Anda di halaman 1dari 18

Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya

Pramoedya Ananta Toer Kembali Ingatkan Kita


Akan Bhineka Tunggal Ika Bangsa Indonesia

2 YEARS AGO BY DEVI TASYAROH

 32SHARES

https://sekotakceritaseusaibaca.wordpress.com via https://sekotakceritaseusaibaca.wordpress.com

Sudahkah kalian tahu siapa Pramoedya Ananta Toer itu? Sudah saatnya kita
berkenalan pada sosok sastrawan kebanggaan bangsa satu ini. Pada masanya beliau
pernah menjadi tahanan namun dibebaskan secara hukum tanpa proses pengadilan
karena dianggap tidak terlibat dalam kasus G30S PKI. Ketika dalam penjara bahkan
beliau aktif menulis dan melahirkan banyak karya yang mengagumkan. Baginya
menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Suatu hal yang jarang sekali orang lain
lakukan. Sangat menarik bukan?
Dalam karyanya yang berjudul sekali peristiwa di Banten Selatan mampu menggugah
rasa patriotik bagi setiap pembaca setianya. Beliau membawa pembaca untuk
berimajinasi pada suatu daerah yang masih sejuk dan asri tanpa polusi dan belum
terkontaminasi. Semua digambarkannya dengan menarik di setiap paragraf terutama
pada bagian awal yang mengantarkan pembaca dalam sebuah prolog yang indah.

ADVERTISEMENT

Langit bermendung. Udara berwarna kelabu. Dari jarak dekat, pegunungan di depan desa
itu, yang dirimbuni berbagai pepohonan hutan, berwarna kelabu (Halaman 11).

Bukan hanya itu, dalam novel ini juga menceritakan sebuah tanah yang subur tapi
masyarakatnya miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap
sedemikian rupa. Mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.
Sebagai generasi penerus Banten saat ini saya bahkan merasa tertampar akan tragedi
yang begitu kelam di masa lalu. Hanya bisa bertanya-tanya dan tidak bisa
menyalahkan. Mengapa Banten dulu begitu menyedihkan? Bukankah bangsa Indonesia
telah memproklamasikan kemerdekaan?

Dan ternyata kekuasaan dan ketidakadilan selalu mendominasi di setiap generasi


bangsa. Sulit mengungkapkan fakta sebuah kebenaran. Bahkan zaman sekarang pun
tanpa uang semua angan akan pincang. Sangat miris bukan?

ADVERTISEMENT

Kembali pada alur cerita, tokoh Ranta menjadi peran utama yang menggembor-
gemborkan bahwa jalan hidup pasti berubah, kesulitan yang didapatnya selama ini pasti
berakhir meski sangat sulit. Dulu, kebenaran saja harus diperjuangkan bahkan hingga
menimbulkan perang. Ranta bahkan pernah mengatakan:
"Dimana-mana aku selalu dengar : Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar.
Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan
untuk menjadi benar."

Merasa harga dirinya diinjak binatang buas, binatang buas yang haus akan kekuasaan,
Ranta tidak mau lagi mematuhi ancaman Juragan Musa untuk mencuri bibit karet
dengan upah pukulan keras. Hingga suatu ketika luapan emosinya membara dan
membuat Juragan Musa terbirit-birit meninggalkan tasnya. Dari sanalah awal mula
perseteruan sengit antara Juragan Musa dan Ranta.

Ranta berontak dengan dukungan isteri tercinta, orang yang pertama, kedua, dan
ketiga. Mereka mengambil tindakan untuk pergi dari gubuk beratap rumbia sebelum
dibakar oleh ajudan Juragan Musa. Sampai pada masa di mana rumah Juragan Musa
dicurigai oleh Komandan dan paraprajurit serta dimintai keterangan atas keributan
dengan sang isteri yang dicuri dengar akan keterlibatannya dengan DI. Semua terbukti
saat ditemukannya surat-surat Darul Islam di dalam tas. Setelah pembuktian telah
menemukan titik terang akhirnya Juragan Musa angkat tangan. Sedangkan Ranta
diangkat jabatan sebagai lurah karena lurah sebelumnya yang memperlancar jalannya
penindasan tersebut digantikan.

Sebelumnya Ranta pernah mengatakan bahwa: Kalau ada yang pilih aku jadi lurah, tentu
aku terima. Tapi aku takkan calonkan diri. Aku tak mampu keluarkan biaya. Tapi kalau aku
dipilih, tentu pilihan aku terima (Halaman 30).

Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa di zaman saat ini bahkan sangat sulit sekali
mencari pemimpin seperti Ranta. Memiliki kesiapan mental untuk menembus
kebenaran tanpa sedikitpun mengusik tentang uang. Berjuang dengan hati mulia dan
lapang dada tanpa harus secuil pun mengeluarkan modal.

ADVERTISEMENT
Mantan pasukan Heiho pada zaman Jepang ini dengan lantang mengutarakan
tekadnya untuk sebuah persatuan. Kematangan akan pola pikirnya mampu untuk
mengambil keputusan bahwa segerombolan Oneng akan balas dendam. Sambil
bangkit dari kursi Ranta membantah dengan pasti meski Djali menimpali.

Tidak, kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Ah, Djali, kau berpikir secara
dulu juga seperti yang lain-lain. Begini Djali, kalau ada persatuan, semua bisa kita kerjakan,
jangankan rumah, gunung dan laut bisa kita pindahkan (Halaman 76).

Kata-kata filsafahnya seolah menjadi bius pemersatu warga. Segala upaya dikerahkan
termasuk memperketat keamanan warga, dibuatnya larangan untuk tidak keluar dari
kampung halaman, dan yang terpenting adalah mentaati aturan.

