Anda di halaman 1dari 178

KataPengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, saya bersyukur dan bangga, khususnya
syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
berkat tak terhingga, hingga dapat menyelesaikan novel 'Kamu dan
Aku Menjadi Kita' ini dengan tepat waktu. Shalawat beriring salam
saya sampaikan ke pada nabi Muhammad SAW. Karena beliaulah
kita semua mendapatkan petunjuk jalan yang benar dan lurus.
Saya sadari novel ini masih terdapat banyak kekurangan.
Maka dengan ini, saya sampaikan permohonan maaf yang
sedalam-dalamnya jika karya ini tidak memuaskan pembaca.
Untuk itu pula, saya mohon pada pembaca untuk dapat
memberikan kritik dan sarannya agar saya bisa memberikan karya
yang lebih baik di masa mendatang.
Akhir kata saya sampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya pada orang tua, keluarga dan para sahabat yang
telah memberikan dukungan. Ucapan terimakasih pula pada
penerbit yang membuat novel ini menjadi terealisasi dan layak
baca.

Salam,
Ngawi,15 Agustus 2020

Penulis

1
2
3
Daftar Isi :

Contents
KataPengantar.................................................................................1
Daftar Isi :..........................................................................................2
Satu....................................................................................................3
Ijab Qobul.........................................................................................3
Dua...................................................................................................12
Bertemu Calon Keluarga..................................................................12
Tiga..................................................................................................21
Malam Pertama Yang Tertunda.......................................................21
Empat...............................................................................................28
Pamali...............................................................................................28
Lima.................................................................................................36
Rumah Baru.....................................................................................36
Enam................................................................................................40
Anting-anting...................................................................................40
Tujuh................................................................................................46
Kehilangan.......................................................................................46
Delapan............................................................................................54
Kehilangan yang kedua kalinya.......................................................54
Delapan...........................................................................................61
Positif..............................................................................................61
Sembilan...........................................................................................67
Tujuh bulanan..................................................................................67

4
Satu
Ijab Qobul

"Saya terima nikah dan kawinnya Kania Putri Maheswari


binti Sholihin, dengan mas kawin seperangkat alat salat, Al Qur'an
dan uang senilai dua ratus ribu rupiah dibayar tunai," ucap Reza
tegas dengan satu tarikan napas.
Saat Mas Reza belum mengucapkan ijab, badanku terasa
panas dingin, keringat bercucuran, deg-degan, pokoknya campur-
campur. Namun, setelah kata sah terucap dari bibir penghulu dan
para saksi, ada kelegaan tersendiri di lubuk hati.
Aku tidak menyangka kalau statusku sudah berubah dari
lajang menjadi seorang istri. Orang yang aku kenal lewat telepon
salah sambung beberapa bulan lalu kini telah menjadi imam dan
juga suamiku. Bagi kebanyakan orang ini mustahil, tapi itulah yang
terjadi.

******************
Enam bulan yang lalu ...
Suasana Royal Plaza di Surabaya ramai seperti biasa. Satu
persatu pengunjung datang dan pergi silih berganti di gerai di mana
aku bekerja. Satu persatu alat kesehatan yang terpajang ataupun
yang tersimpan di gudang berkurang. Di saat seperti ini kesadaran
akan kesehatan memang penting. Beruntung akunya. Selain merasa
senang karena bonus menanti, juga ada kesibukan.

5
Saat berada di jam sibuk, tiba-tiba ada telepon masuk.
Nomor asing. Penasaran, kuangkat telepon itu. Tiba-tiba tanpa
memberi kesempatan untuk menjawab halo, terdengar suara laki-
laki, "Halo ... Assalamualaikum, Rif kamu di mana? lama banget
nyampeknya? Tinggal nunggu kamu saja ini, ayo cepetan," ucap
lelaki di seberang.
Butuh waktu lama untuk mencerna kalimat itu, perasaan
tadi tidak janjian dengan seseorang. Apakah ini salah sambung?
Hm ... atau nomor pelanggan. Tapi mana mungkin, aku tak pernah
memberi nomor secara percuma. Ataukah modus tertentu akan
adanya sebuah penipuan?
"Waalaikumsalam, maaf Mas---," ucapku perlahan.
“Lo, kok suara perempuan!” ada keterkejutan di sana.
“Saya memang perempuan. Justru saya yang seharusnya
tanya.”
"Reza ... aku Reza. Ini bukannya Arif?" potong lelaki yang
memperkenalkan diri bernama Reza.
“Bukan! Sepertinya salah.”
“Kok bisa? Lalu ini siapa?”
Melihat kondusi sudah mulai sepi, Kania izin ke toilet.
Namun, suara di seberang tak sabar untuk menunggu jawaban.
Sekiranya sudah lebih longgar, Kania mulai menempelkan kembali
ponsel ke telinga.
"Eh! Iya Mas," jawab Kania kelabakan.
"Iya, siapa?" ucapnya lagi menandaskan keingintahuannya.

6
"Kania, Mas. Mas dapat nomor ini darimana?" ucapku
penuh rasa ingin tahu.
"Kayaknya bener. Sebentar,” Suara di seberang tergantikan
gesekan yang tak jelas. “eh ... salah satu nomor ini tadi, maaf ya?
cepat-cepat, tadinya mau nelpon temen eh malah keliru nomor
kamu.”
“Ya sudah, kalau begitu saya tutup du---.”
“Jangan! Kalau tak keberatan kita saling kenalan
bagaimana?" pinta Mas Reza sambil tertawa.
"Haaa!" ucapku terkejut.
Kuhempaskan napas lebih keras daripada biasanya. Ada
keraguan, tapi mendengar suaranya terbersit rasa penasaran yang
tak mampu ditolak.
"Kok, haaa sih? Ini beneran, boleh aku save nomor kamu?
Biar bisa kenal lebih dekat gitu," terang Mas Reza.
"Eh!"
"Tadi, haa sekarang eh nanti apalagi?" ucap Mas Reza
terdengar menggoda dan membuatku tersenyum geli.
"Boleh. Silahkan, aku tutup dulu ya? ini aku lagi kerja.
Assalamualaikum ... ,"
"Bentar jangan tutup dulu, kamu posisi di mana? Ntar kalau
aku lagi free, boleh aku main ke tempatmu?"
"Aku di Surabaya, ya udah ya? Nanti sambung lagi, gak
enak kelamaan telepon soalnya ini mau salat juga,"
"Oke, nanti malam aku telepon lagi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabku mengulum senyum, lalu

7
beranjak dari toilet menuju tempat wudu untuk melaksanakan
salat duhur.
Itulah awal perkenalanku dengan Mas Reza. Ia orang
Ngawi, kota terakhir dari Jawa Timur yang berbatasan dengan
Jawa Tengah. Ia bekerja di bidang percetakan serta penyablonan.
Dalam sebuah ruko dekat jalan poros Ngawi-Sragen, bersama
kedua temannya. Kalau dari Surabaya, butuh waktu tiga sampai
empat jam. Lumayan jauh, tapi masih dalam satu wilayah, Jawa Timur.
Sejak saat itu, setiap aku lagi istirahat dia selalu menelopon.
Menjadi pengingatku saat salat ataupun makan. Walaupun hanya
lewat telepon tapi perhatiannya melelehkan hati melebihi pasangan
yang selalu bertatap muka.
Tak terasa sebulan aku dan Mas Reza bertegur sapa lewat
telepon tanpa saling tatap. Walau kadang ia minta untuk video call,
aku selalu menolak. Entah kenapa. Ada keraguan yang kurasa. Aku
tak ingin dia menerima atau menolak hanya karena wajah dan
penampilanku. Biarlah hubungan kami berjalan pelan, bukankah
selama ini kami nyaman satu sama lain?
Jumat sore, Mas Reza mengajak kopi darat alias ketemuan.
Kebetulan sabtu aku libur kerja, jadi aku terima tawarannya untuk
bertemu di Surabaya. Mengenakan gaun berwarna cokelat muda
dengan hiasan bunga di sepanjang lipatan rok, lengkap dengan
sepatu santai warna hitam, kutata debar jantung yang tak keruan
ini.
Tepat jam sepuluh, di mana kami janji ketemu di gerai
ayam geprek yang tak jauh dari gerai di mana aku biasa bekerja,

8
aku melihatnya. Lebih tepatnya, menemukan lelaki yang
sebelumnya dicirikan olehnya. Berkemeja biru kotak, dengan kaos
putih di dalamnya. Dengan mengenakan jaket biru aku berjalan ke
tempat di mana ia duduk.
Begitu sudah dekat, aku pun menyapanya, "Mas Reza,"
ucapku menerka.
“Kania?” mata itu berbinar, lebih bulat daripada yang aku
bayangkan.
"Alhamdulillah, gak salah orang berarti aku," ucapnya
sambil tersenyum ke arahku.
"Maksudnya?" tanyaku heran.
"Tadi aku dah lihat kamu dari jauh, nebak saja, kalau itu
beneran Nia, perempuan penyemangatku, dan ternyata bener kan?”
ucapnya dengan senyum manisnya. “Eh, kita tanpa janjian juga
serasi lo bajunya.”
Aku yang tak menyadari segera melihat ke jaket dan baju
yang ia kenakan. Sama, berlatar biru. Hanya milikku lebih cerah.
"Gombal, jadi mau ke mana?" tanyaku sambil berdiri di
sampingnya.
"Kan kamu yang kerja di sini, kok tanya aku?" jawabnya
sambil memandangku tanpa berkedip, dan sukses membuatku salah
tingkah sendiri. “Eh, minum dulu. Aku tadi terlanjur pesan.”
Kami berhadapan, bercerita lebih banyak. Kadang untuk
memastikan apa yang pernah kami ceritakan tak hanya sekadar
omong kosong. Tak jarang juga hanya saling melempar canda agar
lebih akrab.

9
Saat bercerita dengan Mas Reza semuanya menjadi lebih
ringan dan berwarna. Apalagi usia kami tak jauh beda, Mas Reza
lahir 18 Juni 1983, sedangkan aku 19 Desember 1984. Semua saling
nyambung. Namun, saat merasa haus kualihkan pandangan ke arah
jus jambu di meja. Ah, sensasi dingin terasa menyejukkan
tenggorokan. Namun, belum selesai kutandaskan isinya, ada
perasaan tak enak karena terus diperhatikan. Benar saja, saat
menoleh kulihat pantulan wajahku di mata Mas Reza.
"Kenapa lihatin aku kayak gitu?" tanyaku jengah.
"Kamu, cantik," ujarnya dengan senyum manis.
"Gombal lagi deh. Tapi jujur ya Mas, walaupun aku kerja di
Surabaya tapi aku gak pernah ke mana-mana, ngertinya tempat kerja
kontrakan saja, hehehe," jawabku tersenyum simpul.
Mas Reza memandangku heran, "Gak pernah ke mana-
mana? Berarti baru sama aku saja?" tanya Mas Reza dan
membuatku menganggukkan kepala, lalu terlintas ide lucu.
"Kita belanja saja kalau gitu, gimana? Tapi nanti Mas Reza
ya yang bayar?" ucapku tersenyum malu.
Walau terdengar aneh, aku tak mau melewatkan kesempatan
untuk lebih mengenalnya. Menurutku ini bukan hanya ujian, aku tak
mau memaksakan diri menjadi orang lain tatkala bersamanya.
Selain itu, aku tak kepikiran cara lain untuk bisa dekat dengannya.
"Emang mau beli apa?" kedua alis tebal itu menyatu.
Semakin menegaskan guratan khas lelaki di wajahnya. Terlihat
teduh dan menggairahkan. Ah, apa sih ini. Melihatnya serasa
melihat kembaran Ariel, salah satu penyanyi favoritku.

1
0
"Ada deh, gak akan ngabisin uang Mas Reza kok, beneran,
kita beli di pasar saja," kataku merajuk.
Melihat kegigihan atau karena ia memang bosan
mendengar rengekkanku, akhirnya ia menyerah.
"Terserah kamu deh," ucap Mas Reza lalu menggandeng
tanganku dan membuatku terkejut bukan main.
Berani juga dirinya. Padahal baru ketemu tapi sudah berani
menyentuh. Sudah kepalang basah, aku tak bisa mundur.
Di pasar aku sengaja beli dalaman, hehehe pengin lihat
reaksinya gimana. Ternyata dianya baik-baik saja, setiap aku ambil
apa, dia bayar. Rasanya aku seperti punya ATM berjalan, terakhir
aku ambil bedak, pembersih muka serta sabun muka.
Tak terasa sudah seharian kami belanja, jalan lalu makan
bareng. Tibalah kita berpisah karena temannya sudah menelepon,
ada tawaran kerja sama membuat seragam olahraga.
******************
Setelah pertemuan pertama kami, Mas Reza makin rajin
telepon. Seperti saat ini, "Dua hari aku free, boleh aku main ke
tempatmu?" tanya Mas Reza saat di telepon.
"Maaf, Mas, besok malam aku mau pulang dulu, biasa setor
separo gaji ke emak hehehe," jawabku sambil cengengesan. Walau
ia tak melihat, ada keengganan juga.

1
1
"Aku ikut kalau gitu, pengin kenal orang tuamu, sama adek
kamu juga,"
Ingatanku tertuju pada Ave. Entah kenapa ada perasaan
jengkel saat mengingat adikku yang satu ini. Bagaimana tidak?
Walau banyak makan ia tetap memiliki tubuh proposional yang
menurutku lebih menarik.
“Kania?” panggilan Mas Reza menyeret kesadaranku yang
sempat melancong ke sana-ke mari.
“Ini ke Tuban lo? Jauh Mas.”
“Aku sudah biasa, jangan banyak alasan.”
"Eh jangan dulu, Mas, aku belum siap," tolakku halus,
memintanya untuk bersabar dulu tapi malah dianya ngotot pengin
ikut. "Mati aku," lirihku sambil menepuk keningku tapi terdengar
jelas di seberang telepon.
"Kamu ngomong apa barusan?"
"Eh! ngomong apa Mas emangnya?" ucapku agak kaget.
"Mati aku. Memang kenapa kalau aku pengin ketemu orang
tuamu? Aku serius. Makanya berani menemui orang tuamu, nanti
aku kenalin kamu juga ke orang tua aku," cerca Mas Reza dan
membuatku diam, bingung harus ngomong apa.
"Mbok jawab iya gitu, jangan diam saja," desak Mas Reza.
"Bukan gitu, besok aku libur dua hari juga karena keluarga
lagi ada hajatan mangkane---."
"Mangkane aku ikut, biar kenal yang lain juga," potong Mas
Reza dan bikin aku geregetan sendiri.
"Ih, kamu kok maksa sih Mas," kataku sewot, geregetan

1
2
sampai menjambak rambutku sendiri.
"Hahaha, itu tandanya aku serius. Yah, walaupun baru
sebulan kenal, tapi gak masalah bagiku, soalnya aku dah nyaman.
Tahu gak, kamu tuh penyemangat kerjaku di waktu pagi,"
"Ih! Lebay." Walau ada rasa senang, aku tak mau
menunjukkannya. "Lalu?"
"Apanya yang lalu,"
"Boleh, gak aku ketemu emak-bapak, serta keluargamu
yang lain?"
"Terpaksa," jawabku putus asa. Selain karena didera rasa
kaget juga aneh saja. Apakah ini tak terlalu cepat?
"Kok terpaksa?"
"La iya, terpaksa di iyain, wong aku gak mau, Mas Reza
tetap maksa e." Bibirku meruncing, tapi kurasa ia menyadari semua
itu. Buktinya Mas Reza tertawa lepas. Seakan ia makhluk paling
bahagia dan akulah penyebabnya.
"Jadi ... kamu gak ikhlas ngajak aku?" tanya Mas Reza
sembari di selingi tawa.
"Ikhlas gak ikhlas, habis Mas Reza maksa e," ucapku
manja.

1
3
Dua

Bertemu Calon Keluarga

Pagi itu kami sepakat bertemu di terminal Bungurasih. Hati


dan pikiranku mengembara ke mana-mana, membayangkan
perjalanan indah hanya untuk kami berdua. Khususnya hari ini.
Semoga ini yang terbaik, itu harapanku.
Terminal sibuk seperti biasa, banyak penumpang turun-naik dari
bus. Entah di pintu masuk ataukah di tempat penurunan dalam terminal.
Memerhatikan lalu lalang orang di ruang tunggu membuat kepalaku
berkedut beberapa kali. Walau demikian, rasa penasaran dan rindu
bertemu Mas Reza membuatku bertahan.
Saat asyik melamun, tiba-tiba ada yang menutup kedua
mataku. Dari aromanya sudah bisa ketebak kalau ini tangan Mas
Reza. Fruity yang menggelitik hidung, menawarkan kesegaran
pagi yang ringan dan sejuk di tengah matahari yang mulai
meninggi.
"Assalamualaikum, Mas," sapaku tersenyum. Tanpa
kusadari, kedua tangan ini ikut memegang tangannya yang
menutupi mataku. Mas Reza melepas tangannya, duduk di depanku
sambil berkata, "Waalaikumussalam, sudah lama?" Tanpa
menunggu, ia duduk, mengambil minuman yang sedang aku bawa,
dan langsung meminumnya.
"Lumayan, kita langsung berangkat atau istirahat dulu. Mas
Reza sudah sarapan belum? Kita beli sarapan dulu ya?" kataku

14
panjang lebar dan dibalas dengan senyum manis.
"Kamu lucu," ucap Mas Reza sambil menoel hidungku.
Membuat keningku berkerut. Seakan membersihkan kotoran yang
menempel di hidung, kutepuk bagian yang tadi sentuhnya. Melihat
kelakuanku, ia hanya tersenyum geli.
"Ayo, katanya mau cari makan," ajaknya lalu berdiri sambil
menggandeng tanganku.
Selesai sarapan kami pun berlanjut untuk menunggu bus
jurusan Semarang. Ketika bus sampai, kami langsung menuju
tempat kursi yang kebetulan masih ada dua kursi berjejer. Bisa
dibilang sepanjang perjalanan dari Surabaya-Tuban tangan kami
masih saling bergenggaman.
Jarak dua jam perjalanan pun terasa cepat kalau orang lagi
kasmaran. Seperti yang aku alami. Duduk berdampingan membuat
suasana hati ini semakin semarak. Tak peduli ada yang muntah,
kentut, ataukah bau badan di selingi pengapnya udara, hari ini
menjadi spesial.
Bus yang kita tumpangi sudah berhenti di pasar, tempat aku
dan Mas Reza turun. Lalu kami mencari becak untuk diantarkan
sampai depan rumah. Layaknya seorang selebriti yang baru masuk
kampung, kedatangan kami menarik perhatian tetangga dan sanak
saudara. Bagaimana tidak? Selama ini aku bukan orang yang
dengan mudah mengajak lelaki datang ke rumah. Seingatku ya ...
hanya Mas Reza ini.
Beruntung Mas Reza bukan orang yang terlalu peduli akan
hal itu. Ia masih bersikap biasa, bahkan senyum itu tak pernah

15
lepas dari bibirnya. Kalau bisa dibilang, justru akulah yang merasa
malu. Bukan pada hubungan kami, tapi arti tatapan itu yang lebih
kepada rasa ingin tahu akan urusan orang lain.
Becak berhenti di gang depan rumah. Mas Reza
memberikan uang lima puluh ribu, tukang becak terlihat
kebingungan untuk mencari kembalian. Sopan, calon suamiku ini
justru menyerahkan kembalian. Dibalas tunai dengan doa dan
ucapan terimakasih.
Seakan sudah siap menyambut tamu yang sebelumnya
sudah kuberitahukan, di depan pintu sudah berdiri emak dan Ave,
adikku. Mereka terlihat antusias, dan penasaran akan sosok lelaki
yang kubawa.
"Assalamualaikum, Emak saya Reza," ucap Mas Reza
tersenyum lalu mencium tangan Emak dengan takzim.
"Emaknya Nia, capek Cung?" (sebutan nama untuk laki-laki
di daerahku).
"Alhamdulillah Mak, lumayan capek. Ini Ave ya?"
pandangan Mas Reza teralihkan kepada gadis yang berwajah mirip
denganku. Berkulit sawo matang, tapi lebih tinggi dan ramping. Ia
juga menyalami Mas Reza.
"Iya, Mas," ujar Ave tersenyum malu dan membuatku
tertawa geli melihat tingkahnya.
"Emak," sapaku sambil mencium tangan Emak.

16
"Sudah sana, ajak Reza istirahat dulu, capek pasti. Kan naik
bus dua kali, ya kan Cung?" kata Emakku memandang ke arah Mas
Reza.
"Aku juga capek lo Mak," ujarku manja sambil bergelanyut
dipelukan Emak.
"Ih! Manja," tegur Ave dengan memutar bola matanya
jengah.
"Yee, biarin! Wlekkkk," kataku sembari menjulurkan lidah.
Tatapan Ave terlihat aneh, ia tak segera memeluk atau membalas
ucapanku. Tanpa mengetahui makna tatapan itu, aku masih
mengejeknya. Namun, setelah ia memberi isyarat dengan lengan
dan menunjuk di mana Mas Reza berada. Aku baru tersadar. Lupa
kalau ada Mas Reza, kepalang basah terusin sajalah.
Setelah ngobrol sama Emak, aku pun mengajak Mas Reza
ke kamarku untuk menyuruhnya istirahat. Tapi bukannya istirahat
malah ngajak ngobrol, "Kapan ke rumah Mbah desa? Sudah gak
sabar aku pengen kenalan sama keluarga kamu yang lainnya," ujar
Mas Reza sambil merebahkan badannya di kasur.
Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. Kehidupan di
desa tak membuat kami anti akan adanya pendatang. Setelah izin RT
dan tuan rumah mau bertanggungjawab, sang tamu bisa dengan
bebas melakukan apa pun. Asalkan tetap menjaga norma yang ada.
"Emm, besok pagi kita berangkat, sudah kamu istirahat
dulu. Aku mau beli rujak," ucapku sebelum berlalu. Namun, belum
genap dua langkah, tanganku ditarik Mas Reza. kehilangan
keseimbangan, aku pun refleks terjatuh di atas badannya.

17
Untuk sesaat kami terdiam dengan posisi seperti ini, mata
saling memandang, dada seakan saling menyapa. Aku bahkan bisa
mendengar degup jantungnya dengan jelas. Aku berusaha berdiri,
tapi Mas Reza menahannya. Aku tak kuat lagi. Mata tak mampu
memandangnya lagi, tapi wajahku ditahannya. Kini, rona merah di
pipi tak mampu terelakkan. Senyum di wajah Mas Reza seakan
menunjukkan sebuah kepuasan.
Tanganku bertumpu di dadanya. Mas Reza menyelipkan
rambutku ke belakang telinga, lalu kita sama-sama saling
mendekat. Debaran di dada pun semakin kencang, tiba-tiba Mas
Reza mencium keningku. Ada suasana syahdu menyelimuti kamar.
Kicauan burung di luar menambah suasana romantis. Tanpa
kusadari, ciuman lembut pun kini mendarat di kedua pipi.
Namun, saat mata kami saling terkait, dan bibir
berdekatan ... suara Ave dari luar pintu bagaikan sebuah godam
raksasa. Pengingat di mana posisi kami berada, terlebih pintu
kamar masih terbuka. Tanpa membuang waktu, kuhentakkan
tubuh, memaksa ikatan yang baru terbentuk untuk lepas.

18
"Mbak Ni makan dulu, Mak'e dah masak kesukaan mbak
Nia, becek ayam--masakan khas Tuban." Suara Ave menggelegar.
Menjadi magnet bagi kaki untuk mendekat ke arahnya.
"Ve beli rujak, yuk!" Ajakku yang disambut dengan
anggukan. Rujak buah mat Solar memang terkenal di daerah sini.
Selain isiannya lengkap, bumbunya juga banyak. Apalagi cabe
dapat dipesan sepuasnya.
"Yuk, Mas Andi juga pulang lo Mbak sama Mbak Pita.
Katanya mau ketemu calon kakak ipar," kata Ave sambil berbisik
ke telingaku, membuatku tersenyum geli.
Andi, adik keduaku sudah menikah. Bukan karena hamil
duluan, melainkan karena wasiat dari orang tua Pita yang ingin
melihat anak bungsunya menikah. Memang mereka sudah lama
pacaran, sejak SMP kalau tak salah. Namun, sewaktu ayah Pita
sakit, kedua keluarga yang memang sudah dekat akhirnya
memutuskan untuk membawa hubungan mereka ke tingkat yang
serius, pernikahan. Padahal waktu itu, Andi baru saja lulus SMA.

Sebagai pengganti karena dilangkahi. Andi membelikan


baju muslim sebagai syarat. Tak perlu mahal apalagi warna yang
khusus. Semuanya bergantung dari kemampuan sang mempelai.
Saat itu aku memilih baju berwarna ungu lengkap dengan jilbab
dan sepatu hak tinggi. Bahkan, daleman pun kupilih warna senada.
Alhasil semua barang itu, masih kusimpan rapi di lemari. Sayang
kalau mau dipakai.

19
"Kapan mereka sampai?"
"Barusan, tapi mereka lagi keluar cari rujak katanya."
"Wah kok gak bilang-bilang, sih!" gerutuku. “Tahu gitu tadi
nitip sekalian.”
"Tenang, Mbak pasti dibelikan sama Mas Andi," ucap Ave
menaikkan kedua alisnya, berlagak sok tahu.
"Ya sudah aku mandi dulu, pinjam kamarmu ya?" ucapku
lalu berjalan ke kamar Ave sambil mendorong tubuhnya. Ia
mengekor di belakang.
"Mbak pesananku, mana?" ucap Ave setelah kami sampai di
kamarnya. Membuatku mengeryitkan kedua alisku.
"Pesanan apa?" tanyaku ragu.
"Pembersih muka sama bedakku habis, Mbak kan aku pesan
suruh beli'in, lupa ya? Kalau gitu ke Bravo--mall daerah Tuban--
saja Mbak nanti," ucapnya antusias sambil merangkul lenganku.
"Iya, Bapak dah pulang Ve?" ucapku lalu beranjak ke kamar
mandi.
"Belum, paling ntar sore," ucap Ave beranjak ke meja
belajar mengambil buku pelajaran.
"Ve pinjam baju ya? Aku lupa gak bawa tadi," ucapku
setelah keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk.
"Ih nanti molor, Mbak bajuku," ucap Ave cemberut.
"Ya, kamu pilih mana yang longgar dan cukup buat aku,"
ucapku memutar bola mata, malas. Seperti biasa adikku satu ini
paling pelit kalau soal baju yang akan kupinjam.
"Eh, baju Mbak ada di sini lo, kemaren aku pinjam waktu

20
diajak Emak ke pasar," ucapnya cengengesan lalu mengambil
bajuku yang dipinjamnya di lemari.
"Ini Mbak, jadi gak usah pinjem bajuku," ucap Ave
tersenyum kemenangan.
"Hemm, kebiasaan!" ucapku menyambar baju yang
dipegang Ave, membuat ia terbahak.
Setelah berganti pakaian, aku pun beranjak ke kamar. Mas
Reza tertidur. Deru napasnya teratur, dada bidang itu juga naik
turun berirama. Awalnya aku tak niat untuk membangunkan Mas
Reza, tapi ini sudah waktunya makan.
“Mas, makan!” Aku goyang- goyangkan badannya tapi Mas
Reza tetap menutup mata, gak mau bangun. Iseng aku mencium
pipinya, dan membuat Mas Reza langsung terbangun.
"Ih, Mas Reza sengaja ya?" ucapku manja sambil menepuk
lengannya.
"Apanya yang sengaja? Aku baru bangun lo," ucap Mas
Reza pura-pura menguap.
"Tahu ah, mau makan gak?" ajakku sambil duduk di dekat
Mas Reza.
"Suapin ya?" ucap Mas Reza memohon.
"Hemm, ayo," ucapku sambil menarik tangannya untuk
keluar kamar.
Di meja makan ternyata sudah ada Andi dan Pita, mereka
saling pandang dan senyum-senyum, waktu lihat aku dan Mas
Reza berjalan bergandengan.
"Katanya beli rujak, Ndi? Mana?" ucapku ketika sampai di

21
ruang makan.
"Gak jualan orangnya," jawab Andi tersenyum geli, karena
tahu keinginanku makan rujak gak terpenuhi.

22
Tiga

Malam Pertama Yang Tertunda

"Kok senyum-senyum gitu, lagi mikirin apa sih?" ucap Mas


Reza yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Menoel hidung dan
menyadarkanku dari lamunan panjang.
Suasana kamar lengang, semua penghuni rumah sudah
dalam peraduannya masing-masing. Hanya ada jangkrik dan kodok
yang terdengar dari kolam belakang rumah. Jika biasanya aku tak
suka kesunyian, hari ini aku begitu menikmatinya.
Aku pun tersenyum dan menggenggam tangannya. Lalu,
aku bercerita di saat pertama kali kami kenal dulu. Pertemuan
singkat yang membawa kami dalam ikatan pernikahan. Hingga
kejahilannya terdahulu.
Saat ini, detik ini, Mas Reza bukan lagi kekasih apalagi
tunangan. Ia sepenuhnya milikku. Pun sebaliknya. Ikrar di hadapan
penghulu menjadikanku miliknya, utuh jiwa dan raga.
Ya kemarin, adalah hari pernikahan kami. Tepatnya di hari
Jumat tanggal 31 Juli 2009. Semua terasa bagaikan mimpi. Saat
kurasakan kehangatan di tangan, aku tahu ini adalah nyata.
Kebahagiaan yang telah lama kudambakan.
"Ingat gak dulu pas mau ke rumah Mbah?" ucapku, masih
menggenggam tangannya, lalu tersenyum geli.
Ceritaku mengantarkan kenangan kami di masa

23
mengunjungi nenek yang berada jauh dari kota. Rumahnya jauh
dari hiruk pikuk kendaraan. Hanya ada sawah dan hutan yang
mengelilingi. Sedangkan jarak antar rumah masih jarang. Saat itu,
Mas Reza ngotot ingin ke sana sebagai bakti dan juga perwujudan
dari meminta restu pada semua anggota keluarga.
"Hemmm, gara-gara nunggu mobil pengangkut sayur yang
dekat dengan delman," ujar Mas Reza lalu tertawa. "Aku emang
gak suka dengan bau kotoran kuda," jelasnya lagi menerawang
kejadian beberapa bulan lalu.
"Mulai sekarang dibiasakan Mas, kita belum punya
kendaraan sendiri. Otomatis kalau kita ke sana lagi pasti ya naik
mobil pikep yang baknya terbuka," ucapku sambil tersenyum.
Di daerah Mbah Uti, begitulah aku memanggil memang
tidak ada angkutan umum ataupun ojek. Adanya mobil pengangkut
sayur dari desa ke kota. Itu pun tak setiap hari ada, biasanya hanya
ada sore menjelang magrib ataukah sebelum subuh, jam tigaan.
Sebaliknya, bila dari kota palingan pagi selepas sayur selesai dijual
di pasar ataukah sore.
“Tapi bagiku itu adalah pengalaman menyenangkan, naik
pikep sambil berdiri memegang penyangga semacam teralis dari
besi.”
"Benar. Sepertinya Mas juga menikmati itu semua.
Buktinya habis berkenalan sama keluarga besar Emak, langsung
molor di belakang. Padahal waktu itu ramai banget lo, tapi kok ya
bisa-bisanya Mas Reza tidur," godaku sambil menaikkan kedua
alis.

