Anda di halaman 1dari 10

I.

"Ini yang kutunggu"

Gumam ku dalam hati ketika fajar menampakan dirinya yang berarti pagi telah tiba. Pagi
memang adalah waktu yang paling aku nanti nantikan, karena bagiku pagi itu bagaikan kapsul
penenang pikiran untuk jiwa yang di biru lebamkan oleh malam. Udara segar yang di selimuti
bulir embun di setiap daun yang telah jatuh, pun yang masih setia bersama pohon nya adalah
bentuk pembebasan dari indera penglihatan. Bau tanah yang basah selepas hujan tadi malam
merupakan bentuk rasa syukur pada semesta karena masih meng-ijinkan ku untuk hidup sekali
lagi, seperti oksigen yang masuk kedalam paru - paru tanpa di minta bayaran dan tagihan alias
gratis.

Masih tergambar jelas semua itu, saat gelap menirai angkasa dan para pasukan kerlip bintang
mengisyaratkan pertanda pada suatu malam yang mungkin tidak sebenarnya terjadi, namun
harus di akui bahwa itu adalah realita, bagian dari dinamika yang tak akan pernah terpisah dan
akan terus mengorbit dalam hidup.
Ketika itu ia datang bertamu di sepertiga malam, wujud aslinya berupa penderitaan basah
kuyup di guyur hujan bulan maret, dalam hiruk pikuk genteng yang di injak injak rintikan kala
itu ketiga kalinya ia datang tanpa salam. Dua kali sebelumnya kita bertemu di gang sempit
menuju parkiran motor, seorang wanita memperkenalkan ku dengan sosok yang membuat ku
terjaga dan membenci setiap detikan jarum jam di malam hari. Selepas berkenal sapa aku yang
tak pernah mengharapkan ia menjadi teman bahkan bagian dalam narasi hidup ku selalu saja
datang dan pergi tanpa pamit.
Sejak saat itu hutan liar menjadi sangat liar, langit langit kamar ku di penuhi sekumpulan gagak
hitam dengan mata tajam dan paru nya yang buta. Dinding - dinding kamar melebur hingga tak
nampak ruang, sangat gelap. Mau bagaimana lagi, pahit terlanjur ku telan, luka sudah terlanjur
berlumuran darah. Menerima kenyataan adalah ancaman, tapi menolak kenyataan adalah
kepengecutan diri sendiri. Ketidak berdayaan membuat semua ini menjadi derita, dan
kekecewaan adalah muasal dari semua itu, ibarat api ia adalah pemantik yang membakar dan
membumi hanguskan hingga akhirnya menjadi debu dan terbang di tiup angin.

"Asal kau tahu, insomnia ini selalu datang membunuh. Semoga saja kau bukanlah target
selanjutnya untuk di bantai"

Ucap ku dalam dialog maya pada saat itu.


Dalam dialog dengan menggunakan layar sentuh saat itu aku mencoba untuk meyakinkan nya
bahwa aku adalah yang bisa di andalkan, aku adalah arah dari putaran jarum kompas, dari
setiap keluh kesah aku adalah pundak untuk bersandar. walaupun pada akhirnya semua itu
hanyalah omong kosong yang menurut kedua telinga nya adalah ungkapan memelas meminta
untuk tetap ada menemani kebodohan ku.
Aku harusnya tahu, bahwa genggaman tidak selamanya menyelamatkan apa yang sejatinya
retak. Sekali pun aku mencoba memutuskan urat nadi, tidak akan membuat yang beda menjadi
sama. Ia tetap akan menjadi garis di batas keinginan.
Aku juga harusnya tahu, kadang kemampuan untuk menyayangi dan merindu itu bisa saja
memupuk sejumlah energi yang setimpal untuk terus membenci di kemudian hari. Meskipun
aku tidak akan pernah menyangka, betapa manusia yang tanpa ragu dan dengan tekun aku
sayangi, dapat pula melukai diri ku secara keji.

