Anda di halaman 1dari 10

Budaya Mudik dan Dampak Positifnya

Jakarta - Fenomena pulang kampung (mudik) pada saat Idul Fitri telah menjadi peristiwa
budaya dan keagamaan yang sangat semarak. Menjelang Idul Fitri 1433 H, menurut Suroyo
Alimoeso, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI, diprediksi jumlah
pemudik mencapai 16 juta jiwa.
Besarnya jumlah pemudik yang puncaknya diperkirakan dua-tiga hari menjelang Idul Fitri,
telah menimbulkan permasalahan yang tidak mudah dipecahkan. Karena dalam waktu yang
hampir bersamaan puluhan juta orang melakukan perjalanan mudik, melalui darat dengan
kendaraan sepeda motor, mobil, kendaraan umum (bus) dan kereta api, serta udara dengan
pesawat terbang, dan laut dengan kapal laut. Permasalahan yang ditimbulkan dari mudik
antara lain:
Pertama, banyak kecelakaan lalulintas. Dari tahun ke tahun, terus meningkat angka
kecelakaan. Tahun ini H-9 dan H-8 (Sabtu 11/8 dan Minggu 12/8), menurut Data Kepolisian
Republik Indonesia telah meninggal sebanyak 88 orang. Kecelakaan paling banyak ialah
pengendara sepeda motor. Faktor kecelakaan banyak disebabkan oleh faktor manusia,
kendaraan, jalan raya, dan cuaca. Walaupun angka kecelakaan tinggi, para pemudik tidak
takut dengan bahaya yang mengancam.
Kedua, berutang dan menggadaikan barang demi mendapatkan uang untuk biaya mudik. Ini
merupakan permasalahan dan tantangan yang setiap tahun dijalani sebagian pemudik. Demi
mudik ke kampung halaman, mereka berutang dan menggadaikan barang.
Ketiga, biaya perjalanan meningkat berlipat kali, karena semua moda transportasi menaikkan
biaya menjelang dan sesudah lebaran Idul Fitri. Karena itu para mudik sebagian besar
menggunakan kendaraan sepeda motor, walaupun tingkat kecelakaan sangat tinggi dari tahun
ke tahun.
Tujuan Mudik
Beratnya tantangan yang dihadapi para pemudik, tidak pernah menyurutkan niat dan
kemauan mudik ke kampung halaman. Paling tidak ada lima alasan yang menjadi tujuan para
pemudik pulang kampung.
Pertama, dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya. Begitu kuat tarikan keagamaan
yang telah menjadi budaya, karena Islam mengajarkan bahwa mereka yang sudah berpuasa
akan diampuni dosa-dosanya. Akan tetapi, yang diampuni hanya dosa di hadapan Allah,
sedang dosa kepada orang tua, saudara kandung, tetangga dan sekampung, tidak akan
diampuni kecuali saling bermaaf-maafan dengan jabat tangan melalui silaturahim antara satu
dengan yang lain.

