Anda di halaman 1dari 6

SIMPAN DALAM SAKU ALMAMATER

Saya siswi kelas dua belas IPS dua, disekolah “MEWAH”. Dan saya anak kost.

Kali ini Pak Surasa memberi tugas yang cukup sulit, menceritakan sejarah pribadi
saya. Saya tidak menceritakan tentang pertemanan atau persahabatan, tidak juga
tentang kisah kasih di sekolah seperti judul lagu tahun 2000-an, yaaaa karena saya
tidak punya itu untuk diceritakan.

Siapa peduli dan siapa yang ingin membaca ini, mungkin bapak saja yang
membacanya untuk sekedar memberi nilai.

Tak ada yang istimewa kali ini pak, karna yang istimewa tak akan saya simpan dalam
saku almamater saja, tapi dalam buku tahunan. Dari sini saya akan mulai mengeluh
untuk mengisi tugas saya.

Sering bertanya pada diri sendiri harus membayar dengan harga berapa untuk
mendapat harga. Bukan nominal tapi kosakata.

Awal mula, jauh melirik mundur, saya selalu memberi kualitass yang sesuai dengan
harga, namun mereka jelas melirik keranjang diskon. Karena iklannya lebih menarik
bukan?

Mudahnya begini bodoh, saya tidak diminati karena suatu hal, namun saya tidak
“FOR SALE”. Bukan bergaya, tapi bumi jadi tempat ajang berlaga.

Biar kuceritakan dari awal, dari judul dan pengenalan diri saya sudah tau kan ini
cerita penjajahan abad berapaa, pernah tidak anda merasa tidak puas dengan
lingkungan baru anda?

Ketika anda mentolelir kebiasaan orang di sekitar anda namun tidak berbalik, ketika
anda tetap berada dalam gaya hidup lama, ketika zona nyaman lebih menjanjikan, dan
ketika ada kurcaci nakal yang mengadu nasib di sekitar anda

Tak ada yang salah bukan, saat bumi bukan milik anda semata.
Diposisi seperti ini saya tidak tau harus bagaimana dan untuk para kurcaci itu, tidak
mungkin.

Tanpa mereka hidup anda hambar, selain itu tanpa sixth sense anda bisa merasa dan
melihat jin dalam wujud manusia. Kurcaci yang ini terkutuk, tidak seperti di film
SNOW WHITE, mereka tak bisa keluar dari lingkup pikirannya yang seperti tak
bertuan.

Banyak isinya tapi tak berisi.

Saya benci sekali ketika saya terpengaruh dengan penghuni lingkungan saya, saya
seperti boneka dongeng. Saya berkuasa atas bawah depan belakang diri saya, tapi ya
masa satu kepala lawan dua kepala satu badan dikali, tak terhingga.

Menceloteh menarik hati tapi kosong. Kosong yang dinilai sangat berbobot, 2x lipat
bobot isi kepala, tapi

entah kepalanya ada isi atau kosong juga ya?

Bersorak bangga sekali, pada dirinya yang tetap kosong. Seperti sedang berkampanye
tapi tidak bermodal.

Awalnya kurasa dia mabuk atau pencadu NARKOBOY.

Bual membual sampai saya mual mual. Kadang terlihat seperti penyelamat tapi
dengan kosong yang masih tersemat. Mungkin gelar pintar sedang dikejar, tapi entah
pintar yang seperti apa yang dia masuk sebagai nominasinya, pintar berkarate lidah
atau pintar mengintimidasi.

Baiknya jangan terlalu banyak buat ulah, nanti berulah lelah.

Kamu ini sebenarnya sedang apa si? Mendoktrinisasi? Mencari kaum pengikut ya,
seperti pemuja sakte saja. Sebenarnya apa yang para kurcaci pikirkan tentang saya ya,
rugi apa mereka? Padahal genting rumahnya tidak saya lucuti, nasi di rumahnya tidak
pernah saya buat basi.
Benci sekali kurcaci kurcaci itu pada saya, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Apa
saja yang saya lakukan pasti jadi gunjingan. Saya seperti bagian yang mereka
kecualikan. Padahal sepertinya saya tidak merugikan para kurcaci itu. Ahhh mungkin
sindorm misogini akut.

Atauuuuu?

Sedang pendalaman peran antagonis untuk casting serial drama ikan terbang, apa
mereka tidak tau sad ending yang disiapkan untuk si “ Antagonis”.

Apa tidak lelah jadi begitu? Apa tidak mau hidup santai tanpa memburu-buru orang
lain? Apa mulutmu sudah tidak bisa bicara baik? Dan apa kalian lebih percaya pada
telinga daripada mata?

Makin besar semakin banyak pola polah. Sindir sana sini, yang disana mengadu pada
yang disini. Makin lama makin tak karuan, lama lama jadi bullyan.

PERUNDUNGAN BESAR-BESARAN

“Ahh sok pintar!”

“Ahh banyak bicara!”

“Ahh cari perhatian!”

“Ahh suka ngatur!”

Terlalu hafal lafal kalian menyebutkan, kudengar itu seperti menga-TAI diri kalian
sendiri bukan? Apa kalian tidak paham apa yang kalian lisankan itu adalah cerminan.
Kasihan sekali kalian, sakit hati dengan diri sendiri, tapi belum dirasa.

Tenang on proses, gratis ongkir.

Saya bergelut dengan diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, menanyakan diri sendiri.
Apa yang saya lakukan sampai begini, sepertinya saya selalu mengatakan kebenaran
saat “lawannya” lebih banyak suara.

Apa yang saya lakukan sampai-sampai saya selalu dicela para kurcaci pencari celah.
Apa yang saya lakukan sampai tempat di lingkup bertanduk merekah diberikan pada
saya menjadi tempat singgah. Apa yang saya lakukan sampai-sampai saya tak sampai.

Saat itu saya seperti tak punya muka, namun ditampar, seperti dijatuhkan tapi tidak
sampai-sampai ke dasar, seperti hanya dipandang saat petang, seperti terinjak lalu jadi
kerak, seperti itu kiranya.

Tak apa kurcaci.

“Saya paham betul kamu membutuhkan apa yang sebelumnya saya dapatkan”.

Sedikit ilmu, mereka yang membenci sebenarnya tidak benar-benar membenci.


Mereka membenci dirinya sendiri karena yang saya punyai adalah apa yang mereka
inginkan. Seperti kalah lotre atau giveaway, dari takdir.

Parah,

masih tak cukup puas juga. Pikirmu, “sekalian habisi saja harga dirinya”. Arogan
sekali kurcaciku sayang, tapi setinggi apapun pandangan dari rahangmu kau pucuk,
pandangganmu tetap serendah garis tegak kepalamu.

Untunggnya saya beruntung, saya tenang dan tidak peduli. Saya mempu berdamai
dengan keadaan, bukan keadaan saya, tapi keadaan para kurcaci nakal yang sudah
digariskan. Garis tangannya indah sekali, kurcaci itu bisa tahu hal-hal yang tidak saya
ketahui tentang saya sendiri, hebatnya lagi mereka mampu terlihat santai saat hatinya
tidak damai.

Kenapa? Mana saya tahu, sayakan manusia.


Menerima apa yang harus saya terima, hidup kadang seperti vodka. Manis pahit,
terbuai angan fana yang sangat diimingkan untuk jadi nyata, melantun lantur tartik
ulur seperti mendengkur.

Terima saja namanya hidup. Tidak semua kecup nikmat, dikecup ANJING misalnya.
Kalau ditanya ingin membalas, jelas ingin. Pendosa seperti saya bertambah munafik
jika bilang tidak. Diperlakukan seperti tumbal pesugihan siapa yang terima. Kalau
mati tidak apa, sedangkan saya ditumbalkan tapi masih hidup.

Ingin merubah nasip tapi tidak mungkin mendahului Tuhan, jadi saya ikuti saja. Suka
duka duka duka duka, banyak dukanya kan. Saya nikmati semua saya sruput semua
saat masih panas.

Gusti Allah Mboten Sare!!!!!

Syukur. Saya tidak pernah mengemis empati, apa lagi caranya dengan membalas si
kurcaci. Saya tetap menjadi saya yang setahu saya. Tidak dengan yang beredar, ini
limited edition.

Sudah upgrade!

Senang rasanya bisa melewati terror yang tidak horror. Saya percaya pada diri
sendiri, pada kemampuan saya. Saya bisa jadi apapun yang saya inginkan, semampu
saya. Saya sudah berhasil menjadi seorang pemadam, amarah. Saya hebat dalam
perihal diri saya.

“Tidak perlu jadi sempurna untuk mengispirasi orang lain. Biarkan orang lain
terinspirasi tentang bagaimana saya menangani ketidaksempurnaan saya”

Saya tidak berpura pura, hubungan saya dengan diri saya smenentukan nada untuk
setiap hubungan lain yang saya miliki. Jadi baik atau tidak itu pilihan. Tapi tidak ada
gunanya menghukum petaka, tumbuhlah darinya maka akan sangat berharga.

Ternyata menerima juga butuh usaha.


Teruntuk Kurcaci nakal, “tolonglah disudahi”

Setelah saya mau bertumbal siapa lagi, kalau haus minum jangan malah minta
perhatian itu namanya murahan” FOR SALE”. Membenarkan caramu tidak begitu
cara yang benar. Jangan mengadili orang lain. Kepuasan apa yang didapat?

Sampai sini saya sadar. “ Ternyata hanya iri”. Jangan lupa datang kalau reoni.
Pastikan almetmu tak tertukar atau hilang saat upacara terakhir, salam hangat korban
tumbal gila hormat.

-Paula Rachmadi

Anda mungkin juga menyukai