Anda di halaman 1dari 47

Daftar Isi

Aku ‘Sang Gadis Penari’..........................................................................................................................2


Hikmah Bersabar dalam Menghadapi Segala Cobaan...........................................................................6
Keberuntungan atau Hasil Kerja Keras?..............................................................................................11
Keihklasan Menuju Syukur....................................................................................................................15
Merajut Mimpi........................................................................................................................................20
Obat Manis...............................................................................................................................................25
Pamit........................................................................................................................................................31
Retak yang Tak Mematahkan................................................................................................................36
Teh dan Kopi...........................................................................................................................................41
Aku ‘Sang Gadis Penari’
Faiza Nisrina Hayati

Aku akan bercerita mengenai seseorang gadis yang berjuang mengalahkan dunianya.
Memang, kau tahu, kau mungkin akan menertawakanku seperti orang-orang, dan mengatakan
bahwa aku tidak melakukan apa-apa untuk berdiri. Aku tidak akan marah , namun kau tahu aku
akan tetap menceritakan kisahku hingga kalian faham mengenai bahasaku.

Gadis itu akan selalu menari, walaupun dia akan mendapat anggapan, bahwa seorang itik
buruk rupa tak tahu tata krama, menari di dalam istana. Memang tampak seperti mencari
perhatian. Namun kau tahu, dia sendiri pernah dalam fase ‘iblis’ yang sangat lama.

Kemungkinan depresi, atau membuat dunia sendiri serta terisolasi, hanya Tuhan saja
yang tahu mengenai hal itu.

Kemungkinan besar, kau akan mengatakan masa kecilku terlihat indah, karena aku
nampak sering tersenyum kepada orang-orang, maka aku akan mengatakan kau salah besar.

Aku akan tetap menari sayang, walaupun kau melukai kakiku.

Kau tahu, mungkin perawalan kisahku, adalah ketika Tuhan mengangkat pena dan
menyatakan bahwa salah satu malaikat penjaga yakni ibuku, harus kembali kepada-Nya pada
saat diriku duduk di bangku kelas 2 SD.

Hantaman itu mengguncang jiwaku, hingga aku juga merasa aku kehilangan semgat
hidupku, untuk pertama kalinya.

Gadis itu tetap berusaha menari, walau dengan tatapan kosong menahan tangisan.

Satu tahun kemudian, Tuhan menyatakan bahwa aku mendapat malaikat pengganti.
Namun tetap saja, kemungkinan besar aku masih memiliki raungan-raungan depresi. Hal ini
karena disaat aku suram, duniaku tak sepenuhnya mendukung keberadaanku. Kalau aku
mengatakan, dunia sekolahku yang melakukanya.

Maaf aku tak pandai bercerita, padamu sayang, Aku bukan pendongeng yang handal, aku
hanya sedang mengatakan kebenaran diriku sendiri.

2
Badai kembali memanas, yang mematahkanku hingga aku merasa bahwa aku adalah
seorang yang sangat menderita. Kemungkinan kau akan tertawa, dan mengatakan bahwa itu
belum seberapa, tetapi bagiku, duniaku sudah dinyaakan hancur, mungkin untuk saat itu.

Aku berubah, menjadi gadis yang menari, dengan membangun batas ego yang sangat
tinggi, aku bahkan dinyatakan tidak mempercayai siapapun, hingga berujung kepada percobaan
bunuh diriku yang polos pada saat aku duduk di bangku kelas 6 SD.

Masa-masa yang indah bukan, kau tahu, manusia disekitarku saja mempertanyakan
dengan sindiran-sindiran, kalau boleh aku katakan hingga mengujiku, dengan judul ‘apakah aku
memiliki kelainan di dalam berfikir?’

Kau tahu mereka tercengang melihatku, Aku sendiri akan menjawab setiap pertanyaan
yang terlontar dengan tersenyum hambar. Mereka kemungkinan kecewa, aku normal bahkan
diatas rata-rata, terutama di dalam proses berfikir, walaupun terkadang tingkah dan kelakuanku
dinyatakan sebagai manusia abnormal, mungkin karena tingkat hiperaktif dan perubahan emosi
yang sangat gampang terlihat.

Perputaran takdir sang gadis penari teruslah berjalan. Aku kembali mendapat berbagai
macam masalah, walaupun dengan rentang waktu yang sangat pendek. Aku sendiri menjadi
korban `kelinci percobaan hidup’ oleh guruku sendiri. Hal ini dilakukan bahkan tanpa perizinan
dari kedua orangtuaku, yang baru kuketahui disaat aku memutuskan pergi dari tempat tersebut. 
Kemungkinan kau akan tertawa, semua ini karena skandal dan permasalahan`apakah aku naik
kelas atau tidak?’.

‘Pak,dia secara nilai dia naik, tetapi sikap tidak pak.’ Hal ini yang dilontarkan oleh guruku. Kau
tahu, aku menyesal sekolah disana, karena bahkan standar penilaian naik atau tidak saja,tidak
sesuai dengan penilaian di sekolah-sekolah lainya. Keputusan terakhir berada pada sang guru
tersebut, bukan dengan nilai akademik yang telah kuusahakan baik-baik.

Kau tahu, kemungkinan besar bahkan untuk skala guru, aku belum memaafkan beliau
hingga sekarang, karena kemungkinan juga, luka yang beliau torehkan terlalu dalam, untuk skala
orang sepertiku.

3
Skandal itu sendiri menjadikan aku sebagai korban fitnah, dengan aku adalah `Sang
Pembawa Masalah’. Bukankah ini adil dengan menghukum orang yang tidak bersalah?

Aku kembali pergi ke suatu tempat yang akhirnya membawa angin segar untukku.
Tempat itu yang menjadikan aku untuk mungkin `menjadi manusia yang bangun dari tidurnya.
Aku sendiri menemukan berbagai macam kisah yang sangat mirip denganku. Aku tertawa,
tenyata aku selama ini terlalu terdiam dan menganggap diriku paling menderita ya? 

Aku menemukan , walaupun mereka seolah terpisah dari dunia pendidikan yang massal
yang berupa lembaga formal, mereka tampak kuat dihempas badai yang ada. Ada beberapa
temanku yang memiliki masa lalu yang sangat kelam, namun dapat berubah disini. Aku sendiri ,
berfokus kepada bagaimana aku dapat belajar dengan banyak hal secara berurutan dan fokus,
tanpa melupakan duniaku yang sebenarnya.

Namun, kau tahu , aku merasa bahwa duniaku disana sangatlah tenang ,tanpa rintangan
yang membuatku berdiri hingga patah kaki. Aku merasa petualanganku semu, yang tidak
melepasku untuk menghadapi manusia lain secara murni tanpa bantuan siapapun.

Aku hanya bertahan selama dua tahun, dengan aku sendiri memutuskan tak melanjutkan
jenjang pendidikan SMA ku disana. Aku pergi ,bahkan seringkali ditanyakan mengapa aku
memilih tempat yang jauh dari rumah?

Kau tahu, Aku selalu menyadari aku bukanlah manusia biasa, itulah yang kutanamkan
semenjak aku pergi dari homeschooling. Kau tahu, aku selalu menggangap diriku adalah rubah
,itulah yang berada dalam imajinasiku.

Rubah mungkin memang kecil, namun ia gesit. Ia tidak takut untuk hidup di lingkungan
yang baru, dan cenderung beradaptasi untuk bertahan. Aku sendiri , bahkan berdoa aku
mempunyai karakter seperti itu , untuk  bertahan dan menang dengan caraku sendiri di
lingkungan yang baru.

Kau tahu aku memang menganggap diriku bayangan, bahkan ketika aku menempuh
bangku SMA. Mungkin aku juga diremehkan, direndahkan dan mengalami pembully-an secra
fisik dan verbal. Namun , kau tahu aku juga berhasil berdiri dengan kakiku sendiri. 

4
Memang banyak yang merendahkanku, bahkan ada yang bertanya kepada orang -orang
yang menerimaku apa adanya, `mengapa kau betah dengan manusia seperti dirinya?’.

Kau tahu apa jawaban mereka? `Don`t Judge a book by it`s cover’.

Mereka sendiri mengatakan bahwa, walaupun aku terlihat seperti orang aneh, namun
pada saat bersamaan aku juga normal.

Kau tahu, walaupun aku telah menempuh selama 12 tahun bertarung dengan diriku
sendiri dan lingkungan disekitarku, aku sendiri telah bangun dari tidur panjangku.

Kau tahu, bagi manusia sepertiku, untuk diterima di kampus impian dengan jurusan
dengan yang menerima jiwamu, adalah suatu anugerah. 

Aku sendiri, telah mengubah diriku, dalam masa waktu yang tiada berbatas hingga ku
tiada , mengubah secara perlahan, nodaku menjadi perhiasan yang membuatku kembali menari di
panggung yang meriah.

5
Hikmah Bersabar dalam Menghadapi Segala Cobaan
Ikroyah

Ada seorang anak sebut saja namannya adalah putri. Putri adalah anak dari keluarga yang
sederhana dan siswi SMK jurusan Teknik Komputer Jaringan kelas 3A, yang mana dia bentar
lagi lulus dari bangku sekolah menengahnya. Pada suatu hari dia berangkat ke sekolah dengan
temannya, ketika kelas tidak ada jam pelajaran, ada seorang guru BK masuk ke dalam kelas 3A
dan bertanya kepada kami semua mengenai kelanjutan kita setelah lulus nanti, kemudian guru
BK membagikan selembar kertas kepada semua siswa untuk mengisi data  yang ada di kertas
tersebut. Setelah selesai mengisi semuanya, guru BK akan memanggil satu persatu dari kami.
Nah... tibalah giliran putri yang di panggil oleh guru BK untuk datang ke ruanganya.

BK : Putri...., ayok silakan masuk.

Putri : Baik ibu

BK : Gimana put, kamu yakin mau melanjutkan ke jejang lebih tinggi lagi dan mau ambil
jurusan managemen umum?

Putri : Yakin bu. Awalnya putri mau ambil jurusan tata busana tapi berhubung tidak
diperbolehkan oleh orang tua saya maka saya ambil jurusan managemen umum bu.

BK : Tapi kalau masuk ke univ ini biayanya lumayan dan sangat sulit untuk bisa masuk ke PTN
satu ini, apa lagi jurusan yang sangat banyak peminatnya, Kenapa nggak ambil Komputer atau
pendidikan komputernya saja? agar kamu bisa melanjutkan jurusan kamu yang sekarang biar
makin mengusainya

Putri : Iya siih bu memang biayanya lumayan dan sangat sulit untuk bisa masuk ke PTN ini, tapi
apa salahnya kita mencobanya dulu, barang kali rezekinya ada dan bisa masuk! kan nggak ada
yang tau. Untuk jurusan yang tadi ibu bilang Mau siih bu, Cuma putri pengen yang berbeda dan
memang putri juga suka dengan managemen.

BK: oke, kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihanmu, mulai sekarang kamu
dipersiapkan semuanya, mulai dari berkas berkas dan jangan lupa belajar dari sekarang.

6
Putri : iya ibu siaaappp.......

BK : Nanti Ibu konfirmasi lagi ke kamu dan teman temanmu kalau pendaftaran PTN sudah di
buka atau ada info mengenai perkuliahan nanti ibu sampaikan lagi.

Putri : Baik ibu, Terima Kasih!

BK : Sama-sama

Setelah berbincang bicang dengan guru BK, putri pun merasa aneh kepada guru BK seperti tidak
percaya dengannya bahwa dia bisa melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi. Dengan
sabarnya putri menunggu informasi selanjutnya dari guru BK,  sambil menunggu putri pun
mencari informasi sendiri lewat teman-temanya bahkan mencari ke google. Setelah 2 bulan
lamanya putri pun heran kenapa tidak ada informasi apapun dari guru BK, kemudian putri
bertannya kepada temannya, katanya pendaftaran kampus sudah di buka, tapi kenapa guru BK
tidak menyampaikan informasi apapun sampai sekarang. Akhirnya pun putri berinisiatif sendiri
untuk meminta bantuan kepada guru lain yang menurut putri dapat dipercaya dan bisa
membantunya sebut saja bu aisayah, dia adalah guru matematika di sekolahnya dan sekaligus
salah satu guru yang sangat dekat dengan putri. Ketika putri bercerita kepada bu aisyah....

Bu Aisyah : Waduuuh putri, kamu udah telat kalau mau daftar lewat SNMPTN karena baru
kemarin di tutup pendaftarannya.

Putri : Ya Allah buuu masa udah di tutup siih, kirain putri pendaftarannya belum di buka, sebab
guru BK belum menyampaikan informasi apapun apa lagi tentang pendaftaran kuliah.

Bu Aisyah : iya udah ditutup, paling kalau kamu mau meneruskan pendidikanmu kejenjang lebih
tinggi, masih ada kesempatan daftar di SBMPTN, kebetulan pendaftaranya sekarang sudah di
buka bahkan tinggal 1 minggu lagi akan di tutup,  insya allah nanti ibu coba cari secepatnya
informasi mengenai pendaftaranya dan pasti ibu bantu kamu sebisa ibu.

Putri : Haaaaah.....tinggal 1 minggu lagi? Oke bu, putri tunggu informasi selanjutnya dari bu
aisyah.Terima kasih ibu....

Bu Aisyah : sama-sama put.

7
Putri yang tadinya merasa kecewa dan galau karena guru BK tidak menepati ucapanya sendiri
dan sekarang putri pun harus menerima berita yang tidak baik lagi. Walaupun putri merasa
hancur akan tetapi dia masih bisa bersabar dan sedikit lega  karena masih ada harapan walaupun
itu sangat kecil. 

Setelah beberapa hari kemudian bu aisya memberi kabar kepada putri mengenai pendaftaran
SBMPTN...

Bu Aisyah : Putri alhamdullilah kamu masih bisa mendaftar lewat SBMPTN, tapi kamu harus
mengurus semuanya dari sekarang, mulai dari berkas-berkas sampai uang pendaftaran harus
kamu siapin. Nanti besok kita mulai mengurus semuanya karena waktunya tinggal 2 hari lagi,
jadi kita harus semangat dan yakin pasti bisa.

Putri : Alhamdullilah ya Allah... putri masih bisa daftar. Baik bu putri siapkan berkas-berkasnya
dan nanti pagi putri bawa ke sekolah.

Bu Aisyah : Oke put, semangat yah jangan menyerah dulu, kita coba aja bareng kali dalam waktu
yang sangat singkat ini kita bisa selesaikan semuanya dengan tepat waktu.

Putri : iya bu baik.

Di Pagi hari yang sangat cerah mengiringi putri dengan semangatnya berangkat sekolah sambil
membawa berkas-berkas yang di suruh oleh bu Aisyah. Setelah sepulang sekolah putri pun
bergegas ke ruang guru untuk bertemu bu Aisyah, setelah mereka bertemu, mereka pun langsung
mengurus data-data apa aja yang harus di isi dan di selesaikan. Mungkin karena penggunanya
sangat banyak makanya server pendaftarannya eror, dengan sabarnya putri dan bu aisyah
menunggu sangat lama sampai 2 jam lebih dan akhirnya server pun mulai normal kembali, ketika
server sudah normal tapi hari pun sudah mulai gelap yang artinya sudah waktunya bu Aisyah
pulang, karena bukan hanya mengurusi putri saja melainkan di rumah pun banyak sekali tugas bu
Aisyah.

Bu Aisyah : Maaf put hari pun sudah mulai gelap, di lanjutin besok saja yah...

Putri : Baik ibu nggak papa, maaf yah bu sudah mengganggu waktunya. Terima kasih bu aisyah..

Bu Aisyah : iya nggak papa put, ibu akan bantu kamu sebisa ibu. Sama-sama.

8
Ke esokan harinya mereka pun langsung bergegas melanjutkan yang kemarin, hari pun mulai
siang dan akhirnya mereka pun bisa menyeselesai semuanya.

Putri : Alhamdullilah bu akhirnya sudah selesai dan masih bisa daftar.

Bu Aisyah: Iya put Alhamdulillah, sekarang kamu tinggal mempersiapkan diri kamu sendiri
dengan belajar yang sungguh-sungguh, kamu bisa mencari referensi mengenai soal SBMPTN
tahun yang sebelum-sebelumnya, karena biasaya hampir mirip soalnya.

Putri : Baik ibu, putri akan belajar dengan sungguh-sungguh, semoga hasilnya memuaskan dan
sesuai dengan keinginan putri, dan putri pun insya allah tidak akan mengecewakan ibu
melainkan akan membuat ibu bangga.

Sambil menunggu waktu pelaksanaan ujian datang, putri pun dengan semangatnya belajar terus
mengenai soal-soal yang di rekomendasikan oleh gurunya. Hari telah tiba dimana putri harus
melaksanakan ujian, putri dengan yakin dan percaya diri  bahwa dia bisa menyelesaikan ujiannya
dengan baik dan mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah ujian telah selesai kini Putri tinggal
menunggu hasilnya saja. Akan tetapi seperti halnya kendaraan yang berjalan pasti ada belok-
beloknya, tidak akan selalu berjalan dengan mulus begitupun dengan putri banyak banget cobaan
dan rintangannya, putri harus bekerja keras baik fisik maupun pikiran, dia harus bisa memanage
waktunya, dia harus terus belajar sepanjang malam demi mendapatkan hasil yang maksimal dan
sesuai dengan harapannya. Bukan hanya itu saja putri pun sering mendapatkan omongan yang
tidak baik di telinganya  mulai dari omongan teman-teman, omongan tetangga dan masih banyak
lagi. Bukan hanya guru BK saja yang meragukan putri, tetangga putri pun sama, mereka
mengejek putri, berkata kasar sampai membuat hati putri dan keluarga sangat sakit karena
omongan mereka yang mengatakan bahwa putri tidak pantas untuk melanjutkan pendidikanya
karena putri dari keluarga yang sederhana yang mana di mata mereka tidak pantas dan tidak
mungkin untuk bisa masuk ke kampus favorit yang biaya nya sangat mahal. Akan tetapi putri
menghadapi semuanya dengan sangat sabar,menghadapi mereka dengan senyuman. Putri pun
sama sekali tidak membalas perkataan mereka, akan tetapi putri menganggap perkataan mereka
sebagai penyemangat untuk dirinya dan dia pun akan membuktikannya. Walaupun Putri dari
keluarga sederhana tapi bisa masuk ke PTN favorit. 

9
Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba, dimana hari ini pengumuman hasil ujiannya, putri pun
bergegas untuk melihatnya, setelah di buka... Putri pun sangat bahagia sekali, sampai-sampai dia
menangis karena ternyata Putri keterima dan lolos ke PTN favorit. Dan akhirnya Putri bisa
membuat mereka bangga terutama keluarga Putri dan bu Aisyah, putri membuktikan bahwa
omongan mereka itu tidak benar, jangan hanya karena perekonomian keluarga kita tidak bisa
mencari ilmu sebanyak-banyaknya melainkan kita harus semangat mencari dan menjemput ilmu.
Mendengarkan omongan orang lain tidak akan pernah habisnya, kalau kita mau sukses dan
menggapai semua harapan kita, kita fokus ke tujuan kita, tidak usah mendengarkan omongan
orang lain yang malah membuat kita tidak percaya diri. Kita yang jalani semuanya (pahit
kerasnya dalam berproses) orang lain hanya tau hasilnya saja.

 Indahnya bersabar dalam menghadapi permasalahan, sekecil apapun masalahmu, sebesar apapun
cobaanya, kita hadapi dengan senyuman, kesabaran, tawakal dan kerja keras. Masalah hasil
belakangan, kita serahkan semuanya kepada sang pencipta, yaitu Allah.

10
Keberuntungan atau Hasil Kerja Keras?
Tyas Widiyastuti

Rasa lelah dan rasa bosan kerap kali terjadi pada manusia. Wajar saja, karna manusia
diberi hati dan pikiran. Kita hanya perlu memberikan porsi yang sesuai. Setelah itu, bangkit dan
berjuang kembali, jangan ada kata menyerah dalam hidup. Istirahat boleh, sejenak saja.
Percayalah hal yang indah telah menantimu di depan sana. Gapai semua yang dapat kau gapai,
lepas semua yang menyesatkan. Hindari rasa minder, tampil apa adanya. Sukses untuk kita :)

Itulah yang ditulis Inem dalam buku kecil yang dimilikinya. Setiap malam, Inem selalu
menulis kata-kata yang menurutnya menggambarkan apa yang terjadi. Tujuannya mudah,
sebagai penyemangat diri dan motivasi diri.

Inem. Nama yang bisa dikatakan kampungan di jaman ini. Tidak bagi Inem sendiri.
Baginya nama inem adalah hadiah terindah dari orang tuanya. Kata orang tua Inem, nama Inem
bearti membela kebenaran dan sangat berani. Mereka berharap anaknya bisa menjadi sosok yang
senantiasa membela kebenaran dan menadi anak yang berani dalam artian yang baik.

Inem terlahir di desa kecil di kota kecil pula. Rewah, Kalangan, Mudhin, Sokoyo. Desa
kecil yang menjadi saksi tumbuhnya seorang Inem dari 2002 hingga 2021 ini. Dari Inem yang
belum bisa berjalan hingga Inem yang kini telah bisa berlari bahkan berusaha terbang demi
menggapa impian. Iya, Inem punya mimpi. Sederhana saja, mimpinya hanya bisa membuat
orang tua bahagia. Sederhana, namun jabarannya luas.

Saat ini orang tua Inem bekerja sebagai buruh. Ramaknya atau biasa kita kenal ayah,
bekerja sebagai kuli panggul di pasar dan simboknya atau ibu Inem, bekerja sebagai buruh cuci.
Pekerjaan mereka tidak pasti untuk penghasilannya, bisa makan saja mereka sudah sangat
bersyukur. pernah dulu, Inem dan keluarga kecilnya tidak makan seharian karna tidak memiliki
yang dimakan.

Inem adalah anak tunggal, sanak saudara mereka ada di kota besar semua. Mereka tak
pernah berkunjung karena mereka malu punya kelurga seperti keluarga Inem yang miskin dan
tidak punya apa-apa ini. Alhasil, keluarga Inem berjuang sendiri tanpa bantuan keluarga lainnya.

11
Saat Inem masih kecil, dia punya impian ingin menjadi dokter. Mengingat keluarganya
tidak memiliki cukup uang untuk mnyekolahkannya, Inem berinisiatif mencari pekerjaan sendiri
dan belajar dari buku bekas yang dipinjamnya di perpustakaan desa. Dia bekerja menjadi penjual
koran lampu merah. Awalnya orang tuanya tidak setuju, tapi karna keinginan dan tekad yang
kuat akhirnya orang tuanya mengalah.

Sampai suatu ketika, Inem tidak sengaja terserempet mobil di lampu merah. Bapak
pengemudi mau bertanggung jawab, sehingga membawa Inem ke rumah sakit dan membiayai
semua pengobatan Inem. Bapak pengemudi bernama pak Hendra, beliau merupakan ketua
yayasan sebuah sekolah yang terdiri dari SD, SMP, dan SMA.

Sebelum Inem diantarkan pulang oleh pak Hendra, mereka berhenti di sebuah tempat
makan untuk berbincang. Inem sebenarnya menolak, karena dia merasa telah lebih dari cukup
dibawa ke rumah sakit tadi, namun pak Hendra tetap mengajak Inem kecil untuk makan dulu.
Akhirnya Inem setuju. Setelah memesan makanan, pak Hendra banyak memberi Inem kecil
pertanyaan. Dari siapa namanya hingga bagaimana keluarga dan sekolah Inem.

Saat ditengah perbincangan mereka, pelayan datang membawakan makanan. Pak Hendra
menyudahi dulu perbincangannya, menyuruh Inem kecil untuk makan dulu. Inem kecil hanya
diam, yang membuat pak Hendra bingung dan bertanya,

“Kenapa tidak dimakan, Nak?”

“Maaf Tuan, saya tidak pantas makan makanan ini.” Ujar Inem sambil tertunduk memilin ujung
bajunya.

“Kenapa kau bicara seperti itu? Ayo makanlah!” Pak Hendra berujar tegas.

Inem kecil  hanya menatap pak Hendra takut-takut, pak Hendra pun menghela nafas lelah.

“Ada apa? Kau memikirkan orang tuamu?” Inem kecil mengangguk. “Baiklah, sekarang kau
makan ini, dan kita juga akan membawakannya juga untuk mereka, bagaimana?”

Pandangan Inem kecil berubah menjadi berbinar, pak Hendra yang meilihatnya terkekeh.

12
“Apa Tuan serius?” Anggukan pak Hendra membuat Inem tersenyum lebar. “Sekarang makanlah
dan berhenti memanggilku Tuan, paham?” Inem kecil mengangguk semangat dan mulai
memakan makanannya. Pak Hendra tersenyum melihatnya dan mulai memakan makanannya.

Setelah selesai makan, mereka dalam perjalanan menuju rumah Inem kecil. Tak lupa juga
makanan yang dibungkus untuk orang tua Inem. Sesampainya di rumah Inem kecil, bertepatan
ramak dan simbok Inem sudah pulang kerja. Mereka berbincang banyak hal. Sampai akhirnya
pak Hendra menawarkan untuk menyekolahkan Inem. Mereka terkejut, namun tak berapa lama
mereka merasa senang, dan menyetujuinya.

Mulai saat itulah Inem menempuh pendidikan. Mengingat dia diberi bantuan oleh pak
Hendra, Inem selalu belajar dengan sungguh-sunguh dan hasilnya terrlihat dengan Inem yang
selalu mendapat peringkat di kelasnya. Selain itu, Inem yang mudah bergaul bisa mendapat
teman yang banyak. Pak Hendra telah menyekolahkan Inem sampai SMA, beliau bangga pada
Inem.

Di SMA ini pula, Inem semakin bersinar. Berkat ketekunannya, dia bisa mempertahankan
juaranya baik di bidang akademik maupun non akademik, Inem juga tumbuh menjadi anak yang
cantik dan memiliki banyak kemampuan. Hal yang disyukuri keluarga Inem adalah konsistensi
Inem yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim dan tetap rendah
hati.

Tak sedikit pula yang benci atau iri pada Inem karena prestasinya. Namun Inem
menganggap itu sebagai motivasi. Dia juga sadar, ini semua juga berkat Allah lewat pak Hendra.
Maka dari itu, dia tidak akan menyecewakan pak Hendra. Keinginan menjadi dokter bagi Inem
juga masih tertanam sempurna di hati Inem.

Beruntungnya, Inem yang saat itu kelas sebelas SMA, mendapat lirikan dari sebuah
kampus ternama. Mereka memberikan tawaran bagi Inem untuk kuliah disana dengan beasiswa
penuh. Inem yang bercita-cita menjadi dokter bingung akan mengambilnya atau tidak, karena
yang ditawarkan adalah jurusan akuntansi. Setelah meminta waktu untuk berpikir, akhirnya Inem
menerima tawaran itu. Dia mengingat dia juga bukan dari keluarga berada dan ada kesempatan,
“kenapa tidak diambil” begitulah pikirnya.

13
Dia juga percaya bahwa ini mungkin jalan yang telah dituliskan untuknya. Dia berjanji
akan menggunakan kesempatan ini sebaik baiknya. Setelah adanya tawaran ini, lebih banyak lagi
teman yang iri padanya. Inem juga sempat merasa lelah, muak, dan ingin menanggapi mereka.
Inem juga pernah merakan lelahnya belajar, lelahnya hidup, tapi mengingat orang tuanya Inem
menjadi semangat dan menjadikan cacian orang lain sebagai motivasi hidupnya dan menjadi
penyemangatnya.

Tujuh semester adalah harapan Inem untuk lulus kuliah dan fokus bekerja. Dan itu tercapai saat
Inem bisa menyelesaikan skripsi di semester 6 akhir. Penanaman konsistensi dalam diri Inem
membuat ia punya bekal untuk menjalani hidup yang semakin kesini semakin keras. Mental
dalam diri Inem juga sudah terlatih sejak dia kecil. Kerja keras sudah ia lakukan mulai kecil.

Setelah lulus kuliah, Inem bekerja di tempat ia magang dulu. Mereka percaya bahwa
Inem mampu bekerja dan bisa membuat kantor mereka semakin berjaya. Jangan berpikir bahwa
Inem tidak pernah melakukan kesalahan, dia pernah melakukannya saat sidang skripsi. Dia lalai
saat itu, dia lupa waktu dan tanggal. Setelah bernegosiasi akhirnya ia punya kesempatan kedua.
Sejak itu Inem semakin rajin dan disiplin.

Saat ini dia telah bekerja di kantor perbankan. Orang tua Inem juga sudah tidak bekerja seperti
dulu, mereka membuka toko di rumah. Rumah mereka yang dulu tak layak telah berubah
menjadi layak. Hampir semua berubah. Dan inilah impian Inem, suskes untuk orang tua tanpa
lupa siapa yang bisa membuatnya sampai di titik ini. Selain berkat pak Hendra dan pemberi
beasiswa kampus, doa orang tuanya juga menjadi penunjang kesuksesannya, dan yang utama
adalah restu dari Allah. Setelah sabar menghadapi semua masalah, selagi kita mau berusaha dan
tidak menyerah, tidak ada kata “tidak” semua pasti bisa kita capai.

14
Keihklasan Menuju Syukur
Zahra Lathifah Ritonga

Setelah masa sekolah Man Asahan berakhir mulailah semua teman-teman sibuk
mempersiapkan diri untuk mendaftar ulang ke perguruan tinggi aku memulai mendaftar ulang
untuk mamasuki perguruan tingggi Alhamdulillah aku lulus di Iain Lhokseumawe jalur
(SPAN PTKIN) dengan jurusan pai tepatnya di daerah Aceh. Dari awal sebelumnya aku
sudah berdiskusi dengan kedua orang tuaku bahwa aku memilih universitas yang ku pilih
mulai dari uinsu dan Iain Lhokseumawe dengan pertimbangan yang bulat aku pernah bilang
kepada kedua orang tuaku pada waktu itu

“ Mak… yah….jadi gini di sekolah kakak kan ada jalur SPANPTKIN untuk menuju
kuliah yah mak itu jalur undangan, kalau misalnya kakak gak lulus di UIN dan kakak lulusnya
di Iain Lhokseumawe Aceh apakah ayah mamak setuju ?

pada awalnya mamak tidak setuju kalau aku mengambil di IAIN Lhokseumawe Aceh
katany “ jauhla kak itu Aceh lagi bagus kakak Di sini aja di UIN dekat bisa kita selalu lihat
kak . Namun ayah bilang “ dimanapun kakak lulus ayah dukung tetapi kalau bisa ya kakak
lulus di Uin ya kak biar dekat kata mamak . Aku melihat wajah mamak begitu amat berat
untuk mendengarkan penjelasanku .

Dan tiba saatnya pengumuman SPAN PTKIN waktu itu aku berada di ruangaan kelas
bersama teman- temanku kami semua menungggu pengumuman secara online tak tahu
mengapa aku berat ingin mengklik penguman SPANPTKIN ditambah lagi badanku sudah
lemas dengan keringat dingin sebesar butiran jagung bercucuran di wajahku inikah yang
dinamakan gerogi kakiku tak berasa apa- apa saat jam menunjukkkan pengumuman jam
SPAN PTKIN dibuka , begitu banyak suara bahagia dari kabar teman- temanku bahwa ia
lulus di universitas favorit dan ada juga yang tidak lulus suasana ini bergabung menjadi satu
menciptakan hiruk pikuk di dalam kelas ada yang tertawa sumringah tertawa bahagia dan
tangis bahagia bercampur dengan tangisan meyedihkan bagi mereka yang tidak lulus bisa
dirasakan dan aku mengingatnya hal itu tidak bisa kulupakan terus melekat sampai kapanpun
di memori otakku bahwa jalan kehidupan di dunia ini terus berjalan hampir semua temanku
yang ada di kelas sudah membuka pengumuman dan hanya beberapa yang masih takut untuk

15
membuka pengumuman termasuk diriku aku masih sabar namun aku bisa apa aku semangkin
penasaran sebab aku harus membuka pengumuman SPAN PTKIN itu harus aku yang
membukanya dan akupun tertunduk menutup mataku sambil berdo’a dengan ikhlas aku harus
menerima apapun yang terjadi di pengumuman aku pasrah dan di saat itu aku menyerahkan
diri seiklasnya kepada Allah dan aku akan menerima apapun yang akan terjadi , saat aku
mulai mengklik pengumuman SPAN PTKIN tersebut aku mulai melihat hasilnya secara
perlahan dengan lirikan mataku antara mau melihatnya dan tidak akhirnya aku melihatnya dan
Alhamdulillah aku lulus di Iain Lhokseumawe aku tak tahu harus bahagia atau sedih namun
bercampur menjadi satu, keinginanku ingin masuk UIN hilang namun apadaya aku harus
menerimanya dengan lapang dada. Teman- teman memberiku selamat atas kelulusanku, tak
tahu mengapa ini lebih mengejutkan dibandingkan dengan awal aku tak ingin membuka
pengumuman itu dan yang kutakutkan pun terjadi aku lulus di Iain Lhokseumawe tepatnya di
Aceh , ternyata perkataan itu do’a selalu kita ucapkan menjadi kenyataan.

Saat itu juga aku langsung menelpon mamak untuk memberitahukan kepadanya bahwa
aku lulus di Aceh dengan seketika aku berbicara

“Ass’alamualaikum warahmatullahi wabarakatuh mak kakak lulus di Aceh Di Iain


Lhokseumawe maaf kakak belum lulus di UIN mak…..

“Alhamdulillah iya kak jauhnya tu daerah Aceh cepatlah pulang mamak tunggu di rumah.

Sesampainya di rumah aku kumpul dengan keluarga utuk membahas kelulusanku di


Aceh, mamak meminta untuk membatalkan kuliah di aceh sangat jauh katanya dan aku harus
kuliah di Medan, tetapi segala pertimbanganku aku jelaskan kepada ayah dan mamak apabila
aku tidak mengambil yang sudah lulus yaitu di aceh maka akan berdampak buruk bagi adik
kelas bawahanku dan sekolah akan kena sanksi dari universitas yang telah meluluskan kita,
dengan segala pertimbangan ayah dan mamak aku diperbolehkan untuk pergi ke aceh
melanjutkan kuliahku dengan syarat aku harus mengikuti ujian SBMPTN karena orang tuaku
ingin aku kuliah dekat dengan mereka . Semua administrasi dan berkas aku persiapkan untuk
mendaftar ulang kuliah secara online yang di Aceh , aku harus tetap daftar ulang karena ini
kesempatan emas tak bisa di ulang dan ini sudah pasti aku dapatkan, tetapi demi menghormati

16
permintaan orang tua aku juga mengikuti ujian SBMPTN walau terbersit di dalam hati aku tak
ingin mengikuti ujian tersebut karena ku yakin hal ini tak kan lulus.

waktu itu puasa bulan Ramadhan aku harus berangkat ujian SBMPTN sambil ditemani
mamak dan juga bunda. Tiba saatnya ujianpun tiba aku , mamak dan juga, bundaku telah
sampai di lokasi ujian ya mereka ikut serta mengantar diriku aku hargai kerja keras mereka
mau bagaimanapun aku harus tetap menghormati keputusan mereka. Posisi ku telah ada di
dalam ruangan ujian , mulai dari berbagai daerah se-Sumatera Utara ada di lokasi tersebut tak
hanya itu agama mereka juga berbeda –beda, Sebelum ujian dimulai pengawas ujian
menjelaskan berbagai peraturan ujian dengan seksama ujianpun mulai dikerjakan wah aku
merasa kali ini ujian menegangkan seperti ini namun asik karena pengalaman baru dalam
hidupku yang pasti ini cerita hidup.

Setelah ujian selesai kami pulang dengan menaiki bus harusnya menaiki kereta api namun
kami terlambat jadi mau tak mau kami akhirnya menaiki bus , saat itu jam sudah menujukkan
waktu jam berbuka puasa kami berbuka puasa di dalam bus sambil melihat sekeliling jalanan
ada peristiwa kasihan di dalam bus kami tidak mendapatkan tempat duduk di bus karena
sudah penuh penumpang, kami tetap menaiki bus tersebut dengan bangku tempel, ditambah
lagi anak bunda menangis sejadi- jadinya karena giginya sakit saat memakan KFC yang dibeli
bunda dan mamak pada saat menunggu diriku ujian wajar saja ia sepupuku yang lucu usianya
pada saat itu memasuki usia 4 tahun . Bunda membujuknya dengan wajah yang sangat
khawatir saat itu juga akhirnya sepupuku terdiam dari tangisnya, semua orang mementingkan
dirinya sendiri di dalam bus tak ada yang mau berkorban memberikan tempat duduknya
sementara buat kami , kami tetap sabar dan terus menikmati perjalanan aku perhatikan
bundaku memangku anaknya yang sakit gigi tadi dengan menghiburnya dan mengasih air
putih buat mengurangi rasa sakit gigi yang dirasakan sepupuku lambat- laun setiap
penumpang ada yang sudah sampai pada tempat tujuannya, bunda kami persilahkan untuk
duduk di bangku penumpang dengan anaknya aku dan mamak tetap duduk di bangku tempel
sambil menunggu penumpang lain sampai tuan agar kami bisa menduduki bangku yang
diduduki mereka .

Setelah sekian lama kami sampai di rumah dengan tubuh yang letih penuh perjuangan
melakukan perjalan ini. Ya inikan sudah lewat anggap saja pengalaman hidup suara dalam

17
hatiku, pernah pada waktu tengah malam aku terbangun untuk mendirikan shalat istikharah
aku berdo’a dalam shalatku tak tahu mengapa aku yakin bahwa keputusanku kuliah di aceh
adalah keputusan terbaik dan membuatku tenang, malahan aku merasa ikhlas, sekiranya sudah
ada 2 minggu kami menunggu pengumuman SBMPTN, menjelang maghrib bunda membuka
pengumuman tersebut dengan laptopnya berdampingan denganku saat melihat pengumuman
tersebut aku pasrah apapun hasilnya. Ternyata aku tak lulus di pengumuman SBMPTN
tersebut . Tertuliskan kalimat “ maaf anda tidak liulus dan coba lagi pada SBMPTN tahun
depan” dengan seketika bundaku menagis sedih seketika aku tak lulus pengumuman tersebut
ia dengan siggap memelukku dengan erat masih terasa buliran air matanya mengenai
pundakku, di dalam hatiku bergumam ada rasa sedih namun aku merasa tenang karena ada hal
yang terbaik dan sudah pasti aku dapatkan dari Allah Swt yaitu kuliah di Aceh . Mamak
berkata “yasudahla kak mamak setuju kakak kuliah di Aceh”. Alhamdulillah keputusanku
disetujui mamak dan ayah berkata “ Tetap semangat kak dimanapun kakak kuliah itu sudah
rezeki kakak”.

Selisih jarak setengah bulan Massa itu indah bercampur menyedihkan dimana diriku
harus berpisah dengan keluarga demi meraih cita-citaku dalam melanjutkan belajar di Iain
Lhokseumawe lebih tepatnya ingin memulai kuliah aku ingat malam itu tepat jam 12.00
malam semua keluarga telah menunggu di teras rumah untuk melepas kepergianku namun
ayah dan ibuku ikut mengantarkan diriku menuju Aceh dengan butiran air bening menetes di
mataku tak bisa kutahan jatuh dengan sejadi-jadinya

“ Nek kakak pergi ya nek” sambil memeluk nenek dan mencium pipi nenek yang sudah
keriput.

Kata nenek “ iya kak hati- hati di sano yo jago makan ,jago diri baek- baek , belajar yang
bagus kak . aku berkata “ iya nekkkk………

suara tangisku pecah seketika dan semua kusalami termasuk adekku, tulang , nantulang
dan juga bunda sambil berpamitan aku melambaikan tangan ke arah mereka saat sudah berada
di dalam taxsi bersama ayah dan mamak sambil menggeret koper yang dibawa mereka dan
aku menggendong tas dan membawa seluruh perlengkapanku sesampainya di medan kami
menaiki bus menuju Aceh.

18
Hari itu berangkatnya agak siang jadi perjalanan menuju aceh terasa panas karena
mendekati laut, kiri dan kanan jalan banyak tambak dan pemandangan yang sangat indah
kulihat banyak hamparan padi yang menghijau dan ada juga yang sudah menguning milik
warga setempat tak hanya itu sepanjang jalan yang banyak sekolah bernuansa islami (dayah),
ada hiburan tersendiri yang kulihat ada beberapa santri yang keluar menyeberang pasar
menuju masjid sambil membawa kitab sungguh pemandangan yang indah kondisi disana
beberapa jam kemudian bus yang kutumpangi bersama ayah dan mamak berhenti menuju
rumah makan , rumah makan tersebut berdampingan dengan masjid yang indah di tengah
sawah terbentang seperti lapangan hijau terlihat padi-padi yang menghijau serta ada yang
sudah menguning dan para petani juga menjaga padi dari burung yang memakan padi. Disini
aku merasakan kenyamanan yang luar biasa walaupun ketika makan makanannya terasa aneh
di lidahku wajar saja karena rumah makan ini sudah berada di kawasan Aceh aku bisa
menyesuaikan dan tetap harus bersyukur .Setelah selesai makan dan shalat dzuhur kami
kembali masuk ke dalam bus dan melanjutkan perjalanan yang begitu panjang dan lama terasa
bosan namun aku harus sabar menjelang magrib kami telah sampai di depan kampus, ketika
itu juga kami turun dari bus dan mengeluarkan tas dari bagasi bus sambil memegang koper
dan tas mamak dan ayah duduk sejenak di sebuah warung di depan kampus . Dengan sigap
aku menelpon ibu kos no hp ibu kos itu aku dapatkan dari kakak kos sekampungku yang
sedang libur kuliah tidak berapa lama ibu kos pun tiba dan ia mengajak kami ke kosnya
dengan berjalan kaki sungguh jauh perjalanan kami mungkin karena aku baru pertama kali
menuju tempat ini makanya terasa jauh.

Keesokan harinya aku sudah bangun cepat ketika hendak keluar dari kos ternyata
temanku satu sekolah dulu satu kos denganku dengan sigap kami berangkat untuk mengikuti
ospek sambil diantar oleh orang tua temanku dan juga orang tuaku sesampainya di kampus
kami dibariskan berdasarkan jurusan masing – masing mamak dan ayah memfoto dan
memvideo aktifitasku ketika ospek menjelang Dzuhur mereka kembali ke kos , setelah selesai
ospek aku dan temanku pulang ke kos namun ayah dan mamak serta kedua orang tua temanku
pulang menaiki mobil mereka, disitu suasana sangat menyedihkan harus berpisah dengan
kedua orang tua karena pendidikan dan aku harus tetap tegar , sabar dan terus bersemangat
terlebih lagi harus ikhlas, dengan cepat aku memeluk mamak dan juga ayah , air mataku tak
bisa lagi di tahan mengalir begitu saja begitu juga dengan temanku. Melapas kepergian orang

19
tua untuk jarak yang jauh namun aku tetap bersyukur ini sudah jalan terbaik yang diberikan
Allah swt untukku . Aku tak boleh manja aku harus mandiri karena ini masa menuju
kedewasaan .

20
Merajut Mimpi
Widya Rachel faradisa

Hai, namaku Elsa. Jangan tanyakan dimana Ana. Aku bukan Elsa frozen kakak dari ana
kekasih Krisstof. Nama panjangku WIDYA RACHEL FARADISA bisa di panggil Elsa, Rachel,
Widya, tapi di keluargaku aku biasa di panggil Caca. Sekarang usiaku 17 tahun. Ya, tahun ini
aku lulus SMA dan akan berkuliah. Masa-masa yang kata kebanyakan orang sangat
membingungkan dan mendebarkan, kakak-kakak kelasku yang saat ini berkuliah pun berkata
seperti itu. Sesungguhnya aku tidak begitu tertarik dengan dunia perkuliahan, aku bukanlah
orang yang pintar apalagi aktif di segala bidang. Dulu waktu duduk di bangku SD, aku sudah
berniat untuk tidak berkuliah. Saat itu, aku kira hanya orang-orang yang pintar dan kaya saja
yang bisa berkuliah, karena biaya kuliah sangat mahal, dan kuliah sangatlah sulit dan begitu
membingungkan, tapi itu dulu. Dari SD sampai SMP aku bersekolah di desa ku sendiri, tetapi
sebelumnya saat SMP ibuku ingin memasukkan aku ke pesantren, karena ibuku dulu lulusan
pesantren. Tapi aku tidak mau, karena aku merasa masih terlalu kecil untuk masuk ke pesantren.
Dan akhirnya aku ikut teman SD ku bersekolah di dalam desa. Lalu ibuku memintaku untuk
berjanji, saat SMA nanti aku harus masuk pesantren. Sebagai anak yang baik harus nurut apa
kata orang tua. Iya kan? Hehehe.
Tiga tahun yang sangat singkat. Aaahhhhkk, aku sangat tidak menyangka. Sebentar lagi
aku akan lulus dari pesantren, lulus dari sekolah. Tapi tentunya tidak semudah membalikkan
telapak tangan, harus melalui jatuh bangun dulu untuk menikmati sebuah kebahagiaan. Mulai
memikirkan bagaimana untuk kedepannya. Kuliah dimana? Jurusan apa?. Sebenarnya aku tidak
menuntut diriku harus berkuliah, ibuku yang ingin agar aku berkuliah, untuk memenuhi
keinginan ibuku yang belum tercapai. Ibuku dulu ingin sekali berkuliah, tetapi nenekku tidak
mengizinkan, karena orang-orang dulu tidak terlalu mementingkan pendidikan, dan kebanyakan
orang dulu apabila ada anak perempuan yang sudah lulus sekolah langsung di nikahkan. Ibuku
sangat sedih waktu itu, cita-citanya untuk menjadi seorang pengajar pun tidak tercapai.
Keinginanku untuk berkuliah mulai tumbuh saat awal kelas 12. Kami siswa 12 mendapatkan
motivasi, inspirasi dan semangat untuk menyongsong masa depan, menjadi pemuda yang
berguna untuk nusa dan bangsa. Aku mulai sadar, aku ingin memenuhi cita-cita ibuku yang
belum tersampaikan itu. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Meskipun keinginanku

21
ini sudah diambang keterlambatan. Aku mulai mengerti tentang dunia perkuliahan saat kelas 12
awal, pasti kalian tidak percaya kan? Lalu dari kelas 10 kamu ngapain? Ya sudah pasti ada di
kelas, mendengarkan pelajaran yang sedang di jelaskan oleh guru, makan saat jam istirahat, tidur
di kelas saat jam kosong, izin ke toilet tapi mampir ke kantin. Itu saja yang aku lakukan sampai
kelas 11. Tidak ada target apapun, acuh tak acuh dengan nilai rapot, jarang mengikuti olimpiade
dan event semacamnya. Karena memang sebelumnya tidak ada niatan untuk berkuliah. Aku
merasa sangat kebingungan, aku sadar bahwa apa yang aku lakukan dari kelas 10 sampai 11 itu
tidak seharusnya di lakukan, tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi dan inilah yang
dinamakan penyesalan. Penyesalan memang datang belakangan. Tapi aku tidak berhenti di sini,
ini belum sepenuhnya terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki meskipun hanya sedikit.
DAN INI SAATNYA.
Masa-masa yang di tunggu pun datang. Saatnya untuk menikmati apa yang sudah di
persiapkan dengan matang dari jauh-jauh hari. Ya, UJIAN. Mulai dari ujian madrasah, ujian
sekolah, ujian praktek. Semua sudah aku lalui, tentunya dengan usaha yang maksimal. Tinggal
menunggu untuk ujian nasional. Tetapi UNBK di hapuskan di tahun ini karena terdapat virus
corona yang menyebar di seluruh daerah di Indonesia. Tentunya sangat senang tetapi juga sangat
mengecewakan. Sekolah di liburkan saat itu juga, dan aku kira hanya sebentar saja, ternyata
berlangsung sangat lama. Virus ini berdampak sangat buruk sekali, hingga semua tidak bisa di
lakukan saat kelulusan tiba. Tidak ada wisuda, tahlilan bersama, dan serangkaian acara untuk
kelulusan. Sangat hambar rasanya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pasti kalian angkatan 2020
merasakan seperti ini kan? Merasa tidak adil, iri dengan kakak kelas, merasa kesal dengan
keadaan. Kita satu tim. Tapi tidak apa, perjuangan tidak berakhir di sini, masih ada perjuangan
selanjutnya. 
Waktu pun berjalan, di rumah aku mulai sibuk mengikuti tryout-tryout online, bimbingan
online, dan mengerjakan latihan-latihan soal untuk UTBK SBMPTN dan UMPTKIN. Loh, kamu
tidak lolos SNMPTN dan SPAN-PTKIN? Belum, aku hanya meminimalisir saja, tidak ada
salahnya juga kan belajar. Untuk pengumuman SNMPTN dan SPAN-PTKIN masih satu bulan
lagi. Tidak mungkin aku hanya berleha-leha menunggu pengumuman itu tiba. Lalu kamu jadi
milih jurusan apa? Haha, aku sudah menebak apa yang akan kalian tanyakan. Sesungguhnya aku
tidak minat masuk ke PTN. Jujur, aku lebih suka pelajaran agama dari pada pelajaran umum.
Memang waktu SMA aku anak IPA, karena dulu waktu kecil aku ingin menjadi dokter. Aku

22
yakin pasti kalian yang membaca ini, dulu waktu kecil juga kebanyakan ingin menjadi dokter
kan? Tapi saat Elsa kecil sudah dewasa, cita-cita itu terkubur dalam-dalam. Menjadi dokter tidak
semudah apa yang aku bayangkan dulu. Menjadi anak IPA saja aku sudah tidak sanggup, apalagi
nanti apabila aku kuliah kedokteran. Nilai-nilai pelajaran IPA saja aku dapat rendah, kalau
ulangan sering remidi. Apalagi Matematika, ah sudahlah jangan bicarakan itu. Jadi, yang pasti
aku memilih jurusan yang berhubungan dengan agama. Awalnya aku ingin mengambil jurusan
seni di Institut Seni Indonesia yang ada di Yogyakarta. Karena pada saat itu aku mempunyai hobi
menggambar. Itu hanya sebatas keinginanku saja, tidak ingin aku wujudkan. Karena di jurusan
seni kalau mendaftar harus mengirimkan karya dulu, sedangkan pada waktu itu, tidak
memungkinkan untuk membuatnya dengan waktu yang sangat singkat. Akhirnya di SNMPTN
aku mengambil jurusan Pendidikan Teknologi Informasi di Universitas Negeri Surabaya. Aku
memang tidak telalu mengetahui tentang teknologi informasi, tapi diantara pilihan-pilihan yang
ada di UNESA yang tidak telalu di minati banyak orang dan masih bisa aku pelajari ya itu,
teknologi informasi, toh aku juga tidak bodoh-bodoh amat dalam mengoperasikan komputer atau
laptop. Sebelumnya aku sudah berkonsultasi dengan ibuku. Ibuku memilihkan universitas-
universitas yang ternama seperti UNAIR, UB, ITS. Oh ibu, aku bukanlah seorang bintang
pelajar, juara kelas saja aku tidak pernah, aku tidak pandai sepandai yang kau bayangkan. Lalu
apakah aku akan memilih salah satu di antara mereka? Tentu tidak, aku juga tidak seberani yang
kalian bayangkan, di sini aku harus melangkah dengan hati-hati. Masa depanku ada di tanganku
sendiri. 
Dari awal aku sudah tidak yakin dengan pilihanku di SNMPTN, tapi aku juga tidak tau
takdir Allah SWT seperti apa. Tidak lama kemudian, pendaftaran SPAN-PTKIN di buka. Aku
mendaftar di salah satu Universitas Islam yang ada di Surabaya. Dengan jurusan PGMI, ya
karena ibuku ingin aku menjadi seorang guru. Sesungguhnya aku ingin berkuliah di Yogyakarta,
UINSUKA. Tetapi tidak dapat izin orang tua. Katanya terlalu jauh, padahal salah satu keinginan
ku adalah berkuliah jauh. Aku tidak ingin sama sekali berkuliah di Surabaya, entah kenapa aku
juga tidak tau, aku hanya mengikuti apa kata hatiku. Meskipun banyak orang jawa bilang “nuruti
kata ati, yo gak mangan” yang artinya kalau kamu mengikuti apa kata hati, ya kamu nggak
makan. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa makan, alhamdulillah. 
Pengumuman SNMPTN tiba, saat yang di tunggu-tunggu. Pengumuman baru di buka jam
2 siang. Aku sudah berniatan untuk membukanya pada malam hari saja, supaya servernya tidak

