Anda di halaman 1dari 383

^ ah'C’vMf' A

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

B a ra n g s ia p a d en g an sen g aja d an tan p a h a k m e la k u k a n p erb u a ta n


sebagaim ana dim aksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bu ian d an/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.00- (satu juta rupiah) atau paling lam a 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling ban yak R p 5.000.000.000,00 (lim a m iliar
rupiah)

B arang siapa dengan sengaja m enyiarkan, m em am erkan, m engedarkan,


dan m enjua! kepada um um suatu ciptaan dan barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait, sebagaim ana dim aksud ayat (1) dipidana dengan
p id a n a p a lin g la m a 5 (lim a ) ta h u n d a n /a ta u d e n d a p a lin g b a n y a k
Rp. 500.000.000,00 (lim a ratus juta rupiah)
29 Ju z H arga W anita

oleh
M a'm un Affany

ffany
JudulBuku:
29 JUZ HARG A WANITA

ISBN 978-602-99860-0-6

Penulis:
Ma'mun Affany

D esain Cover:
Leo Sastra Candrawinata
Cetakan ke III, Desember 2014

Penerbit:
Affany
Ds. Ponolawen Kec. Kesesi
Kab. Pekalongan 51162
Telp. 0857 477777 28
E - m a i l s a l a m _ a f f a n y @ y a h o o .c o . i d
Tiia'mun A ffary \ V

H a ta V e n ja n t a r

Dalam perjalanan seorang laki-laki kehadiran wanita


tak hanya menjadi sekedar pendamping, tapi lebih dari segala
sekedar itu. Wajar jika dalam mengarungi sisa hidup, wanita
lautan cinta mulia faham mendengung suara Ilahi dicari demi
menggenapi kebahagiaan menyejukkan ketegaran hati.
Apa jadinya jika seorang laki-laki lupa dirinya karena
m enem ukan w an ita yang ia dam ba. W anita ini b u kan
mengatakan "Siapa kam u?" atau yang menahan dengan kata
"Siapa aku?" atau yang lemah dengan mengatakan "Siapa
saja aku terima dengan lapang dada." Wanita ini tahu kapan
harus menolak, kapan harus m enjauh untuk acuh, kapan
harus bersembunyi jauh.
Entah bag aim an a caran ya pen u lis m en g g oresk an
penanya, hanya melukiskan dua insan dalam sebuah cerita
panjang. Hanya Toni dan Naela.
Seketika teringat salah satu wasiat Nabi saat khutbah
haji wada', "Aku wasiatkan kepadamu wahai umatku, agar
berlaku baik terhadap wanita, karena kamu mengambilnya
adalah sebagai am an at dari A llah , dan m en jad i h a la l
kehormatannya bagi kamu ialah melalui kalimat Allah."
Novel ini berusaha melukiskan dua insan lekat hati
tak pernah ingin menjauh lagi.
'Ma'mun Affany | Vi)

fla ft a r O si

— Kata P en g a n tar........................................................................ v
— Daftar Is i.......................................................... vii
1. Surga D u n ia ...............................................................................1
2. Harapan D alam .......................................................................14
3. M artabat C in ta ........................................................................24
4. Naela K h a sn a ..........................................................................34
5. Sebaris D o 'a ............................................................................. 45
6. Surat Pertam a..........................................................................54
7. Sholat 5 W aktu........................ 65
8. Surat Dari H a ti.......................................................................76
9. Demi S u ra t................................................................................87
10. T erjaw ab.................................................................................... 98
11. Satu Kebahagiaan P erem p u an ....................................... 110
12. B o d o h !................................................................... 121
13. M enghilang.............................................................................132
14. Segelas Air P u tih .......................... 142
15. Mengingap Di M a sjid ........................................................ 156
16. Menjawab R in d u ................................................................. 167
17. Sebatas K o ta .......................................................................... 179
18. Mencari Dan Terus M e n ca ri............................................192
19. Kerudung P u tih ....................................................................202
20. Ada Ragu ................................................... 217
21. Tersibak Satu R ah asia........................................................ 227
22. Satu Rumah B erd u a ........................................ 241
m i | Z<j ? k z "Maiya 'W anita

23. Naela M enjauh ......................................... ....................... 251


24. Selamat Ulang T ah u n ............................ ..................... 262
25. Entah Di Mana A d a n y a ....................... ....................... 272
.................... 280
26.
.................288
27.
Jangan M e n y erah ................................... ..................298
28.
..................... 307
29.
Harus D iu la n g ........................................ ..................317
30.
..................324
31.
....................... 332
32.
33. Sungguh B e rh arg a................................ ......................... 341
..................... 351
34.
35.
36. Harga W an ita.........................................
0
~Ma'mun A ffan y | i

— S u r ja D u n ia —

L
an git seolah terbata m em angku bulan, bin tan g
gem intang m enyum pal seluruh keindahan atap
alam, taburan awan laksana sayap putih mengalir
terem pas sepoi kecil angin, laru t m enelan ram ai, sunyi
mendekap bumi, mata hanya mengedip bertahan melepas
lelah, suara-suara denting mangkuk penjual bakso menyisir
tepi jalan kecil sesekali bersaing derit bambu di tepi sungai,
sesekali kalahkan derik jangkrik genggong di semak, sesekali
bunyikan irama ilalang bergoyang di tanah liar.
Lampu di setiap rumah masih menyala, tapi jendela-
jendela tlah tertutup rapat, jalan beraspal batu tampakkan
wama hijau kelam, deru kendaraan sedikitpun tak terdengar,
semua tlah terkunci di balik pagar, jalan teramat lengah, arus
sungai sanggup menembus dinding rumah tebal, dinding
tak bercat, bata merah masih telanjang menyusun bangunan,
atap dari genteng tipis berlumut, jika buah mangga jatuh,
satu genteng pencah seketika.
Z ] Z g Ouz T-larja 'W anita

Jen d ela tak berkaca, dari dulu kata bap ak sudah


berplastik, hanya plastik, pintu tanpa gagang hanya berslot
kancing, lantai murni tanah, jika mendongak ke atas, atap
seolah plastik tak tam pak genteng, banyak genangan air
seolah perut ibu yang mengandung, nyamuk dipersilahkan
masuk, kasur bapak buang, tak ada yang m enjahit waktu
sobek, kapas berserakan , sekali coba d im asukkan, tapi
berkali-kali keluar beterbangan, hanya dipan berusia dua
puluh tahun kokoh di kamar sendirian.
Bapak selalu duduk di atas tikar ruang depan, dengar­
kan lagu-lagu dari radio usang, Bapak selalu berbaring dengan
mata mengawang, entah apa yang dibayangkan dalam setiap
lam unan yang ia punya, lagu yang bapak dengar selalu
dendang kenan gan di Shinta FM. Bapak b iark an radio
bersuara sampai adzan subuh berkumandang, kadang tubuh
bapak telanjang perlihatkan dadanya yang bidang.
Satu yang tak pemah bapak beritahu, isi lamunan yang
setiap malam bapak gambar, telinganya jelas mendekat ke ra­
dio, tapi fikirannya melayang entah ke mana, hatinya pergi
entah terbawa siapa. Bapak begitu nikmat mendengar, di atas
tikar tubuhnya tak merasa dingin meski tertempa angin, tak
merasa sakit, nyam uk seolah bintang, ia tak peduli, radio
Philips keramat selalu jadi teman sunyi malamnya.
Bapak tak pernah mau diganggu, seolah ia beritual.
Bapak terkadang tersenyum sendiri, tapi jelas tidak gila,
bapak punya gerakan yang selalu dilakukan, bapak sering
m em ijat dua m atanya pelan dengan jem ari kanan, entah
menangis atau mengantuk tak ada yang tahu, bapak ber-
ban tal lengan b eg itu nikm ati m alam , en tah h u jan atau
kedinginan, bapak selalu melakukari hal yang sama.
Tak banyak kata kelu ar dari m ulut bap ak , untuk
berkata "iya" enggan, bapak lebih sering mengangguk, tapi
bapak sering marah, kadang menampar. Bapak tak pernah
JA a 'm un A ffany j 3

cerita secuilpun, apapun, diam itu berlian baginya, tapi


hakikatnya bapak bukanlah pendiam, dari dua matanya jika
melamun seolah tajam memandang, pipinya tegas, bapak
seolah mengubur sesuatu, bahkan anaknya tak pemah tahu
bagaimana gambaran ibu kandung yang melahirkannya di
bumi Ruajurai, Lampung.
Toni Saputra nama lengkap anaknya, sedari kecil ia
hidup bersama bapaknya, ia tahu nama ibunya Halimatus
Sa'diyah, tapi hanya nama itu yang Toni tahu, tak lebih,
sedikitpun, bapak selalu diam jika Toni minta cerita akan
Ibunya, m eski secuil. Toni pernah ke Liwa sendirian, ke
tempat nenek, Toni beranikan diri meski Ayah tak peduli,
jalan ke Liwa sangat berliku, curam menukik, tinggi me-
nanjak, terhimpit tebing dan jurang. Toni hanya ingin cerita
tentang Ibunya, tapi nenek juga tak banyak cerita, hanya
katakan, "Ibum u orang yang sangat baik, beruntung kamu
memiliki ibu sepertinya."
Bagi Toni tak ada kata beru ntu ng, Ibu m eninggal
waktu melahirkan, Toni belum sem pat rasakan hangatnya
pelukan ibu, belum pernah m eski sejen ak, sed ari kecil
bersama nenek, umur dua tahun bapak membawa pulang
ke Pringsewu, ke desa Kuncip Toni sering menyebut, hampir
setiap hari bapak m encaci, m em ukul, m enendang, Toni
sudah kenyang kekerasan.
Toni tak pernah melawan, pipinya sudah tebal, tubuh­
nya sudah bergaris karena sabetan gagang sapu, hanya karena
kesiangan, dijemput ibu guru. Waktu itu kelas 2 SD, bapak
sangat marah seolah mengamuk, sejak itu bapak selalu siram
Toni dengan seember air jika pagi masih tergeletak di dipan.
Pintu Toni buka perlahan, sudah jam sebelas malam,
suara rad io bap ak m asih terd en gar, sayu p -sayu p lagu
Cam elia dari Ebiet m enyelusup, Toni tutup pintu rapat,
langkah sandal jepitnya terdengar mengelepak, di atas tikar
4 j ZgO uz’H arga'iVtm ita
sembari berbaring bapak menggaruk pipinya, tapi Bapak tak
menyapa atau memanggil meski matanya terbuka.
Toni mendekat, duduk perlahan dekat Bapak, Toni
lihat mata Bapak yang terus membuka, sesekali berkedip,
Toni buka jaket kulitnya, lampu kuning temaram silaukan
ram but sebahu, ia bersandar dinding, tanpa m emandang
Toni Tanya Bapaknya, "Bapak tidak bosan setiap malam di-
habiskan untuk melamun? Cuma dengarkan lagu ?" Toni
melirik ke tubuh Bapaknya, tapi tak ada jawaban.
Toni m enghela nafas, "Bapak tak ingin punya istri
lagi?"
Senyum bapak sinis, san g at sin is, m enyu ngging
sempit, tapi sepatah kata tak jua keluar.
S ejen ak Toni terd iam , h em bu san n afasn y a keras
pandangi tubuh kekar Bapaknya.
"Tidur sana!" Bapak mengusir.
Toni tak akan m elanjutkan, ia harus pergi dari sisi
Bapaknya. Toni bukan anak kecil yang merengek, Toni sudah
berumur 22 tahun, sama seperti umur kepergian Ibunya. la
sudah satu tahun selesai SMA, tiga kali Toni tak lanjutkan
sekolah, tak cukup biaya. Dua m atanya sed ik it cekung,
hidungnya sedikit mancung, pipinya datar tak berlesung,
rambutnya panjang, terbelah dua, tingginya hanya 163 cm,
lebih pendek dari Bapaknya, tapi badannya tegap, dadanya
lebar.
Ototnya menyembul bukan karena olah raga, ia dari
dulu sudah m enjadi kuli angkut, kuli bangunan, buruh
serabutan, jika malam hidup Toni tak lepas dari jalan untuk
balapan, ada saja teman yang memberikan motor dijadikan
tunggangan, waktu pagi ia sudah harus mengaduk semen
dan pasir.
Toni menyibak tirai kamar, ia berbaring di atas dipan,
jadikan jaketnya sebagai sandaran kepala, suara radio Bapak
'M a'm un A ffan y | J

sayup lirih m asih terd en gar. Toni m elam u n ten tan g


Bapaknya, ia belum bisa membuat bapaknya bicara, ia belum
tahu sekelumit cerita tentang Ibunya, 22 tahun sudah semua
itu selalu mendekam tersembunyi rapi, meski kadang terlupa,
tapi cepat kembali datang untuk membuat hati penuh dengan
kegelisahan.
Ia anak biasa, yang in gin tahu segen ggam cerita,
bukan anak m anja yang ingin dongeng setiap m alam , ia
seolah anak tanpa asal, anak tak pernah rasakan apa itu
kasih sayang Ibu pada anaknya, cinta seorang Ibu pada
belahannya, ikatan batin yang terjalin erat, ikatan rasa rindu
ingin bertem u ibu, semua tak pernah Toni tahu, yang ia
lihat Bapak pendiam , Bapak pelam un, Bapak pengubur
kenangan tak kenal masa silam dan masa depan.
Toni tertidur terkungkung pertanyaan, celana jeans
robek di lutut tak ia lepas, di atas dipan ia coba mencari Ibu
dalam mimpi, ia tak pernah berjum pa, ia pun ragu apa ia
sanggup mengenalnya, tak ada gambar tentang Ibunya, kata
nenek semua sudah dibakar oleh Bapak.
M alam b erla lu cepat, B apak p asti terban gu n saat
Adzan berkum andang. A dzan di K uncip begitu lantang
meski suara tua bergetar yang mengumandangkan, Bapak
akan lan gsu ng m elipat tikarn ya, d isan d arkan ke sudut
dinding, radio Bapak geletakkan di atas tanah.
Bapak pasti mandi, tak pernah lupa, walaupun hujan
bapak tetap pergi ke kamar mandi. Suara gemericik air di
kolam tak membuat Toni terbangun, ia m asih nyenyak di
atas dipan. Dari kolam bapak keluar berbaju handuk, tubuh
kekarnya tampak jelas menjadi aliran air, rambut basahnya
tak dilap, tangan kanannya menenteng seember air, bersandal
jepit bapak ke kamar Toni, seolah halam an berdebu bapak
siram anaknya, "Byurrr!!!!"
b | 2q )u z Uartja 'HJanila
Seku ju r tubuh basah, lan tai tanah tak peduli jad i
kubangan air, Bapak selalu lakukan pada anaknya jika subuh
belum membuka mata.
Tanpa kata Bapak pergi, Toni pejam kan mata meski
terbangun, ia duduk dalam amarah, ia duduk merasakan
seluruh pakaiannya basah, dua kakinya m enapak di alas
becek, Toni menyela rambut sebahunya, tetesan air bak rintik
berjatuhan dari ujungnya, saat menyibak tirai bapak sudah
bersiap dengan cangkul, kaos lengan panjang yang setiap
sore dicuci di sungai Bapak pakai kembali setiap pagi.
Seperti itulah Bapak, Toni selalu melihat Bapak yang
sama, setiap hari, setiap waktu, tak banyak suara kata, diam
dalam kesendirian, kenangan Toni bersam a Bapak hanya
amarah, hukuman, makian, Toni tercipta bak batu karang,
sedari pagi terempas ombak, tertelan buih, tertikam deru,
sampai malam terbujur beku kedinginan.
Hari ini Toni menjadi buruh pengangkut batu, ia ikut
truk pak Hendra, baru hari ini m ulai, ada pembangunan
pesantren di Kalianda. Toni bersiap dengan celana jeans
sobek di lutut meski basah, nanti pasti kering di jalan. Topi
hitam berdebu Toni kenakan, pintu rumah Toni tutup rapat
meski tak terkunci.
Matahari belum muncul, langitpun baru akan terang,
kemuning cahaya tak tampak, hanya desir angin goyangkan
daun salam di depan rumah tebarkan nyanyian. Toni berjalan
tanpa secuilpun benda di tangan, uang dua ribu di saku
untuk sarapan, banyak petani baru berangkat ke sawah,
membawa sabit, di atas jalan bebatuan kaki Toni menapak.
Toni bukan orang dipenuhi angan-angan dan cita-
cita ia hidup ikuti arus air, terus mengalir, halangan yang
ada di depannya ia tembus perlahan, Toni pemuda yang tak
tahu arah tujuan, ia sekedar hidup seraya berusaha tenang.
JA a'm un A ffan y | J

Di satu warung Toni duduk bersama bapak-bapak tua,


satu kaki Toni tak diangkat seperti lainnya, bahkan ada yang
m akan sem bari jon gkok, Toni hanya duduk tenang tak
lepaskan topi, teman-teman sebayanya masih banyak yang
terlelap, sangat sedikit yang kuliah, bisa dihitung dengan
jem ari tangan, kalaupun kuliah pasti di DIC dekat pasar
Pringsewu, yang sudah menikah berserakan, ia ingat, Santi
sudah bercerai tapi juga sudah menikah untuk kedua kalinya.
"Makan apa Ton?" Ibu penjaga warung pasti bertanya,
wajahnya sangat bundar, gelang emasnya besar, kepul asap
nasi meruap di depannya.
"Biasa bu," Toni enteng menjawab.
Ibu cekatan mengambil lauk, Lele diberikan di atas nasi
segunung, "In i Ton."
Toni kaget, "Aku ga' mesen Lele bu."
"Ambil saja, bayarnya biasa, biar lidah kamu tahu rasa
lele bagaimana," ibu duduk, lap disampirkan di bahu kanan,
keringat mengalir.
"M akasih bu," Toni bersemangat, tanpa sendok Toni
melahap, dari samping denting sendok bersahutan, wajah
kempot menyeruput kopi pahit terpejam kepanasan.
"Ton!" Eko datang, m engambil tempat samping kiri
Toni, "Bu satu!"
Toni menoleh sejenak.
"Tumben pakai lele," Eko tersenyum.
"D ik a sih Ib u ," Toni m en u n ju k dengan tan gan
belepotan.
"Aku ga' dikasih bu," Eko berdiri, meneliti lauk di atas
piring.
"Kam u sudah sering," Ibu berikan sepiring nasi.
Eko tak berfikir jauh, Toni memang selalu dikasihani,
di manapun, kapanpun, di sekolah guru-guru tak pernah
marah padanya, padahal tidak terlalu pintar, hanya sepuluh
8 | zgOva'Marya'Wanita

besar dari dua puluh murid, terlebih Ibu guru, selalu baik
pada Toni. Semua karena tahu Toni sendiri, ia juga ringan
m embantu orang, Ibu guru yang jatuh pingsan kebetulan
Toni yang mengangkat ke kantor, kepala sekolah motornya
mogok kebetulan Toni bisa betulkan businya.
"Hari ini kita ke mana Ton?" Eko sebelum makan ingin
tahu akan ke mana tulang dibanting.
"Ikut pak Hend, truknya jalan bawa batu ke Kalianda,"
Toni minum segelas air putih.
Eko term anggut, tubuhnya lebih pendek dari Toni,
beda 3 centi, lebih coklat, rambutnya selalu pendek, kalau
panjang susah diatur, ia selalu bekerja dengan Toni, di Liwa
Eko ikut jadi pengaduk semen dan pasir, di Metro Eko dan
Toni jadi buruh angkut di pasar.
"Ada salam dari Imah Ton," Eko sampaikan salam dari
perempuan.
Gadis desa masih berkirim salam, tak sanggup mereka
datang ke hadapan seseorang, kecuali jika salam berbalas.
Kemarin Heni, sebelumnya Mala, semua Eko yang sampaikan.
"Ayo kita berangkat," Toni benarkan topinya, ia tak
peduli, ia masih berfikir wanita yang harus dijawab adalah
ibunya, yang harus ia cari tahu ceritanya.
Eko gugup m enghabiskan nasi, sem bari menunggu
m ata Toni m engawang entah ke mana, ia pandangi anak
sekolah berduyun berjalan bersama, riang mereka rasakan,
senyum mereka pagut dalam kebersam aan, tawa mereka
sanggup gambar tanpa setitik gelisah yang terpancar.
"Ayo Ton," Eko sudah selesai.
Berdua mereka berangkat, di bak truk mereka duduk,
tero m b an g -am bin g , tak tahu ja la n seo lah ada dalam
kurungan, tak satupun duduk di pagar, Toni menyandar
pintu m enghadap ke depan, Eko tepat di sam ping Toni
rasakan getaran kendaraan berjalan.
7Aa 'mun A ffany \ $

Tak lama truk berjenti pertanda sudah sampai di tepi


sungai tem pat batu-batu kali m enum puk, m ereka berdua
meloncat, membuka pintu, dari bawah mereka lempar satu-
persatu batu ke bak, keringat mulai mengalir, udara sejuk
bukan lagi penghapus peluh, suara air hanya jadi penghibur
diantara suara batu berad u , lim a tru k b erjejer, sem ua
membuka bak mengangkut batu, pak Hendra santai duduk
di atas batu di tepi sungai melihat rakit bambu terpancang.
"Aduh Ton," Eko mulai kepayahan.
"Istirahat dulu kalau ga' kuat," Toni terus berusaha
mengangkat batu melempar kuat.
Eko ke tepi sungai mencelup kepalanya ke dalam air,
ia rasakan dingin m enjalar, segar kem bali datang, otot
mengendur, tak berselang ia kembali mengangkut batu.
"Su d ah p a k ," Toni m em beri tahu pak H endra, ia
setengah berteriak dari atas bak truk.
Pak Hendra melempar batu ke kali, kaca mata hitam
besarnya dikenakan sebelum berdiri, kumis lebatnya disisir
dengan tangan.
Toni rebahkan tubuhnya di atas batu, topi dilepas
sebagai penutup wajah dari sengatan terik m entari yang
sudah mulai meninggi, letih membuat Toni tertidur, Eko di
pagar duduk nikmati jalan berkelok, pandangi durian di tepi
jalan , secu il h u tan b ern ad a m on y et, h am p aran saw ah
kuning, angin segar m enyelusup ke celah badan, w ajah
terkipas alam, badan tertam pik deras angin. Sejenak Eko
pandangi Toni yang terbaring, ia mengingat bagaimana Toni
hidup di rumah, Eko pernah menginap, bagitu dingin, begitu
senyap, tak ada tem an selain sepi, kalau bapaknya marah
tak pandang ada tamu datang, tak pandang Toni sudah besar,
Toni dari kecil tak tahu senyuman, tak tahu obat keluhan,
rambut panjangnya menyebar diantara bantal batu. Entah
ia tertid u r atau hanya m elam u n , tak ada yang tahu,
1 0 \ z g Ju z 'Harya 'W anita

w ajahnya tertu tu p , cahaya pun terh alan g tak sanggup


menembus.
Truk m elam bat belok ke kiri pertanda tujuan sudah
semakin dekat, Toni seketika membuka topinya, ia duduk di
pintu bak m em andang ke depan m elew ati satu gerbang
kokoh dari dua tugu berkubah, terpam pang satu tulisan
"Pondok P esan tren Fathun Q o rib ". Pohon-pohon palem
kecil banyak baru tertanam berjejer menggapit jalan masuk,
beberap a pohon asam m eninggi m engep ak teduh, me-
mayungi atap asrama berbentuk rumah panggung, pohon
asam paling tua ada di depan rumah Kyai.
Sepetak tanah yang digali untuk m enanam pondasi
terletak di sudut kiblat m enghadap ke rum ah K yai, di
kerubuti empat asrama santriwati, sebagai pusat pandangan,
sebagai tujuan. Truk berhenti di samping kiri tanah masjid,
tam pat sem en tlah m enum puk, tem p at p asir tlah
m enggunung.
Toni dan Eko loncat turun, dari dua sisi pintu mereka
buka kuncinya, "B rakk!!!!" seketika batu-batu berjatuhan,
debu beterbangan membumbung tinggi membaur panas, tak
berselang Toni dan Eko kembali ke bak truk, perlahan mereka
m elem p ar sa tu -p ersatu batu , tu bu h m em bungkuk,
berkeringat, peluh m andikan tubuh, "T a k ... ta k ..." batu
bersahutan dilempar.
S atu -sa tu n y a yang m em b u at m ereka terhibur
pemandangan di depan mata, gadis-gadis bersembunyi di
balik kerudung tampak jalan menunduk bergoyang dari satu
asrama ke asrama lain. Ada yang menjemur pakaian di tali
jemuran sembari jinjit, ada yang sengaja m elihat duduk di
tangga asram a panggung. M ereka pancarkan rona vang
berbeda, jika dagu m ereka bersandar di atas lutut yang
menekuk, dari jauh wajah mereka seolah zamrud di kuncup
piala, jika mereka di pagar bersandar tebarkan senyuman,
Tvia 'mun A ffan y j 11

mereka seolah ratu kecil yang memandang padang rumput


dari balkon istana, jika m ereka berd iri palingkan w ajah
sembari kedipkan m ata, m ereka seolah berik an tatapan
impian bidadari surga.
Eko kadang b erh en ti, m elem par batu sekali, m e­
mandang begitu lam a bidadari suci lam bang kem uliaan,
terlebih ada satu santriwati kecil melongok dari sudut jendela,
senyum im utnya p icin gk an m ata sip it yang m enitik di
parasnya, ada yang berbondong baru pulang dari sekolah.
Pondok ini hanya tem pat m engaji, m ereka berjalan dari
gerbang, memeluk buku berok lebar menutup mata kaki,
tak satupun membalas pandangan Eko dan Toni, tapi mereka
berdua terus menikmati kesejukan yang ada, terik tak terasa
bukan terhalang dedaunan, namun tertutup oleh pesona
hidup dunia, letih tak m enjalar bukan karena ringan, tapi
seolah terpijat oleh lenggok santriw ati m em eras baju di
jemuran.
Pak Kyai tampak di teras mengawasi, ia berpeci putih,
bersorban putih, berkoko putih, bersarung hitam bergaris
kotak m erah, p eru tn y a sed ik it bu n cit, dua tan gan ny a
mengumpul di belakang pinggang, ia berjalan dengan san­
dal jepit mendekat, tak ada tasbih di dua tangan, jalannya
begitu lam bat seolah m enghitung kalim at "La ilaaha ilia
Allah" sebagai detik langkah berjalan.
"Nanti kalau sudah selesai duduk sebentar di sana,
ada makanan kecil untuk kalian," pak Kyai menunjuk teras
rumahnya yang hitam.
Eko tak m elem par batu di tangannya, Toni terdiam
dalam bungkuk m endengar, m ereka tak pernah bertem u
pimpinan pondok, aura wibawanya terasa bak sengatan
parfum dari tubuhnya.
"Baik pak," Eko menjawab.
"Baik Kyai," Toni coba lebih hormat.
1Z | Z<j 'jm. 'Harje HJamla

Pak Kyai melanjutkan jalartnya, langkah demi langkah


ia rasakan dalam ketenangan sebagai pancaran hati, jiwa,
dan raganya yang tlah teraju t satu keyakinan jika A llah
selalu ada menemaninya.
"Tadi salah ya Ton?" Eko ragu, sisa satu batu Eko
dorong dengan kakinya.
"Tidak juga, tapi kita harus lebih menghormatinya,"
Toni membuka topinya sejenak.
Eko m engangguk, "Ayo Ton ke san a," Eko loncat,
ingin cepat menuju teras rumah pak Kyai.
"Kita cud tangan dulu," Toni langsung jalan ke sumur
di dekat pondasi masjid.
"K ret... k re t..." suara kerekan sumur terdengar, satu
ember tertarik ke atas, selepas membasuh dua tangan Toni
guyur kepala dengan sisa air di ember, rambut sebahunya
basah hitam berkilauan, debu menempel luntur tak tertinggal,
beberapa heiai jatuh menggaris di depan mata, waktu berjalan
ke teras ia berulang-ulang menyela dengan jemarinya.
Berdua duduk di tebir teras. Eko duduk di anak tangga,
di samping mereka pot bunga, atap rumah tinggi dengan
tiang kayu ja ti tua, m ereka tak lekang m em andang riuh
senyap hidup santriwati di hadapannya. Mereka tak sadar
lan g kah anggun b id a d a ri su rga d atan g p erlah an dari
belakang membawa nampan, telapak kakinya tak bersuara
m enepuk lem bu t la n ta i teg el hitam , b ay an g an n y a tak
tampak, hanya wangi yang tercium menusuk hidung, Eko
dan Toni m enoleh bersam aan , Toni tak m endongak, ia
terpasung jem ari kaki sebening m utiara, sebersih sutra,
kuku-kukunya kecil laksana bayi mungil, tak tampak mata
kakinya, roknya begitu lebar menyapu lantai.
Toni tak sempat mendongak, terduduk beku melihat
caranya berlutut, di tumpuan lutut kanan ia perlahan me-
nopang tubuhnya, tangan kanan rapikan roknya, dengan
"Ma'mun Affany | /J

hangat ia hidangkan semangkuk pepaya, dua gelas air putih


bercampur es batu, kuku-kuku panjangnya sedikit panjang
bening, ada sedikit suara denting kala jemarinya bersentuh-
an dengan gelas kaca, Toni sanggup m endengar karena ia
pejamkan mata abaikan segala suara, tak sempat ia lihat paras,
tubuh gadis tlah berbalik melenggak-lenggok dengan kepala
tertunduk, perlahan bak awan berjalan masuk lewati pintu,
caranya masuk sempurna, tak ada kesempatan untuk melihat
parasnya, ia tutup p in tu tan p a p erlih a tk a n secu ilp u n
wajahnya.
Toni seketika melamun mencoba melukis dalam hati
pemilik sikap tenang bak laut tak berbadai dengan kuas
perasaan, ia coba gambar namun tak mampu Toni lakukan,
Eko berulang-ulang m enggeleng, berkali-kali tak percaya,
peluh letih tubuhnya hilang terbaw a bius keindahan.
"Apa yang kamu fikirkan Ton?" Eko coba gugah Toni.
"Seu m u r hid u pku aku tak p ern ah m elih at tubuh
berjalan teram at santun, tak m enggoda tapi aku terbius
seketika, tak berkata tapi seakan ia sambut kita dengan seribu
keram ah an nya," Toni m enyela ram bu tn y a yang m asih
basah.
"K am u jan g an m en g an gg ap ini su rga T on ," Eko
melamun, berdua sudah lama tak pernah tahu apa hakikat
surga dan neraka.
"M u n g k in kita bisa m en g en al su rga setelah
m elih atn y a," Toni m en g g ig it ja rin y a setela h b erk a ta ,
m em endam k eb ah ag iaan , m engu ku r rasa syu ku r yang
dipanjatkan.
Di teras m ereka n ik m ati p epaya seraya kibarkan
iamunan, tak henti mereka membayang, tak lekang mereka
diam, meski mata merangkul empat asrama, tapi pandangan
terpanah pada jejak langkah seseorang di belakang.
f4 |2fj Juz "Hama 'Wanita

— " H arap an D a fa m —

H
ari mulai gelap, matahari perlahan tak tampak
tin g g alk an kem u ning, tim u r h itam padam ,
barat redup menjemput malam, bambu di tepi
sungai sejenak berderit kecil terbelai sepoi angin, sungai
hening berkilau alirkan sumber kehidupan, gemericik tak
terdengar terkubur suara sepeda berjalan lewati bebatuan.
Toni duduk tak bertem an di besi jem batan, kakinya
m enggantung, nikm ati dawai alam m enelusup hening ke
darah yang mengalir, rambut sebahu Toni basah, matanya
terpejam sesaat, dua tangannya memegang besi erat, entah
mengapa ia seolah rasakan kesendirian, kesepian, rasakan
perasaan yang terlupa sedari kecil hidup bersama Bapaknya.
"A llahu a k b a r... A llah u a k b a r ..." ad zan magrib
berkum andang, bulan tam pak seolah bayangan, sebelum
p erg i Toni m enoleh ke b elak an g , m enatap daun kelor
mengambang di atas bening air pantulkan cahaya rembulan.
Tak ada tujuan selain rumah, pintu dibuka perlahan,
seluruh lam pu belum dinyalakan, seluru h ruang hitam
kelam , tak ada orang, Toni sib ak tira i kam ar, hanya
'M a'm unA ffany \ 1$

teronggok dipan, Toni buka kamar mandi tak ada suara air
mengalir, air tenang terkurung dalam kolam. Toni melangkah
layu ke depan, jalannya tegak tapi kepalanya tertunduk, ia
hanya dapati gulungan tikar dan radio menyudut dinding,
ia hanya dapati dirinya sendirian.
Toni termenung menyandar bingkai pintu, memandang
jalanan tanpa nafas, seketika ia buka tikar, ia hamparkan di
atas lantai tanah, tanpa ragu ia berbaring, nyalakan radio,
memilih lagu-lagu yang sering Bapak dengar, di tengah
kemeresak gelombang Toni berbantal dua lengan, coba nikmati
sembari bernafas lambat lagi dalam, matanya ke atap tapi
lamunannya seketika m elayang pergi, terbang menyusuri
waktu tak pasti, ingatan Toni entah kenapa mendarat pada
sepasang kaki dengan sepuluh jari berkuku kecil, sepasang
tangan tak bercincin berkuku sedikit panjang, gelas kacapun
sanggup diketuk berdenting, sosok tubuh yang berjalan tanpa
menoleh merasuk dalam gugusan angan.
"Ton!" Eko jongkok menyapa, ia sudah biasa keluar
masuk rumah Toni.
Toni terbangun, ia langsung duduk bersilah matikan
radio, rambut sebahunya menutup dua daun telinga.
"Ayo jalan," Eko mengajak.
"Ke m ana?" Toni menggaruk keningnya.
"B ia sa , ada yang m eng ajak m u b a la p a n ," Eko
tersenyum.
Toni menggulung tikar, ia kembalikan seperti semula.
Toni belu m m enjaw ab, ia b e rja la n lam b at k elu ar, Eko
membuntut, "Aku di rumah saja Ko."
Eko terkejut, "Kamu kenapa Ton? Tidak biasanya kamu
enggan," Eko ke hadapan Toni, "Kam u tidak enak badan?"
Toni sedikit tersenyum, ia lepas sandal jepitnya sebagai
alas, duduk di beranda rumah, "Aku tidak ingin selamanya
hidup seperti ini."
ih j zg'juzTJanp'Wanita
Eko terkejut, "M aksudm u?" Eko ikut duduk.
"Apa sampai tua kita terus jadi pem balap liar? Apa
sampai tua aku harus bertanya kenapa setiap malam Bapak
terus m elam un? Tak pernah mau bicara, tak pernah mau
untu k b erb a g i hati, b erb ag i ra sa ," Toni rasakan
ketidakpastian, "Bapak marahpun aku tak m endapat kata-
kata darinya," Toni sejenak tatap dua mata Eko di bawah
gelap kolong langit, "Sampai sekarang aku tak pernah bisa
tahu hal terkecil dari ibuku."
Eko terdiam, jika ia jadi Toni mungkin dari kecil sudah
lari dari rumah, "Apa yang ingin kau lakukan Ton?"
Lam a Toni terd iam , di baw ah n au n gan ketukan
bintang ia pangku dagu ke atas lutut, "Entahlah, mungkin
satu waktu aku harus pergi ke tem pat ibuku dilahirkan,
setidaknya aku bisa rasakan manisnya kasih sayang seorang
ibu. Aku rindu akan itu Ko, aku ingin bisa m elihat sosok
ibu tersenyum padaku, aku ingin bisa dengar kata-kata
syahdu dari seoran g ib u ," Toni tertu n d u k , "Kam u
b eru n tu n g Ko, kam u m iliki dua orang tua yang selalu
mengasihimu," Toni seperti anak kecil mengaduh.
Eko diam, ia tak lagi m engusik. Baru hari itu Toni
u ngkap isi h atinya, en tah k apan Toni sad ar akan
kehampaan, Eko tak berani memaksa, "Kalau aku bisa Bantu
beritahu aku Ton."
Toni m engangguk, "Salam untuk tem an-tem an di
sana, katakan jika aku baik-baik saja."
Eko menepuk bahu Toni sekali, pergi tinggalkan Toni,
ja la n kaki dengan jak et kulit hitam . Jika Eko dan Toni
bergabu ng bersam a tem an-tem an, nyaw a akan menjadi
taru h an di ja la n , antara hidup dan m ati tip is tanpa
perbedaan, pilihan dalam balapan hanya ada dua, memakai
rem m atikan lam pu, atau n yalakan lam pu tan pa rem
belakang, jika salah satu sakit semua m enjenguk dengan
'M a'm un A ffan y | 1 J

motor bersuara nyaring, suara knalpot melengking.


Toni terus duduk di kolong langit, di depan rumah
mati kata, di hadapan rumah remang miliknya, menghadap
hamparan kebun ilalang. Kadang ia tengok ke belakang,
menjenguk isi rumah, tak satupun barang berharga, kadang
ia menatap ke ujung jalan menunggu Bapak datang.
Tiba-tiba Rika tampak dengan sepeda berkeranjang,
teman Toni sed a ri k ecil, ram butn ya d ik ep an g, celana
pendeknya di atas lutut, kaosnya tertutup jaket, tubuhnya
kecil, wajahnya coklat, sedikit manis, alisnya tebal, matanya
setengah sipit, tanpa kata ia langsung duduk dekat Toni
melepas sandalnya.
"Dari mana K a?" Toni menoleh.
"Sebenarnya aku mau ke warung, tapi melihat kamu
duduk sendiri aku belok," Rika lancar beralasan, senyumnya
tak tampak tertutup gelap malam, "Kam u tidak biasanya
duduk di sini sendirian Ton. Mana Eko?"
"Baru saja pergi," Toni membuka kakinya, duduknya
bersilah.
Rika m engangguk, ia ingin m elepas jak etn ya tapi
terhenti, Toni tanpa memandang bertanya, "Apa arti laki-
laki bagi perempuan Ka?"
Rika terkejut, tak biasanya ia bertanya akan hubungan
laki-laki dan perempuan. Rika terdiam sejenak, pandangi
mata Toni dari sam ping, "S a n g a t b erarti T o n ... Sangat
berarti... bagiku sangat indah bisa bersam a laki-laki yang
aku sayangi, berapa lamapun, berapa bekupun, walaupun
tak ada kata tapi terasa ada yang hadir untuk melindungi,
ada yang siap u ntu k m en jaga, ada y an g setia untuk
menyayangi."
Toni mengusap dagunya, "Bagaimana perasaanmu jika
kau kehilangan laki-laki itu?"
iS j Z<) 'juz 'H arja 'W aniia

Rika balik bertanya, "Kenapa kau tanyakan ini semua?


Tidak biasanya kamu ingin tahu."
"Sekarang aku ingin tahu," Toni memandang tajam
Rika.
Rika tak bisa melawan, "Aku tak bisa menjawab Ton,
tapi aku berpesan," Rika menarik nafas, " Jika satu waktu
ada wanita yang menyayangimu sepenuh hati, sepenuh jiwa,
jan g a n kau tin ggalkan dia, karena w an ita itu tak akan
m eninggalkanm u kecuali karena nyawa. A rti sendiri bagi
w anita bukan saat ia hidup sebatang kara, tapi saat tak
seorangpun ada yang mau untuk m em berikan kasih dan
sayang padanya," Rika mencoba menebak tatapan mata Toni
yang entah di mana berlabuh, entah pada siapa mendarat.
Rika hanya temani Toni yang kini terdiam, dari kecil
Toni tak b an yak b icara, tak b an yak kata k elu ar dari
mulutnya, tapi Rika tahu Toni hanya merasa kesepian, saat
sepi datang dirinya seakan terjebak dalam pengucilan. Waktu
kecil jika bukan Eko yang menemani, pasti Rika yang datang
agar Toni tak selamanya hidup dalam lamunan.
D ari ja u h bayangan lan gkah Bapak je la s terlihat,
langkah yang tegap, tubuh berteman sarung di leher, sosok
yang m enjadi pendamping Toni sedari kecil, Rika pamit,
"Bapakm u sudah datang Ton," bersepeda keranjang Rika
pergi menjauh, suara gemeletak sepeda terdengar mengiringi
Toni yang terus memandang Bapaknya berjalan.
Toni tahu B apak tak akan m eneg u rny a, atau
menyuruhnya masuk, Bapak pasti berjalan tenang ke dalam
rumah langsung membuka tikar berbaring dengarkan lagu
kenangan. Selang lima menit suara radio terdengar lirih dari
luar, Toni menggeleng, seperti itu Bapaknya.
P intu Toni buka, tam pak Bapak b erb an tal sarung
menatap genteng sembari melamun, Toni duduk dekat Bapak,
coba bertanya, "Apa yang bapak pikirkan tiap malam?"
"Ma'mun Affam j \ ig

Bapak tak menjawab, hanya bergerak, sedikit tolehkan


wajahnya.
Toni beranikan diri matikan Radio, "B ap ak ..."
Belum tuntas Toni bertanya, Bapak ambil sandal jepit
di tepi tikar, den gan sek u at tenaga tan gan m engayun,
"Plakk!!!" pipi Toni tertampar.
Panas mendidih di pipi, merah arang serasa menempel,
darah segar mengalir dari sudut mulutnya. Toni tak melawan,
yang menampar Bapaknya, pipi tak diusap, darah dibiarkan
menetes, perih merasuk bercampur pedih, Toni hanya sanggup
pandangi Bapak yang kembali nyalakan radionya.
"Jangan ganggu Bapak," kata-kata Bapak keluar datar
sembari rebahkan tubuhnya.
Toni berat hati beranjak. Mudah untuknya acuh pada
Bapak, biarkan Bapak melakukan semua yang disenanginya,
biarkan Bapak terus hidup dengan radionya, tapi dalam hati
Toni ingin berbincang w alau sekejap saja, ingin bertukar
tawa walau sedetik saja, Toni yakin Bapak bisa seperti or­
ang lain yang sudi duduk bersama anaknya, sudi menjawab
pertanyaan anaknya, sudi dengarkan keluh kesahnya, mau
tahu akan apa yang dirasakan anaknya.
Fikiran Toni di atas dipan terus m elayang terbang
setinggi mungkin mendaki malam, terbesit di hatinya untuk
pergi tinggalkan bapak sendiri. Toni lupakan tamparan, Toni
ha pus panas dengan satu usapan belaka. Saat malam Toni
hanya bisa berbaring tak tahu waktu tak tahu di mana bulan
bersembunyi di balik awan. M ata Toni m em buka tutup,
berdo'a semoga Bapak bisa tahu arti rasa ingin hidup miliki
keluarga utuh. Mendekap jaket Toni tertidur meski tak lelap,
tubuhnya miring beralas tikar.
M enjelang su bu h B ap ak sep erti b ia sa sud ah
terbangun, tanpa tahu arti dingin bapak m andi di kolam,
suara air menyusup ke setiap ruang kosong remang, dengan
2 0 | 2(j Juz Karya 'MJtmifa

tubuh basah, rambut menetes bak rintik, handuk melilit di


pinggang, bersandal jepit Bapak berjalan lambat membawa
seember air, ia buka tirai kamar, Toni belum bergerak masih
sep erti kucing k ed in g in an , ia m asih terlelap , m atanya
menutup rapat. Bapak mendekat, tanpa fikir panjang Bapak
siram Toni seolah bunga di taman, "B yu u rrr..."
Toni basah kuyup, dipan berair, Toni tak langsung
bergerak, terdiam pejamkan mata, rasakan letih memanggul
batu bercampur dingin teraduk pedih luka di pipi, Toni ingin
b erteriak lantang, tapi itu lah Bapak. Entah apa maksud
Bapak lakukan sem ua ini, tak bisakah sedikit pelan, tak
bisakah hanya mengucap, "Bangun Ton!" sepanjang hidup
tak pernah Toni melihat Bapak tulus tersenyum.
Toni biarkan bajunya basah, berjalan membuka tirai
usang melihat bapak bertopi camping bersiap ke sawah, Toni
coba berikan pesan, "H ati-hati p ak ..."
Bapak hanya berhenti, tak menoleh, tak lama Bapak
kembali berjalan lewati pintu membiarkannya lebar terbuka.
Dalam hati Toni sampai bertanya, "Apakah dia benar
Bapakku?"
Sejen ak Toni h aru s m elu p akan n ya, Toni harus
mengganti baju, mengganti nasib, berangkat ke rumah pak
Hendra menjadi buruh pengangkut batu. Bercelana pendek,
berkaos lengan p an jan g Toni beran g k at, tak lupa Toni
kenakan topinya, pipi bergaris telapak sandal dibiarkan.
Eko sudah di teras pak Hendra, ia jongkok, "Tidak
biasanya kamu telat Ton? Biasanya kamu lebih awal dariku."
"Sudahlah... mana pak Hend?" Toni ikut jongkok.
"Katanya ambil kunci," Eko menoleh ke dalam rumah,
mereka duduk di belakang truk.
Toni mengangguk.
Tak berselang pak Hendra datang dengan kaca mata
hitamnya, "Ayo!"
Tvia'mun A ffary \ Z1

"Brak!!!" pintu ditutup.


Toni dan Eko naik ke bak, mereka berdua duduk di
dalam bak beralas sandal.
"Kamu ingat gadis yang kemarin bawakan kita pepaya
tidak?" Eko mengingat.
"Kenapa?" Toni letakkan topinya di lutut.
"D ia can tik ya Ton, kalau te rs e n y u m ..." Eko
tersenyum sendiri kehabisan kata.
"Aku tid ak lih a t w ajah n y a," Toni m enggaru k
kepalanya.
"K am u ru gi Ton, sam pai sekaran g aku in g at
w ajahnya," Eko belu m b erh en ti, "C o b a n an ti kam u
perhatikan."
"Paling orang lain yang hidangkan m akanan," Toni
coba tak berharap.
"Siapa tahu dia Ton," Eko menggeleng sedang matanya
mengawang.
Suara deru truk terus mengguncang dua tubuh anak
muda yang terdiam menunggu truk menepi ke sungai.
Eko telisik pipi Toni, "Kamu ditampar Ton?" Eko sudah
hafal, "Ditampar pakai apa?"
"Sandal," Enteng Toni menjawab.
"Tadi pagi kamu disiram?" Eko berdiri sejenak.
"Sem alam aku lelah Ko, aku tela t b an g u n ," Toni
beralasan.
"Kamu tidak salah Ton, tapi kenapa Bapakmu selalu
lakukan itu?" Eko kembali duduk.
"Aku sendiri tidak tahu, kata teman Bapak, dulu Bapak
tidak suka melamun, tidak terlalu diam," Toni tak ragu tidur
di atas bak truk, "Dari kecil Bapakku sudah seperti itu."
Berdua lama terdiam, sampai di tepi sungai mereka
angkut satu-persatu batu, pegal hari kemarin belum hilang,
pegal hari ini terasa remukkan tulang, habiskan keringat di
22 | ZgO uzHarya'W anita
badan, tulang terasa hancur, berkali-kali Eko menyandar letih
di bak truk, Toni berulang-ulang menarik nafas dalam, hanya
berdua bekerja demi mengisi hidup yang tak bisa berlanjut
tanpa nasi mengganjal perut. Saat Toni menatap langit ia
bersyukur, awan halangi matahari menyengat bumi.
Sebelum berangkat ke pesantren kaki Toni dan Eko
mencelup di air, dengarkan bisikan sungai, membasuh wajah,
melepas lelah, di atas truk Eko bahkan tertidur, tapi entah
mengapa Toni mengharap ia bisa dapatkan hidangan dari
gadis kemarin, ia memang ingat kakinya, ingat pori-pori kecil
diantara halus kulitnya, jem ih kuku mutiara lentiknya, ingat
petikan jemari tangan di lingkaran gelas kaca. Toni merasa
dirinya sebatas makhluk kecil tak berharga, tapi ia hanya
m engingatnya, m encoba m enghafal geraknya, m encoba
mengukir tabir syahdunya.
Truk masuki pondok, berhenti tepat di samping kiri
masjid, terkepung empat asrama panggung, saat pintu dibuka
gemuruh batu jatuh getarkan bumi, "D rugg.... Brugg!!!!" dari
atas Eko dan Toni melempar sisa batu ke bawah.
Banyak santriw ati lalu lalang, berm ukenah, m en­
jin jin g rok, m enutup m ulut dengan u ju ng kerudung
berlindung dari deru debu, banyak yang duduk di tangga
asrama panggung m enatap Toni dan Eko, namun mereka
berdua justru melihat ke satu pintu, pintu rumah Kyai, pintu
lebar terbagi dua, pintu yang tertutup rapat. Jika satu batu
selesai dileinpar, Toni dan Eko coba melirik, tapi pintu tak
kunjung terbuka, Eko sesekali tersenyum menyadari Toni
lebih sering menatap pintu rumah Kyai.
Saat usai seperti biasa mereka duduk depan teras pak
Kyai meski tak dipersilahkan, berkali-kali Toni coba menoleh
ke belakang, jarak antara pintu dan tem pat Toni duduk
sekitar sepuluh m eter, lu as. Toni dan Eko numpang
berteduh, numpang luruskan kaki. Tiba-tiba dari belakang
'M a'm un A ffan y | Z3>

suara nampan beradu gelas terdengar, seketika Toni dan Eko


menoleh, Toni tak lagi peduli dengan gelas atau isi piringnya,
ia ingin melihat paras pengantarnya, tapi wajahnya dalam
tertunduk b ersem b u n y i di b a lik k eru d u n g p u tih , dua
lututnya di lantai tak lama bersimpuh.
Mulut Toni tak bisa m engucap, ia hanya bersyukur
memandang seorang perempuan, meski sekilas tapi parasnya
seolah selalu tersenyum, wajahnya membawa ruang bahagia,
wajahnya adalah senyum nya, m atanya tak terlalu bundar
tapi lentiknya menawan hati yang balas memandang, pipinya
sedikit kembung tanpa lesung, dagunya tak terbelah, cukup-
lah bahagia jika Toni sudah diberikan sedetik kesem patan
untuk menatapnya, ujung hidungnya berkilau seterang dua
katup bibir kecilnya, gadis itu berjalan lam bat m enjauh,
semakin m enjauh, tapi Toni tak sudi m elepasnya, entah
mengapa Toni seketika tergerak untuk bertanya sesuatu, Toni
tanpa sadar berdiri tak peduli bercelana pendek berkaos lusuh,
ia berjalan di atas lantai rumah pak Kyai, tak peduli kakinya
kotor, namun baru empat langkah gadis itu tlah bersembunyi
di balik pintu. Entah apa yang ingin Toni tanyakan, tapi ada
sesal ia tak bisa wujudkan satu perjumpaan.
"Toni!" Eko memanggil.
Toni sadar, lantai kotor karena kakinya, Toni mencari
lap, kain pel di sudut Toni pungut, Toni lap lantai seolah
pembantu, setengah sujud Toni bersihkan setiap jejak.
"Kamu mau apa Ton?" Eko kontan heran.
"Aku tidak tahu K o ... aku juga tidak tahu... tapi aku
ingin menyapanya," Toni peras lap, setetes air terjatuh, toni
berdiri menatap empat asrama santriwati dengan fikiran jauh
pergi ke awan ingin menembus langit mengintip pertemuan
tapi terhalang takdir yang berbicara lain.
24 | 2-1) 'Juz 'Murija 'Wanita

— " M a r ta b a t C in t a —

B
ulan begitu bundar di langit, tak terhalang awan,
bertemu ribu an bintang berkedip seolah mengetuk
m alam . Tak ada angin berarak , daunpun hanya
diam, jalan pasar Pringsewu lengang, toko-toko di pasar
tutup, jangkrik begitu jelas berderik meski gerombolan Toni
duduk di tepi jalan, 13 orang, semua membawa motor kecuali
Toni, ia membonceng Eko, ada em pat perempuan duduk
santai dengan balutan jeans dan kaos.
Toni duduk di bibir aspal, di ujung pasar mereka
bergerombol, tak ada tujuan selain hanya kumpul, jika ada
yang berhasrat menantang maut, semua bergerak.
Satu gadis dekati Toni, tubuhnya kecil, kalau naik
m otor jin jit, "M ikirin apa Ton?" tangan kanannya genit ;
menepuk punggung.
"Aku pulang dulu, satu waktu aku m inta bantuan
kalian," Toni memijat matanya, tak pedulikan pertanyaan,
"Bapakku sendirian di rumah."
"K ita akan Bantu Ton, jan g an k h aw atir," dengan
remasan di pundak Putra meyakinkan.
'M a 'm u nA ffa ny |

Toni b era n jak , "Aku pulang d u lu !" suara Toni


menyapa keras menyapa teman duduk berjauhan.
"Mau diantar siapa Ton? Anis atau Anggi?" salah satu
teman menawarkan, duduknya angkuh di atas motor.
M emang hanya Toni yang belum terdengar punya
kisah-kasih, mungkin rapi tersimpan, mungkin memang tak
pernah bersentuhan, semua tahu bagaim ana Bapak Toni
memperlakukannya.
"Sama Eko saja/' Toni mencoba senyum, senyum yang
selalu terpaksa, ia langsung menempel di motor Eko, "Kita
pulang Ko."
Eko n y alak an m otor F1ZR m ilikn y a, su aran ya
pecahkan hening, menelusuri jalan-jalan kecil di desa Kuncip
menuju rumah-Toni, semuanya gelap, tak banyak lampu,
aspal dari bebatuan besar, lewati sungai Toni mengenang
satu gadis yang tak ia kenal namanya. Toni tak peduli siapa
dia, Toni tak p ed u li bag aim an a dia, Toni hanya
mengingatnya, m enggam bar kem bali kejadian, parasnya
adalah senyumnya, jalannya syarat kelembutannya, hatinya
yang rapi tersembunyi pertanda budi pekertinya.
Di depan satu rum ah Eko berh en tik an m otornya,
"Satu hari aku pinjam motormu Ko."
"Pakai saja Ton," Eko sudah jadikan Toni saudara.
Toni menatap dalam temannya. Tanpa Eko dan Rika
hidup Toni hanya sebatang kara, "Terim akasih Ko."
"San tai saja, aku ju ga ban yak m inta p erto lo n g an
darimu," Eko mengangguk.
Toni berdiri menunggu Eko pergi, saat suara motor
mengecil Toni buka pintu perlahan, sayup lagu Tommy J
Pisa dari radio Philips terdengar, Bapak sudah terbaring di
atas tikar, telinganya ham pir m enem pel radio, sarungnya
melilit di leher, matanya belum sedikitpun terpejam. Toni
mendekat, duduk di samping perut Bapak, ia peluk lututnya
2.6 j ZtyOuz7/arja 'Klanita

tak menatap.
"Bapak tidak ingin menikah lagi? Bapak sudah lebih
dua puluh tahun sendiri," Toni tak takut dengan tamparan,
pukulan, atau ludah menyembur.
"Satu hari aku pergi pak, satu hari aku menikah, hidup
b ersam a istri, aku satu h ari b e rk e lu a rg a ," Toni
membayangkan kehidupan hangat keluarga seperti teman-
temannya, "Mungkin bapak tidak bisa menjawab, tapi Aku
yakin Bapak menyimpan jaw abannya."
Toni m en g erat g igin ya, "S e p a n ja n g tah u n Bapak
melamun, tapi aku juga pernah merasakan," Toni tersenyum
mengingat kemarin, "Kalau bapak mau tampar pipiku lagi
tidak apa-apa, tapi aku ingin sekali katakan ini pada Bapak,"
Toni lepas lututnya dari pelukan, duduk bersilah memandang
wajah bapaknya yang berkedip.
Diam , biarkan suara angin m enerobos m asuk dari
celah-celah rum ah dendangkan lagu bak seruling, bapak
hanya diam pejam kan rap at m atanya. Toni lelah , Toni
beranjak, tak lekang ia pandangi Bapaknya m eski berjalan
pelan ke kamar, berulang-ulang Toni menoleh, mendengar
suara radio, rebahkan tubuhnya di dipan, memulai lamunan
akan kenangan.
Jaket dilepas, dipeluk erat, matanya meneropong kisi-
kisi waktu yang tlah terlewati, sejenak ia kembali melukis
Bapaknya, sikapnya, kasarnya, tapi sem akin lam a Toni
m enggam bar sem ak in ten gg elam terh ap u s satu sosok
merona, sejukkan hati, hangatkan jiwa, siratkan nada-nada
hidup yang tenang penuh kearifan, kerudungnya, caranya
membawa nampan, bagaimana wajahnya menunduk dalam,
entah mengapa selalu bisa mengingat dengan sempurna.
Ia sadar siapa dirinya, mungkin gadis itu sebatas bisa
dilihat, hanya bisa ia tatap, hanya bisa ia dengar setiap de­
bar langkah kakinya, tapi ingin baginya bisa mengenal, ingin
"Ma'mun Affany j ZJ

tahu, m ungkin darinya ia bisa sulam kepedihan dengan


senyum penawar, m ungkin darinya ia bisa belajar hidup
untuk terus menjadi lebih baik berguna.
Malam ini ia berharap sanggup bermimpi, kiranya tak
diberi, sud ah cukup bag in y a bay an g an sebelu m m ata
terpejam, berteman hening ia coba tutup hari, di atas dipan
keras ia berusaha kembalikan seluruh jiwa, tanpa detik jam
ia coba dengarkan bisikan kedipan bintang. Ia peluk erat
jaketnya, ia lirik sejenak jam dinding yang sudah lama mati
tak tunjukkan waktu berjalan. Toni tak tahu kapan tertidur,
mungkin jam 11, atau jam 12, atau lebih. Esok hari ia akan
kembali menjadi kuli.

*****

Bapak sudah m enimba air, hanya berhanduk bapak


perlihatkan otot-otot kekar, bisepnya, perutnya terbagi enam,
dadanya, semua terbentuk rapi, kalau m andi bapak tak
pernah lama, tak pernah terbesit kata lupa walau subuh
belum tiba, yang pasti bapak selalu bawa seember air ke
kamar Toni, entah sudah m enjadi kewajiban, atau sebuah
balasan.
"B y u rrr!!!" tubuh Toni terguyur bak m ayat, em ber
Bapak bawa kembali ke kolam.
Toni tak lan gsu ng b erg erak , ia diam rasakan air
meresap masuk menem bus seluruh pakaian, saat duduk
tetesan-tetesan air berjatunan bak rintik hujan, Toni usap
rambutnya yang basah, ram butnya yang panjang, w ajah­
nya yang terbias air kolam, sarapan Toni selalu guyuran
seember air.
Toni b u kan tak b eru sah a u ntu k ban gu n , tapi
pekerjaan dua hari ini b eg itu b erat, rem ukkan tu lang
belulang. Mungkin esok Toni akan mandi sebelum Bapak-
Z S | z g lu z T-tarja 'W anita

nya, yang pasti pagi ini Toni akan kembali melihat gadis tak
bernama untuk ke tiga kali.
Entah m engapa hari ini rasanya berbeda dari hari
sebelum nya, ada h asrat in gin berjum pa, in gin m elih at
senyum hangat yang sebatas hadir dalam sekejap mata. Toni
tak berharap lebih selain ingin m elihatnya, ingin jum pa
dengannya. Walaupun tatapannya pasti tak berbalas, kiranya
puas jika Toni bisa hanyut dalam pagutan sosok gadis yang
selama ini tak pernah ada dalam buaiannya. Ibu tak punya,
Nenek jauh di mata, Rika tak ubahnya Eko yang ada untuk
menemaninya, hanya dia wanita penyelimut hatinya meski
belum mengenalnya.
Toni tak berdandan, tak perlu memakai minyak rambut
karena tak punya, celananya jeans sobek di lutut, kaosnya
hitam tak bergambar, topinya hitam memudar debu sedikit
menutup wajah kusam.
Dalam truk, di atas batu Toni hanyut dalam lamunan,
Eko nyenyak tertidur, waktu sampai di pesantren semua
santriwati berm ukenah menyembur keluar masjid, semua
tam pak putih. Toni dan Eko lupa membuka pintu truk,
m ereka b iarkan pintu tertutup, m ereka m enghibur diri
dengan ratusan santriwati menjinjing mukenah, menunduk,
tersenyum, terik menyengat terlupa tertutup pesona paras
rangkum an seribu m isteri keindahan, cok lat kulit akan
tam pak m anis d ib alu t m ukenah, putih k u lit m erona
sempurna, kata jelek terhapus, pujian dalam hati terukir
tanpa penghentian.
Mata Eko silih berganti memilah, sedang Toni melihat
satu sosok gadis lamunannya berjalan menunduk, terhimpit
dua temannya seolah penjaga, dua tangannya begitu erat
memeluk Qur'an, wajahnya tak bisa jelas tampak dari atas,
tapi bay ang an ny a cukup puaskan hati u ntu k sejen ak
b ersyu k u r pad a Ilah i, dahinya, ujung k eru d u n gn ya,
JAa'mun A ffary \ 2 $

dagunya seo la h m enyatu m en jad i k ilau an m u tiara,


gelem bu ng dua pipinya laksana apel merah tak tersentuh.
Tak henti Toni menatap laksana monyet di atas pohon,
Toni ta k m alu jon gkok di atas batu , m ungkin ini yang
terakhir, mungkin esok tak ada lagi batu diangkut, mungkin
besok gadis tersebut bersembunyi dalam suci. Sejenak dua
teman penggapit gadis lamunan membalas pandangan Toni,
tapi Toni tak peduli, ia terus memusat pandang tanpa henti,
lenggok jalannya yang lamban begitu menahan jantungnya
untuk berdetak, langkah kakinya yang kecil membuat Toni
lepas topi agar lebih jelas memandang, rasanya hujanpun
tak bisa menghapus jejak langkah di balik dada.
Semakin lama gadis lamunan semakin menjauh, dari
pintu belakang ia m asuk ke rum ah Kyai, bu kan seperti
banyak santriwati yang pulang ke asrama.
"Ton!" Eko menggoyang tubuh Toni, "Ayo kita kerja."
Toni sadar, ia terlupa dirinya masih menginjak batu,
Toni tersen y u m sen d iri, senyum yang tak p ern ah
mengembang manis, senyum yang merekah terkupas indah.
"Kenapa kamu senyum?" Eko heran, loncat dari bak
ke bumi.
Toni m enyu su l lom pat, dua tan gan ny a b eru sah a
membuka pintu, "Rasanya indah dunia ini kalau kita beristri
salah satu dari gadis yang tinggal di sini."
Eko tertawa kecil, "Toni... T o n i..." batu berguguran
jatuh ke bum i, "K am u harus tahu siapa kita dan siapa
mereka."
"Memang kenapa?" Toni mulai melempar batu.
"M e re k a itu san triw ati T o n ... S a n triw a ti," Eko
menjelaskan seakan lupa tangannya mengangkat batu besar,
“Mereka setiap hari m engaji, setiap hari m enuntut ilmu,
setiap hari berdzikir mengingat Allah."
"Lalu?" Toni mematung sekejap.
$0 | zg'Juz'H arga'W anita
"Lihat diri kita, sholatpun seminggu sekali, bahkan
tak pernah, apalagi berdzikir, kita tak tahu, mengaji kita tak
bisa, yang kita tahu hanya lebaran," Eko terdiam sejenak,
"D osa kita juga ban yak Ton, sudah terlalu banyak, tak
terh itu n g b an yak n ya, m alaik atp u n sep ertin ya bosan
mencatat dosa kita."
"Cinta itu buta Ko," Toni putar topinya ke belakang,
"Banyak orang kaya m encintai orang m iskin, banyak or­
ang sampai lupa dengan kecantikan jika sudah mencintai
seseorang, banyak yang lupa adat, aturan, kedudukan,
hanya karena cinta."
"Kamu lupa sesuatu Ton," Eko melempar sedikit jauh
batu di tangannya.
"Apa itu?" Toni berhenti.
"Cinta itu punya martabat, punya kehormatan, punya
kedudukan yang arif di sanubari," Eko pandangi langit,
"Bagi yang sekedar mencintai martabat itu hanya hadir saat
cinta itu ada, tapi bagi orang yang ikhlas, tulus, sepenuh
hati, cinta itu begitu suci, begitu berwibawa dengan sejuta
makna. Sesungguhnya orang kaya mencintai orang miskin
martabat mereka sama, tapi orang baik pasti akan memilih
yang baik demi menjaga kesucian mereka," Eko termanggut
seraya hembuskan nafas berkeringat.
Toni tercengang, darimana Eko mendapatkan semua
kata. Batu Toni lempar, "Tak!!!!"
Saat usai seperti biasa Toni dan Eko duduk di teras,
Toni m elepas Topi, Eko duduk menyandar tiang, mereka
menunggu sesuatu yang sanggup basahi tenggorokan.
Namun berulang-ulang menoleh ke pintu, yang keluar
b u kan lah gadis d alam lam unan, ju stru pak K yai, ia
bersorban, berpeci putih, bersarung, tak disangka pak Kyai
duduk di tengah-tengah Eko dan Toni, "Kalian lelah?"
"Iya pak," Eko menjawab.
'Ma'mun Affany \ $1

"S e b e n ta r lag i m inum annya d a ta n g ," pak K yai


pandangi tumpukan batu dan kerangka masjid, lalu lalang
pegawai tampak secuil.
"Boleh Tanya sesuatu pak Kyai?" Toni beranikan diri.
"Silah k an ," pak Kyai santai m em baur.
Toni se d ik it can ggu ng, lid ahn ya su d ah sed ik it
m enjulur, tapi mulut kembali mengatup.
"Katakan, jangan ragu," pak Kyai menepuk bahu Toni
tak peduli keringat lengket melekat.
"Apa seumur saya sudah pantas mencari jodoh?" Toni
hati-hati.
Eko setengah geli mendengar, menahan tawa, tapi pak
Kyai tak sedikitpun m erasa aneh m endengar, "Um urm u
berapa?"
"22 pak Kyai," Toni sedikit menunduk.
"Setiap orang pasti menunggu kapan w aktu tepat,
mencari tahu siapa jodohnya," pak Kyai m elepas pecinya,
kepalanya digaruk, ram butnya setengah beruban, "Tapi
sesungguhnya tak ada waktu pantas, tak ada waktu tepat,
yang ada kata siap, yang ada hanya keyakinan hati untuk
menghadapi."
"Kalau kamu menunggu kaya, sampai kapan pun tak
akan pernah datang, karena kaya tak ada batasnya, kalau
kamu menunggu sukses, sampai kapanpun tak akan pernah
menikah karena batas akhir kesuksesan hanya kem atian,"
pak Kyai menghirup nafas panjang, "Tapi kalau hati kamu
yakin, senang atau sedih, payah dan sudah akan kamu lewati
bersama."
Toni dan Eko m engangguk-angguk.
"Ingat nak, kalau kamu belum m enikah, jiw a akan
resah, gelisah, payah m eski fikiranm u tenang tak miliki
beban. Tapi kalau kamu sudah menikah, fikiranm u akan
Penuh beban, penuh cobaan, setiap hari hadapi dilema, tapi
32 | ZgO uz'M arja'W anita
jiw am u akan ten ang, akan k h u sy u ' karena ada yang
membuat jiwa selalu hadir dalam kesejukan."
Toni coba pahami, tak berselang pintu terbuka, gadis
itu keluar dengan nampan di tangan, Toni sebisa mungkin
memandang, ia tak malu dengan pak Kyai di sampingnya,
ia tak lepas gadis di hadapannya, dapat m eliriknya satu
anugrah, dapat m enatapnya satu kesyuran tak terukur
dalam, kedipan matanya laksana temukan matahari selepas
gerhana, gerakan bibirnya laksana senyuman mungil anak
kecil.
Ia berhenti sedikit jauh, duduk bersimpuh letakkan
dua g elas air p u tih tan pa sep irin g m akanan, pak K yai
dekatkan piring pada Eko dan Toni.
"Ayo minum," pak Kyai mempersilahkan.
Toni dan Eko mulai menenggak.
"Siapa namamu?" pak Kyai bertanya pada Toni.
"Toni pak Kyai," Toni letakkan gelasnya.
"Kamu tak berkedip pandangi santriwatiku, padahal
ada aku di sini," pak Kyai heran.
Toni tak canggung, "D ari kecil saya hidup bersama
Bapak, ibu saya meninggal waktu m elahirkan, saya ingin
bisa rasakan..." Toni berhenti, tak melanjutkan.
Pak Kyai mengangguk.
"Saya tak pernah melihat perempuan seperti itu, dia
begitu tenang, begitu sejuk w ajahnya dipandang, begitu
nikm at hati m enatap," Toni gelengkan kepala, "M ungkin
hanya sekali saya datang ke sini, mungkin besok saya sudah
tak bisa melihat lagi. Mohon pak Kyai tidak marah melihat
saya seperti ini, saya sangat mendamba sosoknya," Toni tak
sedikitpun tefbata, Toni tak takut dicaci, dimarahi, ditampar,
Eko setengah tak percaya dengarkan kejujuran Toni.
Pak Kyai m enepuk bahu dua kali, "D ia anak yang
sangat baik, hormat pada semua orang, santun, tak banyak
~Ma'mun A ffary | 3 3

ia bicara, kalau ada m asalah dia m engalah, disuruh ia


m enurut, kalau ada teman bercerita ia sudi mendengar meski
ia tak p e rn a h bercerita pada tem annya," tanpa pamit pak
Kyai b erd iri, masuk ke dalam rumahnya.
Eko dan Toni tak tah u apa alasan pak Kyai
menjelaskan santriw atinya, meski tak berikan nama, tapi
justru semakin kuatkan pahatan paras yang tergambar di
balik dada.
0
34 |2^Juz llurrja 'Wanita

— N a e fa K h a sn a —

// £

S i ekarang kau sering melamun Ton?" Eko melem­


par bantal ke wajah Toni.
Toni malam ini bermalam di rumah Eko, tempat
salah satu p elarian b ag i Toni. Eko bercelan a pendek
m enggantung celana panjangnya, Toni berbaring diam di
atas kasur kapuk tak berbantal, lampu di kamar Eko putih
berpijar. Kamar Eko tak punya ranjang, hanya kasur di atas
lantai, satu almari dan cermin kecil menggantung di dinding
dekat pintu.
M enatap Toni tetap m elam un Eko mengambil gitar,
duduk bersilah dekat Toni mainkan sebuah lagu.
Terlukis parasmu di lamunku
Kuukir senyummu dalam hatiku
Rinduku habis terbawa indahmu
Terjerat nafasku oleh hirupmu
Tertawan hatiku dengan syahdumu
Ijinkan aku berjumpa denganmu
"Ma mun Affany \ 3 5

"Lagu ini untukmu Ton," Eko menoleh ke sisi Toni.


Toni tak banyak bicara, ia terus terpen jara dalam
lamunan, "Aku ingin berkenalan dengannya Ko."
"Jangan mimpi Ton, cukup sudah untuk kita hanya
bisa m elih at w ajahn ya, senyum n ya, kalau p u n kita
b erken alan, nama kita sudah terhapus setelah pertemuan,"
Eko merasa mereka tak akan dilirik.
Toni tersenyum di pem baringan, "Aku yakin tidak.
Aku ingin belajar darinya."
"Belajar apa?" Eko sandarkan gitar ke dinding.
"Aku ju ga tid ak tahu, Aku baru sekali in i begitu
bahagia m elih at w an ita," Toni tak berh en ti tersenyum
sendiri.
Eko berkaca sejenak, "Kau jatuh hati Ton. Kau harus
tahu diri, tahu diri!"
"Aku tahu diri Ko, aku hanya ingin berkenalan, tak
lebih," Toni duduk.
"Tidak mungkin Ton, sudah menjadi tabiat kita kalau
terkesan dengan wanita akan berusaha dekat, terus semakin
berharap untuk bisa lebih dekat," Eko berbaring di sebelah
Toni, "Dulu aku pernah seperti itu dengan Dede, tapi dia
tak membalasku."
Toni termenung. Dede gadis desa yang menolak halus
rayuan Eko.
Berdua berjejer di kasur bak ikan, melempar lamunan
tanpa kata, d en gark an resak an daun di lu ar p erlah an
sebarkan ketakutan, Eko m enghibur diri pandangi poster
Nike Ardila, sedang Toni terus gantungkan angannya pada
seorang gadis berbalut kerudung. Tak tahu nama, tak tahu
silsilah, Toni m endam ba b erd asar rasa in g in dekat
dengannya. Semakin larut malam semakin membius dua anak
adam dengan kantuk. Tak tahu jam berapa mereka tutup
mata, tapi saat adzan subuh berkumandang Toni membuka
3<5 |Zg Juz 1-targa 'Wanita
mata lebar.
Adzan begitu jelas, mushola dekat, sangat dekat hanya
terp isah satu rum ah. Tak pedu li berk ao s lusuh, celana
berlubang Toni ingin sekali pergi ke Mushola, Eko masih
nyenyak di atas kasur, dengkurnya terd en gar pertanda
begitu letih tubuhnya.
Toni telisik wajahnya sendiri di cermin, tak berbentuk,
kumal, kusam, tak terang, jarinya bersihkan sudut mata, ia
lepas karet di pergelangan mengikat rambutnya. Waktu pintu
kamar dibuka Bapak dan Ibu Eko mau berangkat ke mushola,
Toni menyapa, "Ibu mau ke mushola?"
Ibu berhenti, ia benarkan tali m ukenahnya, "Iy a ,"
bapak Eko sudah lebih awal keluar.
"Toni ikut Bu," canggung bagi Toni, ia seperti anak
kecil, dari dulu sangat jarang merambah masjid.
"E k o m an a?" Ibu h eran, an aknya sen d iri belum
bangun.
"M asih tidur di dalam," Toni menunjuk ke dalam.
"B angun kan Ton," Ibu sudah akrab, m enganggap
Toni bak anak sendiri, sedari kecil sering menyelip tidur di
rumah.
Toni m asuk ke kam ar, tan gan Eko kuat d itarik,
"Bangun K o."
Eko belum membuka mata.
"Ko! Sudah subuh," Toni menyadarkan.
Seketika Eko m em buka dua m atanya lebar-lebar,
"M aksudm u?"
"Ayo ke mushola," Toni menarik tangan berdiri.
K ontan Eko garuk kep ala, Toni tak pernah
menyadarkan untuk sholat, apalagi ke masjid, Eko merasa
aneh, Eko belum sadar, seakan bermimpi.
"Aku duluan K o," Toni tinggalkan Eko, Toni hafal,
setelah dibangunkan Eko tertidur kembali.
~Ma 'mun Affany \ y j

Tapi hari ini Eko tergerak, ia ikut berangkat, ia ingin


tahu apakah Toni benar-benar ke mushola.
Eko lilitkan sarung di leher, bercelana pendek ia tembus
fajar, ia perhatikan teman karibnya mengambil air wudlu di
pancuran. Mulut Toni tak bergerak, memang Toni tak tahu
apa do'anya. Yang membuat Eko takjub, "Kenapa baru hari
ini Toni berwudlu? Kenapa baru detik ini ke mushola?"
Pandangan Eko tak lep as dari Toni, bagaim ana ia
duduk bersilah m endengar pu jian, bagaim ana ia diam
menunggu iqomah, bagaim ana Toni bertakbir, bagaimana
Toni berdzikir tanpa tasbih, bagaimana Toni pejamkan mata
mengangkat dua tangan setinggi dada kala berdo'a, semua
tak Eko lepaskan.
Saat usai Eko mendekat ke sisi Toni, ia masih belum
berpindah dari tempatnya bersujud, di barisan paling depan,
"Sudah selesai Ton?"
Toni mengangguk, ia ingin beranjak pergi, tapi Eko
menariknya duduk kembali, "Sebentar Ton!"
Toni tertarik duduk berhadapan.
"Selam a ini kam u tak pernah sem bahyang, paling
berharap pada langit malam di bawah bulan dan bintang.
Pagi ini aku ingin tah u d o 'am u ," Eko tak sed ik itp u n
tersenyum.
"Aku ingin mengenal gadis itu," singkat tapi jelas, Toni
menahan nafasnya.
"Kamu serius ingin mengenalnya?" Eko takjub.
"Aku su n gg u h-su ng gu h in g in m engen alnya, aku
yakin Allah kabulkan do'aku, aku yakin bagi Allah sangat
mudah untuk memberi tahu namanya padaku," Toni sangat
yakin.
“Jangan gila Ton," Eko memandang gadis itu begitu
mulia, m ungkin sem akin Toni k ejar ia akan sem akin
menJauh, Toni semakin tersiksa, mungkin gadis itu perlahan
| zgOuzT-targa 'Wanita
akan menghilang.
"Aku tidak gila Ko, aku hanya ingin tahu namanya."
Eko gelengkan kepala melihat temannya seakan terasuk
setan, berhasrat untuk m engenal gadis di balik kesucian.
Eko tahu jika Toni inginkan sesuatu tak pernah menyerah,
ia lakukan dengan segenap jiwa raga yang ada. Kalau bukan
Toni mungkin tidak akan tamat SMA, setahun tak sekolah
untuk mencari uang, setelah terkumpul baru melanjutkan,
dan sekarang hasrat Toni muncul kembali, ingin mengenal
gadis yang tak p ern ah b ica ra , tak p ern ah m em balas
pandangannya hanya m elihat sekejap saja.
Hari ini sebelum hari akhir mengangkat batu. Seperti
biasa Toni dan Eko berangkat ke rumah pak Hendra bersama,
naik di bak truk, mengangkut batu dari tepi sungai, melempar
batu dari truk di pondok Fathun Qorib.
Hari ini langit tak begitu bersahabat, mendung, gelap,
awan kelabu setengah hitam, petir menyambar menggelegar,
angin ribut terbangkan debu rontokkan dedaunan, pak
Hendra sudah berlindung di teras masjid beratap terpal biru,
Toni dan Eko dari atas truk bersam aan m enatap lan git
seakan m enantang, m ereka bersiap m enerim a runtuhan
hujan, ranting-ranting terombang-ambing angin, beberapa
santriwati berlarian mengambil jemuran, saat pakaian sudah
terpeluk mereka berlari berlindung di kamar.
" D er!!!" p etir m enyam bar, tak b erselan g detik,
"B resss!!!' hujan deras m engguyur, Toni dan Eko basah
kuyup, berdua tak berlindung, batu tinggal sedikit, mereka
sudah sering makan hujan bersama, diantara kabut deras
hujan tubuh mereka bergerak, tangan mereka sekuat tenaga
melempar batu dari bak truk, keringat dan air menyatu, lelah
dan dingin membaur. Toni tak lepas topinya, Eko melepas
kaosnya jadikan penutup w ajah bak ninja agar tak sakit
tertu su k jaru m hujan, saat k ilat m enggaris lan g it bak
~Ma 'mun A ffany j 3 ^

sengatan, mereka duduk sejenak berlindung "Derrr!!!" petir


menyambar kabarkan ketakutan.
Batu terakhir Toni lempar, air menciprat, Toni loncat,
Eko m enyusul, di tengah leb at hujan m ereka berlarian
menuju teras rumah pak Kyai, mereka seperti anak kecil
berm ain h ujan, hanya m ereka berdu a yang berg erak
menerjang, Toni lebih cepat, Eko tertinggal di belakang, air
m enggenang ten gg elam k an m ata kaki tak tam pakkan
daratan, petir sekali lagi menyambar di tengah lebat hujan
"D e rrr!!!" tak d isen g aja kaki Eko m eng in jak sesu atu ,
"C u sss!!!" paku m enu su k telap ak kaki kanannya, Eko
terduduk seketika, "Ton!!!" sekuat tenaga Eko memanggil,
guyuran h u jan bu yarkan su ara, tapi sayup k ecil Toni
mendengar.
Toni b alikk an tubuhnya, b erlari d ekati Eko yang
duduk beralas air memegang kaki kanannya, darah mengalir,
air hujan di sekitar tubuh Eko m em erah darah, Eko tak
sanggup berjalan, tanpa bertanya Toni angkat tubuh Eko,
membopong meski tergopoh-gopoh, air hujan di muka tak
diusap, terus menerjang, sekuat tenaga menahan, dari kaki
kanan darah terus menetes, di teras pak Kyai Toni letakkan
Eko dekat tiang biarkan bersandar, Toni tak peduli lantai
menjadi setengah berlumpur.
"Tahan sebentar Ko," Toni meminta Eko sabar, tetesan
merah di lantai tampak kental.
Sejenak Toni celingukan, tak ada orang, semua jauh,
matanya hanya bisa menyelip diantara putih kabur suasana,
yang terdekat tak lain pintu rumah pak Kyai, tanpa borfikir
Toni ketuk pintu keras, "Assalamu'alaikum!!!"
Tak ada yang keluar.
"A ssa la m u 'a la ik u m ..." Toni kem bali m engetu k,
Wajahnya berulang-ulang m elihat Eko m eringis menahan
Perih.
4 0 | z g 9uz 'Hartja 'W anita

Pintu terbuka, pak Kyai ada di hadapan Toni, berkaos


dalam seakan hendak tidur di kasur.
"M aaf pak Kyai, saya hanya butuh pertolongan, kaki
tem an saya m enginjak paku," Toni m enunjuk Eko, ia tak
canggung meski sekujur tubuh basah menetes air.
Pak Kyai melongok, lantai rumahnya setengah merah,
"Tunggu sebentar," pak Kyai menutup pintu kembali.
Toni ke dekat Eko, darah terus mengalir.
"Ambilkan batu Ton," Eko meminta.
Toni ke halaman mencari batu, ia cepat kembali, "Ini."
Eko memalu kakinya berkali-kali dengan batu, bibirnya
terkulum menahan perih, matanya memejam menahan pedih.
"K ak !" tiba-tiba dari belakang satu gadis datang, ia
duduk tepat di belakang Toni, kalau Toni tidak panik, ia
mampu menghirup wangi Spalding, tapi semua pudar, Toni
hanya memandang telapak kaki merah Eko. Dari belakang
kotak putih P3K disodorkan.
Toni m encom ot, ia m encari sesu atu tapi tak
menemukannya, "Tolong ambilkan air hangat dan handuk
kecil M ba'."
"K akak ikat dulu kakinya agar darah tidak terlalu
banyak keluar," setengah lari gadis tersebut masuk, kelebat
roknya terdengar, Eko memperhatikan tiap langkahnya, tapi
Toni sibuk m em buka kain kasa sebagai tali m engikat
pergelangan kaki Eko. Nafas Eko terengah-engah menahan
sakit sekaligus menatap seorang yang sedari pagi bahkan
malam ada dalam setiap kata, mimpi, harapan, dan do'a Toni.
"Ini kak," satu tangan menyodorkan.
"Makasih m ba'," Toni bisa sedikit lega.
Kaki Eko Toni pangku, ia lap perlahan dengan handuk
putih kecil, telapak kaki tampak putih mayat, getir dingin,
tapi seketika merah saat darah kembali menyembul mencemar,
"M ungkin aga' sakit Ko."
"Ma'mun Affany \ 4 1

Toni ambil air hangat di gayung, sedikit demi sedikit


Toni guyur kaki Eko.
"Aduh!!!" Eko mengerang.
Toni erat memegang tak sad ari gadis di belakang Toni
te r s e n y u m geli dengan gigi tak tam pak, ia seten g ah
m e n u n d u k tersenyum im ut, tersen y u m m anis dengan
p a n g k u a n p u n g g u n g telap ak tan gan , terseny u m suci
m enah an lucu, tak ada suara tapi Eko memperhatikannya.
Toni tetesk an b eth ad in e tep a t di lu ka, ia seolah
menyiram, merah obat dengan darah bercampur seketika,
Toni gunting kain kasa, m elipatnya em pat kali m enjadi
penyumpal luka, dengan kain kasa yang panjang Toni mulai
mengikat, pelan tapi pasti Toni hati-hati, dililitkan, saat
terakhir Toni tak bisa rapikan ujungnya, hanya diselipkan.
"Jangan seperti itu Kak, nanti malah lepas," gadis di
belakang Toni memberi tahu.
Toni m enoleh, " T r u s ..." seketik a k ata-k ata Toni
terputus menyadari gadis yang ada didekatnya, terhenti kata-
kata saat ia sanggup m elihat dua bening m atanya begitu
dekat, begitu jernih, meski ia tak membalas tapi Toni hanyut
seolah masuk ke dalam dua matanya, kata tak lagi berlanjut,
tak lagi bersambung, Toni bungkam dalam pagutan keadaan,
berderai dingin hujan ia pandangi keindahan, harumnya
seolah keringkan badan, ia tak merasa memangku kaki Toni,
ia pandangi jernih alas dua katup bibirnya, m erah kilau
pipinya seolah ia mampu berkaca, baru saat itu ia seolah tak
terbatas waktu bisa menatapnya, wajah yang tersenyum saat
berkata, yang mampu memecah karang sepi, menyejuk panas
hati, yang m am pu tu nd u kk an angkuh selim u ti tubuh
dengan segenggam tatap an penuh n afas m alaik at
kebijaksanaan.
"Kakak sobek jad i dua ujungnya dengan gunting,"
santun ia menuntun, matanya menyorot ke kaki.
4 2 | 2^ Ouz Tiarya 'Wanita

Kesadaran Toni tergugah, ia lihat kembali kaki Eko,


ia ikuti tanpa sedikitpun menyanggah.
"K akak ikat, tapi jangan terlalu kuat, nanti sakit,"
langkap ia berkata, tata cara, bahkan sebab akibat. Malaikat
mana yang menjadi perantara dalam penciptaannya.
S aat m en g ik at Toni terp ejam , ia beru lan g -u lan g
bersyukur bisa dengar kata-katanya bak suara tipis kabut,
tak pernah ia dapati kata selembut itu, kata seolah Ibu untuk
anaknya. M ungkin bagi Eko kata-kata seperti itu sangat
biasa, tapi bagi Toni semua itu sama artinya bermimpi ada
seseorang yang mengasihinya.
Toni m engikat sesuai petunjuk, tak terlalu kencang,
p erlah an kaki Eko Toni sin g k irk an dari pangku an,
"Singkirkan kakimu Ko."
Gadis itu rapikan setiap alat dan obat, Toni cermati
setiap gerak-geriknya, bagaim ana jem arinya m emungut,
bagainya caranya benarkan kerudung dengan jemari kirinya,
bag aim an a ia m enund uk sem bu n yikan dagunya, Toni
mencegahnya pergi, "M ba'!"
Gadis itu berhenti.
"Minta tolong ambilkan kain lap dan ember," Toni hati-
hati, takut salah.
Gadis itu hanya mengangguk, sedikit kembungkan
dua pipinya.
"Sudah sedikit baikan Ko?" Toni pandangi kaki Eko.
"A ku senang m elih atm u sep erti punya sem an gat
b a ru ," Eko lupakan p ertan yaan Toni, lu p akan sejen ak
kakinya.
"Maksudmu?" Toni tak mengerti, menoleh ke belakang
sekali.
"Waktu melihat gadis itu kau berbeda Ton, seolah kamu
jadi ranting yang sedang dimainkan angin," Eko tersenyum,
"Toni yang aku kenal tak semudah itu menurut, tapi hari
~Ma 'mun Affany | 4 3

ini kamu menjadi bunga bakung di atas air yang ikuti ke


mana air mengalir," Eko tajam menatap, selama ini Toni tak
mudah mengalah.
"E ntah lah Ko, aku m erasa dia p en u n tu nk u ," Toni
sendiri bingung, termenung sendiri.
G a d is tersebut kembali datang, membawa ember dan
kain pel. Ia berbaju biru, roknya hitam, jalannya begitu pelan
s e m b u n y i k a n suara kain di lingkaran kakinya, "In i kak,"
duduk ia berikan.
sem b a ri
"Makasih m ba'," Toni menerima.
Gadis tersebut kembali masuk ke dalam.
Pertemuan hari ini sempurnakan lukisan yang ada di
hati Toni, gerak-geriknya kini terpahat, suaranya sudah
terekam, sorotan matanya sudah menjelma petir menyambar
hati.
Toni mengisi ember dengan air hujan, mencuci kain,
lantai bekas langkah kakinya dibersihkan perlahan. Sembari
melihat Eko bersyukur m em iliki tem an seperti Toni, tak
pernah m engukur jasa, tak pernah m engharap balasan,
semua terberi karena merasa hidup sepenanggungan. Hidup
Toni tlah payah, hanya bantuan yang m ampu diberikan,
Eko dalam hati ikut berdo'a sem oga Toni bisa tem ukan
kebahagiaan terbaiknya.
Toni lap seluruh teras, sesekali m em eras, sesekali
celupkan kain di ember, saat usai Toni dan Eko duduk berdua
menunggu hujan reda berselim ut baju basah kuyup, kaki
Eko serasa semakin membaik meski pedih.
Pintu rumah pak Kyai tiba-tiba terbuka, gadis nan
anggun m em baw a nam pan b erisi dua gelas teh panas,
asapnya masih mengepul, ia mendekat, duduk bersim puh
perempuan, sedikit jauh, tak terlalu dekat dengan Toni dan
Eko, ia sodorkan teh sedang tangan kirinya memingit ujung
kerudung agar tak berkibar tersapu angin hujan.
• 44 | 2 9 )itz TSarrja 'W anita

"M b a '..." Toni mencegah gadis tersebut pergi begitu


saja.
"B o leh saya tahu nama M b a '," tak tam pak w ajah
menggoda dari Toni.
Gadis tersebut tak langsung menjawab.
Toni harap cemas, "Kalau Mba' keberatan tidak apa-
apa," Toni tak memaksa.
"Naela," sejenak berhenti, "Naela Khasna," Naela tak
memandang, ia ingin pergi.
Tapi Toni sekali lagi mencegah, "M b a '..."
Naela berhenti.
"Terim akasih banyak untuk sem u a," Toni tak bisa
bayangkan bagaimana kaki Eko tanpa pertolongan Naela.
Tak ada jawaban, sekali lagi hanya sebuah senyuman
diberikan, senyum yang indah laksana sinar di tengah rintik
kecil hujan membentuk pelangi melukis warna di lubuk hati
yang paling dalam, senyum yang akan selalu dikenang, akan
selalu diputar saat diam, akan selalu tersimpan rapi entah
sampai kapan.
"Ma'munAffany | 4$

— S e k a r is D o 'a —

G
elap mulai hinggap di pelataran langit, semerbak
harum dingin hujan m enyelusup di sela ruang-
ruang sempit alam, setetes dua tetes jatuh dari
dedaunan, air di sungai coklat keruh deras, bulan tak tampak,
sekali angin bertiup tubuh serasa hidup di kaki gunung,
lampu-lampu mulai berpijar, tapi atap depan rumah Toni
masih gelap. Tubuh Toni basah , ia b erja la n m enginjak
genangan air, sesekali tubuhnya m enggigil, pintu rumah
perlahan dibuka, di m atanya Bapak sedang duduk
termenung di kursi berkaki tiga tersandar ke dinding, satu
kakinya patah.
Toni terbirit ke belakang, air di bak kosong, ia pergi
ke belakang rumah menimba, bibirnya mulai bergetar, suara
percikan air dari ember terdengar lebih keras dari hembusan
nafas, tubuh Toni yang tak lagi berbaju perlihatkan ototnya,
sepuluh kali ia m enim ba, sebelu m m asuk Toni guyur
kepalanya.
4 ^ | Zty 0»z K arya 'W anita

Rumah seperti kota mati, tak ada sapaan, sahutan, tak


ada suara selain dari kamar mandi, Bapak terus termenung
sendiri, Bapak mengisi lamunan dengan sesuatu yang tak
pernah Toni mengerti. Selesai mandi Toni mendekat ke sisi
Bapaknya, "Aku mau pergi ke makam Ibu besok pagi," Toni
berdiri menyandar dinding, dua tangannya mendekap dada.
Bapak seketika menoleh, "Kam u mau berkeluarga?"
Bapak sepertinya tak menyangka.
Toni menggeleng.
"Pasti ada sesuatu yang m endorongm u," Bapak tak
menatap.
"H ari ini aku m engenal perem puan yang mungkin
Bapak juga akan bersyukur jika mengenalnya," Toni rapikan
ram but sebahunya.
Antara Toni dan Bapak dari dulu jika bicara tak ada
rasa horm at, seperti tem an biasa. Bapak terlalu sering
memukul, Toni sudah terlalu sakit, semua hanya membiar-
kan w aktu yang m enjadi p en eng ah dan ruang sebagai
persemaian.
"Kenapa kamu berkata seperti itu," Bapak mengangkat
satu kakinya.
"Mungkin menurut Bapak biasa, tapi menurutku dia
baik, dia cantik, dia santun pak, Aku sudah bosan setiap
hari disiram, ditampar, dimarahi. Aku heran, kenapa bapak
tidak bosan melakukan itu semua pada anak sebesar aku?"
Toni ingin tahu.
Bapak pejamkan matanya, tak membuka, mungkin ia
menyesal, tapi Toni punya prasangka itu, Bapak tak punya
penyesalan. Dengan suara berat Bapak ingin tahu sesuatu,
ia benarkan duduknya, "Siapa namanya?"
"N aela," Toni duduk jongkok di tanah.
Term enung bap ak fik irk an sesu atu , dua kakinya
diangkat, "Kam u sudah berteman dengannya?"
'M a'm unA ffany | 4 J

Toni menggeleng, "Naela tidak mengenalku."


