Anda di halaman 1dari 4

Cermin

Kau terlalu bahagia untuk sekedar menyempatkan mengisi kembali udara kedalam
rongga dadamu. Menderu, tersengal, seakan kau lupa bagaimana caranya menarik napas.
Aku maklumi itu, kau terlalu larut didalamnya hingga tak ingin melewatkan bahkan untuk
sepersekian detik saja. Matamu berbinar-binar saat kau menceritakan kisah yang selalu kau
ceritakan setiap malam selama hampir sebulan terakhir ini kepadaku. Jika aku mau, aku dapat
sedikit menyombongkan kecerdasan intelektualku, menghentikanmu yang sedang asyik
berbicara kemudian menceritakan lanjutannya lengkap dengan pilihan kata dan intonasi yang
sama persis layaknya kau bercerita. Tapi itu semua sengaja tak kulakukan, seakan sudah
terbiasa aku menikmati setiap keterpaksaan ini. Kubiarkan diriku terpaksa kau bawa kedalam
untaian-untaian kata yang kau rajut jadi dimensi kisahmu.

“Dia melamarku”, katamu. Sepersekian milidetik kemudian simpul senyummu mulai


tampak, reaksi khas yang selalu kau tunjukan setelah kalimat ajaib ini terucap dari bibirmu.

“Iya aku tahu, kau sudah menceritakan ini hampir satu bulan terakhir ini”, sahutku.
Ekspresi datar selalu mengiringi reaksiku setiap momen ini terjadi, setidaknya ada satu kali
aku memberikan reaksi yang berbeda, saat pertama kali kau menceritakan ini kepadaku.

“Dia memberiku ini”, sambil kau tunjukkan kepadaku sebuah cincin emas bermatakan
berlian berpahatkan namamu itu. Entah sudah berapa kali kau tunjukan kepadaku benda yang
sepertinya sudah kau keramatkan itu. Seperti layaknya benda keramat yang wajib dilakukan
sebuah ritual kepadanya, memamerkan cincinmu kepadaku itu adalah ritualnya. Setidaknya
aku tidak perlu khawatir, kau tidak sampai memandikannya dengan bunga tujuh rupa dan
membacakan mantra yang panjang mantranya bisa melebihi jurnal ilmiah didepanku yang
harus aku buat review nya ini, layaknya dukun dalam sebuah tayangan acara horror tiap
kamis malam.

Reaksi berbeda tampak dari tubuhmu kali ini. Kau berbaring telentang di kasurku
dengan mata terpejam sambil terus menggenggam cincin itu, senyumanmu melebar, merekah
layaknya bunga dimusim semi. Kau seketika bangkit dari kasur lalu mendekatkan bibirmu ke
telingaku sesaat setelah aku memalingkan mukaku darimu, mungkin kau sadar aku sudah
kehilangan kesabaran mendengarkanmu sehingga kau harus menggunakkan segala cara
untuk memperoleh perhatianku lagi, termasuk menghembuskan napas ketelingaku, hal yang
aku benci dan kau paling tahu itu. Sensasi rasa geli bercampur gatal hingga disekujur leher
akibat hembusan lembut menyentuh daun telinga, yang memang termasuk zona sensitif
tubuhku, berhasil memaksaku kembali ke dimensi ceritamu.

“Dia adalah belahan jiwaku, dia berjanji kepadaku akan mengorbankan apa saja,
bahkan nyawanya kepadaku.”

Dengan sisa-sisa rasa tidak nyaman disekujur leherku, aku coba berpaling kembali,
mencoba lepas dari kuatnya daya tarik magis kata-katamu yang berhasil memaksaku
tenggelam didalamnya hampir sebulan terakhir ini. Sekelebat aku menatap bingkai foto
didinding kamarku tepat diatas meja belajarku. Gambar dua makhluk mungil tanpa dosa yang
memiliki rupa yang sama persis dengan baju gemerlap warna-warni dan pose yang aku
yakini dipaksakan oleh si juru fotonya karena terlihat jelas dari raut muka tidak nyaman yang
ditunjukan oleh kedua manusia kecil itu . Masih teringat jelas betapa kuatnya paksaan bunda
kepadaku agar foto itu dipasang di dinding kamarku, satu-satunya tempat dirumah ini yang
dapat aku kuasai sepenuhnya. Foto itu membentuk nuansa, tapi dampaknya masif untuk
kamar yang aku gadang-gadang sebagai kamar pria garang. Nuansa itu sukses merusak
semua konsep kamar yang memang sudah aku rancang lama, bahkan sebelum aku
mendapatkannya.

Pikiranku menerawang jauh, terlalu jauh bahkan. Membawaku kembali ke masa


dimana aku belum dapat melihat bentuk dirimu bahkan bentuk diriku sendiri. Masa dimana
jiwa kita masih digenggam Sang Maha Pemilik segala jiwa, berputar dalam lintasan,
berkeliling disekitar arsy’ Tuhan, menunggu ditiupkan kita kepada raga-raga yang diutus
turun kedunia.

Tuhan berkehendak lain kepada kita, jiwa yang ditiupkan bukanlah satu, melainkan
dua.

Tidak ingatkah kau?

