Anda di halaman 1dari 5

"Rara Mendut" Karya Y.B.

Mangunwijaya

Kekuasaan telah membunuh Mendut dan Pronocitro di ujung keris sakti Panglima Perang Mataram,
Tumenggung Wiroguno. Sekali lagi kita melihat, absurditas cinta mati sia-sia. Sebuah tema yang terus
berulang, tercampakkan dan hanya hidup dalam legenda. 

Menurut cerita Romo Mangun, Mendut adalah simbol kekuatan daerah pesisir (Pantai Utara) yang
ditaklukan oleh kekuasaan Mataram, simbol kerajaan dan budaya pedalaman, yang agraris dan
cenderung otoritarian. Para ahli sastra, sarjana dan satrawan sepakat bahwa Mendut adalah pejuang
emansipasi perempuan. Dia berani menolak hasrat berahi seorang Panglima, walaupun dengan itu, dia
harus menanggung resiko membayar pajak upeti seperti layaknya sebuah daerah ataupun orang-orang
yang takluk oleh kekuasaan Mataram. 

Mendut hanyalah seorang anak nelayan dari desa Teluk Cikal yang kebetulan hidup dalam kekuasaan
Adipati Pragolo II, sang keris penguasa Kadipaten Pathi. Dan sebelum jatuh ke tangan Tumenggung
Wiroguno, Mendut telah pula diculik oleh prajurit Adipati Pragolo II, saat sedang asyik-asyiknya
membantu pamannya di pesisir pantai. Mendut di bawa begitu saja karena kecantikkannya. Keceriaan
remajanya dirampas dan dipingit dalam Puri Kadipaten Pathi. Tapi sebelum keremajaannya dinodai oleh
Adipati Pragolo II, Kadipaten Pathi, keraton serta purinya telah habis dirangsek oleh Tumenggung
Wiroguno, utusan Kerajaan Mataram. Sebab diduga Kadipaten Pathi akan memberontak terhadap
kekuasaan besar Kerajaan Mataram, dengan mencoba memerdekakan diri dan enggan membayar upeti
menghadap Istana Mataram di Karta. 
Jadilah Mendut seperti barang pampasan perang Kerajaan Mataram. Mulanya di persembahkan pada
Ingkang Sinuhun Susuhunan Hanyokro-Kusumo, Senopati Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayyidin
Panotogomo (Sultan Agung), tapi karena Tumenggung Wiroguno berkenan pada Mendut, Sultan Agung
Mataram menyerahkannya pada Tumenggung Wiroguno. 

Pemberontakan Mendut pada awalnya ditanggapi dengan lunak. Tapi lama kelamaan, Tumenggung
merasa kesal dan jengkel. Pajak yang tadinya ditetapkan setiap bulan ditekan menjadi setiap minggu.
Mendut tak kehilangan akal, kemudian menjual semua perhiasannya untuk dijadikan modal berjualan
puntung rokok. 

Di alun-alun Mataram Istana Karta, tepatnya di tengah pasar rakyat, Mendut membuka warung puntung
rokoknya. Sambil diiringi tarian erotis penuh gerakan kebebasan ala budaya pantai utara, Mendut
menghisap rokok dan bekasnya dijual pada setiap pengunjung yang mau membeli. Tentu saja harganya
lebih mahal dari rokok biasa, karena rokok tersebut sudah tersentuh dan dihisap oleh Mendut, yang
menurut anggapan rakyat banyak, Mendut adalah seorang Putri Selir Mataram dari Tumenggung
Wiroguno. 

Di pasar itulah, Mendut mengenal Pronocitro pada pandangan pertama. Cinta mulai bersemi di dada
masing-masing dua insan yang sedang jatuh cinta. Pronocitro pun kemudian tahu tentang cerita Mendut
sebagai Puteri Boyongan dari Kadepaten Pathi. Sedangkan Pronocitro sendiri adalah seorang
pengembala yang lari dari keinginan ibunya Nyai Singa Barong, seorang saudagar armada dagang di
Pekalongan, yang menginginkan putranya meneruskan bisnisnya. Terdamparlah Pronocitro di Mataram
dan menemukan Mendut sebagai jodohnya. 

