Anda di halaman 1dari 4

Lebih Ganas dari Vampir

Langkahku perlahan menyusuri pagar-pagar sawah. Melihat indahnya bunga


sepatu yang mekar di sana. Tapi bukan itu tujuanku. Aku menelusuri pagar ‘tuk
mencari bekicot sang siput darat. Lumayanlah untuk tamabahan uang jajan. Meski
mamakku tak pernah mengijinkanku, aku tetap bersikeras bersama kawan-kawan
pergi ke ladang. Alasan mamak sering kali terkesan mengada-ada. Takut ada ularlah,
ada serangga berbahayalah, sampai-sampai dia bilang takut digondol pek-pek-an.

Pasti kau pernah dengar sosok mahluk yang suka memenggal leher anak kecil.
Dialah pek-pek-an yang sering mamak sebut-sebut. Konon katanya dia menggunakan
kepala-kepala anak kecil sebagai tumbal pesugihan. Untuk mengelabuhi targetnya dia
sering menyamar sebagai pencari rumput. Tapi tenang, untuk mengenalinya kau bisa
lihat karung goni yang ia bawa. Biasanya ada bercak-bercak merah bekas korban
sebelumnya. Dia akan berburu anak kecil di saat matahari sudah tepat di atas kepala
atau menjelang masuk maghrib, karena waktu itu para petani telah pulang ke rumah.

Mengingat kata pek-pek-an –meski aku tak percaya- sebenarnya membuatku


takut ‘tuk berdiri di sini. Pasalnya kawan-kawanku tengah pulang ke rumah karena
sekarang matahari tengah berdiri tegak. Tapi apa daya kresekku masih belum terisi
penuh dengan bekicot. Aku ‘kan terus melakukan penyusuran.

Sampai akhirnya aku melihat sosok pencari rumput. Awalnya aku mengira dia
pencari rumput biasa. Namun saat ku perhatikan rupanya karung goni yang ia bawa
seperti ada bercak-bercak merah. Apalagi sesekali ia memandangku yang tak terlalu
jauh darinya. Dia terus mendekat. Terus mendekat. Bulu romaku bergidik girang.
Dadaku berdegup kencang tak karuan. Apakah dia itu dia?

Tiba-tiba dia berdiri tegak tak jauh dihadapanku. Wajahnya sangar dengan
kumis yang tak dicukur. Matanya tajam memandang bagian leherku. Tubuhnya kekar
penuh keringat. Dengan sebilah sabit ditangan kanannya, ia angkat tangannya tinggi-
tinggi. Menghunus haus pada darah anak kecil di depannya, aku. Lalu dia berkata
dengan halus

“Kemarilah dengan tenang Nak, jangan sampai dahan di pagar itu bergerak
sedikit pun.”
Aku lari terbirit-birit sekuat tenaga. Tapi sejak pertama kali ku langkahkan
kakiku, aku merasa di leherku seperti terkena sumpitan. Terasa ada luka di leherku.
Aku tak berhenti melangkah. Sesekali ku lirik ke belakang. Apakah dia mengejarku.

Ah sial dia masih mengejar. Ku turuni bukit menuju ladang padi. Keputusan ku
ini begitu bodoh. Pasalnya jalan di ladang padi begitu licin. Awalnya aku mengira
dengan ku turun ke ladang padi, nantinya akan banyak petani yang dapat melihat ulah
orang di belakangku. Tapi nyatanya ladang padi telah sepi karena para petani tengah
istirahat pulang ke rumah. Sementara kepalaku mulai berkunang-kunang. Mungkin
efek dari sumpitan tadi. Jadilah aku terperosok di antara lumpur ladang. Tak kuasa
aku mengangakat kakiku.

Lelaki itu semakin mendekat. Pandangannya fokus menuju ke arahku. Ku lihat


ia tak lagi membawa sabit. Mungkin terjatuh saat mengejarku. Tapi tetap saja dada ku
berdegup kencang. Berdirilah dia dihadapanku. Dengan cepat dia menyambar leherku
bak seorang vampir. Ah gila rupanya pek-pek-an lebih ganas dari pada yang
diceritakan. Dia menghisap terus darah dileherku. Aku menangis ketakutan. Akankah
ku mati sekarang? Terbayang wajah mamak di hadapanku saat dia melarangku pergi.
Oh mamak, maafkan anakmu ini yang tak pernah mengindahkan ucapanmu.
Pandangan mataku semakin kabur. Perlahan hilang tak sadarkan diri.

Oh sudah kah aku disurga. Ku merasa tangan lembut mamak memegang erat
tanganku. Masih terasa berat ku buka mata ini. Perlahan mataku terbuka. Telihat
pemandang yang sudah tak asing; ruang tamu rumah ku. Betapa baik tuhanku
menyediakan rumah yang sama dengan rumahku. Setidaknya untuk mengenang hari-
hari indah bersama mamak, karena rupanya aku yang pulang duluan.

Eh ternyata benar tangan mamak yang memegangku. Apakah mamak juga


sudah pulang ataukah tuhan memberiku bidadari berwujud mamak untuk menemaiku.
Masih saja ku bertanya-tanya. Lalu ku dengar suara mamak serak dengan tangisan.

“Oh Nak, Alhamdulillah kamu sudah sadar” sambil mengelus-elus kepalaku

“Mamak inikah surga?” tanyaku dengan polos

“Ya inilah rumah kita, surga kita bersama” jawabnya penuh kelembutan

“Mamak juga pulang?” tanyaku penasaran


“Pulang ke mana?”

“Pulang ke rahmatullah”

“Belum Nak, kau juga belum. Kita masih di dunia. Tuh lihat bapakmu.”

Ku lihat bapak sedang menjamu seseorang di kursi yang lain. Sialnya si pek-
pek-an itulah sang tamu. Ku lihat bapak berterima-kasih kepada si pek-pek-an itu. Ah
konspirasi apa yang mereka lakukan. Bukankah dia yang telah berusaha
mencelakaiku. Mengapa bapak malah berterimakasih padanya. Dari dulu aku memang
tak suka dengan bapak tiriku itu.

Ku beranikan diri ‘tuk bertanya pada mamak apa yang sebenarnya terjadi dan
siapakah orang itu.

“tenanglah nak semua tidak seperti yang kau bayangkan” kata mamak sambil
memijat tubuhku

“Itu Pak Slamet, tadi kau diantar pulang olehnya setelah beliau mengeluarkan
bisa ular di lehermu”

“Mamak, aku terkena patokan ular?”

“Ya Nak, tadi ku perhatikan kau terus di pagar sana karena ku tahu di sana ada
ular berbisa” sambung Pak Slamet

“Dan setelah kulihat dari dekat ternyata benar ular itu di belakangmu. Tapi saat
kau ku suruh mendekat padaku tanpa mengusik pagar. Kau malah lari ketakutan.
Terkenalah kau patokan ular.”

“Jadi bapak bukan pek-pek-an?” tanyaku

“Oh, kau lari karena mengiraku pek-pek-an?” Tanyanya sambil ketawa

“Ah, ada-ada saja anakmu ini”


Tentang Penulis

Ardloah Ahmad Dhany, lahir di Jember tanggal 20 juli 2000. Semasa kecil dia
tak pernah mengenal kawan. Hidupnya hanya berkutat di kamar, manja dibawah
gendongan ummi Siti Sofiyah. Saat usia remaja dimulai, Sang Abi Abdul Ghofur
menculik Ummi tuk menghilang dan menggalkannya di Pesantren Sukorejo hingga
kini.

Anda mungkin juga menyukai