sama dia. Masalah selesai.
Setelah membangunkan Asrul, aku langsung ke kamar Ayas. Langkahku sedikit ragu saat sampai
di depan kamarnya. Agak lama, aku menimang untuk masuk atau tidak. Pintu kamar ini hanya disekat
gorden, jadi tidak perlu repot-repot mengetuk kalau mau masuk.
Saat otakku masih belum mengambil keputusan, tanganku sudah lancang menyibak kain yang
menghalangi pandangan. Ayas masih terlelap. Wajahnya tak berubah, saat tidur pun masih mampu
membuat jantungku berontak. Aku merindukannya, sungguh.
Sesak, tanpa sadar sudut mataku menghangat. Butiran rindu itu mengalir sebagai air mata. Aku
menangis? kenapa? Allah, apa yang Engkau inginkan dari pertemuan ini?
Jari-jariku menyusuri setiap lekuk wajahnya. Tak sampai menyentuh memang, hanya cukup
dekat untuk bisa merasakan hawa kulit pria itu.
"Apa yang kamu lakukan?" Ayas membuka mata secara tiba-tiba, dan menangkap pergelangan
tanganku.
Aku salah tingkah sendiri, bingung mau menjelaskan apa. Mau bagaimanapun dia sudah
melihatku.
"Sahur," jawabku singkat sambil membuang wajah.
"Aku tahu. Yang aku belum tahu itu alasanmu. Kenapa melihatku seperti itu? Kangen?" Dia
malah menggoda. Senyumnya terbit dalam beberapa detik. Dan demi detak jantung yang semakin kurang
ajar, aku menyukai senyum itu. Jenis senyum yang sangat polos, seperti milik anak kecil yang belum
punya dosa. Tapi dia tidak boleh tahu, dia tidak boleh menyadari perasaanku yang tak berubah, atau hal
buruk akan terjadi dalam tiga puluh hari ke depan.
"Kenapa dulu kamu kabur dari pesantren?" Ia menghela napas kasar. Eh, Ayas kelihatan sedih,
kenapa? Aku bahkan mendengar adanya nada frustasi dari kalimatnya barusan. "Kemarin, kamu juga
pergi begitu saja setelah Pak Rt mengenalkanmu? Apa aku punya kesalahan yang membuatmu ingin
menjauh? Atau, dari dulu kamu memang tidak pernah menyukaiku?" Ada luka yang terpancar dari mata
pria itu. Hatiku gemuruh. Angin musim hujan yang masuk melalui kisi jendela, membuat tulang-
tulangku semakin mengigil. Kenapa rasanya sesakit ini melihat Ayas seolah begitu tidak berdaya dengan
apa yang dia rasakan?
"Bukan urusanmu!" jawabku ketus setelah kembali bisa mengendalikan diri. Tangannya masih
mencengkeram, ia menuntut sebuah jawaban. Tapi aku sudah memutuskan, apa yang pernah terjadi di
masa lalu, biarlah menjadi masa lalu, dan aku akan menyimpannya sebagai kenangan. Sekarang, tidak
perlu ada lagi cerita tentang Jea dan Ayas. Sekarang, dia hanya seorang Da'i yang bertugas di sini selama
bulan ramadhan. Dan akan pergi bersamaan dengan datangnya hari raya. Hanya begitu. Dia hanya tamu
di rumahku, dan di desaku. Tidak lebih.
"Jangan sembarangan menyentuh perempuan yang bukan mahram." Ingatkan aku kalau Ayas
memang Gus berandal. Mana mau dia mendengar kata orang lain, apalagi hanya nasehat kacangan
begitu. Dari dulu dia mang selalu seenak sendiri, kan? "Lepaskan," ucapku berusaha menurunkan
tangannya dari lenganku. Ada sengatan listrik yang mengalir bersama aliran darah, saat kulit kami saling
bersentuhan. Tubuhku terasa panas seketika. Kenapa begini lagi? Aku menyentuhnya lagi, dan kenapa
mendadak seperti ada lem maha kuat yang membuat tanganku tidak mau beranjak dari sana. Ada sesuatu
yang memabukkan saat kulitku bertemu dengan kulitnya. Ini aneh. Sangat aneh malah. Apa lagi saat
tidak sengaja pandanganku bertemu dengannya, waktu seakan benar-benar berhenti. Sekarang Ayas
punya ilmu sihir, yah?
"Ck! Ngakunya santri, tapi kok berani berduaan. Pake acara pegang-pegangan tangan segala lagi."
Asrul sudah berdiri diambang pintu, sambil bersedekap dan menyender pada gawang pintu.
"Maaf, Mas. Ini bukan seperti yang Mas lihat. Kita nggak ngapa-ngapain, kok." Ayas segera
melepas tanganku, lalu menuju Asrul.
Aku terselamatkan. Setidaknya untuk saat ini.
"Lama banget, lagi pada ngapain, sih?" Marningsih muncul dari arah dapur. Gadis itu masih
mengenakan pakaian kemarin sore, hanya jilbabnya saja yang sudah berubah. Kemarin dia menggunakan
kerudung paris putih, sekarang sudah berganti pink muda. Serasi dengan warna kaos yang dikenakannya.
"Loh, Mbak Marningsih kok di sini?"
"Iya, Mas. Mamakku lagi nggak puasa, Bapak nginep di hutan, nungguin padi yang baru dipanen.
Daripada sahur sama Lintang doang, aku gabung ke sini."
"Alesan! Bilang aja mau ngecengin Mas Da'i. Ganjen, lu!" Asrul marah-marah nggak jelas, lalu
menuju meja makan.
"Apaan, sih! Orang beneran juga. Lagian alasanku kan logis, kalau makan berdua doang pagi-
pagi buta gini, rasanya nggak selera. Tapi kalau bareng-bareng kan lebih seru. Bilang aja ngiri, pengen
ada yang ngecengin, kan?"
"Siapa yang ngiri? Kamu ganjen iya."
"Enak aja! Ngomong ganjen sekali lagi, piring ini melayang ke kepalamu. Dasar Bulus!"
"Ganjen! Marningsih ganjen!"
"Ih, Asrul apaan, sih!" Marningsih merengek meminta dukungan Simbah. "Mbah, aku nggak
ganjen, kan?" Lelaki tua itu hanya tersenyum, saling pandang dengan iyung. "Simbah kok malah senyum-
senyum, sih. Belain dong, cucumu yang paling cantik ini sedang teraniaya." Ia ganti memohon sama
Iyung. "Yung, Marningsih enggak ganjen, kan?"
Mereka berdua itu memang aneh. Ada saja yang diributin, setiap ketemu pasti berantem. Bener-
bener tom-jerry versi manusia.
"Sudah-sudah, berantemnya nanti lagi aja. Sekarang sahur dulu, sebentar lagi imsak." Lembut
suara Iyung yang menengahi, membuat Asrul langsung menjulurkan lidah mengejek Marningsih lalu
tersenyum penuh kemenangan. "Monggo, Mas. Seadanya," lanjut Iyung mempersilahkan Ayas untuk
makan.
"Pake ini, Mas. Tadi aku masak sendiri loh. Khusus buat Mas Ayas." Marningsih menyodorkan
semangkuk sup jamur.
"Waah, ini beneran Mbak Ning yang masak?" Marningsih menangguk penuh semangat.
Berlebihan banget deh. Ngapain coba Ayas sampai segitunya, Aku juga sering makan masakan
Marningsih, perasaan biasa aja.
"Enak banget, Mbak." Ayas melirik ke arahku sambil memasukkan sesendok sayur ke mulutnya,
seolah masakan Marningsih adalah makanan ter enak yang pernah dia makan, lalu menyendok lebih
banyak lagi.
Tanpa disuruh, Marningsih langsung mengambilkan lauk dan sayur, memindahkannya ke piring
Ayas.
Mereka sudah mirip pengantin baru yang lagi dinner romantis ala drama korea. Orang-orang di
meja makan ini, hanya sekelompok pemain musik klasik yang menambah keromantisan di antara
Marningsih dan Ayas.
"Je, kamu yakin mau sahur sebanyak itu?"
"Iya, Yung. Biar kuat puasanya, kan baru hari pertama," jawabku, sambil menyendok sayur sekali
lagi.
Tapi yang terjadi selanjutnya adalah, aku melongo saat melihat banyaknya makanan yang
sudah hijrah ke piring.
Apa-apaan ini, kapan ngambilnya? Kok banyak gini, sih.
Duh, apa muat yah perutku? Ini gara-gara Ayas, niat banget dia bikin aku cemburu. Eh, sebentar,
jadi aku cemburu sama Marningsih? Emang iya? Enggak, pasti bukan cemburu. Aku hanya tidak suka
dengan orang-orang yang lebay. Pasti begitu. Iya. Ah, sudahlah. Sekarang yang paling penting adalah
bagaimana caranya menghabiskan makanan ini sebelum imsyak, tanpa harus kekenyangan. Sepertinya
aku perlu memindahkan sebagian ke piring Asrul. Ide bagus! Hahaaaa ....
2.Lucyd Dream

Hanya kegelapan yang bisa kulihat. Napasku sesak, seperti ditimpa beban ribuan ton. Udara
seakan lenyap, tubuhku berputar-putar. Lalu ada kekuatan maha dahsyat melemparkanku pada ruangan
yang sangat kelam. Tepat di depan gerbang hitam yang diselimuti kabut pekat.
Sekonyong-konyong kaki ini melangkah, memasuki pintu yang berdiri megah di hadapanku. Dan
dalam sekejap, tubuhku seperti tersedot masuk ke lubang cacing.
Kilat cahaya yang terlalu terang menerobos retina. Mataku mengerjap berulang-ulang, untuk
menyesuaikan cahaya yang masuk. Ada banyak hal yang mampu ditangkap indrawi, tapi semua masih
terlalu buram.
Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, tanah yang kupijak ditumbuhi ilalang, suara burung
bersahutan dengan kera liar. Angin yang berhembus kencang, menerbangkan tawa subang yang
menggelegar.
"Ada perlu apa datang ke sini, manusia lancang!"
Suara itu menggema dari langit kelam. Diikuti tawa iblis yang membuatku merinding. Tidak, aku
tidak boleh takut dengan mahluk itu.
"Siapa kamu!" Tanganku menarik anak panah dari punggung, dan berancang-ancang untuk
memanah apa saja. "Tunjukkan dirimu, mahluk laknat!" Napasku berganti api yang mendenam. Tapi yang
kudengar hanyalah tawa yang semakin menciutkan nyali. Saat penglihatanku berfungsi sempurna, aku
sadar, bahwa ini adalah Hutan Banawasa. Tempat yang menjadi pusat konsentrasiku sebelum
membaringkan tubuh.
Sekawanan burung terbang ke arahku, aku mundur selangkah, tapi sial, ternyata dibelakangku
ada jurang yang sangat dalam.
"Kenapa aku berada di tempat seperti ini? Apa mungkin, bapak jatuh ke jurang?" Aku mulai menduga-
duga, barang kali ini sebuah petunjuk, dan tanyaku masih belum terjawab, sampai burung-burung itu
semakin mendekat. Anak panah yang kulesatkan, tak satupun mengenai mereka. Sepertinya aku harus
lebih sering mengasah kemampuan memanahku.
Tak ada pilihan kecuali lompat. Aku tidak akan mampu melawan burung-burung itu, mereka
terlalu banyak, sementara anak panahku sudah habis.
"Ini hanya mimpi," ucapku, lalu memejamkan mata dan melompat ke dalam jurang.
Aku terbangun dengan napas terengah. Tubuhku terasa lemah, dan keringat dingin memenuhi
dahi.
Aku gagal lagi.
***
"Mbah, aku kan udah bilang ini nggak ada hubungannya sama mahluk halus." Di luar, Asrul lagi
manjat pohon sawo sambil mengomel panjang pendek membawa seutas tali. Sepertinya dia berdebat lagi
dengan simbah. Asrul memang paling suka beradu pendapat, dengan siapa saja, termasuk aku. Kadang
aku juga berdebat dengannya karena masalah sepele, sering malah. Saking seringnya, aku sampai bingung
dengan anak itu. Ada saja kosa katanya buat ngeyel.
"Nggak ada gimana? Kamu lihat sendiri, kan? Di cabang yang itu," Mbah Kasmaji menunjuk
cabang pohon sawo yang menjulur ke arah barat. "di sana buahnya lebih banyak, itu karena penghuninya
seneng kita kasih mainan. Kita ini kan hidup di dunia yang isinya bukan cuma kita saja. Ada mahluk lain
yang juga hidup walaupun nggak kelihatan sama kita. Biar keharmonisan di bumi ini tetep terjaga, ya kita
harus mau saling menghargai."
Ayas yang sedang memegangi papan kecil di samping simbah hanya tersenyum ganteng, entah
apa yang dia pikirkan. Mungkin dia juga heran dengan Simbah dan Asrul yang akurnya hanya hitungan
detik. Dan di sini, aku gagal fokus karena melihat senyum itu, hatiku kembali berdebar. Ya Allah, padahal
senyumnya barusan bukan khususon buat aku, loh. Dia saja tidak melihatku, tapi kenapa rasanya seperti
ini? Bedug maghrib masih lama, kan?
Astagfirullah, kenapa perasaanku selalu begini, dia sudah berubah menjadi pria dewasa yang
berwibawa, tapi sekarang malah aku yang kekanakkan. Dunia sudah jungkir balik, ya?
"Begini, Mbah." Asrul melompat setelah mengikatkan tali pada batang pohon yang cukup besar.
"Kenapa batang itu buahnya lebih banyak, itu emang karena ada ayunannya. Tapi sama sekali nggak ada
hubungannya sama mahluk halus yang selalu Simbah ceritakan." Anak itu mulai bicara. Dan kalau
ngomong, tangannya nggak pernah bisa diam. Ekspresif.
"Tumbuhan membuat makanannya sendiri melalui proses fotosintesis yang terjadi pada daun. Zat
makanan itu, digunakan untuk menunjang pertumbuhan seperti tumbuh, berbunga dan berbuah. Zat
makanan diedarkan melalui pembuluh floem. Kalau kulit pohon terluka, dan terjadi kerusakan jaringan
floem, maka penyaluran zat makanan akan terhenti, sehingga terjadi penumpukan zat makanan di atas
bagian yang terluka. Nah, penumpukan zat makanan itu yang memicu tumbuhnya bunga dan terjadinya
buah. Jadi sama sekali nggak ada hubungannya sama mitos Mbak Kunti yang tinggal di pohon ini, apalagi
karena dia suka main ayunan. Nggak ada teorinya! Ngawur!" Asrul memang gila sains sejak masih SMP.
Menurutnya semua hal di dunia ini memiliki penjelasan ilmiah. Tapi menurutku, menceramahi Simbah
dengan dalil-dalil ilmu biologi, sama saja menyuruh orang tuna rungu untuk mendengarkan musik.
"Ngomong apa kowe? Kalau ngomong sama orang tua yang jelas, ploem-ploem aparane? Wong
kamu percaya sama Gusti Allah, ya harus percaya juga sama semua mahluk-Nya. Allah kan juga
menciptakan jin dan setan. Kita manusia, walau nggak bisa lihat mereka, sbisa mungkin tetep harus
menghargai keberadaannya." Simbah masih mendebat. Kayaknya nggak afdol banget buat Simbah kalau
nggak menang debat sama Asrul.
"Udah. Nggak usah ribut, pagi-pagi juga! Nggak malu apa sama tetangga?" ucapku menengahi perdebatan
yang makin nggak jelas. Ayas melihat ke arahku saat berjalan menghampiri mereka.
Begini saja, di sini kan ada Mas Da'i, kenapa nggak tanya aja, gimana pandangan islam tentang
apa yang diyakini simbah? Apa iya, ada kaitan antara mahluk halus dan buah sawo? Apa boleh, kita
meyakini kalau pohon sawo ini berbuah lebih banyak karena adanya campur tangan mahluk yang suka
main ayunan itu?"
Ayas sempat melihat ke arahku sebelum bicara, anehnya kepalaku mengangguk seolah memberi
persetujuan untuk menjelaskan.
Sejak kapan aku mengerti bahasa isyarat? Bahkan dia hanya menatap mataku beberapa detik.
Tapi dengan bodohnya, otakku mengartikan hal itu sebagai permintaan izin. Aku jadi salah tingkah,
apalagi saat Ayas tersenyum puas. Pasti dia sedang mengejekku, yang sejak dia datang selalu berusaha
menghindar, dan sok nggak peduli lagi sama dia, tapi sekarang karena kecerobohanku sendiri, malah
menunjukkan bahwa aku masih Jea yang dulu.
"Ngapunten, Mbah." Ayas meminta maaf terlebih dahulu, dan simbah mempersilakan dengan
senyum khas yang penuh kewibawaan. "Benda atau hal apa pun, kalau kita meyakini bahwa dia
mempunyai kekuatan tertentu, maka kita akan melihat dan merasa seolah hal itu benar-benar memiliki
kekuatan yang kita yakini. Ayunan ini," Ayas memegang tali yang terjulur dari atas pohon. "kasusnya
hampir mirip seperti jimat. Kalau seseorang meyakini, adanya jimat yang memiliki kekuatan, misalnya,
ada batu yang dipercaya bisa menjadi jimat pelaris dagangan, maka batu itu akan bekerja seolah bisa
membuat dagangan jadi laris. Dalam hal ini, setan mempunyai hak untuk memberikan kekuatan pada
benda tersebut. Tujuannya, tidak lain untuk menyesatkan manusia agar bisa dijadikan teman di neraka,"
lanjutnya hati-hati. Mungkin dia takut kalau simbahku akan tersinggung.
"Tuh kan, Mbah, dengerin kata Mas Ustadz! Katanya mau tobat, tapi masih percaya sama gituan,
gimana sih? Sekali-kali yang muda yang berbicara. Jangan cuma maunya maksain kita buat ngikutin
kepercayaan kolot simbah."
Lagi-lagi Ayas tersenyum dengan kadar gula berlebih. Ia memaksaku mengingat saat-saat masih
di pesantren, di mana senyum itu dulu juga selalu berhasil menyihirku.
'Tundukkan pandanganmu, Jea!' salah satu sel otakku yang masih cukup waras mengingatkan.
Dan untuk ke sekian kalinya, aku salah tingkah di depan Ayas. Kenapa aku jadi mirip abege labil gini, sih?
Apa memang aku masih labil?
"Gimana, Mbah? Udah jelas, kan?" tanyaku mengalihkan pikiran yang mulai dikelilingi oleh Ayas,
Ayas, dan Ayas.
"Iya. Tapi bukan berarti, ayunannya nggak jadi dibuat." Tangan kiri simbah menarik kerah baju
Asrul yang bersiap melipir.
"Apaan lagi si, Mbah! Kan tadi udah denger sendiri. Kita nggak boleh percaya kalau ayunan bisa bikin
sawonya jadi banyak. Emangnya simbah mau, jadi temennya setan?"
"Siapa yang mau jadi temen setan? Kan tadi kamu sendiri yang bilang. Kalau ploem-ploem itu
rusak, jadi ada zat makanan yang menumpuk. Sama aja, kan? Intinya, sawo banyak, bisa dijual, terus
dapet duit banyak."
"Ploem-ploem! 'ef' bukan 'pe'. Ngomong aja udah susah, masih mikirin duit. Ibadah aja diurusin,
jangan duit mulu. Mati juga nggak bakalan dibawa." Asrul kalau ngomong sama simbah sudah tidak
peduli tata krama. Mereka seperti anak seumuran. Dan kalau sama Asrul, simbah jadi lebih mirip anak
muda yang terjebak di dalam tubuh renta. Jiwa debatnya selalu berkobar, dan hubungan mereka lebih
mirip brothership ketimbang seorang anak dengan ayah angkat. Simbah juga selalu bisa menerima sikap
Asrul, yang masa bodoh dengan sopan santun ketika berbicara dengannya. Yang jelas, dalam keadaan
tertentu, mereka bisa membuat iri anak kandung simbah, yang tidak semuanya bisa berbicara santai
dengan ayah mereka. Termasuk bapakku.

Mau ke mana?" Ayas menahanku yang berniat meninggalkan mereka.


