Anda di halaman 1dari 8

Lamun (Inspiration, Raditya Dika: Awan)

Karya: Hasbi Haziq Ihkamudin

Disuatu pagi pada jam istirahat sekolah tepatnya pada pukul sembilan lewat tiga puluh
menit, aku dan Rara sedang duduk berdua di depan kelasnya. Tepat disebelah ruang
kelasku, kita berdua sering menghabiskan waktu dengan mengobrol dan saling
berbagi cerita ditempat ini. Seringkali aku mendengar cerita-cerita seru dari Rara
disini.
Menurutku, Ia adalah seorang pendongeng handal, suka bercerita dan juga kadang
membuat karangan cerita sendiri. Cerita nya begitu nyata dan tampak seru bagi
siapapun yang mendengarnya.
Aku cukup puas setelah mendengar cerita-cerita nya itu. Karena seringkali ia
menceritakan hal-hal yang telah terjadi di kehidupan nyata. Kebanyakan ia
menceritakan sebuah cerita mengenai seseorang dan peristiwa yang dialaminya
namun dengan mengubah nama tokoh dan latarnya sehingga cerita-ceritanya menjadi
cukup antusias dan menarik.

Jadi, intinya kita berdua suka berghibah atau gossip.


Cerita-cerita Rara yang kebanyakan menceritakan peristiwa atau fenomena yang
sedang hangat dibicarakan adalah sebuah bahan ghibahan yang diperindah kata-kata
dan kalimatnya sehingga sudah terdengar seperti sebuah cerita sastra.
"Kamu tahu kan si A?" Pertanyaan pembuka percakapan Rara.
"Hmm tahu, dia kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Jadi gini, suatu hari aku berpapasan dengan bla bla bla bla...."
Singkatnya begitulah kira-kira.

Terlepas dari hobi kita yang suka menggosip. Rara juga menyukai suatu hal yang
tidak disukai oleh kebanyakan orang lain. Suatu hal yang sangat dibenci oleh orang-
orang. Dimana orang-orang lebih memilih menghindari hal itu. Kebanyakan manusia
alergi untuk mendekati hal itu karena dianggap aneh dan berbahaya. Tak ada satupun
orang yang berani mendekatinya apabila tidak memakai pengaman.
Dan hal itu adalah Aku.

Aku adalah teman akrabnya Rara sejak kelas satu smp. Kita berdua sudah saling
mengenal kurang lebih tiga tahun. Selama tiga tahun ini, kami hanya melakukan hal
sederhana untuk bersenang-senang bersama. Dan hal sederhana itu adalah sebuah
obrolan kehidupan.
Rara sangat suka jika aku membahas tentang kehidupan atau hal hal yang berbau
filsafat.
Aku lah yang selalu menemaninya di saat-saat jam istirahat atau jam kosong. Aku
selalu menjadi pendengar setia dari cerita-ceritanya. Eh.. ghibahan maksudnya.

Pagi itu, aku melihat kamu sedang melamun dengan asyiknya sambil memandang
awan yang mengisi langit biru kontras itu. Awan yang kamu pandang itu memang
indah, namun aku lebih memilih memperhatikan wajahmu dibandingkan ikut melihat
awan itu. Wajahmu lebih menarik dan indah dari hanya sebongkah awan dilangit. Aku
juga senang melihat awan, sama seperti dirimu. Kita sering menikmati siang dengan
memandang langit bersama-sama hingga kita sering lupa kita ada dimana. Disaat
pulang kamu sering bercerita tentang awan dan aku menikmati itu. Cerita mu sangat
filosofis dan puitis sehingga terkadang aku terus mengingat kata-kata mu itu sampai
terlelap di atas kasur.
Namun, ada yang berbeda dari dirimu akhir-akhir ini.
Mengapa kamu lebih banyak diam dibandingkan berbicara sambil bercerita tentang
apapun yang terlintas di pikiranmu. Atau kamu yang biasanya berisik hari ini lebih
tenang. Ada apa, ra?

