Anda di halaman 1dari 7

Hujan Kemarin

Oleh : T.E Musta’in (Awa Raditya)

Pada diksi-diksi yang berbaris


Obrolan saat gerimis dan beragam kalimat penyemangat untuk menulis
Aku ingin mengaku, bahwa saat bersamamu adalah hal yang manis

”Apabila ada pertanyaan perihalmu yang sangat harus aku jawab. Aku ingin
mengakui bahwa aku memang manginginkanmu, berharap bahwa suatu saat kaulah
yang akan menjadi pelengkap agamaku adalah harapan. Akan tetapi, aku teramat
sadar, sekuat apapun aku mencinta, sehebat apapun aku mendamba, seletih apapun
aku berusaha, dan sekhusyu apapun aku berdo’a. Apabila Tuhan berkata ‘tidak’ aku
bisa apa? Maka, satu hal yang kucari kini adalah sosok yang terbaik menurut-Nya.
Terkadang cocok di mata manusia belum tentu cocok juga di mata manusia”
Kubaca dengan seksama tulisan yang baru saja ia posting. Aku terkejut.
Ternyata dugaanku salah. Aku kira, hanya aku saja yang merindukannya, hanya aku
saja yang setengah mati mencintainya. Bila tidak malu, ingin rasanya aku menangis di
tengah keramaian ini.
Lama sekali, semenjak kepergiannya kita di putuskan jarak. Aku kira hanya
soal jarak, namun juga komunikasi yang dulu selalu menjadi alasanku untuk terus
bermain gawai. Anehnya, untuk hanya sekedar mengirim pesan “Hay apa kabar?”
sangat sulit. Entahlah, aku telah begitu canggung padanya. Ia yang sekarang terlalu luar
biasa untuk aku yang biasa saja.
Padahal sudah berbulan-bulan kita tidak pernah lagi saling mengirim pesan.
Awalnya kerinduan selalu datang menyerang tiba-tiba, namun kini aku telah biasa saja.
Hanya saja, tulisannya yang baru saja memaksaku untuk kembali mengingat. Aku tak
pernah bisa menolak perasaan ini, bahkan aku tak merasa di lukai sama sekali.
Aku senang bisa kenal dan dipertemukan dengannya, meski hanya sampai
bertemu bukan bersatu. Ia orang baik, sangat baik sekalipun ia belum pernah membuat
hatiku tercabik, maka wajar saja apabila kini, saat kepergiannya aku merasa
kehilangan. Kehilangan sosok, yang hingga kini tak pernah kutemui lagi duanya.
Kisah tentang aku dengannya bermula saat aku memutuskan untuk produktif
menulis di media. Entah di hari keberapa, ia mengomentari tulisanku dan
mengapresiasinya. Saat itu, ia adalah orang asing. Kukira percakapan kita hanya akan
sampai pada kalimat “Sama-sama” ternyata lebih dari itu. Pada pesan-pesan yang awal
mula mengalir saat itu, ia banyak bertanya, hingga pada akhirnya kita saling bertukar
pikiran.
Kita sama-sama merasa bahwa obrolan via media itu dirasa kurang intens
akhirnya kita saling memberikan nomor whatsapp, dan berlanjutlah obrolan kita
melalui itu. Hanya bertukar pikiran, aku juga masih merasakan biasa saja, sebab dia
bukan orang pertama yang banyak bertanya perihal kepenulisan padaku.
Namun, rasa ini mulai muncul saat ia memutuskan untuk menceritakan kisah
hidupnya.
Ia adalah anak pertama dari dua saudara, ayahnya adalah seorang guru agama
sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Sebagai seorang kakak yang paling tua, ia
harus banyak membantu sang ayah dalam hal materi, terlebih impiannya yang sangat
besar, ia merasa bahwa hal itu bisa memakan banyak biaya namun ia terus berusaha,
tak luput menyertai doa dalam setiap langkahnya.
Ia rela merantau untuk belajar dan mengajar, dengan kemampuan yang ia bisa.
Ia pun tertarik pada dunia tulis menulis. Bahkan, ia pernah bilang padaku bahwa
sebelum ia, teman-temannya telah lebih dulu kenal padaku, tentunya melalui tulisan-
tulisanku. Katanya, mereka menyukai setiap diksi yang kutulis disana, dari situlah ia
mengetahuiku, namun ia lah yang paling berani untuk mempertanyakan padaku.
