Anda di halaman 1dari 8

Gelap danTerang: Perempuan yang Merindu

Pagi itu, matahari menyentuh tepat di pelupuk mataku, saya akan pergi ke
sekolah untuk mengikuti kegiatan pelulusan di Madrasah Aliyah Negeri Mamuju.
Yah, hari itu masa putih abu-abuku akan berakhir. Pada pelulusan kali ini bagiku
tidak begitu istimewa seperti yang dirasakan teman-temanku yang lain yang bisa
membanggakan keluarganya karena berprestasi dan mendapat predikat siswa
berprestasi dengan nilai tertinggi di rapornya.

Yah, masa-masa putih abu-abu yang ku lalui berjalan begitu saja, belajar
di kelas secukupnya, menyelesaikan tugas tanpa berharap nilai tinggi, dan tidak
pernah alpa mengikuti kegiatan belajar di kelas, yang penting tidak ada catatan
merah itu sudah cukup memuaskan. Saya memang juga tidak terlalu berambisi
untuk meraih nilai akademik yang tinggi layaknya teman-temanku yang lain.

Saya seperti ini bukan karena tidak bisa ikut bersaing, melainkan karena
saya mempunyai mimpi dan standarisasi kesuksesan tersendiri yang telah ku
tetapkan di dalam hatiku, yaitu saya ingin sekali menjadi seorang hafidzah atau
penghapal Qur’an. Tas ransel biru menjadi saksi bisu betapa inginnya saya
mencapai mimpiku ini. Hari-hariku bersekolah bersama tas ransel biru yang di
dalamnya tak pernah alpa membawa mushaf.

Oh iya, waktu itu saya mempunyai sahabat karib bernama Raodah, Raodah
adalah sahabatku di sekolah yang dengannya kami selalu meluangkan waktu
untuk muroja’ah bersama di Mushollah Sekolah. Ayat demi ayat kami hafalkan
bersama hingga kami menghafal 1 surah dan begitu seterusnya sampai kami
berhasil menghafal banyak surah-surah dalam Al-Qur’an.

 “Fażkurụnīażkurkumwasykurụlīwalātakfurụn.” Tuturku saat menghapal


surah Al-Baqarah sambil menutup mata.

“Yaaayyuhaaalladziinaaamanuuista'iinuubishshabriwaalshshalaati,innaallaaham
a'aalshshaabiriina.”Tutur Oda melanjutkan ayat yang kami hapalkan waktu itu.
“Shadaqallahul 'azhiem.”Ucapku ketika menyudahi muro’jah kami.

“Arsy, saya lihat semua teman-teman fokus belajar. Memangnya kamu tidak mau
dapat peringkat di kelas juga? Supaya membanggakan orang tuamu gitu? Lagian
saya lihat kamu cerdas kok.” Tanya Raodah kepadaku yang sedang memasukkan
Mushaf ke ta ssiap-siap beranjak dari Mushollah.

“ Da’, kamu tahukan? Kalau mimpi kitaitu sama? Saya hanya ingin menjadi
penghapal Al-Qurán, titik!” jawabku sambil menengadahkan wajah kelangit-
langit Mushollah.

“ Lagi pula masing-masing kita punya persepsi mengenai prestasikan? Bagi


mereka prestasi adalah ketika mereka bisa mendapatkan peringkat kelas,
sedangkan kita beranggapan bahwa prestasi adalah ketika hapalan kita bisa
bertambah dan tergaja.” Ucapku.

“ Iya juga sih, terang yang kebanyakan orang anggap belum tentu terang yang
sebenarnya, boleh jadi mereka menganggap yang tidak berprestasi adalah
kegelapan namun yang sebenarnya itulah cahaya sesungguhnya. Misalnya kita
yang tidak fokus di akademik tetapi lebih senang untuk menghapal Al-Qur’an.”
Ucap Raodah menanggapi tuturku.

“ Nah, begitu maksud saya.” Ucapku.

Masih basah dalam ingatanku, ketika hendak pulang sekolah, beberapa


hari sebelum kegiatan pelulusan akan dilaksanakan, waktu itu air tumpah dari atas
langit, kami berdua duduk di pos satpam untuk menunggu hujan redah.

“ Arsy, kamu mau lanjut di mana?, Yuk lanjut di pesantren tempat ku saja.
Mondok disana InsyaAllah bagus Arsy, kita bisa menghafal lagi disana. Saya
harap kamu mau. ”tiba-tiba Raodah menatap serius diriku dengan ucapannya itu.

“ Sebenarnya sihh saya mau tapi?? apa mungkin saya diizinkan orang tuaku
untuk masuk pesantren? Saya minta restu dari orang tuaku dulu yahh“ jawabku
Ketika malam yang hening tiba-tiba membuat hati raodah juga hening tatkala
membaca chatku.

“ Assalamualaikum….maaf yah Da’, saya tidak bias ikut bersamamu untuk


melanjutkan studi kepesantren, soalnya orang tuaku melarang itu dengan berbagai
pertimbang, salah satunya karena mereka sudah tua dan sering sakit-sakitan. Saya
juga khawatir kalau sampai terjadi apa-apa yang tidak diinginkan dengan mereka
sedangkan saya berada jauh dari mereka”

“ Waalaikumsalam Arsy…. Iya Arsy, kalau itu sudah menjadi keputusanmu.


Semoga kamu tetap istiqomah dengan cita-citamu.” Jawab Raodah yang tidak
mau memaksakan saya ikut dengannya kepesantren.

Terhitun gsejak kami lulus, tepat 2 tahun yang lalu sampai sekarang, saya
tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Raodah. Di sana ia tidak diperbolehkan
memegang handphone dengan alas an supaya dia bias focus menghapal dan bias
khatam 30 juz. Sedangkan saya masih di sini-sini saja, di Mamuju. Hapalanku
tidak bias lagi kugeluti sebagaimana waktu sekolah dulu. Bagaimana tidak? saya
kesulitan mengatur waktu untuk menambah hapalanku, mana jadwal lab padat,
tugas-tugas terus berdatangan, ditambah lagi saya harus menunaikan semua
kewajibanku di rumah.

Saya harus mencari teman sosok seperti Raodah! Meskipun tidak lanjut
dipesantren, saya masih bisa melanjutkan hapalanku ini dengan mencari teman
sefrekuensi. Saya harus tetap semangat untuk meraih mimpiku!

Saat kupandangi dengan seksama mahasiswa di kampus, dengan harapan


ada sosok Raodah yang bisa kutemani seperti dahulu. Namun, hasilnya nihil! Tak
ada Raodah di kampus ini. Mungkin karena kampus tempatku melanjutkan studi
adalah bukan kampus Islam, di sini semua penganut agama ada, mereka dari
berbagai daerah dan mayoritas alumni Sekolah Umun. Yah, beginilah kampusku,
Universitas Kesehatan Mamuju.
Kadang saya merasa risih dengan teman-teman kelasku, tak jarang ketika
jam isitiharat, mereka memutar musik dikelas, bernyanyi, berjogetlah dan kadang
teriak histeris. Kalau mereka bertingkah begitu, saya langsung meninggalkan
kelas. Saya benar-benar muak di kampusini! Tapi mau bagaimana lagi saya sudah
terlanjur kuliah di sini dan kalau saya minggat dari kampu sini otomatis akan
keluar lagi biaya, lagi pula saya sudah setengah perjalanan di sini.

Waktu berputar tak kenal henti mengganti siang dan malam. Waktu mulai
membiasakan saya dengan kondisi kampus. saya mulai akrab dengan Amel salah
satu teman kelasku. Meskipun tidak seperti Raodah, tapi saya merasa nyaman
dengannya. Dia asyik diajak diskusi, sering mengerjakan tugas bersama, dia juga
suka sekali dengar musik saat belajar dan kadang saya risih padanya.

Pernah suatu Ketika, saat kami lagi mengerjakan laporan yang kejar
deadline, tiba tiba doi Amel datang menemani kami duduk di sebuah kaffe,
sepertinya mereka berdua tidak menganggap keberadaanku di sini. Mereka saling
bercandalah, tos-tosanlah, elus-elusanlah dan melakukan hal-hal yang menurutku
sudah melanggar batasan-batasan anatara laki-laki dan perempuan yang bukan
pasangan halalnya. Sontak saja saya syok dan emosi bukan main.

“ Amel! Apa yang kamu lakukan! Tidakkah kau lihat kalau kita sedang
mengerjakan tugas deadline? Malah kau asik-asik memaperkan kemesraanmu
dengan laki-laki, kalau begini, bagaimana tugas mu bisa selesai? Begitu bangga
kau mempertontonkan kemesraanmu dengan dia yang sebenarnya menurunkan
harkat dan martabatmu sendiri!”ucapku dengan nada keras dan mata yang
memerah.

“ Kenapa kamu berkata seperti itu!? Kalau kamu tidak suka kamu pergi saja! ”
sontak Amel membalasku dengan nada yang lebih tinggi.

Saya langsung beranjak dari kaffe dengan keadaan kecewa, mengusap


mata yang memerah dan sedikit berair. Saya kembali menjadikan diriku sebagai
tempat yang paling sunyi, merenungi setiap waktu yang telahku lalui, bagaimana
untuk bisa meraih cita-citaku? “ Apa mungkin saya bisa?” saya mulai terus
bertanya pada diriku yang mulai ragu akan cita-citaku ini. Handphone ku
berdering, nada dering ini sangat istimewa bagiku, saya khususkan nada dering
sholawat badar kepada seseorang yang sangatku rindukan, ya! Tidak salah lagi,
ini telpon dari sahabat karibku Raodah. Segeraku angkat telepon.

“ Assalamualaikum sahabatku yang paling manis.” Ucap Raodah yang hendak


merayu manja diriku.

Saya terdiam, seakan mulu tmembisu, air mata taktertahan lagi. “


Waalaikumsalam…..” jawabku dengat tersendat-sendat sambil mengusap pipi
yang membanjirinya.

“ Ini saya Raodah”

“ Iya saya tahu, kamu adalah Raodatul Jannah” ucapku.

“ apakah ini masihArsyillahku yang dulu?” tanyanya dengan nada yang lembut.

“ Iya Da’, kamu tegah sekali sama saya, pergi dan tidak lagi memberi kabar, kamu
tahu? Saya sangat merindukanmu.” Tuturku yang masih menangis.

Semua keluh kesahku ku ceritakan kesahabat sekaligus malaikatku. Sedih


dan senang bercampur aduk saat ini, tapi saya yakin setelah percakapan ini semua
rasa sedih ku akan hilang, bagaimana tidak? Sosok malaikat akan menuntunku
dengan kata-katanya, katanya-katanya ibarat cahaya di malam gulita, kata-katanya
berhasil membawaku kealam sadar yang terang benderang.

“ Arsyillah sahabatku, kamu masih inga tpercakapan kita dulu tentang gelap dan
terang?” Tanya Raodah.

“ Iya Da’, semua kenangan kita masih sangat segar kuingat, seakan semua
kenangan kita baru saja terjadi.” Ucapku.
“ Yah, yang kita anggap terang belum tentu terang yang sebenarnya, yang kita
anggap gelap belum tentu itu kegelapan. Dan, kadang kita mesti melihat gelap
agar bias benar-berna rmengetahui apa itu terang.” Ucap Raodah dengan santun
dan berwibawa.

“ Iya Da’, saya mengerti sekarang, intinya jangan hilang lagi yah, pliss.” Pintaku.

“ Iya sahabatku, kamu tidak akan kehilangan kabarku lagi karena saya sudah
diperbolehkan memegang handphone di semester ini dan seterusnya. Kita akan
melakukan kembali aktifitas kita yang dulu, meskipun hanya melalui telepon.”
Ucap Raodah yang berhasil menenangkanku.

“ Iya Da’, Hampir saya tidak bias lagi membedakan gelap dan terang, raguku
mulai memuncak. Kau datang di waktu yang tepat. Kau adalah malaikatku.”

Semua keluh kesaku sudah tercurahkan, diakhiri percakapan kami. Aku dan
raodah menyepakati bahwa kami akan nyetorkan dan murajaah hafalan bersama
setiap hari setelah sholat subuh.

Hari-hari berikutnya ku lalui seperti dulu di masa-masa puti habu-abu,


betapa senangnya saya bias mengulang kenangan-kenangan manis ini.

BAB II

Tutt....tuuutttt..”hallo assalamualaikumarsyi,gimanasudahsiapsetorhafalankan ?”
(telpondariraodah)

“WaalaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuhiyaraodahInsyaaAllahsiap, tapi ta’


akumulaidarijuz 1 lagi yah. Soalnyahafalanku yang kemarinmulaingawurnih”
(ucapkudengansuara yang semangatnyamulaimenurun)

Alhamdulillah setoranhafalan kami sudahselesai, meskihanyabisamenyetorkan 5


ayatdarisudah Al-
Baqarahakutetapbersyukurkarnamasihbisamenambahhafalankuyang
sempatfakum.

Mataharimulaiterbitufuktimur,
seakanmemberikantandabahwasekarangsudahwaktunyauntukmelakukanpekerjaan
rumahsebelumberangkatkekampus. Takinginmembuang-
buangwaktusembarimelakukanaktivitasrumahsayaberusahamengulanghafalanku.

“Yaaayyuhannasu'buduurabbakumulladziikhalaqokumwaalladzinamingkoblikuml
a'allakumtattakum” ayatinikuulang-ulangucapkansampaiakumenghafalnya.

Dan perjalanankekampuskuitumemakanwaktu yang cukuplama,


sayaharusmenghabiskanwaktukuranglebihsetengah jamuntuksampaikekampus.
Sayapernahmendengarceramahbahwaseorangmenghafalitubisamurajaahkapansaja,
saat duduk, saat di
kendaraanataupunsaatmengunggulampumerahjugabisadansepanjangjalan yang
kitalaluiituakanmenjadisaksikitadiakhiratnanti.
Sayapunberinisiatifuntukmengulang-ulanghafalansaya, saatperjalanankekampus.
Karna
kebetulanhariinisayatidakberangkatkekampusbersamaAmeljadisayabisamemanfaa
tkanwaktunyasaya.

Bab III

“owhiya, bagaimanadengantugaskelompoklaporan kalian ?.


Ibuberikanwaktusampainantimalamtugaslaporan kalian
harusselesaidankumpulkan di akun classroom masing-masing”
ucapibuTikadosenfisiologidijurusanku

MendengarperkataanibuTikaakulangsungmelirikkearahbangkuAmel,
selamapelajaranibuTikaberlangsungbatanghidungAmelbelumterlihat, mungkin
kali inidiaakanterlambatlagi. Setelah jam
kuliahibuTikaselesaiakumeraihhandphoneyang ada di sakubajuseragamputihku.

“Assalamu’alaikumAmel, koknggakkekampushariini” pesan WhatsApp yang


kukirimkanAmel

“Waalaikunsalam Arsy, tadiakubangunterlambat, owhiyasoalkemarinmaaf yah


arsyi. Hehehe,” balas chat dariAmel

“Iyamel, akujugayahhmungkinbicarakukemarinterlalukasar “ lanjutisipesanku

AkusudahmengenalAmel,
bagaimnakarakternyameskipunbegituAmelituanaknyabaik,
diaitubertanggungjawabitulahmembuatsayamerasanyamanbertemandengannya.

“Nanti sore akukerumahmu yah, kata Bu


tikatugaskelompoklaporankitaharusterkumpulnantimalam” ucapku

“Oke ARSYI , akutungguyahh” balasanamel

Sore harinya, akubersiap-siapkerumahAmel

Anda mungkin juga menyukai