Ngekkkkkk…..suara pintu yang terbuka seketika membuatku dengan segera menarik
selimutku lebih merapat lagi. Derap langkah yang ku yakini mengarah kepadaku membuat pikiranku tidak dapat kukendalikan lagi. Aku tidak bisa berhenti berpikir bahwa akan ada hal buruk yang menimpaku saat ini. Sungguh saat ini aku tidak mengantuk, tapi naluriku berkata untuk menutup mataku rapat-rapat. Berharap dengan ini, rasa takutku menhilang. Namun dugaanku salah, rasa takut kian menjalar seiring ku rasa deru nafas yang tersapu dingin di rambutku. Intuisiku mengatakan padaku untuk segera membuka mata dan menghadapi apa yang seharusnya ku hadapi. Tapi tubuhku menolak, mataku seakan memaksakan dirinya terpejam sangat erat sampai bergetar. “Can you play with me?” Jlepppppp……suara itu nyaris membuat jantungku berhenti berdetak. Ya, hanya dengan suara itu saja sanggup membunuhku yang tengah takut setengah mati. Ku mohon ya Tuhan, jauhkan hal-hal buruk dariku. “Dini…” Suara yang ku kenal , suara yang seakan memberikan perlindungan bagiku. Dengan sisa keberanian, ku balikan tubuh berbalut selimutku ke sumber suara. Perlahan tapi pasti, ku buka mataku. Memastikan, bahwa yang ku dengar benarlah suara malaikat penolongku. Dan benar, itu dia. Kakak perempuanku, Dina Riana tengah duduk di tepi ranjang sembari mengelus rambutku lembut. “Kau belum tidur?” tanyanya kemudian. Aku hanya merespon dengan anggukan lemah, sejujurnya ketakutan masih hinggap di diriku saat ini. Kakak hanya membelai pipiku, kurasakan tangan hangat yang selalu menenangkanku tidak ada. Yang ada hanyalah sapuan dari tangan dingin yang membuatku sekilas merinding. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sungguh saat ini aku merasakan dia bukanlah Kakaku. Ku raih tangan yang masih hinggap di pipiku. Ku genggam sekilas dan ku jauhkan dariku. “Aku akan segera tidur Kak. Kakak bisa tidur sekarang.” Kataku tanpa menatap manic matanya. Entahlah, tapi aku merasa takut akan mata itu. Mata yang biasanya memancarkan kasih sayang. Tapi yang kulihat dari mata itu saat ini adalah gairah untuk memakanku hidup- hidup. Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis segala pikiran gila yang mulai menguasaiku. Bagaimanapun juga dia Kakakku, dan aku menyayanginya sebagaimana dia menyayangiku. “Kau takut denganku Dini?” katanya sembari menarikku kedalam pelukannya. Tebak apa yang aku rasakan, tentu saja ketakutan yang luar biasa. Aroma melati menyeruak dari tubuh kaku nan dingin milik Kak Dina. Kemana aroma coklatnya yang selalu menenangkanku dan membuatku tak kuat menahan kantuk. Sejak kapan Kakak suka aroma melati? Berbagai pertanyaan mulai memenuhi pikiranku, dan aku tahu ini adalah pikiran paling gila jika aku mengatakan wanita yang sedang memelukku saat ini bukanlah Kakak kesayanganku. Tapi kalian harus percaya bahwa naluriku berkata demikian, sungguh jika kalian berada di posisiku kalian akan berpikiran hal yang sama. Ku dorong tubuhnya pelan, berjaga-jaga jikalau aku menyinggung perasaannya saat ini. “Maaf jika aku membuatmu khawatir Ka. Sekarang Kakak bisa tidur dengan tenang, aku juga sudah mengantuk dan akan segera tidur.” Kataku sehati-hati mungkin padanya. Syukurlah Kak Dina mengerti, dia akhirnya berjalan keluar meninggalkanku. Tapi, sebelum dia benar-benar berada di luar. Dia sempat berbalik, menatapku dengan tatapan kosong yang mengerikan. Tulang pipi yang menonjol dan lingkaran hitam di bawah matanya memberi efek mengerikan pada wajahnya saat ini. Dia tersenyum, bukan-bukan. Itu bukan senyuman, itu lebih tepat di sebut seringaian menakutkan. “Bacalah doa sebelum tidur Dini, kunci pintu jika kau ingin hidup.” Katanya disusul pintu yang sudah tertutup. Kalian tahu apa hal pertama yang kulakukan setelah dia keluar? Tepat sekali, aku berlari menerjang pintu dan menguncinya rapat-rapat. Bersender, dan menangis sesegukan. Dia bukan Kakaku, kemana Kak Dina sekarang? Aku takut, aku butuh dia saat ini. Sebelumnya, aku tidak ingin membuat kalian bingung dengan ceritaku ini. Jadi, mari ku ceriatakan dari awal. ***** Malam itu, tepat pukul delapan. Kak Dina mendapat panggilan telephon dari bosnya. Aku tidak tahu pasti apa yang bosnya katakan, tapi sepertinya