Anda di halaman 1dari 103

Buku Catatan Pertama

Hidupku penuh dengan aib.Kehidupan manusia


berada di luar kemampuan nalar saya. Saya lahir
di pedesaan Tohoku, jadi saya sudah cukup tua
ketika pertama kali melihat kereta api dengan
mataku sendiri. Saya dulu suka naik dan turun
jembatan stasiun tetapi sama sekali tidak
menyadari bahwa jembatan itu sebenarnya
dibuat untuk melintasi real estate.Awalnya saya
mengira jembatan itu adalah fasilitas yang
dialokasikan hanya untuk memberikan pesan
kerah tinggi di stasiun yang bagi saya memberi
saya kegembiraan.Kompleks ini seperti wahana
hiburan luar negeri.

Untuk waktu yang lama saya tertipu oleh


pemikiran itu.Aku tetap berada dalam khayalan
ini untuk waktu lama, dan bagiku sungguh

1
merupakan hiburan yang sangat menyenangkan
hilir mudik melintasi jembatan, sembari berpikir
kalau jembatan adalah salah satu layanan
terelegan yang disediakan oleh kereta api. Ketika
kemudian aku mendapati kalau jembatan tidak
lebih dari sarana praktis, akupun langsung
kehilangan minat.
Sekali lagi, pada saat masih kanak aku melihat-
lihat foto kereta bawah tanah di buku-buku
bergambar, tidak pernah terpikir olehku bahwa
foto-foto itu diciptakan karena kebutuhan
praktis; aku hanya sempat mengira-ngira kalau
berkendara di bawah tanah dan bukannya di
permukaan pastilah sebentuk kegemaran baru
dan menyenangkan.

Aku sudah sakit-sakitan sejak kecil dan sering


dikurung di tempat tidur. Ketika telentang di
tempat tidur, aku seringkali berpikir betapa sprei
dekorasi dan sarung bantal di kamar tidur
tidaklah menarik. Baru pada umur dua puluhan
aku menyadari kalau dua hal itu dibuat demi

2
tujuan praktis, dan penyingkapan kejenuhan
manusia ini membangkitkan depresi mendalam
dalam diriku. Aku juga tidak pernah tahu apa
artinya lapar. Bukannya dengan pernyataan ini
aku bermaksud kalau aku dibesarkan dalam
keluarga kaya tak terbersit niat sedangkal itu
dalam diriku. Maksudku, aku sama sekali tak
tahu menahu tentang sifat dari sensasi "lapar".
Kedengarannya ganjil memang, namun aku tidak
pernah sadar kalau perutku keroncongan.
Dulu sewaktu masih pelajar saat pulang ke
rumah, orang-orang di rumah akan ribut,

"Kau pastinya lapar. Kami tahu betul, betapa


lapar rasanya saat pulang sekolah. Bagaimana
kalau manisan? Ada juga kue dan biskuit."

Berniat menyenangkan semua orang,


sebagaimana yang biasa kulakukan, aku
bergumam kalau diriku amat lapar, dan
memasukkan selusin manisan ke mulut, namun

3
apa yang mereka maksud dengan merasa lapar
sungguh - sungguh luput dari perhatian ku.

Tentu saja aku makan banyak, tetapi nyaris tidak


ingat pernah melakukannya karena lapar. Segala
yang tidak biasa atau berlimpah-limpah sungguh
menggoda diriku, dan ketika aku pergi ke rumah
orang lain, aku memamah hampir semua yang
ada dihadapanku, sekalipun bila melahap
makanan membutuhkan banyak tenaga. Sebagai
seorang anak, bagian paling menyakitkan dari
hari-hari itu tak diragukan lagi adalah waktu
makan, terutama waktu makan di rumah- ku.
Di rumah kampung halaman ku, segenap
keluarga makan bersama. Kami berjumlah
sekitar sepuluh orang, duduk dalam dua kolom
berhadap-hadapan di meja. Sebagai anak
bungsu, aku biasa duduk paling ujung. Ruang
makan terasa gelap. Pemandangan yang tersaji
dalam sepuluh atau lebih anggota keluarga kala
bersantap siang, atau pada waktu makan kapan
pun, rasanya suram dan membuatku takut.

4
Di samping itu, keluarga ini begitu kuno yang
mana makanannya kurang lebih sudah
ditentukan, dan tak ada gunanya mengharapkan
hidangan tak biasa atau mewah. Setiap hari, aku
paling takut kalau waktu makan tiba. Aku akan
duduk di ujung meja jamuan di bagian remang-
remang, gemetaran lantaran kedinginan.

Aku lantas menjulurkan tangan mera- ih


sepotong makanan ke mulut dan memamahnya.
"Kenapa pula manusia mesti makan tiga kali
setiap hari? Alangkah khusyuknya mereka saat
sedang bersantap! Terlihat seperti semacam
ritual. Tiga kali setiap hari pada jam yang sudah
ditentukan dengan keluarga berkumpul di
ruangan suram begini. Tempatnya ditata dalam
urutan nan rapi, dan terlepas dari apakah kita
lapar atau tidak, kita mengunyah dalam diam
dengan mata tertunduk. Siapa yang tahu?
Barangkali ini semacam memanjatkan doa demi
mendamaikan jiwa- jiwa yang mengintai di

5
sekeliling rumah..." terkadang aku berpikir
terlampau jauh seperti itu.

Pepatah mengatakan, makan atau binasa.


Namun di telingaku itu terdengar seperti satu
ancaman yang tidak menyenangkan. Meskipun
begitu, takhayul ini (aku hanya bisa
menganggapnya demikian) senantiasa
menimbulkan keraguan dan ketakutan dalam
diriku.
Tidak ada yang begitu sulit untuk kupahami,
begitu membingungkan, dan pada saat
bersamaan penuh dengan nada mengancam
seperti pernyataan lazim, "Manusia bekerja
untuk mencari makan, karena apabila mereka
tidak makan, mereka binasa.” Dengan kata lain,
kau mungkin mengatakan bahwa aku masih
belum mengerti apa yang membuat manusia
bergerak. Kekhawatiranku saat menemukan
bahwa konsep kebahagian yang kubayangkan
tampaknya sungguh teramat berbeda dengan
orang lain sehingga membuatku tidak bisa

6
terlelap dan mengerang malam demi malam di
tempat tidur. Benar-benar menyeretku ke tubir
kegilaan.

Aku bertanya-tanya apakah pernah mengecap


kebahagiaan. Orang-orang telah
memberitahuku, terlampau sering ketimbang
yang dapat kuingat, bahwa dari sejak aku masih
kecil, betapa beruntung nasibku. Akan tetapi aku
selalu merasa seolah-olah menderita dalam
neraka. Bagiku, mereka yang menyebutku
beruntung jauh lebih beruntung ketimbang
diriku. Aku sungguh tidak paham.

Aku sama sekali tidak tahu bagaimana sifat atau


tingkat kesengsaraan orang-orang di dekatku.
Persoalan praktis, kesedihan dapat diredakan
asal ada cukup makanan-mungkin yang paling
hebat dari segala neraka nan membara, cukup
mengerikan untuk diletupkan hingga
menghancurkan sepuluh kemalanganku, akan
tetapi justru itulah yang tidak kumengerti apabila

7
orang di sekitarku berhasil bertahan hidup tanpa
bunuh diri, tanpa menjadi gila, mempertahankan
minat pada partai politik, tidak menyerah pada
keputusasaan, dengan tegas mengejar
perjuangan untuk eksistensi, bisakah kesedihan
mereka betul-betul kesedihan yang tulus?
Apakah aku keliru dalam berpikir bahwa orang-
orang ini telah menjadi begitu egois dan
sedemikian yakin akan normalitas cara hidup
mereka sampai-sampai mereka tidak sedetikpun
meragukan diri mereka sendiri?Kalau demikian
halnya, penderitaan mereka seharusnya mudah
ditanggung: merekalah manusia biasa dan
mungkin yang terbaik yang bisa diharapkan.

Aku tidak tahu.... Jika kau tertidur nyenyak di


malam hari, maka paginya bakal
menggembirakan, kukira begitu. Tapi mimpi
macam apa yang mereka miliki?Apa yang
mereka pikirkan ketika mereka berjalan di
sepanjang jalan? Uang? Bukan- bukan cuma itu.
Agaknya aku pernah mendengar teori

8
mengatakan bahwa manusia hidup untuk makan,
tetapi aku belum pernah mendengar ada yang
mengatakan manusia hidup untuk menghasilkan
uang.

Akan tetapi dalam beberapa kasus, aku bahkan


tidak tahu bahwa semakin aku merenungkannya,
maka semakin sedikit aku memahami.Yang
kurasakan hanyalah serangan ketakutan dan
teror pada pemikiran bahwa akulah satu-satunya
yang tidak seperti orang lain. Hampir tidak
mungkin bagi- ku untuk membicarakannya
dengan orang lain.Apa yang harus dibicarakan,
bagaimana aku mengatakannya?-aku tidak
tahu.Inilah cara ku menciptakan sifat
konyolku.Semacam pencarian cinta terakhir
yang diarahkan kepada manusia.

Meskipun aku memiliki kekuatan besar


terhadap manusia, tampaknya aku tidak mungkin
meninggalkan keterhubungan dengan mereka.
Di permukaan, aku berhasil mempertahankan

9
senyum yang tak sekalipun meninggalkan
bibirku; ini kelonggaran yang kutawarkan
kepada orang lain, pencapaian paling
mengandung nestapa yang diterapkan dengan
mengorbankan usaha keras dari dalam.

Sebagai bocah, aku sama sekali tidak tahu apa


yang orang lain, bahkan anggota keluargaku
sendiri, mungkin derita atau pikirkan. Aku hanya
menyadari ketakutan dan rasa malu tak
terkatakan. Sebelum ada yang menyadari, aku
tiba-tiba menjadi badut nan ulung, seorang anak
yang tidak mengucapkan kejujuran sepatah kata
pun.

Aku telah memperhatikan bahwa diriku dalam


foto-foto yang diambil saat bersama keluarga,
semuanya memasang tampang serius; hanya aku
yang selalu berkerut dalam se- ringai ganjil. Ini
adalah satu lagi variasi kekanak-kanakan,
kejenakaan yang menyedihkan dariku.

10
Tak sekalipun aku membantah apapun yang
dikatakan keluarga kepada diriku. Teguran
sekecil apapun menghantamku dengan kekuatan
laksana petir dan membuatku nyaris pingsan.
Mengelak! Jauh dari hal itu, aku merasa yakin
kalau teguran mereka tanpa diragukan lagi
adalah suara kebenaran manusia yang berbicara
kepadaku dari keabadian masa lampau; aku
terobsesi dengan gagasan bahwa: karena tidak
memiliki kuasa untuk bertindak sesuai dengan
kebenaran ini, barangkali aku sudah gagal
menjalani hidup di tengah-tengah manusia.
Keyakinan ini membuatku tidak mampu
berargumentasi atau membenarkan diri sendiri.
Saban kali ada orang yang mengkritik, aku
merasa bahwa aku hidup dalam kesalahpahaman
yang paling mengerikan. Aku senantiasa
menerima serangan itu dalam diam, sekalipun
dalam hati aku sangat tertekan hingga nyaris
edan.

11
Aku rasa benar bahwa tidak ada yang akan
senang dikritik atau diteriaki. Namun aku
melihat pada tampang manusia yang mengamuk
kepadaku menampilkan sosok binatang buas
yang lebih mengerikan dibanding singa, buaya,
atau naga.

Orang biasanya menyembunyikan sifat asli ini,


tetapi bakal muncul momen (tak ubahnya saat
seekor lembu yang sembunyi di padang rumput
mendadak melecut ekor untuk membunuh lalat
di pinggulnya) tatkala kemarahan membuat
mereka mengungkap sifat asli manusia dalam
sekejap dengan segenap kengeriannya. Setiap
melihat hal ini terjadi, ketakutan cukup besar
muncul dalam diri sehingga bulu kudukku pada
berdiri. Dan menyadari bahwa sifat alamiah ini
mungkin salah satu prasyarat untuk bertahan
hidup sebagai manusia. Aku nyaris putus asa
dengan diriku sendiri.

12
Aku selalu gemetar ketakutan di hadapan
manusia.Lantaran tidak dapat merasakan
sedikitpun kepercayaan diri atas kemampuan
berbicara dan bertindak layaknya manusia, aku
memeram penderitaan tunggalku terkunci dalam
dada. Aku menyembunyikan kemurungan dan
kegelisahan, berhati-hati supaya tidak ada jejak
yang dibiarkan terlacak. Aku berpura-pura
optimis dan polos; secara bertahap ku-
sempurnakan diriku dalam peran eksentrik serta
lucu.

Aku berpikir, "Selama bisa membuat mereka


tertawa, bagaimana pun caranya tidak masalah,
aku bakal baik-baik saja. Kalau berhasil
melakukannya, manusia mungkin tidak akan
terlalu keberatan apabila tetap berada di luar
kehidupannya. Satu hal yang patut dihindari
adalah jadi lancang di mata mereka: aku takkan
menjadi apa-apa, seenteng angin, selembut
langit." Tingkah polahku sebagai badut, peran
yang lahir dari keputusasaan, bahkan diterapkan

13
pula ke para pelayan yang kutakuti melebihi
keluargaku sebab aku tak memahami mereka.
Di musim panas, aku membuat semua orang
tertawa dengan melenggang di sekeliling rumah
mengenakan sweater wol merah berlapis kimono
katun. Bahkan kakak lelakiku yang jarang
ketawa kini tertawa terbahak-bahak,
berkomentar dengan suara penuh kasih sayang
yang tak tertahankan, "Yang kau pakai tak
terlihat bagus buatmu, Yozo." Namun, terlepas
dari segala kebodohan yang kuperbuat, aku tidak
begitu ambil peduli terhadap panas dan dingin
meski berjalan-jalan mengenakan sweater wol
pada puncaknya musim panas. Aku menarik
legging adik perempuanku di atas lengan,
membiarkan cukup longgar pada lengan untuk
mengesankan kalau aku mengenakan sweater.

Ayah sering melakukan perjalanan bisnis ke


Tokyo dan tersebab itu, di sana kami ada rumah.
Dia menghabiskan dua atau tiga minggu dalam
sebulan di kota, dan selalu pulang membawa

14
bingkisan yang amat mengejutkan, bukan hanya
bagi anggota keluarga dekat kami, tetapi juga
untuk kerabat. Itu semacam kegemaran yang
ayah lakukan.
Suatu hari, pada malam sebelum ayah berangkat
ke Tokyo, doa memanggil seluruh anak ke ruang
tamu dan dengan tersenyum bertanya kepada
kami hadiah apa yang kami mau kali ini,
kemudian dengan cermat mencatat jawaban
setiap anak dalam suatu buku kecil. Sangat tidak
biasa bagi Ayah bersikap begitu perhatian
dengan anak-anak.

"Bagaimana denganmu, Yozo?" tanya ayah,


meski aku hanya tergagap tidak yakin.

Setiap kali ditanya apa yang kuinginkan,


dorongan pertama diriku adalah menyahut
"Tidak ada". Pikiran itu begitu saja terlintas
dalam benak, bahwa tidak ada bedanya apa yang
kukehendaki, bahwa tidak ada yang membuatku
senang.

15
Pada saat bersamaan, sifat bawaannya tidak
mungkin menolak apapun yang disodorkan oleh
orang lain, tak peduli seberapa kecilnya itu
cocok dengan seleraku. Manakala aku tidak suka
akan sesuatu, aku tidak sanggup mengucapkan,
"Aku tidak menyukainya." Disaat aku menyukai
sesuatu, aku mencicipinya dengan ragu-ragu,
sembunyi-sembunyi, seolah-olah itu hal yang
sedemikian getir. Dalam kedua kasus tersebut,
aku terkoyak oleh ketakutan nan tak terkatakan.
Boleh dibilang, aku bahkan tidak memiliki kuasa
untuk memilih di antara dua alternatif. Aku
percaya dalam kenyataan ini terdapat salah satu
karakter
istik yang di tahun-tahun berikutnya
berkembang menjadi musabab utama
"kehidupan penuh aib"-ku.Aku tetap diam,
gelisah. Sementara ayah hilang sedikit
kesabaran.

16
"Apa kau mau buku? Atau bagaimana dengan
topeng barongsai Tahun Baru? Sekarang ada
yang menjual dalam ukuran anak-anak. Kau
mau?"

"Kau mau?" adalah kata-kata fatal yang


membuatku sukar sekali untuk menjawab. Aku
bahkan tidak bisa memikirkan respon konyol
yang sesuai. Betapa pelawak yang benar-benar
gagal.

"Buku akan menjadi pilihan terbaik, ku rasa,"


ucap kakakku, serius!”

“Begitu?" ucap kata dari seorang ayahku”

Air muka senang lenyap dari wajah ayah. Dia


menutup buku catatannya tanpa menulis apa
pun.Sungguh sebuah kegagalan. Aku membuat
ayah murka dan kini aku yakin kalau balas
dendamnya akan menjadi sesuatu yang
menakutkan.

17
Malam itu ketika aku berbaring menggigil di
tempat tidur, aku berpikir apakah tidak ada cara
untuk memperbaiki situasinya. Aku merangkak
turun dari tempat tidur, berjingkat menuju ruang
tamu, membuka laci meja tempat ayahku
kemungkinan besar meletakkan buku
catatannya.

Aku menemukan buku itu dan


mengeluarkannya membuka halaman demi
halaman sampai aku tiba di halaman ayah
menuliskan permintaan hadiah kami. Aku
menjilat pensil kemudian menulis dengan huruf
besar-besar TOPENG BARONGSAI di buku
catatan. Selesai, lalu aku kembali ke tempat
tidur. Aku sama sekali tidak menginginkan
topeng barongsai, sebenarnya. Aku lebih suka
buku.Namun jelas bahwa ayah ingin
membelikanku topeng,dan hasratku nan
membara buat memenuhi kehendaknya dan
mengembalikan suasana hatinya membuatku

18
berani menyelinap ke ruang tamu pada tengah
malam.

Tindakan nekatku berbalas kesuksesan besar


sebagaimana yang kuharapkan. Beberapa hari
kemudian, ketika ayah pulang dari Tokyo, aku
mendengar dia bilang kepada ibu dengan
suaranya yang menggelegar-aku sedang berada
di ruangan anak-anak saat itu-"Menurutmu apa
yang kutemukan saat membuka buku catatan di
toko mainan? Lihat, ada yang sudah menulis
'topeng barongsai'. Itu bukan tulisan tanganku.

Selama beberapa saat aku tak kunjung


memahaminya, lantas terbit dalam benakku. Ini
pastinya semacam kenakalan dari Yozo. Kau
tahu, aku menanyakan apa yang dia inginkan
saat aku mau ke Tokyo, tetapi dia cuma bengong
sambil menyeringai tanpa bilang apa-apa.
Kemudian dia pasti sebegitunya menginginkan
topeng barongsai sampai-sampai tidak tahan.
Dia sungguh anak lucu. Berpura-pura tidak tahu

19
apa yang dia inginkan lalu diam-diam
menulisnya. Kalau dia sebegitunya
menginginkan topeng barongsai, dia seharusnya
memberitahuku. Aku tertawa lepas di hadapan
semua orang di toko mainan. Suruh Yozo ke sini
segera.”
Di lain kesempatan, aku mengumpulkan seluruh
pelayan pria dan wanita di ruangan bergaya
Barat.

Aku meminta salah satu pelayan pria menekan-


nekan tuts piano secara acak (rumah kami
dilengkapi dengan banyak fasilitas mewah
kendati kami berada di pedesaan), dan aku
membuat semua orang tertawa lepas saat
menarikan tarian Indian liar di dalam rumah
yang disesuaikan dengan nada piano yang
ditekan secara asal. Kakakku mengambil foto
diriku yang sedang menari. Begitu potret itu
dicetak, penisku ikut tertangkap dalam foto,
tersembul diantara celah-celah kain cawat yang
kukenakan. Hal ini pun membuat semua orang

20
tertawa. Insiden kecil ini bisa dibilang
kemenangan yang melampaui ekspektasi.

Aku biasa berlangganan secara teratur selusin


atau lebih majalah anak-anak dan untuk bacaan
pribadi aku memesan segala jenis buku dari
Tokyo. Aku jadi piawai dalam mengeksploitasi
Sensei Banyak Omong dan Sensei Paling
Pandai, dan begitu mengenal segala macam
cerita seram, kisah petualangan, kumpulan
lelucon, lagu, dan sejenisnya. Aku tidak pernah
kekurangan bahan cerita-cerita absurd yang
dituturkan dengan sungguh-sungguh untuk
membuat anggota keluargaku tertawa.

“Tapi bagaimana dengan sekolahku?”

Aku sedang dalam petualangan mendapat rasa


hormat. Tetapi gagasan terhormat justru
digunakan untuk mengintimidasi diriku secara
berlebihan. Definisi mengenai orang yang
"dihormati" adalah mereka yang nyaris

21
sepenuhnya berhasil menipu orang lain, tetapi
pada akhirnya disadari oleh mereka yang maha
tahu dan maha kuasa untuk menghancurkannya
dan membuatnya menderita rasa malu yang lebih
buruk dibanding ajal. Bahkan seandainya aku
mampu menipu sebagian besar manusia untuk
menghormati, salah satu dari mereka bakal
mengetahui kebenarannya, dan cepat atau lambat
manusia lain akan belajar darinya. Akan seperti
apa murka dan pembalasan mereka setelah
menyadari bahwa mereka telah ditipu? Sebuah
pemikiran yang menakutkan.

Aku memperoleh popularitas di sekolah bukan


karena aku putra dari keluarga kaya, melainkan
karena, dalam bahasa kasarnya, aku punya
"otak". Sebagai anak yang sakit-sakitan, aku
kerap membolos sekolah selama satu atau dua
bulan atau bahkan satu tahun secara berturut-
turut.

22
Meski begitu, ketika aku masih dalam pemulihan
dan kembali ke sekolah naik becak guna
mengikuti ujian di akhir tahun, aku selalu saja
jadi yang nomor satu di kelas berkat "otakku.
Aku tidak pernah belajar, sekalipun pada saat
kondisi tubuhku baik-baik saja.
Saat pelajaran sedang berlangsung di sekolah,
aku justru asyik menggambar kartun.Dan saat
istirahat, aku membuat anak-anak lain di kelas
tertawa dengan penjelasan gambar. Pada
pelajaran menulis indah, aku tidak menulis apa-
apa selain cerita guyon. Sang guru sampai
menegurku, tetapi tegurannya tidak membuatku
kapok, sebab aku tahu kalau dia diam-diam
menikmati cerita yang kutulis.

Suatu hari aku mengirimkan sebuah cerita yang


ditulis dengan gaya sangat menyedihkan dengan
menceritakan bagaimana saat aku dibawa ibu
naik kereta api tujuan Tokyo, aku mengencingi
tempolong di koridor. (Namun pada saat itu aku
tahu kalau itu tempat berludah; aku sengaja

23
membuat kesalahan, pura-pura sok polos
kekanak-kanakan.)

Aku begitu yakin bahwa sang guru akan tertawa


sehingga diam- diam aku mengikutinya sampai
ruangan staf. Segera setelah dia meninggalkan
kelas, guru mengeluarkan karya tulisku dari
tumpukan lembar kerja teman-teman sekelas.Dia
lantas membacanya sambil berjalan menyusuri
lorong, dan tak beberapa lama kemudian tertawa
terbahak-bahak. Dia masuk ke ruang staf dan
sekitar semenit kemudian apakah yang
dilakukannya setelah membacanya? dia kembali
tertawa lepas, wajahnya merah lantaran intens
tertawa. Aku melihatnya menyodorkan lembar
kerja pada guru-guru lain. Aku merasa sangat
senang atas diriku sendiri.

Dasar, setan kecil nan cantik !!!

Aku berhasil tampil nakal. Aku telah berhasil


melarikan diri dari rasa hormat. Nilai raporku

24
semuanya A kecuali nilai sikap, yang tidak
pernah lebih dari C atau D. Dan ini pula yang
merupakan sumber hiburan besar bagi keluarga-
ku.

Namun begitu, sifat asliku adalah salah satu


yang bertentangan dengan peran sebagai setan
centil. Pada waktu itu aku sudah diajari hal yang
menyedihkan oleh para pelayan di kediamanku;
aku telah dilecehkan. Aku berpikir bahwa
melakukan hal seperti itu pada anak kecil
merupakan kejahatan terburuk, terkejam,
terzalim yang dilakukan manusia tapi aku
menahannya. Malah aku sampai merasa seolah-
olah perbuatan tersebut memungkinkan diriku
untuk melihat satu lagi aspek khusus pada
manusia.

Aku tersenyum dalam kelemahanku apabila aku


terbiasa untuk berterus terang, aku bisa saja
menceritakan kejahatan itu tanpa malu-malu ke
ayah atau ibu, tetapi aku tidak dapat memahami

25
orang tuaku sendiri. Untuk memohon bantuan
kepada manusia mana pun aku tak sampai hati
mengharap kebijaksanaan semacam itu.
Seandainya aku mengadu kepada ayah atau ibu,
atau lapor polisi, kepada pemerintah aku
bertanya-tanya, pastinya pada akhirnya aku akan
dibungkam oleh mereka yang disegani dunia,
dengan alasan yang disetujui dunia.

Sudah jelas bahwa pandang bulu pasti berlaku:


percu- ma mengeluh kepada manusia. Jadi aku
tidak mengatakan kebenaran. Aku merasa tidak
punya pilihan selain menanggung apapun yang
menghadang dan terus memainkan peran
pelawak.

Orang-orang mungkin akan mencelaku."Apa


maksudmu dengan berkata tidak mempercayai
manusia? Kapan kau memeluk agama Kristen?"
Biar bagaimanapun, aku gagal mencermati
bahwa ketidakpercayaan terhadap manusia
sejatinya mengarah langsung ke agama.

26
Sebaliknya, bukankah benar bahwa manusia,
termasuk mereka yang sekarang mungkin
mencela diriku, hidup dalam ketidakpercayaan
terhadap satu sama lain, tidak memikirkan
Tuhan atau apa pun?

Ada sesuatu yang terjadi ketika aku masih kecil.


Seorang tokoh terkenal dari parpol tempat
ayahku berasal berkunjung untuk
menyampaikan pidato di kota kami, dan aku
dibawa oleh para pelayan ke gedung teater untuk
mendengarkan pidatonya. Teater penuh sesak
semua orang di kota yang sangat ramah kepada
ayah hadir dan bertepuk tangan dengan antusias.

Begitu pidatonya selesai, para hadirin sontak


berduyun-duyun pulang. Saat mereka dalam
perjalanan pulang ke rumah di jalan tertutup
salju, mereka dengan pedas mengomentari
pertemuan itu.

27
Aku bisa membedakan di antara suara-suara
teman terdekat ayah, siapa yang mengeluh
dengan nada marah-marah tentang betapa tidak
pantasnya pidato pembuka yang dilontarkan
ayah, dan sulit untuk memahami ucapan orang
hebat itu. Kemudian orang-orang yang berkasak-
kusuk ini mampir ke kediaman- ku, duduk di
ruang tamu kami, lalu dengan tampang
berbahagia seolah tulus bilang ke ayah betapa
suksesnya acara yang diselenggarakan malam
itu.

Bahkan para pelayan, ketika ditanya ibu tentang


acara itu, seakan buah pemikiran spontan
mereka, menjawab kalau acaranya sangat
menarik. Mereka ini adalah para pelayan yang
sepanjang perjalanan pulang tadi mengeluh getir
kalau acara politik adalah hal paling
menjemukan sedunia.

Namun, ini sekadar contoh kecil. Aku yakin


bahwa kehidupan manusia dipenuhi banyak

28
contoh dusta demi kebaikan, kebahagiaan,
ketentraman, yang benar-benar luar biasa dari
jenisnya orang-orang saling menipu tanpa
(anehnya) ada luka yang ditimbulkan, orang-
orang yang tampaknya tidak sadar bahwa
mereka tengah menipu satu sama lain. Tapi aku
tidak memiliki minat khusus dalam perkara tipu-
menipu. Sebab aku sendiri menghabiskan
sepanjang hari menipu manusia dengan peran
lawak yang kumainkan.

Aku belum bisa mencurahkan banyak perhatian


terhadap moralitas yang ditentukan dalam buku
baku etika dengan nama "kebenaran".

Aku sukar memahami jenis manusia yang


hidup, atau yang yakin dia hidup, murni,
bahagia, tenang, sementara terlibat dalam
penipuan. Manusia tidak mengajariku rahasia
yang musykil itu. Apabila aku tahu hal itu,
seharusnya aku takkan takut terhadap manusia,
pun aku tidak perlu menentang hidup manusia,

29
atau merasakan siksa neraka seperti itu setiap
malamnya.

Pendek kata, aku percaya bahwa alasan


mengapa tidak membeberkan ke siapapun
tentang kejahatan menjijikkan yang dilakukan
para pelayan kepada- ku bukan lantaran
ketidakpercayaan terhadap manusia, atau karena
aku cenderung memeluk Kristen, melainkan
karena manusia di sekitarku telah dengan ketat
menjauhkan diri- ku dari dunia kepercayaan atau
kecurigaan. Bahkan orang tuaku sendiri
terkadang menunjukkan sikap yang sukar ku-
pahami.

Aku juga mendapat kesan bahwa banyak wanita


secara naluriah, mampu mengendus
keterasingan yang ku- alami, yang tidak
kuceritakan kepada siapa pun, dan di tahun-
tahun berikutnya menjadi salah satu penyebab
aku dimanfaatkan begitu banyak orang.Para

30
wanita mendapati diriku sebagai seorang lelaki
yang bisa menyimpan rahasia cinta.

31
Buku Catatan Kedua

Di pantai, pada tempat yang begitu dekat dengan


laut, orang membayangkan dari sanalah ombak
pecah, sederet dua puluh lebih pohon sakura
cukup tinggi berbatang hitam sehitam batubara.

Saban April ketika tahun ajaran baru akan


dimulai, pohon-pohon sakura menampilkan
bunganya yang mempesona dengan daun
coklatnya yang lembab berlatar birunya laut.
Segera deru guguran bunga menyebarkan
kelopak yang tak terhitung jumlahnya ke dalam
air, menutupi permukaan air dengan titik-titik
putih yang diseret ombak kembali ke pantai.

Pantai penuh bunga sakura ini kujadikan


kawasan bermain selama menjalani kehidupan

32
sekolah menengah. Bunga sakura rekah bahkan
menjadi lencana topi sekolah dan menjadi logo
pada kancing seragam kami.
Seorang kerabat jauh memiliki sebuah rumah di
dekat pantai, itulah salah satu alasan mengapa
ayah secara khusus memilihkan sekolah
berbunga sakura di pinggir laut ini untukku.
Aku tinggal bersama keluarga itu, rumah
mereka sangat dekat dengan sekolah sehingga
sekalipun setelah bel pagi berbunyi aku tetap
bisa sampai kelas tepat waktu kalau aku berlari.
Aku tipe siswa pemalas. Meski demikian, aku
tetap berhasil meraih popularitas di tengah
kawan-kawan sekolah berkat kejenakaan yang
kerap kumainkan.

Ini merupakan pengalaman pertamaku tinggal


di kota nan asing. Aku merasa jauh lebih
menyenangkan ketimbang berada di tempat
asalku. Orang barangkali mengaitkan hal ini
dengan kenyataan bahwa kejenakaan sudah

33
menjadi bagian dari kepribadianku sehingga
tidak lagi sulit memperdaya orang lain.

Namun, aku bertanya-tanya apakah aksi


melucuku bukan lantaran perbedaan tak
terbantahkan terkait urusan tampil di depan
keluarga dengan tampil di hadapan orang tak
dikenal, atau di kota sendiri dengan di tempat
yang asing. Masalah ini tak ada sangkut-pautnya
dengan seberapa piawainya seseorang. Aktor
biasanya sedemikian cemas di hadapan penonton
di kota kelahirannya; kubayangkan aktor
terhebat sedunia sekalipun bakal mati kutu di
sebuah ruangan tatkala seluruh sanak familinya
berkumpul untuk menyaksikannya. Tapi aku
sudah belajar memainkan peranku. Apalagi aku
lumayan berhasil. Tiada terkira bahwa seorang
aktor yang begitu berbakat akan gagal tampil di
luar rumahnya.

34
Ketakutan akan manusia terus menggeliat dalam
dada- ku-aku tidak yakin apakah lebih atau
kurang intens dibanding sebelumnya-namun
bakat akting tidak diragukan telah lebih matang.
Aku selalu bisa membuat seisi kelas tertawa
terbahak-bahak, bahkan ketika guru mengeluh
betapa bagusnya kelas itu jika aku tidak ada di
dalamnya, sembari menutup mulutnya dia masih
akan tertawa. Bahkan instruktur latihan militer
yang bicaranya penuh erangan amarah dan
menggelegar, begitu mendengar sepatah
ucapanku akan tertawa lepas.
Tepat ketika aku sedikit mengendurkan
kewaspadaan, cukup yakin diriku telah berhasil
menyembunyikan sepenuhnya identitasku
sebenarnya, aku malah ditikam dari belakang
secara tak terduga.Penyerangnya, sebagaimana
kebanyakan orang yang menikam dari belakang,
terlihat macam orang bodoh-anak laki-laki
paling lemah sekelas, yang tampangnya kurang
sehat berikut mantel kusut berlengan kelewat
panjang yang dikenakannya. Juga ketololannya

35
menangkap pelajaran serta keunikannya dalam
olahraga fisik dan latihan militer sehingga dia
terus-menerus ditunjuk sebagai "penonton".

Tidak mengherankan bahwa aku gagal


menyadari perlunya bersikap waspada terhadap
anak ini.
Hari itu Takeichi (begitulah nama si anak lelaki,
seingat- ku) seperti biasa "menonton" selama
jam olahraga sementa- ra kami semua latihan di
palang horizontal. Dengan sengaja kupasang
tampang serius, aku sekuat tenaga menarik diri
untuk melampaui palang, berteriak dengan susah
payah. Aku meleset dari palang atas dan tetap
pada posisi bergelantungan seolah-olah sedang
melakukan lompatan lebar kemudian dengan
pantat terlebih dahulu, mendarat dengan bunyi
gedebuk di pasir. Celanaku pun kotor.
Kegagalan ini sepenuhnya terencana, tetapi
semua orang tertawa tak putus-putus, persis
seperti yang aku rencanakan.

36
Aku berdiri memamerkan senyum sedih seraya
menepuk bersih celanaku ketika Takeichi, yang
bangkit berdiri dari suatu tempat di belakang,
menyentuh punggungku. Dia bergumam,

"Kau melakukannya dengan sengaja.”

Sekujur tubuhku menggigil. Aku menduga


kalau sese-
orang bakal mendeteksi aksiku yang sengaja
jatuh, tetapi Takeichi memergokiku secara tiba-
tiba. Aku seakan menyaksikan dunia sebelum
aku meledak dalam sekejap dalam api neraka
yang ganas. Hanya itu yang bisa kuperbuat untuk
menekan jerit teror membahana.

Hari-hari berikutnya aku dirundung kecemasan


dan ketakutan. Di permukaan, aku tetap
melanjutkan peran sebagai pelawak konyol nan
menyedihkan demi membangkit- kan tawa orang
lain, namun acapkali hela nelangsa keluar dari
bibirku. Apa saja yang kuperbuat, Takeichi

37
mengamati, dan aku percaya dia akan segera
menyebarkan kebenaran- nya kepada setiap
orang yang dia temui.
Dahi berkeringat memikirkan kemungkinan ini;
aku menatap sekeliling dengan tatapan kosong
macam orang sinting.
Aku membatin, kalau memungkinkan, ingin
aku tak henti-henti mengawasi Takeichi selama
dua puluh empat jam. Dari pagi, siang, hingga
malam, tak sedetik pun pandanganku terlepas
darinya, berjaga-jaga supaya dia tidak
membocorkan kebenarannya.Berusaha sekuat
tenaga membuatnya berpikir bahwa kan ku
bukan perbuatan sengaja melainkan ulah yang
sungguh-sungguh aku bahkan siap untuk
menjadi teman yang tidak terpisahkan; tapi jika
gagal, aku tak punya pilihan lain selain berharap
atas kematiannya.

Meski begitu, tak pernah terpikirkan olehku


untuk membunuhnya. Sepanjang hidupku, aku
seringkali berharap adanya kemungkinan diriku

38
menemui ajal dengan cara yang mengerikan, tapi
aku tak pernah berpikir untuk membunuh orang
lain.

Aku berpikir bahwa dalam membunuh musuh


yang ditakuti, aku mungkin akan membawa
kebahagiaan baginya.

Untuk dapat meraih hati Takeichi aku balut


wajahku dengan senyum tipuan a la penganut
Nasrani palsu. Aku terus berjalan bersamanya,
tanganku dengan ringannya melingkari bahunya
yang kurus kering, kepalaku menoleh ke arahnya
dengan manja. Aku sering mengundangnya
untuk datang ke rumah tempatku tinggal. Bukan
jawaban yang ia berikan, tapi ia memberikan
tatapan kosong ke arahku.

Satu hari sebelum usai sekolah - pasti terjadi


ketika awal musim panas - tiba-tiba hujan deras
turun. Murid-murid lain sibuk membicarakan
bagaimana mereka kembali pulang, tapi karena

39
aku tinggal hanya di ujung jalan, aku
memutuskan untuk berlari pulang. Tepat
sebelum aku berlari, aku melihat Takeichi
melamun sedih di jalur masuk. Aku berkata,

"Ayo! Nanti akan kupinjamkan payungku."


Aku menggenggam tangannya meskipun ia ragu
untuk menerima tawaranku, dan aku berlari
bersamanya melalui hujan. Ketika sampai
dirumah, aku meminta bibiku untuk
mengeringkan pakaian kami. Aku berhasil
memancing Takeichi untuk masuk ke kamarku.

Rumah ini berisi bibiku, perempuan di usia 50-


an, dan dua sepupuku, yang tertua adalah
perempuan berbadan tinggi, lemah, berkacamata
dengan usia sekitar 30-an (ia sudah menikah
sekali, namun kemudian berpisah), dan yang
termuda adalah perempuan berbadan pendek,
berwajah bulat yang terlihat baru saja lulus dari
SMA. Lantai bawah dari rumah ini disewakan
untuk sebuah toko kecil yang menjual

40
perlengkapan sekolah dan olahraga, tapi
pendapatan terbesar datang dari uang sewa dari
lima atau enam kontrakan kecil yang dibangun
oleh pamanku yang sudah meninggal.

Takeichi, berdiri dengan tatapan kosong di


kamarku dan berkata,

"Telingaku sakit."
"Pasti karena kita kehujanan."

Aku memeriksa telinganya dan menemukan


bahwa keduanya sudah sangat parah. Lubang
telinganya sudah dipenuhi nanah. Aku berusaha
untuk terlihat khawatir.

"Ini sangat parah pasti sakit."

Kemudian, dengan nada seperti perempuan aku


meminta maaf,

41
"Maaf sudah menarikmu ke sini padahal sedang
hujan."

Aku turun ke bawah untuk mencari kapas dan


alkohol. Takeichi berbaring di atas lantai dengan
kepalanya berada di atas pangkuanku dan
dengan susah payah aku mengusap telinganya.
Bahkan Takeichi nampak tidak sadar dengan
hipokritisme ini, perencanaan ini, apa yang ada
dibalik tindakanku ini. Jauh dari itu --
komentarnya ketika ia berbaring di atas
pangkuanku adalah, "Aku bertaruh banyak
perempuan akan jatuh (cinta) di hadapanmu!" Itu
adalah pendekatannya terhadap suatu pujian dari
perspektif seseorang yang kurang terpelajar.

Hal ini, di masa yang akan datang, adalah


semacam "ramalan iblis", lebih parah dari apa
yang Takeichi dapat sadari. "Jatuh", "terjatuh"
aku merasakan sesuatu yang secara tidak
langsung memiliki makna vulgar, lucu dan luar
biasa puas di dalam kata-kata ini. Sekali ekspresi

42
ini ditampilkan, tidak peduli khidmat apa tempat
itu, katedral-katedral melankolis yang sunyi
akan hancur dan hanya menyisakan kesan
kebodohan absurd. Ini aneh, tapi katedral-
katedral melankolis tidak harus dihancurkan jika
seseorang bisa menggantikan yang vulgar seperti
"Keberantakan seperti apa dalam kejatuhan"
dengan yang lebih terdidik seperti "Kegelisahan
apa yang terasa ketika dicintai."

Takeichi mengucapkan pujian bodoh itu, bahwa


perempuan akan jatuh di hadapanku, karena aku
sudah cukup baik untuk membersihkan
telinganya. Reaksiku saat itu hanyalah tersipu
dan tersenyum, tanpa membalas ucapannya tapi,
sejujurnya, aku sudah sedikit merasakan
ramalannya terjadi padaku. Tidak, untuk
berbicara di dalam istilah-istilah suasana yang
ditimbulkan oleh ungkapan yang sangat vulgar
seperti "jatuh (cinta) di hadapan" adalah
pengkhianatan perkiraan sentimen yang bahkan
tidak cocok untuk dialog seorang protagonis di

43
dalam komedi musikal; Tentunya aku tidak
tergerak oleh emosi-emosi menggelitik diri
melalui pernyataan seperti "sudah sedikit
merasakan".

Aku selalu saja berhadapan dengan kenyataan


bahwa, di antara spesies manusia, perempuan
sangat lebih sulit dipahami dibandingkan laki-
laki. Dalam keluarga dekatku, perempuan lebih
banyak dibandingkan laki-laki, dan banyak dari
sepupuku adalah perempuan. Ada juga sang
"terdakwa" pelayan. Kupikir tidak berlebihan
untuk mengatakan jika teman bermainku
sewaktu kecil adalah perempuan. Namun
demikian, hubungan saya bersama perempuan-
perempuan ini layaknya berjalan di atas es yang
tipis. Aku tidak bisa memprediksi motif mereka.
Aku berada di dalam kegelapan; satu ketika aku
membuat sebuah kesalahan karena tidak berhati-
hati yang memberiku luka yang menyakitkan.
Luka ini, tidak seperti luka cambukan yang
mungkin diberikan laki-laki, luka ini menyayat

44
sangat dalam, berdarah di dalam, timbulkan rasa
tidak nyaman yang hebat. Sekali terkena, luka ini
akan sulit untuk sembuh.

Perempuan menarikku hanya untuk


membuangku; mereka mengejek dan
menyiksaku ketika ada orang lain di sekitarnya,
lalu memelukku dengan gairah ketika semuanya
telah pergi. Perempuan tertidur sangat berisik
layaknya orang yang sudah mati. Siapa yang
tahu? Perempuan mungkin hidup hanya untuk
tidur. Hal ini dan generalisasi lainnya muncul
dari sebuah observasi atas perempuan sejak
kecil, tapi kesimpulanku adalah walaupun
perempuan berada di dalam spesies yang sama
dengan laki-laki, sesungguhnya mereka adalah
makhluk yang berbeda, dan makhluk yang tidak
dapat dipahami dan berbahaya ini, nampak luar
biasa seperti kedengarannya, selalu
memperhatikanku. Dalam kasusku, perkataan
seperti "jatuh cinta" atau "dicintai" tidak terlalu
mewakili; mungkin pernyataan yang tepat untuk

45
menggambarkan situasi ini adalah, aku
"diperhatikan".
Perempuan juga lebih sedikit menuntut ketika
aku berada di dalam peran badutku. Ketika aku
sedang berperan sebagai badut, laki-laki tidak
terus tertawa tanpa batas. Aku tahu kalau aku
terbawa oleh kesuksesanku dalam menghibur
seorang laki-laki dan melebihi perannya,
komediku akan tidak lucu, dan aku selalu
berhati-hati dan berhenti pada tempat yang tepat.
Perempuan, di sisi lain, tidak punya rasa ketidak
berlebihan. Tidak peduli sudah berapa lama aku
menanjutkan peran, mereka akan meminta lebih,
dan aku akan kelelahan menanggapi keinginan
mereka yang terus saja ingin melihat aku yang
lucu. Mereka tertawa terus menerus. Aku rasa
dapat aku katakan bahwa perempuan mengisi
diri mereka dengan kebahagiaan jauh lebih
banyak dari laki-laki.

Dua sepupu yang rumahnya aku tinggali ketika


aku bersekolah, sering mengunjungi kamarku

46
tiap kali mereka senggang. Ketukan pintu
mereka tidak pernah sekalipun gagal
mengejutkanku sehingga aku hampir melompat
ketakutan.

"Apa kau sedang belajar?"

"Tidak,"

aku berkata sembari tersenyum, menutup


bukuku. Kemudian aku meluncur ke dalam
cerita-cerita konyol, yang sangat jauh dari apa
yang sedang kupikirkan.

"Hari ini di sekolah, guru geografi yang biasa


kami panggil anjing laut…”

Suatu malam, sepupuku datang ke kamarku dan


setelah mereka memaksaku untuk menjadi badut
pada saat yang tidak menyenangkan, salah satu
dari mereka mengusulkan, "Yozo, coba aku lihat
bagaimana penampilanmu dengan kacamata.”

47
"Kenapa?"

"Sudah, jangan banyak bertanya. Pakailah. Ini,


pakai kacamatanya."

Mereka selalu berbicara dengan nada yang keras


dan harus dituruti. Sang badut mengenakan
kacamata perempuan yang lebih tua. Sepupu-
sepupuku kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Kau mirip sekali dengannya. Mirip seperti


Harold Lloyd.”

Seorang aktor komedi dari Amerika yang sangat


terkenal ketika itu di Jepang.

Aku berdiri. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,"


kataku, mengangkat satu tangan dalam salam,
"dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada penggemar saya di Jepang--
"

48
Aku melakukan gerakan layaknya sedang
berpidato. Mereka tertawa keras. Sejak saat itu
ketika ada film Harold Lloyd tayang di kota, aku
akan pergi untuk melihatnya diam-diam agar
dapat mempelajari ekspresinya.

Pada satu malam di musim gugur ketika diriku


sedang berbaring di tempat tidur sambil
membaca buku, salah satu kakak sepupu
tertuaku -- aku selalu memanggilnya Kakak --
tiba-tiba masuk ke kamarku secepat burung, dan
jatuh diatas tempat tidurku. Ia berbisik sembari
menangis, "Yozo, kau akan membantuku, aku
tahu. Aku tahu kau akan. Ayo kita pergi dari
rumah mengerikan ini. Oh, tolonglah aku.”

Ia melanjutkan nada histeris ini untuk sementara


hanya untuk kembali menangis. Ini bukan
pertama kalinya ada perempuan yang melakukan
adegan seperti ini di depanku, dan ucapan kakak
yang terlampau emosional ini tidak terlalu
mengejutkanku. Aku malah merasa bosan

49
dengan banalitas dan kekosongan mereka. Aku
berdiri dari kasurku, berjalan ke mejaku dan
mengambil buah kesemek. Aku mengupasnya
dan menawari Kakak hasil kupasannya. Ia
memakannya, masih terisak-isak dan berkata,
"Apa kau punya buku yang bagus? Pinjamkan
aku sesuatu."

Aku mengambil buku "Wagahai wa Neko de Aru


(Aku Seekor Kucing)" karya Natsume Soseki
dari lemari bukuku dan memberikan buku itu
kepadanya.

"Terima kasih untuk buah kesemeknya," ucap


kakak seraya pergi dari kamarku, senyum malu
di wajahnya.

Kakak bukanlah satu-satunya -- seringkali aku


merasa bahwa aku akan merasa lebih rumit,
menyusahkan dan tidak menyenangkan untuk
memastikan perasaan yang dimiliki seorang
perempuan daripada menyelami pemikiran

50
terdalam seekor cacing tanah. Pengalaman
pribadi mendalam telah mengajariku bahwa
ketika seorang perempuan tiba-tiba meledak
menjadi histeris, cara membuatnya kembali
semangat adalah dengan memberikan penganan
manis.

Adik perempuannya, Setchan, bahkan

membawa teman-temannya ke kamarku, dan


seperti biasanya, aku menghibur mereka semua
dengan adil. Sesaat setelah seorang teman pergi,
Setchan akan mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan tentang temannya, secara garis
besar kusimpulkan pernyataannya, "Dia adalah
perempuan yang tidak baik. Kau harus hati-hati
kepadanya." "Kalau itu masalahnya," dalam hati
aku berkata, "kau tidak perlu repot-repot
membawanya ke sini." Karena Setchan, hampir
semua pengunjung kamarku adalah perempuan.

51
Namun, ini tidak berarti bahwa pujian Takeichi,
"Perempuan akan jatuh cinta padamu" tidak akan
menjadi nyata di kemudian hari. Aku hanyalah
Harold Lloyd dari timur laut Jepang. Tidak untuk
dalam beberapa tahun perkataan bodoh Takeichi
menjadi nyata dan berubah menjadi ramalan
kejam.

Takeichi memberikan satu hadiah penting lagi


untukku.

Satu hari dia datang ke kamarku untuk bermain.


Dia dengan bangga memperlihatkan padaku
sebuah gambar yang berwarna cerah. "Ini
gambar setan," jelasnya.

Aku terkejut. Ketika itu, seraya diriku yang


merasakannya di masa mendatang, menentukan
jalan untuk melarikan diri. Aku tahu apa yang
Takeichi tunjukkan padaku. Itu adalah gambar
dari satu-satunya lukisan diri dari van Gogh yang
terkenal. Saat kami masih kecil, gerakan

52
Impresionis Prancis sangatlah populer di Jepang,
dan perkenalan kami akan apresiasi lukisan
Barat adalah karya-karya seperti ini. Lukisan-
lukisan karya van Gogh, Gauguin, Cezanne dan
Renoir akrab bahkan bagi para siswa di sekolah
negeri, kebanyakan melalui foto-foto lukisan
mereka. Aku sendiri sudah melihat beberapa foto
berwarna lukisan-lukisan van Gogh. Cara ia
melukis dan kejernihan warna lukisannya
membuatku tertarik, tapi aku tidak pernah
membayangkan lukisannya sebagai gambar
setan.

Aku ambil dari rak sebuah buku berisi kumpulan


cetakan ulang lukisan Modigliani, dan
menunjukkan Takeichi gambar telanjang dengan
kulit yang berwarna seperti tembaga yang
digosok. "Bagaimana dengan ini? Apakah
menurutmu mereka juga setan?"
"Mereka luar biasa." Takeichi melebarkan
matanya kagum. "Yang ini terlihat seperti kuda
dari neraka."

53
"Kalau begitu mereka benar-benar setan ya?"

"Kuharap aku bisa melukis gambar setan seperti


ini," ucap Takeichi.

Ada orang yang takut terhadap manusia lain


begitu mengerikan hingga mereka mencapai titik
dimana mereka melihat orang lain layaknya
monster, bahkan lebih seram. Dan semakin
gelisah mereka -- semakin cepat rasa takut
muncul -- semakin keras mereka berdoa karena
merasa akan kehadiran badai... Pelukis yang
sudah memiliki mentalitas seperti ini, setelah
terus menerus terluka dan terintimidasi di tangan
penampakan yang disebut sebagai manusia,
akhirnya mulai percaya dengan konsep setan --
mereka dengan jelas melihat di siang hari
bolong, di tengah-tengah alam. Dan mereka
tidak memusingkan diri dengan menjadi badut;
mereka berusaha untuk menggambarkan
monster-monster ini apa adanya. Takeichi

54
benar:dengan beraninya mereka melukis
gambar-gambar iblis. Aku berpikir bahwa ia
akan menjadi temanku di masa depan. Sangat
bahagia aku dibuatnya hingga menitikkan air
mata

"Aku akan melukis juga. Aku akan melukis


gambar-gambar setan dan iblis, juga kuda dari
neraka." Ucapku dengan rendahnya kepada
Takeichi, terdengar seperti bisikan.

Sejak Sekolah Dasar aku suka menggambar dan


melihat gambar. Tetapi gambarku selalu saja
tidak mendapatkan perhatian yang sama dari
teman-teman di sekolahku dibandingkan cerita-
cerita komikku. Aku tidak pernah percaya pada
opini dari seorang manusia dan aku rasa ceritaku
tidak lebih dari sekedar gestur seorang badut
untuk menyapa penontonnya; komik-komikku
memikat guru-guru namun bagiku mereka
semua sama sekali tidak tertarik. Hanya melalui
lukisan, aku berusaha sepenuhnya untuk

55
menggambar dengan gaya orisinal namun
kekanak-kanakan yang aku miliki. Buku jiplakan
yang kami untuk menggambar di sekolah
sangatlah suram; gambar dari para guru sangat
tidak kompeten; dan aku merasa aku bisa
melakukan eksperimen untuk diriku sendiri
tanpa arah, menggunakan semua metode
ekspresi yang datang padaku.

Aku mempunyai satu set cat minyak dan kuas


sedari aku masuk SMA. Aku berusaha untuk
mengikuti teknik melukisku pada para pelukis
dari Sekolah Impresionis (sebuah gerakan seni
lukis abad 19), namun gambarku tetap saja datar
seperti secarik kertas biasa dan tampaknya tidak
menjanjikan untuk berkembang. Tetapi ucapan
Takeichi membuatku sadar bahwa sikap
mentalku terhadap lukisan itu salah. Apa yang
dimaksud sebagai kedangkalan -- juga
kebodohan -- hadir di mana seseorang yang
berusaha menggambar secara cantik dari apa
yang ia sendiri anggap cantik. Para ahli melalui

56
persepsi subyektif mereka menciptakan sesuatu
yang indah melalui hal-hal kecil nan sepele.
Mereka tidak menyembunyikan ketertarikan
mereka bahkan terhadap hal-hal jelek nan
menjijikkan, namun mereka memandikan diri
mereka dengan kebahagiaan dalam melukis
mereka. Dengan kata lain, mereka terlihat tidak
bergantung sedikitpun pada kesalahpahaman
orang lain. Sekarang setelah aku diinisiasi
Takeichi ke dalam rahasia dasar seni lukis, aku
mulai melakukan beberapa potret diri (melukis
diri sendiri), berhati-hati agar tidak dilihat oleh
perempuan-perempuan yang datang.

Lukisan yang aku gambar begitu memilukan


hingga aku sendiri tercengang. Inilah diriku
sebenarnya yang ingin aku sembunyikan dengan
susah payah. Aku tersenyum; aku membuat
orang lain tertawa; tetapi ini kenyataan yang
mengerikan. Diam-diam aku mengamini "diri"
ini,yakin bahwa tidak ada jalan keluar darinya,
sudah seharusnya aku tidak menunjukkan

57
lukisan-lukisan ini kepada siapapun selain
Takeichi. Aku tidak suka pikiran bahwa aku
mungkin tiba-tiba menjadi target rasa waspada
mereka, ketika suatu saat "mimpi buruk" di
bawah peran badutku terungkap. Di sisi lain, aku
juga takut jika mereka tidak mengenali diriku
yang sebenarnya ketika mereka melihatnya,
tetapi mereka hanya membayangkan bahwa
diriku ini adalah sebuah sentuhan baru terhadap
badutku -- kesempatan untuk sebuah tawa
tambahan. Hal ini akan menjadi yang paling
menyakitkan dari semuanya. Oleh karenanya,
kusimpan rapat-rapat lukisan ini di belakang
lemariku.

Di kelas melukis sekolahku, aku juga


merahasiakan teknik melukis "gaya hantu" ini
dan terus melukis seperti sebelumnya dengan
nuansa keindahan.

Kepada Takeichi (dan hanya kepadanya), aku


bisa memperlihatkan kepekaanku yang mudah

58
terluka dan aku tidak ragu untuk menunjukkan
lukisan diriku sendiri. Dia sangat antusias dan
aku menggambar dua atau tiga lagi,
ditambahdengan gambar hantu. Melihat lukisan-
lukisanku ini membuatnya mengucapkan sebuah
prediksi, "Suatu hari kau akan menjadi pelukis
hebat.

59
Buku Catatan Ketiga

SALAH satu prediksi Takeichi terwujud,


prediksi lainnya lagi meleset. Ramalan
memalukan bahwa para perempuan akan jatuh
cinta padaku ternyata terwujud seperti
perkataannya, tapi ramalan menyenangkan yang
lain, bahwa aku akan menjadi seniman hebat,
gagal terwujud. Aku tidak pernah berhasil
melampaui kedudukan kartunis kelas dua tidak
dikenal yang dipekerjakan oleh majalah-majalah
murahan.

Aku dikeluarkan dari universitas karena insiden


di Kamakura itu, dan terpaksa tinggal di kamar
sempit di lantai dua rumah Hirame. Aku
mengetahui bahwa sedikit uang yang dikirim
dari kampung setiap bulan untuk menyokongku,

60
tidak pernah diki- rim langsung padaku, tapi
secara diam-diam dikirim melalui Hirame.
(Uang itu memang dikirimkan oleh para kakak
lelakiku tanpa sepengetahuan bapakku.) Hanya
sejauh itu hubunganku dengan keluarga, sebab
segala macam hubungan dengan kam- pung
halaman telah diputus. Hirame selalu jengkel;
bahkan kalaupun aku berusaha tersenyum untuk
terlihat menyenang- kan, dia tidak akan pernah
membalas senyuman itu. Perubahan- nya sangat
luar biasa sehingga membuatku berpikir betapa
hina-atau tepatnya, betapa lucu-manusia itu,
mampu berubah demikian mudah dan
sederhananya seperti membalikkan tangan.

Hirame kelihatannya sangat mengawasiku,


seakan-akan aku sangat mungkin berniat bunuh
diri. Dia pasti berpikir, ada kemungkinan aku
akan berusaha meloncat ke laut menyusul
perempuan itu, sehingga dia tegas melarangku
keluar rumah. Ia juga tidak mengizinkan minum-
minum atau merokok. Aku menghabiskan hari

61
dari bangun sampai tidur lagi di kamarku.
Terkurung dengan majalah-majalah lama untuk
dibaca. Saat itu, aku kehilangan daya untuk
menjalani hidup bahkan cukup kehilangan
tenaga untuk memikirkan melakukan bunuh diri.
Rumah Hirame berada di dekat Sekolah
Kedokteran Okubo.

Plang tokonya, yang ditulis dengan huruf-huruf


tebal "Kebun Naga Hijau, Barang Antik dan
Seni," adalah satu-satunya hal paling berkesan
dari tempat itu. Toko itu sendiri panjang dan
berlangit-langit rendah, interiornya yang
berdebu hanya berisi rak-rak berisi sampah tidak
berguna. Sudah jelas, untuk hidup Hirame tidak
bergantung pada penjualan sampah itu; dia
memang mencari uang dengan menyediakan jasa
seperti mengirim barang rahasia antar klien-
untuk menghindari pajak.

Hirame tidak pernah menjaga toko. Biasanya dia


berangkat buru-buru di pagi buta. Dengan

62
wajahnya yang cemberut, ia meninggalkan
pemuda tujuh belas tahun untuk menjaga toko
ketika dia pergi. Tiap kali pemuda itu tidak ada
pekerjaan, dia akan bermain lempar tangkap di
jalan dengan anak-anak tetangga. Dia
kelihatannya menganggap si benalu hidup di
lantai dua rumah itu adalah orang dungu, kalau
bukan gila. Dia bahkan biasa berkhotbah padaku
dengan sok dewasa dan sok bijak. Karena tidak
pernah bisa menentang orang lain, aku pun
mendengarkannya, tentunya dengan memasang

ekspresi kagum walaupun lelah. Sepertinya aku


ingat dulusekali, pernah mendengar dari orang-
orang di kampung bahwa penjaga toko itu adalah
anak tidak sah Hirame, walaupun mereka berdua
tidak pernah saling menyapa seperti bapak dan
anak. Pastilah ada alasan atas hal ini dan
kelajangan Hirame, tetapi sudah menjadi
pembawaanku tidak mampu penasaran pada
orang lain, dan aku tidak tahu lebih dari apa yang
sudah kusebutkan di atas. Meskipun demikian,

63
memang mata pemuda itu mirip dengan mata
Hirame, membuatku berke- simpulan sendiri
bahwa mungkin saja gosip itu benar. Tapi jika
begitu, bapak dan anak itu hidup dengan cara
yang sangat tidak riang. Ada saat, di larut malam,
mereka memesan mi dari toko di dekat rumah
untuk mereka berdua saja, tanpa mengajakku.
Mereka selalu makan dalam bisu, tidak bicara
sepatah kata pun.

Pemuda itu nyaris selalu menyiapkan makanan


di rumah Hirame. Tiga kali sehari dia membawa
tatakan makanan untuk si benalu di lantai dua.
Hirame dan pemuda itu menyantap makanan
mereka di ruang sempit dan lembap di bawah
tangga. Mereka selalu makan dengan cepat, aku
dapat mendengar piring-piring berbenturan oleh
ketergesa-gesaan itu.

Suatu malam menjelang akhir Maret, Hirame


mengundangku untuk turun dan makan malam.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah waktu itu

64
dia kebetulan sedang sukses secara finansial
ataukah ada akal bulus lain yang
menggerakkannya. (Bahkan kalaupun dua
dugaan itu benar, aku membayangkan sejumlah
alasan lain yang saking anehnya tidak dapat
dipahami pikiran- ku). Makan malam itu juga
turut diramaikan oleh sake yang sebenarnya
jarang ada. Tuan rumah sendiri terkesan oleh
kenik- matan yang tidak biasa pada potongan
tuna, dan dalam keka- gumannya, ia bahkan
terus-menerus menawari sake yang sedikit itu
pada si tukang numpang lesu ini.

Dia bertanya, "Apa yang akan kamu kerjakan


nanti, maksud- ku untuk ke depannya?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, diam dan


mengambil sarden goreng dengan sumpit dari
piring di meja. Sementara mengamati mata perak
ikan kecil itu, aku merasa jadi agak mabuk. Tiba-
tiba aku terkenang pada masa-masa
mengunjungi bar untuk minum-minum, dan

65
bahkan mengingat Horiki. Aku amat
mendambakan "kebebasan" sehingga jadi lemah
dan cengeng.

Bahkan sejak datang ke rumah itu, diriku


kehilangan segala minat untuk menjadi tukang
melawak; aku hanya menunduk, bersembunyi
dari tatapan Hirame dan pemuda itu. Hirame
sendiri kelihatannya enggan terlibat dalam
perbincangan dari hati ke hati, dan aku sendiri
tidak memiliki hasrat untuk menge- luh padanya.

Hirame mengejar topiknya. "Sebenarnya


kelihatannya. dakwaan yang ditangguhkan itu
tidak akan dianggap sebagai catatan kriminal
atau semacamnya. Jadi, rehabilitasimu
sepenuhnya bergantung pada dirimu sendiri.
Kalau kamu memperbaiki gaya hidupmu dan
memberi tahu masalahmu, maksudku
membaginya denganku, aku tentu akan mencari
tahu cara untuk membantumu."

66
Cara bicara Hirame-tidak hanya cara bicaranya,
tapi cara bicara semua orang di dunia-
mengandung kerumitan yang aneh dan sulit
dimengerti. Ucapannya diisampaikan secara
rumit dengan nada yang tidak jelas: aku selalu
terkejut oleh peri- ngatan yang saking ketatnya
malah jadi tidak berguna, serta ucapan yang
memutar-mutar menyebalkan. Pada akhirnya
aku tidak lagi peduli; menertawakannya dengan
lawakanku, atau bersikap pasrah, menyerah
sengsara sambil mengangguk tanpa
suara.

Kelak aku menyadari kalau saja Hirame


mengungkapkan fakta itu dengan pernyataan
sederhana, tidak akan ada dampak yang tidak
terduga jadinya. Tapi sebagai hasil dari
peringatannya yang tidak perlu itu, atau tepatnya
dari kebanggaan dan kesom- bongan umat
manusia, aku jadi korban pengalaman-pengala-
man yang suram.

67
Betapa segalanya akan lebih baik kalau saja
Hirame berkata- nya seperti ini, "aku mau kamu
masuk kuliah pada semester April. Keluargamu
telah memutuskan untuk mengirimimu uang
saku yang lebih dari cukup begitu kamu masuk
kuliah".

Baru kemudian aku menyadari memang itulah


keadaannya. Kalau saja penyampainnya seperti
itu, aku mungkin sudah melakukan apa yang
diminta Hirame. Tapi berkat cara bicaranya yang
terlalu hati-hati dan panjang lebar, aku hanya
merasa jengkel, dan inilah yang membuat
hidupku berubah.

"Kalau kamu tidak mau menceritakan


masalahmu padaku, sepertinya tidak ada yang
bisa kubantu."

"Masalah apa?" Waktu itu aku sama sekali tidak


paham arah pembicaraannya.

68
"Apakah tidak ada yang membebani hatimu?"

"Misalnya?"

"Misalnya, apa yang ingin kamu lakukan


sekarang?"

"Menurutmu aku harus cari kerja?"

"Tidak, jangan tanya aku. Bilang apa yang


benar-benar ingin kamu lakukan."

"Tapi bahkan kalau bilang aku ingin kembali


kuliah..."

"Ya, aku tahu, itu butuh uang. Persoalannya


bukanlah uang, tapi perasaanmu."

Aku heran, kenapa dia tidak bisa menyebutkan


saja kenyataan sederhana bahwa uang akan
datang dari kampung

69
halamanku, dari keluargaku? Kenyataan yang
satu itu mungkinakan menenangkan hatiku, tapi
aku dibiarkannya untuk tidak tahu.

"Bagaimana? Apakah kamu terpikirkan sesuatu


yang mungkin dianggap sebagai rencana ke
depan? Sepertinya orang tidak bisa berharap
orang yang ditolongnya akan paham betapa
sulitnya membantu orang lain itu."

"Maaf."

"Aku mengkhawatirkanmu. Aku bertanggung


jawab atas dirimu sekarang. Aku tidak suka
kamu separuh hati begitu. Aku harap, kamu
menunjukkan bahwa dirimu akan benar-benar
berusaha membuka lembaran baru. Kalau,
misalnya, kamu datang padaku untuk
membicarakan rencanamu ke depan. dengan
serius, tentu saja aku akan bertindak sebisaku.

70
Tapi tentu saja, kamu tidak bisa mengharapkan
akan bisa hidup mewah seperti dulu di bawah
bantuan si malang Hirame ini- jangan
mengkhayal soal itu. Tapi kalau sudah
membulatkan tekad untuk memulai segalanya,
dan membuat rencana jelas untuk membangun
masa depan, bisa saja aku bersedia mem-
bantumu merehabilitasi dirimu kalau kamu
minta bantuan, walaupun hanya tuhan yang tahu
aku tidak punya banyak modal. Apakah kamu
paham perasaanku? Jadi apa rencana- mu?"

"Jika kamu tidak mengizinkanku tinggal di sini,


aku akan bekerja..."

"Sungguh? Apakah kamu sadar bahwa zaman


sekarang

bahkan lulusan Universitas Kerajaan Tokyo..."

71
"Tidak, maksudku bukan bekerja di perusahaan"
aku memo- tong ucapannya dengan cepat.
"Lantas apa?" tanyanya.

"Aku ingin menjadi pelukis." Aku


mengatakannya dengan

penuh keyakinan.

"Apa?”
Aku tidak pernah bisa melupakan bayangan
culas dan sedikit terkejut yang tidak terjelaskan
di wajahnya ketika menerta- wakanku, lehernya
menegang. Seperti mengejek, tapi berbeda. Jika
laut, memiliki kedalaman seribu depa maka
inilah bayangan aneh yang mungkin ada di
dasarnya. Tawa itu membuatku melihat secercah
titik terendah kehidupan orang dewasa.

"Tidak ada gunanya membahas itu. Perasaanmu


masih mengambang. Pikirkan lagi. Tolong

72
gunakan malam ini untuk memikirkannya secara
serius," katanya.

Aku berlari ke lantai dua seperti diusir, tapi


bahkan ketika rebahan di kasur tidak ada hal
membangun yang tebersit olehku. Besok
subuhnya, aku kabur dari rumah Hirame. Aku
meninggalkan catatan untuknya. Pesan yang
kucoret-coret dengan huruf besar-besar di buku
dengan pensil. Catatan itu singkat saja, "aku
pasti kembali malam ini. Aku akan membahas
rencana ke depan bersama seorang teman yang
tinggal di alamat berikut. Tolong jangan
khawatir. Aku berkata jujur." Aku menulis nama
dan alamat Horiki, lalu mengendap pergi dari
rumah Hirame.

Aku tidak kabur karena takut diceramahi


Hirame. Waktu itu, tepat seperti dipaparkannya,
aku adalah orang yang perasaannya
mengambang, dan sama sekali tidak punya
pikiran soal rencana ke depan atau apa pun.

73
Selain itu, aku sedikit tidak enak pada Hirame
karena membebaninya dengan tinggal di
rumahnya. Cukup menyakitkan berpikir bahwa
kalaupun dengan kemung- kinan kecil, aku
berniat memaksakan diriku untuk mencapai
suatu tujuan berarti, aku harus bergantung pada
Hirame yang malang untuk meraup uang yang
dibutuhkan tiap bulan untuk rehabilitasiku.

Meskipun demikian, ketika meninggalkan


rumah Hirame, aku tentu saja tidak berpikir
untuk berkonsultasi tentang rencana ke depan
dengan orang semacam Horiki. Aku
meninggalkan catatan dengan harapan bisa
menenangkan Hirame untuk sementara waktu,
walaupun hanya sekejap. (Aku tidak membuat
catatan itu seperti siasat cerita detektif sebagai
usaha mengulur waktu untuk kabur-walaupun,
kuakui bahwa hasrat itu setidaknya ada-supaya
Hirame tidak kaget dan hal itu akan membuatnya
bingung dan menggila. Menurutku mungkin bisa
dibilang itu cukup akurat untuk menggambarkan

74
motifku. Aku tahu bahwa kenyataan itu memang
akan diketahui, tapi aku takut menyatakannya
dengan jujur.

Salah satu kelemahan fatalku adalah


mempunyai kecenderungan untuk melebih-
lebihkan segala keadaan. Sifat yang membuat
orang-orang kadang menyebutku pembohong,
tetapi aku nyaris tidak pernah melebih-lebihkan
untuk mencari keuntungan pribadi. Aku justru
merasa takut terhadap perubahan suasana yang
mengerikan kalau laju pembicaraan terhenti.
Kalaupun tahu bahwa hal itu akan merugikanku,
kadang aku tetap merasa perlu untuk
menambahkan meski nyaris secara sembrono.
Bagiku hal-hal yang berlebih-lebihan,
disebabkan hasrat untuk menyenangkan. Sifat itu
mungkin wujud kekacauan dari kelemahanku,
sebuah kebodohan, tapi kebiasaan yang
dimunculkan sifat itu diman- faatkan oleh para
penghuni dunia yang katanya jujur.) Itulah

75
kenapa aku menuliskan nama dan alamat Horiki
ketika hal itu menyembul dari ingatan.

Setelah meninggalkan rumah Hirame, aku


berjalan sampai Shinjuku. Di Shinjuku, aku
menjual buku-buku dalam sakuku. Lalu aku
berdiri bingung, sama sekali tidak tahu harus
apa. Walaupun selalu membiasakan untuk
menyenangkan orang lain, aku tidak pernah
sekali pun mengalami yang namanya persa-
habatan. Aku hanya punya pengalaman tidak
menyenangkan dengan beragam kenalan,
kecuali rekan dalam kenikmatan seperti Horiki.

Aku memainkan peran tukang melawak dengan


cemas untuk melepaskan diriku dari hubungan-
hubungan yang menyakitkan itu, yang ujung-
ujungnya hanya melelahkanku. Bahkan
sekarang, jika tidak sengaja melihat orang yang
memiliki sedikit kemiripan dengan kenalanku,
aku akan terkejut dan segera saja dicengkam
gemetar keras yang membuat pusing. Aku tahu

76
bahwa diriku disukai oleh orang lain, tapi
kelihatannya aku tidak mampu mencintai orang
lain. (Perlu ditambahkan bahwa aku sangat ragu
apakah manusia benar-benar memiliki ke-
mampuan itu.) Sulit diharapkan orang sepertiku
bisa berteman dekat dengan orang lain. Tidak
hanya itu, aku bahkan tidak punya kemampuan
untuk mengunjungi orang. Pintu depan rumah
orang membuatku takut, lebih dari ketakutanku
pada gerbang neraka dalam Divine Comedy
karya Dante Alighieri. Aku tidak melebih-
lebihkan, ketika mengatakan diriku bisa mera-
sakan ada sesuatu di balik pintu rumah orang-
orang-monster mengerikan seperti naga
menggeliat dan berbau tidak sedap.

Aku tidak punya teman. Tidak ada tempat yang


bisa kutuju selain Horiki. Inilah contoh nyata
perkataan jujur yang disam- paikan dengan
bercanda: aku akhirnya memutuskan untuk
mengunjungi Horiki, tepat seperti yang
kunyatakan dalam surat perpisahan pada

77
Hirame. Aku sendiri tidak pernah pergi ke rumah
Horiki. Biasanya aku mengirim kawat padanya
untuk main ke rumahku kalau ingin berjumpa
dengannya. Meskipun tidak yakin apakah aku
punya uang untuk membayar kawat. Aku juga
bertanya-tanya, dengan ketololan orang hina,
bisa saja Horiki menolakku datang kalau
mengirim kawat. Aku memu- tuskan untuk
mengunjunginya, hal paling sulit untuk
kulakukan. Sambil mendesah, aku menaiki trem.
Pikiran bahwa harapan terakhirku adalah Horiki
membuatku sangat takut, sampai aku bergidik.

Saat itu Horiki ada di rumah. Dia tinggal di


rumah dua lantai di ujung gang kumuh. Horiki
hanya menempati satu kamar ukuran sedang di
lantai dua. Di lantai bawah, orang tuanya dan
seorang pegawai muda sibuk menjahit dan
memukuli potongan- potongan kain untuk
membuat tali sendal.

78
Hari itu Horiki menunjukkan sisi baru
kepribadian orang kotanya. Itulah sifat alaminya,
egoisme dingin yang sangat culas sehingga anak
kampung macam aku hanya bisa
menyaksikannya dengan takjub. Dia bukan
orang sederhana pasif seperti diriku.

"Kamu. Tidak kusangka. Kamu sudah


dimaafkan oleh bapakmu, kan? Belum?"

Aku tidak bisa mengaku padanya kalau diriku


kabur dari pengawasan Hirame. Dengan caraku
yang biasa, aku meng- hindari topik itu.
Meskipun, aku cukup yakin tidak lama lagi,
Horiki akan segera memahami apa yang telah
terjadi.

"Persoalan akan beres dengan sendirinya,


dengan caranya sendiri."

"Nah nah! Bukan main-main ini. Kuberi tahu ya-


hentikan kekonyolanmu sekarang juga. Lagi

79
pula, aku ada urusan hari ini. Belakangan ini, aku
benar-benar sibuk."

“Bisnis? Bisnis apa?”

"Hei! Kamu ngapain? Jangan putuskan tali


dudukan itu!"

Selagi kami bicara, tanpa sadar aku bermain-


main dengan melipat tali tambang yang
menyembul dari pojok bantalan dudukku-tali
pengikat, seingatku itu namanya. Horiki sangat
cerewet soal barang-barang di rumahnya, bahkan
sampai tali bantalan duduk sekali pun, dia lalu
menatapku, kelihatannya tidak malu dengan sifat
itu. Kalau dipikir-pikir, dulu hubunganku dan
Horiki membuatnya tidak mengeluarkan uang
sama sekali. Ibu Horiki yang sudah uzur
menemui kami, membawa dua
agar-agar di atas nampan.
"Apa ini?" Horiki bertanya lembut pada ibunya,
dengan nada anak berbakti, melanjutkan dengan

80
bahasa yang sangat sopan sehingga kedengaran
dibuat-buat.

"Oh, maaf. Ibu membuat agar-agar. Bagus


sekali. Padahal ibu tidak perlu repot-repot. Aku
baru saja mau pergi untuk suatu urusan. Tapi
tidak sopan kalau tidak memakan agar-agar enak
ini, sedangkan ibu sudah repot-repot. Terima
kasih banyak."

la, menoleh padaku. "Kamu mau juga? Ibu


membuatnya secara khusus. Ahhh... enak sekali.
Sangat mantap."

Dia makan dengan lahap, nyaris rakus, yang


sama sekali bukan pura-pura. Aku juga
menyendok agar-agarku Rasanya berair
dan ketika menyendok buah di dasar mangkuk,
ternyata bukan buah, tapi sesuatu yang sama
sekali tidak kuketahui. Aku tidak bermaksud
mencemooh kemiskinan mereka. (Saat itu, aku
tidak v beranggapan rasa agar-agar itu tidak

81
enak, dan aku sangat berterima kasih atas
kebaikan ibu Horiki. Benar aku gentar akan
kemiskinan, tapi aku tidak pernah
mencemoohnya.)

Agar-agar dan cara Horiki menikmatinya


mengajarkanku kekikiran orang kota, dan
rasanya hidup dalam rumah tangga di Tokyo,
tempat anggota keluarganya membedakan
dengan tajam kegiatannya di rumah dan di luar.
Gara-gara hal ini, aku jadi kaget sehingga si
bodoh yang karena terus-terusan kabur dari
peradaban manusia tidak bisa membedakan
antara sikap "di rumah" dan "di luar", adalah
satu-satunya yang tertinggal, sehingga aku pun
diabaikan oleh Horiki. Perlu kucatat bahwa
selagi menggunakan sumpit untuk memakan
agar-agar, aku merasa amat kesepian. "Maaf,
tapi aku ada janji hari ini," kata Horiki sambil
berdiri

82
dan mengenakan jaket. "Aku berangkat ya.
Maaf."

Pada saat itu, seorang tamu perempuan datang


mengunjungi Horiki. Gara-gara itu nasibku
berubah total. Horiki langsungbersemangat.
"Oh, maaf. Aku baru saja mau pergi ke
tempatmu ketika orang ini datang mendadak.
Tidak, kamu sama sekali tidak mengganggu.
Silakan masuk."

Horiki tampak kesal. Saya mengambil bantal


tempat saya duduk dan menyerahkannya
kepadanya. Tapi sambil mengambilnya dari
tanganku, dia membaliknya sambil
menyerahkannya pada gadis itu. Hanya ada satu
bantal untuk tamu selain yang ditempati Horiki.
Wanita itu tinggi dan ramping. Dia duduk di atas
bantal dan duduk dengan malu-malu di sudut
dekat pintu.

83
Aku mendengar tanpa perhatian pada obrolan
mereka. Perempuan itu, ternyata seorang
pegawai penerbit majalah, telah memesan
ilustrasi dari Horiki, dan sekarang datang untuk
mengambilnya.

"Kami sedang buru-buru," dia menjelaskan.

"Sudah beres. Sudah jadi sejak beberapa waktu


lalu. Nih."

Seorang pesuruh datang mengantarkan telegram.


Selagi Horiki membacanya, aku dapat melihat
kegembiraannya luntur. Telegram itu dari
Hirame.

"Sial, kamu ini maunya apa sih?"

"Kamu pulang sekarang juga. Sepertinya, aku


sendiri yang harus membawamu ke sana, tapi
sekarang tidak sempat. Coba bayangkan-orang
kabur, tapi bersikap sombong!"

84
Perempuan itu bertanya, "Di mana kamu
tinggal?"

"Di Okubo," kujawab tanpa pikir panjang.

"Dekat juga dengan kantorku.”

yang berumur lima tahun. Dia bilang suaminya


meninggal tiga tahun lalu.

"Kamu seperti orang yang masa kecilnya tidak


bahagia. Kamu sangat peka dan lebih kasihan
lagi."

Untuk pertama kalinya, aku menjadi lelaki


piaraan. Setelah Shizuko (itulah nama jurnalis
perempuan itu) pergi kerja pagi hari di penerbit
majalah, putrinya Shigeko dan aku patuh
mengurus apartemen. Dulu Shigeko selalu
ditinggalkan untuk bermain di ruangan
pengelola ketika ibunya pergi, dan sekarang dia

85
kelihatan senang karena ada "paman" yang
menjadi teman bermain baru.

Selama seminggu, aku dalam keadaan bingung.


Tepat di depan jendela apartemen ada layang-
layang tersangkut di kabel telegraf; diombang-
ambing dan disobek-sobek angin musim semi
yang berdebu, meskipun demikian layang-
layang itu tetap tersangkut di kabel, seakan-akan
mengiyakan sesuatu. Setiap kali aku menatap
layang-layang itu, aku tersenyum tersipu malu.
Hal itu bahkan menghantui mimpiku.

"Aku butuh uang."

"Berapa harganya?" wanita itu bertanya.

"Banyak, kau tahu, cinta melayang keluar


jendela ketika kemiskinan menghampiri pintu,
katanya, dan peribahasa itu benar."

"Jangan konyol. Itu pernyataan basi."

86
"Benarkah? Tapi kamu tidak mengerti. Aku bisa
saja kabur kalau keadaan terus begini."

"Siapa di antara kita yang miskin? Dan siapa


yang akan kabur? Konyol sekali!"

"Aku ingin beli minum dan rokok dengan


uangku sendiri. Aku lebih pandai menggambar
daripada Horiki." Pada saat-saat seperti itu,
tebersit potret diri yang kulukis
semasa SMA. Potret yang disebut "gambar
hantu" oleh Takeichi. Karyaku yang hilang.
Foto-foto itu, foto-foto berhargaku, hilang
karena aku sering berpindah tempat. Setelah itu,
saya memang sempat menggambar berbagai
gambar, namun semuanya jauh dari karya
menakjubkan yang saya ingat. Aku diliputi rasa
kehilangan yang sangat besar, seolah-olah hatiku
menjadi kosong.

87
Segelas absinthe yang tidak diminum. Rasa
kehilangan yang tetap bercokol kuat diam-diam
mulai mewujud. Tiap kali aku bicara soal
lukisan, gelas absinthe yang tidak diminum itu
kelihatan olehku. Aku didera oleh pikiran yang
membuat frustrasi: Kalau saja aku bisa
memamerkan lukisan-lukisan itu, orang-orang
akan percaya pada bakat seniku.

"Sungguh? Kamu lucu kalau bercanda dengan


muka serius begitu."

Tapi aku tidak bercanda. Aku sungguh-


sungguh. Waktu itu aku berharap bisa
memamerkan gambar-gambar itu padanya. Aku
merasa kekecewaan yang membuatku pasrah.
Aku menam- bahkan, "Kartun, maksudku. Aku
yakin aku lebih baik dalam menggambar kartun
ketimbang Horiki." Kata-kata bohong itu
dianggap serius daripada kebenaran tadi.

88
"Ya, benar. Aku sangat terkesan oleh kartun
yang sering kamu gambar untuk Shigeko. Aku
sendiri terbahak-bahak gara- gara kartun itu.
Bagaimana kalau kamu menggambar untuk
majalahku? Aku bisa bilang pada redakturnya."

Perusahaan tempatnya bekerja, bukan


penerbitan terkenal, mereka menerbitkan
majalah bulanan untuk anak-anak.

"Kebanyakan perempuan hanya perlu melihatmu


untuk merasa sangat ingin membantumu sampai
mereka tidak tahan sendiri. Kamu selalu pemalu
tapi kamu lucu. Kadang-kadang kamu sangat
kesepian dan tertekan, tapi hal itu justru
membuat perempuan tambah gemas padamu."

Shizuko menyanjungku dengan komentar-


komentar sema- cam itu, dan dengan sifat
menjijikkan khas lelaki piaraan, kute- rima
dengan tenang. Tiap kali memikirkan
keadaanku, aku jatuh makin jauh dalam

89
depresiku, dan kehilangan segala tenagaku.
Depresi itu terus menekan benakku, bahwa aku
lebih butuh uang daripada perempuan, sehingga
ingin segera pergi dari Shizuko dan mempunyai
penghasilan sendiri. Aku membuat beragam
rencana, tapi upaya-upayaku hanya makin
membuatku terikat padanya. Perempuan
berpikiran kuat ini, sendirian berurusan dengan
beragam masalah akibat aku kabur, dan
mengurus segala hal untukku. Hasilnya aku jadi
makin pemalu dan segan.

Atas saran Shizuko, diadakanlah pertemuan


yang dihadiri oleh Hirame, Horiki, dan dia
sendiri yang menyimpulkan bahwa segala
hubungan antara aku dan keluargaku diputus.
Aku akan hidup bersama Shizuko sebagai suami
istri. Berkat upaya Shizuko, kartunku mulai
menghasilkan lumayan banyak uang. Aku
membeli minuman dan rokok, sebagaimana
rencanaku dengan penghasilanku itu, tapi
kemurungan dan depresiku justru malah makin

90
dahsyat. Aku telah terpuruk ke dasar. Kadang
ketika menggambar "Petualangan Kinta dan
Ota", komik strip bulanan untuk majalah
Shizuko, aku tiba-tiba kepikiran soal rumah, dan
hal itu membuatku sangat menderita sehingga
pena- ku berhenti bergerak, dan aku menunduk,
dengan berlinangan air mata.

Pada masa-masa seperti itu pelega sekejapnya


adalah si kecil Shigeko. Waktu itu dia sudah
memanggilku "Papa" tanpa ragu. "Papa,
benarkah Tuhan akan memberi segalanya kalau
kita berdoa?"

Kupikir untuk sekali itu, aku ingin berdoa.


Memohon dan menyeru; oh, berkatilah aku
dengan tekad sekeras es. Akrabkan aku dengan
sifat sejati "manusia". Apakah dosa apabila
orang mengabaikan sesamanya? Berkati aku
dengan topeng amarah. "Ya. Papa yakin Dia
akan mengabulkan segala doa Shigeko, tapi
sepertinya mustahil kalau Papa."

91
Aku bahkan ketakutan pada Tuhan. Aku tidak
dapat meyakini cinta-Nya, hanya hukuman-Nya.
Iman. Kurasa, itu artinya menghadapi
pengadilan jaksa dengan kepala tunduk
menerima deraan Tuhan. Aku dapat mengimani
neraka, tapi mustahil bagiku untuk mengimani
surga.

"Kenapa Papa mustahil?"

"Karena aku membangkang pada bapakku."

"Benarkah? Tapi katanya Papa orang baik."

Itu karena aku menipu mereka semua. Aku sadar


bahwa orang-orang di apartemen itu sangat
bersahabat padaku, tapi amat sulit bagiku untuk
menjelaskan pada Shigeko betapa takutnya
diriku pada mereka semua. Betapa aku terbebani
oleh keadaan tidak bahagia, bahwa semakin
takut pada manusia, semakin aku disukai, dan

92
semakin disukai semakin aku takut pada mereka
sebuah proses yang kemudian mendorongku
untuk kabur dari semua orang.

Dengan santai aku mengganti topik, agar


Shigeko tidak bertanya lebih jauh. "Shigeko,
mau minta apa pada Tuhan?"

"Aku ingin Papaku yang asli kembali."

Aku pusing karena kaget. Seorang musuh.


Apakah aku musuh Shigeko, atau sebaliknya?
Wajah Shigeko tiba-tiba kelihatan tidak lagi
wajah seorang anak kecil melainkan orang
dewasa yang asing. Bagiku, ia tampak seperti
orang dewasa menyeramkan yang akan
mengintimidasiku. Orang asing, yang

tidak bisa dipahami dan penuh rahasia.

Aku telah menipu diri bahwa setidaknya


Shigeko aman, tapi dia juga seperti kerbau yang

93
tiba-tiba melecutkan buntutnya untuk
membunuh pikat di pinggulnya. Sejak itu, aku
tahu bahwa sudah seharusnya malu di hadapan
gadis cilik itu.

"Apakah si pembunuh wanita ada?" Horiki


mengunjungiku lagi. Aku tidak bisa
menolaknya, walaupun orang inilah yang
membuatku sangat menderita waktu aku kabur
dulu. Aku menyambutnya dengan senyum tipis.

"Komik stripmu sedang menanjak, ya? Tidak


ada banding- annya dengan para amatir-mereka
sangat nekat, tidak tahu kapan harus takut. Tapi
jangan terlalu percaya diri. Komposisi- mu
masih belum apa-apa."

Berani-beraninya dia bertingkah sok jago di


hadapanku! Aku merasakan getaran amarah
karena berpikir, "aku bisa memba- yangkan
bagaimana rautnya jika kupamerkan 'gambar

94
hantu'- ku". Tapi yang ada, aku malah
memprotesnya.

"Jangan bilang begitu dong. Aku jadi sedih."

Horiki kelihatan makin sombong. "Kalau


bakatmu cuma pas-pasan, cepat atau lambat
kemampuan aslimu akan ketahuan."

Bakat pas-pasan, katanya. Aku benar-benar


harus tersenyum. Coba bayangkan, aku cuma
punya bakat pas-pasan! Tebersit olehku bahwa
orang sepertiku yang gentar pada manusia,
menghindari dan menipu mereka, mungkin
tampak seperti orang pada umumnya yang
mengagumi hukum duniawi cerdas tentang
kesuksesan, yang dituangkan dalam peribahasa
"biarkan anjing tidur berbaring". Bukankah tidak
ada dua orang yang saling memahami, bukankah
mereka yang saling menanggap sahabat karib
mungkin amat keliru tentang temannya sehingga
gagal menyadari kebenaran menyedihkan itu
selama hidupnya,

meratap waktu membaca koran soal


kematiannya?

95
Horiki, harus kuakui, terlibat dalam perjanjian
setelah aku.kabur. Meskipun saat itu ia enggan,
dan melakukannya atas desakan Shizuko.
Sekarang dia bersikap seakan dirinya adalah
derma- wan yang memberiku utang budi atau
seperti mak comblang dalam percintaan.
Tampangnya waktu menceramahiku khu- syuk.
Kadang dia datang malam hari dan dalam
keadaan teler, menginap di tempatku, atau hanya
singgah untuk meminjam uang lima yen (selalu
lima yen).

"Kamu mesti berhenti bermain-main dengan


perempuan. Kamu sudah kelewatan. Masyarakat
tidak menoleransi lagi."

Aku bertanya-tanya apa yang dimaksudnya


dengan "masya- rakat"? Bentuk jamak dari
manusia? Di manakah inti dari hal yang disebut
"masyarakat" ini? Sepanjang hidupku, aku
berpikir bahwa masyarakat pastilah sesuatu yang
dahsyat, kasar, dan keras. Tapi mendengar
Horiki menyebutkan kata itu, aku jadi nyaris
mengatakan, "maksudmu, kamu?" Tapi aku
menahan diri, sungkan membuatnya marah.

Masyarakat tidak akan menoleransinya. Bukan


masyarakat. Tapi kamu sendiri yang tidak akan

96
menoleransinya lagi? Kalau kamu melakukan
hal itu, masyarakat akan membuatmu menderita.
Bukan masyarakat. Tapi kamu, kan? Tahu-tahu
kamu diasingkan masyarakat. Bukan
masyarakat. Tapi kamu yang akan
mengasingkan, bukan?

Kata-kata, segala macam kalimat itu


berseliweran dalam kepalaku. "Ketahuilah
semua hal pada dirimu, ketakutanmu,
kebohonganmu, tipuanmu, dan sihirmu!"
Meskipun demikian, yang kubilang sambil
mengusap keringat di wajah dengan sapu tangan
hanyalah, "Kamu membuatku cemas!" aku
tersenyum.Sejak itu, aku meyakini, nyaris
seperti suatu kepercayaan falsafi: bukankah
masyarakat itu hanyalah individu? Sejak
mencurigai bahwa masyarakat mungkin
hanyalah individu, aku bisa bersikap lebih sesuai
dengan keinginanku. Shizuko mendapati diriku
menjadi agak punya niat dan tidak terlalu pemalu
lagi. Horiki menyatakan bahwa lucu juga ketika
aku jadi pelit padanya. Atau, seperti yang
kulakukan pada Shigeko, aku berhenti ramah
padanya.

Tanpa banyak bicara, tanpa sedikit pun senyum,


aku mele- watkan waktu dengan menjaga

97
Shigeko dan menggambar komik strip. Isi
sebagian komik-komik itu sangat konyol, aku
sendiri tidak bisa memahami apa alasan di balik
beragam perusahaan yang memesannya.
(Perlahan pesanan datang dari beragam penerbit,
semuanya bahkan lebih rendah daripada
perusahaan Shizuko-penerbit kelas tiga,
sepertinya itulah sebutannya.) Aku menggambar
dengan perasaan amat sangat tertekan, dengan
mantap mengguratkan tiap garisnya hanya demi
mendapat uang untuk minum-minum. Ketika
Shizuko pulang kerja. aku segera pergi seakan-
akan bergantian dengannya, lalu menuju
angkring- an dekat stasiun untuk minum-minum
miras kuat yang murah.

Setelah agak mabuk, aku pulang ke apartemen.


Dan berkata padanya, "semakin sering aku
melihatmu, semakin kamu kelihatan lucu.
Tahukah kamu, kalau aku mendapat ilham untuk
kartun-kartunku karena melihat wajahmu waktu
tidur?"

"Bagaimana dengan wajahmu waktu tidur?


Kamu kelihatan seperti orang bangkotan, lelaki
empat puluhan."

98
"Semuanya salahmu. Kamu mengurasku sampai
kering. 'Hidup seorang lelaki seperti sungai
mengalir. Untuk apa dicemaskan? Di tepi sungai
pohon dedalu...."

"Cepat tidur dan berhenti berisik. Mau makan?"


Dia cukup tenang. Dia tidak menanggapiku
dengan serius.

"Kalau masih ada sisa minuman, aku mau


minum. 'Hidup seorang lelaki seperti sungai
mengalir. Sungai lelaki...' bukan, maksudku
'sungai mengalir, hidup yang mengalir'."

Aku terus bernyanyi sementara Shizuko


menanggalkan pakaianku. Aku tertidur, dengan
alisku menempel di dadanya. Itu rutinitas
harianku dan kemudian kita mulai lagi keesokan
harinya dengan aturan yang sama seperti hari
sebelumnya, yaitu menghindari kegembiraan
yang sangat biadab serta rasa sakit yang luar
biasa seperti katak menghindari batu di
jalurnya...?

Ketika pertama kali membaca terjemahan puisi


karya Guy- Charles Cros'tadi, aku tersipu sampai
wajahku panas. Sang katak.

99
(Itulah aku-seekor katak. Apakah masyarakat
menoleran- siku, atau apakah masyarakat akan
mengasingkanku, bukanlah persoalan. Aku
adalah binatang yang lebih hina daripada anjing,
lebih hina daripada kucing. Katak. Bergerak
terseok-seok- begitulah.)

Jumlah miras yang kuminum perlahan


bertambah. Aku tidak hanya minum-minum di
bar, di sekitar stasiun Koenji tapi sampai ke
Ginza. Kadang aku menginap di sana. Di bar aku
bertingkah seperti bajingan, mencium
sembarang perempuan,melakukan apa pun
selama itu tidak sesuai dengan "diperboleh-
kan", minum-minum gila-gilaan-tidak lebih dari
itu-seperti sebelum percobaan bunuh diri dulu,
aku sangat butuh uang sehingga terkadang
menggadaikan pakaian Shizuko.

Setahun telah berlalu sejak pertama kali aku


datang ke apar- temennya dan tersenyum masam
pada layang-layang rombeng itu. Suatu hari,
bersamaan ketika pohon sakura akan merimbun,
aku mencuri sejumlah pakaian dalam dan obi
Shizuko, lalu membawanya ke tempat gadai.
Aku menggunakan uangnya untuk minum-
minum di Ginza. Dua malam aku tidak pulang.
Pada malam hari ketiga, aku mulai merasa

100
bersalah atas tin- dakanku, dan akhirnya
kembali ke apartemen Shizuko. Secara tidak
sadar aku berjingkat selagi mendekati pintu, dan
bisa mendengar Shizuko sedang bicara dengan
Shigeko.

"Kenapa Papa minum?"

"Bukan karena dia suka miras. Sebabnya adalah


dia terlalu baik, karena..."

"Apakah semua orang baik minum-minum?"

"Tidak mesti, tetapi..."

"Aku yakin Papa akan terkejut."

"Barangkali dia tidak akan suka. Tuh! Itu lompat


keluar dari kardus."

"Seperti tokoh lucu di komik gambarannya."

"Benar, kan?" tawa lirih Shizuko terdengar


benar-benar bahagia.

Aku membuka pintu sedikit dan mengintip. Aku


melihat seekor kelinci putih mungil meloncat-
loncat. Mereka berdua sedang mengejarnya.

101
(Mereka bahagia, mereka berdua. Konyolnya
aku masuk dalam hidup mereka. Bisa saja aku
menghancurkan mereka kalau tidak hati-hati.
Kebahagiaan yang sederhana. Ibu dananak yang
baik. Aku berpikir, Tuhan, kalau engkau mau
mendengarkan doa dari orang-orang sepertiku,
berkati aku dengan kebahagiaan sekali saja,
sekali saja seumur hidupku cukuplah!
Dengarkanlah doaku!)

Waktu itu aku merasa ingin langsung berlutut


dan berdoa saat itu juga, di situ juga. Aku
menutup pintu pelan-pelan, pergi ke Ginza, dan
tidak kembali ke apartemen itu.

Babak selanjutnya dari hidupku sebagai lelaki


piaraan terjadi di sebuah apartemen di atas bar
dekat Stasiun Kobayashi.

Masyarakat. Aku merasa seakan mulai sedikit


memahami apa artinya. Itu artinya adalah
perjuangan antara satu orang dan orang lain,
perjuangan yang di dalamnya kemenangan yang
segera adalah segalanya. Manusia tidak pernah
tunduk pada manusia. Bahkan para budak
melatih pembangkangannya. Manusia tidak bisa
memikirkan cara bertahan kecuali dalam
kaitannya dengan perlombaan yang seketika itu

102
juga. Mereka bicara soal tanggung jawab
seseorang terhadap negaranya dan hal-hal
semacamnya, tetapi tujuan upaya itu selalu
adalah keinginan individual itu sendiri. Begitu
kebutuhan si individu dipenuhi, lagi-lagi datang
si individu. Kemuskilan masyarakat untuk
dipahami adalah kemuskilan individu untuk
dipahami. Laut itu bukanlah masyarakat; tapi
laut itu adalah kumpulan individu. Begitulah
caranya aku berhasil mendapatkan sedikit
kebebasan, dari kengerian atas ilusi laut yang
disebut dunia. Aku belajar untuk bersikap
agresif, tanpa kecemasan, tanpa henti yang
kukenal sebelumnya, menanggapi apa adanya
pada kebutuhan keadaan saat itu juga.

Bersambung…..

103

Anda mungkin juga menyukai