tak pernah mengenyam rasa hidup dan mati di ruang operasi, sementara ginjal saya sudah
awut-awutan.
Yaa saya tetap menyetujui pendapat itu. Namanya juga manusia dan ada istilah manusiawi
yang diciptakan manusia untuk mengesahkan yang tidak sah itu. Sama seperti kalimat
nobody is perfect yang diciptakan manusia untuk mengamini pembenaran dari kesalahan.
Padahal, manusia itu sendiri yang juga menciptakan kata perfeksionis, atau seorang desainer
yang mengatakan kepada saya kalau ia bekerja semuanya harus sempurna. Jadi, saya semakin
bingung bagaimana bisa membuat yang sempurna dari manusia yang tidak sempurna. Onoono wae.
Maka, saya melangkah ke meja dengan tulisan besar bebek panggang. Makanan yang
diharamkan untuk jenis golongan darah saya, tetapi nikmat buat lidah. Yaa saya juga heran
mengapa yang nikmat-nikmat itu umumnya selalu menyerempet yang haram-haram.
Tiba di area bebek panggang itu, antrean juga tak kalah panjangnya seperti tembok China.
Yaa namanya juga sudah kebelet dengan yang haram, saya mengantre dengan sabar dan
perut keroncongan serta air liur mengalir makin deras.
Sekitar 10 menit mengantre, tiba-tiba seorang wanita berbaju merah berdiri di samping saya
di luar jalur yang semestinya. Semua orang tertib mengantre, ia dengan tenang berdiri di
samping dan bergerak maju bersama saya.
Kali ini, saya tak mau mengalah, jadi saya menghalanginya dengan memasang badan
kerempeng ini. Ternyata berhasil. Saya puas, setelah diselak, giliran saya menyelak dan
makan bebek panggang.
Sambil makan bebek, saya berpikir, mengapa orang mau menyelak? Mengapa susah
mengantre? Mengapa kok enggak bisa berpikir kalau saya yang diselak, mau enggak? Senang
enggak? Mengapa kok sengaja membuat orang lain marah dan menjadi kesal?
Dan mengapa dilakukan di sebuah acara yang harusnya membahagiakan, bukan membuat
orang kesal. Tentu saya tak bisa menjawab. Lha wong di tengah saya berpikir mulut dan
gigi saya bergerak mengunyah daging bebek yang alot-alot enak itu.
Selak 3
Saya terbang ke Kota Buaya tiga hari setelah penyelakan di ruang mewah di hotel berbintang
itu. Saya duduk bersebelahan dengan mas-mas, berewok, besar dan ndut. Saya membuka net
book mungil untuk menyelesaikan tulisan ini. Setelah nyaris setengah jam, lengan saya mulai
membutuhkan waktu istirahat dan otomatis saya menyenderkan lengan ke lengan kursi.
Sayangnya, lengan kursi itu sudah terlebih dahulu diisi lengan besar mas-mas tadi. Saya mau
menumpukkan di atas lengannya tentu tak mungkin. Sandwhich, kale, nurani saya ternyata
bisa berteriak sesubuh itu dan di ketinggian tiga 36.000 kaki.
Ingin berbicara dengan dia untuk gantian menikmati senderan lengan itu, saya tak berani. Jadi
yaa ngalah sambil berpikir apa mungkin yaa... lengan kursi itu digilir saja. Sekian menit
buat yang duduk di tengah, sekian menit untuk yang duduk di tepi lorong. Kan kita samasama bayar, sama-sama duduk di kelas ekonomi, ya... sama-sama punya hak menikmati.
Kejadian semacam itu sudah saya rasakan di ruang perkawinan lain, di lapangan terbang, di
ATM, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan terakhir muncul lagi. Mengapa tak ada yang
membuat antrean panjang dan menyelak di rumah yatim piatu? Di rumah jompo?Di rumah
ibadah pada hari-hari biasa, bukan hari istimewa?
Mengapa kok enggak ada yang menyelak waktu mengantre membayar pajak? Saya menanyai
nurani saya. Eh dia diam saja. Mungkin masih tertidur sesubuh itu. Wueee bangun.
Tak ada suara juga.
Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup
Kacamata
Oleh: Samuel Mulia
Seandainya ada pertanyaan, apakah fungsi kacamata? Maka alhasil akan ada sejuta
jawaban. Kalau kacamata melihat dekat yaa untuk melihat yang dekat-dekat, kalau
kacamata melihat jauh yaa untuk melihat yang jauh supaya menjadi jelas. Kalau kacamata
gaya? Yaa untuk bergaya. Kalau kacamata gaya yang untuk melihat jauh? Ya untuk
keduanya. Persis seperti milik teman saya. Saya tak tahu kalau kacamata kuda. Mungkin
supaya bisa melihat kuda dengan jelas.
Cepat
Beberapa hari lalu saya mengikuti seminar, salah satu pembicara menyarankan kalau
seseorang tengah dalam kondisi terpuruk, harus cepat naik lagi. Sambil duduk dengan tenang
tetapi otaknya tidak tenang, suara hati saya bertanya. Emang bisa? Pakai apa? Bagaimana
caranya?
Saya hanya berpikir, bagaimana orang tengah terpuruk berada dalam titik terendah
bisa membantu dirinya sendiri untuk naik ke atas apalagi dengan cepat? Siang itu saya
sempat kesal. Mengapa pembicara dalam seminar macam begini selalu saja mengajak kita
berpikir positif. Mengapa mereka tak menyarankan untuk menikmati keterpurukan sampai
benar-benar terpuruk, dan menikmati kalau terpuruk itu sebuah pengalaman manusiawi yang
positif?
Semua yang cepat itu tidak selalu sehat. Kadang terlambat itu menyelamatkan. Tidak
terburu-buru itu melindungi. Nanti kalau badai itu sudah berlalu, saya akan menjadi seperti
seorang ahli dalam soal menghadapi keterpurukan dan bagaimana caranya untuk naik lagi
dengan kepasrahan.
Siapa tau suatu hari saya datang ke sebuah seminar dan salah satu pembicaranya
adalah Anda. Seorang pembicara yang mampu menyarankan bahwa kehidupan yang
bergejolak itu, yang menenggelamkan itu adalah sebuah nikmat yang seharusnya dianggap
sebagai sebuah berkah, dan tidak perlu untuk diburu-buru dihilangkan.
Dan di akhir seminar, Anda akan dengan lantang berbicara. Kacamata yang tepat
mampu memberi nikmat dalam keterpurukan, merasakan kemanusiaan yang sesungguhnya,
mengalami kepasrahan, yang tahan uji dan yang melahirkan ketekunan.