oleh
M a'm un Affany
ffany
JudulBuku:
29 JUZ HARG A WANITA
ISBN 978-602-99860-0-6
Penulis:
Ma'mun Affany
D esain Cover:
Leo Sastra Candrawinata
Cetakan ke III, Desember 2014
Penerbit:
Affany
Ds. Ponolawen Kec. Kesesi
Kab. Pekalongan 51162
Telp. 0857 477777 28
E - m a i l s a l a m _ a f f a n y @ y a h o o .c o . i d
Tiia'mun A ffary \ V
H a ta V e n ja n t a r
fla ft a r O si
— Kata P en g a n tar........................................................................ v
— Daftar Is i.......................................................... vii
1. Surga D u n ia ...............................................................................1
2. Harapan D alam .......................................................................14
3. M artabat C in ta ........................................................................24
4. Naela K h a sn a ..........................................................................34
5. Sebaris D o 'a ............................................................................. 45
6. Surat Pertam a..........................................................................54
7. Sholat 5 W aktu........................ 65
8. Surat Dari H a ti.......................................................................76
9. Demi S u ra t................................................................................87
10. T erjaw ab.................................................................................... 98
11. Satu Kebahagiaan P erem p u an ....................................... 110
12. B o d o h !................................................................... 121
13. M enghilang.............................................................................132
14. Segelas Air P u tih .......................... 142
15. Mengingap Di M a sjid ........................................................ 156
16. Menjawab R in d u ................................................................. 167
17. Sebatas K o ta .......................................................................... 179
18. Mencari Dan Terus M e n ca ri............................................192
19. Kerudung P u tih ....................................................................202
20. Ada Ragu ................................................... 217
21. Tersibak Satu R ah asia........................................................ 227
22. Satu Rumah B erd u a ........................................ 241
m i | Z<j ? k z "Maiya 'W anita
— S u r ja D u n ia —
L
an git seolah terbata m em angku bulan, bin tan g
gem intang m enyum pal seluruh keindahan atap
alam, taburan awan laksana sayap putih mengalir
terem pas sepoi kecil angin, laru t m enelan ram ai, sunyi
mendekap bumi, mata hanya mengedip bertahan melepas
lelah, suara-suara denting mangkuk penjual bakso menyisir
tepi jalan kecil sesekali bersaing derit bambu di tepi sungai,
sesekali kalahkan derik jangkrik genggong di semak, sesekali
bunyikan irama ilalang bergoyang di tanah liar.
Lampu di setiap rumah masih menyala, tapi jendela-
jendela tlah tertutup rapat, jalan beraspal batu tampakkan
wama hijau kelam, deru kendaraan sedikitpun tak terdengar,
semua tlah terkunci di balik pagar, jalan teramat lengah, arus
sungai sanggup menembus dinding rumah tebal, dinding
tak bercat, bata merah masih telanjang menyusun bangunan,
atap dari genteng tipis berlumut, jika buah mangga jatuh,
satu genteng pencah seketika.
Z ] Z g Ouz T-larja 'W anita
besar dari dua puluh murid, terlebih Ibu guru, selalu baik
pada Toni. Semua karena tahu Toni sendiri, ia juga ringan
m embantu orang, Ibu guru yang jatuh pingsan kebetulan
Toni yang mengangkat ke kantor, kepala sekolah motornya
mogok kebetulan Toni bisa betulkan businya.
"Hari ini kita ke mana Ton?" Eko sebelum makan ingin
tahu akan ke mana tulang dibanting.
"Ikut pak Hend, truknya jalan bawa batu ke Kalianda,"
Toni minum segelas air putih.
Eko term anggut, tubuhnya lebih pendek dari Toni,
beda 3 centi, lebih coklat, rambutnya selalu pendek, kalau
panjang susah diatur, ia selalu bekerja dengan Toni, di Liwa
Eko ikut jadi pengaduk semen dan pasir, di Metro Eko dan
Toni jadi buruh angkut di pasar.
"Ada salam dari Imah Ton," Eko sampaikan salam dari
perempuan.
Gadis desa masih berkirim salam, tak sanggup mereka
datang ke hadapan seseorang, kecuali jika salam berbalas.
Kemarin Heni, sebelumnya Mala, semua Eko yang sampaikan.
"Ayo kita berangkat," Toni benarkan topinya, ia tak
peduli, ia masih berfikir wanita yang harus dijawab adalah
ibunya, yang harus ia cari tahu ceritanya.
Eko gugup m enghabiskan nasi, sem bari menunggu
m ata Toni m engawang entah ke mana, ia pandangi anak
sekolah berduyun berjalan bersama, riang mereka rasakan,
senyum mereka pagut dalam kebersam aan, tawa mereka
sanggup gambar tanpa setitik gelisah yang terpancar.
"Ayo Ton," Eko sudah selesai.
Berdua mereka berangkat, di bak truk mereka duduk,
tero m b an g -am bin g , tak tahu ja la n seo lah ada dalam
kurungan, tak satupun duduk di pagar, Toni menyandar
pintu m enghadap ke depan, Eko tepat di sam ping Toni
rasakan getaran kendaraan berjalan.
7Aa 'mun A ffany \ $
— " H arap an D a fa m —
H
ari mulai gelap, matahari perlahan tak tampak
tin g g alk an kem u ning, tim u r h itam padam ,
barat redup menjemput malam, bambu di tepi
sungai sejenak berderit kecil terbelai sepoi angin, sungai
hening berkilau alirkan sumber kehidupan, gemericik tak
terdengar terkubur suara sepeda berjalan lewati bebatuan.
Toni duduk tak bertem an di besi jem batan, kakinya
m enggantung, nikm ati dawai alam m enelusup hening ke
darah yang mengalir, rambut sebahu Toni basah, matanya
terpejam sesaat, dua tangannya memegang besi erat, entah
mengapa ia seolah rasakan kesendirian, kesepian, rasakan
perasaan yang terlupa sedari kecil hidup bersama Bapaknya.
"A llahu a k b a r... A llah u a k b a r ..." ad zan magrib
berkum andang, bulan tam pak seolah bayangan, sebelum
p erg i Toni m enoleh ke b elak an g , m enatap daun kelor
mengambang di atas bening air pantulkan cahaya rembulan.
Tak ada tujuan selain rumah, pintu dibuka perlahan,
seluruh lam pu belum dinyalakan, seluru h ruang hitam
kelam , tak ada orang, Toni sib ak tira i kam ar, hanya
'M a'm unA ffany \ 1$
teronggok dipan, Toni buka kamar mandi tak ada suara air
mengalir, air tenang terkurung dalam kolam. Toni melangkah
layu ke depan, jalannya tegak tapi kepalanya tertunduk, ia
hanya dapati gulungan tikar dan radio menyudut dinding,
ia hanya dapati dirinya sendirian.
Toni termenung menyandar bingkai pintu, memandang
jalanan tanpa nafas, seketika ia buka tikar, ia hamparkan di
atas lantai tanah, tanpa ragu ia berbaring, nyalakan radio,
memilih lagu-lagu yang sering Bapak dengar, di tengah
kemeresak gelombang Toni berbantal dua lengan, coba nikmati
sembari bernafas lambat lagi dalam, matanya ke atap tapi
lamunannya seketika m elayang pergi, terbang menyusuri
waktu tak pasti, ingatan Toni entah kenapa mendarat pada
sepasang kaki dengan sepuluh jari berkuku kecil, sepasang
tangan tak bercincin berkuku sedikit panjang, gelas kacapun
sanggup diketuk berdenting, sosok tubuh yang berjalan tanpa
menoleh merasuk dalam gugusan angan.
"Ton!" Eko jongkok menyapa, ia sudah biasa keluar
masuk rumah Toni.
Toni terbangun, ia langsung duduk bersilah matikan
radio, rambut sebahunya menutup dua daun telinga.
"Ayo jalan," Eko mengajak.
"Ke m ana?" Toni menggaruk keningnya.
"B ia sa , ada yang m eng ajak m u b a la p a n ," Eko
tersenyum.
Toni menggulung tikar, ia kembalikan seperti semula.
Toni belu m m enjaw ab, ia b e rja la n lam b at k elu ar, Eko
membuntut, "Aku di rumah saja Ko."
Eko terkejut, "Kamu kenapa Ton? Tidak biasanya kamu
enggan," Eko ke hadapan Toni, "Kam u tidak enak badan?"
Toni sedikit tersenyum, ia lepas sandal jepitnya sebagai
alas, duduk di beranda rumah, "Aku tidak ingin selamanya
hidup seperti ini."
ih j zg'juzTJanp'Wanita
Eko terkejut, "M aksudm u?" Eko ikut duduk.
"Apa sampai tua kita terus jadi pem balap liar? Apa
sampai tua aku harus bertanya kenapa setiap malam Bapak
terus m elam un? Tak pernah mau bicara, tak pernah mau
untu k b erb a g i hati, b erb ag i ra sa ," Toni rasakan
ketidakpastian, "Bapak marahpun aku tak m endapat kata-
kata darinya," Toni sejenak tatap dua mata Eko di bawah
gelap kolong langit, "Sampai sekarang aku tak pernah bisa
tahu hal terkecil dari ibuku."
Eko terdiam, jika ia jadi Toni mungkin dari kecil sudah
lari dari rumah, "Apa yang ingin kau lakukan Ton?"
Lam a Toni terd iam , di baw ah n au n gan ketukan
bintang ia pangku dagu ke atas lutut, "Entahlah, mungkin
satu waktu aku harus pergi ke tem pat ibuku dilahirkan,
setidaknya aku bisa rasakan manisnya kasih sayang seorang
ibu. Aku rindu akan itu Ko, aku ingin bisa m elihat sosok
ibu tersenyum padaku, aku ingin bisa dengar kata-kata
syahdu dari seoran g ib u ," Toni tertu n d u k , "Kam u
b eru n tu n g Ko, kam u m iliki dua orang tua yang selalu
mengasihimu," Toni seperti anak kecil mengaduh.
Eko diam, ia tak lagi m engusik. Baru hari itu Toni
u ngkap isi h atinya, en tah k apan Toni sad ar akan
kehampaan, Eko tak berani memaksa, "Kalau aku bisa Bantu
beritahu aku Ton."
Toni m engangguk, "Salam untuk tem an-tem an di
sana, katakan jika aku baik-baik saja."
Eko menepuk bahu Toni sekali, pergi tinggalkan Toni,
ja la n kaki dengan jak et kulit hitam . Jika Eko dan Toni
bergabu ng bersam a tem an-tem an, nyaw a akan menjadi
taru h an di ja la n , antara hidup dan m ati tip is tanpa
perbedaan, pilihan dalam balapan hanya ada dua, memakai
rem m atikan lam pu, atau n yalakan lam pu tan pa rem
belakang, jika salah satu sakit semua m enjenguk dengan
'M a'm un A ffan y | 1 J
— " M a r ta b a t C in t a —
B
ulan begitu bundar di langit, tak terhalang awan,
bertemu ribu an bintang berkedip seolah mengetuk
m alam . Tak ada angin berarak , daunpun hanya
diam, jalan pasar Pringsewu lengang, toko-toko di pasar
tutup, jangkrik begitu jelas berderik meski gerombolan Toni
duduk di tepi jalan, 13 orang, semua membawa motor kecuali
Toni, ia membonceng Eko, ada em pat perempuan duduk
santai dengan balutan jeans dan kaos.
Toni duduk di bibir aspal, di ujung pasar mereka
bergerombol, tak ada tujuan selain hanya kumpul, jika ada
yang berhasrat menantang maut, semua bergerak.
Satu gadis dekati Toni, tubuhnya kecil, kalau naik
m otor jin jit, "M ikirin apa Ton?" tangan kanannya genit ;
menepuk punggung.
"Aku pulang dulu, satu waktu aku m inta bantuan
kalian," Toni memijat matanya, tak pedulikan pertanyaan,
"Bapakku sendirian di rumah."
"K ita akan Bantu Ton, jan g an k h aw atir," dengan
remasan di pundak Putra meyakinkan.
'M a 'm u nA ffa ny |
tak menatap.
"Bapak tidak ingin menikah lagi? Bapak sudah lebih
dua puluh tahun sendiri," Toni tak takut dengan tamparan,
pukulan, atau ludah menyembur.
"Satu hari aku pergi pak, satu hari aku menikah, hidup
b ersam a istri, aku satu h ari b e rk e lu a rg a ," Toni
membayangkan kehidupan hangat keluarga seperti teman-
temannya, "Mungkin bapak tidak bisa menjawab, tapi Aku
yakin Bapak menyimpan jaw abannya."
Toni m en g erat g igin ya, "S e p a n ja n g tah u n Bapak
melamun, tapi aku juga pernah merasakan," Toni tersenyum
mengingat kemarin, "Kalau bapak mau tampar pipiku lagi
tidak apa-apa, tapi aku ingin sekali katakan ini pada Bapak,"
Toni lepas lututnya dari pelukan, duduk bersilah memandang
wajah bapaknya yang berkedip.
Diam , biarkan suara angin m enerobos m asuk dari
celah-celah rum ah dendangkan lagu bak seruling, bapak
hanya diam pejam kan rap at m atanya. Toni lelah , Toni
beranjak, tak lekang ia pandangi Bapaknya m eski berjalan
pelan ke kamar, berulang-ulang Toni menoleh, mendengar
suara radio, rebahkan tubuhnya di dipan, memulai lamunan
akan kenangan.
Jaket dilepas, dipeluk erat, matanya meneropong kisi-
kisi waktu yang tlah terlewati, sejenak ia kembali melukis
Bapaknya, sikapnya, kasarnya, tapi sem akin lam a Toni
m enggam bar sem ak in ten gg elam terh ap u s satu sosok
merona, sejukkan hati, hangatkan jiwa, siratkan nada-nada
hidup yang tenang penuh kearifan, kerudungnya, caranya
membawa nampan, bagaimana wajahnya menunduk dalam,
entah mengapa selalu bisa mengingat dengan sempurna.
Ia sadar siapa dirinya, mungkin gadis itu sebatas bisa
dilihat, hanya bisa ia tatap, hanya bisa ia dengar setiap de
bar langkah kakinya, tapi ingin baginya bisa mengenal, ingin
"Ma'mun Affany j ZJ
*****
nya, yang pasti pagi ini Toni akan kembali melihat gadis tak
bernama untuk ke tiga kali.
Entah m engapa hari ini rasanya berbeda dari hari
sebelum nya, ada h asrat in gin berjum pa, in gin m elih at
senyum hangat yang sebatas hadir dalam sekejap mata. Toni
tak berharap lebih selain ingin m elihatnya, ingin jum pa
dengannya. Walaupun tatapannya pasti tak berbalas, kiranya
puas jika Toni bisa hanyut dalam pagutan sosok gadis yang
selama ini tak pernah ada dalam buaiannya. Ibu tak punya,
Nenek jauh di mata, Rika tak ubahnya Eko yang ada untuk
menemaninya, hanya dia wanita penyelimut hatinya meski
belum mengenalnya.
Toni tak berdandan, tak perlu memakai minyak rambut
karena tak punya, celananya jeans sobek di lutut, kaosnya
hitam tak bergambar, topinya hitam memudar debu sedikit
menutup wajah kusam.
Dalam truk, di atas batu Toni hanyut dalam lamunan,
Eko nyenyak tertidur, waktu sampai di pesantren semua
santriwati berm ukenah menyembur keluar masjid, semua
tam pak putih. Toni dan Eko lupa membuka pintu truk,
m ereka b iarkan pintu tertutup, m ereka m enghibur diri
dengan ratusan santriwati menjinjing mukenah, menunduk,
tersenyum, terik menyengat terlupa tertutup pesona paras
rangkum an seribu m isteri keindahan, cok lat kulit akan
tam pak m anis d ib alu t m ukenah, putih k u lit m erona
sempurna, kata jelek terhapus, pujian dalam hati terukir
tanpa penghentian.
Mata Eko silih berganti memilah, sedang Toni melihat
satu sosok gadis lamunannya berjalan menunduk, terhimpit
dua temannya seolah penjaga, dua tangannya begitu erat
memeluk Qur'an, wajahnya tak bisa jelas tampak dari atas,
tapi bay ang an ny a cukup puaskan hati u ntu k sejen ak
b ersyu k u r pad a Ilah i, dahinya, ujung k eru d u n gn ya,
JAa'mun A ffary \ 2 $
— N a e fa K h a sn a —
// £
— S e k a r is D o 'a —
G
elap mulai hinggap di pelataran langit, semerbak
harum dingin hujan m enyelusup di sela ruang-
ruang sempit alam, setetes dua tetes jatuh dari
dedaunan, air di sungai coklat keruh deras, bulan tak tampak,
sekali angin bertiup tubuh serasa hidup di kaki gunung,
lampu-lampu mulai berpijar, tapi atap depan rumah Toni
masih gelap. Tubuh Toni basah , ia b erja la n m enginjak
genangan air, sesekali tubuhnya m enggigil, pintu rumah
perlahan dibuka, di m atanya Bapak sedang duduk
termenung di kursi berkaki tiga tersandar ke dinding, satu
kakinya patah.
Toni terbirit ke belakang, air di bak kosong, ia pergi
ke belakang rumah menimba, bibirnya mulai bergetar, suara
percikan air dari ember terdengar lebih keras dari hembusan
nafas, tubuh Toni yang tak lagi berbaju perlihatkan ototnya,
sepuluh kali ia m enim ba, sebelu m m asuk Toni guyur
kepalanya.
4 ^ | Zty 0»z K arya 'W anita
Toni mengangguk.
Dari baw ah kursi Bapak k elu arkan plastik hitam ,
"B ap ak titip bunga ini, taburkan di makam Ima, dan kamu
wajib do'akan dia."
Tak lama bapak pergi begitu saja dengan cangkulnya.
Toni buka plastik, dilihatnya bunga melati, wanginya
m ereb ak . Yang jadi pertanyaan, "D ari mana Bapak dapat
bunga m e lati?" baru semalam Toni memberi tahu, tapi pagi
buta B ap ak sudah menyediakannya.
E n ta h la h , Toni tak berfikir terlalu lama, tidak perlu,
B apak m e m a n g seperti itu adanya.
Hanya bermodal seplastik bunga Toni pergi ke Liwa,
uang di to p les yang ia kumpulkan dihabiskan sebagai saku,
topinya b asah , kenangan jika kemarin hujan lebat, kenangan
jika k e m a rin ada seseorang yang memanggilnya, kenangan
pengingat seorang N aela. Toni coba gali sosok Ibunya,
m u n g k in k a h Ibunya seperti N aela? M ungkinkah Ibunya
sebagai a la sa n kenapa Bapak tak pernah mau menikah untuk
k edu a kalinya?
Toni pangku bunga m elati titipan Bapak, dalam bus
ia tak bisa tidur, sepanjang perjalanan terkatung bayangan
dan ribuan pertanyaan, "Sudikah ia bertem an dengan or
ang seperti aku? Kenapa kemarin ia tak balas bertanya akan
namaku?"
Hari ini m inggu, Toni tak beran gkat m em banting
tulang, ia ada di depan sebuah makam, di antara yang lain
makam Ibunya paling terawat, batu nisannya dari keramik
hitam, tu lisan em as n am anya beg itu jela s, H alim atu s
Sa'diyah, wafat 1 September 1980. Toni membuka plastik
hitamnya, ditaburkan bunga melati diatas pusara, Toni raba
batu nisan sembari mencurahkan isi hatinya, "Ibu ... beritahu
Toni bagaimana dulu Ibu hidup, Toni kem arin m engenal
seseorang, Naela namanya, Toni senang melihatnya. Kalau
j?0 | zg Juz "Karya 'Wanita
berkata lebih lembut dari perempuan lain, seperti seorang
Ibu bertutur kata pada anaknya. Toni merasa beruntung ia
sudi memberi tahu namanya."
Toni m enghirup nafas, suara resakan sapu lidi juru
kunci terdengar, terik m entari di ubun terhalang pohon
kamboja, seketika Toni membuka dua tangannya, berdo'a
ke h ad irat sang Kuasa untuk Ibunya, m em ohon agar ia
diberikan tempat paling mulia, memohon agar terampuni
dosanya.
Sebelum pergi Toni bersihkan makam Ibunya, rumput-
rumput kecil dicabut, bunga layu dipungut, dikecup batu
nisan Ibunya, m em ohon kasih terus bersem ayam dalam
hatinya.
"M as," juru kunci memberhentikan langkah Toni.
"Iya pak," Toni berhenti di tengah-tengah puluhan
kuburan.
"B iasan ya yang datang suam inya, m as ini siapa?"
bapak membenarkan peci hitam lusuhnya.
Toni heran, ia lepas topinya, "Maksud Bapak apa?"
"Biasanya makam itu yang mengunjungi suam inya."
Toni terk eju t, satu daun jatu h d ekat kaki Toni,
"Orangnya lebih tinggi dari saya Pak?"
"Iya, pak Hadi namanya," penjaga makam hafal.
Tak salah, itu Bapak, "Saya anaknya."
"O o o ..." Bapak kurus hanya term anggut-manggut.
Toni sekali lagi ingin tahu, "Apa Bapak saya selalu
datang ke sini?"
"Seminggu sekali, makam itu paling sering dikunjungi,
paling sering dido'akan, batu nisannya baru diganti sebulan
yang lalu," tangan Bapak sedikit keriput menunjuk, batu akik
merah seakan menempel di jari manisnya.
Toni sed ikit m engerti, dadanya berdebar, ia ingin
segera bertemu Bapaknya. Pantas semalam ia begitu fasih
'M a'm un A ffan y \ $ 1
— S u r a t P erta m a —
S
emalam Toni bermalam di rumah Eko, rumah yang
selalu terbuka lebar untuk Toni, kapanpun. Ayah
Ibunya sudah tahu dan mengerti. Selepas subuh Toni
pangku telapak kaki kanan Toni, di sampingnya sebaskom
air hangat dan lap, kain kasa siap dibuka, perlahan Toni
m elepas ikatan, sedikit dem i sedikit luka tam pak putih
menganga tanpa darah.
"Hari ini kamu angkut apa Ton?" Eko menyandar ke
dinding, bantal dipangku.
"Sem en," Toni lap kaki Eko perlahan.
"A duh," Eko sedikit m engerang, "In i hari terakhir
kan?"
Toni m engangguk.
"Kapan kamu bisa melihat Naela lagi Ton?" Eko tahu
bayangan Toni ada pada Nela.
Sejenak Toni berhenti, "Aku sendiri tidak tahu," Toni
pasrah, "M u n g k in sem inggu setelah ini, atau sebulan,
mungkin juga satu tahun."
"Ma 'mun A ffan y \ $ $
k.
6 () | 2 (j Ouz "Kartja "Wanita
Assalamu'alaikum
Aku rela jika surat ini dibuang setelah dibaca, dibakar, atau
d is im p a n tapi harapanku Naela bisa membalas karena kini hanya
balasan yang jadi penantianku.
Aku m em ang tak m iliki harga, tak ban yak aku bawa
k e h o r m a ta n selain sebagai laki-laki jujur dan sederhana. Jika Naela
su d i ja d ik a n aku teman, maka itulah kenikmatan tertinggi yang
sekaran g aku miliki. Jika Naela sudi melupakanku, aku justru akan
mengingatmu selalu.
Dengan segala harapan yang aku miliki, sudi kiranya Naela
membaca namaku untuk kedua kalinya, "Toni Saputra".
S
em inggu berlalu, tak kunjung Toni dapat balasan
dari Naela, ia entah mengapa begitu berharap untuk
bisa mendapatkannya, ia ingin sekali terus bisa dekat
dengannya. Jika surat tak terjawab, habislah Naela dalam
dirinya sebatas nama yang tertinggal untuk dikenang.
Tapi Toni tak rela, ia tak bisa nafikan untuk menjadi
temannya. Di rum ah ia tak lagi pedulikan Bapaknya, ia
biarkan terus melamun, ia biarkan Bapak berkutat dengan
radio tuanya. Ia sendiri kadang duduk di lubang pintu
menghitung bintang, m em ikirkan bagaim ana untuk bisa
kembali berjumpa dengan Naela.
Toni tu tu p p in tu ru m ah, ia b e rja la n ke rum ah pak
Hendra selepas isya, ia d atangi ru m ahnya, kebetu lan pak
Hendra duduk di teras bersanding segelas kopi, ia menyapa
sebelum Toni sam pai, "T on !"
Toni tanpa ragu m enarik satu kursi, duduk dekat pak
Hendra, "A ssalam u 'alaik u m ..."
W a'alaikum salam . Ada apa T on ?" pak H endra
menyeruput secangkir kopi.
(]f) | ZCj Ota 'H arja 'Wanita
"Apa bapak m asih m engangkut barang ke Pondok
lagi?"
"Kamu butuh uang?" pak Hendra mengira Toni butuh
pekerjaan.
"Tidak pak. Aku jadi buruh angkut beras di pasar,"
rambut sepunggung Toni tak diikat.
"M m m ... bapak sudah tidak ke sana lagi," pak Hendra
meniup gelas kopinya.
"Masa sudah tidak ke pondok lagi pak?" Toni menarik
kursinya lebih dekat dengan pak Hendra.
"Sudah tidak lagi Ton," pak Hendra merasa ada yang
janggal, "Kam u sepertinya ingin sekali datang ke pondok
itu?"
"Aku ingin bertem u seseorang pak," Toni tak bisa
sembunyikan.
"Siapa dia? Mungkin bapak bisa Bantu," pak Hendra
rapikan sarungnya.
"Namanya Naela, dia salah satu santriwati di sana,"
suara Toni rendah.
Pak hendra menggeleng, "Bapak tidak bisa Ton. Kamu
lebih baik temui saja pak Kyai, orangnya baik, jujur saja
padanya, utarakan maksudmu baik-baik."
Toni membeku. Haruskah ia bertemu pak Kyai untuk
tem ui N aela? H aru skah ia katakan jika ia m inta surat
balasan? Sepertinya tak pantas. Toni undur diri dari rumah
pak Hendra.
Tak tahu ke mana arah yang akan ia tuju, tak tahu
pada siapa ia m engadu, Toni hanya berjalan tanpa arah
tujuan, teru s b e rja la n su su ri gang kecil gelap kelam ,
melangkah lambat, berusaha mencari jalan keluar. Toni ke
satu jem batan k ecil, duduk send irian, pandangi lan g it
m em inta jaw ab an , p an d an g i bulan m em inta sebuah
senyuman, dengarkan angin m em inta bisikan. Sendirian
JAa'munAffany \ b j
Assalamu'alaikum
Sudah lebih dari dua minggu aku menunggu balasan darimu
tapi tak jua datang, aku memang tak menuniut, tapi penghargaan
tertinggi niat baik saat ierbalas jawaban meski dengan kata "Tidak".
Benar kiranya kata semua temanku, aku harus berkaca untuk
tahu siapa diriku, apa daya yang aku miliki. Aku seharusnya
bercermin meski di kaca yang retak, harusnya aku tahu diri betapa
rendah diriku dan betapa suci dirimu.
'M a 'm u nA ffa ny \ bty
— S u r a t H a r i T ia t i —
D
ari pasar Toni tak langsung pulang ke rumah, ia
lan g su n g ke tem p at R ika, ia in g in dapatkan
segenap cerita tentang Naela. Toni duduk di teras
rum ah Rika, kaosnya m asih sisa keringat, lelah selepas
m enjadi kuli angkut m asih m elekat. Toni ju lu rkan kaki
sembari menyandar dinding, nikmati indahnya udara sore
hari. Ia rasakan sem ilir angin kecil, m elihat kucing putih
tidur melingkar di dekat pohon.
Sudah satu jam toni m enunggu, Rika belum juga
datang, panas perlahan menghilang, sem akin redup, hari
sedikit demi sedikit memberi tanda akan berganti, kicauan
burung mulai jelas terdengar, silih berganti bersahutan di
atas ranting dan dahan. Toni entah kenapa tak mau pergi/
ia ingin cepat mendengar cerita tentang Naela, dua minggu
tak jum pa dengannya serasa terlanjur lama, Toni tak lag1
tahu b ag aim an a senyum nya, hanya in g at b ag aim an a
pertama kali ia bertemu dengan Naela.
JAa'mun Affany | f ]
Assalamu'alaikum wr wb
Hanya kata terimakasih terucap sebagai balasan yang kau
berikan, meski sebatas pesan aku menganggapnya untaian kalimat
panjang yang menjadikanku merasa lebih kecil dari pada dirimu
Naela.
Aku seperti tertiban runtuhan bintang N aela, dengan
balasanmu kau sudi menjadikanku sebagai temanmu, tapi entah
mengapa ada saja perasaan berbeda, ada saja rasa yang tertahan
di dada, ada saja seribu kata bergejolak yang terus menyalak.
Memang aku belum pernah bercakap banyak denganmu,
bersua untuk bertukar fikiran tak ada kesempatan, saling menyapa
hanya sebatas lewat suratan, aku hanya tahu sebatas namamu,
dan kamu tahu namaku karena terpaksa membaca satu nama dalam
suratku.
Aku selalu tanyakan pada hati, "Kenapa aku sudi melakukan
semua ini? Kenapa aku rela? Kenapa aku bersusah payah menulis
surat untukmu? Kenapa begitu besar perasaanku saat membalas
suratmu? K enapa hatiku berdesir hanya karena m endengar
namamu ? "
Aku sadar sekarang, aku tahu, aku tlah tertawan olehmu,
aku tlah menjadi kain dalam sulamanmu, aku tlah tertunduk karena
mengharap cintamu, aku terpasung mengharap kasihmu yang begitu
suci, aku tlah terpanah oleh asmaramu. Aku tak bisa pungkiri Naela,
aku tak bisa menolak kata hati bahwa aku benar-benar mencintaimu.
Entah bagaimana sikapmu setelah membaca suratku ini,
mungkin marah padaku, mungkin kau sobek surat ini berkali-kali
wembenciku. Tapi tolong berikan sedikit pengertianmu untukku, aku
hanya seorang laki-laki sederhana yang ingin mencintai dan dicititai,
hanya seseorang yang tak tahan memendam terlalu lama perasaan
dalam hati.
Jangan tanyakan kenapa aku mencintaimu Naela. Bagiku
hiu adalah cermin fitrah manusia yang berarti kesucian bermakna
ai an dan keindahan. Kau sudah menjadi warna hidupku yang
36 \ zg 9uz 7-tarja "Wanita
tak kunjutig pudar. Meski aku jauh darimu, lamunanku tak sanggup
melepasmu. Sungguh aku tertawan olehmu Naela, aku ada dalam
cawanmu, ke manapun aku meiangkah aku tetap bayangkan dirimu.
Dalam do'a aku memohon untuk bisa berteman, saat terkabul
hatiku menjerit agar tidak munafik, dan kini aku memohon dengan
kejujuran yang aku miliki agar kau membalas suratku hingga aku
bisa kembali bernafas lega. Jawablah suratku Naela, entah dengan
pesanmu atau dengan isyaratmu karena yang aku tulis adalah
sebagian kecil yang berani aku tuangkan, sebagian besar perasaan
selalu rapi tersimpan.
E ntah berapa lam a aku m enanti akan jaw abm u , tapi
selamanya aku akan menunggu, aku akan terus menunggu. Kalaupun
kau tak sanggup berkata, tak bisa menulis, tak sudi membalas,
aku akan sepuhkan pada zaman untuk membuka jawaban dalam
hatimu.
— D em i S u ra t —
M
e n je la n g subuh Toni tlah bergerak bangun,
sarung dari Rika Toni kalungkan di lehernya,
ia keluar kamar melihat tikar dan radio Bapak
sudah tertata rapi di sudut ruangan. Bapak sudah di kamar
mandi. Toni buka pintu rum ah, udara pagi m enyeruput
dingin, merah di langit belum tergambar, jejak bulan masih
jelas, hitam menyelimut, dedaunan basah berembun.
"A llahu A k b a r... A llah u A k b a r ..." ad zan subuh
berkumandang.
Sejak hari itu Toni tak pernah disiram , tak pernah
menjadi m ayat yang d im an d ik an , tak p ern ah m enjad i
halaman yang berdebu, tak pernah basah kuyup bangun,
kalaupun subuh hujan, Toni jadikan plastik hitam sebagai
Payung, berlari sembari menutup kepala. Jam berapapun Toni
tertidur, pagi hari ia sudah berkalung sarung m engejar
sholat, Bapak mulai lebih heran.
lb Pasar Toni tak lupa bawa sarung, ia titipkan kepada
b '|- 'kU Peniual jajan paling dekat dengan mushola, bolak-
memanggu! karung, hilir mudik m engangkat beras,
8 8 | Z<j )ru z 7larya "Wanita
*****
Ini hari kedua Toni berniat menunggu Naela pulang
dari sekolahan, sejam sebelum bel berdentang Toni singgah
di warung dekat sekolah, ia baru sarapan setelah dhuhur,
w ajahnya sen g aja tak m em b elak an g i sekolah , sem bari
mengunyah ia selalu mengintip gerbang sekolah. Toni tak
malu dengan rambut panjangnya, ia cukup ikat dengan karet
gelang, tubuhnya berkaos hitam, celana jeans sobek dilutut.
