Anda di halaman 1dari 5

Parodi: "Nyelak"

Oleh: Samuel Mulia


KOMPAS.com- Malam minggu lalu saya menghadiri acara pernikahan seorang teman di
sebuah hotel berbintang. Seperti biasa, menghadiri acara semacam ini menuntut banyak
kesabaran, terutama soal mau mengalah menunggu dalam antrean, tanpa berniat menyelak
alias nyeruduk sak enak udele dewek. Antreannya hanya dua. Untuk bersalaman dan untuk
acara mengisi perut.
Selak 1
Nah, saya diselak di kedua antrean itu. Yang pertama, saat sedang berdiri dalam antrean
menuju ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Seorang wanita
dan temannya berdiri di samping saya. Antrean itu mirip dua jalur jalan raya, dan semakin
mendekati pelaminan dua jalur itu mengerucut dan berakhir dengan satu jalur.
Dua wanita yang berdiri di samping saya dengan busana terusan itu mulai mendekati tempat
saya berdiri, kami bergerak sedikit demi sedikit. Tanpa saya sadari keduanya sudah ada di
depan saya.... Jadi, mirip mobil mau menyelak dari kiri ke kanan tanpa ba, bi, bu.
Entah mengapa, setelah penyelakan terjadi antrean tak bergerak, cukup lama. MC
mengusulkan, daripada menunggu lama dalam antrean para tamu dipersilakan mencicipi
makanan yang tersedia. Ide yang dilemparkan si MC tampaknya diaminkan salah satu wanita
penyelak tadi. Maka, ia keluar dari jalur yang macet total itu, sementara temannya tetap
berdiri dalam jalur secara tertib.
Tak lama kemudian si wanita penyelak itu masuk lagi dalam antrean yang sudah mulai
bergerak dan ia langsung berdiri di depan saya tanpa mengatakan apa pun. Saya jadi bingung,
kok keluar-masuk jalur seperti di rumah sendiri.
Saya membayangkan wanita ini seperti Kopaja di jalan raya. Berhenti kapan saja, di mana
saja. Mau diklakson juga pura-pura budek.
Selak 2
Setelah mengantre menyalami kedua mempelai, tiba giliran saya mengantre untuk mengisi
perut. Sudah lama saya ini mendisiplinkan diri untuk tidak makan ini dan itu mengingat
penyakit yang tak memungkinkan buat makan ini dan itu. Tetapi, malam itu saya berpikir,
sekali ini saya mau melanggar aturan. Bukankah aturan itu dibuat umumnya untuk dilanggar
dan keberadaan dokter di dunia ini adalah untuk menolong manusia macam saya?
Meminjam komentar seorang teman, hidup itu cuma sekali, jadi harus dinikmati. Saya
memaksa diri setuju, padahal komentar itu keluar dari mulut yang ginjalnya walafiat, yang

tak pernah mengenyam rasa hidup dan mati di ruang operasi, sementara ginjal saya sudah
awut-awutan.
Yaa saya tetap menyetujui pendapat itu. Namanya juga manusia dan ada istilah manusiawi
yang diciptakan manusia untuk mengesahkan yang tidak sah itu. Sama seperti kalimat
nobody is perfect yang diciptakan manusia untuk mengamini pembenaran dari kesalahan.
Padahal, manusia itu sendiri yang juga menciptakan kata perfeksionis, atau seorang desainer
yang mengatakan kepada saya kalau ia bekerja semuanya harus sempurna. Jadi, saya semakin
bingung bagaimana bisa membuat yang sempurna dari manusia yang tidak sempurna. Onoono wae.
Maka, saya melangkah ke meja dengan tulisan besar bebek panggang. Makanan yang
diharamkan untuk jenis golongan darah saya, tetapi nikmat buat lidah. Yaa saya juga heran
mengapa yang nikmat-nikmat itu umumnya selalu menyerempet yang haram-haram.
Tiba di area bebek panggang itu, antrean juga tak kalah panjangnya seperti tembok China.
Yaa namanya juga sudah kebelet dengan yang haram, saya mengantre dengan sabar dan
perut keroncongan serta air liur mengalir makin deras.
Sekitar 10 menit mengantre, tiba-tiba seorang wanita berbaju merah berdiri di samping saya
di luar jalur yang semestinya. Semua orang tertib mengantre, ia dengan tenang berdiri di
samping dan bergerak maju bersama saya.
Kali ini, saya tak mau mengalah, jadi saya menghalanginya dengan memasang badan
kerempeng ini. Ternyata berhasil. Saya puas, setelah diselak, giliran saya menyelak dan
makan bebek panggang.
Sambil makan bebek, saya berpikir, mengapa orang mau menyelak? Mengapa susah
mengantre? Mengapa kok enggak bisa berpikir kalau saya yang diselak, mau enggak? Senang
enggak? Mengapa kok sengaja membuat orang lain marah dan menjadi kesal?
Dan mengapa dilakukan di sebuah acara yang harusnya membahagiakan, bukan membuat
orang kesal. Tentu saya tak bisa menjawab. Lha wong di tengah saya berpikir mulut dan
gigi saya bergerak mengunyah daging bebek yang alot-alot enak itu.
Selak 3
Saya terbang ke Kota Buaya tiga hari setelah penyelakan di ruang mewah di hotel berbintang
itu. Saya duduk bersebelahan dengan mas-mas, berewok, besar dan ndut. Saya membuka net
book mungil untuk menyelesaikan tulisan ini. Setelah nyaris setengah jam, lengan saya mulai
membutuhkan waktu istirahat dan otomatis saya menyenderkan lengan ke lengan kursi.

Sayangnya, lengan kursi itu sudah terlebih dahulu diisi lengan besar mas-mas tadi. Saya mau
menumpukkan di atas lengannya tentu tak mungkin. Sandwhich, kale, nurani saya ternyata
bisa berteriak sesubuh itu dan di ketinggian tiga 36.000 kaki.
Ingin berbicara dengan dia untuk gantian menikmati senderan lengan itu, saya tak berani. Jadi
yaa ngalah sambil berpikir apa mungkin yaa... lengan kursi itu digilir saja. Sekian menit
buat yang duduk di tengah, sekian menit untuk yang duduk di tepi lorong. Kan kita samasama bayar, sama-sama duduk di kelas ekonomi, ya... sama-sama punya hak menikmati.
Kejadian semacam itu sudah saya rasakan di ruang perkawinan lain, di lapangan terbang, di
ATM, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan terakhir muncul lagi. Mengapa tak ada yang
membuat antrean panjang dan menyelak di rumah yatim piatu? Di rumah jompo?Di rumah
ibadah pada hari-hari biasa, bukan hari istimewa?
Mengapa kok enggak ada yang menyelak waktu mengantre membayar pajak? Saya menanyai
nurani saya. Eh dia diam saja. Mungkin masih tertidur sesubuh itu. Wueee bangun.
Tak ada suara juga.
Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup
Kacamata
Oleh: Samuel Mulia
Seandainya ada pertanyaan, apakah fungsi kacamata? Maka alhasil akan ada sejuta
jawaban. Kalau kacamata melihat dekat yaa untuk melihat yang dekat-dekat, kalau
kacamata melihat jauh yaa untuk melihat yang jauh supaya menjadi jelas. Kalau kacamata
gaya? Yaa untuk bergaya. Kalau kacamata gaya yang untuk melihat jauh? Ya untuk
keduanya. Persis seperti milik teman saya. Saya tak tahu kalau kacamata kuda. Mungkin
supaya bisa melihat kuda dengan jelas.
Cepat
Beberapa hari lalu saya mengikuti seminar, salah satu pembicara menyarankan kalau
seseorang tengah dalam kondisi terpuruk, harus cepat naik lagi. Sambil duduk dengan tenang
tetapi otaknya tidak tenang, suara hati saya bertanya. Emang bisa? Pakai apa? Bagaimana
caranya?
Saya hanya berpikir, bagaimana orang tengah terpuruk berada dalam titik terendah
bisa membantu dirinya sendiri untuk naik ke atas apalagi dengan cepat? Siang itu saya
sempat kesal. Mengapa pembicara dalam seminar macam begini selalu saja mengajak kita
berpikir positif. Mengapa mereka tak menyarankan untuk menikmati keterpurukan sampai
benar-benar terpuruk, dan menikmati kalau terpuruk itu sebuah pengalaman manusiawi yang
positif?