Kata orang sebuah aturan dibuat untuk dilanggar tapi faktanya peraturan bahkan
mengendalikan kita untuk tidak terjerumus di lubang yang menyesatkan, sekalipun
dibuat pengecualian bagi orang yang pernah berjasa pada hidup kita. Yang pertama
adalah sosok tidak patut dicontoh. Nekat melanggar aturan untuk pergi keluar kota dan
kini hanya tinggal penyesalan, dikeroyoki gerombolan hingga setengah mati hanya
menyisakan celana dalam, dan habislah modal. Dengan begitu Ranta tidak marah
justru menganjurkan yang pertama untuk mengungkapkan salam maafnya pada warga
desa.

Banyak rencana baik Ranta tersampaikan. Dari memperketat keamanan hingga


menghadapi pertempuran sampai tamat membuatnya hidup lupa makan dan tidur
menjelang siang. Gotongroyong yang mengagumkan turut andil menyemarakkan
kepemimpinannya, sekolah rakyat berdiri kokoh sejak tiga bulan silam serta waduk
yang hampir terselesaikan dengan baik disusunnya dengan matang agar kelak
bermanfaat.

Bermanfaat di sini bukan hanya untuk kemaslahatan warga yang turut merasakan lilitan
kemiskinan saja tetapi juga untuk anak cucu generasi yang akan datang. Termasuk
baca-tulis yang sempat diperdebatkan oleh warga namun, nasib baik berujung baik pula
dan disepakati bahwa sang Nyonya sebagai pengajarnya.

Lantas masih wajarkah generasi bangsa hanya pandai menyebar hoax semata?
Membesar-besarkan masalah demi kepentingan sepihak saja. Seluruh rakyat Indonesia
turut dirugikan andai kata dampaknya adalah sebuah perpecahan. Di mana hati nurani
tersimpan? Para pejuang berkorban bukan untuk mereka yang berpangku tangan.
Menyatukan suara bukan untuk diretakkan. Tidak ada yang membatasi persatuan di
negara ini, suku, agama, ras, bahkan antargolongan harus saling hidup rukun karena
hanya saling menghargailah hidup sejahtera.

Hanya saja novel Pramoedya satu ini, kurang dilengkapi dengan tanda kutip sebagai
lambang dari kalimat langsung atau ujaran dalam hati, sangat unik. Meski harus
dipahami secara mendalam esensi setelah membaca buku ini sangat terasa sekali.

Sebagai warga Banten saya terkesan sekaligus malu dengan buah karya yang satu ini.
Di satu sisi wilayah barat yang baru berdiri tahun 2000 ini sudah diakui, dengan kata
lain menarik untuk dikenal. Di lain sisi, tidak adakah warga Banten yang mengeksplor
rumah sendiri? termasuk saya dan ini sangat menampar sekali. Dengan ini saya
mewakili seluruh penduduk provinsi Banten mengucapkan banyak terima kasih atas
reportase mengagumkannya hingga diabadikan sampai detik ini, semoga Bapak
mendapat tempat yang diistimewakan Tuhan di alam sana.

Teruntuk tokoh Ranta, semoga kami dapat menemukan pemimpin-pemimpin baru yang
mengemban amanah warga bukan untuk mencari jabatan semata.
Membaca “Sekali Peristiwa di Banten
Selatan”
Posted on 23 May 2011

Barangkali disebabkan kecenderungan politik dan ideologinya, serta plot yang cenderung didaktis,
novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan sering dikesampingkan para pengamat karya Pramoedya
Ananta Toer, jika tidak dianggap karyanya yang paling tidak berhasil.

A. Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, hanya
membahas novel ini dalam sub bab pendek dibandingkan bahasan atas karya Pramoedya yang lain.
A. Teeuw, misalnya menulis: “Watak-watak semuanya digambar dengan warna hitam-putih, latarnya
sangat konvensional.” Benar bahwa karakter di novel ini tidak penuh warna sebagaimana kita
temukan dalam novel-novel puncak Pramoedya, tapi mengatakannya sebagai hitam-putih tentu
penyederhanaan berlebihan. Tokoh Juragan Musa, sang antagonis, bisa menjadi contoh yang
menarik.

Di satu sisi, Pramoedya menggambarkan tokoh ini dengan cara begini:

“Juragan Musa masih tetap memunggungi pintu, seakan-akan Ireng tiada berharga bagi matanya.
Ia berdiri tegak tak bergerak-gerak sedang matanya meninjau langit, seakan-akan dari langit itu
akan turun segala yang diharapkannya.”

Di sisi lain, Pramoedya menulis tokoh yang sama:

“Segera Juragan Musa menatap isterinya dan bertanya://Kau mau mengikuti aku dalam senang dan
sengsara, bukan, Nah?//Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana
yang sana?//Biar aku ceraikan.//Nyonya menatap suaminya dengan kasihsayangnya.//Aku dalam
kesulitan, Nah.//Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan
keterangannya://Benar, Nah. Maafkan segala kata-kata yang telanjur tadi.”

Dalam kutipan pertama, kita melihat satu tokoh yang angkuh dan kerap memandang rendah orang
lain. Dalam kutipan kedua, tokoh yang sama sekonyong-konyong tampil memelas dan tanpa daya.
Memang dalam konteks kutipan pertama, tokoh ini bisa kita anggapkan sebagai orang yang
keangkuhannya bersifat hipoktrit. Pada dasarnya ia seorang pengecut bernyali kecil. Tapi pada
konteks kutipan kedua, permohonan maaf yang diajukan kepada istrinya, ia katakan dengan tulus dan
mengiba. Penuh kejujuran.

