Anda di halaman 1dari 80

Cinta dua Hati Cerpen Remaja : ANTARA DUA PILIHAN, Ruang keluarga itu tiba-tiba menjadi hening saat

mereka mendengar langkah Arif memasukinya. Dengan perasaan malas, Arif pun menghentakan pantat nya di sofa yang paling ujung. Semua saudaranya menatap Arif dengan pandangan yang aneh, seolah lah Arif adalah pesalah yang harus segera di adili. Rif,apa kamu tidak bisa mencari wanita lain selain dari dia! Apa sih yang bisa kamu banggakan dari wanita itu. Dia tu janda, ada anak lagi. Dia juga gak cantik-cantik amat , apalagi pendidikan nya, nol Rif. Dia juga bukan dari keturunan orang kaya, apa sih yang akan kamu banggakan dari wanita seperti itu. Kenapa kamu gak mau mencontoh kami, kakak-kakak mu.. Mas Imam, dia seorang pegawai negeri, Aku, seorang wakil Bupati. Mas mustofa, dia seorang alim ulama yang di segani masyarakat. Adik mu dik, dia serang Dokter, begitu pula ibu kita Rif, beliua seorang guru besar yang amat di hormati oleh warga. Nah kamu lihat! Isteri-isteri kami, mereka semua orang-orang yang berpendidikan, dan beriman. Tapi kamu..!,Aku yakin kamu hanya akan mencoreng nama baik keluarga kita saja, dengan menikahi wanita itu. Kami tidak setuju kamu menikah dengan nya. Pokok nya sekarang kamu fikirkan baik-baik, kalau kamu memilh dia , maaf kami tak lagi menerima mu, pergilah kamu dengan nya! Hardik Mas Sri. . Nafas nya tersengal-sengal karena menahan emosi . Seisi ruangan diam. Semua saudara Arif seolah hendak mengatakan, bahwa apa yang baru saja di ucap kan Mas Sri adalah benar dan Arif harus menuruti nya. Apa perlu mbak carikan pendamping buat mu dik? ucap mbak ipar Arif, memecah kesunyian. Arif masih diam. Jiwanya ingin berontak, kepalanya terasa berat, dadanya berdebar amat hebat, dan Arif merasa bahwa mereka telah mencampuri urusan pribadinya.Dia diam dalam perasaan yang tak menentu, karena dia merasa tidak terima kekasih yang di kenal nya ,yang di cintai nya di maki , dan di hina oleh saudaranya. Arif menghela nafas, di tatap nya satu per satu saudaranya, lalu dia beranjak tanpa berbicara sepatah kata pun. Rif! kembali mas Sri memanggil nya, namun sayang , Arif telah pun menutup pintu kamar nya. Ini semua gara gara permpuan janda itu! Mas Sri memekik sambil emosi. Semua saudara Arif hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Arif adalah seorang pemuda dari keturunan orang berada di kota nya. Ayah ibu nya adalah seorang alim ulama , yang memiliki sebuah masjid agung, yang mampu menampung ribuan jemaah .Semua saudara Arif telah pun berkeluarga, dan telah memiliki pekerjaan yang tetap serta terhormat. Walau pun usia Arif telah dewasa, namun Arif belum juga mau menikah. Enam tahun Arif menjadi seorang TKI(tenga kerja Indonesia) di Korea , kini dia bertambah dewasa. Mengerti arti hidup.Dan kini dia ingin membina mahligai rumah tangga. Tiga tahun pertama di Korea, dia mengenal seorang wanita, dan Arif merasa cocok dengan nya. Bagi Arif status janda wanita itu memang tidak bermasalah, karena Arif sudah pun terlanjur sayang dengan nya. Arif bahkan sanggup menerima keadaan nya lahir dan batin. Namun,

mengapa kini semua tiba-tiba mejadi masalah bagi keluarganya? Bukan kah aku yang akan menjalani nya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini selalu berkecambuk dalam fikiran nya. Sambil berbaring di ranjang, tak tersa tiba-tiba air mata Arif berderai membasahi bantal. Dia tak kuasa menahan gejolak amarah nya yang kini menggebu di dadanya. Arif memang mempunyai sifat yang lain dari saudara-saudaranya, dia lembut dan tidak tega-nan. Maaf kan aku sayang, ? bisik Arif, pelan, sambil mencium foto kekasih nya. Ada perasan bersalah yang bercokol dalam dadanya, pada wanita itu .Wanita yang amat di cintai nya. Bagi Arif, dia yang faham akan dirinya, dewasa, penyayang, ramah, yang memanjakan nya dan dia yang berpengalaman ,dia juga yang telah membuka hati nya akan arti kehidupan. Ya Allah. Haruskah nasib cintaku berakhir sedemikian? Bukan kah kami saling mencintai, kami saling memahami, tapi mengapa mereka semua justeru tak memahami kami? kembali Arif bertanya pada Bantal dan guling, lirih dam amat menyayat hati. Dari balik pintu, sepasang bola mata menatap nya, sambil berdegup hatinya dan berurai air mata. Wanita itu lalu masuk. Beliau mengelus-elus rambut putra yang amat di cintai nya itu. Beristikharah lah Nak, Bunda yakin engkau akan temui jawaban nya di sana. Yakin lah, bahwa Allah selalu bersama dengan orang-orang yang beriman dan selalu berdoa , serta memohon padanya tutur bunda , lembut sambil terus mengusap-usap kepala putra nya. Arif bangkit,lalu duduk di tepi bundanya. Ditatap nya raut sang bunda, lalu Arif menyandarkan kepala nya di pangkuan nya. Arif tahu betul sifat bundanya yang memanjakan dirinya sejak kecil. Ada ketenagan tersendiri kala sang bunda membelai rambutnya. Bagai menemukan sebuah pancaran air di tengah panasnya gurun pasir sahara. Matur sembah nuwun Bunda ucap Arif pada sang bunda, atas pengertian nya. Sang bunda mengangguk. Malam menjelang, Arif keluar dari kamar nya, lalu berwudhu dan shalat berjamaah bersama. Malam ini di rumah Arif ada acara selamatan, serta makan-makan ,untuk merayakan kepulangan Arif dari Korea. Dik , kemari.., panggil sang kakak ipar. Arif lalu mendekat. Ada apa kak? jawab Arif yang sambil menggendong keponakan nya. Kenal kan ini dik Eka, dia masih kuliah dan masih gadis jawab sang kakak ipar. Deg,. jantung Arif berdebar. Arif kaget melihat wanita itu, dan Arif mampu menebak maksud kakak ipar nya. Wanita itu tersenyum manis pada Arif. Raut wajah nya merona kala, mata bertemu mata, dan Arif pun tersenyum pada Eka, tampak Eka menunduk malu dan grogi. Eh .kalian ngobrol-ngobrol dulu ya, biar Mbak yang menggendong anak ini sang kakak ipar pun mengambil bocah itu dari gendongan Arif, dan dengan sengaja membiarkan Arif berduaan dengan Eka. Arif pun mengajak Eka duduk di kursi. Grogi tampak dari cara mereka berdua berbicara dan bertatap Sejak pertemuan itu Arif jadi bertambah gundah. Eka juga wanita yang cantik dan terpelajar, sopan, baik lagi. Namun niat Nya telah bulat, yaitu ingin memper istri kekasih yang telah di kenal nya , tiga tahun yang lalu, apapun yang terjadi. Karena itu lah janji mereka berdua, selama mereka bersama. Arif mendesah pelan, sendirian di depan jendela kamar nya.

Malam yang indah seharusnya, gumam nya sambil menikmati indah nya sang rembulan yang malu-malu bersembunnyi di balik awan. Terdengar dari jauh suara jangkrik, dan juga seekor codot yang mungkin tengah berpesta , saat pisang yang di incar-incar akhir nya masak juga. Arif kembali menarik pandangan matanya yang tersangkut di bulan, kini di pejam kan ke dua matanya , angan nya jauh melayang mengejar bayangan wajah dan tawa sang kekasih nya. Kala pagi menyapa, Hand Phone nya pasti akan menjeri-njerit , memohon sang empu nya agar segera mengangkat nya. Assallamualaikum Mas,bangun, shalat subuh dulu ya, terdengar merdu suara kekasih hatinya .Dia selalu membangunkan Arif agar tidak pernah alpa untuk memenuhi panggilan Nya. Dan Arif pasti akan segera menggeliat, sambil tersenyum bahagia. Iya Mam, aku jadi semakin tak sabar untuk hidup bersamamu sayang, jawab Arif yang telah terbiasa memanggil kekasih nya sebagai isteri, yaitu sebutan Mam. Ya insya Allah Mas , semoga saja kita berjodoh, saya juga ingin menjadi seorang isteri buat Mas, dan saya ingin melayani semua keperluan mas. Saya ingin meng infak kan seluruh hidup ku di jalan Allah melalui Mas, jawab kekasih nya. Ya sudah , biar Papa shalat dulu ya , Mama di sana juga hati-hati ya. Muachhhhhh. I love you so much jawab Arif, sambil mencium Hand Phone nya seoalah dia tengah mencium bibir sang kekasih. Glubrak.! Tiba-tiba suara gaduh kucing beradu kekuatan , membuyarkan lamunan Arif. Dia menghela nafas sambil mendekap dadanya yang masih berdebar karena rasa kaget nya tadi. Asstaghfirrullah hal adzim, Arif terduduk di ranjang sambil bibir nya tak berhenti dari istighfar. Ya Allah, lindungi dia dari apa pun bahaya , karena aku amat mencintai nya ya Allah Setelah kejadian tadi siang, Arif jadi enggan untuk keluar kamar, enggan pula untuk bertemu muka dengan saudara-saudaranya. Entah lah , ada sedikit perasaan kecewa pada semua nya, yang tak mau memahami isi hati nya. Jarum jam telah menunjukan jam tiga dini hari, getar suara hand phone di sebelah bantal memekik. Dengan cepat Arif melihat nya. Mas, katanya minta di bangunin jam tiga? Ini sudah waktunya.Bangun ya. begitulah isi sms nya. Arif langsung bangun , lalu beranjak ke kamar mandi dan mejalan shalat istikharah di masjid depan rumah nya. Arif begitu khusuk nya ,menghadap sang khalik, sesudah itu ,dia menadah kan kedua tangan nya sambil bermunajat, dan berharap doanya di Kabul kan oleh yang di atas sana. Ya Allah, sesungguh nya aku memohon kepada Mu, memilih mana yang baik menurut pengetahuan Mu. Dan aku memohon kepada Mu , untuk memberi ketentuan dengan kekuasaan Mu. Dan aku memohon anugerah Mu yang agung, karena sesungguh nya engkau Maha kuasa, sedang aku tak memiliki kekuasaan. Engkau Maha mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Engkaulah yang mengetahuiakan barang gaib, ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara aku ingin hidup dengan Insan calon istriku, adalah baik baiku, buat agamaku, buat penghidupan ku dan baik akibat nya, maka tetapkan lah perkara ini untuk ku. Kemudian berilah berkah kebaikan untuk ku. Dan jika Engkau mengetahui sesungguh nya perkara ini jelek bagiku, bagi agamaku, bagi penghidupan ku , dan jelek akibat nya ,maka pisah kan lah kami, pisah yang baik- baik, dan

lindungi kami, dari keburukan. Di mana saja berada , dan kemudian jadikan lah kami redha akan keputusan mu. Sungguh ya Allah niatku tulus dan suci , dan Engkaulah yang menjadi saksi bahwa kami saling mencintai.Ya Allah lembutkanlah hati keluarga kami , dan ku mohon syaat Mu, terima kasih ya Allah, amin ya Robbal Alamin, Arif menunduk,sambil menyeka air matanya. Doa yang baru saja terucap membuat dadanya bergemuruh, memohon serta meyakini bahwa Allah pasti akan memberi jalan keluar buat nya. Tanpa sepengetahuan Arif, sang kakak yang ke tiga nya telah pun duduk tak jauh dari tempat sujud nya . Ehem. suara Mas Mustafa, berdehem, lirih dan Arif agak terkejut mengetahui kakak nya berada di belakang nya. Dik, dalam pandangan islam, ada sebuah hadits yang mengupas soal mencari jodoh. Contoh nya yang sering kita baca, yaitu,hadist riwayat dari Abu Hurairah r.a. yang berbunyi separti ini. Dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, wanita itu di nikahi karena empat perkara, yang pertama; Karena harta benda nya, Yang kedua ; karena keturunan nya, yang ketiga ; karena kecantikan nya, dan yang ke empat, karena agama nya. Jika ketiga di antara nya tidak memenuhi , maka pilih lah karena agamanya. Insya Allah pilihan mu tidak salah dik ucap Mas Mustofa, pelan namun mampu menggugah hati Arif. Oya Dik, apa dia bisa baca qur,an? tanya Mas Mustofa. Allhamdullillah Mas, dia bisa, bahkan saya salut, dia wanita yang kuat, buktinya dia tak pernah lepas kerudung walaupun bekerja di Hongkong, jawab Arif, membesar kan hati. Sang kakak hanya menghela nafas, lalu berkata, Ya, semoga saja pilihan mu adalah pilihan yang tak keliru Dik. Aku sebagai mas , hanya mampu berdoa untuk kebahagian mu, aku yakin engkau lah yang tahu semua tentang dia, jadi mas yakin akan pilihan mu itu. Ucap sang kakak , membesar kan hati adik nya, sambil menepuk bahu Arif. Terima kasih ya Mas, saya akan mencoba tuk jadi diri saya sendiri, dan saya benar-benar perlukan doa Mas, semoga pilihan saya tidak keliru.jawab Arif sambil memeluk tubuh mas nya . Mereka berdua pun berpelukan. Bagi Arif, saat itu bagai ada secercah sinar memasuki relung hati nya yang tengah di landa kegelisahan . Nasehat kakak nya mampu menyinari serta menyingkap awan keresahan nya Hand phone Arif berdering, namun dia tahu siapa yang menelpon nya.Sebenar nya dia ingin membiarkan hand phone itu , namun tiba-tiba sang kakak ipar muncul dari dapur, Dik, hand phone mu bunyi tuh, wah nomer nya Eka kayak nya, buru-buru sang kakak ipar memberikan nya, Arif pun terpaksa menjawab nya. Wah , maaf sekali Dik Eka,.saya hari ada acara. Bagaimana kalau lain kali saja kita ketemu nya. Ucap Arif, kala wanita yang baru di kenal nya itu mengajak tuk bertemu, di restorant siang nanti. Sang kakak ipar yang mendengar nya , hanya menggeleng, sambil bibir nya di menceng kan, seolah tengah mencibir. Arif memegangi kotak kecil yang berisikan cincin emas. Renacanya, dia akan segera ke sana , ke tempat pujaan hati nya, kalau sudah ada waktu yang tepat. Sayang,.. tunggu Papa ya. Seminggu berlalu. Jauh di sebuah laut selatan, tampak seorang wanita tengah bermain-main dengan putra seamata wayang nya. Jilbab biru yang di kenakan nya menari-nari, di terpa angin yang sepoi. Wajah nya tampak murung , namun dia mencoba untuk ceria di depan putra nya. Dia

berlari-lari kecil, sambil mencangklong sandal jepit nya, demi bermain-main dengan putranya. Bahagia rasanya , apabila telah bertemu dengan putra yang amat di cintai dan bermain bersama. Kepulangan nya kini , adalah untuk yang seterus nya, karena dia berjanji pada putra nya untuk tidak kembali merantau. Di lihat nya hand phone di saku gamis, namun tiada yang menyapa nya, baik sms maupun telpon. Dia mendesah. Hati nya gundah, ingin dia mendengar suara kekasih nya , namun mengapa sampai saat ini dia tak ada kabar juga? Dia mencoba untuk mejawab sendiri pertanyaan itu, dengan prasangka yang baik. Semoga mas baik-baik saja ya, Mah, kok Om Arif gak datang lagi, apa dia baik- baik saja? Oya, dia baik sekali ya Mah, Syekh mau punya papa seperti dia, he he. Mendengar ucapan polos putra nya, hati Insan bagai ter iris-iris. Anak itu tak tahu tentang pargolakan yang tengah melanda ibu nya beserta Arif. Di dekap nya tubuh mungil itu, lalu di ciumi nya, walau air mata nya berderai, namun Insan mencoba untuk tersenyum di depan sang buah hati nya. Ya Allah, andai bukan dia yang Engkau anugerah kan padaku, biarlah, aku yang akan memilih Mu sebagai tujuan akhir perjalan cintaku. Aku yakin meraih cinta hakiki Mu, lebih indah dari pada cinta-cinta di dunia yang penuh dengan dusta ini,. Mobil sedan hitam memasuki halaman rumah. Syekh melonjak-lonjak kegirangan. Mama, .. Mama, Om Arif datang.

Cerpen Remaja SMA : ANGKASA


Kelabu. Itulah pancaran mata wali kelasku. Beliau merongrongku dengan kata 'belajar' sepanjang tahun, tetapi aku tidak berniat mendengarkannya. Sampai akhirnya aku menangkap kemendungannya, hingga aku terpuruk penuh rasa salah. Tega nian aku menyusahkan orang setua ini.

Beliau menadahi dagunya dengan telapak tangan. Alisnya meliuk-liuk. Kacamata besarnya melorot. Kerut-merut pada paras wali kelasku menunjukkan jumlah kebijaksanaan yang telah ia miliki. Kebijakan yang selama ini kutolak karena kuanggap terlalu tua. Namun aku salah. Apapun yang terucap dari mulut beliau bukan dusta. Ketika beliau mengganggu waktu bermainku dan menuduhku anak malas, saat beliau berkata aku harus belajar lebih keras, dan segalanya, yang selalu kuabaikan, akhirnya aku gagal. Gagal dua kali menempuh kelas dua SMA.

Dari bola matanya terlihat sorot mataku. Gelap. Mataku kosong, seperti tidak bernyawa. Layaknya langit mendung nan gelap. Tak ada cahaya di sana. Aku lelah menanggung malu. Tetapi aku letih memaksa diri belajar. Padahal aku ingin naik kelas. Semua orang mendukungku. Kemudian godaan datang bertubi-tubi bagiku. Melepasku dari kata rajin. Aku pun terbuai. Pergilah aku meninggalkan meja belajar. Memboloslah aku dari pelajaran paling sulit. Kubuang segala kesempatanku. Hingga aku menemukan kalimat pernyataan 'tidak naik kelas' di buku raporku. Ini kedua kalinya aku tidak naik kelas. Bodoh sekali, bukan? Wali kelasku menyanggah. Kamu tidak bodoh. Kamu hanya terlalu tidak peduli pada nasib masa depanmu. Kalau aku tidak bodoh, mengapa terjadi? Karena kamu tidak mau sedikit saja menyisihkan waktumu untuk berjuang! Dengan kesal sekaligus tertohok oleh ucapan sang wali kelas, aku memberengut. Kutinggalkan ruang guru yang gelap, kubanting pintunya, kularikan kakiku sejauh mungkin. Mungkin aku ingin pergi ke tempat main. Mungkin aku hanya mau pulang dan tidur sepuasnya. Aku ingin kabur dari dunia nyata di mana kita harus terus bekerja susah payah. Benci! Tahun ajaran baru dimulai dengan kehampaan. Teman-temanku yang sudah naik strata ke tingkat terakhir SMA menertawakanku. Mengasihaniku. Menepuk pundakku. Memberiku nasihat basi. Mata mereka menampakkan awan putih. Tanpa beban. Bebas. Lega. Sedangkan aku melihat guntur di mataku. Marah. Kesal. Sesal. Kuterobos gerombolan mantan adik kelasku. Kini aku terjebak bersama para berondong! Siapa kalian? Ah, nanti kalian pasti menertawakan aku jika telah tahu kisahku. Aku masuk kelas. Banyak orang di sana. Menatapku penuh tanda tanya. Tentu saja. Mereka tidak mengenalku. Duduklah aku di bangku belakang, sudut kanan. Ini ruang kelasku yang lama. Baunya pun masih sama. Sekonyong-konyong datang seorang gadis manis berambut keriting kriwil. Ia memberi senyum padaku. Disebutnya sebuah nama: Kirana. Lalu aku membalas perkenalannya. Ia tampak terpukau oleh namaku, Bintang. Matanya berbinar. Oh, sebuah bulan kemilau! Aku menemukan bulan di mata Kirana. Wali kelasku bertanya mengenai kabarku. Ia bilang aku harus berubah tahun ini. Apa yang mesti kuubah? Aku nyaman hidup sesantai-santainya. Tetapi kamu wajib naik kelas! Ya. Kalau begitu, bagaimana caranya hidup santai penuh sukses?

