Kupingku meleleh karena tingkatan panas mungkin masih belum cukup untuk
menyatakannya. Hatiku seperti kembang api dengan sumbu pendek yang disulut api namun
berhenti kobarannya sebelum sempat aktif. Sejujurnya Itu lebih sakit karena semua bubuk
mesiu kotor dalam tubuhku masih belum meledak. Sejak hari itu kata-katanya masih terngiang-
ngiang di kepalaku. Ya, itu hanya sebuah kata-kata, tapi sangat menggesek perasaan walau saat
itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. “Kau itu tak punya bakat apapun” kata singkat
yang di lontarkan Wawan teman sebangkuku kala itu.
Untuk pertama kalinya aku dihina tapi tak menyanggah, tentu karena itulah
kenyataanya. Bagaimana tidak? Saat itu aku memang seperti burung yang tak memiliki sayap.
Manusia tanpa bakat yang dipinggirkan. Diam di tengah keramaian tak tahu akan jadi apa aku
nantinya. Saat itu aku menyadari satu hal yang membuat waktu tiba- tiba serasa berhenti, aku
tidak memiliki bakat. Namun aku sadar menyerah bukanlah kunci untuk membuka pintu
bakatku yang masih terhalang dinding tebal yang disebut malas. Dari situ aku berusaha
mencoba segala hal di dunia ini untuk bisa menemukan bakatku. Walaupun aku tahu itu seperti
memindahkan matahari, tidak mungkin. Namun tidak ada pilihan selain berusaha, sebagai laki-
laki aku mulai dari sepak bola. Bagai burung gereja Setiap hari pulang sore untuk berlatih
hingga memantik api kemarahan orang tua yang berujung menjadi kurungan di rumah. Namun
sisi positifnya mungkin karena sering berlatih, saat itu untuk pertama kalinya aku merasa lebih
berkelas dari Bambang Pamungkas pemain sepak bola nasional terbaik kala itu. Aku langsung
mendaftar masuk tim inti sekolah dan menjalani latihan. Lalu apa yang terjadi? kini bukan
kupingku, tapi seluruh tubuhku meleleh entah karena marah atau malu semuanya tercampur
aduk. “Dasar bodoh yang benar dong ngumpannya”, “Woi yang bener nendangnya”, “Bisa gak
nggocek bola”, “Kalau gak bisa main bola mending keluar lapangan, ngrepotin tim aja”. Semua
kata itu dilontarkan hampir oleh semua anggota timku, seketika itu aku membenci pemain
idolaku Bambang Pamungkas, mungkin karena tak tahu pada siapa aku ingin melampiaskan
semua bubuk mesiu kotor dalam hatiku yang lagi-lagi tak jadi meledak. Aku seperti anak
penguin yang ditinggal oleh ayahnya dan tersesat entah kemana, tak berani berinteraksi dengan
orang lain karena tanpa bakat apa dayaku? Namun kejadian itu tak meruntuhkan niatku untuk
menghancurkan dinding yang menghalangi bakatku, disisi lain mungkin karena aku sangat
mengagumi sosok Jenderal Soedirman, salah satu pahlawan Indonesia yang tetap bergerilya
walau penyakit TBC terus menggerus tubuhnya. Jadi aku hanya berkata “Mungkin sepak bola
bukan bakatku”. Selanjutnya aku mencoba bulu tangkis karena dalam pikiranku sebagai orang
Indonesia harusnya aku bisa berjaya di olahraga ini. Aku mencoba bertanding dengan adik
kelasku dan apa yang terjadi? “Malu-maluin, masa kakak kelas kalah telak 2 set 21-7, mending
gak usah naik kelas”. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaranku sehingga lagi-lagi hanya
amarah dan rasa malu yang didapatkan. Kuingat kembali kisah Jenderalku dan kembali berkata
“Mungkin itu bukan bakatku”. Desaku dikelilingi sawah, dan untuk mengairi sawah itu
digunakan sungai kecil yang disebut ploen, disampingnya terdapat markas polisi dan koramil.
Bersama temanku wawan aku berusaha membuktikan bahwa aku mempunya bakat dengan
berenang di ploen itu, aku mencoba berenang pertama dan apa yang terjadi? tidak disangka aku
justru terbawa derasnya arus ploen tersebut. “Asyhaduanlaa illahaillallah waashaduanna
muhammadarasulullah”. Entah berapa kali terus kuucapkan kalimat itu dengan lantang karena
saat itu yang ada di pikiranku hanya seseorang yang sebelum mati membaca syahadat akan
masuk surga. Seketika itu tanganku tertarik ke atas dan ketika seluruh tubuhku sampai
kepermukaan aku baru sadar anggota koramil menolongku. Kulihat di sampingku wajah
wawan pucat. Mungkin ia takut akan kena amarah anggota koramil, walaupun aku pun tahu
pasti dia sempat tertawa melihatku terseret arus. Untungnya anggota koramil itu hanya
menasihati kami, walaupun sampai saat ini kejadian itu bak harta karun yang tidak pernah kami
ceritakan, karena kami takut orang tua kami tidak akan lagi mengizinkan kami bermain.