Anda di halaman 1dari 5

PARIWISATA DI DALAM NEGARA KHILAFAH

Oleh Leni N Lakani A.Md

PENDAHULUAN

Dalam laporan UNWTO Tourism Highlight 2017, dinyatakan bahwa Pariwisata adalah kunci dalam
pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan. Hal tersebut salah satunya terlihat dari pertumbuhan
destinasi pariwisata di dunia yang mulai terbuka dan berinvestasi di pariwisata. Menurut laporan City
Travel and Tourism in Asia Pasific Tahun 2017 dari The World Travel and Tourism Council (WTTC),
peningkatan kesejahteraan di regional Asia Pasific mendorong peningkatan permintaan pada
pariwisata. Peningkatan permintaan tersebut telah mendorong Investasi antara lain infrastrtuktur
transportasi dan hotel. Pada laporan Tahun 2016 oleh WTTC terkait Travel & Tourism Investment in
ASEAN, public investment dan private investment menjadi faktor penting dalam pengembangan
kepariwisataan di ASEAN.
Termasuk di negara Indonesia, dewasa ini pembangunan pariwisata diarusutamakan. Di tengah
lambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya ekspor dan semakin besarnya tekanan ekonomi
global pariwisata dianggap sebagai sumber kemakmuran, meningkatkan pendapatan masyarakat dan
memperluas lapangan kerja. Seolah pariwisata adalah solusi atas masalah ekonomi bangsa ini. Dan
pariwisata dianggap sektor ekonomi yang menjamin pemasukan jangka panjang bahkan permanen.
Berbeda dengan pemasukan dari sumber daya alam yang bisa segera habis dan tidak lagi
menghasilkan pendapatan menjanjikan. 
Industri pariwisata semakin menjadi idola di Indonesia. Hal ini terlihat dari performanya yang semakin
meningkat setiap tahun. Grafiknya sangat kontras bila dibandingkan komoditas lain, seperti minyak,
gas, batu bara, dan kelapa sawit yang terus merosot. Selain itu, pariwisata juga dianggap punya
keunggulan karena mayoritas kegiatannya berada di sektor jasa. Pariwisata juga merupakan
komoditas yang paling berkelanjutan dan menyentuh hingga ke level paling bawah masyarakat.
Untuk itu, semua pihak didorong menyukseskan program-program demi menggenjot pembangunan
pariwisata. Dibuat undang-undang khusus untuk pariwisata, didukung jor-joran pembangunan
infrastruktur dan fasilitas pendukung, penggalakan investasi, dan peningkatan peran serta
masyarakat. Sektor pariwisata diproyeksikan mampu menyumbang produk domestik bruto sebesar
15%, Rp 280 triliun untuk devisa negara, 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara, 275 juta
perjalanan wisatawan nusantara dan menyerap 13 juta tenaga kerja pada 2019. Lebih jauh, sektor
pariwisata diyakini mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang lebih tersebar di
seluruh negeri ini. Maka saat ini digencarkan pengarusutamaan pariwisata oleh semua pihak
pemangku kepentingan. Hitungan-hitungan pendapatan dari sektor ini sudah dilakukan sedemikian
jauh bahkan menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya sektor pariwisata membutuhkan investasi dan
pembiayaan sebesar Rp 500 triliun. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya daya tarik obyek wisata
juga harus digenjot sedemikian rupa. Salah satu yang dianggap sangat menarik menjadi atraksi
pariwisata adalah ‘budaya lokal’. 

DAMPAK NEGATIF PARIWISATA DI ERA KAPITALIS


Sesunggguhnya jauhnya kesejahteraan dari negeri ini bukan karena kurangnya sumber pemasukan.
Namun karena pilihan salah terhadap sistem ekonomi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam
maupun sumber daya lain. Sistem ekonomi kapitalistik dan liberal yang menjadi rujukan mengelola

