Anda di halaman 1dari 36

FEMINISME DALAM LAKON

MONOLOG
“INGGIT”
KARYA AHDA IMRAN

Bahasa dan Sastra Indonesia


Non-dik
ALIEF RAHMAN (1806429)
DECKY I.M. (1808027) 4A
M. SHOFIUL F.M. (1804318)
Seputar Alasan: Pemilihan Naskah Monolog
“INGGIT”
Bismillah, salam sandiwara.

Kami memutuskan memilih naskah monolog “Inggit” karya Ahda Imran karena menimbang beberapa
pendekatan dari kelompok sebelumnya, belum ada yang memakai pendekatan Feminisme. Kendati
demikian naskah ini bercerita tentang salah satu istri dari presiden pertama yaitu Bung Karno, dari situ
kami mendapatkan wangsit untuk kembali mengingatkan betapa pentingnya sejarah. Kami menemukan
dua karangan ilmiah dari hasil ekplorasi kami, berikut wacana dari jurnal tersebut, antara lain:
Pemeranan dan Eksistensi Perempuan. Alhasil dengan begitu banyak alasan yang sebetulnya bisa kami
paparkan, kami hanya bisa mengatakan bahwa:

Meskipun keseluruhan anggota kami laki-laki, kami begitu menghormati wanita sedemikian hak dan
suaranya!!

MERDEKA!!
SINOPSIS

Monolog Inggit bercerita tentang kesetiaan seorang wanita yang merupakan istri kedua
presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Selama 20 tahun Inggit terus menemani
Kusno, panggilannya kepada Soekarno hingga menjelang kemerdekaan. Hingga akhirnya
Inggit berani berkata "tidak" ketika Kusno meminta izin untuk menikah lagi bersama
Fatimah. Inggit memilih unuk pergi dan meminta Kusno menceraikannya lalu
memulangkannya ke Bandung. Saat itulah Inggit merasa tugasnya sebagai istri
(perempuan) sudah selesai.
Sinopsis naskah
SINOPSIS monolog
NASKAH “Inggit”
MONOLOG
Kisah Ratu Karya“INGGIT”
Ahda Imran
Inggit Diawali Kusumaningrum
KARYA AHDA IMRAN

Penceraian Inggit
Pernikahan Inggit dengan Sanusi
Masa kecil Inggit dengan
Awal Pertemuan
yang disayangi Nataatmadja
Inggit dengan
semua orang kemudian
Soekarno
pernikahannya
dengan Sanusi Inggit menikah
dengan Soekarno
Soekarno
Soekarno ingin
ingin
memiliki Soekarno pada Soekarno dipenjara di
memiliki Banceuy dipindahkan
keturunan
keturunan dengan
dengan masa pembuangan
menikahi Fatimah ke Sukamiskin Peran Inggit
menikahi Fatimah
Sebagai istri
Soekarno
Inggit memutuskan
untuk bercerai
BENTUK KARYA

DRAMA MONOLOG

Karena dalam naskah “Inggit” hanya terdapat percakapan seorang dengan dirinya
sendiri. Isinya tokoh menceritakan kisah hidupnya.

Jika dilihat dari macam-macam drama yang diusung oleh Hasanudin, dkk.(2013):
merupakan drama ajaran (Morality Play) yang berarti tokohnya merupakan insanan
sifat-sifat baik dan buruk manusia seperti kesetiaan, nafsu, dan kasih sayang.
Bentuk penulisannya sendiri merupakan drama konvensional yang menghendaki
realisme/kenyataan.
Menurut A.J. Greimas
SKEMA AKTAN dalam naskah “Inggit”

Pengirim
Objek
Inggit
Ingin memiliki Penerima
meminta
keturunan Inggit
cerai
dengan Fatimah

Penolong/ Penentang
Pembantu Masa
Inggit Subjek pergerakan
tidak bisa Kasno menuju
memberi kemerdeka
keturunan an
MODEL FUNGSIONAL

Transformasi

Situasi Awal Tahap Uji Tahap Utama Tahap Uji Situasi Akhir
Kecakapan Keberhasilan