Aku hanya melihat ke arah tangan yang memegangi lenganku. Dia langsung melepaskannya
sambil nyengir tahu diri, yang menurutku sudah terlambat.
Sebenarnya di sini yang santri siapa, sih? Kenapa dia seenaknya menyentuh wanita yang bukan
mahram, dan aku yang harus selalu memperingatkan? Dasar berandal, tetap saja suka melanggar
peraturan.
"Kenapa, sih? Kayaknya sekarang kamu alergi banget sama aku? Lagian aku cuma megang
tangan, yang penting kan nggak aneh-aneh," protesnya menggunakan bahasa santai, mengabaikan
keberadaan Simbah dan Asrul yang masih sibuk dengan ayunan mereka. Untunglah mereka tidak terlalu
memperhatikan.
Aku mengembuskan napas kasar, jengah dengan sikapnya. Juga dengan perasaanku sendiri yang
selalu takluk pada pesonanya. "Kalau pandangan mata saja merupakan panah beracun iblis, apa menurut
Mas Ustadz, pegangan tangan bukan masalah?" Aku sengaja bertingkah sok kasar padanya. Semoga
dengan begini, dia akan bosan dan menyerah.
Dia malah melangkah lebih dekat. "Berhenti!" Aku fokus pada apa yang berada di dekat kakinya.
Dia malah tersenyum saat mengikuti pandanganku, langkahnya melebar untuk menghindari pisau yang
tadi digunakan simbah untuk membuat tali dari bambu.
Dengan sok iyess, dia menaikan sebelah ujung bibir seolah mengatakan, aku selamat. Selanjutnya
dia tersenyum meremehkan, tapi seketika senyum itu raib, begitu bau tidak sedap mengepul
menghampiri indra penciuman.
Aku langsung tertawa saat melihat ekspresinya. Anehnya, dia tetap terlihat imut sekaligus
ganteng walau sedang nelangsa begitu. Asrul yang mendengar tawaku, langsung menoleh dan ikut
mentertawakan kesialan Ayas.
Kadang manusia memang sok tahu, berpikir kalau dirinya yang paling tahu tentang apa yang
terbaik, lalu dengan santainya mengabaikan apa yang sudah jelas-jelas Allah peringatkan. Ya seperti Ayas
itu. Dia pikir bisa selamat dari pisau, dan ngeyel tetep maju, walau aku sudah melarangnya. Padahal dari
awal memang itu tujuanku mengingatkan. Agar kakinya yang tidak dialas terompah tidak menginjak
kotoran ayam. Tapi dia malah nekat, ya bukan salahku kalau dia harus menerima nasib buruk.
"Aku suka kalau kamu ketawa, cantik. Walau orang lain mungkin akan menganggapmu mirip
mak lampir." Detik itu juga aku mingkem otomatis. Ini salah. Pipiku jadi merah gara-gara ucapannya itu.
Bisa nggak si, dia nggak usah pakai acara ngegombal?
3.Lintang Kartika

Tujuh permata menghiasi langit Banjarnegara. Mereka memancarkan cahaya biru yang
cemerlang. Meski tertutup kabut, tapi sinarnya tetap paling mencuri perhatian.
Bintang tujuh bidadari. Begitu, bapak menyebutnya.
Aku selalu menyukainya. Setiap cerita yang dituturkan bapak tentang bintang-bintang itu,
membuatku ingin menjadi bagian dari mereka. Aku juga ingin seperti bintang, bercahaya, indah, dan
dikagumi semua orang.
"Mereka itu, bidadari yang kadang turun ke bumi untuk mandi. Kalau turun hujan saat cuaca
cerah, artinya mereka akan benar-benar turun. Jejak langkah mereka menciptakan tujuh warna yang
berbeda, dan kita menyebutnya pelangi."
Aku mengangguk-angguk sambil sok berpikir, membayangkan bagaimana para bidadari itu
turun dari langit, terus numpang mandi di bumi.
Bapak menarik tubuh kecilku dalam pangkuan, sarung yang ia kenakan membuatku merasa
sedikit lebih hangat dari sebelumnya. Mataku masih terpaku pada langit sebelah barat. Saat masih kecil,
teras rumah selalu menjadi tempat paling favorit buat melihat bintang.
"Kalau nanti Jea udah gede, Jea mau jadi bidadari." Aku mendongak, menjumpai wajah yang
menampilkan senyum kebapakan.
"Jea juga mau tinggal di langit, Jea mau jadi seperti bintang yang bersinar. Seperti Mamak, boleh kan,
Pak?"
Kadang tujuh bintang itu berdampingan dengan satu bintang, yang cahayanya tak kalah terang.
Menurut Asrul, mereka adalah gugus bintang Pleiades. Atau orang jawa menyebutnya Lintang Wuluh,
yang sedang berdampingan dengan Planet Venus. Seperti april lalu, pemandangan langit senja
menyajikan keindahan yang luar biasa. Saat Venus dan Lintang Wuluh hanya terpisah sekitar 2,5 derajat.
Mereka berada pada 27° di atas horizon barat daya.
Pada saat konjungsi, Venus berada pada magnitudo -4,5, dan Pleiades ada di magnitudo 1,6. Saat
itu, keduanya bisa kulihat dengan mata telanjang.
Tapi, apa pun penjelasan yang Asrul katakan, bagiku cerita bapak jauh lebih menarik. Aku
percaya, satu bintang yang hanya terlihat pada malam tertentu, adalah mamak yang sedang
merindukanku. Dan suatu saat nanti, aku ingin seperti mamak. Hidup sebagai cahaya bagi kegelapan
malam. Walau hanya setitik kecil, tapi bintang selalu indah menurutku.
"Sekarang pun, Jea adalah bidadari di mata Bapak." Lelaki itu mengusap puncak kepalaku, lalu
menciumnya. "Jea itu bidadarinya bapak, dan calon bidadari di surganya Allah."
"Apa Mamak juga bidadari surga?" Pertanyaanku masih sangat polos. Bapak diam sejenak,
menatapku sayu sebelum menjawab.
“Iya, Nduk. Mamakmu adalah bidadari yang memiliki hati sangat putih. Dia orang yang paling
menyayangimu, kamu lihat sendiri, kan?" pandangan Bapak beralih ke langit. "Sinarnya juga putih dan
terang. Itu karena Mamakmu ingin menunjukkan, betapa dia sangat menyayangimu." Ada sesuatu yang
bapak sembunyikan di balik mata itu, entah apa, tapi aku bisa merasakannya.
"Kalau mamak sayang sama Jea, kenapa ninggalin Jea sendirian? Harusnya kita jadi bidadari
sama-sama, nanti Bapak yang jadi pangerannya." Bibirku manyun beberapa senti. Tangan bapak
mengusap-usap lenganku, mencoba mengusir dingin yang tak tahu diri.
Angin yang berembus menelisik dedaunan, membawa ingatanku jauh ke seberang. Lintang
Kartika masih bersinar seperti bertahun-tahun lalu. Masih seindah saat bapak selalu bersamaku.

"Masih bermimpi menjadi bidadari?"


Seseorang mendorong ayunan yang kududuki. Dan suara yang barusan kudengar, itu milik Ayas.
Mataku terpejam, menikmati ayunan yang didorong berkali-kali. Andai aku boleh memilih, aku
ingin selamanya hidup sebagai anak kecil. Bukan bidadari seperti keinginanku dulu, hanya gadis kecil
yang disayangi semua orang. Yang bisa selalu bercanda dan tertawa bersama bapak. Memandangi langit
di pangkuannya, dan meceritakan banyak hal tentang sosok mamak. Andai mamak masih tinggal di bumi,
aku pasti lebih bahagia lagi.
Tapi kenyataannya, waktu sangatlah keras kepala. Dia tidak peduli sekeras apa manusia berusaha
menggenggam sebuah cerita, dia tidak pernah mau berhenti, atau mundur barang sedetik. Dia mengubah
banyak hal secara paksa. Meski tidak mempengaruhi perasaanku terhadap Gus Ayas. Tapi waktu juga
yang memaksaku untuk menjauhinya saat ini.
"Aku nggak mau jadi bidadari. Tapi aku ingin hidup seperti bintang."
"Bintang?" Dia berhenti sejenak, "kamu bahkan Lintang Kartika. Bintangnya bintang, Jea." Ayas
menahan tali ayunan dan kakiku turun menyentuh tanah. "Kamu adalah cahaya paling terang, yang
membuatku merasakan keindahan semesta, hanya dengan melihatmu."
Sehelai daun sawo jatuh di pangkuan. Menurut kepercayaan orang jawa, ketiban daun kering itu
artinya ketiban sial, kita harus meludahinya agar kutukan sial itu tidak terjadi. Tapi aku hanya tersenyum,
memainkan daun kering itu, lalu menerbangkannya ke sembarang arah.
Ayas sudah berdiri di hadapanku. Di tangannya ada kitab Safinatun-Najah, yang tadi ia gunakan
untuk panduan kultum setelah tarawih.
"Bintangnya bintang?" Aku membeo seperti orang linglung. Dia pasti sedang bercanda, atau
minimal mengejekku. Bagaimana mungkin aku menjadi bintang di atas bintang, sementara hatiku masih
dipenuhi kegelapan.
"Gus," panggilku, setelah seluruh kesadaranku kembali. Yang dipanggil hanya menjawab dengan
kedipan mata. Untuk beberapa detik pandanganku berada satu garis lurus dengannya, sebelum aku
memilih untuk mengalihkannya pada tanah yang kupijak.
"Maaf, karena aku pergi begitu saja," kalimatku tertahan. Sesak saat harus mengingat tentang
beberapa tahun lalu. "saat itu, aku hanya memikirkan bapak, sampai begitu egois padamu."
"Semudah itu?" nada bicaranya sarkatis. "Setelah kamu membuatku terjaga setiap malam.
Menghapal seribu bait syair, dan menjadikanku manusia paling kutu dalam memahami kitab Alfiyah, lalu
setelah itu kamu pergi seenaknya. Sekarang kamu hanya menebusnya dengan satu kata maaf?"
Jawabannya membuatku semakin merasa bersalah. Ayas ternyata sangat pandai mendramatisir keadaan.
"Maaf," gumamku lirih. Mungkin hanya bisa didengar oleh kelelawar yang melintas.
"Jea, kamu dengar aku. Aku tidak butuh mendengar kata maaf, atau mendengar alasanmu pergi.
Aku hanya ingin kamu kembali tanpa alasan. Aku bukan lagi mencintaimu karena membutuhkan, tapi
aku membutuhkanmu, karena mencintaimu. Aku bukan ingin bersamamu karena berpikir bahwa
denganmu aku akan tetap hidup, tapi aku merasa tanpamu aku tidak bisa hidup."
Dia masih suka membual. Ya Allah, kenapa Ayas begitu keras kepala? Hatiku susah payah
menafikan keberadaannya, tapi dengan mudah dia menarik kembali perasaan yang ingin kubuang jauh-
jauh.
"Sudah malam," aku bangkit dari ayunan. "sudah waktunya tidur, nanti harus bangun lebih awal
untuk masak sahur. Njenengan juga harus istirahat."
Aku membalik tubuh dengan cepat. Menyembunyikan airmata yang turun secara perlahan. Sesak
yang kurasa semakin memenuhi rongga dada. Aku berjalan masuk melalui pintu belakang. Kamarku tepat
di samping dapur. Berhadapan dengan kamar Simbah.
"Jea."
Suara itu memaksa langkahku berhenti. Aku hanya diam tanpa menoleh, dan menunggu apa
yang akan dia katakan.
"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul duabelas kurang lima menit. Artinya, masih ada sekitar
tiga jam untuk tidur.
Dan kalau pergi mencari bapak, waktuku masih cukup banyak. Selama ini, setiap kali menembus
dimensi lain, waktu yang kulalui menjadi berkali-kali lipat lebih lama dari alam nyata.
Aku memang sering kesulitan melakukan hal itu, bahkan sering gagal. Tapi sekarang, hanya
dengan memikirkan tempat yang kuinginkan, dalam sekejap akan berpindah ke sana. Walau kadang
masih mendarat di tempat yang kurang tepat.
"Whoaaaaaaa!" Aku mendarat di batang pohon pinus yang cukup kecil. Kalau tidak bisa menjaga
keseimbangan tubuh, pasti terjatuh.
"Masih belum kapok datang ke sini?"
Seorang anak kecil yang sering muncul di mimpiku, sedang duduk santai di atas batang pohon
yang lebih tinggi. Ia menggigiti akar ilalang dengan cara yang nggak biasa, seolah itu adalah makanan
paling nikmat.
"Sebelum menemukan bapak, aku akan selalu datang." Aku melompat, anak itu mengikuti. Dia
juga menyandang busur panah yang sama denganku.
"Seyakin apa kamu kalau bapakmu ada di sini?" langkahku terhenti sejenak.
"Seyakin aku melihatmu ada di hadapanku, Bocil!"
Dia malah terkekeh meremehkan. "Kamu bahkan tahu aku nggak nyata. Jadi kurasa usahamu
juga akan sia-sia."
Dasar bocil kurang ajar. Setiap kali muncul, dia selalu menggoyahkan keyakinanku tentang
bapak.
Mereka bilang bapak hilang di sini. Setidaknya aku menemukan satu petunjuk saja, apa bapak masih
hidup atau benar-benar sudah meninggal. Tapi Bocah perempuan berambut keriting itu selalu
mengacaukan rencanaku.
Kulayangkan busur panah untuk menggetok kepalanya, tapi dia malah menghilang.
"Aku di sini, Jea."
Bocah itu muncul lagi, menarik jilbabku sampai menutupi wajah.
Dunia mimpi yang kudatangi benar-benar mirip dunia sihir. Semua yang ada di sini memiliki
kekuatan aneh. Sepertinya hanya aku yang mengandalkan kekuatan pikiran. Lihat saja, rumput-rumput
yang ada di sini, pohon-pohonnya, mereka semua bisa bicara dan mengolok kedatanganku yang menurut
mereka hanya kebodohan. Di sini, anginpun bisa mempunyai wajah.
Aku membenahi jilbab yang menghalangi pandangan. Dan bocah kecil itu sudah menghilang.
Kabar buruknya lagi, aku sudah berpindah tempat. Sebuah rimba yang dipenuhi kabut pekat.
Jalanan yang lurus membentang luas di hadapanku. Aku mencoba menerobos badai yang
menerbangkan debu hitam, entah dari mana mereka datang. Samar-samar, aku melihat seseorang
berjalan menjauh. Langkahku terseret susah payah.
"Bapak! Jangan tinggalin Jea."
Isakku tak tertahan. Langkahku semakin berat. Wajah orang itu tak dapat kulihat, tapi aku yakin, dia
memang bapak. Seorang ayah yang selalu kurindukan. Tapi dia sama sekali tidak menoleh. Apa
mungkin bapak tidak mendengarku?
Kabut hitam perlahan memudar, segalanya terlihat lebih nyata. Rumput dan pohon-pohon di
sekitar sini sudah kembali normal, seperti pohon biasa, tanpa tangan, tanpa mulut dan tidak bergerak.
Tapi kenyataan yang paling pahit adalah, aku. Aku menemukan diriku yang hanya seorang diri. Benar
benar sendiri. Tubuhku luruh seolah tak lagi disangga tulang. Aku tersimpuh di atas rerumputan yang
sedang mentertawakan kelemahanku.
"Jea!" Satu panggilan dari suara yang tak asing.
"Je," suara itu semakin jelas, tapi tidak ada siapa-siapa di sini. Kulihat ke atas pepohonan, tapi
nihil. Bocah kecil pengganggu itu juga tidak terlihat. Aku sendirian.
"Jeaaaaaaaaa!"
Suara yang melengking, menyeret paksa tubuhku kembali ke alam nyata.
"Astagfirullahhal'adzim."
Aku terbangun dan langsung meludah ke kiri sebanyak tiga kali.
"Jeaaa!" Marningsih duduk di sebelahku, mengusap-usap lengannya yang terkena ludah.
"Jorok banget, sih. Ya ampun, padahal tadi aku udah mandi, udah ganti baju, udah wangi, malah
dikasih jigong!"
"Haaaah! Kok kamu di sini?" Mataku tertuju pada jam dinding, ternyata sudah setengah tiga.
"Ya iyalah, namanya juga orang baik, jadi aku mau bantuin masak. Kirainku udah bangun malah
masih ngiler. Nggak malu apa sama Mas Ayas? Dia aja udah lagi baca Qur'an, eh, yang cewek masih
ngebo."
Iya, kah? Memangnya Ayas bisa bangun cepet, ya? Ini kabar baru lagi buatku.
"Malah bengong. Buruan bangun, tahajud dulu. Biar aku bantu nyiapin bahan masakan."
Marningsih menyeret tanganku dengan kasar, sampai hampir jatuh dari kasur. Beginilah nasib punya
sepupu anarkis yang rumahnya dekat. Sudah anarkis, hobinya ngintilin Ayas pula. Jadilah pagiku penuh
kekacauan. Mungkin ini alamat dari ketiban daun kering malam tadi. Aku kedatangan sial di pagi buta.
4. Mbelgedesh!

