Anda di halaman 1dari 3

Alasan Mengapa Saya Ingin Menjadi Editor !

“Mau makan apa kamu kalau kerja kayak gitu!” komentar ayah saya ketika saya ditanya cita-cita
saya—yang saat itu saya jawab: editor!—Saya hanya tersenyum. Mencoba menjelaskan. Tidak
mudah. Dalam pikiran ayah saya, pekerjaan adalah dokter, dosen, polisi, akuntan, pengacara,
hakim, atau apa pun yang memakai seragam. Saya tidak menyalahkan ayah saya. Hanya saja,
saya berkewajiban untuk memberi pandangan baru tentang pekerjaan!

Saya tahu ada sosok bernama “editor” ketika saya berada di bangku SMP kelas 1. Ada sebuah
artikel—entah siapa penulisnya—yang terselip di antara jejalan artikel lain dalam buku paket
pelajaran Bahasa Indonesia. Artikel yang menjelaskan bahwa editor adalah pekerjaan yang masih
belum banyak orang yang tahu. Masih sering tidak dianggap keberadaannya, padahal memiliki
peran penting dalam proses penerbitan buku. Sering dimaki penulis. Atau entahlah. Saya lupa
apa lagi.

Saya membacanya berkali-kali. Diam-diam saya mengagumi pekerjaan ini. Ada sedikit
keinginan untuk menjadi editor di saat teman-teman saya yang lain (mungkin) masih setia
dengan cita-cita masa kecilnya: dokter, guru, pilot, atau bahkan superman. Namun, saya masih
belum yakin pada keinginan saya tersebut. Saya belum mendapat gambaran: bagaimana kerja
saya nanti atau bagaimana saya meyakinkan orang-orang dengan cita-cita saya ini. Entahlah.
Mimpi itu sempat hilang.

Ketika masuk SMA, jujur saja, saya sempat melupakan cita-cita saya untuk menjadi editor—
meskipun tidak sepenuhnya. Saya dituntut oleh ayah saya untuk masuk jurusan yang beliau
inginkan. Harus belajar mati-matian untuk mendapat nilai sempurna dalam pelajaran Fisika,
Kimia, Biologi, dan Matematika. Sungguh. Saya muak dengan semua itu. Bagaimana mungkin
elang dituntut mahir berenang atau kelinci dipaksa menjadi ahli terbang! Sayangnya, saya tidak
berani mengecewakan ayah saya.

Ah, (lagi-lagi) Tuhan memang selalu baik. Untung saja, ayah saya tidak sampai hati melarang
saya pergi ke acara bookfair atau bedah buku atau diskusi kepenulisan. Setiap kali ada acara
seperti itu, saya selalu berusaha mengikutinya. Karena, di sekolah, saya tidak mendapatkan
kesenangan. Sama sekali.

Dalam suatu kesempatan diskusi kepenulisan—saya lupa temanya—saya beruntung bisa bertemu
dengan Windy Ariestanty, editor penerbit Gagas Media. Sungguh. Seperti bertemu dengan
malaikat penunjuk jalan. Selama ini, saya hanya menerka-nerka bentuk editor itu seperti apa.
Kali itu, saya bisa mendengarkan beliau berbicara. Menjawab pertanyaan saya. Membagi ilmu.
Membagi kebahagiaan. Membagi mimpi dan semangat. Membuat mimpi saya yang sempat
tertumpuk hal lain kembali muncul. Untuk beberapa saat, saya seperti berada di negeri dongeng.
Tuhan memang senang mempertemukan orang-orang yang berjodoh! Pada saat itu, saya masih
tinggal di kota kecil, masih SMA kelas XI, culun, lugu, dan norak. Ini mungkin hal yang biasa
untuk orang lain, tapi bagi saya, ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa saya. Mengagumkan.
Kalau boleh dirunut, kejadian satu hari itu boleh dikatakan mengubah cita-cita (ayah) saya. Yang
selama itu saya jalani dengan penuh kepura-puraan.
Mbak Windy, ya, anggap saja beliau mau saya panggil begitu! Orang yang bisa membuat saya
berani jujur pada ayah saya bahwa saya tidak mau menjadi dokter. Jujur pada diri sendiri bahwa
sudah seharusnya saya mengikuti passion saya. Bukan membohongi diri sendiri untuk
menyenangkan orang lain. Mbak Windy jugalah orang yang membuat nyata editor bayangan
saya. Membuat saya yakin bahwa pekerjaan editor buku benar-benar ada, tidak hanya di artikel
yang saya baca.

“Saya mau menjadi editor, seperti Mbak Windy!” ketika ayah saya bertanya lagi saya mau kuliah
di jurusan apa.

Ada cerita panjang setelah keberanian saya jujur itu. Ada penolakan keras dari ayah saya. Ada
pembelaan dari ibu saya. Ada tangis saya. Ada adu pendapat. Ada pertahanan argumen. Tidak
mudah meyakinkan ayah saya dengan pilihan saya. Perjalanan meyakinkan itu tidak sebentar dan
sedikit melelahkan. Hampir saja saya menyerah dan larut dalam mimpi (ayah) saya. Dan sudah
berniat menjalaninya dengan setengah hati. Tapi, Tuhan tak pernah membiarkan itu terjadi.
Tidak tahu. Angin apa. Mungkin kegigihan saya. Mungkin kebaikan Tuhan. Ayah saya memberi
kesempatan pada saya untuk mewujudkan keinginan saya. Terima kasih Tuhan! Ah, saya juga
harus berterima kasih pada ayah, ibu, dan (tentu saja) Mbak Windy. Akhirnya, saya berani untuk
menentukan jalan saya meski harus dengan cerita panjang. Tapi, cerita panjang itulah yang akan
terangkai menjadi remah kenangan.

Saya sempat saling berkirim email dengan Mbak Windy. Dengan baik hatinya, Mbak Windy
menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak penting. Saya tahu. Mbak Windy super sibuk,
tapi beliau masih menyempatkan diri membalas surat bocah ingusan seperti saya. Email-email
balasan dari Mbak Windy masih saya simpan rapi di kotak masuk saya. Masih sering saya buka.
Sekadar mengingat kebaikannya.

Beberapa bulan yang lalu, saya mengirim email lagi padanya. Mengucapkan terima kasih.
Sedikit bercerita. Saya tahu. Mbak Windy akan membalasnya. Benar saja. Sehari setelah email
saya terkirim, saya menerima balasan darinya.

Ah, seharusnya saya yang menangis, Mbak. Bukan Mbak! Ada banyak hal yang Mbak berikan
pada saya. Pada cita-cita saya. Pada hidup saya. Terima kasih. Terima kasih. Saya tidak tahu
frase apa lagi yang patut saya sampaikan pada Mbak, selain terima kasih. Saya tahu. Cerita
saya hanya bagian kecil di antara cerita-cerita lain yang jauh lebih istimewa.

Ya. Kemarin baru saja membaca buku Mbak yang terbaru, Life Traveler, saya membaca satu
kalimat: “Profesi yang saya jalani terkesan absurd dan mungkin tak pernah dicita-citakan
dengan penuh kesadaran oleh seseorang”. Saya mungkin bukan seseorang itu, Mbak, karena
saya menginginkan menjadi seorang editor dengan penuh kesadaran. Hehe

Pada akhirnya, saya tahu. Tuhan merangkai cerita saya dan “editor” dengan indah. Saya akhirnya
berada juga di kota yang katanya metropolitan ini—meski harus ada tangis untuk
memperjuangkannya di hadapan ayah saya. Menjalani kehidupan saya seperti apa yang saya
impikan. Melakukan apa yang saya cintai, dan mencintai apa yang saya lakukan. Sungguh. Tidak
ada yang lebih indah dari itu! Di sini, saya merasa, Tuhan semakin mendekatkan saya dengan
cita-cita saya. Ya. Terima kasih.

Untuk saat ini, saya memang belum resmi bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor. Hanya
saja, saya senang membantu menyunting tulisan teman-teman saya. Ucapan terima kasih dari
mereka adalah kekuatan saya untuk mempertahankan mimpi saya: menjadi editor!
Diposkan oleh Fitria Sis Nariswari di 00.28.00

Sumber : http://rainiku.blogspot.co.id/2012/01/alasan-mengapa-saya-ingin-menjadi.html
diunduh 31 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai