Anda di halaman 1dari 2

KUCING KESAYANGANKU

Aku punya seekor kucing kesayangan, namanya Belang. Belang adalah kucing yang pendiam
namun sangat pintar. Dia akan melakukan apa saja yang aku suruh,misalnya ketika aku menyuruhnya
untuk mengambilkan ikat rambut. Aku memberitahukan ciri-cirinya dengan bahasa isyarat dan
setelah dia paham,dia akan mulai mencarinya dan membawakannya padaku. Bagiku, dia adalah
segalanya dan aku sangat menyayanginya.
Setiap hari aku selalu memberinya makan dan selalu bermain bersamanya. Dia sudah seperti
nafasku. Aku seperti tidak bisa hidup tanpanya. Walaupun terkadang dia membuatku kesal,tetapi aku
memaafkannya, mengelus kepalanya dan tetap menyayanginya.
Musim ini adalah musim untuk para kucing ‘menikah’. Saat itu, Belang juga sering kabur dari
rumah untuk mencari pasangannya. Belang melakukan hal itu setiap hari. Karena kakakku geram
akan kelakuannya, dia pun melakukan hal yang benar-benar diluar dugaanku. Kakakku pun mengikat
Belang dengan sangat kejam. Kakakku mengikatkan tali ke leher Belang. Kakakku mengikatnya terlalu
kuat hingga aku berpikir Belang merasa tercekik. Untuk beberapa saat,aku dan kakakku pun
bertengkar. Dalam pikiranku, aku merasa sangat tidak tega tetapi setelah kakakku meyakinkanku
bahwa semuanya akan baik-baik saja, akhirnya aku pun setuju. Harusnya saat itu aku tidak perlu
mendengarkan apa kata kakakku.
Kakakku pun mulai mengikatkan tali ke leher Belang kembali setelah aku melepaskannya karena
kasihan kepada Belang. Ujung tali lainnya diikatkan ke sebuah paku yang menonjol keluar. Lalu
kakakku menaruh Belang di atas sebuah meja yang dekat dari pagar. Dari kejauhan, aku melihat aksi
itu dengan memegang dadaku dan sedikit menutup mata. Ku lihat tali yang panjang berada disekitar
Belang, dan itu membuatku lebih sakit hati lagi. Lalu setelah kakakku telah menyelesaikannya, ia
mengajakku untuk pergi ke kamar.
Melalui jendela dari dalam kamar, aku selalu memperhatikan Belang dengan amat kasihan. Aku
menunggu hingga kakakku tertidur agar aku dapat melepaskan ikatan tali itu. Namun sayangnya, aku
pun tertidur.
Jam tidak pernah berhenti bergerak, aku dan kakakku pun dibangunkan oleh papaku. Ternyata
kakakku pun juga tertidur. Aku pun sontak bertanya kepada papaku bagaimana keadaan Belang.
Karena papaku tidak menjawab, aku pun mempunyai firasat buruk. Aku pun lari keluar rumah untuk
melihat Belang. Saat aku melihat Belang, aku pun menangis sejadi-jadinya.
Belang telah meninggalkanku untuk selamanya. Ia tergantung di pagar karena talinya yang tidak
cukup panjang. Kejadian itu begitu menyayat hatiku. Lalu papa dan kakakku melepaskan ikatan yang
telah mengikatnya. Sedangkan aku di kejauhan, menangis hingga aku terserang flu yang cukup parah.
Malamnya, setelah keadaanku sudah menjadi lebih baik, papaku menyuruh aku dan kakakku
memasukkan tubuh Belang yang sudah tidak bernyawa tersebut kedalam sebuah plastik hitam dan
melemparkannya ke sungai yang berada cukup dekat dari rumah kami. Kami pun menurutinya.
Dalam keluarga kami, semua hewan yang pernah kami pelihara ketika ia mati maka akan dilemparkan
ke sebuah sungai dekat rumah. Air mata tergenang dimataku saat hendak memasukkan Belang
kedalam plastik itu. Aku melihat wajah Belang yang imut,menggemaskan nan polos yang sudah tidak
berdaya lagi.
Sepanjang perjalanan menuju ke sungai, aku mengingat momen-momen saat aku bersama
Belang. Sepanjang perjalanan itu pula, aku menahan agar aku tidak menangis lagi.
Tangisku pun pecah saat sudah sampai di sungai dan harus melemparkannya. Sebelum plastik
itu di lemparkan, aku pun berdoa sambil memeluknya agar dia tenang dan bahagia disana. Lalu
setelah selesai berdoa, aku pun memberikan plastik itu kepada kakakku karena aku tidak tega
melemparnya. Saat kakakku telah melemparkannya, aku sama sekali tidak bisa menyudahi
tangisanku, dan saat itu pula hujan pun turun. Aku merasa bahwa dunia juga sedang berduka atas
kepergian Belang dan aku menganggap bahwa doaku telah dikabulkan.
Saat perjalanan kembali ke rumah, aku merasa sangat hancur. Kemudian, ketika aku sampai di
rumah, melihatku menangis dengan begitu hebatnya, papaku pun menenangkanku. Dia
menghiburku dengan candaannya berharap aku dapat lebih tenang dan dapat mengikhlaskan Belang.
Keesokan harinya, setelah sarapan, aku pun mencari Belang untuk memberi makan dan mengajaknya
bermain seperti hari-hari yang lalu. Aku lupa kalau Belang sudah tiada. Karena aku tidak
menemukannya, aku beranggapan Belang pasti kabur dari rumah lagi. Tapi saat kuingat hari-hari
kemarin, aku pun menangis lagi. Seharian aku berada di kamarku dan tidak nafsu untuk melakukan
aktivitas apa pun. Keluargaku mengerti perasaanku sehingga membiarkanku di kamar.
Lalu malamnya, ketika aku sedang tidur, aku bermimpi bertemu Belang. Aku senang dia tampak
bahagia. Dalam mimpiku, aku memperhatikannya dari kejauhan. Saat aku sedang
memperhatikannya, Belang berjalan menghampiriku dan dia berbicara dengan bahasa manusia. Dia
berterima kasih karena aku dan keluargaku telah merawatnya dari ia baru lahir hingga ia mati.
Setelah itu, aku pun memeluknya. Saat selesai memeluknya, aku pun bangun dari mimpiku.
Aku senang doaku telah dikabulkan oleh Tuhan. Aku senang aku bisa bertemu dengannya lagi
walau hanya dalam mimpi. Dan akhirnya aku pun telah mengikhlaskannya sekarang.

Anda mungkin juga menyukai