24
"Hahaha, ngantuk banget Dek, makanya bisa tidur,"
jawabnya cengengesan.
Lalu kami terdiam beberapa saat. Mata saling beradu
pandang, dekat semakin dekat jarak di antara kami, tapi tiba-tiba
saja dikejutkan oleh suara deheman dari luar pintu halaman.
Refleks kami pun tersadar lalu tersenyum bersama.
"Ehhem, maaf ganggu acara kalian. Tadi cuma mau nawari
rujak, eh malah lihat adegan 17 tahun ke atas aku," kata Ave
tersenyum malu sambil menutup bibir dengan tangannya.
"Adegan 17 tahun ke atas mana? pegangan tangan gak harus
adegan 17 tahun ke atas kali Ve. Eh tadi kamu ngomong apa?
Rujak? mana? Siapa yang beli?" ucapku antusias kalau sudah
bilang rujak.
"Ini aku bawa ke mari, sudah aku ambilkan piring sama
sendoknya sekalian," ucapnya sambil mengulurkan rujak yang di
taruh di atas piring.
"Kok cuma satu, Ve?" tanyaku saat melihat rujak yang di
bawa Ave.
"Ini buat Mbak Ni sama Mas Reza. Yang lainnya sudah
pada makan di depan. Mbak Ni sih, sukanya mojok berdua terus
sama Mas Reza. Tahu deh penganten baru, dunia serasa milik
berdua. Yang lainnya ngontrak," ucap Ave dengan nada mengejek,
membuat Mas Reza tertawa.
Lalu Ave pun mendekat ke arahku, menempelkan bibirnya
ke telinga sambil berbisik, "Terusin saja Mbak adegan tadi,
kepalang tanggung. Tapi jangan di sini juga kali Mbak, kalau orang

25
lain yang melihat kan malu. Eh, bukannya kemaren Mbak halangan
ya? Sayang dong gak bisa malam pertama," bisik Ave lalu
tersenyum senang. Membuatku tersenyum geli juga sambil
mencubit pinggangnya.
Sedangkan Mas Reza memandangku dengan tatapan penuh
curiga, lalu aku pun tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Sudah sana, ganggu orang pacaran saja," kilahku ke Ave
menghindari tatapan Mas Reza.
"Iya, tahulah yang mau pacaran," kata Ave lalu beranjak
pergi meninggalkan kami berdua. Setelah Ave pergi, aku pun
berniat membuka bungkusan rujak. Tapi sudah keduluan Mas
Reza, rujaknya juga tinggal separo.
Dalam balutan bumbu kacang, terlihat potongan mentimun,
mangga, belimbing, jambu air, pepaya, bengkoang hingga
kedondong. Eh, salah bukan kedondong. Itu tadi bengkoang.
Biasanya kalau lagi musim, kedondong juga tersedia.
"Ih Mas Reza! Kenapa makan duluan?" ujarku merajuk
sembari memonyongkan mulut dan membuat Mas Reza tertawa.
"Habisnya kamu lagi asyik juga tadi sama Ave, ya udah aku
makan dulu lah. Terlanjur lapar," ucap Mas Reza yang masih
memegang sendok.
"Stop," ucapku memegang tangan Mas Reza. Sedangkan
Mas Reza sudah membuka mulutnya siap untuk makan rujak yang
ke sekian kalinya. Sendok yang kepegang Mas Reza sudah beralih
masuk ke mulutku.
"Ngomong kalau pengen disuapin, Dek," ucap Mas Reza

26
sambil menyuapiku rujak, dengan senang hati aku pun menerima
suapan darinya.
"Rujak di sini beda kan sama rujak di Ngawi? Enak rujak
sini, lengkap buahnya, mau rujak gula, petis, atau kacang ada
semua," ujarku menikmati suapan Mas Reza.
"Hemmm,"
Teringat saat pertama kali di ajak ke Ngawi, untuk
dikenalkan sama calon mertua. Tepatnya empat bulan yang lalu
setelah aku mengajak Mas Reza ke rumah Mbah Uti, besoknya
kami berangkat ke Ngawi. Jangan tanya gimana pas naik bus?
Tetap bergenggaman tangan, sambil menikmati pengamen jalanan
yang sedang menghibur para penumpang.
Sehari di Ngawi aku diajak Mas Reza membeli rujak yang
terkenal enak di desanya. Rujak petis tepatnya, yang ada isian
lontong, potongan tahu atau tempe. Kadang ada gorengan juga.
Tinggal diberi sayur dan bumbu ulekan. Sebagai pelengkap dan
pemanis, ada kerupuk rujak berwarna kemerahan.
Aku yang memang doyan banget sama rujak, menerima
ajakannya. Tapi begitu sampai ke tempat penjual rujaknya, aku pun
bingung.
Rujak aneh, kenapa aku bilang aneh? Katanya rujak petis
kok pakai kacang? Terus isinya juga, cuma kangkung taoge tahu
tempe sama timun. Ternyata rujak di Ngawi memang begitu,
isinya. Kalau pengin rujak buah harus beli ke kota, atau bikin
sendiri. Kalau dipaksakan semuanya cukup jauh, tidak sepadan
denagn rasa lelah dan bensin motor yang dipakai. Secara rumah

27
Mas Reza berada di paling ujung kota Ngawi, tepatnya perbatasan
Ngawi - Magetan.
"Malah bengong, lagi gak rujaknya?" tegur Mas Reza
menepuk pipi kananku.
"Hehehe, gak cuma keingetan saja waktu pertama, Mas ajak
aku ke Ngawi," jawabku lalu menerima suapan dari Mas Reza.
"Besok kita kan ke Ngawi Dek, kamu janji kan mau ikut
aku ke mana pun aku pergi," kata Mas Reza menyakinkan aku.
"Tentu, sekarang Mas Reza adalah imamku. Ibarat sebuah
rumah, Mas Reza tiang dan aku penyangganya," ujarku tersenyum
sambil menggenggam tangannya.
"Janji, gak akan iri? Iya siapa tahu nanti tetangga punya ini
itu kamu pengin. Pengin sih gak papa tapi lihat juga kemampuan
Mas," ujarnya membalas genggaman tanganku.
"Iya, janji. Bagiku materi itu nomor sekian, yang penting
Mas Reza selalu ada di sampingku. Menerima kelebihan dan
kekuranganku, itu dah cukup bagi kok."
Mas Reza tersenyum. Merebahkan kepalaku di dadanya
sambil mencium keningku dia berkata, "Aku janji akan selalu
bersamamu, dan tidak akan pernah melepaskanmu sampai kapan
pun."
Mataku terpejam, senang, dan deg-degan juga itu yang aku
rasakan. Tak tahu kenapa setiap di dekat Mas Reza selalu seperti
itu. Apa efek gak pernah pacaran ya? Ah gak masalah, pernah
pacaran atau tidak. Yang penting saat ini aku sudah menikah.
Aku dapat merasakan kalau Mas Reza juga mengalami apa

28
yang aku rasakan. Di saat kami hanya berdua saja, dan setiap
berdekatan denganku, jantungnya berdetak lebih cepat. Jangan
lupakan juniornya selalu berdiri tegak, juga area vitalku yang tiba-
tiba basah.
Tiap aku tanya kenapa, dia jawab gak tahu. Tapi itu hanya
terjadi kalau dia berdekatan denganku saja. Efek apa itu ya? Ah
aku juga gak tahu kenapa, seumur-umur juga ini pertama kali aku
mengalami kejadian kayak gini.
"Mas," ucapku sambil mendongakkan kepalaku yang masih
dalam pelukannya.
"Hemmm," jawab Mas Reza, sambil memejamkan mata.
"Maaf ya? Malam pertamanya ketunda dulu, aku masih
halangan soalnya." Mas Reza pun tersenyum. Melepaskan
pelukannya lalu memandang wajahku, membuat kedua pipiku
bersemu merah.
"Aku siap menunggu hingga waktunya tiba."

29
Empat

Pamali

"Singgih, siapa? tanya Mas Reza saat aku menutup telepon


dari Mas Singgih.
"Teman kerja dulu, kenapa? Gak percaya, dia seperti
saudara ketemu gede bagiku." Mas Reza menatapku, mungkin
mencari kebenaran di mataku. Tak berapa lama dia memegang
kedua tanganku lalu menciumnya sambil berkata, "Aku percaya,
kalau cuma aku yang ada di hatimu selamanya."
Aku pun tersenyum, membenarkan ucapan Mas Reza.
Kemudian kami berbaring lagi di kasur, meneruskan tidur panjang
kami sampai esok pagi.
Pagi menjelang, rumah Mas Reza masih banyak orang-
orang yang membantu acara pernikahan kami kemarin--dalam
bahasa Jawa, rewang atau peladen.
Rumah ini hampir sama dengan rumahku. Berbentuk limas
dengan beberapa ruang dan sekat di dalamnya. Tiang penyangga
yang kokoh berdiri di tengah ruangan. Menanggung beban rumah,
layaknya manusia yang harus selalu berupaya menanggung beban
hidup.
Dapur terpisah dari rumah utama, di bagian belakang
terdapat kolam kecil berisi ikan dan ternak, baik ayam ataupun
unggas. Saat acara pernikahan, semuanya dibersihkan. Pun dengan
penghuni kandang. Yang ada hanya sisa makanan dan tumpukan

30
sampah yang menggunung di belakang rumah.
Memang benar setiap kota mempunyai adat istiadat sendiri.
Termasuk acara pernikahan, bagiku ribet di Ngawi daripada di kota
Tuban. Seperti hari ini, setelah semalam acara resepsi—
nyumbang--paginya orang-orang dapur masih di sibukkan dengan
acaranya. Memasak tahu kuning dan bubur putih atau sumsum.
"Di sini memang gitu Dek, anak-anak sinoman atau
peladen, akan menerima nasi kuning sama bubur sumsum—bubur
yang dibuat dari tepung beras dengan kuah gula aren yang
dicairkan ditambah denagn santan. Semua dilakukan sebagai
simbol bayaran mereka karena telah membantu acara sampai
selesai."
Aku pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mas
Reza. Karena di tempatku tidak ada acara seperti ini, apalagi
semalam aku melihat para peladen juga memakai seragam semua.
"Ayo masuk, kita sarapan di kamar saja," ucap Mas Reza
mengandeng tanganku berjalan menuju kamar.
"Kenapa di kamar?" ucapku kaget sampai memelototkan
mata.
"Rame di sini, lagian ruangan ini juga mau dipakai makanya
kita sarapan di kamar saja, sarapan double," ujarnya, refleks aku
pun mencubit pinggangnya dan membuat Mas Reza tertawa.
Setelah masuk kamar kami pun duduk lesehan di pinggiran
kasur. Menikmati sarapan sepiring berdua. Porsi memang lebih
sedikit, tapi lebih terasa nikmat. Mau nambah juga malu, maklum
bukan di rumah sendiri. Apalagi ini di rumah mertua.

31
Saat sedang asyiknya makan, aku sampai tak sadar kalau di
dekat bibirku ada kecap bumbu ayam. Refleks Mas Reza
mendekatkan wajahnya ke wajahku dan yang bikin aku salah
tingkah adalah tindakannya yang menjilati ujung bibirku.
Setelah itu, dia pun tersenyum dan mulai menyantap
makanannya kembali. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi tidak
untuk diriku, jantungku rasanya kebat-kebit. Aku takut jika lepas
dari rongganya.
Setelah kejadian tadi pagi, Mas Reza pun mengajakku
berkeliling desa. Bermaksud mengenalkan kota kelahirannya.
"Mas, kita jalan kaki?” Tanganku membentuk lingkaran.
“Keliling desa?" tanyaku saat kami berada di ruang tengah.
"Iya jalan, biar bisa bergandengan tangan, kayak gini," ucap
Mas Reza sambil memperlihatkan tangan kami yang
bergenggaman.
"Gimana kalau jalannya ntar malam saja? Aku malu kali
masak di pagi yang cerah bergandengan tangan," ucapku
menghentikan langkah kakinya.
Mas Reza berkerut memandangku, mencium tangan yang
dia genggam. "Kita kan sudah halal, gak papalah kalau
bergandengan di tempat umum.” Tak tahan dengan ajakannya,
kumajukan bibir hingga mengkerucut. Merasa digoda, dan
disajikan dessert pagi ini. Bibirku dilumat mesra, aku tak mampu
mengelak selain membalas dan menggigit pelan bibirnya.
Tak menyadari akan hadirnya orang lain, kami masih
menikmati momen berdua. Setelahnya, suara dehaman dari pintu

32
depan membuat kami berpisah dengan begitu cepat.
"Sudah Za, bawa ke kamar saja istrimu. Jangan kau
perlihatkan kemesraanmu itu di depan kita-kita. Aku jadi pengen
pulang cepat-cepat biar bisa berduaan sama suami juga. Kek apa
rasanya ya? Kok akidah lupa," celetuk salah satu peladen, tak lain
teman masa kecilnya--Mbak Prima. Mas Reza tersenyum geli,
sedangkan aku membuang muka ke arah lain, malu.
Karena desakan orang-orang jadinya aku sama Mas Reza
gak jadi keluar rumah. Karena kata ibu-ibu juga, pamali masih bau
pengantin baru, belum diizinkan keluar sampai seminggu.
Iyakan apa aku bilang, adat di sini sama di Tuban beda. Ini
baru tentang hal pernikahan belum yang lainnya, "Alamak! Siap-
siap dah dirimu, Ni," kataku sebagai penyemangat diri.
Sehari dua hari semua masih berjalan biasa, kesibukan
beberes mengalihkan kebosanan. Menjelang hari ke empat,
semuanya memburuk. Kebosanan kian menumpuk hingga memupus
keinginan untuk beraktivitas. Apalagi kalau di kamar terus, gak bisa
ke mana-mana.
"Kok diam. Kenapa ... bosen?" tanya Mas Reza saat
melihatku yang berdiam di kasur.
"Bosen pengen keluar Mas, masak di dalam kamar terus?
Percuma juga lo di kamar kalau gak ngapa- ngapain," gerutuku
sambil bersedekap di pinggir kasur.
"Kata siapa, gak bisa ngapa-ngapain?"
"Iya, kataku barusan,"
"Bisa kok, kita bisa salat Dhuha diteruskan dengan mengaji

33
Al Qur'an,"
"Mas Reza lupa ya? Aku kan lagi halangan mana mungkin
salat apalagi mengaji," gerutuku, membuat Mas Reza menepuk
keningnya.
"Lupa," ujarnya cengengesan.
"Terus kita ngapain ya?" tanya Mas Reza, telunjuk
tangannya memegang dagu.
Karena tak mendapatkan jawaban dari Mas Reza, aku pun
mulai membuka SMS dari teman-teman di galeri. Ah, sudah lama
aku tak menghubungi mereka. Aku memang berhenti, tapi
bagaimana pun bekerrja di sana menjadi sebuah kenyamanan dan
berkah. Aku tak mau melewatkannya. Bos pun orang baik, ia
memberiku waktu untuk menikmati masa awal pernikahan ini.
Ternyata Via, masih jalan dengan kekasihnya. Kalau Sri
sepertinya galau. Ia terus makan dan jalan-jalan tiada henti.
Sedangkan yang lain ngapaian ya? Ku-stalking anak magang,
mereka juga sering selfie dan keluar bareng. Padahal, belum genap
sebulan, tapi aku sudah sangat rindu.
Mas Reza tak berani mengganggu. Ia tak memiliki cara
yang lebih baik. Namun, menit berikutnya irama piano terdengar.
Bukan berasal dari ponselku apalagi orang luar. Itu suara dari
ponsel Mas Reza.
"Aku keluar dulu, ada telepon," kata Mas Reza membuatku
yang sedang mengotak atik ponsel memicingkan mata. Curiga.
Kenapa juga mengajakku jalan, giliran ada panggilan ia menjauh.
“Siapa, Mas?” tanyaku penasaran.

34
Mas Reza masuk ke kamar dan melihatku yang sedang
meliriknya. Ponsel kini tak menarik, rasa penasaranku
mendominasi. Melihat itu semua, Mas Reza tergelak.
"Seperti Singgih teman kerjamu, aku juga mempunyai
teman perempuan juga. Tapi satu jangan pernah kau coba untuk
bermain di belakangku."
“Bukannya aku yang seharusnya bicara seperti itu?” Refleks
aku pun mendekatinya, memegang jemari tangannya. "Insyaallah,
sampai nanti kita akan selalu bersama, hingga ujung waktu,"
"Kok kayak judul lagu?"
"Hehehe iya, lagunya Nineball kalau gak salah." ujarku
tersenyum.
"Perjalanan panjang kita berawal dari sini, Dek. Semoga
kita kuat menjalaninya. Kalau kita sedang berselisih paham,
anggap saja itu bumbu dari kehidupan kita."
Aku pun mengaminkan doa Mas Reza. Benar kata Mas
Reza, pernikahan adalah perjalanan panjang bagi suami istri.
Karena pernikahan bukan hanya setahun atau dua tahun saja, tapi
selamanya
Aku pun menyenderkan kepala di bahunya yang lebar dan
terlihat kokoh. Ia mengelus punggungku, lalu mencium kening.
Tak berapa lama aku pun tertidur di pelukannya. Saat melihatku
diam saja sambil memegang ponsel, reflekss Mas Reza pun
melepaskan pelukannya.

Ia memanggil, tapi suaraku terdengar sangat jauh. Lalu, ia

35
membaringkan aku di kasur, mencium kening, kedua mata, kedua
pipi serta yang terakhir di bibir. Aku mengerang sesaat sebelum
berbalik dan memeluk guling. Samar, kudengar derit ranjang tua
ini, Mas Reza berdiri dan meninggalkan kamar.
Haus yang aku rasakan. Meraba di samping tidurku, sprei
lebih dingin. Sejak kapan ia pergi? Mas Reza sudah bangun atau
malah tidak tidur ya tadi? Pikiranku masih kusut. Badan masih
malas untuk diajak kerjasama. Ah, memang seperti itulah diriku.
Menunggu, detik, jam dan menit saling berkejaran. Mata mulai
terbuka, tapi tertutup kembali tatkala kuresapi simfoni suara yang
terbentuk. Berguling ke sana-ke mari pun tak berpengaruh, tetap
membuat tubuh terasa semakin mengantuk
Aku bangun, menggeser tubuh dan bersandar di penyangga
tempat tidur. Mas Reza terlihat tak lama setelahnya. Pintu kamar
tak lupa ditutup.
"Laper gak, Dek. Nasi sudah matang. Kamu mau makan
gak? Aku lapar," ucap Mas Reza lalu beranjak pergi dari kamarku
smabil menarik pergelangan tanganku.
Aku merutuk. Kenapa cepat sekali berputus asa akan
hubungan yang baru saja terjalin. Kita gak kan pernah tahu dengan
siapa kita berjodoh. Aku telah memilihnya, seharusnya aku siap
untuk itu semua. Termasuk segala yang mengitarinya, baik tradisi
ataupun keluarga. Namun, satu yang terpenting. Kita sama-sama
mau menerima kelebihan ataupun kekurangan pasangan.
Mas Reza masih tersenyum dengan nasi dan lauk yang
tertata di atas piring. "Aku masih kenyang, kalau Mas Reza lapar

36
bisa makan dulu kok. Eh, tapi itu apa?” ucapku saat melihat
bungkusan yang dibawa Mas Reza.
"Coba saja buka, ntar juga tahu apa isinya. Aku pun
menurut, membuka bungkusan itu, dan seketika senyumku pun
merekah.

37
Lima

Rumah Baru

Seminggu berlalu. Saat ini kami lagi bersantai di rumah


baru, menikmati senja yang mulai menghilang. Kegelapan mulai
mengambil alih, mengalirkan hawa dingin yang menggoda setiap
pori dan syaraf untuk terbangun.
Rumah sederhana yang belum rapat sepenuhnya ini berada
di samping rumah mertua. Rumah ini hasil kerja keras Mas Reza
sebelum menikah. Walau pintu dan jendela masih berupa papan,
aku bersyukur dapat memiliki istana sendiri. Terdiri dari dua kamar
dengan dapur dan kamar mandi. Rumah ini terlihat sederhana, tapi
nyaman ditempati.
Bagaimanapun beberes rumah setelah memindahkan
beberapa barang tadi cukup melelahkan. Menikmati secangkir teh
dengan biskuit kelapa, menguapkan rasa lelah dan keluhan yang
sempat mampir.
Ternyata semasa masih lajang, Mas Reza sudah berpikir
untuk memiliki rumah sebelum menikah. Saat aku tanya alasan
kenapa? Sambil tersenyum geli, Mas Reza bilang supaya pas minta
jatah bisa lebih leluasa dan tidak malu saat mau melakukan di
mana saja.
"Ih mesum," kataku sewot. Membuat Mas Reza tergelak
sambil menaikkan kedua alisnya. Sesaat dia diam sambil

38
memandangku, lalu berkata, "Hari ini sudah bersih kan?"
"Sudah aku sapu kok barusan, kenapa?" ujarku. Tapi
membuat Mas Reza malah menyentil keningku. "Bukan itu, sudah
selesai kan halangannya?"
"Sudah, ups!" ucapku lalu tersadar apa yang dibicarakan
Mas Reza, yang membuatnya tersenyum penuh arti.
“Tidak nunggu magrib dulu?”
“Nanti mandi dan tambah lagi.” Senyum itu semakin
terkembang, aku hanya bisa pasrah.
Kemudian secara tiba-tiba Mas Reza mencium bibirku. Lalu
menggendongku dan berjalan menuju ke kamar. Saat mendekati
pintu kamar, Mas Reza menggunakan siku dan kaki untuk
memperlebar celah. Napasnya memburu. Aku tahu ia sudah
berusahamenahan beberapa hari, tapi membayangkan akan apa
yang terjadi membuatku sedikit takut.
Namun, ada rasa penasaran juga. Lelaki yang sehat dan kuat
seperti dirinya mau menahan demi istri tercinta. Bagaimana aku
bisa mengecewakannya untuk yang kedua kali?
Sebelumnya, setiap masuk grup teman kerja, aku akan
langsung digoda teman yang lain. Bagaimana malam pertama?
Enak to? Aku hanya tersenyum kecut. Bagaimana mau enak, kalau
belum merasakan. Ada yang mengatakan sakit. Ada juga yang
ketagihan. Entah mana yang benar.
"Sudah siap kan?" tanyanya membuatku mengangguk.
Sentuhan kulit sore ini terasa lebih hangat. Aroma keringat berbaur
menjadi satu. Kutelusuri setiap jengkal lengan yang terlihat berotot

39
ini. Sangat keras. Kulitnya pun kasar. Namun, ini justru menggoda
dan meremangkan bulu kuduk. Sangat berlawanan dengan kulitku
yang setidaknya tersapu hand body, pelembab kulit.
Tangan Mas Reza mulai bergerilya, dari mata, hidung bibir
hingga leher yang membuatku menggelinjang. Perjalanan itu
berhenti di seputar pundak yang telah terbuka. Berputar di sana,
membuat napasku terputus. Butuh asupan banyak udara untuk
mengembangkan dada lagi.
Mas Reza menaruh tangan kanannya di kepalaku sedang
kan yang kiri menengadahkan tangannya, berdoa agar diberikan
momongan yang saleh salehah, aku pun mengaminkan doanya. Ah,
walaupun telah banyak menahan, ia setidaknya tak lupa pada Sang
Pencipta. Semoga, pilihanku tak salah ya Alllah.
Setelah mengucapkan Basmalah, Mas Reza melanjutkan
aksinya. Kali ini, ia lebih berani dan menggoda. Tangan kanannya
tak lagi diam, ia menyusuri garis tengah tubuh dan berhenti di
pusar. Aku hanya tersenyum, tak tahu harus berbuat apa. Disentuh
lelaki baru kali ini, belum ada pengalaman. Seakan melihat
kekakuan yang tanpa kusadari membuat bagian tubuh terasa tak
nyaman. Mas Reza membisikkan rayuan dan ungkapan sayang,
yang ternyata mulai merilekskan tubuh dan pikiran ini.
Malam ini untuk pertama kalinya tubuh kami bersatu,
menyempurnakan apa yang memang harus ditunaikan. Sentuhan
lembut yang diberikan Mas Reza membuat kami hanyut dalam
luapan gairah. Berenang di tengah peluh yang terus membanjiri
tubuh. Ah, sangat melelahkan tapi juga melelahkan.

40
“Kau tak kecewakan, Mas? Maaf, jika tak mampu
memuaskanmu.”
"Apaan sih kamu ini. Terima kasih, Sayang," ucap Mas Reza
mencium kening setelah pergulatan panjang. Sesaat aku pun hanya
bisa menyunggingkan senyum, lalu tertidur di pelukannya.
Keesokan hari waktu mau bangun, aku merasakan sakit di
bukit yang selama ini kujaga. Bagaikan hutan belantara yang kali
pertama disibak dan digali isinya, ada perasaan aneh dan juga
terganggu. Namun, semua itu tak bertahan lama, karena penjelajah
itu berperilaku lembut. Bahkan, teramat lembut.
Ah, semalam lupa menggunakan alas. Sayang, sprei warna
biru yang baru dipasang ini ternoda oleh bercak kemerahan.
Namun, di sisi lain aku tersenyum membayangkan kalau mulai hari
ini aku sah menjadi istri yang sempurna untuk Mas Reza.
******************
Mas Reza sudah bangun dan entah pergi ke mana. Aku pun
beranjak menuju kamar mandi, menahan rasa perih dan nyeri.
Entah berapa kali kami melakukannya semalam, dengan berbagai
gaya dan hal baru kami mencobanya. Walau kadang ada yang
gagal kami tak menyerah. Bahkan, ritual mandi semalam tak
mampu membendung buncahan asmara yang semakin bergelora di
dada.
Menggeliat, aku ingin lebih lama di atas ranjang. Namun,
mendengar suaran azan membuatku bangun dan membersihkan
tubuh.

41
Ketika keluar dari kamar mandi, aku sudah melihat Mas
Reza mengenakan baju koko beserta sarung untuk melaksanakan
salat Subuh. "Dek, kita jamaah ya? Setelah itu kamu bisa sarapan,
tadi aku dah beli nasi pecel di Mak Imah." Mas Reza pun
menggelar dua sajadah.
“Jam segini sudah ada yang buka?” tanyaku heran.
“Sudahlah! Mak Imah kan perlu jualan di pasar, jadi
sebelum subuh ia sudah persiapan. Telat sedikit kita tak kebagian.
Pecel di sana memang muriah meriah, sambal tak terlelu pedas dan
banyak. Apalagi kriuk rempeyeknya itu lo. Menggugah selera!”
Lidah Mas Reza, menyapu bibirnya. Menggodaku untuk
ikut mencicipi khayalan yang dibangun. Terkaget, kami diam
sebentar, setelahnya tawa terlepas begitu saja. Selesai salat kami
meneruskan untuk mengaji. Lalu mengobrol sebentar sebelum
beranjak sarapan di meja dapur.
"Masih sakit kah, Dek?" ucap Mas Reza, memegang tangan
kiriku, meremasnya pelan. Sedangkan tangan kananku lagi
memegang sendok.
"Lumayan nanti juga terbiasa," ucapku malu-malu sambil
tersenyum, membuat Mas Reza ikut-ikutan tersenyum.
"Untuk hari ini, kamu gak usah ikutan ke toko ya? Di rumah
dulu saja. Ntar malah diledekin lagi gara-gara jalannya
mengangkang," gelak Mas Reza membuatku refleks menepuk
lengannya.
Kini aku harus terbiasa untuk menurut, bagaimanapun titah
suami adalah yang utama. Itu pesan ibu. Aku tak kuasa menolak,

42
toh bekerja di toko penyablonan seperti itu juga memakan energi.
Aku masih belum terbiasa dengan itu semua.
"Besok-besok, gak lagi deh," ucapku berlagak mengancam.
Membuat Mas Reza mengerutkan keningnya.
"Dosa kalau gak mau ngelayani suami," godanya sembari
memainkan kedua alis. "Sudah ah, aku berangkat dulu, di kulkas
sudah ada bahan masakan. Komplit, ada buah juga, nanti duhur aku
pulang sebentar. Terserah mau masak apa. Apa pun yang kamu
masak aku pasti makan," ucapnya. Kami pun beranjak dari kursi,
lalu Mas Reza mencium keningku, sedangkan aku mencium
tangannya.
"Beneran? Apa saja? Kalau sayur cabe mau gak," godaku
sambil tersenyum geli.
"Kamu mau ngrecuni aku. Oke, gak papa kan kamu juga
ikutan makan," jawab Mas Reza terkekeh.

"Ya gaklah, kan itu khusus untuk Mas Reza, aku bikin sayur
...," ucapku terpotong karena belum ada rencana mau masak apa.
Aku pun mendekati kulkas, dan agak kaget dengan isinya. Mulai
dari telur di bagian pintu teratas. Tempe, tahu, dan sayuran ada di
rak ke dua. Setelah penyimpanan beberapa kue. Sedangkan di
freezer ada ayam. Sayur pun lengkap, ada bayam, kangkung, sawi
labu, tomat, serta buah semangka, dan pisang.
“Ya, Allah! Kapan semua ini diisi. Padahal kemarin saat
membersihkan semuanya masih kosong. Aku juga berencana ke
pasar hari ini. Ah, Mas Reza memang suami idaman.

43
Mas Reza yang melihat keherananku pun beranjak
mendekati kulkas. "Sengaja, aku isi semua biar memudahkan kamu
mau masak apa. Tadinya mau beli lele juga, tapi aku ingat kamu
gak suka lele. Jadi, ya gak jadi beli," ucap Mas Reza sambil
memelukku dari belakang.
Aku pun memutar tubuh, melingkarkan tangan di leher Mas
Reza, "Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup. Lainkali biarkan
aku yang ke pasar sendiri,” ucapku. Lalu Mas Reza mendekatkan
wajahnya, hidung dan kening kami pun bertautan. Tak lama Mas
Reza memiringkan kepalanya lalu melumat bibirku.
"Jangan ke pasar sendiri, kamu masih baru di sini, kalau
mau menikmati tubuhmu. Cukup aku saja!"
Aku pun hormat kepadanya. "Siap, laksanakan!"
Kemudian Mas Reza pamit, berangkat ke toko. Kedua
temannya sudah menelepon sedari tadi. Setelah kepergian Mas
Reza, aku beranjak ke dapur mulai mencuci peralatan makanan
yang habis kami pakai.
“Aku harus semangat!” kataku mantap, sembari mengepalkan
tangan kuat-kuat.
Pekerjaan menanti, membersihkan rumah dan memasak
makanan harus selesai segera. Tersenyum, aku pun bernyanyi
dengan suara yang tentu kuanggap merdu. Bukan, bukan hanya
aku. Ibu juga bilang suaraku merdu. Kalau yang lain? Entahlah.
Mereka tak pernah memberi tanggapan, palingan mereka hanya
keluar jika aku berada di dapur.
Dimulai dari memotong sayuran dan merebus ayam.

44
Memasak hari itu kulakukan dengan hati-hati. Bagaimanapun yang
pertama pasti menjadi yang spesial. Aku tak mau mengecewakan
Mas Reza. Sop, ayam bakar bumbu kecap sudah selesai tinggal
dihidangkan di meja.
Menunggu suami pulang, malah bikin aku deg-degan.
Setiap menit, kulirik jam berbentuk lingkaran di dinding ruang
tamu. Pun ketika ada suara motor yang mendekat. Namun,
semuanya bukan Mas Reza.
Tepat pukul dua belas, suara sepeda motor terpakir depan
rumah. Aku pura-pura pergi ke dapur setelah mengintip dari
jendela. Malu, kalau ketahuan menunggu. Pintu terbuka, lalu
terdengar langkah kaki yang semakin mendekat, tak lama Mas
Reza mengucapkan salam. Aku pun membalas salamnya. "Mas
Reza, mau mandi salat atau makan dulu," ucapku setelah ia
mengulurkan tangannya.
"Salat dulu gimana? Toko ada yang menghandle kan?"
ucapku.
"Ada tapi tetap saja aku yang harus turun lapangan supaya
mereka bisa bekerja dengan baik lagi,"
Perhatian Mas Reza beralih ke meja makan. "Hemmm,
kayaknya enak nih, dari baunya pun kelihatan enak. Kalau gitu,
aku mandi dulu. Kita salat sama-sama setelah itu baru makan,"
Mas Reza menarik tanganku menuju kamar satunya, berhubung
kamarnya belum terpakai, untuk saat ini kami merombaknya
menjadi mushola.

45
"Eh aku dah mandi lo, nih rambutku juga basah," tunjukku.
Membuat Mas Reza berhenti melangkah tapi tangannya tetap
menggandeng tanganku.
"Siapa yang nyuruh kamu mandi lagi? Sebagai istri yang
baik kalau suami mandi mau salat, ya harus mempersiapkan
peralatan salat kan. Hayo, mikirnya tadi aku mau ngajak kamu
mandi bareng ya?" celoteh Mas Reza yang tak terelakkan
mengundang tawa.
"Hehehe, lupa aku," kilahku.
"Persiapkan semua, sementara aku mandi dulu. Kamu wudu
di belakang saja ya? Eh iya nanti kalau ada telepon, bilang aku lagi
istirahat bersama istriku, gak mau di ganggu dulu," ucap Mas Reza
tersenyum menggoda.
"Ih, Mas Reza."
Gamang, kupaksakan kaki melangkah. Aku masih tak
nyaman melakukan ini, tapi apa boleh buat. Di bagian belakang
rumah, Mas Reza memang sudah memasang pancuran untuk wudu.
Walau tak tertutup sempurna, bambu dan tanaman rambat mampu
menghalangi pandangan dari luar. Apalagi belakang rumah sudah
berbatasan dengan sawah. Aku tak takut akan ada yang mengintip,
hanya saja kalau ada hewan melata semacam ular yang iseng,
bagaimana?