Kita berasal dari satu indung telur yang sama. Zygot kita membelah dua berkembang
menjadi embrio yang sama. Beberapa orang sibuk mengumpat Tuhan, mempertanyakan
ketidakadilan yang dirasakan, kemalangan yang dialami dan menjadikan kambing hitam. Aku
berani bertaruh mereka belum merasakan kemurahan-Nya, mensyukuri pemberian-Nya, tidak
peka terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya yang bahkan sudah tampak dibagian terkecil dari
tubuh kita. Tanpa diminta, Dia yang Mahaadil membagi materi protoplasma kita sama besar.
Mungkin inilah penjelasan kenapa ketika kita bertatap muka, kita bagaikan saling bercermin.
Kau seolah bayanganku, aku seakan bayanganmu.

Tidak pernahkah kau menyadari kenapa aku tetap bisa datang menjemputmu,
menemukan lokasi keberadaanmu, disaat kau tidak bisa meneleponku memberitahu posisimu
karena telepon genggammu kehabisan baterai?

Tidak pernahkah kau menyadari kenapa aku bisa menghadiahkan barang yang paling
kau inginkan sebagai kado ulang tahunmu disetiap tahunnya tanpa kau memintanya kepadaku
sebelumnya?

Masihkah kau berani berkata, dia adalah belahan jiwamu?

Tepat dihari kedelapan sejak sel-sel bakal kehidupan saling membuahi, melakukan
fusi, membentuk kombinasi, zygot kita membelah dua, membentuk dua mudigah. Sayangnya
pembelahan ini terjadi ketika amnion dirahim bunda sudah terbentuk sebelumnya sehingga
kita harus saling berbagi plasenta dan amnion bersama. Tuhan terlalu baik pada kita,
memberikan pelajaran tentang berbagi diwaktu yang sedini itu, disaat rupa orang tua kita saja
kita belum melihatnya. Hampir tiga puluh minggu aku berbagi tempat denganmu, berbagi
makanan dan udara. Tetapi jika bisa memilih, aku lebih menginginkan bersamamu dengan
kondisi seperti itu, sesak memang, tapi dekat. Kedekatan yang alami, murni, tidak dibuat-
buat.

Tidak ingatkah kau atas kepanikan orang-orang dirumah sakit dikala bunda kita akan
bersalin?

Gerakanmu sangat aktif dikala usia kandungan bunda sudah mendekati waktu
kelahiran. Kau mulai mendesak keberadaanku, mencoba menguasai tempat bernaung yang
seharusnya kita bagi dua sama rata. Mungkin kau mulai merasa tidak nyaman, merasa sesak,
menginginkan tempat yang lebih luas utuh tidak terbagi, dan akhirnya kau melakukan
gerakan-gerakan eksplosif dari tubuhmu sebagai bentuk protesnya. Semakin lama semakin
mendesak tubuhku hingga memaksa kepalaku masuk ke simpul tali pusat, mencekik erat
batang leherku. Keadaan yang menurut bunda, disela-sela ceritanya tentang proses kelahiran
kita ditengah suasana nostalgia, sangat membahayakan diriku sehingga harus dilakukan
tindakan intensif kepadaku ketika proses kelahiran. Tak tahu lagi aku apa yang akan terjadi
jika mereka gagal menyelamatkanku. Mungkin aku tak akan pernah punya kesempatan untuk
menikmati aroma dunia, mencicipi kebebasan fana.
Masihkah kau percaya dia akan rela mengorbankan apa saja demi kau, berada diantara
hidup dan mati bahkan hanya untuk membuatmu merasa nyaman, terbebas dari rasa sesak?

Sejenak aku teringat betapa ramainya rumah kita sesaat setelah kelahiran kita. Lalu
lalang para wartawan dari berbagai surat kabar, sibuk mewancarai orang tua kita, mengambil
gambar kita berdua. Para pencari berita itu menyebut kita sebagai fenomena, membuat
gempar dunia kedokteran, membantah semua teori tentang kelahiran kembar. Aku rasa Tuhan
sedang menunjukkan eksistensi-Nya melalui kita, sepasang kembar monozygotik dengan jenis
kelamin yang berbeda. Semua ahli sepakat menganggapnya sebagai kejadian langka, satu dari
seratus juta kelahiran bayi kembar didunia.

Tak masuk akal memang, daya pikir manusia takkan mampu menggapai kuasa Sang
Pencipta yang akhirnya hanya akan disimpulkan sebagai kemustahilan. Begitu pula perasaan
ini kepadamu. Mustahil, tak masuk akal, tak terjamah logika. Sulit menghilangkannya meski
aku sadar mempertahankan bukan juga jawaban. Seluruh semesta pasti akan mengutukku jika
mereka tahu apa yang kurasakan. Tak akan sanggup aku menerima semua itu, yang aku
lakukan selama ini hanya berada dipusaran, ikut menari didalamnya dengan
mempertimbangkan resiko yang paling kecil, mencintaimu, menikmati setiap ruas perasaan
ini sendirian.

Mencintaimu layaknya bercermin. Seakan dapat saling menyentuh. Begitu dekat, tak
ada celah pisah . Tapi kenyataannya maya, ada pembatas tak kasamata diantara keduanya.

Anda mungkin juga menyukai