Atikah Yulianti
XI MIA 2
Tuan Angkasa dan Nona Bintang
Permisi pak, saya cari buku tentang tata surya kok nggak ada ya? ucapnya.
Sebentar ya, bapak cari dulu bukunya ucap bapak penjaga perpustakaan.
Wah bukunya cuma ada 3, dan ternyata sudah dipinjam semua, mungkin besok
bukunya sudah ada, nanti bapak kabarin ucap bapak penjaga perpustakaan.
Yaah... padahal saya lagi butuh ucapku dengan nada sedikit sedih.
Beli aja mbak di toko buku, kali aja ada kata bapak penjaga perpustakaan.
Nah! Ini buku yang aku cari, ucapku sambil memegang bukunya.
Suka banget. Aku suka langit dan bintang. Kataku dengan ceria.
Ya ampun, dia tersenyum, manis sekali senyumnya. Senyuman itu selalu kuingat,
senyuman tipis khas dirinya. Di dalam hatiku, aku berharap bisa bertemu lagi denganmu,
Sabil.
Sampai malamnya pun aku masih ingat suaramu. Bagaimana mata sipitnya ketika
tersenyum tipis. Aku merasa dia orang yang menyenangkan. Aku ingin mengenalnya lebih
dalam.
Sesekali aku suka mengamatinya yang sedang sibuk dengan buku di perpustakaan.
Aku juga sering curi pandang waktu dia terlihat serius menggarap pekerjaan. Andai, aku
berani kesisinya. Menemani jenuhnya yang mungkin saja tiba-tiba menyerang. Jika saja aku
bisa menemaninya. Dia barangkali tak menyadari betapa aku memperhatikannya. Dia
memang tak perlu tahu. Hanya memandangnya dari jauh pun, aku tak pernah keberatan.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengannya lagi, di perpustakaan. Bahkan yang
membuatku sangat kaget, ia menyapaku lebih dulu.
Tak kusangka ia orang yang menyenangkan, walaupun kita baru saling mengenal.
Kita saling bertukar pikiran tentang hal yang kita sukai, langit. Kita sama-sama menyukai
semua tentang langit. Antariksa, planet, bintang dan semua tentang langit yang membuatku
merasa dekat dengannya. Dia bercerita kepadaku betapa kagumnya ia dengan angkasa. Aku
akan mendengarkan, sembari sesekali menimpali dan memberi pendapat. Saat lelah dengan
topik serius, kita bisa bertukar cerita soal film dan lagu yang kini jadi bahan pembicaraan.
Apapun topik yang dia bawa ke perbincangan, aku akan dengan senang hati mendengarkan.
Buatku, ujian berat adalah saat dia dan aku harus duduk berhadapan, mau tak mau
harus saling berpandangan. Meski tanpa harus saling memandang mata, ketahuilah bahwa
kau dan hal-hal kecil tentangnya tak pernah tersingkir dari kepala.
Memendam rasa seperti ini kadang membuatku merasa gila. Mengaguminya sekian
lama, tanpa sadar membentukku jadi pengamat tingkat dewa.
El, kamu kayanya udah jatuh hati sama dia kata salah seorang temanku.
Kadang aku heran, apakah cinta memang selalu segila ini? Dan aku, adalah orang
keras kepala yang rela untuk menerima sakit hati yang kelak berdatangan. Jujur, aku sering
membayangkan bagaimana rasanya jika kelak aku dan dia bisa bersama. Menyatukan 2 ke-
aku-an antara aku dan dia menjadi satu kita yang tak terpisah spasi dan jeda.
Keberadaannya mengajarkanku banyak hal yang harus kusyukuri. Tapi jika pun
rencana dan harapan itu tak terwujud, keberadaannya tak pernah kusesali. Jika toh aku harus
merelakannya, paling tidak aku pernah mengusahakannya dalam pengharapan.
***
Ada banyak anganku bersamamu. Kau jatuh cinta pada pada bintang terang
disekelilingmu. Aku tak dapat menyatakan rasaku padamu secara langsung, lidahku kelu.
Aku tak bisa bersinar seterang bintangmu. Namun aku ingin bersamamu, walau rasanya tak
mungkin.
Hai Tuan!