OLEH:
NAMA
: SARIFAH
STAMBUK
: F1D516062
JURUSAN BIOTEKNOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
Membahas tentang maksud dari qadha dan qadar selalu menarik disela-sela kesibukan
orang menjalani takdirnya. Menarik karena qadha dan qadar merupakan titik singgung antara
perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Apa hakikat perbuatan Allah SWT?
Bagaimana hubungannya dengan perbuatan manusia? Apakah yang dialami manusia akibat
dari perbuatan-Nya atau murni kreasi manusia? Berbagai pendapat tentang qadha qadar telah
dibukukan oleh ulama mutakallim (ahli Ilmu kalam/teologi) sejak dulu mewakili alirannya
masing-masing. Dikuatkan dengan dalil-dalil yang terdapat di Al Quran dan hadits. Ada tiga
aliran utama mutakallimin: Qadariyyah, Ahlu Sunnah dan Jabariyah.
terlibat dalam setiap peristiwa di alam makrokosmos. Dan manusia tidak bisa mengelak
kejadian makrokosmos yang menimpa dirinya. Karena itu manusia tidak dihisab pahala dan
dosa terkait peristiwa yang menimpanya. Ini yang dimaksud dengan qadha. Alam
makrokosmos dan hukum alam semuanya ciptaan Allah SWT. Mengimani hal ini disebut
iman kepada qadha Allah SWT.
Sedangkan potensi dalam diri manusia seperti akal, naluri dan kebutuhan hidup termasuk
wilayah yang dikuasai manusia. Manusia bisa mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan
keinginan berdasarkan akalnya dengan memanfaatkan khasiat (kegunaan) suatu benda.
Misalnya pisau berkhasiat memotong, api berkhasiat membakar, dll. Potensi diri manusia dan
khasiat benda-benda disebut qadar. Allah SWT yang menciptakannya. Mengimani hal ini
disebut iman kepada qadar Allah SWT. Ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidup
dan keinginan naluriahnya, manusia dengan akalnya bisa memilih khasiat benda apa yang
akan digunakan. Manusia tidak dipaksa. Kemudian secara syari apakah perbuatan manusia
itu sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak? Jika sesuai maka manusia mendapat pahala,
jika tidak, berdosa. Karena itu manusia dihisab pahala dan dosanya.
Sebagai contoh : Kalau seorang koruptor ditanya, Mengapa kamu korupsi? tentu si penanya
akan pusing jika si pencuri menjawab, Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah
ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh. Atau koruptor itu akan menjawab begini, Saya
korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya. Atau contoh lain,
misalnya : Seseorang telah menjual tambang minyak bumi milik rakyat kepada pihak asing,
sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan
minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, Mengapa Anda menjual tambang minyak
milik rakyat itu kepada pihak asing? Lalu orang tersebut berkata, Saya berbuat seperti ini
karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.
Jika hal ini dibahas, yaitu tentang siapa yang menciptakan perbuatan manusia tentu tidak
akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama
persis dengan pembahasan Qadha dan Qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka
berdebat habis tentang siapa yang menciptakan perbuatan manusia dan tertulisnya
perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh.
Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak menjadikan masalah tertulisnya
perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh atau siapa yang menciptakan perbuatan manusia
sebagai asas (dasar) pembahasan Qadha dan Qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan
dengan pahala dan dosa atau halal dan haram bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma
(asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Perbuatan
manusia itu sendiri!
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang
fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau
diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam,
ternyata ada dua jenis perbuatan manusia.
Pertama : Adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang
dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan
sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani) disebut dengan Qadha. Yang menetapkan Qadha adalah
Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada
hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.
Kedua : Adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi,
minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai
kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah
manusia memanfaatkan Qadar, yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu.
Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya
untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain,
manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk
berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar
ini, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Yang menetapkan Qadar hanya Allah
semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga
karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai
pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.
Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia
berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia
pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa),
bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan
dosa atau halal dan haram.
Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan
kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah
berdosa melanggar larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu melakukan korupsi.
Wallahualam bi shawab.