Dengan ketampanan dan keperkasaan tubuhnya, Pronocitro akhirnya dapat masuk ke dalam Puri
Wirogunan sebagai pemelihara kuda. Awalnya Wiroguno tidak mencurigai keberadaannya, sebagai
kekasih gelap Den Roro Mendut, tapi akhirnya hubungan mereka berdua tercium juga oleh Wiroguno. 

Suatu malam Pronocitro dan Mendut merencanakan untuk kabur, karena sebelumnya mereka sudah
tahu bahwa, Wiroguno akan menangkap basah mereka saat berduaan. Dengan bantuan dayang-dayang
Puri Wirogunan, yang setuju dengan hubungan Mendut-Pronocitro, akhirnya mereka berhasil mencuri
start, sebelum Wiroguno dan pasukannya datang menyergap. 

Wiroguno kalang-kabut dan bersama pasukannya mencoba mengejar dan menangkap mereka hidup-
hidup. Setelah pencarian siang dan malam, akhirnya Mendut dan Pronocitro dapat terkejar dan tersudut
di Muara sungai Oya-Opak. Mereka sudah terkepung dan sulit berkutik lagi. Namun Pronocitro dengan
gagah berani tampil ke depan menghadapi seorang Panglima Mataram. Dia tahu kalau kekuatannya
tidak sebanding dengan Tumenggung Wiroguno, tapi cinta telah menuntunnya untuk berani disaat-saat
yang begitu mendesak. Perkelahian tak dapat dihindari dan kemenangan sudah dipastikan akan
berpihak pada Wiroguno. Disodorkanlah keris sakti Wiroguno ke hadapan tubuh Pronocitro, namun
secepat kilat Mendut telah berdiri tepat di hadapan Pronocitro. Keris Wiroguno tertancap menusuk
jantung Mendut dan tembus ke dada Pronocitro. Mereka rubuh bersimbah darah. Tubuh mereka hanyut
dihemapas ke muara sungai menuju samudera, tempat asal mereka dulu. 
Cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan dan kematian. Sedangkan kekuasaan
memang selalu menyiratkan kekuataan senjata dan darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan
tentang cinta dan kasih sayang. 

Sumber: http://sejarah.kompasiana.com
Asal Usul Danau Toba
Di sebuah desa di wilayah Sumatera Utara di Tapanuli tinggallah seorang laki-laki bernama Toba hidup
seorang diri di gubuk kecil. Toba adalah seorang seorang petani yang sangat rajin bekerja setiap hari
menanam sayuran kebunnya sendiri.

Hari demi hari, tahun demi tahun umur semakin bertambah, petani tersebutpun mulai merasa bosan
hidup sendiri. Terkadang untuk melepaskan kepenatan diapun sering pergi memancing ke sungai besar
dekat kebunnya.

Menjelang siang setelah selesai memanen beberapa sayuran dikebunnya diapun berencana pergi
kesungai untuk memancing. Peralatan untuk memancing sudah dipersiapkannya, ditengah perjalanan
dia sempat bergumam dalam hati berkata, “seandainya aku memiliki istri dan anak tentu aku tidak
sendirian lagi hidup melakukan pekerjaan ini setiap hari. Ketika pulang dari kebun, makanan sudah
tersedia dan disambut anak istri, oh betapa bahagianya”

Sampailah dia dimana tempat biasa dia memancing, mata kail dilempar sembari menunggu, agannya
tadi tetap mengganggu konsentrasinya. Tidak beberapa lama tiba-tiba kailnya tersentak, sontak dia
menarik kailnya. Diapun terkejut melihat ikan tangkapannya kali ini.

“Wow, sunggu besar sekali ikan mas ini. Baru kali ini aku mendapatkan ikan seperti ini” Teriaknya
sembari menyudahi kegiatan memancing dan diapun segera pulang.