Namun, terlepas dari semua duka lara dan kekecewaan yang tersaji sebagai menu utama, ada
sosok yang pernah kami ciptakan dari suatu insiden yang hampir meruntuhkan konstalasi benda
benda langit, culva yang membuat ku mengalami perjalanan spiritual dan terbangun nya
kesadaran, ia juga yang menjadi penyemangat dari setiap problema yang mengusik kehidupan
kami. Ia lah Raya Imaculata. Tak pernah terlintas atau berharap ia akan hadir sebagai penengah
di antara kami berdua sampai pada akhirnya harapan itu menjadi ada dan kekal, sempat pula
bercita - cita untuk menghadirkan nya secara nyata, hidup dan bertumbuh layak nya bunga
matahari sebagai simbol harapan baru. Raya membawa ku ke alam dualitas antara realita dan
ekspektasi yang menjadikan hidup ini ada atau tiada, waras atau gila , senang atau sedih, bahkan
hidup atau mati. Tak pasti, semua terjadi tanpa di rencanakan, tiba tiba saja ada. Bukan tanpa
maksud, semua berbekas di ingatan yang tiap saat nya menghasut jiwa untuk segera melupakan
apa yang terjadi di masa lalu, tapi jiwa yang kuat ini mempertahankan semua itu walau harus
menerima bantaian dan makian yang membuat luka semakin dalam dan rasa sakit yang terus
menerus tumbuh subur di sirami petaka demi petaka tiap harinya.
Energi positif ini akan selalu ada untuk menemani kesepian dan perjalanan dalam kesendirian
hidup yang beralaskan nestapa.

"Jangan terus-terusan bersedih"

Kata seorang anak kecil, berambut hitam panjang dengan wajah polosnya. Ia tak banyak cakap,
hanya ingin memeluk erat tubuh ku. Aku yang saat itu sedang terluka parah oleh kekecewaan
kerap kali mengadu kepada nya.

"Iya, ini lagi berusaha sendiri"

Entah kenapa gadis kecil ini selalu tau perihal rasa dan keadaan ku, selama ia datang, pasti di
saat-saat yang tepat, saat aku sedang berada dalam titik terendah dalam hidup.
"Jangan marah-marah"

"Kecewa boleh saja, tapi jangan sampai emosi menguasai diri"

Timpah nya saat iblis dalam diri segera akan membaluti ku.

Saat itu seperti biasa, makhluk yang bernama kesengsaraan datang kembali menjenguk ku
seperti seorang pasien yang sedang terganggu kesehatan nya. Bedanya, pasien kali ini adalah
pasien yang kesehatan mental nya bersumber dari seseorang. Seseorang yang tiap harinya ku
pegang tangan nya, kupeluk ia dalam balutan kasih sayang yang pada akhirnya harus
menghadirkan luka di tengah keramaian dan sukacita.

"Kau ini bagaimana? Sudah seminggu ku jenguk, kau masih sama seperti sedia kala"

Ucap anak kecil itu ketika ia datang tapi keadaan masih sama, masih saja terpaku oleh
kenyataan.

"Bukan perihal mudah kalau harus melupakannya begitu saja"

Ucap ku setengah membantah

"Kalau begitu, bagaimana bisa kamu menguasai diri mu sendiri?"

Barangkali selalu akan menjadi muara kelemahan manusia ketika berhadapan dengan
keabsurdan hidup dan ketidakpastian, manusia pada akhirnya akan terus mencoba nyaman
dengan segala kepastian meskipun itu hanya khayalan dan menolak hidup tegar menjalani
pilihannya meski tak pernah ada jaminan semuanya berjalan sesuai dengan harapan. Kesadaran
ini terbangun seminggu setelah aku mulai memahami bahwa kehilangan ternyata akan selalu
datang kapan saja, pasti esok, pasti lusa, pasti pasti dan pasti. Sesaat setelah konflik kemarin
yang menghancurkan arah mata angin.

"Tidurlah ini sudah pagi, tak ada yang lebih menyayangi mu selain dirimu sendiri"
"Namun, pada saat yang sama, ada kerinduan dalam diriku yang tidak terpuaskan, terlahir dari kesepian
yang muncul karena harus tumbuh terlalu cepat, sesuatu yang tak dapat didefenisikam terus menyala
dalam diriku."
(Fumiko kaneko)

Aku agak heran mengapa kita tidak dapat dengan lugu saling berujar seperti waktu lalu,
sementara aku seperti bisa merasai sesuatu yang bernafas dengan sengal. Begitu sendat dan
pudat. Aku seperti tengah mendengar suara bapak ku yang asma bertahun-tahun lalu. Namun
itu bukan entitas organik yang mempersilahkan gas-gas hidup lalu-lalang di sepanjang waktu
hidupnya. Sebenarnya ingin sekali kuajak kau menyaksikan kerumunan warga yang
mengeliling mikrolet biru yang terjungkal di tengah jalan sementara supir dan penumpangnya
terbaring di atas aspal. Bau darah dan aroma kekebasan. Aku ingin kau melihat satu lagi
kehilangan yang membuktikan bagaimana hidup ini bersilang-nafas, tapi sayangnya kau terlalu
keras kepala untuk kubantahi.

Barangkali semua ini hanya realita pertemuan titik-titik imajiner paling malang yang pernah
digagas oleh hidup. Jejak-jejak manusia yang berkehidupan di dalamnya hanya tengah
mencatatkan biang-biang kerok yang patut disumpahi atas realita semu akan teritori itu. Seperti
kedatangan dan kehilangan juga kelahiran dan kematian yang membuat aku dipergunjingkan
atas keduanya. Aku tak meminta lahir. Jika aku bisa memilih, aku lebih suka menjadi rumput
liar yang menjalari lantai dan tembok bangunan tua. Begitu tak signifikannya kelahiran yang
dibiarkan berlalu di ibu teritori ini. Manusia begitu tak niscaya atas keberadaannya. Tidakkah
pedih seluruh upaya mu untuk mengunci kesunyianku dengan hingar dan bingar hanya agar
aku tak keburu ketakutan jika dihampiri kesepian, sementara kesunyian sebenar-benarnya
adalah kawanku yang paling bijaksana? Dunia telah mencuri hakikat dirimu. Layaknya
kematian yang juga terlalu banyak dibiarkan dunia untuk berlarut dalam kejap kemudian
lenyap bersama lanskap yang sendat. Tapi barangkali, justru di sinilah kita dapat pergi berlari.

“Apakah kau pernah berjalan-jalan di boulevard selepas tengah malam? Sebab aku ingin
sekali menikmati sunyi malam ini”

Hidup merenggut kesadaran ku dalam beberapa tahun terakhir ini dan bau fermentasi merebak
seluruh pakaian ku. Aku tak ingin kau mengomentarinya sebab aku adalah diriku, lebih suka
membiarkan bunyi berlalu-lalang tanpa ingat untuk dicatat lekas-lekas. Seperti kenangan juga,
kuyakini aku akan mengimbuhi, sebab harapan ku juga semelarat hidupku. Sesegera aku
tersadar, seluruh rangkai kata itu akan ku imbuhi dengan serapah. Kadang aku juga tak benar-
benar memahami sastra, tapi kurasa itu tak penting.

Namun kau terus bersikukuh bahwa aku sudah terlalu banyak minum dan butuh tempat tidur.
Bagaimana aku rebah jika fase ini telah berdiri dalam horizonnya yang vertikal? Aku masih
bisa melangkahkan kaki ku ke tempat kita memarkirkan banyak fragmen sajak yang rontok dan
getas. Kau bisa ikut dan kita akan menjadi mitra dalam hal ini, tersengal dan tersendat sembari
meruangi kedatangan dan kehilangan tanpa perlu repot untuk merasa bersalah.
Aku rasa, semakin saku berpikir telah memahami seseorang, semakin aku kehilangan
keyakinan pada diri ku sendiri. Cuaca bulan Maret membuat ku sakit-sakitan. Seburuk
pancaroba yang menerpa melalui banyak manusia yang tak dapat ku terka, cuaca di bulan Maret
seperti remaja setengah dewasa yang serampangan menjejalkan setiap pembangkangan. Aku
seperti terkulai. Aku tak lagi sanggup banyak-banyak berjalan. Separuh tersadar seperti
memanggul sisa mabuk minggu lalu yang tak kunjung selesai dari tubuh ku.

