Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AGAMA ISLAM

MELURUSKAN PEMAHAMAN QADHA DAN QADHAR

OLEH:
NAMA

: SARIFAH

STAMBUK

: F1D516062

JURUSAN BIOTEKNOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

Membahas tentang maksud dari qadha dan qadar selalu menarik disela-sela kesibukan
orang menjalani takdirnya. Menarik karena qadha dan qadar merupakan titik singgung antara
perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Apa hakikat perbuatan Allah SWT?
Bagaimana hubungannya dengan perbuatan manusia? Apakah yang dialami manusia akibat
dari perbuatan-Nya atau murni kreasi manusia? Berbagai pendapat tentang qadha qadar telah
dibukukan oleh ulama mutakallim (ahli Ilmu kalam/teologi) sejak dulu mewakili alirannya
masing-masing. Dikuatkan dengan dalil-dalil yang terdapat di Al Quran dan hadits. Ada tiga
aliran utama mutakallimin: Qadariyyah, Ahlu Sunnah dan Jabariyah.

Kitab An-Nabhani tentang Qadha dan Qadar


Syaikh Taqiyuddin an Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) juga membahas kembali masalah
qadha qadar di beberapa kitabnya. Di antaranya kitab Nizhamul Islam (Peraturan Hidup
dalam Islam), Mafahim Hizbut Tahrir dan yang paling rinci di kitab Syakhsiyyah Islamiyah
jilid 1. Ketiga kitab ini oleh Hizbut Tahrir dijadikan kitab resmi dan materi halaqah.
Berbeda dengan kakeknya Syaikh Yusuf an Nabhani yang bermadzhab Syafii dan ahlu
tasawuf, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak bermadzhab. Beliau memiliki ushul fiqih
sendiri yang berbeda dengan Imam madzahib. Oleh pengikutnya beliau dianggap mujtahid
mutlaq sekelas keempat Imam madzhab. Disamping itu beliau juga anti tasawuf. Di kitabkitabnya beliau menuding tasawuf khususnya tarekat sebagai biang kemunduran umat Islam.
Oleh pengikutnya beliau dianggap mujtahid mutlaq sekelas keempat Imam madzhab.
Disamping itu beliau juga anti tasawuf.
Sepertinya beliau terpengaruh trend pemikiran awal abad 20 di dunia Arab waktu itu. Di
Mesir pemikiran reformis Muhammad Abduh menggeliat. Sedangkan di Hijjaz pemahaman
wahabi secara sistematis dipaksakan oleh pihak kerajaan. Di samping itu, pemikiran
sosialisme marxisme jadi simbol perlawanan terhadap penjajah Barat di kawasan Syam
(Suriah, Jordania, Lebanon dan Palestina) dan Irak. Sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, tahun
1953, beliau menjadi aktivis partai sosialis di Palestina. Ketiga trend pemikiran inilah,
reformisme, wahabisme dan sosialisme, yang mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin
an Nabhani.
Secara ontologis Syaikh Taqiyuddin an Nabhani membagi eksistensi menjadi dua, ruh dan
materi. Ruh adalah kesadaran manusia akan hubungan dengan Allah SWT (idrak silla billah).
Selain ruh, dianggap materi. Materi, segala sesuatu yang masuk dalam ruang dan waktu.
Eksistensi supranatural yang populer di kalangan tasawuf seperti alam malakut, jabarut dan
lahut dianggap tidak ada. Potensi ruhiyah manusia seperti jenis-jenis nafsu (ammarah,
lawwamah dan muthmainnah)- tingkatan-tingkatan kedalaman hati (qalb, fuad, shadr dan
sirr) dan macam-macam akal juga dianggap tidak ada.

Perjalanan Pemikiran An-Nabhani


Ketika membahas qadha qadar, pengaruh sosialisme (humanisme dan materialisme) Syaikh
Taqiyuddin an Nabhani kentara sekali. Manusia sebagai subjek dan objek kehidupan yang
bersifat materi. Tatanan eksistensi (ontologi) makrokosmos di luar diri manusia bekerja
berdasarkan suatu sistem (nizhamul wujud) yang sudah baku yang disebut sunnatullah
menurut hukum alam sebab akibat (kausalitas). Seperti susunan bumi, planet-planet, gerakan
benda-benda langit, dll (makrokosmos) termasuk wilayah yang tidak dikuasai manusia.
Apapun yang terjadi di makrokosmos manusia tak berdaya, pasrah menerimanya. Semuanya
diyakini sebagai ciptaan Allah SWT.
Allah SWT juga menciptakan eksistensi mikrokosmos yaitu potensi yang terdapat dalam diri
manusia berupa akal, kebutuhan hidup dan naluri keinginan (nafsu). Dengan akalnya manusia
memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan nafsu. Manusia memiliki wewenang untuk
beraktivitas memenuhi kebutuhan dan keinginannya menurut akal. Ini termasuk wilayah yang
dikuasai manusia. Makrokosmos dan mikrokosmos bersifat materi.
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani mengkritik pembahasan para mutakallimin semua madzhab
karena mereka membahas qadha qadar sebagai realitas ghaib yaitu ilmu Allah SWT tentang
ketentuan nasib manusia yang tertulis di lauful mahfudz. Lauful mahfudz kitab ghaib. Tidak
seorangpun yang bisa membacanya. Membahas lauful mahfudz tidak produktif, sia-sia dan
menguras energi umat. Menurutnya membahas qadha qadar terkait ilmu Allah SWT yang
termaktub dalam lauful mahfudz tidak relevan dengan misi manusia sebagai pengemban
syariat.
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak mau terjebak dalam polemik para mutakallim secara
detail. Beliau kemudian membangun pemahamannya sendiri yang dinamakan pemahaman
syari. Pertama kali Beliau menginventaris ayat dan hadits yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Terbagi dua yaitu ayat dan hadits yang menunjukkan makna perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah SWT dan perbuatan manusia murni hasil kreasi manusia itu
sendiri. Terjadi kontradiksi. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak melakukan upaya jamu
(mengabungkan) dan tarjih (mengunggulkan salah satu) atas pemahaman mutakallimin
terhadap kedua jenis ayat ini.