Usai makan Toni m emilih duduk di trotoar sebrang
jalan, di bawah rindang pohon asam seperti hari sebelum
nya. Udara yang terhirup bercam pur debu jalanan, suara
bising kendaraan selalu terdengar, hilir mudik kendaraan
m eng isi tatap an . Toni sudi m enu nggu, duduk lama
sendirian di pinggir jalan demi Naela seorang.
Tak ada jam tangan, jika gusar ia kembali ke warung
menilik jam, sembari menunggu Toni mainkan batu menulis
di jalan. Toni akan serahkan surat yang tlah lama ia buat, ia
bungkus dengan p lastik hitam , terciu m harum , terjag3
kesucian tanpa sedikitpun tersentuh orang, begitu berat To
ingin berikan, ada rasa tak patut, tak pantas, tapi hati tak
kuat m em endam p erasaan , Toni tak in g in lebih lart*a
menyimpan, Toni tak ingin termakan waktu menyiksa d*rl
~Ma'mm Affany |
T e r ja w a (j
ssalam u 'alaiku m Wr Wb
©
— Satu %ef)ahaqiaan ^Perempuan —
©
— I&odohf —
R
ik a d an N a e la ta k m en u n g g u w a k tu la m a ,
berteman Aziza mereka berangkat, kebetulan esok
hari jum'at, hari libur pondok pesantren. Sebelum
tinggalkan pondok Rika sempat singgah di kamar Naela,
sempat m elihat betapa bersihnya kam ar, betapa harum
mawar merebak penuh di sudut-sudut terkecil kamar. Rika
duduk di atas ranjang yang entah berapa kali setiap hari
sprei diganti, ia raba dengan jemarinya dasar ranjang, halus
terasa, tak sengaja Rika ingin memangku bantal, tampak tiga
surat Toni tersimpan di bawahnya, Rika bergegas kembalikan
bantal ke tempatnya.
Saat Naela berhias Aziza menemani, dari cermin Rika
tak sanggup berkedip saat gelungan rambut Naela dibuka,
Perlahan terjatuh bak kain sutra, lurus hitam m enyebar
tutupi ten gkukn ya yang tak p ern ah tersen tu h tan g an
rang. Saat melabur bedak Naela begitu hati-hati, ia perhati-
kan setiap sudut matanya, bibirnya ia poles dengan lips ice,
'kulurn sejenak, terbiaslah kemilau bening seberkas cahaya.
122 | 2g Juz TJarja TVanita
Rika mendekat, ia berdiri di samping Naela, menatap
wajahnya lewat cermin, “Berapa usiamu Naela?"
"D elapan belas tahun m ba'," Naela m elepas jarum
pentul dari gigitannya.
Begitu muda, begitu indah, begitu mulia, Aziza terus
menemaninya. Waktu berkerudung Naela tata rambut agar
tak sedikitpun menyembul keluar, agar kerudung menutup
dadanya. Sejenak Naela berdiri tegak, ia berusaha tersenyum
lepas, "Kita bawa berapa pakaian Za?"
"Satu stel saja Nae," Aziza sabar menunggu, Rika jadi
penonton.
N aela m em buka alm arin y a, ia m em ilih di antara
tumpukan baju.
"In i sudah aku p ilih kan N ae," A ziza perlihatkan
tasnya.
Naela dekati Aziza yang duduk di tebir ranjang, "Aku
bawa tasnya Za."
“Biar aku saja Nae," Aziza menolak.
Rika takjub, begitu baik Aziza pada Naela, dia yang
menyediakan, dia yang membawa, "Sudah Nae?"
"A lh am d u lillah . K ita b eran gk at M b a '," Naela
m engangguk.
Bertiga tak menunda keberangkatan, ingatan mereka
terbang melayang pada Toni seorang. Hari mulai teduh bak
dinaungi dedaunan, matahari sudah turuni tangganya, bus
ke Rajabasa mulai jarang, menunggu sedikit lama di tepi utara
jalan. Naela tak sedikitpun mengaduh, ia berdiri menungg0'
Rika berkali-kali melirik Naela, ia ingin mencontoh, kalau 13
ingat Toni entah kenapa ia merasa Toni memang tak pantas
untuk Naela, mungkin belum pantas, perbedaan di antaf
mereka begitu jauh jaraknya. Toni terhimpun dari sarip
kekerasan, Naela tercipta malaikatpun iri memandangnya-
sholat ia khusyu', jika berkata tak lebih dan tak kurar$
JA a'm un A ffany \ 1 2 $
Aziza undur diri, "M aaf jika banyak kata yang tidak
sopan dari Aziza, Aziza hanya katakan ini karena tak bisa
melihat Naela kecewa, tak sudi melihat Naela merana."
Sem purna rasa sesal dalam d iri Toni, ia bersalah,
bersalah, ia terus diliputi penyesalan dalam pembaringan, ia
hanya b isa diam m eratap, m enangis tanpa sanggup
menghapus, ia sudah sakiti hati Naela, sudah membuat luka,
Toni malu pada Naela, pada Aziza, pada Rika, pada dirinya
sendiri. Tak seharusnya ia berburuk sangka, tak seharusnya
ia mernaksa, seharusnya ia tahu siapa dirinya dan diri Naela
yang sesungguhnya.
Eko di luar kamar celingukan bingung melihat Naela
duduk di kursi m engusap-usap m atanya, Eko tak miliki
keberanian seperti Toni, Eko tak mampu bertanya, tapi dalam
hatinya penuh tanda tanya, kenapa Naela jadi seperti ini?
Ibu m endekat, m em eluk dari sam ping, "B o leh ibu tahu
kenapa Nae menangis?"
N aela menggeleng, "Naela baik-baik saja bu."
Malam tak sedikitpun bersuara, seisi rumah Eko hidup
dalam pertanyaan, dari kamar Toni Aziza keluar berjalan
cepat dekati Naela, "N ae..."
" I z a ..." Naela memeluk erat Aziza, seerat mungkin,
basah m atanya kilatkan pipi, bibirnya bergetar di pundak
A ziza, d alam tan gis N aela m engadu, "Apa Nae salah
menolaknya? A p a..."
"Kam u tidak salah N ae... tidak salah... sudah Nae...
Aziza terus dekat Naela.
"Aku takut..." Naela seperti anak kecil.
"Sudah Nae."
■ Fko
Ibu hanya melihat, tak sanggup lebih dekat, tapi
tak terima, ia masuk kamar hadapi Toni yang terbaring/
tarik kursi dekat kepala Toni, duduk dengan nafas tuf j
'M a'm unA ffany j 12$
naii<, "Kamu apakan Naela Ton?" Eko tak peduli ada tamu,
suaranya sedikit keras.
Rika berdiri, "Sudah Ko! Sudah malam."
Eko menampik Rika, "Kam u harusnya tahu diri Ton!
Harusnya kamu malu pada dirimu!"
"Eko!" Rika mencegah.
Tubuh lem ah Toni teru s m enerim a hinaan, ludah
perkataan menampar wajah.
"K alau dia bukan perem puan baik-baik, dia pasti
su d a h m elupakanm u, dia tak akan sudi m enjengukm u
malam-malam seperti ini," Eko ingin Toni sadar, "Dia akan
biarkan kamu sakit Ton, biarkan kamu m ati!"
Rika tak lagi m enahan, sudah terlan ju r, ia hanya
melihat, di luar semua mendengar.
"Kamu harusnya berterim akasih padanya, bersujud
di kakinya, bukan jadikan dia takut, jadikan dia menangis
tanpa obat."
Toni tak mampu membalas, ia memang jelas salah, Toni
terus mendengar meski seperti sayatan belati tumpul.
"Kalau kamu terus hidup seperti ini, aku malu berteman
denganmu, aku malu. Lebih baik aku panggil bapakmu untuk
menamparmu, untuk menyiram tubuhmu agar bangun," Eko
benar-benar tak sanggup menahan emosi.
Di luar Aziza menutup dua telinga Naela, mendekap
di dadanya, tapi Naela sayup-sayup kecil pasti mendengar
setiap kata terucap.
Ibu menunjuk satu kamar terbuka, Aziza ajak Naela
berjalan ke kamar, Naela hanya diam membisu, matanya tak
enti berair. Ini saat pertam a ia merasa sakit hatinya,
^'yakinkan orang teramat sulit, menolak cinta begitu pahit.
Na j9 tlC^Ur c^' P ang ku an Aziza, kerudungnya belum dibuka,
Nae]9 m engelaP~elap pipinya. Tak secuilpun Aziza ajak
e a bicara, Rika berdiri di daun pintu, ia baru tahu kenapa
(JO | Zg ')uz ’Harrja '}VaniUi
Naela selalu ada teman di sisinya, ia bukan wanita berhati
baja, ia wanita biasa yang bisa tumpahkan air mata.
R ika m end ekat ingin berkata, tapi m ata Aziza
isyaratkan untuk diam, untuk biarkan Naela tenangkan
hatinya. Naela baru melepas kerudungnya, ia peluk di dada,
ram butnya terbuka, ia mendongak menatap paras Aziza,
"Kita besok pagi pulang Za."
"Iya N ae..." Aziza menurut.
Kepala Naela Aziza pindah ke bantal, Naela belum
tidur, tapi tam pak lebih tenang, Aziza tinggalkan Naela
sendirian di kamar, ia temuai Rika di luar, Rika mengintip
Naela dari celah pintu.
"Biarkan Naela sendiri Mba'," Aziza memberitahu.
Rika menjauh, berdua duduk bersama di atas karpet
dekat TV, Rika khawatir, "Naela tidak apa-apa?"
"Ja n g a n in g atkan dia kejadian ta d i," Aziza
memberitahu.
Rika mengangguk, "Apa Naela marah?"
Aziza setengah tertawa, di balik kerudung senyum
sinis merekah, "Bukan Naela kalau bisa marah. Naela tak
pernah marah, tidak pernah, tidak bisa, paling hanya d iam ,
dia juga tidak banyak berbuat salah, dia contoh kami, tapi
dia tidak bisa dimarahi, apalagi dibentak, jangan sampai dia
dengar teriakan, dia pasti ketakutan, dia tidak pernah tahu
am arah, kalau sudah terlan ju r marah akan dia tulis di
agenda, kalaupun hatinya sakit, dia akan m enangis a g a r
lega."
Rika mendengarkan, ternyata ada wanita seperti N aela.
"Kalau ada orang yang memarahinya, lebih baik aku
yang mendengar/' Aziza tak rela Naela menangis.
"Kamu begitu sayang pada Naela," Rika heran.
"S e g a la kebaikannya tidak bisa aku b a la s ,
kesabarannya setiap malam menemaniku belajar, kadang
"Ma'mun A ffany | 1$1
gemas padanya, aku cubit dua pipinya, tapi dia ikhlas pipinya
jadi m ainan, yang penting baginya orang terd ekat bisa
bahagia."
Rika tertunduk.
"M ba' pasti kehabisan kata untuk bertanya, N aela
adalah tafsiran dari tiga hal, senyum an, kebaikan, dan
airmata perempuan."
132 | zyO uz'H aiya'H tanita
13
JA enjhifany —
A
d zan subuh tlah bertalu-talu, langit bagai rumah
ad zan yang berh am bu ran d ari satu surau ke
surau lain, tiupan angin dari kam ar terdengar
mencoba menerobos lubang dinding, kicau kecil buru
berganti terbasuh embun, bum i diam berm andika
ayam berk o ko k di kandang b erteriak lan tang ,
penghuni rumah Eko ke surau tertinggal Toni seorang.
Ia tak banyak tidur, fikirannya sedikitpun tak tenang,
di atas pembaringan ia hanya membuka tutup mata r a t a p i
n asib nya, k esa la h an Toni beg itu besar. la coba tarik
tubuhnya untuk duduk, ia coba pungut tenaga dari sisa
nyawa yang dimilikinya, ia sibak selimut, bergerak m e r a m b a t
menempel dinding, tinggalkan kasur lantai yang berminggU'
minggu m emenjarakannya.
Tak ada tu ju an selain kam ar m and i, ia ingin
mengambil wudlu. Toni hampir luruh terjatuh kala m e m b u k a
pintu, bahkan ia harus jongkok berw udlu di air embef'
tubuhnya setengah menggigil, ia kembali berjalan ke kamar
merapat dinding. Ia ingin mohon maaf pada Naela, hanya
"M a'm unA ffany | 1$ 5
©
— Seqefai A ir *Putik —
L
144 j 2<] Ouz 'Uarya 'W anita
Ki
f.46 | zgOuzTJartjaTVanita
Assalamu'alaikum
Untuk kakakku Toni Saputra
Naela Khasna
©
— M enjinjap € i M asjid •
T
oni berlabuh di terminal Kampung Rambutan.
Hari masih begitu gelap. Belum terdengar suara
subuh, hanya lampu dan secuil bising kendaraan
yang terdengar m engisi pekat asap udara term inal. Toni
pijakkan kaki di bumi, turuni bis Arimbi dari Merak. Toni
teliti sekelilingnya, bus-bus berhenti, secuil tukang ojek
keluyuran ham piri penum pang, tiap orang tam pak jalan
pasti bertu ju an, sedang Toni tak tahu ke m ana ia harus
hentikan langkahnya, ke mana ia harus akhiri jalannya. Toni
meridongak menatap langit tak berbintang, melirik lampu
tembak silaukan genangan air di lantai terminal.
Ia lihat mushola berhimpitan WC umum, ia b erjalan
mendekatinya. Toni baru tahu kalau buang air kecil mem-
bayar seribu, buang air besar seribu, mandi dua ribu. Pengak
bau ompol meruap, Toni geletakkan dua keping lima ratus
rupiah di atas meja.
Sesaat Toni kembali melihat sekeliling, belum terlalu
ram ai, belum padat, belum sesak. Toni duduk di tera s
m ushola, satu jam lagi waktu subuh datang, Toni tidur
"Ma'mun A ffan y j 1 J J
sem b ari duduk berbantal lutut yang dipeluk. Tak ada rasa
d in g in , hanya letih , d i sam p ing Toni beberap a tubuh
terg eletak tidur.
"Bang subuh!" entah marbot masjid atau tukang ojek
inenyenggol dengan badannya.
Toni angkat kepala, sam ar-sam ar term in al seolah
disulap pasar, m ulai banyak yang datang, berham buran
berteriak, tukang ojek m ulai berjejer, ibu-ibu memanggul
gorengan di atas kepalanya, Toni sholat berjama'ah, saat itu
yang ia m iliki hanya satu do'a, "Berikan petunjukm u ya
Allah."
Entah karena nekat atau terlalu berani Toni dekati satu
jama'ah berjaket kulit, jamnya kuning mengkilat, kumisnya
setengah lebat, ia baru usai berdoa'a, "Assalamu'alaikum..."
"W a'alaikum salam ..." Bapak berperut sedikit buncit
menjawab.
"Sudah lama Pak di Jakarta?" Toni basa-basi.
"Dua puluh tahun," singkat dan padat, "Kamu baru
datang?"
Toni mengangguk, "Baru dua jam ."
Lelaki itu tak lagi menanggapi atau bertanya, entah ia
sedang berfikir atau hanya menunggu waktu berjalan.
"Maaf pak, apa Bapak ada pekerjaan untuk saya?" Toni
tak canggung.
Lelaki itu sinis, "Saya baru dipecat."
Toni tahan nafasnya, tak lama Toni pergi tinggalkan
mushola, Toni lihat terminal sudah mendekati wujud aslinya,
bukan udara sejuk yang terhirup tapi kepulan asap. Ada
kernet yang m enepuk ek or angkot untuk m enarik
Penumpang, "Pekalongan! P ekalongan!" ada supir yang
kepalanya melongok keluar jendela angkot menghisap rokok,
ada yarig hanya meniup peluit di pintu keluar sambil menarik
uang.
1$8 | zg Juz TJarja 'Wanita
Jakarta, ia baru tahu wajah padatnya. Toni berjalan,
singgahi warung, bukan untuk makan, Toni selalu bertanya,
"Ada pekerjaan untuk saya?"