23
error. Tetapi teman-teman memintaku untuk membukanya. Ya sudah, aku turuti saja mereka.
Tapi saat membuka pengumuman ini, jantungku hanya berdebar sedikit. Dan ya, sesuai dengan
prediksiku. MERAH. Aku dinyatakan tidak lolos SNMPTN. Aku merasa biasa saja, tidak ada
rasa kecewa sedikitpun. Tidak lama kemudian tiba pengumuman SPAN-PTKIN, jiwa raga ini
sudah menanti hari ini. Dengan perlahan aku membukanya, aku sudah membayangkan yang
baik-baik akan terjadi, aku sangat berharap pada SPAN-PTKIN ini. Dan ternyata, aku salah
sasaran. Kali ini tidak sesuai dengan prediksiku. SILAHKAN MENDAFTAR UMPTKIN, KLIK
LINK DI BAWAH INI. Aku tidak lolos lagi. Berat rasanya menerima kenyataan ini. Tangis ini
pecah begitu saja. Jangan di bayangkan, kalian tidak akan kuat, biar aku saja. Hati ku sudah
tersakiti, saatnya move on. Meskipun sudah tersakiti tapi harus tetap sabar.
Pendaftaran SBMPTN di buka, lagi-lagi aku bingung harus memilih jurusan apa. 
Akhirnya di SBMPTN aku memilih jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan di Universitas
Islam Negeri Malang. Kampus impianku setelah Yogyakarta adalah Malang. Dan lagi-lagi ibuku
tidak menyetujuinya, beliau tidak setuju dengan jurusan pilihanku. Katanya “Mau jadi apa kamu
kalau masuk di jurusan itu, penjaga perpustakaan? Buat apa kuliah mahal-mahal kalau nantinya
hanya menjadi penjaga perpustakaan”. Huuuh, sudah biasa orang tua berkata seperti itu kalau tau
anaknya mengambil jurusan yang sama sekali tidak di mengerti oleh mereka. Apalagi jurusan
yang aneh dan jarang orang masuk di jurusan itu. Ibuku belum tau kalau di jurusan Ilmu
Informasi dan Perpustakaan prospek kerjanya bukan hanya menjadi penjaga perpustakaan saja.
Aku juga tidak asal memilih jurusan, aku memilah-milah jurusan mana yang aku sukai dan
sesuai dengan kemampuanku. Teruntuk kalian yang berkesempatan membaca ini, listen!.
Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, tapi lihat dulu kemampuanmu. Jika kamu mampu, maka
lakukanlah dengan sungguh-sungguh supaya kamu bisa mewujudkannya. Dan jika kamu
menginginkan sesuatu tapi kamu tidak mampu, jika kamu tidak ingin kecewa maka jangan di
teruskan. Sampai sini paham? Oke, terima kasih.
Aku dinyatakan tidak lolos SBMPTN. Ya, aku di tolak tiga kali. Hatiku hancur sehancur
hancurnya, melebihi patah hati karena cinta, sakitnya lebih mengerikan dari sakit gigi. Pikiranku
sudah tidak karuan saat itu. Pelan-pelan aku menyadari kesalahan yang aku perbuat selama ini.
Aku masih kurang gigih dalam berusaha, kurang niat, kurang istiqomah. Hanya tinggal satu
kesempatan lagi, UMPTKIN. Di sini aku harus benar-benar serius. Aku tidak mau tertolak untuk
keempat kalinya. Jadi, aku harus memperbaiki semuanya. Aku mengikuti tryout-tryout online

24
UMPTKIN, mengikuti bimbel UMPTKIN, membeli Ebook UMPTKIN, belajar dengan sungguh-
sungguh setiap hari tak kenal lelah. Belajar belajar dan belajar. Dan untuk universitas dan
jurusannya, aku pilih IAIN di Kudus dengan jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. Aku tidak
terpaksa memilih itu. Aku semakin sadar, tidak apa-apa aku berkuliah bukan di univ-univ
terbaik, yang penting aku bisa berkuliah, menuntut ilmu dengan baik, dan mencapai cita-cita
yang aku inginkan. Toh, universitas yang terbaik pun tidak menjamin kesuksesan. Sukses datang
dari diri kita sendiri. Tidak usah sungkan tidak usah gengsi . "Emas, dimanapun akan tetap
menjadi emas.” 
Ternyata ujian UMPTKIN di laksanakan di rumah saja secara online. Aku mendapat
jadwal tes pada siang hari. Saat aku mengerjakan tes, Alhamdulillah semua soal bisa aku lalui
dengan baik, urusan benar atau tidaknya belakangan, yang penting sudah berusaha dengan
istiqomah. Tidak lama kemudian pengumuman UMPTKIN tiba. Aku masih tidak siap untuk
membukanya, rasanya jantung ini mau copot. Ini adalah sebuah penentuan, apakah aku akan
masuk pesantren lagi dan kuliah tahun depan, atau kerja dan tidak jadi kuliah. Dag Dig Dug Der.
Pada saat itu kakak ku mengetahui nomor ujian ku, lalu membuka pengumuman tanpa
sepengetahuanku, aku juga tidak tahu darimana kakak ku mendapatkan nomor ujian itu. Lalu
tiba-tiba kakak ku mengucapkan selamat kepadaku, aku sungguh-sungguh sangat bingung, apa
maksutnya? Kakak ku mengirim screenshot bukti bahwa aku lolos UMPTKIN. Aaaaaa aku
sangat tidak menyangka sama sekali, tidak percaya, lalu aku membuka sendiri pengumuman
tersebut di handphone ku. Dan ternyata benar, aku LOLOS!. Rasanya seperti terbang ke surga.
Aku bersujud syukur dan meneteskan air mata kebahagiaan. Lalu aku memberi tahu ibuku,
memeluknya erat dan dalam hatiku berkata, “Ya allah, terima kasih atas skenariomu yang indah
ini”. 
Setelah berbagai cobaan yang di lalui ternyata menghasilkan sesuatu yang sangat
membahagiakan, mengaharukan dan itu semua membuat diri ini menjadi sadar tentang arti
bersabar dan bersyukur. Setiap masalah selalu di hadapi dengan penuh kesabaran, sebab semua
masalah dalam hidup pasti mempunyai solusi, tidak dengan bertingkah gegabah, mengeluh dan
putus asa. Semua ujian pasti akan selesai, karena Allah menguji hamba-Nya sesuai dengan
kemampuannya, tidak mungkin tidak. Tidak lupa pula selalu berikhtiar, tawakkal dan bersabar
kepada Allah SWT. Seperti firman-Nya, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan

25
suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-
Ra’du:11).

26
Obat Manis
Feby Meliana

Dingin. Damai. Dan sejuk.

Aku mencintai ini semua. Musim hujan di pedesaan, dimana ketika hujan turun bau petrikor
benar-benar terasa menyengat hidung, hawa dingin khas pedesaan yang masih asri menusuk kulit
hingga harus memakai jaket berlapis. Semuanya terlihat indah. Mulai besok aku akan
merindukan ini semua karena hari ini adalah hari terakhirku berada di kampung halamanku.
Besok aku harus kembali pada rutinitasku sepertinya biasanya, kuliah. Ya, aku merantau di luar
kota untuk menuntut ilmu, meninggalkan seluruh hari-hari indah di desaku. Semua ini memang
sulit, tapi aku harus melakukannya.

“Gimana Sya,semua yang harus di bawa besok sudah disiapkan?” tanya Ibuku.

“Belum bu, nanti habis sholat maghrib.”

“Yaudah, pokoknya jangan sampai ada yang lupa ya?”

“Siap.”

“Sya?”

Aku menoleh pada ibuku, raut mukanya terlihat sangat serius seperti ada sesuatu yang sangat
penting untuk diungkapkan. Aku menjadi sangat khawatir, apakah ada sesuatu yang sangat ibu
khawatirkan.

“Iya bu, ada apa?”Aku menjawab dengan raut muka setenang mungkin.

“Tidak ada apa-apa,” jawab ibu dengan mengulum senyum tipis. “Ibu cuman mengingatkan
besok berangkatnya hati-hati ya? Kamu belajar yang rajin, jangan pernah bolos, jaga
kesehatanmu dan yang paling penting jangan pernah tinggalkan sholat.”

“Iya bu, In Syaa Allah.” Jawabku dengan tersenyum lebar ke arah ibu. 

Ibu membelai puncak kepalaku, aku menatap mata ibuku, dari tatapan mata beliau ada sesuatu
yang disembunyikan dariku. Sesuatu yang tidak boleh aku ketahui. Aku sangat mengenal ibu,
aku sangat tahu apa yang ada di hati ibuku.

Ibu beranjak dari tempat duduknya. “Yaudah ibu masuk dulu, mau menyiapkan buat makan
nanti.”

27
Aku hanya mengangguk. Bu, aku tahu ada sesuatu yang sangat membebanimu. Apakah masalah
biaya hidupku di luar kota?

Aku memang bukan berasal dari kalangan keluarga yang berada. Ayahku seorang pekerja
bangunan dan ibuku membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Meskipun begitu, orang tuaku
selalu berusaha agar aku dan adikku, yang sekarang masih duduk di bangku SMP, bisa sekolah
setinggi-tingginya. Aku sangat bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadaku. Aku bisa makan
setiap hari dan bisa menuntut ilmu hingga ke bangku kuliah. 

Hujan sore ini bertambah deras, hingga percikan hujan yang menimpa halaman rumahku yang
sempit membasahi sedikit kakiku. Air hujan yang sampai di tanah mengalir mengikuti kelokan-
kelokan tanah yang terukir di samping tempat diriku duduk. Untuk sekejap, aku teringat pada
kejadian di masa lalu yang membuat hatiku teriris. 

Saat itu, aku bahagia ketika ibuku mengajakku mengunjungi saudara yang tinggal cukup jauh.
Kami berangkat berdua menggunakan sepeda motor yang sedikit usang karena kami membelinya
setengah pakai dengan harga yang miring. Aku sangat antusias untuk segera bertemu sepupuku
karena sudah lama tidak bertemu. Terkahir kali kami bertemu sewaktu masih sama-sama berusia
9 tahun dan kini usia kami sudah 14 tahun. 

“Assalamu’alaikum Kak.” Sapa ibuku sewaktu kami sudah tiba di tempat tujuan.

Ya, kami mengunjungi salah satu kakak dari ibuku. Beliau adalah salah satu dari saudara-saudara
ibuku yang cukup kaya. Rumahnya sangat bagus dan memiliki mobil yang mewah. Kadang aku
mempertanyakan mengapa hanya garis takdir ibuku yang berbeda dari saudara-saudaranya? 

“Wa’alaikumussalam Dian. Halo Arsya, wah sekarang kamu juga sudah besar ya. Cukup cantik
ya untuk anak seusia kamu.” Beliau menyambut kami dan mempersilakan kami masuk.

Ibu dan Tante Desi berbincang-bincang cukup lama, dan aku hanya duduk menyimak
pembicaraan mereka yang ke sana kemari.

“Ngomong-ngomong Arsya sekarang masih sekolah kan ya?” tanya tante Desi padaku.

“Iya tante masih.”

“Sekarang kelas berapa Sya?”

“Masih kelas 2 SMP tante.”

“Masuk SMP mana?”

28
Aku menjawab dengan cukup bangga sekolah negeri yang aku tempati, karena sekolah itu
termasuk salah satu sekolah paling favorit di kotaku.

“Kamu pakai beasiswa? Soalnya setahu tante sekolah itu cukup mahal ya? Biaya per bulannya
saja bisa mencapai 1 juta. Kalau kamu sekolah di tempat yang mahal seperti itu apa adikmu juga
masih bisa sekolah?” 

Pertanyaan beruntun dari tante Desi cukup mengejutkanku. Mengapa di mata beliau seolah aku
terlihat tidak pantas untuk menuntut ilmu di sekolah yang prestigius? Apa karena aku bukan anak
orang kaya?

Aku enggan menjawab. Dan akhirnya ibuku yang menjawab, “Iya Kak, Alhamdulillah Arsya
bisa dapat beasiswa dari sebuah yayasan sehingga bisa sekolah dengan baik. Untuk Rafa
Alhamdulillah juga bisa masuk sekolah dasar di negeri juga.”

Aku melihat ibuku menjawab semua itu dengan senyuman yang tulus. Senyuman yang selalu
ibuku tunjukkan kepada siapapun saat sedang berbicara. 

“Oh begitu. Ya syukurlah kalau begitu. Sekarang itu biaya sekolah mahal banget. Rani aja
kemarin masuk SMP ngabisin puluhan juta. Biaya per bulannya sekitar 5 jutanan. Mungkin
karena sekolahnya taraf internasional jadi mahal. Tapi, sekolahnya Rani itu fasilitasnya bagus-
bagus. Katanya dia memang pengen sekolah di situ, soalnya dia ngincar masuk perguruan tinggi
paling favorit. Pengen sekolah di luar negeri juga katanya. Arsya besok juga pengen kuliah
nggak?”

Aku tidak tahu mengapa aku semakin muak mendengar semua yang dikatakan tante Desi. Semua
perkataan beliau seolah merendahkan keluargaku. Aku datang jauh-jauh bukan untuk melakukan
perbandingan seperti ini. Aku hanya ingin bersilaturahmi dengan baik. 

Ibu melihat ke arahku, beliau mungkin mengerti bahwa aku sedang menahan amarah. Akhirnya
beliau yang meladeni pertanyaan tante Desi.

“Wah Alhamdulillah Kak kalau Rani bisa sekolah yang sangat bagus. Semoga besok bisa jadi
anak yang sukses. Aamiin. Rencananya Arsya juga pengen kuliah Kak. Pengen sekolah di luar
kota juga. Doakan saja ya kak semoga bisa terwujud mimpinya.”

Lagi. Ibu membalas semuanya dengan senyuman yang tulus. Tidakkah ibu sadar beliau sedang
dihina? Terbuat dari apakah hati ibuku? 

29
“Semoga bisa terwujud buat kuliah ya. Kalau bisa cari beasiswa lagi Sya, kuliah itu ngabisin duit
banget. Jangan sampai karena kamu kuliah adik kamu jadi putus sekolah. Orang tua kamu kan
juga harus biayain adik kamu juga biar bisa sekolah tinggi. Pendidikan itu penting Sya.”

Aku hanya mengangguk mendengar sedikit nasihat yang tante berikan. Aku ingin sekali
menjawab beliau bahwa pendidikan memang penting tapi bersikap baik dengan menghargai
perasaan orang lain itu lebih penting. Aku tidak bisa mengutarakan jawabanku karena aku diajari
apa itu sopan santun oleh orangtuaku.

Setengah jam berlalu sangat lama bagiku. Hingga akhirnya aku dan ibuku pamit pulang karena
hari sudah menjelang petang. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan sepupuku, Rani, tapi dari
tadi aku tidak melihatnya di rumah. Aku ingin bertanya dari awal tapi melihat sikap tante
kepadaku aku jadi enggan berbicara.

“Ngomong-ngomong, aku tidak melihat Rani di rumah tante. Apa dia sedang pergi?” Akhirnya
aku bertanya saat kami hendak beranjak dari rumah beliau.

“Oh Rani sedang pergi sama teman-temannya. Katanya mau ke mall tadi. Harusnya tadi tante
suruh Rani nungguin kamu aja ya biar bisa main bareng. Jarang-jarang juga kan kamu ke mall.”

Bahkan sampai aku hendak pulang beliau masih saja bersikap menyebalkan. Orang kaya
memang belum tentu hatinya kaya dengan kebaikan. Pikirku. 

“Mungkin Arsya bisa main bareng Rani lain kali Kak. Kalau begitu kami pamit pulang ya Kak,
sudah sore soalnya.”

“Yaudah hati-hati ya Dian.”

“Baik Kak, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam, hati-hati.”

Di perjalanan pulang aku banyak diam. Memikirkan semua apa yang tante Desi ucapkan.
Salahkan aku jika bersekolah? Apa aku tidak pantas menuntut ilmu hanya karena aku tak
berpunya? Aku juga ingin bersekolah tinggi, aku juga ingin mengubah nasibku, aku ingin
membahagiakan kedua orangtuaku. Membahagiakan kedua orangtuaku dengan menjadi anak
yang berilmu dan sholehah. Apakah untuk jadi sukses harus jadi anak orang yang berada?

Tiba-tiba ibu berhenti di sebuah warung pinggir jalan. 

“Ayo Sya kita makan dulu. Kamu pasti lapar kan ya?” 

30
Aku hanya mengangguk pasrah. Mengapa saudara ibuku sangat kaya tapi saat kami datang kami
tidak memakan apapun di sana. Aku tersenyum pahit.

Sambil menunggu pesanan. Ibuku mengamatiku.

“Kenapa murung?” tanya ibu sambil tersenyum.

Aku terdiam sejenak. Aku merasa ragu ingin menyampaikan isi hatiku. 

“Bu, kenapa ibu bisa tersenyum tulus menjawab semua perkataan tante Desi tadi? Apakah ibu
tidak merasa…direndahkan? Bu, jika ibu tersakiti mengapa ibu tidak jujur? Ibu juga berhak
marah jika ibu tidak diperlakukan dengan baik? Ibu ga harus selalu sabar dan mengalah.
Mengapa ibu sangat…” Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku. Aku menitikkan air mata.
Mengingat semua itu membuatku merasa kasihan dengan ibuku. Ibuku dan juga seluruh
keluargaku tidak berhak direndahkan oleh siapapun.

Ibu terdiam. Menatap lurus ke arahku. Tersenyum samar. Lalu menggenggam lembut tanganku.

“Arsya, lihat ibu dan dengarkan ibu. Sabar itu bukan berarti lemah Sya. Sabar adalah kekuatan
yang sesungguhnya. Semakin kita sabar hati kita makin damai. Sabar itu melapangkan hati dan
mempermudah rezeki. Rezeki tidak harus tentang materi kan Sya? Ibu pernah dengar bahwa
dunia ini bukan taman bunga yang indah, ibu berfikir ternyata itu benar lalu ibu ingin mencari
dimana sesungguhnya taman bunga yang indah itu dan ternyata itu adalah kesabaran. Arsya juga
pengen hidup Arsya indah bukan? Belajar sabar ya putri ibu yang cantik.” Jelas ibu sambil
mengusap puncak kepalaku yang berjilbab.

“Untuk yang dikatakan tante Desi tadi, anggaplah sebagai nasihat yang terus membuatmu
menjadi orang yang lebih baik ya? Hidup itu pilihan Arsya, kamu bisa menjadikannya hinaan
atau lecutan. Ibu tahu kamu sudah dewasa untuk memilih.” Tambah ibu dengan senyum tulus ke
arahku.

Mendengar semua perkataan ibu membuatku ingin menangis sekencang mungkin. Membuatku
ingin berteriak bahwa aku sangat bersyukur dilahirkan oleh seorang ibu berhati malaikat seperti
ibuku. Sungguh, aku sangat beruntung dan sangat bersyukur bahwa kebaikan, kesabaran,
ketulusan, keikhlasan, kejujuran dan kedamaian hati yang ibu tunjukkan padaku adalah kekayaan
terbesar yang tidak akan pernah ternilai oleh apapun. Dan kesabaran yang ibu ajarkan padaku
membuatku mengerti bahwa hidup akan selalu indah jika diiringi dengan rasa sabar.

31
Orang bilang. Sabar itu pahit tapi buahnya manis. Dan itu memang sangat benar.

Seperti saat ini, hujan sore hari menjelang maghrib adalah saksinya. Aku mampu menimba ilmu
di salah satu perguruan tinggi paling bergengsi di negeri ini. Tanpa tes. Mendapat beasiswa. Dan
aku juga mendapat berita baik lagi yang belum aku sampaikan ke ibu bahwa aku ditawari
kontrak oleh sebuah lembaga pendidikan untuk menjadi guru les privat selama 3 tahun ke depan.
Bukankan ini nikmat Allah yang sungguh luar biasa.

32
Pamit
Yenita Puspitasari

Pagi ini September kembali menyapa. Seolah mengingatkan janji-janji kehidupan yang
sudah lama aku layangkan. Mengingatkan akan mimpi-mimpi yang telah terbang jauh tanpa bisa
tergapai, serta mengingatkan tentang masa lalu yang hangat dan terlihat indah, sebab adanya
seseorang yang tulus memeluk tubuhku sebagai seorang kekasih tersayang.
Menjadi seorang yatim memanglah tidak mudah untuk sebagian orang. Terlebih seperti
aku, seorang mahasiswa yang baru saja memasuki tahun pertama. Ketidakmudahan itu berawal
dari adanya peran ganda yang harus ku lakukan. Peran sebagai seorang muslimah yang harus
mengejar impian dan ilmu, serta peran sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada orang
tua, terutama Ibu. 
Peran ganda tersebut membuat aku tidak bisa menjadi mahasiswa seutuhnya. Aku
menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang berbeda, tidak seperti mahasiswa kebanyakan.
Ketika pagi menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu di kampus, dan ketika sore menghabiskan
waktu di toko buku untuk bekerja. Aku bekerja di salah satu toko buku terbesar di kota tempat
aku kuliah. Berlama-lama di toko buku ini menjadikan jiwaku tenang. Terlebih semenjak
kepergian Ayah. “Permisi Mbak, apakah ada novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi?”
Pertanyaan tersebut berhasil mengusir bayangan sendu yang baru saja melintas dalam pikiranku. 
“Ada, Mas. Ada di blok sastra,” jawabku kemudian. “Mmm, bisa minta tolong diantarkan
Mbak? Takut nyasar, hehe. Soalnya baru pertama ke toko buku ini,” pintanya. “Boleh, Mas. Mari
saya antarkan.” Aku mulai berjalan di antara deretan buku yang menggunung di persinggahan
sementaranya. Sementara dia, dengan telaten mengikuti langkahku yang seolah tergesa-gesa.
“Itu, Mas bukunya,” kataku sembari menunjuk buku dengan sampul bergambar lima menara
yang berbeda itu. 
“Buku ini bagus loh, Mas,” kataku dengan semangat, seolah mempromosikan buku itu.
“Oh ya? Mbak pernah baca?” tanyanya penasaran. Seketika aku mulai menceritakan isi buku
tersebut kepada orang asing yang baru saja aku temui itu. “Jadi bagaimana, Mas? Jadi beli
bukunya?” tanyaku untuk memastikan orang tersebut membeli buku itu. “Mmm, sepertinya
tidak, Mbak. Uangnya masih kurang, masih harus nabung dulu,” ucapnya kemudian sembari
meninggalkanku dengan tatapan iba. 

33
Aku sempat melihat logo yang ada pada seragam SMA yang dia kenakan saat itu, SMA
Bangsa. Aku tahu sekolah itu, kurang lebih sekitar sepuluh kilometer dari toko buku ini. Entah
kenapa, aku sangat ingin membelikan buku Negeri 5 Menara itu untuknya. 
Sore ini aku tidak berangkat ke toko buku. Aku memilih berjalan membelakangi senja,
menuju sebuah tempat yang baru bagiku, dan menemuinya. Aku pandangi satu-persatu orang
yang keluar dari pintu gerbang sekolah menengah atas itu, berharap bisa menemukan seseorang
yang kemarin aku temui di toko buku. Aku sangat kaget, aku merasakan ada seseorang yang
berdiri di belakangku secara tiba-tiba. Dengan segera, aku memberanikan diri untuk
memastikannya dengan menengok ke belakang. 
“Hai, Mbak yang kemarin di toko buku kan?” kata pertama yang aku dengar setelah
menengok ke belakang. “Hai…” tanyanya memastikan. “Eh, iya. Mas yang kemarin kan?”
tanyaku basa-basi. “Jangan panggil Mas dong, kan saya masih SMA. Kenalin saya Arga
Setiawan, panggil saja Arga,” jelasnya dengan mengulurkan tangan. “Eh, aku ke sini mau ngasih
ini ke kamu. Mungkin kamu sedang membutuhkannya,” aku memberikan buku itu ke dia.
“Serius nih Mbak?” tanyanya yang hanya aku jawab dengan anggukan.
Sejak saat itu aku menjadi akrab dengan seseorang yang aku ketahui bernama Arga. Arga,
seorang anak SMA yang sedang berjuang meraih impian untuk mendapatkan salah satu bangku
di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Arga sering datang ke toko buku setiap sore, dan aku selalu
menemuinya. Setiap datang, Arga selalu bersemangat belajar dari buku-buku di toko ini yang
memang disediakan untuk dibaca secara gratis oleh pengunjung. Selain itu aku, aku juga akan
meluangkan satu jam untuknya setelah jam kerjaku usai. Sekadar untuk berbincang-bincang dan
menjawab beberapa beberapa pertanyaan darinya. Mulai dari perbincangan dengan topik
sederhana, hingga perbincangan tentang pelajaran dan pengetahuan tentang berbagai hal.
“Tes masuk kuliah itu sulit nggak sih, Ra?” tanyanya suatu sore. “Kan aku sudah pernah
bilang, ga ada yang sulit kalau kita mau belajar,” jawabku menenangkan. “Tapi kan,” ucapnya
dengan ragu. “Kuncinya, melebihkan usaha di atas rata-rata orang kebanyakan. Jika orang
kebanyakan belajar empat jam sehari, kamu harus belajar dua kali lipat dari itu. Memang sulit,
aku juga pernah mengalami perjuangan yang serupa dulu. Tapi, kalau kita sabar dalam
perjuangan itu, insya-Allah Tuhan akan mengabulkan apa yang sedang kita perjuangkan,” aku
terdiam sejenak. “Man shabara zhafira,” ucapku dan Arga secara bersamaan.

34
Arga benar-benar anak yang gigih berjuang untuk memeluk mimpi-mimpi yang telah dia
tetapkan sebelumnya. Terbukti, hari ini dia resmi melepas status sebagai siswa SMA Bangsa
dengan nilai terbaik. Sayang sekali, aku tidak bisa datang dan menemuinya di hari spesialnya ini.
Aku hanya bisa mengirimkan sebuah pesan singkat melalui aplikasi chatting yang saat ini sedang
merajai puncak perkembangan sosia media. “Selamat melepas status sebagai siswa, dan selamat
berjuang memeluk mimpi,” tulisku.
Beberapa minggu setelah upacara pelepasan siswa SMA Bangsa, Arga tiba-tiba
menghilang. Dia sama sekali tidak datang ke toko buku. Aku tidak tahu harus mencarinya ke
mana. Mencarinya ke sekolah pun hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Ya, karena dia kini
sudah tidak bersekolah di sana. Saat ini aku hanya memikirkan suatu tempat yang pernah Arga
ceritakan. Tempat yang tak pernah ku ketahui lokasinya. Jariku menari-nari di atas deretan
tombol ponselku. Mencari sebuah lokasi tempat yang pernah Arga ceritakan itu. Beberapa menit
kemudian aku berjalan menyusuri jalan-jalan yang ditunjukkan oleh ponselku. 
Sesampainya di sana, dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki yang akhir-akhir ini tidak
asing bagiku. “Kenapa menghilang,” tanyaku tanpa basa-basi. “Capek,” jawabnya singkat.
“Kamu sakit?” tanyaku kembali. “Sedikit,” jawabnya kembali singkat. “Yang sabar ya,
underdog can win!” ucapku menenangkan dengan kutipan-kutipan yang ada pada novel Negeri 5
Menara. “Kenapa sih kamu datang ke duniaku, lalu kamu seolah berperan sebagai malaikat
penolong dengan segala kata-kata manismu? Kenapa pula kamu seolah berperan untuk
membantuku terbang memeluk impianku? Dan bodohnya, aku selalu mengikuti semua saranmu
padahal aku tahu, aku tidak mampu untuk itu,” ucapnya dengan mata sendu. “Karena aku
percaya kamu bisa!” jawabku dengan nada bergetar karena menahan pecahnya air mataku.
“Nggak, aku nggak bisa!” tegasnya. “Kenapa? Kamu capek? Sakit? Ya sabarlah, perjuangan
untuk memeluk mimpi itu memang tidak mudah!” tegasku. “Aku sekarang tanya sama kamu,
apakah yang harus diutamakan, ilmu atau berbakti kepada orang tua?” tanyanya. “Keduanya,”
jawabku. “Tapi aku nggak sepintar kamu yang bisa membagi waktu dengan mudah, bisa
mendapatkan pekerjaan yang ringan dengan gaji yang lumayan,” ucapnya lirih. Tiada lagi kata-
kata yang bisa aku ucapkan. Aku dan Arga hanya saling membisu, mengikuti upacara senja
mengantarkan kepergian matahari dengan khidmat, di danau ini. 
“Aku pamit, apapun keputusanmu aku hargai. Tapi aku minta tolong satu hal, tolong
selesaikan pendaftarannya, ikuti ujiannya. Tolong selesaikan apa yang kamu mulai. Udah itu aja,

35
karena toh pasti ada jalan kedepannya,” ucapku terakhir kali sebelum aku pergi
meninggalkannya seorang diri.
Aku tahu kenapa Arga bertindak demikian. Arga mengalami kebimbangan persis seperti
yang aku alami dahulu. Harus memilih mengejar mimpi atau bekerja untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Arga sama sepertiku, seorang yatim. Bedanya Arga sudah lebih lama
menjalani kehidupan sebagai seorang yatim. Mungkin persamaan inilah yang membuat kita
akrab dan nyaman satu sama lain.
Pagi ini Januari mulai menyapa, bersama embun paginya yang menyejukkan mata dan hati.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang bersejarah karena aku akan mengantarkan Arga mengikuti
ujian masuk PTN. Akan tetapi, pagi ini menjadi hampa. Hari ini aku hanya berdiam diri di
rumah, karena sudah membatalkan semua agenda hari ini dengan alasan akan mengantarkan
Arga ujian, tetapi gagal. Setelah bosan berdiam diri, aku memutuskan menyalakan ponsel yang
sejak semalam aku matikan. Aku terkejut melihat banyaknya pesan dan panggilan yang masuk
dari Arga. Aku meneleponnya balik, tetapi tidak ada jawaban. Tanpa pikir panjang, aku
memutuskan untuk mencari keberadaan Arga. Mulai dari toko buku hingga danau, tetapi aku
tetap tidak menemukan dia.
Gagal! Aku gagal menemukan Arga. Aku justru terkapar tidak berdaya di salah satu
ruangan di rumah sakit ini. Saat tersadar, aku melihat banyak sekali luka di tubuhku. Aku tidak
ingat apa yang terjadi pada diriku. Ingatan terakhirku, aku sedang menyeberang jalan dan
ternyata ada sebuah bus dengan kecepatan tinggi yang menghempaskan tubuhku beberapa meter.
Hidupku yang hampa pada awal Januari kembali belanjut. Genap seminggu aku merasakan
hampa di ruangan rumah sakit ini. Tubuhku tak berdaya, aku hanya bisa mengikuti ke manapun
ranjang ini dibawa pergi. Entah itu IGD, ruang operasi, ruang rawat inap, dan entah ruangan apa
lagi aku tidak ingat. Genap seminggu aku di sini, seharusnya pagi ini menjadi sangat indah
karena mendengar pengumuman ujian masuk PTN. Seharusnya pagi ini aku dan Arga sibuk
membaca koran dan mencari nama “Arga Setiawan,” tetapi gagal. 
“Permisi, Mbak ini sarapan paginya,” ucap seorang suster yang bertugas mengantarkan
sarapan pagi untukku. “Iya, sus terima kasih. Oh ya sus, apa di sini ada koran terbaru?” tanyaku.
“Ada, Mbak,” jawabnya. “Boleh saya pinjam? Saya mau baca,” tanyaku kembali. “Boleh, Mbak
sebentar saya ambilkan,” jawabnya.

36
Aku sibuk membaca kolom pengumuman di koran itu. Betapa terkagetnya ketika aku
melihat nama “Arga Setiawan dari SMA Bangsa” tertera di sana. Aku kembali memiliki
semangat menyalakan ponsel yang sudah lama aku diamkan di laci. Banyak sekali pesan yang
masuk, terutama pesan yang berisikan pertanyaan tentang keberadaanku saat ini. Aku
mengabaikan semua pesan itu, aku hanya memfokuskan diri untuk mencari nama “Arga
Setiawan” dan mengirimkannya sebuah pesan singkat “Selamat Arga, turut senang mendengar
kabar itu. Aku senang kamu mengikuti saranku untuk menuntaskan perjuangan yang sudah kamu
mulai. Apapun keputusanmu, entah mau diambil atau tidak, aku turut senang,” tulisku.
“Alhamdulillah, terima kasih atas selama ini. Kamu di mana sekarang? Sibuk nggak? Ketemuan
yuk! Aku punya banyak cerita nih,” ajaknya. “Ga bisa,” jawabku singkat. “Kenapa?” tanyanya.
“Gapapa, tugasku sudah selesai. Aku pamit ya, jaga diri baik-baik. Sabar dalam perjuangan itu
indah kan? Man shabara zhafira,” pesan terakhirku. Setelahnya, tubuhku lunglai, seolah tidak
memiliki kekuatan lagi, dan perlahan kesadaranku menghilang. Aku tidak ingat lagi apa yang
terjadi padaku.

37
Retak yang Tak Mematahkan
Badriyah Nurul Hikmah

Ini ketiga kalinya aku tersentak dari tidurku. Membuatku tersadar jika saat ini aku berbaring
di ranjang rumah sakit dengan infus di tangan kiriku. Kejadian sepulang sekolah kemarin terus
muncul di mimpiku. Kecelakaan yang membuat kaki kananku mengalami patah tulang.
Alhamdulillah, anggota tubuh yang lain aman. 
Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Ini berarti masih ada
waktu tujuh jam lagi menuju jam operasiku. Saat ini kakiku terasa sangat nyeri, padahal kemarin
waktu kecelakaan rasanya tidak sesakit ini. Karena mendengar suara gelisahku, ayahku yang
malam ini harus menginap menemaniku juga ikut terbangun. 
“Kenapa terbangun, Na? Mimpi itu lagi?” Tanya Ayah.
“Iya, Yah. Sekarang kaki Arina juga sakit banget.” Ujarku sambil menahan nyeri di kaki.
Belum pernah aku merasakan rasa sakit yang seperti ini sebelumnya.
“Sabar ya, Na. Istigfar nak.” Jawab Ayah menguatkanku. “Sekarang coba buat tidur lagi ya,
besok kan operasi jam sepuluh.”
“Iya, Yah. Ayah juga tidur ya, ini Arina tidur.” Jawabku walau aku tidak yakin bisa tertidur
dengan mudah. Aku hanya merasa bersalah pada ayahku karena berkali-kali membangunkannya.
Setelah melihat ayahku kembali merebahkan diri di sebelah ranjangku, aku mencoba untuk tidur
kembali.
Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang. Aku melihat ke samping dan mendapati
Ayah sedang merapikan tempat tidurnya tadi malam. Kemudian Ayah mendekat ke ranjangku
untuk membantuku tayamum, karena aku masih harus berbaring saat ini. Setelah membantu
tayamum, Ayah izin pergi ke masjid yang berada di sebelah rumah sakit untuk menunaikan salat
subuh. Selepas Ayah keluar dari ruanganku, baru kemudian aku menunaikan salat.

***
Saat ini, waktu menunjukkan pukul 09.00, dan kakiku saat ini lebih nyeri daripada semalam.
Aku beristigfar sambil menangis karena aku tidak bisa menahan sakitnya saat ini. Mungkin
karena aku sangat menunggu waktu operasiku tiba, aku merasa waktu berjalan lebih lambat
daripada biasanya. Ayah selalu di sampingku untuk menguatkanku, matanya sudah berkaca-kaca

38
melihatku. Ya Allah, seperti ini saja sakit sekali apalagi waktu Ibu melahirkanku dulu, pasti
rasanya lebih sakit. Mungkin Engkau memberiku rasa sakit seperti ini untuk menegurku agar
aku senantiasa menghormati dan menyayangi orang tuaku yang sudah susah payah
membesarkanku sampai saat ini.  
Sekitar pukul 09.30, ada seorang perawat yang menjemputku untuk dibawa ke ruang
operasi. Sebelum masuk ruang operasi, aku melihat Ibu datang bersama tanteku. Ibu
menghampiriku sejenak untuk menenangkan dan mengingatkanku agar jangan lupa berdzikir
selama operasi. Ibu juga mendoakan semoga operasiku berjalan dengan lancar. Setelah itu aku
dibawa masuk ke ruang operasi.
Sesampainya di ruang operasi, hawa dingin menyapa kulitku. Aku menemukan termometer
ruang yang menunjukkan suhu 18℃, pantas saja dingin sekali. Ada 3 orang dokter yang
menanganiku selama operasi. Sebelum memulai operasi, salah satu dokter memimpin untuk
berdoa agar selama operasi diberikan kelancaran. Setelah itu, aku disuntik cairan anestesi, lalu
dipakaikan selang oksigen, dan operasi pun dimulai.
Setelah operasi selesai, aku kembali diantar ke ruang pasien. Sesampainya di ruanganku, aku
mendapati Ibu, Tante, Kakak, dan banyak keluargaku yang lain. Mereka menghibur dan
menguatkanku. Saat ini aku benar-benar merasa hidupku penuh kasih sayang dari keluarga, dan
aku bersyukur sekali. Selama ini aku sering merasa kalau aku dilupakan oleh keluargaku, namun
kali ini aku benar-benar melihat kasih sayang mereka. 
Sore harinya, sahabatku datang menjengukku. Namanya Delisha dan Mayra. Mereka juga
menjadi support system-ku selama ini, jadi kehadiran Delisha dan Mayra tentu saja membuatku
bahagia sekarang. Kami bersahabat sejak awal masuk SMA, jadi kami bersahabat sudah hampir
2 tahun.
“Syafakillah ya, Na. Beda banget di kelas tadi nggak ada kamu, Na, berasa ada yang kurang
aja gitu.” Ujar Delisha yang saat ini berada di samping ranjang.
“Iya, Na. Semoga bisa segera pulih ya.” Ujar Mayra yang berada di samping Delisha.
“Amin. Seneng banget aku dijengukin kalian, makasih ya.” Balasku sambil tersenyum
kepada mereka berdua. Aku merasa lebih bersemangat.
“Sudah pasti sih kalau itu, kan kamu kalau nggak lihat aku sehari aja udah kangen, Na.”
Ujar Delisha yang terlalu percaya diri. Namun aku tahu kalau dia sedang bermaksud
menghiburku.

39
“Kok jadi kebalik gini sih, Del? Bukannya kamu yang semalem bilang kangen aku ya?”
Ujarku membalas candaan Delisha. Memang benar tadi malam saat meneleponku, dia bilang
kangen.
“Aduh, kalau yang itu nggak bisa ngelak lagi deh akunya.” Ujar Delisha sambil terkekeh.
“Oh iya, terkait perlombaan sains dan kedokteran itu gimana, Na?” Tanya Delisha
mengingatkanku pada perlombaan yang sudah kupersiapkan.
“Kalau untuk itu, aku berniat untuk mengundurkan diri, Del. Sebenarnya tetep mau ikut, tapi
keadaanku saat ini tidak memungkinkan.” Jawabku. Perlombaan tersebut sebenarnya impianku
sedari lama, karena apabila aku memenangkan perlombaan itu, aku bisa mendapat tiket masuk
fakultas kedokteran. Menjadi dokter adalah cita-citaku sejak dulu.
“It’s okay, Na. Masih ada jalan yang lain, semoga selalu dimudahkan oleh Allah ya, Na.”
Ujar Mayra.
“Iya, Na. Besok kita bisa belajar sama-sama untuk masuk Perguruan Tinggi.” Sambung
Delisha.
“Amin. Semoga proses kita selalu Allah beri kemudahan ya, amin” Doaku yang diaminkan
oleh mereka. Aku sudah mengikhlaskan apa yang terjadi saat ini, termasuk aku yang gagal
mengikuti perlombaan karena kecelakaan kemarin. Saat ini aku hanya meyakini satu hal, bahwa
setelah kesulitan, akan Allah berikan kemudahan. Dan aku yakin Allah akan mudahkan jalanku
untuk menjadi seorang dokter.
***
Aku dirawat di rumah sakit selama 5 hari. Pengalaman selama di rumah sakit benar-benar
membuka sudut pandang baru buatku. Selama di rumah sakit, Ayah, Ibu, dan Kakak bergantian
yang menemaniku, itu seakan membuatku berjanji untuk berusaha tidak mengecewakan mereka.
Dan karena aku dirawat oleh dokter dan perawat selama disini, hal itu menyemangatiku untuk
berusaha menggapai mimpiku menjadi seorang dokter yang baik dan berdedikasi.
Hari terakhir di rumah sakit, aku diajari berjalan menggunakan kruk oleh seorang
fisioterapis. Aku juga diberi pesan oleh dokter agar selalu berjemur setiap pagi, makan-makanan
yang sehat, dan jangan lupa minum obat. Untuk proses pemulihan patah tulang kering dan tulang
betis sepertiku biasanya memakan waktu 4-6 bulan. Dan bersyukurnya, aku mengalami
kecelakaan di waktu sebulan menjelang Ulangan Kenaikan Kelas (UKK), sehingga proses
pemulihanku bisa lebih banyak di rumah.

40
Dan sekarang, tepat sebulan setelah kecelakaan, aku duduk hanya berdua dengan seorang
pengawas di aula sekolah untuk mengikuti UKK. Aku ditempatkan sendirian di aula karena
keadaanku yang kurang memungkinkan untuk berada di ruangan yang seharusnya karena harus
melewati tangga. Setelah sebulan aku mengikuti sekolah dari rumah, hari ini dan seminggu
kedepan rencananya aku berangkat dan pulang sekolah dengan diantar dan dijemput oleh Ayah.
Selain mengikuti pembelajaran, selama proses pemulihan di rumah aku juga sambil belajar
untuk ujian masuk Perguruan Tinggi. Aku sadar, yang berkeinginan menjadi dokter pasti sangat
banyak, sehingga aku tidak boleh menyepelekan. Apalagi jika melihat Ayah dan Ibu yang sudah
berjuang untuk membesarkan dan membiayai pendidikanku sampai saat ini, seolah
menyemangatiku agar jangan sampai mengecewakan keduanya.
***
Hari ini, aku masuk ruang operasi lagi. Setahun selepas kecelakaan dan sudah selama 9
bulan aku lepas kruk, saat ini aku berada di ruang operasi untuk pengangkatan pen tulang.
Sebenarnya tidak masalah apabila tidak dilepas, namun dokter menyarankan untuk dilepas. Aku
mendapatkan jadwal operasi hari ini, bertepatan dengan 5 hari menuju ujian masuk Perguruan
Tinggi. Aku tidak mau mengubah jadwal dengan alasan ujian karena apabila tidak sekarang
kemungkinan akan ditunda lama sekali sebab aku berencana untuk mendaftar bukan hanya di
satu Perguruan Tinggi.
Lima hari setelah operasi pengangkatan pen tulang, aku mengikutin ujian masuk Perguruan
Tinggi dengan memakai kruk. Karena pesan dari dokter untuk memakai kruk selama seminggu
setelah operasi. Aku berangkat ke tempat ujian diantar Ayah dan Ibu sampai masuk ruang tunggu
ujian. Tempat ujian ini jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dari rumahku, sehingga aku berangkat
lebih awal karena khawatir terjebak macet di jalan. Saat ujian kali ini tentu saja banyak yang
melihatku karena aku memakai kruk, namun aku sudah terbiasa dengan pandangan seperti itu.
Banyak waktu bermain yang aku korbankan untuk belajar agar bisa lulus untuk ujian hari
ini. Selama proses pemulihan kemarin, aku juga mengikuti bimbingan belajar masuk kedokteran
dan try out-try out untuk mengasah pemahamanku. Dan alhamdulillah, aku punya keluarga dan
teman-teman yang mendukung mimpiku, ada Ayah dan Ibu yang selalu membangunkan untuk
salat tahajud, Delisha dan Mayra juga sesekali datang ke rumah untuk belajar bersama. Namun,
meskipun sudah persiapan sejak lama, aku tetap saja merasa belum sepenuhnya siap. Bismillah,
kamu bisa, Arina!

41
***
Alhamdulillah, aku banyak bersyukur kepada Allah. Segala doa dan ikhtiarku terjawab hari
ini. Saat ini aku tengah membuka laman pengumuman seleksi masuk Perguruan Tinggi, dan aku
melihat bahwa atas nama ARINA NUR AFIQA dinyatakan LOLOS SELEKSI. Aku langsung
menangis karena terharu dan berlari mencari Ibu untuk memberitakan hal ini. Setelah
menemukan Ibu yang berada di dapur, aku langsung memeluknya dengan memperlihatkan layar
HP-ku yang menampilkan pengumuman tersebut. Ibu pun balas memelukku seraya
mengucapkan Alhamdulillah dan memberiku selamat. 
Hari ini aku belajar banyak sekali. Terkadang, Allah menggagalkan salah satu rencana kita,
hanya untuk menjalankan rencananya yang jauh lebih hebat. Mungkin, jika aku tidak kecelakaan
saat itu, aku bisa mengikuti perlombaan tersebut dengan hasil yang belum tentu maksimal.
Namun karena kecelakaan tersebut, aku menjadi lebih termotivasi oleh banyak hal, Ayah dan Ibu
yang tidak pernah mengeluh merawatku, dokter dan perawat yang ada di rumah sakit, sahabat-
sahabatku yang selalu menyemangatiku, dan yang paling utama adalah Allah yang selalu ada dan
menyiapkan rencana yang jauh dari pandanganku selama ini. Karena tidak bisa ikut perlombaan,
aku terdorong untuk belajar lebih keras sehingga berani mendaftar di Perguruan Tinggi yang
sudah sangat tersohor namanya.

42
Teh dan Kopi
Disna Putri Sari

Nafas angin yang menderu berhasil menggoyangkan pohon kelapa. Tangisan langit yang enggan
berhenti pun seolah mengetahui isi hati Nara. Seorang gadis yang duduk di teras dengan angan
yang makin melalang. Ia terus melayangkan kata kapan dalam kebisuan.

kapan dapet kerja baru

kapan bisa bayar sewa rumah

kapan ibu bisa sembuh

kapan. kapan. kapan

Hawa dingin yang semakin menusuk kulit, sama sekali tak mengusik angannya. Hingga sebuah
selimut tipis yang hinggap di bahu dengan lembut berhasil mengagetkannya.

"Adek, lagi mikirin apa?" tanya Raden, Ayah Nara sambil membenarkan letak selimut yang
dipasangnya tadi. Nara hanya menggeleng sambil tersenyum sebagai jawaban.

"Ayok masuk ke dalem, sebentar lagi buka puasa. Ayah udah siapin es teh hangat kesukaan
adek." Mendengar ajakan sang ayah membuat Nara terkekeh kecil. Lalu mereka berdua
melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di ruang makan, Nara meletakkan selimut di sandaran kursi. Lalu, Raden bersuara
memecah keheningan.

"Adek rajin banget puasa senin kamis nya," ucapnya sambil mengacungkan dua jempol kepada
anaknya. Nara memang suka berpuasa, bukan hanya puasa wajib. Ia juga sering puasa sunnah,
salah satunya puasa senin kamis ini. Kalau ditanya kenapa dia suka puasa. Pengin minum es teh
hangat buatan ayah, katanya. Agak aneh memang, tapi begitulah kenyataannya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

43
Dua menit setelah mereka duduk, lantunan adzan mulai mengalun merdu. Terlihat sepasang ayah
anak sedang menengadahkan tangan sebelum akhirnya meraih segelas teh hangat dan
meminumnya.

"Kurmanya dek," kata Raden yang diangguki putri semata wayangnya.

"Yah," Nara berucap pelan membuat sang ayah menaikkan kedua alisnya seolah menunggu
kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari mulut sang anak.

"Sebenernya seminggu ini adek di rumah bukan karena libur. Tapi adek di-phk dari kerjaan,"
ucap Nara dengan kepala tertunduk.

Raden tersenyum sebagai balasan. Ia sebenarnya sudah tau perihal ini, juga tentang masalah
yang dipikirkan oleh Nara. Lima hari yang lalu, saat masuk ke kamar Nara, Ia tak sengaja
melihat laptop putrinya yang masih menyala, menampilkan beberapa info lowongan pekerjaan.

"Gakpapa dek, ayah ngerti. Buat biaya sewa rumah sama rawat inap ibu gak usah dipikirin ya.
Itu tanggung jawab ayah. Ayah juga masih ada uang tabungan." Raden sebenarnya merasa
bersalah. Sangat. Seharusnya ini tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, tetapi pekerjaan
yang hanya buruh serabutan membuatnya selalu merepotkan Nara perihal biaya hidup keluarga.

"Maaf ya, ayah malah buat Adek kepikiran."

"Nggak gitu Yah, adek kan udah gede. Jadi emang seharusnya adek yang bantuin Ayah. Adek
sedih aja kenapa masalahnya dateng bareng-bareng. Gak bisa satu-satu dulu apa ya," ucap Nara
sedikit menggerutu yang mau tak mau membuat Raden terkekeh.

"Adek harus sabar. Kayak dulu awal awal belajar puasa, inget gak? Pas temen temen adek puasa
setengah hari. Adek kuat lho puasa sehari full. Itu karena adek niatkan mengharap ridlo Allah.
Tapi habis itu adek jadi suka puasa terus karna apa?"

"Karna pengin minum es teh hangat buatan ayah," ucapnya bingung namun tetap menjawab
pertanyaan sang ayah.

"Nah iya, kenapa adek nyebut teh hangat itu jadi es teh hangat?"

44
Nara bingung kenapa Ayahnya menanyakan pertanyaan yang sudah beliau ketahui jawabannya.
Namun akhirnya Nara tetap menjawab.

"Kalau pas buka puasa walaupun ayah bikinnya teh hangat, tapi pas diminum seger banget.
rasanya kayak es. Jadi lega," balasnya agak tertawa kecil karena jawaban yang terdengar agak
konyol.

"Tapi adek cuma bisa ngerasain es teh hangat nya pas buka puasa aja kan?" ucap Raden sambil
menaikkan alisnya pertanda bertanya, yang dibalas anggukan kepala oleh Nara.

"Jadi?" ucap Raden yang malah diulang oleh Nara karena Ia tak tau maksud perkataan sang ayah.
Raden tersenyum lembut kemudian beranjak dari kursinya untuk mendekati Nara. Mengelus
kepala putrinya pelan, lalu berucap,

"Adek harus sabar. Sabar emang susah. Tapi semua sabar berakhir indah," kata Raden tersenyum
manis sambil mengusak pelan puncak kerudung Nara, kemudian berlalu meninggalkan Nara
yang mencoba mencerna ucapan sang ayah.

"Ayok sholat dulu Dek, abis itu ke rumah sakit sekalian bawa baju buat ibu," Ucap Raden lagi
sedikit berteriak.

***

Pukul 20.30 WIB

Raden dan Nara sedang berada di angkringan pinggir jalan yang letaknya bersebrangan dengan
rumah sakit tempat Zana, Ibu Nara dirawat. Ya.. setelah sholat tadi mereka langsung ke rumah
sakit untuk menemani Zana. Karena Zana sudah tidur, mereka memutuskan keluar sebentar
untuk sekedar minum teh atau kopi.

“Ini kopi sama tehnya Pak,” ucap penjual di angkringan itu sambil meletakkan kopi dan teh yang
dibawanya.

“Terima kasih Mas,” balas Raden sambil tersenyum hangat.

"Adek mau teh nya aja Yah." Mendapati anggukan tanda persetujuan Raden, Nara segera meraih
gelas teh dan meminumnya.

45
"Astaghfirullah Ayah. Tehnya pahit." Mendengar ucapan Nara, Raden tersenyum seraya
menyodorkan gelas kopinya sebagai tanda dia memberikan pada putrinya. Nara yang mengerti,
mengambil gelas itu dan meminumnya.

"Kopinya lumayan manis Yah. Adek kira pahit, soalnya warnanya item," katanya setelah berhasil
menghilangkan rasa pahit di lidahnya.

"Ayah mau nge-prank adek ya?" Mendapati pertanyaan seperti itu Raden hanya mengangkat
alisnya sebagai tanda tak mengerti.

"Abisnya teh yang keliatan manis ternyata pahit. kopi yang keliatan pahit ternyata malah manis,"
lanjutnya sambil menggerutu.

"Yang keliatannya masalah bisa jadi anugrah. Di setiap masalah pasti ada hikmahnya. Dan yang
keliatannya anugrah bisa jadi masalah juga kan?" Bukannya menjawab pertanyaan Nara, Raden
malah membahas hal lain yang membuat Nara bingung. Saat Nara melihat ayahnya dengan
tatapan bertanya. Raden menggerakan dagunya menunjuk teh dan kopi secara bergantian.
Melihat putrinya yang sedikit bingung, Raden hanya tersenyum kecil.

Setelah selesai, mereka memutuskan untuk pulang. Lebih tepatnya, Raden mengantar putrinya
pulang karena Nara harus bangun pagi untuk interview kerja besok. Ya, tadi sewaktu sampai di
rumah sakit, Nara mendapat kabar bahwa berkasnya lolos seleksi dan besok bisa mulai datang
untuk interview.

Saat ini kuda besi yang tengah mereka tunggangi membelah kepadatan jalan. Syukurlah hujan
sudah reda. Jadi mereka tidak perlu repot memakai jas hujan seperti saat berangkat ke rumah
sakit. Nara terus termenung memikirkan perkataan ayahnya tadi. Hingga senyum kecil terbit di
wajahnya pertanda ia tau apa maksud ayahnya itu.

Setelah sampai di depan rumah Nara turun dari motor dan tersenyum menatap ayahnya.
"Makasih Yah."

"Untuk?" jawab Raden dengan alis berkerut.

"Untuk semuanya. Untuk hari ini. Adek udah ngerti."

46
"Ayah tau, adek emang pinter," ucapnya terkekeh kecil seraya mengusap kerudung Nara.

"Adek beruntung punya Ayah," balasnya menatap ke dalam manik mata Raden. Mendengar hal
itu Raden terkekeh kecil dan dalam hatinya bersyukur karena putrinya sudah paham.

"Kamu masuk duluan aja. Ayah balik ke rumah sakit ya. Jangan lupa pintunya dikunci.
Assalamu'alaikum." Nara menyalimi tangan Raden dan setelah menjawab salam ayahnya, Nara
segera melangkahkan kakinya memasuki rumah. Lebih tepatnya memasuki kamarnya. Nara
meraih foto kedua orang tuanya seraya tersenyum. Getaran di ponsel miliknya menghentikan
aktifitasnya. Terlihat kontak ayahnya muncul di pop up pertanda beliau mengirim pesan.

My superhero

Untuk masalah tadi gak usah terlalu dipikirin ya Dek. InsyaAllah bentar lagi Ibu bakal sembuh.
Inget Janji Allah itu pasti. Semangat buat interview besok putri ayah 

Nara tersenyum membaca pesan dari ayahnya. Dilihatnya ada satu pesan masuk lagi dari
pengirim yang sama.

My superhero

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Melihat pesan terakhir sang ayah membuat Nara benar benar mengerti. Nara terkekeh kecil
memikirkan kenapa ayahnya tidak mengatakan langsung saja. Ada ada saja pikir Nara. Ayahnya
memang selalu punya cara berbeda untuk mengajari Nara banyak hal. Termasuk
memahamkannya tentang agama.

47

Anda mungkin juga menyukai