Ini hanya satu contoh mengenai karakter yang bergerak, sama sekali tidak mengindikasikan
antagonisme yang tanpa cela.

Naskah panggung

Anggapan hitam-putih ini memang menjadi wajar mengingat bentuk novel tersebut. Di sini ada kesan
penulis menghindar untuk menyelami kedalaman jiwa karakter-karakternya. Tak ada arus kesadaran,
misalnya. Bahkan tak ada alur maju dan alur mundur, untuk memperlihatkan latar belakang masing-
masing tokoh. Novel ini hadir begitu saja, dengan tokoh-tokoh yang hidup di masa itu, tanpa
keterangan tambahan kecuali apa pun yang bisa dilihat saat peristiwa di dalam cerita terjadi.

Sesungguhnya hal ini mesti segera disadari oleh setiap pembaca novel ini. Pramoedya sendiri sudah
memberi sejenis bocoran untuk memahami bentuk novel ini dalam pengantar yang mengawalinya:
“Cerita yang kutulis sekali ini merupakan cerita bacaan, tetapi di samping itu dapat pula dipentaskan
di atas panggung.”

Jika kita segera menelusuri halaman demi halamannya, kita segera akan menyadari, ini memang
naskah panggung, yang ditulis sedemikian rupa sehingga tidak tampak seperti naskah panggung,
namun menjadi semacam cerita bacaan. Tapi bagaimanapun, Sekali Peristiwa di Banten Selatan,
bagi saya, tetaplah sebuah naskah panggung. Melihatnya sebagai sebuah novel dalam bentuknya
yang konvensional, dengan segala peluang-peluang yang dimilikinya, merupakan ketersesatan awal
yang akan sangat mengganggu.

Demikianlah, daripada memberi gambaran tokoh-tokohnya dengan karakter yang bulat, sebagaimana
bisa kita jumpai dalam kebanyakan novel Pramoedya, baik sebelum maupun sesudah Sekali
Peristiwa di Banten Selatan, novel ini malahan memberi kesan agar karakter-karakter tokoh ini
dihidupkan oleh para aktor. Kita hanya memperoleh deskripsi mengenai latar, tindakan tokoh-
tokohnya, dan tentu saja dialog di antara mereka. Bahkan tokoh-tokoh ini kadangkala tak bernama,
hanya gambaran kasat mata yang meminta penafsiran untuk panggung, seperti Komandan, Nyonya,
Yang Pertama, dan Yang Kedua.

Begitu pula latar yang disebut A. Teeuw sebagai “sangat konvensional”, harus dipahami juga sebagai
latar untuk pementasan. Indikasi ini jauh lebih kuat lagi dalam novel ini. Dibagi dalam empat bab,
kita segera akan menyadari itu juga merupakan pembabakan. Bab pertama, latarnya berada di depan
rumah Ranta. Bab kedua, ruang tamu Juragan Musa. Bab ketiga, masih di ruang tamu Juragan Musa,
namun di waktu yang lebih kemudian. Bab terakhir, “terjadi di sebuah halaman sekolah rakyat yang
baru dibangun, di sebuah pojokan di bawah pepohonan yang rindang.”

Indikasi panggung ini kadang demikian mencolok sehingga tak mungkin pembaca luput karenanya.
Lihat deskripsi bab kedua, yang tampaknya lebih tepat dikatakan sebagai instruksi kepada sutradara,
atau penata artistik panggung:

“Ruang tamu lebar yang terangbenderang. Sepasang sice tua setengah antik yang terpelihara baik
terpasang di dekat dinding. Sebuah lemari pajangan berisikan berbagai macam barang pecahbelah
tersusun dengan rapi terletak di dekat sice ….”

Akan tetapi, latar ini, jika diperhatikan lebih seksama, segera memperlihatkan perbedaan dengan latar
panggung umumnya. Novel ini menyiratkan suatu adegan yang dipentaskan di tempat sesungguhnya,
bukan di panggung. Ada suatu dorongan untuk membuatnya menjadi nyata, atau realis.

Dengan cara inilah novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, sejak awal menuntut untuk dilihat
dengan cara yang berbeda. Pada bentuknya, ia memperlihatkan sejenis ambiguitas yang meminta
perhatian lebih: di satu sisi ia menampilkan dirinya sebagai novel, namun di sisi lain ia membatasi
dirinya sebagai naskah pentas, yang membutuhkan para aktor untuk menghidupkannya. Di satu sisi ia
naskah panggung yang penuh kesan artifisial, namun di sisi lain ia mencoba menggambarkan
latarnya dengan cara yang lebih hidup, realis, penggambaran dunia yang sesungguhnya.
Sudut pandang ideologi

Masih dalam buku Citra Manusia Indonesia, A. Teeuw kembali memberi komentar atas novel ini:
“Seni di sini memang terdesak oleh ideologi.” Lantas, bagaimana posisi novel ini sendiri jika dilihat
dari sudut pandang realisme sosialis – suatu paham yang tampaknya mulai dipersiapkan Pramoedya
untuk diterapkan sejak ditulisnya novel ini, atau dengan kata lain, ideologi yang hendak diusung sang
novel? Jika memang “seni terdesak oleh ideologi”, bukankah lebih adil untuk membedah novel ini
dari sudut pandang ideologi yang bersangkutan?