"Ga' ada mas," Ibu-ibu begitu mudah berpaling muka.
"C u ci p irin g ju ga tid ak ap a-ap a B u ," Toni ingin
menyambung hidup.
"G a' ada mas, sudah saya katakan tidak ad a," Ibu
sewot, alisnya hitam pekat.
Sepanjang warung yang ia temukan ia singgahi, dari
Kampung Rambutan ke arah Pasar Rebo, tak pernah ber
henti. Panas mulai terasa begitu garang, mobil di jalan seperti
merangkak, berjubel tak berjalan. Peluh Toni mengucur, ia
sampai di pasar Rebo, di bawah fly over Cijantung. Sudah
puluhan warung lebih ditanya, belum ada satupun yang
mengatakan "Ada" meski untuk satu hari saja.
Ada perbaikan jalan sebelum pasar Induk, Toni dekati
m andornya, b erh elm biru , m engaw asi asp al yang di-
muntahkan dari truk besar, "Apa pekerjanya masih kurang
pak?"
Mandor tak menjawab hanya menelisik sekujur tubuh
Toni.
"K e rja yang lain ju g a tid ak apa-apa p a k ," Toni
membuka topi hitamnya.
"G a' ada," singkat ia berikan sekejap tatapan dan
hembusan nafas panjang.
Toni hapus k erin g at dengan lengannya, kakipun
sudah terpanggang, uang di tangan menipis. Tiap malam
Toni singgah di m ushola, di m asjid, kadang ditendang
satpam sebelum adzan subu h d atan g, m andipun me-
numpang di masjid. Setiap hari Toni melakukannya. Han
terlewati, minggu pergi, Jakarta tak semudah dalam mimp1'
nya, untuk makan Toni menukar dengan tenaganya.
"Ma'mun A ffan y \
putih-
Baru kali ini Toni miliki kamar berkasur busa, bersprei
baru Toni sampai tak bisa tidur meski lelah, ia ingin nikmati
hidup baru. Ia ingat Bapak yang pasti di rumah sendirian,
pasti sedang dengarkan Radio dan m elam un, Toni ingat
tamparannya, air seember darinya. Toni berbaring menatap
langit-langit, baru satu hari selam a di Jakarta Toni bisa
berbaring nikmat, ia tak lagi berfikir besok makan apa meski
tak sepeserpun uang di sakunya.
"Toni!" malam berikutnya Toni dipanggil. Seperti biasa
Nenek melongok dari jendela belakang, tangan bergelang
emas keluar melambai.
Toni bangun, bergegas menghampiri, "Iya Bu," Toni
tak lagi memanggil Nenek.
"Ini untukm u, b elikan celana dan baju agar kamu
terlihat sed ik it rap i, sisan y a kam u am bil s a ja ," Ibu
memberikan amplop.
Entah berapa isinya, tapi itulah pertam a kali Toni
dapatkan uang di Jakarta. Toni menuruti kata Nenek, Toni
belikan baju dan celana menggantikan celana sobek di lutut
miliknya, Toni p ilih b aju w arna biru , alasann ya hanya
karena dulu waktu bertemu Naela dia memakai baju biru.
Sisanya masih banyak, Toni belikan emas satu gram sebagai
tabungan, sisanya Toni belikan kertas surat dan pena, Toni
ingin berkirim kabar.
Yang pertama Toni tulis untuk Bapak.
Assalamu 'alaikum
M aaf Pak kiranya Aku tiga bulan ini belum berkirim kabar,
Toni baru dapat pekerjaan dua minggu sebelum surat ini Aku tulis.
jadi tukang kebun pak di satu rumah orang kaya. Bapak masih
melarnun?
{6 4 | 2-9 'Hartja H lanila
Assalamu'alaikum
Bagaimana kabarmu Ko? Rika?
Aku di sini baru bekerja dua minggu, setelah beberapa bulan
menggantung makan pada warung tanpa uang, tak usah berfikir
bagaimana caranya, tidurpun aku terus berganti menggilir masjid.
Sekarang aku sudah jadi tukang kebun, kerjaanku memotong
rumput, memungut sampah, mencuci mobil, memberi makan ikan,
mencabut rumput liar, kadang belanja untuk majikan, yang aku
bisa hanya itu, tapi aku bersyukur menikmatinya.
Sudah tiga bulan aku tinggalkan Lampung, kapan menikah
Ko? Kamu juga kapan menikah Ka?
Sampai di sini dulu, aku ingin kalian tahu alamatku agar
terus bisa menjaga tali persahabatan yang tlah menjelma saudara
tanpa darah yang sama.
Wassalamu'alaikum.
A ssalam u'alaikum
N aela...
Kadang aku terpaku bisu dalam kalutan fikiran yang tak
kunjung ada jawaban, entah kenapa aku bertekad untuk merantau
kepulau sebrang, untuk siapa kakiku melangkah sebenarnya? Untuk
s ia p a jerihku? Pada siapa muara payahku? Demi Bapak, demi
teman, ataukah demi seseorang yang tlah merasuk dalam, yang
tlah tenggelam membaur dalam ingatan.
Rasanya sudah begitu lama Kakak tinggalkan Lampung,
tinggalkan Naela agar tak terganggu. Kakak yakin Naela dalam
seribu senyum tenang di sana, tak ada lagi yang menyelip datang
ke sekolah untuk mencari Naela, tak ada lagi yang nekat datang ke
Pondok menghadap Kyai untuk menemui.
Bagaimana kabar dirimu Naela? Rasa-rasanya kakakpun
terus terkungkung dalam pertanyaan kenapa harus menulis surat
untuk Naela, kenapa seolah m enjadi satu keharusan yang tak
sanggup ditinggalkan?
Apakah semua itu bermuara pada cinta? Entahlah... rasa
itu terus tertanam, terus mengakar menghujam, terus tersimpan rapi
dalam hati. Tapi tulisan yang ada dalam surat ini tak menyiratkan
untuk memaksarnu seperti dulu lagi. Surat ini sebuah kesyukuran
setelah letih dalam ketidakpastian, setelah berbulan-bulan hidup tak
iahu pangkal dan tujuan, kini kakak begitu bahagia mendapatkan
pekerjaan meski sebagai tukang kebun memotong rumput di taman.
Kalau teringat padamu Kakak selalu berdo'a untuk kembali
h’rsua meski tak berkata, entah kenapa kakak terus berharap meski
asa bertemu kini serasa semakin menjauh, semakin musnah tak tinggal
ib f) | zg 9uz T-tarya 'W anita
pengharapan. Aku sendiri tak tahu kapan lagi bisa kembali ke tanah
kelahiranku, mungkin aku menetap di sini atau aku mati di sini.
N aela...
Engkaulah keabadian untukku, enkaulah bayangan yang
terpasung difikiranku. Kau boleh mencela suratku, tapi inilah satu-
satunya tempat tuk curahkan semua isi hatiku. Di kertas aku bebas
merindu, aku bebas mencintai meski tak terbalas, meski kerinduan
yang meradang tak kunjung ada penghabisan. Di Jakarta setiap
malam aku duduk di tepi kolam ikan, aku utus satu bintang di
langit untuk terus melihatmu agar aku bisa bahagia menatapmu
meksi sebatas bayang senyummu.
Aku selipkan fotoku di surat ini, entah untuk kau simpan,
kau buang, atau kau robek sebelum terpampang. Aku ingin membalas
budi baikmu, tapi yang ku mampu hanya selembar foto ini, mungkin
tak sepadan, tapi memang hanya ini yang bisa aku sampaikan.
Aku yakin, semua jalanku tlah tertolong oleh janjimu yang akan
mendo'aku, tlah tertolong perhatian yang tak kusadari adanya
darimu. Naela, aku buta akan nasib, tapi do'amu tlah membuka
telinga nasib agar dengarkan rintihanku.
Dalam hati kakak tak meminta balasan, ade' sudah membaca
surat ini satu kebahagiaan, jika ade' simpan setelahnya kakak seolah
dapatkan sanjungan.
N aela...
Bagiku kamu wanita mulia yang harus aku puja, aku hormati,
karena dengan kerendahan hati kamu masih berkenan menjenguk
kala aku sakit, memberikan nasehat kala aku berniat pergi. Aku
berharap satu hari bisa berjumpa denganmu. Satu waktu aku ingin
mengucap syukur terimakasih padamu, engkaulah satu-satunya
cermin hidup abadi dalam hati yang kumiliki.
©
TAenjawah ftjnefu
H
a ri-h a ri Toni m u lai b erg a n ti, Toni tak lagi
menjadi tukang kebun, Toni diminta membantu
di percetakan milik keluarga Kakek Hamid. Dari
rumah tak jauh, cukup sepuluh m enit jalan kaki. M eski
sebagai pengelem Toni sudah senang, ia hanya duduk,
menerima tumpukan buku, mengelem tumpukan kertas agar
buku kuat, suara desing m esin cetak jad i m usik, kertas
berhamburan sudah menjadi pemandangan.
Jika ada buku rusak Toni boleh bawa pulang, apalagi
Toni tinggal di keluarga pak Hamid, ia dianggap memiliki
kedudukan lebih. Kadang buku yang dibawa buku islami
Penyejuk hati, kadang buku cerita, kadang buku bacaan
r*ngan untuk remaja.
Kalau hari minggu Toni masih menjadi tukang kebun
dari pagi sampai siang, tak lupa Nenek memanggilnya dari
jendela, "Toni!"
Toni akan tinggalkan gunting rum put berlari, "Iya
i6S |Zg9uz'Uarija'Wanita
"B e lik a n obat untuk bapak, pake m otor in i," ibu
julurkan tangan dari lubang jendela memberi kunci motor
H onda.
"Baik Bu," Toni menangguk.
Sebelum subuh Toni sudah berangkat ke masjid seperti
N enek, Toni sudah tahu apa itu tah aju d . K alau subuh
terlepas, Toni akan belajar m engaji pada Nenek. Awalnya
bukan Nenek yang mengajak.
Satu hari selepas subuh nenek beranjak dari duduk,
hendak turuni tangga masjid Toni berlari mendekat, "Ibu."
"Iya Ton," Ibu berbalik.
"Boleh Toni minta tolong," Toni merasa Nenek sudah
menjadi bagian hidupnya.
"Katakan saja," Nenek pakai kacamatanya.
"Ajari Toni mengaji Bu," Toni tak malu.
"Kam u belum bisa?" Nenek heran.
"Sam a sekali belu m ," Toni tak tertunduk, pecinya
sedikit miring.
N enek m elih at kein ginan kuat pada Toni, Nenek
menyanggupi. Setiap hari selepas subuh Nenek bersandar
tiang mengajar Toni beralas sajadah berkaca mata, di tangan
kanan N enek rotan kecil, kalau Toni salah Nenek pukul,
"Yang benar!"
Toni ingin bisa m embaca Q ur'an pem berian Naela,
Toni ingin menikmatinya seperti orang lain yang sanggup
membaca. Toni yakin pemberian Naela bukan untuk dilihat,
dipajang, disimpan, tapi untuk dibaca, untuk dilantunkan
d en gan suara indah. Jik a isya u sai, Toni sendirian
mengulang bacaannya, di masjid seorang diri, Toni hanya
ingin bisa m em baca. Usai belajar Toni lirik jam dinding
masjid, setengah sembilan tepat, hampir satu jam ia duduk
di atas sajadah membaca ayat-ayat suci kalam Ilahi.
"Ma'mun Affany | lf)$
Assalamu'alaikum
Ini Rika Ton, Eko hanya m enyum bang pesan, katanya
tulisannya jelek.
A h... rasanya aku tidak m enyangka kau bisa bekerja di
Jakarta, kata orang lama di Jakarta akan susah pulangnya, tapi
aku harap kau jangan seperti itu Ton. Kita di sini ingin sekali kembali
berkumpul, kata Eko ada jag oa n ja la n baru, dia pen asaran
denganmu.
Tapi lupakan itu Ton! Kau sudah mulai temukan satu dunia
kecil di sana.
Kau pasti ingat Aziza ? Dia pernah datang ke rumahku, hanya
bermain, dia menginap satu malam, dia tanya tentangmu, aku tanya
Naela, dia selalu menjawab baik-baik saja. Kau pasti tidak akan
lupa Naela.
Pesan Eko, jaga kesehatanmu, jangan sakit lagi seperti dulu.
©
— Sebatas %ota —
R
asan y a m im pi bisa in jak k an kaki k em b ali di
pelabuhan Bakauheni, melihat laut lepas bertabur
buih kecil, perh atikan di ujung bukit lam bang
Lampung seolah mahkota di atas kepala penari, terbayang
seketika Rika, Eko, Naela, Aziza, tak lupa Bapaknya, dua
tahun ia tak hadir di hadapan mereka, mungkin semuanya
tlah berubah, sem uanya seakan m enjadi sosok baru di
matanya.
Lewati Kalianda berdesir hatinya, melongok wajahnya
ke sisi kanan, m em andang satu ja la n m asuk, in gatkan
kenangan bersama Eko naik truk bersama, terbayang Naela
Khasna, ia ada di dalam sana, ia ada di ujung jalan, di dalam
sebuah bilik pesantren, di balik lindungan sang Kyai. Toni
tak berh enti, ia in gin b ertem u R ika, Eko, dan Bapak.
Dilihatnya matahari yang terus merangkak naik, diliriknya
jalan berkelok, sebentar lagi ia akan sampai.
Bibir Toni m enyungging senyum m elih at deretan
rumah, warung yang dulu Toni jadikan tem pat sarapan,
ternPatnya berhutang, tak ada yang menyapa Toni, semua
I8 0 |ZCj Juz T-tarcja 'W anita
seperti m elihat orang asing dari kota, di punggung Toni
m elekat tas, di depan ru m ah Eko Toni m engetuk,
"Assalamu'alaikum.
"W a'alaiku m salam ..." Eko sendiri yang menjawab,
Toni tak pernah lupa suara itu.
Saat m embuka pintu Eko terkunci bisu, ia terpaku
berdiri, Eko bersarung, berkaos hitam, rambutnya belum
disampo, di depannya seorang yang akrab di kepalanya, ia
tak akan pernah lupa orang yang berdiri di hadapannya,
tapi Eko tak percaya, baju toni putih rapi terlipat lengannya
tiga kali, jam tangan berwarna perak melilit di pergelangan
kiri, celana kainnya tin ggalkan garis setrika, wajahnya
bersih, ram butnya berm inyak, tak m ungkin rasanya Toni
menjelma menjadi orang yang ada di matanya.
"Gimana kabarmu Ko?" Toni menyapa, dijatuhkan tas
dari punggungnya.
Eko tersenyum, "Apa aku bermimpi?"
"Tidak Ko, ini tem anm u..."
"Yang dulu angkat batu bersamaku?" Eko sangsi.
Toni mengangguk, "Aku Toni Ko."
"Ibu! Bapak!" Eko seperti melihat calon istri, begitu
sumringah wajahnya, ia panggil Ibu dan Bapaknya, "Ibu!
Bapak!" I
Ibu berlari, "Ada apa Ko? Kok kamu teriak-teriak?
Ibu selipkan ujung sarung, Bapak menyusul.
"Lihat siapa yang datang?" Eko menunjuk.
Ibu Bapak mengingat-ingat, melihat seseorang berdin
senyum di depannya, Ibu ingat, "Toni?"
Toni m engangguk.
"Ya Allah nak," Ibu peluk Toni, lupa tangan n ya bas
dari kamar mandi.
Toni salami Bapak.
"M asuk Ton, duduk," Ibu mempersilahkan.
'Ma'munAffany \ iB l
G
emuruh ombak menghempas dinding pelabuhan
te rd e n g a r n y a rin g , a n g in b e rtiu p kibarkan
ujung baju, h antarkan p ercikan lau t menerpa
wajah penunggu kapal merapat. Laut tampak hitam di awal
m alam, adzan Isya seolah menem bus batas-batas di atas
hamparan air laut, sorot lampu dari mercusuar menerobos
kegelapan, di atas jem batan penghubung pelabuhan dan
kapal Toni berteman Eko memandang jauh ke pulau Jawa
tempat Naela kini berada.
Eko berdiri tegak m enyandar tiang, Toni setengah
bungkuk duduk di pagar, ia tak tahu arah, tak pasti a l a m a t ,
merambah Kota Kediri tak pernah, tapi secuilpun tak ada
kata m undur meski selangkah ke belakang, ia tak tahu
bisikan apa yang meracuni dirinya, tapi hati dan nurani tla
sepakat tuk mencari Naela Khasna. J
"Kau masih tetap akan pergi Ton?" Eko ragu, kapal
tampak mulai merapat.