Kedua, ziarah ke kubur. Telah menjadi budaya di kalangan masyarakat bahwa menjelang
puasa Ramadan dan Idul Fitri, anak-anak, menantu, keluarga dan famili pergi berziarah ke
kubur orang tua, kakek, nenek dan leluhur serta keluarga terdekat sambil mendoakan. Itu
tidak mungkin dilakukan kalau tidak mudik. Bagi mereka yang berasal dari kampung. Maka
dalam kesempatan Idul Fitri dilakukan ziarah ke kubur, selain silaturahim.
Ketiga, rindu kampung halaman. Setiap tahun kerinduan kepada kampung halaman selalu
diobati dengan mudik. Ini adalah fenomena sosial yang menarik sebagai makhluk sosial,
rindu kepada asal usulnya di kampung halaman. Oleh karena itu, tantangan berat yang
dihadapi untuk pulang kampung, tidak menjadi persoalan, mereka tetap lakoni dengan penuh
kegembiraan dan kebahagiaan.
Keempat, bernostagia di kampung halaman. Masa kecil di kampung halaman adalah masamasa yang paling indah dan menyenangkan. Maka setiap tahun, kenangan indah itu, selalu
ingin diperbaruai dengan pulang kampung sambil membawa keluarga seperti anak, menantu
dan istri supaya ikut menghayati suasana kampung di masa dahulu.
Kelima, unjuk diri kesuksesan di perantauan. Hal itu, ikut juga mewarnai perasaan sebagian
pemudik untuk pulang kampung. Budaya pamer berlaku kepada semua tingkatan sosial.
Maka momentum Lebaran, pulang kampung dengan niat yang bermacam-macam, salah satu
adalah unjuk diri (pamer).
Dampak Negatif Mudik
Mudik Lebaran yang sudah menjadi budaya, diakui atau tidak, mempunyai dampak negatif.
Pertama, konsumerisme, pamer kemewahan, boros dan berbagai perilaku yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana hasil puasa
selama sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan yaitu kedekatan kepada
Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih mengalami kesulitan hidup. Mereka
masih dihimpit kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Kedua, bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk kampung.
Pulangnya para pemudik untuk berlebaran di kampung halaman, dengan memamerkan
kemewahan misalnya mobil yang bagus, baju dan sepatu yang baru, bisa menimbulkan
'cultural shock' (goncangan budaya). Di mana orang-orang kampung atau desa meniru dan
mengikuti cara hidup orang kota yang pulang kampung, misalnya berutang dan atau menjual
harta benda seperti tanah untuk membeli motor, mobil dan sebagainya sebagai asesori
kemewahan.
Bisa juga orang-orang kampung terutama anak-anak muda, laki-laki dan perempuan
merantau, dalam rangka mengikuti jejak para pemudik. Untuk mendapatkan harta dan
kemewahan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan harta, supaya
tahun berikutnya, mereka juga bisa mudik dan menampilkan kekayaan dan kemewahan
seperti saudara-saudaranya yang mudik tahun lalu.

Ketiga, memacu urbanisasi dan migrasi. Mudik Lebaran, juga bisa berdampak negatif yang
memacu peningkatan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kampung atau desa ke
berbagai kota di Indonesia. Selain itu, juga dapat mendorong meningkatnya migrasi, yaitu
perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain. Dalam sejarah mudik Lebaran, sudah
terbukti bahwa usai mudik lebaran, semakin banyak orang kampung yang melakukan
urbanisasi, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan di kota.
Sebenarnya peristiwa urbanisasi dan migrasi adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan
modern, dan merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dan
undang untuk melakukan sesuai yang diinginkan. Akan tetapi, urbanisasi dan migrasi ke
negara lain misalnya ke negeri jiran Malaysia, dan Arab Saudi, banyak menimbulkan
masalah, karena mereka yang melakukan urbanisasi dan migrasi ke negara lain, tidak
memiliki pendidikan dan kepakaran (skill) yang memadai. Akibatnya untuk bertahan hidup di
kota atau di negara lain, mereka terpaksa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan
dengan hukum seperti menjadi penjual seks, peminta-minta, bahkan pencuri dan perampok.
Dampak Positif Mudik
Mudik Lebaran, di samping menimbulkan dampak negatif, juga banyak dampak positifnya.
Pertama, dampak ekonomi. Mudik para perantau telah menimbulkan dampak positif bagi
ekonomi di kampung halaman. Mereka pulang dengan membawa uang dan berbelanja telah
mendorong perputaran ekonomi yang tinggi di kampung, sehingga para petani, nelayan dan
pemerintah daerah mendapat manfaat ekonomi. Mereka menyewa hotel dan penginapan,
telah mendorong kemajuan kampung halaman karena membuka dan memajukan bisnis
penginapan dan hotel. Belum lagi, pemudik memberi sedekah, zakat fitrah dan zakat harta
(mal) kepada keluarga dan penduduk di kampung halaman mereka.
Kedua, silaturahim (hubungan kasih sayang) antara pemudik dan penduduk kampung
terbangun kembali, yang selama hampir satu tahun tidak pernah bertemu. Ini sangat positif
untuk memelihara, merawat dan menjaga bangunan kebersamaan satu kampung.
Ketiga, persatuan dan kesatuan terjaga dan terpelihara. Bangsa Indonesia yang amat tinggi
rasa keagamaan (religiusitas)-nya, telah memberi andil yang besar untuk menjaga, merawat
dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia melalui medium
silaturahim Idul Fitri. Hal ini, tidak bisa dinilai dengan pengorbanan harta dan tenaga yang
dilakukan para pemudik.
Keempat, pengamalan agama. Peristiwa mudik Lebaran, juga mempunyai dampak positif
dalam pengamalan ajaran Islam. Karena di tengah kemajuan yang membawa manusia kepada
perilaku individualistik, yang enggan berhubungan dengan pihak lain dan merasa terganggu,
melalui medium silaturahim Idul Fitri dalam rangka hubungan manusia (hablun minannaas)
tetap diamalkan, dan bahkan telah menjadi budaya seluruh bangsa Indonesia.

Kelima, secara sosiologis, mudik Lebaran mendekatkan si perantau yang sudah sukses
dengan mereka yang masih berdomisi di kampung halaman seperti orang tua, famili dan
teman-teman. Peristiwa mudik, bisa memperbaharui kembali hubungan sosial dengan
masyarakat sekampung, yang tentu berdampak positif dalam memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Kesimpulan
Peristiwa mudik Lebaran yang telah menjadi budaya, harus terus dipelihara, dijaga dan
dilestarikan, karena dampak positifnya lebih banyak ketimbang dampak negatifnya. Yang
harus dilakukan ialah mengurangi dampak negatif mudik dengan melakukan, pertama,
meningkatkan kesadaran para pemudik bahwa keselamatan dalam perjalanan mudik adalah
segalanya.
Mereka yang akan mudik, dan sedang dalam perjalanan mudik, diharapkan semakin hati-hati
menjaga keselamatan. Jangan memaksakan diri dalam perjalanan, harus berhenti dan
beristirahat secukupnya baru melanjutkan lagi perjalanan.
Pada tahun-tahun mendatang, mudik dengan kendaraan bermotor secara bertahap harus
dihentikan dengan menitipkan kendaraannya di kapal laut, dan kereta api untuk diantar ke
kampung halaman. Suami istri, dan dan anak-anak, sebaiknya memilih kendaraan umum,
kereta api atau kapal laut untuk keselamatan dalam perjalanan mudik.
Kedua, pemerintah harus terus meningkatkan penyediaan transportasi massal untuk melayani
pemudik. Selain itu, berbagai perusahaan yang peduli pemudik, dari jauh hari harus bekerja
sama dengan media untuk memberitahu masyarakat tentang adanya penyediaan fasilitas
mudik.
Ketiga, para pemudik harus membuat perencanaan. Paling kurang tiga bulan sebelum mudik
sudah memesan tiket dan menghubungi perusahaan atau organisasi yang biasa
menyelenggarakan mudik bareng secara gratis.
Keempat, pemerintah terutama Kementerian Pekerjaan Umum RI, sudah saatnya membuat
jalan yang berkualitas tinggi untuk jangka waktu yang panjang. Jangan seperti sekarang,
setiap tahun jalan raya yang dilalui pemudik dilakukan tambal sulam dan tidak pernah baik.
Kelima, sudah saatnya seluruh bangsa Indonesia terutama para pemudik meningkatkan
disiplin dalam berlalu lintas. Pada saat yang sama, aparat kepolisian sebagai aparat penegak
keamanan, menindak mereka yang tidak disiplin dalam berlalu lintas.
Semoga semangat mudik Lebaran mendorong seluruh bangsa Indonesia untuk mengambil
hikmah yang positif dan negatif dari peristiwa mudik, demi perbaikan di masa depan.
*) Musni Umar adalah pengamat sosial. Penulis tinggal di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Selama masa mudik 2012 angka kecelakaan berlalu lintas


meningkat. Angka ini bahkan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pertahunnya saja,
tercatat setidaknya angka kecelakaan sebanyak 31.234 kasus.
Analis Kebijakan Korlantas Polri, Komisaris Besar Polisi Adnas,mengatakan, setidaknya ada
empak faktor penyebab kecelakaan berlalulintas. Penyebab pertama ialah faktor manusia.
Adnas mengatakan, ini merupakan hal yang utama yaitu, primanya fisik saat berkendara.
''Faktor manusia yaitu sebesar 28 persen,'' tutur Adnas kepada rekan media, Selasa (28/8)
pagi, di kantor Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI).
Penyebab kedua, kata Adnas, yaitu faktor alam. Faktor yang sering kali tidak terduga ini,
memegang porsi sebesar 20 persen. ''Ini termasuk juga kondisi cuaca,'' ujarnya.
Yang menduduki peringkat ketiga ialah kelayakan kendaraan. Faktor yang juga sangat
penting ini, memegang andil sebesar 18 persen. Kemudian yang terakhir yaitu faktor
kelayakan jalan. Faktor kelayakan jalan ini, persentasenya sebesar 15 persen. ''Termasuk pula
faktor prasarana jalan di dalamnya,'' ucap Adnas.
Setidaknya tercatat di tahun 2012, ada sebanyak 4.700 kasus kecelakaan, dengan korban
meninggal dunia sebanyak 820 orang
Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo mengatakan, memang diakui tahun ini angka
kecelakaan meningkat.
Pada Idul Fitri 1433 Hijriah ini saja, berdasarkan data dari Pos Koordinasi (Posko) Tingkat
Nasional Angkutan Terpadu 2012, tercatat jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor
meningkat. Peningkatan ini naik sebesar 16,69 persen dari 2011. Tahun ini, jumlahnya yaitu
sebesar 2.644.630 unit.

Mudik Lebaran Masih Berdarah, Sebuah Evaluasi


Puncak perayaan Hari Raya Idul Fitri, atau sering disebut Lebaran, baru saja usai. Selama
kurang lebih seminggu masyarakatIndonesiaberpesta untuk merayakannya. Wujud dari
pesta itu adalah mudik ke kampung halaman, yang menurut Pemerintah, jumlahnya
mencapai 15,7 juta orang. Bak tarikan magnet, fenomena mudik Lebaran nyaris tak bisa
dihindarkan. Sayangnya, basis perayaan Lebaran yang semula lebih kepada aspek spiritual,
kini dengan segala pernak-perniknya perayaan Lebaran lebih dominan sebagai peristiwa
ekonomi. Apalagi, jika ditakar dengan uang saku pemudik yang konon mencapai Rp 12-16
trilyun. Berpijak fenomena tersebut, wajar jika mudik Lebaran justru melahirkan berbagai
anomali, tidak saja di bidang ekonomi, tetapi juga sosial, lingkungan bahkan budaya. Apa
saja anomalinya?

Laka lantas
Tingginya kecelakaan lalu-lintas (laka lantas), seolah menjadi trademark mudik Lebaran.
Bukan hanya mengakibatkan korban luka, tetapi, ratusan nyawa melayang sia-sia. Tahun ini,
menurut data Mabes Polri, sejak H minus 7 dan H plus 3 mudik Lebaran, telah terjadi
kecelakaan sebanyak 3.590 kasus, dengan korban meninggal dunia mencapai 590 orang, plus
korban luka berat sebanyak 990 orang. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah
kecelakaan tahun ini meningkat 36,8 persen (jumlah kecelakaan 2010 mencapai 2.382 kasus).
Sedangkan korban meninggal dunia pada 2009 mencapai 739 orang dan pada 2010 sebanyak
243 orang. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan korban meninggal pada 2010, maka
pada 2011 ini korban meninggal dunia mencapai lebih dari 100 persen! Pantas jika mudik
Lebaran disebut sebagai pesta berdarah. Korban 590 orang meninggal bukanlah angka yang
kecil. Itu setara dengan 4 (empat) pesawat Boeing seri 800 jatuh bersamaan! Mayoritas
korban meninggal dunia (76 persen) adalah pengguna sepeda motor.

Dari perspektif ekonomi, laka lantas juga mengakibatkan dampak serius bagi ahli waris yang
ditinggalkan. Karena, menurut analisa World Bank, laka lantas dengan korban meninggal
mengakibarkan ahli waris jatuh miskin. Faktanya korban laka lantas adalah kepala keluarga
dan atau usia produktif. Apalagi jumlah santunan yang diterima ahli waris sangat minimalis,
hanya Rp 25 juta. Nyaris tidak berarti apa-apa, untuk menopang biaya hidup ahli waris ke
depannya. Bandingkan dengan santunan serupa di Malaysia (Rp 1,3 miliar), atau bahkan di
Amerika, Rp 3 miliar.

***
Selain tingginya laka lantas, dengan korban meninggal mencapai ratusan, mudik Lebaran
juga masih menyisakan beberapa fenomena paradoksal, yaitu borosnya konsumsi bahan
bakar (BBM) dan tumbuh suburnya budaya konsumtif.

Boros BBM
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) selama mudik Lebaran melonjak drastis. Menurut
Hiswana Migas, konsumsinya melonjak hingga 100 persen, dari hari biasanya. Pantas kalau
selama arus mudik Lebaran, PT Pertamina memasok BBM hingga 1.280.551 kilo liter. Hal
ini sangat rasional, mengingat mayoritas pemudik menggunakan kendaraan bermotor pribadi
(1,3 juta unit mobil dan 5,6 juta unit sepeda motor!). Sejumput sisanya, mudik dengan
angkutan umum. Lonjakan penggunaan BBM mengakibatkan bengkaknya alokasi subsidi
BBM Pemerintah, yang, minimal mencapai Rp 10 triliun. Lonjakan konsumsi BBM, selain

mengakibatkan jebolnya anggaran Pemerintah, juga meningkatkan produksi gas karbon ke


udara. Artinya, mudik Lebaran menyebabkan efek pemanasan global yang signifikan!

Budaya konsumtif
Setali tiga uang dengan yang dialami oleh negara, perilaku masyarakat pun nampaknya tak
bisa dihindarkan dari hal serupa. Penyebabnya, tarikan ekonomi mudik Lebaran jauh lebih
dominan ketimbang aspek spiritual, sosial, bahkan budaya. Pelaku pasar dengan amat masif
menggiring psikologi masyarakat untuk menjadikan suasana puasa dan Lebaran menjadi
market frendly. Bulan puasa dan Lebaran telah disulap menjadi bulan belanja. Gencarnya
promosi dan iklan, pola konsumsi masyarakat konsumen berubah total. Masyarakat tidak lagi
mendasarkan aspek kebutuhan (need) saat berbelanja, tetapi lebih mengedepankan aspek
want. Konteks need dan want saat berbelanja adalah hal yang amat berbeda bahkan
kontradiktif. Pelaku pasar tahu persis insting masyarakatIndonesia yang doyan belanja,
alias konsumtif. Akibatnya, uang saku pemudik dihabiskan untuk membeli barang instan
belaka.

Kesimpulan, saran
Mudik Lebaran telah menjadi realitas sosial budaya yang tak terelakkan. Bahkan, aspek
spiritualitas pun sejatinya mendukung untuk itu. Seharusnya negara serius melakukan
intervensi agar berbagai anomali itu tidak terjadi. Setidaknya ditekan pada titik rasional.
Menyediakan dan membangun sarana transportasi publik masal (khususnya kereta api dan
kapal laut) adalah cara paling efektif, untuk menekan tingginya korban meninggal akibat laka
lantas, dan borosnya konsumsi BBM. Pelaku pasar seharusnya tidak melakukan eksploitasi
(komersialisasi) berlebihan, sehingga masyarakat konsumen mampu berbelanja secara cerdas
(sesuai kebutuhan). Sudah saatnya negara dan masyarakat mewujudkan perayaan Lebaran
yang lebih berkelanjutan dan berkeadaban, baik dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan
budaya. ***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan Transportasi Kota
Jakarta
(Dimuat di Koran Suara Pembaruan, 5 September 2011)

