Anda di halaman 1dari 7

Menjadi Muslimah Negarawan

A.    Sebuah Cita-cita

Cita-cita hasruslah tinggi, luhur dan mulia. Begitu alaminya manusia bercita-cita. Ingin
menjadi dokter atau insinyur atau menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan
agama. Kalimat ini sering kita dengar, meski akhirnya nyaris terdengar klise. Seperti apa
bergunanya? Bagaimana mencapainya?

Dalam bercita-cita, banyak dari kita yang harus melalui perjuangan materiiil, pencarian
identitas sekaligus pergolakan baton karena mengjadapi benturan nilai dan kejamnya realitas
kehidupan modern. Yang akhirnya harus menyerah dengan tuntutan keadaan dan menyisakan
sedikit ruang citanya untuk agama.

Cita-cita selalu terkait dengan dua hal yang mendasar dalam hidup, yaitu identitas diri dan
makna kesuksesan. Yang semua bermuara di tujuan hidup. Bagaimana kita mematrikan jati diri
kita dan bagai mana kita mendefenisikan kesuksesan. Dua hal ini yang menentukan kita
mencapai cita-cita di masa depan.

Menurut Ibn Al Qayyim al Jauziyyah, nilai manusia ditentukan oleh apa yang ia cari. Oleh
karena itu, apa yang kita cari mencerminkan siapa kita dan dimana kedudukan kita. Apa yang
kita cari apakah besar, kecil, agung, remeh, atau hina itu pula yang mencerminkan diri kita.
Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang-orang
kerdil akan mencari hal-hal yang kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan mencari
yang agung dan mulia, begitupula sebaliknya.

Seorang muslimah yang sadar, pasti merasakan bahwa kehidupan modern hari ini adalha
bentukan dari peradaban barat yang memuja sekularisme sebagai asas dan kapitalisme
sebagai penggeraknya yang menjadikan kesenagan dan materi sebagai standar kesuksesan.
Yang berakibat fatal kepada seluruh muslim dan muslimah. Yaitu mengerdilkan cita-cita hanya
sebatas mendapat pekerjaan sekaligus mengerdilkan banyak harapan orang tua akan masa
depan anak-anak mereka. Dalam kapitalisme, profil perempuan sukses adalah mereka yang
mapan dalam karir, finansial dan keluarga. Nyatanya, hal itu hanyalah ilusi kesuksesan pribadi
yang bisa diperoleh jika kita fokus pada diri dan keluarga sendiri dan mengabaikan penderitaan
orang lain.

B.     Cita-cita umat terbaik

Umar ibn Al Khattab berkata, “Jangan lah engkau sekali-kali berobsesi rendah.
Sesungguhnya saya belum pernah melihat orang yang paling kerdil dari pada orang yang
berobsesi rendah.”

Dimasa keemasan Islam telah kita lihat bagaimana generasi yang memiliki cita-cita
besar Rasulullah meruntuhkan imperium terbesar dan menaklukkan dua negara adi kuasa
(Romawi dan Persia). Dizaman mereka juga penaklukan Maroko, Spanyol, India dan lain-lain
telah terjadi. Dan Allah telah benar-benar memerintahkan kita untuk bercita-cita tinggi, dalam
Qs. Al Furqan; 24. Juga dalam hadist Rasulullah,

“Jika engkau meminta surga, mintalah surga firdaus karena firdaus adalah surga yang
paling tinggi.” (Mutafaqqun Alain)

Diriwayatkan dari Abi Zinad dari ayahnya, ia berkara:” Suatu hari berkumpul di hijir
(Ismail) beberapa pemuda saleh, yaitu Mus’ab ibn Zubair ,Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn
Zubair, Abdul Malik ibn Marwan dan Abdullan ibn Umar ibn Khattab. Salah seoarang dari
mereka berkata kepada sahabatnya, “Marilah kita bercita-cita”. Maka Abdullah ibn Zubair
berkata: “ Aku ingin menguasai kedua tanah haram (Mekah dan Madinah) dan menjadi seorang
khalifah”. Abdul Malik bin Marwan berkata, “Adapun saya, bercita-cita menguasai segenap
bumi dan menjadi khalifah setelah Muawiyah”. Urwah ibn Zubair menyusul, “Saya memiliki cita-
cita yang berbeda, saya ingin diberi zuhud didunia dan memperoleh surga di akhirat. Saya juga
ingin menjadi ulama panutan”. Dan yang terakhir, Abdullah ibn Umar ibn Khattab berkata,”
Saya hanya mengharap ampunan dari Allah”. Perawi berkata “Kemudian hari demi haripun
berlalu, sampai semua mereka memperoleh apa yang mereka cita-ciitakan”. Dan mudah-
mudahan Abdullah ibn Umar sudah mendapatkan ampunan Allah.

            Cita-cita kepemimpinan yang dicontohkan oleh generasi sahabat dan para pemimpin
Kulafahur Rasyidun adalah cita-cita besar yang melampaui profesi apapun. Cita-cita besar

2
yang terpancar dari pemikiran politik Islam. Islam meletakkan landasan nilai yang sangat
berbeda secara diametral dengan Kapitaliesme karena Islam menjadikan keimanan kepada al
Khaliq dan Aqidah Islam sebagai landasan peradabannya. Ketakwaan sebagai konsep
kehidupannya dan ridha Allah sebagai makna kebahagiaan.

            Profesi dalam Islam adalah bukan segala-galanya. Menjadi profesional tidak berarti
membuat umat Islam melupakan identitas hakikinya sebagai hamba Allah, juga tidak boleh
melalaikan peran utamanya sebagai seoarang da’i/dai’yah yang melakukan perbaikan
dan amar maruf nahi mungkar ditengah masyarakat. Ibadan sebagai misi penciptaan manusia
itulah fokus dari tatanan masyarakat Islam.

            Menjadi dokter, insinyur, guru ahli komputer dan sebagainya adalah atribut sekunder
dalam masyarakat Islam. Semua profesi itu bukanlah termasuk uluwwul himmah (cita-cita yang
tinggi), karena cita-cita yang tertinggi seorang munslim kembali pada identitas hakikinya yakni
hamba Allah yang mempunyai kawajiban menegakkan kalimat Allah dimuka bumi ini serta
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap umat Muhammad saw.

            Aqidah Islam menjadi driving intergrative motive atau motivasi integral untuk menjadi
profesional, bukan semata karena materi. Ditambah lagi di dalam Islam seorang muslim
mempunyai kewajiban-kewajiban yang diembannya dalam seluruh aspek kehidupannya.
Sejaland engan kaudah ushul “al ashlu fi al af’al at-taqayyud bihukmi asy-syar’i yang berarti
bahwa hukum asal suati perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’: wajib, sunah, mubah,
makruh, atau haram. Maka apapun aktifitas seorang muslim harus terikat dan tuduk pada
hukum syariat, termasuk profesinya.

            Disisi lain, sistem Islam yang garis politik ekonominya memiliki tujuan mendasar agar
negara hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, dilengkapi dengan
kokohnya akidah Islam dalam diri setiap muslim yang membangun keyakinan akan rezeki akan
menciptakan generasi yang kebal virus pragmatisme hingga tidak ada penghalang antara cita-
cita besar yakni cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad saw.

            Walhasil, peradaban Islam telah terbukti mewariskan cita-cita besar umat Islam, laki-laki
dan perempuan, muslim dan muslimah dengan memberi mereka peran sebagai umat terbaik
dan pemimpin dunia pembagun peradaban yang menyebarkan Islam sebagai rahmat semesta
alam.