Aku seperti menemui anak-anak tangga yang bergerak di tiap tapak. Aku membayangkan
selembar selimut tebal yang membungkus tubuh ku dengan aroma kopi pertama yang pernah
ku hirup sewaktu aku kanak-kanak. Aku tak punya ingatan tentang baunya. Aku juga tak punya
ingatan tentang manusia yang selalu sepenuhnya bisa ku baca. Aku tak ingin mengeja nama-
nama. Aku hanya sedang ingin sekali merekayasa ingatan malam ini. Mengapa aku tak bisa
tidur sepanjang fase ini? Aku hanya ingin terjaga ketika cuaca tak lagi semena-mena.

Aku ingin bisa memisahkan diri dari tubuh ku sendiri dan menyaksikannya berjalan sendirian
di antara gelap sekaligus gemerlapan. Aku belum pernah menyaksikan tubuh ku bekerja selain
dari pantulan kaca. Aku ingin memandanginya dari ujung trotoar sampai batang rokok yang
tersisa di saku ku membakari sendiri ujung-ujung saringnya.
Mengapa kita tak kunjung menerima orang-orang yang datang ke dalam mimpi buruk untuk
menangis sendirian? Lampu-lampu santun kita biarkan meremangi keriuhan yang begitu ingin
kita lupakan. Aku mendengar bunyi ngilu yang menyedihkan dari seorang pagi ini yang
berujar, satu per satu kawan ku dipanggil tuhan bulan-bulan ini. Mungkin tuhan hampir datang
bulan, sebab cuaca begitu berantakan. Tubuh ku turut merepih di meja makan.

Aku menangis malam tadi dalam keletihan. Cahaya terlalu temaram untuk aku bisa mengenali
titik yang mengambang di ujung mataku. Aku bertanya-tanya tidakkah kau menangis juga
malam tadi, karena kau selalu yang paling perasa. Sementara perasaan-perasaanku seperti telah
lama mangkat dan tak mengenal kehidupan kedua. Tapi, aku menangis malam tadi. Seperti
luka yang lama tak pernah bertandang, lalu mampir dan menjarah—tentu saja tanpa permisi.
Aku seperti menyaksikan diriku dan kamu serta segala kegilaan yang kau pendam diam-diam.
Aku tak tahu bagaimana kamu memainkan bayangan masa depan di dalam kepalamu. Aku
sendiri juga kadang tak paham bagaimana bayangan masa depan berlarian di dalam kepalaku.
Mereka berganti tiap petang. Mereka terganti tiap gamang. Aku ingat malam-malam waktu kita
tak bisa tidur. Mimpi-mimpi kita berlarian dalam kata yang terlontar dari lidah-lidah kita yang
penuh gairah. Keinginanku, keinginanmu. Kebahagiaanku, kebahagiaanmu. Segala cita-cita
yang kita pikir tak pernah perlu ada, tapi kita tetap melakukannya. Bersama luka, bersama
pertaruhan terhadap segala nelangsa. Kita tetap berjalan menghadapinya, tak tahu akan ke
mana. Tapi kita tetap berjalan.

Aku pernah mengira aku tak bisa lagi jadi rapuh, tapi malam tadi aku menangis. Aku seperti
menyaksikan kebodohan dan kekecewaan kita diperistiwakan, dengan segala peluk dan kecup
turut dalam pelarian kita yang seperti menyerah untuk berhenti, untuk kecewa, untuk terluka,
atau untuk bertanya untuk apa kita lakukan ini? Tapi malam tadi adalah istimewa dan aku
menangis sambil menggenggam tanganmu. Memandangi matamu yang memandangi mataku
yang memandangi setiap mimpi yang penuh dengan kegilaan. Aku ingin bisa bersamamu,
menggandeng juga orang-orang gila lainnya yang tak mau tahu artinya lelah, artinya
disingkirkan, artinya diabaikan. Tekun di jalan sunyi, karena kau tahu cara meredup sepi.

Sebenarnya, aku ingin menulis malam itu. Di sakuku tersemat sebuah ensiklopedi. Jangan
bilang pada siapapun: di dalamnya tercatat banyak-banyak catat tentang kenangan dalam lini
waktunya yang berantakan. Di dalamnya bisa kau temukan manusia-manusia yang saling
bertukaran entitas dan sejarah. Kau benar, aku menimang kusut di sakuku sepanjang hari. Aku
hanya sedang ingin belajar merajutnya ulang satu per satu. Belajar menyusun ingatan dalam
kapasitas emosionalnya yang tak lagi gegabah. Karenanya, kuputuskan untuk mencatat kisah
ini, kisah manusia yang tak lagi ceroboh hingga merapalkan banyak-banyak pelukan. Sehasta
dan dua hasta dan tak boleh lebih. Namun kurasa tubuhku enggan.

Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan kumpulan kata tercecer dari setiap rongga yang ada
di tubuhku, seperti peluh yang gagal mencipta rumah untuk berpayung di antara lumat pagut
yang kabur. Begitu mudahnya ternyata urung hinggap dan mencuri lebih dari dua pertiga sisa
malam untuk kita rayapi, meski tidak dengan waktu. Lalu kusaksikan tubuhmu malam itu:
melipat dan meregang di antara rangka yang janggal. Seperti himpit pada mesin waktu yang
membawakan lagu-lagu dari para mangsa sebelum habis lahap. Di selanya aku heran, aku yang
melumat atau seluruh entitas realita yang menjelma pejal malam itu. Tapi toh kita kembali
gagal mencatat sajak, juga banyak-banyak pasal yang kuyakini akan gagal kita lafalkan
kemudian. Seperti bunyi di televisi. Kusaksikan wajahmu berkedip meski kau mengelak. Aku
melihat banyak lintasan sejarah yang tak perlu kutonton, tapi wajahmu terus menerus
memutarnya. Bagaimana ya aku mencatat rona? Yang kupunya hanya nukilan dari sisa-sisa
partikel yang membias dari pangkal tulang rahangmu. Bukan teh susu atau apapun itu.
Mungkin semangkuk kue santan dan lain-lainnya yang harus dihabiskan cepat-cepat sebelum
mereka meracuni seluruh indera dengan distorsi memori akan rasa.

sayangnya kita tak kunjung dibekali pelajaran untuk mengabulkan perasaan sebaik kita
menggumuli ingatan-ingatan. Ada bau dari entah berapa ratus juta titik debu yang hinggap di
kaki kita berdua: lekat dan lepas dan sejenak mencatat dengan ketekunannya yang ganjil akan
kesetiaan pada waktu-waktu lalu. rindu seperti kecap manis yang tak kunjung dapat habis kita
sesapi. bukan mengada-ada aku berkata, masih kuingat debar yang kupunya juga sentak juta
kepak kupu yang gelisah di rongga perutku– juga aroma tubuhmu. sayangnya perasaan-
perasaan memang tak berhak mengungguli kita mengecap derap waktu yang pejal: ingatan
tentang perasaan tak pernah pandai mengembalikan perasaan-perasaan. kau mungkin pandai
berlarian tanpa lagi ingat menoleh dan menggapai ujung-ujung jariku. aku juga mulai lebih
gemar berjalan perlahan-lahan dan membagi waktu pada ruang yang mujur. kukecup kau
sesekali tapi ragaku juga urung. dan mungkin kau juga. seperti kita juga lupa riang yang kita
punya dari ucapan-ucapan selamat pagi atau pelukan sebelum tidur. kita memang tak pandai
merawat perjumpaan, namun sayangnya kita terlanjur meredupkan kesemena-menaan yang
menjadikan lumat perasaan kita dulu: dan kita tak kunjung tega menyadurkan waktu untuk
undur. Aku gemar menyebut diri tukang kebun yang pandai merawat kebun waktu hingga habis
sesap teh susu yang kita seduh di halaman belakang. sedang kutemui tukang kebun sore lalu:
bahwa perpisahan adalah kesempurnaan; dan kau akan menyukainya.
Mungkin kau yang berhasil mencatat rona karena aku selalu cidera mengeja indera. Atau kau
bisa mencatat dimensi waktu yang membawamu malam itu, sebab kulihat betul bahwa kau
berjalan mundur. Seperempat abad tanpa cacat. Atau tubuhku saja yang lambat merekam lumat.

Aku jadi ingat kembali betapa melankolisnya aku di setiap menit-menit yang kuhabiskan untuk
menunggu di dermaga pelabuhan. seperti seorang tua yang tabah dan teguh. tubuhnya gagah
namun sabar. bersetianya ia membiarkan banyak pertemuan juga perpisahan berangkulan di
bahu-bahunya. layaknya ruang antar di bandar udara yang menyaksikan begitu banyak ciuman-
ciuman yang menyakitkan, dermaga senyap-senyap menghidupi peluh rutinitas dan cinta yang
menggebu tanpa angkuh. setiap pijak yang kuambil dan yang kuistirahatkan di jalan-jalan
selalu mengingatkanku pada banyak pertemuan yang kemudian menjadi ibu dari banyak
perpisahan dan kehilangan. Sekali lagi, seperti seorang tua yang sabar dan begitu lembut hingga
hampir sumir menuturkan banyak iring-iring perjalanan yang tak mampu saling menyentuh di
ujung rangkaiannya. semesta seperti tak pernah kehabisan lelucon jenaka. diajaknya kita
bertekun menyisa waktu untuk menertawai diri kita sendiri.

aku jadi ingat betapa aku pernah begitu setia menulis puisi di setiap tengah malam yang
kusinggahi. sajak pernah begitu teduh mampir berlabuh di bahuku; sebelum kelu tiap getar dari
kepak para kupu yang kupenjara dalam rongga perutku. aku kemudian jadi ingat betapa aku
telah melupa rasanya merasai, rasanya menyayangi, rasanya mengepuli setiap ingin yang pelak
kusebut rindu. Murakami benar, justru terkadang ingatan mengkhianati diri kita sendiri.
Tidakkah kefanaan begitu mahir menggurui kita tentang keinginan dan tiap distorsi kenangan
yang kita pilah dengan serakah?

aku tak tahu jika kenangan wangi sebuah pagi yang menggulung di kepul hitam kopi atau deru
kesumba senja yang meraung senyap-senyap di antara kecup yang menggelikan memang benar
potongan ingatan yang kubangun dengan daya yang sempurna atau hanya dalih dari banyak
amarah juga serapah serta lidah yang tak merasa. Manusia mungkin bisa berbahagia, tapi
sayangnya kita tak pandai memiliah ingatan dan kenangan dengan daya yang maha.

Aku jadi ingat setiap kelelahan yang kuhantar dan kusembunyikan di bangku kamar ku. Pun
ingatan dan kenangan mampu juga terjungkal dan mengakumulasi ulang setiap ngilu dan
pengap yang lama kita singkirkan. Aku merindukan debur pantai serta pecah ombak yang setia
meregang pertemuan sekaligus perpisahan tanpa pernah menyisa ruang pada kesedihan atau
segala nama perasaan yang kita sematkan pada tiap sesak di antara denyut yang menempeli
rusukku. Tak bisakah kita bermain curang dengan melipat ruang hingga melarikan diri dari
sergap waktu yang bengal?

Aku membacai puisi lagi malam ini tapi aku jadi ingat bahwa aku tak lagi ingat rasanya
merapali kesedihan. Seringkali manusia hanya perlu berpapasan satu sama lainnya: untuk
sesekali, berulang kali, setiap hari, atau untuk tak mengenali lagi satu dengan yang lainnya.
Lucunya waktu hanya ada untuk melumatkan ingatan dan daya kita yang renta. Betapa lucunya
manusia.

aku jadi ingin duduk-duduk sepanjang hari di trotoar tempat gerobak para buruh bongkar muat
dan menyaksikan banyak-banyak persinggahan; sebelum aku kembali mengingat perasaan-
perasaan yang tepat pada setiap perpisahan. Semesta memang jenaka, sayangnya ia hampir tak
pernah berhasil ku kalahkan.

II
“Apa yang kita sebut sebagai saat ini dibentuk oleh akumulasi masa lalu”

(Haruki Murakami)

___________________________________________________________________________
Aku sudah pernah belajar hidup, karenanya aku sudah pernah belajar membunuh. Aku belajar
membawa perasaan bersalah sebagai kedaulatan tubuh yang mengejang atau darah yang
muncrat di jelang ajal. Entah itu semut entah itu waktu yang akan melumat habis jasad. Aku
sudah pernah belajar membunuh tapi aku tak pernah belajar cara bertarung melawan orang-
orang yang enggan hidupnya dicabut. Mereka membiarkan aku membunuh. Aku hanya ingin
mencabut mimpi dari seluruh tidurku. Mencabut pelajaran-pelajaran membunuh yang
merenggut segala bentuk perasaan dari dalam tubuhku.

Namun itu bukan masalah lagi. Aku sudah pernah belajar caranya mati. Sabtu lalu aku pergi
menjumpai tubuhku lagi dan menyadari bahwa mati hanya perasaan terburuk: kita berpikir
bahwa ia adalah akhir, namun ia hanya pintu bagi hidup lain yang harus kita lalui—lagi,
berulang kali. Aku tak tahu bagaimana orang-orang lain dapat bertahan hidup, bagaimana
mereka bisa menyenangi hari, bagaimana mereka bisa menyadari bahwa perjalanan mereka
masih punya arti.

Kita mungkin tak perlu lagi percaya perihal omong kosong yang pernah hinggap di kepala kita
tiap kau seduhkan kopi malam untuk kita berdua. Ruang singgah yang begitu sementara hanya
mengekalkan perasaan yang sia-sia. Aku bisa saja ingin terjaga pada subuh dan mendapatimu
di sisian tempat tidur dengan asik nya mengobrol dengan handphone di telinga bersama orang
lain. Memberesi gambar-gambar di atas meja kerja yang dipenuhi remah juga jejak dari undak
cangkir kopi ku yang kesekian. Aku memilih corak dan warna kaos hari itu, lalu berjingkat
mengingat celana bahan yang pas ternyata masih di keranjang cucian. Berangkat dari kertas
puisi yang ku tulis yang kau selipkan di dalam dompet mu. Jaket hitam ku yang dekil dan lusuh
kubiarkan terpakai: memeriksa setiap saku nya, mungkin korek api dengan gas yang menipis
atau mudah-mudahan saja sebatang rokok yang tersisa tadi malam.

Aku ingin bangun lebih awal daripada matahari yang menyembulkan keangkuhan. Aku ingin
merenggut pagi lebih dulu, meraup sisa udara jadi bekal di perjalanan kita hari itu. Rutinitas
kita rayakan dengan ciuman. Mungkin lama, atau sebentar, asal ia tak terduga. Melupakan
pertengkaran yang kita hadapi tadi malam; gelut tubuhmu lebih baik dari raut muram kita
berdua. Tapi kita boleh abai pada pikiran-pikiran itu. Aku menyadari kau menyimpan rahasia
di labirin yang tak ingin ku telusuri. Mungkin kekasihmu, atau impian kekasihmu. Karenanya
aku akan pergi membaca sepulang usai kencan kita hari itu. Mungkin menyendiri di trotoar
tempat tongkrongan atau menyelinap di antara orang-orang lalu berpura menikmati hidup tanpa
emosi yang tak berguna. Hingga pekan akan berjalan lamban tanpa aku pernah paham mengapa
luka gemar menemui ngilunya sendiri. Maaf telah kebas dan aku tak percaya apapun dari
perkataanmu. Tapi kutemui kau, lagi, di tiap akhir pekan. Berpura kekasihmu satu-satunya,
berpura cinta memang ada pada semestinya. Kita tak perlu mengeja bahagia, sebab pada hari-
hari biasa kita berhak saling melupa, saling mengacuhkan, dan saling menyakitkan. Tubuh kita
tak mengikat perjanjian dan kucintai kau tanpa ikatan. Perasaan seringkali tak berguna, dan
kuingat ke mana aku, selain akhir minggu, harus menyingkir tanpa gerutu. Mencintaimu hanya
perkara bersetia pada jarak, dan kala dapat bekerja pada semesta yang tiba-tiba saja
mengajariku mengeja ketekunan pada pijak: undur dan lenyap dalam pendar. Biar kenangan
mencatat sajak dari anak ruhaninya sendiri; sedang kau, dapat hidup bahagia.
Sebenarnya aku sudah tak lagi menanti debaran. Aku sudah tak ingin menghabiskan waktu
menerka-nerka, “Kau sedang apa?” Aku tak ingin bolak-balik membuka kotak percakapan kita
dan bertanya-tanya sendirian mengapa kau tak kunjung membalas pesanku—sebab bukankah
kau pernah bekata bahwa masa muda milik semuanya dan akan ada yang datang tanpa
pemberitahuan? Tapi aku tak ingin kau bosan dulu.

Aku masih ingin bisa menemuimu pada suatu sore yang kita juga tak tahu kapan akan terjadi:
aku akan menjumpai punggungmu begitu aku menutup pintu. Kau menunduk dengan kaca
mata mu. Aku akan memelukmu dari belakang dan kau akan berbalik, tersenyum begitu
bahagia, lalu membalasnya dengan kecupan yang begitu dalam. Suatu sore, ya, jika kita
memang bisa berjumpa sebelum rasa bosan menghinggapi kita berdua. Tapi aku tak ingin kau
bosan dulu.

Karena kau sudah berjanji bukan? Berjanji untuk membalas hutang-hutang pelukan dan
kecupan yang kita berdua juga tak pernah ingat dari mana ia bermula. Barangkali sebab hari-
harimu terlalu penat atau pekerjaanmu terlalu menjenuhkan. Aku juga sudah tidak merasa
kesepian lagi. Tiba-tiba saja kita dihinggapi penantian-penantian sementara. Tidak, aku tidak
merasa kesepian. Ini perasaan yang sama sekali berbeda. Mungkin setelah sekian waktu, kau
akan terbiasa dengan penolakan-penolakan. Kau mungkin akan menghubungiku dan terus
meracau, apakah kau telah menjelma membosankan dan kau tak lagi menyenangkan? Aku akan
menjawab—dan ini jujur sekali—bahwa kau masih memikat. Mungkin jauh lebih memikat
ketimbang saat pertama kali aku mengenalmu. Lalu, aku yakini, kau akan menyanggah,

“Ah, itu kan cuma kamu saja yang berpikir begitu!”


Kata mu
Kalau kau tanya aku, ya memang seperti itulah jawabku, karena kutahu, kau ingin tahu apa ia
juga menganggapmu masih sememikat dahulu. Kalau itu, aku juga tidak tahu.

Aku sama sekali tak tahu mengapa kau tiba-tiba menjelma remaja belasan tahun yang sedang
puber, padahal usiamu hampir rampung seperempat abad. Aku tak tahu apakah itu rasa
penasaranmu yang sulit kau tahan untuk tak beri makan, atau kau memang betulan terpelanting
ke dalam jebakan perasaan-perasaan tanpa persiapan—hingga kau lupa menyisakan pertanda
untuk membawamu pulang. Kau tersesat. Itu yang aku tahu.

“Iya, iya”
Katamu lagi

Kau sudah berulang kali merengek dan bilang bahwa terkadang ia memarahi mu. Untuk yang
itu aku juga tak tahu mengapa. Mungkin, ia sedang sibuk saja. Atau mungkin, seperti kamu, ia
juga sedang kelimpungan: tak tahu maunya apa.

Aku juga tak bisa menjawab jika kau tanya mengapa ia seakan seperti itu pada mu, walau dulu
ia yang paling sering mencecarmu dengan ajakan-ajakan pertemuan. Mungkin karena kami
terlalu sering mengakhiri ajakan pertemuan dengan percumbuan? Waduh, kalau yang itu kau
yang lebih tahu.

Aku bukannya sedang memperburuk kekhawatiranmu. Aku juga tak mengerti mengapa kau
seperti ini. Yang aku tahu, tak semua hal bisa dijawab dengan matematika—walau aku juga
meyakini bahwa semua hal harus punya dasar logika. Kau mungkin keracunan. Jangan terlalu
banyak menenggak ego. Negara sedang gawat. Pekerjaan butuh dikerjakan cepat. Jangan tidur
terlalu larut, nanti sakit kepala mu kumat.
Apa kau mau seteguk teh susu? Aku merebuskan semangkuk pemanis di celupnya. Apa kau
mau membakar buku? Aku menyimpan catat segala luka di tepinya.
Kau tahu wangi kopi kesukaanku. Ada kecap kecup bibirmu di landasnya.
Aku tak tahu mengapa Kesepian begitu tabah menjawabi setiap pelukan.
Kau tahu, ini yang aku tahu: dulu aku tak bisa menyarankanmu belajar menikmati nyeri-nyeri
yang muncul tiap melihat pesan mereka yang kunjung kau balas. Yang aku tahu: kau pun akan
terbiasa dengan penolakan. Masa kau tak mau bahagia kalau ia bahagia dengan lain
perempuan?

To be continued.......

Anda mungkin juga menyukai