Kamar impianku, adalah seperti kamar seorang gadis di salah satu novel yang pernah kubaca. Di
mana dia menghiasi kamarnya dengan gambar-gambar dan lampion tata surya. Karena aku pemuja
keindahan bintang, sebenarnya juga ingin kamarku punya penampakan seperti langit bertabur bintang.
Kalau perlu, aku juga ingin menggambar galaksi bima sakti, lengkap dengan seluruh gugusan bintang
yang ada di dalamnya. Pasti menyenangkan.
Tapi kenyataannya, kamar yang kumiliki hanyalah bilik kecil dengan dinding yang terbuat dari anyaman
bambu. Kalau malam sudah datang, dinding itu sama sekali tidak bisa diandalkan untuk memblokir hawa
dingin.
Sebenarnya masih ada satu kamar yang dindingnya terbuat dari kayu, ada di bagian depan, dekat
ruang tamu. Sudah menjadi ciri khas di desaku, kalau rumah yang belum menggunakan dinding
permanen, maka bagian depannya--dari ruang tamu sampai ruang tengah-- terbuat dari kayu, dan bagian
belakang menggunakan anyaman bambu. Tapi walau kamar itu lebih nyaman, aku tetap memilih tidur
di kamar belakang. Di sana ada begitu banyak kenangan tentang bapak yang terukir di setiap sudutnya.
Satu lagi yang menyenangkan, kalau lampu kamar dimatikan, maka cahaya lampu dari halaman yang
menerobos melalui celah-celah anyaman, terlihat seperti ribuan bintang yang menghiasi langit. Kadang
aku iseng menghitunya kalau lagi susah tidur. Dan cara itu sangat ampuh, untuk mengantarkanku pada
titik rileks yang luar biasa, tertidur, terus berkelana ke dunia lain.
Omong-omong soal jalan-jalan ke dunia lain, sebenarnya aku penasaran dengan hal ini. Nyata,
atau hanya halusinasi. Aku sudah sering menanyakannya sama Asrul, apa ada penjelasan yang masuk akal
untuk kejadian yang sering kualami ini? Tapi anak itu selalu sibuk dengan dunianya. Setiap kali ditanya,
dia selalu menyuruhku menunggu, dan seringnya sampai lupa. Seperti sekarang, aku sudah duduk di
depannya selama hampir dua jam. Dan anak itu masih sibuk dengan tabung-tabung reaksi yang ada di
atas meja.
Saat memasuki kamar Asrul, aku selalu disuguhi pemandangan yang unik. Kemarin ada
serangkaian kabel yang berserakan, lengkap dengan peralatan listrik lainnya. Katanya sedang membuat
adaptor untuk menghemat listrik. Sudah beberapa bulan ini, Iyung selalu mengomel karena pulsa listrik
sangat boros. Diisi lima puluh ribu, habis sebelum satu bulan, padahal biasanya bisa sampai hampir dua
bulan.
Sekarang beda lagi. Di mejanya berjejer rapi tabung-tabung kaca, dengan asap yang mengepul.
Mirip ruangan praktikum seorang profesor. Suhu ruangan ini juga sedikit aneh, entah bagaimana dia bisa
mengubahnya. Tapi aku selalu takjub dengan apa yang dia lakukan, walau orang lain sering kali
menganggapnya setengah waras dan hanya buang-buang waktu.
Asrul masih sibuk mengamati cairan yang baru saja ditetesi cairan hijau. Tangan kanannya
mengangkat tabung kecil ke udara menggunakan jepitan khusus, lalu menggoyangkannya. Setelah
beberapa saat, air di dalamnya berubah jadi orange. Dia tersenyum, sepertinya Asrul puas dengan hasil
itu.
"Jadi gimana? Apa menurutmu mungkin dan masuk akal? Seseorang bisa memisahkan diri dari
tubuhnya, dan masih hidup. Maksudku, apa proyeksi astral itu bener-bener bisa dilakukan? Katakanlah,
misalnya aku bisa pergi ke India, sementara ragaku ada di rumah. Apa yang kulakuan di India itu
kenyataan?" Menunggu itu membosankan! Tapi sepertinya Asrul tidak memahami hal itu. Padahal aku
sudah pusing bukan main. Entah kenapa, kalau puasa begini bawaannya selalu ngantuk dan males-
malesan. Ditambah lagi harus menunggu, Bulus memang tidak peka!
"Why not?" Akhirnya dia nyahut juga. "Kan aku udah bilang, semua hal di dunia ini menyimpan
penjelasan ilmiah yang masuk akal," ucapnya sambil melepas sarung tangan. Cairan orange yang tadi,
sudah berpindah tempat ke beberapa kapsul bening yang terbuat dari kaca.
"Suatu medium tertentu yang memancarkan sinar-sinar foton, kadang terputus. Tidak selamanya
penuh. Itu artinya, ada campur tangan sinar foton dari dimensi waktu yang berbeda." Asrul berjalan
menuju rak buku di samping tempat tidur, meletakkan kapsul-kapsul itu pada sebuah kotak hitam,
kemudian menyimpannya di antara buku-buku tebal. Dia memang dikeluarkan dari kampus, tapi dia
masih tetap belajar. Baginya, fakultas hanyalah formalitas. Belajar itu bisa dimana saja. Alam ini
diciptakan sebagai tempat belajar bagi orang-orang yang mau belajar. Percuma kuliah, mempelajari
materi seharian, tapi prakteknya nol besar. Begitu keluar ruangan, semua yang di pelajari hilang tersapu
angin. Katanya begitu.
Songong banget kan cara berpikirnya? Padahal menurutku, itu hanya pembelaan atas
keberandalan yang dia lakukan. Ngeles bajaj.
"Inget pernyataan Albert Einstein tentang relatifitas waktu?"
"Albert Einstein?"
"Iya."
"Waktu bukan sesuatu yang linier Tidak ada masa lalu, masa kini, masa depan, kematian dan
kehidupan." Otakku loading beberapa saat. Sudah lama tidak membahas pelajaran sekolah, sebenarnya
agak sedikit lupa.
Sinar matahari yang memaksa masuk melalui ventilasi, membuat mataku menyipit. Kamar ini
sudah kembali normal. Jendela, dan seluruh lubang angin sudah berfungsi sempurna, tidak seperti tadi,
karena Asrul barusan memencet sebuah alat mirip remot kontrol, dan pelindung kasat mata yang
membuat suhu ruangan ini cukup lembab sekarang sudah menghilang. Aku sedikit menggeser kursi
untuk menghindari cahaya yang menyilaukan.
"Benar. Jadi itu artinya ada dua kemungkinan untuk jawaban pertanyaanmu. Kalau teori itu
benar, berarti sangat mungkin yang dialami itu memang nyata. Karena menurut Albert Enstein, proses
pendewasaan kita hanyalah siklus. Hanya sebuah perjalanan antar dimensi. Bahkan beberapa ahli
menyatakan, kalau sebenarnya kematian itu tidak pernah ada. Sekalipun kita mati pada satu dimensi,
tubuh kita tetap hidup dalam dimensi yang lain. Dan terus melakukan perjalanan antar dimensi. Itu
artinya, saat melakukan proyeksi astral, hanya tingkat kesadaran kita saja yang berpindah dimensi. Dan
kemungkinan yang kedua, jika teori itu salah, berarti kemungkinan besar semua yang dialami oleh
seorang yang melakukan astral projection itu juga hanya halusinasi."
"Jadi, kalau teori relativitas itu benar, artinya ada kemungkinan kalau aku juga bisa ketemu sama
bapak, biar pun cuma dengan tubuh elektrik?"
"Bisa jadi. Eh, tunggu, apa maksudmu? Kamu mau melakukan hal seperti itu?" Dia terlihat
berpikir sejenak. "Nggak usah aneh-aneh jadi bocah! Walau hal itu mungkin, dan ada penjelasan yang
masuk akal, bukan berarti proyeksi astral atau ngeraga sukma itu nggak bahaya. Apalagi kalau sampai
kita masuk dalam keadaan sleep paralysis. Kamu bisa mati berdiri karena ketakutan lihat mahluk aneh
yang menindih tubuhmu."
"Maksudmu? sleep paralysis itu apa?" Aku makin penasaran mendengarnya, karena sebenarnya
aku juga pernah mengalami hal itu. Melihat seolah ada mahluk mengerikan yang menyandera tubuhku,
sampai terasa berat dan tidak bisa bicara, padahal penglihatan dan pendengaran berfungsi sempurna.
"Sleep paralysis itu tahapan menuju asrtal projection. Sejenis halusinasi karena adanya malfungsi
tidur pada tahap Rapid Eyes Movement. Biasanya terjadi karena kelelahan. Saat lelah, gelombang otak
manusia menjadi sangat ringan untuk melompat dari alam sadar ke alam mimpi. Kalau otak tiba-tiba
terbangun, itu namanya sleep paralysis. Kalau iyung bilang, itu namanya tindihan." Mendengar
penjelasannya barusan, kepalaku malah tambah pusing. Aku hanya ingin tahu, apa yang kualami selama
ini nyata atau tidak. Apa perjalananku ke Hutan Banawasa melalui alam mimpi itu benar-benar nyata,
atau sekedar mimpi karena terlalu memikirkan tentang bapak. Dan aku sadar, kalau sampai saat ini, aku
masih belum menemukan jawaban.
"Lagian, buat apa sih kamu tanya-tanya ginian? Jangan bilang, selama ini kamu udah sering
keluyuran dengan tubuh elektrik." Asrul menatapku dengan mata paling intimidasi, aku sampai berdiri
dari dudukku saat dia mendekat.
"Ap-apaan, sih. Ya nggak mungkin lah. Mana bisa aku kayak gitu." Mendadak kemampuan
berbicaraku seakan minggat. Gagu, gara-gara Asrul menatap penuh selidik.
"Ya udah. Thanks ya, Profesor Bulus!" Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, sampai dia
mundur satu langkah. Bibirku menyungging senyum yang menurutku justru terasa konyol "Terimakasih
karena Anda telah sudi meluangkan waktu yang berharga, untuk menjawab pertanyaan dari saya."
"Awas aja kalau sampai kamu ngelakuin hal konyol semacam itu!"
"Emang kenapa?"
"Kamu pikir, siapa yang bakalan jagain tubuh aslimu? Oke, anggap kalau raga sukma itu memang
ada, karena selama ini, kita juga sering denger cerita tentang kemampuan orang jaman dulu, yang bisa
melakukannya, bahkan menemui orang yang sudah mati untuk berkomunikasi. Walau aku sendiri
sebenernya juga ragu. Apa lagi kalau ditilik secara agama, kamu itu kan bekas santri, masa mau ngelakuin
hal gituan, sih." Sekarang, dia malah ngomel-ngomel. Tadi aja ditanya sibuk sendiri, giliran udah mulai
ngomong, aku nggak dikasih waktu buat menjawab. Asrul memang kadang selevel cewek yang lagi datang
bulan kalau udah ngomel.
"Dan lagi, kalau kamu melakukan proyeksi astral macam itu, artinya tubuh aslimu kosong, kan?
Bisa aja ada mahluk lain yang masuk, dan kita nggak pernah tahu kemungkinan buruk apa yang bisa
terjadi. Tubuh elektrikmu juga bisa tersesat. Kalu sampai itu terjadi, mungkin emang nggak bisa bikin
kamu mati, tapi bisa bikin kamu hidup sebagai orang gila, karena jiwa aslimu berkelana, dodol!"
Asrul kenapa, sih? Kok menurutku dia terlalu berlebihan, ya? Kalau memang dia ragu tentang
kebenaran proyeksi astral, kenapa dia tahu sebanyak itu? Lagian, aku kan cuma pergi buat nyari bapak di
hutan. Itu tidak terlalu jauh dari rumah. Mana mungkin tersesat. Lagi pula, di sana aku juga punya teman,
terus punya keahlian memanah juga. Aku rasa itu cukup untuk bekal awal. Selanjutnya hanya perlu
melatih kekuatan pikiran, yang bisa bekerja sepeti sihir. Bayangkan saja. Hanya dengan memikirkan
pindah tempat, aku bisa teleport kemana saja. Itu hal yang baru kuketahui belakangan ini. Keren, kan?
***
Keluar dari kamar Asrul, aku melihat Ayas sedang duduk di kursi sambil membaca buku.
Sepertinya dia sedang menyiapkan bahan untuk kultum nanti malam. Dari arah halaman, kulihat
Marningsih berjalan terburu-buru.
"Assalamu'alaikum." Marningaih langsung masuk dan duduk di samping Ayas. Napasnya
terengah dan keringat membasahi wajah gadis itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Ada apa, Ning? Jalannya kayak orang kesetanan gitu,"
tanyaku penasaran. Dari caranya berjalan, kupikir ada hal penting yang akan dia sampaikan.
Ayas menutup buku bacaannya, lalu mengalihkan fokus pada gadis yang duduk di kursi sebelah.
"Iya, Mbak. Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Dia menoleh ke arahku sesaat. Aku hanya
mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu.
"Itu, Mas, tadi Erni bilang sama aku, katanya malem ini Mas Ayas ditukar untuk menjadi imam
di Masjid Dusun Krajan. Dan di sini, nanti imamnya Da'i yang tugas di Danayuda."
"Oh, itu. Iya, Mbak. Tadi pak Asman sudah ke sini." Ayas membenahi letak peci, lalu kembali
membuka buku bacaannya.
"Haaaaahh! Jadi Pak Asman udah ke sini, tapi kok tadi Erni nyuruh aku ngasih tahu. Aku sampai
lari dari depan masjid, cuma gara-gara tadi dia bilang harus cepet-cepet. Katanya biar Mas Ayas
menyesuaikan dengan jadwal di sana." Marningsih heboh sendiri. Aku tahu, ini pasti akal-akalan si Erni.
Gadis yang masih duduk di kelas empat SD itu memang usil, apa lagi kalau disuruh ngerjain Marningsih.
Otaknya seperti tak pernah kehabisan ide untuk membuat Marningsih kelabakan.
"Astaghfirullah. Kadar keimutanku jadi hilang lima persen gara-gara bocah itu." Gadis itu
mencak-mencak sambil mengibaskan tangan. Sedetik kemudian dia kembali berpose imut, lebih
tepatnya sok imut, saat menyadari keberadaan Ayas.
Aku hanya terkekeh melihat tingkah Marningsih. Dia selalu menjadi target bully bagi orang di sekitar.
Sungguh gadis yang malang.
Tapi mau gimana lagi, aku sendiri kadang ikut mengerjainya. Mukanya itu loh, bullyable banget.
"Imut apanya? Semut noh baru imut." Asrul yang baru keluar kamar, turut andil dalam membully
Marningsih. Tangannya menenteng tas punggung, sambil mengenakan topi hitam. Dia duduk di dekat
Ayas, lalu menggunakan sepatu.
"Ya Allah, Srul. Kamu tega banget, sih. Kenapa nggak sekalian aja kamu bilang aku kayak
nyamuk."
"Nyamuk? Kasihan amat nyamuknya disamain sama orang kayak kamu." Tuh, kan, Asrul emang
sadis kalau udah mulai ngebully Marningsih.
Marningsih memasang wajah teraniaya lalu menghadap Ayas.
"Aku imut kan ya, Mas?" Matanya mengedip berulang-ulang seperti orang cacingan. Ayas yang
melihat dia berada pada jarak terlalu dekat, langsung memundurkan wajah. Dan mukanya itu kayak
orang ketakutan, lucu baget deh.
"I-iya, Mbak. Imut, banget malah."
"Tuh, kan. Mas Ayas aja bilang aku imut pake banget, loh."
"Halah, Mbelgedesh!"
"Mbelgedesh?" Aku dan Ayas menyahut bersamaan. Dan tahu seperti apa reaksinya Ayas? Dia
tersenyum penuh arti, seolah nyahut bareng ini adalah kode alam. Kita jodoh.
"Kalian tahu gangga yang hidup di laut? Dia menempel pada terumbu karang yang pudar, dan
bereproduksi dengan cara membelah diri. Nah, Mbelgedesh itu spesies terakhirnya." Asrul bangkit dari
kursi, wajahnya sama sekali tidak menunjukan raut jenaka. Penjelasannya yang super absurd bin nggak
nyambung itu membuatku dan Ayas tertawa. Sementara Marningsih yang malang hanya manyun
dramatis.
"Jangan gitu, ah. Gitu-gitu, Marningsih masih keponakanmu, loh." Aku mengingatkan. Biarpun
bukan saudara kandung, kami tetap saudara, kan?
"Nggak usah sok ngebelain, kalau ujung-ujungnya bakal ngejatohin!" sewot Marningaih padaku.
"Sabar ya, Mbak." Ayas mencoba menghibur, walau dia sendiri masih menahan tawa karena ulah
Asrul. Terlihat dari kedua pipinya yang berkedut.
"Menurutku, Mbak Marningsih itu seperti huruf Nun," Ayas menjeda ucapannya. Marningsih
yang mendapat simpati dari Ayas, langsung pasang wajah antusias dan menatapnya penuh harap.
"Nun sukun yang menyempurnakan idham bilaghunah." Ayas melanjutkan. Ia mendramatisir
kalimat itu sedemikian rupa, seolah benar-benar sedang bersimpati pada Marningsih. Ekspresi wajahnya
sangat kontradiktif dengan apa yang ia ucapkan. Aku tak bisa lagi menahan tawa, apalagi saat Marningsih
terlihat semakin nelangsa. Ia cemberut, lalu memukul Ayas dengan buku bacaan yang ada di atas meja.
Asrul memang virus. Sebentar saja Ayas dekat dengannya, sekarang sudah ketularan suka
membully. Bahkan menurutku jauh lebih kejam dari Asrul. Nun sukun dalam Idham bilaghunah, artinya
keberadaan Marningsih sama sekali tidak dianggap. Sungguh gadis yang sangat malang. Hahaa!
"Sukurin! Emang enak nggak dianggep." Asrul tertawa mengaminkan banyolan Ayas.
"Diem, lu! Dasar kaleng rengginang!"
"Biarin kaleng rengginang, dari pada elu, bulu ketek ubur-ubur."
Mereka sibuk melontarkan ejekan-ejekan yang makin nggak jelas maksudnya.
Oh iya, kenapa tadi Marningsih berani nimpuk Ayas, yah? Sedekat itukah hubungan mereka?
Apa aku saja yang terlalu menjaga jarak?
"Jea, nanti kalau Iyung nyariin, bilang aku ke Semarang, ya. Ada urusan." Asrul menyela
lamunanku. Dia menyetater motor, kemudian pergi setelah puas menertawakan kesialan Marnigsih.
Tanpa mengucap salam. Itu kebiasaan buruknya yang belum juga hilang walau sudah sering diingatkan.
5. Supermoon

"Kamu kenapa sih, Je, Sekarang nggak mau bantuin ngajar kayak tahun lalu? Kan kasihan Mas
Ayas, dia kewalahan ngurus anak-anak. Tahu sendiri kan, gimana murid kita?" Marningsih meletakan es
batu, pada wadah yang sudah kusiapkan. Hari ini, aku hanya membuat es kelapa muda dengan campuran
sirup pemberian Mak Rinah. Memang sudah jadi kebiasaan warga sini, kalau rumah yang ditempati da'i,
pasti banjir kiriman. Entah itu bahan makanan, atau makanan yang sudah matang.

"Bukan nggak mau, Ning. Tapi emang nggak sempet. Sekarang, Simbah makanannya harus
dipisah, ada banyak pantangan yang dihindari karena kondisi kesehatan, jadi masaknya juga macem-
macem. Belum lagi ada Mas Da'i, pastinya harus ada menu tambahan, setidaknya ada sayur sama lauk.
Kalau aku ikutan ngajar, yang masak siapa?" Aku mengambil daun seledri, lalu memasukkannya pada
sayur bening bayam, sebagai sentuhan akhir agar aromanya makin matap.

"Emang kamu pikir, Iyungmu ini udah nggak bisa masak?" Iyung menimpali. Wanita yang
rambutnya sudah hampir rata memutih itu membawa semangkuk kolak. "Bukannya Iyung juga sudah
nyuruh kamu buat ke mesjid? Kamunya aja yang ngeyel."

"Tuh kan, Je. Kamu nggak usah kebanyakan ngeles, deh. Katanya mau mewujudkan impian
Bapakmu. Mendirikan TPA, dan mengajarkan ilmu agama. Kenapa sekarang malah males gitu? Kamu
nggak lagi menghindari Mas Ayas, karena takut jatuh cinta kayak jaman Ustadz Ashoffa dulu, kan?"
Pertanyaan Marningsih hampir membuatku menuangkan sebungkus garam pada sayur nangka muda
yang sedang kumasak.

"Astaghfirullah," Aku buru-buru mengambil garam yang masuk ke wajan dengan porsi berlebih.
"Tuh, kan, jadi kebanyakan. Bahas itunya nanti aja lah. Bentar lagi adzan, entar malah masakanku
tambah kacau," jawabku sedikit membentak. Siapa yang nggak kesel coba? Udah tahu lagi buru-buru,
malah direcokin. "Lagian emang kamu udah selesai masaknya? Bukannya nyiapin masakan di rumah,
malah ngerecokin dapur orang."

"Udah dong, urusan masak mah, kecil. Serahin aja sama Lintang." Dasar Marningsih! Selalu saja
Lintang yang jadi korban. Giliran ada maunya saja dia rajin kebangetan, tapi kalau lagi males, Lintang
yang harus mengerjakan semuanya. Sendirian. Dan ketimbang rajinnya, Marningsih jauh lebih sering
malesnya. Pantas mereka sering bertengkar. Kalau saja aku yang jadi adiknya, mungkin sudah kupecat
dia jadi anak sulung.

Suara kambing dari kandang milik Uwa Yatin saling bersahutan. Kurasa mereka melihat mamak
Marningsih pulang dengan segulung rumput. Tak lama kemudian, aku mendengar suara seperti kayu
yang dibanting di halaman samping. Pasti itu Uwa Wasono. Dulu Bapak yang selalu mencari kayu bakar
untuk Iyung, sekarang bapaknya Marningsih yang menggantikan tugas itu.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Bentar lagi bedug, Mamak sama Bapak juga sudah pulang. Kalau di
sini terus, entar bisa-bisa kena semprot sama Lintang. Bye!"

Gadis itu meninggalkan dapur sambil masih menyandang mukena. Katanya tadi dia bantuin Ayas
ngajar. Tapi aku nggak yakin sama sekali, apa dia benar-benar mengajar, atau malah sibuk tepe-tepe sama
Ayas. Awas saja kalau dia berani melakukan itu, kupastikan, napasnya yang gratis hanya akan menjadi
sebuah mitos.

Eh, kenapa jadi aku yang sewot, terserah dia kan? Memangnya siapa aku?

"Assalamu'alaikum." Ayas pulang tepat saat adzan berkumandang. Aku dan Iyung menjawab
salam bersamaan.
Simbah yang tadi duduk di teras, sudah ikut bergabung di meja makan. Sementara Asrul, tadi
menelpon, katanya mau menginap di Ungaran. Di tempat teman kuliahnya dulu.

Kami hanya membatalkan puasa dengan segelas air putih, lalu berangkat ke masjid untuk jamaah
sholat maghrib. Setelah itu, baru makan sambil menunggu waktu isya. Yang penting sudah menyegerakan
berbuka sesuai kesunahan, dan makan juga lebih tenang karena tidak takut kehabisan waktu sholat
maghrib.
Kata bapak, saat seorang berbuka puasa, maka malaikat akan mendoakan kebaikan untuknya
selama makan. Itu artinya, semakin lama makannya, semakin banyak didoakan oleh malaikat. Iya, kan?

Ayas mengambil sayur nangka beberapa sendok lalu menyiramkan sayur bening ke piringnya.
Belakangan ini aku baru tahu, ternyata makanan kesukaannya cukup sederhana. Hanya oseng-oseng
nangka muda, ditambah sayur bening dan sambel terasi. Kalau dihadapkan dengan menu itu, maka dia
akan makan dengan sangat lahap.
Aku selalu puas saat Ayas bisa menikmati masakanku.

"Jea ..." Ayas memanggilku yang sedang mengambil es kelapa, iyung dan simbah yang masih
sibuk mengambil sayur, ikut berhenti demi mendengarkan Ayas, karena sekarang pemuda itu sedang
menatapku dramatis.

"Ya?
Nikah, yuk."
Aku tersedak mendengar kata yang dia ucapkan. Apa maksudnya, coba?
"Maksud Mas Ayas?" Iyung yang lebih dulu menjawab. Aku masih terbatuk-batuk akibat
tersedak. Simbah malah memandangiku dan Ayas bergantian seperti orang linglung.

"Iya, Yung. Katanya, kalau anak perawan masak keasinan, artinya dia sudah ingin menikah.
Barangkali Jea sedang melamar saya melalui masakannya ini."

Aku berpikir sejenak untuk bisa mencerna maksud ucapannya barusan. Asin! Otakku
meneriakkan kata itu dengan sangat lantang. Aku segera mencicipi masakan itu, dan ternyata memang
asin kebangetan. Dalam hal ini, Marningsih menjadi satu-satunya yang paling patut disalahkan. Pasti
karena dia menggangguku, dan tadi garamnya tumpah.

Duh, mau ditaruh di mana mukaku?


Menurutku, tidak ada hal yang lebih memalukan dari masakan keasinan. Dan di saat seperti ini,
pasangan renta yang duduk di sampingku, justru menertawakan cucunya. Mereka benar-benar orang tua
yang tidak berprikecucuan. Bukannya bantu menjelaskan, iyung malah ikut memojokkan. Padahal tadi
kan iyung juga ada di TKP saat insiden garam tumpah itu terjadi.

"Jadi gimana, Je? Kapan kalian siap dinikahkan? Kita siap mantu, loh. Iya kan, Mbah?" Iyung
memegang punggung tangan Simbah. Selain tidak berprikecucuan, mereka juga tidak berprikejombloan.
Selalu mengumbar kemesraan di depanku, padahal mereka sudah sama-sama tua. Tapi melihat
keromantisan mereka, kadang aku juga membayangkan, untuk menjadi tua bersama, tetap saling
mencintai dan saling menjaga dengan pasangan hidupku nanti, seperti simbah dan iyung.

***

Pagi ini hujan turun lagi. Jamaah Sholat subuh, hanya orang-orang yang rumahnya dekat dengan
masjid. Itu pun hanya beberapa. Sebagian mungkin lebih memilih kembali ke kasur setelah sahur. Kalau
cuaca dingin begini, bantal, guling, dan selimut memang selalu menjadi sekutu paling pas buat
menikmati pagi.

Padahal, baru kemarin Ayas menerangkan tentang pahala jamaah subuh. Yang katanya kalau
diperlihatkan, maka ia setara dengan dunia beserta seluruh isinya. Tapi rupanya, hujan mampu
menghalangi langkah-langkah yang di dalamnya penuh keberkahan.

Omong-omong soal hujan. Menurutku, wanita memiliki sifat yang sebelas-dua belas dengan
hujan.
Dulu, musim penghujan dan musim kemarau turun dengan teratur. Karena itu pula, Sapardi
Djoko Damono mengibaratkan hujan bulan juni sebagai cinta yang syarat akan kearifan.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni.

Juni adalah bulan musim kemarau. Sangat mustahil kalau hujan turun.
Karena itulah, hujan bulan juni digambarkan seperti sebuah perasaan yang ditahan. Tentang
seseorang yang begitu sabar dan tabah dalam menyimpan perasaan, karena belum waktunya turun.
Kurasa, jaman dulu wanita juga seperti itu. Lebih memilih menyimpan perasaan cintanya, lalu
diam-diam membisikan rindu lewat angin yang berembus. Juga lewat ujung sajadah.

