Anda di halaman 1dari 5

MELAMPAUI BAKAT

Oleh: Muhammad Ikhsanul Amin

Kupingku meleleh karena tingkatan panas mungkin masih belum cukup untuk
menyatakannya. Hatiku seperti kembang api dengan sumbu pendek yang disulut api namun
berhenti kobarannya sebelum sempat aktif. Sejujurnya Itu lebih sakit karena semua bubuk
mesiu kotor dalam tubuhku masih belum meledak. Sejak hari itu kata-katanya masih terngiang-
ngiang di kepalaku. Ya, itu hanya sebuah kata-kata, tapi sangat menggesek perasaan walau saat
itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. “Kau itu tak punya bakat apapun” kata singkat
yang di lontarkan Wawan teman sebangkuku kala itu.

Untuk pertama kalinya aku dihina tapi tak menyanggah, tentu karena itulah
kenyataanya. Bagaimana tidak? Saat itu aku memang seperti burung yang tak memiliki sayap.
Manusia tanpa bakat yang dipinggirkan. Diam di tengah keramaian tak tahu akan jadi apa aku
nantinya. Saat itu aku menyadari satu hal yang membuat waktu tiba- tiba serasa berhenti, aku
tidak memiliki bakat. Namun aku sadar menyerah bukanlah kunci untuk membuka pintu
bakatku yang masih terhalang dinding tebal yang disebut malas. Dari situ aku berusaha
mencoba segala hal di dunia ini untuk bisa menemukan bakatku. Walaupun aku tahu itu seperti
memindahkan matahari, tidak mungkin. Namun tidak ada pilihan selain berusaha, sebagai laki-
laki aku mulai dari sepak bola. Bagai burung gereja Setiap hari pulang sore untuk berlatih
hingga memantik api kemarahan orang tua yang berujung menjadi kurungan di rumah. Namun
sisi positifnya mungkin karena sering berlatih, saat itu untuk pertama kalinya aku merasa lebih
berkelas dari Bambang Pamungkas pemain sepak bola nasional terbaik kala itu. Aku langsung
mendaftar masuk tim inti sekolah dan menjalani latihan. Lalu apa yang terjadi? kini bukan
kupingku, tapi seluruh tubuhku meleleh entah karena marah atau malu semuanya tercampur
aduk. “Dasar bodoh yang benar dong ngumpannya”, “Woi yang bener nendangnya”, “Bisa gak
nggocek bola”, “Kalau gak bisa main bola mending keluar lapangan, ngrepotin tim aja”. Semua
kata itu dilontarkan hampir oleh semua anggota timku, seketika itu aku membenci pemain
idolaku Bambang Pamungkas, mungkin karena tak tahu pada siapa aku ingin melampiaskan
semua bubuk mesiu kotor dalam hatiku yang lagi-lagi tak jadi meledak. Aku seperti anak
penguin yang ditinggal oleh ayahnya dan tersesat entah kemana, tak berani berinteraksi dengan
orang lain karena tanpa bakat apa dayaku? Namun kejadian itu tak meruntuhkan niatku untuk
menghancurkan dinding yang menghalangi bakatku, disisi lain mungkin karena aku sangat
mengagumi sosok Jenderal Soedirman, salah satu pahlawan Indonesia yang tetap bergerilya
walau penyakit TBC terus menggerus tubuhnya. Jadi aku hanya berkata “Mungkin sepak bola
bukan bakatku”. Selanjutnya aku mencoba bulu tangkis karena dalam pikiranku sebagai orang
Indonesia harusnya aku bisa berjaya di olahraga ini. Aku mencoba bertanding dengan adik
kelasku dan apa yang terjadi? “Malu-maluin, masa kakak kelas kalah telak 2 set 21-7, mending
gak usah naik kelas”. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaranku sehingga lagi-lagi hanya
amarah dan rasa malu yang didapatkan. Kuingat kembali kisah Jenderalku dan kembali berkata
“Mungkin itu bukan bakatku”. Desaku dikelilingi sawah, dan untuk mengairi sawah itu
digunakan sungai kecil yang disebut ploen, disampingnya terdapat markas polisi dan koramil.
Bersama temanku wawan aku berusaha membuktikan bahwa aku mempunya bakat dengan
berenang di ploen itu, aku mencoba berenang pertama dan apa yang terjadi? tidak disangka aku
justru terbawa derasnya arus ploen tersebut. “Asyhaduanlaa illahaillallah waashaduanna
muhammadarasulullah”. Entah berapa kali terus kuucapkan kalimat itu dengan lantang karena
saat itu yang ada di pikiranku hanya seseorang yang sebelum mati membaca syahadat akan
masuk surga. Seketika itu tanganku tertarik ke atas dan ketika seluruh tubuhku sampai
kepermukaan aku baru sadar anggota koramil menolongku. Kulihat di sampingku wajah
wawan pucat. Mungkin ia takut akan kena amarah anggota koramil, walaupun aku pun tahu
pasti dia sempat tertawa melihatku terseret arus. Untungnya anggota koramil itu hanya
menasihati kami, walaupun sampai saat ini kejadian itu bak harta karun yang tidak pernah kami
ceritakan, karena kami takut orang tua kami tidak akan lagi mengizinkan kami bermain.