Hingga terciptalah sebuah ruang perkenalan kita.
Jujur, perasaan kagum mulai muncul sejak saat itu.
“Menurut kamu, mungkin gak. Orang yang punya latar belakang keluarga seperti aku
bisa pergi belajar ke Negeri seribu menara?” tanya ia saat itu.
“Apanya yang nggak mungkin?”
“Kan katanya kesana itu butuh biaya banyak, belum lagi ongkos disana. Banyak juga
tetangga-tetangga yang ngomong kalo itu semua cuman mimpi doang”
“Kamu percaya sama omongan-omongan mereka”
Ia masih belum membacanya, akhirnya aku kembali mengirimnya pesan.
”Aku ngeliat kamu itu orang yang ambisius, visioner, dan gak kenal lelah. Aku percaya,
Allah akan memberikan jalannya. Aku kira, untuk tipe orang seperti itu, gak pantes
buat masih ngedenger omongan tetangga”
“Doain ya”
“Aamiiin”
Kita sama-sama mengaminkan.
***
Beberapa bulan setelah perkenalan itu. Pesan-pesan kita terus saja mengalir.
Hingga pada suatu masa, ketika aku sedang menemui teman lamaku di Kota yang kini
sedang ia singgahi disana, kita bertemu. Ini adalah awal pertemuan kita.
Kita merencanakan pertemuan di kampus tempat kakak kelasnya belajar. Tidak
begitu lama, sebentar namun berkesan. Saat itu, ia mengajak aku ke tempat-tempat
yang menurutnya bersejarah, ia membawa sebuah kamera kecil. Maka ia selalu saja
memotret setiap kali ada objek yang bagus dan menarik dan terkadang ia memintaku
untuk memotretnya, bahkan sesekali secara diam-diam ia memotretku, aku tahu hal ini
saat kita telah pulang, ia tiba-tiba banyak sekali mengirim hasil jepretannya yang ada
aku di dalamnya.
Di kota itu ada sebuah pantai yang selalu di padati pengunjung setiap sorenya.
Disana juga ada sebuah jembatan kayu yang panjang dan lebar, di atasnya juga ada
banyak tukang jajanan. Setelah berjalan-jalan di bibir pantai, akhirnya kita pun berjalan
di atas jembatan kayu itu. Senja semakin menjingga, keindahannya semakin bertambah
saat aku sedang bersamanya.
“Kamu juga suka photography?” tanyaku.
Ia mengangguk, “Aku hanya ingin mengabadikan setiap momen yang baru saja aku
lewati. Apalagi kalo itu hal yang mungkin saja gak akan aku rasain lagi”
“Hm, menarik”
“Beli jajanan dulu yuk. Abis itu baru pulang” ajaknya
Aku menurut saja. Kita membeli makanan ringan dan minuman dingin. Tidak
lama setelah itu, kita sama-sama pulang, dan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir
aku dengannya. Ia sempat berkata bahwa setelah ini ia akan fokus belajar untuk
mengikuti test seleksi beasiswa kesana. Lagi-lagi kita sama-sama mengaminkan.
Dua hari setelah itu, ia pamit bahwa kita tidak akan lagi bisa untuk saling
berkomunikasi. Aku memahaminya, dan aku kembali dengan kesibukanku. Mungkin
bisa di bilang bahwa duniaku sedikitnya bisa berubah karenanya,
Di sela-sela kesibukanku, tidak jarang aku mendapati banyak sekali pesan dari
orang lain. Namun hanya kusikapi biasa saja, sebab yang aku tunggu kini hanyalah
kabar darinya.
Jujur saja, kini aku mulai menyukainya. Pada sikap, pada pesan, dan pada
semua hal tentangnya membuat aku tidak bisa menampik perasaan yang tak pernah
kusadari kapan datangnya, ia hadir dalam hidupku begitu saja, begitupun persoalan
rasa.
Ketika kurasa semuanya kesibukanku telah rampung, dan kabar darinya belum
juga kutemukan. Aku membaca kembali sebuah puisi yang pernah kita buat sama-
sama, kolaborasi katanya, namun aku rasa ini lebih ke sebuah balasan pernyataan yang
di puitisasi.
“Dalam goresan tinta ku uraikan segenap rasa dalam kata” ia memulainya.
“Menyampaikan kekagumanku melalui cara yang sederhana” sambungku
“Sebuah kutipan cinta tanpa suara, tersurat dalam hati yang tak berbahana”
“Di penghujung malam, kutaburkan harap yang tertabur dalam senyap”
“Tak luput kusebut namamu, seseorang yang kucintai dalam bisu”
“Entah sampai kapan akan berakhir, atau mungkin hanya akan berakhir getir”
“Satu hal yang aku tahu adalah, bahwa Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang
terbaik untukmu dan untukku”
Dan hanya sampai kalimat itu. Setelahnya, aku hanya mengapresiasi deretan
diksi yang buat dengan begitu rapi. Aku menyukai, tulisannya dan juga orangnya.
Sekejap saja setelah membaca itu, aku tertidur.
Pagi sekali kudapati pesan darinya. Ia mengabariku bahwa ia telah di nyatakan
di terima, aku senang mendengarnya. Namun ada sedikit ketidakrelaan, sebab setelah
ini mungkin dia akan pergi, ternyata benar apa yang dia katakana saat itu. Terkadang
kita harus mengabadikan momen yang baru saja di lewati, sebab mungkin saja hal itu
tidak akan terjadi lagi. Kini aku benar-benar merasakannya.
Ia diminta oleh seorang pembimbingnya untuk membuat sebuah karya terlebih
dahulu. Ia meminta bantuanku, dengan senang hati aku akan membantunya. Dalam
waktu beberapa bulan sebelum waktu keberangkatannya, bukunya harus terbit. Ia juga
memintaku untuk menyumbangkan satu buah tulisan di dalam bukunya, aku pun
menulis satu buah senandika.
Akhirnya, setiap pesan-pesan yang biasa kita isi dengan saling berbagi kini kita
isi dengan saling memberi motivasi dan diskusi-diskusi perihal apa saja yang akan
dituangkan di dalamnya. Dalam waktu satu bulan lebih, naskahnya teah rampung dan
siap di terbitkan. Tidak lama setelah itu, buku perdananya telah di nyatakan terbit. Aku
sangat bangga padanya, perlahan-lahan mimpinya bisa terwujud. Sungguh luar biasa.
Kini, ia disibukan demgan berbagai acara literasi. Waktu keberangkatannya di
undur, katanya ia sedikit sakit hati karena hal itu. Allah Maha Adil, ia dihibur dengan
kesibukan-kesibukannya mengisi kegiatan literasi dan beberapa seminar motivasi.
Wajar saja, untuk seorang yang mampu mewujudkan impian dengan perjalanan yang
tidak bisa dikatakan mudah, ia pantas menerimanya. Ia pantas dengan segala
pencapaiannya.
Pada akhirnya, kita berdua sama-sama disibukan oleh setiap kegiatan.
Komunikasi kita tidak lagi sebaik dulu, namun kita sama-sama mengerti bahwa masih
ada beberapa hal yang harus kita prioritaskan.
Setelah itu, waktu keberangkatannya tiba. Malam itu ia mengabariku. Aku
mengusahakan agar bisa menemuinya besok, karena kebetulan saat itu aku sedang ada
kegiatan di dekat bandara. Sayang sekali, aku tidak sempat menemuinya di bandara.
Sebab waktu keberangkatan dan kegiatanku sama. Kembali pada masing-masing
prinsip kita bahwa, masing-masing dari kita harus memprioritaskan apa yang harus
diprioritaskan. Berat sekali rasanya, antara sedih dan bahagia. Antara rela dan tidak.
Namun aku tidak ingin memberatkan langkahnya, semuanya tidak ia dapatkan dengan
mudah.
Ketika ia disana, masing-masing sulit sekali rasanya meski hanya untuk
menerima kabar, ketika aku mencoba untuk menghubunginya, nomornya tidak lagi
aktif. Kesehariannya hanya bisa aku ketahui di media. Ada rasa canggung dalam
benakku untuk kembali menyapa. Tak apa, kita yang semula asing kini kembali asing.