Tidak seperti sekarang, hujan turun tanpa kenal bulan. Padahal seharusnya saat ini sudah
memasuki musim kemarau, tapi hujan masih telaten menyambangi bumi.
Wanita jaman sekarang tak ada bedanya dengan hujan. Tak peduli bahwa dirinya seorang wanita,
menyatakan cinta seolah wajar. Bahkan ada yang berani mengkhitbah lelakinya duluan. Mungkin ini yang
disebut zaman edan. Semua serba terbalik.

Pulang dari masjid, aku melihat Karin sedang merengek pada suaminya. Dia minta dibelikan
buah-buahan warna kuning. Katanya biar anak yang dikandungnya lahir dengan kulit kuning langsat.

Aku jadi membayangkan, kalau dulu Asrul yang menikah sama dia. Pasti saat ini telinga Karin
lagi gatal dibuatnya, karena mendengar penjelasan-penjelasan ilmiah yang mematahkan kepercayaan
Karin mentah-mentah.

"Mana ada warna kulit bayi terpengaruh sama buah yang dimakan. Warna kulit itu faktor
genetika, nggak ngaruh warna makanan sama pigmen kulit. Karakter seseorang dikendalikan oleh
sepasang gen, tapi warna kulit dipengaruhi poligen. Paparan cahaya matahari juga bisa mempengaruhi
warna kulit. Tapi kalau kulit makanan, itu artinya, otakmu minta di upgrade!" Asrul akan membodoh-
bodohkannya, lalu Karin terus merengek dengan dalih kalau itu keinginan anak yang dia kandung. Pada
akhirnya, Asrul akan mengalah, dan merepotkan diri demi seorang istri. Tapi sayangnya, Mas Deny suami
yang terlalu mudah lunak. Karin tak perlu melewati serangkaian perdebatan, lelaki itu sudah pergi,
bahkan rela menerobos hujan demi istri dan calon anak yang ada di perutnya. Aku yakin, Mas Deny
melakukannya bukan semata-mata karena percaya sama keyakinan Karin. Tapi lebih karena rasa cinta.

Aku hampir saja ketawa sendiri, karena heran dengan imajinasi yang mendadak liar begini.
Ternyata, seorang Asrul bisa membuatku kangen juga, yah?

"Ngapain senyum-senyum sendiri?"Tau-tau motor Asrul berhenti di sampingku.


"Enggak. Cuma lagi inget sama masa lalu seseorang."
Alisku naik turun sambil melirik gadis yang sedang berdiri di depan pintu rumah Uwa Sarti,
memegangi perutnya yang sudah membuncit.
Ralat. Dia sudah bukan gadis lagi, kegadisanya sudah hilang sejak hampir setahun lalu.
Kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Dia sebentar lagi akan menjadi seorang ibu.

Asrul mendengus kesal lalu meninggalkanku. Aku tertawa sendiri, langkahku semakin cepat,
mengejarnya yang sudah memarkir motor di depan rumah. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan. Pada
saat tertentu, dia mirip google hidup yang bisa kujadikan tempat untuk mencari tahu banyak hal.

***

Dering telpon mengusikku yang baru berniat untuk terlelap. Aku baru merampugkan do'a
sebelum tidur, dan niat untuk berkelana ke alam mimpi harus tertunda.

Suara itu semakin tidak sabaran. Saat kulihat, ternyata sebuah nomor tak dikenal.

"Assalamu'alaikum." Sudah jadi kebiasaanku menjawab telpon diawali salam. Malah Bapak
pernah memperingatkan, agar jangan pernah bicara tanpa didahului salam, karena setan bisa saja turut
andil dalam percakapan seseorang. Hal itu tertanam dalam otakku sampai saat ini.

Suara lelaki diujung telpepon, menjawab salamku sambil menguap.

"Belum tidur?"
"Maaf. Siapa, yah?"
"Aku tetanggamu," jawabnya dengan suara serak. "Tetangga kamar," lanjutnya. Aku yang sudah
terlalu mengantuk, tidak mau ambil pusing dan enggan basa-basi.
"Oh. Ada apa?"
"Enggak. Cuma mau tahu kamu udah tidur apa belum." Dia sama sekali tidak merasa bersalah,
padahal sedang mengganggu waktu istirahat orang lain. Kata apa selain 'tidak tahu diri' yang pantas
untuk lelaki itu.
"Yaudah, sekarang udah tahu, kan? Aku mau tidur. Tolong matikan telponmu." Mataku semakin
berat, besok aku pasti membuat perhitungan dengan orang yang seenaknya menelpon malam-malam
begini.
"Aku mau jagain kamu. Kalau kamu belum tidur, aku nggak akan tidur untuk memastikan bahwa
tidurmu benar-benar nyenyak."
"Nggak usah sok superman, deh."
“I’am not superman, but your man.”
Mendengar ucapannya aku langsung mual, otakku loading dengan kecepatan maksimal. Dan
baru menyadari, kalau orang yang dari tadi bicara denganku itu Ayas.

Langsung kututup telpon tanpa aba-aba. Dari mana dia punya nomorku? Lagian, Da'i yang
sedang bertugas, seharusnya tidak boleh membawa handphone, kan? Aku hampir lupa, kalau tabiatnya
adalah pelanggar aturan. Jangankan membawa alat komunikasi, kabur dari pondok juga dia jabani.

Handphonku berdering lagi, padahal baru saja dilempar. Orang itu benar-benar cari mati.
Menyesal rasanya membiarkan dia melangkah lebih dekat. Mungkin memang lebih baik kalau aku
menjaga jarak darinya. Itu akan baik untuk perasaanku nantinya. Kehadiran Ayas saat ini, hanya sebuah
mimpi yang akan segera sirna ketika pagi menjelang. Dia akan pergi seiring bulan ramadhan. Lebaran
nanti, aku harus menyiapkan hati untuk merasakan kehilangan dua hal sekaligus. Bulan ramadhan, dan
juga Ayas.
"Ada apa lagi?!"
Tanpa basa-basi, aku langsung membentak.
"Ayahmu masih hidup." Rasa kantuk yang sebelumnya bergelayut mendadak sirna. Kulihat layar
ponsel, ternyata nomor yang berbeda dengan milik Ayas. Suara lelaki misterius dari ujung telpon,
mengatakan sesuatu yang membuatku tak karuan.
"Jangan pernah percaya pada siapa pun. Termasuk orang terdekatmu."
Panggilan diputus tiba-tiba. Saat aku mencoba menghubunginya, nomor itu sudah tidak aktif.

Siapa dia?
Apa yang dia tahu tentang Bapak? Kenapa dia bilang bapak masih hidup, dan aku tidak boleh
percaya pada orang lain. Apa artinya, selama ini mereka sengaja menyembunyikan kebenaran tentang
bapak? Tapi mereka siapa? Keluargaku sendiri? Tidak mungkin mereka sejahat itu padaku.

Seluruh pertanyaan itu tak henti menghujani kepala. Sampai-sampai tidak bisa tidur, karena
memikirkan ucapan orang misterius tadi. Apa tujuannya mengatakan hal tersebut, kalau memang ingin
membantu, kenapa tidak langsung mempertemukanku saja dengan bapak. Lebih masuk akal, kan?

Malam ini, hampir nggak bisa tidur sama sekali. Kepalaku mendadak pusing, dan kalau sudah
begini, maka membaca Al Qur'an menjadi pilihan terbaik. Hatiku selalu merasakan ketenangan, setiap
kali membaca ayat-ayat cinta-Nya, dan aku akan melakukannya sampai sahur menjelang.

***
Assalamu'alaikum, Gadis bermata pedang.
Bagaimana kabar jemari tanganmu?
Masihkah ia selalu merekah di sepertiga malam
Dan menjemput pagi dalam tengadah?
Masihkah ia melangitkan do'a atas nama kerinduan?

Selamat pagi, calon bidadariku.


Bagaimana kabar hatimu?
Masihkah ia, melesatkan ayat-ayat cinta-Nya seperti hendak meruntuhkan langit?
Karena engkau inginkan Allah mendengar pintamu?

Sungguh
Aku di sisimu
Tersenyumlah

Jika hidup ini terlalu berat bagimu


Berbagilah denganku.
Genggam tanganku seerat yang kau bisa
Dan aku akan melakukan hal yang sama.

Secarik kertas menyambutku di depan pintu. Tulisan Ayas kali ini membuat alisku saling bertaut.

Gadis bermata pedang? Apa maksudnya? Memang tatapanku setajam itu, ya? Diksinya benar-
benar payah. Aku bermonolog sendirian seperti orang setengah waras. Tapi tetap saja puisinya
membuatku cengengesan.

Ternyata dia masih belum berubah. Penilaianku selama ini tentang Ayas yang telah menjadi pria
dewasa dan berwibawa, sekarang sudah raib. Ayas masih sama seperti dulu.

***

"Kapan kamu mau nikah, Nduk? Iyungmu sudah tua, mbok ya cepet-cepet bawa calonmu kemari.
Kalau dijodohkan selalu menolak, katamu sudah punya calon, tapi sampai sekarang belum juga datang.
Kita nggak pernah tau, kapan Gusti Allah mau ndawuih. Iyung juga ingin melihatmu menikah dan
dipanggil buyut sama anakmu."
Menurut pemikiran sebagian besar orang Jawa, usia yang paling tepat untuk menikah bagi
seorang gadis adalah pada usia duapuluh sampai dua puluh lima tahun.

Sayangnya, usiaku sudah dua puluh tiga, yang artinya mendekati angka yang mereka imani
sebagai batas kedaluwarsa sebagai perawan. Entah sudah kali ke berapa iyung menanyaiku, dengan kata-
kata yang membuatku berpikir tentang lebih baik pindah ke planet Mars, dari pada harus mendengarnya.
Di desaku, rata-rata anak perempuan sudah menikah di usia dua puluh tahun. Bahkan Karin, dia menikah
saat masih delapan belas tahun.

Iyung mulai membentangkan tenda untuk menjemur padi hasil panen kemarin. Hari ini
matahari cukup cerah. Kalau seperti ini terus, mungkin nanti sore bisa kering.
"Kamu sudah cukup dewasa, apa mau jadi perawan tua?" Iyung selalu saja menyudutkanku.
"Belum saatnya, Yung. Insya Allah, setelah Jea menemukan ..." Aku berhenti, iyung
memandangku dengan tatapan yang membuatku urung melanjutkan kalimat. Iyung tidak pernah suka
kalau aku membicarakan bapak.
Pada akhirnya aku hanya bisa menerka-nerka.
Apa yang salah dengan bapak? Kenapa setiap menyinggung tentang bapak, iyung ataupun
simbah selalu menghindar dan terkesan tidak suka. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?
Apa mungkin, sebenarnya mereka tahu tentang bapak? Atau hanya karena perasaan sedih kehilangan
seorang anak?

Iyung mengambil sehelai bulu ayam yang ada di dekat kaki, lalu menyelipkanya pada ujung baju
yang digulung. Aku yakin banget, kalau nggak lagi puasa, iyung pasti akan membuang sebagian bulunya,
menyisakan sedikit di bagian ujung, lalu digunakan untuk mengorek kuping. Orang tua jaman dulu
bilang, kalau bagian paling nikmat dari ayam adalah bulunya. Buat ngorek kuping.

"Kamu lihat mereka," Aku mengikuti perintah iyung. Seketika seolah ada sesuatu yang sangat
keras dihantamkan ke dadaku.
Ayas dan Marningsih, mereka sedang duduk berdua di ayunan. Ayas memegang sebuah kitab,
dan Marningsih mendengarkan penjelasan Ayas tentang salah satu bait Alfiyah.

"Ketika dua aamiil menuntut amal pada satu ma'mul yang sama, maka berikanlah amal itu pada
salah satu dari keduanya." Ayas berhenti sejenak, memandangi wajah Marningsih lalu kembali pada
kitabnya.

"Mereka kelihatan bahagia, kan?" Aku mengabaikan ucapan Iyung. "Pernikahan mampu
membuka pintu keberkahan, itu bukan sekedar teori kopong."
Benda-benda tajam, ditusukan tepat ke jantung, ke hati, juga ke bagian-bagian lain yang mulai
membuatku mati rasa. Entah siapa pelakunya, yang jelas rasa nyeri itu sangat nyata, saat Marningsih dan
Ayas terlihat mesra berdua.

Tahu-tahu, kaki ini sudah membawaku meninggalkan iyung dan menghampiri mereka.
"Gus ..." Air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku menangis di hadapannya, juga Marningsih.
"Kamu ..." Tanganku membungkam mulut saat menyadari jemari mereka saling bertaut.

Ayas bangkit. Sesungging senyum menghiasi wajahnya. Marningsih hanya terdiam dan
menunduk. Entah apa yang dia pikirkan, tapi dia tidak berani menatapku.
"Maaf. Aku memilihnya," ucap Ayas sambil mengusap pipi Marningsih, dan memandangnya
dengan tatapan memuja.

"Selama ini kamu selalu menjauh. Justru dia yang selalu menemaniku. Aku minta maaf kalau ini
membuatmu terluka, tapi kalau hatiku merasa nyaman dengan yang dekat. Kenapa harus mendekati yang
selalu menjauh?" Kalimatnya menampar kesadaranku. Omong kosong apa yang sedang dia bicarakan?
Aku memang menjauhinya selama ini, tapi bukan berarti sudah tidak punya perasaan.

Aku hanya ingin fokus untuk menemukan bapak, agar saat aku bersamanya suatu saat nanti, aku
bisa menjadi pendamping terbaik. Yang bukan hanya mencintainya, tapi juga bisa menjadi penggenap
bagi dirinya. Karena bagiku, cinta bukan hanya sekedar tentang rasa nyaman. Cinta bukan sekedar
menerima, tapi memberi, memberi dan memberi.

Aku menangis lagi, benar-benar menyedihkan, karena sekarang Ayas sudah mengabaikanku
demi kembali pada Marningsih.

Sakit yang kurasakan mulai menjalar ke seluruh tubuh, bukan hanya sesak, tapi juga
mempengaruhi sistem gerak, sampai aku hanya bisa mematung sambil menangis, seperti bocah cilik yang
makananya dibawa lari seekor ayam.

Allah, sesempit inikah hatiku? sekedar mengikhlaskan sesuatu yang sebenarnya bukan milikku,
tapi kenapa aku merasa tidak sanggup?

Ikhlas? Apa definisi ikhlas yang sebenarnya adalah rasa sakit? Kenapa hatiku sakit
membayangkan harus ikhlas melihat kebersamaan mereka? Atau, rasa sakit ini justru karena hatiku yang
masih jauh dari kata ikhlas?

“Berhenti jadi bocah cengeng, kamu bukan anak kecil.”


Seseorang menarik ujung bajuku.
Bocah berambut keriting yang menyandang busur panah.
Anak itu melihatku dan Ayas bergantian. "Sesuatu yang akan menjadi milikmu, akan kembali
padamu, sejauh apapun dia melangkah pergi. Kamu tak perlu merisaukan hal itu," lanjutnya. Lalu tiba-
tiba ada sebuah sungai yang mengalir di hadapanku. Sekejap, tubuhku sudah berpindah tempat. Kadang
aku heran, sebenarnya siapa anak kecil itu? Kenapa setiap kali bertemu, dia selalu membuatku melongo
dengan tingkah dan ucapannya.

"Di sana, bapakmu sedang menjadi tawanan." Ia menunjuk ke seberang sungai yang terlihat
gelap. "Dia membutuhkanmu."

Jadi ini mimpi? Ayas dan Marningsih yang tadi juga mimpi, kan? Aku mendadak ingin jingkrak-
jingkrak, tapi tubuhku seperti dilolosi tulang-tulangnya saat penglihatanku menangkap satu hal, bapak
sedang berjalan di atas bara api, bersama segerombolan orang yang bergerak seperti robot.

Apa yang harus kulakukan?

Kakiku melangkah sekonyong-konyong berniat menyeberangi sungai, tapi sekarang tubuhku


malah tersedot ke dalam lumpur yang bergerak. Dadaku sesak, hampir tak bisa bernapas sama sekali.
Aku hanya bisa menangis. Saat seorang ayah sedang membutuhkan anaknya, aku justru terjebak dalam
keadaan yang menyedihkan. Semakin aku berusaha melepaskan diri, tubuhku semakin tenggelam.

"Ini hanya mimpi," ucapku, lalu membiarkan lumpur-lumpur itu menenggelamkanku tanpa
ampun.

Tubuhku bergetar hebat, seolah dunia sedang dikoyak oleh tangan raksasa.

"Jea, temenin ke pasar, yuk." Karin menggoncangkan tubuhku seperti orang kesetanan. Kepalaku
pusing karena dipaksa sadar dengan tiba-tiba. Heran, kenapa hidupku dikelilingi orang-orang yang tidak
sabaran dan cenderung bersikap anarkis hanya untuk membangunkan orang? Masih ingat waktu
Marningsih membangunkanku tempo hari? Dia juga menarik tubuhku dengan kasar. Sekarang Karin
melakukan hal yang nggak kalah sadis.
"Jea, temenin ya." Nada bicaranya manja, memang sudah jadi pembawaan dan ciri khas Karin.
"Aku pengin makan es krim Matcha. Bukannya nggak menghormati orang puasa, tapi perutku dari tadi
sakit mulu. Kemarin kan aku udah minta Mas Deny buat beliin es krim pas pulang kerja, tapi dia malah
lupa mulu. Temenin, yah. Demi calon keponakanmu." Dia mengelus perut yang buncit. Kalau sudah
begini, siapa yang tega menolaknya? Alasan kehamilan memang selalu bisa membuat seorang calon ibu
mendapatkan apa yang dia inginkan, kan?
Sebenarnya, sudah sejak lama aku juga tergila-gila pada es krim varian baru dari wall's, yang
akhir-akhir ini iklannya seliweran di televisi.
Wall's Cornetto Royale Love Match-a. Es krim dengan rasa teh hijau yang menurutku sangat
menggoda. Aku berencana membelinya untuk buka puasa nanti.

Pulang dari pasar, aku dan Karin naik angkutan umum dan turun di jalan yang masih agak jauh
dari rumah. Sekitar 2km, karena memang kami tinggal di kaki bukit, vukup jauh dari jalan raya.

"Naik!"
Motor Asrul tiba-tiba berhenti di dekatku. Mukanya cemberut dan galak.
"Aku?"
"Ya bukan lah."
Karin cengengesan, lalu segera naik motor. Aku ditinggalin? Kok kejam banget, sih. Perasaan tadi
dia yang merengek minta ditemenin, kenapa sekarang jadi aku yang ditinggal sendirian?
"Maaf ya, Je. Kakiku pegel, pinggang juga rasanya sakit kalau dibawa jalan. Pas aku tanyain, Asrul
tadi lagi di rumah Pak Kades, jadi ya sekalian aja aku minta tolong dianterin. Nggakpapa, ya?"
Aku hanya memutar bola mata jengah. Nggak papa gundulmu! Aku loh, udah lagi tidur dipaksa
bangun, disuruh ngambil ini itu di swalayan, bawain belanjaan, sekarang malah ditinggal. Untung dia
lagi hamil, kalo enggak, sudah kulempar dia ke Antartika. Biar membeku sekalian. Ini kalau aku hamil,
kelakuanku bakalan gini juga nggak, ya?

"Nggak baik ngelamun di jalan." Ayas menyejajariku dan entah kapan kejadiannya, belanjaanku
sudah berpindah tanggan.
"Apaan sih, kemarikan belanjaanku. Nggak usah sok peduli, deh. Mending kamu urus saja
Marningsih." Me-nye-bal-kan! Kenapa aku malah ngomongin Marningsih? Tadi itu kan cuma mimpi,
Ayas belum beneran nikah sama dia, kan?
"Marningsih? Ngapain aku ngurusin dia?" Ayas terlihat bingung. "Aku itu lagi khawatir sama
anak-anakku."

Kalau ada pisau bedah di dekatku, mungkin aku akan membelah otaknya, untuk mengetahui
jalan pikiran pria itu. Jelas-jelas dia bertingkah sok pahlawan dengan membawakan barang belanjaan,
tapi sekarang malah ngomongin anak.

"Aku nggak mau, kulit bayi mungilku nanti harus iritasi, cuma gara-gara tangan ibunya kasar.
Mereka harus mendapatkan kasih sayang penuh kelembutan. Bukan belaian dari tangan yang lebih mirip
parutan kelapa, cuma karena ibunya sok mandiri dan sok kuat."
Jadi maksudnya, aku calon ibu dari anak-anaknya? Duh! Kok kedengaran romantis yah
gombalanya kali ini? Aku tersipu mendengar kalimat ajaibnya. Pipiku menghangat, kenapa dia selalu
membuatku dalam keadaan semenyedihkan ini? Seperti abege labil yang dimabuk asmara, terus ditinggal
nikah pas lagi sayang-sayangnya.

"Masih mau ngelamun?" Dia sudah berjalan cukup jauh, sepertinya Ayas sangat puas
menertawakan kebodohanku. Yang lagi, lagi, dan lagi, terjebak dengan gombalannya.

Berjalan di belakangnya, aku lebih memilih diam. Bahkan sekedar untuk bertanya dari mana dia,
kenapa bisa muncul tiba-tiba? aku tidak melakukan itu. Lebih suka memandanginya dari belakang,
mengamati setiap gerak langkahnya yang luwes dan selalu memesona. Jangankan manusia normal,
manusia setengah dewa, mungkin akan minder saat melihat perpaduan sempurna seolah sosok malaikat
dan segala bentuk keindahan, melekat dalam diri Gus Ayas. Memandanginya seperti ini, mengingatkanku
pada momen supermoon. Saat di mana purnama terlihat lebih besar dari biasanya. Allah sedang
mengujiku. Tidak seharusnya pujian itu terbesit dalam hati.

Rasanya nggak tahu diri banget, memuja keindahan purnama seolah melupakan keberadaan
matahari sebagai pemilik sinarnya. Ayas itu cuma ciptaan, Jea! Nggak ada ciptaan-Nya yang sempurna
melebihi-Nya, sampai-sampai patut dipuja. Ingat itu! Otakku berteriak memperingatkan.

***

Hidup selama dua puluh tiga tahun, hal kekanakan yang pernah kulakukan, salah satunya terjadi
saat ini. Detik ini. Saat aku mengintip dari balik jendela, hanya untuk melihat gimana Ayas kalau lagi
ngajar.

"Mas Da'i." Erni mengacungkan tangan saat Ayas menerangkan tentang surga dan neraka.
"Iya, Erni. Kenapa?"
"Mas, sebenernya beberapa hari ini aku lagi bingung. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu
pikiranku." Erni menunduk. Wajahnya terlihat lesu.
"Tentang apa? Kalau kamu mau mengajak debat tentang teori bentuk bumi lagi, Mas nggak akan
jawab." Ayas menopang dagu.
"Bukan, Mas Da'i. Tapi begini," Tangan Erni mulai bergerak ke sana kemari saat menjelaskan
sesuatu. Persis seperti Asrul. "Allah itu, maha baik, kan?" Ayas mengangguk. "Tapi kenapa Allah
menciptakan surga dan neraka? Kenapa nggak surga semua aja? Terus, aku sering diceritain, katanya di
padang mahsyar, manusia dikumpulkan dengan jarak dari matahari yang hanya satu jengkal tangan.
Padahal kita semua tahu, jarak bumi dan matahari yang sejauh 149,6juta kilometer saja masih banyak
yang mengluh kepanasan. Apalagi sedekat itu? mungkin tubuh kita akan meleleh dalam waktu kurang
dari satu detik. Itu namanya kejam."
"Jadi? Menurutmu ...?"
"Tunggu dulu, aku masih mau menjelaskan. Jangan dipotong." Ayas membungkam mulut sambil
sedikit menahan tawa. Anak-anak di dalam masjid masih fokus, dan antusias mendengar Erni bicara.
"Jangan Mas Da'i pikir, aku meragukan kemaha baikan Allah. Bukan itu."
"Lalu?
"Semua pertanyaan itu, aku bisa mempelajarinya. Teori tentang bentuk bumi aku bisa mencari
kebenarannya nanti. Tapi apa yang sedang kupikirkan sangat mengganggu." Erni mendongak sesaat,
memandang lurus pada gurunya yang sedang menatap penuh tanda tanya. "Aku bingung ..." dia kembali
menunduk, mengembuskan napas kasar "Sebentar lagi lebaran, setiap lebaran pasti banyak kue yang
disajikan. Tapi, sejak aku bisa mengingat banyak hal, selama ini, aku belum pernah melihat sosok ayah,
dalam kaleng Khong Guan. Ke mana sebenarnya? Apa mereka nggak punya ayah?"

Aku terbahak mendengar pertanyaan gadis kecil itu. Semoga Ayas tidak menyadari
keberadaanku. Semua penjabarannya di awal, sama sekali nggak nyambung dengan pertanyaan konyol
yang ia lontarkan.

"Asaalamu'alaikum." Seorang sudah berdiri di hadapanku saat hendak meninggalkan tempat ini.
"Wa'alaikumussalam, Gus Anam?" Seseorang dengan tubuh tinggi tegap tersenyum berwibawa.
Dan asal tau saja, senyumannya juga nggak kalah aspartam dari Ayas
"Sedang apa? mengintip?" Dia melongok ke dalam Masjid. Aku mendadak gagu.
"Eum ... eng, enggak. Gus Anam sendiri sedang apa di sini?" Ia malah tersenyum simpul.
"Kenapa? ada yang lucu?" Aku reflek meneliti diri sendiri, juga mengusap kerudung. Kalau-kalau
ada yang salah dengan penampilanku.
"Kamu lagi ada masalah sama dia?"
"Nggak, Gus. Aku ... kita baik-baik saja."
"Syukurlah, dia mempertaruhkan banyak hal untuk sampai di sini." Gus Anam berjalan menuju
teras samping masjid dan aku mengekorinya.
"Jea!" Asrul berlari ke arah kami. Membawa gulungan kertas manila untuk dekorasi acara Nuzulul
Qur'an besok malam.
Ia memperlambat langkah dan sedikit menyipitkan mata. Mungkin mengamati Gus Anam, tapi
selanjutnya dia menarik tanganku dengan kasar.
"Kamu! ngapain di sini?" Asrul menyembunyikanku di balik tubuhnya.
Gus Anam hanya tersenyum miring, memandangi tangan Asrul yang mencengkeramku.
"Apa kabar?" Suaranya tenang dan membius. Pria itu mengulurkan tangan sambil tersenyum
ramah, tapi Asrul malah mundur, mengabaikan Gus Anam yang mengajaknya berjabat tangan dan hanya
menatapnya penuh waspada. Entah karena apa.
"Jea, bisa tolong pergi?" Asrul masih merentangkan tangan, melindungiku seolah Gus Anam
adalah binatang buas yang berbahaya.
"Kenapa, sih? dia itu Gus Anam, kakaknya Mas Ayas, da'i kita, kamu kenal sama Gus Anam?"
"Gus Anam? Kakakya Ayas?" Ujung bibir Asrul naik sebelah, melemparkan tatapan membunuh
pada orang di hadapannya.

"Kenalkan, da'i yang sedang mengajar di dalam sana, itu adikku. Aku kemari untuk
mengunjunginya, memastikan apa dia menjalankan tugas dengan baik." Kalimat Gus Anam sangat tenang
dan wajahnya ramah. Memang begitulah sifatnya. Walau sikapnya dingin, dan wajah datarnya melebihi
papan kayu, tapi Gus Anam selalu menjunjung tinggi nilai kesopanan. Berbeda sekali dengan Ayas.

"Aku mohon, kamu pergi dari sini." Asrul menyerahkan kertas yang dibawanya, membuatku
memeluk gulungan kertas itu, lalu membalik tubuhku dengan paksa, mendorongku agar mau
meninggalkan mereka.
Ada jutaan tanya yang mengujan di dalam benakku, tapi untuk saat ini, sepertinya bukan waktu
yang tepat untuk mendebat Asrul. Dia terlihat serius. Dan jujur, kalau lagi serius begitu, wajahnya jadi
serem.
6. Yang tak Kumengerti

"Ada masalah apa kamu sama Gus Anam?"

Aku penasaran, apa yang sebenarnya dibicarakan Asrul dengan Gus Anam dan kenapa dia
kelihatan marah begitu. Terus sekarang, dia pulang dengan wajah yang seperti ingin mengunyah orang.

Saat memasuki kamarnya, dia sedang berdiri dan meletakan kedua tangan di atas meja,
rahangnya menggeras, dadanya naik turun, kentara sekali anak itu sedang marah.

"Gus Anam? Cuihhh! Dia itu," Asrul tidak melanjutkan kalimatnya, dia malah menggebrak meja
sambil berteriak.
"Brengsek! Orang kayak dia harusnya sudah kubunuh dari dulu! Dia nggak pantes hidup!"
Emosinya meledak-ledak. Aku terkejut mendengar apa yang dia katakan. Dibunuh? apa salah Gus Anam,
sampai-sampai Asrul semarah dan sebenci itu padanya?
"Bulus! Ngomongmu itu loh. Ada apa, sih? Kok pakai acara bunuh-bunuhan segala?"
"Ada apa katamu? Kamu tahu siapa dia?"
"Ya tahu, lah. Dia kan Gus Anam, putra ke dua Kyai Abdullah. Jadi nggak usah macem-macem,
pakai ngomong nggak pantes hidup segala, emangnya apa salah dia sama kamu?"
"Kalau gitu, menurutmu hukuman apa yang pantes buat pembunuh?"
"Pembunuh, maksudnya, Gus Anam pembunuh? Nggak usah ngarang kamu, ada-ada aja!"
"Gimana kalau ternyata selama ini, orang yang kamu panggil Gus itu adalah dalang dari hilangnya
bapakmu?"

"Ya aku pasti," Aku berpikir sejenak, "Apa? Maksudmu Gus Anam yang menyebabkan bapak
hilang? Nggak mungkin! Kamu sudah gila, yah?" Entahlah, aku tidak bisa berpikir jernih setiap kali
mendengar sesuatu tentang bapak. Tapi juga aku tidak terima kalau Gus Anam yang selalu baik padaku
itu dituduh macam-macam, apa lagi kalau ternyata tanpa bukti.
"Gila kamu bilang? Bertahun-tahun aku berusaha mencarinya dan mengumpulkan bukti-bukti
untuk bisa menjebloskannya ke penjara, hanya untuk dirimu. Dan sekarang kamu bilang aku gila?" Asrul
berdecih, kelihatannya marah padaku. Dia tidak pernah berbicara dengan nada setinggi itu sebelumnya,
walau dia memang selalu bersikap seperti berandal. "Dia yang membunuh bapakmu!"
"Apa?" Mendengar pernyataannya, tiba-tiba dadaku jadi sesak, seperti ada batu yang
menghimpit, lututku mendadak lemas dan kepala rasanya bertambah berat berkali-kali lipat.
Menyadari keadaanku yang sekarang luruh di lantai dan kehilangan kendali, Asrul mendekat,
pandangannya lebih lembut dan lebih manusiawi dari sebelumnya.
"Maaf." Asrul membantuku berdiri dan duduk di kursi dekat tempat tidur. "Aku nggak
bermaksud buat bentak-bentak kamu. Dan nggak seharusnya aku ngasih tahu semua ini sekarang,"
ucapnya penuh sesal.

"Apa yang kamu tahu, katakan." Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Hawa panas menjalar naik
dari ujung kaki, membuat otakku serasa mendidih.
Astagfirullah, tahan emosimu, Jea. Hatiku mengingatkan.

"Apa hubungan antara hilangnya bapak dengan Gus Anam?" desakku, kali ini sudah lebih bisa
mengontrol emosi.

"Dia," Asrul memejamkan mata, menarik nafas berat, lalu kembali melihatku.
"Dia itu psikopat. Dan aku rasa, kejahatannya berhubungan dengan hilangnya bapakmu juga
beberapa orang di desa ini." Dia berhenti sejenak, "Beberapa tahun yang lalu, selain bapakmu, orang-
orang yang sedang bekerja di proyek pembangunan jalan di sepanjang kaki Hutan Banawasa juga
dinyatakan hilang. Saat hilangnya bapakmu, aku menemukan sesuatu di sana." Ia membuka laci,
mengambil sebuah kotak hitam. "Serum ini," Dia mengambil kapsul bening sebesar ibu jari, yang berisi
cairan warna orange. "Kalau ini ditanamkan di dalam tubuh manusia, dia akan bekerja seperti transmiter
yang mampu mengendalikan otak dari jarak jauh. Ini mirip fiksi ilmiah dalam film-film. Tapi kali ini
nyata. Aku sudah melakukan penelitian selama dua tahun belakangan. Ternyata memang benar, serum
ini bisa mengendalikan otak. Aku rasa dia sedang membuat sebuah proyek kejahatan yang sangat besar.
Menghimpun kekuatan untuk membantunya mewujudkan apa yang dia inginkan." Asrul terlihat putus
asa, entah apa yang dia pikirkan.

Tadinya kupikir Asrul benar-benar tahu sesuatu. Maksudku, dia punya alasan kuat untuk
menuduh Gus Anam. Tapi ternyata dia hanya sembarangan. Analisa yang terlalu dangkal menurutku. Ini
tidak bisa diterima. Memangnya dia pikir apa hubungannya serum pengendali otak dengan Gus Anam.
Makaudnya, Gus Anam menciptakan serum itu, begitu?

"Enggak, Srul. Kamu nggak bisa semudah itu menarik kesimpulan, atas dasar apa kamu
menuduhnya begitu? Nggak masuk akal. Gus Anam adalah putra Kyai, setiap hari berada di pesantren.
Dia orang baik, mustahil orang seperti dia melakukan kejahatan seperti yang kamu tuduhkan."
"Apa yang kamu tahu tentang dia, selain dia adalah seorang Gus? Apa kamu tahu, di mana dia
selama tidak dalam jangkauan penglihatanmu?"
Pertanyaan itu membuatku sedikit goyah. Asrul benar, tidak selamanya aku mengetahui kegiatan
Gus Anam.
"Itu bukan alasan, karena sejauh aku mengenalnya, dia adalah orang yang sangat baik. Bagaimana
bisa dia melakukan hal seperti itu. Psikopat, membunuh, menghimpun kekuatan, apa-apaan?!" Tegas,
aku jelas membantah pernyataannya. Aku tidak mau berburuk sangka, palagi sama Gus Anam. Ini bukan
hanya tentang bapak, tapi juga menyangkut keluarga pesatren. Walau entah kenapa, ada sisi lain dalam
diriku yang tidak setuju dengan ucapanku barusan. Entah pada bagian yang mana.

"Terserah kalau kamu nggak percaya. Tapi yang jelas, kamu harus hati-hati sama dia."
Aku tidak menanggapinya dan memilih untuk pergi.
"Ada baiknya, kamu mencari tahu siapa Gus Anam itu. Bagaimana masa lalunya dan juga
keluarganya."
Aku tidak menoleh, hanya menghentikan langkah sejenak sebelum benar-benar meninggalkan
kamarnya.
Gus Anam? Nggak mungkin!

***

"Mas, ini kertas yang warna emas digunting gini doang?" Marningsih menunjukan kertas yang
ada di tangannya. "Jelek amat, nggak bisa lebih variatif dikit apa?" Dia mengomel, tapi tetap melanjutkan
kerjaannya.

"Udah si, tinggal gunting juga. Rempong!" Itu bukan Ayas yang menjawab, tapi Erni. Dia sedang
menambahkan lem pada kertas-kertas yang telah dibentuk huruf. Ayas yang menempelkannya pada kain.
Kami sedang membuat dekorasi untuk acara Nuzulul Qur'an nanti malam.
"Tolong, ambilkan huruf A yang hijau itu." Ayas menunjuk kertas di sampingku. Aku baru mau
mengambilnya, tapi Marningsih sudah menyerobot dan memberikannya untuk Ayas.
Kelakuannya itu loh, selalu bikin aku tercengang. Kapan dia mau berubah? Dasar Marningsih.
Aku selalu dibuat geleng-geleng kepala dengan tingkah absurdnya
"Oh iya, Mas. Kenapa Gus Anam tiba-tiba ke sini?"
Mendengar pertanyaanku, Ayas langsung menghentikan gerakan tangan dan mengalihkan
fokusnya padaku. Allah, dia benar-benar tidak sadar, apa arti sebuah senyuman bagi wanita. Seenaknya
tersenyum semanis itu, padahal aku hanya menanyakan tentang kakaknya. Apa dia pengen aku diabetes,
ya?

"Kenapa kamu mau tahu," senyumnya penuh kemenangan. "Apa itu artinya lampu hijau?
maksudnya, kamu mulai peduli sama keberadaanku?"
Seseorang, tolong beritahu aku, seperti apa diksi yang baik dan benar, yang harus kupilih untuk
menghadapi kebebalan otaknya. Yang aku tanya itu kakaknya, loh. Bukan dia.
"Aku menanyakan kakakmu, bukan kamu," jawabku ketus setengah berbisik.
"Apa? Jadi cogan yang tadi datang ke sini, itu kakaknya Mas Ayas?"
Yassalam! Marningsih mendengar omonganku, padahal aku sudah merendahkan suara dan
mengambil jarak cukup jauh darinya. Telinganya benar-benar mirip kelelawar kalau sudah menyangkut
urusan cowok ganteng. "Tunggu, Gus? Bukanya itu sebutan untuk Putra Kyai, yah?" Marningsih
mendekat. "Jadi," Dia melongo, tangannya menutupi mulut. Ekspresi tidak percaya yang berlebihan,
menurutku.
Aku sendiri meringis bego saat menyadari satu hal. Dia menatapku dengan tagihan berbunga.
Maksudku, matanya itu menagih penjelasan yang pastinya nggak akan pernah cukup satu-dua jam untuk
memuaskan keingintahuannya. Aku pernah menceritakan tentang putra kyai yang melamarku waktu di
pesantren. Pandangannya beralih pada sosok Ayas kemudian tersenyum iblis padaku.

"Iya, Mbak. Gus Anam mendapat tugas dari Kyai sepuh untuk mengawasi saya." Ayas meniup
kertas yang baru ditempelnya. Mungkin agar lemnya cepat kering. Bibir monyongnya itu lucu sekali saat
meniup, menggemaskan. Mungkin karena bukan perokok, jadi warnanya hampir pink mirip bibir
perempuan.

Boleh cium, tidak?

Astaghfirullah, Jeaaaaaaaaaaaaaaaa!

Telingaku berdengung hebat mengingatkan otak yang mulai melenceng. Kapan coba,
keberadaan Ayas tidak mengacaukan sistem syarafku?

"Oh, apa karena Njenengan seorang Gus?" Marningsih melirikku seperti mengejek. "Selama ini,
Da'i yang tugas di sini nggak pernah ada yang dikunjungi Putra Kyai, walau sekedar lewat seperti kata
Njenengan tadi."
"Enggak, Mbak. Itu juga karena Gus Anam ada urusan di daerah sini, jadi sekalian mengunjungi
saya."
"Urusan apa?" Aku yang lebih antusias menyahut meski tetap mempertahankan nada judes di
akhir kalimat. Tapi kali ini aku memang penasaran, apa mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang
dikatakan Asrul?
"Kurang paham. Yang jelas, kunjungannya itu bukan semata-mata karena aku adiknya. Semua
santri di sana sama. Tidak ada yang spesial meskipun kami dari keluarga pengurus." Aktingnya luar biasa
mengagumkan. Kalau ngomong sama aku, dia jadi berandal yang pecicilan, suka menggombal dan sok
iyess banget. Tapi di hadapan orang lain, dia menjadi si lembut nan baik hati dan penuh sopan santun.
Multiface!

***
Acara Nuzulul Qur'an dimulai setelah sholat sunah tarawih. Dibuka dengan penampilan dari
anak-anak kelas satu yang menampilkan bacaan do'a sehari-hari. Dilanjut anak kelas dua dengan
membawakan bait-bait Hidayatussibyan. Setelah itu baru remaja yang mau ikut mengkhatamkan tadarus.
Begitu Aku masuk bersama Marningsih dan beberapa remaja putri lain, seluruh mata, atau lebih tepatnya
mata para murid yang sudah pasti hafal dengan sarung milik Ustadznya langsung tertuju pada sarung
yang kukenakan. Gara-gara kecerobohanku, tadi sore sebelum magrib, satu-satunya rok hitam yang
kumiliki ketiup angin dan jatuh di jamban. Walhasil, dengan sangat terpaksa, aku menerima tawaran
Ayas untuk memakai sarungnya. Karena konsep untuk acara ini menggunakan seragam hitam-putih.
Sederhana dan agak kuno memang, tapi sudah menjadi tradisi setiap tahun. Kalau acara Nuzulul Qur'an
pasti menggunakan seragam seperti ini. Entah siapa yang mengawalinya. Tapi sampai saat ini masih
menjadi tradisi yang seolah wajib.

"Kamu pake sarung Mas Ayas?" bisik Marningsih menyikut lenganku. "Jadi sedekat itu, ya?" Salah
paham lagi kan dia.
"Dih, kalau nggak terpaksa juga aku nggak mau."
"Yakin? nggak mau sendiri, tapi berdua maksudnya?" Candaan Marningsih kali ini nggak lucu
sama sekali. Aku hanya balas menyikutnya. Aku malu, serius. Untung Pak Asman segra mempersilakan
utuk mulai membaca, jadi dia nggak keterusan.

Terakhir, acara ditutup dengan Ayas yang membaca Surat Al'Alaq disertai penjelasan tentang
makna Nuzulul Qur'an.

Ada sesuatu yang menyergapku saat berdiri, kupikir hanya efek kesemutan biasa karena
kelamaan duduk, tapi tubuhku rasanya melayang, kepala semakin berat dan ... gelap.

Selanjutnya, aku melihat orang-orang mengerumuni tubuhku. Termasuk Ayas. Dia mengabaikan
semua orang yang panik karena tiba-tiba aku tak sadarkan diri. Aku tidak menyangka, Ayas akan
melakukan hal itu. Tapi dia membopongku dan dibawa pulang. Sepertinya d, kalau dirinya baru saja
melemparkan mikrofon sembarangan dan hampir mengenai Pak Asman. Sepertinya Ayas benar-benar
panik.