Hidup adalah perjuangan. Kenapa kita harus berjuang? Wali kelasku, Pak Surya, pun mengalah. Mendesahlah beliau. Kacamatanya dicopot. Tangannya dilipat. Ia memanggil namaku dan mulai mengusahakan pembicaraan serius antara kami. Dikatakannya bahwa setidaknya, walaupun aku benci SMA dan belajar, aku harus menempuhnya demi kebahagiaan orang tuaku. Lagipula, aku sudah gagal. Gagal adalah awal dari kesuksesan. Seharusnya sejak gagal pertama kali aku diharapkan menyadari kesalahan dan memperbaikinya. Pak Surya kecewa karena perjuanganku tidak dilakukan dengan serius. Kenapa? tanyanya. Cobalah sekali lagi. Dengan sungguh-sungguh. Ingin aku menyumbat telinga dengan gabus. Malas aku mendengar ocehannya. Di sisi lain, petuah-petuahnya memang menyakiti hatiku. Terasa begitu tepat mengenai perasaanku. Beliau tidak pernah salah bicara. Pemilik mata bulan yang masih kecil menghampiriku. Ia menyodorkan catatan Sejarah untukku. Rupanya ia menyadari aku tertidur saat pelajaran, dan, tentu saja, buku catatanku kosong melompong bak kolam renang sedang dibersihkan. Hanya garis-garis yang nampak atasnya. Aku berterima kasih. Ia mengangguk. Pinjam saja dulu. Aku sudah menggarisbawahi bagian terpenting. Heran. Jangan-jangan ia agen rahasia dari Pak Surya dalam rangka membuatku tidak tinggal kelas! Kutanyai Kirana tanpa basa-basi. Ia menggeleng. Dia bilang, ia hanya tidak mau nanti ada satu anak pun yang tertinggal di akhir tahun ajaran. Sialan. Mengena sekali! Mulai besok jangan tidur di kelas lagi. Nasihat Kirana menggema. Rugi. Mataku tetap terasa kering kerontang meskipun aku berusaha membelalakannya. Kutopang daguku. Kutampar pipiku. Namun atmosfer yang dikerubuti debu-debu Matematika gencar menyuruhku terlelap. Semua keributan di kelas rasanya mengawang dalam kepalaku. Langit di luar mendung. Meniru atmosfer hatiku. Lalu datanglah jam istirahat. Segera kuregangkan otot-ototku. Hah. Perutku lapar. Berkeruyuk ia dengan lantang. Kirana menghampiriku secara ajaib, membawa sekotak makanan. Dia tersenyum simpul dan mengajakku makan. Kalau perut lapar, belajar mana masuk? Aku merenggut. Aku tidak punya makanan. Kotak makanan Kirana yang ukurannya kira-kira sebesar ubin keramik putih dibuka. Rupanya di

sana tersaji seonggok sayuran dan empat potong perkedel jagung. Hmm. Menggiurkan. Kirana kemudian duduk di depanku, membawa kantung bekalnya yang tertinggal di mejanya. Dikeluarkannya sekotak nasi. Pinjam piring ke ruang guru, pintanya. Maka aku beranjak dan bertemu Pak Surya sedang mengobrol dengan guru lain. Ruang guru pengap tersebut ramai oleh keberadaan para pahlawan tanpa jasa berbaju rapi. Lantas aku menanyakan pada Pak Surya perihal meminjam piring. Ia pun memberikannya. Jarang kau makan saat istirahat, Bintang. Siapa teman makanmu? Aku cengengesan sendiri. Kusebut nama seorang teman sekelas. Asal saja. Lalu aku berlari keluar. Kembalikan siang ini, ya! Aku tiba di kelas. Kirana membaca buku saku berisi moto-moto Latin selama menantiku. Ia segera membagi nasinya dan lauknya. Kami makan bersama sambil mengobrol. Diceritakannya soal keluarganya yang ramai. Tentang dua adiknya, ayah pendiamnya, ibu ceriwisnya, bahkan bebek peliharaannya. Ia paparkan padaku buku-buku bacaan favoritnya. Pramoedya. Fira Basuki. Dee. Lalu ada nama Hilman disebutkan juga. Semua genre adalah favoritnya! Kirana pun memberitahuku soal musik. Dia suka jazz. Aku penggemar indie dan The Upstairs. Kami tertawa saat seorang teman sekelas masuk dan menuduh kami pacaran. Seiring kenyangnya perutku, aku semakin gembira. Pelajaran berikutnya, aku menyerap semua kata-kata guru Matematikaku. Aku bahkan berhasil mengerjakan latihan fungsi aljabarku. Beberapa nomor salah, sih. Tapi lumayan, 'kan? Kami mendapat tugas kelompok. Membaca buku sejarah Indonesia, terutama tentang berkembangnya aneka agama di sana sejak abad sekian dan pengaruhnya pada kebudayaan kita masa kini dan menuliskan inti-inti terpentingnya. Aku disekelompokkan dengan Kirana. Seakan guruku ingin membuat seisi kelas meledek kami karena kami sangat dekat. Lantas Kirana malah menambah seru anak-anak dengan mengajakku pulang bersama dan mengerjakan tugas di perpustakaan kota. Kota kecil tempat kami tinggal. Aku setuju-setuju saja. Kapan lagi ada gadis yang mau mengajakku pergi? Pulang sekolah, ia membawaku ke tempat parkir sekolah. Aku bertanya-tanya. Apa dia membawa mobil atau motor? Kamu bisa mengendarai sepeda? Aku terheran-heran menyaksikan sepeda ontel yang dibawanya. Astaga. Lucu sekali. Sebuah

kendaraan tanpa bahan bakar dengan keranjang pada moncongnya dan dudukan boncengan di punggung. Akhirnya kami berboncengan naik sepeda ontel menyusuri jalan sepi kota kami. Aku di depan, ia di belakang, meremas ranselku supaya tetap seimbang. Betapa imutnya dia, kalau kupikirpikirkan ekspresinya. Siapa kira-kira yang dulu membonceng Kirana? Kami sampai di gerbang perpustakaan umum. Kami sisiri setiap rak buku sampai menemukan buku yang direkomendasikan guru sejarah kami tersebut. Pustaka tebal tersebut kami bawa ke meja bundar yang tersedia di sana. Kami lalu membacanya bersama seperti anak kecil berbagi dongeng. Sesudah itu mencatat bagian-bagian penting yang ditargetkan guru. Ia merapat padaku ketika mengingatkanku bahwa ada beberapa hal yang sebetulnya tidak perlu kutulis. Heran. Rasanya perutku mulas. Aku buru-buru mengiyakan ucapannya dan menghapus tulisanku. Ia menyingkir, dan mulasku masih ada. Hening sejenak. Kami asyik masing-masing. Aku tak sengaja menggarisbawahi satu kalimat dalam paragraf pentingmaksudku agar tidak terlewatkan. Untung aku memakai pensil. Punya penghapus? Wah, Bintang! Jangan coret-coret bukunya, dong. Aku bilang aku tak sengaja. Kirana cekikikan. Dia melempar penghapus ke telapak tanganku. Kutangkap dengan lincah. Kamu suka olahraga? Lumayan. Aku sih tidak. Kecuali bersepeda dan jalan kaki. Waktu kecil aku juara kelereng segeng main. Aku juara duduk terlama, kalau begitu. Kirana pun menertawakan dirinya sendiri. Aku memandanginya penuh kekaguman. Ia nampak bersinar. Di matanya ada kerlipan kemilau. Mataku sendiri memantulkan cahaya tersebut. Sepertinya di antara langit gelap hampaku muncul secercah cahaya. Kirana sangat terbuka padaku mengenai dirinya. Dalam waktu beberapa bulan saja, aku nyaris hafal apa kebiasaannya. Dia pun begitu terhadapku. Padahal aku cukup tertutup. Tapi Kirana berkata bahwa kelakuanku sangat polos, kadang-kadang. Semua orang mampu mengenali perasaanku tanpa perlu banyak wawancara. Aku hanya nyengir mendengar komentarnya. Bersamaan dengan persahabatanku dengan Kirana, aku menyadari bahwa nilaiku naik. Secuil saja, tidak ekstrim. Tapi Pak Surya saja suatu kali memanggilku dan memberiku sekeping coklat koin berbungkus kertas emas. Hadiah lulus midsemester.

Aku tertawa geli melihat cara ia memperlakukanku seperti anak SD. Perlu upetikah aku untuk melaksanakan hal yang baik? Ini hanya sebagai penghargaan kecil supaya kau termotivasi untuk meningkatkan nilaimu lebih lagi, Bintang. Terima kasih, Pak. Pak Surya barangkali baru pertama kali mendapatkan ucapan terima kasih dariku. Ia melotot. Karena itulah aku dapat melihat langit pada matanya yang kian terang. Oh, Pak Surya. Nilai senirupaku terlebih membanggakan lagi. Lukisan pemandanganku dipuja oleh guru seni. Ia bilang, karyaku terasa asli dan penuh penghayatan. Begitulah. Aku sampai menahan nafas karena baru kali ini aku diberi kata-kata semanis itu. Orang tuaku saja tidak pernah bilang begitu. Aku tidak tahu kamu pandai melukis. Itu kata-kata Kirana. Ia malah minta aku melukis langit malam dengan bulan dan bintangbintang kecil untuk dipajang sebagai dekorasi kamarnya. Aku menerima saja kemauannya. Kirana sampai membeli selembar kain kanvas selebar daun pintu. Sungguh-sungguh buatkan, ya. Boleh. Malam itu aku bercokol di rumah dan mengeluarkan cat lamaku yang ternyata sudah kering! Mumpung tidak ada PR dan cerah, aku berjalan ke toko alat lukis terdekat. Kutelusuri rak demi rak memilih cat berkualitas tertinggi. Aku pulang membawa cat yang kusukai dan dalam semalam aku menyelesaikan segulung lukisan langit malam yang sarat rasa senang. Keesokan paginya Kirana menerima lukisan tersebut dengan penuh keceriaan. Dia menepuk lenganku entah berapa belas kali saking riangnya. Terima kasihnya diucapkan puluhan kali setiap menit. Mengapa kau begitu menyukai langit malam? Mata Kirana meredup. Tidak sinkron dengan kalimat berikutnya yang ia lontarkan. Ada kenangan manis tentang langit malam. Aku dan seseorang dulu selalu memandangi langit bersama. Langit malam yang cantik. Aku bulan, dan dia bintangnya. Perutku mulas. Ia tampak kelam seperti warna langit malam. Kuberanikan diri bertanya siapa orang yang ia maksud. Mirip denganmu, sifatnya. Seumuran dengan kita. Aku bertambah penasaran. Dia teman lamamu? Kirana mengangguk pelan. Kalau sekedar teman lama, kenapa seakan ia sangat merindukannya? Mungkinkah figur misterius tersebut adalah kekasihnya? Mantan pacar ya? Tanyaku, bernada jahil.

Kirana bahkan tidak tersenyum. Ia malah menatapku gundah. Aku terkejut saat bulan di matanya itu mencair. Leleh seperti kuning telur. Dalam kesunyian, Kirana membiarkan beberapa butir air mata terjun ke pipinya. Aku tidak sempat mengambil lap apapun. Maka kupakai tanganku untuk membantunya mengeringkannya. Ia menunduk. Kuberi ia peluk. Sampai akhirnya ia menceritakan semuanya. Segala hal yang dilakukan teman menonton langit malamnya. Seorang laki-laki dari kelas sebelah. Membelikan sekotak biskuit coklat. Memboncengnya ke padang rumput terdekat. Duduk bersamanya, merinci nama-nama bintang. Setiap hari mereka bersama. Tiga bulan yang luar biasa, kata Kirana. Hingga Kirana sadar bahwa temannya itu semakin kurus saja. Hingga anak itu tidak pernah muncul di sekolah. Hingga Kirana menemukan namanya di daftar penghuni baru rehabilitasi narkoba. Suatu saat, temannya itu menghilang. Dan terbaca berita di koran bahwa seorang pemuda usia lima belas overdosis di kamar tidurnya sendiri. Kemudian Kirana melihat rumah temannya dikunjungi orang-orang berbaju hitam. Tanda duka. Kirana selalu menatap langit malam. Ia berharap temannya berbicara lewat kerlingan bintang dan bulan di atas sana. Tapi mustahil! Pandanganku pada dunia berubah begitu saja. Aku dan Kirana belajar habis-habisan untuk ulangan umum semester dua ini. Setiap hari kami mengulang pelajaran hari ini di jalan pulang. Kami berpisah di perpustakaan karena letaknya di tengah kota. Kurasa aku perlu berjuang kali ini. Aku tidak mau tertinggal lagi, karena aku akan keluar dari sekolah jika sekali lagi aku gagal. Semua dukungan Kirana tentu jadi sia-sia. Betapa bakal marahnya ia jika itu terjadi! Di sisi lain, sulit bagiku untuk tidak mengikuti semua omongan Kirana yang memotivasi secara luar biasa. Dia jarang membiarkanku menganggur. Setiap aku punya waktu senggang, ia mengajakku tanya jawab Geografi. Ketika aku hampir tertidur di jam pelajaran Matematika, Kirana menggebuk mejaku hingga semua orang kaget. Tapi aku toh langsung cenghar. Pak Surya menyumbangkan tiga keping coklat koin untukku. Nilaimu naik tiga angka untuk Matematika. Luar biasa. Pertahankan sampai kau lulus SMA. Beberapa kerlipan mengunjungi tatapanku. Aku merasa bola mataku berbinar cerah. Cerah. Mata Pak Surya benar-benar secerah pagi hari. Seakan ada matahari bertengger di sana. Ia menggenggam buku raporku. Setelah dua kali tercap tulisan TIDAK NAIK KELAS di sana, kini terstempel frasa terindah untuk masa ini: NAIK KELAS. Aku, Bintang, naik kelas! Kirana, yang berdiri di sampingku, tersenyum bangga. Ia juga memeluk buku rapornya. Kamu hebat, Bintang. Itu karena kalian, Pak Surya, Kirana.

Pak Surya lantas berkata pada Kirana: Kenapa kau tertarik untuk memotivasi Bintang? Kirana hanya menjawab tenang: Karena aku bulan. Bulan adalah sahabat sejati bintang. Kami para lelaki kebingungan mendengar puisi singkatnya. Kirana lalu berkata bahwa ia tidak tega melihat Pak Surya karena terlalu pusing memikirkan aku. Pak Surya terkikik dan berpandangan dengan Kirana. Untung saya bocorkan padamu ada seorang anak yang butuh perhatian lebih padamu. Apa? Tapi aku tidak sekedar ingin membuatmu naik kelas, Bintang, kata Pak Surya tanpa bisa kupahami. Kirana adalah teman yang luar biasa bagimu. Tidakkah pada matamu sekarang terlihat banyak bintang bertaburan? Kirana yang memberikannya bagimu. Kirana dan Pak Surya saling tersenyum. Wah, persengkongkolan macam apa ini? Sejak awal mereka bekerja sama membantingku agar naik kelas! Jadi Kirana bukannya secara spontan tertarik padaku? Bintang, asal kamu tahu, Kirana pernah sekali dua kali bilang kau sangat baik. Hei, aku tidak sekedar memberimu kenaikan kelas, 'kan? Aku mengerjap. Kirana lalu keluar dari ruang guru. Pak Surya mengedipkan sebelah matanya. Aku segera paham maksudnya. Kutatap langit cerah di matanya sekali lagi, agar aku punya keberanian. Kuhampiri Kirana, yang sedang tersenyum sumringah. Boleh aku menjadi bintang bagimu? Akan kutemani kau di langit malam yang gelap itu. Kirana malah menertawakanku. Habis-habisan. Tapi segera ia menghentikan kelakuannya dan menghambur padaku. Dipeluknya aku erat-erat. Perutku mulas tiada tara saking berdebardebarnya. Sinar bulan, kelap-kelip bintang, elegannya langit malam. Semua melebur saat kami saling menatap. Kini aku akan menemaninya. Selamanya, kuharap. Cerpen Remaja SMA : ANGKASA kerenn ceritanya, hemmm jangan lupa share ,kasi +1 juga yaa kalo kalian suka, mampir juga di sini... Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku. Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk? tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku. Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih? Hanny yang dari

tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami. Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya? timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka. Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya? Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja, ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak. Kami pun kemudian tertawa. Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplasceplos. Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius katakata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an. Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia? Henny masih penasaran. Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi, aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka. Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan. Tok... tok... tok.... Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar. Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu. Tari, gue mau curhat! Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku. Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini, tanyaku, heran. Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini. Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah. Hanny protes. Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas

banget! Laras marah. Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk. Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka. Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa. Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengahtengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya. Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia. Ketemu di mana? Namanya siapa? tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun. Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri. Siapa?! tanyaku, tak percaya. Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya. Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia. Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya! *** Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak? Enggak ada. Memang ada apa?

Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku? Untuk kamu, apa sih yang enggak? Ya sudah. Berangkat, yuk. Oke. RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu. Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal. Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar. Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan. Aku bangkit, kemudian berseru, Fikri, aku ingin bermain dengan ombak. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku. Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku. Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku. Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya, untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan. Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan. Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang. Kamu curang, seruku, masih dengan tersengal-sengal.

Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh, jawab Fikri, sekenanya. Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang. Sayang, sebenarnya ada apa sih?. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini, jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal. Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu. Masa, sih? Bukannya iya? Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat. *** Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu. Maksud kamu apa?! Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini. Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras. Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu! Fikri marah besar. Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia. Read more: Kumpulan Cerpen Remaja Terbaru 2012

Kaufr ee tak? Datang tempat biasa, jam 11 malam ini. Cepat, jangan lambat!, arah si

pemanggil. Tegas. Tanpa menunggu jawapan Rosmah, talian diputuskan. Tapi, Rosmah yang ingin membantah, terpaksa akur dengan arahan itu. Jika dia membantah,dia sendiri tahu akibatnya. Tentu teruk dibelasah! Dasyatnya! Gadis yang berumur 18 tahun itu terpinga-pinga seketika. Namun, dia cepat bersiap-siap setelah dilihatnya satu jam lagi angka 10 akan bertukar 11. Masa tidak pernah menunggu sesiapa walau dia seorang raja atau menteri. Dia menjejakkan kakinya ke tempat biasa seperti yang diarah oleh Nuri, kawan baru dikenalinya yang sering mengajaknya keluar malam untuk berseronok. Lima minit lagi sebelum jam 11, dia sudah berada di muka pintu sebuah rumah usang. Rumah itu dijadikan sebagai sarang tempat mereka berseronok, tempat mereka melakukan dosa! Dilihatnya, ramai kawannya yang berada si situ, merokok,menghidu gam, berdating, dan mendengar lagu rock sambil menari ala orang kurang siuman. Kehadirannya, seperti biasa tidak dhiraukan oleh mereka yang sibuk dengan aktiviti-aktiviti di dalam rumah usang itu. Remaja! Beginikah? Arghhh. Wei, kenapa termenung aje ni? Enjoy lah! Jangan nak buat muka masam macam kerang busuk kat sini pulak! Sini hidup kita, syurga kita. Happy!!!, kata-katanya seperti menyindir, tapi malas dia mahu mengulas kata-kata Nuri. Nuri menghamburkan ketawanya.Tapi sejenak suara ketawa besar Nuri hilang dek tenggelam oleh lagu rock yang memeriahkan suasana di rumah itu. Rosmah tersenyum hambar. Masam sungguh wajahnya malam itu. Berbeza dengan malam sebelumnya, di mana dia akan menurut semua arahan yang diberikan oleh kawan-kawannya. Rosmah mengambil sebatang rokok lalu disuakan ke dua celah bibirnya yang sedikit hitam. Dia menikmati keseronokan yang terhidang malam itu bersama kawan-kawannya yang lain. Hai, cik manis, sapa seorang lelaki yang berbadan tegap. Tinggi sedikit dari dirinya. Lelaki itu menyentuh pipinya dan memegang lembut lengannya lagak orang yang sedang berpacaran. Free tak? Untuk malam ini aje, ujar lelaki yang mungkin 10 tahun lebih tua dari dirinya. Eeee Kenyitan mata menggoda dari lelaki tua itu merimaskan Rosmah. Tak sedar diri betul! Sumpah Rosmah dalam hati. Dia belum pernah berdepan dengan situasi sebegini. Ekor matanya memandang anak mata lelaki tua tak sedar diri itu. Manusia itu seperti mendambakan sesuatu dari dirinya. Sungguh menakutkan!

Rosmah tersentak! Dia menepis tangan lelaki itu dan menolaknya sedaya mungkin setelah disedarinya tangan kasar lelaki tua itu mula merayap ke tubuhnya. Kelihatannya, lelaki itu sedikit terkejut atas tindakan spontannya sebentar tadi. Mata dan wajah lelaki itu kelihatan merah menandakan reaksi wajahnya yang marah. Rosmah berserah sahaja jika sesuatu yang buruk berlaku ke atas dirinya, tapi maruah perlu dijaga. Teringat seketika dengan pesanan mamanya, yang mensihatinya untuk menjaga maruah diri walau dalam keadaan apa sekalipun. Baru dia sedar, selama ini dia melupakan Maha

Pencipta, Tuhannya. Dalam keadaan cemas ini, barulah dia teringat Allah, yang pasti membantu hamba-Nya. InsyaAllah. Cemas! Itulah yang dirasainya sekarang. Dia hanya mampu berdoa dalam hati. Ya

Allah. Lelaki yang masih berapi kemarahan itu memukul dan menampar Rosmah. Agggghh, Rosmah kaget, tapi dia perlu mempertahankan dirinya. Dia tidak menyangka lelaki itu bertindak di luar jangkaannya. Sungguh sakit! Itulah yang dirasainya kini. Kawan-kawannya yang berada di situ tidak menolongnya. Hanya menjadi penonton setia. Mereka ibarat penonton yang sedang menonton drama. Lelaki tua dan Rosmah pula ibarat pelakonnya. Kawan, tolong aku!, rintih hatinya. Harapkan pagar, pagar makan padi! Inikah kawan yang pernah menabur janji akan sentiasa tolong aku ketika memaksa aku untuk menyertai mereka melakukan aktiviti yang jelek? Penipu! Satu tamparan yang maha hebat hinggap sekali lagi di pipinya yang sudah berdarah sejak tadi. Dia cuba untuk melawan, tapi apakan daya seorang perempuan lemah sepertinya melawan seorang lelaki yang berbadan tegap? Air mata yang masih hangat terus menerus mengalir tanpa henti. Dia menahan kesakitan itu Lelaki yang tidak berperikemanusiaan itu meninggalkan rumah usang setelah memberikan dua tendangan hebat ke tubuhnya. Rosmah terbaring di atas lantai. Lemah tubuhnya saat itu. Dia terkulai layu. Kepalanya berpusing-pusing, ingin pengsan rasanya. Beberapa saat, pandangannya yang kabur semakin kabur dan gelap! Kelopak mata cuba dibuka walaupun pedih rasanya. Sedikit kabur pandangannya tika itu. Samar-samar kelihatan seseorang sedang lena di kerusi. Hati bertanya-tanya siapakah gerangan yang sudi membawaku ke sini? Sini? Hospital rupanya. Syikin, nama itu terkeluar dari mulutnya yang masih bengkak. Betapa malunya dia pada teman baiknya, Syikin. Ohh Tuhan! Mengapa? Aku begitu malu dengan Syikin. Satu-satunya teman yang sering menasihatiku suatu masa dulu tapi tidak ku peduli malah ku menghinanya. Mengapa dia masih menyayangiku. Sungguh hina diriku ini Dia cuba mengingati saat temannya berusaha menasihatinya dulu. Auchh.. sakit kepalanya, tapi diusahakannya juga untuk mengingati apa yang berlaku beberapa bulan yang lalu. Biarlah dia merasa kesakitan kepalanya, tapi itu tidak setimpal dengan rasa sakit pada hati Syikin

Ros, aku harap kau sedar ini semua ujian Tuhan. Kenapa kau berubah seratus peratus menjadi seperti begini? Walaupunpar ents kau telah pergi, kau masih ada aku dan kawan-kawan yang lain. Kita kongsi masalah, Ros. Jangan biarkan diri kau rosak hanya kerana tidak bijak menghadapi ujian kehidupan, sudah puas Syikin memujuknya untuk berubah menjadi seperti

dirinya semula. Tapi, diendahkan saja. Nasihat itu dibiarkan berlalu bersama hembusan lembut angin.Dia tidak akan berputus asa malah dia akan terus memujuk dan menasihati temannya yang menghadapi tekanan itu. Rosmah mendengus kasar. Keluhan Syikin turut kedengaran. Taman yang sunyi dan tenang sejak tadi kini tidak setenang tadi. Kehangatan mula dirasai oleh dua sekawan itu. Kau tak faham bahasa ke? Apa yang tak kena dengan aku? Aku dah dewasa untuk menentukan hidup aku sendiri. Ini hidup lah, Syikin! Kita harus mencuba sesuatu yang baru. Menimba pengalaman, apa salahnya?, Rosmah cuba mempertahankan dirinya yang dirasakan betul. Dia tersenyum sinis. Aku tahu ini hidup. Tapi hidup tak semudah yang disangka. Kita bukannya di syurga, tak perlu takut untuk melakukan sesuatu. Tapi kita di dunia! Dunia yang berduri! Duri-duri kehidupan sentiasa ada sama ada kita sedar atau tidak! , Syikin meluahkan apa yang terpendam. Kita harus mencuba sesuatu yang baru? Syikin mengulangi ayat yang tersembur dari mulut Rosmah. Contohnya? Seperti merokok? Menghidu gam? Bergaul bebas? Itukah sesuatu baru yang kau nak cuba?, tempelak Syikin. Rosmah mencebik. Kata-kata pedas itu umpama semburan cili ke mata seseorang. Pedas! Dilihatnya Rosmah diam membisu. Mukanya seperti menahan malu. Ahh..pedulikan! Kau kena berubah! Kata hati Syikin. Ros, mengapa perlu kau lakukan sesuatu yang tidak berfaedah malah membuang masa? Jika kau inginkan sesuatu yang baru, mengapa tidak kau mencari pekerjaan dengan menggunakan sijil SPM kau? Jikapar ents kau masih hidup, sudah tentu mereka sedih melihat keadaan kau sekarang ini, soalan bertubi-tubi diludahkan kepada Rosmah. Syikin begitu sedih sekali melihat perubahan temannya. Dulu dia seorang yang berbudi pekerti, baik hati, berdisiplin, tapi semuanya hilang ditelan masa. Pengaruh rakan-rakan yang tidak bermoral menyebabkannya seperti ini. Dia juga tidak percaya dengan khabar angin yang mengatakan Rosmah merokok dan berkawan dengan sampah masyarakat. Dia juga tidak percaya jika Rosmah berpakaian ketat sehingga kelihatan pusat, seperti gaya orang barat. Astaghfirulla hal azim Rosmah di hadapan matanya. Barulah dia percaya akan khabar angin yang sememangnya benar itu. Ke mana perginya tudung yang sering menemani dan menutupi rambutnya? Ke mana perginya adab sopan yang diamalkannya dulu? Ke mana hilangnya imannya dulu? Pelbagai soalan yang berlayar di mindanya. Sudahlah Syikin! Jangan kau ungkit kisah lamaku! Siapa kau nak nasihatkan aku? Kau bukan siapa-siapa di mata aku. Malah kau menyemak mataku sahaja. Kau tak sedarkah siapa kau? Kau cuma anak miskin yang menumpang di rumah orang! Tidak malukah kau menumpang rumah orang selama berpuluh tahun lamanya? Dasar perempuan tak tahu malu!, suaranya sengaja dikuatkannya. Dia memberikan senyuman sinis kepada Syikin.

Sinopsis Buku: Tidak banyak penulis cerita pendek Indonesia yang memiliki kesegaran dan kelincahan dalam bercerita. Di dalam buku ini, Asma Nadia mencoba menjembatani antara keterampilan bercerita yang ia kuasai dan tuntutan isi yang mutlak dibutuhkan dalam karya sastra. Beragam tema ia kendalikan dengan baik: dari hal yang rumit, sampai persoalan yang sangat sepele. Asma Nadia seolah-olah hendak membuktikan bahwa sesuatu yang "berat" bisa dikemas menjadi sangat sederhana. Tentu saja itu tidak gampang.Joni Ariadinata--cerpenis, redaktur Jurnal Cerpen IndonesiaMembaca cerpen-cerpen Asma Nadia, ternyata realisme belum mati. Bagi remaja, cerita-cerita keseharian dengan realitas di kelas sosial pinggiran, sangat penting untuk mengasah nurani. Maka bacalah dan hati kita akan terus terjaga untuk tetap mengasihi sesama.Gola Gong-novelis dan pengelola Pustakaloka Rumah Dunia Setting "dunia yang terpinggirkan" senantiasa menarik bagi para penulis cerpen, termasuk Asma Nadia. Tapi dia ternyata juga fasih ketika bercerita tentang kalangan yang sama sekali berbeda, yaitu kalangan "atas" yang terkesan identik dengan hedonisme. Gaya penulisannya pun variatif, dari pendekatan "dramatik emosional" yang cenderung serius, sampai ke cas-cis-cus gaya remaja yang segar. Di antara sepuluh cerpen dalam kumpulan ini, yang paling menarik bagi saya ialah Ibu Pergi Sebulan, yang ternyata justru terbebas dari gaya-gayaan tadi, tapi kuat dalam keunikan gagasannya.Jujur Prananto---penulis cerpen dan skenario Buat anak-anak muda yang baca buku ini, I'm telling you, you are reading the right book! Pokoknya baca sampai habis, you'll be inspired, and grateful, plus lebih berani untuk mikir dan tampil beda. Lebih maju!Dewi Hughes Spd.---presenter

Resensi Buku:

oleh: Haya Aliya Zaki Rara, seorang anak perempuan berusia 9 tahun ingin sekali memiliki rumah berjendela. Jendela? Ya, rumah Rara yang sekarang memang tak berjendela karena rumah tripleks mereka itu terletak di kolong jembatan jalan tol. Di sana rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Tak bosan-bosannya Rara bertanya pada Emak, Kapan kita punya rumah yang ada jendelanya? Rara tak peduli semua orang menertawakan keinginannya. Setiap hari ia menabung uang dari hasil mengamennya agar keinginannya bisa terwujud. Mungkinkah? Kamu simak aja kisah menyentuh ini dalam cerpen berjudul: Jendela Rara. Ada kisah Jhoni, cowok yang periang, mudah bergaul, murah hati dan kaya banget! Maklum, ibunya pelukis terkenal, ayahnya pengusaha sukses. Jhoni sangat dimanjakan materi, apalagi doi anak semata wayang. Hari-hari Jhoni penuh dengan hura-hura. Sampai malapetaka itu datang. Perusahaan orangtuanya bangkrut! Semua harta mereka disita. Lalu bagaimana Jhoni menjalani hari-harinya selanjutnya? Sobat muda, silahkan cari jawabannya dalam cerpen: Jhoni The Boss. Ada kisah Adit yang kelewat cinta sama Indah, kisah Bu Saiman yang dikejar-kejar tukang kredit, kisah Mia yang nekat melakukan aborsi karena hamil di luar nikah, kisah Ken yang gigih mencari sosok sang

bunda, dan lain-lain. Kumpulan cerpen Cinta Tak Pernah Menari ini berisi 10 cerpen ciamik. Tema kisah yang Asma sodorkan beragam banget. Tidak hanya seputar remaja dan cinta monyet lho. Basi banget itu! Di buku ini, Asma banyak mengangkat cerita-cerita keseharian dengan realitas di kelas sosial pinggiran. Cerita seperti ini sangat penting bagi kita sebagai remaja agar nurani kita selalu terasah untuk mengasihi sesama (mengutip kalimat Gola Gong). Penulis yang pernah meraih Mizan Award untuk kategori Penulis Fiksi Remaja Terbaik tahun 2003 ini gape mengemas kisah-kisah berat menjadi ringan namun bermakna. Kesimpulannya, cerpen-cerpen Asma bikin kamu cerdas tapi nggak bikin keningmu berkerut tujuh hehehe... Sekedar info, Cinta Tak Pernah Menari mendapatkan penghargaan Anugerah Pena untuk 2 kategori yaitu Kumpulan Cerpen Remaja Terpuji dan Cover Buku Terpuji di tahun 2005. So, tunggu apalagi? Isinya keren. Cover-nya juga. Sebagai inspirasi yang mencerahkan sekaligus menghibur, buku ini layak kamu miliki. *** (Haya Aliya Zaki)

Peradilan Rakyat Malam-Malam Nina Jangan Menyebut Dua Frasa Itu Kota Kelamin Buroq Bingkai Simpang Ajal Menu Makan Malam Dambala of Telekinetik Sang Primadona

08/25/2002 - 09/01/2002 09/15/2002 - 09/22/2002 04/04/2004 - 04/11/2004 04/25/2004 - 05/02/2004 05/02/2004 - 05/09/2004 05/09/2004 - 05/16/2004 05/16/2004 - 05/23/2004 05/23/2004 - 05/30/2004 05/30/2004 - 06/06/2004 06/06/2004 - 06/13/2004 06/13/2004 - 06/20/2004 06/20/2004 - 06/27/2004 06/27/2004 - 07/04/2004 07/04/2004 - 07/11/2004 07/11/2004 - 07/18/2004 07/18/2004 - 07/25/2004

07/25/2004 - 08/01/2004 08/01/2004 - 08/08/2004 08/08/2004 - 08/15/2004 08/15/2004 - 08/22/2004 08/22/2004 - 08/29/2004 08/29/2004 - 09/05/2004 09/05/2004 - 09/12/2004 09/12/2004 - 09/19/2004 09/19/2004 - 09/26/2004 09/26/2004 - 10/03/2004 10/03/2004 - 10/10/2004 10/10/2004 - 10/17/2004 10/17/2004 - 10/24/2004 10/24/2004 - 10/31/2004 10/31/2004 - 11/07/2004 11/07/2004 - 11/14/2004 11/21/2004 - 11/28/2004 11/28/2004 - 12/05/2004 12/05/2004 - 12/12/2004 12/12/2004 - 12/19/2004 12/19/2004 - 12/26/2004 12/26/2004 - 01/02/2005 01/02/2005 - 01/09/2005 01/09/2005 - 01/16/2005 01/16/2005 - 01/23/2005 01/30/2005 - 02/06/2005 02/06/2005 - 02/13/2005 02/13/2005 - 02/20/2005 02/20/2005 - 02/27/2005 02/27/2005 - 03/06/2005 03/06/2005 - 03/13/2005 03/13/2005 - 03/20/2005 03/20/2005 - 03/27/2005 03/27/2005 - 04/03/2005 04/03/2005 - 04/10/2005 04/10/2005 - 04/17/2005 04/17/2005 - 04/24/2005 04/24/2005 - 05/01/2005 05/01/2005 - 05/08/2005 05/08/2005 - 05/15/2005 05/15/2005 - 05/22/2005 05/22/2005 - 05/29/2005 05/29/2005 - 06/05/2005 06/05/2005 - 06/12/2005 06/12/2005 - 06/19/2005 06/19/2005 - 06/26/2005

06/26/2005 - 07/03/2005 07/03/2005 - 07/10/2005 07/10/2005 - 07/17/2005 07/17/2005 - 07/24/2005 07/24/2005 - 07/31/2005 07/31/2005 - 08/07/2005 08/07/2005 - 08/14/2005 08/14/2005 - 08/21/2005 08/21/2005 - 08/28/2005 08/28/2005 - 09/04/2005 09/04/2005 - 09/11/2005 09/11/2005 - 09/18/2005 09/18/2005 - 09/25/2005 10/23/2005 - 10/30/2005 11/06/2005 - 11/13/2005 11/20/2005 - 11/27/2005 11/27/2005 - 12/04/2005 12/04/2005 - 12/11/2005 12/11/2005 - 12/18/2005 12/18/2005 - 12/25/2005 01/01/2006 - 01/08/2006 01/15/2006 - 01/22/2006 01/29/2006 - 02/05/2006

Monday, January 30, 2006


Peradilan Rakyat
Cerpen Putu Wijaya Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum. "Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini." Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung. "Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?" "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini." Pengacara muda itu tersenyum.

"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku." "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedunggedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu." Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa. "Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri." Pengacara tua itu meringis. "Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguhsungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan." "Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!" Pengacara tua itu tertawa. "Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua. Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf. "Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini." Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang. "Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog." "Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya." "Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke

rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani. Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang. Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini." Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan. "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya." "Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran. "Bagaimana Anda tahu?" Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu." Pengacara muda sekarang menarik napas panjang. "Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadiladilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?" "Antara lain." "Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku." Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu. "Jadi langkahku sudah benar?" Orang tua itu kembali mengelus janggutnya. "Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?" "Tidak! Sama sekali tidak!" "Bukan juga karena uang?!" "Bukan!" "Lalu karena apa?" Pengacara muda itu tersenyum. "Karena aku akan membelanya." "Supaya dia menang?" "Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku." Pengacara tua termenung. "Apa jawabanku salah?" Orang tua itu menggeleng. "Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang." "Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan." "Tapi kamu akan menang." "Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang." "Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun

sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini." Pengacara muda itu tertawa kecil. "Itu pujian atau peringatan?" "Pujian." "Asal Anda jujur saja." "Aku jujur." "Betul?" "Betul!" Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi. "Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?" "Bukan! Kenapa mesti takut?!" "Mereka tidak mengancam kamu?" "Mengacam bagaimana?" "Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?" "Tidak." Pengacara tua itu terkejut. "Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?" "Tidak." "Wah! Itu tidak profesional!" Pengacara muda itu tertawa. "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!" "Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?" Pengacara muda itu terdiam. "Bagaimana kalau dia sampai menang?" "Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!" "Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?" Pengacara muda itu tak menjawab. "Berarti ya!" "Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!" Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya. "Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok." "Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut." "Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang

penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?" "Betul." "Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakanakan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional." Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan. "Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia." Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan. "Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional." "Tapi..." Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda. "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam." Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik. "Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai." Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan posterposter raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan beritaberita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu. "Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Sahabat Sejati Oleh Suhartono Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi. Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan. Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan. Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang. Mungkin sakit! jawab Mama. Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya! katanya bersemangat Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Ia mendapat keterangan bahwa

momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon diPHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Oh, kasihan Momon, ucapnya dalam hati, Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung. Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria! Papa menegur Momon, Pa. Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia? Iwan menggeleng. Lantas! Papa penasaran ingin tahu. Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja. Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan. Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah! ujarnya. Lalu apa rencana kamu? Aku harap Papa bisa menolong Momon! Maksudmu? Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku! Iwan memohon dengan agak mendesak. Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu! kata Papa. Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer.

Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa. Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu! Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali! Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri. Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau? Tanya Papa. Soal sekolah kamu, lanjut Papa, kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung. Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya. Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua

CERPEN CINTA ROMANTIS : Akhirnya, Kini Aku Mengerti


Namaku Shelli, siswa kelas X SMA yang masih terlalu dini mengenal istilah cinta. Aku mengenal dengan istilah cinta saat duduk di bangku kelas tiga SMP. Belum terlalu paham tentang cinta, sebegitu mudahnya aku mempermainkan cinta saat itu, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan pasanganku. Awal masuk SMA, aku menjalin suatu hubungan dengan kakak kelasku. Aku kelas X, sedangkan dia kelas XII sekali lagi aku hanya bermain-main dengan cinta tanpa serius memikirkan perasaannya yang telah tersakiti karena kelakuanku.

Putus dari dia aku mengenal dengan sesosok lelaki muda, kebetulan dia juga kakak kelasku, tepatnya kelas XI, Riko namanya. Sebelumnya aku benar tidak tertarik sama sekali menjalin hubungan lagi, bosanlah istilahnya, tak ada yang menarik saat ku menjalin hubungan. Awal perkenalan kami juga tidak begitu menarik, dan aku pun tak menganggap Riko sama sekali. Tapi rasa itu langsung berbeda ketika aku pertama kali melihat dirinya. Shel, itu lo yang namanya Riko gertak Dani, salah seorang temanku yang ketika itu kami sedang duduk santai didepan kopsis sambil berbincang. Aku langsung menoleh ke arah lelaki muda itu, dan itulah awal aku tahu Riko secara langsung. Benarkah itu Riko? tanyaku kepada Dani tanpa memalingkan pandanganku ke arah Riko. Iya benar, itu Riko ! Jawab Dani sambil memakan jajan yang baru saja ia beli. Gila, Benar-benar gila. Ganteng banget ternyata gumamku di dalam hati dan masih terpesona melihatnya. Sesampainya di rumah, aku pun tak henti-henti kepikiran wajah si Riko. Kenapa ini, aku tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Biasanya aku juga tak pernah seheboh ini pikirku sangat aneh sambil berkali-kali aku memandangi handphone berharap ada SMS masuk dari Riko. Sungguh aneh, yang tadinya aku tak tertarik sama sekali, sekarang malah berharap lebih sama Riko. Ada SMS ! teriakku. Langsung ku buka SMS itu dan benar, itu SMS dari Riko. Akupun sangat kegirangan. Itulah awal mula aku bisa serius menjalin hubungan dengan pasangan, sungguh berbeda dengan pasangan-pasanganku sebelumnya. Dan inilah waktu yang aku tunggu, waktu dimana aku dan Riko jalan bareng. Sebelumnya kami memutuskan untuk nonton, tapi berhubung waktu telah terlewatkan, kami akhirnya menuju ke sebuah tempat yang begitu indah. Udara yang begitu sejuk, suasana tenang, burung-burung bernyanyi, rumput hijau menari dan genangan air yang membentang luas adalah sebagian kecil dari pancaran indah tempat ini. Di tempat ini kami saling bercerita tentang kehidupan kami, tak terasa pula sore telah datang menjemput. Aku boleh ngomong serius sama adek ? tanya Riko begitu serius memandangku. Boleh kak, silakan ! dengan sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba Riko menggenggam tanganku. duuh gila, mau ngapain ni anak gumamku dalam hati. Maukah adek jadi pacarku ? Seketika perasaanku langsung campur aduk antara senang dan bingung.

Cerpen Cinta - Setelah sekian lama tidak menulis tentang Cerpen di blog ini, maka kali ini aku angkat lagi sebuah kisah Cerpen Cinta untuk teman-teman yang ingin membacanya. Adapun Cerpen Cinta disini berjudul asli "Cinta itu Bukan Bola" yang ditulis oleh Asri Surtayati. Cerpen ini juga pernah terbit di salah satu majalah populer di Indonesia, yaitu Majalah Aneka Yess. Baiklah, bagi teman-teman yang sudah tidak sabaran ingin membaca Cerpen Cinta ini, maka secara lengkap kamu bisa membacanya secara lengkap dibawah berikut ini: Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku. Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk? tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku. Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih? Hanny yang dari tadi sibuk berSMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami. Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya? timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka. Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya? Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibukabuka. Jangan disimpan aja, ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak. Kami pun kemudian tertawa. Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos. Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an. Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia? Henny masih penasaran. Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa

meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi, aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka. Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan. Tok... tok... tok.... Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar. Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu. Tari, gue mau curhat! Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku. Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini, tanyaku, heran. Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini. Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah. Hanny protes. Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget! Laras marah. Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk. Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka. Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa. Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya. Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia. Ketemu di mana? Namanya siapa? tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan

olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun. Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri. Siapa?! tanyaku, tak percaya. Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya. Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia. Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya! *** Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak? Enggak ada. Memang ada apa? Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku? Untuk kamu, apa sih yang enggak? Ya sudah. Berangkat, yuk. Oke. RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu. Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal. Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.

Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan. Aku bangkit, kemudian berseru, Fikri, aku ingin bermain dengan ombak. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku. Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku. Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku. Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya, untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan. Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan. Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang. Kamu curang, seruku, masih dengan tersengal-sengal. Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh, jawab Fikri, sekenanya. Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang. Sayang, sebenarnya ada apa sih?. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini, jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal. Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu. Masa, sih?

Bukannya iya? Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat. *** Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu. Maksud kamu apa?! Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini. Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras. Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu! Fikri marah besar. Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.

tomorrow never come Ternyata aku memang mencintainya. Setiap malam aku memikirkan ini, dan sekarang baru aku merasa yakin kalau rasa ini memang hanya untuknya. Semakin aku mengenalnya, seakan aku tak bisa lepas lagi darinya. Michelle, aku sangat mengagumimu. Sosok yang begitu sederhana. Yah, alasan itulah yang selama ini membuatku tak berani meneruskan rasa ini. Aku, seorang pemilik bisnis komputer yang cukup terkenal, tak mungkin bisa jatuh cinta pada seorang gadis biasa seperti dia. Aku yang lulusan S2 sebuah PTN terkenal di Jakarta tak mungkin bersama gadis yang hanya lulusan SMA. Aku yang terus berprestasi sepanjang masa studiku hingga sekarang berkarir, tak mungkin berniat serius dengan anak seorang pemilik warung pinggir jalan seperti dia. 6 bulan lebih aku tetap pada pemikiranku itu. Sungguh, aku tak mungkin bersama dia. Apa kata dunia bila aku pacaran, dan akhirnya mengikat janji dengan gadis yang tak setara denganku?Dan aku yakin bisa menghilangkan rasa yang sebenarnya telah tumbuh sejak pertama bertemu dengannya, di warung milik ayahnya. Sampai hari ini tiba. Keyakinanku goyah. Yah, ternyata semua prediksiku salah. Aku tak bisa melupakannya, sedetik pun. Terlebih akhir-akhir

ini. Entah apa yang membuatku begitu mengaguminya diantara gadis-gadis lainnya. Ada banyak pilihan buatku, gadis selevel, pintar, berkarir, dari keluarga yang disegani, tapi aku tak pernah bisa memilih. Tak ada satu gadispun yang sanggup menyita waktu dan pikiranku seperti Michelle. Aku akui setahun yang lalu aku pernah berniat serius dengan salah satu branch office managerku di kantor cabang daerah Surabaya. Dia pintar, disiplin, loyal, dan yang paling penting, dia juga berniat serius denganku. Tapi aku juga tak mengerti kenapa tiba-tiba saja perasaan itu hilang justru setelah kami semakin saling mengenal, dan akhirnya aku membiarkan dia dinikahi seorang staff perbankan rekanan bisnisku. Yap, istilahnya, aku jadi mak comblang untuk orang yang katanya aku sayangi. Aneh kan? Akhirnya setelah aku mengenal Michelle, aku tahu jawabannya. Aku hanya mengagumi saja, bukan mencintai. Dan aku merasa berbeda dengan Michelle. Walaupun sebelumnya ada banyak penyangkalan dan pemikiran rasional atas perasaanku padanya, kenyataannya, aku mengakui sekarang. Aku sedang jatuh cinta! *** Saat itu aku melihatnya sedang membantu seorang nenek menyebrang di jalanan yang memang sangat ramai. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menghentikan laju mobilku dan memutuskan mengikutinya. Ternyata dia lalu masuk di sebuah warung pinggir jalan tak jauh dari tempatku berdiri memandangnya. Pandanganku terus mengikutinya. Dia sibuk melayani pembeli. Dengan tangannya yang cekatan dia membersihkan meja, mengantar pesanan, menerima pembayaran dari pembeli, sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya. Tanpa sadar, hampir dua jam aku disana memandangnya. Dan hal itu berlanjut terus hingga satu minggu. Aku tetap berdiri disana, sampai pada hari ke delapan pengintaianku, aku memutuskan untuk makan di warung itu. Sebuah keputusan sulit karena sebelumnya aku tak pernah makan di pinggir jalan. Aku termasuk orang yang sangat berhati-hati dengan makanan. Tapi toh akhirnya aku masuk juga, dan mulai memilih makanan apa yang akan aku santap. Dia datang, menawarkan menu andalan warungnya. Aku mengikuti sarannya, es kelapa muda dan soto Babat tapi tanpa nasi, karena aku tak biasa mengenyangkan diri di pagi hari. Dia berlalu, melayani pesananku dengan bantuan seorang lelaki paruh Baya yang akhirnya aku kenal sebagai ayahnya. Saat dia datang lagi dengan pesananku, aku benar-benar tak mengerti apa yang membuatku nekat melakukan ini. Dia biasa saja, sekilas tak ada yang menarik dari wajahnya. Sampai saat aku melihatnya tersenyum pada ayahnya sewaktu mereka asyik bercanda. Akrab sekali. Warungnya memang masih sepi, karena mungkin memang masih terlalu pagi. Dan aku memang sengaja memilih waktu ini agar aku bisa menemukan jawaban atas kelakuan anehku seminggu ini. Akhirnya aku temukan. Kesahajaannya, semangatnya, rasa percaya dirinya, keramahannya, juga senyumnya. Aku terpesona pada dirinya. Hingga berbulan-bulan aku selalu sarapan di warung itu, berkenalan dengan ayahnya. Membicarakan obrolan-obrolan ringan seputar topik-topik hangat yang menjadi headline di surat kabar, hingga cerita soal keluarganya. Ternyata ayah Michelle open mind person, berwawasan, dan sangat bijak menyikapi suatu masalah. Aku tak pernah canggung dibuatnya. Dari obrolan biasa, hingga masalah serius menyangkut masa depanku aku bicarakan padanya. Tak jarang Michelle turut menyela saat dia tak sibuk melayani pembeli. Menanggapi omongan ayahnya yang kadang memang suka diselingi dengan canda. Aku seakan merasa begitu dekat dengan mereka, disamping perasaan lain yang aku rasakan semakin tumbuh subur pada Michelle. Tapi seperti apa yang aku ungkap sebelumnya, aku tak berani mengakui kalau ini adalah rasa cinta, hanya karena status sosial dan keadaan Michelle yang sangat sederhana. Tapi pagi ini, setelah semalaman aku berpikir keras, aku akan mengubahnya. Yah, aku sudah mantap pada pilihanku. Aku sudah tahu banyak tentang latar belakang Michelle. Studinya mandek bukan karena otak Michelle tak mampu, tapi karena dia mengalah untuk adik-adiknya. Tak meneruskan

studi tak membuat Michelle berhenti belajar. Banyak yang dia tahu, termasuk masalah komputer. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, membuat aku semakin tak bisa melepas pesonanya. Yah, hanya keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Dan sekarang, aku ingin sekali membuatnya bahagia. Berhenti memikirkan nafkah untuk keluarganya. Karena aku yakin sanggup menafkahinya, lahir dan batin, termasuk menyekolahkan kedua adiknya. Aku semakin mantap dengan keputusan ini. Segera kupacu Soluna hijau metalikku dengan hati yang tak menentu. Kali ini aku berniat memarkirnya di depan warung ayah Michelle, agar dia yakin aku bisa mencukupi kebutuhan materinya. Selama ini aku memang tak mengenalkan diriku yang menjadi direktur utama Perusahaan spare part komputer dengan banyak kantor cabang di seluruh Indonesia. Yang mereka tahu aku hanya seorang wiraswasta yang sedang meniti karir. Aku tak berniat membohongi mereka, hanya saja aku tertarik dengan ketulusan dan keramahan mereka pada setiap orang, tak perduli status sosial mereka. Dan itu menjadi satu bukti padaku, bahwa mereka, terlebih Michelle tak berorientasi pada status dan materi bila mengenal seseorang, berbeda dengan orang-orang yang selama ini berada di dekatku. Setelah tikungan itu aku akan segera sampai, tapi ups!!! Nyaris saja aku menabrak seorang nenek tua yang menyebrang tertatih. Untung aku cepat menguasai keadaan hingga mobilku bisa berhenti di pinggir jalan sebelum sempat menabrak pohon beringin besar di sisi jalan itu. Huff!! Aku menarik nafas lega. Aku keluar, hanya ingin mengetahui keadaaan nenek tua itu. Tapi kelihatannya dia baik-baik saja, hanya agak terkejut sedikit mungkin. Tapi sudah ada banyak orang yang datang dan menolongnya, termasuk Michelle. Dia segera memeluk nenek tua itu sebelum dia menjerit dengan kerasnya. Aku heran melihatnya. Nenek itu baik-baik saja, bahkan sekarang bisa berdiri tanpa bantuan Michelle. Tapi Michelle terus menatap ke arah mobilku sambil meneteskan air matanya. Lirih juga kudengar dia menyebut namaku. Lalu datang ayah Michelle, melihat keadaan dan menenangkan Michelle. Ada segulir air mata jatuh di pipinya. Aku tak mengerti. Segera saja kudekati Michelle, gadis yang ingin kunikahi itu. Aku tak tahan melihatnya menangis tersedu seperti ini. Tapi seakan dia tak melihatku, berlari mendekati mobilku. Ternyata ada banyak orang di sekeliling mobilku, menarik tubuh seorang lelaki muda yang bersimbah darah dari kursi depan mobilku. Aku heran, dan berjalan mendekat. Melihat Michelle yang masih terus menangis, juga ayahnya. Lalu aku melihat wajah itu, penuh darah, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah aku

kepergian Kailya ### mungkin aku tak bisa membahagiakanmu, tapi paling tidak Izinkan aku memberikan yang berlebih pada diriku untuk mu Maafkan aku atas kata2 yang tak terwujud,maafkan aku atas kebisuanku Selama ini. Dariku Yang takut akan kehilangan dirimu Rhyo armadana ###

Pagi masih terlihat sejuk, burung-burungpun terus bernyanyi diatas pohon depan kamarku, entah

kenapa hari ini aku merasa bersemangat.., mungkin karena aku akan bertemu dengan Rhyo sepulang sekolah nanti. Setelah sebulan lamanya aku tidak bertemu dengannya jangankan bertemu mendengar suaranya saja juga tidak. Sesampainya disekolah wendy dan lintang sudah menunggu aku dikelas.ly, gimana nanti? Pasti kamu sudah gak sabar yah..?.tanya wendy sedikit ingin tahu.iya nih wen, aku jadi pingin buru-buru pulang aja ya ampun kailyakitakan baru masuk!sindir lintang dengan mengeleng-gelengkan kepalanya sambil menepuk bahuku.*** ahakhirnya bel pulang berbunyi tanda pelajaran kami sudah selesai, dengan bergegas aku langsung pamit pulang duluan..Aku menunggu dikantin didepan sekolah, aku lihat jam ternyata masih jam setengah satu, sedangkan Rhyo janji menjemputku jam satu nanti disini..sambil menunggu waktu itu tiba aku minum es kelapa trus nonton TV deh..Akhirnya Rhyo datang juga meski terlambat 15 menit. Aku lihat ia begitu murung, sorot matanya nampak menggambarkan kesedihan yang mendalam. Hai..Kailya apa kabar?...tanya rhyo sambil menecup keningku. Begitu hangat kecupan Rhyo..,Seakan-akan melepas rindu yang mendalam. Aku tak banyak berkata-kata aku hanya ingin tahu saja Rhyo, kamu kenapa kok hari ini aku liat kamu aneh, kamu punya masalah,kenapa ?..ada apa ?..,aku semakin mengkhawatirkan orang yang selama lima tahun ini telah menjadi pacarku.Aku tahu betul apa yang menimpanya.. Sebelum Rhyo menjawab aku sudah diajaknya pergi meninggalkan kantin.selama perjalanan Rhyo terus menggenggam tanganku sambil mengendarai motor yang kami tumpangi dengan pelan namun pasti Rhyo mengajak aku kepantai, dan ini untuk yang pertama kalinya ia mengajak aku ketempat seromantis ini. Kami berjalan menyusuri pinggir pantai sambil merangkulku Rhyo tiba-tiba saja bercerita.kamu ingin tahu aku,kenapa selama satu bulan ini aku tidak menghubungimuatau bahkan menemuimu..?aku tau itu karena kamu harus keluar kota untuk bekerja, mungkin kamu sibuk makanya kamu tidak menelephon aku..hanya itu yang aku tahu bukan karena itu Kailyamasih banyak yang kamu belum tahu tentang aku Lya, mungkin kamu terlalu baik untuk aku,kamu selalu berusaha untuk berada dekat aku saat aku merasa kehilangan semangat,saat aku merasa benar-benar tak berarti lagi untuk jadi orang yang kau cintai.. jangan katakana kamu tidak mencintaiku lagi, Rhyo?! , aku tidak ingin mendengarnya. Bukan lya! lalu apa..??.. tidak mungkin aku tidak mencintaimukamu sudah terlalu memenuhi seluruh pikiranku selama ini.., terlalu banyak cerita yang kulalui bersamamu, tak pernah sedikitpun kamu menyakiti perasaanku, kamu selalu membuat aku tersenyum, bahkan tertawa disaat disaat kesedihan melandaku.*** Rhyo mengajak aku untuk menumpangi perahu berdua saja dengan makanan dan minuman yang tertata rapih dimejanya ada dua lilin dan satu tangkai bunga mawar dan secarik Kertas berwarna biru tertuliskan namaku KAILYA PERMATA mungkin aku tak bisa membahagiakanmu, tapi paling tidak Izinkan aku memberikan yang berlebih pada diriku untuk mu Maafkan aku atas kata2 yang tak terwujud,maafkan aku atas kebisuanku Selama ini. Dariku Yang takut akan kehilangan dirimu Rhyo armadana Aku seakan akan telah terlelap dalam mimpi indahkumimpikah aku tidak ? Kailyakamu tidak bermimpi kamu sedang bersama aku sekarang. Rhyo ayo kita pulang

sudah sore nanti mama marah,?..tenang aja lya.., tadi aku sudah izin sama mama untuk mengajak kamu pergi dan pulang larut. Terlalu banyak yang sudah kamu perbuat untuk ku Yo.., tapi sesungguhnya aku mengenalmu, aku tau sebelum kamu mengatakannya padaku, yang aku butuh bukan kata2 manis,atau puisi,bahkan setumpuk bunga mawar, karena yang aku butuh hanya kamu dan bersamamu dalam setiap detik yang aku punya, ada kamu yang menjaga aku, ada kamu yang membuat aku semangat. *** Enam bulan berlalu akhirnya aku diterima disalah satu universitas tempat dimana Rhyo kuliah dulu, belum lagi wendy dan lintang juga diterima ditempat yang sama. Ini hari pertama aku masuk kuliah, dan tadi Rhyo yang mengantar aku kekampusSaat aku sedang mengikuti OSPEK semuanya masih berjalan lancarsampai saat aku merasa seluruh badanku remuk kepala ku pusing dan aku tak tau apa yang terjadi lagi setelah mataku terpejam dan terjatuh.Sadar2 aku sudah berada diruang perawatan kampus,..Ly.,kenapa kamu, kamu belum makan yah?tanya lintang dan wendy mengkhawartirkan aku. Loh kok kalian boleh masuk kesini..ia sekarang kita sudah diizinkan pulang oleh kaka senior. Satu minggu berlalu entah kenapa akhir2 ini badan aku terasa pegal2 belum lagi rasa nyeri ditulangku,dulu aku juga pernah seperti ini dan sudah diperiksakan kedokter aku hanya tidak boleh terlalu lelah saja. Setelah minum obat hilang semua. Tapi kok sekarang tambah parah yah,sudah dua hari aku tidak masuk kuliah, tentu saja semua jadi khawatir akan keadaan ku.tiap hari setiap pulang kuliah wendy dan lintang selalu menemaniku dirumah belum lagi perhatian Rhyo yang membuat aku merasa jadi ratu. Satu tahun berlalu begitu lambat mungkin karena sakit yang aku rasakan sehingga selama setahun belakangan ini aku selalu keluar masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama, aku tidak tau sakit apa, karena selama ini dokter yang memeriksaku hanya berbicara dengan mam atau Rhyo dan ketika aku Tanya mereka menjawab aku hanya tidak boleh kelelehan. Aku jadi penasaran., Satu minggu berjalan lancar badanku terasa lebih enak,tulangku pun menjadi lebih bersahabat,sehingga aku beranikan diri untuk meminta Rhyo untuk jalan2 keluar rumahAkhirnya Rhyo menyetujuinya dengan persetujuan mama tentunya,Rhyo mengajak wendy dan lintang juga pasti seru deh. Rhyo menjemputku setelah berpamitan kita melaju ke tempat wendy dan lintang.lalu kita pergi berempat kesalah satu tempat karoke dijakarta karena aku yang memintanya,entah kenapa aku ingin sekali bernyanyi bersama mereka. Penuh canda tawa semuanya riang aku merasa tidak seperti orang sakit. Rhyo selalu tersenyum dan bernyanyi sambil melihat ke arahku sehingga membuat wndy dan lintang ngiri. aduh..yang berduaan dunia milik berdua deh..sahut lintang agak sedikit mencibir sambil tertawa memandang wendy.. lintangaku sayang kamu dehjangan pergi dariku?sahut wendy beriringan meledek aku dan Rhyo. Tiga jam berlalu dan kami menghabiskannya disini. Penuh canda tawa dan kenangan yang indah bersama mereka. Hari ini hari minggu sudah pasti semua libur,kali ini aku meminta Rhyo untuk pergi ketempat wisata di Jakarta, kali ini wendy dan lintang juga ikut,aku membawa bekal secukupnyadan kamera untuk mengabadikan suasana disana nanti. Entah kenapa aku tidak ingin melewati hariku sendiri dan hanya sendiriKami pergi dan disana banyak kejadian yang menyenangkan. Kami berfoto dan selalu bersama banyak sekali foto dan gaya2 kami Keesokan harinya aku ingin sekali pergi kevilla bareng dengan mereka dan keluarggaku tapi kata Rhyo aku sudah terlalu lelah bagaimana kalau kita undur saja jadi minggu depan dan kebetulan juga bertepatan dengan ulang tahunku.yah..aku pun mengiyakannya.Keesokan harinya Rhyo rutin datang kerumahdan bicara dengan kedua orang tuaku. Aku sempat mendengar percakapan

mereka yah apa lagi kalau bukan pestaku nanti. Mama sibuk menelephon saudara,papa dengan Rhyo sibuk. menyiapkan acaranya nanti,belum lagi wendy dan lintang sibuk dengan mamamerinci siapa saja temanku yang akan diundangnya.Entah kenapa aku jadi semakin sedih,..ternyata banyak sekali orang2 yang menyayangiku selama ini, aku beruntung memiliki mereka disisiku ahtubuhku menggigil dan kurasakan dingin,aku juga merasakan sakut yang luar biasa di tulangku.Tapi aku tidak mau mereka semua mengkhawatirkan aku aku sengaja menyembunyikan sakitku..aku berkaca oh..alangkah pucatnya aku seperti kehabisan darah rambutkupun makin menipisTUHAN kenapa aku,ada apa dengan tubuhku?....Tiba2 saja wendy dan lintang masuk kekamar tanpa mengetuk pintu.haiLy, cie yang mau ulang tahun ngaca mulu nihsahut situkang celetuk lintang.,kita kesalon yuk aku ingin memotong rambutku ajak wendy? aku juga mau crembat nihyuk Kailya kamu sekalian aja mempercantik diri buat ulang tahun nanti. Sepulangnya dari salon memang sih badan ku agak rilek , Besok sudah acaranya semua jadi semakin sibuk..Malam ini aku tidur tidak nyenyak untung saja ada Rhyo tiba2 datang kerumah sambil membawa kue kecil bertuliskan happy bday Kailya dan 21 lilin menandakan usiaku sekarang Rhyo menyanyikan Happy Bday untukku tepat jam 12 malam.Selamat ulang tahun yah sayangsambil mengecup keningku..semoga cepat terlepas dari rasa sakitmu..apa yang kau inginkan akan terwujud..Makasih Rhyo aku gak pernah nyangka kamu akan datang ..aku pikir seperti biasa hanya telephone dan keesokan paginya baru kamu datangaku kan ingin kasih kamu sesuatu yang berbeda apa lagi untuk calon istrikusambil menunjukan cincin yang rhyo bawa untukku maukah kamu bertunangan dengan ku KAILYA..? hanya airmata yang kusematkan dipipiku aku tak mampu berkata Jelas Rhyo aku mausambil memeluk Rhyo..Rhyo pun memakaikan cincinya dijari manisku*** Sesampainya divilla aku merasa lega entah kenapa aku merasa semua bebanku terlepas hilang tertiup anginaacara sudah mau dimulai sayang,semua sudah berkumpul didalam..suara Rhyo yang tiba2 muncul diiringi sebuah kecupan dipipiku dan memelukku. Rhyokamu janji yah apapun yang terjadi nanti dengan aku kamu tidak boleh menangis iya aku janjikamu bicara apa sih..kok ngomongnya kaya mau pergi kemana aja?..dah yuk kita masuk Akhirnya acaranya selesai juga sungguh aku lelahtapi aku senang..yang lain sedang asik bermain.disini hanya ada aku Rhyo dan dua sahabatku.kami bicara panjang lebar.kali ini aku yang banyak bicara.. aku Cuma mau ngucapin terimakasih sama kalian semua karena kalian sudah jadi yang terbaik, jadi pacar yang setia,jadi teman bahkan saudara terimakasih karena sudah membantuku mewujudkan mimpi terakhirkumereka menangis sambil memeluk aku tiba2 saja aku tak ingat apa2yang aku ingat malaikat sudah menjemputkuKAILYA..semua berteriak,semua menangis meratapi kepergian KAILYAraut wajah kesedihan tampak jelas terlihat diwajah orang2 yang aku sayangi.sebelum aku benar2 pergi izinkan aku TUHAN untuk memeluk mereka orang2 yang aku kasihi..sampai akhirnya aku benar2 telah pergi keduania lain. *** Satu tahun setelah kepergian KAILYA,Rhyo datang kemakam kailya dengan membawa kotak kecil yang diikan rapih dengan pita.Lyaaku datang dengan membawa hadiah untukmu, ini foto2 terakhir kebersamaan kita sebelum kepergianmu satu tahun yang lalu.aku belum sempat memberi tahumu..Fotonya lucu2 apa lagi kamu terlihat sehat.sampai2 aku gak pernah nyangka kamu menderita kangker tulang.sebenarnya aku tahu sejak awal ,saat itu aku tiba2 menghilang selama satu bulankarena aku tidak bisa terima orang yang aku sayangi menderita penyakit

separah ini.aku tau dari mama dan dari dokter yang memeriksa kamu..maafkan aku jika aku menyia2kan kamu waktu itu. Makanya aku ingin tebus semua kesalahanku dan aku akan membuatmu bahagia sampai akhirnya kamu telah pergi untuk selamanya Jika ada hal yang terindah dalam hidupku aku yakin hanya kamu yang terindah,jika aku boleh memutar waktuku lagi aku yakin hanya kamu yang aku pinta kembali. Tenanglah disana dimana kamu tidak pernah merasa sakitaku akan menjaga kenangan kita selamanya..