itu menyangkut soal pekerjaan. Dia ijin kepadaku untuk keluar sebentar, dia bahkan banyak meminta maaf karena harus meninggalkanku sendirian di rumah dan pada malam hari pula. Tapi, aku pikir aku akan baik- baik saja. Semenjak kecelakaan yang merenggut kedua nyawa orang tuaku, aku sudah terbiasa sendiri di rumah. Itu karena Kak Dina harus bekerja membanting tulang untuk biaya kami hidup. Dia akan berangkat di pagi hari, dan pulang pada pukul lima sore. Tapi sungguh, ini pertama kalinya aku ditinggal sendirian di rumah pada malam hari. Mencoba menampik rasa takutku, aku meyakinkan Kak Dina dengan mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Dengan berat hati, akhirnya dia meninggalkanku sendirian dirumah. Dia bilang dia tidak akan lama. Menghiraukan kepergian Kakakku serta rasa cemas akan malam yang semakin larut. Aku akhirnya pergi ke kamar, berniat menyudahi rasa lelahku dengan istirahat di ranjang empukku. Aku merebahkan diri, dan menarik selimut hingga ke batas dada. Perlahan mataku mulai terpejam, diikuti masuknya diriku ke alam mimpi. “Dini….Dini…Dini.” Aku merasa ada yang memanggilku dari kejauhan, suasana yang gelap sontak membuatku susah mengenalinya. Namun aku yakin dia adalah perempuan, karena cahaya bulan seperti sengaja menyinari helaian rambut yang indah berkilau miliknya. “Dini…Dini…Dini.” Aku kenal suara itu, itu suara Kakakku pikirku. Dia semakin mendekat, berlari ke arahku yang hanya mematung menunggu jarak yang kian menipis diantara kami. Tepat lima langkah lagi sekiranya dia sampai di depanku, tapi langkahnya berhenti. Ku lihat raut wajah kecemasan itu. Banyak rasa bersalah yang terpatri jelas disana. “Apapun yang terjadi, jangan pernah membiarkan siapapun masuk ke rumah pada jam dua belas malam Din.” Ucapnya parau. Aku sungguh tidak mengerti akan larangannya itu. Bagaimana kalau itu adalah dia, maksudku bagaimana kalau itu adalah Kakaku yang mengetuk pintu. Apakah aku tega tidak membiarkannya masuk? Lagi pula ini hanya mimpi, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Oh ya, jika kalian bingung. Aku sekedar memberi info. Bahwa sejak kecil aku memang memilki kemampuan untuk menyadari mimpiku sendiri. Jadi aku jelas sadar bahwa ini hanya mimpi. Kalau kata orang sih aku ini penderita Lucid Dream. Dimana aku bisa sadar jika sedang ada dalam mimpi, bahkan aku dapat mengendalikan mimpi itu sesukaku. “Dengar Dini, ini bukan seperti mimpi yang dapat kau kendalikan. Kakak…Kakak menyesal meninggalkanmu sendirian. Kakak minta maaf.” Katanya parau. Oke, mimpi ini sudah semakin aneh dan tidak jelas. Aku ingin segera bangun dari mimpi aneh ini. Tapi Kakak malah meriaki namaku lagi. Dia terus memohon kepadaku untuk menuruti permintaanya. Dia juga terus meracau meminta maaf padaku. Entah kenapa, aku merasa mimpi ini berbeda. Biasanya aku bisa mengontrol dan mengendalikan alur dari mimpiku sendiri. Itu menguntungkanku karena dengan itu aku bisa membuat impianku terwujud dalam mimpiku, aku juga tidak pernah memunculkan hal-hal buruk dalam mimpiku sehingga aku tidak pernah bermimpi buruk. “Sudahlah Kak. Tidak akan terjadi apa-apa padaku, Kakak hanya bagian dari mimpiku. Dan sebaiknya aku harus segera bangun dan menyusun ulang mimpi indah untuk jamuan tidurku kali ini.” Tegasku padanya. Aku kemudian merapalkan mantra, maksudku mensugesti diriku sendiri bahwa aku harus bangun sekarang juga. Itu selalu berhasil membuatku terjaga sejauh ini. Tapi nyatanya, kali ini itu tidak berhasil. Aku mulai frustasi melihat Kakakku yang terus saja menatap penuh kasian kepadaku. Ini adalah mimpi yang paling tidak ku sukai sejauh ini. Ting…nong…ting…nong…ting…nong. Seketika suara bel pintu seakan menarikku keluar dari mimpi yang menurutku menyebalkan. Aku terbangun dengan keringat yang mebanjiri kaus t-shirt putih yang ku kenakan. Aku mencoba menetralisir detak jantungku, dan sesekali menyeka keringat yang masih berucucuran di sela tengukku. Ting…nong…ting…nong…ting…nong. Aku melangkahkan kakiku, ketika bel pintu kembali berbunyi. Seakan memerintahkanku untuk segera membukanya. Aku yakin itu Kakak, kulirik jam weker yang setia bertengger di nakas samping tempat tidurku. Tepat pukul dua belas