Pernah mengenalnya, dekat dengannya, dan bisa menjadi seseorang yang pernah
mengisi hari-harinya, adalah sesuatu yang bisa membuatku hidupku berwarna. Hingga
kini sosoknya adalah pemanis dalam setiap tulisan yang kubuat, mengingatnya
alasanku agar terus bersemangat.
Kurangkai kembali sebuah kalimat. Jelmaan perasaan yang tak sempat di
sampaikan, aku harap, ia membacanya.
Nyatanya, hingga kini aku masih menginginkanmu. Padamu rinduku masih tertuju.
Nama dan bayanganmu masih terpatri dalam ingatanku. Hingga dalam gelisah
mimpiku pun kau hadir menepisnya. Entahlah, aku masih belum bisa mematikan rasa
yang terlanjur membabi buta. Akupun tak sadar jika rasa ini terus menjalar secara
sendirinya.
Padahal sudah puluhan purnama kita lalui tanpa saling berkomunikasi. Hari-hari yang
dulu selalu kita lalui dengan ucapan selamat pagi, kini tak kudapati lagi. Malam yang
selalu kita isi dengan saling bertukar cerita, kini suaramu pun tak kudengar kembali.
Dulu, saat ujian akan sama-sama kita hadapi, ucapan selamat selalu terungkapkan,
tak luput segenggam do’a yang sama-sama kita aminkan.
Kedekatan kita memang tidak di barengi ikatan. Obrolan kita hanya di isi oleh cerita
tentang pengalaman dan mimpi yang masing-masing sedang kita perjuangkan. Tak
terpikirkan, jika perasaan akan ikut terlibatkan. Sebab yang ku tahu saat itu hanyalah
tentang kamu, aku dan obrolan-obrolan yang memunculkan benih kenyamanan.
Kau tahu, bahwa yang kurasa saat itu adalah euphoria bahagia yang kukira tak akan
pernah bertemu jeda, apalagi sampai berakhir. Akan tetapi itu hanya perasaanku saja,
sebab kini kau telah pergi dan tak lagi menjadi pelangi yang selalu hadir mewarnai.
Kau tak perlu mempertanyakan perihal aku yang mengapa bisa mencintaimu dengan
sejadi-jadinya. Sebab saat pertama kali kita saling menyapa, bertukar nama, berbagi
cerita dan cita-cita. Ada perasaan berbeda, yang aku pun tak tahu datang dari mana.
Saat itu aku mengerti, bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang benar-benar ada di
luar kendali kita. Bukankah saat itu, bahkan hingga kini, kita belum pernah bersua
sama sekali. Namun, cinta telah mendahului semuanya.
Apakah aku harus menganggap bahwa kisah kita telah usai ? namun kapan kita
memulai ?
Perihal kita. Aku sadar bahwa pertemuan adalah gerbang menuju perpisahan. Saat
kita memutuskan untuk bertemu, maka seharusnya aku sudah harus siap dan sepakat
untuk berpisah denganmu, baik itu soal jarak ataupun kematian. Akan tetapi,
perpisahan kita adalah suatu pengorbanan untuk mewujudkan tujuan.
Buktinya, kini kau sudah berada di suatu negara yang dulu kau jadikan cita-cita. Satu
persatu impianmu sudah kau genggam. Aku turut berbahagia, dan nampaknya kau
lebih berbahagia sekarang. Kau tak perlu memikirkan bagaimana aku disini, namun
nikmatilah dunia barumu tanpaku di sisi.
Pada akhirnya, sebuah kejujuran ingin aku ungkapkan di akhir tulisan ini.
Kau adalah yang terbaik, dari sekian banyak orang baik yang pernah aku temui. Aku
tidak tahu bagaiman cara menghapusmu dalam ingatanku. Barangkali akan kubiarkan
saja semuanya membatu, menjadi prasasti hingga suatu saat nanti. Saat Tuhan
menaqdirkan kita untuk berjumpa kembali.
Bagaimanapun nanti, aku hanya berharap kita bisa saling di persatukan. Sebab kau
adalah seseorang yang aku inginkan, meskipun aku bukan seseorang yang kau
idamkan.
Terima kasih pernah menjadi setitik warna yang berhasil memulas jagatku yang abu-
abu. Kemanapun masa depan akan membawa kita, bersama denganmu adalah do’a.

Anda mungkin juga menyukai