Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

JABARIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aliran Teologi Islam

Dosen Pengampu : Dr. Edi Susanto, M.Fil. I

Kelompok IV

1. Helyatin Nasika (18201501010063)


2. Wardatul Amniyah (18201501010179)
3. Wildanul Mahbub (18201501010181)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari
faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi
Muhammad saw. wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul
kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa
pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa
dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan
kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan
mengikut sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat
kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali,
hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin.
Golongan Syi‟ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah
harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan
Mu‟tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak
menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum
Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh
pemberontak dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan
mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak berhenti sampai di
situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada
“dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang
dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di
akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini
adalah Aliran Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan
menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan
bagi para pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan
penulis sebagai berikut;
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jabariyah?
2. Bagaimana sejarah aliran jabariyah?
3. Bagaimana tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah?
4. Apa saja pokok-pokok ajaran jabariyah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian jabariyah.
2. Untuk mengetahui sejarah aliran jabariyah.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah.
4. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran jabariyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti
memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan
perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut
kepada Allah swt.
Faham jabariyah ini diperkenalkan pertama kali oleh al-Ja‟id bin
Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya Jahm bin
Safwan dari Khurasan. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan
golongan Jahamiyah.1Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu.
Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia
sebagaimana dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas perbuatan-
perbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas
(al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana
perbuatan Tuhan atas benda-benda mati.2Dengan kata lain perbuatan manusia
sudah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Sehingga posisi
manusia dalam faham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri,
tetapi terikat kehendak mutlak Tuhan. Dalam istilah Inggris faham ini disebut
fatalisme atau predistination, yaitu faham bahwa perbuatan manusia
ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Maka doktrin aliran
jabariyah ini menganut faham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya dalam
keadaan terpaksa.3
Selain ituia juga berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat-sifat
yang dimiliki manusia. Karena apabila sifat-sifat yang dimiliki manusia juga
disifatkan kepada tuhan, maka hal ini dipandang amat berbahaya dan
dikhawatirkan akan membawa amat tasybih, seperti keadaan Allah ta‟ala itu
tahu dan hidup.

1Mulyono & Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 139-140
2 M. Amin Nurdin, dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 41
3 Mulyono & Bashori, Op.Cit, hlm. 140
Al-Baghdadi menuturkan didalam al-Farqu Bainal Firaq, tentang
pendapat Jahm ini bahwa: tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang
mematikan dan menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian khusus bagi tuhan
saja. Tidak ada tindakan dan perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan
tindakan Allah swt.
Lebih lanjut M. Laily Mansur LPH, menganggap bahwa aliran yang
berfaham demikian hanya mendasarkan terhadap penafsiran ayat-ayat dalam
al-Quran menurut pemahamannya sendiri sebagaimana disebutkan dalam al-
Quran:
a. Surah as-Saffah 96 ditegaskan:

َ ‫اللُ َخلَقَ ه ُْك َُوم َاُتَ ْع َمله‬


ُ‫ون‬ ُ‫َو ّ ه‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu”. (QS. Ash-Shaffaat: 96)
b. Surah al-Insan 30:
‫ُللا ََُك َنُعَ ِلميًاُ َح ِكميًا‬ ُ‫ونُ ِا َّلُٓ َأنُيَشَ آ ٓ َء ه‬
َ ‫ُللاجا َن‬ َ ‫َو َماُتَشَ آ ٓ هء‬
ِ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
bijaksana”. (QS. al-Insan: 30)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut hanya akan menunjukkan kelemahan
terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam pengertian bahwa apabila hamba
mengetahui kelemahan iradah-Nya, maka ia akan tidak mau mengakui
kekuasaan Allah swt.
Menurut Syahrastani, aliran Jabariyah dalam menganalisa perbuatan
manusia terdapat dua pandangan yaitu:
1) Pandangan ekstrim yang disebut al-Jabariyah al-Khalish, yaitu jabariyah
yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada
manusia, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jahm bin Sofwan.
2) Pandangan moderat yang diberi istilah al-Jabariyah al-Mutawasithah,
yaitu jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi
qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. 89 pandangan ini
pelopornya adalah Husain bin Muhammad al Najjar dan Dirar bin „Amr.4