Menyerah? nyatanya tidak, aku tetap mengingat perjuangan Jenderalku sebagai


motivasi. Aku pun bingung, tak seperti Bambang Pamungkas aku tidak membenci Jenderal
Soedirman, mungkin karena jasanya bagi negara yang melebihi pemain bola. Perlahan-lahan
aku mulai melampaui batasku, aku mulai sedikit demi sedikit mencoba membakar sumbu
kembang api amarah di tubuhku. Aku mulai berfikir mungkin olahraga bukanlah bakatku, aku
mencoba hal lain seperti mengaji, belajar berhitung, hingga berwirausaha. Namun di luar
dugaan hasilnya nihil, aku justru semakin bingung apa sebenarnya bakatku? apa yang harus
kulakukan agar mendapatkan bakatku? apa yang terjadi nantinya jika aku tak memiliki bakat?.
Aku semakin bingung, takut akan jadi apa aku nantinya kalau tak memiliki bakat. Kulihat di
sekitarku mereka memiliki bakatnya masing-masing dan itu membuat racun bubuk mesiu kotor
dalam tubuhku dengan semua sifat negatifnya terus berdatangan. Kata-kata seperti “Semua
orang memiliki bakatnya masing-masing” tidak pernah aku dengarkan karena buktinya setiap
aku melakukan sesuatu selalu gagal, paling bagus hanya pas-pasan hasilnya. Hingga masa SMP
berakhir, di kelas 1 SMA aku masih takut akan ketidakpunyaan bakat. Aku perlahan mulai
berhenti melakukan hal-hal baru, hal-hal yang bisa memancing bakatku, karena memang tidak
satupun kegiatan tersebut yang bisa membuatku puas, justru membuatku semakin jatuh dalam
keputusasaan. Hingga puncaknya ketika semua keluarga pergi dari rumah karena saat itu
mereka harus menghadiri acara pernikahan di kota. Ulangan akhir semester 1 membuatku tidak
bisa mengikuti acara tersebut. Sedangkan Jarak kota dengan desaku adalah 60 kilometer
sehingga semua keluargaku baru pulang setelah 5 hari. Dua hari pertama aku tetap di dalam
rumah, bukan karena takut keluar tapi karena aku terus memikirkan tentang bagaimana nasibku
kelak . Bukan hanya itu, aku seperti sendirian di tengah dunia ini, tak tahu pada siapa mengadu,
bahkan tubuhku pun sulit untuk memanusiakan dirinya sendiri. Aku berfikir dengan sangat
keras hingga hari berikutnya aku sudah lelah berfikir. Aku memutuskan untuk nekat menemui
keluargaku di kota,sebuah gagasan yang terlintas karena tertekan pastinya. Aku meminta izin
pada tetangga rumahku “Bude aku pamit mau menemui keluarga ke kota” ucapku lirih karena
takut amarahnya mengalahkan kasih sayangnya. Saat itu mungkin karena baginya aku hanyalah
seekor penguin yang tidak bisa terbang dan mencoba untuk melampaui rajawali melewati
luasnya benua. Tetanggaku malah menertawakanku dan menantang “Silahkan pergi kalau
berani”. Siang itu petama kalinya entah kenapa bukan otak yang mengendalikan tubuhku, tapi
justru hati dengan segala perasaan yang membuatku berkata”Aku harus buktikan kalau aku
bisa”. Kata-kata yang diucapkan tetanggaku bak bensin yang disiramkan kedalam api sehingga
justru membuatku terdorong untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Yah, aku berjalan kaki
dengan tujuan sejauh 60 kilometer dengan hanya berbekal uang lima ribu rupiah. Saat itu aku
hanya berfikir harus bisa sampai tujuan, aku melakukan langkah pertamaku terus berjalan
sambil mengamati sawah,sungai, hingga toko dan perumahan. Namun datanglah rasa was-was,
entah kenapa walau sudah berjalan cukup lama tak pernah nampak nama kota yang ingin
kusinggahi. Saat itu sudah aku gunakan semua uangku untuk melepaskan dahaga. Dan untuk
pertama kalinya aku merasakan takut yang bahkan melebihi takutnya seekor penguin yang
dikejar ratusan anjing laut, yah karena penguin itu masih terus berusaha untuk menyelamatkan
diri. Sedangkan aku? Ingin aku menangis tapi takut justru orang jahat yang menemuiku. Aku
memilih diam duduk di depan pohon pinggir jalan. Berfikir apa yang harus kulakukan setelah