malam, kenapa bisa tepat pukul ini Kakak pulang? Sudahlah, lagipula itu hanya mimpi bodoh yang tidak masuk akal, pikirku. Aku melangkah menyusuri satu per satu anak tangga, karena kamarku memang berada di lantai dua. Ketika tanganku sudah memegang gagang pintu. Entah mengapa rasanya beku, dingin menyelimuti tanganku. Tanganku tak mampu bergerak, bukan karena tak bisa tapi tak ingin. Kenapa mimpi bodoh itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Dengan pertimbangan yang matang, aku mencoba melawan kepanikan yang menyerangku secara tiba-tiba. “Apa itu kau Kak?” tanyaku meyakinkan diri bahwa yang ada di balik pintu ini memang benar Kakakku. Namun, tidak ada jawaban. Hanya hening mencekam yang timbul akibat ulah angin yang menerpa. Aku semakin takut, aku tidak yakin siapa orang yang ada di balik pintu ini. Selama lima belas menit aku hanya mondar-mandir di depan pintu tanpa ada niatan untuk membuka pintu. Baiklah sudah cukup, kenapa aku harus bertingkah paranoid seperti ini? Itu jelas-jelas Kakakku. Kenapa aku harus percaya akan mimpi bodoh itu? Aku kembali membuka suara ketika mendapati bel pintu yang kembali berbunyi. “Kak, jawab aku! Apa itu kau? Ayolah jangan bercanda, ini sudah malam. Kau juga ingin segera masuk dan berisitirahatkan?” ungkaku kesal. Lagi-lagi hanya hening, tidak ada jawaban di luar sana. Aku kembali berpikir apakah yang diluar sana itu Kakakku atau penjahat. Atu malah jangan-jangan yang di luar sana bukanlah manusia. Oke, pikiran ini sudah semakin jauh dan sedikit mulai gila. Ayolah Dini, jangan menakut-nakuti dirimu sendiri. Kau sudah enam belas tahun, dan kau sudah terbiasa ditinggal sendirian. Jangan jadi paranoid Dini, ayo jadi gadis pemberani. Dengan tangan gemetar aku memutar kunci dan menekan knop pintu. Perlahan pintu terbuka. Menampilkan sosok yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Itu, itu bukan Kakakku. Makhluk dengan wajah penuh darah, mulut yang menyeringai mengerikan. Mata yang, bukan. Itu tidak pantas disebut mata karena hanya ada cekungan tanpa bola yang mengisinya. Rambut kusut panjang yang tergerai menakutkan, baju lusuh dengan bercak darah yang ku rasa masih segar. Karena aroma anyir sungguh menyeruak indra penciumanku. Dia menatapku, matanya sungguh menghipnotisku untuk tak pergi kemanapun. Aku tahu, naluriku menyuruhku untuk segera lari menyelamatkan diri dari makhluk seram ini. Tapi kakiku seakan ditahan oleh tangan tak kasat mata yang memenjarai posisiku saat ini. Makhluk itu mendongak, memasang wajah mengerikannya dan tangannya terangkkat. Aku baru menyadari benda apa yang dipegang makhluk menyeramkan ini, dia. Makhluk itu mengulurkan kepala Kakakku, menjatuhkannya tepat di kakiku. Membuat tangis yang kian ku tahan pecah. Makhluk itu membelai rambutku, dia tertawa. Tawanya sungguh memekakan telinga, nyaring dan hampir membuat gendang telingaku pecah. “Can you play with me?” katanya. ***** Ting…nong…ting…nong…ting…nong. Bel pintu menarik paksaku dari mimpi buruk yang seumur hidup tidak pernah ku alami. “Syukurlah itu hanya mimpi.” Kataku sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiku. Lagi-lagi bel pintu berbunyi, yang mengaharuskanku mempercepat langkahku menuju lantai bawah. Ku buka pintu dan kudapati Kakakku tengah menatapku dengan senyuman aneh yang sulit diartikan. Entah mengapa aku merasa hawa lain di tubuhnya ketika Kakakku masuk ke dalam dan melewati tubuhku yang masih mematung di pintu. Aku mengamati luar, gelapnya malam tak membuat mataku melupakan keganjalan pada lantai teras. Kalian tahu apa yang ada disana, dilantai putih itu. Tertulis jelas kalimat “Not Me” dengan tinta yang ku yakini adalah darah. Darahku berdesir merasakan keganjalan akan semua ini. Mimpi-mimpi itu, bagaikan rangakain peringatan yang terpatri jelas di benakku. “Dini….” Suara lembut Kakakku menyadarkanku, aku berbalik dan mendapati raut wajah mengerikan yang menyambut. Aku tahu seharusnya aku lari, tapi bodohnya. Aku malah berpura-pura tidak tahu apa- apa. Dan inilah aku, Dini. Gadis yang tinggal satu rumah bersama makhluk yang berpura- pura menjadi Kakakku. Entah makhluk apa dia, tapi yang ku rasakan saat ini adalah aku merindukan Kakakku.