46
Enam

Anting-anting

Pagi ini rencananya aku mau ikut Mas Reza ke toko, berniat
cari kesibukan biar gak bosan. Tapi keinginan itu harus aku
batalkan. Tidak tahu kenapa dari semalam, aku beser. Bolak balik
buang air, tapi cuma sedikit-sedikit, kalau orang Jawa bilang
anyang-anyangen.
Saat ini aku lagi duduk di kursi tamu, meluruskan kaki.
Terdengar suara langkah kaki, aku pun menoleh ternyata Mas
Reza. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di dekatku. "Gimana Dek,
masih pipis terus?" tanya Mas Reza, tangannya tak lelah mengelus
punggungku.
"Masih, maaf ya gak bisa masakin buat sarapan," ucapku.
Aku merasa tak enak.
Mas Reza menggeleng, "Gak papa, tadi ibu masakin kita
sarapan. Aku taruh di meja dapur. Kecapaian kali Dek. Ntar aku
antar pijet, ya?"
Aku mengangguk sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Seperti tadi pipisku gak lancar, sampai capek bolak-balik ke kamar
mandi. Minum teh pahit anget, jempol dikareti hingga membawa
batu di saku. Semuanya tak empan, sampai aku lelah. Mas Reza
pun sudah beli obat untuk anyang-anyangen tapi hasilnya tetap
sama.
Balik dari kamar mandi, Ibu mertua sudah duduk di ruang

40
tamu bersama Mas Reza, "Masih pipis Ni? Pijet kalau gitu, siapa
tahu kamu kecapekan. Obatnya sudah di minum to?"
Mas Reza pun berkata, "Sudah Bu, tapi ini belum minum
obat lagi,".
Tak lama datanglah tetangga depan rumah, Mbak Mur. "Nia
kamu sudah halangan belum?"
"Bulan ini seharusnya sudah halangan Mbak, tapi ini
kayaknya telat dua minggu," jawabku. Pernikahanku sama Mas
Reza sudah berjalan hampir dua bulan.
"Coba besok pagi di tes, nanti Za kamu sepulang kerja,
mampir ke apotek beli tespek, siapa tahu Nia hamil."
"Apa hubungannya, anyang-anyangen sama hamil Mbak?"
Mas Reza memandangku seakan mencari jawaban, aku hanya mengedikkan
bahu, bingung.
"Dulu aku juga gitu Za, pas hamil anak pertama. Gak
ngalami mual kayak kebanyakan orang hamil."
Mas Reza tersenyum simpul, "Mudah-mudahan yang Mbak
omongin benar." Refleks aku pun ikutan tersenyum sambil
mengelus perutku.
Sesuai yang disarankan Mbak Mur, siangnya Mas Reza pun
pulang kerja dengan membawa tespek. Ia mendekatiku yang masih
nonton televisi. Terduduk, ia mengulurkan tangan, lalu aku pun
menciumnya.
"Gimana, masih pipis terus?" Dari tadi kata-kata itu yang
selalu keluar dari mulut Mas Reza. Entah itu masih di rumah tadi
pagi atau pas masih di tempat kerja. Satu jam sekali dia

41
meneleponku, menanyakan apa aku masih pipis terus gak.
Lucu juga. Melihatku tertawa ia salah tingkah. “Ada yang
lucu?”
Aku menggeleng. Itu sudah bikin aku senang, gak papa gak
romantis tapi perhatiannya sudah melebihi kata romantis. Siapa
yang gak meleleh coba, kalau kayak gini.
"Kok malah senyum? Gimana, masih pipis terus gak?"
ucapnya mengulangi pertanyaannya yang belum aku jawab.
"Alhamdulillah, sudah gak seperti tadi. Mas mau makan
atau salat dulu?" Mas Reza menepuk keningnya lalu beranjak
keluar lagi, membuatku mengerutkan kening.
Tak berapa lama, Mas Reza membawa bungkusan kresek
lagi, "Lupa, tadi aku beli mi ayam kesukaan kamu, kita makan dulu
yuk," ajaknya sambil menggandeng tanganku menuju ruang
makan.
"Kok tahu kalau aku pengin mi ayam?" ucapku sambil
duduk di kursi yang telah di geser mundur oleh Mas Reza. Hm, bau
ini sangat kurindukan. Kaldunya terlihat kental, mengundang
selera untuk segera dipindahkan ke perut.
"Hemmm," ucapnya sambil berpikir, telunjuk tangan di
taruh di dagunya.
"Aku juga lagi pengen mi ayam, makanya aku beli 4 tadi.
Yang dua aku kasih Ibu sama Bapak," ucap Mas Reza lagi lalu
berjalan ke arah rak piring mengambil dua mangkok garpu serta
sendok.

42
"Pakai kecap gak Dek?" ucap Mas Reza setelah menaruh mi
ayam di mangkok. "Bawa sini biar aku kasih sendiri." ucapku.
Tak berapa lama kami pun balapan menyeruput. Seakan
menikmati duniaku sendiri, kulupakan Mas Reza. Saat aku
menatapnya, mangkuk itu telah berganti warna kemerahan. Bentuk
mi pun terendam dalam genangan kuah yang menurutku
menakutkan, seperti genangan darah. "Ih, sampai merah gitu, Mas?
Apa enak? Kalau aku sih tak campur kecap," ucapku sambil
menyendok kuah mi ayam.
"Aku malah gak suka kalau pakai kecap. Enak gini malah,
mau coba?" ujarnya menyodorkan satu sendok mi ke arahku,
refleks membuatku menggelengkan kepala. Geli, melihat warna
yang membuat bulu kudukku meremang. Entahlah, ada banyak
kilasan tak menyenangkan terselip begitu saja.
Setelah makan, kami melaksanakan salat zuhur berjamaah.
Tak lupa mandi. Kemudian Mas Reza pun balik lagi ke toko.
Karena semalam begadang akibatnya setelah Mas Reza berangkat
kerja, aku pun balik ke kamar. Merebahkan tubuh di atas kasur.
Tak berselang lama mataku terpejam hingga sore hari saat Mas
Reza pulang kerja.
"Dek, bangun. Salat asar dulu, sana mandi dah mau habis lo
waktunya." Aku pun kaget dan langsung terbangun.
"Astaghfirullah, jam berapa Mas?" ucapku.
"Jam lima kurang seperempat. Sana mandi terus salat."
Membuatku bertanya lagi, "Mas sudah salat?"
"Sudah sepuluh menit yang lalu." Aku pun beranjak pergi

43
ke kamar mandi. Kilat, yang penting badan basah, takut gak keburu
waktu Asar.
Setelah salat aku duduk di samping Mas Reza, bergelanyut
manja di lengannya. Membuat Mas Reza yang lagi mengaji
terhenti.
"Kenapa?" Lalu aku mengajaknya keluar dan berjalan ke
kamar tidur kami. Membuat Mas Reza menghentikan langkahku,
"Belum Magrib, mau ngapain ke kamar?" selidik Mas Reza
heran.
"Tolong bantu aku cari anting-anting, tinggal sebelah ini,"
tunjukku ke telinga kananku. "Kayaknya jatuh di kasur atau di
kamar mandi," ucapku lagi.
Mas Reza pun beranjak ke kamar mandi sedangkan aku
mencarinya di kasur. Siapa tahu menempel di bantal atau sprei.
Tapi yang aku cari tidak ada, begitupun Mas Reza. Ia keluar kamar
mandi dengan tangan kosong.
"Coba Dek, kamu ingat-ingat lagi. Kapan terakhir kali sadar
kalau anting-antingmu tinggal sebelah,"
"Sehabis salat tadi waktu melepas mukena, aku raba sudah
gak ada,"
"Sudah kamu cari di kolong tempat tidur? Siapa tahu
jatuhnya pas kamu berjalan tergesa-gesa tadi,"
Mas Reza dan aku pun merunduk mencari di kolong tempat
tidur, tapi anting-antingku tidak temukan.
"Ya sudahlah Dek, ikhlasin saja, mungkin bukan rezeki kita,
besok aku ganti yang baru,"

44
"Tapi itu anting-anting dari Emak," ucapku sedih, mataku
pun berkaca-kaca. Membuat Mas Reza trenyuh. Ia merangkul dari
samping lalu mencium keningku lama.
"Sudah, jangan nangis, kita cari lagi. Siapa tahu di ruang
tamu. Yuk kita ke sana?" Ia melepaskan pelukan, lalu mengulurkan
tangan. Layaknya anak kecil yang kehilangan mainan, ia sebagai
orang dewasa terus menggandeng dan mengajakku mencari di
ruang tamu.
Saat mau jalan, tiba-tiba sesuatu terasa menusuk telapak
kakiku kesangkut sesuatu. Aku berhenti melangkah, melihat apa
yang tak sengaja kuinjak. Begitu tahu, wajah sedihku sudah
berubah ceria lagi.
"Alhamdulillah, ketemu Mas Reza ternyata jatuh di sini."
tunjukku ke dasar lantai yang aku injak di samping pintu.
"Alhamdulillah, berarti masih rezeki kita Dek. Sudah
simpan saja itu, besok pagi kita beli yang baru,"
"Iya ini mau tak simpan, besok kalau kita pulang, aku mau
serahkan ke Emak biar dipakai." Mas Reza pun mengacungkan
jempolnya sambil tersenyum.

45
Tujuh

Kehilangan

"Sudah, Dek, jangan sedih terus. Mungkin memang belum


waktunya kita punya momongan dulu," ucap Mas Reza saat
melihatku menangis di bantal sambil mengelus rambutku.
Membuatku menghambur memeluknya.
Teringat akan dua bulan yang lalu, saat hasil tes
menunjukkan positif hamil. Aku dan Mas Reza begitu gembira, tak
hanya kami berdua tapi juga kedua keluarga. Iya setelah Mbak Mur
menyuruh Mas Reza membeli testpek, besok paginya aku tes dan
hasilnya positif.
Hari itu juga Mas Reza memeriksakan keadaanku di bidan
terdekat. Bayi di kandunganku sudah berjalan enam minggu,
bagiku itu adalah hal terindah yang dihadiahkan Allah. Tapi,
kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tepat saat usia kehamilanku mencapai tiga bulan, aku
mengalami sakit yang teramat sangat di bagian perut. Bagaikan
mau datang bulan. Aku beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi.
Rasanya mau kentut, dan buang air besar. Namun, tak bisa. Perut
terasa penuh dan sebah. Setelah menahan cukup lama, isi perut
seakan didorong keluar. Aku tak sanggup lagi. Belum masuk
kamar mandi, masih di ambang pintu sesuatu keluar. Merembes
tanpa ada rasa sakit. Berjalan pelan di sepanjang sisi bagian dalam

46
kaki kulihat aliran itu bukan air melainkan darah.
Malam itu juga aku dilarikan ke Rumah Sakit Soeroto,
Ngawi. Namun, karena sudah malam, perawat hanya memberikan
obat yang dimasukkan ke alat vitalku, untuk menghentikan
pendarahan.
Perutku tak nyaman. Serasa diremas di setiap sisinya.
Miring kiri atau kanan pun ketika terlentang, semuanya tak
nyaman. Mas Reza tampak khawatir, sedangkan aku? Entahlah.aku
taktahu apa yang terjadi. Semuanya tiba-tiba menjadi buram.
Mataku terasa panas dan berat.
Saat tanganku ditusuk jarum, rasa sakit yang biasa
kutakutkan tergantikan rona kekecewaan dan kesedihan. Walau
rasa sakit berangsur pulih, aku tak bisa berbuat banyak. Kualihkan
pandangan berlawanan dengan Mas Reza. Berharap dapat menahan
genangan air yang siap tumpah. Tak seperti biasanya yang suka
mengganggu, kali ini Mas Reza membiarkannya.
“Maaf ya, Mas. Kalau tahu seperti ini aku tak akan
cerobohh untuk melakukan semua sendirian. Seharusnya aku
menurut padamu,” sesalku.
Selama ini, aku selalu melakukan semua sendirian. Pun
dengan tugas rumah dan mengirim makanan ke tempat kerja Mas
Reza. Dua hari sebelumnya, aku terlalu senang karena lantai rumah
dipasang ubin. Memasak, bersih-bersing, angkat barang, hingga
perjalanan dengan motor demi makan siang Mas Reza kulakukan.
Padahal, aku sudah diingatkan.
Malam itu, aku hanya menangis. Mas Reza duduk, tanpa

47
lelah memegangi tangan, kadang mengurut lenganku pelan.
“Menangislah! Cukup untuk hari ini, biarkan besok senyum
kembali menghiasi wajahmu lagi.”
******************
Pagi sekitar jam setengah sembilan, perawat memberitahu
kalau dokter poli kandungan sudah datang. Dengan membawa
kursi roda perawat berkata, "Mari Bu, diperiksa dr. Farida dulu.
Kebetulan beliau sudah ada di ruangannya." Tawar perawat
memintaku untuk duduk di kursi roda tapi aku menolaknya.
Di ruangan dr. Farida, perutku di kasih gel untuk dilakukan
USG. Jawaban dr. Farida membuatku mematung di tempat. "Usia
kandungan sudah masuk 12 minggu. Apakah waktu yang keluar
ada sebuah gumpalan?”
Aku mengangguk, beruntung masih menyimpan dan dapat
membawanya. Saat itu yang kupikirkan, ini apa? Apakah aku
sakit? Sayangnya, belum genap rasa penasaranku, perdarahan
masih berlanjut dan semakin banyak. “Namun, bukankah masih
ada kesempatan untuk menyelamatkannya?”
Dr. Farida menggeleng, senyum keibuan di wajah tuanya
memberikan sisi empati yang membuatku trenyuh. “Ini sudah
terlalu banyak, kandungan ibu lemah. Maafkan saya, kalau
dipertahankan kasihan ibunya. Jadi saran saya lebih baik dilakukan
kuret. Sekaligus untuk membersihkan rahim." Aku dan Mas Reza
pun terdiam. Tak lama kemudian Mas Reza berkata, "Kuretnya
hari ini juga, Dok?" kata Mas Reza tangannya meremas tanganku.
"Tidak. besok habis zuhur. Ibu haruspuasa terlebih dahulu.

48
Kalau Bapak setuju, bisa isi formulir ini," ucap dr. Farida sambil
menyodorkan formulir.
Begitu keluar dari ruangan dr. Farida, aku pun terduduk
lemas di kursi panjang, dalam ruang rawat inapku. Mas Reza
menghampiri, memeluk dari samping lalu mencium keningku. Aku
tak mampu menahannya lagi, bisikan cinta dan sayang Mas Reza
membuatku menangis di pelukannya.
"Mungkin ini jalan terbaik, Dek, kasihan dia kalau kamu
kekeh mempertahankannya," ucapnya sambil mengelus perutku.
Saat ibu mertua datang, ia juga menyarankan agar aku dikuret saja,
daripada dipertahankan kasihan bayinya kemungkinan lahir dalam
keadaan cacat.
Sudah tak ada jalan lain. Atas desakan Mas Reza dan ibu
mertua aku pun tak mau menunda kuret. Esok hari, tepat setelah
azan zuhur, perawat menjemput dan mengantarkanku ke sebuah
ruang asing di mana hanya terdapat dua tempat tidur. Beberapa alat
yang kukenali sebagi infus, kotak dari steinless steel juga banyak.
Selain itu, ada satu alat yang kulupa namanya. Biasanya dibuat
penyangga kaki, agar mekangkang, nanti dokter di hadapan kita
melakukan pemeriksaan. Aku pikir, pasti ada perasaan jengah, tapi
mau bagaimana lagi.
Tiba di ruangan, suasana sepi dan sunyi layaknya hatiku
saat ini. Sisi bed yang dingin, membuat kulitku tak nyaman.
Namun, aku tak kuasa untuk mengatakan tidak. Pun ketika perawat
memintaku duduk di bed persis seperti yang kupikirkan tadi. DI
mana posisi kaki diletakkan di atas penyangga kaki.

49
Perlahan, perawat menjelaskan mengenai posisi tidur yang
harus kulakukan. Sebelumnya ia meminta maaf, pasti ada
ketidaknyamanan tapi proses kuret harus dilakukan sampai bersih.
Kalau tidak, akan ada resiko berbahaya di kemudian hari. Seperti
kista, perdarahan dan lainnya. Tak lupa ia juga menjelaskan
prosedur dan apa yang harus kulakukan nantinya.
Perawat memberikanku sebuah obat lagi yang di masukkan
ke alat vitalku seperti semalam. "Kita tunggu dokternya dulu ya
Bu," ucapnya membuatku mengangguk kepala, "Iya Mbak,"
jawabku.
Tak berapa lama dr. Farida datang, bersama satu orang
dokter laki-laki dan tiga dokter perempuan. Perawat menyuntikan
sesuatu di area paha, membuat tubuh bagian bawah terasa kebas.
Walau tak bisa merasakan apa yang terjadi aku tahu, apa yang
mereka lakukan. Kalau pembicaraan? Entahlah, aku tak yakin akan
hal itu.
Saat terbangun, sudah ada Mas Reza yang memegang
tanganku sambil menciumnya. Mata Mas Reza berkaca-kaca,
membuatku menangis lalu menghambur dipelukannya.
"Jangan bergerak dulu, Dek." Tapi aku tak mengindahkan
ucapannya, tanganku tetap memeluknya. Lalu Mas Reza mengelus
punggungku, "Sudah jangan Nangis, yang kuat ya?"
Beberapa hari setelah kuret, aku lebih banyak melamun.
Kadang menangis sampai mataku kelihatan bengkak, Mas Reza lah
yang tiap hari menenangkanku. Sampai dia rela libur kerja, seperti
saat ini.

50
"Melamun apa tidur? Masak dari tadi mau dipeluk terus,"
ledeknya, membuatku melepaskan pelukannya.
"Ih! Mas Reza sudah tahu istrinya lagi sedih eh malah
ngeledek," protesku membuatnya tersenyum geli.
Ia memandang wajahku, lalu mengecup bibirku sekilas.
"Gak baik bersedih terus, bukan hanya kamu yang kehilangan
calon bayi kita. Aku pun juga sedih, tapi kalau bisa jangan sampai
kesedihan itu terjadi berlarut-larut," terangnya, membuatku
menangis dan memeluknya lagi.
"Lho! Nangis lagi, kasihan tu mata. Sudah merah,
kemerahan seperti digigit nyamuk lagi," ledeknya lagi, aku pun
melepaskan pelukanku dengan bibir manyun, membuat Mas Reza
melumat bibirku. Cukup lama bibir kami saling melumat, hingga
tiba-tiba kami dikejutkan dengan ketukan pintu, refleks kami pun
menjauhkan diri. Mas Reza beranjak membukanya.
Pintu terbuka, terlihat ibu di luar. Wajahnya tak mampu
menyembunyikan kekhawatiran yang dirasa.
"Kenapa, Bu?" ucap Mas Reza di ambang pintu.
"Gimana, Nia? Masih nangis? Coba kamu ajak keluar sana,
biar bisa melupakan kesedihannya sejenak." Mendengar
percakapan Mas Reza dan mertua membuatku beranjak dari kasur
dan ikutan ngobrol.
"Gak usah Bu, malu, mataku masih kayak gini," ucapku
manyu sambil memperlihatkan kedua mataku yang membengkak.
Mas Reza dan Ibu mertua tertawa geli melihat tingkahku.

51
"Makanya jangan nangis terus kalau malu," ucap Mas Reza
sambil memegang daguku. Membuat ibu mertua geleng-geleng
kepala lalu pergi meninggalkan kami berdua.
"Ih, Mas Reza, tahu tempat dong. Ibu pasti malu itu melihat
kita tadi," kataku sambil menepuk lengannya.
"Gak papa, ibu kan pernah muda juga, Dek," ucapnya
tersenyum, lalu memelukku dari samping sambil mengelus lengan
kananku. Aku pun menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Gimana? Mau gak jalan?" ucap Mas Reza setelah melepas
pelukannya.
"Gak ah," jawabku balik ke kamar. Mas Reza mengejarku
lalu berkata, "Kenapa? Malu,"
"Sudah tahu pakai nanya lagi, emang Mas gak malu jalan
sama aku?"
"Ngapain juga malu, wong jalan sama istri sendiri juga.
Kalau jalan sama istri orang baru aku malu,"
"Jadi, Mas Reza ada rencana ingin jalan sama istri orang
gitu?" ucapku polos. Mas Reza tergelak, menoel hidungku. "Gak
harus gitu juga. Itu kan cuma perumpamaan. Ngapain coba aku
jalan sama istri orang, kalau sudah ada istri yang selalu menemani
jalan ke manapun aku mau, iya gak?"
Mendengar ucapan Mas Reza membuatku tersenyum tipis
lalu memeluknya. "Dari tadi kok meluk terus? Apa gak bosen apa?
Ganti gitu," protes Mas Reza dan aku hanya tertawa geli.

"Emang mau di ganti apa?"

52
"Cium," tunjuknya di bibirnya. Lalu aku menciumnya
sekilas, tapi malah Mas Reza menarik wajahku dan melumat
bibirku dengan lembut.
"Astaghfirullah!" Ibu mematung di depan pintu. Ia hanya
mengelus dada. Refleks Mas Reza pun melepaskan lumatan, lalu
menggaruk tengkuk. Sedangkan aku, sudah mau setengah mati.
"Mbok ya pintunya di tutup, kalau mau adegan kayak gitu.
Untung cuma ibu yang lihat, coba kalau bapak atau orang lain yang
tiba- tiba datang ke rumahmu melihat adegan kayak gitu, pasti
malu. Apalagi sampai ponakanmu yang memergoki, bisa runyam,
Za Za," ucap ibu mertua panjang lebar sambil menepuk keningnya.
"Hehehe, refleks Bu tadi, lagian kenapa masih di sini? Aku
kira sudah balik ke rumah," ucap Mas Reza cengengesan sambil
menggaruk tengkuknya.
"Itu cuma mau bilang, kalau Ibu sudah siapin makanan di
meja kalau Nia lapar, eh malah lihat kejadian kayak gini. Ya sudah,
Ibu pulang dulu. Jangan lupa pintunya di tutup kalau mau
dilanjutkan lagi," ucap Ibu mertua membuatku diam, malu.
"Dasar anak muda zaman sekarang, kebanyakan nonton
TV," gerutu Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala, berlalu dari
hadapan kami.
Mas Reza tertawa, sedangkan aku menutupi wajahku
dengan bantal, malu beneran aku, Ya Allah.

53
Delapan

Kehilangan yang kedua kalinya

"Innalilahi wainailaihi rojiun. Iya, Emak aku pulang


sekarang," ucapku sambil menangis sesenggukan. Mas Reza masuk
ke kamar, melihatku dengan heran. Lalu mendekatiku yang lagi
menutup telepon.
"Kenapa, Dek? Siapa yang telepon?" tanya Mas Reza
sambil memegang tanganku.
"Nenek buyut meninggal Mas," ucapku masih menangis.
"Innalilahi wainnailaihi rojiun. Kita pulang sekarang, Dek!" ajak
Mas Reza beranjak dari duduknya menuju lemari mengambil
pakaian seperlunya, lalu menata dalam tas berwarna biru.
"Dek!" seru Mas Reza membuat lamunanku hilang seketika.
"Kenapa masih di situ? Ayo lekas ganti baju. Kita langsung
berangkat, sekarang!" ucap Mas Reza sembari membawakanku
gamis cokelat serta jilbab hitam.
Melihatku yang masih mematung sambil menangis, Mas
Reza memeluk dari samping lalu berkata, "Sudah, Dek. Kamu
harus ikhlas melepaskan nenek buyut. Mungkin ini yang terbaik
untuk beliau."
Nenek buyut, beliau adalah istri dari kakek buyutku yang
telah meninggal enam bulan lalu. Paras keriput merata di setiap
inci tubuh. Namun, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

54
Kadang lengkung bibir itu, menyisaka kecantikan yang pernah
dimiliki di usia muda. Selama ini, nenek buyut tinggal bersama
keluargaku. Semenjak ditinggal kakek buyut kesehatan nenek
buyut menurun dratis.
Di dalam bus, aku termenung, sedih mengingat
keberadaannya. Dulu sebelum ia sakit dan terbaring di ranjang,
memasak dengan kayu bakar adalah keahliannya. Entah membuat
mendoan, nasia ataukah ubi rebus. Semuanya berubah tatkala ia
sakit, kini tempat biasa ia memasak telah berubah menjadi gudang.
Kayu pun sudah jarang.
Tak lama teleponku berdering, panggilan dari Ave.
Menanyakan aku sudah sampai mana. Soalnya jenazah nenek
buyut mau dikebumikan.
"Gak usah nunggu kita, Dek, biarkan jenazah nenek buyut
dimakamkan sekarang, kasihan jenazahnya kalau kelamaan," ucap
Mas Reza saat aku mengulur waktu dulu supaya jenazahnya jangan
dikebumikan dulu.
Nasihat Mas Reza membuatku terenyuh tapi benar apa
katanya, kasihan nenek buyut kalau kelamaan. Aku pun
mengembuskan napas, berucap bismillah agar hatiku bisa ikhlas
menerima kepergiannya. Lalu aku menekan nomor Ave, memberi
kabar agar jenazahnya langsung dikebumikan saja tidak usah
menungguku.
Setelah hampir menempuh perjalanan lebih dari lima jam
akhirnya sampai juga aku dan Mas Reza di Kota Tuban. Saat baru
sampai rumah, jenazah nenek buyut baru saja di berangkatkan.

55
Dengan ditemani Mas Reza aku pun beranjak pergi ke pemakaman.
Tiba di pemakaman, luruh sudah air mataku yang aku tahan
saat masih di bus. Dengan sesenggukan aku berjalan ke arah di
mana nenek buyut dimakamkan. Di sana sudah ada Ave dan Andi
serta Pita.
Kami berpelukan. Andi pun mengelus punggungku. Setelah
berdoa cukup lama kami beranjak pergi, pulang ke rumah untuk
meneruskan selamatan buat nenek buyut. Walau tak semua
melakukan ini, adat ini sudah dijaga dan dilakukan oleh nenek
moyang secara turun menurun. Ada pengajian hingga tiga hari
setelah wafatnya seseorang. Tujuh hari, 40 hari, 100 hari berlanjut
hingga 1000 hari. Bahkan ada yang sampai weton di mana ia wafat
maka selamatan tetap dilakukan.
Selamatan dilakukan dengan mengundang sanak saudara
dan tetangga. Ada yang besar, kecil pun tak masalah. Disesuaikan
denagn kondisi keluarga. Biasanya acara dimulai dengan doa,
membaca Yasin hingga dibawakan makanan atau bahan pokok
sebagai ungkapan terimakasih.
Saat malam hari, di rumah diadakan ngaji tahlil. Di dalam
kamar aku masih menangis sesenggukan. Di saat yang bersamaan,
dalam rentan dua minggu aku kehilangan orang yang aku sayangi.
Pertama calon bayi yang ada dalam kandunganku dan sekarang aku
harus kehilangan nenek buyut.
Emak yang melihatku, berjalan menghampiri. Ia duduk di
tepi tempat tidur lalu memelukku dari samping. Elusan tangan
yang tak dapat terlupa, menyusuri setiap jengkal rambut dan sisi

56
kepala. "Sudahlah, Nduk. Ikhlaskan keduanya. Aku tahu kamu
sedih tapi jangan sampai berlarut-larut. Gak baik, Nduk. Mungkin
Allah saat ini lagi mengujiku, dan Emak yakin kamu bisa melewati
ini semua." Refleks aku pun menoleh ke arah Emak dan balik
memeluknya.
Ave dan Pita datang membawakan makanan untukku.
Mereka memintaku makan Awalnya aku menolak, tapi setelah tahu
kalau Mas Reza juga belum makan, aku pun menyetujui untuk
makan.
"Mas Reza, di luar Mbak, masih ngobrol sama Mas Andi
dan Bapak. Mau aku panggilkan?" tawar Ave, aku mengangguk.
Tak berapa lama Mas Reza datang. Sambil tersenyum lalu
datang menghampiriku. "Kenapa?" Aku pun menyodorkan
makanan ke mulutnya, membuat Mas Reza tersenyum. Satu suapan
mendarat dengan sempurna.
Mas Reza merebut sendok yang aku pegang lalu
menyendokkan makanan dan menyuapiku. "Gitu dong, makan,
bukannya ini masakan kesukaan kamu? Pasti Emak bikinnya juga
spesial buat kamu, sayang kalau gak di makan."
Setelah selesai makan kami pun keluar kamar, berjalan ke
arah ruang keluarga. Di sana sudah ada bulek dan pak lek
saudaranya bapak. Saat menyadari kehadiran kami, bulek Sri, yang
paling gendut di antara mereka melambaikan tangan. Memintaku
untuk duduk di sampingnya.
"Yang sabar ya? Mungkin memang belum waktunya.
Insyaallah nanti bisa isi lagi," ucapnya menghiburku.

57
Malam pun telah larut, pak lek dan bu lek serta ketiga
anaknya tetap tinggal di rumah. Menginap selama tahlilan nenek
buyut berakhir. Kami mengobrol sampai tengah malam, hingga
semua orang tertidur di ruang keluarga termasuk aku dan Mas
Reza. Kami tidur beralaskan tikar.
Keesokan paginya, Mas Reza membangunkan aku.
Mengajakku jalan-jalan bersama Ave, Andi, serta Pita. Kami
memutuskan mencari kerang di laut mumpung air laut sedang
surut.
Pantai memang tak jauh dari desa pesisir seperti daerah ini.
Berjalan ke arah jalan raya, menyebrang hingga menemukan dataran
yang lebih menjorok ke laut. Kami menuruni jalan setapak.
Sambutan pasir putih membuat rona bahagia tak lekang oleh waktu
dan kenangan.
Laut sudah mendarah daging. Namun, jangan salah.
Walaupun dekat dengan laut tapi aku tak begitu suka ikan laut,
kecuali kerang, tiram sama kepiting. Aneh ya? Itu baru makanan
laut belum daging sapi atau kambing, aku pun tidak menyukainya.
“Nyari kerang, yuk?”
Ajakan Ave membuatku tertarik, berbekal kantong plastik
yang kami temukan di sekitar celah batu, kami pun mulai berburu
kerang. Ternyata dengan mencari kerang di laut, dapat membuatku
melupakan kesedihan sebentar.
Menjelang siang, keranjang yang kami bawa sudah penuh.
Melihat senyumku membuat Mas Reza lupan di mana kami berada.
Ia tanpa sadar memeluk dan mencium keningku.

58
"Ehhem, ehhem." Mas Reza menoleh ke Ave sambil
berkata, "Kenapa, Ve? Sudah halal ini jadi gak papa kalau kami
berpelukkan seperti ini," kata Andi sambil mempererat pelukannya
pada Pita.
Ave memanyunkan bibir. " Tapi lihat tempat dong Mas?
Ada aku juga lo ini," sewotnya. Aku dan Mas Reza tersenyum.
"Makanya buruan minta dihalalin si Amar biar bisa
kayak kita- kita gini," ucap Andi tiba-tiba dari arah belakang
Ave, ikut-ikutan memeluk Ave.
Amar merupakan lelaki pujaan Ave. Mereka teman sekolah
dulunya. Kini keduanya telah menjalin hubungan yang serius. Aku
juga tak mau terlalu ikut campur, yang penting dia bahagia dengan
pilihannya.
"Hemmm, nunggu uangku terkumpul dulu baru nikah,"
ucap Ave masih manyun sambil bersendekap.
"Sudah-sudah, kasihan Ave nya kalian ledekin terus.” Aku
melepaskan pelukan Mas Reza lalu menghampiri Ave,
memeluknya dari samping kanan. Pita pun mengangguk sambil
tersenyum, ikut melepaskan pelukannya dari Andi, menghampiri
Ave lalu memeluknya dari samping kiri.
Setelah adegan peluk-pelukkan kami berlima pun beranjak
meninggalkan laut sambil menenteng kantong plastik yang berisi
kerang. Begitu sampai rumah, Andi membawa kerang itu ke dapur,
berniat merebus kerang dulu sebelum ditumis.
"Mbak Ni, yang buat bumbu ya. Bagian melepaskan
cangkang kerang, biar kami berempat, gimana?" ucap Andi

59
menoleh ke Ave, Pita dan Mas Reza. Mereka pun menganggukkan
kepalanya. "Setuju!" Layaknya sebuah paduan suara, mereka
melakukannya bareng.
"Kangen aku masakan Mbak Ni, masih sama gak ya?" ucap
Ave sambil menaruh telunjuknya di dagunya.
"Agak berubah." Bukan aku yang jawab tapi Mas Reza,
membuat ketiga adikku bingung.
"Berubah gimana, Mas!" seru Andi kaget.
"Yang pasti berubah enak," jawab Mas Reza membuat kami
tergelak.

60
Sembilan

Positif

"Mas, Mas Reza." Ku goyang-goyangkan badannya, agar


Mas Reza terbangun dari tidurnya. Dan ide itu ternyata cukup
berhasil. Sambil mengucek matanya Mas Reza berkata, "Kenapa?"
Ia terduduk, menggeser pantat menuju punggung ranjang. Sesekali
tangannya mengusap wajah dan mata.
"Aku pengin, nasi goreng ayam panggang," ucapku
memasang wajah merayu. Mas Reza mengeryit heran, "Nasi
goreng, ayam panggang? Emang ada?"
Aku menepuk lengannya lembut. "Ih adalah Mas, kamu
yang bikin, iya? Aku lagi pengin itu," rayuku lagi.
"Besoklah, Dek. Masih jam 2 malam ini, emang ada bahan-
bahannya di kulkas?" tolak Mas Reza halus, lalu merebahkan diri
lagi.
"Besok saja ya Dek, kita makan, kasihanilah aku yang
masih ngantuk," ucapku dengan nada bergetar. Tak lama Mas Reza
terbangun, matanya tertuju pada perutku yang sedang ku elus-elus.
Merasa kasihan, ia akhirnya bangkit.
"Iya, iya, aku buatin sekarang. Kamu tunggu ya? Jangan
tidur dulu," Mas Reza pun beranjak dari tidurnya, berjalan keluar
kamar menuju dapur. Berbagai bahan dan peralatan sudah tersedia,
hanya saja ada suatu keinginan untuk menikmati masakan tangan

61
kekar itu.
Kini, nasi goreng dan ayam panggang pesananku tersedia
dalam waktu singkat. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang
bisa memasak, melengkapi diriku yang serba minimalis.
Iya tepat tiga bulan setelah dikuret, aku hamil lagi. Butuh
proses panjang juga ketika mengingatnya. Dimulai dari kata adikku
Andi. Yang memberi ide harus minum air kelapa muda yang harus
di bakar dulu, lalu baru boleh di minum lalu makan isi kelapanya
berdua tanpa boleh ada yang minta.
Lalu ada tetangga yang menyarankan untuk memakan
kurma muda yang langsung dibawakan dari orang yang pulang
haji. La ini yang agak sulit gimana caranya bisa makan kurma
muda langsung dari Mekkah kalau belum musim haji.
Masih banyak lagi saran-saran dari tetangga yang terakhir
dari nenek yang memijatku, beliau menyuruhku minum air cucian
beras yang baru pertama kali dicuci. Caranya beras dikasih air
matang satu gelas lalu dicuci seperti biasa sambil berdoa semoga
diberikan keturunan.
Semua saran-saran dari orang aku lakukan, dan
alhamdulilah hari yang aku tunggu akhirnya datang juga. Sambil
senyum-senyum, aku menyerahkan hasil tespek ke Mas Reza. Saat
Mas Reza melihat hasilnya, refleks dia pun menggendongku
sambil berputar-putar, membuat seketika kaget lalu tertawa
bersamanya.
Mas Reza menurunkanku dari gendongan, "Alhamdulillah,
Dek, akhirnya," ucapnya gembira sambil mencium keningku,

62
berkali-kali. Lalu ia beralih mencium kedua mata, pipi, hidung, lalu

63
bibirku sebentar.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya sekali lagi lalu melumat
bibirku pelan larut karena larut dalam kegembiraan. Aku pun
membalas melumat bibirnya, tapi itu tak berlangsung lama. Karena
ketukan dari pintu membuat kami melepaskan ciuman lalu
tersenyum tipis.
"Ni, ini si Lea minta main sama kamu," ucap ibu mertua di
belakang pintu. Mas Reza pun beranjak menjauh dariku bermaksud
untuk membuka pintu. Saat melihat Lea, bocah imut yang masih
berusia empat tahun. Anak dari saudari Mas Reza—Mbak Siti---,
yang kebetulan tinggal dekat rumah. Ia berdiri memegang jari ibu
mertua, di depan pintu. Mas Reza tersenyum lalu menekuk kedua
kakinya. Ia duduk bersimpuh di depan Lea, menjajarkan tubuhnya.
"Lea ke sini sama siapa? Mau main sama Tante Ni? Tapi,
Tante Ni lagi gak enak badan, Sayang," ucap Mas Reza kedua
tangannya memegang pundak Lea.
Ibu mertua yang mengetahuiku lagi gak enak badan pun
langsung menyerobot masuk, membuat Mas Reza terhuyung ke
samping.
Begitu Ibu mertua masuk, beliau langsung duduk di
dekatku. Meraba kening dan juga tanganku, "Kenapa? Apanya
yang gak enak?" ucap Ibu mertua cemas. Aku tersenyum lalu
menggeleng, "Aku gak kenapa-kenapa Bu, cuma ini," ucapku
menyodorkan hasil tespek.
Melihat ada tanda strep dua, membuat mata Ibu mertua
berbinar dan langsung menghambur memelukku.

64
"Alhamdulillah, akhirnya." Ibu melepaskan pelukannya,
beralih menatap Mas Reza yang lagi menggendong Lea. "Za, siap-
siap sana. Antar Nia periksa ke Bu bidan mumpung masih pagi,
belum terlalu ramai," ucap Ibu mertua.
"Iya, ini juga mau siap-siap Bu," jawab Mas Reza lalu
menurunkan Lea dari gendongannya. Lea menghampiriku, lalu
duduk di pangkuan, "Tante Ni lagi sakit ya? Yah, Lea gak ada
teman main dong," rajuknya menggelanjut manja dipangkuaku.
Ibu yang melihat Lea duduk di pangkuanku pun langsung
mengambil alih Lea, memangkunya. "Lea, di rumah saja sama
Nenek, nanti kita ke pasar beli balon, mau?" rayu Ibu mertua. Lea
menggeleng, bibirnya manyun.
"Aku sudah punya balon, Nek, di rumah. Masak beli balon
lagi?" ucap Lea merunduk sedih sambil memanyunkan bibirnya.
"Emang Lea mau apa?" tanya Mas Reza menekuk kedua
kakinya, mendekati Lea.
"Es krim, boleh?" tanya Lea hati-hati. Mas Reza mengacak
rambut Lea sambil berucap, "Boleh, mau rasa apa?" Lea turun dari
pangkuan Ibu mertua lalu beralih memeluk leher Mas Reza, "Lea
mau semua rasa, boleh gak, Om Za?" rayunya manja.
"Memang habis nanti?" ucap Mas Reza menyakinkan Lea.
"Nanti aku makan sama Tante Ni, biar Tante Ni cepat sembuh
kalau makan yang manis dingin," ucapnya polos, membuat kami
bertiga tersenyum.
"Cuma di makan sama Tante Ni? Berarti Om Za gak di
kasih

65
dong," ucap Mas Reza memasang muka sedih di hadapan Lea.
"Nanti, Om Za makannya minta Tante Ni, pasti di kasih. Iya kan,
Tante Ni?" Lea menoleh kearahku yang lagi tersenyum lalu
mengangguk.
"Boleh dong, nanti kita makan bertiga rame-rame, mau?"
ucapku, Lea mengangguk antusias lalu melepas tangan di leher
Mas Reza, "Horee, es krim," ucapnya antusias, sambil tangannya
diangkat ke atas.
Ibu mertua menghampiri Lea, "Kita ke pasar sekarang yuk,
ntar habis es krimnya gak bisa makan lagi," ajak Ibu mertua
membohongi Lea, agar mau ikut dengannya.
Lea mengangguk meraih tangan Ibu lalu beranjak dari
kamarku. Tapi belum terlalu jauh, Lea menghentikan langkahnya
lalu berbalik berjalan ke arahku, duduk di pangkuan lalu mencium
kedua pipiku, "Lea pergi dulu ya, Tante Ni. Lea mau beli es krim,
Tante Nitungguin Lea ya? Jangan ke mana-mana dulu."
Aku tersenyum, kemudian Mas Reza berkata, "Lea, Tante
Ni kan lagi gak enak badan, jadi Om Za mau bawa Tante Ni
periksa dulu, biar cepat baikkan."
Lea mengangguk lalu berlari ke arah Ibu mertua,
mengandeng tangannya sambil berucap, "Ayo, Nek kita ke pasar,
Om Za mau bawa Tante Ni berobat biar cepat sembuh."
Setelah kepergian Lea dan Ibu mertua, Mas Reza
mendekatiku memeluk dari belakang. Melingkarkan tangannya di
perutku. Ia mengelusnya berlahan lalu memutar tubuhku. Sembari
menekuk kedua kakinya, ia bersimpuh sambil mengelus perutku

66
tak lupa menciumnya, "Teruslah bersama kami ya, Sayang. Hingga
waktunya kamu lahir ke dunia. Ayah sayang kamu."
"Dek," ucap Mas Reza memegang pundakku, menyadarkan
aku yang lagi melamun.
"Pasti ngelamun, iya kan? Aku panggil dari tadi gak nyaut,
ngelamunin apa sih?" Membuatku menggeleng lalu beranjak dari
kasur, menarik tangan Mas Reza, mengajaknya keluar kamar.
Saat sudah sampai meja dapur, mataku berbinar melihat apa
yang aku pengin sudah tersaji di meja. Nasi goreng dengan lauk
ayam panggang, seketika membuatku meneteskan air liur.

67
Sepuluh

Tujuh bulanan

Enam bulan berlalu, kehamilanku sudah memasuki bulan ke


enam. Di mana hari ini di rumah sedang diadakan acara tujuh
bulanan, dalam bahasa Jawa disebut tingkepan atau rujakan.
Keluarga besar Tuban pun sudah datang semua, ingin mengikuti
proses tujuh bulanan ini.
Maklum tujuh bulanan di Tuban berbeda dengan di Ngawi.
Salah satunya ibu hamil mandi berdua dengan suami, memakai
gayung dari batok kelapa muda, dengan disaksikan kedua keluarga.
Setelah mandi ibu hamil harus ganti pakaian sebanyak tujuh kali,
lalu bersama suami jualan rujak yang membelinya adalah semua
keluarga besar dariku dan Mas Reza.
"Rujaknya kurang pedas ini Mbak kalau menurutku," bisik
Ave di telingaku sambil berdiri. Membuatku tersenyum tipis
sambil memegang tangan Ave, "Jangan kaget masakan di sini,
memang beda sama di Tuban. Kalau di sana cenderung asin pedas,
sedangkan di sini gak terlalu pedas dan cenderung manis," ucapku
ikut berbisik.
Keasyikan ngobrol sampai Ave tidak menyadari kalau habis
dua rujak sekaligus. "Katanya gak pedes kok nambah?" ejekku
membuat Ave tertawa tertahan. Kening Mas Reza mengkerut
melihatku berbisik dengan Ave. Perlahan Mas Reza mendekat lalu
melingkarkan tangannya di pinggangku.

68
"Kenapa?" tanya Mas Reza masih dengan memegang
pinggangku. Ave menggelengkan kepalanya.
"Hadeh Bang, mulai deh," ucap Ave memandang jengah ke
arah Mas Reza.
"Kenapa? Sudah halal, gak papa dong. Kamu pengin?
Bilangin Amar, suruh cepetan ngelamar kamu, biar bisa kayak
gini," tunjuk Mas Reza ke arah tangannya yang melingkar di
pinggangku.
"Itu lagi ... itu lagi. Bosen aku dengarnya. Mau kerja dulu
aku Mas, pengin ngerasain beli apa-apa sendiri. Dari kemaren-
kemaren kan yang sering belikan Mbak Ni," senyum Ave sambil
menutup mulutnya. Aku dan Mas Reza tertawa mendengarnya.
Setelah acara tujuh bulanan selesai dilanjutkan dengan acara
selamatan. Mengundang tetangga kanan kiri, untuk mendoakan
kehamilanku agar berjalan lancar hingga waktu persalinan tiba.
"Mbak Ni, kok perut Mbak Ni gak gede ya? padahal sudah
tujuh bulan tapi kelihatan seperti baru berjalan empat atau lima
bulan gitu," ucap Ave heran sambil mengelus perutku.
"Kata orang sih kulit perutku tipis jadi gak kelihatan, beda
kalau tebal pasti kelihatan gede perutnya," jawabku ikutan
mengelus perut. Selamatan sudah selesai, Mas Reza berjalan
kearahku dan Ave duduk, ikutan duduk di sebelah sampingku
sambil menyodorkan rujak, "Enak, Dek, coba deh," tawar Mas
Reza mengarahkan rujak ke arahku.
Tiba-tiba Ave berdiri, memandangku, "Berhubung sudah

69
ada Mas Reza, Ave pamit ke sana dulu deh, ikutan emak sama
bapak saja. Daripada di sini jadi obat nyamuk," ucap Ave
memutar matanya, malas.
Ave pun beranjak meninggalkan kami. Sementara aku
melanjutkan makan disuapi Mas Reza. Makan dari suapan suami
itu bagiku sangatlah nikmat dan lagi katanya bisa bikin rezeki
suami bertambah. "Mas Reza gak makan?" tanyaku melihatnya
hanya menyuapiku saja.
"Sudah tadi, makanya tahu rasanya manis dan gak begitu
pedas," jawabnya.
"Tapi kalau pedas tambah enak lo ini rujak, sayang kok gak
pedas ini gimana?"
Pertanyaanku hanya di jawab gelengan kepala Mas Reza
lalu beralih mengacak kerudungku. "Lupa sama kata Ibu , gak
boleh makan, makanan yang pedas panas dingin biar dedek
bayinya ntar gak belekan matanya."
Semenjak usia kehamilanku bertambah, Mas Reza bersama
Ibu mertua selalu mengingat ketiga hal yang tidak boleh di langgar.
Katanya sih biar bayi di dalam perut tidak membesar atau lahir
dengan berat badan pas gak berlebihan.
"Mas, aku lo pengin nasi goreng dicampur suwiran ayam,
telor orek terus minumnya---."
"Air galon asli saja, habis makan gak dibolehkan beli es
kelapa." ucapku tertahan karena terpotong ucapan Mas Reza. Aku
hanya memonyongkan bibir. Mas Reza pun tersenyum, "Masih
enakan air galon, Dek. Aku temani kamu gak minum es deh."

70
"Halah, paling bohong lagi. Kayak kemaren itu, pas ketemu
perempuan cantik, katanya gak kenal kok menyapa, aneh kan?"
"Hahaha, kan saat itu sudah aku jelaskan semuanya." Mas
Reza menggenggam tanganku, "Percayalah, aku akan selalu setia
sama kamu, dan terus bersamamu selamanya.,"
Seketika air mataku keluar, mendengar penuturannya. "Kok
nangis?" Mas Reza menghapus air mata di kedua pipiku. "Gak
papa, terharu saja." Aku pun ikutan memegang kedua tangannya.
"Mas acaranya sudah selesai to? Boleh gak aku tidur dulu?"
ucapku bergelanyut manja di dadanya. Sambil membelai
kerudungku, lalu menciumnya sekilas. "Capek?" kata Mas Reza.
"Banget, aku boleh minta tolong gak Mas?" ucapku. Mas
Reza menganggukkan kepalan. “Mau minta tolong apa?" jawab
Mas Reza.
"Kakiku capek boleh nanti sebelum tidur, aku minta pijat
kakiku dulu,"
"Bolehlah, untuk istriku. " ucapnya. Aku yang
mendengarnya pun tersenyum geli. Lalu kami berdua beranjak
menuju ke kamar. Saat di dalam kamar, aku sampai tersenyum
lebar melihat kamar sudah terlihat cantik, dan pastinya adem di
kulit. Mas Reza memeluk dari belakang, melingkarkan tangan di
perutku sambil mengelus-elus.
"Ayah boleh gak nengokin adik, Bun?" tanya Mas Reza ke
arahku. Telingaku memerah mendengarnya, panggilan ayah
ataupun bunda belum menjadi kebiasaan. Kata Mas Reza agar
kami berlatih dan terbiasa. Benar adanya, saat mendengar

71
panggilan itu ada sesuatu yang menyeruak di hati. Perasaan
senang, bangga, haru hingga bahagiia menjadi satu. "Nanti dulu,
masih banyak orang tuh di luar, gak enak kalau kita di dalam
malah main sendiri," tegurku, Mas Reza pun tertawa lalu
menciumku dari belakang.
"Aku capek, boleh tidur dulu, Mas? Tapi sambil dipijat
kakiku ya?" ucapku lagi. Mas Reza mengangguk saat mulai
merebahkan tubuh, mas Reza sudah bersiap memijat kakiku.
Saat lagi asyik dipijat, tiba-tiba terdengar ketukan pintu,
"Ni, sudah tidur?" ucap ibu mertua di balik pintu. Mas Reza
beranjak dari duduknya, berjalan ke arah pintu.
"Belum, Bu. Masih minta dipijat kakinya. Kenapa?" ucap
Mas Reza begitu membuka pintu.
"Minum susu dulu, nih sudah ibu buatkan. Jangan lupa
vitaminnya juga ya?" ucap Ibu sembari menyodorkan gelas susu
lalu beranjak pergi dari kamarku.
"Dek, minum susunya dulu. Nih, sudah dibikinin Ibu," ucap
Mas Reza menyodorkan susu ke arahku. Beranjak duduk menerima
susu dari mas Reza lalu meminumnya sampai habis."
"Ini vitaminnya, di minum sama air putih saja," tawar Mas
Reza kembali menyodorkan vitamin sedangkan tangan kirinya
menerima gelas kosong yang aku berikan.
"Aku tidur dulu ya, Mas? Tapi sambil di elus ya? Biar cepat
tidur akunya." Semenjak hamil kebiasaan tidurku adalah dengan di
elus-elus perutku. Padahal dulu tidur langsung saja gak pakai elus-
elus, mungkin kemauan si dedek bayi, hehehe.

72
"Padahal ayah mau nengok adek lo, eh malah tidur, besok-
besok sajalah." Aku hanya tersenyum mendengar Mas Reza
mengeluh karena gak bisa menengok anaknya. Maafkan ya, Yah.
Besok deh nengoknya, lama juga gak papa, gantinya malam ini.
“Assalamualaikum, selamat malam.”

73
Sebelas

Buah Cerme

"Kenapa? Kok ngelihat sampai segitunya." Pulang dari


Masjid Mas Reza memandangku lalu tersenyum. Terlebih aku
hanya mengenakan handuk setelah selesai mandi. Agak malu
sebenarnya, saat mandi lupa gak bawa baju ganti. Alhasil begini
deh, keluar cuma pakai handuk.
"Kenapa? Malu? Wong aku juga sudah lihat semuanya,
ngapain malu," ucap Mas Reza tertawa melihat kedua pipiku
merona. Mas Reza berjalan menghampiriku, masih dengan
tersenyum tiba-tiba dia menyibak handuk yang aku pakai,
membuatku telanjang.
"Ih Mas Reza! Kok di buka sih? Coba kalau ada orang yang
tiba- tiba masuk gimana?" ucapku sewot lalu mengambil handuk
yang jatuh ke lantai, karena lagi hamil tangan pun tak sampai
mengambil handuk.
Dengan sigap Mas Reza yang melihatku kesusahan,
membungkuk lalu mengambil handuk yang kemudian dia lilitkan
kembali ke tubuhku. "Aku suka kalau lihat kamu telanjang gitu,
bisa lihat dengan jelas gimana polah bayi kita yang ada di perut
kamu."
"Tapi gak harus begitu juga kali Mas," sewotku cemberut

74
sambil menepuk lengannya. Mas Reza tergelak, tangannya
memencet hidungku.
"Ish, sakit Mas," ucapku mengelus hidung. Mas Reza
kembali tergelak, "Kenapa?" ucapnya masih dengan tergelak.
"Sakit, kan hidungnya pesek ini," cemberutku.
"Tapi ini yang bikin aku suka," ucapnya ikutan mengelus
hidungku.
"Sudah sana keluar, aku mau ganti baju dulu." Mas Reza
tersenyum geli, "Ganti, ya silahkan, wong aku gak ngapa-ngapain
lo," ucapnya menaikkan kedua lainnya.
"Ayolah, keluar aku mau ganti baju ini," rajukku sambil
mendorong Mas Reza untuk beranjak pergi dari kamar.
"Aku mau ambil dompet, Dek," ucapnya di ambang pintu.
"Nanti aku ambilkan," ucapku sambil menutup pintu tapi
ditahannya hingga pintu terbuka sedikit.
"Mas Reza, aku gak kuat, tahu istrinya lagi hamil malah
pintunya didorong," ucapku di balik pintu, tak ayal bikin Mas Reza
melepaskan tangannya hingga pintu pun kembali tertutup.
Di dalam kamar, aku tersenyum sendiri sambil menutup
mulut. "Lucu ayah kamu, Nak. Melihat Bunda kesakitan bikin
ayahmu luluh juga. Sebentar lagi Sayang, kamu akan hadir ke
dunia ini, sehat- sehat ya di perut Bunda hingga waktunya tiba,"
ucapku pelan sambil mengelus perut buncitku.
Setelah berganti baju, aku pun beranjak ke luar kamar. Saat
membuka pintu betapa kagetnya aku, ternyata Mas Reza masih di
depan pintu dengan senyum tipisnya.

75
"Kok masih di sini, bukannya dah mau berangkat kerja?"
"Dompetku ketinggalan di kamar, Dek. Tadi bukannya
Adek mau mengambilkan. Lupa?"
"Ah, iya! Aku lupa, beneran soalnya aku sudah lapar, mau
makan siang dulu,"
"Lo! Bukannya tadi sudah makan sama aku?"
"Aku lapar lagi, hehehe." Mas Reza geleng-geleng lalu
beranjak masuk ke kamar, mengambil dompetnya.
Saat melintasiku yang sedang makan, Mas Reza berhenti
"Dek, minumnya ganti air galon saja." Peringatan itu menggema
lagi. Lalu ia mengambil air es yang ada di hadapanku,
meminumnya sampai tandas.
"Mas Reza, aku kan pengin kenapa dihabiskan sih airnya?
Panas ini, aku pengin icip segelas. Itu juga gak terlalu dingin kok,
baru tadi pagi aku masukkan kulkas juga," ucapku dengan nada
sedih, beranjak pergi menuju kamar, mengurungkan niatku untuk
makan siang.
Mas Reza berjalan mengejar, tangannya menggenggam
tanganku, "Maaf," sesalnya tapi aku menghentakkan tangannya ke
udara, berjalan kembali ke kamar yang masih di ikuti Mas Reza.
Saat sudah di pintu aku pun langsung menguncinya dari
dalam, berjalan menuju kasur, merebahkan tubuh dengan menangis
sesenggukan.

76
Di luar Mas Reza mengetuk pintu sambil memanggil-
manggil namaku tapi tak kuhiraukan. Lama kelamaan mataku
terpejam, hingga sore hari menjelang.
Saat terbangun aku merasakan haus, beranjak dari kasur lalu
berjalan ke luar kamar. Saat akan membuka kulkas, tiba-tiba Mas
Reza sudah ada di sampingku sambil menyodorkan air minum
dingin, membuatku mengeryit tapi tak urung menerima minuman
dinginnya.
"Maaf," ucap Mas Reza dengan tampang sedih, dan sukses
membuatku tersedak. Sambil berjalan ke arah meja lalu menaruh
gelas, "Kenapa, minta maaf. Memang Mas Reza punya salah sama
aku?" tanyaku heran.
Mas Reza memandangku lalu kedua tangannya memegang
pundakku, "Kamu gak papa, Dek?" ucap Mas Reza memandangku
dari atas ke bawah.
"Memang aku kenapa, Mas? Eh Mas Reza gak kerja? Kok
sudah di rumah?"
"Gimana mau kerja, kalau istrinya lagi merajuk?"
"Merajuk? Aku?" Tunjukku ke diri sendiri, Mas Reza
menganggukkan kepalanya, membuatku teringat sesuatu. Lalu
dengan tersenyum aku memegang kedua pipinya, "Yang tadi? Aku
dah lupa Mas, mungkin bawaan bayi makanya sensitif," ucapku
sambil memandang ke perut.

77
Mas Reza lalu beralih mengelus perutku, "Jangan buat Ayah
bingung lah, Dek."
Aku pun tersenyum, "Mas , aku kok pengin cerme ya?”
"Cerme? Siapa yang punya, Dek? Jarang ada lo yang
menanam pohonnya, terus aku cari ke mana?" ucap Mas Reza
sambil menggaruk kepalanya.
"Iya tanya temen Mas Reza, siapa tahu pernah lihat. Ayolah,
cari," ucapku merajuk sambil mengelus lengannya. Mas Reza pun
merogoh sakunya, mengambil ponselnya lalu menghubungi
seseorang.
Mas Reza menutup teleponnya, "Aku cari dulu, mudah-
mudahan masih ada, tadi Budi bilang kalau tetangganya ada yang
punya pohon cerme, tapi masih ada gak nya, belum jelas. Soalnya
Budi lihatnya juga dah lama juga,"
"Yee, akhirnya kesampaian juga, Dek," ucapku berbinar
sambil mengelus perut.
"Mas pergi dulu kalau gitu. Assalamualaikum," ucapnya
sambil mencium keningku lalu beralih ke perutku, mengelusnya
lalu berucap, "Ayah cari buah cerme dulu ya, jangan nakal sama
Bunda, assalamualaikum," ucapnya lalu mencium perutku
membuat bayi dalam kandungan bergerak cepat.
"Eh dia ngrespon, Dek," ucap Mas Reza terharu lalu
memegang perutku yang bergerak, sambil tertawa bahagia.
"Padahal dia kan sering gerak Mas, masak lupa,"

78
"Bukannya lupa, tapi tadi itu geraknya cepat pas aku
ngomong berarti dia tanggap gitu,"
"Terserah, Mas Reza saja deh, enaknya gimana. Sudah sana
keburu malam," ucapku mengambil tangan kanannya lalu
menciumnya, "Hati-hati." Mas Reza menganggukkan kepala lalu
berjalan pergi ke luar.
Membayangkan Mas Reza pulang dengan membawa buah
cerme, membuat air liurku menetes. Tak sabar untuk memakannya,
padahal Mas Reza baru saja berangkat eh aku sudah
membayangkannya, hehehe.
Setengah jam kemudian Mas Reza pulang dengan
membawa pohon cerme serta buahnya. Membuatku berbinar lalu
mengambil buah Cerme yang ditaruh plastik sama Mas Reza.
Dengan semangat aku menuju dapur, mencuci buah cerme,
meletakkannya di piring lalu mencicipinya. Ada manis kecut
segerlah pokoknya. Sesaat aku memandang Mas Reza yang hampir
meneteskan air liurnya.
"Mas mau," ucapku menyodorkan buah cerme. Mas Reza
menggeleng, "Gak, kecut gitu. Sakit perut nanti aku,"
"Bantuin aku makanlah, Mas? Ini bukan aku yang minta
tapi bayinya Mas, ak coba dulu, seger kok." Mas Reza menggeleng
tapi aku tetap memaksanya dan akhirnya satu buah cerme masuk
juga ke mulutnya, "Enak kan?"

70
Dua Belas

KFC

"Mas, kok bau? Dah mandi belum?" ucapku sambil


menutup hidung.
"Sudah mandi, Dek, nih cium kalau gak percaya," ucap Mas
Reza berjalan mendekat tapi aku langsung aku cegah.
"Huek, bau Mas, jangan dekat-dekat," ucapku
menodongkan tangan. Mas Reza heran lalu mencium ketiaknya,
"Wangi sabun ini, Dek, sabun yang biasa kita pakai."
Aku geleng-geleng kepala, menyuruhnya pergi dari kamar.
Dengan lesu Mas Reza kemudian keluar kamar. Tapi tak setelah
Mas Reza pergi, aku ikutan keluar mencarinya.
"Mas, Mas Reza," ucapku agak berteriak. Mas Reza muncul
dari luar rumah, "Iya, kenapa? Katanya tadi suruh keluar," ucapnya
berjalan mendekati.
"Jalan yuk Mas, aku pengen ke KFC." Mas Reza pun
berjalan masuk ke kamar mengambil kunci mobil, "Ayo," ajaknya
menggandeng tanganku.
Mobil ini kebetulan untuk keperluan toko, hanya saja takut
terjadi sesuatu saat di parkir di sana. Mampirlah mobil ini ke rumah.
Selain bisa digunakan juga lebih terawat.
Setelah setengah jam akhirnya kami pun sampai di depan
KFC, belum juga turun aku dah minta balik pengin jalan ke mall.
"Sudah Mas, ayo sekarang kita ke mall,"

71
"Gak makan dulu kita, Dek," ucap Mas Reza sambil
melepaskan sabuk pengamannya. "Ngapain? aku dah lihat, tuh!
tunjukku ke tulisan KFC membuat Mas Reza menggelengkan
kepala.
"Aku kira ngajak ke KFC makan, Dek, gak tahunya cuma
lihat tulisan doang," Mas Reza cemberut, bikin aku ketawa geli.
"Eleh, eleh, ya sudah ayo turun kalau Mas Reza lapar, tapi
aku gak makan ya? Aku mau mi ayam saja pas pulang nanti,"
"Ya sama saja, Dek, kalau cuma aku yang makan, sudah
makan mi ayam di langganan kita saja sekarang. Masih dengan
tampang cemberut membuat tergelak.
"Mas Reza pengin makan KFC? Ayo aku temani." Mas
Reza diam sambil mengemudi, aku pun terdiam merasa bersalah
tak terasa air mata menetes di pipi cepat-cepat aku mengusapnya
sambil memandang ke samping jendela.
Tiba-tiba saja mobil berhenti, membuatku menoleh ke
samping dan menemukan Mas Reza memandangiku, "Maaf, kalau
bikin kamu sedih," ucapnya mengusap air mata lalu mencium
keningku, "Kita ke mall atau langsung makan mi ayam ini," ucap
Mas Reza lagi.
"Ke mall boleh, makan mi ayam juga boleh," "Makan dulu
baru ke mall, gimana?"
"Ntar kalau aku lapar lagi gimana?" tanyaku balik.
"Ya kita cari makan lagi ntar, sudah keburu siang." Mas
Reza kembali mengemudikan mobilnya berjalan menuju mi ayam

72
langganan kami.
Saat memasuki kedai mi ayam, penjualnya pun menyapa
hangat. Menanyakan kok sudah jarang ke sini, tapi begitu
melihatku, penjualnya tersenyum senang, "Oalah Mbak, dah isi to,
mudah- mudahan lancar ya Mbak sampai persalinan tiba," ucap
Pak Saimin, penjual mi ayam.
"Aamiin, Pak,"
Pak Saimin pun bertanya tentang usia kehamilanku, tapi
begitu tahu usianya sudah masuk bulan sembilan, Pak Saimin
berserta istrinya kaget bukan main.
"Aku kita baru enam atau tujuh, Mbak. Pas Mbak ke sini
dua bulan yang lalu belum kelihatan, apa karena tertutup hijab ya?"
tanya istri Pak Saimin. Membuat Mas Reza tertawa geli.
"Perut istriku tipis, Bu, makanya gak kelihatan, mungkin
karena gak pernah makan nasi kemaren makanya kopi," ledek Mas
Reza tersenyum simpul sambil melirikku.
Istri Pak Saimin tergelak dan menganggukkan kepala, "Ah
iya-iya, berarti bukan mitos itu, tapi fakta, dan ini buktinya," ucap
istri Pak Saimin menunjuk perutku lalu mengelusnya perlahan.
"Semoga dilancarkan ya Nak, untuk hari ini gratis buat
kalian berdua, itung-itung hadiah buat ibu hamil," ucap Pak Saimin
pelan, takut terdengar pelanggan yang lain.
"Jangan Pak, rugi nanti,"
Kataku melarang, walau dalam hati bersorak kegirangan

73
"Nggak bakalan rugi Mbak, wong cuma dua mangkok sama
dua air mineral mana bisa rugi. Insyaallah malah berkah kalau
ngasih ke ibu hamil,"
"Lo iyakah Pak, mudah-mudahan laris kalau gitu, biar bisa
naik haji," ucapku dengan mengelus perut.
"Aamiin, eh kok malah ngobrol, duduk dulu Mbak, Pak
Saimin bikinin mi spesial buat kalian berdua."
Pak Saimin beranjak dari meja kami, menuju dapur untuk
membuat mi ayam untukku dan Mas Reza. Sepuluh menit
kemudian, mi ayam siap di depan meja kami, mi ayam spesial
jumbo membuat Mas Reza tercengang, lalu beralih memandangku.
"Pak ini yang satu boleh kita bungkus? Takut gak habis jadi
mubazir ntar," tawarku, Mas Reza tersenyum begitu juga Pak
Saimin.
"Boleh, Mbak sini biar saya bungkus di belakang," ucap Pak
Saimi, tapi baru jalan dua langkah, aku memanggilnya
membuatnya menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku.
"Iya, Mbak,"
"Itu siapa Pak," tunjukku ke arah depan melihat seorang ibu
menggendong dan menggandeng anaknya, berhenti di depan kedai
dan menatap ke dalam.
Pak Saimin pun berkata, "Itu pengemis yang biasa mangkal
di samping kedai Mbak, rumahnya tidak jauh kok dari sini, janda
dengan dua anak. Langganan beli mi ayam juga Mbak buat kedua
anaknya."