Dari paparan sederhana di atas dapatlah disimpulkan bahwa manusia


dalam paham Jabariyah seperti yang diajarkan oleh Jahm bin Safwan ini
adalah manusia yang lemah, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas. Seluruh tindakan
dalam perjalanan hidupnya adalah tindakan yang tidak boleh keluar dari
skenario yang telah ditentukan oleh Allah sebelumnya. Dengan demikian,
terpahami bahwa akibat baik dan buruk yang diterima manusia dalam
perjalanan hidupnya yang panjang itu merupakan ketentuan dari Allah jua.
Bila diperjelas bahwa manusia dalam pandangan Jabariyah ini tak ada
bedanya seperti wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia adalah
wayang sedangkan Tuhan adalah dalangnya. Sama dengan wayang yang tidak
bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang, manusia pun tidak akan
bergerak kalau tidak digerakkan oleh Tuhan.5
Dan menurut Najjar dan Dirar bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif. Namun dalam
manusia mempunyai bahagian yaitu daya yang menciptakan dalam diri
manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut kasb atau acuisition.
Maka faham jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar sudah tidak
lagi menggambarkan manusia sebagai wayang, tetapi nampak bahwa di
antara manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu
perbuatan dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan
perbuatannya.
Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana aliran Qaadariyah
yang lenyap dari gelanggang sejarah tetapi beberapa ajarannya dimunculkan
oleh para pemikir pembaru, aliran Jabariyah pun mengalami nasib yang sama.
Paham Jabariyah, terutama Jabariyah moderat yang dikembangkan oleh

4Ibid, hlm. 140-143


5Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Prenadamedia Group,
Jakarta, Hlm.70
Husein Ibn Muhammad al-Najjar serta Dirar Ibn Amr sungguhpun tidak
dalam bentuk yang sama dimunculkan oleh aliran asy‟ariyah.

B. Sejarah Aliran Jabariyah


Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang
kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak
pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan
perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah
memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut.
Rasulullah hanya menganjurkan agar mengimani takdir dan melarang
untuk memperbincangkan lebih jauh, karena dikhawatirkan akan
membingungkan dan mendorong timbulnya perpecahan.
Namun selanjutnya setelah daerah-daerah Islam meluas ke negara-
negara Syiria, Palestina, Mesir dan Persia pada masa Khalifah Umar bin
Khattab, maka umat Islam bercampur dengan umat lain dan penganut agama
kuno yang membicarakan masalah takdir, ada yang menerima dan ada yang
menolak, maka akhirnya timbullah perdebatan tanpa memperhatikan lagi
larangan Nabi. Akhirnya pada 70 H, muncullah Mabad al-Juhani dalam
pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang dimilikimanusia
sebagai anugerah Tuhan untuk melakukan perbuatannya.
Pada masa Nabi, benih-benih paham al-Jabariyah itu sudah ada.
Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah Qadar Tuhan merupakan
salah satu indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir,
tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendala. Pada masa
sahabat kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan
bahwa Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika
keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan
untuk keslahan mencurinya, sedang cambuk untuk kesalahannya
menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.”
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir yang dapat
meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota
yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Apakah anda
mau lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke
takdir Tuhan yang lain”. Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir
Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak
boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu karena setiap sesuatu
memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia(maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan Jabar itu mencuat
kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, semakin reaksi keras
kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham al-Jabariyah. Hal yang sama
dilakukan oleh Hasan Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang
berpaham al-Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal bakal paham al-
Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namu, al-Jabariyah
sebagai suatu pola pikir yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi
pada akhir pemerintahan Bani Umayah.6
Dengan munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman
yang dilontarkan oleh Ja‟ad Ibn Dirham, yang kemudian disiarkan dengan
gigih oleh muridnya Jaham Ibn Sofwan pada awal abad ke-2 H. Menurut
pemahaman mereka bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia
sejak semula, manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan kudrat,
manusia bekerja tanpa kehendak melainkan bekerja di bawah tekanan dan
pemaksaan Tuhan.
Dengan qudrat berarti manusia merupakan orang yang berhak
menentukan sendiri, mengerjakan apa yang disukainya, sedangkan irodat
berarti manusia menerima tekanan ijbar belaka. Gambaran ajaran Jabariyah
ini persis seperti yang diungkapkan oleh Jaham Ibn Sofwan sendiri:
“Manusia itu sesungguhnya majbur dalam segala tindakannya, ia tidak
mempunyai ikhtiar dan kekuasaan, ia tidak ubahnya seperti bulu ayam yang