C.     Mengambil Peran Besar


Kondisi ymat hari ini yang ditimpa kemnunduran dan terpecah belah akibat hancurnya
kepemimpinan politik umat Islam seharusnya membuat kita berpikir. Runtuhnya institusi
Khilafah Usmani tahun 1924 telah membuat kemunduran luar biasa, bahkan secara mental
banyak putra-putri umat untuk bercita-cita besar saja tidak berani. Memang, generasi ini
terpisah jarak belasan abad dengan generasi awal Islam. Bahkan tidak pernah berjumpa
dengan Rasulullah saw, namun kita tidak boleh lupa bahwa Rasul telah mewariskan kita
sebuah risalah kenabian yang sempurna, tidak hanya mengatur hubungabn personal dan
keluarga, tapi juga telah mewariskan peradaban lengkap dengan tatanan sistemnya. Rasul

3
bahkan telah mewariskan bagaimana kehidupan bernegara itu sejatinya diatur untuk memimpin
peradaban  untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat ke seluruh alam.

Maka, kualifikasi tertinggi agar mampu mengemban peran besar dan cita-cita
kepemimpinan atas umat Muhammad saw adalah kualifikasi seorang negarawan, sebagaimana
paradigma politik Islam untuk melayani urusan umat. Dalam buku Pemikiran Politik Islam karya
Abdul Qadim Zallum digambarkan dengan jelas bagaimana sosok negarawan itu adalah
pemimpin politik tertinggi, namun negarawan tidak selalu menjadi pejabar atau tidak semua
pejabat adalah negarawan. Negarawan adalah pemimpin kultural yang siap untuk menjabar,
meskipun tidak harus menjabat,. Negarawan adalah pemimpin yang kreatif dan inovatif. Berani
bertindak solutif saat yang lain tidak berani.

Maka, dengan bahasa lain sosok negarawan adalah ia yang memiliki


kapasitas agency sebagai pemimpin perubahan dengan ciri-ciri:

1.      Memiliki mentalitas pemimpin (leadership) atau kepribadian kepemimpinan (syakhsiah


qiyadah)

2.      Mampu mengatur urusan kenegaraan, artinya mampu berpikir skala sistem (tidak parsial atau
sektoral)

3.      Mampu menyelesaikan permasalahan atau mu’alajah musykilah

4.      Mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum alias harmonisasi kehidupan
pribadi dan dakwah.

D.    Menjadi Muslimah Negarawan

Allah telah menganugerahkan akal pikiran yang sama antara muslim dan muslimah. Hal
tersebut akan mampu menjadikan perempuan memiliki kapasitas berpikir yang tinggi, bahkan
yang tertinggi, yakni Pemikiran Politik. Meski Syariah Islam membatasi peran perempuan
dalam politik pemerintahan, bukan berarti kapasitas pemikiran dan kenegarawanannya
dihambat dan dibatasi. Syariah Islam justru mmeberi peran besar bagi kaum muslimah yakni
sebagai penjaga peradaban Islam dalam kapasitasnya sebagai ilmuan, penggerak opini
dakwah dan ibu generasi.

Dalam kapasitas pemikiran, Islam tidak pernah membatasi muslimah menuntut ilmi dan
membangun pemikiran yang tinggi, bahkan pemikiran politik internasional. Baik laki-laki
maupun perempuan diberi hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmi, mendalami
tsaqofah Islam, memperkaya wawasan dan mengamalkan ilmunya untuk umat dan kemuliaan
Islam.

4
Namun, mengenai aktivitas politik kaum Muslimah, Syariah Islam telah memberi
perincian, terdapat sebagian aktivitas yang sama dengan laki-laki, namun sebagian berbeda
dan dibatasi. Allah berfirman dalam QS. At Taubah; 71 yang artinya:

Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemarufan dan mencegah kemungkaran.

Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki muslim dan
perempuan mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktifitas politik, yaitu amal ma’ruf nahi
mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagiand ari masuarakat, laki-laki dan
perepuan sama-sama memiliki kewajiban berdakwah melakukan amar makruf nahi mungkar
yang termasuk dalam aktivitas politik.