Cinta di internet Pagi yang cerah Dina terbangun dengan suara alarm jam dikamarnya. Dia kesal dengan jam itu karena membangunkannya jam 5 tepat. Pasti ini kerjaan bibisahut dina kesal.dengan wajah murung dia pergi ke meja makan, kenapa kamu dinakata mamanya. Dina bete ma jam itu membangunkan dina jam 5. Yah udah kamu sarapan dulu ghih.iya ma!!!, kata dina kesal. Sesampai di sekolah di meja dina sudah ada setangkai mawar putih kesukaannya, siapasih yang kasih bunga ini. nggak tau din! Itu sudah ada di meja kamu tadi, Sahut vita teman akrabnya. Dina kesal dengan orang yang memberikan bunga itu kepadanya. Sudah dua minggu ini bunga itu selalu ada di mejanya tanpa tau siapa pengirimnya. Bel istirahat berbunyi, dina dan teman-temannya pergi kekantin. Sesampai di kantin, dina dan temannya melihat roni cowok tertampan di sekolah itu. Tapi anehnya dina tidak tertarik sama sekali pd cowok itu. Din, kok lo nggak tertarik sih sama cowok tertampan, terkaya disekolah ini?tanya vita. Eh bukan juga kaya dia itu baik hati, dan dia belum pernah nembak cewek Cuma cewek yang nembak dia, tambah rini. Trus maksud lo gw harus jatuh cinta gitu ma dia. Yah bukan begitu juga din, tapi elo itu cewek tercantik disekolahan ini, masa lo nggak tertarik ma cowok setampan roni sih?.jangan-jangan elo nggak punya naluri perempuan yah? Sahut eka. Bercanda lo, gw nggak suka sama dia karena gw suka sama seseorang yang diinternet itu!. Maksud lo si rudi!sahut eka. Iya emang kenapa?, tapi kan lho belum pernah ketemu ma dia!!.jawab rini. Dina hanya tersenyum mendengar ucapan rini. Bel pulang berbunyi. Roni dari jauh memperhatikan dina, dia memperhatikan dina yang keluar dari kelasnya, maklum kelasnya berdekatan!. Rini melihat roni yang memperhatikan dina dengan tatapan naksir!!.din..din.. elo liat roni tadi nggak?. Nggak gue nggak liat emang kenapa?tanya dina. Dia memperhatikan elo itu dengan tatapan naksir!!. Bercanda lo rin!! Sahut dina. Eh beneran lho din. Iya, dia memperhatikan elo itu dengan tatapan naksir! Tambah eka. Dina kembali tersenyum dengan perkataan teman2nya itu. Sesampai dirumah dina chating sama temannya si rudi. Anehnya dina belum pernah melihat wajah rudi di chating. Hanya rudi yang bisa melihat dina karena dina memakai fotonya saat chating. Maklum tebar pesona diinternet. Din, gw blh curhat nggak sama lho!!!???.boleh balas dina spontan. Gw lagi jatuh cinta nih sama teman gw!!, dina merasa kecewa dengan curhatan rudi itu. Siapa itu rud?tanya dina kecewa. Cewek itu adalah kamu!.apa!!! kamu bercanda yah tanya dina dengan hati gembira. Nggak gw nggak bercanda. Itu beneran kamu!!, sahut rudi. Tapi kita kan belum pernah ketemu.. rud!!???. iya aku tau tapi aku kenal kamu kok. Kamu itu sekolah di sma 256 khan?? Kelas 11 ipa. Kok kamu tau sih, tanya dina kebingungan. Yah tau aja. Dan kamu suka banget mawar

putih!!.iya kan???. Iya kok tau sih??, tanya rudi tambah kebingungan. Jadi kamu mau nggak jadi pacar ku. Iiiyyya udah aku mau.!!!!!. dalam perasaan dina dia senang karena bisa jadian sama rudi, dalam hati kecilnya berkata kalo rudi itu orang yang dia kenal. Dina kok diem?? Sahut rudi. Nggak kok, jawab dina ragu-ragu. Eh sebenarnya aku teman kamu di sekolah!, kata rudi raguragu. Oh yah trus kamu itu syapa donk?. Aku itu rudi?!!. Perasaan di sekolah gw nggak ada nama rudi deh?!, jawab dina bingung. Nanti kamu juga tau, eh kamu tau siapa yang selalu ngirim kamu bunga mawar putih. Nggak tau, emang siapa. Aku!!!. Apa! Kamu nggak bercanda?. Nggak!.oh jadi kamu yang selama ini ngirim aku mawar putih?.iya. Tidak terasa sudah sore. Dina langsung ganti baju dan pergi keluar kamar. Dina kamu nggak makan?.iya ma, ini dina mau ambil piring!!.yah udah, kata ibunya sambil ke taman buat nyiram tanaman. Setelah makan dina nelfon temen-temannya untuk datang kerumahnya. Beberapa lama kemudian bel dirumah dina berbunyi. ding..dong dina langsung menuju ke pintu, tiba2 dina. Suara teman-temannya yang menggetar dirumahnya. Hei akhirnya kalian datang juga! Ayo kekamar gw ada yang mau gw omongin. Dina langsung bercerita tentang apa yang terjadi di internet. Eh ternyata yang chating ma gw itu orang yang selalu ngirim gw mawar putih, kata dina sambil tersenyum. Eh lo tau nggak tadi gw di tembak sama si rudi, tambahnya lagi. Yang benar lho!!, tanya rini kaget!. Yah iya lah emang lo pikir gw boong!. Jawab dina kesal. Iya enggak gitu juga sih!!. Eh jadi rencana kita gimana nih?, tanya eka. Hmm dina berfikir sejenak. Ah gimana kalo besok kita pagi-pagi banget datang kesekolah buat ngeliat siapa yang selalu ngirim lo bunga din, jawab vita spontan. Ide lo bagus juga vit!!. Ok besok pagi kita datang jam 6 kesekolah? Gimana mau nggak, tanya dina. Ok-ok kita mau, asal lo jangan telat datengnya!! Kata vita. Beres gw bakalan dateng lebih awal dari kalian. Ok kita berkumpul di taman. ok!! Pagi ma, pa!!. tumben dina Bangun pagi hari ini? Tanya ibunya. Iya ma dina lagi janji ma temanteman!. Oh!! Kemarin kamu kesal karena jamnya bangunin kamu pagi-pagi?. Itu kemaren ma skarang aku lagi janji ma teman jadi pergi kesekolah pagi banget. Bilang sama teman-temanmu itu tiap hari aja kalian janjian supaya kamu itu tidak terlambat kesekolah, kata bapaknya. Ah papa bisa aja!, kata dina. Udah yah! dina pergi dulu!!. Din kamu nggak pergi ma papa aja?. Ah nggak usah pa! dina pake mobil aja nanti dikirain dina anak papa lagi!. Dada. Papa dada mama. Iya hati2 dijalan yah din!. Iya ma! Sesampai di sekolah dina melihat teman-temannya sudah menunggun di taman. Sorri gw telat. Katanya mau sampai lebih awal dari kita, kata rini mengoda. Bisa aja lo rin!!. Ok yah udah kita langsung ke mobil gw aja supaya kita bisa tau siapa yang ngirim gw bunga, tambah dina. Eh lo bawa mobil yang mana nih? Tanya eka penasaran. Mobil yang satunya, yang gw belom penah bawa ke sekolah ko!. Ok lets go, kata vita. Dengan hati yang penasaran mereka menunggu pangeran yang memberikan dina bunga akhirakhir ini. Karena dia tidak muncul juga, dan sudah banyak murid mereka langsung kekelas dan tidak menemukan mawar!. Din, kok bunganya nggak ada sih!, kata vita. Iya yah! Beberapa saat kemudian bel berbunyi, dina masih memikirkan siapa yang mengirim dia bungal. Dia tambah penasaran pada cowok bernama rudi itu. Saat istirahat mereka pergi ke kantin. Seperti biasa dina selalu di lirik cowok-cowok yang ada di kantin. Tak berapa lama putra datang. Halo din!!. Mau apa lo kesini, tanya vita jutek. Ihh jutek banget sih ntar cepat tua loh!!. Eh sudah-sudah!! Kata dina menenangkan mereka. Eh lo itu kan sekelas ma roni? Boleh nggak gw tau nomor hp nya, tanya eka membujuk. Bercanda lo ka, eh di kelas lo siapa sih yang selalu main internet?, tanya dina penasaran!. Nggak tau juga yah!!. Dina langsung melihat roni yang duduk di meja depan dengan spontan dia bilang rudi?!!. Rudi? Tanya

rini. Eh gw boleh bicara nggak ma kalian bertiga?, sini!!!. Ada apa sih din lo kok kayak orang nggak waras gitu?. Bercanda lo rin, perasaan gw roni itu rudi!!, kata dina sambil menatap roni. Kok lo bilang gitu sih? Tanya eka penasaran. Lo pernah merasakan cinta kan?. Ya iya lah jawab mereka spontan. Nah itu gw merasa selama ini roni itu rudi karena firasat gw bilangnya kayak gitu. Iya juga ya din? rudi, roni, rudi, roni, tuh kan namanya mirip, kata vita. Eh trus apalagi kata rudi di internet? Tanya rini. Dia bilang kalo dia itu jatuh cinta ma gw udah lama dari mos!!, katanya lagi gw cewek pertama yang dia tembak. Nah mungkin saja itu roni, dia kan belum pernah nembak cewek? Kata rini. Eh itu putra, kita tanya aja sama putra. Put, lo pernah nggak dengar kalo roni itu selalu main internet? Tanya dina penasaran. Oh iya, dia bilang dia itu selalu main internet dan dia suka sama cewek yang di internet!. Ah, yang benar lo! Tanya dina penasaran. Yah iya lah kemarin katanya dia nembak tu cewek. Trus-trus sabar non! Yah iya trus apa. Dia bilang tu cewek nerima dia untuk jadi pacarnya. Trus apalagi. Dia bilang lagi tu cewek dia suka banget!!. Oh yah? Tanya dina gembira!. Put sini donk, teriak alex teman roni. Tidak berapa lama kemudian putra datang ke meja dina. Din, lo di panggil roni tuh!. Dia nunggu lo di taman katanya cuman lo sendirian aja. Ok thanks yah, kata dina sambil berjalan ke taman. Sesampainya disana roni sudah menunggu dina dan menyuruh dina duduk disampingnya. Din, mungkin lo udah tau siapa rudi pacar lo dalam internet itu, kata roni sambil tersenyum manis. Iya itu elo kan?. Iya lo benar din itu gw, gw nggak berani ungkapkan kalo gw itu suka banget ma lo. Kenapa?, tanya dina. Karena gw belum pernah nembak cewek, gw bertekat gw bakalan nembak cewek jika cewek itu adalah cewek yang paling gw sayang, dan cewek itu adalah lo din, gw sayang banget ma elo. Tapi kenapa lo nembak gw di chating, kenapa nggak terus terang aja. Yah, itu tadi gw malu, tapi semalam gw berfikir lagi dan akhirnya gw berani ngomong ama lo. Lo mau kan jadi pacar gw?. Kan udah gw bilang di chating kalo gw mau pacaran ma lo. Ah yang benar din?. Iya gw juga sayang ma lo ron, jawab dina. Sejak pertaman gw ketemu elo din gw udah suka ma elo!. Tapi dimana kita pertama kali bertemu ron?. Di aula, waktu itu kita lagi mos. Dan gw ma teman2 nggak nyanyi terus kita di suru maju kedepan untuk nyanyi dan pada saat itu lah gw jatuh cinta ma lo, tapi elo malah nggak memperhatikan gw. Waktu pembagian kelas untuk mos, lo di gugus mawar kan?. Iya, kok lo tau?. Iya gw ngeliat elo berdiri. Ohhh!! Gitu. Jadi skarang kita udah resmi donk pacaran?, tanya roni ragu-ragu. Iya kita skarang pacaran. Kemudian roni memegang tangannya dina. Dan teman-teman mereka mengejutkan mereka. Chiye ada yang beru jadian nieh!!!. Mereka berdua tersenyum lebar!!.

Hi Diary ku... Dy...,

Hari - hari yang aku lewatin sama Mr " B ", selalu indah bgt. kalau aku lagi bt, lagi kesel, lagi jenuh sama kerjaan, trus kalau udh denger suara dia / ketemu sama dia, bt,kesel aku lsg ilang Dy, gitu jg sebaliknya. Kadang aku ngerasa, kok bisa ya, aku yang selama itu cuma kenal lwt tlp dan sms, trus ketemunya baru sekali, lsg bisa jadian, bahkan punya plann ke pernikahan, mungkin ini rencana Allah yang terindah bwt

kita ber'2. 1 1/2 thn yang lalu pas aku putus sama mantanku, aku down bgt, dulu aku jadian sama mantanku 6thn, pas aku putus sama mantannku, aku tuch down bngt, pincang gitu,terlebih waktu itu hub kita serius, tapi coz ada perbedaan yang ga bisa kita satuin, akhirnya kita ambil keputusan untuk putus. 1 1/2 thn, aku berubah drastis bgt, jadi pendiem bgt, jadi dingin bgt sama cowo, waktu itu aku konsen bgt ke kerjaan aku, aku ga pernah mikirin cowo Dy..., sampe mama ku mau ngenalin aku ke anaknya temen aku, tapi aku ga mau. Sampe pas aku b'day tgl July, 16Th kemaren, selesai aku sholat, mama nyamperin aku, aku sama mama cerita byk hal, mama sedih bgt liat sikap aku yang berubah drastis. satu yang aku inget dari omongan mama " mama seih bgt liat perubahan kamu, mama tau kamu sedih, tapi kamu harus bisa ngelupain semuanya, kamu harus bisa buka diri kamu, mama yakin, Allah punya rencana yang indah buat kamu, mama yakin suatu saat nanti, entah kapan, kamu bisa dapet yang jauh lebiih baik buat hidup kamu, Allah lebih tau yang terbaik buat kamu nak.mama, ayah & ade2 kamu, kangen sama kamu yang ceria, yang kalau plg kantor sering ngejailin ade2 kamu, yang suka bercanda sama mama kalau kita lagi masak bareng, kita semua kangen bgt sama kamu nak, minggu bsk kita liburan yuk, udah lama kan kita ga liburan bareng2 ", pas mama ngomong itu, aku nangis di pangkuan mama, mama ngusap2 kepala aku. duh, omongan mama ngena bgt di hati aku Dy.selama ini aku lupa kalau aku masih punya keluarga yang sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanggggg bgt sama aku. Pas aku cerita sama mama ttg Mr " B ", dan mama kenal sama Mr " B ", mama responnya baik bgt, mama & kel setuju sama hub aku & Mr " B ", Segitu dulu ya cerita dari aku... bsk aku cerita2 lagi,,, makacih ya yg udh mw baca

Love...

Diah Gadis itu masih juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang, keadaan sekeling memang sedikit aneh, tak jarang ada yang bicara sendiri sambil tertawa lepas, ada yang berteriak-teriak histeris ketakutan dan ada pula yang mengomel tak henti-henti tapi entah dengan siapa. Tepatnya sudah satu bulan gadis itu berada di tempat ini, sesuatu yang mungkin juga asing untuknya. Padahal senjapun sudah ingin berlalu, karena harus digantikan dengan malam. Matanya menatap lepas keangkasa, seperti menanti kehadiran kerlip bintang, tapi tatapan itu kosong, mulutnya nampak berguman seolah dia sedang bicara dengan seseorang, sembari tersenyum jemari-jemari lentiknya memainkan ujung-ujung rambut yang tergerai lepas tertiup angin senja. Mata itu masih disitu, menatap ke angkasa tampa reaksi nyata. Namun ada basah di sudut

matanya, mengalir jadikan menganak sungai namun tidak sedikitpun dia menyekanya atau sesungukan seperti lajimnya orang menangis. Malam mulai menjemput, menghadirkan bulan yang datang dengan malu-malu menyembul di pelataran angkasa luas bersama bintang-bintang gemerlap. Sunyi yang ada hingga terdengar jelas nyanyian serangga malam menghadirkan lagu kidung malam, disegudang keperihan dalam kegelapan. Iya dia masih disitu kini terdengar lirih suaranya melangukan kidung kerinduan akan sesuatu untuk bisa dia dekap dalam hadir nyata. Malang sungguh telah hadir di kehidupannya kini, tiada siapa yang bisa tau akan apa yang telah terjadi dalam kenyataan yang pernah dihadapinya saat harus kehilangan semua yang di cintai. Adakah puing-puing berserakan kan bisa menjadi kesaksian yang nyata? Bisakah sang angin beritakan kejadian yang sesungguhnya dan bisakah sang senja kala itu menaungi rasa takut yang mencekam diri dan saudara-saudaranya. Saat itu yang ada hanya pasrah dalam doa, entah hari ini atau lusa dia atau keluarga yang lain yang menjadi giiliran kebiadaban perang. Sore itu, sekembalinya dari sekolah, belum sempat Diah melepas seragam sekolah dan melepas penat karena seharian berkutit dengan pelajaran, tiba-tiba bapaknya dan ibunya menyuruh Diah dan adik-adiknya agar siap-siap karena mereka harus pindah untuk sementara ke desa sebelah. memangnya ada apa lagi pak? tanya ku penasaran saat sehabis sholat Isya berjamaah, meski aku sudah menduga pasti ada kerusuhan lagi yang akan terjadi di desa ini seperti yang sudahsudah. kabarnya penduduk desa mendengar kalau akan ada penyerangan oleh perusuh-perusuh kedesa kita. Aku dan adik-adikku cuma bisa membayangkan kengerian pasti kan terjadi. Malam itu kami sekeluarga berjaga-jaga agat tidak tertidur terlampau pulas. Ku lihat ibu membelai kening si kecil Milah yang saat itu masih berumur tujuh tahun dan adikku Ridho berusia dua belas tahun. Tidak bisa rasanya mataku untuk terpejam walau barang sejenak. Bapak pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di raut wajahnya yang sudah termakan usia, namun masih nampak tegar meski terkadang sakit-sakitan. Ibu menatapku penuh kesedihan sekakan dia dapat merasakan kegelisahan dalam keluarga, apa yangkan terjadi nanti.

Saat pukul tiga pagi kami sekeluarga memang masih terjaga, kami sekeluraga mendengar teriakan-teriakan warga desa. Ada perusuh datang! Ada perusuh datang!! Rasa takutkupun kian mencekam, kupeluk Ridho yang tengah duduk disampingku. Tampa perlu di komando kami semua bersama warga keluar rumah, ibu pun berlari sambil mengendong Milah, sementara aku mengandeng Ridho, kami bersama warga coba menyelamatkan diri sebisa mungkin, karena warga juga bapak tidak menyangka kalau secepat ini perusuh-perusuh itu datang.

Pemandangan yang saat tadi hening mencekam kini kian menjadi riuh disebabkan teriakan dan lengkingan histeris para warga yang terkena sabitan senjata tajam, anak panah yang melesat yang menerjang tampa belas kasihan menghujam tubuh tampa dosa, serta peluru yang mebabi buta. Kami coba lari ketempat-tempat yang kami rasa aman, akhirnya aku dan keluargaku juga warga berlari menuju masjid. Ternyata mereka masih mengejar, kami dapat saksikan dari celah-celah kaca bagai mana mereka membakar rumah-rumah kami, bagai mana mereka meledakkan bombom disekitar kami.