Toni mengangguk, "Aku mohon do'anya Ko."
JAa'mun A ffa ry | 1 tfi
1 Lelah sekali
'Ma'mun Affany \ ZOi
■ 19 •
y 11111
— K erudunj —
T
oni terus berjalan seolah susuri rawa-rawa, jalan
gelap, hanya secuil cahaya terpendar di beberapa
tepi jalan becek. Jalan cukup untuk satu mobil,
namun beralas batu berlum ur tanah tak menentu. Rintik
terus berguguran bak salju, dingin semakin menusuk, sekali
angin berhem bus tubuh m engkerut. Tak ada orang lalu-
lalang, tak ada yang berjalan, sunyi senyap berisi derik
jangkrik di setiap rongga himpitan rumah.
Di hati tlah terh u n jam nam a N aela, aral tak ter-
pandang, ia ingin temukan, ingin melihat, ingin bertemu,
ingin mengucap terimakasih, dan ingin bertanya mengapa
Naela seolah bersembunyi, menjauh dari segalanya. Namun
ja la n yang Toni pijak tak bertu ju an , tum pul, buntu,
berm uara pada m ushola kecil berbedug drum minyak,
kentongannya bambu, ada tiga jama'ah duduk berkumpul
menunggu isya, Ibu-ibu bertasbih di balik sekat kain hijau-
Tak ada lagi jalan, Toni berhenti di bawah pancaran
lampu, menggantung di tiang listrik, jika menengadah yang
'Ma'mun Affary \ 20$
burung. Lama Toni berjalan tapi tak jua tem ukan ujung.
T i b a - t i b a ada Bapak pembawa em ber pengumpul getah, ia
niendekat, "Assalamu'alaikum."
"W a'alaikum salam ..." Bapak menoleh ke belakang.
"Misi pak, apa ada pondok pesantren di ujung sana,"
Toni menunjuk ke selatan.
Bapak berdiri, "M asih jauh mas, terus saja ikuti jalan
ini, nanti mas temukan pondok pesantren."
Tersenyum Toni mendengar, kata Nuna benar, rasanya
Naela ada di depan mata, semangat kembali kobarkan bara
lesu tubuhnya.
Toni lanjutkan jalannya, terus berjalan lewati semak,
terhimpit pohon karet. Entah sudah berapa jam ia berjalan,
matahari sudah mendaki, tubuh mulai hangat, saat hutan
habis tampak di mata satu pondok terbangun dari kayu,
dikelilingi pagar bambu, masjid di tengahnya memangku
kubah perak mengkilat, santriwati berjalan mondar-mandir
tanpa henti, ternyata ada pondok di dalam tempat sunyi.
Jemuran bersembunyi belakang asrama, Toni teringat waktu
pertama kali Naela berikan air putih padanya, Toni terpaku
menatap, entah bagaimana ia bisa sampai di tempat yang
sekarang ia pijak, mimpipun tak pernah, bayangpun tak
Sanggup, semua yang tinggal berkerudung kecuali beberapa
Penjaga. Toni tu runkan lip atan celan a, b erjalan lew ati
gerbang bak gapura, dalam h ati Toni m engu cap,
^ism illahirrahm anirrahim..
“Assalamu'alaikum..." Toni coba bertanya dengan satu
Santriwati, "Bisa bertem u..."
212 |Zg Juz T-tarja 'KJanita
Tapi kata-kata Toni langsung di potong, "Ke sana
rumah bu N yai." '
Toni m elihat satu rumah, pintunya terbuka, beral
tan ah , d au n je n d e la di sam p ing m engepak mernbuk S
atapnya rendah, tiangnya bundar tak rapi seolah poho”
terkelupas kulitnya. Toni berjalan mendekat, entah kenapa
semua santriwati memusat pandang padanya, semua pasang
m ata m en g ik u ti lan g kah Toni, Toni beru sah a tenang
berjalan, pintu diketuk, "Assalam u'alaikum ..."
Tak lama Ibu berjubah m engham piri, kerudungnya
sam p ai p eru t, dua p u ndaknya secu ilp u n tak tampak,
"W a'alaikum salam ... M asuk."
Toni dipersilahkan duduk di kursi bambu menghadap
meja dari akar, entah mengapa Toni merasa aneh, ia belum
pernah rasakan antara ketakutan dan kekhawatiran.
"Ada maksud apa kemari kalau boleh Ibu tahu?" Ibu
Nyai tersenyum.
Ram ah sekali terdengar, Toni tak sungkan, tapi tak
bisa bergerak banyak, Toni seolah dipaksa menunduk, Saya
ingin bertem u salah satu santriw ati."
"Siapa namanya?" bu Nyai duduknya sedikitpun tak
bergerak.
"N aela bu, N aela K hasna," Toni m enjawab, tasnya
diletakkan di samping kaki kiri.
"Kam u dari mana asalnya?"
"Lam p ung."
"Ada hubungan apa dengan Naela?"
Terdiam Toni tak mampu menjawab, berfikir sejenak/
"Saya bukan saudaranya, bukan kekasihnya, saya hanya
berteman dengan Naela."
"Apa mas ini benar hanya teman sampai rela mencari
ke tempat seperti ini," ibu tak memaksa, tapi perlahan Ibu
ingin tahu.
‘M a 'm u nA ffa ny | 2 ( 5
•— Ada 'Rpqu —
B
ulan m enggantung di langit terkepung serpihan
bin tan g -g em in tan g m engetuk m alam , p u saran
langit terselubung di balik hitam, gumpalan awan
bak iklan di altar langit, cahaya remangkan ruang meredam
hening dunia, semua menyatu di dua mata, di hati Naela
Khasna yang duduk sendiri di kolong dunia, merenung diam
di teras asram a m enerop on g b ilik -b ilik an gk asa, bulu
lentiknya mengedip kala angin bertiup, riuh pohon karet
membahana seketika.
Berjaket hitam dagu Naela terpangku dua lututnya,
ia terus pandangi langit menikmati lukisan wajah Toni di
angkasa. Kadang Naela tersenyum mengingat dahulu kak
Toni ditolaknya, tapi merindu jua akhirnya kala perpisahan
tlah tergenggam erat di hatinya. Ia tak tahu rindu, tak tahu
keinginan untuk bertemu, semua perasaan yang mengajari-
nya. N aela tak tahu apa h akikat cin ta, nam un kala
terbungkus, terbius, Naela tak bisa pungkiri bahwa cinta
mampu buat b ib ir m enyungging senyum tanpa alasan,
2 (8 |Zq Juz 7-(arja % /emik
basahi mata tanpa penderitaan.
Naela sendiri bertanya-tanya sejak kapan ia rnengagy^
cinta pada kak Toni, ia ingat dulu kak Toni begitu kumal
datang melempar batu. Setiap malam Naela sebatas membuartg
keinginan berjumpa pada bulan, pada bintang, pada suara
bisikan agar kak Toni nan jauh terus mendengar.
" N a e la ..." dari belak an g guru N aela duduk
menghampiri, membawa selimut tutupkan punggungnya.
"M b a '..." Naela membuka dua lututny'a.
"Setelah Toni datang kamu sering sekali melamun/'
mba' Yunda merangkul dari samping.
"N ae sendiri tidak tah u ..." dua mata Naela meredup.
"Apa kamu sudah mantap memilihnya?"
"Bismillah mba'. Setiap Nae berdo'a kak Toni muncul,
teringat kak Toni," Naela tersenyum sendiri, "Padahal Nae
sudah berusaha membuangnya."
"Kenapa kamu berusaha membuangnya?" mba' Yunda
heran, ia benarkan selimut di punggung Naela.
"N ae sudah menolaknya saat kak Toni pertama kali
mengucap cinta, dulu. Nae saat itu yakin kak Toni menjauh,
tapi nya tanya meski Nae di sini kak Toni sanggup mencari,"
dalam hati Naela kagum, "Siapa yang tidak bahagia jika
dicintai dengan ikhlas tanpa tuntutan, dengan tulus tak
meminta balasan. Sekarang Naela ingin bisa bahagiakan kak
Toni."
"K am u tidak takut jika di sana kak Toni bertemu
wanita lain? Dekat dengan wanita lain? A tau..." mba' Y u n d a
ingin yang terbaik untuk Naela.
Naela justru sekali lagi senyum, "Naela percaya pada
kak Toni seperti kak Toni percaya pada Naela."
"Cintam u sudah mengakar N aela..."
"N aela ingin berikan yang terbaik untuk kak Toni/
Naela ingin cinta gilanya bisa Naela balas, bisa Naela b e r ik a n
M a'm un A ffany \ 2 1 $
Assalamu'alaikum...
Demi waktu yang tak pernah kembali, demi hari yang terus
berganti, sesunguhnya malam ini terasa malam penuh makna. Ade'
melihat gugusan bintang bertebaran bak payet tersebar di baju
kehormatan perempuan, kalaulah Ade' malaikat, Ade' rangkai satu-
persatu cahayanya agar terbentuk wajah kakak yang tak pernah
surut untuk berikan curahan rindu kasih sayang.
Ade' baru tahu kenapa orang benci pada perpisahan, kenapa
orang tak ingin merasakannya, ternyata perpisahan tinggalkan onak
dalam hati yang tak lain kerinduan. Ade' kangen kakak, Ade' ingin
terus kakak ada di sini temani Ade' pandangi langit bersama, Ade
ingin nikmati waktu selalu dalam mesra hidup yang tak lagi ada
batasnya.
Kak Toni...
Banyak laki-laki yang berusaha mengejar cinta, tapi hanya
menggantung kasih tanpa rumah tangga. Banyak laki-laki menge)ar
r "Ma 'mun A ffany j 2 2 .1
kakak rela tak memiliki, biarlah kakak hanya belajar pada Ade',
hanya m em andang kebahagaian A de', biarlah kakak hanya
ntengintip senyum Ade'. Kakak tak ingin Ade' menanggung malu di
Yemudian hari.
memberikan tiga."
"Pahami Naela agar ia lebih memahamimu. Kalau ada
apapun tentang Naela, jangan sungkan bertanya pada kita."
Ayah menambah, "Kamu bersiap mulai dari sekarang
Biar kita yang jem put Naela."
Toni bersyukur, tak m enyangka semuanya berlalU;
terjawab, semuanya terkabul. Mungkin berkat do'a Naela
yang khusyu', yang selalu panjatkan harapan. Toni salami
Ibu, m enciu m n ya, salam i Ayah N aela, bah kan Ayah
membalas dengan memeluk Toni Saputra.
~M a'rm m A ffany j 2 2 . J
menepuk pangkuannya.
Toni jatu hkan kepalanya di pangkuan N aela, dua
tangan Naela bermain membelai rambut Toni, tak kuasa Toni
menahan haru. Naela mengerti, Naela terus melakukannya,
meraba keningnya, m erajut tangan Toni agar m erasa tak
sendiri di dunia.
"M alam ini rasanya m im pi de', mimpi bisa ada di
pangkuan A de'."
"Ini kenyataan kak, cubit pipi Ade' kalau kakak tidak
percaya. Ade' pasti mengaduh," Naela ingin menghibur.
Toni tersenyum m enatap wajah istrinya, "Ade' mau
hidup di Jakarta?"
"Ade' ikut kakak saja," Naela singkat menjawab, "Tapi
sebelum berangkat pam it dulu ke Bapak. K ita sekalian
silatirahim."
"Lebih baik tidak usah D e'," Toni benar-benar sakit
hati.
"Jangan seperti itu Kak. Kita luangkan sedikit waktu,
mungkin satu jam saja, yang penting Bapak tahu di mana
kita," Naela telisik wajah Toni, kekecewaan masih terpancar,
"Kita minta do'a kak. Ade' juga pengin bertemu, kalau bisa
kita menginap semalam temani Bapak."
Terbius Toni dengan kata Naela, Toni menurut, luluh
keras hati yang menggumpal karang, luluh keras benci yang
menggumpal endapan. M alam itu Toni dan Naela hanya
ertukar cerita, tak lebih. Naela tak letih memangku sampai
Toni tertidur sendiri. Naela buka selimut tutupkan ke tubuh
SUarninya, Naela kecup kening Toni pertama kali, malam itu
^ aela tak henti pandangi w ajah Toni, ia ingin bisa terus
Z$ 6 | Z g 9uz U arija 'W anita
s
— Satu Itym afi teerdua —
T
oni dan Naela putuskan bersama berpindah tempat
ke Jakarta. Barang-barang dibawa secukupnya,
Toni minta Naela tak bawa semua baju, satu hari
akan kembali. Naela sudah bulat tekad kuat niat temani kak
Toni bagaimana pun keadaannya.
M inggu pertam a N aela dan Toni hidup num pang
berdua di belakang rumah pak Hamid, di ruangan 3 x 4 m,
semua barang menumpuk menjadi satu, Toni tetap mencari
kon trakan , sampai dapat satu rum ah kecil di antara satu
d ere t k o n t r a k a n di p a s a r m inggu, P o ltan g an gang 4 .
rumahnya menyatu dengan rumah lain, menempel seperti
barisan, teras hanya selebar tiga keramik, pintu satu, jendela
kaca besar tak berdaun cerminkan ruang tanpa kursi, kamar
hanya satu, Toni tata seperti yang Naela minta, kasur di
lantai beralas karpet biru. Toni belum sanggup beli dipan,
atau ranjang, baju masih ditumpuk tanpa almari, sajadah
selalu terhampar di samping kasur, kamar mandi menyatu
dengan WC, air mengucur dari kran ke ember merah besar,
242 | Z ) Juz T-tarya 'W anita
k a n s e c u il a ir w u d lu d i w a ja h s u a m in y a . K a la u Tori’
m em b u k a m ata N a e la su d ah b erm u k en a h rap i b ercah ay a
Waktu pertama kali Toni tak mau menjadi imam, Naela
jau h lebih fasih , lebih afd ol, tapi N aela jua yang
mengingatkan, "Kalau bukan Kakak imam Ade', siapa lag}
kak? Jangan merasa kecil Kak, Ade' akan benarkan kalau
Kakak salah," Naela meyakinkan.
Toni menurut, yang dibaca dalam sholat malam ayat-
ayat pendek, ujung juz amma, yang Toni sudah hafal, dalam
hati Naela trenyuh mendengar, suara kak Toni kadang serak
tapi tak rendah, m enyentuh hangat, N aela selalu ingat
dahulu kak Toni tak bisa sedikitpun membaca Qur'an.
Usai tahajud Naela selalu ajari Toni untuk memper-
b aik i bacaan n ya, Toni tahu d iri, tak m alu ia meminta,
Naelapun setiap malam sabar menuntun suaminya. Kadang
sebelum tidur Toni menghafal surat lain agar Naela tak bosan,
Naela selalu mendengarkan sedikitpun tak acuh.
"S a b b ih ism a rab b ik al a 'la , allad zi kholaqo wa
saw w a..." sebelum tidur sembari memangku kepala Naela
Toni menghafal.
"Fa sawwa k ak ..." Naela tersenyum.
Toni mengulang dari awal. Usai menghafal Naela pasti
bertanya pada Toni, "Besok pagi kakak mau sarapan apa?"
Tapi anehnya Toni tak pernah m enyebut m a s a k a n ,
mungkin Toni tak tahu nama, mungkin juga tak hafal. Toni
selalu jawab, "Apa aja."
Di sekolah TK Naela bawa tiga buku tulis s u a m i n y a ,
di waktu senggang Naela minta salah satu guru m e m b a c a
di tengah riuh anak kecil bermain, di tengah kepungan a n a k
kecil saling mengejar. Namanya Icha, "Kak Icha!" a n a k - a n a k
selalu m em an ggiln ya. D ia b ersem an g at w aktu s e l e s a i
membaca, "Bagus bu, aku tidak bosan membacanya, s u d a h
dua kali mengulang."
~Ma'mun A jfany j
"Boleh, tapi untuk apa?" baru kali ini Naela ingin ikU{
"Ade' ingin ketemu pak Prof," Naela mengingat tuliSari
yang ia ketik.
"Untuk apa?" Toni singkirkan beberapa rambut Naela
dari parasnya.
"Biar kakak jadi penulis," Naela tersenyum bercanda
"Ah... jangan bercanda D e'," Toni seolah mendengar
surga jatuh ke pangkuannya. Rasanya tak mungkin.
Naela kembangkan senyum khasnya, "Tapi Nae boleh
ikut kan?"
Toni m engangguk.
Naela pandang guratan wajah suaminya. Naela ingin
tinggikan martabatnya, Naela ingin orang tahu betapa ber-
harga suaminya, Naela ingin Toni bisa lupa dan tak pemah
tahu jika orang yang selalu menampar bukan Bapaknya.
Kadang Naela mengucap dalam canda, tapi sebenar-
nya tidak, ia memang ingin meyakinkan Toni yang sering
rendah diri, ia ingin yakink an jik a dirinya juga sangat
m encintainya. M elih at Toni m enutup m ata N aela tarik
selim ut agar tertu tu p tubuhnya, perlahan N aela kecup
keningnya basah, "Ade' sayang Kakak."
~Ma mun Affamj | 2 ]y i
— Naefa Trfenjaufi —
S
ubuh asyik berdendang m enggoyang pagi buta
yang belum membuka. Bulan hampir tak tampak,
tapi langit m asih hitam kelam , tak dingin, deru
kendaraan sudah mulai terdengar, lampu terang menembak
jalan, tiku-tikus di got berlarian, kucing tak m enerkam ,
hanya duduk di depan pagar memandang, tikusnya hitam
b esa r, bulunya kum uh b erselap u t air com beran. N aela
khusyu' berdo'a di m asjid, m emohon kem udahan dalam
hidupnya, ia ditemani tiga orang, ka' icha, dua lagi orang
tua su d ah bungkuk badannya, jama'ah laki-laki tak tampak
di depan tersekat kain hijab hijau.
Naela tak buka mukenahnya, hanya melipat sajadah,
"K a' Icha, boleh Nae pinjam uang?"
"Berapa Bu?" ka' Icha tetap memanggil Naela Ibu.
"Sepuluh ribu saja," Naela berharap itu cukup untuk
rnakan berdua.
"Nanti Ibu ke rumah saja," ka' Icha mempersilahkan.
"Alham dulillah," dalam hati Naela bersyukur, "N ae
Pulang dulu ka' Icha."
Z JZ |29 % z 'Narya TUanita
"Iya ga' papa," ka' Icha tahu kalau Toni pasti sudah
berdiri menunggu di dekat rak sandal.
N aela b e rja la n sed ik it cep at, tam pak suaminya
bersarung tanpa peci berdiri dekat pagar pandangi deretan
sandal, jika Naela sudah tem ukan sandal, mereka berdua
berjalan berdam pingan pulang, susuri gang-gang, lew ati
tempat pemotongan ayam Naela tutup hidungnya.
"Nanti Ade' jadi ikut?" Toni ingin memastikan.
"Jadi kak," Naela mengangguk.
Sejenak diam, nikmati gang-gang kecil.
"Pak Prof nanti di rumah atau pergi kak?" Naela ingin
tahu.
"Jam sembilan Bapak pergi."
Naela mengangguk.
"Ade' benar ingin bertemu pak Prof?" Toni tak yakin.
"Insya Allah kak," Naela menoleh ke kanan.
Dalam diri Toni hakikatnya terus bertanya "U ntuk
apa Naela bertem u pak Ham id? Ada keperluan apa? Tak
biasanya, selama hidup baru hari ini Naela meminta untuk
bertem u."
R um ah di depan m ata, Toni buka p intu r u m a h ,
persilahkan Naela masuk, ia langsung ke kamar, tak l e t a k -
kan sajadah, Naela langsung mencari tiga buku s u a m i n y a ,
mencari 130 halaman yang sudah diketik rapi, Naela s e c e p a t
kilat masukkan tas.
Toni lepas baju, digantung di balik pintu, m e lir ik
©
— sSelamat W a n j Taftun —
• 25 -
v .... 9
ssalam u 'ala ik u m Wr Wb
©
— Seolah 'Mimfii —
H
ari berlalu, minggu berganti, bulan bertambah
Toni tak kunjung berubah, ia lebih banyak
diam, m enyendiri di kamar, meski kesedihan
perlahan meredup, tapi tampak sesuatu tersimpan dalam di
hatinya. Setiap sore Toni melihat kotak surat di depan rumah,
dipilih, yang ia tunggu hanya satu, surat dari Naela. Setiap
pagi Toni tak lebih m encoba m enghubungi, menjelang
magrib Toni sekali lagi mencoba, sebelum tidur Toni kembali
hubungi ingin dengarkan suara Naela Khasna.
Waktu lebaran Toni, Eko, dan Rika kembali sejenak ke
Lam pung, bertem u keluarga, bertem u Bapak yang tetap
seperti sebelum pergi, tak lam a Toni kembali ke Jakarta
bersam a Eko dan Rika. Toni tak jenguk m ertua, Toni tak
tahu sekarang ada di mana.
Sehari-hari Toni tetap mengirim cerita ke media masa,
semua ceritanya berujung pada Naela, selalu terselip pesan,
"Kabari aku akan keadaanmu Naela, aku selalu merindukan-
"Ma'munAffany | zSl
©
— Siapa D ia? —
//
a s sa la m u 'a la ik u m w arah m atu llah i
w a b a ra k a tu h ..." Toni m eng ak hiri bedah
bukunya, turun dari kursi kembali ke dekat
Eko.
"W a'alaikum salam warahm atullahi w abarakatuh..."
gemuruh dua ratusan santriwati membahana.
Pem bawa acara m enutup, Toni m asih larut dalam
ketidak percayaan akan apa yang ada di depan matanya, kini
Toni lurus segaris berhadapan dengan santriw ati mirip
dengan Naela, terpisah dua meter, dua bangku. Meski Toni
menatap, gadis tersebut tak membalas, ia tertunduk, sibuk
dengan pena dan buku agendanya. Segala perasaan di dada
Toni bercampur, ingin mendekat, ingin bicara empat mata,
ingin merajut jemarinya tuk bertanya, semua menjadi dawai
getar irama desis nafas jiwanya.
Di luar mulai redup, matahari perlahan mulai meng-
hilang, lampu di aula satu persatu dihidupk.an, saat acara
ditutup Toni berdiri ingin m endekati, tapi langkahnya
"Ma'mun Affany | z8ty
tak terkuak.
Toni paksa dirinya tenang, tapi tetap tak mampu, di
kamar mandi Toni lama termenung mengingat yang baru ia
lihat, bagaimana caranya memandang, caranya tersenyum,
caranya mainkan jari tak ada beda dengan Naela. Saat sholat
di kamar bersama, Toni berdo'a begitu lama, ia ingin Allah
beritahu siapa dia. Toni minta Eko membuka laptop, sembari
memangku dagu Toni putar foto kenangan bersama Naela,
di atas sajadah Toni tak bisa senyum , kelu m em andang
pergantian gambar istrinya.
Eko menggeleng melihat Toni lebih dari sepuluh menit
terdiam sendiri, dari luar kamar suara sendok, garpu, dan
piring beradu. Eko membuka secuil pintu mengintai, tampak
meja makan disiapkan, Eko tarik Toni dari lamunan, "Makan
Ton."
Toni berat hati tinggalkan laptopnya, Toni berjalan
sendiri, entah apa yang dilakukan Eko di kamar, tapi Eko
tak kunjung keluar. Toni tak perh atik an p irin g belum
tersedia, Toni duduk di kursi makan, satu nasi dikelilingi
lima macam lauk tersedia di meja, ikan kakap merah, ayam
bakar, urap dengan lalapan, sate ayam. Toni ingat, sate
n^akanan kesukaan N aela, tiba-tiba ada dua orang gadis
rnengantar piring, tengkurapkan piring di hadapan Toni.
ZtyZ | Zg 'Juz Harcja 'HJanila
- 28 •
— Oarujan Jvfenyeraf) —
D
ari jauh pelabuhan Bakauheni tampak bak pagar
m engh ad ang lau t, terik m enyengat kilaukan
perm ukaan lam baikan ombak, dua kapal ferry
merapat, lam bang kuning bumi Lampung terlihat seolah
kumpulan emas menggantung di bawah awan, penumpang
mulai bangun dari tidur, kapal hendak berlabuh melempar
sauh.
Toni dan Eko sandarkan tubuhnya di pagar, berdua
menatap diam tanah kelahiran, sudah hampir satu tahun
Toni tak kembali, tak pernah injakkan kaki, terbayang di
kepalanya suasana rumah, Bapak, ranjang tempatnya selalu
disiram, berkaos lengan panjang toni mendekapkan tangan,
semakin jauh lamunannya terbang semakin terbayang sosok
Naela seorang, tak sabar hati ingin tahu siapa Naela yang ia
temui di Sragen, m ungkin bukan istrinya, tapi semuanya
sama, jalannya yang lambat, caranya menunduk, lentiknya
mata, kata mesranya, hanya tanah asal yang berbeda.
"T u ru n T on ," Eko m enepuk bahu Toni s a d a r k a n
semua penumpang sudah berjejal di pintu keluar.
TAa'munAffany |Z ffl
Toni paling akhir, ia tatap jam di tangan, menunjuk
angka sepuluh, ia tak merasa punggung membawa tas, Topi
hijau Toni kenakan.
"K ita ke rumah dulu a ta u ..." Eko m em beri pilihan
sembari berjalan lewati jembatan besi.
"Kita ke rumah Naela," Toni gelengkan kepala, ia tak
peduli satu perempuan menabrak pundaknya.
Bis jurusan Rajabasa dipilih, Toni dan Eko duduk tepat
di belakang supir, waktu bis mulai berjalan m ata Toni tak
lepas dari kaca, selalu m elekat pandangi tebing, deretan
pohon, pesisir pantai, naik turun jalan tak dirasa, yang
terbayang justru saat dulu bersama Naela ke Jakarta.
K adang Toni m eneguk sucuil air m inum , kadang
hanya m ainkan tutup b o to l, Eko lelap tertid u r, letih
berg elan yu t, kepala Eko ja tu h di pundak k iri Toni,
tangannya tetap berpegang pada tas di pangkuan, Toni tak
melepas kepala Eko, biarkan terlelap nyenyak, jika tikungan
tajam dilewati Eko terbangun, tak lama kembali tidur.
"K o," giliran Toni membangunkan, ia goyang tubuh
Eko.
Mata Eko mulai bergeliat sedikit membuka, terminal
Rajabasa begitu dekat, semua penumpang berdiri bersiap
turun.
Rumah Naela di jalan pramuka, sisi kanan jalan, sebelah
timur, pagarnya besi hitam, taman masih tampak rapi, pintu
besarnya tetap seperti dulu saat Toni datang untuk melamar
Naela, empat kursi dan satu meja bundar tak berpindah dari
teras beratap lampu terkurung lampion putih.
M atahari m ulai terh alan g aw an, h ilir m udik
kendaraan terdengar jelas, Toni buka topinya, Eko membisu
mengingat dahulu rumah kosong terkunci pagarnya. Berdua
lewati pagar, beberapa sandal terparkir rapi, dua sandal
perempuan, satu sandal japit.
300 | Z g 9uz "Uarja 'W anita
kacam atanya, "M alan g tak b isa d ito lak , an gan hanya
terbuang, kami sekeluarga kecelakaan."
"In n a lilla h ..." Toni mengucap.
"N aela waktu itu minta diantar ke Tanjung Karang,
dia ingin belikan baju untukmu, Mama tak pernah melihat
Naela sesemangat itu, dia ingin kamu terlihat rapi, terlihat
pantas, terlih at lebih tam pan. Kam i sekeluarga bahagia
melihatnya," Mama berusaha tersenyum, "Tapi waktu kami
pulang..." Mama tak bisa melanjutkan.
"Dua kaki Naela patah, Naela terkapar setengah tahun
di ran jan g..."
Toni menyela, "Kenapa Mama tidak..."
Papa menenangkan, "Dengarkan dulu Ton."
"Semua karena Naela, dia tidak ingin memberitahumu,
dia tidak ingin merepotkanmu. Setiap kali Mama ingin telfon
Naela menangis melarang, padahal dia sendiri tidak bisa
menahan rindunya, dia selalu ingin menemuimu, dia selalu
katakan 'N ae ingin ketemu kak Toni'," Mama berhenti.
Toni pejamkan mata tak kuasa mendengar.
"S e tia p h ari yang dia lak u kan m em baca buku
karanganmu, setiap waktu, tak lepas, yang menyela hanya
Qur'an, dia tak pernah bosan, tak pernah lelah. Waktu kamu
bedah buku di Lampung, Naela datang melihatmu dari jauh,
dia menangis bahagia melihatmu bicara di hadapan banyak
orang, M ama sendiri tak kuat m enahan pilu m endorong
Naela di kursi roda."
Toni tak bisa bicara.
"Naela sangat menyayangimu, dia begitu mencintai
mu," Mama ingin Toni tahu.
Toni tak mampu lagi membuka mulutnya.
"Waktu membaik dia ingin cepat kembali menemui
mu, dia berlatih berjalan, berlatih keras, tapi dia tersandung,
kepalanya keras terbentur, semua ingatannya hilang tak ada
3^6 | 2.1) Juz "Uartja 'Wanita
— Cinta 'Kedua —
P
ondok m enyala di tengah sawah, terang dalam
desakan gelap malam. Dari jalan utama pesantren
seolah bandara, tak ada kicauan burung karena tak
banyak ranting tempat bertengger, sejauh mata memandang
gelap tertan gk ap , hanya g em erlap b in tan g di angkasa
bertebaran m eng elilin gi bulan, sekali angin berhem bus
resakan u ju ng padi m em bun cah tubuh m enyingku p
kedinginan.
Bum i D aru ssa'ad ah b erg elo ra, setiap san triw ati
m enenteng bukunya, belajar di sudut gedung, di baw ah
lampu mercury yang di pasang seolah menggantung di atap
alam, kerudung putih terpakai rapi dengan secuil lipatan di
kening. Santriwati kecil menyelinap di sudut gedung, mereka
seolah kebesaran kerudung, jika mengantuk mereka duduk
menepi ke teras asrama menarik ujung kerudung di kening
menutup paras layunya.
U stadzah Ida berjalan m em belah halam an utam a,
mengawasi setiap santriwati yang membaca sembari bejalan,
kerudungnya hitam, jaketnya coklat tebal, kakinya berkaos
2>oS | zg 9uz 'Harja 'Wanita
"Die... hari ini dia datang ke sekolah Nae hanya untuk sebuah
surat, dia tak merasa lelah meski payah, tak merasa letih meski
perih, dia seakan membawa utuh perasaan ke hadirat Naela...
apakah dia cinta sejati Nae Die?"
Assalamu'alaikurn...
Sebelumnya saya haturkan ribuan terimakasih karena sudi
membantu saya. Saya sendiri sulit menjelaskan bagaimana cerita
ini bisa terjadi.
Naela bagi saya bukan sebatas istri yang hanya menemani,
yang hanya memasak, berikan senyum, berikan canda, namun ia
adalah bagian hidup yang sudah menjadi separuh nafas, segumpal
darah, sedetak denyut, sepenggal cerita bagi segala kejadian suka
ataupun duka.
Naela denganku dulu berjanji seiya sekata, pedih ditanggung
bersama, pavah ditanggung berdua, airmata saling mengusap, tangis
saling memeluk demi meredamnya, duka saling membelai dengarkan
keluhnya, tapi kini semua terpendam dalam kenyataan yang tak
pernah terfikir sebelumnya.
3/4 |2^Juz 'Harija Hlanita
Aku kirimkan sebuah surat sebagai pengantar kata cinta
dan sebuah foto dengan harapan ia bisa menerima sayang yang
kuulang dari pertama. Jangan berikan foto sebelum dia usai membaca
untaian kata yang kufikirkan sepanjang malam sembari membaris
do'a.
Aku berm unajat ia m enerima dan aku akan datang tuk
menikahinya.
Assalamu'alaikum...
Awal tak menitik, jalan tak bertujuan, tapi justru kenangan
sejenak yang membuat segalanya melayang untuk berniat kembali
mengenal, justru satu bayangan berkelebat yang membuat hati
berharap pertemuan kembali datang, justru seribu harapan yang
tak pasti membuat hati berdebar jika tersadar dari mimpi bertemu
dengan seorang yang berarti kebaikan.