Kamu lebih banyak diam mendengarkan ku dari yang biasanya lebih sering bercerita.
Kamu yang lebih memilih menyendiri dari yang biasanya bermain bersama temanmu
lagi. Kamu sudah jarang membuka topik pembicaraan saat kita bertemu dan kamu
sudah jarang tersenyum pada ku atau bahkan siapapun dari yang biasanya kamu
adalah orang paling ramah disini.

Dan siapa yang membuat mu berubah seperti itu? Apakah kamu lagi ada masalah?
Atau ada tugas yang membuat mu trauma? Memangnya ada yah tugas bikin
seseorang jadi trauma? Atau adakah lelaki yang membuat mu patah hati?
Ada apa?

Itulah pertanyaan yang terlintas di dalam kepalaku saat melihatmu melamun. Kadang
kamu pergi sendirian tanpa mengajak diriku lagi.
Aku bingung. Apakah kamu sedang ada masalah? Atau ada sesuatu yang membuat mu
sedih? Atau marah? Maka dari itu aku bertanya kepadamu.

Dialog.
'Kamu kenapa ra?' Tanyaku.

'Aku gapapa kok. Emangnya ada apa vin?' Jawabmu dengan nada pelan

'Aku lihat kamu dari tadi melamun mulu, ada masalah ya?'

'Engga kok, engga. Aku cuma lagi pengen ngelamun aja, bosen soalnya'

'Ga bosen melamun mulu? Kamu udah dari tadi pagi ngelamun mulu ra. Bahkan
kemaren-kemaren juga aku lihat kamu lebih sering ngelamun. Kamu lagi ada masalah
ya?'

'Cuma pagi tadi aja kok vin... Aku baik-baik aja kok. Kemaren itu aku lagi ga mood
aja.'
'Iya.., jangan sering-sering ra, ntar dikira kenapa-napa. Aku jadi cemas dong ra. Aku
kirain kamu lagi ada masalah.'

'Aku baik-baik aja kok vin... Emang lagi suka ngelamun aja kok.'

'Tapi kan biasanya aku orangnya juga jarang ngelamun tau.. ga kaya kamu yang
hampir tiap menit ngelamun, tiap hari nyariin aku buat nemenin kamu melamun kan?'
Katamu. Dengan pasti ingin mengejek ku.

Tapi, memang iya sih.. aku juga baru sadar kalau aku lebih sering ngelamun
daripada kamu. Dan aku juga sering bawa kamu buat nemenin aku ngelamun --labar,
lamun bareng-- Tapi aku penasaran kenapa gadis seceria kamu bisa berubah seperti
ini. Aneh rasanya saat aku melihatmu melamun.

'Kalo yang terakhir emang iya sih, aku sering nyariin kamu. Kangen soalnya' Kataku
sambil menyipitkan mata supaya terlihat imut.

'Sok soan kangen kamu vin... Terakhir kamu kangen sama aku kapan emangnya?'
Katamu.

'Besok.' jawabku. Singkat, penuh akan artinya.

'Lah kok besok?! Gajelas kamu vin..'

'Besok. Sampai kapanpun aku bakalan kangen sama kamu. Bahkan nanti setelah jam
istirahat kita usai aku bakalan ngelamunin kamu lagi. Melamunkan sebuah kerinduan
yang dibendung oleh pikiran masa depan yang akan datang.' Jawabku. Filosofis.
Puitis. Dan melankolis.

'Aku bakalan baper sama kata-kata indahmu itu vin? Tapi emangnya berguna buat
masa depan? Lagi pula bendung..bendung apaan? Membendung rindu? Yaelah vin..
Kelas kita yang bersebelahan aja udah bikin kamu kangenan apalagi kalau kita tamat
sekolah nanti.' Katamu. sambil masih memandang awan dilangit itu.

The Main Story [Dialog].


'Jadi, akhir-akhir ini kamu lagi mikirin masa depan ya?
Atau takut pisah sama aku? Tanyaku. Melihatmu memandang awan itu.