Inggit menjadi istri


yang tegar di
Kisah inggit yang samping Kusno,
selalu disayangi segala Inggit dapat
Keinginan Kusno
oleh orang-orang, pengorbanan mempertahankan
untuk memiliki
kemudian kisah dilakukan demi harga dirinya Inggit meminta
keturunan dengan
perkawinan antara membantu Kusno sebagai bercerai dan
menikahi Fatimah
Inggit dengan melukan perjuang perempuan kembali pulang ke
yang sudah
Nata lalu dengan termasuk setia dengan Bandung
dianggap anak
Kang Uci dan mendampingi mengatakan
angkat
akhirnya dengan Kusno dari “TIDAK”
Kusno penjara ke penjara
pada masa
pembuangan
UNSUR INTRINSIK
TOKOH DAN PENOKOHAN

1. Inggit Garnasih

Segi Fisik: perempuan sunda yang anggun nan cantik

Segi Psikologis: Pekerja keras (“ dan demi hal itulah aku bekerja mencukupi
kehidupan kami ”), Setia/Pemberani (“Aku sama sekali tak gentar karena tahu siapa
yang kudampingi dan apa yang diperjuangkannya. “), dan Teguh pendirian (“ Harga
diriku tak bisa ditukar dengan sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun. “)

Segi Sosiologis: disayangi orang-orang (“ terlebih di tengah keramaian orang-orang


berebut mengungkapkan rasa sayangnya padaku. “)
3. Kang Sanusi / Kang Uci
Segi Fisik: sudah sepuh

2. Kang Nataatmadja / Kang Segi Psikologis: pendiam (“ Beda benar


Nata dengan Kang Uci yang pendiam. “), rela
berkorban/tulus (“ Kang uci
Segi Fisik: - melakukannya sebagai sebuah
pengorbanan demi masa depan Kusno
Segi Psikologis: -
yang kelak akan menjadi pemimpin tanah
Segi Sosiologis: Seorang Kopral air. “)
Residen (“ Bahkan aku masih terus
Segi Sosiologis: Aktif berorganisasi (“
menerima pemberian mereka meski
Dia Pengurus Sarekat Islam di Bandung.
aku sudah menjadi istri seorang
“)
Kopral Residen. “)
4. Kusno / Soekarno

Segi Fisik: tampan & pandai

Segi Psikologis: Bertanggung jawab (“ ia mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan


memintaku pada Kang Uci. “, Berani (“ Suaranya seperti samudra yang mengamuk,
membangunkan semangat persatuan dan kemerdekaan Indonesia sekarang juga. “)

Segi Sosiologis: Disegani (“ Tak disangka orang penuh sesak, berjejal di pinggir jalan,
mereka meneriakkan nama suamiku. ‘Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!’ “
7. Hassan Din

Segi Fisik: Tua

6. Utari Segi Psikologis: Baik Hati (“ bahkan


suatu hari atas tawaran Hassan Din,
Segi Fisik: Gadis 16 Tahun suamiku mengajar di sekolah
Muhammadiyah. )
Segi Psikologis: -
Segi Sosiologis: Seorang bapak yang
Segi Sosiologis: Istri Pertama Soekarno
ingin menyekolahkan kembali
(“ Suatu hari Kusno kembali ke Surabaya
anaknya.
menjemput Utari istrinya. “)
8. Fatimah / Fatmawati

Segi Fisik: Anak perempuan

Segi Psikologis: -

Segi Sosiologis: Anak dari Hassan Din yang ingin meneruskan sekolah.
LATAR RUANG

1. Ruang tamu (“Inggit membenahi piring dan cangkir-cangkir kopi di atas meja
bekas, sisa dari sebuah pertemuan. Lalu duduk kembali sambil membersihkan peci
atau membuat kopi tubruk.”)

2. Sekolah (“kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah.”)

3. Ruang tengah rumah (“Banyak malam kami habiskan bercakap-cakap berdua


di tengah rumah.”)
4. Kota Bandung (“Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia pengurus
Sarekat Islam di Bandung.”)

5. Sungai Cikapundung (“Kenangan Inggit dengan Kang Uci...”)

6. Kota Surabaya (“Ada surat datang dari Surabaya, dari Pak Tjokrominoto
untuk suamiku Kang Uci.”)

7. Pemondokan (“Ada juga pemondokan yang kosong, tapi sudah reyot dan tidak
pantas rasanya untuk seorang pelajar.”)
8. Kamar (“Inggit berada di dalam kamar yang nampak berantakan.”)

