Anda di halaman 1dari 4

Kuantar ke Gerbang - Ramadhan K.

No. 261
Judul : Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Penulis : Ramadhan K.H.
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 431 hlm

"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi


membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya,
apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik
itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya,
mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.

Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadii cita-
citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan
keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak
pernah berhenti mendoakannya"

(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)

Dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat
umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tak
banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi
namanya ditulis selewat saja. Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit
Ganarsih ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel
“Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)

Dalam novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang menjadi
pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil merintis jalannya di
bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga
kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan dibacakan oleh bung Karno.

Dalam hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun ketika
menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping yang sepadan
bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi keuntungan bagi Bung
Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih dan istri, namun sekaligus ibu yang
mengemong dan membimbingnya.

Inggit adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam kesederhanaan
dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda bertumbuh menjadi seorang
pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung Karno merintis jalan politiknya, di
Bandung ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang
untuk kemerdekan Indonesia. Di masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa
diajak berdiskusi masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan
kasih sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno di
arena gelanggang politiknya.

Jika Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya. Inggit
menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian atau
membutuhkan dorongan darinya.

“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi
yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi
semangat lagi, dipuji dan didorong lagi”

"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara
Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri
yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia
dengan anak kecil yang ingin dimanja" (hal 99)

Ketika akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap setia, Ia
rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara. Untuk mendapatkan uang
ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan menjual rokok hingga menjahit
pakaian dan kutang.

Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat bung Karno dalam penjara, membuat Bung
Karno sedih karena telah melalaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu
disampaikan pada istrinya, Inggit memberinya semangat.

“Tidak, Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan
beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena
cobaan semacam ini!” (hal 159)

Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan
mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit
dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara
Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut dibalik
kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang
sangat terkenal, Indonesia Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

Dengan cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara baik
melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode rahasia kepada
suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi oleh sipir penjara, bung
Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi perjuangan saat itu.

\Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-
masa pembuangan di Ended an Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada
Bung Karno . Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut
bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno
membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka

“..apakah artinya aku sebagai istrinya kalau suami dibuang dan aku tidak ikut dengannya?...aku
sudah tahu, meskirpun tidak dikatakan berapa lama kami harus hidup dalam pembuangan, aku
sudah harus siap untuk hidup disana sampai ajal” (hal 267)

Niatnya untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya , di


masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh bagi jiwa Bung Karno yang
kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsanya harus terhenti
entah sampai kapan.

“Aku lalu mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas
dari dari tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)

Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan
ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang
bergelora tak kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya
bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk diizinkan
menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Satu-satunya yang tak bisa
diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta
restu Inggit untuk menikah lagi dan status Inggit menjadi istri pertamanya.

Dengan tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.

“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan
bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang
dimadu!” (hal 405)

Ditengah kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya. Ketika
sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung Karno harus menghadapi
tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan Bengkulu dan diperintahkan untuk
menuju Jakarta, mereka harus melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan
belantara agar terhindar dari pasukan Jepang .

Akhirnya selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit resmi
bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah persayaratan yang dibuat
dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi
Inggit yang telah menjalani bahtera rumah tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20
tahun lamanya ini adalah suatu peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia
tak mau larut dalam kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada
jalan hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah
dialaminya.

“..sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur
bunga, aku telah menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)
Demikianlah novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut
kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan menggunakan kata ganti ‘aku’
sehingga kita yang membacanya seakan langsung mendengar penuturan langsung dari bu Inggit.
Dengan demikian penulis juga bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia
mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan pergolakan batin
yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan dan apa adanya sehingga semua
ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan hati Inggit benar-benar dapat dirasakan
pembacanya

Anda mungkin juga menyukai