Anda di halaman 1dari 5

Untukmu: lamunan

Karya: Hasbi Haziq Ihkamudin

Sebuah cerita khusus dari ku (kevin) untuk mu (gloria) yang menjadi korban
kekecewaan, Kesedihan, dan Keraguan. Atau sebuah pemikiran untuk mereka yang
masih bisa bertahan hingga saat ini walau harus menopang beban berupa berbagai
masalah yang datang tanpa diundang atau yang akan datang.
Mereka-mereka yang terlalu banyak berharap dan berjuang untuk memperoleh
kebahagiaan sejati. Mereka-mereka yang gagal mempertahankan sebuah hubungan.
Mereka-mereka yang belum berhasil dalam mencapai tujuan. Mereka-mereka yang
takut akan masa depan. Mereka-mereka yang bimbang dalam memilih pilihan. Dan
mereka-mereka yang masih hidup hingga saat ini.
Ini cerita mu, Gloria (rara).

Disuatu pagi pada jam istirahat sekolah tepatnya pada pukul 09.30, kamu dan aku
sedang duduk berdua di depan kelasmu. Diluar ruangan kelas yang berada tepat
bersebelahan dengan kelasku. Walau bersebelahan tapi kualitas kelas kita hampir jauh
berbeda.
Kelas mu berisikan anak-anak pintar nan patuh serta taat moral dan lengkap
fasilitasnya, sedangkan kelas ku berisikan para berandal-berandal yang bercita-cita
ingin menjadi mafia (mungkin), pergi sekolah hanya untuk bolos dan jarang masuk ke
dalam kelas sehingga kelas ku terkadang terasa sepi dan kadang juga sangat berisik
sampai-sampai guru di kelasmu menjadi terganggu.
Fasilitas? Oh jangan diragukan lagi. Kelas ku difasilitasi oleh kursi dan meja bekas
yang diimpor langsung dari kelas sebelah. Dan sudah ditebak bagaimana kualitasnya,
sebuah meja yang bisa dibongkar pasang layaknya lego bagi teman-temanku. Serta
jangan lupakan hiasan dinding kami yang apabila kamu berkunjung kamu pasti
langsung terpana melihatnya. Iya, sebuah knalpot racing yang digantung yang entah
sejak kapan ada disitu.
Tapi tak apa, walaupun kelasku tak sebagus kelasmu yang penting kita tetap bisa
bertemu di jam istirahat.

Pagi itu, aku melihat kamu sedang melamun dengan asyiknya sambil memandang
awan yang mengisi langit biru kontras itu. Awan itu memang indah, tapi aku lebih
memilih memperhatikan mu dibandingkan ikut melihat awan itu. Aku sempat
keheranan mengapa akhir-akhir ini kamu sedikit berbeda dari biasanya.
Kamu lebih banyak diam dari yang biasanya cerewet, kamu yang lebih memilih
menyendiri daripada bermain bersama temanmu lagi, kamu jarang membalas chat
whatsapp ku dibanding yang biasanya, kamu sudah jarang membuka topik
pembicaraan saat kita bertemu dan kamu sudah jarang tersenyum pada ku atau bahkan
siapapun. Serta yang paling aneh adalah kenapa kamu suka sekali melamun akhir-
akhir ini.
Aku bingung. Apakah kamu sedang ada masalah? Atau ada sesuatu yang membuat mu
sedih? Atau marah? Maka dari itu aku bertanya kepadamu.

'Kamu kenapa ra?' Tanyaku.

'Aku gapapa kok.


Emangnya ada apa?' Jawabmu.

'Aku lihat kamu dari tadi melamun mulu, ada masalah ya?' Tanyaku.

'Engga kok, engga. Aku cuma lagi pengen ngelamun aja, bosen soalnya'

'Ga bosen melamun mulu? Kamu udah dari tadi pagi ngelamun mulu ra. Bahkan
kemaren-kemaren juga aku lihat kamu lagi ngelamun di kelas.' Kataku.

'Cuma pagi tadi aja kok vin. Kemaren itu aku lagi ga mood belajar aja. Tapi
aku orangnya jarang ngelamun tau, ga kaya kamu yang hampir tiap menit ngelamun,
tiap jam nyari tempat sepi, tiap hari nyariin aku buat nemenin kamu melamun.'
Katamu

Emang iya sih, aku juga baru sadar kenapa aku lebih sering ngelamun daripada
kamu. Tapi aku penasaran kenapa gadis seceria kamu bisa berubah seperti ini. Aneh
rasanya saat aku melihatmu melamun.

'Kalo yang terakhir emang iya sih, aku sering nyariin kamu. Kangen soalnya' Kataku
sambil nyengir.

'Kelas kita yang bersebelahan aja udah bikin kamu kangen apalagi kalau kita beda
sekolah nanti.' Katamu sambil masih memandang awan dilangit itu.

'Oo, jadi gitu. Kamu pasti lagi pusing mau lanjut sekolah dimana kan?'
'Kita sekolah bareng aja ra! Hobi dan bakat kita kan sama.
Sama sama gapunya bakat maksudnya.' Kataku.

'Makanya aku lagi mikir itu vin. Aku masih belum siap mau lanjut kemana.' Katamu.

'Belum siap buat pisah sama aku ya?' Tanyaku sambil bercanda.

'Lebih dari itu vin' Jawabmu singkat.

'Emangnya sesulit apa sih mikirin masa depan ra. Kita kan hidup di masa sekarang
kan kamu tahu itu sejak lama. Kamu yang ngajarin aku buat lebih menikmati saat ini
dan bodoamat sama masa depan. Tapi kenapa sekarang malah kamu yang berubah ra?'
Kataku.
'Dulu aku memang mikir buat enjoy sama hari ini, melihat hal yang terjadi di saat ini,
dan mendengar suara suara yang ada di saat ini. Tapi hari ini aku merasa berubah.
Mikirin masa depan juga sama pentingnya dengan mikirin hari ini.'

'Emang kamu mau lanjut sekolah kemana vin?' Tanyamu.

'Aku belum tau sih ra. Tapi aku bakalan ngikut kamu aja deh.' Jawabku.

Kamu terdiam. Lalu kamu kembali menatap awan yang perlahan menjauh dari
pandangan.

'Waktu bakal berjalan lebih cepat kalau kita ga sadar vin. Selama ini aku ga sadar kalo
waktu lagi berjalan. Mungkin nanti aku bakalan kangen sama sekolah ini. Kangen
sama temen-temennya. Kangen sama guru-gurunya. Kangen sama suasana istirahat
kita. Kangen sama rutinitas pagi kita pas baru dateng ke sekolah.'

'Rutinitas pagi apa ra? Perasaan kita ga ngapa-ngapain waktu baru dateng ke sekolah.'
Tanyaku.

'Ini..
(sambil menunjukan surat izin masuk yang kamu keluarkan dari saku).'

'Oh ini, aku juga ada.' Kataku sambil memegang surat itu.

Sebuah surat izin memasuki kelas untuk para siswa yang terlambat. Aku masih
mengingatnya. Kita berdua menamai nya tiket istimewa agar supaya saat kita
terlambat artinya kita adalah murid istimewa. Itulah humor kita dulu. Memalukan.

'Aku tak tahu. Tapi yang jelas itu adalah sebuah kenangan bagiku. Sebuah rutinitas
yang sebentar lagi akan berakhir dan akan berubah menjadi cerita dimasa depan
nanti.' Katamu

'Kamu masih merasa kurang? Ra?' Tanyaku

'Aku masih kurang akan kenangan nya vin. Aku ngerasa kita gabakal dikenang di
sekolah ini. Gaada yang kenal sama kita berdua, kita cuma murid smp biasa yang
tidak memiliki pengaruh apa-apa buat sekolah ini.' Katamu

'Iya juga sih.' Kataku

Seketika aku jadi ikut terdiam. Kehabisan kata-kata.


Lalu aku mulai menatap awan cantik itu. Aku mulai merasa melayang, bukan, bukan
tubuhku tetapi pikiranku lah yang merasa terbang. Aku mulai ikut memikirkan masa
depan sama seperti apa yang kamu lakukan. Mungkin kamu akan lebih beruntung
dibandingkan dengan diriku. Kamu masih memiliki keluarga yang lengkap serta
cukup sedangkan diriku yang hanya memiliki seorang ibu dan hidup dari bantuan
saudaraku mungkin akan lebih sulit menghadapi masa depan nanti. Seharusnya aku
lah yang lebih dulu melamun. Seharusnya aku lah yang lebih dulu memikirkan nya.
Seharusnya aku lah orang yang paling pusing hari ini.

Seketika, kita sama-sama termenung.


Seperti dua orang aneh yang duduk di depan kelas. Semua orang saling bermain,
bercanda, bercerita tanpa memikirkan apa-apa sedangkan hanya kita berdua lah yang
saling diam, duduk memandang awan, tatapan kita berdua seperti kosong tak berisi
namun mereka yang melihat kita takkan tahu seberapa penuhnya mata kita dengan
gambaran-gambaran dimasa depan nanti.

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah usai.

'Kamu belum mau masuk ra?.' Tanyaku

'Belum, nunggu awannya pergi, sisa satu soalnya. Daritadi dia diam disitu.' Jawabmu

Lalu aku mulai menatap langit kembali.


Terlihat sebongkah awan kecil terpajang dilangit. Awan itu tidak bergerak. Dia diam
mematung seperti menempel pada langit biru itu.
Cuaca sedang baik hari ini. Tapi tidak dengan Gloria yang tampak tidak baik-baik
saja.

'Iya, kok gamau pergi ya awannya?' Tanyaku heran.

'Mungkin dia juga sama kayak kita. Melamun gapunya tujuan, lalu ditinggal oleh
awan-awan yang lain. Dia diam mematung karena tak ada angin yang menuntun
kemana dia harus pergi vin. Mungkin dia juga lagi merenungkan apa yang harus ia
lakukan. Ibaratnya sama seperti kita sekarang.' Jawabmu.

Aku ingin menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran sejak tadi, tapi tak sempat
karena kamu bicara duluan.

'Oh iya satu lagi. Awan juga bisa bersedih, mereka menurunkan hujan sebagai tanda
kesedihan sekaligus untuk mengurangi beban kesedihan mereka. Jadi kalo kamu lagi
sedih nangis aja, karena awan yang besar pun gakuat menampung air yang meresap
kedalam tubuhnya. Semakin deras maka itu semakin baik.' Jawabmu.

Aku kembali diam. Kehabisan akal akan perkataanmu. Melupakan pertanyaan itu.
Lalu kembali merenungi apa yang akan terjadi dimasa depan nanti. Seperti kataku
tadi, hidupmu mungkin akan lebih beruntung dibandingkan diriku. Dari namamu saja
yang sudah seperti orang eropa (Gloria Stephanie) sedangkan aku yang diberi nama
oleh orang tua ku seperti orang cina lokal (Kevin) yang datang entah darimana
padahal aku terlahir dari keluarga muslim. (Mungkin orang tuaku ingin aku menjadi
seperti orang cina yang pekerja keras dan pandai dalam menjual barang. Atau
mungkin hanya karena orang tuaku kehabisan ide dalam menamai anak yang padahal
aku adalah anak tunggal).

Aku teman lama mu. Kevin. Menulis cerita ini khusus untuk dirimu berdasarkan apa
yang kuingat dulu. Aku kembali melamunkan perkataan mu saat sehari sebelum kamu
pergi. Aku menyesal tak menanyakan hal itu. Aku kira kamu ragu akan masa depan
yang menunggu mu nanti saat sma atau saat kerja. Ternyata yang kamu cemaskan
dimasa depan bukanlah hal itu. Aku tak tahu saat itu kamu sedang melawan penyakit
yang ada didalam tubuhmu. Kamu tak mengatakan nya kepadaku. Kini, aku lah yang
memikirkan tentang kenangan itu.
Aku merindukan keceriaan mu sehari setelah kamu meninggal. Kamu tak lagi
mengunjungiku di jam istirahat atau aku yang tak menemukan dirimu lagi didalam
kelas elit itu.

Sehari setelah obrolan kita itu, aku duduk ditempat yang sama. Yang biasanya kita
saling bertukar cerita, canda dan tawa bersama di jam istirahat. Kini, kamu sudah tak
ada.
Aku tahu aku sedang melamun, tak ada lagi dirimu yang mengingatkan.
Tak ada lagi sumber keceriaan ku sejak itu. Aku menjadi perenung aktif di sekolah.
Itulah bakat ku.

Tak lama kemudian angin sepoi menghembus mengenai kulit telinga ku seakan angin
itu mengatakan sesuatu. Ia seakan mengingatkan ku kepada mu. Dan akhirnya aku
melihat awan kecil itu perlahan berjalan mengikuti hembusan angin itu. Lalu, awan
itu hilang. Ia sudah menemukan tujuannya. Yaitu mengikuti arah kemana angin
membawanya.

Anda mungkin juga menyukai