9. Banjaran, Desa Kamasan (“aku lahir di Banjaran, di desa Kamasan”)

10. Pasar, Alun-alun (“Di alun-alun aku bertemu dengan orang-orang yang
memberikan persembahan”)

11. Kamar depan (“Tiba-tiba saja Kang Uci mengatakan tak ada salahnya jika
menantu Pak Tjokro itu kami tempatkan di kamar depan rumah kami saja.”)
12. Rumah (“Kedatangan para student ke rumah kami tentu saja membuat aku
selalu sibuk melayani mereka.”)

13. Tempat bilyar (“Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar.”)

14. Penjara Banceuy (“Dia sudah dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke


penjara Banceuy..”)

15. Penjara Sukamiskin (“Dia dipindahkan ke Sukamiskin, penjara yang


letaknya 10 Kilometer dari Bandung”)
LATAR WAKTU

1. (“Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai pakaian


ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng.”)

2. (“Berganti hari dan pekan Kusno makin menjadi bagian dari rumah kami”)

3. (“Tapi aku senang melakukannya, termasuk menyiapkan kopi tubruk


kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah. “)
4. (“Suatu malam di tengah rumah ketika kami hanya berdua saja, ...”)

5. (“Padahal ini adalah tahun yang berat. ”)

6. (“Hari, pekan, dan bulan kami lewati di pembuangan dengan perasaan yang
ringan.”)
ANALISIS ASPEK PERTUNJUKKAN
VISUAL

Aspek Ruang: Panggung pementasan berbentuk Bingkai (Proscenium) yang hanya


menghadap kearah penonton dengan satu arah pandang saja.

Penataan Set Dekor: Dalam monolog ini, terdapat properti tembok beserta jendela terbuka
yang menggambarkan sudut rumah, dua kursi dan satu meja di tengahnya, dan bingkai foto
kusno diatas lemari.

Tata Rias: Tokoh Inggit dalam monolog tersebut sudah sangat cocok. Wajahnya sedikit
dirias agar terlihat kerutan, yang menggambarkan tokoh Inggit ini sudah tua. bentuk fisik
yang perempuan anggun dan lemah lembut, usia tidak lagi muda namun masih tetap
berwibawa.
Tata Kostum : Kostum pada monolog ini menggunakan tipe historis. Pemeran
tokoh Inggit menggunakan kebaya berwarna kuning, serta selendang yang
menggantung di pundaknya, rambut tokoh Inggitpun memakai model sanggul
pendek, dan tidak menggunakan alas kaki.

Tata Cahaya : Cahaya kadang terfokus pada tokoh Inggit ketika sedang duduk,
guna mendukung suasana. Namun sepenuhnya cahaya akan menerangi seluruh
panggung, agar penonton dapat terbayang apa yang sedang terjadi dalam dialog
tersebut.
GERAK

Gerak Halus atau Ekspresi Wajah

Pemeran tokoh Inggit sudah apik, dia berhasil menyampaikan keadaan emosi
yang jelas kepada penonton. Misalnya ekspresi ketika kaget, marah, sedih,
dan senang. Pemeran dapat terlihat perubahan ekspresi wajahnya.
Gerak kasar meliputi:

1. Business (gerakan refleks)


Pemeran tokoh inggit sempat membenarkan selendang yang jatuh kearah depan,
dengan sigap ia langsung mengembalikkannya ke tempat asal

2. Gestures (gerakan sadar)


Pemeran sudah mengikuti sesuai arahan naskah dengan benar
3. Movement (gerakan perpindahan tempat)
Pemeran menguasai seluruh panggung, tidak berdiam di satu tempat saja. Ia
terlihat berjalan kearah jendela, kursi dan tak jarang kedepan penonton

4. Guide (cara berjalan sesuai tokoh)


Pemeran Inggit ini menunjukkan keanggunannya serta lemah lembut. Terlihat
usianya tidak lagi muda, oleh itu badannya sedikit membungkuk, namun tetap
berwibawa dan menjadi tegap ketika menjadi tokoh kusno.
MUSIK