1
sektor ekonomi menyebabkan makin buruknya kondisi ekonomi bangsa.  Namun hari ini publik
terlanjur menelan mentah-mentah pandangan sesat yang mengharuskan kita memfokuskan diri pada
sumber pendapatan yang baru, yaitu sektor pariwisata. Sektor ini ditetapkan sebagai primadona atau
unggulan yang dianggap berkontribusi besar mengentaskan kemiskinan bangsa. 
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya.
Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman
budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara.
Namun, di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara, khususnya
masyarakat setempat. Dampak itu terlihat melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya
masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata.
Destinasi wisata yang menjual daya tarik keindahan alam, keramahan penduduk dan beragam atraksi
budaya saat ini sudah dikapitalisasi. Bahkan tradisi lama  yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat
karena tidak membawa manfaat dan melanggar nilai-nilai agama bahwa mengandung kesyirikan
justru dihidupkan kembali.  Diselenggarakan event-event budaya yang menelan biaya besar. Ada
beragam atraksi dengan melakukan hal-hal aneh seperti membersihkan lantai rumah dengan kotoran
ternak yang dulu dipercayai mengusir bahaya gaib dan membuang sial seperti terjadi di Lombok.
Menyembelih kerbau yang kepalanya dipersembahkan untuk alam, dan melarung (membuang)
makanan dan hasil-hasil pertanian ke laut atau sungai, diiringi tarian dan beragam ritual yang
menghidupkan dan mempertontonkan kesyirikan. Di berbagai daerah dijual atraksi sejenis untuk
menghimpun pundi-pundi rupiah dari sekror ini. Alasan yang mengemuka, akan lebih mendatangkan
daya tarik bagi wisatawan, di tengah kejenuhan terhadap budaya modern. Bila wisatawan datang
maka beragam aktifitas ekonomi akan terdongkrak dari wisatawan yang akan makan, minum,
berbelanja souvenir, menginap, menyewa kendaraan, menyewa jasa tukang pijat atau sekedar
membawakan kopor di tempat itu.  Bukan hal yang baru bila wisatawan juga menginginkan
tersedianya tempat maksiat untuk zina, mengkonsumsi khamr dst. Maka kemaksiatan bertumpuk
terjadi di daerah wisata.
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah Saw bercerita kepadaku tentang empat kalimat, Allah melaknat orang
yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya sendiri,
Allah melaknat orang yang melindungi penjahat, dan Allah melaknat orang yang merubah batas
tanah. (H.R. Muslim).
Agar bisa menjadi kepentingan bersama semua bagian rakyat maka dibuatlah jargon ‘urip-urip
budaya’ (menghidupkan budaya). Dalam sistem sekuler sebagaimana saat ini, sah saja bila syirik juga
dikapitalisasi agar mendatangkan uang. Maka kita dapati pemangku kepentingan pariwisata
menghidupkan tradisi kuno sebelum masyarakat mengenal Islam demi menggaet minat wisatawan
agar berkunjung.  Dikeluarkan dana besar untuk memodali bangkitnya budaya lama yang jelas
mengandung kekufuran dan syirik. Sementara pemangku kepentingan agama susah payah berjuang
memurnikan akidah umat dari beragam penyakit iman, termasuk masih terkontaminasinya dari mitos-
mitos lama yang bertentangan Islam.
Bencana alam yang melanda bangsa ini baik di Lombok maupun Palu semestinya menjadi pelajaran
terbaik bagi kita semua. Juga menjadi pijakan mengevaluasi penataan bangsa secara mendasar.
1) betapa besarnya perhatian terhadap pariwisata, seolah menjadi nyawa perekonomian. Ini terbukti
dari keputusan pemerintah yang mengabaikan penyelamatan dan pelayanan maksimal terhadap
korban gempa Lombok. Alasan meminimalisir terganggunya sektor pariwisata secara lugas diutarakan

2
oleh pejabat tertinggi Negara. Bukankah nyawa umat Muhammad siapapun dia- meskipun bukan
wisatawan- jauh lebih berharga dibanding bumi dan seluruh kekayaannya.
2) menghidupkan sektor pariwisata dengan menghidupkan budaya lokal banyak mengandung syirik
jelas mengundang murka Allah. Apakah memang bangsa ini akan terus menantang azab Allah
dengan mengandalkan sektor ini sebagai unggulan. Bukankah Allah karuniakan melimpah sumber
daya alam; mineral, energi dan plasma nutfah keaneka ragaman hayati untuk memenuhi seluruh
kebutuhan kita? Tanpa harus menantang azab karena menyekutukan Allah.
3) Salah kaprah mengentaskan kemiskinan melalui sektor pariwisata yang banyak menabrak nilai
agama harus segera dibongkar, dipahamkan pada publik apa akar masalah kemiskinan bangsa dan
solusinya, juga bagaimana menempatkan keindahan alam dan karunia Allah di muka bumi demi
membawa manusia pada kehidupan lebih baik.
Karena itu, pertanyaan kemudian adalah, jika Khilafah berdiri, apakah bidang pariwisata ini akan tetap
dipertahankan, dan bahkan dikembangkan, atau justru sebaliknya? Lalu, bagaimana kebijakan
Khilafah dalam bidang pariwisata ini?