Aku tersenyum sendiri jika berusaha tanpa lelah merebut ilusi
akan paras, senyuman, kelentikan, atau bahkan tatapan yang kamu
miliki. Mungkin aku terkesima, terpesona, terperangah, terkejut
takjub, tapi sejujurnya yang selalu menderu dalam lubuk hati adalah
rasa tenang, tentram, terasa terpercik embun saat melihat segenap
sikap yang kamu tunjukkan, saat menerima beberapa ungkapan
yang kamu bicarakan. Akupun tak mengerti, kenapa saat itu aku
bak sulaman di bawah jarum dan benang, bak kanvas di bawah
polesan warna dan kuas.
Aku sepenuhnya merasa tak berdaya melihat kelembutan
dalam setiap tingkah yang kamu lakukan. Cara menghidangkan
makanan, menjawab pertanyaan nama, bahkan cara mengangguk
perlahan bak mawar menunduk tersapu angin malam. Aku hanya
tersenyum dalam hati, tak bisa menampakkan meski perasaan tak
bisa mengelak gejolak hati bergemuruh di balik sejuta pertanyaan.
Ingin berbincang lama, tapi aku sadar, saat tak tepat, zvaktu masih
malu, namun justru pertemuan tanpa banyak kata yang aku alami
membuat bayangan tak mudah tersapu meski zvaktu terus bergulir
3^6 |Z<j 'Juz "tlarija HJanila
cep at, meski zaman meresap setiap episode kenangan.
Memang belum sedetikpun kita bersua sebagai teman, belum
berbincang sebagai sahabat, belum bersama sebagai dua insan yang
saling berharap untuk datang, aku pun belum terlalu banyak tahu
tentang dirimu. Aku tak tahu harus menulis apa dalam lintasan
penaku, namun cita-citaku untuk memiliki keluarga bahagia dipenuhi
suka di balik duka terasa mendarat, bersemayam, tersemat dalam
dirimu. Mungkin mataku telah dibutakan oleh pesona, mungkin ini
adalah kebutaan seorang lelaki yang belum banyak mengerti, tapi
inilah nuraniyangkumiliki, belum tertunjukarah diri telah menelusuri,
belum tergambar kebahagiaan diri telah berlari.
Aku memang bukan lelaki yang banyak wanita idamkan.
Aku bukan lelaki tampan, yang menghiasi justru kekurangan, yang
melabur di setiap tingkah justru tanpa kesopanan.
Itulah kenyataan dari orang sepertiku... aku mengatakan
dengan jujur dari keburukan yang aku miliki... jika kamu bersedia
menerima kelemahan dan kekurangan yang kumiliki, aku berharap
kamu bisa mendampingi sisa hidup yang akan aku jalani. Menemani
saat berjalan dipelataran taman, menemani memandang ikan menari
dalam kolam, menemani di waktu merasakan desiran ombak dan
tiupan angin menjeiang fajar.
sebahunya.
"Datanglah pada Naela untuk jelaskan semuanya.
Rika lama berfikir, TV dimatikan. Seketika m e n g g e l e n g
dua kali, "Tidak bisa Ko."
"Kenapa?"
"Ma 'mun fiffany j $Z1
"Yang kita hadapi tidak sama. Naela bukan seperti
dulu. Dulu Naela menolak karena belum bisa, masih harus
butuh waktu lama untuk menimbang, tapi sekarang..." Rika
sudah letih, "N aela punya sosok yang ia genggam dalam
hati, padahal sosok itu tak lain Toni sendiri."
Eko baru sadar, berdua kembali diam.
"Aku tak bisa melihat Toni seperti itu," Eko tak bisa
terus menahan iba.
"Kamu kira aku rela?"
Dua insan terjebak kebingungan seolah tak ada jalan
keluar.
Hari demi hari pergi, waktupun bergeser, Toni kian
lunglai tak berdaya kembali, hidupnya tak lepas dari satu
kamar, satu bayangan, satu impian, Naela Khasna. Ia tak
mungkin berpaling, seperti N aela yang terus ada untuk
dirinya.
Satu h ari ada telp on m asuk dari Id a, Eko yang
menerima, "Assalamu'alaikum..."
" W a'alaikumsalam..."
"Bisa bicara dengan kak Toni?"
"Sebentar," Eko buka pintu kamar, dekati Toni yang
terbaring m iring menatap dinding, "Ada telpon Ton, dari
Ida," Eko berikan handphone.
Tubuh Toni d iseret duduk, Toni sudah putus
p en gh arapan , tak ban yak sem an g at tersim p an ,
"Assalamu'alaikum," lirih suara Toni keluar.
"Naela K ak ..."
Belum tuntas Ida bicara Toni m enyela, "D ia mau
menerimaku?"
"Bukan Kak."
"Dia mau bicara denganku?"
"Tidak Kak," sejenak diam, "Naela akan pulang tanggal
empat dengan kereta Lodaya dari stasiun Balapan."
322 |29 'juz Uarya HJanita
Toni tak mengerti, "Maksud kamu apa?"
"K a k a k bisa pulang b ersam an y a, m ungkin dari
kebersamaan di perjalanan Naela bisa menerima, setidaknya
Kakak bisa kembali berbincang dengan Naela."
Toni masih tak yakin, "D ia pasti acuh padaku."
"Jangan seperti itu Kak, tidak baik. Naela di sini selalu
ingin bertemu suami yang dulu selalu mengejarnya, yang
dulu mencintainya dengan cara yang sempurna. Kalau Kakak
tak punya keyakinan bagaimana cinta itu kembali datang.
Naela sendiri begitu yakin, kenapa Kakak lemas sekarang?"
"Aku sudah lelah, lebih baik aku m enunggu..."
"Sampai kapan Kak? Sampai kapan? Naela di sini tidak
p ern ah lelah m em baca ag en d an y a, beru sah a terus
m engingat," sejenak resak nafas terdengar, "Kakak jangan
ingat masa lalu, Naela sudah lupa akan itu, anggap ini hidup
baru. Jika Naela sadar, ia akan lebih dalam tanamkan nama
Kakak dalam hatinya, tak akan nada lagi yang sanggup
memisahkan kecuali Allah semata."
Toni diam.
Ida tak m endapatkan balasan perkataan, "Kak, ini
kesempatan terbaik yang Kakak miliki, kalau bukan sekarang
Naela akan selamanya hidup sendiri demi kesucian kisahnya,
dan Kakak akan seterusnya tak bisa bersua dengan Naela
walau sedetik saja."
"P ik irk a n b aik -b aik K ak. Tanggal em pat, kereta
Lodaya, Stasiun Balapan."
Telpon ditutup, Toni duduk termenung sendiri.
"Bagaim ana Ton?" Eko ingin tahu.
Toni tak menjawab, memeluk erat bantal, menimang-
n im ang. Ia raih foto N aela di m eja, ia tatap sedalam -
dalam nya, diraba parasnya, didekap sem bari bayangkan
rekah senyum m esranya. Toni m engenang waktu Naela
membalut luka kaki Eko di antara denyut irama hujan.
r
|
~Ma'mun Affary 323
©
— £o /a y a —
K
e b eran g k atan kereta Lodaya pukul 08:30, dalam
perkiraan Naela akan datang satu jam sebelum
nya, Toni sudah bersiap dari pukul tujuh tepat.
Berbaju batik coklat bercelana hitam, sandal coklat mu da, tas
punggung sedikit mengembung, berdiri di teras stasiun Solo
Balapan selalu pandangi pintu masuk di sisi timur. Pagi itu
langit tak terlalu cerah, sedikit mendung, jam 07:45 masih
redup, aspal tak kering, banyak air menggenang di sisi cekung.
Toni duduk di undakan teras, tak henti-henti periksa
waktu di tangan. Ia ingat pesan Eko dan Rika, "Jangan
tam pakkan wajah muram! Berusahalah untuk tersenyum
meski hati berduka".
Riuh penumpang mulai tampak, taxi-taxi berdatang-
an, ibu -ibu b e rk acam ata jen g k o l pandangi jad w al ke
b eran gk atan , kuli an gk u t b e rjejer b erd iri m encari
penumpang repot dengan barang, jam delapan tepat Naela
tak kunjung datang.
Sejenak Toni berdiri, belum tampak di pintu s o s o k
gadis yang ditunggu, hatinya mulai bertanya m a c a m - m a c a m ,
TAti'mun A ffan y \
belum hilang.
"Kita pindah U stadz..." Naela meminta.
Toni mengangguk, dua tas Naela Toni bawa, kebetulan
banyak bangku kosong, Toni ikuti langkah Naela, kursi 9A
dan 9B d ip ilih . N aela duduk dengan k erin g at dingin
menyembul dari wajahnya, Toni berikan sebungkus tisu,
"Kamu berkeringat N ae..."
Naela menerima tisu pemberian, Toni buka air min
eral, "Minum dulu."
Sedikit gugup Naela pegang sedotan.
"Nae masih takut?"
Naela m engangguk dua kali, pipinya m erah kelam.
D alam h ati Toni in gin m enen an gkan. D ulu jik a N aela
k etaku tan sela lu b erlin d u n g dalam dekapan seraya
sembunyikan wajahnya dalam dada. Naela depan Toni hanya
mengangkat dua kakinya ke atas kursi, memeluk lututnya
sendiri seraya letak k an dagu m elem par lam unan, dari
samping tampak sebulir air mengalir dari matanya, tak lama
Naela mengusap sebelum jatuh dari dagunya.
"Kenapa Nae menangis?" Toni ingin tahu.
"M m m ..." Naela berusaha tersenyum sejenak, "Maaf
Ustadz, saya teringat seseorang."
"Boleh tahu siapa?"
"Suam iku," Naela memulai, "Aku baca dalam agenda
dia selalu m em eluk erat kalau Nae m enangis, membelai
rambut Nae, menghapus air mata Nae, mengecup ubun Nae.
Nae merindukan itu, Nae kangen dengannya."
Toni tak bisa menahan kembang haru biru hatinya,
m atanya b erk aca, tergenan g di tepian m ata, saat akan
terjatuh Toni berpaling membiarkan menetes jatuh jauh dari
pandangan Naela.
Namun N aela m elihatnya, gemuruh kereta api tak
sanggup simpan rahasia, "Ustadz kenapa?"
JAa 'mun A ffany | 3 2 ^
"Ma'mun A ffary \ 3 3 *
32
— 2?ersyarai
B
enar kata orang, jodoh tidak bisa diraba, ia rahasia
yang paling tersembunyi, ia tidak diketahui tapi
mengawasi setiap pelaku yang mendekati, ia ada
bukan untuk disibak, tapi disyukuri saat tiba-tiba meng-
ham piri. Banyak yang berkirim surat tahunan, menelfon
harian, tapi jika jodoh tak bertuah segalanya patah putus
pengharapan. Banyak yang bertanya "Kenapa?" tapi pada
waktunya ia akan nikmati jua akhirnya.
Naela dan Toni ada bukan dalam drama atau dilema,
mereka ada dalam langkah takdir tak terduga. Naela dan
Toni menyatu m eski bak bilangan pecahan logam. Naela
sudah katakan tak pemah dan tak akan mencinta, tapi Toni
dalam hati akan lakukan sebaliknya.
Begitu cepat sampai semua teman Naela di pondok
Darussa'adah tak ada yang mengetahui, hanya ustadzah Ida.
Wanita memang butuh pelindung agar tak merasa takut,
bu tuh pen jaga ag ar tetap b isa n ikm ati dunia, butuh
pendamping agar tak sepi hadapi alam nyata.
~Ma'mun Affany j 3 33
Eko dan Rika tak tampakkan diri sejak pertemuan di
kereta, m ereka sengaja m en g h ilan g. W aktu ijab qobul
diadakan di masjid A1 Mabrur dekat masjid Raya Bandung.
Terhitung hanya sepuluh orang yang m enyaksikan, Toni,
keluarga Neala beserta kerabat, Ida, semua berjalan teramat
singkat.
Toni berjas hitam berpeci hitam kemeja putih, Naela
berkerudung putih, kebaya biru tua, tak ada yang menghias,
semua tersaji sangat sederhana, waktu acara usai mereka
berdua langsung menuju Jakarta diantar supir dengan mobil
Baleno merah marun.
Naela waktu turun dari mobil terpaku berdiri melihat
rumah berpagar setinggi tubuh berwarna hitam, bertaman
kecil lengkap dengan kolam ikan berukuran 1 x 2 meter.
"Masuk N ae," Toni membuka pintu rumah, matahari
hampir turun tertelan bumi, kipas angin m enyala pelan,
Naela tak m elepas sandal berhak, suaranya m engetuk di
lantai saat berjalan, langkah kaki terbatasi kebaya. Naela
lewati raang tamu, pelan menatap sisinya, sofa putih, jendela
b e rtia ra i krem b erb an d u l angsa, jem a ri N aela m eraba
saksikan ruang luar di balik kaca.
Naela duduk di sofa menghadap Toni, "Kita tinggal di
sini?"
Toni mengangguk, "Ini rumah kita."
Naela secuilpuri tak senyum, Naela belum mengganti
b aju n ya, b a ru d ilep as kala adzan m agrib lan tan g
berkumandang. Naela bermukena, berdua sholat jama'ah di
kamar, Toni bersyukur bisa kembali bersama, tapi apa yang
dikatakan Naela jika tak rnencintai mulai terbukti.
Saat Toni m enju lu r tangan untuk d isalam i N aela
enggan, "M aaf Ustadz, jangan dulu."
"Kenapa De'? A p a..." Toni belum sadar.
334 | 2 9 On* "Harya 'W anita
tampak bingung.
"Ade' kenapa melamun?" Toni coba cairkan kebekuan.
"Nae ingat catatan di agenda, suamiku hampir setiap
pagi mengajak jalan bersama," Naela mengunyah sesuap nasi.
Derita Toni belum usai, waktu kosong Naela hanya
di kamar, tak ada perbincangan panjang, setelah mandi Naela
langsung mengurung diri, entah apa yang dilakukan, tapi
lama tak kunjung keluar. Toni tak menyangka kata tak cinta
berwujud lebih kejam dari bayangan yang dimilikinya.
Toni ketuk pintu kamar, "A d e'..."
Belum ada jawaban.
"A d e'..."
"Seben tar," Naela berkerudung sebelum membuka
pintu.
"Ada apa ustadz?"
"Bisa bicara sebentar?" Toni seperti bicara dengan
tamu.
"Masuk Ustadz," Naela mempersilahkan.
Toni duduk di atas kursi, Naela memangku bantal di
atas ranjang, saling berh adapan m eski m ata tak saling
memandang.
"Kita ini suami istri, tidak bisakah sedikit peduli, tidak
bisakah k ita ..." belum selesai Toni bicara Naela tersenyum.
"U stad z... dari awal Nae sudah katakan kalau Nae
bersedia menikah tapi tak bisa memberi cinta, Naela bersedia
satu rumah tapi tidak satu kamar, Naela bisa menjadi istri
tapi tidak melayani," Naela tenang tersenyum, "M aaf Ustadz,
seperti ini Naela adanya. Kalau Ustadz enggan, Nae ikhlas
kembali ke pondok lagi."
Toni lama terdiam, "Maarkan Kakak de'."
Satu hari bagi Toni serasa satu minggu, satu minggu
serasa satu bulan, segalanya beku, tapi Toni berusaha untuk
terus dekat, untuk terus bisa merubah suasana.
~Ma mun Affany \ 3 5 $
— S u n jju fi Berftarja -—
Sadarlah kasihku
Aku mencintaimu
Sungguh mencintaimu...
Toni menyudahi.
Setetes air mata yang terjatuh dari dua mata Naela
benar-benar untuk Toni, "Terim akasih U stad z..."
"Ade' jangan sedih y a ..." Toni berharap.
Naela mengangguk.
"Minum dulu tehnya," Toni memeluk tubuh gitar.
3 4 $ | 2$ Ouz T-tar^a 'Wanita
"Apa itu suara hati Ustadz?" Naela justru bertanya, ia
ada dalam kehangatan.
Toni m engangguk.
"Kenapa Ustadz memilih Naela? Sampai kapan Ustadz
akan terus katakan cinta pada Naela?" Naela ingin tahu.
"Sam pai Ade' tahu betapa besar arti Ade' bagi hidup
yang Kakak jalani."
"Kapan Nae bisa tahu?" Naela belum berhenti.
"Satu waktu yang kakak sendiri belum tahu," Toni
m engenang setiap janji yang dulu terucap bersam a, kata
sayang yang sering terlontar berdua.
Semakin hari Naela semakin mengerti besar curahan
hati yang terberi, Naela sem akin hari sem akin berusaha
m em buka secuil hati untuk suam i, N aela sem akin hari
semakin mempercepat bacaan Qur'an agar bisa menemani
Toni arungi malam sepi. Setiap selesai sholat Naela membaca,
sebelum subuh, setelah subuh, setelah dhuha Naela terus
membaca meski hanya satu halaman. Lima hari berjalan 10
juz bertam bah.
Toni kadang masih tetap menguping di dekat pintu,
m enyim ak bacaan Q ur'an N aela, sam pai satu hari tidak
sengaja Naela ingin keluar, saat membuka pintu Toni tampak
bersarun g b era las sajadah, m em egang Q u r'an tertidur
menyandang dinding. Waktu itu Naela baru sadar jika Toni
terus menanti dengan sabar.
" U s ta d z ..." N aela jo n g k o k m em bangunkan,
"U s ta d z ..." N aela tak m enyentuh Toni, m alam memang
sudah teram at larut, ham pir m enunjuk angka dua belas,
begitu senyap sepi, tak ada suara selain bisikan hening
membelai hati.
"U g h ..." Naela pura-pura batuk.
M ata Toni b e rg e lia t sed ik it m em buka, ia sep erti
ketakutan menutup Qur'annya, "A d e'..."
~Ma'mun A(fan>j | 34^
"Sudah malam. Ustadz tidur saja, besok pagi Naela
b e rita h u sam p ai m ana N aela sudah m em b aca," N aela
membujuk.
Toni berdiri berjalan ke kamar, N aela m embuntut,
menata bantal, menutupkan selimut. Meski tak menyentuh,
nam un k em esraan laru t di an tara tatap an redu p dan
senyuman simpul, "Ustadz tidur yang nyenyak. Mimpi indah
y a ..."
H ati Toni terseny u m m end en gar m eski m atanya
tertutup, ia berusaha pejamkan mata untuk tidur, tapi tak
bisa, sopan sikap Naela, bujukannya, membuat malu mata
membuka.
Satu jam toni terbaring tak mampu lelap meski gulita
gelap, dua jam Toni terbaring justru teringat tiga hari lagi
Naela ulang tahun. Toni sibak selimut, nyalakan lampu, pergi
ke kamar pribadinya, ia ingin menulis surat untuk Eko dan
Rika.
Assalam u’alaikum wr wb
Entah bagaimana harus kugambarkan kebahagiaan yang
malam ini aku kecap rasakan, rasanya pena tak lagi bertuah, kata
tak lagi bisa bicara, ungkapan bukan lagi sebuah bahasa.
Hari demi hari Naela mulai membuka hati, berikan secuil
ruang untukku. la mulai berikan sikap manisnya, ia berikan senyum
tulusnya, ia tebarkan tatapan hangatnya, ia berikan nafas ayunya.
Rasanya aku baru tahu kesempurnaan keindahan saat wanita mulia
bernadi cinta lautan asmara temani hidup kita.
Dulu waktu pertam a membonceyignya ia tak sedikitpun
memegangku walau hanya jaketku, tapi kemarin ia sudah jatuhkan
kepala di pundakku. Naela yang kuhadapi memang bukan Naela
yang dulu bersam aku, tapi N aela yang sekarang berikan aku
kesempatan untuk jadikan kesabaran dalam rayuan, mengajarkan
cinta tak perlu dipaksakan. Naela telah ajarkan hidup penuh dilema
3j?0 |zg 9uz H arya K Janita
mesra asm ara pernikahan, aku serasa berpacarart walau. sudah
halal.
Kadang aku termenung pilu mengingat ada batas dalam
bercakap, ada batas untuk sekedar melihat, ia mengukur sabarku
dengan 30 juz Qur'an, saat Naela khatam ia baru sudi sepenuhnya
bercerita untukku, menerima keluh kesahku, lebih jelas lantunkan
ayat suci di depanku.
B agaim anapun N aela aku tetap m enyayan ginya Ko,
meskipun ia katakan tak akan pernah mencintaiku, tapi aku akan
berusaha sepenuh hati melayaninya.
Malam ini aku ingat tiga hari lagi Naela ulang tahun, aku
ingin bisa lebih membahagiakannya seperti ia sudah membuatku
terus berharga. Aku ingin kalian berdua datang ke rumahku, jam
empat tepat. Entah panas, entah mendung, entah hujan aku ingin
Naela bisa tersenyum bahagia nikmati hidupnya.
'Ma 'mun A ffary | 3j?^
©
2 < j 0(4Z —
I
ni malam ke 38, namun malam ini tak terdengar dari
kam ar N aela lan tu n an ayat suci A1 Q u r'an . Toni
kunci pintu rum ah rapat, tirai jendela diikat, kipas
angin di ruangan depan dimatikan, nyalakan lampu gantung
kuning temaram. Toni dorong pintu kamar Naela, Toni lihat
pijar lampu bersaing gemerlap cahaya layar TV. Toni ambil
remot dekat tangan Naela, tampak Naela tertidur bermukena,
dalam pelukannya Qur'an tengkurap, Toni perlahan menarik
Q ur'an berharap bisa m elihat batasan akhir bacaan. Tali
m erah m em batas di halam an 551, ju z 28, surat as-shof.
Tinggal dua juz lagi semuanya usai.
Ia ingin dengar Naela membacakan agenda untuknya
sebelum tidur, hari-hari Naela tergambar jelas dalam agenda.
Toni tatap wajah im ut Naela di balik lingkaran m ukena,
alisnya, lentik matanya, ia ingat dahulu saat Naela berikan
segumpal senyum indah untuk pertama kalinya.
Toni tutup Q ur'an diletakkan di atas m eja, selim ut
ditutupkan ke tubuh Naela, tak lupa boneka panda Toni
letakkan di samping parasnya, "M impi indah d e '..." Toni
3^2 |2<) % z 'H araa 'W cm ita
tak peduli Naela sudah lelap, ia berharap Naela dengar dalam
mimpinya.
Toni kembali ke kamar, berbaring memetik gitar, ia
ingat esok hari ulang tahun Naela, Eko, Rika, ustadzah Ida
sudah dalam perjalanan. Toni coba dengarkan rintihan jarum
jam, tiba-tiba terdengar suara Naela berteriak lantang. "Aaa!!!
Aaaa!!!''
Toni langsung lari masuk kamar.
"A aaa!!!" N aela b erd iri takut di atas ranjang, dua
tangannya meremas selimut.
"Ada apa D e'?" Toni heran.
"Tikus!!! Tikus!!!" Naela jijik.
"Mana?" entah Naela mimpi atau benar-benar melihat,
selama Rika di kamar belum pernah tikus datang.
"Tadi jalan di leher Nae," Naela loncat ke dekat Toni.
Toni melongok ke kolong, tak ada, Toni teliti setiap
sisi, tiba-tiba tikus kecil di sudut berjalan bingung, tikus
bumi, Naela berteriak, "Itu!!!" tangan Naela menunjuk, tanpa
sengaja Naela memeluk Toni.
Toni tak bunuh, ia sulit bergerak, ada N aela yang
mendekapnya erat, tikus berlari sendiri keluar.
"Sudah pergi D e'," Toni menenangkan.
"Nae takut," Naela baru sadar ia memeluk, tubuh Toni
dilepas, "M aaf Ustadz."
"Ade' tidur di kamar Kakak, biar Kakak tidur di sini,"
Toni menawarkan.
Naela mengangguk sembari memeluk selimut, mukena
belum Naela lepas.
Toni m engantar N aela ke kam arnya, Toni rapikan
kasu rnva, Toni n yalak an AC, "A d e' di sini s a ja ," Toni
menunjuk ranjang, "Kakak tinggal ya," Toni pergi ke kamar
Naela, pintu ditutup.
"Ma 'm un A ffany | 3 5 > 3
*****
Hari ini tanggal 20, tepat saat Naela dua puluh empat
tahun lalu terlahir ke bumi. Tapi sepertinya Naela sendiri
lupa hari jadinya. Entahlah, yang Naela kerjakan dari pagi
m enghabiskan Q ur'annya di kam ar Toni. Setelah subuh
Toni dan Naela tukar kamar, Naela masih belum yakin tikus
pergi dari kamarnya, Naela menetap di kamar Toni.
Toni sudah berkirim pesan dengan Eko, Rika, dan
ustadzah Ida, mereka sudah ada di Jakarta, sedang sholat
ashar di terminal lebak bulus. Langit tidak menangis meski
murung mendung, Toni di rumah bersiap dengan gitarnya,
ia ingin nyanyikan sebuah lagu untuk Naela agar hari terasa
lebih bermakna.
"Sh od aqallahu l ad zim ," N aela di kam ar m enutup
Qur'an, genap juz 29. mulai nanti malam Naela buka juz 30,
juz penghabisan. Di atas sajadah Naela ayunkan tubuhnya
sembari memeluk Qur'an, ia berusaha tanpa resah menerima
kenyataan yang ada di hadapannya. Toni teramat baik, cukup
55 hari menanti. Mungkin Naela belum bisa berikan cinta,
tapi setidaknya ia iba, dari iba Naela berdo'a bisa menyayangi
suaminya.
Naela lepas mukena, berkaca depan cermin tertempel
di dinding, entah k e n a p a tiba-tiba cermin jatuh, paku tak
kuat m enahan, "P y arr!!!" cerm in pecah berserakan, Toni
ketuk pintu berkali-kali, "Ade!!!"
| Zfj 9uz 7-iarya 'H/anita
"Tidak akan Ustadz. Tidak akan pemah. Lebih baik Nae mati
m erindunya."
Eko memegang erat tangan Toni.
N aela perg i ke kam arn y a, u stad zah Ida yang
mengikuti ingin jelaskan agar Naela mengerti, "N aela..."
Naela berkemas sekedarnya, membuka almari, meraih
tas kecil tergantung di balik pintu, tanpa melipat baju, tanpa
membawa banyak bekal selain dompet dan handphone Naela
pergi.
U stadzah Ida m encegah, "N aela! Tolong dengarkan
sedikit saja penjelasan Ustadzah."
"Maaf. Naela harus pergi sekarang," Naela menerobos.
Dihadapan Toni yang perih menahan sakit hati Naela
pam it, "T erim ak asih atas segala kebaikan yang ustadz
berikan, Nae mohon pamit."
Toni lem as, layu, jongkok tersungkur tangis, sakit
hatinya tak terukur pedih, jasadnya tak tertolong, hancur
sayangnya habis tercabik-cabik kenyataan pahit, air mata
penghabisan terus bercucuran, Rika yang coba tenangkan,
biarkan Toni menelungkup di pangkuan, tubuh Toni benar-
b en ar tak b erd ay a, isakn y a keras, tercek a t m ati di
kerongkongan.
"Aku m encintainya Ka," Toni dalam pangkuan Rika
tak bisa menahan sakitnya.
"Aku tahu Ton, Aku tahu."
"Dia tidak tahu Aku benar-benar mencintainya," Toni
terus mengadu.
"Aku tahu Ton, Aku tahu," Rika seolah menjadi ibu.
"Apa lagi yang harus aku lakukan agar dia tahu Ka?"
cinta Toni tlah habis.
"Sabar T o n ..."
"Aku tak lagi punya cinta K a," air m ata Toni tak
berhenti.
360 | zg )uz T-targa 'Wanita
35
— Tersimpan fyipi —
//
■ 36 •
v ' "
— 7-farqa 'Wanita —
T
ak ada tempat pergi, tak ada tempat kembali saat
orang terdekat tak mengakui. Malam, pagi, siang,
petang seolah sama di hati meski berbeda di mata,
K ebah agiaan m em ang di san u b ari asalny a, sa a t sa k it
menjalar, dukapun meradang.
Toni hirup udara kelahirannya, yang ia bawa hanya
baju dan tubuhnya. Toni pandangi rum ah tem pat Bapak
membesarkannya, mungkin ia pergi ke Jakarta hanya untuk
kembali ke Bapaknya.
Tak ada yang berbeda dari gubuknya, masih remang,
lampu di depan tak menempel, masih menggantung di kabel.
Jendela belum berganti, masih tertutup plastik, pintu bambu
sem akin rapu h m enganga tak terk u n ci. S ejen ak Toni
tersenyum di balik lukanya, sebelum masuk ia dengar suara
radio tembangkan lagu kenangan, Bapak sudah beli radio
dari uang yang Toni kirimkan.
Toni melangkah, sekali m engintip dari celah pintu,
Bapak masih seperti dulu, terbaring berkerudung sarung,
telinganya dekat menghadap radio, Bapak tetap ada di atas
~Ma 'mun Affany | 3 ^ 5 '
tikar, sandal jepitnya begitu tipis hampir habis. Toni lirik
sejenak langit hitam menebar bintang, gemerlapnya hantui
malam usir lirih sepi di pelataran pem im pi, satu burung
terbang rendah, teringat satu sosok bernam a Naela, A h...
N aela... entah kenapa mulutnya tersenyum seketika meski
sakit kenyataannya.
"Assalam u'alaikum ," Toni dorong pintu.
Bapak seketika kecilkan radionya, tak seperti dulu yang
acuh, m ungkin karena rindu lam a tak bertem u. Bapak
duduk, "Ton!"
"B a p a k ..." hampir saja air mata jatuh terpukul rindu
dan gelisah, ia baru sadar bapak sudah tua, keriput mulai
m enyebar di wajahnya, tubuhnya tak lagi kekar, sedikit
bungkuk kala duduk, gigi geraham sebelah kiri tanggal tiga,
rambutnya bertumpuk uban, ia duduk bersilah perlihatkan
kembang kempis lirih nafas, Bapak pasti kesepian.
Toni cium tan gan B ap akn ya, Toni duduk m eski
berlantai tanah, ada nyamuk berdengung di telinga kanan
Bapak, Toni m enep uk, " P la k " satu -satu n y a suara
membuncah di rumah.
"Kam u sehat?" dulu Bapak tak pernah bertanya.
Toni mengangguk.
"Bapak sudah makan?" Toni entah mengapa tak benci
Bapaknya yang dulu setiap waktu menampamya.
Bapak menggeleng.
Toni in gin beran jak ke dapur, tap i tan gan Bapak
menarik, "M au ke mana?"
"D apur pak," Toni bangkit.
"Sini saja, di dapur tidak ada apa-apa," Bapak menepuk
tikar, meminta Toni duduk.
Toni lihat jam tangan, jam dua belas malam tepat, tak
ada warung yang buka, apalagi di desa.
y /0 |299uz 7hrya 'Wanifa
"K en ap a tid ak ada angin, tid ak ada b ad ai kam u
pulang?" Bapak heran, biasanya Toni dari Jakarta memberi
kabar.
Toni tak bisa menjawab.
"H utang?" masalah laki-laki tak jauh dari uang.
Toni menggeleng.
"Pasti perempuan," Bapak menebak.
Toni diam.
"Kenapa lagi istrimu?" Bapak ingin tahu.
"Dia pergi," Toni sulit menceritakan.
Bapak tersenyum , senyum rapuh, "K am u sekarang
tahu berapa harga w anita untuk seoran g p ria ?" Bapak
menepuk punggung Toni.
Toni bisu , pandangi Bapaknya, "Apa Bapak terus
seperti ini karena ibu pergi?"
Bapak m engangguk, "S a a t w an ita datang dalam
kehidupan kita, ia berikan ketenangan. Saat ia hadir dengan
senyuman kita berlindung demi kesejukan, saat ia datang
dengan cerita ia bisikkan nyanyian tidur untuk kita, saat ia
belai kita dengan kasihnya ia hembuskan nafas sayang yang
tak akan pernah bisa dilupakan."
Toni dengarkan di tengah derik jangkrik.
"Kam u besar karena perempuan, karena Naela hadir
dalam hidupmu, saat ia pergi kau terlihat tak punya banyak
sem angat la g i," Bapak belai anaknya, b elaian pertam a
sepanjang hidupnya, "Lihat dirimu sekarang!"
"K a u p a sti selalu in g at N aela, kau p asti teru s
mengenang bagaimana saat kau berjalan ia rajut tanganmu
agar tak berjauhan, bagaimana saat kau bersepeda ia jatuhkan
tangan di pundakm u seraya tunjukkan ialan yang benar
padamu, bagaim ana saat naik m otor ia memelukm u erat
karena takut kehilanganmu, kau pasti ingat semua," Bapak
inengusap m atanya, "S a a t semua orang m elupakanm u,
~Ma 'mun A ffa ry | y j 1
Penulis
Ma'mun Affany
3 7 4 | 29 Ouz 'Marja 'Wanita
Cara Vemesanan
Novef-Novef TAa'mun A ffany