Tunggu ....
Ada yang aneh. Kenapa aku melihat tubuhku sendiri?
Ya Allah, apa aku baru saja mati?
7.Ijinkan Aku Memelukmu

Seekor kucing berlari dari arah Maqom. Ini entah karena otakku yang geser separo, atau memang
penglihatan yang agak bermasalah, tapi si putih belang yang imut itu terlihat seolah tersenyum.
Dia melompat ke pangkuanku yang sedang duduk di bibir teras pendopo putri. Selain Mbak Risma, kepala
kamar Naqiyya yang memang ditugaskan menjadi Biyung bagiku sebagai santriwati baru. Kucing ini
adalah satu-satunya yang selalu setia menemani.
Aku memanggilnya MJ, bukan Marry Jane, tapi Meong Junior. Dia kucing yang sangat lucu,
menggemaskan, dan juga setia sama aku. Setiap menyendiri di sini malam-malam, entah bagaimana
ceritanya, tapi dia selalu datang.
"Hallo, MJ! Apa kabarmu hari ini, udah makan apa saja kamu, nggak nyuri ikan di dapur
pesantren, kan?" Perutnya terlihat lebih berisi, dia mengeong saat jari-jariku menggelitiknya. MJ
menggesek-gesekan kepala di lenganku, manja. "Kenapa? Kok tumben manja gini? Hmm?"
Menggemaskan sekali, dan sinting sekali kelakuanku. Ngomong sama kucing, semoga nggak ada yang
menganggapku benar-benar sinting.
Tapi harapan itu hanya berlaku satu detik yang lalu, sebelum beranjak menggendong MJ dan saat
membalik tubuh, ada seseorang sedang menatapku penuh tanda tanya.
Waras? pertanyaan itu jelas ter eja sempurna dari tatapannya. Aku meringis, harapanku sedetik
yang lalu sudah lenyap. Tapi dia siapa, yah? Apa yang dia lakukan? Santri putra kok di asrama putri? Apa
dia salah satu Ustadz yang mengajar, rasanya batinku kurang setuju dengan kesimpulan itu. Dia masih
terlalu muda, mungkin seumuran denganku. Lagi pula, pengajar santri putri hanya Pak Muna dan Gus
Anam saja yang laki-laki. Selebihnya santriwati yang sedang mengabdi. Atau ... jangan-jangan dia
penyusup?
"Ehhhhh !" Aku kaget saat MJ melompat dari gendongan dan merapatkan diri di kaki cowok itu.
Dia mengelus MJ dan menggendongnya sayang.
"Hai, Ivanka! Udah gede kamu rupanya, yah?"
Tunggu, apa yang aneh, yah? Kenapa aku merasa ada kejanggalan padanya, tapi apa? Eh, dia
menggunakan celana jeans dan jaket kulit hitam, penampilannya sama sekali ngak mirip santri.
"Penyusup!" Aku segera mengambil MJ dari gendongannya, seperti seorang ibu yang tidak rela
bayinya digendong orang asing.
"Siapa kamu?" Aku mundur selangkah, alarm tanda bahaya berdengung nyaring di kepala. Cowok
itu malah tersenyum misterius. Anehnya, kewaspadaanku langsung mengendur saat melihat lengkungan
bibir dan matanya yang simetris seperti itu, simpul-simpul yang barusan membentuk barisan siaga,
seketika membubarkan diri. Auranya sangat magis, dia mampu menyihir otakku menjadi pemujanya,
dalam hitungan detik. Apa dia titisan Harry Potter?
"Mbak ngapain malem-malem gini masih di luar?" Pertanyaan itu membuyarkan imajinasi yang
baru saja menampilkan sosok Daniel Radcliffe, si pemeran Harry Potter yang ganteng itu.
Menjawab pertanyaan dengan pertanyan itu tidak sopan. Menjengkelkan! Dan aku benci orang
yang seperti itu. Tadi kan aku yang nanya duluan, bukannya menjawab malah balik bertanya.
"Siapa kamu? jawab pertanyaanku, atau ...." Tanganku mengepal bersiap melayangkan tinju,
sambil melirik sekitar, berharap ada bantuan datang. Ancaman itu bukan gertak sambel. Serius, kalau
saja dia tau, aku pernah membanting lawan seperti seekor cicak saat mengikuti ekskul bela diri di sekolah,
pasti wajahnya nggak akan sesantai itu mendengarnya.
"Atau apa?" Dia mendekat. "Mbak lagi ngancem saya?" Astaghfirullah, ya Allah. Ekspresi macam
apa itu? Kenapa dia malah pasang muka gulali. "Saya bukan hanya penyusup, loh. Tapi pembunuh
berdarah dingin yang suka menculik anak perawan dan merenggut kegadisannya sebelum memotong-
motong tubuhnya. Mbak yakin nggak mau kabur?" Yassalam, dia pikir aku takut? Mana ada psikopat yang
mengakui kejahatannya terang-terangan begitu. "Wah, sepertinya Mbak terpesona dengan kegantengan
saya." Tatapan matanya benar-benar menjijikkan, dasar mesum! Wajah gantengnya sama sekali tidak
berinilai kalau disandingkan dengan kelakuan macam itu. Apalah arti senyuman manisnya beberapa
menit yang lalu, kalau ternyata dia hanya seorang cowok yang suka melecehkan perempuan dengan
tatapan liar.
Tanganku melayangkan sebuah tinju yang hanya mengenai udara, dia menggeser tubuh
selangkah menbuat pukulanku sia-sia. Sekali lagi, tanganku melayang hendak meninjunya tapi dengan
mudah dia memblokir gerakanku. Pergelangan tanganku dicengkeram kuat-kuat, kemudian dipelintir ke
belakang. Aku menyesal sempat memuji kegantengannya tadi. Laki-laki macam apa yang tega berbuat
kasar pada seorang perempuan kalau bukan pengecut.
"Sudah berapa hari Mbak nggak ganti jilbab?"
"Tiga!" Eh? Ya Allah, apa ini? aku
mengutuk mulut yang bekerja lebih cepat dari pada respon otak. Ini pasti karena sekarang punggungku
menempel di dadanya. Jarak yang terlalu dekat, bahkan sampai bisa merasakan embusan napas dan detak
jantungnya.
Baru saja berniat meralat, tapi aroma mint yang segar menghampiri indra penciumanku. Cowok itu
berbisik tepat di belakang telinga. Otakku mendadak beku dibuatnya. "Ayas," bisiknya menggoda,
sebelum mendorongku dan melepaskan tangan yang sekarang malah merasa kehilangan.
Waras Jea, waras! Dia itu penysup! Teriakan otakku yang bekerja sangat lamban, membuatku hanya bisa
menatap punggung cowok itu. Dia berjalan terburu-buru ke arah dapur umum.
"Heyy!" Aku membungkam mulut sendiri, melihat kanan-kiri, takut ada orang lain di sekitar.
Hari sudah larut dan suaraku barusan terlalu berisik.
Sosok yang memperkenalkan diri dengan nama Ayas, sudah lenyap ditelan kegelapan di arah dapur
umum. Penyusup kurang ajar. Bahkan sebelum dia mencuri sesuatu dari pesantren ini, dia sudah lebih
dahulu mencuri ingatanku. Senyuman di bibirnya tadi sangat mengagumkan, membuatku mati-matian
ingin terus mengingatnya. Aku menyebut itu senyum sianida. Hahaa! Lumpuh sudah otakku dibuatnya.
"Jea?" Suara yang sangat kukenal. Seketika sendi leherku terasa kaku untuk sekedar menoleh.
Duh, gimana ini? Aku harus ngomong apa sama Gus Anam?
"Gus?" Aku yakin, cengiran konyolku ini nggak akan bisa meluluhkan Gus Anam. Pesantren ini
punya aturan dan aku sedang menyalahinya. Nggak seharusnya santriwati masih di luar kamar setelah
lewat jam sepuluh malam. Ini bahkan hampir jam dua belas dan aku masih gentayangan di luar.
"Sedang apa, Jea?" Suaranya sangat tenang. Penuh wibawa. Aku nggak sanggup melihat
ekspresinya. Ini gara-gara si pencuri itu. Kalau dia nggak nongol tiba-tiba, mungkin aku sudah kembali
ke kamar tanpa harus kepergok sama Gus Anam begini.
Aha! kalau aku menceritakan tentang kejadian tadi, apa mungkin Gus Anam bisa memaafkanku?
Tapi gimana caranya? Lidahku saja mendadak kelu begini. Duh!
"Sudah malam, lebih baik kamu kembali ke Asrama. Angin malam tidak baik untuk kesehatan."
Gus Anam tersenyum hangat dan lembut, mengusap puncak kepalaku kemudian berlalu. Dia memang
seorang kakak idaman. Kupikir hari ini akan berakhir tragis, tapi Gus Anam memang guru yang baik.
Beliau tidak pernah menanggapi kesalahan dengan kemarahan. Dia selalu punya cara yang halus untuk
menegur, sehingga santri menjadi segan dan merasa bersalah sendiri kalau membangkang.
Saat berjalan menuju asrama, pikiranku masih tertaut pada dua orang yang baru saja kutemui.
Mereka punya sifat yang saling bertolak belakang. Ada hal aneh yang kurasa, tapi entah apa.
"Aku membawamu ke sini, bukan untuk bernostalgia, Jea!" Bocah kecil berambut keriting yang
selalu menyandang busur panah. Dia muncul di hadapanku, tepat sebelum tanganku mengungkit gagang
pintu kamar Naqiyya.
"Kamu?" Aku melihat sekeliling, ini jelas nyata. Ruang belajar yang terlihat sunyi, kamar-kamar
dengan pintu yang tertutup, juga kolam kecil di bawah sana. Ini APIP, kan? Gimana ceritanya bocah itu
bisa muncul di sini? "Jadi ini mimpi?"
"Bukan, Jea. Ini bukan mimpi, ini masa lalumu." Gadis kecil itu membuka pintu Naqiyya. Cahaya
putih yang sangat terang berpendar mengagumkan dari dalam sana. Hawa sejuk berembus membelai
wajah. Aku terpesona pada sensasi dingin yang luar biasa ini.
"Apa yang kamu temukan?" Dia membuka beberapa pintu lagi, kami berjalan dalam lorong yang
setiap sedepanya disekat pintu.
"Hanya sepotong ingatan yang menurutku sama sekali nggak penting." Aku berpikir sejenak.
Padahal, pertemuan pertama dengan Ayas tidak pernah tidak penting. Itu hari yang sangat bersejarah,
tapi kalau maksud bocah itu adalah hubungannya tentang bapak, ini jadi tidak penting. "Kenapa kamu
mengajakku ke sana? Apa ada hubungannya sama bapak?"
"Kamu akan tau jawabannya kalau kamu menemukan sesuatu. Kamu yakin nggak ada yang
salah dengan ingatanmu?"
Aku mengangguk penuh keyakinan. Memang ada sedikit yang janggal dengan kejadian barusan, tapi
aku nggak terlalu yakin.
"Aku harap kamu tetap fokus pada tujuan awal."

Padang rumput hijau di bawah langit senja, dengan aroma hujan yang sangat kental. Aku berada
di tempat seperti itu sekarang. Sisa-sisa air hujan yang membasahi dedaunan mulai berjatuhan, menyerah
pada kepongahan angin yang mengoyak rantingnya. Di lagit sana, setengah lingkaran sedang bertahta
dengan ketujuh warnanya yang memesona.
"Seharusnya kamu bisa menemukan sesuatu, tapi kesenangan memang selalu melalaikan. Kamu
terlalu mudah diperdaya, Jea." Gadis kecil itu terlihat kesal. Diambilnya satu anak panah, lalu dilesatkan
pada sebuah pintu yang menjulang tinggi di hadapan kami. Pintu itu perlahan terbuka, kemudian sesuatu
yang maha dahsyat menyedotku tanpa ampun. Aku seperti masuk ke dalam lorong tanpa ujung.
"Aku tidak pernah menghianatimu! Aku bersumpah demi yang menggenggam nyawaku. Sedikit
pun, aku tidak pernah menyentuhnya."
"Persetan dengan sumpahmu! Kamu pikir aku buta?!"
"Yang Mulia, kumohon, jernihkan pikiranmu, kita sudah bersahabat sejak bertahun-tahun. Mana
mungkin aku menghianatimu? Apa lagi, kau seorang Raja."
Masih di padang rumput, hanya suasana langit yang sedikit berbeda. Terlihat mendung, seolah
ingin memuntahkan beban yang sudah terlalu berat.
Perdebatan dua orang yang entah siapa, hanya berupa suara. Sesekali kudengar beberapa umpatan, juga
suara besi yang saling beradu.
Aku seperti berada dalam masa lampau. Suara hentakan kaki kuda yang berirama dendam, juga
pedang yang mengidungkan kematian. Semua ini mengingatkanku pada film kolosal zaman Majapahit,
atau sejenis drama Saeguk yang pernah kutonton bersama Marningsih.
"Matilah kau!"
Seorang dengan aura dendam berlari sambil menghunus pedang. Dari arah yang berlawanan,
kulihat sesosok pria yang juga mengacungkan pedang.
Apa aku tersesat dalam dunia perfilman? Ini terlalu nyata untuk disebut mimpi. Hangatnya sinar
matahari yang menyentuh kulit, juga burung-burung yang bertengger di atas pohon pinus itu
membuatku ragu kalau ini hanya mimpi. Suara mereka terdengar nyata.
Di depan sana, pada jarak yang cukup dekat dariku, pria dengan pakaian seperti seorang raja
lengkap dengan mahkotanya, dia melompat tinggi-tinggi, siap menghabisi pria berpakaian kesatria.
Anehnya, pria kesatria itu malah menjatuhkan pedang dan membiarkan besi panjang itu menembus
tubuhnya dengan mulus. Bau anyir menyeruak, darah mengalir deras. Sang Raja menatap pedih pada
orang yang kalau aku tidak salah dengar, katanya tadi sahabatnya. Dia baru saja membunuh. Pria di
hadapannya tersenyum, darah memuncrat dari mulutnya.
‘Sebuah kehormatan bagiku bisa mengakhiri hidup di tanganmu, Yang Mulia." Kalimat itu menyentak
Sang Raja. Dia segera mencabut pedang itu dan memeluknya.
“Panglima, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu membiarkanku menjadi seorang
pembunuh? Aku mohon, bertahanlah. Bukankah kamu bilang dirimu tidak bersalah? seharusnya kamu
bisa mengindar. Bukan malah besikap bodoh dengan menghadapku tanpa rasa takut begini." Air mata
Sang Raja menetes di wajah panglima muda itu.
"Yang Mulia, hamba tidak pernah takut dengan kematian. Hamba juga tidak takut dengan
murkamu. Rasa takut hanya milik jiwa-jiwa yang bersalah. Milik mereka yang menyembunyikan
kesalahan, yang mencoba berdamai dengan kesalahan itu dengan membenarkannya. Hamba tidak
melakukan hal itu, hamba tidak merasa perlu takut, Yang Mulia." Pria itu tersenyum dengan sisa tenaga
yang dimilikinya. Suaranya terbata dan sekarang napasnya sudah berhenti. Dia sudah mati,
meninggalkan Sang Raja sahabatnya, bersama penyesalan yang mendalam. Aku yakin itu.
Aku mendekat, berharap bisa menemukan maksud dari Si Bocah yang menyesatkanku ke tempat
ini. Ini bukan Hutan Banawasa, peristiwa tadi sama sekali nggak ada hubungannya sama bapak.
Sepertinya sekarang bukan aku yang tidak fokus pada tujuan awal. Tapi bocah itu.
Samar-samar, kulihat Sang Raja masih menangis meratapi kepergian sahabatnya. Semakin dekat,
semakin jelas raut wajahnya.
"Innalillahi!" Jantungku sudah pindah ke perut. Aku mengenal betul dua orang itu. Asrul dengan
pakaian Maha Raja, sedang memeluk jasad ...." Astaghfitullahal'adzim. Ayas!" Aku mendorong Asrul agar
menjauh dan memindahkan Ayas ke pangkuanku. Dia sudah tidak bernyawa, wajahnya pucat pasi,
tubuhnya dingin. Tapi yang lebih dingin sekarang adalah hatiku.
"Ayas, bangun! Gus Ayas! Bangun. Jangan pergi!" Air mataku semakin deras walau sudah dihapus
berulang-ulang. Tangisku semakin menjadi, melupakan fakta bahwa tangisan tidak akan mengembalikan
nyawa seseorang. Yang terjadi akan tetap terjadi dan yang sudah mati tidak akan pernah kembali.
Perlahan, tubuh kaku itu memudar, menjadi butiran debu, lalu hilang tersapu angin. Tak ada lagi
yang kumiliki. Selain hanya perasaan kehilangan. Kenapa semua ini harus terjadi padaku?
"Ayaaaaaaaas!"
Teriakan ternyata tidak bisa mengusir duka yang mendekap erat perasaan. Ayas tiada di tangan Asrul.
Kenapa ini bisa terjadi?
Aku merasa sesuatu yang dingin menepel di kening. Ada seorang yang sedang memijat kakiku,
dan seorang lagi mengusap-usap lengan.
"Sadar, Jea. Nyebut. Laailahailallah. Nyebut, jangan merem terus, buka matamu. Lihat ini, banyak
orang di sini." Suara Uwa Yatin terdengar semakin jelas. Sedikit demi sedikit, indra penglihatanku
kembali berfungsi.
"Kamu kenapa, Nduk? Sakit kok ya nggak bilang-bilang," ucap iyung dengan nada lembut.
Matanya berkaca-kaca, jelas sekali wanita itu sedang mengkhawatirkanku.
"Wong tadi aja nggak apa-apa. Kok tiba-tiba pingsan gitu. Kamu pusing? Apa belum makan nasi
tadi pas buka puasa?" Kebiasaan, kalau ada kejadian apa-apa, pasti orang-orang langsung ngumpul. Uwa
Tiwo dan Bibi Gowas sedang memijit kaki dan memberikan minyak kayu putih di telapak tangan. Uwa
Yatin membantu duduk dan memberikan teh hangat. Di pintu kamar, Asrul bersedekap, memandangku
dengan mata mengancam. Dia sudah siap melahapku hidup-hidup sepertinya.
"Jea nggak papa, kok, Yung. Cuma pusing sedikit aja." Rasanya tak tega melihat iyung khawatir
begitu.
"Yung, Wa, aku mau ngomong sebentar sama Jea. Kalian tolong keluar, ya." Dasar tidak sopan!
Dia malah mengusir orang tua. Anehnya mereka semua nurut. Punya ilmu apa sih ini bocah? Mereka
meninggalkanku bersama Asrul. Berdua. Apa mereka lupa aku baru sadar? Ayas juga, ke mana dia?
"Puas?"
Dia mendekat, masih dengan gaya sok cool.
"Maksudmu?" Aku mencoba bangun, tapi kepalaku terasa lebih berat dari biasanya. Saat
mencoba duduk, aku hampir terjatuh dan Si Bulus itu bukannya membantu malah menoyor keningku
dengan jari telunjuk. Pada akhirnya aku kembali pada posisi semula, terbaring seperti mayat hidup.
"Lanjutin aja, aku nggak akan ngelarang. Kamu pikir aku nggak tauamu sering keluyuran malem-
malem, huh? Dibilangin bahaya malah ngeyel. Terlalu sering meninggalkan tubuh, itu akan membuat
jiwamu lebih ringan dan bisa pergi tanpa kamu rencanakan. Dasar dodol!"
Aku diam. Mendengarkannya saat ini menjadi pilihan paling masuk akal. Lagian aku nggak
punya cukup energi untuk melawan. Tubuhku lemas semua, tulangku seakan kehilangan fungsi. Tentang
Asrul yang ternyata tahu kebiasaanku, nanti dia harus menjelaskan. Bukan hanya memarahi begini.

***

Udara siang yang kurang bersahabat, menerbangkan gorden biru muda penyekat pintu.
Berembus centil, seolah sedang menunjukan kalau dia jauh lebih kuat dariku. Entah kenapa perasaanku
mendadak sensitif begini.

"Udah baikan?" Ayas berdiri di depan pintu, ini di luar batas wajar, otakku medadak drama ketika
melihat mata sayu lelaki itu. Mimpi tentang kematiannya kembali terlintas, kalau sampai hal itu benar-
benar terjadi, apa aku masih bisa melanjutkan hidup dengan normal? Setelah mamak, bapak juga tiada
dan aku tidak sanggup membayangkan kalau sampai Ayas juga pergi. Aku sadar, ternyata cinta bukan
sesuatu yang bisa diundang atau diusir. Bahkan saat disembunyikan pun, dia masih tetap terlihat. Cinta
memang egois, dia terus memaksaku untuk mengakui keberadaannya. Bahwa ternyata memang sulit
hidup dengan mengingkari perasaan itu. Ayas, kenapa kamu membuatku merasakan hal seperti ini?
Bahkan aku sampai ingin menangis dipelukannya sekarang. Untuk alasan yang tak mungkin kujabarkan.
"Aku masih bernapas." Sejenak masih kubiarkan mata ini menikmati sosoknya, tapi otakku
menyuruh agar memalingkan wajah. Mengabaikannya lagi.