'Iya engga juga sih vin, ngapain takut pisah sama kamu, toh kamu juga gabakalan mau
pisah sama aku. Palingan kamu yang rela mau ngikutin aku kemanapun aku pergi,
bukannya malah aku yang takut pisah sama kamu.
Tapi walaupun aku juga sempet mikir itu sih. Aku juga masih belum siap mau kemana
besok.' Katamu.
'Belum siap buat jauh-jauh dari aku ya?' Tanyaku sambil bercanda.

'Lebih dari itu vin' Jawabmu singkat.

Aku sedikit berpikir mengenai jawaban mu tadi.

'Memangnya sesulit apa sih mikirin masa depan ra?' Tanyaku.

'Menurutku lumayan sulit sih vin.' Jawabmu.

'Tapi kan masa depan masih lama ra. Kita sekolah masih ada sisa 3 tahunan lagi
sebelum kita kerja atau kuliah, jadi buat apa juga terlalu pusing mikirin masa depan?
Santai aja dulu ra.. Kita nikmatin masa muda kita sama-sama dulu sebelum akhirnya
kita dewasa nanti. Ntar juga bakal tiba waktunya kalo memang harus kan?' Kataku
mencoba menyemangati Rara.

'Memang iya sih, tapi...

'Tapi seharusnya kita berdua nikmatin masa-masa smp yang sebentar lagi bakalan
berakhir beberapa bulan lagi. Gimana kalau kita bikin kenangan terindah disini,
disaat-saat terakhir kita ra?' Tanyaku memotong ucapan Rara.

'Nah, Iya, bener. Aku suka sama ide kamu vin. Baru kali ini aku liat kamu mikir.'
Jawabmu.

'Emang kamu mau lanjut sekolah kemana vin?' Tanyamu sambil masih memandang
langit, kadang napas mu terdengar pasrah olehku.

'Aku belum tau sih ra. Tapi aku bakalan ngikut kamu aja deh.' Jawabku.

Kamu terdiam. Lalu kamu kembali menatap awan yang perlahan menjauh dari
pandangan.

'Waktu bakal berjalan lebih cepat kalau kita ga sadar vin. Selama ini aku ga sadar kalo
waktu lagi berjalan. Mungkin nanti aku bakalan kangen sama sekolah ini. Kangen
sama temen-temennya. Kangen sama guru-gurunya. Kangen sama suasana istirahat
kita. Kangen sama rutinitas pagi kita pas baru dateng ke sekolah.'

'Rutinitas pagi apa ra? Perasaan kita ga ngapa-ngapain waktu baru dateng ke sekolah.'
Tanyaku.

'Ini..
(sambil menunjukan surat izin masuk yang kamu keluarkan dari saku).'
'Oh ini, aku juga ada.' Kataku sambil memegang surat itu.

Sebuah surat izin memasuki kelas untuk para siswa yang terlambat. Aku masih
mengingatnya. Kita berdua menamai nya tiket istimewa agar supaya saat kita
terlambat artinya kita adalah murid istimewa. Itulah humor kita dulu. Memalukan.

'Aku tak tahu. Tapi yang jelas itu adalah sebuah kenangan bagiku. Sebuah rutinitas
yang sebentar lagi akan berakhir dan akan berubah menjadi cerita dimasa depan
nanti.' Katamu.

'Kamu masih merasa kurang puas? Ra?' Tanyaku.

'Aku masih kurang akan kenangan nya vin. Aku ngerasa kita gabakal dikenang di
sekolah ini. Gaada yang kenal sama kita berdua, kita cuma murid smp biasa yang
tidak memiliki pengaruh apa-apa buat sekolah ini.' Katamu

'Iya juga sih.' Kataku.

Seketika aku jadi ikut terdiam. Kehabisan kata-kata.


Lalu aku mulai menatap awan cantik itu. Aku mulai merasa melayang, bukan, bukan
tubuhku tetapi pikiranku lah yang merasa terbang. Aku mulai ikut memikirkan masa
depan sama seperti apa yang kamu lakukan. Mungkin kamu akan lebih beruntung
dibandingkan dengan diriku. Kamu masih memiliki keluarga yang lengkap serta
cukup sedangkan diriku yang hanya memiliki seorang ibu dan hidup dari bantuan
saudaraku mungkin akan lebih sulit menghadapi masa depan nanti. Seharusnya aku
lah yang lebih dulu melamun. Seharusnya aku lah yang lebih dulu memikirkan nya.
Seharusnya aku lah orang yang paling pusing hari ini.

Seketika, kita sama-sama termenung.


Seperti dua orang aneh yang duduk di depan kelas. Semua orang saling bermain,
bercanda, bercerita tanpa memikirkan apa-apa sedangkan hanya kita berdua lah yang
saling diam, duduk memandang awan, tatapan kita berdua seperti kosong tak berisi
namun mereka yang melihat kita takkan tahu seberapa penuhnya mata kita dengan
gambaran-gambaran dimasa depan nanti.

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah usai.

'Kamu belum mau masuk ra?' Tanyaku

'Belum, nunggu awannya pergi, sisa satu soalnya. Daritadi dia diam disitu.' Jawabmu

Lalu aku mulai menatap langit kembali.


Terlihat sebongkah awan kecil terpajang dilangit. Awan itu tidak bergerak. Dia diam
mematung seperti menempel pada langit biru itu.
Cuaca sedang baik hari ini. Tapi tidak dengan Gloria yang tampak tidak baik-baik
saja.

'Iya, kok gamau pergi ya awannya?' Tanyaku heran.

'Mungkin dia juga sama kayak kita. Melamun gapunya tujuan, lalu ditinggal oleh
awan-awan yang lain. Dia diam mematung karena tak ada angin yang menuntun
kemana dia harus pergi vin. Mungkin dia juga lagi merenungkan apa yang harus ia
lakukan. Ibaratnya sama seperti kita sekarang.' Jawabmu.

Aku ingin menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran sejak tadi, tapi tak sempat
karena kamu bicara duluan.

'Oh iya satu lagi. Awan juga bisa bersedih, mereka menurunkan hujan sebagai tanda
kesedihan sekaligus untuk mengurangi beban kesedihan mereka. Jadi kalo kamu lagi
sedih nangis aja, karena awan yang besar pun gakuat menampung air yang meresap
kedalam tubuhnya. Semakin deras maka itu semakin baik.' Jawabmu.

Aku kembali diam. Kehabisan akal akan perkataanmu. Entah kenapa kamu begitu
bijaknya hari ini? Kedewasaan apakah yang sudah kamu lalui Rara? Aku Melupakan
pertanyaan itu.
Lalu kembali merenungi apa yang akan terjadi dimasa depan nanti. Seperti kataku
tadi, hidupmu mungkin akan lebih beruntung dibandingkan diriku. Dari namamu saja
yang sudah seperti orang eropa, Gloria Stephanie, sedangkan aku yang diberi nama
oleh orang tua ku seperti orang cina lokal yakninya Kevin yang datang entah
darimana padahal aku terlahir dari keluarga muslim. Tapi mungkin saja kedua orang
tuaku ingin aku menjadi seperti orang cina yang pekerja keras dan pandai dalam
menjual barang. Atau mungkin hanya karena orang tuaku kehabisan ide dalam
menamai anak yang padahal aku adalah anak tunggal.

A true after.
Sehari setelah curhatan mu itu, aku sudah tidak melihatmu lagi. Aku mencari-carimu
ke tempat biasa kita bersama, tapi tak ada. Aku berkunjung ke rumah mu, tapi kosong
dan hampa disana. Aku mulai menanyakan mu kepada teman-teman dekatmu, tapi tak
ada yang tahu.
Disana aku mulai bimbang dan risau mengenai kabarmu. Ini baru sehari.
Keesokan nya, aku sama sekali tak melihatmu lagi disekolah. Aku mencari carimu ke
lokasi favoritmu disekolah, tapi tetap tak ada. Aku juga mengunjungi rumah mu lagi,
tapi masih kosong dan hampa disana. Aku menanyakan kabarmu kepada teman-
teman, sahabat, serta orang yang menyukai mu, tapi mereka tetap tak tahu.
Aku mulai cemas dan takut mengenai kondisimu sekarang. Karena tak biasanya kamu
hilang kabar dari siapapun lebih dari dua belas jam. Belum pernah.
Dan dihari ketiga ini, aku tak perlu bersusah payah mencari-cari mu lagi.
Aku tidak akan mengunjungi rumahmu lagi, karena disana sudah ramai dan penuh
akan sanak saudaramu disana. Aku tak perlu lagi menanyakan kabarmu kepada
siapapun, karena mereka dan aku sudah tahu. Bahwa kamu sudah tidak ada. Benar-
benar tidak ada lagi.

Keceriaan ku padam.
Kesepian mulai menghantui ku setelah itu.
Aku mengingat kenangan yang kamu bicarakan itu.
Wajahmu masih terlukis di masing-masing benak orang terdekatmu. Khususnya
dalam benak ku. Tak henti-hentinya aku memikirkan tentang mu.
Aku menyesalkan sebuah pertanyaan yang tak pernah aku tanyakan selamanya? Apa
kabarmu.

Epilog.
Aku sahabatmu. Kevin. Menulis cerita ini khusus untuk dirimu berdasarkan apa yang
kuingat dulu. Aku kembali melamunkan perkataan mu saat beberapa hari setelah
kamu pergi hingga hari ini --empat tahun setelahnya--. Aku menyesal tak menanyakan
kabarmu pada saat itu. Aku kira kamu ragu akan masa depan yang menunggu mu
nanti saat sma atau saat kerja. Ternyata yang kamu cemaskan dimasa depan bukanlah
hal itu. Melainkan hari esok. Atau kematianmu.
Aku tak tahu saat itu kamu sedang menderita melawan penyakit yang ada didalam
tubuhmu. Kamu tak mengatakan nya kepadaku.

Kini, aku lah yang memikirkan tentang kenangan itu sendirian. Aku menyesal tak
mengajak mu untuk bersenang-senang menikmati hari terakhir mu. Aku menyesal
hanya menjalankan rutinitas monoton bersamamu. Seharusnya aku mengajak mu
bebas dan mengelilingi dunia ini dengan menaiki awan bersama mimpi kita disana.
Aku merindukan keceriaan mu sehari setelah kamu pergi meninggalkan kita, orang-
orang yang mencintaimu. Kamu tak akan pernah lagi mengunjungiku di jam istirahat
atau aku yang tak akan bisa menemukan dirimu lagi didalam kelas mu itu.

Ending.
Beberapa hari setelah pertemuan terakhir kita itu atau tepatnya setelah kepergian
dirimu, aku duduk ditempat yang sama. Yang biasanya kita saling bertukar cerita,
canda dan tawa bersama di jam istirahat. Namun beda rasanya. Kini, kamu sudah tak
ada.
Aku tahu aku sedang melamun, kamu pasti akan menasehatiku.
Tapi disitulah aku bisa mengenang kenangan kita bersama.
Tak ada lagi sumber keceriaan ku sejak itu. Yang ada hanyalah sisa-sisa keceriaanmu
dulu.
Aku menjadi perenung aktif di sekolah. Itulah bakat ku, bakat kita.

Tak lama kemudian angin sepoi menghembus mengenai kulit telinga ku seakan angin
itu mengatakan sesuatu. Ia seakan mengingatkan ku kepada mu. Dan akhirnya aku
melihat awan kecil itu perlahan berjalan mengikuti hembusan angin itu. Lalu, awan
itu hilang. Ia sudah menemukan tujuannya. Yaitu mengikuti arah kemana angin
membawanya.

Anda mungkin juga menyukai