6 Ibid. hlm. 42- 44


terawang di udara, apabila digerakkan ia akan bergerak dan apabila
dimantapkan ia akan mantap, Allah-lah yang berkuasa atas segala tindakan,
semuanya bersumber dari Tuhan”.7

C. Tokoh-Tokoh dan Ajaran Jabariyah


Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu
Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn
Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan
Hafash al-Fard yang alirannyaa disebut al-Diroriah. Dalam hal ini, al-
Syahrastani tidak memasukkan Ja‟ad Ibn Dirham, karena paham Jabariyah
pada masanya belum banyak pengikutnya, walaupun Marwan Ibn
Muhammad telah menjadi pengikutnya, sehingga ia diberi gelar Marwan al-
Ja‟di.

1. Ja’ad Ibn Dirham


Ja‟ad adalah putra dari Dirham ,seorang tuan dari Bani al-Hakam.
Sebagai pelopor Jabariyah, Ja‟ad Ibn Dirham dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat yang selalu membicarakan tentang teologi,ia bertempat tinggal
di Damaskus tempat ini pada mulanya sebagai basis agama Kristen dan
latar inilah salah satu faktor penyebab timbulnya paham Jabariyah di
kalangan kaum muslimin. Ajaran yang ia kemukakan antara lain ialah
bahwa al-quran itu adalah makhluk, Allah tidak mempunyai sifat seperti
sifatnya makhluk dan menyatakan adanya takdir. Al-quran sebagai
makhluk artinya bahwa al-Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di
ciptakan berarti baru kalau ia baru berarti bukan kalamullah.
Menurut al-gorobi, munculnya pemahaman ja‟ad tentang
kemakhlukan al-Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya
terhadap sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa al-
Qur‟an itu baru dan Allah tidak bisa di sifati dengan sifat tersebut, al-
Qur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada yang qodim selain
Allah.

7Prof. Dr. H. Ris‟an Rusli, M.Ag.,2014.Teologi Islam,Prenadamedia Group, Jakarta. Hlm. 30-32
2. Jaham ibn sofwan
Jaham Ibn Sofyan digelar oleh Abu Mahroj dia adalah seorang
pemimpin Bani Rosib dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang orator,
karena kepandaianya berbicara serta ke pasihannya, ia di angkat sebagai
juru tulis dan seorang muballig. Di samping itu, ia juga sebagai seorang
ahli debat. Akhir hayatnya ia di bunuh oleh Muslim Ibn Ahwaz Al-Mazini
pada akhir masa Bani Marwan. Paham-pahamnya dalam teologi:
a. Bahwa kalamullah (wahyu)Allah itu baru, bukan qodim dan tidak
kekal.
b. Tuhan tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat yang di miliki makhluknya
karena dengan mensifatinya akan menimbulkan persamaan.
c. Iman adalah makrifah, sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu
orang yahudi yang mengetahui sifat-sifat nabi juga mukmin.
d. Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada
sesuatupun yang kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di
dalam Al-Quran adalah hanya menggambarkan lamanya, bukan
kekalnya.
Paham Jaham Ibn Sofyan di atas berkembang di daerah Khurasan
dan sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya dikembangkan oleh
para pengikutnya di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur al-
Maturidi.
3. Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar
Pengikut-pengikut Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar disebut
dengan al-najjariyah, paham-pahamnya yang mereka kemukakan ialah:
a) Kalamuallah bersifat baru
b) Orang yang berakal sebelum turunnya wahyu wajib mengetahui tuhan
dengan najhar.
c) Tuhanlah yang menciptakan perbuatan baik dan perbuatan buruk
manusia.
d) Dalam masalah rukyah, manusia tidak bisa melakukannya dengan mata
kepala, hal ini mustahil terjadi tetapi ia tidak mengingkari kemungkinan
allah memindahkan kekuatan hati untuk makrifat dengan Allah.
e) Tingkah laku manusia yang ditimbulkan oleh iman disebut taat, bukan
iman, gabungan dari keduanya baru disebut iman tetapi bila keduanya
berpisah satu sama lain maka tidak bisa disebut apa-apa.
4. Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard
Para pengikut Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard disebut
dhirorish. Paham-paham ynag mereka kemukakan antara lain:
a. Perbuatan manusia di ciptakan tuhan, manusia adalah muktasib.
b. Tidak adanya sifat-sifat tuhan.
c. Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang imamah,
bahkan apabila suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais,
maka yang bukan Quraisy harus di dahulukan karena jumlah orang
yang bukan Quraisy lebih sedikit.

D. Pokok-Pokok Ajaran Jabariyah


Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran
Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang
dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.
Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa semua takdir buruk dan
baiknya adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri. Sedangkan Allah
tidak turut campur dalam persoalan takdir.8
Menolak adanya kekuasaan pada diri manusia. Manusia itu tidak
memiliki kemauan sendiri, tidak mempunyai pilihan atas aktivitas sesuatu.
Menurutnya Allah yang menjadikan aktivitas manusia sebagaimana benda
mati seperti air mengalir, hawa bergerak. Mereka meniadakan sifat-sifat pada
Tuhan yang mana sifat-sifat itu ada pada manusia. Apabila sifat-sifat manusia
juga disifati kepada Tuhan maka hal itu sangat berbahaya dan akan
membentuk tasybih(penyerupaan dengan makhluk).
Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang Menghidupkan dan
Mematikan. Sifat-sifat ini adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan

8 Drs. M. Noor Matdawam, 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan Sejarah
Dinamika Budaya Manusia. Bina Karier, Yogyakarta, Hlm. 69
9 Drs. H. Latief Mahmud, M.Ag., 2006. Ilmu Kalam.Pamekasan: StainPress
dan perbuatan seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah SWT. Faham
Jabariyah dikategorikan sebagai faham fatalis. Dalam filsafat Determinisme
manusia dianggap sebab segalanya telah di bentuk sebelumnya Determinisme
teologi menganggap bahwa ketentuan itu datang dalam alam mikro dan
makro kosmos sebagaimana yang terdapat dalam filsafat Cina kuno, Filsafat
Mesir kuno dan filsafat Yunani. Dalil-dalil naqli yang digunakan faham
Jabariyah adalah seperti dalam firman Allah SWT:
“Wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang
kami tidak sanggup”.(QS. Al-Baqarah:286).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”.(QS.
Shaffat:96).
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya sekiranya Allah
menghendaki”.(QS Al-An‟am:112).9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti
memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti
menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan
perbuatan tersebut kepada Allah.
b. Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang
kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah
tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum
meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi
sendiri pernah memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir
tersebut.
c. Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham
Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn
Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan
Hafash al-Fard yang alirannya disebut al-Diroriah.
d. Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran
Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang
dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak kekurangan
diantaranya adalah kurangnya referensi yang relevan dan pembahasan yang
kurang detail. Dan kiranya makalah kami ini sangat jauh dari kesempurnaan,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi meningkatkan
kesempurnaan makalah yang kami tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyono & Bashori. 2010. Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang: UIN Maliki Press.
Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Rusli, Ris‟an. 2014. Teologi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Yusuf, M. Yunan. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Matdawam, M. Noor. 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan
Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Bina Karier.
Mahmud, Latief. 2006. Ilmu Kalam. Pamekasan: StainPress.

Anda mungkin juga menyukai