Tradisi Mudik, Tradisi Kecelakaan


TRADISI pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran, tampaknya sudah menjadi kohesi
sosial yang amat kuat bagi sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Sekalipun
berbekal ala kadarnya, tak menjadi kendala untuk meretas kembali tali kekerabatan. Tradisi

pulang kampung adalah tradisi yang sudah demikian mengakar, tidak bisa dilarang.
Dimanapun mereka berada, baik diluar pulau, bahkan hingga diluar negeri. Keinginan
bersujud kepada orang tua dan bertemu sanak saudara nilainya mutlak, entah bagaimanapun
caranya harus diupayakan. Semua upaya diarahkan agar mereka bisa pulang kampung.
Lebaran tanpa mudik adalah hambar, atau istilah lainnya kurang afdhal.
Di sisi lain, berbagai permasalahan juga terus mengiringi hajatan rutin ini. Tradisi tahunan
yang sudah menjadi budaya lebaran ini juga memantik tradisi kecelakaan. Departemen
Perhubungan mengeluarkan data, bahwa kecelakaan selama mudik Lebaran kali ini
meningkat. Jumlah kecelakaan pemudik tahun 2009 tercatat 1.544 kasus (naik 9 %), korban
luka berat 637 (naik 6 %), korban luka ringan 1.397 (naik 49 %), sedangkan korban tewas
576 turun 50 % dari jumlah sebelumnya, 629 orang (SM, 24/9).
Hal ini justru sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, pemudik yang berniat ingin
nyungkem kepada orang tua dan bertemu kerabat-kerabat dekat di kampung malah tewas di
tengah jalan gara-gara kecelakaan. Tentu ini membutuhkan perhatian serius pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola prosesi mudik menjadi acara yang menyebabkan para pemudik
aman serta nyaman pulang ke kampungnya.
Akar Masalah
Untuk melakukan tindakan pencegahan, prasyarat utama yang perlu dilakukan adalah
mengetahui panyebabnya, yang merupakan akar masalah kecelakaan para pemudik.
Setidaknya, ada beberapa indikator yang menyerimpung arus mudik kali ini, yang jika tidak
segera dikelola dengan kecerdasan tinggi, akan menjadi instrumen untuk memporandakan
prosesi mudik. Pertama, mengantuk. Hampir sepertiga dari kecelakaan lalu lintas (mudik)
diakibatkan mengantuk. Terbukti, penyebab tertinggi kecelakaan pemudik pada 2006, sekitar
34% atau sepertiga diakibatkan mengantuk.
Hal manusiawi yang dapat menimbulkan fatalitas ketika kita berkendara, apalagi perjalanan
luar kota. Menurut instruktur utama Defensive Driving Centre, rata-rata orang mengantuk
karena mengemudi bukan di jam biologisnya. Bayangkan saja, misalnya pada pukul 22.00
biasanya kita sudah masuk ke tempat tidur, ketika mudik mungkin masih di tengah
perjalanan. Ditambah keletihan mata karena lampu dari depan, efek mengantuk pun semakin
menjadi.
Kedua, maraknya penggunaan sepeda motor. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sepeda
motor menjadi salah satu favorit pilihan pemudik. Karena nilai ekonominya yang lebih
rendah ketimbang alat transportasi lainnya. Berdasarkan data Departemen Perhubungan,
pemudik yang menggunakan sepeda motor dari tahun ketahun terus naik. Tahun 2003 (0,71
juta), 2004 (0,79 juta), 2005 (1,29 juta), 2006 (1,86 juta), 2007 (2,12 juta), 2008 (2,5 juta)
dan makin tinggi lagi pada tahun 2009, bertambah 30 % dari jumlah sebelumnya. Tetapi,
yang sangat merisaukan dari maraknya penggunaan sepeda motor adalah aspek
keselamatannya. Betapapun efesiennya (secara ekonomi), sepeda motor bukan tipe kendaraan