Bapak termanggut-manggut, "Kalau suatu hari kamu
bisa berteman, jangan kecewakan dia, berikan semua yang
terbaik darimu agar dia tahu kebaikan darim u..."
Toni m em otong, "N aela jau h lebih baik dariku,
m e la k u k a n itu sama artinya aku siram lautan dengan garam."
Bapak tersenyum , senyum yang tak pernah tampak
sed ari dulu, senyum tampan yang pudar karena lamunan
panjang, "Ja n g a n b erk ata sep erti itu, kam u m engenal
perem puan sam a artin ya b ela ja r m engen al lautan,
keindahannya, kesunyiaannya, kedalamannya, semakin kau
selami semakin kau sadar bahwa kau hanya manusia bodoh
yang tak tahu apa-apa, kau akan temukan segala hal yang
membuatmu kadang tertawa, kadang tersenyum , kadang
menangis, kadang merana."
Bapak begitu fasih m enjelaskan, Toni dibuat diam,
dibungkam, entah dari mana Bapak belajar, Toni ingin lebih
panjang mendengar, ingin lebih panjang bercakap meski ia
harus duduk diatas lantai tanah, tapi bapak sudah nyalakan
radionya, sudah mulai membuka tikamya pertanda tak bisa
lagi didekati untuk disapa meski oleh anaknya sendiri.
Toni tinggalkan Bapak, tapi ia kem bali ke hadapan
bapaknya, "M akasih Pak."
Tak ada balasan, Bapak sudah mulai nyalakan radionya,
bapak sudah asyik dengan dunianya. Gontai Toni berjalan
ke kamar, sembari fikirkan untaian kata dari bapak, Toni
berbaring m elam un mengingat bagaim ana seorang Naela
berjalan, bertu tu r kata tak keras, bersuara bak nafas,
tersenyum segar tanpa ingin perlihatkan kecantikan.
Sebenarnya Toni terus bertanya dalam hati, "Kenapa
ia selalu mengingatnya? Kenapa ia tak pernah bisa lepas
Segala tingkahnya? Apa m alaikat tlah m enggam bar satu
lukisan di sekujur tubuhnya?"
48 | z g Ouz TJarija 'M anila
Toni sadar, ia bukanlah siapa-siapa, sedikitpun tak
berlebih. Wajah mungkin jika bersih merona, tapi debu tlah
m enyem bun yikann ya. M ungkin dia tam pan, tapi baju
kumuh yang menghiasinya. Ilmu tak banyak diingat, harta
hanya baju yang ada di tubuhnya, upah hanya m am pir
untuk makan. Memang benar kata Eko, "Jangan Gila!"
N am un Toni terlan ju r sudah gila, terlan ju r sudah
lupakan dirinya. Ia percaya hubungan antara laki-laki dan
wanita tak melihat harta, tahta, atau nama, ia percaya bisa
mengenalnya, ia seperti rindu pada Ibu yang tak pemah hadir
dalam hidupnya.
Toni terlalu nyenyak m elepas letihnya, terlalu lelap
tid u r, h ujan m enam bah n ik m at m im pinya, "B y u rrr!!!"
seem ber air mengguyur tepat waktu adzan subuh sayup-
sayup kecil terdengar.
Bergegas Toni ke kamar mandi, ia ingin pergi ke Masjid,
ia ingin berdo'a agar Allah kabulkan kembali do'anya.
Toni bersarung, berkaos membuka pintu, Bapak heran,
"M au ke mana kamu?"
"M a s jid ," sin g k at Toni m enjaw ab, ia gugup m e-
nembus fajar gelap, la lupakan seember air membasahinya.
Bapak kini tak bisa acuh, Toni sudah ingin dekat
dengan perem puan, ia ingin hidup penuh kebahagiaan,
bapak yakin Toni ke masjid bukan tanpa sebab. Bapak tak
langsung pergi ke sawah, ia tunggu Toni pulang dari masjid,
ia duduk di kursi tiga kaki menyandar dinding menatap ke
lubang pintu rumah yang terbuka, memandang jalan kosong
menunggu embun turun.
Selang lima belas m enit Toni datang, ia setengah
terkejut m elihat bapak m asih duduk, biasanya langsung
berangkat ke sawah.
"K am u ja d i ke m akam Im a?" Bapak tak pernah
menyebut Ibu.
~Ma 'mun Affany | 4 $

Toni mengangguk.
Dari baw ah kursi Bapak k elu arkan plastik hitam ,
"B ap ak titip bunga ini, taburkan di makam Ima, dan kamu
wajib do'akan dia."
Tak lama bapak pergi begitu saja dengan cangkulnya.
Toni buka plastik, dilihatnya bunga melati, wanginya
m ereb ak . Yang jadi pertanyaan, "D ari mana Bapak dapat
bunga m e lati?" baru semalam Toni memberi tahu, tapi pagi
buta B ap ak sudah menyediakannya.
E n ta h la h , Toni tak berfikir terlalu lama, tidak perlu,
B apak m e m a n g seperti itu adanya.
Hanya bermodal seplastik bunga Toni pergi ke Liwa,
uang di to p les yang ia kumpulkan dihabiskan sebagai saku,
topinya b asah , kenangan jika kemarin hujan lebat, kenangan
jika k e m a rin ada seseorang yang memanggilnya, kenangan
pengingat seorang N aela. Toni coba gali sosok Ibunya,
m u n g k in k a h Ibunya seperti N aela? M ungkinkah Ibunya
sebagai a la sa n kenapa Bapak tak pernah mau menikah untuk
k edu a kalinya?
Toni pangku bunga m elati titipan Bapak, dalam bus
ia tak bisa tidur, sepanjang perjalanan terkatung bayangan
dan ribuan pertanyaan, "Sudikah ia bertem an dengan or­
ang seperti aku? Kenapa kemarin ia tak balas bertanya akan
namaku?"
Hari ini m inggu, Toni tak beran gkat m em banting
tulang, ia ada di depan sebuah makam, di antara yang lain
makam Ibunya paling terawat, batu nisannya dari keramik
hitam, tu lisan em as n am anya beg itu jela s, H alim atu s
Sa'diyah, wafat 1 September 1980. Toni membuka plastik
hitamnya, ditaburkan bunga melati diatas pusara, Toni raba
batu nisan sembari mencurahkan isi hatinya, "Ibu ... beritahu
Toni bagaimana dulu Ibu hidup, Toni kem arin m engenal
seseorang, Naela namanya, Toni senang melihatnya. Kalau
j?0 | zg Juz "Karya 'Wanita
berkata lebih lembut dari perempuan lain, seperti seorang
Ibu bertutur kata pada anaknya. Toni merasa beruntung ia
sudi memberi tahu namanya."
Toni m enghirup nafas, suara resakan sapu lidi juru
kunci terdengar, terik m entari di ubun terhalang pohon
kamboja, seketika Toni membuka dua tangannya, berdo'a
ke h ad irat sang Kuasa untuk Ibunya, m em ohon agar ia
diberikan tempat paling mulia, memohon agar terampuni
dosanya.
Sebelum pergi Toni bersihkan makam Ibunya, rumput-
rumput kecil dicabut, bunga layu dipungut, dikecup batu
nisan Ibunya, m em ohon kasih terus bersem ayam dalam
hatinya.
"M as," juru kunci memberhentikan langkah Toni.
"Iya pak," Toni berhenti di tengah-tengah puluhan
kuburan.
"B iasan ya yang datang suam inya, m as ini siapa?"
bapak membenarkan peci hitam lusuhnya.
Toni heran, ia lepas topinya, "Maksud Bapak apa?"
"Biasanya makam itu yang mengunjungi suam inya."
Toni terk eju t, satu daun jatu h d ekat kaki Toni,
"Orangnya lebih tinggi dari saya Pak?"
"Iya, pak Hadi namanya," penjaga makam hafal.
Tak salah, itu Bapak, "Saya anaknya."
"O o o ..." Bapak kurus hanya term anggut-manggut.
Toni sekali lagi ingin tahu, "Apa Bapak saya selalu
datang ke sini?"
"Seminggu sekali, makam itu paling sering dikunjungi,
paling sering dido'akan, batu nisannya baru diganti sebulan
yang lalu," tangan Bapak sedikit keriput menunjuk, batu akik
merah seakan menempel di jari manisnya.
Toni sed ikit m engerti, dadanya berdebar, ia ingin
segera bertemu Bapaknya. Pantas semalam ia begitu fasih
'M a'm un A ffan y \ $ 1

m enerang kan , begitu jelas bapak menasehati. Toni bergegas


tinggalkan m akam , sebelum lew ati gerbang Toni tatap
m a k a m Ibunya, m en elisik batu n isan n ya seolah pam it
menyalaminya.
Jalan berliku terlewati, bus seolah pengocok perut,
s isi kanan ju ran g, sisi kiri tebing, gunung Liw a tinggi
m e n ju la n g menembus kumpulan awan, sampai di rumah
tep at u sa i jam a'ah isya pulang dari masjid, m arbot mulai
m atikan lampu, pagar dari bambu diseret menutup.
Toni terus melangkah menuju rumah, saat membuka
pintu Toni lepas topinya, rambut sebahu menyebar seketika.
Bapak tampak duduk memangku radio di atas tikar, ia tetap
melamun seperti m alam -m alam sebelumnya, Toni duduk
dekat Bapak, bersilah, menatap Bapak dalam-dalam, selekat
mungkin, suara desir lagu jadi pengisi ruang sepi.
"K en ap a Bapak tak pernah beritah u kalau setiap
minggu kunjungi makam Ibu? Kenapa Bapak tidak pernah
ajak Aku?" Toni memulai.
Bapak tak kunjung bicara.
Toni menghirup nafas panjang, di bawah remang Toni
inginkan jawaban, "Ceritakan sedikit saja tentang Ibu, Aku
tidak ingin seolah tak beribu."
Kata-kata Toni tak cukup membuat bapak membuka
mulut, Toni mengerat giginya, "Bapak mau menikah lagi?"
Bapak seketika berubah, m atanya merah, sandal di
sam ping tik ar digenggam . Toni tahu apa yang akan
diterim anya, tan gan Bapak m engayun kencang, keras
mendarat, suaranya kaburkan nyamuk yang menempel di
dinding, "P la k k k !!!" alas kaki m endarat di pipi, telinga
mendengung, panas membekas, luka di mulut yang belum
sembuh kembali berdarah, Toni tak mengusap biarkan darah
merah mengalir bersama ludah.
j zg Ouz Karya "Wanita

"Jangan sekali-kali katakan itu depan Bapak," Bapak


mengancam, tangannya menggenggam.
Toni beranjak pergi, ia tutup pintu rumah rapat, ia
pandangi bintang di langit, ia tatap bulan bersinar, kepala­
nya masih pening, ia lebih baik pergi, semakin ia mencoba
bertanya, semakin keras Bapaknya menampar. Dalam gelap
ia berjalan tanpa tujuan, lewati jalan tak beraspal, lewati
genangan air, sampai di sebuah masjid ia berhenti, dekat
tempat pembangkit listrik Pringsewu, ia buka pagarnya, ia
nyalakan dua lampunya.
Ia am bil air w udlu, p erih saat berkum u r, saat
menyembur, Toni seolah muntah darah. Toni pedih meng-
ingat Bapaknya, tapi bagaimanapun sikapnya, itu memang
Bapak yang teramat setia pada Halimatus Sa'diyah. Dalam
sujud Toni tersendu, cucurkan mata hatinya, ia berharap
dapatkan ketenangan keluarga, mampu dapatkan kehangat-
an p ersau d araan . K akak tak punya, adik tak ada, Ibu
terkubur, Bapak menampar dan mengguyur.
Dalam do'a ia membuka dua tangan lebar-lebar, ia ingat
sosok gadis yang m engh id u pkan kebah ag iaan , yang
semakin diingat semakin sejuk jiwanya. Toni ingat Naela, ia
m em ohon untuknya, ia seolah dengar k ata-katanya, ia
seakan dekat dengannya. la tahu siapa dirinya dan siapa
N aela. Dalam kerendahan, terkungkung kepedihan luka
seorang anak ia memohon.
"Ya Allah.... Di mana hamba dapat temukan satu arti
cinta dan sayang? dimana hamba bisa rasakan indahnya
sebuah keluarga? Tunjukkan pada hambamu agar hamba
lebih bersyukur padaM u," Toni teteskan genangan air di
matanya, "Jika gadis itu adalah obatnya, jadikan aku lebih
dekat dengannya, beritahu aku arti saling memberi kasih
darinya, perintahkan takdir untuk bisa jadikan dia pengobat
luka hatiku yang telah m erana."
"Ma 'mun A ffany \

"E ng kau m aha tah u , Engkau m aha m endengar,


Engkau pasti ada dalam setiap do'a..."
Di depan Allah manusia memang kecil, entah laki-laki
paling kekar, paling kaya, paling cantik, paling tampan,
semua menjadi pemuja air mata karena harapannya.
0
5A | 2-9Out Karya TVanila

— S u r a t P erta m a —

S
emalam Toni bermalam di rumah Eko, rumah yang
selalu terbuka lebar untuk Toni, kapanpun. Ayah
Ibunya sudah tahu dan mengerti. Selepas subuh Toni
pangku telapak kaki kanan Toni, di sampingnya sebaskom
air hangat dan lap, kain kasa siap dibuka, perlahan Toni
m elepas ikatan, sedikit dem i sedikit luka tam pak putih
menganga tanpa darah.
"Hari ini kamu angkut apa Ton?" Eko menyandar ke
dinding, bantal dipangku.
"Sem en," Toni lap kaki Eko perlahan.
"A duh," Eko sedikit m engerang, "In i hari terakhir
kan?"
Toni m engangguk.
"Kapan kamu bisa melihat Naela lagi Ton?" Eko tahu
bayangan Toni ada pada Nela.
Sejenak Toni berhenti, "Aku sendiri tidak tahu," Toni
pasrah, "M u n g k in sem inggu setelah ini, atau sebulan,
mungkin juga satu tahun."
"Ma 'mun A ffan y \ $ $

"Kamu rela menunggu hanya demi pertemuan Ton?"


Eko heran dengan Toni, ia telisik setiap guratan temannya.
"Tak b an yak w an ita sep erti dia Ko. Bukan
kecantikannya, tapi segala kebaikan dan kelembutan yang
dimilikinya," Toni m engenang, "D ia seperti seorang Ibu,
Kakak, atau Ade'."
"Dari mana kamu tahu? Mengenal saja baru kemarin,"
Eko meletakkan bantal ke balik punggung.
"Cukup bagiku saat pak Kyai sedikit ceritakan perihal
Naela," Toni mulai menali perban seperti kata Naela, dibelah
ujungnya menjadi dua, baru diikat, "Aku sudah bersyukur
bisa tahu nam anya."
"K am u y ak in satu h ari bisa ja d i tem annya? Bisa
berbincang dengannya?" Eko ingin lebih tahu, keyakinan
seseorang akan menjadi titik awal perjalanan.
"Aku yakin dia mau bertem an denganku, tapi aku
ragu dia sudi berbincang sepatah dua patah kata padaku,"
Toni melepas kaki Eko dari pangkuan.
"Kamu harus sabar Ton, kalau kamu sudah meyakini
jangan lupa untuk bersabar dalam m enghadapi cobaan,"
Eko memberitahu.
"Do'akan aku K o," Toni meminta.
"Selalu Ton, sela lu ..." Eko menganguk.
Hari ini Eko tidak ikut jadi kuli angkut, kakinya belum
sanggup, mungkin seminggu baru bisa bekerja bersama. Toni
pergi ke rum ah pak H endra, ia tak send iri, sudah ada
pengganti, pak Rono, buruh serabutan yang tak tahu besok
kerja atau menganggur. Anak pak Rono dua, paling besar
duduk di kelas enam SD, ia tak banyak bicara, kalaupun
rtda waktu senggang ia diam. Tubuhnya setinggi Toni, tak
berkurnis, tubuhnya lebih kecil. Sudah lama Toni mengenal
Pak Rono, waktu menikah Toni dan Eko menjadi penerima
tamu.
|zg 9uz Karya 'Wanita
Semen sudah diangkat, tertata bak kasur di dalam bak
truk. Toni tidak bisa tidur seperti pak Rono, sembari nikmati
perjalanan Toni jaga selembar kertas tergores tulisan tangan­
nya, tanpa amplop, hanya dilipat tiga kali. Ia ingin berikan
pada Naela, sebelum subuh ia menulis di kamar Eko, sebelum
Eko bangun, sebelum Eko tahu. Toni lupakan ingatan akan
Bapaknya, lupakan pertanyaan akan Ibunya, m ungkin ia
akan temukan jiwa seorang Ibu pada diri Naela.
Surat diselip di balik dada. Waktu sampai di pesantren,
pondok tampak lengang, hanya satu dua yang berjalan di
antara em pat asram a panggung. Rum ah pak Kyai sepi,
pintunya tak terbuka, terlalu pagi Toni datang, tidak seperti
sebelumnya, matahari baru naik, belum memuncak turun,
awan masih berarak bak iklan di langit biru.
Berdua mulai turunkan semen, pak Rono diatas, Toni
di bawah memanggul dengan punggungnya, berpuluh-puluh
sak semen memeras tenaganya, semua ditumpuk dekat pasir.
Sesekali Toni lihat pintu rumah pak Kyai, jika ada yang keluar
m em baw a nam pan ia akan jatu h kan sem en dan berlari
mendekat memberi secarik kertas tertulis nama Toni Saputra.
Sayang pintu tak kunjung terbuka, santriw ati baru
pulang dari sekolah, satu persatu masuk asrama, ada yang
tsanawiyah, aliyah. Tapi mata Toni terus berusaha mencari
Naela, bahkan Toni berhenti bekerja sekedar untuk mencari
Naela, tapi Toni tak menemukannya. Dimana dia? Apa dia
tahu jik a Toni sengaja m en carin ya? Apa m alaik at tak
memihak padanya?
Toni kembali memanggul semen, "Kita duduk di sana
pak," Toni menunjuk teras rumah pak Kyai, dekat pot bunga,
di ujung anak tangga tempat sandal tamu dilepas.
Sembari berjalan Toni ikat rambutnya dengan karet
gelan g, tak lupa topinya d ik en akan , nafas pak Rono
terdengar melenguh panjang cermati setiap gerak santriwati
"Ma'mun A ffany j

di asram a, pak Rono gelengkan kepala m elih at sem ua


berkerudung, bermukena, belajar.
Toni heran, "Kenapa pak? Ada yang aneh?"
"F u h ..." nafas pak Rono kembali berhembus, "Kapan
saya bisa masukkan anak ke pesantren?"
"Bapak ingin punya anak m asuk pesantren?" Toni
lebih dekat.
"Itu keinginanku dari dulu, apalagi anak bapak yang
p erem p u an ," pak Rono senyum sembari berjalan.
"K en ap a Bapak tid ak m asu kkan s a ja ? " Toni
menganggap segalanya mudah.
"Tid ak sem udah itu Ton. M asuk pesantren bukan
masalah biaya, tapi lebih pada hidayah. Tidak semua anak
mau. Dari kecil anakku sudah aku ceritakan bagaim ana
hidup di pesantren, sudah aku bujuk, tapi dia tidak mau.
Bagiku perempuan yang ada di sini adalah perempuan yang
memiliki sesuatu lain," pak Rono tertunduk.
Toni penasaran, "Apa itu pak?"
"Kamu perhatikan saja baik-baik..."
Kata-kata pak Rono tak lebih hanya penguat rasa ingin
menjadi teman Naela. Dari kecil Toni tak pernah banyak tahu
akan hidup di pesantren, terlebih belajar ilmu agama, "Apa
semua perempuan di sini baik pak?"
"Kalau itu tergantung dari mereka sendiri, di manapun
pasti ada kejelekan, ada yang judes, genit, manja, itu pasti
adanya," pak Rono berhenti sejenak, "C oba kamu lihat
senyum anak itu ," pak Rono m enunjuk santriw ati yang
duduk berempat depan masjid, "Ada yang tertawa, ada yang
tersenyum tapi terlihat giginya, tapi ada juga yang cukup
tersenyum dengan manisnya."
Toni m en gan ggu k-angg u k.
Tiba-tiba pintu terbuka, sosok gadis berkerudung
Putih mulai berjalan membawa nampan berisi dua gelas air
^ 8 j z g Juz "Hartja 'HJamta

putih. Telinga Toni sanggup m endengar langkahnya, ia


b erp alin g , tap i b u kan N aela yang d atan g, lebih pu tih
langsat, lebih tinggi lima jari, m em andangnya serasa di
padang pasir, m atanya terpungut dari langit, tapi entah
mengapa Toni tak terpusat pandang padanya, ia justru ingat
Naela, gadis sederhana dengan santunnya, dengan wajah
senyumnya, m ungkin Toni sudah buta akan paras, telah
awam oleh keindahan, yang ia tahu sekarang hanya Naela,
Naela, dan Naela.
G adis itu duduk letakkan gelas ke hadapan Toni,
sedikit ragu Toni bertanya, "Naela di mana m ba'?"
G adis berbaju sekolah diam , "D ia tadi pulang ke
rumah, mungkin nanti malam baru kembali datang."
"Boleh saya titip sesuatu untuknya?" Toni membersih-
kan wajah berdebu dengan telapak tangan.
Mata gadis tersebut berputar, tak lama mengangguk.
Toni keluarkan kertas dari sakunya, tampak tak rapi,
Toni coba lipat kembali di lantai tanpa malu, tampak sedikit
tulisan tangan di dalamnya, pelan Toni berikan, "Sam pai­
kan ini pada Naela."
Gadis tersebut menerima seraya secuil tersenyum.
"M akasih m b a'," Toni bersyukur, ia cerm ati setiap
gerak gadis yang kini menjauh, ia perhatikan tangannya,
Toni khawatir kertasnya terbuang atau diremas baru disaku.
Surat tersebut begitu kotor, tak pantas disebut surat, hanya
tersulam tulisan, tanpa wangian, hanya seikhlas kata yang
menghias.
Gadis penerima surat itu bernama Aziza, ia letakkan
nampan di dapur, ia berdiri terpaku sejenak, membolak-balik
k ertas d ari ku li an gku t untuk seoran g N aela. A ziza
canggung untuk sampaikan, ia tarik sedikit kerudung ke
belakang, ia berjalan masuk ke dalam kamar.
7/ta'm un A ffany \ $ $

A z iz a dan Naela tinggal satu kamar di rumah pak Kyai,


di kamar paling belakang. Mereka berdua menjadi pembantu
pak Kyai kalau ada tamu, tapi bukan pembatu rumah, mereka
berdua anak kesayangan. Aziza sedikit lebih muda meski
sama-sama kelas dua Aliyah, ia tak lebih pintar dari Naela
m eski lebih tin g gi, leb ih m em ilik i pesona, m alaik at
kecantikan yang banyak m em bantu dalam penciptaan,
sedangkan N aela d icip tak an oleh sarip ati keindahan,
kebaikan, kebajikan, dan kelembutan. Mereka berdua sudah
menjadi saudara karena begitu dekatnya, seolah anak kembar
meski wajah tak mirip, mereka berdua berjanji akan saling
menjaga, saling menyimpan setiap kepercayaan di antara
m erek a.
A z iz a letakkan titipan Toni di bawah bantal tempat
N aela se la iu rebahkan tubuhnya, di kasur berseprai putih
tanpa ada lipatan kecil, kasur yang penuh wangian karena
ditinggal tubuh yang terjaga kesuciannya.
A ziza in tip d ari celah jen d ela sosok Toni, yang
beram but panjang, yang tegap tu buhnya, yang tajam
matanya namun berkelebat sesuatu di baliknya. Dalam hati
Aziza memujinya, ia miliki keberanian.
Kerudung A ziza lep as, gelungan ram but d igerai,
rambut bergelom bang h itam m enyebar di bahunya, ia
pungut bingkai foto N aela, w ajahnya yang tersenyum ,
penam pilannya yang sed erh an a, canda yang ia m iliki,
keikhlasan yang tertanam di balik sosoknya Aziza ingat.
Seketika Aziza ingin membuka surat, jika berisi kebaikan
akan diberikan, jika tidak Aziza akan buang. Namun seketika
juga Aziza batalkan, tak layak ia lakukan, terlebih pada
seorang N aela, ia yakin N aela lebih b isa m enim bang
keputusan daripada dirinya.
Sekitar jam lima, saat matahari turuni tangga langit,
saat cahaya mulai meredup di timur, saat merah berserakan

k.
6 () | 2 (j Ouz "Kartja "Wanita

di barat, saat santriwati mulai berkemas memakai mukena


meninggalkan asrama berpindah ke masjid, saat lantunan
ayat suci lantang meraung di angkasa, saat pak Kyai mulai
keliling ke setiap sudut dengan sorban dan peci agungnya,
N aela berjalan m asuki gerbang, tak sedikitpun ia bawa
barang di tangan, roknya hitam, berjaket putih, kerudung-
nya menutup dua pundak, sejenak ia pandangi setiap isi
pesantren sembari berjalan, banyak santriw ati lalu-lalang
memeluk Qur'an.
Bulu mata lentiknya mengedip sebelum membuka pintu
kam ar, ia pungut satu kertas, m em buangnya ke tem pat
sampah, saat pintu dibuka Aziza menyambut, "N ae... lama
aku menunggumu," Aziza memeluk erat Naela.
"K en ap a Zah? Tak biasanya kau peluk aku tanpa
se b a b ," N aela dalam p elu kan h eran , ia m asih sem pat
tersenyum.
"Duduk sini N ae," Aziza menarik tangan kiri Naela,
m engajak duduk di atas kasur, tangan A ziza m enepuk
bantal.
Naela nyalakan Lampu kamar, ia duduk di dekat Aziza,
w ajahnya tam pak sep erti boneka di b a lik kaca, yang
memandangnya akan dipaksa tuk lepaskan penat luka di
dada, "Kenapa Za? Kamu terlihat begitu gelisah."
"Aku memang gelisah N ae... aku khawatir dengari-
mu?" dua tangan Aziza menggenggam tangan Naela.
Naela merajut jemari Aziza, "Ada apa? Katakan dengan
tenang."
"K am u kenal dengan lak i-lak i yang ram butnya
panjang?" Aziza mengingat satu bagian tubuh Toni yang
paling membekas.
"Yang mana?" Naela belum mengerti.
"Masa kamu tidak kenal?" Aziza heran.
"Yang mana?" mata Naela memicing.
'Ma'rnm Affany \ 6 l

"Y a n g setiap hari jad i kuli truk? Yang setiap hari


m en g an g k at b a tu atau semen? Yang setiap hari duduk di
teras?" Aziza sebut semua yang ia ingat.
"Yang pakai topi hitam?" Naela tak lupa.
"Iya... kamu kenal Nae?" Aziza ingin tahu.
Naela begitu ringan menggeleng, "Kenapa?"
Aneh, seketika Aziza diam, ia tak m elanjutkan kata-
katanya, ia berdiri, berjalan dua langkah ke kasur Naela,
dari bawah bantal secarik kertas tak berbungkus ditarik,
secuil tulisan tam pak di depan, "U ntuk N aela," hati-hati
Aziza berikan, "D ia menitipkan ini untukm u."
Naela lebih terkejut, "Apa ini?"
"Aku juga tidak tahu, dia hanya titipkan itu padaku,
untukmu," Aziza belum membuka.
Tak bisa N aela n afikan rasa galau risau h ad ir di
dadanya, ia tak pemah dapatkan tulisan dari laki-laki, siapa-
pun itu, ia sedari dulu menjauh, tapi kini ada yang mendekat,
"Harus aku apakan ini Za?"
"Bacalah Nae. Baca saja dulu," Aziza mendorong.
Naela tiga kali bernafas, perlahan ia buka, tergores
tulisan tangan bertinta hitam, rapi tanpa coretan, dengan
membaca "Bismillah" Naela memulai.

Assalamu'alaikum

Mungkin Naela terkejut menerima surat ini, atau mungkin


biasa saja m endapatkannya, tapi aku mohon sudilah kiranya
luangkan waktu mahal Naela untuk membaca sekejap saja.
Narnaku Toni Saputra, aku terlahir tanpa Ibu, ia meninggal
kala melahirkanku, ia berkorban hilangkan nyawa demi hidupku.
Ibuku tak putus satu urat nadinya saat mengejan, namun semuanya
erputus saat aku mulai menangis di dunia. Aku bukanlah siapa-
staPa, hanya laki-laki desa yang tak tahu diri ingin mengenalmu,
6z | 2<)')uz'H arja'H )anita
ingin berteman denganmu, ingin berterimakasih banyak karena
engkau telah sudi berikan namamu, nama yang sekarang selalu
aku simpan, aku tulis dalam catatan, aku ucap di setiap baris do'a,
aku pahat di setiap lamunan yang aku punya.
Aku memang anak jalanan, kadang malam aku habiskan
untuk balapan, siang aku peras keringat mengangkat barang atau
menjadi kuli bangunan, kalaupun menganggur, aku akan duduk di
pinggir jalan pasar menunggu orang iba memintaku membantunya.
Sejujurnya aku gila, tak tahu alasan kenapa aku ingin
ntengenalmu, semua orang memintaku berkaca, namun kacaku hanya
hati sendiri yang bisikan padaku untuk mengenalmu. Maka saat
aku tahu namamu syukurku tak terhitung dalam sujud, memeras
air mata karena sejak itu aku bisa memanggilmu dengan nama
"Naela
Sedari kecil yang kurindukan bukan kegelimangan harta,
sedari kecil yang aku alami hidup bersama Bapakku yang terus
melamun tak mau diganggu. Aku tak punya Ibu, aku anak piatu,
di mimpipun aku tak bisa bertemu Ibuku, aku tak tahu wajahnya,
aku tak tahu senyumnya, aku tak pernah tahu bagaimana seorang
Ibu mengingatkan anaknya, membimbing, mengajarkan dengan
kasih sayang.
Namun di waktu hujan aku seolah dapat rasakan semuanya
saat dirimu menuntunku mengobati luka temanku, begitu indahnya
dirimu, begitu senangnya hati ini menerima, begitu berarti saat itu
sampai aku tak sanggup untuk melupakanmu.
Tak ada maksud dalam surat ini selain ingin mengenalmu
N aela, ingin jadikan Naela sebagai sahabat, kalaupun Naela
menganggapku sebagai anak aku rela terpasung umur lebih tua.
K alaupun N aela m enyuruhku berbuat sesu atu , aku akan
melakukannya. Kalaupun Naela ingin aku menjauh dari sesuatu,
aku akan menghindarinya.
'M a'm unA ffany \ 6$

Aku rela jika surat ini dibuang setelah dibaca, dibakar, atau
d is im p a n tapi harapanku Naela bisa membalas karena kini hanya
balasan yang jadi penantianku.
Aku m em ang tak m iliki harga, tak ban yak aku bawa
k e h o r m a ta n selain sebagai laki-laki jujur dan sederhana. Jika Naela
su d i ja d ik a n aku teman, maka itulah kenikmatan tertinggi yang
sekaran g aku miliki. Jika Naela sudi melupakanku, aku justru akan
mengingatmu selalu.
Dengan segala harapan yang aku miliki, sudi kiranya Naela
membaca namaku untuk kedua kalinya, "Toni Saputra".

Naela gelengkan kepala selepas m em bacanya, ber-


ulang-ulang Naela berkedip sembari mengulum dua bibir
kecilnya. Ia tak percaya ada lelaki begitu m erendah di
suratnya, begitu percaya bercerita segala hal padanya.
"K en apa N ae?" A ziza risau m elih at sobatnya
bungkam.
"Santun tutur tulisannya, begitu santun Z a," Naela
kembali membuka.
"Dia minta balasan Nae?" Aziza mendekat, ia berusaha
menatap paras Naela yang setengah menunduk.
N aela m engangguk, "Jik a ada seseo ran g yang
menyalami, maka balaslah dengan lebih baik atau sepadan
dengannya."
"Maksudmu?" Aziza tak mengerti hubungan dengan
surat itu.
"Aku tak m am pu m em balas, kata-katanya begitu
merendah, tapi aku pasti tak sanggup meninggikannya, dan
aku tak m iliki rangkaian kata seindah d irin y a," N aela
menggeleng.
"Apa kau tid ak m elih atnya sebagai orang yang
mungkin berniat jahat, atau mungkin hanya berpura-pura
dalam tulisan merayumu?"
64 i zgOuzKarja'Wanita
"Dia hanya orang yang merasa sepi, tak tahu ke mana
harus luapkan isi hatinya. Dia lelaki malang yang merasa
sendirian," Naela mencema isi dalam surat Toni, "Dari kecil
tak berihu, bahkan dia rela kalau dianggap sebagai anakku."
"Kau yakin Nae?"
"Aku yakin dia m enulis d en gan h atin y a ," N aela
melipat kembali secarik kertas. Ia selipkan di bawah bantal.
Ia belum tahu apa yang harus dilakukan, tapi setiap kata
dalam surat teringat, terngiang, terhafal, semua menjadikan
Naela iba dan kasihan.
"Allahu Akbar! A llahu A kbar!" adzan m agrib ber­
kumandang, hari tertutup malam, cahaya berganti gelap,
kolong langit diketuk bintang yang berkedip dan bulan yang
merona bundar.
"Ma'mun A ffary |

S
em inggu berlalu, tak kunjung Toni dapat balasan
dari Naela, ia entah mengapa begitu berharap untuk
bisa mendapatkannya, ia ingin sekali terus bisa dekat
dengannya. Jika surat tak terjawab, habislah Naela dalam
dirinya sebatas nama yang tertinggal untuk dikenang.
Tapi Toni tak rela, ia tak bisa nafikan untuk menjadi
temannya. Di rum ah ia tak lagi pedulikan Bapaknya, ia
biarkan terus melamun, ia biarkan Bapak berkutat dengan
radio tuanya. Ia sendiri kadang duduk di lubang pintu
menghitung bintang, m em ikirkan bagaim ana untuk bisa
kembali berjumpa dengan Naela.
Toni tu tu p p in tu ru m ah, ia b e rja la n ke rum ah pak
Hendra selepas isya, ia d atangi ru m ahnya, kebetu lan pak
Hendra duduk di teras bersanding segelas kopi, ia menyapa
sebelum Toni sam pai, "T on !"
Toni tanpa ragu m enarik satu kursi, duduk dekat pak
Hendra, "A ssalam u 'alaik u m ..."
W a'alaikum salam . Ada apa T on ?" pak H endra
menyeruput secangkir kopi.
(]f) | ZCj Ota 'H arja 'Wanita
"Apa bapak m asih m engangkut barang ke Pondok
lagi?"
"Kamu butuh uang?" pak Hendra mengira Toni butuh
pekerjaan.
"Tidak pak. Aku jadi buruh angkut beras di pasar,"
rambut sepunggung Toni tak diikat.
"M m m ... bapak sudah tidak ke sana lagi," pak Hendra
meniup gelas kopinya.
"Masa sudah tidak ke pondok lagi pak?" Toni menarik
kursinya lebih dekat dengan pak Hendra.
"Sudah tidak lagi Ton," pak Hendra merasa ada yang
janggal, "Kam u sepertinya ingin sekali datang ke pondok
itu?"
"Aku ingin bertem u seseorang pak," Toni tak bisa
sembunyikan.
"Siapa dia? Mungkin bapak bisa Bantu," pak Hendra
rapikan sarungnya.
"Namanya Naela, dia salah satu santriwati di sana,"
suara Toni rendah.
Pak hendra menggeleng, "Bapak tidak bisa Ton. Kamu
lebih baik temui saja pak Kyai, orangnya baik, jujur saja
padanya, utarakan maksudmu baik-baik."
Toni membeku. Haruskah ia bertemu pak Kyai untuk
tem ui N aela? H aru skah ia katakan jika ia m inta surat
balasan? Sepertinya tak pantas. Toni undur diri dari rumah
pak Hendra.
Tak tahu ke mana arah yang akan ia tuju, tak tahu
pada siapa ia m engadu, Toni hanya berjalan tanpa arah
tujuan, teru s b e rja la n su su ri gang kecil gelap kelam ,
melangkah lambat, berusaha mencari jalan keluar. Toni ke
satu jem batan k ecil, duduk send irian, pandangi lan g it
m em inta jaw ab an , p an d an g i bulan m em inta sebuah
senyuman, dengarkan angin m em inta bisikan. Sendirian
JAa'munAffany \ b j

toni telan k esu nyian , duduk tak lek an g terjeb ak


kebingungan.
"Ton!" tiba-tiba ada sepeda berhenti di depannya,
sepeda berkeranjang, Rika ada di hadapannya, ia tak turun
dari sepeda.
Toni tak membalas sapaan, Rika turun dari sepeda,
duduk bersebelah Toni, "Kam u kenapa Ton?"
"Seperti apa perempuan jika melihat lelaki seperti aku
Ka?" Toni ingin tahu, ia tak lagi punya ketegaran.
"Mereka ingin lebih dekat denganmu," Rika singkat
membalas, dari kecil ia sudah bersama Toni.
"Kamu tidak sedang menghiburku?" Toni ingat semasa
kecil dulu, hanya Rika dan Eko yang selalu memuji agar
Toni tersenyum.
Rika berdiri menghadap Toni, "Tidak Ton. Coba kamu
ingat, perempuan yang dulu ingin dekat denganmu, semasa
SMP, SMU, apa kamu bisa menghitungnya?"
Toni melengos, "Aku sedang ingin punya teman yang
bisa aku bagi cerita, yang bisa aku luapkan seluruh keluh
hatiku. Aku ingin m em ilik in y a ," Toni tertu nd u k,
rambutnya yang panjang seolah m enutup w ajah, "Tapi
sepertinya dia tak sudi punya teman sepertiku."
Rika baru sadar, Toni ingin dekat dengan seorang
perempuan. Dulu ia menjauh, entah apa alasan yang kini
terbesit sam pai ia in gin sek ali bisa bertem an dengan
perempuan selain Rika, "Siapa dia Ton?"
"Namanya Naela, dia hidup di pesantren. Mungkin ia
gadis mulia sedang aku begitu rendah dibanding dirinya,
tapi apa aku tidak bisa berteman dengannya? A ku ..." kata-
kata loni terputus, "Aku tidak pemah dengar suara seperti
dia, tidak genit, tak m enggoda, halus," Toni mengenang,
Aku ingin sekali berteman dengannya."
68 j z g ]u z "Hartja 'Wemita

Rika tak lagi punya kata. Ia tahu siapa dirinya, Rika


tak lupa berkaca akan martabatnya di hadapan sang Kuasa.
Seketika semua bisu, dengarkan motor lambat berjalan, lihat
aliran sungai kecil pantulkan secuil cahaya bulan. Rika
pandangi genangan air di tepi jalan.
Toni berulang-ulang menarik nafas dalam, berkali-kali
Toni usap wajahnya, "Bolehkah aku minta tolong padamu
Ka, sekali saja, untuk terakhir kalinya."
Rika tersen y u m , "Jan g an sep erti itu, aku akan
membantumu selalu."
"Aku in g in kau h an tark an su ratk u p adanya, dia
tinggal di rumah pak Kyai."
"Alamatnya di mana?"
"Kalianda."
Tiga jam waktu yang harus dihabiskan, tapi Rika tidak
secuilpun menolak. Ia langsung mengangguk, ia ingat pesan
ibunya waktu kecil, "Kam u jangan sakiti Toni, dia anak
baik."
Di rum ah Toni hanya lewati Bapaknya begitu saja,
biarkan Bapaknya terus melamun dengarkan radionya. Toni
langsung tengkurap di atas dipan. Bermodal secarik kertas
kusam dari buku tulis dua tahun silam Toni rangkai kata di
bawah temaram lampu lima watt.

Assalamu'alaikum
Sudah lebih dari dua minggu aku menunggu balasan darimu
tapi tak jua datang, aku memang tak menuniut, tapi penghargaan
tertinggi niat baik saat ierbalas jawaban meski dengan kata "Tidak".
Benar kiranya kata semua temanku, aku harus berkaca untuk
tahu siapa diriku, apa daya yang aku miliki. Aku seharusnya
bercermin meski di kaca yang retak, harusnya aku tahu diri betapa
rendah diriku dan betapa suci dirimu.
'M a 'm u nA ffa ny \ bty

Aku memang bukan bangsawan, bukan pula hartawan,


iltnuwan, terlebih seorang seniman, apalah artinya diriku, tak ada
ang orang perlu ingat dariku, mungkin hanya rambut yang panjang
yang selalu menjadi gambaran tentangku.
Aku ingin menulis namaku untuk ke tiga kalinya "Toni
Tak ada maksud selain ingin Naela membacanya meski
S a p u tra " .
sebatas di hati saja, semoga Naela selalu ingat setelah tiga kali
menyebutnya.
Surat ini hanya perantara permohonan m aaf atas kedatangan
suratku yang dulu. Tak seharusnya aku berkirim surat padamu,
seharusnya aku sudah bahagia bisa tahu namamu.
Naela...
Terimalah maafku yang tinggi, terimalah m aaf seorang lelaki
yang hanya ingin berteman dengan gadis mulia sepertimu. Sudah
cukup bagiku jika kau sudi sebut namaku, aku akan selalu menyebut
namamu melebihi batas waktu yang Allah berikan padaku.
jika sempat kau balas dengan kalimat pendek, jikan ingin
berikan kenangan balaslah dengan satu paragraph, jika ingin berikan
aku kebahagiaan balaslah dengan ketulusan.
Semoga kita bisa rasakan sejuknya angin surga.

Sem bari duduk b ersilah dua tan gan Toni m elip at


secarik kertas, Toni simpan di balik pintu, ia khawatir jika
diselip di baju akan basah tersiram, besok Bapak pasti meng-
guyur seember air. Tapi hari itu Toni tergugah lebih cepat,
sanggup lebih dulu mandi di pagi hari sebelum bapaknya.
Setelah sholat Toni bergegas, membuka pintu rumah, warna
merah sedikit sekali menggaris di timur, masih hitam. Toni
berjalan lewati jem batan dari dua bambu tidur, gemericik
airnya jelas terdengar, di depan pintu rum ah Rika Toni
mengetuk keras, "Rika!!!"
Toni intip dari jendela, tak mengucap salam, "Rika!!!"
JO j Z<j ]uz "Harja 'W anita

"K lik," pintu terbuka, Rika bermukena, di tangannya


sajadah, baru sholat.
"In i suratku Ka, jaga baik-baik," Toni m emberikan
dengan dua tangan.
"M asuk dulu Ton," Rika baru m elihat Toni gugup,
begitu gelisah menanti sebuah balasan.
Toni menurut, ia masuk, jadi tamu saat fajar belum
datang.
"K apan kamu berangkat K a?" Toni sebelum duduk
sudah bertanya.
"M ungkin setelah sarapan," Rika perhatikan gelagat
Toni yang tak nyaman, "Kamu titip pesan apa Ton?"
Toni diam , ia bingung, "Ja g a su ratk u baik -baik,
sampaikan salamku padanya."
Rika membolak-balik kertas di tangan, "Kam u tidak
beri amplop Ton?"
"Aku tidak punya Ka."
Rika masuk ke dalam kamarnya, tak berselang kembali
datang, ia bawa amplop merah berbunga, "Mau pakai amplop
ini?"
"Jangan Ka, kalau ada yang polos, kalau tidak ada
seperti itu saja."
"Kenapa?"
"Aku takut dia buang sebelum membaca, dia wanita
y an g ..." Toni tak lanjutkan.
R ika tersenyum , "B agaim an a jik a dia punya rasa
sayang padamu?"
"R asanya tak m ungkin K a ..." senyum Toni seb u a h
ilustrasi tanpa harapan.
"T o n ... m ungkin sekaran g kam u berh arap untuk
bertem an, tapi lusa, m ungkin kau sudah punya sim p a ti
padanya," Rika melipat sajadahnya, "Coba tanyakan pada
dirimu, apa benar kamu ingin bertem an? Jangan bohongi
'M a'm un A ffany \ J i

hatim u, buka hatimu lebar-lebar, jangan kamu siksa dirimu


endiri. S e g a la n y a memang butuh perjuangan Ton, butuh
d o 'a kejujuran, butuh k esabaran ," Rika m enarik nafas,
"pikirkan baik-baik."
Toni lama terdiam , ia tutup wajahnya dengan dua
tangan jatuhkan ram but panjangnya. Kata Rika mungkin
benar, ia sekarang ingin berteman, tapi besok, mungkin lusa
rasa kasih tak bisa dinafikan kehadirannya.
"Aku akan sampaikan surat ini pada Naela, aku akan
belikan am plop putih di jalan . Aku akan m enolongm u
sebisaku," Rika meyakinkan, ia tahu keinginan Toni. Toni
ingin miliki seorang tem an hidup yang m enutup ruang
pedih dalam hatinya, yang bisa memeluknya tanpa imbalan,
yang miliki rasa kasih seorang Ibu yang penuh dengan
ketulusan. Bagi Toni semuanya ada pada Naela, semua ia
temukan pada seorang Naela, semua ia rasakan bersemayam
di balik sosok Naela.
Rika menata diri depan cermin, ia harus berkerudung
dengan baik, tak sedikitpun rambut muncul di kening. Rika
pilih baju menutup seluruh tubuhnya, wangian sedikit Rika
semprotkan, kulitnya yang coklat manis terselubung putih
kerudung, sebelum naik bus Rika beli amplop agar surat
Toni lebih pantas diberikan. Rika ingin sekali m embantu
Toni, ia sudah anggap Toni kakaknya, kadang adiknya.
Tepat setengah delapan Rika berangkat ke Kalianda,
tas kecil menyilang di dada, surat tak sedikitpun ia buka,
sampai di Kalianda jam sebelas, belum banyak yang pulang
sekolah, saat m asuk p esantren R ika sed ik it bin gu n g
memandang sekitar, Rika memilih duduk di teras masjid yang
baru selesai dibangun, sisi kiri kanan masih banyak bambu
j^®nyangga cor-coran, lantai belum sempurna berkeramik.
menunggu sampai adzan dhuhur berkumandang.
'J Z j Z<) Juz 7inr(ju H laniia

Perlahan satu persatu santriwati datang, Rika merasa


m en jad i san triw ati m eski satu h ari, sh o lat b erjam a'ah
diantara him pitan m ereka, usai salam Rika bersalam an,
selepas dzikir ia sempatkan sejenak bertanya, "Naela sudah
pulang de'?"
"M b a ' N ae yang tin ggal di ru m ah pak K y ai?"
santriwati kecil menjawab.
" I y a ..." Rika m engangguk, ia bersyukur ada yang
tahu.
"Itu m b a', tunggu saja, dia se d ik it lam a, jangan
d ig a n g g u ," gadis kecil m enunjuk sosok yang duduk
sen d irian , tak tam pak w ajahnya d ari b elak an g, jem ari
lentiknya memutar tasbih perlahan. Satu persatu santriwati
pergi, tertinggal beberapa santriwati, riuh menyambar dari
luar, senyum dan tawa berkeliaran.
"Makasih de'," Rika tak lupa.
Rika ingin tahu Naela, dalam hati ia penasaran pada
sosok yang jadikan Toni sudah berdiam tanpa angan. Rika
ingin m elihat parasnya, ia bergerak ke sam ping kanan,
melihat utuh Naela yang menatap ke depan penuh harapan,
yang se d ik it m em bungkuk w aktu b erm u n ajat, yang
gerakkan bibir mungilnya. Ia tampak berdzikir, tak pejamkan
mata, begitu tenang ia melakukannya.
Bagi Rika Naela begitu sederhana, tak begitu cantik
tapi sejuk di mata, gerak bibirnya begitu bening lambat,
kedipan m atanya lentik dahsyat, pipinya halus merona.
Pantas Toni terbayang selalu padanya, Rika sendiri kagum
seketika melihat Naela entah mengapa, di masjid tertinggal
segelintir orang, Naela angkat dua tangan berdo'a.
Rika mendekat, "Assalamu'alaikum."
"W a'alaikum salam ," Naela menjawab begitu santun,
setengah manja, imut, Rika ingin memeluknya.
Rika bersalaman, "Naela?"
'M a'm unA ffany | J$>

"Iya benar. Mba' siapa? Sepertinya Nae belum pernah


bertemu," Naela sembunyikan tasbihnya.
Rika tersenyum, begitu hormat Naela pada yang lebih
tua, ia seolah rendah tapi sesungguhnya tinggi dengan
kemuliaannya.
"N am aku Rika, aku tem annya Ton i," duduk Rika
bersilah.
N aela m asih duduk tah iyat akhir, dua tangannya
menyimpul di pangkuan, naela sedikit berfikir, ia tak lepas
mukenanya, "M ba' temannya?"
Rika mengangguk.
"Mari ke kamar," Naela mengajak.
"Di sini saja," dalam hati Rika terus mengagumi Naela.
Kini Naela tahu kenapa Toni seolah gila pada sosok Naela.
Naela urung berdiri.
"Aku ke sini hanya in gin sam p aikan in i," Rika
mengeluarkan satu amplop dari dalam tasnya, ia hati-hati
berikan pada Naela.
Sekali lagi Naela terima sebuah surat, yang kemarin
belum terbalas, yang kedua sudah ada di tangannya, Naela
merasa tak enak.
"D ia tem anku sed ari k ecil, dia selalu m enghibur
tem an-tem annya, padahal dia sen d iri tak m enem ukan
hiburan. Dia ingin mengenalmu agar hatinya tenang," Rika
mgm Naela mengerti, "D ia setiap hari menunggu balasan
darimu, tap i..." Rika berhenti.
Bagaimana Bapaknya di rumah?"
Bapaknya satu-satunya teman di rumah, tapi tiap hari
Bapaknya hanya melamun, kalau bangunkan Toni dengan
s ember air, kalau Toni salah sedikit ditampar sandal," Rika
etakkan tangannya di pangkuan Naela.
di h ^ 3e^a c^ am' ia tahu bagaimana harus menyikapi,
lnya ada iba dan kasih vang menguat. Naela sudah
74 j z g 9uz T-tarya 'W anita

lupa dengan wajahnya, tapi ia ingat setiap kata yang tersirat


di surat, "Boleh minta waktu sebentar saja m ba'?"
Rika mengangguk.
Naela buka surat ke dua, ia baca setiap untaian kata
yang ada, berkali-kali Naela menggeleng, berkali-kali Naela
merasa bersalah tak membalas surat yang pertama, Naela
lipat kembali usai membaca.
" M b a '... tolong nanti beritah u baik-baik kak Toni
kalau Nae tidak membalas bukan karena memandang rendah
kak Toni, bukan karena kak Toni tak pantas untuk mengenal
Nae, Nae tidak semulia itu, Nae wanita biasa..." Naela ingin
Toni tidak buta.
"T ap i di m ata Toni kam u b eg itu ag u n g ," Rika
membantah.
Naela tak menolak, tak ingin mendebat, Naela pungut
tan gan R ika, "Sem u a hanya karena Nae tidak mampu
m enulis kata seindah itu, Nae tidak bisa, Nae bingung
bagaimana harus membalasnya," Naela terus terang.
"Kamu ingin membalasnya?"
Naela mengangguk.
"Berikan Toni pesan, satu pesan saja, nanti akan aku
sam paikan sebagai balasan, itu sudah cukup untuk Toni,
dia akan merasa bahagia, merasa sangat beruntung," Rika
dan Naela saling merajut.
Naela tak langsung bicara, berfikir begitu lama, di
m asjid tinggal m ereka berdua. N aela buka Q u r'an, tak
berselang kembali menutupnya, ia baca sekali lagi suratnya,
tak lama kembali masukkan dalam amplop. Naela berulang
kali mengedip menimbang, memperbaiki duduknya, coba
tanyakan pada hatinya.
1 11
"Sepatah atau dua patah saja Nae, itu sudah cukup,
Rika meyakinkan.
JJa 'mun Affany \

Naela mengucap bismillah, "Tolong sampaikan pada


kak Toni untuk menjaga sholatnya."
Tak diduga di fikiran Rika, tak disangka sebelumnya
pesan yang Rika dengar. Ia kira Naela akan katakan, "Jaga
diri" atau "M aaf" atau "Potong ram but", tapi ini sungguh
hadiah terind ah untuk Toni. Rika tahu Toni tak selalu
m enjaga sholat lima waktunya, kadang sekali, kadang dua
kali. Dalam hati Rika bersyukur.
"M akasih N a e ... senang aku bisa m engenal gadis
sepertimu."
0
jb | Z<j )uz "Harja 'HJanita

— S u r a t H a r i T ia t i —

D
ari pasar Toni tak langsung pulang ke rumah, ia
lan g su n g ke tem p at R ika, ia in g in dapatkan
segenap cerita tentang Naela. Toni duduk di teras
rum ah Rika, kaosnya m asih sisa keringat, lelah selepas
m enjadi kuli angkut m asih m elekat. Toni ju lu rkan kaki
sembari menyandar dinding, nikmati indahnya udara sore
hari. Ia rasakan sem ilir angin kecil, m elihat kucing putih
tidur melingkar di dekat pohon.
Sudah satu jam toni m enunggu, Rika belum juga
datang, panas perlahan menghilang, sem akin redup, hari
sedikit demi sedikit memberi tanda akan berganti, kicauan
burung mulai jelas terdengar, silih berganti bersahutan di
atas ranting dan dahan. Toni entah kenapa tak mau pergi/
ia ingin cepat mendengar cerita tentang Naela, dua minggu
tak jum pa dengannya serasa terlanjur lama, Toni tak lag1
tahu b ag aim an a senyum nya, hanya in g at b ag aim an a
pertama kali ia bertemu dengan Naela.
JAa'mun Affany | f ]

"Ton! Masuk saja, atau istirahat sambil lihat TV," Ibu


melongok ke luar pintu. Ibu tahu Toni pasti letih, lelah, kerja
Toni selalu mengangkat beban.
"D i sini saja bu, santai," Toni beralasan.
D ari ujung tam pak gadis berkerud ung naiki ojek,
duduknya menyamping, meski wajah tak tampak tapi Toni
tahu jika itu Rika. Langit mulai terenggut malam, terang
matahari memudar, Toni berdiri, rasa hati ingin segera tahu
bagaimana Rika bertemu Naela.
Rika bayar ojek, "Makasih Pak."
Rika lihat Toni sudah menunggu, mulutnya setengah
membuka ingin bertanya, tapi sejenak tertahan, "Bagaimana
Ka?" Toni tak peduli Rika baru melepas sandal.
"Kita duduk dulu Ton," Rika mengharap Toni sedikit
sabar, mengajak duduk di teras bersama, mengajak Toni lebih
tenang.
Rika lepas tas dari tubuhnya, "Aku sudah sampaikan
suratmu padanya."
Yang Toni in ginkan lebih , "C e rita k a n padaku
bagaimana kamu bertemu dengannya!"
Rika menggeleng, tapi ia mengerti setelah tahu Naela,
"Aku menunggu di masjid yang masih dibangun beberapa
sisinya, sekalian sholat dhuhur. Alhamdulillah aku bertemu
dengan Naela di sana. Aku lihat dia bermukena, aku lihat
dia khusyu' berdzikir."
Sejenak Toni tersenyum , sesaat diam m em angku
dagunya, "Dia pasti tak membalas suratku."
"Jangan salah sangka Ton, Naela itu orang baik, baik
sekali, entah kenapa aku bisa katakan ini walau baru sekali
bertemu. Dia ramah, dia hormat dengan orang yang lebih
^Ua' tak banyak b icara," Rika m enyadarkan, "Kam u
runtung mengenalnya, aku sendiri ingin berjumpa lagi
engannya, aku jadi tahu kebaikan darinya."
j B j z g %z TJarja TVrnita

Senyum Toni kembali mengembang, ia tak menyela,


sedikitpun tak bertanya, mendengar dan terus mendengar.
"D ia sebenarnya ingin membalas suratmu, dia ingin
membalasnya," Rika meyakinkan.
"Jangan m enghiburku Ka, mana m ungkin dia mau
memandang orang sepertiku," Toni tak yakin.
"Jangan berkata seperti itu tentang Naela, aku tidak
rela. Dia m elihat orang bukan dari tubuhnya, bukan dari
apa yang kamu miliki, bukan dari kedudukan yang kamu
punya," Rika memegang lengan Toni bak adiknya.
"Kamu tahu kenapa Naela tak membalas?" Rika ingin
prasangka baik Toni keluar.
Toni hanya sanggup menggeleng.
"Baginya kata-kata yang kamu tulis begitu indah,
begitu mengena dengan setiap untaian kalimatnya. Dia tak
mampu menulis surat seindah itu," Rika memberi tahu apa
adanya.
Mata Toni berbinar pancarkan cahaya harapan.
"Dia membalas dengan pesan."
"Apa itu ?" Toni seketika terhenyak, berusaha lebih
dekat.
"Ja g a sh o latm u Ton, dia in gin kam u m enjaga
sholatm u, dia tidak ingin kamu hanya sholat saat kamu
butuh sesu atu ..."
Bergetar seketika Toni mendengar, ia kembali mundur,
tertu nd u k m alu ia tahu, tak sed ik itp u n Toni a n g k a t
wajahnya, degup jantung begitu keras, ia malu, malu, malu.
Toni mengira pesan yang terkirim, "Jangan dekati aku!" atau
"Jaga sopan santun" tapi justru sesuatu yang ia baru dekati
kala m engenal N aela, yang baru ia lakukan saat in g in
lanjutkan kisah dengan Naela.
"Itu pesannya Ton. Terserah kamu mau lakukan atau
tidak, Naela m enghorm ati suratmu, dan kini horm atilah
'Ma'munAffary \

pesannya," Rika lihat lam pu-lam pu rumah sudah mulai


menyala.
Toni tak kunjung bicara, ia tertunduk tak mengangkat
w a ja h n y a .
"Jangan lesu Ton, seharusnya kamu bahagia, Naela
mengirim pesan berarti ia percaya padamu, kamu harus
menjaganya," Rika berusaha m enatap Toni, "Kalau kamu
sungguh-sungguh in gin m encari k ebahagiaan m u yang
hilang, N aela akan m engobatin ya w alau hanya ja d i
temanmu, dan aku ingin kamu merubah sikapmu, jangan
seperti sekarang, yang kamu hadapi Naela, bukan aku, dia
jauh lebih mulia, percayalah padaku."
"A llahu A k b a r... A llah u A k b a r..." adzan m agrib
terdengar di sudut langit, gelap bertebaran m eram bat ke
setiap ruang, matahari sempurna tenggelam.
"Terim akasih banyak Ka, aku tak tahu bagaim ana
harus membalasnya," Toni bersyukur miliki teman seperti
Rika.
"Sebentar Ton," Rika masuk ke dalam rumah, ia pergi
ke kamar Ayahnya, almari pakaian dibuka. Tak lama Rika
berlari keluar, Toni tampak berdiri m elam un m enyandar
dinding, "Ton!"
Toni tergugah.
"Ini sarung untukm u."
"Makasih Ka," tak sanggup Toni menolaknya, tak bisa
lagi Toni mengukur kebaikan Rika.
Toni sandarkan sarung di pundak kanan, berjalan
pulang.
"Ton!!!" Rika memanggil di tengah gemuruh adzan.
Toni berhenti, ia sudah di tepi jalan , Rika berlari
mendekat, "Kamu mau ke mana?"
Aku m au ke m asjid K a," Toni tak canggu ng
Menjawab.
So j Zfj )uz TSama 'KJanita

Tersenyum Rika mendengar, bahagia rasanya teman


sedari kecil ada yang mengingatkan, Rika mengelus dadanya
seraya mengucap "Alhamdulillah" dalam hati. Dari jauh Toni
b erjalan tak b eg itu tegap, m ungkin m erenung, sarung
dikalungkan, ia berbelok ke masjid, Rika tak henti bersyukur
Toni bisa m engenal N aela Khasna, sosok gadis pem uja
kehormatan, penghamba penciptaan.
Kedatangan Toni ke masjid mengundang Aneh, baru
hari itu Toni datang di masjid dekat rumah Rika, rambutnya
m asih sebahu, tak berpeci, kaosnya lusuh, hanya sarung
terlihat bersih, setiap mata memandangnya, menjadikan Toni
dalam kepungan tatapan. Tapi Toni tak pantang rintangan,
ia sepuhkan waktu yang berkata kebenaran niatnya.
Toni tak membawa karet gelang, rambut sebahunya
menyebar, kadang di waktu sujud terjatuh ke lantai, dalam
fikirannya di setiap sholat hanya Naela, selalu terngiang di
telinganya kata "Jaga sholatmu!"
Dzikir Toni ikuti, waktu berdo'a ia buka dua tangan
leb ar, "Ya A llah , ap alah artinya sem ua ini, kalau aku
mengenalnya karena untuk lebih dekat denganMu, maka
berikan aku kesempatan untuk bertemu dengannya sekali
lagi meski hanya diam seribu bahasa, berikan aku sedikit
saja waktumu untuk bisa memandangnya."
Usai do'a Toni tak langsung beranjak, ia menunggu
Imam selesai, duduk tepat di belakangnya, menunggu sholat
sunnahnya, saat in gin b erd iri Toni m endekat,
"Assalamu'alaikum."
"W a'alaikumsalam..." imam menyalami, tampak m asih
m uda, kum isnya b ersih m eski jan ggu tnya m em anjang/
w ajahn ya m iliki tahi la la t k ecil di atas p elip is kanan,
tubuhnya tambun, setiap nafasnya berat.
"Boleh minta tolong ustadz."
"Silahkan," Ustadz melepas kopyahnya.
~Ma'mun A ffa ry \ 8 l

"Saya ingin belajar sholat yang benar," Toni tak malu.


"Kam u sungguh-sungguh?" Imam balik bertanya.
Toni mengangguk, "Iya Ustadz."
Sejenak Ustadz berfikir, berdua masih berdiri, "Setelah
isya saja, kalau sekarang saya mau mengajar anak mengaji."
"Tidak apa-apa ustadz," Toni menerima.
Ustadz menarik sajadahnya, pergi tinggalkan Toni di
masjid.
B eberap a orang tua terlih a t m em baca Q u r'an di
beberapa sudut m asjid, m enyandar dinding dengan kaki
menjulur, kaca m ata m ereka m enem pel, Toni hanya bisa
celingukan di m asjid, ia seolah sendirian m eski semua ia
kenal. Memandang Qur'an sama artinya mengiris hati yang
tlah luka, sedikitpun tak bisa ia membaca. Toni coba ambil
satu Qur'an di bingkai jendela, duduk bersilah membuka
setiap lembar halaman, seketika terpejam matanya, seketika
begitu sadar betapa bodoh dirinya, tulisan terasa asing, tidak
ada yang bisa untuk dibaca, Toni terus membolak-balik setiap
lembaran, tak sedikitpun miliki kemampuan melantunkan,
yang tersisa hanya rasa miris menekan dada.
Sekali lagi Toni ingat Naela, ia pasti lancar membaca,
mungkin begitu indah suaranya, ia membayang Naela duduk
mengajarkannya dengan penuh ketulusan, seketika ia kembali
sadar, begitu kecil dirinya. Betul kata Rika, mengenal Naela
sudah menjadi anugrah terindah, darinya tahu betapa hidup
yang Toni jalani sebatas fatamorgana belaka.
Toni tak tinggalkan masjid, ia tak peduli lapar meng-
garuk perut, ia duduk menunggu adzan di dinding dekat
Plntu' pandangi jam yang terus putarkan jarum pendeknya.
Tum ben di sini Ton," salah satu tem an m enyapa,
emart yang pernah mengajak ke masjid.
Toni berusaha berikan senyuman, "Alham dulillah."
Sz |ZgQuz'Harja'Wanita
Kontan terkejut teman Toni mendengar, ada perbedaan
dalam diri Toni.
"Kam u adzan Ton! Sudah waktunya Isya."
Toni serasa terpukul palu, dia tidak bisa meski setiap
hari mendengarnya, lima waktu, sepanjang hari, sepanjang
minggu, selama tahun, "Aku tidak bisa, kamu saja."
Teman Toni tersenyum sinis, senyum penghinaan,
senyum ejekan.
Tapi Toni tak tersinggung, terbesit satu pertanyaan di
hati, "Ke mana saja kaki melangkah? untuk apa waktu dua
puluh dua tahun yang ia habiskan?"
Saat sh o lat Toni berusaha paling depan, tep at di
belakang im am , tapi entah kenapa ada orang tua yang
menggesernya, tersingkir Toni ke kiri, dalam hati Toni ingin
m elawan, tapi ingat di sampingnya orang tua, di masjid,
ingat pula Toni akan Naela, tak berselang dari belakang ada
orang tua menyela, sudah kempot, parfumnya menyengat,
ia geser Toni dengan tubuhnya seakan sengaja menjauhkan
dari imam. Melenguh nafas Toni berhembus, apakah ia tak
pantas ada di masjid? Apa ia tak pantas menyembah? Apa ia
tak pantas sekedar berdo'a? apakah hatinya bukan lagi
segum pal darah? A pakah hatinya sudah terbentuk dari
sekumpulan nanah?
D alam sh o la t Toni tak tenang m eski ik u ti setiap
gerakan. Ia bertakbir, rukuk, sujud, sampai salam. Dalam
d zik ir ia p ertan y ak an kem bali dirinya, apakah Naela
sungguh mau menerimanya?
Satu p ersa tu jam a'ah p ergi, yang tua, ibu-ibu,
tertinggal dirinya seorang dan Ustadz yang m asih sh olat
sunnah, Toni menggeser duduk agar lebih dekat seperti anak
menunggu Bapaknya.
Imam berbalik, salam i Toni, "M ohon m aaf, U s ta d z
ingin tahu, kenapa kamu seperti petir m enyam bar sian g
M arnun Affany \ 3 $

bolong? Kam u tiba-tiba datang ingin belajar, pasti ada


sesuatu yang m endorongm u."
Toni tak bisa menjawab.
"Jujur saja tidak apa-apa."
"Saya mengenal perempuan Ustadz, namanya Naela,
dia berp esan pada saya u ntu k m enjaga s h o la t," Toni
kumpulkan keberanian.
Ustadz mengangguk, "D ia kekasihmu?"
"Baru mengengal Ustadz."
"Kamu ingin lebih dekat dengannya?"
Toni m engangguk.
Ustadz melepas sorbannya, "Sebaiknya kamu perbaiki
niatmu. Kalau kamu hanya penuhi keinginan hati untuk
lebih dekat, satu hari kamu akan kecewa jika ternyata dia
semakin menjauh, kamu justru tidak akan pemah lagi injak
masjid, mushola, bahkan kamu bisa buang sarungm u."
"T ap i..." Toni ingin menjelaskan.
"Aku tetap akan ajarkan bagaimanapun niat yang kamu
miliki. Tapi tolong sekali lagi tanyakan hatimu, apakah kamu
ingin dekat pada Allah? Atau kepada wanita itu?"
Toni m erenung lam a. Perlahan Toni m ulai belajar,
betulkan ta k b ir yang seja ja r telin g a, dua tan g an yang
bersimpuh di atas dada, ruku' yang hams rata, sujud dengan
dua tangan m enyanggah badan, duduk tahiyat dengan
jempol kaki yang masuk ke dalam, Ustadz sampai menuntun
jempol Toni.
Semua tidak m udah, sam pai jam Sem bilan m alam
belum usai, sa a t sepi sudah m enyengat, saat nyam uk
berdengung Toni masih belajar.
"Saya ulangi lagi U stadz," Toni tak habis semangat
Walau lapar lelah menyengat.
"Kamu praktekkan semua itu dalam sholatmu Ton,"
Ustadz berpesan sebelum berpisah, m elirik sejenak jam
| z g ]u z Tiarcja 'M anila

dinding menunjuk angka sepuluh malam.


"B aik U stadz," di beranda masjid mereka berpisah,
Toni ke selatan, Ustadz ke utara.
Sampai rumah Bapak sudah menyambut dengan suara
radio dan lagu kenangan, sayup-sayup kecil terdengar
kemeresak. Bapak seperti biasa berbaring, Toni sempatkan
duduk di sebelah Bapaknya, temaram lampu tak membuat
Toni m engantuk, ia pandangi wajah Bapaknya, m atanya
terpejam meski belum tidur.
"K alau Toni m enikah Bapak ingin m enantu seperti
apa?" Toni ingin Bapak bicara.
Bapak tetap dengarkan radionya.
Toni letih, ia m asuk kamarnya, berbaring mencoba
mengingat-ingat Naela. Seketika Toni berfikir, apakah Naela
di sana m em ikirkannya? Kenapa ia harus dipertem ukan
dengan Naela? Kenapa bukan wanita lain? Kenapa hatinya
perlahan -lah an seolah tertarik olehnya? K enapa ia jadi
bahagia m endengar nam anya tersebut? Kenapa ia ingin
selalu dengar cerita tentangnya? Apa yang terjad i pada
dirinya? Apakah ia salah?
M alam tak kunjung membius Toni dengan kantuk,
mata Toni terbelalak lebar, sudah dicoba lampu dimatikan,
tapi hanya sanggup bolak-balikkan badan. Toni buka jendela,
melirik ke bintang-bintang di angkasa, tergambar pula di
langit seorang Naela yang tersenyum mesra padanya. Dunia
tlah menjadi Naela untuknya.
Toni kembali nyalakan lampu, ditarik satu buku tulis
dari bawah meja, ia mencari kertas kosong, tapi tak berjodoh.
Toni coba cari di buku tulis lain, semua penuh dengan
coretan tangan, tak ada pilihan selain sampul buku, hanya
itu satu-satunya kertas putih yang kosong.
Toni kembali ke ranjang, dengan pena tulisan Toni
menari.
JAa'm unAffany \

Assalamu'alaikum wr wb
Hanya kata terimakasih terucap sebagai balasan yang kau
berikan, meski sebatas pesan aku menganggapnya untaian kalimat
panjang yang menjadikanku merasa lebih kecil dari pada dirimu
Naela.
Aku seperti tertiban runtuhan bintang N aela, dengan
balasanmu kau sudi menjadikanku sebagai temanmu, tapi entah
mengapa ada saja perasaan berbeda, ada saja rasa yang tertahan
di dada, ada saja seribu kata bergejolak yang terus menyalak.
Memang aku belum pernah bercakap banyak denganmu,
bersua untuk bertukar fikiran tak ada kesempatan, saling menyapa
hanya sebatas lewat suratan, aku hanya tahu sebatas namamu,
dan kamu tahu namaku karena terpaksa membaca satu nama dalam
suratku.
Aku selalu tanyakan pada hati, "Kenapa aku sudi melakukan
semua ini? Kenapa aku rela? Kenapa aku bersusah payah menulis
surat untukmu? Kenapa begitu besar perasaanku saat membalas
suratmu? K enapa hatiku berdesir hanya karena m endengar
namamu ? "
Aku sadar sekarang, aku tahu, aku tlah tertawan olehmu,
aku tlah menjadi kain dalam sulamanmu, aku tlah tertunduk karena
mengharap cintamu, aku terpasung mengharap kasihmu yang begitu
suci, aku tlah terpanah oleh asmaramu. Aku tak bisa pungkiri Naela,
aku tak bisa menolak kata hati bahwa aku benar-benar mencintaimu.
Entah bagaimana sikapmu setelah membaca suratku ini,
mungkin marah padaku, mungkin kau sobek surat ini berkali-kali
wembenciku. Tapi tolong berikan sedikit pengertianmu untukku, aku
hanya seorang laki-laki sederhana yang ingin mencintai dan dicititai,
hanya seseorang yang tak tahan memendam terlalu lama perasaan
dalam hati.
Jangan tanyakan kenapa aku mencintaimu Naela. Bagiku
hiu adalah cermin fitrah manusia yang berarti kesucian bermakna
ai an dan keindahan. Kau sudah menjadi warna hidupku yang
36 \ zg 9uz 7-tarja "Wanita
tak kunjutig pudar. Meski aku jauh darimu, lamunanku tak sanggup
melepasmu. Sungguh aku tertawan olehmu Naela, aku ada dalam
cawanmu, ke manapun aku meiangkah aku tetap bayangkan dirimu.
Dalam do'a aku memohon untuk bisa berteman, saat terkabul
hatiku menjerit agar tidak munafik, dan kini aku memohon dengan
kejujuran yang aku miliki agar kau membalas suratku hingga aku
bisa kembali bernafas lega. Jawablah suratku Naela, entah dengan
pesanmu atau dengan isyaratmu karena yang aku tulis adalah
sebagian kecil yang berani aku tuangkan, sebagian besar perasaan
selalu rapi tersimpan.
E ntah berapa lam a aku m enanti akan jaw abm u , tapi
selamanya aku akan menunggu, aku akan terus menunggu. Kalaupun
kau tak sanggup berkata, tak bisa menulis, tak sudi membalas,
aku akan sepuhkan pada zaman untuk membuka jawaban dalam
hatimu.

Toni simpan baik-baik isi hatinya, ia jaga kemanapun


ia pergi, ia belum tahu kapan dan bagaimana ia akan sampai-
kan, ia terus menjaga surat itu, ia terus simpan di tempat
tidak seorangpun tahu.
0
~Ma'mun Affany \

— D em i S u ra t —

M
e n je la n g subuh Toni tlah bergerak bangun,
sarung dari Rika Toni kalungkan di lehernya,
ia keluar kamar melihat tikar dan radio Bapak
sudah tertata rapi di sudut ruangan. Bapak sudah di kamar
mandi. Toni buka pintu rum ah, udara pagi m enyeruput
dingin, merah di langit belum tergambar, jejak bulan masih
jelas, hitam menyelimut, dedaunan basah berembun.
"A llahu A k b a r... A llah u A k b a r ..." ad zan subuh
berkumandang.
Sejak hari itu Toni tak pernah disiram , tak pernah
menjadi m ayat yang d im an d ik an , tak p ern ah m enjad i
halaman yang berdebu, tak pernah basah kuyup bangun,
kalaupun subuh hujan, Toni jadikan plastik hitam sebagai
Payung, berlari sembari menutup kepala. Jam berapapun Toni
tertidur, pagi hari ia sudah berkalung sarung m engejar
sholat, Bapak mulai lebih heran.
lb Pasar Toni tak lupa bawa sarung, ia titipkan kepada
b '|- 'kU Peniual jajan paling dekat dengan mushola, bolak-
memanggu! karung, hilir mudik m engangkat beras,
8 8 | Z<j )ru z 7larya "Wanita

berulang-ulang keringat hangat menetes basahi badan, saat


adzan berkumandang Toni akan tinggalkan pekerjaan, "Aku
sholat dulu pak."
"Jadi alim Ton?" Eko menyindir.
Tapi Toni tak peduli, ia menjawab dengan tenang, "Aku
sholat dulu Ko."
Eko merasa tidak enak, ia pun ikuti jejak Toni, ia bawa
sarung. Jik a ad zan berkum an d ang m ereka tin g galk an
p ek erjaan m en cari tem pat sholat, m enyegarkan tubuh
dengan wudlu, memanjatkan sebaris do'a berharap Allah
kabulkan perm ohonannya.
Selepas kerja Toni akan berhenti di masjid, sholat ashar,
ia tak langsung pulang, ia berdzikir sebisanya, subhanallah,
alham dulillah, allahu akbar, hanya itu. Toni m erasa lebih
bisa nikmati hidup, lebih tenang, lebih santai.
Seperti biasa Toni makan di warung, tiba-tiba Eko
datang, "Ton."
"Belum makan Ko?"
"Aku in g in m akan bersam am u ," lam a tak makan
berdua.
Di w aru n g hanya m ereka berd u a, sud ah malam,
laukpun hanya sisa, tempe dan tahu, sayur tertinggal kuah.
"Aku lihat hidupmu berubah Ton. Aku heran, tapi
aku ingin tahu," Eko angkat kaki kanannya ke atas kursi,
"Siapa yang menjadikanmu seperti ini?"
Eko lupa akan Naela, Eko tidak tahu cerita antara Toni
dan Naela bersambung, berikirim surat terbalas pesan. Bagi
Eko hal itu sangat mustahil, tidak mungkin, seolah melawan
takdir. Toni punya keberanian, semua tahu, tapi tak terbesit
jika Naela membalas.
"Kakimu sudah sembuh Ko?"
"Sudah lama Ton," Eko ringan.
"Kamu ingat Naela?"
~Ma'mun A ffany \ 8 $

Eko terdiam, tangannya melepas sendok, "Gadis itu


Ton? Gadis yang membawakanku obat?"
Toni mengangguk, "Sem ua karena dia, dia berpesan
padaku agar sholat lima waktu."
"Jangan bercanda Ton," Eko tersenyum tak percaya.
"Aku mengirim surat padanya, aku sampaikan kalau
aku ingin b ertem an d engannya, aku ingin lebih
m engenalnya, dan dia membalasku dengan pesan itu," Toni
masukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
"Kamu jangan terlalu..." Eko tak melanjutkan, "Pesan
itu mungkin sebatas pesan, bukan ungkapan berlebihan,
bukan cinta Ton."
"Aku tahu," Toni m enyadari, "Tapi aku sendiri tak
tahu kenapa aku sudi melakukannya."
"Kau sudah gila Ton," Eko tak mengerti.
Waktu ada uang berlebih Toni sempatkan ke toko alat
tulis, Toni beli kertas surat dengan pena hitam. Sebelum tidur
ia tulis ulang dari awal isi hatinya, tak ada lelah, yang ada
hanya bayangan senyum seorang Naela. Ia lipat perlahan
agar tidak cacat, agar tak ada noda. Ia masukkan ke dalam
amplop, m enulis dengan h ati-h ati sebuah nama "N aela
Khasna".
Satu waktu Toni pergi ke Kalianda, pagi-pagi selepas
subuh tepat. Toni tidak sam bangi pondok N aela, tidak
mungkin, haram bagi la k i-lak i m enjengu k jika bu kan
muhrim. Toni d atan gi tem pat san triw ati berseko lah ,
Madrasah Aliyah, di jalan MT Haryono. Toni duduk di tepi
jalan, pandangi gerbang sekolah, menunggu Naela keluar,
engintip dari bawah pohon asam. Toni sabar menanti, tak
6'ah pandangi gerbang sekolah.
Saat Naela tam pak tertunduk berjalan diapit dua
be 911 ^angkit sebrangi jalan ingin mendekat. Naela
8'tu terjaga, kerudung menutup dadanya, ia mengucek
go |zgOuzMarcja'Wanita
dua mata entah mengapa, Toni perhatikan sekecil apapun
sikap Naela, ia menunggu bis datang, Toni semakin dekat,
di tepi jalan dua tangan Naela digandeng dua temannya,
saat bis datang semua lam baikan tangan, Toni seketika
berlari, rambut panjangnya berkibar,
"Pondok! Pondok!" kernet berteriak sembari menepuk
bagian belakang bis.
Naela berjalan dekati bis, Toni lebih kencang berlari,
"N aela!" Toni memanggil.
Naela menoleh, tinggal selangkah ia naik bis, ia rela
berhenti sesaat.
Toni tak berikan surat, ia berikan sebungkus tisu,
"Untukm u N ae."
Tangan kanan Naela menjulur menerima.
"Ayo Nae!" Aziza memanggil.
Naela dari balik kaca bis melihat Toni, berdiri tegak di
bawah panas, ia semakin kecil, semakin memudar ketajaman
dua matanya, semakin jauh menghilang. Dalam bis Naela
membuka plastik pembungkus tisu, ia tarik satu sebagai
pengusap sudut matanya, ia tak lupa itu kak Toni, ia ingat
helai rambutnya, wajahnya, ia hafal namanya, Toni Saputra
yang minta tolong Rika untuk berikan surat pada dirinya.
Di pesantren Naela buka surat Toni sebelum melepas
kerudungnya, ia buka surat yang tlah lama tersimpan, ia
cermati kisi-kisi emosi dalam setiap untaian kata-katanya,
sembari duduk di atas ranjang ia ingat begitu lekat Toni
m em andangnya, pandangan seolah penuh harap, s e o l a h
juluran tangan ingin dirajut.
"Y a ssa la m ... kuatkan ham bam u in i..." N a e la
memohon.
"Ja n g a n m elam un N ae," A ziza d atan g, menata
ram butnya untuk diikat.
~Ma m un A ffan y | $ 1

"Bagaimana kita harus memilih jika ada laki-laki yang


menghampiri?" Naela menutup suratnya.
Aziza terkejut, ia tak jadi bercermin, duduk bersebelah
Naela, ia pungut tangan kanan Naela, "Jangan tergoda Nae."
"Aku ingin kamu menjawab Za, aku ingin tahu," Naela
menggenggam erat tangan Aziza.
Aziza tatap dua mata N aela, "N ae, saat ada yang
datang padamu jangan kau pilih sekedar orang yang kau
cintai, tapi pilihlah orang yang benar-benar mencintaimu,
m enyayangim u. K ita senang d isay an g , k ita senang
dimengerti, difahami," Aziza bernafas sejenak, "Kam u harus
tahu Nae, tidak semua yang kita cintai begitu menyayangi
dengan ban yak kelem ahan yang k ita m ilik i," A ziza
tersenyum, "N ae, w anita itu m em ilih siapa yang datang,
bagaimana dia kita jua yang menentukan. Mencintai sebuah
anugrah, dicintai adalah keindahan tanpa penghabisan."
"B ag aim an a kita m en g etah u in y a Z a?" N aela
mengulum bibir manisnya.
"K ita b elu m saatnya N a e ," A ziza tak in gin
melanjutkan.
"Aku hanya ingin tahu, p lis..." Naela meminta, m e­
meluk tangan kanan Aziza.
A ziza ben ark an kerud u n g N aela, "K ita lih a t ke-
sabarannya, pen gorban an nya, apa yang dilaku kann ya,
semua ad alah cerm in k asih n ya. O rang datang m eng-
atasnamakan kasih sayang begitu banyak Nae, dari yang
tampan, mapan, tapi orang yang datang dengan ketulusan
sulit ditemukan."
Naela mendengar, membuka dua telinga lebar-lebar,
K U^ a hatinya, ia simpan seluruh pesan temannya. Terbang
uannya pada seorang Toni m eski sekilas, segalanya ia
^ kan pada Allah semata. Dalam kedipan mata ia coba
PUs sosok Toni, di tangannya ia genggam tisu pemberian
gZ | 2 $ )u z 7-targa 'W anita

darinya. Segalanya menjadi dilema, mungkin Toni adalah


sosok yang dilihat separuh mata, tapi Naela mengingat surat,
k ed atan g an R ika, k ed atan g an n y a ke sekolah, sem ua
mengaduk hatinya. Naela sadar, ia bukanlah gadis tercantik,
terindah, terbaik, ia hanyalah m akhluk yang teranugrahi
keindahan, kebaikan, dan kecantikan.
Surat pertam a hanya dibaca sekali tertin ggal iba,
k edatangan Rika m em buatnya tersenyum karena salah
prasangka, kehadiran Toni demi seplastik tisu tlah membuat­
nya bertanya akan segala hakikat ketulusan yang ada.

