Anda di halaman 1dari 4

Takwa digambarkan oleh Sayyidina Ali, karrama-Llahu wajhah, dengan empat karakter: al-khauf

min ar-Rabb al-Jalil [takut kepada Rabb yang Maha Agung], al-amal bi at-tanzil [menjalankan alQuran/hukum yang diturunkan Allah], ar-ridha bi al-qalil [ridha meski terhadap yang sedikit], dan
al-istidad li yaum al-rahil [bersiap menghadapi Hari Penggiringan]. Inilah karakter orang yang
bertakwa, menurut menantu dan saudara sepupu Nabi saw. itu.

Inspirasi Ramadhan 2: Ramadhan, Takwa dan Cita-cita Agung


=================================================
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman [Khadim Majlis-Mahad Syaraful Haramain]
Nilai manusia, kata Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ditentukan oleh apa yang dia cari. Karena itu,
apa yang kita cari mencerminkan siapa kita, dan kedudukan kita. Apa yang kita cari, besar, kecil,
agung, remeh, ecek-ecek dan hina itu pula yang mencerminkan diri kita. Maka, orang yang
berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang yang berjiwa kerdil, akan
bercita-cita dan mencari hal-hal kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan akan
bercita-cita dan mencari hal-hal yang agung dan mulia. Sebaliknya, orang yang rendah dan hina,
akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang murahan dan hina.
Syaikh Al-Affani dalam, Ruhban al-Lail wa Farsanan an-Nahar, menuturkan kisah Umar bin
Abdul Aziz. Saat kekuasaan tertinggi, dan teragung di kolong langit dan bumi dalam
genggamannya, saat beliau menjadi Amirul Mukminin, salah seorang Khulafa Rasyidin yang
adil, tak lantas membuatnya bangga, dan cukup. Karena ada cita-cita yang lebih tinggi dan mulia
dari apa yang ada dalam genggamannya. Cita-cita mendapatkan ridha Allah SWT. Bahkan, tiap
malam beliau pun harus terjaga, munajat dan menangis ke haribaan Rabb-nya. Itulah sosok
yang memiliki jiwa yang tinggi dan agung.
Sosok yang berjiwa tinggi dan agung, dengan cita-cita luhur dan agung itu tidak lahir dengan
sendirinya, tetapi dia harus dibentuk dan dilahirkan. Lalu, apa pondasi dan bekal terpenting dari
semuanya itu? Jawabannya, adalah takwa. Takwa digambarkan oleh Sayyidina Ali, karramaLlahu wajhah, dengan empat karakter: al-khauf min ar-Rabb al-Jalil [takut kepada Rabb yang
Maha Agung], al-amal bi at-tanzil [menjalankan al-Quran/hukum yang diturunkan Allah], ar-ridha
bi al-qalil [ridha meski terhadap yang sedikit], dan al-istidad li yaum al-rahil [bersiap menghadapi
Hari Penggiringan]. Inilah karakter orang yang bertakwa, menurut menantu dan saudara sepupu
Nabi saw. itu.
Hanya saja, kunci dan pangkal ketakwaan itu dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran:


..
[Orang-orang yang bertakwa] adalah mereka yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat dan
membelanjakan apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka. [Q.s. al-Baqarah: 3]