Ayas sudah berdiri tepat di depanku sekarang, tangannya terulur hendak menyentuh pipiku, tapi urung.
Pada akhirnya, dia hanya membiarkan tangan itu menggantung di udara beberapa saat, kemudian
menarik diri.
"Ijinkan aku memelukmu, Jea." Itu kalimat paling sinting yang pernah kudengar dari seorang
Da'i.
"Menikahlah denganku. Agar sempurna penjagaanku atasmu, aku sudah pernah kehilanganmu
dan aku tidak ingin hal itu terulang lagi."
Aku tak pernah melihat Ayas lebih serius dari ini sebelumnya. Dia terlihat rapuh dan tidak
berdaya. Asal tau saja, aku juga merasakan kepedihan yang sama. Begitu besar keinginanku untuk
bersamanya, tapi aku tidak ingin membuatnya dalam bahaya, atau ikut terbebani dengan keyakinanku
tentang bapak. Setahuku cinta itu membebaskan bukan mengekang. Aku ingin membebaskannya tanpa
harus terikat dengan keegoisanku, kalau saatnya nanti kita harus bersama pasti akan bersama. Begitu
pikirku.
Kupalingkan wajah agar Ayas tak melihat airmata yang semakin kurang ajar. Bibir ini masih
terkatup, tidak ada satu dua kata yang berhasil menerobos pertahanannya, sampai akhirnya Ayas
memutuskan untuk pergi. Dia membuatku merasakan kehilangan berkali-kali. Ketika dia menjauh,
ingatanku kembali pada mimpi tentang pernikahannya dengan Marningsih dan kematiannya yang
membuatku menggigil dalam kesendirian. Mungkinkah ini sebuah petunjuk?
"Genggam tanganku seerat yang kamu bisa dan aku akan melakukan hal yang sama." Kalimat itu
mengalir begitu saja. Penggalan puisi yang pernah dia berikan dan yang selalu kuaminkan dalam setiap
doa.
"Apa, ini artinya kamu menerimaku?" Dia kelihatan ragu, begitu aku mengangguk wajahnya
langaung sumringah. Ekspresinya berubah 360 derajat. Dia kembali ke pinggir ranjang dengan senyum
yang ketumpahan aspartam. Terlalu manis. Bola matanya memancarkan pesona supermoon.
"Kamu nggak bercanda, kan?" Aku menggeleng.
"Artinya kamu mau menikah denganku?" Aku mengangguk sebagai jawaban. Itu lebih dari
cukup, karena sebenarnya mata tidak pernah berhasil menyembunyikan perasaan. Iya, kan?
"Yess! Bye-bye jomblo." Dia jingkrak-jingkrak. Ya Allah, apa tidak ada cara lain untuk
mengekspresikan kebahagiaan, selain bertingkah seperti anak kecil begitu?
Ayas hampir memelukku, tapi segera kuacungkan telunjuk ke wajahnya.
"No!" Dia Gus kan, ya? Apa sebenarnya dia tertukar di rumah sakit pas Bu Nyai melahirkan?
Kenapa bisa putra kyai memiliki karakter yang absurd begini?
"Hafalan Alfiyah Ibnu Malik," Aku mengingatkan. Dulu aku pernah memintanya menghafalkan
seribu nadhom alfiyah sebagai syarat untuk bersamaku. Sebenarnya, aku tidak bermaksud
memberatkannya dengan hal itu. Tapi saat dia mempelajari bait-bait alfiyah, aku yakin dia akan banyak
belajar tentang kehidupan, tentang bagaimana bersikap pada hidup dan bagaimana seharusnya menjalani
hidup, dari makna tersirat yang ada di dalam setiap baitnya.
"Nggak ada syarat yang lain apa?"
Eh, dia belum hapal, ya?
"Kenapa? Keberatan?"
"Big No! Buatmu, apa saja bisa kulakukan. Kalau perlu, Lintang Kartika yang selalu kamu puja
itu akan kupindahkan ke bumi. Untukmu."
"Receh!"
Aku hanya melemparinya dengan guling kesayangan. Tapi dia malah menangkapnya, memeluk
dan mencium guling itu seperti orang yang otaknya geser separo. Kewarasannya perlu dipertanyakan.

Aku tidak salah mengambil keputusan, kan?


8. Hujan Persuasif

"Banyakin baca Qur'an biar badanmu cepet pulih."


Begitu pesan Asrul saat menemuiku kemarin. Aku melongo dibuatnya. Ini benar-benar kejadian langka,
seorang Asrul Mafudhoh, yang notabenenya jarang banget nyentuh mushaf nyuruh aku baca Al Qur'an.
Ada apa gerangan? Apa selain Ayas yang jadi ketularan tengil dan suka membully, Asrul juga mendadak
religius?
"Baca Al Qur'an?"
"Iya. Baca Qur'an. Emang apa lagi penyembuh yang paling ampuh buat tubuh manusia?" Dia
mengambilkan mushaf kecil coklat tua milikku.
"Kamu tahu, dalam tubuh kita juga ada yang namanya atom. Setiap tubuh manusia mengandung
oktilioner atom, bukan cuma jutaan atau miliaran. Satu oktiliun itu artinya angka 1, diikuti 27 angka nol.
Bayangin, di dalam tubuh kita ada atom sebanyak itu."
"Ya terus, apa hubungannya sama baca Qur'an?" Aku masih belum bisa menebak arah
pembicaraanya. Dia terlalu berbelit-belit mirip emak-emak yang lagi ditagih hutang, tapi suaminya
ngasih uang belanja pas-pasan.
"Atom-atom yang ada pada tubuh kita, hidup di dalam sel, itu artinya, setiap sel tubuh terbuat
dari jutaan atom. Setiap atom terbentuk dari nekleus positif dan elektron negatif yang mengelilinginya.
Karena rotasi inilah, tubuh bisa menghasilkan suatu medan elektro magnetik, seperti medan-medan yang
dihasilkan mesin. Tubuh menjadi lemah dan tidak seimbang karena terjadi penyimpangan pekerjaan.
Jadi, terapi terbaik untuk kesehatan kita ya dengan merotasi keseimbangan itu." Mushaf ditangannya
sudah berpindah ke pangkuanku. Asrul mulai sibuk dengan ponselnya.
Otakku yang teramat sederhana, masih berusaha keras untuk memahami kalimat panjangnya
barusan.
"Aku nggak mudeng. Maksudmu, kalau kita baca Al Qur'an, gelombang suara yang masuk ke
dalam tubuh kita punya efek positif sama rotasi keseimbangan tubuh?"
"Nah, itu tahu." Jari anak itu belum berhenti mengotak-atik layar handphone. Sebenarnya kalau
boleh jujur, aku sedikit keberatan diabaikan demi sebuah game di layar ponsel. Sayangnya aku tidak bisa
marah, karena pada saat yang bersamaan dia masih bisa ngobrol dan nyambung. Berbeda dengan orang
kebanyakan, yang kalau udah main game, dunia sekitar seolah benda mati. Aku mulai menduga tentang
tingkat IQnya. Mungkin setara dengan Baek Seung Jo, pria tampan nan genius, atau Do Min Joon, alien
ganteng yang selalu diidam-idamkan sama Marningsih.
"Asal kamu tau saja," lanjutnya. Kali ini dia melihat ke arahku. Mata elangnya selalu berkilat
optimis. Aku suka kalau dia sudah begitu. Semangat dan keyakinannya akan sesuatu, selalu menyalurkan
energi positif pada siapapun yang melihatnya. "Suara itu terbentuk dari gelombang atau getaran yang
bergerak di udara, dengan kecepatan 340m/detik. Setiap suara punya frekuensi tersendiri dan manusia
bisa mendengar suara dengan frekuensi antara 20/detik sampai 20.000/detik. Gelombang-gelombang itu
menyebar di udara lalu ditangkap oleh telinga, kemudian berubah menjadi sinyal-sinyal elektrik dan
bergerak melalui syaraf suara menuju acoustik bark di dalam otak. Setelah itu, sel-sel yang rusak akan
menyesuaikan diri dengan gelombang dan gelombang itu juga akan bergerak ke seluruh bagian otak.
Otak akan menganalisis sinyal-sinyal itu dan memberikan perintahnya pada organ tubuh agar
menyesuaikan dengan sinyal-sinyal yang diterimanya. Suara manusia memiliki nada spiritual khusus, dan
itu membuatnya menjadi sarana pengobatan yang paling kuat. Malahan, ada juga beberapa suara yang
bisa menghancurkan sel kanker, sekaligus mengaktifkan sel-sel yang sehat, salah satunya ya suara bacaan
Al Qur'an itu."
Penjelasannya panjang lebar membuat kepalaku yang masih pusing, terasa semakin berat. Dia
memang begitu, setiap saat, selalu menceramahiku dengan penjelasan-penjelasan ilmiah yang
menurutku berat. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa memahaminya. Tapi nyatanya karena
penjabaran itu, sekarang aku jadi termotivasi untuk lebih banyak membaca Al Qur'an. Aku ingin cepat
sembuh.
Baru saja meletakkan mushaf kesayangan, berniat keluar kamar untuk mencari udara segar, aku
dikejutkan dengan keberadaan Marningsih yang sedang menatapku dalam mode Marimar murka.
"What do you mean, Jea?" Marningsih melangkah lebih dekat denganku. Dia mengabsen seluruh
tubuhku yang berbalut kaos gamis sederhana. Memutariku seolah mencari sesuatu dan matanya itu jelas
banget lagi ngejek.
"Apa sih yang spesial dari kamu? Cantik? Menurutku standar aja, udah gitu cungkring, tinggi
enggak, datar iya. Kamu lihat aja," dia memaksa tubuhku untuk menghadap cermin yang menempel
pada lemari pakaian.
"Dada sama perut sama ratanya. Bokong aja nggak ada. Ibaratnya kamu tuh, kalau dilihat dari samping
juga sama aja kayak papan triplek. Tapi kok bisa-bisanya ... Aaaaaaaaaaaa!" Gadis yang menurutku
merupakan salah satu bentuk anomali paling anomali itu tidak melanjutkan kalimatnya. Malah
berteriak mirip abege yang lagi frustasi karena mendengar kabar, kalau gebetannya mau menikah
sama orang lain.
"Apaan sih, pagi pagi nggak usah bikin ulah yang aneh-aneh bisa, nggak?" Aku mengabaikannya
yang sedang menggigiti gulingku. Walau tidak rela guling kesayanganku diperlakukan secara tidak
gulingwi, aku lebih memilih untuk meninggalkannya. Kata orang, udara subuh selalu terasa lebih segar
karena belum bercampur dengan napas orang munafik. Dan aku tidak mau melewatkan kesempatan
untuk menikmati kesegaran itu, hanya untuk meladeni kegilaan Marningsih.
"Mas Da'i Ayas, Mas Gus, aaaah ... Embuh!" Dia berulang kali meralat sebutan untuk Ayas. Lalu
mengacak-acak kerudungnya sendiri. Aku benar-benar prihatin terhadap Lintang, kasihan dia punya
kakak model Marningsih.
“Gus Ayas." Aku berhenti melangkah demi mendengar ucapannya. "Gus Ayasmu tadi barusan
membuat pengumuman di masjid." Mendengar kalimatnya, organ pemompa darahku berhenti sejenak,
sebelum akhirnya bekerja lebih cepat. "Katanya dia mau nikah sama kamu secepetnya dan sekarang lagi
di rumah Pak Asman buat bahas pernikahan kalian."
Apa maksudnya? Kenapa Ayas gegabah begini? Harusnya dia ngomong dulu sama aku.
Keterlaluan.
"Terus, apa artinya aku selama ini, Jeaaaa!" Marningsih masih merancu tidak jelas. "Tiap pagi dia
bangunin aku, chat sama aku hampir dua puluh empat jam sehari. Kadang dia panggil aku dengan
sebutan Dik Marningsih. Dan kemarin malah sempet bilang saranghae sama aku. Dia nggak ngerti ya apa
itu saranghae? Mana ada orang saranghae sama aku, nikahnya sama kamu. Dasar cowok buayaaaaaa!"
Teriakan Marningsih terdengar dramatis, suaranya super cempreng dan dia merengek. Bukan menangis,
karena dia tidak mengeluarkan air mata. Itu cuma ekspresi patah hati ala bocah labil.
Ternyata Ayas genit juga, ya? Kemarin Erni bilang, katanya dia juga sering chat sama Ayas. Suka
bercanda dan berdebat tentang keselarasan teori bentuk bumi dengan penjabaran yang ada di dalam Al
Qur'an. Tapi aku nggak mungkin cemburu dengan anak kecil itu. Kalau Marningsih?
Hah? Cemburu? Masa iya sih Aku cemburu. Sepertinya terlalu sering berkelana ke alam mimpi,
membuat kewarasanku semakin memudar.
Daripada pikiran semakin ngelantur mendengar celotehan Marningsih, lebih baik segera
menyusul Ayas sebelum dia makin berulah.
Di depan rumah Pak Asman, ada beberapa orang yang sedang berdiri. Mengintip dari balik
jendela. Mereka adalah kaum ibu-ibu kepoers, yang memiliki keajaiban dalam menyebarkan berita, nyaris
menyaingi kecepatan cahaya. Beberapa di antaranya bahkan masih menggunakan mukena dan
menyandang sajadah di tangan. Sebegitunya ya mereka ingin tahu urusan orang?
"Cieee, Mbak Jea, diem-diem ternyata menghanyutkan." Lintang menyikut dan menyejajari
langkahku. Gadis yang tingginya sudah hampir menyamaiku itu ikut berjalan di sampingku. Aku hanya
menanggapinya dengan sedikit senyum, mataku tak lepas dari pintu rumah Pak Asman. Aku ingin segera
sampai ke sana, menyeret Ayas pulang, kalau perlu dengan menjewer kupingnya.
Ini bukan tindakan anarkis, karena untuk menghadapi orang bebal seperti Ayas, kadang memang
diperlukan sedikit kekuatan fisik. Belum sampai masuk, penampakan Ayas sudah menyembul dari balik
pintu.
"Jea, kamu kok di sini?" Pertanyaannya hanya kujawab dengan mata yang sedikit melotot. Aku
marah, iya. Menerimanya bukan berarti aku mau cepet-cepet nikah. Setidaknya aku harus mengungkap
misteri terbesar dalam hidupku terlebih dulu. Tentang hilangnya bapak.
"Pulang!"
Aku langsung membalik tubuh dan meninggalkannya.
"Galak amat, Neng." Ayas mengekori langkahku.
Ada sesuatu yang aneh saat melewati dua pohon pisang di dekat rumah Marningsih. Aku tidak
tahu itu apa, tapi saat ini aku merasa seolah bapak sedang melihatku.
"Bapak," gumamku lirih.
Kakiku melangkah tanpa menunggu perintah. Aku mendekati pohon pisang kembar yang salah satu
daunnya patah dan menjulur ke tanah, mungkin terkena angin kencang malam tadi.
“Hei! Kamu ngapain?"
Ayas menghentikan langkahku dan menangkap pergelangan tangan yang hendak menyibak daun
pisang. Pria itu menyingkirkan seekor kalajengking yang berada tepat di depanku menggunakan galah.
Aku hampir terpeleset karena kaget, untung Ayas menangkapku tepat sebelum bokongku menyentuh
tanah. Untuk beberapa detik, pandanganku tertuju pada bola matanya. Dari sekian banyak mata yang
pernah kulihat, miliknya adalah yang paling mengagumkan. Aku seolah bisa melihat semesta di
dalamya.
"Kamu nggakpapa?"
"Nggakpapa, cuma sedikit pusing, sepertinya aku harus istirahat," ucapku melepaskan diri
darinya.
"Bisa jalan sendiri? Apa mau kugendong?"
"Nggak perlu! Simpan saja bahumu untuk Dik Marningsih. Saranghaemu itu."
Eh, kenapa aku jadi emosi?
"Kamu cemburu?"
"Nggak sama sekali."
"Yakin?"
"Seyakin kamu merasakan napasmu sendiri."
Aku berjalan lebih cepat, meninggalkanya yang pasti sedang menikmati kecemburuanku. Laki-
laki memang begitu. Menyebalkan!
"Sama-sama."
Aku berhenti tanpa menoleh. Dasar pamrih!
"Makasih!"
"Sama-sama." Dia terkekeh.
"Jea, aku sudah pernah melihat banyak wanita cemburu dan marah, tapi cuma kamu yang tetap
cantik saat lagi marah. Dan aku suka." .
Suka apa? Maksudnya dia suka aku marah-marah? Aneh!
" Maaf, gombalanmu nggak mempan!"

***

Sore ini hujan turun lagi, dengan iramanya yang masih sendu. Hujan yang amat persuasif, tanpa
dibarengi intimidasi petir dan gemuruh angin. Hanya rintik kecil yang seakan mengajak kita untuk
mengingat dosa.
Benar kata Kyai sepuh, satu-satunya hal yang dimiliki oleh manusia hanyalah dosa. Dosa yang
tidak akan luput dari balasan.
Aku termenung seorang diri, memandangi butiran bening yang berjatuhan dari langit.
Mungkin seperti itulah dosa yang kulakukan setiap detiknya. Terlena dengan kesenangan dunia,
sampai-sampai kadang lupa untuk bersyukur. Bahkan sering mengeluh hanya karena sedikit rasa sakit.
Padahal, dulu waktu masih kecil, bapak pernah cerita, katanya kalau seseorang sakit, maka Allah akan
menurunkan empat malaikat dengan tugasnya masing-masing. Satu mengambil keindahan wajahnya,
satu mengambil selera makannya, satu mengambil rejekinya dan satu yang terakhir mengambil dosa-
dosanya. Saat sakit itu diangkat, maka seluruh malaikat itu akan mengembalikan semua yang
diambilnya, kecuali dosa. Jadi, apa aku masih pantas mengeluh? Allah sudah sebaik itu, membuat kita
istirahat sejenak dari keruwetan dunia, kemudian mengambil sebagian dosanya.
Aku rindu Bapak. Di mana sebenarnya dia?
"Mbak Je, boleh pinjem hpnya, nggak?" Suara Erni membuyarkan lamunanku.
"Hp? Buat apa, Er?" Aku mengalihkan pandang pada gadis kecil yang sedang meletakan
setumpuk buku pelajaran ke meja kayu bulat sebelahku. Rambut keriting anak gadis Pak Asman yang
satu ini, mengingatkanku pada sosok bocah yang selalu hadir dalam mimpiku.
"Buat kalkulator, Mbak. Erni lagi kesel sama matematika."
"Kenapa?"
"Aku sebel. Kenapa dia nggak pernah bisa belajar dari kesalahan? Waktu Mbak Je sekolah SD,
disuruh ngerjain soal gini juga, nggak?" Dia menyodorkan bukunya, menunjuk pada salah satu rumus
bangun ruang. "Ya iya lah, semua orang yang pernah SD pasti sudah pernah mempelajari rumus seperti
itu."
"Tuh, kan, bener!"
"Apa yang benar, Er?"
"Ya kalau matematika itu bukan ilmu pasti, tapi ilmu manja dan nggak mandiri. Buktinya, dari
dulu dia nggak pernah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Selalu bikin orang pusing."
Erni itu loh, kadang celetukannya bikin pengen ngunyah.
"Emang Hpmu ke mana?"
"Dibawa Mas Siyam." Anak itu mengeluarkan pensil dari dalam tas gendong hitam.
Ah, ya. Sudah beberapa hari ini, aku sering melupakan hal kecil. Seperti lupa hari, lupa tanggal
dan lupa dimana meletakan benda. Setelah melangkah menuju kamar untuk mengambil benda yang
diminta Erni, aku baru sadar, kalau sekarang ini aku juga lupa di mana menaruh ponsel.
"Bentar ya, Er." Aku masuk ke kamar Asrul, anak itu lagi tidur pulas.
"Lus. Pinjem HPmu bentar, ya."
Dia hanya mengangguk, entah sadar atau tidak. Tangannya menunjuk ke arah meja dekat rak buku.
Hampir lima menit aku mencarinya, tapi tak ada. Malah adanya HP butut, mungkin itu punya
Asrul yang sudah tidak terpakai. Kucoba menghidupkan HP itu, ternyata masih bisa.
Satu hal lagi yang kulupa, nomor Hp sendiri. Padahal sudah bertahun-tahun aku hanya
menggunakan satu nomor. Sejak pertama beli HP malah, tapi tetep saja nggak hapal. Otakku benar-
benar payah. Untunglah, dari beberapa daftar kontak yang ada di Hp Asrul, salah satunya ada nomorku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung memanggil nomor itu.
Ternyata Asrul tipe setia juga, yah. Hp butut gini, masih ada pulsanya. Otakku mulai menebak tentang
kepribadian Asrul yang belum tampak di depanku.
Dari ruang tengah, kudengar dering ponsel milikku.
"Astaghfirullah!" Mataku membelalak sempurna saat melihat layar ponsel.
"Jea! Kamu ...." Asrul keluar dari kamarnya dengan rambut berantakan. Tangan kirinya
memegangi sarung yang tadi digunakan untuk selimut dan tangan kanan memegang Hp android.
Aku mengirimkan ancaman kematian melalui tatapanku. Benar-benar tak menyangka dengan
apa yang sudah dilakukannya. Anak itu menghampiriku dengan langkah secepat kilat dan merebut
ponselnya.
"Lancang!"
Dia membentakku, lalu pergi tanpa memberikan penjelasan sedikitpun.
"Keterlaluan kamu, Asrul! Apa maksudmu, hah?"
Erni yang duduk di sebelahku, hanya diam dan mulai membereskan bukunya.
"Tolong jelasin," aku merendahkan nada bicara. Sadar kalau Asrul tidak akan terpengaruh
dengan kemarahanku, atau bentakanku. Bicara sama dia, harus bisa menekan ego serendah mungkin
kalau tidak mau berujung pertengkaran. "Apa maksud dari semua ini, Asrul?" Jujur, aku sangat sangat
kecewa sama dia.
"Terserah kamu mau mikir apa tentang ini. Kamu boleh percaya apa saja yang ingin kamu
percaya." Asrul mengatakan hal itu tanpa melihat ke arahku.
Kalimatnya sama sekali bukan jawaban. Dia malah membuatku semakin bertanya tanya. Biasanya dia
akan ngeyel hanya untuk mempertahankan pendapatnya, atau dia akan ngotot dengan sejuta koleksi kata
kejam, kalau dituduh untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Tapi ini tidak. Apa itu artinya, dia memang
bersalah?
"Manusia selalu punya cara berpikirnya sendiri dan mereka selalu menganggap hal itu benar. Aku
juga tidak akan melarangmu untuk melakukan hal yang sama. Kamu bebas berpikir apa saja tentangku."
Asrul kembali melanjutkan langkahnya. Meninggalkanku yang dikelilingi jutaan tanda tanya. Apa ini?
Siapa sebenarnya Asrul? Dan kenapa dia melakukan semua ini sama aku?
9. Puzzle

Kepercayaan itu seperti cangkang telur. Tipis dan rapuh, tapi mampu melindungi sebuah
hubungan. Lalu setelah ia retak, siapa yang akan menjamin semuanya tetap baik baik saja?
Aku sendiri lebih setuju dengan ungkapan seorang berandal, yang mengatakan kalau
kepercayaan itu seperti keperawanan. Sekalinya diterjang, dia takan pernah kembali menjadi perawan
lagi.
"Dasar mesum!" Seorang memukul kepalaku menggunakan busur panah. Tanpa perlu menoleh,
aku sudah tahu, dia pasti Si Bocah berambut kriting. Aku mendengus kesal, lalu melemparinya dengan
kerikil.
Arggghhh! bisa nggak sih, dia nggak usah muncul? Sekali saja, aku ingin menikmati waktu dan
kesendirianku.
Bocah itu mengambil posisi duduk di sebelahku, kakinya ikut masuk ke air, menikmati aliran
sungai yang terasa menyegarkan. Dia menengadah, matanya terpejam, mungkin minder dengan
keagungan langit yang hari ini kelihatan begitu indah.
Saat ini, aku berada di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir dari atas bukit, duduk di atas
rumput hijau yang dibasahi embun, menikmati udara pagi yang sudah sejak lama seakan lenyap dari
dunia nyataku. Seharusnya tempat ini menjadi tempat paling privasi dan penuh kedamaian, dengan suara
burung yang saling bersahutan, juga gemercik air yang menenangkan. Tapi bocah itu datang, seenak
udelnya mengganggu kenyamananku.
"Kamu tau, kenapa di dunia ini ada satu ikatan yang di sebut pertemanan?" Bocah itu
merentangkan tangan saat merebahkan tubuh di atas rumput. Matanya masih terpejam dan kakinya
berada di dalam air. Segerombolan ikan kecil berenang melintasi kaki, mereka sedang asyik kejar kejaran
sama berudu.
"Teman? Teman itu tidak ada. Yang ada hanya orang-orang dengan setumpuk ego. Dengan
mudahnya mereka menghancurkan kepercayaan orang lain, hanya karena dirinya menganggap semua itu
benar."
Dia tertawa mendengar ucapanku. Memangnya aku lagi melawak, ya?
"Kamu ngomongin Asrul? Sedangkal itu caramu melihat sesuatu? Pantes, dia lebih memilih
melakukan semuanya sendiri. Ternyata pemikiranmu memang sangat cetek!"
"Kenapa kamu malah belain dia? Kamu tahu, seberapa besar rasa kecewaku karena perbuatannya
itu? Dia menerorku! Melakukan hal serendah itu dan membuat kepercayaanku sama dia hancur seketika."
"Sayangnya, aku lebih suka perumpamaan kepercayaan itu seperti cangkang telur." Dia bangkit,
mengambil kerikil, lalu melemparnya ke sungai. "Sudah tahu retak, ya jangan dibiarkan. Periksa dulu,
siapa tahu masih bisa dimasak. Kamu terlalu buru-buru membuangnya kalau hanya karena retak sedikit."
Kali ini aku mendengarkan. Entah kenapa, sejak tadi aku sama sekali tidak menemukan sisi
tengilnya. Dia bukan seperti seorang bocah, melainkan seorang ibu yang sedang berusaha menasehati
anaknya. Sebenernya siapa anak itu? Aku jadi semakin penasaran, tentang berapa usia dia yang
sesungguhnya. Jangan-jangan dia itu jin penunggu hutan yang sudah hidup ribuan tahun, tapi terjebak
dalam raga seorang bocah tengil.
"Jadi, menurutmu apa yang harus kulakukan? Memaafkannya? Jujur, itu terlalu berat."
Bibirnya menipis beberapa detik, tapi senyuman itu terlihat datar di mataku. Jenis senyum yang
benar-benar merendahkan. Dia mengejekku dengan cengirannya itu.
"Kamu tahu, kenapa aku sebegini bencinya sama dia, sekarang? Dia adalah orang yang selalu
kupercaya melebihi siapa pun. Dia yang selalu kudatangi pertama kali setiap aku ada masalah, dan aku
akan selalu mendengarkan saran-sarannya. Bahkan ketika seluruh dunia menganggapnya gila, bagiku dia
tetap seorang yang luar biasa mengagumkan. Cerdas dan logis. Tapi sekarang dia melakukan hal receh,
yang membuatku benar-benar kecewa sama dia. Bodoh! Untuk apa menerorku begitu? Kalau memang
dia tahu sesuatu, harusnya dia mendiskusikan hal itu sama aku, bukan malah menyimpannya rapat-rapat
dan memberitahuku dengan cara murahan yang justru membuatku geram."
"Yang bodoh itu, kamu apa dia, sih?"
Aku mengernyit mendengarnya. Dia masih bertanya siapa yang bodoh, dengan nada
meremehkan seolah aku lah pihak yang menurutnya bersalah. Yang benar saja!
"Sekarang coba kamu pikir, seorang Asrul Mafudhoh yang kalau melakukan sesuatu selalu penuh
pertimbangan, akan begitu saja melakukan perbuatan bodoh yang beresiko membuat persahabatan
kalian hancur? Membuatmu hilang kepercayaan dan kecewa karena hal itu? Apa menurutmu dia
serendah itu?"
"Lalu apa?"
"Kamu yang bodoh!" Dia kembali memukul kepalaku dengan busur panah sebelum berdiri.
"Kamu bodoh karena langsung berkesimpulan seenak jidat. Kamu menuruti ego dan hanya
memandang suatu masalah dari sudut pandangmu yang sempit." Dia melompat ke seberang, aku
mengikutinya. "Kenapa kamu nggak milih jalan mendekat? Cari tahu alasannya melakukan itu, kalau
memang dia yang menerormu, bukannya itu hal bagus? Artinya kamu tidak sendirian. Asrul juga percaya
kalau bapakmu memang masih hidup. Iya, kan?"
Dodol! Dodol! Dodoool!
Kenapa aku malah nggak kepikiran sampai ke sana?
"Je ..." Dia membalik tubuh secara tiba-tiba. "Teman itu ada untuk saling mengingatkan dan
menguatkan. Asrul bukan sekedar teman, dia juga sahabat dan keluargamu. Aku percaya, dia sangat
menyayangimu. Jangan sampai hanya karena kerikil kecil, persahabatan kalian hancur begitu saja. Waktu
yang sudah kalian lewati sama-sama selama ini, bukan hal yang remeh sampai harus hancur karena
masalah sepele, yang sebenarnya kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Jangan hanya
mengedepankan ego, kesalahannya itu sama sekali nggak ada apa-apanya dibanding kebaikannya selama
ini sama kamu. Kalau kamu kecewa sama dia karena satu hal, maka ingat kebaikan-kebaikannya.
Begitulah cara memaafkan."
"Kamu jangan bicara seolah mengenalnya dan nggak usah sok membelanya begitu. Aku tahu apa
yang harus kulakukan."
Bocah itu hanya tersenyum separo. Lagi-lagi merendahkanku. Oh, sepertinya dia memang segaja
diciptakan untuk mengacaukan mimpiku. Bocah tengil!

***

Asrul mengambil piring, memindahkan sedikit makanan ke atasnya, lalu pergi ke ruang tamu.
Dia lebih memilih sahur di sana sendirian sambil nonton acara televisi. Suara kerupuk yang digigit,
menjadi satu-satunya bunyi yang bisa kudengar dari mulutnya. Sudah dua hari ini, aku hampir sama
sekali tidak bicara dengannya.
Sebenarnya di sini siapa yang salah? Kenapa dia yang terkesan lebih marah dariku? Harusnya kan
aku yang marah? Pagi tadi itu bukan pertama kalinya, tapi setiap sahur dan buka puasa, dia selalu milih
buat makan sendirian. Kalau nggak sengaja papasan denganku, dia akan menghindar atau membuang
muka. Enggan bertatapan langsung.
Sekarang, Aku yang membuang wajah saat melewatinya. Yang lebih menjengkelkan dari itu,
adalah Ayas yang malah menertawakanku. Keterlaluan!
"Kamu tau seperti apa dirimu sekarang?" Ayas meraih lenganku yang melewatinya. Mungkin aku
memang kurang pandai dalam menyembunyikan emosi. "Kamu mirip anak kecil yang lagi ngambek
karena mainan kesayangannya diambil orang."
"Dan kamu mirip Gus cabul yang seenaknya menyentuh perempuan, padahal belum ada ikatan."
"O oow!" Ayas mengangkat tangan ke udara, membuatku merasa menang karena berhasil
mengembalikan ucapannya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusaalam warahmatullah." Aku dan Ayas menjawab salam bersamaan. Saat kami
menoleh, Gus Anam sedang berdiri di ambang pintu yang memang dibuka.
"Gus ... ada apa?" Ayas menghampiri kakaknya, tapi tangannya seolah memberikan isyarat agar
aku tetap di tempat. "Bukannya kemarin Gus Anam bilang ada urusan, kenapa sekarang malah di sini?"
Ayas maju selangkah, menyalami kakaknya lalu mencium punggung tangan pria itu.
"Aku mau pamitan sama kalian, rencananya sore ini akan kembali ke pesantren." Suaranya selalu
terdengar tenang, dengan senyum kebapakan yang merekah di bibirnya, membuat perempuan manapun
pasti merasa aman dan terlindungi saat di dekat Gus Anam
Saat dia melihat ke arahku, aku hanya mengangguk sambil menangkupkan tangan di depan dada.
"Kamu kelihatan murung, apa ada masalah?" Yassalam! Betapa bahagianya menjadi Ayas.
Memiliki seorang kakak yang bahkan hanya melihatku sekilas, dia bisa merasakan kegundahan hatiku.
"Berandal ini tidak membuat masalah denganmu, kan?" lanjutnya sambil melirik Ayas. Saat itu juga, Ayas
langsung menatapnya dengan tatapan tidak suka.
"Aku ini berandal bertuhan, nggak mungkin membuat masalah sama perempuan lemah." Ayas
berkilah dengan gaya sok cool, seperti biasa. Tapi kulihat tangannya mengepal kuat-kuat saat Gus Anam
menghampiriku. Buku-buku jarinya sampai terlihat memutih. Dia cemburu? Masa iya, sih.
"Kamu harus baik-baik saja, karena adikku begitu tergila-gila padamu. Aku rasa, napasnya
berkaitan erat dengan detakan jantungmu." Gus Anam mengusap puncak kepalaku yang terhijab
kerudung sambil tersenyum. Aku hanya bisa tersipu saat mengetahui fakta baru, bahwa calon kakak ipar
ternyata sama tukang gombalnya dengan sang adik.
Haaah? Calon kakak ipar? Memikirkannya saja membuatku malu. Apa lagi kalau nanti aku benar-
benar menikah dengan Ayas, yah?
"Aku pamit dulu, ya. Aku dan seluruh keluarga di pesantren menunggumu kembali." Dia
berpamitan dan benar-benar segera pergi, sebelum aku sempat menawarinya untuk menunggu sampai
buka puasa di sini. Ah! Calon adik macam apa aku ini?
" Duh, yang kesayangannya Gus Anam. Pipinya sampai merona gitu dielus sama dia." Ayas
melemparkan buku di tangan ke meja, lalu duduk di salah satu kursi ruang tamu.
Yang benar saja, barusan dia mengataiku seperti anak kecil, tapi dia malah bersikap lebih
kekanakan. Adik macam apa yang cemburu dengan saudaranya sendiri?
"Duh, yang jeles sama saudara sendiri. Biasa aja kali duduknya, nggak kasihan ama tuh kursi?"
Ngomong-ngomong saudara, aku jadi ingat perkataan Asrul. Dia pernah menyuruhku untuk
mencari tahu tentang Gus Anam. Apa aku tanya saja yah, sama Ayas?
"Dia bukan saudara kandungku." Jackpot! Memang itu yang ingin kucari tahu. Sepertinya kita
memang berjodoh, Gus Ayas. Kamu tahu persis yang aku butuhkan. Hahaaa
"Selama ini aku memang menganggapnya sebagai seorang kakak, karena hal itu yang selalu
dikatakan Abah sama Ummi. Tapi baru-baru ini aku tahu, ternyata dia bukan saudara kandungku." Dia
berhenti sejenak, raut wajahnya mendadak terlihat murung. Aku mendekat dan duduk di kursi
sebelahnya. Jangan berpikir tentang posisiku yang saling berhimpitan dengan Ayas, karena kursi sebelah
yang kumaksud, adalah kursi yang berada di seberang meja. Jadi kami terhalang meja kayu kecil. "Kamu
ingat saat kita pertama bertemu di pesantren?" Aku berpikir sejenak, tapi tentu saja aku ingat, karena
baru kemarin bromocorah berambut kriting membuatku kembali ke masa itu.
"Ya? Kenapa?"
"Saat itu, aku sebenarnya lagi belajar di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, tapi Abah
terus-terusan menyuruhku pulang karena Gus Anam sering kali tak sadarkan diri selama berhari-hari.
Dan saat aku pulang itu, dia lagi koma di ruang kesehatan. Abah bilang saat diperiksa dokter, semuanya
normal, makanya dia tidak dirawat di rumah sakit. Tapi dia tetap dalam keadaan seperti itu selama lebih
dari seminggu. Lalu saat terbangun, dia sering bersikap aneh. Aku mulai curiga, apa mungkin itu efek
dari trauma masa kecil yang pernah dialaminya?"
"Trauma? Memangnya Gus Anam pernah mengalami kejadian apa sampai kamu berkesimpulan
begitu?"
"Ning Umayya, kakak pertamaku, belum lama dia cerita tentang masa kecil Gus Anam. Katanya,
dia seorang anak yang menjadi korban selamat dari peristiwa pengeboman di acara haul akbar pesantren
bertahun-tahun lalu. Tapi katanya, nggak ada satu pun dari korban yang merupakan keluarganya. Karena
itu lah, Abah mengasuh dan mengangkatnya sebagai anak."
Pengeboman? Anak angkat dan ... koma? Kenapa aku merasa ada yang janggal, ya? Tunggu!
Dalam mimpiku waktu itu, jelas sekali aku bertemu dengannya. Dia menyuruhku segera masuk kamar
karena katanya udara dingin saat malam hari tidak baik untuk kesehatan. Aku ingat betul semua itu.
Mataku terpejam, kembali mengingat peristiwa lima tahun silam, di mana aku dan Ayas baru
bertemu. Aku duduk di teras pendopo, seekor kucing yang berlari dari arah maqom dan Gus Ayas yang
muncul seperti pencuri. Aku berusaha untuk mengingatnya lebih detail lagi.
Setelah Ayas merecoki kewarasan otakku dengan menanyakan masalah kerudung, dia kabur ke
dapur pesantren dan saat aku berusaha mengejarnya, ... saat itu, ... Ah! Kenapa rasanya sulit sekali
mengingat hal itu? Aku masih muda, kan? Aku belum pikun! Harusnya bisa dengan mudah mengingat
kejadian yang baru lima tahun berlalu. Apa lagi itu merupakan pertemuan pertamaku dengan Ayas, si
mahluk keras kepala pengacau susunan otak.
"Selama Gus Anam belum sadar, yang akan menggantikan tugasnya mengajar adalah Gus Ayas.
Kamu atur ulang jadwalnya, dampingi dia saat mengajar, karena Ayas itu anak yang sulit diatur." Abah
Abdullah berjalan bersama Kang Amin dari arah musholla. Saat itu aku bersembunyi di balik tembok,
lalu mengendap-endap menuju kamar asrama.
Yaa! Iya, benar begitu. Tapi, itu artinya aku tidak bertemu Gus Anam seperti yang ada di dalam
mimpi. Jadi? Ya Allah, jadi ini alasannya bocah itu membawaku kembali ke sana? Dan Asrul, dia pasti tau
tentang semua ini.
"Asrul!"
"Asrul?" Ayas terlihat bingung, mungkin karena aku tiba-tiba nyebut nama Asrul.
"Maaf, tapi kita lanjutkan obrolan ini lain kali. Tapi sekarang ada yang harus kuselesaikan sama
Asrul." Aku bergegas meninggalkan Ayas, dan segera menemui Asrul. Sore-sore begini, biasanya dia
nongkrong di tempat Karin. Merecoki mantan pacarnya itu, bermain gitar dan bernyanyi bersama, seolah
melupakan fakta, kalau perut Karin sudah makin bucit. Kalau aku jadi Mas Deny, pasti sudah kukirim
Asrul ke Pluto. Mana mau aku melihat pasanganku lengket sama mantannya begitu.
Benar saja, saat aku masuk ke ruang tamu rumah Uwa Sarti, Asrul lagi ngajarin Karin main gitar.
Benar-benar pemandangan yang sangat memalukan. Karin duduk di sebelahnya, sementara tangan anak
itu melingkar di pundak Karin untuk menuntun jari-jarinya ke posisi kunci C.
"Lus, aku mau ngomong sama kamu. Bisa kita pulang sekarang?"
Asrul menjauhkan dirinya dari Karin, kelihatan canggung, mungkin malu kepergok begini sama
aku. Alisnya terangkat sebelah, tidak menjawabku sedikitpun.
Aku mengembuskan napas kasar, hendak mengeluh karena dikelilingi oleh orang-orang yang
selalu bersikap kekanakan, tapi rasanya percuma. Tidak akan mengubah apa pun. "Oke, aku minta maaf
atas sikapku. Tapi sekarang, ayo kita bicara."
Dia malah kembali pada gitarnya. Mengabaikanku lagi. Karin menatapnya dengan sorot
memerintah dan tersenyum penuh isyarat agar Asrul mengikutiku. Tak sabar dengan kelakuan anak itu,
aku segera menyeretnya dan mengambil gitar di pangkuan Karin lalu membawanya pulang.
"Pinjem bentar ya, Rin."
"Sipp!"
Aku menyeret Asrul dengan langkah serabutan. Setelah ini, sepertinya aku juga perlu menemui
bocah berambut kriting itu. Dia yang membawaku kembali ke masa lalu, itu artinya dia juga tahu sesuatu.
Ternyata selain dikelilingi sama orang kekanakan, aku juga dikelilingi sama orang yang suka berbelit-
belit.

☆☆☆

"Aku mendengarkan," ucapku setelah masuk ke kamar Asrul. Dia malah melenggang santai
menuju tempat favoritnya. Kursi rotan di dekat meja yang berada di sudut kamar. Tepatnya di depan rak
buku. Dia memang sering menghabiskan waktu di sana.
"Mendengarkan apa? Aku nggak ngerasa ada yang perlu kamu dengar dariku."
"Please stop it, Asrul. Aku udah minta maaf sama kamu, kan? Aku juga udah sadar kalau aku
salah, karena itu aku mendatangimu. Aku mau mendengarkan apa yang kamu katakan. Apa pun yang
kamu tahu tentang bapak, yang aku tidak tahu."
"Kenapa? Apa kamu baru kepentok tembok sampai berubah pikiran gitu?" Selalu menyebalkan,
itulah Asrul. Dia masih saja sinis sama aku.
"Asrul, kamu boleh marah sama aku, tapi jangan hukum aku dengan merahasiakan tentang
bapak."
Asrul senyum separo. Benar-benar ekspresi yang sangat menjengkelkan. Ditambah lagi dia
berdiri, mendekatiku, lalu bersedekap dan kakinya menyilang dengan menyandarkan tubuh ke meja di
belakangnya.
"Apa yang kamu harapkan dengan menemuiku, kalau kamu langsung menolak apa yang aku
katakan, hanya karena itu tentang orang yang menurutmu baik."
"Oke, aku emang salah dalam hal ini. Tapi tadi aku baru ngerti maksudmu. Kenapa kamu nyuruh
aku buat cari tahu tentang dia. Sekarang, aku tahu dia bukan kakak kandung Gus Ayas, tapi apa
hubungannya sama bapak? Kenapa kamu sebenci itu sama dia."
"Kenapa sekarang kamu jadi mau bahas Gus Anam? Bukannya kamu bilang sendiri sama aku,
kalau perkataanku itu hanya tuduhan tak berdasar ...."
"Sudah kubilang, aku baru tahu kalau dia bukan kakak kandung Gus Ayas dan juga aku baru
sadar kalau ternyata dia ...."
"Kalau dia juga melakukan proyeksi astral sepertimu?"
"Maksudmu?"
"Iya! Aku tahu kamu sering keluyuran ke dimensi lain untuk menemukan bapakmu. Hei! Apa
kamu nggak punya otak?"
Lah? Kenapa aku malah dibentak-bentak? Tadi aja sok nggak peduli, sekarang sepertinya sifat
keemak-emakannya sudah kembali. Aku lega, kalau sudah begini, artinya Asrul tidak marah lagi sama
aku. Bahkan bisa jadi, dia memang tidak pernah benar-benar marah. Itu salah satu teori datarku tentang
Asrul.
"Kamu tahu, kalau hal itu membahayakan dirimu sendiri. Yang ada, bukannya nemuin bapakmu
yang hilang, malah kamu ikutan raib! Orang yang kita hadapi, bukan orang dengan otak karatan yang
pemikirannya dangkal kayak kamu!"
"Jadi ... selama ini kamu tahu siapa otak dari hilangnya bapak dan orang-orang sejak lima tahun
lalu? Atau bahkan kamu tahu di mana sebenarnya bapak sekarang?"
"Aku juga masih berusaha menyelidiki, tapi mungkin kamu juga nggak akan percaya kalau aku
beri tahu sekarang. Aku masih berusaha mengumpulkan bukti."
"Kamu nggak perlu berbelit-belit lagi, Mas." Ayas tiba-tiba masuk dan membuatku semakin tak
mengerti. "Sudah saatnya Jea tahu, waktu kita sudah tidak banyak."
Apa-apaan ini? Apa maksudnya Ayas ngomong begitu? Kenapa aku jadi seperti orang paling
bodoh dan seolah paling nggak tahu apa-apa dengan masalahku sendiri.
.

Anda mungkin juga menyukai