WISATA DALAM KACAMATA ISLAM


Sebagai negara dakwah, Khilafah menerapkan seluruh hukum Islam di dalam dan ke luar negeri.
Dengan begitu, Khilafah telah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran di tengah-
tengah masyarakat. Prinsip dakwah inilah yang mengharuskan Khilafah untuk tidak membiarkan
terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.
Obyek yang dijadikan tempat wisata ini, bisa berupa potensi keindahan alam, yang nota bene bersifat
natural dan anugerah dari Allah subhanahu wa ta'ala, seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air
terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata
seperti ini bisa dipertahankan, dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam
kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut. Sebagaimana Alloh SWT berfirman :
1. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan
(manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)

2. Mereka berkata; Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan alam ini sia-sia (QS. Ali Imran :
191)
3. Katakanlah, berjalanlah di muka bumi, perhatikanlah bagaimana akibat pebuatan orang-orang
berdosa masa lalu (QS al-An’am : 11)
Kenapa mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan perihal umat
masa lalu yang mereka memiliki kekuatan (tetapi tetap lemah/bahkan hancur berhadapan
dengan azab Allah) (QS. Fathir : 44)
4. Kenapa mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi, memperhatikan orang-orang
sebelum mereka, adalah mereka memiliki kekuatan dan lihatlah bekas-bekas (peninggalan
mereka), mereka di azab oleh Allah, dan tidak ada yang dapat melindunginya selain Allah (QS.
Ghafir : 21)
5. Dari  Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:

‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه‬ ِ ‫ال ُت َش ُّد الرِّ َحا ُل إِال إِ َلى َثال َث ِة َم َسا ِجدَ ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام َو َمسْ ِج ِد الرَّ س‬
َ ‫ُول‬
)1397  ‫ رقم‬،‫ومسلم‬  1132  ‫ رقم‬،‫صى (رواه البخاري‬ َ ‫َو َسلَّ َم َو َمسْ ِج ِد األَ ْق‬

3
“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah
sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)

Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran
akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan
bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang
mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk
mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk
mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan
non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai
sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa
digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam,
umat Islam dan peradabannya.

PENGEMBANGAN SEKTOR PARIWISATA DI DALAM KHILAFAH


Tujuan Pengembangan pariwisata dalam negara khilafah ada dua, yakni menjadi sarana dakwah dan
di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim,
biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang
diberikan oleh Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Dzat yang
menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sedangkan bagi yang sudah beriman, ini
bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Di sinilah, proses dakwah itu bisa dilakukan
dengan memanfaatkan obyek wisata tersebut.
Menjadi sarana propaganda (di’ayah), karena dengan menyaksikan langsung peninggalan bersejarah
dari peradaban Islam itu, siapapun yang sebelumnya tidak yakin akan keagungan dan kemuliaan
Islam, umat dan peradabannya akhirnya bisa diyakinkan, dan menjadi yakin. Demikian juga bagi umat
Islam yang sebelumnya telah mempunyai keyakinan, namun belum menyaksikan langsung bukti-bukti
keagungan dan kemuliaan tersebut, maka dengan menyaksikannya langsung, mereka semakin yakin.
Sementara Pariwisata yang terkait dengan obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah
dari peradaban lain, maka Khilafah bisa menempuh dua kebijakan:
Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus dilihat:
Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan.
Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digu
nakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa
dihancurkan.
Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk
dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti
dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau
binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah
agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Ketika Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu hari Jumat, maka gereja
Aya Shopia pun disulap menjadi masjid. Gambar-gambar dan ornamen khas Kristen pun dicat.
Setelah itu, gereja yang telah disulap menjadi masjid itu pun digunakan untuk melakukan shalat Jumat
oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.

4
PARIWISATA BUKAN SUMBER DEVISA

Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas
tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski bisa menjadi salah satu
sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain
karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda,
Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Perbedaan tujuan utama dipertahankannya bidang ini oleh Negara Khilafah dan yang lain
mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang ini. Dengan
dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh Khilafah, maka Negara Khilafah
tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika
sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi
kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan.
Di sisi lain, Negara Khilafah telah mempunyai empat sumber tetap bagi perekonomiannya, yaitu
pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung
bagi Negara Khilafah dalam membiayai perekonomianya. Selain keempat sumber tetap ini, Negara
Khilafah juga mempunyai sumber lain, baik melalui pintu zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga
dharibah. Semuanya ini mempunyai kontribusi yang tidak kecil dalam membiayai perekonomian
Negara Khilafah.
Dengan demikian, Negara Khilafah sebagai negara pengemban ideologi dan negara dakwah, akan
tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang
dari luar. Pada saat yang sama, justru Negara Khilafah bisa mengemban ideologi dan dakwah, baik
kepada mereka yang memasuki wilayahnya maupun rakyat negara kafir di luar wilayahnya.
Begitulah kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pariwisata.

Sumber: http://mediaumat.com
Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2017
https://lifestyle.okezone.com/read/2017/03/31/406/1655428/kejar-target-20-juta-kunjungan-wisman-di-
2019-indonesia-kebut-jalur-transportasi
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3652709/genjot-pariwisata-menpar-targetkan-20-juta-turis-asing-pada-
2019

Anda mungkin juga menyukai