Anda di halaman 1dari 3

Judul Cerpen: Pertemuan di Perpustakaan Kota

Aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah perpustakaan kota.

Waktu itu, aku melihatnya duduk di sudut yang menghadap jendela. Sesekali jika ia
lelah membaca, ia berhenti dan menatap langit di luar sana. Jika dirasa istirahatnya cukup, ia
melanjutkan membaca atau mengetik entah apa di laptopnya.

Aku tak berani menyapanya; yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya dari jauh.
Lagi pula, aku tidak akan bisa menyapanya. Tapi entah kenapa aku sangat ingin menyapanya.
Aku pikir, ia termasuk manusia baik hati yang tidak membeda-bedakan bahan bacaan.
Terbukti sejak pertama kali aku melihatnya dari jauh, aku sering melihatnya membawa buku
yang berbeda-beda. Mulai dari bacaan berat seperti politik, filsafat, pengembangan diri
sampai novel-novel romansa yang cocok untuk anak SMA. Taruhan, ia sudah berstatus
mahasiswa—terbukti ia sering mampir ke perpustakaan ini dengan jadwal yang acak dan
pakaiannya sangat bebas tapi sopan.

Aku tidak tahu pasti sudah berapa kali ia ke perpustakaan ini, tapi yang jelas, sudah
lebih dari dua bulan aku melihatnya duduk di tempat yang sama. Mungkin itu tempat
favoritnya di perpustakaan. Ia selalu duduk dengan bermacam-macam kegiatan, seperti
membaca, menulis di buku catatannya, mengetik di laptop, membuka YouTube atau hal-hal
lain yang tidak bisa kusebutkan.

Ah, kedengarannya aku menyeramkan, ya? Rasa-rasanya aku seperti stalker. Kalau ia
tahu, mungkin aku sudah dituduh macam-macam.

Suatu hari di bulan November, aku merasakan AC yang lebih dingin dari biasanya.
Entah apakah karena pengaruh musim hujan atau apa, tapi rasanya ruangan menjadi lebih
dingin. Rasanya kuingin tidur saja. Aku melirik ke luar jendela dan menemukan langit mulai
berubah abu-abu. Mungkin sebentar lagi hujan. Aku melirik tempat yang biasa ia duduki, tapi
tak menemukan siapa pun di sana.

“Mungkin karena sebentar lagi hujan,” kata temanku, seolah-olah ia bisa membaca
pikiranku. Ia terbatuk pelan karena tubuhnya yang sudah lapuk.

“Apa?”
“Kamu menunggunya, bukan?” Ia terbatuk lagi, kali ini bahkan tubuhnya hampir
jatuh.

Aku bingung harus menjawab apa, tapi aku memang menunggunya datang.
Maksudku, rasanya aneh tidak melihat ia duduk di tempat biasanya.

“Mungkin dia sibuk,” kata temanku itu.

Ya, mungkin ia sibuk.

Berminggu-minggu berlalu dan aku tak melihatnya datang lagi. Ah, mungkin aku
harus mengoreksi; aku tak melihatnya lagi duduk di tempat biasanya. Siapa yang tahu jika ia
datang ke perpustakaan, tapi ia tidak duduk di sudut dekat jendela itu, bukan?

Aku mengangguk dengan yakin.

“Hei, bagaimana kalau aku tidak pernah bisa menyapanya?” tanyaku pelan dan yang
kudapat hanyalah keheningan. Aku tak mendengar sahutan apa pun selain dengung suara AC.
Aku menoleh dan tak menemukan temanku yang biasa menjadi teman ceritaku. Ah, aku lupa.
Kemarin ia pergi ke rumah teman, mungkin tiga hari atau seminggu lagi ia akan pulang. Aku
memperhatikan sekeliling dan menemukan teman-temanku sedang tertidur lelap. Cuaca
mendung seperti ini memang menyenangkan untuk tidur, bukan? Apa sebaiknya aku tidur
juga, ya? Lagi pula, tidak ada yang mau mengenalku karena aku termasuk tubuh yang lapuk
juga. Hahaha. Baiklah, mari kita tidur saja.

Aku mempersiapkan diri untuk tidur ketika ada suara langkah kaki menghampiriku. Ia
berhenti di depanku dan menyentuhku. Mataku terbuka lebar. Tubuhku membentur lantai
karena ia tidak memegangku dengan erat.

Ia membalikkan tubuhku dan berujar pelan setelah membaca punggungku, “Kayaknya


ini buku yang bagus.”

Senyumku perlahan-lahan mengembang. Rasanya aku senang jika ada seseorang yang
menganggap huruf-huruf yang ada di tubuhku bagus. Itu tandanya, aku masih dibutuhkan.
Setidaknya walaupun tubuhku lapuk, huruf-huruf yang tercetak di dalam tubuhku masih bisa
bermanfaat untuk orang lain.

“Saras, gue cari lo ke mana-mana,” Suara orang lain mulai terdengar.


“Hehehe, maaf, gue lagi cari-cari buku dan untungnya nemu,” Ia mengangkat tubuhku
dan kudengar lagi sahutan dari temannya itu.

“Lo mau pinjem itu?”

“Iya.”

“Tapi kayaknya bukan selera lo, deh?”

“Kata siapa?” Saras tertawa pelan. “Kalaupun ini bukan selera gue, bukan berarti gue
menghindari membacanya, ‘kan?”

Aku tersenyum samar. Ia menatapku sekali lagi dan berujar pelan, “Nggak apa-apa,
gue mau coba baca. Lagian semua buku itu baik.”

Aku mengerjap berkali-kali, baru menyadari siapa yang ingin meminjamku. Jadi,
namanya Saras. Ia mahasiswa yang sering kulihat duduk di sudut dekat jendela perpustakaan
ini. Setelah sekian lama, aku berhasil menyapanya juga. Aku tersenyum senang, merasakan
sesuatu yang tidak bisa aku gambarkan.

Halo, Saras, semoga kita bisa menjadi teman yang baik, ya?

Anda mungkin juga menyukai