Namun, keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik bukanlah agar mereka dapat
menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara mereka didengar oleh umat.
Tetapi, harus dipahami bahwa esensi koprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari
kewajibannya yang datang dari Allah swt. Sebagai suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap
masyarakat yang terdiri atas perempuan dan laki-laki; bukan masyarakat laki-laki atau
masyarakat perempuan secara terpisah.

Aktivitas politik perempuan dalam Islam yang utama dan sama dengan kaum laki-laki
adalah hal dna kewajiban baiat kepada khalifah, hal memilih dan dipilih menjadi anggota
majelis umat, kewajiban menasehari dan mengoreksi penguasa, dan kewajiban menjadi
anggota partai politik. Namunn, diatas semua itu, Islam menetapkan dua peran penting
perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah. Dalam Muqadimah Dustur Bab “Nidzam
Ijtima’i” dinyatakan bahwa hukum asal perempuan dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan
pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.

Perlu dipahami, disini bahwa peran perempuan sebagai istri dan ibu sesungguhnya juga
merupakan peran politis. Peran utama dan strategis bagi perempuan adalah
sebagai ummurarabatul bait sebagai pencetak generasi, sehingga terlahir generasi yang
berkualitas prima, sebagai pejuang-pejuang Islam yang ikhlas. Hal ini tidak lain karena Islam
sanat dmenjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan, Allah swt, Sang Pembuat
hukum dan Pencipta manusia sangat memahami apa yang terbaik bagi manusia.Baik laki-laki
maupun perempuan.

Disamping itu Islam telah memberikan pejelasan tentang aktivitas politik yang tidak
diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah
kekuasaan/ pemerintahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan adalah
wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh, misalnya
menjadi penguasa atau kepala negara. Penguasa dipandang sebagai orang yang
bertanggungjawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem islam,
jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), muawwin tafwidh, (pembantu khalifah
dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah), Dan amil (kepala daerah). Rasulullah saw
telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah: “tidak akan pernah

5
menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaan) kepada perempuan”. [HR.
Bukhari]

Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya


bagi laki-laki bukan berarti menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Justru
karena melihat ada peran strategis yang diberikan kepada kaum Muslimah, yang tidak akan
pernah bisa dilakukan kaum laki-laki, yakni peran sebagai ibu dan pendidik genreasi, yang
sangat menentukan masa depan Islam dan kualitas peradaban.

Gambaran kiprah politik muslimah diatas semakin menunjukkan peran yang besar,
strategis dan berkelanjutan dari kaum merempuan dalam masyarakat Islam. Peran politiknya
tidak dibatasi oleh sekedar jabatan atau kekuasaan, tapi menentukan masa depan Islam dan
kualitas peradabannya. Matriks peran politik muslimah yang dilandasi paradigma dan praktek
politik islam justr mendorong kaum muslimah agar memiliki kapasitas kenegerawanan tanpa
harus terlibat mutlak dalam politik praktis atau pemerintahan, sebaliknya justru memberi energi
besar pada peran sejati muslimah yang mampu membuatnya bermain lintas dimensi dan lintas
skala, baik secara kultural di masyarakat ataupun struktural di pemerintahan, baik di keluarga
dengan anak-anaknya maupun di tenagh publik sebagai pemikir dan pegiat dakwah dan opini
Islam. Karena itu jelaslah bahwa peran strategis yang lintas dimensi dan lintas skala ini,
membutuhkan kapasitas pemikiran politik dan kenegarawanan kaum muslimah.

Perempuan memiliki tiga tantangan demi mencapai cita-cita besar sebagai Muslimah
Negarawan, yaitu; Intelektual Peadaban, Penggerak Opini dan Ibu Generasi Penakluk. Untuk
menjawab tiga tantangan ini tentu membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif.
Lingkungan yang kondisif di sini maksudnya adalah lingkungan dimana pemikiran politik Islam
itu dihidupkan, dikaji dan terus digunakan dalam membedah persoalan umat. Lingkungan politik
yang menjadi inkubator bagi para negarawan, pelaku perubahan hakiki yang akan
mengembalikan kehidupan Islam dan kepemimpinan politik bagi umat Islam.