yang layak untuk perjalanan jarak jauh. Tidak heran jika selama arus mudik sekitar 74%
korban tewas akibat kecelakaan sepeda motor (data resmi Mabes Polri).
Ketiga, paradigma safety first. Aspek keselamatan dalam sistem managemen transportasi
menjadi prasyarat pertama. Tetapi, dalam realitas keseharian apalagi pada arus mudik, aspek
safety acap dipinggirkan, kalah oleh aspek aksesibilitas dan mobilitas. Yang penting
penumpangnya terangkut; keselamatan belakangan.
Keempat, pelanggaran tarif batas atas. Kenaikan tarif pada bus umum memang tidak ada lagi.
Pemerintah menggunakan model tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price).
Namun praktiknya, konsumen bus umum tetap mengalami kenaikan tarif, sebab, dalam
suasana peak season seperti ini nyaris tidak ada perusahaaan bus yang menggunakan floor
price. Pasalnya, banyak awak angkutan yang meminta tarif tambahan, entah untuk membayar
tol, uang timer, bahkan untuk THR. Sialnya, tangan kuasa petugas tidak mampu
menertibkan aksi nakal ini. Sanksi yang diberikan terbukti tidak cukup ampuh untuk
menimbulkan efek jera.
Kelima, titik rawan kemacetan. Nyaris tidak ada mudik tanpa bumbu kemacetan. Selain
volume kendaraan meningkat tajam, fenomena macet juga dipicu oleh masalah klasik, seperti
jalan rusak dan bottle neck, atau pasar tumpah (kondisi ini sepertinya sudah tidak bisa
dihindarkan). Terkait dengan jalan rusak, sungguh aneh jika perbaikannya selalu dilakukan
saat menjelang mudik Lebaran tiba.
Keenam, perilaku nakal pemudik. Perilaku pemudik memberikan kontribusi signifikan
terhadap lancar tidaknya arus mudik. Salah satunya adalah menyerobot jalur yang bukan
miliknya. Perilaku ini biasanya akan menyumbat arus dari arah sebaliknya. Perilaku nakal
semacam ini, akan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Tidak mudah bagi petugas untuk
mengurai kembali jika terjadi kenakalan semacam ini. Tindakan tegas petugas kepolisian
layak ditimpakan kepada pemudik berkarakter semacam ini.
Ketujuh, minimnya akses informasi. Pelanggaran hak-hak publik (konsumen) terjadi bukan
saja pada pelanggaran tarif. Umumnya situasi mudik menciptakan suasana semrawut,
crowded, dan panik. Tetapi, di tengah kondisi semacam ini nyaris tidak ada informasi yang
bisa diakses oleh konsumen secara utuh: tak ada tempat bagi konsumen untuk bertanya dan
mengadu. Posko yang disediakan pemerintah terlihat kurang efektif, karena ditempatkan pada
posisi terpojok, kalah oleh hingar-bingar iklan rokok, yang kini marak di terminal dan
stasiun. Posko partai politik pun hanya menjadi pajangan tak berfungsi. Tak pelak, banyak
pemudik yang menjadi santapan empuk calo, preman terminal, atau oknum lain yang nyaru.
Dari data indikator yang kerap mengakibatkan kecelakaan pemudik di atas, tidak
terbayangkan betapa berbahayanya tradisi mudik ini. Tidak bisa dibayangkan berapa
banyak korban akan berjatuhan pada setiap mudik Lebaran. Karena itu, urusan transportasi
lebaran sebaiknya menjadi salah satu bagian fit and propper test bagi pemerintah terlebih
Departemen Perhubungan. Tradisi maut itu harus dicarikan jalan keluarnya. Kalau kondisi

mudik ini terus dibiarkan oleh pemerintah, dan rakyat tetap dibiarkan menentukan nasibnya
sendiri dengan arus mudik yang rawan celaka tersebut, otomatis rakyat dibiarkan Mengantar
Nyawa Saat Lebaran.
Pemerintah tidak bisa mengklaim berhasil mengelola arus mudik, jika parameternya hanya
mampu memindahkan jutaan pemudik saja. Akan lebih tepat kalau parameter
keberhasilannya adalah minimnya kecelakaan yang merenggut nyawa. Petugas harus lebih
sigap, tegas dan pro aktif dalam mengendalikan arus lalu-lintas yang potensi crowded-nya
sangat tinggi. Juga bagi para pemudik, seharusnya lebih rasional dan bijak. Jangan
mengedepankan perilaku egois, serakah dan mau menang sendiri yang justru akan menambah
tingkat kecelakaan di jalan raya. Seharusnya delapan indikator itu tidak akan terjadi jika ada
sinergi yang kuat antara petugas, operator dan awak angkutan transportasi publik, plus
pemudik itu sendiri. Betapapun, perbaikan sarana transportasi publik, baik dari sisi akses,
mobilitas dan keandalan, adalah prasyarat utama untuk merombak carut-marutnya tradisi
mudik Lebaran.

Anda mungkin juga menyukai