Musik Pembuka : Harmonisasi musik sunda seperti suara suling, kendang, dan
kecapi. Lalu muncul suara tokoh Inggit

Musik Pengiring :

“...Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar. Aku pun menjadi
jarang bertemu dengan suamiku itu. Tiba-tiba sebuah jurang seperti mulai
menganga di antara kami…” (suara suling terdengar kembali)
“...Akang dengar nafas kami memburu? Lelaki yang dulu akang bawa ke dalam
rumah kita, kini aku membawanya ke dalam tubuhku…” (suling sunda muncul)
“Baru aku tahu sekarang, bahwa mencintai dan menyayangi itu adalah
menerima rasa sakit…” (perlahan muncul suara suling sunda)

Musik Penutup : musik sunda, kecapi, suling dan gitar dengan suara yang liris
menyayat
ANALISIS TEMA DALAM NASKAH MONOLOG
“INGGIT”

Tema yang terkandung dalam naskah drama monolog “Inggit” karya Ahda
Imran adalah perjuangan peran dan keteguhan prinsip seorang perempuan untuk
menunjukkan eksistensi dirinya.

Tokoh Inggit dalam menjalankan peran sebagai perempuan yang mempunyai


kewajiban untuk setia kepada apa yang sedang diperjuangkan, salah satunya:
memperjuangkan hidup, memperjuangkan hak dan matrabatnya sebagai seorang
istri. Selain itu naskah tersebut memperlihatkan sebuah proses perjuangan
bangsa indonesia mencapai kemerdekaan. Kendati demikian tema dalam naskah
ini bisa dikategorikan sebagai kisah cinta Inggit dengan Soekarno.
ANALISIS KEKUATAN PRINSIP PEREMPUAN DALAM NASKAH
MONOLOG “INGGIT” KARYA AHDA IMRAN BERDASARKAN TEORI
FEMINISME.

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang memperjuangkan emansipasi atau


persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria tanpa adanya diskriminasi.

Inti dari Feminisme adalah bagaimana perempuan harus memiliki kesempatan yang sama
dengan laki-laki dalam mengembangkan diri. Hal ini bisa diartikan dalam bidang ekonomi,
sosial, politik dan pendidikan.

Jika mengobrol tentang sejarah, topik tersebut selalu diidentikkan dengan kisah para lelaki.
Di Indonesia misalnya, walaupun ada sejarah yang berbicara tentang perempuan, seperti
kisah Kartini, Dewi Sartika, atau Cut Nyak Dien namun mereka hanya berada di ruang
publik, lain halnya pahlawan perempuan dari ruang domestik yang membawa pengaruh
besar kepada ruang publik, Inggit Garnasih adalah salah satunya, seorang mantan istri dari
Presiden pertama Indonesia, yaitu Dr. Ir. H. Soekarno.
Sementara itu, jika boleh dibilang kesuksesan demi kesuksesan Soekarno dalam bidang
politik, dan pada akhirnya menjadi Presiden pertama Indonesia, tidak lepas dari
perbuatan mantan istrinya yaitu, Inggit. Sejak awal Inggit selalu berada disamping
Soekarno, mau suka ataupun duka, pemberi semangat jika Soekarno sedang merasa putus
asa.
KUTIPAN TEKS DAN PENJELASAN

Kekuatan Inggit untuk memperjuangkan haknya.


(“sebagai istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku sudah menunaikan
kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada kemauan seorang lelaki bernama Kusno”)

(“Duapuluh tahun aku menemaninya. Mengikutinya ke mana pun. Tak pernah ada kata
lain yang diucapkannya pada kolonialisme, kecuali kata “Tidak”. Jika ia berani
mengatakan “Tidak” pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan
hal yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku perempuan sebagai sebuah koloni
lelaki. Apapun alasan yang dipakainya.”)
Prinsip untuk mempertahankan harga diri perempuan.
(“Banyak sekali sanjungan yang dibuat untuk perempuan yang mau patuh dan diam pada
kemauan lelaki. Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah aku tak pernah menjadi
wanita utama atau istri utama karena aku telah mengambil hakku atas kata “Tidak”.
Harga diriku tak bisa ditukar dengan sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.’)

(“Aku tahu diri. Tapi, bukan lantas karena takdirku itu aku harus menerima apa yang
diinginkannya. Meski sekali lagi Kusno tadi bilang bahwa aku akan tetap menjadi
perempuan dan istri utama. Tapi itu tak berlaku bagiku. Ceraikan aku atau tinggalkan
Fatimah. Harga diriku lebih utama dari istana.”)
EKSISTENSI PEREMPUAN Menurut Sartre (dalam Tong, 2006:254-255):

Menurut Sartre eksistensi perempuan digambarkan dalam wujud Diri, yaitu:

❖ Ada untuk Dirinya Sendiri (pour-soi) mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran, yang hanya dimiliki manusia.

Kutipan teks dalam Naskah:

(1) “ Sebagai istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku sudah menunaikan
kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada kemauan seorang lelaki bernama Kusno. Dan demi
kata itu, baik aku memilih kembali ke Bandung. Membawa kembali peti tua ini dan semua
harga diriku. “,
(2) “ Istri macam apa aku jika meninggalkan suamiku dalam tahanan dan buangan. Apa pun
alasannya. Tidak. Sakit sekali, memang. Tapi aku tak mau diperbudak oleh rasa sakit itu. Baru
aku tahu sekarang, bahwa mencintai dan menyayangi itu adalah menerima rasa sakit. “
❖ Ada untuk yang Lain (pour-les-autres) merupakan keberadaan diri yang melibatkan
orang lain didalamnya.

Kutipan teks dalam Naskah:

(1) “ Aku membangunkannya, menyediakan kopi tubruk dan sarapan, menjadi nyonya rumah dan
pelayan kalau teman-temannya berdatangan, mendengar semua cerita dan keluhannya, dan
memuaskannya. “
(2) “ Tegakkan dirimu, Bung Karno! Tegakkan! Ingat semua citacitamu untuk memimpin rakyat!
Jangan luntur hanya karena cobaan dan penjara! Aku istrimu akan berada di sampingmu dan
akan selalu di sampingmu! “
APRESIASI TERHADAP NASKAH MONOLOG “INGGIT”
KARYA AHDA IMRAN

Apresiasi kami dalam menggali naskah monolog “Inggit” dengan melakukan


eksplorasi serta observasi, berikut beberapa tahap yang telah kami lakukan:

1. Kami sepakat untuk memilih naskah berlatar sejarah sebagai upaya


perenungan atau media pengingat.
2. Karena kami tidak pernah menonton secara langsung pertunjukan tersebut,
kami mencari lewat media YouTube. Kami menemukan 4 pertunjukan
sebagai perbandingan. Dimulai dari resolusi, audio dan aspek pertunjukan
dari masing-masing penampil.
3. Kami mulai mencari naskah dan akhirnya menemukan.
Pelajaran yang kami petik dari naskah monolog “Inggit” karya Ahda Imran:

1. Keberanian dan kesetiaan Inggit saat menemani Kusno untuk memperjuangkan


kemerdekaan.
2. Ketabahan seorang istri ketika suaminya menghadapi masa-masa sulit.
3. Cinta sejati Inggit tidak hilang pada Soekarno, walaupun mereka telah bercerai.
4. Mempertahankan harga diri sebagaimana mestinya.
5. Ketangguhan Kusno dalam memperjuangkan haknya untuk kelangsungan
kemerdekaan.
Daftar Pustaka

Aulia W.M. 2010. “Eksistensi Perempuan dalam Naskah Drama Monolog INGGIT
Karya Ahda Imran”. Skripsi. FKIP. Pendidikan Bahasa dan Seni. Universitas
Jember. Jember.

Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling


Komperehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogayakarta: Jalasutra.

Dian Astriana. 2018. “Pemeranan Tokoh Inggit dalam Naskah Monolog Inggit
Karya Ahda Imran”. Deskripsi Karya Seni. Fakultas Seni Pertunjukan. Institut Seni
Indonesia. Surakarta
TERIMAKASIH, TEMAN-
TEMAN.

Anda mungkin juga menyukai