Bukan tampa perlawanan kami lari, pemuda-pemuda desapun dengan sekuat tenaga memberikan perlawanan, tapi apalah kemampuan dari hanya sebilah golok dan Bambu runcing. Bergelimpangan tubuh-tubuh mereka, ada yang tertebas kepalanya hingga putus. Ada yang terkena peluru di kepala dan tubuhnya, sekujur tubuh bersimbah darah, bau Anyir darah, lantai dan pelataran sekitar banjir darah. Ya Allahada lagi korban tepat di depanku dia jatuh bersimbah darah seraya memegangi dadanya yang terkena tembakan, disini darah disana pula darah dan erangan kesakitan, lantas mana bapak? Ku tak kuasa menahan airmata, menyaksikan pemandangan yang memilukan, aku resah, aku bingung, karena aku tidak melihat bapak di sekitar kami. Kak .Bapak!! Ya Allah ternyata bapak telah terluka, terkena sabitan golok, Ridho memegangi bapak sambil menangis,Paktahan ya pakpasti kita selamat Bapak!ku peluk bapak yang bersimbah darahsudah tak ku hiraukan lagi, darah membasahi bajuku. Diahjaga ibu dan adik-adikmu ya! Bapak!!! Aku dan Ridho coba menguncang bapak agar dia bangun..namun sia-sia. Belum usai sedihku tiba-tiba adikku Milah jatuh terbujur tepat juga dihadapanku dan ibu rebah bersimbah darah dan anak panah menancap di dada kirinya.

***

Gadis itu masih juga sendiri duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Mata itu masih disitu, menatap ke angkasa tampa reaksi nyata. Namun ada basah di sudut matanya, mengalir jadikan menganak sungai namun tidak sedikitpun dia menyekanya atau sesungukan seperti lajimnya orang menangis. Gadis itu lirih berucap " Malam mulai menjemput, menghadirkan bulan sementara aku? sedih sepanjang hari, aku merasa kehilangan teramat sangat tampa bisa ku berteriak lagi, aku rindukan mereka menjemputku juga, menjemput kepelukan mereka hingga waktu tiba". Satu yang tersisa yang ku punyapun pergi, karena terserang penyakit yang mewabah di sekitar pengungsian. Selamat jalan Ridho, ibu, bapak dan Milah juga ikut menjemputmu, meninggalkan kakak sendirian berpijak disini, entah sampai kapan semua kan tertahan di rongga dada, sesak jiwa bernafas walau sekedar menghirup udara. Biarlah semua membisu, mematung di jejeran pemakaman ,gugurkan bunga kemboja pada pusaran, basah sudah ku hempaskan jiwa. Menyeka perih jika ada yang tertinggal saat tertidur tadi. Ku ingin semua usai, kuingin semua hilang, tampa ada goresan pisau di lubuk hatiku, ku kehilangan jiwa dan Angan kehidupan setelah semua hilang dari kehidupanku, dari yang di kasihi. Ku terhempas lunglai, rapuh tampa tau kelanjutan hidupku, ku ingin semua usai, yah semua. Tampa beban, ku ingin hari-hariku penuh ceria dan tawa, tiada mendung kesedihan di bola mataku

Ku ingin bebaskan jiwa penatku, bersenandung kidung manja milik ibu, kidung rindu milik bapak dan kidung riang milik adik-adikku. Selamat jalan semua, ku ingin tidurku terpulas malam ini, tampa harus terusik oleh siapapun, kuingin terbang pergi kekayangan para dewa-dewi menata hari tampa letih dan kepedihan. Biarku tertidur disini, menjemput mimpi saat kembalikan hidup tampa sukma terjaga, ku ingin terpulas saat ini juga selamanya, bersama kerdil dan kebodohan yang tak bisa kutahan lagi, selamat malam mimpi, selamat tinggal kehidupan dan angan kepedihan , kusudahin hingga kehari ini. Suster Mira! mana Diah? Kenapa belum juga dia ada di ruanganya? tanya suster Sri yang juga bertugas menjaga para pasien di rumah sakit jiwa tersebut. Tadi dia ingin duduk-duduk di halaman samping, masa Diah belum masuk, malamkan sudah larut, ujar suster Mira, Meski pikiranya agak terganggu tapi Diahkan tidak biasanya seperti ini, Suster Sri resah. Biar aku cari Diah. Jawab Suster Rina yang baru tiba dari ruang sebelah dan kebetulan mendengar percakapan mereka. Ya ampun.. Diah.. apa yang sudah terjadi dengan kamu nak?!!! Suster Rina menemukan Diah tergolek kaku bersandar di kursi tepat dibawah pohon beringin. ternyata teriakan Suster Rina terdengar oleh yang lainya, hingga para petugas lainpun datang dengan penuh tanda tanya. Ternyata Diah memang tidur untuk selamanya, menjemput kembali keluarganya, menjemput semua kenangan pedih untuk dilepaskan, meski jalan tertempuh salah, dengan seutas tali pengikat dilehernya. Rembulan dan bintang kesaksian bisu yang takkan pernah berucap, meski tau apa yang terjadi, serangga malampun hanya bisa berkidung duka dengan nyanyian, malam kian merayap kelam di hempasan Arus kehidupan, menyudahi untuk agar mentari esok tetap bisa bersinar kembali.

........kenangan........ Empat tahun yang menyebalkan itu akhirnya berlalu, berakhir dengan cukup memuaskan setelah semua pengorbanan yang legal maupun tidak. Legal karena mengikuti aturan yang ditetapkan kampus. Tidak legal karena menyalahi aturan seperti memilih tidur nyenyak di rumah tatkala dosen berkepala ikan lohan memberi kuliah yang cukup dahsyat mensuplai kebutuhan sistem kantuk setiap pendengar. Namun menjelang sidang meja hijau, beruntung Zsa masih diridhoi sang dewi fortuna yang mengiringinya sukses melewati babak-babak menegangkan itu selama tahap-tahap interogasi empat dosen berumur lebih setengah abad yang intelek nan sadis itu. Flash back ke akhir tahun 2005 di Bangku panjang yang berada di sepanjang koridor, di lantai dua:

Nunggu siapa? Bus. Semua orang udah hampir pulang tuh, kamu sendiri? Kalau aku punya helm, aku bisa antar kamu pulang. Ngak usah, repotin aja. Ngak pa-pa kok. Tunggu dulu ya, kamu jangan ke mana-mana dulu, aku coba tanya sama Budi dulu. Leo kembali tanpa helm yang ia janjikan. Itu si Edward sepertinya ada, coba aku tanya dulu. Aduh, ngak usah. Kok pinjam sama dia. Ngak pa-pa, ntar aku tanya dia dulu. Lagi-lagi, Leo kembali tanpa hasil. Kemudian terjadi percakapan demi percakapan. Ternyata dunia begitu sempit ya. gumam Leo setelah melalui percakapan mereka akhirnya tersibak beberapa hal dan beberapa orang yang mereka sama-sama kenal juga. Senja mulai turun ke singgasananya. Jam Analog di hp Zsa mulai beranjak lebih pukul enam. Hatinya mulai tidak tenang menunggu kehadiran abang bus yang tak kunjung muncul. Sementara Leo masih menunggu bersama Budi, Edward, dan Didi di koridor. Edward sedang menceritakan tentang film animasi yang baru ditontonnya, membeberkan sisi-sisi humor film itu namun tak seorangpun yang nampaknya terkesan mendengar lelucon itu. Zsa sedikit menguping percakapan mereka. Ya, nampaknya lelucon yang dibawakan itu tidak terlalu bisa mengocok perut. Saat itu mungkin Budi, Deni dan Zsa sendiri sedang berada pada alam pikiran masing-masing. Leo kemudian bangkit, berjalan mendekati Zsa lagi. Kalau kamu berani, kamu ngak usah pakai helm aja, gimana? Ini kayaknya polisi juga udah ngak begitu perhatiin lagi kalo udah lewat jam 6. ucap Leo memberi Alternatif yang sebenarnya cukup beralasan. Namun entahlah, saat itu yang ada di benak Zsa yaitu ingin berada di sana. Ya, berada di sana, hanya ingin berdiri menyandarkan dirinya di koridor itu, menatap senja terbenam. Begitu indah. Begitu langka. Kapan lagi Zsa bisa menatap senja seindah itu kalau bukan sekarang? Zsa hanya bisa menolak tawaran Leo dengan halus. Dan benar saja, bunyi klakson busnya akhirnya hadir juga memecahkan suasana yang damai itu. Zsa berpamitan, menatap penuh arti pada seseorang di sana. Mereka tidak pernah diizinkan untuk bersatu. Tidak sekarang, maupun nanti. Begitu senja terbenam, terbenam pula semua harapan, dan kenangan. Mungkin memang lebih baik begitu, Batin Zsa pedih. (didedikasikan buat seseorang yang tak pernah mengerti..)

Lima Hari sebelum hari itu... Senin,27 Nov 06 jam 12 siang "Div...dengar2 katanya si itu mau nikah ya?menurut mu gmana?"Aku masih ga'ngerti siapa yang akan menikah,tapi sohibku ini tetap bertanya dengan gaya jahilnya "mau nikah?siapa?kamu?wah asik dong!" Tanya ku sambil berlalu. Selasa,28 Nov 06 jam 6 sore Ada apa ya?Aku bertanya dalam hati ku waktu Aku lewat depan rumahnya,sepertinya ada acara besar yang akan di gelar di rumah itu..tapi Ahh...apa urusan ku? Akupun berlalu. Rabu,29 Nov 06 jam 7 pagi Hari ini Aku harus buruan ke kantor karena ada upacara memeperingati suatu hari besar. Setelah Upacara,aku mendengar beberapa teman ku lagi ngobrolin sesuatu yang kalo didengar-dengar sih bisa bikin jantung ga'karuan.Tapi kenapa harus jantungku yang ga'karuan?ha ha ha...lucu banget?!Apa sih lebihnya orang itu? Akupun berlalu. Kamis,30 Nov 06 jam 4 sore Aku masih menatap undangan yang ada di tanganku,wah...orang yang pernah aku cintai dan yang pernah mengisi hari-hariku dulu,akan menikah??Tiba-tiba....teringat kembali waktu 4 tahun yang lalu,dimana kita masih punya mimpi yang sama tentang masa depan. Tapi sekarang masa depan itu sudah menjadi milik yang lain!.Tapi sebenarnya dari dulu aku sudah paham dan mengerti untuk tidak mempertahankan hubungan ini,tapi kenapa ada yang bergetar ketika nama itu disebutkan lagi?lengkap dengan undangan...lengkap juga rasa yang ku alami sekarang. Kamis,30 Nov 06 jam 8 malam...seperti biasa,aku membawa segala kegalauan hatiku di dalam do'a,setelah itu...aku mengerti akan petuah kuno yang malam ini terasa akrab di telinga ku."cinta tak harus memiliki!"Kata-kata itu seperti roket yang melintas dalam pikiranku,aku terhentak!!!dan tentunya kembali bersyukur bahwa saat ini aku punya seseorang yang amat sangat mencintaiku...akupun tertidur!!! Jumat,1 Desember 06 jam 7 malam Dengan langkah ringan dan pasti,aku menuju ke pelaminan dimana orang yang pernah ku sayangi bersanding dengan belahan jiwanya.Selamat dan doa tulus mengalir dari lubuk hatiku yang paling dalam...aku pun berlalu... Dalam hidup setiap orang pasti punya kenangan...entah itu manis,entah itu pahit dan semua itu akan memberi warna dalam hidup dan sangat berarti bagi orang yang selalu mensyukuri setiap hal yang terjadi,dan akupun belajar untuk itu...belajar untuk tidak menyia-nyiakan orang yang mencintaiku untuk

yang kedua kali. Jumat,1 Desember 06 jam 1 malam Rrrrrrkkkk.....Rrrrrrrkkk....sepertinya Aku tidur dengan nyenyaknya,dan berharap besok bisa Bangun dengan kesegaran yang lebih untuk menatap masa depan yang baru dengan kekasih yang baru.AUREVOIRRRR...masa lalu,WELCOMEEEEE...masa depan

Aku nigin kau memahamiku


Anekayess-online.com Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya, tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku. Huh! Laki-laki memang tak pernah bisa mengerti apa maunya perempuan! Tak terkecuali Abang, lelaki yang hampir empat tahun ini menjalin kasih denganku. Bayangkan saja, sudah hampir empat tahun lamanya kami bersama, dia tetap tidak mengerti isyarat-isyarat yang sengaja aku berikan padanya. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu kan berarti hampir 48 bulan alias 1.460 hari! Berarti, kalau dikalkulasikan, setidaknya kami sudah menghabiskan masa waktu 35.040 jam dikurangi waktu tidur kami yang delapan jam dan waktu-waktu di mana kami sedang repot dengan urusan masing-masing, berarti setidaknya sudah 20.000-an jam kami habiskan bersama-sama. Tapi, dari sederet angka tadi rasanya masih kurang cukup untuk membuat Abang memahamiku. Yang ada, malah Abang seringkali bilang, Kamu kok susah banget dimengerti, sih, Dek?! Huh! Basi! Contohnya saja sore ini, di mana sudah seharian aku cemas menunggu kabar darinya. Sudah berpuluh kali aku meneleponnya tapi ponselnya tak kunjung aktif. Beberapa SMS juga sudah kulayangkan, dari mulai yang romantis sampai yang isinya hampir sadis, tapi tak satupun dibalas. Terang saja aku panik dan cemas, pasalnya Abang sudah berjanji padaku kalau hari ini ia akan menemaniku nonton, tapi sampai sekarang kok tidak ada kabar sama sekali? Pikiranku sudah dipenuhi berbagai macam kemungkinan. Apa Abang masih tidur karena pusing akibat kehujanan waktu pulang dari rumahku kemarin? Atau, apa ponsel Abang kecopetan? Atau, jangan-jangan Abang lagi selingkuh sampai-sampai ponselnya sengaja dimatikan? Atau... ada yang tidak beres? Hii, ngeri sendiri rasanya aku membayangkan yang tidak-tidak. Makanya seharian aku hanya bisa duduk di sofa sambil menonton HBO seharian dan menelepon terus-terusan mencoba men-dial nomer ponsel Abang yang sudah kuhapal. Tiba-tiba saja, sekitar pukul 17.20, teleponku tersambung. Aku yang duduk malas dengan mata mengantuk, langsung bangkit terjaga dan menanti dengan deg-degan. Begitu suara Abang yang berat terdengar di ujung sana, aku langsung membombardirnya dengan sejuta pertanyaan. Bang, kamu di mana, sih? Adek tuh udah neleponin kamu seharian tapi enggak nyambungnyambung. Adek kirim SMS kok enggak dibales-bales? Abang tau enggak, Adek cemas banget?! Adek sampe enggak bisa ngapa-ngapain seharian gara-gara nungguin Abang. Kan

katanya Abang mau nemenin Adek nonton, gimana sih?! Aku terdiam, mengambil napas. Sesaat, tak terdengar respon dari ujung sana. Malahan, tiba-tiba saja aku mendengar suara Abang yang sedang asyik ngobrol dengan seorang lakilaki. ...Itu velg-nya udah rapi, kan? Oh, tenang aja, Mas. Aku bengong. Bang? Abang??? Iya, Dek? suara Abang kembali terdengar. Abang lagi ngapain, sih? Bentar, bentar, Dek, Abang lagi di bengkel, nih, ganti velg. Bentar ya.... Dan Abang pun kembali ngobrol dengan tukang velg itu. Dan aku, pacarnya selama hampir empat tahun ini, dicuekin begitu aja! Glek! Berarti dari tadi aku ngomong panjang lebar sama sekali enggak didengerin sama Abang? Arrrgggghhhh!, makiku dalam hati. Setelah beberapa lama, suara Abang kembali terdengar. Kenapa, Dek? Aku sungguh heran dengan sikap santai yang jelas-jelas tercermin di dalam suara Abang. Bang, dari tadi Adek telepon kok enggak nyambung-nyambung?, serangku. Duh, maaf, Dek, tadi HP Abang ketinggalan. Ini juga baru aja disusulin sama Raffi, katanya, masih dengan ketenangan tingkat tinggi yang membuatku semakin kesal. Jadi Abang di bengkel sama Raffi?, tanyaku menyelidik sambil menyebutkan nama adik kandung Abang yang masih duduk di bangku SMA itu. Terus, kenapa SMS Adek enggak dibalas? Maaf, Dek, Abang lupa isi pulsa, katanya. Apa????? Lupa isi pulsa? Enggak tau apa orang cemas setengah mati dari tadi?, batinku. Kenapa enggak minjem HP Raffi untuk SMS? Atau, Abang kan bisa cari wartel atau telepon umum untuk ngabarin Adek?, tanyaku Abang tergelak, Sorry, Dek, enggak kepikiran! Aku melengos kesal. Abang lupa ya kalo hari ini Abang janji mau nemenin Adek nonton?, rajukku. Maaf, Dek, Abang bukannya lupa. Tapi tiba-tiba mobil Abang ngadat, makanya Abang ke bengkel. Lho, tadi katanya ganti velg, sekarang bilangnya mobilnya ngadat. Yang mana yang bener, sih?, suaraku semakin meninggi.

Ya tadi mesinnya ngadat. Terus, karena udah di bengkel, ya Abang sekalian ganti velg aja. Aku langsung cemberut. Nontonnya besok aja, ya, Dek, kan bisa sekalian nomat!, bujuk Abang. Tapi besok kan Adek ada UTS, Bang. Mana bisa enak-enakan nomat. Ya udah, begitu kamu pulang UTS, Abang jemput deh ke kampus. Terus, dari sana kita nonton, oke? Dan begitulah, acara kencan kami pun gagal cuma gara-gara Abang ke bengkel demi memperbaiki mobilnya yang ngadat dan sekalian mengganti velg-nya. Kadang-kadang aku merasa aneh juga. Masa sih aku harus cemburu dengan kecintaan Abang pada mobilnya atau pada kesenangannya naik gunung, misalnya? Tapi, wajar kan kalau aku cemburu, aku ini kan pacarnya? Pacar yang hampir empat tahun ini menemani Abang, berbagi suka dan duka bersama. Pacar yang punya perasaan dan seharusnya lebih membutuhkan perhatian Abang ketimbang mobil dan hobi naik gunungnya. Ya, laki-laki memang sulit mengerti apa maunya perempuan! ***.Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus dengan ceria. Malahan aku sengaja berdandan karena aku tahu, sepulang UTS aku akan nonton bersama Abang. Tapi ternyata, lagi-lagi aku kecewa. Mobil Abang tak terlihat di lapangan parkir kampusku! Aku pun segera menelepon Abang. Bang, di mana? Di rumah, jawabnya cuek. Jleb!! Rasanya ada sebilah pisau yang menusuk dadaku saat itu juga. Sementara aku sudah berdandan habis dan menanti-nanti acara kencan dengannya, Abang malah kelupaan dengan janjinya menjemputku di kampus! Abang tuh udah mulai pikun atau udah enggak sayang lagi, sih, sama Adek?, semprotku langsung begitu aku duduk di jok depan mobil Abang, satu jam kemudian. Terik siang dan rasa kesal telah membuat dandananku berantakan. Tapi aku sudah tak peduli. Niat untuk kencan dengan Abang sudah meluap pergi entah ke mana. Maaf, Dek. Abang tadi ketiduran. Kamu sih enggak bangunin Abang, katanya ngeles. Bangunin gimana? Aku kan lagi UTS, Bang!! Mana bisa seenaknya nelepon Abang? Abang tertawa kecil, Oh iya, ya? Maaf, deh. Kampus kita kan beda, makanya Abang enggak tau jadwal UTS kamu. Makanya, lain kali kamu SMS Abang, dong, untuk konfirmasi! Aku semakin sebal. Jadi sekarang Adek yang salah?! Abang memandangku sambil menahan tawa. Kamu kalau marah semakin cantik, deh!, godanya. Iiih, udah tau orang ngambek, masih aja dibecandain!, pikirku kesal. Aku hanya

cemberut, tidak merespon. Ya udah, kita nonton di mana sekarang?, tanya Abang. Enggak usah!, bentakku, Adek udah enggak mood nonton sama Abang! Mana bisa?, kata Abang, Bisa-bisa Abang diputusin sama kamu karena enggak nepatin janji ngajakin kamu nomat hari ini. Aku tak menjawab. Malas. Aku hanya bisa memperhatikan jalanan sementara mobil Abang terus melaju menuju kawasan Pondok Indah. *** Udah nyampe, Dek, kata Abang sambil mematikan mesin. Ia menarik bahuku hingga aku menghadap ke arahnya tepat sebelum aku sempat menghapus air mata yang tak bisa lagi aku bendung di pelupuk mataku. Sempat kulihat ekspresi kagetnya melihat air mataku. Namun aku tak peduli. Aku segera memalingkan wajah, berpura-pura tegar. Kamu nangis, Dek? Abang kembali memutar tubuhku. Enggak!, aku kembali berbalik. Abang memutar tubuhku dengan lembut dan mematri bahuku dengan kedua lengan kekarnya, agar aku tak dapat menghindar lagi. Coba Abang liat. Kok Adek Abang yang cantik nangis, sih? Dandanannya luntur, tuh!, candanya. Bukannya tertawa, aku malah menangis semakin menjadi. Abang tuh beneran udah enggak sayang, ya, sama Adek? Abang nampak kaget, namun terus berusaha tenang, Kok Adek ngomongnya gitu sih? Abis Abang tuh enggak pernah ngertiin Adek. Adek tuh rasanya udah enggak pernah diperhatiin lagi sama Abang. Abang udah enggak nganggap Adek istimewa lagi. Enggak kayak dulu pas awal kita pacaran, Abang sekarang suka lupa sama janji Abang ke Adek. Abang lebih milih ke bengkel atau naik gunung daripada berduaan dengan Adek! Abang tuh lupa, ya, minggu lalu tuh kita enggak ketemuan karena Abang naik gunung sama tementemen Abang?! Makanya kemarin Adek ngajakin Abang nonton, biar kita bisa ketemuan. Eh, Abang malah lebih milih ke bengkel daripada ketemu sama Adek! Adek sebel! Abang udah enggak sayang lagi sama Adek!, cerocosku panjang lebar. Abang memperhatikanku dengan ekspresi shock. Mungkin ia tak menyangka kalau masalahnya ternyata serumit itu. Tapi, biarlah, daripada aku memendam sendiri semua kekesalanku, lebih baik aku tumpahkan saja semuanya. Beberapa saat lamanya, Abang tidak merespon. Ia mengusap air mata di pipiku dengan lembut dan tersenyum. Adek enggak boleh bilang kayak gitu. Abang tuh sayang banget sama Adek! Abang mau ikut temen-temen Abang naik gunung minggu lalu karena Abang mau ngasihin ini sama kamu, katanya sambil mengambil sebuket bunga edelweiss di jok belakang mobil. Aku tersentak kaget. Adek lupa, ya, kalau Adek pernah nitip bunga edelweiss sama Abang kalau Abang naik gunung? Kan Adek sendiri yang bilang sama Abang, kalau bunga edelweiss ini

melambangkan cinta yang abadi. Soal kemarin, Abang juga sebenernya sengaja menunda waktu ketemuan kita sampai hari ini biar Abang bisa ngasihin bunga edelweiss ini ke Adek tepat di hari jadi kita yang keempat tahun. Abang juga sengaja ngebetulin mobil karena Abang enggak mau waktu Abang jalan sama Adek, mobil ini ngadat di tengah jalan. Abang mau hari ini jadi hari yang istimewa, karena hari ini genap empat tahun sudah Adek jadi pacar Abang, jadi sahabat Abang yang paling baik, yang paling mengerti Abang. Aku tercenung. Jadi, hari ini...? Ya Tuhan, saking kesalnya akan tingkah laku Abang akhir-akhir ini, aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari jadi kami yang keempat tahun! Hari ke-1.460 dalam hubungan kami yang begitu berharga ini. Perasaanku campur aduk, rasanya. Aku tak bisa berkata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Yah, Dek, kok malah nangis lagi?, tanya Abang panik. Adek enggak suka, ya, sama bunga edelweiss-nya? Aku tertawa geli. Ternyata, setelah empat tahun kebersamaan kami, Abang masih belum bisa mengerti apa mauku. Ia masih kurang memahami isyarat-isyarat yang sengaja kuberikan padanya. Tapi, tak apalah. Selama Abang menyayangiku, aku toh akan tetap mencoba memahaminya dan membuat ia memahami diriku.

Demi valentine
Anekayess-online.com - Domie tak pernah tahu bahwa selama ini Zetta begitu mengagumi dan mengharapkan cintanya. Apakah gue harus mencuri uang? Sebersit pikiran kerap mengganggu pikiran Domie, setiap kali ia merasakan jalan buntu. Satu-satunya barang berharga yang dimiliki cuma telepon genggam, hadiah ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. Jika tiba-tiba benda itu raib, tak cuma Ibu, tapi seisi rumah pasti akan geger mempermasalahkannya. Dan tipis harapan untuk bisa memiliki lagi sebuah ponsel.

Jika anak-anak lagi istirahat, atau pas jam olahraga di lapangan, gue bisa menyelinap masuk ke kelas dan mencuri uang dari salah satu tas, pikir Domie lagi. Ia tahu, banyak anak orang kaya yang ke sekolah bawa uang ratusan ribu. Tapi kalo katahuan? Resikonya gede, bisa dikeluarin dari sekolah. Dan malunya itu! Domie tentu saja tak ingin berbuat konyol. Mencuri bukan cuma konyol, tapi dosa besar. Domie cepat-cepat menepis pikiran jahat itu. Uang memang harus ia dapatkan, tapi mesti dengan cara yang halal. Dom, elo liburan mau ke mana? tanya Zetta, yang batal keluar dari kelas ketika dilihatnya Domie masih terpekur di bangkunya. Ke mana, ya? Nggak kepikiran sama sekali, Zet. Elo sendiri? Domie balik bertanya pada teman sekelas sekaligus tetangga dekatnya itu. Zetta tinggal satu blok dengan Domie. Gue kayaknya harus ngungsi ke rumah Tante di Depok. Emang kenapa? Takut banjir? Emang daerah kita banjir? Enggak, kan?.

Enggak, sih. Tapi kebetulan sebentar lagi rumah mau direnovasi. Nyokap pengen kamar anak-anak dipisah semua. Enak juga ngebayangin bakal punya kamar sendiri, jauh dari usilnya si Beng, adik gue itu. Tapi jadi repot selama rumah dibenahi. Mendingan gue ngungsi aja, daripada ntar terpaksa bantu-bantu jadi kuli bangunan. Hi hi hi.... Domie cukup kenal dengan keluarga Zetta. Mereka keluarga paling kaya di Blok H. Sebersit pikiran muncul di benak Domie. Emang siapa yang bakal ngerenovasi, Zet? Paling juga tetangga-tetangga kita sendiri. Atau orang-orang dari kampung belakang. Kayaknya sih bukan pekerjaan yang berat. Paling juga makan waktu seminggu, pas sama masa liburan kita. Jadi ntar, sepulang dari Depok, rumah udah beres lagi. Bagus deh kalo gitu, kata Domie. Bagus apanya? Eh, elo jadi punya alasan untuk liburan ke Depok. Elo mau juga? Mau apa? Liburan ke Depok. Maksud elo? Yaaa, siapa tahu elo mau nganter gue ke sana. Domie tercenung sebentar. Kayaknya enggak deh, Zet. Zetta cemberut. Gue mendadak ada rencana baru buat ngisi liburan kita nanti. Uh? Kok mendadak? Elo ngiri, ya? Nggak! Bukan! Gue emang punya rencana. Pasti elo mau nyusun karya tulis, buat diikutin Lomba Karya Ilmiah pertengahan tahun nanti, ya? Ya udah, kerjain aja! Zetta mendengus kesal dan meninggalkan Domie. Domie cuma mengawasi cewek manis itu menghilang di luar kelas. ***. Tante Zelda mengawasi cara kerja Domie yang cekatan. Meski bukan seorang tukang cat profesional, Domie terlihat bisa belajar dengan cepat. Ia menggerakkan kuas dengan benar, membuat hampir tak ada setitik pun cat yang menetes di lantai.

Yang di kamar anak-anak warnanya pink, ya. Tante Zelda mengingatkan. Gudangnya tetep kuning aja, biar terang. Iya, Tante. Domie menjawab sambil terus menyapukan kuas cat ke tembok. Sebenarnya Domie agak gugup ditunggui Tante Zelda. Di rumah ini ada dua orang tukang batu dan tiga tenaga serabutan, tapi Tante Zelda lebih sering mengawasi dan menunggui Domie bekerja. Pasti karena Tante Zelda merasa paling dekat dengan Domie. Mungkin juga karena kasihan, pikir Domie. Kamu nggak dimarahi orangtuamu, Dom? Enggak, Tante. Bapak dan Ibu justru senang karena saya mau bekerja. Jadi kuli juga nggak apa-apa, yang penting halal. Iya, ya. Lagian bagus juga kalo masih semuda kamu udah mau bekerja. Cuma, apa nggak sayang karenanya kamu jadi kehilangan acara liburan sekolah kamu? Kebetulan saya nggak ada acara, Tante. Liburan cuma diam di rumah terus juga bosen. Eh, Zetta sama Beng kapan pulangnya? Katanya sih Sabtu sore, dianter tantenya sendiri. Senin, kalian udah masuk sekolah lagi, kan? Domie mengangguk. Lalu, Tapi janji ya, Tante. Tante nggak usah bilang-bilang ke Zetta bahwa saya jadi kuli di sini. Lho, siapa bilang kamu jadi kuli? Kamu jadi tukang cat, dan nyatanya kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu bakal nerima upah yang sepadan, karena hasil pekerjaanmu emang baik. Iya, tapi tolong nggak usah bilang saya kerja di sini, ya.... Kenapa? Malu? Pekerjaan halal kok malu! Di negeri ini banyak yang sukanya mencuri uang rakyat tapi mereka pada nggak malu. Kok Tante ngomongnya jadi ke mana-mana? Domie menghentikan gerakan kuasnya. Saya memang malu kalo ketahuan Zetta saya kerja di sini. Kalo aja Zetta nggak pergi liburan ke Depok, belum tentu saya sanggup meminta pekerjaan di rumah ini..

Melodi cinta topan

Anekayess-online.com Kamu nggak usah bawa-bawa apel segala, martabak segala, Ibu tahu kamu suka sama Viela, tapi bukan dengan cara membeli saya, emangnya saya bisa ditukar sama martabak? Mau ke mana, Pan? sergah Roni saat dilihatnya Topan buru-buru beranjak dari bangkunya. Lo kayak nggak tau aja, sebentar lagi malaikat cerewet itu nongol, mending gue nyari udara seger di luar. Ntar kalo ada yang bisa lo bantu, bantuin gue ya? Enak aja lo! sungut Roni. Kan lo temen gue yang baik. Iya deh, iya. Gue tau lo di luar lagi ngincer Viela, kan? Moga-moga aja lo ditolak, biar minum racun serangga, lo! Ha ha ha! Nggak mungkin Meeennn! Topan buru-buru ngacir keluar.

Bukan cuma guru Killer itu yang jadi alasan Topan, tapi karena jam ketiga ini, Viela praktek olahraga, jadi Topan bisa ngegodain cewek itu dari jauh sambil ngeliat body-nya yang keren, kakinya yang mulus dan terutama senyumnya yang bikin Topan Puyeng itu. Baru saja Topan sampe di lobby, anak anak kelas Viela baru saja berhamburan dari kelasnya, suara mereka berisik, seperti burung yang dilepas dari kandangnya. Topan celingukan nyari Viela, parkit lincah berkaki mulus yang punya senyum lebih legit dari brownies itu. Nah itu dia. Eh, sempit tauk, enam juta penduduk Jakarta berjubel kayak ikan dalam kranjang. Kayak petugas sensus aja, lo! ketus Topan sama cewek gendut yang sengaja nabrak Topan dari belakang, sekretaris kelasnya Viela. Terang aja, Topan menghalangi jalan cewek itu yang gak mau ribet dihalang-halangi, yang katanya sih udah lama setengah mati diet buat ngurusin badannya. Liat-liat dong kalo jalan, orang segede aku gini kok gak kelihatan, sengit Topan saat cewek gemuk itu masih berkacak pinggang di depannya. Eh, elo yang gak liat, celingak-celinguk nyari siapa lo? Hmm, gue tau, lo mau lihat paha kita-kita kan. Paha? Paha siapa? Paha sapi! Emang paha lo gede kayak paha sapi! Topan ngacir. Eh brengsek, gue smackdown lo baru tau rasa!! Topan terus ngacir sambil ngetawain tuh cewek. Tak jauh di depan, Viela lagi jalan gandengan sama teman-temannya. Jantung Topan berdebar kencang, inilah cewek yang membuat Topan berani mengorbankan pelajaran Bu Rani, guru Bahasa Indonesia yang galak banget bin cerewet itu. Daripada bete nerima pelajaran Bu Rani, mending nyari pemandangan seger di luar, begitu pikir Topan. Pan! Arief tiba-tiba narik tangan Topan. Eh Rif, sorry, gue nggak ngeliat lo. Eh salam gue kemaren gimana? Tanya Topan berbisik ke kuping Arif. O salam lo. Udah lo sampein, kan? Udah, dia cuma senyum doang. Senyum? Gak ada yang laen?

Gak ada, malah. Arif ketawa. Maksud lo dia ngetawain gue? Ntar gue sampein lagi yang serius deh. Sialan lo! Topan buru-buru ninggalin Arif, tapi saat berbalik, jantung Topan berdebar lagi dengan kencang saat melihat siapa yang sudah berdiri di depannya, dengan celana training yang pendek ketat. Dia menyapaku? Pikir Topan gembira. Viel. Ada apa Pan, penting banget kayaknya? Mmm salam gue gimana? tembak Topan langsung sambil mamerin senyum cute-nya dan tentu saja matanya yang penuh dengan cinta. Yang disampein Arif kemaren? Mmm iya. Sementara gue tampung dulu ya, tunggu aja deh. Kayak kotak saran aja ditampung dulu, canda Topan sambil garuk-garuk kepalanya yang gak gatal, salah tingkah. Meskipun jawaban yang terlontar dari bibir mungil Viela kurang menyenangkan, tapi Topan menganggap itu masih lebih bagus daripada dicuekin. Saat Viela berlari-lari menuju lapangan, Topan masih bisa menikmati kaki bagus yang ditumbuhi bulubulu halus itu, yang rambut panjangnya tergerai seakan berkata, kejarlah daku topan ntar kamu kujitak. *** Topan. Ya Bu, Topan kikuk, sebel. Kenapa kamu suka bolos kalau saya masuk? Ibu Rani muncul, padahal bukan jam pelajaran dia di kelas Topan. Pelajaran saya tidak kamu sukai, katanya haree geneee masih belajar bahasa Indonesia, kan dari bayi udah bisa bahasa Indonesia. Iya, kamu yang ngomong begitu? Nggak Bu, bukan saya. Jadi siapa?

Roni, Bu, dia juga gak suka sama pelajaran Ibu. Suka Bu, Topan fitnah! balas Roni teriak. Ayo Topan, kenapa kamu tidak suka sama Ibu? Dia lagi jatuh cinta, Bu. Sama anak dua A3, namanya Viela. Pas pelajaran Ibu mereka olahraga, Topan milih keluar melihat pemandangan alam katanya, Bu. Seisi kelas riuh menertawai Topan. Apalagi anak-anak dua A3 kalo olahraga hobi pake celana dan tank top ketat, Bu! Tambah Muti yang udah lama diem-diem naksir Topan tapi nggak pernah direspon Topan. Jadi karena alasan itu kamu tidak suka pelajaran Bahasa saya? Ya Topan? serang Bu Rani. Bukan begitu, Bu. Katanya Ibu juga galak, mulut Ibu bawel! Eh, kambing, lo! ketus Topan. Muti, jaga mulutmu, ya! pelotot Ibu Rani. Seisi kelas tambah riuh. Mulai sekarang Ibu tidak mau lagi ada anak yang bolos di jam pelajaran Ibu, Cuma garagara naksir cewek, pelajaran diabaikan, mau jadi apa kalian, pacaran aja yang diurusin. Sebentar lagi Ibu masuk, kalian tunggu dan tak ada yang boleh kaluar! Ngerti? Ngerti Buuu!!! jawab seisi kelas. Topan garuk-garuk kepala, dia gagal kali ini ketemu Viela, dan terutama menghindari pelajaran Bu Rani. *** Pan pan, elo mau traktir gue apa nih? Roni yang baru abis dari kantin teriak-teriak mencari Topan. Ada apa Ron? Tanya Topan penasaran. Traktir gue, pokoknya sampe kenyang! Beres, tapi apa dulu dong? Viela.

Kenapa Viela? Tapi traktir gue, ya. Beres, apa aja lo minta deh, pokoknya kalo soal Viela beres. Salam lo diterima, Tanya Arif kalo nggak percaya, dia juga nyampein ke Arif, tapi karena gue temen sekelas lo, katanya biar lebih cepet, gue aja yang nyampein. Hah... yang bener? Katanya dia suka sama cowok kayak lo, cuek, cute, berani, ngocol, nekat, dan banyak deh komentarnya. Ah... yang bener lo, Ron!? Samber gledek lo sendirian, kalo gue bohong. Jangan gue sendiri, bareng-bareng dong. Terserah deh pokoknya, usul gue, lo tembak langsung aja, jeger! Jeger! Jeger! Pulang ntar lo barengin ya, sekalian janjian, ntar malam kan malam minggu. Kalo nggak lo bisa keduluan gue! Jeger jeger, memangnya nembak celeng. Topan bangkit dari duduknya. Yessss!!! teriaknya keras, sampe ludahnya berhamburan ke wajah Roni. Sialan lo Pan, hujan lokal nih. Sori... sori, lo tunggu gue, gue traktir semuanya sekarang juga! Topan lari keluar kelas. Roni dan anak-anak yang sudah hadir di kelas langsung tereak kegirangan. Beberapa menit kemudian Topan muncul, dikira Topan bawa makanan enak seperti brownies kukus dan lemper isi abon dari kantin Bu Sarmila, gak taunya singkong, ubi, gemblong segede-gede sandal jepit yang biasa dijual di warung kopi Kang Jaja yang ada di luar sekolahan. Kontan aja beberapa potong ubi goreng melayang di udara mengenai kepala Topan dan Roni. ***.Malam Minggu, Topan siap-siap apel. Viela bukan cuma nerima salam Topan, tapi juga udah nyuruh Topan datang malam Minggu. Dengan kemeja kotak-kotak biru, celana jeans sedikit belel, sepatu Cole cokelat kulit kanguru, Topan tampak keren dan macho. Topan dengan gembira melangkah keluar rumah, senyumnya cerah, seperti langit malam yang

penuh dengan bintang-bintang. Sampai di rumah Viela, dada Topan berdebar tak karuan, tapi sekuat tenaga berusaha ditentramkannya. Topan segera memencet bel di pintu pagar yang sedikit dipenuhi semak bunga bougenville. Beberapa detik kemudian muncul Viela, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, dia memakai jeans sebatas lutut yang ketat dengan atasan T-shirt tak berlengan. Hai, Pan, yuk masuk! Topan melangkah masuk, debar jantungnya makin bertalu, tapi berusaha ditentramkannya. Sehabis menyalakan lampu teras, Viela menyilakan Topan duduk. Bentar ya, Pan. Aku mandi dulu. Loh, emangnya kamu belum mandi? Belom, abis kamu kecepetan sih datangnya, baru aja jam tujuh. Topan melirik jam tangannya. O iya ya, masih sore. Nggak pa pa sih, cuma kamu semangat banget ya kelihatannya, hi hi hi! Viela terkikik geli. Topan garuk-garuk kepala. Mau minum apa, Pan? Teh, kopi, atau mau yang dingin, atau air putih aja. Mm nggak usah repot-repot deh, air putih aja. Wah kebetulan, emang adanya cuma air putih kok. Masih sambil cekikik geli Viela lalu berlenggak-lenggok masuk ke dalam. Topan garuk-garuk kepala lagi. Kena dia . Nggak lama kemudian Viela muncul, udah ganti baju yang lebih rileks, nyante banget, Cuma wajahnya kini dipolesi bedak tipis dan bibirnya merah seger dipakaiin lipstick glossy. Topan terpana. Ngomong dong Pan, kok jadi salah tingkah kelihatannya? Topan yang biasanya jago ngocol masih terus salah tingkah, bibirnya bingung mo bicara apa yang enak. Tapi alangkah kagetnya Topan saat kemudian muncul pembantu membawa nampan berisi dua gelas air putih dan menyilakannya untuk minum yang dihidangkannya.

Trima kasih ya, Ma. Kok cuma air putih Ma, kue-kuenya mana? Sekujur tubuh Topan kejang-kejang. Bu Rani. Masih mending air putih, bisa dipake dukun buat ngobatin orang, untung nggak Mama kasih racun serangga sekalian tadi. Ih Mama, jahat banget. Bu Rani dengan bergaya pembantu lalu balik ke dalam. Viela tersenyum geli. Ayo Pan, diminum, kenapa? Mm gue gue pulang aja deh, Bu Rani Bu Rani itu nyo. Lo, emangnya kamu nggak tau kalo Bu Rani Nyokap gue? Topan geleng-geleng kepala. Nggak gue baru tau sekarang. Sumpah, samber gledek bareng-bareng. Ya udah, nyokap gue baek kok orangnya. Bukan begitu Viel, tapi gue. Gue ngerti, kamu sebel banget sama pelajarannya kan, juga orangnya kan? Viel, jadi kamu membalas salam gue dan nyuruh datang malam Minggu supaya gue dikerjain sama nyokap kamu, terus supaya besok-besok gue nggak nakal lagi dan Nyokap kamu jadi nggak repot lagi ngurusin anak bandel kayak gue?. 5Doo yang perasaan, bukan begitu maksudnya Pan. Kamu gue suruh ke mari malam Minggu karena kamu cowok istimewa buat gue. Soal Bu Rani yang lo sebelin itu kebetulan nyokap gue, kan cuma kebetulan doang. Sekarang tinggal kamu, gimana menurut kamu persoalan kita, kamu suka tantangan, kan? Topan diam sesaat. Tantangan apa dulu, kalo ditantang Chris Jhon sih gue nyerah, Topan berusaha bercanda. Ya ngambil hati nyokap gue, dong. Topan berdiri. Viela terlihat kecewa. Salam deh buat Bu Rani, malam Minggu depan kalo gue apel lagi, gue bawain apel.

Jangan cuma apel, Pan. Martabak keju kesukaan nyokap gue juga. Mmm iya deh. Pantesan Bu Rani gendut, demen martabak keju sih, pikir Topan dalam hati ngedumel. Dan malam Minggu yang indah pun berlalu, tapi juga malam yang bikin Topan serba salah. Tadi Topan maunya pulang agak maleman, tapi Topan ngeliat Bu Rani sering ngintip dari gorden pembatas ruangan, matanya melotot galak. *** Topan berubah jadi cowok paling kalem sedunia sejak dia sadar kalau Viela adalah anak Bu Rani yang disebelinnya, biarpun Topan udah kalem dan selalu hadir nomer satu di pelajaran Bu Rani, tetap saja dia harus mengambil hati Bu Rani, caranya udah dijalani Topan dengan membawa sekeranjang apel New Zealand dan martabak keju, juga martabak telor. Eh itu malah bukannya membuat Bu Rani senang, tapi dianggapnya sesuatu yang melecehkan baginya. Kamu nggak usah bawa-bawa apel segala, martabak segala, Ibu tahu kamu suka sama Viela, tapi bukan dengan cara membeli saya, emangnya saya bisa ditukar sama martabak? Topan cuma diam. Kalau kamu tahu, sejak SMP Viela sebenarnya sudah saya jodohkan. Dijodohkan Bu, sama siapa? Sama saya? Topan tersentak. Sama kamu? Anak nggak pintar kayak kamu kok mau dijodohin sama anak saya. Jadi mau dijodohon sama siapa, Bu? Tanya Topan hati-hati. Mau tau aja! Bu Rani juga selalu melirik Topan kalau dia melihat Topan sedang menunggu Viela di depan kelas. Jalan ke kantin, pulang bareng, semua ulah Topan dicurigai. Topan jadi pusing. Menunggu Bu Rani pensiun masih lama, dipindahin sama pemerintah ke Papua, nggak mungkin. Coba kalo gue dulu gak sebel sama Bu Rani, mungkin nggak begini jadinya, sesal Topan. Meskipun Bu Rani kelihatannya baik, dan agak suka becanda, tapi batinnya, Topan ngerasa dia menolak keras, nggak nerima anaknya dipacarin, apalagi lewat jalan belakang. Pan! tiba-tiba Roni menepuk bahu Topan dari belakang. Topan kaget, disikutnya perut Roni. Ganggu gue aja lo, sono, hardiknya. Lalu Roni cekikikan melihat buku Bahasa Indonesia Topan yang disampul rapi banget, kayak buku anak kelas 1 SD.

Kusut amat lo Pan. Udah deh, lo cari aja cewek laen, Viela emang cakep, tapi nyokapnya. Gue heran, Viela cakep, nyokapnya kok ancur. Bokapnya kali keren, ya, Pan?

Nggak tau gue, gue nggak pernah ketemu bokapnya. Kalo lo nyium Viela, terus kebayang bibir Bu Rani yang lebar itu, sama aja nyium bibirnya Bu Rani, lo. Brengsek, lo, Ron. Roni cekikikan. Tiba-tiba Viela muncul di depan pintu, tersenyum. Gue denger apa yang kalian omongin. Ntar malam Minggu ke rumah ya Pan, ada hal penting yang mo gue omongin. Soal apaan Vi? Sekarang apa ntar malam? Sekarang aja deh, desak Topan. Oke dengerin ya. Bu Rani itu sebenarnya bukan nyokap kandung gue, dia Ibu angkat gue. Maksud lo? Maksudnya lo nggak usah lagi mikirin Bu Rani meskipun dia nggak suka sama lo, gue sendiri suatu saat nanti akan nentukan masa depan gue sendiri, kebetulan aja Bu Rani jadi nyokap gue, tapi dia memang baik dan sayang banget sama gue, udah bikin gue segede ini, seksi lagi. Lantas nyokap kandung kamu di mana? Tanya Roni penasaran. Gue anak adopsi. Adopsi dari mana? kejar Roni lagi, sementara Topan masih nggak percaya kalau Viela yang dicintainya nggak jelas asal-usulnya. Viela tertunduk, wajahnya tiba-tiba sedih, Topan dengan prihatin mendekati Viela dan membelai rambutnya. Maafin Roni, Viel. Dia kalo nanya nyeplos aja. Viela menggeleng. Nggak apa apa kok, Pan. Nyokap pernah cerita, yang ngelahirin gue seorang Ibu kurang mampu, Ibu itu nggak punya uang buat nebus biaya melahirkan, seminggu setelah melahirkan, katanya dia pergi minjam uang ke saudaranya dan menitipkan anaknya sementara di rumah sakit, tapi kemudian dia nggak pernah balik lagi ke rumah sakit. Terus gue diambil Bu Rani. Kata suster di rumah sakit, perempuan yang ngelahirin gue cakep, terbukti kan, gue cantik. Viela berusaha tersenyum.

Topan juga tersenyum, kembali dibelainya rambut Viela. Kalau cuma Bu Rani penghalang mencintai Rani, kecil, nggak ada apa-apanya, tegas Topan dalam hati, tapi Bu Rani kan udah berjasa ngebesarin Viela, lagian kasihan Bu Rani, sampe sekarang dia belum menikah juga, padahal umurnya udah hampir lima puluh tahun. Tiba-tiba terbersit rasa kasihan yang dalam di hati Topan kepada Bu Rani, sementara cinta dan kasih sayang yang dirasakan Topan kepada Viela pun tambah menggunung, dan Topan ingin selalu melindunginya setiap saat. Topan! Bu Rani tibatiba sudah berdiri di antara mereka, matanya melotot. Topan gugup. Gue gak ikutan! Roni langsung menjauh. Tapi Topan segera menangkap tangan Bu Rani dan menciumnya. Topan janji akan menjaga Viela Bu, Topan nggak akan bolos lagi, Topan juga mau kalau dijadikan anak angkat Bu Rani, Topan senang sama pelajaran Bu Rani. Bu Rani menarik-narik tangannya tapi Topan terus menciumnya, hingga akhirnya Bu Rani Luluh dan membiarkan tangannya diciumi Topan, sementara Viela tersenyum senang, Topan pasti bisa mengambil hati Bu Rani, mamaku tersayang, yakin Viela dalam hati sambil menahan senyum melihat ulah Topan yang masih terus menciumi tangan Mamanya..

Cinta tak terganti


Anekayess-online.com - Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya.... Guntur di luar, suaranya menggiriskan hati. Angin dan air seperti beradu. Dingin. Bibirku sudah membiru, gigiku beradu, menahan dingin yang menggigit. Padahal sudah kukenakan sweater pemberian Rado, ketika dia menjalankan tugas ke Padang. Rado? Saat dia mengingat nama itu, tiba-tiba air bening menyeruak begitu saja dari matanya. Bobol lagi pertahananku. Dasar cengeng! Kenapa aku harus menangis lagi? Peduli amat, orang bilang cintaku cinta monyet. Namanya juga baru kali ini aku mengenal cowok secara serius. Maklum. Keluargaku sedikit kolot. Anak cewek tidak boleh keluyuran. Pulang sekolah, wajib langsung diam di rumah. Kalau tidak ikut pengajian, aku musti membantu Meta, adikku, belajar. Kadang aku juga menemani ibu belanja keperluan toko kami. Padahal aku merasa sudah dewasa, umurku sudah enam belas tahun... tapi tetap saja kedua orangtuaku menganggap aku belum tahu apa-apa. Siang itu aku mau menjemput adikku. Kebetulan aku pulang cepat, sehingga bisa menjemput Meta. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna biru langsung menuju

ke arahku. Karena begitu cepatnya, aku tak mampu berlari atau berteriak lagi. Aku malah terpaku, seperti menunggu maut itu menjemputku.... Darrr! Suara keras itu memekakkan telinga. Aku merasa tubuhku melayang, entah berapa lama sampai sebuah tangan dingin menepuk-nepuk pipiku. Bangun, Mbak.... Mbak nggak apa-apa? Aku menggeliat. Ringan banget rasanya. Kupikir aku sudah mati. Ternyata aku sudah ada di sebuah rumah makan. Aku baru ingat, rumah makan itu kan letaknya berseberangan dengan sekolah adikku. Lantas.... Mbak tadi nyaris jadi korban tabrak lari. Orang gila tuh! Untung ada temannya mbak duluan nyamber. Kalau tidak, aduhh... cerocos seorang ibu setengah baya yang keluar sambil membawakan dua cangkir teh hangat. Mmm... pasti si empunya rumah makan. Temanku??? Aku berusaha menajamkan lagi penglihatanku. Sesosok cowok jangkung dengan baju seragam yang sama denganku, kelihatan menunduk tersipu. Sori, aku tadi ngaku-ngaku temen kamu. Nggak apa-apa kan, kita juga satu sekolah... daripada ribet neranginnya ke ibu itu, bisik cowok itu. Aku terhenyak. Aku yang malu, anak satu sekolah tidak kukenali. Kuper banget. Yuk kuantar pulang. Aku bawa kendaraan.... Aku menggeleng. Tiba-tiba bayangan adikku terlintas.... Aku ada janji. Thanks, ya.... Yakin, nggak apa-apa? Aku menggangguk, Serius. Oke deh... bye. Aku duluan. Cowok itu beranjak dari duduknya, sebelum aku sadar, dia sudah pergi. Dasar! Bodoh benar aku. Kenapa tidak kutanya siapa namanya? Kelas berapa? Ah, wajahnya saja mulai samar-samar. Aku tidak ingat bener, hanya sekilas kuingat tatapan matanya yang tajam dan genggaman tangannya yang begitu kuat dan hangat. Siapa sangka, aku kembali bertemu cowok itu saat briefing hari pertama workshop pers abu-abu di sekolahku. Rado... menyebut namanya saja, pipiku bisa merona tiba-tiba. Entah kenapa, keingintahuanku untuk mengenal dirinya lebih dalam begitu menggoda, sampai-sampai aku jadi lebih cepat datang ke sekolah, hanya untuk melihatnya datang, dari teras kelasku. 11 JANUARI Rado... Rado. Andai ini mimpi, aku tak berani untuk bangun. Aku ingin tetap terlelap dalam mimpiku. Saat kau bilang, kau ingin selalu menjagaku dalam sedih dan senang, dalam tangis dan tawa. Duh, romantisnya. Dia nembak aku bukan dengan cincin, bunga, atau

sekotak coklat. Tapi dia membuatku terhenyak, ketika dia memberiku kumpulan lagu-lagu kesukaanku dalam satu CD yang dia mix sendiri. Seperti lagu Gigi, ya.. dia nembak aku pas tanggal 11 Januari, dua tahun yang lalu. Rado... andai kamu tahu, kamu benar-benar sudah mengubah sebagian besar hidupku. Aku yang pemalu, penyendiri, kini seperti bunga yang mulai berani memperlihatkan kelopaknya. Aku mulai berani aktif di berbagai ekskul, seperti kamu. Aku mulai tahu, tidak semua lakilaki sejahat yang kudengar dari doktrin kedua orangtuaku. Ada juga cowok yang berhati hangat seperti kamu. Saat aku jatuh, saat aku kecewa, kamu selalu ada. Ketika rumor membuat keluargaku nyaris berantakan, kamu justru datang menentramkanku. Aku tak tahu lagi, apa yang harus kukatakan buat menunjukkan aku juga serius sayang kamu. Impian kita rupanya tinggal selangkah lagi. Dua tahun sudah kita lalui, orangtua kita juga seperti keluarga besar. Rencana pertunangan di depan mata. Bahkan sudah ada tanggal pernikahan! Kata orangtua kami, bertunangan dulu yang penting. Biar masih kuliah, ntar juga bisa diatur. Rona bahagia tidak mampu kusembunyikan. Pagi itu, kebaya brokat warna biru muda siap kukenakan. Aku masih sibuk dirias, saat kudengar suara ibuku seperti berteriak, setengah histeris. Aku masih tak mengerti, ketika ayahku duduk di depanku, berkata lamat-lamat.... Rado sudah pergi. Seisi rumahku menjadi gaduh. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menangis. Aku juga tak merasakan apa-apa, ketika ayah menjelaskan Rado mengalami kecelakaan 5. dan tewas seketika di tempat kejadian. Telingaku seperti mendengung, tak jelas. Badanku seperti mati rasa, kebal, tak berasa apa pun. 11 Januari saat Rado nembak aku. Tanggal itu pula rencana pertunangan kami. Tanggal itu pula tanggal Rado dimakamkan. Rado meninggalkanku, tanpa pesan, tanpa tanda apa pun. Cowok yang sudah dua tahun ini mengisi hari-hariku. Namanya memenuhi diary-ku. Namanya selalu ada dalam doa sujudku. Aku tak punya air mata lagi. Entah kenapa, hingga jasadnya menghilang tertutup tanah, aku tetap tak mampu menangis. Aku seperti limbung, berada di tempat asing. Sekelilingku tak kukenali lagi. Pulang ke rumah, ketika aku duduk di depan televisi, bayangan itu mengganggu lagi. Bayangan waktu Rado menolongku pertama kali, lantas dia mengajariku mengurus mading, sampai nembak aku dengan sebuah CD. Badan dan hatiku seperti mati rasa. Tiba-tiba saja, aku mendengar Ibu dan Ayah berteriak histeris, sekilas kulihat bayangan mereka semakin jauh dan gelap. *** Minggu pagi, saat kumulai hariku. Aku melenggang sendiri. Tujuanku ke makam Rado, sekedar menengok dan mendoakannya. Ya, aku kangen. Tiba di makam, aku nyaris terhenyak. Mimpikah aku? Kenapa Rado masih duduk di depan makam? Lantas.....

Orangtua Rado menenangkanku. Ternyata satu hal yang belum kutahu. Rado punya saudara kembar yang diasuh neneknya. Ryan, nama cowok yang mirip sekali dengan Rado. Astaga.... Guntur masih menggelegar. Lamunanku terputus. Ah, aku terlalu lama melamun. Bayangan Rado dan Ryan tiba-tiba bermain dalam benakku. Aku ingat pembicaraan siang tadi di rumah, ketika bunda Rado datang. Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya.... Rado bisa diganti Ryan, itu maksud Bunda? Entah kenapa, nadaku langsung tinggi menanggapi maksud ibu Rado. Memangnya aku barang. Tidak dengan A, bisa dengan B, sekalipun mereka sedarah? Aku terduduk lemas di ruang makan. Bayangan Rado dan Ryan lamat-lamat semakin jauh. Kumohon, Tuhan, haruskah kuterima cinta Ryan? .

Gadis impian Gadis itu datang lagi! Firman buru-buru merapikan rambut ala kadarnya dan menegapkan postur tubuhnya agar terlihat lebih kekar. Siang, Mas, sapanya lembut. Melihat senyum manis dan lesung pipi sang gadis, Firman merasakan jantungnya bergejolak. Sambil mencoba berkonsentrasi, Firman tersenyum gugup, Pinjam apa, Mbak? Sang gadis memutar pandangan ke sekeliling ruangan. Apa aja, deh, katanya akhirnya. Yang romance gitu, ya... Lagi jatuh cinta, nih! Tambahnya centil, membuat hati Firman memanas. Firman tersenyum tipis, mencoba menutupi kekecewaan di dalam hatinya. The Notebook? Tawar Firman. Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Firman pun memasukkan DVD yang dimaksud ke dalam kantong plastik. Semoga langgeng ya, Mbak, tambah Firman sebelum gadis itu berbalik pergi. Langgeng? tanyanya heran. Iya. Biar Mbak sering-sering pinjem DVD ke sini! Canda Firman, membuat gadis itu tersenyum lebar..

Mas, Gue Kapok Jatuh Cinta, donk! Hah? Firman membelalak, Apa? Saya mau pinjem DVD Gue Kapok Jatuh Cinta.... Ada? Tanya Gadis itu lagi. Firman mengangguk kaku, mencari di katalog, dan memasukkan DVD ke dalam kantong

plastik. Lagi kapok jatuh cinta? Tanya Firman iseng. Iya... jawab sang gadis, lirih, membuat hati Firman tersentak. Ini adalah kesempatan yang telah lama Firman nanti-nanti! Di saat sang gadis tengah patah hati, dan mungkin Firman bisa mengajaknya ngobrol lebih jauh ketimbang obrolan pelanggan dan penjaga rental DVD yang selama ini mereka lakoni. Kok kapok? Firman bertanya penasaran. Iya, nih, kapok aja... si gadis seperti biasa tersenyum dengan manis. Namun ketara betul bahwa ia tak ingin membahas perasaannya kepada seorang penjaga rental DVD yang bahkan ia pun tak tahu siapa namanya. Jangan kapok, donk, Mbak. O ya? Kenapa? Si gadis kembali bertanya, Takut saya gak bakal minjem DVD lagi di sini? Firman tertawa, Itu salah satu penyebabnya. Tapi... Tapi apa? sang gadis mengerutkan kening, membuat Firman setengah mati merasa gemas. Cinta itu terlalu indah. Sayang aja kalau gadis secantik Mbak, kapok jatuh cinta. Pasti banyak cowok di luar sana yang patah hati...! Gadis itu tergelak. Sambil mengambil bungkusan DVD, ia melambai, Mas bisa aja. Firman tersenyum memandang punggung si gadis yang berlalu pergi. Namun sebelum sampai di depan pintu, punggung itu tiba-tiba berbalik. Makasih, ya, Mas.... Dan gadis itu kembali berlalu. *** Entah sejak kapan Firman jatuh cinta pada sang gadis. Tapi rasanya, kalau Firman tak salah ingat, semenjak gadis itu pertama kali melangkah masuk ke dalam rental DVD itu, di mana ia telah setahun belakangan ini bekerja. Gadis itu memiliki rambut panjang dan senyum termanis yang membuat Firman langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Semenjak itulah ia selalu menanti dengan sabar, siang dan malam, untuk melihat kembali senyum sang gadis dan percakapan basa-basi mereka mengenai film yang akan dipinjam si gadis. Namun Firman puas. Ia bahkan menolak untuk kembali mencari kerja di tempat yang lebih baik. Firman tak pernah menyesal. Baginya, pekerjaan inilah yang ia butuhkan. Ia bahagia, asal dapat terus bertemu dengan sang gadis impiannya.... ***. Pintu terbuka saat Firman sedang tenggelam dalam lamunannya. Firman menoleh, tak menyangka ia akan menemukan senyum si gadis yang tadi tengah diimpikannya, kini menyapa tepat di hadapannya. Mas, sapanya ramah. Eh, Firman mencoba untuk menutupi kegugupannya, Mau pinjem apa, Mbak? Si gadis berjalan berkeliling, meneliti jajaran cover DVD di sepanjang dinding. Firman memandangi sosok itu dengan lekat, seakan tak ingin melepaskannya dan ingin agar gadis itu terus berada di dekatnya. Film yang bagus apa, Mas? Si gadis berbalik. Tergantung... Mbak mau nonton film yang kayak apa?

Si gadis tersenyum, Kalau film yang Mas suka, apa? Firman tercekat. Apa benar ini bukan mimpi? Apakah sang gadis tadi benar-benar menanyakan apa film yang ia suka? Firman langsung tersenyum lebar. Ini adalah momen yang telah lama dinantinya. Saat di mana ia akhirnya bisa ngobrol dengan sang gadis impiannya. Berdua. Walau masih seputar masalah film, Firman tak keberatan. Saya suka Crash, jawab Firman. Yang menang Oscar? Firman mengangguk, Filmnya bagus lho! Atau, Mbak mau nonton yang new release?.
Halaman 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6

partner-pub-5364 w w w .anekayess

FORID:10

ISO-8859-1

Search

Si gadis mendekat, terlihat sangat tertarik, Kalau Lady in the Water? M. Night Shyamalan? jawab Firman cepat, Saya lebih suka The Village. Lebih original. Si gadis tersenyum. World Trade Center aja! Firman dan si gadis menoleh. Seorang pemuda bertubuh tegap baru memasuki ruangan. Ia langsung merangkul sang gadis dari belakang, membuat Firman terpaku. Gak mau, ah, serius gitu! rajuk si gadis, My Super Ex-Girlfriend aja, ya? Firman menunduk, mencoba menghindari kemesraan yang sedang berlangsung di depan matanya. Jadi gimana, nih? Mau pinjem apa? Si gadis menatap kekasihnya. Ya udah, pinjem dua-duanya aja, Mas, kata si pemuda akhirnya, sambil berjalan keluar, Aku tunggu di mobil ya, Sayang.... Si gadis mengangguk, jengah melihat tatapan Firman yang dibakar cemburu. Pacar barunya, ya? Firman mencoba bersikap netral. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya malah terdengar sarkasitik. Gadis itu tersenyum, Bukan. Itu pacar saya yang dulu. Firman membelalak kaget, Yang waktu itu bikin Mbak kapok jatuh cinta? Gadis itu mengangguk. Kenapa...?. Karena cinta terlalu indah, jawab si gadis sambil tersenyum lembut, Sayang kalau saya harus kapok jatuh cinta. Firman tertegun. Ya, cinta memang terlalu indah. Terlalu indah untuk menjadi sebuah obsesi, terlalu indah untuk menjadi alasan hadirnya rasa cemburu. Gadis itu menggenggam tangan Firman. Sambil tersenyum, ia berbisik pelan, Makasih, ya,

Mas... Firman mengangguk, membalas senyum itu dengan tulus. Sang gadis impian itu kini berlalu, bersama sebuah cinta yang kini menantinya di luar sana. Namun Firman tidak marah, atau cemburu, apalagi sampai kapok jatuh cinta. Firman hanya yakin, ia akan menemukan cinta yang indah itu bersama seorang gadis impian yang memang ditakdirkan untuk bersamanya.

Anda mungkin juga menyukai