Bukankah merasa terpuruk mengesahkan kita adalah manusia? Kalau terpuruknya


kemudian berlarut-larut, itu masalah lain. Tetapi kalau disuruh cepat naik ke atas lagi,
tidakkah itu justru negatif sekali dan tidak manusiawi? Karena biasanya kalau orang sudah
tidak bisa apa-apa, tak berdaya sama sekali, baru timbul kepasrahan, bukan? Jadi kalau cepat
naik kepasrahan tak akan muncul dan akan mudah untuk jatuh kembali.
Saya berpikir pasrah itu baru bisa dilakukan kalau seseorang menyentuh titik
terendahnya. Pasrah itu positif, dan itu bisa timbul kalau mampu menikmati terlebih dahulu
yang terpuruk, yang katanya negatif itu. Katanya, kalau ada masalah, maka masalah itu
mampu menimbulkan tahan uji bagi yang tengah menjalaninya. Dan katanya lagi, tahan uji
itu melahirkan ketekunan. Dan katanya kalau sudah bisa tekun, hasilnya kemudian tampak
seperti seorang petani yang bersorak saat menuai dengan hasil yang melimpah.
Lambat yang nikmat
Nah, itu mungkin gunanya menggunakan dan memilih kacamata kehidupan yang
tepat. Sama seperti kalau sebelum mengenakan kacamata, mata saya diperiksa supaya tahu
dengan jelas dan tepat, seberapa tingkat error daya pandang mata dan untuk mengetahui
sebab terjadinya ke-error-an itu. Itu mengapa kalau seseorang menggunakan kacamata yang
tidak atau kurang tepat maka sering sakit kepala, mau itu cenut-cenut mau itu seperti berputar
rasanya.
Maka kalau seseorang dalam kondisi terpuruk buat saya kacamata yang harus dipilih
adalah kacamata nikmat namanya. Tidak bisa tidur, yaa dinikmati. Susah makan, yaa
dinikmati. Kepikiran terus, yaa dinikmati. Lama-lama, kan, terbiasa untuk tak bisa tidur,
susah makan, dan kepikiran. Semua ini adalah pengalaman yang patut disyukuri, Anda dan
saya menjadi kaya karenanya. Pernah gampang makan, pernah susah makan.
Dan di saat itu menurut pengalaman saya yang sejuta kali terpuruk ini, kacamata
nikmat itu yang membuat saya bisa melihat dengan jelas bagaimana saya harus naik lagi.
Alasannya bisa naik lagi, karena lama-lama situasi terpuruk menimbulkan kelelahan dan
kalau sudah lelah mulut saya bisa bersuara. Yaahh sudahlah terserah aja.
Maka suara berkeluh yang pasrah itu menjadi alat semacam tangga yang mengantar
saya ke atas, karena saya sudah tak tahu mau berbuat apa lagi, kecuali yaa untuk naik
kembali yang artinya mengakhiri keterpurukan itu. Orang itu paling mudah diterapi kalau
pasrah, kalau ia menyadari ia tak mampu berbuat apa-apa lagi. Pasien paling susah diobati
adalah kalau dokter mengatakan ia sakit, tetapi dirinya tak merasa sakit.
Saya memang gampang bicara dan menuliskan soal ini, tetapi kenyataannya, sampai
mulut saya bisa bersuara terserah itu, bisa memakan waktu berminggu-minggu yang artinya
kalau lebih atau sama dengan empat minggu, maka kata minggu itu bisa dilafalkan bulan.
Jadi tak bisa cepat naik dan buat saya tak perlu cepat naik.

Semua yang cepat itu tidak selalu sehat. Kadang terlambat itu menyelamatkan. Tidak
terburu-buru itu melindungi. Nanti kalau badai itu sudah berlalu, saya akan menjadi seperti
seorang ahli dalam soal menghadapi keterpurukan dan bagaimana caranya untuk naik lagi
dengan kepasrahan.
Siapa tau suatu hari saya datang ke sebuah seminar dan salah satu pembicaranya
adalah Anda. Seorang pembicara yang mampu menyarankan bahwa kehidupan yang
bergejolak itu, yang menenggelamkan itu adalah sebuah nikmat yang seharusnya dianggap
sebagai sebuah berkah, dan tidak perlu untuk diburu-buru dihilangkan.
Dan di akhir seminar, Anda akan dengan lantang berbicara. Kacamata yang tepat
mampu memberi nikmat dalam keterpurukan, merasakan kemanusiaan yang sesungguhnya,
mengalami kepasrahan, yang tahan uji dan yang melahirkan ketekunan.

Anda mungkin juga menyukai