*****
Ini hari kedua Toni berniat menunggu Naela pulang
dari sekolahan, sejam sebelum bel berdentang Toni singgah
di warung dekat sekolah, ia baru sarapan setelah dhuhur,
w ajahnya sen g aja tak m em b elak an g i sekolah , sem bari
mengunyah ia selalu mengintip gerbang sekolah. Toni tak
malu dengan rambut panjangnya, ia cukup ikat dengan karet
gelang, tubuhnya berkaos hitam, celana jeans sobek dilutut.
Usai makan Toni m emilih duduk di trotoar sebrang
jalan, di bawah rindang pohon asam seperti hari sebelum­
nya. Udara yang terhirup bercam pur debu jalanan, suara
bising kendaraan selalu terdengar, hilir mudik kendaraan
m eng isi tatap an . Toni sudi m enu nggu, duduk lama
sendirian di pinggir jalan demi Naela seorang.
Tak ada jam tangan, jika gusar ia kembali ke warung
menilik jam, sembari menunggu Toni mainkan batu menulis
di jalan. Toni akan serahkan surat yang tlah lama ia buat, ia
bungkus dengan p lastik hitam , terciu m harum , terjag3
kesucian tanpa sedikitpun tersentuh orang, begitu berat To
ingin berikan, ada rasa tak patut, tak pantas, tapi hati tak
kuat m em endam p erasaan , Toni tak in g in lebih lart*a
menyimpan, Toni tak ingin termakan waktu menyiksa d*rl
~Ma'mm Affany |

hanya karena sebuah perasaan.


Dari kejauhan satpam mendorong gerbang membuka,
Toni berdiri, ia keluarkan surat dari plastik hitam.
Gerom bolan siswa menyembur keluar, satu persatu
dicermati dari sebrang jalan, semua tampak putih dan biru,
sem ua membaur menjadi satu, Naela tak juga terlihat, siswa
tertin g g al sedikit, segelintir, satu-persatu pergi, tapi entah
di mana naela, Toni mulai gusar, jinjit ia melihat.
Tiba-tiba ada tiga siswi yang berjalan lambat bersama,
berkerudung, yang tengah menunduk berjalan, meski Toni
tak melihat, tapi ia begitu yakin Naela ada di matanya, ia
hafal jalannya, ia tandai setiap gerak wajahnya, setengah
berlari ia sebrangi jalan tak melihat kendaraan lewat, tak
menoleh kanan-kiri.
Toni lupakan dirinya demi Naela, dari sisi kiri sepeda
motor melaju kencang, terdengar seseorang dari tepi jalan
berteriak lantang "Awas!!!" motor berusaha menghindar tapi
sudah terlambat, "B rak!!!" Toni tersrempet, terpental, Toni
masih sadar, tapi kaki kanan terus dipegang dua tangannya,
ia tidak sanggup berdiri, mulutnya membuka meringis sakit,
siku tangan kiri lecet berdarah, kepalanya menyandar bantal
trotoar, semua datang mengerubut, Naela dan dua temannya
ikut.
"Mas tidak apa-apa?" pengendara motor belum melepas
helmnya.
Toni m engangguk, ia sudah dikelilingi banyak orang.
H ati-h ati m en y eb ra n g m a s," satu o ran g se ten g ah
mer>gejek.
Sudah! Sudah!" satpam sekolah meminta semua pergi.
t K akak tid a k a p a -a p a ? " tib a -tib a N a e la d a n d ua
marunyg m endekat, dua lu tut N aela dijatu hk an ke tanah
tak Peduli kotor.
$4 J zgOuzUarja'Wanita
Toni tak bisa m enjaw ab, " N a e ..." Toni m enyeret
tubuhnya duduk di trotoar jalan.
Hanya Naela dan dua temannya yang kini ada di sisi
Toni, semua sudah pergi, tubuh Toni bersandar di pagar
sekolahan seperti gelandangan.
"M inum dulu K ak ," N aela berikan m inum , bekal
sekolah.
C anggung Toni m en erim a, ia ingin p u ask an diri
menatap Naela.
"S u ra tk u ..." Toni baru sadar, surat itu hilang dari
tangannya.
"Apa Kak?" Naela ingin membantu.
"S u ra tk u ," Toni b eru sah a b erd iri, tangannya
m em egang pagar, m atanya jelalatan ke jalan, Toni ingin
melangkah tapi seketika terjatuh.
"B ia r kam i yang cari k a k ," tak sed ikitp u n Naela
menyentuh, ia tinggalkan tas dekat Toni. Bersama dua teman
Naela mencari di tepi jalanan.
"S u ra t apa N ae?" A ziza kebingu ngan, bungkuk
mencari.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu, tolong carikan saja
Za, sepertinya sangat berh arga untuk kak Toni," N a e la
pegang ujung kerudungnya terus mencari.
"N ae!!!" tiba-tiba Cindy memanggil, "Aku m enem u-
kannya," ia mengacungkan tangan berlari mendekati N aela,
tapi dua tangan Cindy m enarik N aela dan A ziza, "A d a
namamu Nae."
Naela melihat amplop putih tertulis satu nama "Untuk
N aela K h a sn a ". H ati N aela b erd eb ar m emegangnya/
namanya tertulis, nafasnya turun naik tak nyaman.
"Ini kak," Naela memberikan.
Peluh di kening m eng alir, sakit m asih te r a s a
menyengat. Ada kecewa menyeruak di hati Toni, ia menyesa*
"Ma'munAffany \

tak menjaga surat untuk Naela, amplop tergilas roda, ada


noda, tak lagi putih, Toni kembalikan pada Naela, "Surat
ini untukmu Naela."
Naela terima dengan degup kencang di dada, "Apa
isinya kak?''
Toni berusaha senyum, "Bacalah di waktu tenang."
"Apa harus Nae balas K ak?" Naela takut tak bisa
membalasnya.
"Iya N ae, kakak m ohon dengan sangat N ae sudi
membalasnya," Toni masih duduk terkapar.
"Ke mana Nae harus membalas?" Naela tak ingin sakiti
orang.
"Setiap hari Kakak akan menunggu di sini," Toni tak
ingin Naela kebingungan.
'Mungkin lusa Nae baru bisa balas kak," dua teman
Naela berdiri.
Toni tersenyum mengangguk, "Tidak apa Nae, Aku
senang kau sudi membalasnya."
Aziza dan Cindy gelengkan kepala melihat ada laki-
laki seperti Toni, benar-'benar tak kenal lelah, tak pikir jauh,
semua dia lakukan demi seorang Naela.
"Nae pamit dulu kak," Naela harus pergi, ia masukkan
amplop dalam tasnya.
"H ati-h ati N ae," Toni sem patkan berpesan dalam
kesakitan.
Naela berdiri, tapi seketika duduk kembali, "Ini untuk
ak Toni," Naela berikan sebotol air minum.
Bersyukur seketika Toni mendapatkan sebotol air min-

a di kepalanya hanya Naela, Naela yang tak memandang


lSta G rin y a, N aela orang yang m em buatnya m erasa
(]b |2'j )uz 'Harm 'Wanita
berharga, ia beium pemah menerima sikap seindah itu kecuali
hanya dari seorang Naela.
Dalam bis Naela tak langsung duduk, ia melihat ke
belakang, melihat seorang Toni yang malang, yang duduk
julurkan kaki di trotoar jalan bersandar pagar sekolahan. Ia
tertabrak hanya karena ingin sam paikan surat pada diri­
nya, ia jauh datang ke sekolah hanya untuk menemuinya,
Naela sungguh tak percaya, ia benarkan kerudungnya, ia
tarik sedikit ke belakang, ia menggeleng perlahan sembari
menatap Toni yang sudah hilang dari pandangan.
P ertem u an sekilas m em bu at Toni tak sem pat
kosongkan fikiran, bagi Toni tertabrak menjadi anugrah, ia
bisa bicara dengan Naela, bisa bersua dengan Naela Khasna
hingga membuat nama Naela semakin kuat menyelimut hati
yang tlah lama sendiri.
Waktu terus berputar, detik berjalan, Toni menunggu
satu hari yang d itentukan. M alam b erb arin g di dipan
mencoba meraba jaw aban yang akan Naela berikan, jalan
Toni pincang tapi wajahnya tersenyum, ia seperti bersayap
mengarungi indahnya malam, ia seakan hinggap dari satu
bintang ke rembulan.
"Byurrr!!!" seember air dari Bapak bangunkan tidur­
nya, tubuh basah, rambutnya teteskan air, kakinya tak sadar
k e sak itan , "A h !!!" Toni m engeran g tapi tak ada yang
menolong, seketika ia ingat Naela, ia bayangkan jika Naela
memapahnya berjalan, mungkin Naela akan katakan, "Hati-
hati kak," Toni tersenyum sendiri dalam kesakitan.
Hari ini Toni berangkat menjemput jawaban, ia minta
ban tu an eko m engantar, di tangannya sebilah kayu
penyangga jalannya.
"K am u sudah gila karena w anita Ton," Eko kesal
melihat Toni.
"Ma'mun A ffan y \

Toni tak peduli, berdegup jantung Toni tak karuan,


di jalan ia tak pernah berhenti dari lamunan, em pat jam
terasa begitu lama. Toni dan Eko menunggu tepat di depan
gerbang sekolah Naela.
"Ton, kam u h arus sadar, kam u sam a artin y a
mengharap bulan jatuh ke pangkuan," Eko di atas motor
belum berhenti menasehati, "Lihat dirimu, kakimu pincang
tapi kamu m asih berusaha datang. Kau terus m enyiksa
dirimu Ton."
Toni tak dengarkan, Toni terus cermati siswa sekolah
yang keluar dari gerbang, satu persatu, Toni duduk di atas
motor sebelah Eko. Lama Toni menunggu, Naela tak kunjung
keluar, terlih a t hanya A ziza yang b e rja la n , Toni
menghampiri, jalannya pincang, kayunya dipakai menopang
badan.
"Aziza!" Toni memanggil.
Aziza berhenti.
Toni mendekat, siswa tinggal sedikit berjalan, "D i mana
Naela?"
"Dia tidak berangkat kak," Aziza cermati raut Toni.
Tertunduk seketika Toni mendengar.
Aziza membuka tasnya, "N aela titip ini untuk kak
Toni."
Toni kembali berbinar, ia segera letakkan tongkat di
Pagar ingin membuka surat balasan, tapi Aziza mencegah,
Jangan dibuka di sini Kak, itu pesan Naela."
Toni urungkan niatnya, ia usap ram but sebahunya,
ada segum pal p en asaran , tap i seo lah tercek at di
kerongkongan, "N ae sakit?"
Aziza m enggeleng, "D ia baik-baik saja Kak, kami
Semua menjaganya."
^ 8 | ZCj )uz T-tarrja 'Wanita

T e r ja w a (j

ssalam u 'alaiku m Wr Wb

A Kata-kata yang selama ini teruntai indah tak


sanggup Nae balas, m em ulai menulis untuk satu
katapun tak mampu, tapi hari ini rasanya Nae tak bisa nafikan,
tak bisa diam tanpa memberi balasan.
Naela bukan wanita yang sanggup ungkapkan perasaan,
semua tersimpan rapi dalam hati, Naela sudah coba tuangkan dalam
tulisan, tapi tak bisa tertuang, tangan Naela bergetar menulisnya,
berdegup jantung tak kuat menahan rasa, nanar mata memandang,
Naela hanya wanita lemah yang belum bisa menjawab apa yang
kak Toni tanyakan.
Lebih baik kita bertemu di alun-alun Tanjung Karang tepat
di samping kanan pohon beringin hari jum'at jam dua siang, di
sana Naela akan buka hati menjawabnya.

Pendek surat yang tertulis untuk Toni, begitu singka*


namun membuat hati Toni terlepas untuk kembali menanti-
Toni tak temukan jawaban atas gundah gulana perasaanny3/
"M a'm unA ffany j C )$
semua masih terkatung di lauhil mahfudz. Toni simpan baik-
baik surat Naela sebagai hiburan, sebagai harapan, sebagai
bukti ia ada di ujung penantian. Sebelum tidur Toni selalu
m em bacanya seraya layan gkan lam unan pada N aela
seorang.
"Ton!" satu suara memanggil dari luar kamar.
Toni lipat segera surat dari Naela, disimpan di bawah
tikar dipannya, Toni berjalan setengah tertatih membuka
pintu, Rika datang, "Masuk K a ..."
"Kita di luar saja Ton," Rika tak mau masuk, lebih
baik duduk di halam an beralas sandal sembari pandangi
langit hitam dengan gugusan bintang gemintang.
Ram but Toni lebih panjang, dari belakang seperti
perempuan.
"Aku dengar kakimu sakit Ton," Rika menoleh, mereka
tak saling berhadapan.
"A lham d u lillah sudah m em b aik ," sin g k at Toni
membalas.
"Kam u sekarang lebih sering diam Ton, apa yang
kamu fikirkan?" Rika ingin tahu.
Toni bingung, menulis di atas bumi dengan batu.
"N a e la ?" R ika m enebak, "K am u m engh arapkan
cintanya?"
Toni m em eluk dua lu tutn ya, "D ia m engajakku
bertemu hari jum 'at di Tanjung Karang."
"Besok?" Rika memastikan.
Toni mengangguk.
Kamu sudah siap-siap?" Rika ingin Toni bahagia.
Apa yang h arus aku siapkan K a ?" Toni balik
bertanya.
Ton... kamu harus ingat siapa yang kamu hadapi,
se° ran§ Naela, Naela Ton," Rika ingin Toni sadar, "Jadilah
ng Toni yang rapi, yang benar-benar pantas untuk
100 | z g Juz T-tarja 'W anita

bersanding di samping N aela," Rika benarkan rambutnya,


beberapa helai diselipkan ke belakang telinga.
"Potong ram butm u Ton, kamu laki-laki, dan Naela
adalah wanita yang tahu agama," Rika terus pandangi wajah
Toni dari samping, "Kamu pasti ingat penampilannya, bersih,
rapi, sopan, santun, berusahalah sedikit seperti dirinya."
"Aku ingin dia m enerim aku apa adanya K a," Toni
berasalan, ia lempar batu kecil.
"Tidak semudah itu Ton, wanita akan m elihat dari
k esu ngguh an, yang bisa kam u p erb aik i harus kamu
lak u kan , b u kan hanya diam , dan k atakan terim a apa
adanya," Rika meyakinkan, "C obalah berkaca Ton, sekali
saja, sekali, untuk melihat dirimu dan mengingat Naela yang
bersih, cantik, yang baik."
Toni m ulai sadar, m ulai b erfik ir, "A pakah dia
mencintaiku Ka?"
Rika seketika diam, tak sanggup lagi berkata panjang.
"Jawab Ka? Apakah dia sudi menerimaku?" Toni mulai
ketakutan.
"B erd o'alah di setiap sholatm u, hanya A llah yang
tahu," suara Rika merendah.
Berdua terdiam seketika, Rika pandangi Toni yang
tertunduk lesu, ia terkatung dalam keputusan seorang Naela
Khasna, kadang Toni yakin Naela akan menerimanya, tapi
kadang sebaliknya. la tahu diri, tahu kehormatan Naela yang
begitu terjaga, tapi ia hanya laki-laki biasa yang tak sanggup
m eanggung rasa cinta dalam h atinya, sebuah a n u g r a h
terindah dari sang Kuasa yang harus ia berikan pada wanita.
"Sabar Ton, aku tahu harapanmu, aku tahu kenap3
kau jatuh hati padanya, sabar Ton," Rika berpesan, undur
diri dari sisi Toni, tinggalkan Toni duduk sendiri di b a w a h
kolong langit malam.
"Ma'munAffany j 101

Di kamar Toni berkaca pada cermin retak, tertempei di


dinding terjepit paku, Toni cermati dirinya sendiri, rambut
panjangnya, tubuhnya, pakaian yang melekat pada dirinya,
celana sobek di lutut. Seketika teringat Naela, berkerudung
putih, tubuhnya tertutup bersih, pandangannya isyarat
kelembutan, senyumnya isyarat pembuka tabir kebahagiaan.
Kata Rika memang benar, ia harus lebih baik selagi bisa, selagi
m am pu, ia harus berusaha untuk berikan yang terbaik pada
seorang Naela, ia baru menyadari jika selama ini ia hadirkan
keburukan, ia sodorkan kehinaan.
Selepas sholat subuh berjama'ah Toni pulang ke rumah
Eko, ia lihat Eko ke m asjid, bersarung Toni ketuk pintu,
"Assalamu 'alaikum !"
Hari m asih gelap, belum tam pakkan sinar, m asih
berhawa embun, suara deru sungai terdengar jelas, satu
suara sapu lidi dari tetangga menyapu halaman, "Eh Toni,
Ibu kira siapa, tumben pakai sal am," Ibu kagum,
"Eko ada Bu?" Toni tersenyum.
"Di kamar, masuk saja, biasanya kamu nyelonong ke
dalam."
Toni buka kamar Eko, ia berbaring miring di kasur
ingin mengulang tidur, Toni tanpa ampun m enarik tubuh
Eko, "Bangun K o."
Eko m enggaruk kep ala, "Ada apa Ton? Ini m asih
terlalu..."
"Potong ram butku!" Toni menyela.
"N an ti saja Ton, m asih g e la p ," sebenarnya Eko
terkejut, dari dulu rambut Toni tak boleh disentuh.
Torn duduk, ia tak lagi memaksa, menunggu Eko yang
menutup m ata. Eko tid ak tidur, hanya berbarin g , tapi
menyadari Toni terus menunggu Eko bangun, ia tahu kalau
Semuanya pasti berkaitari dengan Naela.
Ayo di luar Ton," Eko mengajak.
102 |zg 9uz 'Martja 'Wanita
Hari masih remang, burung pipit di dahan berkicauan,
halaman basah terendap embun, Toni duduk di tebir teras,
kakinya m enggantung seperti di tepi kolam renang, Toni
buka kaosnya, perlih atk an dadanya, Eko jo n gk o k siap
dengan gunting di tangan, "M au diapakan Ton?"
"Potong yang rapi Ko," Toni tundukkan kepalanya.
"P asti N aela yang m enjadikanm u seperti in i?" Eko
m enunda.
"Aku ingin berikan yang terbaik."
"Maksudmu?" Eko tak jadi memotong, ia duduk ingin
mendengar penjelasan.
Kepala Toni diangkat, "N anti jam dua aku bertemu
d en gan nya, aku ingin m em buatnya b ah agia dengan
p eru b ah an k u , aku sudah beru lan g -u lan g dibuatnya
tersen y u m , tertaw a, aku seolah punya h arap an akan
kebahagiaan, aku ditolong oleh keikhlasannya, sedang aku
belum sanggup berikan apapun padanya."
"A palagi yang akan kamu lakukan untuknya Ton?
Belum tentu ia mencintaimu," Eko menyadarkan.
"Siap a yang tahu isi hati Ko? Siapa yang sanggup
m eraba k ed alam an hati w an ita? K erapian rahasia
perasaannya, siapa yang tahu semuanya?" Toni menoleh,
"Aku hanya ingin dia tahu dan mengerti bahwa aku akan
berikan yang kumiiiki untuknya."
"Kau sudah gila Ton, darimana semua kata-katamu?
Sejak kapan kamu merindu seorang Naela?"
Toni tak lagi menjawab, Eko kehabisan kata, ia mulai
jongkok di belakang tubuh Toni, memangkas rambut yang
panjang, membantu Toni lebih siap bertemu Naela Khasna,
gadis yang Eko juga tahu betapa terbius hatinya hanya
karena m em andang senyumnya, betapa tertarik jiwanya
hanya karena melihat caranya berjalan, ia sungguh s e o r a n g
wanita yang didamba.
"Ma'mun Affany | /03

Toni pinjam motor Eko, rambutnya disisir rapi, kumis


tipis di bibir dicukur, janggut tak lagi berbekas bintik hitam,
Toni bahkan pinjam baju koko pada Ayah Rika, waktu
ditanya, "Untuk apa?"
Tak malu Toni menjawab, "Mau bertemu Naela."
Koko berw arna putih bergaris hitam di dekat tiap
kancing, celananya tetap berlubang di lutut, ia tak punya
pilihan, wajah Toni tampak bersih, mata Toni sedikit cekung
terlihat tajam , jalannya tegap bersand al ja p it biru tipis
alasnya.
"B ism illa h irra h m a n irra h im ..." Toni m engucap, ia
berangkat saat mentari mulai mendaki luasnya langit, awan
mulai terarak angin berjalan, panas mulai menyengat, jalan
seolah berair pancarkan fatam organa. Di m ata Toni tlah
terbayang bagaimana ia bertemu dengan Naela.
Kedatangang Toni di Tanjung Karang disambut mega
mendung di langit, angin lebih kencang dari biasanya,
"Allahu Akbar! Allahu A kbar!" kum andang adzan jum 'at
lantang m enerobos setiap rum ah, Toni duduk di anak
tangga masjid Agung, beriring adzan Toni tatap tempat yang
tertulis dalam surat N aela, di sam ping beringin, tem pat
rindang, beralas rumput beratap daun, berkipas angin alam,
bermusik kalimat syahdu dari dua katup bibir Naela.
Di antara dua khotbah Toni panjatkan do'a, "Ya Al-
lah- jadikanlah pertem uan ini seindah-indahnya kejadian
yang aku m iliki, jadikan pertem uan ini sebuah awal sisa
hidup yang akan aku jalani, hambamu ini memohon dengan
kelemahan yang dimiliki."
Toni tak makan siang, tak ada keinginan, fikiran terus
terbang bersama Naela, ia tak akan makan sebelum bertemu
aela, tak akan pulang sebelum bertemu Naela, ia siapkan
Seribu kata untuk seorang Naela.
104 | 29 Ouz 7-tartja 'Wanita

Jam 13.30 Toni tinggalkan masjid, melangkah ke d e k a t


pohon beringin di sisi kiri bundaran alun-alun, Toni d u d u k
di atas sebongkah batu, tak ada jam tangan, tapi jam di
dind ing depan m asjid m asih tam pak jaru m nya. Langit
berubah mendung pekat, angin semakin kencang, pedagang
kaki lima mulai membuka payungnya, bingkisan permen di
atas rum put beterbangan, Toni terus duduk menunggu
seiring semakin kencang jantung berdegup, arus darah tak
lagi tahu arah.
Mata Toni menelisik tiap sisi, acuhkan mendung, setiap
w anita b erk eru n d u n g Toni p an d ang i, sen d irian Toni
menanti m elawan sepi, menunggu waktu, dua menit lagi
jam dua, Naela tak kunjung tiba. Toni mulai tak nyaman,
siang genap gelap ditelan mendung, Toni berdiri celingukan
m em and ang sek itar, m enatap m enara m asjid kokoh
menjulang, tepat jam dua Naela tak tampak, tepat jam dua
hujan mengguyur, "Breesss!!!!" rambut basah tersiram air
langit, tubuh kuyup, semua menepi kecuali Toni, ia tetap
duduk di atas batu menanti seorang Naela.
Toni ja d ik a n tubuhnya sebagai tad ah air hujan,
rumput m ulai tergenang, daun beringin tak lagi mampu
menahan, tak cukup menjadi payung, m endongak ke atas
sama artinya menantang hujan, jika angin kencang bertiup
gigi Toni mengerat menahan dingin, matanya tak bisa lagi
memandang jauh terhalang lebat hujan.
N aela tak kunjung tiba, tapi Toni tak pindah dari
tempatnya, ia terus duduk menunggu dan menanti, s e s e k a li
berdiri, dingin ia biarkan, lapar tak dirasakan, ia t e l a n air
hujan demi seorang Naela, setengah jam direndam hujan
Naela tak juga datang, semua penjuru tlah dicermati tap1
tak ada tanda-tanda wanita berkerudung berjalan, mungkin
yang m elihat Toni menganggapnya anak kecil atau orafl
gila.
"M a'm unA ffam j | 1 0 $

Hujan m engecil, sem akin berubah rintik, tertinggal


r a s u k a n d in gin ke d alam sum sum , tertin g g al tu buh

b e r s e l i m u t baju basah , ia tetap m enanti dan m enan ti,

m atan y a terus m embuka, sam pai adzan ashar terdengar


jsjaela tak jua tiba, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Toni dengarkan adzan di baw ah rintik hujan, Toni
tetap menunggu, m emandang langit, sudut masjid mulai
ramai.
Sejenak Toni menoleh ke timur, seketika tampak tiga
gadis berkerudung berjalan lambat, rok mereka tak dijinjing,
dibiarkan basah, Toni tak peduli dua yang lain, Toni hanya
perhatikan yang tengah, berbaju biru, berkerudung putih,
berlindung di satu payung, tangan kanannya memegang
payung yang bersandar di pundak kanan, ia bukan yang
paling tinggi, bukan pula yang paling pendek, ia seperti
mengambang di atas air.
Ia semakin mendekat, kadang ujung kerudung tertiup
angin, tangan kirinya begitu cepat mendarat di depan dada.
Toni berdiri menyambut, ia lupa dinginnya, lupa sepinya,
ia lupa deritanya, ia coba bersihkan bajunya yang basah.
"A ssalam u'alaikum ," suara hangat di tengah hujan
terdengar, ia tak memandang, tapi kemilau bibirnya silaukan
mata yang memandang.
"W a'alaikum salam ..." Toni tak berpayung menjawab,
satu tetes mengalir di pipinya.
"Maaf terlam bat," Naela berikan dua pipinya yang
busung.
“Tidak apa Nae, ku bersyukur kau bisa datang," Toni
agia sanggup memandangnya.
Sejenak diam, dua teman Naela seperti penjaga, selalu
menggapit.
Bisakah kita berdua bicara?" Toni tak ingin ada or-
an§ mendengar.
1(]6 | zg Juz ~Harya 'Wanita
"M ereka tem an Naela kak, biarkan m ereka di sini,
mereka sudah jadi keluarga Nae," Naela menolak sopan.
Toni mengerti, di samping kanan Aziza, di samping
kiri Toni tak mengenal, yang dulu menemukan surat di jalan.
"K am u sud ah baca sem ua suratku N a e?" Toni
memulai.
"Alhamdulillah sudah kak, indah sekali bahasa yang
kakak tulis, Nae tidak bisa seperti kakak," Naela memuji.
"Jangan merendah Nae, aku hanya makhluq kecil di
hadapanmu," Toni merasa tak pantas dipuji Naela.
"Jangan seperti itu kak, Naela katakan apa adanya,
terimalah pujian Nae Kak."
Toni dibuat bisu, "Terimakasih Naela."
N aela term anggut sekali, namun setelah itu hanya
diam membeku, Toni menunggu, tapi tak jua keluar meski
sepatah kata, "N aela... sebelumnya Aku mohon maaf jika
selama ini sudah bertubi-tubi mengganggumu, tapi sungguh
aku tak bisa m enjauh darimu, semakin hari keinginanku
hanya ingin mendekat dan terus mendekat denganmu," Toni
usap wajahnya yang basah, "Walaupun aku hanya dengar
cerita tentangmu, aku merasa begitu indah rasanya dunia
saat m enyimaknya."
Dua tem an N aela m enatap Toni, tapi N aela hanya
tertunduk mendengar saja.
"Aku bukan orang istimewa Naela, aku anak muda
yang dari kecil tak tahu Ibu, tak pernah tahu bagaimana
Ibu jik a tid u r bersam a anaknya, aku tak p e r n a h
merasakannya, tapi tiba-tiba aku berjumpa denganmu," Toni
menengadah ke langit sekejap.
"Aku m erasa p ertem u an itu an u grah terindah
sepanjang hidupku hingga aku rela berbuat apapun a s a l k a n
d arim u ," Toni tersenyum kecil, "Aku potong rambutku
karena aku malu denganmu, aku pinjam baju koko ini agar
'M a 'm u nA ffa ny | 10 J

tak mengecewakanmu, aku laksanakan pesanmu agar kau


tak risih mengenalku."
Naela tak jua bicara.
"Entah mengapa semua itu bisa terjadi, tapi aku hanya
lelaki sederhana yang semakin lama sadar, semakin lama tahu
bahwa aku telah ja tu h cin ta padam u, nam am u yang
membuatku tersenyum, membuat hariku berwarna indah.
Namamu yang menjadikanku punya harapan, punya sosok
dalam penghayatan arti cin ta yang d alam ," Toni usap
wajahnya m enghapus air h u jan, "Aku tid ak sanggu p
menahan ini semua Naela, aku tidak bisa, dan sekarang aku
mohon kau b isa m en jaw abn y a dengan tu lu s, dengan
kejujuran yang kau miliki, dengan cinta yang kau punya."
Naela masih tertunduk, ia sembunyikan dua matanya
dari Toni, sebulir air jatuh dari dagunya, dengan berat ia
angkat w ajahnya, m atanya tam pak basah sebasah bum i
terguyur hujan.
"Kenapa kamu menangis Naela?"
Naela menggeleng, "Naela tak percaya begitu besar
cinta yang kakak m iliki untuk Naela, begitu besar hingga
kakak sudi berkorban untuk Naela, Naela ingat semua, Naela
ingat bagaimana kakak tertabrak hanya untuk berikan surat
pada Naela."
"Begitulah aku Naela, aku tak miliki apapun, tak ada
yang bisa aku berikan selain apa yang ada dalam tubuhku."
Naela bernafas sejenak, "Naela tak pernah menerima
kak. Baru kali ini Naela mengenal laki-laki, tapi begitu
besar cintanya pada Naela," Naela berusaha tenang, ia sedikit
putar payungnya, "Tapi maaf kak, Naela tak bisa membalas-
nya, Naela tidak bisa, Naela tidak mampu, Naela tidak bisa
Ur>tuk berikan cinta yang kak Toni pinta."
^ Telak terpukul Toni rasakan hati terkapar di dasar
ratan seolah terinjak tak henti diludahi, dan terbuang jauh
IDS |zg Juz "Hartja 'Wanita
ke jurang, Toni menyadari semua, ia hanya makhluq kecil
depan Naela, semuanya pupus tak ada harapan, "Kenapa
N aela? Tak bisak ah kau buka secuil hati untukku? Tak
b isak ah kau berik an aku sed ik it celah m eski untuk
bersem bunyi di hatim u? A pa alasanm u N aela? Apakah
karena aku kotor di matamu?"
"N aela tidak bisa beralasan kak. Seribu kali kakak
tanyakan, seribu satu kali Naela tak pernah bisa beralasan,"
Naela tak bisa melihat Toni, ia sudah sakiti orang yang baru
m engenalnya, yang m em ujanya, "K akak jangan katakan
kalau kakak kotor di mata Naela, bagi Naela kakak adalah
lelaki yang punya kehorm atan, punya harga diri, punya
keberanian."
"Apalah arti semua itu sekarang Nae, apalah artinya
jika aku tak bisa dapatkan cintamu," Toni lemas, ia duduk
di atas tertunduk lesu.
"Apakah wanita di dunia ini hanya N aela adanya?
Apakah wanita hanya Naela yang baik? Yang menurut kakak
cantik?"
Toni berdiri, "Memang banyak wanita menghiasi dunia
ini, banyak yang lebih cantik, lebih baik, lebih sempurna.
Tapi apalah daya raga ini jika jiwa, dan hati tlah m enyatu
tuk katakan bahwa kaulah wanita paling indah di dunia,"
Toni terkungkung sakit, matanya menatap harap, ia berterus
terang di bawah rintik tak henti basahi bumi.
Naela terpejam sembari menggeleng, "M aaf kak, Naela
tidak bisa... Maaf kak."
H abis kata dari m ulut Toni, tak ada lagi b u j u k a n ,
semua tlah terjatuh. Toni baru detik itu rasakan sakit le b ih i
tamparan dari Bapaknya, lebih beku dari guyuran B a p a k n y a -
Hati Toni teremas duri, tersepuh bara mendidih, " B o l e h k a h
aku minta sesuatu darimu agar bisa kujadikan kenangan di
sepanjang hayatku? satu kenangan sebagai bukti aku p e r n a h
"M a'm unA ffany | 1 0 $

m engenal wanita sepertimu, yang bisa kusimpan rapi sebagai


muara lam unanku."
Tangan kanan N aela m asuk ke dalam sakunya, ia
m e n g a m b il Q u r'an kecil, "In i kak, N aela sudah siapkan
Q u r'a n ini untuk kakak."
Tangan basah putih Toni menjemput.
"Hanya itu yang mampu Nae berikan kak."
"Makasih Naela, aku berjanji untuk menjaganya baik-
baik."
"M a a f kak, m aafkan N a ela ," kata terak h ir N aela
ucapkan untuk Toni.
|
HO zg Juz 7/arc/a 'Wanita

©
— Satu %ef)ahaqiaan ^Perempuan —

11 A ssa la m u 'a la ik u m " Toni ketuk pintu rumah


/ % Eko, tubuhnya m enggigil, dua bibir ditarik
/ m ke dalam agar tak bergetar.
"W a'alaikum salam ," Eko membuka pintu, dilihatnya
tubuh Toni yang basah, seketika Eko ingin tahu, "Bagai­
mana Ton? Bagaimana pertemuanmu dengan Naela?"
Toni tak menjawab, ia berikan kunci motor, "Makasih
Ko, aku tak mampu m em balasnya," suara Toni terputus-
putus.
Toni berbalik pergi, di lantai jejak kakinya tertinggal-
"Ton! K am u..." Eko melihat ada sesuatu berbeda.
Toni seolah tak mendengar, ia terus berjalan di tengah
gelap, Eko perhatikan setiap langkah Toni, tiba-tiba tubuh
Toni gontai sempoyongan, jalannya melambat, "Bruggg!--
Toni terkapar di jalan, Eko berlari tanpa sandal, ia cepat dekati
Toni.
"Ton! Toni!!!" Eko dua kali menggoyang tapi tak ada
jawaban, ia seperti melihat tubuh beku tak bertuan.
"Ma'mun Affary \ iff

E k o bopong tubuh Toni, "Ib u !!! B u !!!" Eko belum


masuk su d ah berteriak, "Ibu!!!" sekali lagi Eko mamanggil.
"Ya A llah ..." Ibu tak kuasa melihat Toni seperti mayat.
" T o lo n g Toni B u ," Eko m emohon, "B u k akan pintu
kamar!"
Ibu cepat membuka, Ibu berlari ke dapur, mengambil
h a n d u k , air panas, baju, selimut, Ibu berlari.
"Ada apa Bu?" Bapak belum sadar.
"Toni pingsan pak," Ibu terengah-engah.
Ibu cerm ati jem a ri tan gan dan k aki Toni, sem ua
m em utih berkerut, bibir Toni pucat, Ibu buka baju basah
Toni.
"Eko ke Rika dulu Bu," Eko tak mampu sendiri, ia
melihat Toni sedikit parah.
"Cepat nak," Ibupun takut melihat Toni, satu persatu
tubuh Toni dilap dengan handuk kecil berair panas.
Eko pakai motornya, sudah sepi, jalan lengang tanpa
orang, sudah lengang desa menuju malam, sisa hujan masih
terasa basahi bumi, tak ada bulan, bintangpun bersembunyi
di balik awan kelam.
"Assalamu'alaikum!" Eko keras mengetuk Rika.
Tak lam a Rika keluar, ram butnya tergerai acak, ia
berbaju tidur, "Ada apa Ko? Kamu kelihatan..."
Eko tak beri kesempatan Rika panjang berbicara, "Toni
Ka, dia pingsan. Aku butuh bantuanmu sekarang!"
"Kenapa d ia..."
"Aku tak bisa cerita. Cepat Ka!" Eko memaksa.
'Tunggu sebentar," Rika masuk ke dalam, Eko berdiri
mer>gingat bagaim ana tubuh Toni roboh terjatu h ketika
A langkah.
Rika keluar dengan jaket bertudung, ia bawa tas kecil
6ntah aPa isinya, "Ayo Ko!"
HZ | 2Cj Juz Karya Hlanifa

Rika membonceng Eko, di jalan Rika tak henti bertanya,


"Kenapa dia pingsan Ko?"
"Aku tidak tahu, dia jatuh begitu saja waktu berjalan,"
Eko sedikit menoleh ke belakang.
Sampai di rumah Rika cepat ke kamar Eko, saat buka
pintu tampak Toni tlah berselimut, di keningnya tersandar
handuk hangat, kakinya Ibu pakaikan kaos kaki, "Ya Al­
la h ..." Rika seperti kakak, ia ikut takut melihat, tangan Toni
keriput memutih, Rika usap rambut basah Toni.
"Dia kedinginan Ka," Ibu memberi tahu.
Eko datang, ia berdiri menyandar daun pintu.
Rika genggam tangan kanan Toni, begitu dingin, bak
m enggenggam sa lju , Rika k h aw atir terjad i sesu atu , ia
letakkan tangan Toni di dada, entah kenapa Rika lelehkan
air mata. Ia teringat Toni sedari kecil, malang nian nasib
Toni. Rika benarkan selimut mengganti kompres.
Hanya berdua menunggu tubuh Toni, Rika dan Eko
tetap menemani meski diam sekedar pandangi Toni. Tiba-
tiba meradang satu suara dari mulut Toni, "N a e ..." terbata
Toni mengucap, namun Rika dan Eko tahu siapa pemilik
nama tersebut di bibir Toni.
"Gila Toni in i... Dia sudah Gila," Eko tak percaya.
"Jangan seperti itu Ko," Rika melarang.
"Bagaimana aku tidak katakan kalau Toni sudah gila,
dia menginginkan gadis seperti Naela, begitu tergilanya dia,
semua dikorbankan, semua dilakukan. Lihat dia sekarang!
Eko tak peduli, "Dia pingsan."
"Aku m ohon jan g an berkata sep erti itu Ko, aku
mohon, dia hanya ingin tem ukan sedikit saja sen y u m an
yang bisa sejukkan hatinya, yang bisa tenangkan jiw anya,
Rika menoleh ke tubuh Toni, "Aku yakin jika kamu sedan
kecil seperti Toni, mungkin kamu lebih gila dari Toni.
Diam Eko mendengar, ia tak bisa lagi berkata.
"Ma'mun A ffany |

M alam sem akin larut, Rika tetap menunggu tubuh


Toni yang terbaring tertutup selim ut. Eko tidur di lantai
dekat Rika yang teru s p erh atik an w ajah Toni, terus
mengganti kompresnya. Mungkin Rika bukan lagi seorang
kakak, mungkin Ibu dari Toni, ia paling khawatir dengan
Toni, ia lepas jaketnya, ditutupkan ke kaki Toni agar lebih
hangat. Lampu terus berpijar, detik jarum jam terdengar
keras mengetuk malam.
"R ik a ..." tengah malam Toni sadar, memanggil Rika
yang tertidur di dekat perut Toni.
Seketika Rika bangun, ia berusaha m em buka dua
matanya lebar, "Alhamdulillah kau sudah sadar Ton."
B ib ir p u tih Toni berg erak , "Apa aku salah jika
mencintai orang seperti Naela? Apa aku terlampau hina Ka?
Apa aku tak pantas mengatakan itu semua Ka?"
Rika cukup mendengar.
"Aku tak melihat kecantikan Ka."
"Aku tahu Ton, aku tahu," Rika sakit mendengar.
"Aku tak melihat keindahannya, aku sendiri tak tahu
kenapa aku begitu m encintainya," di pem baringan Toni
curahkan isi hatinya, "D ia m emang cantik, dia memang
anggun, lentik, santun, ta p i..."
"Aku mengerti Ton," Rika kuatkan hati mendengar.
"Apa dia tidak tahu seberapa besar hati ini untuknya?
Apa dia tidak tahu aku lakukan semua ini demi dirinya?
bagaimana aku harus menjelaskan agar dia tahu Ka?" suara
Toni begitu berat.
"D ia tahu sem ua itu Ton, dia p asti ta h u ," Rika
mey ak in k an .
Tapi kenapa begitu mudah dia tolak cintaku, tak beri
alasan, tak beri penjelasan. Aku manusia rendah K a ..." Toni
Pejam kan matanya.
H 4 | z g Ouz K arya 'W anita

"Jangan berkata seperti itu Ton, akan ada orang yang


m enggantikannya," Rika meyakinkan.
"T ap i h a tik u tetap untuknya K a ... u n tu kn y a...
selalu... selam anya..." Toni tuntaskan segenap rasa di balik
dada sampai tak lagi tersisa.
R ika h anya m engangguk dan m engangguk
m endengar, teru s dengarkan bisik an basah Toni waktu
malam. Sunyi, sepi tak ada suara kecuali dari Toni seorang.
Rika tak bosan m enem ani, benarkan selim ut, mengganti
kompres, tetap dekat agar Toni tak merasa hidup sendiri di
dunia ini.
Toni terus terbaring di atas kasur Eko, kadang Eko
m eninggalkann ya, tapi Rika yang tetap ada di sisinya,
makannya sulit, kesehatan tak kunjung membaik. Setiap hari
yang Toni ucapkan Naela, yang Toni ceritakan Naela, tak
pernah lepas, Eko bosan, Rika bingung harus bagaimana,
jik a ia p erg i tak akan ada la g i yang setiap waktu
m enem aninya, hanya dua m inggu tubuh Toni mengecil.
Toni bukan sakit, tapi hatinya kecewa, ia terlanjur menanam
sayang teram at dalam, tapi ternyata yang tumbuh hanya
duri menikam.
"Kam u jangan terus seperti ini Ton! Kamu laki-laki,"
Eko marah.
Tapi Toni rin g an m enjaw ab, "K am u belum
merasakannya Ko. Inilah keindahan dalam kesakitan, inilah
surga dalam kemayaan."
Eko gelengkan kepala, tak tahu bagaimana sad ark an

temannya, "K au bisa mati Ton."


"B iar aku bertem u Ibuku," Toni tak takut.
R ika khaw atir, "C a b u t k ata-k ata itu Ton, jangan
berkata seperti itu!"
"D ari kecil aku tak pernah tahu Ibuku, dari kecil Bapak
tak mau m emberitahuku, biar aku susul Ibuku di kubur,
"Ma'munAffany \ {{$

Toni su d ah tak punya harapan, tak miliki secuil asa untuk


hidupnya, seolah hidup hanyalah Naela. Tapi memang seperti
itu ad anya. Bapak Eko, Ibu Eko sudah berusaha membujuk,
tapi tak mampu, Toni tetap terkapar, batuk mulai terdengar
dari mulutnya.
"Rika," Ayah Eko memanggil Rika pelan.
Rika menyingkir dari sisi Toni.
"Sudah tiga minggu Toni seperti ini, kalau kita biarkan
hidupnya bisa sia-sia," Ayah Eko ikut iba, "C o ba kamu
datangi Naela, minta Naela untuk menjenguk Toni agar ia
merasa berharga."
Wajah Rika sudah kusut, kadang tak m andi hanya
menunggu Toni, rambut Rika tak lagi hitam legam.
"Ceritakan semua yang ada pada diri Toni, semuanya,"
Ayah Eko m enarik nafas d alam , "K a la u p erlu m ohon
padanya agar dia datang ke sini, untuk temui Toni walaupun
terakhir kali."
Rika m engangguk, bibirnya yang kering dibasahi
dengan lidahnya. Mungkin ini memang satu-satunya cara.
Rika intip tubuh Toni dari pintu, terbujur di atas kasur
tanpa gerak, hanya mengawang bayangan membuka mata
lebar. Entah apa yang ada dalam fikirannya, tapi Rika yakin
semua tak lepas dari seorang Naela Khasna. Mata Toni lebih
cekung dari sem ua, tu lan g di p erg elan g an tan gan
menyembul, kalau Toni senyum akan sakit orang yang
memandang, seolah melihat senyum orang hilang ingatan,
senyum tanpa jiwa, senyum harapan yang musnah sebelum
terbang.
Tak ada yang mengharap Bapak Toni datang, sebulan
te J- men§hilang Bapaknya tak akan mencari, Toni sudah
lasa datang dan pergi, ia sudah jadikan rumah hanya
terr) menginap, tempat menghirup nafas sejenak, bukan
Pat bersemayam, Semua yang tahu Toni iba melihatnya.
h 6 I ztj 'juz Itnrtja "Wanita

Sedari kecil untuk mainpun menumpang di rumah orang,


dari kecil jadi bahan ejekan, hanya Rika dan Eko yang tahu,
bukan orang lain. Kalau Toni lapar tapi tak ada uang ia
akan m emojok menahan sakit perut, tak ada yang peduli,
hanya Eko dan Rika yang memberi.
Semua hanya karena cinta tak berbalas. Mungkin or­
ang mengatakan ada seribu perempuan di dunia, tapi hati
kecil Toni akan membela jika hanya Naela Khasna yang ada
di hatinya. Itulah satu cinta, satu kesucian yang Toni miliki,
yang ia tanam entah sampai kapan. Memang Naela bukan
yang tercantik, tapi apalah daya jika hati tlah mengucap
bahwa Naela yang terindah, memang Naela bukan wanita
sem pu rna, tap i jik a h ati tlah b erb isik , "N a e la akan
bahagiakan dirimu dengan cara yang sem purna," ragapun
seolah lumpuh tak berdaya.
R ika b e ran g k at siang itu, ia berk eru d u n g sedang
w ajahnya kusut seolah keriput, ia berbaju tak rapi, ala
kadarnya, rok hitam, baju lengan panjang biru tak tersentuh
setrika, yang terpenting ia bisa temui Naela.
Sampai di pondok Fathun Qarib Rika disambut adzan
ashar, sem ua santriw ati berjalan berm ukena ke m asjid ,
m engalung sajadah, semua tampak putih, m ereka duduk
berbaris, berlomba-lomba sholat sunnah qobliyah, merapal
tasbih mengucap dzikir, Rika berjalan pelan mendekat masjid,
ia lepas kerudungnya saat mengambil wudlu di sebelah utara
masjid, air mengucur dari pralon putih panjang yang penuh
lubang kecil. Rika menyatu di barisan paling belakang, duduk
bersimpuh perempuan, terhimpit santriwati.
Waktu bubar Rika tak melepas mukenanya, ia tak lag1
bertanya akan Naela, ia yakin Naela akan tertinggal di antara
tem an -tem an n y a, dari belakan g nafas Rika turun na ^
menyadari satu persatu beranjak pergi tinggalkan satu so
yang duduk m enu nd uk, ia berd o 'a den gan setetes
'M a'm unA ffany \ 1 fJ

menggantung di dagunya, ia terus berdo'a meski bibirnya


tak bergerak, ia tampak begitu dalam memohon, matanya
kadang terpejam, Rika perlahan mendekat.
"A ssalam u'alaikum ..." Rika menyapa m elihat Naela
ingin melepas mukenanya.
"W a 'a la ik u m sa lam ..." N aela berbalik, m enyalam i,
m encium pipi kanan dan kiri bak satu keluarga.
Ada bahagia bisa kem bali m elihat seorang N aela,
wajahnya berbinar terang, "Kam u menangis Naela?"
Jemari lentik Naela mendarat di dua sudut matanya,
"M m m ..." Naela menjawab dengan seulas senyum.
"Kamu sedang punya masalah?" Rika ingin tahu.
"Naela sendiri tidak tahu, sudah beberapa minggu ini
mata Nae basah. Nae Tanya keluarga, semua baik-baik saja.
Nae Tanya tem an dekat, semua juga baik-baik saja, Nae
sampai sekarang belum tahu di mana hati ini tertambat pilu,"
Naela melipat mukenanya.
Ah, apakah itu isyarat hati Naela tlah terikat cinta?
Rika tak tahu, mungkin Naela miliki muara lain, miliki alasan
lain.
"Bagaimana kabarmu Nae?"
"Alham dulillah baik M b a'," Naela usap sekali lagi
matanya.
"Kamu m asih ingat Toni N ae?" Rika ingin tahu, ia
menggeser duduknya, di masjid hanya tertinggal beberapa
orang.
'Mba' Rika datang sudah pasti ada hubungan dengan
kak Toni," layu Naela mengucap.
Kam u te rlih at sed ih m e n d e n g ar n am a itu ? "
Naela tak bisa cerita M ba'," Naela ingin sembunyikan.
^ amu b isa sem bunyikan Toni dariku. Aku
sega^ an§ 8 a P dia kakakku, kad ang ad ikku, aku tahu
nya' semuanya tentang dia," Rika meyakinkan.
u8 I zgrJuzWarja'H/anita
Sulit bibir tipis Naela m engucap, ia m enarik nafas
dalam, "Naela merasa terbayangi kesalahan Mba', Nae sudah
sakiti hati kak Toni, Nae sudah sakiti hati lelaki, sampai
sekarang Nae merasa bersalah. Nae selalu berdo'a semoga
kak Toni baik-baik saja di sana."
"A pa kau in g in m enerim an ya N ae?" R ika ingin
jaw aban pasti.
Naela menggeleng.
"Kenapa Nae?"
"N a e la tak u t m b a', N ae takut p erasaan itu, Nae
khawatir, Naela lemah, tak bisa begitu cepat menerima sayang
dari orang, Naela masih terlalu rapuh untuk tahu tentang
itu," Naela menekan dadanya.
Tak tampak kebohongan di setiap kata Naela, Rika coba
jelaskan, "N a e ... cinta Toni padam u sangat besar, sangat
besar. Aku tahu Toni, dia akan berikan hidupnya untuk
orang yang dicintai, dia akan berikan semuanya yang dia
m iliki," Rika daratkan tangannya di lutut Naela.
"N ae tahu M ba', Nae lihat, karena itu Nae merasa
bersalah," Naela mengingat segala hal terkecil yang Toni
lakukan untuknya.
"Apa kamu tidak bahagia Nae dicintai orang sebesar
itu?" Rika ingin menyadarkan.
Naela berusaha senyum, "M ba', wanita mana y a n g
tidak bahagia dicintai lelaki segila-gilanya, wanita m an a
yang tidak senang terus ada yang m encintai tanpa k e n a l
ruang dan waktu, tidak ada wanita yang tidak te r s e n t u h
saat ada yang berikan cinta tulus padanya," Naela b e n a rk a n
lipatan kerudung di kening kanan, "Naela juga wanita biasa
M ba'. Naela begitu bahagia m endapatkannya, dalam hatl
Naela terus bertanya kenapa kak Toni miliki perasaan semul18
itu untuk N aela, N aela juga tidak tahu kenapa k a d a n
terbayang kak Toni yang begitu sederhana."
M a'm un A ffany | 11$

Rika tahu, ada secu il b a la sa n dari N aela yang


tersimpan, ada sedikit suratan takdir yang terselip.
"Coba Mba' Rika fikirkan, setiap hari kak Toni datang
ke sekolah hanya untuk m elihat N aela. M ba' pasti tahu
berapa jauh sekolah Naela dengan rumah kak Toni, dan kak
Toni melakukannya setiap hari," Naela gelengkan kepala,
"Naela kasihan M ba', Nae ingin buat orang lain bahagia,
tapi Nae tak bisa mendekat," Naela coba mengenang, "Nae
ingat, kak Toni berlari menyebrang tanpa melihat kendaraan,
hari pertama ia selamat hanya untuk berikan sebungkus tisu
untuk Naela, hari kedua kak Toni tertabrak hanya untuk
berikan satu surat."
Rika baru tahu, pantas jika Eko katakan, "Toni sudah
gila!"
"D an terakhir kak Toni relak an tubuhnya sebagai
tadah hujan demi menunggu kedatangan Naela. Naela lihat
kak Toni kedinginan, tapi lagi-lagi Naela tak bisa banyak
berbuat, Nae takut..."
Sejenak diam, Naela menarik nafas berusaha tenang,
Rika menatap paras Naela.
"Apa kak Toni benci Naela M ba'?"
"D ia akan selalu m en cin taim u N aela, sam pai
kapanpun. M ungkin dia tertolak, tapi hatinya tak akan
pernah mengelak, ia akan tetap jadikan dirimu sebagai wanita
terbaik yang mengetuk hatinya," Rika katakan semua, "Dia
selalu merindumu, menginginkanmu, sampai kapanpun."
Naela gelengkan kepala, ia tak tahu sebabnya, ia tak
|ahu harus bagaimana, tukang batu tlah terpanah olehnya,
Apa yang kak Toni lakukan setelah hari jum'at itu M ba'?"
Hanya dua y an g dia lakukan Naela," Rika ingin hati
ela terketuk.
"Apa itu Mba'?"
120 |29 Juz Karya 'Wanita
"T e rb a rin g dan m en g in g at seoran g perem puan
bernama Naela Khasna."
Berdegup jantu ng N aela m endengarnya, "M aksud
M ba'?"
"S e te la h berju m p a denganm u dia p in gsan , dia
k ed in g in a n , tap i yang m em buatn ya tak b erg erak dari
ranjang adalah dirimu, dia selalu menyebut namamu, setiap
saat, setia p w ak tu ," Rika tertaw a lelah , "K ita ajak dia
bercanda, dia akan kembali pada dirimu, kita coba bicarakan
kenangan masa kecil, yang dia katakana 'Coba Naela jadi
teman kecil k ita '/' Rika mengatur nafas, "A h... aku sudah
kehabisan cara untuk membuatnya kembali hidup seperti
dulu. L id ah n ya, m atanya, in g atan n ya sem ua tertuju
padamu, aku sampai bosan, tapi Toni sedikitpun tak letih
m engulangnya."
Naela tak bisa bicara, nafasnya turun naik tak teratur,
Rika lebih dekat, merajut dua tangan lembut Naela, "Nae...
aku mohon jenguk Toni, buat hidupnya sedikit berharga,
kalau Nae menjenguknya, itu akan jadikan dia seolah tidak
hina. Dia selalu merasa begitu rendah di matamu, dia merasa
b eg itu h ina. A ku m ohon jen g u k k akakku , adikku, aku
m o h o n ..."
"Sudah Mba' R ika... su d ah ..." Naela merajut tangan
Rika, "N ae insya Allah akan datang menjenguk, Nae pasti
akan datang."
B ersyu k u r R ika m endengar, sebu lir air jatu h dan
m atan y a, "M a k a sih N a e... terim ak asih , aku tak bisa
membalas segala kebaikanmu."
Berdua saling memeluk, erat, lama tak lepas. Berdua
m engadu nafas, m engadu suara hati, m enem pelkan rasa
kasih pada seorang Toni. Bagi Rika, ia sudah terikat keluarga-
Bagi Naela, ialah yang memberitahu betapa mulia seorang
w anita.
’M a'munAffany j 121

©
— I&odohf —

R
ik a d an N a e la ta k m en u n g g u w a k tu la m a ,
berteman Aziza mereka berangkat, kebetulan esok
hari jum'at, hari libur pondok pesantren. Sebelum
tinggalkan pondok Rika sempat singgah di kamar Naela,
sempat m elihat betapa bersihnya kam ar, betapa harum
mawar merebak penuh di sudut-sudut terkecil kamar. Rika
duduk di atas ranjang yang entah berapa kali setiap hari
sprei diganti, ia raba dengan jemarinya dasar ranjang, halus
terasa, tak sengaja Rika ingin memangku bantal, tampak tiga
surat Toni tersimpan di bawahnya, Rika bergegas kembalikan
bantal ke tempatnya.
Saat Naela berhias Aziza menemani, dari cermin Rika
tak sanggup berkedip saat gelungan rambut Naela dibuka,
Perlahan terjatuh bak kain sutra, lurus hitam m enyebar
tutupi ten gkukn ya yang tak p ern ah tersen tu h tan g an
rang. Saat melabur bedak Naela begitu hati-hati, ia perhati-
kan setiap sudut matanya, bibirnya ia poles dengan lips ice,
'kulurn sejenak, terbiaslah kemilau bening seberkas cahaya.
122 | 2g Juz TJarja TVanita
Rika mendekat, ia berdiri di samping Naela, menatap
wajahnya lewat cermin, “Berapa usiamu Naela?"
"D elapan belas tahun m ba'," Naela m elepas jarum
pentul dari gigitannya.
Begitu muda, begitu indah, begitu mulia, Aziza terus
menemaninya. Waktu berkerudung Naela tata rambut agar
tak sedikitpun menyembul keluar, agar kerudung menutup
dadanya. Sejenak Naela berdiri tegak, ia berusaha tersenyum
lepas, "Kita bawa berapa pakaian Za?"
"Satu stel saja Nae," Aziza sabar menunggu, Rika jadi
penonton.
N aela m em buka alm arin y a, ia m em ilih di antara
tumpukan baju.
"In i sudah aku p ilih kan N ae," A ziza perlihatkan
tasnya.
Naela dekati Aziza yang duduk di tebir ranjang, "Aku
bawa tasnya Za."
“Biar aku saja Nae," Aziza menolak.
Rika takjub, begitu baik Aziza pada Naela, dia yang
menyediakan, dia yang membawa, "Sudah Nae?"
"A lh am d u lillah . K ita b eran gk at M b a '," Naela
m engangguk.
Bertiga tak menunda keberangkatan, ingatan mereka
terbang melayang pada Toni seorang. Hari mulai teduh bak
dinaungi dedaunan, matahari sudah turuni tangganya, bus
ke Rajabasa mulai jarang, menunggu sedikit lama di tepi utara
jalan. Naela tak sedikitpun mengaduh, ia berdiri menungg0'
Rika berkali-kali melirik Naela, ia ingin mencontoh, kalau 13
ingat Toni entah kenapa ia merasa Toni memang tak pantas
untuk Naela, mungkin belum pantas, perbedaan di antaf
mereka begitu jauh jaraknya. Toni terhimpun dari sarip
kekerasan, Naela tercipta malaikatpun iri memandangnya-
sholat ia khusyu', jika berkata tak lebih dan tak kurar$
JA a'm un A ffany \ 1 2 $

fvlungkin hanya Toni yang diberi kesem patan oleh Tuhan


u n tu k lebih jauh m engenalnya, sudah m enjadi anugrah
te r in d a h dalam hidup bagi Toni bisa m iliki kenangan
mengenal seorang Naela.
Dalam bus Naela duduk di tengah, Aziza dekat jendela,
Rika paling tepi, semua hanya bisu, diam, menunggu sampai
tujuan. Naela bermain dengan jemarinya sendiri, Rika sedikit
mengantuk, lelah melekat setelah berhari-hari menjaga Toni,
kepalanya bergoyang, saat bus berbelok tajam tiba-tiba Rika
hampir terjatuh.
"Astagfirullah!" Naela pegang erat lengan Rika.
Rika menunduk malu, banyak penumpang memper-
hatikan, tak jarang mulut meringis setengah tertawa.
"Mba' terlihat lelah sekali, kalau mau tidur tidak apa
di pundak Nae Mba', atau Nae pangku kepala M ba'," dalam
redup cahaya Naela bicara.
Malu rasanya menerima itu, Rika lebih tua, seharus­
nya lebih bisa tahu akan dirinya sendiri. Rika tidak bisa
menjaga, ju stru N aela seolah m enjadi sosok orang tua,
seketika ngantuk Rika hilang tak berbekas.
"Ga' papa Mba', mba' Rika pasti letih menjaga kak Toni
siang malam, mata Mba' merah sekali," Naela menyadarkan.
"Tidak apa-apa N ae, seben tar lagi sam p ai," Rika
melihat tulisan kabupaten Tanggamus.
Tepat jam Sem bilan m alam bertiga turun dari bis,
mereka harus naik ojek dari pasar Pringsewu ke Kuncip.
^erlahan susuri desa, senyap sunyi beraspal batu, terhimpit
PePohonan, lam pu-lam pu bak kunang-kunang m enyebar
muning kecil di atap rumah, derik jangkrik terdengar,
uara 1iril> aliran sungai menyaingi, dingin menusuk, Naela
erapa kali terbatuk.
I D' ^P uluh menit mereka telusuri jalan menuju satu desa.
Satu rumah, berlantai sedikit tinggi. beratap tertopang
fZ 4 1 Z p Ju z K arya'W anita

empat tiang berhias gantungan bunga, beralas keramik putih


mereka berhenti, Naela turun menapak bumi, nadinya mulai
berdenyut, ia lepas jaket, ia benarkan sesaat jarum pentul di
baw ah dagu menusuk kerudung.
"Ini rumah Eko," Rika menunjuk.
Belum sempat mereka masuk, Ayah dan Ibu Eko keluar
menyambut, "Alham dulillah."
Rika paling depan, Naela paling belakang, "Ini yang
namanya Naela Pak," Rika menunjuk.
Ibu dan Bapak terdiam, Eko di pintu hanya m elihat
tak mampu mendekat, Bapak perhatikan Naela dari ujung
kaki hingga ujung ram but, p erh atik an keningnya, dua
m atanya, ibu angkat dagu Naela perlahan, "Siapa nama
lengkapmu nak?" Ibu tatap utuh paras Naela.
"N a e la ... N aela K h asn a," seu n tai senyum kecil
diberikan.
Semua tak ada yang menyela kata, hanya m endengar
satu suara bak sepoi angin m alam m enem bus b in ta n g
bisikkan kedipan.
"M asu k lah N aela, ada orang yang sudah lam a
m enantim u," Ibu mengantar.
Naela mengangguk, dalam dada ia terus tak nyaman,
sem akin jau h m elan gkah N aela m erasa sem akin tak u t,
sebelum pintu kamar dibuka Naela menoleh pada A ziza,
Aziza ulurkan tangannya untuk dirajut. M
"M asuklah... dia sudah tak lagi dengar derit pintu,
Ibu member! tahu.
Naela buka perlahan, ia tak sendirian, ditemani Azxz«j
juga Rika. Namun saat tampak tubuh Toni di mata Naela»
la tak mampu lebih jauh melangkah, ia tak kuasa melih®
kak Toni tertidur m iring tak sedikitpun m enoleh mes
m atanya terbu ka. Toni tertu tu p selim u t tapi tak bi®^
sernbunyikan tubuhnya yang menjadi sebilah papan, |
'M a'm un A ffan y \ 1 2 $

ada lagi ketampanan, ia seolah jasad hanya menanti ajal, ia


diam, diam meski ada suara langkah tiga orang.
"Ya A lla h ..." N aela m en arik n afas dalam , rasa
bersalahnya begitu besar menekan lubuk hatinya.
"Kuatkan dirimu Nae," Aziza mencoba menguatkan.
N aela coba bertah an , ia duduk dekat tu buh Toni
berteman Aziza, Rika sedikit jauh. Naela telisik kaki kak Toni
yang menyembul sedikit dari selimut, begitu kecil tertinggal
tulang, jem arinya bak ranting-ranting kering.
"Assalamu'alaikum," bergetar suara Naela menyapa.
Toni belum bergerak, tapi matanya berkedip.
"Kak Toni..." sekali lagi Naela memanggil.
Mata Toni terpejam tak berpaling, ia tetap m enatap
tembok, "Untuk apa kau datang Nae?"
"Nae ingin jenguk Kak Ton i..."
"Hanya m enjenguk N ae?" Toni tak pandangi paras
Naela.
"Nae ingin kakak tidak seperti ini, Nae ingin kak Toni
sembuh, Nae ingin kakak datang untuk melihat Nae pulang
sekoiah lagi," Naela ingin Toni tak sia-siakan hidupnya.
"Tidak adakah m aksu d lain N ae?" Toni belu m
bergerak.
Naela diam.
Toni mulai berpaling, gerakkan tubuhnya, berbaring
memandang Naela, "Aku kira kau ke sini untuk menjawab
emtaku Naela... aku kira kau ke sini hanya untuk mencabut
J^ata'katamu yang kem arin, aku kira kau ke sini untuk
atakan bahwa kau sayang padaku."
Sakit hati N aela m endengar, tapi N aela beru saha
^ ituk tetap tenang, jemari Aziza Naela rajut erat, ada basah
i mata, taP> Naela cepat usap.
^angart Toni bergerak rapuh, seperti ranting kering
Patah, "N aela... aku ingin sekali hidup bersamamu,
fZ& |2fj 9uz"Karya'Wanita
ingin punya tem an hidup seperti dirimu. Apa aku orang
hina di matamu Naela? Apa aku nista di hatimu?" bibir Toni
seolah basah berliur.
"T id ak k a k ... tidak seperti itu ..." N aela menolak,
menggeleng keras.
Tangan kanan Toni m eram bat ingin menggenggarn
tangan halus Naela, tapi tangan Naela mundur berlari.
"Aku memang kotor Naela," dari sudut mata mengalir
setetes air.
"Jangan buruk sangka pada setiap sesuatu kak, kakak
bukan m ahram Naela. Apapun alasannya Naela tak bisa
menerima kakak," Naela mengumpulkan dua tangan depan
dada, "Kak Toni jangan menimbang harga diri dari perilaku
Naela. Naela tak menerima bukan karena Naela menganggap
kak Toni hina, rendah, atau nista. Naela tersanjung kak Toni
m engh orm ati N ae setin g g i-tin g g in y a, N aela bahagia
menerima itu semua."
"Tapi kau tetap tak akan pernah menerimaku Naela,"
Toni manusia kehilangan asa.
"K a k Toni, kita b isa bertem an , b ersau d ara, bisa
menjaga tali silaturahim, bisa saling belajar. Mungkin kakak
bisa m engajari Naela banyak hal, m ungkin kak Toni bisa
menjadi guru Naela, bisa menjadi..."
Toni memotong, "Jangan menyanjung kalau itu palsu
Nae."
Naela sekali lagi menggeleng keras, "K a k ... mohon
buka hati kak Toni... kalau kak Toni ingin dekat dengan
Nae hanya untuk merayu, lebih baik lupakan Naela. Kalau
kak Toni lakukan semuanya mengharap balasan dari Naela,
lebih baik kak Toni jangan berharap bisa m elihat Naela
kembali, Naela tak ragu tinggalkan pulau ini," Naela tak
pernah m engangkat suara, baru hari ini, di depan Tom,
"Naela mohon atas nama hati suci yang Naela miliki, Nae
'M a'm unA ffany \ 1 Z J

m ohon kakak fikirkan baik-baik dengan hati yang jernih,


camkan d alam -dalam dengan ked ew asaan yang kakak
m iliki-"
Naela pergi keluar kamar, mulut Toni terkunci, basah
matanya tak terbendung, terlebih Aziza menyambung, "Kak
Toni, N aela m elakukan segala sesuatunya dengan tulus,
Naela tak mengenal imbalan, tak pernah mengenal balasan,
dia gadis yang baik kak, sangat baik sam pai Iza belajar
kebaikan darinya," Aziza meyakinkan, "D ia tak ingin tuk
sakiti orang lain, siapapun itu. Dan A ziza m ohon kakak
jangan mengulanginya lagi, jangan paksa Naela, kita semua
menyayanginya karena Naela begitu menerima kita dengan
kelebihannya, tak pernah dia memaki, tak pernah menghina,
dia kam i ja g a karena kam i tem ukan k eten an g an pada
dirinya."
A ziza m enarik nafas m em buang m uka, "K ak Toni
sebenarnya beruntung mengenal Naela, sangat beruntung,
tapi jangan paksa Naela untuk lebih dari itu, lazim kakak
m enyayanginya tapi jan g an m em aksa dia untuk m em -
balasnya."
"K a k ... setiap orang m emiliki jodoh yang sepadan,
seharusnya kakak tahu itu ," A ziza m enyadarkan, Toni
hanya basuh hatinya dengan air mata penyesalan, "Kenapa
kakak terus mengejar wanita indah, gadis baik, perempuan
penuh kebenaran tapi kakak lupa berkaca siapa diri kakak
sebenarnya."
A ziza b en ark an selim u t Toni, "K a k Toni jan g an
menangis, lebih baik kak Toni perbaiki diri kakak, teruslah
berusaha untuk lebih baik, kalaupun berjodoh, Allah tak
akan pernah jau hkan N aela dari kak Toni, A llah selalu
Melihat usaha kita, Allah akan membalasnya dengan harga
yang sama."
fZ S | z g 9uz 'rtaraa 'W anita

Aziza undur diri, "M aaf jika banyak kata yang tidak
sopan dari Aziza, Aziza hanya katakan ini karena tak bisa
melihat Naela kecewa, tak sudi melihat Naela merana."
Sem purna rasa sesal dalam d iri Toni, ia bersalah,
bersalah, ia terus diliputi penyesalan dalam pembaringan, ia
hanya b isa diam m eratap, m enangis tanpa sanggup
menghapus, ia sudah sakiti hati Naela, sudah membuat luka,
Toni malu pada Naela, pada Aziza, pada Rika, pada dirinya
sendiri. Tak seharusnya ia berburuk sangka, tak seharusnya
ia mernaksa, seharusnya ia tahu siapa dirinya dan diri Naela
yang sesungguhnya.
Eko di luar kamar celingukan bingung melihat Naela
duduk di kursi m engusap-usap m atanya, Eko tak miliki
keberanian seperti Toni, Eko tak mampu bertanya, tapi dalam
hatinya penuh tanda tanya, kenapa Naela jadi seperti ini?
Ibu m endekat, m em eluk dari sam ping, "B o leh ibu tahu
kenapa Nae menangis?"
N aela menggeleng, "Naela baik-baik saja bu."
Malam tak sedikitpun bersuara, seisi rumah Eko hidup
dalam pertanyaan, dari kamar Toni Aziza keluar berjalan
cepat dekati Naela, "N ae..."
" I z a ..." Naela memeluk erat Aziza, seerat mungkin,
basah m atanya kilatkan pipi, bibirnya bergetar di pundak
A ziza, d alam tan gis N aela m engadu, "Apa Nae salah
menolaknya? A p a..."
"Kam u tidak salah N ae... tidak salah... sudah Nae...
Aziza terus dekat Naela.
"Aku takut..." Naela seperti anak kecil.
"Sudah Nae."
■ Fko
Ibu hanya melihat, tak sanggup lebih dekat, tapi
tak terima, ia masuk kamar hadapi Toni yang terbaring/
tarik kursi dekat kepala Toni, duduk dengan nafas tuf j
'M a'm unA ffany j 12$

naii<, "Kamu apakan Naela Ton?" Eko tak peduli ada tamu,
suaranya sedikit keras.
Rika berdiri, "Sudah Ko! Sudah malam."
Eko menampik Rika, "Kam u harusnya tahu diri Ton!
Harusnya kamu malu pada dirimu!"
"Eko!" Rika mencegah.
Tubuh lem ah Toni teru s m enerim a hinaan, ludah
perkataan menampar wajah.
"K alau dia bukan perem puan baik-baik, dia pasti
su d a h m elupakanm u, dia tak akan sudi m enjengukm u
malam-malam seperti ini," Eko ingin Toni sadar, "Dia akan
biarkan kamu sakit Ton, biarkan kamu m ati!"
Rika tak lagi m enahan, sudah terlan ju r, ia hanya
melihat, di luar semua mendengar.
"Kamu harusnya berterim akasih padanya, bersujud
di kakinya, bukan jadikan dia takut, jadikan dia menangis
tanpa obat."
Toni tak mampu membalas, ia memang jelas salah, Toni
terus mendengar meski seperti sayatan belati tumpul.
"Kalau kamu terus hidup seperti ini, aku malu berteman
denganmu, aku malu. Lebih baik aku panggil bapakmu untuk
menamparmu, untuk menyiram tubuhmu agar bangun," Eko
benar-benar tak sanggup menahan emosi.
Di luar Aziza menutup dua telinga Naela, mendekap
di dadanya, tapi Naela sayup-sayup kecil pasti mendengar
setiap kata terucap.
Ibu menunjuk satu kamar terbuka, Aziza ajak Naela
berjalan ke kamar, Naela hanya diam membisu, matanya tak
enti berair. Ini saat pertam a ia merasa sakit hatinya,
^'yakinkan orang teramat sulit, menolak cinta begitu pahit.
Na j9 tlC^Ur c^' P ang ku an Aziza, kerudungnya belum dibuka,
Nae]9 m engelaP~elap pipinya. Tak secuilpun Aziza ajak
e a bicara, Rika berdiri di daun pintu, ia baru tahu kenapa
(JO | Zg ')uz ’Harrja '}VaniUi
Naela selalu ada teman di sisinya, ia bukan wanita berhati
baja, ia wanita biasa yang bisa tumpahkan air mata.
R ika m end ekat ingin berkata, tapi m ata Aziza
isyaratkan untuk diam, untuk biarkan Naela tenangkan
hatinya. Naela baru melepas kerudungnya, ia peluk di dada,
ram butnya terbuka, ia mendongak menatap paras Aziza,
"Kita besok pagi pulang Za."
"Iya N ae..." Aziza menurut.
Kepala Naela Aziza pindah ke bantal, Naela belum
tidur, tapi tam pak lebih tenang, Aziza tinggalkan Naela
sendirian di kamar, ia temuai Rika di luar, Rika mengintip
Naela dari celah pintu.
"Biarkan Naela sendiri Mba'," Aziza memberitahu.
Rika menjauh, berdua duduk bersama di atas karpet
dekat TV, Rika khawatir, "Naela tidak apa-apa?"
"Ja n g a n in g atkan dia kejadian ta d i," Aziza
memberitahu.
Rika mengangguk, "Apa Naela marah?"
Aziza setengah tertawa, di balik kerudung senyum
sinis merekah, "Bukan Naela kalau bisa marah. Naela tak
pernah marah, tidak pernah, tidak bisa, paling hanya d iam ,
dia juga tidak banyak berbuat salah, dia contoh kami, tapi
dia tidak bisa dimarahi, apalagi dibentak, jangan sampai dia
dengar teriakan, dia pasti ketakutan, dia tidak pernah tahu
am arah, kalau sudah terlan ju r marah akan dia tulis di
agenda, kalaupun hatinya sakit, dia akan m enangis a g a r
lega."
Rika mendengarkan, ternyata ada wanita seperti N aela.
"Kalau ada orang yang memarahinya, lebih baik aku
yang mendengar/' Aziza tak rela Naela menangis.
"Kamu begitu sayang pada Naela," Rika heran.
"S e g a la kebaikannya tidak bisa aku b a la s ,
kesabarannya setiap malam menemaniku belajar, kadang
"Ma'mun A ffany | 1$1

sampai dia sendiri m engantuk. Dia rela m endengarkan


curhatku yang terus aku ulang, m eraw atku kalau sakit
datang tanpa mau dibalas. K alau mba' hidup sehari saja
b e r s a m a N aela, M ba' akan terus ingin hidup sem inggu
b e r s a m a n y a , " Aziza tersenyum.

"Apakah Naela tak pernah bercanda?"


Sekali lagi Aziza tersenyum, menoleh ke kamar Naela,
"Mba' perhatikan baik-baik parasnya, Mba' akan temukan
s e n y u m n y a . Kalau aku murung dia pandai bercanda, aku

gemas padanya, aku cubit dua pipinya, tapi dia ikhlas pipinya
jadi m ainan, yang penting baginya orang terd ekat bisa
bahagia."
Rika tertunduk.
"M ba' pasti kehabisan kata untuk bertanya, N aela
adalah tafsiran dari tiga hal, senyum an, kebaikan, dan
airmata perempuan."
132 | zyO uz'H aiya'H tanita

13

JA enjhifany —

A
d zan subuh tlah bertalu-talu, langit bagai rumah
ad zan yang berh am bu ran d ari satu surau ke
surau lain, tiupan angin dari kam ar terdengar
mencoba menerobos lubang dinding, kicau kecil buru
berganti terbasuh embun, bum i diam berm andika
ayam berk o ko k di kandang b erteriak lan tang ,
penghuni rumah Eko ke surau tertinggal Toni seorang.
Ia tak banyak tidur, fikirannya sedikitpun tak tenang,
di atas pembaringan ia hanya membuka tutup mata r a t a p i
n asib nya, k esa la h an Toni beg itu besar. la coba tarik
tubuhnya untuk duduk, ia coba pungut tenaga dari sisa
nyawa yang dimilikinya, ia sibak selimut, bergerak m e r a m b a t
menempel dinding, tinggalkan kasur lantai yang berminggU'
minggu m emenjarakannya.
Tak ada tu ju an selain kam ar m and i, ia ingin
mengambil wudlu. Toni hampir luruh terjatuh kala m e m b u k a
pintu, bahkan ia harus jongkok berw udlu di air embef'
tubuhnya setengah menggigil, ia kembali berjalan ke kamar
merapat dinding. Ia ingin mohon maaf pada Naela, hanya
"M a'm unA ffany | 1$ 5

itu keinginannya, ia sudah membuat luka pada sosok Naela,


ia ingin mohon maaf demi menebus dosa di dunia.
Toni sh o lat sen d iri di kam ar, ia p ernah den gar,
ses eo ra n g y a n g sakit boleh duduk untuk sholat jika tak
mampu berdiri, boleh tidur untuk sholat jika tak mampu
duduk. Tapi alangkah bodohnya Toni, ia tak tahu bagaimana
menjalankannya, ia tak bisa, alangkah dungunya dirinya,
ia kembali berfikir pada Naela, ia begitu mulia baginya, ia
lupa dirinya, ia tak pernah mengaca diri pada alam meski di
cermin retak. Toni hanya menebak-nebak cara sholat sembari
duduk, ia tetap sujud, tetap bertakbir, rukuk ia bungkukan
sedikit tubuh, Toni berdo'a semoga Naela sudi m em aaf-
kannya.
Toni merengsek ke dekat dinding, Toni mencari sandar-
an, ia menarik nafas mengucap, "Ya Allah... Ya Allah..." hanya
itu yang terucap, tubuhnya tak lagi berben tuk, sudah
mengecil bak batang pohon kering, pipinya kempot.
"T o n ..." Eko m asuk, sed ikit terkeju t m elih at Toni
pindah dari kasurnya.
"Bisa panggilkan Naela Ko," Toni minta tolong.
"Dia sudah pulang Ton," Eko duduk di kursi, ia bagai
raja melihat Toni yang terkulai di atas lantai.
Toni terlambat, "Kapan dia pulang Ko?"
' Baru saja, setelah sholat subuh tepat," Eko m elirik
ke bawah.
A h... toni terlupa, Toni tertinggal satu nyawa, Toni
lemas tak berdaya, "D ia tak titip pesan padaku Ko?" Toni
mencoba meraih asa.
Eko tertaw a sin is, lep ask an sarungnya d ilip a t
disandarkan ke kursi, "L eb ih baik lupakan N aela dari
Sekarang Ton, lupakan dia."
Kenapa Ko?" Toni kumpulkan sisa-sisa suara.
(3 4 j 2<j ) uz T-larya 'W anita

"K au m asih saja berh arap , sikap m u yang t e r u s


mengharapnya justru membuat Naela terus menjauh. Kau
belum bisa bahkan belum tahu yang namanya, ketulusan,
kesabaran, keikhlasan Ton. Kau kadang m asih m e m a k sa ,
mengharap akan dapatkan cinta. Kau harus sadar Ton, kau
jauh dari Naela, aku mohon sadarlah."
Toni merenung, ia lihat tubuhnya, ia selami jiwanya,
ia coba bergerak menekuk kaki yarig tak lama dipeluk, "Aku
ingin mohon m aaf padanya Ko."
Eko tak menanggapi, pagi ini ia harus bekerja. Kadang
Eko lelah hadapi Toni, dulu Toni sering juga marahi Eko,
tapi Eko heran, kenapa sekarang Toni begitu lemah, tak
sekuat dulu. Sem ua tem an balap m encari Toni, tapi Eko
sembunyikan kabar, Eko ingin jauhkan Toni dari jalanan.
Eko pandangi tubuh Toni yang hampir menyudut di
pojok, ia seperti anak kecil yang hilang di w aktu hujan,
berteduh di baw ah pohon tak tahu arah tujuan, antara
timur dan barat tak tahu bedanya, antara utara dan selatan
seolah sama. Eko jongkok depan Toni, "Jangan seperti ini
terus Ton. Kau sudah tahu ujung dari cerita ini, akhir dari
usahamu. Aku mohon lupakan semua itu, kita angkat batu
bersama, mungkin kau bisa temukan gadis lain."
Toni hanya mendengar, yang ada di fikirannya bukan
itu, tapi mohon maaf pada Naela, mohon maaf padanya.
"Ton," Rika datang, Eko keluar.
Rika duduk di atas lantai dekat Toni, "Kam u s u d a h
baikan Ton?"
"Bisa Bantu aku duduk di depan Ka?"
Rika lan g su n g Bantu tubuh Toni u ntu k berdir1'
menuntun Toni tertatih-tatih berjalan ke teras. Rika tak tega
melihat Toni sendiri. Toni bukan orang jahat, tapi n a s ib n y
tak kunjung membaik, hanya Rika yang sudi temani To •
Di depan rumah tubuh Toni disandarkan ke tiang, ia in&
'M a'm unA ffany \ 1 $ $

nikmati pagi yang lama tlah dilupakan. Ia lihat runtuhnya


enibun, lihat pergeseran cahaya mengusir gelap, ia rasakan
0 j pagi, ia dengarkan kicauan burung, perhatikan kupu-
kupU h in g g a p di ranting, perhatikan m atahari perlahan
m e n in g g i, rasakan h ang at cah aya m erasu k tu buhnya,
menyadari dirinya yang lemah tak ada daya.
"Naela titip pesan padamu Ka?" Toni menoleh ke kiri.
"Tidak ada Ton," Rika ikat rambutnya dengan karet
gelang.
Toni tertunduk, "Sem alam Naela menangis Ka?"
Rika lihat pancaran m ata Toni yang layu, "N aela
memang menangis, tapi lupakan saja, dia baik-baik saja."
"Jan g an m enghibur K a ," Toni tid ak in gin d ibu at
tenang, ia ingin tahu tentang Naela.
"Kamu belum mengerti Naela Ton, kamu belum tahu
tentang dia, kamu hanya lihat kulitnya. Sikapmu sungguh
berjauhan dengan N aela, N aela p en uh hikm ah, penuh
prasangka baik, tapi kamu selalu berprasangka buruk," Rika
seperti Eko, ingin menyadarkan, "Ton, ingat kata-kata Naela
semalam, ingat kata-kata Aziza, ingat juga kata-kata Eko,
mereka peduli padamu Ton. Kalau kamu tetap seperti ini
Naela akan semakin menjauh dan menghilang darimu."
Rika mengucek matanya sejenak, "Naela yang seperti
!tu masih terus berusaha belajar, terus berusaha menjadi lebih
baik. Kamu lihat betapa banyak teman yang menyayanginya,
berapa banyak orang yang peduli padanya, semua lahir dari
Seorang Naela."
Coba fikirkan itu Ton! Siapa yang peduli padamu
^elain Eko dan Aku. Apa Bapakmu peduli kalau kamu sakit?
ncarimu kalau kamu hilang?" Rika ingin Toni mengerti.
Dalam sakit Toni berfikir dalam, ia bersilah, biarkan
nnya tersepuh cahaya. Ia urut hidupnya sedari kecil,
u terkenang Eko dan Rika, mereka berdua selalu ada, di
(J/5 |2<) Juz H tr(ja 'HJanila
setiap saat, di setiap waktu, setiap kesempatan, Bapakrtya
hanya tinggalkan basah di waktu pagi, sisakan tamparan
jika ia mengganggu atau sedikit melawan.
"Ton, kalaulah kamu berjodoh dengan Naela, terpisah
ribuan pulaupun Allah pasti akan temukan kalian berdua
di m anap u n N aela bersem b u n y i A llah p asti berikan
petunjuknya. Tapi jika sebaliknya, m eski kamu kejar tak
kenal waktu, tak kenal payah, Naela akan terus menghilang,
meski cinta kamu diterima belum tentu kamu akan menikah
dengannya," Rika tak peduli jika Toni semakin sakit hati, Ia
ingin Toni kembali.
"Aku sulit melupakannya Ka," Toni beralasan.
Rika lebih dekat, suara sepeda anak sekolah mulai
b e rsa h u ta n di atas ja la n beb atu an , "K am u masih
m encintainya Ton?"
"Selamanya Ka," Toni tak bisa hapus.
"Jan g an pernah kam u berusaha m elupakan Naela,
sem ak in in g in kam u m elu p akan n ya, sem ak in banyak
ingatanmu akan melayang padanya."
"L alu ?" Toni seperti tak punya petunjuk.
"T an am nam a N aela di lubuk h atim u sedalam-
dalamnya, tapi jangan kamu lupakan dia, biarkan nama itu
menjadi air di matamu, menjadi cahaya bagi dirimu, menjadi
bara api dalam semangatmu, dia akan selalu ada untukmu,
selalu hadir bersamamu meski raganya tak ada di dekatmu,
Rika tepuk punggung Toni, "Kalau perlu tinggalkan pulau
ini. M era n ta u lah ke n eg eri seberan g atau ke Ibukota,
temukan hidup barumu di sana."
Ada asa m eren d ap di tubuh Toni, ada h arap an
terp an d an g d ek at untu k digenggam , ada im pian yang
hinggap di bintang ia ingin raih, ada bara yang perla a
menyala. Nama Naela memang tak akan mungkin terlup3'
Naela sudah terlanjur menjadi satu kisah dalam hidupny '
JAa m un A ffany \ i y j

dah menjadi lamunan bahagianya.


"Tapi aku harus minta maaf padanya Ka," Toni masih
merasa bersalah.
"Minta maaflah Ton, tapi jangan kamu katakan lagi
cinta gilamu, cukup minta maaf," Rika berpesan.
Rika terus temani Toni, masak untuk Toni. Selera Toni
perlahan kembali, Rika mengajak Toni tiap pagi duduk di
depan, kelihatan sedikit bugar Rika m inta Eko ajak Toni
jalan-jalan menyisir sungai, kalau Rika pulang Eko juga yang
menggantikan, m enyucikan bajun ya yang dua potong,
meminjami Toni b aju , sabar m en jad ik an kam arnya
tumpangan sepanjang bulan. Eko dan Rika terikat saudara,
satu buyut, saudara jauh, tapi karena Toni juga m ereka
berdua seakan kakak beradik.
Toni sudah bisa banyak berg erak , tap i tubuhnya
masih kecil, ia belum mampu bekerja, rutin sambangi masjid
bermodal sarung pem berian Rika. Toni terus berm unajat,
belajar tentang bacaan dalam sholat. Kadang ia buka Qur'an
kecil pemberian Naela, tapi perasaan yang muncul hanya
bermuara pada malu, ia seperti orang buta tak tahu huruf,
bisu, ia hanya bisa membuka tak mampu membacanya.
Kalau sendirian di rumah Eko Toni mencuci piring,
mencuci baju k elu arga Eko, m engepel rum ah, bek erja
semampunya, hutang budinya terlam pau banyak. Rika
sedikit demi sed ik it sudah bisa tin g g alk an Toni, Rika
bersyukur, ia mengira hidup Toni akan berujung sia-sia,
itnya bukan butuh obat, tapi hati seorang wanita. Semua
Naela juga yang memulai, yang membuat Toni sadar, yang
membuat Toni tahu dirinya. Toni m em ang tak kem bali
seperti dulu, tubuhnya masih kecil, tapi hidupnya terlihat
k 1,1 tenang, ia selalu beru saha berprasan gka baik, ia
rcermin pada Naela, ia hanya berusaha untuk lebih baik.
1$8 j z g Juz T-larrja 'W anila
Toni bercermin, ia belum pemah kembali ke rumah j
ingin temui N aela sekali lagi, untuk terakhir kali, untuk
memohon ampun, meminta balas kata maaf. Toni tak ingin
lewat surat, ini bukan tersurat, tapi terucap, tertindak, lebih
dari tersirat. Ia ingin bertatap muka untuk katakan satu kata
setelah itu ia tak tahu akan ke mana bermuara hidupnya, ia
ingin tak tinggalkan luka pada hati seorang wanita.
Tak ada cara bagi Toni selain datang ke sekolah untuk
bertem u, m eski hanya sem enit ia ingin berjum pa. Tepat
setelah dhuhur Toni sudah duduk beralas batu depan pagar
sekolahan, ia tak di seberang jalan, ia menunggu sembari
cabuti rumput di celah trotoar. Sesekali Toni melirik, menoleh
ke lubang gerbang, sesekali ia benarkan Topi hitam.
"Teng! Teng!" bel berdentang tanda pelajaran usai,
semua siswa mulai ramai menyembur keluar kelas, suara
riuh sepeda bergeletak menelindas batu, raungan knalpot
m elen gkin g. Toni b erd iri, sem bari m enyandar pagar
p erh atik an setiap sisw i, ada yang kusam , tertawa,
m enggulung bukunya, ada yang berdua, tapi Naela tak
kunjung terlihat, hanya Azizah.
Toni berlari menjemput, "Azizah!"
Azizah berhenti, menoleh tak lupa, "Kak Toni?" Azizah
memastikan, tangannya menunjuk, "Kakak sudah sehat?"
Toni mengangguk, "Alhamdulillah... di mana Naela?"
"N a e la tid ak b era n g k a t," A ziza tarik ujung
kerudungnya.
"D ia sakit?" Toni khawatir.
"Dia baik-baik saja," Aziza meyakinkan, beberapa kali
tubuh Aziza tersenggol siswa yang jalan.
Sesaat Toni lega.
"Ada pesan Kak? Nanti Iza sampaikan."
"Tidak ada, besok saja," Toni tak ingin menitip kata
maaf.
JAa 'mun A ffan y \ 1 $ $

A z iz a pamit, "Aku pulang dulu Kak."


Toni mengangguk, tapi seketika mengejar Aziza, "Iza!"
"Ada apa lagi Kak?" Aziza heran.
"N a e la baik-baik saja kan?" Toni ingin lebih yakin.
"Iya kak, Naela baik-baik saja," Aziza tersenyum.
B e rd u a terpisah, Toni berdiri terpaku hampa, Aziza
iki bis tak lagi menatapnya. Toni pandangi awan, lihat
geraknya p erlah an terbaw a angin, Toni lep as topinya,
menoleh ke belakang seolah bayangan Naela berjalan.
K e e s o k a n h arin ya, Toni kem bali d atan g, terik
menyengat, tubuh Toni basah keringat, tapi ia tak lelah terus
duduk m enunggu d epan pagar, duduk b e ra la s batu ,
bernaung di bawah topi hitamnya. Kadang Toni lempar batu
ke jalan, tanp a henti pintu gerbang dilirik, celana je a n s so b ek
di lutut tetap menemaninya.
"Teng! T en g !" b el berd en tang, sisw a m enyem bur
keluar, Toni berlari menunggu, tangannya seakan memeluk
pagar.
"Aziza!" Toni sedikit masuk.
Aziza tak lagi terkejut, "Naela?"
Toni sudah tak malu, ia mengangguk.
"N aela hari ini tidak berangkat, m ungkin besok ,"
jawaban sama Aziza berikan.
Toni tertunduk bingung, sudah dua hari N aela tak
berangkat, ia lepas topi memijit kepalanya sendiri.
Aziza berjalan menjauh tinggalkan Toni sendiri ratapi
nasibnya yang tak pasti.
"Aziza!" Toni seperti kemarin berlari memanggil.
Aziza berhenti balikkan tubuhnya.
"Naela baik-baik saja kan?" Toni terengah-engah.
Aziza tersenyum, "Naela baik-baik saja kak."
Toni ingin b erk ali-kali bertanya, tapi disim pan di
batinya.
1^0 | Zg Juz "Harja 'Wanita

Hari berikutnya Toni kembali datang, kali ini berdiri


di balik pagar pintu gerbang sedari awal, ia ingin benar-
benar m elihat N aela, satpam sekolah sam pai mendekat
sudah tiga hari Toni selalu datang, "M as menunggu siapa?"
"N aela," Toni seakan di bui.
"Sudah dua hari dia tidak masuk," satpam hafal Naela
Saat semua siswa keluar Toni jinjit seperti orang tua
mencari anaknya di antara kerum unan, sekali lagi hanya
Aziza yang datang.
"Aziza!"
Aziza tersenyum , "N aela tidak masuk kak, tapi dia
baik-baik saja."
Lemas Toni mendengar penjelasan singkat Aziza.
Hari ke empat Toni kembali datang, tapi tetap dapatkan
jawaban yang sama, hari ke lima tak jauh beda, sampai hari
ke sepuluh Toni rela menunggu depan sekolah demi bertemu
Naela, hujan begitu deras, petir terus menyambar, Toni tak
berpayung berteduh di bawah ujung atap warung, celananya
dilipat selutut, tak ada jaket, ram but lurusnya setengah
basah, ada beberapa helai jatuh di depan kening, tangannya
mendekap dingin, kemerecak air sampai ke kakinya, telapak
kaki terendam air. Toni bersama beberapa orang berteduh,
semua melamun menunggu hujan reda, kecuali Toni, ia terus
m enatap pagar sekolah, ia d ilip u ti p ertanyaan di mana
sebenarnya Naela, sudah Sembilan hari tak masuk sekolah.
Sekali lagi Aziza yang keluar, Toni sebrangi jalan, ia
biarkan tubuhnya basah. A ziza berpayung lebar, "N a e la
tidak berangkat?"
Aziza tersenyum mengangguk.
Tubuh terasa sem akin dingin, berm usik hujan Toni
bicara pada Aziza yang terlindung payung, "Bisa aku mint3
alam at rum ahnya."
"Ma'mun A ffany \ W

A ziza m enggelen g, "K a k Toni in gin datangi


ru m ah n ya?
Toni mengangguk.
"Percuma kak, dia tidak di rum ah," Aziza setengah
berteriak.
"Sebenarnya di mana dia?" Toni ingin tahu, tubuhnya
sudah genap basah kuyup.
"Dia di pondok kak," Aziza sedikit mendekat, beberapa
pasang mata menatap, mereka ada di tengah halaman sekolah
berdua, satu bernaung payung, satu relakan tubuh diguyur
hujan.
"Apakah aku bisa bertem u dengannya?" Toni ingin
tahu, ia tetap berhasrat bertemu untuk minta maaf, ia usap
mukanya mengusir basah air.
"Kakak harus temui pak Kyai terlebih dahulu."
i
142 Zg ')uz 7-tarja 'Wanita

©
— Seqefai A ir *Putik —

a la m terdiam hening, langit hitam mengurung

M bum i, ju taan kunang lan git terus b erk ed ip ,


bulan tertinggal tsabit, tanah basah terbekas
hujan, jika angin berhembus seolah membawa udara segar
dingin. Toni menghirup dalam, bersilah di tebir teras rumah
Eko ia pangku topi hitam keramatnya, pandangi satu rumah
terkurici rap at, lam punya pad am , dalam fik iran terus
m elingkar pertanyaan, "Kenapa N aela tak lagi b e r a n g k a t
sekolah? Apa karena takut berjumpa dengannya?"
Rasa bersalah Toni semakin besar, nafasnya berat, ia
ingin bertem u sekali saja untuk kata maaf, ia ingin semua
kembali seperti dulu.
"K am u jadi ke Jakarta Ton?" Eko bertanya, duduk
bersebelah Toni.
Toni mengangguk.
"Kamu mau tinggal di mana?" Eko tak mau ternanny
terlantar.
Ma'mun Affany | <43

Toni tak mampu menjawab, berselang diam, "Aku tak


tahu Ko. Aku in gin hidup lebih baik, aku in gin bisa
bahagiakan teman yang dari dulu sudah rela menolongku,
ingin bahagiakan Bapak, Ibuku meski sudah lama pergi dari
dunia ini. Aku ingin bahagiakan semuanya yang ada di
dekatku."
"Termasuk Naela Ton?"
Terpengkur wajah Toni, "Aku tidak pungkiri itu. Ia
memang bukan siapa-siapa, tapi satu hari aku ingin ia
melihatku lebih baik, aku ingin dia tidak kecewa hanya
karena orang sepertiku. Meski aku tak kunjung berjumpa
dengannya, tapi ia sudah berikan segalanya. Aku belajar
darinya, dia berusaha berikan yang dia miliki untuk seluruh
teman-temannya," Toni m engenang Aziza, "K alau semua
teman m enyayanginya, kenapa aku harus m em aksanya
untuk m encintaiku? Seharu snya aku lebih m enyayangi
daripada teman-temannya."
"Kapan kau berangkat Ton?"
"Entahlah, aku ingin bertem u Naela sekali lagi, aku
ingin m ohon m aaf padanya, aku in gin katakan itu di
depannya, tapi sudah sepuluh hari aku ke sekolah, dia tidak
ada," Toni serasa patah pengharapan.
"Sampai sekarang kamu masih ingin bertemu Naela?"
Eko jongkok.
Toni mengangguk, "Aku akan datang ke pondoknya."
"B ukannya tid ak b o leh bertem u san triw ati tak
Sedarah?" Eko ingat ada peraturan jika santriwati dilarang
dikunjungi laki-laki tanpa hubungan keluarga.
Aku akan temui pak Kyai, aku akan ijin padanya."
Toni sudah bulat bertekad. Hanya itu usaha akhir
^ang sanggup ia lakukan, mungkin ia bisa bertemu walau
ekejap/ meski dibatasi menit tidak masalah, ia hanya ingin
atakan m aaf.

L
144 j 2<] Ouz 'Uarya 'W anita

"Kalau kau bertemu, sampaikan salam dari keluargaku


Ton."
Toni m engangguk seraya m enengadah ke langit. Ia
kumpulkan butiran bintang, ia rangkai jadikan satu wajah
halus tersenyum . Rindu rasanya ingin berjum pa melihat
sikapnya, rindu rasanya ingin dengarkan tutur katanya,
rindu rasanya ingin dapatkan tatapan hangatnya.
Esok hari selepas subuh Toni pinjam baju dan celana
Eko, hari ini ia ingin bertemu pak Kyai.
"Pilih saja Ton. Kalau mau yang baru ambil saja," Eko
mempersilahkan, keluarga Eko berkubang sawah beberapa
hektar.
Sembari membungkuk Toni pilih kemeja hijau celana
hitam. Toni sisir rambutnya, entah sudah berapa lama sisir
tak m enyentuh ram bu tn ya. K etam panan Toni baru
m em ancar, secuil kumis dan janggut dicukur, tubuhnya
sudah mulai kembali seperti dulu lagi, Toni yang sedikit
bungkuk tapi bidang, yang sedikit layu tapi kuat.
"H ati-hati Ton," Eko berikan kunci motornya.
"Bism illahirrahm anirrahim ..." Toni membawa nama
dirinya, kehormatannya, martabatnya, ia baru pertama kali
bersilaturahmi ke rumah kyai.
Toni lupakan makan, hanya sepotong ubi dan se te g u k
air putih mengganjal, ia terus memacu motornya, s a m p a i di
pesantren tepat jam sembilan. Toni parkir motornya d e k a t
gerbang, tak boleh langsung m asuk, tak boleh m e m b u a t
gaduh.
"Mau bertemu siapa mas?" satpam bertanya.
Ia teringat, dulu dengan truk dan batu begitu m udah
masuk lewati pintu gerbang, "Pak Kyai." '
Toni berjalan di atas sandal jepit, dari jauh tlah tamp
rumah pak Kyai, jendela-jendela kamar terbuka, atapnya
rum ah di jo g ja, pohon asam b esar m e n a u n g in y a - To
"Ma'munAffany \ <4$

pandangi sekitar, santriw ati tak banyak yang lalu lalang,


semua berangkat ke sekolah. Ia menoleh ke samping kiri,
m a s j i d sudah ham pir selesai, batu yang dulu ia lem par

tertinggal sedikit di dekat sumur.


Langkah Toni tak ragu, berdebar jantung Toni melepas
sandal naiki teras, ia lew ati tem pat di mana Naela selalu
bawakan air putih untuknya, di mana ia terbius dengan gerak
desir sikapnya. Ia tatap pintu mengenang Naela masuk tak
berikan kesempatan untuk melihat wajahnya.
"A ssalam u'alaikum ," Toni m engetuk pintu, hatinya
terasa ciut.
"A ssalam u 'alaik u m ," sekali lagi Toni ucapkan, ia
setengah mengintip dari jendela.
Pintu terbuka, "Wa'alaikumsalam," suara Kyai begitu
berat terdengar, ia berpeci hitam, bersorban putih, sarungnya
rapi, wangi meruap.
Toni seakan menjadi tamu istimewa, ia salami tangan
Kyai untuk dicium.
"Duduk N ak," pak Kyai m em persilahkan duduk di
kursi teras, kursi untuk para tamu, berbaju kain beralas busa.
Toni berhadapan dengan pak Kyai, tapi ia canggung
untuk memulai sepatah kata.
"Ada perlu apa nak?" pak Kyai mengelap mulutnya
dengan ujung sorban.
Toni setengah ragu, tapi teringat Naela, "Saya ke mari
lngm silaturrahim dengan pak Kyai, ingin bertem u Naela,
Saya mohon izin untuk bisa bertemu dengannya."
Apa hubunganmu dengannya? Apa saudara?" pak
Kyai ingin tahu.
I Bukan, kami hanya baru m engenal," Toni kuatkan

Kenapa kamu ingin bertemu Naela?"

Ki
f.46 | zgOuzTJartjaTVanita

"S a y a in gin m ohon m aaf padanya, saya sudah


melakukan kesalahan, saya hanya ingin mohon maaf, tidak
lebih," Toni sangat berharap pak Kyai bisa berikan sedikit
waktu padanya.
"N am am u Toni S ap u tra?" pak Kyai m enebak, tak
ingat dulu pernah bertemu, rambut sudah pendek terpotong.
"Benar, bagaim ana..." Toni terkejut.
"Naela sudah cerita, dia cerita pada istriku. Anak itu
tak banyak ungkapkan isi hati pada teman, hanya pada or­
ang yang dia anggap benar-benar bisa m enjaganya," pak
Kyai ingat satu santriwatinya.
Tiba-tiba pintu terbuka, sosok gadis berkerudung
putih membawa nampan berisi dua gelas air putih keluar, ia
berjalan tak begitu cepat, ia tertunduk tak begitu dalam, ia
seolah tersenyum dalam tatapan. Mata Toni tertarik, hati
Toni te ra ju t, m ulut d ibu at bungkam tak berdaya, di
h ad ap ann y a N aela h id an gk an m inum , seteng ah mem-
bungkuk ia berkata, "Silahkan."
Toni coba terpejam , m alu depan pak Kyai, tapi tak
sanggup. Mata Toni kembali terbuka lebar untuk melihatnya,
saat Naela tutup pintu, semua darah mendidih menjadi beku.
Sekali lagi Toni meminta, "Bolehkah saya bertemu dengan­
nya pak Kyai."
"Tidak bisa," pak Kyai menatap dua mata Toni dalam.
"Hanya sebentar saja, berikan saya sedikit waktu pak
K yai," Toni memohon.
"Tidak bisa, jangan m emaksa," titah Kyai mutlak.
Toni terenggut, ia melihat Naela tapi tak bisa bertemu,
ia melihat segelas air putih dari Naela tapi tak bisa ia ber-
bin ca n g d engannya, ia tak b erjarak , jika ia b e r t e r i a k
memanggil Naela pasti Naela mendengarnya, tapi Toni in g at
kata, "Jangan memaksa", kata yang pernah diucapkan Aziz3'
Eko, dan Rika.
~Ma'munTiffany \

"Kamu harus bisa mengerti di mana bumi yang kamu


injak, di situ langit yang harus kamu junjung. Naela masih
milik ke dua orang tuanya, mereka titipkan ke sini, maka
aku harus m enjaganya," pak Kyai ingin Toni mengerti, ia
lepas pecinya, m enggaruk kepalanya, "Kam u harus sabar
kalau ingin bertemu dengannya, kamu harus bisa menahan,
satu waktu pasti bisa bertemu, berdo'alah, mohon agar bisa
bertemu Naela meski tak sengaja."
Toni mengangguk, "Saya mohon maaf pak Kyai."
"Tidak apa-apa, bapak kagum denganmu, kamu or­
ang pertam a yang bern iat bertem u N aela dan langsung
meminta izin padaku," pak Kyai setengah tersenyum.
Toni mendengarkan, menyerap pesan dari setiap kata
yang keluar.
'Terimakasih pak Kyai, saya mohon do'a dari pak Kyai,
saya ingin merantau ke Jakarta, saya ingin bekerja di sana,"
Toni tak kecewa.
"Kapan kamu berangkat?" pak Kyai ingin tahu.
"Mungkin besok atau lusa pak Kyai," Toni benarkan
duduknya.
Pak Kyai menarik nafas, perutnya tampak kembang-
kempis, "Ja g a ibadahm u, jag a sholatm u. A llah akan
mempermudah jalanm u."
"Baik pak Kyai," Toni seolah menjadi murid, seolah
rr>enjadi santri, seolah sudah satu pesantren dengan Naela
Khasna.
Toni melirik ke jendela, mungkin kamar Naela, ia coba
menatap, tapi tak ada gerak gadis berkerudung. Takdir tak
ehendak pertemukan dirinya. Toni undur diri, ia cium
tangan pak Kyai.
Hati-hati di jalan," pak Kyai berpesan.
Toni b erja la n m en jau h , n iatn ya tersam p aik an , tap i tak
]Ua diP ertem u kan, ia h a n y a d e n g a rk a n su ara Naela, h an ya
{ / { £ j z<j Juz 7-larja "Wanita

m am pu m elihatnya. Ia hanya dengarkan desah halus


nafasnya, ia ingat kata pak Kyai, mungkin ia bisa bertemu di
satu waktu yang ia sendiri tidak tahu, ia harus bersabar, dan
bersabar menahan hati dari gejolak nafsu yang tak kekal.
Sebelum tinggalkan pondok Toni duduk sejenak di
atas m otor, ia m enunggu, m ungkin N aela kelu ar men-
datanginya. Dari tempat parkir Toni perhatikan rumah pak
Kyai, tapi tak ada tanda-tanda pintu terbuka, tak ada tanda
Naela keluar mendekatinya. Toni lirik jam di dinding masjid,
sudah dua puluh menit ia menunggu, ia coba lebih lama,
tapi Naela tetap berdiam di kamarnya.
"Assalamu'alaikum," Toni mengucap di bibir, berharap
Naela di balik dinding mendengar, berharap angin antarkan
salamnya pada Naela.
Itulah pertemuan terakhir Toni dengan seorang Naela
Khasna, m ungkin itulah penutup dari im pian Toni akan
seorang wanita, ia ingat setiap gerak-geriknya, lambaian
kerudungnya yang lebar m enutup dada, bajunya yang
menutup pinggul, roknya yang menutup mata kaki, dan
pipinya yang membusung bening di bawah jernih dua bola
matanya. Toni ingat tutur katanya yang m erasuk dalam,
yang m enggem a b isikan, m em buat ingatannya terbang
melayang. Dalam hati Toni miliki keyakinan, satu hari ia
akan bertemu kembali entah kapan.
Toni sampai rumah Eko menjelang ashar, ia langsung
berkem as, dua stel bajunya dimasukkan tas. Eko b erfikir
seketika menatap almarinya, ia berdiri tegak, memijit kepala'
nya dengan tangan kanan, ia ingin berikan Toni b ekal.
"Ton!" Eko tarik Toni yang sedang melipat baju.
Toni tertarik, berdampingan menatap almari baju E °-
"Apa yang kamu mau? Ambillah!" Eko m enaw arkan
Lemarinya bukan berisi emas atau uang, hanya tumpu^30
baju biasa, tapi Eko yakin bagi Toni semua sangat berart1
~Ma'munAffany \ itlty
gko yakin Toni akan lama kembali ke Lampung lagi.
Toni tak berfikir panjang, ia meminta satu sarung dan
sajadah, "Ini saja Ko."
Eko tersenyum, "Kam u ingin berubah Ton?"
"Aku ingin m em ulai hidup baru di Jak a rta ," Toni
genggam sajadah dan sarung di tangan kanan.
"Kamu mau lupakan Naela juga Ton?" Eko ingin tahu.
Toni tersenyum sejenak, "Tidak mungkin Ko. Naela
sudah tertanam, aku tak sanggup m elupakannya, biarlah
dia jadi penyemangatku, aku ingin persem bahkan untuk­
nya, aku ingin satu hari aku bisa menebus salahku dengan
membuatnya tersenyum padaku."
Eko m enepuk bahu Toni, "Aku akan in g at selalu
dirimu Ton."
"Kau sudah jadi saudaraku Ko," Toni menatap mata
Eko, esok mereka berdua akan terpisah.
"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" adzan isya terdengar
berkumandang.
Toni b ersaru n g sh o lat b erjam a'ah di m ushola, ia
bersujud lama memohon restu pada Allah. Sedikitpun ia tak
tahu ibukota, Jakarta. Katanya banyak orang hidup lebih
baik, tapi ia ingat banyak juga yang hidup berumah kardus,
di kolong jembatan, di bantaran sungai. Entah ia akan jadi
apa nantinya, Ijazah SM A tak punya, belum diam bil tak
punya uang. Toni m em inta petunjuk, ia terus b ersu ju d
memohon ada jalan saat putus asa datang, ada asa saat
PelllAno

Jal ^amPung sudah tinggalkan banyak noda untuknya.


n mana yang belum Toni lewati dengan kecepatan tinggi,
AXLUAI IMlI.f penjara
U CePat dengan teman-teman, ALJ141btsudah
UUViLil Ipernah
1ALUiLL
iaU
an baunya hanya karena tawuran, yang lain dijemput
§ tua, ia sendirian masuk bui.
f$ 0 |zgO uz'H arja'W anita
Pulang ke rumah ia dapati Bapaknya tetap berbaring
di atas tikar, dengarkan radio, bersarung ia dekati B ap ak­
nya, ia datang dengan rambut pendek, tapi Bapak tak melirik.
Toni duduk beralas sandal dekat tubuh Bapaknya, m ata
Bapak menutup tapi telinganya m endengar nyanyian, di
bawah remang lampu kuning Toni menyapa, ia ingin pamit,
"Pak!"
Bapak hanya membuka mata.
Toni tak berfikir panjang, Toni cabut kabel radio, suara
hilang seketika, kontan Bapak geram , tangan kanannya
meraih sandal, tanpa ampun mengayun kencang, "Plakk!!!"
pipi tertam par keras, Toni tak m enghindar, panas, perih
meradang di pipi, dengung bergeming di telinga kiri.
Toni menyingkir, ia pergi dengan langkah setengah
gontai ke kamar, ia teliti setiap sudut, ia fikirkan apa yang
akan dibawa, tapi tak ada yang pantas, di atas meja kosong
almari kosong, dari baw ah ranjang Toni tarik botol Aqua
150 ml, tempatnya menabung, ia sobek dengan pisau, uang
logam, kertas bercampur, Toni buka jendela agar bintang
tampak, agar sedikit dingin terasa, bermandikan malam Toni
menghitung di atas dipan, kadang ada logam yang menyelip
di sam bungan papan dipan, jatuh ke kolong, Toni turun
memungut.
Terhitung dua ratus ribu rupiah, ia tidak tahu berapa
ongkos hidup sehari di Jakarta, tapi yang ia punya hanya
dua ratus ribu, hanya itu. Malam ini ia tidur di s a m p in g
uang saku, berbantal tangan pandangi bulan, ia teringa*
Naela, ia akan semakin menjauh darinya, akan lebih jauh-
Seketika m enyeruak satu pertanyaan, "K ap an lagi bisa
berjumpa dengannya? Apa ia masih mengingatku? Apa 13
masih sudi untuk bertemu?"
" N a e la ... N a e la ... m alaik at m ana yang menja
perantara dalam penciptaanm u?" bibir Toni m e n y erin g 3
'Ma'munAffany J 1^1
se n y u m , matanya terpejam, ia lelap dalam balutan mimpi
s e o r a n g Naela, ia ingin beberapa tahun lagi bisa berjumpa

d e n g a n n y a , entah di mana, entah kapan, entah di belahan

bumi siapa ia bisa menemukan Naela.


Sebelum subuh Toni sudah sadar, tapi ia tak bangun,
ia menunggu satu hal.
"B y u rr..." seember air dari Bapak dirasakan, ia akan
ingat selalu Bapaknya, akan ingat sem uanya. la duduk
tuntaskan tetesan air dari tubuhnya, pandangi langkah
Bapak keluar kamar.
Toni mandi, ia cepat-cepat setengah terburu-buru, ia
hentikan Bapak yang sudah memanggul cangkul, ia hanya
beranduk, air di tubuhnya belum dilap, setengah tubuhnya
telanjang basah, "P ak."
Bapak berhenti tapi tak berbalik.
"Aku mau pamit. Aku mau ke Jakarta nanti siang," di
belakang Bapak Toni sampaikan, "Mungkin lama aku tidak
pulang, Bapak jaga diri baik-baik di rumah. Bapak satu-
satunya keluarga yang aku miliki, mungkin aku akan kirim
kabar sebulan sekali, Bapak tidak usah balas kalau terpaksa,
aku hanya ingin Bapak tahu kalau Bapak m asih punya
anak."
Tak kuat Bapaknya mendengar, Bapak tak ingin ber-
Paling sedang matanya setengah basah. Ia tahu selama ini
la salah, ia tahu selam a ini tak benar perlakukan anak,
Sepanjang umur, dua puluh dua tahun Bapak tak pernah
erlaku seperti orang tua.
“Jaga kesehatan Pak, semakin hari Bapak semakin tua,"
Toni menatap punggung Bapaknya.
Tak ada jaw aban, Bapak kem bali b erjalan keluar,
j^enjauh. Entah ke mana ia berlabuh, Toni kecewa, teremas
nya. Toni berharap ada pesan dari Bapak meski sebatas
11 kata, baginya sangat berharga. Toni ingin mendengar,
1$2 j zg 9uz "flartja 'K/anita

"Hati-hati di jalan," atau kalimat lain. Terpengkur kepala Toni


lemas melihat Bapak hanya sudi mendengar, pergi menjauh
Toni usap setetes air di dagunya yang hampir terjatuh.
Toni tinggalkan rumah, m ulai nanti m alam Bapak
sendirian di rum ah. Toni tak langsung berangkat, ia ke
tem pat Rika, satu-satunya yang belum d iberitahu akan
keberangkatannya. Semua baju sudah dim asukkan dalam
tas punggung, Qur'an kecil dan sepucuk surat tak mungkin
terlupa ia bawa, ia bungkus dengan sajadah sebelum masuk
dalam tas, topi hitamnya ia kenakan. Toni berkaca depan
cermin retak di kamar, tubuhnya cukup berkaos putih lusuh,
celana jean s sobek di lutut, sandal jep it, "B ism illah " ia
tin g galk an rum ah. Ia in g at selalu akan rumahnya,
berdinding tanpa cat, beralas tanah, beratap genangan air
di plastik.
Toni jalan kaki ke tempat Rika, tak begitu jauh, lewati
sungai kecil, kakinya menapak di atas jem batan dari dua
bilah bambu, terik mulai menyengat, tak ada angin bertiup,
awan bergerak lam bat, tubuh Toni mulai berkeringat. Di
satu rumah kontrakan berhimpitan, berteras tiga keramik,
berkaca lebar Toni ketuk pintu, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," Rika langsung berlari dari dalam,
Rika terbirit membuka pintu, "Akhirnya kau datang juga
Ton."
"Kau sepertinya menungguku?" Toni heran, ia lepas
tas punggungya.
"Aku ingin ke rum ahm u. M asuk dulu Ton," Ri^a
benarkan bajunya, pangkal dada sedikit tampak.
"Aku sebentar saja Ka. Aku m a u ..." Toni tak ingin
lama.
"Aku ta h u ..." Rika memotong, "M asuklah s e b e n ta r
sebelum kamu tak pernah singgah lagi di rumah ini,"
tersenyum, ia menyimpan satu kebahagiaan.
J/a'mun Affary | fjjj

Aneh, darimana Rika tahu? Mungkin Eko. Toni lepas


sand al jepitnya, duduk melepas topinya, "Kam u tahu aku
mau ke Jakarta?"
Rika mengangguk.
"Eko yang m em beritahu?" seingat Toni Eko paling
malas memberitahu sana-sini, kecuali jika mendesak.
Rika menggeleng, "Naela Ton."
Toni setengah tertawa, "Ah, jangan bercanda Ka. Mana
mungkin dia tahu, bagaim ana ju g a dia m em beri tahu
padamu," Toni membuang muka memakai kembali Topinya.
"Kamu boleh tidak percaya, tapi semalam Naela ke sini
bersama Aziza, dia menginap di sini. Aku sendiri terkejut
Ton, dia datang setelah isya, dia juga melihatmu pulang dari
mushola. D ia sengaja datang ke sin i," R ika m engikat
rambutnya.
Toni masih belum percaya, "Kenapa kau tidak mem­
beritahu aku?"
"D ia m elarangku, karena dia yakin jika kamu tahu
pasti akan cepat datang ke sini," Rika menjelaskan, ia tak
ingin Toni salah paham.
Toni menyesali harinya, kenapa ia tidak langsung pamit
ke rumah Rika setelah isya? Tangan toni memukul-mukul
pahanya sendiri, "Untuk apa dia ke sini Ka?"
Rika tak menjawab, ia langsung masuk ke dalam, tak
lama ia kem bali datang, "Ia ke sini hanya untukm u, ia
menitipkan ini p a d ak u ," R ika b erik an sep u cu k surat,
"Untukmu Ton."
Toni teliti tulisan di muka amplop, ia m asih belum
Percaya, tapi benar, tulisannya sama, meski ia miliki hanya
Satu surat dari Naela, tapi ia hafal isi dan bentuknya. Toni
berdebar membuka.
(J4 | zgO uz'H arja'W anila

Assalamu'alaikum
Untuk kakakku Toni Saputra

Toni tak langsung m elanju tkan, degup jantu ng di


dadanya semakin berdegup kencang.

Maafkan Naela yang sudah tak pedulikan kedatangan kakak


ke sekolah, maafkan Naela yang sudah membuat kak Toni bertanya
selalu kabar Naela, sesungguhnya Naela baik-baik saja, namun
memang lebih baik Naela tak berjumpa kak Toni karena Naela takut
ada syetan yang menggoda.
Sebenarnya hari pertama kedatangan kakak ke sekolah, Naela
ada di belakang Aziza, tapi jauh di belakang, Naela hanya mengintip
dari sudut sempit, dan Naela berpesan agar katakan jika Naela
belum ingin berjumpa. Bukan karena menganggap kakak hina, nista,
bukan kak, tapi m enjaga dem i kebaikan bersam a, hari-hari
berikutnya Naela sengaja tak berangkat karena Naela yakin kak
Toni pasti kembali datang ingin berjumpa.
Hati Naela berdenyut seolah nadi berdarah saat tahu kakak
akan datang ke pesantren, tapi Naela kagum melihat kakak datang
baik-baik, memohon ijin, oleh sebab itu Naela sengaja tak berangkat
sekolah menebus usaha kak Toni di hari-hari sebelumnya. Naela
tak bisa berikan apapun untuk kak Toni, hanya segelas air putih,
hanya itu saja kak. Naela tahu pak Kyai tak mungkin mengijinkan,
tapi pak Kyai yang beritahu kalau kakak akan berangkat ke Jakarta.
Naela kadang terharu memikirkan apa kelebihan yang Naela
miliki sampai kakak begitu berhasrat ingin bertemu Naela m eski
sekejap saja. Kadang Naela merenung tentang sebab kenapa kakak
sangat ingin dapatkan cinta dari seorang seperti Naela. Naela sadar
bukan wanita terindah, bukan wanita yang paling benar, apalag'
paling baik, hanya kakak sendiri yang tahu, hanya kak Toni yun&
mampu menulis jawabannya.
~Ma'mun A ffany j

Sekali lagi Naela mengucapkan m aaf atas kesengajaan Naela


atas segalan ya. N aela ingat waktu kakak sakit, N aela ingat
bagaimana kakak waktu itu seperti mayat dalam selim ut, dan
k e s y u k u r a n bagi Naela melihat kakak lebih baik.
Mungkin esok kakak sudah di Jakarta. Harapan Naela kakak
bisa menjaga diri, jaga kehormatan seorang laki-laki, dan jangan
lupa untuk terus berdo'a agar Allah lebih dengarkan apa yang kakak
inginkan.
Naela tak memberi bekal apapun untuk kak Toni, hanya do'a
dari pulau sebrang, do'a dari dalam pesantren, do'a yang akan
terus Naela panjatkan agar kakak bisa temukan hidup yang kakak
inginkan.
Hati-hati di jalan kak... do'a ade’ selalu menyertai.

Naela Khasna

M enetes segum pal air dari mata, Toni tak m engira


Naela begitu m empedulikannya. Semua yang hilang dari
Bapak ia dapatkan dari Naela Khasna. Entah ia seorang Adik
bagi Toni atau saudara, tapi cukuplah pesan dari Naela
menyiram kering di hatinya. Ia tempelkan di dada, surat dari
Naela seolah penyejuk, ia bersujud seketika. Rika tak tahu
mengapa Toni bisa seperti itu hanya karena sepucuk surat,
tapi memang tak satupun orang tahu, tak satupun mengerti
seberapa besar arti tulisan dari Naela Khasna, seberapa penting
kalimat di dalamnya. Hanya Toni yang tahu, hanya Toni
Saputra yang menyimpannya di balik dada.
1$6 | Ouz'Harija 'HJanifa

©
— M enjinjap € i M asjid •

T
oni berlabuh di terminal Kampung Rambutan.
Hari masih begitu gelap. Belum terdengar suara
subuh, hanya lampu dan secuil bising kendaraan
yang terdengar m engisi pekat asap udara term inal. Toni
pijakkan kaki di bumi, turuni bis Arimbi dari Merak. Toni
teliti sekelilingnya, bus-bus berhenti, secuil tukang ojek
keluyuran ham piri penum pang, tiap orang tam pak jalan
pasti bertu ju an, sedang Toni tak tahu ke m ana ia harus
hentikan langkahnya, ke mana ia harus akhiri jalannya. Toni
meridongak menatap langit tak berbintang, melirik lampu
tembak silaukan genangan air di lantai terminal.
Ia lihat mushola berhimpitan WC umum, ia b erjalan
mendekatinya. Toni baru tahu kalau buang air kecil mem-
bayar seribu, buang air besar seribu, mandi dua ribu. Pengak
bau ompol meruap, Toni geletakkan dua keping lima ratus
rupiah di atas meja.
Sesaat Toni kembali melihat sekeliling, belum terlalu
ram ai, belum padat, belum sesak. Toni duduk di tera s
m ushola, satu jam lagi waktu subuh datang, Toni tidur
"Ma'mun A ffan y j 1 J J

sem b ari duduk berbantal lutut yang dipeluk. Tak ada rasa
d in g in , hanya letih , d i sam p ing Toni beberap a tubuh
terg eletak tidur.
"Bang subuh!" entah marbot masjid atau tukang ojek
inenyenggol dengan badannya.
Toni angkat kepala, sam ar-sam ar term in al seolah
disulap pasar, m ulai banyak yang datang, berham buran
berteriak, tukang ojek m ulai berjejer, ibu-ibu memanggul
gorengan di atas kepalanya, Toni sholat berjama'ah, saat itu
yang ia m iliki hanya satu do'a, "Berikan petunjukm u ya
Allah."
Entah karena nekat atau terlalu berani Toni dekati satu
jama'ah berjaket kulit, jamnya kuning mengkilat, kumisnya
setengah lebat, ia baru usai berdoa'a, "Assalamu'alaikum..."
"W a'alaikum salam ..." Bapak berperut sedikit buncit
menjawab.
"Sudah lama Pak di Jakarta?" Toni basa-basi.
"Dua puluh tahun," singkat dan padat, "Kamu baru
datang?"
Toni mengangguk, "Baru dua jam ."
Lelaki itu tak lagi menanggapi atau bertanya, entah ia
sedang berfikir atau hanya menunggu waktu berjalan.
"Maaf pak, apa Bapak ada pekerjaan untuk saya?" Toni
tak canggung.
Lelaki itu sinis, "Saya baru dipecat."
Toni tahan nafasnya, tak lama Toni pergi tinggalkan
mushola, Toni lihat terminal sudah mendekati wujud aslinya,
bukan udara sejuk yang terhirup tapi kepulan asap. Ada
kernet yang m enepuk ek or angkot untuk m enarik
Penumpang, "Pekalongan! P ekalongan!" ada supir yang
kepalanya melongok keluar jendela angkot menghisap rokok,
ada yarig hanya meniup peluit di pintu keluar sambil menarik
uang.
1$8 | zg Juz TJarja 'Wanita
Jakarta, ia baru tahu wajah padatnya. Toni berjalan,
singgahi warung, bukan untuk makan, Toni selalu bertanya,
"Ada pekerjaan untuk saya?"
"Ga' ada mas," Ibu-ibu begitu mudah berpaling muka.
"C u ci p irin g ju ga tid ak ap a-ap a B u ," Toni ingin
menyambung hidup.
"G a' ada mas, sudah saya katakan tidak ad a," Ibu
sewot, alisnya hitam pekat.
Sepanjang warung yang ia temukan ia singgahi, dari
Kampung Rambutan ke arah Pasar Rebo, tak pernah ber­
henti. Panas mulai terasa begitu garang, mobil di jalan seperti
merangkak, berjubel tak berjalan. Peluh Toni mengucur, ia
sampai di pasar Rebo, di bawah fly over Cijantung. Sudah
puluhan warung lebih ditanya, belum ada satupun yang
mengatakan "Ada" meski untuk satu hari saja.
Ada perbaikan jalan sebelum pasar Induk, Toni dekati
m andornya, b erh elm biru , m engaw asi asp al yang di-
muntahkan dari truk besar, "Apa pekerjanya masih kurang
pak?"
Mandor tak menjawab hanya menelisik sekujur tubuh
Toni.
"K e rja yang lain ju g a tid ak apa-apa p a k ," Toni
membuka topi hitamnya.
"G a' ada," singkat ia berikan sekejap tatapan dan
hembusan nafas panjang.
Toni hapus k erin g at dengan lengannya, kakipun
sudah terpanggang, uang di tangan menipis. Tiap malam
Toni singgah di m ushola, di m asjid, kadang ditendang
satpam sebelum adzan subu h d atan g, m andipun me-
numpang di masjid. Setiap hari Toni melakukannya. Han
terlewati, minggu pergi, Jakarta tak semudah dalam mimp1'
nya, untuk makan Toni menukar dengan tenaganya.
"Ma'mun A ffan y \

"Ibu... saya mau makan, tapi saya bayar dengan cuci


piring," Toni menawarkan diri.
Ada yang m enerim a, tak terhitung yang m engusir,
gelengkan k ep ala, sin is m elih at, diam tak m enjaw ab,
meminta pergi seketika.
Setiap hari hidup Toni dalam rangkaian jadwal. Setelah
s u b u h ia m ulai b erjalan m encari kerja, m em anggul tas
punggung, hanya b erk ao s, b erto p i, b ercelan a ia teru s
mencari, m enjelan g jam sepuluh pagi taw arkan diri ke
warung mencari makan, setelah makan ia cuci piring sampai
yang punya warung mengusir, kalau tak diusir Toni terus
mencuci, mungkin ada yang iba dan menjadikannya tukang
cuci piring.
Setelah sholat magrib Toni akan berdiam di masjid,
kalau ada pengajian Toni dengarkan, kalau ada yang belajar
membaca al Qur'an Toni ikut berm odal Q ur'an kecil dari
Naela, meski hanya diam Toni senang, bacaan Qur'an indah
didengar. Jika isya usai Toni mulai berjalan mencari makan,
dari satu tempat ke tem pat lain, tak jarang waktu malam
yang ia dapat bukan sepiring nasi, hanya lapar. Kalau sudah
tiga kali datang ke satu warung, penjaganya akan mencela,
"Kamu lagi, kamu lagi. Pergi! Cari kerja!"
Jika sampai jam sepuluh malam belum dapat sesuap
nasi, Toni mulai m encari masjid untuk berm alam . Hidup
seperti ini Toni jalani tak kenal lelah, ia ingat pesan teman-
temannya, ingat pesan Naela, harus sabar, jika putus asa
akan datang Toni buka surat dari Naela sebagai penghibur
hatinya.
Seminggu pergi, sebulan lewat tak jua ada pekerjaan
menghampiri, Toni sering minum air wudlu karena haus.
^da jUga yang kadang memberi Toni imbalan uang setelah
ls pekerjaan tapi diikuti pesan, "Besok jangan datang
agi ke sini."
l6o |Z<)9uz T-tarya 'Wanita
Terbayang seketika ranah kam pungnya, Eko, Rika
Bapak, Naela yang selalu ia harap asa cintanya. Toni ter­
senyum sendiri, betapa indah di sana, tapi ia memang harus
lew ati semua ini. Pulang tak ada uang, hidup terus ber-
gantung pada nasib yang belum berpihak.
Satu w aktu Toni singgah di m asjid di K alisari
Cijantung, dua lantai, ada dua kamar mandi, satu minggu
berturut-turut ia menginap, tak ada yang mengusir. Setiap
sebelum subuh yang m embangunkan wanita tua, keriput
jelas di wajahnya, sedikit bungkuk, jalannya sudah sedikit
mslambat.
"Bangun," Nenek pasti sembari jongkok membangun­
kan, "Sudah ham pir subuh."
Toni tergerak bangun, "N e k ..." Toni menyapa.
"Ambil wudlu! Sholat sana," Nenek menyuruh.
Toni menurut meski tak tahu sholat apa, Toni hanya
ikut, sepertinya Nenek tersebut akrab sekali dengan masjid
Darul Hijrah, masjid yang di bawahnya toko kecil dan play
group, banyak kipas angin, tulang baja ada yang telanjang
menopang genteng. Seminggu Toni ikuti kata nenek sembari
terus mencari kerja di jalan, di kantor, di warung, di sekolah,
di setiap ada tempat saat kakinya melangkah.
Tiba-tiba N enek m endekat, ia berm ukenah, adzan
subuh sepuluh menit lagi, lampu yang dinyalakan baru sisi
dalam, Toni duduk bersilah dekat tempat imam sendirian,
"N a k ..."
"Iya Nek," belum ada satupun jama'ah selain Toni dan
Nenek, hanya mereka berdua.
Nenek m elepas tasbihnya, "K am u kerja di mana?
Kenapa setiap malam kamu tidur di sini?"
Toni tak malu, "Saya masih mencari kerja, tapi belum
dapat."
"Ma'munAffany \ ib l

"Kamu baru datang ke Jakarta?" mata Nenek di balik


kaca mata berkalung menatap.
"Sudah tiga bulan," suara Toni layu.
"Siapa namamu?" Nenek ingin tahu.
"Toni. Toni saputra."
N enek diam , lam a, tib a -tib a seoran g bap ak tua
menyembul dari tangga, jalannya memegang tangkai tangga,
payung yang tak terbuka seolah menjadi tongkatnya. Nenek
berjalan menghampirinya, entah bicara apa, Nenek kembali
ke dekat Toni, Kakek berpeci putih sholat di pojok barat laut.
N enek m enyibak m ukenahnya, "K am u m au jad i
tukang kebun?"
Tak tahu bag aim an a Toni h arus bersyu k u r, Toni
berulang-ulang mengucap, "Mau Nek, m au... tidak apa-apa
Nek..."
"Su d ah , nanti setelah subuh ik u t n en ek ," N enek
berpesan, ia mundur ke belakang kembali menyandar tiang
berdzikir.
Seketika Toni bersujud , ia m engucap terim akasih
sebanyak-banyaknya, Toni baru tegak dari sujudnya saat
adzan subuh tiba.
"A llahu A kbar! A llah u A k b a r!" adzan subuh
menggema lantang merasuk syukur di hati Toni, menyiram
kegembiraan yang bersemi.
Selepas sholat Nenek berdiri dibantu suam inya, ia
memanggil dengan isyarat tangan pada Toni. Seketika Toni
berdiri, setengah berlari mengejar, turuni tangga perlahan
Toni berjalan mengekor pasangan tua setia yang menikmati
hidup di akhir masa. Sembari jalan mereka tak berkata sepatah
katapun, lewati jalan gelap mereka tampak begitu lambat,
lima menit berselang mereka berhenti di satu rumah, kakek
membuka gerbang kecil dengan tangan kanannya. Toni
terpaku melihat rumah berlantai dua bak istana, atapnya
iS z | 2 f) 9<& T-larga 'W anita

bak m ahkota, kebun m en g elilin g i, ikan em as gernulai


berenang di kolam, empat mobil berderet, lampunya meng-
gantung bak iampu aula.
''Masuk]ah!" Nenek memanggil, Kakek terus berjalan
ke dalam rumah.
Toni masuk lewati gerbang setinggi kepala, Nenek tak
m elepas m ukenanya, terus berjalan ke belakang rumah,
lewati pohon alpukat bergelantungan buahnya. Toni hanya
mengikuti sampai Nenek berhenti di satu kamar samping
kamar mandi, kamar dari triplek seperti tlah tercipta untuk
tukang kebun, "Ini kamarmu, tidurlah di sini, seadanya,"
Nenek menunjuk kasur busa tanpa tertutup sprei, bantal
tanpa baju.
"M akasih Nek, m akasih," Toni hanya bisa mengucap
syukur.
N enek m em buka satu kam ar lain, gudang tempat
semua alat kebun disimpan, gunting, cangkul, linggis, arit,
slang, semua ada, "Ini alat-alatmu, jaga kebersihan tam an
dan sekitar rumah ini."
Toni mengangguk.
Mungkin sebagai syukuran, atau terlalu girang Toni
langsung m engam bil gunting rumput, jongkok di ta m a n
memotong, padahal hari belum bersinar, pagi masih buta,
hanya berm and ikan cahaya lam pu kuning tam an. Tom
rapikan semua, rumput-rumput liar dicabut, bunga disiram ,
sampah dipungut, Toni terus bekerja sampai semua ra p i tak
tersisa, kakek terlih at duduk di teras m em baca K o ra n
bersanding kopi.
Sebelum tidur Toni dipanggil, Nenek akan m e lo n g o k
dari jendela belakang, tangannya keluar melambai, " T o n i!
Toni berlari, "Iya bu."
"Kamu pasang ini di kasurmu. Ini selimut, biar kam^
tidak kedingingan," Nenek memberikan sprei hijau bergarlS
~Ma'munAffamj | <6$

putih-
Baru kali ini Toni miliki kamar berkasur busa, bersprei
baru Toni sampai tak bisa tidur meski lelah, ia ingin nikmati
hidup baru. Ia ingat Bapak yang pasti di rumah sendirian,
pasti sedang dengarkan Radio dan m elam un, Toni ingat
tamparannya, air seember darinya. Toni berbaring menatap
langit-langit, baru satu hari selam a di Jakarta Toni bisa
berbaring nikmat, ia tak lagi berfikir besok makan apa meski
tak sepeserpun uang di sakunya.
"Toni!" malam berikutnya Toni dipanggil. Seperti biasa
Nenek melongok dari jendela belakang, tangan bergelang
emas keluar melambai.
Toni bangun, bergegas menghampiri, "Iya Bu," Toni
tak lagi memanggil Nenek.
"Ini untukm u, b elikan celana dan baju agar kamu
terlihat sed ik it rap i, sisan y a kam u am bil s a ja ," Ibu
memberikan amplop.
Entah berapa isinya, tapi itulah pertam a kali Toni
dapatkan uang di Jakarta. Toni menuruti kata Nenek, Toni
belikan baju dan celana menggantikan celana sobek di lutut
miliknya, Toni p ilih b aju w arna biru , alasann ya hanya
karena dulu waktu bertemu Naela dia memakai baju biru.
Sisanya masih banyak, Toni belikan emas satu gram sebagai
tabungan, sisanya Toni belikan kertas surat dan pena, Toni
ingin berkirim kabar.
Yang pertama Toni tulis untuk Bapak.

Assalamu 'alaikum
M aaf Pak kiranya Aku tiga bulan ini belum berkirim kabar,
Toni baru dapat pekerjaan dua minggu sebelum surat ini Aku tulis.
jadi tukang kebun pak di satu rumah orang kaya. Bapak masih
melarnun?
{6 4 | 2-9 'Hartja H lanila

Ini dulu Pak. Jaga kesehatan Bapak di sana, Bapak sendirian


kalau ada orang menginap di rumah jangan ditampar Pak, dia bukan
Toni, jangan pula disiram kalau pagi, cukuplah semua itu untuk Toni
Hati-hati di rumah pak, Bapak sudah tua.
W assalamu'alaikum

Tak usah panjang-panjang surat tertulis untuk Bapak,


dibaca saja ia sudah bersyukur, mungkin juga dibuang, Toni
lipat baik-baik, dimasukkan ke satu amplop.
Surat kedua Toni tulis untuk Eko dan Rika.

Assalamu'alaikum
Bagaimana kabarmu Ko? Rika?
Aku di sini baru bekerja dua minggu, setelah beberapa bulan
menggantung makan pada warung tanpa uang, tak usah berfikir
bagaimana caranya, tidurpun aku terus berganti menggilir masjid.
Sekarang aku sudah jadi tukang kebun, kerjaanku memotong
rumput, memungut sampah, mencuci mobil, memberi makan ikan,
mencabut rumput liar, kadang belanja untuk majikan, yang aku
bisa hanya itu, tapi aku bersyukur menikmatinya.
Sudah tiga bulan aku tinggalkan Lampung, kapan menikah
Ko? Kamu juga kapan menikah Ka?
Sampai di sini dulu, aku ingin kalian tahu alamatku agar
terus bisa menjaga tali persahabatan yang tlah menjelma saudara
tanpa darah yang sama.
Wassalamu'alaikum.

Toni lipat surat kedua, masukkan ke satu amplop lam-


Toni ingin menulis satu lagi surat, untuk Naela, tapi gamang,
berkali-kali menulis dicoret, kertas diremas dibuang. Tom
buka surat terakhir dari Naela, alamatnya jelas tertulis, Naela
K hasna, jl K aliny am at K om plek Ponpes Fathun Q °r*
Kalianda, Lampung.
"Ma'munAffany \ >

Toni tengkurap, menopang dagu, lama ia berfikir, entah


mengapa hatinya terus mendorong untuk menulis, mungkin
surat tersebut nantinya tak sam pai di tangan N aela, tak
terbaca, tak terbalas, biarlah. Toni tetap mainkan pena untuk
seorang Naela yang kini entah di mana adanya.

A ssalam u'alaikum
N aela...
Kadang aku terpaku bisu dalam kalutan fikiran yang tak
kunjung ada jawaban, entah kenapa aku bertekad untuk merantau
kepulau sebrang, untuk siapa kakiku melangkah sebenarnya? Untuk
s ia p a jerihku? Pada siapa muara payahku? Demi Bapak, demi
teman, ataukah demi seseorang yang tlah merasuk dalam, yang
tlah tenggelam membaur dalam ingatan.
Rasanya sudah begitu lama Kakak tinggalkan Lampung,
tinggalkan Naela agar tak terganggu. Kakak yakin Naela dalam
seribu senyum tenang di sana, tak ada lagi yang menyelip datang
ke sekolah untuk mencari Naela, tak ada lagi yang nekat datang ke
Pondok menghadap Kyai untuk menemui.
Bagaimana kabar dirimu Naela? Rasa-rasanya kakakpun
terus terkungkung dalam pertanyaan kenapa harus menulis surat
untuk Naela, kenapa seolah m enjadi satu keharusan yang tak
sanggup ditinggalkan?
Apakah semua itu bermuara pada cinta? Entahlah... rasa
itu terus tertanam, terus mengakar menghujam, terus tersimpan rapi
dalam hati. Tapi tulisan yang ada dalam surat ini tak menyiratkan
untuk memaksarnu seperti dulu lagi. Surat ini sebuah kesyukuran
setelah letih dalam ketidakpastian, setelah berbulan-bulan hidup tak
iahu pangkal dan tujuan, kini kakak begitu bahagia mendapatkan
pekerjaan meski sebagai tukang kebun memotong rumput di taman.
Kalau teringat padamu Kakak selalu berdo'a untuk kembali
h’rsua meski tak berkata, entah kenapa kakak terus berharap meski
asa bertemu kini serasa semakin menjauh, semakin musnah tak tinggal
ib f) | zg 9uz T-tarya 'W anita

pengharapan. Aku sendiri tak tahu kapan lagi bisa kembali ke tanah
kelahiranku, mungkin aku menetap di sini atau aku mati di sini.
N aela...
Engkaulah keabadian untukku, enkaulah bayangan yang
terpasung difikiranku. Kau boleh mencela suratku, tapi inilah satu-
satunya tempat tuk curahkan semua isi hatiku. Di kertas aku bebas
merindu, aku bebas mencintai meski tak terbalas, meski kerinduan
yang meradang tak kunjung ada penghabisan. Di Jakarta setiap
malam aku duduk di tepi kolam ikan, aku utus satu bintang di
langit untuk terus melihatmu agar aku bisa bahagia menatapmu
meksi sebatas bayang senyummu.
Aku selipkan fotoku di surat ini, entah untuk kau simpan,
kau buang, atau kau robek sebelum terpampang. Aku ingin membalas
budi baikmu, tapi yang ku mampu hanya selembar foto ini, mungkin
tak sepadan, tapi memang hanya ini yang bisa aku sampaikan.
Aku yakin, semua jalanku tlah tertolong oleh janjimu yang akan
mendo'aku, tlah tertolong perhatian yang tak kusadari adanya
darimu. Naela, aku buta akan nasib, tapi do'amu tlah membuka
telinga nasib agar dengarkan rintihanku.
Dalam hati kakak tak meminta balasan, ade' sudah membaca
surat ini satu kebahagiaan, jika ade' simpan setelahnya kakak seolah
dapatkan sanjungan.
N aela...
Bagiku kamu wanita mulia yang harus aku puja, aku hormati,
karena dengan kerendahan hati kamu masih berkenan menjenguk
kala aku sakit, memberikan nasehat kala aku berniat pergi. Aku
berharap satu hari bisa berjumpa denganmu. Satu waktu aku ingin
mengucap syukur terimakasih padamu, engkaulah satu-satunya
cermin hidup abadi dalam hati yang kumiliki.

Toni lip a t p erlah an , p an jatk an do'a agar semua


mengerti betapa penting arti seseorang dalam hati saat jauh
terpisah sendiri.
Jvia'mun Affantj \ i b j

©
TAenjawah ftjnefu

H
a ri-h a ri Toni m u lai b erg a n ti, Toni tak lagi
menjadi tukang kebun, Toni diminta membantu
di percetakan milik keluarga Kakek Hamid. Dari
rumah tak jauh, cukup sepuluh m enit jalan kaki. M eski
sebagai pengelem Toni sudah senang, ia hanya duduk,
menerima tumpukan buku, mengelem tumpukan kertas agar
buku kuat, suara desing m esin cetak jad i m usik, kertas
berhamburan sudah menjadi pemandangan.
Jika ada buku rusak Toni boleh bawa pulang, apalagi
Toni tinggal di keluarga pak Hamid, ia dianggap memiliki
kedudukan lebih. Kadang buku yang dibawa buku islami
Penyejuk hati, kadang buku cerita, kadang buku bacaan
r*ngan untuk remaja.
Kalau hari minggu Toni masih menjadi tukang kebun
dari pagi sampai siang, tak lupa Nenek memanggilnya dari
jendela, "Toni!"
Toni akan tinggalkan gunting rum put berlari, "Iya
i6S |Zg9uz'Uarija'Wanita
"B e lik a n obat untuk bapak, pake m otor in i," ibu
julurkan tangan dari lubang jendela memberi kunci motor
H onda.
"Baik Bu," Toni menangguk.
Sebelum subuh Toni sudah berangkat ke masjid seperti
N enek, Toni sudah tahu apa itu tah aju d . K alau subuh
terlepas, Toni akan belajar m engaji pada Nenek. Awalnya
bukan Nenek yang mengajak.
Satu hari selepas subuh nenek beranjak dari duduk,
hendak turuni tangga masjid Toni berlari mendekat, "Ibu."
"Iya Ton," Ibu berbalik.
"Boleh Toni minta tolong," Toni merasa Nenek sudah
menjadi bagian hidupnya.
"Katakan saja," Nenek pakai kacamatanya.
"Ajari Toni mengaji Bu," Toni tak malu.
"Kam u belum bisa?" Nenek heran.
"Sam a sekali belu m ," Toni tak tertunduk, pecinya
sedikit miring.
N enek m elih at kein ginan kuat pada Toni, Nenek
menyanggupi. Setiap hari selepas subuh Nenek bersandar
tiang mengajar Toni beralas sajadah berkaca mata, di tangan
kanan N enek rotan kecil, kalau Toni salah Nenek pukul,
"Yang benar!"
Toni ingin bisa m embaca Q ur'an pem berian Naela,
Toni ingin menikmatinya seperti orang lain yang sanggup
membaca. Toni yakin pemberian Naela bukan untuk dilihat,
dipajang, disimpan, tapi untuk dibaca, untuk dilantunkan
d en gan suara indah. Jik a isya u sai, Toni sendirian
mengulang bacaannya, di masjid seorang diri, Toni hanya
ingin bisa m em baca. Usai belajar Toni lirik jam dinding
masjid, setengah sembilan tepat, hampir satu jam ia duduk
di atas sajadah membaca ayat-ayat suci kalam Ilahi.
"Ma'mun Affany | lf)$

Usai tu tup Q u r'an n ya Toni sem p atk an berd iam


bayangkan N aela m endengarkannya m em baca Q u r'an.
Kadang Toni tersenyum sen d iri, N aela p asti senan g
mendengar, tapi cepat-cepat ia hapus angan tersebut, ia ingat
surat yang ia kirim, sudah empat bulan tak berbalas, hanya
surat dari Eko dan Rika yang sampai di tangannya.

Assalamu'alaikum
Ini Rika Ton, Eko hanya m enyum bang pesan, katanya
tulisannya jelek.
A h... rasanya aku tidak m enyangka kau bisa bekerja di
Jakarta, kata orang lama di Jakarta akan susah pulangnya, tapi
aku harap kau jangan seperti itu Ton. Kita di sini ingin sekali kembali
berkumpul, kata Eko ada jag oa n ja la n baru, dia pen asaran
denganmu.
Tapi lupakan itu Ton! Kau sudah mulai temukan satu dunia
kecil di sana.
Kau pasti ingat Aziza ? Dia pernah datang ke rumahku, hanya
bermain, dia menginap satu malam, dia tanya tentangmu, aku tanya
Naela, dia selalu menjawab baik-baik saja. Kau pasti tidak akan
lupa Naela.
Pesan Eko, jaga kesehatanmu, jangan sakit lagi seperti dulu.

Aziza, Naela, Toni ingat mereka seakan satu saudara


yang sulit terpisah, yang selalu menjaga satu sama lainnya,
selalu saling bertukar kasih dan sayang, saling berlindung
dalam pelukan. Toni bertanya-tanya kenapa, dan ada apa
dengan Aziza?
A h... Ia terpisah begitu jauh, tak ada yang bisa ia
tanyakan kabar kecuali pada bayangan.
“Toni!" tiba-tiba Ibu memanggil.
Toni seketika membuka mata, malam sudah teramat
tafut, hanya derit ranting dan resakan daun alpukat yang
{JO |Z<j 9uz74arrja 'Wanita
terdengar.
"Toni!" sekali lagi Ibu berteriak.
Toni m elo n cat dari ran jan g, tan pa sandal gugup
membuka pintu kamar. Toni tak berlari di atas jalan tengah
taman, Toni menerobos rumput menerjang tanaman. Dingin
lirih angin malam menyayat rongga dada, malam mendesah,
cakar gelap bicara, kolong lan git resah, terengah-engah
mendekat jeruji jendela, "Ada apa Bu?"
"M asuk cepat!" Ibu terlihat gelisah sekali, tangannya
berulang-ulang meminta Toni masuk, matanya ketakutan,
h id u ngnya m em besar, bah k an n en ek lupa memakai
kerudungnya, uban tampak menutup ram but hitam.
Toni b ercelan a pendek te rb irit m asuk dari pintu
belakang, Toni buka pintu kamar, pak Hamid bersarung,
berkaos dalam putih terkapar di ranjang memegang dadanya,
nafasnya sesak tersedak-sedak.
"B aw a bapak ke rum ah sakit Ton! Cepat angkat!"
Nenek berteriak, pangkuannya menopang kepala Bapak di
atas ranjang.
Toni angkat tubuh pak Hamid, peci putihnya terjatuh
saat dibopong, Toni tergopoh-gopoh, pintu mobil Honda
New City dibuka, Ibu keluar membawa satu tas di tangan
kiri, kunci mobil di tangan kanan.
"Bawa mobil, cepat!"
Toni tak b ersan d al, Ibu k e lih a ta n sangat panik,
langkah tuanya coba berjalan lebih cepat, memangku kepala
suaminya dalam mobil, nafasnya belum lancar, begitu sesak,
matanya setengah terbuka.
Dulu Toni pernah menjadi kernet angkot Bakaheuni
Rajabasa, satu minggu, ia belajar menyetir. Tanpa ampun
Toni injak gas dalam, di malam begitu sunyi mobil menerobos
jalan, sesekali Toni lihat wajah Bapak dari spion, ia ikut
khawatir.
’M a'munAffany \ 1J{

Sampai di rumah sakit dekat Rebo Toni angkat tubuh


pak H am id , bercelana pendek, tanpa sandal, berkaos putih
oblong Toni m asuk m enerobos p in tu , " S u s te r !" Toni
b e rte ria k kencang, tak lama banyak suster m engerubut,
tubuh pak Hamid tlah dibawa masuk.
Malam itu Toni ada di rumah sakit menemani Nenek,
ia m e la y a n i sem ua yang N enek bu tu h kan , m engam bil
pakaian, bantal, semuanya Toni. Pembantu dim inta tetap
menjaga rumah, supir kalau lewat jam sepuluh malam sudah
pulang, hanya Toni yang ada di dekat Bapak, hanya Toni
laki-laki yang dua puluh em pat jam bersam a Nenek dan
Bapak. Semua anaknya baru datang selepas subuh, semua
berterimakasih pada Toni.
"U ntung tidak terlam bat, telat sed ikit saja Bapak
bisa..." Ihsan anak pertam a Bapak bersyukur. Ia terlihat
bersih sekali, badannya tinggi seperti Bapak, kulitnya putih,
istrinya menggendong anak, ia tinggal di Bogor.
Sem enjak itu Toni d ib u atk an sim , m en jad i su p ir
pribadi pak Hamid, ke m anapun Bapak pergi Toni yang
mengantar, Nenek akan titip seribu pesan, "Ingatkan Bapak
minum obat! Ingatkan Bapak jangan kelelahan!"
Toni tak lag i b erk ao s kusam , Toni h aru s selalu
berkemeja, celana berbekas garis setrika, berpenampilan rapi,
sepatu lancip mengkilat, rambutnya berminyak. Kadang Toni
berdasi, kalau berkaca Toni tersenyum, ia ingin Bapaknya
sendiri melihat. Meski hanya sebagai supir Toni senang, ia
lngat waktu dulu jadi kuli angkat batu, ia ingat waktu dulu
hanya keringat dan debu yang bersemayam.
Pak H am id selalu m en g isi sem in ar di lu ar kota,
^emarang, Tanggerang, bah kan A ceh, "Ton, besok ke
Padang, tolong siapkan semua, kamu ikut," Bapak berpesan
Setelah sholat isya.
iJ Z | z q Ju z 7/arya 'W anita

"B a ik P ak ," Toni patu h. Toni hanya berm odal


kejujuran, tak ada yang lain.
Di sela-sela seminar kadang Toni menunggu sembari
membaca buku milik pak Hamid, Toni perlahan mulai tahu
falsa fa h hidup, m ulai tah u apa arti hikm ah, apa arti
kesabaran, iman, m u'm in dan muslim. Toni sedikit demi
sedikit mengerti lewat bacaan. Kadang Toni tak canggung
bertan ya pada bapak yang duduk di belakang sembari
menyupir, "Kapan seorang itu kaya pak?"
Bapak santai m enjawab sem bari m engintip gedung
bertingkat di jalan TB Sim atupang, "Kaya itu hakikatnya
ukuran hati Ton, bukan materi, kaya berarti merasa cukup.
Kalau ukuran kamu materi tidak akan ada titiknya, tak akan
ada habisnya. Itu sama artinya dengan pertanyaan kapan
kamu siap untuk m enikah?" Bapak tersenyum , senyum
keriput sisakan kegagahan.
Toni putar stir ke kanan, m obil sedan berbelok ,
"Apakah menikah itu penting pak?"
"Pertanyaanm u aneh?" Bapak heran.
"B an y ak yang m enikah karena nafsu p a k ," Toni
m engingat bacaan bukunya.
"Itu sudah anugrah dari A llah untuk menyambung
keturunan, tapi yang tepenting kamu akan lebih bisa jalani
hidup ini dengan lapang karena ada istri di sisimu."
"M ak su d n ya bagaim ana P ak ?" m obil berh enti di
lampu merah pancoran.
"Istri itu yang tenangkan hati, serunyam apa m a s a la h ,
sepelik apa dilema yang kamu hadapi, kalau sudah p u la n g
dan istri menyambut dengan senyuman, rasanya m a s a la h
itu hanya batu kecil di tep i ja la n . Istri yang akan
m enguatkanm u, m eyakinkan langkahm u, menjadikaninu
tidak jatuh karena dua tangan istri selalu terbuka untuk
menjagamu," pak Hamid memakai kacamatanya.
"Ma'munAffany \ FJ$

Mobil merambat pelan masuki Graha Antara. Bapak


m en gisi sem inar ten tan g p erad aban m uslim di zam an
keemasan.
Toni terngiang setiap kata Bapak, terbayang akan
Naela, ia sudah dua tahun terpisah, sudah tak tahu di mana
Naela berada. Mungkin dia masih di Lampung, mungkin di
Jakarta, Madura, atau... Toni tak tahu. Bagaimana senyum
dia sekarang Toni tak m am pu menggambar, Toni sangat
merindukannya. Tapi Toni tak akan lupa, m erindu Naela
sama artin y a m engharap b u lan ja tu h ke p an gk u an.
Mungkin Toni hanya satu orang bodoh di antara puluhan
lelaki yang coba mendekatinya.
Suratpun tak berbalas, mungkin Toni di mata Naela
sudah ditelan masa, sudah hilang hanya angin ribut yang
dulu coba meraba hatinya. Dua tahun tak m ungkin surat
tak sampai. Toni sandarkan tubuhnya dalam mobil, ia buka
Qur'an kecil pemberian Naela, ia baca satu halaman, ia tak
lagi sanggup lupakan Naela.
Masih tersim pan di lubuk hati terdalam untuk ber­
temu sekali, bertatap muka sesaat untuk mengucap terima­
kasih yang banyak. Tanpanya Toni tak akan m erantau ,
tanpa kalimat darinya Toni tak akan kuat hidup gelandang-
an tanpa arah tujuan. Naela sampai kapanpun tetap tertanam
sebagai wanita yang selalu Toni damba meski bukan untuk
dibalas cinta, sebagai wanita yang dikenang meski karena
cinta terbuang, sebagai wanita yang memeluk hatinya meski
sebatas buaian angan dalam keabadian.
Setelah magrib Nenek seperti biasa memanggil lewat
jendela, "Toni!!!"
Terbirit meloncat dari ranjang Toni menghampiri, di
awah kehitaman langit berlari, di tangannya Qur'an masih
^enempel, sarung belum terlepas, "Iya bu."
fJ4 |z) Ouz"Karya 'Manila
"B ap ak ingin bicara denganmu, cepat sana! Bapak
menunggu di depan, kamu ganti baju dulu," Nenek seakan
memarahi.
Toni m enu ru t, ia kem bali ke belak an g, ke kamar
memilih baju putih yang terlipat rapi, sarung berganti celana,
rambut Toni sisir. Dugaan Toni Bapak ingin mengajaknya
pergi, bergegas Toni keluar kamar lewati jalan kecil terhimpit
taman, kemuning lampu indahkan warna mawar, suara air
jatuh ke kolam terdengar m endayu. Perlahan Toni buka
pintu bak gerbang, dari kayu jati berukir jepara.
"A ssalam u'alaikum ..." Toni menyapa.
"M a su k T on ," Bapak duduk m em baca buku
m enunggu.
Toni duduk, mendekat ke sisi Bapak, duduk Toni sedikit
m embungkuk.
B apak m elep as peci putih, m ulutnya mengecap,
matanya berkali-kali mengedip, "Kamu ingin menikah?"
Terkejut Toni mendengar, bingung Toni menjawab.
Bapak memberi pertanyaan beruntun, "Kam u sudah
ada calon? Atau mau bapak carikan?"
Toni sekali lagi bingung, "Belum pak, tapi saya ingin
bertemu seseorang."
"Di mana dia?" Bapak mengangkat alis m atanya.
"Dulu di Lampung pak, tapi sekarang saya tidak tahu
dia ada dimana," Toni menggaruk kepala.
"Dia perempuan?" Bapak ingin tahu.
"Iya pak," Toni mengangguk.
"Kenapa kamu tidak ajak saja dia m enikah..." Bapa
belum berhenti, tapi Toni sudah gelengkan kepala,
saya pernah katakan saya mencintainya, tapi dia meno
pak."
"Lalu untuk apa kamu temui dia?" Bapak heran.
"Ma'mun Affany \ fj $

"Saya ingin mengucap terimakasih padanya, dia yang


m enunjukkan saya ja la n untuk tetap bisa tenang, yang
memberikan saya pesan untuk menjaga do'a, tetap membaca
Q u r'a n ," Toni tertawa kecil, "Kebaikannya bagi saya terlalu
banyak pak."
"D ia berarti sekali untukm u?" Bapak m elihat mata
Toni.
Toni terseny u m m engen ang N aela, "S ay a tid ak
m u n g k in lupa pak, dulu ram but saya sebahu, tidak tahu
sholat itu bagaim ana yang benar, baca Q u r'an apalagi,
pengajian tak pernah datang, setiap malam saya balapan di
jalan, sem uanya..." Toni tak bisa melanjutkan.
"K am u b eru bah karena d irin y a atau untukm u
sendiri?" Bapak ingin tahu.
"Awalnya untuk dia pak, tapi waktu saya sakit dia
berpesan kalau berbuat hanya karena dia akan percuma. Tapi
saya tidak pungkiri saya ingin seperti dia," Toni tertunduk.
"Kamu masih ingin ucapkan terimakasih padanya?"
"Kalau ada rizki, ada kesempatan, walaupun saya telah
beristri, b era n a k pinak, saya tetap in g in m engu cap
terim akasih p a d a n y a," Toni teguh b ertek ad , kukuh
keinginan. H asrat Toni bu lat dalam hati, jiw anya sudah
terpatri.
Bapak berfikir sejenak, diam, memangku bantal, "O h
ya... baru ingat, ada surat untukmu," Bapak pergi ke kamar,
tak lama kembali datang, "Bapak lupa, sudah satu minggu
bapak terima."
Tergeletak di depan Toni amplop putih tertulis nama
Naela Khasna sebagai pengirim, hati Toni seketika berdebar-
debar, debaran tak karuan, Toni lan g su n g m enyobek
u)ungnya, dibuka dua kertas putih bergaris tipis.
fjb | zgJuzTiarja'XJanila
Assalam u’alaikum wr wb
Bagaimana kabar kakak di sana? Alhamdulillah Nae dalam
lindungan rahmat Allah bersama teman-teman yang selalu menjaga
menghibur, membuat Nae tetap merasa bahagia.
Nae mengupas senyum mendapat kabar dari kakak, Nae
senang rasanya bisa membaca tulisan kakak, ada kebahagiaan
tersendiri membaca rangkaian tulisan yang kakak berikan. Nae
berkali-kali tak lupa membuka-buka surat yang dulu kakak berikan
pada N aela, su rat itu ja d i teman N ae sekarang. Kalau Nae
membaca, N ae selalu terbayang bagaimana kak Eko mengaduh
sakit, kak Toni menolong, tergopoh-gopoh membopong, waktu itu
hujan, kakak ingat tidak? Tubuh kakak semuanya basah, kakak
lupa diri, lupa dingin, yang kakak fikirkan kak Eko seorang.
Waktu itu Naela melihat bagaiamana kak Toni mengangkat
kak Eko, halaman seperti putih terbasuh hujan, tanah tak tampak
hanya air menggenang, petir berkali-kali menyambar, tapi kak Toni
tak merasa, Nae mengintip dari balik jeruji jendela, Nae tidak bisa
lagi menyimpan kenangan itu kak.
Kakak jangan terlalu anggap Naela mulia, Naela juga punya
banyak kekurangan, Naela bukan bidadari dan kahyangan, Naela
hanya wanita biasa seperti perempuan lain, justru Naela melihat
kakak sebagai contoh, sebagai guru tanpa mengajar yang tak kenal
patah arang, yang tak pernah malu untuk jujur, kakak tak pernah
putus pengharapan walau Bapak selalu menampar, mengguyur-
Naela menangis saat tahu, Naela bersyukur punya keluarga utuh,
Naela bersujud, dalam sujud Naela ingat kakak, pasti sakit rasanya
ditampar sandal, ditampar Bapak sendiri.
Kakak jangan sedih ya... yakinlah kalau itu sebuah k asih
sayang terungkap bisu dalam diam.

Toni b erh en ti m em baca, tak m enyangka s e b u h r


airmata mengalir di pipi, Toni tak mengusap, entah d a r im a n 3
Naela tahu semuanya.
"Ma'munAffany \ f j f

Foto dari kak Toni Naela simpan baik-baik, Naela pajang di


meja belajar, Naela bingkai agar tegak. Naela tak membuang kak,
apalagi merobek. Kakak sudah ikhlas memberi tak meminta balasan,
Naela harus menjaganya dengan sepenuh hati dan raga, karena
Naela yakin kak Toni tak lepas dari Qur'an yang naela berikan
sebagai kenangan.
Kalau kak Toni belum bisa membaca, satu hari Nae akan
ajarkan, kalau kakak sudah bisa baca, satu h ari N ae ingin
dengarkan.
Ade' kirimkan fo to sebagai balasan untuk kakak simpan.
Ade' di sini selalu do’akan kakak...

Gugup Toni membuka kembali amplop, rasanya tak


mungkin N aela m em berikan fotonya, rasanya itu hanya
hayalan belaka, tapi seketika selembar foto terjatuh melambai
bak daun, Toni pungut, tam pak di m atanya paras Naela
yang sudah lebih bermakna dalam senyuman, berkerudung
hitam, dagunya tertopang tangan kanannya yang lentik,
dua m atanya seolah hidup m engedip , dalam h ati Toni
mengucap syukur, "N aela..."
"T oni..." Bapak sadarkan Toni yang terpengkur haru.
"Ini fotonya pak," Toni langsung menyodorkan.
Bapak seketika tersenyum, "Pantas kau jadi seperti ini
membaca suratnya," Bapak tahu yang dilihat Toni bukan
cantiknya, bapak pun merasa ada garis-garis berbeda di balik
diri seorang Naela.
"T o n i..."
Kepala Toni terangkat.
"Carilah dia," Bapak menganjurkan.
“Tapi Toni tidak tahu di m ana dia P ak?" Toni tak
melihat alamat pengirim.
"Lihat cap pos di amplop," Bapak menyuruh.
Toni telisik, "Lampung pak, Kalianda."
"D ia ada di sana," Bapak memastikan.
Toni mengangguk.
"Kapan kamu terakhir bertem u dengannya?" Bapak
ingin tahu, ada seulas senyum di bibir bapak.
"Dua tahun lalu pak," Toni masih membuka lembaran
surat.
Bapak menarik dompet, kartu ATM lima bank terselip
di dalam nya, bapak tarik salah satu, "Ton, hidup hanya
sekali, berikan makna untuk hidupm u, arti untuk setiap
langkahmu. Kalau kamu ingin bertemu dengannya pergilah,
bawa ini, kalau kamu butuh tinggal ambil berapa yang kamu
mau, bapak percaya denganmu."
Toni tertegun, "Bapak tidak apa-apa saya tinggal."
"Insya Allah bapak baik-baik saja," pak Professor yakin
akan k ead aan d irin y a, term an g g u t di b a lik kacam ata,
merapikan kembali kopyah putihnya.
~Ma mun Affany |

©
— Sebatas %ota —

R
asan y a m im pi bisa in jak k an kaki k em b ali di
pelabuhan Bakauheni, melihat laut lepas bertabur
buih kecil, perh atikan di ujung bukit lam bang
Lampung seolah mahkota di atas kepala penari, terbayang
seketika Rika, Eko, Naela, Aziza, tak lupa Bapaknya, dua
tahun ia tak hadir di hadapan mereka, mungkin semuanya
tlah berubah, sem uanya seakan m enjadi sosok baru di
matanya.
Lewati Kalianda berdesir hatinya, melongok wajahnya
ke sisi kanan, m em andang satu ja la n m asuk, in gatkan
kenangan bersama Eko naik truk bersama, terbayang Naela
Khasna, ia ada di dalam sana, ia ada di ujung jalan, di dalam
sebuah bilik pesantren, di balik lindungan sang Kyai. Toni
tak berh enti, ia in gin b ertem u R ika, Eko, dan Bapak.
Dilihatnya matahari yang terus merangkak naik, diliriknya
jalan berkelok, sebentar lagi ia akan sampai.
Bibir Toni m enyungging senyum m elih at deretan
rumah, warung yang dulu Toni jadikan tem pat sarapan,
ternPatnya berhutang, tak ada yang menyapa Toni, semua
I8 0 |ZCj Juz T-tarcja 'W anita
seperti m elihat orang asing dari kota, di punggung Toni
m elekat tas, di depan ru m ah Eko Toni m engetuk,
"Assalamu'alaikum.
"W a'alaiku m salam ..." Eko sendiri yang menjawab,
Toni tak pernah lupa suara itu.
Saat m embuka pintu Eko terkunci bisu, ia terpaku
berdiri, Eko bersarung, berkaos hitam, rambutnya belum
disampo, di depannya seorang yang akrab di kepalanya, ia
tak akan pernah lupa orang yang berdiri di hadapannya,
tapi Eko tak percaya, baju toni putih rapi terlipat lengannya
tiga kali, jam tangan berwarna perak melilit di pergelangan
kiri, celana kainnya tin ggalkan garis setrika, wajahnya
bersih, ram butnya berm inyak, tak m ungkin rasanya Toni
menjelma menjadi orang yang ada di matanya.
"Gimana kabarmu Ko?" Toni menyapa, dijatuhkan tas
dari punggungnya.
Eko tersenyum, "Apa aku bermimpi?"
"Tidak Ko, ini tem anm u..."
"Yang dulu angkat batu bersamaku?" Eko sangsi.
Toni mengangguk, "Aku Toni Ko."
"Ibu! Bapak!" Eko seperti melihat calon istri, begitu
sumringah wajahnya, ia panggil Ibu dan Bapaknya, "Ibu!
Bapak!" I
Ibu berlari, "Ada apa Ko? Kok kamu teriak-teriak?
Ibu selipkan ujung sarung, Bapak menyusul.
"Lihat siapa yang datang?" Eko menunjuk.
Ibu Bapak mengingat-ingat, melihat seseorang berdin
senyum di depannya, Ibu ingat, "Toni?"
Toni m engangguk.
"Ya Allah nak," Ibu peluk Toni, lupa tangan n ya bas
dari kamar mandi.
Toni salami Bapak.
"M asuk Ton, duduk," Ibu mempersilahkan.
'Ma'munAffany \ iB l

Eko berlari, ia ingin cepat panggil Rika, ia lupa dengan


sand alnya, berlari di atas jalan bebatuan, menginjak lantai
rum ah R ika tak peduli kakinya sisakan jejak tanah, "Rika!"
Eko ketuk pintu tak mengucap salam.
"Rika!" Eko tak sabar, mengintip dari jendela.
Pintu terbuka, "Rika ayo ke rumahku sekarang," Eko
menarik tangan Rika.
Rika m asih bercelana pendek, "Ada apa K o?" Rika
melepas tangan Eko.
"Toni d atan g dari Ja k a rta ," Eko b eg itu b ah agia
mengucap.
"Kamu serius Ko?" Rika langsung ikat rambutnya.
"Aku tidak bohong K a," Eko terengah-engah.
Rika berlari m asuk, cepat m em akai Rok, dibasahi
wajahnya, dielap handuk agar terlihat merona, berdua lari
kecil tak sabar ingin berkum pu l bersam a belah an jiw a
mereka, teman kecil yang selalu membuntut mereka berdua,
yang tak pernah punya buku dan uang jajan.
"Bagaimana dia sekarang Ko?" Rika tak sabar.
"Lebih baik kamu lihat sen d iri," Eko tak sanggup
menjawab.
Sampai di rumah Eko hati Rika berdebar meski pintu
terbuka lebar, ia melihat di hadapannya seorang Toni yang
melepas m asa lalu n ya, yang tersen y u m santu n, tak
tampakkan giginya, yang rapi, Rika bahagia m emandang
sampai tak bisa m engucap kata, di depan Toni m atanya
berkaca, "Ton."
Toni berdiri, salami Rika, dicium tangannya, ia sudah
^nSgap Rika kakaknya. Rika m enggeleng, begitu horm at
m sekarang, begitu merendah dirinya sekarang. Rika ingin
emeluk, tapi tak sanggup. Rika, Eko, dan Toni duduk di
lantai K
°ersam a, di b eran d a ru m ah n ikm ati h ari m ulai
UP, mereka m elingkar bersanding kacang, tapi tak
fS z | Zg Ouz T-iarija 'W anita

satupun yang makan, Toni bersilah, Eko dan Rika memeluk


lututnya.
"Bagaim ana Bapakku Ka?" Toni ingin tahu sebelum
menjenguk.
"L e b ih baik kau lihat sendiri Ton," Rika tak bisa
m enjelaskan.
"K alian tak pernah menjenguk?" Toni pandangi Eko
yang m enunduk.
"K ita datang ke rumahmu hanya karena ada kamu
Ton," Eko menarik nafas, "Aku tak mau ditampar."
M elayang terbang fikiran Toni pada masa lalunya,
ingat setiap m alam Bapaknya dengarkan lagu merenung
sendiri, Toni berkedip berkali-kali.
"K enapa kau pulang Ton?" Rika ingin tahu, "Pasti
ada sesuatu."
Toni mengusap rambutnya yang basah, ia melirik ke
jalan, melihat anak kecil berlari mengejar kucing, "Naela..."
Seketika terhembus nafas panjang dari Eko dan Rika,
mereka lelah mendengarnya, Eko heran, "K au masih saja
ingat Naela Ton."
"Selalu Ko, selamanya," Toni mengawang pandangan.
"K au ingin mengejarnya untuk kesekian kali? ingin
bermain-main dengan nasib cintamu yang tak pem ah pasti?"
Eko ingin Toni tak lupa diri.
"Aku ingin mengucap terimakasih padanya, kalau bisa
aku ingin cium kakinya, aku tak mungkin b i s a s e p e r t i mi
tanpa bim bingannya," Toni tak berbohong, "Kalau t a k a d a
pesan darinya mungkin aku sudah jadi pencopet di J a k a r t a ,
kalau tak ada perhatiannya mungkin aku sudah lupa a p a
arti kebaikan dan kesabaran, aku terus belajar darinya w a la u
tak pernah berjum pa."
R ika tajam m em andang Toni, "K au m a s ih ingat
wajahnya Ton?"
"Ma'mun Affany \ <8$

T o n i tersenyum , "Bagaim ana aku bisa lu p a," Toni

rnengeluarkan dompetnya, foto Naela terpampang beralas


s e n y u m a n , "Aku selalu memandangnya."

Eko heran, ia bingung, "D ari mana kamu dapatkan


ini Ton?"
"Dia membalas suratku, dia berikan foto ini untukku,"
Xoni tak henti tersenyum.
"Rasanya cintamu tlah bersemi di hatinya, lebih baik
kali ini kau katakan lagi Ton," Eko melihat foto Naela, tak
sedikitpun Eko melepas.
Toni menggeleng, "Foto ini bukan berarti harapan Ko,
kita tidak pernah tahu dalamnya hati perempuan, rahasia
yang selalu tersim p an dalam hatinya, aku hanya ingin
bersyukur bisa mengenal Naela, aku ingin bertemu ucapkan
terimakasih padanya."
Rika menoleh, "Kau tahu di mana Naela sekarang?"
Toni m enggeleng, "Aku tidak tahu pasti, tapi dari
suratnya ia m asih tin g gal di Lam pung, m ungkin di
pondoknya, mungkin di rumahnya di Rajabasa."
"Kapan kau akan berangkat m encarinya?" Eko ingin
tahu.
"Setelah ini Ko, setelah aku jenguk Bapakku," Toni
tatap foto N aela di dom petnya, m em andang dua bola
matanya, mencermati keindahannya. Ia berdo'a semoga Al­
lah mempermudah jalannya.
Toni tak sempat makan siang, ia berjalan ikuti arah
menuju rumahnya, ia sendirian, Eko dan Rika tak ikut. Dari
jauh rum ahnya yang kusam terlih at je la s, rum ah yang
Sernakin usang. Berhenti sejenak Toni di tengah jalan sekedar
Mengingat dahulu setiap pagi selalu disiram, terbayang di
Matanya Bapak yang kasar. Jendela terbuka, berkaca plastik
SePerti dua tahun silam, lantai masih beralas tanah, tanpa
rr,engetuk Toni buka pintu, tampak di dalam Bapak duduk
i&4 | Z<j Juz TJarcja 'Wanita

sen d irian di atas kursi berk ak i tiga, jan g gu tn y a leb at


kumisnya tebal. Toni baru sadar Bapaknya beranjak tua
Toni m endekat, salam i tangan kanan Bapaknya, dicium
berkali-kali, Bapak tampak kurus, kulitnya kusut.
"Bapak, ini Toni," Toni menyadarkan.
"Bapak tahu, Bapak tak m ungkin lu pa," Bapak tak
pandang anaknya.
"M an a rad io B ap ak ?" Toni in gin tahu, matanya
menelisik ke setiap sudut tapi tak jua menemukannya.
"R a d io Bapak sudah rusak Ton," Bapak mencoba
tersenyum, rambutnya sudah beruban, umur bapak sudah
lima puluh delapan tahun.
Toni membuka tikar, ia duduk dekat kaki Bapak tak
bersandal.
"W aktu kamu pergi ada perempuan datang ke sini,"
Bapak mulai bercerita.
Toni terhenyak, "Rika? Anis?"
B apak m enggelen g, "D ia berk eru d u n g, dia baik,
cantik, dia temani Bapak sebentar, dia bercerita dekat Bapak,
dia in gin tahu tentangm u, dia ingin d engar segalanya
tentangm u."
"Siapa namanya Pak?"
"N aela... Naela Khasna, nama yang bagus sekali Ton.
Kau sangat beruntung mengenalnya, sangat beruntung bisa
dekat dengannya, dia sepertinya tak sembarangan m e m i l i h
pria, tak sembarangan nama laki-laki tersimpan d i hatinya,"
Bapak angkat dua kakinya ke atas kursi.
Aneh Toni mendengar, tak m ungkin rasanya Naela
datang, tapi tak mungkin jua Bapaknya berbohong, s e k a s a r
apapun Bapak tetap jujur, "Untuk apa dia datang Pak?"
"Tadi Bapak sudah katakan, dia ingin tahu tentang'
mu, niatnya baik Ton, dari awal dia datang sudah u c a p k a n
keinginan, dia rela duduk di atas tikar walau Bapak mint®
~Ma'munAffanij \ l 8 j
^ ia d u d u k di sini," tangan Bapak menepuk kursi tiga kaki,
" V V a n ita seperti Naela hanya ingin dekat pada seorang pria
setelah ia tahu benar tentangnya. Dan dia rela datang sendiri
rumah ini hanya untuk tahu siapa dirimu."
"Bapak cerita apa adanya?"
"Apa adanya Ton, kau yang selalu Bapak tampar, yang
s e l a l u Bapak sampingkan, yang selalu Bapak siram ."

Toni menunduk, "Bapak tak malu cerita seperti itu?"


Bapak terdiam, wajah Bapak berpaling.
Lama berdua membisu, tak kunjung ada suara, Bapak
hanya duduk, ingin ia belai anaknya yang sudah besar tapi
malu tangannya bergerak, ingin ia tanya cerita di Jakarta
tapi malu surat tak ia balas.
"Memandang Naela sama artinya mengingatkan Aku
akan Ibumu," Bapak mengenang.
Toni terhenyak, ia dengarkan cerita Bapaknya.
"Dulu Bapak tak miliki semangat hidup, dulu Bapak
hanya bisa m elam un, selalu putus asa kalau bekerja dan
gagal, tapi semenjak ada Ibumu Bapak tak tahu kenapa selalu
tersenyum walau m asalah datang menumpuk, tak pernah
Ibumu marah, tak pernah Ibumu salah, kalau Bapak bersalah
yang ada hanya rasa m alu, dan Ibum u selalu
memaafkannya," mata Bapak berkaca, tapi tak terjatuh.
"Apa pesan Bapak untuk Naela?" Toni ingin tahu.
"Sebelum dia pergi Bapak hanya ingin dia menjagamu
agar kau tahu bagaimana indahnya ketulusan cinta seorang
wanita," Bapak pandang daun bergugu ran dari lubang
jendela.
"Apa Naela tulus pak?" Toni coba buka hatinya.
“Ton, coba kamu ingat siapa yang sudi masuk rumah
lru? Siapa yang sudi menyapa Bapak di sini? Siapa yang rela
dyduk bersama di atas tikar lusuh itu?" Bapak menunjuk
e bawah, "Rum ah ini pengap Ton, Bapakmu sedikitpun
<86 | z q 9uz T-tarya 'Wanita

tak punya kehormatan, kalaupun kau sebut nenek moyang


tak ada yang dibanggakan, Bapak sampai heran, apa yang
Naela lihat darimu? Awalnya Bapak mengira dia ke sini hanya
untuk berm ain/' Bapak diam sejenak, "Ternyata tidak, Naela
sampai sudi merebus air untuk Bapak."
Toni melihat ada perubahan pada diri Bapaknya.
N a e la ... N a e la ... sebenarn y a siap a dia? Apakah
malaikat begitu sempurna menciptakannya? Apakah dewa
rindu ada dalam h atinya? Setiap orang bertem u selalu
mengenangnya, setiap orang yang pernah bicara tak lupa
dengannya. M uncul dalam hati keinginan tertinggi tuk
m engucap terim ak asih pada N aela. N aela sed ik it tlah
membuka mata Bapaknya, merijadikan ia tahu secuil cerita
Ibunya, bertemu Naela sama artinya bertemu jiwa Ibunya.
Toni pam it pada Bapak, ia in g in tem ui Naela,
mengucap rasa terimakasih.
"Salam untuk Naela Ton. Sampaikan kata maaf dari
Bapak," Bapak berpesan sembari menyandar ke lubang pintu.
Toni mengangguk, salami Bapak mencium punggung
tangannya. Dilihatnya langit begitu cerah, awan merambat
ja la n , jam d in d in g m asjid m enu nju k angka satu, tas
punggung tak tertinggal, sudah cukup baginya menjenguk
bum i Kuncip nan hijau. Rika, Eko, Bapak sudah dilihat,
sudah bercakap dengan mereka, kini hanya tertinggal satu
nama, Naela Khasna.
M em ang bukan cinta yang in gin diucap, sebatas
mengucap syukur, tapi Naela bukanlah Rika, bukan pula
Nenek, di depan Naela semua kata terlupa, di depan N a e la
jantung tak tentu berdebar, di depan Naela pujanggapu*1
akan kehabisan sejuta kata manisnya. Dalam hati Toni s e la lu
berdo'a, "Pertemukan dirinya dengan Naela untuk s e k a l i in *
saja."
"Ma mun A ffa ry \ i S j

Bersama Eko Toni putuskan pergi bersama ke pondok


f v ja e l a , mungkin ia ada di sana, mungkin ia sedang duduk

m e n g h i t u n g dzikir di masjid, sampai di pesantren tepat jam

empat, pondok semakin megah, asrama panggung tak lagi


empat' sudah b erta m b ah m enjad i lim a, ada gedung
b e r t i n g k a t , kursi-kursi tercipta di baw ah rindang pohon

a s a m sebagai tempat santriwati berkelakar, bercanda, tampak

g a d i s berselubung kerudung tersenyum di pelataran masjid,

b e r m a i n kertas, m elip atn y a beru lan g-u lan g , m elayang

k e m b a l i fikiran Toni pada seorang Naela Khasna.

"A ssalam u'alaikum ..." Toni m engetuk pintu rumah


pak Kyai, Eko berdiri dekat Toni, Rumah pak Kyai tak banyak
berubah, lantai tetap bertegel hitam, kursi tetap dari kayu
jati.
"Assalamu'alaikum," tangan Toni kembali mengetuk
kedua kali.
"W a'alaikum salam ..." terbuka pintu secuil memberi
celah untuk mengintip, tampak satu wajah menyembul, tapi
Toni tak mengenal, Ekopun tak pernah melihat, bukan Aziza,
bukan pula Naela.
"Bapak ada?" Toni tak ingin berlam a-lam a, hatinya
tlah m enyebut N aela beru lan g-u lan g tak terh itu n g jari
tangan.
"Bapak pergi," gadis berkerudung tak membuka pintu
lebih lebar.
"Naela ada?" Toni tak canggung.
"Naela?" mata sipitnya memicing seolah tak kenal.
"Naela Khasna," Toni meyakinkan.
Gadis di b a lik p intu sem akin tak je la s m atanya
mengawang, tan gan kan an n y a m enarik kerud u n g ke
belakang.
Toni resah, bibirnya mengulum gelisah, Eko menyela,
Aziza ada?"
iSS |zgOuzKarya'Wanita
Gadis berdagu terbelah mengangguk, "Ada."
"Ijinkan kami bertemu dengannya," Eko lebih tenang
"S ila h k a n d u d u k ," gadis ketu ru nan Cina
mempersilahkan, pintu tertutup rapat.
Toni dan Eko duduk berd am p in g an , tapi Toni
sedikitpun tak bisa diam, "Di mana dia Ko?"
"Sab ar Ton, jangan terlalu gelisah," Eko pandangi
wajah Toni.
Tak lama dari balik pintu Aziza muncul, roknya hitam
m enutup m ata kaki, bajunya putih, kerudungnya putih,
dagunya lancip, "Assalamu'alaikum," Aziza menyapa.
"W a'alaikum salam ..." Toni menjawab.
Sebelum duduk Aziza lipat sedikit roknya ke bawah
paha, "Kapan kak Toni datang?"
Aziza tak lupa dengan Toni, "Alhamdulillah tadi pagi."
Eko heran, "Bagaim ana kamu tidak ragu kalau ini
Toni?"
"Bagaimana Iza harus terkejut, Iza pernah melihat foto
kak Toni waktu di Jakarta," Aziza tersenyum.
Toni terperanjat, "Kam u tahu isi suratku?"
"H afal, sebelum Naela menerima Iza membacanya,"
Aziza membenarkan lipatan kerudung di kening kanan.
"M aksudm u?" Toni tak mengerti.
"Sebelum surat itu Naela terima Iza baca, karena b u k a n
hanya satu surat yang terkirim untuk Naela, ada p u l u h a n ,
Naela percaya pada Iza, Naela meminta Iza untuk b e r i k a n
surat yang benar-benar pantas untuknya," Aziza b e r g e s e r
sed ik it, "K a k Toni setid aknya tahu bagaim ana N a e l a ,
bagaimana polosnya dia, bagaimana baiknya dia, t a p i I z a
sendiri tak sudi jika ada laki-laki yang ingin m e n d e k a t i n y a
hanya karena nafsu belaka." ,
Aziza menarik nafas panjang, "Hanya surat dari kak
Toni yang Iza kirim untuk Naela."
Ma'mun Affany \ l8ty

Berdetak tak menentu jantung Toni mendengar cerita,


dada kembang-kempis tak terhitung angka, Toni tak tanya
s e b a b n y a , tak tanya alasan, "Di mana Naela sekarang?"

"U ntuk apa kak Toni ingin bertem u dengannya?"


balik bertanya.
A z iz a
"Aku hanya ingin ucapkan terim akasih atas segala
keikhlasannya peduli padaku dan keluargaku," Toni tak
berniat lain.
T iba-tiba ada san triw ati m en g an tar air putih,
pem bicaraan terp u tu s sejen ak, nam u n tak satu p u n
menyentuh.
"B oleh tahu alam at ru m ah n ya?" Toni ingin cepat
bertemu, sem akin dia tahu akan N aela, sem akin ingin ia
mengucap syukur padanya.
"Dia tidak di rumah," Aziza tegas menjawab.
"K apan N aela tinggalkan pondok in i?" Toni terus
ingin tahu.
"Dua bulan setelah kakak pergi ke Jakarta. Tepatnya
setelah Naela datang sendiri ke rumah kak Toni," Aziza masih
ingat, semua tertulis rapi dalam ingatannya.
Eko terk eju t, ia sen d iri tid ak tahu, N aela seolah
menyelinap ke desanya.
"Tolong beritah u di m ana N aela sekaran g ?" Toni
rftemohon.
Lama Aziza terdiam, "M aaf, Iza sudah berjanji pada
Naela agar tak beritahu pada siapapun."
"Termasuk diriku?" Toni menunjuk dirinya sendiri.
Aziza mengangguk.
'A ziza... kakak mohon dengan sangat, untuk sekali
n i s a ja , kebaikannya terlalu banyak, tak terhitung, gadis
SePerti N aela sudi m enjengu k, rela b erik an n aseh at,
^ n je n g u k Bapak, m em balas surat hanya untuk orang
ePertiku," dua tangan Toni m engum pul di dada, "Aku
1CJ0 |zg 9uz 7/arja 'hJanita
masih merasa bersalah padanya, aku ingin bertemu untuk
menebus semuanya."
"M aaf kak, Iza sudah berjanji pada N aela," Aziza
menggeleng.
Eko coba membantu, "Iza pasti ingat bagaimana dulu
Toni berusaha untuk mengenal Naela?"
Aziza mengangguk.
"Iza pasti ingat bagaimana temanku dulu jatuh sakit
hanya karena N aela."
Aziza mengangguk.
"Sekaran g tem anku sudah tahu siapa dirinya, apa
m artabat yang ia punya, berapa hina dirinya berbanding
Naela, keinginannya sekarang begitu sederhana, untuk me­
ngucap terimakasih, hanya itu, tidak lebih," Eko meyakinkan.
"Kenapa tak tulis lewat surat?" Aziza belum menerima
alasan.
"Harga dari ucapan itu akan berbeda Iza," Eko terus
m enjaw ab, "C o b a Iza in g at berap a kali Toni berjumpa
dengan Naela, berapa kali Toni bisa bercakap padanya, semua
tertolak, tak diterim a. Dan sekarang ia tahu kenapa dulu
Naela tak mau membalasnya, ia sudah tahu kadar dirinya,
ia sudah tahu alasannya, ia m em ang tak pantas untuk
Naela," Eko menarik nafas dalam, "Tapi apa tak pantas bagi
temanku mengucap terimakasih pada Naela?"
Aziza terdiam.
Toni ingin Aziza mengerti, "Iza... seberapa hina diriku
sampai kau tak sudi memberitahu?"
"Bukan itu kak! Bukan!" Aziza setengah k e t a k u t a n -
"Aku memang bukan orang terhormat Iza, tapi aku
ingat Naela sudi m enjengukku..." Toni ingin A z iz a t a h u ,
"Tolong mengertilah akan diriku."
'Ma'mun Affany \ f t f f

A ziza b im ban g, gam ang, b e rk a li-k a li dua katup


bibirnya bermain, matanya berulang terpejam, "D ia ada di
s a la h satu pesantren di Kediri."
Eko tak menerima, "Hanya itu Aziza?"
"M aaf tak bisa lebih, semakin banyak aku beritahu,
s e m a k i n banyak aku ingkari janjiku pada Naela."

Toni m em aham i, "T erim ak asih Iz a ... terim ak asih


b a n y a k , do'akan aku agar bisa menemukan Naela."
1 ^2 | 2t) 9uz "Harja 'W anita

— M encari Dan Terus 'M encari —

G
emuruh ombak menghempas dinding pelabuhan
te rd e n g a r n y a rin g , a n g in b e rtiu p kibarkan
ujung baju, h antarkan p ercikan lau t menerpa
wajah penunggu kapal merapat. Laut tampak hitam di awal
m alam, adzan Isya seolah menem bus batas-batas di atas
hamparan air laut, sorot lampu dari mercusuar menerobos
kegelapan, di atas jem batan penghubung pelabuhan dan
kapal Toni berteman Eko memandang jauh ke pulau Jawa
tempat Naela kini berada.
Eko berdiri tegak m enyandar tiang, Toni setengah
bungkuk duduk di pagar, ia tak tahu arah, tak pasti a l a m a t ,
merambah Kota Kediri tak pernah, tapi secuilpun tak ada
kata m undur meski selangkah ke belakang, ia tak tahu
bisikan apa yang meracuni dirinya, tapi hati dan nurani tla
sepakat tuk mencari Naela Khasna. J
"Kau masih tetap akan pergi Ton?" Eko ragu, kapal
tampak mulai merapat.
Toni mengangguk, "Aku mohon do'anya Ko."
JAa'mun A ffa ry | 1 tfi

Tangan kiri Eko m em ijat pundak kanan Toni, "Aku


akan do'akan selalu Ton. Tapi yang aku tahu Kediri bukan
hanya m enyim pan satu pesantren, tapi puluhan, bahkan
bisa ratu san," Eko iba pada Toni, "D ari m ana kau akan
memulainya Ton?"
Toni m enghela nafas panjang, tegakkan tubuhnya,
suara lan g kah kaki terd en g a r m enyela p em bicaraan ,
penumpang mulai berjalan menuju kapal, "Aku sendiri tidak
tahu Ko, tapi aku yakin Allah maha adil. Kalaupun pertemu-
an ini m em ang yang terbaik, aku pasti tem ukan N aela.
K alau p u n tidak, sam pai kap anp u n aku hanya bisa
m engenangnya."
Eko seketika tersenyum.
"Kenapa tersenyum Ko?" Toni heran.
"Aku in g at d irim u yang dulu, kau tak p ern ah
mengucap kalimat seperti itu, kau selalu katakan aku pasti
bisa, tapi sekaran g aku tem ukan Toni yang la in ," Eko
menepuk bahu Toni.
Toni hanya diam.
"Kau lebih baik sekarang, lebih rapi, lebih tenang lebih
tampan, Naela pasti senang melihatmu, Naela pasti terharu
denganmu," ada rasa bangga miliki teman seperti Toni.
"Tut!!!" kapal fery berniat tinggalkan Bakauheni.
"Aku titip Bapakku Ko, aku lihat dia kurus sekali, aku
titip padamu," Toni tinggalkan pesan.
Eko mengangguk, "Sam paikan salamku pada Naela
Ton."
Berdua saling memeluk, Eko merasa akan lebih lama
'agi tak berjumpa temannya, terlebih Naela, mungkin Eko
tak bisa lagi menemukannya. Eko sendiri ingin berjumpa,
lngin dengarkan kata dari Naela yang seolah setetes embun
' tar>ah gersang.
f$ 4 | 2fj 9uz Uarija 'Wanita

Toni melepas pelukan berjalan mundur, ia berikan karcis


pada penjaga, turuni tangga injakkan kaki di tepi kapai
menyandar pagar Toni lambaikan tangan pada Eko yang tak
henti memandang. Berdua terpisah jarak, tertelan gelap, suara
yang ada hanya d esir om bak, tiupan angin. M ata jauh
memandang terbalas kelip lampu di mercusuar dan pelabuhan
Toni duduk pandangi atap laut dari balik kaca, di hatinya
selalu berdo'a, "Pertemukan diriku dengan Naela betapapun
sulit jalannya, bagaimanapun terjal rintangannya."
Di Jakarta Toni tak mampir ke tempat Nenek, malam
itu juga dengan bis Pahala Kencana Toni berangkat ke Kediri.
Yang patut disyukuri ia duduk di sebelah santriwati, tak
ditemani Ibunya, sudah ham pir lulus SMA, meski malam
tak tertelan tidur, berm andikan secuil cahaya di atap Toni
coba ajak bicara.
"Ade' sudah lama mondok di Kediri?"
Kursi dalam bis 2-2, "Alhamdulillah sudah empat tahun."
"Ade' tahu ada berapa pondok di Kediri?" Toni sedikit
condongkan badan ke kanan.
Gadis berkacamata tersenyum di atas getaran bis yang
mulai masuk tol Cikampek, "Banyak mas, tidak terhitung."
Toni terdiam, kata Eko benar, Kediri kota pesantren.
Di mana Naela? Di pondok mana dia berada?
"M em ang ada apa mas? Sepertinya bingung sekali,
gadis di samping Toni balik bertanya.
"Saya mencari seorang perempuan, dia ada di sa la h
satu pondok di sana," suara Toni tak bersemangat.
"Boleh tahu nam anya?"
"Naela, Naela Khasna," Toni memandang ke depan-
"Saya pernah dengar nama itu," gadis di samping Tom
menyangga kepalanya ke sandaran kursi.
"D ia lebih pendek dari saya em pat jari, tu b u h n y

seperti A de'," Toni terus berikan petunjuk.


~Ma'munAffany \
"N anti m as," gadis berkerudung putih m emotong,
"Lebih baik mas lihat orangnya. Kalau mas berkenan nanti
ikut saya."
"Tapi ade' benar-benar pernah mendengar nama itu?"
Toni tak sabar.
"Iya. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah Naela
yang saya kenal adalah N aela yang mas ca ri," gadis di
samping Toni meredam gejolak tanda tanya pada Toni.
Toni tak bisa tidur, malam itu ia lewati dengan harapan
Naela mudah ditemukan. Tak ada rasa lapar, tak ada rasa
haus, yang tertanam hanya Naela seorang. Tiba di Kediri
tepat dhuhur. Toni baru sadar begitu banyak pesantren di
Kediri. Adzan di angkasa bersahutan dengan indahnya,
seolah lan g it penuh te risi su ara. Ada m enara tam pak
menjulang, itu salah satu pesantren, ada tiga kubah besar,
semua masjid pesantren, di terminal sudah terlihat dua papan
menunjuk pesantren. Kiri ke Lir Boyo, kanan ke Ploso. Toni
tak tahu dari mana harus memulai, tapi sebagai awal Toni
ikuti Wati, gadis yang m erasa pernah m endengar nam a
Naela. Ia santriw ati di satu pondok dekat Lir Boyo, Toni
bertas punggung ikuti langkah kakinya.
Toni baru sadar pondok Naela yang dulu begitu kecil,
ia lihat pondok dengan gedung-gedung bertingkat menatap
jalan, dengan hilir mudik satri bersarung tak pernah padam,
dengan lalu-lalang santriwati tak pernah berhenti, di setiap
jalan tam pak la k i-la k i bersaru n g , berkopyah , d iselin g i
perempuan berkerudung berok lebar. Toni diminta duduk
di ruang tamu, ia tak boleh masuk, ia ditem ani beberapa
orang tua m enjengu k anaknya, Toni d ilip u ti h arap an
Pencariannya tak akan panjang.
Wati m embawa tem an, "A ssalam u 'alaik u m ..." dua
tangannya hanya menyalami dari kejauhan, bertiga duduk
atas lantai beralas karpet merah.
1^6 | 2 $ 9uz Uartja "Wanita

"W a'alaikum salam /' Toni benarkan duduknya.


"Mas mencari Naela?"
"Iya, Naela Khasna," Toni ingin memastikan.
"Asalnya darimana?" teman Wati lebih gemuk sedikit
pinggulnya menopang badan.
"D ari Lam pung," Toni tak ingin salah.
"D i sini ada tiga santriwati bernama Naela, ada satu
bernam a N aela K hasna, tapi dia dari Surabaya, bukan
Lampung," teman Wati tersenyum menjelaskan.
"B o le h saya bertem u dengan N aela K hasna dari
Surabaya?" Toni belum percaya.
Teman Wati mengangguk, meski tampak secuil kesal
tersungging di bibir, ia pergi memanggil, hampir tiga puluh
menit tak kembali, Toni berputar pandang menelisik tiap
sudut p esantren , Toni lih at di depan ada ju ga pondok
pesantren, pintunya tertutup rapat, tertulis "D iasuh oleh
Kyai M aghfur". Perut kosong belum terisi, kerongkongan
kering diguyur seteguk air, Toni dengar di sekelilingnya
ocehan rindu anak pada orang tua, ia hanya duduk bersilah
m em egang botol air minum, m enunggu dan menunggu
sembari meneguk perlahan sampai botol kosong.
"Assalamu'alaikum," Wati kembali, kali ini bertiga.
Toni angkat wajahnya, satu gadis baru, jelas bukan
Naela yang dicarinya.
Bersama mereka duduk menghadap Toni, "Ini Naela
Khasna."
Toni menggeleng, Naela bukan gadis di depannya, ia
sedikit lebih tinggi, lebih gemuk, m atanya terlalu si pit,
pipinya tak busung, ia tak tersenyum seperti salam Naela
padanya, caran ya duduk sudah berbeda, tak s e a n g g u n
angsa, tubuhnya tak tegak, Naela padi yang tua, gelengan
Toni tak berhenti, "Ini bukan Naela yang kucari."
"MamunAffany \ ity]

Harapan yang patah jadikan perut terasa lapar, ia tak


lupa sholat di masjid, membaur bersama santri yang duduk
^ e n y a n d a r dinding dan tiang m enghafal A1 Q ur'an, ada
„ tid u ran , atau membuka kitab kuning. Toni sempatkan
sejenak membaca A1 Qur'an pemberian Naela, ia ingin Naela
mendengar teriakan di hatinya, ia ingin hati Naela bergetar
m erasa ada seseo ran g yang beru sah a sep enu h nyaw a
tem ukan dirinya, kalau Naela mendengar datanglah agar
tak sulit Toni melangkah, jika tak sudi berilah petunjuk agar
Toni bisa bedakan Utara dan Selatan m enunjuk di mana
seorang Naela Khasna tinggal.
Toni pandangi langit lekat-lekat, terik menimpa ujung
menara masjid, suara sandal bakyak sesekali terdengar. Toni
tak berfikir bagaimana nanti malam ia tidur, di bawah atap
apa ia harus berlindung jika hujan, niatnya sedari awal terus
tertanam, Toni tak henti mencari.
Toni datangi kantor polisi di perempatan Doho, tanpa
ragu ia bertanya, "M isi pak, ada berapa pondok pesantren
di sini?"
Polisi seketika terkekeh, perut buncitnya bergerak
turun naik, "B anyak mas, mau apa du lu ?" Polisi di pos
berdiri tegak, kacamata hitamnya melekat digenggam.
Toni tak malu bercerita maksud kedatangannya di kota
Kediri, ceritak an seorang N aela K h asn a, sam pai p olisi
terdiam, terkunci dalam pertanyaan kebenaran cerita, tapi
ada satu p o lisi m end ek at, " M a s ," tan gan kanannya
merangkul mengajak duduk.
Toni lepas tas punggungnya.
"D i sini ada lebih dari dua puluh pondok pesantren,"
papan nama tertulis Gunawan, ia m enarik satu lembar
Bertas dari tumpukan di atas meja, ia tulis satu persatu beserta
daerahnya, "Hanya ini yang bapak tahu, kalau tidak salah
rriasih banyak lagi yang lain, belum pondok yang kecil-kecil."
1C)S | z g 9uz Uartja 'W anita

Nafas Toni terhenti, ada dua puluh em pat pondok


pesantren yang tertulis. Entah kekuatan dari siapa, Toni
seolah lupa sisa tenaganya, ia lupa semalam tak tidur, ia lUpa
gemeletak tubuhnya tlah berubah sakit, di samping j alan
Toni baca u lang k ertas p em berian pak Gunaw an, Toni
memilih satu pondok, "H idayatul M ubtadi'in".
Dari satu angkot pindah ke angkot lain, dari stadion
Brawijaya ke Rejoso, jalan kaki jika tak ada lagi kendaraan
Peluh mengalir di wajah tak lagi Toni hapus, jika haus Toni
beli Aqua gelas, diteguk sekali habis. Selalu tergambar di
matanya sosok Naela, jika terlupa sedikit saja dari paras Naela
Toni akan buka dompetnya.
K esulitan yang Toni temukan di pondok Hidayatul
M ubtadi'in tak jauh beda, ia pasti ditanya ada hubungan
apa dengan Naela, tak boleh tamu laki-laki begitu mudah
bertemu santriwati, Toni tak menjawab saudara, Toni selalu
ceritakan dari awal, dari dulu semenjak Toni sakit sampai ia
sudah bisa baca A1 Qur'an. Toni tak pernah malu, begitulah
adanya, Toni jelaskan niatnya, jika masih tak percaya Toni
berikan surat dari Naela.
Nama Naela memang banyak, bukan satu perem puan
ternama Naela, setiap pondok lebih dari satu, Naela Khasna
juga ada. Kadang ada yang tak percaya akan niat tulus Toni,
diusir paksa, m erontapun tak bisa, em pat orang sa n tri
memegangnya. Toni pindah ke pondok lain, tak tahu waktu,
tak pernah lelah, wajah menghitam ia tak pedulikan, satu-
satunya penghibur sebatas A1 Qur'an dari Naela, ia baca di
tengah p en carian , ia buka m engin gat setiap k e n a n g a n
bersama, Naela, ia kadang mencium memohon sangat untuk
bisa temukan Naela, ia yakin Allah maha adil, m ah a tahu
kehendak hambanya.
Malam mulai menelan dunia, Toni pindah ke m a s jid ,
berbantal tas ia tertidur, ia seolah kembali seperti saat pertam a
"Ma'mun A ffany | ((}(}

^erambah Jakarta, berteman nyamuk ia rebahkan tubuhnya,


ika pintu tak terkund Toni bisa tidur di dalam, jika terkunci
forii tidur di beranda beralas lantai berselimut dingin, saat
itu ia ingin sekali Naela m elihatnya, ia ingin Naela tahu
sudah sepuluh hari Toni mencarinya.
Tinggal satu pondok di daftar yang belum didatangi,
jauh dari Kediri, di tengah-tengah jalan ke Pare, letaknya masuk
ke Utara, m asuk ke dalam, santriw ati berasram a di balik
dinding-dinding tua yang tinggi, namanya "D arul Huda",
tertulis di atas batu 1920 tahun berdirinya, yang tampak hanya
santri laki-laki, santriwati entah bersembunyi di mana.
H ari m en jelan g m agrib, lan g it m endung m elih at
malangnya nasib Toni, angin bertiup kencang, kentongan
masjid bergoyan g, Toni d atan gi kantor di d ek at pintu
gerbang, "Assalam u'alaikum ..."
"W a'alaikum salam ..." Ustadz bersarung, berkopyah
putih persilahkan Toni masuk, duduk di atas sajadah.
Toni hembuskan nafas sebelum duduk di atas sajadah.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ustadz seperti duduk di
antara dua sujud.
"Apakah ada di sini santriwati bemama Naela Khasna?"
"Apa h u bu ngan anda d en g an n y a?" U stad z balik
bertanya.
Toni kembali bercerita panjang lebar, ia m erasa ada
harapan terkuak, ada asa tinggi membumbung, setiap detil
Perjalanan Toni ceritakan, bahkan surat ditunjukkan.
"M a a f kam i tid ak bisa p an gg il, anda bu kan
^ahram nya," Ustadz begitu ramah menolak.
"Bolehkah saya bertem u..."
Kalimat Toni terpotong, "M aaf kami tidak bisa."
Bahkan saat Toni tunjukkan foto Naela Ustadz sudah
berdiri di pintu persilahkan Toni keluar, "Silahkan pergi mas,
kami tidak bisa bantu, kami hanya menjaga semua santri kami."
ZOO | zgOuzTJarjaTVaniia

Tak bisa Toni berontak, sama artinya melawan ratusan


santri yang ada di dalamnya.
K ilat d ari lan g it m em otret, tak lam a hujan deras
mengguyur lebat, tubuh Toni meringkuk dingin di bawah
ujung atap rumah penduduk di samping kandang sapi, bau
kotoran m enyengat pekak. Toni jongkok, dua puluh empat
pondok sudah habis dicari, ia remas kertas dari pak polisi, ia
buang, biarkan basah terguyur hujan. Mungkin usai sudah
masanya, mungkin hujan penutup jalannya untuk kembali
mencari, ia hanya melangkah di bawah hujan ke satu mushola
kecil. Setengah basah Toni sholat magrib, berdo'a agar Allah
selalu menjaga di manapun ia berada.
Toni duduk m elihat hujan menunggu reda, ia ingat
Eko, Rika, N enek, pak Prof, Bapak, semua jauh di mata.
N aela... N aela... N aela... tersebut nama itu berulang-ulang
entah sampai kapan. Tetesan air dari ujung rambut dibiar-
kan jatu h ke lan tai, ia duduk sendiri, bertem an dingin,
bernada lagu rintik hujan yang mulai mengecil, lelah baru
terasa, tig a m inggu sudah Toni datang ke Kota yang
ditunjuk Aziza. N aela... N aela... N aela... nama itu terus
tersebut dalam hatinya.
Toni b e rja la n di ten gah p erkam p u n gan, di satu
w arung k ecil ia berh enti, beratap setinggi kepala Tom,
kemuning lampu kecil menggantung, berlantai tanah, berhias
sayuran, Toni masuk, etalase lauk tanpa kaca, "Makan bu...
"P a k e a p a ? " Ibu tua berk eru d u n g taplak meja
membuka bakul nasi.
"Apa saja Bu," Toni lemah.
"Kok kelihatannya sayah tenan m as."1
Toni m enjaw ab dengan senyum paksa, m atany a
m em andang kelu ar m encoba m enghitung r in tik hujan.

1 Lelah sekali
'Ma'mun Affany \ ZOi

kepulan asap dari gelas kopi di samping Toni menyengat.


"K am u sepertinya bukan orang sini?" Ibu berikan
iring dengan nasi dan sendok.
"Iy a ," Toni m ulai m engaduk nasi bersayur nangka
muda.
"Darim ana asalmu?" Ibu tak henti bertanya.
Toni sedikit kesal, "Lam pung B u ," satu suap Toni
makan.
Ibu duduk pandangi Toni, ia m enggaruk kepala di
balik kerudung, "Lam pung... kemarin juga ada santriwati
dari lampung beli sayur."
Seketika Toni letakkan sendok dan garpu, nasi di
mulutnya langsung ditelan, "Nam anya siapa Bu?"
Ibu menggeleng, "Dia lebih pendek dari kamu sedikit."
Dada Toni kem bang kem pis tak k aruan , n afas ia
berhentikan, ia keluarkan dom petnya, ia tunjukkan foto
Naela. Toni berdiri, berjalan miring di antara bangku dan
meja, "Apa ini yang beli sayur Bu?"
Ibu meraih dompet berfoto, mata tuanya memicing,
mendekat ke baw ah lampu, "Iy a ... ini yang datang. Kok
kamu kenal?"
Toni tak menjawab, gugup gusar membaur menjadi
satu, "Dari mana dia datang Bu?"
Ibu sedikit aneh melihat gelagat Toni, "Dari sana, dia
biasa datang berdua," Ibu menunjuk satu jalan di tengah
gelap, bukan ke pondok "D arul H uda", berlawanan arah.
Toni tak peduli dingin, lupa letih, tubuhnya kembali
ladi tadah rintik, bagian bawah celananya sudah basah, jika
temui tanah tergenang Toni tak lagi loncat, matanya terus
Memandang ke depan. Toni tinggalkan nasi, Toni hibahkan
Uang kembalian. Toni ikuti petunjuk ibu penjaga warung.
0r,i tak p ern ah b erh en ti untu k teru s m en cari, untuk
ternukan satu nama tertanam dalam hati.
ZOZ | 29 Juz 'Harja HJanita
*----

■ 19 •

y 11111

— K erudunj —

T
oni terus berjalan seolah susuri rawa-rawa, jalan
gelap, hanya secuil cahaya terpendar di beberapa
tepi jalan becek. Jalan cukup untuk satu mobil,
namun beralas batu berlum ur tanah tak menentu. Rintik
terus berguguran bak salju, dingin semakin menusuk, sekali
angin berhem bus tubuh m engkerut. Tak ada orang lalu-
lalang, tak ada yang berjalan, sunyi senyap berisi derik
jangkrik di setiap rongga himpitan rumah.
Di hati tlah terh u n jam nam a N aela, aral tak ter-
pandang, ia ingin temukan, ingin melihat, ingin bertemu,
ingin mengucap terimakasih, dan ingin bertanya mengapa
Naela seolah bersembunyi, menjauh dari segalanya. Namun
ja la n yang Toni pijak tak bertu ju an , tum pul, buntu,
berm uara pada m ushola kecil berbedug drum minyak,
kentongannya bambu, ada tiga jama'ah duduk berkumpul
menunggu isya, Ibu-ibu bertasbih di balik sekat kain hijau-
Tak ada lagi jalan, Toni berhenti di bawah pancaran
lampu, menggantung di tiang listrik, jika menengadah yang
'Ma'mun Affary \ 20$

tainp3k bukanlah bintang, tapi jarum rintik kecil hujan, di


jSi kanan kiri tersisa gang kecil, lebamya 150 cm, tak tampak
ujung jalan, suara gemuruh air sungai terdengar, tapi Toni
tak tahu dari mana berasal. Ada gadis berpayung berniat ke
masjid, Toni menghampiri, "M isi M ba'."
Gadis bermukena berhenti.
"Mba' kenal dengan Naela?"
Gadis di bawah payung hitam menggeleng.
Toni terpaku berdiri. Tak ada pondok pesantren, hanya
desa biasa, desa kecil di pojok kota Kediri. Toni coba bertanya
pada penghuni rumah dekat mushola, rumah dari bambu,
atapnya kum pulan daun kelapa, Toni celingukan depan
pintu.
"Assalamu'alaikum..." Toni tak mengetuk, pintu sudah
terbuka.
Tanpa menjawab Bapak berkum is tipis keluar, "Ada
apa Mas?"
"Misi pak, apa ada di sekitar sini yang bernama Naela?"
Toni tak menunjukkan foto.
Bapak sembari m emegang daun pintu m enggeleng,
"Tidak ada mas, setahu saya tidak ada."
Aneh, tak ada yang tahu Naela, tapi Ibu di warung
pernah melihat bahkan ingat wajah Naela. Di mana Naela
Khasna? Di mana nafasnya berada? Di belahan dunia mana
>a ada?
Toni coba dekati anak muda, laki-laki bercelana pendek
berkalung sarung, berjalan menuju halaman mushola, Toni
berlari mengejarnya, "M as."
P em u d a b e rk u lit co k la t b e rh e n ti.
"Mas kenal dengan Naela?"
“Di sini tidak ada yang namanya Naela mas."
Toni bergegas keluarkan dompetnya, tak peduli akan
asah tersentuh rintik, "Ini Naela," Toni menunjuk satu foto
204 |2^ ju z TJartja 'HJanifa
dalam dompet, "Mas pem ah lihat?"
Pemuda tersebut hanya menggeleng.
Toni terdiam bungkam, terpaku di tengah jalan, ia ^
tahu ke mana lagi akan m encari, lelah sudah tertumpu^
pasrah sudah terhunus, sabar seolah ham pir musnah ter
makan pupus, Toni jongkok di tengah jalan pandangi f0t0
Naela, hasratnya sudah tak tertahankan, ia ingin bertemu
meski sekejap saja. Ia tatap genangan air diantara dua kaki-
nya pantulkan cahaya lampu, bintang tak ingin mengintip
terusir rintik tertelan awan.
"A llahu A k b a r... A llah u A k b a r ..." adzan isya
berkumandang, suara sepuh bergetar terdengar.
Toni bangkit, ia hampiri mushola, tubuhnya setengah
basah , ia tak ganti baju, b iarlah dingin, b iarlah seolah
teremas, terkungkung es, saat berjalan di lantai celana menetes
air, sebelum sholat ujung celana diperas. Lama Toni bersujud
meminta petunjuk. Lama toni berdo'a dalam munajatnya.
"Ya A lla h ... di m anakah ham bam u yang bernama
Naela Khasna, aku lupa hari karena mencarinya, tak tahu
waktu karena ingin bertemu dengannya, tapi aku tak bisa
lupakan dirinya karena dialah penunjuk bagiku agar aku
selalu dekat denganMu."
"Ya A llah ... aku memang m encintainya, tapi bukan
maksudku untuk mengutarakannya. Hambamu yang lemah
tanpa daya memohon padamu untuk tidak m enyem bunyi-
kannya, agar tidak m enutupinya dengan alamMu. Aku
hanya ingin bertem u dan b erterim ak asih padanya, aku
hanya inginkan itu selain rindu yang sungguh menggebu
dalam hatiku."
"Aku takut jika aku tahan akan sakit m enggerU*
badan, aku takut jika tak terus mencari akan m e n y e s a h
sisa hidup yang Engkau berikan padaku."
~Ma mun Affany | 20j?

Toni m engusap w ajahnya. D alam m ushola hanya


tertinggsl dua orang tua, satu marbot mushola, ia sedang
p i e n g e l a p air di bawah kentongan.

Sembari m em ijat kening Toni berjalan keluar. Entah


nierigapa seketika Toni berhenti di pintu, pandangi etalase
kecil berisi foto-foto anak-anak TPA, Toni perhatikan satu-
persatu di antara lim a belas foto yang ada, seketik a ia
tem ukan wajah Naela terhim pit empat wajah w anita lain.
Toni tak mungkin salah, tak mungkin melantur, Toni yakin
di foto itu Naela.
Toni celingukan m encari orang, tak ada lagi selain
marbot mengepel lantai, Toni dekati, perlahan menarik lengan
setengah memaksa, "Mohon maaf p ak ..."
Di depan etalase Toni menunjuk, "Bapak kenal gadis
itu?"
"Yang m ana?" mata bapak bukan tak jelas, tapi ada
lima wajah di satu foto.
Habis kesabaran Toni, kaca digeser, Toni raih satu foto,
"Yang ini pak."
Bapak en tah m engapa tak terlalu lam a lan g su n g
menggeleng, tak b u tu h w aktu b erfik ir, je la s -je la s foto
tersebut rekaman kegiatan di Mushola, tapi Bapak tak tahu.
Toni hampir menangis lelah. Kenapa sebenamya? Ada
apa dengan Naela?
Bapak mengambil foto dari tangan Toni, "Kalau Vita
di ujung gang sana, kalau H anim di ujung ja la n dekat
warung, kalau Nuna rumahnya yang itu, k a la u ..."
Toni memotong, "Sebentar pak, mana rumah Nuna?"
"Rum ah itu, yang lampunya paling teran g," Bapak
bet-peci hitam lusuh menunjuk satu rumah, terasnya ber-
ataP gantungan bunga, satu sepeda berkeranjang terparkir,
§arasi m obil kosong, pohon b elim b in g b esar naungi
atapnya .
Z 06 |Zty Jui 71arja 'Wanita
Toni tak pikir panjang, foto dari etalase Toni jadikan
bukti, Toni simpan dalam tas, Toni janji pada marbot hanya
pinjam sebentar. Dari mushola Toni bergegas setengah larj
hampiri rumah Nuna, mungkin Naela ada di dalam rumah
nya, atau dari Nuna Toni tapaki jalan berliku kelanjutan
pencariannya.
"Assalam u'alaikum ..." Toni mengetuk.
"W a'alaikum salam ..." tak lama jaw aban dari dalam
terdengar.
"B is a b ertem u dengan N una b u ," Toni yakin di
depannya bukan Nuna.
"Silahkan duduk."
"N una!" suara kecil terdengar memanggil-manggil di
dalam.
Toni duduk, ia sentuh bajunya, digenggam tangan
kirinya, basah menetes air, ia sela rambutnya, ia bernafas
sejenak merenungi perjalanan panjangnya.
"A ssalam u'alaikum ," gadis berkerudung tali hitam
datang menyapa, waktu duduk masih mengikat talinya.
"Alhamdulillah," di bibir Toni mengucap.
Tanpa basa-basi Toni bercerita, "M aaf jika kehadiran
saya mengganggu, tapi saya hanya ingin bertemu dengan
Naela K hasna," suara Toni layu, rasakan letih bergelayut,
"Tolong beritahu saya di mana dia."
Entah mengapa ada raut berbeda pada wajah Nuna,
"Boleh tahu siapa anda dan siapa Naela?"
Toni sed ik it heran, seolah-olah N aela tak dikenal,
"Nama saya Toni saputra, saya datang dari Lampung, sudah
lebih dari tiga minggu saya di Kediri hanya punya satu
tujuan, mencari Naela. Saya hanya ingin bertemu dengan-
nya, ingin berbicara walaupun satu menit saja, dia seperti
nyawa bagiku, seperti Ibu, seperti guru untukku."
"Ma'mun A ffany j 2 0 /

Tak lam a teh panas datang, asap bergoyan g dari


cangkir, Toni
m enyeruput h an g at m erasu k dalam
menjalar rongga dada.
Ic e r o n g k o n g a n
Nuna berfik ir lama, entah apa yang ada dalam otaknya,
menunduk wajahnya, "Maaf aku tidak tahu di mana Naela."
Rasanya semua orang sudah sembunyikan Naela dari
Toni, rasanya semua tak mengizinkan Toni untuk bertemu
Naela kem bali, rasanya m alaikat ingin agar rindu yang
terpendam dipaksa hilang seiring w aktu berjalan m eski
hakikatnya akan terus tertanam, "M akasih M ba'... sekali lagi
makasih Mba' Nuna sudi menerima saya," Toni sudah tak
bisa memaksa, "Tapi saya yakin M ba' Nuna tahu di mana
Naela," Toni keluarkan satu foto dari dalam tasnya, ia
sodorkan ke depan Nuna, "Ini Naela yang saya cari, ini Naela
yang sam pai sekarang saya tid ak tah u di m ana dia
bersembunyi. Mungkin Naela sudah sedikit cerita tentang
saya, tapi ked atangan saya b u kan u ntu k m em aksanya
menerima cinta, saya sudah tahu diri M ba', saya sudah
ditolak berulang-ulang," Toni m ungkin tak bisa langsung
sampaikan pada Naela, m ungkin N una bisa m engulang
segala ucap lisannya depan Naela, "Saya ke sini hanya ingin
bertemu, menjenguk, mengucap syukur karena Naela tlah
sudi mengenal saya, tlah luangkan waktu membalas surat
saya, memberi fotonya sebagai kenangan terindah yang
pernah saya miliki seumur hidup saya."
"Su n g g u h tak ada w anita yang b era rti bagi saya
kecuali dia, m ungkin ia bersem bunyi karena takut saya
kembali m encarinya, semua tem annya m em bisu, tak ada
yar>g sudi m emberi tahu. Yang tam pak berfoto bersam a,
tersenyum bersama juga tak mau memberi tahu."
Nuna sedikit malu, kata-kata Toni menikam perlahan
hatinya, menyayat membekas luka.
Z 08 |zg Juz T-tarcja 'Wanita
Toni keluarkan sesuatu dari dalam tas, terbungky
plastik hitam, terlindung dari basah, digenggam di tanga^
"Kalau Mba' Nuna tak berniat memberitahu, saya titip
untuk N aela, hanya itu yang bisa aku berikan tak lebih
Semoga kerudung itu berharga untuk Naela."
Toni anggap sem u anya u sai, "U cap k an salamku
padanya, rasa terimakasihku untuknya, salam dari Bapakku
dan sampaikan permohonan maafku yang sebesar-besarnya."
Toni undur diri, ia tinggalkan Nuna yang hanya bisa
diam mendengar, berkaca, tapi tak sempat menjatuhkannya.
Toni kelu ar rum ah, N una hanya duduk untuk berfikir,
m elepas lelah. Entah apa yang ada di fikirannya, ia terus
m em eras kepala. Tak lama Toni tegak berjalan meski hati
terpuruk jatuh terinjak harapan pupus tak sampai tujuan.
B iarlah kerudung putih yang bicara pada Naela, biarlah
kerudung putih yang datang pada Naela sampaikan pesan
dan niat baik Toni Saputra.
Tak tahu ke mana Toni ingin langkahkan kaki, malam
itu ia hanya berjalan, berbalik arah, kembali ke perempatan
jalan tempat Ibu di warung berikan petunjuk. Rintik hujan
m em ang tlah sirna, tapi dingin lebih terasa m engurung
seakan ada di kutub utara.
"Kak Toni!" dari belakang satu suara m em anggil-
Toni berhenti, berbalik, dilihatnya Nuna di tengah
gelap berlari mengejar.
"Kak Toni," terengah-engah Nuna menjinjing roknya-
"Nuna ingin bercerita pada kakak," Nuna sempatkan
bernafas, "Kalau kak Toni mau mendengar besok pagi sete a
subuh akan Nuna ceritakan."
Toni masih dirundung kekecewaan, hanya diam-
Nuna ingin m eyakinkan, "N una m engenal Na
Nuna tahu Naela yang kak Toni cari, kalau kak Toni Wtr
tahu, tolong bersabar menunggu sampai lewat s u b u h -
~Ma 'mun A ffany | 2 0 $

Entah m engapa Toni tak lag i m ilik i daya, tak


sedikitpun Toni menanggapi.
"Kak Toni... mohon bersabar, kak Toni jangan biarkan
t u b u h kakak term akan dingin, jangan biarkan kak Toni

sakit, N aela akan g elisah jik a m end en gar," Nuna coba


menggugah.
"Apa Naela ada di sini?" Toni ingin memastikan.
Nuna m engangguk.
"Apa aku b isa b ertem u d en g an n y a?" Toni in gin
kepastian.
Nuna tak lan g su n g m enjaw ab, "N u n a tak bisa
m emastikan, tap i p ercay alah pada N una. N una tahu
bagaimana kak Toni dulu berusaha dekat dengan Naela,
Nuna tahu sem ua," Nuna m eyakinkan, "K alau kak Toni
mau bersabar satu malam, Nuna akan beritahu di mana
Naela tinggal."
Toni menarik nafasnya kuat-kuat, pandangi seberkas
cahaya di lan git hitam . Toni m enurut, Toni kem bali ke
mushola, ia korbankan semalam, habiskan malam di beranda
mushola. Pintu sudah dikunci, Nuna berikan handuk untuk
mandi, selimut untuk tidur, tapi seindah apapun malam,
Toni tak bisa menikmatinya, ia tak bisa terpejam sedikitpun,
duduk bersandar dinding m enghadap bedug dengarkan
bisikan-bisikan keheningan, pandangi hitam nya m alam .
Tubuhnya tertutup selimut, tapi hatinya terbuka mengenang
Se®ua kenangan kecil bersam a N aela, setiap kata yang
tertulis di surat Toni ingat, ia terus terbangun menunggu
subuh tiba, m engantukpun tak bisa, tersenyum pun tak
Sempat, m ungkin ini rahasia Ilahi yang harus ia selam i
j^knanya, yang harus ia ikuti alurnya. Kadang bibirnya
ergetar sendiri, tapi ia berusaha kembali hangat mengingat
Naela.
210 I 29 Juz Harga 'Wanita

Sebelum subuh toni bersujud mengharap yang terbaik


untuk d irinya, ju ga N aela Khasna. W aktu subuh N una
berm ukenah ke m asjid, Toni sudah tam pak begitu rapi
dengan koko putih dan celana hitam, dari belakang Toni
khusyu' panjatkan do'a, usai subuh Nuna ajak Toni berdiri
di tengah jalan bersama.
Nuna tak bercerita seperti janjinya, ia hanya berikan
satu arah, tangan kanannya menunjuk jauh, "Kak Toni ikuti
gang ini, nanti akan lewati jembatan bambu, kak Toni ikuti
jalannya. Kalau sudah lewati sawah, kak Toni akan temui
hutan, kak Toni terus ikuti jalannya, Insya Allah kakak akan
temukan satu pondok pesantren khusus untuk perempuan,"
sebelum m elanjutkan Nuna pandangi wajah Toni, "Naela
di pondok itu, dia anak baik, jaga Naela," Nuna pergi tanpa
salam , tin g g a lk a n Toni yang m em an d an g gang gelap
bermusik deras aliran sungai.
Toni tak sempat ucapkan terimakasih, terlupa karena
di matanya sudah tergambar Naela. Toni mulai berjalan, ia
lipat celananya sampai lutut, di pangkal jem batan bambu
Toni dengar gemuruh air sungai sem akin deras, arusnya
kencang, batu-batu besar terhem pas pancarkan buih, tak
sedikitpun tam pak di depan pondok pesantren, yang ada
hamparan luas hijau sawah sejauh mata memandang semua
bak anak tangga, Toni m eloncat dari satu pem atang k e
pematang lain bermandikan sinar kuncup matahari d i timur,
p eta n i-p e ta n i b erd atan g an m ulai m encangkul, kabut
kaburkan mata, sejuk terhirup mesra, ujung padi m e l a m b a i
meresak lembut kala angin bertiup lirih.
Toni terus berjalan ke selatan, ia berhenti s e j e n a k ,
memandang ke belakang jembatan tak lagi tampak, b a n y a k
kodok hijau meloncat di dasar sawah, burung bertengger di
atas ranting pohon, kala berkicau warna pagi begitu harufl1
tercium, Toni terus melangkah sampai m elihat kumpulan
'M a'm un A ffany j 2.H

0hon karet, hutan di depan mata, ada bekas jalan di antara


rumput berem bu n, Toni ikuti arah ny a, su n yi, tak ada
s e g e l i n t i r nada selain teriakan monyet, atau kicauan kecil

burung. Lama Toni berjalan tapi tak jua tem ukan ujung.
T i b a - t i b a ada Bapak pembawa em ber pengumpul getah, ia

s e d a n g jongkok tum pahkan m angkuk berisi getah, Toni

niendekat, "Assalamu'alaikum."
"W a'alaikum salam ..." Bapak menoleh ke belakang.
"Misi pak, apa ada pondok pesantren di ujung sana,"
Toni menunjuk ke selatan.
Bapak berdiri, "M asih jauh mas, terus saja ikuti jalan
ini, nanti mas temukan pondok pesantren."
Tersenyum Toni mendengar, kata Nuna benar, rasanya
Naela ada di depan mata, semangat kembali kobarkan bara
lesu tubuhnya.
Toni lanjutkan jalannya, terus berjalan lewati semak,
terhimpit pohon karet. Entah sudah berapa jam ia berjalan,
matahari sudah mendaki, tubuh mulai hangat, saat hutan
habis tampak di mata satu pondok terbangun dari kayu,
dikelilingi pagar bambu, masjid di tengahnya memangku
kubah perak mengkilat, santriwati berjalan mondar-mandir
tanpa henti, ternyata ada pondok di dalam tempat sunyi.
Jemuran bersembunyi belakang asrama, Toni teringat waktu
pertama kali Naela berikan air putih padanya, Toni terpaku
menatap, entah bagaimana ia bisa sampai di tempat yang
sekarang ia pijak, mimpipun tak pernah, bayangpun tak
Sanggup, semua yang tinggal berkerudung kecuali beberapa
Penjaga. Toni tu runkan lip atan celan a, b erjalan lew ati
gerbang bak gapura, dalam h ati Toni m engu cap,
^ism illahirrahm anirrahim..
“Assalamu'alaikum..." Toni coba bertanya dengan satu
Santriwati, "Bisa bertem u..."
212 |Zg Juz T-tarja 'KJanita
Tapi kata-kata Toni langsung di potong, "Ke sana
rumah bu N yai." '
Toni m elihat satu rumah, pintunya terbuka, beral
tan ah , d au n je n d e la di sam p ing m engepak mernbuk S
atapnya rendah, tiangnya bundar tak rapi seolah poho”
terkelupas kulitnya. Toni berjalan mendekat, entah kenapa
semua santriwati memusat pandang padanya, semua pasang
m ata m en g ik u ti lan g kah Toni, Toni beru sah a tenang
berjalan, pintu diketuk, "Assalam u'alaikum ..."
Tak lama Ibu berjubah m engham piri, kerudungnya
sam p ai p eru t, dua p u ndaknya secu ilp u n tak tampak,
"W a'alaikum salam ... M asuk."
Toni dipersilahkan duduk di kursi bambu menghadap
meja dari akar, entah mengapa Toni merasa aneh, ia belum
pernah rasakan antara ketakutan dan kekhawatiran.
"Ada maksud apa kemari kalau boleh Ibu tahu?" Ibu
Nyai tersenyum.
Ram ah sekali terdengar, Toni tak sungkan, tapi tak
bisa bergerak banyak, Toni seolah dipaksa menunduk, Saya
ingin bertem u salah satu santriw ati."
"Siapa namanya?" bu Nyai duduknya sedikitpun tak
bergerak.
"N aela bu, N aela K hasna," Toni m enjawab, tasnya
diletakkan di samping kaki kiri.
"Kam u dari mana asalnya?"
"Lam p ung."
"Ada hubungan apa dengan Naela?"
Terdiam Toni tak mampu menjawab, berfikir sejenak/
"Saya bukan saudaranya, bukan kekasihnya, saya hanya
berteman dengan Naela."
"Apa mas ini benar hanya teman sampai rela mencari
ke tempat seperti ini," ibu tak memaksa, tapi perlahan Ibu
ingin tahu.
‘M a 'm u nA ffa ny | 2 ( 5

Toni tak b isa bohon g, "D u lu saya m em ang


^ enCjn ta in y a , sampai detik inipun saya ingin b is a hidup
j eng a n n y a . Saya bu kan lah siap a-siap a, saya m engen al
f j a e l a ” Toni bercerita sejak awal mula Naela suguhkan
ajr putih sampai detik di mana ia duduk sekarang, "Saya
mohon dengan san g at Ibu p erk en an k an saya bertem u
dengan Naela meski lima menit saja."
"Sampai sekarang kamu masih sayang Naela?"
Toni mengangguk, tapi tak bisa berkata.
"Bukankah banyak wanita lain selain dia?"
Toni menggeleng, "Bagaimana saya bisa berpaling jika
pertama kali yang saya lihat adalah ketenangan, kesejukan.
Bagaimana saya bisa lupakan senyum indah yang sanggup
luluhkan semua amarah. Bagaimana saya tak m encarinya
jika dulu ia ikhlas menjenguk, ia ikhlas membalas surat. Saya
seolah tem ukan surga di m atany a, k ein d ah an d alam
parasnya, ketenangan di hatinya. Jika saya tak bisa memiliki,
boleh kiranya saya ucapkan terim akasih karena dia sudi
berteman dengan orang seperti saya," Toni berusaha senyum
dalam haru, "Dia sudah banyak mengajarkan saya dengan
pesannya, sudah peduli dengan saya meski hanya dengan
suratnya. Seumur hidup hanya Naela satu-satunya wanita
yang rela melakukannya."
Ibu mengangguk, ia diam, lama, Toni menanti, selang
lima m enit bu N yai p an gg il satu san triw ati, "T o lo n g
panggilkan Naela Khasna."
"Baik b u ..."
B erg etar Toni m end en gar nam a N aela terseb u t,
Menunggu detik ia akan bertemu. Tertunduk Toni di kursi,
Bu Nyai hanya pandangi Toni. Entah m engapa tiba-tiba
beberapa wajah santriw ati berkum pul di jendela, kepala
saling bertumpuk susun, semua jendela dibuka, diisi paras-
paras berkerudung merona, lubang-lubang di papan terselip
214 | zqO u zH arja 'W an ita

m ata m em an dan g, gem uruh runyam m enyalak, acja


santriw ati terhim pit setengah m enjerit, tapi tak ada yan
tertaw a, semua kem bali dalam hening m em andang Tonj
Saputra, semua melihat ke dalam, bu Nyai tak m elarang
pintu tlah terisi santriwati, semua mengeroyok Toni dengan
tatapan.
S aat satu sosok b erjalan , d esis m ulut terdengar
kerum unan di pintu m em belah dua, tam pak Naela me-
nunduk dengan jubah putihnya, Toni sedikit memandang
tapi Naela tak membalas, jalannya melenggok masuk, meski
bersandal jepit tapi suaranya tak ada, Naela duduk di dipan
kayu dekat bu Nyai, entah bagaim ana Toni m engatakan-
nya, semua orang mendengar, bu Nyai tak pergi, santriwati
m engerubut.
Toni kum pulkan selu ru h k eb eran ian dan ribuan
rindu, "Assalamu'alaikum N aela..."
N aela tak angkat w ajah n y a, ia diam , mengunci
m ulutnya.
"M aaf N aela, kakak hanya ingin m ohon maaf atas
sem ua salah yang dulu p ern ah kakak laku kan, kakak
sekarang tahu siapa diri kakak, kakak tahu jika dulu begitu
bodoh kakak melakukannya pada Naela."
Naela tetap diam.
"N aela... kakak tidak tahu bagaimana harus m e n e b u s
semua, bagaimana harus membalas semua kebaikan Naela,
tapi kakak akan bacakan satu surat untuk Naela," Toni gugup
m engam bil Q u r'an dari dalam tasnya, Toni buka a c a k ,
tam pak su rat As Sajad ah . Toni baca lan tan g luapkan
keharuan dalam bacaan, "B ism illah ..."
Setiap ayat setetes air terjatuh dari paras Naela, kadang
diusap kadang dibiarkan mengalir di pipi merahnya, semua
yang memandang bisu terbungkam.
"Ma'munAffany \ 21J
Toni berhenti, "Kenapa menangis Naela? Apa Naela
tak mau dengarkan kakak m engaji?"
N aela m enggelen g, "T eru sk an k a k ..." satu kata
terucap, "Teruskan."
Toni patuh, ia terus membaca sampai akhir ayatnya.
N aela angkat w ajahnya yang basah, "K akak sudah
bisa baca Qur'an sekarang?"
"A lham dulillah N ae... dulu kakak m alu membuka
Q ur'an."
"Siapa yang mengajari kakak?"
"Seorang nenek Nae, setiap habis subuh kakak belajar,
s e t e l a h isya kakak mengulang, kakak terus berusaha."
"Untuk siapa semua itu kak?" Naela ingin tahu.
"U n tu k m u N a e ... dari dulu k akak k atakan jik a
sem uanya untuk Naela," Toni menutup Qur'an, "Entahlah
N ae. .. kenapa semua tak bisa dilupakan begitu saja, kenapa
kakak sudi mencari Naela sampai di sini, tiga minggu kakak
datangi tiap pondok pesantren di Kediri, selalu tanyakan
nama N aela, N aela Khasna, kakak pernah diusir, pernah
dipaksa pergi, hujan panas sudah menyatu semuanya, tiap
malam kakak bermalam di masjid dan mushola, setiap waktu
kakak berdo'a berikan kesempatan agar bisa bertemu Naela."
Naela pejamkan mata, "Kakak tidak letih?"
"Sem ua sudah hilang N aela."
Puluhan pasang mata tak pergi, ada yang berkaca, ada
yang lupa menutup mulutnya mendengar.
Toni cep a t-cep a t m em buka tasnya, d ik elu ark an
kerudung putih terbungkus p lastik hitam , "N a e la ... ini
kenang-kenangan d ari kakak, sem oga N aela bisa
m .en y im p ann y a."
Naela menggenggam di pangkuan.
"Kakak mohon maaf atas segala salah, kakak sangat
bersyukur bisa bertemu Naela," Toni ingin pamit, menutup
2jb |zgluz'Harja'HJmita
tasnya berniat berdiri.
"Kak Toni!" Naela menghapus wajahnya.
Toni berpaling.
"A pakah kakak lupa kata yang dulu kakak selalu
ucapkan? Kata cinta yang dulu coba berikan? Apakah kakak
sudah buang?"
Toni terkejut, "Tidak akan Naela, tidak pernah kakak
lupa. Tapi kakak m alu m engucapkannya, rasanya kakak
merindukan bulan di pangkuan."
"Kenapa kakak malu mengucapkannya? Kenapa kakak
tidak ucapkan ketiga kalinya?" Naela ingin Toni jujur.
Toni kembali duduk, bernafas sekali pandangi bu Nyai
yang m engan gguk pada Toni, "Apa N ae juga
m erasakannya?"
Naela tak menjawab.
"Apa alasan Naela mencintai kakak, kakak bukanlah
orang sem purna."
N aela m enggelen g, "D i dunia ini tak ada yang
sem purna kak. Tapi k esab aran yang kak Toni miliki,
keteguhan hati kakak, kesungguhan yang kakak tunjukan
tlah siratkan jika kakak benar-benar sayang."
Toni tertunduk tak tahu harus mengucap, "Apa Nae
sayang kakak?"
"Ade' sayang kakak selalu, selam anya..." Naela tak
bergerak mengucap.
"M a'm unA ffany \ 2 f J

•— Ada 'Rpqu —

B
ulan m enggantung di langit terkepung serpihan
bin tan g -g em in tan g m engetuk m alam , p u saran
langit terselubung di balik hitam, gumpalan awan
bak iklan di altar langit, cahaya remangkan ruang meredam
hening dunia, semua menyatu di dua mata, di hati Naela
Khasna yang duduk sendiri di kolong dunia, merenung diam
di teras asram a m enerop on g b ilik -b ilik an gk asa, bulu
lentiknya mengedip kala angin bertiup, riuh pohon karet
membahana seketika.
Berjaket hitam dagu Naela terpangku dua lututnya,
ia terus pandangi langit menikmati lukisan wajah Toni di
angkasa. Kadang Naela tersenyum mengingat dahulu kak
Toni ditolaknya, tapi merindu jua akhirnya kala perpisahan
tlah tergenggam erat di hatinya. Ia tak tahu rindu, tak tahu
keinginan untuk bertemu, semua perasaan yang mengajari-
nya. N aela tak tahu apa h akikat cin ta, nam un kala
terbungkus, terbius, Naela tak bisa pungkiri bahwa cinta
mampu buat b ib ir m enyungging senyum tanpa alasan,
2 (8 |Zq Juz 7-(arja % /emik
basahi mata tanpa penderitaan.
Naela sendiri bertanya-tanya sejak kapan ia rnengagy^
cinta pada kak Toni, ia ingat dulu kak Toni begitu kumal
datang melempar batu. Setiap malam Naela sebatas membuartg
keinginan berjumpa pada bulan, pada bintang, pada suara
bisikan agar kak Toni nan jauh terus mendengar.
" N a e la ..." dari belak an g guru N aela duduk
menghampiri, membawa selimut tutupkan punggungnya.
"M b a '..." Naela membuka dua lututny'a.
"Setelah Toni datang kamu sering sekali melamun/'
mba' Yunda merangkul dari samping.
"N ae sendiri tidak tah u ..." dua mata Naela meredup.
"Apa kamu sudah mantap memilihnya?"
"Bismillah mba'. Setiap Nae berdo'a kak Toni muncul,
teringat kak Toni," Naela tersenyum sendiri, "Padahal Nae
sudah berusaha membuangnya."
"Kenapa kamu berusaha membuangnya?" mba' Yunda
heran, ia benarkan selimut di punggung Naela.
"N ae sudah menolaknya saat kak Toni pertama kali
mengucap cinta, dulu. Nae saat itu yakin kak Toni menjauh,
tapi nya tanya meski Nae di sini kak Toni sanggup mencari,"
dalam hati Naela kagum, "Siapa yang tidak bahagia jika
dicintai dengan ikhlas tanpa tuntutan, dengan tulus tak
meminta balasan. Sekarang Naela ingin bisa bahagiakan kak
Toni."
"K am u tidak takut jika di sana kak Toni bertemu
wanita lain? Dekat dengan wanita lain? A tau..." mba' Y u n d a
ingin yang terbaik untuk Naela.
Naela justru sekali lagi senyum, "Naela percaya pada
kak Toni seperti kak Toni percaya pada Naela."
"Cintam u sudah mengakar N aela..."
"N aela ingin berikan yang terbaik untuk kak Toni/
Naela ingin cinta gilanya bisa Naela balas, bisa Naela b e r ik a n
M a'm un A ffany \ 2 1 $

lebih," Naela mengingat sesuatu, matanya meneropong jauh,


"Naela sudah m elihat kak Toni punya sejuta kasih untuk
Naela, Naela ingin bisa berikan sejuta satu untuk kak Toni,"
teguh tekad keyakinan N aela tanam , "T a p i..." kata-kata
Naela terputus.
"Tapi apa?" mba' Yunda tak ingin Naela bingung.
"N aela bingung bagaim ana harus bahagiakan kak
Toni, Naela takut kak Toni tak temukan apa yang ia cari,"
Naela buta.
"N aela... sebenarnya tak sulit bahagiakan laki-laki,"
Yunda memang sudah menikah.
Naela perhatikan baik-baik, hadapkan tubuhnya pada
mba' Yunda, "Boleh Nae tahu mba' Yund?"
"T em ani kak Toni b ag aim an ap u n kead aann ya,
dukung segala kehendaknya yang baik, jan g an pernah
sedikitpun ia m erasa sen d iri di dunia ini, b erik an dia
keyakinan jika Nae selalu menemani. Suka datang Nae rajut
jemarinya agar tak lupa jika dia masih manusia biasa, duka
tiba Nae genggam tangannya agar ia m erasa tentram ada
tempat sandaran keluh kesahnya," Yunda peluk Naela seperti
anaknya.
"Ada lagi Mba'?"
"Ja g a k ehorm atanm u N aela, jag a kehorm atan
suamimu. jika kamu lebih pintar tuntunlah ia, tapi jangan
gurui dia," Yunda pandangi bintang di langit, "Anggap dia
anakmu saat m engajarinya agar berisi penuh kasih dan
sayang, anggap dia ayahmu saat dia mengajarimu agar kau
dengar dengan penuh hormat dan kerendahan."
Naela m endengar, N aela patuh, N aela tak pernah
merasa tahu, Naela ingin bisa lebih dari yang kak Toni sudah
lakukan. Kalaulah Naela urut perjalanan Toni, yang terlahir
hanya sebulir air mata mengalir di atas pipinya, Naela pal-
lrt8 ingat bagaimana kak Toni rela tertabarak demi berikan
2 2 .0 | z g Ju z 'N arja 'W anita

satu surat, rela diguyur hujan demi menanti dirinya, rela


mencari tanpa alamat berminggu-minggu tak kenal basah
hanya untuk bersyukur mengenal dirinya. Naela tak lupa
kak Toni di rumah tak lepas dari tamparan, guyuran, cacian
Jika ada hati yang terketuk cinta dari salah satu pintunya
maka N aela tlah terketuk dari tiga asalnya, Naela tlah
tersentuh kagum, kasih, dan sayang.
Dahulu sedikitpun tak melirik, tak peduli, kini ia ingin
bisa bahagiakan kak Toni seutuhnya, sepenuhnya.
"Masuk Naela, sudah malam," Yunda mengajak.
"Sebentar lagi Mba', Mba' tidur saja dulu," Naela tak
ingin memaksa mba' Yunda menemaninya.
Yunda melangkah ke kamar tinggalkan Naela sendiri
di teras asrama. Dekat pinggulnya tergeletak buku agenda
hitam bertulis tulisan merah "TRUTH", Naela ingin menulis
surat. Di pangkuan Naela memikir kata berseling do'a.

Assalamu'alaikum...
Demi waktu yang tak pernah kembali, demi hari yang terus
berganti, sesunguhnya malam ini terasa malam penuh makna. Ade'
melihat gugusan bintang bertebaran bak payet tersebar di baju
kehormatan perempuan, kalaulah Ade' malaikat, Ade' rangkai satu-
persatu cahayanya agar terbentuk wajah kakak yang tak pernah
surut untuk berikan curahan rindu kasih sayang.
Ade' baru tahu kenapa orang benci pada perpisahan, kenapa
orang tak ingin merasakannya, ternyata perpisahan tinggalkan onak
dalam hati yang tak lain kerinduan. Ade' kangen kakak, Ade' ingin
terus kakak ada di sini temani Ade' pandangi langit bersama, Ade
ingin nikmati waktu selalu dalam mesra hidup yang tak lagi ada
batasnya.
Kak Toni...
Banyak laki-laki yang berusaha mengejar cinta, tapi hanya
menggantung kasih tanpa rumah tangga. Banyak laki-laki menge)ar
r "Ma 'mun A ffany j 2 2 .1

partita dengan ribuan do'a dan usaha, tapi hanya menumpuk d o sa


karena memasung cinta tanpa akad yang sah untuk keduanya.
A d e ' ingat,. adalah keagu n g a n Allah yang menciptakan
tnanusia untuk berjodoh, nikmati hidup agar ringan terjinjing bersama
berat terpikul mesra, adalah anugrah Allah saat habiskan hidup
salin g mengingatkan untuk kebaikan, adalah jalan Allah bila dua
orang mencintai berujung pada pernikahan.
Ade' takut akan dosa kak, Ade' takut rindu ini terbuang
say an g, Ade' ta k u t cinta yang kita miliki hanya bisa tersimpan
dalam hati tak tersatukan dalam pelukan pernikahan. Ade' ingin
kemesraan yang kita miliki halal, hidup kita nikmati bersama, waktu
kita habiskan berdua.
Ade' tak perlu tanyakan berapa besar kasih yang kakak miliki,
berapa dalam sayang yang ditanam, semua sudah Ade' lihat sendiri.
Sekarang Ade’ berikan cinta yang ada dalam hati, Ade' ikhlaskan
diri untuk bisa menikah dengan kak Toni.
Ade' tak akan pergi dari pondok terpencil ini, tempat Ade'
menulis surat ini jika bukan kak Toni yang menjemput untuk
ucapkan janji suci. Segala kehormatan hanya kakak yang akan
miliki, segala kesucian hanya kakak yang menjaga untuk tetap suci,
segala rindu hanya teruntuk selalu bagi kak Toni.
Ade' sayang kakak...

Berm inggu-m inggu surat terkirim belum terbalas,


Naela tetap menanti, di sela belajar ia sempatkan diri melamun
tuk meraba apa yang kak Toni lakukan. Di sela mencuci ia
berhenti, m erenung sejen ak fik irk an b alasan , di sela
menjemur ia bersandar di tiang jem uran mengharap surat
Cepat datang, sebelum tidur Naela sempatkan duduk fikirkan
balasan.
"N aela..." Yunda datang.
"Iya M b a'..." Naela sadarkan diri.
"Ini surat dari kak Toni."
222 |Zg % z 7-tarya 'W anita
Naela keluar kamar menjauh dari tujuh orang tema
ia ingin membaca sendirian di bawah langit hitam.

A ssalam u'alaikum ...


Senang rasanya hubungan nan jauh terpisah ini bisa tetap
saling terjaga kebenarannya, kakak tak henti mensyukuri, tak henti
bersujud menyadari nikmat ini.
Setelah kakak baca surat Ade' kakak langsung berkemas
kakak bergegas pergi ke Lampung ingin m elam ar Ade', kakak
siapkan semua dari rumah, Bapak ikut membantu menyiapkan
segalanya, bahkan Bapak mengantarke tepi jalan tempat bis berhenti.
Tak sulit temukan rumah Ade', sangat mudah, tapi justru
waktu tem ukan rum ah A d e’ yang m egah kakak tak bisa lagi
melangkah, kakak hanya tercengang menyadari Ade' terlahir dari
keluarga melimpah, berharta, bertahta, kakak lihat setiap keluarga
Ade' bertemu orang, tak henti-hentinya orang itu menyapa, memuji,
seketika itu kakak tak melangkah maju lagi.
K akak pan dan gi diri kakak, rasanya tak pantas. Kakak
terlahir dari desa, dari rumah lapuk beranikan diri melamar gadis
dari keluarga terpuji. Saat itu kakak duduk di tepi jalan, pandangi
semua yang ada di rumah ade', memandang bagaimana keluarga
Ade' berbondong ke masjid. Malu rasanya jika kakak ingat akan
Bapak.
Kata orang menikah bukan hanya pertalian dua insan, tapi
dua keluarga, kakak rasanya belum pantas bersanding, hanya malu
nantinya yang ade’ pikul, hanya cercaan yang Ade' dapatkan jika
berdua hidup bersama. Kakak ingin Ade' bahagia, kakak tak ingtn
Ade' merana karena hidup bersama orang yang sedari kecil hidup
dalam ketidakpastian, selalu terombang-ambing dalam kekacauan-
Kakak selalu sayang Ade', sampai kapanpun, sela tn a n y
karena sayang itu jua kakak ingin Ade' pertimbangkan la g i nfa
Ade' yang tulus, fikirkan baik-baik, fikirkan matang-matang^
Sedalam apapun cinta kakak tanam, jika demi kebahagiaan Ade
"Ma'mun Affany \ 22$

kakak rela tak memiliki, biarlah kakak hanya belajar pada Ade',
hanya m em andang kebahagaian A de', biarlah kakak hanya
ntengintip senyum Ade'. Kakak tak ingin Ade' menanggung malu di
Yemudian hari.

Naela tak habis pikir kenapa kak Toni begitu merasa


^ecil. Begitu merasa rendah, begitu merasa tak pantas. Naela
heran, begitu ikhlas Toni lupakan penantian panjangnya,
begitu mudah Toni lupakan lama usahanya. Naela dengan
segenap kata ingin meyakinkan kekasihnya.

Assalamu 'alaikum ...


Kenapa kak Toni m erasa kecil? K akak ken apa hanya
memandang rumah Ade'? kenapa kak Toni tak miliki keberanian
seperti dulu katakan cinta pada Ade'? Apa yang kakak fikirkan
sampai kakak tulis itu semua?
Ade' menerima kakak bukan karena harta, maka pandanglah
Ade' Naela bukan dari harta pula. Ade' menerima kakak bukan
dari kedudukan, maka pandanglah Ade' Naela bukan dari itu jua.
Ade' menerima Kakak karena keikhlasan, kesederhanaan, karena
kejujuran yang kakak miliki, maka sekarang pandanglah Ade’ kakak
ini dari itu semua, dari hati yang Ade' Naela miliki.
Mudah kak bagi perempuan dapatkan orang yang membeli
karena kecantikannya, tapi sulit jika temukan orang benar-benar
sudi mencitai tanpa tuntutan. Naela melihat itu dalam diri kak Toni,
bagi Ade' itu sudah cukup kak. Tak perlu kakak kumpulkan uang
banyak agar kehormatan seolah sama, tak perlu kakak berhutang
sebagai modal demi hilang rasa malu, cukuplah kakak datang ke
hadapan orang tua Ade' membawa kejujuran. Katakan niat kakak,
baivalah iman kakak, kalau kakak tak secuilpun m iliki uang,
bacalah salah satu surat dalam Qur'an sebagai mahar.
Ade' tidak akan malu bersama kakak, Ade' tahu bagaimana
Perjalanan hidup yang kakak punya, bagi A d e ’ kakak lebih
224 \ ZgOuz’Uarja'HJanik
terhormat, kakak lebih mulia dengan kesabaran. Kalaupun ada or­
ang mencerca Ade’ tak akan lari, Ade' ikhlas mendengarnya.
A de’ sayang kakak bukan karena iba, bukan karena kasihan
Ade' sayang kakak karena semua seakan takdir tuhan. Dalam do'a
Ade' kakak seakan selalu datang? Padahal Ade' tak tahu apa itu
getaran hati. Tapi jika d o’a yang berikan jawaban, apakah Ade'
harus berpaling hati? Apakah Ade' harus menjauh? Rasanya tak
mungkin kak.
Jangan pula kakak melihat Ade' dari cantiknya, karena Ade'
melihat kakak juga bukan karena tampannya. Cinta memang tak
mengenal balas budi, tapi Ade’ ingin bisa bahagiakan kakak, ingin
bisa selalu temani kakak. Biar orang memandang miring pilihan
yang Ade' tentukan, Ade’ akan selalu rajut tangan kakak.
Ade' tahu kakak bukanlah orang sempurna, tapi biarlah Ade’
cintai kakak dengan cara yang sempurna.

Toni di Lampung tak kuasa membaca, ia ciumi berkali-


kali surat dari Naela. Berulang-ulang Toni baca, jawaban
kesungguhan akan jalani hidup bersam a tlah terbaca. Di
lubang pintu rumahnya Toni tak sanggup senyum, haru di
hatinya tak kuasa jatuhkan setetes air mata. Sejak saat itu
Toni benar-benar ingin jaga N aela sebaik-baiknya, ingin
lindungi N aela dengan segenap daya, saat itu juga Toni
berangkat ke Rajabasa, J1 Pramuka, datangi rumah orang
tua Naela.
Sampai di tempat jam delapan malam, terminal masih
ramai, rumah Naela sedikit menjauh dari keramaian, di d e k a t
kantor pos, terpisah sungai kecil laksana got. Rumah N a e l a
begitu megah, lantainya bertingkat, lampu-lampu b e r k e l i p
intan di halam an, rumput hijau rata, kursi terukir a n t i k
melingkar di depan, Toni beranikan diri mengetuk pintu.
"A ssalam u'alaikum ..." Toni pandangi bajunya, baju
sebagai supir pak Hamid. Baju putih bersih.
"Ma'munAffany | 2 2 $

"W a'alaikum salam ..." dari suara fasihnya m ungkin


kyai, atau yang lain, "Cari siapa Nak?"
u la m a ,
"Saya ingin bertemu bapak," Toni tak ragu.
"M a ri d u d u k ," beg itu san tai Ayah N aela
mempersilahkan singgah di kursi teras rumah.
Ayah Naela membenarkan kacamatanya, "Ada perlu
apa nak?
Toni tak tahu dari m ana m em u lai. Entah karena
bingung, entah karena canggung Toni tak punya basa-basi,
"Saya ingin melamar Naela."
Ayah Naela tak terkejut, "N aela?" Ia mengulang nama
anaknya.
"Iya pak," Toni tak banyak bicara.
Ayah N aela m em andang Toni, lam a, tanpa kata,
hampir dua puluh menit, "Sebentar," Ayah masuk rumah,
Toni dibuat menahan kembang kempis dadanya.
Selang sepuluh m enit Ibu N aela m em bu n tu t di
belakang Ayah, berdua duduk menghadap Toni, Ibu yang
memulai, "Bagaimana kamu mengenal Naela?"
Toni ceritakan semenjak Naela menyuguhkan segelas
air putih, sam pai pertem uan di pondok terpencil dalam
hutan. Tak ada yang dilebihkan, tak ada yang dikurangi,
Toni pasrahkan keputusan pada dua orang tua Naela.
Ayah dan Ibu Naela mengangguk, "Kam u kerja apa
sekarang?" Ayah ingin tahu, ia melepas kacamatanya.
"Supir p a k ..."
Ayah Naela mengangguk, "Kam u siap jaga Naela?"
"Bismillah p ak ..." Toni tak sedikitpun lega bernafas.
Ibu berpesan, "Sebenamya Nae sudah ceritakan semua
Pada Ibu," Ibu tersenyum, "N ak Toni, kalau marah sama
Naela jangan sekalipun membentak, cukup diberitahu, nanti
Naela akan minta maaf. Nak Toni berikan Nae satu, maka
Nae akan berikan dua. Berikan dia dua, maka Naela akan
2 2 h | Zg Juz Uartja 'Wanita

memberikan tiga."
"Pahami Naela agar ia lebih memahamimu. Kalau ada
apapun tentang Naela, jangan sungkan bertanya pada kita."
Ayah menambah, "Kamu bersiap mulai dari sekarang
Biar kita yang jem put Naela."
Toni bersyukur, tak m enyangka semuanya berlalU;
terjawab, semuanya terkabul. Mungkin berkat do'a Naela
yang khusyu', yang selalu panjatkan harapan. Toni salami
Ibu, m enciu m n ya, salam i Ayah N aela, bah kan Ayah
membalas dengan memeluk Toni Saputra.
~M a'rm m A ffany j 2 2 . J

— 'Ttrsihak. Satu Hjnhasia —

“ / i elamat Ton," Eko memberi sekecap ucapan.