Allah mendahulukan keyakinan kepada yang gaib, sebelum menunaikan shalat dan
membelanjakan harta, karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah kuncinya. Karena
keyakinan kepada yang gaib ini adalah pondasinya. Tanpanya, tidak mungkin mereka bisa
mendirikan shalat, dan membelanjakan hartanya. Keyakinan kepada yang gaib, tentang Allah
yang Maha Tahu, Melihat dan Berjanji memberikan pahala dan surga itulah yang mendorong
mereka meski dengan berat akhirnya mendirikan shalat. Begitu juga orang yang berinfak, meski
dengan berat, akhirnya sanggup dia kerjakan, karena keyakinannya bahwa Allah Maha Tahu,
Melihat dan Berjanji akan membalasnya.
Keyakinan kepada yang gaib itulah yang membuat Umar bin Abdul Aziz tidak silau dengan
kekuasaan, dan jabatan tertinggi yang ada dalam genggamnya. Jabatan mentereng, dan
kedudukan yang tinggi di dunia itu pun tidak membuatnya lupa diri. Karena keyakinannya kepada
yang gaib, bahwa di sana ada Allah yang ridha-Nya lebih dari segalanya. Tidak ada artinya
kedudukan dan jabatan yang tinggi dan agung itu dalam genggaman, jika Allah tidak ridha. Itulah
sosok manusia yang berjiwa agung dan tinggi. Mata dan hatinya bisa menembus dinding dhahir
kehidupan dunia yang tebal, entah itu anak, isteri, gaji dan jabatan, termasuk pujian kawan, dan
acaman musuh.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang ditanamkan oleh Allah SWT kepada Nabi saw.
Keyakinan yang sama kemudian ditanamkan Nabi saw. kepada para sahabat, ridhwanu-Llah
alaihim. Keyakinan kepada yang gaib inilah yang membuat Abu Bakar radhiya-Llahu anhu
berani bertaruh dengan orang Kafir Quraisy, saat Emperium Persia mengalahkan Emperium
Romawi, bahwa setelah ini Emperium Romawilah yang akan menang, sekaligus meyakini
kemenangan kaum Muslim atas orang Kafir Quraisy. Allah SWT pun membenarkan keyakinan
Abu Bakar, dengan menurunkan Q.s. ar-Rum 1-2 kepada Nabi saw. Kalau bukan karena
keyakinannya kepada yang gaib, mustahil Abu Bakar bisa melakukannya.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang kini terkikis dari umat Islam. Akibatnya, mereka silau
dengan yang dhahir. Karena terkikisnya keyakinan kepada yang gaib itu, mereka pun silau
dengan penguasa dan sistem non-Islam. Mereka pun silau dengan kedikdayaan modal, media
dan jaringan cukong dan mafia, saat yang sama mereka melupakan sandaran hakikinya, Allah
SWT. Padahal, ketika mereka kalah secara materi, satu-satunya kekuatan mereka justru ada
pada keyakinannya kepada yang gaib. Tetapi, sayangnya itu pun tidak ada. Akibatnya, mereka
pun tetap terbelenggu perbudakan penjajah dan antek-anteknya.
Saat Papua, dengan tambang emas terbesarnya di dunia, dan lebih 90 persen sumber Migas
negerinya dikangkangi oleh negara adidaya, seolah umat di negeri ini pun tak berdaya.
Menyerah, dan tak sanggup berbuat apa-apa, selain pasrah. Semuanya ini karena hilangnya
keyakinan kepada yang gaib, keyakinan bahwa daya dan kekuatan itu milik Allah, la haula wa la
quwwata illa bi-Llah, bukan milik negara adidaya. Akibatnya, keadidayaan negara penjajah itu
lebih mereka takuti ketimbang keMahaadidayaan Allah SWT. Karena itu, kita pun menjadi
bangsa dan umat yang kerdil, hina dan terus terjajah.
Maha Besar Allah yang telah menetapkan puasa di bulan Ramadhan dengan hikmah takwa.
Hikmah yang mestinya tiap tahun bisa diraih oleh umat Islam setelah menunaikannya. Andai saja
takwa, kunci dan pondasinya, yaitu keyakinan kepada yang gaib, serta empat karakternya,

sebagaimana yang dijelaskan oleh orang yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya itu bisa
diraih dengan sempurna, umat Islam hari ini akan menjadi umat yang tinggi dan mulia. Umat
terbaik sebagaimana generasi sebelumnya.
Semoga hikmah takwa ini bisa kita raih di bulan Ramadhan yang agung dan mulia ini dengan
sempurna. Dengannya, semoga kita dikembalikan oleh Allah SWT menjadi umat yang mulia,
agung dan terbaik sebagaimana generasi sebelum kita. Maka, inilah momentum yang sangat
tepat untuk mengembalikan kemuliaan, keagungan dan ketinggian jiwa kita. Kemuliaan,
keagungan dan ketinggian yang terbentuk karena mata dan hati kita mampu menembus tebalnya
dinding dhahir kehidupan dunia.
Semoga kemuliaan dan keagungan Ramadhan benar-benar meninggikan derajat kita, dengan
cita-cita kita yang tinggi dan mulia, dengan pekerjaan dan aktivitas agung yang kita torehkan di
dalamnya. Amin..
04 Ramadhan 1437 H
09 Juni 2016 M

SEPARUH RAMADHAN...
Lihatlah indahnya rembulan dilangit..
Purnama bersinar penuh pertanda separuh Ramadhan telah kita jalani.
Lalu....
Sejenak tengoklah mushaf al-Qur'an.
Berapa lembar yang "sempat" kita baca dan tadaburi.
Separuh juga khan...?
Bahkan lebih...
Semoga...
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Bacalah al-Qur'an karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi
syafaat kepada orang yang membacanya...
(HR. Muslim: 1871)
Sebagian ulama berkata,
"Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur'an saat bulan Ramadhan maka di bulan selainnya
lebih terlalaikan lagi..."
Masih belum terlambat bagi kita memperbaiki diri.

Entah...
Akankah tahun esok kita bersua kembali dengan Ramadhan...?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
... dan celaka seseorang yang mendapatkan bulan Ramadhan, kemudian melewatinya sebelum
dosa-dosanya diampuni...
(Hasan shahih, HR at-Tirmidzi: 3545)

Anda mungkin juga menyukai