74
"Kalau gitu, mi ayam yang Bapak pegang kasihkan mereka
saja, Pak. Sekalian ini saya nitip ya, buat beli susu. Bilang saja dari
hamba Allah ya Pak," ucapku merogoh dompet dan mengambil
beberapa lembar uang lima puluh ribuan, menyerahkan ke Pak
Saimin.
Setelah Pak Saimin pergi, Mas Reza memegang tanganku,
tersenyum, "Ini yang aku suka dari kamu, Dek, bikin tambah
sayang deh aku,"
Membalas pegangan tanganas Reza, "Kan uang yang aku
kasih juga dari Mas Reza, berarti itu tabungan kebaikannya Mas
Reza,"
Mas Reza memencet hidungku pelan, "Itu sah sudah
menjadi milik kamu, waktu aku memberikannya."
Aku tersenyum, "Sama saja," ucapku terkekeh.
Kami pun melanjutkan acara makan mi ayam, setelah
meminta mangkok lagi untuk membagi mi ayam jumbo. Setelah
habis kami beranjak menuju mall yang lumayan dekat dengan
kedai mi ayam Pak Saimin.
Seharian muter-muter mall tidak membuatku capek malah
semakin bersemangat apalagi melihat banyak diskonan. Hehehe
begitulah perempuan kalau lihat diskonan, matanya langsung hijau.
"Capek gak, pulang yuk, sudah hampir petang juga," ajak
Mas Reza sambil menenteng barang-barang diskonan yang aku
beli.
"Hemmm, kita mampir makan di warung ayam panggang

75
ya? Aku lapar," ucapku mengelus perut.
"Siap, Bu Bos, ke manapun Bu bos pergi, sopir siap
mengantar," gurau Mas Reza sambil hormat. Membuatku tertawa
senang, lalu berjalan mendekatinya. Menaruh tangan di lengannya,
"Dan akhirnya, sang bos pun menikah dengan sopirnya sendiri,"
ucapku membuat kami tertawa senang.
Tiga puluh menit kemudian kami sudah sampai di warung
langganan, nasi plus ayam spesial. Aroma bumbu menguar
memenuhi udara sekitar, menggelitik setip syaraf di sudut hidung.
Lidah sesekali bergoyang hingga membasahi bibir. Ah, terlihat
sangat sedap.
Saat memasuki warung, hal yang sama saat kami di kedai
mi ayam Pak Saimin. Menanyakan soal kehamilanku yang mau
lahir, dan yang bikin aku dan Mas Reza terharu, ibu warung
membebaskan biaya nasi ayam panggang alias gratis.
Rezeki anak, berarti.

76
Tiga Belas

Sepiring berdua

Setelah pulang dari mall aku merasa sakit semua badan,


ditambah lagi ada cairan yang keluar dari dalam mulut rahimku.
Aku coba berjalan menghampiri Mas Reza yang saat itu sedang
duduk di kursi ruang tamu.
"Mas," rintihku sambil mengusap punggung. Mas Reza
menoleh, melihat wajahku yang pucat membuat Mas Reza terkejut.
"Ya Allah, Dek, kamu kenapa?" ucapnya berlari
menghampiri lalu memegang lenganku.
"Sakit," rintihku lagi, keringat dingin mulai membasahi
kening.
"Kita ke bidan sekarang," ucapnya membopongku keluar.
Saat sampai di depan pintu, ibu mertua memandangku kaget lalu
cepat-cepat masuk ke rumah tapi ke luar lagi.
"Sudah kamu persiapkan peralatan bayi sama istrinya, Za."
Mas Reza mengangguk lalu beranjak masuk mengambil peralatan
untukku. Ibu pun menenangkanku menyuruh banyak istighfar.
Tidak berapa lama Mas Reza ke luar dengan membawa
ransel pakaianku dan popok si kecil. Lalu beranjak menuntunku ke
mobil, sedangkan ibu mertua menunggu di rumah.

Tiga puluh menit kemudian, kami berdua telah sampai di

77
tempat Bu Hari, bidan desa kami. Ternyata ketubanku menetes,
dan sudah pembukaan lima.
Bu bidan menyuruhku jalan-jalan agar pembukaannya
segera terbuka sempurna. Sesuai instruksi aku pun melakukan yang
diperintahkan Bu Hari. Berjalan bolak balik merintih kesakitan
dengan dituntun Mas Reza.
Saat sudah memasuki bukaan ke sepuluh, Bu Hari
menyuruhku mengambil napas dalam lalu mengeluarkan lewat
mulut, dan mulai mengejan. Hampir setengah jam bayiku gak mau
keluar juga. Putus asa Bu Hari menyarankanku untuk melahirkan
melalui operasi di rumah sakit besar.
Suami Bu Hari sudah siap-siap memanaskan mobil. "Ayo
Mbak sekali lagi, kalau masih gak mau keluar terpaksa Mbak saya
pindahkan ke rumah sakit untuk operasi.
Mati aku! Di sini saja sudah sangat menyakitkan apalagi di
rumah sakit. Bagaimana kalau jarum suntik itu ditusukkan ke
kulitku? Ah, sensasi nyeri tiba-tiba menjalar. Meremangkan bulu
kuduk dan bagian lain dalam tubuh. Entah mendapat kekuatan
darimana, kurasakan tenagaku pulih dalam sekejap.
Begitu ketakutannya diriku hingga dengan sekali lagi
mengejan dan akhirnya, bayiku mau keluar juga. "Oek, oek, oek,"
"Alhamdulillah," ucap Mas Reza yang menjadi sandaran
kepalaku.
"Oalah pantesan, lama keluar, wong kebulet tali pusar gini,"
ucap Bu Hari sambil memotong tali pusar yang melilit tubuh
bayiku.

78
"Selamat Mas. Perempuan anaknya, cantik," ucap Bu Hari
sambil menempelkan bayiku dekat dengan puting susuku untuk
mencari ASI atau istilahnya inisiasi dini.
Setelah dirasa cukup, Bu Hari pun memberikan bayiku pada
asisten perawatnya untuk dibersihkan. Di saat itu Mas Reza
mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum gembira, "Terima
kasih," ucap Mas Reza berkaca-kaca lalu mencium keningku.
"Ini sudah bersih Pak, bayinya bisa langsung di azani dulu,"
ucap perawat Bu Hari. Mas Reza pun mengumandangkan azan di
telinga kanan kemudian iqomah di telinga kiri putri kecilnya.
"Putri, Ayah cantiknya rek, wajahnya mirip aku semua Nda
cuma hidungnya saja yang pesek," ucap Mas Reza menggendong
putrinya, membuat aku dan Bu Hari serta perawat tersenyum geli.
Setelah semua selesai, Bu Hari bersama perawatnya pun
keluar. "Mas, sudah telepon orang rumah?" Mas Reza menepuk
keningnya lalu mengambil telepon di saku celana, menghubungi
orang rumah kalau bayi kami sudah lahir.
"Namanya siapa Yah anak kita," ucapku setelah Mas Reza
menutup teleponnya.
"Rezania Putri Az Zahra,"
"Zahra." Mas Reza mengangguk lalu mencium pipi
anaknya. Membuatku tersenyum gembira. Selama sembilan bulan
dalam kandungan akhirnya lahirlah si kecil Zahra.
"Sini Mas Reza, biar nenen dulu Zahra," ucapku, Mas Reza
menghampiriku lalu meletakkan bayi kami di sampingku.

79
Alhamdulilah Zahra tanggap cari nenennya. Aku menoleh ke Mas
Reza yang saat itu lagi menatapku tanpa berkedip.
"Kenapa?" tanyaku menaikkan alisku.
"Sakit gak?" Itu kalau Zahra nenen?"
"Geli,"
"Kayak aku pas nenen, dong," ucapnya jahil menaik
turunkan kedua alisnya lalu tergelak, membuat Zahra yang lagi
nenen menangis kencang.
"Ish, Mas Reza," tegurku menepuk lengannya.
"Maaf, kelepasan tadi," ucapnya tersenyum lalu ikutan
mengelus bokong Zahra.
Lima menit kemudian, Zahra sudah tertidur pulas di
pangkuan. "Dek, makan gak?"
"Nasi kuning ya, Mas," ucapku, Mas Reza mengangguk lalu
keluar mencari makan. Tapi belum berapa lama, Mas Reza kembali
bersama Mbak Siti, saudara kandung Mas Reza, membawa rantang
yang berisi makanan.
"Lea, gak diajak Mbak?" ucapku setelah Mbak Siti duduk di
sebelahku.
"Tidur tadi, sengaja gak diajak biar gak rewel nanti.
Lucunya ponakanku," ucapnya beranjak mendekatiku, mengelus
bedong Zahra.
"Siapa namanya?" Masih dengan mengelus Zahra.
"Zahra, Rezania Putri Az-Zahra," ucap Mas Reza yang
sedang membuka rantang nasi lalu menyuapiku, membuat Mbak
Siti tersenyum.

80
"Dulu ya, habis melahirkan Lea, boro-boro Mas Ari mau
menyiapkan makanan lalu menyuapiku, dia malah sibuk dengan
bayinya," kenang Mbak Siti menerawang.
"Kamu beruntung, Ni, dapat adekku," ucapnya tersenyum
ke Mas Reza.
"Alhamdulillah, Mbak, rezeki dari Allah untuk Nia,"
ucapku yang masih di suapi makan sama Mas Reza. Tetap sepiring
berdua. Itu yang diajarkan saudara Bapak pas hari pernikahanku.
Tentang dibalik makan sepiring berdua. Katanya biar rezeki suami
lancar dan terlihat harmonis di depan orang-orang yang
melihatnya.
Pernah suatu hari saat lagi main di rumah temanya Mas
Reza—Rizky--, saat itu lagi ditawarin nasi kuning. Sebetulnya
temanya Mas Reza menyiapkan tiga nasi kuning, satu untuknya
sendiri, satu untuk Mas Reza dan satu lagi untukku. Tapi Mas Reza
menolaknya, dia bilang, "Sudah Ky, satu piring saja berdua aku
sama istri,"
"Cie, kayak pengantin baru saja, terserah kamulah!" ledek
Rizky.
Mas Reza pun mulai menyuapiku. "Berasa seperti kambing
congek deh aku, ngelihatin kalian jadi pengin juga deh, kapan
giliran aku," ucap Rifky makan sambil melirik kami berdua,
membuat Mas Reza dan aku tersenyum.
"Yo cepat dihalalkan gitu, biar bisa ngerasain yang
namanya makan bersama istri dan pastinya tidur ada yang

81
ngelonin," ucap Mas Reza terbahak, aku pun menepuk lengannya.
"Gimana mau nikah, wong calonnya belum punya og, bisa
gak aku ketemu pasangan seperti kalian?" ucapnya menerawang.
"Jalan hidup orang gak sama kali bro, begitu pula dengan
yang namanya jodoh. Aku sama Nia memang di takdir kan
bertemu lewat telepon salah sambung, dan kita juga gak tahu kalau
akan seperti ini jalannya, iya gak, Dek?" ucap Mas Reza
menggenggam tanganku lalu menciumnya.
"Ya siapa tahu, Za. Sebenarnya ada sih perempuan yang aku
kagumi sejak lama, cuma aku takut, takut di tolak. Karena aku
hanyalah seorang kuli di tempatmu,"
"Jangan pesimis gitulah, bro. Kaya-miskin sudah ada yang
mengaturnya, materi bagiku nomor sekian, yang penting itu hati
dan ketakwaannya terhadap Allah. Begitupun cakep tidaknya
seseorang tergantung dari hatinya,"
"Iya, Ustadzah," goda Rizky dihadapanku.
"Semprul,"
"Harusnya aamiin Ni, bukan semprul," ucap Rizky tertawa
garing. Di mulai dari situlah kami seperti mempunyai kewajiban
makan sepiring berdua di manapun kami berada.
Tentang Ari, alhamdulilah dia sudah menemukan jodohnya,
dua bulan yang lalu. Sinta, seorang gadis yang melamar di toko
Mas Reza beberapa bulan yang lalu. Belum juga melamar
pekerjaan, malah dilamar duluan sama seseorang yang baru Shinta
kenal.

82
Empat Belas

Menunda Kehamilan

Tujuh hari berlalu, setelah melahirkan kedua keluarga


berencana menggelar aqiqah untuk anakku Zahra. Kehadiran Zahra
disambut antusias sama keluarga di Tuban. Maklum aku anak
pertama jadi wajar kalau Zahra dapat perhatian khusus dari
keluarga Tuban.
Sebenarnya Zahra cucu kedua di keluarga Tuban setelah
anak Andi lahir delapan tahun lalu. Bedanya kalau anak Andi laki-
laki, sedangkan anakku perempuan. "Zahra cantik, ini Tante Ave,"
ucap Ave memangku Zahra yang dibedong sambil menepuk
bokongnya.
Saat ini semua keluarga lagi berkumpul di ruang keluarga.
Mereka saling berebut memangku Zahra, tidak ketinggalan si kecil
Lea juga ikut-ikutan ingin memangku Zahra.
"Kode itu, Mbak," ucap Mas Reza sambil menunjuk ke arah
Lea.
"Sudah cukup dua saja. Kamu saja yang tambah mumpung
masih muda," ucap Mbak Siti, membuat yang lain tertawa geli. Iya,
anak Mbak Siti sudah dua. Yang satu laki-laki, Fahri namanya, saat
ini sedang mondok sama sekolah umum juga.
Pulang di saat libur semester. Setiap dua Minggu sekali
Mbah Siti sama suami menjenguk sekalian memberi uang saku
untuk Fahri sama bekal Fahri makan di pondok.

83
"Siap gak bikin lagi," bisik Mas Reza yang lagi duduk
berdua

84
bersamaku. Sambil memelototkan mata, ku tepuk punggung
tangannya, "Gak ah, kasihan Zahra kalau dibuatin adek,"
"Kalian lagi bisik-bisik apa sih? Terus itu kenapa Reza
senyum- senyum gitu?" ucap Emak yang datang di belakang. Aku
pun menoleh, "Gak ada kok, Mak?" kilahku sambil tersenyum
tipis.
"Pasti lagi rencana mau bikin adek tuh buat Zahra," celetuk
Ave yang diacungi jempol Mbak Siti sambil tersenyum
menyeringai membuat yang lainnya ikut tertawa.
"Di tunda dulu, kasihan Zahra masih kecil. Masak mau
punya adek, KB biar gak kebobolan" seloroh Ibu mertua seketika
semuanya diam tanpa mau menjawab. Sedangkan aku dan Mas
Reza saling melirik satu sama lain.
Sesuai perintah ibu mertua besoknya aku datang ke rumah
Bu Hari, bidan yang membantuku melahirkan. Bermaksud untuk
KB suntik untuk menunda kehamilan dulu.
Tapi ternyata KBnya tidak cocok di tubuhku. Seharusnya
haid akan datang tiap bulan sekali, seperti yang terjadi di saat aku
masih melajang, tapi ini tidak. Yang keluar cuma flek saja selama
sembilan hari.
Bayangkan selama sembilan bulan aku dan suami hampir
tidak pernah melakukan hubungan intim. Yang ada hanya bisa
berciuman di bibir, membuat Mas Reza harus berusaha seorang diri
untuk mengatasi batinnya.
"Yah, aku copot saja ya. Kayaknya memang gak cocok,"
keluhku malam itu saat Zahra sudah tertidur di boxnya.

85
Mas Reza menyuruhku untuk mendekat. Aku beringsut
mendekati. Memeluk dari samping, lalu mencium rambutku,
"Terserah kamu saja, kalau itu memang bikin kita gak nyaman,
kenapa tidak,"
"Gimana dengan Ibu, takut kalau Ibu tak setuju?" Mas Reza
membelai rambut, lalu mencium keningku, "Itu bagianku, sudah
tidur dulu, ntar kalau Zahra bangun susah dibangunin kamunya,"
tegur Mas Reza membuatku tersenyum simpul.
Iya semenjak Zahra lahir, tengah malam bila kebangun, Mas
Reza yang dengan telaten memeriksa apakah ngompol atau minta
nenen. Bila cuma ngompol, alhamdulilah sih Mas Reza bisa
mengganti popok Zahra.
Yang susah saat anaknya kebangun pengin nenek, harus
digoyang-goyangkan badanku dulu, supaya bisa terbangun. Seperti
saat ini, Zahra menangis tapi bukan karena mengompol melainkan
minta nenen.
"Nda, bangun. Zahra minta nenen ini." Masih dengan mata
terpejam, ku terbangun, membuka kancing baju lalu menempelkan
puting susuku untuk di nenen Zahra.
"Nda jangan tidur, ntar keliru nenennya atau malah kayak
kemaren, hampir saja Zahra terjatuh untung di kasur. Coba kalau di
lantai." Mas Reza menepuk pipiku, karena pernah mengalami jatuh
dari sepeda gara-gara mata ngantuk belum istirahat pun dari
kemaren.
Refleks mataku terbuka, lalu tersenyum geli, melihat Mas
Reza yang asyik memandang Zahra nenen. "Ayah pengin juga?

86
Sini kalau mau," godaku membuat Mas Reza beneran datang
menghampiri lalu memeluk ku dari belakang sambil ikutan
menepuk bokong Zahra.
"Besok jadi ke Bu Hari? atau cari dokter lain saja Yah?"
"Untuk?" ucapku lalu memandangi teman tidurku. Siapa
lagi kalau bukan suamiku tercinta Mas Reza.
"Copot KB, untuk sementara nanti pakai kondom, beli lewat
online."
"Gaklah, mau pakai yang alami saja, siap pakai hari ini
juga," ucapku, membuat Mas Reza tersenyum geli. "Emang yang
alami apa?"
"Ya di keluarin di luar,"
"Tambah gak enak ini, sudah nurut saja pakai kondom
dulu," Aku pun tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Yah, laper, masih ada buah gak di kulkas?" ucapku yang
masih memberi Asi Zahra. "Aku cek dulu masih gak, kayaknya ada
apel sama jeruk,"
"Apel ya Yah, kalau ada,"
"Hemmm." Sambil berjalan pergi ke luar kamar. Tidak
berapa lama kembali dengan membawa piring berisi apel yang
sudah dipotong-potong.
Melihatku yang masih memangku Zahra membuat Mas
Reza dengan telaten seperti biasanya, menyuapiku. Anugerah
terindah banget ini.
"Gimana hari ini?"
"Lumayan Bang,"

87
"Pindah atau di kamar saja. Yang penting bisa langsung
main kita," ucap Mas Reza senang, lalu Mas Reza membuka pintu
sambil menaikan kedua alisnya.
Sedangkan aku menepuk keningku, "Capek deh." Mas Reza
terbahak.
"Ntar kita main ya kalau Zahra tertidur," harap Mas Reza
membuatku tersenyum geli lalu berkata, "Kok malah ketawa sih
dengar suara aku nyanyi, padahal masih aktif itu."
Tiba-tiba Mas Reza menghilang. Maklum ada tamu di
rumah. Jadi ia tak ada disisiku untuk menemani. Saat aku berjalan
mendekati mampir dapur, terlihat Mas Rian, salah seorang tema
Mas Reza melamun.
“Kok tumben ada di sini?”
“Mencari Reza ada perlu tadi. Tetapi sepertinya ia mau ke
sawah dulu mengambil pesanan ibunya.”
Aku pun mengajak Mas Rian duduk di depan. Namun, ia
masih terdiam. Lebih diam daripada biasanya.
"Sepertinya lagi galau Mas, kenapa?”
“Banyak pikiran.”
“Masalah calonmu itu?” tanyaku hati-hati. Tak ingin
mengusik dirinya. Bagaimanapun berita tentang larinya Lita sudah
tersebar. Pernikahan mereka yang tinggal mengjitung hari
terancam gagal.
“Aku tak tahu. Masih banyak yang harus dipikirkan.”
“Coba santai saja dulu, Mas. Siapa tahu dia pergi karena
belum siap atau ada hal lain yang sulit untuk diungkapkan. Jadi

88
perempuan itu memang serba salah. Mau bagaimanapun salah.”
Sayup-sayup terdengar suaran Mas Reza dari belakang
rumah. "Nda sudah sore.” Ia pasti mencariku di kamar.
“Aku di sini, Mas.” Ucapku agak lantang. Alis Mas Reza
terpaut sempurna seperti jembatan. Ah, suamiku ini kalau seperti
ini pasti sedang cemburu. Aku tak bisa berbuat banyak, ini
memang sifatnya. “Kalian sedang apa?”
“Lita.” Kuucapkan kata itu dengan tanpa suara. Setelahnya
Mas Reza lebih rileks.
“Makan dulu, Mas," ucapku bermaksud menyiapkan nasi
dan lauk di meja. Namun, Mas Reza menghadangnya.
“Aku mau ke toko. Ada pesanan yang lupa diantar.
Pelanggan komplain. Ayo!” Ajaknya pada Mas Rian.
“Makasih ya?” ucap Mas Rian sebelum naik di belakang
Mas Reza.
“Ya Allah! Kuharap tak ada masalah, Mas,” bisikku
khidmat.
Mas beranjak pergi ke toko, tinggal aku bersama Zahra
berduaan saja. Belum ada sepuluh menit, Mas Reza sudah masuk
lagi sambil meringis kesakitan. Setengah berlari aku pergi ke ruang
tamu. Melihat keadaan Mas Reza.
“Ya Allah!” Sigap, kuambil peralatan untuk rawat luka
yang sebelumnya dibeli untuk merawat luka jahit waktu
melahirkan dulu.
"Kenapa, Yah? Mana yang sakit?" ucapku kuatir memegang
tangan mas Reza.

89
"Ngehindar dari kucing eh malah motorku yang oleng.
Untung sepi, coba kalau rame? Gak tau deh jadi apa aku," ucapnya
menerawang, sambil membersihkan lukanya.
"Kok bisa jatuh, gimana ceritanya?” ucapku ikut
membersihkan lukanya.
"Bisalah, wong tiba-tiba kucingnya nyebrang."

90
Lima Belas

Tradisi tedak sinten atau piton-piton

Hari ini, tepat usia enam bulan kelahiran Zahra, kami


sekeluarga berniat mengadakan acara tidak sinten atau dalam
bahasa Jawa piton-piton untuk Zahra. Dengan mengundang anak-
anak kecil untuk memeriahkan acara piton-piton.
Di mulai dari Zahra dipijat sama Mbah Par, dukun pijat
bayi. Lalu dikurung dalam kandang dengan ditemani ayam. Kami
memilih ayam yang telah ditali, setelah itu mandi didandani
dengan memakai pakaian baru sambil membawa tas.
Kemudian diarak sambil berpayungan dalam gendongan
Mbah Par dengan bersholawat. Istilahnya kayak orang naik haji
kata Mbah Par. Di depan pintu sudah ada Mas Reza yang siap
menggendong Zahra.
Disusul dengan selamatan nasi panggang. Bagian paha
ayam dikasih ke Zahra biar belajar makan lauk. Ini merupakan
tradisi di Ngawi kalau di Tuban cuma selamatan biasa.
"Ih Zahra cantik, ikut tante yuk," ucap Ave mengulurkan
tangan bermaksud menggendong Zahra yang lagi dalam pangkuan
Mas Reza. Zahra tertawa lucu lalu menerima uluran tangan Ave.
"Mbak kapan Zahra di ajak ke Tuban, aku pengin tidur
sama Zahra," ucap Ave yang saat itu lagi menggendong Zahra.
Aku menoleh, lalu tersenyum menunjuk Mas Reza dengan dagu,
"Tuh, tanya Masmu. Kapan Zahra bisa di ajak ke Tuban."

91
Mas Reza yang saat itu lagi ngobrol sama Bapak pun
beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arahku. Memelukku dari
samping, membuat pipiku bersemu merah karena menahan malu.
"Besok kita berangkat sama-sama ke Tuban, gimana?"
Ave sumringah, bahagia menyelimutinya, "Benarkah?"
Mas Reza mengangguk, tersenyum sambil mencuri ciuman
di keningku.
"Gitu deh, lihat-lihat tempatlah kalau mau bermesraan,"
lirik Ave memutar bola matanya jengah, melihat Mas Reza
menciumku. Mas Reza pun melepaskan pelukannya, lalu terbahak
membuat si kecil Zahra yang lagi dipangku Ave ikutan tertawa.
"Satu bulan ya ... di Tuban ya?" ucap Ave lagi sambil
mencubit pipi gembul Zahra, lalu menciumnya.
"Ya, gak bisa kalau sebulan, paling dua hari,"
"Kok! cuma sebentar Mas, belum puas dong aku."
"Puaslah, kan yang pulang aku dulu. Zahra sama Bunda
tetap di sana sebulan,"
"Yee, nanti Zahra tidurnya sama tante ya? Bunda biar sama
Ayah bikin adek buat Zahra," canda Ave sambil mencium pipi
gembulnya Zahra membuat Zahra tertawa geli.
Semua orang yang mendengar ucapan Ave pun tertawa.
Mbak Siti mengangkat dua jempol tangannya setuju dengan apa
yang dikatakan Ave barusan. Refleks aku menggeleng, "Eh gak
kok, masih lama. Biar aku menikmati tumbuh kembangnya Zahra
dulu, lagian kasihan kalau punya adek sekarang," tolakku halus.

92
Ibu mertua dan Emak yang lagi duduk pun manggut-
manggut, tersenyum setuju dengan jawaban dariku. "Jangan
dengerin omongannya Ave, ribet malah ntar kalau sampai
kecolongan. Biar Zahra gede dulu, baru dibikinin adek," ucap ibu
mertua menjelaskan.
Kami sepakat menunda kehamilan, sampai Zahra berusia
lima tahun. Usia yang sangat pas untuk mempunyai adek. Biar
kami gak kerepotan pas adeknya lahir nanti.
Keesokan paginya, aku dan keluarga Tuban sudah bersiap
pulang ke tanah kelahiranku, dengan membawa Zahra bersama
kami. Setelah sarapan, kami pun berangkat naik mobil
yangdikemudikan Mas Reza.
Lima jam kemudian kami sudah berada di rumah kota
Tuban. Kebetulan hari ini, hari Sabtu, tepat juga di hari alun-alun
ramai. "Mbak, nanti ke alun-alun ya? Biar makin heboh Zahra
melihat mainan banyak," ucap Ave tersenyum penuh arti.
"Oke deh, ntar sekalian mampir ke rumah Bulek Tika, ikut
gak?" ucapku ke Ave. "Ikut dong, mau minta bakso gratis hahaha,"
canda Ave di dekat pintu kamar.
"Mas kamu mandi dulu atau aku dulu yang mandi?" ucapku
sambil tersenyum. "Mandi, lengket semua badanku," ucap Reza
sambil beranjak menuju lemari di belakangku, untuk mengambil
handuk, lalu pergi ke kamar mandi.
Zahra? sudah di bawa Emak ke rumah tetangga. Sedangkan
di tempat lain, aku dan Mas Reza lagi menikmati masa kesendirian

93
tanpa ada Zahra yang menemani. Saat ini kami sedang duduk di
pekarangan rumah yang ditemani dengan alunan musik klasik.
Teh manis beserta temannya si kue kering sudah tersaji di
meja. Duduk berdampingan sambil minum teh membuat kami
seperti orang yang pertama kali pacaran.
Petang pun tiba, setelah melaksanakan salat magrib, kami
berempat, bersiap jalan ke alun-alun sekalian mampir ke Bulek
Tika. Begitu sampai di alun-alun, kami berjalan melangkah
menuju gerobak Bulek Tika.
Bulek Tika beserta suami, membangun bisnis jualan bakso
dan kawan-kawannya. Seperti nasi goreng, mie goreng mi ayam,
untuk minuman ada teh sama wedang jeruk. Untuk minuman bisa
hangat atau dingin, menuruti keinginan pelanggan.
"Ni, suami kamu gak makan," tegur Bulek kepadaku. Mas
Reza tersenyum sambil matanya mengarah kepadaku, "La ini apa
Bulek? Kami suka maem sepiring berdua," ucap Mas Reza.
"Pinter, berarti saranku kamu terima? Kenapa gak bilang
kalau sudah lahiran? Kan aku bisa ikut ke sana." Mas Reza
menjawab dengan senyuman saja.
"Ini juga sudah ke sini Mbah, jadi kalau mau membelikan
Zahra baju boleh kok," candaku ke bulek, memanggil sebutan
Mbah agar ditiru Zahra nantinya.
"Owh gitu, ayo Zahra ikut Mbah, kita beli rok sama boneka
yuk," ucap bulek sembari mengulurkan tangan hendak
menggendong Zahra.
Zahra menerima ukuran tangannya. "Kamu jaga warung,

94
nanti kalau ada yang beli, kamu yang meladeni," ucap bulek ke
arahku.
"Aku?" tunjukku. "Gak bisa, gak ngerti takarannya,"
jawabku lagi.
"Aku yang bikinin, kamu tinggal menyuguhkan saja. Ayo
Ka ikut Ibu, belikan ponakanmu rok lucu," ajaknya ke Ika,
anaknya.
"Ikut gak Mbak Ave," ajak Ika. Ave mengangguk lalu
berjalan mereka berjalan berdampingan. Aku hanya bisa
memandang hingga mereka hilang di belokan depan.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di warung, Ika
dan Ave berjalan di belakangnya dengan membawa kresek hitam
yang berisi baju, rok serta boneka untuk Zahra.
"Ada yang beli gak?" tanya bulek kepadaku begitu sampai
warung.
"Ada, bungkus bakso sepuluh tadi," ucapku.
"Alhamdulillah, banyak juga ya? Kok cepet, bungkusnya?"
"Dibantu Mas Reza tadi, iyakan Mbah Mo, makanya cepet."
Seakan mencari penegasan, Pak Mo suami Bulek Tika
mengiyakan.
"Terampil, Reza kalau bungkus baksonya. Dah biasa
bungkus-bungkus kayaknya," ucap Pak Mo tersenyum. Membuat
Mas Reza ikutan tersenyum juga.
"Bungkus kaos sablon. Kalau bungkus bakso baru pertama
tadi. Kan tinggal mengikat bungkus plastiknya saja."
Bude Tika ikutan tersenyum, "Pinter, Mbak kamu cari

95
suami," ucapnya lalu menoleh ke arah Ave dan Ika.
"Nih, tiru Mbak Nia, carilah suami yang tidak hanya bisa
menyenangkan istri tapi bisa juga menyenangkan keluarga
istrinya,"
"Hemmm," ucap Ave jengah, membuat kami yang ada di
warung tertawa geli.
"Mbak Ave, kan sudah ada Mas Amar to Buk, tinggal di
sahkan saja," ucap Ika masih dengan tersenyum.
"Ya, berarti kamu yang harus cari kayak Mas Reza nanti,"
ujar bulek. Ika merengut, "Kok aku? Masih sekolah kok suruh cari
suami! Gimana sih Buk?"
"Ya gak sekarang Ka, tapi nanti kalau sudah lulus, baru
mikir ke arah situ."
Mendengar perdebatan keduanya teringat akan almarhumah
nenek buyut yang sering aku ajak debat. Masalah sepele, bisa
menjadi adu perkataan. Tak terkecuali perihal kopi. Nenek buyut
pendengarannya sudah berkurang, sering salah komunikasi
dengannya. Tak pelak hal ini membuat rumah kadang diterpa badai
teriakan. Bagaimana tidak? Setiap orang perlu berbicara dengan
mengeluarkan suara tertinggi agar didengarnya. Bagaimanapun
doaku semoga nenek di tempatkan di sisi Allah SWT. Amin.

96
Enam Belas

Zahra

Tiga tahun sudah usia Zahra. Alhamdulilah bisa jalan bisa


ngomong juga. Dan ngomongnya tidak kidal atau pelat seperti
anak-anak seusianya. Cerewetnya minta ampun, tidak seperti aku
waktu kecil dulu.
Seperti saat ini, bertiga kami berkumpul di ruang keluarga
sambil menonton televisi Upin dan Ipin. Film kartun
kesayangannya Zahra. Pagi siang sore, itu saja yang ditonton
Zahra, bikin kami—Bunda dan Ayahnya—kalah..
Bagiku tidak masalah, malah bersyukur bila Zahra cuma
mengenal film kartun, daripada menonton acara lainnya. Acara
yang tidak patut ditonton anak kecil, apalagi sinetron anak kecil
yang ujung-ujungnya ada percintaan remaja di dalamnya.
"Dulu Dek, pas Bunda masih sekolah suka sekali cari yang
namanya buah keres (ceri jawa), baleci kalau di rumah si
Mbahdhok—sebutan Nenek perempuan di Jawa," ucapku bercerita
saat di televisi sedang menampilkan acara si bocah petualang
sedang memanjat buah keres.
"Waktu Bunda sekolah, aku di mana?" ucap Zahra polos,
membuat aku dan Mas Reza tersenyum geli.
"Kamu belum dibuat waktu itu," kata Mas Reza menimpali.

"Gak, aku lo ada Yah, waktu Bunda sekolah, iya kan Nda?"

97
ucapnya menyakinkan. Aku tersenyum lalu mendekat. Membelai
rambutnya, "Kamu belum ada Dek, wong Bunda sama Ayah saja
belum ketemu waktu itu,"
"Sudah ya Nda, aku ada waktu itu sama Ayah lagi beli es ya
Yah," gantian menyakinkan Mas Reza. Lagi membuat aku dan Mas
Reza tertawa dengan jawaban Zahra.
"Iya, iya, waktu itu kamu lagi ngumpet di bawah bangkunya
Bunda," ucapku akhirnya mengalah, tapi malah bikin Zahra gemes
sendiri.
"Ih, gak ya Nda, waktu itu aku lagi main sama Ayah. Kami
berdua nunggu Bunda sekolah di tempat Bunda dan teman-teman
mengambil buah keres.
"Eh tapi kok Ayah gak sekolah waktu Bunda sekolah? Ayah
bolos ya, karena nemeni Zahra?" ucap Zahra lagi, telunjuknya
ditaruh di dagunya, seperti berpikir.
Aku sama Mas Reza tertawa tersenyum geli melihat tingkah
Zahra. Mas Reza yang saat itu duduk di kursi, mendekat ke arahku
dan Zahra, memeluk kami berdua, mencium kening kami
bergantian.
"Besok malam Minggu, Zahra di rumah ya sama Nenek,"
candaku sambil memandang Zahra yang sedikit heran, sedangkan
Mas Reza hanya tersenyum mendengar apa yang aku katakan
barusan.
"Bunda mau ke mana emang? Sama Ayah? Kok aku gak
diajak?" ucap Zahra protes dengan menaruh kedua tangannya di
depan dada.

98
Mas Reza menyahut, "Ayah sama Bunda mau pacaran, kan
pacaran gak bawa anak, jadi Zahra di rumah saja," ucap Mas Reza
tersenyum memandang Zahra.
"Gak papa dong, pacaran bawa anak, kan memang punya
anak, berarti pacarannya bukan berdua Yah, namanya," polos
Zahra menjelaskan.
"Terus apa?" tanyaku menaruh kedua tangan di dagu. Zahra
tersenyum lalu memeluk aku dan Mas Reza.
"Pacaran bertiga, gak papa dong berbeda kayak pacarannya
orang-orang. Pokoknya aku ikut Bunda dan Ayah pacaran, titik!"
sewot Zahra membuat aku dan Mas Reza tergelak.
"Kenapa tertawa?" tanya Zahra memandang kami berdua.
"Gak papa, masak gak boleh tertawa, Zahra lucu, masak pacaran
bawa kamu to, Sayang," candaku merangkul Zahra.
"Ayah, Bunda nakal. Teleponkan Mbahdhok, aku mau
bilang sama Mbahdhok kalau Bunda nakal," rengek Zahra ke Mas
Reza.
Aku dan Mas Reza terbahak, "Ya Allah, anakku Zahra,
gemes deh Bunda lihat kamu," cibirku di pipi Zahra membuat
Zahra manyun lalu berpindah di samping Mas Reza, memeluknya.
"Ayah ponselnya mana?" tanya Zahra sambil mencari-cari
telepon seluler Mas Reza di saku baju dan celananya namun barang
yang dicarinya tidak ketemu.
"Di charger tadi, habis baterai, masih mau nelepon
Mbahdhok?" ucap Mas Reza merangkul Zahra membuat Zahra
menganggukkan kepalanya.

99
"Pinjam punya Bunda, tuh Bunda lagi pegang ponsel,"
tunjuk Mas Reza ke arahku. Zahra geleng-geleng, "Gak nanti
malah gak bisa ngomong sama Mbahdhok,"
"Kata siapa gak bisa ngomong, bisa kok." Mas Reza
melonggarkan pelukannya lalu memandang Zahra yang sedang
memilin ujung kemejanya.
"Ini Mbahdhok telepon, Zahra mau ngomong gak?" tanyaku
menyodorkan ponsel yang langsung diambilnya. Mas Reza
mendudukkan di pangkuannya, menaikkan speaker telepon, lalu
mulai ngobrol sama Mbahdhok dan juga Mbahnang—sebutan
kakek laki-laki di Jawa.
Dari pembicaraan itu, aku tahun kalau si dia sedang
mengadu ke Mbahdhok tentang keusilan orang tuanya. Terdengar
Mbahdhoknya tertawa di ujung telepon sedangkan Zahra manyun
mendengar Mbahdhoknya menertawakan.
"Kok diem, itu teleponnya masih nyala," ucap Mas Reza
membuat Zahra menyodorkan telepon ke aku. Membuat aku dan
Mas Reza tersenyum. Kami bertiga pun akhirnya beranjak
mengajak Zahra cuci tangan dan kakinya. Sebelum pergi ke kamar.
Percakapan tadi pun berlanjut di kasur, "Bunda, besok ke
rumah Mbahdhok ya? Aku kangen," ucap Zahra di sela-sela
tidurnya, menenggelamkan kepalanya di lenganku. "Tanya Ayah
dulu, mau gak di ajak ke rumah Mbahdhok," ucapku memandang
ke arah Mas Reza yang berbaring di samping Zahra.

100
"Sudah bobo', besok ngobrol lagi, katanya mau naik sepeda
besok pagi, keliling lapangan. Kalau mau, berarti Zahra harus
bobo' dulu biar gak kesiangan bangunannya”. Zahra pun
mengangguk, menuruti perkataan Ayahnya, tak lupa sebelum
memejamkan mata, tangannya menengadah lalu berdoa sebelum
tidur.
Iya semenjak dini kami berdua sudah mengajarkan Zahra
doa- doa sederhana. Seperti doa tidur dan bangun tidur, sebelum
dan sesudah makan, keluar masuk kamar mandi serta doa keluar
rumah dan naik kendaraan.
Yang alhamdulilah, Zahra cepat tanggap kalau diajari, tak
lupa kami mengajarkan surah-surah pendek. Bila berbicara dengan
orang yang lebih dewasa pun Zahra termasuk tanggap juga. Zahra
juga termasuk anak pandai walaupun masih berusia 3 tahun.
Bisa dilihat dari cara dia berbicara dengan teman-teman
sebayanya. Yang kebanyakan main-main pasir atau air, Zahra lebih
suka menulis, "Aku mau nulis, kan mau sekolah jadi harus pintar
nulis dulu," ucapnya kala itu saat salah satu temannya mengajak
bermain.
Sebenarnya bukan itu alasan dibalik penolakannya. Itu
semua karena Zahra berbeda dengan teman-temannya. Telapak
kakinya akan merasa gatal-gatal bila bermain pasir apalagi yang
dicampur air. Maka dari itu setiap kali keluar rumah sandal atau
sepatu tak pernah lepas dari kakinya.
"Zahra, gak mau main sama mereka?" ucapku kala itu
sambil membelai rambutnya. Dengan tersenyum Zahra menjawab,

101
"Lebih enak nulis, Nda. Kan aku pengin sekolah," ucapnya dengan
mata berbinar.
"Masih lama, Sayang sekolahnya. Masih tiga tahun lagi,
baru boleh Zahra sekolah," ucapku, Zahra tetap tersenyum, "Gak
papa, Nda. Jadi pas waktunya sekolah nanti, Zahra sudah pandai di
bandingkan teman-teman yang lain. Iya kan?" tanya Zahra,
tangannya memegang punggung tanganku.
Aku pun mengangguk membuat Zahra girang lalu memeluk
leherku, setelah beberapa menit dia pun melonggarkan pelukannya,
mencium kedua pipiku.

102
Tujuh Belas

Pacaran bertiga

Setelah seharian bermain di pantai, saatnya kami berlima


kembali pulang ke rumah. Zahra ada dalam gendongan Emak dan
ada Ave di sampingnya. Sedangkan aku dan Mas Reza
bergandengan tangan di sepanjang jalan, mengikuti gerak langkah
Ave dan Emak. Kalau dipikir seperti mengenang saat pertama kali
bertemu dulu.
Sebenarnya bukan karena di sengaja juga, karena semenjak
Zahra ada di Tuban semua orang berebut menggendong Zahra.
Banyak yang gemes melihat tubuh Zahra apalagi pipinya terlihat
seperti bakpau.
Salah satu dari mereka malah ada yang bertanya padaku,
apa rahasia makannya Zahra sampai gendut imut gitu. Sebenarnya
Zahra cenderung terlalu susah makan atau ngemil ya tapi begitu
mau, jangan ditanya porsinya bisa dua kali lipat makanan yang
biasa Zahra makan.
Mungkin juga postur tubuhnya sama dengan Mas Reza yang
gendut. Bila kalian melihat dengan saksama cuma hidung pesek
yang meniru aku. "Padahal ya yang gembol (membawa) kemana-
mana ini aku lo, tapi kenapa cuma hidung tok ya yang niru aku,"
ucapku kala itu. Mas Reza cuma tersenyum geli sambil mencubit
hidungku.

103
"Ih! Mas Reza," rengekku sambil mengelus hidungku yang
dicubit Mas Reza. "Biar mancung," tawa mas Reza membuatku
menepuk lengannya dengan wajah cemberut.
"Maaf, maaf," ucap Mas Reza ikutan mengelus hidungku
tapi aku mengibaskanya. Dan tiba-tiba mataku berkaca-kaca,
hidung pesek kalau dicubit terlalu lama, efeknya pasti sakit. Coba
saja deh yang punya hidup pesek, pasti juga sama kayak yang aku
alami.
Mas Reza merangkul, dengan sekuat tenaga aku berusaha
memberontak tapi, dengan lengannya yang kekar aku tak bisa
menghindar. Terpaksa, aku malah menangis di dadanya.
"Sekali lagi aku minta maaf ya? Gemes lihat hidung
mungilmu aku," ucap Mas Reza mengusap air mata yang menetes
di pipiku. Bukannya luluh aku malah memunggunginya. Mas Reza
tersenyum lalu membalik tubuhku ke arahnya, mencium kening
mata hidung pipi dan yang terakhir di bibir.
"Sakit tahu Mas, hidung pesek sama mancung lebih enak
mancung kalau dicubit. Suka banget nyubit hidungku," protesku.
Mas Reza tersenyum lalu mencium kedua tanganku.
"Percayalah hidung pesek dan mancung memang di takdir
kan berjodoh, Dek kayaknya kita ini. Terus bisa enak pas cium
bibir," ucapnya tertawa.
"Hemm, tertawa saja terus," cemberutku, Mas Reza tertawa
geli. Lalu beranjak pergi tapi tak lama dia kembali dengan
membawa dua tiket nonton di tangannya. Cemberutku hilang
seketika dan berganti dengan senyuman. Aku pun refleks berdiri

104
lalu mencium pipi Mas Reza sekilas, dan sukses membuat Mas
Reza terbengong sebentar.
"Mulai berani ya sekarang?" ucapnya ketika tersadar dari
bengongnya. Aku tersenyum tipis lalu merangkul lengannya, "Efek
terlalu senang, jadi nanti kita hanya nonton berdua ini?"
"Mumpung Zahra lagi lengket sama Emak dan Ave, gak
papa dong kita tinggal sebentar," ucap Mas Reza sambil
mengerlingkan matanya. Aku tersipu malu kedua pipi mendadak
merona.
"Kok merah ini, Dek? Tumben dandan?" gurau Mas Reza
dengan sedikit senyuman. Aku pun menutup wajahku, tapi belum
tertutup sempurna sudah dihalangi Mas Reza dengan kedua
tangannya.
"Gemes deh, lihat istri yang merona kayak gini," ucapnya
merangkulku lalu mencium keningku lama, "Gimana mau gak? Itu
tadi dapat dari Amar lo tiketnya." Seketika aku berusaha
melepaskan rangkulannya, "Jadi, ini bukan dari Mas Reza sendiri?"
tanyaku menyakinkan.
Dengan menggelengkan kepalanya, Mas Reza menjawab
sambil menghadapkan badanku ke badannya, "Bukan, sebenarnya
tadi aku sedang ngobrol dengan dia, tanya film yang lagi viral di
bioskop sekarang apa? Terus dia merekomendasikan film ini ke
aku, dan kebetulan dia juga dah beli sekalian buat kita berdua
katanya mumpung di Tuban," jelas Mas Reza.
"Jadi?" tanyaku sambil bersedekap dada. Mas Reza
tersenyum mengerti apa yang aku katakna barusan, "Iya nanti kita

105
nonton bareng sama Ave dan Amar, double date gitu," ucapnya.
"Aku kira---."
"Kamu kan tahu, suamimu bukan tipe orang yang gampang
berkata atau bersikap romantis, bagiku yang penting tindakanku ke
kamu gimana selama ini." Aku pun tersenyum senang dan
menghambur di pelukannya.
Tiba-tiba saja Zahra mengacaukan acara pelukan kami
berdua, tangannya memisahkan pelukanku dan Mas Reza. "Bunda
sama Ayah, pacaran ya? Kok gak ajak-ajak aku sih?" ucap Zahra
cemberut. Mas Reza pun mencubit pelan kedua pipinya, "Ih! Jelek
anak Ayah kalau cemberut gini," canda Mas Reza.
"Biarin, siapa suruh kalian pacaran tanpa mengajak aku,"
sewotnya sambil memalingkan muka. Aku dan Mas Reza saling
melirik dan tersenyum geli. Mas Reza pun memeluk Zahra, "Siapa
yang pacaran?"
"Itu tadi, Bunda kenapa manggil Ayah, Mas Reza? Berarti
aku juga manggilnya Mas Ayah Reza dong," Mas Reza dan aku
tergelak melihat tingkah polos anak kami Zahra.
Tapi semenjak saat itu, aku dan Mas Reza berjanji akan
selalu memanggil satu sama lain dengan sebuah Ayah dan Bunda,
seperti Zahra memanggilku Bunda dan Ayah untuk Mas Reza.
Karena Zahra termasuk jeli juga soal beginian, jadi aku harus
mulai terbiasa memanggil Mas Reza dengan sebutan Ayah,
begitupun juga dengan Mas Reza yang memanggilku Bunda.
Seperti saat ini, kami bertiga lagi menikmati indahnya
Pantai Boom. Sebenarnya tadi kami datang berlima bersama Ave

106
dan Amar. Tapi saat di jalan kami memutuskan untuk berjalan
sendiri. Karena Ave juga akan bertemu juga dengan saudara-
saudara dari Amar jadi gak mungkin aku dan Mas Reza ikutan
nimbrung.
Walaupun kata Amar gak papa, tapi kami tahu diri. Apalagi
mungkin saudara-saudaranya memang pengen mengenal Ave lebih
dekat. Makanya Aku dan Mas Reza memutuskan untuk jalan
masing-masing dulu.
Aku Mas Reza dan Zahra ke kanan sedangkan Amar dan
Ave ke kiri karena kebetulan tempat yang di katakan saudaranya
terletak di sebelah kiri pantai. Lebih tepatnya ke arah kafe anak-
anak muda.
"Ayah Bunda, kenapa pisah sih sama Om Amar? Tadi aku
sudah janji mau membelikan aku boneka kalau aku ikut Om Amar,
berarti gak jadi dapat boneka dong aku, ih! Ayah, pokoknya gak
mau tahu, Ayah yang harus beli boneka buat aku,"
"Iya, nanti kita beli," ucap Mas Reza sambil mengacak
rambut Zahra.
"Yang gede bonekanya," ucap Zahra lagi dengan mata
berbinar- binar.
"Boleh," ucap Mas Reza mencubit kedua pipi Zahra.
Aku yang melihat berdua hanya tersenyum mendengarkan.
Tapi tak lama obrolan itu membuatku dan Mas Reza tergelak
karena omongan Zahra.
"Dua ya, Yah ... bonekanya, satu buat aku satu buat Bunda.
Kan ayah lagi pacaran sama Bunda dan aku, jadi biar nanti Bunda

107
gak iri kalau Ayah memberikanku boneka," celetuk Zahra sambil
memeluk leher Mas Reza.

108
Delapan Belas

Balik Kampung

Akhirnya sampai juga di rumah Ngawi. Ya walaupun harus


ada drama dulu tadi pagi pas mau balik. Zahra gak mau pulang ke
Ngawi, dia sudah betah di Tuban dekat pantai dekat alun-alun itu
yang bikin dia betah di rumah Tuban.
Harus dirayu dulu biar mau balik ke Ngawi. " Nanti kita
mampir ke alun-alun kota, mau ndak?" rayu Mas Reza, membuat
Zahra yang ada di pangkuannya pun tersenyum dengan mata
berbinar- binar.
"Bener lo Yah, nanti mampir di alun-alun kota. Tapi sama
gak kayak alun-alun sini?" celotehnya
"Di sana ada ayunannya terus ada patung polisi, rambu-
rambu lalulintas, pokoknya mainannya lengkap."
Zahra tersenyum lagi, menaruh telunjuknya di dagu, "Nanti
aku mau main perosotan, Tante Ave ayo ikut ke Ngawi?" ajak
Zahra ke Tantenya, membuat aku dan Mas Reza saling pandang.
Sedangkan Ave bingung mau jawab apa.
"Tante, kok diam? Ayo?" ajak Zahra sambil menyeret
tangan Ave, Mbahdhok sama Mbahnang pun tersenyum geli
melihat tingkah cucunya.
Ave menyentuh tangan Zahra yang menyeretnya membuat
langkah Zahra berhenti. "Maaf, Sayang. Tante masih ada beberapa
tugas yang belum dikerjakan ntar kalau Tante gak lulus gimana?"

109
"Gitu ya? Padahal mau tak ajak ke alun-alun tadinya, tapi
Tante janji ya? Begitu selesai sekolah ke rumahku?" harap Zahra
membuat aku dan Mas Reza tersenyum geli.
Ave mengangguk lalu mencium kening, pipi, dan hidung
Zahra, "Insyaallah, kalau ada yang mau mengajak Tante ke sana.
Karena kalau Tante berangkat ke Ngawi sendiri, yang ada
bukannya nyampai malah kesasar ntar."
Kening Zahra mengkerut, "Kan bisa naik bus, terus busnya
kan ada sopirnya juga, kok bisa kesasar?" ucap Zahra sambil
menaruh telunjuknya di dagu seperti berpikir.
Zahra walaupun masih kecil tapi pemikirannya seperti
orang dewasa, kadang malah menasehati Nenek dan Kakeknya
kalau mereka lagi beda pendapat.
Kami pun berpamitan dengan Emak dan Bapak serta Ave.
Tapi baru beberapa perjalanan, Zahra rewel lagi minta balik ke
Tuban, karena mainnya ada yang tertinggal di rumah Mbahdhok,
terpaksa deh harus balik lagi.
"Lho kok balik lagi Mbak?" tanya Ave terkejut begitu kami
sampai di depan pintu. "Mainannya Zahra ketinggalan di kamar,"
ucapku sambil memutar mata malas, membuat Ave cekikikan.
"Ayah, aku mau di sini dulu sama Bunda. Ayah kalau mau
pulang, pulang dulu saja," rayu Zahra ke Mas Reza. "Gak bisa,
Sayang. Ayah ada orderan banyak, Bunda mau tak suruh bantu-
bantu nanti. Soalnya mau diambil sama orangnya, besok-besok deh
kita ke sini lagi," ucap Mas Reza ganti merayu Zahra.

110
Zahra mengangguk lalu kami pun pamit pulang karena hari
beranjak siang. Di tengah jalan Zahra rewel lagi, terpaksa harus
istirahat lama di tempat pengisian bahan bakar.
Selama hampir lima jam dalam perjalanan, akhirnya tiba
juga kami di rumah Ngawi. Begitu sampai pintu kamar, kami pun
langsung tepar di kasur. Capek banget, banget, badan seperti remuk
semua. Tak lama kami pun langsung terpejam, bangun- bangun
sudah azan magrib. Untung sudah salat Asar dalam perjalanan tadi,
coba kalau gak pasti ketinggalan salat kami.
Begitu bangun aku dan Mas Reza bergegas mandi berdua,
agar tidak ketinggalan salat Magrib. Saat kami selesai salat, tiba-
tiba Zahra sudah ada di belakang, mengucek matanya lalu duduk di
tengah-tengah aku dan Mas Reza.
"Lho! Sudah bangun," ucapku sambil melepaskan mukena.
"Zahra lapar?" ucapku lagi, Zahra mengangguk sambil memeluk
pinggang Mas Reza.
"Ayah, mau makan apa?" tanyaku tapi belum dijawab sudah
dipotong Zahra.
"Bunda kok yang ditanya Ayah sih? Kan aku yang jawab
lapar, jadi aku dong yang nentuin makan apa?" sewot Zahra
bersedekap dada. Membuat aku dan Mas Reza saling lirik.
"Memang Zahra mau makan apa?" ucap Mas Reza sambil
membelai rambut Zahra. "Mi ayam langganan kita," ucapnya
semangat. "Boleh deh, ayo kalau gitu," ajak Mas Reza sambil
menggendong Zahra yang langsung bergelanyut manja dengan
tangan yang melingkar di leher ayahnya.

111
Sebenarnya akunya pengin makan nasi tapi mau gimana
lagi, mereka berdua kekeh mau makan mi ayam. Terpaksa deh mau
gak mau aku menuruti keinginan mereka berdua. Mungkin ntar
aku harus siap-siap memasak nasi, karena biasanya kalau perut
kami belum terisi nasi, siap-siap tengah malam lapar lagi.
Untuk lauknya, karena kami baru pulang kampung, aku
memutuskan untuk memesan ayam panggang di langganan kami
juga. Jadi saat lapar tengah malam nanti, sudah ada lauk beserta
lalapan dan juga sambel terasi.
Di dalam mobil Zahra yang biasanya berceloteh terus, tiba-
tiba hari ini diam saja, memandang luar jendela. "Zahra kenapa?"
ucapku mengusap-usap kepalanya. Zahra yang ada dipangkuanku
pun menetes air mata, "Hiks, aku pengin di rumah Mbahdhok,"
ucapnya merangkul leherku.
"Iya nanti kita ke sana lagi, setelah orderannya Ayah
selesai, gimana?" bujuk Mas Reza, aku pun memelototkan mata
sambil geleng-geleng. Karena begitu kita janji sama Zahra, siap-
siap saja ditagih nanti.
"Bener? Masih lama gak Yah orderannya?" ucap Zahra
berbinar- binar. Mas Reza mengangguk lalu tersenyum, tangan
kirinyamembelai rambut Zahra sedangkan tangan satunya sibuk
menyetir.
Setengah jam kemudian kami sudah sampai di warung mi
ayam langganan kami. Siapa lagi kalau bukan mi ayam Pak
Saimin. Kenapa bisa menjadi langganan kami? Karena sayurannya
lebih banyak daripada mi ayam lainnya.

112
Saat melintasi pintu depan, aku melihat seorang ibu-ibu
mengendong dan menggandeng anaknya sambil membawa satu
mangkok plastik bersih. "Ibu, beli mi ayam juga?" tanyaku
padanya ikutan berdiri. "Iya Bu," ucapnya tersenyum. "Nia saja
Bu, saya lebih muda dari ibu. Em kalau boleh tahu ini anak apa
cucunya Bu," tanyaku lagi.
Ibu itu pun memperkenalkan diri. Ibu Sri tinggal di samping
warung mi ayam Pak Saimin yang tinggal bersama kedua cucunya,
yang sudah di anggap anaknya, karena orang tua mereka
meninggal saat pulang dari bekerja.
Terkejut itu yang aku rasakan, melihat perjuangan Ibu Sri
yang rela mengasuh kedua cucunya. "Mi ayamnya mau di makan
sini atau dibawa pulang Bu?" tanyaku.
"Dibawa pulang Mbak Nia," ucapnya.
Aku pun menyodorkan satu plastik yang berisi tiga bungkus
mie buat Ibu Sri, tak lupa juga menyisihkan sedikit uang untuk
kebutuhan Ibu Sri selama seminggu.
"Kok banyak banget Mbak," ucap Bu Sri.
"Tidak apa-apa Bu, anggap saja itu rezeki buat kedua cucu
Ibu," ucap Mas Reza yang tiba-tiba muncul dari belakang sambil
menggendong Zahra.
"Ini suami saya Bu, Mas Reza namanya. Insyaallah tiap
seminggu sekali, boleh kami mampir ke rumah Ibu?" tanyaku, ibu
Sri terharu, "Boleh Mbak, tapi jangan kaget sama rumah saya yang
kecil," ucap Bu Sri, yang kubalas dengan senyum.

113
Sembilan Belas

Jalan ke Kota

Saat Zahra sudah terlelap tiba-tiba Mas Reza menghampiri,


tangannya melingkar di pinggangku, sambil mencium tengkuk, lalu
berbisik, "Nda aku pengin."
Malam ini untuk pertama kalinya kami melakukannya lagi,
setelah sekian lama libur gara-gara liburan.
"Terima kasih," ucap Mas Reza sambil mencium keningku
setelah selesai berhubungan, aku pun tersenyum dan tertidur dalam
pelukannya. Tapi tak lama, kami kembali terjaga karena Zahra
yang tiba-tiba bangun. Untung saja kami sudah memakai baju,
coba kalau belum, bisa ke mana-mana nanti ceritanya.
"Zahra kenapa bangun," ucap Mas Reza yang masih
memelukku. Zahra pun berdiri lalu merangsek masuk ke tengah-
tengah pelukanku bersama Reza. Membuatku tersenyum geli,
sedangkan Mas Reza terlihat kaget.
"Kan sudah aku bilang Yah, kalau pelukan ikut, kenapa gak
ajak aku?" polos Zahra sambil memeluk Ayahnya. Mas Reza
tersenyum, "Kan Zahra dah tidur tadi, gimana mau ngajak?" ucap
Mas Reza ikut memeluk Zahra, membuat Zahra terlelap kembali.
Melihat Zahra kami pun ikut terlelap juga hingga esok hari.
Azan Subuh sudah terdengar berkumandang di masjid dekat
rumah, kami bertiga sudah siap untuk melaksanakan salat. Tapi

114
baru
mau memakai mukena, tiba-tiba saja Zahra memegang rambutku.
"Bunda keramas ya? Kok basah rambutnya?" ucap Zahra
masih dengan memegang ujung rambutku. "Rambut Ayah juga
basah? Kok tumben ya?" ucap Zahra lagi sambil memandang
rambut Mas Reza yang basah.
"Memang gak boleh keramas?" ucapku berbicara setenang
mungkin padahal dalam hati sudah dah dig dug karena pertanyaan
Zahra yang tiba-tiba.
Mas Reza yang melihatku mengerti kalau istrinya deg-
degan dengan pertanyaan Zahra anaknya, pun mengalihkan
pembicaraan, "Sudah salat dulu." Zahra seketika diam lalu
mengacungkan jempol tangannya, setuju dengan perintah
Ayahnya. Setelah itu kami bertiga bersiap melaksanakan salat.
Untung saja, terima kasih suamiku, ucapku tersenyum lalu salat
berjamaah.
Selesai salat kami isi dengan mengaji. Untuk Zahra dia
bagian menghafal surah-surah pendek. Satu jam kemudian kami
pun selesai mengaji lalu beranjak pergi ke pasar untuk berbelanja
dengan berjalan kaki. Karena jarak pasar dan rumah lumayan
dekat.
"Zahra mau makan apa?" ucapku saat sampai di toko buah.
Membeli beberapa buah kesukaan Zahra, ada pisang, apel, jeruk,
anggur, dan kelengkeng. Sedangkan Mas Reza bagian membayar.
Setelah dari toko buah kami beranjak pergi ke stan para penjual
ayam. Setelah selesai membeli ayam, kemudian kami menuju ke

115
tempat penjual sayur-sayuran.

116
Sesuai dengan keinginan Zahra ayam goreng dan sop
makaroni. Setelah selesai berbelanja kami bersiap untuk pulang,
tapi dalam perjalanan pulang kami bertemu dengan sahabat lama
Mas Reza. Ia menatap aku dan Zahra, heran.
"Ini istri dan anakmu?" ucap teman Mas Reza.
"Iya," ucap Mas Reza tersenyum lalu memperkenalkan aku
ke temannya yang bernama Geri. "Ya Allah nikah kok gak
ngundang-ngundang, lupa kamu sama temanmu ini," tunjuk Geri.
"Bukan gak mau ngundang, tapi kan waktu itu kamu lagi di
Malaysia," ucap Mas Reza menjelaskan.
"Kalau diundang pasti aku bisa pulang sebentar."
Mas Reza terbahak lalu menepuk lengan Geri. "Maaf waktu
aku cuma ngundang sekitaran sini-sini saja, mungkin karena kita
sudah lama gak ketemu jadi aku agak lupa sama kamu," ucap Mas
Reza lagi memasang wajah lesu.
"Hahaha, gak papa Bro, mungkin karena kelamaan gak
ketemu. Ini kalau aku gak ketemu kamu di sini, aku juga pastinya
lupa sama kamu," kelakar Geri. Mas pun turut tertawa mengajak
Geri untuk mampir ke rumah tapi Geri menolaknya, karena dia
juga lagi menunggu ibunya berbelanja.
"Sudah siap nikah belum, jangan lupa undangannya.
Insyaallah kami akan datang," ucap Mas Reza. "Pasti, doain ya?
Semoga bisa nyusul kamu,"
"Nyusul ke mana Om?" celetuk Zahra sambil memeluk
leher Mas Reza. Membuat aku, Mas Reza dan Geri qsaling
pandang lalu tersenyum kikuk. Hampir saja kami lupa kalau, Zahra

117
ada dalam gendongan Mas Reza. "Nyusul ke rumah kamu, boleh
gak main ke rumah?" ucap Geri mengalihkan pembicaraan.
"Boleh dong Om, Zahra malah seneng kalau teman Ayah
main, biar rumahnya rame, kan selama ini aku jarang main sama
anak- anak lainnya. Om mau gak jadi sahabat Zahra," ucap Zahra
sambil mengulurkan tangannya.
Mau gak mau Geri pun menuruti permintaan Zahra. berjanji
memakai kelingking. "Lho istri Om kok tua ya?" celoteh Zahra
memandang ke arah belakang Geri yang tersenyum kikuk, lalu ikut
menoleh ke belakang. "Oalah bukan Ra, itu Emak Kakak," ucap
Geri memberi penjelasan.
"Kenapa gak nyoba ngelamar di toko Ayah, pasti langsung
diterima," ucap Zahra. Mas Reza tertawa, "Yo gak bisa, Dek, harus
minta persetujuan yang lainnya juga. Kan itu toko milik bersama,"
ucapku menolaknya halus.
Satu jam kemudian, Geri juga sudah berlalu dari hadapan.
Kami pun melanjutkan perjalanan, menuju rumah. Begitu nyampe
rumah, Mas Reza dan Zahra langsung menonton Upin dan Ipin.
Sedangkan aku bergegas memasak di dapur.
Tak berapa lama masakan sudah tersaji di meja makan.
"Ayo makan dulu, nanti di terusin lagi nonton TV nya," ucapku
membuat Mas Reza dan Zahra langsung ngacir dari ruang keluarga
menuju ruang belakang untuk makan.
Melihat mereka berdua begitu lahap makannya, membuatku

118
bersyukur, "Kok ngelamun, Bund? Ayo makan," ucap Zahra
lalu menyediakan tempat untuk aku duduk.
"Iya, ini juga mau makan. Enak gak masakannya?" ucapku.
Zahra dan Mas Reza kompak mengangkat jempolnya membuatku
tersenyum.
Selesai makan Zahra dan Mas Reza balik lagi ke ruang
keluarga untuk menonton televisi. Tontonannya masih sama
dengan yang tadi Upin dan Ipin. Sedangkan aku merapikan piring
bekas makan dan membawanya menuju kran air.
"Bunda, aku mau susu," rengek Zahra bergelanyut manja di
lenganku. Dengan kening mengkerut aku menjawabnya, "Susu?"
"Iya Bunda, susu bubuk kayak punya Mbak Intan ya? Kayaknya
enak," ucap Zahra sambil menaruh telunjuknya di dagunya.
"Iya, ngomong sama Ayah sana. Ajak belanja ke kota untuk
beli susu sekalian jalan-jalan di mall," ucapku.
Tak lama terdengar Zahra memanggil Ayahnya, "Ayah,"
teriak Zahra sambil berlari ke arah Mas Reza. "Jangan teriak-teriak
gitu, gak baik anak perempuan kok ngomong keras-keras," ucapku
ikut menghampiri mereka di ruang keluarga.
"Hehehe, biar Ayah dengar," ucap Zahra cengengesan.
"Walaupun kamu gak teriak Ayah dengar kok, mau
ngomong apa?" ucap Mas Reza menimpali omongan Zahra.
"Ke kota yuk, Yah," ajak Zahra. Kening Mas Reza berkerut,
"Ngapain?" tanyanya ke Zahra sambil melirikku.
Lalu Zahra bercerita kalau pengin beli susu sekalian jalan-
jalan di alun-alun. Kenapa jadi alun-alun padahal aku tadi

119
ngomongnya mall. Hadeh gagal deh belanja.

120
Dua Puluh

Tanda negatif

"Yah, kok aku takut ya?" ucapku ketakutan bila sampai


kejadian beneran. Mas Reza menghampiri lalu merangkul sambil
menggenggam tanganku. Menyarankan agar aku bersikap tenang,
"Ngapain takut, kalau memang terjadi ya sudah diterima saja, itu
juga rezeki buat kita," ucapnya menenangkan aku.
"Zahra belum ada 2 tahun, masak mau punya adek lagian
apa kata ibu nanti? Bukannya kita dilarang punya anak lagi
sebelum Zahra sekolah?" ucapku cemas sambil meremas kedua
tanganku.
"Untuk masalah itu, gak usah kamu pikirkan. Nanti biar aku
yang ngomong. Kita coba cek dulu, untuk memastikan positif atau
gak." Zahra datang menghampiri kami, keningnya berkerut
memandangku.
"Bunda kenapa? Kok wajahnya putih banget? Bunda sakit
apa?" ucap Zahra memelukku lalu tiba-tiba saja menangis. Aku
pun membalas pelukannya, "Bunda gak papa kok, cuma capek saja,
bukan putih wajahnya tapi pucat, Adek," ucapku tersenyum.
Zahra melepas pelukannya, tangannya dia tempelkan di
keningku, membuatku tersenyum kembali, "Beneran, Bunda gak
papa kok. Bunda mau tanya, misalnya Zahra punya adek, mau?"
tanyaku hati-hati.

121
Zahra diam, kemudian cemberut, "Aku gak mau adek
Bunda, ntar kalau punya adek, Bunda sama Ayah gak sayang aku
lagi," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, memelukku lagi, "Aku
gak mau adek, Bunda," ucapnya sesenggukan.
Mas Reza yang mendengar tangisan Zahra pun meraihnya
dari pelukanku, menggendong Zahra sambil mengelus rambutnya,
"Coba bilang sama Ayah, siapa yang bilang kalau punya adek gak
di sayang lagi?" Zahra diam. "Misalnya Zahra punya adek, Ayah
sama Bunda tetap sayang kok sama Zahra."
Zahra meronta minta dilepaskan dari gendongan Mas Reza,
"Pokoknya aku gak mau punya adek, titik! Sampai aku punya adek,
mau tak buang ke sungai tak tutupi batu biar mati tuh adeknya,"
ucap Zahra setelah terlepas dari gendongan Mas Reza kemudian
lari ke kamar.
Aku dan Mas Reza saling lirik, mendengar jawaban Zahra
yang tak mau punya adik membuat nyaliku mengkerut. Bingung,
misalnya bener positif bagaimana menghadapi Zahra nanti.
Malam ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak, tak sabar
menunggu pagi. "Tidur, Nda. Gak usah mikir macam-macam,
bismillah semoga semua baik-baik saja," ucap Mas Reza
memelukku dari belakang. Sedangkan Zahra tidur di sampingku.
Zahra jarang tidur di tengah, menurut ibu mertua anak kecil
tidurnya di pinggir sedangkan ibunya di tengah, seperti pohon
pisang tunas yang baru berada di pinggir.
Saat aku terdiam, tiba-tiba Mas Reza beranjak dari kasur,

122
berdiri lalu membopongku membuatku terkejut bukan main, "Ya
Allah Yah, turunin jatuh ntar aku," ucapku menepuk dadanya.
"Gak akan," ucapnya tersenyum jahil.
Mas Reza menurunkanku di kursi, masih dengan tersenyum
jahil, dia melepaskan pakaian satu persatu. "Mau apa?" ucapku
waspada, tapi Mas Reza tidak mengindahkan malah berjalan
semakin dekat dan mulai melepas pakaianku juga, "Biar kamu
cepat tidur,"
"Eh!" Mas Reza menaruh telunjuknya di mulutku
menyuruhku untuk diam, "Dosa kalau gak mau melayani suami,"
ucap Mas Reza tersenyum, tangannya mulai meraba bagian
sensitifku, lalu bibir kami pun bertemu. Dan malam ini menjadi
malam terindah untuk kami berdua, walaupun lagi kuatir juga tapi
namanya kewajiban istri harus mau melayani suami.
Setelah melakukan menggapai surga dunia yang menguras
tenaga, akhirnya kami berdua sama-sama terlelap di kursi tempat
kami memadu kasih. Hingga di kagetkan dengan suara tangisan
Zahra karena tiba-tiba lampu padam. Tapi untung juga jadi Zahra
tidak melihatku dan Mas Reza yang bertelanjang cuma tertutup
selimut.
"Bunda," teriak Zahra di kegelapan malam.
"Iya, Zahra diam saja di situ, Bunda jalan ini ke Zahra,"
ucapku sambil cepat-cepat memakai pakaian yang sengaja di
letakkan di meja oleh Mas Reza tadi saat akan memulai hubungan.
Aku memeluk Zahra setelah sampai di kasur. "Bunda ke
mana?" ucapnya pelan sambil membalas pelukanku. "Tadi masih

123
ngobrol sama Ayah di kursi," ucapku berbohong. "Zahra tidur lagi
ya?" ucapku sambil merebahkan Zahra. Tak lama lampu pun
menyala kembali.
"Ayah, kebiasaan kalau tidur gak pakai baju, ntar bajunya
tak jual lo," celetuk Zahra saat melihat Ayahnya yang berjalan ke
kasur.
Telanjang dada saat mau tidur adalah kebiasaan Mas Reza.
Dia bilang sih, dari sebelum menikah memang sering tidur
telanjang daripada pakai kaos. Tapi itu tidak berlaku saat pulang ke
Tuban, ada rasa sungkan pada diri Mas Reza saat tidur di rumah
mertua.
"Sudah nyala, sekarang Zahra tidur lagi ya, sini Ayah yang
ngeloni," tawar Mas Reza membuat Zahra beringsut mendekati
ayahnya lalu tidur sambil memeluk Mas Reza. Tak lama mata
Zahra terpejam kembali.
"Untung saja tadi," ucapku sambil mengelus dada. "Mas
Reza sih, kenapa tadi tidur di kursi bukannya balik ke kasur, malah
kita telanjang lagi, coba kalau gak lampu padam, pastinya Zahra
sudah nanya ini itu tadi," ucapku agak manja, sambil cekikikan
pelan, takut Zahra kembali bangun lagi.
"Sudah tidur, biar esok datang dengan cepat saat waktunya
tiba," ucap Mas Reza. "Enak kalau gak pakai Nda, lepas kan
kamu?"
Aku mengangguk, "Kita pakai pengaman dulu. "Ngelus
dada ae Yah, kita tunggu sampai Zahra masuk sekolah," ucapku
cekikikan pelan. Tapi tidak dengan Mas Reza.

124
Semenjak aku lepas KB satu bulan yang lalu saat di rumah
Tuban, memang aku belum berencana untuk KB lagi, takutnya gak
cocok. Memikirkan tenang KB yang cocok sampai membuatku
terpejam sampai keesokan hari.
Begitu bangun awal langkah yang aku ambil adalah
mengecek positif atau gak. Di dalam kamar mandi, perlahan aku
mencelupkan tespek ke air kencingku yang aku taruh di wadah.
Mataku terpejam, takut apa yang aku kuatir kan benar-benar
terjadi.
Sekian lama dengan mata masih terpejam, tiba-tiba
dikagetkan oleh suara Mas Reza yang sudah nongol di kamar
mandi, "Negatif, Nda. Angkat dari tadi kok di celupin saja tu
tespek, buka matanya," ucapnya membuat mataku terbuka lalu
melihat ke arah tespek yang hasilnya negatif.
"Alhamdulillah, negatif," ucapku langsung menghambur ke
pelukan Mas Reza. Mas Reza yang belum siap dengan pelukanku
yang tiba-tiba pun hampir terhuyung ke belakang. "Maaf terlanjur
senang aku," ucapku lalu mencium bibirnya sekilas.
"Untung saja tidak jatuh tadi, misalnya jatuh lucu kali ya?
Sekalian mengulang kejadian semalam," ucap Mas Reza sambil
menaik turunkan kedua alisnya. "Sudah azan masak mau
mengulang lagi?" sewotku. Mas Reza tertawa pelan lalu mengacak
rambutku.
"Kita mandi berdua kalau gitu,"
"Gak, Mas Reza duluan saja," ucapku mau beranjak pergi
tapi terlambat tanganku sudah di tarik Mas Reza dan kami kembali

125
mengulang kejadian semalam di kamar mandi. Semoga Zahra gak
cepat-cepat bangun.

126
Dua Puluh Satu

Kepercayaan

"Ayah, besok libur ya? Kita renang," ucap Zahra saat kami
lagi bercengkrama di teras rumah menikmati segarnya angin sore.
"Iya, Yah. Kami butuh refreshing ini, masak di rumah saja. Sudah
hampir 5 tahun ahun di sini kok gak pernah ke mana-mana, paling
sering ke Pak Saimin saja," ucapku sewot.
Mas Reza tertawa sambil mengacak-ngacak jilbabku, "Oke
kita berenang, Bunda ikut ya?" goda Mas Reza yang mengetahui
aku gak bisa berenang. kuputar kedua mataku malas, "Hem, ejek
terus! Mentang-mentang istri gak bisa renang?" sewotku lalu
beranjak dari kursi mengambil jus di kulkas. Membuat Mas Reza
dan Zahra cekikikan, menertawakanku.
“Aku besok di rumah saja, Yah, gak ikut. Mau tidur
sepuasnya besok," ucapku setelah menaruh jus di meja untuk Mas
Reza dan Zahra. Keduanya memandangku memasang muka sedih,
"Kompak banget mukanya? Kan aku gak bisa renang, percuma
dong ikut," ucapku.
"Ikut Nda, ntar yang jagain tasku siapa pas aku renang sama
Ayah?" keluh Zahra, kepalanya menunduk lalu menangis. Diam.
Mas Reza melirikku, memperlihatkan Zahra yang menangis.

Ku embuskan napas kasar. " Iya, iya ikut, seneng kan

130
kalian!" ujarku saat duduk di samping Zahra. Mendengar
perkataanku, Zahra langsung mendongakkan kepalanya.
Menghambur di pelukan, "Terima kasih Bunda," ucapnya sambil
mencium kedua pipiku dan bibirku sekilas.
"Cuma Bunda yang di sayang, Ayah gak?" rajuk Mas Reza
sambil bersedekap. Refleks aku dan Zahra memeluknya, mencium
pipi dan bibirnya bergantian.
Saat lagi bersenda gurau tiba-tiba ibu mertua datang dengan
tergesa-gesa. Menghampiri lalu memegang lengan Mas Reza, "Di
luar ada tamu, katanya cari kamu Nin," ucap Ibu mertua
memandangku tak suka.
"Siapa, Bu?" ucap Mas Reza. Ibu diam saja lalu berbisik ke
telinga Mas Reza, tak berapa lama Mas Reza memasang wajah
geram, sambil memandangku. Aku bertanya-tanya siapakah tamu
yang di maksud ibu mertua hingga membuat Mas Reza bisa geram
seperti ini.
"Tamunya masih di luar, Bu?" ucapku hati-hati. Ibu
memandangku sekilas, "Masih di depan, sana temuin dulu," ucap
ibu memandangku jengah. Kulangkahkan kaki ke depan rumah,
bermaksud mencari tahu siapa tamunya kok bikin ibu dan Mas
Reza geram.
"Assalamualaikum, sia...pa?" sapaku lalu memelototkan
mata, "Mas Singgih?" girangku melihat kedatangan Mas Singgih,
teman sekaligus atasanku dulu.

"Kejutan! Gimana suka gak, sama kejutanku?" ucapnya

131
tertawa lebar. Aku mengangguk mengisyaratkan untuk duduk tapi
dia menolaknya.
"Bentar, calonku tadi lagi beli buah di depan, tak suruh jalan
dia biar turun dikit beratnya," ucapnya membuatku melongo.
"Kakak ke sini sama calon? Ceritanya mau di kenalin gitu
ke aku?" ucapku kesal.
Mas Singgih mengangguk sambil tersenyum-senyum seperti
sedang memikirkan sesuatu.
"Suami sama anakmu mana? Kan biasanya ketemu lewat
WhatsApp, kalau sekarang kan beda, bisa bertatapan langsung,"
ucapnya tersenyum angkuh. Kuputar mata jengah, lalu beringsut ke
dalam memanggil Mas Reza dan Zahra. Dan ternyata dari tadi Mas
Reza ada di balik pintu.
"Curiga kalau aku punya pacar? Sampai segitunya ngintipin
aku," ucapku tiba-tiba, saat melihat berdiri di ambang pintu.
"Kalau kamu curiga, tandanya gak percaya sama pasangannya.
Keluar sana Mas Singgih pengin ketemu," ucapku beranjak keluar.
"Eh, ini kejutan keduanya Mas?" ucapku terkejut.
"Assalamualaikum, halo Nia, kenalkan aku, Rani," ucap
Rani calonnya Mas Singgih, tersenyum sambil mengulurkan
tangannya.
Aku pun membalas uluran tangannya, "Waalaikumsalam,
Mbak Rani, akhirnya kalian ke sini juga?" godaku, tak lama Mas
Reza muncul dari balik pintu sambil menggendong Zahra.
Sesaat Zahra memandang Mas Singgih, seperti terlihat
berpikir tapi tak lama tersenyum penuh kegirangan. Meminta

132
ayahnya untuk menurunkannya dari gendongan. Setelah turun lalu
berlari ke arah Mas Singgih, duduk di pangkuannya, "Om Singgih
kok tahu rumahku," ucap Zahra dengan mata berbinar-binar.
"Tahu dong, kan ayahnya Zahra pernah kasih tahu dulu, ya
kan Mas?" ucap Mas Singgih sambil memandang Mas Reza. Mas
Reza mengangguk lalu duduk di sampingku. "Tapi kok gak bilang
kalau mau ke sini, Mas?"
"Kalau bilang berarti bukan kejutan, Mas," ucap Mas
Singgih tertawa. "Aku juga kangen sama Zahra juga, padahal baru
ketemu pas di Tuban dulu ya? Eh dah kayak perangko gini," canda
Mas Singgih melirik Zahra yang tersenyum.
Waktu pulang ke Tuban dulu, memang aku sempat bertemu
Mas Singgih di mall, kebetulan dia lagi pindah kerja di daerah
Tuban. Dan waktunya juga pas jamnya Mas Singgih istirahat
setelah salat, jadi waktu istirahatnya digunakan untuk mengobrol
denganku, Mas Reza, dan juga Zahra.
"Sampai lupa belum di sungguhi apa-apa." Aku menepuk
kening. "Sebentar ya, Mbak, Mas," ucapku beranjak pergi ke
dalam.
"Gak usah repot-repot Nin, aku lama kok di sini," ucap Mas
Singgih membuat langkahku terhenti.
“Kalian berdua nginap di sini?" kagetku.
"Gak usah kaget gitu, sengaja biar bisa ngobrol lama sama
Zahra," ucapnya gemas sambil mencubit pelan pipi Zahra yang
masih berada di pangkuannya. "Mas masuk rumah saja, sudah sore
juga. Kalian berdua bisa istirahat dulu di ...," ucap Mas Reza

133
terputus. "Di mana Nda," ucap Mas Reza lagi meminta
persetujuanku.
“Terserah, Mas!” ucapku kesal.
"Sudah gak usah bingung, Rani tidur di kamar, biar aku
tidur di ruang televisi saja. Malah enak bisa nonton televisi
sepuasnya, kalau Zahra sudah tertidur. Soalnya kalau terbuka
matanya, anaknya gak mungkin mau diam, jalan terus pokoknya.
"Aku tadi mau ngomong gitu, tapi takut tersinggung masak
tamu di suruh di luar," ucapku hampir cekikikan. Mas Singgih
memutar matanya malas.
Pikiran kami yang tersita karena kedatangan Mas Singgih,
teralihkan dari keberadaan ibu, yang kini giliran mengintip dari
balik pintu.
"Eh ya, perkenalkan Singgih ... Ibu, teman Nia saat kerja
dulu kan." Mas Reza tersenyum. Aku tahu ia memaksakan semua
itu. Yang lebih membuatku kecewa, paras wajah ibu mertua
menjadi lebih dingin.
"Terima kasih Bu," ucapku pelan.
“Mantan kok diajak ke rumah!” celetuk ibu sewaktu Mas
Singgih keluar.
Aku pun beranjak dari duduk, mendekati ibu mertua yang
mau pulang. Namun, setelah melihatku tertunduk, ia urung
melakukan semua itu. Ia lebih memilih menemaniku di dapur dan
mulai memasak untuk makan malam nanti. Saat ibu mencari sayur
di belakang rumah dan aku sedang mengiris daun bawang, tiba-tiba
ada yang melingkarkan tangannya dari belakang sambil

134
mengucapkan kata-kata maaf.
Aku diam saja, terlanjur kesal. "Nda, masih marah sama
aku? Kok diam saja gak ngomong?" ucapnya sambil melepaskan
tangan lalu berdiri tepat di depanku. "Maaf," ucapnya memelas dan
berhasil membuatku luluh.
Sambil mengembuskan napas, "Kesetiaan di bangun atas
dasar kepercayaan dari kedua belah pihak, antara aku dan kamu.
Dan itu yang akan bikin kita awet seumur hidup hingga akhir
waktu. Sebelum Ayah curiga, lihatlah dulu kebenarannya, jangan
apa- apa langsung percaya begitu saja tanpa tahu benar atau gak.
Aku gak mau ibumu juga menganggap aku dan Mas Singgih ada
sesuatu."
Mas Reza mengangguk dan mengangkat jari tengah dan
telunjuk, membentuk tanda V, damai.
"Dan satu lagi, seharusnya Ayah gak gampang kepengaruh
sama omongan orang lain walaupun itu dari ibu kandung Ayah
sendiri. Karena yang menjalani pernikahan ini, adalah kita berdua
bukan orang tua Ayah atau orang tuaku."

135
Dua Puluh Dua

Kangen

Hujan turun dengan derasnya, kilatan cahaya petir


menyambar di keheningan malam. Zahra cemberut, mukanya
ditekuk, karena tidak bisa melihat film kesayangannya Upin Ipin.
Mas Reza yang melihat tingkah Zahra, putri kecilnya memangku
anak itu.
"Kenapa, kok mukanya ditekuk gitu? Jelek tahu, cepet tua
ntar, emang Zahra mau?" goda Mas Reza. Zahra menoleh
memasang wajah kaget.
"Ayah bohong ya?" selidik Zahra sambil menelengkan
kepalanya, membuatku yang ada di sampingnya tertawa geli.
"Bunda, Ayah lo," adu Zahra ke arahku, hampir menangis.
Mas Reza berjalan menghampiri kami berdua. Satu tangannya
merangkul dan satunya mengelus-elus tangan Zahra. "Besok kan
bisa lihat lagi, bukannya tiap hari acara di ulang-ulang?" hibur Mas
Reza.
"Tapi ini episode baru," keluh Zahra sedih. "Kenapa juga
harus hujan?" ucapnya lagi.
Mas Reza geleng-geleng kepala, "Hujan itu anugerah, Dek.
Coba kalau gak ada hujan, pasti banyak orang kekurangan air,
sungai kering banyak tanaman yang mati atau gagal panen karena
gak ada hujan," ucap Mas Reza bijak.

136
"Bunda juga pernah baca cerita tentang hujan, Zahra mau
dengar?" ucapku sambil memandangnya. Zahra mengangguk
dengan semangat, "Mau, mau, Bunda,"ucapnya berbinar.
Aku pun mulai bercerita asal mula hujan dan kemarau
panjang.
Aku melihat Zahra hampir menutup matanya saat
mendengarkan ceritaku. Mas Reza mencuri-curi pandang, dan saat
melihat Zahra sudah tidur terlelap, Mas Reza memasang senyum
mencurigakan.
"Dingin-dingin enak ini Nda?" ucapnya, kedua alisnya
ditarik keatas kebawah. Aku menepuk lengannya, "Zahra bopong
dulu ke kamar," kataku, Mas Reza tertawa pelan. Kemudian
membopong Zahra ke kamar. Sedangkan aku berjalan di
belakangnya.
Saat sampai di tempat tidur, tiba-tiba lampu padam,
membuat Zahra yang sudah tidur terlelap terbangun lagi, "Bunda,
Ayah," teriak Zahra hampir menangis. Aku yang ada di
sampingnya pun segera mengulurkan tangan, meraba tangan Zahra,
"Bunda di sini, Dek. Tidurlah, ada Bunda sama Ayah yang akan
selalu di samping Zahra."
Zahra beranjak tidur, merebahkan tubuhnya, memejamkan
mata dengan kedua tangan memelukku. Aku pun mengelus
punggungnya, sedangkan Mas Reza beranjak berdiri mencari
lampu senter yang biasa kami gunakan saat lampu padam. Meraba
satu laci, tempat penyimpanan lampu senter.

137
Setelah menyalakan senter, Mas Reza meletakkannya di
samping meja rias. "Nda," ucapnya pelan.
"Hem, kenapa? Minta jatah? Hari ini libur lah, Yah. Ini
Zahra meluknya erat banget kalau lampu mati gini," ucapku
memandang wajahnya di keremangan cahaya lampu senter.
"Kita tunggu lampu nyala gimana?" ucapnya terdengar
memelas. Membuatku tersenyum tipis sambil menahan rasa
kantuk. "Iya kalau sebentar kalau lama nyalanya mau apa. Ayah
mau menunggu? Maaf ya Yah, aku gak bisa nunggu, ngantuk
banget." ucapku lalu memejamkan mata sambil mengelus
punggung Zahra.
Tapi baru memejamkan mata, tiba-tiba Mas Reza sudah
tidur di belakang dengan memeluk tubuhku, mencium ubun-
ubunku. "Sayang, Nda, seharusnya kita main malam ini," keluhnya
pelan lalu menciumi leherku.
Aku hanya tersenyum, mataku terpejam. Masih dengan
mengelus punggung Zahra, membuatku malah cepat tertidur pulas
kala mata sudah mengantuk banget. Sayup-sayup aku dengar Mas
Reza ngomong dan lama kelamaan suaranya menghilang di
keheningan malam, ditemani air hujan.
Dan keesokan harinya, badanku terasa segar, mungkin
karena semalam gak bergadang bersama Mas Reza membuatku
tersenyum geli. Saat sedang mandi, Mas Reza nyelonong masuk
dan berjalan mendekatiku yang hanya menggunakan handuk, tapi
ternyata Mas Reza hanya bermaksud memberi ciuman pertama di

138
pagi hari, atau biasa dia menyebutkan sarapan pagi.

"Kenapa kok kaget gitu," ucap Mas Reza memandangku


dari atas sampai bawah. Membuatku refleks memegang kuat-kuat
handuk yang sedang kupakai, sedangkan Mas Reza tertawa
terpingkal-pingkal. Aku yang melihatnya terlihat geram, "Uh Mas
Reza, awas saja nertawain aku," ucapku beranjak pergi, tapi baru
membalikkan badan, tanganku sudah ditarik sama Mas Reza.
"Maaf," ucapnya lembut sambil mencium tanganku yang sedang
digenggamnya.
Mas Reza kembali mencium tanganku lagi, bahkan dia
mulai dekat, kening dan hidung kami bertautan. Dari dekat aku
bisa mencium parfum bunga Lily.
"Mas pakai parfum ku. Biar gak ngantuk," ucapku mencium
seluruh tubuh atasnya, "Enak Dek baunya, aku suka baunya. Sudah
kalian bermain saja dulu, kayak gak ada kerjain lain saja.”
“Yah?” Kupasang wajah memelas untuk sengaja menggoda
Mas Reza. Kulihat wajah tampan itu kian ditekuk. Ia masuk kamar,
aku pun ikutan masuk, dan ternyata ia lagi duduk di pojokan kasur.
"Kenapa to? Kok mukanya sedih gitu?” ucapku. Mas Reza
merajuk, kayanya gantian mengaku kalau dia lagi pengin. "Sudah
jangan seperti Zahra gini, tambah tua lagi ntar," ucapku kepada
Mas Reza.
Mas Reza manyun beranjak ke kamar mandi, aku pun
mengikutinya dari belakang, saat hendak mengambil pakaian tiba-
tiba tangan Mas Reza menjulur ke depan, lalu di lingkarkan di

139
pelukku. Kubalikkan wajah dan tepat saat Mas Reza melingkarkan
tangannya. "Nanti malam aku tunggu."

140
******************
Selesai salat aku mengaji sebentar. Setelahnya, aku segera
menghampiri Zahra yang masih tidur di kasur. Tetapi disaat mau
menggoyangkan badannya, ada rasa panas mulai menjalar di
sekujur tubuh Zahra. Aku coba meraba keningnya, dan ternyata
benar badan panas.
"Yah, Zahra panas, tolong jaga Zahra. Aku mau ngambil air
hangat dulu di termos," ucapku tergesa-gesa ke luar kamar
mengambil wadah buat ngompres Zahra.
Begitu tiba di kamar, wadah tempat kompres segera diambil
Mas Reza. Ia mencelupkan kain ke wadah lalu memerasnya,
kemudian menempelkannya di kening Zahra, "Cepat sembuh ya?"
ucap Mas Reza sambil mencium ubun-ubunnya sambil
membacakan doa-doa.
"Ayah, jangan kerja, nungguin aku saja di rumah," ucap
Zahra saat membuka matanya. Mas Reza tersenyum, "Zahra mau
ditemani Ayah?"
"Iya, Ayah di rumah saja ya? Temani aku saja," ucapnya
lagi.
"Aku buat bubur dulu ya?" ucapku berbalik, dan berjalan ke
luar kamar, tapi baru mau membuka pintu, langkahku harus
berhenti karena dipanggil Zahra.
"Bunda di sini saja, aku mau di temani Bunda juga," ucap
Zahra serak.
"Bunda masak dulu, buat sarapan Zahra biar bisa minum
obat, mau cepat sembuh gak?" ucapku menghampirinya, mengelus

141
rambutnya pelan.
"Aku kangen Mbahdhok dan Mbahnang, boleh kita ke
Tuban Yah? Sudah lama aku pengin ke sana lagi, boleh ya?"
"Boleh asal Zahra sembuh dulu baru kita ke rumah
Mbahdhok," ucap Mas Reza tersenyum sambil mengelus rambut
Zahra juga.

142
Dua Puluh Tiga

Es krim

"Lo, kok ke sini gak bilang-bilang?


“Mbahdhok gak nyiapin apa-apa buat kamu," ucap Mak'e ke
Zahra cucunya, yang berada dalam pangkuan sambil mengelus
rambut Zahra.
Zahra tersenyum tangannya di taruh di leher Mbahdhok.
"Kejutan ya gak bilang lah. Kalau bilang itu namanya bukan
kejutan lagi," celoteh Zahra dengan memasang wajah polosnya.
Mak'e tergelak. "Pinter banget, cucunya siapa sih?" goda
Mak'e mencium pipi gembul Zahra.
"Cucunya Mbahdhok, dong," ucap Zahra tertawa pelan.
Aku dan Mas Reza yang ada di sampingnya tersenyum melirik
Emak dan Zahra. Tak lama Bapak yang baru pulang kerja, ikut
bergabung bersama kami.
"Zahra umur berapa sih kok pintar banget?" ucap Bapak
ikut- ikutan menggoda Zahra. Mendengar suara Bapak, Zahra
langsung menoleh, matanya berbinar-binar dan menghampiri
Bapak sambil mengulurkan kedua tangannya, minta di gendong.
Mbahdhok yang melihat cucunya beralih ke gendongan
Bapak geleng-geleng kepala. "Gitu ya, kalau ada Mbahnang
langsung lupa sama Mbahdhok," cemberut Mak'e memasang wajah
sedih. Zahra yang sedang berada di gendongan Bapak, merangsek

143
minta di turunkan.
Berjalan menghampiri Emak sambil menggandeng tangan
Bapak, lalu mendudukkan Bapak untuk dekat dengan Emak.
Begitu keduanya berdekatan, Zahra duduk di tengah-tengahnya.
Tangan satu memegang tangan Mbahdhok sedang satunya
memegang tangan Mbahnangnya, "Zahra sayang kalian berdua,"
ucap menoleh ke Mbahdok dan Mbahnang, lalu berdiri, mencium
pipi kedua mbahnya.
"Tambah sayang deh, Mbahdhok," ucap Emak mencium
pipi Zahra balik. Begitupun Bapak juga mencium pipi Zahra.
"Ehya, tadi kan Mbahnang nanya kan? Zahra umur berapa? Zahra
sudah umur 3 tahun lebih lo," ucapnya sambil menunjukkan tiga
jarinya ke arah Bapak.
"Ohya? Bentar lagi sekolah berarti?" jawab Bapak. Zahra
menggeleng, "Masih satu setengah tahun lagi kok sekolahnya. Iya
kan Ayah?" ucapnya menoleh ke arah Mas Reza.
"Bukannya sudah pengin sekolah ya kemaren?" godaku
melirik ke arah atas. Zahra langsung menghampiri Mas Reza,
"Ayah, Bunda nakal. Harusnya tadi gak usah di ajak ke Tuban, biar
di Ngawi saja nunggu rumah harusnya," rengek Zahra, membuat
orang yang mendengar celotehannya tertawa geli.
Saat kami sedang sibuk menertawakan Zahra, terdengar
langkah kaki dan juga Ave yang baru pulang dari kuliah bersama
Amar. "Ya Allah Zahra, keponakanku, sini-sini peluk Tante. Tante
kangen lo sama Zahra, Zahra kangen gak sama Tante?" ucap Ave
begitu masuk dan melihat Zahra, sambil mengulurkan tangannya.

144
Zahra menoleh begitu mendengar suara Ave. Bukannya
menghampiri malah memalingkan muka, memasang wajah judes
sambil bersedekap dada. Semua yang ada di ruangan kembali
tersenyum geli, melihat tingkah Zahra.
"Siapa sih yang ngajarin? Gak kangen sama Tante?" ucap
Ave berlagak sedih sambil melirik Zahra yang masih memalingkan
muka. Amar yang masih berdiri pun menghampiri Zahra, setelah
mencium telapak tangan kedua orangtuaku, berganti Mas Reza lalu
aku. "Zahra kangen gak sama Om?" ucap Amar kedua lututnya di
tekuk sambil memegang pundak Zahra.
Mendengar suaran Amar, Zahra tersenyum lalu menoleh,
"Kangen," ucapnya menghampiri sedangkan kedua tangannya
melingkar ke leher Amar. Mas Reza yang melihat tingkah Zahra
menoleh ke arahku, "Lihat anakmu, kalau sama Amar lengket gitu
tapi kenapa sama Ave malah menolak," bisik Mas Reza yang lagi
duduk di sampingku.
"Merajuk tuh, inget gak kalau Ave pernah janji sama Zahra?
Itu akibatnya kalau Ave gak nepati janjinya," ucapku sambil
menunjuk Ave dengan dagu. Ave yang mendengar omonganku pun
tersenyum, ikut berlutut di depan Zahra yang dalam pelukan Amar,
sambil mengelus punggung Zahra.
"Tante minta maaf ya? Belum sempat main ke rumah Zahra,
itu karena Om Amar sibuk, belum punya waktu untuk ke sana,"
ucap Ave berbohong, terlihat dari senyum liciknya. Amar agak
kaget mendengar ucapan Ave, meliriknya tapi yang diliriknya
malah menaruh telunjuknya di mulut, menyuruh Amar diam.

145
Zahra melonggarkan pelukannya, "Om Amar lo gak sibuk,
Tante saja yang gak mau ke rumahku! Iya kan Om?" ucap Zahra
memandang wajah Amar. Amar tersenyum mengangguk, membuat
Zahra menoleh ke arah Ave, "Wlek, Tante bohong kan sama aku?
Ayo minta maaf, belikan Zahra es krim yang ukuran jumbo
sekarang!" gertak Zahra ke Ave.
Mendengar ucapan Zahra semua orang pun terpingkal-
pingkal tak terkecuali Ave. "Oh jadi merajuk itu, pengin dibelikan
es krim to sama Tante? Tante ada tuh di kulkas," ucap Ave
menoleh ke arah kulkas yang kebetulan ada di sampingku.
Zahra pun segera berlari kecil mendekat ke arah kulkas lalu
membukanya pintu, begitu melihat kesukaannya, matanya
langsung berbinar. Dengan segera dia mengambil es krim ukuran
jumbo, lalu berjalan ke arah ku, "Bunda, tolong ambilkan sendok,
aku mau makan es krimnya Tante sekarang," ucapnya dengan
memandang es krim yang berada di tangannya sambil menunduk.
Aku berjalan ke arah dapur mengambil dua sendok, "Ini
sendoknya," ucapku mengulurkan kedua sendok ke arah Zahra.
Melihat dua sendok, Zahra mengkerut, "Kok dua?" tangannya
mengangkat kedua sendok ke arahku.
"Emang Zahra mau makan es krimnya sendiri? Kan itu
punya Tante, jadi makannya sama Tante dong!" ucapku tapi Zahra
malah menggelengkan kepalanya, lalu berjalan menghampiri Emak
dan Bapak.
"Tante kan belum kerja, otomatis duit beli es krim berasal
dari Mbahdhok, jadi aku makannya sama Mbahdhok dan

146
Mbahnang.
“Lah, kan uang yang di kasih Mbahdhok ke Tante, awalnya
berasal dari Mbahnang, iya kan?"
"Bukan," ucap Ave sambil melambaikan tangannya. "Itu
dari Om Amar, harusnya di makan bareng Om Amar bukan sama
Mbahdhok atau Mbahnang, Zahra," ucap Ave agak kesel.
"Lagian kamu kok pinter banget, tahu uang yang di kasih
Mbahdhok dari Mbahnang?" ucap Ave lagi sambil memandang
wajah heran.
Zahra menoleh ke arahku dan juga Ayahnya, "Kan aku
sering lihat Ayah ngasih uang ke Bunda, sama Bunda di kasihkan
ke Pak Sapari," ucap Zahra dengan wajah polosnya.
"Pak Sapari?" tanya Ave menoleh ke arahku.
"Abang sayur yang sering lewat di depan rumah," ucap Mas
Reza sambil tangannya memeluk pinggangku. Ave memandang
wajah jengah, saat melihat Mas Reza yang menggodanya.
"Hemmm, kumat lagi deh," ucapnya memutar bola matanya
malas. Emak, Bapak tersenyum geli, Mas Reza tergelak, sedangkan
Amar memandang heran. Jangan lupakan Zahra yang sudah asyik
dengan es krimnya.
"Sudah jangan godain Ave terus, kasihan mending seperti
ini saja," ucapku sambil mencium pipi Mas Reza ikutan menggoda
Ave. Amar dan kedua orangtuaku tersenyum geli sambil geleng-
geleng kepala.
"Nia," tegur Bapak melotot tapi berkebalikan dengan
wajahnya yang tersenyum. Ave yang melihatnya pun tergelak,

147
"Emak, kode tuh Bapak pengin di sayang juga seperti Mbak Nia ke
Mas Reza," cicitnya.
Emak pun langsung mencium pipi Bapak membuat kami
tergelak. Kami semua memang sering memperlihatkan kemesraan
di depan orang-orang yang kami sayangi, bagi kami itu adalah
bukti bahwa kami saling mencintai. Tapi kalau di depan yang
bukan keluarga jangan harap bisa melihatnya.
"Ih Mbahdhok, malu tuh sama Om. Kasihan belum bisa
ciuman seperti itu sama Tabte, kan belum halal. Kalau belum halal
gak boleh ciuman dulu, iya kan Nda," ucapnya sambil memandang
ke arahku.
Aku mengangguk, mengangkat kedua jempol tanganku.
"Pintar banget sih keponakanku, seperti orang gede saja kalau
ngomong," tegur Ave sambil mencium gemas pipi Zahra.
"Siapa dulu gurunya," celoteh Zahra bangga. "Siapa," tebak
Ave. "Bunda Nia , gitu."

148
Dua Puluh Empat

Lamaran Amar ke Ave

"Mbak sampean ngerti gak?" ucap Ave mulai bercerita, saat


kami lagi melipat baju. Zahra lagi pergi bersama Emak dan Bapak.
Sedangkan Mas Reza ngopi di luar bersama Amar.
"Gak," ucapku sibuk melipat baju. Membuat Ave sewot
sendiri, " Ish, dengerin dulu napa? Mbak!" geram Ave dengan
muka ditekuk ke dalam.
"Hahaha, iya-iya. Emang mau cerita apa sih? Kok kayaknya
serius gitu?" ucapku sambil tergelak. Ave memutar matanya jengah
dengan tingkahku.
"Kemaren kan Mas Andi sama Mbak Pita pulang ya? La
Mbak Pita itu lihat Mas Alex suaminya Mbak Lili,"
"Terus," ucapku memotong membuat Ave dongkol,
tangannya menepuk lenganku, "Dengerin dulu, napa Mbak Ni!
Jangan main potong saja,"
"Iya-iya, terus kenapa Mbak Pita pas lihat Mas Alex?"
ucapku mengulangi ceritanya.
Kemudian mengalirlah cerita Ave, yang intinya Pita gak
suka dengan sikap Mas Alex yang suka pamer ini itu di saat Andi
dan Pita pulang ke Tuban.

"Kok sama aku gak, Ve?" ucapku heran. Ave tersenyum

149
geli.
"Kalau pamer sama Mbak Ni percuma juga," ucap Ave
cekikikan.
"Percuma?" ucapku bertambah heran.
"La iya, Mbak Ni kan orangnya apa adanya. Gak neko-
neko, percuma dipameri kalau gak mempan juga, kan?" ucap Ave
tertawa, membuatku ikut tertawa juga.
"Mungkin karena tahu sifatku, makanya kalau aku ke sini
dia gak pernah pamer apa pun, ya?" ucapku masih dengan tertawa
pelan. Ave mengangguk menyetujui omonganku.
"Kalau dipikir Alex sama Pita itu sama kali, Ve," ucapku
menebak. "Sama-sama tukang pamer," ucap Ave menambahi
perkataanku lalu kami sama-sama tergelak. Mas Reza dan Amar
yang baru datang pun memandang heran ke arah kami.
Mas Reza mengambil minum lalu menuangkannya ke gelas,
meneguknya langsung sambil duduk. Begitu juga Amar,
melakukan hal yang sama dengan Mas Reza. "Lagi ngomongin apa
sih? Kelihatan seru banget?" tebak Mas Reza memandangku dan
Ave bergantian.
"Biasa Mas," ucap Ave masih dengan sisa tertawanya
sambil menaikkan kedua alisnya. "Apanya yang biasa?" ucap Amar
menimpali omongan Ave. Membuatku tertawa geli, "Ave gak
pernah cerita ke kamu?" ucapku. Amar menggeleng, dengan wajah
bingung.

Mas Reza menepuk pundak Amar, "Halalin Ave kalau

150
kamu ingin tahu," gurau Mas Reza. "Insyaallah, besok malam
Minggu Mas, orang tua mau datang melamar Ave," ucap Amar
tegas, membuat kami bertiga kaget, apalagi Ave.
"Kenapa mendadak coba! Terus kenapa juga baru bilang
sekarang?" ucap Ave syok. "Memang baru tadi pagi rencananya,
mumpung Mas Reza sama Mbak Nia di sini juga. Bener gak,
Mas?" ucap Amar menoleh ke arah Mas Reza yang meminum air
kembali.
"Yang benar kamu, Mar? Emak Bapak tahu gak?" ucapku
masih dengan wajah kaget. Amar tersenyum, lalu mengangguk,
"Alhamdulillah sudah Mbak. Kemaren waktu Ave masih kuliah,
saya sempetin mampir ke sini dulu. Minta ijin sama Bapak dan
Emak, dan Alhamdulilah beliau menyetujui, katanya lebih cepat
lebih baik, mumpung Mas Reza sama Mbak Nia masih di sini,"
"Jadi! Emak sama Bapak sudah tahu semuanya?" tebak
Ave, pipinya terlihat merona. "Ekhem, siap belum Ve menyandang
istri seorang Amar," godaku merangkul pundak Ave yang malah
tersipu malu.
"Cie malu dia," ucap Mas Reza ikutan menggoda, membuat
Amar tersenyum sambil memandang Ave. "Berarti aku dah boleh
dong tahu, cerita yang tadi?" ucap Amar mengingat cerita kami
sebelumnya.
"Belum, tunggu sampai kamu ucapin ijab qobul dulu
dihadapan penghulu, baru boleh tahu cerita tadi. Iya gak Ve?"
ucapku mengalihkan perhatian, membuat Amar mengangguk lesu,
"Oke, deh kalau gitu. Nanti aku bilang Bapak agar pernikahanku

151
bersama Ave dipercepat saja, biar gak lama penasarannya," ucap
Amar membuat kami bertiga tergelak bersamaan.
Akhirnya hari yang ditunggu pun datang juga. Malam ini
semua keluarga berkumpul, tidak terkecuali Andi dan Pita. Mereka
datang setelah di telepon Bapak agar menghadiri lamaran Ave.
Amar sudah menyiapkan semuanya, untuk pakaian dari
keluarga pihak laki-laki ataupun perempuan sama, sesuai dengan
warna kesukaan Ave. Dongker.
"Sebelum dimulai acaranya, gimana kalau sekarang kita
makan malam dulu, biar nanti tinggal ngobrol santai," tawar Emak
tersenyum. Bapak menyetujui lalu mengajak keluarga Amar masuk
ke dalam ruang makan, "Mari, Pak Bu, seadanya saja. Maaf kami
hanya bisa menghidangkan menu sederhana saja," ucap Bapak
sambil tersenyum.
"Menu sederhana gimana to Bu, ini semua masakan ada di
sini semua. Makanan khas Tuban lagi, kesukaan kami semua mah
ini," tunjuk Ibu Emi, Ibunya Raka dengan mata berbinar-binar. Pak
Alea tersenyum mendengar penuturan istri serta calon besannya.
"Sudah-sudah itu kasihan si bocahnya sudah kelaparan,"
tunjuk Bapak ke arah Zahra dan Zahra, anak Andi dan Pita.
Semua keluarga menyambut keluarga Amar,
mempersilahkan untuk mengambil makanan lebih dulu. Kami
semua pun makan dalam diam, kecuali Zahra dan Zahra, yang
berebutan disuapi Emak. Bedanya Zahra selalu kalah duluan dalam
hal mengunyah makanan. Tapi jangan salah dalam hal yang
lainnya, Zahra nomor satu dibanding Zahra.

152
Setelah selesai makan semua keluar beranjak ke depan
kembali, guna membicarakan lamaran Amar. Sedangkan aku dan
Pita bagian cuci piring yang kotor. "Aku sebenarnya malas Mbak
ke sini, Emak Bapak terlalu pilih kasih," ucap Pita dongkol.
"Pilih kasih maksudnya, asal kamu tahu, Emak atau Bapak
gak pernah mengasih uang jajan, gimana bisa pilih kasih?" ucapku
sedikit menggoda. Pita diam, tangannya sibuk kasih sabun ke
piring, "Kalau kamu pikir tiap aku minta apa-apa itu hasil dari uang
Emak sendiri, kamu salah, tiap aku pesen apa-apa itu aku sudah
transfer duluan ke Ave," ucapku menjelaskan.
Pita diam, tapi ntah dengan hatinya.
Akhirnya setelah perbincangan cukup lama. Diputuskanlah
pernikahan Ave dan Amar dilaksanakan, pada hari Jumat enam
bulan lagi. Amar menghampiri Ave, yang lagi menggendong
Zahra, "Enam bulan lagi," goda Amar membuat Ave tersipu malu.
"Mbak yang kemaren, bolehlah aku tahu cerita tentang apa
sampai membuat kalian terbahak.”
"Cerita yang mana?" tanyaku sedikit berteriak. Mas Reza
menggelengkan kepala.
"Tunggu sampai kamu ngucapin ijab qobul dulu baru boleh
tahu ceritanya. Dan gak boleh di ulang pas ngucapin ijabnya,
gimana," goda Mas Reza, membuat Amar tertunduk lesu.
"Padahal aku dah penasaran banget lo, Mas," keluh Amar.
Ave melirikku agar mengalihkan pembicaraan Amar, Mas Reza
pun ikut-ikutan melirikku.

153
"Eh ya, tadi aku beli empat tunik yang kebetulan warnanya
hampir sama yang kita pakai ini, cuma bedanya ada bunga-
bunganya sama gak," ucapku mengalihkan pembicaraan Amar lagi.
Bisa berabe kalau sampai cerita. La yang di ceritain ada di sini
orangnya, masak mau buka kartu.
"Cie Om sama sama Tante mau menikah ya? Nanti aku
yang jadi pengapitnya ya? pernikahannya di Ngawi saja," celetuk
Zahra.
Kami terdiam, mencoba mendengarkan apa yang akan
dikatakan bocil ini.
"Di Bojonegoro saja Te, jangan di rumah Zahra," ucap
polos Zahra untuk ke sekian kali juga.
"Pernikahannya ya diadakan di Tuban, ngapain di Ngawi
atau Bojonegoro? Lagian nanti juga di gedung bukan di rumah,
jadi kalian gak usah berebut juga," ujarku.

154
Dua Puluh Lima

Pernikahan Ave dan Amar

Enam bulan berlalu, kini tiba saatnya pernikahan Ave dan


Amar digelar. Aku dan Pita pun sudah siap-siap untuk di rias juga.
Tapi saat giliranku dirias, tiba-tiba saja Zahra menangis kencang,
"Bundaku mau diapain, jangan!" tangis Zahra mendekatiku yang
hanya berdiri diam saja sambil memandanginya.
Mas Reza mendekat, menggendong Zahra, "Mana, Bunda?
Ini bukan Bunda, Sayang," ucap Mas Reza mengecohkan Zahra.
"Ini, Bundaku, Yah! Istrinya Ayah, masak Ayah lupa sama
wajahnya Bunda," tunjuk Zahra ke arahku, membuat semua yang
ada di ruangan rias tertawa tak terkecuali Ibu periasnya.
"Ayo, Bunda, kita pergi, Ayah sudah lupa sama Bunda
kalau wajah Bunda didandani gini," ucap Zahra dalam gendongan
Mas Reza, sambil tangannya menarik tanganku.
Mas Reza tergelak, "Masak ini, Bunda? Bukan ya, tadi
Bunda di depan, melayani tamu sama Mbahdhok, ini Tante Ave
yang lagi didandani," kilah Mas Reza, membuat Zahra sedikit
berseru sambil menepuk lengan Mas Reza.
"Ayah! Ini Bunda ya? Kalau ini Tante Pita dan yang
didandani di ujung itu baru Tante Ave, pakaiannya sedikit beda
sama yang dipakai Bunda atau Tante Pita," ucap Zahra panjang
lebar, sambil menunjukku Pita dan juga Ave. Semua orang

155
terkagum dengan ucapan Zahra, "Pinter, Mbak anaknya, jeli.
Padahal anaknya Mbaknya yang satunya tadi gak tahu ya? Malah
dipanggil Tante tadi," ucap Ibu Santi, perias pengantin, sesaat
setelah Zahra dan Mas Reza berlalu.
Aku tersenyum, mengangguk, "Alhamdulillah, Bu, anaknya
cepat tanggap," ucapku bersyukur.
"Dulu ngidamnya apa Mbak," timpal Ibu Rita perias yang
lain. Aku tersenyum, melirik Pita yang ikutan tersenyum juga,
"Bener, Bu. Anaknya Mbak Nia itu tanggapnya pol, cerewet juga.
Jadi pengin punya anak perempuan," ucap Pita berbinar-binar.
Ibu Santi dan Ibu Rita ikut tersenyum juga, mengangguk
menyetujui ucapan Pita. Tak berselang lama, Zahra datang bersama
Andi, "Mbak sudah belum, kalau sudah ayo menyambut tamu di
depan," ajak Andi sambil menggendong Zahra yang asyik
memakan es krim.
"Mas Reza di depan juga sama Zahra?" tanyaku setelah
semua selesai, tinggal Ave saja yang masih dirias. Riasan
pengantin sama pengiring memang cenderung beda, kalau
pengiring biasa saja, berbeda dengan pengantin yang terlihat wah
dan membuat semua orang kagum, seakan lupa kalau itu Ave, atau
dalam bahasa Jawanya pangling.
"Mas Reza sendirian di luar, Emak sama Bapak sudah ada
di dalam tuh nemenin tamu," ucap Andi menunjuk ruangan yang
sudah lumayan banyak tamu. Aku mengerutkan kening, "Zahra?"
ucapku bingung. Andi tersenyum tipis, "Tadi diajak Dara sama
Dira, tahu mau diajak ke mana? Soalnya tadi nangis minta di

156
anterin ke sini, tapi sama Mas Reza gak di anterin,"
"Tante, bundaku mana ya? Kok gak kelihatan," celetuk
Zahra menoleh ke arah Pita. "Lo, bundamu ke mana tadi," tanya
Pita tersenyum geli, melihat Zahra tak mengenalinya.
"Kok, suaranya kayak bunda ya, Yah," tanya Zahra ke Reza
yang lagi tersenyum. "Memang ini, bunda," ucap Andi terkekeh,
membuat Zahra tersenyum ceria.
"Cantik, bundaku kalau gini. Kayak badut, hahaha," celetuk
Zahra lucu mengatakan Ibunya seperti badut. Istilahnya habis
diterbangkan ke langit lalu dihembaskan ke bumi, hahaha.
"Zahra, kok gitu sih? Mengatakan bunda kayak badut!
Memang Zahra mau punya ibu badut," ucap Pita sedikit merajuk.
Zahra minta diturunkan dalam gendongan Andi, begitu turun
langsung mendekat ke arah Pita, "Ibu cantik kok, berkali-kali
cantik malah," bujuk Zahra sambil memegang tangan Pita lalu
menciumnya.
Kemudian beralih ke arahku, "Budhe juga cantik, lebih
cantik dari Ibunda juga," aku Zahra ke arahku, membuatku
tersenyum tapi tidak dengan Pita yang tambah merajuk, "Zahra ih!"
Zahra tertawa, "Bercanda, Ibu. Tapi memang kenyataannya,
lebih cantik Budhe daripada bunda," ucap Zahra kembali terbahak
membuat yang lainnya ikut tergelak juga.
"Sudah, sudah, kasihan bundamu kamu goda saja daritadi,"
ucapku menengahi. "Ya sudah, ayo keluar, kasihan Pakdhe
menunggu di luar sendiri," ajak Andi sambil menggandeng tangan
Zahra, lalu berjalan ke luar gang rumahku. Aku dan Pita

157
mengikutinya dari belakang.
"Tante itu bohong ya, Yah?" ucap Zahra tiba-tiba.
Membuatku dan Pita yang ada di belakangnya mengkerut.
"Bohong gimana?" tanya Andi memandang Zahra sebentar.
"Tante bohong Yah. Katanya pernikahannya di gedung kok
ini di rumah?" ucap Zahra polos.
"Kata Tante?" tebakku, Zahra menggangguk lalu kembali
bercerita tentang Ave yang membohonginya dan juga Zahra. Kami
bertiga yang jadi pendengar pun tersenyum geli.
"Zahra pinter juga ya, Mbak. Kok bisa faham dibohongi
sama gak, coba Zahra kayak gitu! Pasti seneng deh bisa aku
dandani," ucap Pita tersenyum matanya mengarah ke atas, lalu
tersenyum kembali.
"Bikin lagi saja," ucapku tergelak sambil menggandeng
tangannya, membuat Pita ikutan tergelak juga, "Bentar, Mbak,
nunggu Radit sekolah dulu. Mbak saja yang bikin, baru deh aku,"
pintanya tersenyum geli.
"Tenang, biar diwakili Ave saja ntar," ucapku percaya diri.
Pita tertawa, "Iya juga ya," ucapnya masih sedikit tertawa. Andi
yang mendengarnya ikut menimpali, "Ya, gak papa Bu, aku sih
mau saja bikin lagi," goda Andi ke Pita sambil menaikturunkan
kedua alisnya.
Giliran aku yang tertawa, lalu mendekat ke arah Mas Reza
yang sedang menyalami tamu, memandangku heran, "Kenapa,
tertawa," ucap Mas Reza, keningnya mengkerut sambil
memandangku, yang kebetulan tamunya sudah agak sepi.

158
Masih dengan tersenyum, lalu menggenggam tangan Mas
Reza, "Andi pengin punya anak lagi," ucapku.
"Memang kenapa kalau pengin punya anak lagi? Mumpung
masih muda, aku juga pengin," ucap Mas Reza lalu kembali
berucap sambil berbisik, "Apalagi lihat kamu kayak gini, bikin aku
tambah pengin tahu," goda Mas Reza merayuku, lalu sekilas
mencium ubun-ubun rambutku.
"Ih mulai deh, Mas Reza," rajukku tapi langsung menepuk
kening, "Zahra ke mana? Kok gak kelihatan?" ucapku mataku
mencari- cari keberadaan Zahra tapi tak kelihatan batang
hidungnya.
"Zahra diajak Dara sama Dira, tahu ke mana. Tadi nangis
terus, sama Dara diajak kok mau, habis gitu, terus aku tinggal
mandi," ucap Mas Reza sambil mencium air galon.
"Tumben mau, anaknya?" ucapku dengan wajah heran,
"Tadi Zahra mau soalnya dibilang mau dibelikan jajanan, karena
jajanannya Zahra tidak seperti orang lain. Suka berbagi apa yang
dia punya ke kepada orang lain. Seperti sifat Zahra kalau dipikir,
cuma bedanya, " ucap Mas Reza manja. Aku tergelak lalu ia
mencium ubun-ubunku.
Aku menggeleng mendengar ucapan Mas Reza yang
memandangku sambil tersenyum. Mungkin memang benar apa
yang dikatakan Pita waktu itu. Dia suka anak kecil tapi bedanya
aku juga yang belum siap.

159
Dua Puluh Enam

Hari yang Ditunggu

Setahun berlalu akhirnya apa yang kami tunggu datang


juga. Iya setelah yakin Zahra mau mempunyai adek, aku dan Mas
Reza memutuskan untuk melepas pil KB ku, pas waktu datang
bulan aku sengaja minum ever e agar bisa hamil lagi, dan
alhamdulilah Allah memberikan kami jawaban atas doa-doa kami
selama ini.
"Nda perute Bunda kok gak gede-gede to?" gerutu Zahra
sambil mengelus perutku, sehabis pulang sekolah. Membuatku
tersenyum geli.
"Ya gak bisa langsung gede Kak," ucapku ke Zahra, iya
semenjak hamil adeknya aku dan Mas Reza memutuskan untuk
memanggil Zahra Kakak.
"Nanti akan kelihatan sesuai dengan usia kandungannya,
kan adek Kak Zahra di dalam perut bunda selama 9bulan jadi tiap
bulan bertambah gedenya, seperti pas hamil Kak Zahra dulu,"
ucapku lagi.
"Kata temenku lo gini Nda, Ra adekku kok lahir-lahir to?
Kok lama banget di perut Bundamu," cerita Zahra panjang lebar,
sambil memanyunkan bibirnya.
"Terus Kakak jawab apa?" ucapku dengan tersenyum.
"Iya aku jawab gini, emangnya kayak di televisi, langsung
cepat keluarnya, nunggu 9bulan dulu baru lahir," terangnya.

160
"La itu tahu, kenapa tadi masih tanya? Kak Zahra kok tahu
kalau adek bayi berada dalam kandungan selama 9bulan?" tanyaku
penasaran.
"Kan ada Nda lagunya, surga di telapak kaki ibu itu kan
dijelaskan bahwa ibu mengandung selama 9bulan," kata Zahra
menjelaskan.
"Ih pinternya, anak siapa sih?"ucapku sambil mencium
kedua pipi Zahra membuat Zahra tersenyum riang.
"Yang jelas anak Bunda sama Ayah lah, masak anak
tetangga. Eh tapi kenapa Bunda pas buat aku kok ada
kembaranku," ucapnya tiba-tiba sewot.
"Siapa?" ucapku menaikkan kedua mata atasku.
"Itu yang kemaren kita pulang ke Tuban. Kan ada yang
bilang mukaku mirip anak penjual tempe," ucapnya dan seketika
membuka ingatanku di saat pulang ke Tuban. Tetangga Tuban,
sering memanggilnya J-lo.
Aku tersenyum menanggapi, "Kan yang menciptakan Allah
Kak, jadi semuanya itu sudah diatur sama Allah," ucapku
mengingatkan.
"Seharusnya pas mau bikin aku, bilang sama Allah jangan
ada kembarannya Bunda," ucapnya cemberut dan membuatku
tertawa geli melihat tingkah polosnya.
"Ngomongin apa sih, kok wajah Kakak sampai ditekuk
gitu," kata Mas Reza tiba nongol dari dapur sambil membawa
martabak manis, pesananku, lalu meletakkannya di meja. Kalau
dulu pas hamil Zahra suka sama yang namanya rujak tapi kalau

161
hamil kali ini malah suka yang manis-manis.
"Ayah beli martabak kenapa gak ngomong tadi?" ucap
Zahra sambil mencomot satu martabak manis lalu memakannya.
"La Zahra main, ya Ayah gak ngomong dong," ucap Ayah
duduk disebelahku sambil mengelus perutku yang masih rata.
"Ayah gak bilang e, kalau tahu kan aku gak keluar main,"
ucap Zahra lalu mencomot martabak manis lagi dan
memasukkannya ke mulutnya.
"Pelan-pelan Kak, nanti kesedak lo, masih banyak itu,"
ucapku geleng-geleng lalu ikutan mencomot martabak manis.
"Kak misalnya kalau adeknya perempuan gimana," ucap
Mas Reza tiba-tiba. Zahra berhenti mengunyah martabak manisnya
lalu menoleh ke arah Mas Reza. "Aku akan minta sama Allah
supaya adekku laki-laki," ucap Zahra mantap lalu memakan
martabak manisnya kembali.
"Kan misalnya Kak, bersyukur harusnya laki-laki atau
perempuan kan itu anugerah yang diberikan Allah kepada Bunda
sama Ayah. Seperti Zahra, anugerah terindah yang pertama hadir
di kehidupan Bunda sama Ayah. Jadi kalau misalnya adeknya
perempuan ya harus di syukuri juga," terang Mas Reza sambil
mengelus rambut Zahra.
"Hemmm," ucap Zahra seperti tidak ikhlas, membuatku dan
Mas Reza geleng-geleng kepala melihatnya.
"Aku akan tetap berdoa sama Allah agar adekku lahir laki-
laki," ucap Zahra menyakinkan diri sendiri.
Akupun tersenyum begitu juga dengan Mas Reza, "Gimana

162
kalau perempuan Yah," bisikku di telinga Mas Reza, dan dijawab
senyuman sama Mas Reza sambil mengedikkan bahu.
Jumat kemudian, kami berencana untuk memeriksakan bayi
dalam kandungan melalui USG. Sekitar pukul 07.00 pagi kami
berangkat dari rumah. Kak Zahra kebetulan juga mau ditinggal asal
pas waktu pulang sekolah Mas Reza yang jemput. Zahra lebih suka
dijemput Mas Reza daripada aku. Mungkin karena kalau sama Mas
Reza naiknya motor beda kalau sama aku naiknya sepeda onthel.
Setelah menunggu hampir tiga jam, akhirnya giliranku
memasuki ruangan dokter kandungan, dan kebetulan juga Zahra
sudah ada di ruangan itu.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan akhirnya USG
pun dilakukan, tapi begitu mengetahui jenis kelamin adeknya,
Zahra diam dengan muka ditekuk lalu keluar ruangan tanpa
menungguku.
"Kenapa?" ucap Mas Reza sambil memandang Zahra heran
lalu berganti memandangku, saat kami sudah keluar dari ruangan
dokter.
"Ayah, adeknya masih bisa diganti gak? Aku gak mau kalau
perempuan," ucapnya berharap
"Kan itu anugerah juga Kak," ucapku menyela
"Bunda diam saja, gak usah ngomong sama aku, paling
Bunda itu yang minta adek perempuan bukan aku. Pokoknya aku
gak mau ngomong sama Bunda," ucapnya dengan mata berkaca-
kaca.
"Sudah gak boleh gitu, berdoa saja semoga adeknya laki-

163
laki," ucap Mas Reza menenangkan.
Bulan pun berlalu, dan tibalah tanggal persalinan anakku
yang kedua, dan tepat di tanggal 21 Nopember anak keduaku lahir
dengan jenis kelamin perempuan. Dan yang membuat aku senang
ketika Zahra tak lagi komplen tentang adeknya yang lahir
perempuan.
Karena begitu melihat adeknya yang lucu, dengan gembira
Zahra menerima adeknya, "Bunda aku tidur sini ya, sambil nunggu
adek Zahwa," ucapnya memandang wajah adeknya.
"Zahwa?" ucap Mas Reza yang saat itu lagi memasukkan
baju di lemari, menoleh ke arah Zahra.
"Iya nama adekku Ardika Zahwa Putri Firdaus, dan aku
Ardika Zahra Adelia Firdaus. Zahra Zahwa, pas kan?" ucapnya
dengan wajah senang.
"Pokoknya namanya Zahwa gak boleh diganti lainnya,"
tegas Zahra lagi.
Itulah Zahra anak pertamaku yang cerewetnya minta
ampun. Kabahagianku dan Mas Reza pun bahagia.Walaupun
sering ku mendengar, yang aku gak bisa bikin anak laki-lakilah,
yang wajah Zahra dan Zahwa cantikkan Zahwa,dan masih banyak
lagi.
Kita hanya meminta tapi yang menentukan adalah Allah.
Ntah itu jodoh rejeki wajah atau yang lainnya. Apa yang menurut
kita baik belum tentu menurut Allah baik. Tapi setiap apa yang
diberikan Allah kepada kita sudah baik dimata-Nya.
Begitupun soal kehidupan seseorang, setiap orang

164
mempunyai jalan cerita masing-masing. Tidak perlu berusaha
menjadi orang lain, karena belum tentu kehidupan orang lain lebih
baik dari kita.

165

Anda mungkin juga menyukai