Setelah sholat isya mereka berdua duduk di teras
L J mushola. Lampu satu-persatu sudah dim atikan,
tak ada lagi orang, hanya m ereka berd u a b erk ela k a r
pandangi bintang di tengah geiap malam. Eko sudah me-
lepas sarungnya tertinggal celana pendek, Toni bersarung
bersilah menghadap teman sejatinya, "Rasanya mimpi aku
bisa menikah dengannya."
"Ini bukan mimpi Ton. Ini kenyataan yang harus kau
hadapi, kenyataan yang harus kau syukuri," Eko pandangi
dua mata Toni yang meneropong masa silam.
Toni diam tak menanggapi.
"Kau sudah siapkan semuanya Ton?" Eko tatap Toni
dari samping.
"Apa Aku mimpi Ko?" sekali lagi Toni tak percaya.
"Ini kenyataan Ton. Besok kau menikah dengan Naela
Khasna, ini buah kesabaranmu, buah keteguhanmu, buah
kejujuranmu. Cintamu terbalas sudah. Mulai besok kau jaga
2 2 .8 | z g Ju z 'Harya 'HJanifa

kepercayaan Naela, dia sudah memberimu kepercayaan akan


rumah hatinya, dan kau jangan pernah mengkhianatinya "
Eko meyakinkan.
Toni sela rambutnya dengan jemari tangan, "Aku akan
teguh m enjaganya. Tapi sampai detik ini aku merasa tak
pantas Ko. Aku m erasa..."
"Toni," Eko pegang erat pundak Toni, "Kenapa dulu
kau gila mengejarnya?"
"Aku lihat ketenangan seorang Ibu di hatinya," Toni
berikan satu alasan.
"Kenapa sekarang kau justru merasa tak pantas?"
"Sekarang aku tahu diri siapa diriku, aku sadar Ko.
Aku sudah b erkaca," Toni pandangi bintang utara, "Aku
ingat katamu bahwa cinta punya m artabat."
Eko tak tahu bagaim ana harus m eyakinkan, "Kau
sangat pantas Ton. Kau tampan dia cantik."
"Bukan itu K o ..." Toni ingin Eko tak menyinggung
itu.
"Aku tahu Ton apa maksudmu. Tapi dengar Ton, saat
w anita percayak an cintan ya pada lak i-laki, berarti dia
temukan ketenangan dan keamanan perasaan. Cinta laki-
laki dan wanita jauh berbeda, jangan kau samakan. Jika
wanita sudah mencintai, tak ada lagi kata miskin atau kaya,
pintar atau bodoh, berpangkat atau tidak. Yang ada hanya
dia akan berikan semua yang dia miliki untuk suaminya,
semuanya, seluruhnya. Kau akan dibim bing tanpa sadar.
Kalau kau akan sesat berjalan, dia rajut jem arim u u n t u k
menunjukkan jalan yang benar," Eko belum menikah, tapi
selalu belajar dari kejadian.
Toni ingat Naela dengan segala kelebihannya, ia sadan
Naela adalah anugrah terbesar dari Allah untuknya.
"H id u p la k i-la k i tak lain bergantu n g s ia p a yang
mendampingi, dan peridampingmu adalah Naela Khasn3'
'Ma'mun Affaty | 2 2 $

gadis m ulia, suci, terjag a, lem bu t bu di p ek erti, tinggi


a k h la q n y a , dia akan sem pu rnakan sisa h id u p m u ," Eko
menepuk bahu Toni, "Percayalah Ton. Jaga dia baik-baik,
balas kepercayaan dia dengan cinta yang dari dulu sudah
Icau miliki. Naela pantas untukm u..." Eko meyakinkan.
Toni m engangguk, pandangi bu lan sekejap , lukis
wajah Naela di kanvas malam. Toni pejamkan mata, esok ia
bertemu Naela, esok ia ucapkan janji suci untuk Naela. Toni
dan Eko terpisah, Toni sendirian berjalan ke rumah, dari
depan pintu sudah terdengar sayup-sayup suara radio tua,
suara lagu kenangan, bap ak m ulai m elam un h abiskan
malam. Perlahan Toni buka pintu rumahnya, tempat di mana
Bapak rebahkan badan di atas tikar, Toni duduk mendekat.
"Bapak," Toni panggil perlahan.
Bapak tak bergem ing, ia terus rebahkan bad an di
bawah remang kuning temaram bohlam.
"Bapak," Toni sedikit keras memanggil.
Bapak tetap melamun.
Toni kecilkan radio sampai mati. Sudah bisa ditebak,
tangan Bapak erat menggenggam sandal, mengayun keras
tanpa ampun, "Plak!!!" telapak sandal mendarat di pipi Toni,
Toni sedikitpun tak menghindar.
Toni tak pergi, sembari rasakan panasnya tamparan
Toni memberi kabar, "Besok Bapak punya menantu. Besok
Toni menikah dengan gadis yang pernah datang ke rumah
ini, yang dulu selalu Toni cari. Besok pagi Toni akad nikah
dengan Naela Khasna," Toni usap pipi kanannya, "Terserah
Bapak besok datang atau tidak, Toni hanya ingin Bapak
tahu."
Bapak diam, Toni menunggu lama, ia siap kembali
ditarnpar atau ditendang.
“Apa kau mau satu hari bawa istrimu ke sini?" Bapak
bertanya.
2$0 |Zty 9uz 1-larja 'Wanita
"A sal Bapak b erja n ji tid ak m enam parnya, tid ak
menyiramnya waktu pagi," Toni mengajukan syarat, "Kalau
N aela salah sed ik it pada B apak, b ia rla h Toni yang
menanggung amarah Bapak," Toni tatap Bapaknya, "N aela
gadis baik-baik pak, bukan seperti Toni. Dia tidak tahu
tam paran itu apa artinya. Yang N aela tahu hanya saling
m enghorm ati."
"B ap ak in gin sekali b ertem u d en gan n y a," B ap ak
duduk.
"B eso k setelah subuh b eran g k at, keluarga Naela
m enunggu kita berdua," Toni berharap besok Bapak bisa
datang, entah membawa cangkul, atau sabit, Toni ingin
sekali bapaknya hadir.
Menjelang tidur Toni tata baju untuk hari esok. Baju
putih, jas yang dibelikan pak Ham id. Besok pak Hamid
datang, ia sudah janji, yang Toni dengar pak Hamid sudah
menginap di Hotel Tanjung Karang, dia rela batalkan satu
seminar di Jakarta Pusat.
Sepanjang malam Toni tak kunjung tidur, sedikitpun
tak pejamkan mata, membuka mengedip selalu membayang
N aela. Ia m em ang belum berjum pa sedikitpun semenjak
pertemuan di Kediri. Ia bayangkan Naela dengan mahkota,
tapi segera dibuang. Ia b e rla tih m engucap ja n ji nikah
sepajang malam di kamar, "Saya terim a nikahnya dengan
mas kaw in..." Toni tak ingin kecew akan Naela, tak ingin
membuat malu Naela di depan semua orang yang melihat-
nya. Sampai jam satu malam Toni berlatih, debar jantung-
nya sudah mulai berpacu beradu melodi janji di pelaminan-
Sebelum tidur Toni sempatkan membaca secuil ayat Qur an
agar tenang.
Kumandang Adzan Toni sudah bersiap di kamar,
atas dipan Toni sholat, ia bersujud titikkan tangis di temp
yang setiap hari tersiram air. Toni sibak tirai, s e k e t i
~Mamun Affany j 2 £ f

k e k ece w a a n membuncah melihat Bapak berpakaian rapi ke


savvah, m em bawa cangkul, sebotol air putih terikat tali
dipjnggang, sabit, bertopi camping Bapak berjalan.
Toni mengejar, "Bapak!"
Bapak berhenti tapi tak berbalik.
Toni mendekat ke belakang punggungnya, "Toni mau
menikah pak."
Bapak tetap tak berbalik.
Toni sunggu h kecew a, m eneian lu d ah k erin g di
mulutnya. Toni tak tahu harus berbuat apa, "Nama menantu
Bapak Naela Khasna," Toni menahan sakit, "Apa Bapak tidak
ingin melihat?"
Entah apa yang ada di benak Bapaknya, Bapak pergi
berjalan, m enjauh ke sawah. Toni terpukul, sekali ini ia
meminta, sekali saja, tak jua terkabul. Toni ingin Bapaknya
sekedar hadir, melihat, hanya itu, tak lebih. Tak harus rapi
atau berperilaku sopan. Tapi Bapak sudah jauh, pergi, sudah
tak peduli, Bapak sudah ke sawah, mencangkul, berkutat
dengan tanah basah.
Toni duduk di halaman beralas sandal, duduk di tanah
berembun beratap langit. Salah apa dirinya? Dosa apa pada
Bapaknya? Sedikitpun tak sudi untuk menoleh, menjawab.
Toni gelengkan kepala tak percaya, hari ini pernikahannya,
tapi hari ini juga ia lebih sakit rasakan derita acuh Bapaknya.
"Ton," Rika datang, sudah rapi berkerudung, "Kam u
kenapa di sini?"
Toni diam tak menjawab.
Rika tahu Toni punya masalah, "Ini sudah jam lima
T°n. Jangan terla m b a t, jan g an sam pai N aela kecew a
der>ganmu."
Kata-kata Rika Toni buang sejenak. Bapak! Bapak!
^aPak! Toni selalu sebut, ia terus bertanya kenapa Bapak
Se)ak kecil tak pernah baik padanya. Kenapa?
232 |z g Juz T-tarya Hlanita
"Tort," Rika jongkok samping Toni.
Toni langsung berdiri ke kamarnya, Toni berkemas
di hatinya terus tertanam pertanyaan akan Bapaknya Dj
depan kaca Toni memakai jas hitam, ketampanarmya tarnpa^
di balik kekecewaan, terang menyala meski memendam duka
ia berusaha melukis senyum meski terpaksa.
"Mana Bapakmu Ton?" Eko tanya sebelum berangkat
"Lupakan saja K o," Toni singkat menjawab.
Tak ada yang m engantar Toni layaknya pengantin
hanya Eko dan Rika pendamping dalam bis. Tak banyak yang
tahu Toni akan menikah, tak banyak yang tahu siapa yang
jadi pendamping hidupnya, tak banyak yang mengetahui
siapa Naela Khasna.
Toni sampai tepat waktu. Jalan kaki menuju rumah
N aela, tam pak ribu an orang tam u undangan datang
menantinya. Mobil Honda City pak Prof Hamid terparkir.
Semua duduk rapi di atas kursi, semua ibu-ibu dalam rumah
m enunggu, w aktu Toni lew at tak ada yang tahu jika ia
m em pelai pria, di pintu rum ah baru lah Toni mengucap
salam, "Assalamu'alaikum," Eko dan Rika seolah orang tua.
"W a'alaikumsalam..." pak Hamid sudah duduk dekat
Naela bersama Nenek.
"A lham dulillah..." Mama dan Papa Naela b e r s y u k u r
mengelus dadanya.
N aela tam p ak duduk terselu b u n g baju putih,
kerudung putih bersinar terang, ia tak menoleh ke belakang-
B erdebar Toni m elangkah m endekat, duduk bersengg^
pinggul dengan calon istrinya, Toni pun tak menoleh.
N aela m enyam but, "A lham du lillah Kakak datang
ju ga," Naela kembangkan senyumnya.
Toni lihat dua punggung tangan Naela b e r g a m b a r
ornamen bunga layaknya mempelai dari negeri H in d u sta n
India, merah di atas kulitnya yang putih. Kukunya sea
Ma'munAffany |233
panjang m utiara, seketik a jan tu n g Toni b erd ebar lebih
kencang, harum khas parfum Spalding Naela tercium.
"Keluargamu mana Nak?" Bapak mertua bertanya.
Toni tak tahu harus berkata apa, Eko dan Rika juga
ragu angkat tangannya, mereka Iba, tapi pak Prof Hamid
yang menjawab, "Kam i keluarganya."
Terangkat m a rta b at Toni sek etik a, terto lo n g rasa
malunya, terlepas darinya satu yang hina.
Janji terucap, Toni m enjawab dengan lancar, "Saya
terima nikahnya dengan mas kawin sebuah Qur'an dibayar
tunai."
Hanya Qur'an yang Toni bawa, hanya itu modalnya.
Entah besok sekeluarga makan apa, tak ada yang tahu. Hari
ini ia menikah dengan Naela Khasna, waktu do'a penutup
acara dipanjatkan, jem ari kanan Naela merajut tangan kiri
Toni dengan seribu kelem butan, hangat terasa, syahdu
indahnya, Toni m em balas seakan m enjaw ab, "Aku akan
menjagamu N aela..."
Riuh pernikahan tak henti, kebahagiaan tertabur di
setiap reiung hati, sebelum usai pak Hamid dekati Toni yang
duduk bersanding Naela, berkopyah putih berjas hitam ia
berjalan salami Toni, "Bapak pulang dulu Nak."
"Terim akasih banyak Pak, entah bag aim ana..." Toni
tak melanjutkan.
"Sudahlah..." pak Hamid menepuk punggung tangan
Toni y a n g ada dalam genggam annya, "Beruntung kamu
m endapatkan Naela, Bapak sudah ngobrol dengannya, jaga
dia b a ik -b a ik , jangan lupa telpon kalau mau kem bali ke
Jak arta."
" M a k a s ih ..." Toni hanya bisa m engucap, tiba-tiba
Naela ada d i sam ping Toni, ia pun ik u t m em balas,
Terimakasih pak, h ati-hati di jalan."
2 3 4 | Z /j ']uz K artja 'W anita

Hari itu Toni le b ih tah u bagaimana Naela K hasna ia


b en ar-b en ar buah bib ir bagi orang yang m e n g e n a ln y a
W aktu tem an-tem an dari p esan tren datang N a e la teru
digoda, tapi sedikitpun tak marah, ia dikelilingi puluhan
teman berkerudung, mereka semua memberi kado, Toni diam
bukan karena tak ada tem an yang datang, tapi Bapaknya
sen d iri tak ada. Sebelu m b erp isah tem an-tem an N aela
sem patkan sejenak m encubit pipinya, setelah p u a s baru
m em eluknya, tiba-tiba N aela m endekat, harum terciu m
"Teman-teman Ade' ingin pamitan Kak."
Toni mengangguk, berjalan bersama, Toni berdamping
Naela melepas di halaman.
Malam pertama Toni sekamar dengan Naela. Toni lihat
kamar serba putih, dinding berbalut bunga, atap tertutup
k ain selem b u t sutra m en iu n tai u ju ng ny a, N aela lepas
kerudungnya, tam pak begitu indah ram butnya terjatuh,
seolah m alaikat perlahan m enahan ujungnya agar pelan
m elam bai, N aela m end ekati Toni diran jan g, dada Toni
kembang-kempis tak karuan.
N aela m elih at segu m pal k eresah an di balik mata
suaminya, "Kakak kenapa?"
"Bapak De'. Kakak masih belum bisa menerima kenapa
B ap ak le b ih m em ilih ke saw ah d arip ad a p e r n ik a h a n
anaknya," Toni letakkan dagu di atas lututnya.
Jem ari kiri Naela bergerak, membelai rambut suami,
Toni seolah m enjadi anak kecil, "Su d ah kak, itu s u d a h
berlalu, nanti kita tanyakan pada Bapak alasannya. Bapak
pasti punya alasan."
Toni pan d angi paras N aela, m enerobos kilata
pandang dua mata bundar, "Boleh kakak tidur di pangkuar*
A de'?" J J
Naela tersenyum, Toni benar-benar menjadi an ak ^
tapi Naela tak kesal. Naela m engerti, Toni sedari kecil ta
"M amun A ffany \

m erasak an n y a, sedari kecil tidur di atas dipan t a k berkasur


sendirian. Naela lemparkan senyum, "Ade' sudah jadi istri
kakak ," Naela m enyeret tubuhnya m encari sandaran, ia
l u r u s k a n kakinya, "T id u rlah kak, tidur di sin i," N aela

menepuk pangkuannya.
Toni jatu hkan kepalanya di pangkuan N aela, dua
tangan Naela bermain membelai rambut Toni, tak kuasa Toni
menahan haru. Naela mengerti, Naela terus melakukannya,
meraba keningnya, m erajut tangan Toni agar m erasa tak
sendiri di dunia.
"M alam ini rasanya m im pi de', mimpi bisa ada di
pangkuan A de'."
"Ini kenyataan kak, cubit pipi Ade' kalau kakak tidak
percaya. Ade' pasti mengaduh," Naela ingin menghibur.
Toni tersenyum m enatap wajah istrinya, "Ade' mau
hidup di Jakarta?"
"Ade' ikut kakak saja," Naela singkat menjawab, "Tapi
sebelum berangkat pam it dulu ke Bapak. K ita sekalian
silatirahim."
"Lebih baik tidak usah D e'," Toni benar-benar sakit
hati.
"Jangan seperti itu Kak. Kita luangkan sedikit waktu,
mungkin satu jam saja, yang penting Bapak tahu di mana
kita," Naela telisik wajah Toni, kekecewaan masih terpancar,
"Kita minta do'a kak. Ade' juga pengin bertemu, kalau bisa
kita menginap semalam temani Bapak."
Terbius Toni dengan kata Naela, Toni menurut, luluh
keras hati yang menggumpal karang, luluh keras benci yang
menggumpal endapan. M alam itu Toni dan Naela hanya
ertukar cerita, tak lebih. Naela tak letih memangku sampai
Toni tertidur sendiri. Naela buka selimut tutupkan ke tubuh
SUarninya, Naela kecup kening Toni pertama kali, malam itu
^ aela tak henti pandangi w ajah Toni, ia ingin bisa terus
Z$ 6 | Z g 9uz U arija 'W anita

menemani, ingin bisa m em bahagiakannya. Lampu kam


Naela matikan, Naela tidur satu selimut berdampingan Ba •
N aela sud ah m em buat tidu r kak Toni nyenyak adalah
anugrah kebahagiaan.
M alam sem akin larut, m engubur m anusia bernafas
dingin, sepi menyelimut, sunyi menyela, mimpi indah hadir
bagi pendo'a, di bawah selimut dua insan menyatu di balik
lelap, di bawah selimut dua insan berhimpitan dalam satu
rahmat, di bawah selimut dua insan bernafas memohon restu
kaidah pernikahan.
Toni dan Naela tak lama tinggal di Lampung, mereka
putuskan ke Jakarta, Naela menuruti keinginan suam inya.
Bagi Toni Lampung menjadikannya kembali bertemu Bapak,
ia ingin sem uanya terlep as, ingin m em ulai hidup baru
bersam a N aela, entah senang, entah payah, T o n i hanya
bersaku bismillah. Sebelum berangkat mereka berdua singgah
di Pringsewu menjenguk Bapak.
Pagi-pagi mereka berangkat, pamitan Papa dan Mama
Naela.
Dalam bus Toni heran, gelang em as 25 gram milik
Naela tiada, "Gelang Ade' tidak dipakai?"
"A d e' ju a l Kak, u ntu k b ek al k ita ," N aela tulus
tersenyum .
"T a p i..." Toni menyesal tak tahu, seharusnya ia bisa
membelikan, bukan membuatnya dijual.
"Sudah kak, tidak apa-apa, nanti satu waktu akan ada
gantinya," N aela meyakinkan.
"M a a fk a n kakak D e '," d alam bis Toni s e a k a n
dengarkan bisikan kedalaman kasih Naela.
"Tidak apa Kak," Naela jatuhkan kepala berkerudung'
nya di pundak kiri Toni.
Berdua nikmati hari-hari indah bersama, Naela terus
ada disamping Toni, Toni masih belum tahu bagaimana harus
"Ma'mun Affany \ 2 $ /

bahagiakan Naela, selalu Naela yang membuatnya tenang,


Uiembuang gundah gulana sebelum Toni memberitahunya.
Sampai di Kuncip Toni jadi bahan pembicaraan satu
kampung, mereka pertama kali melihat Naela Khasna dalam
gandengan Toni, sem ua diam saat lew at w alau Toni
menyapa, semua seakan tak percaya melihat Toni berjalan
menggandeng gadis berkerudung lebar berjalan menunduk
dalam, sebelum m asuk rum ah Toni berhenti di halam an
menatap rum ahnya, seharu snya rum ah terhias busana
pernikahan, tapi rumahnya tetap seperti dulu, tetap usang,
tetap berjendela plastik sobek, "Ini rumah kakak D e'."
"Masuk kak, Bapak pasti senang melihat kita," lengan
kiri Toni dirangkul Naela.
Toni kembali melangkah, masuk tanpa salam, Bapak
tidak ada, belum pu lan g d ari saw ah. Toni buka tira i
kamarnya, "Ini kamar Kakak D e'."
Miris hati Naela melihat meski untuk kedua kalinya,
setiap hari Toni tidur di atas dipan, bawahnya tanah basah
seolah kubangan air, secuil garis seolah selokan tempat air
mengalir, "Di sini setiap pagi Bapak menyiram."
"Kakak tahu kenapa Bapak m elakukannya?" Naela
duduk di atas dipan.
"Dua puluh tahun lebih kakak bertanya, selama itu
Bapak tak pernah menjawabnya," Toni buka jendela, cahaya
masuk menerobos.
Naela putuskan tak langsung pulang, ia ingin bertemu
Bapak, ingin bicara padanya. N aela menunggu, duduk di
depan beralas tikar Bapak. Toni pergi membeli nasi. Nikmati
matahari tenggelam N aela duduk sendirian, m enunggu
waktu adzan m ag rib berkumandang. Waktu gelap perlahan
m eram b at, ta m p a k bapak berjalan membawa cangkul, ia
m e n d e k a t, kakinya b asah tak b ersan d al. N aela b erd iri
m enunggu, waktu bertemu salami Bapak.
238 |Z ) Juz T-tarya 'Wanita

"Sudah lam a?" Bapak tak diam.


"Dari siang pak," Naela mengekor di belakang.
Saat Toni datang Naela m enyadari Toni dan B ap a]<
bak air dan m inyak, tak pernah duduk berdua, d u d ^
bersama, diam selalu tanpa kata. Pantas Toni ingin mencari
ketenangan, pantas Toni ingin tidur di pangkuan. Naela
terpaku melihat tak ada secuil kalimat terucap, tak ada kata
sekedar bertanya "Sudah makan Ton?" atau "Baru datang
pak?". Naela tak henti mengumandang heran.
Setelah isya Bapak dekati Naela di kamar, "Boleh bapak
bicara?"
Kebetulan Toni sedang pergi ke tempat Eko.
Naela mengangguk, Bapak mengajak Naela duduk di
halam an rumah, beralas tikar beratap langit. Bagi Bapak
halaman sudah menjadi ruang tamu. Naela kembali ke kamar
mengambil selimut, ia bungkus tubuhnya, sebelum saling
menyapa mereka menatap langit bersama.
"Bapak tidak kedinginan?"
Bapak menggeleng.
Jauh dari mata Naela kesan Bapak yang selalu marah,
selalu menampar.
Bapak menarik nafas dalam, "Bapak titip Toni, Bapak
ingin anak itu bisa bahagia bersam am u, hanya itu do'a
Bapak, temani dia, temani Toni."
Naela mendengar, sejenak diam, "N ae boleh bertanya
pak?"
Bapak mengangguk.
"Kenapa kemarin Bapak tidak datang?" Naela halus
bertanya, tak m ungkin Bapak marah, "Pernikahan hanya
sekali dalam seumur hidup, kasihan kak Toni."
Bapak tak b isa m enjaw ab, dua tan gan menutup
m ulutnya.
"Toni anak Bapak, d an ..." belum usai Naela mengucap
Bapak m enggelen g, N aela seketika diam , jan tu n g n y a
tersengat.
"Toni bu kan anak B ap ak ," Bapak pejam k an m ata
mengucapkan.
Naela tak percaya, "Jangan bercanda Pak."
Bapak m ulai b ercerita, "D u lu Bapak m en citai
seseorang, Bapak sangat mencintainya."
Naela memandang seakan suaminya yang bercerita.
"S e p e rti Toni m encin taim u ," Bapak tak langsung
melanjutkan, "Tapi wanita yang Bapak cintai, yang selalu
Bapak puja, yang selalu Bapak sayang hamil d i..." Bapak
terlihat tak sanggu p, "T api karena cin ta ju g a Bapak
menikahinya."
Bapak berusaha senyum , "B ayan gan Bapak hidup
yang akan dihadapi bisa bahagia setelah anak lahir dari
rahimnya, tapi manusia hanya bisa berangan, Tuhan juga
yang akhirnya m enentukan. Ibu Toni m eninggal w aktu
melahirkan, Toni adalah titipan dari Halima, wanita yang
tak akan pernah Bapak lupa."
Naela bisa rasakan betapa sakitnya hati Bapak, Naela
bisa bayangkan bagaim ana h ari-h ari yang Bapak lalui.
M ungkin jika orang lain tak sudi melakukannya, setiap h ari
hanya m e lih a t an ak o ran g lain , "Kak Toni ta h u p a k ? "
"T id a k ada yang tahu, hanya kam u yang Bapak
beritahu, sem ua orang di kam pung in i tak satu p u n
mengetahui. Bapak simpan berpuluh-puluh tahun, sekarang
Bapak ingin kamu menyimpannya rapi."
Naela mengangguk.
"Beruntung kalian berdua saling menyayangi, ikhlas
saling memiliki, kamu jaga dia baik-baik, bapak titip Toni,"
^apak seolah usai jalani tugasnya.
240 j zg %z 7-larja 'Wanita
Naela lepas selimut, ditutup ke pangkuannya.
"Sebelum kamu berangkat tolong bawa tiga buku tuli
di atas m eja kam ar Toni. D ia p elupa, dia past-
meninggalkannya. Di dalamnya ada tulisan Toni, sepertinya
cerita kalian berdua, Bapak sudah baca, Bapak terkesan
m em bacanya, kalau bisa kam u b eri ju d u l di ujung
penantian, m ungkin satu hari berm anfaat, mungkin satu
w aktu tu lisa n itu berguria, atau dengan tulisan itu
kehorm atan Toni terangkat tinggi," Bapak sedikitpun tak
sentuh Naela, Bapak hanya menoleh.
"Bapak ingin lihat anak itu hidup bahagia, dia tidak
akan mengecewakanmu," Bapak berharap, "Percayalah..."
Naela mengangguk. Sebelum tidur Naela dekati meja,
di atasnya tiga buku tulis berukuran 26 x 36 cm. Naela buka,
semua berisi tulisan tangan bertinta hitam, Naela masukkan
dalam tas, Naela tatap tubuh Toni yang terbaring, Naela
mendekat mengecup keningnya, "Ade' sayang Kakak..." satu
ucapan terucap mengantar tidur.
M a'm un A ffan y | Z 4 f

s
— Satu Itym afi teerdua —

T
oni dan Naela putuskan bersama berpindah tempat
ke Jakarta. Barang-barang dibawa secukupnya,
Toni minta Naela tak bawa semua baju, satu hari
akan kembali. Naela sudah bulat tekad kuat niat temani kak
Toni bagaimana pun keadaannya.
M inggu pertam a N aela dan Toni hidup num pang
berdua di belakang rumah pak Hamid, di ruangan 3 x 4 m,
semua barang menumpuk menjadi satu, Toni tetap mencari
kon trakan , sampai dapat satu rum ah kecil di antara satu
d ere t k o n t r a k a n di p a s a r m inggu, P o ltan g an gang 4 .
rumahnya menyatu dengan rumah lain, menempel seperti
barisan, teras hanya selebar tiga keramik, pintu satu, jendela
kaca besar tak berdaun cerminkan ruang tanpa kursi, kamar
hanya satu, Toni tata seperti yang Naela minta, kasur di
lantai beralas karpet biru. Toni belum sanggup beli dipan,
atau ranjang, baju masih ditumpuk tanpa almari, sajadah
selalu terhampar di samping kasur, kamar mandi menyatu
dengan WC, air mengucur dari kran ke ember merah besar,
242 | Z ) Juz T-tarya 'W anita

empat langkah dari kamar mandi kompor gas terpatri.


"Ade' tidak apa-apa hidup seperti ini?" Toni khawati
Naela kecewa, di rumahnya segalanya ada.
"Kenapa kak? Kita syukuri apa yang ada, nanti satu
waktu A llah akan m encukupi kebutuhan kita, kalau kita
ban yak m engaduh, A llah p erlah an akan mencabut
nikmatnya," Naela tersenyum kembangkan pipinya.
Toni buka dua tangannya isyaratkan N aela untuk
jatuh dalam pelukannya, Naela mendekap balas, erat, lama
tak terlepas, Naela ingin Toni lupakan hari yang lama ia
lewati, Naela ingin hidup kak Toni tak lagi berhias tamparan
Bapaknya, "M ulai besok insya Allah Ade' mengajar di TK,
sorenya mengajar di TPA masjid," Naela melepas pelukan.
Toni tak bisa berkata, ia hanya belai rambut istrinya,
Toni bahkan m endongak sem bu n yikan kaca di dasar
m atanya.
"K enapa kakak mau m enangis? Itu kabar gembira
kak," Naela heran.
Senyurn paksa Toni berusaha kembangkan, "Kakak
ingin bisa bahagiakan Ade', tapi setiap hari jutru Ade' yang
bahagiakan kakak."
"Kakak setiap hari sudah bahagiakan Ade' kok," Naela
menyadarkan.
"Tapi Kakak tidak merasakan itu D e'," Toni tak tahu
kapan waktu membuat Naela bungah hati sepertinya.
Naela gerai rambutnya, "Kakak jadikan Naela satu-
satunya tempat keluh kesah sudah menjadi satu kebahagiaan
buat A de', kakak tak m arah sudah berarti k e b a h a g i a a n
untuk Ade', kakak percaya nasehat Ade' sudah berarti s a t u
kebahagiaan untuk Ade', kakak jadikan Ade' s a t u - s a t u n y a
orang yang melihat air mata kakak jatuh sudah berarti satu
kebahagiaan tertinggi untuk ade'."
Tvla'mun Affamj | 2 4 3

Malu Toni mendengarnya, seharusnya ia tak katakan


j i k a belum bisa bahagiakan Naela, satu perm intaan Toni

u c a p k a n , “Jangan tinggalkan Kakak ya De'."

"Itu kewajiban A de' kak," Naela mengucap sembari


s a n d a r k a n kepala di dada suaminya.

Kalau malam datang Toni pasti lebih dulu tertidur,


tertidur berbantal perut Naela, bermandikan ayunan nafas
N a e la . N aela akan belai ram butnya, keningnya, kadang
N aela bercerita seperti Ibu bercerita pada anaknya. Naela
mengerti kenapa Toni seperti itu, toh lelaki memang anak
kecil jika sudah terpeluk. Sedari kecil Toni tak merasakan,
sedari kecil hanya berteman dingin.
Kadang Naela gantian tidur di pangkuan Toni, tapi
sebenarnya Naela pura-pura menutup mata, ia menunggu
suaminya terlelap mimpi, Naela akan ambil selimut, tutupkan
ke tubuh suam inya, N aela akan rap ikan ram bu tn ya,
mengecup keningnya m esra. Setiap m alam N aela selalu
lakukan, tak pernah bosan, tak pernah Naela letih. Di hatinya
sudah tertancap hasrat untuk bahagiakan suami yang tlah
mencintai sebenar makna.
Toni tam pak terg olek nyenyak. D iam -diam N aela
membaca tiga buku Toni, tulisan tangannya jelek, tapi Naela
tetap b isa m em baca, k ata -k a ta n y a rapi sep erti dalam
suratnya, bahkan N aela tidak sadar jika sudah jam satu
malam, Naela hanyut dalam cerita yang Toni buat, Naela
nikmat duduk m enyandar dinding terganjal bantal, jika
terharu Naela pandang Toni dalam, benarkan selimut atau
sekedar mengusir nyamuk. Entah mengapa Naela tak bosan
meski sudah tiga kali membaca, Naela merasa berbincang
dengan kak Toni saat menikmati setiap baris katanya, tapi
loni tidak tahu jika cerita itu ada dalam genggaman Naela.
Kalau datang pagi Naela pula yang membangunkan
Toni untuk sholat malam, kalau sedikit sulit Naela percik-
2 4 4 | 2 ^ ]uz "Marya 'Wanita

k a n s e c u il a ir w u d lu d i w a ja h s u a m in y a . K a la u Tori’
m em b u k a m ata N a e la su d ah b erm u k en a h rap i b ercah ay a
Waktu pertama kali Toni tak mau menjadi imam, Naela
jau h lebih fasih , lebih afd ol, tapi N aela jua yang
mengingatkan, "Kalau bukan Kakak imam Ade', siapa lag}
kak? Jangan merasa kecil Kak, Ade' akan benarkan kalau
Kakak salah," Naela meyakinkan.
Toni menurut, yang dibaca dalam sholat malam ayat-
ayat pendek, ujung juz amma, yang Toni sudah hafal, dalam
hati Naela trenyuh mendengar, suara kak Toni kadang serak
tapi tak rendah, m enyentuh hangat, N aela selalu ingat
dahulu kak Toni tak bisa sedikitpun membaca Qur'an.
Usai tahajud Naela selalu ajari Toni untuk memper-
b aik i bacaan n ya, Toni tahu d iri, tak m alu ia meminta,
Naelapun setiap malam sabar menuntun suaminya. Kadang
sebelum tidur Toni menghafal surat lain agar Naela tak bosan,
Naela selalu mendengarkan sedikitpun tak acuh.
"S a b b ih ism a rab b ik al a 'la , allad zi kholaqo wa
saw w a..." sebelum tidur sembari memangku kepala Naela
Toni menghafal.
"Fa sawwa k ak ..." Naela tersenyum.
Toni mengulang dari awal. Usai menghafal Naela pasti
bertanya pada Toni, "Besok pagi kakak mau sarapan apa?"
Tapi anehnya Toni tak pernah m enyebut m a s a k a n ,
mungkin Toni tak tahu nama, mungkin juga tak hafal. Toni
selalu jawab, "Apa aja."
Di sekolah TK Naela bawa tiga buku tulis s u a m i n y a ,
di waktu senggang Naela minta salah satu guru m e m b a c a
di tengah riuh anak kecil bermain, di tengah kepungan a n a k
kecil saling mengejar. Namanya Icha, "Kak Icha!" a n a k - a n a k
selalu m em an ggiln ya. D ia b ersem an g at w aktu s e l e s a i
membaca, "Bagus bu, aku tidak bosan membacanya, s u d a h
dua kali mengulang."
~Ma'mun A jfany j

Naela senyum, dipeluk tiga buku suaminya. Di awal


ia m engira bagus karena kak Toni suam inya, nyatanya
banyak yang suka selain dirinya.
"Tulisan Ibu Nae ya?" kak Icha selalu memanggil Ibu,
Naela paling tampak keibuan di antara yang lain.
"S u a m ik u ," N aela m enjaw ab d ibalik m eja
mengajarnya.
"W ah, suam i ibu hebat y a ..." kak Icha m em uji, ia
benarkan kaca matanya.
Naela bahagia mendengar suaminya jadi pujian, tapi
s e k e t i k a Naela bingung, "Aku apakan tulisan ini M b a ’ ? "

"Ibu ketik saja dulu di komputer, biar rapi, nanti baru


diajukan ke penerbit," kak Icha memberi saran.
Sejak itu sepulang dari mengajar Naela luangkan dua
jam singgah di warnet bang Usman, tetangga, lima puluh
meter dari rumah. Tak kenal lelah Naela mengetik, setiap
hari, kadang Naela bingung dengan tulisan kak Toni, tapi
semakin lama Naela bisa m engganti kata yang tak tepat,
memilih, menambah, kadang mengurangi. Naela pesan satu
komputer khusus, dari jam satu sampai ashar Naela menatap
layar, setiap kali Naela datang bang Usman sudah siapkan
tempat, "Silahkan bu."
Satu waktu Toni pulang lebih cepat, Toni buka pintu
tapi terku n ci. Toni ketuk, m enyapa den gan halus,
"Assalamu'alaikum! Ade'! ade'!"
Toni mengintip dari jendela. M ungkin tertidur, Toni
coba ketuk ketiga kalinya, "Assalamu'alaikum!"
N aela tak kunjung k elu ar, Toni duduk di teras,
sepatunya belum dilepas, lapar m engeroyok perut, letih
^engubur tulang, mata m engantuk, Toni tertidur seperti
gelandangan di teras.
“A stag firu llah ..." N aela dari jauh terkejut m elihat,
setengah lari m engham piri, jon gkok N aela bangunkan,
Z4& \zg %z 7-larrja 'Wanita

"Kakak! Bangun kak," Naela sentuh tangannya.


Toni buka mata, duduk memangku letih, sedikit se\y0
Toni bertanya, "Ade' dari mana?"
"W arnet kak," Naela buka pintu.
Toni mengekor, yang pertama didekati meja makan
dibuka tutup lauk, sedikitpun tak tersedia lauk, nasipun tak
ada, "Kok tidak masak de'?"
Biasanya Naela masak setelah ashar, menyambut Toni
pulang waktu magrib, Naela lepas kerudungnya, "Belum
masak kak."
Toni duduk terdiam di samping meja makan, ia kesal,
peru tnya b e n a r-b en ar b ersu ara kencang, payah letih
berkumpul, ia usap keringat di kening.
"Sebentar kak, Ade' buatkan m ie," Naela nyalakan
kompor gas. Sekilas Naela meihat wajah suaminya, buram
kusam tak bicara.
"Kalau kakak pulang cepat Ade' harus masak ya..."
Toni berharap.
Tersirat kesalahan Naela. Naela mendekat mendengar,
sekecil bisikan di rumah sempit akan terdengar, "Maafin Ade'
ya kak," N aela tak katakan jika ia sibuk dengan tulisan
tangan suaminya sendiri.
"Tidak apa, tapi jangan diulang lagi," Toni meminta.
N aela m engan gguk, ram butnya yang terjatuh
diselipkan ke belakang telinga Naela.
Kalau sudah akhir bulan beras habis, gula tinggal satu
sendok, minyak kering, bumbu sudah layu, tak ada lagi yan8
dimasak, uang Naela habis untuk rental, uang Toni tak cukup
dimakan berdua, Naela hanya menunggu kak Toni pulang/
berharap membawa sedikit makanan. Naela duduk di ruang
depan, mernijat kening sendiri sembari menatap halaman luar
mulai redup menunggu adzan.
"Assalamu'alaikum ," Toni mengetuk.
JAa'munAffany \ 2 4 /
Naela pasti menjemput di pintu, "Wa'alaikum salam ..."
ja akan salami Toni, mengecup pipi kanan dan kiri, Naela
tak pernah melupakannya.
Seketika yang N aela lih a t dua tan gan suam inya,
kosong, lepas jantung dari dadanya, sedikitpun tak mem-
bawa makanan, perut sudah kering kelaparan.
Toni seperti biasa membuka tutup lauk, kosong tak
s e c u i l p u n ada isi, "Tidak masak D e'?"

"Sudah tidak ada yang dimasak Kak," Naela ambil air


wudlu, gemericik air tak terdengar.
Toni buka dompet dari saku belakang, kosong tanpa
uang, "Ade' sudah makan siang?"
"Ade' hari ini puasa K ak ," di kam ar N aela sudah
bermukenah.
S eben tar lag i w aktu m agrib tiba, Toni lih at jam
dinding, lima menit lagi kumandang adzan terdengar. Dilihat
Naela sed ang duduk b erm u k en ah m em baca Q u r'an
menunggu waktu buka. Tanpa pamit Toni keluar. Sebenar-
nya Toni bingung, Naela puasa apa? Bukan tengah bulan,
bukan senin, bukan kamis. Toni jalan cepat mencari makan
Toni singgah sebentar di rumah tetangga, pak Mus­
lim, gemuk, rumahnya paling pojok dari deretan kontrakan,
tanpa basa-basi Toni minta tolong, "Bisa pinjam uang pak,
sekali ini saja."
"Berapa Ton?" Muslim telanjang dada, tak memakai
baju, lipatan perutnya tampak.
"Sepuluh ribu saja," Toni m elihat jam dinding, dua
menit lagi kumandang adzan terdengar, ia lupa dirinya iuga
belum makan.
Toni berlari, ia belum mandi, membeli bubur biji salak,
sebimgkus nasi berlauk sate, ia ingat orang puasa begitu
*apar rasanya, kembalian seribu Toni simpan dalam saku.
Toni kem bali berlari, "A llahu A k b ar... A llahu A k b a r..."
Z 4& | Z g % z TU tya ‘W anita

Adzan magrib berkumandang, Toni memacu kakinya agar


lebih cepat, pintu rumah dibuka, terengah-engah nafasnya
berhembus, tampak Naela meneguk segelas air putih.
"Ini bubur D e '/' Toni menyodorkan.
"Kita sholat dulu Kak," Naela merasa cukup.
Toni tetap ambil mangkok, seplastik bubur ditumpah-
kan, Toni dekati Naela yang sudah duduk menunggu sholat
"Kakak wudlu dulu, Ade' makan sedikit dari bubur ini."
Naela menurut. Ia memang sangat lapar, haus, dahaga
masih mencekat kerongkongan meski tlah menenggak segelas
air. Bubur dingin, bersantan, Naela paling suka, waktu Toni
kem bali, m angkuk sudah kosong, Toni m engelus dada,
senang rasany a b isa b ah ag iak an N aela. Toni berganti
sarung, kalau magrib datang berdua sholat di rumah, usai
berdo'a Toni balikkan tubuhnya, "Ade' puasa apa?"
"Tadi pagi makan kita hanya cukup untuk kakak, Ade'
puasa saja," Naela tersenyum.
Bergegas Toni ambil nasi bungkus, piring, dan sendok,
cepat-cepat Toni hadirkan ke depan N aela. Toni sengaja
membuka di depan Naela agar asap tampak mengepul, agar
N aela sen an g m elih at m asakan h ang at yang dimakan,
"Makan de', Ade' pasti lapar."
"Kakak makan apa?" Naela ingin tahu.
"Nanti kakak cari lagi de'," Toni ingin waktu itu Naela
lupakan laparnya.
"Kita sama-sama saja kak, kakak pasti belum makan
siang," Naela menebak.
Dalam hati Toni tersenyum, Naela tahu, "Sudah D e,
Toni pura-pura.
"Jan g an bohong Kak. Tadi kakak datang l a n g s u n g
tanya lauk kan?" Naela menyadarkan, "H ay y o o ..." Naela
colek hidung Toni.
'Ma'mun Affany j 2 4 $

Naela paling bisa menggoda, paling bisa m em buat


gundah m enjadi gula. N aela tak pernah m enginginkan
apapun, sudah bisa makan bersyukur, N aela tak pernah
memandang rumput tetangga lebih hijau, bunga tetangga
lebih harum. Naela selalu berfikir ia sudah beruntung ada
d i tengah kebersam aan, tak bertengkar, tak salah paham,

selalu berusaha membahagiakan, Toni tak bisa menjawab.


"Kita makan bersama saja Kak, satu piring berdua,"
Naela membujuk.
Toni masih belum bisa, tapi Naela langsung berikan
satu suap, tak bisa Toni menolak, satu bungkus termakan
bersama.
Kalau malam Naela tak lupa selalu bertanya, "Kakak
besok makan apa?" tapi Naela lupa dirinya.
Toni baru sadar, seharusnya ia yang bertanya, "Ade'
ada uang?" Toni heran, di g e n g g a m a n n y a seribu perak.
"Nanti Ade' pinjam ka' Icha," Naela menenangkan.
Toni tahu m eminjam itu malu, m eminjam uang tak
mudah, lebih sulit mengembalikan.
N aela pand angi w ajah Toni dalam pem barin gan,
termenung diam, "Jangan fikirkan itu kak, satu hari Ade'
akan bayar."
Toni belum bisa bicara.
"Ni kak jemari kiri Ade'," Naela memberikan sebagai
hiburan.
Biasanya Toni m ainkan jem ari Naela, m elihat kuku
imutnya, m enggenggam , kad ang d ip ijat, kalau sudah
wengantuk disandarkan ke dada.
"Besok Naela boleh ikut ke rumah Nenek?" Naela ingin
fttenghadap pak Prof.
"Besok Ade' tidak mengajar?"
"H ari jum'at Kak," Naela berbaring miring.
Z ^O | Zq 0uz 'H arja 'W anita

"Boleh, tapi untuk apa?" baru kali ini Naela ingin ikU{
"Ade' ingin ketemu pak Prof," Naela mengingat tuliSari
yang ia ketik.
"Untuk apa?" Toni singkirkan beberapa rambut Naela
dari parasnya.
"Biar kakak jadi penulis," Naela tersenyum bercanda
"Ah... jangan bercanda D e'," Toni seolah mendengar
surga jatuh ke pangkuannya. Rasanya tak mungkin.
Naela kembangkan senyum khasnya, "Tapi Nae boleh
ikut kan?"
Toni m engangguk.
Naela pandang guratan wajah suaminya. Naela ingin
tinggikan martabatnya, Naela ingin orang tahu betapa ber-
harga suaminya, Naela ingin Toni bisa lupa dan tak pemah
tahu jika orang yang selalu menampar bukan Bapaknya.
Kadang Naela mengucap dalam canda, tapi sebenar-
nya tidak, ia memang ingin meyakinkan Toni yang sering
rendah diri, ia ingin yakink an jik a dirinya juga sangat
m encintainya. M elih at Toni m enutup m ata N aela tarik
selim ut agar tertu tu p tubuhnya, perlahan N aela kecup
keningnya basah, "Ade' sayang Kakak."
~Ma mun Affamj | 2 ]y i

— Naefa Trfenjaufi —

S
ubuh asyik berdendang m enggoyang pagi buta
yang belum membuka. Bulan hampir tak tampak,
tapi langit m asih hitam kelam , tak dingin, deru
kendaraan sudah mulai terdengar, lampu terang menembak
jalan, tiku-tikus di got berlarian, kucing tak m enerkam ,
hanya duduk di depan pagar memandang, tikusnya hitam
b esa r, bulunya kum uh b erselap u t air com beran. N aela
khusyu' berdo'a di m asjid, m emohon kem udahan dalam
hidupnya, ia ditemani tiga orang, ka' icha, dua lagi orang
tua su d ah bungkuk badannya, jama'ah laki-laki tak tampak
di depan tersekat kain hijab hijau.
Naela tak buka mukenahnya, hanya melipat sajadah,
"K a' Icha, boleh Nae pinjam uang?"
"Berapa Bu?" ka' Icha tetap memanggil Naela Ibu.
"Sepuluh ribu saja," Naela berharap itu cukup untuk
rnakan berdua.
"Nanti Ibu ke rumah saja," ka' Icha mempersilahkan.
"Alham dulillah," dalam hati Naela bersyukur, "N ae
Pulang dulu ka' Icha."
Z JZ |29 % z 'Narya TUanita
"Iya ga' papa," ka' Icha tahu kalau Toni pasti sudah
berdiri menunggu di dekat rak sandal.
N aela b e rja la n sed ik it cep at, tam pak suaminya
bersarung tanpa peci berdiri dekat pagar pandangi deretan
sandal, jika Naela sudah tem ukan sandal, mereka berdua
berjalan berdam pingan pulang, susuri gang-gang, lew ati
tempat pemotongan ayam Naela tutup hidungnya.
"Nanti Ade' jadi ikut?" Toni ingin memastikan.
"Jadi kak," Naela mengangguk.
Sejenak diam, nikmati gang-gang kecil.
"Pak Prof nanti di rumah atau pergi kak?" Naela ingin
tahu.
"Jam sembilan Bapak pergi."
Naela mengangguk.
"Ade' benar ingin bertemu pak Prof?" Toni tak yakin.
"Insya Allah kak," Naela menoleh ke kanan.
Dalam diri Toni hakikatnya terus bertanya "U ntuk
apa Naela bertem u pak Ham id? Ada keperluan apa? Tak
biasanya, selama hidup baru hari ini Naela meminta untuk
bertem u."
R um ah di depan m ata, Toni buka p intu r u m a h ,
persilahkan Naela masuk, ia langsung ke kamar, tak l e t a k -
kan sajadah, Naela langsung mencari tiga buku s u a m i n y a ,
mencari 130 halaman yang sudah diketik rapi, Naela s e c e p a t
kilat masukkan tas.
Toni lepas baju, digantung di balik pintu, m e lir ik

istrinya yang gugup.


Naela memilih kerudung hitam, "Ade' ke tempat ka
Icha."
Toni mengangguk.
Naela setengah lari, entah mengapa Naela begitu guS^ '
suara langkah sandal japitnya terdengar saingi suara
tukang sayur, "A ssalam u'alaikum ..."
"Ma'munAffany |2^5
"W a'alaikum salam ..." ka' Icha sendiri yang membuka,
"Masuk Bu."
Naela sebelum masuk menarik kerudung ke belakang,
Naela duduk tak begitu nyaman.
"Ib u k elih atan g elisah s e k a li," ka' Icha m em akai
kacamatanya, gelungan rambutnya tertusuk pena.
"Iya, Nae masih terbayang nanti, bertemu pak Prof,
Nae belum pernah," dua tangan Naela menempel di dada,
"Nae juga bingung bagaimana menjelaskan tulisan itu."
"Kenapa tidak mas Toni saja Bu?" ka' Icha heran, ia
benarkan kaosnya.
"K adang ka' Toni tak percaya diri, kadang m erasa
rendah M ba'. K alau ditanya tentang m enulis, kak Toni
menjawab hanya untuk hiburan," Naela sedikit tersenyum.
Ka' Icha mengangguk, "Nanti kamu jelaskan tentang
tulisan itu, kamu minta petunjuk dari pak Prof itu, kalau
bisa kamu minta beliau berikan pengantar."
Naela sedikit mengerti, setelah meminjam uang Naela
pamit pulang. Naela tatap langit perlahan membuka gelap.
Naela sedikit jin jin g roknya lew ati genangan air, N aela
mampir ke tukang sayur, m em beli beras untuk dua kali
makan, sayuran, tempe, dan kerupuk.
W aktu Toni m akan N aela tak m enem ani, ia
mempersiapkan semua yang sudah dimasukkan dalam tas,
N aela lihat ulang, takut ada yang tertinggal. Naela bawa
Pena, berp ak aian sep erti w aktu m eng ajar anak TK,
kerudungnya putih berhias bros bunga, rok dan baju biru.
Dalam hati Naela mengucap "B ism illah " berulang-ulang.
Waktu ke tempat pak Hamid, Naela lebih banyak diam, tas
uipeluk era t takut ketahuan.
Sampai di rumah pak Hamid Toni ingin m engantar
^aela masuk, tapi Naela menolak, "Biar Ade' sendiri saja
Kak."
2j?4 | Z<j 9uz T-larja'Wanita

Toni merasa aneh, curiga, serasa ada yang disembunyi


kan darinya, serasa ada rahasia di balik rahasia, serasa ada
yang rapi tersimpan. Naela terlihat gugup mengetuk pintu
Toni mengawasi dari dekat mobil pak Hamid.
"Assalam u'alaikum ..." Naela ketuk pintu.
"W a 'a la ik u m salam ," pak H am id sen d iri yang
membuka.
Ada rasa bahagia bisa bertem u, ada harapan do'a
semoga pak Hamid menerima.
Pak H am id m asih bersarung, peci putihnya terus
melekat, "Masuk N ak ..."
Naela cium tangan Bapak setelah menyalami. Sebelum
bicara Naela lirik jam dinding, bergerak dengarkan detak di
angka 8, "M ohon m aaf sebelum nya kalau mengganggu
waktu bapak, Nae datang ingin bicarakan sesuatu tentang
kak Toni."
T erk eju t pak H am id m endengar, ia letakkan
handphone di atas meja, "Ada apa dengan Toni?"
Naela menarik nafas, "K ak Toni menulis satu cerita,
menurut Nae bagus Pak, tapi entah menurut Bapak. Nae
mohon Bapak berkenan m embantu."
"Kenapa tidak Toni sendiri yang ke sini?" pak Hamid
heran.
"K a k Toni m erasa tu lisan n y a jelek , dia hanya
geletakkan tiga buku tulis ini di atas meja, kak Toni biarkan
begitu saja," N aela keluarkan tiga buku tulis dari dalam
tasnya, "Kak Toni merasa dia bukanlah siapa-siapa, s e l a l u
m erasa rendah d iri," Naela coba tersenyum melihat pak
Hamid mulai membuka buku tulis, "N ae hanya ingin kak
"
Toni bahagia, ingin kak Toni tahu kalau dia begitu berharga-
Pak Hamid mengerti setiap jengkal akan Toni, B a p a k
yang selalu menampar dan menyiram. Pak Hamid b e n a r k a n
kacam atanya, tiga m enit l e b i h terus membuka l e m b a r a n
"Ma 'm un A ffany |

tergores tulisan tangan, "Toni tahu kamu seperti ini?"


"Sam p ai sekaran g b elu m p a k ," N aela sed ik it
menggeleng, duduknya setengah bungkuk, "Ini sudah saya
Icetik pak."
Pak Hamid melihat seorang istri yang berusaha murni
u n t u k suami, benar-benar tahu luar dalam akan suaminya,

mengerti, mengasihi, tulus m enyayangi. Pak Hamid tahu


bagaimana keluarga Naela, terhormat, berderajat, tapi Naela
ikhlas bersama Toni. Semakin lama yang ditatap pak Hamid
bukan kertas, tapi seorang Naela, lama terdiam.
"Kam u punya nomor handphone?"
"Ada pak, tapi punya tem an," Naela jujur.
Pak Hamid tiba-tiba masuk ke dalam, entah apa yang
diperbuat, tak lama keluar, di tangannya dom pet hitam
terpegang, salah satu ATM ditarik dari dompet, seperti dulu
waktu membantu Toni, "Kamu beli handphone, kalau sudah
beritahu bapak nomornya."
Naela sedikit enggan, "Pak Hamid, saya sepertinya..."
"Jangan menolak, tidak ada maksud lain. Kamu sudah
Bapak anggap anak, seperti Toni. Bapak ingin kamu mudah
berkomunikasi," pak Hamid tak henti menelisik tulisan Toni,
"Nanti Bapak lihat dulu, Bapak baca. Kamu tunggu sms
dari Bapak."
"Terimakasih banyak pak, Nae ingin sekali ini jadi kado
terindah untuk ulang tahun kak Toni, Nae ingin kak Toni
lupakan masa lalunya, dan nikmati hidup baru bersama Nae
sekarang," Naela curahkan isi hati.
"Bapak senang Toni punya istri sepertim u," Bapak
memuji.
"N ae ingin selalu berikan yang terbaik Pak," Naela
Memangku dua tangannya.
Waktu keluar dari jauh Toni mendekat, menjemput.
^ketika bertanya, "Ada apa D e'?"
2 ^ 6 | Z<j%z ^arya 'Klanita

"Tidak ada apa-apa Kak, hanya silaturahim," Naela


sembunyikan dari Toni, ia ingin ini menjadi kejutan, menjadi
hadiah terindah, Naela ingin katakan di waktu yang tepat
waktu yang sesuai agar Toni bisa mengerti.
Tapi jaw ab an itu bagi Toni pertan d a N a e la
sembunyikan sesuatu darinya. Kalaupun silaturahim Naela
pasti mengijinkannya ikut, Toni ingin selalu temani Naela
ke manapun berjalan Toni ingin selalu dekat, tak bisa lama
berjauhan.
N aela setiap hari setiap w aktu, setiap saat berdo'a
untuk tulisan suaminya. Sepanjang malam, setelah membaca
Q u r'an , sebelu m tidur. N aela san g at berh arap d ib eri
petunjuk demi kemudahannya.
Kalau Toni tidur Naela selalu belai rambutnya, usap
keningnya, kalau keringat m enyem bul Naela lap dengan
handuk kecil, kalau kepala tak berbantal Naela benarkan,
kalau lupa berselimut Naela tutupkan. Naela ingin kak Toni
m eny ad ari d iriny a, satu sisi lain yang belum tersibak
untuknya, satu sisi yang akan bahagiakan setiap orang yang
dekat dengannya.
Selang dua m inggu N aela m enerim a sms dari pak
Hamid, "Nak, ke tempat bapak besok jam 9."
N aela kem bali d atan g ke tem p at pak Hamid di
C injantung, kali ini sendirian. W aktu membuka gerbang
Toni terkejut, ia sedang mencuci mobil, ia letakkan lap di
ember, berlari mendekat, "Ada apa De'?"
"D ip a n g g i! Bapak K a k ," N aela b erik an s e n y u m
khasnya.
Toni terpaku b erd iri, len g an bajun ya dilipat/
"Sebenarnya ada apa De'?"
Naela diam, ia merasa bersalah, tapi coba b e r t a h a r i /
"N an ti Ade' beritahu Kakak. Kakak jangan curiga ya---
Neala meraih tangan kanan Toni yang basah, "Ya kak.--
'M a'm unA ffany \

Dalam hati Toni tetap diliputi seribu pertanyaan, ia


p a n d a n g i lenggok jalan istrinya, tam pak m elepas sandal

mengetuk pintu. Ada syak wasangka menyeruak, curiga tetap


ad a meski bisa menyumpal di dada.
"Assalam u'alaikum ," Naela mengetuk, baju pinknya
rapi tersetrika.
"M asu k !" pak Ham id sudah m enunggu, ia sedang
dengan handphone, "D uduk N ak."
s ib u k

N aela m enunggu sejenak, duduk sedikit bungkuk,


setelah menutup handphone pak Hamid menarik nafas, dua
tangannya bersandar di atas tangkai kursi, "Ceritanya bagus
sekali, kata-katanya indah, bapak baru tahu ternyata Toni
bisa menulis seperti itu."
Seketika tersenyum Naela mendengarnya, suaminya
dipuji, dipuja, dikagumi.
Bapak terlihat membuka-buka lembaran kertas cerita
"Di Ujung P enan tian ", "B ap ak sudah m engoreksi, nanti
kamu perbaiki, kalau sudah berikan lagi ke sini."
Naela mengangguk.
"B a p a k sud ah beritah u salah satu p en erb it, dia
sepertinya yang nanti akan menerima, ini kartu namanya,"
pak Hamid memberikan satu kartu nama.
Naela membaca satu alamat penerbit, J1 Pulo Kambing.
Tak henti Naela bersyukur, senang terus tertanam, senyum
tak henti merekah, waktu keluar Naela setengah berlari temui
suaminya, ia tatap dua matanya, "Kakak!"
Toni memeras lap mobil
Di mata Naela Toni sudah menjadi lebih dari suaminya,
sudah m enjad i orang yang m en jad i panutan. W aktu
berhadapan Naela begitu berhasrat untuk memeluk, ingin
niengucap selamat, tapi tak enak, tak pantas tempat, "Naela
Pamit K ak..."
"Hati-hati D e '..."
| zq 9uz T-larya HJanita

Halaman perhalaman Naela perbaiki, banyak coret


Kalau Toni pulang Naela simpan dalam tas mengajar. Naela
kembali luangkan waktu untuk duduk dua jam di warriet
bang Usman, hampir dua minggu Naela menyelesaikartnya
mata Naela hampir sakit, kotoran putih sering menyembul
di sudut mata, pedas perih hampir membuat mata Naela
menangis. Hampir dua minggu Naela menyelesaikan, setelah
dibaca tiga kali Naela kembali datangi rumah pak Ham id
Selang tiga minggu Naela mendapat satu sms.
"Selamat Naela... Semuanya berjalan lancar, cerita "Di
Ujung Penantian" akan segera dicetak."
Waktu mendapat sms Naela sedang di kelas mengajar
anak-anak, riuh anak bermain terdengar, tawa, pekikan suara
je rita n bercam pu r di satu ruang, gelan tun gan gambar-
gambar kecil menjuntai terajut benang berputar. Seketika
Naela bersujud di lantai, tak peduli kotor, tak peduli malu,
hampir semua anak yang ada di kelas mengerubut.
"Ibu kenapa?" silih berganti m elem par pertanyaan,
mata Naela berkaca haru.
"Tidak apa-apa Nak," Naela ciumi satu persatu pipi
anak-anak, dikecup hangat bergantian, dipeluk salah satu
anak erat-erat.
Naela ke kelas sebelah, tampak ka' Icha sedang d u d u k
perhatikan anak-anak menggambar, Naela tanpa m e n g e t u k
masuk, "K a' Icha."
"Ibu kenapa?" ka' Icha melihat kedip mata Naela basah.
"N ae ingin m engucap terim akasih pada ka' Icha,
Naela tersenyum.
Ka' Icha berdiri, menunggu habis kata terucap.
"Aihamdulillah tulisan kak Toni diterima."
Ka' Icha langsung dekap Naela, Naela lebih p e n d e k ,
"Selamat Bu, selamat, semua berkat do'a dan usaha Ibu.
JA a'm un A ffan y |

Naela mengangguk, "N ae pulang dulu ka' Icha, Nae


j,arus ke rumah pak Hamid."
Ka' Icha mengerti, "Ibu harus banyak berterimakasih
pada beliau."
N aela m enjin jin g tasnya, tak berg an ti baju N aela
langsung naik angkot S 15. Naela seakan terbang melayang,
ia ingin ini jadi kado terindah untuk ulang tahun suaminya,
ia ingin kak Toni bisa tersenyum bahagia di ulang tahun
yang pertama kali akan dirayakannya, ia ingin bisa melihat
senyum tulus ka' Toni yang manis, yang membuatnya ingin
terus mendapatkan, ingin terus memandang.
Sampai di rumah pak Hamid Naela tak henti mengucap
banyak terimakasih, berulang-ulang seakan lupa kata yang
pertama. Nenek ikut menyambut, Toni sengaja Bapak minta
pergi ke Jakarta Pusat.
"S u d a h ... su d a h ... sem ua b erk at k esabaran m u ,
do'amu, usaha kerasmu. Bapak hanya bisa membantu," pak
Hamid bangga menatap Naela.
Nenek menyambung, "Nenek bersyukur kamu ada di
samping Toni. Kalau sudah mashur, ingatkan Toni kalau
kakinya masih menginjak bum i," Nenek berpesan.
Naela mengangguk, ia tak menyangka, tak menduga,
"N aela terimakasih banyak Pak, Nek, sem ua..." Naela belum
berh en ti.
"S u d a h ..." Bapak yang m enanggapi, "K am u sudah
B ap ak anggap m enantu sen d iri, anak s e n d iri," Bapak
mengerti betapa senang Naela, "Kamu terus temani Toni baik-
baik sebagai rasa syukurmu akan nikmat ini."
Naela mengangguk, seketika pamit, langsung pulang,
semua iersimpan rapi di hati, tersimpan rapi dari Toni. Naela
lngin hadirkan untuk kak Toni di tanggal 1 September, kado
tak berwujud namun bermakna akan Naela haturkan, akan
^aela persembahkan.
2.('J0 | z g “Ju z ’M arc/a 'W anita

Di rum ah N aela rapikan baju suam inya, m encu


sem ua baju kotornya, m asak m asak an kesukaan Toni
menata kamar yang setiap malam menemani mereka berdua
semua Naela lakukan demi satu kesyukuran.
Seperti m alam -m alam sebelum nya Toni dan Naela
berdua satu ranjang bersama, menatap langit-langit kamar
mendengar bisikan malam teriring langkah detak jarum jam'
Naela berbaju tidur membuka jilbabnya, membiarkan rambut
menyebar di bantal, di bawah satu selimut mereka nikmati
larut kesunyian.
"K a k ..." tiba-tiba Naela memanggil.
"Iya D e'," Toni miringkan tubuhnya.
"Besok Ade' mau ke Mama," Naela ingin ke Lampung.
"Ada perlu apa D e'?" Toni ingin tahu.
"Ade' kangen sama Mama Papa," Naela ikut miringkan
tubuhnya, mereka saling berhadapan. Naela ingin beritahu
kabar gembira tentang suaminya.
"Berapa hari de'?" Toni tatap dua mata Naela.
"Lima hari kak," Naela meminta, jemarinya mengelus
kening Toni.
Toni terdiam, esok ia akan hadapi malam sendirian,
Toni tak bisa mencegah meski matanya meredup.
"Kakak jangan sedih ya... Ade' sebentar saja, Ade' sudah
belikan kakak handphone," Naela menghibur, "Kita tetap
dekat kak."
Toni tetap tak menjawab, ia hanya m enatap Naela.
Entah mengapa ia begitu berat rasanya melepas, begitu sulit
rasanya terpisah walau sesaat. Toni ingin selalu lekat, dekat,
begitu juga Naela, ia ingin selalu nikmati hari bersama kak
Toni, ia ingin terus bisa dapatkan tatapan hangat suaminya-
Tak henti Toni pandangi dua mata Naela, Naela mengerti, >a
rajut semua jemari tangan suaminya, menempelkan kening/
begitu dekat saling menatap.
7Aa 'mun Affany \ z 6 l

Mata Toni mulai berkaca entah mengapa, malam itu


Toni begitu khaw atir akan N aela, tak ingin ia m enjauh.
Naela peluk Toni, m em belainya hangat, b erat rasanya
tinggalkan suam inya, "K a k ... A de' pergi bu kan untuk
gelama-lamanya, Ade' pergi akan hadir kembali."
Toni lemah dalam dekapan Naela, dalam belaian Naela,
terus d en gark an d etak jan tu n g istrin y a yang seolah
bernyanyi dendangkan syair cinta perpisahan. Toni tak
mengerti kenapa dalam hati tak ingin m em biarkan Naela
pergi, entah kenapa Toni ingin Naela tetap ada di sisi. Toni
khawatir terjadi sesuatu, Toni khawatir Naela tak kembali.
|
Z6Z Zg %z T-tarrja Wanita

©
— sSelamat W a n j Taftun —

u a r a angsa di kandang tetangga menyapa m a la m ,

S tak ada d e rik ja n g k r ik , ta k ad a su ara a n g in ,


rem bulan tertelan, bintang terhalang awan hitam,
malam terasa begitu sepi, sunyi, senyap, jika kipas angin
dinyalakan suaranya yang halus tetap terdengar, jika gitar
dipetik perlahan seakan konser musik di kamar sendirian,
nyamuk tak berdengung bersembunyi nikmati malam sepi.
Selama lima bulan berumah tangga baru malam ini
Toni terpisah Naela, selepas isya Toni langsung kunci pintu,
tutup tirai jendela, matikan lampu depan, berbaring di kasur
lantai sendirian. Toni m ainkan gitar sekali, tapi tak ad a
Naela, untuk siapa ia bernyanyi? Tak ada yang menderigar.
Toni langsung letakkan gitar di samping meja. Toni coba
matikan lampu berniat tidur, namun tak jua kantuk datang-
Malam rasanya teramat panjang, lima detik seakan lima jam,
Toni kembali nyalakan lampu kamar.
Dari kasur Toni raih handphone dari atas meja, Toni
mengirim pesan.
~Ma 'mun A ffany j 2 ^ 3

"Ade' sudah m akan?" singkat kata yang terkirim , ia


ingin cepat dibalas, rindu sudah menghunus pilu.
"A lham du lillah sudah Kak, Kakak belum tid u r?"
biasanya jam sepuluh Toni sudah m enutup m ata m eski
kadang kembali terbuka.
"Belum. Ade' belum tidur?"
Naela selalu cepat membalas, "Belum. Kakak sulit tidur
»)//
ya:
Toni seketika membalas, "Iya."
Tak lama handpone Toni berd ering, Toni kem bali
duduk dari pembaringan, "A d e'..."
"K akak..." berdua saling menyapa.
"Ade' kenapa belum tidur?"
"Ade' takut Kakak tidak bisa tidur... Ade' ingat Kakak."
Toni terdiam, Naela tak salah, "Kakak baik-baik saja
De'."
"Kenapa Kakak belum tidur?" Naela di seberang pulau
ingin tahu.
"Kakak ingat boneka Ade' ketinggalan," boneka panda
kecil Naela tak terbawa.
"Kakak tidur y a ..." Naela memberi obat.
"Ade' juga y a ..."
"Iya K ak..."
Toni tutup handphone, menarik sendiri selimut pandangi
boneka kecil yang selalu Naela mainkan kala sendirian.
Malam itu Toni rasakan betapa hampa malam, betapa
kejam m alam , b etapa m enyiksa m alam jika tertin g g al
sebatang kara di rumah sendirian. Toni sadar, yang m em ­
buat m alam in d ah bu kan sep in ya, bu kan g em erlap
bintangnya, bukan pula bulan yang sempurna m elingkar
bercahaya. Tapi seorang Naela. Meski hujan, dingin, petir
Menyambar, angin berhem bus, saat Naela ada semuanya
laksana alunan lagu mesra.
2&4 |z g Ouz 7-tarja 'W anita
P em andangan yang tam pak hanya dinding dat
bantal tak bemyawa, gitar diam tak berdawai. Yang dide ^
suara detik. Toni baru mengalami rasa bosan tinggal di rur^ ^
sendiri, merasa tersiksa di rumah sendiri, semua karena tak
ada istri, lelah terasa bertambah, dingin terasa lebih, kesunyian
tak berhenti bisikkan arti rasa hidup sendiri.
Malam berikutnya Toni masih belum bisa lepas dari
Naela, Toni rasakan perasaan sama seperti hari sebelumnya
ia sampai duduk di teras sendirian pukul sebelas malam
"A d e'..." kali ini Toni menelpon.
"K ak ak ..." Naela tak pemah lelah menjawab, "Kakak
belum tidur?"
"B elum ..." Toni berdiam di kolong langit, "A de' kapan
pulang?"
"Tiga malam lagi Kak. Kakak jangan sedih ya..."
"Iy a... Ade' jaga diri baik-baik ya... kalau A d e' lelah
istirahat saja," Toni berpesan.
"Iya K ak... Kakak tidur yang nyenyak y a ..."
"Iya D e '..." Toni menurut.
Kemesraan tak pernah berhenti disebarkan, ditebarkan
di setiap malam yang mereka berdua miliki, yang m ereka
berdua nikmati dengan setiap cara yang mereka bisa. Naela
sebenarnya tak lebih rindu dari apa yang Toni rasakan, tapi
N aela bisa sem bunyikan, N aela m em eluk erat foto Toni
sebagai pengantar tidurnya.
Ada kalanya mereka berdua seolah anak kecil yang
punya rindu tak pernah malu, m erengek ingin b e r t e m u -
Berdua menyadari tak sanggup berpisah lama. Seringkali
Toni manja di depan Naela bila sudah ada dalam r a j u t a n n y a -
Saat Naela ada dalam pelukan suami, ia seolah t e r l i n d u n g
dari mara bahaya, seakan Naela satu-satunya tuan p u t e r l
kuasai malam sunyi.
"Ma'munAffany \ Z 6 ^

D ari ja u h m e r e k a b e rd u a sa lin g b e rd o 'a .


Dari Jakarta Toni memohon, "Ya Allah... satu-satunya
permohonan di malam yang sesunyi ini hanyalah harapan
agar Engkau peluk Naelaku dengan rahmatmu karena aku
tak ada di sisinya."
Dari Lampung Naela menengadah dua tangartnya, "Ya
Allah... aku tak minta lebih selain Engkau bisa yakinkan
suamiku jika ia tidak sendiri meski aku tak bisa menemani.
Sejengkal s a ja aku terpisah rindu sudah tak lagi tertahan.
Malam ini aku tak bisa melihat dua matanya, tapi tutuplah
dua telinganya agar tak dengar rintihan rinduku yang terus
m enderu."
N am un m alam berik u tn y a Toni tak lagi nyenyak
lewati malam. M alam ke tiga benar-benar terasa sangat
hampa, sejak isya Naela tak bisa dihubungi, Toni coba kirim
sms, tapi berulang-ulang sms gagal tak diterima. Toni coba
hubungi setiap sepuluh menit sekali, tapi tak aktif. Mungkin
Toni terlalu khaw atir, handphone N aela akan m ati jika
baterai sedang diisi. Tapi Toni kehilangan baik sangka, ia
m ondar-m andir k elu ar m asu k kam ar m enatap lay ar
handphone, berdiri duduk coba hubungi untuk kesekian
kali. Semakin malam Toni coba yakinkan jika Naela baik-
baik saja.
Tepatnya tanggal 27 agustus. Mulai hari itu N aela
entah di mana, ia tak bisa ditelpon lagi. Toni coba hubungi
dua orang tua Naela juga tak bisa. Waktu kerja, waktu makan
tak lagi tenang, tiga m alam yang N aela katakan sudah
terlevvati, Naela tak jua berkirim pesan atau kabar. Toni coba
bertahan, m enekan k eg elisah an , tapi tetap sem ua tak
tertahankan, sudah lebih lima hari tak kunjung ada kabar
dari Naela Khasna.
Toni berniat izin ke pak Hamid berniat ke Lampung,
kykan menjemput pulang, tapi ingin pastikan kabar Naela,
266 | z g Ju z T-Urrja 'W anita

Toni hanya ingin Naela baik-baik saja.


Setelah subuh tepat Toni berangkat dari ru m ah '
ingin bergegas bertemu pak Hamid untuk pamit. Toni tak
berkem eja, hanya berkaos, berjaket coklat, bercelana jean
coklat lebih tua. Di pertigaan Poltangan Toni menunggu §
15 lewat. Tampak banyak karyawan baru pulang, tapi tak
sedikit yang berjejer di jalan baru akan berangkat.
Sekali lagi Toni coba hubungi Naela, "Nomor yang
anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar servis
area, cobalah beberapa saat la g i..." jawaban yang diterima
selalu sama.
Pagi masih buta waktu sampai di rumah pak Hamid,
portal besi di awal jalan masuk belum dibuka. Toni ketuk
pintu rumah, Nenek yang membuka, "Ada apa Toni? Kamu
gugup sekali."
"M au bertemu Bapak Bu," Toni tak bisa senyum.
"Bapak di m asjid Ton," kacam ata Nenek tak lepas,
"Kamu susul saja."
"Baik bu," Toni langsung berbalik.
Setengah berlari Toni ke masjid, di awal tangga payung
penopang Bapak jalan m asih tergantung. Bapak tam p ak
sendirian di dekat tiang membaca Qur'an, Qur'annya sedikit
d ekat ke m ata, duduknya b ersila h , tubuhnya s e d ik it
bergoyang term anggut lam bat. Toni menghampiri, ia tak
langsung menyapa m enunggu Bapak usai membaca. Toni
duduk satu meter di belakang Bapak.
"Ton!" Bapak tangannya memberi tanda.
"Iya Pak," Toni berjalan dengan lututnya.
"Duduk sini," tangan kanan Bapak menepuk karpet
masjid.
Toni geser duduknya.
"Selam at ulang tahun Ton," Bapak menyalami.
"Ma 'mun A ffany | 2 h j

Kontan Toni terkejut menerima, seumur hidup belum


ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun, kecuali
hari itu, di ulang tahun yang ke dua puluh lima. Pak Hamid
juga baru sekali ini rnengucap walau sudah empat tahun ia
m engabdi padanya.
Tapi Toni tak ubah wajah gelisahnya, senyum sangat
terpaksa, "Terimakasih pak."
Bapak menutup Qur'an mengangguk tersenyum, mata
di balik kacamata setengah terpejam.
"Saya mau ijin pak," Toni meminta.
Tapi pak Hamid tak mengindahkan, "Jam sembilan kita
ke Graha Arta."
" P a k ..." Toni ingin m enjelaskan, hanya berdua di
masjid Darul Hijrah.
"Jam sembilan kita ke Graha Arta," sekali lagi Bapak
meminta.
"Saya mau ijin pak," Toni tak bosan.
"N anti setelah pulang dari Graha Arta kamu boleh
ijin."
Tak biasanya pak Hamid begitu keras, biasanya beliau
beri kesempatan Toni untuk utarakan maksud, untuk beri
penjelasan. Tapi pagi itu tidak, Toni dipaksa bersabar. Dalam
keterpaksaan Toni sempatkan diri menghubungi Naela, tapi
jawaban yang sama terdengar, "Nom or yang anda hubungi
sedang tidak aktif atau berada di luar servis area, cobalah
beberapa saat lag i..."
H ati Toni tak m enentu, sarapan hanya dua suap,
rnelamun m enunggu jam sem b ilan datang. Toni hanya
duduk di bangku bambu dekat kolam ikan, matanya ikut
liukan ikan dalam air, sesekali tangannya m elem par batu
kecil. Setiap sepuluh menit sekali Toni coba hubungi Naela.
Dalam hati ia terus bertanya, "D i mana Naela? Ada apa
dengannya?"
Z b S j zg ']’•<- Uarya 'Wanita

Tepat jam sembilan pak Hamid keluar, tak bersepaty


seperti biasanya, hanya bersandal, jasnya hitam, di tangari
kanan tasnya terbawa, di tangan kiri handphone communi
cator terg en g g am , Toni b erd iri m em buka pintu m obil
menyambut.
Jalan di Pasar Minggu sedikit macet, tak seucilpun Toni
berbicara terlebih bertanya, pak Hamid tak henti perhatikan
wajah Toni di kaca. Saat berhenti, sebelum mesin dimatikan
pak Hamid berpesan, "Ikut aku Ton."
"Baik pak," Toni hanya menurut.
Gedung Graha Arta berlantai lima belas, Toni diajak
ke lantai lima, di sebuah kantin, dekat kaca jendela, duduk
berdua bersama pak Prof saling berhadapan. Sebelum duduk
pak Hamid memesan sarapan.
"Apa yang ada di fikiranmu Ton? Kau tampak begitu
gelisah," pak Hamid menggeser sedikit kacamatanya.
"Naela pak, dia belum pulang, sudah seminggu lebih
Toni hubungi nom ornya tidak aktif, seluruh keluarganya
juga tak bisa dihubungi," Toni m em ijat keningnya, "Toni
bingung pak."
"Sabar Ton. Bapak harap kamu sabar, Bapak sendiri
sedang m enunggunya," Bapak hembuskan nafas panjang.
"Maksud Bapak?" Toni tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa Bapak ajak kamu ke sini karena
Bapak turuti satu perm ohonan N aela. Dia ingin berikan
kamu satu kejutan di sini," bapak tatap tajam mata layu
Toni.
"Toni belum m engerti Pak. Tolong Bapak je l a s k a n

semuanya, dan tolong beritahu di mana sekarang Naela?


Toni tak peduli makanan datang. ^
Pak Hamid tunjukkan satu sms dari Naela, "Tangg
1 September Naela mohon Bapak luangkan waktu sehari saja-
Bapak bawa kak Toni di tempat biasa, Naela ingin hari ulang
~Ma'mun fiffany j Zf>^

tahun kak Toni bisa d isyukuri bersam a, b isa kak Toni


rasakan kehadirannya."
"Naela di mana Pak?" Toni mulai gusar.
"Sabar Ton, Bapak sendiri tidak tahu, Bapak ingin
kamu mengerti," pak Hamid berusaha menjelaskan.
"Ton... aku anggap Naela menantuku, kau sudah aku
anggap anakku. Bapak ikut m em ikirkan di m ana N aela
sek aran g . Seharusnya dia ada di sini bersam a kita," pak
Ham id terus berusaha menjelaskan, "Bapak coba hubungi
orang y a n g bapak kenal di Lam pung, tapi m ereka jaw ab
ru m ah N aela sep i, b ap ak sud ah m inta m ereka untuk
mencari."
Toni sudah tak nyaman, tubuh rasanya gatal, "Untuk
apa kita di sini pak?" Toni ingin pergi mencari.
"Mau ke mana Ton?" pak Hamid menarik tangan Toni.
"M en cari N aela p ak ," Toni tak pedu li m engulang
pencariannya.
"Duduk dulu Ton," Bapak meminta.
Toni menghormati meski hati terus bergejolak.
"Ucapan ulang tahun yang tadi pagi Bapak sampaikan
adalah satu titipan dari Naela, kamu harus menerimanya,"
Bapak mulai menjelaskan.
Toni seakan tak mendengar.
Bapak keluarkan tiga buku tulis Toni, satu jilid yang
sudah diketik rapi, "Kam u pasti mengenal tiga buku tulis
ini?"
Kontan Toni terkejut, ia m engira buku tulisnya ada
di Lampung, di kamarnya, di rum ahnya. Secuilpun Toni
tak menduga bisa melihatnya di Jakarta, "Dari mana Bapak
dapatkan ini?"
"Naela Ton, Naela ingin menyadarkan bahwa dirimu
miliki satu kelebih an , kau punya b ak at, kau punya
kehormatan. Dia ingin kamu tidak lagi rendah diri, tapi
2 /0 |zg Ouz 7Sarc/a 'Wanita
cukup rendah hati, dia ingin suaminya patut dibanggaka
oleh semuanya," Bapak membuka lembaran, "Dia seitap
membaca, usai mengajar dia mencuri waktu, dia ketik agar
rapi. Berkali-kali dia menghadap Bapak untuk ini, dia minta
Bapak koreksi. Bapak rela karena melihat begitu besar niat
tulusnya dipersembahkan untuk dirim u."
Toni tak kuasa mendengar, ia ingat waktu Naela masak
ia ingat waktu Naela tak pulang. Toni ingin berjumpa Naela
Toni ingin melihat Naela.
"M ungkin kau tak yakin dengan tiga buku tulis itu
tapi tidak untuk Naela. Dia istrimu, dia lebih memahami,
dia ingin kamu m engerti dan tahu, dia ingin kamu bisa
lupakan masa lalu, dia mengurus semuanya, dan sekarang
buku ini akan mulai tersebar, akan mulai dinikmati banyak
orang, akan mulai dibaca sem ua insan," Bapak berhenti
sejenak, "D ia ingin sem ua itu terjadi tepat di tanggal 1
September, dia ingin semua itu dipersem bahkan sebagai
hadiah ulang tahunm u."
Toni mulai berkaca matanya.
Pak H am id k elu ark an d ari dalam tas satu buku
berjudul "D i Ujung Penantian", "In i Ton. Kamu penulis
sekarang. Kamu bukan lagi anak jalanan seperti ceritamu,
bukan lagi tukang kebun, atau supir. Kau penulis sekarang
ini kado terindah dari istrimu."
Menetes air di pelupuk mata Toni memandang satu
buku berukuran 14 x 21 cm berisi 349 halaman tertulis satu
nama di sampulnya, "Toni Saputra".
"D ia sebenarnya ingin b erik an buku itu p a d a m u
dengan dua tangannya, tapi sam pai detik ini dia belum
kembali," Bapak menepuk tangan Toni pelan seperti B a p a k
m enepuk anaknya, "D ia lakukan ini hanya karena ingm
membalas rasa kasihmu yang begitu besar kau s e m a tk a n .
Toni terus mendengar.
~Ma'munAffany \2!Ji
Bapak mengambil satu amplop dari dalam tas, "D ia
menitip ini untukmu. Sebelum berangkat dia tulis ini karena
t a k u t dia tak bisa datang ke sin i," Bapak m enarik nafas

panjang, "Bapak sudah katakan tidak perlu, tapi firasatnya


kuat Ton. Ia memang tidak bisa hadir, sampai sekarang Bapak
belum tahu di mana adanya Naela."
Toni perlahan membuka.

Selamat ulang tahun kak...


Ade’ ingat kakak tak pernah hafal hari ulang tahun karena
tak ada yang pernah m engucapkannya, tak ada yan g pernah
m engingatkannya, seolah sem ua h ari bagi kakak tak ada
perbedaannya.
Kak... Ade' ingin Kakak bahagia, Ade' selalu berharap Kakak
bisa tersenyum manis bukan lagi menangis. Sakit rasanya melihat
Kakak belum bisa tertawa lepas kala cerita lucu Ade' berikan. Ade'
ingin Kakak tidak ingat lagi tamparan Bapak, guyuran Bapak.
Kakak jangan sedih ya... Ade' selalu ada di dekat Kakak...
Cinta yang Kakak beri begitu besar adanya, takdzim Ade'
menerimanya. Sampai surat ini tertulis Ade' belum tahu bagaimana
harus membalas, tapi mungkin secuil usaha Ade' ini akan buktikan
bahwa Ade' juga sayang Kakak.
Kata orang cinta itu tak butuh balasan, tapi A de’ belajar dari
Kakak bahwa cinta selalu memberi kasih sayang.
Ade’ ingin Kakak tak lagi menangis, A de’ akan peluk Kakak
di setiap malam seperti kakak selalu peluk A d e’ dem i sebuah
lindungan.
Ade' sayang K akak... selalu, selam anya... selam at ulang
tahun suamiku...
2 /2 |Zg %z TJurtja 'HJanila
*

• 25 -

v .... 9

— Tzntaft D i TAana Aefartya —

ssalam u 'ala ik u m Wr Wb

A E ntah d ari m ana aku harus m engadu, aku


m enu lis su rat ini sebelum subuh bertalu karena
sepanjang malam aku terus menunggu istriku pulang.
Naela Ko, dia pergi, tapi tiba-tiba seolah menghilang, aku
tak tahu ke mana harus mencari, barat, timur, utara, selatan tak
ada yang bisa ku tanyakan lagi. Kali ini aku benar-benar bingung
dari mana harus memulai pencarian.
Aku tidak bertengkar dengannya, dia pamit untuk m en je n g u k
orang tuanya, tapi setelah dua malam berlalu, tak ada lagi kabar
dari Naela. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Naelaku, aku sudah
keliling Jakarta mencarinya tapi tak jua ku m en em u k a n n y a.
Datanglah bersama Rika ke Jakarta, temani hidupku, bantu
aku mencari istriku, dan sempatkan untuk mampir di rumah Naela
untuk bertanya pada tetangga.

Surat Toni kirimkan, ia sudah tak tahu lagi ke mana


mencari Naela, kata pak Hamid semua keluarganya tak ada
yang bisa dihubungi, kalaupun handphone Naela hilang/
'M a'm un A ffan y j Z J 3

ja pasti memberi kabar agar Toni tenang.


Setiap hari kem asyhuran Toni perlahan m eninggi,
bukunya dim inati, tapi sem akin hari pula Toni sem akin
bertanya-tanya dalam hati di mana Naela yang ia miliki. Toni
tak lagi tinggal di rumah kontrakkan, pindah ke Bintara
sektor sembilan. dekat masjid Darut Taqwa, sesuai dengan
pesan Naela, kalau pindah rumah dekat masjid. Ada tiga
kamar, satu kamar tempat Toni tumpahkan isi hatinya.
"A ssa la m u 'a la ik u m ..." suara Eko je la s terd en g ar
menyapa.
Toni lih at jam dinding, sudah m enu nju k angka
delapan malam, "W a'alaikum salam ..."
Eko tampak sedikit kurus dengan dua koper di tangan,
Rika berkerudung putih membawa tas kecil, Toni peluk Eko,
Toni cium tangan Rika.
"Sebenarnya apa yang terjadi Ton?" Eko langsung
bertanya sembari berjalan masuk.
Tapi Toni balik bertanya, "K alian sudah m am pir ke
rumahnya?"
Rika yang menjawab, "Sebelum ke sini kita ke tempat
Azizah, dia ju stru katakan N aela bersam am u. Aku jadi
bingung Ton," Rika tak m en g erti, ia belu m lep as
kerudungnya, "Rumahnya sepi, aku tanya tetangga sudah
sebulan rumah Naela kosong."
Toni diam mendengar. Di mana Naela?
"Sabar Ton, kita akan membantu mencari Naela," Eko
menenangkan.
Toni sebatas diam melamun.
Mulai saat itu mereka bertiga tinggal satu rumah. Jika
ada undangan m engisi acara di kota lain, Toni dan Eko
berangkat bersama, usai acara mereka susuri kota mencari
^aela, tapi tetap tak jua m enem ukannya, tak ada yang
mengenal.
ZJ4 \ 2$ )uz 7-tarya 'Wanita

Di depan semua orang Toni berusaha untuk senyu^


tapi kalau sudah kembali ke rum ah ia hanya berdiam d'
kamar, sem akin hari terlew ati sem akin sering Toni me
ngurung diri di kamar tanyakan pada ruang di mana Nael
sekarang. Setiap waktu Toni tak lupa hubungi nomor Naela
Toni tak bosan meski jawaban yang di dengar selalu sama*
"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada
di luar servis area, cobalah beberapa saat lag i..."
Toni tidak terlalu sering duduk bersama Eko dan Rika
sekedar berkelakar bersama, undangan yang datang untuk
mengisi acara satu persatu ditolak, tidak semua diterima, Toni
tak ingin m erasakan kem asyhuran sendirian, ia ingin
berteman Naela yang tlah merubah hidupnya, ia ingin Naela
melihatnya duduk di depan ratusan orang berbicara, Toni
baru tahu jika harta, tahta tak berguna sedikitpun, yang
teringat hanya Naela, yang ia rindukan tetap Naela, walau
banyak yang memujinya, tapi semua hanya fatamorgana. Ia
ingin persem bahkan untuk Naela. Jika Toni sudah ada di
kamarnya, Eko dan Rika tak bisa lagi memaksanya keluar.
Toni tak lagi m enerim a undangan untuk mengisi
acara, ia berdiam sepi di kamarnya, kata yang keluar dari
mulut Toni semakin menghilang, mata kosong, senyuman
pudar. Toni yakin Naela tak lagi bersembunyi seperti dulu
kala, ia yakin tlah terjadi sesuatu pada istri dan keluarganya.
Tak ada sedikitpun berita dari pulau sebrang, Toni
takut Naela tlah tiada, entah kenapa terbesit satu prasangka
tak baik, tapi semakin hari berdo'a semakin sakit hatinya-
Sem akin lama m enatap foto Naela, semakin teremas hati
memendam rindunya.
"Ton!" Eko coba ketuk pelan pintu kamar Toni, "Toni!
sekali lagi Eko coba ketuk.
Tak ada jawaban dari dalam kamar.
~Ma'munAffany |2^5
Sudah berminggu-minggu Toni berdiam di kamarnya,
keluar hanya waktu mandi, waktu sholat, m akan kadang
lupa. Eko tak tahu apa yang Toni lakukan di dalam. Kadang
lagu terdengar, kadang menyepi menderit dari dalam. Berkali-
kali Eko coba ketuk kamar tapi Toni tetap tak peduli, Eko tak
mau Toni kembali seperti dulu lagi.
"B ag aim an a K o?" R ika tem ui Eko yang m asih
menempel di pintu kamar Toni.
Eko menggeleng.
Rika d ekati pintu, "T o n !" p elan R ika m engetu k,
"Makan dulu Ton!"
Percuma, tak ada guna. Toni hanya diam di kam ar
seakan tak mendengar. Toni selalu duduk di kursi direktur,
di balik m eja pandangi foto N aela yang b erp u tar di
laptopnya, tak pernah terlin tas kata bosan, tak pernah
terselip kata lupa, N aela tetap, selalu , selam anya ja d i
renungan hatinya, Toni menyesal ia turuti permintaannya.
Kadang Toni membaca ulang surat terakhir dari Naela.
Bahkan di tengah malam Toni bersarung, berkaos oblong
putih duduk terpaku m end ekap lu tu t ren u n gi
kesendiriannya, ia selalu ingat Naela, geraknya, setiap tutur
katanya, ia terngiang kala Naela memanggil, "K akak... Ade'
sakit...." Seketika mata Toni berkaca mengenangnya.
Setiap foto yang Toni tatap m enggugah kenangan
yang ia punya, ada foto wajah N aela m enyelip di antara
dedaunan, ada foto Naela memeluk boneka kecil, Toni ingin
jadi boneka yang ada dalam pelukannya. Ada foto Naela yang
sedang duduk tersenyum di taman, ada foto di mana Naela
tertawa lebar bentangkan dua tangan, Toni teru s putar
berulang-ulang di setiap detiknya.
Toni sempatkan diri membuka Qur'an, di atas sajadah
Toni membaca, ingatannya kembali melayang pada Naela,
13 tak lupa suara kecil Naela saat lantunkan Qur'an untuk-
2j('J j 2/j%z74artja 'HJanita
nya. Kalau Toni makan ia ingat dulu Naela selalu bersihu
m ulutnya dengan tisu, m eski tidak kotor N aela se la ^
mengelapnya. Kalau berangkat ke masjid Toni selalu U
mandang sisi kiri, di hatinya Naela ada di sampingnya
Jik a b u la n purnam a datang Toni in g at kemba
senyum N aela kala m enatap nya, ia in g at duduk ber
dampingan di beranda beratap bintang dan langit hitam
berlindung satu selim ut sedang Naela jatuhkan kepala di
pundak kirinya, bila dingin menyusup Naela kecup pipinya
Semua tak lepas dari Naela, harinya begitu hampa tanpa
seorang Naela, setiap detik miliki kenangan manis bersama
istrinya. Kala detik mengetuk, kenangan itu kembali terputar
mengingat besar cinta yang Naela punya.
Malam ini Rika belanja sayuran, ia ingin masak untuk
Toni, ingin masak bersama Eko, ia harap Toni keluar dari
kamar. Waktu masak Eko dan Rika sengaja dentingkan suara
panci agar Toni di kamar mendengar, Eko dan Rika sudah
kehabisan cara, Toni semakin sering mengurung di kamar,
hampir tiga bulan, sedikitpun Toni tak berubah, rambut belum
dipotong, badan semakin kurus kering, setiap panggilan acara
ia lupakan. Saat m asakan m atang Eko dan Rika sengaja
siapkan tiga piring, N asi sudah terh ias rapi, sayuran
diletakkan di wadah gelas besar bak piala, semua tertata di
atas meja makan berhias minuman jeruk hangat.
"Panggil Toni Ko!" Rika meminta.
"Kam u saja Ka," Eko sudah hampir patah arang.
Rika berfikir dua kali, ia gandeng Eko dekati pintu
kamar Toni, "Ton!" Rika mengetuk, "Ayo kita makan sama-
sam a."
"Semua sudah siap Ton," Rika kembali mencoba.
"K lik ..." pintu terbuka, Toni bersarung berkaos dalam
putih keluar.
"Ayo makan Ton," Eko mengajak.
"Ma'munAffany | X JJ

Toni mengangguk sekali, mengambil tempat di kursi


jnakan, Rika dan Toni menemani.
Satu suap, dua suap, tak ada kata yang keluar, Toni
pelan makan, mengunyah lebih dari 33 kali, lamunan meng-
hias wajah. Nasi di piring Eko dan Rika hampir habis, Toni
baru seperempat, baru tiga suap.
"Ton... kamu jangan seperti ini terus, aku tidak ingin
kamu seperti dulu lagi," Eko berpesan.
Toni diam, minum seteguk air.
"Su d a h la h Ton, b iark an N aela p e rg i," Eko salah
mengucap.
Seketika Toni pelan geletakkan sendoknya, berdiri
berjalan lam bat kembali masuk kamarnya. Pintu tertutup
rapat, Eko dan Rika saling pandang.
"Ja n g a n singgun g N aela di d epan nya K o ," Rika
setengah marah.
"Aku hanya in g in ..." Eko kebingungan.
"Kamu sudah tahu bagaimana Toni lakukan segalanya
untuk Naela, dan kamu harusnya tahu bagaim ana Naela
rnembaiasnya. Naela sudah jadi separuh hidup Toni, jangan
lagi kamu nasehati Toni tentang Naela," Rika menatap mata
Eko tajam.
"M aaf Ka, tapi aku tak ingin Toni terus seperti itu,"
Eko memandang ke belakang, melirik ke pintu kamar Toni.
"Aku tahu Ko, aku tahu, tap i..." Rika tak ingin tersulut
sendiri.
Toni kem bali m erajut lamunannya, m engurung diri
di kamar memutar foto-foto Naela, berapa kalipun diputar
Toni tak te ru sir bosan, ia duduk ten an g b ersan d ar
memandang meski sampai ujung malam.
Kalau sholat do'a Toni hanya untuk N aela seorang,
"Ya A lla h ... satu-satunya yang aku m inta bu kan harta,
k.edudukan, atau kemasyhuran, tapi lindungilah Naela kala
| zg %z "Harja TVanita
ia sendirian, peluklah ia karena aku tlah jauh darinya «
selep as do'a Toni terin g at N aela yang p ernah duduk
terselubung mukena pinknya.
Toni lirik jam di dinding, menunjuk angka tiga, tersisa
satu jam waktu subuh datang, Toni beranjak membuka
almarinya, ia kenakan jaket, keluar kamar, berjalan sendirian
menuju taman, ia duduk ingin dengar bisikan alam, ia tatap
nanar lampu di antara bunga melati kesayangan Naela, ia
sengaja tanam demi satu kenangan.
"T o n !" Rika m enyapa, "B o leh aku duduk
menemanimu ?"
Toni mengangguk.
Kursi ditarik, "Maafkan Eko Ton, kemarin dia lupa..."
Toni memotong, baru kali ini ia angkat bicara, "Tak
apa Ka, kalian tidak salah, tapi N aela terlalu berharga
u n tu kk u ."
"Aku mengerti Ton," Rika dekapkan dua tangan di
dadanya.
Nafas berat Toni berhembus.
"Apa yang selalu kau fikirkan Ton?" Rika ingin Toni
luapkan isi hatinya.
"Bersama siapa Naela, siapa yang melayaninya kalau
dia sakit, siapa yang menghiburnya, dia sepertiku, dia tidak
bisa hidup sendiri," Toni memijat dua matanya.
"Kam u yakin Naela masih ada Ton?" Rika beranikan
diri bertanya.
"K a la u dia sudah tiad a, p asti ada orang yang
sampaikan pesan terakhir N aela," Toni meyakini.
Sejen ak diam , b iark an em bun bergu gu ran, Toni
menatap ke langit, memandang kerlip bintang terjepit hitam
langit, Rika tak henti pandangi Toni.
"Bisakah kau kembali lagi seperti dulu Ton? S e p e r t i
saat kau belum mengenal Naela, seperti waktu dulu kita di
'Ma'mm Affany | 2 ^

desa?" Rika berharap Toni tak terus seperti sekarang, "Aku


a n Eko khawatir melihatmu terus seperti ini.
"Aku tak bisa Ka," Toni menyela rambutnya.
"Naela Ton?"
Toni mengangguk, "Sekarang hidupku hanya menanti
Wabar darinya."
Rika sekali lagi bertanya, "Bagaim ana jika tak ada
kabar Ton?"
"Aku akan terus m enan tin ya," Tom tak canggung

menjawabnpai Ton?» Rika tak ingin Toni berubah.

"Entahlah, aku sendiri tak mengerti."


ZSo j 2$ 9uzT-taraa IVanita

©
— Seolah 'Mimfii —

H
ari berlalu, minggu berganti, bulan bertambah
Toni tak kunjung berubah, ia lebih banyak
diam, m enyendiri di kamar, meski kesedihan
perlahan meredup, tapi tampak sesuatu tersimpan dalam di
hatinya. Setiap sore Toni melihat kotak surat di depan rumah,
dipilih, yang ia tunggu hanya satu, surat dari Naela. Setiap
pagi Toni tak lebih m encoba m enghubungi, menjelang
magrib Toni sekali lagi mencoba, sebelum tidur Toni kembali
hubungi ingin dengarkan suara Naela Khasna.
Waktu lebaran Toni, Eko, dan Rika kembali sejenak ke
Lam pung, bertem u keluarga, bertem u Bapak yang tetap
seperti sebelum pergi, tak lam a Toni kembali ke Jakarta
bersam a Eko dan Rika. Toni tak jenguk m ertua, Toni tak
tahu sekarang ada di mana.
Sehari-hari Toni tetap mengirim cerita ke media masa,
semua ceritanya berujung pada Naela, selalu terselip pesan,
"Kabari aku akan keadaanmu Naela, aku selalu merindukan-
"Ma'munAffany | zSl

Eko sehari-hari selalu temani ke mana Toni pergi, tapi


tak ada lagi canda senda gurau seperti dulu lagi, yang ada
hanya diam semata, sekali dua kali Toni bertanya, tapi tetap
tak lepas dari Naela, "Naela bagaimana kabamya ya Ko?"
Eko hampir bosan, dan sudah bosan, setiap hari selalu
dengar cerita Naela, setiap hari mengulang-ulang tentang
Naela, setiap saat dikala sempat, di saat makan, di saat jalan
menunggu petang, "Kam u ingat Ko saat dia pertam a kali
kita kenal? Pertama kali kita melihatnya?"
Dua tahun Toni tetap seperti itu, tak ada yang berubah,
sering di kam ar, m em utar foto-foto N aela, m enatapnya
sepanjang malam, di ujung pagi, Rika dan Eko sampai heran,
sedikitpun tak luntur dari Toni Saputra. Dulu mereka berdua
mengira seg alan y a akan berak h ir, tapi tern y ata tak
berujung, Toni tak kunjung berubah. M enjadi pendiam ,
acuh. Kalau Eko dan Rika diminta mengulang segala cerita
akan N aela, m ereka berdua sanggup m engu langn ya
sempurna.
"Ton," Rika mengetuk, malam m enyelimut, ham pir
jam sembilan malam, Eko duduk depan TV.
Pintu dibu ka, Toni bersarung, ram butnya sed ik it
panjang tergerai menyebar.
"Ada telfon dari salah satu pondok pesantren, dia
m em intam u u ntu k bedah b u k u ," Rika m en g acu n g k an
handphone.
Toni tak lan g su n g m enjaw ab, ia m engu cek m ata
kirinya, "Di m ana?"
"Jawa Timur, Sragen," Rika detil menjawab.
Toni diam, ia sedikit malas, "Tanyakan Eko," Toni ingin
Eko menggantikan.
"M erek a in g in kam u yang d atan g Ton, bu kan
pengganti," Rika menjelaskan.
ZSZ |2<J]uz Ttarya 'HJanita
Lam a tak kunjng ada jaw ab an , Rika sodorkan
handphone, "In i Ton, kasihan mereka menunggu."
Toni kembali ke dalam kamar, duduk di atas ranjan
memangku satu bantal, "Assalam u'alaikum ..."
"W a'alaikum salam ... ini dengan Kak Toni?"
"Iya benar saya sendiri."
"Kak Toni, santriwati kami sangat berharap kak Toni
bisa hadir di antara kami, kami ingin bertemu kakak, sudi
kiranya Kakak bersedia penuhi permintaan kami."
"Berapa jumlah pesertanya?"
"Sekitar dua ratusan Kak."
Toni m endengar kata santriw ati langsung teringat
masa di mana ia mengenal sosok Naela, "Insya Allah saya
akan datang."
"Alhamdulillah, kami semua menunggu Kakak."
"M aaf ini dengan siapa saya berbicara?" Toni ingin
tahu.
"Ida Kak, Ustadzah Ida."
Toni ingat-ingat selalu nama Ida agar tak lupa, sebelum
keluar kamar Toni bercermin di kaca dekat almari bajunya,
ia telisik setiap guratan di wajahnya, rambutnya, tubuhnya,
seketika ia hem buskan nafas, ia am bil foto N aela yang
terpampang di meja. Ia bawa sembari berjalan keluar kamar
hampiri Eko dan Rika di depan TV.
"K a la u ada telpon lagi dari Ida, tanyakan kapan
tanggal dan jam nya," Toni berikan handphone pada Rika,
ia kembali ke kamarnya.
Selang satu minggu telpon dari Ida kembali m asu k ,
Rika yang menerima, menjelaskan detil acara, jam, d u ra si,
hingga materi, Rika menulisnya di buku Agenda, Rika tak
langsung sampaikan. Setelah sholat subuh, sembari berjalan
pulang dari masjid Rika bercerita, di pelukannya m u k en ah
dan sajadah, Eko mengekor di belakang.
"Ma'mun A ffary | 2&3
"Kem arin Ida telpon Ton, acaranya tetap tanggal 12
februari, jam 4 sampai jam 5 sore."
Toni hanya mengangguk, nikmati udara pagi, nikmati
gelap pergantian pagi, dengar gonggongan anjing di balik
pagar.
"Kam u lebih baik potong rambut Ton, ini pesantren,"
Rika mengingatkan, Eko diam, tak banyak bicara.
"Mungkin dengan ini kamu bisa lupakan semua, kamu
bisa mulai lagi yang baru," Rika berharap.
Toni hanya diam , ia b e rja la n tertu nd u k m enatap
langkah kakinya. Sehari sebelum keberangkatan Toni ikuti
anjuran Rika, Toni minta Eko potong rambutnya.
Di b elak an g Rum ah Toni telan jan g dada, duduk
bersilah di lantai, menghadap dua kursi mengepung meja.
"M au dipotong bagaimana Ton?" Eko sudah bersiap
setengah jongkok dengan gunting dan sisir.
"Serapi mungkin Ko."
Bis Pahala Kencana dari Jakarta berangkat tepat selepas
ashar, jam empat tepat, Eko dan Rika yang sibuk persiapkan
segala barang. Rika persiapkan baju Toni, Eko masukkan
laptop dalam tas, flashdisk, satu buku, dua pena.
"K o , n an ti Toni pakai b aju in i," R ika tu njukkan
kemeja hijau, "Ini celananya," Rika masukkan celana hitam,
"Minyak rambut, handuk, odol, semuanya ada dalam tas."
Eko mengangguk, "Sudah telpon taxi Ka?"
"Sudah," Rika melongok keluar, "Itu sudah datang."
Eko ke kam ar Toni, m engetu k p elan, "Ton, ayo
berangkat."
Tak lama pintu terbuka, sebelum pergi Toni berikan
kunci kamar pada Rika, "Jaga diri baik-baik Ka."
"Semangat Ton," Rika berharap Toni bisa berikan yang
terbaik untuk semua yang menantinya.
2.84 j 2.g Juz Tlarja 'Wanita

Toni b erja k et, celana jean s hitam , ram butnya tak


tersisir, tepat jam 3 Toni dan Eko tinggalkan rumah, tinggaj
Rika sendirian. Setiap ada acara Toni selalu pergi berternari
Eko, Rika pasti menunggu di rumah.
Sepanjang jalan Toni tak tutup mata, entah apa yang
difikirkannya, Toni selalu memandang keluar walaupun tak
ada p em an d ang an. Satu alasan kenapa Toni kabulkan
p erm in taan Ida, ia in gin m engin gat saat pertam a kali
berjumpa Naela, ia ingin mengingatnya dengan sempurna.
M enjelang dhuhur tam pak di sisi kanan jalan satu
papan besar b ertu lis "Pondok Pesantren Darussa'adah".
Berdua turun, papan menunjuk ke selatan sisakan jarak 1,5
kilo meter. Satu becak motor mendekat, "Pondok mas?"
"N aik Ton," Eko meminta.
Tak ban yak rum ah di jalan m asuk, hanya sekitar
em pat, seleb ih n y a ham p aran saw ah sejau h m ata me­
mandang. Ujung hijau padi bak permadani bumi, meski terik
menyengat, panas meradang, tapi mata sejuk membuka. Sisi
k iri saw ah, sisi kanan penuh saw ah, suara raungan
k end araan p erla h an m engh ilan g, ban gu n an kokoh
pesantren tampak tegak di tengah, gedungnya bertingkat,
ada dua menara menggapit satu gedung, dari kejauhan titik-
titik putih berjalan, santriwati berkerudung berlarian, Toni
tersenyum, teringat Naela seorang.
Semakin dekat riuh santriwati mulai tersentuh, jelas
terlihat berlarian dari satu sisi ke sudut lain, yang kecil masih
acak-acakan memakai kerudung, tak ada lipatan di kening
bak tempurung, berbaju sedikit kebesaran berok kepanjang-
an. Yang besar tampak rapi berkerudung sembunyikan paras
bak cawan, halus tersentuh bedak, bibir mengkilap terpoles
lipstick. Eko berhenti di satu gedung setelah gerbang, tepat
setelah gardu, dua ustadzah sudah berdiri berjejeran menunggu
kedatangan, semua berbaju biru berkerudung putih.
'Ma'munAffantj j
"Assalam u'alaikum ..." Eko menyapa.
Dua Ustadzah tersenyum mesra, "W a'alaikumsalam...
se la m a t datang Kak."
Toni ingat Naela, mereka seperti Naela dan Aziza.
Toni dan Eko dipersilahkan m asuk, diberikan satu
kamar istirahat, sebelum dua ustadzah pergi Eko sempatkan
diri tuk bertanya, "Jam berapa acara akan dimulai?"
"N anti jam empat, tapi sekitar jam setengah em pat
kami ke sini menjemput," Ustadzah Ida menjawab, wajah­
nya bundar, putih tak langsat, alisnya tebal, ia selalu selipkan
jari rapikan rambut di bawah kerudung.
Toni tak istirahat, ia hanya duduk di ruang depan,
membuka sedikit korden perhatikan santriwati berjalan, ada
yang membawa buku, membawa piring, membawa tas kecil,
lamunan Toni melayang tinggi seolah Naela ada di matanya.
Kadang Toni mendekat jendela coba melihat dari dekat, tak
terasa sudah dua jam Toni h ab isk an dem i pan d an g i
perempuan berkerudung lalu-lalang.
Eko sudah bersiap membawa tas berisi laptop. Toni
memakai baju hijau celana hitam, lengan baju Toni lipat tiga
kali, jam tangan tak lupa dikenakan, rambut diberi minyak
ditata sedikit acak. Saat Toni berdiri untuk bercermin, pintu
terketuk tiga kali, satu su ara salam terd en gar,
"Assalamu'alaikum."
"W a'alaikum salam ..." Eko membuka pintu.
Dua berdiri, ustadzah Ida setengah m em beri tahu,
"Mari Kak, acara akan segera dimulai."
"Sebentar, Kak Toni belum siap," Eko tersenyum maaf.
Tak lama Toni keluar dari kamar.
"Sudah Ton?" Eko siap membuka pintu.
Toni tersenyum.
Berempat melangkah bersama, membelah lalu-lalang
santriwati di sekeliling asrama. Matahari mulai turun, panas
ZS6 | 2/j 'ju: 7-targa'Wanita
pergi, secu il angin seju k m erasu k, lan tu n an ayat SlIc.
terdengar. Setiap lewati gedung, selalu ada santriwati hil'
mudik berjalan pulang pergi. Ingatan Toni tak lain tertu'u
pada Naela, setiap langkahnya Toni selalu ingat Naela, ingat
kala pertama kali mengenal, kala pertama kali bersuratan
Toni seakan ada di jantung pesantren, di halaman luas
berpaving, terkotak empat gedung, salah satu bertirai bambu
tertulis "Belajar Menjahit". Satu gedung megah berdiri kokoh
tiga lantai berbentuk huruf U, bergaya eropa bersanding
dua menara dan satu kubah di tengahnya, tertulis gedung
Pakistan. Setiap lantai berisi dua belas ruangan, kecuali lantai
dua, satu aula panjang menyela, tempat Toni akan membedah
bukunya. U stadzah Ida menunjuk, "K ita di sana Kak, di
lantai dua."
Toni tersenyum, setiap santriwati tak melepas Eko dan
Toni dari tatapan.
Tangga dinaiki, tampak ustadzah lain berdiri, mereka
tersenyum m enyam but, sed ikit m engangguk mengucap
salam. Entah mengapa seketika jantung Toni berdegup lebih
kencang.
"Silahkan masuk," ustadzah mempersilahkan.
Satu langkah lewati pintu desis dua ratusan santriwati
mengisi aula panjang terdengar, "Sssstttt..." Toni langsung
tertunduk duduk di satu kursi paling depan bersebelah Eko.
Namun seketika mata Toni terbelalak, jantung Toni
berdegup, gemuruh berisik santriwati seolah sunyi, darah
seketika berhenti, Toni m engucek m atanya b e r k a l i - k a l i ,
m em ijat keningnya, kakinya berg etar, duduk tak la g i
nyam an, nafas diberhentikan sejenak. Toni m elihat satu
sosok tertu lis di hatinya, ia m elih at satu senyum yang
sadarkan akan cintanya, ia m enangkap dua bohlam mata
berbulu lentik yang tak asing baginya. Ia duduk segaris lurus
dengannya, duduk di deretan paling depan, nomor tiga dan
"Ma'munAffary \ 2.Sj
dinding, ia m irip dengan N aela, san g at m irip , tid ak
sedikitpun ada yang b erb ed a, ia tertu n d u k m enatap
agendanya, kontan Toni tak sanggup berkata.
"K o!" Toni senggol Eko.
"Ada apa Ton?"
"Lihat ke depan!"
Eko pun terperangah, yang pertama kali Eko lakukan
berlari mengambil laptop di atas meja yang sudah terbuka.
W allpaper laptop foto N aela sedang duduk tersenyum
memeluk lutut di taman, belum dinyalakan, baru dibuka,
Eko langsung cabut semua kabel yang tersambung.
"Ada apa kak?" ustadzah Ida terkejut.
"Ada gangguan, pakai laptop dari sini sa ja ," Eko
beralasan, ia keluarkan flashdisk dari sakunya.
Tak sed ik itp u n Toni k o n sen trasi, m eski m ata
memandang ke depan tapi hati tertuju pada satu orang. Toni
tak nyaman, berkali-kali dua tangannya m emegang lutut
agar tak bergetar, riuh santriwati menjelma seketika menjadi
sunyi di satu hati, ratusan tatapan tertam pik di dua mata
lentik, indah paras di balik kerudung terhapus satu senyum.
Entah di depannya Naela atau orang lain, tapi Toni
melihat di depannya sesosok gadis tak sedikitpun berbeda
dengan Naela Khasna.
ZS8 j zg Jruz 'Maraa TVanita

©
— Siapa D ia? —

//
a s sa la m u 'a la ik u m w arah m atu llah i
w a b a ra k a tu h ..." Toni m eng ak hiri bedah
bukunya, turun dari kursi kembali ke dekat
Eko.
"W a'alaikum salam warahm atullahi w abarakatuh..."
gemuruh dua ratusan santriwati membahana.
Pem bawa acara m enutup, Toni m asih larut dalam
ketidak percayaan akan apa yang ada di depan matanya, kini
Toni lurus segaris berhadapan dengan santriw ati mirip
dengan Naela, terpisah dua meter, dua bangku. Meski Toni
menatap, gadis tersebut tak membalas, ia tertunduk, sibuk
dengan pena dan buku agendanya. Segala perasaan di dada
Toni bercampur, ingin mendekat, ingin bicara empat mata,
ingin merajut jemarinya tuk bertanya, semua menjadi dawai
getar irama desis nafas jiwanya.
Di luar mulai redup, matahari perlahan mulai meng-
hilang, lampu di aula satu persatu dihidupk.an, saat acara
ditutup Toni berdiri ingin m endekati, tapi langkahnya
"Ma'mun Affany | z8ty

tertahan, puluhan santriw ati m engerubut meminta tanda


tangan, terpaksa Toni duduk, m engelu arkan pena dari
sakunya.
"K a k b e ri kata-k ata d o n k ," ada satu san triw ati
meminta.
"Tanggalnya k ak," san triw ati lain m em eluk buku
tersenyum menyela kata.
Toni tak mendengar, ia cepat tanda tangani semua
buku, ia kadang mencuri pandang, ia ingin gadis itu yang
datang m em inta tanda tangan, tapi sayang tak ada di
depannya, ia ingin gadis itu yang berkata agar Toni bisa
dengar tutur lembut katanya, tapi sayang tak tampak kilau
bibirnya. Satu persatu pergi, ruangan sudah mulai kosong,
tertinggal Toni, Eko, dan dua Ustadzah yang akan mengantar
pulang.
G u rat g elisah m enyem bul di w ajah Toni, Eko
menasehati sebelum keluar aula, "Tenang Ton."
"Aku tidak bisa Ko," Toni berikan pena pada Eko.
"M ari Kak," Ida persilahkan untuk jalan.
Toni dan Eko tu ru n i tangga, tam pak ratu san
santriw ati m ulai m em buka sajad ah n y a, berm u ken ah,
berbondong-bondong membaris sof di halaman bak tanah
lapang, dengarkan sebaris syair Abu Nawas, m em eluk
Qur'an duduk bersilah khusyu'. Fondok belum bermasjid,
masih dibangun, sama seperti pondok Naela. Semua sholat
berjamaah di halaman utama. Langkah Toni dan Eko diikuti
ratusan pasang mata, sesekali Toni mencari-cari Naela, tapi
gadis itu seolah hilang entah di mana.
"Kita ke tempat lain Kak," ustadzah Ida memberitahu.
Tempat istirahat bukan tempat singgah di awal kedatangan,
bukan ke barat, tapi balik arah ke timur.
2^0 |Zg 9uz T-larya 'Wanita
Toni tak peduli, ia ikuti langkah Ida, suara bacaan ayat
suci A1 Qur'an sayup-sayup mulai terdengar, suaranya tipis
melengking ikuti aliran angin hembuskan dingin. Toni terus
m enapak kaki, m enyusup di antara him pitan gedung
gedung. Toni dan Eko dipersilahkan m asuki satu rumah
khusus untuk tamu m enghadap ke lapangan bola tanpa
gawang, Toni dan Eko menempati salah satu kamar.
"N an ti m akan m alam ada yang sed iak an Kak "
ustadzah Ida memberitahu.
"Terimakasih," Eko yang menjawab sebelum menutup
pintu.
Toni berd iri tegak, m enyandar dinding di bawah
lukisan.
"Sudah Ton," Eko m endekat, ia ingin Toni istirahat
sejenak.
"Tampar aku Ko!" Toni meminta.
"Apa?" Eko terkejut.
"Tampar Aku!" sekali lagi Toni meminta.
Eko ayunkan tangan kanan, keras mendarat di pipi,
"Plak!!!"
Panas terasa m enyengat, seketika tangan kiri Toni
mengelap pipi, "Aku tidak mimpi Ko."
Eko tarik tangan Toni, "Duduk dulu Ton."
Toni m enurut, duduk berd am p in g an Eko di sofa
coklat.
"Siapa dia Ko?" Toni tak henti.
"Sabar Ton, nanti kita tanyakan," Eko meminta Toni
sedikit tenang.
"Aku kangen Ko," Toni tak bisa memendam.
"Iy a, aku tahu. Tapi kalau gadis itu b u k a n N aela
bagaim ana?" Eko menyadarkan.
Toni sedikit sadar, tapi seluruh tubuhnya tak henti
bergejolak bertanya-tanya.
'M a'm un Affany \ Z ty i

"Mandi dulu Ton," Eko berdiri mengajak, "Kita sholat


dulu."
Eko m eraih h andu k, tin g g alk an Toni duduk
termenung.
Yassalam... siapa dia? Siapa dia? Pertanyaan itu selalu
bergelanyut dalam hatinya. Toni buka pintu, keluar mencoba
m e l i h a t , mencoba mencari, mungkin Naela berjalan lambat
lewat sejenak, tapi yang terdengar justru gemuruh adzan
m a g r i b berkumandang menutup hari penuh seribu rahasia

tak terkuak.
Toni paksa dirinya tenang, tapi tetap tak mampu, di
kamar mandi Toni lama termenung mengingat yang baru ia
lihat, bagaimana caranya memandang, caranya tersenyum,
caranya mainkan jari tak ada beda dengan Naela. Saat sholat
di kamar bersama, Toni berdo'a begitu lama, ia ingin Allah
beritahu siapa dia. Toni minta Eko membuka laptop, sembari
memangku dagu Toni putar foto kenangan bersama Naela,
di atas sajadah Toni tak bisa senyum , kelu m em andang
pergantian gambar istrinya.
Eko menggeleng melihat Toni lebih dari sepuluh menit
terdiam sendiri, dari luar kamar suara sendok, garpu, dan
piring beradu. Eko membuka secuil pintu mengintai, tampak
meja makan disiapkan, Eko tarik Toni dari lamunan, "Makan
Ton."
Toni berat hati tinggalkan laptopnya, Toni berjalan
sendiri, entah apa yang dilakukan Eko di kamar, tapi Eko
tak kunjung keluar. Toni tak perh atik an p irin g belum
tersedia, Toni duduk di kursi makan, satu nasi dikelilingi
lima macam lauk tersedia di meja, ikan kakap merah, ayam
bakar, urap dengan lalapan, sate ayam. Toni ingat, sate
n^akanan kesukaan N aela, tiba-tiba ada dua orang gadis
rnengantar piring, tengkurapkan piring di hadapan Toni.
ZtyZ | Zg 'Juz Harcja 'HJanila

Jantung Toni bergedup halus, bukan karena pir;n


akan jatuh, tapi yang yang membawa piring, gadis ya ^
mirip dengan Naela, gadis yang sama dengan Naela, ia begitu
dekat dengan Toni, senyumnya kadang menghias, harum
wangi parfum spalding tercium, wangi khas yang dulu Toni
h afal d ari seoran g N aela. M eski Toni memandang
pandangannya tak terbalas, ia seakan tak mengenal Toni
sedikitpun tak ada yang berubah, ia hanya bergerak rapikan
piring, garpu, dan sendok.
"M aaf, nama kamu siapa?" bergetar Toni beranikan
diri bertanya.
"N aela ustadz," sembari sedikit mengangguk Naela
menjawab.
Jantung Toni terjatuh mendengar nama, tapi tertarik
kembali mendengar dia memanggil "U stadz". Kata orang
santriwati sudah terbiasa memanggil yang lebih tua dengan
panggilan Ustadz. Tapi yang Toni pertanyakan, Naela di
hadapannya benar-benar tak mengenal dirinya, Naela yang
berkerud ung putih, berkaos biru m uda lengan panjang
sedikitpun tak berubah, ia terus bergerak merapikan meja,
Naela di hadapan Toni seakan tak pernah miliki kenangan
bersama. Toni tak berani berkata lebih meski ia ingin mendekat
untuk kembali bersua. Saat Naela berjalan ke dapur seluruh
tubuh Toni sedikit reda dari guncangan tanda tanya.
Naela, Naela, nama itu terus tersebut. Toni kadang
berbalik ke belakang ingin kembali memandang, tapi Naela
entah di mana sudah menghilang, dapur kosong, berat hati
Toni m akan, m engunyah pelan sem bari m enyebut satu
nama, Naela. Toni ingat cara jalannya, sama seperti Naela
istrinya.
Toni terkungkung dalam pertanyaan akan seseorang/
pada siapa ia harus tanyakan kebenaran? Pada siapa ia harus
tanyakan akan gadis yang baru saja rapikan meja m akan-
"Ma'mun A ffary | 2^3

Apa yang dilihatnya adalah istrinya? M emang sama, tak


kelihatan lebih muda atau tua. Apa Naela m iliki saudara
kembar yang tak pernah diceritakan? Toni memijat kepala-
nya keras. Setelah sholat isya Toni berdiam di atas sajadah-
nya.
"Ayo bersiap Ton, kita pulang," Eko sudah berkemas,
Toni masih bersarung.
"Kita pulang besok pagi," Toni pasti menjawab.
Eko terkejut, ia jatuhkan tubuhnya di ranjang, "Kita
sudah beli tiket Ton."
"Kita pulang besok pagi," Toni mengulangi.
Eko diam, ia lepas kembali jaketnya, nyalakan ac kamar.
Di luar terdengar kem bali piring dan sendok ber-
denting, Toni langsung berdiri membuka pintu, mengintip
dari celah, tapi bukan Naela yang dilihatnya, perempuan
lain, lebih tinggi dari Naela. Toni bersarung tetap melangkah
keluar, dekati meja makan, ia berdiri memegang sandaran
kursi, kipas tepat di atas ubunya berputar lambat.
" E e e ..." Toni bin gu n g sen d iri, "B isa p an gg ilkan
ustadzah Ida."
Seketika gadis berparas oriental berhenti mengelap,
"Maaf ustadz, kalau malam seperti ini ustadzah Ida sedang
keliling mengawasi santriwati belajar, mungkin besok pagi
baru bisa."
Toni diam, Eko datang menyusul.
"Kamu kenal Naela?" Toni beranikan diri.
"Iya, ada apa Ustadz?"
"M m m ... tidak hanya tanya," toni tak ingin membuat
curiga, ia khawatir Naela yang ia lihat bukanlah istrinya,
"Tolong sam p aikan ke U stad zah Ida kalau saya in gin
bertemu."
"Baik Ustadz" gadis di depan Toni membawa piring
kotor ke dapur.
2 ^ 4 | 2$ 'Juz T-tarcja 'Wanita

Toni menarik kursi, duduk diam menghadap satu lauk


Eko ikut duduk tak berani bertanya. Sebenarnya Eko heran
kenapa Naela begitu melekat dalam diri Toni, sekali disebut
nama wajah Toni berubah meski sudah dua tahun terpisah
mencari penggantipun tak terbesit, bukan tak ada. Bagi Eko
Naela bukan wanita paling cantik, paling indah, tapi Eko
m engakui jika N aela lam bang kesyahduan, keanggunan,
kelembutan. Bersandar dalam dekapan Naela seperti tidur
di selimut salju kebajikan.
Waktu tidur Toni satu selimut dengan Eko, Toni hanya
membuka tutup mata, tidur hanya sesaat, jam tiga Toni sudah
tinggalkan ranjang mengambil wudlu. Toni kembali ingat,
dulu N aela sering m em bangunkannya. Toni buka pintu
rum ah, m ungkin N aela sedang sholat di teras, ia ingin
melihat, Toni rindu akan kebersamaan dulu meski sejenak,
tap i saat p in tu terbu ka cak ar d in g in yang m enyusup
bercampur embun, sekilas bulan purnama dipandang lekat,
seolah yang tampak paras Naela tersenyum menyapa.
“Ton," Eko menepuk bahu.
Toni menoleh.
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, apa yang kamu
rasakan, tapi aku harap kamu jangan buru-buru, jangan
tergesa-gesa," Eko memijat bahu kiri Toni, tangan kiri Eko
menjinjing sarung, "Mungkin wajah sama, nama sama, tapi
belum tentu dia Naela yang kau punya."
Toni jongkok di tengah pintu menunggu subuh, Eko
ikut m enem ani bak burung hantu bertengger di ranting
pohon.
"Aku tidak bisa tenang Ko. Kau tahu bagaimana Naela,
isi surat terakhirnya, dan sekarang aku melihat orang yang
sam a d en g an n y a," Toni m enghiru p k u at-k u at udara
berembun, "Aku setiap hari merindukannya, ingin b e r t e m u
dengannya. Setiap malam aku ingin dengar kata-katanya,
"M a'm unA ffany \ Z f f i

setiap pagi aku ingin lihat senyumnya, semua ku simpan


rapi di hati," Toni mengecap mulutnya, "Tapi semua itu terasa
te r a m a t berat Ko, sulit untuk terus memendam, semakin hari,
seiring bertambah waktu semua rasa itu bukan hilang pergi
m e m u d a r pupus, tap i sem ua ja d i p isau tu m p u l yang
in em b u atku hanya diam untuk terus mengenang."
Toni diam sejenak, "Aku mencintainya Ko, aku sayang
dia."
"Aku tahu Ton, aku tahu."
"Aku tidak akan seperti ini jika tidak ada dia," Toni
menutup dua matanya.
"Sabar Ton," Eko hanya bisa berkata.
Toni tertunduk terpaku seseorang. D alam hatinya
Naela sudah terpahat, di jantungnya Naela sudah menjadi
detak.
M atahari mulai tampak, kilaukan ujung rumput bak
berlian, embun runtuh menembus kabut, pandangan mata
terhalang, n afas segar m enyebar. Eko m u lai berkem as,
melipat baju masukkan dalam tas, laptop, minyak rambut,
semua Eko kum pulkan, b aju di gantu ngan balik pintu
dimasukkan plastik hitam , selim ut dilipat disandingkan
bantal.
Toni di ruang tamu sendirian menunggu ustadzah Ida
datang, Toni berkaos putih bertulis "Polo" di dadanya. Jam
tangan melilit di pergelangan kiri, mata Toni sedikit merah,
lingkarannya m enghitam , saat ustadzah Ida datang Toni
berdiri menyambut, di tangannya terselip tiga buku, satu
penghapus, dua spid ol h itam , ia b ern ia t m engajar,
kerudungnya putih, bajunya pink sewarna rok, ada bros
bunga di dadanya.
"Ada apa Kak?" ustadzah Ida duduk menghadap Toni.
"Sebelumnya maaf, tapi saya ingin bertanya tentang
Naela," Toni hati-hati.
2 £ ]b |Z<j 'Juz 7-tarrja 'Wanita
"Boleh tahu kenapa?"
Toni tak langsung menjawab, "Dia mirip istri saya »
U stadzah Ida sedikit terkejut, duduknya bergeser
"Maksud Kakak?"
"Dua tahun lalu istri saya pergi, sampai sekarang saya
belum pernah bertemu lagi dengannya," Toni tak menatap
ustadzah Ida terlalu lama.
Ustadzah Ida sedikit menoleh ke kanan berfikir, "A p a

Kak Toni bawa fotonya?"


"Sebentar," Toni masuk ke kamar, mengambil agenda,
ia buka sam pu ln ya, foto N aela yang tid u r tersenyum
memeluk boneka kecil ditunjukkan, "Ini dia."
Agenda Toni Naela raih, "M aaf kak."
Seketika garis-garis tak percaya muncul jeias di paras
Ida, bibir bawahnya di gigit lama, mengedip seolah berfikir.
"Ustadzah tahu tanggal berapa dia lahir?"
"Saya tidak hafal, yang saya tahu dia dari Bandung,"
Ida berikan kembali agenda.
Toni diam, berfikir lama, jem arinya memukul pelan
pahanya, "Kalau boleh tahu, dia di sini sebagai santri atau
guru?"
"D ia U stadzah, baru datang setengah tahun lalu,"
jemari ustadzah Ida benarkan kerudungnya.
"Apa dia pernah cerita sesuatu?"
Ustadzah Ida menggeleng.
"Apa d ia ..." pertanyaaan Toni terputus.
"Saya kurang tahu banyak hal, tapi saya akan bantu,
ustadzah Ida berjanji.
Sedikit kebahagiaan memancar dalam diri Toni, Toni
coba mengingat sesuatu, "Ustadzah tahu nama lengkapnya-
Ustadzah Ida mengingat, "N aela..." sejenak t e r p u t u s ,
"Naela Khasna."
"M a'm unA ffnny \ 2 f ) J

Terpukul tubuh Toni, jantung seolah terlepas. Bergetar


t u b u h Toni, nam a yang sama, paras yang sama, langkah
yang tak ada beda, lenggok yang sama, senyum yang selalu
sadarkan jika ia miliki cinta pertama dan terakhirnya.
M elih at w ajah Toni beru bah u stad zah Ida balik
bertanya, "Apakah sama namanya?"
Toni mengangguk berkali-kali.
"L e b ih baik saya pan gg il N aela," u stad zah Ida
merapikan buku dari atas meja.
"Jangan! Jangan!" Toni mencegah, tangannya hampir
menyentuh tangan ustadzah Ida.
"Kenapa?"
"Jangan!" Toni tak punya alasan, ia hanya ingin Naela
tak terganggu karenanya, "Saya mohon jangan."
Ustadzah Ida larut dalam pertanyaan, matanya berkali-
kali berkedip.
"Saya harap ustadzah Ida jangan beritahu ini pada
siapapun, saya khawatir Naela yang di sini bukan Naela
yang saya miliki."
U stadzah Ida m engangguk, "Saya akan bantu kak
Toni."
Toni tak miliki jalan lain, hanya orang tua Naela satu-
satunya jaw aban meski tak tahu ada di mana. Toni harus
m encari. Toni datangi Eko di kamar, tas masih terbuka, ada
beberapa baju belum Eko lipat, handuk m asih m elilit di
lehernya.
"Sudah siap Ko?" Toni lihat jam tangan.
"Sedikit lagi Ton," Eko m elipat baju terakhir, "Kita
pulang Ton?"
"Kita ke Lampung Ko."
2Q& |Zty9uz 'Harya 'Wanita

- 28 •

— Oarujan Jvfenyeraf) —

D
ari jauh pelabuhan Bakauheni tampak bak pagar
m engh ad ang lau t, terik m enyengat kilaukan
perm ukaan lam baikan ombak, dua kapal ferry
merapat, lam bang kuning bumi Lampung terlihat seolah
kumpulan emas menggantung di bawah awan, penumpang
mulai bangun dari tidur, kapal hendak berlabuh melempar
sauh.
Toni dan Eko sandarkan tubuhnya di pagar, berdua
menatap diam tanah kelahiran, sudah hampir satu tahun
Toni tak kembali, tak pernah injakkan kaki, terbayang di
kepalanya suasana rumah, Bapak, ranjang tempatnya selalu
disiram, berkaos lengan panjang toni mendekapkan tangan,
semakin jauh lamunannya terbang semakin terbayang sosok
Naela seorang, tak sabar hati ingin tahu siapa Naela yang ia
temui di Sragen, m ungkin bukan istrinya, tapi semuanya
sama, jalannya yang lambat, caranya menunduk, lentiknya
mata, kata mesranya, hanya tanah asal yang berbeda.
"T u ru n T on ," Eko m enepuk bahu Toni s a d a r k a n
semua penumpang sudah berjejal di pintu keluar.
TAa'munAffany |Z ffl
Toni paling akhir, ia tatap jam di tangan, menunjuk
angka sepuluh, ia tak merasa punggung membawa tas, Topi
hijau Toni kenakan.
"K ita ke rumah dulu a ta u ..." Eko m em beri pilihan
sembari berjalan lewati jembatan besi.
"Kita ke rumah Naela," Toni gelengkan kepala, ia tak
peduli satu perempuan menabrak pundaknya.
Bis jurusan Rajabasa dipilih, Toni dan Eko duduk tepat
di belakang supir, waktu bis mulai berjalan m ata Toni tak
lepas dari kaca, selalu m elekat pandangi tebing, deretan
pohon, pesisir pantai, naik turun jalan tak dirasa, yang
terbayang justru saat dulu bersama Naela ke Jakarta.
K adang Toni m eneguk sucuil air m inum , kadang
hanya m ainkan tutup b o to l, Eko lelap tertid u r, letih
berg elan yu t, kepala Eko ja tu h di pundak k iri Toni,
tangannya tetap berpegang pada tas di pangkuan, Toni tak
melepas kepala Eko, biarkan terlelap nyenyak, jika tikungan
tajam dilewati Eko terbangun, tak lama kembali tidur.
"K o," giliran Toni membangunkan, ia goyang tubuh
Eko.
Mata Eko mulai bergeliat sedikit membuka, terminal
Rajabasa begitu dekat, semua penumpang berdiri bersiap
turun.
Rumah Naela di jalan pramuka, sisi kanan jalan, sebelah
timur, pagarnya besi hitam, taman masih tampak rapi, pintu
besarnya tetap seperti dulu saat Toni datang untuk melamar
Naela, empat kursi dan satu meja bundar tak berpindah dari
teras beratap lampu terkurung lampion putih.
M atahari m ulai terh alan g aw an, h ilir m udik
kendaraan terdengar jelas, Toni buka topinya, Eko membisu
mengingat dahulu rumah kosong terkunci pagarnya. Berdua
lewati pagar, beberapa sandal terparkir rapi, dua sandal
perempuan, satu sandal japit.
300 | Z g 9uz "Uarja 'W anita

Toni ketuk pintu, tas d ilepas dari punggungnya


"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," tak berselang suara Ibu terdengar
Eko berdiri dekat Toni mengingat tanggal. Nafas Toni
mulai turun naik, berpaling tak ingin terkejut, mulut rapat
ditutup, tapi saat ibu keluar Toni tak m engenal, Ibu di
depannya tak berkerudung, rambutnya terpotong sebahu,
matanya sipit, berkaos lengan pendek, saat menatap Toni
matanya lebih menyempit kebingungan.
"M aaf ada perlu apa?"
"B isa bertem u dengan ibu s u lis ? " Toni m encuri
pandangan ke dalam ruangan, semuanya sudah berubah.
Ibu di depan Toni tak k u n ju ng m enjaw ab, diam
memaku berdiri, pandangi tubuh Toni dari ujung rambut
hingga ujung kaki, hampir dua menit, Ibu tersebut justru
balik bertanya, "Mas ini siapa?"
"Sa y a T on i," Toni coba tenang, Eko m undur dua
langkah m elihat papan nama rumah, takut salah, tapi RT
dan RW yang tercantum sama.
Seketika Ibu mengangguk, "M ari masuk."
Toni dan Eko duduk berd am p in g an , tuan rumah
masuk ke dalam, saat keluar Ibu membawa nampan, dua
gelas syrup dingin berw am a kuning dihidangkan.
"K alian pasti dari jauh," Ibu menebak, ia tarik kaos
agar menutup pangkal dadanya.
"Ibu sulisnya ada?" Toni sekali lagi bertanya.
"Kamu pasti mencari Naela?" Ibu menebak.
W ajah Toni kontan beru bah, tak bisa lagi b a n y a k
bicara, entah kata itu berisi kabar baik atau buruk, tapi Toni
tak bisa sembunyikan gundah gulana mendengar satu nam a
tersebut.
"Naela sekeluarga sudah pindah ke Bandung."
Eko tatap w ajah Toni yang tak bern afas, berkaca
"Ma m un A ffan y j 3 0 /

matanya, dari samping tam pak m engkilat, Eko genggam


tangan Toni, Toni sem ak in yakin yang d ilih atn y a hari
kemarin tak lain Naela yang dulu selalu ada di sisinya. Tapi
kenapa tak mengenalinya? Kenapa tak tahu siapa dirinya?
Kenapa saat itu ia seolah bertemu orang asing?
"Bagaimana Ibu tahu kalau kami mencari Naela?" Eko
bertanya.
"Waktu rumah ini dijual, Ayah dan Ibu Naela bercerita
banyak hal, sejujurnya ibu kagum dengan Toni, Ibu
tersenyum, "Mereka berpesan kalau nak Toni datang, mereka
meminta Ibu serahkan ini," Ibu sodorkan secarik kertas.
Toni baca, satu alam at tertulis, Bale Endah Ciparai
Bandung. Toni lipat baik-baik, m asukkan dalam sakunya,
"Sejak kapan rumah ini dijual Bu?"
"Satu setengah tahun lalu ," Ibu m enjaw ab dengan
kibaran senyum dari bibir berlipstik biru.
"Boleh saya masuk ke satu kamar Bu?" Toni ingin
melihat kamar Naela, kamar tempat mereka berdua lalui awal
hidup bersama.
Ibu tak langsung menjawab, sedikit ragu.
"Saya hanya ingin melihat," Toni raba dadanya sendiri.
"Silahkan," Ibu berdiri.
Toni sendirian, berjalan ke sebuah kamar, kamar dekat
ruang tamu, kamar paling depan. Saat dibuka semua isinya
sudah berubah, tak ada yang tersisa dari kebersamaan saat
masih berdua, ranjang bukan lagi berwama putih. Toni ingat,
ia pertama kali cubit pipi Naela di kamar yang ada di matanya.
Toni tersenyum sendiri mengingat. Dulu ia menangis dalam
pangkuan Naela saat mengeluh, ia tak pemah lupa bagaimana
Naela menyudut kalau sedang kesal. Toni pejamkan mata
mengingat Naela yang kemarin baru dilihatnya.
"Aku harus ke Bandung Ko," Toni hampiri Eko yang
masih duduk.
3 0 2 | Zg Juz Harja "WaniCa

"Sekarang Ton?" Eko bingung, berdiri mendekat


Toni m engangguk, "Aku tidak bisa mengulur, aku
semakin ingin tahu siapa Naela yang kemarin aku tanyakan
nam anya," Ibu tuan rumah hanya melihat.
"Tak bisakah kau mengulur satu hari saja Ton?" Eko
merasa Toni terlalu buru-buru.
"Aku tidak bisa Ko. Semakin aku tunda, semakin tak
tenang hatiku menerima setiap bayang Naela yang kemarin
hidangkan makanan di depan mataku," Toni menghela nafas
panjang, "Pergilah ke Bapakku, sampaikan salamku, biar
aku sendiri ke Bandung temui mertuaku."
"H ati-hati Ton," Eko tak bisa mencegah.
Berdua terpisah, seketika itu juga, Toni tetap bawa tas
punggungnya, Eko m elepas kepergian Toni di tepi jalan,
"Sampai bertemu di Jakarta Ton."
Toni di pintu bis m engangguk. Ia kem bali ke
Bakauheni. Saat terik mulai turuni tangga langit, jarum jam
m enunjuk angka dua lebih lim a belas m enit, Toni hanya
bisa makan sedikit, tak sedetikpun sanggup diam, setiap lima
menit Toni bergeser duduk dalam bis, setiap mencoba sekali
terpejam, sepuluh kali bayangan Naela menikam. Kembali-
lah Naela, kembalilah Naela, harapan itu yang terus melintasi
benak fikirannya. Di atas kapal sembari pandangi matahari
tenggelam Toni tak jua berhenti berh arap bisa kembali
bersama Naela untuk selama-lamanya.
Di kampung Rambutan Jakarta jam sepuluh malam,
tak sepi, lampu sorot dari atas menerangi setiap sudut, tanpa
istrirahat Toni mununggu bis di pintu keluar, lama tak ada
jurusan Bandung yang lewat, Toni buka dompet pandangi
foto N aela di b alik kerudung, Toni terseny u m sendiri
menatap serasa harapan merendap datang.
Baru pukul sebelas saat dingin mulai turun Toni bisa
duduk nyaman di bis Arimbi. Sebelumnya Toni tak p e r n a h
"Ma'mun A ffany | 3 0 3

injakkan kaki di Bandung, meski ia sering pergi, tapi kota


Bandung belum pernah dijenguk. Toni tak bisa lagi menahan
kantuk, nyenyak terlelap. Saat terbangun bis sudah berhenti
di terminal Leuwi Panjang.
Toni lirik jam tangan di tengah gelap, hampir jam dua
malam, Toni turun mencari mushola, berdzikir menunggu
subuh sem bari m engingat sosok istrinya yang telah lama
pergi nun jauh entah ke mana. Saat adzan subuh di bumi
pasundan berkum andang, Toni baru sadar seakan ada di
kaki pegunungan, dingin meradang, air bak salju mencair.
Ojek Toni pilih, lebih cepat, Matahari sedikitpun belum
muncul. Dingin seolah m enjadi selim ut, saat hem buskan
nafas asap sejuk mengepul, "Ke alamat ini Mang."
Tukang ojek membaca sejenak, "Mangga A'."
Dari terminal ke Bale Endah sekitar empat puluh menit,
Toni dekap tubuh tukang ojek menahan dingin, sisi kanan
ia lihat perbukitan menjulang m engeliling, sisi kiri sawah
menghampar, beberapa rumah menitik kecil di perbukitan,
guratan merah matahari menyela sopan di balik awan.
Dua kali bertanya di pos ronda sam pai akhirnya
berhenti di satu rum ah berlan tai dua. Toni perhatikan,
berdiri di balik pagar yang berantai tapi tak terkunci, mobil
panther terparkir m enghadap jalan, pintu tertutup rapat,
jendela secuil menganga, lampu terang menyala di balik kaca,
ada suara pom pa air terd en g ar b erd esin g , suara air
m enyem prot terdengar lebih nyaring, Toni sam pai lupa
bayar ojek.
"A'!"
"O y a ..." Toni bergegas keluarkan lima puluh ribuan.
Sejenak Toni dengarkan degup jantungnya sendiri,
perlahan Toni menyusup masuk, melepas sandal Toni ketuk
pintu, topinya dimasukkan dalam tas, "Assalamu'alaikum..."
Tak langsung ada jawaban, namun ada Ibu berjalan
3 0 4 | 2 9 Ouz T4ur<ja 'W anita

lam bat k elu ar berm ukenah, jem a ri kirinya m enjinjing


tangan kanan mendekap Qur'an, saat tahu Toni yang datang
Ibu memanggil, "Papa!"
Bersarung Papa keluar dari satu kamar, berkaca mata
berkaos kerah hitam, dua kali papa tampak menarik nafas
"Akhirnya kau datang Ton."
Toni salami tangan Papa, Mama, mereka duduk saling
menghadap, satu lampu dinyalakan agar lebih terang, Toni
terdiam.
"Bagaimana keadaanmu Ton?" Papa yang bicara.
"Alhamdulillah baik Pa," Toni mengangguk.
"Kamu pasti ke sini karena Naela?" Papa menebak.
Toni sekali lagi mengangguk, "Benar Pa, Toni ingin
kembali bertemu Naela."
"Dia tidak di sini," Mama yang menjawab.
"Apa dia di Sragen? Di pondok Darussa'adah?" Toni
menebak.
"Benar. Dari mana kamu tahu?" Papa heran.
Nafas Toni tak henti turun naik, "T ap i..." Toni ingat
N aela tak m engenalnya, "B eberapa hari lalu Toni bedah
buku di sana, Toni bertemu Naela, tapi dia tak mengenali
Toni, b ah k an m em an ggil Toni den gan U stad z," Toni
g elen gk an kep ala, jan tu n g n y a tak b erh en ti berdegup
kencang, "Sebenarnya apa yang terjadi? Tolong beritahu agar
Toni m engerti."
Papa m enatap Mama yang letakkan Qur'an di atas
m eja, M ama m enarik nafas dalam tak m emandang Toni,
"Mama ingat waktu itu Naela datang dari Jakarta, dia begitu
gembira ingin ceritakan kalau kamu sudah miliki satu karya,
sudah menjadi penulis, sudah m enjadi..."
Toni gelengkan kepala tak percaya.
"D ia selalu m em ujim u, M am a kehabisan kata
m enggam b arkan k eb ah ag iaan n y a." M ama m elep as
"Ma'mun Affany j

kacam atanya, "M alan g tak b isa d ito lak , an gan hanya
terbuang, kami sekeluarga kecelakaan."
"In n a lilla h ..." Toni mengucap.
"N aela waktu itu minta diantar ke Tanjung Karang,
dia ingin belikan baju untukmu, Mama tak pernah melihat
Naela sesemangat itu, dia ingin kamu terlihat rapi, terlihat
pantas, terlih at lebih tam pan. Kam i sekeluarga bahagia
melihatnya," Mama berusaha tersenyum, "Tapi waktu kami
pulang..." Mama tak bisa melanjutkan.
"Dua kaki Naela patah, Naela terkapar setengah tahun
di ran jan g..."
Toni menyela, "Kenapa Mama tidak..."
Papa menenangkan, "Dengarkan dulu Ton."
"Semua karena Naela, dia tidak ingin memberitahumu,
dia tidak ingin merepotkanmu. Setiap kali Mama ingin telfon
Naela menangis melarang, padahal dia sendiri tidak bisa
menahan rindunya, dia selalu ingin menemuimu, dia selalu
katakan 'N ae ingin ketemu kak Toni'," Mama berhenti.
Toni pejamkan mata tak kuasa mendengar.
"S e tia p h ari yang dia lak u kan m em baca buku
karanganmu, setiap waktu, tak lepas, yang menyela hanya
Qur'an, dia tak pernah bosan, tak pernah lelah. Waktu kamu
bedah buku di Lampung, Naela datang melihatmu dari jauh,
dia menangis bahagia melihatmu bicara di hadapan banyak
orang, M ama sendiri tak kuat m enahan pilu m endorong
Naela di kursi roda."
Toni tak bisa bicara.
"Naela sangat menyayangimu, dia begitu mencintai­
mu," Mama ingin Toni tahu.
Toni tak mampu lagi membuka mulutnya.
"Waktu membaik dia ingin cepat kembali menemui­
mu, dia berlatih berjalan, berlatih keras, tapi dia tersandung,
kepalanya keras terbentur, semua ingatannya hilang tak ada
3^6 | 2.1) Juz "Uartja 'Wanita

yang tertinggal. Dia sedikitpun tak ingat dirimu, dia benar


benar lupa, satu-satunya yang dia percaya hanya buku
agendanya, kita berdua juga belum dianggap sepenuhnya
sebagai orang tua karena tak ada dalam catatan agendanya "
Mama gelengkan kepala, "Kam i ikhlas menerima."
"Bagaimana dia bisa mengajar?" Toni ingin tahu.
"D ia tidak m engajar selain al Qur'an, tak ada yang
lain, hanya itu, kami menitip pada pimpinan pondoknya "
Mama kembali mengambil Qur'an dari atas meja.
"Ton," Papa mulai menasehati, "Kalau kamu mau, kejar-
lah dia kembali, buatlah seolah kau baru bertemu dengannya,
jangan kau usik masa lalu yang sudah dilupakannya, kita
akan membantu agar kalian bisa kembali bersama."
"N ak... dia menganggap dirinya janda, sudah menikah,
tapi dia tidak tahu siapa suaminya, kalau kau datang hanya
m em baw a cerita atau m em baw a catatan , dia akan
menganggap semua hanya rekayasa," Mama ingin Toni tegar.
Toni tak bisa bayangkan. Naela bukanlah wanita yang
mudah menerima cinta, jatuh bangun ia mencari, berusaha
bertemu, pulang pergi ia sampaikan salam, berusaha menanti,
dua tahun baru terjaw ab, kini sem ua itu harus diulang
kembali.
"Mungkin kamu lelah, tapi jangan pernah menyerah.
Cinta yang kalian m iliki suci, kalaupun sekarang pergi,
berusahalah mendapatkannya kembali. Saat ingatan N aela
masih ada ia sangat ingin bersamamu kembali, saat ingatan
Naela sudah hilang, dia juga selalu mencari dirimu meski ia
tak akan pernah yakin jika ada yang memberitahu," M ama
ingin Toni sabar, "Jika kamu menyerah, kamu hanya bisa
melihatnya, hanya bisa memandangnya, tak bisa lagi m erajut
hidup bersama. Kalau kamu putus asa, selamanya kamu akan
hidup sendiri, dan Naela akan terus m enjaga cinta yang
pernah dimilikinya."
"Ma'mun Affany | 3 0J

— Cinta 'Kedua —

P
ondok m enyala di tengah sawah, terang dalam
desakan gelap malam. Dari jalan utama pesantren
seolah bandara, tak ada kicauan burung karena tak
banyak ranting tempat bertengger, sejauh mata memandang
gelap tertan gk ap , hanya g em erlap b in tan g di angkasa
bertebaran m eng elilin gi bulan, sekali angin berhem bus
resakan u ju ng padi m em bun cah tubuh m enyingku p
kedinginan.
Bum i D aru ssa'ad ah b erg elo ra, setiap san triw ati
m enenteng bukunya, belajar di sudut gedung, di baw ah
lampu mercury yang di pasang seolah menggantung di atap
alam, kerudung putih terpakai rapi dengan secuil lipatan di
kening. Santriwati kecil menyelinap di sudut gedung, mereka
seolah kebesaran kerudung, jika mengantuk mereka duduk
menepi ke teras asrama menarik ujung kerudung di kening
menutup paras layunya.
U stadzah Ida berjalan m em belah halam an utam a,
mengawasi setiap santriwati yang membaca sembari bejalan,
kerudungnya hitam, jaketnya coklat tebal, kakinya berkaos
2>oS | zg 9uz 'Harja 'Wanita

kaki, jika ada santriwati bertanya ia berhenti menjelaskan


sembari berdiri atau mengajak duduk ke tepi dekati batu di
taman.
"U s ta d z a h !" tib a-tib a d ari b elak an g ada yang
memanggil.
U stad zah Ida b erh en ti, b erb alik , guru lain
menghampiri, "Ada telpon."
"Dari siapa?"
"Ustadz Toni."
Ustadzah Ida sekejap termenung, "Kapan beliau akan
telpon lagi?"
"Sekarang, secepatnya, katanya sangat penting."
Bergegas Ida berlari, pasti tentang Naela. Ustadzah
terengah-engah berlari, antara halaman utama dan tempat
penerim aan telpon seratus m eter, saat sam pai tiba-tiba
penjaga telpon sembari duduk di lantai sampaikan kabar,
"Sudah ditutup Ustadzah, mungkin lima menit lagi."
Sembari mengatur nafas Ida duduk menghadap tiga
KBU, seperti warung telpon, mata ustadzah Ida tertuju di
KBU dua, di tengah, jika lampu di gagang telpon berkelip,
dering menyalak, ia akan cepat berdiri. Sembari menunggu
ustadzah Ida pandangi jam tangan ungu kecil di pergelangan
kiri.
" K o n g ..."
"Itu untuk Ustadzah," penjaga telpon berdiri.
Ida perlahan menutup pintu, kipas dinyalakan, duduk
di kursi, hati-hati mengangkat, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam... Bagaimana kabarnya Ustadzah?"
"A lham dulillah b a ik ... ada perlu apa U stadz?" Ida
langsung bertanya.
"Naela. Dia memang istri saya."
Sejenak terkejut, jem ari Ida menarik bulu di dinding
karpet biru, "Tapi kenapa dia tidak mengenali kak Toni?"
JvtamunAffary \$0^
"D ia kehilangan ingatan,. sulit saya jelaskan."
"Apa yang bisa saya bantu?"
"L u p a k a n la h kalau N aela istri saya, dan saya
suaminya, sampaikan jika aku simpati padanya. Aku ingin
lebih dekat dengannya, aku ingin hidup bersamanya."
"Apa Kakak yakin dia akan menerima? Setahu saya
dia tidak mudah kak, siapapun orang yang mendekatinya,"
Ida mengingat empat bulan seblumnya ada guru yang ingin
menikah, tapi Naela tolak mentah-mentah.
"Aku tahu, tapi aku tak punya pilihan, aku mohon
dengan sangat pertolongan Ustadzah. Sam paikan saja isi
hatiku, tadi siang aku kirim satu foto dan surat, tolong
berikan padanya sebagai salam dariku."
U stad zah Ida m asih belu m m engerti, ia tak bisa
mengangguk atau menggeleng, "Bagaimana jika dia menolak
Kak?"
Lama telpon kosong tanpa suara, gemeresak kecil yang
terdengar, "Kak Toni!"
"Aku tak bisa lagi mengenal apa itu cinta."
Seketika telpon ditutup. Ida termenung di dalam KBU
sebelum keluar, ia tak tahu dari mana harus memulai untuk
sampaikan pesan. Mereka suami istri yang terpisah karena
ingatan, bukan karena jarak, bukan karena pengkhianatan.
Saat itu juga ustadzah Ida mencari Naela, setiap ada guru
yang lewat Ida sempatkan diri bertanya, "Lihat Nae tidak?"
"Sepertinya dekat gedung Khadijah."
K h ad ijah , gedung paling pojok, sudut dari bum i
Darussa'adah, ujung sisi pesantren, terbatas saw ah, dua
lantai. Ida relakan diri meminjam sepeda berkeranjang temui
Naela, lewati santriwati belajar Ida mengayuh pelan, jika
kerudung melambai tangan kiri Ida memegang ujungnya
tak ingin secuil rambut kelihatan.
3 ^ 0 j zgOuzTJarya'Wanita

Dari jauh Naela tampak duduk di teras beralas lantai


dua kakinya diselip kan ke belakang pinggulnya. Ia tak
sendiri, sedang m engajari dua santriwati, Ida berhentikan
sepeda sedikit jauh dari Naela. M erapat pelan duduk dua
tiga meter di sam ping Naela, dingin di gedung Khadijah
begitu menyengat, suara gemeresak padi terdengar setengah
menyeramkan.
"Sudah paham ?" suara Naela melambai.
Dua santriwati mengangguk, tak lama Naela tampak
sendirian. Ida mendekat, "N a e ..." Ida duduk menghadap
Naela, berdua di teras asrama.
"Iya Ustadzah," Naela sopan menjawab.
Ida bingung harus dari mana m em ulai, bahkan ia
benarkan kerudung Naela yang sudah rapi. Sejenak jemari
Naela diraih, dirajut, dua mata lentiknya ditatap lama.
"Ada apa U stad zah ?" N aela m elihat ustadzah Ida
gelisah.
"Boleh Ustadzah tanya sesuatu tentang pribadimu?"
"Silahkan Ustadzah, selagi Nae bisa m embaginya,"
Naela coba tersenyum di tengah gulita.
Dua santriwati berhentikan pembicaraan, mereka lewat
lilitkan selimut di leher, Ida sedikit ragu, "Kenapa dulu kamu
tolak seseorang yang ingin melamarmu?"
Naela tersenyum.
"Apa dia tidak pantas untukm u? Kurang tampan?
A ta u ..." guratan gelisah galau menyembul di antara dua
m ata, kerutan jelas m enggaris, angin kecil bertiu p, Ida
bertahan dari sengatan dingin.
Naela seketika menggeleng, mencoba untuk tenang,
"Bukan karena itu Ustadzah," Naela pandangi langit.
"Boleh aku tahu?" sekali lagi ustadzah Ida m em inta.
N aela berat m engatakan, ia jatu hkan dagu di dua
lututnya sejenak, "Entah ini cobaan, ujian, atau musibah
JA a'm un A ffany j * ,fl

untuk N ae. N aela tidak in g at siapa yang dulu p ernah


mencintai Nae seutuhnya, mencintai segala kekurangan Nae
selamanya. Naela hanya ingat begitu besamya kasih sayang
yang dia berikan, betapa tulusnya dia berbuat hanya untuk
Nae seorang, betap a sudinya ia beru bah hanya untuk
seorang wanita seperti Naela."
"Dari mana kamu tahu Nae?"
"D ari sini," Naela menunjuk buku agendanya, tebal
tiga centi, bertulis TRUTH di cover hitamnya.
"Boleh ustadzah lihat," Ida baru tahu kenapa tangan
Naela tak lepas dari agendanya.
Naela memberikan, "Agenda itu terputus di saat Naela
memulai hidup di Jakarta," Naela berusaha tersenyum di
balik luka, "Bagi Nae itulah cinta pertama yang Naela miliki
dan cinta terakhir yang Naela pendam dalam hati."
"Begitu sempurnakah dia Nae?" ustadzah Ida heran.
N aela m enggelen g, "D ia tid ak sem pu rna, tid ak
sem purna. Tapi dia m encintai N aela dengan cara yang
sempurna," Naela seolah berdo'a, dua tangannya dikecup,
"Dia memang tak bisa baca fikiran Naela, tapi dalam agenda
itu dia selalu berusaha untuk hadirkan apa yang N aela
m inta."
"Apakah dia masih hidup Nae?"
"Itulah yang selama ini Naela fikirkan. Jika ia hidup,
pasti sekarang sedang m encari N aela," N aela pejam kan
matanya, "Baginya tak ada arti jarak, tak ada makna waktu,
tak ada batas ruang, dia akan selalu berusaha dekat meski
jauh, selalu berusaha hadir di hati meski tak ada di sisi."
"Apa yang sekarang kau lakukan Nae?" ustadzah Ida
menghapus pipinya, ia terharu sendiri mendengarnya.
"Di pucuk malam Nae selalu berdoa, semoga ia sendiri
yang mengembalikan ingatan Naela, semoga ia sendiri yang
datang mencari Naela, yang hadir untuk katakan cinta."
3 ^ 2 | ZgOuz'Uarja'Wanita

"Kamu tidak pernah berdo'a untuk yang lain Nae?"


Naela menggeleng, "Malampun sudah hafal jika Naela
menengadah dua tangan."
"Kam u tidak ingat namanya?"
N aela m enggeleng, "N aela tidak pernah m enulis
namanya dalam agenda."
Ustadzah Ida membuka lembaran agenda.

"Die... hari ini dia datang ke sekolah Nae hanya untuk sebuah
surat, dia tak merasa lelah meski payah, tak merasa letih meski
perih, dia seakan membawa utuh perasaan ke hadirat Naela...
apakah dia cinta sejati Nae Die?"

Ustadzah Ida menutup agenda.


"Teng... ten g ..." bel berbunyi sepuluh kali tanda jam
menunjuk angka sepuluh malam. Belum sempat ustadzah
Ida utarakan maksud, Naela pamit.
"Su d ah m alam ustadzah, Nae harus tidu r," Naela
cium tangan Ida.
Ida berikan agenda Naela, saat berjalan Naela tampak
begitu erat memeluk satu-satunya kenangan yang ia punya.
Begitu tenang ia berjalan, m elambai sendirian bak ilalang,
menunduk setengah laksana padi yang menguning. Angin
secuil membelai, dekapan Naela pada agendanya semakin erat.
U stadzah Ida term enung di antara santriw ati yang
berduyun datang. Ia masih belum percaya kenyataan seorang
Naela, kebenaran akan cerita. Ia baru tahu besar arti satu
buku yang selalu ia bawa. Ia berfikir apakah ini mimpi atau
m em ang nyata? Yang satu b erd o 'a agar k e k a s ih n y a
m enyad arkann ya, yang satu teru s beru sah a h a d ir k a n
kembali cinta pada istrinya yang lupa.
"U sta d z a h kenapa m en an g is?" satu s a n t r i w a t i
m enyadarkan.
~Ma 'mun Affany | 3 13

"A h ..." bergegas jemarinya menghapus, "Tidak apa-


apa."
Sembari menunggu kiriman surat dan foto Ida selalu
d e k a ti N aela, m enem aninya jalan pagi ke tengah sawah,
menemaninya makan di kantin, kadang di sela mengajar Ida
dengarkan Naela membaca Qur'an. Dalam hati Ida kagumi
N a e la , ia tak pernah lelah m eski hatinya terus m enanti,
kadang Ida seolah tak sengaja mencuci baju bersama, ia ingin
dengar lantunan cerita dari Naela.
"Kalau dia tidak datang apa kamu akan terus sendiri?"
N aela berh en ti m engucek baiu, tangannya penuh
dengan busa, "N ae tidak tahu U stadzah..."
Selang tiga hari sebuah am plop coklat datang atas
n a m a Toni saputra untuk Ida. Di dalam nya terselip satu
amplop putih bertulis untuk Naela, satu foto Toni berkaos
coklat bergam bar daun berlatar tugu monas, dan secarik
kertas untuk ustadzah Ida sendiri.

Assalamu'alaikurn...
Sebelumnya saya haturkan ribuan terimakasih karena sudi
membantu saya. Saya sendiri sulit menjelaskan bagaimana cerita
ini bisa terjadi.
Naela bagi saya bukan sebatas istri yang hanya menemani,
yang hanya memasak, berikan senyum, berikan canda, namun ia
adalah bagian hidup yang sudah menjadi separuh nafas, segumpal
darah, sedetak denyut, sepenggal cerita bagi segala kejadian suka
ataupun duka.
Naela denganku dulu berjanji seiya sekata, pedih ditanggung
bersama, pavah ditanggung berdua, airmata saling mengusap, tangis
saling memeluk demi meredamnya, duka saling membelai dengarkan
keluhnya, tapi kini semua terpendam dalam kenyataan yang tak
pernah terfikir sebelumnya.
3/4 |2^Juz 'Harija Hlanita
Aku kirimkan sebuah surat sebagai pengantar kata cinta
dan sebuah foto dengan harapan ia bisa menerima sayang yang
kuulang dari pertama. Jangan berikan foto sebelum dia usai membaca
untaian kata yang kufikirkan sepanjang malam sembari membaris
do'a.
Aku berm unajat ia m enerima dan aku akan datang tuk
menikahinya.

Ida pahami perasaan dua insan, biarlah ia menjadi


catatan dalam sejarah hidup antara Toni dan Naela, ia ingin
sepuhkan dirinya dalam cerita.
Selepas magrib tepat ustadzah Ida kenakan jas hitam,
kerudung putih dijepit bros mawar di sisi kiri dagunya,
sedikit parfum Vitalis Breeze disemprot. Surat di tangan ia
lirik sejenak, melangkah berjalan temui Naela di kamamya.
Ia yakin saat seperti ini Naela sedang membaca Qur'an di
atas sajadahnya.
Suara gemuruh lantunan Qur'an terdengar, santriwati
beralas sajadah berjejer di depan asrama, bermukenah putih,
m em angku Q u r'an . Ida lew ati b arisan san triw ati yang
duduk bersilah, m asuki satu kamar di gedung Madinah,
kamar paling pojok di balik dinding taman, tampak Naela
duduk menyandar dinding, berkacamata memangku Qur'an.
Ida tak m engu cap salam , duduk d ek at Naela
m enunggu bacaannya usai. Tak lama N aela menyudahi,
"Shodaqallahul adzim ."
"Sudah Nae?"
N aela m engan gguk, ia tutup Q u r'an tak lupa
menciumnya, "Ada apa Ustadzah?"
Ida mengucap bismillah di bibir, "N ae... kamu ingat
seseorang yang pernah menginap di rumah tamu?"
Naela menoleh ke kiri mencoba mengingat, "U sta d z
Toni?"
'Ma'munAffany | 3(5
Dalam hati Ida terkejut, ada empat orang yang hadir,
tapi kenapa tebakan Naela tepat? Ida m engangguk, "D ia
menitip ini untukm u/' Ida sodorkan surat ke pangkuan.
"Apa ini?" Naela bolak-balik amplop di tangan.
"Bacalah N ae... kau akan tahu."
Naela merobek ujung amplop, sebelum membaca Naela
lepas mukenahnya.

Assalamu'alaikum...
Awal tak menitik, jalan tak bertujuan, tapi justru kenangan
sejenak yang membuat segalanya melayang untuk berniat kembali
mengenal, justru satu bayangan berkelebat yang membuat hati
berharap pertemuan kembali datang, justru seribu harapan yang
tak pasti membuat hati berdebar jika tersadar dari mimpi bertemu
dengan seorang yang berarti kebaikan.
Aku tersenyum sendiri jika berusaha tanpa lelah merebut ilusi
akan paras, senyuman, kelentikan, atau bahkan tatapan yang kamu
miliki. Mungkin aku terkesima, terpesona, terperangah, terkejut
takjub, tapi sejujurnya yang selalu menderu dalam lubuk hati adalah
rasa tenang, tentram, terasa terpercik embun saat melihat segenap
sikap yang kamu tunjukkan, saat menerima beberapa ungkapan
yang kamu bicarakan. Akupun tak mengerti, kenapa saat itu aku
bak sulaman di bawah jarum dan benang, bak kanvas di bawah
polesan warna dan kuas.
Aku sepenuhnya merasa tak berdaya melihat kelembutan
dalam setiap tingkah yang kamu lakukan. Cara menghidangkan
makanan, menjawab pertanyaan nama, bahkan cara mengangguk
perlahan bak mawar menunduk tersapu angin malam. Aku hanya
tersenyum dalam hati, tak bisa menampakkan meski perasaan tak
bisa mengelak gejolak hati bergemuruh di balik sejuta pertanyaan.
Ingin berbincang lama, tapi aku sadar, saat tak tepat, zvaktu masih
malu, namun justru pertemuan tanpa banyak kata yang aku alami
membuat bayangan tak mudah tersapu meski zvaktu terus bergulir
3^6 |Z<j 'Juz "tlarija HJanila
cep at, meski zaman meresap setiap episode kenangan.
Memang belum sedetikpun kita bersua sebagai teman, belum
berbincang sebagai sahabat, belum bersama sebagai dua insan yang
saling berharap untuk datang, aku pun belum terlalu banyak tahu
tentang dirimu. Aku tak tahu harus menulis apa dalam lintasan
penaku, namun cita-citaku untuk memiliki keluarga bahagia dipenuhi
suka di balik duka terasa mendarat, bersemayam, tersemat dalam
dirimu. Mungkin mataku telah dibutakan oleh pesona, mungkin ini
adalah kebutaan seorang lelaki yang belum banyak mengerti, tapi
inilah nuraniyangkumiliki, belum tertunjukarah diri telah menelusuri,
belum tergambar kebahagiaan diri telah berlari.
Aku memang bukan lelaki yang banyak wanita idamkan.
Aku bukan lelaki tampan, yang menghiasi justru kekurangan, yang
melabur di setiap tingkah justru tanpa kesopanan.
Itulah kenyataan dari orang sepertiku... aku mengatakan
dengan jujur dari keburukan yang aku miliki... jika kamu bersedia
menerima kelemahan dan kekurangan yang kumiliki, aku berharap
kamu bisa mendampingi sisa hidup yang akan aku jalani. Menemani
saat berjalan dipelataran taman, menemani memandang ikan menari
dalam kolam, menemani di waktu merasakan desiran ombak dan
tiupan angin menjeiang fajar.

Naela kembali melipat, senyumnya terkembang.


"Ini foto beliau," Ida kembali menyodorkan.
Naela pandangi lekat-lekat foto Toni, tapi ia bukan
seperti seorang yang lupa yang berusaha mengingat sosok
di balik selembar kertas di tangannya, di matanya Toni sosok
yang baru dilihatnya.
Lama Ida menunggu jawaban, "Bagaimana Nae?"
Ustadzah Ida pandangi wajah Naela yang menunduk,
"D ia in gin m enikah denganm u, bukan seked ar ingin
mengenal. Apa kamu bisa menerimanya?"
'M a'm un A ffa ry \ $ 1 J

oni, Eko, dan Rika kembali berkumpul dalam satu


rumah di kawasan Bintara sektor sembilan. Rika
seperti hari-hari sebelum nya seakan Ibu rumah
tangga, memasak, mencuci, mengepel, semua dia lakukan.
Eko selain m enem ani Toni m em bantu Rika, m engantar
belanja, menjaga rumah, mengunci pagar, sedang Toni hari-
harinya dilewati dalam penantian sebuah jawaban.
Pagi Toni term enung sendiri padangi tam an, siang
Toni tak henti menatap jam di tangan, sore berdo'a semoga
nanti maiam ustadzah Ida telpon memberi kabar.
Sep erti hari sebelum nya, Toni berd iam di kam ar
menjelang tidurnya, memutar foto-foto bersama Naela di
laptop beriring lagu kenangan mereka berdua, tak letih, tak
bosan meski waktu terus berjalan, tak pudar pesona kasih
yang terpancar meski zaman himpitkan hati dalam penantian.
"N ae... N aela..." kadang Toni memanggil sendiri nama
istrinya, serasa sejuk menyebutnya, seketika ingat segala
gerak dan syahdunya.
“Ton!" Rika mengetuk pintu kamar.
3>lS | zyOuzTJarja'HJanila
Toni tak langsung bergerak.
"Ada telpon untukmu, dari Ida."
Toni turun dari k u rsin ya, berg erak sed ik it ce p a t
membuka pintu.
"Ini Ton," Rika menyerahkan.
"Assalamu'alaikum," Toni menyapa.
"W a'alaikumsalam."
"Bagaimana Ustadzah? Apakah dia menerima?" Toni
tak sabar.
"Saya jelaskan dulu u stad z..." Ida memulai, Rika dan
Eko berdiri di dekat Toni menunggu, "Saya sudah berikan
surat dan jelaskan semuanya pada Naela, dia merasa sangat
tersanjung, merasa sangat beruntung."
"Dia menerima Ustadzah?" Toni tak sabar.
"Naela tidak bisa menerima, dia katakan terima kasih
sebesar-besarnya."
Toni lesu mendengar, lemas, terkulai, berdirinya tak
lagi tegak, menyeret duduk di lantai bersandar dinding, "Tak
bisakah dia menerima sedikit saja?" Toni sangat berharap.
"Saya sudah jelaskan semua, tapi Naela tetap tidak
bisa."
"Dia tidak akan pernah khianati suam inya..."
Tersendu Toni mendengar, tapi perih hati merasakan
ja u h terp isah . A palah artin y a p u jian , apalah artinya
sanjungan jika raganya dilupakan, "B isak ah aku bicara
dengannya, sebentar sa ja ..." Toni rindu setengah mati.
"Akan saya sampaikan Ustadz."
"T o lo n g bu ju k N aela, aku in gin sekali d e n g a r
suaranya," Toni tak tahu lagi bagaim ana harus m e n a h a n
k einginan untuk bertem u , k ein gin an ada dalam d e k a p
nasehatnya, keinginan ada dalam belaian sikapnya.
Handphone tanpa sadar terjatuh, Toni di atas l a n t a i
tersungkur pilu, dua tangannya coba menekan dada, tapi
'Ma'mun Affany \

sak it m erad ang ju a. S esak b erg elo ra tak kuasa


memendamnya. Eko dan Rika mendekat, sungguh malang
nian nasih kerabat mereka, jiwanya yang ada pada Naela
tak kembali di pangkuannya.
"K rin g ..." selang satu jam handphone kem bali bor­
dering, Toni m engangkat sem bari duduk jongkok seperti
d alam tah anan , k ata-k atan y a sud ah terp u tu s,
"Assalamu'alaikum."
"W a'alaikumsalam."
"Bagaim ana ustadzah? A pakah dia mau luangkan
sedikit waktu?"
"Saya sudah coba bujuk N aela, tapi katanya tidak
perlu."
"Apa alasan Naela?"
"D ia tidak ingin tumbuhkan benih cinta pada orang
lain."
Seketika telpon ditutup, Toni memendam perih sakit
sejadi-jadinya, terkoyak rasa hatinya antara haru dan suka,
terjerem bab p erasaan n y a an tara n estap a dan ham pa,
bingung ia harus berbuat karena Naela begitu m encintai
tapi lupa dengan siapa, hancu r raga Toni m end en gar
penjelasan Naela karena tak bisa dekat dengan cinta sejatinya.
"Toni! T o n ..." Eko m enyad arkan, Toni terb arin g
laksana kucing kedinginan di atas lantai, Toni memandang
tanpa tahu isi pandangan.
Rika coba ambilkan air minum, tapi Toni hanya diam
seperti hilang ingatan, "Toni! Jangan seperti ini."
"D ia b eg itu sayang padaku tapi tak sudi b icara
denganku. Dia tak ingat jika aku yang ia puja, jika aku yang
ia pegang ianjinya."
"Ini cobaan Ton," Eko tak ingin Toni kembali seperti
dulu.
320 |Zg 9u2 "Hartja H/anita
"Aku tak sanggup jika hidup seperti ini Ko. Hanya
dia yang tak pernah memarahiku, hanya dia yang ikhlas
ada di sisiku," Toni seperti orang gila.
"Aku tahu Ton, aku mengerti."
"Aku ingin dia di sini Ko. Aku ingin dia tahu aku
masih ada untuk selalu setia padanya," Toni biarkan dingin
rem ukkan tulangnya.
"Iya Ton," Eko selalu mengiyakan.
Rika gelengkan kepala, ia iba m elihat Toni. Ia tahu
bagaim ana perjalanan antara Toni dan N aela, Rika tahu
betapa lelahnya Toni dapatkan balasan, betapa letihnya saat
Toni buktikan bahw a ia bawa ketulusan, bahw a hatinya
suci teruntuk Naela seorang. Rika tak m enyalahkan Toni,
tak juga kesal pada Naela, tapi nasib bertitah lain.
Eko ambilkan selimut dari kamar Toni, ditutupkan ke
tubuhnya, tak henti Toni biarkan setetes air mengalir perih
menggaris pedih di pipinya, tak henti Toni ingat segenap
alasan yang terucap dari bibir Naela. Setiap kali matanya
membuka, teringat selalu masa indah bersama Naela, saat ia
bisa mengaduh kala jatuh, mengiba kala dicoba.
Rika dan Eko duduk bersama m encari jalan keluar,
tepat tengah malam detik jarum jam terdengar keras, berdua
duduk di ruang tamu, lampu kuning berpijar redup di atas
kepala, Eko m elam un mencari penawar, Rika belum bisa
sedikitpun bernafas tenang.
"Kamu bisa seperti dulu lagi Ka?" Eko memulai, Eko
jongkok di atas kursi karena bingung.
"M aksudm u?" Rika tak mengerti, m engikat ra m b u t

sebahunya.
"Datanglah pada Naela untuk jelaskan semuanya.
Rika lama berfikir, TV dimatikan. Seketika m e n g g e l e n g
dua kali, "Tidak bisa Ko."
"Kenapa?"
"Ma 'mun fiffany j $Z1
"Yang kita hadapi tidak sama. Naela bukan seperti
dulu. Dulu Naela menolak karena belum bisa, masih harus
butuh waktu lama untuk menimbang, tapi sekarang..." Rika
sudah letih, "N aela punya sosok yang ia genggam dalam
hati, padahal sosok itu tak lain Toni sendiri."
Eko baru sadar, berdua kembali diam.
"Aku tak bisa melihat Toni seperti itu," Eko tak bisa
terus menahan iba.
"Kamu kira aku rela?"
Dua insan terjebak kebingungan seolah tak ada jalan
keluar.
Hari demi hari pergi, waktupun bergeser, Toni kian
lunglai tak berdaya kembali, hidupnya tak lepas dari satu
kamar, satu bayangan, satu impian, Naela Khasna. Ia tak
mungkin berpaling, seperti N aela yang terus ada untuk
dirinya.
Satu h ari ada telp on m asuk dari Id a, Eko yang
menerima, "Assalamu'alaikum..."
" W a'alaikumsalam..."
"Bisa bicara dengan kak Toni?"
"Sebentar," Eko buka pintu kamar, dekati Toni yang
terbaring m iring menatap dinding, "Ada telpon Ton, dari
Ida," Eko berikan handphone.
Tubuh Toni d iseret duduk, Toni sudah putus
p en gh arapan , tak ban yak sem an g at tersim p an ,
"Assalamu'alaikum," lirih suara Toni keluar.
"Naela K ak ..."
Belum tuntas Ida bicara Toni m enyela, "D ia mau
menerimaku?"
"Bukan Kak."
"Dia mau bicara denganku?"
"Tidak Kak," sejenak diam, "Naela akan pulang tanggal
empat dengan kereta Lodaya dari stasiun Balapan."
322 |29 'juz Uarya HJanita
Toni tak mengerti, "Maksud kamu apa?"
"K a k a k bisa pulang b ersam an y a, m ungkin dari
kebersamaan di perjalanan Naela bisa menerima, setidaknya
Kakak bisa kembali berbincang dengan Naela."
Toni masih tak yakin, "D ia pasti acuh padaku."
"Jangan seperti itu Kak, tidak baik. Naela di sini selalu
ingin bertemu suami yang dulu selalu mengejarnya, yang
dulu mencintainya dengan cara yang sempurna. Kalau Kakak
tak punya keyakinan bagaimana cinta itu kembali datang.
Naela sendiri begitu yakin, kenapa Kakak lemas sekarang?"
"Aku sudah lelah, lebih baik aku m enunggu..."
"Sampai kapan Kak? Sampai kapan? Naela di sini tidak
p ern ah lelah m em baca ag en d an y a, beru sah a terus
m engingat," sejenak resak nafas terdengar, "Kakak jangan
ingat masa lalu, Naela sudah lupa akan itu, anggap ini hidup
baru. Jika Naela sadar, ia akan lebih dalam tanamkan nama
Kakak dalam hatinya, tak akan nada lagi yang sanggup
memisahkan kecuali Allah semata."
Toni diam.
Ida tak m endapatkan balasan perkataan, "Kak, ini
kesempatan terbaik yang Kakak miliki, kalau bukan sekarang
Naela akan selamanya hidup sendiri demi kesucian kisahnya,
dan Kakak akan seterusnya tak bisa bersua dengan Naela
walau sedetik saja."
"P ik irk a n b aik -b aik K ak. Tanggal em pat, kereta
Lodaya, Stasiun Balapan."
Telpon ditutup, Toni duduk termenung sendiri.
"Bagaim ana Ton?" Eko ingin tahu.
Toni tak menjawab, memeluk erat bantal, menimang-
n im ang. Ia raih foto N aela di m eja, ia tatap sedalam -
dalam nya, diraba parasnya, didekap sem bari bayangkan
rekah senyum m esranya. Toni m engenang waktu Naela
membalut luka kaki Eko di antara denyut irama hujan.
r
|
~Ma'mun Affary 323

Toni berdiri, mendekat ke cermin, mengaca dirinya,


menelisik setiap sudut wajahnya, ia mengedip sekali, menyela
rambutnya, meraih sisir terselip di batas dinding, pisau cukur
Toni ambil dari meja, ia potong secuil janggutnya, cukur
habis kumis tipisnya, ia ingin berusaha sekali lagi dapatkan
cinta seorang Naela. Ia sadar tak akan mudah, namun ia
akan berusaha meski nyawa melayang ia tak akan menyesal
demi istrinya.
Naela sudah menjadi harapan yang selalu tersimpan,
hidupnya bak bilangan pasir beterbangan kala Naela tak
ada di sisinya. Naela adalah jiwanya yang pergi, ingatannya
yang terbawa, do'a yang terpanjat. Toni tak akan bisa hidup
sempurna tanpa ada seorang Naela.
Tanggal empat dilingkari bulat-bulat, setiap hari Toni
tak henti berbenah diri, ia ingin menjadi sosok baru di mata
Naela.
Toni jahitkan celana hitam, baju batik bermotif dingin
disiapkan, jam tangan Q & Q bulat dipisahk.an. Ia ingat,
Naela juga memakainya, parfum spalding Toni beli meng-
ingat dulu Naela selalu menggunakan. Minyak rambut Toni
ganti, saat celana dan baju sudah siap Toni mencoba di depan
cermin.
Baju batik tampak sedikit lebar, Toni minta tolong Rika
untuk dikecilkan.
"Ada apa sebenarnya Ton?" Eko belum tahu, selama
ini Toni hanya diam.
"Lusa Naela akan pulang ke Bandung, aku ingin bisa
bersam a dengannya di kereta, aku ingin duduk berdua
dengannya, aku ingin seolah tidak sengaja, seolah tanpa
sengaja bertemu, tanpa sengaja memiliki tujuan sama."
324 | 2 $ l'Juz 7~!«rtja TUrnita

©
— £o /a y a —

K
e b eran g k atan kereta Lodaya pukul 08:30, dalam
perkiraan Naela akan datang satu jam sebelum
nya, Toni sudah bersiap dari pukul tujuh tepat.
Berbaju batik coklat bercelana hitam, sandal coklat mu da, tas
punggung sedikit mengembung, berdiri di teras stasiun Solo
Balapan selalu pandangi pintu masuk di sisi timur. Pagi itu
langit tak terlalu cerah, sedikit mendung, jam 07:45 masih
redup, aspal tak kering, banyak air menggenang di sisi cekung.
Toni duduk di undakan teras, tak henti-henti periksa
waktu di tangan. Ia ingat pesan Eko dan Rika, "Jangan
tam pakkan wajah muram! Berusahalah untuk tersenyum
meski hati berduka".
Riuh penumpang mulai tampak, taxi-taxi berdatang-
an, ibu -ibu b e rk acam ata jen g k o l pandangi jad w al ke­
b eran gk atan , kuli an gk u t b e rjejer b erd iri m encari
penumpang repot dengan barang, jam delapan tepat Naela
tak kunjung datang.
Sejenak Toni berdiri, belum tampak di pintu s o s o k
gadis yang ditunggu, hatinya mulai bertanya m a c a m - m a c a m ,
TAti'mun A ffan y \

dada kembang-kempis tak karuan. Toni melangkah sedikit


ke dalam menatap jadwal di balik etalase kaca. Tidak salah,
kereta berangkat jam 08:30 tepat.
Tiba-tiba dari luar terdengar teriakan, "Copet! Copet!"
Toni b erla ri, suara N aela. Toni tahu arah larinya
pencopet, sekencang mungkin Toni ayunkan kaki, mengejar,
menerobos kerumunan, keluar pintu Toni belok ke kiri, ada
beberapa warung makan Toni masuk di satu warung dari
bam bu bercat biru, tam pak Eko duduk m em egang perut
terengah-engah menahan lelah.
"K o!"
"Hampir saja aku tertangkap Ton/' Eko meringis sakit,
ia lempar tas Naela, "Nanti aku menyusul Ton."
Toni mengangguk, ia kembali berlari, hampiri Naela
yang berdiri setengah menangis. Entah apa isinya, tapi Naela
tam pak m en g g ig it b ib ir baw ah di b alik b alu tan baju
kuningnya, kaos kaki putihnya tak sadar basah, saat Toni
datang Naela sedikit terkejut, "U stad z..."
"N a e ..." Toni sedikit salah tingkah, "Ini milikmu?"
N aela m engangguk, "T erim ak asih ," dingin N aela
mengucap.
"Nae mau ke m ana?" Toni tersenyum bertanya.
"B a n d u n g ," N aela secu ku p nya b ica ra , jem ari
kanannya mainkan tali tas.
"Kebetulan sekali. Sudah beli tiket?"
Naela menggeleng.
"Tit! Tit!" ada taksi mau lewat.
Naela dan Toni menepi.
"U stadz ada satu tiket lagi m ilik tem an, tapi tidak
terpakai," Toni beralasan.
"Kenapa tidak terpakai?"
"Dia sakit."
Naela ikut, Toni sebenarnya belum beli tiket, tapi ia
y ih | Zfj r)u z Jlarrja 'W anita

melangkah santai, "Ayo ke dalam."