Qadha dan Qadar Masalah Insaniyah


Berangkat dari pengaruh sosialisme di pemikirannya, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani
mengalihkan pembahasan qadha qadar dari masalah ilahiyah menjadi masalah insaniyah.
Dari perkara bab itiqad menjadi bab syariat. Pembahasan Beliau berawal dari manusia.
Manusia sebagai subjek dan objek alam semesta dilingkupi oleh eksistensi di luar dirinya
(makrokosmos) dan potensi yang ada dalam dirinya (mikrokosmos). Kejadian di alam
makrokosmos mengikuti hukum alam (sunnatullah) tanpa pengaruh manusia. Manusia tidak

terlibat dalam setiap peristiwa di alam makrokosmos. Dan manusia tidak bisa mengelak
kejadian makrokosmos yang menimpa dirinya. Karena itu manusia tidak dihisab pahala dan
dosa terkait peristiwa yang menimpanya. Ini yang dimaksud dengan qadha. Alam
makrokosmos dan hukum alam semuanya ciptaan Allah SWT. Mengimani hal ini disebut
iman kepada qadha Allah SWT.
Sedangkan potensi dalam diri manusia seperti akal, naluri dan kebutuhan hidup termasuk
wilayah yang dikuasai manusia. Manusia bisa mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan
keinginan berdasarkan akalnya dengan memanfaatkan khasiat (kegunaan) suatu benda.
Misalnya pisau berkhasiat memotong, api berkhasiat membakar, dll. Potensi diri manusia dan
khasiat benda-benda disebut qadar. Allah SWT yang menciptakannya. Mengimani hal ini
disebut iman kepada qadar Allah SWT. Ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidup
dan keinginan naluriahnya, manusia dengan akalnya bisa memilih khasiat benda apa yang
akan digunakan. Manusia tidak dipaksa. Kemudian secara syari apakah perbuatan manusia
itu sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak? Jika sesuai maka manusia mendapat pahala,
jika tidak, berdosa. Karena itu manusia dihisab pahala dan dosanya.
Sebagai contoh : Kalau seorang koruptor ditanya, Mengapa kamu korupsi? tentu si penanya
akan pusing jika si pencuri menjawab, Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah
ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh. Atau koruptor itu akan menjawab begini, Saya
korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya. Atau contoh lain,
misalnya : Seseorang telah menjual tambang minyak bumi milik rakyat kepada pihak asing,
sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan
minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, Mengapa Anda menjual tambang minyak
milik rakyat itu kepada pihak asing? Lalu orang tersebut berkata, Saya berbuat seperti ini
karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.
Jika hal ini dibahas, yaitu tentang siapa yang menciptakan perbuatan manusia tentu tidak
akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama
persis dengan pembahasan Qadha dan Qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka
berdebat habis tentang siapa yang menciptakan perbuatan manusia dan tertulisnya
perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh.
Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak menjadikan masalah tertulisnya
perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh atau siapa yang menciptakan perbuatan manusia
sebagai asas (dasar) pembahasan Qadha dan Qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan
dengan pahala dan dosa atau halal dan haram bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma
(asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Perbuatan
manusia itu sendiri!
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang
fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau
diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam,
ternyata ada dua jenis perbuatan manusia.

Pertama : Adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang
dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan
sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani) disebut dengan Qadha. Yang menetapkan Qadha adalah
Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada
hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.
Kedua : Adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi,
minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai
kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah
manusia memanfaatkan Qadar, yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu.
Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya
untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain,
manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk
berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar
ini, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Yang menetapkan Qadar hanya Allah
semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga
karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai
pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.
Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia
berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia
pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa),
bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan
dosa atau halal dan haram.
Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan
kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah
berdosa melanggar larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu melakukan korupsi.

Allah SWT Layaknya Investor


Menurut Syaikh Taqiyuddin an Nabhani perbuatan manusia di wilayah syariat murni hasil
kreasi manusia. Tidak ada perbuatan Allah SWT yang memaksanya. Allah SWT memang
mengetahui perbuatan manusia sebagaimana yang tercatat di lauful mahfudz, namun
pengetahuan Allah SWT tidak berpengaruh terhadap perbuatan manusia. Hubungan Allah
SWT dengan manusia seperti investor dengan pekerja. Sebagai investor Allah SWT yang
memberi modal kerja berupa potensi diri manusia, khasiat benda-benda dan aturan mainnya.
Manusia tinggal bekerja menjalani kehidupan. Nanti di akhirat waktunya hitung-hitungan
pahala dan dosa. Selama manusia menjalani kehidupan, Allah SWT hanya menonton. Tidak
punya pengaruh terhadap perbuatan manusia. Dengan demikian akhirnya Syaikh Taqiyuddin
an Nabhani hanya mengulangi kekeliruan kalangan mutazilah ketika membahas qadha qadar.

Wallahualam bi shawab.

Anda mungkin juga menyukai