sejauh ini? Apakah aku harus kembali? Ataukah kulanjutkan perjalanan dengan rasa takut dan
lelah ? Jenderal Soedirman. Nama itu muncul di kepalaku saat aku berfikir, lalu aku ingat
kembali seluruh kisah heroiknya, sang Jenderal yang dengan penyaitnya tetap berjalan
melewati hutan ratusan kilometer jauhnya. Entah kenapa aku bisa terbangun hanya dengan
mengingatnya, tapi memang kisahnya telah memotivasiku hingga saat ini. Setelah itu aku
hanya berfikir bahwa Jenderal Soedirman saja bisa masa aku yang sehat tak bisa. Aku pun
melanjutkan perjalananku, beberapa meter berjalan tiba-tiba saja keajaiban muncul. Keajaiban
yang membuatku benar-benar merasakan kasih sayang Tuhan. Karena entah dari mana seorang
laki-laki paruh baya dengan sepeda yang entah siapa dia menawarkan bantuan,
mengantarkanku ke tempat tujuan. Aku pun tak bisa menolaknya karena rasa lelah
mengalahkan rasa takutku, yang aku pikirkan adalah jika dia orang jahat aku bisa langsung lari
karena dia hanya menggunakan sepeda. Namun aku justru menyesal karena aku berburuk
sangka dengan laki-laki itu, faktanya dia dengan baik mengantarkanku sampai kota tujuan, dan
parahnya aku tak ingat siapa nama laki-laki itu. Aku pun hanya bisa berdoa agar laki-laki itu
mendapat balasan dari Tuhan. Setelah sampai kota aku berusaha mengingat rumah keluargaku
menginap, karena aku pun pernah ketempat itu. Kemudaian aku temui orang tuaku serta
menceritakan semua yang terjadi, Lalu apa yang terjadi? tangisan pecah, aku pun tak tahu
kenapa aku ditangisi, kupukir mereka akan marah karena aku pergi jauh dari rumah tanpa izin.
Hingga 5 hari berlalu sejak keluargaku menghadiri pernikahan, kami pun pulang ke kampung.
Dan ketika di rumah, banyak orang yang sudah menunggu di teras. Tiba-tiba saja mereka
memarahi, menasihati, bahkan ada yang menangis.Semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Hari berikutnya aku kembali berangkat sekolah, dan apa yang terjadi? tak terduga
karena semua teman hingga guru justru memuji keberanianku. Walaupun aku tahu dibalik kata
itu ada sebuah sindiran untuk tidak nekat. Seketika itu pikiranku kembali jernih, aku bisa
dengan mudah tersenyum, bergembira di tengah keramaian,dan meramaikan kesunyian. Saat
itu akhirnya aku berhasil menyalakan kembang api berisi bubuk mesiu kotor di dalam tubuhku.
Menyalakannya hingga meledak tanpa melukai diri sendiri maupun orang lain. Aku pun merasa
bukan lagi seekor penguin yang sendirian, tapi menjadi anjing laut yang selalu hidup berkoloni.
Kemudian aku mencoba berbagai hal yang menguji mental seperti pidato, ceramah hingga
membawakan acara. Semua itu awalnya menakutkan, namun aku nekat melawan semua rasa
takut itu yang bahkan bisa membuahkan prestasi. Saat itu aku sadar bahwa hidup seperti
bermain puzzle yang sangat besar, kita hanya perlu memegang kepingan puzzle dan berusaha
menyusunnya sambil memperkirakan bentuk gambar apa yang akan kita buat. Bukan
membentuk gambarnya dulu baru menyusunnya menuruti nafsu kita. Tidak perlu
mencemaskan apa bakatku atau mau jadi apa aku nantinya karena semua itu adalah urusan
Tuhan. Kemudian yakinlah bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk setiap
hambanya yang percaya.
Biodata Narasi:

Muhammad Ikhsanul Amin, anak pertama dari dua bersaudara. Lahir


16 tahun yang lalu di Kabupaten Brebes. Tepatnya pada tanggal 31 Mei 2000.
Penulis tercatat sebagai siswa di SMK Telkom Purwokerto dan menjadi salah
satu santri di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Purwokerto. Penulis
beralamat di Jln.Raharjo No.05 RT/RW 06/06 Desa Larangan, Kec.Larangan,
Brebes.Jika ingin menghubunginya bisa melalui account facebook dengan
nama Muh Ikhsanul Amien atau email: harishamaikhsan45@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai