Anda di halaman 1dari 14

#LUKA

"Maafkan kenyataan ini jika aku menyukai pacarmu ... "

----

Aku mengenal lelaki itu sebagai teman sekelas ku di kelas sastra,

Aku menganggapnya lelaki ini berbeda, tentu saja beda.

Laki-laki biasanya jarang ada yang mau masuk kelas sastra, bayangkan ada laki-laki yang mau menulis
panjang-panjang dan mengarang cerpen, belum lagi disaat membuat puisi kadang harus bermain
dengan kata-kata.

Biasanya lelaki malas dengan semua itu, mereka lebih menyukai menggambar, atau menghitung angka-
angka dari pada merangkai sebuah kata menjadi indah.

Tapi dia berbeda, dia datang dengan senyuman manisnya, dan terdapat notes coklat ditangannya.

Bahasanya sangat lembut dan santun. Karya puisinya mengagumkan, bahasanya menakjubkan. Karya-
karya cerpennya semua memiliki makna-makna. Tak sembarang tulisan hasil imajinasi semata.

Selalu membuat guru-guru tercengang. Anak kesayangan guru-guru sastra, tulisannya bukan tulisan
ceker ayam khas anak lelaki, tulisannya rapih dengan kata-kata indah.

Wajahnya manis, jalannya tegap, badannya jangkung tinggi. Senyumnya memancarkan karisma,
suaranya terdengar wibawa. Segala sesuatu yang aku sukai. Jika mendengar dia bicara aku yakin semua
orang tau dia orang yang cerdas.
Jangan bayangkan dia lelaki yang sedikit miring karena menyukai sastra, jika kau berpikir begitu kau
salah besar, dia benar-benar Lelaki. Sama saja hobinya seperti lelaki lain, hobi bermain basket, atau
menaiki gunung di saat weekend. Bedanya setelah pulang dari gunung ia selalu membuat puisi, puisi
tentang indahnya puncak yang baru ia datangi.

Beberapa bulan aku hanya mengagumi nya dari jauh, menatapnya bagaikan bintang yang indah tapi sulit
digapai. Memandangi senyuman manisnya semanis gula walaupun bukan untukku, membuka blog yang
ditulis olehnya setiap hari, mengulang setiap bait puisi yang ia tulis, menatap diam-diam mata hitam
legam yang indah penuh pancaran wibawa. Wangi maskulin nya yang selalu aku ingat bila ia tak sengaja
melewatiku.

Beberapa bulan, diam-diam aku melihatnya dari kejauhan saat ia melakukan lay up, atau hanya sekedar
shooting biasa. Atau diam-diam aku menitipkan doa agar perjalanannya menuju puncak gunung
selamat.

Tanpa kusadari, aku jatuh hati. Jatuh hati pada bintang disana, bintang yang paling terang dilangit.

Tanpa kusadari, dilubuk hatiku namanya terukir jelas.

Tanpa kusadari, beberapa malam sebelum tidur, senyumnya selalu muncul di ingatanku,
menghangatkan hati. Menguatkan rindu agar cepat bertemu kembali.

Ya, aku mencintainya, hati ini telah jatuh pada dirinya, hati ini telah berlabuh kepada dirinya.

Dirinya yang sangat dekat saat kelas sastra, dirinya yang duduk di kursi paling depan kelas sastra, dirinya
yang 2 baris di depanku.

Dia! Yang aku tatap dari kejauhan saat dia bermain basket, dirinya yang selalu ku baca blog nya. Dirinya
yang selalu berpapasan denganku.
Tapi kenapa,

Tapi kenapa rasanya sangat susah kugapai.

Rasanya dia begitu jauh, rasanya begitu tak mungkin aku menggengamnya.

Rasanya dia bintang kejora yang berjarak ratusan kilometer dari diriku.

Lalu datanglah satu kesempatan,

Membangkitkan harapan untuk gadis ini,

Gadis yang diam-diam menatapnya dari kejauhan.

Gadis yang diam-diam menaruh rasa padanya.

Kala itu terjadi kerja sama, kami disuruh membuat sebuah kumpulan puisi berasal dari daerah-daerah
yang indah. Kami dipasang-pasangkan.

Dan rasanya saat aku mendengar nama siapa pasanganku, aku merasa terbang entah kemana,
mengucapkan Allhamdulilah berkali-kali.

Kala itu guru berbicara, "Diana, kamu satu pasangan dengan Arfi ya,"
Saat itu rasanya aku ingin terbang, ingin berlari, berteriak bahwa akhirnya ada satu kesempatan,
akhirnya bintang itu tak jauh diatas sana. Sebentar lagi bintang itu berada didekatku atau mungkin aku
genggam.

Akhirnya kami pun menjadi satu kelompok. Saat pulang sekolah, Arfi menyapaku dan bertanya kapan
kita akan mulai, kataku 'terserah kau saja' dan dia bilang 'besok saja'.

Hari-hari pun terasa semangkin indah, kami semakin dekat, beberapa kali bahkan dia menjemputku
dengan mobil hitamnya.

Kami pergi berdua mencari bahan untuk membuat puisi. Rasanya hari-hari berlalu begitu cepat. Aku rasa
aku selalu tersenyum kala itu.

Jantungku selalu berdegup kencang saat mata hitam itu menatapku dalam, atau senyum manis itu
ditunjukkan padaku.

Setelah selesai tugas, kami tetap dekat. Kami tetap bertegur sapa atau bahkan duduk bersama di kelas
sastra.

Kami sekali-kali pergi ke cafe bersama atau sekedar pergi ke kantin bersama.

Tak bisa ku pungkiri bagaimana bahagianya diriku, bagaimana bahagianya diriku saat setiap hari aku
menatap mata yang indah itu, senyum yang manis, badan tegap, dan segala tentang yang aku sukai dan
meneduhkan ku dari lelahnya kehidupan.

Baru kali ini aku sebahagia ini, bagaimanapun aku sangat bahagia, bintang yang jauh diatas sana, yang
dulunya hanya ku amati dari kejauhan, yang dulunya hanya ku pandang dari kejauhan kini dia berada
disampingku.
Disampingku, disebelahku, membuat hari-hari ku indah, membuat hatiku hangat, membuat hari-hari ku
menjadi terang karna bintangku sumber cahaya ku berada di sebelahku.

Sedikit lagi mungkin dia sudah di genggamanku,

Mungkin.

---

Ku pikir sebentar lagi bintang ini akan ku genggam, ku pikir bintang kejora ini yang sangat jauh sudah ku
pegang, sudah ku dekap hingga ia tak bisa terbang jauh lagi ...

Tapi aku salah,

Itu semua hanya angan sesaat, hanya angan-angan seseorang yang di mabuk cinta.

Hanya khayalan yang aku ciptakan sendiri. Hanya mimpi yang selalu aku semogakan.

Karna pada suatu saat,

Sebuah pengakuan, menarik ku kedalam kenyataan kembali,

Menarikku ke dalamnya laut air mata pahit nya kenyataan.

Membangunkanku dari mimpi.


Menarikku dari langit-langit indah kedalam laut yang dingin dan gelap.

Mengambil mentari ku dan menggantinya dengan badai.

Pada hari itu aku bermain di rumah Zila, saat itu aku meminjam Hp nya untuk sekedar membajak LINE
Zila.

Aku melihat aplikasi whatsapp sahabatku itu, di kolom chat terdapat chat dari Arfi. Karna aku penasaran,
aku tanya pada Zila, apa hubungan dia dengan Arfi?

Kata Zila, "Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia, tapi ya, aku emang deket sama dia sih, aku
sejujurnya tertarik sama dia, habis dia baik banget dan care banget sama aku, sampe-sampe aku baper."

Seketika rasanya bagai ada kapak menghantam dadaku.

Rasanya ada beribu-ribu pedang ditancapkan ke dadaku.

Rasanya aku ingin langsung menangis, atau marah, tapi yang aku lakukan hanya tersenyum lalu
mengucap, "Ciee ... kok lo ga cerita sih?" tanyaku.

Dan dengan pipi bersemu merah, Zila bercerita kisahnya dengan Arfi. Aku terus tersenyum lalu pura-
pura senang akhirnya Zila akan mempunyai pacar.

Rasanya sesak dadaku saat aku harus tetap tersenyum dan men- 'cie' kan Zila saat ditelpon saat malam
hari oleh Arfi. Atau disaat aku harus menggoda Zila karna di gombalin Arfi. Huft, andai aku yang diposisi
Zila. Andai!

Rasanya angan-angan ku beberapa bulan yang lalu hilang diterpa angin dalam sekejap. Kebahagiaan
yang rasanya sudah ditangan menguap hilang layaknya embun pagi.
Jika aku boleh jujur, aku ingin menangis sekarang, aku ingin dipeluk sekarang, tapi apa yang bisa aku
lakukan? Aku hanya berpura-pura bahagia, untung saja Zila sedang bahagia jadi ia tidak menyadari
wajah paksaanku.

Setelah aku pulang dari rumah Zila. Dan sesampainya dirumah, pertahananku hancur semua, ambruk
saat itu juga.

Benteng yang awalnya sangat kuat hancur diterpa angin dinginnya malam ini.

Aku menangis, air mata itu dengan spontan keluar dari mataku, hatiku tercabik-cabik. Kini aku harus
menghadapi kenyataan bahwa sahabatku sendiri, mencintai orang yang sama aku cintai, dan lebih
menyakitkannya orang yang kucintai juga mencintai sahabatku.

Rasanya aku ingin dibawa pergi angin, dibawa terbang angin. Rasanya aku ingin menghilang saat ini juga.
Membawa pergi semua rasa sakit ini.

Dunia begitu jahat.

Begitu gampangnya kah dunia mengambil kebahagiaanku?

Seperti membalikan telapak tangan saja.

Bulan lalu aku masih tersenyum, bulan lalu aku tidur dengan senyuman, bulan lalu kupu-kupu terbang di
perutku.

Tapi hari ini, semua pergi entah kemana, rasanya begitu cepat.

Aku baru saja merasakan kebahagiaan ini, baru merasakan kehangatan Arfi, baru merasakan rasanya
bintang itu sangat dekat.
Tanpa aku sadari, sebenarnya bintang itu sangat jauh bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Kini bintang
itu akan digenggam orang lain, dimiliki orang lain. Bukan dimiliki aku. Kali ini mungkin, bintang ini
tak'kan pernah disampingku lagi, tak'kan pernah menghangatkan ku lagi. Tak'kan pernah, karna ia telah
dimiliki orang lain.

Aku tidur dengan rasa sesak yang luar biasa di dadaku, dengan nafas tercekat, dengan hati yang sudah
terluka. Mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air, tanda aku sedang sakit, ya aku sakit, hatiku sakit
menghadapi kenyataan ini. Bagaimana bisa semua ini terjadi?

----

Aku terbangun dengan mata bengkak, kulihat cuaca diluar sama mendungnya dengan hatiku, ku rasa
semesta juga sama merasakan sakit hatinya diriku.

Aku melirik jadwalku, ada jadwal kelas sastra.

Dulu, jika aku melihat jadwal kelas sastra aku langsung bersemangat, tak'kan telat aku datang ke kelas
sastra, aku akan menjadi orang pertama yang datang, dengan senyum paling lebar. Apalagi saat lelaki
berbadan tegap itu masuk, aku mungkin menjadi yang paling ceria, sekalipun ada ulangan saat hari itu.

Tapi kali ini tidak, dan tidak akan pernah.

Rasanya matahari di kelas sastra telah tenggelam selama-lamanya, menyisakan gelapnya malam hari,
tanpa sudi memberikan cahaya kepada bulan dan bintang.

Belum lagi ditambah derasnya hujan mengalir, dan petir menyambar. Meninggalkanku disana, disisa-sisa
hari yang kelam.
Jika tidak ingat ada ulangan mungkin aku sudah membolos, tapi karna ada ulangan disinilah aku, di pojok
kelas sastra.

Dengan wajah kusut, hati mendung, dan mata bengkak. Aku yang memakai jaket dan memakai tudung
nya, aku yang menenggelamkan wajahku di meja.

Bukan aku yang duduk di baris ketiga, dengan senyum lebar dan rambut rapih lagi.

Kulihat bintang itu masuk, masuk dengan senyuman manisnya, tubuh tegap itu masuk ke kelas.

Rasanya dulu hati ini menjadi indah saat tubuh itu masuk, namun kali ini berbeda.

Rasanya begitu banyak kapak yang menghantam dada. Begitu banyak ingatan-ingatan kenyataan
mengatakan bahwa dia bukan milikku.

Rasanya hujan telah mengguyur ku, membawa dingin yang menusuk tulang, rasanya jantungku tak
bergerak normal, seakan ada tangan yang meremas jantungku.

Rasanya aku ingin menangis, ingin berteriak, kenapa kenyataan selalu menyiksa? Tapi apa kita bisa
berlari dari kenyataan? Tentu saja tidak. Kemanapun kau berlari kenyataan akan kembali datang
membuang semua angan-angan yang kau buat.

Aku menutup mataku sekejap lalu tanpa aku sadari, suara yang aku rindukan menyapaku.

"Di," panggilnya, entah apa yang kurasakan, akankah aku merasakan lagi sensasi terbang tinggi kelangit?
Atau aku akan tenggelam ke lautan kenyataan yang dalam?

Aku membuka mataku. Dengan penuh keberanian aku mendongkak menatapnya.


Mata hitam itu.

Mata yang kucintai, mata yang membuatku jatuh kepada pemiliknya.

Lalu senyum itu, senyum semanis gula, bahkan lebih manis dari 1kg gula.

"Hai." Balasku, dia menatapku bingung, "Mata kamu kenapa?" tanyanya.

Rasanya aku ingin merasakan hatiku menghangat karna pertanyaan itu, tapi sekejap kemudian semua
hilang, aku mengingatnya dia tidak akan menjadi milikku, tak'kan pernah!

"Gapapa." jawabku, sekuat tenaga aku tersenyum. Tapi sia-sia saat aku mengingat aku tak bisa
menggenggam tangannya, rasanya aku ingin menagis.

"Em, Di, bisa bantu aku gak?" tanyanya, aku menaikkan sebelah alis ku bingung, "bantu apa?" tanyaku.

"Itu, emm," aku menatapnya bingung pasalnya wajahnya menjadi memerah, membuat dua kali lebih
menggemaskan.

"Apa?" ulangku.

"Bantu aku nembak Zila boleh?" tanyanya ragu-ragu.

JEDAR!
Aku bertanya-tanya adakah petir di siang bolong ini? Kenapa rasanya hatiku seperti disambar petir
berkali-kali?

"Emm, kamu belum tau ya kalo aku sebenernya udah lama suka sama Zila dari--" aku memotong
pembicaraannya, "Aku tau." jawabku langsung tanpa ingin mendengar penjelasannya.

Dia menatapku kaget, aku hanya mengelak kalo aku tak sengaja membaca chatnya dengan Zila.

Setelah sepakat, dengan terpaksa aku membantunya. Mengantarkan Zila ke cafe yang sudah lelaki itu
pesan, diasana ia akan menyanyikan sebuah puisi.

Rasanya aku ingin menangis sekarang juga, tapi apa boleh aku menangis? Memangnya aku siapa yang
bisa melarang dia? Memangnya aku siapa yang berhak cemburu?

Berapa kapak lagi yang akan menghantam dadaku? Berapa isak tangis lagi yang akan meluncur dari
mulutku?

Berapa sabit lagi yang akan menyabit hatiku?

Apakah masih ada oksigen yang tersiksa untukku? Agar aku masih merasa hidup? Agar aku merasa
nyawa dan jiwaku masih ada? Tapi kurasa hari ini jiwaku entah kemana, melayang pergi.

----

Akhirnya pada waktu yang sudah di tentukan aku mengantar Zila ke cafe yang lelaki itu sebutkan.

Dan saat itu juga aku melihat mereka berdua berbahagia, didepanku! Bahkan berpelukan didepanku!
Rasanya aku ingin pergi saja, menghilang ditelan bumi 'pun aku rela.

Aku ingin marah pada Zila yang mengambil Arfi dariku, tapi memangnya aku siapa Arfi? Bahkan kupikir
lelaki itu tak menganggapku sahabat.

Aku ingin marah pada Zila yang tak mengerti perasaanku, aku ingin berteriak didepannya, apakah dia
sahabatku? Tapi buat apa? Toh, ini salahku.

Salahku selama ini menutupi bahwa aku mencintai Arfi, salahku tak pernah bercerita ke Zila bahwa aku
menyukai Arfi. Salahku karna tak pernah bilang pada Zila bahwa aku mengejar bintang itu agar Zila juga
tak mengejar bintang yang sama.

Mungkin jika aku bercerita Zila tak'kan bersama Arfi sekarang, mungkin aku masih menikmati hari-hari
bahagiaku bersama Arfi.

Mungkin jika aku tak memendam rasa ini sendiri, jika aku tak menutupi semua ini, jika aku lebih terbuka,
semua ini tak'kan terjadi.

Tapi buat apa aku menyesali semua ini? Toh tak'kan mengubahnya.

Tak'kan mengubah kenyataan bahwa sahabatku menjadi pacar lelaki yang aku cintai.

Aku menatap mereka dari jauh, senyum di wajahku tetap terlihat walau jauh dilubuk hatiku terpampang
luka besar yang sangat sulit untuk dijahit, percuma dijahit tetap ada bekasnya.

Hatiku berbisik saat Zila melambaikan tangannya padaku, "Nila maafkan aku, maafkan aku yang
mencintai pacarmu." Aku tersenyum pahit.
Dengan sisa tenaga aku berjalan kearah mereka, mengucapkan selamat, lalu izin pulang duluan dengan
alasan sudah di telpon ibu untuk pulang.

Rasanya oksigen dalam cafe telah habis. Entah kenapa rasanya aku tak kebagian oksigen. Saat aku keluar
cafe, mataku mulai buram di pelupuk mataku terdapat genangan air mata, saat aku mengedipkan mata
keluar lah semua air mataku.

Meluncur deras, mengespresikan semua yang aku tahan, meruntuhkan dinding yang kubuat sekokoh
mungkin.

Tanpa harus aku berteriak mengatakan betapa sakitnya hati ini, air mata ini telah mengespresikan
semuanya, telah menunjukkan aku yang sebenarnya, aku tanpa topeng sok bahagiaku, aku yang
sebenarnya, aku yang mempunyai lubang hati yang besar.

Aku yang mencintai dirinya, mencintai bintang yang kini sudah di dalam genggaman orang lain.

Hari ini, semesta juga menangis, menangis karna melihat aku yang mencintaimu harus merelakanmu
demi sahabatku.

Hari ini, semesta juga menangis melihatmu dalam genggaman yang lain.

Hari ini, hujan turun bersamaan dengan turun nya air mataku.

Mengisyaratkan, bahwa aku yang mencintaimu kini menangis karenamu.

End!

Note:
Jangan mengejar seseorang yang sudah jelas bukan milikmu, karna sekeras apapun kamu berusaha, jika
dia bukan takdirmu, perjuangan mu akan sia-sia. Cukuplah kamu bersabar menunggu seseorang yang
benar-benar ditakdirkan untukmu.

Kamu boleh mencintainya, tapi biarkanlah dia mencintai pilihannya.

Anda mungkin juga menyukai