N aela m em buntut, ia tak biasa pergi jauh sendiri
biasanya bertem an papa atau mama. Ada rasa beruntung
ditemani meski gusar di hati. Naela tak melihat jika yang
digunakan untuk masuk stasiun hanya dua karcis peron
badan Toni menutupi, lagipula Naela pasti menunduk.
Lewati pintu Toni pasti memberitahu, "Kita duduk di
ruang tunggu eksekutif saja," sem bari berjalan Toni sms
Rika, "Belikan dua tiket Lodaya."
Di ruang tunggu hanya ada empat orang, Toni dan
Naela, dua laki-laki yang sedang makan. Toni dan Naela
duduk berh ad ap an , pertam a kali duduk N aela sudah
m em baca buku, tak ada k esem p atan bagi Toni untuk
berbincang. Dalam hati Toni sudah bersyukur bisa kembali
menatap Naela entah bagaimana akhir perjalan yang sudah
direncanakan awalnya.
Tonipun bingung harus berkata apa, ia diam hanya
pandangi N aela, jika Naela m endongak Toni membuang
w ajahnya. Berulang-ulang N aela pandangi jam tangan,
sesekali dicocokkan ke dinding, tiba-tiba ia berdiri memakai
jaket, bukunya ditutup, "Lebih baik kita ke dalam kereta."
Toni berdiri, persilahkan Naela jalan lebih awal, tapi
Naela menolak, justru jalan membuntut.
Tam pak kereta Lodaya terp ark ir di lin tasan dua,
seketika satu sms masuk, "Gerbong 4, kursi 7A, 7B," Toni
mencari tempat yang ditentukan.
Waktu duduk Naela tak pernah menghadap ke depan,
apalagi m em andang ke sisi Toni, selalu m enoleh keluar
jendela. Toni kaku, tak bisa sedikitpun bertanya, Naela selalu
memandang ke luar.
Kereta meram bat jalan, perlahan tinggalkan stasiun
Balapan, harum Spalding tubuh Naela tercium kala angin
dari celah jendela menyelip masuk, tapi Naela tak mencium
'M a'm un A ffany \ $ 2 J

harum yang sama. Toni gusar, habis akal, pergi ke kamar


mandi, "N a e ..."
Naela menoleh.
"Titip sebentar. Mau ke kamar kecil."
Naela hanya mengangguk, benar-benar sedikitpun tak
ada kata yang keluar, yang terdengar sebatas suara roda besi
di atas rel kereta api.
Sem bari berjalan m undur Toni pandangi N aela, ke
kam ar m andi bukan untuk m em buang hajat, tapi untuk
berfikir, bercermin, menatap wajahnya sendiri. Ia tahu Naela
menganggap dirinya orang lain, tapi tak menyangka Naela
teramat dingin? Toni basuh wajahnya, mengelap dengan tisu
dari sakunya, kembali ke kursi Naela.
Deretan sawah berseling pohon terlewati, terowongan
hitam terlalui, gemuruh ban besi di atas lintasan menyela di
balik sepi, getaran mengayun pelan. Tiba-tiba kaca jendela
kereta dekat paras Naela terlem par batu "Pyak!!!" kontan
Naela berteriak "Aaaa!!!!"
Toni bergegas m em bantu, tak ada dalam rencana,
pecahan kaca bertaburan, tapi sedikitpun paras Naela tak
luka, Naela mulutnya setengah menganga, masih ketakutan,
tubuhnya seakan kaku, dua tangannya seperti ditodong
senjata, dua pipinya merah, penumpang lain mendekat, "Ga'
papa Mba'?"
Toni yang menjawab, "G a' papa Mas."
P engan tar m inum an b erb aju biru ikut m endekat,
"Jangan pake tangan mba' nanti luka, pakai tisu."
Naela mematung, ia masih takut, Toni keluarkan tisu
dari dalam tas, hati-hati Toni beranikan diri mengelap wajah
Naela, Naela pejamkan mata, "Jangan bergerak N ae..."
"Telapak tangan N ae..." Toni bersihkan dua telapak
tangan, kaos kaki putih tipis Toni lepas, Toni elap kakinya,
tisu kedua dibuang, Toni ganti yang ketiga, ketakutan Naela
$ z 8 | Z'-j ')uz 7-tarja 'W anita

belum hilang.
"Kita pindah U stadz..." Naela meminta.
Toni mengangguk, dua tas Naela Toni bawa, kebetulan
banyak bangku kosong, Toni ikuti langkah Naela, kursi 9A
dan 9B d ip ilih . N aela duduk dengan k erin g at dingin
menyembul dari wajahnya, Toni berikan sebungkus tisu,
"Kamu berkeringat N ae..."
Naela menerima tisu pemberian, Toni buka air min­
eral, "Minum dulu."
Sedikit gugup Naela pegang sedotan.
"Nae masih takut?"
Naela m engangguk dua kali, pipinya m erah kelam.
D alam h ati Toni in gin m enen an gkan. D ulu jik a N aela
k etaku tan sela lu b erlin d u n g dalam dekapan seraya
sembunyikan wajahnya dalam dada. Naela depan Toni hanya
mengangkat dua kakinya ke atas kursi, memeluk lututnya
sendiri seraya letak k an dagu m elem par lam unan, dari
samping tampak sebulir air mengalir dari matanya, tak lama
Naela mengusap sebelum jatuh dari dagunya.
"Kenapa Nae menangis?" Toni ingin tahu.
"M m m ..." Naela berusaha tersenyum sejenak, "Maaf
Ustadz, saya teringat seseorang."
"Boleh tahu siapa?"
"Suam iku," Naela memulai, "Aku baca dalam agenda
dia selalu m em eluk erat kalau Nae m enangis, membelai
rambut Nae, menghapus air mata Nae, mengecup ubun Nae.
Nae merindukan itu, Nae kangen dengannya."
Toni tak bisa menahan kembang haru biru hatinya,
m atanya b erk aca, tergenan g di tepian m ata, saat akan
terjatuh Toni berpaling membiarkan menetes jatuh jauh dari
pandangan Naela.
Namun N aela m elihatnya, gemuruh kereta api tak
sanggup simpan rahasia, "Ustadz kenapa?"
JAa 'mun A ffany | 3 2 ^

"Aku ingat istriku, aku pernah kesal padariya, dia


sampai m enangis takut seperti Naela sekarang. Dia terus
m enangis tak b erh en ti m eski m alam b erh en ti, sam pai
sekarang aku merasa bersalah padanya."
Naela tercenung mendengar, "Di mana dia sekarang?"
"Dia pergi, tapi sampai sekarang belum kembali," Toni
menjelaskan.
"D ia p asti b eg itu sayang pada U s ta d z ..." N aela
menebak.
"Aku juga sayang padanya," Toni mengangguk.
Kereta berjalan melambat, suara derit ban besi menjerit,
stasiun Kutoarjo tampak, panas mulai meninggi, kipas dalam
kereta mencoba mengusirnya pergi. Berdua diam, Naela tak
menyadari di sisinya adalah laki-laki yang dirindukannya.
Toni selalu berdo'a agar Naela bisa kembali seperti dahulu
kala.
Kereta kembali merambat jalan perlahan, tinggalkan
stasiun Kutoarjo, pesisir sawah mulai dilewati, deretan desa
mulai dibelah, penumpang lain satu persatu terjebak tidur,
Naela keluarkan mp3 dari tasnya, ia sumpal dua telinga di
balik kerudung dengan earphone, satu lagu ia dengarkan,
dua lagu selanjutnya ia nikmati sembari membaca agenda
kesayangan.
Toni diam membisu, terjebak seolah sendirian, dua
kakinya bersilah di kursi, tangannya diam di pangkuan,
matanya melamun, tiba-tiba Naela tawarkan satu earphone
untuk telinga kiri, "M au dengarkan lagu?"
Toni terima, masukkan ke dalam telinga kirinya, lagu
sherina melantun, "Kaulah cinta pertama dan terakhirku..."
Berdua mulai nikmati perjalanan bersama, jika satu
kepala menunduk, kepala lain ikut menunduk, jika Naela
berdiri Toni ikut berdiri agar earphone di telinga kiri tak
terlepas, waktu makan datang Naela yang menawarkan.
33® |zq ?«tr7 i'a rja 'W anita
"Ustadz mau makan apa?"
"Ikut Nae saja."
"N asi goreng?"
Toni mengangguk.
"M inum nya?"
"Ikut Nae juga."
"Es jeruk?"
Sekali lagi Toni mengangguk.
Waktu makan kadang Naela sedikit curi pandang, ia
mulai merasa nyaman ada di sisi Toni. Toni berusaha tak
tampakkan gundah hati, tak perlihatkan galau perasaannya,
tak tumpahkan gelisah wajahnya, ia seolah baru bertemu
Naela untuk pertama kalinya.
Dingin dari jendela mulai menyusup, bumi Jawa Barat
berkelok indah mulai terasa pesonanya, aliran air tampak
bening, susunan sawah hijau belum kemuning, mendung
menyelimut seakan menutup puncak bukit, tak terasa lagu
habis terputar.
"Maafkan saya U stadz..." Naela melepas jaketnya.
"Untuk apa?" Toni tak mengerti.
"S a y a tid ak bisa m enerim a p erm in taan untuk
m enerim a..."N aela tak melanjutkan.
"Tidak apa... seharusnya aku mohon maaf, mungkin
segaianya terlalu cepat," Toni sadari kesilapan.
S ejen ak p erb in can g an b erh en ti, m elih at kerbau
mernbajak di sawah.
"Boleh tahu alasanmu Nae?"
"C inta dan kasih yang Nae punya sudah tersemat
untuk seseorang yang Nae lupakan. Tak ada lagi yang tersisa,
tidak ada lagi secuil makna. Nae takut Ustadz akan kecewa
karena hanya bisa m iliki tubuh N aela," Naela benarkan
kerudungnya yang tertiup angin dari jendela, rintik hujan
mulai datang, tapi jendela dibiarkan terbuka. membiarkan
r

"Ma'mun A ffary \ 3 3 *

cipratan kecil air masuk ke dalam, "M aaf Ustadz."


Toni tak miliki kata, ia diam menunggu kereta berhenti
di stasiun selanjutnya.
"N ae... tinggal sepuluh menit lagi kita sampai," Toni
m engingatkan.
Naela berdiri melihat jam tangannya sendiri.
Toni menunggu Naela kembali duduk, kembali tenang,
Toni sekali lagi m engutarakan n iat suci, "N a e ... tolong
dengarkan sebentar saja," Toni menarik nafas, "Aku orang
sederhana, bukan orang istimewa, aku terlahir telanjang tak
membawa sedikitpun harta dan kehormatan, karena itu aku
tidak bisa sembunyikan perasaan ini terus m enerus," Toni
harap Naela mengerti, "Sebelum kita berpisah aku ingin Nae
tahu kalau Aku benar-benar ingin hidup bersam a N aela.
Tak peduli Nae punya cinta untuk orang lain, tak peduli
Nae punya cerita bersam a orang lain, harapanku hanya
untuk bisa hidup bersamamu Naela."
N aela diam m em andang keluar, "K en ap a U stadz
memiliki begitu besar cinta untuk seseorang seperti Naela?"
"Aku juga tak mengerti N ae... aku kehabisan alasan."
Naela kembali diam, memandang keluar, stasiun Kiara
Condong terlew ati, "N aela bisa m enerim a, tapi sam pai
kapanpun Nae tidak akan bisa menyayangi. Naela bisa jadi
istri, tapi bukan kekasih hati. Naela bisa mendampingan tapi
tidak m enem ani," Naela menarik nafas, "N aela seperti ini
adanya. Kalau Ustadz bersedia, Naela tidak menolak, tapi
jangan pernah Ustadz memaksa Naela untuk Ikhlas memberi
cinta."
" C iittt" kereta b erh en ti, stasiu n Bandung. Tepat
menjelang magrib saat cahaya mulai pergi, saat rintik sisakan
basah, saat hitam sudah berserakan di langit.
3 3 2 | 2 $ 9uz 7-lartja 'W anita

32

— 2?ersyarai

B
enar kata orang, jodoh tidak bisa diraba, ia rahasia
yang paling tersembunyi, ia tidak diketahui tapi
mengawasi setiap pelaku yang mendekati, ia ada
bukan untuk disibak, tapi disyukuri saat tiba-tiba meng-
ham piri. Banyak yang berkirim surat tahunan, menelfon
harian, tapi jika jodoh tak bertuah segalanya patah putus
pengharapan. Banyak yang bertanya "Kenapa?" tapi pada
waktunya ia akan nikmati jua akhirnya.
Naela dan Toni ada bukan dalam drama atau dilema,
mereka ada dalam langkah takdir tak terduga. Naela dan
Toni menyatu m eski bak bilangan pecahan logam. Naela
sudah katakan tak pemah dan tak akan mencinta, tapi Toni
dalam hati akan lakukan sebaliknya.
Begitu cepat sampai semua teman Naela di pondok
Darussa'adah tak ada yang mengetahui, hanya ustadzah Ida.
Wanita memang butuh pelindung agar tak merasa takut,
bu tuh pen jaga ag ar tetap b isa n ikm ati dunia, butuh
pendamping agar tak sepi hadapi alam nyata.
~Ma'mun Affany j 3 33
Eko dan Rika tak tampakkan diri sejak pertemuan di
kereta, m ereka sengaja m en g h ilan g. W aktu ijab qobul
diadakan di masjid A1 Mabrur dekat masjid Raya Bandung.
Terhitung hanya sepuluh orang yang m enyaksikan, Toni,
keluarga Neala beserta kerabat, Ida, semua berjalan teramat
singkat.
Toni berjas hitam berpeci hitam kemeja putih, Naela
berkerudung putih, kebaya biru tua, tak ada yang menghias,
semua tersaji sangat sederhana, waktu acara usai mereka
berdua langsung menuju Jakarta diantar supir dengan mobil
Baleno merah marun.
Naela waktu turun dari mobil terpaku berdiri melihat
rumah berpagar setinggi tubuh berwarna hitam, bertaman
kecil lengkap dengan kolam ikan berukuran 1 x 2 meter.
"Masuk N ae," Toni membuka pintu rumah, matahari
hampir turun tertelan bumi, kipas angin m enyala pelan,
Naela tak m elepas sandal berhak, suaranya m engetuk di
lantai saat berjalan, langkah kaki terbatasi kebaya. Naela
lewati raang tamu, pelan menatap sisinya, sofa putih, jendela
b e rtia ra i krem b erb an d u l angsa, jem a ri N aela m eraba
saksikan ruang luar di balik kaca.
Naela duduk di sofa menghadap Toni, "Kita tinggal di
sini?"
Toni mengangguk, "Ini rumah kita."
Naela secuilpuri tak senyum, Naela belum mengganti
b aju n ya, b a ru d ilep as kala adzan m agrib lan tan g
berkumandang. Naela bermukena, berdua sholat jama'ah di
kamar, Toni bersyukur bisa kembali bersama, tapi apa yang
dikatakan Naela jika tak rnencintai mulai terbukti.
Saat Toni m enju lu r tangan untuk d isalam i N aela
enggan, "M aaf Ustadz, jangan dulu."
"Kenapa De'? A p a..." Toni belum sadar.
334 | 2 9 On* "Harya 'W anita

"Kita memang sudah halal ustadz, tapi Naela harap


Ustadz mengerti, Nae belum siap untuk satu kamar, belum
siap untuk bersentuhan, Nae ingin tidur di kam ar lain,"
Naela di balik mukena meminta.
Toni diam, ia tak mengerti, "Sampai kapan De'?"
"N aela ingin khatam kan satu Q ur'an sebelum kita
berkum pul b e rsa m a ," N aela tak pandangi w ajah Toni,
tertunduk tak saling bertatapan, "Nae sudah katakan kalau
Nae sedikitpun tak sayang, Nae harap Ustadz bisa bersabar."
"Berapa lama Ade' akan khatamkan Qur'an?"
N aela m enggeleng, "N ae tidak tahu, m ungkin satu
bulan, dua bulan, atau mungkin satu tahun, bahkan lebih."
Toni mulai bingung, ia pejamkan dua mata.
"N ae ingin Ustadz mengerti dan memahami," Naela
sem bunyikan wajahnya.
Toni belum bergerak dari atas sajadahnya, duduknya
masih bersilah, "Tunggu sebentar, Kakak rapikan dulu."
Toni membuka baju, Naela berdiri menjauh, "Sebentar
Ustadz Nae keluar dulu."
Toni berhenti m elihat Naela menutup dua matanya
berjalan keluar. Toni benar-benar dalam dilema tak bertuah,
tak berpenghujung. Entah ini permainan atau rekayasa cinta,
dalam satu rum ah hanya ada m ereka berd u a, tak ada
siapapun meski pembantu, tapi hidup mereka seolah terpisah,
tersekat, b u k an layaknya suam i istri. Toni in gin bisa
dengarkan cerita dari Naela, Toni ingin berbagi rasa dalam
hatinya, tapi entah kapan semua itu bisa dilakukan.
Toni bercelana pendek, berkaos dalam putih, dari dalam
kamar Toni perhatikan setiap langkah Naela, tampak Naela
bermukena ingin membuka kamar kerja Toni, Toni bergegas
berlari mencegah, "Ade'!"
Naela tak jadi membuka, tangannya ditarik takut.
~Mamun Tiffany | 33j?
Sedikit Toni bernafas cepat, "Ade' jangan masuk kamar
ini."
"Kenapa?"
"Kakak tidak bisa jelaskan, tapi nanti kalau Ade' sudah
khatam Qur'an Nae boleh masuk kamar ini," Toni menutup
rapat kamar.
Naela termanggut.
"Ade' di kamar saja, atau melihat TV, Kakak bersihkan
kamar dulu."
Sekali lagi Naela termanggut, ia tak melepas mukena,
di tangannya terpegang sajadah, tapi N aela justru duduk
dalam kamar yang akan dibersihkan. Naela perhatikan Toni
rapikan ranjang, menyapu, memberi selimut, nyalakan kipas
angin mencoba televisi.
Kamar di rumah Toni ada tiga, satu ruang kerja yang
Naela tak boleh memasukinya, satu kamar Toni yang dulu
sering ditem p ati Eko dan Toni bersam a, ac tersed ia di
dalamnya, satu lagi kamar Rika dilengkapi TV tapi hanya
kipas angin di dalamnya. Toni periksa almari, Alhamdulillah
sudah kosong, barang Rika tak ada lagi yang tersisa.
Toni duduk di atas ranjang, menatap Naela duduk di
kursi sebelah almari, "Ade' mau di sini atau di kamar Kakak?"
Tanpa m enim bang N aela m enjaw ab, "D i sini saja
Ustadz," Naela tak mengubah panggilannya.
Toni beranjak berniat tinggalkan kamar.
" U s ta d z ," Toni berh en ti, b erp a lin g ke belakan g,
"Jangan panggil Ustadz ya D e'."
Naela menggeleng, "G a' mau."
Toni bernafas panjang, "Ada apa?"
"Kalau Ustadz mau masuk ketuk pintu y a ..." Naela
melihat pintu tak ada kuncinya.
Toni harus patuh, ia mengangguk sekali.
"B ru k ..." pintu ditutup.
33<$ | 9uz'UarjaTVanifa
Toni tak bisa tidur, Toni duduk di sofa depan memeluk
bantal, ia coba nyalakan TV tapi tak dilihat hanya didengar.
Toni ingin melihat Naela tapi tak boleh, tak bisa. Toni hanya
duduk menanti malam berjalan, menutup jendela, matikan
lampu, ia seperti bukan pengantin baru, tapi seketika Toni
mengelus dadanya sendiri, ia harus sabar menjalani, banyak
yang harus dilew ati, bisa kem balikan N aela satu rumah
sudah menjadi kesyukuran tertinggi.
Detik bergerak menyeruak ke penjuru ruangan, Toni
tak mengantuk, justru terbaring di sofa memandang kipas
di atap bergerak pelan. Tiba-tiba dari kamar terdengar sayup-
sayup lantunan suara Q u r'an, suaranya je la s m elantun
lembut, suara yang Toni selama ini rindukan, suara yang
telah lama hilang, suara penawar hati, suara bak mengukur
kedalaman lautan syahdu melantun.
Toni bergegas ke kam ar m encari Q u r'an di antara
tumpukan buku tapi tak bertemu, Toni gugup buka kamar
kerjanya, Toni cepat meraih Qur'an dari atas meja, tak peduli
bercelana pendek, tak peduli berkaos dalam Toni merapat ke
pintu kamar N aela, bersilah duduk Toni m endengarnya.
Lem but m enyusup m alam , indah hiasi kesepian, m esra
membelai hati, dalam merasuk di sanubari. Ayat demi ayat,
halaman demi halaman, lembar demi lembar Toni mengikuti,
saat usai "Sodaqollahul adzim" Toni memberi tanda batasan
di satu halam an, cepat Toni menyingkir. M alam pertama
Naela habiskan dua lembar, terhenti di surat A1 Baqoroh
ayat 37.
Malam mulai larut, semua terlelap merengkuh gelap,
m im pi-m im pi indah tebarkan senyum an, m im pi buruk
berikan jeritan, Toni tertidur tanpa sadar di kasur, pintu
terbuka lebar meski AC menyala, bantal setengah terpeluk,
selimut tak menutup, lampu terang berpijar.
"Tok... tok... to k ..." pintu diketuk.
Ma'mun Affany | 3 3 7

Toni berusaha membuka mata, tampak di pintu Naela


berdiri membawa sajadah berbalut mukena merah, wajahnya
berbinar, pipinya mengkilat, senyumnya merekah.
"Subuh Ustadz," Naela memberitahu.
Toni bergerak, ia bangun telat, bergegas pergi ke kamar
mandi bersihkan diri, malam pertama dilalui sendiri-sendiri,
setelah sholat berjama'ah Toni heran melihat Naela langsung
m elepas m ukenanya, tak m em baca Q u r'an m eski satu
halam an.
“Ade' tidak baca Qur'an?" Toni terpaku menatap Naela
berjalan keluar kamar.
Naela berhenti, menggeleng tiga kali, "N anti malam
saja Ustadz."
Toni tak m engerti perm ainan apa yang dim ainkan,
Toni masih duduk di atas sajadah, tiba-tiba Naela kembali
datang bertraining biru, berkaos putih berkerudung putih,
"N ae mau jalan-jalan dulu Ustadz."
Toni tak bisa mencegah, dirinya masih bersarung. Ia
ingat dulu memang sering jalan pagi menghirup sejuk udara
susuri gelap jalan mengejar terbit mentari, "Hati-hati D e '..."
Toni melepas Naela sembari membuka gerbang.
Toni menunggu di teras, Naela tak kunjung datang.
H ari ini Toni cuti, tapi tetap tak tenang, sarapan belum
disiapkan. Entah di mana Naela, entah pergi ke mana, jam
tujuh tak juga Naela pulang. Toni membeli nasi uduk untuk
sarapan di perempatan jalan.
Waktu kem bali N aela tam pak m enjulurkan kaki di
teras. Naela tak menyapa kedatangan suaminya, ia benar-
benar tak mencintai Toni, bahkan saat Toni hadirkan nasi
bungkus ingin makan bersama di teras, Naela justru masuk
ke dalam. Toni tak patah harapan, Toni m enyusul, saling
duduk berhadapan di sofa, tapi tak secuilpun Naela berikan
pandangan untuk suaminya, ia kadang melamun, kadang
* $ 8 | zg'JuzT -tarja'W anifa

tampak bingung.
"Ade' kenapa melamun?" Toni coba cairkan kebekuan.
"Nae ingat catatan di agenda, suamiku hampir setiap
pagi mengajak jalan bersama," Naela mengunyah sesuap nasi.
Derita Toni belum usai, waktu kosong Naela hanya
di kamar, tak ada perbincangan panjang, setelah mandi Naela
langsung mengurung diri, entah apa yang dilakukan, tapi
lama tak kunjung keluar. Toni tak menyangka kata tak cinta
berwujud lebih kejam dari bayangan yang dimilikinya.
Toni ketuk pintu kamar, "A d e'..."
Belum ada jawaban.
"A d e'..."
"Seben tar," Naela berkerudung sebelum membuka
pintu.
"Ada apa ustadz?"
"Bisa bicara sebentar?" Toni seperti bicara dengan
tamu.
"Masuk Ustadz," Naela mempersilahkan.
Toni duduk di atas kursi, Naela memangku bantal di
atas ranjang, saling berh adapan m eski m ata tak saling
memandang.
"Kita ini suami istri, tidak bisakah sedikit peduli, tidak
bisakah k ita ..." belum selesai Toni bicara Naela tersenyum.
"U stad z... dari awal Nae sudah katakan kalau Nae
bersedia menikah tapi tak bisa memberi cinta, Naela bersedia
satu rumah tapi tidak satu kamar, Naela bisa menjadi istri
tapi tidak melayani," Naela tenang tersenyum, "M aaf Ustadz,
seperti ini Naela adanya. Kalau Ustadz enggan, Nae ikhlas
kembali ke pondok lagi."
Toni lama terdiam, "Maarkan Kakak de'."
Satu hari bagi Toni serasa satu minggu, satu minggu
serasa satu bulan, segalanya beku, tapi Toni berusaha untuk
terus dekat, untuk terus bisa merubah suasana.
~Ma mun Affany \ 3 5 $

Jika malam tiba Toni sudah bersiap membuka Qur'an


mendekat di pintu kamar berharap Naela membaca panjang,
tapi setiap malam tak menentu, kadang hanya satu halaman,
kadang hanya setengah halam an, setiap pagi Toni yang
membeli sarapan, siang Toni membeli nasi dan lauk untuk
Naela, malam juga tak jauh berbeda.
Kalau Naela mandi begitu lama, sama seperti dulu, tapi
sekaran g w aktu kelu ar sudah b erbaju lengkap dengan
kerudung, handuk hanya dikalungkan, kalau pergi keluar
tak pernah bergandengan tangan, Naela menolak, kecuali
menyebrang, Naela terpaksa demi satu lindungan.
Satu malam Naela tak keluar dari kamar, tak sholat
isya berjama'ah di kamar Toni. Dalam otak Toni mungkin
Naela tak ingin bersama. Tapi sampai pukul sembilan malam
tak ada bacaan Qur'an terdengar, dari kamar Naela hanya
sayup-sayup suara TV menyala. Toni menguping di pintu,
Toni coba mengintip, Naela tertidur.
Toni berdiri tegak di pintu, Toni berfikir sejenak, Toni
b era n ik a n d iri m asuk tanpa m engetu k, tam pak N aela
kelelahart tertidur, tubuhnya berok, berbaju, berkerudung,
tidurnya setengah miring setengah tengkurap, sedikit baju
terbuka m embuka perutnya. Toni am bil rem ot di dekat
tangan Naela, TV dim atikan, tak Toni sadari mata Naela
membuka, terbangun tapi kembali menutup.
Naela tak bergerak, berdegup takut dalam tidurnya,
ia b e rfik ir sesu atu akan terja d i. Toni duduk di dekat
tubuhnya, menatap lama, Naela semakin tak tenang, jantung
Naela berdebar takut, pinggul Toni dan Naela bersentuhan,
tangan Toni m enjalar ke kepala berkerudung, m em belai
ubunnya. Naela semakin tak kuasa ingin teriak. Tak disangka
Toni berdiri, ia tutupkan selim ut ke tubuh Naela, berikan
boneka panda di dekat kepalanya.
340 |Z<) 'Jca ~Hartja 'W anita
Saat Toni pergi lampu dimatikan, pintu ditutup, Naela
terbangun, nafasnya berhembus kencang, hatinya salah, ia
hitung tanggal perkawinan, sudah delapan hari terlewati,
tak terhitung berapa kebaikan yang sudah Toni lakukan,
berapa detik waktu yang sudah Toni berikan, berapa perasaan
yang sudah Toni ikhlaskan.
JJa 'm u n A ffa ry j 3 4 ^

— S u n jju fi Berftarja -—

n A lla h u akbar, A llah u a k b a r..." adzan subuh


terd en g ar berk u m an d an g . Em bun m ulai
I m merambat basahi bumi, kamar Toni gelap gulita,
namun pintu sedikit menganga. Toni terbangun, membuka
mata perlahan dari ranjang, saat ia beranjak duduk ia baru
sadar ada selimut menutup, cepat-cepat Toni nyalakan lampu
kecil dengan tangan kirinya, tak hanya selimut, ada segelas
air tersedia, meski air putih Toni sudah bahagia, semangat
Toni buka tutup spidol, Toni silang tanggal 15 pertanda
setengah bulan mengulang pernikahan.
Toni m asih bercelan a p en d ek, w aktu buka pintu
tercium wangi parfum, pasti Naela, semakin mendekat pintu
kamar Naela semerbak harum menyengat, hati Toni seketika
m erona berbu nga, baru hari itu ju g a N aela m em akai
w angian.
Naela sudah bermukena, warnanya merah muda, jika
terkena lampu mengkilat bercahaya. Toni berjaket tanpa peci,
ia ikut sem protkan parfum m eski belum m andi. M ereka
342 j Z<j 9uz T-tarja 'Manila

berdua berjalan bersama ke masjid, meski tanpa kata Toni


sudah senang bisa berjalan berdua, m emadu langkah di
antara gelap jalan, senyum Toni mulai merekah.
Sejenak saat pulang dari masjid Toni bertanya sembari
jalan, "Sudah berapa juz Ade' baca Qur'an?"
"Baru sepuluh Ustadz," Naela menjawab tak menatap.
Toni m engangguk.
"Maaf Ustadz, Nae tidak bisa cepat-cepat."
"T id ak apa D e '," Toni selalu berharap N aela bisa
kembali memanggilnya seperti dulu.
Kicauan burung terdengar, tetesan embun dari ujung
daun seolah aroma kem esraan, jalanan sepi hanya m ilik
Naela dan Toni, pagi seakan hanya mereka berdua yang
memiliki.
"Ustadz sayang Nae?" Naela beranikan diri bertanya.
Melihat Toni tak kunjung menjawab Naela sekali lagi
mohon maaf, "M aaf Ustadz, seharusnya Naela tidak perlu
bertanya, Naela sudah hafal jaw abannya."
Toni menoleh ke kiri melihat wajah Naela. Dulu kalau
berjalan Toni kadang memadu canda, "Ade' Sayang kakak
tidak?"
Tanpa pertimbangan Naela menggeleng, "Belum bisa
U stadz," N aela m enoleh sejenak, "Tidak seharusnya kita
saling bertanya akan hal ini, tapi Naela memang belum bisa
u ntu k..." Naela sulit melanjutkan, merasa tidak enak.
Pintu rumah dibuka, Naela selalu tak mahu jalan lebih
dulu, pasti Toni yang dipersilahkan jalan lebih awal. Jika
pintu ditutup Naela akan masuk kamar, Toni ingin menyusul
tapi pintu kamar sudah tertutup rapat. Toni lepas jaketnya,
berdiri canggung di dekat pintu kamar Naela, Toni ketuk
tiga kali.
"Ada apa Ustadz?" Naela sudah melepas mukenanya.
"Ma'mun Affany j 343
"M au ja la n pagi sam a-sam a?" Toni m enaw arkan
sembari senyum.
Tapi Naela m enggeleng, "Lain waktu saja U stadz,"
pintu kembali ditutup.
Toni gemas, ingin mencubit pipinya lampiaskan kesal
hadapi sikap Naela tak kunjung luluh jua. Tapi Toni seketika
mengingat Naela sudah kembali hadir di dekatnya meski
genap habis melupakannya. Toni tetap jalan-jalan sendiri
tanpa melepas sarungnya, tak bersandal, setengah malas kaki
melangkah, seolah hanya m enjauh dari rumah, duduk di
pos satpam penjagaan melepas gundah, bercanda hilangkan
marah.
"Istri Bapak mana?" salah satu satpam bertanya, baju
putihnya tertutup jaket.
"D i rumah," Toni enteng menjawab.
"Kok jalan sendiri, lagi ada masalah?"
Toni tersenyum, "G a' p a ..."
"Sabar m as... pertengkaran itu biasa, kalau istri mas
m arah jan g a n d ib alas m arah, kalau dia k esal b erik a n
kebaikan," yang berjenggot duduk mendekat.
Toni mengangguk.
Toni kem bali ke rum ah, sudah ham pir jam enam ,
ham pir satu jam tin g g alk an N aela sen d irian , ia h aru s
berangkat kantor. Tak lupa Toni m em beli n asi uduk di
perempatan jalan. Namun waktu buka pintu ada yang aneh,
suara riuh p en ggoren gan terd en gar, harum m asak an
tercium, bergegas Toni masukkan nasi uduk ke dalam kamar,
ia seolah datang dengan tangan kosong.
Di meja sudah tersedia nasi, tempe goreng dan kecap,
m eski sangat sed erhan a Toni bu n g ah m elih at asap
mengepul.
Naela datang membawa dua gelas air putih di tangan,
"Makan ustadz."
344 |2^ %z 7-iarrja 'Wanila

Baru sekali Naela masak. Toni rindu setengah mati


mengingat dulu tak pernah membeli nasi dan lauk di warung
kecuali terpaksa, tampak lengan baju Naela disingsingkan,
sebelum makan Naela menunggu Toni duduk sempuma.
Sejenak Toni melihat Naela menyuapi mulutnya, Naela
jadi salah tingkah, "Jangan dilihat Ustadz."
Toni tersenyum, Toni mulai makan, berdua satu meja
mengisi dua kursi di antara empat yang mengelilingi, selang
dua suap N aela b ertan y a, "U sta d z kalau N aela pakai
kerudung lebar bagaim ana?"
Selama ini kerudung Naela hanya menutup dada, tak
sampai perut. Toni diam sejenak, m enelisik setiap tubuh
Naela, "Terserah ade' saja. Mau seperti sekarang juga tidak
apa-apa. Kakak sudah senang kok."
Naela mulai sedikit berfikir, Toni begitu baik bersikap
padanya, tak banyak meminta, tak banyak berkilah. Naela
sadar kehadirannya sungguh lebih merepotkan, terlalu jahat
jika Naela tak membalasnya, "Kapan Naela bisa masuk kamar
kerja Ustadz?"
"Kalau Ade' sudah khatam satu Qur'an," Toni harap
Naela mengerti.
Naela pandangi pintu kamar yang selama ia datang
tak pemah Toni masuk lama di dalamnya, hanya lima menit,
setelah itu keluar. Naela terpasung penasaran, harga diri
kamar Toni seharga ia bisa berkumpul dalam satu kamar,
"Memang isinya apa Ustadz?"
"Satu hari Ade' pasti tah u..."
Toni harus berangkat kerja, kini Toni menjadi editor
di salah satu majalah berkantor di dekat UIN Ciputat. Naela
harus ditinggal sendirian di rumah, sebelum pergi Naela
memberikan bekal, "U stadz..."
Toni berhenti sebelum naik Honda beat merahnya, ia
menoleh ke belakang.
~hia 'mun Affany | 34j?

"Ini nasi. Nanti Ustadz tinggal beli lauknya," Naela


berpesan.
"M akasih D e '," Toni bersyukur m eski sebatas nasi
putih. Toni ingin m enyalam i istrinya sebagai ungkapan
syukur, tapi Naela pasti menolaknya. Toni sebatas senyum,
lew ati kem acetan Toni tatap tas berisi nasi dari N aela,
berbunga hatinya.
Sem akin h ari keangkuhan N aela lu ntu r perlahan
meski tidak seutuhnya. Bagi Toni biarlah Naela lupa jika
Toni adalah suami yang dulu benar-benar menyayanginya,
suami yang tertulis di agendanya. Yang terpenting Toni bisa
memulai kem bali tanam kan cinta m eski tidak sempurna,
meski harus memulai dari pertama.
Hari ini cuaca mendung, jam dua siang langit meng-
hitam , petir m enyam bar, m enggaris kuning di angkasa,
membelah cakralaw a m enebar ketakutan seolah kutukan.
Kala petir m enyala semua insan bersem bunyi tutup dua
telinga, angin ribut mengoyak daun, melayangkan kerikil-
k erik il k ecil, hujan d eras m engguyur, leb at kabu rk an
pandangan.
Di kantor Toni teringat selalu Naela, ia sendirian di
rumah, ia mungkin kedinginan, pasti kesepian, Toni di lantai
dua membuka tirai menilik jam, hujan menutup bumi, deras
melantun lantang, putih mengelabui.
Toni telfon Naela, "Assalam u'alaikum ..."
"W a'alaikum salam ..."
"D i sana hujan lebat D e'?"
"Iya u stad z..."
"Ade' jangan pergi ke mana-mana. Ade' di rumah saja
y a ..."
" Iy a ..."
G elisah tetap saja m engu sik, Toni tak tenang
mengoreksi naskah. Toni bereskan meja, kumpulkan kertas
34 ^ | Z g 'Juz T-farga HJanita

m asukkan d alam tas, ia ijin pulang. Toni pakai m antel


m enerjang hujan, pelan menancap gas, sendirian di jalan,
seteng ah b asah tubuh te rcip ra t air, d in g in m enusuk,
pan d angan kabur tertu tu p p u tih air, sesek ali petir
menyambar. Di mata Toni hanya Naela, ia ingat jika hujan
teramat lebat Naela dulu setengah takut di rumah, kalau
Toni jau h N aela m enelfon, telfon putus N aela kem bali
menghubungi, Naela tak ingin sepi sendiri. Terbayang selalu
w ajah im u t N aela, terg am b ar jik a N aela m engkerut
kedinginan, kesepian, ketakutan. Toni terus m enem bus
hujan.
Sampai di rumah tubuh Toni setengah basah, pertama
kali m em buka pintu Toni langsung tatap kam ar Naela,
pintunya terbuka, Toni berjalan cepat m endekat beriring
deru hujan, tak peduli lantai basah terbekas tetesan. Kamar
kosong. Toni sedikit khawatir, "A d e'!!!" Toni memanggil,
"N aela!!!" tapi yang menyahut hanya suara petir, "N aela!"
Toni buka kamar sendiri tapi kosong.
" N a e ..." Toni buka pintu belakang, N aela sedang
duduk sendirian di kursi pandangi hujan, tak berjaket, tak
berkaos kaki, hanya berok dan berkerudung, duduk di kursi
memeluk lututnya sendiri menghadap taman bunga kecil.
Toni tarik satu kursi yang tersisa, dilihatnya pelupuk
mata Naela menggenang air mata, seketika terjatuh di pipi
kembungnya. Naela sekali lagi kedipkan dua mata lentiknya,
air mata kembali berlinang basahi pipi merahnya. Toni tak
berani m enyentuh khawatir tangan Naela menampiknya,
Toni duduk di dekat Naela.
"Ade' kedinginan?" Toni coba hibur Naela dengan
pertanyaan.
Naela menggeleng.
"Ade' kenapa?" Toni ingin tahu.
'Ma'mun Affany j34/

"Naela kangen Ustadz. Nae ingin ketemu suami Nae


yang dulu, Nae kangen s e k a li," berlin an g m ata N aela
luapkan rindunya.
Sesaat Toni bernafas panjang, Toni masuk ke dalam.
Selang lima menit Toni bawakan teh panas. Toni kembali ke
dalam, saat datang selimut dan gitar terbawa di tangan. Toni
tutup tubuh Naela dengan selimut, tak peduli baju basah
Toni petik gitar Gibson J 200, "Ade' mau lagu apa?"
Naela tersenyum, baru hari itu Naela berikan senyum
untuk Toni, tapi Naela sebatas senyum tak berikan jawaban.
Toni mulai petik gitar, mainkan sebuah lagu, suaranya
berusaha untuk mendayu,

Ku tak mengerti cinta


Ku tak mengerti rindu
Yang kutahu hanya senyummu
Yang kukenang hanya syahdumu

Duduk Naela m enjadi tegak, setengah terlupa rasa


rindunya melihat jemari Toni memetik senar, melihat cara
Toni yang bernyanyi sepenuh hati tak peduli hujan.

Sadarlah kasihku
Aku mencintaimu
Sungguh mencintaimu...

Toni menyudahi.
Setetes air mata yang terjatuh dari dua mata Naela
benar-benar untuk Toni, "Terim akasih U stad z..."
"Ade' jangan sedih y a ..." Toni berharap.
Naela mengangguk.
"Minum dulu tehnya," Toni memeluk tubuh gitar.
3 4 $ | 2$ Ouz T-tar^a 'Wanita
"Apa itu suara hati Ustadz?" Naela justru bertanya, ia
ada dalam kehangatan.
Toni m engangguk.
"Kenapa Ustadz memilih Naela? Sampai kapan Ustadz
akan terus katakan cinta pada Naela?" Naela ingin tahu.
"Sam pai Ade' tahu betapa besar arti Ade' bagi hidup
yang Kakak jalani."
"Kapan Nae bisa tahu?" Naela belum berhenti.
"Satu waktu yang kakak sendiri belum tahu," Toni
m engenang setiap janji yang dulu terucap bersam a, kata
sayang yang sering terlontar berdua.
Semakin hari Naela semakin mengerti besar curahan
hati yang terberi, Naela sem akin hari sem akin berusaha
m em buka secuil hati untuk suam i, N aela sem akin hari
semakin mempercepat bacaan Qur'an agar bisa menemani
Toni arungi malam sepi. Setiap selesai sholat Naela membaca,
sebelum subuh, setelah subuh, setelah dhuha Naela terus
membaca meski hanya satu halaman. Lima hari berjalan 10
juz bertam bah.
Toni kadang masih tetap menguping di dekat pintu,
m enyim ak bacaan Q ur'an N aela, sam pai satu hari tidak
sengaja Naela ingin keluar, saat membuka pintu Toni tampak
bersarun g b era las sajadah, m em egang Q u r'an tertidur
menyandang dinding. Waktu itu Naela baru sadar jika Toni
terus menanti dengan sabar.
" U s ta d z ..." N aela jo n g k o k m em bangunkan,
"U s ta d z ..." N aela tak m enyentuh Toni, m alam memang
sudah teram at larut, ham pir m enunjuk angka dua belas,
begitu senyap sepi, tak ada suara selain bisikan hening
membelai hati.
"U g h ..." Naela pura-pura batuk.
M ata Toni b e rg e lia t sed ik it m em buka, ia sep erti
ketakutan menutup Qur'annya, "A d e'..."
~Ma'mun A(fan>j | 34^
"Sudah malam. Ustadz tidur saja, besok pagi Naela
b e rita h u sam p ai m ana N aela sudah m em b aca," N aela
membujuk.
Toni berdiri berjalan ke kamar, N aela m embuntut,
menata bantal, menutupkan selimut. Meski tak menyentuh,
nam un k em esraan laru t di an tara tatap an redu p dan
senyuman simpul, "Ustadz tidur yang nyenyak. Mimpi indah
y a ..."
H ati Toni terseny u m m end en gar m eski m atanya
tertutup, ia berusaha pejamkan mata untuk tidur, tapi tak
bisa, sopan sikap Naela, bujukannya, membuat malu mata
membuka.
Satu jam toni terbaring tak mampu lelap meski gulita
gelap, dua jam Toni terbaring justru teringat tiga hari lagi
Naela ulang tahun. Toni sibak selimut, nyalakan lampu, pergi
ke kamar pribadinya, ia ingin menulis surat untuk Eko dan
Rika.

Assalam u’alaikum wr wb
Entah bagaimana harus kugambarkan kebahagiaan yang
malam ini aku kecap rasakan, rasanya pena tak lagi bertuah, kata
tak lagi bisa bicara, ungkapan bukan lagi sebuah bahasa.
Hari demi hari Naela mulai membuka hati, berikan secuil
ruang untukku. la mulai berikan sikap manisnya, ia berikan senyum
tulusnya, ia tebarkan tatapan hangatnya, ia berikan nafas ayunya.
Rasanya aku baru tahu kesempurnaan keindahan saat wanita mulia
bernadi cinta lautan asmara temani hidup kita.
Dulu waktu pertam a membonceyignya ia tak sedikitpun
memegangku walau hanya jaketku, tapi kemarin ia sudah jatuhkan
kepala di pundakku. Naela yang kuhadapi memang bukan Naela
yang dulu bersam aku, tapi N aela yang sekarang berikan aku
kesempatan untuk jadikan kesabaran dalam rayuan, mengajarkan
cinta tak perlu dipaksakan. Naela telah ajarkan hidup penuh dilema
3j?0 |zg 9uz H arya K Janita
mesra asm ara pernikahan, aku serasa berpacarart walau. sudah
halal.
Kadang aku termenung pilu mengingat ada batas dalam
bercakap, ada batas untuk sekedar melihat, ia mengukur sabarku
dengan 30 juz Qur'an, saat Naela khatam ia baru sudi sepenuhnya
bercerita untukku, menerima keluh kesahku, lebih jelas lantunkan
ayat suci di depanku.
B agaim anapun N aela aku tetap m enyayan ginya Ko,
meskipun ia katakan tak akan pernah mencintaiku, tapi aku akan
berusaha sepenuh hati melayaninya.
Malam ini aku ingat tiga hari lagi Naela ulang tahun, aku
ingin bisa lebih membahagiakannya seperti ia sudah membuatku
terus berharga. Aku ingin kalian berdua datang ke rumahku, jam
empat tepat. Entah panas, entah mendung, entah hujan aku ingin
Naela bisa tersenyum bahagia nikmati hidupnya.
'Ma 'mun A ffary | 3j?^

©
2 < j 0(4Z —

I
ni malam ke 38, namun malam ini tak terdengar dari
kam ar N aela lan tu n an ayat suci A1 Q u r'an . Toni
kunci pintu rum ah rapat, tirai jendela diikat, kipas
angin di ruangan depan dimatikan, nyalakan lampu gantung
kuning temaram. Toni dorong pintu kamar Naela, Toni lihat
pijar lampu bersaing gemerlap cahaya layar TV. Toni ambil
remot dekat tangan Naela, tampak Naela tertidur bermukena,
dalam pelukannya Qur'an tengkurap, Toni perlahan menarik
Q ur'an berharap bisa m elihat batasan akhir bacaan. Tali
m erah m em batas di halam an 551, ju z 28, surat as-shof.
Tinggal dua juz lagi semuanya usai.
Ia ingin dengar Naela membacakan agenda untuknya
sebelum tidur, hari-hari Naela tergambar jelas dalam agenda.
Toni tatap wajah im ut Naela di balik lingkaran m ukena,
alisnya, lentik matanya, ia ingat dahulu saat Naela berikan
segumpal senyum indah untuk pertama kalinya.
Toni tutup Q ur'an diletakkan di atas m eja, selim ut
ditutupkan ke tubuh Naela, tak lupa boneka panda Toni
letakkan di samping parasnya, "M impi indah d e '..." Toni
3^2 |2<) % z 'H araa 'W cm ita
tak peduli Naela sudah lelap, ia berharap Naela dengar dalam
mimpinya.
Toni kembali ke kamar, berbaring memetik gitar, ia
ingat esok hari ulang tahun Naela, Eko, Rika, ustadzah Ida
sudah dalam perjalanan. Toni coba dengarkan rintihan jarum
jam, tiba-tiba terdengar suara Naela berteriak lantang. "Aaa!!!
Aaaa!!!''
Toni langsung lari masuk kamar.
"A aaa!!!" N aela b erd iri takut di atas ranjang, dua
tangannya meremas selimut.
"Ada apa D e'?" Toni heran.
"Tikus!!! Tikus!!!" Naela jijik.
"Mana?" entah Naela mimpi atau benar-benar melihat,
selama Rika di kamar belum pernah tikus datang.
"Tadi jalan di leher Nae," Naela loncat ke dekat Toni.
Toni melongok ke kolong, tak ada, Toni teliti setiap
sisi, tiba-tiba tikus kecil di sudut berjalan bingung, tikus
bumi, Naela berteriak, "Itu!!!" tangan Naela menunjuk, tanpa
sengaja Naela memeluk Toni.
Toni tak bunuh, ia sulit bergerak, ada N aela yang
mendekapnya erat, tikus berlari sendiri keluar.
"Sudah pergi D e'," Toni menenangkan.
"Nae takut," Naela baru sadar ia memeluk, tubuh Toni
dilepas, "M aaf Ustadz."
"Ade' tidur di kamar Kakak, biar Kakak tidur di sini,"
Toni menawarkan.
Naela mengangguk sembari memeluk selimut, mukena
belum Naela lepas.
Toni m engantar N aela ke kam arnya, Toni rapikan
kasu rnva, Toni n yalak an AC, "A d e' di sini s a ja ," Toni
menunjuk ranjang, "Kakak tinggal ya," Toni pergi ke kamar
Naela, pintu ditutup.
"Ma 'm un A ffany | 3 5 > 3

Saat Toni berbaring, TV kamar dinyalakan, tapi baru


lima menit Naela mengetuk pintu, "Ustadz."
Toni heran, setengah bingung Toni buka pintu, Naela
sudah berkerudung tali hitam, "Ada tikus lagi D e'?"
Naela menggeleng keras, "Nae takut."
Toni bingung, wajah Naela mengkerut.
"U stad z tem ani N a e ," N aela seteng ah m alu, tapi
ketakutan yang m endorongnya.
Toni m asih belu m m en g erti, tib a -tib a N aela ke
belakang Toni mendorong Toni masuk ke dalam kamarnya
sendiri, "Ustadz tidur di ranjang, Nae tidur di baw ah."
Toni menurut, ranjang di bawah ditarik, dulu sering
dipakai Eko. Toni pilih sprei merah, Toni persilahkan Naela
tidur, "Sudah... Nae tidur di sini."
Melihat Naela hanya berdiri terpaku tanpa gerak Toni
tidur lebih awal, tubuhnya menghadap ke dinding, sayup-
sayup Toni dengar suara Naela berbaring. Tapi Toni berfikir,
rasanya tidak pantas dirinya ada di ranjang atas, " D e '..."
Toni memanggil tanpa berpaling melihat, "Ade'."
"Ada apa Ustadz?" Naela menyahut.
"Ade' di atas saja, biar Kakak yang dibaw ah," Toni
m enawarkan.
"Baik," Naela menurut.
Naela berdiri menunggu Toni bangun, saat Toni turun
N aela baringkan tubuhnya, berdua m enjadi satu kam ar
meski berbeda ranjang. Berdua dengarkan irama detik yang
mengetuk, meraba angin yang membelai lembut, mendengar
desah nafas law an hidup, rasakan debar jan tu n g yang
berdegup. Naela selalu pandangi Toni, Tapi Toni berpaling
tak ingin Naela gelisah lagi.
Sudah satu jam N aela tatap punggung Toni, tapi
kantuk tak datang. Dilirik jam dinding tepat menunjuk angka
dua belas, "U sta d z ..." Naela lirih memanggil, takut Toni
i 2^ T-tarya Hlanita
sudah nyenyak.
"Iya D e '..."
"Kakak belum tidur?"
"Belum ngantuk," Toni tak balikkan tubuhnya.
"Ustadz hadap sini," Naela meminta.
Perlahan Toni balikkan tubuhnya, seketika bergetar
jantung dalam dada, berdesir hati m erasa, panah-panah
tatap an h angat b erg elo ra, u rat-u rat m enyem bul entah
kenapa.
"Apa yang sekarang Ustadz fikirkan?" Naela memulai.
"H a ri se te lah A d e' k h atam k an Q u r'a n ," Toni
menjawab, "Setelah itu mungkin kita bisa lebih saling tahu,
saling mengerti, saling memahami, saling menghibur, bisa
b ercerita bersam a, ja la n -ja la n b ersam a," Toni utarakan
lam unannya.
Naela mengerti, Naela peluk guling lebih erat.
"Kalau A de'?" Toni balik bertanya.
"Sem akin Naela jauh membaca Qur'an, Nae semakin
menyadari tinggal sedikit waktu yang tersisa, hati Nae terasa
berat Ustadz, Naela seperti khianati suami," Naela membuka
hati.
"Apa Ade' ikhlas khatamkan Qur'an?"
Naela menggeleng, "M aaf Ustadz, Naela masih belum
bisa."
Toni terharu menyadari kuatnya hati Naela tertambat
pada dirinya. Toni baru tahu N aela tak akan putuskan
perasaannya, Naela begitu kukuh akan cintanya.
"Ustadz tidak marah?" Naela heran.
Toni menggeleng, "Kakak tidak akan marah asalkan
Ade' tetap temani Kakak di sini," Toni membalas.
Toni tak ingin kembali hampa seperti kala Naela pergi
dari sisi, Toni tak ingin kosong karena separuh jiwanya
pergi, Toni tak ingin sepi karena pengh ibu rn ya tak
M a'mun Affany \

menemani, Toni ingin Naela sealu ada menemani hidupnya,


menyadarkannya, menghargainya saat orang lain jatuhkan
dirinya.
"Insya Allah lusa Nae akan selesaikan satu Q u r'an/'
Naela berikan senyuman.
Toni tersenyum membalas.

*****

Hari ini tanggal 20, tepat saat Naela dua puluh empat
tahun lalu terlahir ke bumi. Tapi sepertinya Naela sendiri
lupa hari jadinya. Entahlah, yang Naela kerjakan dari pagi
m enghabiskan Q ur'annya di kam ar Toni. Setelah subuh
Toni dan Naela tukar kamar, Naela masih belum yakin tikus
pergi dari kamarnya, Naela menetap di kamar Toni.
Toni sudah berkirim pesan dengan Eko, Rika, dan
ustadzah Ida, mereka sudah ada di Jakarta, sedang sholat
ashar di terminal lebak bulus. Langit tidak menangis meski
murung mendung, Toni di rumah bersiap dengan gitarnya,
ia ingin nyanyikan sebuah lagu untuk Naela agar hari terasa
lebih bermakna.
"Sh od aqallahu l ad zim ," N aela di kam ar m enutup
Qur'an, genap juz 29. mulai nanti malam Naela buka juz 30,
juz penghabisan. Di atas sajadah Naela ayunkan tubuhnya
sembari memeluk Qur'an, ia berusaha tanpa resah menerima
kenyataan yang ada di hadapannya. Toni teramat baik, cukup
55 hari menanti. Mungkin Naela belum bisa berikan cinta,
tapi setidaknya ia iba, dari iba Naela berdo'a bisa menyayangi
suaminya.
Naela lepas mukena, berkaca depan cermin tertempel
di dinding, entah k e n a p a tiba-tiba cermin jatuh, paku tak
kuat m enahan, "P y arr!!!" cerm in pecah berserakan, Toni
ketuk pintu berkali-kali, "Ade!!!"
| Zfj 9uz 7-iarya 'H/anita

Naela gugup membuka.


"Ade' kenapa?"
"Kaca jatuh Ustadz, Nae baik-baik saja," Naela kembali
menutup pintu.
Kerudung N aela lepas, ram but sebahu digerai, ia
goyangkan kepala, rambut menyebar. Naela tarik agenda dari
bawah tumpukan baju, agenda yang selalu ingatkan dirinya
akan suami penjaga hati, agenda itu dipeluk, Naela hempas-
kan tubuhnya ke ranjang, Naela buka setiap halaman, sudah
hampir tiga tahun ia lupa. Naela kecup sampul hitam agenda,
ia ingin bisikkan pada angin agar sampaikan permohonan
maafnya. Naela buka satu halaman.

Naela... dimanapun engkau pergi menjauh disitu aku akan


setia mencari, kalau kau bersembunyi, aku akan teriak agar kau
dengar suaraku hingga kau jatuh merindu.
Engkaulah angin jika aku menjadi aivan, engkaulah malam
jika aku bintang, engkaulah lautan jika aku batu karang, engkaulah
rumahku yang selalu kudiam i, engkaulah artiku yang selalu
kusadari. Saat kau pergi aku hanyalah seonggok manusia tanpa
arti.

Naela ingat kata suaminya yang ia tulis. Dalam hati


Naela bergumam, "Mungkin ia tlah tiada hingga tak datang
padanya, atau mungkin dekat tapi tak menyadarinya."
Naela hanya bisa menangis jika menyadari akan hilang
ingatannya, ia seringkali m erapat kenapa kekasihnya jadi
terlupa, kenapa ingatan itu tak bisa kembali, kenapa ia tak
bisa ingat b ag aim an a w ajah n y a, bagaim ana sikap nya,
kenapa semuanya pergi tak kembali, kenapa ia tak bisa ingat
suaminya.
"A d e'..." Toni mengetuk pintu.
~Ma 'mutt A ffany |3^7
"Sebentar Ustadz/' Naela masih belum siap, ia setengah
berlari ke pintu, "Ada apa Ustadz?"
"Coba lihat siapa yang datang," Toni menoleh ke pintu
rumah yang terbuka.
"Y a s s a la m ..." N aela tak m enduga U stad zah Ida
datang, ia berjalan cepat mendekat, "Ustadzah."
Mereka berpelukan erat, mencium pipi kiri dan kanan,
saat pelukan terlepas Ustadzah Ida mengucap kata selamat,
"Selam at ulang tahun Nae."
"Yassalam... Naela lupa," Naela tersenyum.
Di belakan g u stad zah Ida Eko dan Rika, m ereka
membawa kue dengan lilin m enyala, "Panjang umurnya,
panjang um urnya, panjang um urnya serta m ulia, serta
m u lia..."
Tapi Naela tak senyum, berdiri mematung, mencoba
m engingat sesuatu, m encoba m engenang satu kejadian,
Naela seperti mengenal wajah Eko dan Rika. Tapi dimana?
Naela bisu seribu diam.
"Tiu p lilinnya D e'," Toni di belakang Naela belum
sadar ada yang berubah dari Naela.
Tangan Naela seketika m enam pik, "M ereka berdua
siapa Ustadz?"
"Mereka teman Kakak," Toni lupa satu hari.
Eko menyadari, "Dengarkan dulu Naela."
N aela m enggeleng, "W aktu di stasiu n anda yang
mencopet tas saya?"
Toni terpejam, ia sadar, "N aela..." Toni ingin jelaskan.
N aela mundur, "Pantas U stadz begitu m udah bisa
mengembalikan tas Naela."
"N a ela ..." giliran Rika ingin menjelaskan.
"Jangan mendekat," Naela mundur satu satu langkah,
"Jangan ada yang mendekat!"
j 29JuzT-iar^a'HJanila

"N aela tolon g ..." Rika terus mencoba.


“Jan g an ada yang b e rg e ra k !!!" dua tangan N aela
meminta.
"T ern y a ta sem ua sudah teren can a, sem ua sudah
diatur," Naela geram, ia seakan menggigit daging keras.
Toni memegang dua tangan Naela, "Nae, kau istriku
y a n g ..."
"Jangan pegang tanganku," Naela memberontak.
Semua diam, melihat Naela yang merapat dinding.
"Aku m em ang h ilan g in gatan, tapi kenapa orang
sed ikitpu n tid ak m em bantu untuk k em b alik an ?" Naela
bernafas seperti kesurupan, "U stad z... kenapa semua ini
Ustadz lakukan? Untuk apa? Untuk apa?" Naela tak bisa
menahan sakit hatinya, "Ustadzah Id a... Kenapa Ustadzah
ikut mereka?" Naela sulit bernafas, "Ustadzah rela lihat Nae
kehilangan segalanya?" Naela hem buskan nafas panjang,
"Untung Nae tak sudi sebelum habis membaca Qur'an."
"N a e la ..." semua bicara, Toni paling sakit, tapi Toni
berpaling muka.
"Pencurian itu, karcis, ternyata hanya untuk membuat
kesan agar Ustadz seakan baik. Dan tikus yang semalam, pasti
Ustadz yang masukkan agar bisa tidur satu kamar."
Toni diam, biarkan Naela bicara, Toni tak hapus air
m atanya.
"Sem u a dusta! Dusta! Sem ua p em bohong!" Naela
berteriak.
"N aela!" Rika coba ingin jelaskan tapi Toni mencegah.
"K en a p a U stadz laku kan ini? A pa yang U stadz
inginkan dari Naela? Ustadz ingin tubuh Naela? Ustadz ingin
kecantikan Naela?" Naela tercekat, "Jawab Ustadz!"
Toni biarkan air mata yang menjawabnya.
"Ustadz kira dengan semua kebaikan, kesabaran palsu,
ketulusan dusta cinta Naela bisa dibeli?" Naela mendekat,
~Ma'mun A ffary | 3^

"Tidak akan Ustadz. Tidak akan pemah. Lebih baik Nae mati
m erindunya."
Eko memegang erat tangan Toni.
N aela perg i ke kam arn y a, u stad zah Ida yang
mengikuti ingin jelaskan agar Naela mengerti, "N aela..."
Naela berkemas sekedarnya, membuka almari, meraih
tas kecil tergantung di balik pintu, tanpa melipat baju, tanpa
membawa banyak bekal selain dompet dan handphone Naela
pergi.
U stadzah Ida m encegah, "N aela! Tolong dengarkan
sedikit saja penjelasan Ustadzah."
"Maaf. Naela harus pergi sekarang," Naela menerobos.
Dihadapan Toni yang perih menahan sakit hati Naela
pam it, "T erim ak asih atas segala kebaikan yang ustadz
berikan, Nae mohon pamit."
Toni lem as, layu, jongkok tersungkur tangis, sakit
hatinya tak terukur pedih, jasadnya tak tertolong, hancur
sayangnya habis tercabik-cabik kenyataan pahit, air mata
penghabisan terus bercucuran, Rika yang coba tenangkan,
biarkan Toni menelungkup di pangkuan, tubuh Toni benar-
b en ar tak b erd ay a, isakn y a keras, tercek a t m ati di
kerongkongan.
"Aku m encintainya Ka," Toni dalam pangkuan Rika
tak bisa menahan sakitnya.
"Aku tahu Ton, Aku tahu."
"Dia tidak tahu Aku benar-benar mencintainya," Toni
terus mengadu.
"Aku tahu Ton, Aku tahu," Rika seolah menjadi ibu.
"Apa lagi yang harus aku lakukan agar dia tahu Ka?"
cinta Toni tlah habis.
"Sabar T o n ..."
"Aku tak lagi punya cinta K a," air m ata Toni tak
berhenti.
360 | zg )uz T-targa 'Wanita

35

— Tersimpan fyipi —

//

N "T " aela!" ustadzah Ida mengejar.


N aela teru s b e rja la n h am p iri pos o jek di
pertigaan jalan.
U stadzah Ida terpaksa tarik tangan Naela, "N aela!
Tolong dengarkan penjelasan Ustadzah, tolong dengarkan!
Ustadzah mohon!"
Naela sudah terlanjur benci, terlanjur menganggap
n ajis. N aela tam pik tu buh Id a, N aela belum b erh en ti
mengelap pipinya. Tak pikir panjang Naela naik motor ojek,
"Ke depan pak."
Ustadzah Ida menghadang motor, "Sebentar pak."
Ojek tak jadi pergi, mendung di langit pekat, "Tolong
jangan termakan emosi, kamu tidak biasanya marah, kamu
harus melihat apa yang sebenarnya terjadi."
"Semua sudah jelas!" Naela menunduk di atas motor.
Ida putus harapan, "Kam u mau ke mana?"
Naela menggeleng, ia habis tujuan.
"N aela..." perlahan Ustadzah Ida menarik, mengajak
turun, tangan kanannya berikan selem bar uang puluhan
~Ma mun Affany | 36 /

ribu pada tukang ojek.


N aela d iajak duduk di trotoar di baw ah rindang
pohon, deru kendaraan bergantian terdengar, Ida pandangi
mendung di langit, hujan akan segera turun, Naela jatuh-
kan kepala di pundak Ida, Ida biarkan N aela tuntaskan
tangisan, biarkan terisak di pundak, biarkan pundaknya
basah, terus dengarkan isak.
"D ia jah at! Ja h a t!" N aela b ersu ara, tan gan nya
berkelebat di mata.
Ida hanya mendengar, tangannya memeluk Naela.
Banyak tukang ojek m elihat, tapi Naela tak peduli,
"Kenapa tidak ada orang yang mau mengerti?" Naela meng-
genggam tangannya sendiri, "Kenapa semua orang tidak
peduli? Kenapa?" Naela terus meratapi nasibnya sendiri.
"Nae sudah berusaha berprasangka baik, tap i..." Naela
terus mengaduh, saat tlah habis semua kata Naela hanya
diam dengarkan suara aliran air mata dari pipinya, angin
kencang menghempas seolah badai akan datang.
"Kita sholat dulu Nae," ustadzah Ida mengajak, adzan
magrib berkumandang.
Naela m enurut, ia hanya diam, diam dengan mata
kosong m em andang, seten g ah gila, seten g ah sadar,
kebencian lu ruhkan segenap kekuatan, bayangan yang
tersisa hanya lamunan. Saat sholat mata Naela begitu basah,
bahkan saat sujud Naela tak bangun karena tangis, saat
semua salam Naela belum bangkit dari sujudnya. Ustadzah
Ida mulai khawatir, lima m enit sujud Naela tak kunjung
terangkat, ustdzah Ida sampai sujud mengintip.
Mata Naela menutup, Ida coba bangunkan, "N a e ..."
"B ru g ..." Naela terjatuh, pingsan.
Kontan jama'ah di masjid mengerubut, empat wanita
yang tersisa panik, jama'ah laki-laki dipanggil, "Tolong Pak!"
Ida berlarian, "Tolong angkat N aela!" Ida menarik paksa
3&Z |zg %z "Marja 'Wanifa
tangan satu Bapak yang menghampiri.
"Rum ah mba' dim ana?" salah satu bapak bercelana
bertanya.
"Rumah mas Toni," Ida menyebut nama Toni, semua
mengenal.
Empat laki-laki m engangkat, dua ratus m eter letak
masjid dari rumah, Ida setengah berlari mengikuti, kepala
N aela m enjuntai bak m ayat, Ida berkali-kali memanggil
sembari menatap, "Nae! Bangun Nae! Naela!"
"D er!!!" petir menyambar.
Ida ketuk pintu rum ah, "Tolong b u k a!!!" Ida lupa
dengan salam.
Rika yang m enyam but, "A stag firu llah ! Bawa ke
kamar!" Rika berlari membuka kamar Toni.
"Terimakasih pak," Eko yang mengucap.
Naela tergolek di kasur, dua tangannya terbujur, kepala
miring ke kanan, Rika lepas mukena Naela, hujan deras di
luar terdengar mengguyur, petir bergelora menyambar, Eko
duduk di lantai dekat pintu kamar, Ida dan Rika berdekatan
di ranjang samping tubuh Naela.
"Kenapa Naela pingsan?" Rika ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu, dia sujud begitu la m a ..." Ida
tak bisa lagi melanjutkan.
Sejenak diam, Rika tempelkan telapak tangan di kening
Naela.
"Kak Toni m ana?" Ida baru sadar.
"Dia sudah pergi," Eko menjawab.
"Kapan?" Ida tak menyadari.
"Lima menit sebelum Naela datang," Eko menggaruk
kepalanya.
"K en ap a..." Ida tak percaya, Naela datang tapi Toni
m enghilang.
"Kejar dia!" Ida meminta.
%ia'mun Tiffany | 363
"Jangan!" Eko mencegah.
"Kenapa?" Ida terkejut.
Rika yang m enenangkan, "Jangan M ba', kami lebih
tahu bagaim ana Toni."
Ida seketika diam, ia tahu siapa dirinya. Naela belum
juga sadar, belum tahu jika ia ada di kamar Toni, orang yang
sekarang paling ia benci tapi hakikatnya tersayang.
"Kita harus beritahu dia," Eko sudah tidak tahan.
"Kita tunggu dia sium an," Rika mengangguk.
Tak ada yang b era n ja k d ari kam ar Toni, berd u a
menjaga Naela. Ustadzah Ida tidur di kamar Rika, hampir
jam sembilan Naela tak juga siuman, sudah tiga jam Naela
tergolek di ranjang, kerudungnya masih melekat, nafasnya
turun naik lambat.
Rintik gerimis masih berserakan, Rika intip dari tirai
kaca jendela, dedaunan taman basah kucurkan tetesan air
hujan, tak lama kem bali duduk dekat Naela, Eko duduk
bersebelah pintu kamar yang terbuka.
Tiba-tiba tangan N aela m erem as jem ari Rika, "N ae
sudah sium an. Kau k elu ar!" Rika m em inta, Eko terbirit
menutup pintu kamar.
Perlahan m ata N aela m em buka, saat ia kenal satu
kamar ia ingin cepat bangkit, "Aku tidak mau di sini! Aku
mau pergi!"
"Toni sudah pergi," Rika memotong, dua tangannya
memegang erat lengan Naela.
"Aku tidak mau di sini!" Naela tetap menolak, "Aku
mau pergi!!!"
Rika berdiri bergegas membuka tirai jendela, suaranya
menyavat, "Lihat! Sudah maiam, di luar gerimis. Mau pergi
ke mana?"
Naela terdiam , m elihat kilat m enyam bar di tengah
gelap, m enyeret tubuhnya bersand ar ke dinding, N aela
3 ($ 4 | 2 )C % z 7farija W anita

setengah takut memeluk lutut.


Rika ke dapur buat teh panas, Rika hafal Naela, ia
h id an gkan p ad anya, "M in u m dulu N ae," Rika m ulai
rendahkan suaranya.
N aela hanya m en y eru p u t secu il, panas, asap
membumbung, mata Naela mengawang kosong.
"Kam u mau pergi ke mana N ae?" Rika angkat dua
kakinya ke ranjang, berusaha lebih dekat dengan Naela.
Naela hanya bisa menggeleng.
"Apa yang kamu inginkan sekarang?"
"Nae ingin bisa bertemu suami Nae yang dulu," Naela
tempelkan pipinya ke lutut, "Antar Nae m ba', beritahu di
mana dia?"
"Nae tahu siapa suami Nae?"
Naela menggeleng.
"Nae belum ingat?"
Sekali lagi Naela menggeleng, "B elum ..."
"Ikut m b a '..."
"Ke mana?"
"M b a ' b eritah u se su a tu ," Rika m enarik tan gan
setengah menyeret, mengajak keluar menuju satu kamar.
Tergopoh Naela ikuti, saat tahu ingin masuk kamar
kerja Toni Naela enggan, "N ae dilarang masuk kamar ini,"
Naela takut.
Tapi Rika tetap membuka, "M asuk!"
Naela melangkah kecil.
Saat lampu dinyalakan, tampak tertempel di dinding
foto Naela dan Toni berpelukan dengan dua pipi saling
bersentuhan, saling melirik pandang padukan kebersamaan,
saling tebarkan senyum di tengah rimbun dedaunan, foto
sebesar 150 x 200 cm terbingkai, terpampang tajam, foto bukti
nyata kebersamaan dua insan.
~hia 'm un A ffany J

" I tu ..." tangan N aela bergetar m enunjuk, "U stad z


Toni..." Naela tak mampu lagi mengucap kata.
"Selama ini Nae pem ah foto bersama Toni?"
Naela tak bisa menjawab, Naela mundur dua langkah
tak percaya akan apa yang dilihatnya, terenggut hatinya,
tercabik memorinya, menyembul segala kebaikan yang tlah
Toni berikan padanya, teringat segala kesabaran yang Toni
haturkan untuknya.
"Nae tahu kenapa tidak boleh masuk kamar ini?" Rika
berdiri tegak di tengah lubang pintu.
Naela bisu, terkunci diam, terpaku kenyataan.
"Di mana Kakak sekarang?" Naela mulai sadar.
Rika berjalan dekati almari baju tiga pintu. Satu pintu
dibuka, "Baju-baju ini milikmu Naela. Sepatu dan sandal
ini, tumpukan kerudung ini, jaket, semua pakaianmu."
Naela tak mau melihat, ia menyesal, ia duduk di satu-
satunya kursi yang ada di kam ar, ku rsi di b a lik m eja
m enghadap laptop kesayangan Toni, N aela hanya bisa
bertanya, "D i mana Kakak sekarang?"
Rika buka pintu kedua, deretan agenda milik Naela
tersimpan rapi, "Agenda-agenda ini, buku-buku ini adalah
benda kesayanganmu, Toni simpan rapi di kamar ini, Toni
selalu ulang membaca tiap malam agar selalu mengingatmu."
"Tolong beritahu di mana kak Toni sekarang?" Naela
pukuli meja.
Rika belum usai, Rika nyalakan laptop, "Lihat layar
Naela! Lihat layar!"
Foto Toni dan Naela berputar, semakin Naela tatap
semakin teriris hati merasa, semakin terinjak perasaannya,
semakin tak sanggup nafas lerhirup, semakin sesak tubuh
semakin tak bisa Naela tahan air m atanya. H asrat N aela
ingin ju m p ai suam inya, ingin bertem u Toni, in g in
memeluknya, ingin mengecup keningnya, ingin mohon maaf
366 | 2CJ% z 7-tarja 'Wanifa

padanya, "D i mana kakak sekarang?"


"N aela... tolong buka hatimu, dia miliki cinta begitu
besar untukm u," Rika ingin Naela tahu.
"N ae tahu. Cukup!" Naela menutup telinga.
"N aela... dia tak perlu pujianmu, tak perlu balasanmu,
dia hanya ingin ditemani olehmu. Jangan sakiti dia Naela...
aku mohon jangan sakiti d ia ..."
"Di mana kakak sekarang?" Naela tak kuat menahan.
"Di sini, di tempat ini, dua tahun lamanya dia selalu
pandangi fotomu, dia mengupas saat-saat indah bersamamu,
dia kadang tersenyum sendiri, tapi akhirnya dia menangis
karena m erindum u..."
"Nae tahu... Nae sudah tah u ..." Naela ingin lari.
"D ia tid ak letih m en g u lan g cinta untukm u,
merekayasa cerita agar bisa berjalan bersamamu, dia sudi
kamu tidak mencintai, tapi dia tetap jadikan dirimu sebagai
tuan putri di rumah ini, sebagai permaisuri di hati," Rika
bernafas sejenak, "C intanya begitu besar padam u ... aku
sebagai teman hanya ingin kau tahu itu ... dia mencintaimu
N aela... dia sayang padam u..."
"Cukup! Cukup!" Naela sudah tak kuat, ia tak bisa
m enahan p en yesalan , tap i tak tahu bagaim ana harus
m enebus, N aela turun dari kursi m em ojok jon gkok ke
dinding, tergelepar duduk sadari kesilapan yang dimiliki.
Tiba-tiba dari bawah meja suara Toni terdengar, keluar
dari speaker Simbadda CST 7000 rekaman Toni sebelum pergi
Rika putar.
"N aela... rasanya ku tak lagi berhak memanggil A d e'...
aku merekam ini sebagai peninggalan terakhirku. Kalau satu
hari ia tahu, aku harap ia dengar suara hatiku."
"Aku tak bisa m enggam bar perasaan, akupun tak
sanggup lagi tuliskan bagaim ana hatiku, tapi aku bahagia
bisa melihat kembali Naelaku."
JAa'mmTiffany | 3^7
"Aku memang tak bisa berikan cinta seindah yang dia
mau, sesempurna yang diimpikannya, tapi aku tak pernah
letih untuk terus m encintainya, tak pernah bosan untuk
terus mengejarnya, tak pernah habis untuk tetap mengenang
dirinya, tak pernah lekang meski ingatan hilang darinya."
"Aku hanya ingin katakan Aku m encintainya, aku
mencintainya, aku mencintainya, sampai kapanpun, meski
suatu hari ia lupa siapa diriku."
"K alau la dengar suara ini, tak perlu lagi m engejar
diriku, namun jika ia sudah ingat siapa diriku, aku akan
m enu nggu di tan ah k elah iran k u u ntu k m en an ti
ketulusanmu karena hanya engkaulah hidupku."
Naela meraung tangis bak anak kecil di sudut dinding,
tersu n g k u r tubuhnya seakan kucing, air m ata tak lagi
menetes mengucur deras, isak tak lagi bisa tertahan, perih
tak bisa lagi dipendam, mata tak sanggup lagi memandang,
Naela tertikam rindu ingin bertemu kekasih tersayang.
$68 j 29 9uz7-(arja')Uav)itfl

■ 36 •

v ' "

— 7-farqa 'Wanita —

T
ak ada tempat pergi, tak ada tempat kembali saat
orang terdekat tak mengakui. Malam, pagi, siang,
petang seolah sama di hati meski berbeda di mata,
K ebah agiaan m em ang di san u b ari asalny a, sa a t sa k it
menjalar, dukapun meradang.
Toni hirup udara kelahirannya, yang ia bawa hanya
baju dan tubuhnya. Toni pandangi rum ah tem pat Bapak
membesarkannya, mungkin ia pergi ke Jakarta hanya untuk
kembali ke Bapaknya.
Tak ada yang berbeda dari gubuknya, masih remang,
lampu di depan tak menempel, masih menggantung di kabel.
Jendela belum berganti, masih tertutup plastik, pintu bambu
sem akin rapu h m enganga tak terk u n ci. S ejen ak Toni
tersenyum di balik lukanya, sebelum masuk ia dengar suara
radio tembangkan lagu kenangan, Bapak sudah beli radio
dari uang yang Toni kirimkan.
Toni melangkah, sekali m engintip dari celah pintu,
Bapak masih seperti dulu, terbaring berkerudung sarung,
telinganya dekat menghadap radio, Bapak tetap ada di atas
~Ma 'mun Affany | 3 ^ 5 '
tikar, sandal jepitnya begitu tipis hampir habis. Toni lirik
sejenak langit hitam menebar bintang, gemerlapnya hantui
malam usir lirih sepi di pelataran pem im pi, satu burung
terbang rendah, teringat satu sosok bernam a Naela, A h...
N aela... entah kenapa mulutnya tersenyum seketika meski
sakit kenyataannya.
"Assalam u'alaikum ," Toni dorong pintu.
Bapak seketika kecilkan radionya, tak seperti dulu yang
acuh, m ungkin karena rindu lam a tak bertem u. Bapak
duduk, "Ton!"
"B a p a k ..." hampir saja air mata jatuh terpukul rindu
dan gelisah, ia baru sadar bapak sudah tua, keriput mulai
m enyebar di wajahnya, tubuhnya tak lagi kekar, sedikit
bungkuk kala duduk, gigi geraham sebelah kiri tanggal tiga,
rambutnya bertumpuk uban, ia duduk bersilah perlihatkan
kembang kempis lirih nafas, Bapak pasti kesepian.
Toni cium tan gan B ap akn ya, Toni duduk m eski
berlantai tanah, ada nyamuk berdengung di telinga kanan
Bapak, Toni m enep uk, " P la k " satu -satu n y a suara
membuncah di rumah.
"Kam u sehat?" dulu Bapak tak pernah bertanya.
Toni mengangguk.
"Bapak sudah makan?" Toni entah mengapa tak benci
Bapaknya yang dulu setiap waktu menampamya.
Bapak menggeleng.
Toni in gin beran jak ke dapur, tap i tan gan Bapak
menarik, "M au ke mana?"
"D apur pak," Toni bangkit.
"Sini saja, di dapur tidak ada apa-apa," Bapak menepuk
tikar, meminta Toni duduk.
Toni lihat jam tangan, jam dua belas malam tepat, tak
ada warung yang buka, apalagi di desa.
y /0 |299uz 7hrya 'Wanifa
"K en ap a tid ak ada angin, tid ak ada b ad ai kam u
pulang?" Bapak heran, biasanya Toni dari Jakarta memberi
kabar.
Toni tak bisa menjawab.
"H utang?" masalah laki-laki tak jauh dari uang.
Toni menggeleng.
"Pasti perempuan," Bapak menebak.
Toni diam.
"Kenapa lagi istrimu?" Bapak ingin tahu.
"Dia pergi," Toni sulit menceritakan.
Bapak tersenyum , senyum rapuh, "K am u sekarang
tahu berapa harga w anita untuk seoran g p ria ?" Bapak
menepuk punggung Toni.
Toni bisu , pandangi Bapaknya, "Apa Bapak terus
seperti ini karena ibu pergi?"
Bapak m engangguk, "S a a t w an ita datang dalam
kehidupan kita, ia berikan ketenangan. Saat ia hadir dengan
senyuman kita berlindung demi kesejukan, saat ia datang
dengan cerita ia bisikkan nyanyian tidur untuk kita, saat ia
belai kita dengan kasihnya ia hembuskan nafas sayang yang
tak akan pernah bisa dilupakan."
Toni dengarkan di tengah derik jangkrik.
"Kam u besar karena perempuan, karena Naela hadir
dalam hidupmu, saat ia pergi kau terlihat tak punya banyak
sem angat la g i," Bapak belai anaknya, b elaian pertam a
sepanjang hidupnya, "Lihat dirimu sekarang!"
"K a u p a sti selalu in g at N aela, kau p asti teru s
mengenang bagaimana saat kau berjalan ia rajut tanganmu
agar tak berjauhan, bagaimana saat kau bersepeda ia jatuhkan
tangan di pundakm u seraya tunjukkan ialan yang benar
padamu, bagaim ana saat naik m otor ia memelukm u erat
karena takut kehilanganmu, kau pasti ingat semua," Bapak
inengusap m atanya, "S a a t semua orang m elupakanm u,
~Ma 'mun A ffa ry | y j 1

dialah satu-satunya yang tetap memujimu."


"Sem ua salah Toni Pak," Toni menyesal.
"Ton... mungkin sekarang kau terpisah, tapi yakinlah
Naela pasti merindukanmu meski di mulut ia katakan bend
padam u," Bapak kosongkan pandangan di bawah remang,
"Kamu sangat beruntung Ton. Wanita solicha masuk dalam
hidupm u. M ungkin kau tidak sadar tapi Bapak m elihat
ad alah N aela yang m enu ntu n jalan m u , yang
meyakinkanmu. Kamu harus syukuri itu."
Toni merasa semakin sedih mengingat Naela tak ada
lagi di sisinya.
Tangan Bapak seakan m enggosok ram bu t Toni,
"T id u rlah di kamarmu, tenangkan dirim u sejenak," Toni
seakan diusir.
Malam terasa begitu panjang, Toni buka tirai kamar,
dipan kayu masih tetap teronggok di kamar, masih kosong
tanpa kasur, tanpa bantal. Toni rebahkan tubuh di atasnya,
tas Toni jadikan sandaran kepalanya.
Jendela dibuka, m elihat cakraw ala, biarkan dingin
menusuknya, ia ingin lihat wajah Naela di bundar cahaya
bulan, ia ingin melihat Naela walau Naela tak melihatnya.
Toni berusaha pejamkan mata, ia coba untuk tenang meski
perasaan tak bisa diam.
Letih menina bobokkan, Toni m eringkuk dingin di
atas dipan, ia biarkan jen d ela tetap m enganga terbuka,
nyam uk m asuk tak terasa, w aktu b erjalan tak lagi ada
ukurannya, tak lama adzan subuh berkumandang, seember
air menyiram, "Byu r... B y u r..."
Tubuh Toni basah kuyup, hampir menggigil, namun
saat m em buka mata yang tam pak bukan bapak, tapi di
hadapannya seorang Naela tlah berdiri menjinjing ember,
kerudungnya putih, jaketnya m enutup pinggul, matanya
tampak silau tepiskan air, Toni seolah mimpi, "N a e..."
3 7 -2 | z g Ouz T-tarya 'W anita

"K en a p a kakak tidak ju ju r? K enapa Kakak tidak


katakan yang sebenarnya?" Naela lempar ember.
Toni tak mampu bicara, dengarkan air menetes dari
bajunya.
"K ak /' Naela duduk samping kiri Toni, "Jawab Kak!"
Toni tertunduk, "Karena Kakak selalu sayang A d e'..."
Naela peluk Toni, "Maafkan Ade' kak."
"Kakak tidak ingin Ade' terpaksa, Kakak ingin Ade'
ikhlas menerima Kakak apa adanya..."
Jem ari N aela mengusap ram but Toni, "Ade' sayang
Kakak."
"Jangan pergi lagi D e '..." Toni meminta.
"Maafkan Ade' Kak."
Eko dan Rika tersenyum bahagia memandang, mereka
berpelukan dalam kuyup basah.
Toni, Eko, Rika, N aela, dan Bapak sh o lat subuh
bersama di kamar, Naela selesaikan juz terakhir Quran, Toni
tidur di pangkuan Naela m endengarkannya. Setiap ayat
terbasuh indah, kalau Toni hafal Toni ikut membaca, tangan
Naela merajut jemari Toni, Toni tak henti mensyukuri bisa
kembali bersama istri. Usai berdo'a Naela kecup kening Toni
m esra, jem ari Toni m enghapus air m ata seoran g N aela
Khasna.
"Ma'munAffany | 373

tfcapan Terima ftasift

Ucapan syukur kehadirat Allah, Sholawat kepada Nabi


Muhammad SAW. Tak lupa terim akasih m endalam untuk
Abah, Umi, Mafrukhil Amani, Mafrida Nursani, dan Ma'ruf
M uzani.
Kedua saya sangat berterim akasih kepada pak Prof.
Amin Aziz yang telah banyak memberikan bimbingannya,
tak lupa pak Chand Parwez Servia selaku presiden Starvision
Plus, juga mas Senda Iraw an. Lik Solicha ju ga tak bisa
d ilu p ak an karena selalu berik an n aseh atnya, U st Fuad
Baradja, Ust Hamid Fahmy, dan Ust Muslih.
Tak lupa Akbar Syarif yang sudah memberikan peran
besar terhadap buku-buku saya sebelumnya. Jayandi yang
sudah m enem ani saya ke m ana kaki berpijak. U stadzah
Atina H asanah yang sudah m enjadikan saya m elahirkan
beberapa karya. U stadzah Laely Ram adhini yang sudah
ikhlas memberikan banyak hal dalam lahirnya novel ini, juga
pada Toni Saputra sebagai teman satu kamar semasa hidup
di pesantren.
Selanjutnya saya haturkan terimakasih banyak kepada
segenap pembaca yang sudah mengikhlaskan do'a, berperan
dengan kritik dan saran di fb ifandsalam@yahoo.co.id, dan
di twitter @affanyl986, juga yang berbagi hati serta ikhlas
belajar bersama di group Pembaca Novel Ma'mun Affany.

Penulis

Ma'mun Affany
3 7 4 | 29 Ouz 'Marja 'Wanita

Novel-novel lain karya Ma'mun Affany

1. Adzan Subuh M enghem pas Cinta. 12 x 18 cm. 309


halam an.
"Belum pernah rasanya dalam 20 tahun terakhir ini
saya membaca sebuah buku cerita yang membuat saya
tidak bisa meninggalkannya sejenak, bahkan membuat
saya m enangis,"
Fuad Baradja, Aktor

2. Kehormatan Di Balik Kerudung Kerudung (Diangkat


ke layar lebar oleh Starvision). 13,5 x 20,5 cm. 359
halam an.
"Dengan kecerdikannya memilih kata-kata, novel ini
berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suka,
dalam duka, dalam cinta. Tak hanya gejolak emosi
rem aja, tetapi juga kedew asaan dan kem atangan.
Layak dibaca oleh m ereka yang m endam ba hidup
penuh cinta dan perjuangan."
Mohammad Muslih, Dosen, Pemerhati Filsafat &
Sastra

3. Satu W asiat Istri Untuk Lelaki 13,5 x 20,5 cm. 270


halam an.
"Suatu cerita yang baik dan pencerahan bagi kaum
lelaki pada khususnya. Suatu cerita m engartikan
bahwa Allah SWT selalu dan pasti memberikan yang
terbaik untuk hidup dan mati kita, termasuk pasangan
hidup yang berwujud pada wanita sholecha"
Ikang Fawzi
TAa'imm A ffan y \ y j j

4. Doa Anak Jalanan. 13 x 17 cm. 160 halaman.


Saya berkesem patan untuk m em beli dan m em baca
karya saudara bertajuk do'a anak jalanan ketika saya
berada di jakarta baru-baru ini. Saya ingin mengucap-
kan jutaan syabas dan tahniah kepada saudara kerana
b isa m e n g h a silk a n seb u ah k ary a y an g tam p ak
sederhana tetapi punya kekuatan yang luar biasa di
balik karakter-karakter Cindy, Adib dan Dina. Ternyata
endingnya hampir membuat saya menangis.
Zharif, penulis, Malaysia

5. Cemburu di Hati Penjara Suci. 13,5 x 20,5 cm. 380 hal.


Cerita bermula dari seorang Sayyidatina yang seolah
dijodohkan dengan Azm i oleh salah satu keluarganya.
Seolah cerita selanjutn ya berjalan m udah, nam un
justru kemudian menjadi sulit karena ternyata Azmi
menyembunyikan perasaan cinta pada Sayyi. Hingga
satu waktu yang tidak bisa ditentukan, malang justru
datang. Sayyi tak sabar menanti, lelaki lain datang, ia
pun menerima dan justru ketika itu pula Sayyi tahu
bahwa Azmi mencintainya.

Semakin pelik cerita berjalan mengingat Azmi dikenal-


kan pada seorang Rhafie yang tidak lain adalah teman, mu-
rid dari Sayyidatina. Persahabatan baik masih terjalin, cinta
terus berjalan, tapi hati perlahan terkoyak karena Sayyi tetap-
lah seorang wanita yang tak bisa melepaskan cintanya dari
seorang Azmi, dan Rhafie juga seorang wanita lemah yang
miliki cinta pertama nan indah pada seorang Azmi.
Siap-siap dengan novel yang satu ini. Penuh lika-liku
dan k isah n ya penuh m isteri yang m em bu at pem baca
berusaha ingin tahu lebih jauh lagi, dan lagi.
376 | 2 $ Ju z 1-larga 'W aniia

Cara Vemesanan
Novef-Novef TAa'mun A ffany

SMS ke no 0857-4777-7728 dengan menulis judul novel dan


jum lah
contoh: pesan adzan subuh menghempas cinta 3

selanjutnya pemesan akan menerima balasan, "Dengan siapa


dan dimana?" Kami menanyakan ini untuk menghitung detil
biaya pengiriman

Pemesan: Ini Aisyah di Jakarta

Selanjutnya kami akan menjawab detil biaya:


A dzan Subuh @45.000 x 3 = 135.000
Disc 20% = Rp. 108.500
ongkir Jakarta 15.000
Adm. 1.500
Total: 124.500
Ditransfer ke rek (kami berikan lewat sms)

jika sudah mentransfer kami akan meminta alamat lengkap


untuk pengiriman novel, penerbit Affany menggunakan jasa
pengirima JNE, paling cepat 4 hari, paling lambat 5 hari novel
akan diantar ke rumah pemesan.
Mudah pastinya.

Dapatkan disc menarik dari kami


ongkir ditanggung pemesan

Kepuasan anda adalah harapan kami

Anda mungkin juga menyukai