Menurut Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, realisme sosialis adalah
“pempraktikan sosialisme di bidang kreasi-sastra.” Maka, novel ini harus dilihat sebagai usaha
menerapkan sosialisme, pada dasarnya sosialisme Marxis, dalam penciptaan karya sastra. Pertama-
tama, di sini berarti keniscayaan akan adanya kaum lemah, proletar, yang berjuang membebaskan
dirinya dari penindasan ekonomi kaum pemilik modal. Hal ini sebagaimana ditandaskan Pramoedya
lebih lanjut, bahwa, “Ia merupakan bagian integral daripada kesatuan mesin perjuangan umat
manusia dalam menghancurkan penindasan dan pengisapan atas rakyat pekerja.”

Tokoh Ranta adalah representasi dari sosok proletar dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan:
“Tubuhnya tinggi lagi besar, penuh dengan otot-otot kasar, menandakan, bahwa ia banyak bekerja
keras tapi sebaliknya kurang mendapat makan yang baik.” Mempertegas kelas sosial Ranta:
“Sekarang ini mereka yang tentukan hidup kita, Ireng. Mereka!” atau “Ireng, kau ingat waktu anak
kita yang pertama sakit keras, pinjam utang pada mereka? Anak kita meninggal. Panen seluruhnya
mereka ambil. Kita kelaparan, terpaksa jual tanah. Mereka juga yang ambil tanah kita. Berapa
harganya? Tak cukup buat modal dagang di pasar! Ludas! Tandas! Kuras!”

Sementara itu, Juragan Musa dengan karakteristik yang berseberangan:

“Kami kenal Juragan Musa. Dulu dia semiskin aku dan kami semua di sini. Zaman Jepang dia jadi
wérek romusha. Barangsiapa pergi, disuruhnya kasih cap jempol. Ternyata cap jempol itu merampas
tanahnya. Nah itulah cerita mula-mula dia jadi tuantanah. Dia mengangkat diri sendiri jadi
Juragan. Itu belum semua. Kemudian orang-orang yang semiskin aku dipaksanya jadi pencuri!”

Sampai titik ini, Pramoedya telah memperlihatkan pertentangan tersebut. Namun dalam realisme
sosialis, jika pertentangan kelas tersebut sebagai suatu kebenaran realitas, maka harus disadari bahwa
dalam estetika Marxis dimana realisme sosialis menyandarkan dirinya, realitas itu harus dilihat
sebagai suatu perkembangan dialektik, dan dialektik ini sendiri harus dimaknai dalam kerangka
struktur masyarakat.

Kembali ke Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, menurut Pramoedya, “Bagi realisme sosialis,
setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realitas tak
lain hanya satu fakta dalam perkembangan dialektik.”

Dalam tradisi Marxis yang banyak dikenal, perkembangan dialektik itu dalam penerapannya atas
sejarah masyarakat sering dilihat sebagai perkembangan pertentangan dua kelas dari masa ke masa:
kelas penindas dan tertindas.

Ada upaya Sekali Peristiwa di Banten Selatan untuk melihat sejarah masyarakat dengan cara yang
serupa, meskipun sebatas pada sejarah hubungan para tokohnya, terutama Juragan Musa dan Ranta.
“Zaman Jepang apa? Romusha sampai kurus kering, sampai mampus. Zaman Nica apa? Lagi-lagi
diuber-uber kena rodi, ditembaki saban hari. Sekarang apa? Diuber-uber DI. Itu belum lagi. Kawan-
kawan kita sendiri sekarang sudah sama meningkat jadi juragan …”

Memang tidak secara spesifik terdapat perkembangan dialektik, tapi kita melihat ada kaum tertindas
dari masa ke masa. Dialektika bisa kita dapatkan dalam tekanan kalimat terakhir: kawan-kawan kita
sendiri sekarang sudah sama meningkat jadi juragan, suatu indikasi perubahan kelas sebagian orang,
untuk berbalik menindas kelas yang ditinggalkannya.

Lebih jauh, Pramoedya dengan mengutip Gorky, menegaskan bahwa pendasaran realisme sosialis,
pertama-tama, adalah penolakan yang tegas terhadap humanisme-borjuis. Terhadap humanisme-
borjuis ini ia menjelaskannya sebagai, “menjurus ke arah anti-humanisme sama sekali, ke arah
fasisme, ke arah kebinatangan dan melemparkan kedok humanismenya tanpa malu, dan dalam
keadaan mata gelap melahap korbannya dengan tanpa malu-malu lagi.”

Dengan mudah, sikap kebinatangan ini bisa ditemukan dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan,
merujuk ke tokoh Juragan Musa dan gerombolan pengacau DI (Darul Islam) di mana Juragan Musa
menjabat sebagai residen. Dikisahkan bahwa tokoh ini, seorang tuan tanah kaya, meminjamkan uang
kepada orang-orang miskin dan dengan cara licik menuntut pengembalian yang berlebih, membuat
orang-orang miskin ini semakin melarat. Dalam keadaan terdesak, mereka disuruh oleh tokoh ini
untuk mencuri bibit karet. Bukannya upah yang mereka terima, tapi cambukan dan ancaman. Ada
memang uang panjar seringgit, yang tak ada artinya.

Ditandaskan secara verbal:

“Akhirnya, barangsiapa kuat, dia berubah menjadi binatang buas. Tiap hari dia mangsa hidup kita,
rejeki kita, anak dan bini kita, kebahagiaan kita, semua-muanya. Binatang-binatang buas ini
menarik diri, tidak mau bergaul dengan sesamanya. Mereka keluar dari sarang hanya untuk cari
mangsa. Tapi bila sekali waktu binatang buas ini bertemu dengan binatang buas lainnya, kita semua
disuruhnya membantu. Orang-orang lemah yang tidak bisa jadi binatang buas, barang ke mana
pergi, dia tetap akan menjadi mangsa.”
Relasi struktural

Marilah kita sejenak menengok penulis yang sering menjadi rujukan Pramoedya. Dalam Chelkash,
Gorky berkisah mengenai Grishka Chelkash. Ia seorang pencuri, pemabuk, yang hidup di seputaran
kota pelabuhan di mana manusia “tampak sepele dibandingkan raksasa-raksasa baja, gunung-gunung
barang dagangan, gemerincing lori dan segala sesuatu yang mereka sendiri telah ciptakan. Hal-hal
yang mereka ciptakan telah memperbudak dan merampok kepribadian mereka.”

Dari sini sudah tampak bahwa perhatian utama Gorky, pertama-tama, adalah masyarakat kapitalis. Ia
menggambarkan masyarakat demikian tak hanya dengan menciptakan karakter pemilik modal yang
tamak dan menindas, sesuatu yang agak stereotif, namun juga memperlihatkan aspek pentingnya:
mesin-mesin industri, komoditas, dan tentu saja ironi mengenai manusia yang diperbudak oleh
ciptaannya. Sebagai kontras, Gorky biasanya menciptakan karakter gelandangan, pengembara,
pencuri, atau orang-orang yang secara umum terpinggirkan sepenuhnya.

Dengan kata lain, dalam karya Gorky, sang tokoh biasanya tidak berhadapan dengan kapitalis
sebagai persona, tetapi kapitalisme sebagai sistem. Ini sejalan dengan tendensi dalam filsafat Marxis
yang melihat persoalan manusia sebagai persoalan struktur masyarakat. Maka alih-alih mengisahkan
pertentangan seorang buruh menghadapi majikannya, Gorky cenderung memilih tokoh-tokoh antah-
berantah, para pemabuk dan pencuri, gelandangan dan pengembara, yang jika kita andaikan,
merupakan yang lebih sial bahkan dari para buruh. Merekalah kaum paria.

Kita akan sulit menemukan hal itu di dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Antagonisnya adalah
pengisap secara persona, dijelmakan dalam sosok Juragan Musa, tanpa tahu dalam sistem ekonomi
macam apa ini terjadi. Ada kesan Juragan Musa seorang tuan tanah, tapi tak ada kesan bahwa Ranta
sebagai penggarap tanah (sulit untuk mengatakan sebagai masyarakat feodal). Ada kesan bahwa
Ranta adalah seorang pekerja yang diupah kecil oleh Juragan Musa, tapi tak ada kesan Juragan Musa
sebagai seorang pemutar komoditas (sehingga juga sulit untuk dikatakan masyarakat kapital).

Selain mereka berdua, ada dua elemen sosial penting yang ditemukan dalam novel ini. Yang pertama
kemunculan sosok Komandan, merepresentasikan militer secara umum. Yang kedua adalah DI atau
Darul Islam, direpresentasikan sebagai gerombolan pengacau keamanan. Di sini, kita hanya
menemukan fakta sederhana bahwa DI merupakan musuh masyarakat sebab apa yang mereka
lakukan hanyalah membuat rakyat lebih menderita. Di sisi lain, Komandan dan para prajuritnya
sebagai sahabat rakyat, yang membebaskan mereka dari kesengsaraan.

Akan tetapi, kita tak menemukan relasi-relasi struktural di antara mereka. Atau dengan kata lain,
sosok-sosok ini kehilangan tempat dalam suatu sistem masyarakatnya, disebabkan ketidakhadiran
sistem itu sendiri secara benderang. Dengan cara yang lebih sederhana, kita tak menemukan motif-
motif kekacauan dan pemberontakan yang dilakukan oleh DI, misalnya, serta militer sebaliknya.

Padahal, dalam estetika Marxis yang ideal, relasi-relasi struktural ini menjadi sangat penting, sebab
di sanalah terdapatnya pertentangan kelas-kelas. Barangkali perlu diingatkan bahwa, dalam filsafat
Marxis, struktur masyarakat dilihat dalam dikotomi suprastruktur dan basis-struktur, di mana basis-
struktur merupakan sistem ekonomi yang berlangsung dan memengaruhi aspek kehidupan yang lain.
Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan, kita hanya menemukan efek-efek akhir yang
menyengsarakan dari suatu sistem ekonomi serupa “lewat jalan yang kita buat sendiri kita bayar
pajak pada onderneming”, tanpa tahu bagaimana sistem ekonomi ini
memaksa onderneming memungut pajak.

Sebagai perbandingan yang lain, misalnya, kita menemukan bagaimana sistem kolonialisme
dijalankan, bahkan dalam skala yang kompleks, dalam Tetralogi Buru. Sesuatu yang tidak tampak
di Sekali Peristiwa di Banten Selatan, bahkan dalam skalanya yang paling sederhana.

Lebih jauh, memang tampaknya bukan hal mudah untuk menerapkan realisme sosialis, atau estetika
Marxis, atau bahkan filsafat Marxis, ke dalam karya sastra atau kerja kreatif lainnya. Tentu itu kerja
tambahan untuk para penganjurnya, satu hal yang Pramoedya sendiri mungkin belum setengah jalan
menjelajahinya.

Tulisan ini merupakan versi perbaikan dari makalah yang pernah ditampilkan di diskusi mengenai Pramoedya Ananta Toer, di
Teater Utan Kayu, Agustus 2006.
SINOPSIS NOVEL BERJUDUL “SEKALI
PERISTIWA DI BANTEN SELATAM” KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER
 Sunday December 16th, 2018
 Kemas ulang informasi, Resensi

Novel ini bercerita tentang perjuangan rakyat di wilayah Banten Selatan pada akhir tahun 1957. Cerita ini
merupakan hasil dari kunjungan dari sang penulis yaitu Pramoedya Ananta Toer.
Novel ini menjelaskan tentang bagaimana perjalanan dari Ranta, Ireng (Istri Ranta), dua orang pemikul singkong,
komandan, Pak Lurah dan Juragan Musa.
Cerita diawali dengan dua orang pemikul singkong yang menumpang untuk beristirahat di pondok milik Ranta dan
istrinya. Lalu Ranta pulang, melihat bahwa ada dua orang yang duduk di depan pondoknya dan dengan pondok yang
masih dikunci, maka Ranta memanggil istrinya untuk membukakan kunci. Lalu Ranta bercengkrama dengan dua
orang pemikul singkong. Ketika asyik bercengkrama, maka juragan Musa seorang yang memiliki kekuasaaan di
Banten Selatan tiba ke pondok Ranta, dan meminta Ranta untuk mencuri bibit karet dan Juragan Musa memberikan
upah awal kepada Musa. Uaph yang diberikan tidaks eapadan dengan resiko yang dilakukan oleh Ranta.

Lalu pada malam harinya, dua ornag pemikul kembali beristirahat di rumah Ranta, tetapi Ireng tidak membukakan
pintu. Sehingga dua orang pemikul terpaksa tidur di teras pondok Ranta. Mengetahui dua orang tersebut tidur di
depan pondoknya, maka secara diam-diam Ranta pergi untuk mencuri bibit karet permintaan Juragan Musa. Ketika
hari menjelang pagi, istri Ranta mengetahui dua orang pemikul singkong tertidur di pondoknya dan mempersilahkan
mereka untuk mandi di pondok Ranta. Pemikul memberikan beberapa singkong untuk istri Ranta sebagai ucapan
terimakasih, lalu istri Ranta memasak singkong tersebut dan membawakan ke teras untuk dimakan bersama-sama.
Beberapa menit kemudian, Ranta datang yang disusul dengan kedatangan Juragan Musa ke pondok Ranta utnk
meminta hasil curian bibit karet. Tidak berterimakasih, tetapi Jurag

an Musa menyiksa dan mencaci Ranta. Ranta tetap bersikap sabar dalam menghadapi Juragan Musa, karena ia yakin
bahwa jika tentara Darul Islam itu pergi tanah mereka, maka kehidupan akan kembali normal.
Ranta melanjutkan pembicaraan dengan kedua pemikul tentang tentara darul Islam (DI). Lalu mereka menyadari
bahwa juragan musa memiliki hubungan dekat dengan para Tentara Darul Islam (DI). Lalu Ranta, Ireng, dan dua
orang pemikul mengadukan hal ini kepada Komanda Banten Selatan. Setelah menerima laporan tersebut, maka
dnegan cepat komandan Banten Selatan mendatangi rumah juragan Musa. Dari istri juragan Musa membenarkan
bahwa Juragan Musa merupakan salah satu anggota Darul Islam. Tetapi juragan musa tidak mau mengakui hal
tersebut. Lalu ditemukan bukti lain yaitu adanya tas milik Jurragan Musa yang did dalamnya berisi surat-surat Darul
Islam. Ketika melakukan introgasi di rumah juragan Musa, datnglah pak Lurah. Ranta, komandan yang lain
bersembunyi dan mengancam Juragan Msua agar tidak memberitahu keberadaan mereka. Dari kegiatan
persembunyian ini, didapatkan bukti bahwa Pak Lurah dan pasukan akan menyerang markas dari Komandan.
Dari hasil persembunyian mereka mendapatkan bukti yang sudah jelas bahwa Juragan Musa dan Pak Lurah
merupakan anggota dari Darul Islam. Lalu komandan langsung menahan Juragan Musa. Sebgaai ucapan terimakasih
kepada Ranta, maka Komandan memberikan hadiah yaitu mengangkat Ranta menjadi Pak Lurah yang
menggantikan Lurah sebelumnya yang ikut me

njadi tahanan.
Semakin hari, keadaaan Banten menjadi semakin membaik. Tetapi hal ini tidak membuat Ranta untuk bersantai, ia
yakin bahwa suatu hari pasukan Darul Isalm akan membalas dendam ke daerah mereka. Maka sebelum mereka
datang, Ranta menyiapkan berbagai strategi. Strategi yang pertama adalah dengan mneyatukan setiap pimpinan desa
di Banten Selatan untuk ikut membantu komandan dan pasukannya dalam menghadapai tentera darul Ulum. Dengan
semangat gotong royong dari warga Banten Selatan, tentara Darul Islam dapat diusir dari wilayah Banten Selatan.
Setelah perlawanan itu selesai, Ranta mendirikan sekolah untuk semua warganya. Dengan adanya kegiatan ini, maka
kehidupan warga Banten Selatan semakin membaik. Mereka juga mempunyai ladang untuk ditanami, dan mereka
juga mendirikan waduk untuk mengelola ikan. Lalu semua warga dapat hidup dengan normal di tanah mereka
sendiri.

Oleh : Novita Cristyne Anggraeni (SV Fmrc Fia UB)


Courtesy to PRAMOEDYA ANANTA TOER
Bibliografis http://fia.ub.ac.id/katalog/index.php…
Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Posted on March 10, 2013

Detail buku:
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Desain sampul: Ong Hari Wahyu
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 128 halaman
Cetakan I, April 2004
ISBN: 978-979-97312-9-5
Sinopsis:
Novel ini merupakan hasil `reportase` singkat Pramoedya Ananta Toer DI wilayah Banten Selatan
Yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang subur tapi masyarakatnya
miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka dipaksa
hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.

Tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tapi semangat

hidup tak boleh redup. Menurut Pram, semangat hidup itulah yang membuat seseorang bisa hidup dan
terus bekerj. Bertolak dari situ Pram bertekad kuat mengorbankan

Resensi:
Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit ya hati. Kesakitan melulu! Hlm.
29

Adalah Ranta dan Ireng, sepasang suami istri penghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba
kekurangan. Ranta diperintah secara paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan bayaran
tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah mendapat hadiah pukulan
membabibuta. Bosan diperlakukan dengan tidak adil oleh sang Juragan, Ranta memutuskan untuk
melawan saat kunjungan sang Juragan berikutnya.

Perlawanan Ranta dan beberapa orang pemikul singkong yang mampir ke rumahnya membuahkan
hasil, sang Juragan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya setelah berulangkali mengingkari
berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kegiatan Darul Islam (DI). Istri Juragan Musa pun
harus menerima kenyataan ditinggalkan suaminya yang ditangkap tersebut, bahkan dia harus
mengalami nasib naas sepeninggal suaminya tersebut.

Ranta kemudian ditawari menjadi Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan
yang menangkap Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh orang-
orang di sekitarnya karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari ketidakadilan. Bersama para
penduduk desa yang mempercayainya, Ranta dibantu Komandan berupaya membangun kembali
tempat tinggal mereka menjadi tempat yang lebih nyaman dan terus berkembang.

“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat di Palembang, Surabaya,
Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga
akhirnya yang menang, Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia
mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…” Hlm.6

Gotongroyong menjadi tema utama dalam buku ini, dimana pasca kekuasaan DI, suatu tempat di
wilayah Banten Selatan harus mulai membangun kembali tempat tinggal mereka. Kondisi daerah
Banten Selatan sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun belum tergarap secara maksimal dan
terabaikan oleh pembangunan. Mau tidak mau, penduduk setempat harus mengerahkan segala sumber
daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan masa depan. Selain dituntut untuk
meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang lebih berkualitas dengan belajar baca-tulis, para
penduduk tersebut juga harus tetap menjaga semangat gotongroyong dan rasa memiliki terhadap
tempat tinggal mereka agar mampu menaklukkan keadaan.

Pada pengantar buku ini, Pram mengungkapkan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan hasil
wawancaranya terhadap beberapa orang di sekitar Banten Selatan pada tahun 1957. Walaupun
kemudian memang terjadi pengembangan cerita, namun ide dasarnya berasal dari wawancara dan
kunjungan singkat beliau tersebut dimana dua bulan setelahnya terdengar kabar bahwa Banten Selatan
diporakporandakan oleh Darul Islam. Terlepas dari peristiwa yang ternyata melibatkan beberapa orang
yang sempat diwawancarainya itu, kemauan dan pemikiran mereka untuk bergotongroyong
membangun daerah tempat tinggal mereka saja sudah menjadi nilai lebih yang pantas dilestarikan di
zaman modern ini.

Sensari rasa seusai baca: 3/5


Sekilas kata:
Buku ini adalah buku pertama karya Pram yang aku miliki, hadiah ulang tahun dari seorang teman
pada tahun 2004. Sebenarnya aku hendak mem-posting review buku berjumlah 128 halaman ini pada
jadwal Posting Bareng BBI, namun tidak sempat kulakukan sehingga harus tertunda sampai sekarang.

Sekali Peristiwa di Banten Selatan


Posted on March 10, 2013

Detail buku:
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Desain sampul: Ong Hari Wahyu
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 128 halaman
Cetakan I, April 2004
ISBN: 978-979-97312-9-5
Sinopsis:
Novel ini merupakan hasil `reportase` singkat Pramoedya Ananta Toer DI wilayah Banten Selatan
Yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang subur tapi masyarakatnya
miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka dipaksa
hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.

Tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tapi semangat

hidup tak boleh redup. Menurut Pram, semangat hidup itulah yang membuat seseorang bisa hidup dan
terus bekerj. Bertolak dari situ Pram bertekad kuat mengorbankan

Resensi:
Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit ya hati. Kesakitan melulu! Hlm.
29

Adalah Ranta dan Ireng, sepasang suami istri penghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba
kekurangan. Ranta diperintah secara paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan bayaran
tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah mendapat hadiah pukulan
membabibuta. Bosan diperlakukan dengan tidak adil oleh sang Juragan, Ranta memutuskan untuk
melawan saat kunjungan sang Juragan berikutnya.
Perlawanan Ranta dan beberapa orang pemikul singkong yang mampir ke rumahnya membuahkan
hasil, sang Juragan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya setelah berulangkali mengingkari
berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kegiatan Darul Islam (DI). Istri Juragan Musa pun
harus menerima kenyataan ditinggalkan suaminya yang ditangkap tersebut, bahkan dia harus
mengalami nasib naas sepeninggal suaminya tersebut.

Ranta kemudian ditawari menjadi Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan
yang menangkap Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh orang-
orang di sekitarnya karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari ketidakadilan. Bersama para
penduduk desa yang mempercayainya, Ranta dibantu Komandan berupaya membangun kembali
tempat tinggal mereka menjadi tempat yang lebih nyaman dan terus berkembang.

“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat di Palembang, Surabaya,
Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga
akhirnya yang menang, Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia
mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…” Hlm.6

Gotongroyong menjadi tema utama dalam buku ini, dimana pasca kekuasaan DI, suatu tempat di
wilayah Banten Selatan harus mulai membangun kembali tempat tinggal mereka. Kondisi daerah
Banten Selatan sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun belum tergarap secara maksimal dan
terabaikan oleh pembangunan. Mau tidak mau, penduduk setempat harus mengerahkan segala sumber
daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan masa depan. Selain dituntut untuk
meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang lebih berkualitas dengan belajar baca-tulis, para
penduduk tersebut juga harus tetap menjaga semangat gotongroyong dan rasa memiliki terhadap
tempat tinggal mereka agar mampu menaklukkan keadaan.

Pada pengantar buku ini, Pram mengungkapkan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan hasil
wawancaranya terhadap beberapa orang di sekitar Banten Selatan pada tahun 1957. Walaupun
kemudian memang terjadi pengembangan cerita, namun ide dasarnya berasal dari wawancara dan
kunjungan singkat beliau tersebut dimana dua bulan setelahnya terdengar kabar bahwa Banten Selatan
diporakporandakan oleh Darul Islam. Terlepas dari peristiwa yang ternyata melibatkan beberapa orang
yang sempat diwawancarainya itu, kemauan dan pemikiran mereka untuk bergotongroyong
membangun daerah tempat tinggal mereka saja sudah menjadi nilai lebih yang pantas dilestarikan di
zaman modern ini.

Sensari rasa seusai baca: 3/5


Sekilas kata:
Buku ini adalah buku pertama karya Pram yang aku miliki, hadiah ulang tahun dari seorang teman
pada tahun 2004. Sebenarnya aku hendak mem-posting review buku berjumlah 128 halaman ini pada
jadwal Posting Bareng BBI, namun tidak sempat kulakukan sehingga harus tertunda sampai sekarang.

Sekali Peristiwa di Banten Selatan


Posted on March 10, 2013
Detail buku:
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Desain sampul: Ong Hari Wahyu
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 128 halaman
Cetakan I, April 2004
ISBN: 978-979-97312-9-5
Sinopsis:
Novel ini merupakan hasil `reportase` singkat Pramoedya Ananta Toer DI wilayah Banten Selatan
Yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang subur tapi masyarakatnya
miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka dipaksa
hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.

Tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tapi semangat

hidup tak boleh redup. Menurut Pram, semangat hidup itulah yang membuat seseorang bisa hidup dan
terus bekerj. Bertolak dari situ Pram bertekad kuat mengorbankan

Resensi:
Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit ya hati. Kesakitan melulu! Hlm.
29

Adalah Ranta dan Ireng, sepasang suami istri penghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba
kekurangan. Ranta diperintah secara paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan bayaran
tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah mendapat hadiah pukulan
membabibuta. Bosan diperlakukan dengan tidak adil oleh sang Juragan, Ranta memutuskan untuk
melawan saat kunjungan sang Juragan berikutnya.

Perlawanan Ranta dan beberapa orang pemikul singkong yang mampir ke rumahnya membuahkan
hasil, sang Juragan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya setelah berulangkali mengingkari
berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kegiatan Darul Islam (DI). Istri Juragan Musa pun
harus menerima kenyataan ditinggalkan suaminya yang ditangkap tersebut, bahkan dia harus
mengalami nasib naas sepeninggal suaminya tersebut.

Ranta kemudian ditawari menjadi Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan
yang menangkap Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh orang-
orang di sekitarnya karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari ketidakadilan. Bersama para
penduduk desa yang mempercayainya, Ranta dibantu Komandan berupaya membangun kembali
tempat tinggal mereka menjadi tempat yang lebih nyaman dan terus berkembang.

“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat di Palembang, Surabaya,
Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga
akhirnya yang menang, Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia
mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…” Hlm.6

Gotongroyong menjadi tema utama dalam buku ini, dimana pasca kekuasaan DI, suatu tempat di
wilayah Banten Selatan harus mulai membangun kembali tempat tinggal mereka. Kondisi daerah
Banten Selatan sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun belum tergarap secara maksimal dan
terabaikan oleh pembangunan. Mau tidak mau, penduduk setempat harus mengerahkan segala sumber
daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan masa depan. Selain dituntut untuk
meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang lebih berkualitas dengan belajar baca-tulis, para
penduduk tersebut juga harus tetap menjaga semangat gotongroyong dan rasa memiliki terhadap
tempat tinggal mereka agar mampu menaklukkan keadaan.

Pada pengantar buku ini, Pram mengungkapkan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan hasil
wawancaranya terhadap beberapa orang di sekitar Banten Selatan pada tahun 1957. Walaupun
kemudian memang terjadi pengembangan cerita, namun ide dasarnya berasal dari wawancara dan
kunjungan singkat beliau tersebut dimana dua bulan setelahnya terdengar kabar bahwa Banten Selatan
diporakporandakan oleh Darul Islam. Terlepas dari peristiwa yang ternyata melibatkan beberapa orang
yang sempat diwawancarainya itu, kemauan dan pemikiran mereka untuk bergotongroyong
membangun daerah tempat tinggal mereka saja sudah menjadi nilai lebih yang pantas dilestarikan di
zaman modern ini.

Sensari rasa seusai baca: 3/5


Sekilas kata:
Buku ini adalah buku pertama karya Pram yang aku miliki, hadiah ulang tahun dari seorang teman
pada tahun 2004. Sebenarnya aku hendak mem-posting review buku berjumlah 128 halaman ini pada
jadwal Posting Bareng BBI, namun tidak sempat kulakukan sehingga harus tertunda sampai sekarang.

Anda mungkin juga menyukai