Setibanya di gubuk kecilnya, pemuda itupun meletakkan hasil tangkapannya di sebuah ember besar.
Betapa senangnya dia, ikan yang dia dapat bisa menjadi lauk untuk beberapa hari. Diapun bergegas
menyalakan api di dapur, lalu kembali untuk mengambil ikan mas yang ditinggalnya di ember besar.
Betapa terkejutnya dia melihat kejadian tersebut. Ember tempat ikan tadi dipenuhi uang koin emas yang
sangat banyak, diapun terkejut dan pergi ke dapur. Disanapun dia kaget setengah mampus, ada sosok
perempuan cantik berambut panjang. “Kamu Siapa?”

“Aku adalah ikan engkau pancing di sungai tadi, uang koin emas yang diember tadi adalah sisik-sisik yang
terlepas dari tubuhku. Sebenarnya aku adalah seorang perempuan yang dikutuk dan disihir oleh seorang
dukun karena aku tidak mau dijodohkan. Karena engkau telah menyelamatkan aku dan mengembalikan
aku menjadi seorang manusia, maka aku rela menjadi istrimu” kata ikan tadi yang kini sudah menjelma
kembali menjadi seorang perempuan berparas cantik dan berambut panjang.

Ini suatu kebetulan, selama ini aku mengharapkan seorang pendamping hidup untuk tinggal bersama-
sama menjalankan kehidupan berumatangga kata petani tersebut. Maka iapun setuju memperistri
perempuan cantik tersebut.

Perempuan berparas cantik tadi juga mengutarakan kepada petani tadi sebuah syarat dan sumpah
bahwa jika suatu hari nanti ketika engkau marah, engkau tidak boleh mengutarakan bahwa asal-usulku
dari seekor ikan kepada siapapun. Sebab jika engkau mengatakan itu, maka akan terjadi petaka dan
bencana besar di desa ini. Petani itupun menyanggupinya, dan akhirnya mereka menikah.

Hari demi hari merekapun hidup bahagia, apa yang diharapkan petani selama ini pun sudah terwujud
dan diapun merasa bahagia sekali. Sampai merekapun dikaruniai seorang anak laki-laki dan mereka
memberi namanya Samosir.
Samosirpun tumbuh besar, diapun sudah bisa membantu orangtuanya bertani. Setiap hari Samosir
disaat siang selalu mengantarkan makan siang buat ayahnya yang sudah dimasakin oleh ibunya.

Suatu hari, siang itu petani sudah merasa lelah dan lapar sembari menunggu Samosir datang
mengantarkan bekal siang. Tidak biasanya, kali ini Samosir terlambat mangantarkan bekal orangtuanya.
Diperjalanan Samosir mencium bekal yang dibawanya untuk orangtuanya, kelihatannya enak masakan
ibu hari ini, gumamnya. Samosirpun mencicipi masakan ibunya, dia tidak sadar bekal itu dimakan hampir
habis.

Samosirpun tersentak dan bergegas menuju kebun ayahnya. Dia melihat ayahnya sudah kelaparan dan
kehauasan. Merasa berat, Samosirpun memberikan bekal kepada ayahnya. Dan terkejutlah ayahnya
melihat isi bekal yang diberikan Samosir.

“Iya, Among. Samosir tadi lapar dan aku makan, masakan Inong sekali rasanya” kata Samosir kepada
ayahnya yang terlihat emosi. Spontan ayahnya marah dan melempar bekal yang sudah kosong tadi
sembari berkata kepada Samosir: “Kurang ajar kau Samosir, dasar anak ikan kau ini”.

Samosirpun menangis dan pergi berlari menuju rumah menemui ibunya. Ibu, ibu , ayah marah besar
Samosir disebut anak ikan. Kata Samosir kepada ibunya. Ibunyapun menangis, sektika itu ibunya
menyuruh Samosir berlari ke sebuah bukit diketinggian. Lalu hujanpun semakin deras, angin kencang,
gemuruh dan petirpun menyambar-nyambar seketika itu.

Airpun meluap sampai menenggelamkan seluruh desa itu. Sumpah itu dilanggar, akhirnya tengenanglah
seluruh desa itu dan genangan itu berbuah menjadi danau, yang kini disebut Danau Toba. Lalu pulau
tempat samosir berlindung disebutlah Pulau Samosir.

Anda mungkin juga menyukai