Langkah pertama untuk mewujudkan lingkungan politik Islam adalah dengan cara
membetnuk sekelompok orang yang senantiasa menghikuti berita, aktivitas dan peristiwa politik
di dunia. Para politisi ini mengikuti berbagai berita dan aktivitas politik di dunia dengan maksud
agar dapat memahaminya, kemudian berupaya mengurus kepentingan umat sesuai dengan
pemahaman tersebut dan berlandaskan sudut pandang Islam.

Langkah berikutnya, harus ada upaya mengikuti dan menganalisis berbagai berita dan
peristiwa politik, sehingga dapat membangun lingkungna politik. Karena kalau tidak, maka
orang-orang yang pernah terlibat dalam lingkungan politik kufur dan mampu bertahan hidup,
akan lebih mampu memimpin, menciptakan dan memasuki berbagai lingkungan politik. Bila
demikian, maka bibit-bibit kehancuran negara sudah tercipta sejak awal negara itu berdiri.
Selanjutnya, ia harus memberikan pendapatnya tentang berita dan aktivitas politik kepada umat
dan pendapat tersebut harus berasal atau berlandaskan sudut pandang tertentu tentang
kehidupan.

6
Lingkungan politik adalah kondisi dimana terdapat suati kelompok manusia yang selalu
menyediakan waktu dan tenaga utnuk bisa menganalisis dan bertukar pandangan tentang
pemikiran politik diantara mereka. Lingkungan politik yang paling mudah dibentuk adalah
rumah/ keluarga. Sejarah mencatat begitu banyak negarawan muslim yang lahir dari
lingkungan politik keluarga. Syaikh Taqiuddin an Nabhani adalah politisi ulung yang terbentuk
dari lingkungan politik  keluarga, melalui pengaruh kakeknya Yusuf an Nabhani.

Selain itu, negarawan muslim juga harus memiliki mentalitas yang dibagun dengan
kaidah berpikir dan kaidah beramal tertentu.Kaidah berpikir (qaidah fikriyyah) digambarkan
ibarat terbang di alam (suasana) yang lebih tinggi dari masyarakat dan mampu melihat realitas
masa depan yang harus dicapai dengan menjadikan realitas sebagai objek pikiran untuk diubah
sesuai dengan ideologi. Tidak mejadikan realitas sebagai sumber pemikiran dengan cara
mencocokkan ideologi dengan kenyataan. Dengan kata lain, negarawan muslim akan melihat
apa yang ia yakini, bukan meyakini apa yang ia lihat.

Muslimah negarawan akan selalu berusaha mengubah, membentuk serta menundukkan


keadaan sesuai dengan kehendak mereka agar keadaan itu sesuai dengan ideologi yang
mereka yakini, bukan sebaliknya, yakni menyesuaikan ideologi dengan keadaa. Muslimah
negarawan juga memiliki kebiasaan mencintai ilmu dan tsaqofah Islam, selalu fokus
memikirkan umat dan mengikuti berita seputar yang menimpa umat, memiliki tradisi diskusi dan
terbiasa saling melempar analisis serta memiliki tradisi menulis.

Karena itu, seorang muslimah negarawan harus bersiap dan melakukan persiapan lebih
untuk mewujudkan cita-citanya. Dan tentu, untuk membangun dan menegakkan sebuah
peradaban yang mulia, ada begitu banyak persiapan yang harus kita lakukan sejak hari ini.
Termasuk membangun kapasitas seorang negarawan bagi para muslimah pengemban dakwah
Islam dan pelaku penggerak perubahan. 

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang
salih diantara kalian bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaiamnaa dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoiNYa untuk
mereka. Dan dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada
dalam ketakutan, menjadi aman sentosa [TQs. An Nur;55]

Source:

http://dawatmenulis.blogspot.com/2019/01/menjadi-muslimah-negarawan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai