Anda di halaman 1dari 3

Tanyakanlah arti kebebasan pada kawanan kuda liar.

Otot mereka kokoh akibat


kecintaan mereka pada berlari, bukan karena mengantar seseorang kesana-kemari.
Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan. Di punggungnya
terdapat cinta, bukan pelana yang disandangkan paksa. Hidup mereka indah dalam
keinginan bebas. Hari ini ke padang, esok lusa ke gunung, tak ada yang bingung.
Kebimbangan tak pernah hadir karena mereka tahu apa yang dimau. Yakin apa yang
diingini. Lari mereka ringan karena tak ada yang menunggangi.
Kelelahan akan berganda apabila dihela. Waktu akan mengimpit apabila dikepit. Dan
suara hati akan mati jika dikebiri. Larilah dalam kebebasan kuda liar. Hanya dengan
begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam kehidupan yang
cuma satu.

Sudah hampir sepekan kita menjalaninya. Lima hari. Kalikan dua puluh empat
jam. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enampuluh. Niscaya akan kau dapatkan angka
ini : 432.000.
Itulah banyak sekon sejak saya kembali bertemu dirimu. Angka itu lebih
fantastis kalau ditarik sampai skala mili. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau
masih ada disitu. Ditiap inti detik, dan didalamnya lagi, dan lagi, dan lagi
Penunjuk waktu mu tak perlu mahal-mahal. Memandang mu memberikan ku
sensasi keabadian sekaligus kematian. Penunjuk waktu tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan tujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti
riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahi lagi dengan rayuan. Angka ribuan
tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tak bisa logis. Cinta mampu
merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang sudah pukul 5.00* di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini.
Menyumbangkan lagi 3.600 sekon kedalam rekening waktu ku. Terimakasih, aku mulai
kaya. Andai bisa kutambahkan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, dibelakangnya. Tapi
engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang ditengah-tengah.
Sensasi ilahi. Tidak dolar, tidak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah tahu bagaimana hatimu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah
siapa. Aku hanyalah orang baru yang datang, entah darimana, yang belajar mengerti
bagaimana hatimu bekerja. Atau malah aku belum lagi masuk dihatimu? Aku hanya
duduk menyendiri diluar, menunggu hati itu terbuka atau mungkin dibukakan. Aku
sadar itu. Aku masih asing bagi hatimu. Aku tak akan pernah sanggup menyaingi
makhluk anonim yang telah duluan memasuki relung jiwamu.
Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkan saja ngeri. Apa rasanya
dipeluk dan didekap tanpa pretensi?
Aku orang asing bagimu, setidaknya untuk segera dengan mudah memasuki
rumah jiwamu. Aku sangat menyadari itu. Aku telah mencoba memaksa masuk, tapi
malah aku terkesan tolol. Aneh. Melankolis dan entah apapun namanya. Aku juga
menyadari, saya telah jauh membohongi hatiku. Aku tak bisa sok puitis, tak bisa sok
perhatian. Aku tak bisa menjadi lelaki seperti Chairil Anwar. Aku hanyalah seorang
manusia dengan latar belakang pemberontak. Aku musuh bagi pikiranku. Aku musuh
bagi segala sesuatu yang mapan. Aku musuh bagi kenyamanan dan pujian. Aku bahkan
menjadi musuh bagi diriku sendiri. Kau tentu paham, aku telah menceritakan latar
belakang ku yang seorang mantan gondrong. Aktivis yang jelas apa yang
diperjuangkannya. Setidaknya dalam konteks yang lebih luas.
Kini, ijinkan aku memohon. Memintamu jujur pada diri sendiri, seperti kuda liar
yang hidup bebas dibelantara. Tanpa suruhan, apalagi paksaan. Setidaknya jujurlah pada
kata hatimu. Atau lebih jauh, jujurlah pada illahi disana. Itu lebih baik ketimbang kau
menyia-nyiakan tabung waktu mu. Engkau tak merasa rugi? Membiarkan tabungan mu
terbuang percuma. Ah engkau jangan seperti koruptor, yang suka berfoya-foya.
Engkau tak memiliki perasaan yang sama seperti diriku kan?
Aku belakangan mulai menyadari, aku tak seharusnya bertindak anarkis.
Dengan segala kekonyolon ku, datang memaksa memasuki relung jiwamu. Tapi tetap
saja usaha itu sia-sia. Tokh pada akhirnya engkau menganggap aku agresif. Hanya orang
anarkis yang bertindak agresif. Atau mungkin malah menimbulkan hal yang lebih
jauh lebih buruk, kontra produktif dengan tujuan awal ku. Engkau mungkin sudah ilfeel.
Oh betapa parahnya.
Begitu banyak yang ingin ku bicarakan. Tentu lembaran-lembaran kertas tak
akan mampu menampungnya. Tapi ijinkan aku mengucapkan satu hal, aku tak akan
bertindak anarkis, aku mungkin telah membohongi jati diriku. Biarlah cinta ini
berkembang dalam diam. Sebab cinta telah melampui daya tampung sebuah kalimat.
Aku akan menghadapi nya dengan ironi, aku janji. Serius. Aku berjanji. Aku sekarang
telah banyak belajar. Engkau tentu tahu, aku benar-benar lagi belajar. Bertindak
anarkis merupakan cara saya meyakinkan mu, paling tidak, itu yang saya yakini. Tapi
lupakan. Saya sudah menyadarinya.
Dihamparan gurun yang seragam, engkau jangan lagi menjadi butiran pasir.
Sekalipun engkau merasa nyaman ditengah impitan sesama mu, tak akan yang tahu jika
engkau melayang hilang.
Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apalagi menjadi kaktus.
Sekalipun hijau warna mu, engkau tersebar dimana-mana. Tak ada yang menangis rindu
jika kau mati layu. Di lanskap gurun yang maha luas, lebih baik tidak menjadi oase.
Sekalipun rasanya engkau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaran mu
disana-sini.
Ditengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan
kalahkan dingin mu, angin malam akan menggigil ketika melewati mu, oase akan
jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar
bergerak dua inci.
Tetaplah menjadi manusia yang bebas. Janganlah gadaikan perasaan mu pada
rasa belas kasih. Aku tak suka. Jadilah seperti Nietzche yang berperang dengan segala
bentuk belas kasih. Belas kasih itu tanda kelemahan manusia. Jadilah ubermens seperti
mahkluk harapan Nietzche. Saya yakin, setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau
berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau berbeda. Dan
saya meyakini itu.

Adu, 26 Mei 2013

---Di penghujung pagi---

Anda mungkin juga menyukai